masjid lembaga pendidikan islam oleh imam ... - Kemenag Sumsel
masjid lembaga pendidikan islam oleh imam ... - Kemenag Sumsel
masjid lembaga pendidikan islam oleh imam ... - Kemenag Sumsel
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Masjid; <strong>lembaga</strong> Pendidikan Islam<br />
(Suatu Kajian menurut Pendidikan Islam)<br />
Oleh: Imam Nasruddin 1<br />
Pendahuluan<br />
Dalam tulisan ini perlu ditegaskan dahulu bahwa menurut Hasan<br />
Langgulung (2003: 16) perkataan <strong>lembaga</strong> menyangkut tiga komponen, yaitu suatu<br />
sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode,<br />
norma-norma, ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis maupun tidak,<br />
termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik; kelompok manusia yang<br />
terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk<br />
mencapai tujuan atau memenuhi fungsi tertentu; dan tempat-tempat kelompok itu<br />
melaksanakan peraturan itu, seperti <strong>masjid</strong>, sekolah, kuttab dan lain-lain. Namun<br />
penulis menggunakan istilah yang ketiga yaitu bahwa yang dimaksud dengan<br />
<strong>lembaga</strong> <strong>pendidikan</strong> adalah tempat dimana pembelajaran dilaksanakan, khususnya<br />
<strong>masjid</strong> yang akan menjadi pembahasan pada makalah ini.<br />
Para ulama telah sepakat bahwa terdapat tiga lingkungan <strong>pendidikan</strong> yang<br />
utama, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Sesungguhnya ketiganya adalah<br />
trilogi lingkungan, satu kesatuan lingkungan yang tak dapat dipisahkan, saling<br />
melengkapi, dan merupakan suatu sistem. Dalam kontek seperti ini maka<br />
<strong>pendidikan</strong> proses <strong>pendidikan</strong> Islam dari seorang Muslim tidak hanya ditentukan<br />
<strong>oleh</strong> keberhasilannya pada salah satu dari ketiga lingkungan tersebut (Abdullah Idi,<br />
2006: 77-78).<br />
Lingkungan keluarga, di dalam lingkungan bersifat utama dan pertama.<br />
Utama karena dari lingkungan inilah sifat dan watak seseorang anak akan dibentuk,<br />
sehingga peran orang tua sangat menentukan. Sampai-sampai seperti yang ada<br />
dalam hadist Nabi saw mengatakan bahwa orang tua lah yang menentukan kelak<br />
kemudian, mau Nasroni atau Yahudi kah anak itu. Pertama karena sebelum anak<br />
1 Pendidik di MAN Sakatiga Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan.<br />
1
mengenyam <strong>pendidikan</strong> formal di luar, ia akan mendapatkan <strong>pendidikan</strong> di dalam<br />
keluarga. Sehingga apa yang akan ditampilkan di luar tentu sangat dipengaruhi<br />
hasilnya dari apa yang ada di rumah tersebut.<br />
Lingkungan sekolah adalah lingkungan kedua setelah lingkungan keluarga.<br />
Disini anak mulai berkenalan dengan dunia luar baik dengan teman sekelas maupun<br />
dengan guru barunya atau bahkan dengan alam sekitarnya yang masih asing bagi<br />
anak. Ia mulai beradaptasi dengan ketiga dunia tersebut. Dari sini biasanya akan<br />
ditemukan anak yang cerdas kurang cerdas, bergaul kurang bergaul, manja kurang<br />
manja dan sebaginya.<br />
Proses <strong>pendidikan</strong> Islam di dalam lingkungan masyarakat umumnya bersifat<br />
non-formal. Proses seperti ini umum terjadi melalui <strong>lembaga</strong>-<strong>lembaga</strong> sosial atau<br />
