Sekilas Ulasan UU Perbankan Syariah - Bank Indonesia
Sekilas Ulasan UU Perbankan Syariah - Bank Indonesia
Sekilas Ulasan UU Perbankan Syariah - Bank Indonesia
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
SEKILAS ULASAN <strong>UU</strong> PERBANKAN SYARIAH<br />
Oleh: Arief R. Permana, S.H., M.H. 1 dan Anton Purba, S.H., LL.M 2<br />
I. PENDAHULUAN<br />
Puji syukur akhirnya <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong><br />
<strong>Syariah</strong> yang merupakan inisiatif DPR<br />
RI telah ditandatangani oleh<br />
Presiden RI pada tanggal 16 Juli<br />
2008, dengan nomor 21 Tahun<br />
2008, setelah sebelumnya disahkan<br />
dalam Rapat Paripurna DPR RI pada<br />
tanggal 17 Juni 2008. Sebagaimana<br />
diketahui kegiatan perbankan<br />
syariah di <strong>Indonesia</strong> baru di mulai<br />
sejak tahun 1992, dengan mulai<br />
beroperasinya PT <strong>Bank</strong> Muamalat<br />
<strong>Indonesia</strong> (yang didirikan pada tahun<br />
1991 yang diprakarsai oleh Majelis<br />
Ulama <strong>Indonesia</strong> dan Pemerintah).<br />
Pengaturan mengenai perbankan<br />
syariah pada waktu itu memang<br />
masih sangat terbatas, dalam <strong>UU</strong><br />
No.7 Tahun 1992 tentang<br />
<strong>Perbankan</strong> belum diatur secara tegas<br />
mengenai perbankan syariah.<br />
Dengan memperhatikan kebutuhan<br />
pengaturan yang lebih jelas<br />
mengenai perbankan syariah, maka<br />
dalam amandemen <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong>,<br />
yaitu <strong>UU</strong> 10 Tahun 1998 tentang<br />
perubahan <strong>UU</strong> No.7 Tahun 1992<br />
tentang <strong>Perbankan</strong>, telah<br />
diakomodir beberapa pengaturan<br />
mengenai kegiatan perbankan<br />
syariah, antara lain pengertian bank<br />
mencakup bank syariah, pengertian<br />
prinsip syariah, dan pembiayaan.<br />
Setelah diakomodasinya <strong>Bank</strong><br />
<strong>Syariah</strong> pada Undang-Undang<br />
<strong>Perbankan</strong> No. 10/1998, yang diikuti<br />
dengan serangkaian langkah<br />
kebijakan <strong>Bank</strong> <strong>Indonesia</strong> selaku<br />
otoritas perbankan, baik dari segi<br />
pengaturan, yaitu dengan<br />
mengeluarkan berbagai peraturan<br />
yang menyangkut perbankan<br />
syariah, maupun dari sisi internal<br />
<strong>Bank</strong> <strong>Indonesia</strong> yaitu dengan<br />
membentuk direktorat tersendiri<br />
yang menangani perbankan syariah,<br />
membuka kemungkinan bank<br />
konvensional untuk melakukan<br />
kegiatan usaha syariah dengan<br />
membentuk Unit Usaha <strong>Syariah</strong><br />
(<strong>UU</strong>S), maupun penyediaan sarana<br />
pendukung, seperti Sertifikat<br />
Wadiah <strong>Bank</strong> <strong>Indonesia</strong>, perbankan<br />
syariah telah menunjukkan<br />
pertumbuhan yang berarti.<br />
Walaupun dalam beberapa tahun<br />
terakhir perbankan syariah<br />
menunjukkan peningkatan dari segi<br />
total aset yaitu dari Rp 20.880 miliar<br />
pada Desember 2005 menjadi Rp<br />
36.538 miliar pada Desember 2007<br />
atau meningkat 74,9%,<br />
penghimpunan dana meningkat<br />
79,7% dari Rp 15.582 miliar pada<br />
Desember 2005 menjadi Rp 28.012<br />
miliar pada Desember 2007<br />
pembiayaan meningkat 83,4%,<br />
dari Rp 15.232 miliar pada<br />
Desember 2005 menjadi Rp 27.944<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 1 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
miliar pada Desember 2007, namun<br />
apabila ditinjau dari pangsa total<br />
aset perbankan syariah<br />
dibandingkan perbankan<br />
konvensional masih relatif kecil,<br />
yaitu baru mencapai 1,84% atau<br />
Rp36.538 miliar dibanding<br />
Rp1.986.501 miliar pada Desember<br />
2007.<br />
Terdapat pandangan bahwa belum<br />
berkembang pesatnya perbankan<br />
syariah di <strong>Indonesia</strong>, antara lain<br />
disebabkan oleh :<br />
a. Sumber Daya Manusia yang<br />
kompeten dan profesional<br />
masih belum optimal;<br />
b. Pemahaman masyarakat<br />
terhadap perbankan <strong>Syariah</strong><br />
belum merata;<br />
c. Jaringan kantor pelayanan dan<br />
keuangan <strong>Syariah</strong> masih relatif<br />
terbatas;<br />
d. Belum didukung dengan<br />
peraturan yang memadai<br />
(dalam bentuk Undang-Undang<br />
tersendiri yang terpisah dari<br />
Undang-Undang <strong>Perbankan</strong><br />
konvensional);<br />
