14.08.2017 Views

SERI CERITA TAPAK WATER.ORG

Mendapatkan akses air bersih layak minum dan sanitasi tidak semuanya bisa mendapatkannya. Terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Namun Water.org memberikan beberapa solusi berupa inovasi yang mereka sebut seperi WaterCredit bisa menjadi salah satu alternatif jalan keluar untuk mendapatkan hak esensial sebagai manusia, yaitu air dan sanitasi.

Mendapatkan akses air bersih layak minum dan sanitasi tidak semuanya bisa mendapatkannya. Terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Namun Water.org memberikan beberapa solusi berupa inovasi yang mereka sebut seperi WaterCredit bisa menjadi salah satu alternatif jalan keluar untuk mendapatkan hak esensial sebagai manusia, yaitu air dan sanitasi.

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Seri Cerita Tapak<br />

Indonesia<br />

MEI-JULI 2017<br />

vol<br />

01<br />

Air Bersih dan Sanitasi Untuk Semua<br />

Mencari Air Bersih<br />

Dan Jamban "Bermartabat"


Water Water.org Water Water.org Water.org Waterdotorg<br />

Indonesia<br />

salam redaksi<br />

Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri 1438 H, maaf lahir<br />

bathin dari kami. Masih dalam suasana bulan yang Fitri ini,<br />

kami senang akhirnya bisa mempublikasikan cerita dari<br />

lapangan bersama mitra kami, yang kami berinama Seri<br />

Cerita Tapak Water.org Indonesia<br />

Sudah empat tahun ini kami bekerja di Indonesia. Tentu<br />

saja tidak mudah dengan usia kami yang masih “Balita.<br />

Tapi kami senang telah menjadi bagian yang dapat<br />

memastikan semua orang bisa mendapatkan akses air<br />

bersih serta sanitasi di Indonesia. Kami tidak bekerja<br />

sendirian, tentu saja ada para mitra kami, dan juga<br />

stakeholder yang berperan.<br />

Kami senang menemukan perkembangan yang terjadi di<br />

lapangan di tingkat tapak, melihat semakin banyak orang<br />

berupaya bisa mengimplementasikan program-program<br />

kami untuk akses air bersih dan layak minum serta sanitasi<br />

bagi masyarakat yang membutuhkan. Kami ingin<br />

membagi cerita-cerita ini ke depan di sini.<br />

MEI-JULI 2017<br />

SeriCerita Tapak vol<br />

01<br />

Indonesia<br />

Air Bersih dan Sanitasi Untuk Semua<br />

Selamat Tinggal<br />

Jamban tak Bermartabat<br />

Kami merasa optimis Indonesia akan menuju yang terbaik<br />

dalam mewujudkan akses air bersih dan sanitasi bagi<br />

semuanya. Proses-proses ini memang tidak terlihat dalam<br />

angka capaian, tapi dalam proses kami mendapatkan<br />

bahwa setiap orang ingin meningkatkan kualitas hidupnya.<br />

Ada Pak Sarkawi yang ingin menjaga kehormatan istrinya<br />

dengan memberikan kamar mandi dan jamban terbaik di<br />

rumah. Ada Pak Sudhana yang ingin memastikan semua<br />

tetangga terdekatnya juga bisa mendapatkan air bersih<br />

terdekat dan tidak perlu berjalan jauh lagi mengambil air.<br />

Ada Ibu Hayati dari Tangerang, yang akhirnya mau<br />

membangun jamban bermartabat sehingga anak, cucu,<br />

dan menantunya bisa menikmati lebaran dan liburan lebih<br />

lama di rumahnya yang sederhana.<br />

Cerita-cerita ini sesungguhnya membuat kami<br />

bersemangat dan optimis tentang Indonesia. Kami ingin<br />

Anda juga merasakan hal yang sama, dan juga melihat<br />

bahwa ada pilihan solusi yang inovatif yang bisa dilakukan<br />

untuk mendapatkan akses air bersih dan sanitasi.<br />

Harapan kami semoga cerita ini bisa memberikan manfaat<br />

dan bacaan yang mencerahkan.<br />

Cover: Jamban umum pelabuhan Bintaro,<br />

Sumenep Madura.<br />

Foto: Musfarayani<br />

Salam hangat,<br />

Gusril Bahar<br />

(Country Director)


DAFTAR ISI<br />

Air dan Kehidupan<br />

Penanggung Jawab :<br />

Gusril Bahar<br />

Pemimpin Redaksi :<br />

Musfarayani<br />

Penyedia Data:<br />

Reny Yuniawati<br />

Kontributor :<br />

Dwinita Wulandini<br />

Hariri Abdul Kahar<br />

Tata Letak Isi dan Sampul :<br />

Restu Hadi Pangersa<br />

Hakcipta@water.org Indonesia 2017<br />

Cetakan Pertama, Juli 2017<br />

3<br />

6<br />

Tandon Air dan Jamban Sehat<br />

UntukKehormatan Istri<br />

Menyicil Tandon untuk Akses Air<br />

Langsung Ke Rumah<br />

Toilet Bermartabat<br />

11<br />

15<br />

17<br />

Dari Buang Air Besar Ke Laut,<br />

Beralih Ke Jamban “Bermartabat”<br />

Cerita PDAM<br />

19<br />

Water Connection<br />

23<br />

PDAM Batang Datang, Warga Tumpeng<br />

Tidak Perlu Antri Air<br />

Perubahan Perilaku<br />

26<br />

27<br />

Media<br />

29<br />

Jamban Bermartabat<br />

untuk Menantu dan Cucu<br />

Profil Kopsyah BMI: Tanggerang<br />

Koperasi Yang Peduli Dengan<br />

Sanitasi dan Kesehatan Anggotanya<br />

Profil BPSPAM Reco:<br />

Pinjaman Water.org Memperbaiki<br />

Kualitas dan Pelayanan<br />

Mengganti minum air mentah<br />

dengan Air Nazava<br />

Kredit Nazava untuk kesehatan bayi<br />

Diskusi dan Dialog Bersama Water.org dan Media:<br />

Isu Air Bersih dan Sanitasi Lekat<br />

Dengan Kemiskinan<br />

Hak Cipta semua materi teks dan visual di dalam seri cerita ini diatur oleh<br />

Undang-Undang Republik Indonesia. Reproduksi isi dari seri cerita ini oleh pihak<br />

lain tidak dibenarkan kecuali atas izin penerbit. Segala opini dalam seri cerita ini<br />

yang ditulis kontributor adalah diluar tanggung jawab water.org Indonesia.


Air dan Kehidupan<br />

Tandon Air dan Jamban Sehat<br />

UntukKehormatan Istri<br />

Sarkawi, 49, warga Desa Batu Putih,<br />

Dusun Binagong, Kecamatan Laok,<br />

Kabupaten Sumenep, Madura, tidak<br />

mengira kehidupannya bisa berubah<br />

lebih baik dalam waktu tiga bulan<br />

terakhir. Kini dia dan istrinya yang masih<br />

mempunyai Balita tidak perlu lagi<br />

mengantri mengambil air dan mandi di<br />

sungai, karena mereka telah memiliki<br />

kamar mandi dan jamban yang sehat di<br />

rumah. Lebih dari itu air bisa mengalir<br />

langsung dari kran menuju kamar mandi<br />

dan jamban yang baru dibangun.<br />

“Adanya jamban dan kamar mandi serta<br />

kran yang mengalirkan air langsung ke<br />

sana, maka saya telah menjaga<br />

kehormatan istri saya. Tidak perlu lagi dia<br />

repot harus turun ke mata air untuk<br />

mandi dan mengambil air. Dia juga tidak<br />

perlu buang air besar di kebun atau<br />

sungai. Dia juga bisa menjaga bayi kami lebih lama. Biasanya kami<br />

bergantian menjaga anak jika salah satu dari kami akan ke mata<br />

air atau buang air,” jelas Sarkawi yang berprofesi sebagai guru<br />

honorer di Sekolah Dasar Negeri Batu Putih.<br />

Sarkawi kini bisa memastikan anak<br />

dan istrinya nyaman dan aman<br />

dengan membangun jamban<br />

bermartabat dan akses air langsung.<br />

(Foto:Musfarayani)<br />

Senada diungkapkan istrinya, Syahni, 36. Dia tidak perlu merasa<br />

tidak nyaman lagi menghadapi mensturasi. Dulu dengan air<br />

terbatas terlebih jika kemarau tiba, membuatnya tidak nyaman<br />

sepanjang hari karena hanya bisa berbesih seadanya. Dia tidak<br />

perlu lagi takut buang air di malam hari karena jamban ada di<br />

dekat rumah lengkap dengan air mengalir dari kran.<br />

“Kehidupan kami kini jauh lebih baik sejak kami mengkredit<br />

tandon air (tempat menampung air) dari BPRS (Bank Pembiayaan<br />

Syariah, Kabupaten Sumenep). Dari harga Rp 5 juta kami mencicil<br />

tiap bulan sebesar Rp 108,000 selama tiga tahun. Tapi kami<br />

berpikir sekalian saja kami meminjam uang untuk membangun<br />

jamban dan kamar mandinya. Total biaya Rp 15 juta. Cicilannya<br />

memang menjadi berat, dan mengharuskan saya bekerja keras<br />

lagi dari sebelumnya. Demi yang terbaik untuk istri dan anak saya,”<br />

jelasnya.


