diterbitkan oleh - Direktorat Jenderal KPI - Kemendag
diterbitkan oleh - Direktorat Jenderal KPI - Kemendag
diterbitkan oleh - Direktorat Jenderal KPI - Kemendag
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
DITERBITKAN OLEH:<br />
DIREKTORAT JENDERAL KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL<br />
DITJEN <strong>KPI</strong> / BI / 32 / IV / 2012
Susunan Redaksi<br />
Buletin<br />
Kerja Sama Perdagangan Internasional<br />
Pengarah<br />
Direktur <strong>Jenderal</strong><br />
Kerja Sama Perdagangan<br />
Internasional<br />
Penanggung Jawab<br />
Sekretaris Ditjen<br />
Kerja Sama Perdagangan<br />
Internasional<br />
Koordinator<br />
Eddy Purwanto<br />
Penyunting<br />
Eddy Sofyan<br />
Andi Sahman<br />
Latifah Muniri<br />
M. Suaib Sulaiman<br />
Tim Redaksi<br />
Riza Rosandy<br />
Arif Wiryawan<br />
Jerry Sobri S<br />
Theresia Sinaga<br />
Alamat Redaksi<br />
Sekretariat<br />
<strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
Kerja Sama Perdagangan<br />
Internasional<br />
Gedung Utama Lantai 8<br />
Jl. M.I. Ridwan Rais No.5 Jakarta<br />
Pusat<br />
Telp: (021) 23528601,<br />
Ext. 36341<br />
Fax : (021) 23528611<br />
Website:<br />
www.kemendag.go.id<br />
Email Redaksi:<br />
contact-kpi@kemendag.go.id<br />
Pengutipan diizinkan<br />
dengan menyebutkan<br />
sumber<br />
i
Pengantar Redaksi,<br />
Para Pembaca,<br />
Buletin Kerja Sama Perdagangan Internasional edisi kedua di tahun 2012 ini<br />
menyajikan 4 (empat) artikel, yaitu:<br />
Artikel pertama, Perkembangan Isu Ketahanan Pangan di Fora Kerja Sama<br />
APEC dan Peran Aktif Indonesia pada tahun 2011. Artikel ini membahas<br />
tentang perkembangan pembahasan isu ketahanan pangan di dalam forum<br />
APEC.<br />
Artikel kedua, Liberalisasi bagi Ketahanan Pangan. Artikel ini membahas<br />
mengenai dampak liberalisasi pangan dan langkah preventif untuk<br />
mengatasi hal tersebut.<br />
Artikel ketiga, Pembentukan ASEAN Common Visa Ditinjau dari Beberapa<br />
Aspek. Artikel ini memaparkan uraian tentang aspek-aspek yang harus<br />
dipertimbangan sebelum disepakatinya Visa Bersama ASEAN.<br />
Artikel keempat, Komunitas Ekonomi di Amerika Latin. Artikel ini<br />
memaparkan uraian tentang beberapa organisasi kerja sama ekonomi di<br />
kawasan Amerika Latin.<br />
Akhir kata, tim redaksi menyampaikan terima kasih kepada para<br />
penyumbang artikel dan selamat membaca kepada para pecinta Buletin<br />
Kerja Sama Perdagangan Internasional.<br />
Semoga bermanfaat.<br />
Redaksi<br />
ii
DAFTAR ISI<br />
Halaman<br />
Redaksi ………………………………………………………………………..……………………….<br />
Pengantar Redaksi …………………………………………………………………….….………<br />
Daftar Isi …………………………………………………………………….…………………………<br />
i<br />
ii<br />
iii<br />
Perkembangan Isu Ketahanan Pangan di Fora Kerja Sama APEC dan<br />
Peran Aktif Indonesia pada tahun 2011 ………………………………….…………….<br />
Liberalisasi bagi Ketahanan Pangan ….…………………………………………..………<br />
Pembentukan ASEAN Common Visa Ditinjau dari Beberapa Aspek ………..<br />
Komunitas Ekonomi di Amerika Latin …………….………………….………………….<br />
1<br />
11<br />
17<br />
27<br />
iii
PERKEMBANGAN ISU<br />
KETAHANAN PANGAN<br />
DI FORA KERJA SAMA APEC DAN<br />
PERAN AKTIF INDONESIA PADA<br />
TAHUN 2011<br />
Oleh: Angga Handian Putra 1<br />
A. PENDAHULUAN<br />
Slogan "no life without food" jelas<br />
menunjukkan arti pentingnya<br />
pangan bagi kehidupan manusia.<br />
Dari waktu ke waktu, isu pangan,<br />
krisis bahan bakar, dan perubahan<br />
iklim terus-menerus<br />
dipandang sebagai isu panas dan<br />
penting di seluruh dunia.<br />
Krisis bahan bakar fosil juga telah<br />
menyebabkan naiknya harga<br />
pangan, transportasi, dan input<br />
pertanian. Akibat kenaikan harga<br />
pangan ini tentu akan<br />
mengurangi kualitas konsumsi<br />
rumah tangga miskin.<br />
Krisis multidimensi ini secara<br />
langsung tentu akan memukul<br />
masyarakat dunia yang paling<br />
miskin, dan yang paling membutuhkan,<br />
kemudian pada<br />
1 Pelaksana pada <strong>Direktorat</strong> Kerja Sama<br />
APEC & OIL, Ditjen Kerja Sama<br />
Perdagangan Internasional, Kementerian<br />
Perdagangan. Isi artikel sebagian dan<br />
seluruhnya bukan dan tidak dapat<br />
dianggap sebagai representasi atau<br />
pandangan resmi dari Ditjen <strong>KPI</strong>, maupun<br />
Kementerian Perdagangan.<br />
akhirnya menurunkan kualitas<br />
hidup mereka.<br />
Situasi pelik ini, ditambah lagi<br />
dengan perubahan iklim global<br />
dan krisis keuangan yang barubaru<br />
ini muncul, hal ini akan<br />
mempersulit dalam mencapai<br />
ketahanan pangan di negaranegara<br />
berkembang, atau bahkan<br />
dalam lingkup global di masa<br />
mendatang.<br />
Indonesia merupakan salah satu<br />
negara penggagas yang mendorong<br />
agar masalah ketahanan<br />
pangan mendapatkan perhatian<br />
global. Indonesia telah menyerukan<br />
agar negara-negara<br />
maju dapat merealisasikan<br />
berbagai komitmen mereka untuk<br />
memberikan pendanaan bagi<br />
pembangunan yang berkelanjutan.<br />
Selain itu Indonesia juga aktif<br />
berdiplomasi di berbagai forum<br />
internasional tingkat multilateral,<br />
regional, dan bilateral terkait isu<br />
ketahanan pangan serta mendorong<br />
upaya penanganan<br />
masalah ketahanan pangan<br />
terkait dengan peningkatan<br />
kesejahteraan small-holder<br />
farmers, masyarakat miskin<br />
pedesaan, peran wanita, bencana<br />
alam, dan perubahan iklim.<br />
Ketahanan pangan global saat ini,<br />
berdiri di persimpangan jalan.<br />
Lonjakan harga pangan pada<br />
1
tahun 2007 dan 2008 dilihat<br />
sebagai peringatan mengenai<br />
kerentanan ketahanan pangan<br />
jangka panjang.<br />
Pada tahun 2009, untuk pertama<br />
kalinya dalam sejarah manusia,<br />
jumlah orang kekurangan gizi di<br />
dunia melebihi 1 miliar, meskipun<br />
diperkirakan telah turun menjadi<br />
925 juta pada tahun 2010.<br />
Melihat ke depan, populasi dunia<br />
diperkirakan akan mencapai 9,1<br />
miliar pada tahun 2050, dan<br />
produksi pangan akan meningkat<br />
70% untuk memenuhi pangan. Di<br />
sisi lain, produksi pertanian<br />
meningkat secara terbatas yang<br />
tidak meningkat secepat tahun<br />
sebelumnya, investasi publik<br />
jangka panjang berkurang,<br />
kekurangan air bersih, konversi<br />
lahan pertanian ke lahan<br />
nonproduksi pangan dan dampak<br />
negatif perubahan iklim telah<br />
meningkat. Akibatnya harga ratarata<br />
tanaman pangan pada<br />
dekade berikutnya diperkirakan<br />
tetap di atas level pada dekade<br />
tahun 2007-2008. Kenyataan ini<br />
memperlihatkan pentingnya<br />
perdagangan produk pangan dan<br />
pertanian.<br />
B. ISU KETAHANAN PANGAN<br />
Kawasan Asia Pasifik secara<br />
global, merupakan pusat produksi<br />
barang pertanian dan perdagangannya.<br />
Produksi benih di<br />
kawasan ini merupakan setengah<br />
dari total produksi benih di dunia.<br />
Di lain pihak, hampir seperempat<br />
penduduk dunia berada di<br />
kawasan Asia Pasifik. Lebih lanjut,<br />
kawasan ini secara konstan<br />
dihadapkan pada risiko tinggi<br />
bencana alam seperti gempa<br />
bumi, tsunami, angin topan,<br />
banjir dan longsor yang<br />
menyebabkan kerusakan serius<br />
terhadap rantai pasokan bahan<br />
pangan dan infrastruktur<br />
produksi pertanian pada tingkat<br />
regional.<br />
Pelajaran yang dapat diambil dari<br />
peningkatan harga pangan saat<br />
ini ialah memberikan pedoman<br />
pada langkah yang dapat<br />
Ekonomi APEC lakukan pada<br />
ketahanan pangan. Untuk<br />
beberapa dekade ke belakang,<br />
usaha yang dilakukan <strong>oleh</strong><br />
masyarakat internasional telah<br />
menempatkan perhatian khusus<br />
pada sisi permintaan yang berarti<br />
untuk meningkatkan akses<br />
terhadap pangan melalui program<br />
pengentasan kemiskinan. Jadi,<br />
saat ini adalah waktu yang tepat<br />
untuk mengambil langkah<br />
konkret untuk memenuhi<br />
kebutuhan pangan di masa<br />
mendatang.<br />
Ketahanan pangan tidak dapat<br />
dicapai tanpa sistem yang stabil,<br />
efisien dan distribusi pangan yang<br />
2
merata. Dalam hal ini, para<br />
ekonomi APEC harus bekerja<br />
sama: memberikan fasilitasi<br />
peningkatan perdagangan produk<br />
pertanian, menjaga kepercayaan<br />
pasar, meningkatkan bidang<br />
usaha, dan memastikan<br />
keamanan pangan di kawasan<br />
dengan bekerja sama dengan<br />
para pemangku kepentingan.<br />
Mendorong investasi pertanian<br />
yang bertanggung jawab<br />
merupakan bagian unsur dalam<br />
tujuan ini. Menteri Singapura<br />
untuk Pembangunan Nasional<br />
berpendapat bahwa dengan<br />
menjaga perdagangan terbuka,<br />
bebas, fair free serta fair trade<br />
setiap saat untuk memastikan<br />
pangan tersedia untuk semua<br />
orang, kemudian menekankan<br />
pentingnya memastikan fungsi<br />
efisien dari mekanisme pasar,<br />
mengurangi distorsi pasar, dan<br />
mempromosikan transparansi<br />
yang lebih luas dengan<br />
meningkatkan aliran informasi<br />
tentang tingkat persediaan<br />
pangan, produksi dan konsumsi.<br />
Singapura sendiri memiliki<br />
Singapore’s Food Fund, yang<br />
membantu produsen lokal dan<br />
importir meningkatkan produktivitas<br />
melalui Research &<br />
Development dan meningkatkan<br />
pasokan ketahanan pangan.<br />
Peningkatan ketahanan pangan di<br />
kawasan APEC merupakan<br />
agenda yang sangat penting<br />
karena dapat berkontribusi<br />
terhadap pencapaian tujuan<br />
human security APEC,<br />
implementasi APEC leader’s<br />
growth strategy, dan pada<br />
pembangunan di sektor pangan<br />
dan pertanian. Dari sudut<br />
pandang ini, Pemerintah Jepang<br />
menyelenggarakan Pertemuan<br />
Tingkat Menteri yang<br />
bertanggung jawab kepada<br />
ketahanan pangan pertama di<br />
Niigata, Jepang pada Oktober<br />
2010. Pertemuan Tingkat Menteri<br />
mengesahkan Niigata Declaration<br />
bersama dengan para Anggota<br />
ekonomi APEC dan menyetujui<br />
action plan yang mengkompilasi<br />
62 kegiatan konkret untuk<br />
merealisasikan prinsip Niigata<br />
Declaration. Kegiatan-kegiatan<br />
tersebut terdapat di dalam action<br />
