Ustadz Ghufron: Memperjuangkan Madrasah ... - Kemenag Jatim
Ustadz Ghufron: Memperjuangkan Madrasah ... - Kemenag Jatim
Ustadz Ghufron: Memperjuangkan Madrasah ... - Kemenag Jatim
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>Ustadz</strong> <strong>Ghufron</strong>,<br />
di antara kesibukan<br />
membimbing para santri<br />
serta perjuangan dakwahnya,<br />
masih diberi kecukupan oleh<br />
Allah Swt.<br />
hari ibu memasak banyak untuk keperluan para guru. Itu pun<br />
dari uang ayah sendiri,” kenangnya.<br />
Keluarga Malidji, memang tak sekedar berjuang dengan<br />
tenaga dan ilmunya, tapi juga dengan seluruh harta dan jiwa<br />
raganya. Maka bagi Malidji waktu itu, SPP siswa tak begitu<br />
dipedulikannya. Sebab yang terpenting baginya, anak-anak di<br />
kampung ini bisa sekolah dan mendapat ilmu yang cukup untuk<br />
bekal di kehidupannya kelak.<br />
Seperti ghalibnya anak-anak di kampungnya, <strong>Ghufron</strong><br />
juga ikut mengaji dan bersekolah di MI ini. Ia belajar kepada<br />
orangtua dan teman-teman ayahnya. Meski memiliki jiwa<br />
dakwah dan garis perjuangan yang kokoh, Malidji ternyata tak<br />
serta merta mengharuskan <strong>Ghufron</strong> mengikuti jejaknya. <strong>Ghufron</strong><br />
dibesarkan oleh ayah dan ibunya dengan alam pikiran modern<br />
yang menyerahkan sepenuhnya pilihan hidup kepadanya.<br />
“Ayah hanya menunjukkan mana yang baik dan yang tidak.<br />
Beliau juga berpesan agar saya bisa memiliki ilmu yang cukup.<br />
Tidak perlu terlalu tinggi, tapi yang penting barokah dan bermanfaat,”<br />
katanya. “Sementara medan perjuangan dakwah, bisa di<br />
mana pun dan kapan pun, tidak mesti melalui lembaga formal<br />
seperti ini,” tandasnya.<br />
Hubungan di antara mereka, terjalin erat sebagai kawan<br />
ataupun guru dan murid – di luar pertalian mereka sebagai anak<br />
dan orangtua. Melalui mata ayahnya, <strong>Ghufron</strong> belajar banyak<br />
hal: perjuangan hidup, ketekunan, pengabdian, istiqamah dalam<br />
mengajar, hingga memahami alam pikiran modern. Melalui hati<br />
ibunya, ia juga belajar tentang proses kesabaran, keteguhan hati<br />
dan kemuliaan hidup.<br />
Setamat MI Al-Ikhsan, <strong>Ghufron</strong> melanjutkan ke MTs<br />
Wachid Hasyim yang saat itu berada di Jl. Tuban Raya Surabaya.<br />
Setelahnya, ia memilih mondok di Pesantren Sukorejo Situbondo.<br />
Tapi di tengah kenyamanannya menempuh studi di pesantren,<br />
dirinya dikejutkan oleh berita ibunya yang sakit keras.<br />
<strong>Ghufron</strong> pulang untuk menengok ibunya. Namun waktu perjumpaan<br />
itu terasa kian singkat. Ibunya meninggal tepat tengah<br />
malam menjelang fajar subuh.<br />
Perjuangan sang Ayah kian berat sepeninggal ibunya.<br />
<strong>Ghufron</strong> pun harus kembali ke pondok menyelesaikan studinya.<br />
Setelah 10 tahun menimba ilmu di pesantren, <strong>Ghufron</strong> pun<br />
pulang. Tahun 1994, ketika usia ayahnya sudah beranjak senja,<br />
<strong>Ghufron</strong> menggantikan peran ayahnya. Tak ada paksaan dari<br />
siapa pun agar dia meneruskan perjuangan sang ayah.<br />
Dengan bekal keilmuan yang dimiliki – meski tak sempat<br />
