Pa - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera Utara
Pa - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera Utara
Pa - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera Utara
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
II.1 Komposit<br />
BAB II<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Komposit adalah suatu bahan yang tersusun melalui pencampuran dua atau lebih<br />
bahan konstituen yang berbeda bentuk maupun komposisinya dan tidak larut satu<br />
sama lain. Penyusun komposit secara umum adalah logam, bahan organik dan<br />
anorganik. Bentuk bahan utama yang digunakan dalam pembentukan komposit adalah<br />
fiber, partikel, laminae atau layer, flakes, filler (pengisi) dan matriks. Matriks<br />
merupakan body constituent yang bertanggung jawab dalam pembentukan akhir<br />
komposit, sedangkan fiber, partikel, laminae, flake dan filler (pengisi), merupakan<br />
constituent pembentuk struktur internal komposit.<br />
Menurut Premasingan (2000) komposit dapat dikelompokkan sebagai berikut:<br />
1. Komposit jenis serat yang mengandung serat-serat pendek dengan diameter<br />
kecil yang disokong oleh matriks yang berfungsi untuk menguatkan<br />
komposit, seperti serat tandan sawit, serat sintetis, kaca atau logam.<br />
2. Komposit jenis lamina yaitu komposit yang mengandung bahan pelapis yang<br />
diikat bersama antara satu sama lain dengan menggunakan pengikat.<br />
3. Komposit jenis partikel yaitu partikel tersebar dan diikat bersama oleh<br />
matriks polimer.<br />
7<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
7
II.1.1 Fasa matriks komposit<br />
Fasa matriks adalah fasa cair yang terdapat dalam suatu komposit dengan fasa<br />
penguat tersebar di dalamnya. <strong>Pa</strong>da umumnya komposisi matriks jauh lebih banyak<br />
dari pengisi (Hariadi,2000), hal ini disebabkan karena bahan komposit dibuat untuk<br />
mengoptimalkan sifat-sifat seperti mekanik, termal, kimia yang sulit menggunakan<br />
bahan tunggal. Fasa matriks berfungsi sebagai pelekat dimana pengisi terbenam di<br />
dalamnya. Untuk memperoleh suatu pelekatan yang baik antara fasa matriks dengan<br />
fasa penguat atau fasa tersebar dalam hal ini bahan pengisi, pembasahan yang<br />
sempurna oleh fasa matriks perlu dilakukan supaya interaksi yang baik antara fasa<br />
matriks dengan fasa penguat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada komposit<br />
yang diperkuat, agar dapat membentuk produk yang efektif, yaitu : komponen pengisi/<br />
penguat harus memiliki modulus elastisitas yang lebih tinggi daripada matriksnya dan<br />
harus ada ikatan permukaan yang kuat antara komponen pengisi/ penguat dengan<br />
matriks.<br />
1966):<br />
Secara umum fasa matriks haruslah berperan sebagai (Kennedy dan Kelly,<br />
a. Bahan yang mampu memindahkan beban yang dikenakan kepada fasa<br />
tersebar atau fasa penguat yang berfungsi sebagai media alas beban.<br />
b. Bahan yang dapat menjaga fasa penguat atau fasa tersebar dari kerusakan<br />
oleh faktor lingkungan seperti kelembaban dan panas.<br />
c. Pengikat yang memegang fasa penguat untuk menghasilkan antara muka fasa<br />
matriks dan fasa penguat yang kuat.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
Menurut Richardson (1987), pemilihan suatu bahan sebagai fasa matriks<br />
bergantung pada faktor-faktor:<br />
a. Keserasiannya dengan fasa penguat atau fasa tersebar, karena ia akan<br />
menentukan interaksi antara muka fasa matriks dengan bahan pengisi.<br />
b. Sifat akhir komposit yang dihasilkan.<br />
c. Keperluan penggunaan seperti rentang suhu penggunaan.<br />
d. Kemudahan fabrikasi atau pemrosesan.<br />
e. Biaya pengolahan.<br />
Dibandingkan dengan logam, keramik, kaca atau karbon, matriks polimer lebih<br />
banyak digunakan karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu (Richardson, 1987):<br />
a. Lebih mudah diproses.<br />
b. Mempunyai sifat mekanik dan dielektrik yang baik.<br />
c. Merupakan bahan dengan kerapatan yang rendah.<br />
d. Mempunyai suhu pemrosesan yang lebih rendah dibandingkan suhu<br />
pemrosesan logam.<br />
II.1.2 Fasa penguat dalam komposit<br />
Fasa penguat atau fasa tersebar merupakan bahan yang bersifat lengai (inert)<br />
dalam bentuk serat, partikel atau kepingan yang ditambahkan ke dalam fasa matriks<br />
untuk meningkatkan sifat mekanik dan fisik komposit, seperti kekuatan, kekakuan dan<br />
keliatan.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
Menurut Xanthos (2005), bahan pengisi pada komposit memiliki banyak fungsi<br />