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

4<br />

Honornya sebesar Rp 500,000 sebagai guru<br />

Sekolah Dasar di desa tersebut jelas tidak<br />

mencukupi untuk membayar cicilan Rp 15<br />

juta. Untungnya dia masih memiliki kebun<br />

seluas 1,5 Ha dan empat ternak sapi milik<br />

saudara-saudaranya yang diamanahkan<br />

untuk dipelihara dan dirawat olehnya.<br />

Sarkawi biasanya menanam jagung,<br />

singkong, dan aneka palawija dikebunnya<br />

tersebut. Sarkawi yakin dengan adanya air<br />

yang mudah diperolehnya sekarang maka<br />

akan meningkatkan hasil pertanian dan<br />

kualitas susu sapi ternaknya.<br />

“Dulu untuk kebun dan ternak kami<br />

mengandalkan air hujan. Kebun<br />

menggunakan air tadah hujan. Sementara<br />

untuk minum ternak kami menadah air<br />

akses air bersih dan sanitasi terjangkau<br />

bagi masyarakat berpenghasilan<br />

rendah. Dalam program ini para<br />

nasabah BPRS ditawarkan tiga produk<br />

yaitu Akses Air Bersih (berupa tandon<br />

penampung air), pembuatan sanitasi<br />

(kamar mandi, toilet dan sanitasinya),<br />

serta Nazava (filter air). Program<br />

pembiayaan ini merupakan<br />

implementasi dari bentuk kerjasama<br />

antara BPRS dengam Water.org untuk<br />

program WaterCredit yang telah<br />

ditandatangani sejak April 2016.<br />

Diharapkan hingga Maret 2019, BPRS<br />

bisa menyalurkan kredit Sadar Bersih<br />

ini sebanyak 6000 orang.<br />

Sarkawi mendapatkan informasi<br />

Sarkawi kini tidak perlu menunggu hujan untuk<br />

menyirami tanaman dan ternaknya.<br />

(Foto: Musfarayani)<br />

hujan dengan terpal, lalu kami masukkan<br />

ke dalam jirigen. Jika kemarau, terpaksa<br />

kami ke mata air beberapa kali untuk bisa<br />

memastikan semuanya tercukupi air.<br />

Kemarau membuat hidup kami makin<br />

berat. Karena itu tandon air ini kami<br />

harapkan bisa meningkatkan kehidupan<br />

kami lebih baik lagi,” tambah Sarkawi.<br />

Kredit tandon dari BPRS kini meringankan<br />

beban hidup dan juga meningkatkan<br />

kualitas hidup keluarganya. BPRS sebuah<br />

BUMD (Badan Usaha Milik Daerah)<br />

lembaga keuangan mikro milik pemerintah<br />

setempat. BPRS mempunyai produk<br />

pembiayaan Sadar Bersih salah satunya<br />

pinjaman pemasangan tandon air. Program<br />

ini merupakan bagian kerjasama BPRS<br />

dengan Water.org, yang ingin memastikan<br />

tentang Program Sadar Bersih BPRS ini<br />

dari sanitarian yang bertugas di desa<br />

tersebut. BPRS bekerjasama dengan<br />

Sanitarian setempat untuk bisa<br />

mempromosikan produk tersebut.<br />

Sanitarian adalah ujung tombak<br />

Puskesmas Desa dalam memberikan<br />

pendekatan dan penyadaran sanitasi<br />

yang baik kepada masyarakat secara<br />

langsung. Melalui merekalah informasi<br />

warga yang ingin meningkatkan<br />

kualitas hidupnya untuk mendapatkan<br />

akses air bersih bisa difasilitasi melalui<br />

kredit Sadar Bersih ini.<br />

“Gara-gara enggak punya kamar mandi<br />

pula saya jadi malu. Suatu hari Kepala<br />

Sekolah-atasan saya- mampir ke


Sarkawi dan keluarga kecilnya kini<br />

menikmati jamban bermartabat dan akses<br />

air langsung ke rumah berkat WaterCredit.<br />

(Foto: Musfarayani)<br />

rumah. Karena hawanya panas dan<br />

dia juga habis berolahraga mau<br />

menumpang mandi sekalian. Saya<br />

bilang, kalau mau mandi harus ke<br />

sungai dulu. Di sanalah kami<br />

biasanya mandi,” jelas Sarkawi sambil<br />

tertawa mengenangnya.<br />

“Kamu ini guru, masa tidak ada<br />

kamar mandi, jamban dan air bersih.<br />

Masih buang air besar sembarangan.<br />

Gimana kamu bisa jadi contoh bagi<br />

murid kamu,” tegur Sang Kepala<br />

Sekolah waktu itu dengan nada<br />

bercanda tapi juga serius. Sarkawi<br />

hanya bisa meminta maaf dan<br />

tersenyum kecut waktu itu. Tentu<br />

saja malu.<br />

Di Dusun Binagong bukan hanya<br />

Sarkawi saja yang kesulitan<br />

mengakses air bersih langsung ke<br />

rumah. Hampir semua warga di<br />

dusun tersebut mengalami hal<br />

serupa.<br />

“Yah, mau gimana lagi. Kondisinya<br />

memang seperti itu. Mau<br />

membangun kamar mandi dan<br />

jamban itu kan perlu biaya. Lebih<br />

dari itu harus ada air. Di desa kami<br />

sulit mendapatkan air. Bahkan kami<br />

mengandalkan hujan untuk<br />

pertanian. Kami juga harus menadah<br />

air hujan di atas terpal untuk minum<br />

ternak kami,” jelas Sarkawi, bapak<br />

dua anak yang masih balita ini.<br />

Sebenarnya, dia dan sejumlah warga<br />

sudah mengajukan proposal untuk<br />

mendapatkan bantuan akses air<br />

bersih ke pemerintah. Keluhan<br />

mereka ditanggapi dengan<br />

dibangunnya dua rumah pompa air<br />

namun diperuntukan untuk dua desa<br />

lainnya yang lebih kering dari desa<br />

mereka. Jadi sejak itu mereka hanya<br />

bisa menerima dan pasrah saja.<br />

Karena itu kehadiran BPRS dengan<br />

program Sadar Bersih diharapkannya<br />

bisa memberikan kehidupan yang<br />

lebih baik. Setidaknya dia telah<br />

mengalaminya. Kini Sarkawi sangat<br />

menghargai air, dan tidak lupa untuk<br />

terus bekerja keras.<br />

“Setiap saya menduduki jamban saya<br />

untuk buang air saya langsung ingat,<br />

ini belum lunas, ini masih kredit. Jadi<br />

harus dijaga benar. Begitu juga saat<br />

saya mandi, di kepala saya langsung<br />

ingat, ini air belum lunas. Jadi harus<br />

digunakan sebaiknya.” ungkap<br />

Sarkawi sambil tertawa.<br />

Musfarayani/Water.org Indonesia)


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

6<br />

Mei-Juli 2017<br />

Air dan Kehidupan<br />

Menyicil Tandon untuk Akses Air<br />

Langsung Ke Rumah<br />

Tiap pagi dan sore hari sumber mata air<br />

satu-satunya Gedang-gedang, Kecamatan<br />

Batu Putih, Kabupaten Sumenep, Madura,<br />

Jawa Timur, selalu ramai dikunjungi warga<br />

yang antri bergantian mengambil air.<br />

Semakin ramai ketika musim kemarau,<br />

karena warga dari desa lainnya pun datang<br />

untuk mengambil air di sumber mata air<br />

satu-satunya di desa tersebut. Warga<br />

setempat menyebut sumber air tersebut<br />

dengan sebutan,”deg-deg.” Tidak ada artinya,<br />

deg-deg hanya diidentikan dengan bunyi air<br />

yang tengah diminum seseorang, dan saking<br />

hausnya hingga saat dia meminum<br />

terdengar bunyinya “deg-deg” di<br />

kerongkongan.<br />

Sudhana, 50, dan istrinya yang warga Desa<br />

Gedang-gedang juga salah satunya yang<br />

kerap kali ke sumber mata air deg-deg, guna<br />

memenuhi kebutuhan air minum dan<br />

memasak untuk keluarga. Sehari bisa tiga<br />

kali Sudhana dan istrinya mengambil air dari<br />

sumber mata air ke rumahnya yang berjarak<br />

kurang lebih 2 km yang ditempuhnya<br />

dengan berjalan kaki. Pagi, sore dan siang<br />

hari. Rumah Sudhana sendiri berada di<br />

dataran lebih tinggi, sementara sumber<br />

mata air ada di bawah desa tidak jauh dari<br />

batas pinggir pantai. Dia memikul dua<br />

ember air yang masing-masing bisa<br />

memuat hingga 25 liter. Artinya sekali<br />

angkut dia memikul 50 liter.<br />

Sudhana bisa ke mata air deg-deg lebih<br />

sering lagi sebelum dan selama Hari Raya<br />

Islam tiba, seperti Hari Raya Idul Fitri dan<br />

Idul Adha. Banyak tamu yaitu sanak dan<br />

kerabatnya yang berkunjung ke rumahnya,<br />

beberapa juga akan menginap. Artinya dia<br />

harus memastikan persediaan air di kamar<br />

mandinya tercukupi. Termasuk kebutuhan<br />

untuk seduhan minum panas (untuk teh<br />

dan kopi) atau masak makanan untuk<br />

disajikan tamu. Belum lagi untuk kebutuhan<br />

mencuci.<br />

“Begitu pula jika musim kemarau tiba, mata<br />

air deg-deg berkurang. Sangat kurang. Jadi<br />

kami harus menunggu lima atau 10 menit<br />

lagi sehingga mengumpul dan bisa kami<br />

ciduk. Kasihan warga desa tetangga kami di<br />

gunung lebih sengsara. Mereka harus<br />

berjalan lebih jauh lagi untuk menuju mata<br />

air deg-deg. Tapi airnya tersedia terbatas,”<br />

jelas Sudhana.<br />

Sudhana dan istrinya seperti warga lainnya di<br />

desa mengambil air di sumber mata air yang<br />

jauh dari rumahnya.<br />

(Foto: Musfarayani)


