09.07.2018 Views

Kajian Kelembagaan Pemerintah Dan Social Capital Dalam Pencapaian Overstock Beras Di Sulawesi Selatan

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH<br />

DAN SOCIAL CAPITAL DALAM<br />

PENCAPAIAN OVERSTOCK BERAS DI<br />

SULAWESI SELATAN<br />

BALITBANGDA PROVINSI SULAWESI SELATAN<br />

2017<br />

1


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH<br />

PROVINSI SULAWESI SELATAN<br />

KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH DAN SOCIAL CAPITAL<br />

DALAM PENCAPAIAN OVER STOCK BERAS DI SULAWESI<br />

SELATAN<br />

TAHUN 2017<br />

2


KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH DAN SOCIAL CAPITAL DALAM<br />

PENCAPAIAN OVERSTOCK BERAS DI SULAWESI SELATAN<br />

Tim Peneliti :<br />

1. Dr. M. Iqbal S. Suhaeb, SE, MT : Pengarah<br />

2. Hj. Sitti Johar, SH, MH : Ketua<br />

3. Dr. Rosma Tami, MSc, MA : Anggota<br />

4. Dr. Muh. Ridwan : Anggota<br />

5. Huri Ali Hasan, PhD : Anggota<br />

6. Alsry Mulyani, SE, M.Si : Anggota<br />

7. Munawar Arief, ST : Anggota<br />

8. Dr. Rahman Abu, M.Si : Anggota<br />

<strong>Di</strong>terbitkan oleh :<br />

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH<br />

(BALITBANGDA)<br />

PROVINSI SULAWESI SELATAN<br />

Cetakan Pertama, Desember 2017<br />

Hak Cipta @2017<br />

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang<br />

<strong>Di</strong>larang Mengutip atau Menyebarluaskan Sebagian<br />

Atau Seluruh Isi Buku tanpa izin tertulis dari Penerbit<br />

ISBN :<br />

3


KATA PENGANTAR<br />

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah<br />

melimpahkan Rahmat, Taufiq dan Hidayah-Nya sehingga buku “<strong>Kajian</strong><br />

<strong>Kelembagaan</strong> <strong>Pemerintah</strong> dan <strong>Social</strong> <strong>Capital</strong> dalam <strong>Pencapaian</strong> Over Stock<br />

<strong>Beras</strong> di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>” dapat selesai dengan baik.<br />

<strong>Kajian</strong> ini merupakan salah satu pendukung pelaksanaan Agenda<br />

Pembangunan Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yaitu Program Pembangunan dan<br />

Pengembangan Pertanian dengan tujuan untuk peningkatan pertumbuhan<br />

pada sektor pertanian yang dapat memberi dampak langsung pada<br />

peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat secara umum.<br />

<strong>Dalam</strong> kajian ini ditunjukkan bahwa pada dasarnya produksi<br />

pertanian memiliki keterkaitan dengan indicator makro ekonomi, seperti<br />

pertumbuhan ekonomi, inflasi, pendapatan per kapita, tingkat kemiskinan,<br />

dan pengangguran.<br />

Kami menyadari bahwa kajian ini dapat terselesaikan atas bantuan<br />

dari banyak pihak, oleh karena itu tak lupa kami ucapkan terima kasih<br />

kepada pihak yang telah membantu mulai dari tahap persiapan sampai<br />

dengan penerbitan buku.<br />

Semoga hasil kajian yang telah dilakukan Balitbangda Provinsi<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>mendapat berkah dari Allah SWT, dan dapat bermanfaat<br />

dalam pengembangan produksi pertanian di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> kedepan.<br />

Makassar, Desember 2017<br />

Kepala Badan,<br />

DR. M. IQBAL S. SUHAEB, SE, MT<br />

Pangkat : Pembina Utama Madya<br />

NIP. : 19660902 198810 1 001<br />

4


ABSTRAK<br />

Dr. M. Iqbal S. Suhaeb, SE, MT., Hj. Sitti Johar, SH, MH., Dr. Rosma<br />

Tami, M.Sc., Dr. Muh. Ridwan, Hurriah Ali Hasan, PhD., Alsry Mulyani, SE,<br />

M.Si., Munawar Arif, ST., Dr. Rahman Abu, MSi., <strong>Kajian</strong> <strong>Kelembagaan</strong><br />

<strong>Pemerintah</strong> dan <strong>Social</strong> <strong>Capital</strong> dalam <strong>Pencapaian</strong> Over Stock <strong>Beras</strong> di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

<strong>Kajian</strong> ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemerintah<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang berkaitan dengan kebijakan pangan, mengetahui<br />

kontribusi sektor pertanian <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terhadap pembangunan sektor<br />

pertanian nasional dan menganalisis tingkat akselarasi pertumbuhan sektor<br />

pertanian dibandingkan dengan akselarasi yang terjadi secara nasional,<br />

serta menganalisis strategi pembangunan pangan dan proses input-output<br />

produksi pertanian.<br />

<strong>Kajian</strong> ini dilakukan dengan pendekatan deskritif kualitatif,<br />

menggunakan data sekunder selama 10 (sepuluh) tahun terakhir, yang<br />

tersedia pada lembaga-lembaga resmi seperti : BPS, Kementerian Pertanian<br />

Republik Indonesia, atau data-data yang tersedian pada pemerintah<br />

daerah. Untuk memperkuat data sekunder dilakukan diskusi/wawancara<br />

dengan petani, kelompok tani atau stakeholders lain yang terlibat dalam<br />

pembangunan pertanian di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

Hasil kajian menunjukkan bahwa kesediaan pangan utamanya beras<br />

harus dipertahankan karena saat ini dunia sedang menghadapi dua krisis<br />

besar : energy dan pangan, hal ini akan berlanjut terus dan penyebabnya<br />

ada beberapa faktor : Pertama, terjadi penambahan jumlah penduduk (50<br />

tahun yang lalu jumlah penduduk dunia berkisar 3 milyar lebih, 50 tahun<br />

yang akan datang jumlah penduduk dunia akan bertambah terus hingga 9<br />

milyar). Dengan bertambahnya penduduk maka kebutuhan akan pangan<br />

dan energy akan meningkat pula, bahkan berbanding lurus atau melebihi<br />

akselarasi pertumbuhan jumlah penduduk. Kedua, akibat eksploitasi yang<br />

5


erlebihan terhadap natural resources (sumberdaya alam), karena<br />

kebutuhan manusia yang terus meningkat maka terjadi kerusakan<br />

lingkungan. Bersamaan dengan terjadinya kerusakan lingkungan, terjadi<br />

pula konversi lahan dari lahan pertanian untuk kepentingan lainnya dalam<br />

jumlah yang cukup besar. Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain<br />

menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan<br />

swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan yang terjadi pada<br />

masyarakat masih sulit dikendalikan, terutama yang terjadi pada daerahdaerah<br />

dekat dengan pusat pengembangan perkotaan dan bisnis. <strong>Dan</strong> lebih<br />

parah karena sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi tersebut<br />

justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi - sangat tinggi.<br />

Daerah-daerah seperti Kabupaten Maros, Gowa dan Takalar dikonversi<br />

menjadi lahan perumahan, kawasan industri atau pembangunan lainnya.<br />

Melihat semakin tidak terkendalinya konversi lahan pertanian, ada<br />

3 alternatif kebijakan yaitu : kebijakan pengendalian melalui otoritas<br />

sentral, pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru, dan<br />

pembangunan kemampuan kolektif masyarakat tani setempat dalam<br />

mengendalikan konversi lahan sawah. Model terakhir apabila difasilitasi<br />

dengan baik diharapkan dapat memperkuat capital sosial yang ada pada<br />

masyarakat karena munculnya rasa kebersamaan identitas san kepemilikan.<br />

Salah satu dampak konversi lahan yang sering mendapat sorotan<br />

masyarakat luas adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan<br />

salah satu tujuan pembangunan nasional. (Irawan, 2005).<br />

6


DAFTAR ISI<br />

DAFTAR ISI 3<br />

I. PENDAHULUAN ....................................................................................................... 15<br />

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 15<br />

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................. 16<br />

1.3 Tujuan ................................................................................................................................... 16<br />

1.4 Kerangka Teoritik .................................................................................................................. 17<br />

1.4.1 Sektor Pertanian dan PDB ....................................................................................... 17<br />

1.4.2 Kontribusi Pertanian dalam Pembangunan ............................................................. 18<br />

1.4.3 Faktor Pembangunan Pertanian .............................................................................. 20<br />

1.4.4 Kendala Sektor Pertanian di Sulsel ........................................................................... 24<br />

1.5 Kerangka ikir ......................................................................................................................... 26<br />

1.6. Metodologi .......................................................................................................................... 27<br />

1.6.1 Pendekatan .............................................................................................................. 27<br />

1.6.2 Koleksi Data ............................................................................................................. 27<br />

1.6.3 Pengolahan Data ...................................................................................................... 28<br />

1.6.4 Alur Rencana Kegiatan ............................................................................................. 28<br />

1.6.5 Jadwal Pelaksanaan.................................................................................................. 29<br />

II. SULSEL SEBAGAI CENTER POINT OF INDONESIA MEMPERKENALKAN POTENSI<br />

SULSEL) ................................................................................................. 31<br />

2.1 Karakteristik lokasi dan Wilayah ........................................................................................... 31<br />

2.1.1 Kondisi Topografi ..................................................................................................... 32<br />

2.1.2. Geologi .................................................................................................................... 35<br />

2.1.3 Hidrologi ................................................................................................................... 35<br />

2.1.4 Klimatologi ............................................................................................................... 36<br />

2.1.5. Potensi Pengembangan Wilayah............................................................................. 37<br />

2.1.6 Demografi ................................................................................................................ 52<br />

2.2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat ........................................................................................ 54<br />

2.2.1 Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi...................................................... 54<br />

2.2.2 Kemiskinan ............................................................................................................... 59<br />

2.3 Analisis Daya Saing Provinsi-Provinsi <strong>Di</strong> Indonesia ............................................................... 69<br />

2.3.1 Daya Saing Keseluruhan Provinsi di Indonesia ......................................................... 69<br />

2.4. Mengapa Sulsel Harus Over Stock <strong>Beras</strong> ............................................................................. 74<br />

2.5. Perdebatan Tentang Subsidi ................................................................................................ 89<br />

2.6. Tata Kelola <strong>Pemerintah</strong>an Tentang Pangan ........................................................................ 92<br />

7


III. DATA DAN FAKTA PANGAN SULSEL ........................................................................... 97<br />

3.1 Jenis Komoditas .................................................................................................................... 97<br />

3.1.1 Padi .......................................................................................................................... 97<br />

3.1.2 Jagung .................................................................................................................... 111<br />

3.1.3 Kedelai ................................................................................................................... 122<br />

3.1.4 Kacang Hijau .......................................................................................................... 131<br />

3.1.5 Kacang Tanah ......................................................................................................... 140<br />

3.1.6 Ubi Kayu ................................................................................................................. 149<br />

3.1.7 Ubi Jalar ................................................................................................................. 158<br />

3.2 Benih dan Luas Penangkaran.............................................................................................. 168<br />

3.2.1 Kedelai ................................................................................................................... 168<br />

3.2.2 Jagung .................................................................................................................... 169<br />

3.2.3 Padi ........................................................................................................................ 170<br />

3.3 Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) ................................................................................... 171<br />

3.3.1 Kios Penyalur Saprotan .......................................................................................... 171<br />

3.3.2 Traktor Roda-2 ....................................................................................................... 173<br />

3.3.3 Traktor Roda-4 ....................................................................................................... 175<br />

3.3.4 Combine Harvester ................................................................................................ 175<br />

IV. KEKUATAN MODAL SOCIAL DAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT ................................... 177<br />

4.1 Membangun Integrasi Stake Holders & Transformasi Pertanian ................................... 180<br />

4.2 Transformasi <strong>Kelembagaan</strong> Pedesaan ............................................................................... 182<br />

4.3 <strong>Kelembagaan</strong> <strong>Dalam</strong> Perspektif Sosiologi .......................................................................... 183<br />

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 185<br />

8


DAFTAR TABEL<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tahun 2008-2016 ......................................................... 53<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp) ................................................................ 55<br />

<strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp) ............................................................................... 56<br />

<strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp) .............................................................................. 57<br />

Tabel 2.1 Pertumbuhan Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota<br />

Tabel 2.2 Perkembangan PDRB, dan Pertumbuhan Ekonomi .................................. 54<br />

Tabel 2.3 Perkembangan PDRB ADHB Menurut Lapangan Usaha<br />

Tabel 2.4 Perkembangan PDRB ADHB Menurut Pengeluaran <strong>Sulawesi</strong><br />

Tabel 2.5 Perkembangan PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha <strong>Sulawesi</strong><br />

Tabel 2.6 Perkembangan PDRB ADHK Menurut Pengeluaran <strong>Sulawesi</strong><br />

Tabel 2.7<br />

<strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp) ............................................................................... 58<br />

Perkembangan Angka Kemiskinan (P0), Indeks Kedalaman<br />

Kemiskinan (P1), dan Indeks Kesenjangan Kemiskinan (P2)<br />

Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Tahun 2011-2016 ........................................... 61<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ................................................................................... 65<br />

Tabel 2.11. Keragaan Lahan menurut Jenisnya ......................................................... 79<br />

Tabel 2.8. Status Daerah Irigasi Kewenangan <strong>Pemerintah</strong> Provinsi<br />

Tabel 2.9 Capaian Kinerja Jaringan Irigasi Provinsi ................................................. 67<br />

Tabel 2.10 Capaian Layanan Jaringan Irigasi Provinsi ............................................... 68<br />

Menurut Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha).............................................. 97<br />

Kabupaten/kota 2008-2016 (Ton) ....................................................... 102<br />

Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha).......................................................... 111<br />

Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton) ....................................................... 116<br />

Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Kui/ha) ................................................... 119<br />

Tabel 3-1. Keragaan Luas Panen Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Tabel 3.2 Keragaan Produksi Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> menurut<br />

Tabel 3.4. Keragaan Luas Panen Jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Tabel 3.5. Keragaan Produksi Jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Tabel 3.6. Keragaan Produktivitas Jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

9


Tabel 3.7. Keragaan Luas Panen Kedelai di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha) ......................................................... 122<br />

Tabel 3.8. Keragaan Produksi Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota , 2008-2016, (Ton) ..................................................... 125<br />

Tabel 3.9. Keragaan Produktivitas Kedelai Sulsel Menurut<br />

Kabupaten/kota 2008-2016, (Kui/ha) ................................................... 128<br />

Tabel 3.10. Keragaan Luas Panen Komoditas Kacang Hijau di Sul Sel<br />

Menurut Kab/kota 2008-2016 (Ha) ...................................................... 131<br />

Tabel 3.11. Keragaan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton)....................................................... 134<br />

Tabel 3.12. Keragaan Produktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kab./kota 2008-2016, (Kui/ha)............................................................. 137<br />

Tabel 3.13. Keragaan Luas Panen Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ha)......................................................... 140<br />

Tabel 3.14. Keragaan Produksi Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton)....................................................... 143<br />

Tabel 3.15 Keragaan Produktivitas Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kab Kota, 2008-2016 (Kui/ha) ................................................ 146<br />

Tabel 3.16. Keragaan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota, 2008-2016, (ha) ........................................................ 149<br />

Tabel 3.17<br />

Keragaan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ton) ........................................................ 152<br />

Tabel 3.18. Keragaan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kab/Kota 2008-2016, (Kui/ha) ............................................................. 155<br />

Tabel 3.19. Keragaan Luas Panen Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota (2008-2016) .............................................................. 158<br />

Tabel 3.20. Keragaan Produksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota (2008-2016) (Ton) ...................................................... 161<br />

Tabel 3.21. Keragaan Produktivitas Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota (2008-2016) (Kui/ha) ................................................. 164<br />

Tabel 3.22. Jumlah Kios Penyalur Saprotan Menurut Lokasi (Unit)........................... 171<br />

10


Tabel 3.23. Realisasi Penyaluran Traktor roda-2, Menurut Lokasi 2008-<br />

2016 ................................................................................................... 173<br />

Tabel 3.24. Realisasi Penyaluran Bantuan Traktor Roda 4 (Unit) ............................. 175<br />

Tabel 3.25 Realisasi Penyaluran Combine Harvester (Unit) ..................................... 175<br />

11


DAFTAR GRAFIK<br />

Grafik 2.1 Perkembangan jumlah penduduk bumi dari tahun 1800<br />

hingga perkiraan tahun 2050 ..................................................................... 76<br />

Grafik 3.1 Keadaan Luas Panen Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-2016)<br />

(Ha) ........................................................................................................... 100<br />

Grafik 3.2. Tingkat Pertumbuhan Luas Panen Sulsel dan Nasional (%) ..................... 101<br />

Grafik 3.3. Trend dan Keragaan Produksi Padi Sulsel ................................................ 105<br />

Grafik 3.4. Tingkat Pertumbuhan Produksi Padi Sulsel dan Nasional ........................ 106<br />

Grafik 3.5. Produktivitas Padi Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ........................................... 108<br />

Grafik 3.6.<br />

Produktivitas Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dibandingkan<br />

dengan Produktivitas Nasional (Sumber: Kementan RI, diolah) .............. 109<br />

Grafik 3.7. Pertumbuhan Produktivitas Padi Sulsel dan Nasional ............................. 110<br />

Grafik 3.8. Keragaan Luas Panen Jagung Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> .......................... 114<br />

Grafik 3.9. Pertumbuhan Luas Panen Jagung Sulsel dan Nasional ............................ 115<br />

Grafik 3.10. Trend dan Volume Produksi Jagung <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (ton) .................... 117<br />

Grafik 3.11. Pertumbuhan Produksi Jagung Sulsel dan Nasional (%) .......................... 118<br />

Grafik 3.12. Trend dan Produktivitas Komoditas Jagung <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

2008-2016 ................................................................................................ 120<br />

Grafik 3.13<br />

Tingkat Pertumbuhan Produktivitas Jagung di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> dan nasional (%) .......................................................................... 121<br />

Grafik 3.14. Luas Panen Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> .......................................................... 123<br />

Grafik 3.15. Pertumbuhan Luas Panen Kedelai Sulsel dan Nasional ............................... 124<br />

Grafik 3.16. Produksi Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ............................................................... 126<br />

Grafik 3.17. Pertumbuhan Produksi Kedelai Sulsel dan Nasional ................................... 127<br />

Grafik 3.18. Keragaan Produktivitas Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ....................................... 129<br />

Grafik 3.19. Pertumbuhan Produktivitas Kedelai Sulsel dan Nasional ............................ 130<br />

Grafik 3.20. Keragaan Luas Panen Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.................................. 132<br />

Grafik 3.21. Pertumbuhan Luas Panen Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />

Nasional .................................................................................................... 133<br />

Grafik 3.22. Keragaan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ...................................... 135<br />

Grafik 3.23.<br />

Pertumbuhan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />

Nasional .................................................................................................... 136<br />

12


Nasional .................................................................................................... 139<br />

Nasional .................................................................................................... 151<br />

Nasional .................................................................................................... 154<br />

2016) ........................................................................................................ 156<br />

Nasional .................................................................................................... 157<br />

Nasional .................................................................................................... 164<br />

2016) ........................................................................................................ 166<br />

(2009-2016) .............................................................................................. 167<br />

(Ton) di Sulsel 2008-2016 ......................................................................... 168<br />

Sulsel Tahun 2008-2016 ........................................................................... 169<br />

Grafik 3.24. ................................. Keragaan Produktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.25. Pertumbuhan Produktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />

Grafik 3.26. Keragaan Luas Panen Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ............................ 141<br />

Grafik 3.27. Pertumbuhan Luas Panen Kacang Tanah Sulsel dan Nasional ................. 142<br />

Grafik 3.28. Keragaan Produksi Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ................................ 145<br />

Grafik 3.29. Pertumbuhan Produksi Kacang Tanah Sulsel dan Nasional ..................... 145<br />

Grafik 3.30. Keragaan Produktivitas Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ......................... 147<br />

Grafik 3.31. Pertumbuhan Produktivitas Kacang Tanah Sulsel dan Nasional .............. 148<br />

Grafik 3.32 Keragaan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> .................................... 150<br />

Grafik 3.33. Pertumbuhan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />

Grafik 3.34. Keragaan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ......................................... 153<br />

Grafik 3.35. Pertumbuhan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />

Grafik 3.36 Keragaan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-<br />

Grafik 3.37. Pertumbuhan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />

Grafik 3.38. Keragaan Luas Panen Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-2016) ................ 159<br />

Grafik 3.39. Pertumbuhan Luas Panen Ubi Jalar Sulsel dan Nasional ......................... 160<br />

Grafik 3.40. Keragaan Produksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-2016) ................... 163<br />

Grafik 3.41. Pertumbuhan Produksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />

Grafik 3.42. Keragaan Produktivitas Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-<br />

Grafik 3.43. Pertumbuhan Produktivitas Ubi Jalar Sulsel dan Nasional<br />

Grafik 3.44. Keragaan Luas Penangkaran (Ha) dan Produksi Benih Kedelai<br />

Grafik 3.45. Keragaan Luas Penangkaran dan Produksi Benih Jagung di<br />

13


Grafik 3.46. Keragaan Luas Penangkaran (ha) dan Produksi Benih (Ton) Padi<br />

di Sulsel 2008-2016 .................................................................................. 170<br />

Grafik 3.47. Realisasi Kios Penyalur Saprotan <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-<br />

2016) ......................................................................................................... 172<br />

Grafik 3.48. Realisasi Penyaluran Alsintan Jenis Traktor Roda-2, Sulsel<br />

(2008-2016) .............................................................................................. 174<br />

Grafik 4.1 Kerangka logis pencapaian overstock pangan ......................................... 178<br />

14


1.1 Latar Belakang<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Pembangunan pertanian di provinsi Sulsel selama satu dekade<br />

terakhir ini menunjukkan perkembangan yang sangat dinamis. Produksi dan<br />

produktivitas tanaman pangan khususnya (padi) mengalami peningkatan<br />

yang signifikan hingga lebih dari 300 persen. Pada tahun 2008, beras di<br />

Sulsel sebesar 800 ribu ton, meningkat menjadi 2,4 juta ton pada 2016.<br />

Komoditi sektor pertanian yang lain juga mengalami pertumbuhan yang<br />

jauh di atas rata-rata nasional.<br />

Pertumbuhan pada sektor pertanian, memberi dampak langsung<br />

pada peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat secara umum.<br />

Grafik produksi pertanian memiliki keterkaitan dengan indikator makro<br />

ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, pendapatan per kapita,<br />

tingkat kemiskinan, dan pengangguran.<br />

Namun kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dan PDB di<br />

Sulsel cenderung mengalami penurunan. Kontribusi sektor non pertanian<br />

seperti konstruksi, jasa, industri pengolahan, justru mengalami kenaikan<br />

dari tahun ke tahun. Demikian juga jumlah rumah tangga petani dari waktu<br />

ke waktu mengalami penurunan. Sektor pertanian meskipun mengalami<br />

pertumbuhan yang cukup baik, akan tetapi tidak menjadi sektor yang<br />

digandrungi oleh pencari kerja, terutama tenaga kerja yang memiliki tingkat<br />

pendidikan SMA ke atas.<br />

Infrastruktur sektor pertanian seperti irigasi, bendungan, dan jalan<br />

tani misalnya, selama 20 tahun terakhir tidak menunjukkan penambahan<br />

jumlah maupun perbaikan yang memadai. Demikian juga input pertanian<br />

seperti sarana produksi yang bersumber dari pemerintah seperti: pupuk,<br />

pestisida, bibit, mekanisasi pertanian (untuk pengolahan lahan, panen dan<br />

15


pasca panen) tidak menunjukkan perkembangan yang selaras dengan<br />

pertumbuhan yang dicapai oleh petani.<br />

Masalah kelembagaan pertanian adalah salah satu faktor yang bisa<br />

menghambat pertumbuhan sektor pertanian. <strong>Kelembagaan</strong> pertanian baik<br />

pada tingkat rumah tangga petani, kelompok tani, maupun pada tingkat<br />

gabungan kelompok tani tidak mengalami perkembangan yang dinamis,<br />

bahkan kencenderungannya stagnan. Lemahnya fungsi kelembagaan ini<br />

lebih disebabkan karena semakin melemahnya kohesi sosial, dan<br />

menurunnya solidaritas sosial masyarakat tani.<br />

1.2 Rumusan Masalah<br />

Berdasarkan kondisi aktual dan data empirik sektor pertanian di<br />

Sulsel, maka permasalahan pertanian di Sulsel 16dapat dirumuskan sebagai<br />

berikut:<br />

1) Mengapa kebijakan pemerintah Sulsel memilih Pangan sebagai salah<br />

satu kebijakan utama?<br />

2) Bagaimana perkembangan dan akselerasi pertumbuhan sektor<br />

pertanian (pangan) di Sulsel?<br />

3) Bagaimana strategi pemerintah Sulsel mewujudkan Over stock beras<br />

(pangan).<br />

1.3 Tujuan<br />

Mengacu pada rumusan masalah tersebut di atas, maka kajian ini<br />

bertujuan untuk:<br />

1) Menganalisis kebijakan pemerintah Sulsel yang berkaitan dengan<br />

kebijakan pangan.<br />

2) Mengetahui kontribusi sektor pertanian Sulsel terhadap pembangunan<br />

sektor pertanian nasional, dan menganalisis tingkat akselerasi<br />

16


pertumbuhan sektor pertanian, dibandingkan dengan akselerasi yang<br />

terjadi secara nasional.<br />

3) Menganalisis strategi pembangunan pangan dan proses input-output<br />

produksi pertanian, dan mengetahui peranan kelembagaan dan aktor<br />

yang beroperasi pada sektor pertanian.<br />

1.4 Kerangka Teoritik---Bab 2<br />

1.4.1 Sektor Pertanian dan PDB<br />

Secara umum, sektor pertanian masih menjadi pemicu<br />

pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan penurunan<br />

kemiskinan. Pertumbuhan pertanian akan meningkatkan laju pertumbuhan<br />

pendapatan daerah bruto (PDB). Peran sektor pertanian dan Perkembangan<br />

Sektor Pertanian Indonesia sangat diperlukan dalam upaya menurunkan<br />

kemiskinan. Data PBB menyatakan bahwa pada daerah pedesaan di negara<br />

berkembang terdapat sekitar 1 milyar penduduk dari 1,2 milyar penduduk<br />

hidup dalam kemiskinan absolut (absolute poverty). Selain membutuhkan<br />

sumber daya finansial, sektor pertanian juga memerlukan teknologi maju<br />

dan infrastruktur. <strong>Di</strong>skriminasi pemerintah terhadap sektor pertanian akan<br />

menghalangi keseluruhan pembangunan. Transformasi Pertanian<br />

mengemukakan bahwa keberhasilan sektor pertanian bukan hanya alat bagi<br />

pembangunan, tetapi keberhasilan di sektor pertanian juga menjadi tujuan<br />

dari pembangunan. Karena sektor pertanian dapat menjamin penyediaan<br />

kebutuhan milyaran penduduk di masa depan.<br />

Beberapa isu yang berkaitan dengan transformasi sektor pertanian<br />

antara lain; 1. Peningkatan produktivitas pertanian; 2. Penggunaan sumber<br />

daya yang dihasilkan untuk pembangunan di luar sektor pertanian; 3.<br />

Integrasi pertanian dengan ekonomi nasional melalui infrastruktur dan<br />

pasar.<br />

17


1.4.2 Kontribusi Pertanian dalam Pembangunan<br />

Pembangunan Pertanian memiliki kontribusi yang sangat besar<br />

kepada pembangunan. Kontribusi pertanian tersebut meliputi: 1.<br />

Meningkatkan ketahanan pangan (persediaan makanan). 2. Perolehan nilai<br />

tambah atau pendapatan dari ekspor. 3. Pertukaran tenaga kerja ke sektor<br />

industri. 4. Pembentukan modal bagi masyarakat kelas menengah kebawah.<br />

5. Kebutuhan akan barang-barang pabrikan.<br />

<strong>Dalam</strong> analisis klasik dari Kuznets (1964), pertanian di LDCs dapat<br />

dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat<br />

bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pengembangan ekonomi<br />

nasional, yaitu sebagai berikut: (i) Ekspansi sektor-sektor ekonomi lain<br />

sangat tergantung pada produk- produk dari sektor pertanian, bukan saja<br />

untuk suatu kelangsungan pertumbuhan suplai makanan mengikuti<br />

pertumbuhan penduduk. (ii) Karena bias agraris yang sangat kuat dari<br />

ekonomi selama tahp awal proses pembangunan ekonomi. (iii) Karena<br />

pentingnya pertanian secara relative menurun dengan pertumbuhan dan<br />

pembangunan ekonomi. (iv) Sektor pertanian mampu berperan sebagai<br />

sumber penting bagi surplus neraca perdagangan atau neraca pembayaran.<br />

1. Kontribusi produk. Kontribusi produk dari pertanian dapat dilihat dari<br />

relasi antara pertumbuhan pangsa PDB dari sektor tersebut dengan<br />

pangsa awalnya dan laju pertumbuhan relatif dari produk-produk neto<br />

pertanian dan non pertanian. <strong>Di</strong> dalam system ekonomi terbuka,<br />

besarnya kontribusi produk dari sektor pertanian, baik lewat pasar<br />

maupun lewat keterkaitan produksi dengan sektor-sektor<br />

nonpertanian, misalnya industri manufaktur, juga sangat dipengaruhi<br />

oleh kesiapan sektor itu sendiri dalam menghadapi persaingan dari luar<br />

(tingkat daya saingnya).<br />

18


2. Kontribusi Pasar. Negara agraris dengan proporsi populasi pertanian<br />

(petani dan keluarganya) yang besar, seperti Indonesia, merupakan<br />

sumber yang sangat penting bagi pertumbuhan pasar domestik bagi<br />

sektor-sektor non-pertanian, khususnya industri manufaktur.<br />

Namun, peranan sektor pertanian lewat kontribusi pasarnya<br />

terhadap diversifikasi dan pertumbuhan output dari sektor- sektor nonpertanian,<br />

sangat tergantung pada dua faktor penting yang dapat<br />

dianggap sebagai prasyarat, yaitu: 1. Dampak dari keterbukaan<br />

ekonomi dimana pasar domestik tidak hanya diisi oleh barang-barang<br />

buatan dalam negeri, tetapi juga barang-barang impor. 2. Jenis<br />

teknologi yang digunakan disektor pertanian yang menentukan tinggi<br />

rendahnya tingkat mekanisasi atau modernisasi dari sektor tersebut.<br />

3. Kontribusi Faktor-faktor Produksi. Ada dua faktor produksi yang dapat<br />

dialihkan dari sektor pertanian ke sektor-sektor non-pertanian, tanpa<br />

harus mengurangi volume produksi (produktivitas) di sektor pertanian,<br />

pertama adalah tenaga kerja dan kedua adalah modal. Market Surplus<br />

di sektor pertanian bisa menjadi salah satu sumber modal bagi investasi<br />

di sektor-sektor lain. untuk mendapatkan market surplus, kinerja sektor<br />

pertanian itu sendiri harus baik, dalam arti bisa menghasilkan surplus.<br />

Faktor yang sangat ditentukan oleh kekuatan sisi suplainya (teknologi,<br />

infrastruktur, dan sumber daya manusia) dan dari sisi permintaan<br />

(pasar) oleh nilai tukar antara produk pertanian dan produk nonpertanian,<br />

baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.<br />

4. Kontribusi Devisa. Kontribusi sektor pertanian di suatu negara terhadap<br />

peningkatan devisa terjadi melalui peningkatan ekspor dan atau<br />

pengurangan impor Negara tersebut untuk komoditi-komoditi<br />

pertanian. Akan tetapi peranan sektor pertanian dalam peningkatan<br />

devisa bisa dikontradiksi dengan peranannya dalam bentuk kontribusi<br />

produk. Dengan kata lain, usaha Agroteknologi.web.id Sumber<br />

Informasi Pertanian Indonesia peningkatan ekspor pertanian bisa<br />

19


erakibat negatif terhadap pasokan pasar dalam negeri, atau<br />

sebaliknya, usaha memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri bisa<br />

menjadi suatu faktor penghambat bagi pertumbuhan ekspor pertanian.<br />

1.4.3 Faktor Pembangunan Pertanian<br />

Perlu kita ketahui mengapa sektor pertanian ini perlu<br />

dikembangkan dan dimajukan di Sulsel. <strong>Di</strong>sebabkan oleh beberapa faktor<br />

yaitu:<br />

a. Potensi sumber daya yang sangat besar<br />

Sulsel memiliki faktor iklim yang sangat mempengaruhi faktor<br />

terbentuk dan tumbuh suburnya setiap tanaman. Iklim di Sulsel yang cukup<br />

dalam memperoleh sinar matahari sepanjang tahun, mempengaruhi<br />

tumbuh suburnya setiap tanaman dengan mudah. Potensi yang demikian<br />

membuat wilayah Sulsel mendapat julukan sebagai “Kolam Susu” dimana<br />

setiap tangkai maupun bibit yang ditanam diwilayah Sulsel selalu tumbuh<br />

subur dan menghasilkan uang.<br />

b. Pangsa Pasar Terhadap Pendapatan Nasional Cukup Besar<br />

Bisa dikatakan tidak banyak orang yang tahu dan paham bahwa<br />

sektor pertanian menaruh keuntungan yang cukup besar pada PDB negara<br />

dan banyak yang beranggapan bahwa sektor pertanian hanya sektor<br />

sampingan yang tidak perlu terlalu diperhatikan. Meskipun hanya memberi<br />

(40-an ???) bagi PDB tiap tahunnya, sektor ini menjadi barang komoditi<br />

yang paling dicari oleh masyarakat karena menjadi kebutuhan primer dalam<br />

pemenuhan kebutuhan pangan yaitu menjadi kebutuhan sehari-hari dan<br />

tidak boleh habis stoknya karena bisa berdampak fatal bagi pemenuhan<br />

kebutuhan masyarakat. Karena bila terjadi suatu kesalahan yang tidak<br />

terencana penyediaannya atau habis di dalam negeri sendiri kita bisa<br />

kerepotan untuk mengimpor dari negara luar. Oleh sebab itu sektor<br />

20


pertanian harus diperhatikan lebih baik karena menjadi faktor primer dalam<br />

pemenuhan kebutuhan dan seharusnya sebagai negara yang terletak di<br />

wilayah tropis kita harus bisa memanfaatkan keadaan alam yang ada<br />

dengan meningkatkan hasil produksi dari sektor pertanian ini karena selain<br />

bermanfaat sebagai pemenuh kebutuhan setiap keluarga bisa menjadi<br />

sektor yang amat menguntungkan apabila dibawa ke pangsa pasar dan<br />

dilihat pada pangsa pasar yang lebih luas.<br />

c. Peranan Petani <strong>Dalam</strong> Penyediaan Pangan Masyarakat.<br />

Petani tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan masyarakat.<br />

