SERI CERITA TAPAK WATER.ORG
Mendapatkan akses air bersih layak minum dan sanitasi tidak semuanya bisa mendapatkannya. Terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Namun Water.org memberikan beberapa solusi berupa inovasi yang mereka sebut seperi WaterCredit bisa menjadi salah satu alternatif jalan keluar untuk mendapatkan hak esensial sebagai manusia, yaitu air dan sanitasi.
Mendapatkan akses air bersih layak minum dan sanitasi tidak semuanya bisa mendapatkannya. Terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Namun Water.org memberikan beberapa solusi berupa inovasi yang mereka sebut seperi WaterCredit bisa menjadi salah satu alternatif jalan keluar untuk mendapatkan hak esensial sebagai manusia, yaitu air dan sanitasi.
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Seri Cerita Tapak
Indonesia
MEI-JULI 2017
vol
01
Air Bersih dan Sanitasi Untuk Semua
Mencari Air Bersih
Dan Jamban "Bermartabat"
Water Water.org Water Water.org Water.org Waterdotorg
Indonesia
salam redaksi
Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri 1438 H, maaf lahir
bathin dari kami. Masih dalam suasana bulan yang Fitri ini,
kami senang akhirnya bisa mempublikasikan cerita dari
lapangan bersama mitra kami, yang kami berinama Seri
Cerita Tapak Water.org Indonesia
Sudah empat tahun ini kami bekerja di Indonesia. Tentu
saja tidak mudah dengan usia kami yang masih “Balita.
Tapi kami senang telah menjadi bagian yang dapat
memastikan semua orang bisa mendapatkan akses air
bersih serta sanitasi di Indonesia. Kami tidak bekerja
sendirian, tentu saja ada para mitra kami, dan juga
stakeholder yang berperan.
Kami senang menemukan perkembangan yang terjadi di
lapangan di tingkat tapak, melihat semakin banyak orang
berupaya bisa mengimplementasikan program-program
kami untuk akses air bersih dan layak minum serta sanitasi
bagi masyarakat yang membutuhkan. Kami ingin
membagi cerita-cerita ini ke depan di sini.
MEI-JULI 2017
SeriCerita Tapak vol
01
Indonesia
Air Bersih dan Sanitasi Untuk Semua
Selamat Tinggal
Jamban tak Bermartabat
Kami merasa optimis Indonesia akan menuju yang terbaik
dalam mewujudkan akses air bersih dan sanitasi bagi
semuanya. Proses-proses ini memang tidak terlihat dalam
angka capaian, tapi dalam proses kami mendapatkan
bahwa setiap orang ingin meningkatkan kualitas hidupnya.
Ada Pak Sarkawi yang ingin menjaga kehormatan istrinya
dengan memberikan kamar mandi dan jamban terbaik di
rumah. Ada Pak Sudhana yang ingin memastikan semua
tetangga terdekatnya juga bisa mendapatkan air bersih
terdekat dan tidak perlu berjalan jauh lagi mengambil air.
Ada Ibu Hayati dari Tangerang, yang akhirnya mau
membangun jamban bermartabat sehingga anak, cucu,
dan menantunya bisa menikmati lebaran dan liburan lebih
lama di rumahnya yang sederhana.
Cerita-cerita ini sesungguhnya membuat kami
bersemangat dan optimis tentang Indonesia. Kami ingin
Anda juga merasakan hal yang sama, dan juga melihat
bahwa ada pilihan solusi yang inovatif yang bisa dilakukan
untuk mendapatkan akses air bersih dan sanitasi.
Harapan kami semoga cerita ini bisa memberikan manfaat
dan bacaan yang mencerahkan.
Cover: Jamban umum pelabuhan Bintaro,
Sumenep Madura.
Foto: Musfarayani
Salam hangat,
Gusril Bahar
(Country Director)
DAFTAR ISI
Air dan Kehidupan
Penanggung Jawab :
Gusril Bahar
Pemimpin Redaksi :
Musfarayani
Penyedia Data:
Reny Yuniawati
Kontributor :
Dwinita Wulandini
Hariri Abdul Kahar
Tata Letak Isi dan Sampul :
Restu Hadi Pangersa
Hakcipta@water.org Indonesia 2017
Cetakan Pertama, Juli 2017
3
6
Tandon Air dan Jamban Sehat
UntukKehormatan Istri
Menyicil Tandon untuk Akses Air
Langsung Ke Rumah
Toilet Bermartabat
11
15
17
Dari Buang Air Besar Ke Laut,
Beralih Ke Jamban “Bermartabat”
Cerita PDAM
19
Water Connection
23
PDAM Batang Datang, Warga Tumpeng
Tidak Perlu Antri Air
Perubahan Perilaku
26
27
Media
29
Jamban Bermartabat
untuk Menantu dan Cucu
Profil Kopsyah BMI: Tanggerang
Koperasi Yang Peduli Dengan
Sanitasi dan Kesehatan Anggotanya
Profil BPSPAM Reco:
Pinjaman Water.org Memperbaiki
Kualitas dan Pelayanan
Mengganti minum air mentah
dengan Air Nazava
Kredit Nazava untuk kesehatan bayi
Diskusi dan Dialog Bersama Water.org dan Media:
Isu Air Bersih dan Sanitasi Lekat
Dengan Kemiskinan
Hak Cipta semua materi teks dan visual di dalam seri cerita ini diatur oleh
Undang-Undang Republik Indonesia. Reproduksi isi dari seri cerita ini oleh pihak
lain tidak dibenarkan kecuali atas izin penerbit. Segala opini dalam seri cerita ini
yang ditulis kontributor adalah diluar tanggung jawab water.org Indonesia.
Air dan Kehidupan
Tandon Air dan Jamban Sehat
UntukKehormatan Istri
Sarkawi, 49, warga Desa Batu Putih,
Dusun Binagong, Kecamatan Laok,
Kabupaten Sumenep, Madura, tidak
mengira kehidupannya bisa berubah
lebih baik dalam waktu tiga bulan
terakhir. Kini dia dan istrinya yang masih
mempunyai Balita tidak perlu lagi
mengantri mengambil air dan mandi di
sungai, karena mereka telah memiliki
kamar mandi dan jamban yang sehat di
rumah. Lebih dari itu air bisa mengalir
langsung dari kran menuju kamar mandi
dan jamban yang baru dibangun.
“Adanya jamban dan kamar mandi serta
kran yang mengalirkan air langsung ke
sana, maka saya telah menjaga
kehormatan istri saya. Tidak perlu lagi dia
repot harus turun ke mata air untuk
mandi dan mengambil air. Dia juga tidak
perlu buang air besar di kebun atau
sungai. Dia juga bisa menjaga bayi kami lebih lama. Biasanya kami
bergantian menjaga anak jika salah satu dari kami akan ke mata
air atau buang air,” jelas Sarkawi yang berprofesi sebagai guru
honorer di Sekolah Dasar Negeri Batu Putih.
Sarkawi kini bisa memastikan anak
dan istrinya nyaman dan aman
dengan membangun jamban
bermartabat dan akses air langsung.
(Foto:Musfarayani)
Senada diungkapkan istrinya, Syahni, 36. Dia tidak perlu merasa
tidak nyaman lagi menghadapi mensturasi. Dulu dengan air
terbatas terlebih jika kemarau tiba, membuatnya tidak nyaman
sepanjang hari karena hanya bisa berbesih seadanya. Dia tidak
perlu lagi takut buang air di malam hari karena jamban ada di
dekat rumah lengkap dengan air mengalir dari kran.
“Kehidupan kami kini jauh lebih baik sejak kami mengkredit
tandon air (tempat menampung air) dari BPRS (Bank Pembiayaan
Syariah, Kabupaten Sumenep). Dari harga Rp 5 juta kami mencicil
tiap bulan sebesar Rp 108,000 selama tiga tahun. Tapi kami
berpikir sekalian saja kami meminjam uang untuk membangun
jamban dan kamar mandinya. Total biaya Rp 15 juta. Cicilannya
memang menjadi berat, dan mengharuskan saya bekerja keras
lagi dari sebelumnya. Demi yang terbaik untuk istri dan anak saya,”
jelasnya.
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
4
Honornya sebesar Rp 500,000 sebagai guru
Sekolah Dasar di desa tersebut jelas tidak
mencukupi untuk membayar cicilan Rp 15
juta. Untungnya dia masih memiliki kebun
seluas 1,5 Ha dan empat ternak sapi milik
saudara-saudaranya yang diamanahkan
untuk dipelihara dan dirawat olehnya.
Sarkawi biasanya menanam jagung,
singkong, dan aneka palawija dikebunnya
tersebut. Sarkawi yakin dengan adanya air
yang mudah diperolehnya sekarang maka
akan meningkatkan hasil pertanian dan
kualitas susu sapi ternaknya.
“Dulu untuk kebun dan ternak kami
mengandalkan air hujan. Kebun
menggunakan air tadah hujan. Sementara
untuk minum ternak kami menadah air
akses air bersih dan sanitasi terjangkau
bagi masyarakat berpenghasilan
rendah. Dalam program ini para
nasabah BPRS ditawarkan tiga produk
yaitu Akses Air Bersih (berupa tandon
penampung air), pembuatan sanitasi
(kamar mandi, toilet dan sanitasinya),
serta Nazava (filter air). Program
pembiayaan ini merupakan
implementasi dari bentuk kerjasama
antara BPRS dengam Water.org untuk
program WaterCredit yang telah
ditandatangani sejak April 2016.
