07.06.2014 Views

LAPORAN AKHIR - RarePlanet

LAPORAN AKHIR - RarePlanet

LAPORAN AKHIR - RarePlanet

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>LAPORAN</strong> <strong>AKHIR</strong><br />

KAMPANYE BANGGA KONSERVASI<br />

TAMAN NASIONAL LAUT WAKATOBI<br />

SULAWESI TENGGARA, INDONESIA<br />

Partisipasi Kampanye Pride dalam Festival Budaya Wakatobi<br />

La Ode M. Saleh Hanan<br />

The Nature Conservancy<br />

2008-2009<br />

Magister Profesi Pendidikan Konservasi<br />

Institur Pertanian Bogor<br />

Cohort 2 “Magic 7”


DESKRIPSI KAWASAN TARGET<br />

1.1. Pendahuluan<br />

”Ambil Ikannya tinggalkan karangnya” (lagu maskot kampanye pride di pulau Kapota).<br />

Nama kepulauan Wakatobi diambil dari singkatan pulau-pulau utama berpenghuni di<br />

dalam gugusan ini yakni pulau Wangi-Wangi (Wa), pulau Kaledupa (Ka), pulau Tomia (To), pulau<br />

Binongko (Bi). Selain keempat pulau tersebut masih ada pulau Kapota di Wangi-Wangi; Lentea,<br />

Darawa dan Hoga di Kaledupa; Tolandona dan Runduma di Tomia yang berpenghuni meskipun<br />

lebih kecil ukuran pulaunya. Dalam peta dan literatur nasional kepulauan ini sebetulnya memiliki<br />

nama resmi Kepulauan Tukang Besi.<br />

Kepulauan Wakatobi tahun 2003 berdiri menjadi sebuah kabupaten terpisah dari<br />

kabupaten Buton. Wilayah kabupaten persis sama dengan wilayah Taman Nasional Wakatobi<br />

yang ditunjuk pemerintah pada tahun 1996. Perairan Kepulauan Wakatobi berada pada wilayah<br />

“Coral Triangle” atau wilayah ”pusat” segitiga terumbu karang dunia. Memiliki keanekaragaman<br />

terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia. Kawasan<br />

segitiga terumbu karang dunia meliputi Philipina, Indonesia sampai kepulauan Solomon.<br />

1.2. Karakteristik Fisik Kawasan<br />

1.2.1. Batasan Lokasi<br />

Kepulau Wakatobi berada pada jazirah tenggara propinsi Sulawesi Tenggara memiliki<br />

batas-batas wilayah sebagai berikut : wilayah bagian utara dan timur berbatasan dengan laut<br />

Banda, bagian barat dan selatan berbatasan dengan laut Flores.<br />

Lokasi target kampanye ‘Pride’ adalah pulau Kapota yang terdiri dari 5 desa yakni desa<br />

Wisata Kolo, desa Kabita, desa Kabita Togo, desa Kapota, dan desa Kapota Utara. Pulau Kapota<br />

adalah salah satu pulau dalam kompleks kepulauan Wangi-Wangi.<br />

1.2.2. Topografi pulau dan Laut<br />

Pulau-pulau dalam gugusan kepulau Wakatobi memiliki topografi datar sampai berbukit<br />

dengan puncak tertinggi 250 meter dari permukaan laut.<br />

1


Topografi laut Wakatobi umumnya datar dilepas pantai, dan di luar karang tepi dan<br />

daerah gosong merupakan tubir terjal. Dari hasil citra landsat dasar perairan laut merupakan<br />

gabungan jurang dan gunung-gunung bawah laut dengan variasi kedalaman 250 – 5000 meter<br />

(masuk perairan laut Banda). Empat pulau utama memiliki luas sebagai berikut :<br />

Pulau Wangi-wangi 156,5 km 2 ;<br />

Pulau Kaledupa 64,8 km 2 ;<br />

Pulau Tomia 52,4 km 2 ,<br />

Pulau Binongko 98,7 km 2 .<br />

Khusus pulau Kapota memiliki luas . 30,4 km 2 ... dengan topografi berbukit dibagian barat<br />

dan tengah, bagian timur dan selatan merupakan dataran rendah.<br />

1.2.2. Kondisi Hidrogeologis<br />

Sebagaimana karakter pulau-pulau atol, pulau-pulau di kawasan Wakatobi kekurangan<br />

sumber air tawar. Sumber air tawar berada didalam gua-gua atau celah batu dan sumur gali yang<br />

umumnya mengalami infiltrasi air laut pada saat pasang surut. Pulau-Wang-Wangi merupakan<br />

pulau dengan sumber air gua alam terbanyak. Sumber air lainnya adalah sungai Tindoi yang<br />

merupakan sungai musiman di pulau Wangi-wangi. Dari sekian pulau yang berpenghuni pulau<br />

yang memiliki sumber air paling minim adalah pulau Binongko, pulau Runduma, pulau Tomia,<br />

pulau Tolandona. Kepulauan Wakatobi keseluruhan memiliki 39 pulau, 3 gosong dan 5<br />

atol. Terumbu karang terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol.<br />

Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi berbeda<br />

dengan atol daerah lain. Atol yang berada di kepulauan ini terbentuk oleh adanya penenggelaman<br />

dari lempeng dasar. Terbentuknya atol dimulai dari adanya kemunculan beberapa pulau yang<br />

kemudian diikuti oleh pertumbuhan karang yang mengelilingi pulau. Terumbu karang yang ada di<br />

sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat<br />

sekarang, antara lain Atol Kaledupa, Atol Kapota, Atol Tomia.<br />

2


1.3. Gambaran Masyarakat dan Ekonomi<br />

1.3.1. Demografi dan Populasi<br />

Jumlah penduduk Wakatobi sekitar 100 ribu jiwa. Penduduk mayoritas adalah suku<br />

Buton dan sekitar 6 ribu jiwa terdiri dari orang Bajo. Kampanye Pride fokus sasarannya adalah<br />

masyarakat di 5 desa di pulau Kapota dengan komposisi jumlah sebagai berikut :<br />

Desa Kolo 689 jiwa.<br />

Desa Kapota 1.255 jiwa<br />

Desa Kabita 1.094 jiwa<br />

Desa Kapota Utara 827 jiwa<br />

Desa Kabita Togo 513 jiwa<br />

1.3.2. Ekonomi<br />

Mayoritas penduduk Wakatobi bekerja sebagai petani, nelayan dan pedagang. Kegiatan<br />

pertanian umumnya budidaya tanaman pangan yakni ubikayu (singkong) dan jagung. Masa panen<br />

tanaman ubi kayu 1 – 3 tahun, ditanam pada tanah yang berada di sela-sela batu. Disamping<br />

bertani pada lahan daratan, mereka juga melakukan budidaya rumput laut dan bermata<br />

pencaharian sebagai nelayan. Alat tangkap yang digunakan umumnya jaring, bubu, sero, pancing.<br />

Khusus masyarakat Bajo kegiatan mata pencaharian utamanya adalah sebagai nelayan. Sebagaian<br />

kecil masyarakat Bajo (sekitar 40 – 60 KK) penambang karang dan pasir laut pada perairan yang<br />

sekaligus dimanfaatkan sebagai tempat-tempat mencari ikan bagi para nelayan.<br />

Kegiatan perdagangan dilakukan antar pulau menggunakan kapal bermotor atau perahu<br />

layar sebagai sarana angkut. Para pedagang Wakatobi biasanya mengangkut barang-barang dari<br />

Singapura, Malaysia dan P. Jawa untuk didistribusikan di Wakatobi maupun pulau-pulau lainnya<br />

kawasan timur Indonesia.<br />

Khusus penduduk pulau Kapota terdapat kelompok masyarakat pengrajin dinding bambu<br />

atau jelaja, kerajinandan mata pencaharian yang tidak dilakukan penduduk Wakatobi lainnya.<br />

3


1.3.3. Sosial Budaya<br />

Penduduk kepulauan Wakatobi adalah suku Buton. Suku Buton adalah salah satu suku<br />

lokal Sulawesi Tenggara disamping suku Moronene, Tolaki, Mekongga, dan Muna. Suku Buton<br />

sendiri menyebar pada beberapa tempat yakni, pulau Buton, pulau Muna, dan kepulauan<br />

Wakatobi dan terdiri dari puluhan sub antropologis. Suku Buton yang menghuni Wakatobi<br />

umumnya dikenal dengan sebutan Orang Pulo atau Buton Pulo, bahasa yang digunakan disebut<br />

bahasa Liwuto Pasi. Liwuto artinya kampung sedangkan pasi artinya karang (Abubakar, 2000).<br />

Selain suku Buton, pada laut pesisir pulau Wang-Wangi, Kaledupa dan Tomia bermukim<br />

suku Bajo. Kehadiran suku Bajo di Wangi-Wangi menurut sumber-sumber lisan merupakan<br />

migrasi dari pemukiman Bajo Mantigola di pantai barat Kaledupa karena adanya gangguan<br />

pemberontakan DI/TII.<br />

Komunitas Bajo saat ini di Wangi-Wangi sudah bercampur dengan Bajo pendatang baru<br />

dari Sulawesi Selatan (disebut Bajo Bugis), dan sebagian dari Kupang, Togian, Muna, dan Kendari.<br />

Perbedaan antara Bajo Wakatobi dan pendatang adalah, Bajo Wakatobi dapat menggunakan<br />

Bahasa Wakatobi sementara Bajo pendatang jarang yang mengetahui bahasa Wakatobi. Orang<br />

Wakatobi daratan jarang menyebut Bajo sebagai suku tetapi menyebutnya dengan Orang Bajo<br />

saja.<br />

Secara keseluruhan kelompok bahasa yang digunakan penduduk Wakatobi adalah bahasa<br />

Pulo yang terdiri dari beberapa dialek. Di Wangi-Wangi terdiri dari dialek Liya, Wanci, Mandati,<br />

dan Kapota. Pulau kaledupa terdiri dari dialek Langge, Buranga. Pulau Tomia terdiri dari dialek<br />

Timu, Tongano, Onemay. Sedangkan di pulau Binongko terdiri dari dialek Popalia dan Palahidu.<br />

Masyarakat pulau Binongko pantai timur dan selatan menggunakan bahasa Cia-Cia. Kelompok<br />

bahasa Cia-cia sebenarnya merupakan bahasa yang dipergunakan penduduk bagian selatan dan<br />

timur pulau Buton (disebut Orang Cia-Cia). Antara dialek dalam kelompok bahasa Pulo terdapat<br />

perbedaan beberapa suku kata. Komunitas Bajo menggunakan bahasa tersendiri yakni bahasa<br />

Bajo. Secara keseluruhan penduduk Wakatobi baik yang Orang Pulo maupun Orang Bajo<br />

menganut agama Islam.<br />

1.3.4. Gambaran spesifik sosial budaya masyarakat desa target kampanye Pride<br />

Kompleks kepulauan Wangi-Wangi secara adat terbagi dalam tempat kadie yakni wilayah<br />

adat Kapota, Mandati, Liya dan Wanci. Masyarakat adat Mandati, Wanci bermukim di pulau<br />

4


Wangi-Wangi dan rumpun adat Liya bermukim di pulau Wangi-Wangi dan Kapota. Dengan<br />

demikian pulau Kapota sebagai lokasi pride terbagi dalam dua komunitas yang disebut orang<br />

Kapota (meliputi desa Kabita, Kabita Togo, Kapota dan Kapota Utara) dan orang Liya (meliputi<br />

desa Kolo). Belakangan penduduk Kolo sudah bercampur dengan pendatang nelayan Bugis, Bajo<br />

dan desa-desa di rumpun Kapota setelah melakukan hubungan perkawinan dengan orang Liya di<br />

Kolo.<br />

Jarak pulau Kapota dan pulau Wangi-Wangi sekitar 3 mil laut dengan kondisi dangkal<br />

pada bagian selatan dan laut dalam di bagian timur dan utara pantai Kapota. Diantara pulau<br />

Kapota dan Wangi-Wangi inilah bermukim suku Bajo, tepatnya dilaut yang merupakan wilayah<br />

adat Mandati. Bajo merupakan mayoritas pengguna sumber daya di pesisir pulau Kapota.<br />

Sarana pendidikan yang ada di pulau Kapota terdiri dari 1 SD di desa Kolo, 1 SD di desa<br />

Kabita, 1 SD di desa Kapota, 1 SD di desa Kapota Utara, 1 buah SMP di desa Kapota Utara, 1<br />

buah SMP satu atap di desa Kolo dan 1 buah SMA di Kapota Utara.<br />

Masyarakat desa target pride sangat menghormati tradisi leluhur. Di pulau Kapota sendiri<br />

terdapat kompleks benteng yang dikeramatkan warga dengan nama Togo Molengo yang berarti<br />

kampung lama, berada di daerah bukit (100 dpl). Benteng itu terdiri dari susunan batu, terdapat<br />

makam yang diyakini sebagai leluhur orang Kapota. Konon setiap kampung mengalami masalah<br />

pelik seperti wabah penyakit, kemarau berkepanjangan, kesulitan pangan, panen rusak atau<br />

musim berombak, bahkan ketika sanak saudara mereka berada dalam situasi bermasalah di<br />

rantau orang, warga Kapota sering menggunakan kompleks tersebut untuk berdoa kepada Allah<br />

SWT (doa ditempat-tempat keramat dalam bahasa lokal disebut ammala). Disamping itu laut di<br />

tanjung barat laut pulau Kapota yang disebut saru-sarua dipandang sebgai tempat keramat.<br />

