Minimagz_VOL 8
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
ESSAY<br />
Dalam kondisi tertentu, biasanya usai<br />
jam-jam salat wajib, kawasan ‘kaki lima’ ini<br />
ramai bak pasar kaget. Biasanya jamaah<br />
“nyangkut” di lapak-lapak juga toko-toko yang<br />
tersebar di sekeliling Nabawi. Bagi yang baru<br />
pertama kali hadir di sini (termasuk saya)<br />
suasananya cukup menghibur. Melihat-lihat<br />
berkeliling demi memuaskan keingintahuan,<br />
apa kiranya yang mereka jajakan dengan<br />
sangat atraktif itu. “Silahkan bapak-ibu, 10<br />
real halal dipilih-dipilih,” teriak pedagang<br />
menawarkan dagangannya. Jika saja tak<br />
ingat sunnah Rasulullah, Tempat yang<br />
paling disukai oleh Allah adalah masjid dan<br />
tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah<br />
pasar, (HR. Muslim) mungkin kita bisa lebih banyak<br />
menghabiskan waktu di sini ketimbang di<br />
dalam masjid.<br />
Melihat suasananya, benak kemudian<br />
melayang membayangkan bagaimana<br />
kiranya kondisi pasar Madinah era<br />
Rasulullah. Teringat pasar Suqul Anshar di<br />
kota ini, pasar strategis yang menyatukan<br />
berbagai kabilah di dalamnya. Pasar yang<br />
kemudian menjadi saksi kematangan<br />
daya entrepreneurship muslim pada sesosok<br />
pemuda rupawan, satu dari 10 sahabat yang<br />
dijamin masuk surga; Abdurahman bin Auf.<br />
Sahabat yang telah beriman di awal fajar<br />
Islam dan yakin-seyakinnya sabda Rasulullah,<br />
“9 dari 10 pintu rezeki ada di dalam<br />
perniagaan”.<br />
Gaya berniaganya menjunjung tinggi<br />
kejujuran, penuh dengan semangat berbagi.<br />
Di satu kesempatan sepulang berniaga<br />
dari Syam, ia membagikan semua barangbarang<br />
yang diangkut oleh 700 untanya<br />
kepada warga Madinah. Barang-barang itu<br />
ia sebut sebagai keuntungannya berdagang<br />
saat di Syam. Begitulah sirah berbagi<br />
kisah bagaimana dakwah terhidupkan dan<br />
menghidupkan melalui perniagaan.<br />
Ingatan ini terus tergali dengan apa<br />
yang aku lihat setiap hari. Saat akan menuju<br />
Nabawi, aku selalu melewati zona niaga,<br />
pertokoan dan para pedagang kaki lima.<br />
Setiap sebelum adzan subuh berkumandang<br />
mereka muncul dari jalanan kecil dan selasar<br />
antara gedung-gedung yang memagari<br />
Nabawi. Muncul bergelombang dan tolongmenolong<br />
sesama pedagang. Dagangan<br />
dinaikkan ke gerobak, dan didorong bersama.<br />
Para pedagang kaki lima itu--sebagian adalah<br />
para adalah ummahat (ibu)—semangat sekali<br />
berniaga sejak pagi hingga malam hari, di<br />
lapaknya tanpa pelindung cuaca. Cukup<br />
bermodalkan tikar dan kursi kecil, mereka<br />
setia menanti rezeki yang seolah tak pernah<br />
tertukar itu. Di sini tak ada pula punglipunglian<br />
yang meresahkan. Semua tenang<br />
berdagang dalam pengawasan petugas askar.<br />
Yang khas dari mereka, saat iqomat waktu<br />
salat tiba, mereka serentak berdiri di sekitar<br />
area lapak mereka untk mengikuti salat.<br />
Berdiri khusuk di sela-sela dagangan. Semua<br />
tak takut rezekinya melayang, atau sekedar<br />
ada yang mencuri dagangan. Ketundukan<br />
pada-Nya lebih mereka cintai. Inilah prasyarat<br />
utama hamba, dan rezeki nanti mengiringi<br />
sendiri, pasti! Dimensi konsep, teknis, cara,<br />
adab dan niat dalam berdagang dalam risalah<br />
tercermin begitu jelas di sini.<br />
Saat mereka beraksi menjajakan<br />
dagangannya, agak geli hati ini setiap kali<br />
mendengar para pedagang itu memanggilmanggil<br />
dengan bahasa Indonesia. Warga<br />
Indonesia rupanya cukup punya tempat di<br />
hati para pedagang di sini. Jamaah umrah<br />
maupun haji dari Indonesa tergolong cukup<br />
besar. Itulah mengapa para pedagang cukup<br />
familiar dengan wajah dan tampilan melayu<br />
khas Indonesia. Belum lagi konon ada stigma<br />
jamaah kita terkenal “doyan belanja”. Jadi<br />
wajar saja, bahasa Indonesia menjadi bahasa<br />
wajib transaksi. Bahkan aksara Indonesia pun<br />
hadir di atas papan-papan petunjuk informasi<br />
sarana umum, jalan, dan sebagainya, di<br />
Madinah.<br />
Setiap hari memandangi keramaian, jatuh<br />
pula hari dimana saya memutuskan untuk<br />
terlibat. Dalam istilah para ustadz mutawif atau<br />
pendamping jamaah, hari pamungkas<br />
NO. 8 • MEI 2016 | VIII | BENEFIT<br />
67