plan yang merupakan sarana yang<br />
penting dalam mencapai Niigata<br />
Declaration dan platform<br />
informasi ini akan memainkan<br />
peranan yang signifikan untuk<br />
menindaklanjuti action plan.<br />
Pembahasan ketahanan pangan<br />
di APEC dilakukan sejak tahun<br />
1998, di mana para Pemimpin<br />
Ekonomi APEC menginstruksikan<br />
APEC Business Advisory Council<br />
(ABAC) untuk menyusun suatu<br />
APEC Food System (AFS) untuk<br />
menangani masalah pangan.<br />
3
Kemudian, pada APEC Economies<br />
Leader Meeting (AELM) di<br />
Auckland, New Zealand pada<br />
bulan September 1999, para<br />
Pemimpin Ekonomi APEC<br />
menerima laporan mengenai<br />
APEC Food System (AFS) yang<br />
diajukan <strong>oleh</strong> ABAC dan<br />
mengesahkan rekomendasirekomendasinya<br />
mengenai infrastruktur<br />
pedesaan, pengembangan<br />
teknologi produksi dan<br />
pengolahan pangan, dan<br />
meningkatkan perdagangan<br />
produk-produk pangan.<br />
Pada bulan November 2000, Para<br />
Pemimpin dan Menteri<br />
menegaskan komitmen mereka<br />
untuk mengatasi secara paralel<br />
pada kerja sama tiga wilayah<br />
tersebut. Kemudian pada bulan<br />
Oktober 2001 di Shanghai China,<br />
Para Menteri meminta para<br />
Senior Official memberikan<br />
rencana lebih lanjut untuk<br />
meningkatkan momentum<br />
pelaksanaan AFS. Namun, untuk<br />
berbagai alasan, AFS gagal<br />
mendapatkan dukungan.<br />
Pada AELM tahun 2003 di<br />
Thailand, di dalam APEC Leaders<br />
Declaration, para Pemimpin<br />
Ekonomi APEC sepakat untuk<br />
memajukan semua pathfinder<br />
initiatives di antaranya APEC<br />
Sectoral Food Mutual Recognition<br />
Arrangements (APEC Sectoral<br />
Food MRA) yang telah didorong<br />
<strong>oleh</strong> para Menteri pada<br />
Pertemuan APEC Sectoral Food<br />
MRA sebelum AELM. APEC<br />
Sectoral Food MRA merupakan<br />
peraturan yang menjadi payung<br />
dalam implementasi elemenelemen<br />
ketentuan sektoral terkait<br />
produk sektor pangan atau<br />
pangan khusus. APEC Sectoral<br />
Food MRA dirancang untuk<br />
memfasilitasi perdagangan<br />
dengan meminimalkan pemeriksaan<br />
pengawasan pangan di entry<br />
point impor Ekonomi APEC<br />
dengan berdasar pada jaminan<br />
yang diberikan melalui penilaian<br />
standar pre-export menggunakan<br />
sistem pemeriksaan dan<br />
sertifikasi yang diakui secara<br />
resmi.<br />
Pada tahun 2005, telah<br />
dilaksanakan APEC High Level<br />
Policy Dialogue on Agricultural<br />
Biotechnology and Private Sector<br />
Day yang diadakan di Hanoi,<br />
Vietnam. Pertemuan ini mengakui<br />
potensi peranan bioteknologi<br />
pertanian untuk mencapai<br />
pertumbuahan ekonomi serta<br />
memfasilitasi untuk mengurangi<br />
biaya perdagangan produk<br />
pangan. Pertemuan ini dilakukan<br />
setiap setahun sekali.<br />
Pada tahun 2006, Pertemuan ke-9<br />
APEC Counter-Terrorism Task<br />
Force (CTTF) yang dilaksanakan<br />
pada tanggal 27-28 Februari 2006<br />
di Hanoi, Vietnam, dibahas<br />
4
sembilan inisiatif baru, proposal<br />
Food Defense: Mitigasi Ancaman<br />
Teroris terhadap Pasokan Pangan<br />
Ekonomi APEC. Sebagai tindak<br />
lanjut, diadakan workshop pada<br />
bulan tanggal 1-3 November 2006<br />
di Bangkok, Thailand yang<br />
bertujuan masing-masing<br />
Ekonomi APEC menetapkan<br />
dengan tools untuk menganalisis<br />
dan menerapkan metodologi<br />
asesmen dalam memerangi<br />
teroris terhadap pasokan pangan<br />
internasional. Pada tahun 2007,<br />
para Pemimpin APEC mengakui<br />
pentingnya keamanan pangan<br />
dan sepakat yang dituangkan di<br />
dalam Leader declaration, bahwa<br />
“develop a more robust approach<br />
to strengthening food and<br />
consumer product safety<br />
standards, using a scientific riskbased<br />
approach, and without<br />
creating<br />
unnecessary<br />
impediments to trade”. Para<br />
Pemimpin juga sepakat bahwa<br />
pemberian capacity building di<br />
sektor ini adalah sebuah prioritas.<br />
Pada tahun 2008 di Peru, para<br />
Menteri Perdagangan APEC<br />
mencatat kenaikan harga pangan<br />
global yang dramatis, mereka<br />
secara bersama-sama sepakat<br />
bahwa Ekonomi APEC dapat<br />
memainkan peranan penting<br />
dalam merespons krisis pangan<br />
global dengan menjaga komitmen<br />
liberalisasi perdagangan dan<br />
investasi serta pasar terbuka.<br />
Para Pemimpin APEC merespons<br />
dengan pernyataan pada APEC<br />
Leaders declaration 2008, “We<br />
are deeply concerned about the<br />
impact that volatile global food<br />
prices, combined with food<br />
shortages in some developing<br />
economies, are having on our<br />
achievements in reducing poverty<br />
and lifting real incomes over the<br />
last decade. We support a fully<br />
coordinated response and a<br />
comprehensive strategy to tackle<br />
this issue Individual and collective<br />
policy responses to expand food<br />
and agricultural supply in the<br />
region should strengthen market<br />
forces to encourage new<br />
investment in agricultural<br />
technology and production<br />
systems.”<br />
Pada saat itu, akhirnya, Senior<br />
Official APEC mengambil langkah<br />
penting dengan mengembangkan<br />
suatu “Work Plan on Food<br />
Security”. Work plan ini ditujukan<br />
untuk mengatasi banyak isu yang<br />
sejalan dengan rekomendasi AFS<br />
dan menganggap masih relevan<br />
dengan keadaan termasuk kerja<br />
sama dengan sektor swasta di<br />
bidang pangan dan pertanian di<br />
kawasan Asia Pasifik. Selain<br />
berfokus pada kegiatan<br />
ketahanan pangan, Senior Official<br />
juga mengambil tindakan penting<br />
lainnya pada Food Safety dan<br />
5
Food Defense. Inisitif di kedua<br />
bidang ditujukan untuk memastikan<br />
akses dan distribusi<br />
terhadap pangan yang aman di<br />
dalam kawasan APEC. Sebagai<br />
lanjutan, pada tahun 2009, ABAC<br />
mengeluarkan makalah “Strategic<br />
Framework for Food Security in<br />
APEC” yang dirancang untuk<br />
mencapai ketahanan pangan di<br />
kawasan melalui implementasi<br />
AFS yang efektif. Makalah<br />
merekomendasikan bahwa APEC<br />
harus fokus kembali pada<br />
pendekatan komprehensif AFS<br />
untuk mengatasi masalah terkait<br />
ketahanan pangan seperti: akses<br />
pangan, ketersediaan pangan,<br />
pasokan yang terjamin, liberalisasi<br />
perdagangan, keamanan<br />
pangan, kesehatan, ketahanan<br />
lingkungan, perubahan iklim, dan<br />
sustainability.<br />
Pada tahun 2010, China Taipei<br />
menjadi tuan rumah “APEC Food<br />
Security Forum” yang<br />
dilaksanakan pada tanggal 18-20<br />
Agustus 2010. Forum ini<br />
menghadirkan pejabat pemerintah,<br />
para ahli dari<br />
pemerintah dan sektor swasta,<br />
serta peneliti dari Ekonomi APEC<br />
untuk membahas isu yang terkait<br />
dengan ketahanan pangan<br />
termasuk investasi, lingkungan<br />
dan fasilitasi perdagangan.<br />
Sementara itu, Market Access<br />
Group (MAG) pada tanggal 19<br />
September 2010 juga menyelenggarakan<br />
workshop<br />
tentang "Non-Tariff Measure and<br />
Non-Tariff Barriers Affecting<br />
Trade in Food and Agriculture<br />
Products in the APEC region" di<br />
Sendai, Jepang. Workshop ini<br />
dihadiri <strong>oleh</strong> para pengusaha,<br />
akademisi, dan regulator di<br />
bidang isu ketahanan pangan<br />
berkaitan dengan transparansi,<br />
pelabelan dan hambatan nontarif<br />
yang tidak perlu terhadap<br />
perdagangan produk pangan di<br />
kawasan APEC. Sepanjang tahun<br />
2010, sejak Senior Official<br />
Meeting 1 (SOM1) pada Februari<br />
2010, kemudian SOM2 pada Juni<br />
2010, dan SOM3 pada September<br />
2010 telah melakukan pembahasan<br />
dan persiapan penyelenggaraan<br />
First APEC<br />
Ministerial Meeting on Food<br />
Security melalui Senior Officials<br />
Friends of the Chair (SOM FOTC)<br />
on Food Issues.<br />
Pada tanggal 16-17 Oktober 2010<br />
di Sendai, Jepang, untuk pertama<br />
kalinya diselenggarakan APEC<br />
Ministerial Meeting on Food<br />
Security yang diketuai <strong>oleh</strong><br />
Menteri Pertanian, Kehutanan<br />
dan Perikanan, Jepang.<br />
Konklusi dari pertemuan ini<br />
adalah “Niigata Declaration on<br />
Food Security” yang telah<br />
disahkan <strong>oleh</strong> para Pemimpin<br />
APEC pada AELM 2010.<br />
6
Secara garis besar, deklarasi ini<br />
merupakan langkah konkret yang<br />
disepakati para Pemimpin<br />
Ekonomi APEC untuk: (i)<br />
pembangunan sektor pertanian<br />
yang berkesinambungan; dan (ii)<br />
memfasilitasi investasi, perdagangan,<br />
dan pasar.<br />
Para Pemimpin Ekonomi APEC<br />
juga mengesahkan “APEC Action<br />
Plan on Food Security” di mana<br />
ditujukan untuk mengidentifikasi<br />
kegiatan-kegiatan yang akan<br />
dilaksanakan <strong>oleh</strong> Ekonomi APEC<br />
dalam rangka penguatan<br />
ketahanan pangan di kawasan.<br />
Untuk mencapai pembangunan<br />
sektor pertanian yang berkesinambungan<br />
dilakukan melalui<br />
peningkatan kapasitas pasokan<br />
pangan, peningkatan kesiapan<br />
terhadap bencana di sektor<br />
pertanian, memajukan masyarakat<br />
pedesaan, dan mengatasi<br />
dampak perubahan iklim serta<br />
pengelolaan sumber daya alam.<br />
Sedangkan untuk fasilitasi<br />
investasi, perdagangan dan pasar<br />
dilakukan dengan mendorong<br />
investasi di sektor pertanian,<br />
memfasilitasi perdagangan<br />
produk pangan dan pertanian,<br />
memperkuat kepercayaan pada<br />
pasar sektor pertanian, meningkatkan<br />
bidang usaha<br />
agribisnis, dan meningkatkan<br />
praktik keamanan pangan.<br />
Sebagai tindak lanjut, para<br />
Menteri menginstruksikan para<br />
Senior Official untuk memantau<br />
pelaksanaan dari Action Plan on<br />
Food Security, dan memberi<br />
laporan tahunan perkembangan<br />
pelaksanaannya kepada para<br />
Menteri APEC serta mengompilasi<br />
laporan asesmen.<br />
Pada Pertemuan APEC Ministerial<br />
Responsible for Trade (APEC MRT)<br />
tahun 2011 di Big Sky, Montana,<br />
AS, pembahasan ketahanan<br />
pangan dilakukan secara<br />
mendalam yang berkenaan<br />
dengan langkah-langkah untuk<br />
memastikan pasar yang<br />
