11.11.2012 Views

PEMANFAATAN CENDAWAN UNTUK MENINGKATKAN ...

PEMANFAATAN CENDAWAN UNTUK MENINGKATKAN ...

PEMANFAATAN CENDAWAN UNTUK MENINGKATKAN ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>PEMANFAATAN</strong> <strong>CENDAWAN</strong> <strong>UNTUK</strong> <strong>MENINGKATKAN</strong><br />

PRODUKTIVITAS DAN KESEHATAN TERNAK<br />

Riza Zainuddin Ahmad<br />

Balai Besar Penelitian Peteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114<br />

ABSTRAK<br />

Cendawan merupakan mikroorganisme eukariotik, memproduksi spora, tidak berklorofil, mcmperolch nutrisi<br />

dengan cara absorbsi, bereproduksi secara seksual dan aseksual, mempunyai struktur somatik dalam bentuk hifa, dan<br />

berdinding sel yang terdiri alas kitin dan selulosa. Cendawan-cendawan tertentu dapat dimanfaatkan untuk ternak,<br />

seperti kapang Beauveria bassiana, Duddingtoniaflagrans, dan Metarhizium anisopliae yang dapat digunakan<br />

untuk meningkatkan keschatan ternak dan pengendali hayati. Khamir Saccharomyces cerevisiae dapat berperan<br />

sebagai probiotik dan imunostimulan untuk meningkatkan produktivitas dan keschatan ternak. Mikroba isolat<br />

lokal Indonesia ini merupakan hasil penelitian dalam kurun waktu 20 tahun, dimulai pada tahun 1980-an sampai<br />

dengan 2000-an. Sebelum terpilih sebagai cendawan yang bermanfaat bagi ternak, cendawan melalui tahapan<br />

scleksi yang panjang. Dari isolat-isolat yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi, hanya sedikit yang terpilih sebagai<br />

pengendali hayati, probiotik atau imunostimulan.<br />

Kata kunci: Cendawan, pengendali hayati, probiotik, imunostimulan, ternak<br />

ABSTRACT<br />

The use of fungi for increasing productivity and healthy of livestock<br />

Fungi are eukaryotic microorganisms, produce spores, have no chlorophyll, obtain nutrition by absorbing, reproduce<br />

sexually and asexually, have somatic structure in hifa shape, and have cell wall made of chitin and cellulose. Certain<br />

fungi can be used for livestock. These mould and yeast are Beauveria bassiana, Duddingtonia flagrans, and<br />

Metarhizium anisopliae that can be used for increasing healthy as biological control. Saccharomyces cerevisiae<br />

yeasts are used for increasing productivity and healthy as probiotic and immunostimulant. These original isolates<br />

from Indonesia were the results for the last 20 years beginning in 1980s to 2000s. Before being chosen as fungi used<br />

for the livestock, the fungi went through some stages of a long selection. However, from the isolates successfully<br />

isolated and identified only a few were chosen as biological control, probiotic or immunostimulant.<br />

