07.05.2021 Views

Buku Kenangan 50 Thn Kesi

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.



AKU

MENYERTAI

KAMU SENANTIASA,

SAMPAI KEPADA AKHIR ZAMAN

~ Mateus 28:20 ~

KENANGAN & SYUKUR

50 TAHUN GEREJA KATOLIK

KEUSKUPAN SINTANG

1961-2011

Penerbit:

Keuskupan Sintang


Aku Menyertai Kamu Senantiasa

Sampai Kepada Akhir Zaman

Kenangan & Syukur

50 Tahun Gereja Katolik

Keuskupan Sintang

1961-2011

Penerbit:

Keuskupan Sintang

Jln. Ahmad Yani no. 8

Sintang 78611

Tlp. (0565) 21213

Website: www.keuskupansintang.com

Email:

Cetakan Pertama: 2011

RD. Herman Yosef, Pr

ISBN xxxxxxxxxx

Hak cipta dilidungi undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalan bentuk dan dengan cara apa pun,

termasuk foto-kopy tanpa izin tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh Binamitra, Jakarta


M

arkus Tillius Cicero (106-43 sebelum Masehi), dalam Pro Publio Sestio pernah

berkata, “Sejarah adalah saksi yang memberi kesaksian dengan berlalunya

waktu; ia menerangi realitas, menghidupkan ingatan, menyediakan

bimbingan untuk hidup sehari-hari dan membawa kita mengarungi masa lalu.”

Perjalanan Keuskupan Sintang yang mencapai usia emas pada tahun 2011 ini, hendak

kami jadikan sebagai saat, hari, dan tahun syukur dan refleksi. Kami tidak hanya mau

mengenang, kami juga mau bersyukur dan merenung. Kami tidak hanya mau

mengetahui masa lalu, tetapi hendak belajar darinya, hendak memaknainya. Masa lalu

bukan hanya sekedar sejarah di mana peristiwa dan hal penting dicatat, tetapi

terutama orang-orang yang telah berjasa dikenang, dan terutama untuk mensyukuri

jasa mereka serta bimbingan Tuhan selama ini. Kami mau belajar dan melanjutkan

semangat pengabdian dan pengorbanan para pendahulu kami.

Karena itu, dengan hati gembira dan penuh syukur, kami rayakan 50 tahun berdirinya

Keuskupan Sintang. Salah satu kenangan dan rasa syukur yang kami lakukan ialah

membuat BUKU KENANGAN ini.

Buku ini adalah karya banyak orang, khususnya para misionaris yang rajin mencatat

berbagai peristiwa, merekam beberapa gambar, menyimpan, merawat dan

menitipkannya kepada generasi berikutnya. Tanpa catatan mereka, buku ini hanyalah

berisi halaman kosong dan perjalanan Keuskupan Sintang pun hanya kumpulan

dongeng tanpa sejarah.

Buku ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah para Imam, Suster dan

Bruder. Tetapi karena terbatasnya informasi mengenai tokoh-tokoh umat awam serta

peran mereka masing-masing, maka sangat terasa bahwa buku ini sedikit sekali

menulis mengenai para awam yang juga sudah sangat berjasa dalam membangun

Gereja, khususnya pada tingkat stasi, sejak awal berdirinya Keuskupan Sintang.

Terima kasih khusus untuk Pastor Joep van Lier, SMM, almarhum, yang telah

mengumpulkan berbagai bahan sejarah karya misi di tanah Kapuas ini. Terima kasih

kepada Pastor Piet Derckx SMM, Pastor Swerts SMM, serta Pastor Matius Rampai, Pr,

almarhum, dan Mgr. Isak Doera, para pendahulu yang telah meninggalkan catatan-

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. i


catatan penting dan bersejarah, yang menjadi sumber utama Buku Kenangan ini.

Terima kasih kepada Pastor Yohanes Pranoto, para Pastor, para Suster, para Imam,

khususnya Pastor paroki yang telah membuat dan menyerahkan sejarah singkat dan

data paroki, serta para umat awam yang telah menyumbangkan usulan dan material

kepada penyusun. Terima kasih kepada Pastor Jacques Chapuis, OMI yang telah

mengoreksi banyak hal dari buku ini, serta terima kasih kepada semua orang yang

telah terlibat, langsung dan tidak langsung, dalam penulisan dan pembuatan buku ini.

Salah satu sumber sejarah yang sangat penting ialah Arsip Turne para pastor antara

tahun 1932 hingga 1982, dalam keadaan tua, kumuh dan beberapa sudah rusak.

Sayang sekali bahwa semuanya dalam bahasa Belanda. Karena penyusun tidak bisa

berbahasa Belanda, maka hanya dapat mengutip tanggal-tanggal pentingnya saja.

Perlu diinformasikan kepada para pembaca tercinta bahwa jumlah imam, suster,

pembaptisan, jumlah umat kadangkala sulit mendapatkan kepastian karena ada

perbedaan antar sumber yang satu dengan lainnya. Hal yang sama juga mungkin

terjadi dengan tanggal suatu peristiwa. Demikian pula nama tempat dan orang, baik

karena ejaan ataupun lainnya, ada sedikit perbedaan penulisan pada beberapa

sumber. Misalnya, kadang disebut Pastor Yan, lain kali disebut Pastor Jan, dsb.

Akhirnya, terima kasih yang terbesar dan teragung dipersembahkan kepada Tuhan

Yesus Kristus, Sang Raja Agung, Pelindung dan Penyelenggara Keuskupan Sintang,

sejak semula hingga akhir zaman. Amin.

Buku ini dipersembahkan untuk seluruh umat Allah di Keuskupan Sintang: umat awam,

para Klerus, para anggota lembaga hidup bakti dan serikat hidup kerasulan, dan Mgr.

Agustinus Agus. Buku ini juga dipersembahkan untuk para misionaris dan pimpinan

terdahulu yang telah berdedikasi dan bijak membangun keuskupan Sintang: Mgr.

Lambertus van Kessel, SMM; Mgr. Lambertus van den Boorn, SMM; dan Mgr Isak

Doera.

Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.

Semoga Allah semakin dimuliakan melalui usaha sederhana ini.

Sintang, 13 September 2011

Penyusun

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. ii


Pengantar

Daftar Isi

iii

Penjelasan Makna Logo Perayaan

v

Doa Syukur 50 Tahun Keuskupan Sintang

vii

Mars 50 Tahun Keuskupan Sintang

ix

Kata Sambutan

xi

Ketua Panitia

Bupat Sintang

Bupati Kapuas Hulu

Bupati Melawi

Gubernur Kalimantan Barat

Uskup Agung Pontianak

Uskup Sintang

Nuncio

1

Bagian I: Wilayah dan Umat Allah Keuskupan Sintang

1. Geografi 2

2. Topografi 2

3. Populasi Umat 4

Bagian II: Awal Mula Gereja Keuskupan Sintang 7

Bagian III: Prefektur Apostolik Kalimantan 17

1. Sejiram 18

2. Lanjak dan Benua Martinus 22

3. Bika Nazareth 27

4. Sintang dan Putussibau 29

Bagian IV: Prefektur dan Vikariat Apostolik Sintang 33

1. Masuknya Serikat Maria Montfortan 34

2. Nanga Serawai 41

3. Imam Dayak Pertama 43

4. Prefektur Apostolik Sintang 44

5. Nanga Pinoh 45

6. Vikariat Apostolik Sintang 47

Bagian V: Keuskupan Sintang 49

1. Masa Awal Keuskupan Sintang 50

2. Imam Diosesan Generasi Pertama 55

i

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. iii


3. Masuknya Imam Oblat Maria Imakulata dan Kongregasi 56

Misi

4. Mgr. Isak Doera dan masuknya tarekat Suster Ursulin, 57

Caritas dan Imam dan Bruder Serikat Sabda Allah

5. Keputusan Menteri Agama no. 70 dan 77, tahun 1978. 63

6. Pembentukan Paroki-Paroki Baru Tahun 1979 64

7. Mgr. Agustinus Agus 65

8. Masuknya Tarekat Tarekat suster Reinha Rosari, Puteri 69

Kasih, Santo Agustinus, Imam serta Suster Pasionis, dan

Klaris Kapusines

Bagian VI: Tonggak-Tonggak Bersejarah Keuskupan Sintang 73

Bagian VII: Karya-Karya Keuskupan Sintang 81

1. Karya Pastoral 82

2. Karya Pendidikan 84

3. Karya Kesehatan 87

4. Karya Sosial 87

Bagian VIII: Profil Paroki-Paroki 88

1. Regio Sintang 89

2. Regio Kapuas Hulu 133

3. Regio Melawi 162

Bagian IX: Profil Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan 173

1. Profil Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan 174

Puteri di Keuskupan Sintang

2. Profil Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan 193

Putera di Keuskupan Sintang

Bagian X: Profil Lembaga Pendidikan 203

1. Yayasan Sukma 204

2. Seminari Menengah Yohanes Maria Vianney 208

Lampiran 211

1. Kuria Keuskupan 212

2. Profil Tenaga Pastoral 213

3. Susunan Anggota Panitia Perayaan 50 Tahun Keuskupan 233

Sintang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. iv


Makna Logo

I. Warna

a. Emas: melambangkan kemuliaan dan kejayaan.

b. Biru: melambangkan keabadian, kekekalan.

c. Putih: melambangkan keilahian, kesucian, kekudusan.

d. Merah: melambangkan keberanian, pengorbanan.

II. Bentuk

a. Lingkaran: a) melambangkan keberlanjutan; sesuatu yang tak terputus, dan b)

kesatuan umat Katolik keuskupan Sintang.

b. 50 emas: usia keuskupan Sintang yang mencapai usia emas.

c. Salib: a) melambangkan Kristus Tuhan, serta b) inkulturasi iman Katolik

dengan budaya Dayak.

d. Merpati: melambangkan Roh Kudus yang menerangi perjalanan keuskupan

selama 50 tahun.

e. Peta Kalimantan: wilayah, tempat Gereja keuskupan Sintang ditanam,

berkembang dan berbuah.

III. Tulisan

a. Moto “Aku menyertai kamu senantiaasa sampai kepada akhir zaman” (Mat.

28:20): Pengalaman Gereja Keuskupan Sintang selama 50 tahun dan keyakinan

serta kepercayaan untuk masa depan bahwa Tuhan akan senantiasa

menyertainya.

b. 1961-2011: 50 tahun usia keuskupan Sintang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. v


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. vi


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. vii


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. viii


Allah Bapa kami yang Maha Pengasih,

kami bersyukur kepada-Mu, karena selama 50 tahun

Engkau menyertai umat-Mu di Keuskupan Sintang

dengan setia, baik dalam suka maupun dalam duka.

Engkaulah yang menghadiahkan kami,

alam yang indah, tanah yang subur

serta beraneka tumbuhan dan hewan

yang memberikan kehidupan bagi kami umat-Mu;

Engkaulah yang menanam, menyirami

dan menumbuhkan iman umat-Mu,

lewat para Misionaris,

Para Uskup, Para imam,

Para Bruder, Para Suster dan Para Awam

yang tekun mewartakan kabar gembira-Mu;

Engkaulah juga yang melengkapi kami

dengan semangat pelayanan

dan persaudaraan yang sejati.

Ya Kristus raja kami,

Engkaulah yang memimpin kami kepada kehidupan,

Engkaulah Raja, yang memberikan seluruh hidup-Mu,

untuk mengangkat martabat kami.

Ya Raja, yang lembut dan rendah hati,

rajailah hati seluruh umat-Mu,

rajailah hati anak-anak dan kaum muda,

keluarga dan masyarakat

yang terdiri dari aneka suku dan budaya.

Rajailah pula hati para pembesar negara

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. ix


dan pembesar Gereja kami.

Utuslah Roh Kudus-Mu,

agar kami terus berkembang

menjadi umat beriman yang mendalam,

mandiri dan misioner,

yang berdaya pikat dan berdaya tahan,

agar kami mampu berbela rasa

dan berani berpihak pada yang miskin dan terlantar, tersisih dan menderita;

agar kami memiliki keterbukaan

pada keragaman suku,budaya dan agama,

sehingga dengan demikian, kami semakin setia kepada-Mu dan semakin berbakti

kepada masyarakat dan bangsa

serta semakin menjadi garam dan terang

di tengah dunia.

Bunda Maria, Bunda Gereja,

bantulah kami dengan doa-doamu,

agar keluarga, lingkungan, stasi, Paroki dalam Keuskupan Sintang ini,

mampu mewujudkan iman dalam kasih dan pengharapan

serta percaya bahwa engkau dan Puteramu Yesus Kristus

selalu melindungi dan menyertai kami

di Keuskupan Sintang ini,

sekarang dan selama-lamanya. Amin

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. x


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xi


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xii


“Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah

Kuperintahkan kepadamu, dan ketahuilah, Aku menyertai kamu

senantiasa sampai kepada akhir zaman”

(Mateus 28:20)

Tahun 2011 ini adalah tahun yang sangat istimewa bagi umat Keuskupan Sintang,

karena seluruh umat merayakan pesta emas berdirinya Keuskupan ini. 50 tahun

bukanlah waktu yang singkat, tetapi sebuah perjalanan waktu yang panjang dan penuh

dengan cerita dan kenangan. Kalau diibaratkan dengan kehidupan manusia, dengan

usia 50 tahun, telah banyak hal yang dapat diperbuat dan dikerjakan.

Di usianya yang ke-50 tahun ini, sejarah telah mencatat begitu banyak peran

keuskupan Sintang dalam memajukan kehidupan masyarakat di wilayah ini, baik di

wilayah Kabupaten Sintang, Kapuas Hulu, maupun Melawi. Sejak munculnya Gereja

Katolik di wilayah ini, peran Gereja Katolik tidak dapat disangkalkan lagi dalam

memajukan pendidikan, kesehatan, perekonomian rakyat, kebudayaan dan peradaban

dunia baru bagi masyarakat pedalaman. Karya Gereja Katolik bahkan terjadi jauh

sebelum peran pemerintah mampu menjangkau daerah-daerah pedalaman yang sulit

dan sangat terpencil.

Fakta karya Gereja Katolik Keuskupan Sintang dalam membangun masyarakat di

wilayah ini menunjukkan bahwa lembaga ini bukan saja bergerak dalam bidang

keagamaan semata, tetapi merasuk dan berkarya pada setiap sendi-sendi sentral

kehidupan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan umum (universalitas).

Khususnya bagi masyarakat Dayak, peran Gereja Katolik Keuskupan Sintang sangatlah

besar. Pertolongan Tuhan kepada masyarakat Dayak melalui Gereja Katolik mampu

menjadikan masyarakat Dayak hidup layak dan mampu berperan aktif dalam

memajukan masyarakatnya, baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang

perekonomian, adat istiadat dan sosial budaya, serta akhirnya banyak tokoh-tokoh

masyarakat Dayak yang mampu menjadi pemimpin dan pemegang peran di tanah

airnya sendiri.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xiii


Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa penghayatan dan pengamalan perintah

Tuhan untuk memberitakan injil kepada semua bangsa oleh Gereja Katolik Keuskupan

Sintang tidak diragukan lagi. Karya-karya besar berkat campur tangan Tuhan selama

perjalanan hingga 50 tahun ini mampu membuka cakrawala berpikir dan bertindak

bagi seluruh warga Gereja dalam berperan secara aktif dalam kehidupan menggereja,

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dengan peringatan 50 tahun (pesta emas) Keuskupan Sintang yang diperingati selama

satu tahun penuh dalam tahun 2011 ini, saya berharap momentum ini dapat semakin

memotivasi kita semua umat Katolik Keuskupan Sintang untuk lebih berperan aktif

dalam berkarya memajukan kehidupan masyarakat serta mengisi hari-hari berikutnya

dengan tindakan nyata untuk mengabarkan suka cita surgawi kepada semua orang

seperti apa yang telah diperintahkan Tuhan kepada kita, untuk memberitakan Injil

kepada semua bangsa dengan penuh kleyakinan akan penyertaan Tuhan senantiasa

sampai kepada akhir zaman, agar kita tidak pernah takut dan gentar dalam

menyongsong habitus baru yang lebih baik.

Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam bentuk apapun selama perayaan

pesta emas 50 tahun Keuskupan Sintang ini, atas nama panitia, saya mengucapkan

terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, dan semoga pengorbanan dan

karya kita mendapat berkat yang melimpah dari Allah Bapa di Surga.

Akhirnya, saya mengucapkan selamat merayakan pesta emas 50 tahun Keuskupan

Sintang kepada seluruh umat Katolik di wilayah ini. Mari kita bergandengan tangan

dalam satu hati menuju Keuskupan Sintang yang mandiri.

Semoga Tuhan memberkati.

Sintang, 28 September 2011

Ketua Panitia

Drs. Ignasius Juan, MM.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xiv


Pertama-tama, saya dengan sukacita hendak mengucapkan

selamat kepada Tuhan kita Yesus Kristus dan Allah Bapa kita,

karena berkat kasih karuniaNyalah, telah berdiri dan

bertumbuh iman kristiani, khususnya Gereja Katolik di

wilayah Kalimantan, khususnya di kabupaten Sintang. Kedua,

saya hendak mengucapkan selamat merayakan Pesta Emas,

50 tahun berdirinya Keuskupan Sintang kepada pimpinan

dan seluruh Umat Katolik Keuskupan Sintang.

Sejarah mencatat bahwa iman Kristiani sudah mulai masuk

ke Kalimantan Barat sejak tahun 1816, dan baru diizinkan

melayani orang Dayak pada tahun 1884. Sejarah juga mencatat bahwa, Gereja Katolik

mulai berdiri dan mulai melayani orang Dayak di wilayah Keuskupan Sintang sejak

dibukanya Paroki Semitau (setahun kemudian menjadi Paroki Sejiram) pada tahun

1890. Ini berarti Gereja Katolik telah bertumbuh selama 121 tahun. Akhirnya, Gereja

yang bertumbuh itu ditetapkan oleh Paus sebagai sebuah Gereja mandiri, yaitu

sebagai keuskupan, bersama dengan keuskupan lainnya di Indonesia pada tahun 1961,

di mana tahun ini genap berumur 50 tahun.

121 tahun hadir di Kalimantan Barat dan 50 tahun sebagai Gereja mandiri

(Keuskupan), tentu bukanlah umur yang singkat, tetapi serentak juga bukanlah umur

yang uzur untuk sebuah lembaga keagamaan. Dalam rentang waktu ini, sejak saat

berdiri hingga kini, jasa dan peranan Gereja Katolik sungguh dirasakan oleh

masyarakat, khususnya masyarakat Dayak dan pedalaman.

Gereja yang sering dianggap hanya mengurus jiwa dan hal-hal kerohanian manusia,

ternyata tekun dan tidak pernah lelah di garda depan membangun mentalitas, pola

pikir, pola hidup, dan nilai-nilai kemanusiaan, juga membangun perekonomian,

pendidikan, kesehatan, dsb, sejak zaman dahulu ketika negara dan pemerintah belum

menjangkau jauh ke pedalaman, hingga kini dan nanti. Pembangunan di wilayah ini

tidak dapat dipungkiri, telah berkembang seperti ini, salah satunya karena jasa dan

pelayanan Gereja Katolik.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xv


Sebagai pimpinan daerah, saya tidak hanya menyadari hal ini, tetapi juga bersyukur

dan berterima kasih kepada Gereja Katolik atas semua sumbangsih dan jasa selama ini,

sambil berharap agar usaha mulia ini tetap dilanjutkan dan ditingkatkan, dan sangat

berharap agar tetap bekerja sama dengan pemerintah dalam membangun masyarakat

di wilayah ini. Kami sungguh yakin, apalagi dengan jumlah umat yang cukup besar,

sistem, sarana-prasarana dan tenaga yang sudah mapan dan tersebar di mana-mana,

Gereja Katolik akan terus aktif membangun manusia di wilayah ini, yang juga

menjangkau semua orang dan golongan.

Hal ini selaras dengan upaya pemerintah daerah Sintang yang memiliki strategi

Gerbang Emas Jakarta Selatan (Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat: Jalan,

Karet, Tanaman pangan, Sekolah dan Kesehatan). Melalui strategi ini, pembangunan

daerah ini diarahkan untuk menciptakan masyarakat yang produktif, berkualitas,

sejahtera dan demokratis, melalui pemenuhan kebutuhan dasar, percepatan

pembangunan infrastruktur dasar, perluasan investasi, dan penciptaan kesempatan

kerja.