transparan dan terbuka pada<br />
perdagangan pangan yang<br />
berkontribusi terhadap tujuan<br />
ketahanan dan keamanan pangan<br />
global. Pada APEC Ministerial<br />
Statement sebagai hasil APEC<br />
Ministerial Meeting (AMM) 2011,<br />
para Menteri APEC menyatakan<br />
bahwa untuk memperkuat<br />
ketahanan pangan diperlukan<br />
pengamanan pasokan pangan di<br />
kawasan dan menjaga harga<br />
pangan agar tidak bergejolak. Hal<br />
ini dicapai dengan keterbukaan<br />
pasar, meningkatkan transparansi<br />
dan pertukaran informasi tentang<br />
jumlah stok dan produksi pangan<br />
serta mewujudkan komitmen<br />
untuk investasi jangka panjang di<br />
sektor pertanian termasuk<br />
peningkatan produktivitas<br />
pertanian.<br />
7
Para Menteri APEC juga<br />
menggarisbawahi pentingnya<br />
memperkuat keamanan pangan<br />
di kawasan sebagai upaya<br />
melindungi kesehatan masyarakat<br />
serta mengembangkan<br />
pembangunan yang berkesinambungan<br />
di sektor<br />
kelautan. Pada AMM 2011, para<br />
Menteri juga menyambut baik<br />
pembentukan APEC Policy<br />
Partnership on Food Security.<br />
Pada tingkat Pemimpin Ekonomi<br />
APEC, tertuang dalam Deklarasi<br />
para Pemimpin Ekonomi APEC<br />
(Honolulu declaration-toward a<br />
seemless regional economy)<br />
bahwa para Pemimpin Ekonomi<br />
APEC akan mengambil langkahlangkah<br />
ke depan dalam upaya<br />
fasilitasi perdagangan dan<br />
keterbukaan pasar di antaranya di<br />
kawasan melalui implementasi<br />
Niigata Declaration on Food<br />
Security dan memperkuat sistem<br />
keamanan pangan termasuk<br />
mendukung Gobal Food Safety<br />
Fund (capacity building yang<br />
bekerja sama dengan World<br />
Bank).<br />
Tahun 2012, di mana tuan rumah<br />
APEC adalah Rusia, menjadikan<br />
ketahanan pangan sebagai<br />
prioritas APEC tahun 2012. Rusia<br />
mempertimbangkan elemen<br />
utama ketahanan pangan APEC<br />
ialah upaya mencapai dan<br />
menjaga akses ekonomi dan fisik<br />
terhadap produk pangan,<br />
memastikan standar internasional<br />
kualitas dan keamanan,<br />
mendorong peningkatakan<br />
produksi melalui pengenalan<br />
teknologi inovatif, dan<br />
mengidentifikasi dan mengatasi<br />
masalah yang dapat mempengaruhi<br />
produksi pertanian,<br />
termasuk yang terkait dengan<br />
perubahan iklim dan bencana<br />
baik karena manusia ataupun<br />
alam.<br />
C. PERAN AKTIF INDONESIA DALAM<br />
ORGANISASI APEC PADA<br />
TAHUN 2011<br />
Indonesia sebagai salah satu<br />
Ekonomi APEC memiliki peran<br />
aktif dalam pembahasan isu ini<br />
terutama pada tahun 2011. Pada<br />
APEC 2011 yang diselenggarakan<br />
di Amerika Serikat (AS) memiliki<br />
prioritas yaitu: (i) Strengthening<br />
Regional Economic Integration<br />
and Expanding Trade; (ii)<br />
Promoting Green Growth; dan (iii)<br />
Expanding<br />
Regulatory<br />
Cooperation and Advancing<br />
Regulatory Convergence. Di<br />
dalam agenda prioritas ketiga,<br />
membahas terkait regulasi<br />
keamanan pangan (food safety).<br />
Pembahasan isu ketahanan<br />
pangan merupakan inisiatif<br />
penting lainnya. Secara khusus,<br />
pada APEC Ministers Responsible<br />
for Trade (MRT) tahun 2011, para<br />
8
Menteri Perdagangan APEC<br />
membahas secara mendalam<br />
mengenai ways to ensure open<br />
and transparent markets for food<br />
trade to contribute to global food<br />
security and safety goals.<br />
Indonesia telah menyampaikan<br />
pandangannya terhadap isu food<br />
security di mana isu ini<br />
merupakan isu besar dan sudah<br />
dibahas sejak tahun 2008, dan<br />
saat ini kenaikan harga bahan<br />
pangan semakin tinggi, bahkan<br />
melebihi kenaikan pada tahun<br />
2010.<br />
Indonesia menyampaikkan bahwa<br />
permasalahan ini muncul saat<br />
supply atau produksi tidak dapat<br />
memenuhi demand yang akan<br />
menyebabkan suatu negara<br />
menerapkan export restriction<br />
(larangan ekspor), di mana hal ini<br />
akan menimbulkan fluktuasi<br />
harga yang semakin tinggi.<br />
Selain dari sisi supply, sisi demand<br />
juga tidak kalah penting dalam<br />
mengakibatkan kenaikan hargaharga<br />
komoditi, salah satunya<br />
adalah panic buying yang terjadi<br />
pada krisis ekonomi global pada<br />
tahun 2008.<br />
Berdasar hal tersebut Indonesia<br />
menganggap penting untuk<br />
mengetahui bagaimana mencegah<br />
terjadinya panic buying dan<br />
export restriction.<br />
Untuk mengatasi hal tersebut,<br />
Indonesia menyampaikan saran<br />
sebagai solusi dari masalah<br />
tersebut yaitu melalui buffer<br />
stock dan food reserves.<br />
Indonesia juga mendukung<br />
masukan dari Rusia mengenai<br />
transparency of information on<br />
stocks, production, consumption,<br />
export and import on food.<br />
Indonesia menegaskan kembali<br />
pentingnya keterlibatan dunia<br />
usaha dan seluruh stakeholder<br />
dalam hal ini.<br />
D. PENUTUP<br />
Ketahanan pangan merupakan isu<br />
pembangunan berkelanjutan<br />
yang kompleks, tidak hanya<br />
terkait dengan kesehatan seperti<br />
gizi buruk, tetapi juga terkait<br />
pembangunan ekonomi, lingkungan,<br />
dan perdagangan yang<br />
berkelanjutan.<br />
APEC telah memainkan peranan<br />
yang penting dalam pencapaian<br />
ketahanan pangan domestik,<br />
kawasan dan global.<br />
Keberlanjutan pembahasan isu<br />
ketahanan pangan di fora APEC<br />
menunjukkan bahwa APEC<br />
memiliki perhatian yang besar<br />
terhadap Ketahanan Pangan.<br />
Pada prinsipnya Indonesia<br />
mendukung upaya-upaya APEC<br />
dalam setiap pembahasan isu<br />
ketahanan pangan dan berperan<br />
9
aktif dalam penyampaian<br />
pandangan serta keikutsertaan<br />
dalam workshop dan proyek dari<br />
APEC. Hal ini dikarenakan sesuai<br />
dengan kebijakan diplomasi<br />
Indonesia yang merupakan salah<br />
satu Negara penggagas isu<br />
ketahanan pangan di bahas<br />
secara global di berbagai forum<br />
internasional.<br />
Oleh karena itu sekarang masingmasing<br />
negara perlu memulai<br />
untuk menggagas sebuah solusi<br />
alternatif dalam mewujudkan<br />
ketahanan pangan nasional,<br />
sehingga kualitas hidup<br />
masyarakat dunia dapat terjamin.<br />
Referensi:<br />
- Achmad, Suryana. Sustainable<br />
Food Security Development in<br />
Indonesia: Policies and Its<br />
Implementationpolicies<br />
Implementation, Presented at<br />
High-Level Regional Policy<br />
Dialogue Organized by Un-<br />
Escap and Government of<br />
Indonesia, Bali, 9-10<br />
December 2008.<br />
- Budi Winarno. Isu-isu Global<br />
Kontemporer.<br />
CAPS.<br />
Yogyakarta; 2011. Hal. 185-<br />
204.<br />
- Robby Johnson, Kym<br />
Anderson dkk. Strategic<br />
Framework for Food Security<br />
in APEC. International Food<br />
and Agricultureal Trade Policy<br />
Council. 2009.<br />
- FAO. How to Feed the World<br />
in 2050. 2009.<br />
- OECD-FAO. OECD-FAO<br />
Agricultural Outlook 2010-<br />
2019. 2010.<br />
- Niigata Declaration on Food<br />
Security 2010.<br />
- APEC Leaders Declaration<br />
2011.<br />
- Minister Statement 2011.<br />
- APEC CTI’s Annual Report to<br />
Minister 2011.<br />
- http://www.thejakartapost.co<br />
m/news/2010/06/24/foodsecurity-and<br />
diversification.html.<br />
Diakses<br />
tanggal 19 Desember 2011.<br />
- http://www.who.int/trade/glo<br />
ssary/story028/en/. Diakses<br />
tanggal 19 Desember 2011.<br />
- http://www.channelnewsasia.<br />
com/stories/singaporelocalne<br />
ws/view/1087636/1/.html,<br />
20-12-2011. Diakses tanggal<br />
19 Desember 2011.<br />
10
LIBERALISASI<br />
BAGI KETAHANAN PANGAN<br />
Oleh: Mhd. Zamal Nasution, M.Sc. 1<br />
A. URGENSI INDUSTRIALISASI<br />
PANGAN<br />
Pangan merupakan kebutuhan<br />
dasar utama bagi manusia yang<br />
harus dipenuhi setiap saat. Hak<br />
untuk memper<strong>oleh</strong> pangan<br />
merupakan salah satu hak asasi<br />
manusia, sebagaimana tersebut<br />
dalam pasal 27 UUD 1945 maupun<br />
dalam Deklarasi Roma (1996).<br />
Pertimbangan tersebut mendasari<br />
terbitnya UU No. 7/1996 tentang<br />
Pangan. Sebagai kebutuhan dasar<br />
dan hak asasi manusia, pangan<br />
mempunyai arti dan peran yang<br />
sangat penting bagi kehidupan<br />
suatu bangsa. Ketersediaan<br />
pangan yang lebih kecil<br />
dibandingkan kebutuhannya<br />
dapat menciptakan ketidakstabilan<br />
ekonomi. Berbagai<br />
gejolak sosial dan politik dapat<br />
juga terjadi jika ketahanan pangan<br />
terganggu. Kondisi kritis ini<br />
bahkan dapat membahayakan<br />
stabilisasi nasional yang dapat<br />
1<br />
Pelaksana pada Puska <strong>KPI</strong>, BPPKP<br />
<strong>Kemendag</strong> Isi artikel sebagian dan<br />
seluruhnya bukan dan tidak dapat<br />
dianggap sebagai representasi atau<br />
pandangan resmi dari Ditjen <strong>KPI</strong>,<br />
maupun Kementerian Perdagangan.<br />
11<br />
meruntuhkan Pemerintah yang<br />
sedang berkuasa.<br />
Di Indonesia, industrialisasi<br />
pangan sudah mulai dijalankan<br />
pemerintah dengan mengimplementasikan<br />
program Merauke<br />
Integrated Food and Energy Estate<br />
(MIFEE). MIFEE merupakan<br />
konsep pengembangan produksi<br />
pangan yang dilakukan secara<br />
terintegrasi mencakup pertanian,<br />
perkebunan, bahkan peternakan<br />
yang berada di suatu kawasan<br />
lahan yang sangat luas (an<br />
integrated farming, plantation<br />
and livestock zone). Program<br />
MIFEE sangat menarik minat<br />
pemodal asing karena mereka<br />
diberi banyak kemudahan untuk<br />
“memiliki” dan mengelola lahan di<br />
Indonesia, meskipun usaha ini<br />
dinilai <strong>oleh</strong> beberapa kalangan<br />
justru bertentangan dengan upaya<br />
pemerintah mendorong ekonomi<br />
kerakyatan, khususnya ekonomi<br />
kaum tani. Masyarakat lokal<br />
Papua dihadapkan pada lompatan<br />
gaya hidup, dari “pola meramu”<br />
menjadi “pola industri” yang<br />
berbasis tanaman pangan/<br />
perkebunan/peternakan yang<br />
sebenarnya asing bagi mereka.<br />
Karakter pertanian dan pangan<br />
Indonesia akan bergeser dari<br />
peasant-based dan family-based<br />
agriculture menjadi corporatebased<br />
food dan agriculture<br />
production.
