27.05.2013 Views

prospek pengembangan pertanian organik di sulawesi ... - Balitsereal

prospek pengembangan pertanian organik di sulawesi ... - Balitsereal

prospek pengembangan pertanian organik di sulawesi ... - Balitsereal

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Prosi<strong>di</strong>ng Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9<br />

PROSPEK PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK<br />

DI SULAWESI SELATAN<br />

Peter Tan<strong>di</strong>sau dan Herniwati<br />

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan<br />

Abstrak. Pertanian modern (revolusi hijau) <strong>di</strong> satu sisi telah membawa<br />

kerugian pesat bagi pembangunan <strong>pertanian</strong> <strong>di</strong> Indonesia pada umumnya dan<br />

Sulawesi Selatan pada khususnya. Program pembangunan <strong>pertanian</strong> selama<br />

lebih dari 30 tahun (Bimas, Intensifikasi, Insus, dll) berhasil meningkatkan<br />

produksi, pendapatan, kesejateraan petani, dan martabat bangsa. Namun <strong>di</strong><br />

sisi lain cara <strong>pertanian</strong> tersebut ternyata menimbulkan dampak negatif<br />

terhadap lingkungan, mengganggu keberlanjutan kehidupan. Pertanian <strong>organik</strong><br />

merupakan cara tepat mengatasi dampak negatif <strong>pertanian</strong> modern. Bu<strong>di</strong>daya<br />

<strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> <strong>prospek</strong>tif <strong>di</strong>kembangkan <strong>di</strong> Sulawesi Selatan, walaupun<br />

<strong>di</strong>akui akan menghadapi beberapa masalah dan tantangan dari aspek teknis,<br />

ekonomis, sosial dan kebijakan. Karena itu <strong>pengembangan</strong> <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong><br />

ke depan <strong>di</strong> Sulawesi Selatan masih butuh waktu dan pembahasan.<br />

Kata kunci : Pertanian <strong>organik</strong>, <strong>pertanian</strong> modern, <strong>prospek</strong> <strong>pengembangan</strong>,<br />

Sulawesi Selatan<br />

PENDAHULUAN<br />

Pertanian modern (revolusi hijau) telah membawa kemajuan pesat bagi<br />

pembangunan <strong>pertanian</strong> khususnya dan kemajuan masyarakat pada umumnya. Indonesia<br />

pada umumnya dan Sulawesi Selatan khususnya, tidak terlepas dari rantai kemajuan yang<br />

telah <strong>di</strong>capai sebagai akibat pelaksanaan sistem <strong>pertanian</strong> modern. Program pembangunan<br />

<strong>pertanian</strong> selama lebih 40 tahun (Bimas, Intensifikasi, INSUS) berhasil meningkatkan<br />

produksi, pendapatan dan kesejateraan petani, serta martabat bangsa.<br />

Di satu sisi, revolusi hijau <strong>di</strong>akui bermanfaat bagi kehidupan manusia namun <strong>di</strong> sisi<br />

lain terungkap bahwa sistem <strong>pertanian</strong> modern telah membawa konsekuensi-konsekuensi<br />

negatif terhadap lingkungan. Penggunaan pupuk buatan, pestisida serta praktek-praktek<br />

<strong>pertanian</strong> modern lainnya yang <strong>di</strong>lakukan tidak bijak, ternyata memiliki an<strong>di</strong>l besar<br />

terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan yang terja<strong>di</strong> antara lain dapat menyebabkan<br />

keracunan, penyakit dan kematian pada tanamn, hewan dan manusia, menyebabkan<br />

kerusakan pada tanah, mengurangi perse<strong>di</strong>aan sumber daya alam (energi), mencemari<br />

lingkungan, selanjutnya bisa menimbulkan malapetaka. Sehubungan dengan itu cara<br />

yang baik untuk mengatasi dampak negatif <strong>pertanian</strong> modern adalah melalui sistem<br />

<strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong>.<br />

Sistem <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> berorientasi pada pemanfaatan sumber daya lokal, tanpa<br />

aplikasi pupuk buatan dan pestisida kimiawi (kecuali bahan yang <strong>di</strong>perkenankan),<br />

sebaliknya menekankan pada pemberian pupuk <strong>organik</strong> (alam), dan pestisida hayati, serta<br />

cara-cara bu<strong>di</strong>daya lainnya yang tetap berpijak pada peningkatan produksi dan<br />

pendapatan, serta berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Cara <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong><br />

<strong>prospek</strong>tif <strong>di</strong>kembangkan <strong>di</strong> Sulawesi Selatan, karena sistem bu<strong>di</strong> daya seperti ini telah<br />

lama <strong>di</strong>kenal dan <strong>di</strong>lakukan oleh masyarakat tani. Sampai kini pun masih <strong>di</strong>jumpai<br />

praktek bu<strong>di</strong>daya <strong>organik</strong> <strong>di</strong> beberapa daerah.<br />

Sebagai salah satu daerah agraris, Sulawesi Selatan memiliki limbah <strong>organik</strong><br />

