07.01.2015 Views

Toxic Threads_Meracuni surga_26 April 2013

Toxic Threads_Meracuni surga_26 April 2013

Toxic Threads_Meracuni surga_26 April 2013

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>:<br />

<strong>Meracuni</strong> Surga<br />

<strong>Toxic</strong><br />

<strong>Threads</strong><br />

Kisah Merek-merek Ternama dan<br />

Polusi Air di Indonesia.<br />

<strong>April</strong> <strong>2013</strong>


chapter xxx<br />

<strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong> : <strong>Meracuni</strong><br />

Surga<br />

1. Pengantar & Temuan Utama 05<br />

2. Investigasi Perusahaan Manufaktur Tekstil Polyester di Indonesia 11<br />

3. Polusi Terlihat & Tak Terlihat di Sungai-sungai Indonesia 17<br />

4. Bergerak dari Pendekatan Kontrol Menuju Pencegahan 23<br />

5. Merek Busana Internasional dan Industri Tekstil di Indonesia 29<br />

6. Saatnya Men-Detox Badan Air di Indonesia 35<br />

Endnotes 39<br />

Apresiasi :<br />

Kami berterimakasih pada rekan-rekan berikut atas kontribusinya pada pembuatan laporan ini, terutama pada mereka yang<br />

tidak dapat kami sebutkan satu-per-satu.<br />

Ahmad Ashov Birry, Kevin Brigden, Kristin Casper, Madeleine Cobbing, Tommy Crawford, Alexandra Dawe, Steve Erwood,<br />

Nadia Haiama, Marietta Harjono, Hilda Meutia, Tony Sadownichik, Melissa Shinn, Pierre Terras, Ieva Vilmavicuite<br />

Foto Sampul depan dan belakang :<br />

© Andri Tambunan / Greenpeace<br />

Arahan desain oleh : Toby Cotton @ Arc Communications<br />

JN 447<br />

Publikasi 17 <strong>April</strong> <strong>2013</strong>, diperbaharui <strong>26</strong> <strong>April</strong> <strong>2013</strong><br />

oleh Greenpeace International<br />

Ottho Heldringstraat 5,<br />

1066 AZ Amsterdam,<br />

The Netherlands<br />

greenpeace.org<br />

Terminologi dalam laporan ini :<br />

Bioakumulasi (Bioaccumulation) : Mekanisme dimana<br />

bahan kimia terakumulasi dalam tubuh mahluk hidup dan<br />

berpindah bersama rantai makanan.<br />

Pengganggu kerja Hormon (Hormon distruptors) :<br />

Bahan kimia yang dikenal mengganggu sistem kerja hormon<br />

organisme. Untuk Nonylphenol, bahaya utamanya adalah<br />

kemampuannya menirukan hormone estrogen alami. Hal<br />

ini dapat menyebabkan perubahan perkembangan seksual<br />

pada beberapa organisme, seperti feminisasi pada ikan*<br />

Persisten : Sifat bahan kimia yang tidak dapat atau sulit<br />

terurai.<br />

Surfaktan : Bahan kimia yang digunakan untuk menurunkan<br />

tegangan permukaan bahan cair; seperti wetting agent,<br />

detergen, pengemulsi, foaming agent dan pendispersi yang<br />

digunakan pada beragam keperluan industri dan konsumen,<br />

termasuk produksi tekstil.<br />

*Jobling S, Reynolds T, White R, Parker MG & Sumpter JP (1995). A variety of environmentally persistent chemicals, including some phthalate plasticisers, are weakly<br />

estrogenic. Environmental Health Perspectives 103(6): 582-587; Jobling S, Sheahan D, Osborne JA, Matthiessen P & Sumpter JP (1996). Inhibition of testicular growth<br />

in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) exposed to estrogenic alkylphenolic chemicals. Environmental <strong>Toxic</strong>ology and Chemistry 15(2): 194-202.<br />

Catatan untuk pembaca :<br />

Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan (Global North and Global south). Di sepanjang laporan ini kami<br />

merujuk pada istilah “Belahan Bumi Utara” dan “Belahan Bumi Selatan” untuk membedakan antara dua kelompok negara.<br />

Istilah “Belahan Bumi Selatan” digunakan untuk menggambarkan negara-negara berkembang. Termasuk negara yang<br />

seringkali mendapat tantangan dari pertumbuhan industri yang cepat atau restrukturisasi industri, seperti Rusia. Umumnya<br />

“Belahan Bumi Selatan” terletak di Amerika Tengah dan Selatan, Asia dan Afrika. Istilah “Belahan Bumi Utara” umumnya<br />

terletak di Amerika utara dan Eropa, dengan perkembangan penduduk tinggi (contoh segi edukasi & pendapatan) sesuai UN<br />

Human Development Index*. Sebagian besar, tapi tidak semua, dari negara ini berada di belahan bumi utara.<br />

* United Nations Development Programme (UNDP). (2005). Human Development Report 2005. International cooperation at a crossroads. Aid, trade and security in an<br />

unequal 2 Greenpeace world. Available International at: http://hdr.undp.org/en/media/HDR05_complete.pdf<br />

<strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga<br />

image © Andri Tambunan / Greenpeace


❝<br />

Textiles and<br />

toxic chemicals<br />

#1<br />

Undang-Undang di Indonesia memberi<br />

kepastian hukum bagi setiap individu<br />

untuk mendapat akses informasi dan<br />

keadilan, dalam rangka memenuhi<br />

hak mereka untuk lingkungan yang<br />

sehat...<br />

❞<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 3


section one<br />

image © Andri Tambunan / Greenpeace<br />

4 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Gambar. Seorang anak lakilaki<br />

di pinggir Sungai Citarum,<br />

Citeureup , Kabupaten<br />

Bandung.<br />

<strong>Toxic</strong><br />

<strong>Threads</strong><br />

#1<br />

Pengantar dan Temuan<br />

Utama<br />

Greenpeace Internasional melakukan<br />

investigasi baru yang menelaah lebih dalam<br />

penggunaan bahan kimia berbahaya<br />

beracun pada produk fashion , melanjutkan<br />

investigasi sebelumnya yang dilakukan<br />

di China dan Meksiko. Laporan terbaru<br />

ini merupakan rangkaian kerja kampanye<br />

Detox, yang mengungkap bagaimana<br />

industri manufaktur tekstil adalah<br />

penyumbang besar pencemaran air di<br />

negara-negara belahan bumi selatan (global<br />

south).<br />

Penelitian kali ini berfokus pada pabrik tekstil berskala<br />

besar di Indonesia, dimana kami menemukan adanya<br />

banyak varian bahan-bahan berbahaya dibuang<br />

langsung ke Sungai Citarum. Perusahaan yang<br />

bertanggung jawab adalah PT Gistex, yang berlokasi<br />

dekat Bandung, Jawa Barat –kawasan dimana<br />

industri tekstil modern Indonesia terkonsentrasi—<br />

sekitar 60% dari total produsen berlokasi di daerah<br />

aliran Sungai Citarum. Pabrik ini dalam operasinya<br />

melakukan penenunan polyester dan proses basah<br />

seperti pewarnaan, pencetakan dan penyempurnaan<br />

polyester.<br />

Termashyur dengan batiknya, Indonesia mempunyai<br />

sejarah panjang dalam dunia pertekstilan. Saat ini<br />

Indonesia masuk dalam jajaran 10 besar pengekspor<br />

pakaian terbesar dunia, dan pada 2011 merupakan<br />

negara pengekspor tekstil terbesar ke-11 di dunia.<br />

Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang<br />

paling besar di Asia Tenggara, dan sektor tekstil<br />

menyumbang 8,9% total ekspor negara ini pada<br />

2010. 1<br />

Air juga merupakan hal yang sangat istimewa dalam<br />

budaya Indonesia. Kata “homeland” dalam Bahasa<br />

Indonesia adalah “Tanah Air Kita”, merefleksikan fakta<br />

bahwa Indonesia mempunyai lebih dari 17.000 pulau. 2<br />

Tisna Sanjaya 3 , seniman yang juga aktivis sosial dan<br />

lingkungan Indonesia, menyebut Sungai Citarum<br />

sebagai “sumber inspirasi budaya Indonesia”.<br />

Sayangnya, sumber-sumber air itu kini mendapat<br />

ancaman besar dari dunia industri, dan sungai juga<br />

dijadikan tempat ideal untuk membuang berbagai<br />

jenis limbah, Konsekuensi tak terelakannya adalah<br />

sungai-sungai besar di Jawa tercemar parah. 4<br />

Citarum adalah sungai dengan Daerah Aliran Sungai<br />

(DAS) terluas di Jawa Barat; juga mempunyai reputasi<br />

sebagai salah satu sungai terkotor di dunia. 5 Masalah<br />

kasat mata berupa sampah dan limbah domestik<br />

memang terlihat sangat parah. 6 Tetapi limbah<br />

dari industri tekstil juga merupakan sumber besar<br />

pencemaran, terutama di bagian hulu Citarum dimana<br />

terdapat 68% pabrik tekstil 7 , dan merupakan tempat<br />

dimana pabrik PT Gistex berada.<br />

Temuan Utama<br />

Greenpeace melakukan sampling air limbah yang<br />

dibuang dari Pabrik PT Gistex di tiga titik pembuangan<br />

(outfall) pada bulan Mei 2012.<br />

Dari sampel itu teridentifikasi beragam bahan kimia,<br />

banyak diantaranya mengandung unsur berbahaya. 8<br />

Ada yang merupakan toksik bagi kehidupan akuatik<br />

danbersifat persisten, yang artinya mereka akan bertahan<br />

untuk waktu lama setelah dilepaskan ke lingkungan.<br />

Terutama, nonylphenol (NP) ditemukan pada air limbah<br />

yang dibuang melalui saluran pembuangan utama,<br />

bersama nonylphenol ethoxylates (NPE). NPE<br />

digunakan sebagai deterjen dan surfaktan dalam<br />

proses manufaktur tekstil, dan kemudian bisa<br />

terdegradasi kembali menjadi NP. NP juga dikenal<br />

sebagai pencemar yang persisten dan dapat<br />

mengganggu hormon. Investigasi Greenpeace<br />

sebelumnya menemukan residu NPE di pakaian<br />

yang dijual di berbagai negara di dunia, membuktikan<br />

bahwa senyawa ini digunakan dalam proses<br />

manufaktur di banyak operasi sektor tekstil (lihat Box 1).<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 5


Bab Satu<br />

Sungai Citarum,<br />

Jawa Barat.<br />

JAKARTA<br />

Ditemukan pula tributyl phosphate (TBP), bahan<br />

kimia berbahaya yang digunakan industri tekstil<br />

sebagai carrier pewarna tertentu, sebagai bahan<br />

yang membantu proses plastisasi (plasticiser), dan<br />

sebagai senyawa antibusa (antifoaming). Bahan<br />

ini berbahaya bagi kehidupan akuatik, dan cukup<br />

persisten.<br />

Antimony, sebuah metaloid yang bersifat toksik<br />

yang digunakan dalam proses pembuatan<br />

polyester, juga ditemukan dalam kadar tinggi di<br />

pipa pembuangan utama serta salah satu pipa<br />

pembuangan lainnya . Materi lain yang juga<br />

ditemukan, termasuk senyawa yang berhubungan<br />

dengan quinoline, yang lazim dikaitkan dengan<br />

penggunaan pewarna, dan ethylene glycol ethers<br />

tertentu. Namun, sedikit informasi yang bisa<br />

didapat mengenai tingkat racun/toksisitas bahanbahan<br />

tersebut.<br />

Pembuangan air limbah dari dua saluran<br />

pembuangan yang lebih kecil bersifat sangat<br />

basa/alkaline (pH14) , menimbulkan bahaya<br />

akut terhadap sungai, dan organisme di sekitar<br />

lokasi pembuangan tersebut, termasuk siapa pun<br />

yang berkontak langsung dengan air limbah atau<br />

air sungai ketika terjadi pembuangan. Air limbah<br />

dengan nilai pH 14 akan menyebabkan sejenis<br />

luka bakar pada kulit manusia yang terkena kontak<br />

langsung, dan akan menimbulkan dampak parah<br />

(dan sangat mungkin fatal) kepada kehidupan dalam<br />

air sekitar area pembuangan.<br />

Sampel yang diteliti juga mengandung asam<br />

p-terephthalic dalam konsentrasi tinggi, material<br />

dasar yang digunakan dalam pembuatan PET<br />

polyester. Adanya senyawa tersebut dan tingginya<br />

tingkat alkalinitas mengindikasikan bahwa limbah<br />

ini sama sekali tidak mendapat pengolahan<br />

limbah bahkan tingkat penanganan yang paling<br />

dasar sekalipun, sebelum dibuang ke lingkungan.<br />

Beberapa bahan kimia berbahaya yang ditemukan<br />

dalam penelitian ini juga ditemukan dalam penelitian<br />

serupa yang dilakukan Greenpeace di China dan<br />

Mexico (lihat Box 1), termasuk bahan-bahan yang<br />

yang keluar dari pembuangan pabrik manufaktur<br />

tekstil dan saluran pembuangan bersama di zona<br />

industri, dimana pabrik pembuatan tekstil banyak<br />

berada.<br />

Menyelamatkan<br />

Sungai-Sungai di<br />

Indonesia<br />

Selain menemukan materi berbahaya beracun<br />

dari pabrik manufaktur yang diteliti, laporan ini juga<br />

Jatiluhur<br />

Dam<br />

Cirata<br />

Dam<br />

Saguling<br />

Dam<br />

BANDUNG<br />

PT Gistex Textile Division<br />

mengungkap bahwa –walau pencemaran akibat<br />

limbah domestik dan industri telah diakui sebagai<br />

masalah di Sungai Citarum—tingkat pencemaran<br />

akibat materi berbahaya beracun umumnya tidak<br />

diketahui. Penelitian lain memperlihatkan bahwa<br />

logam-logam berat di sedimen sungai juga masalah<br />

yang dialami Sungai Citarum, dimana industri<br />

kemungkinan besar adalah penyebabnya. Meski<br />

demikian, belum ada penyelidikan jenis bahan<br />

beracun lain yang juga bersumber dari industri,<br />

seperti yang sudah teridentifikasi dalam investigasi ini.<br />

Peraturan pembuangan limbah industri di Indonesia<br />

masih terbatas, dan sangat sedikit terjadi penegakan<br />

hukum. Peraturan yang ada mengandalkan baku<br />

mutu untuk sejumlah parameter umum yang sangat<br />

terbatas, dan tidak ada mekanisme komprehensif<br />

untuk mengidentifikasi dan menghentikan<br />

penggunaan dan pembuangan bahan kimia<br />

berbahaya. Transparansi juga menjadi masalah<br />

lain; bahkan saat ini tidak ada akses mudah<br />

bagi masyarakat atas informasi pengawasan air<br />

limbah. Detail izin pembuangan limbah, lokasi pipa<br />

pembuangan dan data pengawasan untuk memeriksa<br />

apakah sebuah fasilitas produksi sudah memenuhi<br />

regulasi atau belum, juga tidak tersedia secara umum.<br />

Fasilitas PT Gistex hanyalah satu contoh<br />

terhadap masalah yang lebih luas lagi terkait<br />

bahan berbahaya beracun yang dibuang oleh<br />

pabrik manufaktur tekstil, serta sektor industri<br />

lainnya. Indonesia adalah negara dimana hanya<br />

sedikit informasi tersedia mengenai penggunaan<br />

bahan berbahaya beracun dalam proses produksi<br />

atau pembuangan limbahnya. Tanggung jawab untuk<br />

mengatasi masalah ini tidak saja berada di pundak<br />

pabrik dan pemerintah, tapi juga merek-merek<br />

ternama yang manjadi salah satu mata rantai penting<br />

dalam industri ini.<br />

6 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Bab Satu<br />

BOX 1<br />

Fashion –<br />

Bisnis Kotor<br />

Investigasi ini menyusul enam laporan Greenpeace<br />

International sebelumnya --Dirty Laundry, Dirty<br />

Laundry 2: Hung Out To Dry, dan Dirty Laundry<br />

Reloaded; dan yang terbaru <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: The<br />

Big Fashion Stitch-Up, <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Putting<br />

Pollution on Parade dan <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong> 3: Under<br />

Wraps 9 – yang menyelidiki pembuangan limbah<br />

bahan berbahaya beracun dari perusahaan<br />

manufaktur tekstil dan ditemukannya juga materi<br />

tersebut dalam produk akhir pakaian dan sepatu.<br />

Dirty Laundry mengungkap rangkaian bahan<br />

berbahaya dibuang ke Sungai Yangtze dan<br />

Pearl oleh dua perusahaan manufaktur tekstil<br />

di China yang punya kaitan komersial denga<br />

banyak merek-merek busana besar. 10 Lebih<br />

lanjut, seperti yang ditegaskan di laporan <strong>Toxic</strong><br />

<strong>Threads</strong>: Putting Pollution on Parade dan <strong>Toxic</strong><br />

<strong>Threads</strong>: Under Wraps, Greenpeace menemukan<br />

rangkaian bahan berbahaya dibuang dari dua<br />

kawasan industri di China dimana terdapat<br />

banyak perusahaan manufaktur tekstil, serta dari<br />

dua pabrik manufaktur tekstil di Mexico. 11<br />

Penelitian lainnya menguji sampel untuk<br />

membuktikan adanya substansi berbahaya di<br />

produk-produk pakaian jadi. Dipadukan, laporan<br />

ini memperlihatkan pembuangan bahan kimia<br />

berbahaya --terutama NP/NPE—sebagai dua<br />

masalah dalam rantai tekstil. Pertama, bahwa<br />

ditemukannya bahan-bahan kimia berbahaya di<br />

produk akhir memperlihatkan bahwa bahan ini<br />

digunakan oleh pabrik manufaktur –akibatnya<br />

kemudian dibuang di negara tempat limbah<br />

dilepaskan, seperti kasus yang kita temukan<br />

di dua pabrik dalam Dirty Laundry. Kedua,<br />

banyak dari substansi ini bisa terus mencemari<br />

lingkungan dan badan air di seluruh dunia, di<br />

manapun produk ini dijual dan dicuci. 12<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 7