Kebanyakan warga desa Gedang-gedang<br />

termasuk Sudhana adalah petani. Mereka<br />

menggunakan sistem tadah hujan untuk<br />

menghidupi pertanian dan kebun-kebun<br />

mereka. Dari sinilah kebutuhan hidup<br />

kebanyakan warga terpenuhi. Mereka<br />

tetap bekerja keras seperti halnya<br />

Sudhana. Sudhana bahkan membuka<br />

usaha penyewaan sound system yang bisa<br />

digunakan untuk acara hajatan seperti<br />

sunatan dan pesta perkawinan di<br />

kampung-kampung. Sudhana<br />

menyewakannya sehari seharga Rp<br />

750,000- 1 juta. Setidaknya usaha<br />

tambahan ini benar-benar membantu<br />

kehidupannya jika terjadi paceklik karena<br />

kemarau panjang, dimana hasil pertanian<br />

mereka tidak bisa diandalkan karena<br />

kekurangan air.<br />

Suatu hari dia melihat tetangga jauhnya<br />

yang menjadi tukang sumur bor tengah<br />

membuat sumur bor untuk mendapatkan<br />

air di salah satu rumah warga desa<br />

tetangga. Sudhana menanyakan biaya<br />

membangun sumur bor dan tandon<br />

airnya. Otaknya langsung bekerja dan<br />

mulai berhitung. Jika dia juga mempunyai<br />

satu sumur bor dan tandon air maka dia<br />

akan memutus segala kesulitan hidup<br />

keluarganya karena kesulitan mengakses<br />

air. Namun hatinya ciut ketika mendengar<br />

biaya membangun sumur bor dan tandon<br />

menampung air yang ternyata tinggi.<br />

“Jika ditotal itu mencapai Rp 30 juta.<br />

Uang darimana? Tapi saya harus punya<br />

fasilitas untuk mendapatkan air tersebut di<br />

rumah. Kasihan istri saya jika harus


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

8<br />

Kini untuk hasil kebun seperti jagung tidak<br />

perlu lagi mengandalkan tadah hujan. Karena<br />

sudah ada sumur bor dan tandon air.<br />

(Foto: Musfarayani)<br />

mengambil air ke mata air. Kelak kami<br />

juga semakin tua, kami pasti tidak<br />

sanggup mengambil air. Selain itu jika<br />

saya bisa memiliki sumur bor dan<br />

tandon itu saya juga bisa membantu<br />

para tetangga saya yang hidupnya<br />

lebih susah dari saya. Saya juga bisa<br />

menyalurkan air ke tetangga saya.<br />

Penghasilan saya kelak juga akan<br />

bertambah karena waktu saya tidak<br />

terbuang lagi karena pergi mengambil<br />

air di sumber mata air,” jelasnya.<br />

Sudhana akhirnya menjual sapi,<br />

beberapa emas simpanannya, dan<br />

juga cabe jamu hasil kebunnya. Dia<br />

pun meminjaman beberapa juta ke<br />

tetangga yang punya hubungan dekat<br />

dengannya. Sehingga terkumpullah<br />

Rp 20 juta. Kurang Rp 10 juta lagi. Dia<br />

berpikir untuk meminjam ke tetangga<br />

atau saudaranya lagi, tapi dia tahu<br />

hingga dia dipertemukan anaknya<br />

dengan salah satu staf lapangan BMT<br />

NU Gapura. Setelah mendengarkan<br />

duduk persoalannya, BMT NU Gapura<br />

bersedia membantu memberikan<br />

pinjaman Rp 10 juta. Syaratnya dia<br />

harus memberikan jaminan berupa<br />

surat BPKB yang harus diberikan<br />

kepada BMT NU Gapura. Menurut<br />

Sudhana prosesnya cepat dan mudah.<br />

Program Pembiayaan Hidup Sehati<br />

dari BMT Gapura merupakan<br />

implementasi dari kerjasama dengan


Water.org dalam memberikan akses air bersih dan sanitasi<br />

kepada masyarakat kurang mampu. Program ini disepakati dan<br />

ditandatangani pada bulan Mei 2016 dan mulai berjalan sejak<br />

bulan Desember 2016, Program Pembiayaan ini ditargetkan<br />

dapat menjangkau 9.075 nasabah agar mendapatkan akses air<br />

bersih dan sanitasi di wilayah Madura hingga tahun 2019. Saat ini<br />

pembiayaan Hidup Sehati telah disalurkan kepada 80 orang di<br />

Madura dan 356 telah menapatkan akses air bersih dan sanitasi.<br />

“Sekarang semua sudah terpasang. Saya senang kehidupan saya<br />

jauh lebih mudah sekarang. Saya menggratiskan pengambilan air<br />

untuk tetangga dan siapa pun yang tidak mampu, atau miskin.<br />

Ini untuk amal saya buat mereka. Tapi ada juga beberapa<br />

tetangga ingin menyambung air dari tandon saya agar bisa<br />

langsung sampai di rumah mereka. Saya sudah menghitungnya<br />

sehingga mereka bisa membayar perbulan kepada saya. Jadi ini<br />

yang saya gunakan untuk membayar cicilan pinjaman saya,”<br />

jelasnya.<br />

Kini sudah ada sekitar 10 tetangga warga Desa Gedang-gedang<br />

yang mengiginkan bisa menyambung langsung air ke rumahnya.<br />

Pipanya yang menyediakan kepada yang berminat. Sudhana<br />

sendiri menjelaskan, sebenarnya desanya telah mengajukan<br />

pengadaan akses air untuk warga kepada pemerintah setempat.<br />

Ada beberapa sumur pompa yang terpasang tapi tidak<br />

menjangkau hingga ke rumahnya bahkan banyak warga di<br />

desanya.<br />

Ketika ditanyakan apakah sudah ada program Pansimas masuk<br />

ke desanya, Sudhana malah balik bertanya karena dia tidak tahu<br />

apa Pansimas dan perannya. Karena sejauh ini warga harus<br />

berjuang sendirian utnuk mendapatkan akses air bersih. Tapi kini<br />

Sudhana merasa tidak perlu memikirkannya. Dia hanya fokus<br />

dengan yang dimilikinya sekarang dan bekerja lebih keras lagi<br />

untuk membayar cicilannya.<br />

“Terus terang itu jumlah yang sangat banyak. Jika mengandalkan<br />

hasil kebun dan sewa sound system tidak mencukupi. Jadi saya<br />

kini menambah pekerjaan saya agar bisa membayar cicilan<br />

tersebut. Saya menjadi pengumpul pasir putih. Selama 10 hari<br />

saya menginap di lokasi tersebut dan baru ada di rumah<br />

setelahnya, jika tidak ada musim panen dan tanam. Hanya<br />

beberapa hari saja di rumah. Karena selain cicilan ada biaya<br />

membeli solar untuk sumur bor. Selama dua jam bisa<br />

menghabiskan dua liter dengan harga Rp 13,000,” jelasnya.<br />

(Musfarayani/water.org Indonesia)


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

10<br />

Sumur bor dan tandon air membuat kehidupan Sudhana<br />

jauh lebih baik. Dia dan istrinya tidak perlu mengambil air<br />

jauh hingga batas pantai desa.<br />

(Foto: Musfarayani)


Toilet Bermartabat<br />

Jamban Bermartabat<br />

untuk Menantu dan Cucu<br />

Hayati, 55, dan suaminya, Nurhadi, 55, sejak<br />

menikah tidak pernah memiliki toilet di<br />

rumahnya yang terletak di Kampung Cayur,<br />

Desa Sindang Sono, Kecamatan Sindang jaya,<br />

Kelurahan Pasar Kemis, Kota Tangerang,<br />

Provinsi Banten. Kondisi ini tidak berubah,<br />

meski rumahnya telah berangsur berubah dari<br />

gubuk berlantai semen, hingga berdinding<br />

bata dan berlantai keramik, kini. Jika ada<br />

anggota keluarga ingin mandi langsung saja<br />

masuk ke bagian dapur. Di sana ada bilik kecil<br />

sederhana tanpa atap, dan pintunya cukup<br />

ditutup dengan terpal, sebagai tempat mandi<br />

keluarga. Ada pompa tangan sederhana<br />

didalamnya untuk mengambil air.<br />

Jika ingin buang air besar, dia dan keluarganya<br />

cukup berjalan kaki sekitar 200 meter menuju<br />

empang kecil yang berada dikebunnya. Di<br />

ujung empang dalam kebunnya ada bilik<br />

kubikel ukuran kurang lebih 1,5 X1,5 meter<br />

berdinding triplek seadanya, sederhana, dan<br />

tanpa atap. Hayati cukup membawa air dalam<br />

ember kecil yang dibawanya dari rumah untuk<br />

bebersih usai buang air. Jika hujan, dia akan<br />

membawa payung, atau jika malam hari tiba<br />

dia juga tidak perlu khawatir, suaminya telah<br />

memberikan penerangan dengan bohlam kecil<br />

di atas pohon. Sehingga dia tidak perlu<br />

khawatir jatuh karena gelap. Apakah itu<br />

merepotkan dan menyusahkannya?<br />

“Tidak menyusahkan dan merepotkan sama<br />

sekali. Saya sudah biasa begitu sejak saya kecil<br />

dulu. Tidak pernah ada toilet di rumah kami.<br />

Cukup di kebun, sudah beres. Kami juga<br />

sehat-sehat saja. Kalau hujan memang becek,<br />

tapi bisa cuci kaki di dapur. Jadi kami merasa<br />

tidak perlu membangun kamar mandi dan<br />

jamban di dalam rumah. Bau, kan,” jelas Hayati<br />

sambil tertawa.<br />

Namun kebiasannya buang air besar di<br />

empang kebunnya sendiri “dipaksa” berubah,<br />

Hayati tidak perlu malu lagi dengan cucu dan<br />

menantunya karrna kini dia mempunyai<br />

jamban bermartabat di rumah.<br />

(Foto: Musfarayani)


