Kajian Kelembagaan Pemerintah Dan Social Capital Dalam Pencapaian Overstock Beras Di Sulawesi Selatan
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH<br />
DAN SOCIAL CAPITAL DALAM<br />
PENCAPAIAN OVERSTOCK BERAS DI<br />
SULAWESI SELATAN<br />
BALITBANGDA PROVINSI SULAWESI SELATAN<br />
2017<br />
1
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH<br />
PROVINSI SULAWESI SELATAN<br />
KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH DAN SOCIAL CAPITAL<br />
DALAM PENCAPAIAN OVER STOCK BERAS DI SULAWESI<br />
SELATAN<br />
TAHUN 2017<br />
2
KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH DAN SOCIAL CAPITAL DALAM<br />
PENCAPAIAN OVERSTOCK BERAS DI SULAWESI SELATAN<br />
Tim Peneliti :<br />
1. Dr. M. Iqbal S. Suhaeb, SE, MT : Pengarah<br />
2. Hj. Sitti Johar, SH, MH : Ketua<br />
3. Dr. Rosma Tami, MSc, MA : Anggota<br />
4. Dr. Muh. Ridwan : Anggota<br />
5. Huri Ali Hasan, PhD : Anggota<br />
6. Alsry Mulyani, SE, M.Si : Anggota<br />
7. Munawar Arief, ST : Anggota<br />
8. Dr. Rahman Abu, M.Si : Anggota<br />
<strong>Di</strong>terbitkan oleh :<br />
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH<br />
(BALITBANGDA)<br />
PROVINSI SULAWESI SELATAN<br />
Cetakan Pertama, Desember 2017<br />
Hak Cipta @2017<br />
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang<br />
<strong>Di</strong>larang Mengutip atau Menyebarluaskan Sebagian<br />
Atau Seluruh Isi Buku tanpa izin tertulis dari Penerbit<br />
ISBN :<br />
3
KATA PENGANTAR<br />
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah<br />
melimpahkan Rahmat, Taufiq dan Hidayah-Nya sehingga buku “<strong>Kajian</strong><br />
<strong>Kelembagaan</strong> <strong>Pemerintah</strong> dan <strong>Social</strong> <strong>Capital</strong> dalam <strong>Pencapaian</strong> Over Stock<br />
<strong>Beras</strong> di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>” dapat selesai dengan baik.<br />
<strong>Kajian</strong> ini merupakan salah satu pendukung pelaksanaan Agenda<br />
Pembangunan Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yaitu Program Pembangunan dan<br />
Pengembangan Pertanian dengan tujuan untuk peningkatan pertumbuhan<br />
pada sektor pertanian yang dapat memberi dampak langsung pada<br />
peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat secara umum.<br />
<strong>Dalam</strong> kajian ini ditunjukkan bahwa pada dasarnya produksi<br />
pertanian memiliki keterkaitan dengan indicator makro ekonomi, seperti<br />
pertumbuhan ekonomi, inflasi, pendapatan per kapita, tingkat kemiskinan,<br />
dan pengangguran.<br />
Kami menyadari bahwa kajian ini dapat terselesaikan atas bantuan<br />
dari banyak pihak, oleh karena itu tak lupa kami ucapkan terima kasih<br />
kepada pihak yang telah membantu mulai dari tahap persiapan sampai<br />
dengan penerbitan buku.<br />
Semoga hasil kajian yang telah dilakukan Balitbangda Provinsi<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>mendapat berkah dari Allah SWT, dan dapat bermanfaat<br />
dalam pengembangan produksi pertanian di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> kedepan.<br />
Makassar, Desember 2017<br />
Kepala Badan,<br />
DR. M. IQBAL S. SUHAEB, SE, MT<br />
Pangkat : Pembina Utama Madya<br />
NIP. : 19660902 198810 1 001<br />
4
ABSTRAK<br />
Dr. M. Iqbal S. Suhaeb, SE, MT., Hj. Sitti Johar, SH, MH., Dr. Rosma<br />
Tami, M.Sc., Dr. Muh. Ridwan, Hurriah Ali Hasan, PhD., Alsry Mulyani, SE,<br />
M.Si., Munawar Arif, ST., Dr. Rahman Abu, MSi., <strong>Kajian</strong> <strong>Kelembagaan</strong><br />
<strong>Pemerintah</strong> dan <strong>Social</strong> <strong>Capital</strong> dalam <strong>Pencapaian</strong> Over Stock <strong>Beras</strong> di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
<strong>Kajian</strong> ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemerintah<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang berkaitan dengan kebijakan pangan, mengetahui<br />
kontribusi sektor pertanian <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terhadap pembangunan sektor<br />
pertanian nasional dan menganalisis tingkat akselarasi pertumbuhan sektor<br />
pertanian dibandingkan dengan akselarasi yang terjadi secara nasional,<br />
serta menganalisis strategi pembangunan pangan dan proses input-output<br />
produksi pertanian.<br />
<strong>Kajian</strong> ini dilakukan dengan pendekatan deskritif kualitatif,<br />
menggunakan data sekunder selama 10 (sepuluh) tahun terakhir, yang<br />
tersedia pada lembaga-lembaga resmi seperti : BPS, Kementerian Pertanian<br />
Republik Indonesia, atau data-data yang tersedian pada pemerintah<br />
daerah. Untuk memperkuat data sekunder dilakukan diskusi/wawancara<br />
dengan petani, kelompok tani atau stakeholders lain yang terlibat dalam<br />
pembangunan pertanian di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
Hasil kajian menunjukkan bahwa kesediaan pangan utamanya beras<br />
harus dipertahankan karena saat ini dunia sedang menghadapi dua krisis<br />
besar : energy dan pangan, hal ini akan berlanjut terus dan penyebabnya<br />
ada beberapa faktor : Pertama, terjadi penambahan jumlah penduduk (50<br />
tahun yang lalu jumlah penduduk dunia berkisar 3 milyar lebih, 50 tahun<br />
yang akan datang jumlah penduduk dunia akan bertambah terus hingga 9<br />
milyar). Dengan bertambahnya penduduk maka kebutuhan akan pangan<br />
dan energy akan meningkat pula, bahkan berbanding lurus atau melebihi<br />
akselarasi pertumbuhan jumlah penduduk. Kedua, akibat eksploitasi yang<br />
5
erlebihan terhadap natural resources (sumberdaya alam), karena<br />
kebutuhan manusia yang terus meningkat maka terjadi kerusakan<br />
lingkungan. Bersamaan dengan terjadinya kerusakan lingkungan, terjadi<br />
pula konversi lahan dari lahan pertanian untuk kepentingan lainnya dalam<br />
jumlah yang cukup besar. Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain<br />
menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan<br />
swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan yang terjadi pada<br />
masyarakat masih sulit dikendalikan, terutama yang terjadi pada daerahdaerah<br />
dekat dengan pusat pengembangan perkotaan dan bisnis. <strong>Dan</strong> lebih<br />
parah karena sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi tersebut<br />
justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi - sangat tinggi.<br />
Daerah-daerah seperti Kabupaten Maros, Gowa dan Takalar dikonversi<br />
menjadi lahan perumahan, kawasan industri atau pembangunan lainnya.<br />
Melihat semakin tidak terkendalinya konversi lahan pertanian, ada<br />
3 alternatif kebijakan yaitu : kebijakan pengendalian melalui otoritas<br />
sentral, pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru, dan<br />
pembangunan kemampuan kolektif masyarakat tani setempat dalam<br />
mengendalikan konversi lahan sawah. Model terakhir apabila difasilitasi<br />
dengan baik diharapkan dapat memperkuat capital sosial yang ada pada<br />
masyarakat karena munculnya rasa kebersamaan identitas san kepemilikan.<br />
Salah satu dampak konversi lahan yang sering mendapat sorotan<br />
masyarakat luas adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan<br />
salah satu tujuan pembangunan nasional. (Irawan, 2005).<br />
6
DAFTAR ISI<br />
DAFTAR ISI 3<br />
I. PENDAHULUAN ....................................................................................................... 15<br />
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 15<br />
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................. 16<br />
1.3 Tujuan ................................................................................................................................... 16<br />
1.4 Kerangka Teoritik .................................................................................................................. 17<br />
1.4.1 Sektor Pertanian dan PDB ....................................................................................... 17<br />
1.4.2 Kontribusi Pertanian dalam Pembangunan ............................................................. 18<br />
1.4.3 Faktor Pembangunan Pertanian .............................................................................. 20<br />
1.4.4 Kendala Sektor Pertanian di Sulsel ........................................................................... 24<br />
1.5 Kerangka ikir ......................................................................................................................... 26<br />
1.6. Metodologi .......................................................................................................................... 27<br />
1.6.1 Pendekatan .............................................................................................................. 27<br />
1.6.2 Koleksi Data ............................................................................................................. 27<br />
1.6.3 Pengolahan Data ...................................................................................................... 28<br />
1.6.4 Alur Rencana Kegiatan ............................................................................................. 28<br />
1.6.5 Jadwal Pelaksanaan.................................................................................................. 29<br />
II. SULSEL SEBAGAI CENTER POINT OF INDONESIA MEMPERKENALKAN POTENSI<br />
SULSEL) ................................................................................................. 31<br />
2.1 Karakteristik lokasi dan Wilayah ........................................................................................... 31<br />
2.1.1 Kondisi Topografi ..................................................................................................... 32<br />
2.1.2. Geologi .................................................................................................................... 35<br />
2.1.3 Hidrologi ................................................................................................................... 35<br />
2.1.4 Klimatologi ............................................................................................................... 36<br />
2.1.5. Potensi Pengembangan Wilayah............................................................................. 37<br />
2.1.6 Demografi ................................................................................................................ 52<br />
2.2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat ........................................................................................ 54<br />
2.2.1 Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi...................................................... 54<br />
2.2.2 Kemiskinan ............................................................................................................... 59<br />
2.3 Analisis Daya Saing Provinsi-Provinsi <strong>Di</strong> Indonesia ............................................................... 69<br />
2.3.1 Daya Saing Keseluruhan Provinsi di Indonesia ......................................................... 69<br />
2.4. Mengapa Sulsel Harus Over Stock <strong>Beras</strong> ............................................................................. 74<br />
2.5. Perdebatan Tentang Subsidi ................................................................................................ 89<br />
2.6. Tata Kelola <strong>Pemerintah</strong>an Tentang Pangan ........................................................................ 92<br />
7
III. DATA DAN FAKTA PANGAN SULSEL ........................................................................... 97<br />
3.1 Jenis Komoditas .................................................................................................................... 97<br />
3.1.1 Padi .......................................................................................................................... 97<br />
3.1.2 Jagung .................................................................................................................... 111<br />
3.1.3 Kedelai ................................................................................................................... 122<br />
3.1.4 Kacang Hijau .......................................................................................................... 131<br />
3.1.5 Kacang Tanah ......................................................................................................... 140<br />
3.1.6 Ubi Kayu ................................................................................................................. 149<br />
3.1.7 Ubi Jalar ................................................................................................................. 158<br />
3.2 Benih dan Luas Penangkaran.............................................................................................. 168<br />
3.2.1 Kedelai ................................................................................................................... 168<br />
3.2.2 Jagung .................................................................................................................... 169<br />
3.2.3 Padi ........................................................................................................................ 170<br />
3.3 Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) ................................................................................... 171<br />
3.3.1 Kios Penyalur Saprotan .......................................................................................... 171<br />
3.3.2 Traktor Roda-2 ....................................................................................................... 173<br />
3.3.3 Traktor Roda-4 ....................................................................................................... 175<br />
3.3.4 Combine Harvester ................................................................................................ 175<br />
IV. KEKUATAN MODAL SOCIAL DAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT ................................... 177<br />
4.1 Membangun Integrasi Stake Holders & Transformasi Pertanian ................................... 180<br />
4.2 Transformasi <strong>Kelembagaan</strong> Pedesaan ............................................................................... 182<br />
4.3 <strong>Kelembagaan</strong> <strong>Dalam</strong> Perspektif Sosiologi .......................................................................... 183<br />
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 185<br />
8
DAFTAR TABEL<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tahun 2008-2016 ......................................................... 53<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp) ................................................................ 55<br />
<strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp) ............................................................................... 56<br />
<strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp) .............................................................................. 57<br />
Tabel 2.1 Pertumbuhan Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota<br />
Tabel 2.2 Perkembangan PDRB, dan Pertumbuhan Ekonomi .................................. 54<br />
Tabel 2.3 Perkembangan PDRB ADHB Menurut Lapangan Usaha<br />
Tabel 2.4 Perkembangan PDRB ADHB Menurut Pengeluaran <strong>Sulawesi</strong><br />
Tabel 2.5 Perkembangan PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha <strong>Sulawesi</strong><br />
Tabel 2.6 Perkembangan PDRB ADHK Menurut Pengeluaran <strong>Sulawesi</strong><br />
Tabel 2.7<br />
<strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp) ............................................................................... 58<br />
Perkembangan Angka Kemiskinan (P0), Indeks Kedalaman<br />
Kemiskinan (P1), dan Indeks Kesenjangan Kemiskinan (P2)<br />
Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Tahun 2011-2016 ........................................... 61<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ................................................................................... 65<br />
Tabel 2.11. Keragaan Lahan menurut Jenisnya ......................................................... 79<br />
Tabel 2.8. Status Daerah Irigasi Kewenangan <strong>Pemerintah</strong> Provinsi<br />
Tabel 2.9 Capaian Kinerja Jaringan Irigasi Provinsi ................................................. 67<br />
Tabel 2.10 Capaian Layanan Jaringan Irigasi Provinsi ............................................... 68<br />
Menurut Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha).............................................. 97<br />
Kabupaten/kota 2008-2016 (Ton) ....................................................... 102<br />
Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha).......................................................... 111<br />
Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton) ....................................................... 116<br />
Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Kui/ha) ................................................... 119<br />
Tabel 3-1. Keragaan Luas Panen Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Tabel 3.2 Keragaan Produksi Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> menurut<br />
Tabel 3.4. Keragaan Luas Panen Jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Tabel 3.5. Keragaan Produksi Jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Tabel 3.6. Keragaan Produktivitas Jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
9
Tabel 3.7. Keragaan Luas Panen Kedelai di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha) ......................................................... 122<br />
Tabel 3.8. Keragaan Produksi Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota , 2008-2016, (Ton) ..................................................... 125<br />
Tabel 3.9. Keragaan Produktivitas Kedelai Sulsel Menurut<br />
Kabupaten/kota 2008-2016, (Kui/ha) ................................................... 128<br />
Tabel 3.10. Keragaan Luas Panen Komoditas Kacang Hijau di Sul Sel<br />
Menurut Kab/kota 2008-2016 (Ha) ...................................................... 131<br />
Tabel 3.11. Keragaan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton)....................................................... 134<br />
Tabel 3.12. Keragaan Produktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kab./kota 2008-2016, (Kui/ha)............................................................. 137<br />
Tabel 3.13. Keragaan Luas Panen Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ha)......................................................... 140<br />
Tabel 3.14. Keragaan Produksi Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton)....................................................... 143<br />
Tabel 3.15 Keragaan Produktivitas Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kab Kota, 2008-2016 (Kui/ha) ................................................ 146<br />
Tabel 3.16. Keragaan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota, 2008-2016, (ha) ........................................................ 149<br />
Tabel 3.17<br />
Keragaan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ton) ........................................................ 152<br />
Tabel 3.18. Keragaan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kab/Kota 2008-2016, (Kui/ha) ............................................................. 155<br />
Tabel 3.19. Keragaan Luas Panen Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota (2008-2016) .............................................................. 158<br />
Tabel 3.20. Keragaan Produksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota (2008-2016) (Ton) ...................................................... 161<br />
Tabel 3.21. Keragaan Produktivitas Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota (2008-2016) (Kui/ha) ................................................. 164<br />
Tabel 3.22. Jumlah Kios Penyalur Saprotan Menurut Lokasi (Unit)........................... 171<br />
10
Tabel 3.23. Realisasi Penyaluran Traktor roda-2, Menurut Lokasi 2008-<br />
2016 ................................................................................................... 173<br />
Tabel 3.24. Realisasi Penyaluran Bantuan Traktor Roda 4 (Unit) ............................. 175<br />
Tabel 3.25 Realisasi Penyaluran Combine Harvester (Unit) ..................................... 175<br />
11
DAFTAR GRAFIK<br />
Grafik 2.1 Perkembangan jumlah penduduk bumi dari tahun 1800<br />
hingga perkiraan tahun 2050 ..................................................................... 76<br />
Grafik 3.1 Keadaan Luas Panen Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-2016)<br />
(Ha) ........................................................................................................... 100<br />
Grafik 3.2. Tingkat Pertumbuhan Luas Panen Sulsel dan Nasional (%) ..................... 101<br />
Grafik 3.3. Trend dan Keragaan Produksi Padi Sulsel ................................................ 105<br />
Grafik 3.4. Tingkat Pertumbuhan Produksi Padi Sulsel dan Nasional ........................ 106<br />
Grafik 3.5. Produktivitas Padi Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ........................................... 108<br />
Grafik 3.6.<br />
Produktivitas Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dibandingkan<br />
dengan Produktivitas Nasional (Sumber: Kementan RI, diolah) .............. 109<br />
Grafik 3.7. Pertumbuhan Produktivitas Padi Sulsel dan Nasional ............................. 110<br />
Grafik 3.8. Keragaan Luas Panen Jagung Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> .......................... 114<br />
Grafik 3.9. Pertumbuhan Luas Panen Jagung Sulsel dan Nasional ............................ 115<br />
Grafik 3.10. Trend dan Volume Produksi Jagung <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (ton) .................... 117<br />
Grafik 3.11. Pertumbuhan Produksi Jagung Sulsel dan Nasional (%) .......................... 118<br />
Grafik 3.12. Trend dan Produktivitas Komoditas Jagung <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
2008-2016 ................................................................................................ 120<br />
Grafik 3.13<br />
Tingkat Pertumbuhan Produktivitas Jagung di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> dan nasional (%) .......................................................................... 121<br />
Grafik 3.14. Luas Panen Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> .......................................................... 123<br />
Grafik 3.15. Pertumbuhan Luas Panen Kedelai Sulsel dan Nasional ............................... 124<br />
Grafik 3.16. Produksi Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ............................................................... 126<br />
Grafik 3.17. Pertumbuhan Produksi Kedelai Sulsel dan Nasional ................................... 127<br />
Grafik 3.18. Keragaan Produktivitas Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ....................................... 129<br />
Grafik 3.19. Pertumbuhan Produktivitas Kedelai Sulsel dan Nasional ............................ 130<br />
Grafik 3.20. Keragaan Luas Panen Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.................................. 132<br />
Grafik 3.21. Pertumbuhan Luas Panen Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />
Nasional .................................................................................................... 133<br />
Grafik 3.22. Keragaan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ...................................... 135<br />
Grafik 3.23.<br />
Pertumbuhan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />
Nasional .................................................................................................... 136<br />
12
Nasional .................................................................................................... 139<br />
Nasional .................................................................................................... 151<br />
Nasional .................................................................................................... 154<br />
2016) ........................................................................................................ 156<br />
Nasional .................................................................................................... 157<br />
Nasional .................................................................................................... 164<br />
2016) ........................................................................................................ 166<br />
(2009-2016) .............................................................................................. 167<br />
(Ton) di Sulsel 2008-2016 ......................................................................... 168<br />
Sulsel Tahun 2008-2016 ........................................................................... 169<br />
Grafik 3.24. ................................. Keragaan Produktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.25. Pertumbuhan Produktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />
Grafik 3.26. Keragaan Luas Panen Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ............................ 141<br />
Grafik 3.27. Pertumbuhan Luas Panen Kacang Tanah Sulsel dan Nasional ................. 142<br />
Grafik 3.28. Keragaan Produksi Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ................................ 145<br />
Grafik 3.29. Pertumbuhan Produksi Kacang Tanah Sulsel dan Nasional ..................... 145<br />
Grafik 3.30. Keragaan Produktivitas Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ......................... 147<br />
Grafik 3.31. Pertumbuhan Produktivitas Kacang Tanah Sulsel dan Nasional .............. 148<br />
Grafik 3.32 Keragaan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> .................................... 150<br />
Grafik 3.33. Pertumbuhan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />
Grafik 3.34. Keragaan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ......................................... 153<br />
Grafik 3.35. Pertumbuhan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />
Grafik 3.36 Keragaan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-<br />
Grafik 3.37. Pertumbuhan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />
Grafik 3.38. Keragaan Luas Panen Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-2016) ................ 159<br />
Grafik 3.39. Pertumbuhan Luas Panen Ubi Jalar Sulsel dan Nasional ......................... 160<br />
Grafik 3.40. Keragaan Produksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-2016) ................... 163<br />
Grafik 3.41. Pertumbuhan Produksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />
Grafik 3.42. Keragaan Produktivitas Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-<br />
Grafik 3.43. Pertumbuhan Produktivitas Ubi Jalar Sulsel dan Nasional<br />
Grafik 3.44. Keragaan Luas Penangkaran (Ha) dan Produksi Benih Kedelai<br />
Grafik 3.45. Keragaan Luas Penangkaran dan Produksi Benih Jagung di<br />
13
Grafik 3.46. Keragaan Luas Penangkaran (ha) dan Produksi Benih (Ton) Padi<br />
di Sulsel 2008-2016 .................................................................................. 170<br />
Grafik 3.47. Realisasi Kios Penyalur Saprotan <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-<br />
2016) ......................................................................................................... 172<br />
Grafik 3.48. Realisasi Penyaluran Alsintan Jenis Traktor Roda-2, Sulsel<br />
(2008-2016) .............................................................................................. 174<br />
Grafik 4.1 Kerangka logis pencapaian overstock pangan ......................................... 178<br />
14
1.1 Latar Belakang<br />
I. PENDAHULUAN<br />
Pembangunan pertanian di provinsi Sulsel selama satu dekade<br />
terakhir ini menunjukkan perkembangan yang sangat dinamis. Produksi dan<br />
produktivitas tanaman pangan khususnya (padi) mengalami peningkatan<br />
yang signifikan hingga lebih dari 300 persen. Pada tahun 2008, beras di<br />
Sulsel sebesar 800 ribu ton, meningkat menjadi 2,4 juta ton pada 2016.<br />
Komoditi sektor pertanian yang lain juga mengalami pertumbuhan yang<br />
jauh di atas rata-rata nasional.<br />
Pertumbuhan pada sektor pertanian, memberi dampak langsung<br />
pada peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat secara umum.<br />
Grafik produksi pertanian memiliki keterkaitan dengan indikator makro<br />
ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, pendapatan per kapita,<br />
tingkat kemiskinan, dan pengangguran.<br />
Namun kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dan PDB di<br />
Sulsel cenderung mengalami penurunan. Kontribusi sektor non pertanian<br />
seperti konstruksi, jasa, industri pengolahan, justru mengalami kenaikan<br />
dari tahun ke tahun. Demikian juga jumlah rumah tangga petani dari waktu<br />
ke waktu mengalami penurunan. Sektor pertanian meskipun mengalami<br />
pertumbuhan yang cukup baik, akan tetapi tidak menjadi sektor yang<br />
digandrungi oleh pencari kerja, terutama tenaga kerja yang memiliki tingkat<br />
pendidikan SMA ke atas.<br />
Infrastruktur sektor pertanian seperti irigasi, bendungan, dan jalan<br />
tani misalnya, selama 20 tahun terakhir tidak menunjukkan penambahan<br />
jumlah maupun perbaikan yang memadai. Demikian juga input pertanian<br />
seperti sarana produksi yang bersumber dari pemerintah seperti: pupuk,<br />
pestisida, bibit, mekanisasi pertanian (untuk pengolahan lahan, panen dan<br />
15
pasca panen) tidak menunjukkan perkembangan yang selaras dengan<br />
pertumbuhan yang dicapai oleh petani.<br />
Masalah kelembagaan pertanian adalah salah satu faktor yang bisa<br />
menghambat pertumbuhan sektor pertanian. <strong>Kelembagaan</strong> pertanian baik<br />
pada tingkat rumah tangga petani, kelompok tani, maupun pada tingkat<br />
gabungan kelompok tani tidak mengalami perkembangan yang dinamis,<br />
bahkan kencenderungannya stagnan. Lemahnya fungsi kelembagaan ini<br />
lebih disebabkan karena semakin melemahnya kohesi sosial, dan<br />
menurunnya solidaritas sosial masyarakat tani.<br />
1.2 Rumusan Masalah<br />
Berdasarkan kondisi aktual dan data empirik sektor pertanian di<br />
Sulsel, maka permasalahan pertanian di Sulsel 16dapat dirumuskan sebagai<br />
berikut:<br />
1) Mengapa kebijakan pemerintah Sulsel memilih Pangan sebagai salah<br />
satu kebijakan utama?<br />
2) Bagaimana perkembangan dan akselerasi pertumbuhan sektor<br />
pertanian (pangan) di Sulsel?<br />
3) Bagaimana strategi pemerintah Sulsel mewujudkan Over stock beras<br />
(pangan).<br />
1.3 Tujuan<br />
Mengacu pada rumusan masalah tersebut di atas, maka kajian ini<br />
bertujuan untuk:<br />
1) Menganalisis kebijakan pemerintah Sulsel yang berkaitan dengan<br />
kebijakan pangan.<br />
2) Mengetahui kontribusi sektor pertanian Sulsel terhadap pembangunan<br />
sektor pertanian nasional, dan menganalisis tingkat akselerasi<br />
16
pertumbuhan sektor pertanian, dibandingkan dengan akselerasi yang<br />
terjadi secara nasional.<br />
3) Menganalisis strategi pembangunan pangan dan proses input-output<br />
produksi pertanian, dan mengetahui peranan kelembagaan dan aktor<br />
yang beroperasi pada sektor pertanian.<br />
1.4 Kerangka Teoritik---Bab 2<br />
1.4.1 Sektor Pertanian dan PDB<br />
Secara umum, sektor pertanian masih menjadi pemicu<br />
pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan penurunan<br />
kemiskinan. Pertumbuhan pertanian akan meningkatkan laju pertumbuhan<br />
pendapatan daerah bruto (PDB). Peran sektor pertanian dan Perkembangan<br />
Sektor Pertanian Indonesia sangat diperlukan dalam upaya menurunkan<br />
kemiskinan. Data PBB menyatakan bahwa pada daerah pedesaan di negara<br />
berkembang terdapat sekitar 1 milyar penduduk dari 1,2 milyar penduduk<br />
hidup dalam kemiskinan absolut (absolute poverty). Selain membutuhkan<br />
sumber daya finansial, sektor pertanian juga memerlukan teknologi maju<br />
dan infrastruktur. <strong>Di</strong>skriminasi pemerintah terhadap sektor pertanian akan<br />
menghalangi keseluruhan pembangunan. Transformasi Pertanian<br />
mengemukakan bahwa keberhasilan sektor pertanian bukan hanya alat bagi<br />
pembangunan, tetapi keberhasilan di sektor pertanian juga menjadi tujuan<br />
dari pembangunan. Karena sektor pertanian dapat menjamin penyediaan<br />
kebutuhan milyaran penduduk di masa depan.<br />
Beberapa isu yang berkaitan dengan transformasi sektor pertanian<br />
antara lain; 1. Peningkatan produktivitas pertanian; 2. Penggunaan sumber<br />
daya yang dihasilkan untuk pembangunan di luar sektor pertanian; 3.<br />
Integrasi pertanian dengan ekonomi nasional melalui infrastruktur dan<br />
pasar.<br />
17
1.4.2 Kontribusi Pertanian dalam Pembangunan<br />
Pembangunan Pertanian memiliki kontribusi yang sangat besar<br />
kepada pembangunan. Kontribusi pertanian tersebut meliputi: 1.<br />
Meningkatkan ketahanan pangan (persediaan makanan). 2. Perolehan nilai<br />
tambah atau pendapatan dari ekspor. 3. Pertukaran tenaga kerja ke sektor<br />
industri. 4. Pembentukan modal bagi masyarakat kelas menengah kebawah.<br />
5. Kebutuhan akan barang-barang pabrikan.<br />
<strong>Dalam</strong> analisis klasik dari Kuznets (1964), pertanian di LDCs dapat<br />
dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat<br />
bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pengembangan ekonomi<br />
nasional, yaitu sebagai berikut: (i) Ekspansi sektor-sektor ekonomi lain<br />
sangat tergantung pada produk- produk dari sektor pertanian, bukan saja<br />
untuk suatu kelangsungan pertumbuhan suplai makanan mengikuti<br />
pertumbuhan penduduk. (ii) Karena bias agraris yang sangat kuat dari<br />
ekonomi selama tahp awal proses pembangunan ekonomi. (iii) Karena<br />
pentingnya pertanian secara relative menurun dengan pertumbuhan dan<br />
pembangunan ekonomi. (iv) Sektor pertanian mampu berperan sebagai<br />
sumber penting bagi surplus neraca perdagangan atau neraca pembayaran.<br />
1. Kontribusi produk. Kontribusi produk dari pertanian dapat dilihat dari<br />
relasi antara pertumbuhan pangsa PDB dari sektor tersebut dengan<br />
pangsa awalnya dan laju pertumbuhan relatif dari produk-produk neto<br />
pertanian dan non pertanian. <strong>Di</strong> dalam system ekonomi terbuka,<br />
besarnya kontribusi produk dari sektor pertanian, baik lewat pasar<br />
maupun lewat keterkaitan produksi dengan sektor-sektor<br />
nonpertanian, misalnya industri manufaktur, juga sangat dipengaruhi<br />
oleh kesiapan sektor itu sendiri dalam menghadapi persaingan dari luar<br />
(tingkat daya saingnya).<br />
18
2. Kontribusi Pasar. Negara agraris dengan proporsi populasi pertanian<br />
(petani dan keluarganya) yang besar, seperti Indonesia, merupakan<br />
sumber yang sangat penting bagi pertumbuhan pasar domestik bagi<br />
sektor-sektor non-pertanian, khususnya industri manufaktur.<br />
Namun, peranan sektor pertanian lewat kontribusi pasarnya<br />
terhadap diversifikasi dan pertumbuhan output dari sektor- sektor nonpertanian,<br />
sangat tergantung pada dua faktor penting yang dapat<br />
dianggap sebagai prasyarat, yaitu: 1. Dampak dari keterbukaan<br />
ekonomi dimana pasar domestik tidak hanya diisi oleh barang-barang<br />
buatan dalam negeri, tetapi juga barang-barang impor. 2. Jenis<br />
teknologi yang digunakan disektor pertanian yang menentukan tinggi<br />
rendahnya tingkat mekanisasi atau modernisasi dari sektor tersebut.<br />
3. Kontribusi Faktor-faktor Produksi. Ada dua faktor produksi yang dapat<br />
dialihkan dari sektor pertanian ke sektor-sektor non-pertanian, tanpa<br />