Sementara di pantai selatan pulau Kapota terdapat situs yang diyakini sebagai tempat shalat<br />

Lakina Liya (raja Liya yang berkuasa di awal abad 20).<br />

Kesenian daerah yang sampai saat ini masih berkembang di pulau kapota adalah Manari<br />

Banda atau badenda sebuah tari tradisional yang umumnya dilakoni kalangan berumur,<br />

menggunakan alat musik rebana tunggal atau gendang, biola dan pantun-pantun berbahasa daerah,<br />

dimainkan pada acara-acara perkawinan, hajatan dan pada malam hari. Kesenian lainnya adalah<br />

tari Kenta-kenta yang artinya tari mencari ikan. Tarian ini dimainkan satu grup anak-anak dan<br />

remaja.<br />

5


Tiap pulau di Wakatobi memiliki tradisi dan budaya baik seni, adat dan kearifan dalam<br />

mengelola sumber daya yang berbeda-beda tiap rumpun adat.<br />

1.5. Konservasi Alam dan Kawasan Target<br />

1.5.1. Sejarah kawasan<br />

1.5.1.1. Masa kerajaan Buton<br />

Kepulauan Wakatobi sebelum kemerdekaan Indonesia adalah wilayah Kesultanan Buton<br />

(± 1211 – 1950). Pengaturan wilayah pada masa kesultanan dikenal dengan istilah Barata dan<br />

Kadie. Barata adalah kerajaan bagian dalam tatanegara kesultanan sedangkan Kedie adalah distrik<br />

dalam daerah pemerintahan pusat kerajaan. Di kepulauan Wakatobi terdapat Barata Kaledupa<br />

yang memiliki wilayah otonom seluruh pulau Kaledupa meliputi daratan pulau, laut dan karang<br />

Kaledupa. Kesultanan Buton secara keseluruhan terdiri dari empat Barata yakni Barata Kaledupa,<br />

Tiworo, Muna dan Kulisusu. Saat ini Barata Kaledupa menjadi bagian wilayah Kabupaten<br />

Wakatobi, Barata Tiworo dan Muna menjadi wilayah Kabupaten Muna dan Barata Kulisusu<br />

menjadi Kabupaten Buton Utara. Tidak semua wilayah Wakatobi masuk wilayah Barata Kaledupa.<br />

Ada desa yang merupakan kadie atau distrik dari pemerintahan pusat Wolio, ibukota kerajaan<br />

Buton. Wilayah kadie juga meliputi darat, hutan, gunung, laut dan karang.<br />

Di masa lalu, setiap warga luar barata dan kadie melakukan pengambilan hasil laut dalam<br />

wilayah kadie dan barata harus mendapat izin pemerintah lokal. Pelanggaran dari ketentuan itu<br />

akan dikenai sanksi setara dengan pencurian atau masuk secara ilegal dalam kawasan.<br />

1.5.1.2. Penunjukkan sebagai Taman Nasional<br />

Kepualauan Wakatobi sejak tahun 1996 ditunjuk pemerintah sebagai Taman Nasional<br />

dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) melalui Keputusan Menteri<br />

Kehutanan No. 393/KPTS-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996, dan penetapannya melalui Keputusan<br />

Menteri Kehutanan No. 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 meliputi kawasan seluas 1,39<br />

juta hektar meliputi wilayah laut dan darat. Luas wilayah laut meliputi 93 % dan total luas dari 39<br />

buah pulau kecil adalah 3 % wilayah Wakatobi. Peraturan menteri kehutanan No. P.29 tahun<br />

6


2006 menetapkan perubahan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) menjadi<br />

Taman Nasional Wakatobi (TNW) dengan wilayah hanya meliputi lautan dan pesisir.<br />

1.5.2. Sejarah Desa target<br />

1.5.2.1. Desa Kapota, Kapota Utara, Kabita dan Kabita Togo<br />

Keempat desa target yakni desa Kapota, Kapota Utara, Kabita, kabita Togo, pada zaman<br />

kerajaan Buton merupakan wilayah kadie Kapota dibawah pimpinan seorang Bonto (pimpinan<br />

masayarakat adat). Wilayah Kapota meliputi pulau Kapota bagian utara.<br />

Kepulauan Wangi-Wangi (P. Wangi-Wangi dan P Kapota) terbagi menjadi empat wilayah<br />

adat yakni wilayah adat Liya meliputi pulauWangi-Wangi bagian selatan dan pulau Kapota bagian<br />

selatan, wilayah adat Mandati terletak di bagian tengah Wangi-Wangi, wilayah adat Wanci<br />

terletak di bagian utara pulau Wangi-Wangi dan wilayah adat Kapota di bagian utara pulau kapota<br />

.<br />

1.5.2.2. Desa Kolo Liya<br />

Desa target Wisata Kolo definitif tahun 2007. Sebelum menjadi desa, Kolo adalah dusun<br />

IV dari desa Liya Mawi. Sejarah wilayah Kolo menjadi wilayah adat Liya atas perjanjian dua<br />

dewan adat yakni Sara Liya dan Sara Kapota dimasa pemerintahan Lakina Liya Laode Taru (<br />

berakhir 1940an). Lakina adalah sebutan untuk Raja yang memimpin daerah-daerah kadie. Tidak<br />

semua Kadie dipimpin Lakina, sebagain lagi dipimpin oleh Bonto. Perbedaan Bonto dan Lakina<br />

adalah, Lakina merupakan pejabat pemerintah yang ditunjuk dan mewakili pemerintah kerajaan<br />

pusat sedangkan Bonto adalah ditunjuk dari kepala adat setempat.<br />

1.5.3. Permasalahan Konservasi<br />

Ancaman kelestarian sumber daya di wilayah ini adalah tingginya penggunaan bom ikan,<br />

potasium sianida, penambangan batu karang dan penangkapan ikan berlebih (overfishing).<br />

Perdagangan ikan hidup, gurita, lobster, pengambilan kima dan perdagangan ikan asin yang<br />

berbahan baku ikan karang dan eksloitasi nelayan luar menjadi penyebab tingginya tekanan<br />

terhadap sumber daya terumbu karang Wakatobi.<br />

Sejak ditetapkan sebagai taman nasional timbul permasalahan baru yakni<br />

pemahaman masyarakat bahwa taman nasional adalah sama dengan pelarangan,<br />

pembatasan dan pengambil alihan hak kelola tradisional. Disamping itu adanya pihak<br />

yang terus mempermasalahkan status kawasan sebagai TN, mempersoalkan<br />

7


kewenangan antara kabupaten yang dibentuk melalui UU dan TN yang dibentuk<br />

dengan SK Menhut menyebabkan minimnya dukungan politik atas ekstistensi TNW<br />

sebagai instrumen konservasi kawasan.<br />

8


BAB II PENILAIAN LOKASI<br />

2.1. Perkenalan dan pembentukan tim kecil pride<br />

Kepemilikan dan keterlibatan masyarakat merupakan target strategis kampanye pride.<br />

Dengan keterlibatan para pemangku kepentingan sejak awal, diharapkan mereka dapat<br />

mengidentifikasikan masalah yang dihadapinya sendiri, terlibat untuk mencari pemecahan<br />

permasalahan secara bersama-sama dan melaksanakan kampanye. Tahapan pertama adalah<br />

mendapatkan tokoh kunci di masyarakat (stakeholder kunci) yang dapat mengidentifikasi lapisan<br />

atkeholders. Langkah menentukan stakeholders yang dapat mewakili suara dan kepentingan<br />

warga tidak mudah mengingat pada saat yang sama lima desa lokasi kampanye sedang dalam<br />

persiapan pemilihan kapala desa dan pemilihan gubernur. Warga sudah terkelompokkan secara<br />

politik menjadi tim sukses calon kepala desa maupun tim sukses calon gubernur. Tantangan<br />

kedua adalah konflik tiga kelompok keluarga dengan masyarakat Kapota secara kolektif mengenai<br />

status kebun kelapa dari kelompok warga tersebut. Menurut lembaga adat dan warga Kapota<br />

pada umumnya kebun kelapa telah memasuki kawasan hutan adat (pada saat stakeholders<br />

meeting pertama mau dimulai masalah tersebut sudah dalam penyidikan polisi). Ketiga, kebiasaan<br />

program dan proyek lain yang memberi imbalan uang setiap partsisipasi warga dalam program,<br />

misalnya imbalan pembuatan jalan usaha tani. Keadaan tersebut melemahkan semangat gotongroyong<br />

dan partsisipasi secara cuma-cuma dari warga.<br />

Foto 1 : Worksop perkenalan pride<br />

Pendekatan yang digunakan untuk memilih keterwakilan stakeholders dilakukan melalui<br />

workshop perkenalan kampanye pride dihadiri perwakilan pemerintah desa, BPD, tokoh-<br />

1


tokoh masyarakat dalam desa, guru, perempuan, pemuda, tani dan nelayan. Kegiatan ini<br />

berlangsung di aula SMP Negeri Kapota. Hasil pemilihan wakil stakeholders dalam forum<br />

perkenalan berbeda dari perencanaan awal. Disepakati tiap desa diwakili 10 orang yang<br />

terdiri dari wakil pemerintah, BPD, tokoh adat, nelayan, petani, guru, pemuda, majelis<br />

taklim. Forum memberi mandat kepada 1 orang wakil tiap desa untuk mengorganisir peserta<br />

dan selanjutnya tim ini diberi nama Tim Kecil Pride. Anggota tim terdiri dari : La Wawa<br />

(wakilo desa Kapota), La Ode Muhqrimu (wakil desa Kapota Utara), La Manisi (wail desa<br />

Kabita Togo), Agus (wakil desa Kabita) dan La Harisi (wakil desa Kolo). Total peserta<br />

untuk workshop stakeholders kedua adalah 50 orang. Untuk meningkatkan pemahaman<br />

kampanye bangga dan melakukan analisis stakeholders dilakukan pelatihan tim kecil.<br />

2.2. Stakeholders Workshop<br />

Tujuan workshop memetakan permasalahan yang ada di kawasan target melalui<br />

konsep model. Walaupun secara umum masyarakat telah mengenal masalah di kampung<br />

mereka tetapi workshop membuat masalah tersebut dalam sistematika faktor-faktor<br />

yang mempengaruhi, mengenal hubungan sebab dan dampak masalah lebih terperinci. Hal<br />

ini sangat penting karena jika masyarakat tidak mampu mengidentifikasi bahwa masalah<br />

yang kita akan pecahkan adalah masalah mereka maka keterlibatan mereka dalam<br />

program akan kecil. Akhirnya, keberhasilan kampanye Pride untuk merubah perilaku<br />

masyarakat juga akan minimum. Workshop stakeholder (kedua) pada 20 November<br />

2008 berhasil membangun konsep model. Karena dibangun bersama mereka, maka<br />

konsep model mencerminkan pandangan mereka terhadap kawasan.<br />

2.3. Metode Survey<br />

Persiapan pre survey<br />

Survey dilakukan oleh 20 orang. Terbagi dalam dua tim. Tim survey pulau Kapota<br />

dilakukan 10 orang sukarelawan dari masyarakat 5 desa target terdiri dari ibu rumah<br />

tangga, aparat desa, guru, nelayan, petani dan pengrajin bambu. yang beragam Sedangkan<br />

tim survey pulau Wangi-Wangi dilakukan 12 relawan pemuda dari beberapa desa. Baik<br />

2


tim pulau Kapota maupun tim pulau Wangi-Wangi sebelum melakukan survey dilakukan<br />

persiapan yakni membahas bersama draf materi survey, pelatihan metodologi survey,<br />

menyusun time schedule. Pelatihan tim survey dilakukan di sekretariat pride pulau<br />

Kapota (rumah pak Wawan) dan di kantor TNC/WWF untuk tim survey pulau Wangi-<br />

Wangi.<br />

Survei adalah suatu metoda pengumpulan data kuantitatif yang digunakan untuk menguji<br />

ulang temuan-temuan yang diperoleh dari proses sebelumnya. Selain itu, survei ini juga dilakukan<br />

untuk mendapatkan data base line (awal) yang pada akhir program nanti dapat digunakan untuk<br />

mengukur keberhasilan. Survei ini mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat<br />

di area target yang ada di dua kecamatan di TN Wakatobi. Kedua kecamatan itu adalah<br />

Kecamatan Wangi-Wangi dan Kecamatan Wangi-Wangi Selatan.<br />

Karateristik responden adalah masyarakat dengan usia berkisar antara 15 – 64 tahun<br />

yang tinggal di sekitar kawasan TN Wakatobi yang bergantung langsung dan tidak langsung<br />

kepada kawasan. Sebagian besar masyarakat mendapatkan manfaat langsung maupun tidak<br />

langsung dari kawasan, setidaknya sumber daya perikanan disini yang menjadi tumpuan<br />

penghidupan mereka. Kondisi socio ekonomi masyarakat desa target adalah sebagai berikut:<br />

masyarakat yang pekerjaan utamanya nelayan, dengan tingkat pendidikan berada dalam taraf<br />

menengah ke bawah. Untuk kelompok kontrol dipilih Desa dengan karateristik masyarakat dan<br />

kondisi sosio ekonomi masyarakatnya memiliki kesamaan dengan masyarakat di area target.<br />

Jumlah sampel atau responden dihitung berdasarkan tingkat keyakinan (level of<br />

confident) 95% dengan interval kesalahan (confidence interval) 5%. Untuk jumlah responden per<br />

desa didapatkan dengan metoda sampling technique dengan proporsional per desa target. Dengan<br />

jumlah populasi sebanyak sekitar 45.768 maka didapatkan jumlah sampel sebanyak 381. Hasil<br />

survey diprosentasekan dalam workshop ketiga.<br />

Post survey<br />

Berbeda dengan pre survey, survey diakhir kampanye hanya dilakukan 5 orang<br />

pewawancara., 1 orang untuk survey di pulau Kapota, 4 orang untuk survey di pulau Wangi-<br />