Bab Satu<br />

Pentingnya<br />

Kepemimpinan<br />

Perusahaan<br />

Investigasi Greenpeace International mengungkap<br />

ada beberapa merek fashion global yang pernah<br />

mempunyai hubungan bisnis baru baru ini dengan,<br />

setidaknya satu bagian dari –PT Gistex Group—<br />

perusahaan yang terasosiasi dengan pabrik yang<br />

melakukan pencemaran (Divisi Tekstil PT. Gistex)<br />

di Indonesia, dimana Greenpeace melakukan<br />

penyampelan di tahun 2012.<br />

Gap Inc. (yang memiliki merek Gap, Old Navy dan<br />

Banana Republic) belum secara kredibel mengambil<br />

tanggung jawab terhadap jejak limbah beracun mereka<br />

di berbagai tempat di dunia dunia. Sepanjang tahun<br />

lalu, Ia telah beberapa kali diminta oleh Greenpeace<br />

, untuk menyetujui komitmen Detox dan dikaitkan<br />

dengan beberapa skandal polusi 13 . Kurangnya<br />

pertanggungjawaban dari GAP merupakan ancaman<br />

tidak saja bagi Sungai Citarum dan sistem sungai lain<br />

–dan tentu saja masyarakat yang bergantung pada<br />

sungai itu—tetapi juga menimbulkan tanda tanya<br />

apakah Gap layak disebut sebagai perusahaan yang<br />

sadar lingkungan dan sosial.<br />

Hampir mirip, perusahaan asal Jepang Marubeni<br />

Corporation – yang menolak untuk menanggapi<br />

beragam permintaan kami untuk memberi kejelasan<br />

hubungan bisnis mereka dengan PT Gistex Group<br />

–harus mengambil langkah nyata segera untuk<br />

memastikan operasi globalnya tidak menyebabkan<br />

perusakan lingkungan akibat pembuangan bahan<br />

berbahaya dan meningkatkan transparansi mengenai<br />

pemasok mereka dan dampak yang diakibatkan proses<br />

produksi mereka terhadap lingkungan setempat.<br />

Brooks Brothers – perusahaan yang menyediakan<br />

busana bagi 39 dari 44 presiden Amerika Serikat<br />

(termasuk Presiden Obama) – mengakui hubungan<br />

bisnis dengan bagian dari PT Gistex Group. Kami<br />

meminta perusahaan ini mengambil langkah nyata<br />

untuk komitmen Detox yang ambisius.<br />

Merek lain yang sudah mengeluarkan komitmen untuk<br />

men-Detox rantai produksi dan produk mereka, termasuk<br />

Adidas Group dan H&M, juga ditemukan pernah punya<br />

hubungan bisnis dengan PT Gistex Group.<br />

Adidas Group gagal mengungkapkan secara tertulis<br />

tentang hubungan bisnis langsung maupun tak langsung<br />

dengan PT Gistex Group 14 Namun, ia mengakui<br />

adanya hubungan dengan PT. Gistex Garment Division<br />

(keterangan selengkapnya lihat di halaman 32-33).<br />

Pada Olimpiade London 2012 Adidas Group<br />

mengindikasikan bahwa mereka ingin “...jujur dan<br />

terbuka dan...menunjukkan praktik yang baik terkait<br />

pengungkapan rantai produksi... “. 15 Tetapi kurangnya<br />

transparansi komprehensif terkait pemasok dan<br />

pembuangan limbah, dan kegagalan Adidas untuk<br />

melakukan langkah nyata ambisius di lapangan<br />

sejak mengeluarkan komitmen Detox pada 2011 --<br />

melecehkan pernyataan perusahaan itu. Kurangnya<br />

transparansi industri fashion seperti inilah yang<br />

membuat pembuangan bahan-bahan kimia berbahaya<br />

secara sengaja oleh pemasok tekstil terus terjadi.<br />

Harapan konsumen bagi merek-merek ini untuk lebih<br />

transparan terhadap praktek bisnis mereka semakin<br />

tinggi, dan langkah yang diambil H&M baru-baru<br />

ini untuk membuka informasi kepada publik terkait<br />

rantai produksi gloal mereka adalah sebuah langkah<br />

awal penting dan patut diapresiasi. 16 H&M sekarang<br />

harus melanjutkan langkah ini dengan pengungkapan<br />

komprehensif bahan-bahan kimia berbahaya apa saja<br />

yang digunakan oleh setiap pabrik pemasok mereka,<br />

secara facility-by-facility dan chemical-by-chemical.<br />

H&M juga harus membuat data pencemaran ini<br />

mudah diakses (melalui pemasok mereka) oleh publik<br />

menggunakan sarana online, seperti skema IPE 17 .<br />

Kecuali bila perusahaan seperti Gap Inc., Adidas<br />

Group dan Marubeni melakukan langkah nyata segera<br />

dan bekerja secara proaktif dengan pemasok mereka<br />

untuk menyediakan informasi pencemaran kepada<br />

para konsumen dan masyarakat yang memang punya<br />

hak untuk tahu, proses eliminasi pembuangan bahan<br />

kimia berbahaya ke dalam sumber air yang berharga<br />

tidak akan berhasil secepat yang diperlukan. Tanpa<br />

informasi bahan kimia berbahaya yang dibuang<br />

pemasok ke sistem air setempat, pencemaran ini<br />

akan terus terjadi, dan tanggung jawab perusahaanperusahaan<br />

ini akan terus dipertanyakan.<br />

Untuk membantu mengatasi masalah pencemaran<br />

bahan-bahan kimia berbahaya, keterbukaan informasi<br />

antara pemasok dan merek – juga usaha merangkul<br />

partisipasi pemasok melalui inventaris penggunaan<br />

bahan berbahaya—sangat penting. Kebijakan<br />

perusahaan dan pemerintah untuk eliminasi pelepasan<br />

bahan berbahaya, beracun dan pencarian alternatif<br />

subtitusi yang lebih aman, harus ditegakkan. Langkah<br />

penting selanjutnya bagi semua perusahaan –termasuk<br />

8 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Bab Satu<br />

merek-merek yang terkait dengan PT Gistex—adalah<br />

melakukan identifikasi penggunaan bahan-bahan kimia<br />

di seluruh proes produksi, dan menjaring bahan kimia<br />

itu dalam cara yang terbuka dan transparan, demi<br />

mengidentifikasi bahan kimia yang mengandung unsur<br />

berbahaya, baik bagi kesehatan maupun lingkungan.<br />

Proses ini akan memfasilitasi subtitusi dan eliminasi<br />

penggunaan bahan berbahaya beracun, kemudian<br />

mendorong revolusi keterbukaan informasi yang<br />

sedang terjadi di dalam industri ini, sertamembantu<br />

terwujudnya badan air setempat sebagai sumber air<br />

yang aman dan bersih.<br />

Tidak kalah penting adalah mewujudkan adanya<br />

fasilitas penuh pengungkapan pada publik,<br />

sejalan dengan prinsip hak untuk tahu. 18 Ini akan<br />

menciptakan kesadaran yang lebih luas dan dalam<br />

pada masyarakat yang terkena dampak pencemaran<br />

limbah beracun, dan menyediakan informasi yang<br />

sangat dibutuhkan organisasi masyarakat sipil dan<br />

pembuat kebijakan. 19<br />

Pengetahuan masyarakat terhadap penggunaan<br />

dan pembuangan bahan-bahan berbahaya oleh<br />

industri akan meningkatkan tekanan demi adanya<br />

hukum pengelolaan bahan kimia yang komprehensif,<br />

yang mencakup semua sektor industri, tidak hanya<br />

sektor manufaktur tekstil. Karenanya, program ini<br />

perlu disusun oleh pemerintah Indonesia, dan harus<br />

mencakup aksi untuk menghilangkan penggunaan<br />

bahan-bahan berbahaya dan mencapai keterbukaan<br />

publik mengenai pembuangan industri yang lebih<br />

luas.<br />

Peranan “Suara Publik”<br />

Sebagai warga dunia dan konsumen kita bisa<br />

menggunakan pengaruh untuk memainkan peran kunci<br />

guna mewujudkan masa depan bebas limbah beracun.<br />

Sejak diluncurkannya kampanye Detox pada Juli 2011,<br />

lebih dari setengah juta fashionista, aktivis, perancang<br />

busana dan blogger bersatu padu, disatukan oleh<br />

kepercayaan bahwa indahnya dunia fashion tidak perlu<br />

mengorbankan bumi.<br />

Bersama-sama, kita berhasil meyakinkan merek-merek<br />

besar –termasuk Zara, Mango dan Valentino—untuk<br />

berkomitmen membersihkan produk mereka, dan<br />

bekerja dengan pemasok mereka memastikan tidak ada<br />

lagi bahan kimia berbahaya digunakan untuk membuat<br />

pakaian yang kita kenakan.<br />

Kerja kita masih jauh dari selesai. Masih banyak lagi<br />

merek yang harus mengikuti komitmen ini, dan bagi<br />

mereka yang sudah mengeluarkan komitmen harus<br />

mulai melakukan langkah nyata di tempat yang paling<br />

berpengaruh – di lapangan, dimana dampak dari<br />

pencemaran itu paling terasa.<br />

Meski demikian, sukses hingga saat ini membuktikan<br />

satu hal: bahwa ketika kita bersatu padu, merek-merek<br />

besar dan pembuat kebijakan akan mendengarkan kita.<br />

Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana suara Anda<br />

berarti, kunjungi situs:<br />

www.greenpeace.org/detox<br />

Gambar. Aktivis Greenpeace<br />

mengenakan pakaian pelindung<br />

melakukan aksi protes di Curug<br />

Jompong, Citarum. Hasil uji<br />

menunjukkan bahwa limbah<br />

cair yang mengalir ke tempat ini<br />

mengandung bahan kimia beracun.<br />

Limbah PT. Gistex di buang ke<br />

Sungai Citarum masuk ke Curug<br />

Jompong.<br />

image © Donang Wahyu / Greenpeace<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 9


oth images © Andri Tambunan / Greenpeace<br />

10


Gambar. Pabrik PT. Gistex,<br />

limbah cair yang ia keluarkan<br />

mengandung bahan<br />

berbahaya beracun, dan<br />

dibuang langsung ke Sungai<br />

Citarum.<br />

<strong>Toxic</strong><br />

<strong>Threads</strong><br />

#2<br />

Investigasi Perusahaan<br />

Manufaktur Tekstil Polyester di<br />

Indonesia<br />

PT Gistex terletak di dekat Desa Lagadar,<br />

Margaasih, sebelah barat Kota Bandung<br />

yang merupakan ibukota Provinsi<br />

Jawa Barat dan kota terbesar ketiga<br />

di Indonesia. Industri di kawasan hulu<br />

Citarum, yang masuk dalam Kabupaten<br />

Bandung, didominasi oleh perusahaan<br />

tekstil, dimana jumlahnya mencapai<br />

68% dari keseluruhan industri pabrik<br />

di kawasan ini, total ada 446 pabrik<br />

tekstil di kawasan hulu Citarum. 20 Tekstil<br />

dan pakaian jadi adalah bagian penting<br />

dari ekonomi Kota Bandung, yang juga<br />

mengandalkan turisme, teknologi dan<br />

perkebunan/pertanian.<br />

PT Gistex didirikan pada 1975 di Kota Bandung, dan<br />

pada 2007 telah mempunyai delapan pabrik dengan<br />

3.000 karyawan, memproduksi 12 juta potong pakaian<br />

per tahun dan 6 juta yard (sekitar 5,5 juta meter) bahan<br />

pakaian per bulan. 21 Menjadikan perusahaan ini sebagai<br />

salah satu perusahaan pembuatan (manufaktur)<br />

terbesar di Bandung, dengan fokus pada tekstil,<br />

garmen dan busana. Produk mereka diekspor ke<br />

berbagai penjuru dunia. 22 Di Indonesia saat ini mereka<br />

mempunyai enam lokasi fasilitas, dimana Kantor Pusat,<br />

Divisi Tekstil dan Garmen berlokasi di Bandung. 23<br />

Divisi Tekstil PT Gistex yang diinvestigasi dalam laporan ini<br />

bertanggung jawab mengerjakan penenunan polyester,<br />

dan pemrosesan basah seperti pewarnaan, pencetakan,<br />

dan penyempurnaan polyester. Kapasitas pemrosesan<br />

tekstil mereka diperbesar pada 2000 untuk bisa<br />

mencapai 3,5 juta yard (sekitar 3,2 meter) per bulan. 24<br />

Lokasi Geografis Fasilitas PT Gistex<br />

Gistex<br />

Head Office<br />

Citarum River<br />

PT Gistex<br />

Textile Division<br />

BANDUNG<br />

The Citarum River, West Java.<br />

1mile<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 11


Bab Dua<br />

Fasilitas pabrik PT Gistex berbatasan dengan<br />

perumahan penduduk dan peternakan, sungai Citarum<br />

ada di sebelah selatan pabrik. Limbah dari proses<br />

tekstilnya dilaporkan telah ditangani dengan instalasi<br />

pengolahan air limbah (IPAL), sebelum akhirnya dialirkan<br />

ke sungai melalui pipa pembuangan utama yang terletak<br />

di teras. Ada dua titik pembuangan (outfall) lain selain<br />

pipa pembuangan utama itu, yang sesekali digunakan<br />

untuk membuang air limbah, meski tidak jelas dari titik<br />

mana di dalam pabrik air itu berasal. Menurut peraturan<br />

di Indonesia, pipa pembuangan air limbah atau titik<br />

pembuangan membutuhkan izin 25 , dengan baku mutu<br />

tertentu yang hanya mengatur beberapa parameter<br />

umum <strong>26</strong> Kenyataannya, sangat sulit untuk mendapat<br />

informasi mengenai izin pembuangan individual dari<br />

pabrik atau pipa pembuangan tertentu. Karenanya,<br />

status legalitas dari pipa pembuangan limbah air PT<br />

Gistex, dan level polusi yang diizinkan untuk dibuang ke<br />

Sungai Citarum, tidak diketahui oleh publik.<br />

Ketiga pipa pembuangan itu mengalirkan limbah<br />

langsung ke sungai. Berdasarkan pemantauan, terlihat<br />

pipa pembuangan utama secara terus menerus<br />

membuang limbah pada jam-jam operasi, sementara<br />

dua pembuangan lain terlihat membuang limbah<br />

sekali-sekali, dan secara kasat mata limbah yang<br />

keluar dari dua pembuangan itu berbeda dari yang<br />

keluar dari pipa pembuangan utama. Mengalir menuju<br />

Air Terjun Jompong (Curug Jompong). Di tempat ini,<br />

penduduk lokal dan aktivis Greenpeace Asia Tenggara<br />

menjadi saksi akan menyaksikan busa dalam jumlah<br />

besar –mengambang di air berwarna hitam—dalam<br />

berbagai kesempatan terutama terjadi saat musim<br />

kering. Dilaporkan juga ada bau yang menyengat, yang<br />

baunya semakin kuat saat malam hari – terutama bagi<br />

penduduk sekitar yang tinggal dalam rumah-rumah<br />

tradisional Indonesia yang tidak terbuat dari batu bata.<br />

Industri di kawasan hulu Citarum,<br />

yang masuk dalam Kabupaten<br />

Bandung, didominasi oleh<br />

perusahaan tekstil, dimana<br />

jumlahnya mencapai 68% dari<br />

keseluruhan pabrik/industri di<br />

kawasan ini, total ada 446 pabrik<br />

tekstil di kawasan hulu Citarum.<br />

BOX 2<br />

PT. Gistex – Riwayat<br />

Pencemaran<br />

PT. Gistex dievaluasi langsung oleh Kementrian<br />

Lingkungan Hidup (KLH) dalam program<br />

“PROPER” (lihat Bab 4 untuk PROPER). Pada<br />

tahun 2009/10, PT. Gistex mendapatkan<br />

predikat “merah”, yang menandakan<br />

ketidakpatuhan pada regulasi lingkungan<br />

hidup 27 . Di tahun 2010/11, perusahaan tersebut<br />

mendapatkan perbaikan predikat menjadi “biru”<br />

bersama beberapa pabrik tekstil lainnya, yang<br />

menunjukkan kepatuhan regulasi tersebut 28 .<br />

Namun disayangkan, informasi yang tersedia<br />

bagi masyarakat hanyalah sebatas klasifikasi<br />

kode warna. Penjelasan kongkrit tetang tipe,<br />

jumlah, konsentrasi dan lokasi pelepasan polutan<br />

tidak tersedia, walau pada parameter yang<br />

terbatas sekalipun. Alasan spesifik penetapan<br />

ketidakpatuhan di tahun 2009/10 juga tidak<br />

diketahui.<br />

Pada bulan November 2009, pertikaian terjadi<br />

antara PT Gistex dan komunitas Margaasih.<br />

Komunitas tersebut meminta kompensasi dalam<br />

bentuk asuransi kesehatan akibat pembangunan<br />

cerobong asap tanpa konsultasi, mengeluhkan<br />

bahwa masyarakat mengalami gangguan alat<br />

pernafasan, seperti batuk nyeri akibat bau<br />

dan debu yang tebal dari cerobong. Menurut<br />

penduduk, limbah dan polusi udara serta air<br />

dari pabrik telah merusak lingkungan selama<br />

bertahun-tahun. Dewan Perwakilan Rakyat<br />

(DPR) melakukan mediasi diskusi tripartit antara<br />

PT. Gistex, KLH dan masyarakat. Pada sebuah<br />

media lokal Direktur PT. Gistex mengungkapkan:<br />

“Kami yakin bahwa perusahaan kami ini tidak<br />

melakukan perusakan lingkungan. Karena kami<br />

telah mendapat predikat biru dari Kementrian<br />

Lingkungan Hidup (…) Sedangkan untuk<br />

kompensasi yang lainnya, kita bisa bicara dari<br />

hati ke hati karena kita kan tetangga dekat” 29<br />

Hasil akhir dari pertemuan tripartit tersebut tidak<br />

diketahui.<br />

12 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Bab Dua<br />

Gambar Limbah cair<br />

industri, dibuang ke Sungai<br />

Citarum oleh pabrik PT.<br />

Gistex.<br />

Hasil Investigasi<br />

Empat sampel air limbah dikumpulkan pada 2 (dua)<br />

hari yang berbeda dari outfall fasilitas PT. Gistex<br />

yang mengalir ke Sungai Citarum. Sebuah sampel<br />

diambil dari outfall utama pada tanggal 12 Mei 2012<br />

pk. 8.30 WIB dan berikutnya di tanggal 14 Mei 2012<br />

pada pk. 10.10 WIB, diikuti dengan sampel dari dua<br />

outfall lainnya pada pk. 10.20 WIB.<br />

Terdapat aliran limbah cair yang deras dari pipa<br />

utama, berwarna kecoklatan dan sebagian berbusa.<br />

Buangan limbah dari 2 (dua) outfall lainnya terjadi<br />

bergiliran, yang secara umum derasnya aliran lebih<br />

lemah daripada outfall utama, serta limbah cair yang<br />

dikeluarkan tampak berbeda (tidak keruh dan tidak<br />

berwarna).<br />

Semua sampel dianalisa di Laboratorium<br />

Riset Greenpeace (Universitas Exeter, Inggris),<br />

menggunakan analisa kualitatif untuk mendeteksi<br />

keberadaan (walau bukan konsentrasinya) dari<br />

senyawa organik semi-volatile dan volatile, serta<br />

konsentrasi dari berbagai logam dan metaloid.<br />

Beragam bahan kimia teridentifikasi dalam<br />

sampel limbah cair tersebut. Banyak diantaranya<br />

merupakan bahan kimia yang dikenal memiliki sifat<br />

berbahaya, termasuk yang bersifat toksik terhadap<br />

kehidupan akuatik, persisten (sulit terurai) dan dapat<br />

terakumulasi pada tubuh mahluk hidup. Temuan<br />

utama untuk fasilitas pabrik ini di rangkum sebagai<br />

berikut :<br />

Outfall utama – bahan-bahan kimia yang<br />

ditemukan di dalam sampel limbah cair<br />

termasuk :<br />

• nonylphenol (NP), kontaminan lingkungan yang<br />

sudah terkenal bersifat persisten dengan sifat<br />

mengganggu kerja hormon, serta ditemukan<br />

jenis-jenis nonylphenol ethoxylates (NPEs),<br />

yang digunakan sebagai deterjen dan surfaktan<br />

pada produksi dan pencucian tekstil, dimana NPE<br />

kemudian akan terurai menjadi NP.<br />

• tributyl phosphate (TBP), sebuah materi kimia<br />

berbahaya yang digunakan pada industri tekstil<br />

sebagai carrier untuk cat tertentu, sebagai<br />

plasticiser dan antifoaming agent, dimana materi<br />

ini bersifat beracun bagi kehidupan akuatik dan<br />

persiten taraf sedang.<br />

• terdapat antimony terlarut dalam konsentrasi<br />

image © Andri Tambunan / Greenpeace<br />

yang tinggi, sebuah metaloid toksik yang<br />

digunakan dalam produksi polyester; serta<br />

• beragam senyawa lain, namun tidak tersedia<br />

banyak informasi tentang toksisitasnya, beberapa<br />

diantaranya adalah senyawa terkait quinoline yang<br />

sering diasosiasikan dengan penggunaan cat serta<br />

eter-eter etilen glikol.<br />

Outfall lainnya – bahan-bahan kimia yang<br />

ditemukan dalam sampel limbah cair termasuk :<br />

• Air limbah yang dikeluarkan dari salah satu outfall<br />

lainnya yang lebih kecil bersifat sangat basa<br />

(pH14), membahayakan perairan dan organisme<br />

yang berkontak dengannya. Limbah tersebut<br />

juga mengandung asam p-terephthalic (bahan<br />

baku yang digunakan dalam produksi PET<br />

Polyester), hal ini menunjukkan bahwa limbah cair<br />

tersebut bahkan belum menerima pengolahan<br />

yang paling mendasar sekalipun sebelum<br />

dibuang ke badan air. Limbah cair dengan nilai<br />

pH 14 dapat menyebabkan sejenis luka bakar<br />

pada kulit manusia yang berkontak langsung.<br />

Limbah tersebut juga sangat berbahaya (bahkan<br />

fatal) terhadap kehidupan akuatik disekitar area<br />

pembuangan limbah. Ditemukan pula konsentrasi<br />

antimony yang tinggi.<br />

Lebih lanjut, banyak materi kimia yang diisolasi<br />

dari sampel tidak dapat diidentifikasi secara pasti,<br />

sebuah karakteristik yang umum pada buangan<br />

industri yang kompleks. Akibatnya, sifat dan<br />

dampak yang mungkin muncul dari bahan-bahan<br />

kimia tersebut tidak dapat ditelusuri.<br />

Investigasi ini menunjukkan penggunaan dan<br />

pembuangan bahan kimia berbahaya dari fasilitas<br />

PT. Gistex. Bahan kimia yang ditemukan merupakan<br />

percampuran berbagai bahan yang telah dikenal<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 13