e. Sinkronisasi kebijakan dengan<br />
institusi pemerintah lainnya<br />
berkaitan dengan transaksi<br />
keuangan, khususnya<br />
perpajakan belum maksimal.<br />
<strong>Bank</strong> <strong>Indonesia</strong> berupaya untuk<br />
mengatasi kendala-kendala yang<br />
dihadapi sebatas kewenangan yang<br />
dimiliki, antara lain dalam mengatasi<br />
keterbatasan jaringan kantor<br />
pelayanan <strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong>, <strong>Bank</strong><br />
<strong>Indonesia</strong> telah mengeluarkan PBI<br />
No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari<br />
2006 yang membolehkan bank<br />
konvensional yang memiliki Unit<br />
Usaha <strong>Syariah</strong> untuk membuka<br />
layanan syariah pada kantor cabang<br />
kovensional bank dimaksud. Melalui<br />
kebijakan tersebut diharapkan<br />
masalah jaringan pelayanan dan<br />
keuangan <strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong> dapat diatasi<br />
karena masyarakat dapat dilayani<br />
dimana saja saat membutuhkan<br />
layanan <strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong>.<br />
Selain itu, untuk lebih memberikan<br />
pemahaman kepada masyarakat<br />
pada umumnya, maupun akademisi<br />
dan kalangan perbankan pada<br />
khususnya, <strong>Bank</strong> <strong>Indonesia</strong> secara<br />
berkesinambungan melakukan<br />
sosialisasi mengenai perbankan<br />
syariah. Upaya untuk mengatasi<br />
berbagai kendala tersebut, tentunya<br />
tidak dapat dilakukan hanya oleh<br />
otoritas perbankan saja, tetapi harus<br />
dilakukan secara bersama-sama<br />
dengan Pemerintah maupun DPR,<br />
serta dukungan masyarakat.<br />
Melihat begitu besarnya dorongan<br />
dan dukungan dari masyarakat agar<br />
disusun <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong> yang<br />
terpisah dari <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong><br />
konvensional, DPR RI mengajukan<br />
inisiatif penyusunan R<strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong><br />
<strong>Syariah</strong>, dan selanjutnya mendapat<br />
tanggapan positif dari Pemerintah<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
sehingga terbuka jalan untuk segera<br />
menyelesaikan R<strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong><br />
<strong>Syariah</strong>, dan akhirnya setelah melalui<br />
pembahasan intensif <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong><br />
<strong>Syariah</strong> berhasil diselesaikan, dan<br />
mulai diberlakukan per 16 Juli 2008,<br />
menyusul telah diberlakukannya <strong>UU</strong><br />
No.19 Tahun 2008 tentang Surat<br />
Berharga <strong>Syariah</strong> Negara pada 7 Mei<br />
2008. Dukungan yang begitu besar<br />
dari berbagai kalangan dapat dilihat<br />
dari proses penyusunan dan<br />
pembahasan Daftar Inventarisasi<br />
Masalah R<strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong><br />
yang dapat diselesaikan dalam<br />
waktu yang relatif singkat.<br />
Dengan adanya dukungan<br />
seperangkat aturan yang memadai<br />
di bidang perbankan syariah, serta<br />
semakin bertambahnya instrumen<br />
keuangan syariah diharapkan akan<br />
semakin menarik investor/pelaku<br />
bisnis pada khususnya dan<br />
masyarakat pada umumnya,<br />
sehingga perkembangan ekonomi<br />
syariah di <strong>Indonesia</strong> dapat<br />
berkembang lebih baik lagi.<br />
Terlebih-lebih di <strong>Indonesia</strong> yang<br />
penduduknya mayoritas muslim,<br />
memiliki potensi yang sangat besar<br />
untuk mendukung berkembangnya<br />
kegiatan ekonomi berdasarkan<br />
prinsip syariah, termasuk perbankan<br />
syariah. Hal ini mengingat di negaranegara<br />
yang mayoritas non muslim<br />
saja, seperti di Inggris, Jerman,<br />
Amerika Serikat, dan Singapura,<br />
kegiatan perbankan syariah pada<br />
khususnya dan ekonomi syariah<br />
pada umumnya banyak diterapkan<br />
dan berkembang cukup baik.<br />
Dengan demikian adalah keliru<br />
persepsi yang menganggap bahwa<br />
<strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong> hanya diperuntukan<br />
bagi penduduk yang muslim. Dalam<br />
praktiknya <strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong> adalah<br />
merupakan pilihan bagi masyarakat<br />
dalam memilih layanan perbankan<br />
dan tidak ada peraturan perundangundangan<br />
yang membatasi<br />