Wangi. Perbedaan lain adalah tidak lagi dilakukan proses training karena palaksana survey adalah<br />

3


mereka yang terlibat menjalakan kampanye. Survey menggunakan pertanyaan yang sama dengan<br />

jumlah sampel 384 responden dilakukan selama 10 hari pada tanggal 30 Juli – 8 Agustus 2009.<br />

Tujuannya untukmengetahui tingkat perubahan yang ada pada masyarakat target. Untuk<br />

mengetahui dampak media yang digunakan selama kampanye terhadap peningkatan pengetahuan<br />

masyarakat target digunakan survey dengan lembar quisioner yang berbeda.<br />

2.4. FGD<br />

2.4.1 Latar Belakang<br />

Focus Group Discussion atau FGD adalah suatu metoda yang digunakan untuk<br />

mendapatkan kualitatif data mengenai suatu isu spesifik atau isu sensitif dari kelompok<br />

masyarakat tertentu yang akan dijadikan kelompok sasaran. Berbeda dengan interview biasa,<br />

FGD berpegangan kepada suatu struktur pertanyaan atau suatu kerangka isu yang dirancang<br />

dengan hati-hati. Tujuan umum dari sebuah FGD adalah mengumpulkan informasi untuk suatu<br />

topik tertentu dari kelompok spesifik dalam suatu forum informal dan suasana yang kondusif.<br />

Pada awalnya FGD dipakai sebagai perangkat dalam penelitian pasar (marketing tool) yang<br />

kemudian diadaptasikan untuk bidang-bidang yang lain termasuk dalam soical marketing.<br />

3.2. Pelaksanaan<br />

FGD dilakukan sebanyak 5 kali (1 kelompok perempuan, 3 kelompok nelayan dan 1<br />

kelompok tokoh masyarakat). Dalam membuat analisa FGD, pertama-tama ditentukan factorfaktor<br />

yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku. Faktor-faktor tersebut adalah:<br />

1. Manfaat-manfaat yang dirasakan (perceived benefits)<br />

Suatu perubahan perilaku terjadi jika kelompok sasaran (target audience) merasakan<br />

manfaat dari perubahan yang dilakukan tersebut. Misalnya masyarakat yang tinggal di TN<br />

Wakatobi mengerti manfaat dari upaya perlindungan kawasan terumbu karang yang ada di sini.<br />

2. Kerugian yang akan diterima atau kerentanan kepada suatu bencana<br />

Faktor ini juga dapat mendorong terjadinya suatu perubahan perilaku bagi suatu<br />

kelompok sasaran. Jika suatu kelompok masyarakat berpikir bahwa kerusakan terumbu karang<br />

dapat merusak kehidupan mereka, mereka akan mudah di dorong untuk merubah perilakunya.<br />

3. Faktor-faktor luar (external factors) yang mempengaruhi perubahan perilaku<br />

4


Kedua faktor di atas sebelumnya lebih dikatakan sebagai faktor internal, ada pula faktorfaktor<br />

external seperti kebijakan, ekonomi yang mempengaruhi perubahan perilaku. Perubahan<br />

perilaku tidak dapat terjadi misalnya jika ada kelompok lain yang memberi tekanan atau ancaman.<br />

Perubahan perilaku juga tidak akan terjadi jika ada suatu kebijakan yang justru kontraproduktif<br />

atau tidak memfasilitasi perubahan perilaku.<br />

3.3. Hasil FGD<br />

1. Manfaat kawasan dan dampak kerusakan terumbu karang<br />

Seperti umumnya masyarakat pesisir, ketergantungan mereka kepada sumberdaya laut sangat<br />

tinggi. Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah kondisi sumberdaya alam yang sudah rusak karena<br />

pola pemanfaatan yang tidak bijaksana terutama penggunaan alat tangkap yang merusak. Sebagian<br />

besar masyarakat sudah dapat mengkaitkan kerusakan terumbu karang dengan berkurangnya<br />

hasil tangkapan ikan mereka. Dari semua peserta diskusi, penggunaan bom, racun (istilah lokal:<br />

bius) dan pencungkilan karang muncul sebagai isu yang menyebabkan rusaknya terumbu karang.<br />

2. Faktor luar yang mempengaruhi (external factors)<br />

Adanya tekanan suatu kelompok masyarakat terhadap sekelompok masyarakat lainnya. Hal ini<br />

memberikan ketakutan kepada kelompok yang tertekan tadi sehingga membuat mereka<br />

membiarkan (ignorance) terjadinya perusakan terhadap terumbu karang.<br />

Lemahnya penegakan hukum (law enforcement), terutama oleh otoritas pengelola, yang<br />

menyebabkan masyarakat berpikir bahwa tidak ada gunanya mereka melindungi terumbu karang<br />

dan melaporkan segala bentuk pelanggaran. Lemahnya penegakkan hukum atau ketidak percayaan<br />

kepada sistem hukum ini yang memunculkan ketidakpedulian (ignorance).<br />

Hilangnya sistem tradisional pengelolaan sumberdaya alam (terutama hutan motika) yang pernah<br />

berlaku di masyarakat ini yang menyebabkan masyarakat tidak tahu lagi apa yang dilarang dan apa<br />

yang boleh dilakukan.<br />

2.3 Model Konsep Final<br />

5


Konsep model awal menggambarkan pemahaman satkeholders tentang kegiatan yang<br />

mereka ketahui merusak terumbu karang dan hutan adat di kawasan mereka (human induced<br />

activities). Faktor-faktor kerusakan sumber daya alam itu dilatar belakangi keserakahan dan<br />

kurangnya kesadaran. Motifnya ekonomi dan indikasi kurang pengetahuan. Penangkapan ikan<br />

dengan cara merusak seperti menggunakan bom dan racun ikan (potas), mencungkil batu karang<br />

untuk bahan bangunan dan membuang jangkar sembarangan di daerah terumbu karang adalah<br />

kegiatan yang langsung merusak ekosistem terumbu karang. Masyarakat sadar bahwa terumbu<br />

karang yang rusak mengakibatkan ikan hilang (hasil tangkapan menurun), hilangnya fungsi penahan<br />

gelombang dan tempat untuk budidaya rumput laut rusak.<br />

Masyarakat juga mengidentifikasi masalah yang muncul di kawasan hutan motika (hutan<br />

adat) mereka. Kegiatan seperti kebun berpindah-pindah, penebangan kayu ilegal, tebang tidak<br />

pilih dan pembakaran merupakan ancaman yang ada di sana. Dampak yang diterima pulau kecil itu<br />

adalah kehilangan sumber-sumber mata air, erosi, hasil hutan non kayu (aneka umbi hutan). Bagi<br />

komunitas adat Kapota kehilangan sumber daya hutan sama dengan kehilngan simbol-simbol<br />

kebanggaan komunal. Faktor langsung dalam konsep model menyebutkan kurangnya pengetahuan<br />

manfaat hutan, kurangnya kesadaran melindungi hutan dan motif ekonomi mendorong munculnya<br />

kegiatan perusakan kawasan hutan.<br />

Perusakan terumbu karang maupun hutan adat memilki kesamaan penyebab yakni<br />

rendahnya penegakkan hukum. Kenyataan ini membuat penggunaan alat tangkap yang merusak<br />

dan perusakan hutan berlanjut. Hilangnya kuasa pengaturan sumber daya oleh masyarakat adat<br />

dengan kearifan tradisinya menyebabkan kontrol masyarakat atas sumber daya laut mapun hutan<br />

melemah. Gambar berikut menggambarkan konsep model yang telah direvisi.<br />

6


Motif ekonomi<br />

Bom ikan<br />

Racun ikan<br />

Kearifan tradisional<br />

Pengetahuan fungsi<br />

terumbu karang / hutan<br />

Cungkil karang<br />

Terumbu Karang<br />

Buang jangkar<br />

Sistem pengawasan /<br />

patroli<br />

Kesadaran melindungi<br />

terumbu karang / hutan<br />

Ladang berpindah<br />

Lemahnya penegakkan<br />

hukum<br />

Pembakaran<br />

Hutan Motika<br />

Tenaga / kelompok<br />

pelindung<br />

Penebangan<br />

Memori kolektif masyarakat melihat penggunaan bom ikan sebagai penyebab rusaknya terumbu<br />

karang. Demikian juga dengan penggunaan racun atau potasisum cianida. Pencungkilan karang<br />

dan kebiasaan nelayan membuang jangkar tampa memperhitungkan apakah mengenai kawasan<br />

karang atau tidak dianggap masyarakat sebagai faktor langsung kerusakan terumbu karang.<br />

Pencungkilan karang di pesisir selatan pulau Kapota atau pantai Usuno sebenarnya tidak<br />

dilakukan oleh warga pulau Kapota tetapi oleh warga dari 5 desa Bajo yang bermukim di pesisir<br />

barat pulau Wangi-Wangi. Itulah sebabnya sistem pengawasan atau patroli direkomendasikan<br />

stakeholders sebagai faktor yang dapat mempengaruhi ancaman. Faktor pengawasan atau patroli<br />

yang kurang dan faktor kearifan tradisional yang kurang mendapat pengakuan sebagai intrumen<br />

kawasan secara langsung menjadi indikator lemahnya penegakan hukum dalam kawasan.<br />

7


BAB III MASKOT (FLAGSSHIP SPECIES)<br />

Gurita dipilih menjadi maskot kampanye bangga karena hewan ini mewakili<br />

integrasi pelestarian alam dan pemanfaatan berlanjut. Disamping sebagai bahan makanan<br />

yang dikenal luas masyarakat Wakatobi, gurita memiliki nilai ekonomi tinggi dan<br />

hidupnya bergantung pada terumbu karang yang sehat. Gurita juga memiliki ikatan<br />

kultural dengan orang Kapota. Masyarakat Wangi-Wangi non Kapota memanggil orang<br />

Kapota sebagai koropunda, sapaan khas tanda bersahabat bila bertemu. Koropunda adalah<br />

nama lokal yang hanya dipakai dipulau Kapota untuk hewan gurita. Jadi pemilihan gurita<br />

sebagai maskot kampanye setidaknya karena pertimbangan hewan tersebut dikenal luas,<br />

bahan makanan, benilai ekonomi, ekologi, dan relasi sosial budaya dengan masyarakat<br />

lokasi target.<br />

Dalam bahasa lokal Wakatobi gurita disebut simbuku, solo-solo dan koropunda.<br />

Diantara 100 desa dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) hanya masyarakat<br />

Kapota menyebut gurita sebagai koropunda atau koro-koropunda untuk jenis gurita kecil<br />

yang ditemukan mengasuh di padang lamun dan pasir dasar laut. Sedangkan desa-desa<br />

lainnya menyebut gurita sebagai simbuku untuk gurita dewasa dan solo-solo untuk gurita<br />

kecil atau anak gurita.<br />

Sejak dulu masyarakat Wangi-Wangi mengenal pulau Kapota dengan beberapa<br />

ciri khas seperti buah kenari, dinding bambu atau jela, opi, dan gurita. Keempatnya<br />

merupakan mata dagangan tradisional penduduk pulau Kapota. Kenari dijual dalam<br />

takaran kulu-kulu. Nama ini sebenarnya alat tangkap ikan berupa bubu kecil dengan lubang<br />

bundar diatasnya, berukuran sekitar 40x40 cm, berbentuk mirip bantal segi empat<br />

dimana runcing pada semua sudut dan cembung makin ketengah. Dinding bambu atau<br />

jelah juga khas Kapota karena di desa-desa Wakatobi lain tidak diproduksi. Sementara opi<br />

yang populer disebut opi kapota adalah lempengan padat ubi kayu parut, dibungkus dalam<br />

karung palstik, dibentuk membundar atau segi empat dengan volume 20x20x10 cm lalu<br />

dijepit diantara dua bilah papan agar santannya terperas. Padatan ubi parut ini merupakan<br />

bahan makanan lokal kasoami. Bahan makanan kasoami dibuat dari lempengan ubi setelah<br />

6 – 12 jam menjadi bahan padat. Untuk menjadi makanan, padatan ubi parut jepit


tersebut mula-mula sihancurkan dan diayak sampai halus. Hasil ayakan menyerupai<br />

tepung tersebut dikukus seperti nasi tumpeng. Setelah masak disebut kasoami, makanan<br />

pokok setara dengan fungsi nasi yang menjadi pasangan lauk lainnya.<br />

Gurita biasanya dijual ke pasar Wangi-Wangi dalam bentuk gurita kering atau<br />

segar. Perairan pesisir pulau Kapota memang memiliki populasi gurita melimpah. Kondisi<br />

dasar laut berupa hamparan pasir, padang lamun membentuk dataran luas sekitar 800 –<br />