Tahun 1998, adalah salah satu<br />
masa puncak dari wacana dan<br />
perdebatan masalah pangan serta<br />
berbagai persoalan yang terkait<br />
erat dengannya, seperti<br />
kemiskinan dan ketimpangan<br />
pendapatan dunia. Salah satu<br />
peristiwa yang memicu masalah<br />
ini adalah pemberian Hadiah<br />
Nobel Ekonomi kepada Profesor<br />
Amartya Kumar Sen, profesor<br />
Universitas Oxford yang, antara<br />
lain, memperlihatkan dengan<br />
gamblang bagaimana kebijakankebijakan<br />
pemerintah dapat<br />
mengakibatkan bencana kelaparan<br />
luar biasa (famine), bahkan<br />
ketika produksi dan sediaan bahan<br />
pangan sebenarnya melimpah<br />
saat itu.<br />
Prediksi para ahli kimia dunia yang<br />
mengaitkan krisis pangan dengan<br />
ketersediaan pupuk dan energi<br />
menyatakan bahwa dunia akan<br />
mengalami krisis pangan pada<br />
tahun 2050 ketika populasi dunia<br />
mencapai 8,9 miliar orang dan<br />
sistem produksi pangan sudah<br />
tidak mampu lagi memasok dan<br />
memenuhi permintaan global.<br />
Tetapi tahun 2050 masih terlalu<br />
lama. Pada bulan Agustus tahun<br />
2011, sekelompok ahli ekonomi<br />
pangan dari Food Policy Reasearch<br />
Institute, Amerika Serikat, bahkan<br />
sudah memperkirakan krisis<br />
pangan yang serius akan segera<br />
datang, yaitu tahun 2020, hanya<br />
sekitar delapan tahun dari<br />
sekarang.<br />
Dengan skenario pesimistis, yaitu<br />
para pemimpin dunia tidak<br />
melakukan terobosan berupa<br />
kebijakan yang propangan, krisis<br />
pangan yang cukup parah pun<br />
akan terjadi di banyak negara<br />
berkembang, termasuk Indonesia.<br />
Krisis tersebut hanya dapat<br />
diperlunak bila pendapatan ratarata<br />
dunia tetap meningkat,<br />
ekonomi Asia, Eropa, dan Amerika<br />
Serikat tetap berkinerja baik.<br />
B. LIBERALISASI PANGAN DUNIA<br />
Sebagai negara ekonomi terbuka<br />
(open economic) situasi pasar<br />
domestik di Indonesia tidak<br />
terlepas dari gejolak pasar dunia<br />
yang semakin liberal. Proses<br />
liberalisasi pasar tersebut dapat<br />
terjadi karena kebijakan unilateral<br />
dan konsekuensi keikutsertaan<br />
meratifikasi kerja sama perdagangan<br />
regional maupun global<br />
yang menghendaki penurunan<br />
kendala-kendala perdagangan<br />
(tarif dan nontarif). Perspektif<br />
ketahanan pangan dalam era<br />
liberalisasi perdagangan dicirikan<br />
<strong>oleh</strong> kecenderungan semakin<br />
meningkatnya pasok pangan dari<br />
pasar impor. Guna menghindari<br />
kinerja ketahanan pangan<br />
nasional yang semakin buruk<br />
diperlukan: (i) serangkaian<br />
12
kebijakan yang tetap mendukung<br />
prioritas pemenuhan kebutuhan<br />
pangan dari produksi dalam<br />
negeri; (ii) pengaturan perdagangan<br />
pangan yang tidak merugikan<br />
petani produsen dengan bias<br />
konsumen; dan (iii) ketegasan penerapan<br />
sanksi hukum untuk<br />
melindungi pasar pangan<br />
domestik dan kepentingan pelaku<br />
perdagangan, terutama petani<br />
produsen.<br />
Pendukung pasar bebas menyebut<br />
liberalisasi sebagai penggunaan<br />
mekanisme harga yang lebih<br />
intensif sehingga dapat<br />
mengurangi bias anti ekspor dari<br />
rezim perdagangan. Disebutkan<br />
pula bahwa liberalisasi juga<br />
menunjukkan kecenderungan<br />
makin berkurangnya intervensi<br />
pasar sehingga liberalisasi dapat<br />
menggambarkan situasi semakin<br />
terbukanya pasar domestik untuk<br />
produk-produk luar negeri.<br />
Percepatan perkembangan<br />
liberalisasi pasar terjadi karena<br />
dukungan revolusi di bidang<br />
teknologi, telekomunikasi dan<br />
transportasi yang mengatasi<br />
kendala ruang dan waktu.<br />
Menurut pendapat sebagian pakar<br />
ekonomi, perdagangan antarnegara<br />
sebaiknya dibiarkan secara<br />
bebas dengan seminimum<br />
mungkin pengenaan tarif dan<br />
hambatan lainnya. Hal ini didasari<br />
argumen bahwa perdagangan<br />
yang lebih bebas akan<br />
memberikan manfaat bagi kedua<br />
negara pelaku dan bagi dunia,<br />
serta meningkatkan kesejahteraan<br />
yang lebih besar dibandingkan<br />
tidak ada perdagangan. Selain<br />
meningkatkan distribusi kesejahteraan<br />
antarnegara liberalisasi<br />
perdagangan juga akan<br />
meningkatkan kuantitas perdagangan<br />
dunia dan peningkatan<br />
efisiensi ekonomi.<br />
Namun demikian, <strong>oleh</strong> karena<br />
terdapat perbedaan penguasaan<br />
sumberdaya yang menjadi<br />
komponen pendukung daya saing,<br />
sebagian pakar yang lain<br />
berpendapat liberalisasi pasar<br />
berpotensi menimbulkan dampak<br />
negatif karena mendorong<br />
persaingan pasar yang tidak sehat.<br />
Atas dasar itu maka timbul<br />
pandangan pentingnya upayaupaya<br />
proteksi terhadap produksi<br />
dalam negeri dan kepentingan<br />
lainnya dari tekanan pasar<br />
internasional melalui pemberlakuan<br />
kendala atau hambatan<br />
perdagangan.<br />
Pada kondisi semakin kuatnya<br />
tekanan untuk meliberalisasi<br />
pasar, efektivitas pemberlakuan<br />
kendala atau hambatan tersebut<br />
dalam perdagangan akan<br />
menentukan derajat keterbukaan<br />
pasar. Keterbukaan pasar semakin<br />
tinggi bila pemerintah suatu<br />
negara menurunkan tarif (bea<br />
13
masuk) produk yang<br />
diperdagangkan (tariff reduction)<br />
dan menghilangkan hambatanhambatan<br />
nontarif (non tariff<br />
barriers). Hal sebaliknya terjadi<br />
bila pemerintah cenderung<br />
menaikkan tarif dan meningkatkan<br />
hambatan nontarif.<br />
Makin terbuka dan terintegrasinya<br />
perdagangan (pasar) antarnegara<br />
juga didorong faktor eksternal<br />
seperti karena terikat ratifikasi<br />
perjanjian perdagangan antar<br />
negara, kawasan, atau bahkan<br />
yang bersifat global. Tekanan<br />
eksternal liberalisasi selain karena<br />
dorongan upaya regionalisasi<br />
terjadi pada akhir 1980-an hingga<br />
pertengahan 1990-an (seperti<br />
dengan pembentukan ASEAN Free<br />
Trade Area dan Asia Pacific<br />
Economic Countries) juga karena<br />
keterikatan komitmen terhadap<br />
Kesepakatan Putaran Uruguay<br />
(Uruguay Round Agreement)<br />
sebagai bagian dari rangkaian<br />
putaran GATT (General Agreement<br />
on Tax and Tariff) yang kemudian<br />
diubah menjadi organisasi formal<br />
bernama WTO (World Trade<br />
Organization). Kesepakatan dalam<br />
AFTA dan WTO bersifat mengikat<br />
(binding), sedangkan dasar<br />
kesepakatan APEC (Asia Pacific<br />
Economic Cooperation) bersifat<br />
sukarela. Namun demikian<br />
semangat yang dibawa <strong>oleh</strong> ketiga<br />
bentuk kelembagaan relatif sama,<br />
14<br />
yaitu liberalisasi melalui<br />
penurunan kendala perdagangan<br />
(tarif dan kendala nontarif).<br />
Menurut tujuannya, kebijakan<br />
tarif dapat diklasifikasikan<br />
sebagai: (i) tarif proteksi, yaitu<br />
pengenaan tarif bea masuk yang<br />
tinggi untuk mencegah atau<br />
membatasi impor barang<br />
tertentu; dan (ii) tarif revenue,<br />
yaitu pengenaan tarif bea masuk<br />
yang bertujuan untuk<br />
meningkatkan penerimaan<br />
negara.<br />
Berdasarkan tujuan tersebut,<br />
fungsi tarif bea masuk adalah: (i)<br />
mengatur perlindungan kepentingan<br />
ekonomi dalam negeri<br />
(fungsi regulator); (ii) salah satu<br />
sumber penerimaan negara<br />
(fungsi budgeter); dan (iii) fungsi<br />
pemerataan (pemerataan distribusi<br />
pendapatan nasional).<br />
Ketergantungan terhadap perdagangan<br />
pangan global<br />
mengandung risiko sebagai<br />
berikut: (i) pasok pangan domestik<br />
menjadi tidak menentu; (ii) harga<br />
pangan di pasar dunia kurang<br />
stabil, tidak terkecuali pangan<br />
pokok seperti beras; dan (iii)<br />
merusak pola pertukaran barang<br />
di pasar dunia, di mana harga<br />
produk pertanian yang diekspor<br />
rendah sedangkan harga pangan<br />
yang diimpor tinggi jika<br />
pengambilan keputusan tidak<br />
tepat.
