16.01.2017 Views

Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Konflik berskala besar di Indonesia secara statistik bisa dikatakan telah berakhir. Namun, jika meninjau kekerasan yang terjadi di Indonesia selama 5 tahun terakhir, berbagai faktor yang memicu dan mendorong beragam konflik tersebut belum sepenuhnya ditangani dan persoalan konflik lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru. Data statistik Conflict and Development Program yang dikembangkan oleh World Bank, mencatat munculnya tren kekerasan baru yang cukup mengkhawatirkan yaitu: 1) kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat terhadap demokratisasi dan penyelenggaraan Pemilukada serta, 2) kekerasan rutin baik berupa bentrokan antar kelompok geng (preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan yang terjadi di beberapa kawasan di Indonesia. Tren ini berpotensi menciptakan budaya kekerasan, siklus balas dendam, dan menipiskan kepercayaan pada institusi negara.

Konflik berskala besar di Indonesia secara statistik bisa dikatakan telah berakhir. Namun, jika meninjau kekerasan yang terjadi di Indonesia selama 5 tahun terakhir, berbagai faktor yang memicu dan mendorong beragam konflik tersebut belum sepenuhnya ditangani dan persoalan konflik lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru. Data statistik Conflict and Development Program yang dikembangkan oleh World Bank, mencatat munculnya tren kekerasan baru yang cukup mengkhawatirkan yaitu: 1) kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat terhadap demokratisasi dan penyelenggaraan Pemilukada serta, 2) kekerasan rutin baik berupa bentrokan antar kelompok geng (preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan yang terjadi di beberapa kawasan di Indonesia. Tren ini berpotensi menciptakan budaya kekerasan, siklus balas dendam, dan menipiskan kepercayaan pada institusi negara.

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

TREN KONFLIK DAN KEKERASAN BARU DI INDONESIA<br />

SERTA IMPLIKASI KEBIJAKANNYA<br />

OLEH<br />

MANIK SUKOCO<br />

NIM 15730251008<br />

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN<br />

PROGRAM PASCASARJANA<br />

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA<br />

2016


BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang Masalah<br />

Proses demokratisasi <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong> saat ini sudah menja<strong>di</strong> perhatian dunia<br />

luar terutama sejak runtuhnya rejim otoriter Soeharto. Proses transisi demokrasi<br />

ini tidak berlangsung secara mulus tanpa hambatan. Sejak proses reformasi<br />

politik yang berlangsung pasca lengsernya Presiden Soeharto, beragam konflik<br />

dan kekerasan masih terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> berbagai wilayah, mulai dari Sabang sampai<br />

Merauke.<br />

Konflik, terutama yang mengambil bentuk kekerasan, telah menja<strong>di</strong><br />

kajian banyak psikolog terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek internal<br />

manusia. Sigmund Freud misalnya memandang konflik atau kekerasan sebagai<br />

wujud frustasi dari suatu dorongan libi<strong>di</strong>nal yang bersifat mendasar.<br />

Konflik berskala besar <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong> secara statistik bisa <strong>di</strong>katakan telah<br />

berakhir atau setidaknya intensitasnya berkurang seiring dengan konsolidasi<br />

demokrasi <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong>. Namun, jika meninjau kekerasan yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong><br />

<strong>Indonesia</strong> selama 5 tahun terakhir, berbagai faktor yang memicu dan mendorong<br />

beragam konflik tersebut belum sepenuhnya <strong>di</strong>tangani dan persoalan konflik<br />

lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru.<br />

Menilik dari data statistik Conflict and Development Program yang<br />

<strong>di</strong>kembangkan oleh World Bank, kini muncul tren kekerasan baru yang cukup<br />

mengkhawatirkan yaitu: 1) kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat<br />

terhadap demokratisasi dan penyelenggaraan Pemilukada <strong>serta</strong>, 2) kekerasan<br />

rutin baik berupa bentrokan antar kelompok geng (preman), pengeroyokan<br />

terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> beberapa<br />

kawasan <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong>.<br />

<strong>Kekerasan</strong> terkait dengan ketidakpuasan rakyat terhadap demokratisasi<br />

khususnya dalam penyelengaraan Pemilukada <strong>di</strong>mulai dari daftar pemilih yang<br />

kurang akurat, pemilih ganda, persoalan pencalonan, penggantian pasangan<br />

calon dalam proses perbaikan syarat administrasi, pembelian suara secara<br />

massif, kampanye hitam, <strong>serta</strong> money politics, yang seringkali berakhir dengan<br />

adanya kekerasan yang mengarah ke anarkisme.<br />

Adapun kekerasan rutin berupa bentrokan antar kelompok geng<br />

(preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan<br />

merupakan fenomena penting bukan hanya karena dampak fisiknya, tapi juga<br />

Halaman | 1


karena kekerasan tersebut berpotensi menciptakan budaya kekerasan <strong>di</strong>mana<br />

keluhan sering <strong>di</strong>selesaikan dengan kekerasan. Hal ini dapat menimbulkan siklus<br />

balas dendam dan menipiskan kepercayaan pada institusi negara.<br />

Tingginya tingkat kekerasan rutin dan kekerasan politik yang belakangan<br />

terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong> memerlukan perhatian dan penanganan yang lebih serius<br />

karena potensi konflik dan kekerasan ini dapat mengarah pada pembentukan<br />

jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang sewaktu-waktu dapat <strong>di</strong>mobilisasi<br />

dan berkontribusi pada ketegangan-ketegangan sosial dan politik yang sudah<br />

ada, sebagaimana terja<strong>di</strong> pada berbagai konflik berskala besar pada masa<br />

sebelumnya.<br />

Dampak signifikan dan meningkatnya jumlah insiden konflik kekerasan<br />

menekankan perlunya pengelolaan risiko yang terus menerus dan pengutamaan<br />

pencegahan konflik dalam agenda kebijakan.<br />

Halaman | 2


BAB II<br />

PEMBAHASAN<br />

A. Konflik<br />

1. Definisi Konflik<br />

Konflik merupakan serapan dari bahasa Inggris conflict yang berarti<br />

percekcokan, perselisihan, pertentangan (Echols dan Hassan Sha<strong>di</strong>ly, 1990: 138).<br />

Konflik juga <strong>di</strong>artikan sebagai, “…a state of <strong>di</strong>saggreement or argument between<br />

opposing groups or opposing ideas or principles, war or battle, struggle to be in<br />

opposition; <strong>di</strong>sagree (LDOCE2, 1987: 212)”. Konflik dalam definisi ini <strong>di</strong>artikan<br />

sebagai ketidakpahaman atau ketidaksepakatan antara kelompok atau gagasangagasan<br />

yang berlawanan. Ia juga bisa berarti perang, atau upaya berada dalam<br />

pihak yang berseberangan. Atau dengan kata lain, ketidaksetujuan antara<br />

beberapa pihak. Apabila <strong>di</strong>kaitkan dengan istilah sosial, maka konflik sosial bisa<br />

<strong>di</strong>artikan sebagai suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat<br />

menyeluruh dalam kehidupan. Dengan kata lain interaksi atau proses sosial<br />

antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) <strong>di</strong>mana salah satu pihak<br />

berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau setidaknya<br />

membuatnya tidak berdaya. Konflik juga bisa <strong>di</strong>artikan sebagai situasi <strong>di</strong>mana<br />

para aktor menggunakan perilaku konflik melawan satu sama lain dalam<br />

menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau mengekspresikan naluri<br />

permusuhan (Susan, 2010: 63).<br />

Konflik merupakan pertentangan yang <strong>di</strong>tandai oleh pergerakan dari<br />

beberapa pihak sehingga terja<strong>di</strong> persinggungan. Ia merupakan warisan<br />

kehidupan sosial sebagai akibat adanya ketidaksetujuan, kontroversi atau<br />

pertentangan antara dua atau lebih pihak yang berlangsung terus menerus.<br />

(Susan 2010: 8). Sedangkan Wirawan (2010) mendefinisikan konflik sebagai<br />

proses pertentangan yang <strong>di</strong>ekspresikan <strong>di</strong> antara dua pihak atau lebih yang<br />

saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan<br />

interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Secara sosiologis, konflik<br />

lahir karena adanya perbedaan-perbedaan yang tidak atau belum dapat <strong>di</strong>terima<br />

oleh satu in<strong>di</strong>vidu dengan in<strong>di</strong>vidu lain atau antara suatu kelompok dengan<br />

kelompok tertentu. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan antara in<strong>di</strong>viduin<strong>di</strong>vidu<br />

(ciri-ciri badaniah), perbedaan unsur-unsur kebudayaan, emosi,<br />

perubahan sosial yang terlalu cepat, perbedaan pola-pola perilaku, dan<br />

perbedaan kepentingan.<br />

Halaman | 3


Bagi Madjid (1993), konflik merupakan bentuk misinteraktif yang terja<strong>di</strong><br />

pada tingkatan in<strong>di</strong>vidual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan<br />

organisasi. Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak<br />

yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh<br />

perbedaan tujuan. Konflik dalam organisasi sering terja<strong>di</strong> tidak simetris terja<strong>di</strong><br />

hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut.<br />

Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan<br />

menyerang secara negatif. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara in<strong>di</strong>vidu<br />

dengan in<strong>di</strong>vidu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan.<br />

Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua<br />

atau lebih in<strong>di</strong>vidu yang <strong>di</strong>ekspresikan, <strong>di</strong>ingat, dan <strong>di</strong>alami. Konflik dapat<br />

<strong>di</strong>rasakan, <strong>di</strong>ketahui, <strong>di</strong>ekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi.<br />

Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang<br />

ingin <strong>di</strong>capai, alokasi sumber-sumber yang <strong>di</strong>bagikan, keputusan yang <strong>di</strong>ambil,<br />

maupun perilaku setiap pihak yang terlibat. Interaksi yang <strong>di</strong>sebut komunikasi<br />

antara in<strong>di</strong>vidu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat <strong>di</strong>sangkal akan<br />

menimbulkan konflik dalam level yang berbeda-beda.<br />

Pada tilikan sosiologis, manusia dalam hidupnya tidak bisa hidup sen<strong>di</strong>ri.<br />

Diban<strong>di</strong>ng makhluk lain, sebutlah misalnya hewan atau tumbuhan, manusia<br />

merupakan makhluk dengan tingkat ketergantungan paling tinggi. Dengan<br />

demikian, interaksi dengan sesama manusia jelas tidak terhindarkan. Dalam pola<br />

dan ragam interaksi muncul konflik sebagai konsekuensi perbedaan perasaan,<br />

kebutuhan, keinginan, harapan-harapan dan lain-lain. Manusia makhluk sosial.<br />

Ia memerlukan tidak hanya manusia lain tetapi juga lingkungan secara<br />

keseluruhan. Dengan demikian, interaksi menja<strong>di</strong> keniscayaan. Interaksi antar<br />

manusia, kelompok atau antarnegara tidak pernah steril dari kepentingan,<br />

penguasaan, permusuhan bahkan penindasan. Interaksi bermuatan konflik pada<br />

prinsipnya setua sejarah kemanusiaan. Karena itu, manusia merupakan makhluk<br />

konflik (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan,<br />

pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa (Susan, 2010: 8).<br />

2. Konflik Sosial<br />

Konflik sosial merupakan gambaran tentang terja<strong>di</strong>nya percekcokan,<br />

perselisihan, atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang<br />

muncul dari kehidupan masyarakat, baik perbedaan secara in<strong>di</strong>vidual maupun<br />

perbedaan kelompok. Menurut Irving (1995) pada umumnya konflik sosial<br />

Halaman | 4


mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antara<br />

priba<strong>di</strong>, kelompok melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan<br />

peperangan Internasional. Konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai<br />

dan pengakuan terhadap status yang langka, kemu<strong>di</strong>an kekuasaan dan sumbersumber<br />

pertentangan <strong>di</strong>netralisir atau <strong>di</strong>langsungkan, atau <strong>di</strong>eliminir saingansaingannya.<br />

