Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>Kerja</strong> <strong>pun</strong> <strong>Ibadah</strong><br />
Tentu bukan hal yang aneh lagi bila kita melihat umat Hindu yang datang<br />
berbondong-bondong ke pura saat hari raya tertentu dengan membawa berbagai macam<br />
persembahan berupa bebanten atau sesajen. Meski<strong>pun</strong> pura yang akan dituju letaknya<br />
begitu jauh hingga harus ditempuh dengan berjalan kaki atau<strong>pun</strong> menyeberang lautan,<br />
namun coba perhatikan ketika mereka pulang, tidak ada tanda-tanda kelelahan di tubuh<br />
mereka.<br />
Dan upacara agama yang berlangsung tersebut biasanya tidak hanya sehari<br />
saja, tentunya itu membutuhkan persiapan yang matang dalam jangka waktu yang cukup<br />
lama. Persiapan penyelenggaraaan upacaranya <strong>pun</strong> telah dilakukan beberapa hari atau<br />
bahkan beberapa bulan sebelum itu. Dan ketika itu, umat Hindu ngayah secara sungguh-<br />
sungguh guna mempersiapkan segala sesuatunya agar upacara dapat berjalan lancar<br />
nantinya. Dari pagi sampai larut malam umat terus berjubel melakukan<br />
persembahyangan.<br />
Bahkan di daerah lain seperti di Bali misalnya, untuk bersembahyang di pura-<br />
pura tertentu, umat Hindu sanggup mendaki gunung atau memanjat tebing, kemudian<br />
melintasi sungai dan laut. Sebuah tempat suci atau tempat ibadah memang sengaja<br />
dibangun menurut aturan – aturan tertentu sesuai Asta Kosala Kosali. Adalah sangat<br />
baik jika tempat ibadah terletak di suatu lokasi yang bebas polusi, bebas dari kebisingan<br />
dan bisa memberi ketentraman jiwa misalnya di <strong>pun</strong>cak gunung, dekat danau, di tengah<br />
hutan mau<strong>pun</strong> di suatu pulau. Hal ini mem<strong>pun</strong>yai simbol bahwa untuk dapat menuju<br />
Tuhan, manusia hendaknya melewati tahap perjalanan atau pendakian spiritual yang tak<br />
mudah dan tak kenal lelah.<br />
Nah umat sedharma yang budiman, seperti yang kita tahu bersama bahwa<br />
Hindu yang sarat dengan adat, seni dan budaya dapat hidup berdampingan dengan<br />
rukun dalam beribadah. Tidak jarang kita jumpai ada Pura yang letaknya berdampingan<br />
dengan tempat ibadah umat lain seperti mesjid, gereja, atau vihara. Hal ini tak lepas dari<br />
konsistensi umat terhadap filsafat Bhinneka Tunggal Ika, Tat Twam Asi, sehingga umat<br />
bisa bersatu, beribadah dengan tenang dan khidmat tanpa ada saling rasa terganggusatu<br />
dengan lainnya.<br />
Namun demikian umat sedharma yang terkasih, harus kita akui bahwa Hindu<br />
(khususnya Hindu yang anut orang Bali/Siwa Siddhanta) memiliki begitu banyak hari<br />
suci. Selain itu, upacara keagamaan lain yang terintegrasi dalam ritual adat <strong>pun</strong> tak<br />
sedikit dan terkadang memerlukan waktu berhari-hari dalam pelaksanaannya. Karena<br />
demikian padatnya hari-hari suci dalam agama Hindu, tentu ini akan berdampak pada
kinerja para pegawai instansi pemerintah atau<strong>pun</strong> swasta yang notabene jarang sekali<br />
mendapatkan libur/fakultatif. Belum lagi urusan adat, banjar, sekaa, dan lain<br />
sebagainya. Karena itu bagi sebagian umat Hindu rasanya agak sulit mengatur waktu<br />
antara beribadah dengan menunaikan pekerjaan. Ini kemudian menjadi salah satu faktor<br />
mengapa orang Hindu agak sulit mengembangkan karir dalam pekerjaan.<br />
Namun, ingatkah kita bahwa Hindu mengajarkan nilai kerja itu sama dengan<br />