C. POSISI STRATEGIS INDONESIA<br />
Sebagai anggota WTO Indonesia<br />
terikat pada Perjanjian Pertanian<br />
(Agreement on Agricultural) dalam<br />
perdagangan pangan internasional,<br />
di samping perjanjian<br />
SPS (Sanitary and Phytosanitary).<br />
Namun implementasi Perjanjian<br />
Pertanian yang meliputi elemen,<br />
antara lain: (i) peningkatan akses<br />
pasar; (ii) pengurangan subsidi<br />
eskpor; dan (iii) pengurangan<br />
bantuan domestik, yang selama ini<br />
dianggap terlalu mengedepankan<br />
peningkatan akses pasar di<br />
negara-negara berkembang<br />
sehingga harga komoditas<br />
menjadi tertekan. Di Indonesia<br />
tarif impor komoditas pertanian,<br />
kecuali beras dan gula pasir telah<br />
diturunkan hingga tinggal 0-5<br />
persen dan subsidi input pertanian<br />
telah dicabut sejak tahun 1998.<br />
Dengan demikian, sektor<br />
pertanian di Indonesia telah<br />
mengalami liberalisasi dan hanya<br />
mengacu pada sinyal pasar.<br />
Perbedaan dalam pemilikan<br />
sumber daya, penguasaan<br />
teknologi produksi, perkembangan<br />
ekonomi dan komitmen<br />
pemerintah untuk membela<br />
kepentingan produsen di dalam<br />
negeri sangat menentukan<br />
kemampuan Indonesia bersaing<br />
dalam pasar global yang makin<br />
liberal. Dalam konteks ketahanan<br />
pangan, meskipun neraca<br />
15<br />
perdagangan pangan Indonesia<br />
masih menunjukkan adanya<br />
surplus perdagangan akan tetapi<br />
Indonesia dihadapkan pada<br />
bayang-bayang suram nasib<br />
komoditas pangan strategis<br />
(beras) yang semakin bergantung<br />
pada pasokan pasar global.<br />
Beberapa langkah preventif untuk<br />
menghindarkan penurunan kinerja<br />
ketahanan pangan yang lebih<br />
buruk dapat ditempuh melalui:<br />
1. Peningkatan kapasitas<br />
produksi dengan terobosan<br />
teknologi untuk mengatasi<br />
indikasi kendala produksi.<br />
Dalam kaitan ini,<br />
pengembangan sistem ilmu<br />
pengetahuan dan teknologi<br />
untuk mendorong penggunaan<br />
input yang makin seimbang,<br />
perbaikan sistem pascapanen<br />
dan subsidi benih merupakan<br />
salah satu opsi program jangka<br />
panjang yang dapat dilakukan.<br />
2. Mencari nilai kebutuhan riil<br />
konsumsi penduduk untuk<br />
dasar kalkulasi kebutuhan<br />
impor.<br />
3. Pengaturan tata niaga pangan<br />
strategis (beras) yang tidak<br />
terlalu bias konsumen.<br />
4. Ketegasan penerapan sanksi<br />
hukum dalam perdagangan<br />
pangan untuk menyelamatkan<br />
pasar pangan di dalam negeri<br />
dan membela kepentingan
petani produsen yang<br />
umumnya adalah petani<br />
miskin.<br />
5. Kebijakan stabilisasi harga<br />
output.<br />
Tidak hanya sekedar kebutuhan<br />
“kemauan politik” pemerintah<br />
merumuskan kebijakan pangan<br />
(pertanian), implementasi<br />
langkah-langkah tersebut di atas<br />
juga membutuhkan “realisasi”<br />
penguatan koordinasi antar<br />
sektor, khususnya pertanian dan<br />
perdagangan. Penguatan koordinasi<br />
tersebut penting agar<br />
kebijakan sektor produksi dengan<br />
perdagangan semakin terintegrasi<br />
dan efektif mengendalikan<br />
keseimbangan kebutuhan dan<br />
pasokan pangan, khususnya dari<br />
penetrasi pangan impor yang<br />
cenderung berlebihan dan<br />
mengabaikan situasi produksi<br />
dalam negeri, sehingga pencapaian<br />
harga pangan yang layak<br />
beli (bagi konsumen) tidak berarti<br />
mengorbankan pendapatan petani<br />
produsen.<br />
16
PEMBENTUKAN<br />
ASEAN COMMON VISA DITINJAU<br />
DARI BEBERAPA ASPEK<br />
A. PENDAHULUAN<br />
Oleh: Werdi Ariyani 1<br />
Para Pemimpin ASEAN pada<br />
pertemuan Konferensi Tingkat<br />
Tinggi (KTT) ASEAN pada tanggal<br />
28 Oktober 2010 telah<br />
mengadopsi The Master Plan on<br />
ASEAN Connectivity (MPAC).<br />
Untuk merealisasikan inisiatif<br />
ASEAN Connectivity tersebut,<br />
para pemimpin ASEAN meminta<br />
para mitra eksternal, bank<br />
pembangunan multilateral, dana<br />
regional dan global, sektor<br />
swasta, dan pihak lain untuk ikut<br />
ambil bagian secara langsung<br />
dalam pelaksanaan MPAC<br />
tersebut.<br />
MPAC bertujuan untuk menghubungkan<br />
ASEAN melalui: (i)<br />
Pengembangan infrastruktur fisik<br />
(physical connectivity); (ii)<br />
Kelembagaan yang efektif; (iii)<br />
Mekanisme-mekanisme beserta<br />
prosesnya (institutional connec-<br />
1 Kepala Seksi Daya Saing dan Isu Lainnya<br />
<strong>Direktorat</strong> Kerja Sama, ASEAN Ditjen Kerja<br />
Sama Perdagangan Internasional,<br />
Kementerian Perdagangan. Isi artikel<br />
sebagian dan seluruhnya bukan dan tidak<br />
dapat dianggap sebagai representasi atau<br />
pandangan resmi dari Ditjen <strong>KPI</strong>, maupun<br />
Kementerian Perdagangan.<br />
tivity); dan (iv) Konektivitas antar<br />
masyarakat (people-to-people<br />
connectivity).<br />
Salah satu pilar dari MPAC adalah<br />
people to people connectivity<br />
yang mengamanatkan dilakukannya<br />
feasibility study for easing<br />
visa requirements, melalui ASEAN<br />
Tourism Strategic Plan (ATSP)<br />
2011–2015 yang telah disahkan<br />
<strong>oleh</strong> Para Menteri Pariwisata<br />
ASEAN dalam pertemuan ASEAN<br />
Tourism Forum (ATF) 2011 di<br />
Kamboja.<br />
ATSP merupakan pokok-pokok<br />
rencana strategis dan terukur<br />
untuk pengembangan pariwisata<br />
di kawasan ASEAN untuk periode<br />
2011–2015, yang meliputi: (i)<br />
Penyusunan strategi investasi,<br />
pemasaran dan produk di<br />
kawasan ASEAN; (ii) Peningkatan<br />
mutu pelayanan dan Sumber<br />
Daya Manusia (SDM) di kawasan<br />
ASEAN; dan (iii) Penggalakan dan<br />
percepatan fasilitasi perjalanan<br />
dan konektivitas ASEAN.<br />
Keterhubungan dan pergerakan<br />
orang per orang ini memerlukan<br />
fasilitasi dari negara yaitu<br />
pemberian visa. Sebagai<br />
masyarakat yang mempunyai<br />
hubungan dan keterkaitan<br />
dengan negara lain untuk hidup<br />
bermasyarakat internasional, lalu<br />
lintas pergerakan orang per orang<br />
akan sangat memerlukan lintas<br />
negara, wilayah dan bahkan<br />
17
enua. Untuk memfasilitasi<br />
pergerakan orang per orang<br />
tersebut masing-masing negara<br />
mempunyai instrumen pencegahan<br />
migrasi ilegal dan<br />
menjaga keamanan nasional<br />
berupa pemberian visa. Menurut<br />
Bernd Martenczuk (2008), dalam<br />
tulisannya yang berjudul Visa<br />
Policy and EU External Relations,<br />
menyebutkan bahwa sebenarnya<br />
pemberian visa adalah hal yang<br />
sensitif dan kompleks. Namun<br />
demikian, pemberian visa ini juga<br />
merupakan alat untuk mempromosikan<br />
pariwisata, perdagangan,<br />
dan investasi yang<br />
melibatkan pertukaran atau<br />
pergerakan lalu lintas orang per<br />
orang dari satu negara ke negara<br />
lain.<br />
Berangkat dari kepentingan<br />
tersebut di atas, Pertemuan<br />
ASEAN Senior Officials Meeting<br />
(SOM) di Medan pada tanggal 13<br />
September 2011 telah<br />
menyepakati Work Programme<br />
mengenai pelaksanaan kajian<br />
komprehensif kemungkinan<br />
pembentukan Visa Bersama<br />
ASEAN (ASEAN Common Visa).<br />
Para Pemimpin ASEAN menekankan<br />
pentingnya inisiatif<br />
ASEAN Common Visa dan<br />
menugaskan semua Kementerian<br />
terkait untuk melakukan kajian<br />
komprehensif tentang batas<br />
waktu pelaksanaan ASEAN<br />
Common Visa untuk dipresentasikan<br />
pada KTT-23 ASEAN tahun<br />
2013.<br />
Dalam mempersiapkan pemberlakuan<br />
pembentukan ASEAN<br />
Common Visa tersebut bersama<br />
ini dipaparkan tinjauan dari<br />
beberapa aspek terkait yaitu<br />
antara lain dari aspek konsuler,<br />
keimigrasian, ekonomi, pariwisata,<br />
dan keamanan yang<br />
dirangkum dari hasil Lokakarya<br />
Nasional Rencana Pembentukan<br />
ASEAN Common Visa yang<br />
diselenggarakan <strong>oleh</strong> Kementerian<br />
Luar Negeri bulan Maret 2012<br />
di Bandung. Dari beberapa aspek<br />
tersebut akan dapat dilihat<br />
kemungkinan dampak implikasi<br />
baik positif maupun negatif dari<br />
pembentukan visa bersama atau<br />
ASEAN Common Visa tersebut.<br />
B. TINJAUAN BEBERAPA ASPEK<br />
1. Aspek Konsuler<br />
Pengenaan visa di Indonesia<br />
diberlakukan berdasarkan<br />
peraturan hukum yang<br />
menjadi dasar yaitu :<br />
• Undang-Undang Nomor 37<br />
Tahun 1999 tentang<br />
Hubungan Luar Negeri.<br />
• Undang-Undang Nomor 6<br />
Tahun 2011 tentang<br />
Keimigrasian.<br />
• Keputusan Presiden<br />
Nomor 108 Tahun 20003<br />
18
tentang Organisasi<br />
Perwakilan Republik<br />
Indonesia di Luar Negeri.<br />
• Keputusan Menteri Luar<br />
Negeri Republik Indonesia<br />
Nomor SK.06/A/OT/2004/<br />
01 Tahun 2004 tentang<br />
Organisasi dan Tata Kerja<br />
Perwakilan Republik<br />
Indonesia di Luar Negeri.<br />
• Peraturan Menteri Luar<br />
Negeri RI Nomor<br />
02/A/OT/VIII/2005/01<br />
Tahun 2005 tentang<br />