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi – <strong>Ghufron</strong> sebetulnya<br />
berkesempatan mengembangkan karir dan mendapat<br />
penghidupan yang layak di luar sana. Tapi sama seperti<br />
ayahnya, <strong>Ghufron</strong> menilai, perjuangannya di Kampung Dupak<br />
Masigit adalah pilihan hidupnya. Bahkan tantangannya jauh<br />
lebih berat saat ini. “Di tempat lain kan sudah banyak yang<br />
menangani. Sementara daerah-daerah seperti ini lah yang butuh<br />
perhatian kita, karena tak semua orang mau peduli dengan<br />
kehidupan warga ekonomi menengah ke bawah seperti di sini,”<br />
ujarnya.<br />
Untuk mendukung langkah perjuangannya, <strong>Ghufron</strong> rela<br />
menjadikan ruang di lantai bawah rumahnya sebagai kantor MI.<br />
Sementara ia dan istri, serta anak-anaknya tinggal di atas. “Kalau<br />
ada tamu, siapa pun itu, ya kami terima di ruang kantor ini,”<br />
ucapnya sambil senyum dikulum.<br />
Walau demikian, lelaki kelahiran Sampang, 3 April 1968<br />
itu menyadari, bahwa keluarganya pantas untuk menerima kehidupan<br />
yang lebih layak dari ini. Karena itulah, dirinya selalu<br />
menghibur keluarganya dengan ganjaran yang telah dijanjikan oleh<br />
Allah bagi mereka yang mau berjuang di jalan-Nya. “Toh senyatanya,<br />
kami masih diberi kecukupan oleh Allah. Banyak rezeki<br />
tak terduga yang kami dapatkan,” terang suami Siti Asiyah ini.<br />
Seiring perjalanan sang waktu, kini di tempat ini juga<br />
didirikan lembaga non formal TPQ yang diasuh oleh istrinya.<br />
“Alhamdulillah, istri pun turut berjuang mengamalkan ilmu dan<br />
menegakkan agama Allah,” ujar ayah dua anak ini penuh syukur.<br />
Selain lewat jalur formal, ustadz <strong>Ghufron</strong> juga dikenal<br />
masyarakat setempat berdakwah lewat kesederhanaannya.<br />
Barangkali karena itulah, yang membuat dirinya hingga sekarang<br />
tetap dipercaya masyarakat mendidik anak-anak mereka. <strong>Ustadz</strong><br />
<strong>Ghufron</strong> pun tak canggung menemani warga duduk dan mengobrol<br />
di warung kopi. “Di setiap kesempatan akan saya sampaikan<br />
ajaran Allah. Sebab tak jarang, di warung itu, orangorang<br />
minta penjelasan terkait persoalan agama,” paparnya.<br />
Akhir Desember lalu, perjuangan <strong>Ustadz</strong> <strong>Ghufron</strong> menghidupi<br />
madrasah mendapat apresiasi dari Kementerian Agama<br />
Prov. Jawa Timur. “Alhamdulillah, kami mendapat bantuan<br />
dana untuk mendirikan gedung baru berisi 2 kelas bertingkat.<br />
Warga pun mulai peduli dengan memberikan bantuan sumbangan<br />
pembangunan,” ucapnya penuh syukur.<br />
Kisah keluarga <strong>Ustadz</strong> <strong>Ghufron</strong> berjuang melalui madrasah<br />
sungguh melambangkan bahwa di bawah keangkuhan tembok<br />
gedung megah kota Surabaya, masih ada orang yang peduli<br />
terhadap kehidupan masyarakat kelas bawah. Surabaya memang<br />
ironi. Tapi bagaimana pun juga, walau kerap menampakkan<br />
kegetiran batin warganya, sejarah kota Pahlawan selalu melahirkan<br />
para pejuang kehidupan.• Dedy Kurniawan<br />
MPA 308 / Mei 2012<br />
35