dan dapat dibedakan berdasarkan fungsi utama dan fungsi tambahannya. Adapun<br />
fungsi utama pengisi adalah memperbaiki sifat-sifat mekanis pada komposit, sifat-sifat<br />
magnetik/kelistrikan dan sifat-sifat permukaan, meningkatkan ketahanan terhadap api<br />
dan mempermudah pemrosesannya. Sedangkan fungsi tambahan pada pengisi adalah<br />
mengontrol permeabilitas, bioaktivitas, kemampuan terurai, penyerapan radiasi,<br />
meningkatkan stabilitas dimensional, memperbaiki sifat-sifat optis dan pembasahan.<br />
Menurut Maulida, dkk (2000), penggunaan pengisi alamiah sebagai penguat<br />
pada material komposit memberikan beberapa keuntungan dibanding bahan pengisi<br />
mineral, yaitu: kuat dan pejal, ringan, ramah lingkungan, sangat ekonomis dan sumber<br />
dapat diperbaharui. Tetapi disisi lain menurut Belmares, dkk (1983), pengisi alamiah<br />
juga memiliki kelemahan dan kekurangan yaitu, mudah terurai karena kelembaban,<br />
adhesi permukaan yang lemah pada polimer hidrofobik, ukuran pengisi yang tidak<br />
seragam, tidak cocok dipakai pada temperatur tinggi dan mudah terpengaruh pada<br />
serangan serangga dan jamur.<br />
Telah banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahan pengisi<br />
alami sebagai penguat pada komposit seperti: nenas, sisal, sabut kelapa, tempurung<br />
kelapa, rami, kapas, sekam padi, bambu dan tandan kosong kelapa sawit. Luo dan<br />
Netravali (1999) telah meneliti dan membuktikan bahwa sifat-sifat regangan dan<br />
fleksibilitas yang dihasilkan pada komposit dengan kandungan serat nenas yang<br />
berbeda-beda, lebih baik dibandingkan dengan resin tanpa pengisi. Belmeras, dkk<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
(1983), menemukan bahwa serat-serat sisal dan kelapa sawit memiliki sifat regangan,<br />
sifat kimia dan fisika yang sama sehingga baik digunakan sebagai bahan pengisi.<br />
Perkembangan teknologi dewasa ini yang menuntut dihasilkannya produk yang<br />
ramah lingkungan dan lebih ekonomis, membuat setiap industri berusaha<br />
memanfaatkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Di dalam pembuatan<br />
komposit, bahan pengisi yang mengandung selulosa menjadi perhatian yang besar<br />
karena kemampuannya sebagai penguat pada polimer – polimer termoplastik dengan<br />
titik peleburan yang rendah, salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan<br />
pengisi adalah selulosa yang diperoleh dari tandan kosong kelapa sawit.<br />
II.1.3 Antara muka pengisi matriks<br />
<strong>Pa</strong>da umumnya suatu bahan komposit terdiri dari dua fasa yang berlainan yang<br />
dipisahkan oleh antara muka kedua fasa tersebut. Daya sentuh dan daya kohesif antara<br />
muka sangat penting, karena antara muka pengisi-matriks berfungsi untuk<br />
memindahkan beban (tegangan) dari fasa matriks ke fasa pengisi (Hull, 1992 dan<br />
Hollyday, 1996). Kemampuan pemindahan tegangan kepada fasa pengisi, tergantung<br />
pada daya ikat yang muncul pada antara muka komposit. <strong>Pa</strong>da komposit-komposit<br />
yang diperkuat dengan pengisi alami, biasanya terdapat suatu kekurangan pada adhesi<br />
antara muka di antara serat-serat selulosa hidrofilik dengan resin-resin hidrofobik yang<br />
berpengaruh terhadap ketidakserasian (incompability). Ada berbagai teori yang<br />
menerangkan pengikatan pada antara muka komposit, umumnya melibatkan ikatan<br />
kimia ataupun ikatan mekanik. Menurut Schwartz (1992), terdapat lima mekanisme<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
yang dapat terjadi pada antara muka, baik secara sendirian maupun secara gabungan,<br />
yaitu:<br />
a. Penyerapan dan pembasahan.<br />
b. Resapan.<br />
c. Daya tarik elektrostatis.<br />
d. Ikatan kimia.<br />
e. Ikatan mekanik.<br />
II.2 Polimer<br />
Polimer berasal dari bahasa Yunani yaitu: poly berarti banyak dan mer berarti<br />
bagian. Polimer merupakan molekul besar yang terbentuk dari unit-unit berulang<br />
sederhana yang disebut dengan monomer. Perulangan unit-unit (monomer) dapat<br />
membentuk susunan rantai linier, bercabang dan jaringan (Stevens, 2001). Polimer<br />
disebut juga dengan makromolekul atau molekul besar, dimana stukturnya bergantung<br />
pada monomer-monomer yang dipakai dalam preparasinya. Berdasarkan monomer<br />
pembentuknya, polimer dapat dibedakan atas homopolimer dan kopolimer. Jika<br />
hanya ada beberapa unit monomer yang bergabung bersama dengan berat molekul<br />
rendah, maka polimer tersebut dinamakan oligomer. Homopolimer merupakan suatu<br />
polimer yang tersusun dari rantai-rantai berulang (monomer) yang sama sedangkan<br />
