13.07.2015 Views

Telaah Aspek Produksi, Pendapatan dan Kecukupan Pangan ...

Telaah Aspek Produksi, Pendapatan dan Kecukupan Pangan ...

Telaah Aspek Produksi, Pendapatan dan Kecukupan Pangan ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

ICASEPS WORKING PAPER No. 76<strong>Telaah</strong> <strong>Aspek</strong> <strong>Produksi</strong>, <strong>Pendapatan</strong> <strong>dan</strong><strong>Kecukupan</strong> <strong>Pangan</strong> Rumahtangga PertanianGatoet Sroe HardonoMaret 2005Pusat Analisis Sosial Ekonomi <strong>dan</strong> Kebijakan Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)Ba<strong>dan</strong> Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian


(Rusastra <strong>dan</strong> Sudaryanto, 1998), dimana rataan pemilikan per rumahtangga kurang dari0.3 ha (Sudaryanto, et al, 1999). Dengan kinerja demikian, perubahan pada lingkunganstrategis produksi pertanian <strong>dan</strong> lapangan usaha penunjang yang tidak kondusifberpeluang muncul sebagai pemicu penurunan derajat ketahanan pangan ataupeningkatan kejadian rawan pangan di lingkungan rumahtangga pertanian. Makalah inibertujuan menganalisis keterkaitan kinerja penguasaan aspek produksi (sumberdaya),sebagai sumber perolehan pendapatan, pola pengeluaran <strong>dan</strong> kecukupan pangan padarumahtangga pertanian.SUMBER DATA DAN METODE ANALISISMakalah ini memanfaatkan data seri penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS)dari Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian 1999 dengan pertimbangan lengkapnya aspekpenelitian (mencakup produksi <strong>dan</strong> pengeluaran), besarnya sebaran wilayah <strong>dan</strong> populasicontoh. Dari 35 desa penelitian yang tersebar di Propinsi Lampung, Jawa Tengah, JawaTimur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara <strong>dan</strong> Sulawesi Selatan, terpilih 23 desadengan jumlah sampel terpilih 399 rumahtangga, dimana pemilihan sampel mengikutisebaran rumahtangga contoh yang memiliki basis pertanian padi sebagai kriteria. Analisisdilakukan secara deskriptif menggunakan tabulasi silang sederhana dengan membedakanwilayah penelitian menurut agroekosistem. Nilai konsumsi energi <strong>dan</strong> protein diperoleh darihasil konversi pangan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan.HASIL DAN PEMBAHASANFaktor Demografi, <strong>Produksi</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pendapatan</strong>Pada umumnya kepala keluarga (KK) telah berusia cukup tua <strong>dan</strong> ukuranrumahtangga di daerah non sawah lebih besar dibanding daerah sawah (Tabel 1).Meskipun terdapat KK atau isteri yang memiliki jenjang sekolah hingga sekolah lanjutanatas (SMU), tetapi rataan tingkat pendidikan mereka adalah tidak tamat sekolah dasar(SD). Kinerja tingkat pendidikan ini mengindikasikan bahwa masalah tingginya tenaga kerjatak terdidik di sektor pertanian <strong>dan</strong> pedesaan hingga kini belum tertangani dengan baik(lihat Ariani <strong>dan</strong> Sayaka, 2000). Akan tetapi menurut Sudaryanto (1999), pada tingkatmakro kinerja pendidikan tenaga kerja pertanian sebenarnya sudah menunjukkanperbaikan. Hal ini ditandai dengan a<strong>dan</strong>ya penurunan pangsa tenaga kerja pertanian yangtidak pernah sekolah.2