Membangun fisik saja dengan mengabaikan pembangunan mentalitas dan tata nilai

tidak akan menghasilkan secara berarti. Karena itu, pemerintah daerah juga

menggalakkan gerakan lima budaya, yaitu 1) budaya kerja keras, kerja cerdas, kerja

ikhlas, dan kerja tuntas, 2) budaya gemar membaca, 3) budaya gemar menabung dan

menghindari sifat konsumtif, 4) budaya peduli sosial, gotong royong. 5) budaya hidup

bersih dan sehat. Semuanya ini dapat terwujud bila seluruh elemen masyarakat ambil

bagian sesuai dengan tugas, fungsi dan kemampuan masing-masing, termasuk di

dalamnya ialah Gereja Katolik serta seluruh Umat Katolik.

Akhirnya, sekali lagi, saya sebagai pribadi dan atas nama seluruh jajaran pemerintah

daerah Sintang dan warga masyarakat kabupaten Sintang, mengucapkan Selamat

Merayakan Pesta Emas, 50 Tahun Keuskupan Sintang. Semoga momen historis dan

penuh makna ini menjadi awal baru dalam pembangunan masyarakat yang utuh

secara jasmani dan rohani serta dalam hal kerja sama dengan pemerintah.

Sintang 11 Oktober 2011,

Bupati Sintang

Drs. Milton Crosby, M.Si

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xvi


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xvii


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xviii


Assalamualaikaum WR. WB.

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha Kuasa, atas berkah dan

hidayah-Nya, sehingga kita dikaruniakan kesempatan untuk menikmati karya ciptaan-

Nya serta menjalani kehidupan yang damai dalam kemajemukan dan keberagaman di

bumi Indonesia yang kita cintai ini.

Sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia serta sebagai salah satu

kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, pemerintah Kabupaten Melawi memiliki visi

dan misi yang terangkum dalam sebuah moto: “Melawi Sehat, Melawi Terang, Melawi

Lancar, Melawi Cerdas, Melawi Kuat.” Dalam rangka mewujudkan moto tersebut,

pemerintah memerlukan dukungan dari seluruh elemen masyarakat, termasuk pula

pranata sosio-religius.

Keuskupan Sintang, yang membawahi wilayah Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu,

memiliki peranan yang besar, terutama dalam mengayomi umat Katolik yang ada di

daerah cakupannya. Dengan demikian secara garis besar, Keuskupan Sintang berperan

besar dalam pembangunan daerah, khususnya untuk membangun kualitas mental

hidup masyarakat yang kuat dan tangguh, melalui aktivitas kerohanian maupun bakti

sosial kemasyarakatan.

Dewasa ini, kepedulian sosial telah menjadi hal yang langka ditemukan dalam

masyarakat modern. Padahal, sesungguhnya banyak permasalahan pembangunan

seperti kemiskinan dan kebodohan, dapat ditanggulangi bila masyarakat lebih peduli

akan sekitarnya. Tanpa menafikan kedaulatan negara, yang memang harus menjamin

kesejahteraan rakyatnya, kepedulian sosial antar masyarakat diperlukan dalam rangka

mempertahankan rasa senasib dan seperjuangan yang membingkai kesadaran sebuah

bangsa.

Oleh karena itu, kepedulian sosial dapat dibina melalui institusi keagamaan.

Sebagaimana kita ketahui, semua agama di dunia mengajarkan kebaikan dan cinta

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xix


kasih kepada Tuhan dan sesama. Karenanya, tepatlah jika kita menaruh harapan pada

institusi keagamaan melalui para pemimpinnya untuk dapat menjadi agen kepedulian

sosial masyarakat. Rasa peduli yang berwujud simpati dan empati, merupakan modal

dasar pembangunan yang tak terkira nilainya. Dengan kepedulian sosial, diharapkan

tidak akan ada lagi keluarga yang lapar, anak yang putus sekolah, pengangguran pada

usia produktif, ataupun anak-anak kekurangan gizi. Dengan demikian, masyarakat kita

akan lebih sejahtera dan bahagia.

Dalam hal ini, kami yakin, Keuskupan Sintang dapat menjadi salah satu agen

kepedulian sosial bagi umat dan masyarakat umum di wilayahnya. Cakupan daerah

yang luas, dukungan dan kepercayaan masyarakat serta dengan pertolongan Tuhan

yang Maha Esa, tentunya akan memaksimalkan Keuskupan Sintang dalam melakukan

karya sosial di tengah-tengah masyarakat yang telah dibangunnya sejak lama.

Selanjutnya, dalam rangka penyusunan buku sejarah Gereja Keuskupan Sintang

ini, kami pandang sebagai sebuah prestasi sekaligus catatan sejarah penting yang

merangkum jejak-jejak karya sosial dan perdamaian Keuskupan Sintang. Oleh

karenanya, kami menyambut baik penerbitan buku ini. Harapan kami, semoga buku ini

dapat memberikan pembelajaran yang bermakna serta membawa pencerahan bagi

umat dan bangsa, yang akhirnya menjadi nilai tersendiri bagi masyarakat yang

membacanya.

Akhir kata, atas nama pemerintah kabupaten Melawi, kami ucapkan selamat

atas perayaan hari jadi yang ke-50 kepada Keuskupan Sintang. Semoga di usia emas

ini, Keuskupan Sintang dapat semakin bercahaya di tengah kegelapan zaman dan terus

berkiprah dalam karya perdamaian dunia.

Wassalamalaikum WR. WB.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xx


Salam Damai Sejahtera Bagi Kita Semua

Adi; Ka’Talino, Bacuramin Ka’Saruga, Ba’Sengat Ka’Jubata,

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kepada Allah Bapa Yang

Maha Kuasa, Saya menyambut gembira dan sukacita atas

terbitnya buku “Sejarah Keuskupan Sintang” yang merupakan

catatan tertulis perjalanan panjang sejarah berdirinya

Keuskupan Sintang sebagai Hirarki Gerejani yang pada tahun

ini genap berusia 50 tahun.

Terbitnya buku ini, menjadi salah satu media bagi kita semua,

khususnya umat Katolik di Keuskupan Sintang untuk dapat

memahami rekam jejak perjalanan dari awal mula masuknya

Misi Katolik yang berlanjut dengan berdirinya Keuskupan

Sintang sebagai Hirarki Gerejani yang bertepatan pula dengan berdirinya Hirarki Gereja

Katolik Indonesia sebagai mana Konstitusi Apostolik Yohanes XXIII dan perkembangan

keuskupan hingga saat ini. Kita juga patut bersyukur, atas segala anugerah dan

penyertaan Allah dalam karya pewartaan Injil yang memiliki makna luas dan sangat

mendalam mengenai sebuah proses, yang melalui Gereja mewartakan kabar gembira

Kristus tentang karya keselamatan dan perbuatan kasih yang mengilhami

pembaharuan tatanan yang lama dan bersifat sementara dengan cara memperbarui

diri menuju kehidupan dengan tatanan hidup baru dan memiliki karakter hidup

Kristiani.

Tentu peristiwa yang bersejarah ini tidak cukup hanya untuk dikenang, dan perjalanan

panjang 50 tahun mendapat anugerah pengakuan ini, kita pantas merefleksi diri

sampai di mana kita memaknai pemberian wewenang ini untuk memacu kemandirian

Gereja untuk menjadi Gereja yang semakin dewasa, bertanggung jawab, dan tumbuh

dan berkembang dalam masyarakat Kalimantan Barat yang majemuk dalam segala segi

kehidupan.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xxi


Tantangan di era globalisasi dewasa ini menuntut Gereja untuk semakin berperan dan

menjadi pihak yang bersama-sama dengan Pemerintah untuk berdiri paling depan

dalam mengatasi berbagai macam persoalan bangsa yang kerap muncul dalam

kehidupan sosial masyarakat. Saya yakin bahwa dengan kualitas iman yang baik dan

benar, akan menjadi filter dan tameng yang kuat untuk menghadapi berbagai

persoalan, ancaman dan tantangan kehidupan tersebut, terutama peran Gereja untuk

menjaga dan membina Generasi Muda Katolik guna terhindar dari upaya-upaya

penanaman pemahaman radikalisme, terorisme, dan gerakan untuk memecah

persatuan dan kesatuan bangsa. Saya berharap Keuskupan Sintang dapat bersamasama

dengan Pemerintah dan berbagai pihak untuk dapat saling bersinergi untuk

mencapai tujuan pembangunan Kalimantan Barat mewujudkan masyarakat yang

beriman, sehat, cerdas, aman, berbudaya dan sejahtera.

“Proficiat” untuk Keuskupan Sintang, semoga Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh

Kudus senantiasa memberkati dan menyertai segala langkah dan karya-karya kita

untuk kemajuan umat dan Kalimantan barat. “Maju Terus Membangun Kalimantan

barat.”

Salam damai Sejahtera untuk Kita Semua.

Adil Ka’Talino, Bacuramin Ka’Saruga, Basengat Ka’Jubata.

Pontianak, September 2011

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT

Drs. Cornelis, MH

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxii


Saudara-saudari yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus,

Marilah kita melambungkan puji syukur ke hadirat Tuhan

Pencipta langit dan bumi atas hidup dan kesempatan untuk

merayakan setengah abad hierarki Gereja Katolik di

Keuskupan Sintang. Selamat kepada kita sekalian yang

mengenang momentum historis ini sambil menatap ke masa

depan. Perayaan iman ini mengundang kita untuk

meneropong perjalanan sejarah dan menyiapkan langkah

menuju ke masa depan.

Sejak menapakkan kaki di bumi Borneo, para misionaris awal SJ (Societas Jesu) dan

OFMCap (Ordo Fratrum Minorum Cappuccinorum) telah menoleh ke kawasan

pedalaman Kalimantan, seperti Sejiram. Pada tanggal 29 Juli 1890, P. H. Looijmans, SJ

mulai bekerja dari pangkalan Semitau. Pada waktu itu, P. Stool, SJ dari Singkawang

menghantar P. Looijmans, SJ ke Kapuas Hulu. Kawasan Sei Seberuang dan Nanga-

Sejiram menjadi sasaran pewartaan Kabar Baik. Setelah ditinggalkan misionaris SJ

(1898), datanglah Prefek Pacificus Bos, OFMCap ke Sejiram pada tanggal 7 Mei 1906.

Sisa-sisa stasi ditemukan. Gedung Gereja tidak ada lagi. Pastoran tak dapat ditempati

lagi. P. Carmillus, OFMCap pada tahun 1906 pernah menulis: “Ada sebuah gedung di

atas tiang-tiang dekat sungai; sudah lama rusak dan sebagian dimakan rayap, dinding

dibuat dari kulit pohon dan tiang-tiang tak pernah diketam. Ada juga beberapa tiang

yang ditancap dalam tanah, yakni sisa-sisa gereja dan sekolah.” 1

Berdasarkan persetujuan Propaganda Fide (Kongregasi Suci untuk Penyebaran Iman),

Mgr. van Velenberg menyerahkan secara bertahap bagian timur dari Vikariat Apostolik

Pontianak (wilayah Keresidenan Sintang) kepada misionaris Montfortan (SMM). Pada

tanggal 7 April 1939, tibalah P. Harry L’Ortye, SMM di Pontianak, yang memilih Bika

Nazareth sebagai basis wilayah karyanya.

Dari catatan sejarah ini tampak bahwa benih yang disemaikan pada awal memang kecil

dan lambat-laun berkembang terus hingga seperti sekarang. Pada waktu kunjungan

tahun 1906 Prefek Apostolik menemukan sekitar 50 orang Dayak sudah

dipermandikan. Wilayah pelayanan terus melebar. Daerah-daerah lain, seperti Silat,

1 Bart Janssens, OFMCap, Kuntum Coklat di Tengah Belantara Borneo: Cukilan Cerita 100 Tahun

Kapusin (Ed. William Chang, OFMCap), Pontianak, 2005, hal. 14-15.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xxiii


Putussibau dan Batang Lupar. Jumlah anak yang dipermandikan mencapai sekitar 400

orang. Benua Martinus pun tak luput dari kunjungan.

Sejarah membuktikan bahwa jumlah daerah dan manusia yang mengikuti Yesus kian

bertambah. Semangat misionaris pantas dikagumi. Walaupun berbeda budaya dan

bahasa, misionaris tetap berusaha membawa Yesus, Sang Juruselamat, kepada setiap

manusia di daerah-daerah yang berbeda. Tampak, campur tangan Tuhan dalam

seluruh proses pewartaan Kabar Baik telah membentuk wajah dan isi Gereja Katolik di

kawasan Sintang dan sekitarnya.

Pertumbuhan Gereja Katolik terus berlanjut berkat karya misionaris dari pelbagai

kongregasi dan didukung oleh kesadaran umat Katolik dalam hidup menggereja.

Campur tangan Roh Kudus dalam karya kerasulan di wilayah Sintang dan sekitarnya

tak tersangkalkan. Gereja dan kapel terus bertambah. Peningkatan jumlah umat

Katolik menjadi sebuah pertanda bahwa kehidupan menggereja di daerah ini

memberikan pengharapan di masa depan. Kemandirian hidup menggereja di wilayah

ini ditandai dengan pendirian Hierarki Indonesia pada tanggal 3 Januari 1961. Status

sebagai daerah misi berhenti. Vikariat Apostolik Sintang berubah menjadi Keuskupan

Sintang dengan Uskup pertama Mgr. Lambertus van Kessel, SMM. Hingga akhir tahun

1969 terdapat sekitar 13.300 umat Katolik dan 4.000 katekumen. 2

Dalam kurun 50 tahun, Gereja Katolik di Keuskupan Sintang berkembang pesat.

Sekarang jumlah umat Katolik berkisar 225.756 jiwa yang tersebar dalam 36 paroki,

dengan tenaga imam 66 orang (imam diosesan dan biarawan). Hadir juga 6 Bruder dan

84 suster di tengah-tengah umat Katolik di Keuskupan Sintang. Secara umum dapat

dikatakan bahwa seorang imam melayani sekitar 3.420 umat Katolik. Tenaga imam

masih diperlukan. Keadaan ini menunjukkan adanya potensi yang subur bagi

perkembangan Gereja Katolik di kawasan Sintang hingga ke Putussibau. Tidak sedikit

orang yang masih ingin menjadi anggota Gereja Katolik. Peluang kerasulan masih

terbuka luas. Malah, di hari-hari mendatang masih terbentang harapan untuk

memekarkan Keuskupan ini jika keadaan memungkinkan dan semua persyaratan

administratif kanonik terpenuhi.

Sebagai sebuah hierarki Gereja tetap berada dalam keterkaitan dengan seluruh umat

Allah. Dimensi institusional Gereja merupakan sebuah kenyataan organisatoris di

mana Gereja terstruktur dalam sebuah masyarakat yang kelihatan, sebagai umat Allah

(LG 9-17). Pendalaman makna hidup menggereja sebagai sebuah organisasi dan

himpunan umat beriman berada dalam sebuah konteks sosial yang berubah terusmenerus.

Pertumbuhan Gereja sejak tahun 30-330 memiliki ciri berupa komunitas-

2 Piet Derckx S.M.M, Sejarah Dimulainya Monfortan Hidup dan Berkarya di Indonesia (1939-

2005): Siapakah Mereka yang Datang Melayang dari Sana Seperti Awan? Bandung: Pusat

Spiritualitas Marial, 2008, hal. 71-82.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxiv


komunitas kecil orang Kristen. Dimensi katolisitas Gereja dititik-beratkan. Tak heran St.

Ignatius dari Antiokia dalam surat kepada jemaat di Smyrna antara lain mengatakan

bahwa di mana Uskup hadir, umat muncul; di mana Kristus ada di situ ada Gereja

Katolik (Smyrn 8). Sedangkan perkembangan Gereja sejak tahun 330-1054 terutama

ditandai dengan keterkaitan antara Gereja dengan tekanan-tekanan kebudayaan,

sosial dan politik. Keadaan hierarki uskup, imam dan diakon lebih diasimilasikan

dengan model imam agung Perjanjian Lama, imam Harun dan kaum imam pada waktu

itu. Kaum imam pada waktu itu, misalnya, tergolong ke dalam barisan orang-orang

yang dikuduskan dan mendapat hak-hak istimewa, yang acapkali diidentikkan dengan

“gereja”. Sedangkan sejak 1054-1965 ditandai dengan kecenderungan untuk

mengidentikkan gereja dengan kepausan.

Dewasa ini Gereja dipandang sebagai misterion dan sakramen. Sebagai himpunan

manusia, Gereja memiliki kesamaan dengan komunitas-komunitas lain di dunia.

Namun apa yang mencirikan Gereja kita? Gereja memiliki hubungan istimewa dengan

Tuhan dan juga memiliki hubungan yang unik dengan dunia. Gereja menyadari diri

yang dipanggil oleh Tuhan untuk menjalankan misi dan fungsinya sebagai sakramen

kesatuan umat manusia dan kesatuan semua orang Kristen dalam gerakan oikoumene.

Tak heran kalau wajah Gereja dewasa ini seharusnya hadir dengan mendahulukan

semangat persaudaraan. Gereja membangun sebuah jalinan persaudaraan yang

merangkul semua golongan dalam roh cinta kasih persaudaraan. Gagasan kolegialitas

tidak lagi hanya berlaku di kalangan para Uskup, melainkan juga menembus lapisan

akar rumput. Persekutuan dalam persaudaraan meliputi semua lapisan; kolegialitas

antara imam dengan Uskup, antarimam dan dengan seluruh umat. Kolegialitas ini

menekankan peran serta seluruh umat dalam hidup menggereja sekarang dan di masa

depan. Peran kaum awam sebagai mitra dan ujung tombak pewartaan Kabar Baik tidak

bisa diabaikan sedikitpun.

Setelah berdiri 50 tahun hierarki Gereja Katolik, masih diharapkan dari kita sekalian

untuk memiliki ketajaman dan kepekaan sosial dalam membaca tanda-tanda jaman

dalam bidang sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik. Gereja tidak bisa hanya

menikmati pertumbuhan dan perkembangan dunia, namun Gereja perlu masuk dan

terlibat dengan menyalurkan nilai-nilai perennial yang berguna untuk pembangunan

Kerajaan Allah di atas permukaan bumi. Yang didahulukan sekarang adalah Gereja

merintis gerakan persekutuan umat manusia dari pelbagai latar belakang untuk

membangun sebuah komunitas dalam roh persaudaraan. Jejaring kerja sama yang

harmonis dengan semua pihak perlu ditingkatkan terus. Ut omnes unum sint!

Pontianak, 1 November 2011, Hari Raya Para Kudus

Mgr. Hieronymus Bumbun, OFMCap

Uskup Agung Pontianak

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xxv


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxvi


Perjalanan panjang Gereja Katolik di keuskupan Sintang

selama 121 tahun dan 50 tahun sebagai hirarki Gerejani

yang mandiri, telah diisi dengan dan juga serentak adalah

buah dari kerja keras, pengabdian tanpa lelah, perjuangan

penuh harap, dan kepercayaan mendalam akan

penyelenggaraan Allah dari semua umat Allah, dalam

mewartakan Injil dan mewujudkan Kerajaan Allah di

wilayah ini. Percaya akan Sabda Tuhan, “Aku menyertai

kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman,” yang

menjadi tema utama perayaan 50 tahun keuskupan

Sintang ini, kita yakin bahwa dalam begitu banyak

kelemahan, kekurangan dan jatuh bangun, Gereja Katolik

keuskupan Sintang tetap bertumbuh subur. Inilah bukti bahwa di mana ada

kelemahan, rahmat semakin bertambah, sehingga pada akhirnya semakin nyata dan

sempurnalah karya-karya Tuhan bagi kita (Bdk 2Kor 12:9-10).