kopolimer adalah bahan polimer yang tersusun dari rantai-rantai berulang (monomer)<br />
yang berbeda.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
Berdasarkan sumbernya, polimer dapat dibagi dua yaitu, polimer alam seperti<br />
pati, selulosa dan sutera yang dihasilkan oleh tanaman dan binatang, polimer lainnya<br />
adalah polimer sintetik yang dihasilkan di laboratorium, sedangkan berdasarkan reaksi<br />
pembentukannya, polimer dapat di klasifikasikan atas dua kelompok utama yaitu,<br />
polimer adisi dan polimer kondensasi. Perbedaan kedua polimer tersebut, pada<br />
polimer adisi memiliki atom yang sama seperti monomer dalam unit ulangnya,<br />
sedangkan pada polimer kondensasi, terbentuk produk sampingan selama<br />
berlangsungnya proses polimerisasi.<br />
Pengetahuan tentang teknologi polimer terus berkembang, karena pada saat ini<br />
kehidupan manusia sehari-hari disadari maupun tidak, telah menggunakan bahan<br />
polimer mulai dari pakaian, perkakas rumah tangga sampai dengan pesawat terbang.<br />
Hal ini dilakukan untuk menggantikan bahan-bahan logam dan keramik karena<br />
beberapa kelebihan bahan polimer adalah: ringan, tahan terhadap korosi, mudah<br />
dibentuk, murah dan biaya produksi rendah.<br />
II.2.1. Polietilena<br />
Polietilena merupakan suatu polimer yang terbentuk dari unit-unit berulang<br />
(monomer) dimana monomer dari polietilena adalah etilena ( C2H4 ) seperti dalam<br />
gambar 2.1.<br />
Gambar 2.1. Monomer Polietilena<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
Polietilena dibuat dengan polimerisasi dari gas etilena (CH2=CH2), seperti pada<br />
Gambar 2.2.<br />
Gambar 2.2. Reaksi Polimerisasi Polietilena<br />
Polietilena disebut juga dengan polietilen (PE) adalah bahan termoplastik yang<br />
transparan, berwarna putih, titik leleh antara 110 0 C-137 0 C, memiliki berat molekul<br />
1500-100.000 dengan perbandingan C 85,7% dan H 14,3%. Pertama sekali Polietilena<br />
diperkenalkan di England tahun 1933 yang diproses dengan kondisi tekanan > 1000<br />
atm dan temperatur 100 0 C-300 0 C (http://203.130.206.51:8081/KEMASAN<br />
PLASTIK.pdf). Sekitar tahun 1953 Karl Ziegler dari Jerman menemukan proses<br />
polimerisasi yang berlangsung pada temperatur dan tekanan kamar dengan<br />
menggunakan katalis yang disebut dengan katalis Ziegler Natta, yaitu merupakan<br />
senyawa kompleks yang terbentuk dari alkil aluminium yang dikombinasikan dengan<br />
titanium klorida. Polietilena yang dihasilkan mempunyai berat molekul yang tinggi<br />
dan lebih kaku dibandingkan dengan polimer yang dihasilkan pada tekanan tinggi.<br />
Kekakuan tersebut disebabkan tidak adanya rantai-rantai cabang pada rantai polimer<br />
dan merupakan polimer linier. Berdasarkan densitasnya, polietilena dibedakan atas:<br />
LPDE, HDPE dan LLDPE .<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
a. Polietilena densitas rendah (LDPE = Low Density Polyethylene).<br />
LDPE dihasilkan dengan cara polimerisasi pada tekanan tinggi, mudah<br />
dikelim dan harganya murah. Dalam perdagangan dikenal dengan nama<br />
alathon, dylan dan fortiflex. Kekakuan dan kuat tarik LDPE lebih rendah dari<br />
HDPE ( modulus Young 20.000 – 30.000 psi dan kuat tarik 1200 – 2000 psi),<br />
tetapi karena LDPE memiliki derajat elongasi yang tinggi (400 – 800 % ),<br />
maka mempunyai kekuatan terhadap kerusakan dan ketahanan untuk putus<br />
yang tinggi. Titik lelehnya berkisar antara 105-115 0 C. Banyak digunakan<br />
untuk film, mangkuk, kemasan.<br />
b. Polietilena densitas menengah (MDPE = Medium Density Polyethylene ).<br />
MDPE lebih kaku dari LDPE dan titik lelehnya lebih tinggi dari LDPE, yaitu<br />
antara 115-125 0 C.<br />
c. Polietilena densitas tinggi (HDPE = High Density Polyethylene).<br />
HDPE dihasilkan dengan cara polimerisasi pada tekanan dan suhu yang<br />
rendah (10 atm, 50-70 0 C). HDPE lebih kaku dibanding LDPE dan MDPE,<br />
tahan terhadap suhu tinggi sehingga dapat digunakan untuk produk yang<br />
akan disterilisasi.<br />
d. Polietilena densitas sangat rendah (LLDPE = Linear Low Density<br />
Polyethylene) yaitu kopolimer etilen dengan sejumlah kecil butana, heksana<br />
atau oktana sehingga mempunyai cabang pada rantai utama dengan jarak<br />
yang teratur. LLDPE lebih kuat dari LDPE.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
Polietilena merupakan bahan polimer yang memiliki tingkat kekasaran yang<br />
baik, tahan terhadap bahan kimia kecuali oksida kuat dan halida, larut dalam<br />
hidrokarbon aromatik dan larutan hidrokarbon yang terklorinasi di atas 70 0 C.<br />
