02.03.2017 Views

PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM

USAID_LESTARI-LESTARI_PAPER_03

USAID_LESTARI-LESTARI_PAPER_03

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

LESTARI PAPER NO. 03<br />

<strong>PERAN</strong> <strong>HPH</strong> <strong>D<strong>ALAM</strong></strong> <strong>MENJAGA</strong><br />

<strong>KEBERLANJUTAN</strong> <strong>HUTAN</strong> <strong>ALAM</strong><br />

Nana Suparna


Daftar Isi:<br />

1. Pendahuluan<br />

2. Prospek Hutan Produksi<br />

3. Perkembangan Usaha IUPHHK-HA<br />

4. Penutup<br />

1<br />

1<br />

2-5<br />

5-6<br />

Publikasi ini dibuat dengan dukungan dari Rakyat Amerika Serikat melalui United States Agency for International Development<br />

(USAID). Isi dari publikasi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tetra Tech dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau<br />

Pemerintah Amerika Serikat.


1. Pendahuluan 2. Prospek Hutan Produksi<br />

Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 120,53 juta<br />

ha atau sekitar 63% dari luas daratannya, yang terdiri<br />

dari kawasan hutan konservasi (21,90 juta ha), kawasan<br />

hutan lindung (29,64 juta ha), dan kawasan hutan produksi<br />

(68,99 juta ha). Hutan tropis di Indonesia merupakan<br />

salah satu yang terluas di dunia selain Brazil<br />

dan Republik Kongo (Tolo 2012). Sebagai sumber daya<br />

alam yang tidak saja bernilai tinggi bagi konservasi, hutan<br />

Indonesia juga dieksploitasi sejak jaman kerajaan untuk<br />

kepentingan sosial.<br />

Intensitas eksploitasi terhadap hutan menjadi semakin<br />

tinggi pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische<br />

Compagnie). Demikian pula ketika era pemerintahan<br />

Soekarno, dimana tata kelola kehutanan bersifat<br />

desentralistik. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.<br />

64 tahun 1957, pemerintah mendesentralisasikan tata<br />

kelola kehutanan di luar Pulau Jawa kepada pemerintah<br />

propinsi. Puncak dari eksploitasi hutan sebagai komoditi<br />

ekonomi adalah di era pemerintah orde baru.<br />

Sumber daya hutan seluas 143 juta hektar telah dijadikan<br />

sebagai sumber devisa negara yang penting untuk<br />

pembangunan. Hingga tahun 2000, jumlah Hak Pengusahaan<br />

Hutan (<strong>HPH</strong>) meningkat sekitar 600 unit dengan<br />

mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektar.<br />

Devisa negara yang disumbangkan cukup besar<br />

setelah minyak bumi. Pada tahun 1980-an sebesar USD<br />

200 juta per tahun; tahun 1990-an sebesar USD 9 milyar<br />

per tahun; sampai dengan awal 1990-an sektor kehutanan<br />

memberikan kontribusi terhadap pendapatan<br />

nasional kedua terbesar setelah minyak dan gas (Nurrochmat,<br />

2005).<br />

Kawasan hutan produksi yang luasnya mencakup 57%<br />

dari total kawasan hutan, pada dasarnya memiliki peran<br />

cukup signifikan baik dalam konteks pembangunan<br />

ekonomi maupun dalam konteks menjaga kelangsungan<br />

kawasan hutan di Indonesia. Sekalipun dalam<br />