Maka, bersama pemazmur yang agung, marilah kita bersama berseru, “Aku mau

bersyukur kepada Tuhan dengan segenap hatiku, aku mau menceritakan segala

perbuatan-Mu yang ajaib (Mz 9:1). Mari kita bersyukur kepada Tuhan atas

penyelenggaraanNya selama ini, karena sejarah keuskupan ini adalah sejarah

keajaiban karya Tuhan di tengah kita. Kita sungguh menyadari bahwa hanya karena

kasih dan penyelenggaraanNyalah, semuanya ini terjadi.

Dari berbagai kegiatan yang sudah dan sedang dilaksanakan, salah satu wujud syukur

dalam merayakan 50 tahun usia keuskupan, ialah menulis sebuah buku sejarah

Keuskupan Sintang. Buku ini, yang adalah tulisan pendek mengenai sejarah panjang

Gereja Katolik Keuskupan Sintang, tidak dimaksudkan semata sebagai buku sejarah

untuk sekedar mengingat masa lalu dan mengenang para pendahulu, tetapi

hendaknya juga menjadi sarana permenungan akan kasih dan karya Allah yang nyata

terjadi dalam umat Allah serta dalam karya, cinta dan pengorbanan para pendahulu

kita.

Maka, sebagai pimpinan keuskupan, dari hati yang terdalam, saya merasa bangga,

saya sangat menghargai dan berterima kasih kepada semua umat Allah: para imam,

bruder, suster, dan awam; kepada semua orang: baik pria maupun wanita, baik tua

maupun muda, yang telah mendahului kita, juga semua yang masih hidup, yang

dengan cara dan kemampuannya masing-masing, telah berbuat sesuatu untuk

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xxvii


pembangunan Kerajaan Allah di wilayah keuskupan Sintang, sejak awal mula

berdirinya Gereja di wilayah ini, hingga hari ini dan selanjutnya. Doa dan berkat

menyertai Anda semua, dan semoga Tuhan mengganjari semua jasa Anda itu seratus

kali lipat. Walau nama Anda sekalian tidak dicatatkan dalam buku ini, kita percaya dan

berdoa bahwa semoga Tuhan mencatat nama Anda sekalian dalam daftar orang-orang

yang dicintai dan diselamatkanNya.

Kini, Gereja keuskupan Sintang telah berusia 50 tahun. Pesta emas ini hendaknya

menjadi momen untuk menorehkan tinta emas ke dalam hati kita masing-masing

untuk semakin berbuat lebih baik dan lebih banyak lagi untuk Gereja, bagi umat Allah

serta bagi seluruh masyarakat. Kita hendak menggoreskan dengan tinta emas dengan

mewujudkan Gereja keuskupan Sintang yang beriman mendalam, serta Gereja yang

mandiri, mandiri tenaga dan dana. Mari kita wujudkan Gereja Keuskupan Sintang yang

misioner, yang berdaya pikat dan berdaya tahan, yang mampu berbela rasa; yang

berani berpihak pada yang miskin dan telantar, tersisih dan menderita; yang memiliki

keterbukaan pada keragaman suku, budaya, ras, dan agama; yang semakin setia

kepada Allah dan semakin berbakti kepada bangsa; serta semakin menjadi garam dan

terang dunia. Kita telah mendoakan hal ini sepanjang tahun ini, mari kita

mewujudkannya ke dalam hidup kita sehari-hari.

Selamat, dan mari kita rayakan tahun emas ini dengan penuh syukur seraya memohon

rahmat Tuhan untuk perjalanan dan masa depan keuskupan dan seluruh umat, yang

masih sangat panjang, berat dan penuh tantangan.

Segala hormat, puji dan sembah bagi Kristus, Sang Raja, pelindung Gereja kita. Semoga

Kristus selalu merajai hidup kita.

Berkat Allah menyertai Anda sekalian,

Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin.

Sintang, 18 Oktober 2011,

Pesta Santo Lukas Pengarang Injil

Mgr. Agustinus Agus

Uskup Sintang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxviii


A P O S T O L I C N U N C I A T U R E

I N I N D O N E S I A

SAMBUTAN UNTUK KEUSKUPAN SINTANG

Dengan senang hati saya ikut berbahagia bersama umat

katolik Sintang yang merayakan ulang tahun ke-limapuluh

yang penuh makna atas pendirian Keuskupan, sebagaimana

lazimnya dirayakan juga oleh berbagai Gereja lain di Indonesia

tahun ini.

Masih teringat di benak saya, peristiwa kunjungan singkat

ke Sintang pada bulan Agustus yang lalu, saat saya

menghadiri Sidang Unio Apostolica. Bagi saya, itu

merupakan sebuah kesempatan yang baik untuk berjumpa

dengan Uskup kalian, dengan para imam, kaum rohaniwan,

seminaris dan umat di sini, dan terus terang saya amat berterimakasih atas

hangatnya sambutan dan keramahtamahan kalian kepada Wakil Paus di Indonesia.

Peringatan ulang tahun ini mengajak kita terutama untuk menyenandungkan

"Magnificat" bagi Tuhan seperti Perawan Maria memadahkan pujian dan rasa

syukurnya. Selama lima puluh tahun, Tuhan telah membuat "hal-hal besar" di

Kalimantan Barat, tanah kalian, dan telah memberkati Keuskupan kalian lewat berbagai

cara dengan anugerah buah-buah kehidupan kristiani yang berlimpah-ruah.

Hal yang baik semacam itu pasti dapat terwujud terutama berkat RahmatNya dan

untuk itu patutlah kita bersyukur kepadaNya.

Kita juga harus mengenang dengan penuh rasa syukur mereka-mereka yang selama

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xxix


lima dekade terakhir berkarya di dalam dan untuk Gereja Sintang, bahkan juga

mereka yang jauh sebelumnya telah bekerja di sini, dengan mengingat bahwa

Prefektur Apostolik telah didirikan tahun 1948 dan kemudian berubah menjadi Vikariat

Apostolik pada tahun 1953, di bawah pimpinan Uskup Lambertus van Kessel SMM. Jerih

payah serta usaha mereka, kemurahan hati serta pengorbanan mereka, telah

memungkinkan Keuskupan kalian tumbuh dan berkembang. Marilah kita mohon

kepada Tuhan, agar Dia sendirilah yang menjadi ganjaran bagi mereka sekarang dan

selamanya.

Limapuluh tahun pendirian Keuskupan hanyalah merupakan sebuah tahapan: langkah

perjalanan harus berlanjut. Kenangan akan masa lalu seharusnya menjadi stimulus

bagi karya masa depan. Sepantasnyalah, misi Gereja dilanjutkan di Sintang

sebagaimana pula di seluruh penjuru dunia, karena masih banyak lagi yang harus

dikerjakan bagi kehadiran Kerajaan Allah.

Masih banyak orang belum mengenal Tuhan Yesus dan Kabar GembiraNya.

Malahan, masih banyak orang yang walaupun telah menerima Sakramen Baptis,

semakin hidup menjauh dari Gereja.

Masih banyak umat kristiani yang hanya mengenal sedikit iman mereka,

sehingga mereka tidak menghayati iman mereka dalam kehidupan pribadi, keluarga

dan masyarakat luas.

Masih banyak kaum remaja dan muda yang harus menemukan panggilan hidup

mereka dalam Gereja dan dunia.

Masih banyak keluarga yang harus menghayati sepenuhnya misi mereka dalam

komunitas basis Gereja dan masyarakat.

Masih banyak kaum miskin dan penderita yang menantikan uluran keadilan dan

kasih kita.

Namun janganlah kiranya kita khawatir akan apa yang bisa kita perbuat atau akan

kesulitan-kesulitan yang menghadang kita, karena Tuhan sendirilah akan bersama kita

melalui terangNya, kekuatanNya, dan juga melalui belas kasihNya terhadap

keterbatasan serta dosa-dosa kita. Apa yang telah Dia lakukan melalui kita,

membuat kita yakin bahwa kita tak akan pernah kekurangan pertolonganNya.

Untuk pertolongan ilahi ini, Berkat Bapa Suci kiranya menjadi jaminan yang dengan

sukacita, selaku Wakilnya di Indonesia, saya sampaikan kepada kalian sambil

mengajak kalian selalu menyatukan diri bersama Paus melalui doa baginya serta

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxx


kepatuhan kepadanya. Di dalam naungan keluarga besar Gereja katolik yang tersebar

di seluruh dunia, Keuskupan Sintang akan dapat melanjutkan misinya dengan Iebih

baik.

Inilah doa dan pengharapan yang saya sampaikan kepada yang terkasih Bapa Uskup

Monsinyur Agustinus Agus, para imam, rohaniwan dan rohaniwati, serta seluruh umat di

Sintang.

Jakarta, 1 September 2011

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xxxi


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxxii


“Aku menyertai

kamu senantiasa,

Sampai kepada

akhir zaman.”

Mateus 28:20

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang

║ hal. xxxiii


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxxiv


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 1


1. Geografi

K

euskupan Sintang terletak di bagian timur-laut Kalimantan Barat. Di sebelah

barat berbatasan dengan keuskupan Sanggau; di sebelah barat laut adalah

keuskupan Serawak; di sebelah utara dan timur laut adalah keuskupan

Kinabalu; di sebelah timur adalah keuskupan Tanjung Selor; di sebelah timur tenggara

adalah keuskupan agung Samarinda dan keuskupan Palangkarya; di sebelah selatan

adalah keuskupan Palangkaraya; dan sebelah barat daya adalah keuskupan Ketapang.

Keuskupan Sintang terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Sintang (luas wilayah:

22.113 km 2 ), yang terdiri dari 14 kecamatan dan 17 paroki; Kabupaten Kapuas Hulu

(luas wilayah: 29.842 km 2 ), yang terdiri dari 23 kecamatan dan 14 Paroki; dan

Kabupaten Melawi (luas wilayah: 10.165 m 2 ), yang terdiri dari 7 kecamatan dan 5

paroki. Luas wilayah keuskupan Sintang ialah 62.120 km 2 .

2. Topografi

W

ilayah keuskupan Sintang umumnya bertopografi dataran dengan ribuan kali

dan sungai. Hutan masih ada di mana-mana tetapi menyusut terus dan cepat.

Tanah dataran umumnya bergambut dan rawa. Gunung-gunung atau daerah

perbukitan umumnya berada jauh di pedalaman. Di daerah hilir umumnya memiliki

sungai-sungai yang besar dan dengan aliran air berwarna coklat tanah. Hanya di

daerah-daerah hulu, terdapat sungai-sungai berbatu dengan air yang bersih dan jernih.

Sungai, yang sejak ribuan tahun lalu sudah sebagai jalur transportasi, masih menjadi

salah satu urat nadi penting transportasi di beberapa daerah, walaupun jalan untuk

kendaraan roda empat dan dua sudah mencapai hingga ke banyak pelosok. Para

misionaris selama seratus tahun pertama, praktis ke mana-mana menggunakan

transportasi air.

Mengenai transportasi air ini, perlu kiranya disebutkan beberapa motor air (perahu

motor atau kapal motor) yang telah sangat berjasa pada masa-masa awal Gereja di

keuskupan Sintang, karena telah membawa para misionaris berturne ke berbagai

wilayah di Keuskupan Sintang.

Kapal motor saat itu ialah kapal motor (KM) Lien, KM Irma, KM Rasul, KM. Eva, KM

Damai, KM Pengasihan, KM Bertha, KM Dharmawati. Banyak kali para misionaris

menumpang KM West Borneo dan KM Flora dan kapal motor milik pemerintah Hindia

Belanda lainnya dan juga milik para pedagang, yang umumnya adalah keturunan

Tionghoa. KM Lien, KM Irma, KM Rasul adalah kapal motor yang paling sering disebut

dan dipakai.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 2


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 3


Paroki Putussibau memiliki KM

Sinar dan paroki Sejiram

memiliki KM Mawar, dan Paroki

Bika Nazareth memiliki KM

Damai dan Marley, dan Suster

SMFA memiliki KM Dharmawati.

Semuanya rata-rata berdaya

angkut tiga atau empat ton.

Setelah tahun 1970-an, parokiparoki

memiliki beberapa motor

tempel (speed-boat) dengan

daya antara 6 s.d. 25 PK, merek

Johnson dan belakangan juga

merek Yamaha. Di samping itu, saat itu, Keuskupan juga membeli dua kapal motor

baru, yaitu KM Harapan dan KM Ferry dengan daya angkut 40 ton. Yang terakhir ini

dibeli terutama untuk keperluan belanja barang-barang ke Pontianak.

Pada umumnya jalan-jalan darat hanya diaspal kasar penuh lobang hingga hanya

sekedar pasir dan tanah liat. Sumber penghasilan warga, sebagian besar umat adalah

petani karet, ladang tradisional dan sawit. Yang terakhir ini marak masuk ke wilayah ini

sejak tahun 1990-an. Kehadiran kelapa sawit secara besar-besaran pada dua dekade

terakhir ini bukan hanya mendatangkan keuntungan ekonomi, tetapi juga berdampak

negatif, baik kepada alam maupun warga yang terkena proyek sawit.

Dua sungai besar yang melintasi Keuskupan Sintang ialah Sungai Kapuas dan Sungai

Melawi di mana kota Sintang adalah tempat pertemuan kedua sungai besar ini. Sungai

besar anak sungai Kapuas antara lain, sungai Bunut, sungai Embaloh, sungai Mandai,

sungai Ketungau, sungai Tempunak, dsb. Sungai besar yang merupakan anak sungai

Melawi antara lain, sungai Pinoh, sungai Belimbing, sungai Ella, dsb.

3. Populasi Umat

T

ahun 1940-an, seluruh penduduk pada wilayah keuskupan Sintang berjumlah

sekitar 200.000-an jiwa. Tahun 1950, penduduk seluruhnya sebanyak 202.444

jiwa. Tahun 1990 berjumlah sekitar 545.000 jiwa, dan tahun 2000 berjumlah

642.768 jiwa, serta tahun 2009, jumlah penduduk di seluruh wilayah keuskupan

Sintang mencapai 767.635 jiwa, yang mana 216.598 jiwa (27.8%) tercatat sebagai

beragama Katolik.

Catatan dari Buku Petundjuk Geredja Katolik Indonesia, jilid 1, tahun 1970,

menyebutkan bahwa jumlah umat Katolik yang sudah dibaptis pada tahun 1969 ialah

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 4


11.554 jiwa; sementara dalam catatan website hirarki Katolik, 1 yang mungkin

bersumber dari Guida Delle Missione Cattoliche, pada tahun 1969 sudah berjumlah

lebih dari 12 ribu orang. Angka ini meroket tajam dalam 10 tahun kedepannya.

Menurut sensus pemerintah, pada tahun 1980, jumlah penduduk pada keuskupan

Sintang seluruhnya adalah 391.926 jiwa di mana jumlah orang yang mengaku Katolik

sebanyak 130.966 jiwa (33,4%), sementara yang dibaptis baru sebanyak 37.778 orang

(10.24 %).

Pada tahun 2010, jumlah umat Katolik keuskupan Sintang adalah 225.576 jiwa. Di sisi

yang lain jumlah seluruh penduduk di wilayah ini adalah 765.496 jiwa, yang berarti

umat Katolik di keuskupan Sintang mencapai 29,4% dari jumlah penduduk seluruhnya.

Data dan pertumbuhan jumlah umat dapat dilihat sebagai berikut: 2

Tahun 1950 1969 1975 1976 1977

Warga 202.444 265.000

Katolik 3.396 12.925 22.385 23.775 25.817

% Kat. 1.7 % 4.9 %

Tahun 1978 1980 1989 2000 2001

Warga 369.000 471.325 621.932 650.664

Katolik 29.111 37.778 73.621 124.830 132.078

% Kat. 10.24 % 15.62 % 20.1 % 20.3 %

Tahun 2002 2003 2004 2009 2010

Warga 665.330 612.117 676.082 767.635 3 765.496 4

Katolik 139.015 144.382 153.723 216.598 225.576

% Kat. 20.9 % 21.5 % 22.7 % 27.8 % 29,4%

1 http://www.catholic-hierarchy.org/diocese/dsint.html.

2 Data tahun 1950, 1969, 2000-2004 dikutip dari website http://www.catholichierarchy.org/diocese/dsint.html,

dan tahun 1977-1980, diambil dari Pusat Penelitian

Universitas Katolik Indonesia, Atma Jaya, Profil Paroki Gereja Katolik di Seluruh Indonesia 1980

dan tahun 1989 diambil dari Guida Delle Missione Cattoliche 1989. Akurasi dari jumlah ini agak

diragukan, terutama bila disesuaikan dengan jumlah baptisan baru, seperti yang tercantum

pada halaman ini.

3 Data diambil dari website Badan Koordinasi Penanaman Modal di Indonesia,

http://regionalinvestment.com/newsipid/id/area.php?ia=61

4 Jumlah ini diambil dari data sensus penduduk tahun 2010 dari website pemerintah,

http://www.bps.go.id/hasilSP2010/kalbar/. Memperhatikan fluktuasi angka yang menurun

dalam jumlah besar, maka agak diragukan entah jumlah tahun sebelumnya atau hasil sensus

saat ini yang belum selesai dan belum lengkap, atau memang ada migrasi penduduk yang

cukup besar.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 5


Pertumbuhan umat Katolik Keuskupan Sintang selama ini, sebagian besar berasal dari

pembaptisan dewasa. Para baptisan dewasa ini umumnya berasal dari mereka yang

belum beragama dan yang selama ini mengakui sebagai orang Katolik, baik di Kartu

Tanda Penduduk maupun dalam kehidupan publik. Berikutnya menyusul baptisan baru

bayi dan bagian kecil lainnya, ada baptisan dewasa baru pindahan dari agama lain. Hal

tersebut dapat dilihat pada data berikut ini.

Rekap Baptisan Baru Tahun 2002-2010 5

Tahun

> 1 Tahun 1 – 7 Tahun < 7 Tahun

P W P W P W

Total

2002 755 665 684 752 1.826 2.411 7.193.

2003 870 864 638 672 1.940 2.166 7.150

2004 844 844 815 937 1.741 2.163 7.334

2005 1.025 1.067 1.161 1.253 2.454 2.690 9.650

2006 844 960 1.036 1.120 2.231 2.237 8.430

2007 956 1.012 1.230 1.207 2.178 2.432 9.015

2008 1.264 1.271 1.376 1.523 3.750 3.945 13.131

2009 1.000 1.013 1.222 1.260 2.817 2.789 10.101

2010 1.365 1.143 1.491 1.502 2.224 2.353 10.078

TOTAL 8.953 8.839 9.653 10.226 21.161 23.186 82.082

Mayoritas umat Katolik adalah dari etnis Dayak, yang merupakan suku asli di

Kalimantan. Selain itu juga cukup banyak umat yang berasal dari etnis China

(Tionghoa), NTT, Jawa, dan berbagai suku lainnya. Komposisi setiap paroki berbedabeda.

Umumnya paroki-paroki kota memiliki cukup banyak umat non-Dayak

dibandingkan dengan paroki-paroki pedalaman yang hampir semuanya adalah sukuras

Dayak.

Salah satu tantangan berat pelayanan di keuskupan Sintang ialah sebaran umat. Walau

total hanya berjumlah 225.576 jiwa pada tahun 2010, tetapi mereka manyebar di 3

regio/wilayah, yang terdiri dari 36 paroki dengan total 1.118 stasi/kampung. Karena

menyebar di begitu banyak stasi (kampung) maka masih sering terjadi seorang Pastor

Paroki hanya dapat mengunjungi sebuah kampung (stasi) satu atau dua atau tiga kali

saja dalam setahun. Inilah tantangan besar karya pastoral Gereja Keuskupan Sintang.

Untuk memecahkan masalah ini, keuskupan terus menggalakkan partisipasi umat,

terutama pemberdayaan Pemimpin Umat serta kaderisasi kaum muda pada setiap

paroki dan stasi.

5 Bersumber dari arsip keuskupan di Sekretariat Keuskupan Sintang.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 6


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 7


G

ereja dan iman Katolik diakui umum dimulai di Indonesia pada tahun 1534,

ketika seorang awam berkebangsaan Portugis bernama Gonzalo Veloso

membaptis beberapa orang di desa Mamuia, Halmahera. Mereka inilah orangorang

Katolik pertama Indonesia.

