08.06.2013 Views

DARI PEMBUATAN KEPUTUSAN KE PERUMUSAN ...

DARI PEMBUATAN KEPUTUSAN KE PERUMUSAN ...

DARI PEMBUATAN KEPUTUSAN KE PERUMUSAN ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>DARI</strong> <strong>PEMBUATAN</strong> <strong><strong>KE</strong>PUTUSAN</strong> <strong>KE</strong> <strong>PERUMUSAN</strong> <strong>KE</strong>BIJAKSANAAN<br />

A. PENDAHULUAN<br />

Oleh : Suratno, S.Ag., MAP.<br />

Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kantor Kemenag Kab. Kepl. Sitaro<br />

Pembuatan keputusan banyak dilakukan dipelbagai macam organisasi. Pembuatan<br />

keputusan itu adalah merupakan salah satu fungsi utama administrasi atau manager organisasi,<br />

termasuk manager organisasi publik.<br />

Proses pembuatan keputusan bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Hal ini telah<br />

mengundang banyak para ahli untuk memikirkan cara atau tehnik pembuatan keputusan yang paling<br />

baik. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat tentang beberapa macam pandangan mengenai<br />

pembuatan keputusan dan perumusan kebijaksanaan, beberpa faktor yang mempengarui<br />

pembuatan keputusan dan cara-cara untuk meingkatkan perumusan kebijaksanaan.<br />

B. PEMBAHASAN<br />

1. Perbedaan dan persamaan pembuatan keputusan dan perumusan kebijaksanaan.<br />

William R. Dill memberikan definisi suatu keputusan sebagai berikut: “... a decision a choice<br />

among alternative” (... suatu keputusan adalah suatu pilihan terhadap pelbagai macam<br />

alternatif).<br />

Dalam glossary of administration pembuatan keputusan (decision making) didefinisikan<br />

sebagai: “a process in which choicers are made to change (or leave unchanged) an existing<br />

condition, to select a course of action most appropriate to achieving a desired objective, and<br />

to minimize risks, uncertainty, and resource expenditures in pursuing the objective, (suatu<br />

proses dalam mana pilihan-pilihan dibuat untuk mengubah (atau tidak mengubah suatu<br />

kondisi yang ada, memilih serangkaian tindakan yang paling tepat untuk mencari suatu<br />

tujuan yang diinginkan, dan untuk mengurangi resiko-resiko, ketidakpastian dan<br />

pengeluaran sumber-sumber dalam rangka mengejar tujuan”). Dari definisi diatas, nampak<br />

jelas sekali bahwa sepanjang pembuatan keputusan itu merupakan penentuan “serangkaian<br />

tindakan”, maka proses pembuatan keputusan itu dilakukan terus menerus dan tidak<br />

mengenal berhenti. Dan cobalah perhatikan pernyataan Dill berikut ini : pembuatan<br />

keputusan administrative biasanya sulit diartikan sebagai suatu pilihan tunggal diantara<br />

alternatif-alternatif. Kebanyakan keputusan seperti itu sebenarnya terdiri dari serangkainan<br />

pilihan-pilihan dan ikatan-ikatan yang telah ditetapkan secara berurutan.<br />

Pernyataan Dill tentang “pembuatan keputusan” tersebut di atas pengertiannya sama<br />

dengan pengertian ”pembuatan kebijaksanaan” (policy making). Kata-kata “a single choice”<br />

dan “a Course of action” sering dipakai untuk membedakan pembuatan keputusan dan<br />

pembuatan kebijaksanaan.<br />

Nigro dan nigro berada pada pihak yang tidak membedakan antara pembuatan keputusan<br />

dan pembuatan kebijaksanaan, dengan mengatakan: tidak nada perbedaan yang mutlak


dapat dibuat antara pembuatan keputusan dan pembuatan kebijaksanaan, karena setiap<br />

penentuan kebijaksanaan adalah merupakan suatu keputusan. Tetapi kebijaksanaankebijaksanaan<br />

membentuk rangkaian-rangkaian tindakan yang mengarahkan banyak macam<br />

keputusan yang dibuat dalam rangka melaksanakan tujuan-tujuan yang telah dipilih.<br />