Mengapa demikian karena petani menjadi pemasok setiap kebutuhan<br />

pangan dari setiap anggota keluarga dalam pemenuhan kebutuhan<br />

pokoknya sehari- hari. Tanpa adanya petani manusia tentu tidak dapat<br />

memenuhi kebutuhannya bahkan harus mengimpor barang- barang pangan<br />

dari luar. Namun di beberapa negara besar seperti Arab yang sering<br />

mengimpor hasil pertanian ke dalam negaranya, kurang memanfaatkan<br />

peranan dari petaninya bukan dikarenakan faktor ketidaksediaan modal<br />

melainkan faktor ketidakmampuann dari segi tanah dan iklim mereka untuk<br />

bercocoktanam, sehingga sektor pertanian kurang berkembang di negaranegara<br />

Timur Tengah.<br />

d. Menjadi Basis Pertumbuhan Ekonomi.<br />

Sektor pertanian menjadi salah satu dari unsur-unsur yang mengisi<br />

pertumbuhan perekonomian di setiap negara. <strong>Di</strong> negara-negara Arab<br />

sekalipun, yang wilayah lahannya tidak memungkinkan untuk melakukan<br />

kegiatan bercocok tanam namun sektor perekonomian menjadi salah satu<br />

unsur pengisi basis pertumbuhan perekonomian di negaranya misalnya<br />

dengan membudidayakan tanaman kurma yang nilai komoditinya cukup<br />

besar dalam pengeksporan ke seluruh negara termasuk ke Indonesia.<br />

Dengan kata lain sektor pertanian meski hanya menyumbang tidak sampai<br />

dari ¼ pendapatan negara tetapi menjadi penopang terhadap pendapatan<br />

21


dari setiap negara terutama di Indonesia yang tiap tahunnya mengekspor<br />

biji mete, beras, dan berbagai bahan pokok lainnya dalam pangan menjadi<br />

pemasukan devisa negara tiap tahunnya.<br />

Menurut laporan BPS, sektor ekonomi yang menunjukkan nilai<br />

tambah bruto terbesar dalam PDB berdasarkan harga berlaku triwulan I-<br />

2010 adalah sektor industri pengolahan sebesar Rp380,9 triliun, kemudian<br />

sektor pertanian Rp239,4 triliun, disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan<br />

restoran sebesar Rp208,0 triliun. Sementara sektor pertambangan dan<br />

penggalian sebesar Rp168,1 triliun, sektor konstruksi sebesar Rp150,4<br />

triliun, sektor jasa-jasa sebesar Rp139,2 triliun, sektor keuangan, real estat<br />

dan jasa perusahaan sebesar Rp107,6 triliun dan sektor pengangkutan dan<br />

komunikasi sebesar Rp93,4 triliun, serta terakhir sektor listrik, gas dan air<br />

bersih sebesar Rp11,7 triliun.<br />

e. Kontribusi Terhadap Kesempatan Kerja.<br />

Kala dilihat pola perubahan kesempatan kerja di pertanian dan<br />

industri manufaktur, pangsa kesempatan kerja dari sektor pertama<br />

menunjukkan suatu pertumbuhan tren yang menurun, sedangkan di sektor<br />

kedua meningkat (carikan data naik turunnya). Perubahan struktur<br />

kesempatan kerja ini sesuai dengan yang di prediksi oleh teori mengenai<br />

perubahan struktur ekonomi yang terjadi dari suatu proses pembangunan<br />

ekonomi jangka panjang, yaitu bahwa semakin tinggi pendapatan per<br />

kapita, semakin kecil peran dari sektor primer, yakni pertambangan dan<br />

pertanian, dan semakin besar peran dari sektor sekunder, seperti<br />

manufaktur dan sektor-sektor tersier di bidang ekonomi. Namun semakin<br />

besar peran tidak langsung dari sektor pertanian, yakni sebagai pemasok<br />

bahan baku bagi sektor industri manufaktur dan sektor-sektor ekonomi<br />

lainnya. Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor<br />

pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan,<br />

hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29<br />

22


persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor<br />

pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36<br />

persen, dan industri pengolahan 1,6 persen. Sedangkan pertumbuhan besar<br />

untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa<br />

sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88<br />

persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian<br />

memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang<br />

yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan<br />

sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya<br />

paling tinggi.<br />

f. Kontribusi Pertanian Terhadap Devisa<br />

Pertanian juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap<br />

peningkatan devisa, yaitu lewat peningkatan ekspor dan atau pengurangan<br />

tingkat ketergantungan Negara tersebut terhadap impor atas komoditi<br />

pertanian. Komoditas ekspor pertanian Indonesia cukup bervariasi mulai<br />

dari getah karet, kopi, udang, rempah- rempah, mutiara, hingga berbagai<br />

macam sayur dan buah. Peran pertanian dalam peningkatan devisa bisa<br />

kontradiksi dengan perannya dalam bentuk kontribusi produk. Kontribusi<br />

produk dari sektor pertanian terhadap pasar dan industri domestik bisa<br />

tidak besar karena sebagian besar produk pertanian di ekspor atau sebagian<br />

besar kebutuhan pasar dan industri domestik disuplai oleh produk-produk<br />

impor. Artinya peningkatan ekspor pertanian bisa berakibat negatif<br />

terhadap pasokan pasar dalam negeri, atau sebaliknya usaha memenuhi<br />

kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu faktor penghambat bagi<br />

pertumbuhan ekspor pertanian. Untuk mengatasinya ada dua hal yang<br />

perlu dilakukan yaitu menambah kapasitas produksi dan meningkatkan<br />

daya saing produknya. Namun bagi banyak Negara agraris, termasuk<br />

Indonesia melaksanakan dua pekerjaan ini tidak mudah terutama karena<br />

keterbatasan teknologi, SDM, dan modal.<br />

23


1.4.4 Kendala Sektor Pertanian di Sulsel<br />

a. Kondisi Lahan Pertanian di Sulsel<br />

Luas kepemilikan lahan yang dimiliki oleh petani di Sulsel rata-rata<br />

kecil mengingat harga tanah yang semakin mahal sedangkan kemampuan<br />

para petani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah minim<br />

ditambah harus membeli lahan yang harganya semakin melonjak. Yang<br />

memungkinkan hanya bisa menggarap lahan milik orang lain sehingga<br />

hasilnya pun harus dibagi dua. Semakin sempitnya lahan untuk bertani<br />

karena penyebaran pembangunan gedung-gedung industry yang<br />

bertambah jumlahnya di setiap lokasi. Hal ini tentunya dapat mengurangi<br />

wilayah para petani untuk bercocok tanam. Sedangkan kebutuhan manusia<br />

akan pangan semakin meningkat tidak diimbangi oleh ketersediaan lahan<br />

dan pembangunan gedung-gedung industri yang tidak terencana tanpa<br />

memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan.<br />

Sedangkan pada daerah-daerah pedalaman masih banyaknya<br />

“Lahan Tidur” yang artinya lahan tersebut belum tergarap maupun<br />

tersentuh oleh tangan-tangan manusia sementara lahan di suatu wilayah<br />

strategis cenderung menjadi rebutan dengan harga yang mahal. Ini<br />

mencerminkan bahwa penyebaran penduduk diwilayah Indonesia yang<br />

belum merata.<br />

b. Masalah Dari Petani Sendiri dan Mentalitasnya<br />

Pendidikan formal petani yang masih rendah menyebabkan<br />

pengetahuannya dalam pengembangan sektor pertanian tidak berkembang<br />

dan cenderung monoton hanya menggantungkan hidupnya pada sektor<br />

pertanian tanpa menciptakan inovasi-inovasi terbaru demi peningkatan<br />

hasil pangan yang berlimpah. Hasil panen yang tidak seberapa<br />

menyebabkan petani tidak memiliki modal dalam pengembangan usahanya<br />

ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kehidupan para petani<br />

24


kurang sejahtera di wilayah Indonesia. Serta menyebabkan tingginya tingkat<br />

kemiskinan di Indonesia, sementara 50 juta penduduk Indonesia bermata<br />

pencaharian sebagai petani. Kaum petani cenderung menggantungkan<br />

hidupnya pada pemerintah dan lebih bersikap pasrah pada kondisi<br />

kehidupannya pada saat ini. Seharusnya mereka lebih meningkatkan jiwa<br />

kewirausahaanya dalam pengembangan sektor usaha di berbagai bidang<br />

dan jangan hanya terpacu pada sektor pertanian yang hasilnya diperoleh<br />

pada periode dan musim-musim tertentu.<br />

c. Masalah Teknologi<br />

Sistem pengalihan teknologi dari tradisional menjadi modern<br />

dalam pengelolaan pangan, belum mampu diterima secara luas oleh para<br />

petani yang lebih banyak menggunakan peralatan tradisional seperti :<br />

cangkul, arit, dll. Yang pada kenyataannya lebih banyak memakan waktu<br />

dan tenaga. <strong>Di</strong>banding menggunakan peralatan dan teknologi modern yang<br />

telah diterapkan dinegara-negara luar. Penerapan teknologi di negara kita<br />

terkadang kurang tepat pada sasaran dimana disatu sisi peralatan teknologi<br />

tersebut mampu membantu dan meningkatkan kualitas pangan tetapi disisi<br />

lain peralatan tersebut merusak ekosistem yang ada tanpa memperhatikan<br />

kelestarian lingkungan.<br />

25


1.5 Kerangka Pikir<br />

Gambar 1. <strong>Di</strong>agram kerangka pikir pembangunan pertanian menuju<br />

kesejahteraan masyarakat<br />

26


1.6. Metodologi<br />

1.6.1 Pendekatan<br />

<strong>Kajian</strong> ini dilakukan di Provinsi Sulsel, dengan pendekatan deskriptif<br />

kualitatif, menggunakan data sekunder selama sepuluh tahun terakhir, yang<br />

tersedia pada lembaga-lembaga resmi seperti: BPS, Kementerian Pertanian<br />

Republik Indonesia, atau data-data yang tersedia pada pemerintah daerah.<br />

Untuk memperkuat data sekunder dilakukan diskusi/wawancara dengan<br />

petani, kelompok tani atau stakeholders lain yang terlibat dalam<br />

pembangunan pertanian di Sulsel.<br />

Data-data yang terkumpul dan hasil wawancara dianalisis dan<br />

diperbandingkan dari periode tertentu selama sepuluh tahun terakhir<br />

(2008-2018), untuk menemukan hubungan timbal balik atau implikasi yang<br />

berkaitan terutama dengan beberapa indikator makro ekonomi dari proses<br />

pembangunan pertanian di Sulsel.<br />

1.6.2 Koleksi Data<br />

Data yang dibutuhkan dalam kajian evaluasi ini terdiri dari data<br />

sekunder dan hasil wawancara. Data sekunder yang dibutuhkan adalah:<br />

(i) Data sarana produksi (pupuk, benih, pestisida, dll)<br />

(ii) Data hasil produksi dan produktivitas komoditi pertanian<br />

(iii) Jumlah kelembagaan petani (baik yang aktif maupun yang tidak<br />

aktif); kelompok tani, gabungan kelompok tani, aktivitas kelompok<br />

tani, dll.<br />

(iv) Data komoditi yang berpengaruh pada inflasi<br />

(v) Data pertumbuhan dan kontribusi sektor pertanian pada beberapa.<br />

27


1.6.3 Pengolahan Data<br />

Data yang terkoleksi akan dianalisis dengan menggunakan PIVOT<br />

TABLE (excel) untuk memperoleh data yang dapat menunjukkan rata-rata<br />

tingkat pertumbuhan, atau sebaliknya, pada beberapa instrumen dalam<br />

pembangunan pertanian, berdasarkan jenis komoditi, dan lokasi. Data ini<br />

kemudian dianalisis untuk menemukan keterhubungan antara satu<br />

instrumen dengan instrumen lainnya, terutama dengan beberapa indikator<br />

makro ekonomi.<br />

1.6.4 Alur Rencana Kegiatan<br />

Gambar 1. <strong>Di</strong>agram alir rencana kegiatan<br />

28


1.6.5 Jadwal Pelaksanaan<br />

No Kegiatan Mg 1 Mg 2 Mg 3 Mg 4 ket<br />

1 Persiapan<br />

2 Administrasi<br />

3 Pembentukan Tim<br />

4 Pertemuan Tim (Outline)<br />

5 Pengumpulan data sekunder<br />

6 Pengumpulan data primer<br />

6 <strong>Di</strong>skusi Kelengkapan data<br />

7 Pengumpulan Data tambahan<br />

8 <strong>Di</strong>skusi Penyusunan draft<br />

9 <strong>Di</strong>skusi pendalaman<br />

10 Penyusunan/ laporan final<br />

11 Penyajian laporan<br />

29


30


II. SULSEL SEBAGAI CENTER POINT OF INDONESIA<br />

(MEMPERKENALKAN POTENSI SULSEL)<br />

Gambar 2. Infografis, Sulsel sebagai center point of Indonesia<br />

2.1 Karakteristik lokasi dan Wilayah<br />

Provinsi <strong>Sulawesi</strong> selatan (Sulsel) yang terletak di bagian selatan<br />

semenanjung pulau <strong>Sulawesi</strong>, merupakan salah satu lokasi wilayah yang<br />

strategis di tengah-tengah kepulauan Indonesia dan sekaligus menjadi<br />

jembatan penghubung antara kawasan barat dan timur Indonesia, sehingga<br />

31


wilayah ini ditetapkan sebagai pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia<br />

(KTI), atau di kenal sebagai Center Point of Indonesia (CPI), yang<br />

mempunyai luas wilayah sekitar 46.083,94 km persegi dan secara<br />

administratif terbagi 21 wilayah kabupaten, dan 3 wilayah kota. Terdiri dari<br />

306 kecamatan dan 3.030 wilayah administrasi setingkat desa yang terdiri<br />

dari 2.240 desa, 783 kelurahan. Kabupaten/Kota dengan wilayah terluas<br />

adalah Kabupaten Luwu Utara sekitar 7.365,51 km persegi, Kabupaten<br />

Luwu Timur sekitar 7.315,77 km persegi dan Kabupaten Bone sekitar<br />

4.593,38 km persegi, sedangkan Kota Parepare merupakan kota dengan<br />

wilayah terkecil yaitu seluas 88,92 km persegi.<br />

Secara Geografis Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terletak di antara 0 12’-<br />

8 lintang selatan dan 116’48 - 122’ 36’ Bujur Timur, dengan batas wilayah:<br />

Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi <strong>Sulawesi</strong> Barat dan Provinsi<br />

<strong>Sulawesi</strong> Tengah<br />

Sebelah <strong>Selatan</strong> berbatasan dengan Laut Flores<br />

Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone dan Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />

Tenggara<br />

Sebelah Barat berbatasan dengan selat Makassar dan Pulau Kalimantan<br />

Posisi geografis tersebut secara tidak langsung mengantarkan<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sebagai wilayah perdagangan dan jasa yang secara posisi<br />

memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, karena Selat Makassar<br />

merupakan salah satu jalur pelayaran internasional, dan berfungsi sebagai<br />

titik simpul transportasi laut dan udara yang menghubungkan Asia Timur<br />

dan Benua Australia.<br />

2.1.1 Kondisi Topografi<br />

Wilayah <strong>Sulawesi</strong> selatan membentang mulai dari daratan rendah<br />

hingga dataran tinggi. Kondisi kemiringan tanah 0-3 persen merupakan<br />

tanah yang relative datar, 3 sampai 8 persen merupakan tanah relative<br />

32


ergelombang, 8 sampai 45 persen merupakan tanah yang kemiringannya<br />

agak curam, lebih dari 45 persen tanahnya curam dan bergunung. Wilayah<br />

daratan terluas berada pada 400 hingga 1000 meter DPL, secara topografi<br />

wilayah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki 7 gunung yakni gunung<br />

Lompobattang 2.871 m terletak diKabupaten Gowa, Bantaeng,Sinjai dan<br />

Bulukumba, gunung Rantekambola 3.103 m di Kabupaten Luwu, gunung<br />

Rantemario 3.470 m diKabupaten Luwu dan Enrekang, gunung Kambuno<br />

2.900 m di Kabupaten Luwu, gunung Balease 3.016 m di Kabupaten Luwu,<br />

gunung Latimojong 3.305 m diKabupaten Luwu dan Enrekang dan gunung<br />

Bawakaraeng 2.839 m diKabupaten Gowa dan Sinjai.<br />

33


34<br />

Gambar 3 Peta Administrasi Provinsi


2.1.2. Geologi<br />

Daerah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> termasuk ke dalam Provinsi Busur Volkanik<br />

Tersier <strong>Sulawesi</strong> Barat, yang memanjang dari Lengan <strong>Selatan</strong> sampai ke<br />

Lengan Utara.Secara umum, busur ini tersusun oleh batuan-batuan<br />

plutonik-volkanik berumur Paleogen- Kuarter serta batuan-batuan<br />

metamorf dan sedimen berumur Tersier.Geologi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> bagian<br />

timur dan barat sangat berbeda, di mana keduanya dipisahkan oleh Depresi<br />

Walanae yang berarah UUB-SST.Secara struktural, <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terpisah<br />

dari anggota Busur Barat <strong>Sulawesi</strong> lainnya oleh suatu depresi berarah UB-ST<br />

yang melintas di sepanjang <strong>Dan</strong>au Tempe (Leeuwen, 1981). Struktur geologi<br />

batuan di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki karakteristik geologi yang<br />

dicirikan oleh adanya berbagai jenis satuan batuan yang bervariasi. Struktur<br />

dan formasi geologi wilayah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terdiri dari volkan<br />

tersier, Sebaran formasi volkan tersier ini relatif luas mulai dari Cenrana<br />

sampai perbatasan Mamuju, daerah Pegunungan Salapati (Quarles) sampai<br />

Pegunungan Molegraf, Pegunungan Perombengan sampai Palopo, dari<br />

Makale sampai utara Enrekang, di sekitar Sungai Mamasa, Sinjai sampai<br />

Tanjung Pattiro, di deretan pegunungan sebelah barat dan timur Ujung<br />

Lamuru sampai Bukit Matinggi. Batuan volkan kwarter, Formasi batuan ini<br />

ditemukan di sekitar Limbong (Luwu Utara), sekitar Gunung Karua (Tana<br />

Toraja) dan di Gunung Lompobatang (Gowa).<br />

2.1.3 Hidrologi<br />

Jumlah sungai yang mengaliri wilayah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tercatat<br />

sekitar 67 aliran sungai, dengan jumlah aliran terbesar di Kabupaten Luwu,<br />

yakni 23 aliran sungai.Sungai terpanjang tercatat ada satu sungai yakni<br />

Sungai Saddang yang mengalir meliputi Kabupaten Tator, Enrekang dan,<br />

Pinrang.Panjang sungai tersebut masing-masing 150 km. <strong>Di</strong> <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> terdapat empat danau yakni <strong>Dan</strong>au Tempe dan Sidenreng yang<br />

35


erada di Kabupaten Wajo, serta danau Matana dan Towuti yang berlokasi<br />

di Kabupaten Luwu Timur.<br />

2.1.4 Klimatologi<br />

Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> pada umumnya sama dengan daerah lain<br />

yang ada di Indonesia, mempunyai dua musim yaitu musim kemarau yang<br />

terjadi pada bulan Juni sampai September dan musim penghujan yang<br />

terjadi pada bulan Desember sampai dengan Maret. Berdasarkan<br />

pengamatan ditigal Stasiun Klimatologi (Maros, Hasanuddin dan Maritim<br />

Paotere) selama tahun 2010 rata-rata suhu udara 27,4 C di Kota Makassar<br />

dan sekitarnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Suhu udara<br />

maksimum di stasiun klimatologi Hasanuddin 32,1 C dan suhu minimum<br />

24,0 C. Berdasarkan klasifikasi tipe iklim menurut oldeman, Provinsi<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki 5 jenis iklim, yaitu Tipe iklim A termasuk kategori<br />

iklim sangat basah dimana curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/Tahun.<br />

Wilayah yang termasuk ke dalam tipe ini adalah Kabupaten Enrekang,<br />

Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur.Tipe Iklim B, iklim basah dimana curah<br />

hujan rata-rata 3000-3500 mm/tahun.Wilayah tipe terbagi 2 tipe yaitu (B1)<br />

meliputi kab.Tana toraja, Luwu utara, Luwu timur.Tipe B2 meliputi Gowa,<br />

Bulukumba dan Bantaeng, tipe C termasuk iklim agak basah dimana curah<br />

hujan rata-rata 2500-3000 mm/tahun.Tipe iklim C terbagi 3 yaitu iklim tipe<br />

C1 meliputi kabupaten Wajo, Luwu dan Tana toraja.Iklim C2 meliputi<br />

Kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Barru, Pangkep, Enrekang, Maros dan<br />

Jeneponto. Sedangkan tipe iklim C3 terdiri dari Makassar, Bulukumba<br />

Jeneponto, Pangkep, Barru, Maros, Sinjai, Gowa, Enrekang, Tana toraja,<br />

Pare-pare, Selayar. Tipe iklim D dengan curah hujan rata-rata 2000-2500<br />

MM/tahun. Tipe iklim ini terbagi 3 yaitu wilayah yang masuk ke dalam iklim<br />

D1 meliputi kabupaten Wajo,Bone, Soppeng, Luwu, Tana toraja dan<br />

Enrekang. Wilayah yang termasuk ke dalam iklim D2 terdiri dari kabupaten<br />

Wajo, Bone, Soppeng, Sinjai, Luwu, Enrekang dan Maros. Wilayah yang<br />

36


termasuk iklim D3 meliputi Kabupaten Bulukumba, Gowa, Pangkep,<br />

Jeneponto, Takalar, Sinjai dan kota Makassar. Tipe iklim E dengan curah<br />

hujan rata-rata antara 1500-2000 mm/tahun dimana tipe iklim ini disebut<br />

sebagai tipe iklim kering.Tipe iklim E1 terdapat di Kabupaten Maros, Bone<br />

dan Enrekang, Bantaeng dan Selayar.<br />

2.1.5. Potensi Pengembangan Wilayah<br />

Rencana struktur ruang Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dibangun dengan<br />

beberapa pusat kegiatan seperti pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan<br />

wilayah pusat, kegiatan lokal maupun sub pusat kegiatan lokal, serta<br />

kawasan perkotaan berupa kota, ibukota kabupaten, ibukota kecamatan<br />

dan kawasan pusat pertumbuhan industri dan perdagangan yang padat<br />

dengan kegiatan perkotaan dan fasilitas permukiman.<br />

Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> adalah<br />

Kawasan Metropolitan Mamminasata yang terdiri dari Kota Makassar, Kota<br />

Maros, Kota Sungguminasa, dan Kota Takalar. Pengembangan Kawasan<br />

Perkotaan Mamminasata diarahkan sebagai pusat orientasi pelayanan<br />

berskala internasional dan penggerak utama Kawasan Timur Indonesia,<br />

serta sebagai pusat pertumbuhan dan sentra pengolahan hasil produksi di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) adalah Kawasan Perkotaan di Kota<br />

Palopo, Kawasan Perkotaan Watampone, Kawasan Perkotaan Parepare,<br />

Kawasan Perkotaan Barru, Kawasan Perkotaan Pangkajene, Kawasan<br />

Perkotaan Jeneponto, dan Kawasan Perkotaan Bulukumba. PKW<br />

merupakan kawasan perkotaan berfungsi sebagai simpul kegiatan<br />

perdagangan dan jasa skala regional yang mendukung Pusat Kegiatan<br />

Nasional, sebagai pusat kegiatan industry serta berfungsi sebagai simpul<br />

transportasi skala provinsi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

Selain PKN dan PKW pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi<br />

(RTRWP) <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> juga ditetapkan kawasan perkotaan yang<br />

37


erfungsi sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL) dengan peran sebagai pusat<br />

kegiatan industry dan jasa skala kabupaten/kota dan sebagai simpul<br />

transportasi skala kabupaten/kota. Kawasan perkotaan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

yang ditetapkan sebagai PKL adalah Kawasan Perkotaan Malili, Kawasan<br />

Perkotaan Masamba, Kawasan Perkotaan Rantepao, Kawasan Perkotaan<br />

Makale, Kawasan Perkotaan Enrekang, Kawasan Perkotaan Pangkajene,<br />

Kawasan Perkotaan Sengkang, Kawasan Perkotaan Soppeng, Kawasan<br />

Perkotaan Sinjai, Kawasan Perkotaan Bantaeng, Kawasan Perkotaan<br />

Watansawitto, Kawasan Perkotaan Belopa, serta Kawasan Perkotaan<br />

Benteng, dan Kawasan Perkotaan Pamatata.<br />

38<br />

Gambar 4. Peta Struktur Ruang Provinsi


Selain Pusat Kegiatan Lokal, RTRWP <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> juga<br />

menetapkan Kawasan Strategis Provinsi (KSP) yang merupakan kawasan<br />

yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh<br />

sangat penting bagi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terhadap kepentingan pertumbuhan<br />

ekonomi, social dan budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau<br />

teknologi tinggi, dan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.<br />

Penetapan Kawasan Strategis Provinsi (KSP) di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

adalah:<br />

a. Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dari sudut Kepentingan Pertumbuhan<br />

Ekonomi:<br />

1. Kawasan lahan pangan berkelanjutan khususnya beras dan jagung<br />

di masing-masing Kabupaten: Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang<br />

, Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur, Pangkep, Maros, Gowa dan<br />

Takalar;<br />

2. Kawasan pengembangan budidaya alternatif komoditi perkebunan<br />

unggulan kakao, kelapa sawit, kopi Robusta, jambu mete dan jarak<br />

di masing-masing Kabupaten: Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap,<br />

Pinrang, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Barru, Pangkep, Maros,<br />

Gowa, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Enrekang, Tana Toraja,<br />

Toraja Utara dan Kepulauan Selayar;<br />

3. Kawasan pengembangan budidaya rumput laut meliputi wilayah<br />

perairan pantai dan atau tambak di masing-masing Kabupaten:<br />

Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone, Luwu,<br />

Palopo, Luwu utara, dan Luwu Timur;<br />

4. Kawasan pengembangan budidaya udang meliputi tambak di<br />

Kabupaten: Pinrang, Barru, Pangkep, Bone, dan Wajo;<br />

5. Kawasan pengembangan pusat distribusi kebutuhan bahan pokok<br />

Kawasan Timur Indonesia (KTI) Pamatata di Kabupaten Kepulauan<br />

Selayar;<br />

39


6. Kawasan terpadu pusat bisnis, sosial, budaya dan pariwisata Center<br />

Point of Indonesia (Pusat Bisnis Terpadu Indonesia) di<br />

Mamminasata;<br />

7. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Emas di Kabupaten Barru;<br />

8. Kawasan Industri (KI) skala besar meliputi: kawasan-kawasan<br />

industri di wilayah Metropolitan Mamminasata yang terdiri atas KI<br />

Makassar (Kota Makassar), KI Maros(Kabupaten Maros), KI Gowa<br />

(Kabupaten Gowa), KI Takalar (Kabupaten Takalar), selain dari pada<br />

itu diarahkan pengembangan KI Parepare (Kota Parepare), pabrik<br />

pengolahan nikel Sorowako (Kabupaten Luwu Timur), pabrik semen<br />

Tonasa (Kabupaten Pangkep), pabrik semen Bosowa (Kabupaten<br />

Maros).<br />

b. Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dari sudut Kepentingan Sosial dan<br />

Budaya yaitu: kawasan permukiman adat Ammatoa Kajang di<br />

Kabupaten Bulukumba.<br />

c. Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dari sudut Kepentingan<br />

Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan/atau Teknologi Tinggi, yaitu:<br />

1. Kawasan Migas terdiri atas: Blok Bone Utara (Kabupaten Luwu dan<br />

Kota Palopo), Blok Enrekang (Kabupaten Tana Toraja, Enrekang dan<br />

Pinrang), Blok Sengkang (Kabupaten Wajo, Sidrap, Soppeng dan<br />

Bone), Blok Bone di Teluk Bone, dan Blok Sigeri di Selat Makassar,<br />

Blok Kambuno di teluk Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai dan<br />

Kabupaten Bulukumba, Blok Selayar di laut Kabupaten Bulukumba<br />

dan Kabupaten Kepulauan Selayar, Blok Karaengta di laut<br />

Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten<br />

Jeneponto, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Kepulauan Selayar;<br />

2. Pusat-pusat pembangkit listrik terdiri atas PLTG Sengkang<br />

(Kabupaten Wajo), PLTU Punagaya (Kabupaten Jeneponto), PLTU<br />

Bakaru (Kabupaten Pinrang).<br />

40


d. Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dari sudut Kepentingan Fungsi dan<br />

Daya Dukung Lingkungan Hidup, yaitu:<br />

1. Kawasan wisata bahari Mamminasata dan sekitarnya (Kota<br />

Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros, Kabupaten Takalar,<br />

dan Kabupaten Pangkep); Takabonerate (Kabupaten Kepulauan<br />

Selayar);<br />

2. Kawasan Konservasi kawasan <strong>Dan</strong>au Tempe (Kabupaten Wajo) dan<br />

<strong>Dan</strong>au Sidenreng (Kabupaten Sidrap); dan<br />

3. Kawasan bendungan yang terdiri atas Bendungan Batubassi,<br />

Bendungan Balambano dan Bendungan Karebbe (Kabupaten Luwu<br />

Timur); Bendungan Bilibili (Kabupaten Gowa), Bendungan Kalola<br />

(Kabupaten Wajo), dan Bendungan Sanrego (Kabupaten Bone).<br />

41


Gambar 5. Peta Kawasan Strategis Provinsi<br />

Pengembangan kawasan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, selain didasarkan<br />

pada RTRWP juga mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional<br />

(RTRWN) yang menetapkan keberadaan Kawasan Andalan Laut dan<br />

Kawasan Andalan Darat di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Kawasan Andalan merupakan<br />

kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis berupa kemampuan<br />

42


kawasan untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan dan wilayah<br />

disekitarnya serta mendorong pemerataan perkembangan wilayah. Adapun<br />

kawasan andalan di wilayah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yaitu:<br />

a. Kawasan Mamminasata dan sekitarnya (Makassar, Maros, Gowa,<br />

Takalar, Pangkep) dengan sektor unggulan pariwisata, industry,<br />

pertanian, perikanan, dan agroindustri;<br />

b. Kawasan Palopo dan sekitarnya dengan sektor unggulan pariwisata,<br />

perkebunan, pertanian, dan perikanan.<br />

c. Kawasan Bulukumba-Watampone dan sekitarnya dengan sektor<br />

unggulan pertanian, perkebunan, agroindustri, pariwisata, perikanan<br />

dan perdagangan.<br />

d. Kawasan Parepare dan sekitarnya dengan sektor unggulan perkebunan,<br />

perikanan, agroindustri dan pertanian.<br />

e. Kawasan Andalan laut Kapoposang dan sekitarnya dengan sektor<br />

unggulan perikanan, pertambangan dan pariwisata.<br />

f. Kawasan Andalan laut Teluk Bone dan sekitarnya dengan sektor<br />

unggulan perikanan, pariwisata dan pertambangan.<br />

g. Kawasan Andalan laut Singkarang-Takabonerate dan sekitarnya dengan<br />

sektor unggulan perikanan, pertambangan dan pariwisata.<br />

h. Kawasan laut Selat Makassar dengan sektor unggulan perikanan dan<br />

pariwisata.<br />

43


Gambar 6 Peta Kawasan Andalan<br />

Berdasarkan RTRWP <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, ditetapkan pemanfaatan<br />

ruang wilayah Provinsi berupa pemanfataan ruang berfungsi lindung<br />

sebagai kawasan lindung dengan fungsi utama melindungi kelestarian<br />

lingkungan hidup dan pemanfaatan ruang berfungsi budidaya sebagai<br />

kawasan budidaya dengan fungsi utama untuk dibudidayakan berdasarkan<br />

kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber<br />

daya buatan.<br />

Penetapan kawasan budidaya pada RTRWP <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, meliputi:<br />

44


1. Kawasan Peruntukan Pertanian dan Perikanan<br />

Pengelolaan kawasan peruntukan pertanian meliputi<br />

pengembangan kawasan pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan<br />

peternakan hewan besar, dengan komoditas unggulan berupa komoditas<br />

pertanian tanaman pangan dan perikanan.<br />

Pengelolaan kawasan pertanian tanaman pangan ditetapkan di<br />

seluruh Kabupaten/Kota yaitu; Kabupaten Bantaeng dengan luasan<br />

16.044,24 ha, Kabupaten Barru dengan luasan 18.195,73 ha, Kabupaten<br />

Bone dengan luasan 203.883,63 ha, Kabupaten Bulukumba dengan luasan<br />

69.772,85 ha, Kabupaten Enrekang dengan luasan 16.525,21 ha, Kabupaten<br />

Gowa dengan luasan 41.249,14 ha, Kabupaten Jeneponto dengan luasan<br />

39.238,05 ha, Kabupaten Luwu dengan luasan 66.279,81 ha, Kabupaten<br />

Luwu Timur dengan luasan 55.563,72 ha, Kabupaten Luwu Utara dengan<br />

luasan 124.095,96 ha, Kota Makassar dengan luasan 5.465,20 ha,<br />

Kabupaten Maros dengan luasan 48.593,69 ha, Kota Palopo dengan luasan<br />

6.032,93 ha, Kabupaten Pangkep dengan luasan 30.352,96 ha, Kota<br />

Parepare dengan luasan 4.268,30 ha, Kabupaten Pinrang dengan luasan<br />

76.445,75 ha, Kabupaten Selayar dengan luasan 34.311,28 ha, Kabupaten<br />

Sidrap dengan luasan 91.266,84 ha, Kabupaten Sinjai dengan luasan<br />

14.407,44 ha, Kabupaten Soppeng dengan luasan 50.520,92 ha, Kabupaten<br />

Takalar dengan luasan 39.663,68 ha, Kabupaten Tana Toraja dengan luasan<br />

3.421,02 ha, Kabupaten Toraja Utara dengan luasan 1.857,66 ha, dan<br />

Kabupaten Wajo dengan dengan luasan 183.907,44 ha.<br />

Pengelolaan kawasan peruntukan perikanan dengan kebijakan<br />

pengembangan pada komoditas unggulan Udang, ditetapkan pada:<br />

Kabupaten Barru dengan luasan 2.860,74 ha, Kabupaten Pangkep dengan<br />

luasan 8.307.12 ha, Kabupaten Bone dengan luasan 8.401,13 ha, Kabupaten<br />

Wajo dengan luasan 9.100,43 ha, dan Kabupaten Pinrang dengan luasan<br />

13.559,01 hektar.<br />

45


46<br />

Gambar 7. Peta Potensi Komoditi Unggulan


2. Kawasan peruntukan pertambangan,<br />

Pengelolaan kawasan pertambangan berupa kawasan potensil<br />

pengembangan minyak dan gas bumi ditetapkan pada 8 blok wilayah<br />

pertambangan minyak dan gas bumi yaitu:<br />

1) Blok Segeri di Selat Makassar;<br />

2) Blok Bone di Teluk Bone;<br />

3) Blok Enrekang di Kabupaten Tana Toraja, Enrekang, dan Pinrang;<br />

4) Blok Bone Utara di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo;<br />

5) Blok Sengkang di Kabupaten Wajo, Sidenreng Rappang, Soppeng, dan<br />

Bone;<br />

6) Blok Kambuno di perairan laut Kabupaten Bine, Sinjai dan Bulukumba;<br />

7) Blok Karaengta di perairan laut Kabupaten Bulukumba, Bantaeng,<br />

Jeneponto, Takalar, dan Kepulauan Selayar; dan<br />

8) Blok Selayar di perairan laut Kabupaten Bulukumba dan Kepulauan<br />

Selayar.<br />

3. Kawasan peruntukan Industri<br />

Pengelolaan kawasan peruntukan industry di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

dikategorikan dalam kawasan industry skala besar dan kawasan aglomerasi<br />

industry skala kecil dan menengah. Pengelolaan kawasan peruntukan<br />

industri di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ditetapkan di:<br />

a. Kawasan industry skala besar diarahkan pada Kota Makassar, Kota<br />

Parepare, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Pangkajene Kepulauan,<br />

Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa;<br />

b. Kawasan aglomerasi industry skala kecil dan menengah diarahkan pada:<br />

Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu, Kabupaten<br />

Enrekang, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kabupaten Pinrang,<br />

Kabupaten Barru, Kabupaten Bone, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten<br />

Bantaeng, dan Kabupaten Jeneponto.<br />

47


4. Kawasan peruntukan Perdagangan<br />

Pengelolaan kawasan peruntukan perdagangan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

dikategorikan dalam kawasan perdagangan skala besar dan kawasan<br />

perdagangan skala menengah. Pengelolaan kawasan peruntukan<br />

perdagangan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ditetapkan di:<br />

a. Kawasan perdagangan skala besar diarahkan pada PKN Mamminasata,<br />

dan Kawasan Perkotaan di PKW yaitu Kota Parepare, Kota Palopo,<br />

Kabupaten Bone, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkejene Kepulauan,<br />

Kabupaten Jeneponto, dan Kabupaten Bulukumba;<br />

b. Kawasan perdagangan skala menengah diarahkan pada Kawasan<br />

Strategis Provinsi yaitu KEK Barru, dan Kawasan <strong>Di</strong>stribusi Kebutuhan<br />

Bahan Pokok Kawasan Timur Indonesia di Kawasan Pelabuhan<br />

Pamatata.<br />

48


Gambar 8. Peta Kawasan Pertambangan dan Migas<br />

5. Kawasan peruntukan Pariwisata<br />

49


Pengembangan kawasan peruntukan pariwisata di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

diarahkan pada perannya sebagai tujuan wisata mupun keberadaanya<br />

sebagai objek wisata.<br />

Rencana pengembangan kawasan peruntukan pariwisata di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dikelompokkan sebagai berikut:<br />

a. Kawasan Wisata Alam yang meliputi: Taman Wisata Alam (TWA) <strong>Dan</strong>au<br />

Matano – Mahalona dan TWA <strong>Dan</strong>au Towuti di Kabupaten Luwu Timur,<br />

TWA Malino di Kabupaten Gowa, TWA Cani Sirenreng di Kabupaten<br />

Bone, TWA Lejja di Kabupaten Soppeng, TWA Laut Kepulauan<br />

Kapoposang di Kabupaten Pangkep, TWA <strong>Dan</strong>au Tempe - Sidenreng di<br />

Kabupaten Wajo dan Sidrap, TWA Laut Kepulauan Spermode di<br />

Kawasan Mamminasata, TWA Kebun Raya Enrekang, TWA Kebun Raya<br />

Pucak di Kabupaten Maros, TWA Sungai Saddang di Kabupaten Tana<br />

Toraja dan Enrekang, Taman Hutan Raya Abdul Latief di Kabupaten<br />

Sinjai, Taman Hutan Raya Nanggala di Kota Palopo, Taman Nasional<br />

Laut Takabonerate di Kabupaten Kepulauan Selayar, Taman Nasional<br />

Bantimurung – Bulusarang di Kabupaten Maros dan Pangkep, Taman<br />

Buru Ko’mara di Kabupaten Takalar dan Taman Buru Bangkala di<br />

Kabupaten Jeneponto; dan,<br />

b. Kawasan Wisata Budaya yang meliptui: Taman Wisata Budaya (TWB)<br />

perdesaan tradisional di Kabupaten Toraja Utara dan Tana Toraja, TWB<br />

Permukiman Adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Taman<br />

Miniatur Sulawei <strong>Selatan</strong> di Situs Pusat Kerajaan Gowa Benteng<br />

Sombaopu di Kota Makassar dan Kabupaten Gowa; kawasan Wisata<br />

pelabuhan perahu tradisional Paotere di Kota Makassar, kawasan Pusat<br />

industri perahu tradisional Pinisi di Kabupaten Bulukumba, Kawasan<br />

Fort Rotterdam di Kota Makassar, Kawasan Situs Benteng Tallo dan<br />

Makam Raja-raja Tallo di Kota Makassar, kawasan Makam Raja-raja<br />

Gowa di Kota Makassar, kawasan Makam Syech Yusuf di Kota Makassar,<br />

kawasan Masjid Tua Katangka di Kabupaten Gowa, kawasan Museum<br />

50


Saoraja Lapawawoi Karaeng Sigeri di Kabupaten Bone, kawasan Masjid<br />

Jami Tua Palopo di Kota Palopo, dan kawasan Taman prasejarah Batu<br />

Pakek Gong di Kabupaten Sinjai.<br />

<strong>Pemerintah</strong> melalui Peraturan <strong>Pemerintah</strong> Nomor 50 tahun 2011<br />

telah menetapkan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional<br />

Tahun 2015-2025 guna meningkatkan kualitas dan kuantitas destinasi<br />

pariwisata dan mewujudkan industry pariwisata yang mampu<br />

menggerakkan perekonomian nasional. Melalui peraturan ini ditetapkan<br />

Destinasi Pariwisata Nasional Makassar-Takaboneratoe dan sekitarnya yang<br />

meliputi Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) Makassar<br />

Kota dan sekitarnya, KPPN Maros Karst dan sekitarnya, KPPN Bukukumba<br />

dan sekitarnya, KPPN Sinjai dan sekitarnya, KPPN Selayar dan sekitarnya<br />

dan KPPN Takabonerate dan sekitarnya dan Destinasi Pariwisata Nasional<br />

Toraja-Lorelindu dan sekitarnya yang meliputi KPPN Sengkang dan<br />

sekitarnya, KPPN Toraja dan sekitarnya, dan KPPN Palopo dan sekitarnya.<br />

51


Gambar 9. Peta Kawasan Pariwisata<br />

2.1.6 Demografi<br />

Jumlah penduduk <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dari tahun ke tahun terus<br />

mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 jumlah penduduk daerah<br />

ini tercatat mencapai 8,34 juta jiwa, dan pada tahun 2016 telah mengalami<br />

peningkatan menjadi 8,60 juta jiwa. Peningkatan tersebut menunjukkan<br />

bahwa jumlah penduduk <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam kurun waktu 4 tahun<br />

terakhir telah bertambah kurang lebih 264 ribu jiwa lebih atau rata-rata<br />

52


No<br />

mengalami pertumbuhan sebesar 1,09 persen per tahun.Sepanjang periode<br />

tersebut, pertumbuhan penduduk tertinggi atau populasi penduduk<br />

terbanyak ada di Kota Makassar berjumlah 1,47 juta jiwa dan populasi<br />

penduduk paling kecil adalah Kabupaten kepulauan selayar berjumlah 131<br />

ribu jiwa.<br />

Tabel 2.1<br />

Pertumbuhan Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> tahun 2008-2016<br />

Kabupaten<br />

/Kota<br />

Tahun<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

1 Selayar 119.811 121.749 122.055 123.283 124.553 127.220 128.744 130.199 131.605<br />

2 Bulukumba 390.543 394.746 394.560 398.531 400.990 404.896 407.775 410.485 413.229<br />

3 Bantaeng 172.849 174.176 176.699 178.477 179.505 181.006 182.283 183.386 184.517<br />

4 Jeneponto 332.334 334.175 342.700 346.149 348.138 351.111 353.287 355.599 357.807<br />

5 Takalar 255.154 257.974 269.603 272.316 275.034 280.590 283.762 286.906 289.978<br />

6 Gowa 605.876 617.317 652.941 659.512 670.465 696.096 709.386 722.702 735.493<br />

7 Sinjai 225.943 228.304 228.879 231.182 232.612 234.886 236.497 238.099 239.689<br />

8 Maros 303.211 306.687 319.002 322.212 325.401 331.796 335.596 339.300 342.890<br />

9 Pangkep 295.137 298.701 305.737 308.814 311.604 317.110 320.293 323.597 326.700<br />

10 Barru 161.732 162.985 165.983 167.653 168.034 169.302 170.316 171.217 171.906<br />

11 Bone 705.717 711.748 717.682 724.905 728.737 734.119 738.515 742.912 746.973<br />

12 Soppeng 229.502 230.744 223.826 226.079 226.202 225.512 225.709 226.116 226.305<br />

13 Wajo 378.512 381.066 385.109 388.985 389.552 390.603 391.980 393.218 394.495<br />

14 Sidrap 250.666 252.483 271.911 274.648 277.451 283.307 286.610 289.787 292.985<br />

15 Pinrang 346.988 351.042 351.118 354.652 357.095 361.293 364.087 366.789 369.595<br />

16 Enrekang 188.070 190.576 190.248 192.163 193.683 196.394 198.194 199.998 201.614<br />

17 Luwu 324.229 328.180 332.482 335.828 338.609 343.793 347.096 350.218 353.277<br />

18 Tana Toraja 234.534 240.249 221.081 223.306 224.523 226.212 227.588 228.984 230.195<br />

19 Luwu Utara 313.674 321.979 287.472 290.365 292.765 297.313 299.989 302.687 305.372<br />

20 Luwu Timur 230.821 237.354 243.069 245.515 250.608 263.012 269.405 275.595 281.822<br />

21<br />

Toraja<br />

Utara 226.478 229.090 216.762 218.943 220.304 222.393 224.003 225.516 226.988<br />

22 Makassar 1.253.656 1.271.870 1.338.663 1.352.136 1.369.606 1.408.072 1.429.242 1.449.401 1.469.601<br />

23 Pare-pare 117.591 118.842 129.262 130.563 132.048 135.192 136.903 138.699 140.423<br />

24 Palopo 141.996 146.482 147.932 149.421 152.703 160.819 164.903 168.894 172.916<br />

Sulsel 7.805.024 7.908.519 8.034.776 8.115.638 8.190.222 8.342.047 8.432.163 8.520.304 8.606.375<br />

Sumber: Sulsel.bps.go.id<br />

53


2.2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat<br />

2.2.1 Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi<br />

Pendapatan Perkapita<br />

Kinerja perekonomian <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> selama kurun waktu 2010-<br />

2016 menunjukan peningkatan yang diindikasikan oleh selalu meningkatnya<br />

nilai nominal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun ke tahun.<br />

Pada tahun 2010 nilai PDRB atas dasar harga berlaku sebesar Rp 71,369<br />

triliun dan pada tahun 2015 sudah mencapai Rp 101,396 triliun. Ini berarti<br />

pula bahwa secara nominal PDRB meningkat sebesar 42,07% selama lima<br />

tahun.<br />

Tabel 2.2<br />

Perkembangan PDRB, dan Pertumbuhan Ekonomi<br />

No Uraian Satuan 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

1 ADHK<br />

Miliar<br />

Rp,<br />

171.740,74 185.708,47 202.184,59 217.589,13 233.988,05 250.758,28 269.338,6<br />

Miliar<br />

ADHB<br />

2<br />

Rp,<br />

171.740,74 198.289,08 228.285,47 258.836,42 298.033,80 340.326,42 379.209,5<br />