Soerjono Soekanto (2006) menambahkan bahwa pertentangan<br />

masyarakat mungkin pula menja<strong>di</strong> penyebab terja<strong>di</strong>nya perubahan sosial dan<br />

kebudayaan.<br />

Konflik adalah kenyataan yang melekat pada masyarakat. Adanya tertib<br />

sosial seperti adanya sistem nilai yang <strong>di</strong>sepakati bersama tidak secara otomatis<br />

dapat menghilangkan konflik. Bahkan merupakan cerminan adanya konflik yang<br />

bersifat potensial dalam masyarakat (Munandar Soelaeman, 2008: 76).<br />

Kenyataan konflik ini padat <strong>di</strong>buktikan dengan fakta sebagai berikut:<br />

a. Setiap struktur sosial <strong>di</strong> dalam <strong>di</strong>rinya mengandung konflik-konflik dan<br />

kontra<strong>di</strong>ksi yang bersifat internal, sehingga dapat merupakan sumber<br />

terja<strong>di</strong>nya perubahan sosial.<br />

b. Reaksi dari sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar yang<br />

tidak selalu bersifat mengatur.<br />

c. Sistem sosial dalam waktu yang panjang dapat mengalami konflik-konflik<br />

sosial yang bersifat melekat (kronis).<br />

d. Perubahan sosial yang terja<strong>di</strong> dalam suatu sistem tidak selamanya bersifat<br />

perlahan tetapi dapat pula terja<strong>di</strong> secara revolusioner.<br />

3. Potensi Konflik<br />

Giddens (dalam Susan, 2009) mengemukakan bahwa pendekatan<br />

primor<strong>di</strong>al menganggap konflik sebagai akibat dari pergesekan kepentingan<br />

kelompok identitas, seperti; identitas yang berbasis pada etnis, keagamaan,<br />

budaya, geografis, bangsa, bahasa, tribal, kepercayaan, religius, kasta, dan lain<br />

sebagainya. Pendapat Giddens menyiratkan makna bahwa pendekatan<br />

primor<strong>di</strong>al melihat identitas-identitas tersebut merupakan potensi konflik,<br />

<strong>di</strong>mana potensi konflik itu <strong>di</strong>bentuk melalui serangkaian proses panjang, yang<br />

<strong>di</strong>wariskan secara turun-temurun melalui sosialisasi dalam institusi keluarga.<br />

Adanya hal ini memperkuat asumsi bahwa potensi tersebut telah mengakar<br />

dalam <strong>di</strong>ri in<strong>di</strong>vidu. Dalam konteks ini, konflik dalam pendekatan primor<strong>di</strong>al<br />

biasanya dapat muncul ke permukaan dengan melibatkan kebencian, dendam,<br />

prasangka (preju<strong>di</strong>ce), dan stereotip yang sifatnya ekstrim. Prasangka oleh<br />

Halaman | 5


Soenarto (2003) <strong>di</strong>definisikan sebagai sikap bermusuhan yang <strong>di</strong>tujukan pada<br />

kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciriciri<br />

yang tidak menyenangkan. Prasangka umumnya bersifat tidak rasional <strong>serta</strong><br />

berada <strong>di</strong> bawah alam sadar, ini yang menyebabkan mengapa prasangka sulit<br />

untuk <strong>di</strong>hilangkan meski kebenaran mengenai prasangka yang <strong>di</strong>anut telah<br />

<strong>di</strong>sangkal melalui bukti-bukti nyata.<br />

Kornblum (dalam Soenarto, 2003) mengutarakan bahwa stereotip adalah<br />

citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang <strong>di</strong>anut tanpa<br />

memperhatikan kebenaran citra tersebut. Dalam pandangan sosiologis, stereotip<br />

memiliki dua sifat yakni positif dan negatif. Stereotip yang bersifat positif<br />

biasanya membawa keuntungan, sedangkan stereotip yang bersifat negatif justru<br />

menja<strong>di</strong> potensi konflik antarkelompok, baik etnis maupun agama. Senada<br />

dengan Kornblum, Thung Ju Lan (2006) mengatakan bahwa setiap etnik atau ras<br />

cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang<br />

menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau<br />

ras lain. Terja<strong>di</strong>nya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa<br />

mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati<br />

yang <strong>di</strong>dasarkan pada kesalahan generalisasi yang <strong>di</strong>ekspresikan sebagai<br />

perasaan. Selanjutnya, oleh Pelly (dalam Sitorus, 2003) perbedaan-perbedaan<br />

tersebut <strong>di</strong>anggap akan mempengaruhi harmoni konsensus dan intensitas<br />

potensi konflik karena picuan perbedaan kepentingan, terutama bila terdapat<br />

kelompok-kelompok yang ingin tetap dominatif melalui kiat mengail <strong>di</strong> air keruh<br />

dari suatu kon<strong>di</strong>si yang <strong>di</strong>penuhi oleh ketegangan sosial.<br />

4. Jenis-Jenis Konflik Sosial<br />

Konflik pada hakikatnya terbagi atas dua jenis, yakni konflik vertikal atau<br />

konflik antara kelas atas (penguasa) dan kelas bawah (yang <strong>di</strong>kuasai), <strong>serta</strong><br />

konflik horizontal atau konflik yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> antara kelas yang sama.<br />

Abu Ahma<strong>di</strong> (2007) membagi konflik menja<strong>di</strong> 4 macam yaitu:<br />

a. Konflik-konflik antara atau dalam peranan sosial. Misalnya antara peranperan<br />

dalam keluarga atau profesi, seperti peranan seorang suami dan istri<br />

dalam mendapatkan penghasilan.<br />

b. Konflik-konflik antara kelompok-kelompok sosial.<br />

c. Konflik-konflik antar kelompok-kelompok yang terorganisasi dan tidak<br />

terorganisasi.<br />

Halaman | 6


d. Konflik-konflik antara satuan nasional, seperti antara partai politik. Antara<br />

negara atu organisasi-organisasi internasional.<br />

Adapun <strong>di</strong>lihat dari bentuknya, konflik sosial mempunyai bebarapa<br />

bentuk, antara lain adalah sebagai berikut:<br />

a. Konflik priba<strong>di</strong>, yaitu pertentangan yang terja<strong>di</strong> secara perorangan seperti<br />

pertentangan antara dua orang teman, suami istri, pedagang dan pembeli,<br />

atasan dan bawahan, dan sebagainya.<br />

b. Konflik kelompok yaitu pertentangan yang terja<strong>di</strong> antar kelompok seperti<br />

pertentangan antara dua kelompok pelajar yang berbeda sekolah, antara dua<br />

keseblasan sepak bola. Antara dua partai politik, dan sebagainya.<br />

c. Konflik antara kelas sosial, yaitu petentangan yang terja<strong>di</strong> antara dua kelas<br />

sosial yang berbeda, seperti antara kelas orang kaya dengan kelas orang<br />

miskin, antara masyarakat kulit putih dengan kulit hitam, antara pemerintah<br />

(penguasa) dengan rakyat dan sebagainya.<br />

d. Konflik rasial, yaitu pertentangan yang terja<strong>di</strong> antar ras, seperti ras kulit<br />

hitam dengan kulit putih (apartheid).<br />

e. Konflik politik, yaitu pertentangan yang terja<strong>di</strong> dalam masyarakat karena<br />

perbedaan paham dan aliran politik yang <strong>di</strong>anut, seperti pertentangan antara<br />

masyarakat penjajah dengan yang <strong>di</strong>jajah, antar golongan politik dan<br />

sebagainya.<br />

f. Konflik budaya, yaitu pertentangan yang terja<strong>di</strong> dalam masyarakat akibat<br />

akibat perbedaan budaya. Seperti pertentangan antara, budaya modern,<br />

antara budaya daerah yang satu dengan yang lainnya.<br />

5. Situasi Konflik<br />

Abu Ahma<strong>di</strong> (2007) membagi situasi konflik menja<strong>di</strong> 3 tipe situasi yaitu:<br />

konflik inter-in<strong>di</strong>vidu, konflik antar in<strong>di</strong>vidu, konflik antara kelompok sosial<br />

a. Konflik Inter-in<strong>di</strong>vidu.<br />

Konflik Inter-In<strong>di</strong>vidu adalah merupakan tipe yang paling erat kaitannya<br />

dengan emosi in<strong>di</strong>vidu hingga tingkat keresahan yang paling tinggi. Lebih<br />

lanjut konflik muncul dari dua penyebab; karena kelebihan beban atau kerena<br />

ketidaksesuaian seseorang dalam melaksanakan peranan (person role<br />

incompatibilities). Kon<strong>di</strong>si pertama seseorang mendapat “beban berlebihan<br />

“akibat status (kedudukan) yang memiliki, sedang dalam yang kedua<br />

seseorang memang tidak memiliki kesesuain yang cukup untuk melaksanakan<br />

peranansesuai dengan statusnya.<br />

Halaman | 7


. Konflik antara in<strong>di</strong>vidu<br />

Antara in<strong>di</strong>vidu seseorang dengan satu orang atau lebih, sifatnya kadangkadang<br />

subtansif menyangkut perbedaan gagasan, pendapat, kepentingan;<br />

atau bersifat emosional-menyangkut perbedaan selera, perasaan like/<strong>di</strong>slike<br />

(suka tidak suka). Setiap orang pernah mengalami situasi konflik semacam ini,<br />

ia banyak mewarnai tipe-tipe konflik kelompok maupun konflik oraganisasi.<br />

Karena konflik tipe ini berbentuk konfrontansi dengan seseorang atau lebih,<br />

maka konflik antar in<strong>di</strong>vidu ini juga merupakan target yang perlu <strong>di</strong>kelola<br />

secara baik.<br />

c. Konflik antara kelompok sosial<br />

Konflik ini merupakan konflik yang banyak <strong>di</strong>jumpai dalam kenyataan hidup<br />

manusia sebagai mahluk sosial, karena mereka hidup dalam kelompokkelompok.<br />

Ada lima tipe kelompok sosial kategori statistik, kategori sosial,<br />

kelompok sosial kelompok tidak teratur, dan organisasi formal.<br />

Rothchild dan Sriram (dalam Wirawan, 2010) membagi konflik<br />

antarkelompok ke dalam empat fase, <strong>di</strong>antaranya:<br />

a. Fase potensi konflik (potential conflik phase), <strong>di</strong>mana konflik telah terja<strong>di</strong><br />

namun dalam intensitas yang rendah. Factor structural, sosio-ekonomi,<br />

kultur, dan politik menja<strong>di</strong> penyebab konflik. Perasaan tidak puas mulai<br />

tumbuh, namun tidak <strong>di</strong>katalisasikan ke dalam kelompok yang terorganisir.<br />

b. Fase pertumbuhan (gestation phase), <strong>di</strong>mana isu yang <strong>di</strong>pertentangkan oleh<br />

kelompok lebih <strong>di</strong>definisikan, hubungan antarkelompok lebih <strong>di</strong>politisir dan<br />

<strong>di</strong>mobilisasi sedemikian rupa, ikatan antarelit masih terjalin dan isu yang<br />