harus mengurangi volume produksi (produktivitas) di sektor pertanian,<br />
pertama adalah tenaga kerja dan kedua adalah modal. Market Surplus<br />
di sektor pertanian bisa menjadi salah satu sumber modal bagi investasi<br />
di sektor-sektor lain. untuk mendapatkan market surplus, kinerja sektor<br />
pertanian itu sendiri harus baik, dalam arti bisa menghasilkan surplus.<br />
Faktor yang sangat ditentukan oleh kekuatan sisi suplainya (teknologi,<br />
infrastruktur, dan sumber daya manusia) dan dari sisi permintaan<br />
(pasar) oleh nilai tukar antara produk pertanian dan produk nonpertanian,<br />
baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.<br />
4. Kontribusi Devisa. Kontribusi sektor pertanian di suatu negara terhadap<br />
peningkatan devisa terjadi melalui peningkatan ekspor dan atau<br />
pengurangan impor Negara tersebut untuk komoditi-komoditi<br />
pertanian. Akan tetapi peranan sektor pertanian dalam peningkatan<br />
devisa bisa dikontradiksi dengan peranannya dalam bentuk kontribusi<br />
produk. Dengan kata lain, usaha Agroteknologi.web.id Sumber<br />
Informasi Pertanian Indonesia peningkatan ekspor pertanian bisa<br />
19
erakibat negatif terhadap pasokan pasar dalam negeri, atau<br />
sebaliknya, usaha memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri bisa<br />
menjadi suatu faktor penghambat bagi pertumbuhan ekspor pertanian.<br />
1.4.3 Faktor Pembangunan Pertanian<br />
Perlu kita ketahui mengapa sektor pertanian ini perlu<br />
dikembangkan dan dimajukan di Sulsel. <strong>Di</strong>sebabkan oleh beberapa faktor<br />
yaitu:<br />
a. Potensi sumber daya yang sangat besar<br />
Sulsel memiliki faktor iklim yang sangat mempengaruhi faktor<br />
terbentuk dan tumbuh suburnya setiap tanaman. Iklim di Sulsel yang cukup<br />
dalam memperoleh sinar matahari sepanjang tahun, mempengaruhi<br />
tumbuh suburnya setiap tanaman dengan mudah. Potensi yang demikian<br />
membuat wilayah Sulsel mendapat julukan sebagai “Kolam Susu” dimana<br />
setiap tangkai maupun bibit yang ditanam diwilayah Sulsel selalu tumbuh<br />
subur dan menghasilkan uang.<br />
b. Pangsa Pasar Terhadap Pendapatan Nasional Cukup Besar<br />
Bisa dikatakan tidak banyak orang yang tahu dan paham bahwa<br />
sektor pertanian menaruh keuntungan yang cukup besar pada PDB negara<br />
dan banyak yang beranggapan bahwa sektor pertanian hanya sektor<br />
sampingan yang tidak perlu terlalu diperhatikan. Meskipun hanya memberi<br />
(40-an ???) bagi PDB tiap tahunnya, sektor ini menjadi barang komoditi<br />
yang paling dicari oleh masyarakat karena menjadi kebutuhan primer dalam<br />
pemenuhan kebutuhan pangan yaitu menjadi kebutuhan sehari-hari dan<br />
tidak boleh habis stoknya karena bisa berdampak fatal bagi pemenuhan<br />
kebutuhan masyarakat. Karena bila terjadi suatu kesalahan yang tidak<br />
terencana penyediaannya atau habis di dalam negeri sendiri kita bisa<br />
kerepotan untuk mengimpor dari negara luar. Oleh sebab itu sektor<br />
20
pertanian harus diperhatikan lebih baik karena menjadi faktor primer dalam<br />
pemenuhan kebutuhan dan seharusnya sebagai negara yang terletak di<br />
wilayah tropis kita harus bisa memanfaatkan keadaan alam yang ada<br />
dengan meningkatkan hasil produksi dari sektor pertanian ini karena selain<br />
bermanfaat sebagai pemenuh kebutuhan setiap keluarga bisa menjadi<br />
sektor yang amat menguntungkan apabila dibawa ke pangsa pasar dan<br />
dilihat pada pangsa pasar yang lebih luas.<br />
c. Peranan Petani <strong>Dalam</strong> Penyediaan Pangan Masyarakat.<br />
Petani tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan masyarakat.<br />
Mengapa demikian karena petani menjadi pemasok setiap kebutuhan<br />
pangan dari setiap anggota keluarga dalam pemenuhan kebutuhan<br />
pokoknya sehari- hari. Tanpa adanya petani manusia tentu tidak dapat<br />
memenuhi kebutuhannya bahkan harus mengimpor barang- barang pangan<br />
dari luar. Namun di beberapa negara besar seperti Arab yang sering<br />
mengimpor hasil pertanian ke dalam negaranya, kurang memanfaatkan<br />
peranan dari petaninya bukan dikarenakan faktor ketidaksediaan modal<br />
melainkan faktor ketidakmampuann dari segi tanah dan iklim mereka untuk<br />
bercocoktanam, sehingga sektor pertanian kurang berkembang di negaranegara<br />
Timur Tengah.<br />
d. Menjadi Basis Pertumbuhan Ekonomi.<br />
Sektor pertanian menjadi salah satu dari unsur-unsur yang mengisi<br />
pertumbuhan perekonomian di setiap negara. <strong>Di</strong> negara-negara Arab<br />
sekalipun, yang wilayah lahannya tidak memungkinkan untuk melakukan<br />
kegiatan bercocok tanam namun sektor perekonomian menjadi salah satu<br />
unsur pengisi basis pertumbuhan perekonomian di negaranya misalnya<br />
dengan membudidayakan tanaman kurma yang nilai komoditinya cukup<br />
besar dalam pengeksporan ke seluruh negara termasuk ke Indonesia.<br />
Dengan kata lain sektor pertanian meski hanya menyumbang tidak sampai<br />
dari ¼ pendapatan negara tetapi menjadi penopang terhadap pendapatan<br />
21
dari setiap negara terutama di Indonesia yang tiap tahunnya mengekspor<br />
biji mete, beras, dan berbagai bahan pokok lainnya dalam pangan menjadi<br />
pemasukan devisa negara tiap tahunnya.<br />
Menurut laporan BPS, sektor ekonomi yang menunjukkan nilai<br />
tambah bruto terbesar dalam PDB berdasarkan harga berlaku triwulan I-<br />
2010 adalah sektor industri pengolahan sebesar Rp380,9 triliun, kemudian<br />
sektor pertanian Rp239,4 triliun, disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan<br />
restoran sebesar Rp208,0 triliun. Sementara sektor pertambangan dan<br />
penggalian sebesar Rp168,1 triliun, sektor konstruksi sebesar Rp150,4<br />
triliun, sektor jasa-jasa sebesar Rp139,2 triliun, sektor keuangan, real estat<br />
dan jasa perusahaan sebesar Rp107,6 triliun dan sektor pengangkutan dan<br />
komunikasi sebesar Rp93,4 triliun, serta terakhir sektor listrik, gas dan air<br />
bersih sebesar Rp11,7 triliun.<br />
e. Kontribusi Terhadap Kesempatan Kerja.<br />
Kala dilihat pola perubahan kesempatan kerja di pertanian dan<br />
industri manufaktur, pangsa kesempatan kerja dari sektor pertama<br />
menunjukkan suatu pertumbuhan tren yang menurun, sedangkan di sektor<br />
kedua meningkat (carikan data naik turunnya). Perubahan struktur<br />
kesempatan kerja ini sesuai dengan yang di prediksi oleh teori mengenai<br />
perubahan struktur ekonomi yang terjadi dari suatu proses pembangunan<br />
ekonomi jangka panjang, yaitu bahwa semakin tinggi pendapatan per<br />
kapita, semakin kecil peran dari sektor primer, yakni pertambangan dan<br />
pertanian, dan semakin besar peran dari sektor sekunder, seperti<br />
manufaktur dan sektor-sektor tersier di bidang ekonomi. Namun semakin<br />
besar peran tidak langsung dari sektor pertanian, yakni sebagai pemasok<br />
bahan baku bagi sektor industri manufaktur dan sektor-sektor ekonomi<br />
lainnya. Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor<br />
pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan,<br />
hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29<br />
22
persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor<br />
pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36<br />
persen, dan industri pengolahan 1,6 persen. Sedangkan pertumbuhan besar<br />
untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa<br />
sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88<br />
persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian<br />
memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang<br />
yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan<br />
sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya<br />
paling tinggi.<br />
f. Kontribusi Pertanian Terhadap Devisa<br />
Pertanian juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap<br />
peningkatan devisa, yaitu lewat peningkatan ekspor dan atau pengurangan<br />
tingkat ketergantungan Negara tersebut terhadap impor atas komoditi<br />
pertanian. Komoditas ekspor pertanian Indonesia cukup bervariasi mulai<br />
dari getah karet, kopi, udang, rempah- rempah, mutiara, hingga berbagai<br />
macam sayur dan buah. Peran pertanian dalam peningkatan devisa bisa<br />
kontradiksi dengan perannya dalam bentuk kontribusi produk. Kontribusi<br />
produk dari sektor pertanian terhadap pasar dan industri domestik bisa<br />
tidak besar karena sebagian besar produk pertanian di ekspor atau sebagian<br />
besar kebutuhan pasar dan industri domestik disuplai oleh produk-produk<br />
impor. Artinya peningkatan ekspor pertanian bisa berakibat negatif<br />
terhadap pasokan pasar dalam negeri, atau sebaliknya usaha memenuhi<br />
kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu faktor penghambat bagi<br />
pertumbuhan ekspor pertanian. Untuk mengatasinya ada dua hal yang<br />
perlu dilakukan yaitu menambah kapasitas produksi dan meningkatkan<br />
daya saing produknya. Namun bagi banyak Negara agraris, termasuk<br />
Indonesia melaksanakan dua pekerjaan ini tidak mudah terutama karena<br />
keterbatasan teknologi, SDM, dan modal.<br />
23
1.4.4 Kendala Sektor Pertanian di Sulsel<br />
a. Kondisi Lahan Pertanian di Sulsel<br />
Luas kepemilikan lahan yang dimiliki oleh petani di Sulsel rata-rata<br />
kecil mengingat harga tanah yang semakin mahal sedangkan kemampuan<br />
para petani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah minim<br />
ditambah harus membeli lahan yang harganya semakin melonjak. Yang<br />
memungkinkan hanya bisa menggarap lahan milik orang lain sehingga<br />
hasilnya pun harus dibagi dua. Semakin sempitnya lahan untuk bertani<br />
karena penyebaran pembangunan gedung-gedung industry yang<br />
bertambah jumlahnya di setiap lokasi. Hal ini tentunya dapat mengurangi<br />
wilayah para petani untuk bercocok tanam. Sedangkan kebutuhan manusia<br />
akan pangan semakin meningkat tidak diimbangi oleh ketersediaan lahan<br />
dan pembangunan gedung-gedung industri yang tidak terencana tanpa<br />
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan.<br />
Sedangkan pada daerah-daerah pedalaman masih banyaknya<br />
“Lahan Tidur” yang artinya lahan tersebut belum tergarap maupun<br />
tersentuh oleh tangan-tangan manusia sementara lahan di suatu wilayah<br />
strategis cenderung menjadi rebutan dengan harga yang mahal. Ini<br />
mencerminkan bahwa penyebaran penduduk diwilayah Indonesia yang<br />
belum merata.<br />
b. Masalah Dari Petani Sendiri dan Mentalitasnya<br />
Pendidikan formal petani yang masih rendah menyebabkan<br />
pengetahuannya dalam pengembangan sektor pertanian tidak berkembang<br />
dan cenderung monoton hanya menggantungkan hidupnya pada sektor<br />
pertanian tanpa menciptakan inovasi-inovasi terbaru demi peningkatan<br />
hasil pangan yang berlimpah. Hasil panen yang tidak seberapa<br />
menyebabkan petani tidak memiliki modal dalam pengembangan usahanya<br />
ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kehidupan para petani<br />
24
kurang sejahtera di wilayah Indonesia. Serta menyebabkan tingginya tingkat<br />
kemiskinan di Indonesia, sementara 50 juta penduduk Indonesia bermata<br />
pencaharian sebagai petani. Kaum petani cenderung menggantungkan<br />
hidupnya pada pemerintah dan lebih bersikap pasrah pada kondisi<br />
kehidupannya pada saat ini. Seharusnya mereka lebih meningkatkan jiwa<br />
kewirausahaanya dalam pengembangan sektor usaha di berbagai bidang<br />
dan jangan hanya terpacu pada sektor pertanian yang hasilnya diperoleh<br />
pada periode dan musim-musim tertentu.<br />
c. Masalah Teknologi<br />
Sistem pengalihan teknologi dari tradisional menjadi modern<br />
dalam pengelolaan pangan, belum mampu diterima secara luas oleh para<br />
petani yang lebih banyak menggunakan peralatan tradisional seperti :<br />
cangkul, arit, dll. Yang pada kenyataannya lebih banyak memakan waktu<br />
dan tenaga. <strong>Di</strong>banding menggunakan peralatan dan teknologi modern yang<br />
telah diterapkan dinegara-negara luar. Penerapan teknologi di negara kita<br />
terkadang kurang tepat pada sasaran dimana disatu sisi peralatan teknologi<br />
tersebut mampu membantu dan meningkatkan kualitas pangan tetapi disisi<br />
lain peralatan tersebut merusak ekosistem yang ada tanpa memperhatikan<br />
kelestarian lingkungan.<br />
25
1.5 Kerangka Pikir<br />
Gambar 1. <strong>Di</strong>agram kerangka pikir pembangunan pertanian menuju<br />
kesejahteraan masyarakat<br />
26
1.6. Metodologi<br />
1.6.1 Pendekatan<br />
<strong>Kajian</strong> ini dilakukan di Provinsi Sulsel, dengan pendekatan deskriptif<br />
kualitatif, menggunakan data sekunder selama sepuluh tahun terakhir, yang<br />
tersedia pada lembaga-lembaga resmi seperti: BPS, Kementerian Pertanian<br />
Republik Indonesia, atau data-data yang tersedia pada pemerintah daerah.<br />
Untuk memperkuat data sekunder dilakukan diskusi/wawancara dengan<br />
petani, kelompok tani atau stakeholders lain yang terlibat dalam<br />
pembangunan pertanian di Sulsel.<br />
Data-data yang terkumpul dan hasil wawancara dianalisis dan<br />
diperbandingkan dari periode tertentu selama sepuluh tahun terakhir<br />
(2008-2018), untuk menemukan hubungan timbal balik atau implikasi yang<br />
berkaitan terutama dengan beberapa indikator makro ekonomi dari proses<br />
pembangunan pertanian di Sulsel.<br />
1.6.2 Koleksi Data<br />
Data yang dibutuhkan dalam kajian evaluasi ini terdiri dari data<br />
sekunder dan hasil wawancara. Data sekunder yang dibutuhkan adalah:<br />
(i) Data sarana produksi (pupuk, benih, pestisida, dll)<br />
(ii) Data hasil produksi dan produktivitas komoditi pertanian<br />
(iii) Jumlah kelembagaan petani (baik yang aktif maupun yang tidak<br />
aktif); kelompok tani, gabungan kelompok tani, aktivitas kelompok<br />
tani, dll.<br />
(iv) Data komoditi yang berpengaruh pada inflasi<br />
(v) Data pertumbuhan dan kontribusi sektor pertanian pada beberapa.<br />
27
1.6.3 Pengolahan Data<br />
Data yang terkoleksi akan dianalisis dengan menggunakan PIVOT<br />
TABLE (excel) untuk memperoleh data yang dapat menunjukkan rata-rata<br />
tingkat pertumbuhan, atau sebaliknya, pada beberapa instrumen dalam<br />
pembangunan pertanian, berdasarkan jenis komoditi, dan lokasi. Data ini<br />
kemudian dianalisis untuk menemukan keterhubungan antara satu<br />
instrumen dengan instrumen lainnya, terutama dengan beberapa indikator<br />
makro ekonomi.<br />
1.6.4 Alur Rencana Kegiatan<br />
Gambar 1. <strong>Di</strong>agram alir rencana kegiatan<br />
28
1.6.5 Jadwal Pelaksanaan<br />
No Kegiatan Mg 1 Mg 2 Mg 3 Mg 4 ket<br />
1 Persiapan<br />
2 Administrasi<br />
3 Pembentukan Tim<br />
4 Pertemuan Tim (Outline)<br />
5 Pengumpulan data sekunder<br />
6 Pengumpulan data primer<br />
6 <strong>Di</strong>skusi Kelengkapan data<br />
7 Pengumpulan Data tambahan<br />
8 <strong>Di</strong>skusi Penyusunan draft<br />
9 <strong>Di</strong>skusi pendalaman<br />
10 Penyusunan/ laporan final<br />
11 Penyajian laporan<br />
29
30
II. SULSEL SEBAGAI CENTER POINT OF INDONESIA<br />
(MEMPERKENALKAN POTENSI SULSEL)<br />
Gambar 2. Infografis, Sulsel sebagai center point of Indonesia<br />
2.1 Karakteristik lokasi dan Wilayah<br />
Provinsi <strong>Sulawesi</strong> selatan (Sulsel) yang terletak di bagian selatan<br />
semenanjung pulau <strong>Sulawesi</strong>, merupakan salah satu lokasi wilayah yang<br />
strategis di tengah-tengah kepulauan Indonesia dan sekaligus menjadi<br />
jembatan penghubung antara kawasan barat dan timur Indonesia, sehingga<br />
31
wilayah ini ditetapkan sebagai pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia<br />
(KTI), atau di kenal sebagai Center Point of Indonesia (CPI), yang<br />
mempunyai luas wilayah sekitar 46.083,94 km persegi dan secara<br />
administratif terbagi 21 wilayah kabupaten, dan 3 wilayah kota. Terdiri dari<br />
306 kecamatan dan 3.030 wilayah administrasi setingkat desa yang terdiri<br />
dari 2.240 desa, 783 kelurahan. Kabupaten/Kota dengan wilayah terluas<br />
adalah Kabupaten Luwu Utara sekitar 7.365,51 km persegi, Kabupaten<br />
Luwu Timur sekitar 7.315,77 km persegi dan Kabupaten Bone sekitar<br />
4.593,38 km persegi, sedangkan Kota Parepare merupakan kota dengan<br />
wilayah terkecil yaitu seluas 88,92 km persegi.<br />
Secara Geografis Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terletak di antara 0 12’-<br />
8 lintang selatan dan 116’48 - 122’ 36’ Bujur Timur, dengan batas wilayah:<br />
Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi <strong>Sulawesi</strong> Barat dan Provinsi<br />
<strong>Sulawesi</strong> Tengah<br />
Sebelah <strong>Selatan</strong> berbatasan dengan Laut Flores<br />
Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone dan Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />
Tenggara<br />
Sebelah Barat berbatasan dengan selat Makassar dan Pulau Kalimantan<br />
Posisi geografis tersebut secara tidak langsung mengantarkan<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sebagai wilayah perdagangan dan jasa yang secara posisi<br />
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, karena Selat Makassar<br />
merupakan salah satu jalur pelayaran internasional, dan berfungsi sebagai<br />
titik simpul transportasi laut dan udara yang menghubungkan Asia Timur<br />
dan Benua Australia.<br />
2.1.1 Kondisi Topografi<br />
Wilayah <strong>Sulawesi</strong> selatan membentang mulai dari daratan rendah<br />
hingga dataran tinggi. Kondisi kemiringan tanah 0-3 persen merupakan<br />
tanah yang relative datar, 3 sampai 8 persen merupakan tanah relative<br />
32
ergelombang, 8 sampai 45 persen merupakan tanah yang kemiringannya<br />
agak curam, lebih dari 45 persen tanahnya curam dan bergunung. Wilayah<br />
daratan terluas berada pada 400 hingga 1000 meter DPL, secara topografi<br />
wilayah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki 7 gunung yakni gunung<br />
Lompobattang 2.871 m terletak diKabupaten Gowa, Bantaeng,Sinjai dan<br />
Bulukumba, gunung Rantekambola 3.103 m di Kabupaten Luwu, gunung<br />
Rantemario 3.470 m diKabupaten Luwu dan Enrekang, gunung Kambuno<br />
2.900 m di Kabupaten Luwu, gunung Balease 3.016 m di Kabupaten Luwu,<br />
gunung Latimojong 3.305 m diKabupaten Luwu dan Enrekang dan gunung<br />
Bawakaraeng 2.839 m diKabupaten Gowa dan Sinjai.<br />
33
34<br />
Gambar 3 Peta Administrasi Provinsi
2.1.2. Geologi<br />
Daerah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> termasuk ke dalam Provinsi Busur Volkanik<br />
Tersier <strong>Sulawesi</strong> Barat, yang memanjang dari Lengan <strong>Selatan</strong> sampai ke<br />
Lengan Utara.Secara umum, busur ini tersusun oleh batuan-batuan<br />
plutonik-volkanik berumur Paleogen- Kuarter serta batuan-batuan<br />
metamorf dan sedimen berumur Tersier.Geologi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> bagian<br />
timur dan barat sangat berbeda, di mana keduanya dipisahkan oleh Depresi<br />
Walanae yang berarah UUB-SST.Secara struktural, <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terpisah<br />
dari anggota Busur Barat <strong>Sulawesi</strong> lainnya oleh suatu depresi berarah UB-ST<br />
yang melintas di sepanjang <strong>Dan</strong>au Tempe (Leeuwen, 1981). Struktur geologi<br />
batuan di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki karakteristik geologi yang<br />
dicirikan oleh adanya berbagai jenis satuan batuan yang bervariasi. Struktur<br />
dan formasi geologi wilayah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terdiri dari volkan<br />
tersier, Sebaran formasi volkan tersier ini relatif luas mulai dari Cenrana<br />
sampai perbatasan Mamuju, daerah Pegunungan Salapati (Quarles) sampai<br />
Pegunungan Molegraf, Pegunungan Perombengan sampai Palopo, dari<br />
Makale sampai utara Enrekang, di sekitar Sungai Mamasa, Sinjai sampai<br />
Tanjung Pattiro, di deretan pegunungan sebelah barat dan timur Ujung<br />
Lamuru sampai Bukit Matinggi. Batuan volkan kwarter, Formasi batuan ini<br />
ditemukan di sekitar Limbong (Luwu Utara), sekitar Gunung Karua (Tana<br />
Toraja) dan di Gunung Lompobatang (Gowa).<br />
2.1.3 Hidrologi<br />
Jumlah sungai yang mengaliri wilayah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tercatat<br />
sekitar 67 aliran sungai, dengan jumlah aliran terbesar di Kabupaten Luwu,<br />
yakni 23 aliran sungai.Sungai terpanjang tercatat ada satu sungai yakni<br />
Sungai Saddang yang mengalir meliputi Kabupaten Tator, Enrekang dan,<br />
Pinrang.Panjang sungai tersebut masing-masing 150 km. <strong>Di</strong> <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> terdapat empat danau yakni <strong>Dan</strong>au Tempe dan Sidenreng yang<br />
35
erada di Kabupaten Wajo, serta danau Matana dan Towuti yang berlokasi<br />
di Kabupaten Luwu Timur.<br />
2.1.4 Klimatologi<br />
Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> pada umumnya sama dengan daerah lain<br />
yang ada di Indonesia, mempunyai dua musim yaitu musim kemarau yang<br />
terjadi pada bulan Juni sampai September dan musim penghujan yang<br />
terjadi pada bulan Desember sampai dengan Maret. Berdasarkan<br />
pengamatan ditigal Stasiun Klimatologi (Maros, Hasanuddin dan Maritim<br />
Paotere) selama tahun 2010 rata-rata suhu udara 27,4 C di Kota Makassar<br />
dan sekitarnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Suhu udara<br />
maksimum di stasiun klimatologi Hasanuddin 32,1 C dan suhu minimum<br />
24,0 C. Berdasarkan klasifikasi tipe iklim menurut oldeman, Provinsi<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki 5 jenis iklim, yaitu Tipe iklim A termasuk kategori<br />
iklim sangat basah dimana curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/Tahun.<br />
Wilayah yang termasuk ke dalam tipe ini adalah Kabupaten Enrekang,<br />
Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur.Tipe Iklim B, iklim basah dimana curah<br />
hujan rata-rata 3000-3500 mm/tahun.Wilayah tipe terbagi 2 tipe yaitu (B1)<br />
meliputi kab.Tana toraja, Luwu utara, Luwu timur.Tipe B2 meliputi Gowa,<br />
Bulukumba dan Bantaeng, tipe C termasuk iklim agak basah dimana curah<br />
hujan rata-rata 2500-3000 mm/tahun.Tipe iklim C terbagi 3 yaitu iklim tipe<br />
C1 meliputi kabupaten Wajo, Luwu dan Tana toraja.Iklim C2 meliputi<br />
Kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Barru, Pangkep, Enrekang, Maros dan<br />
Jeneponto. Sedangkan tipe iklim C3 terdiri dari Makassar, Bulukumba<br />
Jeneponto, Pangkep, Barru, Maros, Sinjai, Gowa, Enrekang, Tana toraja,<br />
Pare-pare, Selayar. Tipe iklim D dengan curah hujan rata-rata 2000-2500<br />
MM/tahun. Tipe iklim ini terbagi 3 yaitu wilayah yang masuk ke dalam iklim<br />
D1 meliputi kabupaten Wajo,Bone, Soppeng, Luwu, Tana toraja dan<br />
Enrekang. Wilayah yang termasuk ke dalam iklim D2 terdiri dari kabupaten<br />
Wajo, Bone, Soppeng, Sinjai, Luwu, Enrekang dan Maros. Wilayah yang<br />
36
termasuk iklim D3 meliputi Kabupaten Bulukumba, Gowa, Pangkep,<br />
Jeneponto, Takalar, Sinjai dan kota Makassar. Tipe iklim E dengan curah<br />
hujan rata-rata antara 1500-2000 mm/tahun dimana tipe iklim ini disebut<br />
sebagai tipe iklim kering.Tipe iklim E1 terdapat di Kabupaten Maros, Bone<br />
dan Enrekang, Bantaeng dan Selayar.<br />
2.1.5. Potensi Pengembangan Wilayah<br />
Rencana struktur ruang Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dibangun dengan<br />
beberapa pusat kegiatan seperti pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan<br />
wilayah pusat, kegiatan lokal maupun sub pusat kegiatan lokal, serta<br />
kawasan perkotaan berupa kota, ibukota kabupaten, ibukota kecamatan<br />
dan kawasan pusat pertumbuhan industri dan perdagangan yang padat<br />
dengan kegiatan perkotaan dan fasilitas permukiman.<br />
Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> adalah<br />
Kawasan Metropolitan Mamminasata yang terdiri dari Kota Makassar, Kota<br />
Maros, Kota Sungguminasa, dan Kota Takalar. Pengembangan Kawasan<br />
Perkotaan Mamminasata diarahkan sebagai pusat orientasi pelayanan<br />
berskala internasional dan penggerak utama Kawasan Timur Indonesia,<br />
serta sebagai pusat pertumbuhan dan sentra pengolahan hasil produksi di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) adalah Kawasan Perkotaan di Kota<br />
Palopo, Kawasan Perkotaan Watampone, Kawasan Perkotaan Parepare,<br />
Kawasan Perkotaan Barru, Kawasan Perkotaan Pangkajene, Kawasan<br />
Perkotaan Jeneponto, dan Kawasan Perkotaan Bulukumba. PKW<br />
merupakan kawasan perkotaan berfungsi sebagai simpul kegiatan<br />
perdagangan dan jasa skala regional yang mendukung Pusat Kegiatan<br />
Nasional, sebagai pusat kegiatan industry serta berfungsi sebagai simpul<br />
transportasi skala provinsi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
Selain PKN dan PKW pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi<br />
(RTRWP) <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> juga ditetapkan kawasan perkotaan yang<br />
37
erfungsi sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL) dengan peran sebagai pusat<br />
kegiatan industry dan jasa skala kabupaten/kota dan sebagai simpul<br />
transportasi skala kabupaten/kota. Kawasan perkotaan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
yang ditetapkan sebagai PKL adalah Kawasan Perkotaan Malili, Kawasan<br />
Perkotaan Masamba, Kawasan Perkotaan Rantepao, Kawasan Perkotaan<br />
Makale, Kawasan Perkotaan Enrekang, Kawasan Perkotaan Pangkajene,<br />
Kawasan Perkotaan Sengkang, Kawasan Perkotaan Soppeng, Kawasan<br />
Perkotaan Sinjai, Kawasan Perkotaan Bantaeng, Kawasan Perkotaan<br />
Watansawitto, Kawasan Perkotaan Belopa, serta Kawasan Perkotaan<br />
Benteng, dan Kawasan Perkotaan Pamatata.<br />
38<br />
Gambar 4. Peta Struktur Ruang Provinsi
Selain Pusat Kegiatan Lokal, RTRWP <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> juga<br />
menetapkan Kawasan Strategis Provinsi (KSP) yang merupakan kawasan<br />
yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh<br />
sangat penting bagi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terhadap kepentingan pertumbuhan<br />
ekonomi, social dan budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau<br />
teknologi tinggi, dan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.<br />
Penetapan Kawasan Strategis Provinsi (KSP) di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
adalah:<br />
a. Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dari sudut Kepentingan Pertumbuhan<br />
Ekonomi:<br />
1. Kawasan lahan pangan berkelanjutan khususnya beras dan jagung<br />
di masing-masing Kabupaten: Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang<br />
, Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur, Pangkep, Maros, Gowa dan<br />
Takalar;<br />
2. Kawasan pengembangan budidaya alternatif komoditi perkebunan<br />
unggulan kakao, kelapa sawit, kopi Robusta, jambu mete dan jarak<br />
di masing-masing Kabupaten: Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap,<br />
Pinrang, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Barru, Pangkep, Maros,<br />
Gowa, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Enrekang, Tana Toraja,<br />
Toraja Utara dan Kepulauan Selayar;<br />
3. Kawasan pengembangan budidaya rumput laut meliputi wilayah<br />
perairan pantai dan atau tambak di masing-masing Kabupaten:<br />
Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone, Luwu,<br />
Palopo, Luwu utara, dan Luwu Timur;<br />
4. Kawasan pengembangan budidaya udang meliputi tambak di<br />
Kabupaten: Pinrang, Barru, Pangkep, Bone, dan Wajo;<br />
5. Kawasan pengembangan pusat distribusi kebutuhan bahan pokok<br />
Kawasan Timur Indonesia (KTI) Pamatata di Kabupaten Kepulauan<br />
Selayar;<br />
39
6. Kawasan terpadu pusat bisnis, sosial, budaya dan pariwisata Center<br />
Point of Indonesia (Pusat Bisnis Terpadu Indonesia) di<br />
Mamminasata;<br />
7. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Emas di Kabupaten Barru;<br />
8. Kawasan Industri (KI) skala besar meliputi: kawasan-kawasan<br />
industri di wilayah Metropolitan Mamminasata yang terdiri atas KI<br />
Makassar (Kota Makassar), KI Maros(Kabupaten Maros), KI Gowa<br />
(Kabupaten Gowa), KI Takalar (Kabupaten Takalar), selain dari pada<br />
itu diarahkan pengembangan KI Parepare (Kota Parepare), pabrik<br />
pengolahan nikel Sorowako (Kabupaten Luwu Timur), pabrik semen<br />
Tonasa (Kabupaten Pangkep), pabrik semen Bosowa (Kabupaten<br />
Maros).<br />
b. Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dari sudut Kepentingan Sosial dan<br />
Budaya yaitu: kawasan permukiman adat Ammatoa Kajang di<br />
Kabupaten Bulukumba.<br />
c. Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dari sudut Kepentingan<br />
Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan/atau Teknologi Tinggi, yaitu:<br />
1. Kawasan Migas terdiri atas: Blok Bone Utara (Kabupaten Luwu dan<br />
Kota Palopo), Blok Enrekang (Kabupaten Tana Toraja, Enrekang dan<br />
Pinrang), Blok Sengkang (Kabupaten Wajo, Sidrap, Soppeng dan<br />
Bone), Blok Bone di Teluk Bone, dan Blok Sigeri di Selat Makassar,<br />
Blok Kambuno di teluk Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai dan<br />
Kabupaten Bulukumba, Blok Selayar di laut Kabupaten Bulukumba<br />
dan Kabupaten Kepulauan Selayar, Blok Karaengta di laut<br />
Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten<br />
Jeneponto, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Kepulauan Selayar;<br />
2. Pusat-pusat pembangkit listrik terdiri atas PLTG Sengkang<br />
(Kabupaten Wajo), PLTU Punagaya (Kabupaten Jeneponto), PLTU<br />
Bakaru (Kabupaten Pinrang).<br />
40
d. Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dari sudut Kepentingan Fungsi dan<br />
Daya Dukung Lingkungan Hidup, yaitu:<br />
1. Kawasan wisata bahari Mamminasata dan sekitarnya (Kota<br />
Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros, Kabupaten Takalar,<br />
dan Kabupaten Pangkep); Takabonerate (Kabupaten Kepulauan<br />
Selayar);<br />
2. Kawasan Konservasi kawasan <strong>Dan</strong>au Tempe (Kabupaten Wajo) dan<br />
<strong>Dan</strong>au Sidenreng (Kabupaten Sidrap); dan<br />
3. Kawasan bendungan yang terdiri atas Bendungan Batubassi,<br />
Bendungan Balambano dan Bendungan Karebbe (Kabupaten Luwu<br />
Timur); Bendungan Bilibili (Kabupaten Gowa), Bendungan Kalola<br />
(Kabupaten Wajo), dan Bendungan Sanrego (Kabupaten Bone).<br />
41
Gambar 5. Peta Kawasan Strategis Provinsi<br />
Pengembangan kawasan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, selain didasarkan<br />
pada RTRWP juga mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional<br />
(RTRWN) yang menetapkan keberadaan Kawasan Andalan Laut dan<br />
Kawasan Andalan Darat di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Kawasan Andalan merupakan<br />
kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis berupa kemampuan<br />
42
kawasan untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan dan wilayah<br />
disekitarnya serta mendorong pemerataan perkembangan wilayah. Adapun<br />
kawasan andalan di wilayah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yaitu:<br />
a. Kawasan Mamminasata dan sekitarnya (Makassar, Maros, Gowa,<br />
Takalar, Pangkep) dengan sektor unggulan pariwisata, industry,<br />
pertanian, perikanan, dan agroindustri;<br />
b. Kawasan Palopo dan sekitarnya dengan sektor unggulan pariwisata,<br />
perkebunan, pertanian, dan perikanan.<br />
c. Kawasan Bulukumba-Watampone dan sekitarnya dengan sektor<br />
unggulan pertanian, perkebunan, agroindustri, pariwisata, perikanan<br />
dan perdagangan.<br />
d. Kawasan Parepare dan sekitarnya dengan sektor unggulan perkebunan,<br />
perikanan, agroindustri dan pertanian.<br />
e. Kawasan Andalan laut Kapoposang dan sekitarnya dengan sektor<br />
unggulan perikanan, pertambangan dan pariwisata.<br />
f. Kawasan Andalan laut Teluk Bone dan sekitarnya dengan sektor<br />
unggulan perikanan, pariwisata dan pertambangan.<br />
g. Kawasan Andalan laut Singkarang-Takabonerate dan sekitarnya dengan<br />
sektor unggulan perikanan, pertambangan dan pariwisata.<br />
h. Kawasan laut Selat Makassar dengan sektor unggulan perikanan dan<br />
pariwisata.<br />
43
Gambar 6 Peta Kawasan Andalan<br />
Berdasarkan RTRWP <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, ditetapkan pemanfaatan<br />
ruang wilayah Provinsi berupa pemanfataan ruang berfungsi lindung<br />
sebagai kawasan lindung dengan fungsi utama melindungi kelestarian<br />
lingkungan hidup dan pemanfaatan ruang berfungsi budidaya sebagai<br />
kawasan budidaya dengan fungsi utama untuk dibudidayakan berdasarkan<br />
kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber<br />
daya buatan.<br />
Penetapan kawasan budidaya pada RTRWP <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, meliputi:<br />
44
1. Kawasan Peruntukan Pertanian dan Perikanan<br />
Pengelolaan kawasan peruntukan pertanian meliputi<br />
pengembangan kawasan pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan<br />
peternakan hewan besar, dengan komoditas unggulan berupa komoditas<br />
pertanian tanaman pangan dan perikanan.<br />
Pengelolaan kawasan pertanian tanaman pangan ditetapkan di<br />
seluruh Kabupaten/Kota yaitu; Kabupaten Bantaeng dengan luasan<br />
16.044,24 ha, Kabupaten Barru dengan luasan 18.195,73 ha, Kabupaten<br />
Bone dengan luasan 203.883,63 ha, Kabupaten Bulukumba dengan luasan<br />
69.772,85 ha, Kabupaten Enrekang dengan luasan 16.525,21 ha, Kabupaten<br />
Gowa dengan luasan 41.249,14 ha, Kabupaten Jeneponto dengan luasan<br />
39.238,05 ha, Kabupaten Luwu dengan luasan 66.279,81 ha, Kabupaten<br />
Luwu Timur dengan luasan 55.563,72 ha, Kabupaten Luwu Utara dengan<br />
luasan 124.095,96 ha, Kota Makassar dengan luasan 5.465,20 ha,<br />
Kabupaten Maros dengan luasan 48.593,69 ha, Kota Palopo dengan luasan<br />
6.032,93 ha, Kabupaten Pangkep dengan luasan 30.352,96 ha, Kota<br />
Parepare dengan luasan 4.268,30 ha, Kabupaten Pinrang dengan luasan<br />
76.445,75 ha, Kabupaten Selayar dengan luasan 34.311,28 ha, Kabupaten<br />
Sidrap dengan luasan 91.266,84 ha, Kabupaten Sinjai dengan luasan<br />
14.407,44 ha, Kabupaten Soppeng dengan luasan 50.520,92 ha, Kabupaten<br />
Takalar dengan luasan 39.663,68 ha, Kabupaten Tana Toraja dengan luasan<br />
3.421,02 ha, Kabupaten Toraja Utara dengan luasan 1.857,66 ha, dan<br />
Kabupaten Wajo dengan dengan luasan 183.907,44 ha.<br />
Pengelolaan kawasan peruntukan perikanan dengan kebijakan<br />
pengembangan pada komoditas unggulan Udang, ditetapkan pada:<br />
Kabupaten Barru dengan luasan 2.860,74 ha, Kabupaten Pangkep dengan<br />
luasan 8.307.12 ha, Kabupaten Bone dengan luasan 8.401,13 ha, Kabupaten<br />
Wajo dengan luasan 9.100,43 ha, dan Kabupaten Pinrang dengan luasan<br />
13.559,01 hektar.<br />
45
46<br />
Gambar 7. Peta Potensi Komoditi Unggulan
2. Kawasan peruntukan pertambangan,<br />
Pengelolaan kawasan pertambangan berupa kawasan potensil<br />
pengembangan minyak dan gas bumi ditetapkan pada 8 blok wilayah<br />
pertambangan minyak dan gas bumi yaitu:<br />
1) Blok Segeri di Selat Makassar;<br />
2) Blok Bone di Teluk Bone;<br />
3) Blok Enrekang di Kabupaten Tana Toraja, Enrekang, dan Pinrang;<br />
4) Blok Bone Utara di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo;<br />
5) Blok Sengkang di Kabupaten Wajo, Sidenreng Rappang, Soppeng, dan<br />
Bone;<br />
6) Blok Kambuno di perairan laut Kabupaten Bine, Sinjai dan Bulukumba;<br />
7) Blok Karaengta di perairan laut Kabupaten Bulukumba, Bantaeng,<br />
Jeneponto, Takalar, dan Kepulauan Selayar; dan<br />
8) Blok Selayar di perairan laut Kabupaten Bulukumba dan Kepulauan<br />
Selayar.<br />
3. Kawasan peruntukan Industri<br />
Pengelolaan kawasan peruntukan industry di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
dikategorikan dalam kawasan industry skala besar dan kawasan aglomerasi<br />
industry skala kecil dan menengah. Pengelolaan kawasan peruntukan<br />
industri di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ditetapkan di:<br />
a. Kawasan industry skala besar diarahkan pada Kota Makassar, Kota<br />