Dengan mengikuti pendapat Anderson, Bintoro Tjokroamidjojo membedakan pengertian<br />

pembuatan keputusan dan pembuat kebijaksanaan, dengan mengatakan: pembentukan<br />

kebijaksanaan atau policy formulation sering juga disebut policy making, dan ini berbeda<br />

dengan pengambilan keputusan (decision making). Karena pengambilan keputusan adalah<br />

pengambilan pilihan sesuatu alternatif dari berbagai alternatif yang bersaing mengenai<br />

sesuatu hal dan selesai. Sedangkan policy making meliputi banyak pengambilan keputusan,<br />

jadi menurut Tjokroamidjojo, apabila pemilihan alternatif itu sekali dilakukan dan selesai,<br />

maka kegiatan itu disebut pembuatan keputusan, sebaliknya bila pemilihan alternatif itu<br />

terus menerus dilakukan dan tidak pernah selasai, maka kegiatan tersbut dinamakan<br />

perumusan kebijaksanaan.<br />

Apakah pembuatan keputusan itu dapat benar-benar di bedakan dengan pembuatan<br />

kebijaksanaan?<br />

Ataukah justru pembuatan keputusan itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari<br />

proses perumusan kebijaksanaan? Pemahaman kita tentang kaitan pembuatan keputusan<br />

dan perumusan kebijaksanaan akan memudahkan kita dalam memahami metode dan model<br />

perumusan kebijaksanaan yang akan diuraikan.<br />

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan/kebijaksanaan.<br />

Sebagaimana telah pernah disinggung sebelumnya bahwa pembuatan keputusan/kebijaksanaan<br />

bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah dan sederhana. Setiap administrator dituntut<br />

memiliki kemampuan/keahlian, tanggungjawab dan kemauan, sehingga ia dapat membuat<br />

kebijaksanaan dengan segala resikonya, baik yang diharapkan (intended risks) maupun yang<br />

tidak diharapkan (unintended risks). Berikut ini akan dijelaskan pendapat Nigro and Nigro<br />

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan/kebijaksanaan serta<br />

beberapa kesalahan umum dalam pembuatan keputusan/kebijaksanaan.<br />

Beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan itu adalah sebagai berikut:<br />

a. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar<br />

Seringkali administrator harus membuat keputusan karena adanya tekanan-tekanan dari<br />

luar, walaupun ada pendekatan pembuatan keputusan dengan nama “rational<br />

comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus<br />

mempertiimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian ”rasional”<br />

semua, tetapi proses dan prosedur pembuatan keputusan itu tidak dapat dipisahkan dari<br />

dunia nyata. Sehingga adanya tekanan-tekanan dari luar tiu ikut berpengaruh terhadap<br />

proses pembuatan keputusannya.<br />

b. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme)


Kebiasaan lama organisasi (Nigro menyebutnya dengan istilah “sunk costs”) seperti<br />

kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu sekali dipergunakan untuk membiayai<br />

progama-progama tertentu, cenderung akan selalu diikuti kebiasaan itu oleh para<br />

administrator kendatipun misalnya keputusan-keputusan yang nerkenaan dengan itu telah<br />

dikritik sebagai salah dan perlu di ubah. Kebiasaan lama itu akan terus diikuti lebih-lebih<br />

kalau suatu kebijaksanaan yang telah ada dipandang memuaskan.<br />

Kebiasaan-kebiasaan lama tersebut seringkali diwarisi oleh para administrator yang baru dan<br />

mereka sering segen secara terang-terangan mengkritik atau menyalahkan kebiasaankebiasaan<br />

lama yang telah berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahuluannya, apalagi<br />

para administrator baru itu ingin segera menduduki jabatan karirinya.<br />

c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi<br />

Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak mempengaruhi<br />

oleh sifat-sifat pribadinya. Seperti misalnya alam proses penerimaan/pengangkatan pegawai<br />

baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.<br />

d. Adanya pengaruh dari kelompok luar<br />

Lingkungan sosial dan para pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap pembuatan<br />

keputusan, seperti contoh mengenai masalah pertikaian kerja, pihak-pihak yang bertikai<br />

kurang menaruh respek pada upaya penyelesaian oleh orang alam, tetapi keputusankeputusan<br />

yang diambil oleh pihak-pihak yang dianggap dari luar dapat memuaskan mereka.<br />

