Junjungan Edisi 3

dengan Negeri Junjungan usai pertunjukan
itu. Dia tak memeting gambus
sampai tuntas. Maklum lelaki ini tak
sekuat dulu lagi. Dia digantikan oleh
Jalaluddin memeting gambus.
Orang yang menjadi penari zapin
api itu kata lelaki 102 tahun ini tak
boleh sembarangan orang. Musti
bersih hati dan pikiran. Badan pun tak
boleh ‘kotor’. Semakin bersih mereka
yang ingin main, maka makin gampang
untuk ‘menyatu’ dengan alam
permainan.
Adapun dupa tadi kata Nur, hanya
sebagai media meminta perlindungan
kepada Allah. Dan Nur yakin, ada
Syeh Abdul Kadir Zailani yang terus
mendampingi para penari. Syeh Abdul
Kadir Zailani kata Nur, juga disebut
sebagai syeh gambus.
Meski terlihat kaku kata Nur, para
pemain zapin api tidak kerasukan.
Mereka tahu apa apa yang sedang
dilakukan. Hanya saja, saat bermain
dengan api, para pemain ini justru
merasa sedang bermain dengan bunga.
Sejuk tanpa ada rasa panas sama sekali.
Selagi musik masih bertalu, selama
itu pula para pemain tak merasakan
apa-apa saat bermain Zapin Api.
Musik yang dimainkan pun kata
Nur tidak sembarangan. Ada tembang
yang dimainkan. Misalnya tembang
Siti Fatimah, Syeh Abdul Kadir Zailani
dan Raja Beradu.
Nur mengaku tak ingat pasti kapan
Zapin Api mulai dikenal di Rupat.
Yang dia tahu, sebelum Zapin Api ada,
sudah ada yang namanya tari api. Termasuk
tari kambing --- persis seperti
kuda lumping --- Meghebaw, Lukah
Gilo dan tari lesung.
Lantas pada abad 14, adalah seniman
islami bernama Abdul Jaafar yang
keturunan Aceh - Arab datang menyebarkan
agama islam dan memperkenalkan
musik zapin ke Rupat Utara.
Musik zapin inilah kemudian yang
dipadukan dengan tari api tadi, maka
jadilah Zapin Api. Zapin Api mulai
digemari, tari kambing, meghebaw,
lukah gilo dan lesung perlahan hilang.
Kedatangan orang Aceh ke Rupat
inilah kemudian menjadi cikal bakal
munculnya nama Beting Aceh. Sebab
lama kelamaan, orang Aceh sudah
membikin perkampungan di Dumai
dan hadir pula Bangsal Aceh sebagai
tempat perjanjian gencatan senjata
dijaman perang dengan kerajaan Siak
Sri Indrapura.
Masa muda, Nur sudah ikut menjadi
penari Zapin Api dan bahkan ikut
memeting gambus. Dia punya teman
bernama Husen. Mereka kemudian sama-sama
mengembangkan tarian tadi.
Sayang, di umur 25 tahun Nur sudah
pergi melanglang buana meninggalkan
• Azmi saat berada di kobaran api sabut
kelapa. (foto. aziz)
• Azmi terkulai kehabisan tenaga.
Rupat. Tinggallah Husen sendirian
mengembangkan Zapin Api itu hingga
Zapin Api kemudian benar-benar
hilang di tahun ’50 an.
Dalam pengembaraannya, lelaki
kelahiran 1914 ini sudah menginjakkan
kaki di Bengkalis, Kedabu (Rangsang)
hingga ke Tanjung Balai Karimun.
“Waktu itu saya ikut menjadi nelayan.
Namun tahun ’50 an saya sudah
bolak-balik ke Malaysia. Sebab keluarga
saya banyak di sana. di Negeri
Sembilan dan Port Dicson,” kata anak
dari Yancik Bin Lung dan Layut Binti
Baki ini.
Akhirnya Nur cerita tentang Rupat
masa dia masih kecil. Daratan Teluk
Rhu masih 200 meter ke arah laut dari
posisi sekarang. “Dulu hutan sampai
ke bibir laut. Ada meranti, punak dan
pohon hutan lainnya. Dulu, rumah-rumah
di sini masih rumah panggung.
Atap daun dan lantai nibung. Itu
sekitar tahun ’40 an,” katanya.
Zaman Inggris masih menguasai
Semenanjung Malaka kata Nur, orang
Malaya sering datang ke Rupat. Sebab
saat itu Rupat masih masuk wilayah
Malaya. Orang Malaya menangkap
ikan di Rupat dan dijual di Malaya.
“Rupat dan Malaya seakan bertetangga
saja. Bebas keluar masuk. Itu
berlangsung hingga tahun ’80 an. Dan
dulu pun nggak ada kapal lewat Selat
malaka, sebab banyak kapal perompak,”
kenangnya.
Uniknya, orang Rupat pun justru
lebih memilih belanja ke Malaysia
dibanding ke Dumai. Mereka naik kapal
layar, dua jam sampai. Kalau pakai perahu
dayung, butuh waktu antara 5-6 jam.
Beda jika belanja ke Dumai yang butuh
waktu seharian baru sampai. “Pergi jam
enam pagi, sampai jam enam sore,” kata
sulung lima bersaudara ini.
Sebagai sepuh di Rupat, Nur
sempat mencicipi jadi wakil penghulu
kampung Teluk Rhu, persis tahun
‘55. Dan disaat itu, masih kental adat
melayu. Lelaki pakai sarung dan tekat,
sementara perempuan pakai kebaya
batik. “Pedagang dari Bengkalis dan
Dumai yang membawa ke sini. Tahun
70-an Rupat mulai berubah. Tahun
’80-an adat juga mulai berubah. Yang
ngerti adat satu persatu meninggal,”
katanya. Suara lelaki ini mulai terdengar
getir.
Ingat pada semua kenangan indah
tentang Rupat masa silam lah yang
kemudian membikin Nur tak ingin
kehilangan tradisi yang ada, khususnya
Zapin Api. “Yang ini jangan lagi
hilang. Sebab sejarahnya sudah sangat
panjang. Alhamdulillah, sekarang ada
dua grup penari zapin di sini. Satu
lagi dipimpin oleh Abdullah, anaknya
teman saya, almarhum Husen. Sekarang
sudah ada sekitar 15 penari meski
saban main, penari yang dibutuhkan
hanya sekitar 10 orang,” ujarnya.
• aziz
Edisi 03 • Tahun I/2016 •
11