nilai ibadah yang dilakukan. <strong>Ibadah</strong> atau pekerjaan adalah sebagai perwujudan bhakti<br />
kepada Tuhan. Hal ini secara gamblang tercantum dalam ajaran Catur Marga yaitu<br />
empat jalan/cara manusia mencapai atau menuju Tuhan. Empat jalan tersebut yaitu :<br />
(1) Jnana Marga artinya mencapai Tuhan dengan rajin mempelajari dan mengamalkan<br />
ilmu pengetahuan Ketuhanan (Theologi)<br />
(2) Bhakti Marga yaitu mencapai Tuhan lewat jalan bhakti yang tulus ikhlas serta<br />
mengembangkan cinta kasih terhadap sesama<br />
(3) Karma Marga adalah menuju jalan Tuhan lewat bekerja sesuai swadharma masing-<br />
masing dengan tulus tanpa pamrih<br />
(4) Yoga Marga merupakan pencapaian Tuhan dengan melewati tahapan-tahapan yang<br />
diajarkan dalam Astangga Yoga.<br />
Nah pendengar yang berbahagia, dari keempat jalan tersebut tidak ada jalan<br />
yang paling baik karena keempatnya sama-sama baik. Jalan atau cara yang terbaik bagi<br />
seseorang sangat tergantung pada jalan mana yang dipilih disesuaikan dengan<br />
keyakinan dan kemampuan masing-masing individu. Seseorang yang memiliki<br />
kecenderungan filsafat yang tinggi, senang mempelajari ilmu pengetahuan khususnya<br />
tentang keTuhanan, maka akan sangat cocok mengikuti Jnana Marga. Namun jalan ini<br />
tentu tidak akan sesuai untuk orang yang senang melakukan pengembangan cinta kasih<br />
kepada sesama, atau senang mengasihi. Mereka yang melakukan bhakti lewat lagu-lagu<br />
pujian, melakukan persembahan suci adalah orang yang memilih Bhakti Marga.<br />
Sedangkan orang-orang yang sebagian besar waktu dalam hidupnya digunakan untuk<br />
bekerja atau berkarma demi kepentingan masyarakat di sekitarnya secara tulus ikhlas<br />
adalah mereka yang mengabdikan diri dalam Karma Marga. Dan orang-orang yang<br />
mencari keheningan dan kontemplasi diri akan memilih Yoga Marga dalam hidupnya.<br />
Nah, ada di jalan yang manakah kita saat ini umat sedharma? Apakah Jnana Marga,<br />
Bhakti Marga, Karma Marga, atau Yoga Marga?<br />
Sesuai dengan pembahasan mimbar kali ini yaitu tentang kerja sebagai<br />
ibadah, maka tentu saja ini terkait dengan ajaran Karma Marga dimana segala aktivitas<br />
atau perbuatan kita selalu mendatangkan pahala. Karma yang baik dan tulus serta<br />
sungguh-sungguh pastilah berbuah pahala yang baik pula. Karena itu tidak heran jika<br />
masyarakat Hindu menganut prinsip Rame ing Gawe, Sepi ing Pamrih, artinya
ersemangat dalam bekerja, namun tanpa pamrih. Yang maksudnya adalah segala jenis<br />
pekerjaan apa<strong>pun</strong> yang halal dan bermanfaat hendaknya dilakukan dengan semangat<br />
dan sungguh-sungguh dengan tanpa mengikatkan diri pada hasil yang akan dicapai.<br />
Bekerjalah seakan-akan kamu tidak mem<strong>pun</strong>yai hari esok, demikian kata pepatah Barat.<br />
Karena pekerjaan kamu adalah pengabdian secara tulus ikhlas sepenuhnya kepada<br />
Tuhan.<br />
Pada dasarnya semua agama mengajarkan umat manusia agar mengisi hidup<br />
ini dengan kerja tanpa mengikatkan diri pada hasil. Sehingga dalam agama-agama lain<br />
juga mengenal istilah Bekerja adalah <strong>Ibadah</strong>. Dalam Kitab Suci Weda dikatakan bahwa<br />
jika orang bekerja semata untuk mendapatkan hasil, berarti orang itu tidak lagi<br />
berbhakti kepada Tuhan. Dengan bekerja manusia mencapai kesempurnaan hidup,<br />