<strong>pertanian</strong> yang cukup besar yang berpotensi dapat <strong>di</strong>olah menja<strong>di</strong> pupuk <strong>organik</strong>. Sebagai<br />

gambaran, menurut Tan<strong>di</strong>sau (2009), kota Makassar sebagai kota terbesar <strong>di</strong> daerah ini<br />

232


Prosi<strong>di</strong>ng Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9<br />

memiliki potensi sampah <strong>organik</strong> sekitar 3.000 m 3 setiap harinya. Sampah Kota Makassar<br />

yang <strong>di</strong>hasilkan sekitar 80 % merupakan bahan <strong>organik</strong>. Selama bertahun-tahun sampai<br />

saat ini timbunan sampah Kota Makassar <strong>di</strong> TPA (Tempat Pembuangan Akhir)<br />

Tamangapa telah meliputi area sekitar 8,5 ha dengan kedalaman 6-12 m, dan sebagian<br />

telah menja<strong>di</strong> kompos.<br />

Program <strong>pengembangan</strong> <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> <strong>di</strong> Sulawesi Selatan ke depan masih<br />

<strong>di</strong>hadapkan pada berbagai masalah dan tantangan, karena sistem ini memerlukan<br />

persyaratan-persyaratan khusus yang <strong>di</strong>tetapkan oleh suatu lembaga terakre<strong>di</strong>tasi. Pelaku<br />

program <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> harus melalui proses sertifikasi, sehingga produknya dapat<br />

<strong>di</strong>nilai dan <strong>di</strong>akui sebagai produk <strong>organik</strong> (ada sertifikat). Oleh karena itu program<br />

<strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> masih memerlukan waktu dan pembahasan. Beberapa komo<strong>di</strong>tas<br />

tertentu seperti kopi, pa<strong>di</strong> lokal, sayuran dan buah-buahan serta tanaman rempah dalam<br />

jangka pendek dapat <strong>di</strong>persiapkan untuk <strong>di</strong>kembangkan sebagai produk <strong>organik</strong>. Karena<br />

itu segala sesuatu yang berkaitan dengan <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> perlu <strong>di</strong>siapkan agar program<br />

tersebut dapat berjalan dengan baik <strong>di</strong> masa depan.<br />

PERTANIAN INTENSIF, MODERN – REVOLUSI HIJAU<br />

Esensi Pertanian Modern yang Dikenal Selama Ini<br />

Pertanian intensif merupakan cara bertani yang memanfaatkan inovasi teknologi<br />

dengan penggunaan input yang banyak dengan tujuan memperoleh output yang lebih<br />

tinggi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Pertanian intensif dapat <strong>di</strong>sebut sebagai<br />

<strong>pertanian</strong> modern. Ciri Pertanian Modern (Intensif) adalah penggunaan bibit unggul,<br />

aplikasi pupuk buatan, pestisida, penerapan mekanisasi <strong>pertanian</strong> dan pemanfaatan air<br />

irigasi. Sistem <strong>pertanian</strong> ini mengkonsumsi sumberdaya alam yang tak terbaharui dalam<br />

jumlah besar seperti minyak dan gas bumi, fosfat dan lain-lain, sehingga butuh modal<br />

yang besar pula. Sistem <strong>pertanian</strong> seperti ini telah berkembang sedemikian rupa <strong>di</strong><br />

berbagai belahan dunia termasuk Indonesia dan <strong>di</strong>rasakan sangat bermanfaat dalam<br />

rangka peningkatan produksi berbagai komo<strong>di</strong>tas <strong>pertanian</strong> guna memenuhi kebutuhan<br />

manusia. Hasil kemajuan teknologi melalui <strong>pertanian</strong> modern begitu spektakuler dan<br />

mengesankan, sehingga fenomena tersebut <strong>di</strong>pandang sebagai “Revolusi Hijau”.<br />

Revolusi Hijau <strong>di</strong> Indonesia<br />

Gerakan revolusi hijau mulai <strong>di</strong>canangkan pemerintah Indonesia melalui program<br />

BIMAS pada tahun 1960-an. Program tersebut <strong>di</strong>tujukan terutama untuk meningkatkan<br />

produksi pa<strong>di</strong> sawah guna memenuhi kebutuhan beras dalam negeri (swasembada beras).<br />

Program ini terus berkembang, selanjunya <strong>di</strong>kenal dengan program intensifikasi yang<br />

beberapa kali mengalami mo<strong>di</strong>fikasi, dan bukan hanya <strong>di</strong>tujukan pada tanaman pa<strong>di</strong>,<br />

tetapi telah berkembang pada komo<strong>di</strong>tas <strong>pertanian</strong> lainnya (kedelai, jagung, komo<strong>di</strong>tas<br />

perkebunan, hortikultura, dan lain-lain). Gerakan revolusi hijau membuahkan hasil yang<br />

positif, yaitu produksi komo<strong>di</strong>tas <strong>pertanian</strong> rata-rata <strong>di</strong> Indonesia meningkat tajam. Hal<br />

yang paling membahagiakan adalah bahwa pada Tahun 1984, Indonesia berhasil<br />

mencapai kedudukan sebagai negara yang mampu memenuhi kebutuhan berasnya<br />

(swasembada beras). Keberhasilan ini telah mengangkat martabat bangsa Indonesia<br />

sehingga posisi Indonesia <strong>di</strong>kategorikan sebagai negara berkembang.<br />

