17.01.2013 Views

bab ii tinjauan pustaka - USU Institutional Repository - Universitas ...

bab ii tinjauan pustaka - USU Institutional Repository - Universitas ...

bab ii tinjauan pustaka - USU Institutional Repository - Universitas ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

BAB II<br />

TINJAUAN PUSTAKA<br />

2.1 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI SEPSIS<br />

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke<br />

dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menye<strong>bab</strong>kan kerusakan jaringan<br />

disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi.<br />

Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung<br />

luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat<br />

3<br />

meluas serta menye<strong>bab</strong>kan tanda dan gejala sistemik.<br />

Manifestasi klinik inflamasi sistemik disebut systemic inflamation respons syndrome<br />

(SIRS), sedangkan sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun<br />

sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, namun tidak harus terdapat bakteriemia.<br />

Berdasarkan konferensi internasional tahun 2001 memasukkan petanda procalcitonin (PCT)<br />

3<br />

sebagai langkah awal dalam mendiagnosa sepsis . Purba D (2010) di Medan, pada penelitian<br />

prokalsitonin sebagai petanda sepsis mendapatkan nilai PCT 0,80 ng/ml sesuai untuk sepsis<br />

19<br />

akibat infeksi bakteri dan kadarnya semakin meningkat berdasarkan keparahan penyakit.<br />

Ketika jaringan terluka atau terinfeksi, akan terjadi pelepasan faktor-faktor<br />

proinflamasi dan anti inflamasi secara bersamaan. Keseimbangan dari sinyal yang saling<br />

berbeda ini akan membantu perbaikan dan penyembuhan jaringan. Ketika keseimbangan<br />

proses inflamasi ini hilang akan terjadi kerusakan jaringan yang jauh, dan mediator ini akan<br />

menye<strong>bab</strong>kan efek sistemik yang merugikan tubuh. Proses ini dapat berlanjut sehingga<br />

1<br />

menimbulkan multiple organ dysfunction syndrome (MODS).<br />

Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis, masih banyak<br />

faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan penyakit.<br />

Respon tubuh terhadap patogen melibatkan berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik<br />

yang bersifat proinflamasi maupun ant<strong>ii</strong>nflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah<br />

tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), dan interferon-γ (IFN-γ) yang bekerja<br />

membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin<br />

ant<strong>ii</strong>nflamasi adalah interleukin-1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10 yang bertugas<br />

<strong>Universitas</strong> Sumatera Utara


untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6<br />

dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus.<br />

Penye<strong>bab</strong> sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin<br />

gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin utama yaitu lipopolisakarida<br />

(LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks dapat secara langsung mengaktifkan sistem<br />

imun seluler dan humoral, bersama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk<br />

lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang berada dalam darah penderita dengan<br />

perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag yang kemudian<br />

2<br />

mengekspresikan imunomudulator.<br />

Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-antigen setelah<br />

difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell dan<br />

kemudian ditampilkan sebagai antigen presenting cell (APC). Antigen ini membawa muatan<br />

polipeptida spesifik yang berasal dari major histocompatibility complex (MHC), kemudian<br />

+ 2,3<br />

berikatan dengan CD4 (limposit Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell receptor (TCR).<br />

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan<br />

mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2,<br />

dan macrophage colony stimulating factor (M-CSF0. Limposit Th2 akan mengeluarkan IL-4,<br />

IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ meransang makrofag mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada<br />

sepsis IL-2 dan TNF-α dapat merusak endotel pembuluh darah. IL-1ß juga berperan dalam<br />

pembentukan prostaglandin E2 (PG-E) 2 dan meransang ekspresi intercellular adhesion<br />

2,3<br />

molecule-1 (ICAM-1). ICAM-1 berperan pada proses adhesi neutrofil dengan endotel.<br />

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang<br />

menye<strong>bab</strong>kan dinding endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksidan radikal bebas<br />

yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria. Akibat proses tersebut terjadi kerusakan<br />

endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan menye<strong>bab</strong>kan gangguan vaskuler sehingga<br />