Laju Pert<br />

3 Ekonomi<br />

% 8,63 8,13 8,87 7,63 7,57 7,15 7,41<br />

Ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> pada tahun 2016 tercatat tumbuh<br />

sebesar 7,41 persen, lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan<br />

ekonomi tahun 2015 yang tercatat sebesar 7,17 persen, Pertumbuhan<br />

didorong oleh hampir seluruh lapangan usaha, Pertumbuhan tertinggi<br />

tercatat pada lapangan usaha jasa keuangan dan asuransi yang tumbuh<br />

sebesar 13,63 persen, diikuti pengadaan listrik dan gas yang tumbuh<br />

sebesar 11,52 persen, kemudian Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi<br />

Mobil dan Sepeda Motor sebesar 9,87 persen sedangkan pertumbuhan<br />

terendah tercatat pada lapangan usaha pertambangan dan penggalian<br />

sebesar 0,97 persen,<br />

54


Tabel 2.3<br />

Perkembangan PDRB ADHB Menurut Lapangan Usaha<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp)<br />

NO LAPANGAN USAHA 2013 2014 2015 2016<br />

1 Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 57,37 68,47 78,74 88,31<br />

2 Pertambangan & Galian 17,88 21,18 21,52 21,23<br />

3 Industri Pengolahan 35,49 41,65 47,25 52,77<br />

4 Pengadaan Listrik & Gas 0,18 0,20 0,19 0,22<br />

5<br />

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,<br />

Limbah dan Daur Ulang<br />

0,35 0,35 0,37 0,39<br />

6 Konstruksi 31,52 36,02 42,18 47,50<br />

7<br />

Perdagangan Besar & Eceran, Reparasi<br />

Mobil & Sepeda Motor<br />

33,63 37,62 43,79 50,84<br />

8 Transportasi dan Pergudangan 10,43 11,83 14,25 16,17<br />

9 Penyediaan Akomodasi & Makan Minum 3,56 4,11 4,55 4,99<br />

10 Informasi & Komunikasi 13,79 14,59 15,72 17,57<br />

11 Jasa Keuangan & Asuransi 9,60 10,82 12,26 14,39<br />

12 Real Estate 9,90 11,52 13,59 15,09<br />

13 Jasa Perusahaan 1,15 1,30 1,48 1,65<br />

14<br />

Administrasi <strong>Pemerintah</strong>an, Pertanahan &<br />

Jaminan Sosial Wajib<br />

12,24 13,63 16,27 16,67<br />

15 Jasa Pendidikan 13,89 15,50 17,30 19,13<br />

16 Jasa Kesehatan & Kegiatan Sosial 4,68 5,51 6,52 7,33<br />

17 Jasa Lainnya 3,18 3,72 4,37 4,96<br />

PRDB Total 258,84 298,03 340,33 379,21<br />

55


Tabel 2.4<br />

Perkembangan PDRB ADHB Menurut Pengeluaran <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

(Trilyun Rp)<br />

Komponen Pengeluaran (25) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

1. Pengeluaran Konsumsi Rumah<br />

Tangga (1.a. s/d 1.g.)<br />

99,661 113,547 129,688 146,643 165,652 185,586 204,369<br />

2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT 2,077 2,314 2,601 3,083 3,864 4,266 4,626<br />

3. Pengeluaran Konsumsi<br />

<strong>Pemerintah</strong> (3.a. + 3.b.)<br />

20,578 23,491 26,124 28,719 31,774 36,216 37,369<br />

4. Pembentukan Modal Tetap<br />

Bruto (4.a. + 4.b.)<br />

57,259 66,698 82,677 94,884 110,226 125,989 141,295<br />

5. Perubahan Inventori 2,106 2,498 5,661 4,420 9,187 5,641 4,848<br />

6. Ekspor Luar Negeri (6.a. + 6.b.) 22,972 18,704 17,036 18,750 21,724 19,621 16,116<br />

7. Impor Luar Negeri (7.a. + 7.b.) 10,394 13,459 13,500 15,333 10,961 13,328 12,031<br />

8. Net Ekspor Antar Daerah (8.a. -<br />

8.b.)<br />

22,518 15,505 22,002 22,329 22,694 23,664 17,383<br />

P D R B 171,741 198,289 228,285 258,836 298,034 340,326 379,209<br />

Dengan nilai tambah (PDRB-ADHB) sebesar 379,21 triliun rupiah<br />

dan (PDRB-ADHK) sebesar Rp, 269,34 trilliun, PDRB Perkapita <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> tahun 2016 telah mencapai angka 44,06 juta rupiah, Artinya bila<br />

PDRB tersebut dibagikan secara merata ke seluruh penduduk yang ada di<br />

wilayah ini, maka setiap orangnya akan mendapatkan 44,06 juta rupiah<br />

pada tahun 2016,<br />

Dengan angka sebesar 23,29 persen, Pertanian menjadi kategori<br />

yang berperan paling dominan pada ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, <strong>Di</strong>susul oleh<br />

industri pengolahan sebesar 13,92 persen, perdagangan 13,41 persen, dan<br />

konstruksi sebesar 12,53 persen, Keempat kategori yang berperan besar<br />

pada ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tersebut juga menjadi sumber<br />

pertumbuhan ekonomi terbesar pada dua tahun terakhir ini,<br />

56


Tabel 2.5<br />

Perkembangan PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> (Trilyun Rp)<br />

Lapangan Usaha (63)<br />

PDRB Lapangan Usaha ADHK 63 Kategori (Trilyun Rupiah)<br />

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

A. Pertanian, Kehutanan, dan<br />

Perikanan<br />

B. Pertambangan dan<br />

Penggalian<br />

39,60 42,33 44,26 46,45 51,10 54,07 58,44<br />

12,37 11,90 12,53 13,24 14,71 15,80 15,96<br />

C. Industri Pengolahan 23,60 25,74 27,97 30,55 33,29 35,56 38,45<br />

D. Pengadaan Listrik, Gas 0,14 0,16 0,18 0,20 0,23 0,23 0,26<br />

E. Pengadaan Air 0,24 0,27 0,28 0,30 0,30 0,30 0,32<br />

F. Konstruksi 20,04 21,43 23,54 26,03 27,67 29,97 31,99<br />

G. Perdagangan Besar dan<br />

Eceran, dan Reparasi Mobil<br />

dan Sepeda Motor<br />

H. Transportasi dan<br />

Pergudangan<br />

I. Penyediaan Akomodasi<br />

dan Makan Minum<br />

22,81 25,17 28,15 30,19 32,36 34,92 38,36<br />

6,20 7,01 7,95 8,45 8,56 9,14 9,86<br />

2,28 2,48 2,77 2,95 3,19 3,37 3,66<br />

J. Informasi dan Komunikasi 8,95 10,01 12,07 13,77 14,56 15,71 16,99<br />

K. Jasa Keuangan 5,05 6,04 7,00 7,63 8,07 8,66 9,84<br />

L. Real Estate 5,93 6,59 7,28 7,93 8,56 9,20 9,78<br />

M,N. Jasa Perusahaan 0,74 0,81 0,88 0,94 1,00 1,06 1,14<br />

O. Administrasi<br />

<strong>Pemerintah</strong>an, Pertahanan<br />

dan Jaminan Sosial Wajib<br />

9,17 9,77 9,99 10,29 10,53 11,34 11,22<br />

P. Jasa Pendidikan 9,32 10,29 11,06 11,92 12,47 13,38 14,30<br />

Q. Jasa Kesehatan dan Kegiatan<br />

Sosial<br />

3,08 3,36 3,71 4,02 4,43 4,85 5,25<br />

R, S, T, U. Jasa lainnya 2,21 2,36 2,55 2,74 2,94 3,21 3,52<br />

PRODUK DOMESTIK REGIONAL<br />

BRUTO<br />

171,74 185,71 202,18 217,59 233,99 250,76 269,34<br />

57


Tabel 2.6<br />

Perkembangan PDRB ADHK Menurut Pengeluaran <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

(Trilyun Rp)<br />

Komponen Pengeluaran (25)<br />

1. Pengeluaran Konsumsi Rumah<br />

Tangga (1.a. s/d 1.g.)<br />

PRDB Menurut Pengeluaran Atas Dasar Harga Konstan 25 Komponen<br />

(Trilyun Rupiah)<br />

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

99,661 106,351 113,779 120,561 127,669 134,421 141,791<br />

1.a. Makanan dan Minuman Non<br />

Beralkohol<br />

45,786 48,125 51,200 54,133 57,213 60,090 63,321<br />

1.b. Pakaian dan Alas Kaki 4,179 4,472 4,844 5,200 5,580 5,906 6,201<br />

1.c. Perumahan, Perkakas,<br />

Perlengkapan<br />

dan<br />

Penyelenggaraan Rumah Tangga<br />

9,372 9,882 10,542 11,087 11,782 12,362 12,983<br />

1.d. Kesehatan dan Pendidikan 9,180 10,028 11,096 11,760 12,462 13,159 13,774<br />

1.e. Transportasi, Komunikasi,<br />

Rekreasi, dan Budaya<br />

22,340 24,080 25,646 27,336 28,914 30,528 32,389<br />

1.f. Hotel dan Restoran 4,636 5,090 5,500 5,900 6,366 6,779 7,259<br />

1.g. Lainnya 4,168 4,675 4,950 5,145 5,351 5,598 5,865<br />

2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT 2,077 2,218 2,376 2,622 2,918 2,951 3,047<br />

3. Pengeluaran Konsumsi<br />

<strong>Pemerintah</strong> (3.a. + 3.b.)<br />

20,578 21,545 22,451 23,058 23,505 25,407 25,066<br />

3.a. Konsumsi Kolektif 11,715 12,797 13,194 13,549 13,714 14,656 14,424<br />

3.b. Konsumsi Individu 8,863 8,749 9,257 9,509 9,791 10,751 10,642<br />

4. Pembentukan Modal Tetap<br />

Bruto (4.a. + 4.b.)<br />

57,259 64,562 74,678 82,976 89,711 96,963<br />

103,76<br />

9<br />

4.a. Bangunan 46,779 52,621 61,405 68,142 73,509 79,367 84,965<br />

4.b. Non-Bangunan 10,480 11,940 13,273 14,834 16,202 17,596 18,805<br />

5. Perubahan Inventori 2,106 2,164 5,431 3,970 9,766 4,660 3,331<br />

58


6. Ekspor Luar Negeri (6.a. + 6.b.) 22,972 17,333 15,533 16,458 18,071 16,238 13,144<br />

6.a. Barang 22,470 16,789 14,940 15,847 17,524 15,651 12,589<br />

6.b. Jasa 0,502 0,544 0,593 0,611 0,547 0,587 0,555<br />

7. Impor Luar Negeri (7.a. + 7.b.) 10,394 12,003 11,106 12,418 7,974 9,508 8,674<br />

7.a. Barang 9,766 11,316 10,434 11,695 7,550 9,069 8,194<br />

7.b. Jasa 0,628 0,687 0,672 0,723 0,423 0,440 0,480<br />

8. Net Ekspor Antar Daerah (8.a. -<br />

8.b.)<br />

22,518 16,461 20,958 1.054,104 18,941 20,373 12,136<br />

8.a. Ekspor 35,566 35,522 35,685 35,905 42,243 37,203 22,809<br />

8.b. Impor 58,085 51,984 56,643 55,543 61,184 57,576 34,945<br />

P D R B 171,741<br />

185,70<br />

8<br />

202,18<br />

5<br />

217,58<br />

9<br />

233,98<br />

8<br />

250,75<br />

8<br />

269,33<br />

9<br />

Pertumbuhan ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam beberapa tahun<br />

terakhir selalu berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional,<br />

Bahkan pada tahun 2016 ini, pertumbuhan ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

berada pada peringkat ke-3 setelah <strong>Sulawesi</strong> Tengah (9,98%) dan Papua<br />

sebesar 9,21 persen, Motor penggerak ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> masih<br />

didominasi oleh kategori Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar<br />

23,29 persen,Peran ekonomi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terhadap pulau <strong>Sulawesi</strong><br />

adalah sebesar 49,6 persen, Artinya dari 1 miliyar rupiah yang dihasilkan<br />

pulau <strong>Sulawesi</strong>, sekitar 496 jutanya berasal dari provinsi ini, Sedangkan<br />

terhadap ekonomi nasional, terhitung 3 persen dapat disumbangkan oleh<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>,<br />

2.2.2 Kemiskinan<br />

Perkembangan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di<br />

Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> apabila dilihat berdasarkan periode RPJMD 2013-<br />

2018 menunjukkan penurunan dari sebanyak 863,200 jiwa atau 10,3% pada<br />

Tahun 2013 menjadi 807,030 jiwa 9,4% pada Tahun 2016, angka pada tahun<br />

2016 tersebut juga menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya yaitu<br />

59


835,500<br />

805,800<br />

863,200<br />

837,420<br />

864,540<br />

796,810<br />

Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)<br />

Angka Kemiskinan (%)<br />

sebanyak 864,510 jiwa atau 10,1%, Angka kemiskinan di Tahun 2016<br />

tersebut lebih rendah dibandingkan dengan keadaan nasional sebesar<br />

10,7% dan menempatkan Sulsel pada urutan ke-16 dari 34 provinsi menurut<br />

angka kemiskinan tertinggi, naik satu tingkat dari posisi ke-17 pada Tahun<br />

2015 (Gambar 10), Gambaran kondisi kemiskinan yang lebih baik di Tahun<br />

2016 juga terlihat dari indikator indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan<br />

indeks kesenjangan kemiskinan (P2), Pada Tahun 2015, nilai P1 Sulsel<br />

sebesar 1,58 menurun menjadi 1,53 di Tahun 2016; sedangkan nilai P2 di<br />

Tahun 2015 sebesar 0,45 menurun menjadi 0,38 di Tahun 2016,<br />

Grafik<br />

Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Angka Kemiskinan<br />

Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

880,000<br />

Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Angka Kemiskinan (%)<br />

10.6<br />

860,000<br />

840,000<br />

820,000<br />

10.27<br />

9.82<br />

10.32<br />

10.12<br />

10.4<br />

10.2<br />

10.0<br />

9.8<br />

9.6<br />

800,000<br />

9.54<br />

9.24<br />

9.4<br />

9.2<br />

780,000<br />

9.0<br />

8.8<br />

760,000<br />

2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

8.6<br />

Sumber: BPS-Sulsel, 2016<br />

60


Apabila dilihat dari sudut pandang wilayah, terlihat bahwa<br />

penduduk miskin di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> masih dominan di wilayah<br />

Perdesaan, pada Tahun 2016 jumlah penduduk miskin di wilayah Perdesaan<br />

sebanyak 646,21 ribu jiwa sedangkan di Perkotaan sebanyak 150,6 ribu<br />

jiwa, Tetapi, tingkat penurunan jumlah penduduk miskin pedesaan nampak<br />

lebih baik dibandingkan dengan wilayah perkotaan, Antara tahun 2015-<br />

2016, jumlah penduduk miskin wilayah perkotaan menurun sebanyak 6,58<br />

ribu jiwa (-0,46%) sementara di perdesaan mengalami penurunan signifikan<br />

sebsar 61,13 ribu jiwa (-0,92%), Indikasi perkembangan keadaaan wilayah<br />

perdesaan yang lebih baik juga terindikasi dari penurunan nilai Indeks P1<br />

dan P2, di wilayah Perdesaan, penurunan nilai Indeks P1 dan P2, masingmasing<br />

sebesar 0,35 dan 0,23; sementara di wilayah perkotaan kedua nilai<br />

indeks tersebut mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 0,51 dan 0,21<br />

(Tabel 2.7),<br />

Tabel 2.7<br />

Perkembangan Angka Kemiskinan (P0), Indeks Kedalaman<br />

Kemiskinan (P1), dan Indeks Kesenjangan Kemiskinan (P2) Provinsi<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Tahun 2011-2016<br />

Perdesaan +<br />

Perkotaan<br />

Perdesaan<br />

Tahun<br />

Perkotaan<br />

P0 P1 P2 P0 P1 P2 P0 P1 P2<br />

2011 4,31 0,51 0,10 13,46 2,21 0,59 10,11 1,59 0,41<br />

2012 4,44 0,48 0,09 12,93 2,37 0,62 9,82 1,68 0,42<br />

2013 5,23 0,88 0,26 13,31 2,10 0,49 10,32 1,65 0,40<br />

2014 4,93 0,75 0,19 12,25 1,80 0,40 9,54 1,41 0,32<br />

2015 4,93 0,41 0,08 13,22 2,28 0,68 10,12 1,58 0,45<br />

2016 4,47 0,92 0,29 12,30 1,93 0,45 9,24 0,92* 0,29*<br />

Perkembangan<br />

2011-2016 0,06 0,05 0,02 -0,17 -0,06 -0,02 -0,12 -0,11 0,02<br />

2015-2016 -0,09 1,24 2,63 -0,07 -0,15 -0,34 -0,09 -0,42 -0,36<br />

Sumber: BPS-Nasional 2016; 2015; * BPS-Sulsel, 2016<br />

61


<strong>Di</strong>namika perkembangan angka dan indeks kemiskinan tersebut<br />

tidak lepas dari dinamika garis kemiskinan (GK) baik di wilayah perkotaan<br />

maupun di perdesaan, <strong>Dalam</strong> kurun waktu lima tahun terakhir, GK di<br />

Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> mengalami kenaikan rata-rata sebesar Rp,<br />

18,813,-/tahun, dengan angka kenaikan di Perdesaan lebih tinggi<br />

dibandingkan di Perkotaan (Rp, 19,790,7,- vs 16,749,2,-), Walaupun<br />

kenaikan GK tahunan di Perdesaan lebih tinggi, suatu hal yang cukup<br />

menarik bahwa garis kemiskinan makanan (GK-Makanan) memiliki rata-rata<br />

kenaikan yang lebih tinggi dibandingkan di Perkotaan, sedangkan garis<br />

kemiskinan non-makanan (GK-Non makanan) meningkat lebih lamban di<br />

wilayah Perdesaan, Semala periode Tahun 2011-2016, rata-rata<br />

peningkatan GK-Makanan sebesar Rp,10,759,-/tahun sedangkan di<br />

perdesaaan sebesar Rp,15,636,2,-/tahun; sementara pada GK-Non<br />

Makanan meningkat sebesar Rp,5,990,-/tahun di wilayah Perkotaan dan<br />

sebesar Rp,4,154,7,-/tahun di wilayah perdesaan,<br />

Terdapat beberapa hal yang dapat dimaknai dari dinamika<br />

indikator-indikator pokok kemiskinan/kesejahteraan dalam kurun waktu<br />

Tahun 2011-2016, Fenomena utama yang terjadi adalah adanya<br />

kecenderungan masyarakat di wilayah perkotaan yang lebih tahan<br />

dibandingakn dengan masyarakat perdesaan terhadap goncangan ekonomi;<br />

hal ini juga dapat bermakna bahwa resistensi masyaraakat miskin nampak<br />

semakin membaik (dengan asumsi bahwa kecenderungan masyarakat<br />

miskin lebih besar di wilayah perdesaan maka peran dan dukungan<br />

pemerintah sangat diperlukan), dan keadaan ini terutama dapat diukur<br />

berdasarkan keadaan di antara Tahun 2013-2014 dan Tahun 2014-2015,<br />

Berikut beberapa pemaknaan dan dasar pemikiran penilaian resistensi<br />

penduduk pedesaan/miskin yang semakin membaik, sebagai berikut:<br />

Perhitungan dalam kurun waktu 2011-2016 mengindikasikan,<br />

kelompok masyarakat rentan di perkotaan lebih kecil dibandingkan dengan<br />

wilayah perdesaan, baik terhadap dinamika GK-Makanan maupun terhadap<br />

62


GK Non Makanan, Korelasi sederhana menunjukkan koefisien regresi antara<br />

Jumlah Penduduk Miskin dengan GK untuk Wilayah Perkotaan terhadap GK-<br />

Makanan sebesar 0,597; dan sebesar 0,252 terhadap GK Non Makanan;<br />

sedangkan di Wilayah Perdesaan menunjukkan korelasi sebesar 0,906<br />

terhadap GK-Makanan dan 0,861 terhadap GK-Non makanan, Hal ini sangat<br />

nampak pada kenaikan GK-Makanan antara Tahun 2014 dan 2015 sebesar<br />

Rp,16,619,- di wilayah perkotaan dan Rp,28,681,- di wilayah perdesaan<br />

yang dikuti dengan kenaikan jumlah penduduk miskin di Kota sebesar 2,780<br />

jiwa, dan 55,390 jiwa di wilayah perdesaan;<br />

Terindikasi kuatnya pengaruh GK Non-Makanan yang kuat terhadap<br />

penduduk miskin perdesaan, Berdasarkan keadaaan di Tahun 2015, rasio<br />

kenaikan jumlah penduduk miskin per Rp,1000,- kenaikan GK-Makaanan<br />

diperkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar 0,17 jiwa dan 1,93<br />

orang, sedankan setiap kenaikan Rp,1000,- GK-Non Maknanan sebesar 0,25<br />

orang di wilayah perkotaan, dan 8,23 orang di wilayah perdesaan;<br />

Walauapun dua poin sebelumnya, mengindikasikan rendahnya<br />

resistensi penduduk miskin di perdesaaan dalam daerah, beberapa uraiana<br />

indikator berikut ini memberikan beberapa indikasi bahwa upaya<br />

penanggulangan kemiskinan dalam daerah sudah berjjalan cukup baik,Laju<br />

penurunan angka kemiskinan (P0), Indeks kedalaman kemiskinan (P1), dan<br />

Indeks kesenjangan kemiskinan (P2) di wilayah Perdesaaan lebih cepat<br />

dibandingkan di wilayah Perkotaan, Hal ini bermakna bahwa penduduk<br />

perdesaan/ penduduk miskin memiliki kemampu untuk beradaptasi dengan<br />

cepat guna meningkatkan pendapatan mereka untuk mengimbangi beban<br />

pengeluaran yang semakin besar, Hal tersebut dapat dilihat dari respon<br />

penurunan jumlah penduduk miskin perdesaan yang lebih cepat terhadap<br />

kenaikan GK pada tahun berikutnya setelah tahun teradinya kenaikan<br />

jumlah penduduk miskin,Sebagai petunjuk, setelah terjadinya peningkatan<br />

angka kemiskinan wilayah pedesaan di Tahun 2013, di tahun 2004 Jumlah<br />

penduduk miskin dapat menurun sebanyak 27,6 orang tiap kenaikan<br />

63


Rp,1000,- GK sementara di Perkotaan hanya sebesar 1,26 orang;<br />

selanjutnya di Tahun 2016, setelah kenaikan di Tahun 2015; tiap kenaikan<br />

Rp,1000,- GK makanan di perdesaaan menurun sebesar 16,3 orang<br />

sedangkan di wilayah perkotaan hanya sebesar 2,73 orang,<br />

Penduduk miskin dan kesenjangan pendapatan/pengeluaran<br />

kumulatif penduduk, Secara umum tingkat kesenjangan pengeluaran<br />

diantara penduduk menurut ukuran Indeks Gini mengalami kenaikan dari<br />

angka 0,404 di Tahun 2015 menjadi 0,426 pada Maret 2016, dan kemudian<br />

kembali menurun pada September 2016 menjadi 0,400, Khusunya<br />

kesenjangan diantara penduduk miskin menurut Nilai P2, diketahui pada<br />

Tahun 2015 sebesar 0,45; memasuki Maret 2016, P2 Sulsel meningkat<br />

hingga sebesar 0,55 kemudian kembali mengalami menurun secara<br />

signifikan menjadi 0,29 pada September 2016, Capaian P2 pada September<br />

2016 ini adalah angka terbaik dalam kurun waktu 10 tahun terakhir,<br />

Cukup banyak indikasi adanya kemajuan dalam perkembangan<br />

beberapa indikator kesejahteraan/kemiskinan makro yang terjadi<br />

khususnya dalam lima tahun terakhir, Implikasi penting yang perlu untuk<br />

digaris bawahi adalah semakin membaiknya tingkat resistensi dan daya<br />

adaptasi penduduk miskin dan rentan miskin terhadap gejolak ekonomi<br />

yang terjadi selama kurun waktu tersebut, Hal ini tentu tidak terlepas dari<br />

saling dukung antara pemerintah Pusat dan Daerah dalam pendukung<br />

program prioritas nasional, Sebagaimana 9 agenda prioritas pembangunan<br />

2015-2019 (Nawa Cita), khususnya pada agenda ke-3 “Membangun<br />

Indonesia dari Pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa<br />

dalam kerangka negara kesatuan”; agenda ke-5 “meningkatkan kualitas<br />

hidup manusia Indoneisa”; dan agenda ke-6 “meningkatkan produktifitas<br />

rakyat dan daya saing di pasar internasional”,<br />

64


Sub Urusan Sumber Daya Air<br />

Jaringan irigasi merupakan salah satu infrastruktur dalam mencapai<br />

ketahanan pangan yaitu untuk melayani ketersediaan air di lahan pertanian,<br />

Layanan penyediaan air irigasi di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tidak hanya<br />

dilakukan oleh pemerintah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, namun dilakukan juga<br />

oleh pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan<br />

Jeneberang dan pemerintah Kabupaten/Kota yang dilakukan berdasarkan<br />

kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan,<br />

Kewenangan <strong>Pemerintah</strong> Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam<br />

pengembangan dan pengelolaan system irigasi didasarkan pada Peraturan<br />

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2015<br />

tentang Kriteria dan Penetapan Status Daerah Irigasi yang menetapkan<br />

luasan daerah irigasi kewenangan provinsi sebesar 105,666 Ha terdiri dari<br />

67 DI yang meliputi:irigasi permukaan pada 38 DI dengan luasan 58,858 Ha,<br />

irigasi rawa pada 2 DI dengan luasan 3,100 Ha, dan irigasi tambak pada 27<br />

DI dengan luasan 43,708 Ha.<br />

Tabel 2.8. Status Daerah Irigasi Kewenangan <strong>Pemerintah</strong><br />

Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

NO DAERAH IRIGASI JUMLAH DI LUASAN (HA)<br />

A LINTAS KABUPATEN/KOTA 4 6,896<br />

1, D,I, Bili-Bili 2,443<br />

2, D,I, Cilellang 1,113<br />

3, D,I, Matajang 1,880<br />

4, D,I, Tubu Ampak 1,460<br />

B UTUH KABUPATEN/KOTA 34 51,962<br />

1, D,I, Lanrae 1,120<br />

2, D,I, Bengo 1,000<br />

3, D,I, Jaling 1,777<br />

4, D,I, Lanca 1,084<br />

5, D,I, Salomekko 1,723<br />

65


6, D,I, Selli Coppobulu 1,238<br />

7, D,I, Unyi 1,310<br />

8, D,I, Waru-Waru 1,000<br />

9, D,I, Bettu 1,817<br />

10, D,I, Bongki-Bongki 1,796<br />

11, D,I, Bontonyeleng 1,096<br />

12, D,I, Tallu Ura 1,100<br />

13, D,I, Lengkong Pini 1,000<br />

14, D,I, Makawa 2,600<br />

15, D,I, Angkona 1,200<br />

16, D,I, Bungadidi 2,950<br />

17, D,I, Kuri-Kuri Kasambi 2,000<br />

18, D,I, Cambajawaya 1,000<br />

19, D,I, Laiya 1,000<br />

20, D,I, Leang Lonrong 1,229<br />

21, D,I, Padaelo 2,958<br />

22, D,I Kalosi 1,004<br />

23, D,I Taccipi 1,568<br />

24, D,I AlekarajaE 1,253<br />

25, D,I Bilokka 1,005<br />

26, D,I Torere 2,000<br />

27, D,I Aparang Hulu 1,174<br />

28, D,I Aparang I 1,049<br />

29, D,I Kalamisu 2,032<br />

30, D,I Latenrang 1,700<br />

31, D,I Leworeng 2,258<br />

32, D,I Salo Bunne 1,386<br />

33, D,I Balombong 1,230<br />

34, D,I Cenrana 2,305<br />

C DAERAH IRIGASI RAWA 2 3,100<br />

1, D,I,R Dua Boccoe 1,050<br />

2, D,I,R Pammana 2,050<br />

D DAERAH IRIGASI TAMBAK 27 43,708<br />

1, D,I,T, Tallusiattinge 1,000<br />

2, D,I,T, Cenrana dan Mare 1,257<br />

3, D,I,T, Mare 1,500<br />

4, D,I,T, Manyampa 1,296<br />

5, D,I,T, Belopa/Wajo 2,000<br />

66


6, D,I,T, Pompengan Pantai 1,885<br />

7, D,I,T, Suli 1,500<br />

8, D,I,T, Walenrang 1,000<br />

9, D,I,T, Angkona 1,000<br />

10, D,I,T, Harapan 1,000<br />

11, D,I,T, Malili 1,750<br />

12, D,I,T, Wotu 2,750<br />

13, D,I,T, Bone-Bone 2,260<br />

14, D,I,T, Maros Baru 1,266<br />

15, D,I,T, Ma’rang 1,866<br />

16, D,I,T, Labakkang 2,000<br />

17, D,I,T, Cempa 1,824<br />

18, D,I,T, Duampanua 2,467<br />

19, D,I,T, Lanrisang/Jampue 2,580<br />

20, D,I,T, Mangara Bombang 1,500<br />

21, D,I,T, Mappakasunggu 1,000<br />

22, D,I,T, Takalar Tua 1,000<br />

23, D,I,T, Akkotengeng 1,069<br />

24, D,I,T, Doping 1,000<br />

25, D,I,T, Pitumpanua 1,380<br />

26, D,I,T, Sajoanging 2,175<br />

27, D,I,T, Takkalalla 2,383<br />

Kondisi Jaringan<br />

Irigasi<br />

Tabel 2.9 Capaian Kinerja Jaringan Irigasi Provinsi<br />

2013 2014 2015 2016<br />

Luas<br />

Areal<br />

(Ha)<br />

%<br />

Luas<br />

Areal<br />

(Ha)<br />

%<br />

Luas<br />

Areal<br />

(Ha)<br />

%<br />

Luas<br />

Areal<br />

(Ha)<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9<br />

Baik Baik 37,744 35,72 38,705 36,63 44,496 42,11 47,532 44,98<br />

Rusak<br />

Ringan<br />

11,866 11,23 9,805 9,28 5,125 4,85 7,292 6,90<br />

Rusak<br />

Rusak<br />

Sedang<br />

3,931 3,72 5,093 4,82 8,168 7,73 11,281 10,68<br />

Rusak<br />

Berat<br />

52,600 49,78 52,062 49,27 47,877 45,31 39,561 37,44<br />

TOTAL 105,666 100 105,666 100,00 105,666 100,00 105,66 100,00<br />

%<br />

67


Sumber: <strong>Di</strong>nas SDA, CK dan Infrastruktur, 2016<br />

6<br />

<strong>Pemerintah</strong> Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berupaya untuk<br />

meningkatkan kualitas dan cakupan layanan daerah irigasi dan rawa serta<br />

rawa tambak dan pemanfaatan air tanah selain melalui Program<br />

Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, Rawa dan Rawa Tambak<br />

pada 167,624 Hektar yang merupakan daerah irigasi kewenangan Provinsi<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sehingga meningkatkan persentase kondisi baik jaringan<br />

irigasi menjadi 46,85% di Tahun 2016 juga dilakukan melalui Program<br />

Penyediaan dan Pengelolaan Air Baku dengan membangun embungembung<br />

sebagai penampung air dan mempertahankan stabilitas muka air<br />

tanah, Jumlah embung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sampai Tahun 2016 berjumlah<br />

154 buah sehingga sasaran pembangunan RPJMD Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Tahun 2013-2018 yaitu meningkatnya pemanfaatan air tanah guna<br />

mendukung peningkatan produksi tanaman pangan dan mendukung<br />

pemenuhan kebutuhan air baku dapat terpenuhi,<br />

Tabel 2.10 Capaian Layanan Jaringan Irigasi Provinsi<br />

KINERJA LAYANAN JARINGAN<br />

IRIGASI<br />

SATUAN<br />

TAHUN<br />

2013 2014 2015 2016<br />

1 2 3 4 5 6<br />

Luas Areal Irigasi Hektar 647,495 647,495 647,495 647,495<br />

Luas Lahan Persawahan Hektar 1,664,954 1,695,112 1,700,274 1,708,475<br />

Cakupan Layanan Jaringan Irigasi % 38,89 38,20 38,08 37,90<br />

Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian<br />

Pertanian , 2016 diolah,<br />

Sasaran pembangunan irigasi pada RPJMD Tahun 2013-2018 adalah<br />

meningkatnya kualitas dan cakupan layanan daerah irigasi dan rawa yang<br />

68


tergambar pada cakupan layanan irigasi dimana pada Tahun 2016 mencapai<br />

37,90%, Capaian peningkatan cakupan layanan jaringan irigasi tersebut<br />

belum mencapai sasaran RPJMD Tahun 2013-2018 yang sebesar 54,12%<br />

pada Tahun 2016, dikarenakan <strong>Pemerintah</strong> melalui Kementerian Pertanian<br />

tiap tahunnya melakukan kegiatan pencetakan sawah di Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong>, Pencetakan sawah baru di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tersebut belum dapat<br />

diiringi oleh peningkatan cakupan layanan irigasi, karena pembangunan<br />

bendungan yang merupakan prioritas nasional di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> antara<br />

lain Bendungan Paselloreng, Bendungan Jenelata, Bendungan Pamukkulu,<br />

dan Bendungan Baliase masih dalam proses pembangunan sehingga belum<br />

dapat berfungsi untuk melayani lahan persawahan dan tambak di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong>,<br />

2.3 Analisis Daya Saing Provinsi-Provinsi <strong>Di</strong><br />

Indonesia<br />

2.3.1 Daya Saing Keseluruhan Provinsi di Indonesia<br />

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asia Competitiveness<br />

Institute Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of<br />

Singapore, pada tahun 2014 Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berada pada posisi ke<br />

7, tahun 2015 turun ke posisi 10 dan pada tahun 2016 kembali naik keposisi<br />

6 dari 33 Provinsi yang di teliti, Indikator yang dijadikan acuan dalam<br />

penelitian tersebut adalah 1, Stabilitas Ekonomi Makro, 2, <strong>Pemerintah</strong>an<br />

dan Institusi Publik, 3, Kondisi Finansial,Bisnis dan Tenaga Kerja, 4, Kualitas<br />

Hidup dan Pembangunan Insfrastruktur,<br />

69


a. Stabilitas Ekonomi Makro,<br />

Stabilitas Ekonomi Makro merupakan factor fundamental untuk<br />

menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Upaya untuk<br />

menjaga stabilitas ekonomi makro tersebut di lakukan melalui langkahlangkah<br />

tertentu untuk memperkuat daya tahan perekonomian domestic<br />

terhadap berbagai gejolak (shocks) yang muncul, baik dari dalam maupun<br />

dari luar negeri, Koordinasi kebijakan fiscal, moneter, sector riil, dan daerah<br />

70


mutlak diperlukan untuk mengantisipasi gejolak perekonomian dan<br />

mendorong pertumbuhan ekonomi, Ada tiga Indikator dan beberapa sub<br />

Indikator yang dijadikan acuan dalam penelitian ini yaitu :<br />

a. Kedinamisan Ekonomi Regional,<br />

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)<br />

PDRB Non Migas<br />

Pertumbuhan PDRB<br />

PDRB Per Kapita<br />

PDRB Per Kapita Non Migas<br />

PDRB Industri Primer<br />

PDRB Indutri Sekunder<br />

PDRB Industri Tersier<br />

Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto<br />

Inflasi<br />

b. Keterbukaan Perdagangan dan Jasa<br />

Ekspor<br />

Ekspor Non Migas<br />

Impor<br />

Impor Non Migas<br />

Keterbukaan dalam Perdagangan<br />

c. Daya Saing Terhadap Investasi Asing<br />

Rata-rata Penanaman Modal Asing dalam tiga Tahun terakhir<br />

Rata-rata Penanaman Modal Domestik dalam tiga Tahun terakhir<br />

Promosi dan pengelolaan Investasi<br />

Pada tahun 2014 Stabilitas Ekonomi Makro Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> berada pada urutan 11 kemudian naik pada tahun 2015 ke urutan 8<br />

dan turun satu tingkat ke posisi 9 pada tahun 2016,<br />

71


. <strong>Pemerintah</strong>an dan Institusi Publik<br />

<strong>Dalam</strong> Urusan <strong>Pemerintah</strong>an dan Institusi Publik Pada tahun 2014<br />

<strong>Pemerintah</strong> Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berada pada urutan ke 3 kemudian<br />

mengalami penurunan ke urutan 13 pada tahun 2015 dan kembali naik ke<br />

urutan ke 2 pada tahun 2016, Ada tiga Indikator dan beberapa sub Indikator<br />

yang dijadiakan acuan dalam mengukur Daya Saing “<strong>Pemerintah</strong>an dan<br />

Institusi Publik” yaitu :<br />

a. Kebijakan dan Ketahanan Fiskal Publik,<br />

Pendapatan Total <strong>Pemerintah</strong> Daerah<br />

Pendapatan Pajak Daerah<br />

Pendapatan Pajak per Pendapatan Pajak Total Pemda<br />

Pengeluaran Pemda<br />

Keseimbangan Fiskal<br />

b. Institusi <strong>Pemerintah</strong>an dan Kepemimpinan<br />

Tingkat Kebersihan dan Korupsi<br />

Tingkat Kriminalitas<br />

Tingkat Keamanan<br />

72


Akuntabilitas dan Inklusivitas Pemda<br />

Ekspektasi dan Perkembangan Pemda<br />

Tingkat Efisiensi Pemda<br />

Koordinasi dengan <strong>Pemerintah</strong> kota/kabupaten<br />

Kapasitas Kepemerintahan Provinsi<br />

c. Persaingan, Standar Regulasi dan Penegakan Hukum<br />

Kualitas Peraturan Daerah<br />

Penegakan Hukum<br />

Gairah Kompetisi dan Kolaborasi<br />

2.3.1.3 Kondisi Finansial, Bisnis dan Tenaga Kerja,<br />

Kondisi Finansial, Bisnis dan Tenaga Kerja dijadikan sebagai salah<br />

satu Indikator Penting dalammengukur daya saing suatu daerah, Hal ini<br />

karena, baik tidaknya kondisi finansial suatu daerah dapat memberikan<br />

pengaruh yang sangat besar pada banyak sektor seperti urusan<br />

Administrasi <strong>Pemerintah</strong>an, Pelayanan Kepada Masyarakat, Insfrastruktur,<br />

Keamanan, Dunia industri, Perbankan, Penyerapan tenaga kerja,<br />

Penerimaan Pajak dan lain-lain, Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berada pada<br />

73


posisi ke 10 pada tahun 2014, turun ke urutan 14 tahun 2015 dan tahun<br />

2016 naik ke posisi 8 dari 33 Provinsi se Indonesia.<br />

2.4. Mengapa Sulsel Harus Over Stock <strong>Beras</strong><br />

Pada sebuah siang yang penuh dengan hiruk pikuk politik, saat<br />

menjelang pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 2014, seorang<br />

kawan dekat Gubernur Sulsel Dr. Syahrul Yasin Limpo (2008-2018),<br />

bertanya: Mengapa pak Gubernur memilih kebijakan “menjadikan Sulsel<br />

sebagai palang pintu pangan nasional. Bukankah produk pangan, terutama<br />

beras adalah komoditi politik? Harganya diatur oleh pemerintah. Mengapa<br />

tidak mendorong masyarakat dari menanam padi dikonversi<br />

menjadikomoditi yang lebih strategis dan berharga jual mahal? Bukankah<br />

daerah kabupaten/kota adalah daerah otonomi yang bias menentukan<br />

sendiri nasib ekonomi dan politiknya? Masyarakat akan lebih cepat<br />

sejahtera dengan program pembangunan pertanian non-padi. Menanam<br />

padi cukup untuk kebutuhan sendiri, ngga perlu harus over stock beras<br />

hingga 2,15 juta ton pada tahun 2014.<br />

Syahrul menghela napas panjang, kemudian, ia memulai dengan<br />

frase sederhana “bahaya kelaparan.” <strong>Di</strong> negeri yang subur dan kaya ini tidak<br />

pantas ada masyarakat yang kelaparan. Lalu ia menlansir pernyataan<br />

Multatuli, Max Havelar (1972): Beberapa windu yang lampau ada wilayah di<br />

Indonesia ini penduduknya mati kelaparan,….. ibu-ibu menjual anakanaknya<br />

untuk makan,…. Ibu-ibu memakan anaknya sendiri.<br />

Lalu, Syahrul menerawang, matanya menatap tajam kabut yang<br />

menggelantung di langit Makassar. Menurut Syahrul, konsep pembangunan<br />

Indonesia, harus merujuk pada wawasan kebangsaan Negara Kesatuan<br />

Republik Indonesia (NKRI). Kita sedang membangun Indonesia dari <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong>. Pendekatan pembangunan Indonesia tidak boleh parsial, harus<br />

holistic dan terintegrasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Antara<br />