1000 meter dari bibir pantai dengan terumbu karang tepi yang membatasi dengan<br />

perairan laut dalam merupakan lapangan luas favorit tempat asupan hewan gurita. Pada<br />

kondisi laut surut seluruh padang lamun dan pasir dasar akan mengering sampai karang<br />

tepi, dan pada kondisi pasang akan terisi air sampai ke pantai. Alur pasang surut-surut<br />

membawa nutrien melimpah pada area pasir dan lamun secara kontinyu menyebabkan<br />

gurita menjadikan pesisir Kapota sebagai habitat hidupnya.<br />

Diduga karena masyarakat Kapota secara monoton memperkenalkan gurita<br />

sebagai dagangan di pasar tradisional Wangi-Wangi dengan nama berbeda dari desa-desa<br />

lainnya maka orang Kapota dipanggil dengan julukan koropunda. Berbagai hal yang<br />

menciptakan kelekatan gurita dengan masyarakat Kapota juga dapat dilihat dari masak<br />

tumis gurita segar berbumbu daun kedondong hutan yang menjadi sajian kerap kali orang<br />

berkunjung ke Kapota. Memang dalam tradisi penduduk pulau Wangi-Wangi (termasuk<br />

Kapota) rentetan kalimat pertama untuk menyambut keluarga atau orang yang bertamu<br />

ke rumah adalah mengajaknya naik ke dalam rumah untuk makan. Perlu diperhatikan<br />

bahwa ajakan masuk dalam rumah umumnya di Wakatobi menggunakan kata naik bukan<br />

kata masuk karena pada awalnya rumah-rumah penduduk terdiri dari rumah panggung.<br />

Dengan demikian masuk ke dalam rumah harus dengan cara naik tangga. Demikian juga<br />

di Kapota. Tradisi menyajikan teh atau kopi dan kue-kuean tidak di kenal dalam<br />

masyarakat tradisional Wakatobi, yang ada adalah ajakan untuk makan di rumah.<br />

Gurita ditangkap pada siang hari dan pada malam hari. Penangkapan gurita pada<br />

siang hari pada wilayah pesisir umumnya dilakukan para perempuan (ibu rumah tangga)<br />

menggunakan alat pengait yang dalam bahasa lokal disebut kai-kai. Alat tangkap<br />

tradisional kai-kai terbuat dari kawat besi berukuran panjang 30 – 75 cm,, melengkung<br />

dan runcing pada bagian ujung, memiliki gagang kayu, berfungsi untuk menusuk dan


mengait gurita dalam lubang karang. Penangkapan gurita juga dilakukan dengan tangan<br />

kosong untuk gurita yang ditemukan bermain di area pasir dan padang lamun.<br />

Foto : alat tangkap kai-kai<br />

Tradisi menangkap gurita, ikan dll pada saat pasang surut dalam bahasa lokal<br />

disebut tunga-tunga. Lima tahun terakhir ini hasil tunga berbeda dibanding pengalaman<br />

mereka sepuluh tahun sebelumnya. Jumlah tangkapan dan ukuran gurita mengalami<br />

penurunan. Perusakan terumbu karang termasuk penggalian batu karang dibawah pasir<br />

dan padang lamun berangsur-angsur menyempitkan ruang hidup gurita. Sementara disaat<br />

yang sama kebutuhan pasar gurita semakin tinggi dan kecilnya resiko panen menarik<br />

banyak minat masyarakat untuk menangkap gurita. Nelayan pencari gurita bukan hanya<br />

masyarakat lokal Wakatobi. Nelayan dari pulau Menui Sulawesi Tengah dengan peralatan<br />

tangkap seperti linggis, gancu didukung armada-armada kapal yang memungkinkan<br />

mobilitas tinggi merambah seluruh perairan Wakatobi. Alat tangkap seperti linggis dan<br />

gancu digunakan untuk mencungkil karang-karang tempatt gurita bersembunyi. Terumbu<br />

karang hancur, rumah gurita banyak yang rusak. Seorang nelayan Kapota, La Muis, 45<br />

tahun, menjelaskan penangkapan dengan alat bantu linggis sangat merusak terumbu<br />

karang. Padahal berdasarkan pengetahuan empiris mereka menunjukkan bahwa lubang<br />

tempat persembunyian gurita pada permukaan terumbu karang akan dihuni gurita baru<br />

dalam jangka waktu 2-3 hari setelah penangkapan gurita yang pertama. Proses pengisian<br />

rumah gurita bergantian ini dapat terjadi terus-menerus pada lubang karang yang sama


jika penangkapan gurita dilakukan tanpa menimbulkan kerusakan pada permukaan karang.<br />

Peralatan tradisional kai-kai selama turun temurun telah digunakan terbukti mampu<br />

mempertahankan kondisi fisik karang. Peralatan tradisional ini hanya mengenai tubuh<br />

gurita, tidak memecahkan dinding dan permukaan karang sarang gurita. Lain halnya jika<br />

penangkapan gurita dilakukan dengan linggis, gurita baru calon penghuni sarang tidak<br />

akan pernah menggunakan sarang yang telah menampakkan tanda-tanda kerusakan fisik<br />

akibat penggunaan alat linggis tersebut.<br />

Ada perbedaan cara memasarkan gurita antara nelayan lokal dan nelayan dari luar<br />

kawasan. Jika hasil tangkapan nelayan lokal dikumpulkan oleh pengepul yang mendatangi<br />

rumah nelayan atau nelayan sendiri yang mengantar ke tempat penimbangan, tidak<br />

demikian dengan hasil tangkapan nelayan luar kawasan. Nelayan luar kawasan bergerak<br />

secara berkelompok dalam armada kapal kecil bersisi 2 – 4 orang nelayan. Kapal-kapal<br />

tersebut dimodali para juragan yang menampung hasil tangkapan. Antara nelayan lokal<br />

yang bergerak mencari gurita secara individu dan nelayan luar kawasan yang bergerak<br />

secara group dalam armada kapal jelas memiliki motivasi menangkap yang berbeda.<br />

Selain motivasi mendapatkan hasil banyak, nelayan luar kawasan yang dimodali juraganjuragan<br />

terbebani capaian kuota tangkapan untuk menutupi utang modal. Waktu yang<br />

dibutuhkan nelayan luar untuk melakukan penangkapan juga lebih lama, 2 – 3 hari satu<br />

kali melaut karena dalam kapal-kapal mereka tersedia ruangan penampungan, persiapan<br />

es balok sebagai pengawet dan stok bahan makanan.<br />

Gurita termasuk kedalam hewan tidak bertulang belakang, dalam kelompok yang<br />

sama dengan siput, tiram dan abalon. Satwa yang termasuk cerdas ini cenderung memiliki<br />

ukuran yang kecil di perarian yang hangat dan berukuran lebih besar di perairan dingin.<br />

Cephalopoda adalah sub species satwa ini yang arti harfiahnya adalah kaki ke kepala;<br />

menggambarkan delapan kaki gurita yang tumbuh di kepalanya. Satwa yang makanan<br />

utamanya adalah udang-udangan atau satwa kecil lainnya ini memiliki usia hidup 3-4<br />

tahun. Gurita memiliki banyak teknik untuk menghidar dari atau menakuti penyerangnya.<br />

Satwa ini dapat menyamarkan warna tubuhnya dengan lingkungan. Menggunakan sel<br />

warna (pigmen) dan otot khusus di kulitnya gurita dapat secara cepat merubah tekstur<br />

dan pola warna tubuhnya sehingga predator seperti ikan hiu, belut laut dan lumba-lumba


tidak dapat mengenalinya. Bahkan ketika penyerang dapat mengenalinya, gurita akan<br />

mengeluarkan tinta hitam untuk menghalangi penglihatan penyerangnya sehingga gurita<br />

memiliki waktu untuk lari menjauh. Gurita juga dapat berenang dengan cepat dengan cara<br />

mendorong air melalui mulut yang terletak dibawah kepalanya dan menggerakkan<br />

seluruh tangannya. Tubuhnya yang lembut (tidak bertulang keras) memudahkannya untuk<br />

menyelinap atau masuk ke dalam celah yang sempit atau sudut karang. Akhirnya, kalau<br />

semua mekanisme pertahanan ini gagal, gurita akan memutuskan tangannya yang di<br />

kemudian hari dapat tumbuh lagi (seperti mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh<br />

cicak dengan memutuskan ekornya).<br />

Gurita atau octopus ditemukan dalam 289 spesies dengan klasifikasi ilmiah sebagai<br />

berikut :<br />

Kerajaan<br />

Filum<br />

Kelas<br />

Subkelas<br />

Superordo<br />

Ordo<br />

: Animalia<br />

: Moluska<br />

: Cephalopoda<br />

: Coleoidea<br />

: Octopodiformes<br />

: Octopoda<br />

TNW tidak menargetkan hewan ini sebagai target konservasi. Spesies ini juga<br />

tidak termasuk kategori spesies yang dilindungi undang-undang. Tetapi terumbu karang


sebagai habitat gurita merupakan target konservasi. Gurita terpilih sebagai flegspesies<br />

karena merupakan spesies yang menjembatani isu konservasi, yaitu relasi antara<br />

pelestarian, pemanfaatan dan sosial budaya masyarakat Kapota.


BAB VI MATERI, SALURAN KOMUNIKASI DAN KEGIATAN-KEGIATAN<br />

KAMPANYE PRIDE<br />

1. Workshop perencanaan materi dan kegiatan kampanye<br />

Hasil survey diprosentasekan dalam workshop stakeholders kunci yang ketiga.<br />

Rekomendasi workshop adalah pembentukan tim perencana kegiatan yang akan bekerja<br />

menjabarkan hasil konsep model, FGD, Survey dalam bentuk kegiatan dan materi kampanye. Tim<br />

perencana terdiri dari perwakilan desa masing-masing dua orang tiap desa dengan kriteria<br />

anggota tim survey adalah warga masyarakat yang belum terlibat pada FGD maupun survey.<br />

Workshop perencanaan berlangsung dua kali. Pertama berlangsun tanggal 14 Februari di rumah<br />

pak Agus desa Kabita, diikuti 10 anggota tim perencana dan 5 anggota tim kecil pride. Workshop<br />

kedua berlangsung tanggal 16 Februari di rumah mertua pak Haris desa Kolo diikuti 10 tim<br />

perencana dan 4 anggota tim kecil prider.<br />

Foto : Perencanaan Kegiatan tahap I oleh Tim Perencana


Foto : Tim Perencanaan Kegiatan Tahap II menuju desa Kolo tempat diksusi tahap II<br />

2. Pleno Rencana Kegiatan dan Pembentukan Tim Kerja<br />

Hasil-hasil perencanaan diprosentasekan dalam pertemuan stakeholders tanggal 8<br />

Maret 2008 di SMP Negeri Kapota. Pertemuan ini menghasilkan dua rekomendasi yakni<br />

butir-butir rencana kegiatan kampanye dan tim kerja yang akan mengorganisir setiap<br />

kegiatan kampanye yang terbagai menjadi :<br />

- Tim guru berjumlah 10 orang sebagai panitia yang akan melaksanakan kegiatankegiatan<br />

yang berhubungan dengan kegiatan sekolah. Anggota tim guru berasal<br />

dari SD, SMP se Kapota.<br />

- Tim kerja sepak bola dan penjahit berjumlah 4 orang tiap desa bertugas<br />

mengorganisir kegiatan sepak bola, pembuatan bilboard sebagai pagar stadion.<br />

Khsusus tim penjahit beranggota ibu-ibu yang memiliki keterampilan menjahit,<br />

bertugas merancang dan menjahit mascot gurita.<br />

- Tim Tani dan Nelayan mengorganisir kegiatan pelatihan untuk nelayan, tim kerja<br />

petani mengorganisir pemetaan, penanaman pohon (bersama pemerintah desa).<br />

- Tim kerja pemerintah desa (pemdes, BPD), tokoh masyarakat (tokoh adat,<br />

agama) bertugas mengorgansisir pelatihan perdes, pertemuan desa, kegiatan<br />

kebudayaan dll.<br />

- Tim kerja seniman kampung mengorganisir kegiatan kesenian pemuda, dll.<br />

- Tim kerja Media berjumlah 15 orang bertugas mengorganisir perancangan media,<br />

pre test media dan distribusi media.<br />

- Tim kerja ibu-ibu (PKK, majelis taklim, pengrajin) bertugas mengorganisir<br />

partisipasi perempuan.


Foto : Suasana Pleno Hasil Perencanaan<br />

A. Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah :<br />

No Materi/kegiatan<br />

1<br />

Kejuaraan sepak<br />

bola pelestarian<br />

alam<br />

Target<br />

Audiens<br />

masyarakat<br />

luas<br />

Jumlah/Freqwensi<br />

Dihadiri 4 tim juara tiap<br />

kecamatan pada<br />

kejuaraan 17 Agustusan<br />

ditambah 1 tim tuan<br />

rumah pulau Kapota<br />

selection.<br />

foto<br />

2 Pemutaran film<br />

anak-anak<br />

dan<br />

masyarakat<br />

umum<br />

Berlangsung 4 kali malam<br />

hari diKapota, 4 kali siang<br />

hari, 2 kali di desa Kolo.<br />

3 poster<br />

masyarakat<br />

luas<br />

Produksi 2000 lembar.