Pastor Ignatius di daerah Kapuas Hulu

Setelah beberapa abad

kemudian, setelah hadir di pulau

Jawa, Sumatera, dan bagian

Timur Indonesia, Gereja Katolik

pun masuk ke pulau Kalimantan,

yaitu pada tahun 1816, ketika

Pastor I.P.N Sanders

menginjakkan kakinya di tanah

suku Dayak ini. Kedatangan

Pastor Sanders bertujuan untuk

menjajaki kemungkinan

pembukaan misi Katolik di tanah

Kapuas ini. Sayangnya, Pastor ini

berkesimpulan bahwa saatnya

belum tiba bagi Gereja untuk memulai misi di Kalimantan Barat. Kesimpulan yang

sama juga diberikan oleh seorang Pastor militer yang menjalin hubungan dengan

masyarakat Dayak pada tahun 1861-1862.

Tahun 1851-1852, Pastor Sanders kembali mengunjungi Kalimantan Barat. Perlu

kiranya membaca ulang catatan Pastor I.P.N Sanders mengenai Kalimantan Barat,

khususnya masyarakat Dayak saat itu, selama visitasi dan perjalanannya ke Kalimantan

Barat pada tahun 1851-1852. 6

“Orang Daya merupakan bagian penduduk terbesar dan memang yang paling penting

artinya. Mereka dipandang sebagai penduduk asli yang tertua penghuni pulau Borneo.

Mereka itu berdiam di daerah-daerah pedalaman yang terpencil dikelilingi hutan

rimba yang lebat. Jumlahnya ditaksir sekitar 143.000 orang dan hidup terpencarpencar

di suatu dataran yang luasnya 256,5 mil persegi… sehingga orang bisa berjalan

berhari-hari, tanpa bertemu orang Daya.

Dari semua kota yang telah saya kunjungi, Sambas mempunyai penduduk Daya paling

banyak. Jumlahnya sekitar 20.000 orang. Menyusul Sintang, tempat terdapat kira-kira

30.000 orang, dan Sanggau, dengan penduduk Daya hampir 23.900 orang.

6 G. Vriens S.J., Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 2: Wilayah Tunggal Prefektur-

Vikariat abad ke-19 Awal Abad ke-20, Arnoldus, Ende, 1972, hal. 225-227.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 8


Di antara rakyat yang terjajah ini,

nasib orang Dayalah dalam

segala hal paling menyedihkan.

Oleh karena itu sangatlah

diharapkan, agar di kalangan

rakyat yang bernasib jelek ini

dapat dimulai suatu misi, namun

kesulitan-kesulitan yang harus

diatasi besar sekali. Pada satu

pihak ketamakan yang tak dapat

dipuaskan dan pemerasan yang

tiada henti-hentinya dari orang

Melayu, terlampau sering

mengecewakan harapan-harapan Para Suster Turne di daerah Sejiram

yang terbaik, dan menggagalkan cita-cita yang paling indah; oleh karena pemerasan

maupun ancaman-ancaman dalam hal ini merupakan senjata yang paling ampuh bagi

orang Melayu untuk mempertahankan pengaruhnya yang tak terbatas atas penduduk

yang malang ini

Pada pihak lain terdapatlah pada orang Daya sikap yang mutlak keras terhadap segala

sesuatu yang tidak dinikmati secara materiil. Masih ada lagi satu kesulitan besar

dalam hubungan ini, yalah bahwa orang-orang Daya ini hampir semuanya terpencarpencar

satu sama lain dan berdiam di tempat-tempat yang hampir tidak bisa dicapai.

Kampung terbesar, yang sudah saya lihat, terdiri atas 90 jiwa, yakni pria, wanita dan

anak-anak, sedangkan kebanyakan kampung biasanya cuma meliputi 40 sampai 50

jiwa.

Di samping semuanya ini harus ditambahkan lagi, bahwa dari pihak pemerintah tidak

dapat diharapkan bantuan yang kuat dan memadai untuk melawan raja-raja Melayu

itu. Pemerintah hanya dapat

membantu melalui persetujuanpersetujuan

dengan, dan janjijanji

dari raja-raja itu. Tetapi

persetujuan-persetujuan itupun,

menurut pengalaman seharihari,

di Borneo tidak pernah

dilaksanakan dan janji-janji itu

setiap saat dilanggar dengan

sewenang-wenang tanpa

ditindak samasekali.

Rumah Keuskupan Sintang, thn 1957

Saya belum sempat masuk di

kalangan orang Daya yang bebas dan merdeka, tetapi sejauh yang saya dengar dan

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 9


menurut peninjauan-peninjauan yang pernah dilakukan, kiranya suatu misi di sana

akan tidak terlalu banyak menghadapi kesulitan-kesulitan dan menurut perkiraan

manusiawi, bisa lebih baik hasilnya. Maka dari itu menurut perasaan saya suatu misi di

sana patut mendapat perhatian lebih daripada yang lain.”

Setelah 30 tahun berlalu, akhirnya Vikaris Apostolik Batavia berencana memulai karya

misi Katolik di antara orang-orang Dayak di Kalimantan. Dalam surat Vikaris Apostolik

no. 178, tanggal 25 Februari 1884, Mgr. Adamo Claessens, Pr, memberitahu tentang

pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, G.G. van Rees, di Buitenzorg

(Bogor), yang menyatakan kemungkinan pemerintah Belanda memberi daerah Borneo

bagi misi Katolik. Izin ini diperlukan karena seluruh daerah masih di bawah kontrol

pemerintah Hindia Belanda karena “Nota de Punten” antara Paus dengan pemerintah

Hindia Belanda hanya menjamin kebebasan internal Gereja Katolik. Dalam surat itu

juga dinyatakan bahwa dalam penjajakannya yang terakhir di Borneo, ada kesan cukup

baik mengenai kemungkinan penerimaan orang Dayak terhadap misi Katolik. Izin

pemerintah dari Hindia Belanda untuk memulai bekerja di antara orang Dayak

diberikan pada tanggal 7 Agustus 1884.

Pada tahun yang sama, para Pastor Mill Hill yang berkarya di pulau Kalimantan bagian

Malaysia menawarkan diri untuk bekerja di Kalimantan Barat, tetapi ditolak oleh

pemerintah Hindia Belanda. Penolakan ini berkaitan dengan pemikiran pemerintah

Hindia Belanda, yang kemudian tegas tertulis dalam pasal 123 (177) dari “Reglement

op het Beleid der Regeering van Nederlands-Indië” (1854; 1925), yang menetapkan

beberapa daerah dinyatakan tertutup untuk misi Gereja Katolik.

Pada tanggal 7 Agustus 1884, pemerintah Hindia Belanda mengizinkan misi Katolik

masuk Kalimantan. Pastor pertama yang melakukan pelayanan di Kalimantan Barat

ialah Pastor Walterus Staal S.J. Setelah mendapatkan izin, maka pada tahun itu juga,

Beliau diutus untuk melayani

sekitar 200 umat Katolik

keturunan Tionghoa di

Singkawang, yang berasal dari

pulau Bangka. Pastor W. Staal

merasakan keuntungan misi di

antara orang Tionghoa di

Singkawang dibandingkan

orang Tionghoa di Bangka,

karena mereka menetap di

Singkawang sebagai petani

dan pedagang, sehingga kecil

kemungkinan untuk balik lagi

ke China daratan. Saat itu telah

Sintang pada tahun 1970-an

terdapat sekitar 150 orang Tionghoa yang menjadi Katolik, ditambah sekitar 100-an

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 10


orang Belanda sipil dan sejumlah tentara. Tahun 1885, Vikariat Batavia menetapkan

Singkawang sebagai stasi (paroki) dan mengangkat Pastor Staal sebagai pastor paroki

pertamanya. Beliau juga masih sering mengunjungi Bangka-Belitung dan Medan, dan

praktis hanya antara bulan Juli-Agustus Beliau berada di Singkawang. Tahun 1893-

1897, Beliau menjabat sebagai Vikaris Apostolik Batavia dan meninggal dunia di Banda,

karena sakit keras, saat melakukan visitasi ke Ambon, Kai dan Langgur, pada tanggal 30

Juni 1897.

Tahun-tahun selanjutnya karya misi saat itu hanya ditujukan kepada daerah-daerah

yang langsung di bawah pemerintah Belanda, yakni Sambas, Mempawah dan Sintang.

Pastor Walterus Staal S.J beberapa kali mengadakan perjalanan untuk meninjau

situasi. Beliau menganjurkan supaya misi dimulai di antara orang-orang Dayak yang

diam di sekitar Bengkayang, khususnya di kampung Sebalau. Daerah itu tidak terlalu

jauh dari Singkawang, sehingga Pastor Singkawang dan Pastor Sebalau dapat saling

berhubungan dengan mudah.

Residen Gijsbers dari Pontianak menganjurkan supaya Pastor W. Staal mengunjungi

juga daerah-daerah lain, teristimewa ke daerah Kapuas. Menanggapi anjuran ini, maka

Beliau mudik ke hulu Kapuas selama lima hari dengan perahu-motor dari Pontianak.

Daerah yang Beliau kunjungi saat itu adalah Semitau, kampung halaman orang-orang

Dayak dari Suku Rambai, Seberuang dan Kantuk. Pastor Staal mempunyai kesan yang

baik terhadap orang-orang Dayak di sekitar Semitau. Namun mengingat jumlah

mereka yang hanya sekitar 1.500 orang, dan perjalanan yang sulit sekali, sehingga

Pastor Staal tetap pada

rencananya semula: memilih

Sebalau.

Dalam

pertimbangan

selanjutnya, ternyata Sebalau

tidak dipilih, karena terletak

dalam daerah kekuasaan Sultan

Sambas dan tidak ada jaminan

bahwa penjabat-penjabatnya,

yang semuanya Islam, tidak

akan menghalangi karya misi di

antara orang-orang Dayak yang

masih animis. Akhirnya, pilihan

jatuh pada Semitau, tempat

Para Pastor Kapusin & Suster SFIC

kedudukan seorang Kontrolir

yang membawahi daerah Kapuas Hulu. Residen Sintang menyetujui rencana itu dan

menyatakan bahwa Suku Seberuang, Rambai dan Kantuk cukup taat pada Pemerintah

Hindia Belanda dan mereka bersedia menerima misi Katolik.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 11


Walau dalam buku permandian Paroki Sejiram sudah ada catatan pembaptisan

(pertama) pada tahun 1.888, yang diberikan oleh Pastor Looymans, S.J, sejatinya

tahun 1890 merupakan tonggak resmi hadirnya Gereja pada wilayah yang sekarang

adalah wilayah Keuskupan Sintang. Vikariat Apostolik Batavia secara resmi membuka

stasi (paroki) baru di Kalimantan Barat, yaitu di Semitau, yang melakukan pelayanan

kepada penduduk setempat. Semitau, menjadi paroki pertama di wilayah hulu Kapuas

yang saat ini sebagai wilayah keuskupan Sintang, sebagai bagian dari Vikariat Batavia,

yang didirikan pada tanggal 3 April 1841.

Melalui surat dinas no. 7, tanggal 29 Juli 1889, pemerintah Hindia Belanda, dengan

dukungan dari G.G. Pijnacker Hordijk, menyetujui misi Katolik di antara orang-orang

Dayak dengan tempat kedudukan di Semitau. 7 Pastor Looymans S.J, dengan surat

dinas no. 252 tertanggal 14 Juni 1890, diutus menjadi misionaris pertama bagi orang

Dayak bagian hulu.

Pada tanggal 29 Juli 1890,

Pastor H. Looymans yang

sebelum ini bertugas di

Padang, tiba di Semitau.

Kemudian ternyata menurut

Beliau, Semitau bukan tempat

yang strategis bagi karya misi

Katolik bagi orang-orang

Dayak. Beliau menyadari

bahwa orang Dayak tidak

tinggal di Semitau, tetapi di

daerah sekitarnya. Orang

Dayak hanya sesekali datang

ke Semitau, yang saat itu

merupakan

pusat

perdagangan di daerah itu. Penduduk Semitau sendiri hanya terdiri dari orang-orang

Cina dan Melayu. Bila bertempat tinggal di Semitau, maka kontak yang mendalam

dengan orang Dayak hampir tidak mungkin.

Karena itu, pada tahun 1891, Pastor Looymans S.J dijemput dan dibawa ke Sejiram

oleh Babar, Bantan dan Unang, tiga bersaudara dari Sejiram. Di atas tanah kosong

yang agak berbukit di pinggir Sungai Seberuang, tidak jauh dari Nanga Sejiram, Pastor

Looymans membangun rumah sederhana untuk Pastoran yang sudah mulai ditempati

7 Sebelum Perang Dunia II, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan agar para

Misionaris boleh berkarya untuk Misi Katolik, hanya di daerah Kapuas, yaitu daerah Sintang

hingga Putussibau. Sedangkan daerah Melawi untuk Protestan. Ini merupakan bagian dari

politik Machiavelismus: divide et impera penjajah.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 12


pada akhir tahun 1891. Tempat itu terletak di antara empat kampung orang Dayak.

Jarak setiap kampung sekitar lima menit berjalan kaki. Di tempat itu pula kemudian

dibangun gereja, sekolah dan pondok asrama untuk anak-anak sekolah.

Misi pertama ini sangatlah sulit,

apalagi Beliau seorang diri dan

sempat sakit dan dirawat di

Singkawang selama delapan

bulan. Orang-orang tua sulit

sekali diajak dan bertobat dari

kepercayaan animis mereka

dan umumnya hanya

dipermandikan ketika mereka

akan meninggal dunia. Pelanpelan

Beliau mendapatkan

kepercayaan masyarakat

setempat, walau kadangkala

harus diberi sesuatu, seperti garam, obat-obatan, atau hadiah-hadiah kecil lainnya.

Beliau juga berusaha memperbaiki kehidupan ekonomi mereka dengan berusaha

menternakan babi dan kambing dan membuka kebun kopi yang tidak terlalu besar.

Dalam waktu tujuh bulan, Pastor Looymans sudah mempermandikan 58 orang anakanak.

Di sini pun, seperti di tempat lain, harapan terutama terletak pada anak-anak

muda.

Anak-anak mulai rajin datang dan menghadiri Misa kudus di kapel kecil dekat

pastoran. Sehabis Misa anak-anak sering bermain dan bahkan juga makan di pastoran.

Sedikit demi sedikit jumlah anak terus bertambah yang mana mereka datang bukan

hanya pada hari Minggu, tetapi juga pada hari-hari biasa, sehingga Beliau pun

mendirikan asrama kecil untuk mereka. Bila Beliau tidak turne ke kampung-kampung,

anak-anak ini Beliau ajar membaca, menulis dan berhitung. Anak-anak ini umumnya

meninggalkan asrama bila orangtua mereka memiliki panenan yang cukup dan

melimpah dan kembali ke asrama bila mengalami kekurangan.

Bulan Desember 1892, tujuh anak-anak didik angkatan pertama dibaptis dan

menerima Komuni kudus pada tangal 1 November 1893. Seorang guru yang bernama

Willem, mungkin berasal dari Manado, membantu Beliau. Pada tahun 1893, Pastor

Looymans yang melayani sendirian akhirnya dibantu oleh Pastor H. Mulder.

Sayangnya, Pastor baru ini hanya bertahan dua tahun dan dipindahkan. Menurut

cerita, ia seringkali takut menjadi korban ngayau sehinga saat tidur pun ada senapan

di sampingnya.

Berikut ini adalah daftar sebelas orang pertama yang dibaptis di Paroki Sejiram, yang

mana saat itu wilayahnya mencakup seluruh Keuskupan Sintang saat ini.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 13


LB N A M A LAHIR BAPTIS

1 Maria Padang, 3-10-1888 Sintang, 27-07-1890

2 Yacoba Marina Pontianak, 26-9-1889 Sintang, 27-07-1890

3 Yoseph Mensan Kenerak Kenerak, 11-08-1890

4 Maria Mercedan, 1890 Semitau, 01-11-1890

5 Dina Ng. Suhaid, 1885 Semitau, 20-11-1890

6 Anna Ng. Suhaid, 1887 Semitau, 20-11-1890

7 Yoseph Nawan Kenerak, 1885 Semitau, 03-12-1890

8 Paulus Kuntit Kenerak Semitau, 22-12-1890

9 Wilhelmina Kenerak, 1888 Semitau, 25-12-1890

10 Willem Gangang Kenerak, 1884 Semitau, 29-12-1890

11 Yan Simpin Sei Duku, 1888 Semitau, 29-12-1890

Dalam laporannya yang terakhir, pada tahun 1897, Pastor Looymans melaporkan

bahwa dari 467 orang yang dibaptis dan dicatat dalam Buku Baptis sejak tahun 1890,

ada 429 yang masih hidup, yaitu 207 orang di Sejiram dan 181 orang di Putussibau

serta 41 orang di Nanga Badau.

Usaha perkebunan karet, kopi, kelapa, lada, di Sejiram pada tahun 1930-an.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 14


Tonggak sudah ditancap, tahun 2011 ini, Gereja Sintang merayakan 121 tahun

kehadiran dan karyanya, serta 50 tahun sebagai Keuskupan di tanah tengkawang,

kenyalang dan arwana ini. Biji sesawi kecil yang ditaburkan itu kini telah bertumbuh

dan besar serta menghasilkan banyak buah.

Catatan tahun 1930-an mengenai adat suku Melayu di Semitau dan Suaid.

Mengungkapkan kemauan besar misionaris mengenal budaya setempat

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 15


Salah satu catatan dari zaman Perang Dunia II mengenai perpindahan lima orang Guru

saat itu, yaitu, 1) Pak P. K. Ransa di Embaloh, 2) Pak F. Apok di Taman, 3) Pak M. Racdin

di Kantuk, 4) Pak S. Sami di Taman, dan 5) Pak M. Bontan di Kantuk.

Kutipan dari laporan turne Pastor Egbertus Nobel OFM Cap dan Pastor David van der

Made OFM Cap, dalam kunjungan ke Serawai, Ambalau dan hulku Melawi, tgl 18 Mei –

22 Juni 1937, hal. 1 dan 42.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 16


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 17


1. Sejiram

P

erubahan baru terjadi untuk Gereja di Kalimantan. Takhta Apostolik mendirikan

dan menetapkan Kalimantan sebagai Prefektur Apostolik baru pada tanggal 11

Februari 1905, sebagai bagian dari Vikariat Batavia. Prefektur baru ini

diserahkan kepada para imam Ordo Fransiskan Kapusin yang dalam hal ini

ditangani oleh Kapusin Provinsi Belanda. Pada saat bersamaan, Takhta Apostolik

mengangkat Pastor Giovanni Pacificio Bos, OFM. Cap sebagai Prefek Apostolik

Kalimantan yang pertama. Tanggal 30 November 1905, para misionaris Kapusin

pertama tiba di Singkawang. Prefektur baru ini meliputi seluruh wilayah Kalimantan

yang dikuasai oleh Belanda (Borneo Hollandese) pada waktu itu, dengan tempat

kedudukan Prefek Apostolik di Singkawang. Ketika stasi (paroki) Pontianak dibuka pada

tahun 1909, maka pusat pelayanan dan tempat tinggal Prefek pun dipindahkan ke

Pontianak pada tahun yang sama.

Sejak ditinggalkan tahun 1898, baru pada bulan Mei 1906, stasi Sejiram dikunjungi lagi

oleh Pastor. Kunjungan ini dilakukan oleh Prefek Apostolik Pacificio Bos sendiri.

Tujuannya semata untuk

suatu penjajakan. Setelah

kunjungan penting ini,

Prefek memutuskan

untuk membuka kembali

stasi Sejiram. Akhirnya,

pada tanggal 22 Agustus

1906, stasi Sejiram resmi

dibuka atau diaktifkan

kembali oleh Prefek

Apostolik seraya

menugaskan Pastor

Eugenius OFM Cap, Pastor

Camillus OFM Cap, dan

Bruder Theodorius OFM

Cap untuk menetap dan

Gereja Kedua Sejiram – tahun 1907

melayani umat di stasi

Sejiram. Tahun 1907, sebuah gereja dan pastoran baru telah berdiri. Sayangnya dua

bangunan ini terbakar habis pada tahun 1913. Diduga gereja dan pastoran ini dibakar

oleh anak Pak guru Djandung, yang tidak suka dengan para Pastor. 8

8 “De dader heeft men gevonden; dat was de vader van de latere guru Djandung

omdat hij kwaad was op de pastoor,” dalam Montfortaans Contaktblad, vo. 40, no. 3, tahun tak

diketahui, hal. 13.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 18


Tidak lama kemudian karya misi di

Sejiram diperkokoh dengan

datangnya beberapa Suster

Fransiskanes dari Veghel (Suster

Fransiskus dari Perkandungan Tak

Bernoda Bunda Suci Allah (SFIC 9 ),

yaitu, Sr. Didelia, Sr. Casperina dan

Sr. Cajetana pada tahun 1908.