Bab Dua<br />

berbahaya, namun yang paling mendominasi<br />

adalah keberadaan NP dan berbagai NPE. Dalam<br />

IPAL atau setelah dilepaskan ke alam, berbagai<br />

NPE akan terurai menjadi NP, sebuah bentuk yang<br />

lebih toksik, sangat sulit terdegradasi sehingga<br />

bersifat persisten di alam (lihat Box 3). Di berbagai<br />

negara, senyawa-senyawa ini diregulasi baik<br />

produksi, penggunaan dan pembuangannya,<br />

dikarenakan sifat toksik, persisten dan resiko<br />

bioakumulatif NP.<br />

Riset ini juga menyoroti manajemen yang buruk<br />

dari sebagian limbah di fasilitas ini. Sebagai<br />

contoh, tidak dilakukan pengolahan dasar untuk<br />

menetralkan limbah yang sangat basa (alkalin)<br />

dan penanganan asam p-terephthalic dalam<br />

sampel dari salah satu outfall yang lebih kecil.<br />

Namun, perbaikan pengolahan IPAL saja, tidak<br />

akan menyelesaikan masalah penggunaan bahan<br />

kimia berbahaya. Limbah cair yang mengandung<br />

berbagai NPE dan NP dan bahan berbahaya lain<br />

termasuk logam seperti antimony, tidak dapat<br />

diolah secara efektif dengan proses pengolahan<br />

limbah cair konvensional.<br />

Secara umum riset ini telah menunjukkan bahwa<br />

fasilitas PT. Gistex menjadi contoh nyata akan<br />

penggunaan dan pembuangan bahan kimia<br />

berbahaya dari produsen tekstil di Indonesia.<br />

Jumlah sampel yang tidak banyak dari satu buah<br />

fasilitas pabrik saja, tidak dapat mewakili limbah cair<br />

yang dilepaskan industri tekstil di seluruh Indonesia,<br />

namun ia dapat menjadi ilustrasi terhadap masalah<br />

yang jauh lebih luas dari buangan limbah kimia<br />

berbahaya sektor ini.<br />

BOX 3<br />

Nonylphenol (NP) and<br />

Nonylphenolethoxylates<br />

(NPEs) 30<br />

Nonylphenol (NP): Salah satu kegunaan NP adalah<br />

untuk produksi berbagai NPE. Setelah digunakan,<br />

NPE akan terurai kembali menjadi NP. NP telah<br />

dikenal dengan sifatnya yang persisten, bioakumulatif<br />

dan toksik, termasuk resikonya dalam mengganggu<br />

kerja hormon. NP diketahui dapat terakumulasi dalam<br />

jaringan tubuh ikan dan berbagai organisme lainnya.<br />

Belakangan ini, NP juga terdeteksi dalam jaringan<br />

tubuh manusia.<br />

Nonylphenolethoxylates (NPEs): NPE adalah<br />

kelompok bahan kimia buatan manusia; mereka<br />

tidak terbentuk di alam. Bahan ini digunakan secara<br />

luas sebagai deterjen dan surfaktan, termasuk dalam<br />

berbagai formulasi bahan yang digunakan produsen<br />

tekstil. NPE akan terurai kembali menjadi nonylphenol<br />

saat dilepaskan ke IPAL atau saat langsung dibuang<br />

ke lingkungan.<br />

Di Indonesia, baik produksi, penggunaan maupun<br />

pembuangan NP dan NPE tidak diatur dalam regulasi<br />

secara nasional. Padahal bahan ini sudah lama<br />

diregulasi di kawasan lain.<br />

NP dan berbagai jenis NPE dimasukan kedalam<br />

daftar awal dari bahan kimia yang diprioritaskan<br />

untuk ditindak lanjuti demi mencapai target konvensi<br />

OSPAR, demi mengakhiri pembuangan, emisi dan<br />

lolosnya semua bahan berbahaya ke laut di kawasan<br />

TimurLaut Atlantik pada tahun 2020. NP juga telah<br />

masuk ke dalam “bahan berbahaya prioritas” di<br />

bawah EU Water Framework Directive. Lebih lanjut, di<br />

Uni Eropa sejak Januari 2005 produk (formulasi yang<br />

digunakan industri) yang mengandung lebih dari 0.1%<br />

dari NP atau NPE dapat dilarang dipasarkan, dengan<br />

hanya pengecualian minor. 31<br />

Pembatasan penjualan produk tekstil impor yang<br />

mengandung residu berbagai jenis NPE saat ini<br />

belum ada di kawasan Uni Eropa, atau tempat lainnya,<br />

namun regulasi seperti itu telah diajukan oleh salah<br />

satu anggota EU, yaitu Swedia. Lebih lanjut, Jerman<br />

mengajukan penambahan NP dan bahan sejenis,<br />

t-OP, sebagai Substances of Very High Concern<br />

(SVHC) di bawah regulasi REACH EU, dengan tujuan<br />

menghapuskan penggunaannya secara bertahap<br />

(dengan kemungkinan pengecualian).<br />

14 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


chapter xxx<br />

BOX 4<br />

Tributyl phosphate (TBP) 32<br />

TBP memiliki beragam kegunaan industri, termasuk<br />

sebagai carrier untuk cat tertentu, sebagai plasticiser<br />

pada plastik dan tekstil, serta sebagai antifoaming<br />

agent.<br />

TBP tidak tercipta secara alami di lingkungan,<br />

namun telah terdeteksi di perairan dan sedimen air<br />

tawar. TBP juga bersifat toksik terhadap kehidupan<br />

akuatik dan persisten tahap sedang. Bahan ini telah<br />

terdeteksi di limbah keluaran dari IPAL, termasuk<br />

limbah produksi tekstil.<br />

TBP telah diklasifikasikan dalam Globally Harmonised<br />

System (GHS) dengan label berbahaya bila ditelan,<br />

menyebabkan iritasi kulit dan diduga menyebabkan<br />

kanker.<br />

BOX 5<br />

Antimony 33<br />

Sebagai tambahan telah teridentifikasi antimony<br />

terlarut dalam konsentrasi tinggi dari outfall utama<br />

dan salah satu outfall pendamping, termasuk<br />

antimony yang terikat dengan partikel yang<br />

tersuspensi dalam limbah cair.<br />

Proses polimerisasi yang digunakan untuk<br />

memproduksi PET umumnnya dikatalisasi oleh<br />

antimony trioxide, yang biasanya akan menghasilkan<br />

limbah cair yang mengandung antimony. Lebih<br />

lanjut, serat-serat polyester biasanya mengandung<br />

residu antimomy trioxide yang digunakan pada<br />

proses pembuatannya. Serat ini memiliki tegangan<br />

permukaan yang tinggi dan tertempa kondisi yang<br />

keras, saat antimony trioxide dapat masuk air proses.<br />

Senyawa antimony diasosiasikan dengan dermatitis/<br />

radang kulit dan iritasi pada saluran pernafasan,<br />

begitupula mengganggu fungsi normal sistem imun.<br />

Lebih lanjut, antimony trioxide telah didaftarkan oleh<br />

International Agency for Research on Cancer sebagai<br />

materi yang “dapat bersifat karsinogenik terhadap<br />

manusia”, melalui menghirup debu dan uap pada jalur<br />

pemaparan kritis.<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 15


section one<br />

both images © Andri Tambunan / Greenpeace<br />

16 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Gambar Limbah di Sungai<br />

Citarum.<br />

Gambar Sisipan Seorang<br />

anak perempuan berjalan di<br />

tepi sungai, di Citeureup.<br />

<strong>Toxic</strong><br />

<strong>Threads</strong><br />

#3<br />

Polusi Terlihat dan<br />

Tak Terlihat di Sungai-<br />

Sungai Indonesia<br />

Sumber-sumber air bersih di Indonesia sangat<br />

melimpah, mencakup 21% dari total sumber<br />

air di seluruh kawasan Asia Pasifik. 34 Saat ini<br />

kebutuhan air bersih di Indonesia sangat besar.<br />

Di Pulau Jawa, pembangunan yang pesat,<br />

perubahan tatakelola lahan yang cepat, serta<br />

ekspansi terus menerus dari industri ekstraktif<br />

berkontribusi untuk menyebabkan defisit air. 35<br />

Di Indonesia ada lebih dari 5.590 sungai 36 ,<br />

tetapi menurut laporan dari pemerintah<br />

Indonesia pada 2003 37 , “sebagian besar<br />

sungai utama di Jawa sudah terpolusi cukup<br />

parah ditambah akibat buruknya pengelolaan<br />

sampah domestik dan terutama pembuangan<br />

limbah industri yang tidak terkontrol”.<br />

Laporan lain juga memperlihatkan bahwa polusi<br />

dari berbagai sumber adalah masalah yang sedang<br />

dihadapi, bahkan makin lama makin meningkat, di<br />

berbagai daerah pada beberapa dekade terakhir. 38<br />

Bahan beracun dan sampah berbahaya dikategorikan<br />

oleh pmerintah sebagai ancaman jangka panjang<br />

yang jauh lebih serius terhadap kesejahteraan dan<br />

kesehatan manusia dibanding sampah domestik. 39<br />

Misalnya sampel yang diambil dari air tanah di Jakarta<br />

dan kehidupan laut di Teluk Jakarta, menunjukkan<br />

bukti adanya kontaminasi dari bahan logam beracun<br />

seperti merkuri. 40 Logam berat juga dilaporkan telah<br />

mengkontaminasi secara luas sedimen-sedimen<br />

pesisir Indonesia, dimana konsentrasi tertingginya<br />

tercatat berada di kawasan pesisir utara Jawa dan<br />

kawasan pesisir timur Sumatra. 41<br />

Pertumbuhan industri dan penduduk banyak<br />

berlokasi di tepi sungai, yang menjadi tempat umum<br />

untuk membuang limbah domestik dan industri,<br />

dan banyak kasus tanpa pengolahan sama sekali.<br />

Sungai-sungai yang terkenal mengalami polusi parah<br />

adalah sungai Ciliwung 42 dan Batang Arau 43 . Sungai<br />

Ciliwung dan Cikaniki di Jawa Barat saat ini dalam<br />

kondisi mngenaskan akibat polusi logam, organik<br />

dan fecal,dimana level limbah logam cadmium<br />

memperlihatkan besarnya dampak yang ditimbulkan<br />

oleh polusi industri. Tingginya level merkuri di sedimen<br />

Sungai Cikaniki dan sampel padi yang menimbulkan<br />

resiko tinggi pada kesehatan manusia, dikaitkan<br />

dengan praktik pertambangan emas liar. 44 Tetapi dari<br />

semua fakta di atas, Sungai Citarumlah yang dilaporkan<br />

dan dikenal secara luas sebagai salah satu sungai<br />

terkotor di dunia. 45<br />

Gambar Warga Ciwalengke<br />

menimba air dari sumur<br />

terdekat, bersumber dari air<br />

sungai.<br />

image © Andri Tambunan / Greenpeace<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 17


Bab Tiga<br />

Sungai Citarum<br />

Tempat Pembuangan Favorit<br />

Citarum adalah sungai terbesar di Jawa Barat,<br />

Indonesia, bersumber dari puncak gunung vulkanik<br />

di kawasan pesisir selatan Jawa, mengalir ke arah<br />

barat laut sejauh 270km. Pada 200km pertama sungai<br />

mengalir melalui dataran bergunung-gunung dan<br />

berbukit, kemudian melalui tiga air terjun bendungan,<br />

dan pada 70km berikut mengirigasi tanah dataran<br />

yang luas sebelum berakhir di Laut Jawa di sebelah<br />

timur Jakarta. 46 Karakter iklimnya dibagi dalam dua<br />

garis besar musim: musim hujan pada November<br />

hingga <strong>April</strong>, dan selebihnya adalah musim kering.<br />

Banjir adalah kejadian yang biasa, terutama di musim<br />

penghujan. Citarum memiliki peran penting di kawasan<br />

ini sebagai sumber air bagi pertanian, rumah tangga,<br />

industri, dan sebagai saluran pmbuangan. Citarum juga<br />

menyediakan energi bagi tiga bendungan listrik tenaga<br />

air, dan menurut laporan menyumbang hingga 20%<br />

pendapatan domestik kotor (gross domestic product)<br />

serta 80% permukaan airnya, melalui Kanal Tarum<br />

Barat, menyuplai sumber air minum Jakarta. 47 Air dari<br />

sungai digunakan untuk irigasi ratusan ribu hektar padi<br />

dan sayuran, dan menyuplai air minum bagi kota-kota<br />

besar termasuk Bandung dan Jakarta. Hampir 40 juta<br />

orang bergantung pada sungai Citarum. 48 Pada 1984,<br />

pemerintah mengidentifikasi Citarum sebagai “sungai<br />

super prioritas”. 49<br />

Pertumbuhan penduduk dan pembangunan industri<br />

sejak 1980-an, polusi dari pertanian dan perusakan<br />

hutan menjadi penyebab erosi tanah, siltasi (polusi<br />

sedimen) dan banjir berdampak besar bagi kondisi<br />

Sungai Citarum. Sebagai tambahan, dilaporkan juga<br />

secara luas bahwa limbah air dari saluran publik dan<br />

industri, kuantitas sampah yang besar, secara rutin<br />

ditumpahkan ke sungai. 50<br />

Sebuah penelitian terhadap kualitas air sungai pada<br />

2010 menyimpulkan bahwa air sungai Citarum secara<br />

umum berada dalam kualitas yang sangat buruk<br />

menurut parameter umum polusi 51 , kecuali di bagian<br />

sungai yang telah melalui Bendungan Jatiluhur (karena<br />

telah mendapat efek pemurnian alami dari tiga danau<br />

buatan). Penelitian ini juga memperingatkan akan<br />

meningkatnya degradasi kualitas air dari tahun ke<br />

tahun, akibat meningkatnya pasokan polusi dari limbah<br />

industri serta limbah domestik yang tidak dikelola,<br />

terutama yang terjadi di kawasan Bandung. Secara<br />

umum, level polusi saat ini telah mengancam kesehatan<br />

masyarakat, dan banyak keluarga nelayan kesulitan<br />

mencari nafkah akibat menurun drastisnya populasi<br />

ikan karena polusi berat, terutama dari saluran air dan<br />

material organik lainnya. 52<br />

all images © Andri Tambunan / Greenpeace<br />

Gambar Keindahan sebelumnya : Danau<br />

Cisanti (1500m di atas permukaan laut). Cisanti<br />

merupakan salah satu sumber yang mengaliri<br />

Citarum, airnya berasal dari Gunung Wayang.<br />

18 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Bab Tiga<br />

Pencemaran ini juga menyebabkan air sungai yang Menyusul kegagalan program PROKASIH, pada 2007<br />

berada di atas Bendungan Saguling diklasifikasikan Pemerintah Indonesia menyusun program pemulihan<br />

sebagai “merah” 53 , tak mampu untuk menopang terpadu, dan menyusun peta jalan –Program Terpadu<br />

fungsi-fungsi biologis dan tidak bisa digunakan untuk Manajemen Investasi Sumber Air Citarum (Integrated<br />

aktivitas rekreasi, olahraga air, dan ajang budaya air 54 , Citarum Water Resources Management Investment<br />

sementara air di Bendungan Saguling sendiri tidak Program – ICWRMIP). 58 Program ini masih terus<br />

memenuhi standar kualitas. 55<br />

berjalan meski menghasilkan sedikit dampak positif,<br />

Menanggapi polusi di Sungai Citarum sendiri, sementara kondisi Sungai Citarum terus menurun.<br />

Kementerian Lingkungan pada 1989 meluncurkan Upaya-upaya untuk membersihkan Sungai Citarum<br />

“Program Kali Bersih” atau “PROKASIH” dengan mendapat dorongan besar pada 2008, dimana Bank<br />

tujuan meningkatkan kualitas air dengan cara Pembangunan Asia (Asian Development Bank – ADB)<br />

melakukan instalasi pengelola air limbah industri menyetujui paket pinjaman senilai US$ 500 juta,<br />

(industrial wastewater treatment plants – WWTPs) awalnya difokuskan untuk penyediaan suplai air bersih<br />

dan skema pengelolaan air limbah domestik. dan aman serta fasilitas sanitasi bagi keluarga miskin. 59<br />

