01.05.2013 Views

(BPR) DAN WAKTU MILLING TERHADAP PERUBAHAN FASA DAN ...

(BPR) DAN WAKTU MILLING TERHADAP PERUBAHAN FASA DAN ...

(BPR) DAN WAKTU MILLING TERHADAP PERUBAHAN FASA DAN ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

PENGARUH BALL TO POWDER WEIGHT RATIO (<strong>BPR</strong>) <strong>DAN</strong> <strong>WAKTU</strong> <strong>MILLING</strong><br />

<strong>TERHADAP</strong> <strong>PERUBAHAN</strong> <strong>FASA</strong> <strong>DAN</strong> MORFOLOGI PADUAN Cu-30%Zn DENGAN<br />

MECHANICAL ALLOYING<br />

Indra Rukmana Army (3) Dr. Widyastuti, S.Si, M.Si (1) , Wahyu B. Widayatno, S.Si, M.Si (2)<br />

1. Dosen Teknik Material dan Metalurgi, FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya<br />

2. Dosen Peneliti Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI)-Fisika Serpong<br />

3. Mahasiswa Teknik Material dan Metalurgi, FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,<br />

Surabaya<br />

Abstrak<br />

Dalam dunia industri militer, banyak digunakan bahan baku logam misalnya dalam<br />

pembuatan tank, senapan, peluru dan lain sebagainya. Salah satu logam yang di gunakan yakni<br />

kuningan dalam aplikasinya pembuatan kelongsong peluru dimana logam ini memiliki senyawa<br />

Cu-30%Zn. Pada penelitian ini telah di buat paduan Cu-30%Zn dengan menggunakan metode<br />

metalurgi serbuk yaitu mechanical alloying (MA) sebagai salah satu alternatif dalam pembuatan<br />

bahan (kuningan) kelongsong peluru. Variasi yang di gunakan yaitu ball to powder weight ratio<br />

(<strong>BPR</strong>) 5:1, 20:1, dan 100:1 dengan waktu milling 1, 5, dan 10 jam. Serbuk hasil MA dilakukan<br />

pengujian XRD untuk mengamati perubahan fasa yang terjadi, selain itu dilakukan pengujian<br />

optik dan SEM-EDX untuk mengamati perubahan morfologi dan komposisi atom pada serbuk<br />

setelah MA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi <strong>BPR</strong> dan waktu milling ini mengalami<br />

perubahan fasa yakni ε, γ, β,α, dan ZnO. Variasi optimum dari <strong>BPR</strong> dan waktu milling yaitu pada<br />

<strong>BPR</strong> 100:1 dengan waktu milling 5 jam sebanding dengan <strong>BPR</strong> 20:1 dengan waktu milling 10<br />

jam yang ditandai dengan terbentuknya fasa a yang sempurna.<br />

Kata Kunci: Mechanical alloying, ball to weight powder ratio (<strong>BPR</strong>), waktu milling.<br />

Abstract<br />

In military industry, metals are widely used to produce tanks, rifles, bullets and so forth.<br />

One of them is brass which is used in the manufacture process for producing shell of bullet which<br />

contains Cu-30%Zn. In this research Cu-30%Zn alloy have been made by powder metallurgy<br />

process, that is mechanical alloying (MA) as an alternative in the manufacture of brass for shell<br />

bullet. Ball to powder weight ratio (<strong>BPR</strong>) is varied between 5:1, 20:1, and 100:1 with milling<br />

time of 1, 5, and 10 hours. The resulted powders is then examined by XRD to observe the phase<br />

transformation in the powder. SEM-EDX is conducted to observe the changes in morphology and<br />

atomic composition on the powder after MA process. This research showed that the variation of<br />

<strong>BPR</strong> and milling time is experiencing a phase change those are ε, γ, β, α, and ZnO. Optimum<br />

variation of <strong>BPR</strong> and milling time is 100:1 with milling time of 5 hours, which is comparable<br />

with variation of 20:1 with milling time of 10 hours which is characterized by the formation of<br />

perfect a phase.<br />

Keyword: Mechanical alloying, ball to weight powder ratio (<strong>BPR</strong>), milling time.