Diharapkan hingga Maret 2019, BPRS
bisa menyalurkan kredit Sadar Bersih
ini sebanyak 6000 orang.
Sarkawi mendapatkan informasi
Sarkawi kini tidak perlu menunggu hujan untuk
menyirami tanaman dan ternaknya.
(Foto: Musfarayani)
hujan dengan terpal, lalu kami masukkan
ke dalam jirigen. Jika kemarau, terpaksa
kami ke mata air beberapa kali untuk bisa
memastikan semuanya tercukupi air.
Kemarau membuat hidup kami makin
berat. Karena itu tandon air ini kami
harapkan bisa meningkatkan kehidupan
kami lebih baik lagi,” tambah Sarkawi.
Kredit tandon dari BPRS kini meringankan
beban hidup dan juga meningkatkan
kualitas hidup keluarganya. BPRS sebuah
BUMD (Badan Usaha Milik Daerah)
lembaga keuangan mikro milik pemerintah
setempat. BPRS mempunyai produk
pembiayaan Sadar Bersih salah satunya
pinjaman pemasangan tandon air. Program
ini merupakan bagian kerjasama BPRS
dengan Water.org, yang ingin memastikan
tentang Program Sadar Bersih BPRS ini
dari sanitarian yang bertugas di desa
tersebut. BPRS bekerjasama dengan
Sanitarian setempat untuk bisa
mempromosikan produk tersebut.
Sanitarian adalah ujung tombak
Puskesmas Desa dalam memberikan
pendekatan dan penyadaran sanitasi
yang baik kepada masyarakat secara
langsung. Melalui merekalah informasi
warga yang ingin meningkatkan
kualitas hidupnya untuk mendapatkan
akses air bersih bisa difasilitasi melalui
kredit Sadar Bersih ini.
“Gara-gara enggak punya kamar mandi
pula saya jadi malu. Suatu hari Kepala
Sekolah-atasan saya- mampir ke
Sarkawi dan keluarga kecilnya kini
menikmati jamban bermartabat dan akses
air langsung ke rumah berkat WaterCredit.
(Foto: Musfarayani)
rumah. Karena hawanya panas dan
dia juga habis berolahraga mau
menumpang mandi sekalian. Saya
bilang, kalau mau mandi harus ke
sungai dulu. Di sanalah kami
biasanya mandi,” jelas Sarkawi sambil
tertawa mengenangnya.
“Kamu ini guru, masa tidak ada
kamar mandi, jamban dan air bersih.
Masih buang air besar sembarangan.
Gimana kamu bisa jadi contoh bagi
murid kamu,” tegur Sang Kepala
Sekolah waktu itu dengan nada
bercanda tapi juga serius. Sarkawi
hanya bisa meminta maaf dan
tersenyum kecut waktu itu. Tentu
saja malu.
Di Dusun Binagong bukan hanya
Sarkawi saja yang kesulitan
mengakses air bersih langsung ke
rumah. Hampir semua warga di
dusun tersebut mengalami hal
serupa.
“Yah, mau gimana lagi. Kondisinya
memang seperti itu. Mau
membangun kamar mandi dan
jamban itu kan perlu biaya. Lebih
dari itu harus ada air. Di desa kami
sulit mendapatkan air. Bahkan kami
mengandalkan hujan untuk
pertanian. Kami juga harus menadah
air hujan di atas terpal untuk minum
ternak kami,” jelas Sarkawi, bapak
dua anak yang masih balita ini.
Sebenarnya, dia dan sejumlah warga
sudah mengajukan proposal untuk
mendapatkan bantuan akses air
bersih ke pemerintah. Keluhan
mereka ditanggapi dengan
dibangunnya dua rumah pompa air
namun diperuntukan untuk dua desa
lainnya yang lebih kering dari desa
mereka. Jadi sejak itu mereka hanya
bisa menerima dan pasrah saja.
Karena itu kehadiran BPRS dengan
program Sadar Bersih diharapkannya
bisa memberikan kehidupan yang
lebih baik. Setidaknya dia telah
mengalaminya. Kini Sarkawi sangat
menghargai air, dan tidak lupa untuk
terus bekerja keras.
“Setiap saya menduduki jamban saya
untuk buang air saya langsung ingat,
ini belum lunas, ini masih kredit. Jadi
harus dijaga benar. Begitu juga saat
saya mandi, di kepala saya langsung
ingat, ini air belum lunas. Jadi harus
digunakan sebaiknya.” ungkap
Sarkawi sambil tertawa.
Musfarayani/Water.org Indonesia)
Seri Cerita Tapak | vol 01
6
Mei-Juli 2017
Air dan Kehidupan
Menyicil Tandon untuk Akses Air
Langsung Ke Rumah
Tiap pagi dan sore hari sumber mata air
satu-satunya Gedang-gedang, Kecamatan
Batu Putih, Kabupaten Sumenep, Madura,
Jawa Timur, selalu ramai dikunjungi warga
yang antri bergantian mengambil air.
Semakin ramai ketika musim kemarau,
karena warga dari desa lainnya pun datang
untuk mengambil air di sumber mata air
satu-satunya di desa tersebut. Warga
setempat menyebut sumber air tersebut
dengan sebutan,”deg-deg.” Tidak ada artinya,
deg-deg hanya diidentikan dengan bunyi air
yang tengah diminum seseorang, dan saking
hausnya hingga saat dia meminum
terdengar bunyinya “deg-deg” di
kerongkongan.
Sudhana, 50, dan istrinya yang warga Desa
Gedang-gedang juga salah satunya yang
kerap kali ke sumber mata air deg-deg, guna
memenuhi kebutuhan air minum dan
memasak untuk keluarga. Sehari bisa tiga
kali Sudhana dan istrinya mengambil air dari
sumber mata air ke rumahnya yang berjarak
kurang lebih 2 km yang ditempuhnya
dengan berjalan kaki. Pagi, sore dan siang
hari. Rumah Sudhana sendiri berada di
dataran lebih tinggi, sementara sumber
mata air ada di bawah desa tidak jauh dari
batas pinggir pantai. Dia memikul dua
ember air yang masing-masing bisa
memuat hingga 25 liter. Artinya sekali
angkut dia memikul 50 liter.
Sudhana bisa ke mata air deg-deg lebih
sering lagi sebelum dan selama Hari Raya
Islam tiba, seperti Hari Raya Idul Fitri dan
Idul Adha. Banyak tamu yaitu sanak dan
kerabatnya yang berkunjung ke rumahnya,
beberapa juga akan menginap. Artinya dia
harus memastikan persediaan air di kamar
mandinya tercukupi. Termasuk kebutuhan
untuk seduhan minum panas (untuk teh
dan kopi) atau masak makanan untuk
disajikan tamu. Belum lagi untuk kebutuhan
mencuci.
“Begitu pula jika musim kemarau tiba, mata
air deg-deg berkurang. Sangat kurang. Jadi
kami harus menunggu lima atau 10 menit
lagi sehingga mengumpul dan bisa kami
ciduk. Kasihan warga desa tetangga kami di
gunung lebih sengsara. Mereka harus
berjalan lebih jauh lagi untuk menuju mata
air deg-deg. Tapi airnya tersedia terbatas,”
jelas Sudhana.
Sudhana dan istrinya seperti warga lainnya di
desa mengambil air di sumber mata air yang
jauh dari rumahnya.
(Foto: Musfarayani)
Kebanyakan warga desa Gedang-gedang
termasuk Sudhana adalah petani. Mereka
menggunakan sistem tadah hujan untuk
menghidupi pertanian dan kebun-kebun
mereka. Dari sinilah kebutuhan hidup
kebanyakan warga terpenuhi. Mereka
tetap bekerja keras seperti halnya
Sudhana. Sudhana bahkan membuka
usaha penyewaan sound system yang bisa
digunakan untuk acara hajatan seperti
sunatan dan pesta perkawinan di
kampung-kampung. Sudhana
menyewakannya sehari seharga Rp
750,000- 1 juta. Setidaknya usaha
tambahan ini benar-benar membantu
kehidupannya jika terjadi paceklik karena
kemarau panjang, dimana hasil pertanian
mereka tidak bisa diandalkan karena
kekurangan air.
Suatu hari dia melihat tetangga jauhnya
yang menjadi tukang sumur bor tengah
membuat sumur bor untuk mendapatkan
air di salah satu rumah warga desa
tetangga. Sudhana menanyakan biaya
membangun sumur bor dan tandon
airnya. Otaknya langsung bekerja dan
mulai berhitung. Jika dia juga mempunyai
satu sumur bor dan tandon air maka dia
akan memutus segala kesulitan hidup
keluarganya karena kesulitan mengakses
air. Namun hatinya ciut ketika mendengar
biaya membangun sumur bor dan tandon
menampung air yang ternyata tinggi.
“Jika ditotal itu mencapai Rp 30 juta.
Uang darimana? Tapi saya harus punya
fasilitas untuk mendapatkan air tersebut di
rumah. Kasihan istri saya jika harus
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
8
Kini untuk hasil kebun seperti jagung tidak
perlu lagi mengandalkan tadah hujan. Karena
sudah ada sumur bor dan tandon air.
(Foto: Musfarayani)
mengambil air ke mata air. Kelak kami
juga semakin tua, kami pasti tidak
sanggup mengambil air. Selain itu jika
saya bisa memiliki sumur bor dan
tandon itu saya juga bisa membantu
para tetangga saya yang hidupnya
lebih susah dari saya. Saya juga bisa
menyalurkan air ke tetangga saya.
