Menekan Angka Korban Pernikahan Menyimpang - Kemenag Jatim
Menekan Angka Korban Pernikahan Menyimpang - Kemenag Jatim
Menekan Angka Korban Pernikahan Menyimpang - Kemenag Jatim
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
<strong>Menekan</strong> <strong>Angka</strong><br />
<strong>Korban</strong> <strong>Pernikahan</strong> <strong>Menyimpang</strong><br />
Banyak jalan menuju pernikahan<br />
“menyimpang”. Setelah kisah Syech<br />
Puji, peristiwa Aceng Fikri, juga cerita<br />
Eyang Subur, masih diperpanjang lagi<br />
oleh tragedi anggota DPRD Sampang<br />
yang melakukan nikah-kilat terhadap<br />
sembilan ABG. “Ini ironi sekali.<br />
Di saat DPR RI menggodok pasal pidana<br />
kumpul kebo dalam RKUUHP,<br />
ada modus baru perkawinan kilat<br />
yang justru dipraktekkan oknum DP-<br />
RD,” tukas Drs. H. Abd. Salam, SH,<br />
MH mengelus dada.<br />
Maraknya nikah kilat, nikah sirri,<br />
nikah muth’ah atau sejenisnya, tutur<br />
Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo<br />
ini, sesungguhnya dipicu dari<br />
kesalahpahaman masyarakat dalam<br />
memahami hukum syar’i. “Itu hanya<br />
Drs. H. Abd. Salam, SH, MH<br />
penghalusan istilah ‘zina’ agar pelaku<br />
tidak dicemooh masyarakat. Sebab<br />
mereka tampak seolah-olah masih<br />
berpegang pada norma agama,” sungutnya.<br />
Bagi pria kelahiran Pasuruan 12<br />
April 1957 ini, kehalalan hubungan<br />
seksual hanya melalui pernikahan<br />
yang bertujuan mewujudkan kehidupan<br />
sosial yang tenang dan damai,<br />
sakinah mawaddah wa rahmah (QS.<br />
ar-Rum: 21). “Ajaran ini tidak bisa direalisasikan<br />
dalam perkawinan kilat.<br />
Sebab pelaku yang tertangkap pasti<br />
malu, gelisah, tidak sakinah. Itulah<br />
pertanda bahwa perbuatannya tidak<br />
baik dan dosa,” tukas suami Aslikhati<br />
yang dikaruniai empat anak ini menjelaskan.<br />
Lulusan S1 Fak. Syari’ah IAIN<br />
Sunan Ampel dan Fak. Hukum Universitas<br />
Bondowoso ini menerangkan,<br />
bahwa perkawinan mempunyai<br />
dimensi psikologis. Sang mempelai<br />
harus bersatu-padu, saling memiliki,<br />
saling menjaga, saling melindungi,<br />
saling mencintai dan menyayangi.<br />
“Semua itu tidak ada dalam perkawinan<br />
kilat. Yang ada hanya mengejar kepuasan<br />
sesaat dan kemudian membayar,”<br />
sindirnya.<br />
Dari dimensi sosiologis, dengan<br />
perkawinan seseorang mempunyai<br />
status baru sebagai anggota masyarakat<br />
yang utuh. Sementara pelaku<br />
kawin kilat, senantiasa sembunyisembunyi<br />
dan malu bersosialisasi.<br />
“Ini gejala kehidupan sosial yang tidak<br />
sehat dan tak sesuai dengan fitrah<br />
menusia,” tukas jebolan pesantren<br />
Darul Hikmah Sawahan Mojosari<br />
Drs. Shofrowi, SH, MH<br />
ini menandaskan.<br />
Solusinya, tutur pria yang juga<br />
pernah nyantri di pesantren Persis<br />
Bangil dan Darul Arqom Wonocolo<br />
Surabaya ini, adalah dengan menggunakan<br />
konsep maslahat dan maqoshidus<br />
syari’ah. “Kedua hal ini<br />
perlu dijadikan pusat acuan untuk<br />