2,3<br />

terjadi kerusakan organ multipel.<br />

2.2 SEPSIS PADA INFEKSI HIV DAN KAITAN DENGAN STATUS NUTRISI<br />

Kejadian infeksi HIV/AIDS saat ini terus meningkat, kerapuhan atau kelumpuhan<br />

sistem imun penderita HIV berdampak pada penurunan proteksi tubuh dalam menghalau<br />

mikroorganisme patogen meskipun memiliki virulensi rendah, bahkan kegagalan dalam<br />

2,3<br />

<strong>Universitas</strong> Sumatera Utara


pengendalian saprofit sehingga meningkatkan risiko infeksi sekunder. Konsekuensi infeksi<br />

6<br />

pada individu imunokompromise adalah peningkatan kejadian sepsis berat.<br />

Berbagai faktor ikut menentukan terjadi dan progresivitas HIV dan AIDS ke sepsis.<br />

Faktor-faktor tersebut antara lain adalah faktor eksternal dan internal. Faktor internal yang<br />

sangat menentukan adalah faktor imun, status nutrisi dan proses apoptosis. Akibat intervensi<br />

HIV terhadap limposit T akan menye<strong>bab</strong>kan sistem imun terdesak ke posisi<br />

imunokompromise, akan terjadi kematian sel patologis, difus, dan dipercepat. Individu<br />

menjadi rentan terhadap infeksi sekunder dan potensial berkembang ke arah gradasi infeksi<br />

6<br />

berat, sepsis, MODS, serta kematian.<br />

Penurunan berat badan dan malnutrisi merupakan hal yang umum terjadi pada infeksi<br />

HIV atau AIDS, dan hal ini akan mengakibatkan percepatan progresivitas penyakit,<br />

meningkatkan morbiditas, dan mengurangi survival karena malnutrisi akan mempengaruhi<br />

9<br />

imunitas. Malnutrisi pada pasien infeksi HIV/AIDS meliputi gejala-gejala sebagai berikut:<br />

penurunan berat badan; berkurangnya jaringan otot dan lemak sub kutan; defisiensi vitamin<br />

dan mineral; penurunan kemampuan imun; dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi.<br />

Status nutrisi yang jelek dapat dise<strong>bab</strong>kan oleh berbagai faktor seperti: penurunan nafsu<br />

makan, asupan makanan yang rendah, infeksi kronis, malabsorbsi, gangguan metabolisme,<br />

katabolisme otot dan jaringan, demam, mual-muntah, diare, depresi, dan efek samping obat-<br />

10<br />

obatan.<br />

Gangguan nutrisi pada pasien infeksi HIV/AIDS menye<strong>bab</strong>kan defisiensi pada<br />

komponen makronutrient (karbohidrat, protein, dan lemak) dan mikronutrient (vitamin dan<br />

9,10<br />

mineral), hal ini akan berpengaruh terhadap survival pasien. Hubungan antara infeksi<br />

HIV/AIDS, malnutrisi, dan infeksi/sepsis dapat dilihat seperti pada gambar berikut.<br />

Gambar 2-1. Hubungan antara infeksi HIV/AIDS, malnutrisi, dan infeksi. 10<br />

<strong>Universitas</strong> Sumatera Utara


2.3 BIOELECTRICAL IMPEDANCE ANALYSIS DAN APLIKASI KLINIS<br />

BIA menganalisa komposisi cairan tubuh secara tidak langsung dengan mencatat<br />

perubahan impedance arus listrik segmen tubuh.<br />

Prinsip BIA adalah mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang didasarkan<br />

pada asumsi bahwa jaringan tubuh adalah merupakan konduktor silinder ionik dimana lemak<br />

bebas ekstrasellular dan intrasellular berfungsi sebagai resistor dan kapasitor. Arus listrik<br />

dalam tubuh adalah jenis ionik dan berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa<br />

dan asam, juga berhubungan dengan konsentrasi, mobilitas, dan temperatur medium. Jaringan<br />

terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik yang baik,<br />

11,20<br />

sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk.<br />

Ada beberapa istilah yang dipergunakan dalam BIA yaitu impedance, resistance (R)<br />

dan capacitance (Xc). Impedance adalah perubahan frekuensi arus listrik yang melewati<br />

jaringan tubuh dimana frekuensi arus listrik diperlambat atau dihambat. Impedance<br />

merupakan kombinasi dari resistance (R) dan capacitance (Xc). Resistance merupakan<br />

tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh cairan intra dan ekstrasel sedangkan<br />

capacitance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh jaringan dan<br />

membran sel. Resistance dan capacitance berbanding lurus dengan panjang jaringan dan<br />