1. PENDAHULUAN<br />

Penggunaan logam paduan Cu-Zn<br />

sudah tidak asing lagi dalam dunia industri,<br />

salah satunya yaitu dalam industri<br />

pertahanan. Paduan Cu-Zn memiliki sifat<br />

mekanik maupun morfologi yang berbeda,<br />

tergantung dari persentase masing-masing<br />

paduannya. Paduan Cu-30% Zn yang<br />

merupakan salah satu jenisnya dikenal<br />

sebagai kuningan dimana salah satu<br />

pemanfaatannya dalam industri pertahanan<br />

adalah dalam proses pembuatan kelongsong<br />

peluru. Pembuatan logam paduan ini yaitu<br />

dengan proses metalurgi cair/casting<br />

maupun dengan proses deep drawing.<br />

Kegagalan di bagian dinding kelongsong<br />

terutama diakibatkan oleh tegangan (stress)<br />

contohnya seperti korosi tegangan dan patah.<br />

Kegagalan di bagian ini lebih kompleks.<br />

Untuk mengurangi kegagalan di butuhkan<br />

upaya yang lebih lanjut. (Feng dan Clark,<br />

1993). Oleh karena itu, dalam penilitian ini<br />

digunakan metode Powder Metallurgy<br />

dengan berbahan dasar serbuk Cu dan Zn<br />

yang dipadukan secara mekanik (mechanical<br />

alloying).<br />

Mechanical alloying (MA) adalah<br />

proses solid-state serbuk dengan teknik<br />

menyertakan pengulangan penggabungan,<br />

penghancuran, dan penggabungan kembali<br />

(rewelding) untuk butiran serbuk pada high<br />

energy ball mill. Mechanical alloying dapat<br />

digunakan untuk sintesis larutan padatan,<br />

nano partikel, paduan amorf, intermetalik,<br />

dan komposisi kimia. Proses MA sebagian<br />

besar dipengaruhi oleh termodinamik dan<br />

sifat kinetik pada sistem serbuk, intensitas<br />

milling dan temperatur (Suryanarayana,<br />

2003)<br />

Gambar 1.1 Mekanisme Terjadinya<br />

Tumbukan (Suryanarayana, 2003)<br />

Perbandingan berat antara bola<br />

dengan serbuk (<strong>BPR</strong>) merupakan variable<br />

yang penting dalam proses milling.<br />

Perbandingan ini dapat memberikan efek<br />

yang cukup besar terhadap serbuk yang<br />

sedang di milling. Nilai <strong>BPR</strong> yang tinggi<br />

akan menyebabkan berat bola akan lebih<br />

berat sehingga energi yang di transfer ke<br />

serbuk juga besar dan hanya memerlukan<br />

waktu yang lebih cepat.<br />

Pada <strong>BPR</strong> yang tinggi akan<br />

menyebabkan meningkatnya jumlah berat<br />

bola, yang artinya bagian yang kosong pada<br />

grinding ball akan berkurang dan jumlah<br />

tumbukan akan meningkat. Sehingga energi<br />

akan lebih banyak yang tersalur ke serbuk<br />

dalam waktu yang singkat. Dapat di<br />

simpulkan bahwa semakin besar nilai<br />

<strong>BPR</strong>nya maka jumlah serbuk yang di milling<br />

menjadi lebih sedikit, dan jika nilai <strong>BPR</strong>nya<br />

rendah dapat menampung serbuk yang lebih<br />

banyak tetapi konsekuensinya akan<br />

memerlukan waktu yang lebih lama.<br />

(Suryanarayana, 2003).<br />

Penelitian Suryanarayana (1992)<br />

yakni Ti-Al di milling dengan menggunakan<br />

SPEX MILL memerlukan waktu 7 jam<br />

dengan <strong>BPR</strong> 10:1, dan memerlukan waktu 2<br />

jam jika menggunakan perbandingan <strong>BPR</strong><br />

50:1, dan hanya 1 jam jika menggunakan<br />

perbandingan 100:1. Penelitian oleh Sa<br />