Polietilena cenderung tidak tahan terhadap cahaya sehingga mudah berubah warna<br />
oleh pengaruh cahaya matahari dan menghasilkan material yang berwarna hitam<br />
(Meyer, 1984). Sifat-sifat dari Polietilena sangat dipengaruhi oleh struktur rantai dan<br />
kerapatannya. LDPE bersifat lentur, ketahanan listriknya baik, kedap air, lebih lunak<br />
dari HDPE, bersifat absorbsi dan tembus cahaya yang kurang baik dibandingkan<br />
dengan HDPE. LDPE lebih elastis dibanding HDPE. Hal ini karena kristalinitasnya<br />
rendah disebabkan oleh adanya cabang-cabang dari rantai polimer, sedangkan HDPE<br />
mempunyai sifat kristalinitasnya lebih tinggi dan lebih kaku karena merupakan<br />
polimer yang linier. Perbedaan bentuk rantai dan kerapatan ini menyebabkan<br />
perbedaan sifat kedua jenis polietilena ini. Proses pembuatan rantai panjang dari<br />
polimer termoplastik polietilena secara umum dapat dilakukan dengan dua cara<br />
(Cowd, 1991) yaitu:<br />
a. Proses dengan kondisi pada tekanan tinggi yang menghasilkan LDPE.<br />
b. Proses dengan kondisi pada tekanan rendah yang menghasilkan HDPE.<br />
Polietilena banyak digunakan untuk peralatan laboratorium, insulator listrik,<br />
bahan pembungkus, peralatan dapur, pipa, pelapis kertas dan pada industri tekstil.<br />
Jenis polietilena yang banyak digunakan sebagai pengemas adalah LDPE yaitu sekitar<br />
44,5% dari total plastik kemas, diikuti dengan HDPE sekitar 25,4% (Curlee, 1991<br />
dalam Nurjana, 2007).<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
Sifat fisika dan sifat mekanik dari LDPE dan HDPE dapat dilihat pada tabel 2.1.<br />
berikut ini.<br />
Tabel 2.1 Sifat Fisika dan Mekanik Polietilena<br />
Sifat Fisika LDPE HDPE<br />
Kekuatan Tarik, M<strong>Pa</strong> 5 – 15 20 - 40<br />
Modulus Young, M<strong>Pa</strong> 100 – 250 400 - 1200<br />
Berat Jenis 0,91 -0,93 0,94 – 0,96<br />
Titik Leleh 124 0 C 105 0 C<br />
Muai Termal, 0 C 180.10 -6 120.10 -6<br />
Perpanjangan 100% 500%<br />
Sumber: (Van Vlack, 2004)<br />
II.3 Tandan Kosong Kelapa Sawit<br />
Tandan Kosong Kelapa Sawit merupakan limbah terbesar dalam proses<br />
pengolahan kelapa sawit menjadi CPO. Secara umum pengelolaan limbah terdiri dari<br />
dua aspek yaitu penanganan limbah dan pemanfaatan limbah. Penanganan limbah<br />
untuk mengurangi daya cemar dan pemanfaatan limbah untuk mendapatkan nilai<br />
tambah.<br />
Beberapa penelitian yang sudah dilakukan untuk memanfaatkan tandan kosong<br />
kelapa sawit adalah sebagai bahan baku pembuatan pulp (Darnoko dkk, 1995), serbuk<br />
pulp tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan pengisi polipropilena (Purwandari,<br />
2001), pembuatan pupuk organik (Darnoko dkk,1995) dan penggunaan serat tandan<br />
kosong kelapa sawit sebagai bahan pengisi polietilen (Nurjana, 2007). Penelitian<br />
menunjukkan bahwa kandungan seratnya cukup tinggi sehingga tandan kosong kelapa<br />
sawit dapat digunakan sebagai bahan pengisi polimer, seperti bahan pengisi jenis kayu<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
dan turunan selulosa, karena harganya murah, ringan dan dapat diperbaharui<br />
(Wirjosentono, 1996). Tandan kosong kelapa sawit juga dapat diolah menjadi sumber<br />
bahan kimia seperti pemanfaatan sebagai sumber lignin ( Sulhatun, 2005 ). Sebagai<br />
sumber bahan kimia, tandan kosong kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan<br />
baku produksi senyawa selulosa dan turunannya dimana selulosa merupakan<br />
komponen terbesar disamping hemiselulosa dan lignin. Komposisi serat tandan<br />
kosong kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2.2. dimana , kandungan selulosa<br />
37,76%, lignin 22,23% holoselulosa 68,88%, sehingga tandan kosong kelapa sawit<br />
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri yang berbasis serat. Komposisi kimia<br />
dan sifat fisik serta morfologi serat tandan kosong kelapa sawit dapat dilihat pada<br />
Tabel 2.2 dan 2.3.<br />
Tabel 2.2 Komposisi dan Sifat Kimia Serat Tandan Kosong Kelapa Sawit<br />
KOMPONEN KIMIA KOMPOSISI (%)<br />
Lignin 22,23<br />
Ekstraktive 6,37<br />
Pentosan 26,69<br />
α –selulosa 37,76<br />
Holoselulosa 68,88<br />
Abu 6,59<br />
Kelarutan dalam<br />
- ! % Na OH<br />
- 1 % NaOH<br />
- Air dingin<br />
- Air panas<br />
(Darnoko, dkk, 1995<br />
29,96<br />
29,96<br />
13,89<br />
16,17<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
Tabel 2.3 Sifat Fisik dan Morfologi serat Tandan Kosong Kelapa Sawit<br />
<strong>Pa</strong>rameter TKS bagian pangkal TKS bagian ujung<br />
<strong>Pa</strong>njang serta, mm 1.20 0,76<br />
