You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
2<br />
SABTU, <strong>26</strong> <strong>JANUARI</strong> <strong>2019</strong><br />
BUDAYA<br />
Takkan<br />
Judul : Cinta Suci Zahrana<br />
Penulis : Habiburahman El Shirazy<br />
Penerbit : Republika<br />
Terbit : April 2018<br />
Tebal : iv + 257 halaman<br />
ISBN : 978-602-082-248-8<br />
Ujian Kesabaran Cinta<br />
Oleh : Supadilah<br />
Kubiarkan Kau<br />
Hanya Duduk Terpaku<br />
Setiap orang diuji dengan ujian yang<br />
berbeda. Ada konsekuensi pada setiap<br />
pilihan hidup kita. Terlahir dari keluarga<br />
berkekurangan, ditambah memiliki<br />
potensi kecerdasan, Zahrana bertekad<br />
mengangkat harkat kedua orang tuanya.<br />
Dia harus jadi orang yang pintar agar tidak<br />
dilecehkan, seperti ayahnya yang seorang<br />
pekerja bersih-bersih, sering direndahkan<br />
dan diperlukan sewenang-wenang.<br />
Zahrana pun berhasil membuat<br />
sejumlah prestasi. Lulus S1 di Fakultas<br />
Teknik UGMdan S2 di ITB, mendapatkan<br />
tawaran beasiswa S2 ke Belanda, hingga<br />
mendapatkan penghargaan bergengsi dari<br />
Tsinghua University, Cina.<br />
Namun mengapa semu itu tidak<br />
membahagiakan kedua orang tuanya? Bahkan<br />
kepergiannya menerima penghargaan itu<br />
tidak diantar oleh orang tuanya. Ayahnya pun<br />
tidak menonton TV saat penganugerahan,<br />
padahal pejabat daerah, teman dosen,<br />
mahasiswa dan tetangganya antusias<br />
menonton. Ada apakah?<br />
Tidak lain sikap orang tuanya adalah<br />
sebentuk protes atas sikap Zahrana yang<br />
dipandang mementingkan perasaan, terus<br />
menerus mengejar ilmu, namun melupakan<br />
kapan dia akan berkeluarga. Padahal dia<br />
sudah berkepala tiga. Zahrana, bagi ayah<br />
dan ibumu saat ini tidak memerlukan lagi<br />
penghargaan-penghargaan ilmiah itu. Yang<br />
mereka inginkan darimu adalah kamu<br />
segera berumah tangga, lalu memberi<br />
meeka cucu. (Hal 24).<br />
Di Cina, Zahrana mendapatkan<br />
sambutan dan pelayanan yang terbaik.<br />
Sejumlah fasilitas kalangan atas<br />
didapatkan. Hal ini dibalas dengan<br />
penampilan yang memukau pada<br />
sambutannya dalam penganugerahan itu.<br />
Dunia memandangnya. Dunia kagum<br />
padanya. Namun telpon dari Lina, justru<br />
membuatnya ingin segera kembali ke<br />
tanah air. Sepulangnya dari Cina, Zahrana<br />
segera menemui orang tuanya.<br />
Di usia ‘darurat’ pada 34 tahun itulah baru<br />
kemudian Zahrana sadar. Sekali ini dia<br />
harus mengalah untuk memenuhi harapan<br />
kedua orang tuanya. Namun sejak saat itu<br />
kemudian ujian cinta datang menerpanya<br />
berkali-kali. Disukai oleh dekannya sendiri,<br />
bahkan nekat melamar langsung ke<br />
rumahnya. Ada hal yang membuatnya<br />
tidak bisa menerima lamaran sang dekan<br />
meskipun secara kedudukan memiliki<br />
pangkat, jabatan, sudah naik haji,<br />
berpendidikan, dan bahkan akan<br />
mengumrohkan kedua orang tuanya. Berat<br />
untuk menolaknya. Namun Zahrana tidak<br />
mau gelap mata. Rasa was-was karena<br />
usianya yang telah kelewat bukan lantas<br />
menerima siapa saja yang hendak<br />
meminangnya. Tawaran sang dekan<br />
ditolaknya meskipun dari pihak keluarga<br />
dekan sudah ramai-ramai datang ke<br />
rumahnya. Ayah dan ibunya pun bingung<br />