Lisboa (2002) yakni milling Al50Si30Fe15Ni15<br />

menghasilkan produk yang hampir sama<br />

yaitu waktu penggilingan 40 jam dengan<br />

<strong>BPR</strong> 15:1 dan waktu penggilingan 95 jam


dengan <strong>BPR</strong> 10:1. Pada penelitian Gonzalez<br />

(2001), campuran Fe-Al tidak terjadi<br />

alloying jika perbandingan <strong>BPR</strong>nya 1:1<br />

dengan menggunakan ball mill baja maupun<br />

WC. Ketika perbandingan <strong>BPR</strong> di naikkan<br />

menjadi 8:1 maka akan terjadi alloying<br />

selama 3 jam(menggunakan bola baja) dan 5<br />

jam jika menggunakan ballmill WC<br />

(wolfram carbon).<br />

Dalam penelitian El-Eskandarany<br />

(1990) yakni mengenai pengaruh <strong>BPR</strong><br />

terhadap reaksi pembentukan amorf pada<br />

serbuk paduan Al50Ta50 menggunakan lowenergy<br />

ball mill. Dalam penelitiannya<br />

menggunakan variasi berat serbuk yakni<br />

90gr, 30gr, 20gr, 10gr, dan 3gr dengan<br />

menggunakan <strong>BPR</strong> yakni 12:1, 36:1, 54:1,<br />

108:1, dan 324:1 seperti yang di tunjukkan<br />

Gambar 1.2<br />

Gambar 1.2 Hasil X-Ray Diffraction<br />

(XRD) pada Al50Ta50<br />

Menggunakan Ball Mill 1440<br />

ks (400 h) Sebagai Fungsi<br />

<strong>BPR</strong> (El-Eskandarany, 1990)<br />

Gambar 1.2 menunjukkan hasil<br />

XRD pemaduan mekanik serbuk Al50Ta50<br />

menggunakan ball mill 1440 ks (400 h)<br />

sebagai fungsi rasio <strong>BPR</strong>. Dari Gambar<br />

tersebut kita dapat melihat bahwa fasa<br />

tunggal amorf paduan mulai terbentuk jika<br />

menggunakan <strong>BPR</strong> 36:1 dan 108:1. Jika<br />

menngunakan <strong>BPR</strong> 12:1, puncak dari<br />

elemen Al dan Ta tetap muncul. Ini<br />

mengindikasikan bahwa reaksi pembentukan<br />

amorf belum selesai. Namun jika<br />

menggunakan <strong>BPR</strong> 324:1, hasilnya dapat<br />

kita lihat yakni fasa amorf berdampingan<br />

dengan fasa AlTa, AlTa2, dan AlTaFe.<br />

Berdasarkan hasil di atas, dapat<br />

disimpulkan bahwa laju pembentukan amorf<br />

tergantung dari besar energi kinetik ball mill<br />

dan juga bergantung pada seberapa besar<br />

peluang untuk bereaksi dan interdifusi<br />

serbuk yang dipadukan. Seiring dengan<br />

peningkatan <strong>BPR</strong> maka akan mempercepat<br />

reaksi pembentukan amorf, dimana<br />

dijelaskan dengan semakin meningkatnya<br />

energi kinetik ball mill per unit massa<br />

serbuk. Dalam penelitian ini juga<br />

diperlihatkan bahwa fraksi volume fasa<br />

amorf meningkat sejak awal pemaduan, 86 –<br />

173 ks (48 h) seiring dengan peningkatan<br />

<strong>BPR</strong>. Itu menunjukkan bahwa peningkatan<br />

<strong>BPR</strong> mengarah pada pembentukan fasa<br />

kristalin dan ini mungkin berkaitan dengan<br />

muatan energi ball mill yang berubah<br />

menjadi panas. Namun jika <strong>BPR</strong> diturunkan<br />

menjadi 12:1, reaksi pembentukan amorf<br />

tidak selesai. Ini menunjukkan bahwa energi<br />

kinetik ball mill tidak mencukupi untuk<br />

menyelesaikan transisi dari kristalin ke fasa<br />

amorf. Salah satu kerugian menggunakan<br />

<strong>BPR</strong> yang tinggi adalah kontamina besi yang<br />

dihasilkan tinggi selama proses pemaduan<br />

seperti yang diperlihatkan Gambar 1.3.