Rata-rata (L)<br />
Diamater serat, µm (D) 15,0 114,34<br />
Diameter Lumen, µm (l) 8,04 6,99<br />
Tebal dinding, µm (W) 3,49 3,68<br />
Bilangan Rumkel (2 W/l) 0,87 1,05<br />
Kelangsingan (L/D) 79,95 53,00<br />
Kelemasan (l/D) 0,54 0,49<br />
Kadar serat (%) 72,67 62,47<br />
Bukan serat (%) 27,33 37,53<br />
(Darnoko, dkk, 1995)<br />
II.4 Selulosa<br />
Selulosa berasal dari kata Selopan yang terdiri dari cello dan phane yaitu<br />
cellulose dan diaphane (bahasa Perancis) dimana cello artinya selulosa dan phane<br />
artinya transparan. Selulosa (C6H10O5)n adalah polimer rantai panjang dari<br />
karbohidrat polisakarida atau homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit D<br />
glukopiranosa. Setiap unit D glukopiranosa dalam rantai selulosa mempunyai 3 gugus<br />
hidroksil (Sjostrom, 1998). Menurut Klug (1984), selulosa dapat dianggap sebagai<br />
senyawa polialkohol dimana setiap unit glukosa di dalam rantai molekul mengandung<br />
tiga gugus hidroksil. Struktur kimia pada selulosa mengandung 3 gugus OH, dimana<br />
gugus OH yang pertama di dalam makromolekul selulosa membentuk ikatan hidrogen.<br />
Gugus OH yang kedua membentuk ikatan antara molekul, sedangkan gugus OH yang<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
ke tiga membentuk ikatan hidrogen di antara molekul. Selulosa membentuk komponen<br />
serat dari dinding sel tumbuhan dan terikat erat dengan lignin, sehingga diperlukan<br />
perlakuan yang intensif untuk memisahkan selulosa dari lignin (Fengel, 1995).<br />
Struktur Selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.3.<br />
Gambar 2.3. Struktur Selulosa<br />
Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai<br />
kecenderungan kuat membentuk ikatan hidrogen intra dan intermolekul, sehingga<br />
selulosa tidak larut dalam air meskipun memiliki banyak gugus hidroksil dan polar<br />
(Seymour, 1975). Selulosa merupakan senyawa organik yang paling melimpah di atas<br />
bumi dan merupakan konstituen utama dari dinding sel tumbuh tumbuhan (Stevens,<br />
2001). Penggunaan selulosa terutama dalam industri pakaian, cat, film atau foto,<br />
kosmetik, deterjen, industri kertas, vernis dan mainan anak anak<br />
(edconopianto.blogspot.Com/2009). Untuk aplikasi yang lebih luas, selulosa dapat<br />
diturunkan menjadi beberapa produk antara lain; selulosa ester dari asam anorganik<br />
dan organik (seperti selulosa nitrat, selulosa propionat dan selulosa butirat), selulosa<br />
eter dan kopolimer cangkok. Penggunaan serat selulosa terutama dalam bidang tekstil,<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
pembuatan tali, pembuatan benang, pembuatan karung, pembalut, kertas tipe khusus<br />
dan pengisi alat keselamatan (Stevens, 2001). Sifat-sifat serat selulosa dapat dilihat<br />
pada Tabel 2.4.<br />
Sifat<br />
Tabel 2.4. Sifat- Sifat Umum Serat Selulosa<br />
Nilai<br />
Rumus Kimia (C6H10O5)n<br />
Kandungan selulosa 44 – 99,6%<br />
Densitas 1 - 1,1 g/cm 3<br />
Temperatur bakar 290 0 C<br />
Temperatur maksimum<br />
200 0 C<br />
Penggunaan<br />
Kandungan Kelembapan 2 – 10%<br />
Absorpsi Kelembapan 420 – 1000%<br />
Kandungan abu 0,13 – 0,4%<br />
Ukuran Pori 100 0 A ( hanya polimer BM
Asam asetat merupakan pelarut yang bersifat polar (hidrofilik) seperti air dan<br />
etanol. Selain dapat melarutkan senyawa-senyawa polar seperti garam organik dan<br />
gula, asam asetat juga dapat melarutkan senyawa-senyawa non polar seperti minyak.<br />
Dengan sifat –sifat yang dimiliki, asam asetat banyak digunakan dalam industri kimia.<br />
Menurut Rowell dkk (1993), modifikasi dengan asam asetat (asetilasi) pada selulosa<br />
kayu bertujuan untuk menstabilkan dinding sel, meningkatkan stabilitas dimensional<br />
dan degradasi pada lingkungan. Mwaikambo dan Ansell (1999) menyebutkan<br />
modifikasi kimia pada serat-serat alami bertujuan untuk menghilangkan lignin yang<br />
dikandung suatu bahan seperti pektin, senyawa-senyawa wax dan minyak alami yang<br />
berada pada permukaan dinding sel serat tersebut. Penggunaan asam asetat sebagai<br />
bahan penyerasi akan membentuk selulosa asetat (dari reaksi selulosa dengan asam<br />
asetat) yang merupakan termoplastik. Selulosa asetat pertama kali ditemukan oleh<br />
Schut Zenberger pada tahun 1865. Selain pada film fotografi, senyawa ini juga<br />
digunakan sebagai bahan komponen dalam bahan perekat, serta sebagai serat sintetik.<br />
Beberapa sifat selulosa asetat adalah: tidak mudah mengkerut jika dekat api, sangat<br />
jernih, mengkilap, lebih tahan terhadap benturan dibandingkan HDPE dan tahan<br />