beberapa tahun terakhir mulai menurun kontribusinya.<br />

Hal ini disebabkan banyaknya perusahaan yang tidak<br />

aktif akibat biaya transaksi yang mahal, risiko bisnis<br />

yang meningkat, regulasi yang kurang kondusif serta<br />

lemahnya status lahan kehutanan. Termasuk harga kayu<br />

dalam negeri yang murah. Dari sekitar 269 jumlah perusahaan<br />

<strong>HPH</strong> diperkirakan ada sekitar 30% yang tidak<br />

aktif. 1<br />

Dalam peta jalan (roadmap) pembangunan hutan produksi<br />

tahun 2016 – 2045, disebutkan bahwa untuk<br />

mengoptimalkan hutan produksi salah satu langkahnya<br />

adalah dengan meningkatkan produktivitas hutan alam<br />

dan membangun hutan tanaman dari tahun 2016 hingga<br />

2045. Luas lahan yang dibutuhkan sekitar 17,05 juta<br />

hektar tanaman dan diprediksi dapat menghasilkan kayu<br />

bulat mencapai 572 juta m3/tahun. Sementara untuk<br />

hutan alam, pengelolaannya perlu dilakukan secara optimal<br />

pada areal seluas 20 juta hektar sehingga menghasilkan<br />

kayu bulat sekitar 28 juta m3 per tahun. 2<br />

Dalam prakteknya, keberadaan hutan alam produksi<br />

sangat ditentukan oleh keberlanjutan usaha para pemegang<br />

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan<br />

Alam (IUPHHK-HA) dan profesionalisme unit manajemennya.<br />

Dengan kata lain, pengelolaan hutan alam<br />

produksi secara lestari (PHPL) menjadi kunci dari keberhasilan<br />

menjaga hutan alam produksi, dan secara tidak<br />

langsung juga menjaga keberadaan kawasan hutan<br />

konservasi dan kawasan hutan lindung. Dengan demikian,<br />

profesionalisme dan kinerja Unit Manajemen (UM)<br />

pengelola hutan alam produksi menjadi penentu atas<br />

keberhasilan pengelolaan hutan alam produksi. Sebaliknya<br />

kegagalan pengelolaan hutan alam produksi oleh<br />

UM berkontribusi terhadap degradasi dan deforestasi<br />

hutan.<br />

Untuk konteks Indonesia, ternyata tidak hanya sekedar<br />

persoalan profesionalisme dan kinerja dari UM yang<br />

berkontribusi terhadap keberadaan dan kelangsungan<br />

fungsi hutan, namun juga persoalan ada tidaknya pihak/institusi<br />

yang bertanggung jawab terhadap hutan<br />

di lapangan (site) juga memiliki peran sangat penting.<br />

Mengingat tatkala tidak ada pihak/institusi yang bertanggung<br />

jawab di lapangan, maka hampir dapat dipastikan<br />

bahwa kawasan hutan tersebut akan beralih<br />

menjadi aset tak bertuan. Dalam arti akses pemanfaatan<br />

hutan menjadi sangat terbuka untuk<br />

siapa saja, dan ada kecenderungan dikelola secara<br />

ilegal. Situasi ini menjadi potensi deforestasi dan konversi<br />

hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan.<br />

Ini berarti, keberadaan dan keberlanjutan usaha<br />

dari pemegang IUPHHK-HA dengan jaminan pengelolaannya<br />

secara lestari merupakan keniscayaan.<br />

Mengingat hal ini menjadi kunci untuk mempertahankan<br />

keberadaan dan fungsi dari hutan alam produksi.<br />

1<br />

Sugiono, Munas Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Jakarta, 19<br />