Tenaga kerja merupakan input penting dalam usahatani. Pangsa biaya tenaga kerjaterhadap total biaya usahatani relatif besar, terlebih pada usahatani padi, sehinggaketersediaan tenaga kerja dalam keluarga merupakan aset berharga. Tabel 1 jugamenunjukkan, ketersediaan (pasok) tenaga kerja pada rumahtangga contoh berkisar antara3-4 orang. Sementara itu anggota rumahtangga yang belum atau tidak produktif relatifsedikit sehingga tanggungan rumahtangga menjadi kecil.Tabel 1. Karakteristik Demografi Rumahtangga Contoh.AgroekosistemNo. Uraian Sawah Non sawah Agregat1.2.3.4.5.6.7.8.Umur KK (th)Umur isteri (th)Pendidikan KK (th)Pendidikan isteri (th)Jml anggta rmhtangga (org)Jml anak sekolah (org)Jml tenaga kerja (org)Rasio Ketergantungan49.542.04.83.54.51.03.70.349.943.14.83.94.91.13.80.349.742.54.83.74.71.03.80.3Dalam perspektif ketahanan pangan, jaminan utama terbukanya akses fisikterhadap pangan adalah a<strong>dan</strong>ya penguasaan lahan (khususnya sawah) sebagai basisusahatani. Hasil analisis menunjukkan partisipasi penguasaan lahan sawah mencapai 94persen di daerah non sawah <strong>dan</strong> 97 persen di daerah sawah. Untuk jenis lahan lainnyatingkat partisipasi penguasaan sangat rendah. Secara agregat rataan pemilikan sawah perrumahtangga sebesar 0,52 ha (Tabel 2), dimana pemilikan di daerah agroekosistem sawahlebih sempit dibanding daerah non sawah. Angka tersebut lebih rendah dibandingkanrataan penguasaan lahan pertanian nasional hasil Sensus Pertanian 1993 dari BPS yangsebesar 0.74 ha/rumahtangga (Sudaryanto, et al. 1999).Sebagaimana ditunjukkan Tabel 2, partisipasi penguasaan seluruh jenis lahan nonmilik juga relatif rendah. Dari sisi penyediaan, oleh karena ketersediaan lahan relatif tetap,rendahnya penguasaan lahan non milik dapat disebabkan oleh sikap pemilik yangcenderung tidak melepaskan lahannya digarap orang lain. Sebagai aset utama, pelepasanlahan biasanya hanya terjadi pada kondisi darurat (terpaksa) secara ekonomi. Dari sisipermintaan, rendahnya partisipasi penguasaan di atas terkait dengan keterbatasan modal(pendapatan maupun tenaga kerja) rumahtangga disamping karena nilai sewa lahan (land3


ent) yang semakin mahal seiring makin kuatnya “tekanan” terhadap lahan sebagai imbasperkembangan wilayah.Tabel 2. Kinerja Penguasan Lahan Rumahtangga Contoh .AgroekosistemNo. Jenis Lahan Sawah Non Sawah Agregat1. Milik (ha):-Sawah0.47 (97.1) 0.57 (93.7) 0.52 (95.7)-Tegal0.58 (9.6) 1.34 (35.2) 1.12 (19.8)-Kebun0.78 (30.8) 1.02 (54.7) 0.91 (40.4)-Lainnya0.11 (78.3) 0.11 (64.8) 0.11 (72.9)2.Non milik (ha):-Sawah-Tegal-Kebun-Lainnya0.47 (36.3)0.36 (2.9)0.63 (0.8)0.16 (0.8)0.37 (22.0)0.78 (12.6)0.82 (4.4)0.08 (3.1)0.45 (30.6)0.67 (6.8)0.77 (2.3)0.11 (1.3)Keterangan: angka dalam kurung menunjukkan persen partisipasi penguasaan.Peran penting lahan sebagai input produksi dalam rumahtangga pertanian dapattercermin dari kontribusi pendapatan usahatani terhadap total pendapatan rumahtangga(Sawit et al, 1985). Pada Tabel 3 dapat disimak kontribusi pendapatan usahatani dalamrumahtangga pertanian contoh mencapai sekitar 75 persen. Angka tersebut lebih besar darianalisis Sumaryanto, et al (2002) di seluruh lokasi desa penelitian PATANAS (sekitar 56%). Di daerah penelitian rataan pendapatan rumahtangga mencapai Rp 7 539 000/tahunatau sekitar Rp 135 000/kapita/bulan. Sejalan dengan perbedaan luas penguasaan(Tabel2), lebih rendahnya pendapatan rumahtangga di daerah sawah ternyata karenapenguasaan lahan garapan di daerah tersebut lebih sempit dibandingkan di daerah nonsawah.Menarik disimak bahwa kontribusi (pangsa) pendapatan usahatani non paditernyata lebih besar daripada pendapatan dari usahatani padi. Struktur pendapatan sepertiitu selain terkait dengan faktor kendala skala usaha <strong>dan</strong> rendahnya produktivitas padi, jugatidak terlepas dari pengaruh faktor perbedaan harga antara padi dengan komoditas lainyang diusahakan. Dari sisi kualitas <strong>dan</strong> kapasitas input produksi (sumberdaya),produktivitas padi di daerah sawah hanya sekitar 3.6 ton/ha <strong>dan</strong> di daerah non sawah 3.5ton/ha. Intensitas tanam lahan sawah di kedua daerah relatif sama, yaitu sekitar 150persen. Angka persentase tersebut menunjukkan bahwa sebagian areal sawah petanimasih ada yang hanya dapat ditanami padi sekali setahun.4