<strong>di</strong>pertentangkan masih dapat <strong>di</strong>run<strong>di</strong>ngkan, namun kemungkinan terja<strong>di</strong>nya<br />

kekerasan makin tinggi.<br />

c. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), <strong>di</strong>mana<br />

persepsi perubahan yang nyata dalam kelompok (sosial-ekonomi, kultur,<br />

politik, dan struktural) memicu terja<strong>di</strong>nya eskalasi. Fase ini <strong>di</strong>tandai dengan<br />

adanya kekerasan masal yang terorganisir, terputusnya jaringan komunikasi<br />

antarelit, kelompok yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama<br />

lain dan merasa tidak dapat berkompromi.<br />

d. Fase pascaskonflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami<br />

penurunan (de-eskalasi), intervensi dengan tujuan membangun kembali<br />

hubungan damai dan saluran komunikasi kelompok-kelompok yang terlibat<br />

konflik untuk menghindari terulangnya kekerasan. Fase ini terbagi atas dua<br />

Halaman | 8


agan yang terpisah, yakni: 1) fase keamanan jangka pendek (securitybuil<strong>di</strong>ng<br />

phase) yang melibatkan dukungan dari militer, <strong>serta</strong> 2) fase<br />

keamanan jangka panjang (long-term institution buil<strong>di</strong>ng phase) <strong>di</strong>mana<br />

rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi membantu membangun kembali<br />

hubungan antarkelompok sebagai upaya perdamaian yang berkelanjutan.<br />

6. Faktor-Faktor Penyebab Konflik<br />

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa steril dari interaksi, baik<br />

sosial, politik, budaya, agama dan lain-lain. Perbedaan ciri-ciri bawaan in<strong>di</strong>vidu<br />

dalam suatu interaksi seperti ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,<br />

keyakinan, dan lain sebagainya menja<strong>di</strong>kan konflik sebagai situasi wajar dalam<br />

setiap masyarakat. Dengan kata lain, konflik hanya akan hilang bersamaan<br />

dengan hilangnya masyarakat itu sen<strong>di</strong>ri.<br />

Dalam ranah interaksi tersebut, konflik kepentingan dan penegasan<br />

identitas akan muncul dalam skala berbeda seperti <strong>di</strong>kemukakan Novri dengan<br />

konflik antar-orang (interpersonal conflict), konflik antar-kelompok (intergroup<br />

conflict), konflik antar kelompok dengan negara (vertical conflict), dan konflik<br />

antar negara (interstate conflict).<br />

Konflik, terutama yang mengambil bentuk kekerasan telah menja<strong>di</strong> kajian<br />

banyak psikolog terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek internal<br />

manusia. Sigmund Freud misalnya memandang konflik atau kekerasan sebagai<br />

wujud frustasi dari suatu dorongan libi<strong>di</strong>nal yang bersifat dasariyah. Konflik yang<br />

mengambil bentuk kekerasan merupakan proyeksi dari bagian-bagian gelap yang<br />

<strong>di</strong>tekan ke dalam bagian tidak sadar, yang kalau <strong>di</strong>represi akan sangat berbahaya,<br />

bersifat jahat kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>proyeksikan pada orang lain (Friedmad, 1988: 22).<br />

Suatu konflik dapat terja<strong>di</strong> apabila seseorang atau kelompok terhalang<br />

upayanya dalam mencapai tujuannya. Hal ini dapat <strong>di</strong>sebabkan karena<br />

perbedaan paham terhadap tujuan itu sen<strong>di</strong>ri, nilai-nilai sosial dan normanorrma<br />

sosial, maupun terhadap tindakan dalam masyarakat. Terlebih lagi<br />

sanksi atas pelanggaran yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> atas nilai dan norma tidak <strong>di</strong>laksanakan<br />

dengan a<strong>di</strong>l, konflik dapat berubah menja<strong>di</strong> tindakan kekerasan.<br />

Dewasa ini, konflik bisa <strong>di</strong>sebabkan oleh adanya perpecahan bangsa,<br />

perkembangan yang timpang, bentrokan kultural <strong>serta</strong> gerakan-gerakan<br />

pembebasan. Simmel dalam Susan (2010: 56-71), menyebut sumber konflik<br />

sebagai keagresifan atau permusuhan (hostile feeling) yang ada secara laten<br />

dalam <strong>di</strong>ri manusia. Namun demikian, hostile feeling belum tentu menyebabkan<br />

Halaman | 9


konflik secara terbuka (covert conflict). Konflik terbuka bisa terja<strong>di</strong> selain<br />

memang karena adanya hostile feeling, juga adanya perilaku permusuhan (hostile<br />

behavior) dalam masyarakat. Sedangkan bagi Nurcholis Madjid, <strong>di</strong>antara sebab<br />

konflik ialah pandangan dunia atau vision de monde yang keliru (Madjid,<br />

1993:3).<br />

Konflik sosial dalam masyarakat menja<strong>di</strong> keniscayaan yang bisa<br />

<strong>di</strong>sebabkan karena beberapa faktor seperti: Pertama, perbedaan pen<strong>di</strong>rian atau<br />

perasaan in<strong>di</strong>vidu. Kedua, Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga<br />

membentuk priba<strong>di</strong>-priba<strong>di</strong> yang berbeda. Ketiga, Perbedaan kepentingan antara<br />

in<strong>di</strong>vidu atau kelompok, baik menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya atau<br />

agama, juga berpotensi konflik. Keempat, perubahan-perubahan nilai yang cepat<br />

dan mendadak dalam masyarakat (Friedmad, 1988: 97-106).<br />

Adapun faktor-faktor yang menja<strong>di</strong> akar terja<strong>di</strong>nya konflik sosial menurut<br />

adalah sebagai berikut:<br />

a. Perbedaan antar anggota masyarakat, baik secara fisik maupun mental, atau<br />

perbedaan kemampuan, pen<strong>di</strong>rian, dan perasaan sehingga menimbulkan<br />

pertikain atau bentrokan antara mereka.<br />

b. Perbedaan pola kebudayaan, seperti perbedaan adat istiadat, suku bangsa,<br />

agama bahasa, paham politik, pandangan hidup dan budaya daerah lainnya,<br />

sehingga mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan bahkan<br />

bentrokan <strong>di</strong> antara anggota masyarakat tersebut.<br />

c. Perbedaan status sosial, seperti kesenjangan sosial antara si kaya dan si<br />

miskin, generasi tua dan generasi muda dan sejenisnya,merupakan factor<br />

penyebab terja<strong>di</strong>nya konflik sosial.<br />

d. Perbedaan kepentingan antar-anggota masyarakat baik secara priba<strong>di</strong><br />

maupun kelompok, seperti perbedaan kepentingan polik, ekonomi, sosial<br />

budaya, agama dan sejenisnya merupakan faktor penyebab timbulnyaa<br />

konflik sosial.<br />

e. Terja<strong>di</strong> perubahan sosial, antara lain berupa perubahan sistem nilai, akibat<br />

masuknya sistem nilai baru yang mengubah masyarakat tra<strong>di</strong>sional menja<strong>di</strong><br />

masyarakat modern, juga menja<strong>di</strong> faktor pemicu terja<strong>di</strong>nya konflik sosial<br />

(Abu Ahma<strong>di</strong>, 2007: 291).<br />

Robbins Walton dalam Kenneth (1995: 220-225) mengemukakan bahwa<br />

konflik terja<strong>di</strong> <strong>di</strong>sebabkan oleh berbagai jenis kon<strong>di</strong>si pendahulu enam kategori<br />

penting dari kon<strong>di</strong>si-kon<strong>di</strong>si pemula (antecedent con<strong>di</strong>tions) meliputi: a)<br />

persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources), b)<br />

Halaman | 10


ketergantungan tugas (task interdependence), c) kekaburan batas-batas bidang<br />

kerja (juris<strong>di</strong>ctional ambiquity), d) masalah status (status problems), e) masalah<br />

komunikasi (communication problems) dan f) sifat-sifat in<strong>di</strong>vidu (in<strong>di</strong>vidual<br />

traits)<br />

7. Dampak-Dampak Terja<strong>di</strong>nya Konflik Sosial<br />

Konflik dapat memiliki dampak yang positif dan negatif. Kenneth (1995)<br />

mengatakan bahwa akibat-akibat negatif dari konflik terutama terletak pada<br />

kahancuran komunikasi, keterjalinan, <strong>serta</strong> kerja sama. Sedangkan dampak<br />

positif konflik adalah menguji kemampuan in<strong>di</strong>vidu atau kelompok untuk<br />

mempertahankan ketegarannya <strong>serta</strong> menyesuaikan <strong>di</strong>ri terhadap lingkungan<br />

yang sedang berubah.<br />

Memperjelas pernyataan Kenneth, Abu Ahma<strong>di</strong> (2007) meyatakan bahwa<br />

ada 2 akibat konflik sosial antara lain adalah sebagai berikut:<br />

a. Yang bersifat konflik<br />

1) Bertambahnya solidaritas dalam kelompok sen<strong>di</strong>ri (in group<br />

solidarity).<br />

2) Muncul priba<strong>di</strong>-priba<strong>di</strong> yang kuat atau tahan uji menghadapi berbagai<br />

situasi konflik.<br />

3) Munculnya kompromi baru apabila pihak yang berkonflik dalam<br />

kekuatan seimbang. Misalnya, adanya kesadaran dari pihak-pihak yang<br />

berkonflik untuk bersatu kembali, karena <strong>di</strong>rasakan bahwa konflik<br />

yang berlarut tidak membawa keuntungan bagi kedua belah pihak.<br />

b. Yang bersifat destruktif<br />

1) Retaknya persatuan kelompok<br />

2) Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia (bahwa konflik<br />

sudah berubah menja<strong>di</strong> kekerasan);<br />

3) Berubahnya sikap dan kepriba<strong>di</strong>an in<strong>di</strong>vidu baik yang mengarah ke<br />

hal-hal yang positif maupun ke hal-hal yang negatif. Munculnya<br />

dominasi kelompok yang menang terhadap kelompok yang kalah.<br />

B. <strong>Kekerasan</strong><br />

Berbicara mengenai kekerasan (violence) berarti kita harus<br />

membicarakan terlebih dahulu apa yang <strong>di</strong>maksud dengan kekerasan. Douglas<br />

dan Waksler dalam Santoso (2002: 11) menjelaskan bahwa kekerasan <strong>di</strong>gunakan<br />

untuk menggambarkan perilaku baik yang terbuka atau tertutup dan baik yang<br />

Halaman | 11


ersifat menyerang atau bertahan yang <strong>di</strong><strong>serta</strong>i penggunaan kekuatan kepada<br />

orang lain, sehingga kekerasan dapat <strong>di</strong>identifikasi menja<strong>di</strong>: 1) kekerasan<br />

terbuka, misalnya perkelahian; 2) kekerasan tertutup, misalnya mengancam: 3)<br />

kekerasan agresif, missal untuk mendapatkan sesuatu; 4) kekerasan defensif,<br />

misal untuk perlindungan.<br />

Mahatma Gandhi berpendapat bahwa kekerasan bisa <strong>di</strong>hapus kalau kita<br />

tahu penyebabnya. Penyebab kekerasan terletak pada struktur yang salah, bukan<br />

pada aktor jahat <strong>di</strong> pihak lain (Santoso, 2002, 168).<br />

Galtung (2002) menyatakan bahwa kekerasan <strong>di</strong>definisikan sebagai<br />

penyebab perbedaan antara potensial dan yang aktual artinya apa yang bisa atau<br />

mungkin <strong>di</strong>aktualisasikan harus <strong>di</strong>realisasikan. Galtung juga membedakan antara<br />

kekerasan personal dan kekerasan struktural. <strong>Kekerasan</strong> personal bersifat<br />