Hingga saat ini sistem <strong>pertanian</strong> modern tetap <strong>di</strong>programkan oleh pemerintah dan<br />

telah <strong>di</strong>terapkan oleh sebagian besar petani. Petani sadar dan mengakui bahwa<br />

penggunaan bibit unggul, tanpa aplikasi pupuk buatan, tanpa pestisida dan pemanfaatan<br />

alsintan, produksi yang <strong>di</strong>harapkan tidak akan tercapai. Revolusi Hijau telah<br />

233


Prosi<strong>di</strong>ng Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9<br />

menghipnotis petani yang membawanya ke suatu alam sistem <strong>pertanian</strong> yang sangat<br />

bergantung pada input dan modal besar (Reijntjes et al. 1999. Lagipula selama ini ada<br />

kecenderungan penggunaan input oleh petani, berlebihan, tidak terkendali, dan tidak<br />

seimbang. Varietas unggul merupakan tanaman yang <strong>di</strong>ciptakan berdaya hasil tinggi.<br />

Hasil tinggi hanya dapat <strong>di</strong>capai jika kon<strong>di</strong>si lingkungannya menguntungkan. Varietasvarietas<br />

demikian sangat respon terhadap pemberian pupuk dosis tinggi. Namun demikian<br />

varietas unggul <strong>di</strong>senangi hama penyakit, tidak kuat bersaing dengan gulma, dan peka<br />

terhadap kon<strong>di</strong>si air. Karena itu penanaman tipe tanaman seperti ini membutuhkan<br />

pestisida untuk memberantas, mengendalikan hama-penyakit, dan gulma. Jika varietas<br />

unggul <strong>di</strong>tanam pada kon<strong>di</strong>si yang tidak sesuai dengan kebutuhannya (not favorable),<br />

maka hasil yang <strong>di</strong>peroleh tidak sesuai dengan harapan (malah bisa lebih rendah dari<br />

varietas lokal yang <strong>di</strong>bu<strong>di</strong>dayakan secara tra<strong>di</strong>sional).<br />

Dampak Negatif Pupuk Buatan dan Pestisida Kimiawi<br />

Pupuk buatan dan pestisida kimia, dua komponen penting yang <strong>di</strong>akui berperan<br />

dalam peningkatan produksi komo<strong>di</strong>tas <strong>pertanian</strong> <strong>di</strong> satu sisi, namun <strong>di</strong>sisi lain terbukti<br />

telah menimbulkan dampak negatif dan berbagai masalah terhadap lingkungan. Petani<br />

menyenangi pupuk buatan dan pestisida kimia, karena efeknya cepat dan aplikasi serta<br />

pengggunaannya lebih mudah.<br />

Berbagai kelemahan dan pengaruh negatif yang <strong>di</strong>jumpai dan tercatat dalam<br />

penggunaan pupuk buatan mencakup sebagai berikut :<br />

1. Efisiensi rendah : kehilangan N pada lahan kering <strong>di</strong>perkirakan 40% – 50% dari dari<br />

N yang <strong>di</strong>berikan, sementara pada lahan sawah bisa mencapai 60%-70%<br />

(Greenwood et al. 1980; Prasad dan De Datta 1997; FAO 1990); sedangkan efisiensi<br />

fosfat sekitar 20% dan Kalium sekitar 30%.<br />

2. Meningkatkan dekomposisi bahan <strong>organik</strong>, degradasi struktur tanah, serta rentan<br />

terhadap kekeringan.<br />

3. Penggunaan NPK terus-menerus tanpa hara lain, menyebabkan berkurangnya unsurunsur<br />

hara lain (mikro) dalam tanah yang bisa mengganggu pertumbuhan tanaman,<br />

hewan dan manusia (Sharma 1985; Tandon 1990).<br />

4. Fosfat dan nitrat yang berlebihan masuk ke dalam saluran-saluran pengairan, danau,<br />

pantai yang akan menyuburkan tumbuhan air, seperti ganggang, eceng gondok dan<br />

tumbuhan air lainnya sehingga menggangu fungsi aliran air, sungai, danau dan<br />

pantai yang penting bagi manusia.<br />

5. Penggunaan pupuk buatan mengakibatkan pengurasan sumberdaya alam yang tak<br />

dapat <strong>di</strong>perbaharui sehingga makin lama makin terbatas keterse<strong>di</strong>aannya. Harga<br />

pupuk makin meningkat (mahal), tidak terjangkau, terlebih lagi jika pupuk yang<br />

bersangkutan harus <strong>di</strong>impor (bahan baku).<br />

6. Memberi an<strong>di</strong>l dalam peningkatan suhu global (efek rumah kaca).<br />

Pestisida merupakan bahan-bahan kimia buatan atau alami yang <strong>di</strong>pakai untuk<br />

mengendalikan/memberantas organisme hama penyakit dan gulma serta hewan. Zat<br />

pengatur pertumbuhan juga termasuk pestisida. Penggunaan pestisida meningkat pesat<br />

selama era revolusi hijau, khususnya <strong>di</strong> negara-negara berkembang seperti Indonesia.<br />

