26.06.2015 Views

o_19omr6ri81mdh112p1n9912rcb5ja.pdf

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

THE AHOK WAY - Hidup adalah Kebenaran, Mati adalah Keuntungan<br />

Oleh Piter Randan Bua<br />

Hak Cipta © 2014, Piter Randan Bua<br />

Managing Editor<br />

Desain cover<br />

Layout<br />

Penyunting Naskah<br />

Proof Reader<br />

: James Yanuar<br />

: Denny Octavianus<br />

: Felly Meilinda<br />

: James Yanuar & Jonathan Arifin<br />

: Sansulung Darsum<br />

Diterbitkan oleh:<br />

PT. VISI ANUGERAH INDONESIA<br />

Jalan Karasak Lama No.2 - Bandung 40235<br />

Telp : 022-522 5739 - Fax : 022-521 1854<br />

Email : visipress@visi-bookstore.com<br />

ISBN 978-602-1315-07-1<br />

Cetakan pertama, Maret 2014<br />

Cetakan kedua, Mei 2014<br />

Cetakan ketiga, November 2014<br />

Indonesian Edition © Visipress 2013<br />

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang<br />

Dilarang memperbanyak sebagian atau<br />

seluruh isi buku ini tanpa seizin Penerbit.<br />

Member of CBA Indonesia<br />

No : 05/PBL-BS/1108/CBA-Ina<br />

Member of IKAPI<br />

No : 185/JBA/2010


UCAPAN<br />

TERIMA KASIH<br />

Dengan ketulusan hati saya menyampaikan terima<br />

kasih kepada Ir. Basuki Tjahaja Purnama, M.M.<br />

(Wakil Gubernur DKI Jakarta), yang akrab disapa<br />

Ahok, sebagai inspirasi utama hadirnya tulisan ini.<br />

Tak lupa istriku, Ludya Lembang, dan putri kesayanganku,<br />

Prinza Evangelica Randanan, yang setia<br />

memberikan doa dan dukungan dalam menyelesaikan<br />

buku ini.