11,21,22<br />

berbanding terbalik dengan tebal jaringan tubuh.<br />

Gambar 2-2. Arus listrik yang dipengaruhi panjang dan tebal jaringan.<br />

Resistan dan kapasitan dapat diukur dengan berbagai tingkat frekuensi. Pada<br />

frekuensi nol gelombang tidak dapat menembus membran sel yang berfungsi sebagai<br />

insulator, dan karenanya gelombang hanya melewati cairan ekstraseluler, sedangkan<br />

frekuensi tinggi gelombang dapat menembus membran sel yang menjadi kapasitor sempurna,<br />

20<br />

11<br />

<strong>Universitas</strong> Sumatera Utara


dan karenanya gelombang melewati cairan intraseluler dan ekstraseluler. Pada frekuensi<br />

gelombang 50 kHz, gelombang melewati cairan intra dan ekstraseluler, dengan proporsi<br />

berbeda dari jaringan ke jaringan lain.<br />

11<br />

Elektroda BIA umumnya ditempelkan pada permukaaan tangan dan kaki, pengukuran<br />

dilakukan pada temperatur ruangan normal dimana pasien tidak merasa kedinginan atau<br />

11,23<br />

kepanasan. Pasien tidak boleh makan atau minum sekurangnya 4 jam sebelum<br />

15<br />

pengukuran.<br />

24<br />

Gambar 2-3. Tehnik pengukuran komposisi tubuh dengan BIA.<br />

2.4 BEBERAPA PARAMETER YANG DIHASILKAN OLEH BIA<br />

Pengukuran dari hubungan ini merefleksikan volume cairan tubuh {Total Body Water<br />

(TBW), Extracellular Water (ECW) dan Intracellular Water (ICW), Total Body Kalium<br />

(TBK)} dan status nutrisi tubuh {Body cel Mass (BCM), Fat Free Mass (FFM), dan Fat Mass<br />

(FM), Resting Metabolic Rate (RMR), Total Protein, Mineral dan Glikogen)} serta phase<br />

angle. 11<br />

<strong>Universitas</strong> Sumatera Utara


Gambar 2-4. Diagram skematik komposisi tubuh.<br />

2.4.1 STATUS VOLUME CAIRAN TUBUH.<br />

BIA sangat berguna ketika diketahui dapat mengetahui jumlah cairan dalam sel dan di<br />

luar sel. Cairan yang berada dalam sel disebut ICW sedangkan cairan yang berada di luar sel<br />

disebut ECW. Total cairan tubuh disebut dengan TBW. Tiga nilai ini mencakup:<br />

1. Fungsi integritas dari sel membran, yang mana bertanggung jawab terhadap gradient<br />

elektro-osmotik yang melewati membran sel. Cairan intrasel harus seimbang dengan<br />

11<br />

25,26<br />

jaringan sekitarnya yang berfungsi sebagai nutrisi sel dan detoksifikasi.<br />

2. Di dalam sel berisi elektrolit. Untuk menjaga supaya cairan tetap didalam sel, jumlah<br />

elektrolit harus cukup untuk menjaga tekanan osmotik agar air tetap bertahan didalam sel.<br />

Kalium adalah elektrolit yang utama di intrasel sedangkan Natrium adalah elektrolit yang<br />

utama di ekstrasel.<br />

3. Asam lemak berada dalam membran sel. Jika tidak terdapat lapisan lemak di setiap sel<br />

dalam tubuh kita, maka semua cairan akan keluar. Lemak menolak air (seperti minyak<br />

dan asam cuka) dan menjaga air tetap dalam sel.<br />

4. Jumlah mesenkim dan jaringan yang mengandung banyak cairan. Pada umumnya akan<br />

menye<strong>bab</strong>kan toksisitas karena normalnya jaringan hanya mengandung sedikit cairan<br />

untuk memisahkan satu sel dengan sel yang lainnya, dan dari pembuluh darah serta sel<br />

syaraf.<br />

<strong>Universitas</strong> Sumatera Utara


2.4.1.1 Total Body Water (TBW)<br />

Adalah jumlah seluruh cairan tubuh yang terdiri dari cairan intrasel dan ekstrasel,<br />

jumlahnya berkisar 50-60% berat badan. Dehidrasi atau kehilangan cairan dalam jumlah yang<br />

banyak akan menye<strong>bab</strong>kan menurunnya total cairan tubuh. Jika dijumpai adanya infeksi<br />

maka total cairan tubuh umumnya akan meningkat bila dibandingkan dengan kondisi normal.<br />