Tabel 3. Struktur <strong>Pendapatan</strong> Rumahtangga Contoh (persen).No.1.2.3.Sumber pendapatanUsahatani:- Padi- Non padiBerburuh:- Pertanian- Non pertanianLainnya:AgroekosistemSawah Non sawah Agregat29.345.531.244.530.145.01.18.815.32.27.614.51.68.315.0Total (Rp 000/tahun) 7117 8158 7539Di luar usahatani, sebagian pendapatan rumahtangga berasal dari kegiatanberburuh. Meski memiliki pangsa relatif kecil, kegiatan berburuh (khususnya berburuh disektor non pertanian) berpotensi sebagai alternatif sumber pendapatan rumahtanggapertanian sehingga kebijakan penciptaan kesempatan kerja <strong>dan</strong> berusaha di pedesaanperlu terus dikembangkan. Bagi rumahtangga penggarap lahan, berburuh sifatnya hanyasambilan atau tambahan sehingga kegiatan ini biasanya dilakukan di sela waktu senggangdari kegiatan mengelola usahatani, atau ketika rumahtangga mengalami paceklik karenatidak ada garapan di lahan mereka. Akan tetapi, dengan bekal pendidikan <strong>dan</strong> ketrampilanterbatas menjadi tidak mudah bagi tenaga kerja dari rumahtangga pertanian untukmendapatkan pilihan kerja buruh yang memberikan pendapatan lebih layak. Terlebihkarena pasar tenaga kerja cenderung semakin kelebihan penawaran seiring dengansemakin tingginya pengangguran secara nasional setelah krisis ekonomi (Irawan <strong>dan</strong>Sutanto, 1999), sehingga upah buruh makin tertekan. Di daerah sawah, rataan upah buruhtani sebesar Rp 774/jam <strong>dan</strong> upah buruh non pertanian sekitar Rp 1659/jam, se<strong>dan</strong>gkan didaerah non sawah upah kedua jenis kegiatan masing-masing sekitar Rp 826/jam <strong>dan</strong> Rp2051/jam.Struktur pendapatan <strong>dan</strong> situasi ketenagakerjaan di atas juga mengesankanpentingnya peningkatkan skala <strong>dan</strong> kapasitas (kualitas) lahan garapan bagi peningkatanpendapatan rumahtangga pertanian. Akan tetapi hasil analisis model perilaku rumahtanggaoleh Hardono (2002) menunjukkan bahwa harga output yang berlaku di daerah penelitianbelum dapat menjadi insentif ekonomi bagi rumahtangga petani padi untuk memperluasskala usaha. Sehingga terkesan intervensi melalui mekanisme pasar yang telah dilakukanselama ini (melalui kebijakan harga pedoman pembelian pemerintah, HPP) tidak berjalanoptimal bila ditujukan untuk mendorong peningkatan skala garapan rumahtangga.5