Parepare, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Pangkajene Kepulauan,<br />
Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa;<br />
b. Kawasan aglomerasi industry skala kecil dan menengah diarahkan pada:<br />
Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu, Kabupaten<br />
Enrekang, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kabupaten Pinrang,<br />
Kabupaten Barru, Kabupaten Bone, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten<br />
Bantaeng, dan Kabupaten Jeneponto.<br />
47
4. Kawasan peruntukan Perdagangan<br />
Pengelolaan kawasan peruntukan perdagangan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
dikategorikan dalam kawasan perdagangan skala besar dan kawasan<br />
perdagangan skala menengah. Pengelolaan kawasan peruntukan<br />
perdagangan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ditetapkan di:<br />
a. Kawasan perdagangan skala besar diarahkan pada PKN Mamminasata,<br />
dan Kawasan Perkotaan di PKW yaitu Kota Parepare, Kota Palopo,<br />
Kabupaten Bone, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkejene Kepulauan,<br />
Kabupaten Jeneponto, dan Kabupaten Bulukumba;<br />
b. Kawasan perdagangan skala menengah diarahkan pada Kawasan<br />
Strategis Provinsi yaitu KEK Barru, dan Kawasan <strong>Di</strong>stribusi Kebutuhan<br />
Bahan Pokok Kawasan Timur Indonesia di Kawasan Pelabuhan<br />
Pamatata.<br />
48
Gambar 8. Peta Kawasan Pertambangan dan Migas<br />
5. Kawasan peruntukan Pariwisata<br />
49
Pengembangan kawasan peruntukan pariwisata di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
diarahkan pada perannya sebagai tujuan wisata mupun keberadaanya<br />
sebagai objek wisata.<br />
Rencana pengembangan kawasan peruntukan pariwisata di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dikelompokkan sebagai berikut:<br />
a. Kawasan Wisata Alam yang meliputi: Taman Wisata Alam (TWA) <strong>Dan</strong>au<br />
Matano – Mahalona dan TWA <strong>Dan</strong>au Towuti di Kabupaten Luwu Timur,<br />
TWA Malino di Kabupaten Gowa, TWA Cani Sirenreng di Kabupaten<br />
Bone, TWA Lejja di Kabupaten Soppeng, TWA Laut Kepulauan<br />
Kapoposang di Kabupaten Pangkep, TWA <strong>Dan</strong>au Tempe - Sidenreng di<br />
Kabupaten Wajo dan Sidrap, TWA Laut Kepulauan Spermode di<br />
Kawasan Mamminasata, TWA Kebun Raya Enrekang, TWA Kebun Raya<br />
Pucak di Kabupaten Maros, TWA Sungai Saddang di Kabupaten Tana<br />
Toraja dan Enrekang, Taman Hutan Raya Abdul Latief di Kabupaten<br />
Sinjai, Taman Hutan Raya Nanggala di Kota Palopo, Taman Nasional<br />
Laut Takabonerate di Kabupaten Kepulauan Selayar, Taman Nasional<br />
Bantimurung – Bulusarang di Kabupaten Maros dan Pangkep, Taman<br />
Buru Ko’mara di Kabupaten Takalar dan Taman Buru Bangkala di<br />
Kabupaten Jeneponto; dan,<br />
b. Kawasan Wisata Budaya yang meliptui: Taman Wisata Budaya (TWB)<br />
perdesaan tradisional di Kabupaten Toraja Utara dan Tana Toraja, TWB<br />
Permukiman Adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Taman<br />
Miniatur Sulawei <strong>Selatan</strong> di Situs Pusat Kerajaan Gowa Benteng<br />
Sombaopu di Kota Makassar dan Kabupaten Gowa; kawasan Wisata<br />
pelabuhan perahu tradisional Paotere di Kota Makassar, kawasan Pusat<br />
industri perahu tradisional Pinisi di Kabupaten Bulukumba, Kawasan<br />
Fort Rotterdam di Kota Makassar, Kawasan Situs Benteng Tallo dan<br />
Makam Raja-raja Tallo di Kota Makassar, kawasan Makam Raja-raja<br />
Gowa di Kota Makassar, kawasan Makam Syech Yusuf di Kota Makassar,<br />
kawasan Masjid Tua Katangka di Kabupaten Gowa, kawasan Museum<br />
50
Saoraja Lapawawoi Karaeng Sigeri di Kabupaten Bone, kawasan Masjid<br />
Jami Tua Palopo di Kota Palopo, dan kawasan Taman prasejarah Batu<br />
Pakek Gong di Kabupaten Sinjai.<br />
<strong>Pemerintah</strong> melalui Peraturan <strong>Pemerintah</strong> Nomor 50 tahun 2011<br />
telah menetapkan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional<br />
Tahun 2015-2025 guna meningkatkan kualitas dan kuantitas destinasi<br />
pariwisata dan mewujudkan industry pariwisata yang mampu<br />
menggerakkan perekonomian nasional. Melalui peraturan ini ditetapkan<br />
Destinasi Pariwisata Nasional Makassar-Takaboneratoe dan sekitarnya yang<br />
meliputi Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) Makassar<br />
Kota dan sekitarnya, KPPN Maros Karst dan sekitarnya, KPPN Bukukumba<br />
dan sekitarnya, KPPN Sinjai dan sekitarnya, KPPN Selayar dan sekitarnya<br />
dan KPPN Takabonerate dan sekitarnya dan Destinasi Pariwisata Nasional<br />
Toraja-Lorelindu dan sekitarnya yang meliputi KPPN Sengkang dan<br />
sekitarnya, KPPN Toraja dan sekitarnya, dan KPPN Palopo dan sekitarnya.<br />
51
Gambar 9. Peta Kawasan Pariwisata<br />
2.1.6 Demografi<br />
Jumlah penduduk <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dari tahun ke tahun terus<br />
mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 jumlah penduduk daerah<br />
ini tercatat mencapai 8,34 juta jiwa, dan pada tahun 2016 telah mengalami<br />
peningkatan menjadi 8,60 juta jiwa. Peningkatan tersebut menunjukkan<br />
bahwa jumlah penduduk <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam kurun waktu 4 tahun<br />
terakhir telah bertambah kurang lebih 264 ribu jiwa lebih atau rata-rata<br />
52
No<br />
mengalami pertumbuhan sebesar 1,09 persen per tahun.Sepanjang periode<br />
tersebut, pertumbuhan penduduk tertinggi atau populasi penduduk<br />
terbanyak ada di Kota Makassar berjumlah 1,47 juta jiwa dan populasi<br />
penduduk paling kecil adalah Kabupaten kepulauan selayar berjumlah 131<br />
ribu jiwa.<br />
Tabel 2.1<br />
Pertumbuhan Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> tahun 2008-2016<br />
Kabupaten<br />
/Kota<br />
Tahun<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
1 Selayar 119.811 121.749 122.055 123.283 124.553 127.220 128.744 130.199 131.605<br />
2 Bulukumba 390.543 394.746 394.560 398.531 400.990 404.896 407.775 410.485 413.229<br />
3 Bantaeng 172.849 174.176 176.699 178.477 179.505 181.006 182.283 183.386 184.517<br />
4 Jeneponto 332.334 334.175 342.700 346.149 348.138 351.111 353.287 355.599 357.807<br />
5 Takalar 255.154 257.974 269.603 272.316 275.034 280.590 283.762 286.906 289.978<br />
6 Gowa 605.876 617.317 652.941 659.512 670.465 696.096 709.386 722.702 735.493<br />
7 Sinjai 225.943 228.304 228.879 231.182 232.612 234.886 236.497 238.099 239.689<br />
8 Maros 303.211 306.687 319.002 322.212 325.401 331.796 335.596 339.300 342.890<br />
9 Pangkep 295.137 298.701 305.737 308.814 311.604 317.110 320.293 323.597 326.700<br />
10 Barru 161.732 162.985 165.983 167.653 168.034 169.302 170.316 171.217 171.906<br />
11 Bone 705.717 711.748 717.682 724.905 728.737 734.119 738.515 742.912 746.973<br />
12 Soppeng 229.502 230.744 223.826 226.079 226.202 225.512 225.709 226.116 226.305<br />
13 Wajo 378.512 381.066 385.109 388.985 389.552 390.603 391.980 393.218 394.495<br />
14 Sidrap 250.666 252.483 271.911 274.648 277.451 283.307 286.610 289.787 292.985<br />
15 Pinrang 346.988 351.042 351.118 354.652 357.095 361.293 364.087 366.789 369.595<br />
16 Enrekang 188.070 190.576 190.248 192.163 193.683 196.394 198.194 199.998 201.614<br />
17 Luwu 324.229 328.180 332.482 335.828 338.609 343.793 347.096 350.218 353.277<br />
18 Tana Toraja 234.534 240.249 221.081 223.306 224.523 226.212 227.588 228.984 230.195<br />
19 Luwu Utara 313.674 321.979 287.472 290.365 292.765 297.313 299.989 302.687 305.372<br />
20 Luwu Timur 230.821 237.354 243.069 245.515 250.608 263.012 269.405 275.595 281.822<br />
21<br />
Toraja<br />
Utara 226.478 229.090 216.762 218.943 220.304 222.393 224.003 225.516 226.988<br />
22 Makassar 1.253.656 1.271.870 1.338.663 1.352.136 1.369.606 1.408.072 1.429.242 1.449.401 1.469.601<br />
23 Pare-pare 117.591 118.842 129.262 130.563 132.048 135.192 136.903 138.699 140.423<br />
24 Palopo 141.996 146.482 147.932 149.421 152.703 160.819 164.903 168.894 172.916<br />
Sulsel 7.805.024 7.908.519 8.034.776 8.115.638 8.190.222 8.342.047 8.432.163 8.520.304 8.606.375<br />
Sumber: Sulsel.bps.go.id<br />
53
2.2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat<br />
2.2.1 Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi<br />
Pendapatan Perkapita<br />
Kinerja perekonomian <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> selama kurun waktu 2010-<br />
2016 menunjukan peningkatan yang diindikasikan oleh selalu meningkatnya<br />
nilai nominal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun ke tahun.<br />
Pada tahun 2010 nilai PDRB atas dasar harga berlaku sebesar Rp 71,369<br />
triliun dan pada tahun 2015 sudah mencapai Rp 101,396 triliun. Ini berarti<br />
pula bahwa secara nominal PDRB meningkat sebesar 42,07% selama lima<br />
tahun.<br />
Tabel 2.2<br />
Perkembangan PDRB, dan Pertumbuhan Ekonomi<br />
No Uraian Satuan 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
1 ADHK<br />
Miliar<br />
Rp,<br />
171.740,74 185.708,47 202.184,59 217.589,13 233.988,05 250.758,28 269.338,6<br />
Miliar<br />
ADHB<br />
2<br />
Rp,<br />
171.740,74 198.289,08 228.285,47 258.836,42 298.033,80 340.326,42 379.209,5<br />
Laju Pert<br />
3 Ekonomi<br />
% 8,63 8,13 8,87 7,63 7,57 7,15 7,41<br />
Ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> pada tahun 2016 tercatat tumbuh<br />
sebesar 7,41 persen, lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan<br />
ekonomi tahun 2015 yang tercatat sebesar 7,17 persen, Pertumbuhan<br />
didorong oleh hampir seluruh lapangan usaha, Pertumbuhan tertinggi<br />
tercatat pada lapangan usaha jasa keuangan dan asuransi yang tumbuh<br />
sebesar 13,63 persen, diikuti pengadaan listrik dan gas yang tumbuh<br />
sebesar 11,52 persen, kemudian Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi<br />
Mobil dan Sepeda Motor sebesar 9,87 persen sedangkan pertumbuhan<br />
terendah tercatat pada lapangan usaha pertambangan dan penggalian<br />
sebesar 0,97 persen,<br />
54
Tabel 2.3<br />
Perkembangan PDRB ADHB Menurut Lapangan Usaha<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp)<br />
NO LAPANGAN USAHA 2013 2014 2015 2016<br />
1 Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 57,37 68,47 78,74 88,31<br />
2 Pertambangan & Galian 17,88 21,18 21,52 21,23<br />
3 Industri Pengolahan 35,49 41,65 47,25 52,77<br />
4 Pengadaan Listrik & Gas 0,18 0,20 0,19 0,22<br />
5<br />
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,<br />
Limbah dan Daur Ulang<br />
0,35 0,35 0,37 0,39<br />
6 Konstruksi 31,52 36,02 42,18 47,50<br />
7<br />
Perdagangan Besar & Eceran, Reparasi<br />
Mobil & Sepeda Motor<br />
33,63 37,62 43,79 50,84<br />
8 Transportasi dan Pergudangan 10,43 11,83 14,25 16,17<br />
9 Penyediaan Akomodasi & Makan Minum 3,56 4,11 4,55 4,99<br />
10 Informasi & Komunikasi 13,79 14,59 15,72 17,57<br />
11 Jasa Keuangan & Asuransi 9,60 10,82 12,26 14,39<br />
12 Real Estate 9,90 11,52 13,59 15,09<br />
13 Jasa Perusahaan 1,15 1,30 1,48 1,65<br />
14<br />
Administrasi <strong>Pemerintah</strong>an, Pertanahan &<br />
Jaminan Sosial Wajib<br />
12,24 13,63 16,27 16,67<br />
15 Jasa Pendidikan 13,89 15,50 17,30 19,13<br />
16 Jasa Kesehatan & Kegiatan Sosial 4,68 5,51 6,52 7,33<br />
17 Jasa Lainnya 3,18 3,72 4,37 4,96<br />
PRDB Total 258,84 298,03 340,33 379,21<br />
55
Tabel 2.4<br />
Perkembangan PDRB ADHB Menurut Pengeluaran <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
(Trilyun Rp)<br />
Komponen Pengeluaran (25) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah<br />
Tangga (1.a. s/d 1.g.)<br />
99,661 113,547 129,688 146,643 165,652 185,586 204,369<br />
2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT 2,077 2,314 2,601 3,083 3,864 4,266 4,626<br />
3. Pengeluaran Konsumsi<br />
<strong>Pemerintah</strong> (3.a. + 3.b.)<br />
20,578 23,491 26,124 28,719 31,774 36,216 37,369<br />
4. Pembentukan Modal Tetap<br />
Bruto (4.a. + 4.b.)<br />
57,259 66,698 82,677 94,884 110,226 125,989 141,295<br />
5. Perubahan Inventori 2,106 2,498 5,661 4,420 9,187 5,641 4,848<br />
6. Ekspor Luar Negeri (6.a. + 6.b.) 22,972 18,704 17,036 18,750 21,724 19,621 16,116<br />
7. Impor Luar Negeri (7.a. + 7.b.) 10,394 13,459 13,500 15,333 10,961 13,328 12,031<br />
8. Net Ekspor Antar Daerah (8.a. -<br />
8.b.)<br />
22,518 15,505 22,002 22,329 22,694 23,664 17,383<br />
P D R B 171,741 198,289 228,285 258,836 298,034 340,326 379,209<br />
Dengan nilai tambah (PDRB-ADHB) sebesar 379,21 triliun rupiah<br />
dan (PDRB-ADHK) sebesar Rp, 269,34 trilliun, PDRB Perkapita <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> tahun 2016 telah mencapai angka 44,06 juta rupiah, Artinya bila<br />
PDRB tersebut dibagikan secara merata ke seluruh penduduk yang ada di<br />
wilayah ini, maka setiap orangnya akan mendapatkan 44,06 juta rupiah<br />
pada tahun 2016,<br />
Dengan angka sebesar 23,29 persen, Pertanian menjadi kategori<br />
yang berperan paling dominan pada ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, <strong>Di</strong>susul oleh<br />
industri pengolahan sebesar 13,92 persen, perdagangan 13,41 persen, dan<br />
konstruksi sebesar 12,53 persen, Keempat kategori yang berperan besar<br />
pada ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tersebut juga menjadi sumber<br />
pertumbuhan ekonomi terbesar pada dua tahun terakhir ini,<br />
56
Tabel 2.5<br />
Perkembangan PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp)<br />
Lapangan Usaha (63)<br />
PDRB Lapangan Usaha ADHK 63 Kategori (Trilyun Rupiah)<br />
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
A. Pertanian, Kehutanan, dan<br />
Perikanan<br />
B. Pertambangan dan<br />
Penggalian<br />
39,60 42,33 44,26 46,45 51,10 54,07 58,44<br />
12,37 11,90 12,53 13,24 14,71 15,80 15,96<br />
C. Industri Pengolahan 23,60 25,74 27,97 30,55 33,29 35,56 38,45<br />
D. Pengadaan Listrik, Gas 0,14 0,16 0,18 0,20 0,23 0,23 0,26<br />
E. Pengadaan Air 0,24 0,27 0,28 0,30 0,30 0,30 0,32<br />
F. Konstruksi 20,04 21,43 23,54 26,03 27,67 29,97 31,99<br />
G. Perdagangan Besar dan<br />
Eceran, dan Reparasi Mobil<br />
dan Sepeda Motor<br />
H. Transportasi dan<br />
Pergudangan<br />
I. Penyediaan Akomodasi<br />
dan Makan Minum<br />
22,81 25,17 28,15 30,19 32,36 34,92 38,36<br />
6,20 7,01 7,95 8,45 8,56 9,14 9,86<br />
2,28 2,48 2,77 2,95 3,19 3,37 3,66<br />
J. Informasi dan Komunikasi 8,95 10,01 12,07 13,77 14,56 15,71 16,99<br />
K. Jasa Keuangan 5,05 6,04 7,00 7,63 8,07 8,66 9,84<br />
L. Real Estate 5,93 6,59 7,28 7,93 8,56 9,20 9,78<br />
M,N. Jasa Perusahaan 0,74 0,81 0,88 0,94 1,00 1,06 1,14<br />
O. Administrasi<br />
<strong>Pemerintah</strong>an, Pertahanan<br />
dan Jaminan Sosial Wajib<br />
9,17 9,77 9,99 10,29 10,53 11,34 11,22<br />
P. Jasa Pendidikan 9,32 10,29 11,06 11,92 12,47 13,38 14,30<br />
Q. Jasa Kesehatan dan Kegiatan<br />
Sosial<br />
3,08 3,36 3,71 4,02 4,43 4,85 5,25<br />
R, S, T, U. Jasa lainnya 2,21 2,36 2,55 2,74 2,94 3,21 3,52<br />
PRODUK DOMESTIK REGIONAL<br />
BRUTO<br />
171,74 185,71 202,18 217,59 233,99 250,76 269,34<br />
57
Tabel 2.6<br />
Perkembangan PDRB ADHK Menurut Pengeluaran <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
(Trilyun Rp)<br />
Komponen Pengeluaran (25)<br />
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah<br />
Tangga (1.a. s/d 1.g.)<br />
PRDB Menurut Pengeluaran Atas Dasar Harga Konstan 25 Komponen<br />
(Trilyun Rupiah)<br />
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
99,661 106,351 113,779 120,561 127,669 134,421 141,791<br />
1.a. Makanan dan Minuman Non<br />
Beralkohol<br />
45,786 48,125 51,200 54,133 57,213 60,090 63,321<br />
1.b. Pakaian dan Alas Kaki 4,179 4,472 4,844 5,200 5,580 5,906 6,201<br />
1.c. Perumahan, Perkakas,<br />
Perlengkapan<br />
dan<br />
Penyelenggaraan Rumah Tangga<br />
9,372 9,882 10,542 11,087 11,782 12,362 12,983<br />
1.d. Kesehatan dan Pendidikan 9,180 10,028 11,096 11,760 12,462 13,159 13,774<br />
1.e. Transportasi, Komunikasi,<br />
Rekreasi, dan Budaya<br />
22,340 24,080 25,646 27,336 28,914 30,528 32,389<br />
1.f. Hotel dan Restoran 4,636 5,090 5,500 5,900 6,366 6,779 7,259<br />
1.g. Lainnya 4,168 4,675 4,950 5,145 5,351 5,598 5,865<br />
2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT 2,077 2,218 2,376 2,622 2,918 2,951 3,047<br />
3. Pengeluaran Konsumsi<br />
<strong>Pemerintah</strong> (3.a. + 3.b.)<br />
20,578 21,545 22,451 23,058 23,505 25,407 25,066<br />
3.a. Konsumsi Kolektif 11,715 12,797 13,194 13,549 13,714 14,656 14,424<br />
3.b. Konsumsi Individu 8,863 8,749 9,257 9,509 9,791 10,751 10,642<br />
4. Pembentukan Modal Tetap<br />
Bruto (4.a. + 4.b.)<br />
57,259 64,562 74,678 82,976 89,711 96,963<br />
103,76<br />
9<br />
4.a. Bangunan 46,779 52,621 61,405 68,142 73,509 79,367 84,965<br />
4.b. Non-Bangunan 10,480 11,940 13,273 14,834 16,202 17,596 18,805<br />
5. Perubahan Inventori 2,106 2,164 5,431 3,970 9,766 4,660 3,331<br />
58
6. Ekspor Luar Negeri (6.a. + 6.b.) 22,972 17,333 15,533 16,458 18,071 16,238 13,144<br />
6.a. Barang 22,470 16,789 14,940 15,847 17,524 15,651 12,589<br />
6.b. Jasa 0,502 0,544 0,593 0,611 0,547 0,587 0,555<br />
7. Impor Luar Negeri (7.a. + 7.b.) 10,394 12,003 11,106 12,418 7,974 9,508 8,674<br />
7.a. Barang 9,766 11,316 10,434 11,695 7,550 9,069 8,194<br />
7.b. Jasa 0,628 0,687 0,672 0,723 0,423 0,440 0,480<br />
8. Net Ekspor Antar Daerah (8.a. -<br />
8.b.)<br />
22,518 16,461 20,958 1.054,104 18,941 20,373 12,136<br />
8.a. Ekspor 35,566 35,522 35,685 35,905 42,243 37,203 22,809<br />
8.b. Impor 58,085 51,984 56,643 55,543 61,184 57,576 34,945<br />
P D R B 171,741<br />
185,70<br />
8<br />
202,18<br />
5<br />
217,58<br />
9<br />
233,98<br />
8<br />
250,75<br />
8<br />
269,33<br />
9<br />
Pertumbuhan ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam beberapa tahun<br />
terakhir selalu berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional,<br />
Bahkan pada tahun 2016 ini, pertumbuhan ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
berada pada peringkat ke-3 setelah <strong>Sulawesi</strong> Tengah (9,98%) dan Papua<br />
sebesar 9,21 persen, Motor penggerak ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> masih<br />
didominasi oleh kategori Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar<br />
23,29 persen,Peran ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terhadap pulau <strong>Sulawesi</strong><br />
adalah sebesar 49,6 persen, Artinya dari 1 miliyar rupiah yang dihasilkan<br />
pulau <strong>Sulawesi</strong>, sekitar 496 jutanya berasal dari provinsi ini, Sedangkan<br />
terhadap ekonomi nasional, terhitung 3 persen dapat disumbangkan oleh<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>,<br />
2.2.2 Kemiskinan<br />
Perkembangan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di<br />
Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> apabila dilihat berdasarkan periode RPJMD 2013-<br />
2018 menunjukkan penurunan dari sebanyak 863,200 jiwa atau 10,3% pada<br />
Tahun 2013 menjadi 807,030 jiwa 9,4% pada Tahun 2016, angka pada tahun<br />
2016 tersebut juga menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya yaitu<br />
59
835,500<br />
805,800<br />
863,200<br />
837,420<br />
864,540<br />
796,810<br />
Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)<br />
Angka Kemiskinan (%)<br />
sebanyak 864,510 jiwa atau 10,1%, Angka kemiskinan di Tahun 2016<br />
tersebut lebih rendah dibandingkan dengan keadaan nasional sebesar<br />
10,7% dan menempatkan Sulsel pada urutan ke-16 dari 34 provinsi menurut<br />
angka kemiskinan tertinggi, naik satu tingkat dari posisi ke-17 pada Tahun<br />
2015 (Gambar 10), Gambaran kondisi kemiskinan yang lebih baik di Tahun<br />
2016 juga terlihat dari indikator indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan<br />
indeks kesenjangan kemiskinan (P2), Pada Tahun 2015, nilai P1 Sulsel<br />
sebesar 1,58 menurun menjadi 1,53 di Tahun 2016; sedangkan nilai P2 di<br />
Tahun 2015 sebesar 0,45 menurun menjadi 0,38 di Tahun 2016,<br />
Grafik<br />
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Angka Kemiskinan<br />
Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
880,000<br />
Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Angka Kemiskinan (%)<br />
10.6<br />
860,000<br />
840,000<br />
820,000<br />
10.27<br />
9.82<br />
10.32<br />
10.12<br />
10.4<br />
10.2<br />
10.0<br />
9.8<br />
9.6<br />
800,000<br />
9.54<br />
9.24<br />
9.4<br />
9.2<br />
780,000<br />
9.0<br />
8.8<br />
760,000<br />
2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
8.6<br />
Sumber: BPS-Sulsel, 2016<br />
60
Apabila dilihat dari sudut pandang wilayah, terlihat bahwa<br />
penduduk miskin di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> masih dominan di wilayah<br />
Perdesaan, pada Tahun 2016 jumlah penduduk miskin di wilayah Perdesaan<br />
sebanyak 646,21 ribu jiwa sedangkan di Perkotaan sebanyak 150,6 ribu<br />
jiwa, Tetapi, tingkat penurunan jumlah penduduk miskin pedesaan nampak<br />
lebih baik dibandingkan dengan wilayah perkotaan, Antara tahun 2015-<br />
2016, jumlah penduduk miskin wilayah perkotaan menurun sebanyak 6,58<br />
ribu jiwa (-0,46%) sementara di perdesaan mengalami penurunan signifikan<br />
sebsar 61,13 ribu jiwa (-0,92%), Indikasi perkembangan keadaaan wilayah<br />
perdesaan yang lebih baik juga terindikasi dari penurunan nilai Indeks P1<br />
dan P2, di wilayah Perdesaan, penurunan nilai Indeks P1 dan P2, masingmasing<br />
sebesar 0,35 dan 0,23; sementara di wilayah perkotaan kedua nilai<br />
indeks tersebut mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 0,51 dan 0,21<br />
(Tabel 2.7),<br />
Tabel 2.7<br />
Perkembangan Angka Kemiskinan (P0), Indeks Kedalaman<br />
Kemiskinan (P1), dan Indeks Kesenjangan Kemiskinan (P2) Provinsi<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Tahun 2011-2016<br />
Perdesaan +<br />
Perkotaan<br />
Perdesaan<br />
Tahun<br />
Perkotaan<br />
P0 P1 P2 P0 P1 P2 P0 P1 P2<br />
2011 4,31 0,51 0,10 13,46 2,21 0,59 10,11 1,59 0,41<br />
2012 4,44 0,48 0,09 12,93 2,37 0,62 9,82 1,68 0,42<br />
2013 5,23 0,88 0,26 13,31 2,10 0,49 10,32 1,65 0,40<br />
2014 4,93 0,75 0,19 12,25 1,80 0,40 9,54 1,41 0,32<br />
2015 4,93 0,41 0,08 13,22 2,28 0,68 10,12 1,58 0,45<br />
2016 4,47 0,92 0,29 12,30 1,93 0,45 9,24 0,92* 0,29*<br />
Perkembangan<br />
2011-2016 0,06 0,05 0,02 -0,17 -0,06 -0,02 -0,12 -0,11 0,02<br />
2015-2016 -0,09 1,24 2,63 -0,07 -0,15 -0,34 -0,09 -0,42 -0,36<br />
Sumber: BPS-Nasional 2016; 2015; * BPS-Sulsel, 2016<br />
61
<strong>Di</strong>namika perkembangan angka dan indeks kemiskinan tersebut<br />
tidak lepas dari dinamika garis kemiskinan (GK) baik di wilayah perkotaan<br />
maupun di perdesaan, <strong>Dalam</strong> kurun waktu lima tahun terakhir, GK di<br />
Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> mengalami kenaikan rata-rata sebesar Rp,<br />
18,813,-/tahun, dengan angka kenaikan di Perdesaan lebih tinggi<br />
dibandingkan di Perkotaan (Rp, 19,790,7,- vs 16,749,2,-), Walaupun<br />
kenaikan GK tahunan di Perdesaan lebih tinggi, suatu hal yang cukup<br />
menarik bahwa garis kemiskinan makanan (GK-Makanan) memiliki rata-rata<br />
kenaikan yang lebih tinggi dibandingkan di Perkotaan, sedangkan garis<br />
kemiskinan non-makanan (GK-Non makanan) meningkat lebih lamban di<br />
wilayah Perdesaan, Semala periode Tahun 2011-2016, rata-rata<br />
peningkatan GK-Makanan sebesar Rp,10,759,-/tahun sedangkan di<br />
perdesaaan sebesar Rp,15,636,2,-/tahun; sementara pada GK-Non<br />
Makanan meningkat sebesar Rp,5,990,-/tahun di wilayah Perkotaan dan<br />
sebesar Rp,4,154,7,-/tahun di wilayah perdesaan,<br />
Terdapat beberapa hal yang dapat dimaknai dari dinamika<br />
indikator-indikator pokok kemiskinan/kesejahteraan dalam kurun waktu<br />
Tahun 2011-2016, Fenomena utama yang terjadi adalah adanya<br />
kecenderungan masyarakat di wilayah perkotaan yang lebih tahan<br />
dibandingakn dengan masyarakat perdesaan terhadap goncangan ekonomi;<br />
hal ini juga dapat bermakna bahwa resistensi masyaraakat miskin nampak<br />
semakin membaik (dengan asumsi bahwa kecenderungan masyarakat<br />
miskin lebih besar di wilayah perdesaan maka peran dan dukungan<br />
pemerintah sangat diperlukan), dan keadaan ini terutama dapat diukur<br />
berdasarkan keadaan di antara Tahun 2013-2014 dan Tahun 2014-2015,<br />
Berikut beberapa pemaknaan dan dasar pemikiran penilaian resistensi<br />
penduduk pedesaan/miskin yang semakin membaik, sebagai berikut:<br />
Perhitungan dalam kurun waktu 2011-2016 mengindikasikan,<br />
kelompok masyarakat rentan di perkotaan lebih kecil dibandingkan dengan<br />
wilayah perdesaan, baik terhadap dinamika GK-Makanan maupun terhadap<br />
62
GK Non Makanan, Korelasi sederhana menunjukkan koefisien regresi antara<br />
Jumlah Penduduk Miskin dengan GK untuk Wilayah Perkotaan terhadap GK-<br />
Makanan sebesar 0,597; dan sebesar 0,252 terhadap GK Non Makanan;<br />
sedangkan di Wilayah Perdesaan menunjukkan korelasi sebesar 0,906<br />
terhadap GK-Makanan dan 0,861 terhadap GK-Non makanan, Hal ini sangat<br />
nampak pada kenaikan GK-Makanan antara Tahun 2014 dan 2015 sebesar<br />
Rp,16,619,- di wilayah perkotaan dan Rp,28,681,- di wilayah perdesaan<br />
yang dikuti dengan kenaikan jumlah penduduk miskin di Kota sebesar 2,780<br />
jiwa, dan 55,390 jiwa di wilayah perdesaan;<br />
Terindikasi kuatnya pengaruh GK Non-Makanan yang kuat terhadap<br />
penduduk miskin perdesaan, Berdasarkan keadaaan di Tahun 2015, rasio<br />
kenaikan jumlah penduduk miskin per Rp,1000,- kenaikan GK-Makaanan<br />
diperkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar 0,17 jiwa dan 1,93<br />
orang, sedankan setiap kenaikan Rp,1000,- GK-Non Maknanan sebesar 0,25<br />
orang di wilayah perkotaan, dan 8,23 orang di wilayah perdesaan;<br />
Walauapun dua poin sebelumnya, mengindikasikan rendahnya<br />
resistensi penduduk miskin di perdesaaan dalam daerah, beberapa uraiana<br />
indikator berikut ini memberikan beberapa indikasi bahwa upaya<br />
penanggulangan kemiskinan dalam daerah sudah berjjalan cukup baik,Laju<br />
penurunan angka kemiskinan (P0), Indeks kedalaman kemiskinan (P1), dan<br />
Indeks kesenjangan kemiskinan (P2) di wilayah Perdesaaan lebih cepat<br />
dibandingkan di wilayah Perkotaan, Hal ini bermakna bahwa penduduk<br />
perdesaan/ penduduk miskin memiliki kemampu untuk beradaptasi dengan<br />
cepat guna meningkatkan pendapatan mereka untuk mengimbangi beban<br />
pengeluaran yang semakin besar, Hal tersebut dapat dilihat dari respon<br />
penurunan jumlah penduduk miskin perdesaan yang lebih cepat terhadap<br />
kenaikan GK pada tahun berikutnya setelah tahun teradinya kenaikan<br />
jumlah penduduk miskin,Sebagai petunjuk, setelah terjadinya peningkatan<br />
angka kemiskinan wilayah pedesaan di Tahun 2013, di tahun 2004 Jumlah<br />
penduduk miskin dapat menurun sebanyak 27,6 orang tiap kenaikan<br />
63
Rp,1000,- GK sementara di Perkotaan hanya sebesar 1,26 orang;<br />
selanjutnya di Tahun 2016, setelah kenaikan di Tahun 2015; tiap kenaikan<br />
Rp,1000,- GK makanan di perdesaaan menurun sebesar 16,3 orang<br />
sedangkan di wilayah perkotaan hanya sebesar 2,73 orang,<br />
Penduduk miskin dan kesenjangan pendapatan/pengeluaran<br />
kumulatif penduduk, Secara umum tingkat kesenjangan pengeluaran<br />
diantara penduduk menurut ukuran Indeks Gini mengalami kenaikan dari<br />
angka 0,404 di Tahun 2015 menjadi 0,426 pada Maret 2016, dan kemudian<br />
kembali menurun pada September 2016 menjadi 0,400, Khusunya<br />
kesenjangan diantara penduduk miskin menurut Nilai P2, diketahui pada<br />
Tahun 2015 sebesar 0,45; memasuki Maret 2016, P2 Sulsel meningkat<br />
hingga sebesar 0,55 kemudian kembali mengalami menurun secara<br />
signifikan menjadi 0,29 pada September 2016, Capaian P2 pada September<br />
2016 ini adalah angka terbaik dalam kurun waktu 10 tahun terakhir,<br />
Cukup banyak indikasi adanya kemajuan dalam perkembangan<br />
beberapa indikator kesejahteraan/kemiskinan makro yang terjadi<br />
khususnya dalam lima tahun terakhir, Implikasi penting yang perlu untuk<br />
digaris bawahi adalah semakin membaiknya tingkat resistensi dan daya<br />
adaptasi penduduk miskin dan rentan miskin terhadap gejolak ekonomi<br />
yang terjadi selama kurun waktu tersebut, Hal ini tentu tidak terlepas dari<br />
saling dukung antara pemerintah Pusat dan Daerah dalam pendukung<br />
program prioritas nasional, Sebagaimana 9 agenda prioritas pembangunan<br />
2015-2019 (Nawa Cita), khususnya pada agenda ke-3 “Membangun<br />
Indonesia dari Pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa<br />
dalam kerangka negara kesatuan”; agenda ke-5 “meningkatkan kualitas<br />
hidup manusia Indoneisa”; dan agenda ke-6 “meningkatkan produktifitas<br />
rakyat dan daya saing di pasar internasional”,<br />
64
Sub Urusan Sumber Daya Air<br />
Jaringan irigasi merupakan salah satu infrastruktur dalam mencapai<br />
ketahanan pangan yaitu untuk melayani ketersediaan air di lahan pertanian,<br />
Layanan penyediaan air irigasi di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tidak hanya<br />
dilakukan oleh pemerintah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, namun dilakukan juga<br />
oleh pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan<br />
Jeneberang dan pemerintah Kabupaten/Kota yang dilakukan berdasarkan<br />
kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan,<br />
Kewenangan <strong>Pemerintah</strong> Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam<br />
pengembangan dan pengelolaan system irigasi didasarkan pada Peraturan<br />
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2015<br />
tentang Kriteria dan Penetapan Status Daerah Irigasi yang menetapkan<br />
luasan daerah irigasi kewenangan provinsi sebesar 105,666 Ha terdiri dari<br />
67 DI yang meliputi:irigasi permukaan pada 38 DI dengan luasan 58,858 Ha,<br />
irigasi rawa pada 2 DI dengan luasan 3,100 Ha, dan irigasi tambak pada 27<br />
DI dengan luasan 43,708 Ha.<br />
Tabel 2.8. Status Daerah Irigasi Kewenangan <strong>Pemerintah</strong><br />
Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
NO DAERAH IRIGASI JUMLAH DI LUASAN (HA)<br />
A LINTAS KABUPATEN/KOTA 4 6,896<br />
1, D,I, Bili-Bili 2,443<br />
2, D,I, Cilellang 1,113<br />
3, D,I, Matajang 1,880<br />
4, D,I, Tubu Ampak 1,460<br />
B UTUH KABUPATEN/KOTA 34 51,962<br />
1, D,I, Lanrae 1,120<br />
2, D,I, Bengo 1,000<br />
3, D,I, Jaling 1,777<br />
4, D,I, Lanca 1,084<br />
5, D,I, Salomekko 1,723<br />
65
6, D,I, Selli Coppobulu 1,238<br />
7, D,I, Unyi 1,310<br />
8, D,I, Waru-Waru 1,000<br />
9, D,I, Bettu 1,817<br />
10, D,I, Bongki-Bongki 1,796<br />
11, D,I, Bontonyeleng 1,096<br />
12, D,I, Tallu Ura 1,100<br />
13, D,I, Lengkong Pini 1,000<br />
14, D,I, Makawa 2,600<br />
15, D,I, Angkona 1,200<br />
16, D,I, Bungadidi 2,950<br />
17, D,I, Kuri-Kuri Kasambi 2,000<br />
18, D,I, Cambajawaya 1,000<br />
19, D,I, Laiya 1,000<br />
20, D,I, Leang Lonrong 1,229<br />
21, D,I, Padaelo 2,958<br />
22, D,I Kalosi 1,004<br />
23, D,I Taccipi 1,568<br />
24, D,I AlekarajaE 1,253<br />
25, D,I Bilokka 1,005<br />
26, D,I Torere 2,000<br />
27, D,I Aparang Hulu 1,174<br />
28, D,I Aparang I 1,049<br />
29, D,I Kalamisu 2,032<br />
30, D,I Latenrang 1,700<br />
31, D,I Leworeng 2,258<br />
32, D,I Salo Bunne 1,386<br />
33, D,I Balombong 1,230<br />
34, D,I Cenrana 2,305<br />
C DAERAH IRIGASI RAWA 2 3,100<br />
1, D,I,R Dua Boccoe 1,050<br />
2, D,I,R Pammana 2,050<br />
D DAERAH IRIGASI TAMBAK 27 43,708<br />
1, D,I,T, Tallusiattinge 1,000<br />
2, D,I,T, Cenrana dan Mare 1,257<br />
3, D,I,T, Mare 1,500<br />
4, D,I,T, Manyampa 1,296<br />
5, D,I,T, Belopa/Wajo 2,000<br />
66
6, D,I,T, Pompengan Pantai 1,885<br />
7, D,I,T, Suli 1,500<br />
8, D,I,T, Walenrang 1,000<br />
9, D,I,T, Angkona 1,000<br />
10, D,I,T, Harapan 1,000<br />
11, D,I,T, Malili 1,750<br />
12, D,I,T, Wotu 2,750<br />
13, D,I,T, Bone-Bone 2,260<br />
14, D,I,T, Maros Baru 1,266<br />
15, D,I,T, Ma’rang 1,866<br />
16, D,I,T, Labakkang 2,000<br />
17, D,I,T, Cempa 1,824<br />
18, D,I,T, Duampanua 2,467<br />
19, D,I,T, Lanrisang/Jampue 2,580<br />
20, D,I,T, Mangara Bombang 1,500<br />
21, D,I,T, Mappakasunggu 1,000<br />
22, D,I,T, Takalar Tua 1,000<br />
23, D,I,T, Akkotengeng 1,069<br />
24, D,I,T, Doping 1,000<br />
25, D,I,T, Pitumpanua 1,380<br />
26, D,I,T, Sajoanging 2,175<br />
27, D,I,T, Takkalalla 2,383<br />
Kondisi Jaringan<br />
Irigasi<br />
Tabel 2.9 Capaian Kinerja Jaringan Irigasi Provinsi<br />
2013 2014 2015 2016<br />
Luas<br />
Areal<br />
(Ha)<br />
%<br />
Luas<br />
Areal<br />
(Ha)<br />
%<br />
Luas<br />
Areal<br />
(Ha)<br />
%<br />
Luas<br />
Areal<br />
(Ha)<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9<br />
Baik Baik 37,744 35,72 38,705 36,63 44,496 42,11 47,532 44,98<br />
Rusak<br />
Ringan<br />
11,866 11,23 9,805 9,28 5,125 4,85 7,292 6,90<br />
Rusak<br />
Rusak<br />
Sedang<br />
3,931 3,72 5,093 4,82 8,168 7,73 11,281 10,68<br />
Rusak<br />
Berat<br />
52,600 49,78 52,062 49,27 47,877 45,31 39,561 37,44<br />
TOTAL 105,666 100 105,666 100,00 105,666 100,00 105,66 100,00<br />
%<br />
67
Sumber: <strong>Di</strong>nas SDA, CK dan Infrastruktur, 2016<br />
6<br />
<strong>Pemerintah</strong> Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berupaya untuk<br />
meningkatkan kualitas dan cakupan layanan daerah irigasi dan rawa serta<br />
rawa tambak dan pemanfaatan air tanah selain melalui Program<br />
Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, Rawa dan Rawa Tambak<br />
pada 167,624 Hektar yang merupakan daerah irigasi kewenangan Provinsi<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sehingga meningkatkan persentase kondisi baik jaringan<br />
irigasi menjadi 46,85% di Tahun 2016 juga dilakukan melalui Program<br />
Penyediaan dan Pengelolaan Air Baku dengan membangun embungembung<br />
sebagai penampung air dan mempertahankan stabilitas muka air<br />
tanah, Jumlah embung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sampai Tahun 2016 berjumlah<br />
154 buah sehingga sasaran pembangunan RPJMD Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Tahun 2013-2018 yaitu meningkatnya pemanfaatan air tanah guna<br />
mendukung peningkatan produksi tanaman pangan dan mendukung<br />
pemenuhan kebutuhan air baku dapat terpenuhi,<br />
Tabel 2.10 Capaian Layanan Jaringan Irigasi Provinsi<br />
KINERJA LAYANAN JARINGAN<br />
IRIGASI<br />
SATUAN<br />
TAHUN<br />
2013 2014 2015 2016<br />
1 2 3 4 5 6<br />
Luas Areal Irigasi Hektar 647,495 647,495 647,495 647,495<br />
Luas Lahan Persawahan Hektar 1,664,954 1,695,112 1,700,274 1,708,475<br />
Cakupan Layanan Jaringan Irigasi % 38,89 38,20 38,08 37,90<br />
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian<br />
Pertanian , 2016 diolah,<br />
Sasaran pembangunan irigasi pada RPJMD Tahun 2013-2018 adalah<br />
meningkatnya kualitas dan cakupan layanan daerah irigasi dan rawa yang<br />
68
tergambar pada cakupan layanan irigasi dimana pada Tahun 2016 mencapai<br />
37,90%, Capaian peningkatan cakupan layanan jaringan irigasi tersebut<br />
belum mencapai sasaran RPJMD Tahun 2013-2018 yang sebesar 54,12%<br />
pada Tahun 2016, dikarenakan <strong>Pemerintah</strong> melalui Kementerian Pertanian<br />
tiap tahunnya melakukan kegiatan pencetakan sawah di Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong>, Pencetakan sawah baru di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tersebut belum dapat<br />
diiringi oleh peningkatan cakupan layanan irigasi, karena pembangunan<br />
bendungan yang merupakan prioritas nasional di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> antara<br />
lain Bendungan Paselloreng, Bendungan Jenelata, Bendungan Pamukkulu,<br />
dan Bendungan Baliase masih dalam proses pembangunan sehingga belum<br />
dapat berfungsi untuk melayani lahan persawahan dan tambak di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong>,<br />
2.3 Analisis Daya Saing Provinsi-Provinsi <strong>Di</strong><br />
Indonesia<br />
2.3.1 Daya Saing Keseluruhan Provinsi di Indonesia<br />
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asia Competitiveness<br />
Institute Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of<br />