Akibat penggunaan yang tidak bijak kemu<strong>di</strong>an terungkap dampak negatif yang<br />

<strong>di</strong>timbulkan pestisida mencakup hal-hal sebagai berikut (Schoubrock et al. 1990; Gips<br />

1987; Subiyakto 2003; Pingall et al., Oka dan Sukar<strong>di</strong> 1982) : (1) Menyebabkan<br />

keracunan pada tanaman; (2) Menimbulkan keracunan pada ternak; (3) Menyebabkan<br />

gangguan kesehatan pada manusia, antara lain terhadap mata, kulit, pernafasan, syaraf,<br />

pencernaan dan kanker selanjutnya menyebabkan kematian; (4) Terja<strong>di</strong>nya resistensi<br />

234


Prosi<strong>di</strong>ng Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9<br />

pada organisme pengganggu tanaman, ledakan hama sekunder, dan resurgensi; (5)<br />

Menimbulkan pencemaran lingkungan.<br />

PERTANIAN LOKAL – TRADISIONAL<br />

Sebelum gerakan petanian modern-revolusi hijau <strong>di</strong>canangkan pemerintah > 40<br />

tahun yang lalu, sistem <strong>pertanian</strong> yang <strong>di</strong>lakukan petani pada umumnya adalah secara<br />

tra<strong>di</strong>sional atau menurut cara-cara setempat. Sistem <strong>pertanian</strong> yang mereka anut adalah<br />

memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada, antara lain penggunaan varietas lokal, dengan<br />

dan tanpa pupuk (<strong>organik</strong>), tanpa pestisida, tanpa alat dan mesin <strong>pertanian</strong> modern<br />

(kerbau, kuda, sapi). Cara <strong>pertanian</strong> seperti ini <strong>di</strong>akui tidak memberikan hasil yang<br />

memadai (hasil rendah). Namun demikian sistem itu <strong>di</strong>anggap berwawasan lingkungan.<br />

Sementara modernisasi <strong>pertanian</strong> marak, ternyata <strong>di</strong> beberapa tempat masih <strong>di</strong>jumpai<br />

usaha tani lokal-tra<strong>di</strong>sional khususnya <strong>di</strong> Sulawesi Selatan. Pertanian tra<strong>di</strong>sional masih<br />

ada dan utuh <strong>di</strong>pertahankan, dan lainnya mengadopsi cara modern yang <strong>di</strong>anggap<br />

bermanfaat.<br />

Sistim ladang berpindah dan penggembalaan ternak merupakan cara <strong>pertanian</strong> yang<br />

sangat klasik masih <strong>di</strong>jumpai. Penggunaan varietas unggul pa<strong>di</strong> lokal (beras man<strong>di</strong>,<br />

lapang, beras merah,dll) yang memiliki cita rasa khas yang <strong>di</strong>kelola secara tra<strong>di</strong>sional<br />

masih <strong>di</strong>temukan <strong>di</strong> beberapa daerah pedalaman atau daerah pegunungan Sulawesi<br />

Selatan. Demikian halnya dengan komo<strong>di</strong>tas lain seperti jagung, kacang tanah, kedelai,<br />

kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar dan lain-lain varietas lokal yang <strong>di</strong>usahakan secara<br />

tra<strong>di</strong>sional, juga masih dapat <strong>di</strong>jumpai <strong>di</strong> beberapa tempat. Beberapa komo<strong>di</strong>tas<br />

perkebunan varietas lokal seperti Kopi Arabika Toraja (type Typica) yang sangat terkenal<br />

dalam kancah perdagangan kopi dunia juga tetap eksis <strong>di</strong> daerah Tana Toraja dan<br />

<strong>di</strong>bu<strong>di</strong>dayakan secara tra<strong>di</strong>sional. Dan masih banyak jenis tanaman lain (sayuran dan<br />

buah-buahan) yang mungkin <strong>di</strong>kategorikan varietas unggul lokal potensial masih tetap<br />

<strong>di</strong>usahakan menurut cara-cara tra<strong>di</strong>sional.<br />

Pertanian tra<strong>di</strong>sional <strong>di</strong>cirikan oleh beberapa hal sebagai berikut : 1) Pemanfaatan<br />

sumberdaya lokal tanpa pupuk buatan, dengan atau tanpa pupuk <strong>organik</strong> (pupuk kandang,<br />

sisa-sisa tanaman, pupuk hijau), tanpa pestisida (insektisida, herbisida dan lain-lain),<br />

pengolahan tanah dengan ternak (kerbau, sapi dan kuda); 2) Produktivitas rendah,<br />

pendapatan dan kesejateraan petani rendah; 3) berwawasan lingkungan; 4) Sistem<br />

integrasi tanaman-ternak kurang berkembang; 5) Teknologi sangat sederhana.<br />

Di Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lainnya <strong>di</strong>jumpai praktek <strong>pertanian</strong><br />

tra<strong>di</strong>sonal yang mengalami transisi ke <strong>pertanian</strong> modern sesuai dengan kon<strong>di</strong>si lokal,<br />

dengan ciri sebagai berikut : 1) Penggunaan varietas lokal, penggunaan pupuk buatan dan<br />