Penghasilan saya kelak juga akan
bertambah karena waktu saya tidak
terbuang lagi karena pergi mengambil
air di sumber mata air,” jelasnya.
Sudhana akhirnya menjual sapi,
beberapa emas simpanannya, dan
juga cabe jamu hasil kebunnya. Dia
pun meminjaman beberapa juta ke
tetangga yang punya hubungan dekat
dengannya. Sehingga terkumpullah
Rp 20 juta. Kurang Rp 10 juta lagi. Dia
berpikir untuk meminjam ke tetangga
atau saudaranya lagi, tapi dia tahu
hingga dia dipertemukan anaknya
dengan salah satu staf lapangan BMT
NU Gapura. Setelah mendengarkan
duduk persoalannya, BMT NU Gapura
bersedia membantu memberikan
pinjaman Rp 10 juta. Syaratnya dia
harus memberikan jaminan berupa
surat BPKB yang harus diberikan
kepada BMT NU Gapura. Menurut
Sudhana prosesnya cepat dan mudah.
Program Pembiayaan Hidup Sehati
dari BMT Gapura merupakan
implementasi dari kerjasama dengan
Water.org dalam memberikan akses air bersih dan sanitasi
kepada masyarakat kurang mampu. Program ini disepakati dan
ditandatangani pada bulan Mei 2016 dan mulai berjalan sejak
bulan Desember 2016, Program Pembiayaan ini ditargetkan
dapat menjangkau 9.075 nasabah agar mendapatkan akses air
bersih dan sanitasi di wilayah Madura hingga tahun 2019. Saat ini
pembiayaan Hidup Sehati telah disalurkan kepada 80 orang di
Madura dan 356 telah menapatkan akses air bersih dan sanitasi.
“Sekarang semua sudah terpasang. Saya senang kehidupan saya
jauh lebih mudah sekarang. Saya menggratiskan pengambilan air
untuk tetangga dan siapa pun yang tidak mampu, atau miskin.
Ini untuk amal saya buat mereka. Tapi ada juga beberapa
tetangga ingin menyambung air dari tandon saya agar bisa
langsung sampai di rumah mereka. Saya sudah menghitungnya
sehingga mereka bisa membayar perbulan kepada saya. Jadi ini
yang saya gunakan untuk membayar cicilan pinjaman saya,”
jelasnya.
Kini sudah ada sekitar 10 tetangga warga Desa Gedang-gedang
yang mengiginkan bisa menyambung langsung air ke rumahnya.
Pipanya yang menyediakan kepada yang berminat. Sudhana
sendiri menjelaskan, sebenarnya desanya telah mengajukan
pengadaan akses air untuk warga kepada pemerintah setempat.
Ada beberapa sumur pompa yang terpasang tapi tidak
menjangkau hingga ke rumahnya bahkan banyak warga di
desanya.
Ketika ditanyakan apakah sudah ada program Pansimas masuk
ke desanya, Sudhana malah balik bertanya karena dia tidak tahu
apa Pansimas dan perannya. Karena sejauh ini warga harus
berjuang sendirian utnuk mendapatkan akses air bersih. Tapi kini
Sudhana merasa tidak perlu memikirkannya. Dia hanya fokus
dengan yang dimilikinya sekarang dan bekerja lebih keras lagi
untuk membayar cicilannya.
“Terus terang itu jumlah yang sangat banyak. Jika mengandalkan
hasil kebun dan sewa sound system tidak mencukupi. Jadi saya
kini menambah pekerjaan saya agar bisa membayar cicilan
tersebut. Saya menjadi pengumpul pasir putih. Selama 10 hari
saya menginap di lokasi tersebut dan baru ada di rumah
setelahnya, jika tidak ada musim panen dan tanam. Hanya
beberapa hari saja di rumah. Karena selain cicilan ada biaya
membeli solar untuk sumur bor. Selama dua jam bisa
menghabiskan dua liter dengan harga Rp 13,000,” jelasnya.
(Musfarayani/water.org Indonesia)
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
10
Sumur bor dan tandon air membuat kehidupan Sudhana
jauh lebih baik. Dia dan istrinya tidak perlu mengambil air
jauh hingga batas pantai desa.
(Foto: Musfarayani)
Toilet Bermartabat
Jamban Bermartabat
untuk Menantu dan Cucu
Hayati, 55, dan suaminya, Nurhadi, 55, sejak
menikah tidak pernah memiliki toilet di
rumahnya yang terletak di Kampung Cayur,
Desa Sindang Sono, Kecamatan Sindang jaya,
Kelurahan Pasar Kemis, Kota Tangerang,
Provinsi Banten. Kondisi ini tidak berubah,
meski rumahnya telah berangsur berubah dari
gubuk berlantai semen, hingga berdinding
bata dan berlantai keramik, kini. Jika ada
anggota keluarga ingin mandi langsung saja
masuk ke bagian dapur. Di sana ada bilik kecil
sederhana tanpa atap, dan pintunya cukup
ditutup dengan terpal, sebagai tempat mandi
keluarga. Ada pompa tangan sederhana
didalamnya untuk mengambil air.
Jika ingin buang air besar, dia dan keluarganya
cukup berjalan kaki sekitar 200 meter menuju
empang kecil yang berada dikebunnya. Di
ujung empang dalam kebunnya ada bilik
kubikel ukuran kurang lebih 1,5 X1,5 meter
berdinding triplek seadanya, sederhana, dan
tanpa atap. Hayati cukup membawa air dalam
ember kecil yang dibawanya dari rumah untuk
bebersih usai buang air. Jika hujan, dia akan
membawa payung, atau jika malam hari tiba
dia juga tidak perlu khawatir, suaminya telah
memberikan penerangan dengan bohlam kecil
di atas pohon. Sehingga dia tidak perlu
khawatir jatuh karena gelap. Apakah itu
merepotkan dan menyusahkannya?
“Tidak menyusahkan dan merepotkan sama
sekali. Saya sudah biasa begitu sejak saya kecil
dulu. Tidak pernah ada toilet di rumah kami.
Cukup di kebun, sudah beres. Kami juga
sehat-sehat saja. Kalau hujan memang becek,
tapi bisa cuci kaki di dapur. Jadi kami merasa
tidak perlu membangun kamar mandi dan
jamban di dalam rumah. Bau, kan,” jelas Hayati
sambil tertawa.
Namun kebiasannya buang air besar di
empang kebunnya sendiri “dipaksa” berubah,
Hayati tidak perlu malu lagi dengan cucu dan
menantunya karrna kini dia mempunyai
jamban bermartabat di rumah.
(Foto: Musfarayani)
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
12
Hayati dan suaminya kini bisa menikmati akses
sanitasi yg baik berkat Kredit yang dikeluarkan BMI.
(Foto: Musfarayani)
seiring ketiga anaknya dewasa, menikah,
punya anak serta terpisah tempat
tinggalnya. Dua anaknya tinggal di
Jakarta. Sementara seorang anak lainnya
mendirikan rumah disamping
rumahnya, dan “cara” hidupnya kurang
lebih sama dengan dirinya dan
suaminya. Sementara kedua anaknya di
Jakarta kehidupannya sama sekali
berbeda. Mereka seperti warga Jakarta
pada umumnya mempunyai toilet dan
kamar mandi layak sendiri.
“Setiap liburan dan ada acara keluarga
mereka datang ke rumah kami, tapi
tidak mau menginap. Mereka juga
hanya makan dan minum sedikit saja,
meski saya sendiri yang memasak dan
menyediakannya. Alasannya jika mereka
makan dan minum banyak khawatir
akan buang air besar atau kecil, itu
artinya mereka harus ke empang.”
Hayati menambahkan, cucunya merasa
enggan buang air di kebun karena
becek. Bukan itu saja yang membuatnya
sedih adalah di tiap hari Raya Lebaran
anak-anaknya dan keluarganya dari
Jakarta juga tidak mau menginap di
rumahnya.
"Bahkan menantu saya katanya malu jika
mandi dengan pintu hanya ditutup terpal,
juga repot jika harus buang air. Sejak itu
Lebaran cepat sekali sepinya. Saya sendiri
jadi mali setiap kali menantu dan cucu
datang mereka selalu merasa tidak
nyaman berlama-lama di rumah
saya,"ungkap Hayati.
sebab mereka langsung kembali ke
rumah, tidak menginap. Saya sendiri jadi
malu setiap kali menantu dan cucu
datang mereka selalu tidak nyaman di
rumah saya,” jelas Hayati.
Hingga datang bulan Ramadhan lagi di
tahun 2016. Hayati mulai gelisah. Dia
ingin sekali memperbaiki kamar mandi
dan dapurnya. Apalagi rumahnya kini
tidak bilik lagi, lantainya juga sudah
berlantai keramik. Dia merasa bagian
dapur, terutama bilik kamar mandinya,
sesuatu yang kontras dengan kondisi
rumah barunya sekarang.
Bukan itu saja, dia gelisah menanti Hari
Raya Idul Fitri. Memikirkannya saja dia
sudah merasa malu jika menantu dan
Petugas BMI selalu turun ke lapangan untuk memberikan
informasi dan membantu anggotanya dalam mendapatkan
akses kredit jambam sehat.
(Foto: Musfarayani)
cucunya tidak mau berlama dirumahnya
hanya karena tidak ada toilet dan kamar
mandi. Tapi membangun dapur dan toilet
juga memerlukan biaya tidak sedikit.