<strong>di</strong>namis, mudah <strong>di</strong>amati, dan memperlihatkan fluktuasi hebat yang dapat<br />

menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis,<br />

memperlihatkan stabilitas tertentu, dan tidak tampak.<br />

Lain halnya dengan Camara (2000) yang menjelaskan bahwa<br />

ketidaka<strong>di</strong>lan adalah sebuah kekerasan mendasar (kekerasan nomor 1),<br />

kemu<strong>di</strong>an kekerasan nomor 1 itu memancing kekerasan nomor 2 berupa<br />

pemberontakan, selanjutnya kekerasan nomor 2 mengundang datangnya<br />

kekerasan nomor 3 yaitu berbentuk represi. Proses dari ketiga kekerasan tersebut<br />

seperti spiral karena kekerasan demi kekerasan saling mendorong atau terpilinpilin<br />

maka terbentuklah “spiral kekerasan”.<br />

Gurr dalam Istania (2009: 3-4) membagi tiga macam kategori kekerasan<br />

pada satu wilayah ataupun bangsa berdasarkan magnitude atau daya rusaknya,<br />

yaitu: a) kerusuhan, ciri spontan, tidak terorganisir dengan tingkat partisipasi<br />

populer cukup besar, termasuk mogok berujung kekerasan, kerusuhan, benturan<br />

politik, dan pemberontakan lokal, b) konspirasi, ciri kekerasan politik<br />

terorganisasi secara baik dengan partisipasi terbatas, terorisme skala kecil,<br />

perang gerilya skala kecil, kudeta, dan pembangkangan militer, c) perang<br />

internal, ciri kekerasan politik terorganisir rapih dengan partisipasi luas, <strong>di</strong>desain<br />

menjatuhkan rejim atau menghancurkan negara dan <strong>di</strong><strong>serta</strong>i dengan kekerasan<br />

meluas, termasuk terorisme skala besar dan perang gerilya, dan revolusi.<br />

Selanjutnya stu<strong>di</strong> yang <strong>di</strong>lakukan Gurr dalam Surwandono (2009: 10),<br />

menguak bahwa kekerasan muncul sebagai akibat terciptanya deprivasi relatif,<br />

yakni terdapatnya kesenjangan antara sesuatu yang <strong>di</strong>harapkan (expectation)<br />

dengan sesuatu yang <strong>di</strong>peroleh (realities). Semakin lebar jarak kesenjangan<br />

Halaman | 12


antara ekspektasi dengan apa yang <strong>di</strong>peroleh akan memperbesar peluang<br />

terja<strong>di</strong>nya konflik dan kekerasan.<br />

1. <strong>Kekerasan</strong> Terkait Pemilukada<br />

Berbicara mengenai tren kekerasan terutama kekerasan politik yang<br />

terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong> belakangan ini, lembaga pengkaji masalah sosial politik,<br />

Internasional Crisis Group (ICG), mencatat sekitar 10% dari 200 Pemilukada<br />

yang <strong>di</strong>selenggarakan pada 2010 telah <strong>di</strong>warnai aksi kekerasan. Misalnya<br />

kekerasan yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> Mojokerto, Jawa Timur, Tana Toraja <strong>di</strong> Sulawesi<br />

Selatan, dan Toli-toli <strong>di</strong> Sulawesi Tengah. Temuan lembaga ini menunjukkan<br />

bahwa kekerasan dalam Pemilukada <strong>di</strong>picu oleh lemahnya posisi penyelenggara<br />

Pemilukada (KPUD) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang tidak<br />

independen dan tidak cerdas, <strong>serta</strong> konflik antar pe<strong>serta</strong> Pemilukada.<br />

Data dari Crisis Group Asia Report N°197 (2010: i) menjelaskan bahwa<br />

jumlah kekerasan yang terja<strong>di</strong> dalam 224 Pemilukada yang terjadwal pada 2010<br />

tidak sampai 10% (20 kasus kekerasan), sedangkan sepanjang Pilkada 2005-<br />

2008 lembaga tersebut mencatat ada 13 kasus kekerasan. Penyebab dari kasus<br />

kekerasan tersebut antara lain, kemarahan masyarakat atas politik kekerabatan<br />

(incumbent mengajukan keluarga sebagai kan<strong>di</strong>dat), buruknya tata<br />

pemerintahan, termasuk kasus <strong>di</strong> Kabupaten Kaur Bengkulu pada 27 Juni 2005,<br />

aksi kekerasan terja<strong>di</strong> ketika muncul kekecewaan dari pasangan calon be<strong>serta</strong><br />

pendukungnya yang kalah dalam Pilkada (sejak 2010 istilahnya menja<strong>di</strong><br />

Pemilukada), kemu<strong>di</strong>an membakar kantor KPUD, gedung DPRD, kantor<br />

Kecamatan Kaur Selatan, termasuk menghancurkan dokumen-dokumen,<br />

termasuk membakar rumah <strong>di</strong>nas Ketua DPRD, Kantor Urusan Agama dan Dinas<br />

Pekerjaan Umum, dlsb. <strong>Kekerasan</strong> juga terja<strong>di</strong> dalam Pilkada <strong>di</strong> Kabupaten<br />

Tuban Jawa Timur, setelah pelaksanaan Pilkada pada 29 April 2006, yaitu<br />

pembakaran gedung-gedung milik pemerintah juga asset priba<strong>di</strong> milik salah satu<br />

calon (incumbent), penyebabnya ada calon yang merasa menang dan merasa <strong>di</strong><br />

atas angin ternyata kalah oleh incumbent, penyebab lainnya adalah kekecewaan<br />

para elit lokal termasuk pengusaha lokal yang sudah lama termaginalkan oleh<br />

keluarga incumbent (Marijan, 2007:4 & 6).<br />

Sementara itu, hasil penelitian LIPI terhadap Pilkada <strong>di</strong> 491<br />

kabupaten/kota antara Juni 2005 hingga 2008, menemukan sekitar 10-15%<br />

Pilkada telah <strong>di</strong>warnai aksi kekerasan. Konflik yang muncul dalam Pilkada<br />

Halaman | 13


tersebut lebih banyak karena faktor ketidak-puasan terhadap kepala daerah<br />

terpilih, yang <strong>di</strong>duga melakukan praktek politik uang.<br />

Sedangkan beberapa kasus kekerasan yang muncul saat penyelenggaraan<br />

Pemilukada sejak 2010, menurut data dari Crisis Group Asia Report N°197<br />

adalah:<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (10 April 2010),<br />

massa dari bupati incumbent Zulkifli Muha<strong>di</strong> dan lawannya An<strong>di</strong> Azisi saling<br />

melempar batu setelah kelompok sang penantang mencoba menghalangi<br />

konvoi rivalnya. Pendukung An<strong>di</strong> berunjuk rasa mempermasalahkan keaslian<br />

ijazah sang incumbent. Pada tanggal 28 April, ratusan demonstran bentrok<br />

dengan polisi ketika mereka menuntut KPUD untuk menghentikan proses<br />

rekapitulasi setelah berita kemenangan sang incumbent mulai terhembus.<br />

Mereka terus meminta polisi untuk menyeli<strong>di</strong>ki keabsahan ijazah Zulkifli.<br />

Ketika mereka hendak merangsek ke dalam kantor KPUD, polisi menahan<br />

mereka dengan hantaman tongkat dan tembakan peringatan <strong>serta</strong> gas air<br />

mata.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (12 Mei 2010).<br />

Ribuan warga memblokir jalan menuju ibukota kabupaten <strong>di</strong> Larantuka<br />

sehinga anggota KPU pusat dan propinsi tak bisa masuk kota. Mereka ta<strong>di</strong>nya<br />

ingin mengumumkan kebijakan menganulir keputusan KPUD Kabupaten<br />

Flores Timur yang men<strong>di</strong>skualifikasi pencalonan incumbent Simon Hayon.<br />

Para demonstran menuntut agar proses Pemilukada <strong>di</strong>teruskan tanpa sang<br />

bupati dan merasa pihak pusat ingin mengintervensi politik tingkat lokal.<br />

Pada tanggal 14 Mei 2010, pendukung-pendukung Simon memaksa KPUD<br />

untuk mengikuti keputusan KPU yang lebih tinggi dan polisi menemukan<br />

mereka membawa bom Molotov. Pada bulan Juli 2010, KPU<br />

memberhentikan empat dari lima orang anggota dari KPUD yang menolak<br />

keputusan KPU itu. Pada tanggal 1 November 2010, KPUD baru <strong>di</strong>bentuk<br />

dengan dengan mandate untuk melaksanakan Pemilukada pada tahun 2011.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (12 Mei 2010).<br />

Ratusan demonstran merusak kantor KPUD saat proses rekapitulasi setelah<br />

mendengar kabar bahwa incumbent Imran menang besar pada pemilu<br />

tanggal 8 Mei 2010. Mereka menuduh sang bupati telah menyalahgunakan<br />

jabatan dan membagi uang kepada pemilih. Pada bulan Juni, lawan politik<br />

Imran membawa kasus ke Mahkamah Konstitusi yang memutuskan perlu<br />

<strong>di</strong>lakukan pemilihan ulang namun Imran tidak <strong>di</strong><strong>di</strong>skualifikasi. Dalam<br />

Halaman | 14


pemilihan ulang 11 Juli 2010, sang incumbent malahan mendapatkan suara<br />

yang lebih banyak dan ini memicu protes yang lebih besar pada tanggal 19<br />

Juli 2010 yang berakhir dengan bentrok antar pendukung.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kota Sibolga, Sumatra Utara (15 Mei 2010). Empat kantor<br />

kecamatan yang menyimpan kotak-kotak suara <strong>di</strong>bakar dua hari setelah<br />

pemungutan suara tanggal 13 Mei 2010 yang <strong>di</strong>warnai pertarungan antara<br />

wakil bupati Afifi Lubis dan mantan anggota DPR Syarfi Hutauruk yang<br />

berpasangan dengan menantu bupati yang tak dapat maju lagi. Pendukung<br />

Afifi menuduh sang bupati memakai jabatannya untuk menghalangi-halangi<br />

pencalonan wakilnya itu namun protes ini hanya terdengar setelah quick<br />

count meramalkan Syarfi unggul.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (12 Mei 2010). Warga<br />

merusak kantor KPUD dan Panwaslu setelah mereka mendengar lapo ran<br />

sementara yang mengin<strong>di</strong>kaskan kemenangan untuk Suryadman Gidot pada<br />

pemungutan suara tanggal 19 Mei 2010 padahal wakil bupati itu <strong>di</strong>yakini<br />

melakukan tindakan korupsi. Pada tanggal 18 Mei 2010, seorang pendukung<br />

Suryadman tertangkap tangan membagikan uang kepada pemilih.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (21 Mei 2010). Sebuah<br />

mobil milik KPUD <strong>di</strong>bakar orang tak <strong>di</strong>kenal setelah ada berita yang<br />

meramalkan Yasir Ansyari, putra bupati yang tidak bisa maju lagi, gagal<br />

mendapatkan 30 persen dari suara yang <strong>di</strong>butuhkan untuk mencegah putaran<br />

kedua walau ia unggul dari calon-calon lainnya. Dalam putaran kedua, Yasir<br />

kalah dari Henrikus yang sebenarnya menempati urutan kedua <strong>di</strong> putaran<br />

pertama.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (24 Mei 2010).<br />

Polisi melontarkan gas air mata dan tembakan peringatan ke udara setelah<br />

demonstran menyerang mereka dengan batu. Mereka menuntut penghentian<br />

acara misi visi karena jagoan mereka tak <strong>di</strong>loloskan setelah terja<strong>di</strong> suatu<br />

kebingungan terhadap keabsahan dukungan partai. Ada dua pihak yang<br />

mengatasnamakan Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) yang mendukung<br />

dua calon yang berbeda, sang incumbent dan bakal calon yang tidak lolos itu.<br />

KPUD menerima pendukungan PPRN untuk incumbent dan memutuskan<br />

calon yang lain gagal memenuhi syarat dukungan.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (9 Juni 2010).<br />

Polisi menembakkan peluru karet ke demonstran yang menuntut<br />

penghentian proses rekapitulasi yang <strong>di</strong>lakukan KPUD setelah terja<strong>di</strong><br />

Halaman | 15


kerancuan penghitungan suara <strong>di</strong> kecamatan Sano Nggoang. Pada saat itu,<br />

laporan sementara menyebutkan wakil bupati Agustinus Dula unggul <strong>di</strong><br />

pemungutan suara tanggal 3 Juni 2010.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Samosir, Sumatra Utara (10 Juni 2010). Ratusan<br />

pendukung seorang calon menghalangi kepergian bis-bis yang mengangkut<br />

150 mahasiswa ketika mereka ingin keluar dari wilayah kabupaten setelah<br />

ikut pemungutan suara tanggal 9 Juni 2010. Para pendukung tersebut<br />

menuduh bupati incumbent, Mangindar Simbolon telah membayar<br />

mahasiswa mahasiswa tersebut untuk menja<strong>di</strong> pemilih gelap walau<br />

sebenarnya mahasiswa-mahasiswa tersebut merupakan penduduk Samosir<br />

yang tengah menempuh stu<strong>di</strong> <strong>di</strong> Medan. Sang bupati mengaku mengongkosi<br />

perjalanan mereka kembali ke kampung halaman.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Kepulauan Anambas, Riau Islands (11 Juni 2010).<br />