atau pupuk <strong>organik</strong> (pupuk kandang), dengan alat dan mesin <strong>pertanian</strong> dan penggunaan<br />

pestisida; 2) Penggunaan ternak sebagai alat pengolah tanah, pemanfaatan pupuk buatan,<br />

penggunaan pestisida dan penggunaan varietas unggul baru (nasional); 3) Sistem integrasi<br />

tanaman ternak belum berkembang baik; 4) Produktivitas dan pendapatan petani cukup<br />

memadai.<br />

PERTANIAN ORGANIK<br />

Sistem Pertanian Organik Standar<br />

Pertanian <strong>organik</strong> (Organic Farming) adalah suatu sistem <strong>pertanian</strong> yang<br />

mendorong tanaman dan tanah tetap sehat melalui cara pengelolahan tanah dan tanaman<br />

yang <strong>di</strong>syaratkan dengan pemanfaatan bahan-bahan <strong>organik</strong> atau alamiah sebagai input,<br />

235


Prosi<strong>di</strong>ng Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9<br />

dan menghindari penggunaan pupuk buatan dan pestisida kecuali untuk bahan-bahan<br />

uang <strong>di</strong>perkenankan (IASA 1990).<br />

Produk <strong>organik</strong> adalah produk (hasil tanaman/ternak yang <strong>di</strong>produksi melalui<br />

praktek-praktek yang secara ekologi, sosial ekonomi berkelanjutan, dan mutunya baik<br />

(nilai gizi dan keamanan terhadap racun terjamin). Oleh karena itu <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong><br />

tidak berarti hanya meninggalkan praktek pemberian bahan non <strong>organik</strong>, tetapi juga harus<br />

memperhatikan cara-cara bu<strong>di</strong>daya lain, misalnya pengendalian erosi, penyianganm<br />

pemupukan, pengendalian hama dengan bahan-bahan <strong>organik</strong> atau non <strong>organik</strong> yang<br />

<strong>di</strong>izinkan. Dari segi sosial ekonomi, keuntungan yang <strong>di</strong>peroleh dan produksi <strong>pertanian</strong><br />

<strong>organik</strong> hendaknya <strong>di</strong>rasakan secara a<strong>di</strong>l oleh produsen, pedagang dan konsumen (Pierrot<br />

1991). Bu<strong>di</strong>daya <strong>organik</strong> juga bertujuan untuk meningkatkan siklus biologi dengan<br />

melibatkan mikro organisme, flora, fauna, tanah, mempertahankan dan meningkatkan<br />

kesuburan tanah, menghindari segala bentuk polusi dan mempertimbangkan dampak<br />

sosial ekologi yang lebih luas.<br />

Standar umum <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> yang <strong>di</strong>rumuskan oleh IFOAM, International<br />

Federation of Organic Agriculture Movements, (IFOAM 1992) tentang bu<strong>di</strong>daya<br />

tanaman <strong>organik</strong> harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :<br />

1. Lingkungan<br />

Lokasi kebun harus bebas dari kontaminasi bahan-bahan kimia sintetik. Karena itu<br />

pertanaman <strong>organik</strong> tidak boleh berdekatan dengan pertanaman yang memakai<br />

pupuk buatan, pestisida kimia, dan lain-lain yang tidak <strong>di</strong>zinkan.<br />

2. Bahan Tanaman<br />

Varietas yang <strong>di</strong>tanam sebaiknya yang telah beradaptasi baik <strong>di</strong> daerah yang<br />

bersangkutan, dan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan.<br />

3. Pola Tanam<br />

Pola tanam hendaknya berpijak pada prinsip-prinsip konservasi tanah dan air,<br />

berwawasan lingkungan menuju <strong>pertanian</strong> berkelanjutan.<br />

4. Pemupukan dan Zat Pengatur Tumbuh<br />

Bahan <strong>organik</strong> sebagai pupuk adalah sebagai berikut :<br />

- Berasal dari kebun atau luar kebun yang <strong>di</strong>usahakan secara <strong>organik</strong><br />

‐ Kotoran ternak, kompos sisa tanaman, pupuk hijau, jerami, mulsa lain, urin<br />

ternak, sampah kota (kompos) dan lain-lain bahan <strong>organik</strong> asalkan tidak tercemar<br />

bahan kimia sintetik atau zat-zat beracun.<br />

Pupuk buatan (mineral)<br />

‐ Urea, ZA, SP36/TSP dan KCl, tidak boleh <strong>di</strong>gunakan<br />

‐ K2SO4 (Kalium Sulfat) boleh <strong>di</strong>gunakan maksimal 40 kg/ha; Kapur, kieserit,<br />

dolomit, fosfat batuan boleh <strong>di</strong>gunakan<br />

‐ Semua zat pengatur tumbuh tidak boleh <strong>di</strong>gunakan<br />

5. Pengelolaan Organisme Pengganggu<br />

‐ Semua pestisida buatan (kimia) tidak boleh <strong>di</strong>gunakan, kecuali yang <strong>di</strong>izinkan<br />

dan terdaftar pada IFOAM<br />

‐ Pestisida hayati <strong>di</strong>perbolehkan<br />

Suatu produk dapat <strong>di</strong>akui sebagai produk <strong>organik</strong> apabila telah <strong>di</strong>inpeksi (IFOAM<br />