Organisasi dan Tata Kerja<br />
Departemen Luar Negeri.<br />
• Peraturan Menteri Luar<br />
Negeri RI Nomor SK-<br />
028/OT/VII/2008/09<br />
tentang Prosedur Kerja<br />
<strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
Protokol dan Konsuler.<br />
• Peraturan Pemerintah<br />
Nomor 32 Tahun 1994<br />
tentang Visa, Izin Masuk,<br />
dan Izin Keimigrasian.<br />
• Peraturan Pemerintah<br />
Nomor 18 Tahun 2005<br />
tentang Perubahan atas<br />
Peraturan Pemerintah<br />
Nomor 32 Tahun 1994.<br />
• Peraturan Pemerintah<br />
Nomor 31 tahun 2005<br />
tentang Perubahan Kedua<br />
atas Peraturan Pemerintah<br />
Nomor 32 Tahun 1994.<br />
Pemberlakuan ASEAN<br />
Common Visa harus dilihat<br />
dari cakupan pemberlakuan<br />
visa dalam bentuk visa<br />
Diplomatik atau Dinas. Apabila<br />
pemberlakuan visa dalam<br />
bentuk diplomatik atau dinas,<br />
maka harus diperhatikan<br />
otorisasi yaitu dari <strong>Direktorat</strong><br />
Konsuler, Kementerian Luar<br />
Negeri yang melaksanakan<br />
kegiatan pemberian otorisasi<br />
kepada pemegang paspor<br />
diplomatik dan dinas yang<br />
akan melaksanakan tugas<br />
penempatan di Perwakilan<br />
atau Organisasi Internasional<br />
di Indonesia, termasuk<br />
anggota keluarga yang<br />
mendampinginya. <strong>Direktorat</strong><br />
Konsuler memberikan persetujuan<br />
pemberian visa<br />
diplomatik atau dinas kepada<br />
pemegang paspor biasa yang<br />
akan melaksanakan tugas<br />
diplomatik atau dinas di<br />
Indonesia, termasuk anggota<br />
keluarga yang mendampinginya<br />
dan memberikan persetujuan<br />
pemberian visa<br />
diplomatik dan dinas multiple<br />
entry.<br />
Indonesia juga telah memberlakukan<br />
Persetujuan Bebas<br />
Visa (PBV) yaitu sebanyak 26<br />
PBV yang berlaku hanya untuk<br />
kunjungan singkat, sedangkan<br />
untuk penempatan tetap<br />
19
diperlukan visa. Bebas visa<br />
juga berlaku bagi Warga<br />
Negara Asing (WNA)<br />
pemegang Paspor Diplomatik<br />
dan Paspor Dinas dari negara<br />
yang termasuk dalam daftar<br />
BVKS (Bebas Visa Kunjungan<br />
Singkat)<br />
Perwakilan dapat memberikan<br />
visa diplomatik dan visa dinas<br />
tanpa adanya persetujuan dari<br />
Kementerian Luar Negeri<br />
kepada pemegang paspor<br />
diplomatik dan dinas asing<br />
untuk keperluan kunjungan<br />
singkat ke Indonesia dengan<br />
menggunakan beberapa<br />
fasilitas, antara lain:<br />
(i) Perjanjian Bebas Visa bagi<br />
Pemegang Paspor<br />
Diplomatik dan Dinas<br />
(sebanyak 26 Negara) ;<br />
Bebas Visa Kunjungan<br />
Singkat (BVKS) – 14<br />
negara; Visa Kunjungan<br />
Saat Kedatangan (VKSK)/<br />
Visa on Arrival.<br />
(ii) Untuk penempatan, warga<br />
negara asing harus<br />
memiliki Visa Diplomatik<br />
dan Dinas yang diper<strong>oleh</strong><br />
dari Perwakilan RI. Visa<br />
tersebut nantinya akan<br />
dikonversi menjadi Izin<br />
Tinggal Diplomatik dan<br />
Dinas.<br />
(iii) Jangka waktu Visa<br />
Diplomatik dan Dinas<br />
Single Entry (30 hari, dan<br />
60 hari).<br />
(iv) Jangka waktu Visa<br />
Diplomatik dan Dinas<br />
Multiple Entry (1 Bulan, 3<br />
Bulan, 6 Bulan, dan 1<br />
tahun).<br />
Dalam hal kebijakan Pemberian<br />
Visa Diplomatik dan Dinas,<br />
Pemerintah RI tidak memberikan<br />
Visa Diplomatik maupun Dinas<br />
kepada pemegang paspor Israel<br />
dan Taiwan. Kehadiran warga<br />
Israel dan Taiwan tersebut di<br />
Indonesia tidak mewakili<br />
kepentingan Pemerintah Israel<br />
dan Taiwan.<br />
Dengan memperhatikan hal-hal<br />
tersebut di atas, maka perlu<br />
dicermati apabila ASEAN Common<br />
Visa akan diberlakukan, terkait<br />
dengan:<br />
• sistem prosedur dan kebijakan<br />
Indonesia dan ASEAN;<br />
• penempatan WNA di suatu<br />
negara harus mengajukan<br />
aplikasi visa ke Perwakilan<br />
negara yang dituju atau bisa<br />
ke Perwakilan negara ASEAN<br />
lainnya atau tidak<br />
memerlukan visa.<br />
• penerapan konsep dan<br />
prosedur Izin Tinggal<br />
20
Diplomatik dan Dinas di<br />
Indonesia dan ASEAN.<br />
2. Aspek Keimigrasian<br />
Dari sisi imigrasi salah satu<br />
faktor terjadinya migrasi dari<br />
satu negara ke negara lainnya<br />
adalah didorong <strong>oleh</strong><br />
kemudahan mendapatkan<br />
visa. Dengan demikian<br />
peruntukan ASEAN Common<br />
Visa yang akan diberlakukan<br />
di kawasan ASEAN akan<br />
mempunyai dampak positif<br />
dan negatif baik bagi warga<br />
negara ASEAN itu sendiri.<br />
Dampak positif yang akan<br />
diterima antara lain adanya<br />
modernisasi masyarakat serta<br />
peningkatan education and<br />
skilled, menambah pengalaman<br />
dan know how, serta<br />
mendorong pertumbuhan<br />
ekonomi Negara. Sementara<br />
dampak negatifnya akan<br />
meningkatkan perkembangan<br />
kejahatan baik secara kualitas<br />
maupun kuantitas yang dari<br />
semula berupa kejahatan<br />
domestik menjadi kejahatan<br />
lintas negara (transnational<br />
crimes), dari kejahatan<br />
individu menjadi kejahatan<br />
berkelompok, dari yang tidak<br />
teroganisir menjadi yang<br />
terorganisir (organized crime).<br />
Hal-hal tersebut di atas yang<br />
harus juga diantisipasi bila<br />
mana ASEAN Common Visa<br />
diimplementasikan secara<br />
penuh <strong>oleh</strong> Negara-negara<br />
anggota ASEAN.<br />
Apabila dilihat dari<br />
keuntungan dan kepentingan<br />
Visa itu sendiri sangat<br />
bermanfaat bagi: pencari<br />
kerja, penggiat pemerintah,<br />
kunjungan sosial, budaya,<br />
jurnalistik, film, peliputan,<br />
ibadah, belajar, wisata,<br />
penyatuan keluarga, pelatihan<br />
dan seminar, dan lain<br />
sebagainya.<br />
Namun dari kemudahan dan<br />
manfaat yang diper<strong>oleh</strong><br />
tersebut, perlu diwaspadai<br />
pula pemberlakuan ASEAN<br />
Common Visa akan ditumpangi<br />
<strong>oleh</strong> kepentingankepentingan<br />
yang merugikan<br />
antara lain: kejahatan trans<br />
nasional, terorisme, perdagangan<br />
manusia dan anak,<br />
penyelundupan manusia dan<br />
senjata, pembajakan Hak Atas<br />
Kekayaan (HKI), pencucian<br />
uang, kejahatan elektronik,<br />
narkoba, dan lain sebagainya.<br />
Kegiatan tersebut dapat<br />
dilakukan <strong>oleh</strong> orang-orang<br />
atau sekelompok orang/<br />
organisasi yang merencanakan<br />
atau melakukan kejahatan<br />
dengan memanfaatkan<br />
kondisi transit, pelanggaran<br />
keimigrasian (overstay),<br />
21
penyalahgunaan izin keimigrasian,<br />
peluang masuknya<br />
warga negara dari negaranegara<br />
yang dikategorikan<br />
rawan keimigrasian, memberikan<br />
peluang koruptor<br />
dengan mudahnya berpindahpindah<br />
antarnegara dan lain<br />
sebagainya.<br />
3. Aspek Ekonomi<br />
Kebijakan pemberian Visa<br />
salah satunya adalah sebagai<br />
alat untuk mempromosikan<br />
perdagangan yang pada<br />
akhirnya akan mempunyai<br />
pengaruh terhadap perekonomian<br />
suatu bangsa atau<br />
negara. Pengaruh yang dapat<br />
dilihat salah satu dari sisi<br />
investasi yaitu untuk menarik<br />
Penanaman Modal Asing<br />
(PMA) atau Foreign Direct<br />
Investment (FDI) guna<br />
menggenjot ekspor. Hal ini<br />
merupakan cara untuk<br />
mengatasi antara lain: (i)<br />
trend surplus neraca<br />
perdagangan Indonesia yang<br />
tergerus <strong>oleh</strong> defisit transaksi<br />
berjalan sejak triwulan<br />
terakhir 2011 (Gubernur BI),<br />
seiring melemahnya ekspor<br />
dan diperkirakan cenderung<br />
negatif sepanjang tahun 2012;<br />
dan (ii) untuk mendorong<br />
pertumbuhan industri bahan<br />
baku dan barang jadi untuk<br />
meningkatkan ekspor.<br />
Selain menarik PMA, yang<br />
dapat dilakukan adalah<br />
dengan menciptakan iklim<br />
investasi yang kondusif<br />
sebagai prasyarat bagi<br />
masuknya PMA di mana<br />
terdapat sepuluh Negara<br />
ASEAN yang menjadi pilihan<br />
para investor.<br />
Di sinilah kesempatan bagi<br />
Indonesia, yang merupakan<br />
tempat investasi yang paling<br />
menarik dan memiliki<br />
keuntungan komparatif<br />
dibandingkan dengan negara<br />
ASEAN lainnya dilihat dari sisi:<br />
sumber daya alam, tenaga<br />
kerja, jumlah penduduk yang<br />
besar sebagai pasar.<br />
Ditinjau dari keterhubungan<br />
wilayah yaitu Domestic<br />
Connectivity - Infrastruktur,<br />
yang meliputi: potensi<br />
menarik investor dan<br />
wisatawan, infrastruktur<br />
pariwisata juga harus<br />
dibenahi, hingga pada<br />
akhirnya ASEAN Common Visa<br />
akan membawa implikasi<br />
positif bagi pertumbuhan<br />
ekonomi Indonesia apabila<br />
seluruh stakeholder secara<br />
terkoordinasi dan sinergi telah<br />
menyiapkan infrastruktur<br />
(fisik, kebijakan, dan<br />
kelembagaan) dengan baik.<br />
Adanya rencana pembentukan<br />
ASEAN Common Visa bagi<br />
22
warga negara non-ASEAN<br />
merupakan bagian dari upaya<br />
menciptakan iklim investasi<br />