Oleh karena peningkatan pendapatan merupakan source of power bagi peningkatankinerja ketahanan pangan rumahtangga, maka selain upaya peningkatan efektifitaskebijakan harga output, kreasi kebijakan lain yang dapat efektif dalam membuka peluangpetani adalah menambah luas garapan, baik melalui penambahan fisik maupunpeningkatan kapasitas <strong>dan</strong> kualitas lahan. Peningkatan mutu intensifikasi, investasi irigasi<strong>dan</strong> revitalisasi program reformasi agraria adalah beberapa alternatif opsi kebijakan yangrelevan.Pengeluaran RumahtanggaPada penelitian ini biaya atau pengeluaran pendidikan <strong>dan</strong> kesehatan dipisahkandari pengeluaran lainnya <strong>dan</strong> dikatagorikan sebagai investasi sumberdaya manusia.Disebut investasi karena pada pengeluaran tersebut terkandung ekspektasi (nilai harapan)peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam rumahtangga yang akan menghasilkantambahan manfaat (ekonomi <strong>dan</strong> non ekonomi) dalam jangka panjang.Secara agregat pangsa pengeluaran pangan rumahtangga sekitar 32 persen daritotal pengeluaran rumahtangga, dimana pengeluaran di daerah sawah lebih kecildibandingkan di daerah non sawah (Tabel 4). Terdapat kemungkinan angka pengeluarantersebut bias ke atas (over estimate) karena data penelitian PATANAS cenderungmenekankan aspek produksi (pendapatan). Pengeluaran non pangan merupakanpengeluaran terbesar yang meliputi pengeluaran untuk: penerangan, bahan bakar,pemeliharaan rumah, transportasi, sosial <strong>dan</strong> pengeluaran non pangan lainnya. Di daerahsawah pengeluaran non pangan mencapai 47 persen dari total pengeluaran, se<strong>dan</strong>gkan didaerah non sawah pengeluaran tersebut hanya 39 persen. Investasi sumberdaya manusiamencapai hampir 25 persen dari total pengeluaran dengan alokasi terbesar adalah padapengeluaran pendidikan. Kesediaan berinvestasi seperti itu mengindikasikan rumahtanggapertanian di pedesaan memiliki kesadaran cukup terhadap upaya peningkatan kapasitassumberdaya manusia dalam rumahtangga mereka.Terkait dengan aspek stabilitas pengeluaran atau konsumsi, rumahtangga pertanianpada umumnya menghadapi resiko ketidakpastian pendapatan karena usahatani merekadipengaruhi oleh kondisi musim (Hossain, 1998). Faktor musim berperan menentukanpencapaian tingkat pendapatan melalui pengaruhnya terhadap kecukupan air irigasi yangmenjadi syarat tumbuh <strong>dan</strong> keberhasilan usahatani. Derajat kecukupan air dapat berubahubahmengikuti perubahan iklim antar musim. Perubahan iklim yang terlalu menyimpang(anomali), seperti kejadian El Nino <strong>dan</strong> La Nina yang menimbulkan kekeringan, banjir, <strong>dan</strong>6


serangan hama berpotensi meningkatkan resiko keberhasilan produksi pangan (Irawan, etal. 2003).Tabel 4. Pola Pengeluaran Rumahtangga Contoh (persen)AgroekosistemNo. Jenis pengeluaran Sawah Non sawah Agregatl1.2.3.<strong>Pangan</strong>Non panganInvestasi SDM30.747.322.033.638.727.731.843.924.3T o t a l 100.0 100.0 100.0Faktor resiko pendapatan tersebut dalam jangka pendek dapat ditanggulangi bilarumahtangga memiliki coping strategy. Salah satu pilihan teknik coping di pedesaan adalahdengan menabung, baik dalam bentuk tunai atau natura. Penyimpanan gabah sebagaica<strong>dan</strong>gan pangan merupakan alternatif pilihan tabungan natura. Ca<strong>dan</strong>gan panganmaupun tabungan tunai biasa juga digunakan sebagai modal biaya usahatani selamabelum panen. Di daerah sawah akumulasi total nilai ca<strong>dan</strong>gan pangan <strong>dan</strong> tabungan tunaidalam setahun rata-rata mencapai Rp 392 000/rumahtangga, se<strong>dan</strong>gkan di daerah nonsawah hanya Rp 292 000/rumahtangga.<strong>Kecukupan</strong> <strong>Pangan</strong><strong>Kecukupan</strong> pangan merupakan indikator (outcome indicator) ketahanan pangan ditingkat rumahtangga. Untuk mengetahui kinerja kecukupan pangan dilakukan pengukurankecukupan energi <strong>dan</strong> protein. Rekomendasi kecukupan konsumsi energi pendudukIndonesia dalam hitungan setara pria dewasa (adult equivalent unit) adalah sebesar 2800Kkal/hr, se<strong>dan</strong>gkan kecukupan protein 55 gram/hari. Tingkat kecukupan tersebut setaradengan 2200 Kkal/kapita/hari untuk energi <strong>dan</strong> 48 gram/kapita/hari untuk protein (Muhilal,et al. 1998). Dari hasil perhitungan diperoleh rataan konsumsi energi anggota rumahtanggamencapai 2526 Kkal/hari/setara pria dewasa di tingkat agregat atau sekitar 90 persen darinorma kecukupan, se<strong>dan</strong>gkan konsumsi protein 60.5 gram/hari/setara pria dewasa ataulebih dari 110 persen dibandingkan norma kecukupan. Tingkat konsumsi energi maupunprotein tersebut lebih tinggi di daerah non sawah dibanding daerah sawah. Bila dikaitkandengan tingkat pendapatan rumahtangga di masing-masing agroekosistem (Tabel 3)terkesan a<strong>dan</strong>ya korelasi positif antara pendapatan dengan derajat kecukupan energi <strong>dan</strong>7