Datangnya para misionaris Kapusin

dan Suster-Suster Fransiskanes

tersebut merupakan titik awal baru

Gereja Ketiga Sejiram – tahun 1937

perkembangan Gereja di wilayah ini.

Ladang sudah dibuka dan benih mulai ditanam. Wilayah stasi Sejiram ini meliputi

wilayah Keuskupan Sintang dan sebagian dari wilayah Keuskupan Sanggau sekarang

ini.

Ketika para misionaris Kapusin datang ke Sejiram, mereka tidak menemukan apa-apa

lagi kecuali rumah tinggal Pastor. Gedung lain, seperti Gereja, sekolah dan rumarumah

lainnya yang dibangun oleh Pastor Looymans, sudah tidak ada. Gedung telah

hilang dan musnah, tetapi benih iman kristiani yang dulu ditanam ternyata masih

hidup dan bertumbuh, walaupun ditinggalkan selama beberapa tahun. Beberapa umat

Katolik yang dipermandikan sebagai anak kecil oleh Pastor Looymans ternyata masih

ada. Setiap hari Minggu berkumpul

rata-rata 50 orang untuk

sembahyang dan mengikuti

pelajaran agama. Gereja dan

Pastoran baru pun segera mulai

dibangun.

Selain karya untuk hal-hal yang

rohani seperti pelayanan sakramen,

doa, dan pengajaran agama, karya di

bidang sosial pun tidak diabaikan.

Para misionaris ini mulai membuka

sekolah umum dan perkebunan.

Murid-murid sekolah di Sejiram bersama Guru, Usaha sekolah dan perkebunan ini

Pak Palil dan Pak Oenggan, tgl 18 Juli 1936 walaupun tidak dilanjutkan hingga

masa kini, tetapi telah menyumbang

dan memberikan banyak kepada penduduk setempat. Perkembangan orang Dayak

9 Nama resminya dalam bahasa Latin ialah Sororum Franciscalium Ab Immaculata

Conceptione a Beata Matre Dei (Suster Fransiskanes dari Perkandungan Tak Bernoda Bunda

Suci Allah).

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 19


dalam bidang perkebunan, khususnya perkebunan karet, dan pendidikan lainnya, yang

kemudian membawa mereka keluar dari lingkungannya yang amat tertutup pada

waktu itu, dimulai dari karya misi di Sejiram ini. Para misionaris dari permulaan sudah

melihat bahwa usaha misi di antara orang Dayak harus disertai dengan usaha

meningkatkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Untuk itu perlu ada sekolah dan

usaha perkebunan.

Memulai sebuah sekolah di kalangan orang Dayak pada waktu itu cukup sulit. Para

misionaris harus pergi ke kampung-kampung mencari anak-anak yang mau sekolah.

Anak-anak dan orangtua diberi pengertian tentang pentingnya sekolah, dibujuk

dengan kata-kata, dan kadangkala harus diberi hadiah agar mau sekolah. Tidak hanya

itu, para misionaris tetap harus pergi ke kampung-kampung agar anak-anak yang

sudah sekolah tetap mau melanjutkan sekolahnya karena masih sering tidak lagi

diizinkan oleh orangtua mereka. Ketakutan itu masih ditambah oleh adanya isu yang

tidak jelas sumbernya, yang mengatakan bahwa anak-anak akan dibawa pergi dan

tidak akan pernah kembali lagi kepada orangtuanya. Karena isu ini, anak-anak kadang

disembunyikan oleh orangtua mereka di ladang atau di loteng rumah ketika

mendengar Pastor datang ke kampung mereka.

Untuk menunjang karya misi yang memerlukan dana yang besar untuk turne dan biaya

hidup serta asrama, para misionaris membuka kebun karet pada tahun 1910. Saat itu

diperkirakan ditanam sekitar 300 pohon karet. Peristiwa yang patut dicatat dan diingat

juga ialah bencana datang tak pernah diundang dan pada waktu yang tidak pernah kita

ketahui. Pada tahun 1913,

gedung gereja, pastoran dan

asrama yang dibangun tahun

1907 terbakar habis. Gereja,

Pastoran dan asrama baru

harus dibangun karena umat

memerlukan gereja dan pastor

serta anak asrama pun perlu

tempat tinggal. Ternyata

rencana ini sulit direalisasikan

segera karena kesulitan dana.

Pembangunan gereja dan

pastoran baru akhirnya dapat

diwujudkan pada tahun 1921

Interior Gereja Sejiram - 1933

dan selesai dibangun

seluruhnya pada tahun 1924. Pembangunan Gereja Sejiram baru, yang masih berdiri

hingga saat ini, merupakan bantuan seorang wanita bernama Scheiffers dari Tilburg,

sebesar 15.000 gulden.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 20


Imam Montfortan yang pertama kali bekerja di Sejiram ialah Pastor Ferry Hoogland

yang tiba di Sejiram pada tanggal 10 Agustus 1946. Kemudian Beliau disusul oleh

Pastor Lam van den Boorn, SMM dan bruder Stephan, SMM pada tanggal 8 Desember

1946. Tahun 1946, SMFA masuk ke Sejiram, menggantikan para suster SFIC. Para

pionirnya ialah Sr. Rosa, Sr. Genoveva, Sr. Gerarda, dan Sr. Gemma. Mereka

menangani sekolah wanita dan asrama, poliklinik dan rumah sakit pembantu, kursus

kerumahtanggaan, serta katekese di sekolah dan di kampung-kampung. Sejiram

diserahkan dari Kapusin ke SMM pada tanggal 13 April 1947.

Laporan Tahunan Paroki Sejiram:

1 September 1925-1926 dan 1 September 1926-1927

DATA 1926 1927

1. Jumlah umat Katolik

a. Eropa

b. Tentara

c. Pribumi – Pria 117 110

Wanita 96 99

Anak-anak 385 420

d. Asia Timur - Pria 16 16

Wanita 12 12

Anak-Anak 51 53

Umat yang sudah menerima Komuni Kudus 268 280

Permandian

a. Eropa

b. Pribumi (kanak-kanak) 17 20

c. Asia Timur (kanak-kanak) 8 4

d. Anak-anak yang lahir menurut hukum 17 17

e. Anak-anak yang lahir di luar hukum 2 2

f. Anak-anak dari keluarga Katolik 19 19

g. Anak-anak dari keluarga bukan Katolik 6 5

h. Orang dewasa Eropa

i. Orang dewasa pribumi 5 19

j. Orang dewasa Asia Timur 1 -

k. Animis yang masuk Katolik 5 19

l. Dari agama Protestan atau Islam

Katekumen - 67

Sakramen Penguatan 26 23

Komuni Pertama

a. Eropa

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 21


b. Pribumi 10 8

c. Asia Timur

Komuni Paskah 231 217

Komuni suci devosi 8.070 9.041

Komuni suci Biarawan/wati 2.420 3.062

Pengakuan ? 2.916

Pengurapan Orangsakit 4 2

Meninggal Dunia – Anak-anak 10 14

Dewasa 20 17

Pemakaman Katolik 10 19

Perkawinan

a. Eropa

b. Pribumi 2 5

c. Asia Timur 1 -

d. Campuran (adat) 1 -

e. Antara dua orang Katolik 3 5

f. Beda Agama 1 -

Kotbah 100 102

Rumah Sakit

a. Pasien opname 7 13

b. Pasien rawat jalan - 1.597

c. Jumlah hari perawatan 144 336

Rumah Anak-anak yatim piatu 2 2

Anak-anak yang dibiayai oleh Gereja/Misi 69 71

Anak-anak yang dibiayai sebagian oleh Gereja 2 -

2. Lanjak dan Benua Martinus

S

etelah terbentuknya Prefektur Apostolik Kalimantan tahun 1905 dan dibukanya

stasi Sejiram tahun 1906, pada tanggal 26 Desember 1906, Campagne Kontrolir

Semitau, yang simpatik dengan Gereja, mendekati Gereja untuk berbicara

tentang kemungkinan membangun rumah untuk stasi baru di Batang Lupar,

dengan tempat kedudukan di Lanjak. Tanggal 30 Januari 1907 P. Eugenius menerima

jawaban dari Prefek Apostolik yang menyetujui rencana tersebut. Awal tahun 1908

para Pastor di Sejiram bermaksud mengunjungi daerah Batang Lupar. Maksud

peninjauan pertama ke daerah itu terpaksa dibatalkan karena ada wabah cacar

(pokken) di kampung-kampung bagian Serawak (daerah di bawah kekuasaan Inggris)

yang berdekatan dengan kampung-kampung di Batang Lupar. Beberapa orang dari

daerah yang berada di bawah kekuasaan Belanda juga kena.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 22


Baru tanggal 30 Juli 1908, P.

Gonzalvus OFM Cap, P. Ignasius OFM

Cap, dan Br. Donulus OFM Cap 10

berhasil pergi ke Batang Lupar /

Lanjak dan mencari daerah yang

cocok untuk didirikan pastoran dan

gereja. Lokasi ini akhirnya dipilih pada

tanggal 4 Agustus 1908. Masyarakat

dari kampung Judan dan Ngadit

sangat mendukung kedatangan dan

rencana para misionaris ini. Rumah

Anak-Anak Sekolah/Asrama di Lanjak sangat sederhana, dinding dari kulit

pohon dan atap dari dedaunan yang luasnya bahkan tidak cukup untuk tiga orang,

didirikan pada tanggal 16 Desember 1908. Rumah yang lebih kuat dan permanen baru

didirikan pada tanggal 26 April 1909 dan selesai pada akhir tahun 1909. Setelah

melakukan beberapa kali kunjungan teratur dari Sejiram, akhirnya pada tahun 1909,

Lanjak resmi menjadi sebuah stasi baru.

Di Lanjak, sama seperti di Sejiram, mereka mulai membangun rumah, gereja dan

sekolah. Para misionaris mulai berkenalan dengan orang-orang Dayak yang berasal

dari Embaloh. Orang-orang Embaloh ini

kadang-kadang pergi ke Lanjak untuk

mencari pekerjaan, menjual hasil ladang

dan membeli keperluan sehari-hari dari

pedagang-pedagang Tionghoa yang berada

di Lanjak. Di antara orang-orang Dayak itu

ada juga yang sudah dipermandikan.

Mereka menjadi kristen di Kanowir,

Serawak. Jumlah mereka cukup banyak,

yakni 16 orang. Di antara orang-orang ini,

yang beberapa nama penting ialah Peter

Bai, Gregorius Jawa dan Petrus

Nglambong. Atas undangan mereka,

tanggal 2 sampai 3 November 1909, Pastor

Gonzalvus Buil pertama kali mengunjungi

Embaloh dan menjadi sebuah kunjungan

Misionaris Pionir ke B. Martinus & Lanjak

yang sukses.

Sejak saat itu banyak putera-puteri dari Embaloh ikut Pastor ke Lanjak dan sekolah di

sana. Dalam satu tahun jumlah anak-anak Embaloh yang sekolah di Lanjak sudah

10 Nama resminya dalam bahasa Latin ialah Ordo Fratrum Minorum Capuccinaroum.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 23


mencapai 75 orang. Kehadiran anak-anak Embaloh ini menguntungkan sekolah di

Lanjak yang cukup sulit mencari murid, karena anak-anak dari suku Iban belum tertarik

pada sekolah. Karena itu juga Pastor Ignasius van der Putten OFM Cap dan Pastor

Gonzalvus OFM Cap mengusulkan pada pimpinan mereka supaya mendirikan sekolah

di Embaloh. Untuk sementara usul itu belum diterima karena ada rencana mau mulai

dengan stasi baru di Nanga Mandai, di antara Suku Kantuk.

Selain ke daerah Batang Lupar,

para Misionaris Kapusin yang

tinggal di Sejiram juga

mengunjungi sepanjang sungai

Kapuas Hulu. Kunjungan pertama

dilakukan pada tanggal 2 sampai

24 Juli 1910. Mereka

mengunjungi lebih dari 30

kampung (bahkan disebut-sebut

sebanyak 50 kampung) yang

berada sepanjang sungai Kapuas.

Dalam kunjungan itu para

misionaris bertemu dengan 180

Gereja Benua Martinus - 1938

orang Katolik yang dulu

dipermandikan oleh Pastor Looymans. Dari kunjungan tersebut, mereka

menyimpulkan dan merencanakan agar Kapuas Hulu dijadikan stasi baru sendiri. Pada

waktu itu mereka belum dapat memutuskan lokasi yang hendak dijadikan pusat stasi

baru tersebut.

Para Pastor sempat

hendak mendirikannya di

daerah Suku Kayan

(sungai Mendalam)

karena menemukan

lokasi yang bagus.

Penduduk sudah

menetap dan mereka

menerima kehadiran

para misionaris dengan

tangan terbuka.

Halangannya hanyalah

bahwa mereka masih

Pastoran & Asrama Benua Martinus - 1940

sangat kuat berpegang

pada adat. Demikian pula di daerah Suku Kantuk, yang juga menerima kehadiran para

misionaris dengan tangan terbuka, menjadi pilihan lain untuk stasi baru. Masyarakat di

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 24


situ ramah dan suka menerima para Pastor. Tetapi karena mereka adalah pendatang di

daerah itu dan belum ada kepastian apakah mereka akan tetap tinggal di daerah itu,

maka para Pastor Kapusin juga agak berat untuk memilih daerah ini.

Tahun 1911, Pastor Eleutherius OFM

Cap dan Pastor Flavianus OFM Cap

diutus ke Kapuas Hulu untuk

mengadakan pembicaraan mengenai

pembangunan stasi baru di Nanga

Mandai yang mana masyarakatnya

ramah dan dengan senang hati

menerima para misionaris. Dalam

pembicaraan itu ternyata suku Kantuk

di Nanga Mandai merencanakan akan

pindah. Kontrolir di Putussibau pun

Pastoran & Sekolah di Lanjak

menginginkan supaya Suku Kantuk yang berada di pinggir Sungai Kapuas pindah ke

daerah yang lebih tinggi. Kontrolir Karsten menawarkan para misionaris ini untuk

pindah ke daerah Empanang. Daerah Nanga Mandai, yang sekaligus pinggir sungai

Kapuas adalah daerah rendah sehingga sering sekali terendam banjir cukup lama, yang

menyebabkan hasil ladang mereka sering kurang karena rusak dan menjadikan hidup

mereka sangat sulit. Rencana mendirikan stasi baru di Nanga Mandai akhirnya

dibatalkan.

Minggu, 24 Juli 1927, bersama Pastor Flavianus

& Pak Anton Korak

Dengan persetujuan Prefek

Apostolik J.P. Bos, pada bulan

September 1912, dana

pembangunan untuk stasi

Nanga Mandai, yang diberikan

oleh keluarga Martinus van

Thiel dari Helmond, Belanda,

dialihkan untuk pembangunan

stasi di Embaloh. Pendirian stasi

Embaloh ini bukan keputusan

tiba-tiba, karena sejak tahun

1910 warga Embaloh, terutama

mereka yang sekolah di Lanjak,

telah mendesak para Misionaris

untuk membuka stasi baru di

Embaloh. Hasil perundingan dengan kepala-kepala suku Dayak di Embaloh, diputuskan

bahwa kampung Keram di daerah Benua Banyu (Banyoh) ditetapkan sebagai tempat

pembangunan pusat stasi baru, yang terealisasi pembangunannya pada bulan April

1913 dan baru selesai dan resmi dipakai pada tanggal 2 Agustus 1913. Bangunan ini

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 25


sebagian dipakai sebagai Gereja dan bagian lainnya sebagai sekolah. Prefek

menugaskan P. Gonzalvus dan P. Felicianus dan dibantu Br. Donulus untuk membuka

dan menangani pendirian stasi baru ini.

Bulan Mei 1913, dilaksanakan Sakramen Krisma pertama kepada 12 krismawan (3 di

antaranya berasal dari Kanowit, Serawak), yang dilayani oleh Prefek Apostolik sendiri.

Setelah resmi berdiri, Prefek Apostolik menugaskan Pastor Flavianus OFM Cap dan

Pastor Honoratus OFM Cap sebagai pelayan tetapnya. Tempat ini kemudian diberi

nama Benua Martinus, sesuai nama permandian donaturnya.

Tahun 1913 tercatat terdapat 70 orang Katolik di stasi baru ini. Tanggal 14 November

1914, sekolah dibuka dengan jumlah siswa pertamanya sebanyak 13 orang. Karena

keadaan Perang Dunia I, sekolah di Lanjak sempat tutup sebentar. Oleh usaha gigih P.

Gonzalvus di Lanjak, sekolah dibuka kembali tahun 1916 dengan jumlah siswa

sebanyak 25 anak. Sementara itu di Benua Martinus pun sekolah hampir ditutup,

bahkan Prefek Apostolik meminta agar memulangkan saja para murid ke kampung asal

mereka. Tetapi P. Flavianus berjuang keras untuk berdikari sehingga sekolahnya tidak

ditutup. Tahun 1916, tercatat ada 22 siswa di Benua Martinus. Tahun 1918, Br. Alexius

OFM Cap membangun gereja yang cukup besar serta gedung sekolah yang baru di

Benua Martinus.

Tanggal 13 Maret 1918,

melalui Surat Apostolik Ad

Perpetuam Rei Memoria, 11

Paus Benediktus XV

meningkatkan status

Prefektur Apostolik

Kalimantan menjadi

Vikariat Apostolik

Kalimantan. Tanggal 14

Maret 1918, Takhta

Apostolik mengangkat

Pastor Pacificus Bos, OFM

Cap sebagai Vikaris

Apostolik, yang baru

ditahbiskan menjadi Uskup

oleh Vikaris Apostolik

Batavia, Mgr. Edmondo Luypen, SJ, pada tanggal 17 November 1918.

P. Gonzalvus mulai sakit-sakitan sejak tahun 1917. Beberapa kampung di Batang Lupar

pindah lokasi, yang tidak disetujui oleh Residen Pontianak yang sempat mengunjungi

11 Acta Apostolicae Sedis 10 (1918), hal. 180-181.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 26


Lanjak waktu itu. Bahkan para kepala suku sempat dipenjarakan, sehinga memaksa

mereka membatalkan upaya pindah kampung. Walau masih bisa mengunjungi banyak

kampung bahkan telah mendatangkan bahan-bahan untuk membangun gereja baru,

Pastor Gonzalvus tetap sakit-sakitan sehingga harus meninggalkan Lanjak awal tahun

1919. Sejak itu stasi Lanjak sesekali dikunjungi oleh Pastor Flavianus dari Benua

Martinus, dan baru diangkat pastor sendiri tanggal 10 April 1920, yaitu Pastor Egbertus

OFM Cap. Tetapi kehadiran pastor baru tidak bisa menyelamatkan stasi Lanjak. Hanya

setahun kemudian, tepatnya tanggal 23 April 1921, stasi Lanjak resmi ditutup. Pastor

yang ada memperkuat Benua Martinus. Tahun 1920, datang Pastor Prosper OFM Cap

untuk membantu Pastor

Flavianus. Akhirnya, terutama

untuk membina anak-anak

sekolah, para suster pun

datang dan berkarya di Benua

Martinus pada tanggal 5 Juli

1921. Sr. Fidelia SFIC bersama

dua suster lainnya memulai

karya mereka, menangani

sekolah yang ada, kemudian

juga mendirikan sekolah untuk

para puteri, dengan jumlah

siswa pertamanya sebanyak 20

orang.