serta heran dengan kemauan dan prinsip<br />
Zahrana. Namun sang dekan tidak terima<br />
dengan penolakan itu. Sebelum terjadi hal<br />
yang tidak diinginkan, Zahrana<br />
mengundurkan diri dari kampus,<br />
kemudian mengajar di pesantren.<br />
Setelahnya, berkali-kali Zahrana<br />
menerima ‘ujian’ datangnya tawaran<br />
lamaran oleh seorang satpam dan tukang<br />
bengkel. Bukan masalah profesi dan<br />
kesejahteraan yang membuatnya menolak<br />
namun kepribadian dan akhlak mereka<br />
yang membuatnya tidak segera<br />
mengiyakan tawaran. Tidak sampai<br />
disana, ujian kembali datang, Zahrana<br />
ditawari untuk jadi isteri kedua oleh dosen<br />
temannya sendiri.<br />
Zahrana meminta bantuan pada Pak<br />
Kyai dan Bu Nyai tempat dia mengajar.<br />
Oleh bu Nyai, akan diarahkan calon<br />
suaminya, seorang tukang kerupuk, yang<br />
akan mendatangi rumahnya. Jika Zahrana<br />
berkenan, maka itulah suami yang<br />
disodorkan oleh Bu Nyai. Jadilah, Zahrana,<br />
arsitektur mahasiswa terbaik UGM itu<br />
sedang menanti-nantikan tukang kerupuk<br />
sebagai jodohnya. Setelah didahului<br />
kejadian salah paham, sampailah pada<br />
kesediaan Zahrana untuk menikah<br />
dengan Rahmad, sang tukang kerupuk itu.<br />
Namun Allah masih hendak memberi<br />
ujian padanya, menjelang hari akah<br />
pernikahan, malamnya Rahmad<br />
ditemukan meninggal tertabrak kereta api.<br />
Zahrana nyaris gila. Lengkap sudah<br />
penderitaannya, dengan meninggalnya<br />
sang ayah. Dua kali Zahrana kehilangan.<br />
Rupanya Allah telah menyiapkan jodoh<br />
terbaik untuknya. Atas penjagaan kesucian<br />
cintanya selama ini, Allah memberikan<br />
untuknya jodoh yang tak terduga. Dialah<br />
Hasan, sang mahasiswa yang dibimbingnya.<br />
Dengan proses lamaran di sore hari oleh<br />
Dokter Zul, ibunya Hasan, secara singkat<br />
akad nikah dilakukan malamnya, seusai salat<br />
tarawih. Itu syarat yang diajukan Zahrana jika<br />
Hasan serius. Bukan ingin cepat-cepat,<br />
Zahrana enggan kejadian-kejadian<br />
sebelumnya terulang kembali. Maka, dengan<br />
rangkaian pernikahan yang serba cepat itu,<br />
Zahrana mendapatkan jodoh terbaiknya juga<br />
sepandan. Hasan merupakan lulusan terbaik<br />
di kampusnya pula. (*)<br />
Karya: Ainun Jariah, S.Pd.I.<br />
“Hari ini begitu melelahkan” peluhku<br />
Seperti biasa setelah melaksanakan<br />
sholat isya dan makan malam,<br />
kusiapkan tubuh ini untuk menyantap<br />
kasur empuk ku.<br />
Sambil mengecek ponsel genggam<br />
ku, barangkali ada pesan masuk yang<br />
ditujukan untuk diriku, dan ternyata<br />
tidak ada. Ku matikkan lampu kamarku.<br />
Dan mulailah perjalanan istimewaku<br />
malam ini.<br />
***<br />
Gelap, tidak ada cahaya sedikit<br />
pun.<br />
Tiba-tiba ada yang berkata kepadaku,<br />
“ikutlah denganku” ujarnya<br />
Karena tempat yang begitu gelap,<br />
akhirnya aku mengikuti suara tersebut,<br />
lalu perlahan terlihat sebuah cahaya,<br />
perlahan demi perlahan semakin terang.<br />
Aku merasa akhirnya aku bisa melihat.<br />
Aku terus mengikuti sosok laki-laki<br />
tersebut, hingga pada akhirnya ia<br />
membawaku berjalan cukup jauh.<br />
Aku amati sekeliling, tidak ada seorang<br />
pun yang bisa aku tanya, hanya aku<br />
dan laki-laki itulah yang berada dalam<br />