protein. Semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga semakin tinggi pula pencapaianderajat kecukupan kedua unsur pangan tersebut.Tabel 5. Derajat <strong>Kecukupan</strong> <strong>Pangan</strong> Rumahtangga Contoh (persen)No.<strong>Kecukupan</strong> panganAgroekosistemSawah Non sawah Agregat1.Energi87.893.990.22.Protein107.1114.4111.6Oleh karena setiap jenis pangan memiliki kandungan zat gizi tertentu maka pilihanterhadap jenis, kuantitas serta komposisi bahan pangan sangat berpengaruh terhadapstatus gizi anggota rumahtangga. Untuk mencapai derajat sehat komposisi konsumsipangan seyogyanya terdiri atas sumber-sumber pangan yang mengandung karbohidrat,protein, lemak, minyak, vitamin <strong>dan</strong> mineral secara proporsional. Hasil analisismenunjukkan, proporsi pengeluaran rumahtangga contoh untuk pangan pokok di tingkatagregat mencapai lebih dari 40 persen total pengeluaran pangan. Proporsi pengeluaranlauk pauk sekitar 30 persen dari total pengeluaran pangan, sayuran 12 persen <strong>dan</strong>pengeluaran tiga kelompok sayur, buah <strong>dan</strong> pangan lain kurang dari 10 persen (Tabel 6).Apabila diasumsikan tidak terdapat perubahan harga bahan pangan, totalpengeluaran pangan akan berbanding lurus dengan total kuantitas bahan pangan yangdikonsumsi rumahtangga. Oleh karena kuantitas fisik pangan tersebut berbanding lurusdengan kandungan gizinya maka berdasarkan pola pengeluaran pangan pada Tabel 6,dapat diduga bahwa kontribusi energi <strong>dan</strong> protein dominan dalam konsumsi panganrumahtangga pertanian bersumber dari kelompok pangan pokok.Bila dikaitkan kembali dengan kecukupan pangan sebelumnya (Tabel 5), <strong>dan</strong>dengan asumsi tidak ada perbedaan harga pangan antar wilayah, dapat dikatakan bahwakonsumsi pangan rumahtangga pertanian di daerah non sawah tidak saja memiliki derajatkecukupan kuantitas lebih tinggi tetapi secara kualitas juga lebih baik dibandingkankonsumsi pangan rumahtangga di daerah sawah. Indikasi ini terlihat dari cenderung lebihtingginya pangsa pengeluaran lauk-pauk, sayur, buah <strong>dan</strong> pangan lain, sementara di sisilain pangsa pengeluaran pangan pokok cenderung menjadi lebih rendah dibandingkanpangsa pengeluaran pangan pokok di daerah sawah. Analisis di atas menunjukkanperlunya pemantapan program sosialisasi Pedoman Umum Gizi Seimbang di kalangan8