4 fact sheet<br />

masyarakat<br />

luas<br />

Produksi 2000 lembar.<br />

5 kostum maskot<br />

masyarakat<br />

luas, anak<br />

sekolah<br />

ditampilkan setiap ivent<br />

masal dan sekolah.<br />

6<br />

T-shirt<br />

bergambar gurita<br />

kelompokkelompok<br />

kerja, tim<br />

TNC/WWF<br />

Wakatobi<br />

dan panitia<br />

bola<br />

Prosuksi 250 lembar<br />

dalam 3 versi.<br />

7<br />

Pemetaan<br />

partisipatif<br />

petani,<br />

aparat desa<br />

Kegiatan dilakukan 2 kali.<br />

Dimulai dengan pelatihan<br />

tim pemetaan untuk<br />

perwakilan masing-masing<br />

desa 2 orang


8 Diskusi serial<br />

pemdes,<br />

tokoh<br />

masyarakat,<br />

kelompok<br />

perempuan<br />

Berlangsung tiap minggu<br />

bergilir pada 5 desa.<br />

Diorganisir 5 orang<br />

anggota tim kecil pride.<br />

9<br />

Pertunjukan seni<br />

lomba lagu<br />

dangdut<br />

kelompok<br />

pemuda<br />

karang<br />

taruna,<br />

masyarakat<br />

umum<br />

Dilaksanakan 1 kali.<br />

10<br />

Pesantren<br />

Ramadhan<br />

siswa SMU,<br />

SMP, SD<br />

Dilaksanakan di 4 SD, 1<br />

SMP 1 Atap Kolo, 1 SMP<br />

Kapota, 1 SMA.<br />

11 Pelatihan selam<br />

kelompok<br />

pemuda,<br />

nelayan<br />

Dilaksanakan 1 kali dikuti<br />

4 orang<br />

12<br />

Cerdas cermat,<br />

pengisian soal dan<br />

analisis media<br />

siswa SMU,<br />

SMP, SD<br />

Cerdas cermat 1 kali<br />

diikuti 4 SD se pulau<br />

Kapota. Kegiatan yakni<br />

pengisian soal dan analisis<br />

media diikuti murid SD<br />

dan siswa SMP se Kapota.


13<br />

Lomba sekolah<br />

indah<br />

4 SD se<br />

pulau<br />

Kapota<br />

Dilaksanakan 1 bulan dan<br />

penilaian serempak 1<br />

hari.<br />

14<br />

Pelatihan bahan<br />

bakar briket<br />

arang dari sampah<br />

laut<br />

ibu rumah<br />

tangga<br />

Dilaksanakan pada 5 kali<br />

pada 5 desa.<br />

15<br />

Pelatihan<br />

pembuatan<br />

peraturan desa<br />

partisipatif<br />

kepala desa,<br />

anggota<br />

BPD<br />

Pelatihan berlangsung 1<br />

kali.<br />

16<br />

Partisipasi dalam<br />

Festival budaya<br />

masyarakat<br />

luar desa<br />

target<br />

1 kali mengikuti festival<br />

tingkat kabupaten<br />

17<br />

Kampanye pride<br />

dalam kegiatan<br />

gerak jalan 17<br />

agustus 2008<br />

masyarakat<br />

luar desa<br />

target dan<br />

masyarakat<br />

kapota<br />

Peserta gerak jalan dari<br />

pulau Kapota 15 grup. SD<br />

7 grup, SMP 2 grup, SMA<br />

2 grup, Majelis Ta'lim 4<br />

grup.


18<br />

Peringatan hari<br />

bumi bersama<br />

stakeholdesr<br />

lainnya dan<br />

penanaman bakau<br />

masyarakat<br />

luas<br />

Total peserta sekita 2000<br />

orang. Dilaksanakan 1 kali<br />

19<br />

Workshop<br />

Moratorium<br />

penambangan<br />

terumbu karang<br />

masyarakat<br />

umum,<br />

penambang<br />

karang,<br />

pemerintah<br />

desa 13<br />

desa<br />

Berlangsung 2 kali.<br />

20<br />

Workshop hutan<br />

adat dan<br />

penanaman<br />

pohon<br />

pemerintah<br />

desa dan<br />

tokoh adat<br />

Workshop 1 kali, peserta<br />

25 orang.<br />

21 Pelatihan MPA<br />

nelayan,<br />

aparat desa<br />

1 kali peserta 25 orang.<br />

B. Kegiatan Yang direncanakan tetapi tidak dilaksanakan :<br />

No Materi/kegiatan Taraget Audiens Keterangan<br />

1<br />

Map bergambar<br />

maskot dan pesan<br />

kampanye<br />

Anak sekolah, guru,<br />

perangkat desa<br />

Percetakan tidak tersedia bahkan<br />

diibukota propinsi Kendari.<br />

Materi yang sama biasanya<br />

dipesan di pulau Jawa atau<br />

Makassar tetapi belajar dari<br />

pengalaman memesan poster<br />

memakan waktu lama


2 Tas sekolah<br />

3<br />

4<br />

5<br />

Buku tulis plus cerita<br />

konservasi<br />

bergambar<br />

Pin maskot dan<br />

semboyan kampanye<br />

Ceramah dan buka<br />

puasa bersama<br />

murid SD dan siswa<br />

SMP, SMA<br />

murid SD dan siswa<br />

SMP<br />

Guru, siswa, pemuda<br />

Masyarakat umum<br />

dan majelis ta'lim<br />

6 Kegiatan sekolah guru dan siswa<br />

7<br />

Festival budaya<br />

Wakatobi<br />

8 seri diskusi perdes<br />

9<br />

Lomba lingkungan<br />

sehat<br />

masyarakat umum<br />

tokoh masyarakat,<br />

pemerintah desa,<br />

BPD<br />

Ibu rumah tangga,<br />

masyarakat umum di<br />

pulau Kapota<br />

Percetakan tidak tersedia bahkan<br />

diibukota propinsi Kendari.<br />

Materi yang sama biasanya<br />

dipesan di pulau Jawa atau<br />

Makassar tetapi belajar dari<br />

pengalaman memesan poster<br />

memakan waktu lama<br />

Percetakan tidak tersedia bahkan<br />

diibukota propinsi Kendari.<br />

Materi yang sama biasanya<br />

dipesan di pulau Jawa atau<br />

Makassar tetapi belajar dari<br />

pengalaman memesan poster<br />

memakan waktu lama<br />

Percetakan tidak tersedia bahkan<br />

diibukota propinsi Kendari.<br />

Materi yang sama biasanya<br />

dipesan di pulau Jawa atau<br />

Makassar tetapi belajar dari<br />

pengalaman memesan poster<br />

memakan waktu lama<br />

Tidak terorganisir. Kebiasaan<br />

ceramah sehabis magrib tidak<br />

pernah terjadi di desa. Kegiatan<br />

direschedule ke jadwal ceramah<br />

regular Ramadhan tetapi<br />

pebceramah selalu datang dari<br />

ibukota Kabupaten dan tidak<br />

dapat diorganisir lagi.<br />

Digabung kedalam cerdas<br />

cermat, pesantrean Ramadhan,<br />

dan lomba sekolah indah<br />

Tidak dilaksanakan sendiri<br />

karena pemerintah kabupaten<br />

juga menyealenggarakan kegiatan<br />

yang sama dan diikuti warga se<br />

Wakatobi. Kampanye dilakukan<br />

diajang yang dibuat pemda ini<br />

Inklud dalam kegiatan setial<br />

diskusi kampung dan diskusi<br />

paska pelatihan perdes.<br />

Pemerintah kabupaten<br />

menyelenggarakan lomba desa<br />

serempak se Wakatobi, jadi<br />

gagasan-gagasan kebersihan<br />

lingkungan diikutkan dalam


persiapan desa-desa<br />

menyongsong lomba desa.<br />

10<br />

11<br />

Pekan penanaman<br />

pohon<br />

Pelatihan budidaya<br />

laut, perikanan<br />

tangkap dan<br />

pengolahan hasil laut.<br />

petani sekitar hutan<br />

dan pemerintah desa<br />

Kelompok kerja<br />

nelayan<br />

Penanaman menunggu musim<br />

hujan bulan Desember. Bibit,<br />

lahan sudah ada. Kesepakatan<br />

penyerahan kebun-kebun sudah<br />

ada (lihat aktivitas yang<br />

dilaksanakan)<br />

Pelatihan ini terkategori<br />

pelatihan keterampilan dan<br />

pemateri tidak tersedia di<br />

Wakatobi maupun ibukota<br />

propinsi. Usaha untuk<br />

mendatangkan nara sumber dari<br />

luar propinsi terhalang cutting<br />

budget.<br />

C. Deskripsi Kegiatan Yang Dilaksanakan<br />

1. Kejuaraan Sepak Bola Pelestarian Alam<br />

Gagasan ini dihasilkan dalam workshop perencanaan dan disahkan dalam pleno<br />

yang diikuti semua stakeholders yang menghasilkan konsep model. Kegiatan sepak<br />

bola merupakan pilihan terbanyak jenis kegiatan yang digemari masyarakat<br />

berdasarkan survey. Kejuaraan direncanakan mempertemukan kesebelasankesebelasan<br />

8 juara kecamatan hasil kejuaraan 17 Agustus ditambah 1 kesebelasan<br />

tuan rumah pulau Kapota yang merupakan hasil seleksi pemain terbaik dari 5 desa.<br />

Lapangan tempat pelaksanaan kejuaraan dipagari dinding bambu menyerupai<br />

bilboard lapangan profesional dengan tulisan ajakan melestarikan sumber air, ikan dll<br />

yang dibuat oleh sekumpulan tim kerja seniman desa dipimpin Pak Bante.<br />

Pembelajaran penting dalam kegiatan ini adalah pelaksanaan tanggal 19 – 28<br />

Agustus ternyata merupakan puncak musim timur sehingga peserta dari pulau Tomia<br />

(2 kecamatan) dan pulau Binongko (2 kecamatan) terpaksa tidak dapat mengikuti<br />

kejuaraan.<br />

2. Pemutaran film<br />

Berlangsung setiap malam ketika kejuaraan bola berlangsung. Setelah pemutaran<br />

film hari kedua yakni desa Kapota Utara dan desa Kabita, pemutaran dihentikan<br />

sementara karena ada warga desa yang meninggal dunia dan harus menunggu sampai<br />

lewat hari ketujuh orang yang meninggal tersebut baru pemutaran film dilakukan lagi.<br />

Ternyata ketika tiba giliran pemutaran film untuk desa Kolo bertepatan dengan<br />

malam pertama 1 Ramadhan. Oleh karenannya pemutaran film di desa tersebut baru<br />

dapat dilaksanakan pada malam 13 puasa. Film-film yang tayangkan diawali dengan film


yang berisi rekaman kegiatan gerak jalam yang diikuti anak sekolah dan majelis taklim<br />

pada moment 17 Agustus di Kabupaten. Setelah fil tersebut dilanjtkan dengan filmfilm<br />

tentang keindahan terumbu karang Wakatobi dan dampak perusakan terumbu<br />

karang. Pembelajaran dari kegiatan ini, masyarakat sangat antusias menyaksikan film<br />

yang menampilkan wajah-wajah mereka atau bagian-bagaian kampung mereka.<br />

Pembelajaran penting adalah pemutaran film yang kelihatannya sederhana tetap<br />

harus menyesuaiakan dengan penghormatan atas tradisi tidak dapat membuat<br />

keramaian ketika ada warga yang meninggal dunia. Di desa seorang warga<br />

meninggalpun merupakan duka seluruh desa.<br />

Sebelum pemutaran film yang mengikuti jadwal kegiatan sepak bola, pada<br />

tempat-tempat yang terbatas dilakukan pemutaran film melalui laptop. Kegiatan<br />

seperti ini berlangsung siang hari, disamping listrik tidak menyala siang hari juga dapat<br />

menjangkau target pada kelompok-kelompok terkecil. Film yang disajikan beragam<br />

bahkan fil-film umum yang tidak berhubungan dengan isu lingkungan seperti film Ayat-<br />

Ayat Cinta. Pemutaran film melalui laptop mpada siang hari biasanya dilakukan untuk<br />

mengawali diksusi dengan isu-isu lingkungan kampung.<br />

3. Poster<br />

Pre test poster dilakukan dua kali. Hasil pre test pertama setelah didiskusikan<br />

dengan mas Hary dari RARE mendapat masukan untuk mengganti gambar maskot gurita<br />

dengan foto yang lebih terang dan mencolok. Hasil konsultasi ini kemudian dilakukan lagi<br />

pre test sampai menghasilkan draf yang disepakati. Pre test dilakukan tim kerja media<br />

kampanye pride yang terdiri dari wakil-wakil warga 2 orang tiap desa.<br />

Materi yang disepakati kemudian diserahkan kepada kami (manager kampanye)<br />

untuk dicetak. Poster akhirnya dicetak 2000 lembar di Malang Jawa Timur atas bantuan<br />

Magianto (manager kampanye pride Bromo Tengger). Distribusi poster dilakukan pada<br />

saat kejuaraan sepak bola, anak sekolah, rumah penduduk sebanyak 1500 lembar. Poster<br />

yang diframe kaca menjadi hadiah kejuaraan sepak bola, didistribusi ke kantor-kantor<br />

pemerintah Wakatobi, hadiah lomba sekolah indah dan menjadi pajangan dalam iventivent<br />

yang diikuti tim kampanye pride seperti festival budaya. Sisa yang tidak<br />

terdistritribusi selalu dipakai sebagai pemberian bagi tamu-tamu kantor TNC/WWF<br />

Wakatobi dan didistribusi stand pemerintah daerah dalam pameran pembangunan<br />

ditingkat propinsi.<br />

4. Fact sheet<br />

Proses pretest fact sheet lebih cepat dari poster. Metode pelaksanaan pretest<br />

sama yakni contoh materi diprint dan disebarkan dalam map yang berisi kertas<br />

masukan. Proses cetak dan distribusi factsheet juga bersamaan dengan poster.<br />

Fact sheet merupakan alat kampanye yang paling sering didistribusikan (berulangulang)<br />

dalam banyakm moment.<br />

5. Kostum maskot<br />

Kaos maskot dijahit 5 orang ibu rumah tangga yang tergabung dalam kelompok<br />

kerja sepak bola. Penggunaan maskot pertama kali dilakukan dalam pembukaan


kampanye pride di pelabuhan Kapota. Setelah itu semua ivent pride maskot kerap<br />

muncul dan selalu diikuti anak-anak. Tokoh dalam maskot gurita adalah Saharudin<br />