organisasi sosial yang tidak terlalu mengikat secara formal. Di zaman Rasulullah,<br />
proses bimbingan dilakukan melalui keluarga. Beliau senantiasa melakukan<br />
kunjungan ke tiap keluarga dalam rangka melaksanakan risalahnya. Proses<br />
<strong>pendidikan</strong> melalui jalur di luar lingkungan keluarga baru dilaksanakan setelah syiar<br />
Islam semakin meluas dan peradaban Islam berkembang pesat. Hassan Langgulung<br />
(1985: 32) mengemukanan bahwa sarana <strong>pendidikan</strong> Islam dan kaum muslimin<br />
yang pada masa permulaan Islam adalah kuttab (surau), madrasah (sekolah), dan<br />
<strong>masjid</strong>. Sedangkan Ramayulis (1994: 161-166) menyebutkan bahwa terdapat tiga<br />
<strong>lembaga</strong> sosial atau organisasi sosial yang hingga masa modern ini tetap menjadi<br />
sarana <strong>pendidikan</strong> Islam. Ketiganya adalah <strong>masjid</strong>, asrama, dan perkumpulan<br />
remaja.<br />
Sekilas Sejarah Masjid<br />
Ketika Rasulullah saw berhijrah ke Madinah, langkah pertama yang<br />
dilakukan adalam membangun <strong>masjid</strong> kecil yang diberi nama Masjid Quba‟<br />
(Abdullah Idi, 2006: 79-80). Saat dibangun <strong>masjid</strong> ini berlantaikan tanah, dan<br />
beratap pelepah kurma. Dari <strong>masjid</strong> yang kecil inilah selanjutnya Rasulullah<br />
membangun peradaban Islam yang besar. Perkembangan pesat kota Madinah<br />
sendiri bermula dari pembangunan Masjid.<br />
2
Setelah Masjid Quba‟, Rasulullah kemudian membangun Masjid Nabawi di<br />
Madinah. Kedua <strong>masjid</strong> tersebut dibangun atas dasar taqwa, sebagimana yang di<br />
dalam al-Qur‟an surat At-Taubah ayat 108,<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
“Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya.<br />
sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak<br />
hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya, di dalamnya mesjid<br />
itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri, dan Sesungguhnya Allah<br />
menyukai orang-orang yang bersih”.<br />
Sehingga lebih patut digunakan sebagai tempat shalat bagi orang-orang<br />
yang bermaksud membersikan diri. Berdasarkan ayat tersebut, Rasulullah kemudian<br />
meruntuhkan suatu bangunan yang <strong>oleh</strong> kaum Munafik yang disebut sebagai <strong>masjid</strong>.<br />
Pasalnya, pendirian bangunan tersebut jelas-jelas tidak dilakukan atas dasar<br />
ketaqwaan. Lokasi bekas bangunan tersebut kemudian dijadikan tempat<br />
pembuangan sampah dan bangkai binatang, seperti pada QS al-Taubah 107 di<br />
bawah ini :<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan<br />
<strong>masjid</strong> untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk<br />
kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta<br />
menunggu kedatangan orang-orang yang Telah memerangi Allah dan rasul-<br />
3
Nya sejak dahulu 2 . mereka Sesungguhnya bersumpah: Kami tidak menghendaki<br />
selain kebaikan dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu<br />
adalah pendusta (dalam sumpahnya)”.<br />
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa eksistensi <strong>masjid</strong> mensyaratkan unsur<br />
ketaqwaan. Pendirian setiap <strong>masjid</strong> semestinya dilakukan atas dasar ketaqwaan,<br />