umahtangga pertanian, khususnya di daerah agroekosistem sawah sehingga merekadapat merubah komposisi pangannya sesuai norma anjuran.Tabel 6. Pangsa Pengeluaran <strong>Pangan</strong> Menurut Jenis <strong>Pangan</strong> (persen)AgroekosistemNo. Uraian Sawah Non sawah Agregat1.2.3.4.5.6.<strong>Pangan</strong> pokokLauk paukSayurBuahSusuLainnya42.729.611.45.38.82.137.530.211.810.46.73.440.529.811.67.28.22.7Total 100.0 100.0 100.0KESIMPULAN DAN SARANKinerja kecukupan pangan sebagai indikator ketahanan pangan pada rumahtanggapertanian memiliki keterkaitan erat dengan penguasaan aspek produksi, khususnya lahan.Perbedaan derajat kecukupan pangan antara daerah sawah yang lebih rendah dengandaerah non sawah yang lebih tinggi berakar dari lebih rendahnya luas penguasaan lahan didaerah sawah relatif terhadap daerah non sawah, karena luas lahan menentukan besarnyaperolehan pendapatan rumahtangga yang sebagian akan dialokasikan untuk belanjapangan. Pangsa pengeluaran pangan pokok yang relatif lebih besar dibanding pangsapengeluaran kelompok pangan lain mengindikasikan kontribusi energi <strong>dan</strong> protein dominandalam rumahtangga pertanian berasal dari konsumsi kelompok pangan tersebut.Dalam perspektif pangan, kinerja ketahanan pangan rumahtangga pertanian dapatditingkatkan bila petani memiliki kemampuan meningkatkan pendapatan <strong>dan</strong> memperbaikipola konsumsi pangan mereka. Untuk itu selain pemantapan kebijakan harga outputpertanian, diperlukan dukungan kebijakan lain yang bersifat non pasar tetapi membukakesempatan petani meningkatkan luas <strong>dan</strong> kapasitas lahan garapan seperti: peningkatanmutu intensifikasi, investasi irigasi <strong>dan</strong> revitalisasi program reformasi agraria sertapenciptaan kesempatan kerja <strong>dan</strong> berusaha di pedesaan. Tak kalah penting adalahpeningkatan sosialisasi Pedoman Umum Gizi Seimbang yang masih diperlukan sebagaistimulus bagi rumahtangga pertanian agar dapat memperbaiki komposisi konsumsi panganmereka.9


DAFTAR PUSTAKAAriani, M. <strong>dan</strong> B. Sayaka, 2000. Ketahanan <strong>Pangan</strong> Rumahtangga Pedesaan. ProsidingPerspektif Pembangunan Pertanian <strong>dan</strong> Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah.Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Ba<strong>dan</strong> Litbang Pertanian, Bogor.Hardono, GS. 2002. Dampak Perubahan Faktor-faktor Ekonomi Terhadap Ketahanan<strong>Pangan</strong> Rumahtangga Pertanian. Thesis. Tidak dipublikasikan. ProgramPascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.Hossain, M. 1998. Sustaining Food Security in Asia: Economic, Social and Political Aspect.Sustainability of Rice in The Global Food System. Pacific Basin Study Center.International Rice Reseach Institute, Los Banos.Irawan, PB <strong>dan</strong> A. Sutanto. 1999. Impact of the Crisis on The Number of Poor People.Paper presented at The International Seminar on The Agricultural Sektor DuringTurbulence of Economic Crisis: Lesson Learned and Future Direction. CASER. 17-18 Februari 1999. Bogor.Irawan, B. et al. 2003. Analisis Faktor Penyebab Perlambatan <strong>Produksi</strong> <strong>Pangan</strong> Utama.Laporan hasil penelitian. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor.Muhilal, F. Jalal <strong>dan</strong> Hardinsyah. 1998. Angka <strong>Kecukupan</strong> Gizi yang Dianjurkan. ProsidingWidya Karya Nasional <strong>Pangan</strong> <strong>dan</strong> Gizi VI. LIPI, Jakarta.Rusastra, IW <strong>dan</strong> T. Sudaryanto. 1998. Dinamika Ekonomi Pedesaan dalam PerspektifPembangunan Nasional. Prosiding Dinamika Ekonomi Pedesaan <strong>dan</strong> PeningkatanDaya Saing Sektor Pertanian. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.Sawit, MH, Y. Saefudin <strong>dan</strong> S. Hartoyo. 1985. Aktivitas Non Pertanian Pola Musiman <strong>dan</strong>Peluang Kerja Rumah Tangga di Jawa. Peluang Kerja <strong>dan</strong> Berusaha. BPFE,Yogyakarta.Sudaryanto, Erwidodo <strong>dan</strong> B. Rachman. 1999. Perspektif Pembangunan EkonomiPedesaan Dalam Era Globalisasi. Makalah disajikan dalam seminar nasionalPembangunan Pertanian <strong>dan</strong> Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah. 16-17Nopember 1999. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.Sumaryanto, MO. Adnyana, R. Kustiari <strong>dan</strong> Suprapto, 2002. Struktur <strong>Pendapatan</strong>Rumahtangga Penelitian Tahun 1998/1999. Monograph Series No. 22. AnalisisKebijaksanaan: Pendekatan Pembangunan <strong>dan</strong> Kebijaksanaan PengembanganAgribisnis. Penyunting: Tahlim Sudaryanto, dkk. Puslitbang Sosial EkonomiPertanian, Ba<strong>dan</strong> Litbang Pertanian.10

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!