Gereja Bika Nazareth – tahun 1928

Pendidikan untuk para puteri ternyata tidak gampang. Para orangtua masih percaya

bahwa anak-anak puteri mereka harus bekerja di ladang. Mereka menolak anak-anak

puteri mereka tinggal di asrama yang dibangun oleh suster sementara para suster

mewajibkan anak-anak puteri untuk tinggal di asrama. Keadaan ini membuat misi

untuk para puteri mustahil dijalankan. Karenanya, pimpinan regional SFIC

memutuskan untuk menarik para suster dari Benua Martinus. Pada tahun 1928,

dengan diam-diam, ketika para pastor sedang tidak ada di pastoran untuk seharian,

para suster meninggalkan Benua Martinus. Ketika pastor kembali pada malam hari ia

hanya menemukan rumah suster yang kosong. Tiga tahun kemudian, kekosongan ini

akhirnya diisi oleh para suster SMFA.

3. Bika Nazareth

Pada masa itu wilayah Kapuas Hulu tetap dilayani dari Sejiram. Beberapa tahun

kemudian, tepatnya pada tahun 1924, didirikanlah stasi baru di Bika, yang kemudian

hari diberi nama Bika Nazareth. Bersamaan dengan dibukanya paroki baru, juga

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 27


didirikan sekolah pada tanggal 14 Januari 1924 dengan gurunya ialah Pak Eugenius

Tjoerit dari Sejiram.

Karya misi di Bika sebenarnya sudah terjadi sejak

jauh hari sebelumnya. Bika pertama kali dikunjungi

oleh Pastor Eugenius OFM Cap dari Sejiram pada

bulan Juli 1910. Pada tanggal 24 November s.d. 14

Desember 1910 kembali Pastor Eugenius

mengunjungi Bika, tepatnya di Nanga Mandai dan

berdiam di sana selama dua minggu. Pada waktu itu

Beliau meminta umat, warga Dayak di situ, untuk

membangun sebuah pondok baginya agar ia bisa

menginap dan berjanji untuk datang kembali.

Berdayung dari Sejiram ke Nanga Mandai bukanlah

pekerjaan gampang, tetapi pastor ini memenuhi

janjinya dengan mengunjungi kembali stasi ini

beberapa kali pada tahun-tahun sesudahnya. Stasi

Bika resmi menjadi stasi (paroki) baru tahun 1924

tetapi baru memiliki pastor sendiri pada tanggal 22

Januari 1925 ketika Pastor Ignatius OFM Cap ditunjuk menjadi pastor Paroki Bika

Nazareth. Ketika Beliau tiba, sekolah di Bika sudah berjalan dan memiliki 11 murid,

diajar oleh pak Ladan. Sayangnya, guru ini dipecat karena kelakuannya yang tidak

terpuji. Karena kekurangan murid, maka Pak Raran dan Pak Butu, dua guru yang

mengajar di Benua Martinus menjadi kurang pekerjaan. Maka, Pak Raran pun

dipindahkan ke Bika pada tahun 1933. Pada tahun 1939, ketika SMM masuk ke paroki

Bika, sekolah rakyat di Bika

memiliki 44 murid, yang

mana 28 orang tinggal di

asrama, dengan 3 orang

guru, yaitu Pak Pius, Pak

Ransa dan Pak Akoep.

Paroki Sejiram makin

tahun makin berkembang.

Pada tahun 1924 Stasi ini

sudah dibagi dalam 4 Stasi

(paroki): Sejiram, Lanjak,

Benua Martinus dan Bika.

Gambaran Gereja dan

Para siswa SR Bika, bersama Pastor Ignatius, thn 1929

perkembangannya sampai

tahun 1927 dapat dilihat dari Laporan Tahunan Paroki Sejiram tahun 1926 dan 1927.

Perlu diingat bahwa laporan ini hanya dari Paroki Sejiram, tidak termasuk Lanjak,

Benua Martinus dan Bika.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 28


Melihat perkembangan yang ada, terutama pertumbuhan dan kebutuhan umat, makin

terasa kebutuhan akan katekis-katekis yang membantu para Pastor mewartakan

Kerajaan Allah. Maka, pada tanggal 20 Maret 1927 didirikanlah Sekolah Minggu di

Sejiram, dengan pendidik-katekis dari suku Dayak yang pertama, Ch. Palil. Selain dari

itu, buah-buah pertama dari hasil karya misi di bidang pendidikan sudah mulai dipetik.

Pada tanggal 19 November 1927, Pius Ungkang asal Bika dan Paulus Tjawan asal

Sejiram tiba kembali di Sejiram setelah menyelesaikan sekolah mereka di Manado.

Mereka menjadia katekis dan guru agama di Sejiram dan berbagai tempat di daerah

Kapuas Hulu.

Tahun 1930, Mgr. P. Bos menghubungi pimpinan SMFA di Asten untuk berkarya di

Kalimantan Barat. Menanggapi undangan ini, maka berangkatlah empat orang suster

SMFA dari Belanda pada

tanggal 24 Februari 1931.

Para pionir ini adalah Sr.

Gerarda, Sr. Dominika, Sr.

Dolorosa, dan Sr. Yosefine

yang bekerja di daerah

perbatasan, yaitu di Benua

Martinus.

Dalam

perjalanan ke Benua

Martinus, mereka sempat

singgah di Sintang dan

sempat hendak ‘ditahan’

oleh pemerintah Hindia

Belanda untuk bekerja di

Pastoran pertama Bika Nazareth

Rumah Sakit Sintang yang sudah mulai merosot karena ketiadaan tenaga-tenaga

terampil. Permintaan ini ditolak tetapi serentak memberitahu Asten mengenai

kebutuhan ini. Karya awal para suster ini ialah kesehatan dan pendidikan, khususnya

pendidikan untuk puteri-puteri Dayak. Sr. Gerarda menulis, “Kami memulai dengan

mencuci pakaian anak sekolah putera dan merawat orang-orang yang berpenyakit

kulit dengan sabun dan salep.” 12

4. Sintang dan Putussibau

T

ahun 1931, (kota) Sintang, yang merupakan pusat pemerintahan dan tempat

tinggal asisten residen menjadi sebuah paroki baru. Kota tempat pertemuan

sungai Kapuas dan Melawi ini kebanyakan penduduknya saat itu adalah

12 Piet Derckx, SMM, Para Montfortan, hal. XXXV.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 29


beragama Islam dari suku

Melayu. Orang-orang Dayak

hanya tinggal di kampungkampung

sekitarnya dan tidak

memiliki peran dalam

kekuasaan.

Pendirian paroki baru ini mulamula

terutama untuk melayani

pegawai Katolik Pemerintah

Hindia Belanda serta untuk

melayani kebutuhan rohani

para Suster Misi Fransikan

Pastoran Pertama di Sintang - 1937

Santo Antonius (SMFA) dari

Asten, yang sedang dalam perjalanan dari Belanda untuk bekerja di Rumah Sakit

Umum Sintang, atas permintaan pemerintah Hindia Belanda. Dua suster yang

ditugaskan ialah Sr. Xaveria (Getruda Thorborg) SMFA dan Sr. Bernadette (Getruda de

Jong) SMFA, yang tiba di Sintang pada tanggal 1 Januari 1932. Tidak lama kemudian

Sr. Dolorosa dari Benua Martinus pun menemani mereka bekerja di rumah sakit.

Kegiatan rohani untuk umat dilaksanakan pada kapel suster SMFA.

Untuk memenuhi kebutuhan iman dan pelayanan pastoral di paroki baru ini, maka

pada tnggal 11 Desember 1931, Mgr. Pasifico Bos mengangkat Pastor Fulgentius J.

Koning, OFM Cap, sebagai pastor paroki pertama dari paroki Sintang.

Saat Beliau tiba di Sintang, paroki

baru ini belum memiliki rumah

pastoran, tempat tinggal untuk

pastor. Karena belum ada

pastoran, maka Pastor Fulgentius

tinggal di pesanggrahan

pemerintah. Demikian juga para

suster, karena rumah mereka

belum selesai dibangun, yang

disebabkan banjir besar yang

telah lama dan belum surut, maka

untuk sementara para suster

Pastoran Sintang yang pertama di Nanga Jetak, 1932 tinggal di pavilion yang

dipinjamkan oleh calon residen.

Pastor Fulgentius mulai secara penuh tinggal di rumahnya sendiri yang sangat

sederhana pada tanggal 15 Maret 1932 yang dibangun di Nanga Jetak. Tetapi karena

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 30


agak jauh dari kota Sintang, maka yang dipikirkan oleh Pastor ialah mendirikan rumah

pastoran di kota Sintang yang baru terlaksana pada tahun 1937..

Pada tahun 1933, Mgr. Pacificus Bos, OFM Cap menganjukan pengunduran diri kepada

Takhta Apostolik, karena sudah sering sakit dan merasa dirinya sudah terlalu tua untuk

melaksanakan tugas yang sangat berat sebagai Vikaris Apostolik untuk seluruh pulau

Kalimantan. Takhta Apostolik. Dalam hal ini Propaganda Fide mengabulkan

permohonannya dan sekaligus mengangkat penggantinya, yaitu Mgr. Tarcisius van

Valenberg, OFM Cap pada tahun 1934. Mgr. Bos meninggal dunia di Pontianak pada

tanggal 21 Maret 1937, dalam usia yang ke-72 tahun. Beliau bertugas selama 30 tahun

lamanya.

Sejak berdirinya paroki Sintang maka daerah Sintang dan sekitarnya, termasuk Nanga

Pinoh, sungai Ketungau dan Belitang, serta daerah Tempunak dan Sepauk juga mulai

dikunjungi. Dari laporan turne, disebutkan bahwa dari tanggal 12 Juli hingga 5 Agustus

1932, Pastor Fulgentius OFM Cap, dengan menggunakan perahu motor Lien,

mengunjungi kampung-kampung di sungai Ketungau, dan melihat peluang bahwa bisa

membuka stasi baru di Nanga Bloh, yang baru bisa diwujudkan tahun 1948. Beliau juga

mengunjungi daerah Nanga Pinoh dan sekitarnya pada tanggal 22-26 Mei 1932 dan

pada tanggal 24-28 April 1933. Tahun 1933-1935, Beliau mengunjungi daerah Nanga

Pinoh sebanyak dua atau tiga kali dalam setahun. Belia juga mengunjungi daerah

Ampoh dan sekitarnya pada tanggal 26-29 Maret 1935 dan pada tanggal 23-26

Oktober 1935.

Pastoran kedua di Sintang, Mei 1937 pada lokasi yang

sekarang menjadi Katedral dan Keuskupan

Walau Bika sudah menjadi

sebuah paroki sejak tahun

1924, ternyata sejak tahun

itu Putussibau kurang

menjadi perhatian sebagai

daerah misi atau niat

mendirikan sebuah paroki

baru yang berpusat di kota

Putussibau. Kiranya

Pertimbangan para

misionaris saat itu ialah

karena

mayoritas

penduduknya adalah suku

Melayu yang semuanya

beragama Islam, hanya

segelintir Tionghoa, dan

beberapa orang Eropa. Pada masa itu praktis tidak ada warga dari etnis Dayak yang

tinggal di kota Putussibau.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 31


Walau demikian para misionaris juga mencoba melayani beberapa orang Belanda yang

ada di sana. Pelayanan dilakukan dari Bika Nazareth oleh para misionaris Kapusin.

Tahun 1938, karena pekerjaan baik serta keberhasilan yang dicapai di Sintang,

pemerintah Hindia Belanda meminta SMFA untuk memulai karya mereka di

Putussibau. Peristiwa inilah yang menjadi pintu masuk para misionaris untuk mulai

berkarya di Putussibau secara tetap.

Maka, pada tanggal 10 Juni 1939, Pastor Jan C. Linssen, SMM yang saat itu masih

bertugas di Bika Nazareth bersama Pastor Henry L’Ortye, SMM, berpindah dan

menetap di Putussibau. Inilah hari lahir paroki Putussibau. Ia memulai karyanya

bersama tiga orang suster SMFA.

Pastor Jan C. Linssen di depan Pastoran Pertama di

Putussibau

Tahun 1947, Pastor Hub

Reinders, SMM datang dan

berkarya di Putussibau

sehingga kunjungan pastoral

ke kampung-kampung

menjadi lebih intensif dan

sering. Di sisi yang lain, pada

tanggal 21 Mei 1938, karena

didirikannya Prefektur

Apostolik Banjarmasin, maka

pada hari yang sama, Vikariat

Apostolik Kalimantan berubah

nama menjadi Vikariat

Apostolik Pontianak.

Demikian pula dengan daerah

Putussibau dan sekitarnya.

Pastor Linssen tidak hanya

melayani para warga Belanda

yang ada di Putussibau, juga

mulai mencoba mengunjungi

kampung-kampung sekitarnya. Dari catatan atau laporan turne disebutkan bahwa

Pastor Reijnders mengunjungi mendalam dari tanggal 15 hingga 18 Januari 1949.

Beliau juga beberapa kali mengunjungi Teluk Engkala, Mendalam dan Melapi pada

bulan-bulan berikutnya. Tanggal 12 Maret 1949, Pastor Reijnders bertemu dengan

Oevang Oeray di Mendalam.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 32


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 33


1. Masuknya Serikat Maria Montfortan

Kalimantan terlalu luas, apalagi sarana komunikasi dan transportasi yang masih

K

sangat sulit, dan terasa sangat berat untuk dilayani oleh para pastor Kapusin

yang jumlahnya tidak seberapa banyak saat itu. Maka, Mgr. Pacificus Bos

mencari dan menawarkan kongregasi lain untuk turut mengambil bagian dalam

misi di Kalimantan. Tahun 1926, Kalimantan Timur dan Selatan akhirnya diserahkan

kepada Kongregasi MSF, yang kemudian menjadi Prefektur Apostolik Banjarmasin

pada tanggal 21 Mei 1938 di mana saat yang sama didirikan pula Vikariat Apostolik

Pontianak.

Walau Kapusin hanya menangani

Kalimantan Barat, hal itu tetap

terasa berat dan kurang efektif.

Hal ini sudah lama disadari,

terbukti dari adanya komunikasi

pada tanggal 5 Juli 1924 antara

Provinsial Kapusin Belanda, Pastor

Stanislaus OFM Cap, yang pernah

menghubungi Provinsial SMM

mengenai kemungkinan membuka

misi di sebagian wilayah Borneo

daerah jajahan Belanda. Serikat

Montfortan meminta waktu untuk

memikirkannya. Sebenarnya Serikat Montfortan lebih berniat untuk membuka misi di

pulau Jawa daripada di Kalimantan Barat. Sayangnya niat ini ditolak oleh Serikat Yesus,

melalui Mgr. Willkens SJ dari Vikariat Apostolik Batavia dalam surat tertanggal 11 Mei

1929. Pada waktu itu Pastor Drehmans CSSR sempat mengusulkan kepada SMM

provinsi Belanda menghubungi Mgr. Verstraelen untuk bekerja di Kepulauan Sunda

Kecil atau menghubungi Ordo Kapusin di Sumatera. Dua usulan ini tidak dapat

disanggupi oleh SMM.

Beberapa tahun kemudian, Mgr. Tarsisius van Valenberg OFM Cap, Prefek Apostolik

Kalimantan, menghubungi Serikat Montfortan provinsi Belanda pada tahun 1936

untuk berkarya di Kalimantan Barat. Permintaan ini kembali belum dapat disanggupi

oleh SMM, yang saat itu justru berniat membuka misi di Flores tetapi ditolak oleh Mgr.

Leven, SVD. Kemudian, Mgr. T. van Valenberg pada tanggal 5 Mei 1938 kembali

menulis surat meminta SMM untuk membuka misi di Kalimantan Barat, yaitu di daerah

Sintang dan Kapuas Hulu. Tidak lama setelah menerima surat ini, pada tanggal 27 Juli

1938, Provinsial SMM Belanda mengajukan permohonan kepada Tahta Suci. Melalui

surat tertanggal 23 September 1938, prot. No. 3308/38, Prefek Propaganda Fide

(Kongregasi Evangelisai para Bangsa), memberitahu dan menyerahkan bagian timur

dari Kalimantan Barat, yaitu Keresidenan Sintang, kepada Serikat Montfortan.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 34


Menanggapi jawaban Propaganda

Fide ini, tanggal 5 Oktober 1938,

Serikat Montfortan memutuskan

untuk mengutus Pastor Harry

L’Ortye SMM, Pastor Jan Linssen

SMM, dan Br. Bruno SMM

(Henricus Driessen) untuk memulai

misi baru, yang secara bertahap

akan diserahkan oleh misionaris

Kapusin.

Para Imam & Bruder Montfortan, thn 1971

Pada tanggal 16 Maret 1939, tiga

orang Misionaris Montfortan pertama itu berangkat dari Brussels (Belgia) menuju

Marseille, Perancis untuk menumpang kapal laut Sibajak menuju Indonesia sehari

berikutnya. Dalam catatan yang ada di Paroki Bika, Pastor L’Ortye menulis kisah

perjalanannya:

“Tanggal 17 Maret, keberangkatan dengan Sibajak, perjalanannya sangat baik, tidak

ada yang mabuk laut. Kami bertiga menempati satu kabin. Di port Said, kami bertiga

turun dari kapal untuk berbelanja. Di

Kolombo, kami tiba pada malam hari, masih

sempat mengunjungi kota. Di Sabang, kami

tour keliling kota. Di Medan kami

mengunjungi para Kapusin, diterima agak

dingin. Bagaimana sambutan nanti di

Borneo? Tanggal 4 April 1939, tiba di

Singapura dan bermalam di rumah CICM di

Nassim road. Dua hari kemudian kami

berangkat dari Singapura dengan

menumpang kapal Khoen Hoa.” 13

Pada tanggal 7 April 1939, tepat hari Jumat

Agung, mereka bertiga tiba di pelabuhan

Pontianak dan disambut oleh 3 orang

Kapusin, yaitu Pastor Koenraad, Bruder

Faustus, dan Ivo, yang mengurus barangbarang

mereka melewati pabean. Mereka

bertiga disambut di Pastoran dengan tulisan besar di ambang pintu yang berbunyi:

“SMM, Selamat Datang di Borneo.”

13 Piet Derckx, SMM, Para Montfortan, hal. XXXIX-XL.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 35


Uskup Tarsisius van Valenberg mengangkat Pastor L’Ortye sebagai pemimpin Misi

Montfortan, yang mempunyai wilayah dari Sintang sampai Kapuas Hulu. Pastor L’Ortye

memilih Bika sebagai basis wilayah kerjanya. Pada tanggal 17 April 1939, ketiga

misionaris SMM ini berangkat dari Pontianak menuju Bika menggunakan kapal West

Borneo bersama dengan Superior Kapusin, Pastor Caesarius Ram, OFM Cap. Setelah

empat hari, mereka baru sampai di Sintang, yaitu pada tanggal 20 April 1939. Di sini,

mereka bertemu dengan dua imam Kapusin, yaitu Pastor Oktavianus dan Pastor

Wilbertus de Wit.

Menggunakan kapal motor

“Rasul” milik Gereja, para

misionaris mengunjungi

Sejiram. Karena saat itu sungai

Kapuas sedang sangat surut,

mereka kandas di beberapa

tempat dan harus mendorong

kapal motor. Dalam

persinggahan di Sejiram, ketiga

missionaris ini bertemu dengan

para misionaris Kapusin, yaitu

Pastor Christianus, Pastor

Herman Josef, Bruder Adjustus, dan Bruder Sergus. Dari Sejiram, mereka melanjutkan

perjalanan menuju Bika menggunakan kapal motor Lien. Mereka tiba pada tanggal 29

April 1939, yang disambut oleh Pastor Edmundus, Pastor Gijsbers, Pastor Prosper,

Bruder Donulus, Bruder Gorgonius, serta nyanyian dan tarian dari anak-anak asrama.

Atas permintaan Pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1939, Suster-suster

Fransiskanes dari Santo Antonius (SMFA) mulai bekerja sebagai perawat di Rumah

Sakit Umum Putussibau. Kehadiran para suster SMFA di Putussibau menjadi alasan

kuat dibukanya paroki baru di Putussibau. Pada tanggal 10 Juni 1939 Pastor Jan

Linssen mulai menetap di Paroki Putussibau dan tanggal ini diperingati sebagai hari

kelahiran Paroki (Hati Santa Maria tak Bernoda) Putussibau.