Singapore, pada tahun 2014 Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berada pada posisi ke<br />
7, tahun 2015 turun ke posisi 10 dan pada tahun 2016 kembali naik keposisi<br />
6 dari 33 Provinsi yang di teliti, Indikator yang dijadikan acuan dalam<br />
penelitian tersebut adalah 1, Stabilitas Ekonomi Makro, 2, <strong>Pemerintah</strong>an<br />
dan Institusi Publik, 3, Kondisi Finansial,Bisnis dan Tenaga Kerja, 4, Kualitas<br />
Hidup dan Pembangunan Insfrastruktur,<br />
69
a. Stabilitas Ekonomi Makro,<br />
Stabilitas Ekonomi Makro merupakan factor fundamental untuk<br />
menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Upaya untuk<br />
menjaga stabilitas ekonomi makro tersebut di lakukan melalui langkahlangkah<br />
tertentu untuk memperkuat daya tahan perekonomian domestic<br />
terhadap berbagai gejolak (shocks) yang muncul, baik dari dalam maupun<br />
dari luar negeri, Koordinasi kebijakan fiscal, moneter, sector riil, dan daerah<br />
70
mutlak diperlukan untuk mengantisipasi gejolak perekonomian dan<br />
mendorong pertumbuhan ekonomi, Ada tiga Indikator dan beberapa sub<br />
Indikator yang dijadikan acuan dalam penelitian ini yaitu :<br />
a. Kedinamisan Ekonomi Regional,<br />
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)<br />
PDRB Non Migas<br />
Pertumbuhan PDRB<br />
PDRB Per Kapita<br />
PDRB Per Kapita Non Migas<br />
PDRB Industri Primer<br />
PDRB Indutri Sekunder<br />
PDRB Industri Tersier<br />
Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto<br />
Inflasi<br />
b. Keterbukaan Perdagangan dan Jasa<br />
Ekspor<br />
Ekspor Non Migas<br />
Impor<br />
Impor Non Migas<br />
Keterbukaan dalam Perdagangan<br />
c. Daya Saing Terhadap Investasi Asing<br />
Rata-rata Penanaman Modal Asing dalam tiga Tahun terakhir<br />
Rata-rata Penanaman Modal Domestik dalam tiga Tahun terakhir<br />
Promosi dan pengelolaan Investasi<br />
Pada tahun 2014 Stabilitas Ekonomi Makro Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> berada pada urutan 11 kemudian naik pada tahun 2015 ke urutan 8<br />
dan turun satu tingkat ke posisi 9 pada tahun 2016,<br />
71
. <strong>Pemerintah</strong>an dan Institusi Publik<br />
<strong>Dalam</strong> Urusan <strong>Pemerintah</strong>an dan Institusi Publik Pada tahun 2014<br />
<strong>Pemerintah</strong> Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berada pada urutan ke 3 kemudian<br />
mengalami penurunan ke urutan 13 pada tahun 2015 dan kembali naik ke<br />
urutan ke 2 pada tahun 2016, Ada tiga Indikator dan beberapa sub Indikator<br />
yang dijadiakan acuan dalam mengukur Daya Saing “<strong>Pemerintah</strong>an dan<br />
Institusi Publik” yaitu :<br />
a. Kebijakan dan Ketahanan Fiskal Publik,<br />
Pendapatan Total <strong>Pemerintah</strong> Daerah<br />
Pendapatan Pajak Daerah<br />
Pendapatan Pajak per Pendapatan Pajak Total Pemda<br />
Pengeluaran Pemda<br />
Keseimbangan Fiskal<br />
b. Institusi <strong>Pemerintah</strong>an dan Kepemimpinan<br />
Tingkat Kebersihan dan Korupsi<br />
Tingkat Kriminalitas<br />
Tingkat Keamanan<br />
72
Akuntabilitas dan Inklusivitas Pemda<br />
Ekspektasi dan Perkembangan Pemda<br />
Tingkat Efisiensi Pemda<br />
Koordinasi dengan <strong>Pemerintah</strong> kota/kabupaten<br />
Kapasitas Kepemerintahan Provinsi<br />
c. Persaingan, Standar Regulasi dan Penegakan Hukum<br />
Kualitas Peraturan Daerah<br />
Penegakan Hukum<br />
Gairah Kompetisi dan Kolaborasi<br />
2.3.1.3 Kondisi Finansial, Bisnis dan Tenaga Kerja,<br />
Kondisi Finansial, Bisnis dan Tenaga Kerja dijadikan sebagai salah<br />
satu Indikator Penting dalammengukur daya saing suatu daerah, Hal ini<br />
karena, baik tidaknya kondisi finansial suatu daerah dapat memberikan<br />
pengaruh yang sangat besar pada banyak sektor seperti urusan<br />
Administrasi <strong>Pemerintah</strong>an, Pelayanan Kepada Masyarakat, Insfrastruktur,<br />
Keamanan, Dunia industri, Perbankan, Penyerapan tenaga kerja,<br />
Penerimaan Pajak dan lain-lain, Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berada pada<br />
73
posisi ke 10 pada tahun 2014, turun ke urutan 14 tahun 2015 dan tahun<br />
2016 naik ke posisi 8 dari 33 Provinsi se Indonesia.<br />
2.4. Mengapa Sulsel Harus Over Stock <strong>Beras</strong><br />
Pada sebuah siang yang penuh dengan hiruk pikuk politik, saat<br />
menjelang pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 2014, seorang<br />
kawan dekat Gubernur Sulsel Dr. Syahrul Yasin Limpo (2008-2018),<br />
bertanya: Mengapa pak Gubernur memilih kebijakan “menjadikan Sulsel<br />
sebagai palang pintu pangan nasional. Bukankah produk pangan, terutama<br />
beras adalah komoditi politik? Harganya diatur oleh pemerintah. Mengapa<br />
tidak mendorong masyarakat dari menanam padi dikonversi<br />
menjadikomoditi yang lebih strategis dan berharga jual mahal? Bukankah<br />
daerah kabupaten/kota adalah daerah otonomi yang bias menentukan<br />
sendiri nasib ekonomi dan politiknya? Masyarakat akan lebih cepat<br />
sejahtera dengan program pembangunan pertanian non-padi. Menanam<br />
padi cukup untuk kebutuhan sendiri, ngga perlu harus over stock beras<br />
hingga 2,15 juta ton pada tahun 2014.<br />
Syahrul menghela napas panjang, kemudian, ia memulai dengan<br />
frase sederhana “bahaya kelaparan.” <strong>Di</strong> negeri yang subur dan kaya ini tidak<br />
pantas ada masyarakat yang kelaparan. Lalu ia menlansir pernyataan<br />
Multatuli, Max Havelar (1972): Beberapa windu yang lampau ada wilayah di<br />
Indonesia ini penduduknya mati kelaparan,….. ibu-ibu menjual anakanaknya<br />
untuk makan,…. Ibu-ibu memakan anaknya sendiri.<br />
Lalu, Syahrul menerawang, matanya menatap tajam kabut yang<br />
menggelantung di langit Makassar. Menurut Syahrul, konsep pembangunan<br />
Indonesia, harus merujuk pada wawasan kebangsaan Negara Kesatuan<br />
Republik Indonesia (NKRI). Kita sedang membangun Indonesia dari <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong>. Pendekatan pembangunan Indonesia tidak boleh parsial, harus<br />
holistic dan terintegrasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Antara<br />
74
satu provinsi dengan provinsi lainnya. Antara satu pulau dengan pulau<br />
lainnya. Membangun Indonesia, tidak boleh disertai dengan ego sector, ego<br />
wilayah, apalagi ego etnisitas.<br />
Itu sebabnya visi saya bersama pak Agus Arifin Nu’mang pada<br />
periode pertama adalah “Sulsel Menjadi Provinsi Sepuluh Terbaik <strong>Dalam</strong><br />
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat.” Mengapa kebutuhan dasar<br />
masyarakat? Karena tugas utama pemerintah adalah memenuhi kebutuhan<br />
dasar masyarakat. Ada tiga kelompok kebutuhan dasar yang paling<br />
mendasar menurut Syahrul: Sandang & Pangan, Pendidikan dan Kesehatan.<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> adalah provinsi pertama yang berani menawarkan<br />
Pendidikan dan Kesehatan gratis. Sedangan kebutuhan pangan, Syahrul<br />
menggenjot pembangunan pangan dengan program “<strong>Overstock</strong> <strong>Beras</strong>.”<br />
Inilah langkah awal Syahrul yang menetapkan Sulsel sebagai Lumbung<br />
Pangan Nasional.<br />
Menurut Syahrul, dunia saat ini sedang menghadapi dua krisis<br />
besar:energy dan pangan. Setidaknya, ada beberapa factor yang membuat<br />
krisis ini bakal terus berlanjut:<br />
Pertama, terjadi penambahan jumlah penduduk (50 tahun lalu<br />
jumlah penduduk dunia berkisar 3 milyar lebih), dan 50 athun yang akan<br />
datang jumlah penghuni planet bumi akan terus bertambah hingga di atas 9<br />
milyar orang). Dengan bertambahnay jumlah penduuduk, maka kebutuhan<br />
akan pangan dan energy akan meningkat pula, bahkan berbanding lurus<br />
atau melelbihi akselerasi peetumbuhan jumlah penduduk bumi.<br />
75
Grafik 2.1Perkembangan jumlah penduduk bumi dari tahun 1800<br />
hingga perkiraan tahun 2050<br />
Pada grafik di atas nampak dengan jelas bagaimana pertumbuhan<br />
jumlah penghuni bumi meningkat 100 persen setiap satu decade (100<br />
tahun). Pada tahun 1804 jumlah penduduk bumi sekitar1 milyar, naik<br />
menjadi 2 milyar pada 1927, dalam 33 tahun kemudian (tahun 1960) naik<br />
50% (menjadi 3 milyar), dan hanya dalam tempo 14 tahun berikutnya,<br />
penduduk bumi menembus angka 4 milyar. Kenaikan jumlah penduduk<br />
semakin lebih cepat (dalam 13 tahun, yaitu pada tahun 1987), naik lagi<br />
menjadi 5 milyar penduuk bumi.Pada 12 tahun kemudian, penduduk bumi<br />
bertambah 1 milyar menjadi 6 milyar pada tahun 1999. Terus meningkat<br />
menjadi 7 milyar pada tahun 2012, dan diperkirakan akan naik menjadi 8<br />
76
milyar pada tahun 2024. Perkembangan jumlah penduduk duniabergerak<br />
linier sejak tahun 1960 hingga sekarang. Rata-rata kenaikan jumlah<br />
penduduk dalam setiap 13-16 tahun sebesar 1 milyar manusia.<br />
Kedua, akibat eksploitasi yang berlebihan terhadap natural<br />
resources (sumberdaya alam), karena kebutuhan manusia yang terus<br />
meningkat (karena jumlah populasi manusia yang semakin berkembang),<br />
maka terjadi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh over exploitation.<br />
Bersamaan dengan terjadinya kerusakan lingkungan, terjadi pula konversi<br />
lahan dari lahan pertanian untuk kepentingan lainnya, dalam jumlah yang<br />
cukup besar.<br />
Mengutip Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-<br />
2019, bahwa dewasa ini keberlanjutan sektor pertanian-tanaman pangan<br />
tengah dihadapkan pada ancaman serius, yakni luas lahan pertanian yang<br />
terus menyusut akibat konversi lahan pertanian produktif ke penggunaan<br />
nonpertanian yang terjadi secara massif. Laju konversi lahan sawah<br />
mencapai 100 ribu hektar per tahun, dan menurut OJK (otoritas Jasa<br />
Keuangan) fenomena ini sangat perlu disikapi secara serius dan segera,<br />
apabila tidak maka rencana perwujudan Kedaulatan Pangan akan semakin<br />
jauh dari harapan.<br />
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah<br />
satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan.<br />
Intensitas alih fungsi lahan yang terjadi pada masyarakat masih sulit<br />
dikendalikan, terutama yang terjadi pada daerah-daerah yang dekat dengan<br />
pusat pengembangan perkotaan dan bisnis. <strong>Dan</strong> lebih parah, karena<br />
sebagian besar lahan sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang<br />
produktivitasnya termasuk kategori tinggi – sangat tinggi. Lahan-lahan<br />
tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi<br />
di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan<br />
penunjang pengembangan produksi padi telah maju. Daerah-daerah seperti<br />
Kabupaten Maros, Gowa dan Takallardi provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> adalah<br />
77
daerah yang paling tinggi jumlah lahan pertanian yang dikonversi menjadi<br />
lahan perumahan, kawasan industry atau pembangunan lainnya.Karena<br />
Kabupaten Maros, Gowa dan Takalar adalah kabupaten yang beririsan<br />
dengan Kota Makassar, sebagai pusat pengembangan kota dan ekonomi.<br />
Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani<br />
pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya<br />
diawali dengan transaksi jual beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan<br />
sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait<br />
dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang<br />
menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya untuk<br />
pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya)<br />
atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar (prasarana umum yang<br />
diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan<br />
yang bersangkutan). Proses alih fungsi lahan sawah cenderung berlangsung<br />
lambat jika motivasi untuk mengubah fungsi terkait dengan degradasi<br />
fungsi lahan sawah, misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga<br />
lahan tersebut tidak dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah.<br />
Melihat semakin tidak terkendalinya konversi lahan pertanian, ada<br />
tiga alternatif kebijakan yang dibahas dalam pengendalian konversi lahan<br />
sawah beririgasi, yaitu kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral,<br />
pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah<br />
beririgasi yang perlu dilindungi, dan pembangunan kemampuan kolektif<br />
masyarakat tani setempat dalam mengendalikan konversi lahan sawah.<br />
Model kebijakan yang terakhir, apabila difasilitasi dengan baik, diharapkan<br />
dapat memperkuat kapital sosial yang ada pada masyarakat karena<br />
munculnya rasa kebersamaan identitas dan kepemilikan. Karena<br />
kelangkaan lahan dan air akan berlangsung terus maka kebijakan<br />
pengendalian konversi lahan hendaknya ditempatkan dalam kerangka<br />
pendekatan keterpaduan pengelolaan sumber daya lahan dan air dalam<br />
78
suatu daerah aliran sungai (DAS) dan perbaikan sistem usaha tani (Efendi<br />
Pasandaran).<br />
Salah satu dampak konversi lahan yang sering mendapat sorotan<br />
masyarakat luas adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan<br />
salah satu tujuan pembangunan nasional (Irawan, 2005). Tantangan utama<br />
dalam penyediaan sumberdaya saat ini dan dimasa yang akan datang<br />
adalah ketersediaan sumber daya lahan yang makin langka (lack of<br />
resources), baik luas maupun kualitasnya serta konflik penggunaannya<br />
(conflict of interest) (Pasandaran, 2006). Oleh karena itu arahan<br />
pemanfatan ruang dan pendugaan tentang berbagai kebutuhan penting<br />
dilakukan sehingga diharapkan dapat mewujudkan pemanfaatan ruang<br />
yang berhasil dan berdaya guna untuk mewujudkan pembangunan<br />
berkelanjutan.<br />
Tabel 2.11.Keragaan Lahan menurut Jenisnya<br />
Berdasarkan table di atas, pengurangan lahan potensial pertanian<br />
sejak 2008 hingga 2012 rata-rata di atas 100 ha per tahun. <strong>Dalam</strong> sepuluh<br />
79
tahun yang akan datang pengurangan lahan pertanian akan semakin tinggi<br />
dan cepat. Setiap 10 tahun Indonesia akan kehilangan lahan potensial<br />
pertanian 1,5-2 juta hektar. Jika ini dibiarkan bertumbuh terus, tanpa<br />
aturan yang jelas, maka dapat dipastikan Indonesia akan mengalami krisis<br />
pangan secara serius dalam 20-40 tahun yang akan datang.<br />
Bersamaan denganmeningkatnya konversi lahan pertanian menjadi<br />
lahan industry dan perumahan, kualitas lahan pertanian juga mengalami<br />
penurunan yang sangat drastis. Penurunan kualitas lahan pertanian<br />
merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan<br />
pertanian Indonesia. Sedangkan kebutuhan produksi pangan semakin<br />
meningkat setiap harinya seiring dengan bertambahnya penduduk<br />
diindonesia. Degradasi tanah merupakan salah satu penyebab rendahnya<br />
produktifitas di Indonesia. Menurut Havlin et al (2005) kesuburan tanah<br />
akan semakin menurun akibat penggunaan pupuk anorganik secara terusmenerus<br />
dan menyebabkan rusaknya sifat fisik, kimia dan biologi tanah.<br />
Keadaan ini diperparah dengan banyaknya petani yang menggunakan<br />
pupuk kimia secara berkelanjutan.<br />
<strong>Di</strong> beberapa kabupatendi Sulsel, seperti: Sidrap, Pinrang, Wajo,<br />
Bone, Soppeng, Maros, Gowa, Bulukumba dan Luwu (yang dikenal sebagai<br />
daerah lumbung utama beras), penggunaan pupuk an-organicnya sangat<br />
tinggi, telah digunakan sejak awal pemerintahan Orde Baru. Perkenalan<br />
petani di Sulsel dengan pupuk an-organik dimulai pada awal program<br />
revolusi hijau yang diusung oleh regim Orde Baru. Pupuk an-organik tidak<br />
bisa disangkal sebagai alasan kuat bagi pemerintah dan petani untuk<br />
melipat gandakan produksi dan produktivitas sector pertanian secara<br />
umum, dan tanaman padi secara khusus. Hingga kini ketergantungan petani<br />
padi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terhadap pupuk an-organik menjadi sangat<br />
tinggi.Untuk mengurangi ketergantungan ini, diperlukan suatu usaha untuk<br />
memenuhi kesejahteraan masyarakat petani tanpa harus mengurangi<br />
kualitas lahan pertanian. Mengacu pada keadaan ini, maka diperlukan<br />
80
program-program tertentu untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia<br />
(anorganik). Langkah yang paling sederhana adalah, mendorong petani<br />
menggunakan pupuk organic, untuk mengurangi ketergantungan terhadap<br />
pupuk kimia.<br />
Ketiga, tingginya biaya transportasi pangan antar pulau di<br />
Indonesia. Persoalan distribusi logistic pangan seringkali menjadi penyebab<br />
tidak tersebarnya pangan dengan merata di Indonesia. Persoalan logistic<br />
pangan semestinya harus sesuai dengan UU 18/2012. Undang-undang ini<br />
dengan terang benderang mengamanatkan penyelenggaraan pangan secara<br />
adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan,<br />
kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Bahkan penanganan<br />
beberapa komoditas pangan secara khusus diatur dalam Perpres 71/2015<br />
tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang<br />
Penting yang antara lain menyebutkan bahwa <strong>Pemerintah</strong> Pusat dan<br />
<strong>Pemerintah</strong> Daerah mengendalikan Ketersediaan Barang Kebutuhan Pokok<br />
dan/atau Barang Penting di seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik<br />
Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang<br />
terjangkau.<br />
Faktor logistic dipandang sangat penting di dalam pengelolaan<br />
pangan karena berdampak terhadap biaya logistik dan tingkat kerusakan<br />
komodita. Biaya logistik pangan yang tinggi dapat dilihat dari biaya<br />
transportasi atau pengangkutan komoditas. Sedangkan tingkat kerusakan<br />
komoditas pangan sangat tinggi, karena sifat komiditas yang mudah rusak<br />
(perishable). Oleh karena itu, manajemen logistik pangan perlu dilakukan<br />
sesuai dengan karakteristik komoditasnya (commodity based), termasuk<br />
dengan penyiapan sistem, kelembagaan, dan infrastruktur pendukungnya.<br />
Salah satu carayang dipandang mampu meningkatkan efisiensi logistik<br />
pangan adalah penggunaan cold chain system yang harus diterapkan secara<br />
simultan pada rantai pasok (supply chain) komoditas tersebut di semua<br />
tingkatan, baik di tingkat produksi, distribusi, hingga pengecer. Agar proses<br />
81
manajemen logistic pangan ini bisa berjalan dengan baik, makapemerintah<br />
dan swasta perlu melakukan pengembangan fasilitas cold chain untuk<br />
mengurangi tingkat kerusakan beberapa komoditas di berbagai wilayah di<br />
Indonesia.<br />
Berdasarkan pengalaman lapangan yang ada, upaya perbaikan<br />
pengelolaan logistik pangan, dapat dilakukan dengan beberapa langkah<br />
berikut ini:<br />
1. Sesuai Undang-Undang, pemerintah dan stake holders lainnya, harus<br />
memiliki petarantai pasok dan saluran distribusi pangan dari tingkat<br />
produksi mikro hingga tingkat konsumsi.<br />
2. Penyediaan infrastruktur logistik berbasis pada komoditas (commodity<br />
based).<br />
3. Pembangunan infrastruktur cold chain, termasuk pembangunan gudang<br />
berpendingin (cold storage) dan penyediaan plugging reefer di simpulsimpul<br />
distribusi/transportasi, seperti di pelabuhan, terminal bongkar<br />
muat, dan sebagainya, dengan tetap berbasis pada jenis komoditas.<br />
4. Penyiapan sarana, prasarana pengelolaan komoditas seperti sub<br />
terminal agro (STA) di sentra produksi pertanian dan pusat<br />
produksi/pengumpulan ikan di sentra produksi perikanan.<br />
5. Pembangunan sistem dan manajemen pergudangan yang terintegrasi<br />
dengan jaringanpemasaran.<br />
6. Penguatan kapasitas dan sumberdaya lainnya bagi pengelola jaringan<br />
penyedia jasa logistik pangan.<br />
7. Membangun simpul-simpul koordinasi dan mendorong sinergitas antar<br />
kementerian dan lembaga, antara pemerintah pusat dan pemerintahpemerintah<br />
daerah dalam pengelolaan logistik pangan nasional.<br />
8. <strong>Pemerintah</strong> dan stake holders lainnya, harus memiliki sistem control,<br />
pemantauan dan pengawasan rantai pasok mulai dari tahap produksi,<br />
distribusi, dan pemasaran. Terutama pada aspekketersediaan pasokan,<br />
82
harga dan kualitas, dengan membangun manajemen sistem informasi<br />
komoditas secara nasional.<br />
Tanggungjawab mewujudkan ketahanan pangan nasional, adalah<br />
tanggungjawab para pihak, baik di pusat maupun daerah, pengusaha atau<br />
pemerintah. Dengan daya tahan pangan yang kuat, Indonesia bisa mandri<br />
secara ekonomi dan politik. Oleh karena itu, beberapa kebijakan atau<br />
regulasi perlu dipertimbangkan secara seksama, antara lain:<br />
1. <strong>Pemerintah</strong> dan swasta harus sepakat menentukan harga dasar pangan<br />
yang menguntungkan petani, dalam arti bisa menjaga keseimbangan<br />
antara biaya produksi dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga<br />
petani, dan kemampuan konsumen. Penentuan harga dasar tidak<br />
mengacu pada harga pasar internasional, karena harga pasar global<br />
mengabaikan pertimbangan biaya produksi dan margin yang diperoleh<br />
pedagang dan petani, serta kemampuan konsumen. Dengan kata lain,<br />
penentuan harga dasar pangan harus berbasis pada biaya produksi,<br />
keuntungan petani dan daya beli konsumen.<br />
2. Jika terjadi spekulasi pasar, dengan fluktuasi harga yang sulit dikontrol,<br />
pemerintah menyiapkan insentif harga kepada petani komoditas<br />
pangan (terutama beras, kedelai, jagung, singkong, gula dan minyak<br />
goring). Langkah ini dimaksudkan sebagai jaminan untuk petani untuk<br />
tetap memiliki spirit memproduksi pangan dalam negeri.<br />
3. Perlu melakukan penataan ulang tata niaga pangan. Pasar bagi<br />
panganstrategis seperti; beras jagung, daging (sapi, ayam, telur),<br />
minyak goring, dan gula pasir perlu diintervensi oleh negara, bahkan<br />
bila perlu harus tetap dikuasai oleh negara dan digunakan sebesarbesarnya<br />
untuk kemakmuran rakyat, dan dikontrol oleh Komisi<br />
Independen Pangan Nasioonal (KIPN).<br />
4. Mengoptimalkan penelitian dan pengembangan benih varietas unggul<br />
yang tahan terhadap anomali iklim dan berumur sedang. Ini dapat<br />
83
dilakukan dengan melibatkan lembaga-lembaga penelitian, perguruan<br />
tinggi, maupun kerjasama bilateral lainnya.<br />
5. Memberikan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit,<br />
pupuk, teknologi dan kemampuan pasar untuk menyerap produk<br />
petani.<br />
6. Memperkuat peranankelembagaanpetani komoditas pangan, yakni<br />
kelompok tani, koperasi, dan ormas tani. <strong>Kelembagaan</strong> petani<br />
diharapkan bisa memiliki akses terhadap lembaga keuangan, asosiasi<br />
komoditas pangan, dan pasar.<br />
7. Menciptakan diversifikasi pangan yang memiliki nilai gizi yang setara<br />
dengan beras dan ekonomis terjangkau oleh rakyat. <strong>Dan</strong> memberikan<br />
pendidikan kepada masyarakat agar tidak memiliki mind set pada<br />
konsumsi beras, sehingga rakyat tidak selalu bergantung pada produksi<br />
beras. Program ini bisa dijalankan bersamaan dengan menemukan<br />
kembali potensi tanaman pangan tradisional (lokal) yang sudah terbiasa<br />
dikonsumsi oleh masyarakat local setempat.<br />
Untuk menunjang budidaya tanaman pangan yang lebih efektif dan<br />
efisien perlu didukung dengan system information manajemen (SIM) data<br />
iklim khususnya curah hujan yang secara kontinyu dapat di-update secara<br />
otomatis dari stasiun-stasiun iklim yang telah dipasang. Selain itu,<br />
Balitklimat telah dan sedang menyusun kalender tanam yang diharapkan<br />
dapat membantu <strong>Di</strong>nas Pertanian, petani dan pelaku agribisnis serta<br />
pengguna lainnya dalam budidaya dan pengembangan tanaman pangan<br />
khususnya dan tanaman-tanaman semusim lainnya.<br />
84
Jebakan Ekonomi Politik Global<br />
Kisah Krisis Pangan di Haiti<br />
• Negara Haiti adalah salah satu penghasil beras. Kemampuan<br />
produksinya 170.000 ton beras/tahun (mencukupi 95 % kebutuhan<br />
domestik). Akan tetapi, krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1995,<br />
yang memaksa Haiti menerima bantuan dari IMF. Melalui bantuan itu,<br />
pemodal IMF mulai memainkan peranan ekonomi politik global,<br />
dengan mensyaratkan penerima bantuan IMF untuk memangkas tarif<br />
tarif impor beras dari 35 % menjadi 3 %. Dampaknya beras dari<br />
Amerika leluasa masuk ke pasar domestik dan menghancurkan sektor<br />
pertanian. Ribuan petani kehilangan mata pencaharian.<br />
• <strong>Dalam</strong> konspirasi ekonomi politik global, krisis ekonomi dijadikan<br />
sebagai alasan kuat untuk mengkapitalisasi modal-modal yang mereka<br />
miliki. Program ini terutama ditujukan kepada negara-negara <strong>Selatan</strong><br />
yang tidak memiliki pilihan alternatif untuk merestrukturisasi<br />
ekonominya. Belajar dari jebakan semacam ini, kita tidak punya pilihan<br />
lain, kecuali memperkuat kapasitas masyarakat untuk mempersiapkan<br />
kebutuhan dasar mereka secara mandiri. Inilah salah satu alasan<br />
Syahrul Yasin Limpo (Gubernur Sulsel) menjadikan Sulsel sebagai<br />
lumbung pangan nasional (overstock beras).<br />
Sejak era reformasi, (20 tahun terakhir), pemerintah RI baik<br />
secarasengaja maupun tidak sengaja telah mengadopsi kebijakan pangan<br />
ala neo-liberal yang sangat pro pasar bebas (free-market). Kebijakan<br />
tersebut adalah jebakan ekonomi politik global yang dikendalikan oleh dua<br />
lembaga keuangan internasional yaitu IMF dan Bank Dunia. Jebakan itu<br />
berisi antara lain:<br />
a. Penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor<br />
komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula,<br />
daging, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan<br />
85
ahan pangan (contohnya merubah BULOG dari lembaga pemerintah<br />
non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah).<br />
b. Setiap kenaikanharga berbagai bahan pangantidak memberikan<br />
keuntungan relative bagi petani. Nilai tambah dari kondisi membaiknya<br />
harga bahan pangan ternyata dinikmati oleh pelaku pasar (pedagang).<br />
Pihak yang paling diuntungkan dari hasil overstock beras yang sudah<br />
mencapai 2,5 juta ton di provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, menunjukkan bahwa<br />
pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dalam rantai<br />
perdagangan beras adalah pengusaha penggilingan (huller), pedagang<br />
besar dan pedagang pengecer.<br />
Dua jenis kebijakan ini memberikan dampak secara langsung<br />
maupun tidak langsung, yang dapat merugikan petani sebagai produsen<br />
beras. Kerugian petani ini dapat dilihat pada nilai tukar petani (NTP) yang<br />
dari tahun ke tahun tidak mengalami peningkatan yang significant,<br />
sebagaimana nilai tukar yang dialami oleh sector lain diluar sector<br />
pertanian. Nilai tukar petani (NTP) Sulsel dua tahun terakhir (2015-2016)<br />
berkisar antara 105-106. <strong>Dan</strong> nilai tukar petani pada provinsi lain berkisar<br />
antaa 101-104. Nilai tukar petani yang bergerak lamban ini menunjukkan<br />
usaha pada sector pertanian tidak memberikan nilai tambah yang dapat<br />
berkontribusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani,<br />
dibandingkan dengan masyarakat yang berusaha pada sector nonpertanian.<br />
Secara nasional, data BPS memperlihatkan bahwa NTP pertanian<br />
menurun dari 102,12 pada Juli 2014 menjadi 100,65 pada Juli 2017. Akan<br />
tetapi, pada periode yang sama,BPS juga menyajikan data, bahwa jumlah<br />
penduduk miskin di perdesaan berkurang dari 17,77 juta orang atau 14,17<br />
persen dari total penduduk desa pada Maret 2014 menjadi 17,10 juta orang<br />
atau 13,93 persen dari total penduduk desa pada Maret 2017. Secara<br />
factual dapat disimpulkanbahwa penduduk desa adalah representasi dari<br />
keberadaan petani, maka data yang disajikan BPS bertolak belakang dengan<br />
86
apa yang diindikasikan oleh penurunan NTP di satu sisi, dandata kemiskinan<br />
perdesaan pada sisi lain yang menunjukkan bahwa sebagian besar petani<br />
mengalami peningkatan kesejahteraan.<br />
Data BPS menggambarkan perspektif yang berbeda tentang fitur<br />
kesejahteraan masyarakat yang berusaha pada sector pertanian. Pada satu<br />
issue, BPS menyajikan informasi terjadinya penurunan kemiskinan<br />
masyarakat pedesaan (setidaknya yang terjadi antara tahun 2014-2017).<br />
Data ini mengisyaratkan pada periode 2014-2017 terjadi peningkatan<br />
kesejahteraan masyarakat pedesaan (masyarakat desa adalah didominasi<br />
oleh masyarakat tani). Namun pada saat yang bersamaan, terjadi<br />
penurunan NTP dan terjadi kenaikan nilai tukar usaha pertanian (NTUP),<br />
yang meningkat dari 106,18 pada Juli 2014 menjadi 109,75 pada Juli 2017.<br />
NTUP menggambarkan peningkatan insentif harga bagi usaha pertanian tiga<br />
tahun terakhir.<br />
Fakta-fakta ini setidaknya dapat mengilustrasikan, NTUP meningkat<br />
karena indeks harga yang diterima meningkat lebih besar daripada<br />
peningkatan harga masukan usaha tani. Periode Juli 2014-Juli 2017, indeks<br />
harga yang diterima petani naik 13,19 persen, sedangkan indeks harga<br />
masukan usaha tani naik 9,44 persen. Fakta ini menggugurkan asumsi<br />
beberapa pihak yang menjelaskan bahwa insentif harga usaha tani<br />
menurun tiga tahun terakhir, tidaklah konsisten dengan data peningkatan<br />
NTUP. Akan tetapi, pertanyaan yang membutuhkan argumentasi adalah,<br />
kenapa nilai NTP cenderung menurun? Beberapa argumentasi berikut<br />
mungkin dapat mengklarifikasi data yang disajikan BPS yang kelihatannya<br />
seperti saling kontras. Pertama, NTP menurun karena relatif tingginya inflasi<br />
di perdesaan, tecermin dari peningkatan indeks harga konsumen sebesar<br />
17,37 persen pada periode Juli 2014-Juli 2017, lebih tinggi daripada<br />
peningkatan harga yang diterima petani (13,19 persen) dan daripada<br />
peningkatan indeks harga masukan usaha tani (9,44 persen).<br />
87
Kedua, nilai tukar barter (BTT) dan barang konsumsi rumah tangga<br />
usaha pertanian (RTUP) mencakup hasil usaha pertanian dan nonpertanian.<br />
Dari fakta bahwa laju peningkatan harga hasil usaha pertanian<br />
lebih rendah daripada laju peningkatan harga barang konsumsi, dapat pula<br />
disimpulkan BTT sektor pertanian dengan sektor non-pertanian cenderung<br />
menurun. Secara teoretis, fenomena penurunan BTT sektor pertanian<br />
dengan sektor non-pertanian adalah normal atau alami. Fenomena itu<br />
terjadi terutama karena seiring peningkatan pendapatan konsumen,<br />
elastisitas permintaan terhadap produk pertanian cenderung menurun,<br />
sementara elastisitas permintaan produk non-pertanian cenderung naik.<br />
Akibatnya, permintaan terhadap produk pertanian meningkat lebih kecil<br />
dibandingkan produk non-pertanian sehingga harga produk pertanian<br />
relatif semakin lebih murah daripada produk non-pertanian. Ini<br />
menunjukkan laju permintaan produk pertanian jauh lebih lamban<br />
dibandingkan dengan permintaan terhadap produk non-pertanian. Karena<br />
itu, meskipun secara kuantitatif nilai produk pertanian mengalami<br />
peningkatan, akan tetapi tertinggal jauh oleh nilai-nilai produk nonpertanian.<br />
Ketiga, data BPS juga menggambarkan, pada periode Juli 2014-Juli<br />
2017, inflasi di perkotaan mencapai 11,50 persen, lebih rendah daripada<br />
inflasi di perdesaan sebesar 17,37 persen. Berbedanyatingkat inflasi<br />
(tingginya inflasi di perdesaan),menunjukkan terjadinyaketimpangan<br />
prasarana dan struktur pasar antaradesa dankota. Dengan asumsi bahwa<br />
produk non-pertanian yang dikonsumsi penduduk perdesaan dihasilkan<br />
atau didistribusikan dari perkotaan, maka dapat disimpulkan bahwa<br />
tingginya inflasi di perdesaan merupakan bukti inefisiensinya distribusi<br />
barang antara desa dan kota. Dengan argumentasi ini maka untuk<br />
memperkuatNTP, hal yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem<br />
distribusi barang atau integrasi perekonomian desa-kota. Program integrasi<br />
ekonomi desa-kota tak hanya penting untuk mendukung peningkatan NTP,<br />
88
tetapi juga mendorong pertumbuhan perekonomian desa maupun kota<br />
secara umum, serta mengurangi kesenjangan pembangunan wilayah<br />
perdesaan dan perkotaan, dan antara sektor pertanian dan non-pertanian.<br />
2.5. Perdebatan Tentang Subsidi<br />
<strong>Di</strong> dekati dari sisi apapun, sector pertanian hanya menjadi<br />
pendukung sector lain. Kekalahan demi kekalahan yang menimpa ekonomi<br />
petani (khususnya petani padi) perlu mendapat perlindungan dan intervensi<br />
pemerintah secara serius. Sebelum masyarakat tani secara massif<br />
meninggalkan sector pertanian, dan menjadi beban pemerintah pada sector<br />
lain di perkotaan. <strong>Di</strong> negara-negara maju seperti USA, pemerintahnya masih<br />
memberikan subsidi yang besar kepada petaninya. Hingga kini, USA masih<br />
memberikan subsidi sebesar USD 20 milyar kepada petaninya setiap<br />
tahun.Subsidi pertanian ini sama halnya dengan memindahkan uang dari<br />
pembayar pajak ke pemilik lahan usaha tani. Pembenaran dari transfer ini<br />
dan efeknya cenderung kompleks dan kontroversial, terutama berkaitan<br />
dengan harga produk pertanian yang ditawarkan oleh negara-negara maju<br />
kepada negara-negara miskin dan berkembang.<br />
<strong>Dalam</strong> bentuk apakah intervensi pemerintah harus dilakukan? Salah<br />
satu jalan yang masih dijalankan oleh sejumlah negara maju adalah<br />
memberikan subsidi. Bagaimana mengoperasikan subsidi pertanian?<br />
Subsidi pertanian adalah subsidi dari pemerintah yang dibayarkan kepada<br />
petani dan pelaku agribisnis untuk melengkapi sumber pendapatan mereka,<br />
mengelola suplai komoditas pertanian, dan mempengaruhi permintaan dan<br />
penawaran komoditas tertentu. Komoditas yang disubsidi bervariasi mulai<br />
dari hasil tanaman sampai hasil peternakan. Subsidi dapat berupa secara<br />
89
keseluruhan pada suatu komoditas, atau hanya pada sebagian tujuan<br />
penggunaan tertentu saja.<br />
Meskipun subsidi dianggap sebagai salah satu keberpihakan<br />
pemerintah untuk melakukan intervensi, dengan tujuan membantu petani,<br />
khususnya petani kecil, akan tetapi konsep subsisi mendapat kritik dari<br />
banyak pihak, antara lain yang menjadi sorotan adalah: subsidi komoditas<br />
yang diekspor akan menyebabkan terjadinya penurunan harga komoditas<br />
sehingga menyediakan harga pangan murah bagi konsumen di negaranegara<br />
miskin dan berkembang, namun harga yang rendah ini tidak<br />
menguntungkan bagi petani yang tidak menerima subsidi. Kedua, negaranegara<br />
berkembang tidak memiliki kemampuan untuk menyiapkan subsidi<br />
bagi seluruh petaninya. Jika ada petani yang disubsidi dan ada yang tidak<br />
disubsidi, maka kemampuan bersaing bagi petani yang tidak mendapatkan<br />
subsidi akan semakin rendah. Padahal, negara berkembang memiliki<br />
keuntungan dalam memproduksi bahan pertanian, namun harga bahan<br />
pangan yang rendah menjadikan petani sangat bergantung pada<br />
keberadaan pembeli dari negara maju. Sehingga petani lokal cenderung<br />
tidak mandiri di negara sendiri, bahkan terlempar dari pasar domestik. Hal<br />
ini dikarenakan politik dumping di mana petani yang disubsidi dapat<br />
"melempar" bahan pangan murah ke pasar luar negeri pada tingkatan harga<br />
yang murah, namun petani yang tidak disubsidi tidak bisa bersaing. Artinya,<br />
subsidi pertanian akan bisa menurunkan harga pangan, dengan demikian,<br />
petani yang tidak disubsidi di negara berkembang tidak dapat bersaing, dan<br />
efeknya dapat meningkatkan jumlah kemiskinan di kalangan petani yang<br />
tidak mampu bersaing dengan harga pangan yang murah.<br />
Pengalaman global selalu ditunjukkan oleh pihak yang tidak setuju<br />
dengan sistem subsidi. Menurut mereka, apa yang dirasakan oleh Negara<br />
Haiti adalah contoh faktual tentang negaraberkembang yang terpengaruh<br />
secara negatif dari keberadaan subsidi pertanian di negara maju. Semula,<br />
Haiti memiliki kemampuan memproduksi beras dan pernah swasembada.<br />
90