Meski program ini mengklaim bahwa level polusi dari Harus digarisbawahi bahwa masalah pencemaran<br />

limbah cair industri telah berkurang, 56 sejak program bahan kimia berbahaya dari limbah industri tidak<br />

diluncurkan pada 1989, kualitas air terus mengalami secara spesifik ditangani oleh program-program di<br />

penurunan dan hingga saat ini, kualitas air di Sungai atas.<br />

Citarum belum pernah memenuhi kualitas standar<br />

yang ditetapkan. 57<br />

Gambar Polusi<br />

sesudahnya :<br />

(kiri) Pabrik PT. Gistex<br />

membuang limbah yang<br />

mengandung bahan<br />

berbahaya beracun ke<br />

sungai.<br />

(bawah) Tepi Citarum<br />

dipenuhi dengan<br />

sampah.<br />

(kanan) Sebuah pipa di<br />

daerah Padalarang yang<br />

membuang bahan kimia<br />

berbahaya ke Sungai<br />

Cihaur, anak Sungai<br />

Citarum.<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 19


Bab Tiga<br />

Pencemaran Industri di<br />

Sungai Citarum<br />

Meski masalah air limbah domestik yang tidak<br />

dikelola dan sampah secara kasatmata terlihat<br />

parah, pembuangan limbah industri juga merupakan<br />

penyebab penting terhadap pencemaran Sungai<br />

Citarum. Secara kuantitas limbah industri memang<br />

lebih sedikit dibanding limbah domestik, tetapi<br />

berdasarkan kajian pemerintah air limbah industri<br />

lebih terkonsentrasi dan mengandung banyak materimateri<br />

berbahaya. 60 Ditambah lagi, banyak bahan<br />

kimia berbahaya dari air limbah industri dapat bersifat<br />

persisten, dan karenanya bisa berada di dalam<br />

sungai dalam periode yang lama setelah dibuang.<br />

Beberapa bahkan mampu untuk berakumulasi di<br />

dalam tubuh mahluk hidup (bioaccumulate). Beban<br />

polutan dari industri (berdasarkan parameter umum<br />

tertentu) dilaporkan sebagai sumber tunggal terbesar<br />

pencemaran, lebih besar dibanding sumber domestik<br />

maupun pertanian. 61<br />

Sebagai contoh, kajian baru mengenai sumbersumber<br />

pencemaran air di bagian hulu Citarum 62<br />

menemukan bahwa level pencemaran sebagian<br />

besar disebabkan oleh aktivitas industri di bagianbagian<br />

bawah hulu sungai. Pada saat itu lebih dari<br />

800 pabrik tekstil beroperasi di kawasan Majalaya<br />

dan sekitarnya, sebelah selatan Bandung. Meski<br />

demikian, pencemaran Citarum sudah berawal di<br />

bagian atas, di dekat hulunya, sebagian besar juga<br />

berasal dari sektor pertanian, dimana ditemukan<br />

kontaminasi dari pestisida-pestisida yang persisten<br />

dan berbahaya seperti DDT (yang di Indonesia telah<br />

dilarang penggunaannya sejak beberapa tahun lalu 63 )<br />

dan lindane 64 .<br />

Penelitian sebelumnya terhadap pencemaran industri<br />

di Sungai Citarum secara umum berfokus pada logam<br />

berat, karena persistensi mereka dan kemampuan<br />

beberapa unsur logam untuk berakumulasi di dalam<br />

rantai makanan 65 , tetapi tidak mempertimbangkan<br />

bahan kimia berbahaya, yang beberapa diantaranya<br />

beracun, persisten, atau dapat berakumulasi secara<br />

biologis. 66<br />

Penelitian baru menemukan bahwa konsentrasi<br />

logam berat tembaga, timah dan nikel di dalam<br />

ikan secara umum meningkat sepanjang sungai,<br />

dari hulu ke hilir. Sampel diambil di lima lokasi; dua<br />

diantaranya di kawasan industri yang didominasi<br />

industri tekstil. Tujuh industri logam juga diidentifikasi<br />

terdapat di kawasan bagian hulu Citarum, sebagai<br />

sumber potensial tembaga, bersama sektor pertanian.<br />

Sebagai tambahan, konsentrasi tinggi merkuri (53ppm)<br />

ditemukan dalam ikan di Bantar Panjang, yang<br />

merupakan kawasan pertanian, dibanding titik sampel<br />

lainnya. Sumber potensial merkuri di kawasan Bantar<br />

Panjang diidentifikasi adalah proses emas artisanal. 67<br />

Pencemaran logam berat jelas merupakan masalah<br />

yang harus segera ditangani, pertama-tama dengan<br />

cara mengidentifikasi sumber pencemarannya.<br />

Sumber dari industri bisa mencakup fasilitas-fasilitas<br />

proses tekstil yang banyak, juga pemrosesan logam,<br />

bahan kimia, dan fasilitas industri lainnya. Meski<br />

demikian, masalah pembuangan bahan kimia organik<br />

berbahaya oleh industri dan konsekuensi yang yang<br />

disebabkannya belum ditangani secara serius di<br />

Indonesia, baik oleh standar regulasi atau monitoring<br />

ilmiah. Bukti pencemaran bahan kimia berbahaya<br />

mungkin tidak terlalu kasat mata, tetapi dapat<br />

menimbulkan ancaman serius jangka panjang baik bagi<br />

lingkungan maupun kesehatan manusia.<br />

Gambar Seorang aktivis<br />

Greenpeace mengenakan<br />

pakaian pelindung diri,<br />

mengambil sampel dari<br />

Cihaur, anak Sungai Citarum,<br />

dekat Jalan Raya Cipendeuy,<br />

Padalarang.<br />

image © Yudhi Mahatma / Greenpeace<br />

20 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Bab Tiga<br />

Mengungkap Ancaman<br />

Tersembunyi Bahan<br />

Kimia<br />

Sebuah investigasi yang dilakukan di tahun 2012<br />

oleh Greenpeace Asia Tenggara bersama WALHI<br />

Jabar, dibantu oleh Institute of Ecology, Universitas<br />

Padjadjaran dan Lab Afiliasi Kimia, Universitas<br />

Indonesia, menelusuri dampak polusi industri<br />

terhadap Citarum. Riset tersebut mengukur<br />

kualitas air sungai dan buangan limbah di 10 lokasi,<br />

mulai dari sumber mata air yang asri, hingga hilir<br />

sungai 68 . Beberapa titik pembuangan limbah tak<br />

bertuan (dikenal juga sebagai “pipa siluman”,<br />

bersama dengan air sungai dan sedimennya.<br />

Sampel diuji untuk kandungan logam berat,<br />

berbagai parameter polusi air pada umumnya, serta<br />

bahan kimia organik berbahaya.<br />

Hasil investigasi menunjukkan keberadaan bahan<br />

kimia dalam sampel limbah cair, termasuk logam<br />

berat seperti merkuri, kromium heksavalen, timbal<br />

dan cadmium. Sedimen sungai juga dianalisa dan<br />

hasilnya menunjukkan kandungan pada titik-titik<br />

sampling tertentu level kromium, tembaga dan<br />

timbal yang cukup tinggi. 69<br />

Berbagai bahan kimia organik berbahaya juga<br />

terdeteksi di sampel-sampel limbah cair dan salah<br />

satu sampel badan sungai, diantaranya :<br />

Phthalates, termasuk DEHP, DiBP, DBP dan DEP, 70<br />

yang terdeteksi pada lima dari tujuh sampel limbah<br />

cair. DEHP, DiBP dan DBP diklasifikasi sebagai<br />

“toksik terhadap sistem reproduksi”. 71<br />

BHT 72 terdeteksi pada 6 sampel limbah cair dan<br />

satu sampel badan sungai, serta ditemukan<br />

p-chlorocresol 73 , yang terdeteksi pada limbah cair<br />

pada satu lokasi. Kedua bahan kimia tersebut<br />

diklasifikasikan sebagai toksik bagi kehidupan akuatik. 74<br />

Hasil investigasi juga menunjukkan variasi ekstrim<br />

dari derajat keasaman pada sampel. Air dari 4<br />

(empat) sampel limbah dan 1 (satu) badan sungai<br />

bersifat sangat basa (antara pH 9 dan 10), sebuah<br />

karakteristik dari beberapa buang limbah industri,<br />

termasuk limbah tekstil. Fasilitas tekstil teridentifikasi<br />

dekat hampir disetiap titik sampling. Lebih lanjut,<br />

salah satu sampel limbah bersifat sangat asam,<br />

pH 3. Nilai pH diatas 9 dan dibawah 6 merubah<br />

reaksi kimia alami pada ekosistem akuatik dan<br />

membahayakan biota di dalamnya. Nilai BOD 75<br />

dan COD 76 juga sangat tinggi serta setiap lokasi<br />

sampling terkontaminasi surfaktan. Banyak dari<br />

surfaktan tersebut bersifat toksik, umumnya karena<br />

kemampuan mereka menurunkan tegangan<br />

permukaan air dan berdampak pada hewan yang<br />

bergantung badan air. Bahwa sumber dari polutan<br />

organik dan logam berasal dari industri tekstil tidak<br />

dapat dipastikan, namun fasilitas tekstil memang<br />

mendominasi daerah ini.<br />

Penelitian tersebut menjadi pengingat betapa<br />

seriusnya masalah yang dihadapi Sungai Citarum. Ia<br />

mengangkat isu pembuangan limbah bahan kimia<br />

berbahaya beracun, disamping kehadiran logam<br />

berat di sedimen Sungai. Investigasi pembuangan<br />

bahan kimia berbahaya industri di seluruh Indonesia<br />

merupakan hal yang penting dilakukan, sebagai<br />

langkah awal menuju eliminasi pembuangan bahan<br />

berbahaya beracun. Di lain pihak, evaluasi apakah<br />

sistem regulasi saat ini cukup memadai, begitu pula<br />

dorongan terhadap penegakannya menjadi hal yang<br />

juga genting.<br />

Sebagian besar sungai di<br />

Pulau Jawa tercemar secara<br />

berat oleh kombinasi dari<br />

limbah domestik yang tidak<br />

diolah dan terutama dari<br />

limbah industri yang tidak<br />

terkendali.<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 21


section one<br />

all images © Andri Tambunan / Greenpeace<br />

22 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: XXXXXXXXXXXXXX


Gambar Pabrik PT Gistex<br />

membuang limbah cair<br />

industri yang mengandung<br />

bahan kimia berbahaya ke<br />

Sungai Citarum<br />

Gambar Sisipan Warga<br />

Desa Ciwalengke mencuci<br />

baju dan alat masak dengan<br />

air dari Sungai Citarum, yang<br />

menjadi tempat pembuangan<br />

limbah industri; banyak<br />

penduduk desa tersebut yang<br />

menderita penyakit kulit..<br />

<strong>Toxic</strong><br />

section one<br />

<strong>Threads</strong><br />

#4<br />

Bergerak Dari Pendekatan<br />

Kontrol Menuju Pencegahan<br />

Kebijakan publik untuk mengatasi<br />

polusi air di Indonesia bergantung<br />

pada pendekatan kontrol polusi (atur<br />

dan awasi), ketimbang pencegahan<br />

polusi. Pemerintah nasional dan provinsi<br />

menerapkan baku mutu dan berbagai<br />

ketentuan. Namun, hal tersebut hanya<br />

meliputi serangkaian parameter terbatas.<br />

Baku mutu air mengatur level maksimum<br />

polutan dengan parameter yang terbatas,<br />

yang kemudian menentukan klasifikasikan<br />

badan air sebagai kelas I, II, III atau IV<br />

sesuai dengan kegunaan. 77<br />

Baku mutu limbah industri diatur dalam regulasi 1995<br />

untuk 21 tipe industri 78 . Lebih lanjut 16 jenis aktivitas<br />

industri diatur dalam keputusan mentri lain. Diluar<br />

parameter umum seperti BOD, COD, TSS, 79 standard<br />

yang ditetapkan untuk industri teksil hanya berupa<br />

kromium, fenol, ammonia dan sulfida, untuk berbagai<br />

tipe proses tekstil 80 . Tidak ada bahan organik kimia<br />

berbahaya lain yang didaftarkan, termasuk NP dan<br />

NPE sebagaimana yang ditemukan Greenpeace<br />

Internasional pada sampel limbah PT. Gistex atau<br />

bahan kimia lain yang biasanya terkandung dalam<br />

limbah cair produksi tekstil, seperti phthalates. Lebih<br />

lanjut, tidak ada pembatasan untuk logam-logam<br />

berat kecuali kromium.<br />

Sistem ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama,<br />

ia berdasar sepenuhnya pada baku mutu atau<br />

mengijinkan keberadaan bahan berbahaya<br />

beracun sampai batas tertentu, bukan pencegahan<br />

penggunaan dan pembuangannya. Kedua,<br />

standard tersebut hanya meliputi parameter dan<br />

jenis bahan kimia dalam jumlah yang terbatas; ia<br />

tidak merefleksikan kompleksitas limbah industri dan<br />

beragam bahan kimia berbahaya yang digunakan<br />

disektor produksi tektil. Ketiga, kurangnya kapasitas<br />

untuk mendeteksi pelanggaran dari aturan yang<br />

ditetapkan pemerintah (baik melalui monitoring<br />

rutin atau sidak oleh otoritas pemerintah, laporan<br />

rutin pihak industri, maupun laporan masyarakat<br />

atau media), serta respon cepat dan tegas saat<br />

pelanggaran terjadi. Keempat kurangnya informasi<br />

hasil monitoring pembuangan limbah yang dapat<br />

diakses dengan mudah oleh masyrakat.<br />

Akses Kepada Informasi –<br />

Mitos vs Fakta<br />

Undang-Undang di Indonesia memberi jaminan<br />

hukum bagi setiap individu untuk memperoleh<br />

akses kepada informasi, dan keadilan, dalam upaya<br />

pemenuhan hak masyarakat atas lingkungan yang<br />

sehat. 81 Serupa dengan di atas, regulasi mengenai<br />

kualitas air menyatakan bahwa “semua orang<br />

punya hak yang sama untuk memperoleh informasi<br />

mengenai status kualitas air dan pengelolaan<br />

kualitas air serta pengendalian polusi”, termasuk hasil<br />

kajian pemenuhan aturan-aturan. 82 Semua perusahaan<br />

juga “wajib memberikan informasi yang benar mengenai<br />

pelaksanaan kewajiban-kewajiban pengelolaan kualitas<br />

air dan pengendalian polusi air” 83 guna menegakkan<br />

ketaatan hukum dan pengelolaan bisnis/kegiatan<br />

terkait dengan aturan-aturan yang ada. 84 Aturan hukum<br />

yang lebih baru 85 mengenai keterbukaan informasi<br />

publik menyatakan bahwa setiap entitas masyarakat<br />

mempunyai hak mengakses informasi secara terbuka.<br />

Tetapi faktanya, data pengawasan mengenai ketaatan<br />

hukum di bidang pembuangan air limbah tidak tersedia,<br />

data-data itu tidak dipublikasikan di media atau tersedia<br />

di internet. Tanggapan terhadap permintaan informasi<br />

beragam di antara masing-masing lembaga pemerintah<br />

baik nasional maupun lokal. Proses untuk mendapat<br />

informasi bisa menjadi sangat birokratis; termasuk<br />

mengajukan permintaan informasi secara tertulis ke<br />

berbagai lembaga yang berbeda.<br />

Bahkan program PROPER (lihat Box 6), sebuah<br />

program pemerintah yang didesain secara khusus<br />

untuk mengurangi polusi dari industri dengan cara<br />

mempublikasikan kinerja perusahaan dalam memenuhi<br />

berbagai peraturan lingkungan, juga tidak melaporkan<br />

data hasil pengawasan untuk memperlihatkan apakah<br />

sebuah perusahaan sudah taat atau tidak taat terhadap<br />

peraturan-peraturan yang ada.<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 23