bukan atas dasar kemegahan. Bahkan di dalam suatu hadits sahih yang diriwayatkan<br />
<strong>oleh</strong> Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dari Anas bin Malik disebutkan bahwa, salah<br />
satu pertanda akan terjadinya kiamat adalah dibangunnya berbagai <strong>masjid</strong> akan<br />
tetapi dengan maksud untuk bermegah-megahan 3 .<br />
Masjid sebagai <strong>lembaga</strong> Pendidikan Islam<br />
Agaknya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa al-Azhar sebagai <strong>masjid</strong><br />
dan sebagai universitas (al-Azhar Jami‟an wa Jami‟atan) telah melalui periode<br />
pemerintahan, semenjak kerajaan Fatimiah sampai sekarang, yang meliputi jangka<br />
waktu lebih seribu tahun. Perlu dicatat di sini bahwa sebelum al-Azhar didirikan di<br />
kota Cairo, sudah ada banyak <strong>masjid</strong> yang digunakan sebagai <strong>lembaga</strong> <strong>pendidikan</strong>.<br />
Tentu kebijakan kerajaan, terutama <strong>oleh</strong> khalifah-khalifah Umawiyah untuk<br />
menjadikan <strong>masjid</strong> sebagai pusat pekembangan ilmiah. Di antara <strong>masjid</strong>-<strong>masjid</strong> itu<br />
adalah :<br />
1. Masjid „Amr bin As yang dianggap <strong>masjid</strong> pertama dibangun di Mesir pada<br />
tahun 20 H, ( 641 M.).<br />
2. Masjid al-„Askar yang didirikan pada tahun 132 H. (750 M) <strong>oleh</strong> gubernur<br />
kerajaan Abbasiah setelah penguasa Umawiyah digulingkan.<br />
3. Masjid Ibnu Tulun yang didirikan <strong>oleh</strong> Ahmad bin Tulun pada tahun 265 H.<br />
(878-879 M) sebagai pengganti kekuasaan Abbasiah di Mesir walaupun<br />
2 yang dimaksudkan dengan orang yang telah memerangi Allah dan rasul-Nya sejak dahulu ialah<br />
seorang pendeta Nasrani bernama Abu 'Amir, yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya dari<br />
Syiria untuk bersembahyang di <strong>masjid</strong> yang mereka dirikan itu, serta membawa tentara Romawi<br />
yang akan memerangi kaum muslimin. akan tetapi kedatangan abu 'Amir Ini tidak jadi Karena ia<br />
mati di Syiria. dan <strong>masjid</strong> yang didirikan kaum munafik itu diruntuhkan atas perintah Rasulullah<br />
s.a.w. berkenaan dengan wahyu yang diterimanya sesudah kembali dari perang Tabuk.<br />
3 Hadits ini berbunyi : Lihat Jalal al-Din al-Suyŭti, Al-Jâmi’ al-Saghir,<br />
Juz II (Bandung: Al Maarif, t.t.) h. 202<br />
4
secara simbolik masih mengakui kerajaan Abbasiah yang berpusat di Baghdad<br />
(Hassan Langgulung, 1985: 56-57).<br />
Fungsi Masjid<br />
Masjid adalah Rumah Allah (Baitullâh) yang kesuciannya harus tetap dijaga<br />
(Abdullah Idi, 2006: 80-81). Allah telah menyerukan agar para pengunjungnya<br />
berpakaian sopan dan bersih sebagaimana QS al-A‟raf ayat 31 sebagai berikut :<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,<br />
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah<br />
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.<br />
Bahkan, Rasulullah menganjurkan agar para pengunjung <strong>masjid</strong> memakai<br />
wangi-wangian, dan melarang orang yang baru saja makan bawang untuk<br />
memasuki <strong>masjid</strong>. Rasululah melarang munculnya benih-benih pertengkaran di<br />
dalam <strong>masjid</strong>. Bahkan beliau juga melarang adanya transaksi perniagaan yang<br />
