You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Friday, 25 December 2009 06:18<br />
<strong>Toleransi</strong> <strong>beragama</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Islam</strong><br />
Mimbar Jumat - Artikel Jumat<br />
FACHRURROZY PULUNGAN<br />
Tiap-tiap agama mempunyai hari raya. Pada prinsipnya, hari raya suatu agama dirayakan oleh masing-masing pemeluknya, sebab<br />
motivasi atau titik tolaknya adalah karena keyakinan atau kepercayaan keagamaan yang dianut.<br />
Bertitik tolak dari paham yang demikian, maka di <strong>dalam</strong> perayaan suatu agama yang di <strong>dalam</strong>nya terdapat upacara ritual, tidaklah<br />
relevan apabila diundang orang lain yang menganut keyakinan atau kepercayaan agama lain untuk turut merayakannya.<br />
Sebagai contoh dapat kita kemukakan tentang hari raya agama <strong>Islam</strong>. Seperti diketahui, hari raya <strong>dalam</strong> <strong>Islam</strong> ada dua, ‘Idul Fithri dan<br />
‘Idul Adha. Kedua hari raya <strong>Islam</strong> itu dilakukan <strong>dalam</strong> bentuk sholat dan khutbah, yang sifatnya ta’abbudi/ritual.<br />
Karenanya tidaklah wajar apabila umat <strong>Islam</strong> mengundang orang yang menganut agama lain untuk hadir bersama-sama merayakan<br />
hari raya itu. Kalaupun ada orang-orang yang dari agama lain ingin turut bersama-sama merayakan hari raya <strong>Islam</strong> dengan<br />
mengerjakan shalat hari raya karena hendak menunjukkan sikap toleransi /tasamuh, tentu setiap individu muslim yang arif akan<br />
mencegah yang demikian dengan sikap yang layak dan etis.<br />
Harus dipahamkan perbedaan antara shalat “idul Fithri dengan pertemuan silaturrahim ‘Idul Fithri yang umum dikenal sebagai halal bi<br />
halal, atau memperingati satu Muharram, Maulid Nabi, dan Isra’ Mi’raj. Sikap jiwa yang demikian diharapkan pula diterapkan oleh<br />
saudara-saudara kita yang <strong>beragama</strong> lain, baik penganut agama Kristen, Budha, dan Hindu terhadap pemeluk agama <strong>Islam</strong>.<br />
Apabila umat <strong>Islam</strong> diundang misalnya, untuk merayakan Hari Natal atau Tahun Baru yang di <strong>dalam</strong>nya ada pemujaan atas Yesus<br />
Kristus atau perayaan agama lainnya yang juga memiliki upacara ritual, tidaklah relevan dengan ajaran ke<strong>beragama</strong>anpun dengan<br />
sendirinya akan menempatkan pihak yang diundang <strong>dalam</strong> satu posisi yang sulit.<br />
Kalau undangan itu dipenuhinya, akan bertentangan dengan norma-noram aqidah yang menjadi pegangan hidupnya., sebaliknya<br />
kalau tidak dihadiri, apalagi karena yang mengundang adalah pimpinan kantor,bos perusahaan, gubernur dan lain-lain, maka khawatir<br />
akan dicap atau dianggap tidak memiliki sikap hidup kerukunan atau toleransi.<br />
Dalam hubungan ini perlu kita kutip petunjuk yang pernah dikeluarkan oleh eks Mentri Agama Alm. Munawir Syazali tentang pedoman<br />
penyiaran agama No.70 tahun 1978. Inti edaran tersebut, ialah peringatan hari besar keagamaan yang diselenggarakan oleh<br />
masyarakat dan sekolah, perguruan tinggi pada dasarnya diselenggarakan dan dihadiri oleh pemeluk agamanya masing-masing.<br />
Karenanya, hendaknya jangan ada satu pemikiran memberikan kwalifikasi Perayaan Bersama terhadap perayaan keagamaan<br />