mencapai pencerahan abadi. Orang yang meninggal dalam kerja adalah orang mati<br />
syahid. Setiap manusia di dunia ini sesungguhnya diwajibkan untuk bekerja dan tidak<br />
satu<strong>pun</strong> makhluk yang luput dari Hukum <strong>Kerja</strong>. Dalam Kitab Suci Bhagawadgita<br />
dinyatakan bahwa bekerja lebih baik daripada tidak bekerja, karena bahkan Tuhan<strong>pun</strong><br />
tidak luput dari Hukum kerja tersebut. Tuhan, Sang Penguasa tertinggi jagad raya ini<br />
tetap bekerja agar segala ciptaannya bisa tetap hidup. Dan jika Tuhan berhenti bekerja<br />
maka dunia ini akan berhenti berputar, dan makhluk hidup<strong>pun</strong> akan binasa. Nah<br />
demikianlah hakekat dari kegiatan kerja itu umat sedharma.<br />
Konsep kerja, sedikit tidaknya juga ditegaskan dalam ajaran Catur Asrama<br />
yaitu empat jenjang atau tingkatan hidup manusia. Orang yang sudah memasuki jenjang<br />
Grehasta Asrama wajib bekerja. Tujuannya tentu saja tak lain dan tak bukan adalah<br />
untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya. Selain itu, bekerja juga<br />
bertujuan agar dapat melaksanakan Panca Yadnya (lima korban suci secara tulus ikhlas)<br />
mengingat setiap manusia yang lahir ke dunia sudah membawa hutang-hutang (Rna)<br />
yang harus dibayar di kehidupan ini. Dan hutang tersebut dibayarkan dengan<br />
melaksanakan upacara yadnya. Nah untuk melaksanakan yadnya tentu membutuhkan<br />
biaya atau dana, bukan? Dari manakah kita mendapat biaya tersebut? Tentu saja dari<br />
bekerja. Pendengar yang budiman, inilah yang juga merupakan alasan mengapa manusia<br />
dituntut harus bekerja.<br />
Sungguh luhur nilai suatu pekerjaan bagi umat Hindu. Namun, bila kita<br />
perhatikan realita yang ada, belum banyak umat yang memahami hakekat dari bekerja.<br />
Contohnya masih banyak pegawai yang minta libur, meninggalkan pekerjaan cukup<br />
lama hanya untuk beribadah atau upacara agama di tempat jauh. Pertanyaannya, apa<br />
tidak bisa ibadah itu dilakukan di tempat kerja? Jawabannya tentu bisa! Kalau memang<br />
ada waktu panjang atau banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, maka pelaksanaan<br />
ibadah sesuai tradisi keagamaan itu bisa dilakukan dari tempat kerja. Tidak usahlah kita
pulang jauh-jauh ke kam<strong>pun</strong>g bila itu justru akan menyita waktu yang seharusnya bisa<br />
dipergunakan untuk menyelesaikan pekerjaan yang penting. Bukankah kita mem<strong>pun</strong>yai<br />
kebiasaan Nyawang, ngacep matur piuning? Hal ini bisa kita lakukan dari tempat kerja.<br />
Masih ingat ajaran Aham Brahman asmi, Tuhan ada di mana-mana?<br />
Namun umat sedharma, jika memang tidak ada pekerjaan penting, maka tentu<br />
tidak salah jika kita beramai-ramai datang ke pura. Karena kembali pada masalah rasa,<br />
lebih sreg rasanya jika kita bisa datang langsung dan nyakupang tangan di Pura tersebut.<br />
Namun tak bisa di<strong>pun</strong>gkiri bahwa masih banyak umat Hindu yang belum memahami<br />
secara benar tentang keluhuran nilai kerja itu. Banyak yang beranggapan bahwa ibadah<br />
agama itu hanya berwujud seremoni yang panjang dan melelahkan. Padahal,<br />
sesungguhnya ibadah memiliki pemahaman dan pengertian yang sangat luas, serta tidak<br />
terbatas pada ritual-ritual belaka.<br />
Dan inilah tantangan kita sebagai insan beriman, harus berani menjadi pelopor<br />
pembaharuan kehidupan beragama. Ini<strong>pun</strong> juga merupakan ibadah bukan?