Keywords: Fungi, biological control, probiotic, immunostimulant, livestock<br />

Cendawan dapat digolongkan menjadi<br />

jamur, kapang, dan khamir (Alexopou-<br />

Ins et al. 1996; Dube 1996). Cendawan<br />

dapat dimanfaatkan dalam budi daya<br />

ternak antara lain sebagai pengendali<br />

hayati, probiotik, dan imunostimulan.<br />

Pemanfaatan beberapa cendawan<br />

golongan kapang dan khamir seperti<br />

Duddingtonia flagrans, Beauveria<br />

bassiana, Metarhizium anisopliae, dan<br />

Saccharomyces cerevisiae sebagai agen<br />

hayati pengendalian penyakit dapat<br />

meningkatkan produktivitas ternak.<br />

Selama pemeliharaan, temak dapat<br />

terserang berbagai penyakit sehingga<br />

tidak mampu mencapai produktivitas yang<br />

optimal, bahkan dapat menyebabkan<br />

kematian. Penyakit yang menyerang<br />

ternak dapat disebabkan oleh virus,<br />

bakteri atau parasit (cacing, cendawan,<br />

protozoa, serangga, dan akarid).<br />

Gejala klinis yang muncul pada temak<br />

yang terserang cacing adalah kurus,<br />

konversi pakan buruk, mencret, anemia,<br />

edema, dan bila infestasi cacing terlalu banyak<br />

dapat menyebabkan kematian. Pada<br />

domba, bila infestasi cacing Haemonchus<br />

contortus mencapai 5.000 larva maka<br />

ternak dapat menderita haemonchosis.<br />

Pada kasus akut, infestasi cacing mencapai<br />

2.000-20.000 larva, dan pada kasus<br />

hiperakut, infestasi cacing sekitar 30.000<br />

larva (Soulsby 1986; Urqurhart et al. 1987).<br />

Pada ternak yang terserang caplak, gejala<br />

klinis yang muncul adalah temak menjadi<br />

kurus, caplak pada kulit dapat terlihat<br />

dengan karat mata, gelisah, kulit dan<br />

bulu rusak, kulit menebal, kegatalan,<br />

serta dapat pula<br />

menimbulkan kematian. Infestasi tungau<br />

dan caplak sering diikuti oleh infestasi<br />

virus, bakteri, dan mikroorganisme lain<br />

sehingga akan meningkatkan morbiditas<br />

dan mortalitas ternak.<br />

Pengamatan di beberapa daerah di<br />

Jawa Barat menunjukkan, umumnya seekor<br />

ternak dapat terinfeksi 3-4 spesies yang<br />

didominasi oleh cacing H. contortus dan<br />

Trichostrongylus spp. dengan rata-rata<br />

prevalensi 67% (Kusumamihardja dan<br />

Zalizar 1992; Ridwan et al. 1996). Kerugian<br />

akibat infeksi nematoda, termasuk H.<br />

contortus pada kambing, diperkirakan<br />

mencapai Rp7 miliar/tabun (Rachmat et al.<br />

1998). Kerugian akan bertambah besar bila<br />

masalah haemonchosis tidak ditanggulangi<br />

dengan sungguh-sungguh. Hal ini<br />

berkaitan dengan kendala yang harus


diatasi, seperti sistem betemak dengan<br />

cara cligembalakan serta pemberian antelmintik<br />

secara terus-menerus dengan dosis<br />

rendah clan cara pemberian yang kurang<br />

tepat.<br />

Kerugian akibat gangguan caplak di<br />

Indonesia, meski belum dilaporkan secara<br />

pasti, diperkirakan cukup besar, karena<br />

pada petemakan sapi di Amerika Serikat<br />

kerugian diperkirakan mencapai USS60<br />

juta/tahun (Steelman 1976). Di Indonesia,<br />

gangguan caplak menjadi masalah di<br />

beberapa daerah di Sumatera, Jawa,<br />

Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, clan<br />

Sumbawa (Sigit et al. 1983). Demikian pula<br />

dengan tungau penyebab skabies merupakan<br />

masalah penting di Amerika Utara,<br />

Asia, Afrika Selatan, dan Eropa. Di Inggris<br />

tercatat lebih dari 3.500 kasus pada abad<br />

ke-19 (Kirkwood 1986). Di Indonesia,<br />

tungau dilaporkan menyerang ternak<br />

kambing dan menimbulkan kematian<br />

dengan prevalensi 4-11 % (Balai Penelitian<br />

Veteriner 1992; Budiantoro 2004).<br />

Penanggulangan penyakit cacingan<br />

serta serangan tungau clan serangga lain<br />

pada ternak umumnya dilakukan dengan<br />

menggunakan antelmintik, pestisida atau<br />

akarisida secara berkala. Namun, pemakaian<br />

obat-obatan dari bahan kimiawi secara<br />

terus-menerus akan menimbulkan resistensi<br />

dan residu pada ternak dan lingkungan<br />

(Waller 1997; Larsen 2000). Selain<br />

dengan bahan kimiawi, penanggulangan<br />

penyakit cacingan serta serangan tungau,<br />

caplak, dan serangga dapat memanfaatkan<br />

cendawan sebagai agens pengendali<br />

hayati, terutama cendawan dari golongan<br />

kapang. Kapang pengendali parasit cacing<br />

nematoda disebut kapang nematofagus,<br />

dan kapang pengendali parasit serangga,<br />

tungau, caplak, dan kutu disebut kapang<br />

entomofagus. Perbaikan dan peningkatan<br />

produktivitas ternak dapat memanfaatkan<br />

khamir sebagai probiotik clan imunostimulan.<br />

Hasil eksplorasi plasma nutfah<br />

cendawan Indonesia cukup banyak clan<br />

perlu diteliti untuk mengetahui mikroba,<br />

khususnya cendawan isolat lokal, yang<br />

dapat climanfaatkan untuk meningkatkan<br />

produktivitas ternak. Umumnya cendawan<br />

melalui beberapa tahapan seleksi setelah<br />

diisolasi clan diidentifikasi, seperti uji in<br />

vitro clan in vivo, serta aplikasi pada skala<br />

laboratorium dan skala besar. Dari berbagai<br />

tahap pengujian tersebut, hanya<br />

sedikit cendawan yang terpilih sebagai<br />

pengendali hayati, probiotik atau imunostimulan.<br />

Hasil penelitian menunjukkan,<br />

dari Sembilan isolat yang diuji, hanya satu<br />

yang dapat digunakan sebagai probiotik,<br />

dan dari sejumlah isolat D. flagrans yang<br />

ditemukan hanya sedikit yang dapat digunakan<br />

sebagai nematofagus (Agarwal et<br />

al. 2000; Ahmad 2005a). Tulisan ini<br />

mengulas beberapa cendawan isolat lokal<br />

yang bermanfaat bagi ternak, baik sebagai<br />

pengendali hayati, probiotik maupun<br />

imunostimulan.<br />

<strong>CENDAWAN</strong> SEBAGAI<br />

PENGENDALI HAYATI<br />

cendawan yang termasuk golongan ini,<br />

berclasarkan target utamanya, dapat dibagi<br />

menjadi dua, yaitu sebagai pengendali<br />

cacing nematoda (nematofagus) clan<br />

sebagai pengendali serangga, tungau,<br />

caplak, clan kutu (entomofagus). Meskipun<br />

beberapa khamir dapat mematikan<br />

nematoda dan serangga, efektivitasnya<br />

rendah sehingga tidak digunakan lagi. Dari<br />

hasil penelitian, kapang nematofagus yang<br />

terpilih yaitu D. flagrans (Mendoza-De<br />

gives et al. 1999; Ahmad 2008), dan<br />

sebagai entomofagus adalah B. bassiana<br />

dan M anisopliae (Holder clan Keyhani<br />

2005; Maranga et al. 2005).<br />

Kapang Nematofagus<br />

D. flagrans<br />

Kapang D. flagrans mempunyai ciri khas,<br />

yang juga merupakan keunggulannya<br />

dibandingkan dengan cendawan nematofagus<br />

lain, yaitu mampu membentuk<br />

klamidospora oleh hifanya sendiri. Kapang<br />

davat tumbuh pada suhu 20-30°C.<br />

Penambahan 20 larva nematoda/cM 2 media<br />

agar akan menginduksi cendawan untuk<br />

membentuk perangkap, optimal pada suhu<br />

30°C yang akan menghasilkan 700-800/<br />

cm 2 media agar/hari. Kapang menghasilkan<br />

dua macam spora, yaitu yang memiliki<br />

dinding tipis, akan menghasilkan konidia<br />

dengan jumlah terbatas pada saat cendawan<br />

berumur muda, dan yang memiliki<br />

dinding tebal, berupa klamidospora yang<br />

dihasilkan dari hifa yang matang. Selama<br />

proses penuaan, jumlah klamidospora<br />

meningkat sampai batas tertentu<br />

(Gronvoldet al. 1996).<br />

Isolat lokal D. flagrans dari tanah asal<br />

Bogor dapat tumbuh pada berbagai media,<br />

yaitu Corn Meal Agar (CMA), Potato<br />

Dextrose Agar (PDA), dan Saboroud<br />

Dextrose Agar (SDA). Tumbuh baik pada<br />

suhu 22-30°C, dapat membuat jerat untuk<br />

larva infektif, mampu menurunkan larva<br />

instar 3 H. contortus, memerlukan cahaya,<br />

dan tahan disimpan selama 4 bulan pada<br />

kulkas (suhu 4-10°C) (Ahmad 2003)<br />

(Gambar 1). Kapang ini dapat digunakan<br />

dalam pengendalian parasit nematoda<br />

Osepohagostomum dentatus dan Hyostrongylus<br />

rabidus pada babi, Cvsthostome,<br />

Strongylus vulgaris dan Strongylus edentatum<br />

pada kuda, serta H. contortus dan<br />

Trichostrongylus colubriformis pada<br />

domba dan sapi (Larsen et al. 1995; 1996;<br />

Nansen et al. 1996; Faedo et al. 1998;<br />

Larsen et al. 1998; Larsen 2000). Hasil<br />

penelitian tersebut menunjukkan bahwa<br />

kapang dapat mengendalikan larva nematoda<br />

infektif secara optimal. Pemanfaatan<br />

D. flagrans dapat dikombinasikan dengan<br />

cendawan nematofagus lain seperti A.<br />

oligospora (Larsen 2000).<br />

Di Indonesia, pemanfaatan cendawan<br />

nematofagus mempunyai prospek<br />

Gambar 1. Duddingtonia flagrans pada media potato dextrose agar (A); pengamatan<br />

mikroskopik perbesaran 400 x dan pewarnaan laktofenol biru (B);<br />

konidia (BI); dan klamidospora (B2).