Gambar 1.3 Kontimina Besi Yang<br />

Terbentuk Selama Proses<br />

Pemaduan Mekanik Al50Ta50<br />

(El-Eskandarany 1990)<br />

Perlu di catat bahwa partikel serbuk<br />

akan mencapai minimum kehalusan<br />

ekstrimjika menggunakan <strong>BPR</strong> yang tinggi.<br />

Hal ini diperkuat oleh penilitian Eigen, N<br />

(2003) tentang sintesa WC dengan<br />

mechanical alloying dengan variasi <strong>BPR</strong> di<br />

dapatkan hasil yang hampir sama yakni<br />

ukuran kristal menurun (semakin kecil)<br />

seiring dengan bertambahnya waktu milling<br />

dan tingkat laju penurunannya sangat cepat<br />

jika menggunakan nilai <strong>BPR</strong> yang besar. Hal<br />

ini dapat dilihat pada Gambar 1.4.<br />

Gambar 1.4 a. Variasi Ukuran Kristal<br />

Dengan Perbandingan Antara Waktu Milling<br />

Dan <strong>BPR</strong> b. Variasi Ukuran Kristal<br />

Berdasarkan Media Penggiling Yang<br />

Digunakan (Suryanarayana, 2003)<br />

Bentuk media penggiling tidak<br />

memiliki efek terhadap penurunan ukuran<br />

kristal. Hal ini dapat dilihat pada Gambar<br />

2.7b, bentuk batang atau bola tidak memiliki<br />

pengaruh yang signifikan terhadap ukuran<br />

kristal yang terbentuk. Morfologi serbuk<br />

juga berpengaruh terhadap <strong>BPR</strong> rasio. Pada<br />

penelitian Niu (1991) mengenai pengaruh<br />

<strong>BPR</strong> pada kekerasan serbuk didapatkan<br />

bahwa penggunaan <strong>BPR</strong> 3:1 didapatkan<br />

morfologi serbuk serpihan, penggunan <strong>BPR</strong><br />

10:1 atau lebih besar didapatkan morfologi<br />

serbuk sama-sumbu dan jika di gunakan<br />

<strong>BPR</strong> yang menengah maka didapatkan<br />

morfologi serbuk serpihan dan sama-sumbu.<br />

2. METODOLOGI<br />

Bahan yang digunakan dalam penelitian<br />

ini adalah serbuk Cu dan sebuk Zn. Adapun<br />

spesfikasi dari serbuk Cu dan serbuk Zn<br />

yang digunakan ditunjukkan pada Gambar<br />

3.2a dan 3.2b. Serbuk tembaga (Cu) merk<br />

Merck dengan kemurnian 99,7 % dengan<br />

ukuran serbuk < 63µm (230 mesh ASTM),<br />

dan serbuk Zinc < 45µm. Selain itu, bahan<br />

yang digunakan dalam penelitian ini adalah<br />

gas inert dan resin.<br />

Untuk penentuan jumlah serbuk (gram)<br />

setiap variasi digunakan fraksi berat.<br />

Pertama-tama dilakukan penimbangan berat<br />

berat bola kemudian untuk menentukan berat<br />

total serbuk dibandingkan sesuai dengan<br />

<strong>BPR</strong> yang dgunakan. Setelah berat total<br />

serbuk didapatkan barulah ditentukan berat<br />

Cu dan Zn yang digunakan dalam satu kali<br />

proses menggunakan fraksi berat yakni Cu<br />

70% dan Zn 30%. Didapatkan untuk <strong>BPR</strong><br />

5:1 serbuk Cu yang digunakan sebanyak<br />

17,10 gram dan Zn sebanyak 7,55 gram.<br />

Untuk <strong>BPR</strong> 20:1 serbuk Cu sebanyak 5,9<br />

gram dan Zn sebanyak 2,62 gram.<br />

Sedangkan untuk <strong>BPR</strong> 100:1 Cu sebanyak<br />

1,57 gram dan Zn sebanyak 0,688 gram.