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

12<br />

Hayati dan suaminya kini bisa menikmati akses<br />

sanitasi yg baik berkat Kredit yang dikeluarkan BMI.<br />

(Foto: Musfarayani)<br />

seiring ketiga anaknya dewasa, menikah,<br />

punya anak serta terpisah tempat<br />

tinggalnya. Dua anaknya tinggal di<br />

Jakarta. Sementara seorang anak lainnya<br />

mendirikan rumah disamping<br />

rumahnya, dan “cara” hidupnya kurang<br />

lebih sama dengan dirinya dan<br />

suaminya. Sementara kedua anaknya di<br />

Jakarta kehidupannya sama sekali<br />

berbeda. Mereka seperti warga Jakarta<br />

pada umumnya mempunyai toilet dan<br />

kamar mandi layak sendiri.<br />

“Setiap liburan dan ada acara keluarga<br />

mereka datang ke rumah kami, tapi<br />

tidak mau menginap. Mereka juga<br />

hanya makan dan minum sedikit saja,<br />

meski saya sendiri yang memasak dan<br />

menyediakannya. Alasannya jika mereka<br />

makan dan minum banyak khawatir<br />

akan buang air besar atau kecil, itu<br />

artinya mereka harus ke empang.”<br />

Hayati menambahkan, cucunya merasa<br />

enggan buang air di kebun karena<br />

becek. Bukan itu saja yang membuatnya<br />

sedih adalah di tiap hari Raya Lebaran<br />

anak-anaknya dan keluarganya dari<br />

Jakarta juga tidak mau menginap di<br />

rumahnya.<br />

"Bahkan menantu saya katanya malu jika<br />

mandi dengan pintu hanya ditutup terpal,<br />

juga repot jika harus buang air. Sejak itu<br />

Lebaran cepat sekali sepinya. Saya sendiri<br />

jadi mali setiap kali menantu dan cucu<br />

datang mereka selalu merasa tidak<br />

nyaman berlama-lama di rumah<br />

saya,"ungkap Hayati.<br />

sebab mereka langsung kembali ke<br />

rumah, tidak menginap. Saya sendiri jadi<br />

malu setiap kali menantu dan cucu<br />

datang mereka selalu tidak nyaman di<br />

rumah saya,” jelas Hayati.<br />

Hingga datang bulan Ramadhan lagi di<br />

tahun 2016. Hayati mulai gelisah. Dia<br />

ingin sekali memperbaiki kamar mandi<br />

dan dapurnya. Apalagi rumahnya kini<br />

tidak bilik lagi, lantainya juga sudah<br />

berlantai keramik. Dia merasa bagian<br />

dapur, terutama bilik kamar mandinya,<br />

sesuatu yang kontras dengan kondisi<br />

rumah barunya sekarang.<br />

Bukan itu saja, dia gelisah menanti Hari<br />

Raya Idul Fitri. Memikirkannya saja dia<br />

sudah merasa malu jika menantu dan


Petugas BMI selalu turun ke lapangan untuk memberikan<br />

informasi dan membantu anggotanya dalam mendapatkan<br />

akses kredit jambam sehat.<br />

(Foto: Musfarayani)<br />

cucunya tidak mau berlama dirumahnya<br />

hanya karena tidak ada toilet dan kamar<br />

mandi. Tapi membangun dapur dan toilet<br />

juga memerlukan biaya tidak sedikit.<br />

Sementara suaminya hanya buruh<br />

pengumpul barang-barang limbah keras<br />

sisa pabrik-pabrik yang ada di sekitar<br />

kampung mereka. Perlu menabung lama<br />

untuk menyulap sekaligus rumahnya<br />

untuk melengkapinya dengan jamban<br />

dan kamar mandi yang layak.<br />

“Penghasilan bapak (suami) tidak<br />

menentu. Memang ada, tapi tidak banyak.<br />

Kalau lagi beruntung kami bisa dapat<br />

banyak. Bahkan pernah dapat Rp 20 juta<br />

per satu truk. Tapi tidak tiap hari, tidak tiap<br />

minggu dapat. Bahkan kadang tidak<br />

dapat sama sekali dalam satu atau dua<br />

bulan. Makanya kami berpikir mau cari<br />

uang dimana. Kami takut meminjam<br />

uang kepada rentenir. Apalagi ke bank<br />

yang syaratnya macam-macam,” jelasnya.<br />

Pucuk cinta ulam pun tiba. Seorang<br />

petugas Kopsyah BMI (Koperasi Syariah<br />

Benteng Mikro Indonesia- sebuah koperasi<br />

berbasis syariah) Tangerang, Banten, turun<br />

ke desa dan mempromosikan paket<br />

program mereka yaitu Paket Tata<br />

Kelola Air dan Sanitasi. Bukan hanya<br />

itu, program ini juga menawarkan<br />

fasilitas pinjaman tambahan yaitu<br />

pendidikan dan perbaikan rumah.<br />

Semua datang di saat yang tepat dan<br />

saat Hayati sangat membutuhkannya.<br />

Apalagi begitu mendengar<br />

persyaratannya yang mudah. Tanpa<br />

pikir panjang Hayati menyatakan ingin<br />

mengambil paket tersebut.<br />

“Saya ingin anak, menantau dan cucu<br />

saya bisa berkunjung ke rumah saya<br />

lebih lama, bahkan bisa menginap di<br />

saat lebaran nanti,” jelasnya.<br />

Setelah mengikuti proses administrasi<br />

yang sederhana, Kopsyah BMI pun<br />

menyetujui pengajuan pinjamannya.<br />

Sebelumnya Hayati memang telah<br />

terdaftar menjadi anggota BMI,<br />

sehingga mempercepat prosesnya.<br />

Pada paket ini Hayati diusulkan untuk<br />

membangun fasilitas toilet dan kamar<br />

mandi terlebih dahulu sebelum<br />

memperbagus dapurnya, dengan


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

14<br />

harga lima juta yang bisa dia cicil<br />

selama tiga tahun. Dia membayar<br />

cicilan kepada Kopsyah BMI sebesar Rp<br />

66.000/minggu. Seorang petugas<br />

lapangan langsung menagih dari<br />

rumah ke rumah warga yang mengikuti<br />

program tersebut tiap pekannya.<br />

“Sejauh ini warga yang mengikuti paket<br />

tata kelola sanitasi dan air ini sangat<br />

patuh membayar. Jadi jangan pernah<br />

remehkan kekuatan orang<br />

berpenghasilan rendah dalam<br />

membayar cicilan. Ibu Hayati bisa<br />

meminjam lagi setelah cicilan<br />

membayar kamar mandinya selesai.<br />

Sehingga dia bisa mengambil<br />

pinjaman lainnya untuk memperbaiki<br />

dapurnya,” jelas Manajer Lapangan BMI<br />

Cabang Pasar Kemis, Yanita Nurmala.<br />

Yanita dan sejumlah staf lapangan<br />

Kopsyah BMI turun ke lapangan tidak<br />

hanya menawarkan kredit, tetapi juga<br />

terkadang mereka melakukan promosi<br />

dan pemicuan kesadaran masyarakat<br />

kurang mampu yang menjadi target<br />

mereka selama ini untuk bisa<br />

meningkatkan kualitas hidupnya<br />

dengan memiliki fasilitas sanitasi.<br />

Program ini sesungguhnya merupakan<br />

program yang didanai oleh Water.org<br />

melalui Kopsyah BMI agar bisa<br />

memastikan masyarakat<br />

berpenghasilan rendah mendapatkan<br />

akses air bersih dan sanitasi.<br />

“Program ini telah memungkinkan<br />

orang seperti Ibu Hayati mendapatkan<br />

kesempatan meningkatkan kualitas<br />

hidupnya. Termasuk martabatnya<br />

sebagai orang tua. Sehingga kini dia<br />

telah memiliki toilet dan sanitasi yang<br />

bermartabat yang bisa dibanggakan<br />

kepada menantu dan cucunya,” jelas<br />

Yanita.<br />

Yah, Hayati kini boleh berbangga<br />

bahkan bahagia, karena jelang lebaran<br />

tiba, toilet dan kamar mandi impiannya<br />

pun telah terbangun. Lebaran tahun<br />

lalu telah menjadi kejutan besar bagi<br />

anak, menantu dan cucu-cucunya dari<br />

Jakarta.<br />

“Kini mereka bukan hanya berkunjung<br />

tapi juga mau menginap pada lebaran<br />

tahun lalu, karena di rumah kami sudah<br />

ada kamar mandi dan jamban yang<br />

nyaman. Bahkan bukan hanya lebaran<br />

saja cucu-cucu saya mau menginap, di<br />

musim liburan sekolah pun mereka kini<br />

menginap di rumah kami. Kini saya<br />

juga tidak malu dengan menantu saya<br />

sendiri. Saya pun tidak lagi buang air<br />

besar di empang kebun,” tandas Hayati<br />

bangga.<br />

(Musfarayani/Water.org Indonesia).<br />

Hayati dan suaminya senang akhirnya ada jamban bermartabat di rumahnya.<br />

(Foto: Musfarayani)


Toilet Bermartabat<br />

Profil Kopsyah BMI: Tanggerang<br />

Koperasi Yang Peduli Dengan<br />

Sanitasi dan Kesehatan Anggotanya<br />

Tidak banyak koperasi atau lembaga<br />

keuangan di Indonesia yang berani<br />

mengambil resiko mengeluarkan kredit<br />

bagi anggota atau nasabahnya yang<br />

berpenghasilan rendah untuk<br />

membangun fasilitas akses air bersih dan<br />

sanitasi di rumahnya. Dibutuhkan modal<br />

yang besar, dan juga metode yang tepat<br />

dalam mempromosikannya. Karena<br />

produk yang dijual bukanlah barang yang<br />

diminati dengan suka cita.<br />

Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia<br />

(Kopsyah BMI) mengambil resiko tersebut<br />

dan menjadikannya sebagai peluang.<br />

Mereka membuat kredit mikro tata<br />

kelola sanitasi dan kredit mikro air bersih<br />

skala rumah tangga. Menyasar pada<br />

ribuan anggotanya yang kebanyakan<br />

adalah Masyarakat Berpenghasilan<br />

Rendah (MBR) dan belum memiliki<br />

fasilitasi akses air bersih dan sanitasi di<br />

Kabupaten Tangerang, Banten.<br />

“Kami menginisiasi produk ini karena<br />

keprihatinan kami melihat kehidupan<br />

para anggota koperasi yang jauh dari<br />

sejahtera dan sehat. Kita ingin<br />

menjadikan koperasi kembali kepada<br />

khitahnya, menjadi koperasi yang<br />

bisa diandalkan rakyat. Bisa<br />

menyejahterakan dan<br />

menyehatkan para anggotanya,<br />

bukan lagi hanya jadi tempat<br />

simpan pinjam belaka. ” jelas<br />

Kamaruddin Batubara, Presiden<br />

Direktur Kopsyah BMI.<br />

Namun persoalannya tidak<br />

sederhana kemudian. Sejak mereka<br />

merintisnya di tahun 2002 dengan<br />

nama layanan pembiayaan Mikro Tata<br />

Griya- waktu itu koperasi masih bernama<br />

Koperasi Jasa Keuangan Syariah<br />

(KPP-UMKM Syariah) sebelum berubah<br />

menjadi<br />

Kopsyah BMI tahun 2015- ternyata banyak<br />

anggota tidak mengganggapnya sebagai<br />

prioritas kehidupannya. Alasannya buang<br />

air besar masih nyaman dilakukan di<br />

sungai atau kebun. Lebih dari itu<br />

membangun jamban dan tangki septik<br />

memerlukan biaya besar, sehingga<br />

dianggap bukan sebagai kebutuhan<br />

utama. Membeli smartphone, pulsa<br />

telpon, jajan anak, membeli rokok, dan<br />

biaya pendidikan anak adalah urusan<br />

teratas dalam prioritas mereka.<br />

Perlu waktu lama dalam melakukan<br />

pendekatan ke masyarakat. Dalam<br />

berproses mereka bertemu sejumlah<br />

lembaga donor yang bergerak di bidang<br />

akses air bersih dan sanitasi. Dari sanalah<br />

Kopsyah BMI baru bisa menyadari bahwa<br />

ada pendekatan tersendiri. Selain itu<br />

membangun jamban dan tangka septik<br />

ternyata juga ada standar nasional<br />

kesehatan yang harus dipenuhi. Mereka<br />

segera mengubah strategi dan cara<br />

Salah satu kegiatan BMI adalah memastikan kualitas hidup<br />

anggotanya bersih, dan sehat.<br />

(Foto: Dok.Kopsyah BMI)