2.4.1.2 Intracellular Water (ICW)<br />

Adalah cairan yang berada di dalam sel, jumlahnya berkisar 60% dari TBW. Sel seperti<br />

otot dan beberapa organ (hati, ginjal, dan otak) berisi lebih banyak air dibanding sel lemak.<br />

ICW yang ideal memiliki fungsi menjaga metabolisme tubuh tetap normal.<br />

2.4.1.3 Extracellular Water (ECW)<br />

Adalah cairan yang berada di luar sel. Ini meliputi cairan yang berada di antara sel<br />

(interstitial), darah, cairan limfe, cairan spinal, dan cairan yang terdapat di saluran cerna.<br />

ECW ini termasuk dalam komponen extracellular mass (ECM). Haruslah dicatat bahwa<br />

kandungan oksigen terhadap sel dengan jelas akan berkurang ketika terdapat kadar cairan<br />

yang berlebihan di ekstrasel (edema).<br />

2.4.2 STATUS NUTRISI<br />

25,26<br />

2.4.2.1 Body Cell Mass (BCM)<br />

Didefinisikan sebagai massa intraselular dalam tubuh. Konsumsi oksigen, produksi<br />

CO2, oksidasi glukosa, sintesa protein dan kerja metabolisme lain berlangsung di dalam<br />

BCM. BCM pada hakekatnya merupakan massa dari seluruh elemen sel di dalam tubuh, oleh<br />

karena itu merupakan komponen aktif dari metabolisme tubuh. Pada individu normal, sekitar<br />

60% BCM terdapat pada jaringan otot, 20% terdapat pada jaringan organ, dan sisanya 20%<br />

terdapat pada sel darah merah dan jaringan seperti adiposa, tendon, tulang dan tulang rawan.<br />

2.4.2.2 Free Fat Mass (FFM)<br />

Adalah kombinasi dari Body Cell Mass (BCM) dan Extracellular Mass (ECM).<br />

2.4.2.3 Fat Mass (FM)<br />

Lemak adalah tempat penyimpanan energi di dalam tubuh. Fat Mass sama dengan berat<br />

badan aktual dikurangi dengan Free fat Mass. Nilai normalnya dipengaruhi oleh umur dan<br />

jenis kelamin.<br />

<strong>Universitas</strong> Sumatera Utara


2.4.2.4 Resting Metabolic Rate (RMR)<br />

Energi merupakan kebutuhan pokok proses biologik. Tanpa energi, proses dasar<br />

biologik untuk kehidupan tidak terjadi. Metobolisme terjadi melalui 2 fase yang berbeda: 1)<br />

Katabolisme, badan memecah makanan dan menghasilkan energi. 2) Anabolisme, di mana<br />

bagian komponen makanan dan energi digunakan untuk membangun jaringan yang baru dan<br />

melakukan fungsi dasar hidup. RMR adalah jumlah energi dalam tubuh yang dibutuhkan<br />

setiap hari untuk melakukan fungsi dasar hidup.<br />

RMR adalah suatu cara untuk mengetahui seberapa cepat pembakaran kalori dalam<br />

tubuh. Rendahnya metabolisme, maka berat badan akan tetap. Pembakaran kalori yang lebih<br />

besar dari pemasukan, akan menye<strong>bab</strong>kan penurunan berat badan.<br />

26<br />

Tabel 2-1. Nilai Resting Metabolic Rate berdasarkan Jenis Kelamin.<br />

2.4.3 PHASE ANGLE<br />

11,14,26<br />

Phase angle bergantung dari total resistan dan reaktan tubuh dan tidak bergantung dari<br />

tinggi dan berat badan serta lemak tubuh. Phase angle yang rendah timbul pada keadaan<br />

adanya kematian sel dan kerusakan membran sel. Tingginya nilai phase angle timbul pada<br />

keadaan dimana banyak jumlah membran sel dan BCM yang masih baik. Semua unsur hidup<br />

mempunyai nilai phase angle.<br />

Phase angle merupakan prediktor outcome dan mengindikasikan adanya penyakit atau<br />

kondisi tubuh yang sehat berdasarkan nutrisi yang baik dan olahraga yang teratur.<br />