START<br />

Preparasi Alat Dan Bahan<br />

Sterilisasi Ball Mill<br />

dan Milling<br />

Container (chamber)<br />

Milling Dummy<br />

State Inert Gas<br />

Atmosphere<br />

Milling HEM E3D<br />

Penimbangan Ball<br />

Mill dan Serbuk<br />

Cu-30wt.%Zn<br />

<strong>BPR</strong> 5:1, 20:1, dan<br />

100:1<br />

Waktu milling 1 jam, 5 jam, dan 10 jam<br />

Pengujian Fasa<br />

X-Ray<br />

Diffraction<br />

(XRD)<br />

Pengujian<br />

Morfologi<br />

Serbuk<br />

Scanning<br />

Electron<br />

Microscope<br />

(SEM)<br />

Analisa Data dan Pembahasan<br />

Kesimpulan<br />

END<br />

Gambar 2.1 Diagram Alir Penelitian<br />

Pengujian XRD, Optik dan SEM<br />

dengan menggunakan serbuk hasil MA<br />

dengan massa ± 2 gr. Pada pengujian XRD<br />

berupa serbuk tanpa menggunakan alas<br />

parafin, lain halnya dengan pengujian SEM<br />

yang menggunakan coating dengan<br />

menggunakan emas.<br />

Pengujian XRD<br />

Pengujian XRD atau X-Ray<br />

Diffraction ini bertujuan untuk<br />

mengidentifikasi fasa yang terdapat dalam<br />

sampel. Sehingga dapat diketahui apakah<br />

terbentuk fasa baru atau tidak. Selain<br />

mengidentifikasi fasa yang terbentuk, XRD<br />

juga bertujuan untuk menentuan komposisi,<br />

menentukan struktur kristal dan lain-lain.<br />

Pengujian SEM<br />

Pengujian SEM (Scanning Elektron<br />

Microskop (SEM) dilakukan untuk<br />

mengetahui morfologi dari sampel, sehingga<br />

dapat diamati mekanisme perubahan partikel<br />

serbuk hasil milling. Mengamati permukaan<br />

pada M=10-100000 X, resolusi kedalaman<br />

3-100 nm.<br />

3. HASIL <strong>DAN</strong> PEMBAHASAN<br />

3.1 Analisa Perubahan Fasa<br />

Menggunakan Uji XRD<br />

Analisa fasa dari hasil pengujian X-<br />

Ray Diffraction (XRD) bertujuan untuk<br />

mengidetifikasi perubahan fasa yang terjadi<br />

selama proses pemaduan serbuk. Sampel uji<br />

telah mendapatkan perlakuan yang sama<br />

yaitu mechanical alloying dengan kecepatan<br />

milling 1400 Hz dilakukan pada temperatur<br />

ruang. Hanya saja perbedaannya terletak<br />

pada variasi <strong>BPR</strong> dan waktu milling yang<br />

digunakan pada setiap sampel uji.<br />

Identifikasi fasa menggunakan software<br />

ICDD dan X-Powder untuk fasa yang<br />

teridentifikasi dan untuk fasa yang tidak<br />

teridentifikasi dilakukan secara manual<br />

dengan menggunakan data PDF Cards. Data<br />

PDF Cards yang digunakan dalam


pengidentifikasian fasa ditunjukkan oleh<br />

Tabel 3.1.<br />

Tabel 3.1 Data PDF Cards Uji XRD Pada<br />

Sistem Cu-Zn<br />

Fasa Kode PDF<br />

CuZn5 (e)<br />

Cu5Zn8(g)<br />

CuZn (β)<br />

Cu0.64Zn0.36 (α)<br />

351152<br />

251228<br />

021231<br />

501333<br />

Identifikasi fasa pada sampel serbuk<br />

Cu-30%Zn hasil mechanical alloying<br />

menunjukkan adanya perubahan fasa.<br />

Perubahan fasa ini diakibatkan oleh variasi<br />

<strong>BPR</strong> dan waktu milling yang di gunakan.<br />

Perubahan fasa akibat perbedaan <strong>BPR</strong> dan<br />

waktu milling dapat dilihat pada Gambar<br />

3.1, 3.2 dan 3.3.<br />

Fasa a mulai terbentuk<br />

Gambar 3.1 Hasil Uji XRD Pada Sampel<br />

<strong>BPR</strong> 5:1 Dengan Waktu Milling (a) 1 jam<br />

(b) 5 jam (c) 10 jam<br />

Gambar 3.1 menunjukkan hasil uji<br />

XRD pada sampel yang menggunakan <strong>BPR</strong><br />

5:1 dengan waktu milling 1, 5, dan 10 jam.<br />

Pada Gambar 3.1a terlihat bahwa belum<br />

terjadi alloying pada waktu milling 1 jam.<br />

Hal ini ditandai hampir sebagian besar fasa<br />

yang terbentuk masih berupa reaktan yakni<br />

Cu dan Zn dan hanya sebagian kecil yang<br />

berubah menjadi fasa g dan fasa e. Seiring<br />

bertambahnya waktu milling, reaktan yang<br />

berupa Cu dan Zn tadi mulai habis<br />

membentuk fasa baru yakni fasa b pada<br />

waktu milling 5 jam. Hal ini bisa kita liat<br />

dari tingginya puncak dari fasa b pada<br />

Gambar 3.1b. Pada waktu milling 10 jam<br />

(Gambar 3.1c), terlihat tumbuh puncak baru<br />

yang teridentifikasi sebagai awal<br />

pembentukan fasa baru yakni fasa<br />

a sekaligus menandakan bahwa atom Zn<br />

mulai masuk secara substitusi ke dalam<br />

kristal Cu. Namun fasa yang terbentuk<br />