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

16<br />

masyarakat yang dipinjamkan dianggap rentan<br />

tidak mampu membayar, karena dari golongan<br />

masyarakat berpenghasilan rendah.<br />

“Anggota kami memang kebanyakan dari<br />

golongan tidak mampu, tapi tidak pernah<br />

mereka tidak membayar cicilannya.<br />

Justru mereka mampu membayar<br />

cicilan. Karena itu begitu ada program<br />

WaterCredit dari Water.org ditawarkan<br />

pada kami, kami sanggupi semua<br />

persyaratannya,” jelas Kamaruddin.<br />

Kopsyah BMI juga terjun ke nasabah memberikan<br />

edukasi dan kesadaran arti sanitasi yang baik.<br />

(Foto: Dok.Kopsyah BMI)<br />

pendekatan. Selama ini pendekatan kepada<br />

nasabah langsung dilakukan oleh staf<br />

lapangan Kopsyah BMI.<br />

“Staf lapangan kami adalah staf promosi.<br />

Guna menawarkan membangun jamban<br />

dan tangki septik kami melakukan<br />

pemicuan terlebih dahulu. Memicu rasa<br />

malu dari mereka, misalnya auratnya terlihat<br />

jika buang air besar di luar rumah. Dari segi<br />

agama juga kami dekatkan, bahwa bersih<br />

itu adalah sebagian daripada iman. Saat<br />

membahas secara dekat dengan warga<br />

sasaran juga terungkap – terutama- para<br />

perempuan dan anak sesungguhnya<br />

menginginkan toilet dan tangkit septik di<br />

rumah. Namun mereka bukanlah<br />

pengambil keputusan. Kami mendekati<br />

lebih serius hingga pada titik mereka<br />

mengatakan membutuhkannya tanpa kami<br />

paksa. Bahkan mencari kami,” jelas Manajer<br />

Lapangan BMI Cabang Pasar Kemis, Yanita<br />

Nurmala.<br />

WaterCredit untuk Kopsyath BMI<br />

Usai memperbaiki metode pendekatan dan<br />

promosi melalui pemicuan STBM (Sanitasi<br />

Total Berbasis Masyarakat), membuat<br />

Kopsyah BMI kebanjiran pesanan<br />

membangun toilet dan tangka septik.<br />

Tantangan muncul kembali karena modal<br />

yang dimiliki Kopsyah BMI tidak bisa<br />

memenuhi semua keinginan para<br />

anggotanya. Namun tidak semua lembaga<br />

keuangan besar dengan terbuka<br />

meminjamkan modal usaha kepada<br />

koperasi, karena selain isunya tidak popular<br />

Penerapan WaterCredit kepada Kopsyah BMI<br />

menjadi kerjasama pertama yang diterapkan<br />

water.org di Indonesia. Kerjasama ini dilakukan<br />

Januari 2014 hingga Desember 2016. Dana ini<br />

sebagai subsidi operasional seperti biaya<br />

pembuatan produk, training, marketing,<br />

monitoring dan evaluasi program pembiayaan air<br />

sanitasi Kopsyah BMI Tangerang bagi masyarakat<br />

berpenghasilan rendah di Tangerang.<br />

Dalam tiga tahun kerjasama dengan Water.org<br />

Kopsyah BMI ditargetkan bisa memberikan<br />

pembiayaan untuk akses air bersih dan sanitasi<br />

bagi 5.222 keluarga di Tangerang yang<br />

umumnya masyarakat berpenghasilan rendah<br />

(MBR) dengan cara yang mudah dan murah.<br />

Ketika kerjasama berakhir Kopsyah BMI telah<br />

berhasil melampaui target yang diberikan<br />

Water.org dengan memberikan akses air bersih<br />

dan sanitasi bagi masyarakat berpenghasilan<br />

rendah hingga 5.800 keluarga (data terakhir<br />

Januari 2017).<br />

Menurut Country Director Water.org Indonesia<br />

Gusril Bahar, Program WaterCredit diperuntukan<br />

bagi masyarakat berpenghasilan rendah agar<br />

mendapatkan akses air bersih dan sanitasi<br />

dengan cara yang mudah dan murah serta<br />

terjamin. Program Water.org ini dijalankan<br />

lembaga keuangan seperti Kopsyah BMI agar<br />

program WaterCedit ini berkelanjutan, dimana<br />

cicilan Masyarakat Berpenghasil Rendah kepada<br />

Kopsyah BMI kemudian bisa digunakan lagi oleh<br />

Kopsyah BMI untuk melayani masyarakat tidak<br />

mampu lainnya.<br />

“Jadi berbeda dengan hibah atau gratis, dimana<br />

dana tersebut tidak dapat menjangkau banyak<br />

masyarakat berpenghasilan rendah dan program<br />

tidak bisa berkelanjutan karena begantung<br />

kepada dana hibah,” jelas Gusril.<br />

(Musfarayani/Water.org Indonesia)


Toilet Bermartabat<br />

Dari Buang Air Besar Ke Laut,<br />

Beralih Ke Jamban “Bermartabat”<br />

Bagi warga Desa Longos, Kecamatan Gapura, Kabupaten<br />

Sumenep, Madura, Provinsi Jawa Timur, buang hajat di jamban<br />

umum di sepanjang pinggiran Pelabuhan Bintaro adalah hal<br />

biasa. Baik anak-anak, orang dewasa, laki-laki maupun<br />

perempuan bergiliran antri buang hajat di sana, terutama di<br />

waktu pagi atau sore hari. Jambannya di bangun juga<br />

seadanya. Terbuat dari tripleka atau seng sederhana, dan<br />

kotorannya langsung menyemplung di pinggiran laut pantai.<br />

“Yah, sudah terbiasa sejak saya kecil. Tapi terbiasa yang<br />

terpaksa karena tidak punya pilihan. Mau minta ke orang tua<br />

untuk dibangunkan jamban di rumah tidak berani. Orang tua<br />

saya penghasilannya kecil. Bapak saya hanya seorang kuli di<br />

kapal. Terus terang buang air adalah pengalaman tidak<br />

nyaman. Terlebih jika tengah mendapat mensturasi atau buang<br />

air besar atau terkena diare,” jelas Masniatun,25.<br />

Masniatun juga menambahkan selain jamban umum di<br />

pinggiran pelabuhan Bintaro, dia dan warga lainnya juga<br />

buang air di sungai. Terasa lebih nyaman karena mereka tidak<br />

perlu membawa air, karena bisa langsung membersihkannya<br />

dengan air sungai. Tapi begitu kemarau tiba, sungai menjadi<br />

keruh dan bau kotoran manusia semerbak tercium tajam di<br />

udara.<br />

“Karena airnya menyusut, kotorannya pun terlihat jelas. Bahkan<br />

bau kambing jauh lebih baik dari bau kotoran manusia,” jelas<br />

ibu satu anak laki-laki berumur empat tahun ini.<br />

Cerita yang diungkapkan Masniatun adalah masa lalunya.<br />

Karena kini dia telah memiliki jamban sendiri di kamar mandi<br />

rumahnya sejak beberapa bulan terakhir ini. Jamban bertangki<br />

septik yang dimilikinya ini dibangun dengan biaya sebesar Rp<br />

1,5 juta yang telah dicicilnya sebesar Rp 93,000/bulan sejak<br />

Desember 2016 hingga 20 bulan ke depan.<br />

“Saya merasa beruntung karena Kepala Desa datang ke rumah<br />

dan menawarkan program Sehat Bersih dari BMT Gapura. Saya<br />

pikir ini program pemerintah memberikan bantuan gratis,<br />

ternyata bukan. Saya sempat kecewa, tapi begitu dibilang bisa<br />

dengan kredit saya langsung minta suami untuk bisa<br />

mengambil cicilannya, karena harganya terjangkau. Suami dan<br />

keluarga saya setuju. Saya senang sekali,” jelas Masniatun yang<br />

tamatan SMP ini.<br />

Jamban umum di Pelabuhan Bintaro yang biasa<br />

digunakan warga Desa Longos, Kecamatan Gapura,<br />

Sumenep,Madura, Jatim.<br />

(Foto: Musfarayani)<br />

Program pembiayaan Hidup Sehati dari BMT Gapura<br />

merupakan implementasi dari kerjasama dengan Water.org


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

18<br />

Masniatun dan anaknya kini tidak perlu<br />

antri buang air di pelabuhan.<br />

(Foto: Musfarayani)<br />

dalam memberikan akses air bersih dan<br />

sanitasi kepada masyarakat kurang mampu.<br />

Program ini disepakati dan ditandatangani<br />

pada bulan Mei 2016 dan mulai berjalan<br />

sejak bulan Desember 2016, Program<br />

Pembiayaan ini ditargetkan dapat<br />

menjangkau 9.075 nasabah agar<br />

mendapatkan akses air bersih dan sanitasi<br />

di wilayah Madura hingga tahun 2019. Saat<br />

ini pembiayaan Hidup Sehati telah<br />

disalurkan kepada 80 orang di Madura dan<br />

356 telah menapatkan akses air bersih dan<br />

sanitasi.<br />

“Saya senang karena baru kali ini merasakan<br />

nyaman dan tenang buang air di jamban<br />

sendiri. Hujan tidak kebasahan, dan tidak<br />

takut buang air di malam karena tidak<br />

perlu ke pelabuhan atau kebun. Apalagi<br />

jika mensturasi saya tidak repot dan merasa<br />

bersih sepanjang hari. Lebih dari itu anak<br />

saya tidak perlu mengalami<br />

ketidaknyamanan yang pernah saya alami<br />

waktu kecil hanya karena tidak punya<br />

jamban. Sekarang anak saya, senang<br />

banget berada di kamar mandi. Hobinya<br />

mau mandi terus. Airnya banyak, nyaman,<br />

malah mau terus main di kamar mandi,”<br />

tambah Masniatun sambil tertawa.<br />

(Musfarayani/Water.org Indonesia).


Cerita PDAM<br />

Profil BPSPAM Reco:<br />

Pinjaman Water.org Memperbaiki<br />

Kualitas dan Pelayanan<br />

Kendati diapit dua gunung yaitu Gunung<br />

Sindoro dan Gunung Sumbing, serta<br />

bentangan perkebunan aneka palawija<br />

yang tampak subur makmur, ternyata<br />

bukan berarti kawasan yang berada di Desa<br />

Reco, Kecamatan Kretek, Kabupaten<br />

Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah,<br />

berlimpah air. Puluhan tahun masyarakat<br />

menggunakan tadah hujan untuk bisa<br />

menanam aneka palawija sebagai mata<br />

pencaharian utama. Sementara untuk<br />

kebutuhan konsumsi seperti minum dan<br />

memasak, mereka harus susah payah<br />

mengambil air ke sumber mata air yang<br />

berada jauh di bawah desa.<br />

“Dulu kami harus memikul air dari mata air<br />

yang ada di bawah untuk dibawa ke rumah,<br />

sehingga kami bisa memasak dan<br />

menyediakan air layak minum. Tapi<br />

sekarang kami tidak perlu susah lagi seperti<br />

dulu. Sudah ada kran yang bisa<br />

mengucurkan air bersih secara langsung ke<br />

kamar mandi kami di rumah. Sehingga<br />

kami tidak perlu susah payah lagi<br />

mengambil air. Kami bahkan tidak<br />

menyangka bisa seperti ini, air mengalir<br />

deras ke rumah-rumah kami,” jelas Ketua<br />

BPSPAM (Badan Peningkatan<br />

Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air<br />

Minum) Tirto Sari Reco, Woenadi, 45.<br />

Tidak mudah mendapatkan air bersih yang<br />

bisa dialirkan langsung ke rumah-rumah<br />

warga desa yang ada di atas. Dibutuhkan<br />

biaya yang besar untuk bisa mendapatkan<br />

pipa-pipa atau mengadakan sendiri air<br />

bersih untuk kepentingan bersama di desa<br />

tersebut. Sementara desa ini termasuk<br />

yang tidak terlayani PDAM.<br />

BPSPAM Reco menambah kapasitas airnya dengan membangun<br />

satu unit sumur bor yg mereke kredit dari BKK Wonosobo.<br />

(Foto: Musfarayani)