pelayanan <strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong> hanya untuk<br />
penduduk yang beragama muslim<br />
saja. Pada kenyataannya memang<br />
terdapat banyak kalangan non<br />
muslim yang menjadi nasabah <strong>Bank</strong><br />
<strong>Syariah</strong>.<br />
II. MATERI <strong>UU</strong> PERBANKAN<br />
SYARIAH<br />
Dengan telah diberlakukannya <strong>UU</strong><br />
tentang <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong>, maka<br />
terdapat 2 (dua) <strong>UU</strong> yang mengatur<br />
perbankan di <strong>Indonesia</strong>, yaitu <strong>UU</strong><br />
No.7 Tahun 1992 tentang<br />
<strong>Perbankan</strong> sebagaimana telah<br />
diubah dengan <strong>UU</strong> No. 10 Tahun<br />
1998, dan <strong>UU</strong> No. 21 Tahun 2008<br />
tentang <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong>.<br />
Walaupun telah terdapat 2 (dua) <strong>UU</strong><br />
yang masing-masing mengatur bank<br />
berdasarkan prinsip syariah dan<br />
bank konvensional, namun dalam<br />
masa peralihan ini masih dikenal<br />
Unit Usaha <strong>Syariah</strong>, yang membuka<br />
kesempatan bagi bank konvensional<br />
untuk melakukan kegiatan bank<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
erdasarkan prinsip syariah. Hal ini<br />
menyebabkan bank konvensional di<br />
satu sisi tunduk pada <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong><br />
(bagi kantor bank yang beroperasi<br />
secara konvensional), dan di sisi lain<br />
tunduk pada <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong><br />
(bagi <strong>UU</strong>S dan KC <strong>Syariah</strong> dari bank<br />
konvensional dimaksud).<br />
Pada umumnya sistematika<br />
pengaturan <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong><br />
sama dengan <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong>, yaitu<br />
antara lain meliputi azas, tujuan dan<br />
fungsi; perizinan, bentuk badan<br />
hukum; jenis dan kegiatan usaha;<br />
rahasia bank; pembinaan dan<br />
pengawasan; dengan beberapa<br />
perbedaan prinsip di dalamnya<br />
khususnya yang menyangkut aspek<br />
syariah, di samping itu terdapat<br />
beberapa pengaturan baru yaitu<br />
mengenai tata kelola, prinsip kehatihatian,<br />
dan pengelolaan risiko;<br />
penyelesaian sengketa; Komite<br />
<strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong>; self liquidation,<br />
serta perluasan kewenangan<br />
pengawasan <strong>Bank</strong> <strong>Indonesia</strong>,<br />
dengan ulasan singkat sebagai<br />
berikut:<br />
Asas, Tujuan dan Fungsi<br />
<strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong> dalam melakukan<br />
kegiatan usahanya berasaskan<br />
Prinsip <strong>Syariah</strong>, demokrasi ekonomi,<br />
dan prinsip kehati-hatian (Pasal 2).<br />
Berbeda dengan <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong>,<br />
pengaturan yang menyangkut asas<br />
ini, lebih menekankan pada frasa<br />
“berasaskan Prinsip <strong>Syariah</strong>”. Hal<br />
tersebut sesuai dengan karakteristik<br />
dari perbankan syariah. Adapun<br />
yang dimaksud dengan Prinsip<br />
<strong>Syariah</strong> dalam hal ini adalah prinsip<br />
hukum Islam dalam kegiatan<br />
perbankan berdasarkan fatwa yang<br />
dikeluarkan oleh lembaga yang<br />
memiliki kewenangan dalam<br />
penetapan fatwa di bidang syariah<br />
(Pasal 1 angka 12), dan lembaga<br />
yang memiliki kewenangan tersebut<br />
adalah Majelis Ulama <strong>Indonesia</strong> yang<br />
berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 di<br />
Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan<br />
atau musyawarah para ulama,<br />
cendekiawan dan zu’ama yang<br />
datang dari berbagai penjuru tanah<br />
air.<br />
Jika <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> konvensional<br />
tujuannya lebih ditekankan untuk<br />
meningkatkan pemerataan,<br />
pertumbuhan ekonomi, dan<br />
stabilitas nasional, maka dalam <strong>UU</strong><br />
<strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong> tujuannya lebih<br />
ditekankan untuk meningkatkan<br />
keadilan, kebersamaan, dan<br />
pemerataan kesejahteraan rakyat.<br />
Hal ini sesuai dengan prinsip<br />
ekonomi syariah yang menekankan<br />
pada aspek kesatuan (unity),<br />
keseimbangan (equilibrium),<br />
kebebasan (free will), dan tanggung<br />
jawab (responsibility).<br />