dilakukan di dalam <strong>masjid</strong>, kecuali perniagaan yang bersifat mendidik.<br />
Pemahaman mendasar yang penting ditekankan di sini adalah bahwa <strong>masjid</strong><br />
adalah tempat ibadah dan tempat <strong>pendidikan</strong> dalam pengertian yang luas. Menurut<br />
Quraish Shihab (1996: 460), kata „<strong>masjid</strong>‟ bukan sekedar memiliki makna<br />
sebagaimana bangunan tempat bersujud. Masjid juga bermakna tempat<br />
melaksanakan segala aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah<br />
swt. Dalam kaitannya dengan <strong>pendidikan</strong> Islam, <strong>masjid</strong> mempunyai dua fungsi,<br />
yaitu fungsi edukatif dan fungsi sosial (Abdurrahman al-Nahlawi, 1989: 190-191).<br />
Sebagaimana sejarah telah mencatat, bahwa <strong>masjid</strong> Nabawi di Madinah telah<br />
mampu melaksanakan dua fungsi itu secara optimal. Sehubungan dengan kedua<br />
fungsi tersebut, Quraish Shihab (1996: 462), menyebutkan 10 peranan <strong>masjid</strong>, yaitu:<br />
5
1. Tempat ibadah,<br />
2. Tempat konsultasi dan komunikasi,<br />
3. Tempat <strong>pendidikan</strong>,<br />
4. Tempat santunan social,<br />
5. Tempat latihan militer,<br />
6. Tempat pengobatan,<br />
7. Tempat perdamaian dan pengadilan,<br />
8. Aula dan tempat menerima tamu,<br />
9. Tempat tawanan,<br />
10. Pusat penerangan dan pembelaan agama.<br />
Namun pada perkembangan selanjutnya, <strong>pendidikan</strong> bagi anak-anak tidak<br />
dilaksanakan di rumah masing-masing, tetapi di kuttab-kuttab. Hal ini dimaksudkan<br />
ada kekhawatiran bahwa anak-anak akan merusak suasana <strong>masjid</strong>. Terlebih anakanak<br />
yang belum terbiasa untuk memelihara kebersihan <strong>masjid</strong>. Dari tinjauan sekilas<br />
di atas terlihat bahwa <strong>masjid</strong> berfungsi sebagai salah satu <strong>lembaga</strong> <strong>pendidikan</strong> Islam,<br />
bahkan laksana markas <strong>pendidikan</strong>. Di <strong>masjid</strong>, kaum Muslimin belajar agar tetap<br />
berpegang teguh pada keimanan, mencintai ilmu pengetahuan, mempunyai<br />
kesadaran sosial yang tinggi, dan mampu menjalankan hak dan kewajibannya.<br />
Masjid dibangun guna merealisasikan ketaatan kepada Allah, mengamalkan syariat<br />
Islam, dan menegakkan keadilan (Abdurahman An-Nahlawi , 1995: 190). Melalui<br />
<strong>lembaga</strong> <strong>masjid</strong>, kaum Muslimin terdahulu mampu memberikan dampak edukatif<br />
bagi perkembangan dan pertumbuhan jiwa anak didik sehingga menjadi manusia<br />
Muslim yang mampu membawa peradaban Islam menuju puncak kejayaan.<br />
Namun pada perkembangan selanjutnya hasil Muktamar Risalah Masjid di<br />
Mekkah tahun 1975 yang dikutip <strong>oleh</strong> Abdullah Idi (2006: . 83-84), dicapai suatu<br />
kesepakatan bahwa <strong>masjid</strong> dapat berperan sebagai pusat <strong>pendidikan</strong> kaum Muslim<br />
sepanjang Masjid memiliki sarana dan prasarana yang memadai, seperti :<br />
a. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan;<br />
6
. Ruang khusus wanita –untuk shalat maupun <strong>pendidikan</strong> kesejahteraan keluarga–<br />
yang memungkinkan kaum wanita keluar-masuk <strong>masjid</strong> tanpa bercampur<br />
dengan kaum pria;<br />
c. Ruang pertemuan dan perpustakaan;<br />