Demonstran anti incumbent, melempar batu ke sebuah gedung yang <strong>di</strong>pakai<br />

KPUD untuk melakukan rekapitulasi setelah pemungutan suara tanggal 26<br />

Mei 2010. Mereka meruntuhkan pagar ketika memaksa masuk gedung<br />

pertemuan KPUD. Proses penghitungan yang lambat terja<strong>di</strong> karena<br />

menunggu datangnya semua kotak suara ke tangan KPUD dari berbagai<br />

tempat <strong>di</strong> kabupaten yang terletak <strong>di</strong> pulau-pulau terpencil yang memiliki<br />

infrastruktur yang buruk. Padahal, berita bahwa bupati incumbent Tengku<br />

Mukhtarud<strong>di</strong>n telah menang sudah tersebar beberapa jam setelah<br />

pemungutan suara. Unjuk rasa sudah berlangsung sejak tanggal 27 Mei 2010<br />

menuduh bupati melakukan penggelembungan suara dan menuntut hasil<br />

pemilu <strong>di</strong>batalkan. Intensitas terus bertambah seiiring lambannya proses<br />

penghitungan yang memicu kecurigaan.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 25 Juni dan Agustus-September<br />

2010. Pendukung calon penantang An<strong>di</strong> Maddussila memprotes suatu<br />

ramalan kemenangan untuk bupati incumbent Ichsan Limpo yang keluar dua<br />

hari setelah pemungutan suara. Mereka menuduh Ichsan memakai ijazah<br />

palsu dan menyandera seorang pendukung sang bupati yang mengakibatkan<br />

kelompok lawan untuk melakukan serangan balasan. Kedua kubu saling<br />

lempar batu sampai polisi berusaha melerai. Keja<strong>di</strong>an-keja<strong>di</strong>an bermunculan<br />

secara spora<strong>di</strong>s termasuk pembakaran bis, bangunan dan kantor cabang<br />

Golkar oleh orang-orang tak <strong>di</strong>kenal <strong>serta</strong> perkelahian antar pendukung<br />

setelah incumbent <strong>di</strong>lantik tanggal 14 Agustus 2010 yang meletup hingga<br />

bulan September. Keluarga Limpo adalah keluarga yang dominan dalam<br />

Halaman | 16


perpolitikan Sulawesi Selatan. Kakaknya Ichsan, Syahrul Limpo, adalah<br />

guberner Sulawesi Selatan sedangkan saudara-saudaranya yang lain<br />

menduduki kursi <strong>di</strong> DPRD. Mereka sebagian besar berasal dari Partai Golkar.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku (20 Juli 2010). Pendukung<br />

bupati Abdullah Vanath dan lawannya Mukti Keliobas yang menjabat ketua<br />

DPRD berbaku hantam <strong>di</strong> jalanan setelah sang incumbent menang mutlak<br />

pada pemungutan suara 7 Juli 2010. KPUD menolak permintaan sang<br />

penantang untuk penghitungan ulang <strong>di</strong> pulau terpencil Gorom <strong>di</strong>mana<br />

penyelenggara pemilu <strong>di</strong>tenggarai telah menggelembungkan suara. Namun,<br />

Mukti melapor ke KPU propinsi yang akhirnya memerintahkan KPUD untuk<br />

memenuhi tuntutan itu. Ketika KPUD memutuskan untuk tak<br />

menggubrisnya, pendukung Mukti menyerang markas lawan dan membakar<br />

kantor-kantor pemerintahan. Pada bulan Agustus 2010, MK menolak<br />

tuntutan penghitungan ulang itu dan memastikan kemenangan Vanath.<br />

§ Kasus <strong>di</strong> Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah 23-24 September 2010.<br />

Pendukung Sugianto Sabran mengamuk setelah keluarnya Keputusan<br />

Mahkamah Konstitusi untuk menganulir kemenangan calonnya dalam<br />

pemungutan suara 5 Juni 2010 karena Mahkamah Konstitusi menganggap<br />

terja<strong>di</strong> usaha pembelian suara yang massif. Mahkamah Konstitusi dalam<br />

putusannya, juga menetapkan bupati incumbent Ujang Iskandar sebagai<br />

pemenang dan langkah ini memicu tuduhan suatu konspirasi dari Jakarta<br />

untuk menggagalkan gerakan pro-perubahan <strong>di</strong> daerah itu. KPUD menolak<br />

untuk mengeksekusi keputusan tertanggal 7 Juli 2010 <strong>di</strong> tengah<br />

meningkatnya ketegangan <strong>di</strong> daerah itu. Hal ini mendorong KPU Pusat untuk<br />

memberi peringatan kepada KPUD pada tanggal 22 September 2010.<br />

Keputusan kedua yang berasal dari Jakarta ini memperkuat persepsi bahwa<br />

kekuatan pusat sedang mengintervensi urusan daerah dan memicu<br />

pembakaran monumen A<strong>di</strong>pura yang berada <strong>di</strong> ibukota kabupaten. Lembagalembaga<br />

setempat menolak melaksanankan keputusan Mahkamah Konstitusi<br />

itu karena takut menja<strong>di</strong> target dari kemarahan kelompok Sugianto sehingga<br />

daerah itu <strong>di</strong>pimpin seorang penjabat sementara sampai sekarang yang tak<br />

memiliki hak menentukan anggaran. Pejabat <strong>di</strong> daerah telah meminta<br />

Menteri Dalam Negeri untuk melaksanakan keputusan Mahkamah<br />

Konstitusi, namun ia masih enggan. Inilah satu-satunya kasus kekerasan yang<br />

<strong>di</strong>akibatkan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010.<br />

Halaman | 17


§<br />

§<br />

Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (24 Oktober 2010). Sebuah<br />

bom meledak <strong>di</strong> kantor KPUD tengah malam, beberapa jam setelah polisi<br />

mendorong mundur demonstran yang menggugat kemenangan bupati<br />

petahana Ferry Zulkarnain secara spora<strong>di</strong>s. Salah satu anggota tim sukses<br />

dari sang bupati <strong>di</strong>vonis telah melakukan pembelian suara lima hari sebelum<br />

pelantikan tanggal 9 Agustus. Penga<strong>di</strong>lan memutuskan Ferry tidak terlibat<br />

dalam tindak pidana tersebut.<br />

Kasus <strong>di</strong> Kabupaten Karo, Sumatra Utara (1 November 2010). Ratusan orang<br />

membakar ban <strong>di</strong> jalan dan melempar batu ke arah hotel <strong>di</strong>mana KPUD<br />

sedang melakukan rekapitulasi setelah pemungutan suara tanggal 27 Oktober<br />

2010. Para demonstran itu menuntut pemilu ulang dan menuduh kedua calon<br />

yang mendapatkan suara terbanyak telah melakukan pembelian suara. Polisi<br />

melontarkan gas air mata dan menggunakan tongkat untuk membubarkan<br />

massa. Pada tanggal 6 November 2010, sebuah gedung pemerintahan <strong>di</strong>bakar<br />

<strong>di</strong>tengah malam. Sengketa ini telah <strong>di</strong>bawa ke Mahkamah Konstitusi sehingga<br />

putaran kedua menja<strong>di</strong> tertunda.<br />

2. <strong>Kekerasan</strong> Rutin <strong>di</strong> Provinsi Rawan Konflik<br />

Adapun konflik kekerasan lain yang timbul sejak proses transisi<br />

demokrasi <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong> antara lain konflik separatis <strong>di</strong> Aceh yang mengakibatkan<br />

ribuan korban tewas sebelum terselenggaranya perjanjian damai pada 2005, dan<br />

konflik <strong>di</strong> Papua yang masih berlanjut dengan intensitas kekerasan rendah.<br />

Konflik etnis <strong>di</strong> Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Jakarta juga telah<br />

merenggut ribuan korban jiwa. <strong>Kekerasan</strong> antaragama-etnis pecah pada 1999 <strong>di</strong><br />

Maluku dan <strong>di</strong> Maluku Utara <strong>serta</strong> pada 1998 dan 2000 <strong>di</strong> Sulawesi Tengah.<br />

Aksi-aksi teroris, meski jarang terja<strong>di</strong>, tetap memakan korban. Selain itu,<br />

berbagai wilayah telah terkena dampak dari konflik kekerasan rutin berskala<br />

kecil akibat persoalan perebutan sumber daya, masalah politik, dan identitas.<br />

Konflik berskala besar telah berakhir atau setidaknya intensitasnya<br />

berkurang seiring dengan konsolidasi demokrasi <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong>. Namun, selama 5<br />

tahun terakhir, data menunjukkan bahwa berbagai faktor yang memicu dan<br />

mendorong beragam konflik tersebut belum sepenuhnya <strong>di</strong>tangani dan persoalan<br />

konflik lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru.<br />

Pada enam provinsi rawan konflik, Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku,<br />

Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat terdapat tingkat konflik kekerasan rutin<br />

yang tinggi – yang seringkali berupa bentrokan antar kelompok geng (preman),<br />

Halaman | 18


demonstrasi politik yang berujung ricuh, pengeroyokan terhadap pencuri, atau<br />

pertikaian masalah lahan. Dari bentuk-bentuk konflik kekerasan tersebut, sejak<br />

2011-2015 terja<strong>di</strong> rata-rata 2.000 insiden konflik kekerasan per tahun. <strong>Kekerasan</strong><br />

pada enam provinsi yang <strong>di</strong>huni 4 persen dari penduduk <strong>Indonesia</strong> tersebut telah<br />

menelan korban tewas lebih dari 600 orang, 6.000 korban luka-luka, dan lebih<br />

dari 1.900 bangunan hancur. Mengingat meluasnya kekerasan berskala besar<br />

pada masa lalu <strong>di</strong>awali oleh insiden kekerasan berskala kecil, tingginya tingkat<br />

kekerasan rutinmenandai potensi eskalasi konflik (Conflict and Development<br />

Program, 2015: 18-23).<br />

Konflik kekerasan rutin merupakan fenomena penting bukan hanya<br />

karena dampak fisiknya, tapi juga karena kekerasan rutin berpotensi<br />

menciptakan budaya kekerasan <strong>di</strong> mana keluhan sering <strong>di</strong>selesaikan dengan<br />

kekerasan. Hal ini dapat menimbulkan siklus balas dendam dan menipiskan<br />

kepercayaan pada institusi negara. Tingginya tingkat kekerasan rutin tersebut<br />

dapat mengarah pada pembentukan jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang<br />

sewaktu-waktu dapat <strong>di</strong>mobilisasi dan berkontribusi pada keteganganketegangan<br />

sosial dan politik yang sudah ada, sebagaimana terja<strong>di</strong> pada berbagai<br />

konflik berskala besar pada masa sebelumnya. Dampak signifikan dan<br />

meningkatnya jumlah insiden konflik kekerasan menekankan perlunya<br />

pengelolaan risiko yang terus menerus dan pengutamaan pencegahan konflik<br />

dalam agenda kebijakan.<br />

Sifat konflik kekerasan <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong> telah mengalami perubahan secara<br />

gradual. Bila pada periode 1999-2004, isu-isu identitas melatarbelakangi<br />

kebanyakan kasus kekerasan berskala besar, kini isu moral/tersinggung yang<br />

kian mengemuka, dan menyebabkan lebih dari setengah jumlah korban tewas<br />

akibat konflik pada beberapa tahun terakhir. Bentuk dari insiden kekerasan yang<br />

marak terja<strong>di</strong> pun berubah. Meski kerusuhan dan bentrokan antarkelompok<br />

masih terja<strong>di</strong>, frekuensinya telah berkurang, dan insiden penganiayaan dan<br />