Oktober 2016.<br />

2<br />

Roadmap Pembangunan Hutan Produksi Indonesia 2016 - 2045<br />

WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG<br />

LESTARI PAPERS: Peran <strong>HPH</strong> Dalam Menjaga Keberlanjutan<br />

Hutan Alam<br />

1


3. Perkembangan Usaha IUPHHK-HA<br />

Tanpa ada jaminan secara formal dan mengikat atas<br />

pengelolaan yang lestari, maka keberadaan pemegang<br />

izin dapat menjadi beban dalam pembangunan kehutanan<br />

Indonesia dimasa depan. Dalam perkembangannya,<br />

usaha IUPHHK-HA atau usaha konsesi hutan<br />

alam dari tahun ke tahun ternyata terus menurun.<br />

Pada tahun 1992, dari 580 UM telah dikelola areal<br />

hutan sebesar 61,36 juta hektar. Kemudian tahun 2015,<br />

hanya ada 269 UM (178 aktif) dengan wilayah kelola<br />

hanya 20,62 juta hektar. Ini berarti luas kawasan hutan<br />

alam produksi yang dikelola berkurang sekitar<br />

66% selama kurun waktu 23 tahun. Dengan demikian,<br />

maka luas kawasan hutan alam produksi eks <strong>HPH</strong><br />

(secara defacto tidak ada pengelolaannya) menjadi semakin<br />

terlantar dan berpotensi “open akses”. Sehingga<br />

pada akhirnya mengakibatkan kerusakan kawasan<br />

hutan secara masif dan permanen. Tidak hanya pada<br />

<strong>HPH</strong>, hal yang sama juga terjadi dengan HTI dimana<br />

dari luas lahan konsesi sebanyak 10,57 juta hektar<br />

tercatat sekitar 35% yang tidak dikelola. Kemudian,<br />

kawasan hutan produksi yang dikonversi menjadi kebun<br />

(sawit dll) ada sekitar 10 juta ha. 3<br />

Perkembangan usaha konsesi hutan alam dalam kurun<br />

waktu 23 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 1 berikut.<br />

Tabel 1. Perkembangan Usaha Konsesi Hutan Alam<br />

Tahun<br />

Jumlah Konsesi<br />

(unit)<br />

Luas Areal Konsesi<br />

(x Juta Ha)<br />

Surat<br />

Keputusan<br />

Luas Efektif Kuota Realisasi<br />

Produksi<br />

(x Juta m3) Produktivitas<br />

Hutan alam<br />

(m3/ha/th)<br />

1 2 3 4 5 6 7(6/4)<br />

1992 580 61.38 42.97 - 26.05 0.61<br />

2000 362 39.16 27.41 - 3.45 0.12<br />

2001 351 36.42 25.49 5.6 1.81 (32%) 0.07<br />

2002 270 28.08 19.66 5.3 3.02 (57%) 0.15<br />

2003 267 27.80 19.46 6.1 4.10 (67%) 0.21<br />

2004 287 27.82 19.47 6.7 3.51 (52%) 0.18<br />

2005 285 27.72 19.40 7.2 5.72 (79%) 0.29<br />

2006 322 28.78 20.15 9.1 5.59 (61%) 0.28<br />

2007 323 28.16 19.71 9.1 6.11 (67%) 0.31<br />

2008 308 25.90 18.13 9.1 4.69 (52%) 0.26<br />

2009 304 25.66 19.96 9.1 5.42 (60%) 0.27<br />

2010 304 24.95 17.46 9.1 5.75 (63%) 0.33<br />

2011 295 23.24 16.27 9.1 6.28 (69%) 0.39<br />

2012 294 23.90 16.73 8.72 5.07 (58%) 0.30<br />

2013 286 22.80 15.96 8.72 3.68 (42%) 0.23<br />

2014 275 20.69 11.48 10.55 5.35 (51%) 0.34<br />

2015 269 20.62 14.43 10,98 5.83 (53%) 0.40<br />

Note : Dari 269 konsesi yang ada pada tahun 2015, hanya 178 konsesi yang aktif, atau hanya 66%.<br />

3<br />

APHI, 2016<br />

2<br />

LESTARI PAPERS: Peran <strong>HPH</strong> Dalam Menjaga Keberlanjutan<br />

Hutan Alam<br />

WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG


Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa luas hutan alam<br />

produksi yang “open akses”, berbanding lurus dengan<br />

jumlah usaha (UM) konsesi hutan alam yang berhenti.<br />

Karenanya, untuk mencegah kawasan semakin terdegradasi<br />

dan disisi lain mengembalikan produktivitasnya,<br />

maka sebagian areal hutan alam eks konsesi hutan alam<br />

dapat diubah sebagai areal Hutan Tanaman Industri<br />

(HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan<br />

(HKm), Hutan Desa (HD), Restorasi ekosistim<br />

(RE), Jasa Lingkungan, Hasil Hutan Bukan Kayu,<br />

Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK) dan usahausaha<br />

perkebunan.<br />

Tabel 2. Perkembangan Kawasan Hutan Produksi<br />

Note:<br />

: Total luas kawasan hutan alam produksi eks konsesi hutan (<strong>HPH</strong>).<br />

Kondisi tahun 2015 :<br />

• dikonversi menjadi kebun sekitar 10 juta ha<br />

• dialokasikan untuk HTI, HTR, HKm, HD, RE, Jasling, HHBK dan IUPK 12,62 juta ha, dan<br />