DAFTAR ISI<br />

Pengantar Penulis 7<br />

Jalan Ahok dalam Menegakkan Kebenaran<br />

Memilih Jalan Kebenaran 13<br />

Menegakkan Kebenaran dan Konstitusi 17<br />

Memilih Jalan Lurus 21<br />

Melawan ‘Harimau’ Ganas 25<br />

Tidak Mau Mati Konyol 29<br />

Jalan Ahok Tentang Pilihan Politiknya<br />

Menantang Arus Political Voice 35<br />

Menolak Politik SARA 41<br />

Menolak Politik Uang 47<br />

Menyuarakan Suara ‘Kenabian’ 51<br />

Memanggil Pemuda-pemudi BTP 57<br />

Jalan Ahok dalam Mencegah Korupsi<br />

dan Menata Birokrasi<br />

Menjadi Negarawan Sejati 63<br />

Mencegah ‘Maling’ Jadi Pejabat 67<br />

Transparan kepada ‘Tuan’nya 73


Menghemat Uang Negara 77<br />

Fokus Menyelesaikan Tugasnya 81<br />

Melawan Perilaku Korup 87<br />

Jalan Ahok dalam Merajut Ke-Indonesia-an<br />

Melawan Diskriminasi Primordial 95<br />

Menyelamatkan Generasi Bangsa 101<br />

Tidak Membeda-bedakan 105<br />

Menegakkan Pilar Bangsa 111<br />

Mencari Pejuang Revolusi Beradab 115<br />

Jalan Ahok Tentang Kepemimpinan<br />

Memimpin Sebagai Pelayan 121<br />

Memimpin dengan Keteladanan 127<br />

Tak Mengejar Keuntungan 131<br />

Tak Mengharapkan Pujian 135<br />

Nama Baik Di Atas Segalanya 139<br />

Menjadikan Istri Sebagai Partner dan Penolong 143<br />

Jalan Ahok untuk Bekerja Bagi Kepentingan Rakyat<br />

Tak Melupakan Orang Miskin 149<br />

Rakyat Tak Perlu Diurus 155<br />

Menegakkan Hak Asasi Manusia 159<br />

Menyelenggarakan Pendidikan Tanpa Diskriminasi 163<br />

Menghargai Petani 167<br />

Berjuang Untuk Kesejahteraan Buruh 173<br />

Meninggalkan Kenyamanan untuk Melawan Kesemena-menaan 177<br />

Pustaka Sumber & Pustaka Foto 181<br />

Jalan Piter Randan Bua 183


PENGANTAR<br />

PENULIS<br />

Di Sungai Sebulu, Kecamatan Gantung, Ahok di masa kecilnya sering<br />

memancing ikan. Sungai yang tenang tapi dihuni buaya-buaya ganas<br />

dan Ahok pernah hampir menjadi korbannya. Walaupun sungai itu<br />

dihuni buaya-buaya berbahaya tapi masyarakat selalu tertarik dengan pesona<br />

dan kekayaannya. Mereka tetap memancing dan mencari ikan di sana. Sudah<br />

banyak yang menjadi korban keganasan buaya Sungai Sebulu itu, tapi ia tetap<br />

dikunjungi. Masyarakat Belitung Timur tak sanggup menahan hasrat untuk menikmati<br />

‘mutiara’ yang terkandung dalam sungai itu walau harus menantang<br />

maut. Kalau tak waspada, akan kehilangan nyawa.<br />

Seperti politik di negeri ini, menawarkan banyak sensasi kenikmatan<br />

tapi juga maut dan penderitaan. Karena itulah, ia tetap dikejar dan yang tak<br />

waspada, menanggung risikonya. Ahok ada dalam iringan para pengejar itu,<br />

tapi keberuntungan masih memihaknya. Rahasianya, ia tetap waspada dengan<br />

melangkah dalam Jalan Kebenaran. Jalan Kebenaran itu sempit, terjal,<br />

gersang, berbatu, dan penuh cadas yang tajam. Di sana pulalah ular-ular beludak<br />

dengan bisa yang mematikan bermukim.<br />

Siap mematuk dan menghancurkan<br />

tumit siapapun, yang berjalan di atasnya.<br />

Siapapun yang berani memilih jalan itu,<br />

ia harus rela kakinya terluka. Menderita<br />

7


THE AHOK WAY<br />

kesakitan dengan risiko dipagut ular<br />

berbisa. Hanya mereka yang tak menyayangi<br />

nyawanya yang berani menempuh<br />

jalan itu.<br />

Ahok menatap jalan itu sembari<br />

membenarkan posisi kacamatanya,<br />

agar pandangannya jelas dan hatinya<br />

mantap. Ia melangkah dengan perlahan<br />

di atas jalan itu, sembari menahan sakit<br />

yang tak tertahankan. Ia mengerang, meringis tapi terus berjalan. Akhirnya ia<br />

terbiasa dengan kesakitan itu dan tak memedulikannya lagi.<br />

Di ujung jalan itu ada oase yang menyegarkan jiwa dan membawa kesejukan.<br />

Jalan Kebenaran, jalan yang diinginkan semua orang tapi jarang dipilih<br />

karena terlalu berisiko. Tapi Ahok memilihnya demi meretas asa mengatasi persoalan<br />

bangsa ini yang semakin menahun. Sebab jalan itu adalah satu-satunya<br />

jalan yang bisa menyelamatkan dirinya dari ‘buaya’ politik yang ganas. Jalan<br />

itu harus ditempuhnya meskipun ia harus mati memperjuangkan kebenaran.<br />

Baginya, ‘Hidup adalah Kebenaran, Mati adalah Keuntungan.’<br />

Seperti benang kusut yang menggumpal, demikianlah sulitnya mengurai<br />

persoalan yang diderita bangsa ini. Telinga kita telah bising dengan kritik dan<br />