adalah dominan fasa b pada tahap ini. Hal<br />

ini dapat dilihat dari tingginya puncak fasa<br />

b. Reaktan yang berupa Cu sudah hampir<br />

habis pada tahap ini yang berarti bahwa Cu<br />

dan Zn berubah menjadi fasa baru yakni fasa<br />

a dan b.<br />

Fasa a<br />

Fasa a<br />

Gambar 3.2 Hasil Uji XRD Pada Sampel<br />

<strong>BPR</strong> 20:1 Dengan Waktu Milling (a) 1 jam<br />

(b) 5 jam (c) 10 jam<br />

Gambar 3.2 menunjukkan hasil uji XRD<br />

pada sampel yang menggunakan <strong>BPR</strong> 20:1<br />

dengan waktu milling 1, 5, dan 10 jam. Pada<br />

waktu milling 1 jam (Gambar 3.2a), fasa<br />

yang terbentuk adalah g dan reaktan yang<br />

berupa Cu. Hal ini juga menandakan bahwa<br />

belum terjadi pemaduan yang sempurna.<br />

Memasuki waktu milling 5 jam, fasa a sudah<br />

dalam proses pembentukan. Dapat kita lihat<br />

jelas puncak fasa a yang berdempetan<br />

dengan puncak fasa b hampir sama tinggi.<br />

Kemungkinan fasa a mulai tumbuh di antara<br />

rentang waktu 1 sampai 5 jam. Pada waktu<br />

milling 10 jam (Gambar 3.2c), Fasa a sudah


terbentuk sempurna. Namun terbentuk ZnO<br />

yang merupakan salah satu oksida seng<br />

dalam intensitas yang kecil. Diperkirakan<br />

hal ini terjadi akibat Zn yang berikatan<br />

dengan oksigen yang terjebak dalam milling<br />

chamber.<br />

Fasa a<br />

Fasa a<br />

Fasa a<br />

Gambar 3.3 Hasil Uji XRD Pada Sampel<br />

<strong>BPR</strong> 100:1 Dengan Waktu Milling (a) 1 jam<br />

(b) 5 jam (c) 10 jam<br />

Gambar 3.3 menunjukkan hasil uji<br />

XRD pada sampel yang menggunakan <strong>BPR</strong><br />

100:1 dengan waktu milling 1, 5, dan 10<br />

jam. Fasa a sudah mulai terbentuk sejak<br />

awal yakni pada waktu milling 1 jam seperti<br />

yang ditunjukkan Gambar 3.3a. Namun<br />

masih belum berubah menjadi fasa a secara<br />

keseluruhan. Hal ini di tandai karena masih<br />

adanya fasa b yang terbentuk dan memiliki<br />

intensitas yang cukup besar. Fasa a baru<br />

terbentuk secara sempurna pada waktu<br />

milling 5 jam dan 10 jam seperti yang kita<br />

lihat pada Gambar 3.3b dan 3.3c dan juga<br />

terbentuk ZnO dengan intensitas yang kecil<br />

sama dengan pada Gambar 3.2c.<br />

Pengaruh <strong>BPR</strong> terhadap perubahan<br />

fasa sangat erat kaitannya dengan waktu<br />

milling. Hal ini dapat kita lihat pada Gambar<br />

3.1c, 3.2b, dan 3.3a. Pada <strong>BPR</strong> 5:1 fasa<br />

a baru mulai terbentuk pada waktu milling<br />

10 jam (Gambar 3.1c). Untuk <strong>BPR</strong> 20:1 fasa<br />

a terbentuk pada waktu milling 5 jam<br />

(Gambar 3.2b). Sedangkan pada <strong>BPR</strong> 100:1<br />

fasa a sudah mulai terbentuk sejak awal<br />

yakni pada waktu milling 1 jam (Gambar<br />

3.3a). Dengan kata lain semakin besar <strong>BPR</strong><br />

yang kita gunakan maka waktu milling untuk<br />

pembentukan fasa a juga semakin singkat.<br />

Perubahan fasa akibat pengaruh <strong>BPR</strong><br />

dan waktu milling lebih jelasnya dapat kita<br />

lihat pada Tabel 3.2 berikut ini.<br />

Tabel 3.2 Identifikasi Fasa Pada MA Paduan<br />

Cu-30%Zn<br />

<strong>BPR</strong> /<br />

waktu<br />

1 jam 5 jam 10 jam<br />

5:1 g+e+Cu+Zn b+e+Cu a+b+Cu<br />

20:1 g+Cu α+β α+ZnO<br />

100:1 α+β α+ZnO α+ZnO<br />

Pada Tabel 3.2 jika dilihat secara<br />

keseluruhan proses, hal ini sesuai dengan<br />

penelitian (S.K. Pabi, B.S. Murty, 1996)<br />

dimana proses pembentukan fasa a seiring<br />

dengan bertambahnya waktu milling untuk<br />

Cu70Zn30 adalah e + g → β → a + ZnO. Dan<br />

sebagai tambahan bahwa semakin besar<br />

<strong>BPR</strong> yang digunakan maka pembentukan<br />

fasa a juga semakin cepat.<br />

3.2 Analisa Morfologi Serbuk<br />

Menggunakan Uji SEM-EDX<br />

Analisa serbuk hasil mechanical<br />

alloying menggunakan SEM bertujuan untuk<br />

mengetahui ukuran butir dan penampakan<br />

melintang serbuk hasil MA. Uji SEM-EDX<br />

juga bertujuan untuk melihat distribusi<br />

partikel dan terbentuk atau tidaknya paduan<br />

pada serbuk hasil MA. Hasil dari EDX yang<br />

memperlihatkan komposisi %atom dan<br />

%massa yang terdapat pada serbuk nantinya<br />

dibandingkan dengan hasil uji XRD apakah<br />

sudah match atau tidak hasil yang<br />

didapatkan.