74


satu provinsi dengan provinsi lainnya. Antara satu pulau dengan pulau<br />

lainnya. Membangun Indonesia, tidak boleh disertai dengan ego sector, ego<br />

wilayah, apalagi ego etnisitas.<br />

Itu sebabnya visi saya bersama pak Agus Arifin Nu’mang pada<br />

periode pertama adalah “Sulsel Menjadi Provinsi Sepuluh Terbaik <strong>Dalam</strong><br />

Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat.” Mengapa kebutuhan dasar<br />

masyarakat? Karena tugas utama pemerintah adalah memenuhi kebutuhan<br />

dasar masyarakat. Ada tiga kelompok kebutuhan dasar yang paling<br />

mendasar menurut Syahrul: Sandang & Pangan, Pendidikan dan Kesehatan.<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> adalah provinsi pertama yang berani menawarkan<br />

Pendidikan dan Kesehatan gratis. Sedangan kebutuhan pangan, Syahrul<br />

menggenjot pembangunan pangan dengan program “<strong>Overstock</strong> <strong>Beras</strong>.”<br />

Inilah langkah awal Syahrul yang menetapkan Sulsel sebagai Lumbung<br />

Pangan Nasional.<br />

Menurut Syahrul, dunia saat ini sedang menghadapi dua krisis<br />

besar:energy dan pangan. Setidaknya, ada beberapa factor yang membuat<br />

krisis ini bakal terus berlanjut:<br />

Pertama, terjadi penambahan jumlah penduduk (50 tahun lalu<br />

jumlah penduduk dunia berkisar 3 milyar lebih), dan 50 athun yang akan<br />

datang jumlah penghuni planet bumi akan terus bertambah hingga di atas 9<br />

milyar orang). Dengan bertambahnay jumlah penduuduk, maka kebutuhan<br />

akan pangan dan energy akan meningkat pula, bahkan berbanding lurus<br />

atau melelbihi akselerasi peetumbuhan jumlah penduduk bumi.<br />

75


Grafik 2.1Perkembangan jumlah penduduk bumi dari tahun 1800<br />

hingga perkiraan tahun 2050<br />

Pada grafik di atas nampak dengan jelas bagaimana pertumbuhan<br />

jumlah penghuni bumi meningkat 100 persen setiap satu decade (100<br />

tahun). Pada tahun 1804 jumlah penduduk bumi sekitar1 milyar, naik<br />

menjadi 2 milyar pada 1927, dalam 33 tahun kemudian (tahun 1960) naik<br />

50% (menjadi 3 milyar), dan hanya dalam tempo 14 tahun berikutnya,<br />

penduduk bumi menembus angka 4 milyar. Kenaikan jumlah penduduk<br />

semakin lebih cepat (dalam 13 tahun, yaitu pada tahun 1987), naik lagi<br />

menjadi 5 milyar penduuk bumi.Pada 12 tahun kemudian, penduduk bumi<br />

bertambah 1 milyar menjadi 6 milyar pada tahun 1999. Terus meningkat<br />

menjadi 7 milyar pada tahun 2012, dan diperkirakan akan naik menjadi 8<br />

76


milyar pada tahun 2024. Perkembangan jumlah penduduk duniabergerak<br />

linier sejak tahun 1960 hingga sekarang. Rata-rata kenaikan jumlah<br />

penduduk dalam setiap 13-16 tahun sebesar 1 milyar manusia.<br />

Kedua, akibat eksploitasi yang berlebihan terhadap natural<br />

resources (sumberdaya alam), karena kebutuhan manusia yang terus<br />

meningkat (karena jumlah populasi manusia yang semakin berkembang),<br />

maka terjadi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh over exploitation.<br />

Bersamaan dengan terjadinya kerusakan lingkungan, terjadi pula konversi<br />

lahan dari lahan pertanian untuk kepentingan lainnya, dalam jumlah yang<br />

cukup besar.<br />

Mengutip Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-<br />

2019, bahwa dewasa ini keberlanjutan sektor pertanian-tanaman pangan<br />

tengah dihadapkan pada ancaman serius, yakni luas lahan pertanian yang<br />

terus menyusut akibat konversi lahan pertanian produktif ke penggunaan<br />

nonpertanian yang terjadi secara massif. Laju konversi lahan sawah<br />

mencapai 100 ribu hektar per tahun, dan menurut OJK (otoritas Jasa<br />

Keuangan) fenomena ini sangat perlu disikapi secara serius dan segera,<br />

apabila tidak maka rencana perwujudan Kedaulatan Pangan akan semakin<br />

jauh dari harapan.<br />

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah<br />

satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan.<br />

Intensitas alih fungsi lahan yang terjadi pada masyarakat masih sulit<br />

dikendalikan, terutama yang terjadi pada daerah-daerah yang dekat dengan<br />

pusat pengembangan perkotaan dan bisnis. <strong>Dan</strong> lebih parah, karena<br />

sebagian besar lahan sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang<br />

produktivitasnya termasuk kategori tinggi – sangat tinggi. Lahan-lahan<br />

tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi<br />

di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan<br />

penunjang pengembangan produksi padi telah maju. Daerah-daerah seperti<br />

Kabupaten Maros, Gowa dan Takallardi provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> adalah<br />

77


daerah yang paling tinggi jumlah lahan pertanian yang dikonversi menjadi<br />

lahan perumahan, kawasan industry atau pembangunan lainnya.Karena<br />

Kabupaten Maros, Gowa dan Takalar adalah kabupaten yang beririsan<br />

dengan Kota Makassar, sebagai pusat pengembangan kota dan ekonomi.<br />

Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani<br />

pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya<br />

diawali dengan transaksi jual beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan<br />

sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait<br />

dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang<br />

menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya untuk<br />

pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya)<br />

atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar (prasarana umum yang<br />

diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan<br />

yang bersangkutan). Proses alih fungsi lahan sawah cenderung berlangsung<br />

lambat jika motivasi untuk mengubah fungsi terkait dengan degradasi<br />

fungsi lahan sawah, misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga<br />

lahan tersebut tidak dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah.<br />

Melihat semakin tidak terkendalinya konversi lahan pertanian, ada<br />

tiga alternatif kebijakan yang dibahas dalam pengendalian konversi lahan<br />

sawah beririgasi, yaitu kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral,<br />

pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah<br />

beririgasi yang perlu dilindungi, dan pembangunan kemampuan kolektif<br />

masyarakat tani setempat dalam mengendalikan konversi lahan sawah.<br />

Model kebijakan yang terakhir, apabila difasilitasi dengan baik, diharapkan<br />

dapat memperkuat kapital sosial yang ada pada masyarakat karena<br />

munculnya rasa kebersamaan identitas dan kepemilikan. Karena<br />

kelangkaan lahan dan air akan berlangsung terus maka kebijakan<br />

pengendalian konversi lahan hendaknya ditempatkan dalam kerangka<br />

pendekatan keterpaduan pengelolaan sumber daya lahan dan air dalam<br />

78


suatu daerah aliran sungai (DAS) dan perbaikan sistem usaha tani (Efendi<br />

Pasandaran).<br />

Salah satu dampak konversi lahan yang sering mendapat sorotan<br />

masyarakat luas adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan<br />

salah satu tujuan pembangunan nasional (Irawan, 2005). Tantangan utama<br />

dalam penyediaan sumberdaya saat ini dan dimasa yang akan datang<br />

adalah ketersediaan sumber daya lahan yang makin langka (lack of<br />

resources), baik luas maupun kualitasnya serta konflik penggunaannya<br />

(conflict of interest) (Pasandaran, 2006). Oleh karena itu arahan<br />

pemanfatan ruang dan pendugaan tentang berbagai kebutuhan penting<br />

dilakukan sehingga diharapkan dapat mewujudkan pemanfaatan ruang<br />

yang berhasil dan berdaya guna untuk mewujudkan pembangunan<br />

berkelanjutan.<br />

Tabel 2.11.Keragaan Lahan menurut Jenisnya<br />

Berdasarkan table di atas, pengurangan lahan potensial pertanian<br />

sejak 2008 hingga 2012 rata-rata di atas 100 ha per tahun. <strong>Dalam</strong> sepuluh<br />

79


tahun yang akan datang pengurangan lahan pertanian akan semakin tinggi<br />

dan cepat. Setiap 10 tahun Indonesia akan kehilangan lahan potensial<br />

pertanian 1,5-2 juta hektar. Jika ini dibiarkan bertumbuh terus, tanpa<br />

aturan yang jelas, maka dapat dipastikan Indonesia akan mengalami krisis<br />

pangan secara serius dalam 20-40 tahun yang akan datang.<br />

Bersamaan denganmeningkatnya konversi lahan pertanian menjadi<br />

lahan industry dan perumahan, kualitas lahan pertanian juga mengalami<br />

penurunan yang sangat drastis. Penurunan kualitas lahan pertanian<br />

merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan<br />

pertanian Indonesia. Sedangkan kebutuhan produksi pangan semakin<br />

meningkat setiap harinya seiring dengan bertambahnya penduduk<br />

diindonesia. Degradasi tanah merupakan salah satu penyebab rendahnya<br />

produktifitas di Indonesia. Menurut Havlin et al (2005) kesuburan tanah<br />

akan semakin menurun akibat penggunaan pupuk anorganik secara terusmenerus<br />

dan menyebabkan rusaknya sifat fisik, kimia dan biologi tanah.<br />

Keadaan ini diperparah dengan banyaknya petani yang menggunakan<br />

pupuk kimia secara berkelanjutan.<br />

<strong>Di</strong> beberapa kabupatendi Sulsel, seperti: Sidrap, Pinrang, Wajo,<br />

Bone, Soppeng, Maros, Gowa, Bulukumba dan Luwu (yang dikenal sebagai<br />

daerah lumbung utama beras), penggunaan pupuk an-organicnya sangat<br />

tinggi, telah digunakan sejak awal pemerintahan Orde Baru. Perkenalan<br />

petani di Sulsel dengan pupuk an-organik dimulai pada awal program<br />

revolusi hijau yang diusung oleh regim Orde Baru. Pupuk an-organik tidak<br />

bisa disangkal sebagai alasan kuat bagi pemerintah dan petani untuk<br />

melipat gandakan produksi dan produktivitas sector pertanian secara<br />

umum, dan tanaman padi secara khusus. Hingga kini ketergantungan petani<br />

padi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> terhadap pupuk an-organik menjadi sangat<br />

tinggi.Untuk mengurangi ketergantungan ini, diperlukan suatu usaha untuk<br />

memenuhi kesejahteraan masyarakat petani tanpa harus mengurangi<br />

kualitas lahan pertanian. Mengacu pada keadaan ini, maka diperlukan<br />

80


program-program tertentu untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia<br />

(anorganik). Langkah yang paling sederhana adalah, mendorong petani<br />

menggunakan pupuk organic, untuk mengurangi ketergantungan terhadap<br />

pupuk kimia.<br />

Ketiga, tingginya biaya transportasi pangan antar pulau di<br />

Indonesia. Persoalan distribusi logistic pangan seringkali menjadi penyebab<br />

tidak tersebarnya pangan dengan merata di Indonesia. Persoalan logistic<br />

pangan semestinya harus sesuai dengan UU 18/2012. Undang-undang ini<br />

dengan terang benderang mengamanatkan penyelenggaraan pangan secara<br />

adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan,<br />

kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Bahkan penanganan<br />

beberapa komoditas pangan secara khusus diatur dalam Perpres 71/2015<br />

tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang<br />

Penting yang antara lain menyebutkan bahwa <strong>Pemerintah</strong> Pusat dan<br />

<strong>Pemerintah</strong> Daerah mengendalikan Ketersediaan Barang Kebutuhan Pokok<br />

dan/atau Barang Penting di seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik<br />

Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang<br />

terjangkau.<br />

Faktor logistic dipandang sangat penting di dalam pengelolaan<br />

pangan karena berdampak terhadap biaya logistik dan tingkat kerusakan<br />

komodita. Biaya logistik pangan yang tinggi dapat dilihat dari biaya<br />

transportasi atau pengangkutan komoditas. Sedangkan tingkat kerusakan<br />

komoditas pangan sangat tinggi, karena sifat komiditas yang mudah rusak<br />

(perishable). Oleh karena itu, manajemen logistik pangan perlu dilakukan<br />

sesuai dengan karakteristik komoditasnya (commodity based), termasuk<br />

dengan penyiapan sistem, kelembagaan, dan infrastruktur pendukungnya.<br />

Salah satu carayang dipandang mampu meningkatkan efisiensi logistik<br />

pangan adalah penggunaan cold chain system yang harus diterapkan secara<br />

simultan pada rantai pasok (supply chain) komoditas tersebut di semua<br />

tingkatan, baik di tingkat produksi, distribusi, hingga pengecer. Agar proses<br />

81


manajemen logistic pangan ini bisa berjalan dengan baik, makapemerintah<br />

dan swasta perlu melakukan pengembangan fasilitas cold chain untuk<br />

mengurangi tingkat kerusakan beberapa komoditas di berbagai wilayah di<br />

Indonesia.<br />

Berdasarkan pengalaman lapangan yang ada, upaya perbaikan<br />

pengelolaan logistik pangan, dapat dilakukan dengan beberapa langkah<br />

berikut ini:<br />

1. Sesuai Undang-Undang, pemerintah dan stake holders lainnya, harus<br />

memiliki petarantai pasok dan saluran distribusi pangan dari tingkat<br />

produksi mikro hingga tingkat konsumsi.<br />

2. Penyediaan infrastruktur logistik berbasis pada komoditas (commodity<br />

based).<br />

3. Pembangunan infrastruktur cold chain, termasuk pembangunan gudang<br />

berpendingin (cold storage) dan penyediaan plugging reefer di simpulsimpul<br />

distribusi/transportasi, seperti di pelabuhan, terminal bongkar<br />

muat, dan sebagainya, dengan tetap berbasis pada jenis komoditas.<br />

4. Penyiapan sarana, prasarana pengelolaan komoditas seperti sub<br />

terminal agro (STA) di sentra produksi pertanian dan pusat<br />

produksi/pengumpulan ikan di sentra produksi perikanan.<br />

5. Pembangunan sistem dan manajemen pergudangan yang terintegrasi<br />

dengan jaringanpemasaran.<br />

6. Penguatan kapasitas dan sumberdaya lainnya bagi pengelola jaringan<br />

penyedia jasa logistik pangan.<br />

7. Membangun simpul-simpul koordinasi dan mendorong sinergitas antar<br />

kementerian dan lembaga, antara pemerintah pusat dan pemerintahpemerintah<br />

daerah dalam pengelolaan logistik pangan nasional.<br />

8. <strong>Pemerintah</strong> dan stake holders lainnya, harus memiliki sistem control,<br />

pemantauan dan pengawasan rantai pasok mulai dari tahap produksi,<br />

distribusi, dan pemasaran. Terutama pada aspekketersediaan pasokan,<br />

82


harga dan kualitas, dengan membangun manajemen sistem informasi<br />

komoditas secara nasional.<br />

Tanggungjawab mewujudkan ketahanan pangan nasional, adalah<br />

tanggungjawab para pihak, baik di pusat maupun daerah, pengusaha atau<br />

pemerintah. Dengan daya tahan pangan yang kuat, Indonesia bisa mandri<br />

secara ekonomi dan politik. Oleh karena itu, beberapa kebijakan atau<br />

regulasi perlu dipertimbangkan secara seksama, antara lain:<br />

1. <strong>Pemerintah</strong> dan swasta harus sepakat menentukan harga dasar pangan<br />

yang menguntungkan petani, dalam arti bisa menjaga keseimbangan<br />

antara biaya produksi dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga<br />

petani, dan kemampuan konsumen. Penentuan harga dasar tidak<br />

mengacu pada harga pasar internasional, karena harga pasar global<br />

mengabaikan pertimbangan biaya produksi dan margin yang diperoleh<br />

pedagang dan petani, serta kemampuan konsumen. Dengan kata lain,<br />

penentuan harga dasar pangan harus berbasis pada biaya produksi,<br />

keuntungan petani dan daya beli konsumen.<br />

2. Jika terjadi spekulasi pasar, dengan fluktuasi harga yang sulit dikontrol,<br />

pemerintah menyiapkan insentif harga kepada petani komoditas<br />

pangan (terutama beras, kedelai, jagung, singkong, gula dan minyak<br />

goring). Langkah ini dimaksudkan sebagai jaminan untuk petani untuk<br />

tetap memiliki spirit memproduksi pangan dalam negeri.<br />

3. Perlu melakukan penataan ulang tata niaga pangan. Pasar bagi<br />

panganstrategis seperti; beras jagung, daging (sapi, ayam, telur),<br />

minyak goring, dan gula pasir perlu diintervensi oleh negara, bahkan<br />

bila perlu harus tetap dikuasai oleh negara dan digunakan sebesarbesarnya<br />

untuk kemakmuran rakyat, dan dikontrol oleh Komisi<br />

Independen Pangan Nasioonal (KIPN).<br />

4. Mengoptimalkan penelitian dan pengembangan benih varietas unggul<br />

yang tahan terhadap anomali iklim dan berumur sedang. Ini dapat<br />

83


dilakukan dengan melibatkan lembaga-lembaga penelitian, perguruan<br />

tinggi, maupun kerjasama bilateral lainnya.<br />

5. Memberikan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit,<br />

pupuk, teknologi dan kemampuan pasar untuk menyerap produk<br />

petani.<br />

6. Memperkuat peranankelembagaanpetani komoditas pangan, yakni<br />

kelompok tani, koperasi, dan ormas tani. <strong>Kelembagaan</strong> petani<br />

diharapkan bisa memiliki akses terhadap lembaga keuangan, asosiasi<br />

komoditas pangan, dan pasar.<br />

7. Menciptakan diversifikasi pangan yang memiliki nilai gizi yang setara<br />

dengan beras dan ekonomis terjangkau oleh rakyat. <strong>Dan</strong> memberikan<br />

pendidikan kepada masyarakat agar tidak memiliki mind set pada<br />

konsumsi beras, sehingga rakyat tidak selalu bergantung pada produksi<br />

beras. Program ini bisa dijalankan bersamaan dengan menemukan<br />

kembali potensi tanaman pangan tradisional (lokal) yang sudah terbiasa<br />

dikonsumsi oleh masyarakat local setempat.<br />

Untuk menunjang budidaya tanaman pangan yang lebih efektif dan<br />

efisien perlu didukung dengan system information manajemen (SIM) data<br />

iklim khususnya curah hujan yang secara kontinyu dapat di-update secara<br />

otomatis dari stasiun-stasiun iklim yang telah dipasang. Selain itu,<br />

Balitklimat telah dan sedang menyusun kalender tanam yang diharapkan<br />

dapat membantu <strong>Di</strong>nas Pertanian, petani dan pelaku agribisnis serta<br />

pengguna lainnya dalam budidaya dan pengembangan tanaman pangan<br />

khususnya dan tanaman-tanaman semusim lainnya.<br />

84


Jebakan Ekonomi Politik Global<br />

Kisah Krisis Pangan di Haiti<br />

• Negara Haiti adalah salah satu penghasil beras. Kemampuan<br />

produksinya 170.000 ton beras/tahun (mencukupi 95 % kebutuhan<br />

domestik). Akan tetapi, krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1995,<br />

yang memaksa Haiti menerima bantuan dari IMF. Melalui bantuan itu,<br />

pemodal IMF mulai memainkan peranan ekonomi politik global,<br />

dengan mensyaratkan penerima bantuan IMF untuk memangkas tarif<br />

tarif impor beras dari 35 % menjadi 3 %. Dampaknya beras dari<br />

Amerika leluasa masuk ke pasar domestik dan menghancurkan sektor<br />

pertanian. Ribuan petani kehilangan mata pencaharian.<br />

• <strong>Dalam</strong> konspirasi ekonomi politik global, krisis ekonomi dijadikan<br />

sebagai alasan kuat untuk mengkapitalisasi modal-modal yang mereka<br />

miliki. Program ini terutama ditujukan kepada negara-negara <strong>Selatan</strong><br />

yang tidak memiliki pilihan alternatif untuk merestrukturisasi<br />

ekonominya. Belajar dari jebakan semacam ini, kita tidak punya pilihan<br />

lain, kecuali memperkuat kapasitas masyarakat untuk mempersiapkan<br />

kebutuhan dasar mereka secara mandiri. Inilah salah satu alasan<br />

Syahrul Yasin Limpo (Gubernur Sulsel) menjadikan Sulsel sebagai<br />

lumbung pangan nasional (overstock beras).<br />

Sejak era reformasi, (20 tahun terakhir), pemerintah RI baik<br />

secarasengaja maupun tidak sengaja telah mengadopsi kebijakan pangan<br />

ala neo-liberal yang sangat pro pasar bebas (free-market). Kebijakan<br />

tersebut adalah jebakan ekonomi politik global yang dikendalikan oleh dua<br />

lembaga keuangan internasional yaitu IMF dan Bank Dunia. Jebakan itu<br />

berisi antara lain:<br />

a. Penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor<br />

komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula,<br />

daging, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan<br />

85


ahan pangan (contohnya merubah BULOG dari lembaga pemerintah<br />

non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah).<br />

b. Setiap kenaikanharga berbagai bahan pangantidak memberikan<br />

keuntungan relative bagi petani. Nilai tambah dari kondisi membaiknya<br />

harga bahan pangan ternyata dinikmati oleh pelaku pasar (pedagang).<br />

Pihak yang paling diuntungkan dari hasil overstock beras yang sudah<br />

mencapai 2,5 juta ton di provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, menunjukkan bahwa<br />

pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dalam rantai<br />

perdagangan beras adalah pengusaha penggilingan (huller), pedagang<br />

besar dan pedagang pengecer.<br />

Dua jenis kebijakan ini memberikan dampak secara langsung<br />

maupun tidak langsung, yang dapat merugikan petani sebagai produsen<br />

beras. Kerugian petani ini dapat dilihat pada nilai tukar petani (NTP) yang<br />

dari tahun ke tahun tidak mengalami peningkatan yang significant,<br />

sebagaimana nilai tukar yang dialami oleh sector lain diluar sector<br />

pertanian. Nilai tukar petani (NTP) Sulsel dua tahun terakhir (2015-2016)<br />

berkisar antara 105-106. <strong>Dan</strong> nilai tukar petani pada provinsi lain berkisar<br />

antaa 101-104. Nilai tukar petani yang bergerak lamban ini menunjukkan<br />

usaha pada sector pertanian tidak memberikan nilai tambah yang dapat<br />

berkontribusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani,<br />

dibandingkan dengan masyarakat yang berusaha pada sector nonpertanian.<br />

Secara nasional, data BPS memperlihatkan bahwa NTP pertanian<br />

menurun dari 102,12 pada Juli 2014 menjadi 100,65 pada Juli 2017. Akan<br />

tetapi, pada periode yang sama,BPS juga menyajikan data, bahwa jumlah<br />

penduduk miskin di perdesaan berkurang dari 17,77 juta orang atau 14,17<br />

persen dari total penduduk desa pada Maret 2014 menjadi 17,10 juta orang<br />

atau 13,93 persen dari total penduduk desa pada Maret 2017. Secara<br />

factual dapat disimpulkanbahwa penduduk desa adalah representasi dari<br />

keberadaan petani, maka data yang disajikan BPS bertolak belakang dengan<br />

86


apa yang diindikasikan oleh penurunan NTP di satu sisi, dandata kemiskinan<br />

perdesaan pada sisi lain yang menunjukkan bahwa sebagian besar petani<br />

mengalami peningkatan kesejahteraan.<br />

Data BPS menggambarkan perspektif yang berbeda tentang fitur<br />

kesejahteraan masyarakat yang berusaha pada sector pertanian. Pada satu<br />

issue, BPS menyajikan informasi terjadinya penurunan kemiskinan<br />

masyarakat pedesaan (setidaknya yang terjadi antara tahun 2014-2017).<br />

Data ini mengisyaratkan pada periode 2014-2017 terjadi peningkatan<br />

kesejahteraan masyarakat pedesaan (masyarakat desa adalah didominasi<br />

oleh masyarakat tani). Namun pada saat yang bersamaan, terjadi<br />

penurunan NTP dan terjadi kenaikan nilai tukar usaha pertanian (NTUP),<br />

yang meningkat dari 106,18 pada Juli 2014 menjadi 109,75 pada Juli 2017.<br />

NTUP menggambarkan peningkatan insentif harga bagi usaha pertanian tiga<br />

tahun terakhir.<br />

Fakta-fakta ini setidaknya dapat mengilustrasikan, NTUP meningkat<br />

karena indeks harga yang diterima meningkat lebih besar daripada<br />

peningkatan harga masukan usaha tani. Periode Juli 2014-Juli 2017, indeks<br />

harga yang diterima petani naik 13,19 persen, sedangkan indeks harga<br />

masukan usaha tani naik 9,44 persen. Fakta ini menggugurkan asumsi<br />

beberapa pihak yang menjelaskan bahwa insentif harga usaha tani<br />

menurun tiga tahun terakhir, tidaklah konsisten dengan data peningkatan<br />

NTUP. Akan tetapi, pertanyaan yang membutuhkan argumentasi adalah,<br />

kenapa nilai NTP cenderung menurun? Beberapa argumentasi berikut<br />

mungkin dapat mengklarifikasi data yang disajikan BPS yang kelihatannya<br />

seperti saling kontras. Pertama, NTP menurun karena relatif tingginya inflasi<br />

di perdesaan, tecermin dari peningkatan indeks harga konsumen sebesar<br />

17,37 persen pada periode Juli 2014-Juli 2017, lebih tinggi daripada<br />

peningkatan harga yang diterima petani (13,19 persen) dan daripada<br />

peningkatan indeks harga masukan usaha tani (9,44 persen).<br />

87


Kedua, nilai tukar barter (BTT) dan barang konsumsi rumah tangga<br />

usaha pertanian (RTUP) mencakup hasil usaha pertanian dan nonpertanian.<br />

Dari fakta bahwa laju peningkatan harga hasil usaha pertanian<br />

lebih rendah daripada laju peningkatan harga barang konsumsi, dapat pula<br />

disimpulkan BTT sektor pertanian dengan sektor non-pertanian cenderung<br />

menurun. Secara teoretis, fenomena penurunan BTT sektor pertanian<br />

dengan sektor non-pertanian adalah normal atau alami. Fenomena itu<br />

terjadi terutama karena seiring peningkatan pendapatan konsumen,<br />

elastisitas permintaan terhadap produk pertanian cenderung menurun,<br />

sementara elastisitas permintaan produk non-pertanian cenderung naik.<br />

Akibatnya, permintaan terhadap produk pertanian meningkat lebih kecil<br />

dibandingkan produk non-pertanian sehingga harga produk pertanian<br />

relatif semakin lebih murah daripada produk non-pertanian. Ini<br />

menunjukkan laju permintaan produk pertanian jauh lebih lamban<br />

dibandingkan dengan permintaan terhadap produk non-pertanian. Karena<br />

itu, meskipun secara kuantitatif nilai produk pertanian mengalami<br />

peningkatan, akan tetapi tertinggal jauh oleh nilai-nilai produk nonpertanian.<br />

Ketiga, data BPS juga menggambarkan, pada periode Juli 2014-Juli<br />

2017, inflasi di perkotaan mencapai 11,50 persen, lebih rendah daripada<br />

inflasi di perdesaan sebesar 17,37 persen. Berbedanyatingkat inflasi<br />

(tingginya inflasi di perdesaan),menunjukkan terjadinyaketimpangan<br />

prasarana dan struktur pasar antaradesa dankota. Dengan asumsi bahwa<br />

produk non-pertanian yang dikonsumsi penduduk perdesaan dihasilkan<br />

atau didistribusikan dari perkotaan, maka dapat disimpulkan bahwa<br />

tingginya inflasi di perdesaan merupakan bukti inefisiensinya distribusi<br />

barang antara desa dan kota. Dengan argumentasi ini maka untuk<br />

memperkuatNTP, hal yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem<br />

distribusi barang atau integrasi perekonomian desa-kota. Program integrasi<br />

ekonomi desa-kota tak hanya penting untuk mendukung peningkatan NTP,<br />

88


tetapi juga mendorong pertumbuhan perekonomian desa maupun kota<br />

secara umum, serta mengurangi kesenjangan pembangunan wilayah<br />

perdesaan dan perkotaan, dan antara sektor pertanian dan non-pertanian.<br />

2.5. Perdebatan Tentang Subsidi<br />

<strong>Di</strong> dekati dari sisi apapun, sector pertanian hanya menjadi<br />

pendukung sector lain. Kekalahan demi kekalahan yang menimpa ekonomi<br />

petani (khususnya petani padi) perlu mendapat perlindungan dan intervensi<br />

pemerintah secara serius. Sebelum masyarakat tani secara massif<br />

meninggalkan sector pertanian, dan menjadi beban pemerintah pada sector<br />

lain di perkotaan. <strong>Di</strong> negara-negara maju seperti USA, pemerintahnya masih<br />

memberikan subsidi yang besar kepada petaninya. Hingga kini, USA masih<br />

memberikan subsidi sebesar USD 20 milyar kepada petaninya setiap<br />

tahun.Subsidi pertanian ini sama halnya dengan memindahkan uang dari<br />

pembayar pajak ke pemilik lahan usaha tani. Pembenaran dari transfer ini<br />

dan efeknya cenderung kompleks dan kontroversial, terutama berkaitan<br />

dengan harga produk pertanian yang ditawarkan oleh negara-negara maju<br />

kepada negara-negara miskin dan berkembang.<br />

<strong>Dalam</strong> bentuk apakah intervensi pemerintah harus dilakukan? Salah<br />

satu jalan yang masih dijalankan oleh sejumlah negara maju adalah<br />

memberikan subsidi. Bagaimana mengoperasikan subsidi pertanian?<br />

Subsidi pertanian adalah subsidi dari pemerintah yang dibayarkan kepada<br />

petani dan pelaku agribisnis untuk melengkapi sumber pendapatan mereka,<br />

mengelola suplai komoditas pertanian, dan mempengaruhi permintaan dan<br />

penawaran komoditas tertentu. Komoditas yang disubsidi bervariasi mulai<br />

dari hasil tanaman sampai hasil peternakan. Subsidi dapat berupa secara<br />

89


keseluruhan pada suatu komoditas, atau hanya pada sebagian tujuan<br />

penggunaan tertentu saja.<br />

Meskipun subsidi dianggap sebagai salah satu keberpihakan<br />

pemerintah untuk melakukan intervensi, dengan tujuan membantu petani,<br />

khususnya petani kecil, akan tetapi konsep subsisi mendapat kritik dari<br />

banyak pihak, antara lain yang menjadi sorotan adalah: subsidi komoditas<br />

yang diekspor akan menyebabkan terjadinya penurunan harga komoditas<br />

sehingga menyediakan harga pangan murah bagi konsumen di negaranegara<br />

miskin dan berkembang, namun harga yang rendah ini tidak<br />

menguntungkan bagi petani yang tidak menerima subsidi. Kedua, negaranegara<br />

berkembang tidak memiliki kemampuan untuk menyiapkan subsidi<br />

bagi seluruh petaninya. Jika ada petani yang disubsidi dan ada yang tidak<br />

disubsidi, maka kemampuan bersaing bagi petani yang tidak mendapatkan<br />

subsidi akan semakin rendah. Padahal, negara berkembang memiliki<br />

keuntungan dalam memproduksi bahan pertanian, namun harga bahan<br />

pangan yang rendah menjadikan petani sangat bergantung pada<br />

keberadaan pembeli dari negara maju. Sehingga petani lokal cenderung<br />

tidak mandiri di negara sendiri, bahkan terlempar dari pasar domestik. Hal<br />

ini dikarenakan politik dumping di mana petani yang disubsidi dapat<br />

"melempar" bahan pangan murah ke pasar luar negeri pada tingkatan harga<br />

yang murah, namun petani yang tidak disubsidi tidak bisa bersaing. Artinya,<br />

subsidi pertanian akan bisa menurunkan harga pangan, dengan demikian,<br />

petani yang tidak disubsidi di negara berkembang tidak dapat bersaing, dan<br />

efeknya dapat meningkatkan jumlah kemiskinan di kalangan petani yang<br />

tidak mampu bersaing dengan harga pangan yang murah.<br />

Pengalaman global selalu ditunjukkan oleh pihak yang tidak setuju<br />

dengan sistem subsidi. Menurut mereka, apa yang dirasakan oleh Negara<br />

Haiti adalah contoh faktual tentang negaraberkembang yang terpengaruh<br />

secara negatif dari keberadaan subsidi pertanian di negara maju. Semula,<br />

Haiti memiliki kemampuan memproduksi beras dan pernah swasembada.<br />

90


Namun kini Haiti tidak memproduksi cukup beras untuk penduduknya.<br />

Lebih dari 60 persen bahan pangan di negara tersebut adalah hasil impor.<br />

Keadaan ini terjadisetelah liberalisasi ekonomi dan turunnya tarif impor,<br />

beras yang diproduksi di dalam negeri tidak mampu bersaing dengan beras<br />

murah bersubsidi dan diproduksi secara efisien karena mekanisasi<br />

pertanian, yang diimpor dari Amerika Serikat. Sedangkan petani Haiti tidak<br />

menerima subsidi sama sekali. Tarif impor turun sebanyak 50% sejak 1995<br />

dan negara ini mengimpor 80 persen beras yang dikonsumsinya.<br />

Pengalaman ini menurut kelompok yang menolak sistem subsidi sebagai<br />

pengalaman buruk yang bakal dialami oleh negara-negara miskin dan<br />

negara-negara berkembang di dunia, jika terus dipraktekkan sistem subsidi.<br />

Akan tetapi, apakah sistem subsidi untuk kelompok petani tertentu<br />

(kelompok petani menengah ke bawah) juga akan berdampak pada<br />

ketidakmampuan petani lain yang tidak mendapatkan subsidi untuk<br />

bersaing? Intervensi pemerintah melalui subsidi pertanian mempengaruhi<br />

mekanisme pasar yang secara normal menentukan harga komoditas, dan<br />

seringkali menyebabkan produksi tanaman pertanian berlebih dan<br />

diskriminasi pasar. Subsidi juga menjadikan ekonomi tidak adil, karena<br />

meningkatkan penghasilan suatu kalangan saja.Untuk menjawab keraguan<br />

ini, subsidi pada sector pertanian (khususnya pangan) hendaknya diberikan<br />

terbatas kepada petani-petani menengah ke bawah.<br />

Secara ilmiah keraguan di atas dapat difahami jika subsisi yang<br />

dilaksanakan ditujukan pada usaha pertanian skala besar, karena dapat<br />

menyebabkan pertanian monokultur berkembang dan menjadi penyebab<br />

utama keruntuhan keragaman hayati tertentu. Bahkan dapat meruntuhkan<br />

jenis koloni lebah tertentu. Penyerbukan yang dilakukan oleh lebah adalah<br />

suatu jasa yang sangat penting di dalam ekosistem dan berbagai produksi<br />

pertanian, terutma hortikultura. Selain itu besarnya subsidi yang<br />

menargetkan pada usaha industri daging dan susu akan menyebabkan<br />

masalah lingkungan terkait pelepasan gas metana yang menjadi<br />

91


penyumbang emisi gas rumah kaca. Industri daging menyebabkan tekanan<br />

pada lingkungan karena setiap kilogram daging yang dihasilkan<br />

membutuhkan air sebanyak 60 kali lebih banyak dibandingkan yang<br />

dibutuhkan kentang untuk menghasilkan jumlah yang sama.<br />

2.6. Tata Kelola <strong>Pemerintah</strong>anTentang Pangan<br />

<strong>Dalam</strong> pandangan ekonomi politik, regulasi apapun yang dipilih<br />

oleh pemerintah selalu memiliki kepentingan tertentu. Sedangkan dalam<br />

teori tata kelola pemerintahan, kebijakan pemerintahan adalah wujud dari<br />

cara pemerintah untuk melakukan tata kelola pemerintahannya, yang<br />

semestinya berisikan transparansi (akuntabilitas) dalam proses maupun<br />

dalam tata kelolanya, karena pada dasarnya, akuntabilitas publik<br />

merupakan landasan bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. Ia<br />

diperlukan karena aparatur <strong>Pemerintah</strong> harus mempertanggungjawabkan<br />

tindakan dan pekerjaannya kepada publik. Akuntabilitas sebagai<br />

persyaratan mendasar untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan yang<br />

didelegasikan dan menjamin kewenangan tadi diarahkan pada pencapaian<br />

tujuan- tujuan nasional yang diterima secara luas dengan efisiensi,<br />

efektivitas, kejujuran, dan hasil yang sebesar mungkin. (Dwivedy, O.P &<br />

Jabbra, Joseph G. 1988. Public Service Responsibility and Accountability. In<br />

Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. (Editors). Public Service Accountability: A<br />

Comparative Perspective. USA: Kumarian Press, Inc.)<br />

Secara gamblang akuntabilitas diartikan sebagai ‘required or<br />

expected to give an explanation for one’s action,’ dengan kata lain,<br />

akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban<br />

atau penjelasan kinerja seseorang dari apa yang telah dilakukannya. <strong>Dalam</strong><br />

konteks pemerintahan, akuntabilitas publik menghendaki birokrasi dapat<br />

menjelaskan secara transparan (transparency) dan terbuka (opennes)<br />

kepada publik mengenai pilhan dan tindakan apa yang telah dilakukan.<br />

92


Tujuannya,untuk menjelaskanpertanggungjawaban atas apa yang akan atau<br />

hendak dilaksanakan, metode apa yang digunakan untuk melaksanakan<br />

tugas, bagaimanakondisi actual dari pelaksanaannya dan apa dampaknya.<br />

Dengan adanya penjelasan secara transparan dan terbuka, masyarakat<br />

(publik) menjadi tahu apa yang hendak dilakukan, tentang apa yang telah<br />

dilakukan birokrasi publik, berapa besarnya anggaran yang digunakan, dan<br />

bagaimana hasil pekerjaan tersebut. Singkatnya, akuntabilitas dibutuhkan<br />

untuk menjelaskan perencanaan, bagaimana melakukan, dan apa hasilnya.<br />

Sehubungan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang berbasis<br />

pada akuntabilitas, pengelolaan pangan membutuhkan manajemen<br />

pemerintahan yang akuntabel. <strong>Pemerintah</strong> harus memiliki alasan-alasan<br />

rasional dan terbuka kepada public, langkah dan cara apakah yang<br />

digunakan untuk menjamin ketersediaan, kemandirian dan kedaultan<br />

pangan nasional. <strong>Pemerintah</strong> perlu menjelaskan kepada public blue print,<br />

strategi dan kebijakan yang dipilih tentang pengelolaan pangan.<br />

Keterbukaan ini penting karena pangan adalah kebutuhan dasar seluruh<br />

warga negara dan umat manusia. Pada satu sisi kebijakan tentang pangan<br />

adalah kebijakan yang berkaitan dengan kemanusiaan, akan tetapi pada sisi<br />

yang lain, soal pangan adalah soal ekonomi dan politik, yang sangat dekat<br />

dengan eksploitasi dan bisnis, yang berorentasi pada keuntungan yang<br />

sebesar-besarnya. Karena sifatnya yang sangat rentan terhadap eksploitasi<br />

dan tipu muslihat, maka keberadaan pemerintah dalam menata kelola<br />

pangan menjadi sangat strategis dan penting. Masalah pangan sama sekali<br />

tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar, meskipun pasar sangat<br />

dibutuhkan untuk mengatur mekanisme supply and demand dari pangan<br />

itu.<br />

<strong>Dalam</strong> kenyataannya, meskipun birokrasi mampu memenuhi dan<br />

mempertemukan tuntutan dan harapan publik dengan standar kerja<br />

(standard of performance) tentang pangan, tetap saja terdapat suatu ruang<br />

diskresi (pengambilan keputusan secara sepihak) yang cukup luas. Selain<br />

93


akan kurang memberikan kepuasan dalam penyediaan kebutuhan dan<br />

layanan publik, hal tersebut juga berpotensi terbukanya peluang<br />

penyalahgunaan kekuasaan atau praktek yang menyimpang (maladministration).<br />

Wujud mal-administrasi yang seringkali dilakukan selain<br />

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), adalah juga inefisensi dan tindakan<br />

yang kurang profesional serta kurang responsif dan tidak bertanggungjawab<br />

dalam menjalankan tugas, dan tanggungjawabnya serta cenderung<br />

melampaui kewenangannya.<br />

Selanjutnya ketidakmampuan birokrasi untuk<br />

mempertanggungjawabkan sikap, perilaku, dan kebijakannya tentang<br />

pangan kepada public, baik tanggungjawab secara subyektif (responsible)<br />

maupun tanggungjawab secara obyektif (accountable) , dan responsifitas<br />

(responsiveness), menjadikan tidak saja kinerja penyelenggaraan<br />

pemerintahan dan pelayanan publik menjadi jelek, melainkan juga<br />

menjadikan masyarakat tidak puas dengan layanan yang diberikan dan tidak<br />

percaya dengan kinerja pemerintah, meskipun pemerintahan tersebut<br />

legitimate. Oleh karenanya hal tersebut memerlukan kontrol administratif<br />

yang terus menerus (perennial) dengan baik. Berbagai kasus kelangkaan<br />

pangan: daging, gula, minyak goreng, bawang merah dan bawah putih, cabe<br />

dan beras pada bulan-bulan tertentu: puasa, tahun baru, idul fitri dan idul<br />

adha, menjadi contoh nyata dari kegagalan pemerintah melakukan tata<br />

kelola terhadap pangan. Kegagalan bisa terjadi pada aspek perencanaan,<br />

pelaksanaan, atau pengawasan. Kegagalan ini dapat mengundang kelompok<br />

kapitalis untuk mengintervensi pasar, dan meraup keuntungan besar.<br />

Kegagalan pemerintah seperti ini, akan menyebabkan kerugian bagi public.<br />

Masalah kontrol (pengawasan) menjadi penting, bukan saja karena<br />

birokrasi publik dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tangggung<br />

jawabnya memiliki etika dan standar profesional, tapi juga perlu adanya<br />

sarana sanksi (punishment) untuk hal yang menyimpang dari peraturan<br />

perundang-undangan, karena nilai-nilai etika dan standar profesional belum<br />

94


cukup memberikan hukuman, dan keterlibatan yang berlebihan<br />

administrator publik (birokrasi) dalam penyelenggaraan pemerintahan<br />

dimana tidak saja melaksanakan Undang-Undang, tapi juga secara sadar<br />

membuat Undang-Undang dan bahkan membuat keputusan hukum.<br />

Ombudsman melaluiPasal 1 angka 3 UU No.37 Tahun 2008 tentang<br />

Ombudsman Republik Indonesia.Mendefinisikan Maladministrasi adalah<br />

perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang,<br />

menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan<br />

wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum<br />

dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh<br />

Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian<br />

materiil<br />

Oleh karena itu, kontrol administratif merupakan aktivitas penting<br />

dalam manajemen pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan<br />

pengawasan. Jika tidak ada kontrol maka ada kemungkinan hasil yang<br />

diinginkan sebagaimana yang ditentukan dalam perencanaan menjadi tidak<br />

terwujudkan. Sebaliknya, tida ada kontrol yang efektif jika tidak ada<br />

perencanaan yang baik,karena perencanaan harus adalah standar untuk<br />

melakukan kontrol. Standar untuk melakukan kontrol dalam organisasi<br />

adalah visi, misi, tujuan dan sasaran, serta kebijakan yang telah dituangkan<br />

sebelumnya dalam suatu perencanaan strategis. Oleh karena itu,<br />

keberadaan perencanaan yang baik (strategic planning), pelaksanaan<br />

(implementation) yang sesuai, pengawasan yang ketat adalah kata kunci<br />

mencapai akuntabilitas untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good<br />

governance).<br />

Untuk efisiensi dan efektivitas control,selain kontrol internal juga<br />

perlu melibatkan kontrol eksternal, dimana terdapat berbagai strategi<br />

untuk melakukan kontrol eksternal. Misalnyadengan melibatkan peran<br />

serta masyarakat maupun dengan bantuan lembaga legislatif. Salah satu<br />

strateginya adalah dengan menekan birokrat untuk berbagi informasi<br />

95


sehingga mereka harus terbuka (opennes) dan transparan (transparency).<br />

Selain itu, lembaga legislatif juga berwenang untuk meminta birokrasi<br />

melaporkan kinerja atau hasil kerja mereka secara berkala maupun<br />

sewaktu-waktu manakala diperlukan. Selain kontrol administratif juga<br />

dikenal kontrol lainnya, seperti kontrol politis dan kontrol yuridis terhadap<br />

