12.07.2015 Views

Drs. KH. Qowaid: Mensedekahkan Hidup dengan ... - Kemenag Jatim

Drs. KH. Qowaid: Mensedekahkan Hidup dengan ... - Kemenag Jatim

Drs. KH. Qowaid: Mensedekahkan Hidup dengan ... - Kemenag Jatim

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Ada satu hal yang tak pernahberubah dari diri <strong>Drs</strong>. <strong>KH</strong>. <strong>Qowaid</strong>.Kemanapun pria bersahaja ini berada,selalu bersanding <strong>dengan</strong> kitab kuning.Empat belas tahun sudah masa purnatugas dijalaninya. Namun selama itupula masyarakat mendapuknya untukmengajarkan kitab kuning kepadamereka.34 MPA 310 / Juli 2012<strong>Drs</strong>. <strong>KH</strong>. <strong>Qowaid</strong><strong>Mensedekahkan</strong> <strong>Hidup</strong> <strong>dengan</strong> Kitab KuningSetiap Rabu pagi, banyak orang yangberduyun datang ke rumahnya untuk ngaji kitab klasikTasawuf. Dan khusus untuk kajian kitab Hadits, diadakanpada setiap Jum’at malam. Di usianya yang beranjak keangka 75 tahun, mantan Kabid Penais Kanwil <strong>Kemenag</strong>Prov. Jawa Timur era 1990-an ini merasa bugar-bugar saja.“Jika bersentuhan <strong>dengan</strong> kitab kuning, saya merasa mudalagi,” ucapnya sambil melepas tawanya yang renyah.Sepanjang kehidupannya, suami Hj. Uthi’ Nafisahini memang selalu berurusan <strong>dengan</strong>kitab kuning. Bahkan ketikadirinya menjadi pejabat di lingkunganKementerian Agama.Terbukti saat menjabat Kasi PenaisKankemenag Mojokertodi tahun 1976, dirinya didaulatuntuk berbagi ilmu<strong>dengan</strong> membacakan kitabkitabklasik itu di lingkungankerjanya. Padahal pada masamasatersebut masih kebilang langka pengajiankitab kuning di lingkungan Kankemenag.“Ketika itu saya membacakan kitab HaditsShahih Bukhari,” kenangnya sambil melipatsenyum manisnya.Lantaran kepiawaiannya membaca kitabkuning pula, banyak teman sejawat maupunmasyarakat yang mendatanginya untuk sekedarsharing permasalahan agama. Padasaat menjabat sebagai Kepala KankemenagKab. Madiun dan Kab. Banyuwangi, urusankitab kuning masih terus saja digelutinya.“Entahlah.. saya sendiri tak tahu kenapa orang sepertitawon ngrubuti untuk minta ngaji,” ujarnya bernada heran.Keheranan ayah tiga putri dan kakek 4 cucu ini terasawajar, karena dirinya tak merasa memiliki potongan kiaiatau guru ngaji yang pantas didatangi. “Kalau kiai bonek,iya mungkin,” kelakarnya. Tapi masyarakat punya penilaianyang lain. Apalagi sewaktu bertugas diKankemenag Mojokerto – dari guru PGAN Jombang –kerap memberikan ceramah keagamaan dan penyuluhan.Kemahirannya mendalang juga menambah daya pikatmasyarakat untuk tak melupakan pesan dan nasehatnasehatnya.Meski demikian, tak banyak yang tahu kalau Ketuadewan pakar Masyarakat Ekonomi Syariah Mojokerto initernyata mendalami kitab kuning secara otodidak.Penasehat BAZ, DMI dan MUI Kota Mojokerto inimengaku jika dirinya tak pernah mondok di pesantren.Tentang penguasaan dasar-dasar gramatikal bahasa Arab,justru diperolehnya dari sekolah formal. Hal itu didapatkanketika dirinya menempuh pendidikan di Sekolah RakyatIslam (SRI) Tanjung Anom Nganjuk.Saat itu dia langsung dimasukkan ke tingkatempat, karena sebelumhya sudah menamatkanSekolah Rakyat di tahun 1950. Di SRI inilahdirinya mendapat bimbingan dari para gurunyatentang dasar-dasar gramatikal bahasa Arabdan berbagai kitab kuning. “Kebanyakanguru saya itu orang pesantren. Jadi sistempendidikannya pun tak jauh beda <strong>dengan</strong>pesantren,” tuturnya bersemangat. “Kitabkitabseperti Nahdlatul Mubtadiin (fiqih),Khulashatul Nurul Yaqin (tarikh), Jurumiyah(nahwu) dan Amtsilah Tashrifiyah(sharf) saya peroleh di SRI,” terangnya.Di selah-selah kegiatan belajarnya disekolah formal itulah, dirinya serius mendalamipemahaman gramatikal bahasa Arab.Di rumah pun dia turut ngaji ke <strong>KH</strong>. Sofwan(pamannya), yang tempat tinggalnya tak jauh darirumahnya. “Tapi itu karena paksaan orang tua yangtak rela melihat saya menganggur sepulang sekolah,”