a<br />

a<br />

b<br />

a<br />

c<br />

a<br />

Gambar 3.4 Hasil Uji SEM Sampel<br />

Perbesaran 1500X <strong>BPR</strong> 5:1 Dengan Waktu<br />

Milling (a) 1 jam (b) 5 jam (c) 10 jam<br />

Pada gambar 3.4 diperlihatkan<br />

gambar hasil pengujian SEM dengan <strong>BPR</strong><br />

5:1waktu milling 1, 5, dan 10 jam. Pada<br />

Gambar 3.4a terlihat butir masih rapuh dan<br />

belum terjadi pemaduan . Hal ini didasarkan<br />

pada hasil XRD yang menunjukkan pada<br />

tahap ini produk sebagian besar masih<br />

berupa reaktan Cu dan Zn. Pada Gambar<br />

3.4b butir terlihat mulai terbentuk karena<br />

pada tahap ini merupakan tahap<br />

terbentuknya fasa b dimana fasa ini<br />

merupakan fasa akhir sebelum terbentuknya<br />

fasa a. Pada tahap ini Zn sudah tidak<br />

nampak lagi namun Cu masih tersisa<br />

sebagian kecil. Sedangkan pada Gambar<br />

3.4c, pada tahap ini fasa a sudah mulai<br />

terbentuk. Pada tahap ini, Zn sudah memiliki<br />

ukuran yang lebih kecil dari Cu akibat<br />

tumbukan bola milling sehingga atom Zn<br />

mulai berdifusi masuk ke dalam kristal Cu.<br />

Bentuk butir pada tahap ini juga kelihatan<br />

lebih padat dibandingkan dengan gambar<br />

3.4a dan 3.4b.<br />

Gambar 3.5 Hasil EDX Serbuk MA Waktu<br />

Milling 10 Jam <strong>BPR</strong> (a) 5:1 (b) 20:1 (c)<br />

100:1<br />

Gambar 3.5 merupakan hasil EDX<br />

dari serbuk MA pada waktu 10 jam dengan<br />

<strong>BPR</strong> 5:1, 20:1 dan 100:1. Dapat dlihat<br />

%atom dan %massa yang terdapat pada<br />

setiap butir yang diuji dimana pada proses<br />

a<br />

b<br />

c


tersebut menggunakan waktu yang sama<br />

hanya berbeda dari <strong>BPR</strong> yang digunakan.<br />

Pada Gambar 3.5a, %atom yang<br />

didapatkan adalah %atomCu=18,08 dan<br />

%atomZn =10,48. Pada Gambar 3.5b,<br />

didapatkan %atomCu=14,08 dan<br />

%atomZn=6,76. Sedangkan pada gambar<br />

3.5c , %atomCu=7,45 dan %atomZn=3,26.<br />

Pada ketiga fenomena tersebut<br />

terlihat bahwa %atom baik Cu maupun Zn<br />

berkurang seiring dengan besarnya <strong>BPR</strong><br />

yang digunakan. Hal ini diakibatkan oleh<br />

tumbukan bola milling yang mereduksi<br />

ukuran partikel-partikel atom Cu dan Zn<br />

tersebut. Semakin besar <strong>BPR</strong> yang<br />

digunakan maka ukuran partikel-partikel<br />

atom Cu dan Zn yang tereduksi akan<br />

semakin kecil sehingga distribusi atom<br />

setiap satu butir serbuk juga menjadi<br />

semakin kecil menyebabkan %atom untuk<br />

setiap butir serbuk juga menjadi lebih kecil<br />

dari sebelumnya.<br />

Proses milling untuk sistem Cu-Zn<br />

ini merupakan perpaduan dari bahan ulet dan<br />

getas, tahap awal proses milling serbuk<br />

logam yang ulet (Cu) akan membentuk flat /<br />

pipih akibat tumbukan antar bola.<br />

Sedangkan untuk serbuk logam yang getas<br />

(Zn) akan menjadi pertikel yang lebih kecil<br />

dari sebelumnya, dan partikel -pertikel kecil<br />

tersebut akan terjebak di antara dua laminae<br />

serbuk yang ulet (Cu), dan tiap layer akan<br />

berubah arah sehingga menjadi berkelok<br />

kelok (Suryanarayana, 2003).<br />

Jumlah %massa hasil EDX untuk<br />

setiap butir digunakan untuk mencocokkan<br />

dengan hasil perhitungan secara manual<br />

setiap melakukan satu kali proses MA.<br />

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada<br />

Tabel 3.3.<br />

Tabel 3.3 Perbandingan Komposisi %massa<br />

EDX Dan Hasil Perhitungan<br />

Data EDX Hasil<br />

N Pad<br />

Perhitungan<br />

o uan Cu Zn Cu Zn<br />

wt.% wt.% wt.% wt.%<br />

1 Cu-<br />

30%<br />

Zn<br />

Butir<br />

1<br />

42.04 25.08 62.63 37.37<br />

Butir<br />

2<br />

2 Cu-<br />

30%<br />

Zn<br />

42.63 23.34 63.28 36.72<br />

Butir<br />

1<br />

38.48 19.01 66.93 33.07<br />

Butir<br />

2<br />

3 Cu-<br />

30%<br />

Zn<br />

39.73 19.93 66.59 33.41<br />

Butir<br />

1<br />

26.03 11.72 68.95 31.05<br />

Butir<br />

2<br />