• masih merupakan kawasan hutan terlantar yang “open akses” 35,75 juta ha (termasuk 7,72 juta ha yang<br />

dimoratorium)<br />

: Total luas areal kerja izin konsesi hutan alam tahun 2015 : 20,62 juta ha.<br />

WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG<br />

LESTARI PAPERS: Peran <strong>HPH</strong> Dalam Menjaga Keberlanjutan<br />

Hutan Alam<br />

3


Hutan Alam adalah salah satu pertahanan terakhir dalam<br />

menjaga fungsi ekosistem dan konservasi hutan<br />

tropis di Indonesia. Kerusakan vegetasi hutan alam akan<br />

semakin menambah dan mempercepat keterpurukan<br />

kehidupan masyarakat terutama yang sumber penghidupannya<br />

tergantung pada hutan. Setidaknya ada 4<br />

(empat) faktor utama yang menentukan agar hutan<br />

alam produksi di Indonesia dapat dikelola secara berkelanjutan,<br />

yaitu:<br />

1.Kepastian Status Kawasan<br />

Kepastian hak di dalam kawasan hutan produksi merupakan<br />

salah satu faktor penentu dalam keberhasilan<br />

pengelolaan hutan alam produksi. Namun hal ini<br />

tidaklah mudah mengingat kompleksitas persoalan<br />

dalam pengelolaan kawasan. Diantaranya adalah tumpang<br />

tindih antara hak pengelolaan “adat” dan hak<br />

“negara” yang belum dapat diatasi, sehingga kawasan<br />

hutan “negara”, termasuk areal kerja konsesi hutan alam,<br />

terus “menyusut” menjadi hak “masyarakat tertentu”.<br />

Persoalan kepastian dan jaminan kawasan hutan tidak<br />

bisa diserahkan kepada unit usaha, sebab UM tidak<br />

mempunyai hak memiliki atas tanah hutan dan tidak<br />

mempunyai kewenangan hukum untuk mengatasinya.<br />

Tanah hutan tetap merupakan “aset” negara, sedangkan<br />

pemegang IUPHHK hanya berhak memanfaatkan<br />

kayu/hutan yang ada diatasnya saja dengan<br />

beberapa pembatasan. Upaya yang sedang dilakukan<br />

oleh pemerintah dalam menjamin kepastian kawasan<br />

adalah pembuatan tata ruang, pelaksanaan batas<br />

partisipatif, one map policy, pengukuhan kawasan<br />

hutan, “pemutihan hak tanah” dan penegakkan hukum.<br />

Namun usaha-usaha tersebut perlu akselerasi dan penjabaran<br />

yang tepat agar bisa efektif dalam pelaksanaannya<br />

dan dapat optimal pencapaiannya.<br />

2. Memiliki Nilai Ekonomi<br />

Sekalipun masih terdapat 269 unit usaha konsesi di tahun<br />

2015, namun diperkirakan hanya 60% yang aktif<br />

beroperasi. Sementara 40% selebihnya tidak berlanjut.<br />

Hal ini dikarenakan kegiatan pengusahaan hutan secara<br />

ekonomis tidak menguntungkan. Beberapa faktor<br />

yang menyebabkan kegiatan usaha ini terhenti beroperasi<br />

adalah biaya produksi yang terus meningkat,<br />

harga jual kayu bulat yang relatif stagnan, areal kerja<br />

yang bermasalah dan potensi hutan yang menurun.<br />