<strong>Pemerintah</strong>. Kontrol politis adalah kewenangan parlemen, dan kontrol<br />

yuridis adalah kewenangan yudikatif, baik melalui peradilan administrastif<br />

atau Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) maupun pengadilan umum,<br />

sedangkan hal-hal lain dilakukan oleh masing-masing lembaga (organisasi)<br />

yang ditunjuk oleh perundang-undangannya masing-masing.<br />

<strong>Dalam</strong> menata kelola pangan nasional, pemerintah telah mengalami<br />

dinamika dan perkembanganpenyelenggaraan pemerintahan, terutama<br />

sejak dunia memasuki era globalisasi. <strong>Pemerintah</strong> seluruh dunia dalam<br />

mengelola pangantelah terjadi pergeseran dari paradigma ‘rule of<br />

government’ menjadi ‘good governance.’ <strong>Pemerintah</strong> dalam<br />

menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik<br />

(public services) menurut paradigma ‘rule government’ senantiasa lebih<br />

menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />

Sementara dalam paradigma ‘good governance’, dalam penyelenggaraan<br />

pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik tidak semata-mata<br />

didasarkan pada <strong>Pemerintah</strong> (government) atau negara (state) saja<br />

melainkan harus melibatkan juga elemen-elemen lain baik di dalam intern<br />

birokrasi maupun juga di luar/ekstern birokrasi publik.<br />

Secara factual pemerintah telah mengalami transformasi paradigma<br />

(meskipun belum semuanya) dimaksudkan untuk membangun peradaban<br />

suatu bangsa. Transformasi paradigma pemerintahan meliputi beberapa<br />

aspek antara lain; (i) perubahan paradigma manajemen pemerintahan dari<br />

orientasi yang serba negara ke orientasi yang serba pasar (market or public<br />

interest), (ii) perubahan paradigma dari orientasi pemerintahan yang kuat,<br />

besar dan otoritarian ke orientasi pemerintahan yang small and less<br />

96


government, egalitarian dan demokratis, dan (ii) perubahan paradigma<br />

sistem pemerintahan dari yang sentralistis dalam pengelolaan<br />

pemerintahan menjadi desentralisasi dalam pengelolaan pemerintahan.<br />

III. DATA DAN FAKTA PANGAN SULSEL<br />

3.1 Jenis Komoditas<br />

3.1.1 Padi<br />

3.1.1.1 Luas Panen<br />

Tabel 3-1. Keragaan Luas Panen Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 rerata<br />

1 Bone 130.015 139.242 141.656 140.355 152.634 130.162 153.165 171.163 176.509 148.322<br />

2 Wajo 113.434 94.216 96.219 118.491 142.342 124.490 133.998 138.593 156.442 124.247<br />

3 Sidrap 72.742 75.104 69.013 80.331 80.880 83.686 86.354 83.450 103.591 81.683<br />

4 Pinrang 82.708 82.670 90.355 78.348 90.380 94.079 94.881 101.534 103.504 90.940<br />

5 Luwu 52.555 63.628 58.238 40.951 52.744 64.906 67.472 63.023 69.635 59.239<br />

6 Gowa 48.106 47 51.998 50.339 57.275 62.665 67.297 61.362 65.418 51.612<br />

7 Maros 36.341 41.785 44.571 43.339 46.710 48.042 50.157 64.202 57.904 48.117<br />

8 Soppeng 41.013 43.914 43.796 45.080 45.786 48.059 50.859 38.868 50.823 45.355<br />

9 Bulukumba 43.462 42.374 41.699 43.088 42.142 43.748 42.692 36.408 42.562 42.019<br />

10 Luwu Timur 27.206 29.539 29.245 37.225 36.669 37.648 41.507 34.148<br />

11 Luwu Utara 29.177 31.311 32.889 31.784 35.968 38.550 43.345 39.358 40.304 35.854<br />

12 Takalar 24.344 24.065 27.420 26.229 26.150 26.770 27.626 28.263 29.159 26.670<br />

13 Pangkep 21.807 22.783 24.551 24.058 26.568 29.185 30.509 29.948 28.911 26.480<br />

14 TorajaUtara 16.629 14.835 26.731 18.776 26.708 23.392 28.586 22.237<br />

15 Sinjai 19.993 20.782 23.005 23.670 24.036 24.856 24.626 22.734 24.815 23.169<br />

16 Jeneponto 18.493 16.192 20.081 20.196 21.214 24.200 22.165 21.434 23.795 20.863<br />

17 TanaToraja 27.250 33.790 17.730 19.856 20.600 15.390 20.220 23.020 22.580 22.271<br />

18 Barru 17.126 17.957 18.480 18.508 18.863 21.503 21.589 19.793 21.604 19.491<br />

19 Bantaeng 14.780 13.921 15.271 16.216 15.601 17.049 15.787 13.997 15.849 15.386<br />

20 Enrekang 12.362 12.054 12.422 11.739 12.216 14.782 10.630 10.487 11.294 11.998<br />

97


21 Palopo 5.140 5.611 5.121 3.892 4.735 5.034 3.481 5.098 5.128 4.804<br />

22 Selayar 3.072 2.183 3.999 4.076 4.505 5.537 5.820 5.986 4.808 4.443<br />

23 Makassar 2.983 3.208 3.113 3.410 3.170 3.203 2.961 3.315 3.446 3.201<br />

24 Pare-Pare 951 902 892 902 895 1.210 1.013 954 952 963<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Sesuai dengan kemampuan luas panen komoditi padi yang dimiliki<br />

masing-masing regional tersebut; yang kemudian ditandai oleh empat<br />

warna berbeda pada Tabel 3.1. Untuk kelompok Kabupaten/Kota yang<br />

termasuk dalam kategori warna hijau tua adalah regional-regional yang<br />

memiliki luas lahan padi terbesar di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Kabupaten<br />

Bone sejak tahun 2008 hingga tahun 2016 secara konsisten mengalami<br />

peningkatan atas jumlah luas panen komoditas padi, kecuali tahun 2011<br />

dan tahun 2013. Penurunan yang terjadi pada tahun 2011 sebesar 0,92%<br />

dan sebesar 14,72% pada tahun 2013. Secara rata-rata keseluruhan,<br />

Kabupaten Bone memiliki 148.322Ha lahan untuk komoditas padi dalam<br />

periode 8 tahun dan menjadi kabupaten yang memiliki lahan terluas untuk<br />

panen padi se-Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

Kabupaten Wajo mencerminkan data yang lebih fluktuatif<br />

dibandingkan dengan Kabupaten Bone. <strong>Dalam</strong> periode yang telah<br />

ditentukan, Kabupaten Wajo menduduki posisi kedua tertinggi dengan ratarata<br />

luas lahan padi sebesar 124.247Ha. Tahun 2016 merupakan masa<br />

dimana Kabupaten Wajo memiliki kapasitas lahan terluas sepanjang<br />

periode yang telah ditentukan (156.442Ha), sedangkan tahun 2009 hanya<br />

memiliki luas lahan sebesar 94.216Ha.<br />

Kabupaten Pinrang adalah kabupaten ketiga di Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> yang memiliki luas lahan padi terbesar. Nilai rata-rata luas lahan<br />

padi mencapai 90.940Ha terhitung sejak tahun 2008 hingga tahun 2016.<br />

<strong>Dalam</strong> empat tahun pertama, luas panen komoditi padi menunjukkan tren<br />

negatif hingga pada angka 78.348Ha (2011), namun, sejak tahun 2012<br />

perlahan-lahan meningkat hingga mencapai angka 103.504Ha pada tahun<br />

2016.<br />

98


Kabupaten Sidrap termasuk dalam kategori kabupaten yang<br />

memiliki rata-rata luas lahan panen padi terbesar di Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong>. Pergeseran luas lahan padi dari tahun ke tahun tidak cukup<br />

signifikan, namun pelonjakan perluasan total luas lahan terjadi pada tahun<br />

2016 sebesar 24,13% dari tahun sebelumnya.<br />

Selanjutnya adalah Kabupaten/Kota yang dikelompokkan dalam<br />

warna tabel hijau muda. Secara keseluruhan, terdapat tujuh Kabupaten<br />

yang termasuk dalam kelompok ini yaitu Luwu, Gowa, Maros, Soppeng,<br />

Bulukumba, Luwu Timur, dan Luwu Utara dengan angka luas lahan panen<br />

padi yang sangat fluktuatif dari tahun ke tahun; dan terjadi pada masingmasing<br />

Kabupaten yang disebutkan.<br />

Kabupaten Luwu menunjukkan perubahan lahan yang meningkat<br />

cukup baik pada tahun 2009 dan 2012 dengan persentase peningkatan<br />

sebesar 21,06% dan 28,79% secara berurutan. Sedangkan Kabupaten Gowa<br />

juga mengalami hal yang sama di tahun 2012 dengan persentase perubahan<br />

sebesar 13,77 persen. Sebagai tambahan, Kabupaten Luwu Utara pada<br />

tahun 2014 juga mengalami peningkatan total luas panen padi yang cukup<br />

baik sebesar 12,43% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.<br />

<strong>Di</strong> lain sisi, kabupaten lainnya tidak memiliki perubahan yang cukup<br />

berarti selama delapan tahun berjalan. Sebagai contoh, Kabupaten<br />

Bulukumba memiliki perubahan total luas panen antara tahun 2008 dan<br />

2016 hanya sebesar 2,07% sedangkan kabupaten lain dalam kelompok yang<br />

sama dapat mencapai selisih sebesar 59,33% (Kabupaten Maros).<br />

Dua kelompok terakhir yang ditandai dengan warna merah muda<br />

dan ungu, tetap menunjukkan tren yang sama dengan kelompok<br />

sebelumnya – pergerakan angka yang cukup dinamis dari tahun ke tahun<br />

yang terjadi di seluruh Kabupaten/Kota. Pada dasarnya, semua total lahan<br />

per regional meningkat di tahun akhir (2016) – walaupun tidak signifikan –<br />

jika dibandingkan dengan tahun awal (2008). Salah satu yang cukup<br />

mencuri perhatian adalah Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Palopo.<br />

99


Ha<br />

Kedua daerah tersebut memiliki nilai lahan panen padi pada tahun 2016<br />

yang sedikit lebih rendah daripada tahun 2008. Perbedaannya<br />

menghasilkan selisih sekitar 8,63% dan 0,23% untuk Kabupaten Enrekang<br />

dan Kabupaten Palopo secara berurutan.<br />

Selain itu, Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Tana Toraja juga<br />

cukup menyita perhatian dengan elastisitas peningkatan lahan panen padi<br />

yang dimiliki. Pada tahun 2012, Kabupaten Toraja Utara mengalami<br />

peningkatan lahan yang sangat masif sebesar 80,18% pada saat regional<br />

lain hanya bergerak sekitar 1 hingga 2 persen. Selain itu, di Kabupaten Tana<br />

Toraja pada tahun 2009 juga mengalami peningkatan yang cukup besar<br />

sebesar 24% dari tahun sebelumnya.<br />

LUAS PANEN PADI SULSEL(HA)<br />

836,298 862,017<br />

770,733<br />

889,232<br />

981,394 983,107<br />

1,040,024 1,044,030<br />

1,129,122<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

100<br />

Grafik 3.1 Keadaan Luas Panen Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-<br />

2016) (Ha)<br />

Grafik 3.1 menggambarkan perubahan total luas panen padi secara<br />

agregat di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam satuan hektare, sejak tahun<br />

2008-2016. Dapat dilihat bahwa pergerakan total luas panen komoditi padi<br />

di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> cenderung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun<br />

dengan persentase perubahan yang tidak begitu besar. Pada tahun 2008,


luas lahan panen padi sebanyak 836.298Ha yang kemudian berakhir dengan<br />

jumlah 1.129.122Ha pada tahun 2016. Namun, terjadi penurunan total luas<br />

panen padi pada tahun 2010 sebesar 91.284Ha dari tahun sebelumnya.<br />

20.00%<br />

Tingkat Pertumbuhan Luas Panen (%)<br />

15.00%<br />

10.00%<br />

5.00%<br />

0.00%<br />

-5.00%<br />

-10.00%<br />

15.37%<br />

10.36%<br />

8.69%<br />

7.37%<br />

8.15%<br />

5.79%<br />

4.51%<br />

3.08%<br />

2.90%<br />

1.83%<br />

2.31%<br />

0.17% -0.27% 0.39%<br />

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

-5.71%<br />

-10.59%<br />

-15.00%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Grafik 3.2. Tingkat Pertumbuhan Luas Panen Sulsel dan Nasional (%)<br />

Grafik 3.2 memberikan informasi mengenai komparasi tingkat<br />

pertumbuhan luas panen untuk komoditi padi antara Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> dan Indonesia secara nasional. Dapat dilihat bahwa baik pada<br />

tingkat provinsi maupun nasional, keduanya cenderung fluktuatif dengan<br />

penurunan yang cukup tajam pada tahun 2010 namun keduanya dapat<br />

bangkit kembali dengan pertumbuhan yang sangat fantastis pada tahun<br />

2011. <strong>Dalam</strong> beberapa tahun, terlihat bahwa pertumbuhan luas panen padi<br />

101


di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> lebih dominan dibandingkan level nasional,<br />

kecuali pada tahun 2013 dan 2015. Pada akhirnya, tahun 2016, Provinsi<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sedikit lebih unggul dibandingkan dengan pertumbuhan<br />

luas panen padi secara nasional.<br />

3.1.1.2 Produksi<br />

Tabel 3.2 Keragaan Produksi Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

menurut Kabupaten/kota 2008-2016(Ton)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Rerata<br />

pertahun<br />

1 Bone 588.523 597.808 688.871 644.279 728.176 643.568 778.818 812.776 887.862 707.853<br />

2 Wajo 525.647 449.359 423.085 601.928 706.875 653.077 709.605 670.980 764.687 611.694<br />

3 Pinrang 441.755 480.185 498.769 448.795 531.800 526.910 544.604 655.016 608.923 526.306<br />

4 Sidrap 375.981 384.224 327.280 427.028 457.986 461.617 488.883 536.012 587.983 449.666<br />

5 Luwu 626.403 325.003 251.753 196.437 245.876 306.969 335.640 308.380 312.382 323.205<br />

6 Gowa 217.991 248.912 267.744 222.037 272.172 317.158 334.366 300.305 322.627 278.146<br />

7 Soppeng 251.861 284.452 252.564 260.220 269.763 275.164 297.706 226.434 280.702 266.541<br />

8 Maros 201.346 218.135 250.280 258.581 245.178 249.659 258.789 351.169 313.972 260.790<br />

9 Bulukumba 203.241 189.577 199.053 228.956 224.373 222.291 225.290 193.585 206.866 210.359<br />

10 Luwu Utara 120.223 133.548 140.189 149.660 158.533 185.383 220.594 180.062 156.475 160.519<br />

11 Pangkep 123.246 129.607 130.777 119.664 138.220 144.797 151.723 152.564 149.070 137.741<br />

12 Luwu Timur - - 117.649 142.508 141.575 187.667 186.212 209.271 200.039 131.658<br />

13 Takalar 112.215 121.814 134.943 120.375 125.231 122.544 132.548 131.447 142.855 127.108<br />

14 Sinjai 98.465 100.773 129.427 114.143 115.965 120.222 120.341 128.777 117.079 116.132<br />

15 Jeneponto 96.981 84.602 113.482 126.474 118.686 127.556 120.174 103.903 105.491 110.817<br />

16 Barru 87.721 97.346 100.168 92.124 100.402 109.057 109.542 111.773 110.206 102.038<br />

17 Tana Toraja 120.000 151.634 79.736 89.029 92.310 67.620 95.249 102.267 113.178 101.225<br />

18 Bantaeng 65.471 72.282 72.299 87.686 83.774 95.275 84.102 73.722 100.728 81.704<br />

19 Toraja Utara - - 83.409 70.764 129.816 80.756 117.995 103.544 131.058 79.705<br />

20 Enrekang 54.765 59.215 54.141 53.224 47.272 63.438 49.815 44.079 45.544 52.388<br />

21 Palopo 22.828 23.880 21.807 21.222 26.118 28.364 18.894 28.631 30.129 24.653<br />

22 Selayar 11.131 9.201 17.280 20.653 22.186 26.635 26.480 29.270 20.401 20.360<br />

23 Makassar 13.783 13.781 13.492 11.871 15.784 13.993 13.701 12.490 13.653 13.616<br />

24 Pare-Pare 4.283 4.514 4.243 4.046 4.937 6.112 5.282 5.349 5.169 4.882<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.2 memberikan informasi mengenai produktivitas komoditi<br />

padi dari masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Dari<br />

seluruh data yang didapatkan, kami mengelompokkan menjadi empat<br />

102


kelompok besar yang terdiri atas beberapa Kabupaten/Kota yang<br />

mendapatkan rata-rata hasil produksi padi pada tingkat tertentu dan<br />

diindikasikan dengan perbedaan warna tabel. Pada kelompok rata-rata<br />

produksi padi tertinggi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>,Kabupaten Bone adalah regional<br />

yang dapat menghasilkan padi terbanyak dengan rata-rata total produksi<br />

sebesar 707.853 ton per tahun. Secara umum, besaran produksi padi di<br />

Kabupaten Bone secara konsisten meningkat dari tahun ke tahun kecuali<br />

pada tahun 2011 dan 2013. Selanjutnya, Kabupaten Wajo, Kabupaten<br />

Pinrang, dan Kabupaten Sidrap mengalami hasil produksi yang fluktuatif<br />

namun dengan perubahan volume yang tidak begitu signifikan.<br />

Kelompok kedua mengindikasikan beberapa daerah dengan ratarata<br />

total produksi padi per tahun antara >200 ton - 100 ton -


erhasil bangkit kembali dengan menaikkan hasil produksi panen padi<br />

sebanyak 13,09% (2016). Secara umum, tidak terdapat daerah yang<br />

mengalami penurunan produksi padi yang mengkhawatirkan. Sebaliknya,<br />

setiap terjadi penurunan hasil produksi, rata-rata diikuti dengan<br />

peningkatan hasil produksi setelahnya.<br />

Kelompok terakhir diindikasikan dengan rata-rata total produksi<br />


Ton<br />

4,083,356<br />

4,324,178<br />

4,382,443<br />

4,511,705<br />

5,003,011<br />

5,035,830<br />

5,426,097<br />

5,471,806<br />

5,727,081<br />

PRODUKSI PADI (TON)<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.3. Trend dan Keragaan Produksi Padi Sulsel<br />

Grafik 3.3 menggambarkan dinamika produksi padi di Provinsi<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara keseluruhan yang dihitung dalam satuan ton per<br />

tahun. Dapat dilihat bahwa setiap tahunnya, mulai dari 2008 hingga 2016,<br />

hasil produksi padi di provinsi ini selalu meningkat bahkan mencapai pada<br />

angka 5,727,081 ton pada tahun 2016.<br />

Tingkat Pertumbuhan Produksi Padi (%)<br />

12.00%<br />

10.00%<br />

8.00%<br />

6.00%<br />

4.00%<br />

2.00%<br />

0.00%<br />

-2.00%<br />

10.89%<br />

7.75%<br />

6.75%<br />

5.90%<br />

6.42%<br />

5.02%<br />

5.25%<br />

4.67%<br />

3.22% 2.95%<br />

3.22%<br />

1.35%<br />

0.66%<br />

0.84%<br />

-1.07%<br />

-0.61%<br />

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

105


Grafik 3.4. Tingkat Pertumbuhan Produksi Padi Sulsel dan Nasional<br />

Grafik 3.4 menginformasikan mengenai perbandingan tingkat<br />

pertumbuhan produksi padi pada level provinsi dan level nasional. Dapat<br />

diperhatikan bahwa pertumbuhan komoditi ini sangat fluktuatif sepanjang<br />

tahun dalam periode yang telah ditentukan. Namun secara umum, tingkat<br />

pertumbuhan produksi padi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dapat dikatakan berada di<br />

atas level nasional. Pada tahun 2011, ketika produksi padi secara nasional<br />

merosot pada angka -1,07%, Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> mampu<br />

menghasilkan pertumbuhan produksi padi sebesar 2,95%. Begitu pun di<br />

beberapa tahun setelahnya, dimana produksi tingkat provinsi di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> mampu memproduksi lebih banyak dari rata-rata nasional; sebelum<br />

pada akhirnya hasil produksi Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> menurun pada tahun<br />

2015-2016. Penurunan yang cukup tajam dari hasil produksi padi di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dibandingkan dengan rata-rata nasional terjadi pada tahun<br />

2015, namun kembali bergairah pada tahun 2016 meskipun masih berada<br />

sedikit di bawah rata-rata produksi nasional.<br />

3.1.1.3 Produktivitas<br />

Tabel 3.3. Keragaanproduktivitas padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berdasarkan<br />

kabupaten/Kota, 2008-2016 (Kui/ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Soppeng 61,41 64,77 57,67 57,72 58,92 57,26 58,54 58,26 55,23 58,86<br />

2 Pinrang 53,41 58,08 55,2 57,28 58,84 56,01 57,40 64,51 58,83 57,73<br />

3 Sidrap 51,69 51,16 47,42 53,16 56,63 55,16 56,61 64,23 56,76 54,76<br />

4 Maros 55,4 52,2 56,15 59,66 52,49 51,97 51,60 54,70 54,22 54,27<br />

5 Jeneponto 52,44 52,25 56,51 62,62 55,95 52,71 54,22 48,48 44,33 53,28<br />

6 Bantaeng 44,3 51,92 47,34 54,07 53,70 55,88 53,27 52,67 63,55 52,97<br />

7 Barru 51,22 54,21 54,2 49,78 53,23 50,72 50,74 56,47 51,01 52,40<br />

8 Pangkep 56,52 56,88 53,27 49,74 52,02 49,61 49,73 50,94 51,56 52,25<br />

9 Palopo 44,41 42,55 42,58 54,53 55,16 56,34 54,28 56,16 58,75 51,64<br />

10 Pare-Pare 45,04 50,04 47,57 44,86 55,16 50,51 52,14 56,07 54,30 50,63<br />

11 Sinjai 49,25 48,49 56,26 48,22 48,25 48,37 48,87 56,65 47,18 50,17<br />

106


12 Bulukumba 46,76 44,74 47,74 53,14 53,24 50,81 52,77 53,17 48,60 50,11<br />

13 Luwu Timur 43,24 48,24 48,41 50,41 50,78 55,59 48,19 49,27<br />

14 Wajo 46,34 47,69 43,97 50,8 49,66 52,46 52,96 48,41 48,88 49,02<br />

15 Gowa 45,31 52,59 51,49 44,11 47,52 50,61 49,69 48,94 49,32 48,84<br />

16 Luwu 49,93 51,08 44,95 47,97 46,62 47,29 49,75 48,93 44,86 47,93<br />

17 Takalar 46,1 50,62 49,21 45,89 47,89 45,78 47,98 46,51 48,99 47,66<br />

18 Bone 45,27 42,93 48,63 45,9 47,71 49,44 50,85 47,49 50,30 47,61<br />

19 Toraja Utara 50,16 47,7 48,56 43,01 44,18 44,26 45,85 46,25<br />

20 Tana Toraja 44,04 44,88 44,97 44,84 44,81 43,94 47,11 44,43 50,12 45,46<br />

21 Selayar 36,23 42,15 43,21 50,67 49,25 48,10 45,50 48,90 42,43 45,16<br />

22 Luwu Utara 41,2 42,65 42,62 47,09 44,08 48,09 50,89 45,75 38,82 44,58<br />

23 Enrekang 44,3 49,12 43,58 45,34 38,70 42,92 46,86 42,03 40,33 43,69<br />

24 Makassar 46,21 42,96 43,34 34,81 49,79 43,69 46,27 37,68 39,62 42,71<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.3 memberikan informasi mengenai hasil produktivitas padi<br />

per jumlah luas lahan yang dimiliki oleh setiap Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Berdasarkan data yang dikumpulkan, kami membagi<br />

menjadi dua kelompok besar dengan tujuan mempermudah proses<br />

identifikasi data. Pada kelompok pertama yang diindikasikan oleh rata-rata<br />

produktivitas padi per area lahan >50 Kui/Ha. Kabupaten Soppeng adalah<br />

daerah yang memiliki rata-rata tertinggi sebesar 58,85 Kui/Ha dengan hasil<br />

produksi per areal lahan setiap tahunnya cenderung stabil sejak tahun 2010<br />

hingga 2016.<br />

<strong>Di</strong> sisi lain, kelompok selanjutnya adalah Kabupaten/Kota yang<br />

memiliki rata-rata produktivitas padi per area lahan


Kui/ha<br />

PRODUKTIVITAS PADI (KUI/HA)<br />

48.83<br />

50.16<br />

49.44<br />

50.74<br />

50.98<br />

51.22<br />

52.17<br />

52.41<br />

51.96<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Tahun<br />

Grafik 3.5. Produktivitas Padi Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.5menggambarkan nilai produktivitas padi dalam satuan<br />

Kui/Ha di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Berdasarkan data yang tersedia, dapat<br />

disimpulkan bahwa produktivitas komoditi padi sejak tahun 2010 secara<br />

konsisten meningkat sampai tahun 2015. Adapun penurunan yang terjadi<br />

pada tahun 2016, tidak begitu signifikan dengan selisih sebesar 0.45 Kui/Ha.<br />

108


53.41<br />

50.16<br />

50.15<br />

50.74<br />

51.00 50.98<br />

51.52<br />

51.22<br />

52.17<br />

51.35<br />

52.41<br />

52.36<br />

51.96<br />

48.94 48.83<br />

49.00<br />

49.44<br />

49.00<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Grafik 3.6. Produktivitas Komoditas Padi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

dibandingkan dengan Produktivitas Nasional (Sumber: Kementan<br />

RI, diolah)<br />

Grafik 3.6 menggambarkan perbandingan nilai produktivitas padi<br />

yang dihitung dengan satuan Kui/Ha antara rata-rata Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> dengan rata-rata nasional. Secara umum dapat dilihat bahwa<br />

pergerakan nilai produktivitas padi antar kedua level tersebut sangat<br />

dinamis. Pada tahun 2009, 2011, dan 2014, rata-rata hasil produksi padi di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> lebih tinggi dari rata-rata nasional. Namun, hanya pada<br />

109


tahun 2015, hasil rata-rata produksi padi nasional terlihat sedikit lebih<br />

besar dari Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

5.00%<br />

Tingkat Pertumbuhan Produktifitas Padi (%)<br />

4.00%<br />

4.08%<br />

4.01%<br />

3.00%<br />

2.00%<br />

2.72%<br />

2.35%<br />

2.63%<br />

1.85%<br />

1.00%<br />

0.00%<br />

-1.00%<br />

-2.00%<br />

-3.00%<br />

1.02%<br />

0.12%<br />

0.47% 0.47%<br />

0.46%<br />

2009 2010 2011 2012 2013 2014-0.33%<br />

2015 2016<br />

-0.86%<br />

-1.44%<br />

-2.29%<br />

-1.97%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />

Grafik 3.7. Pertumbuhan Produktivitas Padi Sulsel dan Nasional<br />

Grafik 3.7 menggambarkan pertumbuhan rata-rata produktivitas<br />

padi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan nasional. Untuk tingkat nasional, dapat dilihat<br />

bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan yang besar hingga -2,29% dari<br />

sebelumnya 2,35%. hal serupa kemudian terjadi lagi pada tahun 2016,<br />

dengan penurunan yang cukup drastis hingga mencapai -1,97% dari<br />

110


sebelumnya 4,01%. Kabar baiknya adalah setiap mengalami kejatuhan yang<br />

cukup dalam, rata-rata produktivitas padi kemudian memulih kembali,<br />

seperti yang terjadi pada tahun 2012; dan diharapkan kejadian serupa<br />

dapat terjadi kembali pada tahun 2017.<br />

Sedangkan pada tingkat provinsi, pertumbuhan produktivitas padi<br />

sejak tahun 2014 perlahan-lahan menurun secara berlanjut hingga tahun<br />

2016. Sebagai tambahan, penurunan yang cukup drastis juga terjadi pada<br />

tahun 2010 hingga mencapai titik -1,44% dari sebelumnya 2,72%. Akan<br />

tetapi, kondisi ini kemudian dapat dikembalikan dengan cepat pada tahun<br />

2013; terbukti dengan capaian hasil pertumbuhan produktivitas sebesar<br />

2,63%.<br />

3.1.2 Jagung<br />

3.1.2.1 Luas Panen<br />

Tabel 3.4. Keragaan Luas PanenJagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Jeneponto 45.904 43.693 47.663 50.469 51.766 53.287 49.627 47.955 52.010 49.153<br />

2 Bone 41.553 50.256 43.606 38.879 61.991 25.030 44.138 51.657 66.688 47.089<br />

3 Gowa 34.485 43.026 43.011 38.677 40.195 39.997 42.599 41.445 44.799 40.915<br />

111


4 Bulukumba 34.946 33.960 33.011 30.726 30.787 31.295 29.047 26.642 25.756 30.686<br />

5 Bantaeng 29.406 25.429 27.012 28.532 29.712 29.324 28.983 23.988 25.727 27.568<br />

6 Wajo 12.133 12.650 10.035 17.134 10.660 10.853 16.066 34.188 29.120 16.982<br />

7 LuwuUtara 11.779 17.941 16.132 22.209 19.991 18.347 14.763 6.392 11.555 15.457<br />

8 Pinrang 9.870 13.517 13.521 11.783 13.941 15.463 14.359 12.479 20.794 13.970<br />

9 SidRap 14.769 9.816 16.613 12.321 13.792 10.102 11.763 10.834 16.027 12.893<br />

10 Enrekang 12.477 11.594 12.423 7.373 9.071 8.971 6.457 8.196 14.185 10.083<br />

11 Soppeng 7.162 5.362 8.753 10.394 9.152 6.079 6.928 10.546 19.141 9.280<br />

12 Sinjai 10.473 8.842 7.609 2.417 3.101 3.125 3.046 3.217 4.502 5.148<br />

13 Takalar 7.634 7.161 4.754 2.586 4.199 3.718 3.318 3.923 6.904 4.911<br />

14 Maros 1.586 3.413 4.193 3.435 6.066 3.840 2.866 1.256 9.830 4.054<br />

15 Luwu 2.091 2.246 2.308 5.908 3.791 2.822 4.304 2.232 6.440 3.571<br />

16 LuwuTimur - - 3.860 4.238 3.610 2.933 3.925 3.596 3.716 2.875<br />

17 TanaToraja 1.682 1.190 2.768 4.126 6.468 2.639 1.710 854 2.148 2.621<br />

18 Selayar 1.483 2.735 3.010 2.526 2.229 2.487 2.167 2.648 2.831 2.457<br />

19 Barru 506 1.247 1.338 1.022 1.156 844 766 496 994 930<br />

20 Pangkep 504 1.487 856 1.055 1.499 505 522 684 1.182 922<br />

21 Palopo 220 58 665 492 1.144 1.100 1.160 713 928 720<br />

22 TorajaUtara - - 59 710 822 761 1.026 715 707 533<br />

23 Pare-Pare - 58 170 59 176 505 176 450 775 263<br />

24 Makassar 20 20 15 14 10 19 20 9 14 16<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.4 menjelaskan bahwa dari seluruh data yang dihimpun<br />

kemudian dikelompokkan menjadi empat kelompok besar – ditandai<br />

dengan perbedaan warna masing-masing kelompok. Kelompok pertama,<br />

dengan warna hijau muda, diindikasikan dengan nilai rata-rata luas panen<br />

jagung >20.000Ha. Kabupaten Jeneponto adalah kabupaten dengan ratarata<br />

luas lahan panen jagung terbesar di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang mencapai<br />

49.153Ha selama delapan tahun terakhir. Kabupaten ini kemudian disusul<br />

oleh Kabupaten Bone, Kabupaten Gowa, Kabupaten Bulukumba, dan<br />

Kabupaten Bantaeng dimana tidak ada lonjakan angka yang begitu<br />

signifikan. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada tahun 2011-2013 di<br />

Kabupaten Bone; tahun 2012 terjadi peningkatan lahan sebesar 59,44% dari<br />

tahun sebelumnya, lalu menurun drastis pada 2013 hingga 59,62%.<br />

Selanjutnya pada kelompok dengan nilai rata-rata luas panen di<br />

antara >9.000Ha -


34.188Ha dibandingkan pada tahun sebelumnya yang hanya 16.066Ha.<br />

Selain itu, Kabupaten Pinrang yang awalnya hanya memiliki 9.870Ha (2008)<br />

dapat meningkatkan luas lahan panen hingga mencapai 20.794Ha pada<br />

tahun 2016. <strong>Di</strong>ikuti oleh Kabupaten Soppeng, yang juga hanya memiliki<br />

7.162Ha pada tahun 2008 namun mampu meningkatkan areal panen jagung<br />

hingga 19.141Ha di tahun 2016.<br />

Kelompok Kabupaten/Kota dengan nilai rata-rata luas lahan di<br />

antara >1.000Ha - 10Ha -<br />


285,094<br />

299,669<br />

303,375<br />

297,126<br />

325,329<br />

274,046<br />

289,736<br />

295,115<br />

366,771<br />

LUAS PANEN JAGUNG SULSEL (HA)<br />

400,000<br />

350,000<br />

300,000<br />

250,000<br />

200,000<br />

150,000<br />

100,000<br />

50,000<br />

-<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.8. Keragaan Luas Panen Jagung Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.8 menggambarkan kondisi luas panen jagung secara<br />

agregat di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam satuan Hektare. Dapat dilihat bahwa<br />

terjadi sedikit penurunan pada tahun 2012, namun per tahun 2013 hingga<br />

2016 luas lahan panen untuk komoditi jagung secara konsisten meningkat.<br />

114


Pertumbuhan Luas Panen Jagung (%)<br />

24.28%<br />

17.35%<br />

9.49%<br />

5.11%<br />

5.73%<br />

3.97%<br />

2.40%<br />

1.24%<br />

1.86%<br />

0.41%<br />

-0.70%<br />

-2.06%<br />

-1.29%<br />

2009 2010 2011 2012 2013-3.44%<br />

2014 2015 2016<br />

-6.46%<br />

-15.76%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Grafik 3.9. Pertumbuhan Luas Panen Jagung Sulsel dan Nasional<br />

Grafik 3.9 menggambarkan perbandingan pertumbuhan luas panen<br />

komoditi jagung antara nasional dan Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Secara<br />

umum, pertumbuhan luas panen jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara<br />

konsisten dapat berada di atas rata-rata angka pertumbuhan nasional,<br />

kecuali pada tahun 2013 yang pertumbuhannya menurun cukup tajam<br />

hingga angka -15,76%.<br />

115


3.1.2.2 Produksi<br />

Tabel 3.5. Keragaan Produksi Jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Jeneponto 186.111 194.582 201.446 239.434 253.600 226.060 264.529 271.074 254.009 232.316<br />

2 Gowa 172.610 287.426 213.186 219.407 220.572 213.443 221.932 224.079 275.461 227.568<br />

3 Bone 150.630 205.557 148.293 170.305 255.254 99.766 208.911 290.960 410.317 215.555<br />

4 Bantaeng 152.495 144.381 144.035 172.120 165.783 154.574 169.916 138.915 175.414 157.515<br />

5 Bulukumba 120.575 95.679 135.758 110.263 122.351 117.355 126.137 102.824 108.850 115.532<br />

6 Pinrang 41.098 67.948 81.733 64.674 73.531 77.059 74.148 83.169 138.017 77.931<br />

7 Wajo 57.292 53.744 25.902 76.393 46.409 48.551 78.069 133.369 140.403 73.348<br />

8 LuwuUtara 35.646 54.636 67.562 99.544 95.981 94.433 78.899 36.309 59.927 69.215<br />

9 SidRap 72.579 51.664 90.333 59.475 54.972 39.949 72.026 58.634 96.407 66.227<br />

10 Enrekang 68.744 77.255 59.109 39.877 47.185 41.586 35.951 44.604 91.441 56.195<br />

11 Soppeng 33.877 22.499 47.377 48.881 43.982 27.201 35.811 41.127 93.131 43.765<br />

12 Takalar 33.210 45.196 21.579 13.274 20.037 18.636 16.144 18.015 46.308 25.822<br />

13 Sinjai 29.887 33.750 28.070 7.773 9.220 9.258 14.003 13.340 24.476 18.864<br />

14 Maros 5.562 13.224 14.386 19.037 21.288 16.401 14.273 5.483 50.212 17.763<br />

15 LuwuTimur - - 19.694 17.151 18.094 15.963 21.916 24.755 19.012 15.176<br />

16 Luwu 7.567 6.236 5.781 17.344 13.704 12.360 23.300 10.408 34.126 14.536<br />

17 TanaToraja 5.579 9.854 19.325 24.454 31.179 11.920 8.480 5.099 12.998 14.321<br />

18 Selayar 2.822 6.103 5.510 5.234 5.286 8.935 7.550 8.562 8.498 6.500<br />

19 Pangkep 1.723 7.500 4.573 5.841 3.536 2.263 2.454 3.564 6.114 4.174<br />

20 Palopo 737 963 3.779 1.869 6.396 5.574 5.850 4.737 6.303 4.023<br />

21 Barru 2.214 3.728 4.980 5.153 3.386 3.392 3.871 2.682 5.721 3.903<br />

22 TorajaUtara - - 302 2.444 3.041 2.831 4.870 4.562 3.324 2.375<br />

23 Pare-Pare 364 87 310 154 505 2.606 921 2.097 4.584 1.292<br />

24 Makassar 29 32 20 53 - 88 97 45 75 49<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.5 memberikan informasi mengenai hasil produksi jagung di<br />

masing-masing wilayah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, yang dihitung dengan<br />

satuan ton. Kabupaten Jeneponto menduduki peringkat pertama dengan<br />

rata-rata produksi jagung dalam waktu delapan tahun sebanyak 232.316<br />

ton. Sedangkan Kota Makassar menjadi yang terbawah karena hanya<br />

mampu memproduksi komoditi jagung sebanyak 49 ton dalam periode<br />

waktu yang sama.<br />

116


1,195,691<br />

1,395,742<br />

1,343,044<br />

1,420,154<br />

1,515,329<br />

1,250,202<br />

1,490,991<br />

1,528,414<br />

2,065,125<br />

Informasi menarik yang tertera pada Tabel 14 adalah pencapaian<br />

Kabupaten Bone yang mampu kembali meningkatkan hasil produksi pada<br />

tahun 2014 hingga 109.40% dari tahun sebelumnya, dan secara konsisten<br />

mempertahankan peningkatan produksinya dari tahun ke tahun. Hal serupa<br />

juga dialami oleh Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2011, dimana terjadi<br />

peningkatan produksi yang melambung tinggi sebesar 709,27%<br />

dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan Kabupaten Sinjai pada<br />

tahun 2011, nilai produksi jagung yang dimiliki sangat jatuh hingga 72,30%<br />

dari tahun sebelumnya; walaupun demikian, dapat kembali merangkak<br />

untuk meningkatkan hasil produksi komoditi jagung.<br />

PRODUKSI (TON)<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.10. Trend dan Volume Produksi Jagung <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