perkelahian yang paling banyak menyebabkan korban tewas pada beberapa<br />

tahun terakhir. Isu penghakiman atas isu moral menyebabkan korban tewas<br />

terbanyak. Satu setengah dekade yang lalu, kebanyakan korban tewas akibat<br />

konflik separatis atau konflik antarsuku-agama berskala besar. Sebaliknya,<br />

antara 2012 dan 2016, insiden terkait identitas walau hanya mencapai 2 persen<br />

dari total insiden konflik, tetapi menyebabkan 10 persen dari korban tewas akibat<br />

konflik (Conflict and Development Program, 2015: 24-40). Hal ini menunjukkan<br />

bahwa meskipun jumlah insidennya lebih kecil, konflik kekerasan terkait<br />

Halaman | 19


identitas memiliki risiko korban tewas yang tinggi. Isu-isu administratif, sumber<br />

daya, dan politik juga ada, namun proporsi korban tewas yang <strong>di</strong>timbulkannya<br />

kecil.<br />

Isu dominan dalam tindak kekerasan akhir-akhir ini dan yang berakibat<br />

hampir setengah dari jumlah korban tewas (dan 55 persen dari jumlah insiden),<br />

adalah isu moral/tersinggung. Kategori ini mencakup: reaksi kekerasan terhadap<br />

hal yang <strong>di</strong>anggap pelanggaran moral seperti masalah seksual/selingkuh,<br />

pemerkosaan, mabuk, utang, atau dukun santet (12 persen dari jumlah korban<br />

tewas selama 2011-2015); reaksi kekerasan terhadap pelaku tindak kejahatan<br />

seperti pencurian, penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, dan pengerusakan (11<br />

persen dari jumlah korban tewas); dan juga reaksi kekerasan karena rasa<br />

tersinggung atau malu (27 persen dari jumlah korban tewas). Bentuk kekerasan<br />

ini kadang terja<strong>di</strong> antarkelompok etnik atau antara kelompok pendatang dan<br />

masyarakat setempat, sehingga menampilkan ketegangan-ketegangan identitas.<br />

Kecenderungan penggunaan kekerasan dalam persoalan kecil dan juga<br />

kecenderungan untuk main hakim sen<strong>di</strong>ri menunjukkan rendahnya kepercayaan<br />

masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan sistem penga<strong>di</strong>lan (Conflict<br />

and Development Program, 2015: 41-47).<br />

Bentuk insiden kekerasan yang terja<strong>di</strong> juga mengalami perubahan.<br />

Kerusuhan dan bentrokan antarkelompok yang ta<strong>di</strong>nya dominan, terus terja<strong>di</strong><br />

pada kurun waktu 2011-2015, namun dalam jumlah kecil. Justru penganiayaan<br />

dan perkelahian merupakan bentuk yang paling banyak menimbulkan korban<br />

tewas akhir-akhir ini.<br />

Kebanyakan konflik kekerasan selama 1999-2002 terja<strong>di</strong> dalam bentuk<br />

kerusuhan dan bentrokan antarkelompok yang mengakibatkan kehancuran<br />

berskala besar. Sedangkan konflik antara tahun 2002-2008 sudah tidak begitu<br />

<strong>di</strong>dominasi oleh kerusuhan dan bentrokan antar kelompok namun oleh<br />

kekerasan rutin yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> masyarakat. Adapun selama periode 2011-2015,<br />

14 persen dari seluruh korban tewas terja<strong>di</strong> akibat bentrokan antarkelompok,<br />

sedangkan kerusuhan hanya menimbulkan persentase jumlah korban yang kecil<br />

(demikian juga dengan serangan teroris, yang banyak <strong>di</strong>liput me<strong>di</strong>a nasional).<br />

Sebaliknya, insiden berskala kecil seperti penganiayaan (kekerasan sepihak) dan<br />

perkelahian menyebabkan lebih dari 75 persen korban tewas akibat konflik.<br />

Penggunaan senjata api masih relatif kecil kecuali <strong>di</strong> Aceh. Data menunjukkan<br />

bahwa senjata yang paling banyak <strong>di</strong>gunakan dalam kasus kekerasan yang<br />

menimbulkan korban tewas adalah senjata tajam seperti pisau. Penggunaan<br />

Halaman | 20


senjata api oleh masyarakat biasa dalam insiden yang menimbulkan korban<br />

tewas masih relatif rendah, kecuali <strong>di</strong> Aceh pasca penandatanganan perjanjian<br />

damai <strong>di</strong>mana 7 persen insiden kekerasan melibatkan penggunaan senjata api.<br />

Insiden-insiden ini mengakibatkan 19 persen dari jumlah korban tewas <strong>di</strong> Aceh<br />

selama periode 2011-2015 (Conflict and Development Program: 2015: 48-55).<br />

Adapun respon aparat keamanan terhadap konflik kekerasan masih<br />

lemah. Hanya 7 persen konflik kekerasan yang terdata dalam database selama<br />

2011-2015 <strong>di</strong>tangani secara langsung oleh pihak militer atau kepolisian, termasuk<br />

Brimob. Konflik antarunsur atau elemen dalam tubuh militer atau kepolisian,<br />

yang sempat menghambat efektivitas penegakan hokum selama periode konflik<br />

berskala tinggi, terus terja<strong>di</strong> dan menyebabkan insiden yang mematikan.<br />

Untuk semua insiden kekerasan, ketika aparat berupaya melakukan<br />

intervensi, intervensi tersebut berhasil menghentikan tindak kekerasan dalam<br />

66% dari kasus yang <strong>di</strong>tangani. Akan tetapi, intervensi yang <strong>di</strong>upayakan untuk<br />

menghentikan tindakan pengeroyokan dan kerusuhan kurang berhasil, dengan<br />

tingkat keberhasilan hanya 32% untuk insiden pengeroyokan dan 57% untuk<br />

insiden kerusuhan (Conflict and Development Program, 2015: 52-58).<br />

Konflik antarunsur satuan keamanan, yang sempat menghambat<br />

efektifitas penegakan hukum selama periode konflik berskala besar, masih<br />

berujung pada insiden mematikan. Dari tahun 2011 hingga 2015, data yang<br />

<strong>di</strong>himpun oleh Conflict and Development Program (2015), mencatat 107 insiden<br />

kekerasan antara anggota polisi (termasuk Brimob) dan anggota militer yang<br />

mengakibatkan 24 orang tewas.<br />

Terdapat variasi yang besar antarprovinsi dalam frekuensi dan dampak<br />

konflik kekerasan selama beberapa tahun terakhir. Papua tercatat memiliki<br />

tingkat tertinggi konflik kekerasan, <strong>di</strong>susul Maluku. Selama 2011-2015,<br />

<strong>di</strong>laporkan 40 insiden kekerasan separatis <strong>di</strong> Papua, yang mengakibatkan korban<br />

tewas 30 orang. Sebaliknya terdapat 3.308 insiden konflik kekerasan yang terkait<br />

dengan isu lain, yang mengakibatkan 318 orang tewas (Conflict and Development<br />

Program, 2015: 46-66).<br />

Akan tetapi analisa kajian me<strong>di</strong>a memastikan bahwa banyak insiden<br />

separatis tidak <strong>di</strong>beritakan oleh surat kabar lokal karena <strong>di</strong>anggap sensitif.<br />

Pentingnya konflik separatis tidak terikat pada jumlah insiden tetapi tingginya<br />

tingkat kekerasan rutin dalam konteks Papua yang <strong>di</strong><strong>serta</strong>i angka ketegangan<br />

sosial terkail gerakan separatis, perasaan anti-pendatang, isu kesukuan dan isu<br />

eksploitasi sumber daya, menandai risiko eskalasi konflik.<br />

Halaman | 21


Peningkatan paling drastis pada frekuensi konflik kekerasan terja<strong>di</strong> <strong>di</strong><br />

Maluku. Di Maluku, lokasi konflik kekerasan terkait agama paling besar <strong>di</strong><br />

<strong>Indonesia</strong> akhir-akhir ini. Jumlah insiden konflik kekerasan terus-menerus<br />

meningkat sejak 2002. Yang paling sering terja<strong>di</strong> adalah insiden terkait isu<br />

moral/tersinggung, tetapi juga terja<strong>di</strong> sejumlah insiden konflik akibat perebutan<br />

sumber daya dan persoalan administratif.<br />

<strong>Kekerasan</strong> separatis <strong>di</strong> Aceh berakhir dengan penandatanganan<br />

perjanjian damai pada 2005, namun konflik kekerasan rutin terus meningkat,<br />

dan seringkali terkonsentrasi <strong>di</strong> wilayah yang ‘panas’ selama konflik separatis.<br />

Pada tahun 2011 terja<strong>di</strong> 193 insiden konflik kekerasan, sedangkan pada 2015<br />

jumlah insiden konflik telah meningkat menja<strong>di</strong> 468 insiden. Isu<br />

moral/tersinggung dan perebutan sumber daya adalah isu dominan. Kebanyakan<br />

insiden pascaperjanjian damai <strong>di</strong> Aceh terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> kabupaten yang mengalami<br />

tingkat kekerasan tertinggi selama konflik separatis yaitu: Bireuen, Aceh Utara,<br />

dan Aceh Timur. Sedangkan kawasan Banda Aceh dan Lhokseumawe mengalami<br />

kekerasan yang relatif lebih se<strong>di</strong>kit ketika konflik separatis karena keberadaan<br />

aparat dalam jumlah besar.<br />

Adapun variasi konflik kekerasan <strong>di</strong> dalam tiap provinsi dalam kurun<br />

waktu 2011-2015 sangatlah beragam. Frekuensi, bentuk, dan dampak insiden<br />

kekerasan sangat bervariasi antarkabupaten. Di Papua misalnya, dalam kurun<br />

waktu tersebut, lebih dari setengah korban konflik <strong>di</strong> Papua tercatat <strong>di</strong> dua<br />

wilayah: Kota Jayapura dan Kabupaten Mimika. Di Kabupaten Mimika, lebih dari<br />

setengah dari korban tewas akibat konflik terkait identitas, biasanya dalam<br />

bentuk bentrokan antarsuku, sering juga sebagai aksi balas dendam atas<br />

kekerasan sebelumnya. Namun <strong>di</strong> Kota Jayapura, isu moral/tersinggung paling<br />

banyak terja<strong>di</strong>, dan bentuknya lebih berupa penganiayaan berskala kecil daripada<br />

bentrokan antarkelompok. Demikian juga perban<strong>di</strong>ngan antara dua wilayah yang<br />

paling banyak mengalami konflik kekerasan <strong>di</strong> Provinsi Sulawesi Tengah,<br />

mengungkapkan bahwa 58 persen insiden konflik kekerasan <strong>di</strong> Palu sejak 2006<br />

terja<strong>di</strong> dalam bentuk penganiayaan, sedangkan <strong>di</strong> Poso bentuk kekerasan yang<br />

menonjol dalam periode yang sama adalah serangan teror yang menggunakan<br />

alat peledak (43 persen). Variasi antarwilayah dalam provinsi tersebut<br />

menandakan dengan jelas peran factor lokal dalam pola konflik (Conflict and<br />

Development Program, 2015: 60-74).<br />

Jumlah konflik kekerasan <strong>di</strong> Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku<br />

Utara, Papua, dan Papua Barat telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir<br />

Halaman | 22


ini. Di luar Provinsi Aceh, jumlah konflik kekerasan rutin meningkat secara<br />

cukup signifikan. Setelah penandatanganan perjanjian damai <strong>di</strong> Aceh, jumlah<br />

insiden kekerasan rutin justru meningkat dari 200 kasus pada 2011 menja<strong>di</strong> lebih<br />

dari 500 kasus pada 2015. Meski jumlah korban tewas akibat kekerasan komunal<br />

berskala besar telah berkurang, konflik kekerasan rutin yang makin meluas<br />

berdampak signifikan. Sejak 2011, terdapat rata-rata 200 korban tewas dan<br />

2.400 korban luka-luka setiap tahun akibat konflik <strong>di</strong> enam provinsi, yang <strong>di</strong>huni<br />

hanya 4 persen penduduk <strong>Indonesia</strong> (Conflict and Development Program, 2015:<br />