chapter xxx<br />

BOX 6<br />

Program PROPER –<br />

Transparansi setengah hati<br />

Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan<br />

(PROPER) dimulai pada 1995, dengan tujuan<br />

mengurangi polusi industri dengan cara<br />

pengungkapan informasi kepada publik,<br />

meskipun pada kenyataanya program ini tidak<br />

mensyaratkan pengungkapan data pembuangan<br />

limbah ke lingkungan. Program ini disusun<br />

dan diuji oleh Badan Pengendalian Dampak<br />

Lingkungan (BAPEDAL) Republik Indonesia,<br />

bekerja sama dengan Bank Dunia. Program ini<br />

menilai ketaatan terhadap beberapa peraturan<br />

lingkungan (pencemaran udara, pencemaran air,<br />

pengelolaan limbah berbahaya, analisis dampak<br />

lingkungan, dan pencemaran laut), berdasarkan<br />

laporan rutin perusahaan. 86 Sekitar 1.750<br />

perusahaan diharap ikut berpartisipasi pada<br />

2009, dan dilaporkan bahwa jumlah perusahaan<br />

yang sudah taat terhadap aturan meningkat. 87<br />

Beberapa bagian dari program itu kemudian<br />

diserahkan kepada Pemerintah Provinsi untuk<br />

implementasi.<br />

Sistem peringkat dengan kode warna (emas,<br />

hijau, biru, merah dan hitam) digunakan untuk<br />

mengklasifikasi kinerja industri terhadap<br />

patokan-patokan yang telah ditentukan,<br />

memperlihatkan level kinerja berbeda dan tingkat<br />

ketaatan terhadap aturan-aturan pengendalian<br />

pencemaran. Peringkat emas dan hijau berarti<br />

kinerja yang lebih baik dibanding sekedar<br />

sudah taat aturan 88 , sementara peringkat hitam<br />

artinya sangat buruk atau tidak taat aturan.<br />

Biru diberikan kepada perusahaan yang sudah<br />

taat hukum. Dengan cara ini perusahaan<br />

didorong untuk bisa mentaati standar yang telah<br />

ditentukan tanpa harus diatur (non-regulatory),<br />

misalnya dengan pengakuan masyarakat dan<br />

sosial atas upaya perusahaan untuk mengurangi<br />

pencemaran. Insentif untuk meningkatkan kinerja<br />

bagi peringkat kinerja perusahaan diberikan<br />

melalui publikasi secara nasional.<br />

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kunci<br />

utama yang PROPER gunakan untuk memacu<br />

pengurangan emisi adalah meningkatkan<br />

pengetahuan manager akan emisi pabriknya<br />

sendiri, tetapi tekanan publik juga sama<br />

pentingnya; hanya dengan memberikan informasi<br />

kepada manajer pabrik tanpa membuat informasi<br />

itu terbuka untuk publik tidak cukup untuk<br />

memotivasi pengurangan yang signifikan”. 89<br />

Namun, program PROPER ini tidak transparan.<br />

Informasi yang dipublikasikan terbatas pada<br />

hasil akhir dari penilaian pemerintah, dalam<br />

bentuk peringkat warna, sementara informasi<br />

yang menjadi dasar dari penilaian ini –seperti<br />

tipe, jumlah, konsentrasi, dan lokasi pencemaran<br />

yang terjadi dari masing-masing aktivitas—tidak<br />

dipublikasikan. Karena itu, tidak ada pengawasan<br />

publik terhadap akurasi peringkat.<br />

Program PROPER menjadi semakin terbatas<br />

manfaatnya akibat cakupan regulasi pemerintah<br />

yang sempit; pembuangan air limbah hanya<br />

dievaluasi terkait dengan baku mutu dan<br />

parameter umum yang terbatas (lihat di bagian<br />

atas). Sebagai contoh untuk tekstil, standar ini<br />

tidak mencakup banyak jenis logam berat dan<br />

bahan kimia yang berpotensi berbahaya beracun<br />

Sistem pemeringkatan warna<br />

program PROPER<br />

GOOD<br />

POOR<br />

Banyak jenis logam berat<br />

dan bahan kimia yang<br />

berpotensi berbahaya<br />

beracun (kecuali phenols<br />

yang merupakan kategori<br />

umum) tidak ‘tertangani’<br />

oleh program PROPER.<br />

24 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Bab Empat<br />

(kecuali phenols yang merupakan kategori umum).<br />

Karena bahan-bahan kimia tersebut tidak diatur,<br />

maka emisinya dan usaha reduksinya tidak<br />

dilakukan, serta tidak menjadi pertimbangan untuk<br />

peringkat biru, hijau atau emas pada program<br />

PROPER.<br />

Mengabaikan Aturan<br />

Tidak mengherankan bahwa tingkat kesadaran,<br />

partisipasi dan ketaatan pada hukum oleh industri<br />

masih sangat kecil. Jejak pendapat pada 2009<br />

menemukan hanya 47,% (83 dari 176) fasilitas<br />

industri di Kabupaten Bandung memberlakukan<br />

IPAL sebelum melakukan pembuangan. 90 Meski<br />

demikian, dari industri yang menggunakan IPAL,<br />

hanya 40% (33 perusahaan) yang memenuhi<br />

standar baku mutu air limbah. 91<br />

Baru-baru ini, total 29 perusahaan garmen dan<br />

tekstil menerima sanksi dari Badan Pengelola<br />

Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi<br />

Jawa Tengah, karena melanggar peraturan<br />

terkait kelestarian lingkungan dan pembuangan<br />

limbah industri, yang menyebabkan pencemaran<br />

lingkungan. Pemerintah menegaskan bahwa<br />

masih banyak pelanggaran peraturan lingkungan<br />

yang tidak terdeteksi. Saat musim hujan, dimana<br />

deteksi aktivitas pencemaran sulit dilakukan karena<br />

tingginya level air, kontaminasi menyebar lebih luas<br />

di kawasan yang terkena banjir. Meski demikian,<br />

detail mengenai jenis kontaminasi, dan apakah<br />

ditemukan berbahaya beracun, tidak tersedia. 92<br />

Di Jawa Barat, 14 perusahaan dari berbagai sektor<br />

industri –termasuk pembuatan garmen—menerima<br />

sanksi administratif dan kriminal karena mencemari<br />

Citarum dengan limbah berbahaya. Hanya saja,<br />

pemerintah mencatat bahwa masih ada sangat<br />

banyak kasus serupa di Sungai Citarum. 93<br />

Ada juga contoh air limbah yang dibuang secara<br />

ilegal, misalnya melalui pipa bawah tanah di<br />

Distrik Majalaya, dimana sulit bagi pihak berwajib<br />

setempat untuk menelusuri sumber pencemaran<br />

dan menentukan siapa yang melakukannya karena<br />

beberapa pabrik melakukan pembuangan dengan<br />

pipa yang sama. 94<br />

Contoh ini menggambarkan bahwa pembuangan<br />

limbah industri ke sungai-sungai di Indonesia<br />

tidak diawasi secara konsisten demi terpenuhinya<br />

standar, serta memperlihatkan bahwa pelanggaran<br />

sudah biasa terjadi, sanksi jarang dijatuhkan, dan<br />

bahwa pembuangan limbah ilegal juga terjadi. Jika<br />

praktek ini terus terjadi, bahkan dengan adanya<br />

perbaikan standar yang memasukkan bahan-bahan<br />

kimia berbahaya lebih luas dan pengawasan serta<br />

penegakan hukum yang tegas, pencemaran akibat<br />

bahan-bahan beracun akan terus terjadi. Prinsip<br />

“pengawasan pencemaran”, dimana pada “level<br />

yang bisa diterima” pencemaran masih dibolehkan,<br />

tidak cukup untuk melindungi kesehatan manusia<br />

dan lingkungan, terutama terhadap bahan kimia<br />

beracun yang persisten atau dapat terbioakumulasi.<br />

Diperlukan pergeseran paradigma dari pendekatan<br />

reaktif seperti sekarang ini menuju pendekatan<br />

preventif, dimana penggunaan bahan kimia berbahaya<br />

beracun dihilangkan dari sumbernya, melalui skema<br />

produksi bersih dan substitusi progresif dengan materi<br />

yang lebih aman.<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 25


Bab Empat<br />

Gambar Aktivis Greenpeace<br />

menandai sebuah saluran<br />

pembuangan pabrik-pabrik<br />

di Majalaya, Kabupaten<br />

Bandung, Jawa Barat,<br />

dengan sebuah tanda yang<br />

bertuliskan “Perhatian, Limbah<br />

Berbahaya Keluar Dari Sini!!”.<br />

Greenpeace mendesak<br />

pemerintah Indonesia untuk<br />

segera beraksi menghentikan<br />

pencemaran bahan kimia<br />

berbahaya beracun ke Sungai<br />

Citarum dan Sungai lain di<br />

Indonesia.<br />

Menuju Pencegahan<br />

Pencemaran<br />

Undang-undang No. 32 Tahun 2009 95 menyediakan<br />

landasan hukum bagi penyusunan berbagai instrumen<br />

kebijakan baru dalam rangka pencegah pencemaran,<br />

dan yang paling penting meliputi prinsip “preventive”<br />

dan “pencemar harus membayar”. 96 Selain itu ada juga<br />

pertanda bahwa pihak berwenang di Indonesia telah<br />

mempertimbangkan pendekatan baru berdasarkan<br />

transparansi informasi mengenai limbah bahan kimia<br />

berbahaya.<br />

Menyusul investigasi Greenpeace dimana limbah dari<br />

pipa pembuangan tak bertuan diambil sebagai sampel<br />

dan ditandai, petugas dari BPLHD Provinsi Jawa Barat<br />

dari wilayah Kabupaten Bandung mengidentifikasi<br />

dan menandai 21 pembuangan air limbah dari 13<br />

perusahaan, dimana pada tanda itu disebutkan nama<br />

perusahaan yang bertanggung jawab. 97 Tanda itu<br />

memuat hingga empat nama perusahaan, ditambah<br />

nama dan tanda tangan anggota tim yang melakukan<br />

penandaan itu.<br />

Pemerintah Jawa Barat juga mulai mempersiapkan<br />

daftar pertanyaan untuk semua sektor industri, untuk<br />

menciptakan inventaris bahan kimia berbahaya<br />

yang digunakan industri, dan bermaksud akan<br />

mempublikasikan inventaris itu secara online. Telah<br />

ada juga inisiatif di tingkat nasional untuk menyusun<br />

inventaris bahan-bahan kimia berbahaya yang dikenal<br />

sebagai “manajemen informasi nasional untuk bahan<br />

kimia berbahaya” dan membentuk sistem tanggap<br />

darurat melibatkan industri dan petugas dari pemerintah<br />

setempat.. 98,99 Inventaris seperti yang dimaksud akan<br />

menjadi landasan yang berguna bagi upaya identifikasi<br />

penggunaan bahan kimia berbahaya di Indonesia,<br />

dan akan menjadi langkah awal menuju pembentukan<br />

daftar prioritas bahan berbahaya beracun yang<br />

harus direduksi dan dieliminasi penggunaanya.<br />

Pengumpulan informasi semacam ini sangat penting di<br />

Indonesia; dimana juga terjadi di banyak negara di Asia,<br />

pengetahuan mengenai produksi dan impor bahan<br />

kimia, kuantitas, penggunaan, dan potensi bahayanya,<br />

masih sangat rendah.<br />

Selain itu Kebijakan Produksi Bersih Nasional, yang<br />

disetujui pada 2003, sebagai landasan bagi pemerintah<br />

pusat dan daerah untuk melakukan pengawasan<br />

dan pembentukan program Produksi Bersih. Pusat<br />

Produksi Bersih Nasional (The Indonesian Centre for<br />

Clean Production - ICCP) di Serpong, Jawa Barat,<br />

Indonesia, didirikan sejak 2004. Tetapi kisah sukses<br />

yang ditangani PPBN umumnya berkisar pada<br />

penghematan energi 100 , bukan pada manajemen bahan<br />

kimia. 101 Karenanya, program ini kurang berdampak<br />

terhadap upaya pengurangan penggunaan bahan<br />

kimia berbahaya, dan perlu partisipasi dari industri<br />

skala besar. Meski demikian, perangkat-perangkat di<br />

atas bisa menjadi modal penting untuk implementasi<br />

rencana ”Nol Pembuangan” bahan berbahaya<br />

beracun.<br />

Gambar Seorang warga desa Ciwalengke menggunakan<br />

air dari sebuah sumur untuk mencuci beras.<br />

image © Andri Tambunan / Greenpeace<br />

<strong>26</strong> Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Bab Empat<br />

© Andri Tambunan / Greenpeace<br />

© Yudhi Mahatma / Greenpeace<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 27


© Andri Tambunan / Greenpeace<br />

28


Gambar Peritel Adidas.<br />

Pacific Place Mall, Jakarta.<br />

<strong>Toxic</strong><br />

section chapter one six<br />

<strong>Threads</strong><br />

#5<br />

Merek Busana Internasional<br />

dan Industri Tekstil di<br />

Indonesia<br />

Setelah China dan India, Indonesia adalah<br />

negara dengan laju pertumbuhan ekonomi<br />

tercepat diantara negara-negara industri di<br />

dunia (G20), dan merupakan negara dengan<br />

ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Tingkat<br />

pertumbuhan Indonesia diperkirakan akan<br />

melampaui China dan Indonesia dalam<br />

jangka waktu 10 tahun, dan disebut-sebut<br />

sebagai “negara yang bertekad untuk<br />

menjadi pusat produksi dan industri di Asia<br />

Tenggara”. 102<br />

Sektor pembuatan adalah penyumbang paling<br />

penting bagi pendapatan domestik kotor (GDP)<br />

Indonesia, menyumbang lebih dari 27% pada<br />

2003 hingga 2007, dan terkonsentrasi di Pulau<br />

Jawa, dimana ada tidak kurang dari 80% dari<br />

total industri manufaktur. 103 Jawa Barat sendiri<br />

menyumbang 37% persen pada 2007, dimana<br />

Bandung merupakan kota dengan keberadaan<br />

pabrik manufaktur terbanyak. 104 Banyak pabrik<br />

berlokasi di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS)<br />

Citarum, disebabkan oleh faktor ketersediaan lahan,<br />

infrastruktur, sumberdaya alam, dan kedekatan jarak<br />

dengan Jakarta. Berbagai industri manufaktur yang<br />

beroperasi di DAS Citarum utamanya adalah industri<br />

tekstil, elektronik, farmasi, kulit, dan makanan.<br />

Provinsi Jawa Barat juga merupakan pusat tekstil<br />

modern dan industri busana di Indonesia.<br />

BOX 7<br />

Industri Tekstil di<br />

Sungai Citarum<br />

Sektor pewarnaan tekstil mempunyai sejarah<br />

panjang di sepanjang DAS Citarum, dimana<br />

nama Citarum sendiri berasal dari Tarum,<br />

tanaman yang saat itu banyak ditemukan<br />

dan dijadikan bahan pewarnaan alami nila<br />

(indigo) sejak abad ke-4, dan secara tradisional<br />

digunakan oleh para pembuat batik. Hanya<br />

saja, dibutuhkan proses panjang dan rumit<br />

untuk mengekstrak pewarna dari tanaman<br />

itu yang akhirnya membuat banyak pembuat<br />

batik memilih pewarna kimia sintetis. 105 Saat<br />

ini tanaman Tarum tidak lagi tumbuh di DAS<br />

Citarum, meski Tarum dan pewarna nila lainnya<br />

pernah menjadi bagian penting dari budaya<br />

setempat. Tidak ada upaya yang dilakukan untuk<br />

memproduksi pewarna nila yang lebih baru, lebih<br />

efisien dengan jalan pemanfaatan teknologi.<br />

Sektor pembuatan tekstil masih menjadi hal<br />

yang sangat penting hingga saat ini. Pewarna<br />

kimia sintetis secara besar-besaran digunakan<br />

untuk menggantikan Tarum, dikombinasikan<br />

dengan penggunaan bahan kimia sintetis<br />

lain yang beberapa diantaranya berbahaya<br />

beracun. Sekitar 60% dari total produsen tekstil<br />

nasional berada di DAS Citarum 106 . Pabrik<br />

tekstil juga paling mendominasi DAS Citarum<br />

dibanding sektor lainnya, ia mewakili 46% dari<br />

keseluruhan industri. 107 Meski demikian, industri<br />

tekstil modern juga berperan dalam rusaknya<br />

sungai Citarum.<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 29


Bab Lima<br />

Gambar Peritel GAP.<br />

Senayan City Mall, Jakarta.<br />

Industri tekstil modern telah ada di Indonesia<br />

bertahun-tahun lamanya 108 , sangat terkonsentrasi<br />

di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat 109 – dimana<br />

banyak terdapat produksi di hulu berskala besar<br />

—dibanding denganmanufaktur dan pemasaran<br />

berpangsa pasar khusus di Pulau Bali. 110 Didominasi<br />

oleh benang sintetis, terutama polyester, menjadi<br />

penyumbang penting bagi ekonomi dan lapangan<br />

pekerjaan. Selain masalah seperti mesin yang sudah<br />

usang dan rendahnya tingkat kompetisi di kawasan<br />

regional, sektor tekstil masih menjanjikan potensi<br />

ekonomi yang besar. 111 Diperkirakan 11% dari total<br />

pekerja industri berasal dari sektor tekstil 112 , pada<br />

2011 mencapai 1,3 juta orang. 113<br />

Pada 2010 tekstil menyumbang 8,9% terhadap total<br />

ekspor Indonesia 114 , dan tekstil, produk kulit, serta<br />

sepatu menyumbang 9% pendapatan domestik bruto<br />

Indonesia pada 2010. 115 Indonesia adalah salah satu<br />

dari 10 negara dengan nilai ekspor pakaian terbesar<br />

dunia, naik dari posisi 10 pada 1990 dan 2000 116 ke<br />

posisi 8 di 2011, berdasarkan data WTO. 117 Indonesia<br />

juga eksportir tekstil terbesar ke-11 pada 2011, naik<br />

16% dari 2010. 118<br />

Banyak merek busana terkemuka dunia<br />

menggunakan Indonesia sebagai lokasi manufaktur<br />

untuk menopang ekspor global mereka dan sekitar<br />

61% garmen jadi diekspor ke pasar internasional.<br />

Beberapa tahun terakhir, nilai ekspor naik. Menurut<br />

Kementerian Perdagangan, ekspor tekstil dan<br />

garmen naik 19,7% atau senilai US$1 miliar antara<br />

2010 dan 2011. Pasar garmen dan tekstil terbesar<br />

Indonesia adalah Amerika Serikat, 36% dari total<br />

ekspor, dimana 15% lain diekspor ke Uni Eropa<br />

dan 5% ke Jepang. 119 Tenunan, pakaian dalam, dan<br />

pakaian rajutan atau sulaman menyumbang hampir<br />

60% dari total ekspor tekstil antara 2007 hingga<br />

2011. Akhir-akhir ini, ada peningkatan jumlah ekspor<br />

barang yang punya nilai tambah seperti jaket, celana<br />

panjang, gaun, dan busana resmi, baik untuk pria<br />

maupun wanita, dibanding dengan bahan-bahan<br />

dasar. 120<br />

Pembuangan bahan-bahan kimia berbahaya ke<br />

badan air oleh produsen busana bagi merek-merek<br />

busana global di Indonesia semakin lazim, meski<br />

hingga saat ini belum ada jumlah pastinya. Sebagai<br />

tambahan dari temuan investigasi Greenpeace<br />

terhadap pembuangan air limbah dari PT Gistex<br />

(lihat Bab 2), ada bukti lain yang menunjukkan<br />

bahan kimia berbahaya yang persisten seperti NP/<br />

NPE kemungkinan besar juga dibuang oleh pabrik<br />

tekstil lain di Indonesia. Enam dari delapan sampel<br />

dari perusahaan pembuatan di Indonesia yang<br />

diuji sebagai bagian dari investigasi Greenpeace<br />

International pada 2012 121 terbukti mengandung<br />

NPE. Ini termasuk busana yang dijual oleh Armani,<br />

Gap, Esprit, Mango, dan Marks & Spencer.<br />

Adanya kandungan bahan kimia berbahaya seperti<br />

NPE di sebuah produk secara umum menjadi<br />

indikasi bahwa bahan itu digunakan dalam proses<br />

pembuatan, besar kemungkingan bahwa bahan itu<br />

dibuang ke dalam sistem air lokal sebagai bagian dari<br />

air limbah proses. Tidak mungkin mengidentifikasi<br />

lokasi persis pembuatan mana yang melakukan<br />

itu hanya dari meneliti produk. Meski demikian,<br />

temuan ini menunjukkan bahwa NPE digunakan oleh<br />

sebagian industri tekstil di Indonesia, juga secara<br />

global, dalam proses pembuatan sebuah produk<br />

untuk merek-merek internasional ternama.<br />

Berbagai merek-merek pakaian<br />

internasional terkemuka menjadikan<br />

Indonesia sebagai basis manufaktur<br />

untuk eksport global mereka dan<br />

sekitar 61% dari pakaian yang<br />

dihasilkan di eksport ke pasar<br />

internasional.<br />

30 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Bab Enam<br />

© Andri Tambunan / Greenpeace<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: XXXXXXXXXXXXXX Mencemari Surga 31