yang cerah karena didukung ketersediaan<br />

plasma nutfah dan kondisi temak ruminansia<br />

kecil. Penggunaan D. flagrans<br />

dengan closis 500.000 konidia mampu<br />

menurunkan larva H. contortus secara<br />

signifikan. Bila clikombinasikan dengan S.<br />

cerevisiae secara signifikan mampu menurunkan<br />

jumlah larva H. contortus (Ahmad<br />

2003;2008).<br />

Mekanisme D. flagrans dalam, memangsa<br />

nematoda adalah dengan cara<br />

membuat perangkap bagi larva infektif<br />

Pada saat larva instar 3 bergerak mengenai<br />

hifa, kapang akan mengeluarkan zat kemoatraktan<br />

yang menganclung sekresi. Larva<br />

yang mendekat kemudian akan melekat<br />

pada hifa clan dijerat oleh hifa vegetatif.<br />

Selanjutnya, kapang mensekresikan clan<br />

memproduksi enzim hidrolisis (kitinase dan<br />

protease) yang akan menguraikan kutikula<br />

untuk memudahkan hifa melakukan<br />

penetrasi (Gronvold et al. 1993; Ahman<br />

2000; Meyer dan Wiebe 2003). Hifa<br />

vegetatif yang masuk ke dalam tubuh<br />

larva akan tumbuh dan berkembang hingga<br />

akhimya larva mati. Dalam proses membunuh<br />

larva, kapang dibantu oleh nematotoksin<br />

yang diduga sebagai lektin (Rosen<br />

1996).<br />

D. flagrans merupakan kapang<br />

nematofagus pilihan untuk mengendalikan<br />

larva instar 3 cacing nematoda pada temak.<br />

Hal tersebut diclasarkan pada penelitian<br />

yang telah dilakukan sebelumnya (Gronvold<br />

et al. 1993; Larsen 2000; Patra 2007).<br />

Kapang D. flagrans lebih efektif dan<br />

efisien mengendalikan larva nematoda<br />

di-banding Arthrobotrys spp., meski<br />

Arthrobotrys oligospora dapat<br />

memproduksi lebih banyak konidia<br />

dengan perlakuan yang sama. Hal ini<br />

karena D. flagrans mampu membentuk<br />

klamidospora (Mendoza-De Gives et al.<br />

1999).<br />

KapangEntomofagus<br />

Beauveria bassiana<br />

Koloni B. bassiana pada medium PDA<br />

yang diinkubasi pada suhu 25°C clan<br />

berumur 14 hari, membentuk lapisan<br />

seperti tepung (Gambar 2). Koloni pada<br />

bagian tepi mula-mula berwarna putih<br />

kemudian menjadi kuning pucat atau<br />

kemerahan.<br />

B. bassiana mempunyai perangkat<br />

penghasil spora (konidia) berukuran kecil<br />

dan lembut. Konidia yang berupa spora<br />

aseksual menghasilkan rangkaian akripetal<br />

pada sel-sel konidiogenus yang panjang<br />

(sel penghasil konidia). Bentuk konidia<br />

bervariasi, yaitu globos, elips, silindris,<br />

clan koma. Konidia berbentuk elips berukuran<br />

2,90-4,20 µm x 1,80-2,50 µm,<br />

bentuk silindris 3,30-4,80 µm x 2,10-2,50<br />

µm, clan bentuk koma 1,90-2,50 gm, hidup<br />

kosmopolitan, haploid. Konidia dengan<br />

jumlah yang banyak dihasilkan oleh hifa.<br />

Hifa berukuran lebar 1-2 µm dan<br />

berkelompok dalam sekelompok sel-sel<br />

konidiogen berukuran 3-6 pm x 3µm.<br />

Selanjutnya, hifa bercabang-cabang clan<br />

menghasilkan sel-sel konidiogen kembali<br />

dengan bentuk seperti botol, leher kecil,<br />

dan panjang ranting dapat mencapai lebih<br />

dari 20 µm dan lebar 1µm. Cendawan ini<br />

tidak membentuk klamidospora, namun<br />

dapat membentuk blastospora.<br />

Konidia dihasilkan dalam bentuk<br />

simpodial dari sel-sel induk yang terhenti<br />

pada ujungnya. Pertumbuhan konidia<br />

diinisiasi oleh sekumpulan konidia. Setelah<br />

itu, spora tumbuh dengan ukuran yang<br />

lebih tinggi karena akan berfungsi sebagai<br />

titik tumbuh. Pertumbuhan selanjutnya<br />

dimulai di bawah konidia berikutnya,<br />

setiap saat konidia dihasilkan pada ujung<br />

hifa dan dipakai terus, selanjutnya ujungnya<br />

akan terus tumbuh. Dengan cara<br />

seperti ini, rangkaian konidia dihasilkan<br />

oleh konidia-konidia muda (rangkaian<br />

akropetal), dengan kepala konidia menjadi<br />

lebih panjang. Ketika seluruh konidia<br />

dihasilkan, ujung konidia penghubung<br />

dari sel-sel konidiogenus mempunyai<br />

pertumbuhan zig-zag dan mengikuti<br />

pertumbuhan asal seperti kepala (Brady<br />

1979; Barron 2005).<br />

B. bassiana merupakan parasit<br />

agresif clan memiliki berbagai spesies<br />

inang serangga, meski ticlak menyerang<br />

semua jenis serangga. Namun karena<br />

menginfeksi serangga pada berbagai umur<br />

dan stadium (telur, larva, dewasa), serangan<br />

dapat menimbulkan epizotik alam.<br />

Konidia dan miselia dalam jumlah banyak,<br />

bermassa padat dapat menyebar pada<br />

seluruh tubuh serangga yang terinfeksi<br />

(Feron 1981; Nankingan et al. 1994; Barron<br />

2005). Caplak dan tungau dapat pula<br />

diserang (Brooks clan Wall 2002; Holder<br />

clan Keyhani 2005). Umumnya kadaver<br />

serangga secara optimum dapat menghasilkan<br />

konidia dan bersporulasi pada<br />

kelembapan lebih dari 95% (basah) dengan<br />

suhu 26-30°C (hangat). Bila kelembapan<br />

rendah maka proses sporulasi akan<br />

menurun (Fernandez 1994).<br />

Umumnya kapang patogen menginfeksi<br />

serangga melalui integumen. Hifa<br />

masuk ke dalam jaringan kemudian terus<br />

masuk ke hemosel (Barson 1977). B.<br />

bassiana dapat menginfeksi serangga<br />

melalui integumen, saluran pencernaan,<br />

trakhea, clan luka. Kapang ini dapat ditularkan<br />

dari satu inang ke inang lain<br />

melalui konidia. Setelah masuk ke hemosel,<br />

cendawan terus tumbuh hingga seluruh<br />

bagian tubuh serangga tertutupi oleh<br />

miselim cendawan clan akhimya serangga<br />

mati. Pada kondisi yang sesuai, cendawan<br />

dapat tumbuh dan menembus kutikula di<br />

antara ru g s tubuh serangga kemudian<br />

membentuk konidia yang barn (Broome et<br />

al. 1976; Maddox 1982).<br />

serangga yang terinfeksi ditandai<br />

dengan gejala lemah, kurang aktif, dan<br />

pada kutikula ditemui bercak hitam yang<br />

menunjukkan tempat penetrasi cendawan,<br />

selanjutnya miselia tumbuh pada seluruh<br />

tubuh serangga dan berwarna putih.<br />

sporulasi pada larva mati terjadi Setelah<br />

10 hari inkubasi (Barson 1977). Mekanisme<br />

infeksi didukung oleh enzim seperti<br />

Gambar 2. Kapang Beauveria bassiana pada media potato dextrose agar (A);<br />

pengamatan mikroskopik perbesaran 400 x dan pewarnaan laktofenol<br />

biru (B); konidia (BI); dan hifa (B2).<br />

86 Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008


protease, lipolitik, amilase, clan kitinase.<br />

Enzim-enzim tersebut mampu menghidrolisis<br />

kompleks protein di dalam integumen<br />

(Brady 1979). Hal yang sama dapat terjadi<br />

pada tungau clan caplak.<br />

Kapang Entomofagus<br />

Metarhizium anisopliae<br />

Kapang ini banyak ditemukan di dalam<br />

tanah, bersifat saprofit, dan umumnya<br />

dijumpai pada berbagai stadia serangga<br />

yang terinfeksi, tumbuh pada suhu 65-<br />

85°F dan kelembapan 30-90%. Kapang ini<br />

mempunyai koloni berwarna hijau zaitun,<br />

konidiofor dapat mencapai panjang 75 µm,<br />

bertumpuk-tumpuk diselubungi oleh<br />

konidia yang berbentuk apikal berukuran<br />

6-9,50 jim x 1,50-3,90 rim, bercabangcabang,<br />

berkelompok membentuk massa<br />

yang padat dan longgar (Gambar 3).<br />

Kapang ini dapat membunuh serangga,<br />

tungau, dan caplak seperti halnya B.<br />

bassiana (Barnet 1969; Wikardi 2000;<br />

Cloyd 2003; Geuther et al. 2004; Holder<br />

dan Keyhani 2005; Maranga et al. 2005).<br />

Dalam menginfeksi serangga dan<br />

akarida, konidia berkecambah pada<br />

kutikula inang dan melakukan penetrasi<br />

dengan enzim hidrolisis (peptidase dan<br />

kitinase), lalu dengan bantuan tekanan<br />

mekanis enzim tersebut menghancurkan<br />

kulit dengan cara lisis. Setelah kapang<br />

masuk, koniclianya dengan cepat memperbanyak<br />

diri sehingga blastospora segera<br />

menyelaputi tubuh inang. Ketnatian inang<br />

disebabkan oleh kolonisasi miselia yang<br />

ekstensif sehingga menyebabkan starvasi,<br />

atau melalui racun yang dilepaskan pada<br />

saat penyerangan. Desikasi kadaver digunakan<br />

sebagai nutrisi dan air oleh hifa. Hifa<br />

memecah kutikula setelah serangga coati.<br />

Konidia bebas berkembang secara pasif<br />

atau aktif untak meneruskan siklus infeksi<br />

(Wikardi 2000; Onofre et al. 2001). Mekanisme<br />

serupajuga ditemui pada caplak dan<br />

tungau yang terserang kapang ini.<br />

<strong>CENDAWAN</strong> SEBAGAI<br />

PROBIOTIK DAN<br />

IMUNOSTIMULAN<br />

Salah satu cendawan yang berpotensi<br />

sebagai probiotik dan imunostimulan<br />

adalah S. cerevisiae. cendawan ini termasuk<br />

dalam kelompok khamir. Pada saat<br />

berkembang biak, khamir akan membelah<br />

diri dan menghasilkan tunas yang berkecambah<br />

multipolar. Spora berdiameter 5-<br />

10 µ. S. cerevisiae merupakan khamir bersel<br />

tunggal, yang berkembang biak dengan<br />

cepat secara seksual dan aseksual. Perkembangbiakan<br />

melalui tunas kecambah<br />

multipolar dan tunas dapat terjadi pada<br />

seluruh permukaan Binding sel (Gambar<br />

4).<br />

Reproduksi seksual membentuk<br />

askospora di dalam askus. Dalam satu<br />

askus umumnya terdapat empat askospora<br />

dalam berbagai bentuk. Khamir ini<br />

mempunyai cin morfologi mikroskopis,<br />

membentuk blastospora (spora) bulat<br />

lonjong, silindris, oval atau bulat telur<br />

pendek dan panjangnya dipengaruhi oleh<br />

strain (Elliot 1994; Dube 1996).<br />

Menurut besarnya sel, khamir dikelompokkan<br />

menjadi tiga, yaitu yang<br />

selnya berukuran 3,50-10µx 5-19 [t,yang<br />

selnya benikuran 3-8µx 4-18 Vt, dan yang<br />

berukuran 2,50-7µx 4,50-18 p. Selain itu,<br />

terdapat sel berfilamen pada spora yang<br />

berukuran lebih dari 30 µ dan berpseudomiselium.<br />

Morfologi makroskopik menunjukkan<br />

koloni berbentuk bulat,<br />

berwarna putih, krem, abu-abu hingga<br />

kecoklatan, permukaan koloni berkilau<br />

sampai kusam, licin, dengan tekstur lunak<br />

(Lodder 1970; Barnet et al. 2000).<br />

Peran S. cerevisiae sebagai<br />

Probiotik<br />

Probiotik adalah makanan pelengkap<br />

berupa mikroba hidup yang memberikan<br />

keuntungan pada saluran pencernaan<br />

inang. Probiotik adalah bahan makanan<br />

yang tidak tercerna clan memberikan<br />

keuntungan pada inang melalui stimulasi<br />

selektif terhadap aktivitas satu atau<br />

sejumlah bakteri yang terdapat di dalam<br />

kolon (Roberfoid 2000). Lebih lanjut Fuller<br />

(1992) clan Karpinska et al. (2001)<br />

menjelaskan bahwa probiotik adalah<br />

imbuhan pakan berbentuk mikroba hidup<br />

Gambar 3. Kapang Metarhizium anisopliae pada media potato dextrose agar (A);<br />

pengamatan mikroskopik perbesaran 400 x dan pewarnaan laktofenol<br />

biri (B); konidia (BI); dan hifa (B2).<br />

Gambar 4. Kapang Saccharomyces cerevisiae pada media CAM (A); pengamatan<br />

mikroskopik perbesaran 400 x dan pewarnaan laktofenol biru (B); dan<br />

spora (BI).