solusi yang ditawarkan, tapi tak banyak memberikan jalan keluar. Banyak yang<br />

berteriak bahwa menegakkan kebenaran adalah solusi terbaik tapi para pemimpin<br />

bangsa ini hanya sedikit yang mau berjalan ke sana. Akibatnya rakyat<br />

semakin menderita dan kehilangan harapan. Hak-hak mereka dirampok dan<br />

dijarah oleh segelintir orang. Rakyat menjadi asing di rumah sendiri, karena<br />

bangsa ini tak berpihak kepada mereka. Pemimpin silih berganti, pulang dan<br />

pergi, hilir mudik tapi nasib mereka tetap sama. Miskin dan menderita.<br />

Satu-satunya harapan terakhir adalah penegakan hukum yang berpihak<br />

pada kebenaran. Tapi ia terkulai lemas juga. Hukum telah dikhianati oleh penegak<br />

hukum itu sendiri. Kenyataanya adalah hukum seperti pedang yang telah<br />

8


PENGANTAR PENULIS<br />

diasah, tajam, tapi dibiarkan berkarat tak terpakai. Mereka yang berhak mengayunkannya<br />

tak bisa berbuat apa-apa. Mereka seolah terhipnotis dengan sebuah<br />

mantra. Tak berani mengayunkannya, mungkin karena takut mengenai diri<br />

sendiri.<br />

Di tengah pesimisme rakyat yang semakin menebal karena pemimpin mereka<br />

tak dapat lagi bisa dipercaya, muncullah Ahok seolah membawa harapan<br />

baru. Ia mencoba mengurai benang kusut<br />

yang menggumpal itu. Memulainya<br />

dari Negeri Laskar Pelangi hingga ke<br />

Ibu Kota Negara. Kemunculan Ahok<br />

menyentak banyak orang tapi tak sedikit<br />

juga yang memandangnya sinis.<br />

Meremehkannya. Tapi Ahok tak peduli.<br />

Ia mencoba menarik ‘pedang’ yang<br />

berkarat itu. Mengayunkannya dengan penuh keberanian, sehingga mereka<br />

yang tak berpihak pada kebenaran menjadi berang, tapi akhirnya lari terbiritbirit.<br />

Ahok bersama Jokowi terus berusaha mengurai benang kusut itu di atas<br />

jalan yang bercadas tajam dan dihuni ular berbisa. Merajutnya menjadi sebuah<br />

kekuatan yang memihak pada kebenaran demi keadilan. Tak ayal, duet yang<br />

menyebut dirinya pelayan rakyat ini sedikit demi sedikit mulai membangkitkan<br />

harapan dan semangat rakyat yang telah lama meredup. Dampaknya, siapapun<br />

yang menghujat duet ini, rakyat bereaksi membela mereka. Siapapun yang<br />

mencemooh akan ‘kualat,’ terhempas oleh kekuatan rakyat sebagai pemegang<br />

‘suara Tuhan.’<br />

Kini harapan baru itu membesar menjadi sebuah gerakan yang tak dapat<br />

dibendung. Rakyat banyak menginginkan Jokowi dan Ahok melangkah lebih<br />

besar lagi membenahi Indonesia. Menjadikan Indonesia ‘rumah’ yang nyaman<br />

dihuni. Mengayomi semua dalam harmoni keberagaman.<br />

Semoga asa yang menggebu-gebu itu tak padam di tengah jalan, karena<br />

9


THE AHOK WAY<br />

Jokowi dan Ahok tak sanggup memenuhinya. Atau tersandung dan tersandera<br />

seperti pendahulu-pendahulu mereka. Tapi apapun alasannya, kita perlu<br />

berbangga karena masih ada pemimpin yang muncul yang berpihak pada<br />

kepentingan kebenaran dan keadilan. Setidaknya, melalui jejak yang mereka<br />

toreh. Pemimpin yang memiliki pandangan humanis dan semata-mata untuk<br />

mengembalikan kebenaran itu pada posisi yang seharusnya. Walaupun dengan<br />

tertatih-tatih.<br />

Sayang dalam buku ini, saya hanya bisa melukis secuil dari jejak-jejak kaki<br />