Sama halnya dengan bank<br />
(konvensional), fungsi pokok bank<br />
syariah adalah menghimpun dan<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
menyalurkan dana masyarakat atau<br />
melaksanakan fungsi intermediasi.<br />
Di samping fungsi tersebut, bank<br />
syariah (dan <strong>UU</strong>S) mempunyai<br />
kekhususan, yaitu dapat<br />
menjalankan fungsi sosial dalam<br />
bentuk lembaga baitul mal, yaitu<br />
menerima dana yang berasal dari<br />
zakat, infak, sedekah, hibah atau<br />
dana sosial lainnya dan<br />
menyalurkannya kepada organisasi<br />
pengelola zakat. Selain itu juga<br />
dapat menghimpun dana sosial yang<br />
berasal dari wakaf uang dan<br />
menyalurkannya kepada pengelola<br />
wakaf (nazhir) sesuai kehendak<br />
pemberi wakaf (wakif).<br />
Perizinan dan bentuk badan<br />
hukum<br />
Untuk dapat melakukan kegiatan<br />
usaha sebagai bank tentunya harus<br />
memperoleh izin terlebih dahulu dari<br />
otoritas yang berwenang, dalam hal<br />
ini <strong>Bank</strong> <strong>Indonesia</strong>. Berkaitan dengan<br />
hal tersebut, terdapat 2 (dua) rezim<br />
pengaturan yang menyangkut<br />
perizinan bank, yaitu yang diatur<br />
dalam bab mengenai perizinan, yang<br />
berlaku bagi setiap pihak yang<br />
melakukan kegiatan usaha <strong>Bank</strong><br />
<strong>Syariah</strong> atau <strong>UU</strong>S wajib terlebih<br />
dahulu memperoleh izin usaha dari<br />
<strong>Bank</strong> <strong>Indonesia</strong> (Pasal 5), dan dalam<br />
bab mengenai kegiatan usaha, yang<br />
berlaku bagi pihak yang melakukan<br />
kegiatan penghimpunan dana dalam<br />
bentuk simpanan atau investasi<br />
(Pasal 22). Pengaturan mengenai<br />
perizinan atas kegiatan<br />
penghimpunan dana masyarakat<br />
lebih dimaksudkan untuk mencegah<br />
penghimpunan dana tanpa izin<br />
(umumnya disebut sebagai “bank<br />
gelap”), kecuali kegiatan<br />
penghimpunan dana tersebut diatur<br />
dengan <strong>UU</strong> tersendiri, seperti <strong>UU</strong><br />
Asuransi, <strong>UU</strong> Koperasi, dan <strong>UU</strong> Dana<br />
Pensiun. Hal tersebut menunjukkan<br />
bahwa pembentuk Undang-Undang<br />
menyadari betapa pentingnya <strong>UU</strong><br />
memberikan perlindungan terhadap<br />
kegiatan penghimpunan dana<br />
masyarakat yang dimaksudkan<br />
untuk melindungi kepentingan<br />
masyarakat yang memiliki dana. Hal<br />
tersebut juga dimaksudkan untuk<br />
menjaga kepercayaan masyarakat<br />
terhadap lembaga perbankan<br />
sebagai lembaga yang didasarkan<br />
pada asas kepercayaan. Atas<br />
pelanggaran kedua ketentuan<br />
tersebut diancam dengan sanksi<br />
yang sama, yang diatur dalam Pasal<br />
59. Sementara dalam <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong><br />
konvensional materi yang<br />
menyangkut izin usaha bank hanya<br />
berkaitan dengan penghimpunan<br />
dana (Pasal 16).<br />
Berbeda halnya dengan bentuk<br />
badan hukum bank yang selama ini<br />
dikenal (berdasarkan <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong><br />
konvensional) yaitu berupa PT,<br />
Koperasi, atau Perusahaan Daerah,<br />
dalam <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong> hanya<br />
mengenal bentuk badan hukum<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
Perseroan Terbatas (Pasal 7). Dalam<br />
hal ini, badan hukum PT bank<br />
tersebut selain tunduk pada aturan<br />
dalam <strong>UU</strong> No.40 Tahun 2007<br />
tentang Perseroan Terbatas, juga<br />
tunduk pada <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong>,<br />
hal ini sesuai dengan ketentuan<br />
dalam Pasal 4 <strong>UU</strong> PT yang<br />
menegaskan bahwa terhadap<br />
perseroan berlaku <strong>UU</strong> Perseroan<br />
Terbatas, anggaran dasar perseroan,<br />
dan ketentuan peraturan<br />
perundang-undangan lainnya,<br />
termasuk peraturan perbankan.<br />
Dengan bentuk badan hukum<br />
berupa PT, diharapkan <strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong><br />
dapat lebih mudah dalam memenuhi<br />
ketentuan di bidang perbankan,<br />
antara lain dalam hal penambahan<br />
modal mengingat dalam perseroan<br />
terbatas dikenal prinsip one share<br />
one vote, sehingga lebih mudah<br />
dalam mengambil keputusan<br />
dibandingkan dengan badan hukum<br />
lain, misalnya koperasi yang<br />
menganut prinsip one man one<br />