yang menguntungkan dan mempengaruhi<br />

induk semang melalui perbaikan keseimbangan<br />

mikroorganisme dalam saluran<br />

pencernaan. Di bidang peternakan,<br />

probiotik bermanfaat bagi kesehatan,<br />

produksi, dan pencegahan penyakit pada<br />

ternak. Salah satu probiotik adalah khamir<br />

S. cerevisiae.<br />

Pemberian S. cerevisiae sebagai<br />

imbuhan mikroba hidup ke dalam tubuh<br />

akan mempengaruhi induk semang<br />

(unggas, ruminansia) melalui perbaikan<br />

keseimbangan mikroorganisme dalam<br />

saluran pencernaan. Pada ternak ruminansia,<br />

pemberian probiotik akan meningkatkan<br />

bakteri selulolitik dan asam laktat<br />

pada saluran pencernaan. Pada unggas,<br />

probiotik akan menambah jumlah mikroba<br />

yang menguntungkan dan menekan<br />

mikroba yang merugikan dengan cara<br />

berkompetisi untuk hidup di dalam saluran<br />

pencernaan.<br />

Peran S. cerevisiae sebagai<br />

Imunostimulan<br />

Secara sederhana imunostimulan adalah<br />

suatu bahan (material) yang bila diberikan<br />

pada hewan dan manusia dapat meningkatkan<br />

sistem pertahanan tubuh untuk<br />

menghadapi serangan penyakit. Imunostimulan<br />

meningkatkan "limfosit T" sebagai<br />

imunitas seluler yang penting untuk<br />

memproteksi tubuh dari bakteri dan virus<br />

intraseluler. "Limfosit B" juga meningkat<br />

untuk menambah imunitas humoral dan<br />

serum antibodi. Serum ini berfungsi untuk<br />

menetralkan endotoksin, sehingga pada<br />

akhirnya imunostimulan digunakan pada<br />

ternak untuk meningkatkan kemampuan<br />

melawan bakteri dan menurunkan waktu<br />

yang diperlukan untuk memperbanyak<br />

antibodi (Beta Glucan Research 2004).<br />

Imunostimulan dapat digolongkan<br />

menjadi dua, yaitu yang bekerja secara<br />

spesifik dan nonspesifik. Beberapa materi<br />

atau substansi yang terlibat dalam proses<br />

yang spesifik adalah imunisasi aktif dan<br />

pasif, baik oleh virus, bakteri maupun<br />

cendawan, sedangkan yang nonspesifik<br />

berupa stimulasi limfosit dan makrofag<br />

(Tizard 1987).<br />

Sistem pertahanan tubuh dapat dibagi<br />

menjadi dua, yaitu kekebalan humoral<br />

dan seluler. Humoral terdapat pada darah,<br />

yang dikenal dengan antibodi, juga ditemukan<br />

sebagai molekul protein serum.<br />

Respons seluler berupa mekanisme<br />

fagositosis (membunuh kuman penyakit<br />

dengan cara memakannya) dengan cara<br />

meningkatkan sensitivitas Reticulo Endothelial<br />

System (RES), yaitu sistem endotelial<br />

berupa organ tubuh seperti ginjal,<br />

hati, limpa, dan timus.<br />

Limfosit dapat digolongkan menjadi<br />

set B dan set T. Set T ditemukan dalam<br />

peredaran darah hewan tingkat tinggi dan<br />

memegang peranan penting dalam imunitas<br />

seluler. Set B pada mamalia dihasilkan<br />

oleh sumsum tulang dan pada unggas oleh<br />

bursa fabricius dan set T oleh timus. Selanjutnya<br />

set B menghasilkan antibodi, yang<br />

merupakan salah satu elemen humoral<br />

untuk beradaptasi secara imunitas,<br />

sedangkan set T membantu set B dengan<br />

mengaktivasi makrofag untuk mempertahankan<br />

tubuh terhadap infeksi mikroba.<br />

Set makrofag merupakan salah satu<br />

set yang termasuk dalam kekebalan alami<br />

dengan cara menghasilkan substansi<br />

kimia. Selanjutnya substansi ini menjadi<br />

pertahanan set imun yang penting.<br />

Set-set tersebut akan membentuk<br />

kekebalan tubuh dengan cara menyerang<br />

Bel-Bel asing. Makrofag mempunyai<br />

reseptor pada set membran untuk tujuh<br />

macam residu gula. Saat reseptor<br />

berikatan dengan residu, makrofag<br />

diaktifkan dan kemudian menghasilkan<br />

sitokin. Sitokin inilah yang berfungsi<br />

sebagai pengatur respons imun tubuh<br />

(Tizard 1987). Sistem tersebut secara<br />

bersama-sama membentuk sistem<br />

pertahanan dalam tubuh melawan infeksi<br />

penyakit. Dengan demikian, imunostimulan<br />

sangat bermanfaat dalam meningkatkan<br />

sistem kesehatan tubuh. Salah satu<br />

imunostimulan adalah beta-D glukan.<br />

Beta-D glukan merupakan salah satu<br />

komponen dinding khamir yang esensial<br />

sebagai imunostimulan. Komponen tersebut<br />

mempunyai campuran yang unik<br />

yang efektivitas dan intensitasnya dalam<br />

sistem pertahanan tubuh melalui aktivasi<br />

set darah putih yang spesifik seperti<br />

makrofag dan set Natural Killer (NK).<br />

Beta-D glukan akan berikatan dengan<br />

permukaan set makrofag dan set NK, dan<br />

berfungsi sebagai pemicu proses aktivasi<br />

makrofag. Proses ini akan meningkatkan<br />

sirkulasi makrofag dalam tubuh untuk<br />

mencari benda-benda asing yang masuk<br />

ke dalam tubuh, selain menambah jumlah<br />

Bel-Bel makrofag (Life Source Basics 2002).<br />

Beta-D glukan meningkatkan fungsi<br />

imun, termasuk fagositosis (kemampuan<br />

menangkap benda asing, partikel yang dilepaskan<br />

sitokin; hormon interseluler IL-1,<br />

IL-6, GM-CSF, interferon) dan pernbuatan<br />

antigen. Beta-D glukan juga menstimulasi<br />

RES dalam proses peningkatan jumlah<br />

makrofag, dan mengaktivasi sel-sel darah<br />

putih selain makrofag. Sel-sel tersebut<br />

ialah granulosit dan monosit. Beta-D<br />

glukan dapat berperan sebagai imunomodulator<br />

(pengatur sistem kekebalan<br />

tubuh) untuk meningkatkan kemampuan<br />

set T, set B, dan makrofag dalam melawan<br />

infeksi penyakit, juga membantu memperbaiki<br />

jaringan yang rusak melalui<br />

proses regenerasi dan penyembuhan (Beta<br />

Glucan Research 2004 ).<br />

<strong>PEMANFAATAN</strong><br />

<strong>CENDAWAN</strong> <strong>UNTUK</strong><br />

KESEHATAN TERNAK<br />

Penelitian pengendalian biologic dengan<br />

cendawan nematofagus dan entomofagus,<br />

Berta peningkatan kesehatan dengan<br />

probiotik dan imunostimulan sudah lama<br />

dirintis (Larsen 2000; Brooks dan Wall<br />

2002; Fox 2002; Ahmad 2005a; 2005b).<br />

Penelitian dimulai dari isolasi, identifikasi,<br />

dilanjutkan dengan pengujian secara in<br />

vitro dan in vivo dan diakhiri dengan<br />

aplikasi atau komersialisasi (Tabel 1).<br />

Di Indonesia, penelitian cendawan<br />

nematofagus barn dimulai pada tahun<br />

1990-an dan memasuki tahap aplikasi pada.<br />

tahun 2000-an, sedangkan di dunia sudah<br />

dimulai pada awal abad ke-19 (Larsen<br />

2000). Penelitian dimulai dengan mengisolasi<br />

dan mengidentifikasi isolat (Ahmad<br />

1999). Setelah isolat diperoleh, dilakukan<br />

pengujian ketahanan hidup pada suasana<br />

asam, basa, enzim, dan suhu tertentu secara<br />

in vitro (Beriajaya dan Ahmad 1999).<br />

Selanjutnya dilakukan pengujian kemampuan<br />

isolat dalam mereduksi H. contortus<br />

secara in vitro. Isolat yang lolos lalu diuji<br />

secara in vivo pada ternak (Ahmad 2001;<br />

Beriajaya et al. 2001). Proses pengujian<br />

terakhir dilakukan dengan aplikasi secara<br />

peroral atau langsung di lapangan. Hasil<br />

penelitian menunjukkan bahwa pemberian<br />

peroral memberikan hasil yang lebih baik.<br />

Bila dikombinasikan dengan S. cerevisiae<br />

dapat mereduksi larva H. contortus secara<br />

signifikan (Beriajaya et al. 2001; Ahmad<br />

2008).<br />

Penelitian pengendalian hayati<br />

dengan cendawan entomofagus berjalan<br />