(ton)<br />

Grafik 3.10 menggambarkan volume produksi jagung di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> secara keseluruhan dalam satuan ton. Secara umum, pergerakan<br />

hasil produksi agregat di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> menunjukkan tren positif<br />

secara berkelanjutan dari tahun ke tahun; terkecuali pada tahun 2013 yang<br />

mengalami penurunan namun langsung kembali bangkit di tahun<br />

berikutnya.<br />

117


Pertumbuhan Produksi Jagung (%)<br />

35.12%<br />

19.26%<br />

16.73%<br />

20.21%<br />

5.74% 6.70%<br />

2.51%<br />

9.88%<br />

8.04%<br />

-3.78%<br />

3.96%<br />

2.68% 3.18%<br />

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

-3.73%<br />

-4.51%<br />

-17.50%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Grafik 3.11. Pertumbuhan Produksi Jagung Sulsel dan Nasional (%)<br />

Grafik 3.11 menunjukkan perbandingan rata-rata persentase<br />

pertumbuhan produksi jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan tingkat nasional. Baik<br />

pada tingkat provinsi maupun tingkat nasional, sama-sama menunjukkan<br />

pergerakan yang sangat dinamis dari waktu ke waktu. Walaupun pada<br />

tahun 2013, rata-rata pertumbuhan produksi jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

berada pada titik -17,50%; dan di bawah persentase nasional, tetapi<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> mampu meningkatkan pertumbuhan produksinya hingga<br />

35,12% pada tahun 2016 mengalahkan kemampuan nasional yang terpaut<br />

di angka 20,21%.<br />

118


3.1.2.3 Produktivitas<br />

Tabel 3.6. Keragaan ProduktivitasJagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Kui/ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Bantaeng 52,11 56,78 53,32 60,33 55,8 52,71 58,626 57,91 68,18 57,31<br />

2 Tana Toraja 33,17 82,81 69,82 59 48,21 45,17 49,591 59,71 60,51 56,44<br />

3 Gowa 50,05 66,8 49,58 56,73 54,88 53,36 52,098 54,07 61,49 55,45<br />

4 Enrekang 55,1 66,63 47,58 54,09 52,02 46,36 55,678 54,42 64,46 55,15<br />

5 Pinrang 41,64 50,27 60,45 54,89 52,74 49,83 51,639 66,65 66,37 54,94<br />

6 Palopo 25,57 59,8 56,83 37,99 55,91 50,67 50,431 66,44 67,92 52,40<br />

7 Takalar 43,5 63,11 45,39 51,33 47,72 50,12 48,656 45,92 67,07 51,42<br />

8 SidRap 49,14 52,63 54,37 48,27 39,86 39,55 61,231 54,12 60,15 51,04<br />

9 Jeneponto 40,54 44,53 42,26 47,44 48,99 42,42 53,303 56,53 48,84 47,21<br />

10 Soppeng 47,3 41,96 54,13 47,03 48,06 44,75 51,69 39 48,66 46,95<br />

11 Pangkep 34,19 50,43 53,42 55,37 23,59 44,81 47,011 52,1 51,73 45,85<br />

12 Luwu Utara 30,26 30,45 41,88 44,82 48,01 51,47 53,444 56,8 51,86 45,44<br />

13 Bone 36,25 40,9 34,01 43,8 41,18 39,86 47,331 56,33 61,53 44,58<br />

14 Barru 43,75 29,9 37,22 50,42 29,29 40,19 50,535 54,06 57,56 43,66<br />

15 Maros 35,07 38,75 34,31 55,42 35,09 42,71 49,801 43,66 51,08 42,88<br />

16 Wajo 47,22 42,49 25,81 44,59 43,54 44,74 48,593 39,01 48,22 42,69<br />

17 Luwu Timur 0 0 51,02 40,47 50,12 54,43 55,837 68,84 51,16 41,32<br />

18 Luwu 36,19 27,76 25,05 29,36 36,15 43,8 54,136 46,63 52,99 39,12<br />

19 Bulukumba 34,5 28,17 41,12 35,89 39,74 37,5 43,425 38,59 42,26 37,91<br />

20 Sinjai 28,54 38,17 36,89 32,16 29,73 29,63 45,972 41,47 54,37 37,44<br />

21 Toraja Utara 0 0 51,27 34 37 37,2 47,466 63,81 47,02 35,31<br />

22 Pare-Pare 16,54 14,92 18,21 26,1 28,69 51,6 52,33 46,6 59,15 34,90<br />

23 Makassar 14,69 16,24 13,59 38 0 46,32 48,5 49,77 53,57 31,19<br />

24 Selayar 19,03 22,31 18,31 20,39 23,71 35,93 34,841 32,33 30,02 26,31<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.6 memberikan informasi mengenai produktivitas jagung di<br />

Kabupaten/Kota Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam satuan Kui/Ha. Kabupaten<br />

Bantaeng menduduki peringkat pertama dengan rata-rata produksi jagung<br />

per luas lahan selama delapan tahun terakhir sebesar 57,31Kui/Ha.<br />

Sedangkan Kepulauan Selayar menduduki peringkat terbawah dengan ratarata<br />

produksi 26,31Kui/Ha. Secara garis besar, seluruh Kabupaten/Kota<br />

yang tertera pada Tabel 17 tidak ada yang mengalami peningkatan ataupun<br />

119


penurunan hasil produktivitas per areal lahan secara signifikan, walaupun<br />

semuanya menggambarkan data yang cenderung fluktuatif.<br />

PRODUKTIVITAS (KUI/HA)<br />

41.94<br />

46.58<br />

44.27<br />

47.8 46.58 45.62<br />

51.46 51.79<br />

56.31<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.12. Trend dan Produktivitas Komoditas Jagung <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> 2008-2016<br />

Grafik 3.12 menggambarkan kondisi produktivitas komoditi jagung<br />

per area lahan yang dimiliki secara agregat di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Dapat<br />

dijustifikasi secara umum bahwa terjadi hasil produksi yang cukup fluktuatif<br />

namun tidak begitu signifikan sejak tahun 2008 hingga 2013. Setelah itu,<br />

secara perlahan-lahan dan konsisten, hasil produksi jagung dapat<br />

meningkat dari waktu ke waktu.<br />

120


Pertumbuhan Produktivitas Jagung (%)<br />

14.00%<br />

12.00%<br />

10.00%<br />

8.00%<br />

6.00%<br />

4.00%<br />

2.00%<br />

0.00%<br />

-2.00%<br />

-4.00%<br />

-6.00%<br />

12.80%<br />

11.06%<br />

8.73%<br />

7.97%<br />

6.67%<br />

4.76%<br />

4.52%<br />

2.99%<br />

2.27%<br />

2.27%<br />

2.45%<br />

0.92%<br />

0.64%<br />

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

-2.55%<br />

-2.06%<br />

-4.96%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />

Grafik 3.13 Tingkat Pertumbuhan Produktivitas Jagung di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> dan nasional (%)<br />

Grafik 3.13 menunjukkan kondisi komparasi antara nasional dan<br />

Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam hal pertumbuhan produktivitas jagung.<br />

Secara umum digambarkan pertumbuhan produksi jagung di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> mengalami pertumbuhan yang sangat tajam; baik itu dengan tren<br />

positif maupun negatif. Sedangkan pada tingkat nasional, hanya terjadi satu<br />

kali peningkatan tajam yang terjadi pada tahun 2012.<br />

121


3.1.3 Kedelai<br />

3.1.3.1 Luas Panen<br />

122<br />

Tabel 3.7. Keragaan Luas Panen Kedelai di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Bone 5.906 10.141 12.068 6.270 5.946 9.393 19.442 15.896 30.591 12.850<br />

2 Wajo 1.317 3.270 2.980 3.011 1.803 5.554 4.556 5.608 4.692 3.643<br />

3 Maros 1.621 1.685 1.634 2.122 2.709 4.385 4.850 2.913 2.457 2.708<br />

4 Soppeng 2.937 2.590 875 3.545 2.063 4.694 2.397 2.430 1.501 2.559<br />

5 Jeneponto 2.295 1.796 2.790 1.278 2.114 2.070 662 1.438 1.589 1.781<br />

6 Gowa 107 379 670 692 778 1.705 860 5.303 471 1.218<br />

7 Takalar 850 819 484 541 633 906 610 1.196 424 718<br />

8 Pangkep 588 620 546 315 683 830 745 719 816 651<br />

9 Bulukumba 15 19 7 88 42 41 517 1.519 1.713 440<br />

10 Luwu 42 995 180 603 548 496 724 140 11 415<br />

11 Pinrang 434 594 432 417 643 110 59 398 93 353<br />

12 Enrekang 301 1.032 364 276 371 226 64 45 33 301<br />

13 Luwu Utara 351 522 86 771 649 68 27 3 5 276<br />

14 Luwu Timur 562 428 142 775 285 69 50 33 4 261<br />

15 Bantaeng 329 267 134 169 326 193 64 99 165 194<br />

16 Sidrap 251 133 97 440 98 34 455 121 52 187<br />

17 Sinjai - 24 - - - - 1 - 1.536 173<br />

18 Tana Toraja 60 47 29 47 51 129 287 142 235 114<br />

19 Selayar 713 213 - - 22 - - - - 105<br />

20 Barru 366 208 122 47 34 - 3 - 69 94<br />

21 Toraja Utara - - 1 - 165 33 17 14 2 26<br />

22 Makassar - 10 - - - - - 19 29 6<br />

23 Palopo - - - 34 1 - - - - 4<br />

24 Pare-Pare 3 - - - - 1 - - - 0<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.7 memberikan informasi mengenai luas panen komoditi<br />

kedelai di masing-masing Kabupaten/Kota Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang di<br />

ukur dalam satuan Hektare. Kabupaten Bone adalah wilayah yang memiliki<br />

luas lahan terbesar untuk panen kedelai di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dengan ratarata<br />

luas lahan sebesar 12.850Ha selama delapan tahun terakhir.<br />

Sedangkan, Kota Pare-pare secara rata-rata tidak memiliki lahan panen<br />

kedelai.


Kabupaten Bulukumba secara berlanjut dapat meningkatkan luas<br />

panen kedelai sejak tahun 2010. Peningkatan sebesar 1.157,14% terjadi<br />

pada tahun 2011, kemudian terulang kembali pada tahun 2015 dengan<br />

peningkatan sebesar 193,81%. Data dari Kabupaten Sinjai juga cukup<br />

menonjol dikarenakan sangat terbatasnya areal panen kedelai di daerah<br />

tersebut, namun pada 2016, Kabupaten Sinjai mampu membuka lahan<br />

seluas 1.536Ha untuk panen kedelai.<br />

Secara umum, banyak wilayah di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang<br />

mengalami penurunan drastis atas lahan produksi komoditi kedelai. Hanya<br />

lima daerah saja yang masih menjaga areal panen kedelainya (ditandai<br />

dengan warna hijau pada Tabel 20). Sedangkan pada jejeran perkotaan di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, cenderung memiliki luas lahan untuk kedelai yang sangat<br />

terbatas.<br />

LUAS PANEN KEDELAI SULSEL (HA)<br />

46,488<br />

36,390<br />

38,036<br />

19,048<br />

25,792<br />

23,641<br />

21,441<br />

19,964<br />

30,937<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.14. Luas Panen Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.14 menggambarkan kondisi luas panen kedelai di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> secara agregat menggunakan satuan Hektare. Dapat dilihat bahwa<br />

123


sejak 2009 hingga 2012 terjadi penurunan luas lahan panen secara<br />

berkelanjutan, namun kembali meningkat sejak tahun 2013 hingga 2016<br />

dan mencapai angka 46.488Ha.<br />

Pertumbuhan Luas Panen Kedelai (%)<br />

54.96%<br />

35.41%<br />

22.31%<br />

22.22%<br />

17.63%<br />

11.78%<br />

4.52%<br />

-0.26%<br />

-2.97%<br />

2009 2010 2011-5.84%<br />

2012 -6.04%<br />

-8.57% -8.34% -9.31% -8.78%<br />

-6.89% 2013 2014 2015 2016<br />

NASIONAL<br />

SULSEL<br />

Grafik 3.15. Pertumbuhan Luas Panen Kedelai Sulsel dan Nasional<br />

Grafik 3.15 memberikan informasi mengenai pertumbuhan luas<br />

panen kedelai pada tingkat nasional dan provinsi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

Secara umum, pertumbuhan luas panen kedelai pada tingkat Provinsi<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berada di atas pertumbuhan nasional kecuali pada tahun<br />

2011. Lebih lanjut, pada tahun 2013 Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dapat<br />

meningkatkan pertumbuhan luas panen kedelai sebanyak 54,96%<br />

sedangkan pada level nasional sedang mengalami depresiasi lahan sehingga<br />

pertumbuhan mencapai angka -2,97%.<br />

124


3.1.3.2 Produksi<br />

Tabel 3.8. Keragaan Produksi Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota , 2008-2016, (Ton)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Bone 11.626 19.414 21.182 10.399 10.909 14.696 29.210 29.398 40.598 20.826<br />

2 Wajo 2.289 4.045 4.101 4.839 1.872 7.869 6.847 11.517 7.536 5.657<br />

3 Soppeng 3.257 5.251 1.380 4.640 2.322 7.858 4.229 4.947 2.497 4.042<br />

4 Maros 1.777 2.081 1.751 3.935 4.526 6.107 7.156 4.298 2.873 3.834<br />

5 Jeneponto 2.642 2.033 2.620 1.679 2.979 2.517 805 2.005 2.341 2.180<br />

6 Gowa 189 553 935 971 1.100 2.573 1.350 7.310 585 1.730<br />

7 Takalar 1.058 1.083 589 626 873 1.211 1.003 2.367 706 1.057<br />

8 Pangkep 1.169 1.162 942 529 894 888 1.055 857 1.247 971<br />

9 Bulukumba 27 38 12 134 69 54 587 2.629 2.430 664<br />

10 Pinrang 748 838 840 732 1.052 185 60 881 138 608<br />

11 Luwu 46 1.049 189 1.081 620 690 1.238 263 16 577<br />

12 Enrekang 487 1.471 452 525 560 301 71 60 42 441<br />

13 LuwuTimur 1.021 538 170 1.288 326 108 86 59 6 400<br />

14 LuwuUtara 383 517 95 1.260 972 117 38 5 7 377<br />

15 Sidrap 387 217 134 710 122 42 519 181 66 264<br />

16 Sinjai - 30 - - - - 2 - 2.233 252<br />

17 Bantaeng 414 321 149 201 382 226 - 127 204 225<br />

18 TanaToraja 96 65 44 52 82 202 327 245 440 173<br />

19 Barru 586 303 124 71 38 - 3 - 86 135<br />

20 Selayar 924 252 - - 23 - - - - 133<br />

21 TorajaUtara - - 1 - 218 48 19 19 2 34<br />

22 Makassar - 17 - - - - - 23 40 9<br />

23 Palopo - - - 45 2 - - - - 5<br />

24 Pare-Pare 2 - - - - 1 - - - 0<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.8 memberikan informasi mengenai tingkat produksi kedelai<br />

di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung dengan satuan ton. Kabupaten<br />

Bone adalah wilayah yang memiliki tingkat produktivitas kedelai tertinggi di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Hal ini terlihat dari peningkatan hasil produksi sejak 2011<br />

hingga 2016 yang cukup konsisten. <strong>Di</strong> lain sisi, Kota Pare-pare menempati<br />

posisi terbawah karena dinilai tidak mampu memproduksi kedelai. Hal ini<br />

didukung oleh data yang menunjukkan hanya pada tahun 2008 dan 2013,<br />

Kota Pare-pare dapat memproduksi kedelai; selebihnya tidak pernah.<br />

125


Kabupaten Luwu pada tahun 2009 mengalami lonjakan produksi<br />

kedelai yang sangat pesat sebanyak 1.049 ton dari tahun sebelumnya yang<br />

hanya mampu menghasilkan 487 ton. Tidak hanya itu, Kabupaten Sinjai juga<br />

pada tahun 2016 mampu memproduksi sebanyak 2.233 ton sedangkan<br />

tahun sebelumnya nihil.<br />

Secara umum, seluruh perkotaan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tidak begitu<br />

mampu untuk memproduksi kedelai di kawasan masing-masing. Hal ini di<br />

dukung oleh data yang menempatkan seluruh perkotaan provinsi pada<br />

urutan tiga terbawah.<br />

PRODUKSI KEDELAI (TON)<br />

29,125<br />

41,279<br />

35,711 33,716<br />

29,938<br />

45,693<br />

54,723<br />

67,192<br />

62,054<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.16. Produksi Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.16 menunjukkan dinamika produksi kedelai secara agregat<br />

di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Dapat dilihat bahwa sejak 2009, Provinsi <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> mengalami penurunan produksi kedelai hingga tahun 2012.<br />

Sedangkan sejak tahun 2013, hasil produksi kedelai di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

kembali membaik dan terus meningkat hingga 2015.<br />

126


Pertumbuhan Produksi Kedelai (%)<br />

52.63%<br />

41.73%<br />

25.63%<br />

22.44%<br />

19.76%<br />

22.79%<br />

-0.96%<br />

0.86%<br />

-6.92% -6.15%<br />

-7.49%<br />

2009 2010 2011-5.59%<br />

2012 2013 2014 2015 -10.75% 2016<br />

-7.65%<br />

-11.21%<br />

-13.49%<br />

NASIONAL<br />

SULSEL<br />

Grafik 3.17. Pertumbuhan Produksi Kedelai Sulsel dan Nasional<br />

Grafik 3.17 memberikan gambaran perbandingan pertumbuhan<br />

produksi kedelai antara nasional dan Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Secara<br />

umum, pertumbuhan produksi kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> hanya berada di<br />

bawah pertumbuhan nasional pada tahun 2010 dan 2012. Selain dari tahun<br />

tersebut, pertumbuhan produksi kedelai Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> berada di<br />

atas pertumbuhan produksi kedelai nasional.<br />

127


3.1.3.3 Produktivitas<br />

Tabel 3.9. Keragaan Produktivitas Kedelai Sulsel Menurut<br />

Kabupaten/kota 2008-2016, (Kui/ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Bone 19,68 19,14 17,55 16,59 18,35 15,65 15,02 18,49 13,27 17,08<br />

2 Pinrang 17,23 14,1 19,44 17,54 16,36 16,82 10,17 22,13 14,84 16,51<br />

3 Bulukumba 17,95 19,94 17,34 15,23 16,43 13,17 11,35 17,31 14,19 15,88<br />

4 Soppeng 11,09 20,28 15,77 13,09 11,26 16,74 17,64 20,36 16,64 15,87<br />

5 Pangkep 19,88 18,75 17,25 16,79 13,09 10,7 14,16 11,92 15,28 15,31<br />

6 Luwu Timur 18,16 12,58 11,96 16,62 11,44 15,65 17,20 17,78 15,00 15,15<br />

7 Wajo 17,38 12,37 13,76 16,07 10,38 14,17 15,03 20,54 16,06 15,08<br />

8 Tana Toraja 15,97 13,87 15,21 11 16,08 15,66 11,39 17,26 18,72 15,02<br />

9 Gowa 17,64 14,58 13,96 14,03 14,14 15,09 15,70 13,78 12,42 14,59<br />

10 Takalar 12,44 13,22 12,17 11,56 13,79 13,37 16,44 19,79 16,65 14,38<br />

11 Enrekang 16,16 14,25 12,42 19,02 15,09 13,32 11,09 13,23 12,73 14,15<br />

12 Luwu Utara 10,92 9,91 11,03 16,34 14,98 17,21 14,07 18,09 14,00 14,06<br />

13 Luwu 11,02 10,54 10,48 17,93 11,31 13,91 17,10 18,81 14,55 13,96<br />

14 Sidrap 15,4 16,31 13,86 16,13 12,45 12,35 11,41 14,96 12,69 13,95<br />

15 Maros 10,96 12,35 10,72 18,54 16,71 13,93 14,75 14,75 11,69 13,82<br />

16 Jeneponto 11,51 11,32 9,39 13,14 14,09 12,16 12,16 13,94 14,73 12,49<br />

17 Bantaeng 12,59 12,03 11,13 11,92 11,72 11,71 0,00 12,86 12,36 10,70<br />

18 Barru 16 14,56 10,13 15,21 11,18 0 10,00 0 12,46 9,95<br />

19 Toraja Utara 0 0 10,14 0 13,21 14,55 11,18 13,43 10,00 8,06<br />

20 Makassar 0 17,38 0 0 0 0 12,33 13,79 5,44<br />

21 Sinjai 0 12,33 0 0 0 0 20,00 0 14,54 5,21<br />

22 Selayar 12,96 11,84 0 0 10,45 0 0 5,04<br />

23 Palopo 0 0 0 13 20 0 0 4,71<br />

24 Pare-Pare 6,05 0 0 0 0 10 0 2,29<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.9 memberikan informasi mengenai kemampuan produksi<br />

kedelai per lahan yang di miliki oleh masing-masing Kabupaten/Kota<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung dengan satuan Kui/Ha. Secara umum, tidak<br />

terdapat perubahan angka produktivitas dengan nilai yang sangat signifikan<br />

dari tahun ke tahun untuk setiap Kabupaten/Kota. Meskipun demikian,<br />

Kabupaten Bone menempati peringkat teratas untuk kategori ini, dengan<br />

rata-rata produktivitas sebesar 17,08Kui/Ha. Sedangkan Kota Pare-pare<br />

128


menempati posisi terendah dengan nilai rata-rata produktivitas sebesar<br />

2,29Kui/Ha.<br />

PRODUKTIVITAS KEDELAI (KUI/HA)<br />

17.67<br />

15.29<br />

16.00<br />

15.11<br />

15.73<br />

15.00 14.77 15.04<br />

13.35<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.18. Keragaan Produktivitas Kedelai <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.18 menggambarkan keadaan produktivitas kedelai di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara keseluruhan dari tahun 2008 hingga 2016.<br />

Pergerakan yang cukup dinamis namun tidak signifikan terjadi sepanjang<br />

2008-2015, namun pada tahun 2016 kemudian mengalami penurunan<br />

produktivitas kedelai.<br />

129


Pertumbuhan Produktivitas Kedelai (%)<br />

20.00%<br />

15.00%<br />

10.00%<br />

5.00%<br />

0.00%<br />

-5.00%<br />

-10.00%<br />

17.49%<br />

9.53%<br />

7.69%<br />

5.62%<br />

4.64%<br />

4.10% 1.14%<br />

1.10%<br />

-0.99%<br />

1.83%<br />

-5.32%<br />

-1.53%<br />

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015<br />

-4.97%<br />

2016<br />

-5.56%<br />

-4.64%<br />

-15.00%<br />

-20.00%<br />

-25.00%<br />

-24.45%<br />

-30.00%<br />

NASIONAL<br />

SULSEL<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />

Grafik 3.19. Pertumbuhan Produktivitas Kedelai Sulsel dan Nasional<br />

Grafik 3.19 menggambarkan komparasi antara pertumbuhan<br />

produktivitas kedelai di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan nasional. Data<br />

tersebut menunjukkan bahwa pergerakan produktivitas kedelai di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> cukup tajam setiap tahunnya, terutama ketika terjadi penurunan<br />

tahun 2010 dan 2016. Sedangkan dalam cakupan nasional, pertumbuhan<br />

produktivitas kedelai cukup fluktuatif dengan tren negatif sejak tahun 2014<br />

hingga tahun 2016.<br />

130


3.1.4 Kacang Hijau<br />

3.1.4.1 Luas Panen<br />

Tabel 3.10. Keragaan Luas Panen Komoditas Kacang Hijau di Sul Sel<br />

Menurut Kab/kota 2008-2016 (Ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Wajo 2.981 2.942 9.541 8.966 3.013 3.267 5.903 16.624 16.727 7.774<br />

2 Gowa 5.048 5.860 1.265 4.909 3.911 3.013 2.841 4.316 5.522 4.076<br />

3 Jeneponto 2.730 3.013 4.984 5.552 3.487 3.087 3.578 3.326 3.542 3.700<br />

4 Bone 2.487 2.365 2.833 6.426 3.173 1.466 4.072 1.041 1.175 2.782<br />

5 Takalar 2.005 577 608 1.421 1.350 736 1.174 2.211 1.234 1.257<br />

6 Bulukumba 1.426 746 147 844 390 643 847 2.434 81 840<br />

7 Maros 557 771 138 565 383 410 486 525 535 486<br />

8 Soppeng 274 239 155 1.032 204 429 509 238 108 354<br />

9 Pangkep 502 374 96 197 204 224 281 264 609 306<br />

10 Selayar 411 231 531 232 226 193 144 163 471 289<br />

11 Luwu 136 179 168 292 127 224 144 35 35 149<br />

12 LuwuUtara 77 91 164 210 208 206 157 106 110 148<br />

13 Sidrap 150 136 150 102 87 28 29 251 108 116<br />

14 Pinrang 118 202 83 90 146 67 69 43 29 94<br />

15 Bantaeng 124 67 19 77 102 137 25 5 77 70<br />

16 Enrekang 83 48 41 35 57 50 26 26 16 42<br />

17 Barru 94 50 28 59 31 6 14 8 15 34<br />

18 LuwuTimur - - 29 42 19 13 7 19 3 15<br />

19 Pare-Pare 35 17 15 4 13 9 7 9 22 15<br />

20 Makassar 44 18 8 9 11 7 1 9 16 14<br />

21 TanaToraja 1 7 6 13 1 - - - 2 3<br />

22 TorajaUtara - - - - - 9 1 - - 1<br />

23 Palopo 1 5 - 2 - 2 - - - 1<br />

24 Sinjai - - - - - - - - - -<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.10 memberikan informasi mengenai luas lahan panen<br />

komoditas kacang hijau pada masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Secara umum, data menggambarkan kecenderungan<br />

penurunan luas lahan panen kacang hijau khususnya di Kabupaten<br />

Bulukumba pada tahun 2016 yang mengalami penurunan lahan sebesar<br />

96,67% dari tahun sebelumnya. Namun, di sisi lain, Kabupaten Wajo<br />

menempati peringkat pertama sebagai wilayah yang memiliki areal panen<br />

131


kacang hijau terbesar di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dengan rata-rata 7.774Ha.<br />

Sedangkan, Kabupaten Sinjai menempati urutan terakhir dikarenakan tidak<br />

memiliki areal panen komoditi kacang hijau sama sekali.<br />

LUAS PANEN KACANG HIJAU SULSEL (HA)<br />

31,079<br />

31,653<br />

30,435<br />

19,307<br />

17,966<br />

21,009<br />

17,143<br />

14,226<br />

20,315<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.20. Keragaan Luas Panen Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.20 menggambarkan dinamika luas panen kacang hijau di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara keseluruhan dengan satuan hektare. Dapat dilihat<br />

bahwa sejak 2009 hingga 2011, terjadi peningkatan yang cukup signifikan<br />

pada areal lahan panen sebelum kembali turun secara drastis pada tahun<br />

2012. Keadaan areal luas panen yang sangat fluktuatif ini berakhir di angka<br />

30.435Ha pada tahun 2016.<br />

132


Pertumbuhan Luas Panen Kacang Hijau (%)<br />

80.00%<br />

60.00%<br />

40.00%<br />

20.00%<br />

0.00%<br />

-20.00%<br />

-40.00%<br />

55.81%<br />

47.93%<br />

42.80%<br />

16.94%<br />

15.17%<br />

14.25%<br />

10.32%<br />

-6.95% 3.62%<br />

-3.85%<br />

-2.41%<br />

2009 2010-10.43%<br />

2011 2012 -17.02% 2013 2014 2015 2016<br />

-17.59%<br />

-25.69%<br />

-44.84%<br />

-60.00%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />

Grafik 3.21. Pertumbuhan Luas Panen Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> dan Nasional<br />

Grafik 3.21 memberikan gambaran mengenai perbandingan<br />

persentase pertumbuhan luas panen kacang hijau di tingkat nasional dan<br />

provinsi. Pergerakan pertumbuhan luas panen di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sangat<br />

tajam, baik jika mengalami peningkatan maupun penurunan, jika<br />

disandingkan dengan dinamika pertumbuhan luas panen kacang hijau<br />

nasional. Walaupun <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sempat memimpin pertumbuhan<br />

sejak tahun 2013, namun pada tahun 2016, pertumbuhan nasional sedikit<br />

lebih baik daripada Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang berhenti di angka -3,85%.<br />

133


3.1.4.2 Produksi<br />

Tabel 3.11. Keragaan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Wajo 3.175 3.454 11.843 10.829 3.648 3.987 7.745 20.824 16.714 9.135<br />

2 Gowa 6.884 7.992 1.667 6.514 5.608 4.310 3.816 5.805 6.848 5.494<br />

3 Jeneponto 3.166 3.529 6.113 7.545 4.169 3.524 5.226 4.019 4.559 4.650<br />

4 Bone 3.572 3.599 3.615 9.153 4.510 2.021 5.497 1.302 1.086 3.817<br />

5 Takalar 2.324 683 684 1.546 1.788 676 1.637 3.104 1.353 1.533<br />

6 Bulukumba 1.443 778 179 1.040 543 911 1.119 3.491 125 1.070<br />

7 Maros 656 941 211 824 447 486 585 674 671 611<br />

8 Soppeng 336 295 259 1.794 272 545 676 329 101 512<br />

9 Selayar 593 318 745 348 294 250 189 187 797 413<br />

10 Pangkep 611 462 138 284 252 285 411 350 727 391<br />

11 Luwu 205 265 242 372 170 309 196 50 34 205<br />

12 LuwuUtara 109 34 202 250 282 274 265 136 124 186<br />

13 Sidrap 253 237 237 169 141 45 38 356 101 175<br />

14 Pinrang 163 293 124 120 197 100 112 63 38 134<br />

15 Bantaeng 150 85 28 103 144 196 - 6 89 89<br />

16 Enrekang 105 64 53 45 74 67 33 33 13 54<br />

17 Barru 122 65 42 77 38 8 18 11 20 45<br />

18 LuwuTimur 26 30 40 48 20 15 11 27 4 25<br />

19 TanaToraja 1 142 7 14 1 - - - 2 19<br />

20 Makassar 66 30 10 11 14 8 1 11 17 19<br />

21 Pare-Pare 32 17 18 5 12 12 8 10 37 17<br />

22 TorajaUtara - - - - - 12 2 - - 2<br />

23 Palopo 1 7 - 2 - 2 - - - 1<br />

24 Sinjai - - - - - - - - - -<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.11 memberikan informasi mengenai hasil produksi kacang<br />

hijau di Kabupaten/Kota <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung dengan satuan ton.<br />

<strong>Di</strong>hitung secara rata-rata, Kabupaten Wajo menempati urutan pertama<br />

dengan nilai 9.135 ton; sedangkan Kabupaten Sinjai menempati posisi<br />

terakhir dengan nilai nihil. Secara umum, produksi kacang hijau yang<br />

dialami masing-masing daerah pada Tabel 32 kebanyakan mengalami<br />

penurunan produksi.<br />

134


Informasi yang cukup menjadi pusat perhatian adalah Kabupaten<br />

Bulukumba yang mampu mengakselerasikan hasil produksi sebesar 481%<br />

pada tahun 2011, yang sebelumnya hanya mampu menghasilkan 179 ton<br />

kacang hijau. Hal ini senada dengan Kabupaten Soppeng di tahun yang<br />

sama, berhasil meningkatkan hasil produksi kacang hijau menjadi 1.794 ton<br />

dari sebelumnya hanya 259 ton.<br />

PRODUKSI (TON)<br />

41,093<br />

40,787<br />

33,461<br />

23,995 23,299<br />

26,458<br />

22,623<br />

27,620<br />

18,341<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.22. Keragaan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.22 memberikan gambaran total produksi kacang hijau di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara keseluruhan. Dari data dapat disimpulkan bahwa<br />

hasil produksi kacang hijau cukup fluktuatif sepanjang periode; namun hasil<br />

produksi tertinggi terjadi pada tahun 2011 dengan hasil total sebanyak<br />

41.093 ton.<br />

135


Pertumbuhan Produksi Kacang Hijau (%)<br />

80.00%<br />

60.00%<br />

40.00%<br />

55.31%<br />

50.59% 47.67%<br />

20.00%<br />

0.00%<br />

-20.00%<br />

-40.00%<br />

-60.00%<br />

17.02%<br />

19.50%<br />

13.56%<br />

10.99%<br />

5.53%<br />

-2.90%<br />

2009 2010-7.24%<br />

2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

-6.81%<br />

-16.72% -18.93%<br />

-17.96%<br />

-28.00%<br />

-44.95%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />

Grafik 3.23. Pertumbuhan Produksi Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

dan Nasional<br />

Grafik 3.23 menunjukkan perbandingan pertumbuhan produksi<br />

kacang hijau di level nasional dan level provinsi. Secara garis besar,<br />

pertumbuhan produksi kacang hijau pada tingkat nasional cenderung lebih<br />

stabil dibandingkan dengan Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Walaupun pada<br />

tahun 2011 Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> mengalami pertumbuhan di atas<br />

nasional (55,31%), namun pada 2016 posisi produksi kacang hijau nasional<br />

lebih baik dari <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

136


3.1.4.3 Produktivitas<br />

Tabel 3.12. Keragaan Produktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kab./kota 2008-2016, (Kui/ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Sidrap 16,89 17,45 15,78 16,60 16,21 16,07 13,08 14,18 9,35 15,07<br />

2 Pinrang 13,79 14,50 14,97 13,38 13,49 14,93 16,26 14,71 13,10 14,35<br />

3 Selayar 14,43 13,76 14,04 14,99 13,01 12,95 13,10 11,49 16,92 13,85<br />

4 Luwu Utara 14,18 15,64 12,30 11,92 13,56 13,30 16,88 12,87 11,27 13,55<br />

5 Luwu 15,04 14,79 14,41 12,74 13,39 13,79 13,62 14,24 9,71 13,53<br />

6 Gowa 13,64 13,64 13,18 13,27 14,34 14,30 13,43 13,45 12,40 13,52<br />

7 Soppeng 12,27 12,33 16,69 17,38 13,33 12,70 13,28 13,80 9,35 13,46<br />

8 Barru 12,97 13,04 15,03 13,03 12,26 13,33 12,87 14,02 13,33 13,32<br />

9 Bone 14,36 15,22 12,76 14,24 14,21 13,79 13,50 12,51 9,24 13,31<br />

10 Pangkep 12,18 12,35 14,35 14,39 12,35 12,72 14,61 13,26 11,94 13,13<br />

11 Bulukumba 10,12 10,43 12,21 12,33 13,92 14,17 13,21 14,34 15,43 12,91<br />

12 Maros 11,78 12,21 15,27 14,59 11,67 11,85 12,04 12,83 12,54 12,75<br />

13 Jeneponto 11,60 11,71 12,27 13,59 11,96 11,42 14,61 12,08 12,87 12,46<br />

14 Makassar 14,90 16,61 12,45 13,00 12,73 11,43 8,41 11,98 10,63 12,46<br />

15 Enrekang 12,62 13,27 12,92 12,72 12,98 13,40 12,81 12,51 8,13 12,37<br />

16 Takalar 11,59 11,84 11,24 10,88 13,24 9,18 13,95 14,04 10,96 11,88<br />

17 Wajo 10,65 11,74 12,41 12,08 12,11 12,20 13,12 12,53 9,99 11,87<br />

18 Bantaeng 12,11 12,72 14,96 13,35 14,12 14,31 0,00 11,81 11,56 11,66<br />

19 Pare-Pare 9,06 9,73 11,85 12,00 9,23 11,43 10,82 11,08 16,82 11,34<br />

20 Luwu Timur 0,00 0,00 13,80 11,39 10,53 11,54 15,37 13,98 13,33 9,99<br />

21 Tana Toraja 14,01 13,51 11,00 11,00 10,00 0,00 0,00 0,00 10,00 7,72<br />

22 Palopo 14,11 13,46 0,00 11,00 0,00 10,00 0,00 0,00 6,07<br />

23 Toraja Utara 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 13,33 15,32 0,00 3,58<br />

24 Sinjai 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 35 memberikan informasi mengenai produktivitas kacang<br />

hijau menurut Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dengan satuan Kui/Ha.<br />

Secara rata-rata, Kabupaten Sidrap memiliki nilai tertinggi dengan angka<br />

15,07Kui/Ha selama delapan tahun terakhir. Sedangkan, Kabupaten Sinjai<br />

menempati urutan terakhir. Lebih lanjut, tren yang dihasilkan dari Tabel 35<br />

cenderung ke arah negatif dan tidak ada perubahan produktivitas yang<br />

sangat menonjol di antara Kabupaten/Kota setiap tahunnya.<br />

137


PRODUKTIVITAS (KUI/HA)<br />

12.43<br />

12.97 12.6<br />

13.22 13.2 12.89<br />

13.6<br />

12.89<br />

10.99<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.24. Keragaan Produktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.24 menunjukkan produktivitas kacang hijau di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> secara agregat dalam satuan Kui/Ha. Keadaan produktivitas kacang<br />

hijau yang cukup stabil di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dari tahun ke tahun, dengan tren<br />

yang cenderung negatif sejak tahun 2014 hingga mencapai titik 10,99Kui/Ha<br />

pada tahun 2016.<br />

138


Pertumbuhan Produktivitas Kacang Hijau (%)<br />

15.00%<br />

10.00%<br />

5.00%<br />

0.00%<br />

-5.00%<br />

10.00%<br />

4.34%<br />

4.92%<br />

5.51%<br />

4.63%<br />

2.18%<br />

0.00% -0.15% 0.00%<br />

0.60%<br />

2009 2010 2011 2012 2013<br />

-2.85%<br />

-2.35% 2014 2015 2016<br />

-5.22%<br />

-4.48%<br />

-6.63%<br />

-10.00%<br />

-15.00%<br />

-14.74%<br />

-20.00%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />

Grafik 3.25. PertumbuhanProduktivitas Kacang Hijau <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> dan Nasional<br />

Grafik 3.25 memberikan komparasi antara pertumbuhan<br />

produktivitas kacang hijau nasional dan provinsi. Secara umum,<br />

pertumbuhan produktivitas kacang hijau pada skala nasional mencapai titik<br />

tertingginya pada tahun 2010 (10%) kemudian berfluktuasi dengan cukup<br />

stabil setelahnya. Berbeda dengan tingkat provinsi, <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

menunjukkan tren negatif sejak tahun 2014 yang kemudian menyentuh titik<br />

-14,74% pada tahun 2016 dan jauh tertinggal dari pertumbuhan nasional.<br />

139


3.1.5 Kacang Tanah<br />

3.1.5.1 Luas Panen<br />

Tabel 3.13. Keragaan Luas Panen Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Bone 13.857 9.465 11.517 4.302 7.981 6.647 12.496 9.076 7.646 9.221<br />