<strong>KH</strong>. Sholichan bersama isteri tercintakilah anak kedua dari tiga bersaudara ini mengenang.Rasa keterpaksaan itulah yang membuatnya takbegitu intens mengikuti pengajian. Hanya sebatasmemperhatikan Kiai Sofwan saat membacakan kitabkuning pada para santrinya di masjid. Pantas kalau taksatu kitab kuning pun sempat dikhatamkan bersama sangpaman. Selebihnya, dia mendalami secara otodidak.Menurut pria yang masih enerjik di usia senja ini, tak adayang sulit dari kitab kuning. Asal mau berbekalnekad dan sungguh-sungguh, pasti bisa. “Tanpakenekadan dan keseriusan, kita tak akan pernahtahu sampai di mana potensi kita,” ujarnya serius.Qawaid tak ambil pusing <strong>dengan</strong> anggapankalau belajar tanpa bimbingan guru khusus ituberarti gurunya setan. “Apalagi klaim itu ternyatabersumber dari pemahaman tasawuf dan bukanbersumber dari keilmuan umum,” elaknya.“Pencari ilmu yang terbimbing setan, adalahseseorang yang belajar <strong>dengan</strong> tanpa memilikidasar-dasar keilmuannya,” jelasnya.Lantas untuk menghindari terpelesetnyasebuah pemahaman? “Harus memakai standaral-Qur’an dan al-Hadits,” tukasnya. “Jadi selamahasil pemahanan dari sebuah teks keagamaanitu tidak bertentangan <strong>dengan</strong> keduanya, tentutak menjadi masalah,” tegasnya.Menurut alumnus Fak. Tarbiyah IAINSunan Ampel Malang – kini UIN Maulana MalikIbrahim Malang – ini, kehadiran sistem teknologiinformasi modern juga bisa berfungsi sebagai guru.Internet dapat difungsikan sebagai fasilitas untukmenggali referensi ilmu-ilmu keagamaan. Meski dirinyamenyadari, bahwa pengetahuan dari internet tak luputdari koreksi. Dengan kian cepatnya arus informasi yangdiakses dari internet, telah mengakibatkan orang makinterombang-ambing tanpa pendirian jelas. “Laksana robot,mereka digerakkan sebuah sistem diluar dirinya. Didalamnya juga banyak terjadi pembelokan ajaran agama.Nah, inilah yang dimaksud gurunya setan itu tadi,”ungkap mantan guru tugas di Madrasah Wajib belajar(MWB) Ngoro Jombang era1960-an ini mengingatkan.Setamat SRI, dia meneruskanke sekolah lanjutan setingkatMTs di PGA swasta di daerahTanjung Tani pula. Setelah itu,baru hijrah ke Malang lantaanditerima untuk melanjutkan studidi PGAN. “Di Malang pun sayamasih terus mengasah kebiasaanmembaca kitab kuning. Dari hasilpemahaman isi teks kitab tersebutlantas saya diskusikan <strong>dengan</strong>teman-teman,” tukasnya.Kebiasaan berdiskusi dirasakannyalebih mengasyikkan.Dan itu juga lebih efektif ketimbangharus mentashihkannyake orang-perorang. Yangpaling dijaga dalam berdiskusi,agar tak terjadi perbedaan tajam akibat sudut pandangyang berseberangan. Bukankah sebuah perbedaan kerapberdampak pada pengkotakan dalam kelompok tertentu?Menurut Kiai <strong>Qowaid</strong>, selama ini umat Islam sudahterjebak ke dalam paradigma tradisional-modern, santripriyai-abangan,NU-Muhamadiyah. Akhir-akhir inipengelompokan itu makin dipertajam lagi <strong>dengan</strong> stigmakelompok radikal, ektrimis, fundamentalis, salafi danDiskusi menyelami pemikiran orang lainseterusnya. “Saya heran mengapa masyarakat begitumudahnya terjebak kedalam kubangan firqah-firqahsemacam itu,” ungkapnya miris.Demi menjalin rasa ukhuwah itulah, dirinya inginmensedekahkan hidupnya untuk berdakwah memberikanpencerahan kepada umat. Dan yang terasa pas buatnya,adalah <strong>dengan</strong> mengajar ngaji kitab kuning. Sebab dalamkitab kuning banyak ditemukan sumber ajaran agama;seperti tentang ketauhidan dan hukum. “Dengan mengajarkankitab kuning, saya ingin mengkhatamkan usiasaya <strong>dengan</strong> khusnul khatimah,” pungkasnya.•A. Suprianto, Fery MachendraMPA 310 / Juli 201235

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!