55-59). Adapun stu<strong>di</strong> lain, yang <strong>di</strong>lakukan <strong>di</strong> Jawa Timur, NTT, Lampung, Bali,<br />

dan Jawa Barat, menunjukkan bahwa konflik kekerasan serupa juga terja<strong>di</strong> <strong>di</strong><br />

provinsi-provinsi selain keenam provinsi rawan konflik tersebut (Lihat ICG<br />

2003; Barron dan Madden 2004; Welsh 2008; <strong>serta</strong> Barron, Diprose dan<br />

Woolcock 2011).<br />

Di antara enam provinsi yang menja<strong>di</strong> subjek penelitian Conflict dan<br />

Development Program (2015), Papua merupakan provinsi dengan tingkat jumlah<br />

insiden kekerasan tertinggi dan Provinsi Maluku tercatat mengalami kenaikan<br />

yang paling tajam dalam jumlah insiden kekerasan pada beberapa tahun terakhir.<br />

Di Provinsi Aceh, kekerasan separatis berakhir pada 2005, namun sebaliknya<br />

jumlah insiden terkait isu moral/tersinggung justru meningkat sejak saat itu.<br />

Adapun kekerasan pasca perjanjian damai (penandatanganan MoU)<br />

terkonsentrasi pada wilayah yang merupakan pusat kekerasan sebelum MoU<br />

juga. Di keenam provinsi rawan konflik (Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku<br />

Utara, Papua, dan Papua Barat), tingkat, bentuk dan dampak konflik kekerasan<br />

sangat bervariasi antarkabupaten. Hal ini sekaligus memperlihatkan betapa<br />

signifikannya faktor lokal dalam mendorong terja<strong>di</strong>nya insiden kekerasan.<br />

C. <strong>Implikasi</strong> Kebijakan<br />

Untuk membahas kasus-kasus kekerasan politik dalam Pemilukada,<br />

menurut Ritzer (2003), ada tiga para<strong>di</strong>gma dalam sosiologi yang dapat <strong>di</strong>pakai,<br />

yaitu: 1) para<strong>di</strong>gma fakta sosial yang menyatakan bahwa struktur yang terdalam<br />

masyarakat mempengaruhi in<strong>di</strong>vidu, 2) para<strong>di</strong>gma definisi sosial yang<br />

menyatakan bahwa pemikiran in<strong>di</strong>vidu dalam masyarakat mempengaruhi<br />

struktur yang ada dalam masyarakat, 3) para<strong>di</strong>gma perilaku sosial yang<br />

menyatakan bahwa perilaku keajegan dari in<strong>di</strong>vidu yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> masyarakat<br />

merupakan suatu pokok permasalahan, dalam hal ini interaksi antarin<strong>di</strong>vidu<br />

dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku in<strong>di</strong>vidu yang<br />

Halaman | 23


ersangkutan. Dengan demikian, para<strong>di</strong>gma yang paling cocok untuk <strong>di</strong>pakai<br />

dalam pembahasan kasus-kasus kekerasan mengenai Pemilukada adalah<br />

para<strong>di</strong>gma definisi sosial. Sedangkan teori yang mendukung pembahasan ini<br />

adalah teori tindakan komunikasi dari Jurgen Habermas.<br />

Habermas (1990) menyatakan bahwa politik dapat <strong>di</strong>rasionalisasikan<br />

dalam upaya membangun masyarakat atas dasar hubungan antar priba<strong>di</strong> yang<br />

merdeka dan memulihkan peran manusia sebagai subyek yang mengatur<br />

sejarahnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Weber dalam Siahaan (1983: 218-<br />

220), bahwa tindakan sosial seseorang <strong>di</strong>pengaruhi oleh zweck rational, yaitu<br />

tindakan sosial yang mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan manusia<br />

yang rasional <strong>di</strong> dalam merespon kon<strong>di</strong>si eksternalnya (termasuk tanggapan<br />

terhadap orang lain <strong>di</strong> luar <strong>di</strong>rinya dalam upaya mencapai tujuan yang maksimal<br />

dengan pengorbanan yang seminimal mungkin). Sedangkan tindakan<br />

komunikatif menurut Habermas (1971) adalah titik tolak dari kritik rekonstruksi<br />

teori rasionalitas Weber, bahwa ada tindakan dasar manusia yang <strong>di</strong>arahkan oleh<br />

norma-norma yang <strong>di</strong>sepakati bersama berdasarkan harapan timbal balik antara<br />

subyek yang saling berinteraksi. Kemu<strong>di</strong>an dengan asumsi bahwa masyarakat<br />

pada hakekatnya bersifat komunikatif, Habermas dalam Har<strong>di</strong>man (1993: 116)<br />

dengan para<strong>di</strong>gma komunikasi, mengutamakan peranan struktur-struktur<br />

komunikasi sosial dalam perubahan masyarakat.<br />

Sejak Pemilukada <strong>di</strong>gelar <strong>di</strong> kabupaten/kota <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong>, kerusuhan dan<br />

kekerasan acapkali terja<strong>di</strong> atau bahkan sudah menja<strong>di</strong> bagian integral dari<br />

pelaksanaan Pemilukada. Kon<strong>di</strong>si tersebut <strong>di</strong>sebabkan karena penyelenggara<br />

Pemilukada (KPUD) tidak melakukan komunikasi dua arah yang efektif dengan<br />

pe<strong>serta</strong>/calon/kan<strong>di</strong>dat, sehingga terja<strong>di</strong> kemacetan komunikasi bahkan KPUD<br />

dapat <strong>di</strong>katakan merupakan lembaga yang super body.<br />

Hal ini menyebabkan massa pendukung calon/kan<strong>di</strong>dat melakukan<br />

protes dengan cara berdemonstrasi bahkan sampai menjurus ke arah kerusuhan<br />

sosial karena sudah tidak ada lagi ruang untuk ber<strong>di</strong>alog dan yang ada hanya<br />

informasi-informasi yang tidak jelas. Dengan demikian kerusuhan sosial terkait<br />

pelaksanaan Pemilukada sebenarnya merupakan akibat ketidakdewasaan rakyat<br />

dalam menyikapi suatu komunikasi yang macet, yang sekaligus menggambarkan<br />

level rasionalitas pelakunya dalam merespon kon<strong>di</strong>si tersebut.<br />

Di sisi lain, Habermas dalam Har<strong>di</strong>man (2009: 128) menjelaskan bahwa<br />

ruang publik (public sphere) memiliki peran yang cukup berarti dalam proses<br />

berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana<br />

Halaman | 24


<strong>di</strong>skursus masyarakat agar warga negara dapat menyatakan opini-opini,<br />

kepentingan-kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara <strong>di</strong>skursif,<br />

sebab ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi.<br />

Habermas dalam Har<strong>di</strong>man (2010: 185) juga menjelaskan bahwa ruang<br />

publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan<br />

politis warga dan merupakan wadah <strong>di</strong>mana warganegara dengan bebas dapat<br />

menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah.<br />

Ruang publik tidak hanya <strong>di</strong>wujudkan dalam bentuk fisik, berupa sebuah<br />

institusi atau organisasi yang legal, melainkan merupakan usaha warga untuk<br />

menjalin komunikasi <strong>di</strong>antara mereka. Ruang publik harus bersifat bebas,<br />

terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom <strong>di</strong><br />

dalamnya. Ruang publik harus mudah <strong>di</strong>akses semua orang. Dalam konteks<br />

Pemilukada, rakyat yang terlibat dalam hingar bingar peristiwa politik, masih<br />

berperan sebagai objek bukan subjek. Tingkat partisipasi rakyat dalam peristiwa<br />

politik ini sangat rendah karena posisinya hanya sebagai pelengkap jika<br />

<strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan posisi calon/kan<strong>di</strong>dat yang sangat dominan dan <strong>di</strong>kuasai<br />

oleh kapitalistik. Dengan demikian rakyat yang terlibat dalam Pemilukada, jika<br />

<strong>di</strong>kaitkan dengan teori masyarakat komunikatif Habermas, tidak memiliki power<br />

reflective yang memadai. Akibatnya, rakyat tidak mampu untuk bertindak secara<br />

otonom dalam ruang politik yang seharusnya dapat menciptakan kesepahaman<br />

bagi kepentingan bersama, atau meyusun sebuah konsensus. Konsensus hanya<br />

dapat <strong>di</strong>lahirkan jika rakyat mampu mengembangkan masyarakat komunikatif<br />

yang memiliki otonomi.<br />

Adapun meningkatnya konflik kekerasan rutin berskala kecil selama<br />

beberapa tahun terakhir, dengan jumlah dampak yang signifikan, membawa<br />

resiko eskalasi menuju konflik yang lebih besar. Terdapat pengakuan yang kian<br />

menguat dari pemerintah dan masyarakat tentang perlunya sebuah perubahan<br />

pendekatan nasional terhadap pengelolaan konflik, dari pola penanganan yang<br />

bersifat sementara (adhoc) menja<strong>di</strong> pengembangan sebuah kerangka kebijakan<br />

yang terpadu dan komprehensif yang mengadopsi pendekatan preventif.<br />

Beberapa inisiatif sudah mulai <strong>di</strong>lakukan untuk menyusun sebuah<br />

kerangka kebijakan tersebut, yang mencakup penyusunan draf Strategi Besar<br />

Pencegahan dan Pengelolaan Konflik (Grand Strategy for Conflict Prevention<br />

and Management) dan penyusunan Kerangka Pencegahan Konflik (Conflict<br />

Prevention Framework). Data statistik mengenai konflik yang berkembang <strong>di</strong><br />

<strong>Indonesia</strong>, baik dari hasil penelitian ICG (2003), Barron dan Madden (2004),<br />

Halaman | 25


Welsh (2008), Barron, Diprose, dan Woolcock (2011), Conflict and Development<br />

Program (2011-2015), memberikan penegasan bahwa inisiatif-inisiatif tersebut<br />

seyogyanya mempertimbangkan isu dan upaya kunci berikut ini:<br />

1. Secara sistematis mengupayakan penyelesaian faktor-faktor struktural <strong>di</strong><br />

balik konflik kekerasan besar pada masa lalu sambil tetap<br />

memprioritaskan pengelolaan secara efektif konflik kekerasan rutin <strong>di</strong><br />

masa mendatang.<br />

2. Menetapkan pembagian tugas yang secara lebih jelas antara pemerintah<br />

pusat dan pemerintah daerah, dan antara pemerintah dan masyarakat<br />

madani, dalam mencegah konflik kekerasan.<br />

3. Mengikut<strong>serta</strong>kan pemerintah daerah dalam merumuskan dan<br />

melaksanakan kebijakan pencegahan dan pengelolaan konflik agar<br />

persoalan-persoalan lokal ikut <strong>di</strong>pertimbangkan secara memadai dalam<br />

kerangka kebijakan nasional.<br />

4. Menginformasikan lembaga/institusi keamanan formal akan<br />

perkembangan <strong>di</strong>namika konflik <strong>di</strong> wilayahnya dan memperkuat<br />

kemampuan mereka agar efektif dalam menangani kekerasan.<br />

5. Memperkuat mekanisme-mekanisme informal untuk penyelesaian<br />

sengketa dan akses terhadap kea<strong>di</strong>lan <strong>di</strong> tingkat local dengan melatih<br />

pemimpin local mengenai cara-cara resolusi konflik untuk mencegah<br />

eskalasi sengketa menja<strong>di</strong> konflik kekerasan.<br />

6. Terus melakukan program pembangunan perdamaian (peace-buil<strong>di</strong>ng) <strong>di</strong><br />

provinsi-provinsi pascakonflik, secara khusus juga <strong>di</strong> Papua mengingat<br />

wilayah ini mengalami tingkat kekerasan tinggi dengan konteks penuh<br />

ketegangan yang sedang meningkat.<br />

7. Melakukan kajian sistematik berkala untuk mengumpulkan informasi<br />

terbaru mengenai pola dan dampak konflik kekerasan <strong>di</strong> propinsi lain dan<br />

melakukan pemantauan secara kontinu terhadap perkembangan konflik<br />

<strong>di</strong> wilayah-wilayah ‘panas’ seperti Papua dan Maluku. Upaya pemantauan<br />

tersebut memerlukan kemitraaan yang kokoh antara lembaga pemerintah<br />

dan nonpemerintah, <strong>di</strong>mana peran lembaga nonpemerintah sebaiknya<br />

mencakup pengumpulan dan penganalisa data sehinggga dapat menja<strong>di</strong><br />

panduan bagi penanganan konflik yang <strong>di</strong>lakukan pemerintah.<br />