vote. Selain itu, penyelenggaraan<br />
Rapat Umum Pemegang Saham juga<br />
relatif lebih gampang dibandingkan<br />
penyelenggaraan Rapat Anggota<br />
pada koperasi.<br />
Jenis dan Kegiatan Usaha<br />
Pembagian jenis bank dalam<br />
perbankan syariah dibedakan<br />
menjadi bank umum dan <strong>Bank</strong><br />
Pembiayaan Rakyat <strong>Syariah</strong> (BPRS),<br />
dengan perbedaan pokok BPRS<br />
dilarang menerima simpanan berupa<br />
giro dan ikut serta dalam lalu lintas<br />
pembayaran. Pembagian jenis bank<br />
tersebut pada prinsipnya sama<br />
dengan perbankan konvensional.<br />
Kegiatan usaha perbankan syariah,<br />
khususnya menyangkut produk dan<br />
jasa yang ditawarkan, pada<br />
prinsipnya memiliki cakupan yang<br />
relatif lebih luas (bersifat universal<br />
banking) dibandingkan dengan yang<br />
ditawarkan perbankan konvensional,<br />
karena selain melakukan kegiatan<br />
usaha seperti halnya bank<br />
konvensional, bank syariah juga<br />
menawarkan jasa yang umumnya<br />
dijalankan oleh lembaga<br />
pembiayaan, seperti jasa leasing,<br />
serta pembiayaan bagi hasil yang<br />
umumnya ditawarkan oleh lembaga<br />
investasi, semacam modal ventura.<br />
Kegiatan usaha perbankan syariah,<br />
produk, serta jasanya wajib tunduk<br />
pada Prinsip <strong>Syariah</strong>, dalam hal ini<br />
fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis<br />
Ulama <strong>Indonesia</strong>. Fatwa dimaksud<br />
diimplementasikan menjadi<br />
ketentuan perbankan melalui<br />
Peraturan <strong>Bank</strong> <strong>Indonesia</strong>. Fatwa<br />
dimaksud perlu diimplementasikan<br />
melalui PBI mengingat fatwa yang<br />
dikeluarkan oleh MUI bersifat umum<br />
(misalnya menyangkut transaksi<br />
keuangan), sehingga perlu<br />
diterjemahkan kedalam peraturan<br />
yang bersifat khusus (perbankan).<br />
Dalam rangka penyusunan PBI<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
dimaksud, <strong>UU</strong> mengamanatkan<br />
<strong>Bank</strong> <strong>Indonesia</strong> untuk membentuk<br />
Komite <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong> yang<br />
anggotanya berasal dari <strong>Bank</strong><br />
<strong>Indonesia</strong>, Departemen Agama, dan<br />
masyarakat, yang memiliki keahlian<br />
di bidang syariah. Jumlahnya paling<br />
banyak 11 (sebelas) orang dengan<br />
komposisi yang seimbang.<br />
Pemilik dan Pengurus <strong>Bank</strong><br />
<strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong> menegaskan<br />
bahwa ketentuan mengenai syarat,<br />
jumlah, tugas, kewenangan,<br />
tanggung jawab, serta hal lain yang<br />
menyangkut dewan komisaris dan<br />
direksi <strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong> diatur dalam<br />
anggaran dasar <strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong> (pasal<br />
28). Selanjutnya ditegaskan bahwa<br />
salah satu dari jajaran direksi<br />
tersebut berperan sebagai direktur<br />
yang bertugas untuk memastikan<br />
kepatuhan <strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong> terhadap<br />
pelaksanaan ketentuan <strong>Bank</strong><br />
<strong>Indonesia</strong> dan peraturan perundangundangan<br />
lainnya.<br />
Demikian pentingnya sumber daya<br />
manusia di bidang perbankan, <strong>UU</strong><br />
ini juga mengatur mengenai uji<br />
kemampuan dan kepatutan bagi<br />
pengurus bank (Pasal 30), dan<br />
pemegang saham pengendali (Pasal<br />
27). Pengaturan tersebut diperlukan<br />
mengingat perbankan sebagai<br />
lembaga kepercayaan masyarakat<br />
perlu dikelola oleh pengurus yang<br />
mempunyai<br />
kemampuan/kompetensi dan<br />
kepatutan/integritas, serta dimiliki<br />
oleh pemegang saham yang<br />
mempunyai<br />
kemampuan/kompetensi dan<br />
kepatutan/integritas. Dengan<br />
demikian tidak setiap orang dapat<br />
menjadi pengurus atau pemilik<br />
bank, hanya mereka yang telah lulus<br />
uji kemampuan dan kepatutanlah<br />
yang berhak.<br />
Di samping Dewan Komisaris dan<br />
Direksi, <strong>UU</strong> ini juga mewajibkan<br />
dibentuknya Dewan Pengawas<br />
<strong>Syariah</strong> di setiap <strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong> dan<br />
<strong>Bank</strong> Umum konvensional yang<br />
memiliki <strong>UU</strong>S, dengan tugas antara<br />
lain memberikan nasihat dan saran<br />
kepada direksi serta mengawasi<br />