Terkait dengan meningkatnya biaya produksi kayu bulat<br />

pada hakekatnya sulit dihindari. Mengingat kondisi<br />

ekonomi politik dalam 3 tahun terakhir yang mencakup<br />

kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) setiap<br />

tahun, kenaikan harga suku cadang dan barang penunjang<br />

produksi lainnya hampir setiap tahun akibat inflasi,<br />

dan kenaikan pungutan dari kegiatan administrasi.<br />

Kegiatan pengusahaan hutan yang tergolong bisnis<br />

dengan biaya ekonomi tinggi semakin sulit dikelola<br />

ketika pada sisi lain dihadapkan pada harga jual kayu<br />

bulat yang semakin rendah, konflik di areal kerja baik<br />

dengan perusahaan lain (tambang) dan hak-hak masyarakat<br />

lokal atas lahan. Termasuk kondisi iklim/cuaca<br />

yang tidak menentu.<br />

Dalam 15 tahun terakhir ada kecenderungan jika riap<br />

tumbuh hutan semakin kecil. Sehingga jatah tebang<br />

tahunan menurun dan berpengaruh negatif terhadap<br />

besarnya biaya produksi. Terlebih lagi kegiatan investasi<br />

dalam membangun hutan alam melalui penanaman<br />

jenis-jenis unggulan setempat tidak berjalan efektif<br />

atau kurang dilakukan karena biaya modal yang terbatas.<br />

Oleh karena itu, Dana Reboisasi (DR) yang sebelumnya<br />

ditempatkan sebagai Dana Jaminan Reboisasi<br />

(DJR) penting untuk dikembalikan fungsinya sebagai<br />

DJR, agar dapat membiayai kegiatan pembangunan<br />

hutan alam produksi.<br />

Pada sisi lain, harga jual kayu bulat dari hutan alam<br />

sangat tertekan akibat rendahnya efisiensi dan daya<br />

saing industri kayu pertukangan dalam negeri, sehingga<br />

tidak mampu membeli kayu bulat dengan standar<br />

harga internasional. Ada disparitas harga kayu bulat<br />

hutan alam antara harga internasional dengan domestik<br />

yang mencapai 100% dibanding harga internasional.<br />

Harga kayu bulat hutan alam internasional jauh lebih<br />

mahal dari pada harga domestik, namun tidak<br />

bisa dimanfaatkan karena ada pelarangan ekspor kayu<br />

bulat. Yang lebih ironis, harga jual kayu bulat yang<br />

rendah juga diperburuk dengan peredaran kayukayu<br />

bulat hutan alam yang ilegal. Dengan demikian<br />

adanya kebijakan yang dapat meningkatkan harga<br />

jual kayu bulat dari konsesi hutan alam akan sangat<br />

membantu meningkatkan kinerja konsesi hutan alam<br />

saat ini, yang pada gilirannya membantu kemampuan<br />

perusahaan untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan<br />

hutan alamnya berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian<br />

hutan.<br />

3. Fungsi menjaga lingkungan hidup.<br />

Sistem dan praktek pengelolaan hutan alam produk-<br />

4 LESTARI PAPERS: Peran <strong>HPH</strong> Dalam Menjaga Keberlanjutan WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG<br />