Karena belum ada pastoran

maupun gereja, maka Pastor

Linssen tinggal pada salah

satu kamar di ‘pesanggrahan’

milik pemerintah Hindia

Belanda. Karena kurang

cocok, Beliau akhirnya

pindah ke pavilion rumah

Kontrolir Putussibau. Kemudian Pastor Jan membeli sebuah rumah, yang disebutnya

pondok karena hanya ada satu kamar dan satu dapur, milik seorang pengawas hutan.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 36


Berpindahnya Pastor Jan Linssen ke Putussibau juga menjadi momen mulai keluarnya

para Pastor Kapusin dari Bika untuk ditangani sepenuhnya oleh para imam

Montfortan, sejak tanggal 1 Januari 1940.

Pada tanggal 7 Maret 1940, dua Misionaris Montfortan lainnya tiba di Bika, yaitu

Pastor L. van Kessel, yang biasa dipanggil Pastor Bertus (kemudian menjadi Prefek

Apostolik Sintang yang pertama) dan Pastor Josef Wintraecken, SMM. Mula-mula

daerah Sintang-Kapuas Hulu tetap dilayani bersama oleh Misionaris Kapusin dan

Montfortan, dan setelahnya pelan-pelan diambil alih sepenuhnya oleh Montfortan.

Dalam catatan harian di

Paroki Sejiram, yang

ditulis oleh Pastor

Christianus, dicatat

bahwa dalam bulan

September 1939 beritaberita

pertama

mengenai perang sudah

sampai di Sejiram. Walau

demikian, kegiatan misi

berlangsung terus. Pada

tanggal 8 Maret 1942,

pemerintah Hindia

Belanda menyerah kalah

kepada Jepang, tetapi

belum ada seorang Jepang pun yang berada di daerah Kapuas Hulu. Yang terjadi justru

kekacauan yang dilakukan oleh seorang dokter yang bernama Diponezoro yang

menjarah toko dan kebun dan ternak orang-orang Tionghoa dan bahkan membunuh

kontrolir Putussubau, Kontrolir van de Woerdt. Di Benua Martinus, pada tanggal 31

Mei 1942, hari Minggu, sesudah Misa Kudus diadakan rapat dengan umat. Mereka

menyusun rencana perlawanan terhadap orang dari Palin dan Melayu yang kemudian

merampas barang-barang milik Misi di Bika. Umat mengambil tanggung jawab untuk

melindungi karya Misi. Baru pada tanggal 10 Juni 1942, Jepang mulai masuk ke daerah

Kapuas Hulu.

Pastor Jan Linssen menulis bahwa sejak masuknya Jepang ke Kapuas Hulu, ia

menerima berita dari ayah Usup (Suai) bahwa orang Melayu mendapat izin dari Jepang

untuk membunuh orang-orang bule, termasuk para Pastor. Saat yang sama tersebar

berita bahwa sudah terjadi pembakaran rumah-rumah dan perampokan di beberapa

kampung. Walau ada usulan untuk mengungsi dan bersembunyi ke Pala Pulau, di

rumah Pak Telandjang, tetapi para Pastor dan Suster langsung ke Putussibau dengan

maksud untuk menyerahkan diri kepada tentara Jepang, demi alasan keamanan.

Sebelum sempat menyerahkan diri, rumah Pastor Linssen telah didobrak dan diobrak-

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 37


abrik oleh tentara Jepang. Karena tidak menemukan barang dan dokumen penting,

maka mereka meningglkan pastoran begitu saja, karena sudah sempat diselamatkan

oleh Pastor Linssen. Tanggal 13 Juni 1942, hari Sabtu, mereka dipanggil menghadap

tentara Jepang, disuruh berbaris dan menyiapkan diri untuk berangkat keesokan pagi

dengan hanya membawa satu kopor pakaian. Para Pastor dan Suster dibawa ke hilir

menggunakan kapal Jepang. Kapal sempat singgah di Bika untuk mengambil Pastor

L’Ortye, Pastor L. van Kessel dan Bruder Bruno, untuk turut dibawa ke Pontianak.

Sejak tahun itu pula para Pastor dan Bruder, Misionaris Kapusin dan Montfortan, serta

Suster-suster Fransiskanes dari Veghel dan Suster-suster Fransiskanes Santo Antonius

dari Asten serta beberapa pegawai sipil mulai dikumpulkan di Pontianak. Para Pastor

dan Suster menginap di biara MTB tetapi setiap pagi harus ikut berbaris dan apel.

Jumlah yang berkumpul saat itu ialah 32 imam, 40 bruder, dan 123 suster. Setelah

hampir satu bulan, pada tanggal 14 Juli 1942, para misionaris nini dibawa dan tiba

serta mulai ditahan di Kamp Tahanan Kucing (Serawak) pada tanggal 17 Juli 1942.

Dari catatan pada Buku

Harian di Benua Martinus

disebutkan bahwa, karena

keadaan tidak aman, maka

pada tangal 2 Juni 1942,

Raphael Giling Laut dan

beberapa orang lain berada

pastoran untuk melindungi

Misi dari penjarahan.

Selanjutnya, pada tanggal

21 Juni 1942, hari Minggu,

Opas Jamal dari Nanga

Embaloh membawa

fonogram dengan berita bahwa para Pastor dan Suster harus segera berangkat ke

Pontianak menghadap Nippon. Setelah berunding, diputuskan untuk menulis surat,

yang mengatakan bahwa mereka mau menuruti perintah Nippon, tetapi tidak dapat

berangkat karena tidak ada perahu dan tidak ada orang yang mengantar. Kalau Nippon

menjemput, maka mereka akan ikut. Banyak orang Dayak yang siap datang dengan

tombak dan parang untuk mereka diambil paksa.

Tanggal 25 Juni 1942, Pastor Josef Wintraecken dari Bika datang ke Benua Martinus

dengan berita bahwa para misionaris juga harus pergi. Pesan yang sama juga diterima

dari Thomas Burerek (guru) di Sejiram. Setelah berunding, maka disepakati untuk

berangkat pada hari Minggu. Keputusan ini diumumkan kepada umat. Tanggal 28 Juni

1942, hari Minggu, gereja penuh dengan umat. Jam 08.00 diadakan Misa Kudus yang

juga dilakukan penyerahan tugas dan pelantikan pengurus rumah dan guru. Banyak

umat terharu dan menangis, ungkapan hati bahwa mereka sangat mencintai para

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 38


misionaris dan karya-karyanya. Jam 11.00 siang, mereka berangkat bersama dengan

32 orang lainnya yang membantu mereka. Bermalam sehari di Ukit-ukit dan

dimanfaatkan oleh orang Leboyan untuk mengaku dosa. Hari berikut ada Misa Kudus

dengan 30 Komuni Suci. Perpisahan dengan umat ditemani dengan derai airmata

karena akan kehilangan para pelayan yang entah kapan akan kembali. Di Lanjak

dengan ramah tamah disambut oleh Wakil Demang. Hari berikutnya, tanggal 30 Juni

1942, mereka berangkat dari Lanjak menuju Pontianak dan tiba pada tanggal 6 Juli

1942.

Selama Perang Dunia II berlangsung, praktis tidak ada misionaris yang tinggal dan

bekerja di Kalimantan Barat. Pada masa sulit ini, hanya dua orang Pastor yang

mendapat izin melayani umat, yaitu Pastor Bong Sjun Khin dan Pastor Adikarjana.

Mereka berdua mengambil alih tugas dari 32 orang Pastor, 40 orang Bruder dan 123

orang Suster untuk seluruh Kalimantan Barat. Paroki-paroki di bagian Hulu Kapuas

hanya beberapa kali dapat dikunjungi oleh Pastor Adikarjana, yang berkedudukan di

Pontianak.

Sementara itu para tahanan di Kucing

mulai merasakan kebebasan setelah

mendengar Jepang kalah perang.

Tanda-tanda itu makin jelas ketika

Jepang mulai membebaskan orang

sakit dan lemah dan diterbangkan ke

Pulau Labuan pada tanggal 8

September 1945. Akhirnya, pada

tanggal 12 September, giliran tahanan

lain, termasuk para misionaris

dipindahkan ke Pulau Labuan

menggunakan . Walau sudah bebas,

kerinduan para misionaris untuk

segera kembali ke Kalimantan Barat

belum dapat segera diwujudkan.

Kerinduan ini baru terwujud tanggal 1

Desember 1945, dengan

menggunakan kapal anti-ranjau

Willem van der Zaan, para misionaris

ini berangkat menuju tanah

pengabdian dan tiba di Pontianak pada

tanggal 4 Desember 1945. Sayangnya keadaan belum aman. Indonesia belum lama

merdeka dan belum ada kuasa sipil dan militer di pedalaman yang dapat memberikan

jaminan keamanan. Kerinduan untuk kembali ke hulu Kapuas akhirnya terpenuhi

ketika residen Pontianak W. van de Zwaal mengizinkan para misionaris kembali ke

pedalaman Kalimantan Barat. Akhirnya, pada tanggal 22 Februari 1946, sebanyak 23

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 39


orang misionaris, yang terdiri dari imam, bruder dan suster berangkat dari Pontianak

menumpang kapal motor An Hwa melalui sungai Kapuas menuju Sintang.

Pastor Wilbert OFM Cap kembali bertugas Sintang walau hanya menemukan

rumahnya yang kosong melompong, tanpa isi karena dijarah. Pastor Jan Linssen

bersama 4 orang suster SMFA kembali ke Putussibau yang menemukan rumah dan

gereja sudah tak beraturan tetapi perlengkapan Misa umumnya dijaga dengan baik

oelh umat. Pastor Josef Wintraecken dan Bruder Bruno kembali ke Bika Nazareth dan

disambut meriah oleh umat. Pastoran, gereja dan seluruh isinya masih utuh karena

dijaga dengan baik oleh umat. Pastor Flavianus Huibers, OFM Cap, Pastor L. van Kessel

SMM, Bruder Bertrandus OFM Cap, bersama 4 suster SMFA, yaitu Sr. Coleta, Sr.

Therese, Sr. Gerarda, dan Sr. Rosa baru dapat kembali ke Benua Martinus pada tanggal

9 Maret 1946.

Tahun 1946 SMM kembali

mengirimkan beberapa misionaris dari

Belanda. Tanggal 5 Juni 1946, Pastor

Adriaan Schelart, Pastor Anton

Voncken, Pastor Ferry Hoogland, Pastor

Lor Collijn, dan Pastor Piet van Eunen

berangkat dari Belanda dan tiba di

Sintang pada tanggal 6 Juli 1946. Pastor

Lor Collijn yang sedianya bertugas di

Martinus akhirnya ditugaskan ke

Putussibau untuk menggantikan Pastor

Jan Linssen. Pastor Ferry Hoogland

ditugaskan di Sejiram. Pastor Anton

Voncken dan Adriaan Schellart

ditugaskan di Bika Nazareth, dan Pastor

Piet van Eunen ditugaskan di Sintang.

Beliau bekerja bersama pimpinan

SMM, Pastor H. L’Ortye. Pastor Piet

bertugas sebagai pastor pembantu

yang khusus melayani umat keturunan

Tionghoa dan militer, karena Beliau sudah

belajar bahasa China sejak masih di

Pastor Anton Bernard, SMM ketika mengobati

pasiennya di Serawai

Belanda, dan Pastor Adrianus (Janus) van der Vleuten menjadi pastor turne, yang

berkeliling dari kampung ke kampung, di antara orang Dayak.

Setelah itu menyusul rombongan berikutnya dikirim dari Belanda, yang terdiri dari

Pastor Hubertus Reijnders, yang ditugaskan ke Bika. Di sana ia tinggal dan bekerja

bersama Pastor Josef Wintraecken dan Adriaan Schellart. Pastor Lambertus van den

Boorn, ditugaskan ke Sejiram, menemani Pastor F. Hoogland, SMM. Pastor Adrianus

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 40


van der Vleuten, SMM bersama bruder Alphonsus (Johanes van Extel), SMM

ditugaskan ke Benua Martinus, menemani Pastor L. van Kessel, SMM. Bruder

Stephanus (Josef van de Berg, SMM) ditugaskan ke Sejiram untuk menggantikan

Bruder Adjustus OFM Cap, untuk mengurus kebun karet.

2. Nanga Serawai

K

unjungan pertama ke daerah Melawi pernah dilakukan oleh Pastor Egbertus

Nobel OFM Cap pada tahun 1935 dan 1937. Sayangnya tidak ada tindak

lanjutnya dan wilayah ini praktis tidak dikunjungi lagi sampai dengan tahun

1939-1940 dan 1947. Tahun 1939 Pastor Oktavianus turne ke Melawi hulu sejak

tanggal 1 hingga tanggal 23 Desember. Beliau mengunjungi dan berkenalan dengan

suku Dayak Uut Danum dan suku Nyangai. Kesan yang diperoleh pastor Oktavianus

ialah, umat di wilayah ini sangat ramah dan menerima kehadiran para misonaris dan

Gereja, lebih menerima dibandingkan di daerah sekitar Sintang dan Ketungau. Beliau

kembali turne ke hulu Melawi pada tanggal 4-27 Desember 1940. Kali ini Beliau turne

hingga daerah

Jengonoi, 14 Ambalau.

Beberapa tahun

kemudian beberapa

pemimpin adat dari

Suku Uut Danum

pernah datang ke

Sintang dengan tujuan

mengundang para

misionaris ke daerah

Melawi hulu.

Menanggapi

permintaan ini, L. van

Kessel meminta Pastor

Jan Linssen melakukan

turne perkenalan ke

Pastoran & Asrama di Nanga Serawai

wilayah itu. Kunjungan

perkenalan ini akhirnya dilakukan oleh Pastor Jan Linssen pada tanggal 5 Maret 1947

yang ditemani oleh Pak Lamat, asal Nanga Belimbing, beserta puteranya berangkat ke

Nanga Pinoh. Mereka menginap dua hari di Nanga Belimbing dan dua hari kemudian,

setelah mendapatkan perahu, melanjutkan perjalanan ke Nanga Pinoh.

Para pionir ini tinggal beberapa hari di Nanga Pinoh, dan sempat diperkenalkan

dengan Kontrolir Lemmens dan seorang Tionghoa. Sambil menunggu perahu menuju

14 Dalam Buku Harian Sintang Paroki Sintang, disebut sebagai kampung ‘Jenenoi’.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 41


hulu Melawi, Pastor Jan sempat merayakan Misa di beberapa tempat di Nanga Pinoh.

Setelah menemukan perahu dengan sewa sebesar 25 sen sehari, akhirnya mereka

meninggalkan Nanga Pinoh dan memulai perjalanan ke hulu Melawi pada tanggal 10

Maret 1947.

Hanya mengandalkan tenaga manusia berdayung, mereka sampai di Kebiboe pada

malam hari dan menginap di situ. Hari berikutnya dilanjutkan ke ella Hilir, lalu ke ella

Hulu, lalu Menukung, Mentatai dan akhirnya tiba di Nanga Serawai setelah

mendayung selama 6 hari. Mereka disambut oleh Pak Tjawan dan anaknya Klaudius,

yang kemudian hari menjadi mandor UMIS (Usaha Misi Sintang) di Sungai Putih. Di

rumah ini, Pastor Jan bersama Tumenggung Kamis, kepala adat Dayak yang juga

tinggal di sisi selatan rumah Pak Tjawan, merencanakan perjalanan ke hulu Serawai

dan sungai Lekawai dan juga ke Nanga Ambalau bahkan sampai ke kampung Jengenoi

dan Mentemoi. Setelah mengunjungi berbagai kampung, Pastor Linssen akhirnya

meninggalkan Nanga Serawai pada tanggal 26 April 1947 untuk kembali ke Sintang.

Berdasarkan hasil kunjungan Pastor Linssen dan penilaian positifnya, maka pimpinan

SMM menugaskan Pastor Adriaan Schellart untuk menetap di Nanga Serawai. Pada

tanggal 17 November 1947, Pastor Adriaan Schellart mulai menetap di Nanga Serawai

dan menempati rumah Demang Korak. Bersamanya tinggal pula guru yang bernama

Tjawan. Jumlah orang yang dibaptis baru empat orang. Belakangan ternyata banyak

anak yang mau tinggal bersama Pastor sehingga menimbulkan niat untuk membangun

asrama bagi mereka. Maka dibelilah sebidang tanah di atas bukit seharga 100 gulden.

Kehadiran para misionaris rupanya tidak disukai oleh orang Melayu yang adalah

mayoritas penduduk Serawai saat itu. Mereka sering menghasut masyarakat dan

memfitnah para misionaris.

Puncaknya terjadi tahun 1950, ketika Pastor Adrianus (Janus) van der Vleuten

menggantikan Pastor Adriaan Schellart yang akan dipindahkan ke Bika. Baru satu bulan

di Nanga Serawai, terjadilah peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa 2 Mei 1950. Pada

waktu itu pihak keamanan (polisi) memasuki pasar dan memeriksa semua orang yang

berhubungan dengan Pastor. Mereka menggeledah rumah-rumah untuk mencari

senjata. Aksi ini ternyata adalah buah dari kebencian, provokasi dan laporan seorang

mantri yang bernama Hasan. Orang ini menuduh Pastor barusan saja menerima

kiriman barang berpeti-peti yang isinya dicurigai adalah senjata, yang akan dibagikan

kepada orang-orang Dayak agar menentang penguasa untuk kembali kepada Belanda.

Ternyata peti-peti tersebut adalah obat-obatan. Setelah kasus ini, orang-orang yang

tidak suka dengan karya para misonaris masih terus menghasut penduduk, termasuk

penduduk di Ambalau dan menakut-nakuti mereka agar jangan mengikuti pelajaran

agama (katekumen). Tetapi ancaman dan intimidasi semacam ini tidak mengendurkan

semangat Pastor Adrianus van der Vleuten untuk melayani umat di Serawai dan

Ambalau. Setelah dibangun cukup lama sejak tahun 1947, akhirnya tanggal 3 Januari

1951 pastoran dan kapel selesai didirikan di atas bukti yang dibeli oleh Pastor

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 42


Schellart. Gereja permanen baru pun mulai dibangun dan diresmikan pada tanggal 25

Maret 1956, tepat pada hari Minggu Palma. Dibantu dan dibangun secara gotong

royong oleh umat, juga dibangun rumah-rumah untuk para guru di Mentemoi, gedung

sekolah di Begori dan Nanga Rioi dan tempat-tempat lainnya.

3. Imam Dayak Pertama

P

ada tahun 1930, tercatat bahwa sudah ada seorang suster kelahiran Kalimantan

yang bekerja di Pontianak, dan seorang bruder Kapusin yang asli Kalimantan,

yang bekerja di Singkawang. Pada tahun ini pula ada seorang kelahiran

Kalimantan keturunan Tionghoa yang sedang studi di Seminari Tinggi Kapusin di

Belanda, yaitu Frater Pacificus Bong Sjun Khin. Beliau ditahbiskan menjadi imam pada

tahun 1934 dan disusul dengan Frater Li Tjin yang ditahbiskan pada tahun 1943.

Hingga masa-masa Perang Dunia II, belum ada imam yang berasal dari Suku Dayak,

suku asli di Kalimantan.

Sejak tahun 1940-an, Paroki-Paroki di

Kapuas Hulu telah mengirim

beberapa pemuda Dayak untuk

belajar di Seminari menengah Sto.

Paulus di Nyarumkop. Para seminaris

angkatan awal, antara lain, Aloysius

Ding dan Oevang Oeray, keduaduanya

berasal dari paroki

Mendalam. Setelah menyelesaikan

seminari menengah di Nyarumkop,

Aloysius Ding Ngo dikirim ke seminari

tinggi di Ritapiret, Flores.

Di antara desingan peluru, dentuman

meriam perang dunia II dan para

misionaris di Kalbar berkubang derita

dalam pembuangan dan tahanan di

Kuching, seorang putera Dayak asli

ditahbiskan menjadi imam pada

tanggal 16 September 1945. Buah

Pastor Aloysius Ding Ngo, SMM sulung ini bernama Aloysius Ding

Ngo, seorang putera Dayak dari suku

Kayan, yang lahir pada tanggal 15 April 1916 di Tanjung Kuda, Mendalam, Kapuas

Hulu. Beliau meninggal tahun 1995 dan dikuburkan di Mendalam.