kegiatan bank agar sesuai dengan<br />
prinsip syariah (pasal 32). Dewan<br />
Pengawas <strong>Syariah</strong> tersebut diangkat<br />
oleh Rapat Umum Pemegang Saham<br />
atas rekomendasi Majelis Ulama<br />
<strong>Indonesia</strong>.<br />
Rahasia <strong>Bank</strong><br />
Rahasia bank merupakan hal<br />
penting dalam dunia perbankan,<br />
dan berlaku umum di seluruh<br />
negara. Pengaturan mengenai<br />
rahasia bank pada umumnya sama<br />
dengan <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> konvensional,<br />
yang wajib dirahasiakan adalah<br />
segala sesuatu yang berhubungan<br />
dengan keterangan mengenai<br />
nasabah dan simpanannya,<br />
kewajiban tersebut berlaku bagi<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
ank dan pihak terafiliasi. Beberapa<br />
pengaturan mengenai rahasia bank<br />
dalam <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong> yang<br />
agak berlainan dengan <strong>UU</strong><br />
<strong>Perbankan</strong> konvensional, antara lain:<br />
1) Tidak diaturnya pengecualian<br />
rahasia bank untuk kepentingan<br />
piutang yang sudah diserahkan<br />
kepada BUPLN/PUPN, seperti<br />
halnya yang diatur dalam <strong>UU</strong><br />
<strong>Perbankan</strong> konvensional. Dengan<br />
demikian pengecualian rahasia<br />
bank yang dapat dimintakan<br />
izinnya ke BI terbatas hanya<br />
untuk kepentingan perpajakan,<br />
dan kepentingan peradilan<br />
dalam perkara pidana. Di<br />
samping itu terdapat<br />
pengecualian lainnya yang tidak<br />
memerlukan izin dari BI, yaitu<br />
dalam perkara perdata antara<br />
bank dengan nasabahnya, dalam<br />
rangka tukar menukar informasi<br />
antar bank, dan atas permintaan,<br />
persetujuan atau kuasa dari<br />
nasabah, serta bagi ahli waris<br />
yang sah dalam hal nasabah<br />
telah meninggal dunia.<br />
2) Pengaturan mengenai penyidik<br />
diperluas, tidak hanya terbatas<br />
pada jaksa atau polisi, tetapi<br />
berlaku juga bagi penyidik lain<br />
yang diberi wewenang<br />
berdasarkan <strong>UU</strong> (Pasal 43).<br />
Dengan demikian para penyidik<br />
di luar polisi atau jaksa dapat<br />
meminta keterangan mengenai<br />
rahasia bank, namun permintaan<br />
tersebut tetap diajukan oleh<br />
pimpinan instansi/departemen<br />
atau setingkat menteri. Hal<br />
tersebut menunjukkan sikap<br />
masih dipertahankannya sifat<br />
kerahasiaan bank, walaupun<br />
diperluas kepada penyidik diluar<br />
polisi atau jaksa, tetapi hanya<br />
tingkat<br />
pimpinan<br />
instansi/departemen yang dapat<br />
mengajukan permintaan izin<br />
dimaksud.<br />
Pembinaan dan Pengawasan<br />
<strong>Bank</strong><br />
<strong>Bank</strong> merupakan suatu lembaga<br />
kepercayaan yang dalam melakukan<br />
kegiatan usahanya sebagian besar<br />
menggunakan dana masyarakat<br />
Oleh karena itu untuk menjaga<br />
kelangsungan usahanya, dan<br />
menjamin kestabilan sistem<br />
perbankan secara keseluruhan,<br />
maka terhadap lembaga perbankan<br />
perlu dilakukan pengawasan oleh<br />
otoritas perbankan yaitu <strong>Bank</strong><br />
<strong>Indonesia</strong>. Pengaturan mengenai<br />
pembinaan dan pengawasan bank<br />
secara umum hampir sama dengan<br />
<strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> konvensional, antara<br />
lain menyangkut kewajiban bank<br />
untuk memelihara tingkat<br />
kesehatan, kewajiban untuk<br />
menyampaikan segala keterangan<br />
mengenai usahanya kepada <strong>Bank</strong><br />
<strong>Indonesia</strong>, dan kewajiban untuk<br />
memberikan kesempatan bagi<br />
pemeriksaan buku-buku dan berkas-<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
erkas atas permintaan <strong>Bank</strong><br />
<strong>Indonesia</strong>. Di samping itu diatur pula<br />
penugasan kepada kantor akuntan<br />
publik atau pihak lain untuk<br />
melakukan pemeriksaan, serta<br />
beberapa kewenangan <strong>Bank</strong><br />
<strong>Indonesia</strong> untuk melakukan tindakan<br />
dalam rangka tindak lanjut<br />
pengawasan. Pengaturan yang<br />
relatif baru adalah pemberian<br />
kewenangan kepada <strong>Bank</strong> <strong>Indonesia</strong><br />
dalam rangka melaksanakan tugas<br />
pengawasan bank (pasal 52 ayat<br />
(3)), yaitu kewenangan untuk:<br />
- Memeriksa dan mengambil<br />
data/dokumen dari setiap tempat<br />
yang terkait dengan bank;<br />