merekonstruksi fikih perkawinan,”<br />
usulnya.<br />
Dengan demikian, terang alumnus<br />
S2 Institut Bisnis Law And Management<br />
(IBLAM) Jakarta ini, landasan<br />
fikih yang dianut tidak semata legal-formal.<br />
<strong>Pernikahan</strong> harus mempertimbangkan<br />
tujuan disyari’atkannya<br />
perkawinan itu sendiri. Maka<br />
langkah awal yang harus ditempuh<br />
untuk menekan “pernikahan menyimpang”,<br />
adalah dengan memperbaharui<br />
pemahaman masyarakat mengenai<br />
status hukumnya. “Juga menerapkan<br />
sanksi sebagai shock terapi bagi pelaku<br />
pelanggaran UU Perkawinan agar<br />
tidak ada korban yang terus berjatuhan,”<br />
pintanya.<br />
Praktek pernikahan “menyimpang”,<br />
tutur Drs. Shofrowi, SH, MH,<br />
modusnya hampir sama. Mereka melakukannya<br />
dengan mendatangkan<br />
seseorang yang dianggap sebagai<br />
modin untuk menikahkan. Bahkan<br />
yang lebih parah – seperti kasus anggota<br />
DPRD Sampang – dilakukan di<br />
dalam mobil dan tanpa seorang wali.<br />
Usai melaksanakan “malam pengantin”<br />
langsung menceraikan. “Apapun<br />
alasannya, ini perbuatan yang sangat<br />
tidak patut dan menyalahi hukum pernikahan,”<br />
tandasnya.<br />
Yang membuat pria kelahiran Salatiga<br />
4 Maret 1955 ini tak habis pikir,<br />
perbuatan nista semacam itu justru<br />
banyak dipraktikkan oleh publik figur<br />
dan pemegang kekuasaaan. “Padahal<br />
mereka bukanlah orang bodoh yang<br />
buta terhadap hukum,” tukasnya dengan<br />
nafas tersengal.<br />
Praktek menyimpang semacam<br />
itu, sambung Hakim Tinggi Pengadilan<br />
Tinggi Agama (PTA) Surabaya ini,<br />
selama ini berlindung di balik hukum<br />
agama – terutama yang berbau khilafiyah.<br />
Dalam Undang-undang Perkawinan<br />
Nomor 1 Tahun 1974 Bab 1 pasal<br />
2 ayat 1 menyebutkan; bahwa perkawinan<br />
itu sah apabila dilakukan menurut<br />
hukum masing-masing agama.<br />
“Tapi ayat ini kan masih ada ayat lanjutan<br />
yang menyatakan; tiap-tiap perkawinan<br />
dicatat menurut peraturan<br />
perundang-undangan yang berlaku,”<br />
sanggahnya dengan mimik serius.<br />
Berpijak dari UU perkawinan<br />
tersebut, lanjutnya, tiap perkawinan<br />
harus dicatatkan di depan Petugas<br />
Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan<br />
Agama (KUA). Adapun perceraian<br />
harus dilakukan di depan pengadilan<br />
agama (PA). “Jadi, setiap pernikahan<br />
dan perceraian harus dibuktikan dengan<br />
bukti formil,” tegasnya dengan<br />
suara meninggi.<br />
Memang dalam ilmu fiqih, ketika<br />
syarat rukun nikah terpenuhi meski<br />
tanpa dicatatkan, pernikahan sudah<br />
sah. Bahkan talak cukup dengan mengucapkan<br />
kata cerai, sudah beres.<br />
“Tapi sebagai warga negara kita tentu<br />
harus mematuhi hukum yang ada di<br />
negara ini. Dan sebagai warga beragama<br />
kita wajib menjalankan syariat<br />
MPA 321 / Juni 2013<br />
15
DR. Hj. Hasniah Hasan, M.Si<br />
16 MPA 321 / Juni 2013<br />
Drs. H. Sudjak, M.Ag<br />
agama,” tuturnya.<br />