Hutan Alam


si harus dapat dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip<br />

kelestarian. Kegiatan produksi di hutan alam dituntut<br />

mempertahankan fungsi hutan alam produksi terhadap<br />

lingkungan, baik fungsi hydro orology, iklim maupun<br />

keanekaragaman hayati.<br />

Fungsi lingkungan hutan alam produksi dapat dicapai<br />

dengan penerapan pembalakan ramah lingkungan (Reduce<br />

Impact Logging), dan melalui pengelolaan yang<br />

terarah dan tepat dari areal-areal hutan alam yang<br />

mempunyai nilai konservasi tinggi. Namun saat ini hanya<br />

sekitar 12,3% saja dari UM konsesi hutan alam yang<br />

beroperasi yang sudah melaksanakan teknik Reduce<br />

Impact Logging (RIL) secara utuh. Demikian pula halnya<br />

UM yang sudah melaksanakan pengelolaan kawasan<br />

yang mempunyai nilai konservasi tinggi (HCV), jumlahnya<br />

tidak berbeda jauh dengan yang sudah melaksanakan<br />

teknik RIL dalam pengelolaannya, dimana salah<br />

satu indikatornya adalah adanya pencapaian standar<br />

pengeloaan hutan alam berdasarkan standar Forest<br />

Stewardship Council (FSC standard) yang baru mencapai<br />

11,8 %.<br />

Adanya kebijakan dan insentif serta upaya yang<br />

sungguh-sungguh dari pemerintah yang dapat mendorong<br />

penerapan praktik teknik RIL di konsesi hutan<br />

alam, serta diterapkannya pengelolaan areal-areal yang<br />

mempunyai nilai konservasi tinggi secara tepat dan<br />

terarah menjadi salah satu kunci keberhasilan pengelolaan<br />

hutan alam produksi dari aspek lingkungan. Namun<br />

demikian, tanpa peran dan kebijakan pemerintah<br />

yang kondusif, praktek pembalakan yang ramah lingkungan<br />

sulit dicapai. Demikian pula tanpa kejelasan status<br />

areal kerja serta lemahnya penegakan hukum,<br />

maka pengelolaan areal-areal yang mempunyai nilai<br />

konservasi tinggi tidak akan berhasil.<br />

4. Diterima secara sosial budaya oleh<br />

masyarakat .<br />

Keberadaan usaha konsesi hutan alam akan diterima<br />

masyarakat setempat manakala sekurang-kurangnya 3<br />

(tiga) hal dapat dipenuhi oleh perusahaan, yaitu:<br />

1.Proses penerbitan izin konsesi<br />

Peta izin konsesi yang diberikan pemerintah kepada<br />

pemegang konsesi, seringkali tidak diakui dan dihormati<br />

oleh masyarakat setempat. Akibatnya terjadi ketidakharmonisan<br />

antara UM konsesi dengan masyarakat<br />

setempat. Di banyak kasus, biasanya hal ini diselesaikan<br />

dengan pemberian “kompensasi” produksi per<br />

satuan volume produksi kepada masyarakat setem-<br />

pat. Namun itupun tidak menjamin bahwa areal kerja<br />

UM tidak diserobot sebagai tempat bertani/berladang<br />

masyarakat. Kapan saja masyarakat setempat<br />

memerlukannya, pemegang izin konsesi tidak mampu<br />

mencegahnya. Dengan demikian pada saat sebelum<br />

izin konsesi hutan diberikan kepada perusahaan, maka<br />

seharusnya ada mekanisme persetujuan masyarakat<br />

setempat untuk mengakui secara dejure dan menghormatinya<br />

secara defacto izin konsesi yang dimiliki perusahaan<br />

untuk melakukan kegiatan usahanya di lapangan.<br />

2. Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan<br />

usahanya.<br />

Kondisi disharmoni pada poin 1 diatas semakin terbuka<br />

ketika masyarakat yang berada di sekitar konsesi<br />

tidak menikmati manfaat ekonomi dan hanya sebagai<br />

penonton dari kegiatan usaha pemegang konsesi. Para<br />

pemegang izin konsesi umumnya berkeinginan untuk<br />

menggunakan tenaga kerja setempat sejauh memenuhi<br />

persyaratan sesuai dengan keperluan dan bidang<br />

kerjanya. Namun seringkali tenaga kerja lokal dinilai<br />

kurang produktif karena persoalan etos kerja dan keterampilan<br />

kerja. Karena itu, upaya yang terus menerus<br />

dan efektif yang dapat meningkatkan keterampilan<br />

dan produktivitas tenaga kerja setempat menjadi penting<br />

dalam mengurangi disharmoni.<br />

3. Manfaat rente ekonomi terhadap masyarakat<br />

setempat<br />

Iuran kehutanan yang disetorkan oleh pemegang izin<br />

konsesi kepada pemerintah secara resmi meliputi:<br />

Iuran Izin Konsesi, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),<br />

Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi<br />

(DR) dan Penggantian Nilai Tegakan (PNT). Iuran izin<br />

