Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Pendahuluan<br />
Kita semua merindukan Hadirat Allah. Dan, kita tidak selalu bisa merasakannya.<br />
Tetapi bagi kebanyakan orang, iman kita cenderung mudah terjebak<br />
ke dalam agama yang dijejali oleh beragam keyakinan teologis tentang Allah<br />
dan firman-Nya, perintah-perintah yang tertuang dalam Alkitab, prinsip yang<br />
diajarkan langkah demi langkah, serta “penerapan” yang lazim. Ada kalanya, apa<br />
yang kita sebut sebagai “relasi dengan Allah” terasa tak lebih dari relasi dengan<br />
semua keyakinan dan perilaku yang saya sebutkan tadi. Kita berelasi dengan perkataan<br />
yang dicetak di selembar kertas, dengan para jemaat gereja, perbuatan rohani,<br />
aktivitas pelayanan, serta perasaan wajib di dalam batin kita untuk melakukan<br />
hal yang benar—sesudah semua itu terpenuhi barulah kita merasa berelasi<br />
dengan Allah. Apa yang kurang? Pertemuan yang sesungguhnya dengan-Nya.<br />
Kepastian bahwa kita sungguh-sungguh telah mendengar suara-Nya. Merasakan<br />
Hadirat-Nya secara nyata.<br />
Sensasi nyata akan Hadirat Allah itulah yang sesungguhnya sangat kita perlukan.<br />
Ada kalanya kita bisa merasakannya sejenak, dan kita tahu kebutuhan ini<br />
tak pernah terpuaskan dan tak dapat memenuhi bagian yang kekal ini. Walaupun<br />
demikian, kita ingin lebih lagi. Kita perlu merasakan sentuhan-nya. Dan memang<br />
kita bisa. Ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk lebih menyadari kehadiran-Nya<br />
dan menempatkan diri untuk lebih sering mengalami-Nya, asalkan kita<br />
tahu di mana Dia dan bagaimana Dia menyatakan diri-Nya.<br />
Allah itu Mahahadir. Kita tak bisa melarikan diri dari-Nya semau kita. Tentu<br />
saja, kita pasti tak ingin melakukannya. Jadi kalau memang Dia selalu beserta<br />
kita, mengapa repot-repot membahas Hadirat-Nya seperti seakan-akan ada<br />
pasang-surutnya? Itu karena terdapat perbedaan antara Hadirat-Nya dengan<br />
pengalaman kita mengenainya. Seberapa pun besarnya keinginan kita untuk<br />
menyadari kehadiran-Nya, ternyata kita tidak cukup awas. Kita tidak hanya ingin<br />
Dia hadir, tetapi kita ingin sungguh-sungguh bertemu dengan-Nya.<br />
Kesadaran kita barulah separuh dari apa yang kita perlukan untuk mengalami<br />
Hadirat Allah, sedangkan separuhnya lagi ada di tangan-Nya. Dia yang datang<br />
pada kita. Walaupun Dia ada di segala tempat di segala masa, Dia tidak mewujudkan<br />
kehadiran-Nya di setiap tempat dan di setiap masa. Kitab Suci memaparkan<br />
perbedaan ini dengan jelas: terkadang Dia “hadir,” dan terkadang tidak (lihat contohnya<br />
di Keluaran 33:3, 14-15). Pastilah Kitab Suci tidak merujuk pada kemahahadiran-Nya,<br />
melainkan pada aspek Hadirat-Nya yang lebih intens, lebih nyata,<br />
lebih terasa, dan riil pada momen-momen tertentu dibandingkan momen lainnya.<br />
Ada kalanya Dia menampakkan diri-Nya dengan cara yang menakjubkan.