abrasi. Banyak sistem reaksi kimia telah digunakan dalam modifikasi kimia suatu<br />
komposit antara lain, penggunaan maleat anhidrida polietilena sebagai bahan pengisi<br />
(Tanjung, 2008) dan penggunaan asam asetat 50% dan asam akrilik 3% dalam<br />
memodifikasi bahan pengisi tempurung kelapa (Hamid, 2008). Salmah dkk (2005b)<br />
menemukan bahwa penggunaan asam asetat 50% dan asam akrilik 3% dalam<br />
memodifikasi lumpur pada industri kertas sebagai pengisi komposit polipropilena<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
telah meingkatkan kekuatan tarik, perpanjangan dan modulus Young pada komposit<br />
tersebut.<br />
II.6 Reologi<br />
Reologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan bentuk (deformasi) dan aliran<br />
suatu bahan (Nielsen, 1978). Untuk bahan polimer, tujuan mempelajari reologi adalah<br />
untuk mendapatkan kondisi pemrosesan yang sesuai bagi bahan tersebut ataupun<br />
campuran dari berbagai bahan polimer dengan sifat-sifat yang berbeda. Salah satu<br />
penelitian tentang pengaruh variasi bahan penambah terhadap sifat reologi dari<br />
polistirena atau polipropilene telah dilakukan oleh Halimatuddahliana (2001). Untuk<br />
fluida sederhana seperti air, kajian reologi menyangkut kepada pengukuran viskositas<br />
fluida tersebut yang umumnya tergantung kepada suhu dan tekanan, tetapi reologi<br />
untuk bahan polimer lebih kompleks karena fluida polimer menunjukkan sifat non<br />
ideal (Nielsen, 1978).<br />
<strong>Pa</strong>da umumnya, morfologi merupakan karakteristik dari polimer-polimer<br />
amorfous dan kristal, dimana polimer amorfous mempunyai ciri-ciri tidak adanya<br />
urutan yang sempurna di antara molekul-molekulnya sedangkan pada kristal, molekul-<br />
molekul terorientasi atau lurus dalam suatu susunan teratur yang analog sampai tingkat<br />
tertentu. Karena polimer tidak pernah mencapai kekristalan 100%, maka morfologi<br />
polimer dikategorikan menjadi amorfous dan semi kristal. Ketika suatu polimer<br />
amorfous mencapai derajat kebebasan rotasi tertentu, ia bisa dideformasi dan ketika<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
terdapat cukup kebebasan, molekul-molekul polimer tersebut mulai bergerak mengalir<br />
melampaui molekul satu sama lain.<br />
Untuk menyebabkan suatu polimer berdeformasi atau mengalir, memerlukan<br />
penerapan suatu gaya, seperti terlihat pada Gambar 2.4.<br />
H �<br />
Vz<br />
Gambar 2.4. Skema aliran fluida dalam keadaan stedi<br />
Berbagai gaya bisa diterapkan untuk deformasi, tetapi dalam reologi, gaya yang<br />
diberikan berkaitan dengan geser (tegangan tangensial). Tegangan tangensial adalah<br />
suatu gaya yang dikenakan ke salah satu sisi permukaan dalam arah yang sejajar<br />
dengan permukaan tersebut, seperti jika suatu bujur sangkar dikenakan (diterapkan)<br />
tegangan tangensial, akan berubah menjadi jajaran genjang (<strong>Pa</strong>inter and Coleman,<br />
1994).<br />
Jika gaya dikenakan, polimer akan tertarik dengan tiba-tiba dan jika gaya diputus<br />
maka molekul-molekulnya cenderung mengembalikan konfigurasinya yang mula-<br />
mula dan stabil, suatu proses yang disebut relaksasi (Stevens, 2001). Dengan adanya<br />
gaya, maka molekul-molekul polimer akan dikacaukan atau dirusak sehingga terjadi<br />
sifat elastisitas. Jika gaya tersebut dikenakan secara tetap dan sedikit demi sedikit,<br />
A<br />
Vy<br />
w<br />
Vx<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
F
maka molekul-molekul mulai mengalir secara tak dapat balik. Karena belitan rantai<br />
dan efek gesekan, cairan yang mengalir tersebut menjadi sangat kental. Kombinasi<br />
sifat elastis dan aliran yang kental menyebabkan polimer mempunyai sifat<br />
viskoelastis. Untuk membuat bentuk atau memintal suatu serat, molekul-molekul<br />
polimer mesti mengalir dengan cepat, dimana semakin cepat aliran maka produksi<br />
akan semakin cepat dan prosespun akan mengurangi biaya. Viskositas, baik dalam<br />
larutan maupun dalam leburan merupakan ukuran dari ketahanan terhadap aliran<br />
(Stevens, 2001).<br />
Hal-hal yang harus diperhatikan pada deformasi bahan polimer adalah:<br />
1. Suhu peralihan kaca (Tg) bahan polimer tersebut.<br />
2. Bahan polimer biasanya mengalami pemelaran dan relaksasi regangan,<br />
terutama bagi polietilena dan propilena.<br />
3. Ketahanan terhadap hantaman (impak) cenderung kecil kecuali pada bahan<br />
yang telah dimodifikasi, seperti polikarbonat, poliaetal dan sebagainya.<br />
4. Ketahanan terhadap fatigue (lelah) cenderung kecil.<br />
5. Ketahanan terhadap minyak, pelarut, air dan surfaktan tergantung terhadap<br />