konsesi dan PBB dibayar berdasarkan luas konsesi,<br />

dan khusus PBB dibayar setiap tahun. Sedangkan PSDH,<br />

DR dan PNT dibayar berdasarkan volume produksi<br />

kayu. Disamping itu, ada pembayaran “kompensasi”<br />

kepada masyarakat setempat, yang merupakan pungutan<br />

tidak resmi dan tidak ada standarnya, kecuali<br />

di Papua dan Papua Barat yang diatur melalui Peraturan<br />

Gubernur. Karenanya, agar masyarakat sekitar<br />

hutan merasa memiliki keberadaan pengusahaan hutan<br />

yang ada di sekitarnya, maka pemerintah seharusnya<br />

mengalokasikan secara khusus biaya pembangunan<br />

dan pemberdayaan masyarakat setempat dari kelima<br />

jenis iuran yang telah dipungut dari pemegang konsesi.<br />

WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG<br />

LESTARI PAPERS: Peran <strong>HPH</strong> Dalam Menjaga Keberlanjutan<br />

Hutan Alam<br />

5


4. Penutup<br />

Terlepas dari kekurangan yang ada dari kehadiran Unit<br />

Manajemen (UM) pengelola hutan alam, namun yang<br />

pasti hingga sekarang pemegang izin konsesi hutan<br />

mempunyai peran penting dan positif dalam menjaga<br />

dan mengelola hutan alam produksi untuk kepentingan<br />

ekonomi, lingkungan dan sosial budaya masyarakat,<br />

selama dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah kelestarian<br />

hutan. Usaha konsesi hutan alam yang menguntungkan<br />

secara ekonomi dan dilakukan berdasarkan<br />

prinsip-prinsip kelestarian di kawasan hutan alam<br />

produksi tidak lagi bisa dihindari untuk menjaga hutan<br />

alam produksi. Beberapa kebijakan dan regulasi yang<br />

perlu dibangun dan dikembangkan untuk mendorong<br />

terlaksananya pengelolaan hutan alam produksi yang<br />

berkelanjutan adalah sebagai berikut :<br />

1. Sebelum izin konsesi hutan diberikan kepada<br />

perusahaan, sangat penting dibangun suatu mekanisme<br />

persetujuan masyarakat setempat agar<br />

bersedia mengakui secara dejure dan menghormatinya<br />

secara defacto ketika pemegang izin<br />

konsesi melakukan kegiatan usahanya di lapangan.<br />

Proses awal dimaksud tentu saja merupakan<br />

kebijakan dan regulasi pemerintah yang<br />

diberlakukan pada saat sebelum izin konsesi<br />

diterbitkan.<br />

2. Adanya kebijakan yang dapat meningkatkan<br />

harga jual kayu bulat dari konsesi hutan alam,<br />

sehingga pada gilirannya pemegang izin konsesi<br />

hutan alam memiliki kemampuan untuk melaksanakan<br />

kegiatan pengelolaan hutan alamnya<br />

berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian hutan.<br />

3. Dana Reboisasi (DR) yang sebelumnya ditempatkan<br />

sebagai Dana Jaminan Reboisasi (DJR)<br />

harus dikembalikan fungsinya sebagai DJR, sehingga<br />

dapat membiayai kegiatan pembangunan<br />

hutan alam produksi dalam rangka peningkatan<br />

riap tumbuh hutan dan membantu menekan<br />

biaya produksi dari kayu bulat yang dipanennya.<br />

4. Terbangunnya peran dan kebijakan Pemerintah<br />

yang kondusif yang dapat mendorong terlaksananya<br />

pengelolaan hutan untuk menjaga fungsi<br />

lingkungan hidup, melalui :<br />

a. Implementasi teknik pembalakan yang ramah<br />

lingkungan (RIL);<br />

b. Pengelolaan areal-areal hutan yang mempunyai<br />

nilai konservasi tinggi (HCV);<br />

c. Kejelasan status areal kerja;<br />

d. Penegakan hukum.<br />

5. Perbaikan cara penilaian kinerja terhadap UM<br />

pengelola konsesi hutan alam dan peningkatan<br />

kompetensi lembaga penilai kinerja pengelolaan<br />

hutan untuk memperbaiki kepatuhan pelaku<br />

usaha melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan.<br />

6. Adanya upaya yang terus menerus dan efektif<br />

yang dapat meningkatkan keterampilan dan produktivitas<br />

kerja tenaga kerja setempat (sekitar<br />

konsesi hutan) agar tidak menimbulkan disharmoni<br />

baik dengan tenaga-tenaga pendatang dari<br />

kota maupun perusahaan itu sendiri.<br />

7. Dana atau iuran yang dibayarkan oleh pemegang<br />

konsesi kepada pemerintah seharusnya sebagian<br />

dialokasikan secara khusus untuk pembangunan<br />

dan pemberdayaan masyarakat setempat.<br />

6<br />

LESTARI PAPERS: Peran <strong>HPH</strong> Dalam Menjaga Keberlanjutan<br />

Hutan Alam<br />

WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!