Seringkali juga pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalamanpengalamandari<br />

orang lain yang sebelumnya berada diluar bidang pemerintahan.<br />

e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu<br />

Pengalaman latihan dan pengalaman (sejarah) Pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada<br />

pembuatan keputusan. Seperti misalnya orang sering membuat keputusan untuk tidak<br />

melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggungjawab kepada orang lain karena<br />

khawatir kalau wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan itu disalahgunakan. Atau<br />

juga orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai<br />

dengan keadaan di lapangan, dan sebagainya.<br />

Di samping adanya faktor-faktor tersebut diatas, Gerald E. Caiden menyebutkan adanya<br />

beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya membuat kebijaksanaan, yaitu sulitnya<br />

memperoleh informasi yang cukup, bukti-bukti sulit disimpulkan; adanya pelbagai macam<br />

kepentingan yang berbeda mempengaruhi pilihan tindakan yang berbeda-beda pula,<br />

dampak kebijaksanaan sulit dikenali, umpan balik keputusan bersifat sporadis, proses<br />

perumusan kebijaksanaan tidak dimengerti dengan benar dan sebaliknya. Selain itu Jemes E.<br />

Anderson melihat adanya keputusan dalam pembuatan keputusan, yaitu:<br />

1. Nilai-nilai politis (political Values), keputusan-keputusan dibuat atas dasar kepentingan<br />

politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu.


2. Nilai-nilai organisasi (organization values), keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilainilai<br />

yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanctions) yang<br />

dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya,<br />

3. Nilai-nilai pribadi (personal values), seringkali pula keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai<br />

pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status<br />

guo, reputasi, kekayaan an sebagainya.<br />

4. Nilai-nilai kebijaksanaan (policy values), keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat<br />

kebijaksanaan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijaksanaan tentang<br />

kepentingan publik atau pembuatan kebijaksanaan yang secara moral dapat<br />

dipertanggungjawabkan, dan<br />

5. Nilai-nilai ideologi (ideological values), nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat<br />

menjadi landasan pembuatan kebijaksanaan seperti misalnya kebijaksanaan dalam dan<br />

luar negeri.<br />

Kesalahan-kesalahan umum sering terjadi dalam proses pembuatan keputusan. Nigro dan<br />

Nigro menyebutkan adanya 7 (tujuh) macam kesalahan-kesalahan umum itu, yaitu:<br />

a. Cara berpikir yang sempit (cognitive nearsightedness)<br />

Adanya kecenderungan manusia membuat keputusan hanya untuk memenuhi kebutuhan<br />

seketika sehingga melupakan antisipasi ke masa depan. Dan adanya lingkungan<br />

pemerintahan yang beraneka ragam telah menyebabkan pejabat pemerintah sering<br />

membuat keputusan dengan dasar-dasar pertimbangan yang sempit dengan tanpa<br />

mempertimbangkan implikasinya ke masa depan.seringkali pula pembuat keputusan hanya<br />

mempertimbangkan satu aspek permasalahan saja dengan melupakan kaitannya dengan<br />

aspek-aspek lain - sehingga gagal megenali problemanya secara keseluruhan.<br />

b. Adanya asumsi bahwa masa dapan akan mengulangi masa lalu (assumption that future<br />

will repeat past)<br />

Banyak anggapan yang menyatkan bahwa dalam suatu masa yang stabil orang akan<br />

bertingkahlaku sebagaimana para pendahukuannya di masa yang lampau. Tetapi keadaan<br />

sekarang jauh dari stabil, karena banyak orang bertingkahlaku dengan cara yang sangat<br />

mengejutkan. Kendatipun ada perubahan-perubahan yang besar pada perilaku orang-orang,<br />