1986) dan <strong>di</strong>sertifikasi oleh lembaga sertifikasi resmi yang telah terdaftar pada IFOAM.<br />

Di Indonesia, untuk kopi <strong>organik</strong>, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka)<br />

merupakan lembaga sertifikasi resmi yang <strong>di</strong>tunjuk bekerjasama dengan badan-badan lain<br />

yang sudah <strong>di</strong>tetapkan (terdaftar secara resmi pada IFOAM seperti Skal dan IMO).<br />

Selama ini masih banyak masyarakat yang berpandangan keliru tentang <strong>pertanian</strong><br />

(pupuk) <strong>organik</strong>. Mereka beranggapan bahwa <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> adalah <strong>pertanian</strong> yang<br />

236


Prosi<strong>di</strong>ng Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9<br />

<strong>di</strong>kelola melalui aksi pemanfaatan bahan <strong>organik</strong> (pupuk <strong>organik</strong>, pestisida <strong>organik</strong>)<br />

sekalipun dalam sistem produksinya <strong>di</strong>gunakan bahan-bahan buatan (pupuk buatan) atau<br />

belum memenuhi standar IFOAM. Pandangan tersebut perlu <strong>di</strong>luruskan sesuai standar<br />

<strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong>.<br />

Indonesia khususnya Sulawesi Selatan memiliki potensi dan peluang yang cukup<br />

besar dalam rangka <strong>pengembangan</strong> <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong>. Potensi sumberdaya <strong>pertanian</strong><br />

antara lain lahan, tanaman, manusia, teknologi dan lain-lain, cukup terse<strong>di</strong>a. Sistem<br />

<strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> sudah sejak dulu <strong>di</strong>lakukan oleh petani sebelum program BIMAS.<br />

Hingga saat ini masih <strong>di</strong>jumpai <strong>di</strong> beberapa daerah, petani tetap mempertahankan cara<br />

<strong>pertanian</strong> tersebut. Oleh karena itu teknologi <strong>pengembangan</strong> <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> tidak akan<br />

menghadapi problem yang berarti dalam penerapannya. Teknologi <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong><br />

relatif terse<strong>di</strong>a dan mudah <strong>di</strong>lakukan. Teknologi pembuatan kompos, pupuk-pupuk<br />

<strong>organik</strong>, keterse<strong>di</strong>aan jerami, pupuk kandang, sisa (limbah) tanaman, sampah kota,<br />

terse<strong>di</strong>a dan melimpah serta mudah <strong>di</strong>peroleh.<br />

Beberapa tahun terakhir dan <strong>di</strong> masa yang akan datang, konsumen semakin sadar<br />

untuk mengkonsumsi produk-produk yang sehat, tidak tercemar, aman dari racun<br />

sebagaimana yang <strong>di</strong>sinyalir <strong>di</strong>hasilkan oleh <strong>pertanian</strong> modern yang banyak<br />

menggunakan bahan-bahan sintetik dan kimia. Diperkirakan pangsa pasar produk<br />

<strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> <strong>di</strong> dunia sekitar 20 % dari total produk <strong>pertanian</strong> dunia (Surip et al.<br />

1994), dan total penjualan <strong>di</strong>perkirakan sekitar $USD 20 M (Winaryo 2002). Sayangnya<br />

pangsa pasar produk <strong>organik</strong> <strong>di</strong> Indonesia belum termonitor. Di Indonesia, perhatian<br />

terhadap produk <strong>organik</strong> masih kurang, namun sebagian masyarakat telah memahami<br />

akan pentingnya mengkonsumsi makanan yang aman dan sehat. Karena itu produk<br />

<strong>organik</strong> memiliki <strong>prospek</strong> yang cukup baik untuk <strong>di</strong>kembangkan <strong>di</strong> masa depan, baik<br />

untuk pasar domestik maupun luar negeri. Harga pupuk dan pestisida semakin mahal,<br />

tidak terjangkau petani sehingga petani akan mencari alternatif pengganti yang lebih<br />

murah dan selalu terse<strong>di</strong>a dan melimpah <strong>di</strong> daerah yaitu bahan-bahan <strong>organik</strong> (alamiah).<br />

Harga produk <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> jauh lebih tinggi <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan non<br />

<strong>organik</strong>. Selisih harga mencapai 30% – 100%. Dengan penerapan teknologi <strong>pertanian</strong><br />

<strong>organik</strong> secara baik, <strong>di</strong>harapkan hasil yang <strong>di</strong>peroleh relatif sama dengan <strong>pertanian</strong> non<br />

<strong>organik</strong>. Dengan demikian pendapatan petani akan meningkat, lingkungan sehat dan<br />

aman, kon<strong>di</strong>si lahan tetap sunur, mampu memberikan hasil yang tinggi secara kontinyu.<br />

Karena itu dengan tingkat harga yang menarik tersebut, petani akan tergerak dan<br />

termotivasi untuk mengembangkan <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong>.<br />

Dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah sangat kuat dalam rangka<br />