Halaman | 26


BAB III<br />

PENUTUP<br />

A. Kesimpulan<br />

Konflik berskala besar telah berakhir atau setidaknya intensitasnya<br />

berkurang seiring dengan konsolidasi demokrasi <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong>. Namun, kekerasan<br />

yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong> dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan bahwa<br />

berbagai faktor yang memicu dan mendorong beragam konflik tersebut belum<br />

sepenuhnya <strong>di</strong>tangani dan persoalan konflik lama kerap memicu insiden<br />

kekerasan yang baru.<br />

<strong>Tren</strong> kekerasan baru yang cukup mengkhawatirkan adalah: 1) kekerasan<br />

terkait penyelenggaraan Pemilukada <strong>serta</strong>, 2) kekerasan rutin seperti bentrokan<br />

antar kelompok geng (preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian<br />

masalah lahan yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> beberapa kawasan <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong>.<br />

<strong>Kekerasan</strong> terkait dengan ketidakpuasan rakyat dalam penyelengaraan<br />

Pemilukada <strong>di</strong>mulai dari daftar pemilih yang kurang akurat, pemilih ganda,<br />

persoalan pencalonan, penggantian pasangan calon dalam proses perbaikan<br />

syarat administrasi, pembelian suara secara massif, kampanye hitam, <strong>serta</strong><br />

money politics, yang seringkali berakhir dengan adanya kekerasan yang<br />

mengarah ke anarkisme.<br />

Konflik kekerasan rutin merupakan fenomena penting bukan hanya<br />

karena dampak fisiknya, tapi juga karena kekerasan rutin berpotensi<br />

menciptakan budaya kekerasan <strong>di</strong> mana keluhan sering <strong>di</strong>selesaikan dengan<br />

kekerasan. Hal ini dapat menimbulkan siklus balas dendam dan menipiskan<br />

kepercayaan pada institusi negara. Tingginya tingkat kekerasan rutin tersebut<br />

dapat mengarah pada pembentukan jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang<br />

sewaktu-waktu dapat <strong>di</strong>mobilisasi dan berkontribusi pada keteganganketegangan<br />

sosial dan politik yang sudah ada, sebagaimana terja<strong>di</strong> pada berbagai<br />

konflik berskala besar pada masa sebelumnya.<br />

Data yang <strong>di</strong>himpun oleh Conflict and Development Program (2015)<br />

mencatat bahwa sifat konflik kekerasan <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong> telah mengalami perubahan<br />

secara gradual. Bila pada periode 1999-2004, isu-isu identitas melatarbelakangi<br />

kebanyakan kasus kekerasan berskala besar, kini isu moral/tersinggung yang<br />

kian mengemuka, dan menyebabkan lebih dari setengah jumlah korban tewas<br />

akibat konflik pada beberapa tahun terakhir.<br />

Halaman | 27


Bentuk kekerasan ini kadang terja<strong>di</strong> antarkelompok etnik atau antara<br />

kelompok pendatang dan masyarakat setempat, sehingga menampilkan<br />

ketegangan-ketegangan identitas. Kecenderungan penggunaan kekerasan dalam<br />

persoalan kecil dan juga kecenderungan untuk main hakim sen<strong>di</strong>ri menunjukkan<br />

rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan<br />

sistem penga<strong>di</strong>lan.<br />

B. Saran<br />

Terkait dengan kekerasan Pemilukada, dapat <strong>di</strong>simpulkan bahwa telah<br />

terja<strong>di</strong> ketidakseimbangan atau kemacetan komunikasi antar lintas stakeholder<br />

politik yang akhirnya menimbulkan kekerasan yang menjurus ke anarkisme<br />

secara struktural. Oleh karena itu, berdasarkan teori Habermas, maka konsep<br />

masyarakat komunikatif menja<strong>di</strong> alternatif yang mampu melahirkan konsensus<br />

baru yang harus <strong>di</strong>taati dalam proses politik untuk menguraikan kekerasan dan<br />

kerusuhan social dalam Pemilukada.<br />

Sedangkan dari konflik kekerasan rutin yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> berbagai kawasan<br />

<strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong> dapat <strong>di</strong>simpulkan bahwa perlu adanya sebuah perubahan<br />

pendekatan nasional terhadap pengelolaan konflik, dari pola penanganan yang<br />

bersifat sementara (adhoc) menja<strong>di</strong> pengembangan sebuah kerangka kebijakan<br />

yang terpadu dan komprehensif dan mengadopsi pendekatan preventif.<br />

Adapun hal-hal yang dapat <strong>di</strong>lakukan oleh pemerintah antara lain: a)<br />

investasi pada kegiatan pemantauan konflik secara sistematis, khususnya <strong>di</strong><br />

wilayah rawan konflik sebagai instrumen pendukung sistem peringatan <strong>di</strong>ni, b)<br />

upaya-upaya peningkatan kemampuan para penegak hukum agar efektif<br />

menanggulangi dan menangani kekerasan, c) penguatan mekanisme lokal dalam<br />

menyelesaikan sengketa untuk meningkatkan kohesi sosial masyarakat dan<br />

mencegah eskalasi konflik, d) investasi terus-menerus pada program<br />

pembangunan perdamaian (peace-buil<strong>di</strong>ng) <strong>di</strong> wilayah pascakonflik, dengan<br />

mengedepankan kepemimpinan lokal, e) partisipasi dan keterlibatan penuh para<br />

aktor lokal dalam perumusan kerangka kebijakan nasional.<br />

Halaman | 28


DAFTAR PUSTAKA<br />

Ashutosh Varshney, Mohammad Zulfan Tadjoed<strong>di</strong>n, and Rizal Panggabean<br />

(2008). Creating datasets in information-poor environments: patterns<br />

of collective violence in <strong>Indonesia</strong>, 1990-2003. Journal of East Asian<br />

Stu<strong>di</strong>es 8: 361-394.<br />

Bridget Welsh (2008). Local and national: keroyakan mobbing in <strong>Indonesia</strong>.<br />

Journal of East Asian Stu<strong>di</strong>es 8 (3): 473-504.<br />

Camara, Dom Helder. (2000). Spiral kekerasan. Terjemahan: Komunitas Apiru.<br />

Yogyakarta: Pustaka Pelajar<br />

Conflict and Development Program (C&D) (2008). “Using newspapers to<br />

understand variation in violent conflict: towards a database of violence<br />

in <strong>Indonesia</strong>.” Policy Brief: Understan<strong>di</strong>ng Conflict Dynamics and<br />

Impacts in <strong>Indonesia</strong> No. 1. Jakarta: World Bank.<br />

Conflict and Development Program (C&D) (2015). Using newspapers to<br />

understand variation in violent conflict: towards a database of violence<br />

in <strong>Indonesia</strong>.” Policy Brief: Understan<strong>di</strong>ng Conflict Dynamics and<br />

Impacts in <strong>Indonesia</strong> No. 3. Jakarta: World Bank.<br />

Echols dan Hassan Sha<strong>di</strong>ly. (1990). Kamus Inggris-<strong>Indonesia</strong>. Jakarta:<br />

Grame<strong>di</strong>a Pustaka Utama<br />

Friedmad, Maurce. (1988). Menggapai dunia damai. Diterjemahkan S. Maiman<br />

dkk dengan judul asli: The power of violence and the power of nonviolence.<br />

Jakarta: Yayasan Obor <strong>Indonesia</strong><br />

Gerry van Klinken (2007). Communal violence and democratization in<br />

<strong>Indonesia</strong>: small town wars. London: Routledge<br />

Gurr, Ted Robert. (1998). Early warning of ethnopolitical rebellion: in<br />

preventive measures. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.<br />

__________ and Barbara Harff. (1996). Early warning of communal conflict<br />

and genocide. Tokyo: United Nations University Press.<br />

Habermas, J. (1971). Toward a rational society. London: Heinemann.<br />

__________. (1990). Ilmu dan teknologi sebagai ideologi. Alih Bahasa: Hasan<br />

Basri. Jakarta: LP3ES.<br />

Har<strong>di</strong>man, Fresco Bu<strong>di</strong>. (1993). Menuju masyarakat komunikatif. Yogyakarta:<br />

Kanisius<br />

__________. (2009). Demokrasi deliberatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.<br />

__________. (2010). Ruang publik. Yogjakarta: Penerbit Kansius.<br />

International Crisis Group (ICG) (2003). “The perils of private security in<br />

indonesia: guards and militias on Bali and Lombok.” Asia Report No.<br />

67. Jakarta/Brussels: ICG.<br />

Halaman | 29


Istania Ratri. (2009). Potensi konflik etnis-religius <strong>di</strong> tingkat lokal. bahan ajar<br />

mata kuliah <strong>di</strong>namika politik lokal. Jakarta: STIA LAN.<br />

Jacques Bertrand (2004). Nationalism and ethnic violence in <strong>Indonesia</strong>.<br />

Cambridge: Cambridge University Press<br />

John T. Sidel (2006). Riots, pogroms, jihad: religious violence in <strong>Indonesia</strong>.<br />

Ithaca, N.Y.:Cornell University Press<br />

LDOCE2. (1987). Longman <strong>di</strong>ctionary of contemporary english, new e<strong>di</strong>tion.<br />

UK: Longmans Group UK Limited<br />

Madjid. (1993). Pandangan dunia alqur’an: ajaran tentang harapan kepada<br />

allah dan seluruh ciptaan. Alqur’an dan tantangan modernitas, cet. i.<br />

Yogyakarta: SIPRESS, 1993, h. 3<br />

Marijan, Kacung. (2007). Resiko politik, biaya ekonomi, akuntabilitas politik,<br />

dan demokrasi lokal . Paper. Jakarta: Komunitas <strong>Indonesia</strong> untuk<br />

Demokrasi<br />

Patrick Barron, Rachael Diprose, and Michael Woolcock (forthcoming 2011).<br />

Contesting development: participatory projects and local conflict<br />

dynamics in <strong>Indonesia</strong>. New Haven: Yale University Press<br />

Patrick Barron and David Madden (2004). Violence and conflict resolution in<br />

‘non-conflict’ regions: the case of Lampung, <strong>Indonesia</strong>. <strong>Indonesia</strong>n<br />

Social Development Paper No. 2. Jakarta: World Bank<br />

Ritzer, George. (2003). Sosiologi ilmu pengetahuan berpara<strong>di</strong>gma ganda. ed.1.,<br />

cet.4. Alih Bahasa: Alimandan, Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada<br />

Santoso, Thomas. (2002). Teori-teori kekerasan. Jakarta: Ghalia <strong>Indonesia</strong><br />

Siahaan, Hotman (et al.). (1983). Struktur sosial kebudayaan masyarakat tepian<br />

kota. Surabaya: Lembaga Penelitian, Universitas Airlangga.<br />

Surwandono. (2010). Stu<strong>di</strong> EWS dalam Pemilukada.<br />

surwandono.staff.umy.ac.ic. Diakses 13 Juni 2016.<br />

Susan, Novri. (2010). Pengantar sosiologi konflik dan isu-isu konflik<br />

kontemporer. Jakarta: Kencana<br />

Halaman | 30

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!