yang kondusif dan dapat<br />
membawa implikasi positif<br />
terhadap pertumbuhan<br />
ekonomi. Dengan adanya<br />
kemudahan visa berpotensi<br />
meningkatkan jumlah<br />
kunjungan singkat (wisatawan<br />
dan pengusaha) mancanegara<br />
dan citra positif pariwisata<br />
dan investasi Indonesia.<br />
Namun demikian juga dengan<br />
pemberlakuan ASEAN<br />
Common Visa bagi warga<br />
negara non-ASEAN dapat<br />
mengurangi waktu kunjungan<br />
suatu negara karena dapat<br />
berpindah dari satu Negara<br />
Anggota ASEAN ke Negara<br />
Anggota ASEAN lainnya untuk<br />
melihat atau menjajaki<br />
investasi di Indonesia.<br />
4. Aspek Pariwisata<br />
Pembentukan Visa Bersama di<br />
ASEAN bagi sektor pariwisata<br />
merupakan hal yang penting<br />
sebagai bentuk kemudahan<br />
bagi para wisatawan mengunjungi<br />
suatu wilayah atau<br />
negara. Wisatawan akan<br />
tertarik untuk berwisata ke<br />
suatu destinasi/negara tidak<br />
hanya ditentukan <strong>oleh</strong> atraksi<br />
wisata yang menarik dan<br />
infrastruktur yang baik, tetapi<br />
juga <strong>oleh</strong> kemudahan visa<br />
sebagai elemen utama<br />
aksesibilitas.<br />
Sebuah kajian dari UNWTO<br />
(2012) menunjukkan bahwa<br />
negara yang mempermudah<br />
kebijakan visa akan mendapatkan<br />
peningkatan<br />
kunjungan wisatawan yang<br />
signifikan dan demikian<br />
sebaliknya. Sementara,<br />
Kementerian Pariwisata dan<br />
Ekonomi Kreatif telah<br />
melakukan kajian atas potensi<br />
keuntungan ASEAN Common<br />
Visa bagi pariwisata Indonesia<br />
yang berpotensi meningkatkan<br />
jumlah wisatawan mancanegara<br />
dan citra positif<br />
pariwisata Indonesia.<br />
Pemberlakuan ASEAN<br />
Common Visa juga dapat<br />
membantu para pelaku usaha<br />
pariwisata Indonesia dalam<br />
upaya menjaring wisatawan<br />
mancanegara non-ASEAN,<br />
karena akan lebih terjangkau<br />
untuk melakukan promosi di<br />
negara-negara main hub<br />
ASEAN yaitu wisatawan dari<br />
Singapura & Thailand. Selain<br />
itu juga dapat menjadi salah<br />
satu pendorong bagi<br />
berkembangnya wisata cruise<br />
di Indonesia sebagai negara<br />
kepulauan dengan semakin<br />
mudahnya pengurusan visa<br />
yang cukup dilakukan di salah<br />
satu negara ASEAN.<br />
23
Dari berbagai potensi<br />
keuntungan yang akan<br />
diper<strong>oleh</strong> Indonesia dengan<br />
pemberlakuan ASEAN<br />
Common Visa tersebut, juga<br />
akan menyebabkan potensi<br />
kerugian yaitu: (i) mengurangi<br />
waktu kunjungan wisatawan<br />
manca negara di Indonesia,<br />
karena semakin mudah bagi<br />
wisatawan manca negara<br />
untuk berpindah dari 1 negara<br />
ke negara ASEAN lain; dan (ii)<br />
seperti pengalaman Schengen<br />
Visa, dengan kebijakan Single<br />
Visa justru merugikan bagi<br />
pelaku usaha wisata Biro<br />
Perjalanan karena syaratsyarat<br />
pengajuan visa menjadi<br />
lebih menyusahkan, terutama<br />
pada negara-negara yang<br />
memang tidak memiliki<br />
hubungan dilomatik dengan<br />
salah satu negara ASEAN.<br />
5. Aspek Keamanan<br />
Ditinjau dari aspek keamanan<br />
saat ini merupakan tantangan<br />
tersendiri yang dihadapi<br />
antara lain karena Indonesia<br />
memiliki sejumlah daerah<br />
rawan/restricted, perbedaan<br />
kebijakan pemberian visa,<br />
kebijakan dan sistem<br />
pengawasan dan penangkalan,<br />
penerapan aturan hukum,<br />
cakupan hubungan diplomatik<br />
di antara negara-negara<br />
ASEAN<br />
Arus pergerakan orang-perorang<br />
dari satu negara ke<br />
negara lain akan mempunyai<br />
dua faktor yaitu faktor<br />
pendorong dan faktor penarik.<br />
Faktor pendorong akan<br />
dipengaruhi <strong>oleh</strong> beberapa<br />
aspek antara lain:<br />
- politik yaitu adanya konflik<br />
berkepanjangan di negara<br />
asal terkait dengan<br />
perebutan kekuasaan<br />
misalnya;<br />
- ekonomi dan keamanan, di<br />
mana keadaan ekonomi<br />
dan keamanan yang buruk<br />
sebagai akibat dari konflik,<br />
keinginan untuk memper<strong>oleh</strong><br />
kehidupan yang<br />
lebih baik di negara tujuan,<br />
bujukan dari agen penyeludupan/perdagangan<br />
manusia, atau ekonomi<br />
maju sehingga mencari<br />
tempat ekspansi ekonomi<br />
baru);<br />
- sosial budaya/ideologi<br />
yaitu adanya kesamaan<br />
sosiologis, agama, ras,<br />
budaya dengan tempattempat<br />
yang didatangi.<br />
Sementara dari faktor penarik<br />
dapat meliputi beberapa<br />
aspek yaitu:<br />
- geografis di mana keamanan<br />
dan pengawasan di<br />
perbatasan yang lemah;<br />
24
- politik yang kondusif,<br />
misalnya dengan menerima<br />
pencari suaka atau<br />
refugee;<br />
- sosial dan budaya yang<br />
berkaitan dengan budaya<br />
masyarakat;<br />
- ideologi adanya kesamaan<br />
sosial, budaya, agama, ras,<br />
dan sebagainya;<br />
- perekonomian maju/<br />
kondusif sehingga terbuka<br />
kesempatan lapangan<br />
pekerjaan, pasar produksi/<br />
konsumsi.<br />
Dengan demikian dilihat dari<br />
sisi keamanan, pemberlakuan<br />
ASEAN Common Visa akan<br />
memberikan dampak negatif<br />
maupun positif. Potensi<br />
dampak negatif ASEAN<br />
Common Visa terhadap<br />
keamanan nasional antara lain<br />
akan meningkatkan kuantitas,<br />
kualitas, dan mobilitas<br />
kejahatan lintas batas. Selain<br />
itu keterlibatan asing dan<br />
spionase asing, serta<br />
memudahkan masuknya<br />
pengaruh budaya asing yang<br />
negatif.<br />
Sementara potensi dampak<br />
positif ASEAN Common Visa<br />
terhadap keamanan nasional<br />
yakni akan meningkatkan<br />
kapasitas ASEAN dalam<br />
pengawasan keamanan<br />
melalui pertukaran informasi<br />
dan integrasi sistem<br />
pengawasan dan penangkal<br />
an.<br />
Mengantisipasi hal-hal tersebut<br />
di atas, Kepolisian RI<br />
telah memberikan beberapa<br />
rekomendasi untuk dilakukan<br />
kajian ke depan yaitu: (i)<br />
identifikasi standar sistem<br />
pengawasan orang asing;<br />
mekanisme pemberian persetujuan<br />
atau penolakan<br />
common visa; (ii) pengelolaan<br />
pelanggaran keimigrasian dan<br />
non-keimigrasian; perlu peningkatan<br />
jaringan teknologi<br />
informasi secara online; dan<br />
(iii) pengamanan dan<br />
pengawasan di perbatasan;<br />
pembentukan sekretariat<br />
penerapan common visa.<br />
C. PENUTUP<br />
Dari paparan berbagai aspek<br />
tersebut di atas, dapat<br />
disimpulkan bahwa dengan<br />
pembentukan ASEAN Common<br />
Visa atau Visa Bersama ASEAN<br />
akan berpengaruh terhadap<br />
perekonomian Indonesia antara<br />
lain Aspek konsuler, Aspek<br />
keimigrasian, Aspek ekonomi,<br />
Aspek pariwisata, dan Aspek<br />
keamanan.<br />
Untuk mengantisipasi dan<br />
menghadapi rencana pembentukan<br />
ASEAN Common Visa<br />
25
tersebut pemerintah dapat<br />
melakukan berbagai upaya antara<br />
lain yaitu: (i) Kajian mendalam<br />
yang komprehensif baik dari sisi<br />
kuantitatif dan kualitatif untuk<br />
melihat dampak dari<br />
pembentukan visa bersama<br />
ASEAN ditinjau dari beberapa<br />
aspek tersebut di atas; (ii)<br />
Dukungan infrastruktur fisik,<br />
kebijakan, dan kelembagaan yang<br />
baik, khususnya peningkatan<br />
konektivitas domestik; dan (iii)<br />
Koordinasi lintas sektoral dan<br />
seluruh stakeholder serta<br />
pemangku kepentingan baik<br />
pemerintah, dunia usaha,<br />
lembaga masyarakat, dan<br />
akademisi.<br />
Referensi:<br />
- Laporan Sidang SOM Juli 2011.<br />
- Laporan Sidang AMM<br />
November 2011.<br />
- ASEAN Summit 19, Bali 2011.<br />
26
KOMUNITAS EKONOMI DI<br />
AMERIKA LATIN<br />
A. PENDAHULUAN<br />
Oleh: Azman Ridha 1<br />
Salah satu pasar ekspor nontradisional<br />
yang cukup potensial<br />
dan menjanjikan adalah kawasan<br />
Amerika Latin. Jumlah negara<br />
yang terdapat di kawasan ini<br />
cukup besar dengan empat<br />
bahasa yang berbeda, yaitu:<br />
sekitar 30 negara berbahasa<br />
Spanyol, 1 negara berbahasa<br />
Portugis (Brasil), 1 negara<br />
berbahasa Perancis (Haiti), dan 1<br />
negara berbahasa Ingrris<br />
(Jamaika).<br />
Penamaan Amerika Latin dalam<br />
istilah hubungan internasional<br />
mengacu pada kawasan yang<br />
berada pada tiga wilayah<br />
geografis, yaitu: Amerika Selatan,<br />
Amerika Tengah, dan Kepulauan<br />
Karibia. Kawasan ini terdiri dari 8<br />
juta mil persegi atau 21 juta km<br />
1<br />
Kepala Seksi Amerika Tengah dan<br />
Selatan Subdit Amerika <strong>Direktorat</strong> Kerja<br />
Sama Bilateral Ditjen <strong>KPI</strong>. Isi artikel<br />
sebagian dan seluruhnya bukan dan tidak<br />
dapat dianggap sebagai representasi atau<br />
pandangan resmi dari Ditjen <strong>KPI</strong>, maupun<br />
Kementerian Perdagangan.<br />
persegi, yang merupakan 1/5 dari<br />
luas total daratan yang ada di<br />
dunia. Dengan jumlah populasi<br />
penduduk yang berjumlah sekitar<br />
590 juta jiwa lebih (2010), dengan<br />