Sementara suaminya hanya buruh
pengumpul barang-barang limbah keras
sisa pabrik-pabrik yang ada di sekitar
kampung mereka. Perlu menabung lama
untuk menyulap sekaligus rumahnya
untuk melengkapinya dengan jamban
dan kamar mandi yang layak.
“Penghasilan bapak (suami) tidak
menentu. Memang ada, tapi tidak banyak.
Kalau lagi beruntung kami bisa dapat
banyak. Bahkan pernah dapat Rp 20 juta
per satu truk. Tapi tidak tiap hari, tidak tiap
minggu dapat. Bahkan kadang tidak
dapat sama sekali dalam satu atau dua
bulan. Makanya kami berpikir mau cari
uang dimana. Kami takut meminjam
uang kepada rentenir. Apalagi ke bank
yang syaratnya macam-macam,” jelasnya.
Pucuk cinta ulam pun tiba. Seorang
petugas Kopsyah BMI (Koperasi Syariah
Benteng Mikro Indonesia- sebuah koperasi
berbasis syariah) Tangerang, Banten, turun
ke desa dan mempromosikan paket
program mereka yaitu Paket Tata
Kelola Air dan Sanitasi. Bukan hanya
itu, program ini juga menawarkan
fasilitas pinjaman tambahan yaitu
pendidikan dan perbaikan rumah.
Semua datang di saat yang tepat dan
saat Hayati sangat membutuhkannya.
Apalagi begitu mendengar
persyaratannya yang mudah. Tanpa
pikir panjang Hayati menyatakan ingin
mengambil paket tersebut.
“Saya ingin anak, menantau dan cucu
saya bisa berkunjung ke rumah saya
lebih lama, bahkan bisa menginap di
saat lebaran nanti,” jelasnya.
Setelah mengikuti proses administrasi
yang sederhana, Kopsyah BMI pun
menyetujui pengajuan pinjamannya.
Sebelumnya Hayati memang telah
terdaftar menjadi anggota BMI,
sehingga mempercepat prosesnya.
Pada paket ini Hayati diusulkan untuk
membangun fasilitas toilet dan kamar
mandi terlebih dahulu sebelum
memperbagus dapurnya, dengan
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
14
harga lima juta yang bisa dia cicil
selama tiga tahun. Dia membayar
cicilan kepada Kopsyah BMI sebesar Rp
66.000/minggu. Seorang petugas
lapangan langsung menagih dari
rumah ke rumah warga yang mengikuti
program tersebut tiap pekannya.
“Sejauh ini warga yang mengikuti paket
tata kelola sanitasi dan air ini sangat
patuh membayar. Jadi jangan pernah
remehkan kekuatan orang
berpenghasilan rendah dalam
membayar cicilan. Ibu Hayati bisa
meminjam lagi setelah cicilan
membayar kamar mandinya selesai.
Sehingga dia bisa mengambil
pinjaman lainnya untuk memperbaiki
dapurnya,” jelas Manajer Lapangan BMI
Cabang Pasar Kemis, Yanita Nurmala.
Yanita dan sejumlah staf lapangan
Kopsyah BMI turun ke lapangan tidak
hanya menawarkan kredit, tetapi juga
terkadang mereka melakukan promosi
dan pemicuan kesadaran masyarakat
kurang mampu yang menjadi target
mereka selama ini untuk bisa
meningkatkan kualitas hidupnya
dengan memiliki fasilitas sanitasi.
Program ini sesungguhnya merupakan
program yang didanai oleh Water.org
melalui Kopsyah BMI agar bisa
memastikan masyarakat
berpenghasilan rendah mendapatkan
akses air bersih dan sanitasi.
“Program ini telah memungkinkan
orang seperti Ibu Hayati mendapatkan
kesempatan meningkatkan kualitas
hidupnya. Termasuk martabatnya
sebagai orang tua. Sehingga kini dia
telah memiliki toilet dan sanitasi yang
bermartabat yang bisa dibanggakan
kepada menantu dan cucunya,” jelas
Yanita.
Yah, Hayati kini boleh berbangga
bahkan bahagia, karena jelang lebaran
tiba, toilet dan kamar mandi impiannya
pun telah terbangun. Lebaran tahun
lalu telah menjadi kejutan besar bagi
anak, menantu dan cucu-cucunya dari
Jakarta.
“Kini mereka bukan hanya berkunjung
tapi juga mau menginap pada lebaran
tahun lalu, karena di rumah kami sudah
ada kamar mandi dan jamban yang
nyaman. Bahkan bukan hanya lebaran
saja cucu-cucu saya mau menginap, di
musim liburan sekolah pun mereka kini
menginap di rumah kami. Kini saya
juga tidak malu dengan menantu saya
sendiri. Saya pun tidak lagi buang air
besar di empang kebun,” tandas Hayati
bangga.
(Musfarayani/Water.org Indonesia).
Hayati dan suaminya senang akhirnya ada jamban bermartabat di rumahnya.
(Foto: Musfarayani)
Toilet Bermartabat
Profil Kopsyah BMI: Tanggerang
Koperasi Yang Peduli Dengan
Sanitasi dan Kesehatan Anggotanya
Tidak banyak koperasi atau lembaga
keuangan di Indonesia yang berani
mengambil resiko mengeluarkan kredit
bagi anggota atau nasabahnya yang
berpenghasilan rendah untuk
membangun fasilitas akses air bersih dan
sanitasi di rumahnya. Dibutuhkan modal
yang besar, dan juga metode yang tepat
dalam mempromosikannya. Karena
produk yang dijual bukanlah barang yang
diminati dengan suka cita.
Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia
(Kopsyah BMI) mengambil resiko tersebut
dan menjadikannya sebagai peluang.
Mereka membuat kredit mikro tata
kelola sanitasi dan kredit mikro air bersih
skala rumah tangga. Menyasar pada
ribuan anggotanya yang kebanyakan
adalah Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (MBR) dan belum memiliki
fasilitasi akses air bersih dan sanitasi di
Kabupaten Tangerang, Banten.
“Kami menginisiasi produk ini karena
keprihatinan kami melihat kehidupan
para anggota koperasi yang jauh dari
sejahtera dan sehat. Kita ingin
menjadikan koperasi kembali kepada
khitahnya, menjadi koperasi yang
bisa diandalkan rakyat. Bisa
menyejahterakan dan
menyehatkan para anggotanya,
bukan lagi hanya jadi tempat
simpan pinjam belaka. ” jelas
Kamaruddin Batubara, Presiden
Direktur Kopsyah BMI.
Namun persoalannya tidak
sederhana kemudian. Sejak mereka
merintisnya di tahun 2002 dengan
nama layanan pembiayaan Mikro Tata
Griya- waktu itu koperasi masih bernama
Koperasi Jasa Keuangan Syariah
(KPP-UMKM Syariah) sebelum berubah
menjadi
Kopsyah BMI tahun 2015- ternyata banyak
anggota tidak mengganggapnya sebagai
prioritas kehidupannya. Alasannya buang
air besar masih nyaman dilakukan di
sungai atau kebun. Lebih dari itu
membangun jamban dan tangki septik
memerlukan biaya besar, sehingga
dianggap bukan sebagai kebutuhan
utama. Membeli smartphone, pulsa
telpon, jajan anak, membeli rokok, dan
biaya pendidikan anak adalah urusan
teratas dalam prioritas mereka.
Perlu waktu lama dalam melakukan
pendekatan ke masyarakat. Dalam
berproses mereka bertemu sejumlah
lembaga donor yang bergerak di bidang
akses air bersih dan sanitasi. Dari sanalah
Kopsyah BMI baru bisa menyadari bahwa
ada pendekatan tersendiri. Selain itu
membangun jamban dan tangka septik
ternyata juga ada standar nasional
kesehatan yang harus dipenuhi. Mereka
segera mengubah strategi dan cara
Salah satu kegiatan BMI adalah memastikan kualitas hidup
anggotanya bersih, dan sehat.
(Foto: Dok.Kopsyah BMI)
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
16
masyarakat yang dipinjamkan dianggap rentan
tidak mampu membayar, karena dari golongan
masyarakat berpenghasilan rendah.
“Anggota kami memang kebanyakan dari
golongan tidak mampu, tapi tidak pernah
mereka tidak membayar cicilannya.
Justru mereka mampu membayar
cicilan. Karena itu begitu ada program
WaterCredit dari Water.org ditawarkan
pada kami, kami sanggupi semua
persyaratannya,” jelas Kamaruddin.
Kopsyah BMI juga terjun ke nasabah memberikan
edukasi dan kesadaran arti sanitasi yang baik.
(Foto: Dok.Kopsyah BMI)
pendekatan. Selama ini pendekatan kepada
nasabah langsung dilakukan oleh staf
lapangan Kopsyah BMI.
“Staf lapangan kami adalah staf promosi.
Guna menawarkan membangun jamban
dan tangki septik kami melakukan
pemicuan terlebih dahulu. Memicu rasa
malu dari mereka, misalnya auratnya terlihat
jika buang air besar di luar rumah. Dari segi
agama juga kami dekatkan, bahwa bersih
itu adalah sebagian daripada iman. Saat
membahas secara dekat dengan warga
sasaran juga terungkap – terutama- para
perempuan dan anak sesungguhnya
menginginkan toilet dan tangkit septik di
rumah. Namun mereka bukanlah
pengambil keputusan. Kami mendekati
lebih serius hingga pada titik mereka
mengatakan membutuhkannya tanpa kami
paksa. Bahkan mencari kami,” jelas Manajer
Lapangan BMI Cabang Pasar Kemis, Yanita
Nurmala.