chapter five<br />

Kaitan Merek Multinasional<br />

dan Merek Domestik<br />

Setiap merek bertanggung jawab memastikan<br />

bahwa rantai produksi global mereka –baik langsung<br />

maupun tak langsung—tidak menyebabkan<br />

pelepasan bahan-bahan kimia berbahaya ke<br />

lingkungan. Kurangnya pengawasan atau ketidak<br />

pedulian mengenai bahan kimia berbahaya yang<br />

dibuang oleh pemasok mereka di seluruh dunia<br />

sama sekali tidak bisa diterima. Merek bertanggung<br />

jawab pada konsumen dan masyarakat setempat<br />

yang dipaksa berbagi sumber air dengan industri,<br />

untuk menjaga dan memastikan sumber air<br />

masyarakat tidak diperlakukan sebagai selokan<br />

pembuangan pribadi.<br />

Antara Februari dan Maret <strong>2013</strong>, Greenpeace<br />

International mengirim surat 122 melalui kurir kepada<br />

pemasok asal Indonesia PT Gistex Group, juga<br />

kepada kantor pusat merek-merek internasional,<br />

meminta komentar mengenai hubungan bisnis<br />

dengan PT Gistex Group (dan/atau perusahaan yang<br />

dikendalikan/dikontrol PT Gistex Group) :<br />

Adidas, Ascena Retail Group (termasuk Lane<br />

Bryant), Brooks Brothers, C&A, Duro Industries,<br />

Esprit, Gap (termasuk Banana Republic, Old<br />

Navy), Guess, H&M, Lecien, Limited Brands<br />

(termasuk Mast Industries), Macy’s, Manhyo<br />

KK, Marks & Spencer, Marubeni, Nordstrom, S<br />

Oliver, Otto Sumisho, Pacific Brands Workwear,<br />

JC Penney (termasuk Liz Claiborne), Philip van<br />

Heusen (termasuk Tommy Hilfiger), Specialty<br />

Fashion Group, Sun Capital Partners (termasuk<br />

Kellwood), The Row LLC, Toray Industries,<br />

Triumph International, WalMart, Walt Disney, dan<br />

Yamamoto Sada.<br />

Dalam responnya kepada Greenpeace bulan Maret<br />

<strong>2013</strong>, PT Gistex Group menyatakan bahwa “PT<br />

Gistex selalu menaruh perhatian pada lingkungan<br />

dan masyarakat. Pabrik kami dilengkapi dengan<br />

sistem pengelolaan air limbah untuk menghindari<br />

pencemaran lingkungan “ 123<br />

C&A, Philips van Heusen, Limited Brands dan<br />

S Oliver masing-masing menyatakan tidak ada<br />

hubungan bisnis yang mereka ketahui, antara<br />

perusahaan dan produk mereka dengan PT Gistex<br />

Group dan/atau perusahaan yang dikendalikan/<br />

dikontrol PT Gistex Group).<br />

Triumph Internasional menyatakan “…. Triumph<br />

Internasional tidak memiliki hubungan bisnis<br />

dengan perusahaan yang anda rujuk, PT Gistex<br />

Textile Division, maupun perusahaan afiliasinya…<br />

“. Walt Disney Company menyatakan “…. sebagai<br />

32 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Greenpeace<br />

International<br />

Section<br />

xxx<br />

chapter five<br />

tanggapan terhadap pertanyaan awal anda, melalui<br />

pencarian di internet, kami mengidentifikasikan<br />

terdapat enam fasilitas yang kami yakini dimiliki dan<br />

dikontrol PT. Gistex. Data kami menunjukkan bahwa<br />

lima dari enam fasilitas tersebut TIDAK PERNAH<br />

DIOTORISASI oleh The Walt Disney Company<br />

untuk produksi produk bermerek Disney. Otorisasi<br />

fasilitas yang ke-enam, PT Gistex Garment Division<br />

.. BERAKHIR tahun 2010..” Walmart menjawab<br />

bahwa PT. Gistex Textile Division “saat ini bukan<br />

pemasok terotorisasi untuk Walmart. Data kami<br />

mengindikasikan bahwa mereka tidak lagi aktif di<br />

tahun 2009 dan tidak ada pesanan kepada mereka<br />

sejak itu…”. Esprit mengindikasikan bahwa ada satu<br />

buah pesanan terakhir lewat PT. Gistex Group di<br />

bulan Maret 2011.<br />

Meskipun sudah beberapakali mendapat permintaan,<br />

Adidas Group masih belum memberi Greenpeace<br />

penjelasan gamblang dan lengkap secara tertulis<br />

mengenai hubungan bisnis masa lalu atau saat ini<br />

dengan semua bagian PT. Gistex Group. Di tahun<br />

2012, Adidas Group memberikan konfirmasi atas<br />

hubungan pengadaan (sourcing) tidak langsung melalui<br />

pemberian lisensi dengan PT Gistex Garment Division<br />

dan menyangkal memiliki hubungan dengan PT. Gistex<br />

Textiles Division. 124 Hal ini selaras dengan daftar terkini<br />

pemasok (tertanggal 1 Januari 2012 dalam situsnya),<br />

dimana tertera PT. Gistex Garmen Division. 125 Walau<br />

sudah melalui beberapakali permintaan klarifikasi lebih<br />

lanjut, masih juga belum jelas apakah Adidas Group<br />

telah melakukan penelusuran menyeluruh terhadap<br />

rantai global pemasok mereka , termasuk penelusuran<br />

input lapis dua dan lapis tiga (termasuk semua input<br />

proses “basah”, seperti pencelupan) pada beberapa<br />

atau seluruh produk bermerek Adidas (berlisensi atau<br />

lainnya) terkait dengan bisnis dengan PT. Gistex”.<br />

Brooks Brothers mengakui hubungan bisnis dengan<br />

PT Gistex Group “…saat ini kita tidak bekerja dengan<br />

bagian proses basah dari pabrik ini tetapi dengan<br />

pabrik pembuatan garmen mereka. Bahan kami<br />

dicetak dan diimpor dari pabrik lain di Indonesia …” 1<strong>26</strong><br />

H&M di situsnya 127 mencantumkan PT Gistex<br />

Garment Division dalam daftar pemasok mereka saat<br />

ini, dan mengkonfirmasi akurasinya pada Greenpeace<br />

Pada intinya, Adidas Group, Brook Brothers,<br />

Gap Inc., H&M dan Marubeni pernah memiliki<br />

hubungan bisnis baru-baru ini, dengan minimal<br />

satu bagian dari PT. Gistex Group, perusahaan<br />

yang terasosiasi dengan fasilitas yang melakukan<br />

pencemaran (PT. Gistex Textile Division) di<br />

Indonesia, dimana Greenpeace telah melakukan<br />

sampling di tahun 2012.<br />

Sementara tidak ada dari kelompok retail Ascena<br />

Retail Group, Duro Industries, Gap, Guess, Lecien,<br />

Macy’s, Manhyo KK, Marks & Spencer, Marubeni,<br />

Nordstrom, Otto Sumisho, Pacific Brands Workwear,<br />

JC Penney, The Row LLC, Specialty Fashion Group,<br />

Sun Capital Partners, Toray Industries, maupun<br />

Yamamoto Sada, yang menanggapi permintaan dari<br />

Greenpeace (via kurir) untuk berkomentar hingga<br />

tenggat akhir laporan ini 9 <strong>April</strong> <strong>2013</strong>”.<br />

Meski demikian informasi ekspor memperlihatkan<br />

bahwa PT Gistex Group (dan/atau perusahaan<br />

yang dikendalikan/ dikontrolnya) pernah memiliki<br />

hubungan bisnis dengan Gap Inc (termasuk anak<br />

perusahaannya ‘Old Navy’ dan ‘Banana Republic’)<br />

serta Marubeni Corporation. 128<br />

Hingga 1 Maret <strong>2013</strong>, situs publik PT Gistex<br />

mencantumkan logo dari Mary & Kate Ashley, Esprit,<br />

Gap, Guess, Kellwood, Marubeni, dan S Oliver,<br />

serta menyebut C&A, Esprit, Kellwood, Lane Bryant,<br />

Lecien, Liz Claiborne (dibawah kontrol JC Penney),<br />

Manhyo KK, Mast Industries (dibawah kontrol Limited<br />

Brands), Otto-Sumisho, Toray, Charles Vogele,<br />

Yamasada dan Yamamotosada sebagai ‘konsumen<br />

terkini’.<br />

Beberapa perusahaan yang terkait dengan PT<br />

Gistex telah membuat pernyataan publik mengenai<br />

pentingnya menghindari pencemaran lingkungan<br />

atau bahwa mereka telah membuat komitment<br />

Detox. 129 Menurut situs mereka masing-masing,<br />

beberapa perusahaan tampak khawatir terhadap<br />

dampak lingkungan dari produksi produk mereka.<br />

Meski demikian, investigasi ini menemukan bahwa<br />

pemasok masa lalu atau sekarang mereka masih<br />

terus melepaskan bahan kimia beracun ke dalam air<br />

dan sistem sungai di sekitarnya.<br />

GAP : “Untuk Gap Inc, tanggung jawab lingkungan<br />

artinya jauh lebih beszzar dibanding sekedar menjadi<br />

“hijau” atau menjual produk-produk hijau. Kami<br />

memandang hal itu sangat terkait dengan setiap<br />

aspek bisnis kami, mulai dari pembuatan pakaianpakaian<br />

kami hingga bagaimana mereka dikemas dan<br />

dikirimkan ke toko-toko kami.” 130<br />

Marubeni : “Menjaga lingkungan global adalah salah<br />

satu nilai paling dasar dari aktivitas bisnis Marubeni.” 131<br />

Merek-merek lain, seperti Brooks Brothers 132 , tidak<br />

mempublikasikan posisi mereka terkait tanggung<br />

jawab lingkungan.<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 33


all images © Andri Tambunan / Greenpeace<br />

34


Gambar limbah cair industri<br />

dibuang ke Sungai Citarum<br />

oleh pabrik PT Gistex.<br />

Gambar Sisipan Penduduk<br />

Desa Citeureup mencari ikan<br />

di Sungai Citarum<br />

<strong>Toxic</strong><br />

section one<br />

<strong>Threads</strong><br />

#6<br />

Saatnya Men-Detox<br />

Badan Air di Indonesia<br />

Investigasi ini menjadi gambaran bagaimana bahan<br />

kimia berbahaya beracun dibuang ke sungaisungai<br />

di Indonesia. Meski pabrik yang ada di<br />

laporan ini tidak bisa mewakili seluruh industri tekstil<br />

di Indonesia –karena industri ini sangat besar—<br />

pencemaran itersebut menjadi simbol masalah<br />

yang lebih besar, seperti puncak dari sebuah<br />

gunung es.<br />

Laporan ini secara gamblang memperlihatkan<br />

bahwa peraturan di Indonesia yang ada saat<br />

ini gagal dalam menyediakan perlindungan<br />

terhadap pencemaran yang sudah meluas.<br />

Standar-standar yang ada tidak cukup<br />

komprehensif atau ketat, dengan penegakah<br />

hukum yang lemah.<br />

Pembuangan bahan kimia berbahaya dan<br />

persisten tetap bisa terjadi meski sudah ada<br />

skema pengelolaan air limbah. Strategi baru<br />

harus diadopsi guna menghentikan pembuangan<br />

limbah semacam ini –sebuah strategi yang<br />

mampu memastikan proses eliminasi penggunaan<br />

bahan kimia berbahaya langsung dari sumbernya<br />

secara cepat dan transparan, serta menyediakan<br />

substitusi alternatif bahan yang aman. Perusahaan<br />

dan merek global juga punya tanggung jawab<br />

untuk melakukan sesuatu yang lebih dari standar<br />

pemerintah yang masih longgar, serta secara<br />

aktif mendorong pemerintah untuk memperbaiki<br />

regulasi terkait bahan berbahaya beracun.<br />

Peran dari Merek-merek<br />

Industri tekstil mempunyai peran penting dalam<br />

pembangunan dan industrialisasi di banyak negara<br />

belahan bumi selatan. Merek-merek besar,<br />

dengan rantai pasokan di berbagai negara,<br />

mempunyai posisi unik dalam memberi<br />

pengaruh positif pada upaya mengurangi<br />

dampak lingkungan dari industri tekstil –<br />

serta membantu upaya dan penghentian<br />

penggunaan bahan kimia berbahaya beracun di<br />

seluruh sektor industri.<br />

Transparansi informasi antara pemasok, merek<br />

dan masyarakat, serta peran pemasok dalam<br />

inventarisasi dan penyusunan daftar komprehensif<br />

bahan kimia adalah sangat penting; bagi proses<br />

eliminasi penggunaan B3. Kriteria sifat dasar bahan<br />

kimia dan klasifikasinya dalam daftar prioritas<br />

elimiinasi harus benar-benar transparan. Pemerintah<br />

harus meminta industri kimia menyediakan informasi<br />

karakteristik dasar bahan kimia, dimana informasi<br />

tersebut diteruskan pada seluruh rantai suplai.<br />

Tindakan ini juga memungkinkan rantai produksi<br />

mendapat lebih banyak informasi saat memutuskan<br />

bahan kimia apa yang akan digunakan.<br />

Merek-merek dapat membantu mengubah perilaku<br />

pemerintah terkait pengungkapan informasi bahan<br />

kimia berbahaya yang digunakan dan dibuang<br />

industri. Dengan memastikan bahwa tersedia<br />

informasi bagi publik mengenai penggunaan<br />

dan pembuangan bahan berbahaya beracun<br />

oleh pemasok mereka dan menciptakan tekanan<br />

untuk menghentikan penggunaan bahan kimia<br />

tersebut. Merek global bisa memberi contoh<br />

keuntungan yang didapat dari sistem yang baru<br />

dan lebih terbuka.<br />

Menyusul kampanye Detox Greenpeace yang<br />

dimulai pada 2011, beberapa merek pakaian<br />

olahraga dan fashion – termasuk beberapa ritel dan<br />

merek-merek mewah – merespon tantangan Detox<br />

Greenpeace 135 dengan membuat komitmen 136 untuk<br />

mencapai Nol Pembuangan Bahan Berbahaya<br />

Beracun di tahun 2020.<br />

Setiap merek atau pemasok harus memastikan<br />

komitmen mereka untuk Detox ditingkatkan secara<br />

berkesinambungan. Sehingga mereka tetap bisa<br />

dipercaya seiring meningkatnya urgensi masalah<br />

pencemaran air secara global. Saat tenggat waktu<br />

untuk mencapai nol pembuangan B3 semakin dekat,<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 35