(fasilitator masyarakat pada program regular TNC/WWF Wakatobi). Ketika<br />

maskot muncul bukan hanya sekedar berjalan dan bermain-main tetapi juga<br />

diiringi lagu singkat ”ambil ikannya tinggalkan karangnya,” yang diikuti audiens lain.<br />

Maskot gurita juga dalam ivent lain oleh kelompok-kelompok seni di desa luar<br />

lokasi pride, dipakai dalam pawai peringatan HUT RI tahun 2009 oleh Coremap<br />

Wakatobi di ibukota kabupaten.<br />

6. T-shirt bergambar gurita<br />

Atribut pertama kampanye yang diluncurkan pada khalayak. Pertama dicetak 24<br />

lembar dengan tulisan ”Kampanye Bangga Melestarikan Alam” dan gambar gurita.<br />

Baju ini terdistribusi kepada 5 anggota tim kecil pride, 5 kepala desa di lokasi<br />

pride, 10 anggota tim survey dan tim outreach TNC/WWF Wakatobi,<br />

diluncurkan bulan Desember 2007.<br />

Edisi kedua bertuliskan ”Kampanye Bangga Melestarikan Alam – Manfaatkan<br />

tanpa Merusak” di bawah gambar gurita. Edisi dua tercetak 200 lembar,<br />

didistribusi kepada semua tim kerja pride (tim guru, media, dll), diluncurkan pada<br />

saat pembukaan kampanye oleh Wakil Bupati Wakatobi. Rombongan Wakil<br />

Bupati, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Anggota DPRD dari pulau Kapota,<br />

Camat Wangi-Wangi Selatan serta beberapa anggota pengamanan dan protokoler<br />

pemda turut memakai baju ”gurita” ketika pembukaan kampanye, diluncurkan<br />

tanggal 16 April 2008. Dan edisi ketiga bertulis ”Karang Kapota Cup” di atas<br />

gambar gurita tercetak 50 lembar dan didistribusikan untuk panitia kejuaraan<br />

sepak bola, diluncurkan tanggal 19 Agustus 2008.<br />

Pembelajaran penting dengan baju kaos ini adalah warga masyarakat yang tidak<br />

mendapatkan baju hampir saja memposisikan diri sebagai bagian lain dari<br />

kampanye, merasa bukan bagian dari kegiatan karena tidak mendapat baju.<br />

7. Pemetaan Partsisipatif<br />

Kegiatan pemetaan merupakan kegiatan yang memakan waktu lama dibanding<br />

kegiatan lainnya. Disamping itu kegiatan ini berurutan, artinya kegiatan yang<br />

pertama dikerjakan metupakan bahan untuk kegiatan lanjutan.<br />

Kegiatan pemetaan dimulai dengan pelatihan tim yang terdiri dari utusan desa<br />

masing-masing diwakili 2 orang ditambah anggota tim kecil pride. Pelatihan<br />

berlangsung di ruang kelas SDN 1 Kapota pada tanggal 9 – 11 April 2008.<br />

Kegiatan pelatihan dilanjutkan dengan pembuatan sketsa desa dan pulau. Hasil<br />

sketsa desa dan pulau kemudian diputar dalam kampung untuk mendapat<br />

masukan. Kemudian tahap berikutnya adalah pengambilan titik koordinat atas<br />

obyek-obyek yang tertuang dalam sketsa awal. Pemetaan titik berlangsung 1<br />

bulan, dari tanggal 16 Februari 2009 – 16 Maret 2009. Tim pengambilan titik<br />

beranggotakan perwakilan desa dan tim kecil pride. Tim terbagi menjadi dua tim<br />

yakni tim logistik dan tim peta. Tim logistik bertugas mengantar bahan makanan<br />

jadi setiap jam makan dengan panduan radio handy talky yang masing-masing<br />

dipegang kedua belah pihak. Pemetaan dimulai setiap pagi jam 06.00 sampai 16.00


wita. Pada hari-hari yang disepakati tim istirahat untuk menjalani aktivitas utama<br />

sebagai petani dan nelayan.<br />

8. Serial Diskusi<br />

Berlangsung tiap minggu pada 5 desa. Diorganisir 5 orang anggota tim kecil pride<br />

pada masing-masing desa mereka, berlangsung di balai adat Bante, atau tempat<br />

istirahat dalam pekarang rumah Goje-goje. Kegiatan berkumpul dalam balai adat<br />

Bantea maupun Goje-goje merupakan kebiasaan sehari-hari setelah pulang dari<br />

kebun atau laut. Diskusi akan berlangsung spontan dengan tema yang liar dan<br />

fungsi anggota tim kecil pride adalah mengarahkan pada fokus isu tertentu untuk<br />

memancing pendapat warga. Tema diskusi berfariasi, mulai dari pembentukan<br />

kelompok nelayan, usaha bersama, hutan adat, pengambilan batu karang sampai<br />

peraturan desa. Diskusi juga dilakukan dirumah penduduk atau pantai tempat<br />

kerja dengan tema-tema fokus seperti pengembangan usaha nelayan. Diskusi<br />

semacam ini dipandu pak Armin, anggota kelompok nelayan Potau-tau dari pulau<br />

Tomia yang memiliki usaha mandiri lebih maju dari nelayan-nelayan Kapota.<br />

9. Pertunjukan seni lomba lagu dangdut<br />

Dalam daftar kegiatan yang berada pada project plan judul kegiatan adalah drama,<br />

sedangkan pada kertas kerja hasil pleno tim perencanaan tertulis ”drama dan<br />

pertunjukan seni lainnya.” Kegiatan lomba dangdut berlangsung 5 hari dengan<br />

format acara mirip konteks KDI di TPI, dimana juri yang menilai juga memberikan<br />

masukan dan komentar secara terbuka. Bedanya juara ditentukan juri bukan sms.<br />

Setiap peserta juga membawa rombongan suporter yang terdiri dari rombongan<br />

ibu-ibu, anak-anak dan teman sejawat sehingga arena lomba ramai dengan riuh,<br />

sorak, tepuk dan bunyi-bunyian lainnya. Kegiatan berlangsung di desa Kapota<br />

Utara dan diikuti peserta dari seluruh desa se pulau Kapota. Hadiah untuk<br />

pemenang lomba disamping dari manajer kampanye pride juga berasal dari<br />

beberapa penyumbang dalam bentuk jam dinding, payung, tas dll. Bahkan salah<br />

seorang juri yang menghendaki salah seorang peserta menjadi juara, naik<br />

panggung dan mengumumkan sendiri juara versi dirinya dengan sebutan juara<br />

favorid I, II dan III, diluar katregori juara yang diputuskan juri secara kolektif dan<br />

memberikannya hadiah dari kantungnya sendiri.<br />

10. Pesantren Ramadhan<br />

Berlangsung tanggal 1 - 6 September 2008, tempat pelaksanaan masing-masing<br />

sekolah, diikuti 400 murid SD (kelas IV - VI), 120 siswa SMP dan 100 siswa SMA..<br />

Jenis kegiatan ceramah agama, pembagian lembar dakwah agama dan lingkungan,<br />

lomba menulis surat dan puisi bertema pelestarian alam.<br />

11. Pelatihan Selam<br />

Direncanakan 5 orang tetapi hanya diikuti 4 orang dari 4 desa. 1 peserta<br />

mengundurkan diri karena sakit. Berlangsung tanggal 26-30 Maret 2008,<br />

instruktur dari TNC/WWF. Peserta mendapat sertifikat dan sim selam dari ADS.


12. Cerdas cermat, pengisian soal dan analisis media<br />

Cerdas cermat berlangung tanggal 3 januari 2009 diikuti 4 SD se pulau Kapota.<br />

Kegiatan yakni pengisian soal dan analisis media diikuti murid SD dan siswa SMP<br />

se Kapota berlangsung tanggal 5 Januari. Tempat pelaksanaan aula SMP Kapota<br />

13. Lomba Sekolah Indah<br />

Menilai kebersihan sekolah, sampah plastik dan wawancara dengan murid-murid<br />

apakah sekolah mereka menjadikan kebesihan lingkungan sekolah sebagai<br />

kebijakan sehari-hari. Penilaian berlangsung tanggal 9 Januari 2009 bekerjasama<br />

dengan UKS Kab. Wakatobi<br />

14. Pelatihan membuat bahan bakar briket arang<br />

Dilaksanakan pada 5 desa bulan Mei tahun 2009, peserta ibu-ibu rumah tangga.<br />

Tanggal 19 Mei di desa Kabita, 20 peserta. Tanggal 20 Mei di desa Kapota Utara ,<br />

20 peserta. Tanggal 21 Mei di desa Kabita Togo, 20 peserta. Tanggal 23 Mei di<br />

desa Kapota, 20 peserta. Tanggal 25 Mei di desa Kolo, 15 peserta.<br />

15. Pelatihan pembuatan peraturan desa partsisipatif<br />

Peserta 3 orang 1 desa. Total peserta 15 orang. Berlangsung tanggal 12 Juli 2009<br />

di SD Kapota. Tindak lanjutnya adalah identifikasi obyek perdes dalam desa<br />

masing-masing peserta.<br />

16. Partsisipasi dalam festival budaya<br />

Berpartisipasi dalam festival budaya pada hari ulang tahun kabupaten Wakatobi di<br />

lapangan ibu kota Wangi-Wangi. Berlangsung tanggal 1 Desember 2008.<br />

17. Kampanye pride dalam gerak jalan HUT RI tahun 2008<br />

Peserta gerak jalan dari pulau Kapota 15 grup. SD 7 grup, SMP 2 grup, SMA 2<br />

grup, Majelis Ta'lim 4 grup. Tanggal 13 agustus berlangsung mengelilingi 4 desa di<br />

Kapota, tanggal 14 Agustus untuk murid SD - SMA di ibukota Kabupaten bersama<br />

grup gerak jalan se pulau Wangi-Wangi dan tanggal 15 Agustus diikuti grup<br />

Majelis ta'lim bersama group masyarakat se pulau Wangi-Wangi.<br />

18. Peringatan hari bumi<br />

Dilaksanakan di pantau Usuno desa Kolo pulau Kapota tanggal 28 April 2009.<br />

Peserta siswa SMP se Wangi-Wangi, Kapota, Mahasiswa, pramuka, instansi<br />

pemerintah, masyarakat umum. Total peserta sekita 2000 orang. Dihadiri wakil<br />

Bupati Wakatobi dan duta WWF artis Nugi serta si Bolang Wakatobi. Kegiatan


didukung joint program TNC/WWF Wakatobi, Coremap Wakatobi, Pemda,<br />

TNW, DKP dan Dinas Lingkungan Wakatobi.<br />

19. Workshop moratorium penambangan karang<br />

Berlangsung dua tahap. Pertama tanggal 31 Juli 2009, kedua tanggal 9 Agustus di<br />

aula Wisata Wangi-Wangi. Peserta perwakilan Bappeda, DKP, TNW, Camat<br />

Wangi-Wangi Selatan, Kepala desa lokasi pride, 5 kades dari seluruh desa pelaku<br />

penambangan karang, 4 desa lokasi penambangan Karang diluar desa lokasi pride.<br />

20. Workshop hutan adat dan penanaman pohon<br />

Berlangsung tanggal 10 Agustus 2009 di SD Kabita. Peserta 4 Kades se wilayah<br />

adat Kapota, 4 orang dari Lembaga Adat Kapota, 12 kepala dusun dari 4 desa se<br />

Kapota, tim kecil pride 5 orang. Penanaman phon akan dilakukan di musim hujan.<br />

21. Pelatihan MPA<br />

Berlangsung di balai desa Kapota tanggal 7 – 8 Maret 2009. Peserta 25 orang<br />

nelayan, aparat desa dan kelompok ibu-ibu pengrajin jelajah.