WaterCredit untuk Kopsyath BMI
Usai memperbaiki metode pendekatan dan
promosi melalui pemicuan STBM (Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat), membuat
Kopsyah BMI kebanjiran pesanan
membangun toilet dan tangka septik.
Tantangan muncul kembali karena modal
yang dimiliki Kopsyah BMI tidak bisa
memenuhi semua keinginan para
anggotanya. Namun tidak semua lembaga
keuangan besar dengan terbuka
meminjamkan modal usaha kepada
koperasi, karena selain isunya tidak popular
Penerapan WaterCredit kepada Kopsyah BMI
menjadi kerjasama pertama yang diterapkan
water.org di Indonesia. Kerjasama ini dilakukan
Januari 2014 hingga Desember 2016. Dana ini
sebagai subsidi operasional seperti biaya
pembuatan produk, training, marketing,
monitoring dan evaluasi program pembiayaan air
sanitasi Kopsyah BMI Tangerang bagi masyarakat
berpenghasilan rendah di Tangerang.
Dalam tiga tahun kerjasama dengan Water.org
Kopsyah BMI ditargetkan bisa memberikan
pembiayaan untuk akses air bersih dan sanitasi
bagi 5.222 keluarga di Tangerang yang
umumnya masyarakat berpenghasilan rendah
(MBR) dengan cara yang mudah dan murah.
Ketika kerjasama berakhir Kopsyah BMI telah
berhasil melampaui target yang diberikan
Water.org dengan memberikan akses air bersih
dan sanitasi bagi masyarakat berpenghasilan
rendah hingga 5.800 keluarga (data terakhir
Januari 2017).
Menurut Country Director Water.org Indonesia
Gusril Bahar, Program WaterCredit diperuntukan
bagi masyarakat berpenghasilan rendah agar
mendapatkan akses air bersih dan sanitasi
dengan cara yang mudah dan murah serta
terjamin. Program Water.org ini dijalankan
lembaga keuangan seperti Kopsyah BMI agar
program WaterCedit ini berkelanjutan, dimana
cicilan Masyarakat Berpenghasil Rendah kepada
Kopsyah BMI kemudian bisa digunakan lagi oleh
Kopsyah BMI untuk melayani masyarakat tidak
mampu lainnya.
“Jadi berbeda dengan hibah atau gratis, dimana
dana tersebut tidak dapat menjangkau banyak
masyarakat berpenghasilan rendah dan program
tidak bisa berkelanjutan karena begantung
kepada dana hibah,” jelas Gusril.
(Musfarayani/Water.org Indonesia)
Toilet Bermartabat
Dari Buang Air Besar Ke Laut,
Beralih Ke Jamban “Bermartabat”
Bagi warga Desa Longos, Kecamatan Gapura, Kabupaten
Sumenep, Madura, Provinsi Jawa Timur, buang hajat di jamban
umum di sepanjang pinggiran Pelabuhan Bintaro adalah hal
biasa. Baik anak-anak, orang dewasa, laki-laki maupun
perempuan bergiliran antri buang hajat di sana, terutama di
waktu pagi atau sore hari. Jambannya di bangun juga
seadanya. Terbuat dari tripleka atau seng sederhana, dan
kotorannya langsung menyemplung di pinggiran laut pantai.
“Yah, sudah terbiasa sejak saya kecil. Tapi terbiasa yang
terpaksa karena tidak punya pilihan. Mau minta ke orang tua
untuk dibangunkan jamban di rumah tidak berani. Orang tua
saya penghasilannya kecil. Bapak saya hanya seorang kuli di
kapal. Terus terang buang air adalah pengalaman tidak
nyaman. Terlebih jika tengah mendapat mensturasi atau buang
air besar atau terkena diare,” jelas Masniatun,25.
Masniatun juga menambahkan selain jamban umum di
pinggiran pelabuhan Bintaro, dia dan warga lainnya juga
buang air di sungai. Terasa lebih nyaman karena mereka tidak
perlu membawa air, karena bisa langsung membersihkannya
dengan air sungai. Tapi begitu kemarau tiba, sungai menjadi
keruh dan bau kotoran manusia semerbak tercium tajam di
udara.
“Karena airnya menyusut, kotorannya pun terlihat jelas. Bahkan
bau kambing jauh lebih baik dari bau kotoran manusia,” jelas
ibu satu anak laki-laki berumur empat tahun ini.
Cerita yang diungkapkan Masniatun adalah masa lalunya.
Karena kini dia telah memiliki jamban sendiri di kamar mandi
rumahnya sejak beberapa bulan terakhir ini. Jamban bertangki
septik yang dimilikinya ini dibangun dengan biaya sebesar Rp
1,5 juta yang telah dicicilnya sebesar Rp 93,000/bulan sejak
Desember 2016 hingga 20 bulan ke depan.
“Saya merasa beruntung karena Kepala Desa datang ke rumah
dan menawarkan program Sehat Bersih dari BMT Gapura. Saya
pikir ini program pemerintah memberikan bantuan gratis,
ternyata bukan. Saya sempat kecewa, tapi begitu dibilang bisa
dengan kredit saya langsung minta suami untuk bisa
mengambil cicilannya, karena harganya terjangkau. Suami dan
keluarga saya setuju. Saya senang sekali,” jelas Masniatun yang
tamatan SMP ini.
Jamban umum di Pelabuhan Bintaro yang biasa
digunakan warga Desa Longos, Kecamatan Gapura,
Sumenep,Madura, Jatim.
(Foto: Musfarayani)
Program pembiayaan Hidup Sehati dari BMT Gapura
merupakan implementasi dari kerjasama dengan Water.org
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
18
Masniatun dan anaknya kini tidak perlu
antri buang air di pelabuhan.
(Foto: Musfarayani)
dalam memberikan akses air bersih dan
sanitasi kepada masyarakat kurang mampu.
Program ini disepakati dan ditandatangani
pada bulan Mei 2016 dan mulai berjalan
sejak bulan Desember 2016, Program
Pembiayaan ini ditargetkan dapat
menjangkau 9.075 nasabah agar
mendapatkan akses air bersih dan sanitasi
di wilayah Madura hingga tahun 2019. Saat
ini pembiayaan Hidup Sehati telah
disalurkan kepada 80 orang di Madura dan
356 telah menapatkan akses air bersih dan
sanitasi.
“Saya senang karena baru kali ini merasakan
nyaman dan tenang buang air di jamban
sendiri. Hujan tidak kebasahan, dan tidak
takut buang air di malam karena tidak
perlu ke pelabuhan atau kebun. Apalagi
jika mensturasi saya tidak repot dan merasa
bersih sepanjang hari. Lebih dari itu anak
saya tidak perlu mengalami
ketidaknyamanan yang pernah saya alami
waktu kecil hanya karena tidak punya
jamban. Sekarang anak saya, senang
banget berada di kamar mandi. Hobinya
mau mandi terus. Airnya banyak, nyaman,
malah mau terus main di kamar mandi,”
tambah Masniatun sambil tertawa.
(Musfarayani/Water.org Indonesia).
Cerita PDAM
Profil BPSPAM Reco:
Pinjaman Water.org Memperbaiki
Kualitas dan Pelayanan
Kendati diapit dua gunung yaitu Gunung
Sindoro dan Gunung Sumbing, serta
bentangan perkebunan aneka palawija
yang tampak subur makmur, ternyata
bukan berarti kawasan yang berada di Desa
Reco, Kecamatan Kretek, Kabupaten
Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah,
berlimpah air. Puluhan tahun masyarakat
menggunakan tadah hujan untuk bisa
menanam aneka palawija sebagai mata
pencaharian utama. Sementara untuk
kebutuhan konsumsi seperti minum dan
memasak, mereka harus susah payah
mengambil air ke sumber mata air yang
berada jauh di bawah desa.
“Dulu kami harus memikul air dari mata air
yang ada di bawah untuk dibawa ke rumah,
sehingga kami bisa memasak dan
menyediakan air layak minum. Tapi
sekarang kami tidak perlu susah lagi seperti
dulu. Sudah ada kran yang bisa
mengucurkan air bersih secara langsung ke
kamar mandi kami di rumah. Sehingga
kami tidak perlu susah payah lagi
mengambil air. Kami bahkan tidak
menyangka bisa seperti ini, air mengalir
deras ke rumah-rumah kami,” jelas Ketua
BPSPAM (Badan Peningkatan
Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air
Minum) Tirto Sari Reco, Woenadi, 45.
Tidak mudah mendapatkan air bersih yang
bisa dialirkan langsung ke rumah-rumah
warga desa yang ada di atas. Dibutuhkan
biaya yang besar untuk bisa mendapatkan
pipa-pipa atau mengadakan sendiri air
bersih untuk kepentingan bersama di desa
tersebut. Sementara desa ini termasuk
yang tidak terlayani PDAM.
BPSPAM Reco menambah kapasitas airnya dengan membangun
satu unit sumur bor yg mereke kredit dari BKK Wonosobo.
(Foto: Musfarayani)
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
20
“PDAM tidak bisa mengalirkan airnya ke
sini. Kami tidak tahu kenapa. Di wilayah
Reco ini ada desa begitu mudah dan
berlimpah mendapatkan air bersih hingga
bisa disalurkan ke rumah. Ada desa yang
kering seperti desa kami. Lalu datang
Pansimas (Pengelolaan Air Minum dan
Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang
membangun sarana pengadaan air minum
yang bisa kami kelola sendiri pada tahun
2013. Sejak itu mudah mendapatkan air.
Kami kelola sendiri, dan menarik iuran
kepada warga yang ingin berlangganan.