Humas Pengadilan Tinggi Agama<br />
(PTA) Surabaya inipun menghimbau,<br />
agar kita tak mempertentangkan<br />
antara hukum agama dengan hukum<br />
negara. Sebab memang tak ada pertentangan<br />
antara keduanya. “Yang selama<br />
ini justru sering mempertentangkan,<br />
adalah orang-orang yang hanya<br />
ingin meraup kepentingan sesaat dan<br />
sangat personal,” ungkapnya.<br />
Kecenderungan pernikahan-kilat<br />
atau kawin-cerai, menurut DR. Hj.<br />
Hasniah Hasan, M.Si, sesungguhnya<br />
dipicu banyak faktor. Pertama, karena<br />
faktor ikut-ikutan. Mereka mengikuti<br />
yang lagi ngetrend. Dengan begitu<br />
mereka tidak malu-malu untuk mengungkapkan<br />
secara demonstratif.<br />
Kedua, karena pemahaman agama<br />
yang belum pada taraf dijadikan<br />
sebagai bahan rujukan dalam berperilaku<br />
sehari-hari. Kalau mereka menjadikan<br />
agama sebagai pedoman di<br />
dalam berperilaku, tentu tidak akan<br />
menyembunyikan pernikahannya.<br />
Rasulullah sendiri menyuruh untuk<br />
mewartakan kepada khalayak agar tidak<br />
menimbulkan fitnah.<br />
Faktor ketiga, ketika memasuki<br />
hidup berumah tangga mereka tanpa<br />
persiapan. Mereka tidak tahu fungsi,<br />
peran, kewajiban dan tanggung jawab<br />
sebagai mempelai. Dan yang keempat,<br />
dalam memasuki pintu pernikahan<br />
niatnya tidak mantap sebagai<br />
ibadah mencari ridlo Allah. “Jadi, komitmen<br />
untuk menikah itu hampirhampir<br />
tidak ada. Hanya menginginkan<br />
kesenangan sesaat atau sifatnya<br />
coba-coba saja,” paparnya.<br />
Kalau mereka sadar bahwa menikah<br />
itu ibadah, kata perempuan kelahiran<br />
10 Juni 1947 ini, pasti tidak akan<br />
mempermainkan wanita dengan hobi<br />
kawin-cerai – meski mereka memberikan<br />
nafkah. “Hidup berumah tangga<br />
itu tak hanya membutuhkan uang saja.<br />
Ada hal lain yang harus terpenuhi<br />
selain duit,” tandasnya.<br />
Untuk melanggengkan mempelai<br />
pasangan, tutur Kabag Pembinaan<br />
Keluarga Sakinah dan Kewanitaan<br />
Masjid Nasional Al Akbar Surabaya<br />
ini, sebenarnya Dirjen Binbaga Islam<br />
telah mengeluarkan instruksi pada<br />
tanggal 10 Desember 2009 yang isinya:<br />
jangan melayani calon pengantin<br />
kalau dia belum mengikuti kursus<br />
calon pengantin.<br />
Dengan mengikuti kursus calon<br />
pengantin, menurut dosen Pascasarjana<br />
Unmuh Surabaya ini. akan dapat<br />
memberikan bekal bagi calon pengantin<br />
untuk mengarungi bahtera rumah<br />
tangga. Semisal tentang manajemen<br />
rumah tangga, prosedur pernikahan,<br />
psikologi perkawinan, mengenal konflik<br />
rumah tangga dan solusinya, peran<br />
anak dalam membentuk keluarga<br />
sakinah, pendidikan agama, dan juga<br />
kesehatan reproduksi. “Kalau suscatin<br />
ini efektif, insya Allah angka perceraian<br />
di Jawa Timur akan dapat ditekan,”<br />
tandasnya.<br />
Yang terpenting, simpulnya, niat<br />
menikah itu harus baik. Kalau niatnya<br />
untuk menyakiti, maka nikahnya menjadi<br />
haram. Berniatlah untuk ibadah<br />