2 Bulukumba 4.699 3.873 4.163 2.460 3.454 2.508 2.958 1.871 1.695 3.076<br />

3 Sinjai 3.656 3.020 3.206 628 814 1.282 925 1.259 853 1.738<br />

4 Barru 1.153 1.647 1.497 779 2.120 1.453 1.965 2.305 2.243 1.685<br />

5 Maros 1.104 2.058 2.021 2.196 2.422 1.367 789 796 1.021 1.530<br />

6 Pangkep 971 1.009 974 1.101 1.351 856 934 994 924 1.013<br />

7 Selayar 1.392 1.480 1.130 485 460 526 608 563 516 796<br />

8 Wajo 712 303 1.936 455 325 474 495 507 1.700 767<br />

9 Bantaeng 256 634 581 446 770 701 495 112 1.218 579<br />

10 Jeneponto 413 498 820 441 1.050 611 447 153 474 545<br />

11 Gowa 318 86 785 95 749 350 520 402 706 446<br />

12 Soppeng 243 139 287 699 353 641 676 307 541 432<br />

13 Sidrap 474 339 508 182 365 209 276 124 92 285<br />

14 Enrekang 319 248 317 196 275 286 186 221 258 256<br />

15 LuwuUtara 192 230 165 233 335 216 179 144 72 196<br />

16 Luwu 170 192 194 186 92 238 182 35 38 147<br />

17 Pare-Pare 266 145 57 59 156 70 58 80 150 116<br />

18 TanaToraja 199 88 95 64 61 55 79 104 74 91<br />

19 Pinrang 78 133 56 67 108 142 94 68 40 87<br />

20 LuwuTimur 126 101 107 86 74 60 31 26 15 70<br />

21 Takalar 81 95 103 27 17 32 16 14 23 45<br />

22 TorajaUtara - - 5 - 19 88 50 42 4 23<br />

23 Makassar 11 1 4 5 - - - - - 2<br />

24 Palopo - 1 - - - - - - - 0<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.13 memberikan informasi mengenai luas lahan panen<br />

kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> menurut Kabupaten/Kota yang dihitung<br />

dengan satuan hektare. Berdasarkan nilai rata-rata, Kabupaten Bone<br />

menempati urutan pertama dengan nilai 9.221Ha; sedangkan Kota Palopo<br />

berada di urutan terbawah karena tidak memiliki areal untuk panen<br />

komoditi kacang tanah. Kota Pare-pare adalah satu-satunya perkotaan di<br />

140


<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang masih memiliki lahan cukup untuk memproduksi<br />

kacang tanah – rata-rata areal seluas 116Ha.<br />

LUAS PANEN, KACANG TANAH , SULSEL (HA)<br />

30,690<br />

30,528<br />

25,785<br />

24,467<br />

23,351<br />

18,812<br />

24,459<br />

19,203<br />

20,302<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.26. Keragaan Luas Panen Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.26 menunjukkan luas panen kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> secara keseluruhan. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa<br />

pergerakan areal panen kacang tanah cenderung menurun dari waktu ke<br />

waktu. Tahun 2010 merupakan momentum <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki luas<br />

lahan panen kacang tanah sebanyak 10.528Ha, sebelum akhirnya terus<br />

menurun hingga 20.302Ha pada tahun 2016.<br />

141


Pertumbuhan Luas Lahan Kacang Tanah (%)<br />

40.00%<br />

30.00%<br />

30.02%<br />

20.00%<br />

10.00%<br />

0.00%<br />

-10.00%<br />

18.39%<br />

-1.78%<br />

-0.33%<br />

3.72%<br />

5.72%<br />

-3.80%<br />

-3.95%<br />

2009 2010 2011 2012 -7.23%<br />

-4.56% 2013 2014 -9.01% 2015 2016<br />

-13.07%<br />

-20.00%<br />

-15.98%<br />

-19.85%<br />

-19.44%<br />

-21.49%<br />

-30.00%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Grafik 3.27. Pertumbuhan Luas Panen Kacang Tanah Sulsel dan<br />

Nasional<br />

Grafik 3.27 memberikan gambaran mengenai perbandingan<br />

pertumbuhan luas panen kacang tanah antara provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

dan tingkat nasional. Secara umum, pertumbuhan luas lahan panen kacang<br />

tanah yang dialami <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tidak begitu stabil dan cenderung<br />

berada di posisi yang lebih rendah dari nasional. <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> hanya<br />

mampu berada di atas pertumbuhan areal kacang tanah nasional pada<br />

tahun 2010, 2014, dan 2016.<br />

142


3.1.5.2 Produksi<br />

Tabel 3.14. Keragaan Produksi Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kabupaten/Kota, 2008-2016 (Ton)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Bone 15.710 11.325 13.493 6.984 7.991 10.116 16.612 6.665 11.949 11.205<br />

2 Bulukumba 6.875 4.204 6.246 2.730 4.156 4.617 4.349 2.248 1.770 4.133<br />

3 Maros 1.229 3.563 4.877 5.103 3.019 2.086 1.281 1.123 1.457 2.638<br />

4 Barru 1.722 1.775 2.042 1.111 2.960 2.037 3.343 2.621 3.355 2.330<br />

5 Sinjai 3.532 3.430 3.853 915 898 1.837 1.101 1.331 1.075 1.997<br />

6 Pangkep 1.076 1.849 2.348 2.035 2.024 1.407 1.248 1.571 1.343 1.656<br />

7 Selayar 1.382 1.975 1.615 479 567 745 989 594 499 983<br />

8 Wajo 531 360 1.430 583 229 652 524 676 2.788 864<br />

9 Bantaeng 189 776 771 708 957 959 857 171 1.756 794<br />

10 Jeneponto 365 507 959 1.339 984 925 598 153 509 704<br />

11 Soppeng 484 300 504 1.030 450 764 1.251 406 900 677<br />

12 Gowa 589 114 1.234 142 972 673 662 440 967 644<br />

13 Sidrap 726 531 831 267 690 283 443 164 156 455<br />

14 Enrekang 448 369 497 289 390 345 295 207 322 351<br />

15 LuwuUtara 204 274 228 365 400 196 256 173 108 245<br />

16 Luwu 232 256 284 299 120 233 253 48 59 198<br />

17 TanaToraja 292 126 186 97 95 54 104 177 93 136<br />

18 Pare-Pare 265 147 62 75 240 108 77 81 165 136<br />

19 Pinrang 128 188 87 71 131 128 149 63 79 114<br />

20 LuwuTimur 189 158 184 113 76 81 46 35 22 100<br />

21 Takalar 83 101 154 59 24 42 23 16 27 59<br />

22 TorajaUtara - - 8 - 30 119 54 63 5 31<br />

23 Makassar 17 1 4 13 - - - - - 4<br />

24 Palopo - 1 - - - - - - - 0<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.14 memberikan informasi mengenai jumlah produksi<br />

kacang tanah berdasarkan Kabupaten/Kota yang dihitung dalam satuan ton.<br />

Secara rata-rata, Kabupaten Bone mampu memproduksi sebanyak 11.205<br />

ton dalam kurun waktu delapan tahun – inilah yang menjadikannya<br />

menduduki peringkat pertama di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam hal produksi<br />

kacang tanah. Kebalikannya, Kota Palopo menduduki posisi terakhir karena<br />

143


tidak mampu memproduksi komoditi kacang tanah; sama halnya dengan<br />

Kota Makassar yang hanya mampu memproduksi 4 ton selama delapan<br />

tahun.<br />

Pergerakan angka produksi yang terjadi di masing-masing<br />

Kabupaten/Kota cukup fluktuatif; ada yang menggambarkan tren positif<br />

maupun negatif pada masing-masing jenjang waktu. Kabupaten Wajo cukup<br />

sukses dengan hasil produksi yang stabil setiap tahunnya, kemudian<br />

mencapai titik tertinggi pada tahun 2016 dengan total produksi sebesar<br />

2.788 ton – dimana sebelumnya, pada tahun 2008, kemampuan produksi<br />

hanya 531 ton. Lain halnya dengan Kepulauan Selayar, yang pada awalnya<br />

(2008) mampu memproduksi sebanyak 1.382 ton kacang tanah; namun<br />

pada akhirnya, tahun 2016 hanya mampu menghasilkan 499 ton kacang<br />

tanah.<br />

PRODUKSI KACANG TANAH (TON)<br />

41,898<br />

36,269<br />

32,331<br />

27,402<br />

28,408<br />

34,464<br />

29,403<br />

15,192<br />

19,024<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

144


Grafik 3.28. Keragaan Produksi Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.28 menunjukkan pergerakan produksi kacang tanah dalam<br />

satuan ton di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara agregat. Tahun 2011 merupakan<br />

masa dengan kemampuan produksi kacang tanah terendah di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong>. Namun, <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dapat kembali bangkit dari kejatuhan<br />

tersebut, hingga akhirnya berhenti di angka 29.403 ton pada tahun 2016.<br />

Pertumbuhan Produksi Kacang Tanah (%)<br />

100.00%<br />

80.00%<br />

60.00%<br />

40.00%<br />

20.00%<br />

0.00%<br />

-20.00%<br />

-40.00%<br />

-60.00%<br />

-80.00%<br />

80.37%<br />

54.56%<br />

29.59%<br />

1.02% 0.17%<br />

3.12%<br />

21.32%<br />

-1.57%<br />

-11.29%<br />

-8.95% -5.24% -5.78%<br />

3.67%<br />

2009-10.86%<br />

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

-44.80%<br />

-63.74%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Grafik 3.29. Pertumbuhan Produksi Kacang Tanah Sulsel dan<br />

Nasional<br />

Grafik 3.29 menggambarkan perbandingan antara tingkat provinsi<br />

dan tingkat nasional mengenai pertumbuhan produksi kacang tanah. Secara<br />

garis besar, pertumbuhan produksi kacang tanah nasional tergolong cukup<br />

stabil walaupun sempat jatuh sedikit pada tahun 2011. Hal yang cukup<br />

145


kontras kemudian terjadi pada tingkatan provinsi, dimana <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

menunjukkan pertumbuhan produksi kacang tanah yang sangat fluktuatif.<br />

<strong>Dalam</strong> beberapa tahun, pertumbuhan produksi kacang tanah <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> terlihat mendominasi atas pertumbuhan nasional, kecuali pada<br />

tahun 2009, 2011, dan 2015.<br />

3.1.5.3 Produktivitas<br />

Tabel 3.15 Keragaan Produktivitas Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kab Kota, 2008-2016 (Kui/ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Maros 11,13 17,31 24,13 23,24 12,46 15,26 16,24 14,11 14,27 16,46<br />

2 Pangkep 11,08 18,33 24,1 18,48 14,98 16,44 13,36 15,8 14,53 16,35<br />

3 Soppeng 19,92 21,55 17,57 14,74 12,75 11,92 18,51 13,21 16,64 16,31<br />

4 Sidrap 15,32 15,65 16,35 14,68 18,9 13,54 16,05 13,21 16,96 15,63<br />

5 Gowa 18,53 13,27 15,72 14,99 12,98 19,23 12,73 10,94 13,70 14,68<br />

6 TanaToraja 14,68 14,35 19,55 15,16 15,57 9,82 13,16 17 12,57 14,65<br />

7 LuwuTimur 14,97 15,64 17,22 13,17 10,27 13,5 14,84 13,47 14,67 14,19<br />

8 Barru 14,93 10,77 13,64 14,26 13,96 14,02 17,01 11,37 14,96 13,88<br />

9 Luwu 13,67 13,32 14,66 16,1 13,04 9,79 13,90 13,6 15,53 13,73<br />

10 Enrekang 14,04 14,9 15,69 14,73 14,18 12,06 15,86 9,37 12,48 13,70<br />

11 Pinrang 16,42 14,16 15,48 10,55 12,13 9,01 15,85 9,24 19,75 13,62<br />

12 Takalar 10,22 10,66 14,96 21,81 14,12 13,13 14,38 11,09 11,74 13,57<br />

13 Bantaeng 7,37 12,25 13,27 15,87 12,43 13,68 17,31 15,25 14,42 13,54<br />

14 Jeneponto 8,84 10,19 11,7 30,36 9,37 15,14 13,38 9,98 10,74 13,30<br />

15 Bulukumba 14,63 10,85 15 11,1 12,03 18,41 14,70 12,02 10,44 13,24<br />

16 LuwuUtara 10,63 11,91 13,82 15,69 11,94 9,07 14,30 12,03 15,00 12,71<br />

17 Bone 11,34 11,97 11,72 16,24 10,01 15,22 13,29 7,34 15,63 12,53<br />

18 Selayar 9,93 13,34 14,29 9,89 12,33 14,16 16,27 10,55 9,67 12,27<br />

19 Pare-Pare 9,96 10,14 10,93 13 15,38 15,43 13,28 10,07 11,00 12,13<br />

20 Sinjai 9,66 11,36 12,02 14,58 11,03 14,33 11,90 10,57 12,60 12,01<br />

21 Wajo 7,46 11,89 7,39 12,8 7,05 13,76 10,59 13,34 16,40 11,19<br />

22 TorajaUtara 0 0 16,29 0 15,79 13,52 10,80 15,05 12,50 9,33<br />

23 Makassar 15,07 12,42 11,23 25 0 0 0 9,10<br />

24 Palopo 0 10,76 0 0 0 0 0 1,54<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.15 memberikan informasi mengenai produktivitas kacang<br />

tanah yang dapat dihasilkan dari lahan panen yang dimiliki masing-masing<br />

Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dengan menggunakan satuan Kui/Ha.<br />

146


Secara umum, tidak terdapat perubahan angka yang terlihat cukup<br />

signifikan pada masing-masing wilayah per tahun. Namun, dapat dihitung<br />

dengan menggunakan nilai rata-rata, maka Kabupaten Maros adalah<br />

regional di peringkat tertinggi dalam hal produktivitas lahan untuk<br />

menghasilkan kacang tanah (16,46Kui/Ha). Sementara itu, Kota Palopo<br />

menduduki posisi terakhir dengan nilai rata-rata yang hanya mencapai<br />

1,54Kui/Ha.<br />

PRODUKTIVITAS KACANG TANAH (KUI/HA)<br />

11.82<br />

12.54<br />

16.61 16.52<br />

11.73<br />

15.1<br />

14.09<br />

14.48<br />

9.91<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.30. Keragaan Produktivitas Kacang Tanah <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.30 menggambarkan produktivitas kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> secara agregat yang dihitung dalam satuan Kui/Ha. Secara umum,<br />

data menunjukkan pergerakan yang cukup stabil untuk produktivitas<br />

komoditi kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dengan tahun 2011 menjadi<br />

momentum pencapaian produktivitas tertinggi; dan tahun 2015 sebagai<br />

tahun dengan produktivitas kacang tanah terendah.<br />

147


Pertumbuhan Produktivitas Kacang Tanah (%)<br />

50.00%<br />

40.00%<br />

30.00%<br />

20.00%<br />

10.00%<br />

0.00%<br />

-10.00%<br />

-20.00%<br />

-30.00%<br />

-40.00%<br />

46.12%<br />

32.46%<br />

28.73%<br />

-1.23% 6.09% 0.00%<br />

12.67%<br />

4.22%<br />

0.00% 0.00%<br />

-5.40%<br />

-0.54%<br />

-1.95%<br />

2009 2010 2011 2012 2013 2014-6.69%<br />

2015 2016<br />

-29.00%<br />

-29.67%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />

Grafik 3.31. Pertumbuhan Produktivitas Kacang Tanah Sulsel dan<br />

Nasional<br />

Grafik 3.31 memberikan gambaran mengenai perbandingan<br />

pertumbuhan produktivitas kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan secara<br />

nasional. Dapat dilihat bahwa pertumbuhan produktivitas yang terjadi di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sangat berfluktuasi tajam, sedangkan pada level nasional<br />

lebih cenderung stabil setiap tahunnya. Meskipun demikian, pertumbuhan<br />

produktivitas kacang tanah di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> cenderung lebih tinggi dari<br />

level nasional kecuali pada tahun 2012 dan 2015.<br />

148


3.1.6 Ubi Kayu<br />

3.1.6.1 Luas Panen<br />

Tabel 3.16. Keragaan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kabupaten/Kota, 2008-2016, (ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Gowa 11.622 11.640 9.565 5.128 11.347 10.595 9.756 14.775 8.222 10.294<br />

2 Jeneponto 7.836 6.472 6.045 6.306 8.719 6.918 5.307 6.528 3.501 6.404<br />

3 Maros 2.269 1.256 2.125 2.613 2.146 1.382 1.430 1.359 1.468 1.783<br />

4 Bulukumba 1.457 1.358 1.284 845 2.493 1.074 1.216 422 60 1.134<br />

5 Bone 594 582 816 883 1.104 477 746 372 288 651<br />

6 Selayar 1.294 517 752 318 388 332 482 499 351 548<br />

7 Pinrang 543 374 486 496 491 427 373 363 260 424<br />

8 Takalar 274 872 569 596 340 190 208 218 324 399<br />

9 Wajo 489 354 389 312 648 394 366 369 221 394<br />

10 TanaToraja 507 736 251 252 453 349 346 339 184 380<br />

11 Enrekang 357 303 299 560 989 233 162 198 161 362<br />

12 LuwuUtara 474 460 319 305 409 351 305 231 134 332<br />

13 Barru 136 211 130 112 328 556 377 330 249 270<br />

14 Luwu 217 333 288 304 249 303 293 112 104 245<br />

15 Sinjai 356 414 423 193 190 167 111 96 31 220<br />

16 Pangkep 154 206 191 271 210 149 93 144 106 169<br />

17 TorajaUtara - - 262 130 263 249 190 183 224 167<br />

18 Makassar 175 163 256 172 128 192 41 27 23 131<br />

19 Sidrap 226 140 165 120 233 67 41 65 73 126<br />

20 LuwuTimur 171 146 148 197 109 112 93 71 71 124<br />

21 Soppeng 366 143 111 65 112 111 44 9 13 108<br />

22 Bantaeng 178 160 71 53 68 61 54 55 26 81<br />

23 Pare-Pare 69 82 50 16 22 21 35 12 13 36<br />

24 Palopo 32 22 15 21 15 10 14 8 - 15<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.16 memberikan informasi mengenai luas panen komoditi<br />

ubi kayu di masing-masing Kabupaten/Kota <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Berdasarkan<br />

nilai rata-rata selama delapan tahun, Kabupaten Gowa menempati urutan<br />

pertama dengan luas lahan sebesar 10.294Ha; disusul oleh Kabupaten<br />

149


Jeneponto (6.404Ha); dan Kabupaten Maros (1.783Ha). <strong>Di</strong> sisi lain, Kota<br />

Palopo merupakan daerah yang memiliki areal panen ubi kayu terkecil di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, yakni hanya 15Ha. Sebagai tambahan, hanya Kota Palopo<br />

yang pada tahun 2016 kemudian tidak memiliki lahan panen ubi kayu sama<br />

sekali.<br />

Tren yang fluktuatif namun tidak begitu tajam dapat terlihat dari<br />

keseluruhan luas panen per masing-masing Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong>. Terkecuali yang terjadi pada Kabupaten Bulukumba pada tahun<br />

2012; Kabupaten Bulukumba dapat mengakselerasikan luas lahannya<br />

menjadi 2.493Ha dari yang sebelumnya hanya 883Ha.<br />

LUAS PANEN UBI KAYU, SULEL (HA)<br />

29,796<br />

26,944<br />

25,010<br />

20,268<br />

31,454<br />

24,720<br />

22,083<br />

26,783<br />

16,107<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

150<br />

Grafik 3.32 Keragaan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.32 menjelaskan mengenai luas panen ubi kayu di <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> secara agregat dengan menggunakan satuan ton. Dapat di lihat<br />

bahwa tren negatif lebih mendominasi sepanjang tahun kecuali<br />

peningkatan areal panen yang terjadi pada tahun 2012 dan 2015 (31.454Ha<br />

dan 26.783Ha secara berurutan).


Pertumbuhan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> dan Nasional (%)<br />

60.00%<br />

55.19%<br />

40.00%<br />

20.00%<br />

0.00%<br />

-20.00%<br />

-40.00%<br />

21.28%<br />

0.63%<br />

-2.43%<br />

0.14%<br />

-4.64% -5.66% -5.84% -5.34%<br />

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 -13.39% 2016<br />

-9.57%<br />

-7.18%<br />

-18.96%<br />

-21.41%<br />

-10.67%<br />

-39.86%<br />

-60.00%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Grafik 3.33. Pertumbuhan Luas Panen Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

dan Nasional<br />

Grafik 3.33 menunjukkan kondisipertumbuhan luas panen ubi kayu<br />

di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan nasional. Dari data tersebut, pertumbuhan lahan<br />

luas panen secara nasional tidak mendapatkan banyak perubahan. Berbeda<br />

dengan <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang mengalami banyak titik tajam seperti<br />

perubahan pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2012, 2013, dan 2015.<br />

151


3.1.6.2 Produksi<br />

Tabel 3.17 Keragaan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota 2008-2016 (Ton)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Gowa 178.645 180.624 271.625 85.699 269.318 176.756 208.881 317.293 223.901 212.527<br />

2 Jeneponto 121.136 97.380 140.760 121.644 188.330 117.876 123.185 131.903 81.878 124.899<br />

3 Maros 52.049 23.950 46.413 41.393 40.994 22.965 29.667 21.447 48.286 36.352<br />

4 Bulukumba 43.010 34.710 32.678 19.617 47.988 2.375 30.762 9.570 1.127 24.649<br />

5 Bone 9.761 9.479 15.015 14.753 23.945 9.774 15.170 9.758 5.430 12.565<br />

6 Selayar 19.059 6.996 10.773 4.261 7.428 6.401 9.962 10.498 5.917 9.033<br />

7 Takalar 4.176 14.590 14.340 13.282 6.031 3.079 3.655 4.537 7.488 7.909<br />

8 Pinrang 7.765 5.713 7.309 7.666 9.953 8.618 7.376 9.055 5.737 7.688<br />

9 Wajo 7.198 5.103 5.528 5.556 11.556 7.763 7.650 10.711 5.644 7.412<br />

10 TanaToraja 13.723 11.161 4.554 4.839 8.690 5.570 6.259 6.244 3.943 7.220<br />

11 Enrekang 5.631 4.392 5.010 9.328 21.029 4.565 3.135 5.863 2.845 6.866<br />

12 LuwuUtara 7.932 7.161 6.851 6.731 9.103 7.816 6.437 6.020 2.417 6.719<br />

13 Barru 1.820 3.373 3.345 2.250 7.179 11.198 7.571 7.309 9.513 5.951<br />

14 Sinjai 9.721 8.780 10.908 3.615 4.506 3.871 2.016 2.354 508 5.142<br />

15 Luwu 3.393 4.771 4.409 7.082 4.571 5.853 5.554 1.895 1.947 4.386<br />

16 Pangkep 1.828 4.443 4.379 6.376 4.697 2.783 1.878 3.247 1.737 3.485<br />

17 TorajaUtara - - 4.096 2.692 5.088 4.125 3.507 3.540 4.031 3.009<br />

18 LuwuTimur 2.942 2.338 2.594 4.499 2.269 2.312 1.966 1.150 1.306 2.375<br />

19 Makassar 2.640 2.262 4.021 3.563 2.111 3.256 725 461 424 2.163<br />

20 Sidrap 2.919 1.730 2.555 2.357 4.355 1.514 717 1.609 1.476 2.137<br />

21 Soppeng 4.309 1.741 1.477 999 2.100 2.027 786 231 287 1.551<br />

22 Bantaeng 3.469 2.378 1.605 1.220 1.001 935 883 922 470 1.431<br />

23 Pare-Pare 706 1.447 940 312 432 375 454 165 242 564<br />

24 Palopo 545 339 254 390 321 224 281 177 - 281<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.17 memberikan informasi mengenai kapasitas produksi<br />

komoditi ubi kayu per Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung<br />

dalam satuan ton. Berdasarkan hasil rata-rata, Kabupaten Gowa menduduki<br />

peringkat pertama dengan nilai rata-rata produksi selama delapan tahun<br />

sebesar 212.527 ton; diikuti oleh Kabupaten Jeneponto (124.899 ton), dan<br />

Kabupaten Maros (36.352 ton). Sedangkan, Kota Pare-pare dan Kota Palopo<br />

152


menempati posisi dua terendah dengan rata-rata hasil produksi sebanyak<br />

564 ton dan 281 ton secara berurutan.<br />

PRODUKSI UBI KAYU (TON)<br />

682,995<br />

601,437<br />

565,958<br />

504,198<br />

434,862<br />

370,124<br />

433,399<br />

478,486<br />

416,553<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.34. Keragaan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Grafik 3.34 memberikan gambaran mengenai kapasitas produksi ubi<br />

kayu di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara keseluruhan yang diukur dengan satuan<br />

ton. Dapat dilihat fluktuasi jumlah produksi tahunan, yang menempatkan<br />

jumlah produksi tahun 2012 menjadi yang tertinggi (682.995 ton) sepanjang<br />

delapan tahun terakhir.<br />

153


Pertumbuhan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> dan Nasional (%)<br />

100.00%<br />

80.00%<br />

60.00%<br />

40.00%<br />

20.00%<br />

0.00%<br />

-20.00%<br />

-40.00%<br />

-60.00%<br />

84.53%<br />

1.30%<br />

38.31%<br />

8.53%<br />

0.53% 0.55%<br />

10.40%<br />

18.28%<br />

-0.99% -2.09%<br />

-6.98% -7.09%<br />

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

-13.75%<br />

-26.40%<br />

-38.46%<br />

-36.54%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Grafik 3.35. Pertumbuhan Produksi Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />

Nasional<br />

Grafik 3.35 memberikan gambaran mengenai komparasi<br />

pertumbuhan produksi ubi kayu pada level Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dan<br />

nasional. Dapat dilihat bahwa pertumbuhan produksi yang terjadi di tingkat<br />

nasional cenderung lebih stabil walaupun terjadi sedikit penurunan pada<br />

empat tahun terakhir. Sedangkan, pertumbuhan produksi ubi kayu di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> lebih bergejolak, yang membuat pertumbuhan produksi<br />

tahun 2012 menjadi yang tertinggi sepanjang periode tersebut. Meskipun<br />

demikian, baik nasional maupun provinsi, keduanya sama-sama mengalami<br />

pertumbuhan negatif di tahun 2016; tetapi nasional dengan posisi yang<br />

lebih baik dari <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

154


3.1.6.3 Produktivitas<br />

Tabel 3.18. Keragaan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kab/Kota 2008-2016, (Kui/ha)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Sinjai 273,05 212,07 257,82 187,31 237,16 231,80 181,62 245,16 164,40 221,15<br />

2 Barru 133,84 159,88 257,27 200,86 218,87 201,40 200,82 221,48 382,05 219,61<br />

3 Bulukumba 295,20 255,60 254,51 232,15 192,49 22,11 252,98 226,77 187,83 213,29<br />

4 Gowa 153,71 155,18 283,83 167,12 237,35 166,83 214,11 214,75 272,33 207,25<br />

5 LuwuUtara 167,34 155,68 213,72 220,69 222,57 222,68 211,05 260,60 180,64 206,11<br />

6 Maros 229,39 190,68 218,30 158,41 191,03 166,17 207,46 157,81 328,97 205,36<br />

7 Pangkep 118,72 215,70 227,11 235,28 223,67 186,78 201,94 225,48 163,87 199,84<br />

8 Jeneponto 154,59 150,46 232,84 192,90 216,00 170,39 232,12 202,06 233,87 198,36<br />

9 Bone 164,33 162,88 184,01 167,08 216,89 204,91 203,35 262,31 188,54 194,92<br />

10 Takalar 152,41 167,32 251,84 222,86 177,38 162,05 175,72 208,10 231,18 194,32<br />

11 Wajo 147,19 144,16 141,20 178,06 178,33 197,03 209,02 290,27 255,38 193,40<br />

12 TanaToraja 270,66 151,64 169,62 192,02 191,83 159,60 180,90 184,20 214,29 190,53<br />

13 LuwuTimur 172,02 160,12 175,27 228,36 208,17 206,43 211,40 161,91 183,94 189,74<br />

14 Enrekang 157,72 144,94 161,61 166,57 212,63 195,92 193,52 296,13 176,71 189,53<br />

15 Pinrang 143,00 152,77 150,39 154,57 202,71 201,83 197,75 249,44 220,65 185,90<br />

16 Sidrap 129,15 123,56 149,56 196,42 186,91 225,97 174,88 247,59 202,19 181,80<br />

17 Luwu 156,38 143,29 152,95 232,96 183,57 193,17 189,56 169,16 187,21 178,69<br />

18 Bantaeng 194,91 148,63 199,39 230,26 147,21 153,28 163,52 167,68 180,77 176,18<br />

19 Soppeng 117,73 121,74 128,12 153,74 187,50 182,61 178,64 257,16 220,77 172,00<br />

20 Selayar 147,29 135,32 143,13 134,01 191,44 192,80 206,68 210,37 168,58 169,96<br />

21 Palopo 170,26 153,99 169,19 - 214,00 224,00 200,71 221,37 169,19<br />

22 Makassar 140,58 138,76 157,08 207,00 164,92 169,58 176,83 170,81 184,35 167,77<br />

23 Pare-Pare 102,35 176,48 187,92 - 196,36 178,57 129,71 137,90 186,15 143,94<br />

24 TorajaUtara - - 158,41 207,00 193,46 165,66 184,58 193,43 179,96 142,50<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.18 memberikan informasi mengenai produktivitas ubi kayu<br />

di masing-masing Kabupaten/Kota <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung dengan<br />

menggunakan satuan Kui/Ha. Secara umum, pergerakan produktivitas dari<br />

tahun ke tahun yang terjadi pada setiap Kabupaten/Kota dalam Tabel 53,<br />

menunjukkan naik turunnya nilai produktivitas yang tidak begitu signifikan.<br />

155


Jika dilihat dari pencapaian nilai rata-rata, Kabupaten Sinjai<br />

menempati urutan teratas dengan nilai 221,15Kui/Ha; yang kemudian<br />

diikuti oleh Kabupaten Barru (219,61Kui/Ha) dan Kabupaten Bulukumba<br />

(213,29Kui/Ha). Sementara itu, perkotaan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> menempati<br />

posisi empat terendah dengan nilai rata-rata produktivitas sebesar<br />

169,19Kui/Ha, 169,19Kui/Ha, dan 167,77Kui/Ha untuk masing-masing Kota<br />

Palopo, Kota Makassar, dan Kota Pare-pare. Sedangkan Kabupaten Toraja<br />

Utara menempati urutan terbawah dengan nilai 142,50Kui/Ha.<br />

PRODUKTIVITAS UBI KAYU (KUI/HA)<br />

240.48<br />

217.14<br />

216.68 211.31<br />

258.62<br />

169.22 161.39<br />

182.62<br />

175.32<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.36Keragaan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

(2008-2016)<br />

Grafik 3.36 menunjukkan dinamika produktivitas ubi kayu di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara agregat dalam satuan Kui/Ha. Pergerakan nilai<br />

produktivitas yang cukup fluktuatif sepanjang tahun 2008-2016, dan<br />

menjadikan hasil produktivitas pada tahun 2016 berada di titik puncak<br />

dengan capaian 258,62Kui/Ha.<br />

156


60.00%<br />

40.00%<br />

20.00%<br />

0.00%<br />

-20.00%<br />

-40.00%<br />

Pertumbuhan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> dan Nasional (%)<br />

3.82%<br />

49.01%<br />

7.76%<br />

0.00%<br />

5.94% 4.95% 3.98%<br />

-1.73%<br />

7.27%<br />

2009 2010 2011 2012 2013 2014<br />

-4.63%<br />

-2.48%<br />

2015 2016<br />

-24.06%<br />

18.90%<br />

-19.26%<br />

23.59%<br />

22.39%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />

Grafik 3.37. Pertumbuhan Produktivitas Ubi Kayu <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

dan Nasional<br />

Grafik 3.37 memberikan gambaran mengenai perbandingan<br />

pertumbuhan produktivitas antara level provinsi dan level nasional. Dapat<br />

dilihat bahwa pada level nasional, pertumbuhan produktivitas berjalan<br />

sangat stabil dengan puncak pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2010<br />

sebesar 7,76%. Sedangkan, pada level provinsi, fluktuasi yang cukup tajam<br />

terjadi sepanjang tahun selama 2008 hingga 2016. Pada tahun 2010 di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> juga mencatat pertumbuhan produktivitas ubi kayu<br />

tertinggi sepanjang periode dengan nilai sebesar 49,01% - bahkan jauh di<br />

atas pertumbuhan nasional.<br />

157


3.1.7 Ubi Jalar<br />

3.1.7.1 Luas Panen (Ha)<br />

Tabel 3.19. Keragaan Luas Panen Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kabupaten/Kota (2008-2016)<br />

No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Bone 444 481 657 783 887 530 1223 1349 1120 830<br />

2 Gowa 1004 651 593 677 951 634 420 415 401 638<br />

3 Tana Toraja 1188 733 294 279 439 227 192 211 127 410<br />

4 Enrekang 203 610 512 298 473 520 322 239 279 384<br />

5 Luwu Utara 288 367 321 706 490 466 297 210 90 359<br />

6 Maros 422 203 290 171 343 313 344 290 462 315<br />

7 Wajo 425 252 316 244 348 202 242 210 127 263<br />

8 Bulukumba 392 226 188 348 466 228 242 102 83 253<br />

9 Jeneponto 89 124 119 243 350 284 373 127 386 233<br />

10 Luwu 238 346 236 278 249 246 294 124 76 232<br />

11 Takalar 219 194 208 195 235 158 165 366 301 227<br />

12 Sinjai 338 238 113 131 136 124 70 192 202 172<br />

13 Toraja Utara 0 0 208 124 376 193 209 175 243 170<br />

14 Barru 102 190 121 229 197 96 143 209 158 161<br />

15 Selayar 257 57 86 126 158 176 177 155 106 144<br />

16 Pangkep 113 287 200 114 91 130 101 87 52 131<br />

17 Luwu Timur 101 122 191 164 73 84 58 54 60 101<br />

18 Bantaeng 258 63 76 82 94 31 37 83 55 87<br />

19 Pinrang 66 71 58 54 132 71 123 90 93 84<br />

20 Sidrap 104 81 64 65 177 33 19 3 1 61<br />

21 Makassar 6 5 45 31 60 29 18 18 9 25<br />

22 Soppeng 45 31 39 28 33 25 5 7 4 24<br />

23 Palopo 24 32 23 21 16 9 8 1 0 15<br />

24 Pare-Pare 9 6 0 0 0 0 0 2 0 2<br />

Tabel 3.19 memberikan informasi mengenai luas panen komoditi<br />

ubi jalar menurut Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dihitung dengan<br />

satuan hektare. Secara umum, luas panen ubi jalar di Kabupaten/Kota<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ini cenderung bervariasi namun tidak memiliki perubahan<br />

yang signifikan. <strong>Di</strong>lihat dari nilai rata-rata, Kabupaten Bone menjadi wilayah<br />

yang menduduki peringkat pertama dalam kepemilikan luas panen ubi jalar<br />

(830Ha), disusul oleh Kabupaten Gowa dengan luas lahan sebesar 638Ha,<br />

158


dan Kabupaten Tana Toraja (410Ha). Sedangkan, Kota Pare-pare<br />

menempati urutan terendah dengan rata-rata luas panen sebesar 2Ha<br />

selama delapan tahun terakhir.<br />

LUAS PANEN UBI JALAR, SULSEL (HA)<br />

6,235<br />

6,774<br />

5,370<br />

5,058<br />

5,391<br />

4,809<br />

5,082<br />

4,717<br />

4,433<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.38. Keragaan Luas Panen Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> (2008-<br />

2016)<br />

Grafik 3.38 menggambarkan luas panen ubi jalar di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

secara keseluruhan dengan satuan hektare. Berdasarkan data, pergerakan<br />

luas lahan panen ubi jalar cenderung menurun sejak tahun 2013. Namun,<br />

tahun 2012 merupakan waktu dimana <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki jumlah<br />

luas lahan panen ubi jalar tertinggi sepanjang delapan tahun terakhir.<br />

159


Pertumbuhan Luas Panen Ubi Jalar (%)<br />

30.00%<br />

20.00%<br />

25.65%<br />

10.00%<br />

0.00%<br />

-10.00%<br />

-20.00%<br />

5.34%<br />

2009<br />

-1.52%<br />

2010<br />

-5.81%<br />

-1.63% 6.58%<br />

2011<br />

0.10%<br />

2012<br />

-9.22%<br />

2013<br />

-3.15% 5.68%<br />

2014 -8.70% 2015<br />

-7.18%<br />

2016<br />

-13.66% -6.02%<br />

-13.87%<br />

-30.00%<br />

-29.01%<br />

-40.00%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Grafik 3.39. Pertumbuhan Luas Panen Ubi Jalar Sulsel dan Nasional<br />

Grafik 3.39 menggambarkan perbandingan luas lahan panen ubi<br />

jalar untuk tingkat provinsi dan tingkat nasional. Tren yang terjadi pada<br />

keduanya cenderung negatif. Meskipun begitu, fluktuasi pertumbuhan yang<br />

terjadi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> cukup tajam pada tahun 2013 yang mendadak<br />

jatuh ke poin -29,01% dari sebelumnya 25,65%. Pada tahun 2016, walaupun<br />

keduanya memiliki pertumbuhan luas lahan panen yang negatif, namun<br />

keberadaan <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> masih sedikit lebih baik dari poin<br />

pertumbuhan nasional.<br />

160


3.1.7.2 Produksi (Ton)<br />

Tabel 3.20. Keragaan Produksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> Menurut<br />

Kabupaten/Kota (2008-2016) (Ton)<br />

N<br />

o Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Rerat<br />

a<br />

1 Bone 4.825 5.615 6.274 8.565<br />

13.53<br />

2 8.289<br />

19.25<br />

1<br />

21.66<br />

8<br />

15.06<br />

7<br />

11.45<br />

4<br />

2 Gowa<br />

14.01<br />

8<br />

12.83<br />

5 9.298 8.497<br />

13.17<br />

1 9.923 6.151 6.033 6.917 9.649<br />

3<br />

TanaToraj<br />

a<br />

13.39<br />

2<br />

11.43<br />

4 4.386 4.086 6.518 3.047 2.957 2.973 1.752 5.616<br />

4 Enrekang 1.564 5.514 4.569 4.290 6.680 8.106 5.393 3.718 6.345 5.131<br />

5 LuwuUtara 3.015 4.818 2.806 8.455 5.997 7.266 4.845 3.800 1.555 4.729<br />

6 Maros 4.010 2.565 3.858 2.369 4.691 4.353 5.794 4.612 9.089 4.593<br />

7 Jeneponto 671 990 920 2.970 4.881 4.318 6.254 1.753 7.290 3.339<br />

8 Wajo 3.944 2.640 3.026 3.171 4.715 3.154 3.712 3.295 1.817 3.275<br />

Bulukumb<br />

9 a 4.039 2.788 3.198 4.280 6.889 3.051 2.726 1.117 1.123 3.246<br />

10 Takalar 2.494 2.760 2.963 2.801 3.286 1.645 2.671 5.731 4.419 3.197<br />

11 Luwu 2.796 4.386 2.806 3.450 3.271 3.478 4.961 1.370 890 3.045<br />

TorajaUtar<br />

12 a - - 2.069 1.153 5.278 2.796 3.247 2.715 3.287 2.283<br />

13 Barru 1.028 2.049 1.327 2.548 2.845 1.313 1.924 3.317 3.576 2.214<br />

14 Sinjai 2.721 2.207 1.037 2.000 1.929 1.528 806 2.315 2.371 1.879<br />

15 Selayar 2.984 722 980 1.640 1.954 2.577 2.687 1.972 1.351 1.874<br />

16 Pangkep 805 2.960 2.009 1.266 1.138 1.953 1.438 1.452 781 1.534<br />

17 LuwuTimur 1.014 1.470 2.222 2.100 921 1.188 814 932 1.181 1.316<br />

18 Pinrang 530 722 574 667 1.754 1.031 1.581 1.441 1.499 1.089<br />

19 Bantaeng 1.281 608 802 897 1.157 359 453 1.036 888 831<br />

20 Sidrap 733 549 516 863 2.438 501 220 42 18 653<br />

21 Makassar 40 39 373 320 749 381 239 228 108 275<br />

22 Soppeng 335 283 343 304 471 397 50 123 73 264<br />

23 Palopo 240 370 252 254 207 113 101 13 - 172<br />

24 Pare-Pare 68 48 - - - - - 21 - 15<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.20 memberikan informasi mengenai kapasitas produksi<br />

komoditi ubi jalar pada masing-masing Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