- Memeriksa dan mengambil<br />
data/dokumen dan keterangan<br />
dari setiap pihak yang menurut<br />
penilaian BI memiliki pengaruh<br />
terhadap bank;<br />
- Memerintahkan bank melakukan<br />
pemblokiran rekening tertentu.<br />
Pengaturan yang relatif baru lainnya<br />
adalah mengenai pencabutan izin<br />
usaha bank atas permintaan sendiri<br />
(self liquidation). Dalam rangka<br />
mengantisipasi adanya permintaan<br />
pencabutan izin usaha bank atas<br />
permohonan pemegang saham,<br />
telah diakomodir pasal yang<br />
mengatur mengenai hal tersebut<br />
sebagai payung hukum (Pasal 54<br />
ayat (4)). Ketentuan seperti ini belum<br />
diatur dalam <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong><br />
konvensional. Pengaturan mengenai<br />
pencabutan izin usaha atas<br />
permintaan sendiri sejalan dengan<br />
<strong>UU</strong> LPS yang membuka<br />
kemungkinan pencabutan izin usaha<br />
atas permintaan pemegang saham.<br />
Dalam hal ini LPS tidak membayar<br />
klaim penjaminan nasabah<br />
penyimpan, karena penyelesaian<br />
seluruh kewajiban bank merupakan<br />
tanggung jawab bank yang<br />
bersangkutan. Oleh karena itu,<br />
pengajuan pencabutan izin usaha<br />
atas permintaan sendiri hanya dapat<br />
diajukan bank kepada <strong>Bank</strong><br />
<strong>Indonesia</strong> setelah bank dimaksud<br />
menyelesaikan seluruh kewajibannya<br />
kepada nasabahnya.<br />
Penyelesaian Sengketa<br />
Hubungan bank dengan nasabah<br />
pada umumnya merupakan<br />
hubungan keperdataan. Jalinan<br />
hubungan tersebut, dalam<br />
praktiknya tidak selalu berjalan<br />
mulus, bisa saja timbul<br />
ketidaksepahaman atau sengketa<br />
diantara keduanya. Dalam hal terjadi<br />
sengketa yang menyangkut<br />
perbankan syariah, maka<br />
penyelesaian sengketa tersebut pada<br />
prinsipnya dilakukan oleh<br />
pengadilan dalam lingkungan<br />
Peradilan Agama (Pasal 55), namun<br />
apabila para pihak telah<br />
memperjanjikan lain, penyelesaian<br />
sengketa dilakukan sesuai dengan isi<br />
perjanjian. Dengan demikian<br />
sengketa perbankan syariah selain<br />
penyelesaiannya dapat dilakukan<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
melalui Peradilan Agama (sesuai <strong>UU</strong><br />
No.3 Tahun 2006 tentang<br />
Perubahan Atas <strong>UU</strong> No.7 Tahun<br />
1989 tentang Peradilan Agama),<br />
bisa juga memilih penyelesaian<br />
sengketa melalui musyawarah,<br />
mediasi perbankan, Basyarnas, atau<br />
peradilan umum. Namun, Undang-<br />
Undang mensyaratkan bahwa<br />
penyelesaian sengketa di luar<br />
Peradilan Agaman tetap harus<br />
dilakukan dengan berpedoman pada<br />
Prinsip <strong>Syariah</strong>.<br />
Sanksi<br />
Pengaturan sanksi dibedakan antara<br />
sanksi administratif dan sanksi<br />
pidana, dengan pola pengaturan<br />
umumnya hampir sama dengan <strong>UU</strong><br />
<strong>Perbankan</strong> (konvensional).<br />
Pengaturan sanksi yang relatif baru<br />
(Pasal 66) dalam hal ini adalah sanksi<br />
pidana bagi direksi atau pegawai<br />
<strong>Bank</strong> <strong>Syariah</strong> atau <strong>UU</strong>S yang dengan<br />
sengaja:<br />
Melakukan perbuatan yang<br />
bertentangan dengan <strong>UU</strong> ini dan<br />
perbuatan tersebut telah<br />
mengakibatkan kerugian bagi<br />
bank;<br />
Menghalangi pemeriksaan atau<br />
tidak membantu pemeriksaan<br />
yang dilakukan oleh dewan<br />
komisaris atau kantor akuntan<br />
publik;<br />
Memberikan penyaluran dana<br />
atau fasilitas penjaminan dengan<br />
melanggar ketentuan yang<br />
berlaku;<br />
Tidak melakukan langkahlangkah<br />
yang diperlukan untuk<br />
memastikan ketaatan bank<br />
terhadap ketentuan Batas<br />
Maksimum Pemberian<br />
Penyaluran Dana;<br />
diancam dengan pidana penjara 1<br />
tahun - 5 tahun, dan pidana denda<br />
antara Rp1 miliar - Rp5 miliar.<br />
Pengaturan mengenai pemidanaan<br />
atau kriminalisasi terhadap<br />
pelanggaran Batas Maksimum<br />
Pemberian Penyaluran Dana<br />
(BMPPD) tidak dikenakan secara<br />
langsung, sama seperti halnya dalam<br />
perbankan konvensional yang<br />
menerapkan Pasal 49 ayat (2) untuk<br />
menjaring pelanggaran BMPK, yaitu<br />
apabila bank tidak melakukan<br />
langkah-langkah yang diperlukan<br />
untuk memastikan ketaatan bank<br />
terhadap ketentuan dalam <strong>UU</strong><br />