pemeluk suatu agama. Bagi umat <strong>Islam</strong>, sudah ada pegangan dan petunjuk yang dituangkan oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia<br />
tanggal 7 Maret tahun 1981, yang pada pokoknya kaum muslimin tidak diperbolehkan menghadiri perayaan Natal, berdasarkan ajaran<br />
aqidah <strong>Islam</strong>.<br />
Pendirian yang demikian hendaknya jangan sampai diartikan sebagai tidak berusaha menciptakan kerukunan hidup umat <strong>beragama</strong>.<br />
Dalam rangka menciptakan kerjasama yang memberikan dorongan kerukunan hidup, masih banyak harihari besar bersama dimana<br />
penganut bermacam macam agama dapat menggalang dan menunjukkan kesatuan dan kerukunan itu.<br />
Umpamanya,<strong>dalam</strong> merayakan tujuh belas Agustus, Hari Pahlawan, Hari Sumpah Pemuda, Hari Kesetia Kawanan Sosial, Hari Ibu,<br />
dan hari-hari lain yang sifatnya Nasionalis, bukan Agamis. Untuk menciptakan keterpaduan dan kebersamaan dari berbagai macam<br />
penganut agama, maka dapat dibentuk satu Panitia Bersama <strong>dalam</strong> merayakan dan menye-marakkan hari-hari nasioal itu yang pada<br />
gilirannya akan tercipta sikap kebangsaan <strong>dalam</strong> setiap diri, bukan justru merayakan hari-hari keagamaan yang dapat menimbulkan<br />
keyakinan abu-abu.<br />
Dalam <strong>Islam</strong>, telah jelas dan baku <strong>dalam</strong> mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, walau berbeda keyakinan. Banyak<br />
ditemukan ayat-ayat Al Quran yang mengajarkan setiap individu muslim bersikap luwes/ fleksibelity, terbuka/open minded, berlapang<br />
dada/hostelity dan tasamuh/toleransi, seperti ayat pada muqaddimah di atas, surat Yunus ayat 99, surah al Ankabut ayat 46 dan<br />
lain-lain, meletakkan prinsip-prinsip bagaimana seharusnya seorang muslim memandang dan menghadapi pemeluk agama-agama lain.<br />
Dari keterangan ayat-ayat Alqur’an itu terdapat sedikitnya empat prinsip; yaitu : Pertama, menjauhkan sikap paksaan , tekanan,<br />
intimidasi dan yang seumpanya. <strong>Islam</strong> tidak mengenal tindak kekerasan. Dalam pergaulan dengan pemeluk agama-agama lain harus<br />
bersikap toleran/tasamuh. Kedua, <strong>Islam</strong> memandang pemeluk agama-agamalain, terutama Ahli Kitab memiliki persamaan landasan<br />
akidah, yaitu sama-sama mempercayaai Allah Yang Maha Esa.
<strong>Islam</strong> mengaukui kebenaran dan kesucian Kitab Taurah dan Injil <strong>dalam</strong> keadaan orisinil/asli. Ketiga, <strong>Islam</strong> mengulurkan tangan<br />
persahabatan terhadap pemeluk agama-agama lain, selama pihak yang bersangkutan tidak menunjukkan sikap bermusuhan dan<br />
memerangi.<br />
Keempat, pendekatan/approach terhadap pemeluk agama-agama lain untuk meyakinkan mereka terhadap kebenaran ajaran <strong>Islam</strong>,<br />
haruslah dilakukan dengan diskusi yang baik, sikap sportif dan elegan. Jelaslah bahwa, toleransi <strong>dalam</strong> <strong>Islam</strong> itu ada batasbatasnya,<br />
ada ketentuan-ketentuan yang berdasarkan hukum menurut al Qur’an dan as Sunnah.<br />
Rasulullah Muhammad SAW menunjukkan contoh yang jelas dan tegas tatkala beliau diajak oleh orangorang yang tidak beriman/kafir<br />
Quraisy untuk melakukan sikap kompromistis, yaitu sehari bersama-sama menyembah Allah, dan pada hari lainnya bersama-sama<br />
pula menyembah tuhan-tuhan mereka lata, mana dan uzza-tuhan-tuhan warisan nenek moyang mereka.<br />
