20.03.2013 Views

mata int

mata int

mata int

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

LiPuTAN Khusus<br />

Keberadaan etnis Tionghoa di tengah masyarakat<br />

indonesia adalah sebuah keniscayaan dalam<br />

sejarah yang panjang. Pembauran budayanya<br />

begitu meresap dalam kehidupan sehari-hari dalam banyak<br />

bidang kehidupan. Ketika aktivitas sosial-ekonomi berlangsung<br />

maka lahir pula akulturasi yang mengalir dengan caranya sendiri<br />

saling menopang.<br />

sebagaimana terjadi di beberapa kota di indonesia, peran orang<br />

Tionghoa begitu terasa menghidupkan denyut nadi<br />

perekonomian suatu wilayah. Nah, itu terjadi pula pada salah<br />

satu pusat niaga tertua di Kota Bandung, yaitu di Pasar Baru.<br />

Kali ini <strong>int</strong>i<strong>mata</strong> mengajak Anda untuk menyambangi salah satu<br />

toko tua di sekitar Pasar Baru, Bandung. Toko yang dikelola<br />

keturunan Tionghoa ini tidak mengklaim sebagai penyedia<br />

ramuan China Tionghoa melainkan justru jamu tradisional<br />

Nusantara. Bagaimana, menarik bukan? Nama toko ini pun<br />

cukup unik, yaitu Babah Kuya.<br />

Berada di salah satu sudut ramai belakang Pasar Baru yang<br />

sekarang menjelma menjadi Pusat Perbelanjaan Modern, toko<br />

tua ini adalah saksi eksistensi warga Tionghoa diawal kelahiran<br />

pusat niaga Kota Bandung. Beralamat di Pasar selatan No. 33,<br />

Toko Jamu Babah Kuya sudah ada sejak tahun 1800-an<br />

didirikan oleh Tan sioe how.<br />

Penamaan Babah Kuya sendiri berasal dari kata ‘babah’ yaitu<br />

panggilan bapa untuk orang Tionghoa dan kata ‘kuya’ yang<br />

berarti kura-kura dalam bahasa sunda. Panggilan ‘babah’ untuk<br />

etnis Tionghoa rupanya memiliki kemiripan dengan ‘abah’ (bapa<br />

atau ayah) untuk orang sunda. sementara untuk kata ‘kuya’,<br />

itu karena memang di toko ini terpampang penyu (kura-kura air<br />

laut) yang diawetkan dan telah ada sejak awal toko tersebut<br />

berdiri. Penyu itulah yang kemudian menjadi simbol toko ini<br />

sekaligus menjadi sebutan yang mudah diingat konsumen.<br />

di tengah hiruk pikuk Pasar Baru yang tidak pernah sepi,<br />

<strong>int</strong>i<strong>mata</strong> berkesempatan mewawancarai han Pek hoa, istri dari<br />

iwan setiadi (sie Tjoe Liong), generasi keempat pengelola Toko<br />

Babah Kuya. ibu iwan menjelaskan bahwa dia dan suaminya<br />

telah mengelola toko jamu ini selama 27 tahun meneruskan<br />

tradisi menjual bahan dan racikan jamu. para pemasok<br />

bahan-bahan jamu-nya pun saling meneruskan profesi dan<br />

usaha mereka secara estafet.<br />

Toko Babah Kuya telah menurunkan keahlian meracik bahan<br />

ramuan tradisional Nusantara secara turun-temurun. 95%<br />

bahan jamu yang dijual di toko ini berasal dari beberapa provinsi<br />

di indonesia, sementara sisanya mengimpor dari luar negeri<br />

termasuk China dan Thailand. uniknya, ketika ditanya mengenai<br />

asal resep ramuan jamunya, ibu iwan menjawab, “Kalau dari<br />

China kita nggak ngerti, ini semua ramuan tradisional<br />

Nusantara. hanya beberapa istilah, seperti kalau ada yang<br />

mem<strong>int</strong>a lingshi, nah kita ada. itupun saya nggak tahu gimana<br />

tulisan China-nya” ujarnya sembari tertawa.<br />

ibu iwan mengakui ada kepuasan tersendiri ketika membagikan<br />

pengetahuan kesehatan kepada pelanggannya. harapnya<br />

mereka mengerti manfaat ramuan tradisional Nusantara.<br />

Toko Jamu Babah Kuya adalah cerminan pembauran budaya<br />

yang tidak hanya indah tetapi memberi manfaat bagi banyak<br />

orang. Toko ini begitu universal sehingga tidak hanya menjadi<br />

rujukan ‘sinshe’ (pengobatan China) dan peramu pengobatan<br />

tradisional Nusantara tetapi juga menjadi rujukan pengobatan<br />

modern.<br />

Keberadaan toko Babah Kuya menunjukan bagaimana akuturasi<br />

Tionghoa dan pribumi telah mengalir dengan sendirinya dalam<br />

bidang usaha. ini adalah hal berbeda dimana seringnya kita<br />

melihat akulturasi budaya Tionghoa dengan pribumi itu terjadi<br />

pada ragam kuliner, arsitektur, seni kriya, atau kain tradisional.<br />

sambangi toko ini dan ambillah beberapa jepretan objek dari<br />

kamera kesayangan Anda. Lihatlah bagaimana campuran<br />

racikan bahan jamu tradisional itu seakan selaras dengan<br />

berbaurnya para pembelinya yang beragam. Anda juga akan<br />

merasakan bagaimana akulturasi itu terjadi dengan<br />

sendirinya saling menopang, saling mengerti, dan terpenting<br />

adalah mereka membaur tanpa harus lebur.<br />

MARET 2013 22

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!