perjalanan ini.<br />
Didalam perjalanan yang begitu<br />
sunyi dan dingin itu dia berkata “Aku<br />
adalah malaikat”<br />
Aku terperanjat kaget, benarkah ini?<br />
Lalu apa yang dilakukannya kepadaku?<br />
Apakah aku sudah meninggal?<br />
Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba<br />
muncul dikepalaku , tapi aku tak bisa<br />
berkata apa-apa dan memilih diam<br />
di tengah kesunyian perjalanan itu.<br />
Setelah berjalan cukup jauh, sampailah<br />
kami didepan sebuah ruangan. Kemudian<br />
dibukalah pintu ruangan tersebut. Lalu<br />
aku amati ruangan tersebut, kulihat<br />
ruangan tersebut sangat ramai, banyak<br />
malaikat-malaikat yang sibuk dengan<br />
pekerjaannya masing-masing. Ada yang<br />
mencatat, ada juga yang sibuk memilahmilah<br />
kertas dengan jumlah yang cukup<br />
banyak.<br />
Dengan mengumpulkan seluruh<br />
keberanian, bertanyalah aku kepada<br />
malaikat yang mengantarku tersebut.<br />
“Ruangan apakah ini? Kenapa begitu<br />
banyak kesibukan didalamnya?”<br />
Malaikat tersebut menjawab “ini<br />
adalah ruangan penerimaan, disinilah<br />
semua permintaan manusia yang<br />
Ke Kampung<br />
Nenekku<br />
Karya : Kanneishya Athalia<br />
Ramadinka<br />
Ini yang tidak ada di kotaku<br />
Bila shubuh suara ayam<br />
membangunkanku<br />
Dan suara unggas dan ternak<br />
bergantian<br />
Itulah suara yang tak ada di<br />
rumahku<br />
Dari ufuk timur menyingsing<br />
cahaya<br />
Meyelinap dalam rimbun pohon<br />
desa<br />
Lalu suara sapu bergesekan<br />
dipekarangan<br />
Irama berikutnya yang<br />
menakjubkan<br />
Ku ikuti pesan nenek ku<br />
Berjalan dalam pematang sawah<br />
Menjulang indah gunung Ciremai<br />
Dihampari sawah yang hijau<br />
Embun bergelantungan di ujung<br />
rumput<br />
Terjatuh sejuk ke atas bumi<br />
Lepas sangat lepas mataku di<br />
pandangkan<br />
Seakan ini tak akan bosan<br />
Sebuah<br />
Penantian<br />
Karya : Ngatini, S.Pd<br />
Hari berganti hari ,tahun berganti<br />
tahun<br />
Aku pun selalu setia menunggumu<br />
Akupun selalu sabar menanti<br />
kehadiranmu<br />
Akupun selalu rindu akan<br />
kehadiranmu ke dalam hidupku<br />
Demi sebuah penantianku<br />
ditujukkan kepada Allah diterima”<br />
ujarnya<br />
Aku terpana cukup lama melihat<br />
ruangan tersebut.<br />
Kemudian aku dan malaikat yang<br />
mengiringiku melanjutkan perjalan.<br />
Kami berjalan melewati koridor-koridor<br />
yang cukup panjang, setelah cukup<br />
jauh kami berjalan, sampailah kami<br />
pada ruangan selanjutnya. Dibukalah<br />
pintu ruangan tersebut. Aku perhatikan<br />
seisi ruangan tersebut. Ruangan ini<br />
tidak jauh berbeda dengan ruangan<br />
sebelumnya, ruangan tersebut tidak<br />
kalah sibuk nya, ada begitu banyak<br />
malaikat yang bekerja keras ‘mempaketkan’,<br />
‘mengemas’, dan ‘membungkus’<br />
sesuatu, yang akupun tidak tahu.<br />
Akupun bertanya kepada malaikat<br />
yang mendampingiku, “Ruangan apakah<br />
ini wahai malaikat? Mengapa diruangan<br />
ini terlihat sama sibuknya dengan<br />
ruangan sebelumnya?” Tanya ku<br />
Malaikat yang mendampingiku<br />
menjawab “ini adalah ruangan pengepakan<br />
dan pengiriman” ungkapnya.<br />
“dan diruangan inilah semua<br />
permohonan dan permintaan seluruh<br />