namun masih banyak pejabat pemerintah yang picik/buta beranggapan bahwa perubahanperubahan<br />

itu normal dan hal tersebut akan segera kembali seperti sediakala. Padahal<br />

didalam membuat keputusan para pejabat pemerintah tersebut harus meramalkan keadaanleadaan<br />

dan peristiwa yang akan datnag yang berbeda dengan masa lampau.<br />

c. Terlampau menyederhanakan sesuatu (over simplification)<br />

Selain adanya kecenderungan untuk berpikir seccara sempit, ada pula kencenderungan<br />

pembuat keputusan untuk terlampau menyederhanakan sesuatu. Misalnya dalam melihat<br />

suatu masalah pembuat keputusan hanya mengamati gejala-gejala masalah tersebut saja<br />

dengan tanpa mencoba mempelajari secara mendalam apa sebab-sebab timbulnya masalah<br />

tersebut. Cara-cara yang dipakai untuk mengatasi masalahpun dengan menerapkan “sengaja<br />

pamungkas” yang sebenarnya belum atau “tidak” perlu dipakai, karena siapa tahu dengan


pola bertindaksederhanan hal tersebut tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalahnya<br />

malah ustru mungkin menimbulkan masalah-masalahnya baru, pejabat pemerintah mungkin<br />

ada yang menolak “pola bertindak yang sederhana’ ini tetapi selalu saja membuat<br />

pemecahan masalahnya secara sederhana. Padahal tidak ada satu masalahpun (apalagi<br />

masalah yang besar/fundamental) dapat dipecahkan dengan pola bertindak yang sederhana<br />

ini.<br />

d. Terlampau mengantungkan pada pengalaman satu orang (overreliance on one’s own<br />

experience)<br />

Pada umumnya banyak orang meletakan bobot yang besar pada pengalaman mereka<br />

diwaktu yang lalu dan penilaian pribadi mereka. Walaupun seorang pejabat yang<br />

berpenglaman akan mampu membuat keputusan-keputusan yang lebih baik dibanding<br />

dengan yang tidak berpengalaman, tetapi mengadalkan pada pengalaman dari seseorang<br />

saja bukanlah pedoman yang terbaik. Hal ini disebabkan karena keberhasilan seseorang<br />

diwaktu yang lampau bukannya karena ia tidak membuat keputusan yang tepat tetapi<br />

hanyalah karena adanya faktor keneruntungan saja.<br />

Sehubungan dengan itu, maka pembuat keputusan perlu berkonsoltasi dengan rekanrekannya,<br />

bawahannya dan orang-orang lain unutk menimba pengalaman-pengalaman<br />

mereka. Dan yang jelas: pembuatan keputusan bersama akan menghasilkan keputusankeputusan<br />

yang lebih bijaksana.<br />

e. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh pra konsepsi pembuat keputusan (shared<br />

decision produces wiser decisions)<br />

Dalam banyak kasus, keputusan-keputusan seringkali di landaskan pada prakonsepsinya<br />

pembuat keputusan. Hal ini tidak terlalu salah tetapi jelas tidak jujur. Keputusan-keputusan<br />

administratif akan lebih baik hasilnya kalau didasarkan pada penemuan-penemuan ilmu<br />

sosial. Sayangnya penemuan-penemuan ini sering diabaikan bila bertentangan dengan<br />

gagasan-gagasan/konsepsi-konsepsi pembuat keputusan. Pemikiran-pemikiran yang<br />

prakonsepsional akan membatasi pemanfaatan penemuan-penemuan ilmu sosial dalam<br />

membuat keputusan di lembaga-lembaga pemerintahan. Fakta-akta yang ditemukan oleh<br />

ilmu sosial akan sangat berguna bagi pembuatan keputusan pemerintah.<br />

f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (unwillingness to experiment).<br />