<strong>Perbankan</strong>, dan ketentuan<br />
perundang-undangan lainnya yang<br />
berlaku bagi bank. Dengan demikian<br />
diberikan kesempatan bagi bank<br />
untuk melakukan perbaikan/koreksi<br />
atas pelanggaran BMPK, hal ini<br />
mengingat terjadinya pelanggaran<br />
BMPK tidak selalu diketahui secara<br />
langsung pada saat pemberian<br />
kredit, tetapi bisa saja baru diketahui<br />
di kemudian hari.<br />
Adanya pengaturan sanksi tersebut<br />
diharapkan dapat lebih<br />
mempertegas ancaman terhadap<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
norma-norma yang telah ditetapkan,<br />
yang seharusnya dipatuhi oleh<br />
direksi maupun pegawai bank.<br />
Ketentuan Peralihan<br />
Dalam Aturan Peralihan telah diatur<br />
mengenai batasan <strong>UU</strong>S beralih<br />
menjadi <strong>Bank</strong> Umum <strong>Syariah</strong>,<br />
mengingat <strong>UU</strong>S hanya bersifat<br />
sementara, yaitu :<br />
(1) Dalam hal <strong>Bank</strong> Umum<br />
Konvensional memiliki <strong>UU</strong>S yang<br />
nilai asetnya telah mencapai<br />
paling sedikit 50% (lima puluh<br />
persen) dari total nilai aset bank<br />
induknya, maka <strong>Bank</strong> Umum<br />
Konvensional dimaksud wajib<br />
melakukan Pemisahan <strong>UU</strong>S<br />
tersebut menjadi <strong>Bank</strong> Umum<br />
<strong>Syariah</strong>; atau<br />
(2) 15 (lima belas) tahun sejak<br />
berlakunya Undang-Undang<br />
<strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong>, maka <strong>Bank</strong><br />
Umum Konvensional yang<br />
memiliki <strong>UU</strong>S wajib melakukan<br />
Pemisahan <strong>UU</strong>S yang dimilikinya<br />
menjadi <strong>Bank</strong> Umum <strong>Syariah</strong>.<br />
Semangat dari pengaturan tersebut<br />
adalah untuk menciptakan<br />
perbankan syariah yang murni di<br />
masa depan, sehingga kelak tidak<br />
dikenal lagi sistem campuran antara<br />
bank syariah dengan bank<br />
konvensional. Pengaturan lebih<br />
lanjut mengenai peralihan tersebut<br />
akan diatur dalam PBI. Guna<br />
mendukung efektivitas pengaturan<br />
tersebut, maka dalam PBI mengenai<br />
hal tersebut perlu dibuat secara<br />
tegas pengaturan persyaratan dan<br />
tata cara peralihan dari <strong>UU</strong>S menjadi<br />
<strong>Bank</strong> Umum <strong>Syariah</strong>, serta sanksi<br />
bagi yang melanggar, di samping itu<br />
hal terpenting adalah penegakan<br />
hukum atas aturan tersebut.<br />
PENUTUP<br />
1. Dengan telah disahkannya R<strong>UU</strong><br />
<strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong> menjadi <strong>UU</strong>,<br />
maka amanat <strong>UU</strong> tentang + 25<br />
pengaturan lebih lanjut dalam<br />
PBI perlu segera disiapkan<br />
penyusunannya, termasuk di<br />
dalamnya penyesuaian beberapa<br />
PBI yang berlaku saat ini dengan<br />
materi <strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong>.<br />
2. Untuk lebih memberikan<br />
pemahaman yang memadai<br />
kepada perbankan dan<br />
masyarakat umum sebagai<br />
pengguna, maka sosialisasi <strong>UU</strong><br />
<strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong> dan peraturan<br />
pelaksanaannya perlu dilakukan<br />
secara efektif, baik melalui<br />
seminar/ lokakarya maupun<br />
melalui media masa.<br />
3. Dengan telah diberlakukannya<br />
<strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> <strong>Syariah</strong> yang<br />
merupakan landasan hukum bagi<br />
kegiatan perbankan syariah di<br />
<strong>Indonesia</strong>, maka diharapkan<br />
dapat<br />
mendorong<br />
perkembangan perbankan<br />
syariah, khususnya dalam<br />
peningkatan pelayanan<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
perbankan baik dari sisi jumlah<br />
bank maupun jaringan<br />
pelayanan, sehingga peranan<br />
perbankan syariah sebagai salah<br />
satu pilihan di samping<br />
perbankan konvensional, dapat<br />
meningkat dengan pangsa yang<br />
cukup signifikan dibanding<br />
perbankan konvensional.<br />
4. Dengan terdapatnya beberapa<br />
perbedaan pengaturan antara<br />
perbankan syariah dengan<br />
perbankan konvensional, maka<br />
<strong>UU</strong> <strong>Perbankan</strong> konvensional<br />
perlu dilakukan perubahan, agar<br />
tidak menimbulkan kerancuan<br />
dalam pelaksanaannya.<br />
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008