BAB V HASIL<br />

A. Sasaran yang berorientasi pada perubahan pengetahuan dan sikap :<br />

Objektif 1 : Pada akhir program terjadi peningkatan pengetahuan dan dukungan<br />

masyarakat tentang status kawasan Taman Nasional Wakatobi dari 22% menjadi 60% dan<br />

ditandai juga dengan lahirnya kelompok masyarakat pelindung hutan dan terumbu karang.<br />

Jumlah masyarakat yang tidak mengetahui status kawasan pada awal survey 43,83<br />

%, dan yang tahun status kawasan sebagai TNW 22,31% (N = 382). Namun pada saat<br />

post survey dilaksanakan diakhir kampanye menujukkan jumlah warga masyarakat yang<br />

tidak mengetahui status kawasan turun menjadi 18,85 % dan yang mengetahui status<br />

kawasan sebagai TNW berubah menjadi 55,76% (N=382). Ilustrasi sebagai berikut :<br />

Gambar : Pengetahuan status kawasan presurvey


Gambar : Pengetahuan status kawasan post survey<br />

Intervensi kampanye dalam dua tahun berkontribusi pada perubahan pengetahuan<br />

masyarakat terhadap status kawasan. Penjangkauan yang dilakukan dengan berbagai<br />

kegiatan dan materi kampanye membuat masyarakat akrab dengan istilah seperti taman<br />

nasional. Selain itu lahirnya kelompok monitoring sumber daya di 5 desa target<br />

mengambarkan pengetahuan yang kuat dari masyarakat terhadap manfaat sumber daya<br />

bagi kehidupan mereka. Inisiatif untuk melindungi dapat diasumsikan sebagai peningkatan<br />

rasa memiliki sumber daya. Pembentukan sikap tersebut merupakan dampak dari kuatnya<br />

pengaruh kampanye terhadap sikap masyarakat.<br />

B. Sasaran yang berorientasi pada perubahan perilaku<br />

Objektif 2 : Pada akhir program terbentuk satu kesepakatan atau peraturan<br />

desa yang disepakati oleh lima desa target dan menguatkan peraturan adat<br />

mengenai pengelolaan sumber daya alam<br />

Pelaku pencungkilan karang di pantai Usuno desa Kolo atau tepatnya pesisir<br />

selatan pulau Kapota dan di sepanjang pantai desa Kabita, Kapota dan Kapota Utara<br />

berasal dari suku Bajo. Para pelaku tersebut merupakan warga desa Mola Selatan, Mola


Samaturu Kecamatan Wangi-Wangi Selatan yang bermukim di pantai barat pulau Wangi-<br />

Wangi. Kegiatan pencungkilan karang sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir ini,<br />

dan diperdagangkan sebagai bahan bangunan dalam takaran sampan. Satu sampan dihargai<br />

Rp. 90,000 sampai Rp. 120.000. Aktivitas pencungkilan karang biasanya dilakukan mulai<br />

pukul 06.00 pagi dan selesai pukul 08.00 pagi. Dalam satu hari setiap orang dapat<br />

melakukan kegiatan yang sama sampai dua kali atau dua sampan. Rata-rata setiap hari<br />

terdapat 20 – 50 sampan pelaku pencungkilan karang.<br />

Masyarakat memiliki pengetahuan yang baik tentang dampak pencukilan karangan<br />

serta sikap tidak menginginkan kegiatan tersebut terus terjadi, tetapi tidak mudah bagi<br />

mereka untuk mencegah orang lain melakukan perusakan. Hal ini dapat dilihat dalam<br />

survey diawal kampanye, 60.9% responden menyatakan sulit untuk mencegah orang<br />

mencungkil karang. Namun demikian kemauan untuk melindungi terumbu karang tetap<br />

ada, setidaknya menurut survey 51,3% responden menyatakan mudah untuk ikut terlibat<br />

dalam penyelamatan terumbu karang.<br />

Dalam berbagai diskusi, masyarakat menaruh harapan pada pemerintah kabupaten<br />

atau aparat berwenang lainnya untuk mencegah pencungkilan karang. Kampanye bangga<br />

menargetkan perubahan atas tingginya ketergantungan masyarakat pada aparat<br />

berwenang atau lembaga apapun diluar komunitas mereka dengan mendorongkan dua<br />

hal, (1) meningkatkan rasa memiliki sumber daya melalui rangkaian diskusi yang<br />

membicarakan tata cara pengelolaan kawasan dimasa lalu oleh masyarakat adat. Topik ini<br />

merupakan wacana strategis untuk membangkitkan emosi dan ikatan histories mereka<br />

atas kawasan. (2) memberdayakan institusi ditingkat local seperti pemerintah desa dan<br />

lembaga adat. Dampak dari diskusi meningkatkan kepercayaan diri masyarakat terhadap<br />

hubungan social budaya antara mereka dengan sumber daya alam mulai dari hutan, laut<br />

dan pulau. Peningkatan ini memberikan legitimasi yang kuat pada keputusan lembaga<br />

pemerintahan local maupun lembaga adat dalam mengelola sumber daya. Ciri-ciri<br />

perubahan dapat terlihat pada bagian akhir kampanye. Empat kepala desa di pulau<br />

Kapota yakni kepala desa Kapota, Kapota Utara, Kabita, Kabita Togo dan ketua BPD<br />

desa Kolo duduk bersama perwakilan DKP Wakatobi, BAPPEDA Wakatobi, Taman<br />

Nasional Wakatobi, lima kepala desa se kampung Bajo, dan empat kepala desa sewilayah<br />

adat Liya untuk membahas penghentian penambangan karang. Tanggal 31 Juli 2009


merupakan tonggak pertama kesepakatan yang merekomendasikan dua garis besar<br />

keputusan bersama :<br />

(1) Sosialisasi penghentian penambangan karang pada kawasan perairan sebelah<br />

selatan pulau Kapota, pantai Usuno dan pesisir pantai Liya kepada seluruh<br />

pelaku dari kampong Bajo.<br />

(2) Mengusulkan alternative mata pencaharian bagi penambang karang dan untuk<br />

sementara waktu para kepala desa dari kampong-kampung pelaku<br />

penambangan mengarahkan pelaku penambang karang untuk menggali alur<br />

pelayaran di depan pelabuhan Kapota dan alur masuk pelabuhan Jabal Wangi-<br />

Wangi (laut sawa), untuk membantu masalah pendangkalan alur yang dihadapi<br />

masyarakat ketika hendak keluar atau masuk pulau Kapota dan pulau Wangi-<br />

Wangi pada saat air surut.<br />

Disepakati pula bahwa rekomendasi tersebut dalam tujuah hari dari tanggal<br />

kesepakatan wajib disosialisasikan oleh para kepala desa kepada masyarakat diwilayah<br />

masing-masing untuk mendapat persetujuan, melakukan observasi bersama lokasi alur<br />

pelayaran yang dangkal untuk menghindari penyalah gunaan kesepakatan penggalihan dan<br />

pendataan secara komprehensif social ekonomi pelaku penambangan. Untuk mengetahui<br />

respon masyarakat peserta menyepakati agenda pertemuan tindak lanjut tanggal 9<br />

Agustus 2009 ditempat yang sama yakni Aula Wisata Wangi-Wangi.<br />

Sesuai kesepakatan observasi lokasi dilakukan tanggal 9 Agustus 2009 pagi hari<br />

pukul 09.00 – 12.00 pada dua titik alur pelayaran menggunakan pompong sewa milik<br />

warga Kapota. Ikut dalam observasi adalah kepala desa Liya Bahari, Liya Onemelangka,<br />

Mola Samaturu, Mola Bahari, Kapota Utara, Kapota, aparat desa Kabita, waki,l dari<br />

TNW. Tempat pertama yang ditinjau adalah alur Sawa di depan desa Liya Onemelangka<br />

dan kedua depan pelabuhan Kapota. Dari hasil peninjauan lapangan alur Sawa tidak<br />

memungkinkan dijadikan lokasi pengalihan karena meskipun merupakan alur pelayaran<br />

tetapi pada lokasi tersebut terdapat ekosistem terumbu karang yang masih baik secara<br />

fisik, kondisi laut dalam dan memiliki arus yang kuat. Tempat kedua adalah alur pelabuhan<br />

Kapota. Berdasarkan pengamatan, alur pelayaran dengan lebar 10 meter dan panjang<br />

sekitar 200 meter sangat dangkal dan memerlukan pengerukan. Alur ini sering membawa


masalah bagi alat transportasi laut ketika air surut. Penumpang alat transportasi tersebut<br />

biasanya harus turun untuk berjalan kaki diatas hamparan pasir, padang lamun, kolamkolam<br />

genangan laut, sejauh ± 800 meter ke pelabuhan Kapota. Hal tersebut terpaksa<br />

dijalani karena alat transportasi mereka yang menghubungkan pulau Kapota dengan<br />

ibukota kecamatan, pasar atau pulau Wangi-Wangi telah kandas.<br />

Petemuan dengan nama Workshop Moratorium Penambangan Karang kedua<br />

dilanjutkan pukul 13.00 dengan agenda tunggal mendengarkan laporan hasil sosialisasi<br />

masing-masing kepala desa kepada warganya masing-masing. Secara umum hasil sosialisasi<br />

kepala desa dapat dirangkum dalam resume pendapat para ‘juru runding’ kepala desa<br />

berikut ini :<br />

1. Dari desa pelaku :<br />

- Kepala desa Mola Selatan : Perlu peningkatan pengetahuan tentang<br />

pengelolaan sumber daya berkelanjutan dan keterampilan sesuai dengan<br />

akar kultur mereka sebelumnya yakni nelayan.<br />

- Kepala desa Mola Samaturu : Penambang karang bersedia berhenti dari<br />

aktivitas menambang karang dan memerlukan mata pencaharian alternatif.<br />

- Kepala desa Mola Bahari : Kegiatan perikanan laut dalam merupakan<br />

alternatif yang baik dan harus mendapat respon pemerintah.<br />

2. Dari desa lokasi penambangan :<br />

- Kades Kapota Utara : Masyarakat Kapota menawarkan penggalian jalur<br />

pelayaran dengan catatan tidak melampauhi alur yang ditentukan dan<br />

setelah galian jalur selesai tidak dibenarkan melakukan penggalian di<br />

tempat lain.<br />

- Kepala desa Kapota : Para pelaku penambangan karang adalah orangorang<br />

yang tidak cinta tanah air. Kalau memiliki rasa cinta pada Wakatobi<br />

maka biar disuruh merusak pasti tidak mau. Perlu menanamkan sikap cinta<br />

tanah air pada para pelaku. Mereka menambang karang dengan bodi besar<br />

dan mesin mahal, nelayan Kapota memancing ikan ke bagang hanya<br />

menggunakan dayung dan sampan kecil-kecil tetapi bisa menghidupi<br />

keluarga juga. Tidak menunggu-nunggu bantuan pemerintah.


- Kepala desa Liya Onemelangka : Di Liya banyak sekali orang miskin tapi<br />

tidak melakukan penambangan karang. Para pelaku itu terbiasa karena<br />

kemudahan mendapatkan uang. Liya tertutup untuk penambangan karang.<br />

Jadi para kepala desa Bajo harus mengingatkann warganya. Banyak<br />

kehidupan lain seperti menjadi nelayan atau bertanam rumput laut.<br />

- Para penambang karang itu adalah orang mampu secara ekonomi. Melihat<br />

sampan dan mesin-mesin yang digunakan kalau miskin tidak mungkin bisa<br />

membeli harga yang terhitung jutaan seperti itu. Pendapatan mereka ratarata<br />

diatas seratus ribu sehari. Mereka makan dengan cara apapun juga<br />

tidak mungkin habis sehingga kalau memiliki kemauan untuk menabung<br />

maka dalam 1 – 2 bulan mustahil tidak bisa membeli peralatan pancing<br />

atau jaring untuk kembali sebagai nelayan seperti yang lain.<br />

- Kepala kampung dusun Woru desa Liya Mawi : Kami kasihan dengan<br />

kehidupan saudara-saudara kita di Bajo terutama para penambang karang<br />

kalau memang mereka miskin. Tetapi saudara-saudara juga harus kasihan<br />

kepada kami para nelayan Liya yang terancam lokasi penangkapan ikan<br />

karena kegiatan penambangan. Jadi marilah berubah dan silahkan kita<br />

gunakan bersama-sama laut di Liya dan Usuno untuk mencari ikan, bukan<br />

menambang karang.<br />

Pada akhirnya workshop moratorium penambanan karang yang kedua<br />

menghasilkan kesepakatan sebagaimana salinan naskah berikut ini :<br />

KESEPAKATAN MORATORIUM<br />

PENAMBANGAN KARANG<br />

Bismillahirrahmanirrahim.<br />

Kami sepakat untuk bersama-sama<br />

mengusahakan perubahan perilaku dan<br />

pemberdayaan para penambang karang.<br />

Jalan untuk menuju perubahan dari<br />

penambang karang menjadi nelayan<br />

adalah cita-cita dasar dari kesepakatan<br />

ini dan untuk sementara para penambang<br />

karang akan kami bahu-membahu untuk


mengarahkannya pada lokasi alur<br />

pelayaran di Sawa Liya dan alur<br />

pelayaran Kapota, menghentikan dari lokasi lama<br />

pesisir Liya dan Usuno.<br />

Upaya sementara ini dilakukan karena<br />

pertimbangan kemanusiaan antara kami<br />

dari Liya, Kapota dan Mola karena kami<br />

bersaudara dan harus saling bantumembantu<br />

mewujudkan kehidupan<br />

yang lebih baik dan berkelanjutan.<br />

Demikian, semoga Allah senantiasa meridhoi.<br />

Wangi-Wangi, 9 Agustus 2009<br />

Kami yang secara sukarela membantu perubahan ini :<br />

Ditanda tangani oleh :<br />

Kades Kapota La Hasirun WN,<br />

kades Liya Bahari La Musu Ali Ode,<br />

kades Kapota Utara Sudarlin,<br />

kades Mola Selatan La Ode Mustamin,<br />

kades Mola Utara Rahim,<br />

kades Mola Samaturu Haslim,<br />

kades Mola Bahari Efendi,<br />

Kades Liya Onemelangka La Hasura,<br />

kaur pemerintahan desa Kabita Burhanuddin,<br />

wakil desa Liya Mawi La Wiu,<br />

wakil BTNW La Fasa,<br />

BAPPEDA Wakatobi La Ode A. Ready Putra,<br />

Project leader TNC/WWF Wakatobi Veda Santiadji,<br />

Tim fasilitator TNC/WWF Arifuddin,<br />

Saharuddin Usmi, Ade Lamu dan manager<br />

kampanye selaku fasilitator pertemuan Saleh Hanan.<br />

Selain lembar kesepakatan di atas, pertemuan juga merekomendasikan<br />

pembentukan Tim Tindak Lanjut Pemberdayaan Nelayan beranggotakan para kepala desa<br />

baik yang hadir pada workshop kedua maupun workshop pertama, instansi terkait<br />

seperti Bappeda Wakatobi, DKP Wakatobi, BTNW, menunjuk TNC/WWF Wakatobi<br />

sebagai fasilitator tim tindak lanjut.<br />

Kesepakatan juga dicapai dalam Pertemuan Kampung Kapota yang dihadiri Ketua<br />

dan anggota Lembaga Adat Kapota, Kepala Desa dan perwakilan desa se Kapota, Ketua<br />