Maka pada saat itu Allah menurunkan surah al Kafirun “ Katakanlah (wahai Muhammad) wahai orang-orang kafir, aku tidak akan<br />
menyembah apa yang kamu sembah......” dan di ayat terakhir, “ Untuk kamu agama kamu, untuk saya agama saya”.<br />
Karenanya dapat disimpulkan, bahwa mengenai perayaan keagamaan haruslah ditempatkan secara proporsional seperti yang<br />
diuaraikan, dan bagi umat <strong>Islam</strong> harus mampu meyakini dirinya bahwa turut serta <strong>dalam</strong> merayakan hari Natal atau mengucapkan<br />
‘Selamat Natal dan Tahun baru’ berarti telah mencedrai aqidahnya. Artinya, dengan turut serta <strong>dalam</strong> upacara kebaktian Natal dan<br />
ucapan selamat, secara langsung ia telah mengakui adanya ilah-ilah/tuhan-tuhan lain selain Allah.<br />
Padahal ia telah mengucapkan kalimat syahadat, dan kalimat itu terdiri dari dua frame (bingkai) yaitu; ‘asyhadu’, dan ‘la ilaha illallah’,<br />
dankalimat ‘asyhadu’secarabahasadapatbermakna sebagai berikut : 1. Asyhadu sebagai al i’lan, yang bermakna ‘pengumuman,<br />
pernyataan (statement), atau proklamasi.<br />
Jika seseorang telah bersyahadat, maka itu artinya, ia telah menyatakan, mengumumkan, atau memproklamirkan dirinya sebagai<br />
pemeluk atau penganut <strong>Islam</strong> yang memiliki tata nilai tertentu. Pernyataan itu menunjukkan adanya penegasan dan perbedaan yang<br />
lain dari yang lain.<br />
Jika sebuah negara misalnya, memproklamasikan negaranya, maka sejak itu pula negara itu memiliki lambang negara sendiri, lagu,<br />
dan bendera sendiri, batas wilayah dan undang-undang yang diberlakukannya sesuai dengan semangat dan cita-cita yang mendasari<br />
proklamasinya.<br />
Demikian juga bila seseorang telah mengucapkan syahadat, pada dasarnya ia telah memproklamirkan dirinya bahwa ia telah terbebas<br />
dari semua ikatan-ikatan, kecuali ikatan kepada Allah SWT, dan ia menjadi seorang muslim, “ isyhadu bianna muslimun“/ saksikanlah<br />
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). Q.s.3.a 64.<br />
2. Makna kedua adalah ‘al wa’du’ (janji). Maka apabila seseorang telah bersyahadat, hakikatnya ia sedang berjanji, yaitu, ia berjanji<br />
kepada dirinya, bahwa ‘tidak ada tuhan, melaikan Allah’, dan ikarar janji itu pun pernah ia ucapkan ketika di alam rahim. Q.s.7.a. 172.<br />
3. Asyhadu juga bermakna ‘al qasam’ (sumpah), dan ucapan sumpah itu pada dasarnya mempertaruhkan kehormatan diri seseorang<br />
tentang apa yang disumpahkannya. Jika seseorang telah mengucapkan kalimat ‘asyhadu an la ilaha illallah’, itu artinya ia sedang<br />
mempertaruhkan kehormatan dirinya, bahwa ia memang tidak mengakui adanya tuhan-tuhan lain.<br />
Hanya Allah yang ada <strong>dalam</strong> dirinya, di hati, di pikiran dan di lidahnya. Dari ketiga pengertian di atas akan membentuk satu makna<br />
yang utuh, yaitu bila seseorang yang telah bersyahadat, maka ia adalah orang yang memproklamirkan dirinya sebagai pribadi dengan<br />
identitas dan ciri khas untuk membuktikan sumpah dan janjinya yang telah ia ucapkan.<br />
Dan secara otomatis ia pun berbeda dengan golongan agama lain, baik <strong>dalam</strong> hal niat, perbuatan (amalan), dan tujuan hidupnya.<br />
<strong>Toleransi</strong> <strong>beragama</strong> di negara kita ini jelas menuntut kejujuran, kebebasan jiwa, kebijaksanaan, dan tanggung<br />
jawab. Wallahu a’lam.<br />
(dat03)