Namun kini Haiti tidak memproduksi cukup beras untuk penduduknya.<br />
Lebih dari 60 persen bahan pangan di negara tersebut adalah hasil impor.<br />
Keadaan ini terjadisetelah liberalisasi ekonomi dan turunnya tarif impor,<br />
beras yang diproduksi di dalam negeri tidak mampu bersaing dengan beras<br />
murah bersubsidi dan diproduksi secara efisien karena mekanisasi<br />
pertanian, yang diimpor dari Amerika Serikat. Sedangkan petani Haiti tidak<br />
menerima subsidi sama sekali. Tarif impor turun sebanyak 50% sejak 1995<br />
dan negara ini mengimpor 80 persen beras yang dikonsumsinya.<br />
Pengalaman ini menurut kelompok yang menolak sistem subsidi sebagai<br />
pengalaman buruk yang bakal dialami oleh negara-negara miskin dan<br />
negara-negara berkembang di dunia, jika terus dipraktekkan sistem subsidi.<br />
Akan tetapi, apakah sistem subsidi untuk kelompok petani tertentu<br />
(kelompok petani menengah ke bawah) juga akan berdampak pada<br />
ketidakmampuan petani lain yang tidak mendapatkan subsidi untuk<br />
bersaing? Intervensi pemerintah melalui subsidi pertanian mempengaruhi<br />
mekanisme pasar yang secara normal menentukan harga komoditas, dan<br />
seringkali menyebabkan produksi tanaman pertanian berlebih dan<br />
diskriminasi pasar. Subsidi juga menjadikan ekonomi tidak adil, karena<br />
meningkatkan penghasilan suatu kalangan saja.Untuk menjawab keraguan<br />
ini, subsidi pada sector pertanian (khususnya pangan) hendaknya diberikan<br />
terbatas kepada petani-petani menengah ke bawah.<br />
Secara ilmiah keraguan di atas dapat difahami jika subsisi yang<br />
dilaksanakan ditujukan pada usaha pertanian skala besar, karena dapat<br />
menyebabkan pertanian monokultur berkembang dan menjadi penyebab<br />
utama keruntuhan keragaman hayati tertentu. Bahkan dapat meruntuhkan<br />
jenis koloni lebah tertentu. Penyerbukan yang dilakukan oleh lebah adalah<br />
suatu jasa yang sangat penting di dalam ekosistem dan berbagai produksi<br />
pertanian, terutma hortikultura. Selain itu besarnya subsidi yang<br />
menargetkan pada usaha industri daging dan susu akan menyebabkan<br />
masalah lingkungan terkait pelepasan gas metana yang menjadi<br />
91
penyumbang emisi gas rumah kaca. Industri daging menyebabkan tekanan<br />
pada lingkungan karena setiap kilogram daging yang dihasilkan<br />
membutuhkan air sebanyak 60 kali lebih banyak dibandingkan yang<br />
dibutuhkan kentang untuk menghasilkan jumlah yang sama.<br />
2.6. Tata Kelola <strong>Pemerintah</strong>anTentang Pangan<br />
<strong>Dalam</strong> pandangan ekonomi politik, regulasi apapun yang dipilih<br />
oleh pemerintah selalu memiliki kepentingan tertentu. Sedangkan dalam<br />
teori tata kelola pemerintahan, kebijakan pemerintahan adalah wujud dari<br />
cara pemerintah untuk melakukan tata kelola pemerintahannya, yang<br />
semestinya berisikan transparansi (akuntabilitas) dalam proses maupun<br />
dalam tata kelolanya, karena pada dasarnya, akuntabilitas publik<br />
merupakan landasan bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. Ia<br />
diperlukan karena aparatur <strong>Pemerintah</strong> harus mempertanggungjawabkan<br />
tindakan dan pekerjaannya kepada publik. Akuntabilitas sebagai<br />
persyaratan mendasar untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan yang<br />
didelegasikan dan menjamin kewenangan tadi diarahkan pada pencapaian<br />
tujuan- tujuan nasional yang diterima secara luas dengan efisiensi,<br />
efektivitas, kejujuran, dan hasil yang sebesar mungkin. (Dwivedy, O.P &<br />
Jabbra, Joseph G. 1988. Public Service Responsibility and Accountability. In<br />
Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. (Editors). Public Service Accountability: A<br />
Comparative Perspective. USA: Kumarian Press, Inc.)<br />
Secara gamblang akuntabilitas diartikan sebagai ‘required or<br />
expected to give an explanation for one’s action,’ dengan kata lain,<br />
akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban<br />
atau penjelasan kinerja seseorang dari apa yang telah dilakukannya. <strong>Dalam</strong><br />
konteks pemerintahan, akuntabilitas publik menghendaki birokrasi dapat<br />
menjelaskan secara transparan (transparency) dan terbuka (opennes)<br />
kepada publik mengenai pilhan dan tindakan apa yang telah dilakukan.<br />
92
Tujuannya,untuk menjelaskanpertanggungjawaban atas apa yang akan atau<br />
hendak dilaksanakan, metode apa yang digunakan untuk melaksanakan<br />
tugas, bagaimanakondisi actual dari pelaksanaannya dan apa dampaknya.<br />
Dengan adanya penjelasan secara transparan dan terbuka, masyarakat<br />
(publik) menjadi tahu apa yang hendak dilakukan, tentang apa yang telah<br />
dilakukan birokrasi publik, berapa besarnya anggaran yang digunakan, dan<br />
bagaimana hasil pekerjaan tersebut. Singkatnya, akuntabilitas dibutuhkan<br />
untuk menjelaskan perencanaan, bagaimana melakukan, dan apa hasilnya.<br />
Sehubungan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang berbasis<br />
pada akuntabilitas, pengelolaan pangan membutuhkan manajemen<br />
pemerintahan yang akuntabel. <strong>Pemerintah</strong> harus memiliki alasan-alasan<br />
rasional dan terbuka kepada public, langkah dan cara apakah yang<br />
digunakan untuk menjamin ketersediaan, kemandirian dan kedaultan<br />
pangan nasional. <strong>Pemerintah</strong> perlu menjelaskan kepada public blue print,<br />
strategi dan kebijakan yang dipilih tentang pengelolaan pangan.<br />
Keterbukaan ini penting karena pangan adalah kebutuhan dasar seluruh<br />
warga negara dan umat manusia. Pada satu sisi kebijakan tentang pangan<br />
adalah kebijakan yang berkaitan dengan kemanusiaan, akan tetapi pada sisi<br />
yang lain, soal pangan adalah soal ekonomi dan politik, yang sangat dekat<br />
dengan eksploitasi dan bisnis, yang berorentasi pada keuntungan yang<br />
sebesar-besarnya. Karena sifatnya yang sangat rentan terhadap eksploitasi<br />
dan tipu muslihat, maka keberadaan pemerintah dalam menata kelola<br />
pangan menjadi sangat strategis dan penting. Masalah pangan sama sekali<br />
tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar, meskipun pasar sangat<br />
dibutuhkan untuk mengatur mekanisme supply and demand dari pangan<br />
itu.<br />
<strong>Dalam</strong> kenyataannya, meskipun birokrasi mampu memenuhi dan<br />
mempertemukan tuntutan dan harapan publik dengan standar kerja<br />
(standard of performance) tentang pangan, tetap saja terdapat suatu ruang<br />
diskresi (pengambilan keputusan secara sepihak) yang cukup luas. Selain<br />
93
akan kurang memberikan kepuasan dalam penyediaan kebutuhan dan<br />
layanan publik, hal tersebut juga berpotensi terbukanya peluang<br />
penyalahgunaan kekuasaan atau praktek yang menyimpang (maladministration).<br />
Wujud mal-administrasi yang seringkali dilakukan selain<br />
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), adalah juga inefisensi dan tindakan<br />
yang kurang profesional serta kurang responsif dan tidak bertanggungjawab<br />
dalam menjalankan tugas, dan tanggungjawabnya serta cenderung<br />
melampaui kewenangannya.<br />
Selanjutnya ketidakmampuan birokrasi untuk<br />
mempertanggungjawabkan sikap, perilaku, dan kebijakannya tentang<br />
pangan kepada public, baik tanggungjawab secara subyektif (responsible)<br />
maupun tanggungjawab secara obyektif (accountable) , dan responsifitas<br />
(responsiveness), menjadikan tidak saja kinerja penyelenggaraan<br />
pemerintahan dan pelayanan publik menjadi jelek, melainkan juga<br />
menjadikan masyarakat tidak puas dengan layanan yang diberikan dan tidak<br />
percaya dengan kinerja pemerintah, meskipun pemerintahan tersebut<br />
legitimate. Oleh karenanya hal tersebut memerlukan kontrol administratif<br />
yang terus menerus (perennial) dengan baik. Berbagai kasus kelangkaan<br />
pangan: daging, gula, minyak goreng, bawang merah dan bawah putih, cabe<br />
dan beras pada bulan-bulan tertentu: puasa, tahun baru, idul fitri dan idul<br />
adha, menjadi contoh nyata dari kegagalan pemerintah melakukan tata<br />
kelola terhadap pangan. Kegagalan bisa terjadi pada aspek perencanaan,<br />
pelaksanaan, atau pengawasan. Kegagalan ini dapat mengundang kelompok<br />
kapitalis untuk mengintervensi pasar, dan meraup keuntungan besar.<br />
Kegagalan pemerintah seperti ini, akan menyebabkan kerugian bagi public.<br />
Masalah kontrol (pengawasan) menjadi penting, bukan saja karena<br />
birokrasi publik dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tangggung<br />
jawabnya memiliki etika dan standar profesional, tapi juga perlu adanya<br />
sarana sanksi (punishment) untuk hal yang menyimpang dari peraturan<br />
perundang-undangan, karena nilai-nilai etika dan standar profesional belum<br />
94
cukup memberikan hukuman, dan keterlibatan yang berlebihan<br />
administrator publik (birokrasi) dalam penyelenggaraan pemerintahan<br />
dimana tidak saja melaksanakan Undang-Undang, tapi juga secara sadar<br />
membuat Undang-Undang dan bahkan membuat keputusan hukum.<br />
Ombudsman melaluiPasal 1 angka 3 UU No.37 Tahun 2008 tentang<br />
Ombudsman Republik Indonesia.Mendefinisikan Maladministrasi adalah<br />
perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang,<br />
menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan<br />
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum<br />
dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh<br />
Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian<br />
materiil<br />
Oleh karena itu, kontrol administratif merupakan aktivitas penting<br />
dalam manajemen pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan<br />
pengawasan. Jika tidak ada kontrol maka ada kemungkinan hasil yang<br />
diinginkan sebagaimana yang ditentukan dalam perencanaan menjadi tidak<br />
terwujudkan. Sebaliknya, tida ada kontrol yang efektif jika tidak ada<br />
perencanaan yang baik,karena perencanaan harus adalah standar untuk<br />
melakukan kontrol. Standar untuk melakukan kontrol dalam organisasi<br />
adalah visi, misi, tujuan dan sasaran, serta kebijakan yang telah dituangkan<br />
sebelumnya dalam suatu perencanaan strategis. Oleh karena itu,<br />
keberadaan perencanaan yang baik (strategic planning), pelaksanaan<br />
(implementation) yang sesuai, pengawasan yang ketat adalah kata kunci<br />
mencapai akuntabilitas untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good<br />
governance).<br />
Untuk efisiensi dan efektivitas control,selain kontrol internal juga<br />
perlu melibatkan kontrol eksternal, dimana terdapat berbagai strategi<br />
untuk melakukan kontrol eksternal. Misalnyadengan melibatkan peran<br />
serta masyarakat maupun dengan bantuan lembaga legislatif. Salah satu<br />
strateginya adalah dengan menekan birokrat untuk berbagi informasi<br />
95
sehingga mereka harus terbuka (opennes) dan transparan (transparency).<br />
Selain itu, lembaga legislatif juga berwenang untuk meminta birokrasi<br />
melaporkan kinerja atau hasil kerja mereka secara berkala maupun<br />
sewaktu-waktu manakala diperlukan. Selain kontrol administratif juga<br />
dikenal kontrol lainnya, seperti kontrol politis dan kontrol yuridis terhadap<br />
<strong>Pemerintah</strong>. Kontrol politis adalah kewenangan parlemen, dan kontrol<br />
yuridis adalah kewenangan yudikatif, baik melalui peradilan administrastif<br />
atau Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) maupun pengadilan umum,<br />
sedangkan hal-hal lain dilakukan oleh masing-masing lembaga (organisasi)<br />
yang ditunjuk oleh perundang-undangannya masing-masing.<br />
<strong>Dalam</strong> menata kelola pangan nasional, pemerintah telah mengalami<br />
dinamika dan perkembanganpenyelenggaraan pemerintahan, terutama<br />
sejak dunia memasuki era globalisasi. <strong>Pemerintah</strong> seluruh dunia dalam<br />
mengelola pangantelah terjadi pergeseran dari paradigma ‘rule of<br />
government’ menjadi ‘good governance.’ <strong>Pemerintah</strong> dalam<br />
menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik<br />
(public services) menurut paradigma ‘rule government’ senantiasa lebih<br />
menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
Sementara dalam paradigma ‘good governance’, dalam penyelenggaraan<br />
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik tidak semata-mata<br />
didasarkan pada <strong>Pemerintah</strong> (government) atau negara (state) saja<br />
melainkan harus melibatkan juga elemen-elemen lain baik di dalam intern<br />
birokrasi maupun juga di luar/ekstern birokrasi publik.<br />
Secara factual pemerintah telah mengalami transformasi paradigma<br />
(meskipun belum semuanya) dimaksudkan untuk membangun peradaban<br />
suatu bangsa. Transformasi paradigma pemerintahan meliputi beberapa<br />
aspek antara lain; (i) perubahan paradigma manajemen pemerintahan dari<br />
orientasi yang serba negara ke orientasi yang serba pasar (market or public<br />
interest), (ii) perubahan paradigma dari orientasi pemerintahan yang kuat,<br />
besar dan otoritarian ke orientasi pemerintahan yang small and less<br />
96
government, egalitarian dan demokratis, dan (ii) perubahan paradigma<br />
sistem pemerintahan dari yang sentralistis dalam pengelolaan<br />
pemerintahan menjadi desentralisasi dalam pengelolaan pemerintahan.<br />
III. DATA DAN FAKTA PANGAN SULSEL<br />
3.1 Jenis Komoditas<br />
3.1.1 Padi<br />
3.1.1.1 Luas Panen<br />
Tabel 3-1. Keragaan Luas Panen Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 rerata<br />
1 Bone 130.015 139.242 141.656 140.355 152.634 130.162 153.165 171.163 176.509 148.322<br />
2 Wajo 113.434 94.216 96.219 118.491 142.342 124.490 133.998 138.593 156.442 124.247<br />
3 Sidrap 72.742 75.104 69.013 80.331 80.880 83.686 86.354 83.450 103.591 81.683<br />
4 Pinrang 82.708 82.670 90.355 78.348 90.380 94.079 94.881 101.534 103.504 90.940<br />
5 Luwu 52.555 63.628 58.238 40.951 52.744 64.906 67.472 63.023 69.635 59.239<br />
6 Gowa 48.106 47 51.998 50.339 57.275 62.665 67.297 61.362 65.418 51.612<br />
7 Maros 36.341 41.785 44.571 43.339 46.710 48.042 50.157 64.202 57.904 48.117<br />
8 Soppeng 41.013 43.914 43.796 45.080 45.786 48.059 50.859 38.868 50.823 45.355<br />
9 Bulukumba 43.462 42.374 41.699 43.088 42.142 43.748 42.692 36.408 42.562 42.019<br />
10 Luwu Timur 27.206 29.539 29.245 37.225 36.669 37.648 41.507 34.148<br />
11 Luwu Utara 29.177 31.311 32.889 31.784 35.968 38.550 43.345 39.358 40.304 35.854<br />
12 Takalar 24.344 24.065 27.420 26.229 26.150 26.770 27.626 28.263 29.159 26.670<br />
13 Pangkep 21.807 22.783 24.551 24.058 26.568 29.185 30.509 29.948 28.911 26.480<br />
14 TorajaUtara 16.629 14.835 26.731 18.776 26.708 23.392 28.586 22.237<br />
15 Sinjai 19.993 20.782 23.005 23.670 24.036 24.856 24.626 22.734 24.815 23.169<br />
16 Jeneponto 18.493 16.192 20.081 20.196 21.214 24.200 22.165 21.434 23.795 20.863<br />
17 TanaToraja 27.250 33.790 17.730 19.856 20.600 15.390 20.220 23.020 22.580 22.271<br />
18 Barru 17.126 17.957 18.480 18.508 18.863 21.503 21.589 19.793 21.604 19.491<br />
19 Bantaeng 14.780 13.921 15.271 16.216 15.601 17.049 15.787 13.997 15.849 15.386<br />
20 Enrekang 12.362 12.054 12.422 11.739 12.216 14.782 10.630 10.487 11.294 11.998<br />
97
21 Palopo 5.140 5.611 5.121 3.892 4.735 5.034 3.481 5.098 5.128 4.804<br />
22 Selayar 3.072 2.183 3.999 4.076 4.505 5.537 5.820 5.986 4.808 4.443<br />
23 Makassar 2.983 3.208 3.113 3.410 3.170 3.203 2.961 3.315 3.446 3.201<br />
24 Pare-Pare 951 902 892 902 895 1.210 1.013 954 952 963<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Sesuai dengan kemampuan luas panen komoditi padi yang dimiliki<br />
masing-masing regional tersebut; yang kemudian ditandai oleh empat<br />
warna berbeda pada Tabel 3.1. Untuk kelompok Kabupaten/Kota yang<br />
termasuk dalam kategori warna hijau tua adalah regional-regional yang<br />
memiliki luas lahan padi terbesar di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Kabupaten<br />
Bone sejak tahun 2008 hingga tahun 2016 secara konsisten mengalami<br />
peningkatan atas jumlah luas panen komoditas padi, kecuali tahun 2011<br />
dan tahun 2013. Penurunan yang terjadi pada tahun 2011 sebesar 0,92%<br />
dan sebesar 14,72% pada tahun 2013. Secara rata-rata keseluruhan,<br />
Kabupaten Bone memiliki 148.322Ha lahan untuk komoditas padi dalam<br />
periode 8 tahun dan menjadi kabupaten yang memiliki lahan terluas untuk<br />
panen padi se-Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
Kabupaten Wajo mencerminkan data yang lebih fluktuatif<br />
dibandingkan dengan Kabupaten Bone. <strong>Dalam</strong> periode yang telah<br />
ditentukan, Kabupaten Wajo menduduki posisi kedua tertinggi dengan ratarata<br />
luas lahan padi sebesar 124.247Ha. Tahun 2016 merupakan masa<br />
dimana Kabupaten Wajo memiliki kapasitas lahan terluas sepanjang<br />
periode yang telah ditentukan (156.442Ha), sedangkan tahun 2009 hanya<br />
memiliki luas lahan sebesar 94.216Ha.<br />
Kabupaten Pinrang adalah kabupaten ketiga di Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> yang memiliki luas lahan padi terbesar. Nilai rata-rata luas lahan<br />
padi mencapai 90.940Ha terhitung sejak tahun 2008 hingga tahun 2016.<br />
<strong>Dalam</strong> empat tahun pertama, luas panen komoditi padi menunjukkan tren<br />
negatif hingga pada angka 78.348Ha (2011), namun, sejak tahun 2012<br />
perlahan-lahan meningkat hingga mencapai angka 103.504Ha pada tahun<br />
2016.<br />
98
Kabupaten Sidrap termasuk dalam kategori kabupaten yang<br />
memiliki rata-rata luas lahan panen padi terbesar di Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong>. Pergeseran luas lahan padi dari tahun ke tahun tidak cukup<br />
signifikan, namun pelonjakan perluasan total luas lahan terjadi pada tahun<br />
2016 sebesar 24,13% dari tahun sebelumnya.<br />
Selanjutnya adalah Kabupaten/Kota yang dikelompokkan dalam<br />
warna tabel hijau muda. Secara keseluruhan, terdapat tujuh Kabupaten<br />
yang termasuk dalam kelompok ini yaitu Luwu, Gowa, Maros, Soppeng,<br />
Bulukumba, Luwu Timur, dan Luwu Utara dengan angka luas lahan panen<br />
padi yang sangat fluktuatif dari tahun ke tahun; dan terjadi pada masingmasing<br />
Kabupaten yang disebutkan.<br />
Kabupaten Luwu menunjukkan perubahan lahan yang meningkat<br />
cukup baik pada tahun 2009 dan 2012 dengan persentase peningkatan<br />
sebesar 21,06% dan 28,79% secara berurutan. Sedangkan Kabupaten Gowa<br />
juga mengalami hal yang sama di tahun 2012 dengan persentase perubahan<br />
sebesar 13,77 persen. Sebagai tambahan, Kabupaten Luwu Utara pada<br />
tahun 2014 juga mengalami peningkatan total luas panen padi yang cukup<br />
baik sebesar 12,43% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.<br />
<strong>Di</strong> lain sisi, kabupaten lainnya tidak memiliki perubahan yang cukup<br />
berarti selama delapan tahun berjalan. Sebagai contoh, Kabupaten<br />
Bulukumba memiliki perubahan total luas panen antara tahun 2008 dan<br />
2016 hanya sebesar 2,07% sedangkan kabupaten lain dalam kelompok yang<br />
sama dapat mencapai selisih sebesar 59,33% (Kabupaten Maros).<br />
Dua kelompok terakhir yang ditandai dengan warna merah muda<br />
dan ungu, tetap menunjukkan tren yang sama dengan kelompok<br />
sebelumnya – pergerakan angka yang cukup dinamis dari tahun ke tahun<br />
yang terjadi di seluruh Kabupaten/Kota. Pada dasarnya, semua total lahan<br />
per regional meningkat di tahun akhir (2016) – walaupun tidak signifikan –<br />
jika dibandingkan dengan tahun awal (2008). Salah satu yang cukup<br />
mencuri perhatian adalah Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Palopo.<br />
99
Ha<br />
Kedua daerah tersebut memiliki nilai lahan panen padi pada tahun 2016<br />
yang sedikit lebih rendah daripada tahun 2008. Perbedaannya<br />
menghasilkan selisih sekitar 8,63% dan 0,23% untuk Kabupaten Enrekang<br />
dan Kabupaten Palopo secara berurutan.<br />
Selain itu, Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Tana Toraja juga<br />
cukup menyita perhatian dengan elastisitas peningkatan lahan panen padi<br />
yang dimiliki. Pada tahun 2012, Kabupaten Toraja Utara mengalami<br />
peningkatan lahan yang sangat masif sebesar 80,18% pada saat regional<br />
lain hanya bergerak sekitar 1 hingga 2 persen. Selain itu, di Kabupaten Tana<br />
Toraja pada tahun 2009 juga mengalami peningkatan yang cukup besar<br />
sebesar 24% dari tahun sebelumnya.<br />
LUAS PANEN PADI SULSEL(HA)<br />
836,298 862,017<br />
770,733<br />
889,232<br />
981,394 983,107<br />
1,040,024 1,044,030<br />
1,129,122<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
100<br />
Grafik 3.1 Keadaan Luas Panen Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-<br />
2016) (Ha)<br />
Grafik 3.1 menggambarkan perubahan total luas panen padi secara<br />
agregat di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam satuan hektare, sejak tahun<br />
2008-2016. Dapat dilihat bahwa pergerakan total luas panen komoditi padi<br />
di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> cenderung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun<br />
dengan persentase perubahan yang tidak begitu besar. Pada tahun 2008,
luas lahan panen padi sebanyak 836.298Ha yang kemudian berakhir dengan<br />
jumlah 1.129.122Ha pada tahun 2016. Namun, terjadi penurunan total luas<br />
panen padi pada tahun 2010 sebesar 91.284Ha dari tahun sebelumnya.<br />
20.00%<br />
Tingkat Pertumbuhan Luas Panen (%)<br />
15.00%<br />
10.00%<br />
5.00%<br />
0.00%<br />
-5.00%<br />
-10.00%<br />
15.37%<br />
10.36%<br />
8.69%<br />
7.37%<br />
8.15%<br />
5.79%<br />
4.51%<br />
3.08%<br />
2.90%<br />
1.83%<br />
2.31%<br />
0.17% -0.27% 0.39%<br />
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
-5.71%<br />
-10.59%<br />
-15.00%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Grafik 3.2. Tingkat Pertumbuhan Luas Panen Sulsel dan Nasional (%)<br />
Grafik 3.2 memberikan informasi mengenai komparasi tingkat<br />
pertumbuhan luas panen untuk komoditi padi antara Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> dan Indonesia secara nasional. Dapat dilihat bahwa baik pada<br />
tingkat provinsi maupun nasional, keduanya cenderung fluktuatif dengan<br />
penurunan yang cukup tajam pada tahun 2010 namun keduanya dapat<br />
bangkit kembali dengan pertumbuhan yang sangat fantastis pada tahun<br />
2011. <strong>Dalam</strong> beberapa tahun, terlihat bahwa pertumbuhan luas panen padi<br />
101
di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> lebih dominan dibandingkan level nasional,<br />
kecuali pada tahun 2013 dan 2015. Pada akhirnya, tahun 2016, Provinsi<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sedikit lebih unggul dibandingkan dengan pertumbuhan<br />
luas panen padi secara nasional.<br />
3.1.1.2 Produksi<br />
Tabel 3.2 Keragaan Produksi Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
menurut Kabupaten/kota 2008-2016(Ton)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Rerata<br />
pertahun<br />
1 Bone 588.523 597.808 688.871 644.279 728.176 643.568 778.818 812.776 887.862 707.853<br />
2 Wajo 525.647 449.359 423.085 601.928 706.875 653.077 709.605 670.980 764.687 611.694<br />
3 Pinrang 441.755 480.185 498.769 448.795 531.800 526.910 544.604 655.016 608.923 526.306<br />
4 Sidrap 375.981 384.224 327.280 427.028 457.986 461.617 488.883 536.012 587.983 449.666<br />
5 Luwu 626.403 325.003 251.753 196.437 245.876 306.969 335.640 308.380 312.382 323.205<br />
6 Gowa 217.991 248.912 267.744 222.037 272.172 317.158 334.366 300.305 322.627 278.146<br />
7 Soppeng 251.861 284.452 252.564 260.220 269.763 275.164 297.706 226.434 280.702 266.541<br />
8 Maros 201.346 218.135 250.280 258.581 245.178 249.659 258.789 351.169 313.972 260.790<br />
9 Bulukumba 203.241 189.577 199.053 228.956 224.373 222.291 225.290 193.585 206.866 210.359<br />
10 Luwu Utara 120.223 133.548 140.189 149.660 158.533 185.383 220.594 180.062 156.475 160.519<br />
11 Pangkep 123.246 129.607 130.777 119.664 138.220 144.797 151.723 152.564 149.070 137.741<br />
12 Luwu Timur - - 117.649 142.508 141.575 187.667 186.212 209.271 200.039 131.658<br />
13 Takalar 112.215 121.814 134.943 120.375 125.231 122.544 132.548 131.447 142.855 127.108<br />
14 Sinjai 98.465 100.773 129.427 114.143 115.965 120.222 120.341 128.777 117.079 116.132<br />
15 Jeneponto 96.981 84.602 113.482 126.474 118.686 127.556 120.174 103.903 105.491 110.817<br />
16 Barru 87.721 97.346 100.168 92.124 100.402 109.057 109.542 111.773 110.206 102.038<br />
17 Tana Toraja 120.000 151.634 79.736 89.029 92.310 67.620 95.249 102.267 113.178 101.225<br />
18 Bantaeng 65.471 72.282 72.299 87.686 83.774 95.275 84.102 73.722 100.728 81.704<br />
19 Toraja Utara - - 83.409 70.764 129.816 80.756 117.995 103.544 131.058 79.705<br />
20 Enrekang 54.765 59.215 54.141 53.224 47.272 63.438 49.815 44.079 45.544 52.388<br />
21 Palopo 22.828 23.880 21.807 21.222 26.118 28.364 18.894 28.631 30.129 24.653<br />
22 Selayar 11.131 9.201 17.280 20.653 22.186 26.635 26.480 29.270 20.401 20.360<br />
23 Makassar 13.783 13.781 13.492 11.871 15.784 13.993 13.701 12.490 13.653 13.616<br />
24 Pare-Pare 4.283 4.514 4.243 4.046 4.937 6.112 5.282 5.349 5.169 4.882<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.2 memberikan informasi mengenai produktivitas komoditi<br />
padi dari masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Dari<br />
seluruh data yang didapatkan, kami mengelompokkan menjadi empat<br />
102
kelompok besar yang terdiri atas beberapa Kabupaten/Kota yang<br />
mendapatkan rata-rata hasil produksi padi pada tingkat tertentu dan<br />
diindikasikan dengan perbedaan warna tabel. Pada kelompok rata-rata<br />
produksi padi tertinggi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>,Kabupaten Bone adalah regional<br />
yang dapat menghasilkan padi terbanyak dengan rata-rata total produksi<br />
sebesar 707.853 ton per tahun. Secara umum, besaran produksi padi di<br />
Kabupaten Bone secara konsisten meningkat dari tahun ke tahun kecuali<br />
pada tahun 2011 dan 2013. Selanjutnya, Kabupaten Wajo, Kabupaten<br />
Pinrang, dan Kabupaten Sidrap mengalami hasil produksi yang fluktuatif<br />
namun dengan perubahan volume yang tidak begitu signifikan.<br />
Kelompok kedua mengindikasikan beberapa daerah dengan ratarata<br />
total produksi padi per tahun antara >200 ton - 100 ton -
erhasil bangkit kembali dengan menaikkan hasil produksi panen padi<br />
sebanyak 13,09% (2016). Secara umum, tidak terdapat daerah yang<br />
mengalami penurunan produksi padi yang mengkhawatirkan. Sebaliknya,<br />
setiap terjadi penurunan hasil produksi, rata-rata diikuti dengan<br />
peningkatan hasil produksi setelahnya.<br />
Kelompok terakhir diindikasikan dengan rata-rata total produksi<br />
Ton<br />
4,083,356<br />
4,324,178<br />
4,382,443<br />
4,511,705<br />
5,003,011<br />
5,035,830<br />
5,426,097<br />
5,471,806<br />
5,727,081<br />
PRODUKSI PADI (TON)<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.3. Trend dan Keragaan Produksi Padi Sulsel<br />
Grafik 3.3 menggambarkan dinamika produksi padi di Provinsi<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara keseluruhan yang dihitung dalam satuan ton per<br />
tahun. Dapat dilihat bahwa setiap tahunnya, mulai dari 2008 hingga 2016,<br />
hasil produksi padi di provinsi ini selalu meningkat bahkan mencapai pada<br />
angka 5,727,081 ton pada tahun 2016.<br />
Tingkat Pertumbuhan Produksi Padi (%)<br />
12.00%<br />
10.00%<br />
8.00%<br />
6.00%<br />
4.00%<br />
2.00%<br />
0.00%<br />
-2.00%<br />
10.89%<br />
7.75%<br />
6.75%<br />
5.90%<br />
6.42%<br />
5.02%<br />
5.25%<br />
4.67%<br />
3.22% 2.95%<br />
3.22%<br />
1.35%<br />
0.66%<br />
0.84%<br />
-1.07%<br />
-0.61%<br />
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
105
Grafik 3.4. Tingkat Pertumbuhan Produksi Padi Sulsel dan Nasional<br />
Grafik 3.4 menginformasikan mengenai perbandingan tingkat<br />
pertumbuhan produksi padi pada level provinsi dan level nasional. Dapat<br />
diperhatikan bahwa pertumbuhan komoditi ini sangat fluktuatif sepanjang<br />
tahun dalam periode yang telah ditentukan. Namun secara umum, tingkat<br />
pertumbuhan produksi padi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dapat dikatakan berada di<br />
atas level nasional. Pada tahun 2011, ketika produksi padi secara nasional<br />
merosot pada angka -1,07%, Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> mampu<br />
menghasilkan pertumbuhan produksi padi sebesar 2,95%. Begitu pun di<br />
beberapa tahun setelahnya, dimana produksi tingkat provinsi di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> mampu memproduksi lebih banyak dari rata-rata nasional; sebelum<br />
pada akhirnya hasil produksi Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> menurun pada tahun<br />
2015-2016. Penurunan yang cukup tajam dari hasil produksi padi di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dibandingkan dengan rata-rata nasional terjadi pada tahun<br />
2015, namun kembali bergairah pada tahun 2016 meskipun masih berada<br />
sedikit di bawah rata-rata produksi nasional.<br />
3.1.1.3 Produktivitas<br />
Tabel 3.3. Keragaanproduktivitas padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berdasarkan<br />
kabupaten/Kota, 2008-2016 (Kui/ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Soppeng 61,41 64,77 57,67 57,72 58,92 57,26 58,54 58,26 55,23 58,86<br />
2 Pinrang 53,41 58,08 55,2 57,28 58,84 56,01 57,40 64,51 58,83 57,73<br />
3 Sidrap 51,69 51,16 47,42 53,16 56,63 55,16 56,61 64,23 56,76 54,76<br />
4 Maros 55,4 52,2 56,15 59,66 52,49 51,97 51,60 54,70 54,22 54,27<br />
5 Jeneponto 52,44 52,25 56,51 62,62 55,95 52,71 54,22 48,48 44,33 53,28<br />
6 Bantaeng 44,3 51,92 47,34 54,07 53,70 55,88 53,27 52,67 63,55 52,97<br />
7 Barru 51,22 54,21 54,2 49,78 53,23 50,72 50,74 56,47 51,01 52,40<br />
8 Pangkep 56,52 56,88 53,27 49,74 52,02 49,61 49,73 50,94 51,56 52,25<br />
9 Palopo 44,41 42,55 42,58 54,53 55,16 56,34 54,28 56,16 58,75 51,64<br />
10 Pare-Pare 45,04 50,04 47,57 44,86 55,16 50,51 52,14 56,07 54,30 50,63<br />
11 Sinjai 49,25 48,49 56,26 48,22 48,25 48,37 48,87 56,65 47,18 50,17<br />
106
12 Bulukumba 46,76 44,74 47,74 53,14 53,24 50,81 52,77 53,17 48,60 50,11<br />
13 Luwu Timur 43,24 48,24 48,41 50,41 50,78 55,59 48,19 49,27<br />
14 Wajo 46,34 47,69 43,97 50,8 49,66 52,46 52,96 48,41 48,88 49,02<br />
15 Gowa 45,31 52,59 51,49 44,11 47,52 50,61 49,69 48,94 49,32 48,84<br />
16 Luwu 49,93 51,08 44,95 47,97 46,62 47,29 49,75 48,93 44,86 47,93<br />
17 Takalar 46,1 50,62 49,21 45,89 47,89 45,78 47,98 46,51 48,99 47,66<br />
18 Bone 45,27 42,93 48,63 45,9 47,71 49,44 50,85 47,49 50,30 47,61<br />
19 Toraja Utara 50,16 47,7 48,56 43,01 44,18 44,26 45,85 46,25<br />
20 Tana Toraja 44,04 44,88 44,97 44,84 44,81 43,94 47,11 44,43 50,12 45,46<br />
21 Selayar 36,23 42,15 43,21 50,67 49,25 48,10 45,50 48,90 42,43 45,16<br />
22 Luwu Utara 41,2 42,65 42,62 47,09 44,08 48,09 50,89 45,75 38,82 44,58<br />
23 Enrekang 44,3 49,12 43,58 45,34 38,70 42,92 46,86 42,03 40,33 43,69<br />
24 Makassar 46,21 42,96 43,34 34,81 49,79 43,69 46,27 37,68 39,62 42,71<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.3 memberikan informasi mengenai hasil produktivitas padi<br />
per jumlah luas lahan yang dimiliki oleh setiap Kabupaten/Kota di Provinsi<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Berdasarkan data yang dikumpulkan, kami membagi<br />
menjadi dua kelompok besar dengan tujuan mempermudah proses<br />
identifikasi data. Pada kelompok pertama yang diindikasikan oleh rata-rata<br />
produktivitas padi per area lahan >50 Kui/Ha. Kabupaten Soppeng adalah<br />
daerah yang memiliki rata-rata tertinggi sebesar 58,85 Kui/Ha dengan hasil<br />
produksi per areal lahan setiap tahunnya cenderung stabil sejak tahun 2010<br />
hingga 2016.<br />
<strong>Di</strong> sisi lain, kelompok selanjutnya adalah Kabupaten/Kota yang<br />
memiliki rata-rata produktivitas padi per area lahan
Kui/ha<br />
PRODUKTIVITAS PADI (KUI/HA)<br />
48.83<br />
50.16<br />
49.44<br />
50.74<br />
50.98<br />
51.22<br />
52.17<br />
52.41<br />
51.96<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Tahun<br />
Grafik 3.5. Produktivitas Padi Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.5menggambarkan nilai produktivitas padi dalam satuan<br />
Kui/Ha di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Berdasarkan data yang tersedia, dapat<br />
disimpulkan bahwa produktivitas komoditi padi sejak tahun 2010 secara<br />
konsisten meningkat sampai tahun 2015. Adapun penurunan yang terjadi<br />
pada tahun 2016, tidak begitu signifikan dengan selisih sebesar 0.45 Kui/Ha.<br />
108
53.41<br />
50.16<br />
50.15<br />
50.74<br />
51.00 50.98<br />
51.52<br />
51.22<br />
52.17<br />
51.35<br />
52.41<br />
52.36<br />
51.96<br />
48.94 48.83<br />
49.00<br />
49.44<br />
49.00<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Grafik 3.6. Produktivitas Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
dibandingkan dengan Produktivitas Nasional (Sumber: Kementan<br />
RI, diolah)<br />
Grafik 3.6 menggambarkan perbandingan nilai produktivitas padi<br />
yang dihitung dengan satuan Kui/Ha antara rata-rata Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> dengan rata-rata nasional. Secara umum dapat dilihat bahwa<br />
pergerakan nilai produktivitas padi antar kedua level tersebut sangat<br />
dinamis. Pada tahun 2009, 2011, dan 2014, rata-rata hasil produksi padi di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> lebih tinggi dari rata-rata nasional. Namun, hanya pada<br />
109
tahun 2015, hasil rata-rata produksi padi nasional terlihat sedikit lebih<br />
besar dari Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
5.00%<br />
Tingkat Pertumbuhan Produktifitas Padi (%)<br />
4.00%<br />
4.08%<br />
4.01%<br />
3.00%<br />
2.00%<br />
2.72%<br />
2.35%<br />
2.63%<br />
1.85%<br />
1.00%<br />
0.00%<br />
-1.00%<br />
-2.00%<br />
-3.00%<br />
1.02%<br />
0.12%<br />
0.47% 0.47%<br />
0.46%<br />
2009 2010 2011 2012 2013 2014-0.33%<br />
2015 2016<br />
-0.86%<br />
-1.44%<br />
-2.29%<br />
-1.97%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />
Grafik 3.7. Pertumbuhan Produktivitas Padi Sulsel dan Nasional<br />
Grafik 3.7 menggambarkan pertumbuhan rata-rata produktivitas<br />
padi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan nasional. Untuk tingkat nasional, dapat dilihat<br />
bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan yang besar hingga -2,29% dari<br />
sebelumnya 2,35%. hal serupa kemudian terjadi lagi pada tahun 2016,<br />
dengan penurunan yang cukup drastis hingga mencapai -1,97% dari<br />
110
sebelumnya 4,01%. Kabar baiknya adalah setiap mengalami kejatuhan yang<br />
cukup dalam, rata-rata produktivitas padi kemudian memulih kembali,<br />
seperti yang terjadi pada tahun 2012; dan diharapkan kejadian serupa<br />
dapat terjadi kembali pada tahun 2017.<br />
Sedangkan pada tingkat provinsi, pertumbuhan produktivitas padi<br />
sejak tahun 2014 perlahan-lahan menurun secara berlanjut hingga tahun<br />
2016. Sebagai tambahan, penurunan yang cukup drastis juga terjadi pada<br />
tahun 2010 hingga mencapai titik -1,44% dari sebelumnya 2,72%. Akan<br />
tetapi, kondisi ini kemudian dapat dikembalikan dengan cepat pada tahun<br />
2013; terbukti dengan capaian hasil pertumbuhan produktivitas sebesar<br />
2,63%.<br />
3.1.2 Jagung<br />
3.1.2.1 Luas Panen<br />
Tabel 3.4. Keragaan Luas PanenJagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Jeneponto 45.904 43.693 47.663 50.469 51.766 53.287 49.627 47.955 52.010 49.153<br />
2 Bone 41.553 50.256 43.606 38.879 61.991 25.030 44.138 51.657 66.688 47.089<br />
3 Gowa 34.485 43.026 43.011 38.677 40.195 39.997 42.599 41.445 44.799 40.915<br />
111
4 Bulukumba 34.946 33.960 33.011 30.726 30.787 31.295 29.047 26.642 25.756 30.686<br />
5 Bantaeng 29.406 25.429 27.012 28.532 29.712 29.324 28.983 23.988 25.727 27.568<br />
6 Wajo 12.133 12.650 10.035 17.134 10.660 10.853 16.066 34.188 29.120 16.982<br />
7 LuwuUtara 11.779 17.941 16.132 22.209 19.991 18.347 14.763 6.392 11.555 15.457<br />