Ahok, sebatas yang muncul di permukaan dan yang dapat saya jangkau. Semoga<br />

menjadi inspirasi dan dapat diuji kemujarabannya mengurai benang kusut permasalahan<br />

bangsa ini. Buku ini tak bermaksud menjadikan Ahok menjadi superior<br />

dari anak-anak bangsa lainnya. Melainkan akan menjadi kontrol baginya<br />

sekaligus akan menamparnya jika berpaling dari Jalan Kebenaran yang telah<br />

dipilihnya.<br />

‘Siapa mengejar kebenaran dan kasih<br />

akan memperoleh kehidupan, kebenaran, dan kehormatan’<br />

Salam Kebenaran,<br />

Piter Randan Bua<br />

10


Jalan Ahok<br />

dalam<br />

Menegakkan<br />

Kebenaran<br />

1


MEMILIH<br />

JALAN KEBENARAN<br />

Ahok berjalan di antara kerumunan rakyat yang mengelu-elukannya.<br />

Di sisi kirinya ada Veronica Tan, istri yang dikasihinya. Ia mengulurkan<br />

tangan menyalami semua orang yang berjejer sepanjang jalan<br />

yang dilaluinya. Beberapa anak kecil berjalan di belakangnya mengelu-elukannya<br />

sambil memanggil-manggil namanya. Itulah yang terjadi saat ia melakukan<br />

kampanye Pilgub 2007 Bangka Belitung, di Pangkal Pinang. Rakyat seperti<br />

dibangkitkan semangatnya. Padahal sebelumnya tulang-tulang mereka lunglai,<br />

lemas tanpa gairah dengan gereget membara di hati. Kecewa. Marah hingga<br />

apatis melihat keseharian pejabat dan wakil mereka yang berkhianat. Mereka<br />

yang di awalnya berjanji dan bersumpah atas nama Tuhan untuk melayani rakyat<br />

sebaik-baiknya, berbalik menjadi pengkhianat dan merampok hak-hak rakyat,<br />

sehingga rakyat menjadi sengsara dan menderita kesusahan besar. Sebuah paradoks<br />

di bangsa yang begitu sensitif dengan isu-isu agama dan memiliki rumah<br />

ibadah bak jamur di musim hujan, begitu gamang kalap mata mencintai kejahatan.<br />

Kenyataan ini semakin memalukan saat institusi agama juga terperosok ke<br />

dalam lubang yang sama–korupsi dan kemunafikan. Bangsa ini dalam kaca mata<br />

para teolog, memuliakan Allah dengan bibirnya, tapi hatinya menjauh dari-<br />

Nya. Entah sampai kapan kenyataan ini akan berlanjut tapi kita tak boleh patah<br />

semangat.<br />

13


THE AHOK WAY<br />

Kehadiran Ahok seolah menjadi penguat bahwa setiap zaman akan selalu<br />

muncul seorang pemimpin yang membawa sebuah pengharapan. Sejarah mencatat<br />

bahwa bangsa-bangsa di dunia yang mengalami pergolakan moral selalu<br />

memunculkan pribadi-pribadi yang membawa kepedulian dan bertekad<br />

melakukan sebuah perubahan. Mereka kadang hadir di tengah kefrustrasian<br />

dan keputusasaan untuk menyerukan kebenaran dan keadilan, menyejukkan<br />

hati yang dahaga dan lapar dengan<br />

kebenaran dan keadilan. Tak sedikit<br />

di antara mereka menyandang nama<br />

seorang politisi sekaligus nabi.<br />

Musa misalnya, ia adalah pemimpin<br />

agama sekaligus pemimpin politik<br />

yang dikenal dalam tiga agama besar:<br />

Yahudi, Kristen, dan Islam. Ia<br />

bertugas membebaskan kaumnya<br />

dari perbudakan di Mesir. Ada pula Muhammad SAW, Nabi kaum muslimin<br />

yang hadir memberikan pencerahan di tengah bejatnya manusia karena degradasi<br />