BOX 8<br />

Langkah-Langkah<br />

Kunci untuk Men-<br />

Detox Rantai Tekstil<br />

Untuk mengatasi pencemaran air akibat bahan<br />

kimia berbahaya beracun secara efektif, semua<br />

merek harus:<br />

• Membuat komitmen yang kredibel dan<br />

ambisius untuk menghentikan penggunaan<br />

bahan kimia berbahaya beracun, dari rantai<br />

produksi global mereka dan dari semua<br />

produk, pada 1 Januari 2020. “Kredibel”<br />

berarti tanpa makna ganda dari tiga prinsip<br />

fundamental – “precaution/kehati-hatian”,<br />

eliminasi menyeluruh (“nol pembuangan”<br />

bahan B3), serta “hak untuk tahu”.<br />

• “Walk the talk”, Melakukan langkah nyata<br />

praktek terbaik dari “Nol Pembuangan” B3,<br />

dengan cara:<br />

- Memastikan semua pemasok mereka<br />

mengungkap pembuangan bahan<br />

kimia berbahaya. Data harus secara<br />

gamblang mengidentifikasi lokasi pabrik<br />

dan pembuangan, bahan demi bahan<br />

(chemical by chemical), pabrik demi pabrik<br />

(facility by facility), minimal pertahun, lebih<br />

sering lebih baik (per tiga bulan, misalnya).<br />

Data juga harus dibuka kepada publik<br />

dalam format yang mudah diakses serta<br />

bahasa setempat (contohnya dengan<br />

menggunakan sistem informasi internet<br />

yang kredibel 133 );<br />

- Menyusun dan mempublikasikan daftar<br />

baru kimia yang akan tereliminasi di<br />

tahun 2020. Daftar tersebut haruslah<br />

komprehensif, transparan, berdasarkan<br />

pendekatan terbaik evaluasi kriteria bahan<br />

berbahaya beracun 134 ;<br />

- Mengumumkan target-target tenggat<br />

waktu eliminasi jangka pendek/segera bagi<br />

bahan kimia berbahaya dengan prioritas<br />

tertinggi, ditopang dengan penerbitan<br />

laporan perkembangan investigasi<br />

perkembangan dan kewajiban-kewajiban<br />

rantai suplai terkontrak; serta<br />

- Menampilkan substitusi bahan kimia<br />

berbahaya beracun dengan alternatif yang<br />

lebih aman, menjadikannya studi kasus<br />

yang bisa diakses oleh publik.<br />

kebutuhan akan adanya implementasi skema yang<br />

lebih kongkrit semakin mendesak, juga kebutuhan<br />

untuk menciptakan daftar bahan kimia yang akan<br />

tereliminasi pada tahun 2020. Komitmen harus<br />

didampingi oleh langkah-langkah nyata dilengkapi<br />

tenggat waktu untuk elemen-elemen implementasi<br />

kunci (lihat box 8)<br />

Langkah-langkah nyata yang diambil untuk<br />

menghentikan pembuangan bahan kimia berbahaya<br />

oleh pabrik tekstil juga harus dilakukan oleh<br />

seluruh sektor industri yang berkontribusi<br />

terhadap pencemaran air di Indonesia. Ini juga<br />

membutuhkan peran Pemerintah Indonesia untuk<br />

mengimplementasikan kebijakan pengelolaan<br />

bahan kimia yang komprehensif, sehingga bahan<br />

kimia berbahaya beracun bisa diatur dan akhirnya<br />

dieliminasi penggunaan dan pembuangannya<br />

Greenpeace meminta pemerintah untuk:<br />

1) Membuat sebuah komitmen politik untuk menuju<br />

“Nol Pembuangan” 137 , semua Bahan Berbahaya<br />

dan Beracun (B3) dalam satu generasi 138 .<br />

Berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary<br />

principle) dan pendekatan pencegahan<br />

(preventive approach) dalam manajemen bahan<br />

kimia. Komitmen menekankan pada prinsip<br />

subtitusi dan meliputi pertanggung jawaban<br />

produsen 139 agar dapat mendorong inovasi, serta<br />

mengeliminasi penggunaan materi toksik.<br />

2) Membuat rencana implementasi untuk:<br />

(a) Menyusun sebuah daftar Bahan Berbahaya<br />

Beracun (B3) yang dinamis untuk prioritas ditindak<br />

lanjuti segera. 140<br />

Sebagaimana telah dimandatkan oleh regulasi<br />

saat ini, merupakan sebuah urgensi untuk segera<br />

membentuk Komisi Bahan Berbahaya Beracun 141 .<br />

Komisi ini bertanggung jawab untuk mengevaluasi<br />

bahan kimia yang terdapat di pasaran dan<br />

merekomendasikan bahan-bahan yang harus<br />

dimasukan dalam daftar bahan berbahaya<br />

beracun, baik yang dibatasi maupun dilarang.<br />

Daftar bahan kimia barbahaya beracun dapat berasal<br />

dari evaluasi inventarisasi bahan kimia nasional<br />

melalui penggunaan metodologi penjaringan<br />

yang komprehensif, transparan, serta berdasar<br />

karakteristik materi berbahaya beracun. Sehingga,<br />

proses inventarisasi yang saat ini sedang didiskusikan<br />

pemerintah harus meliputi semua bahan kimia yang


Bab Enam<br />

beredar di pasaran, bukan saja yang sudah diregulasi<br />

sebagai bahan berbahaya beracun<br />

Perijinan pembuangan limbah harus membatasi lebih<br />

banyak lagi jenis B3, dengan fokus pengurangan<br />

secara bertahap hingga pada akhirnya mencapai<br />

eliminasi pembuangan bahan kimia berbahaya<br />

beracun, sesuai dengan target “Nol Pembuangan” di<br />

atas.<br />

(b) Menyusun target-target jangka menengah<br />

untuk mencapai target utama di atas; dan<br />

(c) Menyediakan informasi terkait pembuangan,<br />

hilang di proses, serta emisi bahan kimia<br />

berbahaya beracun di sepanjang proses produksi.<br />

Informasi dari PRTR (Pollutant Release Transfer<br />

Register/Daftar Pembuangan dan Transfer<br />

Polutan) dapat berkontribusi secara signifikan<br />

terhadap pengurangan emisi bahan berbahaya. 142<br />

Semua perijinan, data ilmiah dan informasi<br />

pembuangan, hilangan di proses dan emisi<br />

bahan kimia berbahaya beracun (chemical by<br />

chemical) dari industri (facility by facility) harus<br />

dapat segera diakses masyarakat dan dengan<br />

mudah. PROPER, yang diklaim di Indonesia<br />

sebagai program keterbukaan informasi, harus<br />

direformasi agar mencakup semua informasi<br />

pembuangan, hilang di proses dan emisi bahan<br />

kimia berbahaya ke lingkungan, melebihi<br />

cakupan regulasi yang sangat terbatas saat<br />

ini. Paling minimum, PROPER harus membuka<br />

data yang menjadi dasar penentuan peringkat<br />

warna kinerja perusahaan. Data tersebut harus<br />

dapat diverifikasi pihak ketiga dan mengundang<br />

pengawasan masyarakat yang maksimal.<br />

3) Membuat langkah untuk memastikan tersedianya<br />

prasarana dan kebijakan untuk mendukung<br />

implementasi serta keikutsertaan industri dalam<br />

komitmen ‘Nol Pembuangan’ B3), termasuk :<br />

- identifikasi prioritas bahan kimia yang harus<br />

dibatasi dan kemudian dieliminasi penggunaannya;<br />

- kebijakan dan regulasi yang mewajibkan audit dan<br />

perencanaan;<br />

- bantuan teknis dan insentif finansial yang sesuai;<br />

serta<br />

- riset dan dukungan terhadap inovasi di bidang<br />

Produksi Bersih & Green Chemistry<br />

Pada akhirnya, sangat penting untuk memastikan<br />

penegakan hukum dari regulasi, baik yang sudah<br />

ada maupun yang akan dibuat lebih ketat lagi;<br />

melalui peningkatan kontrol, penambahan petugas<br />

inspeksi, serta transparansi yang lebih besar prihal<br />

inspeksi dan pemberian sangsi.<br />

Peran “Suara Publik”<br />

Sebagai warga dan konsumen dunia kita juga bisa<br />

menggunakan pengaruh kita untuk mendorong<br />

terciptanya masa depan bebas toksik.<br />

Sebagai warga dunia secara kolektif kita bisa:<br />

• Memilih untuk mengurangi pembelian produk<br />

pakaian baru, dan sebagai gantinya lebih banyak<br />

membeli pakaian bekas. Cara ini juga termasuk<br />

memakai kembali dan memodifikasi pakaian yang<br />

kita punya dan menjadikannya ‘pakaian baru’, atau<br />

saling bertukar pakaian dengan kawan-kawan.<br />

• Mempengaruhi produsen merek pakaian untuk<br />

bertanggung jawab demi kelestarian bumi<br />

dan masyarakat. Saat ini adalah saat dimana<br />

perusahaan harus melakukan hal yang tepat<br />

demi melindungi generasi mendatang. Semua<br />

merek harus didorong untuk memenuhinya;<br />

Apakah mereka sudah mengeluarkan komitmen,<br />

Kapan mereka akan menghentikan penggunaan<br />

semua bahan toksik dari rantai produksi, serta<br />

Apakah mereka sudah transparan dalam memberi<br />

informasi mengenai operasi bisnis mereka dan para<br />

pemasoknya. Ini adalah air kita, produk-produk itu<br />

adalah milik kita, sudah menjadi hak kita untuk tahu<br />

apa yang ada di dalam air dan di dalam produk itu.<br />

• Mendorong pemerintah untuk melakukan aksi<br />

nyata membatasi produksi, impor dan penjualan<br />

produk-produk yang mengandung bahan kimia<br />

berbahaya beracun.<br />

Jangan buang-buang waktu lagi. Dengan beraksi<br />

bersama kita bisa mendesak pemerintah dan<br />

produsen busana untuk segera men-Detox sungai<br />

kita, men-Detox pakaian kita, dan terutama sekali,<br />

men-Detox masa depan kita.<br />

Untuk mengetahui bagaimana suara Anda<br />

bisa membawa perubahan, kunjungi:<br />

www.greenpeace.org/detox<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 37


© Andri Tambunan / Greenpeace<br />

38 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


Gambar Peritel Banana<br />

Republic. Senayan City Mall,<br />

Jakarta<br />

endnotes<br />

Endnotes<br />

1 Business Vibes; Industry Insight (<strong>2013</strong>). Textile Industry in Indonesia, http://<br />

www.businessvibes.com/blog/industry-insight-textile-industry-indonesia,<br />

exports in terms of monetary value.<br />

2 http://www.encyclopedia.com/article-1G2-1839300306/indonesians.html<br />

12 February <strong>2013</strong><br />

3 Biography, Tisna Sanjaya, http://www.sinsinfineart.com/artists/<br />

Contemporary/TisnaSanjaya/biography/<br />

4 Republic of Indonesia (2003a). Water Resources Management Towards<br />

Enhancement of Effective Water Governance in Indonesia, For the 3rd World<br />

Water Forum, Kyoto – Japan, March 2003, Section 3.2 Current Status of<br />

Country Water Resources, Section 3.2 Current Status of Country Water<br />

Resources, p.7.http://www.worldwatercouncil.org/fileadmin/wwc/Library/<br />

Publications_and_reports/country_reports/report_Indonesia.pdf<br />

5 The Citarum is described in many reports and articles as one of the most<br />

polluted rivers or places in the world, see for example:<br />

Fullazaky MA (2010). Water quality evaluation system to assess the status<br />

and the suitability. Environ Monit Assess (2010) 168:669–684. Also see<br />

Chapter 3.<br />

6 The West Java Province Environmental Control Agency (BPLHD) (2010).<br />

Original Title: Status Lingkungan Hidup Daerah. Translated: Regional<br />

Environmental Status. Sections: Industrial activities with water contamination<br />

possibility.<br />

7 PUSDATIN Ministry of Industry (2012) Company Directory (Table C2, <strong>Toxic</strong><br />

out of control)<br />

8 Brigden K, Labunska I, Santillo D & Wang M (<strong>2013</strong>). Organic chemical<br />

and heavy metal contaminants in wastewaters discharged from two textile<br />

manufacturing facilities in Indonesia.<br />

http://www.greenpeace.org/international/en/publications/Campaign-reports/<br />

<strong>Toxic</strong>s-reports/Polluting-Paradise<br />

9 Greenpeace International (2011a). Dirty Laundry: Unravelling the corporate<br />

connections to toxic water pollution in China. July 2011<br />

http://www.greenpeace.org/international/en/campaigns/toxics/water/Dirty-<br />

Laundry-report/<br />

Greenpeace International (2011b). Dirty Laundry 2: Hung Out to Dry:<br />

Unravelling the toxic trail from pipes to products. August 2011.<br />

http://www.greenpeace.org/international/en/publications/reports/Dirty-<br />

Laundry-2/<br />

Greenpeace International (2012a). Dirty Laundry: Reloaded. How big brands<br />

are making consumers unwitting accomplices in the toxic water cycle. 20<br />

March 2012.<br />

http://www.greenpeace.org/international/en/publications/Campaign-reports/<br />

<strong>Toxic</strong>s-reports/Dirty-Laundry-Reloaded/<br />

Greenpeace International (2012b). <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: The Big Fashion Stitch-Up.<br />

November 2012.<br />

http://www.greenpeace.org/international/big-fashion-stitch-up<br />

Greenpeace International (2012c). <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Putting Pollution on<br />

Parade. December 2012.<br />

http://www.greenpeace.org/international/en/publications/Campaign-reports/<br />

<strong>Toxic</strong>s-reports/Putting-Pollution-on-Parade/<br />

Greenpeace International (2012d). <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Under Wraps. December<br />

2012.<br />

http://www.greenpeace.org/international/en/publications/Campaign-reports/<br />

<strong>Toxic</strong>s-reports/<strong>Toxic</strong>-<strong>Threads</strong>-Under-Wraps/<br />

10 Greenpeace (2011a), op cit. Previous research also found that persistent<br />

hazardous chemicals such as perfluorinated chemicals and alkylphenols,<br />

which Greenpeace detected in wastewaters discharged from textile<br />

manufacturing sites, are widely present in the Yangtze River ecosystem.<br />

A Greenpeace study found bioaccumulation of these chemicals in two<br />

fish species. The two species sampled are on the daily menu of local<br />

communities. Brigden K, Allsopp M & Santillo D (2010). Swimming in<br />

chemicals: Perfluorinated chemicals, alkylphenols and metals in fish<br />

from the upper, middle and lower sections of the Yangtze River, China,<br />

Amsterdam. Greenpeace International.<br />

http://www.greenpeace.to/publications/swimming-in-chemicals.pdf<br />

11 Greenpeace International (2012c) & (2012d) op cit.<br />

12 Greenpeace International (2012a). The study found that NPE residues<br />

in clothes are readily washed out when laundered.<br />

13 Greenpeace International (2012d) – <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Under Wraps.<br />

December 2012. http://www.greenpeace.org/international/en/<br />

publications/Campaign-reports/<strong>Toxic</strong>s-reports/<strong>Toxic</strong>-<strong>Threads</strong>-Under-<br />

Wraps/<br />

14 Email correspondence between Adidas Group head office and<br />

Greenpeace International between 25 February and 27 March <strong>2013</strong> on<br />

file with GPI<br />

15 Adidas Group 2012 Annual Report (accessed 28 March <strong>2013</strong>) via<br />

http://www.adidas-group.com/en/investorrelations/assets/pdf/annual_<br />

reports/2012/GB_2012_En.pdf page 117<br />

16 H&M website:http://about.hm.com/AboutSection/en/About/<br />

Sustainability/Commitments/Responsible-Partners/Supply-Chain/<br />

SupplierList.html<br />

17 IPE, or the Institute of Public & Environmental Affairs, is an<br />

environmental NGO in China:<br />

http://www.ipe.org.cn/en/pollution/index.aspx<br />

18 Right-to-know is defined as practices that allow members of the<br />

public access to information – in this case, specifically about the use<br />

and releases of hazardous chemicals. Implementing right-to-know<br />

requires full facility-level public disclosure, i.e. reporting, to the public – for<br />

example, on the internet or an equivalent, easily-accessible format. The<br />

data should clearly identify each facility, its location and its respective<br />

discharges, chemical by chemical, facility by facility, at least year by year,<br />

but preferably more frequently (e.g. quarterly).<br />

19 See, for example, the recent report Sustainable Apparel’s Critical Blind<br />

Spot, IPE (2012) - pp 18.<br />

http://www.ipe.org.cn/about/report.aspx<br />

20 PUSDATIN Ministry of Industry (2012) op cit.<br />

21 Gistex, Indonesia Integrated Textile Industry, 32 Years Anniversary,<br />

1975 - 2007<br />

22 http://www.gistexgroup.com/ Accessed 22 January <strong>2013</strong><br />

23 http://www.gistexgroup.com/location.php<br />

Accessed 23 January <strong>2013</strong><br />

24 http://www.gistexgroup.com/textile.php#<br />

Accessed 23 January <strong>2013</strong><br />

25 Republic of Indonesia (2009). Article 104 of Law No. 32 of 2009,<br />

which states that: “Anyone dumping waste and/or materials into the<br />

environment without a licence as referred to in Article 60, shall be<br />

punished with imprisonment of 3 (three) years and a fine of not more than<br />

Rp3.000.000.000, 00 (three billion rupiah).”<br />

According to Article 1, point 24, “Dumping (disposal) is the activity of<br />

throwing, placing, and/or entering the waste and/or materials in specific<br />

quantity, concentration, time, and locations with specific requirements to<br />

specific environmental media.” The dumping of waste and/or materials<br />

can only be done with the consent of the Minister, governor or regent/<br />

mayor in accordance with their authority and can only be performed at a<br />

predetermined location.<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 39


endnotes<br />

<strong>26</strong> Government Decree Regulation No. 82 (2001), on Water Quality<br />

Management and Pollution Control and Ministry of Environment Decree<br />

(1995), Kep-51/Menlh/10/1995, Limit standard for Effluent of Industrial<br />

Activity, 23 October 1995. Limits for Textiles are: Parameters are: BOD5,<br />

COD, TSS, Phenol, Chromium (total), Ammonia, Suphides, Oil and Fat, pH<br />

and Maximum waste debit 150 m3 per ton textile product<br />

27 http://akubisnishijau.files.wordpress.com/2011/02/hasil_proper_2010.<br />

pdf<br />

Accessed 5 February <strong>2013</strong><br />

28 Sekretariat PROPER, PROPER 2011, Gistex is no. 547 on the Blue list.<br />

http://www.menlh.go.id/DATA/Press_release_PROPER_2011_OK.pdf<br />

Accessed 5 February <strong>2013</strong>. The following categories include the regulations<br />

that must be complied with for a “blue” rating: 1. Air Pollution Control 2.<br />

Water Pollution Control 3. Hazardous Waste Management 4. Environmental<br />

Impact Assessment and 5. Marine Pollution Control. PROPER, SOP and<br />

Criteria<br />

http://proper.menlh.go.id/proper%20baru/Eng-Index.html<br />

29 Antara Jawa Barat.com, 13 November 2009. Warga Korban Cerobong<br />

Asap Minta Ganti Rugi.<br />

http://www.antarajawabarat.com/lihat/berita/18568/lihat/kategori/94/<br />

Kesra; accessed 5th February <strong>2013</strong>.<br />

30 For more detailed information and references see Brigden et al (<strong>2013</strong>)<br />

op cit.<br />

31 EU (2003). Directive 2003/53/EC of the European Parliament and of<br />

the Council of 18 June 2003, amending for the <strong>26</strong>th time Council Directive<br />

76/769/EEC relating to restrictions on the marketing and use of certain<br />

dangerous substances and preparations (nonylphenol, nonylphenol<br />

ethoxylate and cement), which entered into force January 2005. It is now<br />

entry number 46 of annex 17 of Commission Regulation (EC) No 552/2009<br />

of 22 June 2009 amending Regulation (EC) No 1907/2006 of the European<br />

Parliament and of the Council on the Registration, Evaluation, Authorisation<br />

and Restriction of Chemicals (REACH) as regards Annex XVII. Official<br />

Journal L 164. <strong>26</strong>.6.2009: 7-31.<br />

32 For more detailed information and references see Brigden et al (<strong>2013</strong>)<br />

op cit.<br />

33 Ibid.<br />

34 Water Environment Partnership in Asia: State of Water – Indonesia.<br />

http://www.wepa-db.net/policies/state/indonesia/indonesia.htm<br />

35 Blue Planet Project. Our right to water; an exposé on foreign pressure to<br />

derail the human right to water in Indonesia, p.7.<br />

http://www.blueplanetproject.net/documents/RTW/RTW-Indonesia-1.pdf<br />

36 Republic of Indonesia (2003a), op cit.<br />

37 Republic of Indonesia (2003b), Section 3.2 Current Status of Country<br />

Water Resources, p.7, op.cit.<br />

38 Roosmini D, Hadisantosa F, Salami IRS, Rachmawati S, (2009), Heavy<br />

metals level in Hypocarcus Pargalis as biomarker in upstream Citarum River,<br />

West Java, Indonesia, p31-36, in South East Asian Water Environment,<br />

2009 IWA Publishing.<br />

http://books.google.co.uk/books/about/Southeast_Asian_Water_<br />

Environment_3.htmlid=6pahUcse7TcC<br />

39 Republic of Indonesia (2003b) op cit.<br />

40 Ibid.<br />

41 Arifin Z, Puspitasari R & Miyazaki N (2012). Heavy metal contamination<br />

in Indonesian coastal marine ecosystems; a historical perspective, Coastal<br />

Marine Science 35(1): 227-223, 2012<br />

http://repository.dl.itc.u-tokyo.ac.jp/dspace/bitstream/2<strong>26</strong>1/51708/1/<br />

CMS350132.pdf<br />

42 Trofisa D (2011). The evaluation of pollution burden and pollution<br />

carrying capacity of Ciliwung river in the segment Bogor city segment.<br />

Original title : Kajian beban pencemaran dan daya tampung pencemaran<br />

sungai Ciliwung di segmen kota Bogor. Department of Forest natural<br />

resources conservation and ecotourism. Faculty of Forestry. Bogor<br />

Institute of Technology. Unpublished/Thesis<br />

43 Hong et al (2012). Pollution sources, beneficial uses and management<br />

of Batang Arau and Kuranji River in Padang. Journal of Applied Science in<br />

Environmental Sanitation, Vol. 7 (3): 221-230<br />

44 Sikder MT, Yasuda M, Yustiawati, Suhaemi MS, Takeshi S & Shunitz T<br />

(2012). Comparative Assessment of Water Quality in the Major Rivers of<br />

Dhaka and West Java, International Journal of Environmental Protection,<br />

pp. 1, 12, 13,<br />

http://www.ij-ep.org/paperInfo.aspxID=103<br />

45 The Citarum is described in many reports and articles as one of the<br />

most polluted rivers or places in the world, see for example: Fullazaky MA<br />

(2010) op cit.<br />

Finding a cure for Indonesia’s sick river<br />

http://articles.cnn.com/2010-03-18/tech/eco.citarum.indonesia_1_watersource-water-basin-polluted_s=PM:TECH<br />

6th February <strong>2013</strong>.<br />

World’s most polluted places:<br />

http://www.huffingtonpost.com/2010/08/31/photos-most-pollutedplac_n_693008.html#s130751&title=Bandung_Indonesia<br />

11 most polluted rivers in the world,<br />

http://www.takepart.com/photos/10-most-polluted-rivers-world#citarumriver--west-java-indonesia<br />

Citarum River Basin: Roadmap to better water management, leaflet:<br />

http://citarum.org/upload/upload/Citarum%20leaflet%20English_Final_<br />

small.pdf 7th February <strong>2013</strong>.<br />

46 Fullazaky MA (2010) op cit.<br />

47 Ibid.<br />

48 Citarum River Basin: Roadmap to better water management, leaflet,<br />

op cit.<br />

49 Citarum is a super priority river for Indonesia based on collective<br />

decision of Interior Minister No.19/1984; Forestry Minister No 059/1984;<br />

General Work Minister No 124/1984<br />

50 Citarum River Basin: Roadmap to better water management, leaflet,<br />

op cit.<br />

Fullazaky MA (2010) op cit, p.669<br />

Jakarta Post (2011), Integrated effort to restore Citarum, 12 <strong>April</strong> 2011,<br />

http://www.thejakartapost.com/news/2011/04/12/integrated-effortrestore-citarum.html<br />