8 Pinrang 9.870 13.517 13.521 11.783 13.941 15.463 14.359 12.479 20.794 13.970<br />
9 SidRap 14.769 9.816 16.613 12.321 13.792 10.102 11.763 10.834 16.027 12.893<br />
10 Enrekang 12.477 11.594 12.423 7.373 9.071 8.971 6.457 8.196 14.185 10.083<br />
11 Soppeng 7.162 5.362 8.753 10.394 9.152 6.079 6.928 10.546 19.141 9.280<br />
12 Sinjai 10.473 8.842 7.609 2.417 3.101 3.125 3.046 3.217 4.502 5.148<br />
13 Takalar 7.634 7.161 4.754 2.586 4.199 3.718 3.318 3.923 6.904 4.911<br />
14 Maros 1.586 3.413 4.193 3.435 6.066 3.840 2.866 1.256 9.830 4.054<br />
15 Luwu 2.091 2.246 2.308 5.908 3.791 2.822 4.304 2.232 6.440 3.571<br />
16 LuwuTimur - - 3.860 4.238 3.610 2.933 3.925 3.596 3.716 2.875<br />
17 TanaToraja 1.682 1.190 2.768 4.126 6.468 2.639 1.710 854 2.148 2.621<br />
18 Selayar 1.483 2.735 3.010 2.526 2.229 2.487 2.167 2.648 2.831 2.457<br />
19 Barru 506 1.247 1.338 1.022 1.156 844 766 496 994 930<br />
20 Pangkep 504 1.487 856 1.055 1.499 505 522 684 1.182 922<br />
21 Palopo 220 58 665 492 1.144 1.100 1.160 713 928 720<br />
22 TorajaUtara - - 59 710 822 761 1.026 715 707 533<br />
23 Pare-Pare - 58 170 59 176 505 176 450 775 263<br />
24 Makassar 20 20 15 14 10 19 20 9 14 16<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.4 menjelaskan bahwa dari seluruh data yang dihimpun<br />
kemudian dikelompokkan menjadi empat kelompok besar – ditandai<br />
dengan perbedaan warna masing-masing kelompok. Kelompok pertama,<br />
dengan warna hijau muda, diindikasikan dengan nilai rata-rata luas panen<br />
jagung >20.000Ha. Kabupaten Jeneponto adalah kabupaten dengan ratarata<br />
luas lahan panen jagung terbesar di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang mencapai<br />
49.153Ha selama delapan tahun terakhir. Kabupaten ini kemudian disusul<br />
oleh Kabupaten Bone, Kabupaten Gowa, Kabupaten Bulukumba, dan<br />
Kabupaten Bantaeng dimana tidak ada lonjakan angka yang begitu<br />
signifikan. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada tahun 2011-2013 di<br />
Kabupaten Bone; tahun 2012 terjadi peningkatan lahan sebesar 59,44% dari<br />
tahun sebelumnya, lalu menurun drastis pada 2013 hingga 59,62%.<br />
Selanjutnya pada kelompok dengan nilai rata-rata luas panen di<br />
antara >9.000Ha -
34.188Ha dibandingkan pada tahun sebelumnya yang hanya 16.066Ha.<br />
Selain itu, Kabupaten Pinrang yang awalnya hanya memiliki 9.870Ha (2008)<br />
dapat meningkatkan luas lahan panen hingga mencapai 20.794Ha pada<br />
tahun 2016. <strong>Di</strong>ikuti oleh Kabupaten Soppeng, yang juga hanya memiliki<br />
7.162Ha pada tahun 2008 namun mampu meningkatkan areal panen jagung<br />
hingga 19.141Ha di tahun 2016.<br />
Kelompok Kabupaten/Kota dengan nilai rata-rata luas lahan di<br />
antara >1.000Ha - 10Ha -<br />
285,094<br />
299,669<br />
303,375<br />
297,126<br />
325,329<br />
274,046<br />
289,736<br />
295,115<br />
366,771<br />
LUAS PANEN JAGUNG SULSEL (HA)<br />
400,000<br />
350,000<br />
300,000<br />
250,000<br />
200,000<br />
150,000<br />
100,000<br />
50,000<br />
-<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.8. Keragaan Luas Panen Jagung Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.8 menggambarkan kondisi luas panen jagung secara<br />
agregat di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam satuan Hektare. Dapat dilihat bahwa<br />
terjadi sedikit penurunan pada tahun 2012, namun per tahun 2013 hingga<br />
2016 luas lahan panen untuk komoditi jagung secara konsisten meningkat.<br />
114
Pertumbuhan Luas Panen Jagung (%)<br />
24.28%<br />
17.35%<br />
9.49%<br />
5.11%<br />
5.73%<br />
3.97%<br />
2.40%<br />
1.24%<br />
1.86%<br />
0.41%<br />
-0.70%<br />
-2.06%<br />
-1.29%<br />
2009 2010 2011 2012 2013-3.44%<br />
2014 2015 2016<br />
-6.46%<br />
-15.76%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Grafik 3.9. Pertumbuhan Luas Panen Jagung Sulsel dan Nasional<br />
Grafik 3.9 menggambarkan perbandingan pertumbuhan luas panen<br />
komoditi jagung antara nasional dan Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Secara<br />
umum, pertumbuhan luas panen jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara<br />
konsisten dapat berada di atas rata-rata angka pertumbuhan nasional,<br />
kecuali pada tahun 2013 yang pertumbuhannya menurun cukup tajam<br />
hingga angka -15,76%.<br />
115
3.1.2.2 Produksi<br />
Tabel 3.5. Keragaan Produksi Jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Jeneponto 186.111 194.582 201.446 239.434 253.600 226.060 264.529 271.074 254.009 232.316<br />
2 Gowa 172.610 287.426 213.186 219.407 220.572 213.443 221.932 224.079 275.461 227.568<br />
3 Bone 150.630 205.557 148.293 170.305 255.254 99.766 208.911 290.960 410.317 215.555<br />
4 Bantaeng 152.495 144.381 144.035 172.120 165.783 154.574 169.916 138.915 175.414 157.515<br />
5 Bulukumba 120.575 95.679 135.758 110.263 122.351 117.355 126.137 102.824 108.850 115.532<br />
6 Pinrang 41.098 67.948 81.733 64.674 73.531 77.059 74.148 83.169 138.017 77.931<br />
7 Wajo 57.292 53.744 25.902 76.393 46.409 48.551 78.069 133.369 140.403 73.348<br />
8 LuwuUtara 35.646 54.636 67.562 99.544 95.981 94.433 78.899 36.309 59.927 69.215<br />
9 SidRap 72.579 51.664 90.333 59.475 54.972 39.949 72.026 58.634 96.407 66.227<br />
10 Enrekang 68.744 77.255 59.109 39.877 47.185 41.586 35.951 44.604 91.441 56.195<br />
11 Soppeng 33.877 22.499 47.377 48.881 43.982 27.201 35.811 41.127 93.131 43.765<br />
12 Takalar 33.210 45.196 21.579 13.274 20.037 18.636 16.144 18.015 46.308 25.822<br />
13 Sinjai 29.887 33.750 28.070 7.773 9.220 9.258 14.003 13.340 24.476 18.864<br />
14 Maros 5.562 13.224 14.386 19.037 21.288 16.401 14.273 5.483 50.212 17.763<br />
15 LuwuTimur - - 19.694 17.151 18.094 15.963 21.916 24.755 19.012 15.176<br />
16 Luwu 7.567 6.236 5.781 17.344 13.704 12.360 23.300 10.408 34.126 14.536<br />
17 TanaToraja 5.579 9.854 19.325 24.454 31.179 11.920 8.480 5.099 12.998 14.321<br />
18 Selayar 2.822 6.103 5.510 5.234 5.286 8.935 7.550 8.562 8.498 6.500<br />
19 Pangkep 1.723 7.500 4.573 5.841 3.536 2.263 2.454 3.564 6.114 4.174<br />
20 Palopo 737 963 3.779 1.869 6.396 5.574 5.850 4.737 6.303 4.023<br />
21 Barru 2.214 3.728 4.980 5.153 3.386 3.392 3.871 2.682 5.721 3.903<br />
22 TorajaUtara - - 302 2.444 3.041 2.831 4.870 4.562 3.324 2.375<br />
23 Pare-Pare 364 87 310 154 505 2.606 921 2.097 4.584 1.292<br />
24 Makassar 29 32 20 53 - 88 97 45 75 49<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.5 memberikan informasi mengenai hasil produksi jagung di<br />
masing-masing wilayah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, yang dihitung dengan<br />
satuan ton. Kabupaten Jeneponto menduduki peringkat pertama dengan<br />
rata-rata produksi jagung dalam waktu delapan tahun sebanyak 232.316<br />
ton. Sedangkan Kota Makassar menjadi yang terbawah karena hanya<br />
mampu memproduksi komoditi jagung sebanyak 49 ton dalam periode<br />
waktu yang sama.<br />
116
1,195,691<br />
1,395,742<br />
1,343,044<br />
1,420,154<br />
1,515,329<br />
1,250,202<br />
1,490,991<br />
1,528,414<br />
2,065,125<br />
Informasi menarik yang tertera pada Tabel 14 adalah pencapaian<br />
Kabupaten Bone yang mampu kembali meningkatkan hasil produksi pada<br />
tahun 2014 hingga 109.40% dari tahun sebelumnya, dan secara konsisten<br />
mempertahankan peningkatan produksinya dari tahun ke tahun. Hal serupa<br />
juga dialami oleh Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2011, dimana terjadi<br />
peningkatan produksi yang melambung tinggi sebesar 709,27%<br />
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan Kabupaten Sinjai pada<br />
tahun 2011, nilai produksi jagung yang dimiliki sangat jatuh hingga 72,30%<br />
dari tahun sebelumnya; walaupun demikian, dapat kembali merangkak<br />
untuk meningkatkan hasil produksi komoditi jagung.<br />
PRODUKSI (TON)<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.10. Trend dan Volume Produksi Jagung <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
(ton)<br />
Grafik 3.10 menggambarkan volume produksi jagung di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> secara keseluruhan dalam satuan ton. Secara umum, pergerakan<br />
hasil produksi agregat di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> menunjukkan tren positif<br />
secara berkelanjutan dari tahun ke tahun; terkecuali pada tahun 2013 yang<br />
mengalami penurunan namun langsung kembali bangkit di tahun<br />
berikutnya.<br />
117
Pertumbuhan Produksi Jagung (%)<br />
35.12%<br />
19.26%<br />
16.73%<br />
20.21%<br />
5.74% 6.70%<br />
2.51%<br />
9.88%<br />
8.04%<br />
-3.78%<br />
3.96%<br />
2.68% 3.18%<br />
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
-3.73%<br />
-4.51%<br />
-17.50%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Grafik 3.11. Pertumbuhan Produksi Jagung Sulsel dan Nasional (%)<br />
Grafik 3.11 menunjukkan perbandingan rata-rata persentase<br />
pertumbuhan produksi jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan tingkat nasional. Baik<br />
pada tingkat provinsi maupun tingkat nasional, sama-sama menunjukkan<br />
pergerakan yang sangat dinamis dari waktu ke waktu. Walaupun pada<br />
tahun 2013, rata-rata pertumbuhan produksi jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
berada pada titik -17,50%; dan di bawah persentase nasional, tetapi<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> mampu meningkatkan pertumbuhan produksinya hingga<br />
35,12% pada tahun 2016 mengalahkan kemampuan nasional yang terpaut<br />
di angka 20,21%.<br />
118
3.1.2.3 Produktivitas<br />
Tabel 3.6. Keragaan ProduktivitasJagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Kui/ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Bantaeng 52,11 56,78 53,32 60,33 55,8 52,71 58,626 57,91 68,18 57,31<br />
2 Tana Toraja 33,17 82,81 69,82 59 48,21 45,17 49,591 59,71 60,51 56,44<br />
3 Gowa 50,05 66,8 49,58 56,73 54,88 53,36 52,098 54,07 61,49 55,45<br />
4 Enrekang 55,1 66,63 47,58 54,09 52,02 46,36 55,678 54,42 64,46 55,15<br />
5 Pinrang 41,64 50,27 60,45 54,89 52,74 49,83 51,639 66,65 66,37 54,94<br />
6 Palopo 25,57 59,8 56,83 37,99 55,91 50,67 50,431 66,44 67,92 52,40<br />
7 Takalar 43,5 63,11 45,39 51,33 47,72 50,12 48,656 45,92 67,07 51,42<br />
8 SidRap 49,14 52,63 54,37 48,27 39,86 39,55 61,231 54,12 60,15 51,04<br />
9 Jeneponto 40,54 44,53 42,26 47,44 48,99 42,42 53,303 56,53 48,84 47,21<br />
10 Soppeng 47,3 41,96 54,13 47,03 48,06 44,75 51,69 39 48,66 46,95<br />
11 Pangkep 34,19 50,43 53,42 55,37 23,59 44,81 47,011 52,1 51,73 45,85<br />
12 Luwu Utara 30,26 30,45 41,88 44,82 48,01 51,47 53,444 56,8 51,86 45,44<br />
13 Bone 36,25 40,9 34,01 43,8 41,18 39,86 47,331 56,33 61,53 44,58<br />
14 Barru 43,75 29,9 37,22 50,42 29,29 40,19 50,535 54,06 57,56 43,66<br />
15 Maros 35,07 38,75 34,31 55,42 35,09 42,71 49,801 43,66 51,08 42,88<br />
16 Wajo 47,22 42,49 25,81 44,59 43,54 44,74 48,593 39,01 48,22 42,69<br />
17 Luwu Timur 0 0 51,02 40,47 50,12 54,43 55,837 68,84 51,16 41,32<br />
18 Luwu 36,19 27,76 25,05 29,36 36,15 43,8 54,136 46,63 52,99 39,12<br />
19 Bulukumba 34,5 28,17 41,12 35,89 39,74 37,5 43,425 38,59 42,26 37,91<br />
20 Sinjai 28,54 38,17 36,89 32,16 29,73 29,63 45,972 41,47 54,37 37,44<br />
21 Toraja Utara 0 0 51,27 34 37 37,2 47,466 63,81 47,02 35,31<br />
22 Pare-Pare 16,54 14,92 18,21 26,1 28,69 51,6 52,33 46,6 59,15 34,90<br />
23 Makassar 14,69 16,24 13,59 38 0 46,32 48,5 49,77 53,57 31,19<br />
24 Selayar 19,03 22,31 18,31 20,39 23,71 35,93 34,841 32,33 30,02 26,31<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.6 memberikan informasi mengenai produktivitas jagung di<br />
Kabupaten/Kota Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam satuan Kui/Ha. Kabupaten<br />
Bantaeng menduduki peringkat pertama dengan rata-rata produksi jagung<br />
per luas lahan selama delapan tahun terakhir sebesar 57,31Kui/Ha.<br />
Sedangkan Kepulauan Selayar menduduki peringkat terbawah dengan ratarata<br />
produksi 26,31Kui/Ha. Secara garis besar, seluruh Kabupaten/Kota<br />
yang tertera pada Tabel 17 tidak ada yang mengalami peningkatan ataupun<br />
119
penurunan hasil produktivitas per areal lahan secara signifikan, walaupun<br />
semuanya menggambarkan data yang cenderung fluktuatif.<br />
PRODUKTIVITAS (KUI/HA)<br />
41.94<br />
46.58<br />
44.27<br />
47.8 46.58 45.62<br />
51.46 51.79<br />
56.31<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.12. Trend dan Produktivitas Komoditas Jagung <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> 2008-2016<br />
Grafik 3.12 menggambarkan kondisi produktivitas komoditi jagung<br />
per area lahan yang dimiliki secara agregat di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Dapat<br />
dijustifikasi secara umum bahwa terjadi hasil produksi yang cukup fluktuatif<br />
namun tidak begitu signifikan sejak tahun 2008 hingga 2013. Setelah itu,<br />
secara perlahan-lahan dan konsisten, hasil produksi jagung dapat<br />
meningkat dari waktu ke waktu.<br />
120
Pertumbuhan Produktivitas Jagung (%)<br />
14.00%<br />
12.00%<br />
10.00%<br />
8.00%<br />
6.00%<br />
4.00%<br />
2.00%<br />
0.00%<br />
-2.00%<br />
-4.00%<br />
-6.00%<br />
12.80%<br />
11.06%<br />
8.73%<br />
7.97%<br />
6.67%<br />
4.76%<br />
4.52%<br />
2.99%<br />
2.27%<br />
2.27%<br />
2.45%<br />
0.92%<br />
0.64%<br />
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
-2.55%<br />
-2.06%<br />
-4.96%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />
Grafik 3.13 Tingkat Pertumbuhan Produktivitas Jagung di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> dan nasional (%)<br />
Grafik 3.13 menunjukkan kondisi komparasi antara nasional dan<br />
Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam hal pertumbuhan produktivitas jagung.<br />
Secara umum digambarkan pertumbuhan produksi jagung di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> mengalami pertumbuhan yang sangat tajam; baik itu dengan tren<br />
positif maupun negatif. Sedangkan pada tingkat nasional, hanya terjadi satu<br />
kali peningkatan tajam yang terjadi pada tahun 2012.<br />
121
3.1.3 Kedelai<br />
3.1.3.1 Luas Panen<br />
122<br />
Tabel 3.7. Keragaan Luas Panen Kedelai di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Bone 5.906 10.141 12.068 6.270 5.946 9.393 19.442 15.896 30.591 12.850<br />
2 Wajo 1.317 3.270 2.980 3.011 1.803 5.554 4.556 5.608 4.692 3.643<br />
3 Maros 1.621 1.685 1.634 2.122 2.709 4.385 4.850 2.913 2.457 2.708<br />
4 Soppeng 2.937 2.590 875 3.545 2.063 4.694 2.397 2.430 1.501 2.559<br />
5 Jeneponto 2.295 1.796 2.790 1.278 2.114 2.070 662 1.438 1.589 1.781<br />
6 Gowa 107 379 670 692 778 1.705 860 5.303 471 1.218<br />
7 Takalar 850 819 484 541 633 906 610 1.196 424 718<br />
8 Pangkep 588 620 546 315 683 830 745 719 816 651<br />
9 Bulukumba 15 19 7 88 42 41 517 1.519 1.713 440<br />
10 Luwu 42 995 180 603 548 496 724 140 11 415<br />
11 Pinrang 434 594 432 417 643 110 59 398 93 353<br />
12 Enrekang 301 1.032 364 276 371 226 64 45 33 301<br />
13 Luwu Utara 351 522 86 771 649 68 27 3 5 276<br />
14 Luwu Timur 562 428 142 775 285 69 50 33 4 261<br />
15 Bantaeng 329 267 134 169 326 193 64 99 165 194<br />
16 Sidrap 251 133 97 440 98 34 455 121 52 187<br />
17 Sinjai - 24 - - - - 1 - 1.536 173<br />
18 Tana Toraja 60 47 29 47 51 129 287 142 235 114<br />
19 Selayar 713 213 - - 22 - - - - 105<br />
20 Barru 366 208 122 47 34 - 3 - 69 94<br />
21 Toraja Utara - - 1 - 165 33 17 14 2 26<br />
22 Makassar - 10 - - - - - 19 29 6<br />
23 Palopo - - - 34 1 - - - - 4<br />
24 Pare-Pare 3 - - - - 1 - - - 0<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.7 memberikan informasi mengenai luas panen komoditi<br />
kedelai di masing-masing Kabupaten/Kota Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang di<br />
ukur dalam satuan Hektare. Kabupaten Bone adalah wilayah yang memiliki<br />
luas lahan terbesar untuk panen kedelai di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dengan ratarata<br />
luas lahan sebesar 12.850Ha selama delapan tahun terakhir.<br />
Sedangkan, Kota Pare-pare secara rata-rata tidak memiliki lahan panen<br />
kedelai.
Kabupaten Bulukumba secara berlanjut dapat meningkatkan luas<br />
panen kedelai sejak tahun 2010. Peningkatan sebesar 1.157,14% terjadi<br />
pada tahun 2011, kemudian terulang kembali pada tahun 2015 dengan<br />
peningkatan sebesar 193,81%. Data dari Kabupaten Sinjai juga cukup<br />
menonjol dikarenakan sangat terbatasnya areal panen kedelai di daerah<br />
tersebut, namun pada 2016, Kabupaten Sinjai mampu membuka lahan<br />
seluas 1.536Ha untuk panen kedelai.<br />
Secara umum, banyak wilayah di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang<br />
mengalami penurunan drastis atas lahan produksi komoditi kedelai. Hanya<br />
lima daerah saja yang masih menjaga areal panen kedelainya (ditandai<br />
dengan warna hijau pada Tabel 20). Sedangkan pada jejeran perkotaan di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, cenderung memiliki luas lahan untuk kedelai yang sangat<br />
terbatas.<br />
LUAS PANEN KEDELAI SULSEL (HA)<br />
46,488<br />
36,390<br />
38,036<br />
19,048<br />
25,792<br />
23,641<br />
21,441<br />
19,964<br />
30,937<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.14. Luas Panen Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.14 menggambarkan kondisi luas panen kedelai di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> secara agregat menggunakan satuan Hektare. Dapat dilihat bahwa<br />
123
sejak 2009 hingga 2012 terjadi penurunan luas lahan panen secara<br />
berkelanjutan, namun kembali meningkat sejak tahun 2013 hingga 2016<br />
dan mencapai angka 46.488Ha.<br />
Pertumbuhan Luas Panen Kedelai (%)<br />
54.96%<br />
35.41%<br />
22.31%<br />
22.22%<br />
17.63%<br />
11.78%<br />
4.52%<br />
-0.26%<br />
-2.97%<br />
2009 2010 2011-5.84%<br />
2012 -6.04%<br />
-8.57% -8.34% -9.31% -8.78%<br />
-6.89% 2013 2014 2015 2016<br />
NASIONAL<br />
SULSEL<br />
Grafik 3.15. Pertumbuhan Luas Panen Kedelai Sulsel dan Nasional<br />
Grafik 3.15 memberikan informasi mengenai pertumbuhan luas<br />
panen kedelai pada tingkat nasional dan provinsi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
Secara umum, pertumbuhan luas panen kedelai pada tingkat Provinsi<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berada di atas pertumbuhan nasional kecuali pada tahun<br />
2011. Lebih lanjut, pada tahun 2013 Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dapat<br />
meningkatkan pertumbuhan luas panen kedelai sebanyak 54,96%<br />
sedangkan pada level nasional sedang mengalami depresiasi lahan sehingga<br />
pertumbuhan mencapai angka -2,97%.<br />
124
3.1.3.2 Produksi<br />
Tabel 3.8. Keragaan Produksi Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota , 2008-2016, (Ton)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Bone 11.626 19.414 21.182 10.399 10.909 14.696 29.210 29.398 40.598 20.826<br />
2 Wajo 2.289 4.045 4.101 4.839 1.872 7.869 6.847 11.517 7.536 5.657<br />
3 Soppeng 3.257 5.251 1.380 4.640 2.322 7.858 4.229 4.947 2.497 4.042<br />
4 Maros 1.777 2.081 1.751 3.935 4.526 6.107 7.156 4.298 2.873 3.834<br />
5 Jeneponto 2.642 2.033 2.620 1.679 2.979 2.517 805 2.005 2.341 2.180<br />
6 Gowa 189 553 935 971 1.100 2.573 1.350 7.310 585 1.730<br />
7 Takalar 1.058 1.083 589 626 873 1.211 1.003 2.367 706 1.057<br />
8 Pangkep 1.169 1.162 942 529 894 888 1.055 857 1.247 971<br />
9 Bulukumba 27 38 12 134 69 54 587 2.629 2.430 664<br />
10 Pinrang 748 838 840 732 1.052 185 60 881 138 608<br />
11 Luwu 46 1.049 189 1.081 620 690 1.238 263 16 577<br />
12 Enrekang 487 1.471 452 525 560 301 71 60 42 441<br />
13 LuwuTimur 1.021 538 170 1.288 326 108 86 59 6 400<br />
14 LuwuUtara 383 517 95 1.260 972 117 38 5 7 377<br />
15 Sidrap 387 217 134 710 122 42 519 181 66 264<br />
16 Sinjai - 30 - - - - 2 - 2.233 252<br />
17 Bantaeng 414 321 149 201 382 226 - 127 204 225<br />
18 TanaToraja 96 65 44 52 82 202 327 245 440 173<br />
19 Barru 586 303 124 71 38 - 3 - 86 135<br />
20 Selayar 924 252 - - 23 - - - - 133<br />
21 TorajaUtara - - 1 - 218 48 19 19 2 34<br />
22 Makassar - 17 - - - - - 23 40 9<br />
23 Palopo - - - 45 2 - - - - 5<br />
24 Pare-Pare 2 - - - - 1 - - - 0<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.8 memberikan informasi mengenai tingkat produksi kedelai<br />
di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung dengan satuan ton. Kabupaten<br />
Bone adalah wilayah yang memiliki tingkat produktivitas kedelai tertinggi di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Hal ini terlihat dari peningkatan hasil produksi sejak 2011<br />
hingga 2016 yang cukup konsisten. <strong>Di</strong> lain sisi, Kota Pare-pare menempati<br />
posisi terbawah karena dinilai tidak mampu memproduksi kedelai. Hal ini<br />
didukung oleh data yang menunjukkan hanya pada tahun 2008 dan 2013,<br />
Kota Pare-pare dapat memproduksi kedelai; selebihnya tidak pernah.<br />
125
Kabupaten Luwu pada tahun 2009 mengalami lonjakan produksi<br />
kedelai yang sangat pesat sebanyak 1.049 ton dari tahun sebelumnya yang<br />
hanya mampu menghasilkan 487 ton. Tidak hanya itu, Kabupaten Sinjai juga<br />
pada tahun 2016 mampu memproduksi sebanyak 2.233 ton sedangkan<br />
tahun sebelumnya nihil.<br />
Secara umum, seluruh perkotaan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tidak begitu<br />
mampu untuk memproduksi kedelai di kawasan masing-masing. Hal ini di<br />
dukung oleh data yang menempatkan seluruh perkotaan provinsi pada<br />
urutan tiga terbawah.<br />
PRODUKSI KEDELAI (TON)<br />
29,125<br />
41,279<br />
35,711 33,716<br />
29,938<br />
45,693<br />
54,723<br />
67,192<br />
62,054<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.16. Produksi Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.16 menunjukkan dinamika produksi kedelai secara agregat<br />
di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Dapat dilihat bahwa sejak 2009, Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> mengalami penurunan produksi kedelai hingga tahun 2012.<br />
Sedangkan sejak tahun 2013, hasil produksi kedelai di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
kembali membaik dan terus meningkat hingga 2015.<br />
126
Pertumbuhan Produksi Kedelai (%)<br />
52.63%<br />
41.73%<br />
25.63%<br />
22.44%<br />
19.76%<br />
22.79%<br />
-0.96%<br />
0.86%<br />
-6.92% -6.15%<br />
-7.49%<br />
2009 2010 2011-5.59%<br />
2012 2013 2014 2015 -10.75% 2016<br />
-7.65%<br />
-11.21%<br />
-13.49%<br />
NASIONAL<br />
SULSEL<br />
Grafik 3.17. Pertumbuhan Produksi Kedelai Sulsel dan Nasional<br />
Grafik 3.17 memberikan gambaran perbandingan pertumbuhan<br />
produksi kedelai antara nasional dan Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Secara<br />
umum, pertumbuhan produksi kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> hanya berada di<br />
bawah pertumbuhan nasional pada tahun 2010 dan 2012. Selain dari tahun<br />
tersebut, pertumbuhan produksi kedelai Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berada di<br />
atas pertumbuhan produksi kedelai nasional.<br />
127
3.1.3.3 Produktivitas<br />
Tabel 3.9. Keragaan Produktivitas Kedelai Sulsel Menurut<br />
Kabupaten/kota 2008-2016, (Kui/ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Bone 19,68 19,14 17,55 16,59 18,35 15,65 15,02 18,49 13,27 17,08<br />
2 Pinrang 17,23 14,1 19,44 17,54 16,36 16,82 10,17 22,13 14,84 16,51<br />
3 Bulukumba 17,95 19,94 17,34 15,23 16,43 13,17 11,35 17,31 14,19 15,88<br />
4 Soppeng 11,09 20,28 15,77 13,09 11,26 16,74 17,64 20,36 16,64 15,87<br />
5 Pangkep 19,88 18,75 17,25 16,79 13,09 10,7 14,16 11,92 15,28 15,31<br />
6 Luwu Timur 18,16 12,58 11,96 16,62 11,44 15,65 17,20 17,78 15,00 15,15<br />
7 Wajo 17,38 12,37 13,76 16,07 10,38 14,17 15,03 20,54 16,06 15,08<br />
8 Tana Toraja 15,97 13,87 15,21 11 16,08 15,66 11,39 17,26 18,72 15,02<br />
9 Gowa 17,64 14,58 13,96 14,03 14,14 15,09 15,70 13,78 12,42 14,59<br />
10 Takalar 12,44 13,22 12,17 11,56 13,79 13,37 16,44 19,79 16,65 14,38<br />
11 Enrekang 16,16 14,25 12,42 19,02 15,09 13,32 11,09 13,23 12,73 14,15<br />
12 Luwu Utara 10,92 9,91 11,03 16,34 14,98 17,21 14,07 18,09 14,00 14,06<br />
13 Luwu 11,02 10,54 10,48 17,93 11,31 13,91 17,10 18,81 14,55 13,96<br />
14 Sidrap 15,4 16,31 13,86 16,13 12,45 12,35 11,41 14,96 12,69 13,95<br />
15 Maros 10,96 12,35 10,72 18,54 16,71 13,93 14,75 14,75 11,69 13,82<br />
16 Jeneponto 11,51 11,32 9,39 13,14 14,09 12,16 12,16 13,94 14,73 12,49<br />
17 Bantaeng 12,59 12,03 11,13 11,92 11,72 11,71 0,00 12,86 12,36 10,70<br />
18 Barru 16 14,56 10,13 15,21 11,18 0 10,00 0 12,46 9,95<br />
19 Toraja Utara 0 0 10,14 0 13,21 14,55 11,18 13,43 10,00 8,06<br />
20 Makassar 0 17,38 0 0 0 0 12,33 13,79 5,44<br />
21 Sinjai 0 12,33 0 0 0 0 20,00 0 14,54 5,21<br />
22 Selayar 12,96 11,84 0 0 10,45 0 0 5,04<br />
23 Palopo 0 0 0 13 20 0 0 4,71<br />
24 Pare-Pare 6,05 0 0 0 0 10 0 2,29<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.9 memberikan informasi mengenai kemampuan produksi<br />
kedelai per lahan yang di miliki oleh masing-masing Kabupaten/Kota<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung dengan satuan Kui/Ha. Secara umum, tidak<br />
terdapat perubahan angka produktivitas dengan nilai yang sangat signifikan<br />
dari tahun ke tahun untuk setiap Kabupaten/Kota. Meskipun demikian,<br />
Kabupaten Bone menempati peringkat teratas untuk kategori ini, dengan<br />
rata-rata produktivitas sebesar 17,08Kui/Ha. Sedangkan Kota Pare-pare<br />
128
menempati posisi terendah dengan nilai rata-rata produktivitas sebesar<br />
2,29Kui/Ha.<br />
PRODUKTIVITAS KEDELAI (KUI/HA)<br />
17.67<br />
15.29<br />
16.00<br />
15.11<br />
15.73<br />
15.00 14.77 15.04<br />
13.35<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.18. Keragaan Produktivitas Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.18 menggambarkan keadaan produktivitas kedelai di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara keseluruhan dari tahun 2008 hingga 2016.<br />
Pergerakan yang cukup dinamis namun tidak signifikan terjadi sepanjang<br />
2008-2015, namun pada tahun 2016 kemudian mengalami penurunan<br />
produktivitas kedelai.<br />
129
Pertumbuhan Produktivitas Kedelai (%)<br />
20.00%<br />
15.00%<br />
10.00%<br />
5.00%<br />
0.00%<br />
-5.00%<br />
-10.00%<br />
17.49%<br />
9.53%<br />
7.69%<br />
5.62%<br />
4.64%<br />
4.10% 1.14%<br />
1.10%<br />
-0.99%<br />
1.83%<br />
-5.32%<br />
-1.53%<br />
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015<br />
-4.97%<br />
2016<br />
-5.56%<br />
-4.64%<br />
-15.00%<br />
-20.00%<br />
-25.00%<br />
-24.45%<br />
-30.00%<br />
NASIONAL<br />
SULSEL<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />
Grafik 3.19. Pertumbuhan Produktivitas Kedelai Sulsel dan Nasional<br />
Grafik 3.19 menggambarkan komparasi antara pertumbuhan<br />
produktivitas kedelai di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan nasional. Data<br />
tersebut menunjukkan bahwa pergerakan produktivitas kedelai di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> cukup tajam setiap tahunnya, terutama ketika terjadi penurunan<br />
tahun 2010 dan 2016. Sedangkan dalam cakupan nasional, pertumbuhan<br />
produktivitas kedelai cukup fluktuatif dengan tren negatif sejak tahun 2014<br />
hingga tahun 2016.<br />
130
3.1.4 Kacang Hijau<br />
3.1.4.1 Luas Panen<br />
Tabel 3.10. Keragaan Luas Panen Komoditas Kacang Hijau di Sul Sel<br />
Menurut Kab/kota 2008-2016 (Ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Wajo 2.981 2.942 9.541 8.966 3.013 3.267 5.903 16.624 16.727 7.774<br />
2 Gowa 5.048 5.860 1.265 4.909 3.911 3.013 2.841 4.316 5.522 4.076<br />
3 Jeneponto 2.730 3.013 4.984 5.552 3.487 3.087 3.578 3.326 3.542 3.700<br />
4 Bone 2.487 2.365 2.833 6.426 3.173 1.466 4.072 1.041 1.175 2.782<br />
5 Takalar 2.005 577 608 1.421 1.350 736 1.174 2.211 1.234 1.257<br />
6 Bulukumba 1.426 746 147 844 390 643 847 2.434 81 840<br />
7 Maros 557 771 138 565 383 410 486 525 535 486<br />
8 Soppeng 274 239 155 1.032 204 429 509 238 108 354<br />
9 Pangkep 502 374 96 197 204 224 281 264 609 306<br />
10 Selayar 411 231 531 232 226 193 144 163 471 289<br />
11 Luwu 136 179 168 292 127 224 144 35 35 149<br />
12 LuwuUtara 77 91 164 210 208 206 157 106 110 148<br />
13 Sidrap 150 136 150 102 87 28 29 251 108 116<br />
14 Pinrang 118 202 83 90 146 67 69 43 29 94<br />
15 Bantaeng 124 67 19 77 102 137 25 5 77 70<br />
16 Enrekang 83 48 41 35 57 50 26 26 16 42<br />
17 Barru 94 50 28 59 31 6 14 8 15 34<br />
18 LuwuTimur - - 29 42 19 13 7 19 3 15<br />
19 Pare-Pare 35 17 15 4 13 9 7 9 22 15<br />
20 Makassar 44 18 8 9 11 7 1 9 16 14<br />
21 TanaToraja 1 7 6 13 1 - - - 2 3<br />
22 TorajaUtara - - - - - 9 1 - - 1<br />
23 Palopo 1 5 - 2 - 2 - - - 1<br />
24 Sinjai - - - - - - - - - -<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.10 memberikan informasi mengenai luas lahan panen<br />
komoditas kacang hijau pada masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Secara umum, data menggambarkan kecenderungan<br />
penurunan luas lahan panen kacang hijau khususnya di Kabupaten<br />
Bulukumba pada tahun 2016 yang mengalami penurunan lahan sebesar<br />
96,67% dari tahun sebelumnya. Namun, di sisi lain, Kabupaten Wajo<br />
menempati peringkat pertama sebagai wilayah yang memiliki areal panen<br />
131
kacang hijau terbesar di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dengan rata-rata 7.774Ha.<br />
Sedangkan, Kabupaten Sinjai menempati urutan terakhir dikarenakan tidak<br />
memiliki areal panen komoditi kacang hijau sama sekali.<br />
LUAS PANEN KACANG HIJAU SULSEL (HA)<br />
31,079<br />
31,653<br />
30,435<br />
19,307<br />
17,966<br />
21,009<br />
17,143<br />
14,226<br />
20,315<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.20. Keragaan Luas Panen Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.20 menggambarkan dinamika luas panen kacang hijau di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara keseluruhan dengan satuan hektare. Dapat dilihat<br />
bahwa sejak 2009 hingga 2011, terjadi peningkatan yang cukup signifikan<br />
pada areal lahan panen sebelum kembali turun secara drastis pada tahun<br />
2012. Keadaan areal luas panen yang sangat fluktuatif ini berakhir di angka<br />
30.435Ha pada tahun 2016.<br />
132
Pertumbuhan Luas Panen Kacang Hijau (%)<br />
80.00%<br />
60.00%<br />
40.00%<br />
20.00%<br />
0.00%<br />
-20.00%<br />
-40.00%<br />
55.81%<br />
47.93%<br />
42.80%<br />
16.94%<br />
15.17%<br />
14.25%<br />
10.32%<br />
-6.95% 3.62%<br />
-3.85%<br />
-2.41%<br />
2009 2010-10.43%<br />
2011 2012 -17.02% 2013 2014 2015 2016<br />
-17.59%<br />
-25.69%<br />
-44.84%<br />
-60.00%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />
Grafik 3.21. Pertumbuhan Luas Panen Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> dan Nasional<br />
Grafik 3.21 memberikan gambaran mengenai perbandingan<br />
persentase pertumbuhan luas panen kacang hijau di tingkat nasional dan<br />
provinsi. Pergerakan pertumbuhan luas panen di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sangat<br />
tajam, baik jika mengalami peningkatan maupun penurunan, jika<br />
disandingkan dengan dinamika pertumbuhan luas panen kacang hijau<br />
nasional. Walaupun <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sempat memimpin pertumbuhan<br />
sejak tahun 2013, namun pada tahun 2016, pertumbuhan nasional sedikit<br />
lebih baik daripada Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang berhenti di angka -3,85%.<br />
133
3.1.4.2 Produksi<br />
Tabel 3.11. Keragaan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Wajo 3.175 3.454 11.843 10.829 3.648 3.987 7.745 20.824 16.714 9.135<br />
2 Gowa 6.884 7.992 1.667 6.514 5.608 4.310 3.816 5.805 6.848 5.494<br />
3 Jeneponto 3.166 3.529 6.113 7.545 4.169 3.524 5.226 4.019 4.559 4.650<br />
4 Bone 3.572 3.599 3.615 9.153 4.510 2.021 5.497 1.302 1.086 3.817<br />
5 Takalar 2.324 683 684 1.546 1.788 676 1.637 3.104 1.353 1.533<br />
6 Bulukumba 1.443 778 179 1.040 543 911 1.119 3.491 125 1.070<br />
7 Maros 656 941 211 824 447 486 585 674 671 611<br />
8 Soppeng 336 295 259 1.794 272 545 676 329 101 512<br />
9 Selayar 593 318 745 348 294 250 189 187 797 413<br />
10 Pangkep 611 462 138 284 252 285 411 350 727 391<br />
11 Luwu 205 265 242 372 170 309 196 50 34 205<br />
12 LuwuUtara 109 34 202 250 282 274 265 136 124 186<br />
13 Sidrap 253 237 237 169 141 45 38 356 101 175<br />
14 Pinrang 163 293 124 120 197 100 112 63 38 134<br />
15 Bantaeng 150 85 28 103 144 196 - 6 89 89<br />
16 Enrekang 105 64 53 45 74 67 33 33 13 54<br />
17 Barru 122 65 42 77 38 8 18 11 20 45<br />
18 LuwuTimur 26 30 40 48 20 15 11 27 4 25<br />
19 TanaToraja 1 142 7 14 1 - - - 2 19<br />
20 Makassar 66 30 10 11 14 8 1 11 17 19<br />
21 Pare-Pare 32 17 18 5 12 12 8 10 37 17<br />
22 TorajaUtara - - - - - 12 2 - - 2<br />
23 Palopo 1 7 - 2 - 2 - - - 1<br />
24 Sinjai - - - - - - - - - -<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.11 memberikan informasi mengenai hasil produksi kacang<br />
hijau di Kabupaten/Kota <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung dengan satuan ton.<br />
<strong>Di</strong>hitung secara rata-rata, Kabupaten Wajo menempati urutan pertama<br />
dengan nilai 9.135 ton; sedangkan Kabupaten Sinjai menempati posisi<br />
terakhir dengan nilai nihil. Secara umum, produksi kacang hijau yang<br />
dialami masing-masing daerah pada Tabel 32 kebanyakan mengalami<br />
penurunan produksi.<br />
134
Informasi yang cukup menjadi pusat perhatian adalah Kabupaten<br />
Bulukumba yang mampu mengakselerasikan hasil produksi sebesar 481%<br />
pada tahun 2011, yang sebelumnya hanya mampu menghasilkan 179 ton<br />
kacang hijau. Hal ini senada dengan Kabupaten Soppeng di tahun yang<br />
sama, berhasil meningkatkan hasil produksi kacang hijau menjadi 1.794 ton<br />
dari sebelumnya hanya 259 ton.<br />
PRODUKSI (TON)<br />
41,093<br />
40,787<br />
33,461<br />
23,995 23,299<br />
26,458<br />
22,623<br />
27,620<br />
18,341<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.22. Keragaan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.22 memberikan gambaran total produksi kacang hijau di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara keseluruhan. Dari data dapat disimpulkan bahwa<br />
hasil produksi kacang hijau cukup fluktuatif sepanjang periode; namun hasil<br />
produksi tertinggi terjadi pada tahun 2011 dengan hasil total sebanyak<br />
41.093 ton.<br />
135
Pertumbuhan Produksi Kacang Hijau (%)<br />
80.00%<br />
60.00%<br />
40.00%<br />
55.31%<br />
50.59% 47.67%<br />
20.00%<br />
0.00%<br />
-20.00%<br />
-40.00%<br />
-60.00%<br />
17.02%<br />
19.50%<br />
13.56%<br />
10.99%<br />
5.53%<br />
-2.90%<br />
2009 2010-7.24%<br />
2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
-6.81%<br />
-16.72% -18.93%<br />
-17.96%<br />
-28.00%<br />
-44.95%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />
Grafik 3.23. Pertumbuhan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
dan Nasional<br />
Grafik 3.23 menunjukkan perbandingan pertumbuhan produksi<br />
kacang hijau di level nasional dan level provinsi. Secara garis besar,<br />
pertumbuhan produksi kacang hijau pada tingkat nasional cenderung lebih<br />
stabil dibandingkan dengan Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Walaupun pada<br />
tahun 2011 Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> mengalami pertumbuhan di atas<br />
nasional (55,31%), namun pada 2016 posisi produksi kacang hijau nasional<br />
lebih baik dari <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
136
3.1.4.3 Produktivitas<br />
Tabel 3.12. Keragaan Produktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kab./kota 2008-2016, (Kui/ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Sidrap 16,89 17,45 15,78 16,60 16,21 16,07 13,08 14,18 9,35 15,07<br />
2 Pinrang 13,79 14,50 14,97 13,38 13,49 14,93 16,26 14,71 13,10 14,35<br />
3 Selayar 14,43 13,76 14,04 14,99 13,01 12,95 13,10 11,49 16,92 13,85<br />
4 Luwu Utara 14,18 15,64 12,30 11,92 13,56 13,30 16,88 12,87 11,27 13,55<br />
5 Luwu 15,04 14,79 14,41 12,74 13,39 13,79 13,62 14,24 9,71 13,53<br />
6 Gowa 13,64 13,64 13,18 13,27 14,34 14,30 13,43 13,45 12,40 13,52<br />