d. Ruang poliklinik;<br />
e. Ruang untuk memandikan dan mengkafani mayat;<br />
f. Ruang bermain dan olah raga bagai generasi muda.<br />
Di samping itu, sistem <strong>pendidikan</strong> di <strong>masjid</strong> harus pula mengikuti sistem<br />
<strong>pendidikan</strong> modern, dengan tetap memperhatikan sendi-sendi <strong>pendidikan</strong> Islam.<br />
Aspek kemanusian, demokrasi, kebebasan dalam menuntut ilmu pengetahuan, bebas<br />
meimilih materi dan guru bagi peserta didik yang sudah dewasa, serta bebas dari<br />
pengarah keuangan dan kebendaan harus dapat dipertahankan sebagai identitas<br />
system <strong>pendidikan</strong> Islam. Sepanjang revitalisasi ini dapat dilaksanakan dengan baik,<br />
maka <strong>masjid</strong> pun kembali memiliki signifikansi yang tinggi sebagai <strong>lembaga</strong><br />
<strong>pendidikan</strong> Islam.<br />
Revitalisasi fungsi edukatif <strong>masjid</strong> adalah suatu keniscayaan jika saja setiap<br />
kaum muslimin berkomitmen tinggi untuk melaksanaknnya. Kini tinggal bagaimana<br />
sikap kau Muslimin menanggapinya. Sudah waktunya <strong>pendidikan</strong> Islam tidak<br />
diserahkan kepada <strong>lembaga</strong> sekolah semata, melainkan juga kepada semua<br />
lingkungan, termasuk di dalamnya di <strong>masjid</strong>.<br />
Pergeseran Fungsi Masjid<br />
Pada masa awal penyebaran Islam, <strong>masjid</strong> memiliki fungsi mulia yang bisa<br />
jadi sekarang ini mulai terlupakan. Pada zaman itu, <strong>masjid</strong> digunakan sebagai<br />
markas besar tentara dan pusat gerakan pembebasan umat dari penghambaan<br />
kepada manusia, berhala dan taghut. Masjid pun digunakan sebagai pusat<br />
<strong>pendidikan</strong> yang mengajak manusia kepada keutamaan, kecintaan pada<br />
pengetahuan, kesadaran sosial, serta pengetahuan mengenai hak dan kewajiban<br />
mereka terhadap Negara Islam yang pada dasarnya didirikan untuk mewujudkan<br />
ketaatan kepada syariat, keadilan dan rahmat Allah. Masjid dimanfaatkan juga<br />
7
sebagai pusat gerakan penyebaran akhlak Islam dan pemberantasan kebodohan.<br />
Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga dalam perkembangannya sekarang ini<br />
mengalami pasang surut yang kadang-kadang menjadikan <strong>masjid</strong> sebagai ajang<br />
penonjolan fanatisme mazhab, golongan atau individu (Abdurahman An-Nahlawi ,<br />
1995: 136-137). Saat ini tidak sedikit <strong>masjid</strong> yang dimiliki <strong>oleh</strong> golongan,<br />
perkumpulan atau aliran tertentu, sebut saja misalnya <strong>masjid</strong> kepunyaan Lembaga<br />
Dakwah Islam Indonesia (LDII), <strong>masjid</strong> kepunyaan Islam Ahmadiyah, <strong>masjid</strong><br />
kepunyaan berbagai aliran atau keyakinan lainnya.<br />
Menurut Ali Al Jumbulati (2002: 24), fungsi <strong>masjid</strong> pada zaman Rasulullah<br />
adalah tempat berkumpulnya kaum muslimin beserta Rasulullah saw untuk belajar<br />
hukum-hukum dan dasar-dasar agama Islam. Dar Al-Arqam merupakan <strong>lembaga</strong><br />
<strong>pendidikan</strong> pertama dan madarasah yang pertama kali dalam Islam. Guru yang<br />
mengajar di <strong>lembaga</strong> tersebut adalah Rasulullah sendiri. Masjid selain sebagai<br />