Hampir semua gembira karena bisa
mendapatkan air langsung ke rumah.
Namun dua tahun lalu, kami tidak bisa
melayani lagi, karena pompa air listrik rusak
tersambar petir, sehingga melumpuhkan
pelayanan,” kata Moenadi.
Butuh biaya besar untuk memperbaikinya.
Hingga datang Water.org melalui fasilitator
lokalnya yang tengah melakukan
assessment dan memastikan warga yang
susah mendapatkan air mendapatkannya.
BPSPAM Reco menjadi sasaran utama
Water.org, sehingga mereka bisa
menambah layanan air bersih ke 255 SR
(Sambungan Rumah). Melaui program CBO
(Community Base Organisation) untuk
pengelolaan air berbasis masyarakat,
Water.org mengharapkan kerja yang
dilakukan bisa berkelanjutan dengan
menghubungkan BPSPAM Reco bermitra
kepada bank lokal setempat.
“Kami harus memastikan BPSPAMnya juga
bisa bankable lebih dahulu. Kami berikan
pelatihan cara pengelolaan administratifnya
Woenadi menujukkan fasilitas rumah mesin pengelolaan air desa.
(Foto: Musfarayani)
Dengab pinjaman dari mitra water.org, BPSPAM Reco kini bisa
memperbaiki mesin pompa yang sempat tersambar petir.
(Foto: Musfarayani)
juga penguatan keorganisasiannya,
sehingga bank setempat mau
meminjamkannya karena telah memenuhi
syarat. Water.org juga menghubungkan
Bank atau lembaga microfinance yang bisa
memberikan program kredit untuk
pengelolaan air kepada BPSPAM setempat,
dengan syarat yang mudah dan cepat
tanpa birokrasi yang panjang dan
merepotkan,”jelas CBO Senior Manager
Rachmat Hidayat Water.org Indonesia.
Sejauh ini program WaterCredit di
Wonosobo disalurkan melalui BPR BKK
Wonosobo. Ada empat BPSPAM namun
baru dua yang telah dilakukan penyaluran
kreditnya.
“Dalam program ini kami memberikan
syarat yang ringan saja. Bahkan BPSPAM
tidak perlu memberikan jaminan atau
agunan, sehingga proses penyalurannya
bisa dilakukan. Kami bersama Water.org
juga memberikan pelatihan dan
pengetahuan kepada BPSPAM bagaimana
bisa mengelola keuangan kegiatan dengan
baik,” jelas salah seorang pengurus BPR
BKK Wonosobo, Mamat.
Pada 10 November 2016, BPSPAM resmi
mendapatkan Kredit Pengelolaan Air dari
BPR BKK Wonosobo sebesar Rp 77 juta.
Jumlah ini diperuntukkan untuk
memperbaiki mesin pompa yang
tersambar petir, dan juga pembangunan
sumur bor lainnya yang bisa mengeluarkan
air 2 liter/detik dari sumur bor yang digali
hingga kedalaman 90 meter.
“Tujuan kami mendapatkan pinjaman ini
jelas hanya untuk bisa memastikan warga
di desa kami yang belum mendapatkan air
bisa mendapatkannya. Bayangkan
gara-gara disambar petir desa kami jadi
terhambat dalam menyalurkan air ke
rumah warga yang telah menjadi
pelanggan kami. Kini sudah ada 250 SR
tersambung air minum keran yang dikelola
oleh kami, langsung ke rumahnya. Bahkan
dengan kapasitas terbatas ini kami juga
terpaksa menambah 30 SR, jadi melebih
dari target bahkan kapasitas layanan
BPSPAM Reco,” jelas Moenadi.
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
22
Pinjaman BPR BKK yang didukung
Water.org ini diharapkan bisa
mengantisipasi kerusakan sistem sehingga
layanan air kepada warga tidak terhenti.
Sumur bor baru yang telah terbangun juga
diharapkan bisa menjangkau masyarakat
desa lain yang membutuhkannya. Saat ini,
menurut Moenadi, pihaknya agak kesulitan
dalam memenuhi permintaan dari desa
lainnya yang masih susah mendapatkan air.
“Pinjaman Rp 77 juta dari Water.org melalui
BKK BPR Wonosobo bisa diangsur oleh
kami selama tiga tahun atau 36 bulan,
dengan angsuran Rp 2,5 juta/bulan. Kami
mendapatkan uang untuk menyicil melalui
iuran pelanggan. Mereka membayar sesuai
pemakainnya, yang kami hitung 1 meter
kubik pemakaian dihargai Rp 1,000 dan
biaya administrasinya Rp 2,000. Bayaran ini
jauh lebih murah dibandingkan
berlangganan dengan PDAM. Kami
mengelola ini bukan untuk kepentingan
komersial, semata hanya ingin memastikan
warga kami mudah mendapatkan air. Jadi
tidak murni gratis tapi juga tidak komersial,”
jelas Moenadi.
“Moenadi mrnambahkan, berlangganan
dengan BPSPAM yang dipimpinnya sangat
efisien dan ekonomis. Dalam sebulan
pelanggannya hanha mrmbayar listrik Rp
90,000 per bulan dari Rp 130,000 .
Sementara iuran hanya membayar Rp
17,000.
Hal ini diakui Sutono,45, salah satu warga.
Selain itu dirinya tidak perlu naik atau turun
dari desanya hanya untuk mengambil air
“Kami memang harus mengeluarkan biaya
untuk memasang pipa dan meteran air.
Tapi semua masih dengan kemampuan
kami. Sekarang air sudah mengalir langsung
ke kamar mandi kami. Saya tidak perlu
menghabiskan waktu memikul air. Anak
dan istri juga nyaman berkegiatan sekarang.
Kehidupan kami jauh lebih baik,” jelas
Sutono.
(Musfarayani/Water.org Indonesia)
Kini BPSPAM Reco bisa mengalirkan 250 Sambungan Rumah (SR)
bahkan menambahnya hingga 30 SR.
(Foto: Musfarayani)
Water Connection
PDAM Batang Datang, Warga Tumpeng
Tidak Perlu Antri Air
Malekah,42, mencoba bersabar
mengantri menggunakan air untuk
mandi dan menyuci di satu MCK
komunal milik warga Dukuh Gunung
Tumpeng, Desa Dlisen, Kabupaten
Batang, Provinsi Jawa Tengah. Tempat
itu menjadi ramai di pagi dan sore
hari. Malekah merasa beruntung
rumahnya hanya berjarak 10 meter
dari bangunan MCK komunal tersebut,
jadi dia bisa berada di tempat
tersebut lebih cepat dari lainnya
sehingga mendapatkan antrian lebih
depan. Sebagian perempuan dan
laki-laki lainnya mencoba mencuci di
tepi sungai di luar bangunan MCK
Komunal.
“Setelah menyuci kami juga mandi
sekalian di sana. Kalau ada laki-lakinya
juga tidak apa. Kan, kami pakai kain.
Sudah biasa seperti ini,” jelasnya.
Sementara untuk kebutuhan
memasak dan air minum, Malekah
biasanya berjalan kaki selama lebih
dari satu jam untuk mengambil air
yang dia angkut dengan dua ember .
Dia lakukan itu setiap pagi, sebelum
anaknya pergi sekolah, dan sore hari.
Mata air tersebut berwarna jernih dan
terletak di bawah desa. Semua orang
desa yang belum berlangganan air
perpipaan PDAM menuju ke sana
seperti halnya Malekah. Mereka tidak
mungkin menggunakan air sungai
dekat desa yang berwarna keruh
untuk memasak dan dijadikan air
minum.
Malekah biasanya menyuci dan mengantri mandi di kamar
mandi umum dan juga sungai sebelum mendapatkan
keringanan bisa menyicil sambungan air pipa langsung ke
rumah dari PDAm Batang.
(Foto: Musfarayani)
Malekah bukan satu-satunya warga
Dukuh Gunung Tumpeng yang tidak
memiliki kamar mandi dan harus
mengambil air bersih jauh ke sungai
di bawah. Hampir semua warga
Gunung Tumpeng melakukan hal
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
24
yang sama. Sumiyati juga harus
melakukan hal yang sama. Sumiyati
menceritakan, dia dan suaminya harus
naik motor menuju mata air guna
mengambil air bersih yang akan
digunakan untuk keperluan memasak
dan minum keluarganya. Jarak sumber
mata air tersebut kurang lebih 4 km. Jadi
cukup lama bagi warga menempuhnya
jika tidak memiliki kendaraan motor
seperti Sumiyati dan suaminya.
“Kami harus antri untuk bisa
mendapatkan air bersih. Kondisinya
semakin buruk jika musim kemarau tiba.
Sumber mata air kami menjadi keruh.
Kadang kami harus berjalan lebih jauh
lagi untuk mendapatkan air yang lebih
baik, “ jelas Sumiyati.
Sementara Sungkono, 45, yang
rumahnya dekat dengan sumber mata
air sungai tersebut tidak perlu repot.
Namun bagaimana pun dia tetap harus
berbagi dengan para warga lainnya yang
membutuhkan. Namun seperti warga
lainnya, jika kemarau tiba, ketika mata air
Sungkono tidak repot lagi mencari air jika kemarau tiba sejak
PDAM memberikan keringanan menyicil sambungan air bersih
perpipaan dirumahnya.