7 Soppeng 12,27 12,33 16,69 17,38 13,33 12,70 13,28 13,80 9,35 13,46<br />
8 Barru 12,97 13,04 15,03 13,03 12,26 13,33 12,87 14,02 13,33 13,32<br />
9 Bone 14,36 15,22 12,76 14,24 14,21 13,79 13,50 12,51 9,24 13,31<br />
10 Pangkep 12,18 12,35 14,35 14,39 12,35 12,72 14,61 13,26 11,94 13,13<br />
11 Bulukumba 10,12 10,43 12,21 12,33 13,92 14,17 13,21 14,34 15,43 12,91<br />
12 Maros 11,78 12,21 15,27 14,59 11,67 11,85 12,04 12,83 12,54 12,75<br />
13 Jeneponto 11,60 11,71 12,27 13,59 11,96 11,42 14,61 12,08 12,87 12,46<br />
14 Makassar 14,90 16,61 12,45 13,00 12,73 11,43 8,41 11,98 10,63 12,46<br />
15 Enrekang 12,62 13,27 12,92 12,72 12,98 13,40 12,81 12,51 8,13 12,37<br />
16 Takalar 11,59 11,84 11,24 10,88 13,24 9,18 13,95 14,04 10,96 11,88<br />
17 Wajo 10,65 11,74 12,41 12,08 12,11 12,20 13,12 12,53 9,99 11,87<br />
18 Bantaeng 12,11 12,72 14,96 13,35 14,12 14,31 0,00 11,81 11,56 11,66<br />
19 Pare-Pare 9,06 9,73 11,85 12,00 9,23 11,43 10,82 11,08 16,82 11,34<br />
20 Luwu Timur 0,00 0,00 13,80 11,39 10,53 11,54 15,37 13,98 13,33 9,99<br />
21 Tana Toraja 14,01 13,51 11,00 11,00 10,00 0,00 0,00 0,00 10,00 7,72<br />
22 Palopo 14,11 13,46 0,00 11,00 0,00 10,00 0,00 0,00 6,07<br />
23 Toraja Utara 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 13,33 15,32 0,00 3,58<br />
24 Sinjai 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 35 memberikan informasi mengenai produktivitas kacang<br />
hijau menurut Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dengan satuan Kui/Ha.<br />
Secara rata-rata, Kabupaten Sidrap memiliki nilai tertinggi dengan angka<br />
15,07Kui/Ha selama delapan tahun terakhir. Sedangkan, Kabupaten Sinjai<br />
menempati urutan terakhir. Lebih lanjut, tren yang dihasilkan dari Tabel 35<br />
cenderung ke arah negatif dan tidak ada perubahan produktivitas yang<br />
sangat menonjol di antara Kabupaten/Kota setiap tahunnya.<br />
137
PRODUKTIVITAS (KUI/HA)<br />
12.43<br />
12.97 12.6<br />
13.22 13.2 12.89<br />
13.6<br />
12.89<br />
10.99<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.24. Keragaan Produktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.24 menunjukkan produktivitas kacang hijau di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> secara agregat dalam satuan Kui/Ha. Keadaan produktivitas kacang<br />
hijau yang cukup stabil di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dari tahun ke tahun, dengan tren<br />
yang cenderung negatif sejak tahun 2014 hingga mencapai titik 10,99Kui/Ha<br />
pada tahun 2016.<br />
138
Pertumbuhan Produktivitas Kacang Hijau (%)<br />
15.00%<br />
10.00%<br />
5.00%<br />
0.00%<br />
-5.00%<br />
10.00%<br />
4.34%<br />
4.92%<br />
5.51%<br />
4.63%<br />
2.18%<br />
0.00% -0.15% 0.00%<br />
0.60%<br />
2009 2010 2011 2012 2013<br />
-2.85%<br />
-2.35% 2014 2015 2016<br />
-5.22%<br />
-4.48%<br />
-6.63%<br />
-10.00%<br />
-15.00%<br />
-14.74%<br />
-20.00%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />
Grafik 3.25. PertumbuhanProduktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> dan Nasional<br />
Grafik 3.25 memberikan komparasi antara pertumbuhan<br />
produktivitas kacang hijau nasional dan provinsi. Secara umum,<br />
pertumbuhan produktivitas kacang hijau pada skala nasional mencapai titik<br />
tertingginya pada tahun 2010 (10%) kemudian berfluktuasi dengan cukup<br />
stabil setelahnya. Berbeda dengan tingkat provinsi, <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
menunjukkan tren negatif sejak tahun 2014 yang kemudian menyentuh titik<br />
-14,74% pada tahun 2016 dan jauh tertinggal dari pertumbuhan nasional.<br />
139
3.1.5 Kacang Tanah<br />
3.1.5.1 Luas Panen<br />
Tabel 3.13. Keragaan Luas Panen Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Bone 13.857 9.465 11.517 4.302 7.981 6.647 12.496 9.076 7.646 9.221<br />
2 Bulukumba 4.699 3.873 4.163 2.460 3.454 2.508 2.958 1.871 1.695 3.076<br />
3 Sinjai 3.656 3.020 3.206 628 814 1.282 925 1.259 853 1.738<br />
4 Barru 1.153 1.647 1.497 779 2.120 1.453 1.965 2.305 2.243 1.685<br />
5 Maros 1.104 2.058 2.021 2.196 2.422 1.367 789 796 1.021 1.530<br />
6 Pangkep 971 1.009 974 1.101 1.351 856 934 994 924 1.013<br />
7 Selayar 1.392 1.480 1.130 485 460 526 608 563 516 796<br />
8 Wajo 712 303 1.936 455 325 474 495 507 1.700 767<br />
9 Bantaeng 256 634 581 446 770 701 495 112 1.218 579<br />
10 Jeneponto 413 498 820 441 1.050 611 447 153 474 545<br />
11 Gowa 318 86 785 95 749 350 520 402 706 446<br />
12 Soppeng 243 139 287 699 353 641 676 307 541 432<br />
13 Sidrap 474 339 508 182 365 209 276 124 92 285<br />
14 Enrekang 319 248 317 196 275 286 186 221 258 256<br />
15 LuwuUtara 192 230 165 233 335 216 179 144 72 196<br />
16 Luwu 170 192 194 186 92 238 182 35 38 147<br />
17 Pare-Pare 266 145 57 59 156 70 58 80 150 116<br />
18 TanaToraja 199 88 95 64 61 55 79 104 74 91<br />
19 Pinrang 78 133 56 67 108 142 94 68 40 87<br />
20 LuwuTimur 126 101 107 86 74 60 31 26 15 70<br />
21 Takalar 81 95 103 27 17 32 16 14 23 45<br />
22 TorajaUtara - - 5 - 19 88 50 42 4 23<br />
23 Makassar 11 1 4 5 - - - - - 2<br />
24 Palopo - 1 - - - - - - - 0<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.13 memberikan informasi mengenai luas lahan panen<br />
kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> menurut Kabupaten/Kota yang dihitung<br />
dengan satuan hektare. Berdasarkan nilai rata-rata, Kabupaten Bone<br />
menempati urutan pertama dengan nilai 9.221Ha; sedangkan Kota Palopo<br />
berada di urutan terbawah karena tidak memiliki areal untuk panen<br />
komoditi kacang tanah. Kota Pare-pare adalah satu-satunya perkotaan di<br />
140
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang masih memiliki lahan cukup untuk memproduksi<br />
kacang tanah – rata-rata areal seluas 116Ha.<br />
LUAS PANEN, KACANG TANAH , SULSEL (HA)<br />
30,690<br />
30,528<br />
25,785<br />
24,467<br />
23,351<br />
18,812<br />
24,459<br />
19,203<br />
20,302<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.26. Keragaan Luas Panen Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.26 menunjukkan luas panen kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> secara keseluruhan. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa<br />
pergerakan areal panen kacang tanah cenderung menurun dari waktu ke<br />
waktu. Tahun 2010 merupakan momentum <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki luas<br />
lahan panen kacang tanah sebanyak 10.528Ha, sebelum akhirnya terus<br />
menurun hingga 20.302Ha pada tahun 2016.<br />
141
Pertumbuhan Luas Lahan Kacang Tanah (%)<br />
40.00%<br />
30.00%<br />
30.02%<br />
20.00%<br />
10.00%<br />
0.00%<br />
-10.00%<br />
18.39%<br />
-1.78%<br />
-0.33%<br />
3.72%<br />
5.72%<br />
-3.80%<br />
-3.95%<br />
2009 2010 2011 2012 -7.23%<br />
-4.56% 2013 2014 -9.01% 2015 2016<br />
-13.07%<br />
-20.00%<br />
-15.98%<br />
-19.85%<br />
-19.44%<br />
-21.49%<br />
-30.00%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Grafik 3.27. Pertumbuhan Luas Panen Kacang Tanah Sulsel dan<br />
Nasional<br />
Grafik 3.27 memberikan gambaran mengenai perbandingan<br />
pertumbuhan luas panen kacang tanah antara provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
dan tingkat nasional. Secara umum, pertumbuhan luas lahan panen kacang<br />
tanah yang dialami <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tidak begitu stabil dan cenderung<br />
berada di posisi yang lebih rendah dari nasional. <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> hanya<br />
mampu berada di atas pertumbuhan areal kacang tanah nasional pada<br />
tahun 2010, 2014, dan 2016.<br />
142
3.1.5.2 Produksi<br />
Tabel 3.14. Keragaan Produksi Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Bone 15.710 11.325 13.493 6.984 7.991 10.116 16.612 6.665 11.949 11.205<br />
2 Bulukumba 6.875 4.204 6.246 2.730 4.156 4.617 4.349 2.248 1.770 4.133<br />
3 Maros 1.229 3.563 4.877 5.103 3.019 2.086 1.281 1.123 1.457 2.638<br />
4 Barru 1.722 1.775 2.042 1.111 2.960 2.037 3.343 2.621 3.355 2.330<br />
5 Sinjai 3.532 3.430 3.853 915 898 1.837 1.101 1.331 1.075 1.997<br />
6 Pangkep 1.076 1.849 2.348 2.035 2.024 1.407 1.248 1.571 1.343 1.656<br />
7 Selayar 1.382 1.975 1.615 479 567 745 989 594 499 983<br />
8 Wajo 531 360 1.430 583 229 652 524 676 2.788 864<br />
9 Bantaeng 189 776 771 708 957 959 857 171 1.756 794<br />
10 Jeneponto 365 507 959 1.339 984 925 598 153 509 704<br />
11 Soppeng 484 300 504 1.030 450 764 1.251 406 900 677<br />
12 Gowa 589 114 1.234 142 972 673 662 440 967 644<br />
13 Sidrap 726 531 831 267 690 283 443 164 156 455<br />
14 Enrekang 448 369 497 289 390 345 295 207 322 351<br />
15 LuwuUtara 204 274 228 365 400 196 256 173 108 245<br />
16 Luwu 232 256 284 299 120 233 253 48 59 198<br />
17 TanaToraja 292 126 186 97 95 54 104 177 93 136<br />
18 Pare-Pare 265 147 62 75 240 108 77 81 165 136<br />
19 Pinrang 128 188 87 71 131 128 149 63 79 114<br />
20 LuwuTimur 189 158 184 113 76 81 46 35 22 100<br />
21 Takalar 83 101 154 59 24 42 23 16 27 59<br />
22 TorajaUtara - - 8 - 30 119 54 63 5 31<br />
23 Makassar 17 1 4 13 - - - - - 4<br />
24 Palopo - 1 - - - - - - - 0<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.14 memberikan informasi mengenai jumlah produksi<br />
kacang tanah berdasarkan Kabupaten/Kota yang dihitung dalam satuan ton.<br />
Secara rata-rata, Kabupaten Bone mampu memproduksi sebanyak 11.205<br />
ton dalam kurun waktu delapan tahun – inilah yang menjadikannya<br />
menduduki peringkat pertama di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam hal produksi<br />
kacang tanah. Kebalikannya, Kota Palopo menduduki posisi terakhir karena<br />
143
tidak mampu memproduksi komoditi kacang tanah; sama halnya dengan<br />
Kota Makassar yang hanya mampu memproduksi 4 ton selama delapan<br />
tahun.<br />
Pergerakan angka produksi yang terjadi di masing-masing<br />
Kabupaten/Kota cukup fluktuatif; ada yang menggambarkan tren positif<br />
maupun negatif pada masing-masing jenjang waktu. Kabupaten Wajo cukup<br />
sukses dengan hasil produksi yang stabil setiap tahunnya, kemudian<br />
mencapai titik tertinggi pada tahun 2016 dengan total produksi sebesar<br />
2.788 ton – dimana sebelumnya, pada tahun 2008, kemampuan produksi<br />
hanya 531 ton. Lain halnya dengan Kepulauan Selayar, yang pada awalnya<br />
(2008) mampu memproduksi sebanyak 1.382 ton kacang tanah; namun<br />
pada akhirnya, tahun 2016 hanya mampu menghasilkan 499 ton kacang<br />
tanah.<br />
PRODUKSI KACANG TANAH (TON)<br />
41,898<br />
36,269<br />
32,331<br />
27,402<br />
28,408<br />
34,464<br />
29,403<br />
15,192<br />
19,024<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
144
Grafik 3.28. Keragaan Produksi Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.28 menunjukkan pergerakan produksi kacang tanah dalam<br />
satuan ton di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara agregat. Tahun 2011 merupakan<br />
masa dengan kemampuan produksi kacang tanah terendah di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong>. Namun, <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dapat kembali bangkit dari kejatuhan<br />
tersebut, hingga akhirnya berhenti di angka 29.403 ton pada tahun 2016.<br />
Pertumbuhan Produksi Kacang Tanah (%)<br />
100.00%<br />
80.00%<br />
60.00%<br />
40.00%<br />
20.00%<br />
0.00%<br />
-20.00%<br />
-40.00%<br />
-60.00%<br />
-80.00%<br />
80.37%<br />
54.56%<br />
29.59%<br />
1.02% 0.17%<br />
3.12%<br />
21.32%<br />
-1.57%<br />
-11.29%<br />
-8.95% -5.24% -5.78%<br />
3.67%<br />
2009-10.86%<br />
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
-44.80%<br />
-63.74%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Grafik 3.29. Pertumbuhan Produksi Kacang Tanah Sulsel dan<br />
Nasional<br />
Grafik 3.29 menggambarkan perbandingan antara tingkat provinsi<br />
dan tingkat nasional mengenai pertumbuhan produksi kacang tanah. Secara<br />
garis besar, pertumbuhan produksi kacang tanah nasional tergolong cukup<br />
stabil walaupun sempat jatuh sedikit pada tahun 2011. Hal yang cukup<br />
145
kontras kemudian terjadi pada tingkatan provinsi, dimana <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
menunjukkan pertumbuhan produksi kacang tanah yang sangat fluktuatif.<br />
<strong>Dalam</strong> beberapa tahun, pertumbuhan produksi kacang tanah <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> terlihat mendominasi atas pertumbuhan nasional, kecuali pada<br />
tahun 2009, 2011, dan 2015.<br />
3.1.5.3 Produktivitas<br />
Tabel 3.15 Keragaan Produktivitas Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kab Kota, 2008-2016 (Kui/ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Maros 11,13 17,31 24,13 23,24 12,46 15,26 16,24 14,11 14,27 16,46<br />
2 Pangkep 11,08 18,33 24,1 18,48 14,98 16,44 13,36 15,8 14,53 16,35<br />
3 Soppeng 19,92 21,55 17,57 14,74 12,75 11,92 18,51 13,21 16,64 16,31<br />
4 Sidrap 15,32 15,65 16,35 14,68 18,9 13,54 16,05 13,21 16,96 15,63<br />
5 Gowa 18,53 13,27 15,72 14,99 12,98 19,23 12,73 10,94 13,70 14,68<br />
6 TanaToraja 14,68 14,35 19,55 15,16 15,57 9,82 13,16 17 12,57 14,65<br />
7 LuwuTimur 14,97 15,64 17,22 13,17 10,27 13,5 14,84 13,47 14,67 14,19<br />
8 Barru 14,93 10,77 13,64 14,26 13,96 14,02 17,01 11,37 14,96 13,88<br />
9 Luwu 13,67 13,32 14,66 16,1 13,04 9,79 13,90 13,6 15,53 13,73<br />
10 Enrekang 14,04 14,9 15,69 14,73 14,18 12,06 15,86 9,37 12,48 13,70<br />
11 Pinrang 16,42 14,16 15,48 10,55 12,13 9,01 15,85 9,24 19,75 13,62<br />
12 Takalar 10,22 10,66 14,96 21,81 14,12 13,13 14,38 11,09 11,74 13,57<br />
13 Bantaeng 7,37 12,25 13,27 15,87 12,43 13,68 17,31 15,25 14,42 13,54<br />
14 Jeneponto 8,84 10,19 11,7 30,36 9,37 15,14 13,38 9,98 10,74 13,30<br />
15 Bulukumba 14,63 10,85 15 11,1 12,03 18,41 14,70 12,02 10,44 13,24<br />
16 LuwuUtara 10,63 11,91 13,82 15,69 11,94 9,07 14,30 12,03 15,00 12,71<br />
17 Bone 11,34 11,97 11,72 16,24 10,01 15,22 13,29 7,34 15,63 12,53<br />
18 Selayar 9,93 13,34 14,29 9,89 12,33 14,16 16,27 10,55 9,67 12,27<br />
19 Pare-Pare 9,96 10,14 10,93 13 15,38 15,43 13,28 10,07 11,00 12,13<br />
20 Sinjai 9,66 11,36 12,02 14,58 11,03 14,33 11,90 10,57 12,60 12,01<br />
21 Wajo 7,46 11,89 7,39 12,8 7,05 13,76 10,59 13,34 16,40 11,19<br />
22 TorajaUtara 0 0 16,29 0 15,79 13,52 10,80 15,05 12,50 9,33<br />
23 Makassar 15,07 12,42 11,23 25 0 0 0 9,10<br />
24 Palopo 0 10,76 0 0 0 0 0 1,54<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.15 memberikan informasi mengenai produktivitas kacang<br />
tanah yang dapat dihasilkan dari lahan panen yang dimiliki masing-masing<br />
Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dengan menggunakan satuan Kui/Ha.<br />
146
Secara umum, tidak terdapat perubahan angka yang terlihat cukup<br />
signifikan pada masing-masing wilayah per tahun. Namun, dapat dihitung<br />
dengan menggunakan nilai rata-rata, maka Kabupaten Maros adalah<br />
regional di peringkat tertinggi dalam hal produktivitas lahan untuk<br />
menghasilkan kacang tanah (16,46Kui/Ha). Sementara itu, Kota Palopo<br />
menduduki posisi terakhir dengan nilai rata-rata yang hanya mencapai<br />
1,54Kui/Ha.<br />
PRODUKTIVITAS KACANG TANAH (KUI/HA)<br />
11.82<br />
12.54<br />
16.61 16.52<br />
11.73<br />
15.1<br />
14.09<br />
14.48<br />
9.91<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.30. Keragaan Produktivitas Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.30 menggambarkan produktivitas kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> secara agregat yang dihitung dalam satuan Kui/Ha. Secara umum,<br />
data menunjukkan pergerakan yang cukup stabil untuk produktivitas<br />
komoditi kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dengan tahun 2011 menjadi<br />
momentum pencapaian produktivitas tertinggi; dan tahun 2015 sebagai<br />
tahun dengan produktivitas kacang tanah terendah.<br />
147
Pertumbuhan Produktivitas Kacang Tanah (%)<br />
50.00%<br />
40.00%<br />
30.00%<br />
20.00%<br />
10.00%<br />
0.00%<br />
-10.00%<br />
-20.00%<br />
-30.00%<br />
-40.00%<br />
46.12%<br />
32.46%<br />
28.73%<br />
-1.23% 6.09% 0.00%<br />
12.67%<br />
4.22%<br />
0.00% 0.00%<br />
-5.40%<br />
-0.54%<br />
-1.95%<br />
2009 2010 2011 2012 2013 2014-6.69%<br />
2015 2016<br />
-29.00%<br />
-29.67%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />
Grafik 3.31. Pertumbuhan Produktivitas Kacang Tanah Sulsel dan<br />
Nasional<br />
Grafik 3.31 memberikan gambaran mengenai perbandingan<br />
pertumbuhan produktivitas kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan secara<br />
nasional. Dapat dilihat bahwa pertumbuhan produktivitas yang terjadi di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sangat berfluktuasi tajam, sedangkan pada level nasional<br />
lebih cenderung stabil setiap tahunnya. Meskipun demikian, pertumbuhan<br />
produktivitas kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> cenderung lebih tinggi dari<br />
level nasional kecuali pada tahun 2012 dan 2015.<br />
148
3.1.6 Ubi Kayu<br />
3.1.6.1 Luas Panen<br />
Tabel 3.16. Keragaan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kabupaten/Kota, 2008-2016, (ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Gowa 11.622 11.640 9.565 5.128 11.347 10.595 9.756 14.775 8.222 10.294<br />
2 Jeneponto 7.836 6.472 6.045 6.306 8.719 6.918 5.307 6.528 3.501 6.404<br />
3 Maros 2.269 1.256 2.125 2.613 2.146 1.382 1.430 1.359 1.468 1.783<br />
4 Bulukumba 1.457 1.358 1.284 845 2.493 1.074 1.216 422 60 1.134<br />
5 Bone 594 582 816 883 1.104 477 746 372 288 651<br />
6 Selayar 1.294 517 752 318 388 332 482 499 351 548<br />
7 Pinrang 543 374 486 496 491 427 373 363 260 424<br />
8 Takalar 274 872 569 596 340 190 208 218 324 399<br />
9 Wajo 489 354 389 312 648 394 366 369 221 394<br />
10 TanaToraja 507 736 251 252 453 349 346 339 184 380<br />
11 Enrekang 357 303 299 560 989 233 162 198 161 362<br />
12 LuwuUtara 474 460 319 305 409 351 305 231 134 332<br />
13 Barru 136 211 130 112 328 556 377 330 249 270<br />
14 Luwu 217 333 288 304 249 303 293 112 104 245<br />
15 Sinjai 356 414 423 193 190 167 111 96 31 220<br />
16 Pangkep 154 206 191 271 210 149 93 144 106 169<br />
17 TorajaUtara - - 262 130 263 249 190 183 224 167<br />
18 Makassar 175 163 256 172 128 192 41 27 23 131<br />
19 Sidrap 226 140 165 120 233 67 41 65 73 126<br />
20 LuwuTimur 171 146 148 197 109 112 93 71 71 124<br />
21 Soppeng 366 143 111 65 112 111 44 9 13 108<br />
22 Bantaeng 178 160 71 53 68 61 54 55 26 81<br />
23 Pare-Pare 69 82 50 16 22 21 35 12 13 36<br />
24 Palopo 32 22 15 21 15 10 14 8 - 15<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.16 memberikan informasi mengenai luas panen komoditi<br />
ubi kayu di masing-masing Kabupaten/Kota <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Berdasarkan<br />
nilai rata-rata selama delapan tahun, Kabupaten Gowa menempati urutan<br />
pertama dengan luas lahan sebesar 10.294Ha; disusul oleh Kabupaten<br />
149
Jeneponto (6.404Ha); dan Kabupaten Maros (1.783Ha). <strong>Di</strong> sisi lain, Kota<br />
Palopo merupakan daerah yang memiliki areal panen ubi kayu terkecil di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, yakni hanya 15Ha. Sebagai tambahan, hanya Kota Palopo<br />
yang pada tahun 2016 kemudian tidak memiliki lahan panen ubi kayu sama<br />
sekali.<br />
Tren yang fluktuatif namun tidak begitu tajam dapat terlihat dari<br />
keseluruhan luas panen per masing-masing Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong>. Terkecuali yang terjadi pada Kabupaten Bulukumba pada tahun<br />
2012; Kabupaten Bulukumba dapat mengakselerasikan luas lahannya<br />
menjadi 2.493Ha dari yang sebelumnya hanya 883Ha.<br />
LUAS PANEN UBI KAYU, SULEL (HA)<br />
29,796<br />
26,944<br />
25,010<br />
20,268<br />
31,454<br />
24,720<br />
22,083<br />
26,783<br />
16,107<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
150<br />
Grafik 3.32 Keragaan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.32 menjelaskan mengenai luas panen ubi kayu di <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> secara agregat dengan menggunakan satuan ton. Dapat di lihat<br />
bahwa tren negatif lebih mendominasi sepanjang tahun kecuali<br />
peningkatan areal panen yang terjadi pada tahun 2012 dan 2015 (31.454Ha<br />
dan 26.783Ha secara berurutan).
Pertumbuhan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> dan Nasional (%)<br />
60.00%<br />
55.19%<br />
40.00%<br />
20.00%<br />
0.00%<br />
-20.00%<br />
-40.00%<br />
21.28%<br />
0.63%<br />
-2.43%<br />
0.14%<br />
-4.64% -5.66% -5.84% -5.34%<br />
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 -13.39% 2016<br />
-9.57%<br />
-7.18%<br />
-18.96%<br />
-21.41%<br />
-10.67%<br />
-39.86%<br />
-60.00%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Grafik 3.33. Pertumbuhan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
dan Nasional<br />
Grafik 3.33 menunjukkan kondisipertumbuhan luas panen ubi kayu<br />
di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan nasional. Dari data tersebut, pertumbuhan lahan<br />
luas panen secara nasional tidak mendapatkan banyak perubahan. Berbeda<br />
dengan <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang mengalami banyak titik tajam seperti<br />
perubahan pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2012, 2013, dan 2015.<br />
151
3.1.6.2 Produksi<br />
Tabel 3.17 Keragaan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ton)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Gowa 178.645 180.624 271.625 85.699 269.318 176.756 208.881 317.293 223.901 212.527<br />
2 Jeneponto 121.136 97.380 140.760 121.644 188.330 117.876 123.185 131.903 81.878 124.899<br />
3 Maros 52.049 23.950 46.413 41.393 40.994 22.965 29.667 21.447 48.286 36.352<br />
4 Bulukumba 43.010 34.710 32.678 19.617 47.988 2.375 30.762 9.570 1.127 24.649<br />
5 Bone 9.761 9.479 15.015 14.753 23.945 9.774 15.170 9.758 5.430 12.565<br />
6 Selayar 19.059 6.996 10.773 4.261 7.428 6.401 9.962 10.498 5.917 9.033<br />
7 Takalar 4.176 14.590 14.340 13.282 6.031 3.079 3.655 4.537 7.488 7.909<br />
8 Pinrang 7.765 5.713 7.309 7.666 9.953 8.618 7.376 9.055 5.737 7.688<br />
9 Wajo 7.198 5.103 5.528 5.556 11.556 7.763 7.650 10.711 5.644 7.412<br />
10 TanaToraja 13.723 11.161 4.554 4.839 8.690 5.570 6.259 6.244 3.943 7.220<br />
11 Enrekang 5.631 4.392 5.010 9.328 21.029 4.565 3.135 5.863 2.845 6.866<br />
12 LuwuUtara 7.932 7.161 6.851 6.731 9.103 7.816 6.437 6.020 2.417 6.719<br />
13 Barru 1.820 3.373 3.345 2.250 7.179 11.198 7.571 7.309 9.513 5.951<br />
14 Sinjai 9.721 8.780 10.908 3.615 4.506 3.871 2.016 2.354 508 5.142<br />
15 Luwu 3.393 4.771 4.409 7.082 4.571 5.853 5.554 1.895 1.947 4.386<br />
16 Pangkep 1.828 4.443 4.379 6.376 4.697 2.783 1.878 3.247 1.737 3.485<br />
17 TorajaUtara - - 4.096 2.692 5.088 4.125 3.507 3.540 4.031 3.009<br />
18 LuwuTimur 2.942 2.338 2.594 4.499 2.269 2.312 1.966 1.150 1.306 2.375<br />
19 Makassar 2.640 2.262 4.021 3.563 2.111 3.256 725 461 424 2.163<br />
20 Sidrap 2.919 1.730 2.555 2.357 4.355 1.514 717 1.609 1.476 2.137<br />
21 Soppeng 4.309 1.741 1.477 999 2.100 2.027 786 231 287 1.551<br />
22 Bantaeng 3.469 2.378 1.605 1.220 1.001 935 883 922 470 1.431<br />
23 Pare-Pare 706 1.447 940 312 432 375 454 165 242 564<br />
24 Palopo 545 339 254 390 321 224 281 177 - 281<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.17 memberikan informasi mengenai kapasitas produksi<br />
komoditi ubi kayu per Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung<br />
dalam satuan ton. Berdasarkan hasil rata-rata, Kabupaten Gowa menduduki<br />
peringkat pertama dengan nilai rata-rata produksi selama delapan tahun<br />
sebesar 212.527 ton; diikuti oleh Kabupaten Jeneponto (124.899 ton), dan<br />
Kabupaten Maros (36.352 ton). Sedangkan, Kota Pare-pare dan Kota Palopo<br />
152
menempati posisi dua terendah dengan rata-rata hasil produksi sebanyak<br />
564 ton dan 281 ton secara berurutan.<br />
PRODUKSI UBI KAYU (TON)<br />
682,995<br />
601,437<br />
565,958<br />
504,198<br />
434,862<br />
370,124<br />
433,399<br />
478,486<br />
416,553<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.34. Keragaan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Grafik 3.34 memberikan gambaran mengenai kapasitas produksi ubi<br />
kayu di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara keseluruhan yang diukur dengan satuan<br />
ton. Dapat dilihat fluktuasi jumlah produksi tahunan, yang menempatkan<br />
jumlah produksi tahun 2012 menjadi yang tertinggi (682.995 ton) sepanjang<br />
delapan tahun terakhir.<br />
153
Pertumbuhan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> dan Nasional (%)<br />
100.00%<br />
80.00%<br />
60.00%<br />
40.00%<br />
20.00%<br />
0.00%<br />
-20.00%<br />
-40.00%<br />
-60.00%<br />
84.53%<br />
1.30%<br />
38.31%<br />
8.53%<br />
0.53% 0.55%<br />
10.40%<br />
18.28%<br />
-0.99% -2.09%<br />
-6.98% -7.09%<br />
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
-13.75%<br />
-26.40%<br />
-38.46%<br />
-36.54%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Grafik 3.35. Pertumbuhan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />
Nasional<br />
Grafik 3.35 memberikan gambaran mengenai komparasi<br />
pertumbuhan produksi ubi kayu pada level Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />
nasional. Dapat dilihat bahwa pertumbuhan produksi yang terjadi di tingkat<br />
nasional cenderung lebih stabil walaupun terjadi sedikit penurunan pada<br />
empat tahun terakhir. Sedangkan, pertumbuhan produksi ubi kayu di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> lebih bergejolak, yang membuat pertumbuhan produksi<br />
tahun 2012 menjadi yang tertinggi sepanjang periode tersebut. Meskipun<br />
demikian, baik nasional maupun provinsi, keduanya sama-sama mengalami<br />
pertumbuhan negatif di tahun 2016; tetapi nasional dengan posisi yang<br />
lebih baik dari <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
154
3.1.6.3 Produktivitas<br />
Tabel 3.18. Keragaan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kab/Kota 2008-2016, (Kui/ha)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Sinjai 273,05 212,07 257,82 187,31 237,16 231,80 181,62 245,16 164,40 221,15<br />
2 Barru 133,84 159,88 257,27 200,86 218,87 201,40 200,82 221,48 382,05 219,61<br />
3 Bulukumba 295,20 255,60 254,51 232,15 192,49 22,11 252,98 226,77 187,83 213,29<br />
4 Gowa 153,71 155,18 283,83 167,12 237,35 166,83 214,11 214,75 272,33 207,25<br />
5 LuwuUtara 167,34 155,68 213,72 220,69 222,57 222,68 211,05 260,60 180,64 206,11<br />
6 Maros 229,39 190,68 218,30 158,41 191,03 166,17 207,46 157,81 328,97 205,36<br />
7 Pangkep 118,72 215,70 227,11 235,28 223,67 186,78 201,94 225,48 163,87 199,84<br />
8 Jeneponto 154,59 150,46 232,84 192,90 216,00 170,39 232,12 202,06 233,87 198,36<br />
9 Bone 164,33 162,88 184,01 167,08 216,89 204,91 203,35 262,31 188,54 194,92<br />
10 Takalar 152,41 167,32 251,84 222,86 177,38 162,05 175,72 208,10 231,18 194,32<br />
11 Wajo 147,19 144,16 141,20 178,06 178,33 197,03 209,02 290,27 255,38 193,40<br />
12 TanaToraja 270,66 151,64 169,62 192,02 191,83 159,60 180,90 184,20 214,29 190,53<br />
13 LuwuTimur 172,02 160,12 175,27 228,36 208,17 206,43 211,40 161,91 183,94 189,74<br />
14 Enrekang 157,72 144,94 161,61 166,57 212,63 195,92 193,52 296,13 176,71 189,53<br />
15 Pinrang 143,00 152,77 150,39 154,57 202,71 201,83 197,75 249,44 220,65 185,90<br />
16 Sidrap 129,15 123,56 149,56 196,42 186,91 225,97 174,88 247,59 202,19 181,80<br />
17 Luwu 156,38 143,29 152,95 232,96 183,57 193,17 189,56 169,16 187,21 178,69<br />
18 Bantaeng 194,91 148,63 199,39 230,26 147,21 153,28 163,52 167,68 180,77 176,18<br />
19 Soppeng 117,73 121,74 128,12 153,74 187,50 182,61 178,64 257,16 220,77 172,00<br />
20 Selayar 147,29 135,32 143,13 134,01 191,44 192,80 206,68 210,37 168,58 169,96<br />
21 Palopo 170,26 153,99 169,19 - 214,00 224,00 200,71 221,37 169,19<br />
22 Makassar 140,58 138,76 157,08 207,00 164,92 169,58 176,83 170,81 184,35 167,77<br />
23 Pare-Pare 102,35 176,48 187,92 - 196,36 178,57 129,71 137,90 186,15 143,94<br />
24 TorajaUtara - - 158,41 207,00 193,46 165,66 184,58 193,43 179,96 142,50<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.18 memberikan informasi mengenai produktivitas ubi kayu<br />
di masing-masing Kabupaten/Kota <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung dengan<br />
menggunakan satuan Kui/Ha. Secara umum, pergerakan produktivitas dari<br />
tahun ke tahun yang terjadi pada setiap Kabupaten/Kota dalam Tabel 53,<br />
menunjukkan naik turunnya nilai produktivitas yang tidak begitu signifikan.<br />
155
Jika dilihat dari pencapaian nilai rata-rata, Kabupaten Sinjai<br />
menempati urutan teratas dengan nilai 221,15Kui/Ha; yang kemudian<br />
diikuti oleh Kabupaten Barru (219,61Kui/Ha) dan Kabupaten Bulukumba<br />
(213,29Kui/Ha). Sementara itu, perkotaan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> menempati<br />
posisi empat terendah dengan nilai rata-rata produktivitas sebesar<br />
169,19Kui/Ha, 169,19Kui/Ha, dan 167,77Kui/Ha untuk masing-masing Kota<br />
Palopo, Kota Makassar, dan Kota Pare-pare. Sedangkan Kabupaten Toraja<br />
Utara menempati urutan terbawah dengan nilai 142,50Kui/Ha.<br />
PRODUKTIVITAS UBI KAYU (KUI/HA)<br />
240.48<br />
217.14<br />
216.68 211.31<br />
258.62<br />
169.22 161.39<br />
182.62<br />
175.32<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.36Keragaan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
(2008-2016)<br />
Grafik 3.36 menunjukkan dinamika produktivitas ubi kayu di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara agregat dalam satuan Kui/Ha. Pergerakan nilai<br />
produktivitas yang cukup fluktuatif sepanjang tahun 2008-2016, dan<br />
menjadikan hasil produktivitas pada tahun 2016 berada di titik puncak<br />
dengan capaian 258,62Kui/Ha.<br />
156
60.00%<br />
40.00%<br />
20.00%<br />
0.00%<br />
-20.00%<br />
-40.00%<br />
Pertumbuhan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> dan Nasional (%)<br />
3.82%<br />
49.01%<br />
7.76%<br />
0.00%<br />
5.94% 4.95% 3.98%<br />
-1.73%<br />
7.27%<br />
2009 2010 2011 2012 2013 2014<br />
-4.63%<br />
-2.48%<br />
2015 2016<br />
-24.06%<br />
18.90%<br />
-19.26%<br />
23.59%<br />
22.39%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />
Grafik 3.37. Pertumbuhan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
dan Nasional<br />
Grafik 3.37 memberikan gambaran mengenai perbandingan<br />
pertumbuhan produktivitas antara level provinsi dan level nasional. Dapat<br />
dilihat bahwa pada level nasional, pertumbuhan produktivitas berjalan<br />
sangat stabil dengan puncak pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2010<br />
sebesar 7,76%. Sedangkan, pada level provinsi, fluktuasi yang cukup tajam<br />
terjadi sepanjang tahun selama 2008 hingga 2016. Pada tahun 2010 di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> juga mencatat pertumbuhan produktivitas ubi kayu<br />
tertinggi sepanjang periode dengan nilai sebesar 49,01% - bahkan jauh di<br />
atas pertumbuhan nasional.<br />
157
3.1.7 Ubi Jalar<br />
3.1.7.1 Luas Panen (Ha)<br />
Tabel 3.19. Keragaan Luas Panen Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kabupaten/Kota (2008-2016)<br />
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Bone 444 481 657 783 887 530 1223 1349 1120 830<br />
2 Gowa 1004 651 593 677 951 634 420 415 401 638<br />
3 Tana Toraja 1188 733 294 279 439 227 192 211 127 410<br />
4 Enrekang 203 610 512 298 473 520 322 239 279 384<br />
5 Luwu Utara 288 367 321 706 490 466 297 210 90 359<br />
6 Maros 422 203 290 171 343 313 344 290 462 315<br />
7 Wajo 425 252 316 244 348 202 242 210 127 263<br />
8 Bulukumba 392 226 188 348 466 228 242 102 83 253<br />
9 Jeneponto 89 124 119 243 350 284 373 127 386 233<br />
10 Luwu 238 346 236 278 249 246 294 124 76 232<br />
11 Takalar 219 194 208 195 235 158 165 366 301 227<br />
12 Sinjai 338 238 113 131 136 124 70 192 202 172<br />
13 Toraja Utara 0 0 208 124 376 193 209 175 243 170<br />
14 Barru 102 190 121 229 197 96 143 209 158 161<br />
15 Selayar 257 57 86 126 158 176 177 155 106 144<br />
16 Pangkep 113 287 200 114 91 130 101 87 52 131<br />
17 Luwu Timur 101 122 191 164 73 84 58 54 60 101<br />
18 Bantaeng 258 63 76 82 94 31 37 83 55 87<br />
19 Pinrang 66 71 58 54 132 71 123 90 93 84<br />
20 Sidrap 104 81 64 65 177 33 19 3 1 61<br />
21 Makassar 6 5 45 31 60 29 18 18 9 25<br />
22 Soppeng 45 31 39 28 33 25 5 7 4 24<br />
23 Palopo 24 32 23 21 16 9 8 1 0 15<br />
24 Pare-Pare 9 6 0 0 0 0 0 2 0 2<br />
Tabel 3.19 memberikan informasi mengenai luas panen komoditi<br />
ubi jalar menurut Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung dengan<br />
satuan hektare. Secara umum, luas panen ubi jalar di Kabupaten/Kota<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ini cenderung bervariasi namun tidak memiliki perubahan<br />
yang signifikan. <strong>Di</strong>lihat dari nilai rata-rata, Kabupaten Bone menjadi wilayah<br />
yang menduduki peringkat pertama dalam kepemilikan luas panen ubi jalar<br />
(830Ha), disusul oleh Kabupaten Gowa dengan luas lahan sebesar 638Ha,<br />
158
dan Kabupaten Tana Toraja (410Ha). Sedangkan, Kota Pare-pare<br />
menempati urutan terendah dengan rata-rata luas panen sebesar 2Ha<br />
selama delapan tahun terakhir.<br />
LUAS PANEN UBI JALAR, SULSEL (HA)<br />
6,235<br />
6,774<br />
5,370<br />
5,058<br />
5,391<br />
4,809<br />
5,082<br />
4,717<br />
4,433<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.38. Keragaan Luas Panen Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-<br />
2016)<br />
Grafik 3.38 menggambarkan luas panen ubi jalar di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
secara keseluruhan dengan satuan hektare. Berdasarkan data, pergerakan<br />
luas lahan panen ubi jalar cenderung menurun sejak tahun 2013. Namun,<br />
tahun 2012 merupakan waktu dimana <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki jumlah<br />
luas lahan panen ubi jalar tertinggi sepanjang delapan tahun terakhir.<br />
159
Pertumbuhan Luas Panen Ubi Jalar (%)<br />
30.00%<br />
20.00%<br />
25.65%<br />
10.00%<br />
0.00%<br />
-10.00%<br />
-20.00%<br />
5.34%<br />
2009<br />
-1.52%<br />
2010<br />
-5.81%<br />
-1.63% 6.58%<br />
2011<br />
0.10%<br />
2012<br />
-9.22%<br />
2013<br />
-3.15% 5.68%<br />
2014 -8.70% 2015<br />
-7.18%<br />
2016<br />
-13.66% -6.02%<br />
-13.87%<br />
-30.00%<br />
-29.01%<br />
-40.00%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Grafik 3.39. Pertumbuhan Luas Panen Ubi Jalar Sulsel dan Nasional<br />
Grafik 3.39 menggambarkan perbandingan luas lahan panen ubi<br />
jalar untuk tingkat provinsi dan tingkat nasional. Tren yang terjadi pada<br />
keduanya cenderung negatif. Meskipun begitu, fluktuasi pertumbuhan yang<br />
terjadi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> cukup tajam pada tahun 2013 yang mendadak<br />
jatuh ke poin -29,01% dari sebelumnya 25,65%. Pada tahun 2016, walaupun<br />
keduanya memiliki pertumbuhan luas lahan panen yang negatif, namun<br />
keberadaan <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> masih sedikit lebih baik dari poin<br />
pertumbuhan nasional.<br />
160
3.1.7.2 Produksi (Ton)<br />
Tabel 3.20. Keragaan Produksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />
Kabupaten/Kota (2008-2016) (Ton)<br />
N<br />
o Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Rerat<br />
a<br />
1 Bone 4.825 5.615 6.274 8.565<br />
13.53<br />
2 8.289<br />
19.25<br />
1<br />
21.66<br />
8<br />
15.06<br />
7<br />
11.45<br />
4<br />
2 Gowa<br />
14.01<br />
8<br />
12.83<br />
5 9.298 8.497<br />
13.17<br />
1 9.923 6.151 6.033 6.917 9.649<br />
3<br />
TanaToraj<br />
a<br />
13.39<br />
2<br />
11.43<br />
4 4.386 4.086 6.518 3.047 2.957 2.973 1.752 5.616<br />
4 Enrekang 1.564 5.514 4.569 4.290 6.680 8.106 5.393 3.718 6.345 5.131<br />
5 LuwuUtara 3.015 4.818 2.806 8.455 5.997 7.266 4.845 3.800 1.555 4.729<br />
6 Maros 4.010 2.565 3.858 2.369 4.691 4.353 5.794 4.612 9.089 4.593<br />
7 Jeneponto 671 990 920 2.970 4.881 4.318 6.254 1.753 7.290 3.339<br />
8 Wajo 3.944 2.640 3.026 3.171 4.715 3.154 3.712 3.295 1.817 3.275<br />