dan mencari ridla Allah. “Saya yakin,<br />
kalau komitmennya kuat, tidak akan<br />
terjadi kawin cerai-kawin cerai,” tuturnya.<br />
“Sebab kalau dia yakin apapun<br />
yang terjadi dalam berumah tangga<br />
semata mencari ridlo Allah, bagaimana<br />
mungkin sampai hati kawin<br />
cerai-kawin cerai,” kata Widyaswara<br />
Utama Kementerian Agama Prov. <strong>Jatim</strong><br />
ini bernada tanya.<br />
Sedangkan Drs. H. Sudjak,<br />
M.Ag lebih menunjuk pada soal krisis<br />
akhlak dan moralitas. Pasalnya, tingkat<br />
perceraian yang akhir-akhir ini<br />
mengalami lonjakan yang cukup tinggi,<br />
salah satunya dikarenakan persoalan<br />
akhlak dan moralitas. “Biasanya<br />
terungkap lantaran tidak ada kecocokan<br />
antar suami-istri secara terusmenerus,”<br />
katanya memberikan contoh.<br />
“Ketidakcocokan itulah yang<br />
menyebabkan pertikaian antar suamiistri,”<br />
terangnya.<br />
Kemerosotan akhlak dan moralitas<br />
itu bisa berupa perselingkuhan.<br />
“Orang yang berselingkuh itu menunjukkan<br />
imannya lemah. Mereka<br />
lupa pada komitmen pernikahan, yakni<br />
kesetiaan pada pasangan baik dalam<br />
keadaan susah maupun senang,”<br />
katanya mengingatkan.<br />
Kepala Kantor Wilayah Kementerian<br />
Agama Provinsi Jawa Timur ini<br />
menyatakan, bahwa terjadinya perilaku<br />
kawain-cerai bisa pula dipicu faktor<br />
ekonomi. Baik karena kekurangan atau<br />
berkelebihan ekonomi. Orang yang<br />
tiba-tiba memperoleh rizki melimpah,<br />
biasanya punya keinginan macammacam.<br />
Dia mengira dengan uang akan<br />
dapat membeli segalanya. Begitu<br />
sebaliknya, ekonomi yang pas-pasan<br />
kerap bikin panik dan bingung, lantas<br />
menjurus pada percekcokan yang<br />
menjadi pemicu perceraian.<br />
Kementerian Agama, tutur mantan<br />
Kepala Biro AKKU IAIN Sunan<br />
Ampel Surabaya ini, sebenarnya punya<br />
BP4 yang fungsinya menjadi<br />
konsultan dan mediator bagi keluarga<br />
yang bermasalah. Dulu ketika o-<br />
rang mengajukan perceraian ke Pengadilan<br />
Agama, selalu diarahkan terlebih<br />
dahulu ke BP4. Namun karena<br />
perubahan struktur organisasi pemerintah,<br />
Pengadilan Agama kini masuk<br />
dalam ranah Mahkamah Agung. “Itulah<br />
yang menyebabkan fungsionalisasi<br />
BP4 tidak berjalan sebagaimana<br />
mestinya,” ucapnya menyayangkan.<br />
Meski demikian, tutur pendiri<br />
STAIBA Purwoasri Kediri ini, dalam<br />
hal penegakan akhlak dan moralitas<br />
pihaknya tetap mengupayakan seoptimal<br />
mungkin. Dirinya meminta, agar<br />
syiar agama lebih ditingkatkan lagi.<br />
Baik yang secara langsung di masyarakat,<br />
maupun dakwah yang melalui<br />
media. “Ini akan terus kami lakukan<br />
hingga kapanpun agar dapat membentengi<br />
diri kita, keluarga kita, generasi<br />
kita, sehingga bangsa ini terselamatkan<br />
dari murka Allah karena merajalelanya<br />
amoral seperti bangsabangsa<br />
yang terdahulu,” tuturnya.•<br />
Laporan:<br />
Anni Athi’ah, Muhammad<br />
Hisyam, Dedy Kurniawan,<br />
Supriyanto (Surabaya).