lebih lambat dibandingkan dengan penelitian<br />

cendawan nematofagus pada<br />

bidang peternakan. Umumnya kapang<br />

entomofagus digunakan untuk keperluan<br />

pertaman, untuk mengatasi hama serangga<br />

dan sejenisnya, hanya sedikit yang


Tabel 1. cendawan dan kegunaannya untuk kesehatan ternak.<br />

Spesies cendawan Kegunaan Jenis ternak Pustaka<br />

Saccharomyces Probiotik, Ayam, domba, kelinci Rukyani et al. (1987);<br />

cerevisiae imunostimulan sapi, ikan, dan udang Shins et al. (1989);<br />

Tedesco et al. (1994);<br />

Sitthipun et al. (2000);<br />

Wina 2000; Fox (2002);<br />

Ratnaningsih (2000);<br />

Ahmad (2005b).<br />

Duddingtonia Nematofagus Babi, kambing, domba, Larsen (2000);<br />

flagrans kambing, kuda, dan sapi Ahmad (2005a); (2008)<br />

Metarhizium Entomofagus Kambing dan sapi Frazzon et al. (2000);<br />

anisopliae Smith et al. (2000);<br />

Onofre et al. (2001);<br />

Brooks dan Wall (2002);<br />

Cloyd (2003).<br />

Beauveria Entomofagus Kambing dan sapi Holder dan Keyhani<br />

bassiana (2005);<br />

Campos et al. (2005).<br />

diteliti untuk hewan dan itu pun terbatas<br />

pada caplak dan tungau (Brooks dan Wall<br />

2002; Holder dan Keyhani 2005). Penelitian<br />

lanjutan yang berkembang adalah mengambil<br />

bagian gen yang menghasilkan<br />

toksin untuk caplak, tungau, dan serangga<br />

lain. Gen tersebut lalu dimanipulasi dan<br />

diperbanyak melalui rekayasa genetik<br />

sehingga dihasilkan produk antiserangga<br />

tanpa bentuk utuh dari kapangnya sendiri.<br />

Penelitian S. cerevisiae sebagai<br />

probiotik dan imunostimulan berkembang<br />

lebih cepat dibanding untuk pengendali<br />

hayati. Shins et al. (1989) menyimpulkan<br />

bahwa S. cerevisiae termasuk salah satu<br />

mikroba yang banyak dipakai pada ternak<br />

sebagai probiotik, bersama-sama dengan<br />

bakteri dan cendawan lain seperti Aspergillus<br />

niger, A. oryzae, Bacillus punilus,<br />

B. centuss, Lactobacillus acidophilus,<br />

Saccharomyces crimers, Streptococcus<br />

lactic, dan S. termophilus.<br />

Tedesco et al. (1994) menunjukkan<br />

adanya korelasi antara pemberian S.<br />

cerevisiae dan populasi bakteri pada<br />

kelinci, yaitu jumlah bakteri patogen<br />

menurun dan jumlah bakteri aerob dan<br />

anaerob yang menguntungkan dalam usus<br />

meningkat. Kumprecht et al. (1994)<br />

melaporkan pemberian campuran S.<br />

cerevisiae dan Streptococcus faecum pada<br />

ayam broiler menurunkan jumlah bakteri<br />

Escheria coli dalam sekum hingga 50%.<br />

Selanjutnya Kompiang (2002) meneliti<br />

penggunaan "khamir (ragi) laut" dengan<br />

S. cerevisiae dalam pakan ayam dan<br />

mendapatkan hasil yang positif, yaitu<br />

bobot badan meningkat setelah pemberian<br />

S. cerevisiae. Selanjutnya Kumprechtova<br />

et al. (2000) memberikan S.<br />

cerevisiae 47 dengan dosis 200 g/100 kg<br />

pakan untuk meningkatkan penampilan<br />

daging dan mengurangi bau amonia<br />

nitrogen pada feces ayam. Pemberian S.<br />

cerevisiae juga meningkatkan penampilan<br />

bobot ayam dan secara in vitro mampu<br />

menekan pertumbuhan S. typhimurium<br />

meski secara in vivo tidak memberikan<br />

hasil yang signifikan (Istiana et al. 2002).<br />

Meski tidak semuanya memberikan<br />

respons positif terhadap pemberian pakan<br />

imbuhan, pada sapi dapat meningkatkan<br />

produksi susu rata-rata 4,30% dan pertambahan<br />

bobot badan rata-rata 8,70%.<br />

Pada domba, pemberian campuran S.<br />

cerevisiae dan Bioplas pada ransum,<br />

masing-masing dengan dosis 4 g Bioplas/<br />

kg bobot badan dan 1 g S. cerevisiae yang<br />

mengandung 14 x 10 11 koloni menghasilkan<br />

konversi pakan sebesar 6 kg/kg pertambahan<br />

bobot badan (Ratnaningsih 2000).<br />

Penelitian imunostimulan berkembang<br />

pesat. Penemuan substansi beta-D<br />

glukan berawal dari hasil Pillemer (1940)<br />

dalam Life Source Basics (2002), yang<br />

meneliti substansi yang memiliki kemampuan<br />

menghasilkan aktivator mekanisme<br />

pertahanan tubuh yang disebut zymosan.<br />

Meski substansi tersebut mampu menstimulasi<br />

secara nonspesifik respons imun,<br />

zat aktifnya belum diketahui. Selanjutnya<br />

Diluzio (1970) dalam Life Source Basics<br />

(2002) berhasil menemukan substansi<br />

tersebut dan komponen aktifnya adalah<br />

beta-D glukan. Salah satu bahan ini terdapat<br />

pada barley (Schizophyllum spp.)<br />

dan dinding khamir S. cerevisiae. Hasil<br />

penelitian laboratorium dan komersial<br />

secara umum membuktikan manfaat S.<br />

cerevisiae pada ayam broiler dan petelur,<br />

babi, ikan lele, sapi, dan udang sehingga<br />

dapat mengurangi biaya obat-obatan dan<br />

vaksinasi.<br />

Beberapa contoh penggunaan S.<br />

cerevisiae sebagai imunostimulan pada<br />

hewan adalah sebagai berikut. Transfer<br />

gen beta-glukan pada udang dan mikroorganisme<br />

laut seperti mikroalga dan<br />

bakteri nonpatogenik lain dapat<br />

meningkatkan kekebalan tubuh. Pada lele<br />

dumbo, beta-glukan dengan dosis 750<br />

mg/kg pakan dapat berperan sebagai<br />

imunostimulan yang positif terhadap<br />

respons kebal nonspesifik melalui uji<br />

tantang terhadap infeksi bakteri<br />

Aeromonas hydrophila (Rukyani et al.<br />

1987). Pada udang hitam (Penaeus<br />

monodon), pemberian beta-glukan 1<br />

g/kg pakan memperlihatkan peran imun<br />

yang positif terhadap kenaikan hematosit<br />

(Sitthipun et al. 2000). Pada udang dan<br />

ikan, penggunaan S. cerevisiae sebagai<br />

imunostimulan dengan dosis 50 mg/kg<br />

bobot badan dapat mengatasi serangan<br />

bakteri dan kuman lain seperti<br />

Aeromonas salmonicida dan vibriosis<br />

(Fox 2002).<br />

PERMASALAHAN DALAM<br />

APLIKASI DI LAPANGAN<br />

Penggunaan kapang entomofagus (B.<br />

bassiana dan M. anisopliae) untuk mengendalikan<br />

serangga hama pada tanaman<br />

perkebunan sudah banyak dilakukan,<br />

namun untuk pengendalian caplak dan<br />

tungau pada ternak barn pada tahap awal<br />

penelitian (Ahmad 2004). Identifikasi<br />

cendawan sangat penting dalam mendapatkan<br />

cendawan entomofagus, karena<br />

bila salah memilih akan merusak tatanan<br />

fauna dalam lingkungan seperti kematian<br />

serangga yang menguntungkan atau<br />

berguna (Wikardi 2000). Karena itu, perlu<br />

dilakukan penelitian lanjutan. Untuk<br />

aplikasi kapang nematofagus (D.<br />

flagrans) hanya perlu<br />

memasyarakatkannya sehingga<br />

penggunaan cendawan nematofagus<br />

dalam pengendalian penyakit pada ternak<br />

lebih lu g s dibandingkan dengan antelmintik.


Memperhatikan hasil-hasil penelitian<br />

terdahulu maka S. cerevisiae dapat<br />

digunakan sebagai probiotik, namun beberapa<br />

faktor harus dipertimbangkan<br />

seperti biaya produksi dalam skala besar,<br />

pengaruh buruk terhadap ternak, dan zat<br />

khasiat yang terkandung di dalamnya.<br />

Penggunaan S. cerevisiae sebagai imunostimulan<br />

hendaknya tidak melalui<br />

suntikan, tetapi secara oral bersama-sama<br />

pakan.<br />

Peningkatan atau penurunan mekanisme<br />

pertahanan tubuh bergantung pada<br />

jumlah glukan yang dikonsumsi ternak.<br />

Oleh karena itu, responsnya pada ternak<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Agarwal, N., D.N. Kamra, L.C. Chaudhary, A.<br />