Cara untuk mengetahui apakah suatu keputusan itu dapat diimplikasikan atau tidak adalah<br />

dengan mengetesnya secara nyata pada ruang lingkup yang kecil (terbatas). Adanya tekanan<br />

waktu, pekerjaan yang menumpuk dan sebagainya menyebabkan pembuat keputusan tidak<br />

punya kesempatan melakukan proyek percobaan (pilot project). Atau mungkin ada<br />

kecurigaan sementara pihak (anggota-anggota legislatif) bahwa apabila pejabat pemerintah<br />

melakukan kegiatan percobaan pada suatu program berarti bahwa landasan pemikiran<br />

dalam penyusunan program tersebut kurang baik.<br />

Selain itu kegiatan-kegiatan percobaan dianggap memboros-boroskan uang saja. Pejabat<br />

pemerintah kurang berani bereksperimen karena takut menanggung resiko dan<br />

beranggapan bahwa bereksperimen sama saja halnya dengan berjudi. Karena problema-


problema yang dihadapi pemerintah semakin besar dan kompleks maka pemerintah harus<br />

mampu mendorong pejabat-pejabatnya untuk lebih berani melakukan eksperimen pejabatpejabatnya<br />

untuk lebih berani melakukan eksperimen dan berani menanggung resiko.<br />

g. keengganan untuk membuat keputusan (reluctance to decide)<br />

Kendatipun mempunyai cukup fakta-fakta beberapa orang enggan untuk membuat<br />

keputusan. Hal ini disebabkan karena mereka mengannggap membuat keputusan itu sebagai<br />

tugas yang sangat berat, penuh resiko, bisa membuat orang frustasi, kurang adanya<br />

dukungan dari lembaga atau atasan terhadap tugas pembuatan keputusan, lemahnya sistem<br />

pendelegasian wewenang unutuk membuat keputusan, takut menerima keritikan dari orang<br />

lain atas keputusan yang telah dibuat dan sebagainya.<br />

3. Cara-cara untuk meningkatkan perumusan kebijaksanaan<br />

Menurut pengamatan Yehezkel Dror praktek-praktek pembuatan kebijaksanaan negara<br />

sekarang ini masih kurang memuaskan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara<br />

lainpembuat kebijaksanaan kurang mempunyai kepemimpinan politis yang baik, kurang bersifat<br />

inovatif dan sebagainya, tetapi yang lebih utama adalah kekurang—mampuannya dalam<br />

memanfaatkan bantuan ilmu-ilmu sosial dan fisika. Menurut Dror untuk meningkatkan proses<br />

pembuatan kebijaksanaan diperlukan adanya suatu relovasi ilmiah dalam dalam bentuk ilmuilmu<br />

kebijaksanaan yang baru dengan paradigma yang baru. Ilmu kebijaksanaan yang baru itu<br />

harus memuat tehnik-tehnik yang membantu proses pembuatan kebijaksanaan.<br />

Sesuai dengan pendapat Dror tentang paradigma yang baru tersebut, maka ilmu-ilmu<br />

kebijaksanaan seharusnya:<br />

a) berhubungan terutama dengan sistem-sistem pembinaan masyarkat, khususnya sistem<br />

perumusan kebijaksanaan negara. Hal tersebut tidak secara langsung menyangkut mengenai<br />

isi kebijaksanaan itu, tetapi mengenai metode-metode, pengetahuan-pengetahuan dan<br />

sistem-sistem yang telah diperbarui untuk pembuatan kebijaksanaan yang lebih baik.<br />

b) Memusatkan perhatiannya pada sistem-sistem pembuatan kebijaksanaan negara pada<br />

jenjang makro (subnasional, nasional dan transnasional). Namun juga perlu memperhatikan<br />

proses pembuatan keputusan individual, kelompok dan organisasi dilihat dariperspektif<br />

pembuatan kebijaksanaan negara.<br />

c) Bersifat interdisipliner, dengan memfusikan ilmu-ilmu perilaku dan manajemen serta<br />

menyerap elemen-elemen yang relevan dari disiplin-disiplin ilmu pengetahuan lainnya<br />

seperti ilmu fisika dan teknik.<br />

d) Mengabungkan penelitian murni dan terapan, dimana dunia nyata adalah merupakan<br />