BPD, Kepala dusun dari 4 desa se Kapota dan tim kecil kampanye bangga melestarikan


alam. Pertemuan kampung berlangsung di SDN Kabita tanggal 10 Agustus 2009 dengan<br />

pokok-pokok kesepakatan sebagai berikut :<br />

1. Hutan adat baik Bongkapi, Kaindea, Kolowowa, Ue, Keme dan Motikan adalah<br />

satu kesatuan hutan adat Kapota dibawah naungan masyarakat adat Kapota.<br />

2. Hutan adat tersebut tidak terbagi menjadi milik salah satu desa meskipun<br />

berada diwilayah salah satu desa tetapi milik masyarakat Kapota<br />

keseluruhan secara adat.<br />

3. Menanam pohon dalam batas hutan adat dan kebun-kebun pribadi yang<br />

memasuki kawasan hutan dan sedang tidak dalam sengketa hukum di<br />

pengadilan sebagaimana yang sedang berlangsung antara 2 kelompok<br />

keluarga dengan Lembaga adat Kapota. Pohon-pohon tersebut sebagai<br />

tanda agar orang tidak membuka lagi hutan adat menjadi kebun pribadi.<br />

Objektif : Sasaran Perilaku 1<br />

Pada akhir kampanye dibentuk masing-masing 1 kesepakatan atau peraturan<br />

desa tentang penggunaan alat tangkap ramah lingkungan di 5 desa target<br />

Sebagaimana hutan, masayarakat Kapota memposisikan laut juga sebagai milik<br />

adat. Hutan dan laut yang menjadi milik adat tidak dapat dituangkan menjadi peraturan<br />

desa oleh salah satu desa. Dalam program lain yakni COREMAP II Wakatobi di desa<br />

Kabita terdapat satu buah peraturan desa mengenai Daerah Perlindungan Laut (DPL)<br />

tetapi wilayah yang dijadikan sebagai lokasi penerapan perdes tersebut tetap tidak<br />

tertentu sebagai wilayah salah satu desa di Kapota. Dengan demikian perdes tersebut<br />

hanya formalitas projek. Dalam diskusi yang berlangsung pada Lokalatih Pride tentang<br />

Pembuatan Peraturan Desa Partsisipatif, masalah perdes yang dibuat COREMAP II<br />

Wakatobi tersebut kemudian diketahui tidak melalui proses-proses partsisipatif mulai<br />

penentuan materi, draf dan rapat-rapat stakeholders desa. Perdes yang digagas<br />

COREMAP II berupa draf perdes yang terlebih dahulu dibuat pihak proyek kemudian<br />

dibawa kedalam pertemuan desa untuk mendapat persetujuan. Dengan demikian<br />

lokalatih pride tentang keterampilan proses pembuatan perdes partsisipatif berfungsi<br />

mengisi ruang kosong proses pembuatan perdes yang tidak dilakukan COREMAP


sekaligus menjadi pembelajaran bagi desa-desa lainnya. Sebaliknya lokalatih yang diikuti<br />

Kepala desa dan Ketua BPD se Kapota, Ketua BPD Kolo, dan 5 anggota BPD se Kapota<br />

dan Kolo tersebut menghasilkan konsensus tidak akan membuat perdes untuk obyekobyek<br />

yang kepemilikannya adalah milik masyarakat adat Kapota secara komunal.


Bab VI Refleksi Kampanye Bangga di Pulau Kapota<br />

6.1 Bentuk Pendekayan Yang Efektif<br />

Menurut Kushardanto (2008) dalam memantau efektivitas kegiatan maka ada setidaknya 3<br />

elemen penting yang harus ditinjau yaitu Process Monitoring, Performance, dan Outcome Monitoring.<br />

Kampanye bangga di pulau Kapota ditinjau dari pendekatan yang efektif dapat<br />

dideskripsikan sebagai berikut :<br />

1. Kejuaraan Sepak Bola<br />

Sepak bola merupakan olah raga kegemaran masyarakat Kapota. Lahan<br />

perkampungan di Kapota merupakan delta bentukan pasir pantai yang telah menjadi<br />

daratan berpuluh-puluh tahun. Dengan struktur tanah terdiri dari gabungan endapan<br />

pasir dan tanah maka Kapota memiliki lapangan sepak bola yang ideal. Kondisi tersebut<br />

menyuburkan bibit pemain sepak bola terus tumbuh di Kapota generasi demi generasi.<br />

Sepuluh tahun yang lalu ketika pulau Wangi-Wangi masih merupakan sebuah kecamatan<br />

kesebelasan Kapota bersama kesebelasan Bajo selalu menjadi langganan final sepak bola<br />

yang biasa dilaksanakan menyambut HUT RI. Jika kesebelasan Kapota bertemu lawan<br />

tandingnya di lapangan kecamatan makan lebih separuh masyarakat akan berbondongbondong<br />

memenuhi jonson (sebutan untuk angkutan laut yang terdiri dari bodi batang<br />

beratap kayu dengan mesin TS sebagai pendorong), mendayung koli-koli (sampan) menuju<br />

lapangan pertandingan. Bagi masyarakat Kapota pertandingan sepak bola yang dilakoni 11<br />

pemain mereka sama dengan peperangan membela nama kampung. Tidak mengherankan<br />

seluruh masyarakat yang datang tidak saja membawa bekal makanan, minuman, ramuanramuan<br />

dan doa-doa untuk memperkuat fisik pemain tetapi juga selalu dalam posisi siap<br />

menggempur kesebelasan dan suporter lawan jika keadaan tidak bersahabat.<br />

Pertandingan kesebelasan Kapota dengan kesebelasan manapun juga selalu ditunggu<br />

penonton diibukota kecamatan.<br />

Kuatnya hubungan emosional sepak bola dengan masyarakat menyebabkan olah<br />

raga ini terpilih sebagai media penjangkauan kampanye bangga. Lokasi pelaksanaan sepak<br />

bola lapangan Kapota yang terletak di desa kapota Utara diubah oleh panitia menjadi<br />

stadion mini. Bilboard dari jelaja (anyaman dinding bambu) dipasang secara gotong<br />

royong oleh masyarakat Kapota Utara mengelilingi empat persegi lapangan dengan<br />

ketinggian 75 cm. Para seniman desa menuangkan gagasan tentang pemanfaatan dan<br />

pelestarian laut, karang, ikan, hutan dan air pada dinding-dinding bilboard. Penonton<br />

berdiri diluar bilboar yang berfungsi sekaligus sebagai pembatas lapangan dengan<br />

penonton. Sepanjang kejuaraan yang berlangsung dari tanggal 19 – 28 Agustus 2008<br />

poster dan factseheet dibagikan kepada. Maskot gurita juga hadir meramaikan lapangan,<br />

diikuti puluhan anak-anak dengan lagu-lagu “ambil ikannya tinggalkan karangnya”. Selama<br />

sepuluh hari bilboard, poster, fact seheet dan maskot menimbulkan efek berulang pada<br />

pesan kampanye pada khalayak umum yang juga secara kontinyu memadati lapangan<br />

sepak bola. Hadiah yang diberikan pada pemenang kejuaraan berupa piala, poster gurita<br />

dan foto kesebelasan bersangkutan dengan tulisan : “Ikan sumber protein terbaik, sangat


erguna bagi pemain sepak bola pintar dan kuar. Ambil ikan jangan ambil karang agar<br />

pesepak bola pintar dan kuat ada terus.”<br />

2. Poster<br />

Poster dibuat dengan bahasa simpel, gaya bertutur dimaksudkan menciptakan<br />

ruang dialog audiens dengan subjek poster. Dengan demikian dalam proses baca audiens<br />

akan aktif berkomunikasi dengan rasional konteks dalam teks. Dalam proses ini aspek<br />

sikap dan perilaku lebih menjadi target audiens poster. Dalam kampanye ini poster<br />

efektif mempengaruhi sikap poster karena didisktribusi secara msal, berulang dan<br />

bertahan lama dalam rumah penduduk.<br />

3. Fact sheet<br />

Isi factsheet mengangkat persoalan lokal, gambar dan foto dikenali dan akrab dengan<br />

keseharian, bahasa yang disajikan tipe bertutur dengan penggunaan istilah ilmiah minimalis,<br />

ditujukan agar memudahkan dan mendekatkan media dengan audiens lokal. Lembar ini menjadi<br />

bahan bacaan dan bahan amatan di rumah oleh satu keluarga dan menjadi bahan diskusi antar<br />

keluaraga atau tetangga. Selain memberikan informasi baru atau dari luar komunitas, sebenarnya<br />

lembar fakta ini menyalin pengetahuan yang masyarakat miliki ke dalam suatu tulisan, misalnya<br />

dampak dari menurunnya jumlah pohon dalam hutan adat, pengambilan batu karang. Bagi<br />

masyarakat media ini membantu mengarahkan tindakan selain menambah pengetahuan.<br />

4. Pesantren ramadhan<br />

Pesantren Ramadhan bukanlah kegiatan yang dinilai dalam standar kurikulum.<br />

Karenanya pesantren Ramadhan lebih pada pengembangan ekspresi guru dan kegemaran<br />

siswa. Materi lingkungan dalam pesantren menyatu dalam konteks bahan telaahan<br />

kegemaran karena cara pembawaannya yang dilakukan familiar, bermain dan jarak<br />

struktural antara guru sekolah, pemateri dari tim kampanye dengan siswa dikemas tidak<br />

formal. Beberapa mateti seperti cipta pusis lingkungan dan menulis surat kepada<br />

keluarga tentang lingkungan merupakan bagian yang mengapresiasi minat dan kegemaran.<br />

6.2 Bentuk Pendekatan Yang Tidak Efektif<br />

Ada beberapa kegiatan yang tidak efektif. Kriteria tidak efektif adalah :<br />

a. Tidak merata treatmen pada populasi target.<br />

b. Ada kesulitan teknis pelaksanaan<br />

1. Cerdas cermat<br />

Audiens cerdas cermat adalah sisiwa, guru dan orang tua sisiwa atau penduduk sekiar.<br />

Yang membaut kegiatan ini tidak begitu efektif karena semangat menang lomba lebih menjadi<br />

perhatian dari pada materi lomba. Siswa yang mendapat pengetahuan juga hanya fokus pada<br />

calon-calon utusan sekolah menyebabkan tidak merata proses peningkatan pengetahuan.<br />

2. Pelatihan Selam


Pelatihan selam dimaksudkan untuk menciptakan sumber daya manusia di desa lokasi target yang<br />

dapat melakukan pemantauan kondisi karang di dasar laut Kapota. Dari hasil pemantauan itulah<br />

kemudian menjadi sumber informasi bagi keadaan karang laut Kapota. Kendalanya kemudian<br />

adalah untuk menjalankan monitoring membutuhkan keterampilan lain lagi seperti pencatatan,<br />

pengetahuan tentang terumbu karang dan peralatan pendukung lainnya. Jadi dalam dua tahun<br />

kampanye secara efektif para penyelam tidak dapat segera menjalankan fungsi pemantauan.<br />

3. Lomba Sekolah Indah<br />

Kampanye tidak dapat merubah kebiasaan pihak sekolah yang menyiapkan segala sesuatunya<br />

hanya untuk konteks lomba. Kebersihan sekolah disiapkan untuk menyambut lomba bukan<br />

sebagai budaya kesehaharian. Disamping itu harapan untuk membuat sekolah menjadi pembawa<br />

perubahan pada rumah warga disekitar sekolah juga tidak terwujud. Sampah-sampah di sekitar<br />

sekolah habis tetapi rumah warga yang berbatasan dengan sekolah tidak demikian.


BAB VII REKOMENDASI<br />

Keberhasil kampanye baru dapat diukur apabilan capaian akhir kampanye<br />

dapat ditindak lanjuti oleh warga :<br />

1. Prinsip :<br />

- Kemandisian komunitas melanjutkan kampanye ketika hubungan<br />

donatur dari luar komunitas selesai (paska program kampanye).<br />

- Pendampingan agar komunitas menerima nilai tambah ekonomi dari<br />

sumber daya yang dilindungi sehingga mampu mewujudkan<br />

kemandirian.<br />

2. Praktis :<br />

- Pengorganisasaian kegiatan ekonomi melalui koperasi atau kelompok<br />

nelayan/petani<br />

- Edit value komoditi utama (gurita, kerajinan dll) dari segi bentuk produk<br />

maupun ekowisata (nilai tidak langsung).<br />

- Pendampingan dari pihak luar komunitas (lembaga pendamping) pada<br />

hal-hal diluar kemampuan lokal yakni jaringan pasar, peningkatan<br />

keterampilan managerial dan mutu produksi.<br />

3. Law inforcement : mendorong kebijakan dari pemilik sumber daya seperti<br />

kesepakatan adat dan kesepakatan desa memberikan kuasa untuk<br />

mengontrol dan mengatur sumber daya yang ditargetkan kampanye.<br />

Tidak semua rencana tindak lanjut diatas sesuai dengan prinsip dasar<br />

kampanye ini, masih akan dibahas dengan tiga kriteria :<br />

- menjawab persoalan utama<br />

- berkesinambungan dengan kegiatan sebelumnya bukan memulai<br />

terobosan baru.<br />

- Dapat diukur (asumsi, sasaran, kegiatan, indikator dan evaluasi).

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!