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

20<br />

“PDAM tidak bisa mengalirkan airnya ke<br />

sini. Kami tidak tahu kenapa. Di wilayah<br />

Reco ini ada desa begitu mudah dan<br />

berlimpah mendapatkan air bersih hingga<br />

bisa disalurkan ke rumah. Ada desa yang<br />

kering seperti desa kami. Lalu datang<br />

Pansimas (Pengelolaan Air Minum dan<br />

Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang<br />

membangun sarana pengadaan air minum<br />

yang bisa kami kelola sendiri pada tahun<br />

2013. Sejak itu mudah mendapatkan air.<br />

Kami kelola sendiri, dan menarik iuran<br />

kepada warga yang ingin berlangganan.<br />

Hampir semua gembira karena bisa<br />

mendapatkan air langsung ke rumah.<br />

Namun dua tahun lalu, kami tidak bisa<br />

melayani lagi, karena pompa air listrik rusak<br />

tersambar petir, sehingga melumpuhkan<br />

pelayanan,” kata Moenadi.<br />

Butuh biaya besar untuk memperbaikinya.<br />

Hingga datang Water.org melalui fasilitator<br />

lokalnya yang tengah melakukan<br />

assessment dan memastikan warga yang<br />

susah mendapatkan air mendapatkannya.<br />

BPSPAM Reco menjadi sasaran utama<br />

Water.org, sehingga mereka bisa<br />

menambah layanan air bersih ke 255 SR<br />

(Sambungan Rumah). Melaui program CBO<br />

(Community Base Organisation) untuk<br />

pengelolaan air berbasis masyarakat,<br />

Water.org mengharapkan kerja yang<br />

dilakukan bisa berkelanjutan dengan<br />

menghubungkan BPSPAM Reco bermitra<br />

kepada bank lokal setempat.<br />

“Kami harus memastikan BPSPAMnya juga<br />

bisa bankable lebih dahulu. Kami berikan<br />

pelatihan cara pengelolaan administratifnya<br />

Woenadi menujukkan fasilitas rumah mesin pengelolaan air desa.<br />

(Foto: Musfarayani)


Dengab pinjaman dari mitra water.org, BPSPAM Reco kini bisa<br />

memperbaiki mesin pompa yang sempat tersambar petir.<br />

(Foto: Musfarayani)<br />

juga penguatan keorganisasiannya,<br />

sehingga bank setempat mau<br />

meminjamkannya karena telah memenuhi<br />

syarat. Water.org juga menghubungkan<br />

Bank atau lembaga microfinance yang bisa<br />

memberikan program kredit untuk<br />

pengelolaan air kepada BPSPAM setempat,<br />

dengan syarat yang mudah dan cepat<br />

tanpa birokrasi yang panjang dan<br />

merepotkan,”jelas CBO Senior Manager<br />

Rachmat Hidayat Water.org Indonesia.<br />

Sejauh ini program WaterCredit di<br />

Wonosobo disalurkan melalui BPR BKK<br />

Wonosobo. Ada empat BPSPAM namun<br />

baru dua yang telah dilakukan penyaluran<br />

kreditnya.<br />

“Dalam program ini kami memberikan<br />

syarat yang ringan saja. Bahkan BPSPAM<br />

tidak perlu memberikan jaminan atau<br />

agunan, sehingga proses penyalurannya<br />

bisa dilakukan. Kami bersama Water.org<br />

juga memberikan pelatihan dan<br />

pengetahuan kepada BPSPAM bagaimana<br />

bisa mengelola keuangan kegiatan dengan<br />

baik,” jelas salah seorang pengurus BPR<br />

BKK Wonosobo, Mamat.<br />

Pada 10 November 2016, BPSPAM resmi<br />

mendapatkan Kredit Pengelolaan Air dari<br />

BPR BKK Wonosobo sebesar Rp 77 juta.<br />

Jumlah ini diperuntukkan untuk<br />

memperbaiki mesin pompa yang<br />

tersambar petir, dan juga pembangunan<br />

sumur bor lainnya yang bisa mengeluarkan<br />

air 2 liter/detik dari sumur bor yang digali<br />

hingga kedalaman 90 meter.<br />

“Tujuan kami mendapatkan pinjaman ini<br />

jelas hanya untuk bisa memastikan warga<br />

di desa kami yang belum mendapatkan air<br />

bisa mendapatkannya. Bayangkan<br />

gara-gara disambar petir desa kami jadi<br />

terhambat dalam menyalurkan air ke<br />

rumah warga yang telah menjadi<br />

pelanggan kami. Kini sudah ada 250 SR<br />

tersambung air minum keran yang dikelola<br />

oleh kami, langsung ke rumahnya. Bahkan<br />

dengan kapasitas terbatas ini kami juga<br />

terpaksa menambah 30 SR, jadi melebih<br />

dari target bahkan kapasitas layanan<br />

BPSPAM Reco,” jelas Moenadi.


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

22<br />

Pinjaman BPR BKK yang didukung<br />

Water.org ini diharapkan bisa<br />

mengantisipasi kerusakan sistem sehingga<br />

layanan air kepada warga tidak terhenti.<br />

Sumur bor baru yang telah terbangun juga<br />

diharapkan bisa menjangkau masyarakat<br />

desa lain yang membutuhkannya. Saat ini,<br />

menurut Moenadi, pihaknya agak kesulitan<br />

dalam memenuhi permintaan dari desa<br />

lainnya yang masih susah mendapatkan air.<br />

“Pinjaman Rp 77 juta dari Water.org melalui<br />

BKK BPR Wonosobo bisa diangsur oleh<br />

kami selama tiga tahun atau 36 bulan,<br />

dengan angsuran Rp 2,5 juta/bulan. Kami<br />

mendapatkan uang untuk menyicil melalui<br />

iuran pelanggan. Mereka membayar sesuai<br />

pemakainnya, yang kami hitung 1 meter<br />

kubik pemakaian dihargai Rp 1,000 dan<br />

biaya administrasinya Rp 2,000. Bayaran ini<br />

jauh lebih murah dibandingkan<br />

berlangganan dengan PDAM. Kami<br />

mengelola ini bukan untuk kepentingan<br />

komersial, semata hanya ingin memastikan<br />

warga kami mudah mendapatkan air. Jadi<br />

tidak murni gratis tapi juga tidak komersial,”<br />

jelas Moenadi.<br />

“Moenadi mrnambahkan, berlangganan<br />

dengan BPSPAM yang dipimpinnya sangat<br />

efisien dan ekonomis. Dalam sebulan<br />

pelanggannya hanha mrmbayar listrik Rp<br />

90,000 per bulan dari Rp 130,000 .<br />

Sementara iuran hanya membayar Rp<br />

17,000.<br />

Hal ini diakui Sutono,45, salah satu warga.<br />

Selain itu dirinya tidak perlu naik atau turun<br />

dari desanya hanya untuk mengambil air<br />

“Kami memang harus mengeluarkan biaya<br />

untuk memasang pipa dan meteran air.<br />

Tapi semua masih dengan kemampuan<br />

kami. Sekarang air sudah mengalir langsung<br />

ke kamar mandi kami. Saya tidak perlu<br />

menghabiskan waktu memikul air. Anak<br />

dan istri juga nyaman berkegiatan sekarang.<br />

Kehidupan kami jauh lebih baik,” jelas<br />

Sutono.<br />

(Musfarayani/Water.org Indonesia)<br />

Kini BPSPAM Reco bisa mengalirkan 250 Sambungan Rumah (SR)<br />

bahkan menambahnya hingga 30 SR.<br />

(Foto: Musfarayani)


Water Connection<br />

PDAM Batang Datang, Warga Tumpeng<br />

Tidak Perlu Antri Air<br />

Malekah,42, mencoba bersabar<br />

mengantri menggunakan air untuk<br />

mandi dan menyuci di satu MCK<br />

komunal milik warga Dukuh Gunung<br />

Tumpeng, Desa Dlisen, Kabupaten<br />

Batang, Provinsi Jawa Tengah. Tempat<br />

itu menjadi ramai di pagi dan sore<br />

hari. Malekah merasa beruntung<br />

rumahnya hanya berjarak 10 meter<br />

dari bangunan MCK komunal tersebut,<br />

jadi dia bisa berada di tempat<br />

tersebut lebih cepat dari lainnya<br />

sehingga mendapatkan antrian lebih<br />

depan. Sebagian perempuan dan<br />

laki-laki lainnya mencoba mencuci di<br />

tepi sungai di luar bangunan MCK<br />

Komunal.<br />

“Setelah menyuci kami juga mandi<br />

sekalian di sana. Kalau ada laki-lakinya<br />

juga tidak apa. Kan, kami pakai kain.<br />

Sudah biasa seperti ini,” jelasnya.<br />

Sementara untuk kebutuhan<br />

memasak dan air minum, Malekah<br />

biasanya berjalan kaki selama lebih<br />

dari satu jam untuk mengambil air<br />

yang dia angkut dengan dua ember .<br />

Dia lakukan itu setiap pagi, sebelum<br />

anaknya pergi sekolah, dan sore hari.<br />

Mata air tersebut berwarna jernih dan<br />

terletak di bawah desa. Semua orang<br />

desa yang belum berlangganan air<br />

perpipaan PDAM menuju ke sana<br />

seperti halnya Malekah. Mereka tidak<br />

mungkin menggunakan air sungai<br />

dekat desa yang berwarna keruh<br />

untuk memasak dan dijadikan air<br />

minum.<br />

Malekah biasanya menyuci dan mengantri mandi di kamar<br />

mandi umum dan juga sungai sebelum mendapatkan<br />

keringanan bisa menyicil sambungan air pipa langsung ke<br />

rumah dari PDAm Batang.<br />

(Foto: Musfarayani)<br />

Malekah bukan satu-satunya warga<br />

Dukuh Gunung Tumpeng yang tidak<br />

memiliki kamar mandi dan harus<br />

mengambil air bersih jauh ke sungai<br />

di bawah. Hampir semua warga<br />

Gunung Tumpeng melakukan hal


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

24<br />

yang sama. Sumiyati juga harus<br />

melakukan hal yang sama. Sumiyati<br />

menceritakan, dia dan suaminya harus<br />

naik motor menuju mata air guna<br />

mengambil air bersih yang akan<br />

digunakan untuk keperluan memasak<br />

dan minum keluarganya. Jarak sumber<br />

mata air tersebut kurang lebih 4 km. Jadi<br />

cukup lama bagi warga menempuhnya<br />

jika tidak memiliki kendaraan motor<br />

seperti Sumiyati dan suaminya.<br />

“Kami harus antri untuk bisa<br />

mendapatkan air bersih. Kondisinya<br />

semakin buruk jika musim kemarau tiba.<br />

Sumber mata air kami menjadi keruh.<br />

Kadang kami harus berjalan lebih jauh<br />

lagi untuk mendapatkan air yang lebih<br />

baik, “ jelas Sumiyati.<br />

Sementara Sungkono, 45, yang<br />

rumahnya dekat dengan sumber mata<br />

air sungai tersebut tidak perlu repot.<br />

Namun bagaimana pun dia tetap harus<br />

berbagi dengan para warga lainnya yang<br />

membutuhkan. Namun seperti warga<br />

lainnya, jika kemarau tiba, ketika mata air<br />

Sungkono tidak repot lagi mencari air jika kemarau tiba sejak<br />

PDAM memberikan keringanan menyicil sambungan air bersih<br />

perpipaan dirumahnya.<br />

(Foto: Dwinita Wulandini)<br />

keruh, dia pun harus mencari.<br />

Kadang kondisi air sungai juga tidak baik,<br />

selalu berwarna cokelat dan keruh. Karena<br />

tidak ada pilihan lain, Sumiyati dan<br />

Sungkono serta keluarganya bisa<br />

mengalami gatal-gatal di kulit. Tapi karena<br />

sudah biasa, tidak pernah dipedulikannya<br />

lagi. Mereka menerima saja.<br />

Bantuan Grant Water.org<br />

Sekarang cukup nyalakan kran air di rumah untuk dapat air.<br />

Demikian kata Sumiyati.<br />

Tapi kini kehidupan sebagian besar warga<br />

Dukuh Gunung Tumpeng jauh lebih<br />

berbeda sejak air perpipaan melalui PDAM<br />

Batang, Jawa Tengah, masuk ke wilayah<br />

mereka, dan memberikan keringanan<br />

pembiayaan pada sambungan<br />

perpipaannya hingga langsung ke rumah<br />

mereka. Tentu saja PDAM Batang bisa<br />

mengerjakannya sendiri. Mereka<br />

bekerjasama dengan Water.org Indonesia<br />

dalam Pilot Project yang disebut Municipal<br />

(Foto: Dwinita Wulandini)