tempat <strong>lembaga</strong> <strong>pendidikan</strong> Islam, juaga merupakan tempat menghimpun kekuatan<br />
Islam baik dari segi fisik maupun mentalnya.<br />
Selain dari itu masih menurut Ali Al-Jumbulati (2002: 23) <strong>masjid</strong> di samping<br />
sebagai tempat untuk shalat, ia juga dipergunakan sebagai tempat untuk<br />
mendiskusikan dan mengkaji permasalahan dakwah Islam. Oleh karena itu, <strong>masjid</strong><br />
dalam sejarah Islam sebenarnya adalah madrasah pertama setelah rumah Dar Al-<br />
Arqam bin Al-Arqam sabahat nabi. Di dalam <strong>masjid</strong> itulah kaum muslimin alam<br />
memecahkan berbagai masalah keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan bahkan<br />
sampai masalah politik. Masjid sebagai tempat berkumpulnya para guru dan murid<br />
dalam mengkaji berbagi disiplin ilmu pengetahuan baik itu ilmu keagamaan pun<br />
juga ilmuu kedunian, pada saat itu dikenal dikotomi ilmu pengetahuan yang<br />
beberapa waktu yang lalu telah menjadi issu yang santer yang sering diperdebatkan<br />
orang. Mereka yakin bahwa semua ilmu datangnya dari Allah swt, bahkan dalam<br />
Islam, mempelajari semua Ilmu itu hukumnya mubah (b<strong>oleh</strong>), sedang<br />
pengamalannya tergantung sifat dan jenis ilmu itu sendiri. Kalau ilmu itu membawa<br />
kebaikan untuk sesama, maka wajib disampaikan kepada orang lain, seperti ilmu<br />
8
membaca al-Qur‟an, sedang kalau ilmu itu membawa bahaya dan malapetaka untuk<br />
sesama maka haram mengamalkannya seperti ilmu sihir.<br />
Penutup<br />
Dari artikel yang sangat singkat ini dapatlah ditarik beberapa kesimpulan<br />
bahwa <strong>lembaga</strong> <strong>pendidikan</strong> Islam itu ada berapa macam mulai dari yang disebut<br />
Dar al-Arqam (zaman Nabi), kuttab (surau), madrasah (sekolah), dan <strong>masjid</strong>.<br />
Bahkan ada yang mengatakan bahwa <strong>lembaga</strong> <strong>pendidikan</strong> Islam itu terdiri dari<br />
<strong>masjid</strong>, asrama, dan perkumpulan remaja.<br />
Pada makalah ini penulis hanya mengetengahkan <strong>masjid</strong> sebagai alternatif<br />
<strong>lembaga</strong> <strong>pendidikan</strong> Islam. Masjid sudah sejak lama dimanfaatkan sebagai <strong>lembaga</strong><br />
<strong>pendidikan</strong> Islam <strong>oleh</strong> Nabi Muhammad saw, para sahabat, tabi‟in, tabi‟ tabi‟in<br />
bahkan sampai sekarang. Masjid dijadikan <strong>lembaga</strong> <strong>pendidikan</strong> Islam karena<br />
memang tempat ini adalah tempat yang sangat strategis untuk mengkaji ilmu umum<br />
terlebih ilmu agama.<br />
Di samping <strong>masjid</strong> menjadi <strong>lembaga</strong>-<strong>lembaga</strong> <strong>pendidikan</strong> Islam, sebenarnya<br />
fungsi <strong>masjid</strong> lebih banyak lagi mulai dari tempat ibadah, tempat konsultasi dan<br />
komunikasi, tempat <strong>pendidikan</strong>, tempat santunan sosial, tempat latihan militer,<br />
tempat pengobatan, tempat perdamaian dan pengadilan, aula dan tempat<br />
menerima tamu, tempat tawanan, dan pusat penerangan dan pembelaan agama.<br />
Namun pada saat sekarang ini ada kecenderungan bahwa fungsi <strong>masjid</strong> tadi<br />
mengalami pasang surut yang terkadang menjadikan <strong>masjid</strong> sebagai ajang<br />
penonjolan fanatisme mazhab, golongan atau individu.<br />
9