161


yang dihitung menggunakan satuan ton. Secara rata-rata produksi,<br />

Kabupaten Bone berhasil memproduksi ubi jalar sebanyak 11.454 ton<br />

dalam waktu delapan tahun terakhir, disusul oleh Kabupaten Gowa (9.649<br />

ton) dan Kabupaten Tana Toraja (5.616 ton). Sementara itu, Kota Pare-pare<br />

menempati posisi terbawah dengan kemampuan produksi rata-rata sebesar<br />

15 ton.<br />

Secara umum, masing-masing Kabupaten/Kota pada setiap<br />

tahunnya menunjukkan perubahan yang tidak begitu signifikan. Namun,<br />

hasil produksi Kabupaten Jeneponto serta pertumbuhannya dari tahun ke<br />

tahun tergolong cukup cepat dan memuaskan. Secara konsisten dapat<br />

meningkatkan hasil produksi ubi jalarnya, kecuali pada tahun 2015 namun<br />

dapat bergairah kembali pada tahun 2016. Adapun Kota Makassar yang<br />

juga mengalami peningkatan produksi ubi jalar yang cukup fantastis sebesar<br />

856,41% pada tahun 2010 dan berhasil bertahan hingga tahun 2012<br />

sebelum akhirnya mengalami penurunan produksi secara berkelanjutan<br />

hingga tahun 2016.<br />

162


PRODUKSI UBI JALAR (TON)<br />

94,474<br />

66,546 68,372<br />

57,513<br />

66,946<br />

70,767<br />

78,275<br />

71,681 71,398<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.40. KeragaanProduksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

(2008-2016)<br />

Grafik 3.40 menjelaskan mengenai produksi ubi jalar pada di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> secara agregat yang cukup fluktuatif namun stabil.<br />

Terkecuali pada tahun 2012 (94.474 ton), dengan peningkatan produksi<br />

yang cukup tinggi hingga mencapai puncaknya dalam kurun delapan tahun,<br />

yang kemudian turun dengan cepat ke angka 70.767 ton pada tahun 2013.<br />

<strong>Dalam</strong> dua tahun terakhir, hasil produksi ubi jalar di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

terlihat stabil di angka 71.000 ton.<br />

163


Pertumbuhan Produksi Ubi Jalar (%)<br />

50.00%<br />

40.00%<br />

30.00%<br />

20.00%<br />

10.00%<br />

0.00%<br />

-10.00%<br />

-20.00%<br />

-30.00%<br />

9.41%<br />

7.07%<br />

41.12%<br />

13.09%<br />

-0.33% 16.40%<br />

-0.17%<br />

-3.90% 10.61% -3.57% -5.58%<br />

2.74% 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015<br />

-8.42%<br />

-0.39% 2016<br />

-15.88%<br />

-25.09%<br />

Nasional Sulsel<br />

164<br />

Grafik 3.41. Pertumbuhan Produksi Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

dan Nasional<br />

Grafik 3.41 memperlihatkan komparasi pertumbuhan produksi ubi<br />

jalar baik yang terjadi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>, maupun pada tingkat nasional.<br />

Keduanya mencatat bahwa pada tahun 2012 adalah puncak pertumbuhan<br />

produksi ubi jalar; dimana <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tumbuh sekitar 41,12%<br />

sedangkan nasional tumbuh sekitar 13,09%. Namun setelah itu, terjadi<br />

penurunan pertumbuhan produksi yang cukup signifikan yang membawa<br />

pertumbuhan produksi ubi jalar nasional ke angka -3,90% dan <strong>Sulawesi</strong><br />

<strong>Selatan</strong> ke angka -25,09%. Pada tahun 2016, <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> mampu<br />

bangkit kembali dan mendominasi pertumbuhan produksi ubi jalar nasional<br />

walaupun keduanya tumbuh dengan tren negatif.<br />

3.1.7.3 Produktivitas (Kui/ha)<br />

Tabel 3.21. Keragaan Produktivitas Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

Menurut Kabupaten/Kota (2008-2016) (Kui/ha)


No Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rerata<br />

1 Gowa 139,6 197,2 156,8 125,5 138,5 156,5 146,5 145,4 172,5 153,2<br />

2 Maros 95,0 126,3 133,0 138,5 136,8 139,1 168,4 159,0 196,7 143,7<br />

3 TanaToraja 112,7 156,0 149,2 146,0 148,5 134,2 154,0 140,9 138,0 142,2<br />

4 LuwuUtara 104,7 131,3 115,5 119,8 122,4 155,9 163,1 181,0 172,8 140,7<br />

5 Takalar 113,9 142,3 142,4 143,7 139,8 104,1 161,9 156,6 146,8 139,0<br />

6 Enrekang 77,0 90,4 89,2 144,0 141,2 155,9 167,5 155,6 227,4 138,7<br />

7 LuwuTimur 100,4 120,5 116,3 128,1 126,2 141,4 140,3 172,6 196,8 138,1<br />

8 Barru 100,8 107,9 109,7 111,3 144,4 136,8 134,5 158,7 226,3 136,7<br />

9 Bone 108,7 116,8 95,5 108,4 152,6 156,4 157,4 160,6 134,5 132,3<br />

10 Wajo 92,8 104,8 95,8 130,0 135,5 156,1 153,4 156,9 143,1 129,8<br />

11 Selayar 116,1 126,7 113,9 130,2 123,7 146,4 151,8 127,2 127,5 129,3<br />

12 Luwu 117,5 126,8 118,9 124,1 131,4 141,4 168,7 110,5 117,1 128,5<br />

13 Jeneponto 75,4 79,8 77,3 122,2 139,5 152,0 167,7 138,1 188,9 126,8<br />

14 Pinrang 80,4 101,7 99,0 123,5 132,9 145,2 128,5 160,2 161,2 125,8<br />

15 Soppeng 74,4 91,3 88,0 108,7 142,7 158,8 100,0 176,2 182,5 124,7<br />

16 Pangkep 71,3 103,1 100,5 111,1 125,1 150,2 142,4 166,9 150,2 124,5<br />

17 Bulukumba 103,0 123,4 111,0 123,0 147,8 133,8 112,6 109,5 135,3 122,2<br />

18 Palopo 100,1 115,5 109,8 121,0 129,4 125,6 126,3 134,3 120,2<br />

19 Sidrap 70,5 67,8 80,7 132,8 137,7 151,8 115,8 141,1 180,0 119,8<br />

20 Bantaeng 81,1 96,5 105,6 109,4 123,1 115,8 122,4 124,9 161,5 115,6<br />

21 Sinjai 80,5 92,7 91,8 152,7 141,8 123,2 115,1 120,6 117,4 115,1<br />

22 Makassar 66,4 78,2 83,0 103,0 124,8 131,4 132,8 126,6 120,0 107,4<br />

23 TorajaUtara - - 99,5 93,0 140,4 144,9 155,4 155,2 135,3 102,6<br />

24 Pare-Pare 75,9 80,8 - - - - 104,8 37,4<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017<br />

Tabel 3.21 memberikan informasi mengenai produktivitas ubi jalar<br />

masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Secara ratarata,<br />

Kabupaten Gowa menempati peringkat pertama sebagai wilayah yang<br />

memiliki produktivitas ubi jalar sebesar 153,2Kui/Ha disusul oleh Kabupaten<br />

Maros (143,7Kui/Ha) dan Kabupaten Tana Toraja (142,2Kui/Ha). Sementara<br />

itu, Kota Makassar dan Kabupaten Toraja Utara, dan Kota Pare-pare<br />

menempati urutan tiga terbawah dengan masing-masing nilai rata-rata<br />

produktivitas sebesar 107,4Kui/Ha, 102,6Kui/Ha, dan 37,4Kui/Ha secara<br />

berurutan.<br />

165


PRODUKTIVITAS UBI JALAR (KUI/HA)<br />

106.73<br />

127.32<br />

113.71<br />

124.18<br />

139.47<br />

147.16<br />

154.02 151.96<br />

161.05<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.42. Keragaan Produktivitas Ubi Jalar <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

(2008-2016)<br />

Grafik 3.42 menggambarkan posisi produktivitas ubi jalar secara<br />

keseluruhan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang menampilkan tren positif dari tahun<br />

ke tahun sejak tahun 2011 hingga 2016. Tahun 2016 adalah pencapaian<br />

produktivitas ubi jalar tertinggi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> sebesar 161.05Kui/Ha.<br />

166


Pertumbuhan Produktivitas Ubi Jalar (%)<br />

25.00%<br />

20.00%<br />

15.00%<br />

10.00%<br />

5.00%<br />

0.00%<br />

-5.00%<br />

-10.00%<br />

-15.00%<br />

19.29%<br />

13.01%<br />

8.85%<br />

9.36%<br />

12.31% 6.09%<br />

5.61%<br />

3.87%<br />

3.07%<br />

0.96%<br />

9.21%<br />

5.51% 5.98%<br />

4.66%<br />

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015<br />

-1.34%<br />

2016<br />

-10.69%<br />

Nasional<br />

Sulsel<br />

Sumber Data: Kementan RI, DKPTPH Sulsel, 2017, <strong>Di</strong>olah<br />

Grafik 3.43. Pertumbuhan Produktivitas Ubi Jalar Sulsel dan<br />

Nasional (2009-2016)<br />

Grafik 3.43 menggambarkan perbandingan pertumbuhan<br />

produktivitas ubi jalar antar level nasional dan level provinsi. Pertumbuhan<br />

produksi yang dialami oleh <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> tidak jauh berbeda dengan<br />

yang dirasakan pada tingkat nasional. Beberapa kali sejak tahun 2011,<br />

angka pertumbuhan produksi ubi jalar saling bersinggungan antara kedua<br />

tingkatan tersebut. Namun, pertumbuhan produksi ubi jalar secara nasional<br />

cenderung lebih positif jika dibandingkan dengan pertumbuhan produksi<br />

ubi jalar yang terjadi di Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

167


3.2 Benih dan Luas Penangkaran<br />

3.2.1 Kedelai<br />

Keragaan Luas Penangkaran <strong>Dan</strong> Produksi Benih Kedelai <strong>Di</strong><br />

Sulsel Tahun 2008-2016<br />

4042.6<br />

3119.65<br />

2522.52<br />

1858.1 1969.45<br />

1994.112 2240.792 1077.925<br />

666.727<br />

893.487<br />

1108.85<br />

1382.75<br />

2585.4<br />

2278.75<br />

1909.265 1986.825<br />

906.928<br />

454.586<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

LUAS PENANGKARAN (HA)<br />

PRODUKSI BENIH (TON)<br />

Grafik 3.44. Keragaan Luas Penangkaran (Ha) dan Produksi Benih<br />

Kedelai (Ton) di Sulsel 2008-2016<br />

Grafik 3.44 memberikan informasi mengenai luas penangkaran dan<br />

produksi benih komoditi kedelai di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Dapat dilihat bahwa<br />

pada tahun 2010, <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki 4.042,6Ha areal penangkaran<br />

tetapi hanya mampu memproduksi benih kedelai sebesar 1.077,925 ton;<br />

jauh lebih rendah dari tahun sebelumnya yang hanya memiliki luas<br />

penangkaran yang lebih kecil. Tahun 2013 merupakan waktu dimana luas<br />

penangkaran yang dimiliki <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> hanya sekitar 1.108,85Ha dan<br />

hanya menghasilkan benih kedelai sebanyak 454,586 ton.<br />

168


3.2.2 Jagung<br />

Keragaan Luas Penangkaran <strong>Dan</strong> Produksi Benih<br />

Jagung <strong>Di</strong> Sulsel Tahun 2008-2016<br />

700<br />

600<br />

500<br />

400<br />

300<br />

200<br />

100<br />

628.734<br />

563.21<br />

386.213<br />

240.55<br />

164.84<br />

209.65<br />

370.565<br />

154.09<br />

453.79<br />

220.4<br />

28.548<br />

67.889 16.3<br />

51 42.3 28.42<br />

3.905<br />

95.5<br />

0<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

LUAS PENANGKARAN (HA)<br />

PRODUKSI BENIH (TON)<br />

Grafik 3.45. Keragaan Luas Penangkaran dan Produksi Benih Jagung<br />

di Sulsel Tahun 2008-2016<br />

Grafik 3.menggambarkan kondisi jumlah luas penangkaran dan<br />

produksi benih jagung di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> pada periode yang telah<br />

ditentukan. Tahun 2008 menjadi momen dimana <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> memiliki<br />

jumlah penangkaran yang sangat besar (563,21Ha) dan menghasilkan benih<br />

jagung sebanyak 628,734 ton. Tren yang terjadi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> semakin<br />

menurun dari kedua sisi variabel, hingga 2010. Namun kemudian, tren<br />

negatif ini terus berlanjut hingga tahun 2015. Tahun 2016 terjadi perbaikan<br />

luas penangkaran dengan jumlah yang lebih banyak dari tahun sebelumnya<br />

(95,5Ha) namun tidak dapat memproduksi benih jagung sebanyak tahun<br />

sebelumnya.<br />

169


5881.37<br />

5701.61<br />

5026.65<br />

6669.05<br />

8142.47<br />

5594<br />

4842.64<br />

3983.78<br />

4810.91<br />

3.2.3 Padi<br />

keragaan luas penangkaran dan produksi<br />

benih padi di sulsel tahun 2008-2016<br />

18000<br />

16000<br />

14000<br />

12000<br />

10000<br />

8000<br />

6000<br />

4000<br />

2000<br />

0<br />

16558.55<br />

14876.936<br />

14050.415<br />

16123.69<br />

10508.176<br />

7352.797<br />

6713.66<br />

8476.371<br />

7341.784<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

LUAS PENANGKARAN (HA)<br />

PRODUKSI BENIH (TON)<br />

Grafik 3.46. Keragaan Luas Penangkaran (ha) dan Produksi Benih<br />

(Ton) Padi di Sulsel 2008-2016<br />

Grafik 3.46 menggambarkan tentang luas penangkaran dan<br />

produksi benih padi di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> dalam jangka waktu tertentu, 2008-<br />

2016. Penangkaran terluas terdapat pada tahun 2012, sebesar 8.142,47Ha<br />

yang mampu menghasilkan benih padi sebanyak 14.050,415 ton – sedikit<br />

lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yang mampu memproduksi<br />

benih sebanyak 14.876,936 ton dengan kapasitas penangkaran yang lebih<br />

kecil. sedangkan tahun 2015 merupakan masa dimana jumlah penangkaran<br />

padi terkecil selama delapan tahun terakhir (3.983,7Ha) dan berdampak<br />

terhadap jumlah produksi benih padi yang diperoleh (7.341,784).<br />

170


3.3 Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan)<br />

3.3.1 Kios Penyalur Saprotan<br />

Tabel 3.22. Jumlah Kios Penyalur Saprotan Menurut Lokasi (Unit)<br />

Lokasi<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Total<br />

1 Luwu Utara 0 0 0 0 198 186 227 0 245 856<br />

2 Bone 0 0 0 0 187 183 199 0 201 770<br />

3 Luwu Timur 0 0 0 0 127 142 167 159 172 767<br />

4 Wajo 0 0 0 0 120 126 145 146 151 688<br />

5 Pinrang 0 0 0 0 133 156 160 0 159 608<br />

6 Enrekang 0 0 0 0 157 157 157 0 44 515<br />

7 Jeneponto 0 0 0 0 121 116 117 0 133 487<br />

8 Gowa 0 0 0 0 91 97 112 0 149 449<br />

9 Luwu 0 0 0 0 101 67 92 93 91 444<br />

10 Sidrap 0 0 0 0 85 82 87 82 77 413<br />

11 Soppeng 0 0 0 0 53 57 71 70 76 327<br />

12 Takalar 0 0 0 0 76 69 64 0 68 277<br />

13 Pangkep 0 0 0 0 70 67 67 0 66 270<br />

14 Bulukumba 0 0 0 0 78 78 68 0 38 262<br />

15 Maros 0 0 0 0 57 55 37 0 38 187<br />

16 Barru 0 0 0 0 46 34 34 0 32 146<br />

17 Sinjai 0 0 0 0 35 36 36 0 29 136<br />

18 Tana Toraja 0 0 0 0 23 25 21 22 28 119<br />

19 Toraja Utara 0 0 0 0 21 31 18 22 17 109<br />

20 Bantaeng 0 0 0 0 26 26 0 40 92<br />

21 Palopo 0 0 0 0 16 14 14 0 16 60<br />

22 Pare-pare 0 0 0 0 3 2 6 6 2 19<br />

23 Makassar 0 0 0 0 0 4 2 2 1 9<br />

24 Selayar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0<br />

Sulsel 0 0 0 0 1798 1810 1927 602 1873 8010<br />

Tabel 3.22 memberikan informasi mengenai jumlah kios penyalur<br />

Saprotan di Kabupaten/Kota di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Kios penyalur Saprotan ini<br />

ditemukan paling banyak di Kabupaten Luwu Utara dengan jumlah kios<br />

171


sebanyak 856 unit sejak tahun 2012 hingga 2016. Sedangkan Kota Makassar<br />

hanya memiliki 9 unit, dan Kepulauan Selayar sama sekali tidak memiliki<br />

unit penyalur Saprotan. Hal inilah yang membuat kedua regional tersebut<br />

berada di posisi dua terendah.<br />

KIOS PENYALUR SAPROTAN<br />

1798 1810<br />

1927<br />

1873<br />

602<br />

0 0 0 0<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.47. Realisasi Kios Penyalur Saprotan <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong><br />

(2008-2016)<br />

Grafik 3.47 menggambarkan tren kios penyalur Saprotan di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang baru muncul pada tahun 2012; dan terus<br />

menunjukkan tren positif sebelum akhirnya menurun drastis ke angka 602<br />

pada tahun 2015. Walaupun kembali meningkat pada tahun 2016, jumlah<br />

unit penyalur Saprotan di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> ini tetap lebih rendah jika<br />

dibandingkan dengan capaian di tahun 2014.<br />

172


3.3.2 Traktor Roda-2<br />

Tabel 3.23. Realisasi Penyaluran Traktor roda-2, Menurut Lokasi<br />

2008-2016<br />

Row Labels<br />

200<br />

8<br />

200<br />

9<br />

201<br />

0<br />

201<br />

1<br />

201<br />

2<br />

201<br />

3<br />

201<br />

4<br />

201<br />

5<br />

201<br />

6<br />

Tota<br />

l<br />

Bone 0 0 12 21 32 53 46 26 27 217<br />

Wajo 0 0 15 18 30 41 34 24 22 184<br />

Gowa 0 1 10 17 11 25 23 0 14 101<br />

Jeneponto 0 1 10 10 9 31 16 3 21 101<br />

Pinrang 0 0 30 4 4 24 36 0 0 98<br />

Luwu 0 0 41 2 10 7 7 6 6 79<br />

Maros 0 0 14 2 4 22 18 0 3 63<br />

Soppeng 0 0 15 15 15 6 6 2 0 59<br />

Takalar 0 0 8 6 3 12 16 1 5 51<br />

Bulukumba 0 1 9 4 0 10 6 2 12 44<br />

Luwu Utara 0 0 6 3 6 13 6 7 0 41<br />

Sidrap 0 0 12 4 5 14 4 2 0 41<br />

Sinjai 0 0 4 5 5 17 0 1 7 39<br />

Luwu Timur 0 0 14 6 3 4 2 0 2 31<br />

Selayar 0 1 10 6 1 5 4 0 0 27<br />

Barru 0 1 7 2 2 7 6 0 0 25<br />

Tana Toraja 0 0 15 0 5 0 0 0 1 21<br />

Toraja Utara 0 0 8 0 0 0 0 0 13 21<br />

Pangkep 0 0 11 1 2 1 4 0 0 19<br />

Enrekang 0 0 12 0 4 2 0 0 0 18<br />

Bantaeng 0 1 0 1 0 3 1 1 4 11<br />

Makassar 0 0 8 0 0 2 0 0 0 10<br />

Palopo 0 0 4 0 0 1 0 0 0 5<br />

Pare-pare 0 0 3 0 0 0 2 0 0 5<br />

Tabel 3.23 memberikan informasi tentang realisasi penyaluran<br />

traktor roda-2 di Kabupaten/Kota Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Berdasarkan<br />

data, realisasi tertinggi terjadi di Kabupaten Bone dengan total penyaluran<br />

sebanyak 217 unit sejak tahun 2010 hingga 2016. Sedangkan Kota<br />

173


Makassar, Kota Palopo, dan Kota Pare-pare menempati urutan tiga<br />

terbawah dengan realisasi sebanyak 10 unit, 5 unit, dan 5 unit secara<br />

berurutan.<br />

TRAKTOR RODA - 2 (UNIT)<br />

278<br />

300<br />

237<br />

127<br />

151<br />

137<br />

75<br />

0 6<br />

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016<br />

Grafik 3.48. Realisasi Penyaluran Alsintan Jenis Traktor Roda-2,<br />

Sulsel (2008-2016)<br />

Grafik 3.48 menggambarkan realisasi penyaluran traktor roda-2 di<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> yang dimulai sejak tahun 2009. Realisasi penyaluran cukup<br />

beragam dengan realisasi tertinggi pada tahun 2013 (300 unit) dan 2010<br />

(278 unit). Sedangkan, realisasi terendah terdapat pada tahun 2009 yang<br />

hanya menyalurkan 6 unit traktor roda-2.<br />

174


3.3.3 Traktor Roda-4<br />

Tabel 3.24. Realisasi Penyaluran Bantuan Traktor Roda 4 (Unit)<br />

Lokasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Total<br />

Gowa 0 4 0 0 0 0 0 0 0 4<br />

Wajo 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2<br />

Soppeng 0 0 0 0 4 0 0 0 0 4<br />

Sulsel 0 4 0 0 4 0 0 2 0 10<br />

Tabel 3.24 memberikan informasi mengenai realisasi penyaluran<br />

traktor roda-4 di beberapa Kabupaten di <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>. Kabupaten Gowa<br />

dan Kabupaten Soppeng mendapatkan jumlah realisasi bantuan terbanyak,<br />

sebanyak 4 unit, dibandingkan Kabupaten Wajo. Secara keseluruhan,<br />

<strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> telah merealisasikan 10 unit bantuan traktor roda-4 di<br />

beberapa kabupaten terpilih.<br />

3.3.4 Combine Harvester<br />

Tabel 3.25 1Realisasi Penyaluran Combine Harvester (Unit)<br />

Row Labels 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Total<br />

Wajo 0 0 0 0 0 0 2 3 1 6<br />

Soppeng 0 0 0 0 4 0 0 2 0 6<br />

Pinrang 0 0 0 0 0 1 0 0 4 5<br />

Barru 0 0 0 0 0 0 0 0 4 4<br />

Maros 0 0 0 0 0 0 1 0 1 2<br />

Luwu 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1<br />

Sulsel 0 0 0 0 4 1 4 5 10 24<br />

Tabel 3.25 memberikan informasi mengenai realisasi penyaluran<br />

Combine Harvester di beberapa daerah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

Kabupaten Wajo dan Kabupaten Soppeng adalah daerah yang<br />

mendapatkan realisasi bantuan tertinggi (masing-masing 6 unit)<br />

dibandingkan dengan daerah lainnya. Sedangkan Kabupaten Maros dan<br />

175


Kabupaten Luwu hanya mendapatkan masing-masing 2 unit dan 1 unit<br />

Combine Harvester. Secara akumulasi, Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> telah<br />

merealisasikan 24 unit Combine Harvester yang diserahkan ke beberapa<br />

kabupaten terpilih.<br />

176


IV. KEKUATAN MODAL SOCIAL DAN KELEMBAGAAN<br />

MASYARAKAT<br />

<strong>Pemerintah</strong> Pusat menilai, <strong>Pemerintah</strong>an Sulsel sebagai<br />

pemerintahan yang berhasil menjadi lumbung pangan nasional. <strong>Pemerintah</strong><br />

Sulsel berhasil meningkatkan produksi dan produktivitas beras, hingga<br />

menjadi provinsi yang memiliki over stock beras sebesar 2,5 juta ton (2016).<br />

Hal yang sama terjadi pada komoditi lain seperti: jagung, rumput laut,<br />

kacang-kacangan, dan coklat. Bagaimana pemerintah Sulsel mencapai<br />

posisinya sebagai pemerintah yang berhasil membangun sektor pertanian<br />

(khususnya beras – pangan)? Inilah pertanyaan pokok, pada bagian ini yang<br />

hendak dijawab.<br />

Tonggak penting dari pengelolaan pembangunan pertanian pada<br />

pemerintahan Sulsel (2008-2018) adalah konsolidasi kekuatan sosial<br />

masyarakat dihubungkan dengan kapasitas kelembagaan masyarakat.<br />

Gubernur Syahrul Yasin Limpo menyebutnya sebagai penyatuan kekuatan<br />

sosial masyarakat dengan kekuatan formal pemerintahan.<br />

Mengintegrasikan kekuatan sosial dengan kekuatan formal pemerintahan,<br />

menjadi kunci keberhasilan pembangunan pertanian di Sulsel, jelas Syahrul<br />

Yasin Limpo.<br />

177


Grafik 4.1 Kerangka logis pencapaian overstock pangan<br />

<strong>Pemerintah</strong> dalam melaksanakan pembangunan (pertanian<br />

khususnya) tidak lebih sebagai moderator, yang memiliki kesediaan untuk<br />

mendengar aspirasi dan merumuskan menjadi konsep operasional. Dengan<br />

pemahaman ini, pemerintah Sulsel berhasil mengkonsolidasikan semua<br />

elemen (stake holders), mulai dari communitas social yang memiliki modal<br />

sosial yang beragam, perguruan tinggi yang memiliki ketrampilan research,<br />

private sectors yang mampu mewujudkan temuan Pertguruan Tinggi<br />

melalui researchnya menjadi teknologi. Perpaduan dari berbagai kekuatan<br />

ini melahirkan inovasi yang mendorong terwujudnya overstock beras.<br />

<strong>Pemerintah</strong> Sulsel secara terampil berhasil membangun social trust<br />

terhadap sejumlah programnya. Masyarakat dan lembaga pemerintahan<br />

telah mengambil bagian dalam bentuk keinginan untuk mengambil risiko<br />

178


dalam hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh perasaan ’yakin’,<br />

bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan<br />

senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan saling mendukung.<br />

Kemampuan yang lain dilakukan oleh pemerintah Sulsel untuk<br />

mendukung program overstock beras adalah mendorong tingkat<br />

Participation and <strong>Social</strong> Net Work, yakni meningkatkan kemampuan<br />

anggota masyarakat untuk menyatukan diri dalam suatu pola hubungan<br />

yang sinergis, keadaan ini akan sangat mempengaruhi, lemah atau kuatnya<br />

modal sosial dalam suatu masyarakat. Kemampuan tersebut terwujud<br />

dalam bentuk partisipasi dalam membangun jaringan dalam sebuah<br />

hubungan yang saling berdampingan.<br />

Dorongan akan pentingnya Saling Tukar Kebaikan (Resiprocity)<br />

terus dinyalakan oleh pemerintah Sulsel melalui slogan “kebersamaan.”<br />

<strong>Pemerintah</strong> Sulsel nampaknya percaya bahwa modal sosial selalu bercirikan<br />

saling tukar kebaikan (resiprocity) antar individu dalam suatu kelompok<br />

ataupun antar kelompok dalam suatu masyarakat.<br />

Menjaga norma-norma sosial (<strong>Social</strong> Norms) yang ada dalam<br />

masyarakat menjadi point penting yang selalu digalakkan oleh pemerintah<br />

Provinsi Sulsel, dengan kembali pada kebajikan local. <strong>Pemerintah</strong><br />

mempercayai norma-norma sosial berperan penting dalam mengontrol<br />

bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Norma-norma ini<br />

telah tumbuh menjadi tanggungjawab social yang memiliki nilai untuk<br />

selalu mempertimbangkan dan memikirkan kesulitan orang. Norma social<br />

yang tidak mau membiarkan orang lain untuk mengalami “kekurangan<br />

pangan” telah mendorong energy social untuk senantiasa menjami stock<br />

pangan dengan bekerja keras dan focus. Sebagian besar masyarakat Sulsel<br />

tidak ada lagi yang memikirkan komoditi komersial untuk mengejar<br />

keuntungan pribadi. Itu sebabnya petani Sulsel dan pemerintahnya secara<br />

optimal mendorong pembangunan pertanian (pangan), meskipun<br />

masyarakat dan pemerintah sangat memahami, menanam padi (beras)<br />

179


adalah menanam komoditi politik yang selalu dikontrol oleh kekuasaan<br />

regim. Harga beras masih dalam control pemerintah, karena berkaitan<br />

dengan kepentingan hajat hidup orang banyak. Kondisi social semacam ini<br />

telah menjadi nilai-nilai social (social value) masyarakat Sulsel. Nilai sosial<br />

adalah suatu ide yang telah turun-temurun dalam masyarakat serta<br />

dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat.<br />

4.1 Membangun Integrasi Stake Holders &<br />

Transformasi Pertanian<br />

Untuk mewujudkan kemandirian, kedaulatan dan ketahanan<br />

pangan nasional, pemerintah Sulsel secara tegas telah mengintegrasikan<br />

semua stake holders. Stake yang diintegrasikan dimaksudkan untuk<br />

memberikan saling kesepahaman atas program overstock beras (pangan).<br />

Intergrasi antara pemerintah-masyarakat-asosiasi-pemkab/pemkot-<br />

TNI/Polri dan diikat oleh pengusaha.<br />

Grafik 4.2. Skema Integrasi stakeholders<br />

180


Mengapa pengusaha menjadi simpul dari integrasi stake holders<br />

ini? Menurut Syahrul Yasin Limpo, pengusaha adalah komunitas yang paling<br />

faham tentang pembangunan ekonomi. Pengusaha sangat mengerti<br />

bagaimana hukum supply and demand. Pengusaha juga sudah terbiasa<br />

dengan bekerja berdasarkan efisiensi dan efektivitas. <strong>Pemerintah</strong>, baik<br />

pemerintah provinsi, kabupaten atau kota hanya menjadi regulator dan<br />

coordinator, asosiasi berfungsi untuk menjamin kesamarataan dan keadilan<br />

dalam proses pembangunan ekonomi pada sector pertanian. Sedangkan<br />

TNI/Polri dan masyarakat secara bersama-sama mendorong program<br />

overstock beras menjadi program social masyarakat.<br />

Melalui integrasi stake holders, pemerintah Sulsel berhasil<br />

melakukan transformasi pembangunan pertanian dari sistem on farm yang<br />

bersifat mekanik menujuera teknologi (baik dalam proses produksi,<br />

pengolahan dan pemasaran), bahkan pemerintah mempersiapkan<br />

masyarakat tani untuk memasuki era pengetahuan (revolusi ICT – informasi,<br />

communication dan technology).<br />

Transformasi sector pertanian bahkan tidak hanya berlangsung<br />

secara fisik, tetapi menyentuh sampai ke soal kebudayaan, nilai, norma,<br />

regulasi dan bahkan modal (kapital). Transformasi ini diharapkan bisa<br />

menjadi lompatan merespon perubahan yang terjadi begitu cepat di luar<br />

sector pertanian. Tantangan yang cukup serius di masa yang akan datang<br />

adalah memastikan sector pertanian sebagai sector yang memiliki<br />

kemampuan adaptif terhadap perubahan yang terjadi pada sector lain.<br />

Transformasi ini bisa berjalan dengan baik, apabila pemerintah<br />

memiliki kemauan politik yang menempatkan sector pertanian sebagai<br />

sector prioritas, bukan sebagai sector pendukung. Sektor pertanian harus<br />

disandingkan sama pentingnya dengan sector industry, jasa dan konstruksi.<br />

Mengacu pada kekuatan resources yang dimiliki oleh Indonesia, semestinya<br />

sector pertanian menempati urutan teratas dalam pembangunan nasional.<br />

Terutama, jika Indonesia ingin berdaulat terhadap ekonomi politik global,<br />

181


yang menempatkan pangan sebagai komoditi kunci untuk mengontrol<br />

kekuatan ekonomi sebuah negara.<br />

4.2 Transformasi <strong>Kelembagaan</strong> Pedesaan<br />

Kinerja ekonomi pedesaan didominasi usaha pertanian cenderung<br />

lemah. Salah satunya, diindikasikan oleh rendahnya kapasitas kelembagaan.<br />

Hal ini disebabkan antara lain oleh pelaksanaan program pembangunan<br />

pertanian yang tidak berbasiskan kelembagaan lokal yang telah ada,<br />

sehingga kondisinya semkain memudar. Introduksi kelembagaan dari luar<br />

yang terasa asing bagi masyarakat berimplikasi kepada lemahnya partisipasi<br />

masyarakat dalam kelembagaan tersebut. Akibatnya, partisipasi masyarakat<br />

secara keseluruhan lemah dalam aktfitas pembangunan.<br />

Permasaalahan masyarakat pedesaan adalah kelembagaan ekonomi<br />

di pedesaan yang dibentuk dari nilai-nilai tradisional memiliki akses yang<br />

kecil terhadap kelembagaan modern, sehingga interaksi antar kelembagaan<br />

rendah. Karena itu tranformasi kelembagaan tradisional menjadi suatu yang<br />

esensial, demi tercapainya sinergi otpimum dalam aktivitas jaringan<br />

ekonomi di tingkat lokal. <strong>Pemerintah</strong> Sulsel telah berusaha melakukan<br />

tranformasi pertanian tradisional ke arah pertanian modern, yang<br />

merupakan perubahan perilaku, tidak hanya melalui perubahan struktur<br />

tapi juga menyangkut perubahan berbagai aspek abstrak yang membentuk<br />

perilaku tersebut, yaitu berupa perubahan sistem nilai, norma, orientasi,<br />

tujuan, dan lain-lain.<br />

Upaya penguatan jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan di<br />

Sulsel merupakan salah satu titik perhatian dari kebijakan kelembagaan<br />

ekonomi. Terdapat 10 orang setiap desa dipersiapkan untukmendorong<br />

kelembagaan ekonomi di perdesaan Sulsel. Membangun kelembagaan<br />

untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan berbasis<br />

sumberdaya pertanian, berarti mengembangkan budaya non-material<br />

182


untuk meningkatkan dayasaing modal sosial (social capital) di pedesaan.<br />

Secara ekonomi, penguatan kelembagaan pedesaandi Sulsel harus<br />

mempunyai makna peningkatan dayasaing ekonomi pertanian di pedesaan.<br />

Upaya penguatan jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan dipandang<br />

sebagai suatu keharusan, dimana penguatannya merupakan salah satu titik<br />

perhatian dari studi kelembagaan. Membangun kelembagaan untuk<br />

memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan yang berbasis<br />

sumberdaya pertanian, adalah juga berarti mengembangkan budaya nonmaterial<br />

untuk meningkatkan dayasaing modal sosial (social capital) di<br />

pedesaan. Dari kacamata ekonomi, penguatan kelembagaan pedesaan<br />

harus mempunyai makna peningkatan dayasaing ekonomi pertanian.<br />

4.3 <strong>Kelembagaan</strong> <strong>Dalam</strong> Perspektif Sosiologi<br />

<strong>Dalam</strong> proses transformasi kelembagaan di pedesaan, kelembagaan<br />

(institution) dan kelembagaan sosial (social institutional) merujuk pada<br />

sesuatu yang telah bersifat mapan (established) atau hidup (contitued) di<br />

dalam masyarakat. <strong>Kelembagaan</strong> atau social institution selalu muncul<br />

bersamaan dengan social organization. Untuk kepentingan analisis,<br />

perlumemformulasikan batasan kelembagaan secara tegas. “<strong>Kelembagaan</strong>”<br />

berisikan dua aspek; kelembagaan dan keorganisasian.<br />

Fokus utama dalam kebijakanaspek kelembagaan adalah perilaku<br />

atau perilaku sosial, dimana inti regulasinya adalah tentang nilai (values),<br />

norma (norm), custom, mores, folkways, usage, kepercayaan, moral, ide,<br />

gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Bentuk<br />

perubahan sosial dalam aspek kelembagaan bersifat kultural dan proses<br />

perubahannya membutuhkan waktu yang lebih lama. Sementara itu dalam<br />

aspek keorganisasian fokus kajian utamanya adalah struktur atau struktur<br />

sosial. Inti kajiannya adalah pada aspek peran (roles). Dengan demikian<br />

aspek kajian secara lebih jauh mencakup : peran, aktivitas, hubungan antar<br />

183


peran, integrasi sosial, struktur umum, perbandingan struktur tekstual<br />

dengan struktur riel, struktur kewenangan atau kekuasaan, hubungan<br />

antara kegiatan dengan tujuan yang hendak dicapai, aspek solidaritas, klik,<br />

profil dan pola kekuasaan (sentralitas atau distributif).<br />

Makna kelembagaan secara hakiki lebih mengandung makna<br />

tentang aspek “isi”, tidak hanya pada “bentuk luar” atau fisiknya (Lauer,<br />

1982 dalam Pranadji, 2002). Salah satu isi penting dari kelembagaan tadi<br />

adalah tata nilai yang menghidupkan kelembagaan tadi. Bottomore (1975<br />

dalam Taryoto, 1995) mendefinisikan kelembagaan sebagai a complex or<br />

cluster of roles, yang menyebutkan bahwa konsep peranan (role)<br />

merupakan komponen utama kelembagaan. Horton dan Hunt (1984)<br />

mendekati pembahasan kelembagaan dari norma-norma yang hidup dalam<br />

masyarakat, sehingga kelembagaan didefinisikan sebagai “suatu sistem<br />

norma yang diperlukan untuk mencapai sejumlah tujuan atau kegiatan yang<br />

dianggap penting oleh masyarakat yang bersangkutan”, Terdapat tiga hal<br />

yang mendasar dari kelembagaan menurut Horton dan Hunt, yaitu sistem<br />

nilai, prosedur hubungan, serta bentuk hubungan sesama anggota<br />

masyarakat (=struktur). Sementara itu, Mubyarto (1977) mendefinisikan<br />

kelembagaan (intitution) adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal<br />

maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota<br />

masyarakat tertentu baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam<br />

usahanya untuk mencapai tujuan tertentu.<br />

184


DAFTAR PUSTAKA<br />

Bottomore, TB. 1975. A Guide to Problems and Literatur of Sociology. <strong>Dalam</strong><br />

Andin H Taryoto (Penyunting). <strong>Kelembagaan</strong> dan Prospek<br />

Pengembangan Beberapa Komoditi Pertanian. Pusat<br />

Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian<br />

Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. 1988. Public Service Responsibility and<br />

Accountability. In Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. (Editors).<br />

Public Service Accountability: A Comparative Perspective.<br />

USA: Kumarian Press, Inc.<br />

Havlin J L, Beaton J D, Tisdale S L and Nelson W L. (2005). Soil fertility and<br />

fertilizers: an introduction to nutrient management. Pearson<br />

Prentice Hall. New Jersey. (USA)<br />

Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah menimbulkan Dampak Negatif bagi<br />

Ketahanan Pangan dan Lingkungan. Warta Penelitian dan<br />

Pengembangan Pertanian 27 (6) : 1-3. Pusat Analisi Sosial<br />

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.<br />

Klaus Schwab, Global Competitiveness Report 2016-2017, World Economic<br />

Forum<br />

Kuznet, Simon (1964), Economic Growth and the contribution of Agriculture,<br />

CK dan Witt, LW (ed), Agriculture in Economic Development,<br />

New York, McGraw-Hill.<br />

Mubyarto. 1977,. Pengantar Ekonomi Pertanian.LP3ES. Jakarta.<br />

Pasandaran, Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi<br />

Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia dalam Jurnal Litbang<br />

Pertanian 25(4) 2006<br />

Paul B. Horton, Chester L. Hunt 1984, Sociology,. Edition 6,.McGraw-Hill<br />

185


Pranadji, T. 2002. Reformasi Aspek Sosio-Budaya Untuk Kemandirian<br />

Perekonomian Pedesaan. Seminar Nasional: Menggalang<br />

Masyarakat Indonesia Baru Yang Berkemanusiaan. Ikatan<br />

Sosiologi Indonesia (ISI), Tanggal 28-29 Agustus 2002 di<br />

Bogor-Jawa Barat<br />

Statitistik Daerah Provinsi <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong> 2017, BPS <strong>Sulawesi</strong> <strong>Selatan</strong>.<br />

Taryoto, A H. 1995. Analisis <strong>Kelembagaan</strong> <strong>Dalam</strong> Penelitian Sosial Ekonomi<br />

Pertanian. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian.<br />

<strong>Kelembagaan</strong> dan Prospek Pengembangan Beberapa<br />

Komoditas Pertanian. Penyunting Andin H Taryoto, dkk. Pusat<br />

Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.<br />

Van Leeuwen, T.M., 1981, The Geology of Southwest <strong>Sulawesi</strong> with Special<br />

Reference to the Biru Area. Barber, A.J. and Wiryosujono, S.<br />

(eds), The Geology and Tectonics of Eastern Indonesia,<br />

Geological Research and Development Centre, Bandung,<br />

Special Publication, 2, 277-304<br />

https://aplikasi2.pertanian.go.id/bdsp2/<br />

186

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!