ICWRMIP Cita-Citarum. 2010.Roadmap untuk Pengelolaan Sumber Daya<br />

Air Terpadu Wilayah Sungai Citarum, March 2010.<br />

http://upload.citarum.org/knowledge/document/Roadmap-Framework-<br />

Ind-March-2010.pdf. accessed: 20/02/<strong>2013</strong><br />

51 Fullazaky MA (2010) op cit, p.683, the status of water degradation is<br />

expressed in term of Water Quality Index (WQI)<br />

40 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


endnotes<br />

52 Fullazaky MA (2010) op cit, p.672.<br />

53 Fullazaky MA (2010) op cit, assessed in terms of Water Quality Aptitude<br />

(WQA) for different uses.<br />

54 Fullazaky MA (2010) op cit, p.683. The principle pollutants affecting the<br />

water quality status int eh upstream areas of Saguling Dam are: organic<br />

matter, suspended particles, phosphorus matter, and microorganisms<br />

55 Institute of Ecology (2004). Annual report of Saguling Dam.<br />

56 ICWRMIP Cita-Citarum (2010). Roadmap untuk Pengelolaan Sumber<br />

Daya Air Terpadu Wilayah Sungai Citarum, March 2010, Page 4 & 5. http://<br />

upload.citarum.org/knowledge/document/Roadmap-Framework-Ind-<br />

March-2010.pdf. accessed: 20/02/<strong>2013</strong><br />

57 Kementerian Lingkungan Hidup (2011a). Laporan pengkajian kriteria<br />

mutu air, lampiran PP no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air<br />

dan pengendalian pencemaran air. Deputi bidang pembinaan sarana teknis<br />

lingkungan dan peningkatan kapasitas<br />

58 Coordination meeting report of Citarum River, 2010. Cita-citarum.<br />

http://upload.citarum.org/knowledge/document/Laporan_Koordinasi_<br />

Citarum_14_Jan_10_2.pdf<br />

59 IWA Publishing (2008). Indoneisa: ADB funds Citarum river cleanup<br />

(10/12/08)<br />

http://www.iwapublishing.com/template.cfmname=news227<br />

60 The West Java Province Environmental Control Agency (BPLHD) (2010)<br />

op cit.<br />

61 Farida W, Winurdiastri R, Wangsaatmaj S & Boer L (2006). The Water<br />

Quality Measurement, Through PROKASIH Program as Water Environment<br />

Management Policy, In Citarum River, West Java Province, Indonesia. West<br />

Java Environmental Protection Agency.<br />

http://www.wepa-db.net/pdf/0712forum/paper30.pdf<br />

62 Parikesit, Salim H, Triharyanto E, Gunawan B, Sunardi, Abdoellah OS<br />

& Ohtsuka R (2005). Multi-Source Water Pollution in the Upper Citarum<br />

Watershed, Indonesia, with Special Reference to its Spatiotemporal<br />

Variation. Environmental Sciences 12 3 (2005), 121 – 131, MYU Tokyo.<br />

http://122.249.91.209/myukk/free_journal/Download.phpfn=ES587_full.<br />

pdf<br />

63 Republic of Indonesia (2001). Regulation PP 74, 2001 p. 53 Table 1,<br />

Banned Substances & p. 54 Table 2 Restricted Substances.<br />

64 Parikesit et al (2005) op cit.<br />

65 Terangna (1991). Water pollution. The course of the environmental<br />

impact assessment. Institute of Ecology, Padjadjaran University.<br />

66 Chemicals that cause particular concern when released into the<br />

environment display one or more of the following properties:<br />

persistence (they do not readily break down in the environment);<br />

bioaccumulation (they can accumulate in organisms, and even increase<br />

in concentration as they work their way up a food chain); and toxicity.<br />

Chemicals with these properties are described as PBTs (persistent,<br />

bioaccumulative and toxic substances). Organic chemicals with these<br />

properties are sometimes referred to as persistent organic pollutants<br />

(POPs), for example under the global Stockholm Convention. . Despite initial<br />

dilution in large volumes of water or air, such pollutants can persist long<br />

enough in the receiving environment to be transported over long distances,<br />

to concentrate in sediments and organisms, and some can cause significant<br />

harm even at what may appear to be very low concentrations.<br />

67 Roosmini D et al (2009), op.cit.<br />

68 Greenpeace Southeast Asia (2012). Walhi Jawa Barat (“<strong>Toxic</strong>s<br />

Out of Control”). A snapshot of toxic chemicals at the river body and<br />

the anonymous industrial discharge points. Case study Citarum River,<br />

Published November 2012.<br />

http://www.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/469211/Full%20<br />

report%20_Bahan%20Beracun%20Lepas%20Kendali.pdf<br />

69 As Indonesia has no standards for heavy metals in river sediments, the<br />

results were compared to the sediment criteria proposed by USEPA Region<br />

V (Table D.5 in Greenpeace Asia Tenggara, Walhijawa Barat (2012) op.cit.<br />

70 Bis(2-ethylhexyl) phthalate (DEHP), Di-isobutyl phthalate (DiBP), Dibutyl<br />

phthalate (DBP), Diethyl phthalate (DEP)<br />

71 Classified as “toxic to the reproductive system, category 2” in the EU:<br />

Annex I of Directive 67/548/EEC<br />

72 2,6-bis (dimethyl ethyl-4 methyl) phenol, also known as butylated<br />

hydroxyltoluene (BHT)<br />

73 4-chloro-3methyl-phenol (p-chlorocresol)<br />

74 Classified as toxic to aquatic life by Globally Harmonized System of<br />

Classification and Labelling of Chemicals<br />

75 BOD – Biochemical Oxygen Demand measures the amount of oxygen<br />

used by microorganisms in the oxidation of organic matter.<br />

76 COD – Chemical Oxygen Demand – The “Chemical Oxygen Demand<br />

(COD) test is commonly used to indirectly measure the quantity of organic<br />

compounds in wastewater or surface water (e.g. lakes and Rivers), making<br />

COD a useful measure of water quality.<br />

77 Government Decree Regulation No. 82 (2001), on Water Quality<br />

Management and Pollution Control.<br />

78 Ministry of Environment Decree (1995), Kep-51/Menlh/10/1995, Limit<br />

standard for Effluent of Industrial Activity, 23 October 1995<br />

79 TSS – Total Suspended Solids – measure of the suspended solids<br />

in waste water, effluent, or water bodies, determined by tests for “total<br />

suspended non-filterable solids”.<br />

80 Ministry of Environment Decree (1995), Kep-51/MENLH/10/1995, Limit<br />

standard for Effluent for Textile Industry. Parameters are: BOD5, COD,<br />

TSS, Phenol, Chromium (total), Ammonia, Suphides, Oil and Fat, pH and<br />

Maximum waste debit 150 m3 per ton textile product<br />

81 Indonesian Government. Act No. 32 of 2009 on the Protection and<br />

Management of the Environment. Article 65, paragraph (2).<br />

82 Government Regulation (2001) No. 82 on Water Quality and Water<br />

Pollution Control, Article 30 (2).<br />

83 Government Regulation (2001). op cit. Article 32.<br />

84 Government Regulation (2001), op cit, explanation of Article 32.<br />

85 Republic of Indonesia (2008). Public Information Disclosure Regulation<br />

No. 14, 2008, set by the President of Republic of Indonesia”. http://<br />

ccrinepal.org/files/documents/legislations/12.pdf<br />

86 Asian Environmental Compliance and Enforcement Network (2010),<br />

Public Disclosure of Industrial Pollution in Indonesia, <strong>26</strong> February 2010,<br />

http://www.aecen.org/good-practices/public-disclosure-industrialpollution-indonesia<br />

87 PROPER; the company’s environmental rating program<br />

http://proper.menlh.go.id/proper%20baru/Eng-Index.html<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 41


endnotes<br />

88 The criteria for green and gold ratings are: Environmental Management<br />

System, energy efficiency, reduction of emissions, re-use and reduction<br />

of hazardous waste, implementation of 3 R in solid non-hazardous<br />

waste, water conservation and reduction of water contamination burden,<br />

biodiveristy protection, community empowerment implementation<br />

89 Afsah S, Blackman A & Ratunanda D (2000). How Do Public Disclosure<br />

Pollution Control Programs Work Evidence from Indonesia, October 2000<br />

• Discussion Paper 00–44<br />

90 Setiawati N (2009). Kajian Akumulasi Logam Berat dalam Sedimen<br />

Dasar Sungai Citarum Hulu<br />

91 The Wastewater Quality Standards are set by the Governor’s Decree<br />

of West Java, No. 6 Year 1999 on Industrial Wastewater Limit Standard in<br />

West Java.<br />

92 Indotextiles.com (<strong>2013</strong>). 29 industry garment and textile in Central<br />

Java pollute the environment. Contributed by editor, 30 January <strong>2013</strong>.<br />

http://www.indotextiles.com/index2.phpoption=com_content&do_<br />

pdf=1&id=2527<br />

93 Bisnis.com (2012). Environmental Pollution: 14 Companies Pollutant<br />

Citarum Jabar Taxable Sanctions, 18 December 2012.<br />

http://www.bisnis.com/articles/pencemaran-lingkungan-14-perusahaanpencemar-citarum-jabar-kena-sanksi<br />

94 Pikiran Rakyat S (2012). Pipa Ilegal Pembuangan Limbah Pabrik<br />

Mengalir ke Citarum.<br />

http://www.pikiran-rakyat.com/node/194171<br />

95 Law No. 32 of 2009 on the Protection and Management of the<br />

Environment<br />

96 This law affirms these important principles relating to water, hazardous<br />

and toxic materials and waste pollution control. The term “precautionary<br />

principle” based on UUPPLH (Protection and Management of the<br />

Environment) is explained as follows: “that uncertainty about the impact<br />

of a business and/or activity because of the limitations of science and<br />

technology is not a reason for postponing measures to minimise or avoid<br />

the threat of pollution and/or environmental damage.”<br />

The polluter pays principle based on UUPPLH is described as, “any person<br />

in charge of the business and/or activities causing pollution and/or damage<br />

to the environment must bear the costs of environmental restoration.”<br />

97 BPLHD (Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah / Regional EPA)<br />

province of West Java, Presentation meeting on Preparation of Industrial<br />

performance in Citarum Watershed, 4 February <strong>2013</strong>.<br />

98 Chemical Watch (2012). Chemicals News on Indonesia, Interest in<br />

inventories grows in East Asia. Countries look to follow China and Japan,<br />

22 November 2012 / Asia Pacific<br />

99 Another national initiative is a draft “Bill of Chemical Law”, which will<br />

revise the Ministry of Industry’s Decree 87/2009, and which will apply to a<br />

wide range of chemicals, including pesticides as well as industrial chemicals<br />

and sets rules for chemicals classification, safety data sheets and labelling.<br />

The bill is expected to be approved by the House of Representatives – the<br />

lower house of the People’s Consultative Assembly – in <strong>2013</strong>. Chemical<br />

Watch (2012), Asian countries push ahead with plans for inventories. CW<br />

Briefing, November 2012 / Asia Pacific<br />

100 Indonesia Centre for Clean Production (PPBN/ICCP). Electricity<br />

Saving of PT. International Chemical Industry with Modification Heater PVC<br />

Shrink, Changes of Curling Motor Engine, Modification of Heather Asphalt,<br />

Installation of Ballast Electric on lamps, Serpong, Indonesia – PPBN’s<br />

(ICCP’s) brochure on MeLOK (no date, received October 2012).<br />

101 Indonesia Centre for Clean Production (PPBN/ICCP), Optimization<br />

on injection of Chemicals for anti- foam in the Desalination Plant in PT PT.<br />

Indonesia Power Business Unit – PPBN’s (ICCP’s) brochure on MeLOK (no<br />

date, received October 2012).<br />

102 Manufacturing Indonesia (<strong>2013</strong>).<br />

http://www.pamerindo.com/events/1<br />

103 Wahyudi ST & Mohd Dan Jantan MD (2010). Regional Patterns of<br />

Manufacturing Industries: a Study of Manufacturing Industries in Java<br />

Region, Indonesia, Philippine Journal of Development Number 68, First<br />

Semester 2010, Volume XXXVII, No. 1, p.96<br />

http://www3.pids.gov.ph/ris/pjd/pidspjd10-1indonesia.pdf<br />

104 Wahyudi & Mohd Dan Jantan (2010) op cit, p.96, p.99, p.113.<br />

105 Ci Tarum, producers of natural dyes.<br />

http://en.citarum.org/node/276 accessed 29/1/<strong>2013</strong><br />

106 Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (2011). Citarum River Basin Status<br />

Map.<br />

http://www.citarum.org/upload/knowledge/document/Citarum_Basin_<br />

Status_Map_2011.pdf, accessed 25/2/<strong>2013</strong><br />

107 PUSDATIN Ministry of Industry (2012), op cit.<br />

108 Global Business Guide Indonesia (<strong>2013</strong>). Manufacturing Indonesia’s<br />

Garment and Apparel Sector<br />

http://www.gbgindonesia.com/en/manufacturing/article/2012/<br />

indonesia_s_garment_and_apparel_sector.php<br />

109 Global Business Guide Indonesia (<strong>2013</strong>), op cit.<br />

110 Vickers A (2012). Clothing Production in Indonesia: A Divided Industry,<br />

Institutions and Economies. Vol. 4, No. 3, October 2012, pp. 41-60,<br />

http://ijie.um.edu.my/filebank/published_article/4116/Fulltext3.pdf<br />

111 Business Vibes; Industry Insight (<strong>2013</strong>) Textile Industry in Indonesia,<br />

http://www.businessvibes.com/blog/industry-insight-textile-industryindonesia<br />

112 Business Vibes; Industry Insight (<strong>2013</strong>) op cit.<br />

113 Global Business Guide Indonesia (<strong>2013</strong>) op cit.<br />

114 Business Vibes; Industry Insight (<strong>2013</strong>) op cit. Exports in terms of<br />

monetary value.<br />

115 Global Business Guide, Indonesia (<strong>2013</strong> op cit.<br />

116 Vickers A (2012), op cit.<br />

117 World Trade Organisation (2012). Table 11.69, Leading exporters<br />

and importers of clothing, 2011, International Trade Statistics 2012,<br />

Merchandise Trade.<br />

http://www.wto.org/english/res_e/statis_e/its2012_e/its12_merch_trade_<br />

product_e.htm<br />

118 World Trade Organisation (2012). Table 11.64, Leading exporters and<br />

importers of textiles, 2011, op.cit.<br />

119 Global Business Guide Indonesia (<strong>2013</strong>), op cit.<br />

120 Global Business Guide Indonesia (<strong>2013</strong>), op cit.<br />

121 Greenpeace International (2012b) op cit.<br />

122 “During February and March, <strong>2013</strong>, the courier company, Fedex,<br />

confirmed delivery of letters Greenpeace sent to the head offices of the PT<br />

Gistex Group, as well as the head offices of fashion/textile brands. These letters<br />

requested comment, re: the testing of samples from the aforementioned PT<br />

Gistex Group, and what business relationship the aforementioned fashion/textile<br />

brands had with any part of the PT Gistex Group. Greenpeace also had email<br />

and telephone communications with some of these fashion/textile brands”.<br />

42 Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga


endnotes<br />

123 Correspondence between PT Gistex Group and Greenpeace<br />

International between March 20 and 27 <strong>2013</strong>, on file with Greenpeace<br />

International.<br />

124 Correspondence between Adidas Group head office and Greenpeace<br />

International between 20 September 2012 and 27 March <strong>2013</strong>, on file with<br />

Greenpeace International.<br />

125 http://www.adidas group.com/en/sustainability/assets/factory_<br />

list/2012_Jan_Licensee_Factory_List.pdf<br />

Row 165 PT Gistex Garment Division address, accessed 28 March <strong>2013</strong>.<br />

http://www.adidas-group.com/en/sustainability/assets/factory_list/2012_<br />

Jan_Global_Factory_List.pdf<br />

Row 705 PT Shinko Toyobo Gistex Garment Division address, accessed 28<br />

March <strong>2013</strong><br />

1<strong>26</strong> Correspondence with complete response from Brook Brothers from<br />

19 March <strong>2013</strong>, on file with Greenpeace International.<br />

127 http://about.hm.com/AboutSection/en/About/Sustainability/<br />

Commitments/Responsible-Partners/Supply-Chain/SupplierList.html,<br />

accessed <strong>26</strong>/3/<strong>2013</strong><br />

128 Indonesian export data. Accessed March <strong>2013</strong> via panjiva.com<br />

129 Adidas Group website.<br />

http://www.adidas-group.com/en/sustainability/Stakeholders/<br />

Engagements/Civil_society/default.aspx<br />

H&M website:<br />

http://about.hm.com/AboutSection/en/About/Sustainability/<br />

Commitments/Use-Resources-Responsibly/Chemicals/Zero-Discharge.<br />

html<br />

130 Gap Inc website. Environment<br />

http://www.gapinc.com/content/gapinc/html/csr/environment.html<br />

131 Marubeni website.<br />

http://www.marubeni.com/csr_env/environment/index.html 13/3/13<br />

132 http://www.brooksbrothers.com/about-us/social-compliance/catransparency-act,default,pg.html<br />

133 For example, IPE in China.<br />

www.ipe.org.cn/En/pollution/index.aspx<br />

134 For example at least the precautionary and transparency levels of the<br />

Green Screen assessment criteria<br />

http://www.cleanproduction.org/library/GreenScreen_v1_2-2e_<br />

CriteriaDetailed_2012_10_10w_all_Lists_vf.pdf<br />

135 http://www.greenpeace.org/international/en/campaigns/toxics/water/<br />

detox/<br />

136 See for example:<br />

Limited Brands (Victoria’s Secret): http://www.limitedbrands.com/assets/<br />

Environment/Limited%20Brands%20GP%20Detox%20Solution%20<br />

Commitment.pdf<br />

Benetton: http://www.benettongroup.com/sites/all/temp/benetton_group_<br />

detox_commitment_1.pdf<br />

G Star Raw: http://www.g-star.com/media/documents/G-Star%20<br />

Detox%20Solution%20Commitment%2029%20January%20<strong>2013</strong>.pdf<br />

Valentino: http://www.valentinofashiongroup.com/docs/VFG_Detox_<br />

Solution_Commitment.pdf<br />

137 “Discharge” means all discharges, emissions and losses. In other<br />

words, all pathways of releases.<br />

138 Typically, one generation is understood to be 20 to 25 years.<br />

139 For example, “no data, no market” provisions.<br />

140 Based on the eight basic intrinsic properties of hazardousness –<br />

persistence; bioaccumulation; toxicity; carcinogenic, mutagenic and<br />

reprotoxic; endocrine disruption; and equivalent concern.<br />

141 Government Regulation No. 74, 2001 concerning Hazardous and<br />

<strong>Toxic</strong>s Materials Management, currently being revised. Chapter I, Article<br />

1 Chapter III, article 9, Chapter IV , article 21, concerning a Hazardous<br />

Materials Commission (komisi B3/tim teknis B3)<br />

142 PRTRs have been shown to be effective in reducing the release of<br />

hazardous substances. For example, the Japanese PRTR, which was<br />

introduced in 2001 and covers 462 designated chemical substances (Class<br />

I) in 23 sectors and 34,830 facilities, shows a reduction of 24.5% in total<br />

annual releases (and waste transfers) of hazardous substances between<br />

2001 and 2008. However, there was no significant reduction for facilities<br />

releasing smaller quantities of designated chemical substances (Class II),<br />

which are not required to disclose their releases publicly, see: Nakachi S<br />

(2010). The Pollutant Release and Transfer Register (PRTR) in Japan and<br />

Korean <strong>Toxic</strong> Releases Inventory (TRI)– an evaluation of their operation,<br />

Tokyo: <strong>Toxic</strong> Watch Network, p.13<br />

http://toxwatch.net/en/news/sep2010-prtr-in-japan-and-korean-tri-anevaluation-of-their-operation%e3%80%80/<br />

Greenpeace International <strong>Toxic</strong> <strong>Threads</strong>: Mencemari Surga 43


Greenpeace International<br />

Ottho Heldringstraat 5<br />

1066 AZ Amsterdam<br />

The Netherlands<br />

Greenpeace is an independent global<br />

campaigning organisation that acts<br />

to change attitudes and behaviour,<br />

to protect and conserve the environment<br />

and to promote peace.<br />

greenpeace.org

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!