total GDP sebesar USD 3,93<br />
trilliun (2009, Bank Dunia) dan<br />
GDP rata-rata per kapita<br />
mencapai kurang lebih USD 4.000<br />
dolar AS per tahun, Amerika Latin<br />
merupakan sebuah kawasan yang<br />
sangat potensial sebagai pasar<br />
nontradisional Indonesia di masa<br />
mendatang.<br />
B. GAMBARAN PEREKONOMIAN<br />
NEGARA-NEGARA AMERIKA<br />
LATIN<br />
Kawasan Amerika Latin yang<br />
terdiri dari sekitar 35 negara<br />
berbagai etnis tersebut tentulah<br />
merupakan sebuah entitas<br />
ekonomi yang cukup besar dan<br />
menjanjikan. Pertumbuhan<br />
perekonomian kawasan Amerika<br />
Latin terus mengalami<br />
peningkatan selama dekade<br />
1990-an hingga mencapai<br />
puncaknya pada tahun 2004<br />
dengan tingkat pertumbuhan<br />
ekonomi sebesar 6,1%. Sejak saat<br />
itu, tingkat pertumbuhan<br />
ekonomi Amerika Latin selalu<br />
dalam kondisi stabil dengan nilai<br />
di atas 4%.<br />
27
Di antara potensi dan peluang<br />
yang menjanjikan bagi peningkatan<br />
hubungan perdagangan<br />
Indonesia dengan<br />
negara-negara Amerika Latin<br />
adalah: (i) karakter masyarakatnya<br />
yang mayoritas bersifat<br />
konsumtif; (ii) adanya sarana dan<br />
prasarana perdagangan yang<br />
cukup memadai; (iii) memiliki<br />
beragam objek pariwisata yang<br />
sangat terkenal menarik dan<br />
indah; (iv) memiliki tingkat tarif<br />
yang relatif rendah, rata-rata<br />
berkisar 10%; (v) adanya Free<br />
zone di Panama dan Iquique<br />
S.A.(Chile) yang dapat dijadikan<br />
sebagai entry point bagi Indonesia<br />
untuk memasuki seluruh kawasan<br />
Amerika Latin; (vi) adanya<br />
hubungan baik Amerika Latin – RI<br />
dan keinginan kuat dari negaranegara<br />
seperti Brasil, Argentina,<br />
Chile, Suriname, Ecuador,<br />
Kolombia, dan negara Amerika<br />
Latin lainnya untuk meningkatkan<br />
hubungan kerja sama<br />
perdagangan dengan Indonesia;<br />
serta (vii) adanya KBRI di<br />
beberapa negara Amerika Latin:<br />
Brasil, Argentina, Peru, Kuba,<br />
Venezuela, Suriname, Chile yang<br />
dapat dijadikan sebagai basis<br />
perwakilan pemerintah untuk<br />
menjalin hubungan kemitraan<br />
dengan negara-negara tersebut<br />
maupun dengan negara lain di<br />
sekitarnya. Informasi dan<br />
Teknologi yang mendukung bagi<br />
fasilitasi perdagangan pun<br />
mengalami perkembangan yang<br />
cukup signifikan, sesuatu yang<br />
dapat menjembatani arus<br />
informasi dan jarak yang jauh<br />
dalam berhubungan dagang<br />
dengan negara lain seperti<br />
Indonesia, meskipun secara<br />
geografis terpisah cukup jauh.<br />
C. HAMBATAN PERDAGANGAN<br />
Masih rendahnya total nilai<br />
perdagangan Indonesia dengan<br />
negara-negara Amerika Latin<br />
disebabkan <strong>oleh</strong> berbagai<br />
hambatan seperti letak geografis<br />
yang jauh, biaya pengiriman<br />
barang yang masih cukup tinggi,<br />
perbedaan yang besar dari segi<br />
waktu, sistem pembayaran yang<br />
berbeda dan beragam, serta<br />
kurangnya minat dunia usaha<br />
kedua negara. Di samping itu<br />
kurangnya informasi mengenai<br />
potensi yang dimiliki <strong>oleh</strong> negaranegara<br />
Amerika dan Perbedaan<br />
bahasa merupakan salah satu<br />
hambatan klasik yang sampai saat<br />
ini masih terjadi.<br />
Dibutuhkan waktu lebih dari 24<br />
jam dari Indonesia untuk sampai<br />
di salah satu negara kawasan<br />
Amerika Latin. Hal ini<br />
menggambarkan perbedaan jarak<br />
yang jauh antara kedua wilayah,<br />
Latin masih menjadi kendala<br />
tersendiri bagi pengusaha<br />
28
Indonesia. Kegiatan ekspor-impor<br />
Indonesia – Amerika Latin selama<br />
ini pada umumnya dilakukan<br />
melalui negara ketiga seperti<br />
Singapura, Hongkong dan<br />
Amerika Serikat, di mana hal ini<br />
mengakibatkan keuntungan yang<br />
didapat pengusaha Indonesia<br />
menjadi kurang maksimal.<br />
D. KOMUNITAS EKONOMI NEGARA-<br />
NEGARA AMERIKA LATIN<br />
Di kawasan Amerika Latin<br />
terdapat beberapa organisasi<br />
kerja sama ekonomi regional yang<br />
dibentuk dalam rangka menyikapi<br />
berbagai perubahan di era<br />
globalisasi dan perdagangan<br />
bebas, dan mendorong integrasi<br />
kawasan melalui blok-blok<br />
perdagangan. Beberapa<br />
organisasi kerja sama ekonomi<br />
regional tersebut, antara lain :<br />
1. Latin American Economic<br />
System (SELA)<br />
SELA didirikan pada tahun<br />
1975 dan saat ini<br />
beranggotakan Argentina,<br />
Barbados, Belize, Bolivia,<br />
Brasil, Chile, Kolombia, Kosta<br />
Rika, Kuba, Dominika,<br />
Ekuador, El Salvador,<br />
Grenada, Guatemala, Guyana,<br />
Haiti, Honduras, Jamaika,<br />
Meksiko, Nikaragua, Panama,<br />
Paraguay, Peru, Suriname,<br />
Trinidad & Tobago, Uruguay,<br />
dan Venezuela.<br />
2. Latin American Integration<br />
Association (LAIA/ALADI)<br />
LAIA berdiri pada tahun 1980<br />
dan anggotanya terdiri dari 12<br />
negara yaitu Argentina, Brasil,<br />
Bolivia, Chile, Kolombia, Kuba,<br />
Ekuador, Meksiko, Paraguay,<br />
Peru, Uruguay, dan<br />
Venezuela.<br />
3. Andean Community<br />
(Comunidad Andina de<br />
Naciones-CAN)<br />
CAN adalah blok perdagangan<br />
yang terdiri dari empat negara<br />
Amerika Selatan yaitu: Bolivia,<br />
Kolombia, Ekuador, dan Peru<br />
yang menandatangani Andean<br />
Pact pada tahun 1969.<br />
Pada tahun 1973, perjanjian<br />
tersebut memper<strong>oleh</strong> anggota<br />
keenam, yakni Venezuela.<br />
Namun pada tahun 1976,<br />
keanggotaannya kembali<br />
berkurang menjadi lima ketika<br />
Chili mundur. Venezuela<br />
mengumumkan pengunduran<br />
diri pada tahun 2006,<br />
mengurangi Komunitas Andes<br />
untuk empat negara anggota.<br />
Baru-baru ini dengan<br />
perjanjian kerja sama baru<br />
dengan Mercosur, Masyarakat<br />
Andean memper<strong>oleh</strong> empat<br />
anggota asosiasi baru yaitu:<br />
29
Argentina, Brasil, Paraguay,<br />
dan Uruguay. Keempat<br />
anggota Mercosur diberikan<br />
keanggotaan asosiasi dalam<br />
pertemuan Menteri Luar<br />
Negeri Dewan Andes, pada<br />
tanggal 7 Juli 2005.<br />
4. Mercado Común del Sur<br />
(Mercosur)<br />
Mercosur dibentuk pada<br />
tahun 1991 <strong>oleh</strong> Argentina,<br />
Brasil, Paraguay, dan Uruguay<br />
guna memperkuat para<br />
anggotanya dalam menghadapi<br />
perkembangan perekonomian<br />
dunia. Mercosur<br />
memiliki pasar dan tarif impor<br />
bersama. Pada tahun 2006,<br />
Venezuela bergabung menjadi<br />
anggota penuh Mercosur.<br />
Piagam perjanjian tersebut<br />
menyatakan bahwa Mercosur<br />
bertugas untuk mengoordinasikan<br />
kegiatan<br />
ekonomi, termasuk: hubungan<br />
niaga, komunikasi, kegiatan<br />
kebudayaan, kewarganegaraan,<br />
paspor, dan visa, kegiatan<br />
sosial, dan kegiatan kesehatan<br />
5. South American Community of<br />
Nations (SACN)<br />
Anggota SACN terdiri dari<br />
anggota Andean Community<br />
(Bolivia, Kolombia, Ekuador,<br />
Peru, dan Venezuela) serta<br />
anggota Mercosur (Argentina,<br />
Brasil, Paraguay, dan<br />
Uruguay).<br />
SACN bertujuan untuk<br />
menciptakan free trade zone<br />
yang menggabungkan free<br />
trade zones dari Mercosur dan<br />
Andean Community, ditambah<br />
beberapa negara Amerika<br />
Latin lainnya. Diperkirakan<br />
pada tahun 2014 SACN akan<br />
mampu menghilangkan tarif<br />
untuk non-sensitive products.<br />
Sedangkan tarif untuk<br />
sensitive products diperkirakan<br />
baru akan dapat<br />
dihilangkan pada tahun 2019.<br />
6. Caribean Community of<br />
Common Market (Caricom)<br />
Anggota Caricom yang<br />
didirikan sejak tahun 1973<br />
adalah Antigua & Barbuda,<br />
Bahamas, Barbados, Belize,<br />
Dominica, Grenada, Guyana,<br />
Haiti, Jamaika, Monsterrat, St.<br />
Kitts & Nevis, St. Lucia, St.<br />
Vincent & the Grenadines,<br />
Suriname, dan Trinidad &<br />
Tobago. Sebagai associate<br />
member adalah: Anguilla,<br />
Bermuda, Virgin Island, serta<br />
Turks & Caicos Islands.<br />
Caricom dibentuk guna<br />
mempercepat pembangunan<br />
ekonomi dan daya saing, serta<br />
meningkatkan kesejahteraan<br />
dan taraf hidup masyaratkat<br />
setempat.<br />
30
E. PENUTUP<br />
Dengan semakin banyaknya<br />
komunitas ekonomi di kawasan<br />
Amerika Latin, mengindikasikan<br />
kuatnya kerja sama ekonomi di<br />
kawasan tersebut. Untuk itu,<br />
Indonesia seharusnya dapat<br />
memilih salah satu negara di<br />
kawasan Amerika Latin sebagai<br />
pintu masuk ekspor ke kawasan<br />
tersebut dengan pertimbangan<br />
dari berbagai hal.<br />
Dengan membuat sebuah hub di<br />
kawasan Amerika Latin, maka<br />
para pengusaha Indonesia dapat<br />
meningkatkan efisiensi waktu dan<br />
biaya sehingga komoditi<br />
Indonesia dapat berkompetisi<br />
harga dan kualitasnya dengan<br />
negara lain yang sudah lebih<br />
dahulu masuk ke kawasan<br />
tersebut.<br />
31