manusia di kirimkan ke bumi” ucapnya<br />
melanjutkan penjelasan sebelumnya.<br />
Aku pun terpikir, mungkin dengan<br />
proses seperti inilah kendaraan yang<br />
aku inginkan dan yang selalu aku<br />
ucapkan dalam doaku terwujud. Aku<br />
bertasbih, menyebut dan mengingat<br />
nama-Nya betapa luar biasanya proses<br />
yang terjadi atas kuasa-Nya.<br />
Setelah menjelaskan itu semua,<br />
malaikat yang mendampingi Aku pun<br />
mengajakku untuk melanjutkan<br />
perjalanan kami.<br />
Perjalanan kali ini cukup jauh, aku<br />
menunggu tempat apa lagi yang akan<br />
ditunjukkan oleh malaikat ini.<br />
Setelah perjalanan yang cukup jauh<br />
tersebut, dan kaki ku mulai terasa<br />
pegal, berhentilah kami ditempat<br />
terujung koridor tersebut, didepan<br />
sebuah pintu ruangan kerja yang<br />
menurutku cukup kecil, daripada<br />
ruangan-ruangan sebelumnya.<br />
Kemudian, dibukalah pintu ruang kerja<br />
tersebut. Setelah dibuka tahukah kalian<br />
apa yang aku lihat pada saat ini?<br />
Sungguh sangat terkejutnya aku,<br />
ketika aku dapati didalam ruangan<br />
tersebut hanya ada satu malaikat yang<br />
sedang duduk, dan hampir tidak<br />
melakukan apapun. Ruangan tersebut<br />
Semua ihktiarpun aku coba<br />
lakukan<br />
Disetiap waktupun aku bermunajat<br />
kepada-Nya<br />
Setelahku berusaha dan berdo’a<br />
kepada-Nya<br />
Kuserahkan dan kupasrahkan<br />
kepada-Mu ya Allah<br />
Demi sebuah penantianku<br />
Aku hanya hamba yang lemah<br />
dihadapan-Mu<br />
Disetiap ku bermunajat derai air<br />
mata inipun tak tertahankan<br />
Hanya berharap do’aku<br />
terkabulkan<br />
Takdirkanlah aku ya Allah<br />
Untuk memilikinya<br />
Ketika waktunya tepat untuk ku<br />
Anugrahkan kepada ku kesabaran<br />
Jauhkan hatiku dari ketergesagesaan<br />
untuk memilkinya<br />
Moral yang<br />
kehilangan rumah<br />
Karya : Talitha Carlen<br />
Dimana hati nurani?<br />
Yang katanya adalah sebagai<br />
rumah moral dalam tubuh manusia<br />
Dimana toleransi?<br />
Yang katanya mengakui adanya<br />
perbedaan dan turut serta<br />
mencintai keberagaman yang ada<br />
di dalamnya<br />
Tetapi kenapa kita sekarang saling<br />
membunuh?<br />
Meruntuhkan tali kasih dengan<br />
saling mencaci-maki<br />
Mempertajam lisan dan kata-kata<br />
kasar sebagai alat perang, dan yang<br />
paling menancap dianggap jagoan<br />
Kenapa wahai kalian yang katanya<br />
baginda raja yang bisa segalanya,<br />
justru mencari musuh jika kita dari<br />
awal dilahirkan saja sudah<br />
memiliki saudara?<br />
Saudara setanah air, saudara<br />
sebangsa<br />
Ah, biadab setan yang<br />
terlihat sangat sepi, dan sunyi. “sungguh<br />
sangat jauh berbeda dengan ruangan<br />
sebelumnya” gumamku dalam hati.<br />
Dengan penuh rasa penasaran, aku<br />
kembali bertanya kepada malaikat<br />
yang mendampingiku tersebut.<br />
“Malaikat…ruangan apakah ini?<br />
Kenapa didalam ruangan ini hanya<br />
ada satu malaikat, dan hampir tidak<br />
melakukan apapun?” tanyaku dengan<br />
tergesa-gesa.<br />
Malaikat yang mendampingiku<br />
menjawab, “ini adalah ruangan pernyataan<br />
terimakasih” ungkap malaikat<br />
tersebut dengan nada yang cukup pelan<br />
sambil menunduk malu.<br />
Aku terkejut, dan tak mengerti kenapa<br />
ruangan ini sangat berbeda dengan<br />