laboratoriumnya yang utama.<br />

e) Memanfaatkan pengetahuan dan penglaman para pembuat kebijaksanaan dan melibatkan<br />

meraka sebagai partner dalam membangun ilmu-ilmu kebijaksanaan.<br />

f) Mencoba untuk menyumbangkan pada pilihan nilai dengan meneliti implikasi-implikasi nilai<br />

tersebut dan isi nilai-nilai yang ada pada kebijaksanaan-kebijaksanaan alternatif.<br />

g) Mendorong adanya kreativitas yang terorganisir seperti dalam menemukan alternatifalternatif<br />

yang baru.


h) Menekan baik pada pengembangan-pengembangan pembuatan kebijaksanaan masa lalu<br />

maupun antisipasinya pad masa depan sebagai pedoman pembuatan kebijaksanaan.<br />

i) Terlibat secara intensif dengan proses perubahan dan dengan kondisi-kondisi perubahan<br />

sosial.<br />

j) Menghargai proses pembuatan kebijaksanaan ekstra rasional dan irasional seperti intuisi<br />

dan kharisma dan mencoba memperbaiki proses ini dengan rasional.<br />

k) Mendorong percobaan (eksperimentasi) sosial dan usaha-usaha untuk menemukan<br />

lembaga-lembaga sosial yang baru dan hukum-hukum baru bagi perilakusosial dan politik.<br />

l) Mempunyai kesadaran akan dirinya sendiri dan secara tetap memonitor serta mendesain<br />

kembali ilmu-ilmu kebijaksanaan<br />

m) Menyiapkan para profisionalisme untuk memenuhi jabatan-jabatan pembuat keputusan<br />

yang tidak akan mencampurkan missinya atau identifikasi dirinya dengan orientasi klinis dan<br />

analisa rasional terhadap masalah-masalah kebijaksanaan.<br />

n) Berhati-hati dalam membutktikan kebenaran dan keberhasilan data dan mempertahankan<br />

standar ilmiah.<br />

C. <strong>KE</strong>SIMPULAN<br />

Komentar Nigro dan Nigro Terhadap paradigma baru Dror tersebut adalah bahwa fokus<br />

analisa Dror sangat luas yaitu perbaikan pembuatan kebijaksaan pada keseluruhan sistem sosial.<br />

Seluruh pengetahuan yang ada dimanfaatkan dalam desain yang besar tersebut.<br />

Butir-butir dalam paradigma Dror tersebut memang mencakup aspek yang luas yang<br />

diperlukan dalam menjadikan policysciences berguna bagi policy maker dalam merumuskan<br />

kebijaksanaan negara yang lebih baik. Kebaikan dan kemanfaatan paradigmanya Dror tersebut tentu<br />

saja masih perlu diuji baik melalui eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh para perumus<br />

kebijaksanaan negara dengan menilai dampak positif dan negatifnya, ataupun melalui diskusi-diskusi<br />

para ahli dibidang ilmu-ilmu kebijaksanaan guna memperoleh pengakuan ilmiah.


DAFTAR PUSTAKA<br />

DR. M Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, 2003.<br />

Bintoro Tjokroamidjojo, Analisa Kebijaksanaan Dalam Proses Perencanaan Pembangunan Nasional,<br />

Majalah Administrator, 2003.<br />

Gerald E. Caiden, The Dynamics of Public Administration, New York: Hplt, RInerhart and Winston,<br />

Inc. 1971.<br />

Felix A. Nigro dan Lioyd G. Nigro, Modern Public Administration, New York: Harper, Row, Publiishers,<br />

5th ed., 1980.<br />

Prof. DR. Sondang P. Siagian, M.P.A., Administrasi Pembangunan, Bumi Aksara, 2003.<br />

Riyadi, DKK, Perencanaan Pembangunan Daerah, Gramedia Pustaka Utama, 2004.<br />

Kenneth N. Wexley, Ph.D., DKK, Penerjemah DRS. Muh. Shobaruddin, Perilaku Organisasi dan<br />

Psikologi Personalia, Rineka Cipta, 2003.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!