Sahoo, and Pathak. 2000. Selection of<br />

Saccharomyces cerevisiae strains for use as a<br />

microbial feed additive. (http://www. B I<br />

ackwell. synergy. com/links/doi/ 10.1046/<br />

J.1472-765X.2000.00826.X/Full/). [15 October<br />

2003].<br />

Ahmad, R.Z. 1999. Pemakaian dua metode isolasi<br />

cendawan nematofagus dari tanah di daerah<br />

Bogor. him. 1.027-1.029. Prosiding Seminar<br />

Nasional Peternakan dan Veteriner, Jilid II.<br />

Pusat Penclitian dan Pengembangan Peternakan,<br />

Bogor.<br />

Ahmad, R.Z. 2001. Isolasi dan Seleksi Cendawan<br />

Nematofagus untuk Pengendalian Haemonchosis<br />

pada Domba. Tesis. Program Pascasarjana<br />

Institut Pertanian Bogor.<br />

Ahmad, R.Z. 2003. Potensi Duddingtonia<br />

flagrans sebagai cendawan nematofagus.<br />

Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 2003;<br />

(4): 14-20, 2004; 5(1-2): 14-20.<br />

Ahmad, R.Z. 2004. Cendawan Metarhizium<br />

anisopliae sebagai pengendali hayati ektoparasit<br />

caplak dan tungau pada ternak.<br />

Wartazoa 14(2): 73-78.<br />

Ahmad, R.Z. 2005a. Pemanfaatan cendawan<br />

Arthrobotrys oligospora dan Duddingtonia<br />

flagrans untuk pengendalian Haemonchosis<br />

pada ruminansia kecil di Indonesia. Jurnal<br />

Penelitian dan Pengembangan Pertanian<br />

24(4): 143-148.<br />

Ahmad, R.Z. 2005b. Pemanfaatan khamir<br />

Saccharomyces cerevisiae untuk ternak.<br />

Wartazoa 15(1): 49-55.<br />

Ahmad, R.Z. 2008. Efektivitas cendawan<br />

Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces<br />

cerevisiae dalam pengendalian racing<br />

Haemonchus contortus pada domba. Disertasi.<br />

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian<br />

Bogor.<br />

Ahman, J. 2000. Extracellular serine proteases<br />

as virulence factors in nematophagous fungi:<br />

Molecular characterization and functional<br />

analysis of the PII protease in Arthrobotrys<br />

sangat bervariasi, bergantung pada ada<br />

atau'tidaknya receptor yang dikenal oleh<br />

komponen gula dari beta-D glukan. Hal<br />

ini berhubungan erat dengan struktur<br />

darah, di mana darah terdiri atas hemosiania<br />

(molekul yang membawa oksigen)<br />

dan lektin (molekul yang beraksi terhadap,<br />

imun) (Life Source Basics 2002). Selain itu<br />

penggunaan imunostimulan beta-D glukan<br />

relatif lebih aman daripada antibiotik yang<br />

mempunyai efek resistensi. Perlakuan<br />

pada ruminansia berbeda dengan pada<br />

unggas atau ikan, sehingga dalam mengaplikasikannya<br />

perlu mengetahui fisiologi<br />

oligospora. Dissertation, Lund University.<br />

Swedia. (http/www.lub.1u.se/cgi-bin/showdiss.pl?db-<br />

global & fname =sci -476 html. I -<br />

3). [30 April 2006].<br />

Alcxopoulus. C.J., C.W. Mims, and M. Blackwell.<br />

1996. Introductory to Mycology. 4' ed. John<br />

Wiley and Sons. Inc., Newyork-Chichester-<br />

Brisbane-Toronto Singapore. p. 869.<br />

Balai Penclitian Veteriner. 1992. Kudis. Infor-<br />

masi Teknis Penyakit Hewan: 22-24.<br />

Barnet, H.L. 1969. Illustrated Genera of Imperfect<br />

Fungi. 2" 1 Ed. Burgess Publishing<br />

Company, Mincapolis.<br />

Barnet, J.A., R.W. Payne, and D. Yarrow. 2000.<br />

Yeasts. Characteristics and Identification. 3'"<br />

Ed. Cambridge Univ Press.<br />

Barron. 2005. Beauveria bassiana. (http://www.<br />

Uoguelph.ca/-g barron/Miscelincous) [20<br />

April 2005].<br />

Batson, G. 1977. Laboratory evaluation of<br />

Beauveria bassiana as pathogen of the<br />

larvae stage of the large elm beetle, Socolytus.<br />

J. Vertebrata Pathol. 29(3): 361-366.<br />

Beriajaya dan R.Z. Ahmad, 1999. Cendawan<br />

Arthrobotrys oligospora untuk pengendalian<br />

ncmatoda Haemonchus contortus pada<br />

domba. him. 980-985. Prosiding Seminar<br />

Nasional Peternakan dan Veteriner Jilid II.<br />

Pusat Penclitian dan Pengembangan Peternakan,<br />

Bogor.<br />

Beriajaya, R.Z. Ahmad, dan E. Kusumaningtyas.<br />

2001. Efikasi nematofagus pada ternak<br />

domba dan kambing. him. 364-370. Prosiding<br />

Hasil Penclitian bagian Proyek. Rekayasa<br />

Teknologi Petemakan. Pusat Penelitian<br />

dan.Pengembangan Peternakan, Bogor.<br />

Beta Glucan Research. 2004. Saccharomyces<br />

cerevisiae. (http://www.betaglucan.orgi). [20<br />

December 2004].<br />

Brady, B.L.K. 1979. Pathogenic Fungi and<br />

Bacteria. Commonwealth Agricultural<br />

Bureaux, England.<br />

dan tingkah laku hewan dengan baik agar<br />

diperoleh hasil yang optimal.<br />

KESIMPULAN<br />

Hasil uji produktivitas dan aplikasi isolat<br />

lokal Indonesia kapang B. bassiana, D.<br />

flagrans, M anisopliae, dan khamir S.<br />

cerevisiae sebagai pengendali hayati,<br />

probiotik dan imunostimulan memberikan<br />

hasil yang baik sehingga dapat dimanfaatkan<br />

untuk meningkatkan produktivitas<br />

dan kesehatan ternak.<br />

Brooks, A.J. and R. Wall. 2002. Infection of<br />

Psoroptes mites the fungus Metarhizium<br />

anisopliae. Exp. Appl. Acarol. 25: 869-880.<br />

Broome, J.R., P.P. Sikorowski, and B.R. Noremarit.<br />

1976. A mechanism of pathogenecity<br />

of Beauveria bassiana on larva of the<br />

imported fire and Solenopsis richteri. J.<br />

Vertebrata Pathol. 28: 87-91.<br />

Budiantoro. 2004. Kerugian ckonomi akibat<br />

skabies dan kesulitan dalam pemberantasannya.<br />

him. 51-63. Prosiding Seminar Parasitologi<br />

dan Toksikologi Veteriner, 20-21<br />

April 2004. Pusat Penclitian dan Pengembangan<br />

Peternakan, Bogor dan DFID-UK.<br />

Campos, R.A., W. Arruda, J.T. Boldo, and Siva.<br />

2005. Boophilus microplus infection by<br />

Beauveria amorpha and Beauveria<br />

bassiana: SEM analysis and regulation of<br />

subtilisin-like protcases and chitinases.<br />

Current Microbiol. 5: 257-261.<br />

Cloyd, R.A. 2003. The Entomophatogenic<br />

Fungus Metarhizium anisopliae. University of<br />