26.51 13.66 65.99 34.01<br />

Berdasarkan Tabel 3.3 diatas, dapat<br />

kita lihat bahwa komposisi serbuk yang<br />

didapat dari EDX dan data hasil perhitungan<br />

memiliki perbandingan yang mendekati<br />

prosentase perbandingan berat serbuk yang<br />

digunakan pada paduan Cu-Zn penelitian ini<br />

yaitu Cu-30%Zn.<br />

4. KESIMPULAN <strong>DAN</strong> SARAN<br />

4.1 Kesimpulan<br />

Dari penelitian mengenai mechanical<br />

alloying pada Cu-30%Zn mengenai<br />

pengaruh ball to powder weight ratio (<strong>BPR</strong>)<br />

terhadap perubahan fasa dan morfologinya,<br />

diperoleh kesimpulan sebagai berikut:<br />

1. Proses terbentuknya fasa a pada<br />

<strong>BPR</strong> 5:1 baru mulai pada waktu


milling 10 jam. Untuk <strong>BPR</strong> 20:1 baru<br />

mulai terbentuk pada waktu milling 5<br />

jam. Sedangkan pada <strong>BPR</strong> 100:1<br />

sudah mulai terbentuk pada waktu<br />

milling 1 jam.<br />

2. Semakin besar <strong>BPR</strong> yang digunakan<br />

mengakibatkan ukuran partikelpartikel<br />

atom Cu dan Zn tereduksi<br />

semakin kecil sehingga distribusi<br />

atom setiap satu butir serbuk juga<br />

menjadi semakin kecil menyebabkan<br />

%atom untuk setiap butir serbuk juga<br />

menjadi lebih kecil dari sebelumnya.<br />

3. Semakin besar ball to powder weight<br />

ratio (<strong>BPR</strong>) yang digunakan maka<br />

semakin mempercepat pembentukan<br />

fasa a.<br />

4.2 Saran<br />

Dari penelitian ini terdapat beberapa<br />

saran yang perlu diperhatikan jika akan<br />

dilakukan penelitian selanjutnya, antara lain<br />

1. Kondisi milling chamber sebelum<br />

proses MA benar-benar bebas dari<br />

oksigen untuk meminimalisir<br />

terbentuknya oksida.<br />

2. Analisa identifikasi fasa dengan<br />

membandingkan bentuk partikel dan<br />

struktur kristal dengan analisis TEM.<br />

3. Perlu studi lanjutan mengenai sifat<br />

mekanik dari paduan yang terbentuk<br />

untuk mengetahui kelayakan produk<br />

yang didapatkan.<br />

Daftar Pustaka<br />

Eigen, N . (2003). “Sinthesis of WC and WC<br />

– Co Cermets by mechanical alloying<br />

and subsegment hot isostatic<br />

pressing”. GKSS Research Centre,<br />

GessThacht, Germany, Private<br />

communication.<br />

El-Eskandarany, M. Sherif., Aoki,K. And<br />

Suzuki,K. (1990) .J. Less-Commont.,<br />

167:113.<br />

El-Eskandarany, M. Sherif. (2001).<br />

“Mechanical Alloying For Fabrication<br />

Of Advanced Engineering Materials”.<br />

USA: Noyes publication/ Wlliam<br />

Andrew Publishing.<br />

Martelli, S. dan Mazzone,G. (1988).”Solid<br />

State Reaction in The Cu-Zn System<br />

Induced by Plastic Deformation at<br />

Room Temperature: Journal of The<br />

Less-Common Metals.145 (1988) 261-<br />

270”. Italy:Divisione Scienza dei<br />

Materiali,ENEA,CRE<br />

Casaccia,C.P.2400,00100 Rome.<br />

Niu, X.P. (1991). Ph.D Thesis, Katholieke<br />

Universiteit Leuven, Belgium.<br />

Pabi, S.K. dan Murty, B.S.<br />

(1996).”Mechanism of Mechanical<br />

Alloying in Ni-Al and Cu-Zn Systems:<br />

Materials Science & Engineering”.<br />

India: Departement of Metallurgical<br />

and Material Engineering, Indian<br />

Institute of Technology, Kharagpur<br />

721302<br />

Rahmatillah Isra. (2010). “Pengaruh<br />

Perubahan Fraksi Volum Zn Dan<br />

Waktu Milling Pada Mechanical<br />

Alloying Terhadap Proses Pemaduan<br />

Cu-Zn Alloy”. Surabaya:Jurusan<br />

Teknik Material Dan Metalurgi,<br />

Fakultas Teknologi Industri, Institut<br />

Teknologi Sepuluh Nopember.<br />

Sa Lisboa, R.D., Perdagao, M.N.R.V.,<br />

Kiminami, C.S., Botta F, W.J. (2002).<br />

Mater.Sci. For. 386 – 388 : 59 – 64.<br />

Suryanarayana, C. Chen,G.H, Froes.F.H<br />

(1992). Scripta Metall.Mater.26: 1727<br />

– 1732 .<br />

Suryanarayana,C. (2003). “Mechanical<br />

Alloying and Milling” Newyork:<br />

Colorado School of Mines Golden,<br />

Colorado.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!