moral di kejahatan padang pasir. Dan Isa Al Masih (Yesus Kristus) yang<br />

datang membawa rekonsiliasi dengan prinsip kasih dalam kegamangan manusia<br />

terhadap sesamanya. Tak sekadar mengajarkan kasih, tapi membebaskan manusia<br />

dari belenggu dosa sebagaimana kesaksian kitab suci orang Nasrani.<br />

Di deretan masyarakat biasa, ada juga yang melakukan fungsi sama walaupun<br />

tak menyandang nama sebagai nabi, tapi mereka melakukan fungsi ‘kenabian.’<br />

Mereka adalah Mahatma Gandhi di India, yang berusaha mendamaikan<br />

dua faksi yang saling bertikai, walaupun akhirnya ia harus membayar dengan<br />

nyawanya. Bunda Teresa juga di India, yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat<br />

miskin dari yang termiskin. Nelson Mandela dan Marthen Luther<br />

King di Afrika dan Amerika, yang berjuang menentang perbudakan dan diskriminasi<br />

terhadap orang-orang kulit hitam dan pelecehan terhadap hak asasi<br />

manusia.<br />

14


Memilih Jalan Kebenaran<br />

Masih banyak lagi deretan nama-nama yang bisa kita ingat, memiliki hati<br />

yang mulia karena kecintaannya kepada nilai-nilai kemanusiaan. Mereka menentang<br />

ketidakadilan walaupun harus membayarnya dengan nyawa. Ada yang<br />

jasadnya masih bisa dikubur dengan terhormat, tapi ada juga yang dibuang begitu<br />

saja sehingga binatang buas melahapnya atau ditumpuk seperti binatang<br />

dalam lubang yang sama tanpa iringan doa dalam liang lahat yang tidak wajar.<br />

Ada pula yang hilang dengan misterius tanpa jejak. Sebut saja Wiji Thukul, di<br />

Indonesia dan beberapa aktivis 1998 yang sampai kini tak tahu di mana rimbanya.<br />

Ada lagi Baharuddin Lopa dan Munir yang kematiannya misterius dan tak<br />

tahu siapa pelaku pembunuhnya. Sampai sekarang masih teka-teki tanpa jawaban.<br />

Mereka meregang nyawa demi memperjuangkan hak-hak hidup mereka<br />

yang dirampas oleh saudara sebangsa sendiri. Mereka dibunuh dan dihabisi<br />

di rumah sendiri yang seharusnya menjadi pelindung mereka. Mereka pergi<br />

dengan kesedihan dan keberuntungan<br />

tidak memihak mereka, karena<br />

mereka memilih menjadi martir kebenaran.<br />

Kini, entah apa yang mereka<br />

akan pikirkan seandainya masih di<br />

sini. Mungkin mereka masih merintih<br />

kesakitan dalam kesunyian<br />

karena perjuangan mereka tak kunjung<br />

tercapai. Kemanusiaan masih diinjak-injak dan dilecehkan. Di negeri yang<br />

katanya beradab ini.<br />

Waktu terus berjalan membawa duka tersendiri bagi para pejuang kebenaran<br />

dan keadilan. Kehadiran mereka dianggap sebagai ancaman. Padahal<br />

sebenarnya tidak. Mereka hanya ingin kebenaran itu dikembalikan ke tempat<br />

yang sesungguhnya untuk mengayomi semua untuk sebuah harmoni. Mereka<br />

dipandang sinis dan dianggap aneh. Tapi tak sedikit juga yang disanjung walau<br />

kadangkala sanjungan itu tak sempat lagi mereka nikmati. Tak sedikit penderi-<br />

15

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!