Illinois. (http://www. Entomology.Wisc.<br />

Edu/mben/kyf607.html: 1-2). [10 December<br />

2003].<br />

Dube, H.C. 1996. An Introduction to Fungi. 2"'<br />

Ed. Vikas House PVT, Delhi.<br />

Elliot, G.C. 1994. Reproduction in Fungi Genetical<br />

and Physiological Aspects. Botany Department<br />

Univ of Glasgow Chapman & Hall.<br />

London.<br />

Faedo, M., E.H. Barnes, R.J. Dobson, and P.J.<br />

Waller. 1998. The potential of nematophagous<br />

fungi to control the free-living<br />

stages of nematode parasites of sheep:<br />

Pasture plot study with Duddingtonia<br />

flagrans. Vet. Parasitol. 76: 129-135.<br />

Fernandez, S. 1994. Study of Conidia Production<br />

and Transmission of B. bassiana (balsamo)<br />

Vuill, in Colorado Potato Bettie (Leptintarsa<br />

decemlineata) PhD thesis, University of<br />

Maine.<br />

A - I T ;fA . . . P - f -;- 77/ q i 11MR


Feron. 1981. Biological control of insect pest<br />

by entomogenous fungi. Annu. Rev. Entomol.:<br />

409-442.<br />

Fox, J.M. 2002. Immunology of fish and shrimp.<br />

(http://www.Sci.tamucc.edu/pals/maric/index<br />

/webpage/dlcc2.html). [15 October 2003].<br />

Frazzon, A.P.M., I.D.S. Vas Junior, A. Masuda,<br />

A. Scrank, and M.H. Vainstcin. 2000. In vitro<br />

assessment of Metarhizium anisopliae<br />

isolates to control the cattle tick Boophilus<br />

microplus. Abstract. Vet. Parasitol. 94(1-<br />

2): 117-125.<br />

Fuller, R. 1992. Probiotics the Scientific Basis.<br />

Chapman & Hall. The University Press<br />

Cambridge.<br />

Geuther, F.J., S.F. Steven, and S.G. Patricia. 2004.<br />

Virulence of Metarhizium anisopliae to<br />

embryos of the grass shrimp Palaemonetespugio.<br />

(http://www. Isb.vt.edu/brarg/<br />

brasym95/gcnthner95.htm:1-8) [15 March<br />

2004].<br />

Gronvold, J., J. Wolstrup, P. Nansen, S.A.<br />

Henriksen, M. Larsen, and J. Bresciani. 1993.<br />

Biological control of nematode parasites in<br />

cattle with nematode-trapping fungi: a<br />

survey of Danish studies. Vet. Parasitol. 48:<br />

311-325.<br />

Gronvold, J., P. Nansen, S.A. Henriksen, M.<br />

Larsen, J. Wolstrup, J. Bresciani, H. Rawat,<br />

and L. Fribert. 1996. Induction of traps by<br />

Ostertagia ostertagi larvae, chlamydosporc<br />

production and growth rate in the<br />

nematode-trapping fungus Duddingtonia<br />

flagrans. J. Helminthol. 70: 291-297.<br />

Holder, D.J. and N.O. Keyhani. 2005. Adhesion<br />

of the Entomopathogenic fungus Beauveria<br />

(cordyceps) bassiana to substrata. Appl.<br />

Environ. Microbiol. 71(9): 5.260-5.266,<br />

Istiana, E. Kusumaningtyas, D. Gholib, dan S.<br />

Hastiono. 2002. Isolasi dan identifikasi<br />

Saccharomyces cerevisiae beserta in vitro<br />

terhadap (Salmonella typhimurium). hlm.<br />

459-462. Prosiding Seminar Nasional Tcknologi<br />

Petemakan dan Veteriner, Ciawi Bogor,<br />

30 September-1 Oktober 2002. Pusat Penelitian<br />

dan Pcngembangan Petemakan, Bogor.<br />

Karpinska, E., B. Blaszcak, G. Kosowska, A.<br />

Degrski, M. Binek, and W.B. Borzemska.<br />

2001. Growth of the intestinal anaerobes in<br />

the newly hatched chicks according to the<br />

feeding and providing with normal gut flora.<br />

Bull. Vet. Pulawary. 45: 105-109.<br />

Kirkwood, A.C. 1986. History, biology and<br />

control of sheep scab. Parasitol. Today 11:<br />

302-307.<br />

Kompiang, I.P. 2002. Pengaruh ragi Saccharomyces<br />

cerevisiae dan ragi laut sebagai pakan<br />

imbuhan probiotik terhadap kinerja unggas.<br />

Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7(1): 18-<br />

21.<br />

Kumprecht, I., P. Zobac, Z. Gasnarek, and E.<br />

Robosova. 1994. The effect of continuous<br />

applications of probiotics preparations based on<br />

S. cerevisiae var. elipsoideus and Streptococcus<br />

faecium C-68 (SF-68) on chicken<br />

broiler yield. Zivocisma-yroba 39(6): 491-<br />

503.<br />

Kumprechtova, D., P. Zobac, and I. Kumprecht.<br />

2000. The effect of Saccharomyces cerevisiae<br />

Sc 47 on chiken broiler performance an<br />

nitrogen output. Czech. J. Anim. Sci. 45: 169-<br />

177. (http://www. Buypro-biotics.Com/index<br />

3.cfm? Book chapter id= 33). [20 December<br />

2000].<br />

Kusumamihardja, S. dan L. Zalizar. 1992. Pengaruh<br />

musim pada hipobiose Haemonchus<br />

contortus dan fluktuasi populasi nematoda<br />

saluran pencernaan domba di Indramayu,<br />

Jawa Barat. hlm. 171-192. Prosiding Seminar<br />

Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi.<br />

Larsen, M., P. Nansen, J. Wolstrup, J. Gronvold,<br />

S.A. Henrikesn, and A. Zorn. 1995. Biological<br />

control of trichostrongyles in calves<br />

by fungus Duddingtonia flagrans fed to<br />

animals under natural grazing conditions.<br />

Vet. Parasitol. 60: 321-330.<br />

Larsen, M., P. Nansen, C. Grondhal, S.M.<br />

Thamsborg, 1. Gronvold, 1. Wolstrup, S.A.<br />

Henriksen, and J. Monrad. 1996. The<br />

capacity of fungus Duddingtonia flagrans<br />

to prevent strongyle infections in foals on<br />

pasture. Parasitology 113: 1-6.<br />

Larsen. M., M. Faedo, P.J. Waller, and D.R.<br />

Hannessy. 1998. The potential of nematophagous<br />

fungi to control the free-living<br />

stages of nematodes parasites of sheep:<br />

Studies with Duddingtonia flagrans. Vet,<br />

Parasitol. 76: 121-128.<br />

Larsen, M. 2000. Prospects for controlling<br />

animal parasitic nematodes by predacious<br />

microfungi. Parasitology 120: S121-SI31.<br />

Life Source Basics. 2002. WGP. Beta glucan.<br />

(http: www. Life Source basics. Com/<br />

beta_glucan.htm) [10 December 2002].<br />

Lodder, J. 1970. The Yeast, A taxonomic study.<br />

2" Ed. The Netherland, North Holland Co.<br />

Amsterdam.<br />

Maddox, J.V. 1982. Use of Insects Pathogens in<br />

Pest Management. John Willey and Sons,<br />