(Foto: Dwinita Wulandini)
keruh, dia pun harus mencari.
Kadang kondisi air sungai juga tidak baik,
selalu berwarna cokelat dan keruh. Karena
tidak ada pilihan lain, Sumiyati dan
Sungkono serta keluarganya bisa
mengalami gatal-gatal di kulit. Tapi karena
sudah biasa, tidak pernah dipedulikannya
lagi. Mereka menerima saja.
Bantuan Grant Water.org
Sekarang cukup nyalakan kran air di rumah untuk dapat air.
Demikian kata Sumiyati.
Tapi kini kehidupan sebagian besar warga
Dukuh Gunung Tumpeng jauh lebih
berbeda sejak air perpipaan melalui PDAM
Batang, Jawa Tengah, masuk ke wilayah
mereka, dan memberikan keringanan
pembiayaan pada sambungan
perpipaannya hingga langsung ke rumah
mereka. Tentu saja PDAM Batang bisa
mengerjakannya sendiri. Mereka
bekerjasama dengan Water.org Indonesia
dalam Pilot Project yang disebut Municipal
(Foto: Dwinita Wulandini)
Meteran air PDAM Batang yg dipasang dekat rumah warga.
(Foto: Dwinita Wulandini)
Water and Wastewater Utilities. Program ini
dikerjasamakan dari 20 September 2016 -
September 2019, dengan target mencapai
2,900 Sambungan Rumah di Batang bisa
terakses pelayanan PDAM. Program ini
bertujuan untuk memastikan warga seperti
Sumiyati, Sungkono dan Malekah serta
warga Gunung Tumpeng yang sebagian
besar adalah buruh dan petani kecil serta
berpenghasilan rendah- mendapatkan
bantuan akses air bersih perpipaan.
“Program ini sangat membantu PDAM
Batang dalam memperluas aksesnya
kepada warga yang membutuhkan air
bersih. Sungguh tidak murah menyambung
perpipaan ke tempat-tempat dengan
geografis menantang seperti di Gunung
Tumpeng ini,” jelas Direktur Utama PDAM
Batang, Yulianto.
Dalam program ini, PDAM memberikan
pinjaman yang terjangkau untuk warga
agar bisa mendapatkan akses air bersih
perpipaan yang dikelola PDAM Batang.
Warga bisa mengambil pinjaman sebesar
Rp 600 ribu dengan jangka waktu
pelunasan selama enam bulan dengan
bunga 0%. Angsuran bulanan adalah Rp
100.000 per bulan sudah termasuk pokok
dan bunga. Malekah sudah membayar dua
kali untuk pinjamannya.
“Kini sejak berjalan September 2016 telah
ada 1.351 Sambungan Rumah (SR) dari
total yang mendapatkan manfaat 5,830,”
tambah Yulianto.
Water.org Indonesia, Dwinita Wulandini
menjelaskan, program ini telah membantu
PDAM dalam meningkatkan pelayanannya
kepada masyarakat. Termasuk tuntutan
untuk PDAM meningkatkan kecakapan
sumber daya manusianya dalam
memberikan transparansi pelayanannya.
Water.org juga memastikan
pertanggungjawaban yang harus diberikan
PDAM terhadap kegiatan dan setiap
pengeluaran yang dilakukan.
“Program ini diharapkan bisa menjadi
contoh bagi PDAM lainnya agar mau
meningkatkan peran dan pelayanannya,”
jelas Dini.
Kini sudah mulai terpasang koneksi lebih
banyak lagi ke rumah-rumah warga Gunung
Tumpeng. Malekah, Sumiyati, Sungkono
pun kini tidak perlu pergi lama hanya untuk
mengambil air. Malekah bisa lebih banyak
menghasilkan olahan empingnya dari
sebelumnya. Bahkan dia bisa
mengaloksikan budget yang selama ini
habis untuk mengambil air ke kebutuhan
lainnya yang lebih penting. Sementara
Sumiyati maupun Sungkono tidak perlu
merasa gatal-gatal lagi, karena kini mereka
dapat sambungan air bersih perpipaan
langsung yang bisa mengalir langsung ke
rumah. Meski sebagian warga masih ada
yang mandi dan mencuci di MCK Komunal,
tapi kini kebutuhan air bersih untuk minum
dan memasak sudah lebih mudah lagi.
(Musfarayani dan Dwinita
Wulandini/Water.org Indonesia).
Menurut Manajer Water.Connect PDAM
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
26
Perubahan Perilaku
Mengganti minum air mentah
dengan Air Nazava
Usai pulang sekolah Khofifa langsung ke dapur dan meminum air
mentah yang ditampung di bak air.
(Foto: Musfarayani)
Khofifa, 16, baru saja tiba di rumah usai
belajar di sekolahnya di Madrasah Aliyah
Desa Lapadaya, Kecamatan Dungke,
Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Masih dengan seragam sekolahnya dia
langsung menuju dapur yang letaknya
terpisah dengan rumah utama. Dia
mendekati bak air, lalu menciduk airnya
dengan gayung, kemudian meminumnya
langsung ke mulutnya dari ujung gayung
tersebut.
Yah, Khofifa meminum air mentah begitu
saja. Langsung dari bak khusus
menampung air yang terbuka sejak
semalaman. Sisa air dalam gayung dia
gunakan untuk mencuci wajahnya yang
berkulit sawo matang.
“Kami sudah terbiasa minum air mentah
sejak kami masih kecil dulu. Langsung dari
bak air, tinggal gayung dan minum.
Orang tua kami juga melakukannya,
begitu pula nenek-nenek kami dahulu.
Jadi susah untuk dihilangkan (kebiasaan
minum air mentah),” jelas Khumairoh, 29,
kakak kandung dari Khofifa.
Khofifa dan Khumairah sesungguhnya
bukan tidak tahu meminum air mentah
secara langsung tanpa dimasak terlebih
dahulu sangat tidak baik untuk kesehatan.
Tapi sejauh ini mereka merasa baik-baik
saja. Begitu juga dengan
kakek-nenek,paman bibi dan orang tua
mereka selama ini.
“Diajarin sih, di sekolah. Kata guru kami,
memasak air itu lebih baik, sehat, karena
bisa mematikan bakteri di dalam air. Tapi
memasak air itu kan, repot. Mesti cari kayu
bakarnya terlebih dahulu, lalu
menyalakannya, dan menunggunya
masak. Kata Ibu saya yang penting airnya
suci (bersih) dan baca Bismillah saja (Doa
menyebut nama tuhan untuk
keselamatan-red). Tuhan yang
menentukan,” jelas Khofifah santai sambil
tersenyum yakin.
Di Madura, terutama di Sumenep, dapur
keluarga biasanya terpisah dari rumah
utama. Dalam dapur disediakan sebuah
tungku kayu bakar yang digunakan
sebagai tempat memasak. Memasak air
dalam wadah yang besar untuk
kebutuhan keluarga dengan
tungku-tungku tersebut memerlukan
waktu yang lama, begitu juga
mendinginkannya. Jadi memasak air
dianggap kurang praktis. Selain
kepercayaan meminum air mentah
langsung dari sumur atau bak
penampung air jauh lebih menyegarkan.
Karena langsung dari alam, demikian
menurut pemahaman keluarga
Khumairoh dan Khafifa selama ini.
Khumairoh dan Khafifa tidak sendirian
dalam hal meminum air mentah langsung
dalam wadah penampungan air atau
sumur. Menurut drg Ellya Fardasah Kepala
Puskesmas Pandian, yang juga mantan
Kepala Puskesma Kecamatan Jungke,
Kabupaten Sumenep menjelaskan,
hampir 80% dari 1,041,915 penduduk
Sumenep masih meminum air mentah.
“Kalau jaman dahulu, jaman nenek
moyang kami, dimana kondisi Madura
terutama Kecamatan Jungke- alamnya
masih baik, hutannya masih terjaga,
mungkin meminum air langsung tanpa
dimasak masih terasa segar dan murni
alami. Meski jelas minum air mentah tetap
tidak sehat. Tapi sekarang alamnya
berubah. Kesegaran dan kemurnian air di
sini saya rasa tidak lagi sama dengan
dahulu. Apalagi air yang disimpan dalam
wadah tidak ditutup. Kita tidak pernah
tahu jika ada kotoran hewan masuk dan
sebagainya. Sangat rentan dan berbahaya
meminum air mentah,” jelasnya.
Kredit Nazava untuk
kesehatan bayi
Karena itu Ellya langsung menyambut
baik ketika BPRS (Bank Pembiayaan
Syariah) Kabupaten Sumenep, Madura -
Kompor di dapur tradisional orang Madura di Sumenep,
memasak air dianggap merepotkan.
(Foto: Musfarayani)
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
28
sebuah BUMD lembaga keuangan mikro
milik pemerintah setempat mengeluarkan
produk pembiayaan Sadar Bersih. Salah
satunya produk Nazava. Setidaknya ini bisa
menjadi solusi untuk memastikan warga
bisa meminum air bersih dan sehat tanpa
harus memasak. Para kader (masyarakat
yang menjadi penyuluh kesehatan di
tingkat rumah tangga) dan bidan
dikerahkan untuk bisa memastikan semua
ibu hamil dan anak-anak bisa sadar stop
minum air mentah. Jika memasak air
mentah dirasa repot maka, Nazava bisa
menjadi jawaban bagi mereka.