ruangan lainnya.<br />
Malaikat yang mendampingiku pun<br />
menghela nafas panjang, kemudian<br />
Ia berkata “sungguh menyedihkan,<br />
setelah manusia menerima rahmat<br />
dari apa yang mereka mintakan dan<br />
mohonkan, sangat sedikit manusia<br />
yang mengirimkan ucapan terimakasihnya”.ujarnya.<br />
Aku bertanya kembali,” Lalu<br />
bagaimana cara manusia berterimakasih<br />
dan bisa memberikan pekerjaan untuk<br />
malaikat yang duduk tersebut?”<br />
tanyaku.<br />
Malaikat tersebut menjawab, “sederhana<br />
sekali, cukup mengucapkan Alhamdulillahi<br />
Rabbil Alamin, terimakasih<br />
tuhan” begitulah jawaban malaikat.<br />
Aku tertegun cukup lama, mengingat<br />
betapa tega dan lalainya Aku selama ini.<br />
Ketika apa yang sudah aku inginkan terwujud,<br />
aku seakan lupa dan sibuk dengan<br />
permintaanku lainnya. Seketika aku terpikir,<br />
tapi apakah hanya sebuah keinginan yang<br />
patuh aku ucapkan terimakasih?<br />
Akupun bertanya kembali, “nikmat<br />
apa sajakah wahai malaikat, yang perlu<br />
kita syukuri?’ tanyaku<br />
Malaikat yang mendampingiku<br />
menjawab “Jika engkau mempunyai<br />
makanan yang bisa engkau makan,<br />
mempunyai pakaian yang bisa kamu<br />
pakai, dan tempat yang layak untuk<br />
beristirahat, maka engkau adalah orang<br />
yang harus bersyukur” ujarnya.<br />
Juga.... “Jika engkau bangun pagi ini<br />
dengan lebih banyak kesehatan<br />
daripada kesakitan, engkau lebih<br />
dirahmati daripada begitu banyak<br />
orang di dunia ini yang tidak dapat<br />
bertahan hidup hingga hari ini, dan<br />
menghacurkan!<br />
Sehebat itukah si ego hingga<br />
mampu memecahkan?<br />
Kalian payah!<br />
Sajak Yang<br />
Akan Selalu<br />
Hidup<br />
Karya : Acep Suhendar<br />
Seandainya waktu tak bersahabat<br />
lagi pada realita<br />
Akan tetap ku simpan lembaran<br />
cerita tentangmu<br />
Seandainya rambutmu telah pudar<br />
dan memutih<br />
Akan ku bersihkan setiap helai<br />
rambutmu<br />
Seandainya tanganmu telah lemah<br />
dan bergetar<br />
Akan tetap ku genggam kedua<br />
tanganmu<br />
Seandainya tatapanmu telah kabur<br />
Izinkan aku menjadi matamu<br />
untuk menyusuri setiap langkah<br />
kakimu<br />
Sajak ini akan selalu hidup<br />
Bahkan hingga ingatan ini sudah<br />
tak mampu dikenang<br />
Hingga syaraf di otakku sudah tak<br />
lagi mampu merespon<br />
Karena kau lebih dari indah untuk<br />
aku lupakan<br />
Sejak awal aku menorehkan tinta<br />
cinta kita<br />
Telah ku genggam janji untuk<br />
selalu mencintaimu<br />
Janji itu yang akan membawaku<br />
bertahan pada terjalnya hidup<br />
Janji yang akan membawaku untuk<br />
tetap memandangmu<br />
Bagaimana pun kau adalah bagian<br />
dari janjiku seumur hidup<br />
Lepaskan hari indah bersama<br />
berdua<br />
Katakan hal indah itu padamu<br />
masih banyak lagi nikmat dan<br />
kesejahteraan yang diberikan-Nya<br />
kepada manusia, dan manusia sudah<br />
sepatutnya untuk selalu mensyukurinya”<br />
ungkap malaikat tersebut.<br />
Aku tertegun malu,” aku lalai ya rabb”<br />
pikirku sambil menahan tangis.<br />
“Kringggggg…….kring……………..”<br />
Aku terpernjat kaget, ku dapati diriku<br />
berada di sebuah ruangan berwarna<br />
pink. Ku lihat sekeliling,. di dinding<br />