<strong>pengembangan</strong> <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> karena cara tersebut dapat mengatasi masalah<br />

lingkungan. Karena itu, <strong>pengembangan</strong> <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> <strong>di</strong> Sulawesi Selatan cukup<br />

<strong>prospek</strong>tif <strong>di</strong> masa depan.<br />

Masalah dan Tantangan<br />

Dalam pelaksanaan dan <strong>pengembangan</strong> sistim <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong>, beberapa masalah<br />

dan tantangan yang <strong>di</strong>hadapi adalah sebagai berikut :<br />

‐ Pertanian <strong>organik</strong> menekankan pemberian bahan <strong>organik</strong> (pupuk <strong>organik</strong>)<br />

Kadar hara bahan <strong>organik</strong> sangat rendah sehingga <strong>di</strong>perlukan dalam jumlah banyak<br />

untuk dapat memenuhi kebutuhan hara tanaman. Karena itu butuh tempat<br />

penyimpanan, pengolahan dan ruang yang cukup. Disamping itu membutuhkan<br />

biaya angkutan yang besar terutama jika jarak kebun dan rumah sangat jauh.<br />

Dengan demikian <strong>di</strong>perlukan tenaga, waktu dan biaya yang cukup dalam<br />

pengelolaan <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> (Syers dan Craswell 1995; Tan<strong>di</strong>sau dan Sariubang<br />

1995).<br />

237


Prosi<strong>di</strong>ng Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9<br />

‐ Pengakuan sebagai pelaku <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> harus melalui proses akre<strong>di</strong>tasi dan<br />

sertifikasi. Pembentukan lembaga akre<strong>di</strong>tasi untuk produk tiap sub sektor <strong>di</strong><br />

Indonesia mungkin belum terpenuhi. Karena itu masih memerlukan waktu yang<br />

cukup untuk bisa mengembangkan <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> tiap komo<strong>di</strong>tas.<br />

‐ Lembaga pendukung kelompok tani, penyuluh, lembaga pemasaran, serta pendukung<br />

lainnya harus <strong>di</strong>persiapkan<br />

‐ Sikap petani selama ini <strong>di</strong>ninabobokan oleh cara <strong>pertanian</strong> yang relatif serba cepat,<br />

mudah, kebutuhan relatif lebih se<strong>di</strong>kit sehingga menja<strong>di</strong> tantangan untuk dapat<br />

merobah kembali menja<strong>di</strong> petani yang tekun, sabar dan mau bekerja keras.<br />

‐ Diperlukan inovasi teknologi pemanfaatan bahan <strong>organik</strong> yang sederhana, cepat,<br />

mudah <strong>di</strong>aplikasikan, tidak membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak dalam<br />

proses pembuatan dan penanganan sampai pada aplikasinya. Ini merupakan<br />

tantangan bagi peneliti.<br />

Strategi Pengembangan<br />

Pengembangan sistem <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> ke depan dalam jangka pendek <strong>di</strong><br />

Sulawesi Selatan lebih baik dan kemungkinan <strong>di</strong> arahkan ke daerah-daerah yang masih<br />

mempertahankan sistem <strong>pertanian</strong> lokal-tra<strong>di</strong>sional (daerah pegunungan, pedalaman).<br />

Komo<strong>di</strong>tas-komo<strong>di</strong>tas yang <strong>di</strong>mungkinkan antara lain kopi arabika, pa<strong>di</strong>-pa<strong>di</strong> lokal<br />

bermutu baik, tanaman rempah dan obat serta sayuran dan buah-buahan. Kakao, merica,<br />

jambu mete (tanaman ekspor) juga potensial untuk <strong>di</strong>usahakan dalam <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong>.<br />

Sistem integrasi tanaman-ternak juga merupakan pilihan untuk <strong>di</strong>kembangkan kedepan.<br />

Sehubungan dengan hal tersebut <strong>di</strong>atas, pemerintah perlu mendorong terbentuknya<br />

lembaga sertifikasi produk <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> yang <strong>di</strong>butuhkan (yang belum ada).<br />

Disamping itu pembentukan, <strong>pengembangan</strong>, dan penguatan lembaga-lembaga<br />

pendukung seperti kelompok tani, penyuluh, lembaga pemasran perlu persiapan dan<br />

pembenahan. Berkaitan dengan itu <strong>di</strong>perlukan kegiatan sosialisasi untuk memberi<br />

pemahaman dan bekal tentang makna dan manfaat <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> kepada masyarakat<br />

produsen (petani), konsumen (pengguna), pedagang, pemerintah daerah, penyuluh serta<br />

pelaku <strong>pertanian</strong> dan institusi terkait lainnya.<br />

KESIMPULAN<br />

• Pertanian modern (revolusi hijau) memberi an<strong>di</strong>l yang besar dalam kemajuan<br />

pembangunan <strong>pertanian</strong>, produksi meningkat, pendapatan dan kesejateraan petani<br />

meningkat. Namun dampak negatif yang <strong>di</strong>timbulkan <strong>di</strong>rasakan mengganggu<br />

kelanjutan kehidupan.<br />

• Pertanian <strong>organik</strong> merupakan cara yang tepat dalam rangka mengatasi dampak<br />