waktu kontak dan apabila disertai dengan tegangan dapat terjadi retak dan<br />
akhirnya putus.<br />
Kecepatan mengalirnya molekul-molekul komposit merupakan fungsi dari suhu,<br />
berat molekul, dan struktur molekul. Suhu yang sangat berpengaruh terhadap sifat<br />
mekanik suatu bahan adalah suhu peralihan kaca (Glass Transition temperature, Tg).<br />
Suhu peralihan kaca (Tg) adalah suhu dimana terjadi perubahan sifat bahan<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
termoplastik/elastomer dari keadaan elastik (rubbery) menjadi tegas (rigid glass) yang<br />
berlangsung pada proses pendinginan bahan. Sebagai contoh bahan elastomer (karet)<br />
mempunyai kemampuan untuk memanjang jika ditarik dan akan kembali dengan cepat<br />
apabila tarikan dilepas. Hal ini terjadi tidak untuk semua suhu. Karakteristik volume-<br />
suhu bahan polimer dapat dilihat pada gambar 2.5.<br />
Gambar 2.5. Karakteristik Volume-Suhu Bahan Polimer<br />
Dari gambar tersebut di atas dapat dilihat bahwa polimer dengan struktur amorf<br />
tidak menunjukkan perubahan volume yang mendadak dalam mencapai titik leburnya<br />
(BA) sedangkan pada struktur kristal terjadi perubahan yang cukup jelas (CA). Di atas<br />
suhu peralihan kaca, Tg, struktur amorf menunjukkan sifat viskos (kental) dan di<br />
bawah Tg, bahan menunjukkan sifat tegas/rapuh karena gerakan rantai molekul sangat<br />
terbatas. <strong>Pa</strong>da saat bahan polimer dengan stuktur semi kristal memadat dan dingin,<br />
penurunan secara mendadak volume spesifik terjadi seperti terlihat pada garis AC.<br />
Penurunan ini disebabkan karena susunan rantai polimer menjadi teratur membentuk<br />
kristal. Titik lebur polimer (Tf) merupakan suhu yang tertinggi dimana struktur kristal<br />
dalam bahan polimer dapat terdeteksi. Pengaruh suhu terhadap sifat-sifat bahan<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
polimer (plastik) secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.6 dimana Tg adalah suhu<br />
peralihan kaca, Tp adalah suhu proses dan Tf adalah suhu lebur polimer (Nasir,1996).<br />
Gambar 2.6. Pengaruh Suhu Terhadap Sifat-Sifat Bahan Polimer (Plastik)<br />
II.7 Sifat-Sifat Mekanik<br />
Sifat-sifat mekanik bahan polimer adalah khas dan berbeda dengan bahan logam<br />
ataupun keramik, dimana kelakuan viskoelastiknya (kekentalan) sangat dominan,<br />
misalnya pemelaran (creep) dan relaksasinya mudah terjadi. Sifat-sifat mekanik<br />
polimer dapat dinyatakan dalam beberapa parameter, yaitu:<br />
1. Kekuatan tarik (Tensile Strength).<br />
2 . Kekuatan lentur (Flexural Strength).<br />
3. Kekuatan impak (Impact Strength).<br />
4. Kekerasan (Hardness).<br />
5. Ketahanan lelah (Fatigue).<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
II.7.1 Kekuatan tarik (tensile strength)<br />
Kekuatan tarik merupakan salah satu sifat bahan polimer yang terpenting dan<br />
sering digunakan untuk uji sifat suatu bahan polimer. Pengujian tarik (tensile test)<br />
dilakukan dengan pembebanan pada kedua ujung sampel melalui gaya tarikan.<br />
Penarikan suatu bahan biasanya menyebabkan terjadi perubahan panjang atau<br />
deformasi dan juga menyebabkan terjadinya penipisan pada tebal bahan yang diuji.<br />
Kekuatan tarik (tensile strength) suatu bahan ditetapkan dengan membagi gaya<br />
maksimum (besarnya gaya yang masih dapat ditahan oleh sampel sebelum putus)<br />
dengan luas penampang mula-mula, dimensinya sama dengan tegangan (Van Vlack,<br />
1989). Persamaan untuk tegangan tarik adalah:<br />
Tegangan ( gaya)<br />
Tegangan tarik �<br />
Luas Permukaan<br />
F<br />
� (<strong>Pa</strong>)<br />
A<br />
� ............…………………………………………………… (2.1)<br />
Tegangan tarik (kekuatan tarik) tergantung pada gaya yang diberikan, waktu,<br />
suhu, struktur dan morfologi bahan polimer (non kristal, semi kristal atau kristal). Jika<br />
pada suatu bahan dikenakan beban tarik, maka bahan tersebut akan mengalami<br />
perubahan panjang yang disebut dengan perpanjangan (elongation). Persamaan untuk<br />
perpanjangan :<br />
Perpanjangan �<br />
Perubahan panjang<br />
<strong>Pa</strong>njang awal<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
l � lo<br />
� � ( 100%)<br />
……………………………...…(2.2)<br />
l<br />
o<br />
Sementara sifat elastisitas suatu bahan polimer (modulus young) merupakan<br />
perbandingan antara tegangan tarik dengan perpanjangan.<br />
<strong>Pa</strong>da peregangan suatu bahan polimer, perpanjangan tidak selalu berbanding<br />
lurus dengan beban yang diberikan, dan pada penurunan kembali beban, sebahagian<br />