terdapat lukisan karya anak muridku<br />
yang mereka buatkan sebagai kado<br />
ulang tahunku. Rupanya aku didalam<br />
kamarku, aku terbangun karena bunyi<br />
alarm dari ponsel genggamku, ku lihat<br />
jam didinding kamar dan menunjukkan<br />
pukul 03.30, ya… tepat dengan jadwal<br />
alarm kedua yang aku atur di telepon<br />
genggamku. Jaga-jaga kalau di alarm<br />
pertama aku tidak terbangun.<br />
Aku duduk sejenak di ujung tempat<br />
tidurku, sambil “mengumpulkan<br />
nyawa” untuk mengambil air wudhu,<br />
Aku teringat dengan jelas, kejadian<br />
yang baru saja kualami. There’s always<br />
a reason why I can dream something<br />
like that, pikirku.<br />
Sungguh sebuah perjalanan singkat<br />
nan bermakna di jumat malam ini,<br />
dengan penuh kerendahan hati, aku<br />
‘tancapkan’ terimakasih, dan semoga<br />
aku tidak pernah lalai ataupun lupa<br />
dalam setiap hari ku.<br />
Kuingat salah satu firmannya, didalam<br />
al-qur’an, “Dan ingatlah tatkala Tuhanmu<br />
menyatakan bahwa, ‘Sesungguhnya<br />
jika kamu bersyukur, pasti Aku akan<br />
menambahkan lebih banyak nikmat<br />
kepadamu’”. Ibrahim (14) :7<br />
Alhamdulillahi Robbil alamiin,<br />
Terimakasih ya Allah, terimakasih<br />
Tuhan, terimakasih yang Maha Kuasa,<br />
semoga manusia-manusia lain diluar<br />
sana akan selalu ingat untuk<br />
berterimakasih dan memberikan<br />
pekerjaan untuk malaikat yang duduk<br />
terpaku di ruangan ketiga tersebut.<br />
Waktu sudah menunjukkan pukul<br />
enam lebih sepuluh menit, dan aku harus<br />
segera kembali beraktifitas. Hari ini<br />
sebelum sesi mengajar aku dimulai,<br />
seperti yang kulakukan pada hari-hari<br />
sebelumnya, kuberikan anak-anak muridku<br />
ice breaking terlebih dahulu, tapi kali<br />
ini berbeda, bukan permainan atau<br />
bernyanyi seperti biasanya, kali ini aku<br />
akan menceritakan mengenai perjalanan<br />
istimewaku di jum’at malam tadi. (*)<br />
Dalam setiap khayalan yang<br />
menjadi nyata<br />
Kasih, sajak ini akan selalu hidup<br />
Hingga ku beritahu padamu bahwa<br />
senja mulai tenggelam<br />
Ruang Rindu Ilahi<br />
Karya : Wahyudin,NS.<br />
Saat rindu Ilahi menyapa<br />
Simbol dan rasa mahabbah<br />
ilahiyah mengkristal pada jiwa<br />
Bangkitkan ghirah menuju buaian<br />
fitrah<br />
Suara keabadian menggema dalam<br />
bingkai titah ilahi<br />
Zikir mengalir tiada henti<br />
Mengetuk pintu langit membuka<br />
Rahman dan RahimNya Sang<br />
Pencipta alam raya<br />
Wilayah mondial ditanggalkan<br />
seketika<br />
Keinginan tak terkendali berhenti<br />
sekejap menggenggam karunia<br />
Bergerak menuju ruang qalbu<br />
mengukir nuansa kesucian<br />
Menghempas debu hipokrit<br />
kembali pada jati diri insani<br />
Menenggelamkan nafsu angkara<br />
murka larut dalam keserakahan<br />
hegemoni amarah<br />
Pasrah diri padaNya<br />
Kembali pada ruang rindu Sang<br />
Pencipta dalam selimut rahmat<br />
semerbak indah<br />
Zikir dan pikir berkolaborasi<br />
membentuk jiwa nan kuat<br />
Menyingkap ruang hati dalam<br />
ibadah mahdah dan ghair mahdah<br />
Sosok abdan syakuro menyelinap<br />
dalam hening<br />
Menyeimbangkan nikmat dengan<br />
implementasi amaliyah bergelora<br />
Melahirkan syukur dinamis<br />
mengungkap kebahagiaan hakiki<br />
Dalam ruang rindu Ilahi