Khumairoh misalnya, akhirnya langsung
terpicu kesadarannya saat memeriksa
kehamilannya di Puskesmas. Bidan yang
memeriksanya menanyakan pola makan
selama kehamilan. Sang Bidan sedikit
kaget ketika mengetahui Khumairoh
meminum air mentah di masa
kehamilannya. Ketika dijelaskan akibat
buruk yang akan terjadi jika terus menerus
meminum air mentah terlebih buat
jabang bayinya, Khumairoh pun
memutuskan untuk tidak meminum air
mentah lagi, terlebih ada solusinya juga
yang ditawarkan.
“Bidan menjelaskan bahwa air mentah itu
banyak bakteri yang bisa berakibat buruk
kepada janin. Saya ingin berhenti
meminum air mentah tapi di keluarga
kami semua tidak memasak air, terlalu
merepotkan. Ibu Bidan lalu menawarkan
ada filter air tanpa harus memasak namun
terjamin bersih dan sehat. Harganya Rp
300 ribu. Saya minta ijin suami dan
menjelaskan dia langsung setuju. Kami
memberikan cincin saya sebagai agunan
untuk bisa mengkredit Nazava. Saya ingin
anak saya tumbuh sehat dan saya ingin
mencontohkan dia hidup yang lebih baik
dan sehat,” jelas Khumairoh.
Kini di rumah keluarga besarnya hanya
keluarga kecilnya yang meminum air
bersih dan sehat melalui Nazava.
Sementara yang lainnya masih meminum
air mentah. Kecuali Pamannya, Yasin, 42,
yang ikut meminum air bersih dan sehat
melalui Nazava
“Terasa benar setelah diusia 30 tahun ke
atas. Perut lebih sering kembung, sering
sakit perut juga sekarang, karena minum
Dalam keluarga besarnya di rumah hanya Khumairoh, suami
dan sayu anak Balitanya yg tidak meminum air mentah berkat
kredit alat filter air Nazava dari BPRS Sumenep.
(Foto: Musfarayani)
air mentah. Itu dirasakan semua orang
yang minum air mentah di usianya yang
makin bertambah. Tapi begitu meminum
air yang bersih dan sehat saya sudah mulai
membaik kembali dan tidak
kembung-kembung,”jelasnya.
Nazava dikeluarkan BPRS sebagai bagian
kepedulian lembaga keuangan BUMD
Kabupaten Sumenep kepada para
nasabah yang memerlukannya. Produk ini
merupakan salah satu produk pembiayaan
Sadar Bersih. Dalam program ini para
nasabah BPRS ditawarkan tiga produk
yaitu Akses Air Bersih (Berupa tandon
penampung air), pembuatan sanitasi
(kamar mandi, toilet dan sanitasinya), seta
Nazava (filter air). Program pembiayaan ini
merupakan implementasi dari bentuk
kerjasama antara BPRS dengam Water.org
untuk program WaterCredit yang telah
ditandatangani sejak April 2016.
Diharapkan hingga Maret 2019, BPRS bisa
menyalurkan kredit Sadar Bersih ini
sebanyak 6000 orang.
(Musfarayani/Water.org Indonesia)
Media
Diskusi dan Dialog Bersama Water.org dan Media:
Isu Air Bersih dan Sanitasi Lekat Dengan Kemiskinan
“Diskusi bersama Water.Org ini telah
membawa perspektif baru untuk saya.
Biasanya media saya baru tertarik dengan isu
WASH (Water, Sanitiation and Hygiene) jika
menyangkut jumlah korban kasus diare,
banjir dan krisis air, serta demo pelanggan
terhadap PDAM karena kenaikan tarif.
Sekarang ada bantuan Kredit Jamban, kredit
air dan cerita PDAM yang berbeda. Padahal
yang kami kenal biasanya kredit motor, atau
mobil. Saya sendiri tidak pernah melihat soal
BABS (Buang Air Besar Sembarangan)
sebagai persoalan, sebab jika pulang
kampung, saya juga ikutan buang air di
kebun. Keluarga saya hingga sekarang tidak
mempunyai jamban. Suatu hal biasa saja
buat kami di kampung, dan buat saya,” jelas
Ira, wartawan Malang Pos, Jawa Timur yang
ikut sebagai peserta dalam, “Workshop dan
Dialog Media Bersama Water.org: Peran Media
dalam Akses Air Bersih yang aman dan Sanitasi
yang nyaman di Indonesia,” pada pertengahan
Mei lalu, di Malang, Jawa Timur.
Dalam diskusi lebih dalam, Ira menambahkan,
bahkan lokasi BABS di kampungnya yang
biasa digunakan warga bukanlah tempat yang
nyaman. Selain jauh, mereka harus menuju
kebun di lereng yang curam. Sejauh iniuntungnya-
memang belum ada kejadian
orang jatuh dari lereng karena BABS.
“Di desa kami sebenarnya ada bantuan toilet
umum dari pemerintah. Banyak berjajar. Tapi
tidak ada satu pun dari warga kami
menggunakannya. Hingga bangunan tersebut
tidak terurus, dan dipenuhi semak dan
akhirnya rusak,” tambah Ira.
Pengalaman yang diungkapkan Ira ini adalah
sebagai tanggapan diskusi terkait rendahnya
kesadaran masyarakat di Indonesia yang
masih BABS kendati telah diberi bantuan
dibangunnya sejumlah jamban. Salah satu
narasumber dari Sanitarian Puskesmas
Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo,
Jawa Timur, Sumarti Dwi Wahyuni
(Foto: yazid Ali)
Seri Cerita Tapak | vol 01
Mei-Juli 2017
30
menjelaskan, tidak bisa memberikan
bantuan dan mempromosikan arti jamban
sehat kepada masyarakat yang masih BABS
dan pikirannya belum terbuka. Sebagai
sanitarian yang saban hari turun ke lapangan
dan berhadapan langsung dengan
masyarakat, membuka pikiran masyarakat
agar tidak BABS itu adalah tantangan paling
besar.
Ira bukan wartawan satu-satunya yang baru
memahami isu WASH bukan lagi sekedar
soal diare, banjir dan protes pelanggan
PDAM karena biaya tarif tinggi. Dalam diskusi
dan dialog yang digelar oleh Water.org ini
juga telah membawa pemahaman bahkan
kesadaran baru tentang tata kelola air dan
sanitasi di Indonesia. Di tengah
permasalahan yang terungkap dalam diskusi
dan dialog, ternyata juga ada jalan keluar
dengan inovasi yang diungkapkan sejumlah
narasumber. Termasuk program Water.org
yang bisa menjadi alternative menjawab
persoalan kurangnya akses sanitasi dan air
bersih bagi masyarakat kurang mampu.
Diskusi ini menurut Penasihat Program
Advokasi Water.org Indonesia, Ratih
Hardjono, diharapkan bisa memperkaya
informasi dan pemahaman dalam karya
jurnalistik wartawan sehingga bisa
memberikan kedalaman informasi yang lebih
jernih dan obyektif. Diharapkan juga karya
jurnalistik mereka bisa mempengaruhi
pengambil keputusan dan juga kepedulian
public yang lebih luas.
“Peran media sangat penting dalam
memberikan pemahaman tentang duduk
soal ini. Karena air bersih dan sanitasi yang
buruk di masyarakat itu identik dengan
kemiskinan. Itu masalah serius dan mendasar
buat negara. Sayangnya tidak banyak yang
paham, dan peduli. Media bisa menjadi
pemegang peran kunci dalam mengadvokasi
ini kepada semua pihak. Bukan hanya
masyarakat tapi pengambil keputusan,” jelas
Ratih yang juga mantan wartawan senior
harian nasional berpengaruh di Indonesia,
KOMPAS.
(Foto: Ali Luthfi)
Ratih juga menambahkan media bisa
memaksimalkan perannya sebagai agen
perubahan dalam mengubah perilaku dan
juga membuka pikiran publik luas tentang
arti akses air bersih dan sanitasi yang
merupakan hak setiap orang.
“Begitu pentingnya media bagi kami dalam
isu ini. Karena itu Water.org membuka dialog,
dan juga berbagi pengetahuan, dan
pengalaman dalam rangkaian kegiatan
training. Mereka bukan hanya saling
berdialog tapi juga didekatkan dengan
narasumber yang relevan yang mungkin
selama ini tidak pernah diketahui
mempunyai peran penting dalam
mengubah perilaku sanitasi masyarakat.
Mereka juga akan dibawa ke lapangan
langsung untuk melihat praktek cerdas dan
pembelajaran, serta inovasi sebagai solusi
praktis, misalnya. Hal ini bisa memperdalam
dan meningkatkan kekritisan mereka dalam
karya jurnalistiknya, sehingga bisa membuka
pemikiran semua pihak terkait yang
membaca atau menontonnya,” tambah
Ratih.
Sejauh ini sudah ada sekitar 60 wartawan
dari wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur mengikuti rangkaian kegiatan ini
bersama Water.org. Kegiatan ini akan
dirangkai dengan training, dan workshop
penulisan juga kompetisi jurnalitik.
(Musfarayani/Water.org Indonesia)
You will never solve poverty
without solving water and sanitation.
Matt Damon, Co-Founder Water.org.
www.water.org
Water.org Indonesia office
Ratu Plaza Office Tower, Lantai 26,
Jl. Jend. Sudirman Kav 9
Jakarta Selatan, 10270 Indonesia
Telephone : (62 21) 2751 3630
(62 21) 2751 3631
@water
Water.org
email : Indonesia@water.org Water
Water.org
Water.org
Waterdotorg