Meteran air PDAM Batang yg dipasang dekat rumah warga.<br />

(Foto: Dwinita Wulandini)<br />

Water and Wastewater Utilities. Program ini<br />

dikerjasamakan dari 20 September 2016 -<br />

September 2019, dengan target mencapai<br />

2,900 Sambungan Rumah di Batang bisa<br />

terakses pelayanan PDAM. Program ini<br />

bertujuan untuk memastikan warga seperti<br />

Sumiyati, Sungkono dan Malekah serta<br />

warga Gunung Tumpeng yang sebagian<br />

besar adalah buruh dan petani kecil serta<br />

berpenghasilan rendah- mendapatkan<br />

bantuan akses air bersih perpipaan.<br />

“Program ini sangat membantu PDAM<br />

Batang dalam memperluas aksesnya<br />

kepada warga yang membutuhkan air<br />

bersih. Sungguh tidak murah menyambung<br />

perpipaan ke tempat-tempat dengan<br />

geografis menantang seperti di Gunung<br />

Tumpeng ini,” jelas Direktur Utama PDAM<br />

Batang, Yulianto.<br />

Dalam program ini, PDAM memberikan<br />

pinjaman yang terjangkau untuk warga<br />

agar bisa mendapatkan akses air bersih<br />

perpipaan yang dikelola PDAM Batang.<br />

Warga bisa mengambil pinjaman sebesar<br />

Rp 600 ribu dengan jangka waktu<br />

pelunasan selama enam bulan dengan<br />

bunga 0%. Angsuran bulanan adalah Rp<br />

100.000 per bulan sudah termasuk pokok<br />

dan bunga. Malekah sudah membayar dua<br />

kali untuk pinjamannya.<br />

“Kini sejak berjalan September 2016 telah<br />

ada 1.351 Sambungan Rumah (SR) dari<br />

total yang mendapatkan manfaat 5,830,”<br />

tambah Yulianto.<br />

Water.org Indonesia, Dwinita Wulandini<br />

menjelaskan, program ini telah membantu<br />

PDAM dalam meningkatkan pelayanannya<br />

kepada masyarakat. Termasuk tuntutan<br />

untuk PDAM meningkatkan kecakapan<br />

sumber daya manusianya dalam<br />

memberikan transparansi pelayanannya.<br />

Water.org juga memastikan<br />

pertanggungjawaban yang harus diberikan<br />

PDAM terhadap kegiatan dan setiap<br />

pengeluaran yang dilakukan.<br />

“Program ini diharapkan bisa menjadi<br />

contoh bagi PDAM lainnya agar mau<br />

meningkatkan peran dan pelayanannya,”<br />

jelas Dini.<br />

Kini sudah mulai terpasang koneksi lebih<br />

banyak lagi ke rumah-rumah warga Gunung<br />

Tumpeng. Malekah, Sumiyati, Sungkono<br />

pun kini tidak perlu pergi lama hanya untuk<br />

mengambil air. Malekah bisa lebih banyak<br />

menghasilkan olahan empingnya dari<br />

sebelumnya. Bahkan dia bisa<br />

mengaloksikan budget yang selama ini<br />

habis untuk mengambil air ke kebutuhan<br />

lainnya yang lebih penting. Sementara<br />

Sumiyati maupun Sungkono tidak perlu<br />

merasa gatal-gatal lagi, karena kini mereka<br />

dapat sambungan air bersih perpipaan<br />

langsung yang bisa mengalir langsung ke<br />

rumah. Meski sebagian warga masih ada<br />

yang mandi dan mencuci di MCK Komunal,<br />

tapi kini kebutuhan air bersih untuk minum<br />

dan memasak sudah lebih mudah lagi.<br />

(Musfarayani dan Dwinita<br />

Wulandini/Water.org Indonesia).<br />

Menurut Manajer Water.Connect PDAM


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

26<br />

Perubahan Perilaku<br />

Mengganti minum air mentah<br />

dengan Air Nazava<br />

Usai pulang sekolah Khofifa langsung ke dapur dan meminum air<br />

mentah yang ditampung di bak air.<br />

(Foto: Musfarayani)<br />

Khofifa, 16, baru saja tiba di rumah usai<br />

belajar di sekolahnya di Madrasah Aliyah<br />

Desa Lapadaya, Kecamatan Dungke,<br />

Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.<br />

Masih dengan seragam sekolahnya dia<br />

langsung menuju dapur yang letaknya<br />

terpisah dengan rumah utama. Dia<br />

mendekati bak air, lalu menciduk airnya<br />

dengan gayung, kemudian meminumnya<br />

langsung ke mulutnya dari ujung gayung<br />

tersebut.<br />

Yah, Khofifa meminum air mentah begitu<br />

saja. Langsung dari bak khusus<br />

menampung air yang terbuka sejak<br />

semalaman. Sisa air dalam gayung dia<br />

gunakan untuk mencuci wajahnya yang<br />

berkulit sawo matang.<br />

“Kami sudah terbiasa minum air mentah<br />

sejak kami masih kecil dulu. Langsung dari<br />

bak air, tinggal gayung dan minum.<br />

Orang tua kami juga melakukannya,<br />

begitu pula nenek-nenek kami dahulu.<br />

Jadi susah untuk dihilangkan (kebiasaan<br />

minum air mentah),” jelas Khumairoh, 29,<br />

kakak kandung dari Khofifa.<br />

Khofifa dan Khumairah sesungguhnya<br />

bukan tidak tahu meminum air mentah<br />

secara langsung tanpa dimasak terlebih<br />

dahulu sangat tidak baik untuk kesehatan.<br />

Tapi sejauh ini mereka merasa baik-baik<br />

saja. Begitu juga dengan<br />

kakek-nenek,paman bibi dan orang tua<br />

mereka selama ini.


“Diajarin sih, di sekolah. Kata guru kami,<br />

memasak air itu lebih baik, sehat, karena<br />

bisa mematikan bakteri di dalam air. Tapi<br />

memasak air itu kan, repot. Mesti cari kayu<br />

bakarnya terlebih dahulu, lalu<br />

menyalakannya, dan menunggunya<br />

masak. Kata Ibu saya yang penting airnya<br />

suci (bersih) dan baca Bismillah saja (Doa<br />

menyebut nama tuhan untuk<br />

keselamatan-red). Tuhan yang<br />

menentukan,” jelas Khofifah santai sambil<br />

tersenyum yakin.<br />

Di Madura, terutama di Sumenep, dapur<br />

keluarga biasanya terpisah dari rumah<br />

utama. Dalam dapur disediakan sebuah<br />

tungku kayu bakar yang digunakan<br />

sebagai tempat memasak. Memasak air<br />

dalam wadah yang besar untuk<br />

kebutuhan keluarga dengan<br />

tungku-tungku tersebut memerlukan<br />

waktu yang lama, begitu juga<br />

mendinginkannya. Jadi memasak air<br />

dianggap kurang praktis. Selain<br />

kepercayaan meminum air mentah<br />

langsung dari sumur atau bak<br />

penampung air jauh lebih menyegarkan.<br />

Karena langsung dari alam, demikian<br />

menurut pemahaman keluarga<br />

Khumairoh dan Khafifa selama ini.<br />

Khumairoh dan Khafifa tidak sendirian<br />

dalam hal meminum air mentah langsung<br />

dalam wadah penampungan air atau<br />

sumur. Menurut drg Ellya Fardasah Kepala<br />

Puskesmas Pandian, yang juga mantan<br />

Kepala Puskesma Kecamatan Jungke,<br />

Kabupaten Sumenep menjelaskan,<br />

hampir 80% dari 1,041,915 penduduk<br />

Sumenep masih meminum air mentah.<br />

“Kalau jaman dahulu, jaman nenek<br />

moyang kami, dimana kondisi Madura<br />

terutama Kecamatan Jungke- alamnya<br />

masih baik, hutannya masih terjaga,<br />

mungkin meminum air langsung tanpa<br />

dimasak masih terasa segar dan murni<br />

alami. Meski jelas minum air mentah tetap<br />

tidak sehat. Tapi sekarang alamnya<br />

berubah. Kesegaran dan kemurnian air di<br />

sini saya rasa tidak lagi sama dengan<br />

dahulu. Apalagi air yang disimpan dalam<br />

wadah tidak ditutup. Kita tidak pernah<br />

tahu jika ada kotoran hewan masuk dan<br />

sebagainya. Sangat rentan dan berbahaya<br />

meminum air mentah,” jelasnya.<br />

Kredit Nazava untuk<br />

kesehatan bayi<br />

Karena itu Ellya langsung menyambut<br />

baik ketika BPRS (Bank Pembiayaan<br />

Syariah) Kabupaten Sumenep, Madura -<br />

Kompor di dapur tradisional orang Madura di Sumenep,<br />

memasak air dianggap merepotkan.<br />

(Foto: Musfarayani)