Bulukumb<br />
9 a 4.039 2.788 3.198 4.280 6.889 3.051 2.726 1.117 1.123 3.246<br />
10 Takalar 2.494 2.760 2.963 2.801 3.286 1.645 2.671 5.731 4.419 3.197<br />
11 Luwu 2.796 4.386 2.806 3.450 3.271 3.478 4.961 1.370 890 3.045<br />
TorajaUtar<br />
12 a - - 2.069 1.153 5.278 2.796 3.247 2.715 3.287 2.283<br />
13 Barru 1.028 2.049 1.327 2.548 2.845 1.313 1.924 3.317 3.576 2.214<br />
14 Sinjai 2.721 2.207 1.037 2.000 1.929 1.528 806 2.315 2.371 1.879<br />
15 Selayar 2.984 722 980 1.640 1.954 2.577 2.687 1.972 1.351 1.874<br />
16 Pangkep 805 2.960 2.009 1.266 1.138 1.953 1.438 1.452 781 1.534<br />
17 LuwuTimur 1.014 1.470 2.222 2.100 921 1.188 814 932 1.181 1.316<br />
18 Pinrang 530 722 574 667 1.754 1.031 1.581 1.441 1.499 1.089<br />
19 Bantaeng 1.281 608 802 897 1.157 359 453 1.036 888 831<br />
20 Sidrap 733 549 516 863 2.438 501 220 42 18 653<br />
21 Makassar 40 39 373 320 749 381 239 228 108 275<br />
22 Soppeng 335 283 343 304 471 397 50 123 73 264<br />
23 Palopo 240 370 252 254 207 113 101 13 - 172<br />
24 Pare-Pare 68 48 - - - - - 21 - 15<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.20 memberikan informasi mengenai kapasitas produksi<br />
komoditi ubi jalar pada masing-masing Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
161
yang dihitung menggunakan satuan ton. Secara rata-rata produksi,<br />
Kabupaten Bone berhasil memproduksi ubi jalar sebanyak 11.454 ton<br />
dalam waktu delapan tahun terakhir, disusul oleh Kabupaten Gowa (9.649<br />
ton) dan Kabupaten Tana Toraja (5.616 ton). Sementara itu, Kota Pare-pare<br />
menempati posisi terbawah dengan kemampuan produksi rata-rata sebesar<br />
15 ton.<br />
Secara umum, masing-masing Kabupaten/Kota pada setiap<br />
tahunnya menunjukkan perubahan yang tidak begitu signifikan. Namun,<br />
hasil produksi Kabupaten Jeneponto serta pertumbuhannya dari tahun ke<br />
tahun tergolong cukup cepat dan memuaskan. Secara konsisten dapat<br />
meningkatkan hasil produksi ubi jalarnya, kecuali pada tahun 2015 namun<br />
dapat bergairah kembali pada tahun 2016. Adapun Kota Makassar yang<br />
juga mengalami peningkatan produksi ubi jalar yang cukup fantastis sebesar<br />
856,41% pada tahun 2010 dan berhasil bertahan hingga tahun 2012<br />
sebelum akhirnya mengalami penurunan produksi secara berkelanjutan<br />
hingga tahun 2016.<br />
162
PRODUKSI UBI JALAR (TON)<br />
94,474<br />
66,546 68,372<br />
57,513<br />
66,946<br />
70,767<br />
78,275<br />
71,681 71,398<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.40. KeragaanProduksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
(2008-2016)<br />
Grafik 3.40 menjelaskan mengenai produksi ubi jalar pada di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara agregat yang cukup fluktuatif namun stabil.<br />
Terkecuali pada tahun 2012 (94.474 ton), dengan peningkatan produksi<br />
yang cukup tinggi hingga mencapai puncaknya dalam kurun delapan tahun,<br />
yang kemudian turun dengan cepat ke angka 70.767 ton pada tahun 2013.<br />
<strong>Dalam</strong> dua tahun terakhir, hasil produksi ubi jalar di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
terlihat stabil di angka 71.000 ton.<br />
163
Pertumbuhan Produksi Ubi Jalar (%)<br />
50.00%<br />
40.00%<br />
30.00%<br />
20.00%<br />
10.00%<br />
0.00%<br />
-10.00%<br />
-20.00%<br />
-30.00%<br />
9.41%<br />
7.07%<br />
41.12%<br />
13.09%<br />
-0.33% 16.40%<br />
-0.17%<br />
-3.90% 10.61% -3.57% -5.58%<br />
2.74% 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015<br />
-8.42%<br />
-0.39% 2016<br />
-15.88%<br />
-25.09%<br />
Nasional Sulsel<br />
164<br />
Grafik 3.41. Pertumbuhan Produksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
dan Nasional<br />
Grafik 3.41 memperlihatkan komparasi pertumbuhan produksi ubi<br />
jalar baik yang terjadi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, maupun pada tingkat nasional.<br />
Keduanya mencatat bahwa pada tahun 2012 adalah puncak pertumbuhan<br />
produksi ubi jalar; dimana <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tumbuh sekitar 41,12%<br />
sedangkan nasional tumbuh sekitar 13,09%. Namun setelah itu, terjadi<br />
penurunan pertumbuhan produksi yang cukup signifikan yang membawa<br />
pertumbuhan produksi ubi jalar nasional ke angka -3,90% dan <strong>Sulawesi</strong><br />
<strong>Selatan</strong> ke angka -25,09%. Pada tahun 2016, <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> mampu<br />
bangkit kembali dan mendominasi pertumbuhan produksi ubi jalar nasional<br />
walaupun keduanya tumbuh dengan tren negatif.<br />
3.1.7.3 Produktivitas (Kui/ha)<br />
Tabel 3.21. Keragaan Produktivitas Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
Menurut Kabupaten/Kota (2008-2016) (Kui/ha)
No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />
1 Gowa 139,6 197,2 156,8 125,5 138,5 156,5 146,5 145,4 172,5 153,2<br />
2 Maros 95,0 126,3 133,0 138,5 136,8 139,1 168,4 159,0 196,7 143,7<br />
3 TanaToraja 112,7 156,0 149,2 146,0 148,5 134,2 154,0 140,9 138,0 142,2<br />
4 LuwuUtara 104,7 131,3 115,5 119,8 122,4 155,9 163,1 181,0 172,8 140,7<br />
5 Takalar 113,9 142,3 142,4 143,7 139,8 104,1 161,9 156,6 146,8 139,0<br />
6 Enrekang 77,0 90,4 89,2 144,0 141,2 155,9 167,5 155,6 227,4 138,7<br />
7 LuwuTimur 100,4 120,5 116,3 128,1 126,2 141,4 140,3 172,6 196,8 138,1<br />
8 Barru 100,8 107,9 109,7 111,3 144,4 136,8 134,5 158,7 226,3 136,7<br />
9 Bone 108,7 116,8 95,5 108,4 152,6 156,4 157,4 160,6 134,5 132,3<br />
10 Wajo 92,8 104,8 95,8 130,0 135,5 156,1 153,4 156,9 143,1 129,8<br />
11 Selayar 116,1 126,7 113,9 130,2 123,7 146,4 151,8 127,2 127,5 129,3<br />
12 Luwu 117,5 126,8 118,9 124,1 131,4 141,4 168,7 110,5 117,1 128,5<br />
13 Jeneponto 75,4 79,8 77,3 122,2 139,5 152,0 167,7 138,1 188,9 126,8<br />
14 Pinrang 80,4 101,7 99,0 123,5 132,9 145,2 128,5 160,2 161,2 125,8<br />
15 Soppeng 74,4 91,3 88,0 108,7 142,7 158,8 100,0 176,2 182,5 124,7<br />
16 Pangkep 71,3 103,1 100,5 111,1 125,1 150,2 142,4 166,9 150,2 124,5<br />
17 Bulukumba 103,0 123,4 111,0 123,0 147,8 133,8 112,6 109,5 135,3 122,2<br />
18 Palopo 100,1 115,5 109,8 121,0 129,4 125,6 126,3 134,3 120,2<br />
19 Sidrap 70,5 67,8 80,7 132,8 137,7 151,8 115,8 141,1 180,0 119,8<br />
20 Bantaeng 81,1 96,5 105,6 109,4 123,1 115,8 122,4 124,9 161,5 115,6<br />
21 Sinjai 80,5 92,7 91,8 152,7 141,8 123,2 115,1 120,6 117,4 115,1<br />
22 Makassar 66,4 78,2 83,0 103,0 124,8 131,4 132,8 126,6 120,0 107,4<br />
23 TorajaUtara - - 99,5 93,0 140,4 144,9 155,4 155,2 135,3 102,6<br />
24 Pare-Pare 75,9 80,8 - - - - 104,8 37,4<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />
Tabel 3.21 memberikan informasi mengenai produktivitas ubi jalar<br />
masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Secara ratarata,<br />
Kabupaten Gowa menempati peringkat pertama sebagai wilayah yang<br />
memiliki produktivitas ubi jalar sebesar 153,2Kui/Ha disusul oleh Kabupaten<br />
Maros (143,7Kui/Ha) dan Kabupaten Tana Toraja (142,2Kui/Ha). Sementara<br />
itu, Kota Makassar dan Kabupaten Toraja Utara, dan Kota Pare-pare<br />
menempati urutan tiga terbawah dengan masing-masing nilai rata-rata<br />
produktivitas sebesar 107,4Kui/Ha, 102,6Kui/Ha, dan 37,4Kui/Ha secara<br />
berurutan.<br />
165
PRODUKTIVITAS UBI JALAR (KUI/HA)<br />
106.73<br />
127.32<br />
113.71<br />
124.18<br />
139.47<br />
147.16<br />
154.02 151.96<br />
161.05<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.42. Keragaan Produktivitas Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
(2008-2016)<br />
Grafik 3.42 menggambarkan posisi produktivitas ubi jalar secara<br />
keseluruhan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang menampilkan tren positif dari tahun<br />
ke tahun sejak tahun 2011 hingga 2016. Tahun 2016 adalah pencapaian<br />
produktivitas ubi jalar tertinggi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sebesar 161.05Kui/Ha.<br />
166
Pertumbuhan Produktivitas Ubi Jalar (%)<br />
25.00%<br />
20.00%<br />
15.00%<br />
10.00%<br />
5.00%<br />
0.00%<br />
-5.00%<br />
-10.00%<br />
-15.00%<br />
19.29%<br />
13.01%<br />
8.85%<br />
9.36%<br />
12.31% 6.09%<br />
5.61%<br />
3.87%<br />
3.07%<br />
0.96%<br />
9.21%<br />
5.51% 5.98%<br />
4.66%<br />
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015<br />
-1.34%<br />
2016<br />
-10.69%<br />
Nasional<br />
Sulsel<br />
Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />
Grafik 3.43. Pertumbuhan Produktivitas Ubi Jalar Sulsel dan<br />
Nasional (2009-2016)<br />
Grafik 3.43 menggambarkan perbandingan pertumbuhan<br />
produktivitas ubi jalar antar level nasional dan level provinsi. Pertumbuhan<br />
produksi yang dialami oleh <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tidak jauh berbeda dengan<br />
yang dirasakan pada tingkat nasional. Beberapa kali sejak tahun 2011,<br />
angka pertumbuhan produksi ubi jalar saling bersinggungan antara kedua<br />
tingkatan tersebut. Namun, pertumbuhan produksi ubi jalar secara nasional<br />
cenderung lebih positif jika dibandingkan dengan pertumbuhan produksi<br />
ubi jalar yang terjadi di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
167
3.2 Benih dan Luas Penangkaran<br />
3.2.1 Kedelai<br />
Keragaan Luas Penangkaran <strong>Dan</strong> Produksi Benih Kedelai <strong>Di</strong><br />
Sulsel Tahun 2008-2016<br />
4042.6<br />
3119.65<br />
2522.52<br />
1858.1 1969.45<br />
1994.112 2240.792 1077.925<br />
666.727<br />
893.487<br />
1108.85<br />
1382.75<br />
2585.4<br />
2278.75<br />
1909.265 1986.825<br />
906.928<br />
454.586<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
LUAS PENANGKARAN (HA)<br />
PRODUKSI BENIH (TON)<br />
Grafik 3.44. Keragaan Luas Penangkaran (Ha) dan Produksi Benih<br />
Kedelai (Ton) di Sulsel 2008-2016<br />
Grafik 3.44 memberikan informasi mengenai luas penangkaran dan<br />
produksi benih komoditi kedelai di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Dapat dilihat bahwa<br />
pada tahun 2010, <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki 4.042,6Ha areal penangkaran<br />
tetapi hanya mampu memproduksi benih kedelai sebesar 1.077,925 ton;<br />
jauh lebih rendah dari tahun sebelumnya yang hanya memiliki luas<br />
penangkaran yang lebih kecil. Tahun 2013 merupakan waktu dimana luas<br />
penangkaran yang dimiliki <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> hanya sekitar 1.108,85Ha dan<br />
hanya menghasilkan benih kedelai sebanyak 454,586 ton.<br />
168
3.2.2 Jagung<br />
Keragaan Luas Penangkaran <strong>Dan</strong> Produksi Benih<br />
Jagung <strong>Di</strong> Sulsel Tahun 2008-2016<br />
700<br />
600<br />
500<br />
400<br />
300<br />
200<br />
100<br />
628.734<br />
563.21<br />
386.213<br />
240.55<br />
164.84<br />
209.65<br />
370.565<br />
154.09<br />
453.79<br />
220.4<br />
28.548<br />
67.889 16.3<br />
51 42.3 28.42<br />
3.905<br />
95.5<br />
0<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
LUAS PENANGKARAN (HA)<br />
PRODUKSI BENIH (TON)<br />
Grafik 3.45. Keragaan Luas Penangkaran dan Produksi Benih Jagung<br />
di Sulsel Tahun 2008-2016<br />
Grafik 3.menggambarkan kondisi jumlah luas penangkaran dan<br />
produksi benih jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> pada periode yang telah<br />
ditentukan. Tahun 2008 menjadi momen dimana <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki<br />
jumlah penangkaran yang sangat besar (563,21Ha) dan menghasilkan benih<br />
jagung sebanyak 628,734 ton. Tren yang terjadi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> semakin<br />
menurun dari kedua sisi variabel, hingga 2010. Namun kemudian, tren<br />
negatif ini terus berlanjut hingga tahun 2015. Tahun 2016 terjadi perbaikan<br />
luas penangkaran dengan jumlah yang lebih banyak dari tahun sebelumnya<br />
(95,5Ha) namun tidak dapat memproduksi benih jagung sebanyak tahun<br />
sebelumnya.<br />
169
5881.37<br />
5701.61<br />
5026.65<br />
6669.05<br />
8142.47<br />
5594<br />
4842.64<br />
3983.78<br />
4810.91<br />
3.2.3 Padi<br />
keragaan luas penangkaran dan produksi<br />
benih padi di sulsel tahun 2008-2016<br />
18000<br />
16000<br />
14000<br />
12000<br />
10000<br />
8000<br />
6000<br />
4000<br />
2000<br />
0<br />
16558.55<br />
14876.936<br />
14050.415<br />
16123.69<br />
10508.176<br />
7352.797<br />
6713.66<br />
8476.371<br />
7341.784<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
LUAS PENANGKARAN (HA)<br />
PRODUKSI BENIH (TON)<br />
Grafik 3.46. Keragaan Luas Penangkaran (ha) dan Produksi Benih<br />
(Ton) Padi di Sulsel 2008-2016<br />
Grafik 3.46 menggambarkan tentang luas penangkaran dan<br />
produksi benih padi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam jangka waktu tertentu, 2008-<br />
2016. Penangkaran terluas terdapat pada tahun 2012, sebesar 8.142,47Ha<br />
yang mampu menghasilkan benih padi sebanyak 14.050,415 ton – sedikit<br />
lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yang mampu memproduksi<br />
benih sebanyak 14.876,936 ton dengan kapasitas penangkaran yang lebih<br />
kecil. sedangkan tahun 2015 merupakan masa dimana jumlah penangkaran<br />
padi terkecil selama delapan tahun terakhir (3.983,7Ha) dan berdampak<br />
terhadap jumlah produksi benih padi yang diperoleh (7.341,784).<br />
170
3.3 Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan)<br />
3.3.1 Kios Penyalur Saprotan<br />
Tabel 3.22. Jumlah Kios Penyalur Saprotan Menurut Lokasi (Unit)<br />
Lokasi<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Total<br />
1 Luwu Utara 0 0 0 0 198 186 227 0 245 856<br />
2 Bone 0 0 0 0 187 183 199 0 201 770<br />
3 Luwu Timur 0 0 0 0 127 142 167 159 172 767<br />
4 Wajo 0 0 0 0 120 126 145 146 151 688<br />
5 Pinrang 0 0 0 0 133 156 160 0 159 608<br />
6 Enrekang 0 0 0 0 157 157 157 0 44 515<br />
7 Jeneponto 0 0 0 0 121 116 117 0 133 487<br />
8 Gowa 0 0 0 0 91 97 112 0 149 449<br />
9 Luwu 0 0 0 0 101 67 92 93 91 444<br />
10 Sidrap 0 0 0 0 85 82 87 82 77 413<br />
11 Soppeng 0 0 0 0 53 57 71 70 76 327<br />
12 Takalar 0 0 0 0 76 69 64 0 68 277<br />
13 Pangkep 0 0 0 0 70 67 67 0 66 270<br />
14 Bulukumba 0 0 0 0 78 78 68 0 38 262<br />
15 Maros 0 0 0 0 57 55 37 0 38 187<br />
16 Barru 0 0 0 0 46 34 34 0 32 146<br />
17 Sinjai 0 0 0 0 35 36 36 0 29 136<br />
18 Tana Toraja 0 0 0 0 23 25 21 22 28 119<br />
19 Toraja Utara 0 0 0 0 21 31 18 22 17 109<br />
20 Bantaeng 0 0 0 0 26 26 0 40 92<br />
21 Palopo 0 0 0 0 16 14 14 0 16 60<br />
22 Pare-pare 0 0 0 0 3 2 6 6 2 19<br />
23 Makassar 0 0 0 0 0 4 2 2 1 9<br />
24 Selayar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0<br />
Sulsel 0 0 0 0 1798 1810 1927 602 1873 8010<br />
Tabel 3.22 memberikan informasi mengenai jumlah kios penyalur<br />
Saprotan di Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Kios penyalur Saprotan ini<br />
ditemukan paling banyak di Kabupaten Luwu Utara dengan jumlah kios<br />
171
sebanyak 856 unit sejak tahun 2012 hingga 2016. Sedangkan Kota Makassar<br />
hanya memiliki 9 unit, dan Kepulauan Selayar sama sekali tidak memiliki<br />
unit penyalur Saprotan. Hal inilah yang membuat kedua regional tersebut<br />
berada di posisi dua terendah.<br />
KIOS PENYALUR SAPROTAN<br />
1798 1810<br />
1927<br />
1873<br />
602<br />
0 0 0 0<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.47. Realisasi Kios Penyalur Saprotan <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />
(2008-2016)<br />
Grafik 3.47 menggambarkan tren kios penyalur Saprotan di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang baru muncul pada tahun 2012; dan terus<br />
menunjukkan tren positif sebelum akhirnya menurun drastis ke angka 602<br />
pada tahun 2015. Walaupun kembali meningkat pada tahun 2016, jumlah<br />
unit penyalur Saprotan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ini tetap lebih rendah jika<br />
dibandingkan dengan capaian di tahun 2014.<br />
172
3.3.2 Traktor Roda-2<br />
Tabel 3.23. Realisasi Penyaluran Traktor roda-2, Menurut Lokasi<br />
2008-2016<br />
Row Labels<br />
200<br />
8<br />
200<br />
9<br />
201<br />
0<br />
201<br />
1<br />
201<br />
2<br />
201<br />
3<br />
201<br />
4<br />
201<br />
5<br />
201<br />
6<br />
Tota<br />
l<br />
Bone 0 0 12 21 32 53 46 26 27 217<br />
Wajo 0 0 15 18 30 41 34 24 22 184<br />
Gowa 0 1 10 17 11 25 23 0 14 101<br />
Jeneponto 0 1 10 10 9 31 16 3 21 101<br />
Pinrang 0 0 30 4 4 24 36 0 0 98<br />
Luwu 0 0 41 2 10 7 7 6 6 79<br />
Maros 0 0 14 2 4 22 18 0 3 63<br />
Soppeng 0 0 15 15 15 6 6 2 0 59<br />
Takalar 0 0 8 6 3 12 16 1 5 51<br />
Bulukumba 0 1 9 4 0 10 6 2 12 44<br />
Luwu Utara 0 0 6 3 6 13 6 7 0 41<br />
Sidrap 0 0 12 4 5 14 4 2 0 41<br />
Sinjai 0 0 4 5 5 17 0 1 7 39<br />
Luwu Timur 0 0 14 6 3 4 2 0 2 31<br />
Selayar 0 1 10 6 1 5 4 0 0 27<br />
Barru 0 1 7 2 2 7 6 0 0 25<br />
Tana Toraja 0 0 15 0 5 0 0 0 1 21<br />
Toraja Utara 0 0 8 0 0 0 0 0 13 21<br />
Pangkep 0 0 11 1 2 1 4 0 0 19<br />
Enrekang 0 0 12 0 4 2 0 0 0 18<br />
Bantaeng 0 1 0 1 0 3 1 1 4 11<br />
Makassar 0 0 8 0 0 2 0 0 0 10<br />
Palopo 0 0 4 0 0 1 0 0 0 5<br />
Pare-pare 0 0 3 0 0 0 2 0 0 5<br />
Tabel 3.23 memberikan informasi tentang realisasi penyaluran<br />
traktor roda-2 di Kabupaten/Kota Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Berdasarkan<br />
data, realisasi tertinggi terjadi di Kabupaten Bone dengan total penyaluran<br />
sebanyak 217 unit sejak tahun 2010 hingga 2016. Sedangkan Kota<br />
173
Makassar, Kota Palopo, dan Kota Pare-pare menempati urutan tiga<br />
terbawah dengan realisasi sebanyak 10 unit, 5 unit, dan 5 unit secara<br />
berurutan.<br />
TRAKTOR RODA - 2 (UNIT)<br />
278<br />
300<br />
237<br />
127<br />
151<br />
137<br />
75<br />
0 6<br />
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />
Grafik 3.48. Realisasi Penyaluran Alsintan Jenis Traktor Roda-2,<br />
Sulsel (2008-2016)<br />
Grafik 3.48 menggambarkan realisasi penyaluran traktor roda-2 di<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dimulai sejak tahun 2009. Realisasi penyaluran cukup<br />
beragam dengan realisasi tertinggi pada tahun 2013 (300 unit) dan 2010<br />
(278 unit). Sedangkan, realisasi terendah terdapat pada tahun 2009 yang<br />
hanya menyalurkan 6 unit traktor roda-2.<br />
174
3.3.3 Traktor Roda-4<br />
Tabel 3.24. Realisasi Penyaluran Bantuan Traktor Roda 4 (Unit)<br />
Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Total<br />
Gowa 0 4 0 0 0 0 0 0 0 4<br />
Wajo 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2<br />
Soppeng 0 0 0 0 4 0 0 0 0 4<br />
Sulsel 0 4 0 0 4 0 0 2 0 10<br />
Tabel 3.24 memberikan informasi mengenai realisasi penyaluran<br />
traktor roda-4 di beberapa Kabupaten di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Kabupaten Gowa<br />
dan Kabupaten Soppeng mendapatkan jumlah realisasi bantuan terbanyak,<br />
sebanyak 4 unit, dibandingkan Kabupaten Wajo. Secara keseluruhan,<br />
<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> telah merealisasikan 10 unit bantuan traktor roda-4 di<br />
beberapa kabupaten terpilih.<br />
3.3.4 Combine Harvester<br />
Tabel 3.25 1Realisasi Penyaluran Combine Harvester (Unit)<br />
Row Labels 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Total<br />
Wajo 0 0 0 0 0 0 2 3 1 6<br />
Soppeng 0 0 0 0 4 0 0 2 0 6<br />
Pinrang 0 0 0 0 0 1 0 0 4 5<br />
Barru 0 0 0 0 0 0 0 0 4 4<br />
Maros 0 0 0 0 0 0 1 0 1 2<br />
Luwu 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1<br />
Sulsel 0 0 0 0 4 1 4 5 10 24<br />
Tabel 3.25 memberikan informasi mengenai realisasi penyaluran<br />
Combine Harvester di beberapa daerah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
Kabupaten Wajo dan Kabupaten Soppeng adalah daerah yang<br />
mendapatkan realisasi bantuan tertinggi (masing-masing 6 unit)<br />
dibandingkan dengan daerah lainnya. Sedangkan Kabupaten Maros dan<br />
175
Kabupaten Luwu hanya mendapatkan masing-masing 2 unit dan 1 unit<br />
Combine Harvester. Secara akumulasi, Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> telah<br />
merealisasikan 24 unit Combine Harvester yang diserahkan ke beberapa<br />
kabupaten terpilih.<br />
176
IV. KEKUATAN MODAL SOCIAL DAN KELEMBAGAAN<br />
MASYARAKAT<br />
<strong>Pemerintah</strong> Pusat menilai, <strong>Pemerintah</strong>an Sulsel sebagai<br />
pemerintahan yang berhasil menjadi lumbung pangan nasional. <strong>Pemerintah</strong><br />
Sulsel berhasil meningkatkan produksi dan produktivitas beras, hingga<br />
menjadi provinsi yang memiliki over stock beras sebesar 2,5 juta ton (2016).<br />
Hal yang sama terjadi pada komoditi lain seperti: jagung, rumput laut,<br />
kacang-kacangan, dan coklat. Bagaimana pemerintah Sulsel mencapai<br />
posisinya sebagai pemerintah yang berhasil membangun sektor pertanian<br />
(khususnya beras – pangan)? Inilah pertanyaan pokok, pada bagian ini yang<br />
hendak dijawab.<br />
Tonggak penting dari pengelolaan pembangunan pertanian pada<br />
pemerintahan Sulsel (2008-2018) adalah konsolidasi kekuatan sosial<br />
masyarakat dihubungkan dengan kapasitas kelembagaan masyarakat.<br />
Gubernur Syahrul Yasin Limpo menyebutnya sebagai penyatuan kekuatan<br />
sosial masyarakat dengan kekuatan formal pemerintahan.<br />
Mengintegrasikan kekuatan sosial dengan kekuatan formal pemerintahan,<br />
menjadi kunci keberhasilan pembangunan pertanian di Sulsel, jelas Syahrul<br />
Yasin Limpo.<br />
177
Grafik 4.1 Kerangka logis pencapaian overstock pangan<br />
<strong>Pemerintah</strong> dalam melaksanakan pembangunan (pertanian<br />
khususnya) tidak lebih sebagai moderator, yang memiliki kesediaan untuk<br />
mendengar aspirasi dan merumuskan menjadi konsep operasional. Dengan<br />
pemahaman ini, pemerintah Sulsel berhasil mengkonsolidasikan semua<br />
elemen (stake holders), mulai dari communitas social yang memiliki modal<br />
sosial yang beragam, perguruan tinggi yang memiliki ketrampilan research,<br />
private sectors yang mampu mewujudkan temuan Pertguruan Tinggi<br />
melalui researchnya menjadi teknologi. Perpaduan dari berbagai kekuatan<br />
ini melahirkan inovasi yang mendorong terwujudnya overstock beras.<br />
<strong>Pemerintah</strong> Sulsel secara terampil berhasil membangun social trust<br />
terhadap sejumlah programnya. Masyarakat dan lembaga pemerintahan<br />
telah mengambil bagian dalam bentuk keinginan untuk mengambil risiko<br />
178
dalam hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh perasaan ’yakin’,<br />
bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan<br />
senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan saling mendukung.<br />
Kemampuan yang lain dilakukan oleh pemerintah Sulsel untuk<br />
mendukung program overstock beras adalah mendorong tingkat<br />
Participation and <strong>Social</strong> Net Work, yakni meningkatkan kemampuan<br />
anggota masyarakat untuk menyatukan diri dalam suatu pola hubungan<br />
yang sinergis, keadaan ini akan sangat mempengaruhi, lemah atau kuatnya<br />
modal sosial dalam suatu masyarakat. Kemampuan tersebut terwujud<br />
dalam bentuk partisipasi dalam membangun jaringan dalam sebuah<br />
hubungan yang saling berdampingan.<br />
Dorongan akan pentingnya Saling Tukar Kebaikan (Resiprocity)<br />
terus dinyalakan oleh pemerintah Sulsel melalui slogan “kebersamaan.”<br />
<strong>Pemerintah</strong> Sulsel nampaknya percaya bahwa modal sosial selalu bercirikan<br />
saling tukar kebaikan (resiprocity) antar individu dalam suatu kelompok<br />
ataupun antar kelompok dalam suatu masyarakat.<br />
Menjaga norma-norma sosial (<strong>Social</strong> Norms) yang ada dalam<br />
masyarakat menjadi point penting yang selalu digalakkan oleh pemerintah<br />
Provinsi Sulsel, dengan kembali pada kebajikan local. <strong>Pemerintah</strong><br />
mempercayai norma-norma sosial berperan penting dalam mengontrol<br />
bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Norma-norma ini<br />
telah tumbuh menjadi tanggungjawab social yang memiliki nilai untuk<br />
selalu mempertimbangkan dan memikirkan kesulitan orang. Norma social<br />
yang tidak mau membiarkan orang lain untuk mengalami “kekurangan<br />
pangan” telah mendorong energy social untuk senantiasa menjami stock<br />
pangan dengan bekerja keras dan focus. Sebagian besar masyarakat Sulsel<br />
tidak ada lagi yang memikirkan komoditi komersial untuk mengejar<br />
keuntungan pribadi. Itu sebabnya petani Sulsel dan pemerintahnya secara<br />
optimal mendorong pembangunan pertanian (pangan), meskipun<br />
masyarakat dan pemerintah sangat memahami, menanam padi (beras)<br />
179
adalah menanam komoditi politik yang selalu dikontrol oleh kekuasaan<br />
regim. Harga beras masih dalam control pemerintah, karena berkaitan<br />
dengan kepentingan hajat hidup orang banyak. Kondisi social semacam ini<br />
telah menjadi nilai-nilai social (social value) masyarakat Sulsel. Nilai sosial<br />
adalah suatu ide yang telah turun-temurun dalam masyarakat serta<br />
dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat.<br />
4.1 Membangun Integrasi Stake Holders &<br />
Transformasi Pertanian<br />
Untuk mewujudkan kemandirian, kedaulatan dan ketahanan<br />
pangan nasional, pemerintah Sulsel secara tegas telah mengintegrasikan<br />
semua stake holders. Stake yang diintegrasikan dimaksudkan untuk<br />
memberikan saling kesepahaman atas program overstock beras (pangan).<br />
Intergrasi antara pemerintah-masyarakat-asosiasi-pemkab/pemkot-<br />
TNI/Polri dan diikat oleh pengusaha.<br />
Grafik 4.2. Skema Integrasi stakeholders<br />
180
Mengapa pengusaha menjadi simpul dari integrasi stake holders<br />
ini? Menurut Syahrul Yasin Limpo, pengusaha adalah komunitas yang paling<br />
faham tentang pembangunan ekonomi. Pengusaha sangat mengerti<br />
bagaimana hukum supply and demand. Pengusaha juga sudah terbiasa<br />
dengan bekerja berdasarkan efisiensi dan efektivitas. <strong>Pemerintah</strong>, baik<br />
pemerintah provinsi, kabupaten atau kota hanya menjadi regulator dan<br />
coordinator, asosiasi berfungsi untuk menjamin kesamarataan dan keadilan<br />
dalam proses pembangunan ekonomi pada sector pertanian. Sedangkan<br />
TNI/Polri dan masyarakat secara bersama-sama mendorong program<br />
overstock beras menjadi program social masyarakat.<br />
Melalui integrasi stake holders, pemerintah Sulsel berhasil<br />
melakukan transformasi pembangunan pertanian dari sistem on farm yang<br />
bersifat mekanik menujuera teknologi (baik dalam proses produksi,<br />
pengolahan dan pemasaran), bahkan pemerintah mempersiapkan<br />
masyarakat tani untuk memasuki era pengetahuan (revolusi ICT – informasi,<br />
communication dan technology).<br />
Transformasi sector pertanian bahkan tidak hanya berlangsung<br />
secara fisik, tetapi menyentuh sampai ke soal kebudayaan, nilai, norma,<br />
regulasi dan bahkan modal (kapital). Transformasi ini diharapkan bisa<br />
menjadi lompatan merespon perubahan yang terjadi begitu cepat di luar<br />
sector pertanian. Tantangan yang cukup serius di masa yang akan datang<br />
adalah memastikan sector pertanian sebagai sector yang memiliki<br />
kemampuan adaptif terhadap perubahan yang terjadi pada sector lain.<br />
Transformasi ini bisa berjalan dengan baik, apabila pemerintah<br />
memiliki kemauan politik yang menempatkan sector pertanian sebagai<br />
sector prioritas, bukan sebagai sector pendukung. Sektor pertanian harus<br />
disandingkan sama pentingnya dengan sector industry, jasa dan konstruksi.<br />
Mengacu pada kekuatan resources yang dimiliki oleh Indonesia, semestinya<br />
sector pertanian menempati urutan teratas dalam pembangunan nasional.<br />
Terutama, jika Indonesia ingin berdaulat terhadap ekonomi politik global,<br />
181
yang menempatkan pangan sebagai komoditi kunci untuk mengontrol<br />
kekuatan ekonomi sebuah negara.<br />
4.2 Transformasi <strong>Kelembagaan</strong> Pedesaan<br />
Kinerja ekonomi pedesaan didominasi usaha pertanian cenderung<br />
lemah. Salah satunya, diindikasikan oleh rendahnya kapasitas kelembagaan.<br />
Hal ini disebabkan antara lain oleh pelaksanaan program pembangunan<br />
pertanian yang tidak berbasiskan kelembagaan lokal yang telah ada,<br />
sehingga kondisinya semkain memudar. Introduksi kelembagaan dari luar<br />
yang terasa asing bagi masyarakat berimplikasi kepada lemahnya partisipasi<br />
masyarakat dalam kelembagaan tersebut. Akibatnya, partisipasi masyarakat<br />
secara keseluruhan lemah dalam aktfitas pembangunan.<br />
Permasaalahan masyarakat pedesaan adalah kelembagaan ekonomi<br />
di pedesaan yang dibentuk dari nilai-nilai tradisional memiliki akses yang<br />
kecil terhadap kelembagaan modern, sehingga interaksi antar kelembagaan<br />
rendah. Karena itu tranformasi kelembagaan tradisional menjadi suatu yang<br />
esensial, demi tercapainya sinergi otpimum dalam aktivitas jaringan<br />
ekonomi di tingkat lokal. <strong>Pemerintah</strong> Sulsel telah berusaha melakukan<br />
tranformasi pertanian tradisional ke arah pertanian modern, yang<br />
merupakan perubahan perilaku, tidak hanya melalui perubahan struktur<br />
tapi juga menyangkut perubahan berbagai aspek abstrak yang membentuk<br />
perilaku tersebut, yaitu berupa perubahan sistem nilai, norma, orientasi,<br />
tujuan, dan lain-lain.<br />
Upaya penguatan jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan di<br />
Sulsel merupakan salah satu titik perhatian dari kebijakan kelembagaan<br />
ekonomi. Terdapat 10 orang setiap desa dipersiapkan untukmendorong<br />
kelembagaan ekonomi di perdesaan Sulsel. Membangun kelembagaan<br />
untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan berbasis<br />
sumberdaya pertanian, berarti mengembangkan budaya non-material<br />
182
untuk meningkatkan dayasaing modal sosial (social capital) di pedesaan.<br />
Secara ekonomi, penguatan kelembagaan pedesaandi Sulsel harus<br />
mempunyai makna peningkatan dayasaing ekonomi pertanian di pedesaan.<br />
Upaya penguatan jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan dipandang<br />
sebagai suatu keharusan, dimana penguatannya merupakan salah satu titik<br />
perhatian dari studi kelembagaan. Membangun kelembagaan untuk<br />
memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan yang berbasis<br />
sumberdaya pertanian, adalah juga berarti mengembangkan budaya nonmaterial<br />
untuk meningkatkan dayasaing modal sosial (social capital) di<br />
pedesaan. Dari kacamata ekonomi, penguatan kelembagaan pedesaan<br />
harus mempunyai makna peningkatan dayasaing ekonomi pertanian.<br />
4.3 <strong>Kelembagaan</strong> <strong>Dalam</strong> Perspektif Sosiologi<br />
<strong>Dalam</strong> proses transformasi kelembagaan di pedesaan, kelembagaan<br />
(institution) dan kelembagaan sosial (social institutional) merujuk pada<br />
sesuatu yang telah bersifat mapan (established) atau hidup (contitued) di<br />
dalam masyarakat. <strong>Kelembagaan</strong> atau social institution selalu muncul<br />
bersamaan dengan social organization. Untuk kepentingan analisis,<br />
perlumemformulasikan batasan kelembagaan secara tegas. “<strong>Kelembagaan</strong>”<br />
berisikan dua aspek; kelembagaan dan keorganisasian.<br />
Fokus utama dalam kebijakanaspek kelembagaan adalah perilaku<br />
atau perilaku sosial, dimana inti regulasinya adalah tentang nilai (values),<br />
norma (norm), custom, mores, folkways, usage, kepercayaan, moral, ide,<br />
gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Bentuk<br />
perubahan sosial dalam aspek kelembagaan bersifat kultural dan proses<br />
perubahannya membutuhkan waktu yang lebih lama. Sementara itu dalam<br />
aspek keorganisasian fokus kajian utamanya adalah struktur atau struktur<br />
sosial. Inti kajiannya adalah pada aspek peran (roles). Dengan demikian<br />
aspek kajian secara lebih jauh mencakup : peran, aktivitas, hubungan antar<br />
183
peran, integrasi sosial, struktur umum, perbandingan struktur tekstual<br />
dengan struktur riel, struktur kewenangan atau kekuasaan, hubungan<br />
antara kegiatan dengan tujuan yang hendak dicapai, aspek solidaritas, klik,<br />
profil dan pola kekuasaan (sentralitas atau distributif).<br />
Makna kelembagaan secara hakiki lebih mengandung makna<br />
tentang aspek “isi”, tidak hanya pada “bentuk luar” atau fisiknya (Lauer,<br />
1982 dalam Pranadji, 2002). Salah satu isi penting dari kelembagaan tadi<br />
adalah tata nilai yang menghidupkan kelembagaan tadi. Bottomore (1975<br />
dalam Taryoto, 1995) mendefinisikan kelembagaan sebagai a complex or<br />
cluster of roles, yang menyebutkan bahwa konsep peranan (role)<br />
merupakan komponen utama kelembagaan. Horton dan Hunt (1984)<br />
mendekati pembahasan kelembagaan dari norma-norma yang hidup dalam<br />
masyarakat, sehingga kelembagaan didefinisikan sebagai “suatu sistem<br />
norma yang diperlukan untuk mencapai sejumlah tujuan atau kegiatan yang<br />
dianggap penting oleh masyarakat yang bersangkutan”, Terdapat tiga hal<br />
yang mendasar dari kelembagaan menurut Horton dan Hunt, yaitu sistem<br />
nilai, prosedur hubungan, serta bentuk hubungan sesama anggota<br />
masyarakat (=struktur). Sementara itu, Mubyarto (1977) mendefinisikan<br />
kelembagaan (intitution) adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal<br />
maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota<br />
masyarakat tertentu baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam<br />
usahanya untuk mencapai tujuan tertentu.<br />
184
DAFTAR PUSTAKA<br />
Bottomore, TB. 1975. A Guide to Problems and Literatur of Sociology. <strong>Dalam</strong><br />
Andin H Taryoto (Penyunting). <strong>Kelembagaan</strong> dan Prospek<br />
Pengembangan Beberapa Komoditi Pertanian. Pusat<br />
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian<br />
Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. 1988. Public Service Responsibility and<br />
Accountability. In Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. (Editors).<br />
Public Service Accountability: A Comparative Perspective.<br />
USA: Kumarian Press, Inc.<br />
Havlin J L, Beaton J D, Tisdale S L and Nelson W L. (2005). Soil fertility and<br />
fertilizers: an introduction to nutrient management. Pearson<br />
Prentice Hall. New Jersey. (USA)<br />
Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah menimbulkan Dampak Negatif bagi<br />
Ketahanan Pangan dan Lingkungan. Warta Penelitian dan<br />
Pengembangan Pertanian 27 (6) : 1-3. Pusat Analisi Sosial<br />
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.<br />
Klaus Schwab, Global Competitiveness Report 2016-2017, World Economic<br />
Forum<br />
Kuznet, Simon (1964), Economic Growth and the contribution of Agriculture,<br />
CK dan Witt, LW (ed), Agriculture in Economic Development,<br />
New York, McGraw-Hill.<br />
Mubyarto. 1977,. Pengantar Ekonomi Pertanian.LP3ES. Jakarta.<br />
Pasandaran, Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi<br />
Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia dalam Jurnal Litbang<br />
Pertanian 25(4) 2006<br />
Paul B. Horton, Chester L. Hunt 1984, Sociology,. Edition 6,.McGraw-Hill<br />
185
Pranadji, T. 2002. Reformasi Aspek Sosio-Budaya Untuk Kemandirian<br />
Perekonomian Pedesaan. Seminar Nasional: Menggalang<br />
Masyarakat Indonesia Baru Yang Berkemanusiaan. Ikatan<br />
Sosiologi Indonesia (ISI), Tanggal 28-29 Agustus 2002 di<br />
Bogor-Jawa Barat<br />
Statitistik Daerah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> 2017, BPS <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />
Taryoto, A H. 1995. Analisis <strong>Kelembagaan</strong> <strong>Dalam</strong> Penelitian Sosial Ekonomi<br />
Pertanian. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian.<br />
<strong>Kelembagaan</strong> dan Prospek Pengembangan Beberapa<br />
Komoditas Pertanian. Penyunting Andin H Taryoto, dkk. Pusat<br />
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.<br />
Van Leeuwen, T.M., 1981, The Geology of Southwest <strong>Sulawesi</strong> with Special<br />
Reference to the Biru Area. Barber, A.J. and Wiryosujono, S.<br />
(eds), The Geology and Tectonics of Eastern Indonesia,<br />
Geological Research and Development Centre, Bandung,<br />
Special Publication, 2, 277-304<br />
https://aplikasi2.pertanian.go.id/bdsp2/<br />
186