<strong>Universitas</strong> Sumatera Utara


Gambar 2-5. Diagram sumber penetapan nilai phase angle; merupakan hubungan antara<br />

11<br />

resistance (R), reactan (Xc), impedance (Z), dan frekuensi arus yang digunakan.<br />

Tabel 2-2. Nilai Phase Angle berdasarkan Jenis Kelamin.<br />

2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIA<br />

2.5.1 Jenis kelamin<br />

Terdapat perbedaan total massa tubuh antara pria dan wanita, dimana pria memiliki<br />

total massa tubuh 8% lebih tinggi dibandingkan wanita. 27 Sungkar T (2010) dalam penelitian<br />

tentang perbedaan parameter BIA berdasarkan jenis kelamin pada populasi sehat di Medan<br />

mendapatkan umumnya parameter pada pria lebih tinggi dari wanita, kecuali parameter FM<br />

28<br />

yang lebih tinggi pada wanita.<br />

2.5.2 Etnik / Ras<br />

Faktor yang bertanggung jawab terhadap perbedaan etnik, yang dapat mempengaruhi<br />

akurasi hasil pengukuran komposisi tubuh dengan BIA yaitu seperti: distribusi lemak,<br />

14<br />

densitas tubuh, dan perbedaan proporsi panjang kaki.<br />

2.5.3 Umur<br />

Usia menunjukan perbedaan yang besar pada setiap individu terutama pada densitas<br />

mineral, hidrasi dan protein yang terkandung dalam FFM. Juga dijumpai penurunan nilai FM<br />

pada usia lanjut. 14<br />

25<br />

<strong>Universitas</strong> Sumatera Utara


2.6 APLIKASI BIA PADA SEPSIS<br />

BIA merupakan pengukuran yang berguna untuk menilai komposisi tubuh pada<br />

pasien sepsis, pengukuran komposisi tubuh adalah penting pada penilaian status nutrisi pada<br />

pasien tersebut. BIA juga dapat menggambarkan derajat keparahan suatu penyakit, yang<br />

dapat mempengaruhi intervensi terapi.<br />

14<br />

Pada sepsis, konsekuensi dari inflamasi sistemik yang berlebihan akan menye<strong>bab</strong>kan<br />

kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskular, gangguan oksigenasi jaringan, dan kerusakan<br />

4<br />

organ. Hal ini akan menye<strong>bab</strong>kan perubahan pada parameter BIA, terutama parameter phase<br />

angle. 14<br />

Pada sepsis terjadi perubahan pada komposisi cairan tubuh. Inflamasi akan<br />

25<br />

menye<strong>bab</strong>kan total body water bertambah. Pada saat bersamaan juga terjadi kerusakan sel<br />

dan peningkatan permeabilitas sehingga akan disertai pergeseran cairan tubuh dari<br />

intraselular dan intravaskular ke intertisial / interselular. 29 Pada keadaan ini parameter<br />

25<br />

komposisi cairan tubuh BIA dapat merefleksikan perubahan tersebut.<br />

Seperti infeksi lain, pada sepsis juga terjadi perubahan metabolisme, di mana proses<br />

katabolisme akan semakin meningkat. Kebutuhan energi basal akan bertambah yang<br />

dicerminkan oleh peningkatan nilai RMR, dan RMR akan semakin tinggi pada pasien dengan<br />

penyakit infeksi berat. Gangguan metabolisme ini dan ditambah asupan makanan yang<br />

kurang akan berpengaruh terhadap status nutrisi tubuh yang meliputi perubahan pada BCM,<br />

FFM, FM, total protein, mineral, dan glikogen. Perubahan komposisi tubuh yang ringan<br />

8,14<br />

umumnya bisa tergambar melalui parameter nutrisi BIA.<br />

Terdapat beberapa penelitian yang memakai parameter BIA pada pasien sepsis. Studi<br />

yang dilakukan oleh Schwenk dkk (1998) dengan memakai parameter BIA pada pasien sepsis<br />

mendapatkan adanya perubahan pada komposisi cairan tubuh, dimana terjadi perpindahan<br />