regangannya hilang, karena bahan polimer bukan merupakan bahan sepenuhnya elastis<br />
tetapi ada sifat viskositasnya. Gambar 2.7 menunjukkan kurva kekuatan tarik-<br />
perpanjangan untuk bahan polimer.<br />
Polimer amorf dan semi kristal di bawah Tg<br />
B Polimer semi kristal di atas Tg<br />
A<br />
B, C<br />
ε<br />
Karet<br />
Gambar 2.7. Kurva kekuatan tarik- perpanjangan untuk bahan polimer<br />
B<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
A adalah titik dimana pemanjangan bertambah tanpa disertai dengan peningkatan daya<br />
(yield point)<br />
B adalah titik dimana bahan putus menjadi dua bahagian (break poin)<br />
C adalah titik dimana kekuatan tarikan terbesar yang dialami bahan sebelum putus.<br />
II.7.2 Kekuatan lentur (flexural strength)<br />
Kekuatan lentur merupakan kemampuan bahan untuk melentur, dimana<br />
pengujian biasanya dilakukan dengan menekuk bahan (sampel) menggunakan beban.<br />
Kekuatan lentur (τ) suatu bahan dapat dihitung dengan persamaan<br />
PL 2<br />
3<br />
� � �<strong>Pa</strong>�<br />
……..…..………………................... ……...(2.3)<br />
2bd<br />
Dimana, P = beban patah<br />
b = lebar batang uji<br />
d = tebal batang uji<br />
L = jarak antara titik tumpu.<br />
II.7.3 Kekuatan impak (impact strength)<br />
Kekuatan impak adalah suatu kriteria penting untuk mengetahui ketegasan bahan<br />
atau ketahanan bahan terhadap daya dengan kecepatan tinggi (hantaman). Kekuatan<br />
impak suatu bahan polimer dapat diukur dengan menggunakan alat impact test.<br />
Untuk kekuatan impak, bahan dapat dibagi dalam dua klasifikasi, yaitu bahan yang<br />
rapuh (brittle) dan ductile. Kegagalan pada bahan yang rapuh dapat terjadi pada energi<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
yang rendah dimana keretakan bermula dan berlanjut sebelum terjadinya yelding. Ciri-<br />
ciri yang ditunjukkan biasanya bagian yang putus/patah menunjukkan permukaan<br />
yang halus dan kaku. Untuk bahan ductile, akan terbentuk yelding dimana akan<br />
tampak stress whitening pada daerah yang putus. Pengujian impak biasanya dilakukan<br />
dengan metode Charphy atau Izod, seperti pada Gambar 2.8.<br />
Gambar 2.8. Diagram untuk test Kekuatan impak<br />
II.8. Faurier Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR)<br />
FT-IR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar ke penelitian –<br />
penelitian struktur polimer, karena spektrum-spektrum bisa discan, disimpan,<br />
ditransformasikan dalam hitungan detik dan teknik ini memudahkan penelitian reaksi-<br />
reaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang (Stevens, 2001). Teknik ini dilakukan<br />
dengan penambahan peralatan interferometer dan dilengkapi dengan cara perhitungan<br />
fourier transform.<br />
Penggunaan spektrofotometer FT-IR untuk analisa, banyak digunakan untuk<br />
identifikasi suatu senyawa. Hal ini disebabkan spektrum FT-IR suatu senyawa<br />
(misalnya senyawa organik) bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
mempunyai spektrum yang berbeda pula. Vibrasi ikatan kimia pada suatu molekul<br />
menyebabkan pita serapan hampir seluruhnya di daerah spektrum IR yakni 4000-400<br />
cm -1 . FT-IR teristimewa bermanfaat dalam meneliti paduan-paduan polimer. <strong>Pa</strong>duan<br />
yang tidak dapat campur memperlihatkan suatu spektrum IR yang merupakan<br />
superposisi dari spektrum homopolimer (Stevens, 2001).<br />
Formulasi bahan polimer komersial dengan kandungan aditif bervariasi sebagai<br />
pemlastis dan anti oksidasi, memberikan kekhasan pada spektrum infra merahnya.<br />
Analisis inframerah memberikan informasi tentang kandungan aditif, panjang rantai<br />
dan struktur rantai polimer. Disamping itu, analisis IR dapat digunakan untuk<br />
karakterisasi bahan polimer yang terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus<br />
karbonil dan pembentukan ikatan rangkap pada rantai polimer. Gugus lain yang<br />
menunjukkan terjadinya degradasi oksidatif adalah gugus hidroksida dan karboksilat<br />
(Harjono, 1991). Umumnya pita serapan polimer pada spektrum inframerah adalah<br />
adanya ikatan C-H regangan pada daerah 2880cm -1 – 2900cm -1 dan regangan dari<br />
gugus fungsi lain yang mendukung untuk analisis suatu material. Banyak faktor yang<br />
mempengaruhi frekwensi vibrasi suatu ikatan dalam molekul seperti perbedaan massa.<br />
Misalnya, serapan C=O dalam gugus keton (RCOCH3) lebih rendah dari pada C=O<br />
dalam RCOCl, hal tersebut disebabkan perbedaan massa CH3 dan Cl.<br />
32<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>