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

28<br />

sebuah BUMD lembaga keuangan mikro<br />

milik pemerintah setempat mengeluarkan<br />

produk pembiayaan Sadar Bersih. Salah<br />

satunya produk Nazava. Setidaknya ini bisa<br />

menjadi solusi untuk memastikan warga<br />

bisa meminum air bersih dan sehat tanpa<br />

harus memasak. Para kader (masyarakat<br />

yang menjadi penyuluh kesehatan di<br />

tingkat rumah tangga) dan bidan<br />

dikerahkan untuk bisa memastikan semua<br />

ibu hamil dan anak-anak bisa sadar stop<br />

minum air mentah. Jika memasak air<br />

mentah dirasa repot maka, Nazava bisa<br />

menjadi jawaban bagi mereka.<br />

Khumairoh misalnya, akhirnya langsung<br />

terpicu kesadarannya saat memeriksa<br />

kehamilannya di Puskesmas. Bidan yang<br />

memeriksanya menanyakan pola makan<br />

selama kehamilan. Sang Bidan sedikit<br />

kaget ketika mengetahui Khumairoh<br />

meminum air mentah di masa<br />

kehamilannya. Ketika dijelaskan akibat<br />

buruk yang akan terjadi jika terus menerus<br />

meminum air mentah terlebih buat<br />

jabang bayinya, Khumairoh pun<br />

memutuskan untuk tidak meminum air<br />

mentah lagi, terlebih ada solusinya juga<br />

yang ditawarkan.<br />

“Bidan menjelaskan bahwa air mentah itu<br />

banyak bakteri yang bisa berakibat buruk<br />

kepada janin. Saya ingin berhenti<br />

meminum air mentah tapi di keluarga<br />

kami semua tidak memasak air, terlalu<br />

merepotkan. Ibu Bidan lalu menawarkan<br />

ada filter air tanpa harus memasak namun<br />

terjamin bersih dan sehat. Harganya Rp<br />

300 ribu. Saya minta ijin suami dan<br />

menjelaskan dia langsung setuju. Kami<br />

memberikan cincin saya sebagai agunan<br />

untuk bisa mengkredit Nazava. Saya ingin<br />

anak saya tumbuh sehat dan saya ingin<br />

mencontohkan dia hidup yang lebih baik<br />

dan sehat,” jelas Khumairoh.<br />

Kini di rumah keluarga besarnya hanya<br />

keluarga kecilnya yang meminum air<br />

bersih dan sehat melalui Nazava.<br />

Sementara yang lainnya masih meminum<br />

air mentah. Kecuali Pamannya, Yasin, 42,<br />

yang ikut meminum air bersih dan sehat<br />

melalui Nazava<br />

“Terasa benar setelah diusia 30 tahun ke<br />

atas. Perut lebih sering kembung, sering<br />

sakit perut juga sekarang, karena minum<br />

Dalam keluarga besarnya di rumah hanya Khumairoh, suami<br />

dan sayu anak Balitanya yg tidak meminum air mentah berkat<br />

kredit alat filter air Nazava dari BPRS Sumenep.<br />

(Foto: Musfarayani)<br />

air mentah. Itu dirasakan semua orang<br />

yang minum air mentah di usianya yang<br />

makin bertambah. Tapi begitu meminum<br />

air yang bersih dan sehat saya sudah mulai<br />

membaik kembali dan tidak<br />

kembung-kembung,”jelasnya.<br />

Nazava dikeluarkan BPRS sebagai bagian<br />

kepedulian lembaga keuangan BUMD<br />

Kabupaten Sumenep kepada para<br />

nasabah yang memerlukannya. Produk ini<br />

merupakan salah satu produk pembiayaan<br />

Sadar Bersih. Dalam program ini para<br />

nasabah BPRS ditawarkan tiga produk<br />

yaitu Akses Air Bersih (Berupa tandon<br />

penampung air), pembuatan sanitasi<br />

(kamar mandi, toilet dan sanitasinya), seta<br />

Nazava (filter air). Program pembiayaan ini<br />

merupakan implementasi dari bentuk<br />

kerjasama antara BPRS dengam Water.org<br />

untuk program WaterCredit yang telah<br />

ditandatangani sejak April 2016.<br />

Diharapkan hingga Maret 2019, BPRS bisa<br />

menyalurkan kredit Sadar Bersih ini<br />

sebanyak 6000 orang.<br />

(Musfarayani/Water.org Indonesia)


Media<br />

Diskusi dan Dialog Bersama Water.org dan Media:<br />

Isu Air Bersih dan Sanitasi Lekat Dengan Kemiskinan<br />

“Diskusi bersama Water.Org ini telah<br />

membawa perspektif baru untuk saya.<br />

Biasanya media saya baru tertarik dengan isu<br />

WASH (Water, Sanitiation and Hygiene) jika<br />

menyangkut jumlah korban kasus diare,<br />

banjir dan krisis air, serta demo pelanggan<br />

terhadap PDAM karena kenaikan tarif.<br />

Sekarang ada bantuan Kredit Jamban, kredit<br />

air dan cerita PDAM yang berbeda. Padahal<br />

yang kami kenal biasanya kredit motor, atau<br />

mobil. Saya sendiri tidak pernah melihat soal<br />

BABS (Buang Air Besar Sembarangan)<br />

sebagai persoalan, sebab jika pulang<br />

kampung, saya juga ikutan buang air di<br />

kebun. Keluarga saya hingga sekarang tidak<br />

mempunyai jamban. Suatu hal biasa saja<br />

buat kami di kampung, dan buat saya,” jelas<br />

Ira, wartawan Malang Pos, Jawa Timur yang<br />

ikut sebagai peserta dalam, “Workshop dan<br />

Dialog Media Bersama Water.org: Peran Media<br />

dalam Akses Air Bersih yang aman dan Sanitasi<br />

yang nyaman di Indonesia,” pada pertengahan<br />

Mei lalu, di Malang, Jawa Timur.<br />

Dalam diskusi lebih dalam, Ira menambahkan,<br />

bahkan lokasi BABS di kampungnya yang<br />

biasa digunakan warga bukanlah tempat yang<br />

nyaman. Selain jauh, mereka harus menuju<br />

kebun di lereng yang curam. Sejauh iniuntungnya-<br />

memang belum ada kejadian<br />

orang jatuh dari lereng karena BABS.<br />

“Di desa kami sebenarnya ada bantuan toilet<br />

umum dari pemerintah. Banyak berjajar. Tapi<br />

tidak ada satu pun dari warga kami<br />

menggunakannya. Hingga bangunan tersebut<br />

tidak terurus, dan dipenuhi semak dan<br />

akhirnya rusak,” tambah Ira.<br />

Pengalaman yang diungkapkan Ira ini adalah<br />

sebagai tanggapan diskusi terkait rendahnya<br />

kesadaran masyarakat di Indonesia yang<br />

masih BABS kendati telah diberi bantuan<br />

dibangunnya sejumlah jamban. Salah satu<br />

narasumber dari Sanitarian Puskesmas<br />

Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo,<br />

Jawa Timur, Sumarti Dwi Wahyuni<br />

(Foto: yazid Ali)


Seri Cerita Tapak | vol 01<br />

Mei-Juli 2017<br />

30<br />

menjelaskan, tidak bisa memberikan<br />

bantuan dan mempromosikan arti jamban<br />

sehat kepada masyarakat yang masih BABS<br />

dan pikirannya belum terbuka. Sebagai<br />

sanitarian yang saban hari turun ke lapangan<br />

dan berhadapan langsung dengan<br />

masyarakat, membuka pikiran masyarakat<br />

agar tidak BABS itu adalah tantangan paling<br />

besar.<br />

Ira bukan wartawan satu-satunya yang baru<br />

memahami isu WASH bukan lagi sekedar<br />

soal diare, banjir dan protes pelanggan<br />

PDAM karena biaya tarif tinggi. Dalam diskusi<br />

dan dialog yang digelar oleh Water.org ini<br />

juga telah membawa pemahaman bahkan<br />

kesadaran baru tentang tata kelola air dan<br />

sanitasi di Indonesia. Di tengah<br />

permasalahan yang terungkap dalam diskusi<br />

dan dialog, ternyata juga ada jalan keluar<br />

dengan inovasi yang diungkapkan sejumlah<br />

narasumber. Termasuk program Water.org<br />

yang bisa menjadi alternative menjawab<br />

persoalan kurangnya akses sanitasi dan air<br />

bersih bagi masyarakat kurang mampu.<br />

Diskusi ini menurut Penasihat Program<br />

Advokasi Water.org Indonesia, Ratih<br />

Hardjono, diharapkan bisa memperkaya<br />

informasi dan pemahaman dalam karya<br />

jurnalistik wartawan sehingga bisa<br />

memberikan kedalaman informasi yang lebih<br />

jernih dan obyektif. Diharapkan juga karya<br />

jurnalistik mereka bisa mempengaruhi<br />

pengambil keputusan dan juga kepedulian<br />

public yang lebih luas.<br />

“Peran media sangat penting dalam<br />

memberikan pemahaman tentang duduk<br />

soal ini. Karena air bersih dan sanitasi yang<br />

buruk di masyarakat itu identik dengan<br />

kemiskinan. Itu masalah serius dan mendasar<br />

buat negara. Sayangnya tidak banyak yang<br />

paham, dan peduli. Media bisa menjadi<br />

pemegang peran kunci dalam mengadvokasi<br />

ini kepada semua pihak. Bukan hanya<br />

masyarakat tapi pengambil keputusan,” jelas<br />

Ratih yang juga mantan wartawan senior<br />

harian nasional berpengaruh di Indonesia,<br />

KOMPAS.<br />

(Foto: Ali Luthfi)<br />

Ratih juga menambahkan media bisa<br />

memaksimalkan perannya sebagai agen<br />

perubahan dalam mengubah perilaku dan<br />

juga membuka pikiran publik luas tentang<br />

arti akses air bersih dan sanitasi yang<br />

merupakan hak setiap orang.<br />

“Begitu pentingnya media bagi kami dalam<br />

isu ini. Karena itu Water.org membuka dialog,<br />

dan juga berbagi pengetahuan, dan<br />

pengalaman dalam rangkaian kegiatan<br />

training. Mereka bukan hanya saling<br />

berdialog tapi juga didekatkan dengan<br />

narasumber yang relevan yang mungkin<br />

selama ini tidak pernah diketahui<br />

mempunyai peran penting dalam<br />

mengubah perilaku sanitasi masyarakat.<br />

Mereka juga akan dibawa ke lapangan<br />

langsung untuk melihat praktek cerdas dan<br />

pembelajaran, serta inovasi sebagai solusi<br />

praktis, misalnya. Hal ini bisa memperdalam<br />

dan meningkatkan kekritisan mereka dalam<br />

karya jurnalistiknya, sehingga bisa membuka<br />

pemikiran semua pihak terkait yang<br />

membaca atau menontonnya,” tambah<br />

Ratih.<br />

Sejauh ini sudah ada sekitar 60 wartawan<br />

dari wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan<br />

Jawa Timur mengikuti rangkaian kegiatan ini<br />

bersama Water.org. Kegiatan ini akan<br />

dirangkai dengan training, dan workshop<br />

penulisan juga kompetisi jurnalitik.<br />

(Musfarayani/Water.org Indonesia)


You will never solve poverty<br />

without solving water and sanitation.<br />

Matt Damon, Co-Founder Water.org.<br />

www.water.org<br />

Water.org Indonesia office<br />

Ratu Plaza Office Tower, Lantai 26,<br />

Jl. Jend. Sudirman Kav 9<br />

Jakarta Selatan, 10270 Indonesia<br />

Telephone : (62 21) 2751 3630<br />

(62 21) 2751 3631<br />

@water<br />

Water.org<br />

email : Indonesia@water.org Water<br />

Water.org<br />

Water.org<br />

Waterdotorg

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!