29<br />

cairan dari intraselular ke ekstraselular dan ini berhubungan dengan prognosis yang jelek.<br />

Swaraz (2003) mendapatkan parameter phase angle BIA dapat memprediksi survival pada<br />

pasien SIRS, di mana nilai awal phase angle >4 o berhubungan bermakna dengan angka<br />

survival selama 28 hari yang lebih tinggi. 16 Tsoroz dkk (2005) yang membandingkan ECM<br />

dan BCM antara pasien SIRS dengan sepsis berat menggunakan BIA mendapatkan nilai<br />

17<br />

BCM berkurang pada kedua kelompok, namun tidak berbeda secara bermakna.<br />

<strong>Universitas</strong> Sumatera Utara


2.7 APLIKASI BIA PADA PASIEN INFEKSI HIV/AIDS<br />

Pada malnutrisi pasien infeksi HIV/AIDS, salah satunya terjadi mobilisasi protein dari<br />

BCM (terutama massa otot rangka) untuk memenuhi kebutuhan glukoneogenesis,<br />

menye<strong>bab</strong>kan wasting klasik seperti yang terlihat pada infeksi HIV stadium lanjut. Malnutrisi<br />

pada pada HIV/AIDS pada akhirnya ditandai oleh berkurangnya BCM namun disertai<br />

ekspansi ECF. Karena berkurangnya BCM bersamaan dengan bertambahnya ECF, maka<br />

FFM dan berat badan bisa hanya sedikit berubah. Oleh karena itu penilaian antropometrik<br />

konvensional sering tidak bisa mendeteksi perubahan komposisi tubuh terutama pada stadium<br />

awal infeksi HIV. Pada stadium lanjut infeksi HIV perubahan komposisi tubuh ini lebih<br />

15<br />

jelas.<br />

Pada pasien dengan penyakit infeksi HIV juga terjadi peningkatan RMR, namun pada<br />

pasien infeksi HIV nilai RMR yang berubah tidak begitu berpengaruh terhadap total<br />

pengeluaran energi harian karena umumnya telah terdapat pengurangan aktivitas harian.<br />

Pasien HIV dengan infeksi sekunder memiliki RMR yang lebih tinggi daripada tanpa infeksi<br />

9<br />

sekunder.<br />

Adanya kerusakan jaringan dan organ akibat kematian sel yang patologis, difus, dan<br />

dipercepat, infeksi sekunder serta gangguan nutrisi akan menye<strong>bab</strong>kan perubahan pada nilai<br />

phase angle. Nilai phase angle pada pasien infeksi HIV dapat mencerminkan keparahan<br />

penyakit secara umum, serta juga dapat mengambarkan keadaan status nutrisi. Nilai phase<br />

14.15<br />

angle yang rendah mengambarkan keadaan penyakit yang lebih parah.<br />

Christine dkk (1996) menilai komposisi tubuh pasien laki-laki dengan infeksi HIV yang<br />

secara klinis kondisinya stabil mendapatkan data bahwa pasien dengan infeksi yang lebih<br />

30<br />

berat mengalami penurunan massa otot dan lemak lebih banyak. Barbara dkk (2000) yang<br />

menilai komposisi tubuh pada pasien wanita dengan infeksi HIV mendapatkan korelasi<br />

bermakna antara fat mass dan BCM dengan jumlah CD4 + absolut, namun antara parameter<br />

31<br />

komposisi tubuh dengan viral load tidak berkorelasi secara bermakna.<br />

Sedangkan Ampel dkk (1998) yang meneliti hubungan antara komposisi tubuh dengan<br />

status nutrisi dan keadaan infeksi HIV mendapatkan bahwa phase angle berhubungan dengan<br />

status nutrisi, namun tidak berhubungan dengan status imunologik (CD4), virologik, ataupun<br />

32<br />

status klinis. Kemudian Ludy dkk (2005) yang menilai komposisi tubuh pasien infeksi HIV<br />

di Thailand menyimpulkan parameter BIA dapat digunakan dalam menilai status nutrisi<br />

pasien-pasien dengan infeksi HIV, dan status nutrisi ini berhubungan erat dengan morbiditas<br />

dan mortalitas. 18<br />

<strong>Universitas</strong> Sumatera Utara

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!