New York, Chester, Brisbane, Toronto,<br />

Singapore.<br />

Maranga, R.O., G.R. Kaaya, J.M. Mucke, and A.<br />

Haimnall. 2005. Effects of combining the<br />

fungi Beauveria bassiana and Metarhizium<br />

anisopliae on the mortality of the tick<br />

Amblyomma variegatum (ixodidae) in<br />

relation to seasonal changes. Mycopathologia<br />

154(4): 527-532.<br />

Mendoza-De Gives, P., K.G. Davies, S.J. Clark,<br />

and J.M. Behnke. 1999. Predatory behaviour<br />

of trapping fungi againts srf mutants<br />

of Caenorhabditis elegans and different<br />

plant and animal parasite nematodes. Parasitology<br />

119: 95-164.<br />

Meyer, W.J. and M.G. Wiebe. 2003. Enzyme<br />

production by nematode-trapping fungus,<br />

Duddingtonia flagrans. Abstract. J. Biotechnol.<br />

Letters 25: 791-795.<br />

Nankingan, C.M., W.M. Ongenga-Latigo, G.B.<br />

Allard, and J. Ogwang. 1994. Studies on the<br />

potential of Beauveria bassiana for the<br />

control the banana weevil cosmopolites<br />

sordidus Geermarin Uganda. J. African Crop<br />

Sci. (1): 300-302.<br />

Nansen, P., M. Larsen, A. Roepstorff, J.<br />

Gronvold, J. Wostrup, and S.A.A. Henriksen.<br />

1996. Control of Oesophagostomum<br />

dentatum and Hystongylus rubidus in<br />

outdoor-reard pigs by daily feeding with the<br />

microfungus Duddingtonia flagrons.<br />

Parasitol. Res. 82: 580-584.<br />

Onofre, S.B., M.M. Cindia, M. Neiveia, and L.A.<br />

Joao. 2001. Pathogenicity of four strains<br />

entomopathogenic fungi against the bovine<br />

tick Boophilus microplus. Am. J. Vet. Res.<br />

62: 1.478-1.480.<br />

Patra, A.K. 2007. Nutritional management in<br />

organic livestock farming for improved<br />

ruminant health and production, an overview.<br />

Livestock Res. Rural Dev. 19: 1-21.<br />

Rachmat, R., A. Rauf, dan M.Z. Kanto. 1998.<br />

Kontribusi getah pepaya dalam pengendalian<br />

penyakit casing pada kambing. hlm. 432-<br />

434. Prosiding Seminar Hortikultura. Kcrja<br />

Sama Fakultas Pertanian dan Kehutanan<br />

Universitas Hasanudin dengan Instalasi Penelitian<br />

dan Pengkajian Pertanian Jencponto.<br />

Balai Pengkajian Tcknologi Pertanian<br />

Kendari.<br />

Ratnaningsih, A. 2000. Pengaruh Pemberian<br />

Probiotik S. cerevisiae dan Bioplus pada<br />

Ransum Ternak Domba terhadap Konsumsi<br />

Bahan Kcring, Keccrnaan dan Konversi<br />

Ransum (in vivo). Skripsi Fakultas Peternakan<br />

Universitas Padjajaran, Bandung.<br />

Ridwan, Y., S. Kusumamihardja, P. Dorny, and J.<br />

Vercruysse. 1996. The epidemiology of<br />

gastro-intestinal nematodes of sheep in West<br />

Java, Indonesia. Hemerazoa 78: 8-18.<br />

Roberfoid, M.B. 2000. Probiotics and probiotics:<br />

are they functional foods 1-3 Am. J. Clinical<br />

New. 71(Suppl): 16.828-16.878.<br />

Rosen, S. 1996. Fungal Lcctins. Molecular<br />

structure and function of a member of a<br />

novel lectin family. PhD Dissertation Lund<br />

University. (http://www. Lub.1u.se/cgibin.show-diss.pl?db=<br />

global& fname =sci-<br />

467.html). [4 Juni 2006].<br />

Rukyani, A., E. Silvia, A. Sunarto, dan Taukhid.<br />

1987. Pcningkatan respons kebal nonspesifik<br />

pada ikan lele Jumbo (Clarias spp.)<br />

dengan pemberian imunostimulan (betaglucan).<br />

Jumal Penelitian Perikanan Indonesia<br />

111(1): (Abstrak).<br />

Shins, T., S. Hyung, K. Kyun, and A. Choong.<br />

1989. Effects of CYC on the performance<br />

of dairy, beef cattle and swine. Seoul. Korea.<br />

Sigit, H.S., S. Parosoedjono, dan M.S. Akib. 1983.<br />

Inventarisasi dan pemetaan parasit Indonesia<br />

tahap pertama. Ektoparasit. Laporan Penelitian<br />

Proyek Pcningkatan dan Pengembangan<br />

Perguruan Tinggi Institut Pertanian<br />

Bogor.<br />

Sitthipun, M., A.H. Kittikun, and K. Supamattayta.<br />

2000. Immunostimulant and


vaccination in black tiger shrimp, Penaeus<br />

monodon Fabricius: Extraction of betaglucan<br />

from yeast and its application in black<br />

tiger shrimp (Penaeus monodon Fabricius).<br />

(http://www.clib.psu.ac.th/acad-43/smol<br />

I.htm). [27 December 2000].<br />

Smith, K.E., R. Wall, and N.P. French. 2000.<br />

The control of sheep scabmite Psoroptes<br />

ovis with entom op atho genic fungi. Vet.<br />

Piras 4tol. 92: 97-105.<br />

Soulsby, E.J.L. 1986. Helmiths, Protozoa and<br />

Arthropods of Domesticated Animal. 7 11 ed.<br />

Bailliere Tindall, London.<br />

Steelman, C.P. 1976. Effects of external and<br />

internal arthropod parasites on domestic<br />

livestock production. Ann. Rev. Entomol.<br />

21: 55-178,<br />

Tedesco, D., C. Castrovilli, G. Coni, D. Bartoli,<br />

V. Volltro, and F. Polidori. 1994. Use of<br />

probiotics in the feeding of neat rabbits:<br />

Effects on performance and intestinal<br />

microorganism. Rivista dj. Coniglicoltura<br />

31(10): 41-46.<br />

Tizard, I. 1987. Veterinary Immunology, an<br />

Introduction. W.B. Saunders Company,<br />

Philadelphia, USA.<br />

Urqurhart, G.M., J. Armour, J.L. Duncan, A.M.<br />

Dunn, and F.W. Jennings. 1987. Veterinary<br />

Parasitology, Department of Veterinary<br />

Parasitology. Faculty of Veterinary Medicine,<br />

The Univ of Glasgow, Scotland, Longman<br />

Scientific & Technical. Churchill Livingstone<br />

Inc, New York.<br />

Waller, P.J. 1997. Sustainable helminth control<br />

of ruminants in developing countries. Vet.<br />

Parasitol. 71: 195-207.<br />

Wikardi, E.A. 2000. Cendawan patogen serangga<br />

sebagai bahan baku insektisida. Pemanfaatan<br />

mikroba dan parasitoid dalam agroindustri<br />

tanaman rempah dan obat. Perkembangan<br />

Teknologi Tanaman Rempah dan Obat (XII):<br />

21-28.<br />

Wina, E. 2000. Pemanfaatan ragi (yeast) sebagai<br />

pakan imbuhan untuk meningkatkan produktivitas<br />

ternak ruminansia. Wartazoa 9(2):<br />

50-56.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!