negatif teknologi modern sehingga pembangunan <strong>pertanian</strong> dapat terus berjalan<br />

secara berkelanjutan, masyarakat aman, damai dan sejahtera.<br />

• Cara <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> <strong>prospek</strong>tif <strong>di</strong>kembangkan <strong>di</strong> Sulawesi Selatan, walaupun<br />

akan menghadapi beberapa masalah dan tantangan dari aspek teknis ekonomis, sosial<br />

dan kebijakan.<br />

• Pertanian <strong>organik</strong> memerlukan persyaratan-persyaratan khusus yang <strong>di</strong>tetapkan oleh<br />

badan yang telah <strong>di</strong>tunjuk (terakre<strong>di</strong>tasi). Karena itu implementasi <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong><br />

ke depan masih membutuhkan waktu dan pembahasan.<br />

• Manfaat dan makna <strong>pertanian</strong> <strong>organik</strong> perlu <strong>di</strong>sosialisasikan ke masyarakat, petani,<br />

pengguna, pedagang, pemerintah, penyuluh dan lain-lain.<br />

238


Prosi<strong>di</strong>ng Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

FAO 1990. Integrated Plant Nutrition Systems : State of The Art. Comission on Fertilizers. 11 th .<br />

Session, 4-6 April 1990. Rome<br />

Gips, T. 1987. Breaking The Pestisida Habits : alternative 10 – 12 hazardous pesticides.<br />

Minneapolis : IASA<br />

Greenwood, P.J., Cleaver, T.J., Turner, P.K., Niendarf, K.B. and Loquens, S.M.H., 1980.<br />

Comparison of The Effects of Nitrogen Fertilizers on The Yield, N Content and Quality of<br />

21 Different Vegetable and agricultural Crops. J. Agric.Sci., Cambridge. 95:471-485.<br />

IASA 1990. Planting The Future : A Source Guide to Sustainable Agriculture in The Third Word.<br />

Minneapolis.<br />

IFOAM 1986. Inspection Guide. Technical Commited of The IFOAM. Tholey-Theley. 32p<br />

IFOAM 1992. Basic Standard of Organic Agriculture ang Food Processing. International<br />

Federation of Organic Agriculture Movement. Tholey-Theley. 24p<br />

Oka F. N. dan M. Sukar<strong>di</strong> 1982. Dampak Lingkungan Penggunaan Pestisida. Jurnal Penelitian<br />

dan Pengembangan Pertanian.<br />

Pierrot J. M. 1991. Basic Standard for Organic Coffea and Tea. In first International Conference<br />

on Organic Coffea and Tea. Switzerland, June 2 nd to 4 th .<br />

Pingall P.L., C.B. Marquez and F. G. Palls 1994. Pestisida and Philippine Rice Farmer Health : A<br />

Me<strong>di</strong>cal and Economic Analysis. Am. J. Econ. Ass. 76 : 587-592<br />

Prasad R. and De Datta, S. K. 1979. Increasing Fertilizer Nitrogen Efficiency in Wetland Rice. In<br />

: Nitrogen and Rice. IRRI. Losbanos<br />

Reijntjes B. Haverkort, dan A. W. Bayer 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian<br />

Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. ILEIA. Kanisius. 270p.<br />

Schubrock Van F.tt.J. Herens, M., De Louwen, J. M., and Overtoom T. 1990. Managing Pests and<br />

Pesticides in small-scale Agriculture. Wageningen : CON.<br />

Sharma R. 1985. Nutrien Drain. In : Agarwal, A and Narain, S (ed). The State of In<strong>di</strong>a`s<br />

Enviroment 1984 – 1985 : The 2 nd Citizent Report. New Delhi.<br />

Subiyakto S. 2003. Pestisida untuk Tanaman. Penerbit Kanisius.<br />

Surip M., A. Wibawa, dan Winaryo 1994. Model Pengembangan Kopi Organik. Dalam :<br />

Prosi<strong>di</strong>ng Gelar Teknologi Kopi Arabika Organik. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.<br />

Jember. 60 -72.<br />

Syers J.K. dan E.T. Craswell 1995. Role of Soil Organic Matter in Sustainable Agricultural<br />

System. In : ACIAR Procce<strong>di</strong>ngs No. 56. ACIAR, Camberra. 7 – 14.<br />

Tan<strong>di</strong>sau P 2009. Potensi Dan Manfaat Sampah Tpa (Tempat Pembuangan Akhir) Kota Makassar<br />

Sebagai Sumber Pupuk Organik Untuk Usahatani Sayuran Sekitar Kota. Prosi<strong>di</strong>ng Seminar<br />

Tandon, H.L.S., 1990. Where Rice Devours The Land. Ceres 126 : 25-29.<br />

Tan<strong>di</strong>sau P dan M. Sariubang 1995. Pupuk Kandang dan Hubungannya dengan Kesuburan Tanah<br />

dan Produksi Kapas. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Gowa. Sub balai Penelitian Ternak.<br />

145-150.<br />

Winaryo 2002. Pertanian Organik Dunia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 18<br />

(3) : 92-99.<br />

239

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!