Saat itu ada dua orang yang dikirim ke Flores untuk studi di Seminari Tinggi Santo

Petrus di Ritapiret, yaitu Aloysius Ding dan Augus Djelani. Penabisan Pastor Ding pun

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 43


dipercepat karena keadaan perang. Karena ada bahaya para misionaris akan ditahan,

maka Uskup Nagasaki, Mgr. Jamagutsi dan Uskup Hiroshima, Mgr. Agihara datang

membantu dan menahbiskan 7 orang calon imam yang belum sempat menyelesaikan

studi mereka. Tanggal 13 Agustus 1945, Uskup Jamagutsi memberi tonsur dan

tahbisan rendah (lektor, eksorsis, dan akolit). Dua hari kemudian mereka ditahbiskan

ke jenjang sub-diakonat, dan pada tanggal 30 Agustus ditahbiskan menjadi diakon, dan

akhirnya ditahbiskan imam pada tanggal 16 September 1945. Setelah menyelesaikan

studinya, Beliau kembali ke Kalimantan pada tahun 1947. Tahun berikutnya ia

berangkat ke Belanda untuk mengikuti novisiat di Meersen, sebagai calon Montfortan.

Ia mengucapkan kaul kekalnya sebagai Montfortan pada tanggal 8 September 1949.

Selain sebagai Pastor, pada tahun 1960-an, Pastor Ding juga menjadi aggota DPRD-GR.

Di antara beberapa karya Beliau, beberapa yang perlu disebutkan karena berjasa besar

dalam melestarikan salah satu Budaya Dayak, ialah Syair Lawe’, Pahlawan demi

Kekasih 15 (bersama S. Lii Long) dan Kamus Indonesia-Kayan serta Kamus Kayan-

Indonesia. Di samping itu brliau juga menulis mengenai Sejarah Kayan, Jalan Menuju

Ke Surga atau Alaan Telaang Julaan, Cerita Rakyat, dan Syair- syair Kayan.

4. Prefektur Apostolik Sintang (1948-1956)

M

elihat keadaan dan kemungkinan di masa depan, Mgr. van Valenberg

mengirim permohonan ke Roma agar daerah Sintang-Kapuas Hulu dapat

dijadikan gereja mandiri. Permohonan ini dikabulkan oleh Takhta Apostolik.

Paus Pius XII melalui Konstitusi Apostolik Ut in Archipelago Indonesiano

Catholica, 16 menetapkan wilayah Sintang dan Kapuas Hulu sebagai Praefectura

Apostolica baru pada tanggal 11 Maret 1948. Takhta Apostolik, melalui Propaganda

Fide, mengangkat Prefek pertama Prefektur Apostolik Sintang, yaitu Mgr. Lambertus

van Kessel, SMM. Ini berarti, tahun 2011 ini, Gereja Sintang merayakan usia yang ke-63

sebagai sebuah Gereja.

Pada saat Sintang menjadi Prefektur Apostolik, di Kalimantan, selain Vikariat Apostolik

Pontianak, sudah ada Prefektur Apostolik Banjarmasin yang menjadi Vikariat Apostolik

pada tanggal 10 Maret 1949. Disusul dengan pembentukan Prefektur Apostolik

Ketapang pada tanggal 14 Juni 1954 dan Prefektur Apostolik Sekadau pada tanggal 9

April 1968.

15 Diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press, 1984-1985, yang terdiri dari 5

volume.

16 Acta Apostolcae Sedis 40 (1948), hal. 440-441.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 44


Prefektur Apostolik Sintang awalnya mempunyai enam Paroki, yaitu: Sintang, Sejiram,

Bika, Putussibau, Benua Martinus dan Nanga Serawai. Kemudian segera menyusul

sebuah paroki baru pada tahun berikutnya, yaitu Paroki Nanga Pinoh pada tahun 1949.

Di samping itu, tahun 1948 ini juga ditandai oleh peristiwa bersejarah lainnya,

khususnya bagi orang Dayak, yaitu selesai dan kembalinya Pastor Aloysius Ding dari

Seminari Ledalero, Flores ke prefektur apostolik Sintang untuk mulai berkarya di

prefektur baru ini..

Dalam laporannya kepada Provinsial Montfortan Belanda dalam Kapitel tahun 1952,

Pastor L’Ortye melaporkan data umat Prefektur Apostolik Sintang sebagai berikut: 17

Tahun Imam Kate

kis

Bap-tisan Umat Seko

lah

Paroki

Stasi

1946 4 - 431 2434 3 5 -

1947 12 7 414 2499 8 5 9

1948 12 25 472 3095 17 7 13

1949 13 30 451 3396 22 7 13

1950 16 36 420 3429 22 8 10

1951 18 42 526 3850 25 8 12

5. Nanga Pinoh

S

ejak tahun 1932 Nanga Pinoh sudah dilewati dan dikunjungi oleh para Misionaris

dan menjadi sedikit lebih rutin sejak tahun 1942. Tanggal 6 Juli 1932, Pastor

Fulgentius menerima surat dari seorang Guru yang bernama Bahan dan seorang

mantri yang bernama Singa, meminta agar menjadi katekumen agar dapat dibaptis

menjadi Katolik. Demikian juga seorang kepala kampung serta beberapa orang lain

dari kampung itu, serta seorang bekas guru di Nanga Serawai, yaitu Gani, meminta

untuk menjadi katekumen dan dibaptis.

Stasi Nanga Pinoh dapat dikatakan resmi menjadi stasi/paroki pada tanggal 1 Oktober

1949, ketika Pastor Jan Linssen mulai tinggal di Nanga Pinoh. Saat itu Beliau belum

memiliki pastoran dan gereja. Untuk sementara waktu Beliau tinggal di rumah Pak

Antonius Djan Sui Tjin. Karena gereja belum ada maka Misa hari minggu dirayakan di

salah satu pendopo rumah seorang Tionghoa. Ketika Beliau memulai karyanya di

17 Catatan ini kiranya perlu dilakukan cross-checked, karena pada dokumen lain

disebutkan bahwa pada saat menjadi prefektur apostolik tahun 1948, sudah terdapat 15 imam

Montfortan dan hanya ada 6 paroki.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 45


Nanga Pinoh, sudah ada 18 orang yang dibaptis. Umat yang hadir sembahyang adalah

keturunan Tionghoa dan beberapa orang polisi (Dayak).

Karena keadaan ini,

maka Beliau segera

mengusahakan

pendirian pastoran

dan gereja. Ia sendiri

yang membuat

gambarnya dan

memimpin

pembangunannya,

dibantu oleh Bruder

Alphons yang saat itu

bertugas di Sintang.

Dana untuk

membangun gedung

ini praktis diambil

Nanga Pinoh, thn 1937

dari

‘klinik’

pengobatan. Beliau dikenal baik oleh masyarakat Nanga Pinoh dan sekitarnya sebagai

tabib, terutama tabib sakit gigi, sehingga orang memanggilnya sebagai “Tukang Gigi.”

Beliau mahir meracik sendiri obat-obatan tertentu. Gereja dan pastoran diresmikan

oleh Mgr. L. van Kessel pada bulan Mei 1954, ketika Pastor Jan Linssen sudah pindah

dari Nanga Pinoh.

Awal tahun 1953 Pastor Jan ditarik ke Putussibau dan diganti oleh Pastor Schellart,

yang kemudian dibantu oleh Pastor Harrie van Cuyck. Kedatangan Pastor Harrie sangat

membantu karena Beliau adalah lulusan sastra dan bahasa China di Universitas Leiden,

Belanda. Kemahiran dan pengetahuannya akan budaya dan bahasa China sangat

membantu karya misi karena umat Nanga Pinoh umumnya adalah keturunan

Tionghoa. Beliau hanya bekerja selama satu tahun, karena tahun 1954 diganti oleh

Pastor Piet van Eunen, dan tahun 1955 Pastor Toon Bernard menggantikan Pastor

Schellart.

Karya misi di Nanga Pinoh dan daerah sekitarnya ditanggapi positif. Beberapa

kampung sekitar Nanga Pinoh, seperti Penyuguk, Tuguk, Pauh Desa dan Sungai Manan

mulai mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar di Nanga Pinoh. Para suster

SMFA, yaitu Sr. Helena, Sr. Hironyma, dan Sr. Lamberta yang sudah hadir di Nanga

Pinoh sejak tahun 1953, membantu karya misi dengan memberikan kursus rumah

tangga, sulam menyulam dan menjahit.

Pada tahun 1957, praktis sebagian besar wilayah Melawi telah dikunjungi oleh para

misionaris, kecuali bagian hulu dari Menukung, Belimbing, Keninjal, Ella dan Koroab.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 46


Keterbatasann tenaga, beratnya medan pelayanan yang tidak ditunjang oleh alat

transportasi yang memadai, membuat para misonaris sangat kesulitan mengunjungi

semua wilayah, khususnya bagian-bagian hulu sungai.

Pada tanggal 18 Februari 1948 Pastor Anton Voncken, SMM membuka stasi baru

antara sungai Kapuas hingga perbatasan dengan Serawak. Beliau membangun sebuah

pondok di Nanga Bloh, Ketungau Hulu sebagai tempat tinggalnya, yang segera disusul

dengan pembangunan

asrama dan gedung sekolah.

Akan tetapi pada tahun 1953

daerah ini terpaksa harus

ditinggalkan karena beberapa

kesulitan, terutama dengan

adanya isu “Kapal Emas.” Isu

“Kapal Emas” bagi

masyarakat setempat saat

itu, berarti dunia sudah

hampir kiamat, sehingga

mereka berhenti bekerja,

anak-anak ditarik dari

sekolah, tidak lagi mau ikut

pelajaran agama dan

sembahyang, dan mereka

hanya berpesta pora menghabiskan harta. Stasi ini resmi ditutup oleh Mgr van Kessel

pada tahun 1955.

Tahun 1955, Mgr Tarcisius van Valenberg, OFM Cap yang telah berumur 65 tahun,

menyerahkan surat pengunduran diri kepada Takhta Apostolik. Menanggapi

permohonan ini, maka pada tanggal 13 Juli 1957, Takhta Apostolik mengangkat Mgr.

Herculanus van der Burgt, OFM Cap sebagai Vikaris Apostolik Pontianak yang baru.

Beliau tidak hanya seorang imam tetapi juga seorang insinyur pertanian.

6. Vikariat Apostolik Sintang (1956-1961)

M

Melihat perkembangan umat serta pertumbuhannya, maka pada tahun 1955

Takhta Apostolik meminta pendapat Mgr L. van Kessel, SMM mengenai

kemungkinan status prefektur Apostolik Sintang ditingkatkan statusnya

menjadi Vikariat Apostolik. Beliau menyetujui rencana ini tetapi mengharapkan dan

meminta Takhta Apostolik agar dirinya tidak diangkat menjadi Vikaris Apostolik dari

Vikariat Apostolik Sintang. Tetapi yang berlaku ialah Roma locuta est, causa finite est.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 47


Pada tanggal 23 April 1956, melalui Konstitusi Apostolik Cum Ingenti Sane Animi

Nostri Laetitia, 18 Paus Pius XII meningkatkan status Prefektur Apostolik Sintang

menjadi Vikariat Apostolik Sintang. Bersamaan, melalui bula apostolik, prot. No.

2012/56, Takhta Apostolik mengangkat Mgr. Lambertus van Kessel sebagai

Administrator Apostolik sambil menunggu pengangkatan Vikaris Apostolik definitif.

Tahun 1957, Propaganda Fide mengirim surat menyatakan bahwa belum ada calon

Vikaris dan Mgr. Lambertus van Kessel agar meneruskan tugasnya sebagai

Administrator.

Gereja Katedral Kristus Raja, tahun 1957

Walau demikian, kota

Sintang sebagai pusat

Vikariat belum memiliki

gedung Gereja yang cukup

besar dan permanen.

Praktis selama bertahuntahun

kegiatan Misa umat

dan lainnya dilakukan di

Kapel Susteran SMFA.

Karena itu Vikaris

memutuskan untuk segera

membangun Gereja

katedral.

Proses

pengerjaan Gereja Katedral

ini dipercayakan kepada

Bruder Alphons, SMM. Gereja katedral selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 1

Desember 1957.

Tahun 1957, Vikariat Apostolik Sintang memiliki 7 Paroki, 23 imam/bruder Montfortan,

37 orang Suster SMFA, 5.878 umat Katolik, 24 Sekolah Dasar (Sekolah Rakyat) yang

seluruhnya memiliki 1.740 murid.

Dengan peresmian gedung Gereja Katedral, secara bersamaan pelindung paroki

Sintang berubah dari santa pelindungnya, Maria yang Dikandung Tanpa Noda menjadi

Kristus Raja.

18 Acta Apostolicae Sedis 48 (1956), hal. 654-655.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 48


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 49


1. Masa Awal Keuskupan Sintang

T

anggal 25 September 1959, Prefek Kongregasi Propaganda Fide, Kardinal

Gregorius Agagianian datang ke Jakarta dan mengadakan pertemuan di Kedutaan

Besar Vatikan Jakarta dengan 15 Prefek dan Vikaris Apostolik yang tergabung

dalam Dewan Waligereja Pusat (Dewap), yang merupakan cikal bakal MAWI. Isi

pembicaraan pertemuan ini ialah mengenai

kemungkinan untuk mendirikan hirarki episkopal

(keuskupan) mandiri di Indonesia (Republica

Indonesiana Episcopalis Hierarchia constituitur).

Para Prefek dan Vikaris (waligereja)

menindaklanjuti pertemuan dengan Propaganda

Fide ini dengan mengadakan pertemuan di

Girisonta pada tanggal 9-16 Mei 1960.

Pertemuan ini dihadiri wakil Propaganda Fide,

yaitu mantan Vikaris Apostolik Pontianak, Mgr.

Valenberg, OFM Cap. Sidang ini memutuskan dan

akhirnya mengirimkan surat kepada Paus Yohanes XXIII agar berkenan mendirikan

hirarki Gereja Indonesia (keuskupan), sehingga Indonesia tidak lagi menjadi tanah misi.

Tanggal 3 Januari 1961, melalui konstitusi Apostolik Paus Yohanes XXIII, Quod Christus,

Adorandus Dei Filius, 19 bersama dengan Prefektur dan Vikariat Apostolik lainnya,

Vikariat Apostolik Sintang ditingkatkan menjadi Keuskupan Sintang. 20 Konstitusi ini

diperjelas lagi oleh Paus Yohanes XXIII dengan Surat Apostolik Sacrarum Expeditionum,

pada tanggal 20 Maret 1961. 21

19 Bunyi lengkap ketetapan, “Provincia Pontianakensis, ex his Sedibus composita :

Pontianakensi tamquam metropolitana, usque ad praesens Apostolico Vicariatu, cuius

praecipuum templum S. Iosepho vovetur; et suffraganeis dioecesibus Bandiermasinensi, usque

ad praesens Apostolico Vicariatu, cuius praecipuum templum Sanctae Familiae I. M. I. vovetur;

Samarindaënsi, usque ad praesens Apostolico Vicariatu, cuius praecipuum templum Beatae

Mariae Virgini a Perpetuo Succursu vovetur; Ketapangensi, usque ad hunc diem Apostolica

Praefectura, cuius praecipuum templum S. Gemmae Galgani vovetur; Sintangensi, usque ad

praesens Apostolico Vicariatu, cuius praecipuum templum Dominus Noster Iesus Christus Regi

vovetur,” dalam Acta Apostolicae Sedis 53 (1961), hal. 246.

20 Melalui Konstitusi Apostolik yang sama, berdirilah keuskupan agung Jakarta,

Semarang, Ende, Makasar, Pontianak dan Medan dengan dengan keuskupan-keuskupan

sufragannya.

21 Acta Apostolicae Sedis 53 (1961), hal. 296-299.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 50


Melalui Propaganda Fide, Paus Yohanes XXIII, pada tanggal 16 Mei 1961, menetapkan

Mgr. L. van Kessel, SMM sebagai Uskup yang pertama. 22 Beliau baru ditahbiskan

menjadi Uskup di Leuven, Belgia oleh Uskup Agung, Mgr. John Baptist Hubert

Theunnissen SMM, Uskup Agung Blantyre dari Malawi pada tanggal 15 Agustus 1961.

Setelah berbulan madu dan mencari donatur selama dua bulan, Beliau kembali ke

Sintang pada bulan Oktober 1961, dan dilantik atau dikukuhkan sebagai Uskup

Sintang.

Dengan didirikan dan diangkatnya status

Sintang menjadi keuskupan, dengan

sendirinya pula hilang status misi

dengan segala hak dan kewajibannya.

Keuskupan harus mandiri. Dengan

berakhirnya status sebagai tanah misi,

maka berakhir pula ketentuan dari

instruksi Quum Huic 23 mengenai Ius

Commissiones, yaitu ketentuan dari

Propaganda Fide pada tanggal 8

Desember 1929 yang menetapkan

bahwa daerah misi (Prefektur dan

Vikariat Apostolik) tertentu diserahkan

kegembalaannya kepada tarekat

tertentu.

Mgr, Lambertus van Kessel, SMM

Karena sudah menjadi keuskupan, maka

masalah besar yang sangat berat ialah

mengupayakan kemandirian dana dan

tenaga. Para Pastor dari Belanda

akhirnya selalu menyempatkan diri

mencari dana ketika mengambil cuti ke

Belanda untuk menopang karya misi di

keuskupan yang baru seumur jagung ini.

Demikian pula tenaga imam. Sejak menjadi Prefektur dan Vikariat, Mgr. van Kessel

telah mencoba mengirim beberapa Putera Dayak ke seminari menengah Nyarumkop

untuk dipersiapkan menjadi imam diosesan. Hal ini penting, karena selain tenaga dari

Eropa semakin sulit, juga agar gereja lokal mampu mandiri di bidang tenaga pastoral.

Para seminaris Nyarumkop angkatan awal, tahun 1940-an, di antaranya ialah Aloysius

Ding, SMM, Oevang Oeray, Fransiskus Konradus Palaunsoeka, Gandentius Pasificus

Djaoeng, dsb. Antara tahun 1950-1960, mencapai total 30-an calon imam yang studi di

22 Acta Apostolicae Sedis 53 (1961), hal. 694.

23 Acta Apostolicae Sedis 22 (1930), hal. 111-115.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 51


Nyarumkop dan beberapa melanjutkan ke Seminari Tinggi Ritapiret di Flores. Dari

sekian banyak calon, tiga di antaranya berhasil hingga mencapai jenjang imamat, yaitu

Romo Matias Tias Lunggai, Romo Yohanes Ngumbang, dan Romo Elias Kinson, yang

ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1963 s.d. 1966.

Pionir Gerakan Sosial dan Politik

Tokoh Dayak Asal Keuskupan Sintang

Diinspirasi oleh Sarikat Dayak yang berdiri tahun 1919 di Kalimantan Tengah,

serta pemikiran dan motivasi untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakatnya

terutama suku Dayak di Kalimantan Barat melalui perjuangan politik, maka

Oevang Oeray mengajak para guru beragama Katolik, yang saat itu sedang retret

di Sanggau pada tahun 1942, seperti A.F. Korak, J.R. Gilling dan M. Th. Djaman

untuk melakukan sesuatu. Pertemuan ini merupakan cikal bakal berdirinya Dayak

In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak pada 30 Oktober 1945 di

Putussibau dan berkedudukan di Putussibau. Secara musyawarah mereka memilih

Pak Fransiskus Conradus Palaunsoeka sebagai Ketua Umum dan Pak Rafael Sarang

(Mertua dari Pak L.H. Kadir) sebagai sekretaris umum serta Pastor Adikarjana, SJ

sebagai moderatornya.

Pada tanggal 1 November 1945, DIA diubah menjadi Partai Persatuan Dayak (PD).

Karena alasan sebagai ibukota propinsi, maka kantor pusat PD dipindahkan ke

Pontianak pada tanggal 1 Januari 1947 dan memilih Oevang Oeray sebagai ketua

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 52


umum baru. Tokoh-tokoh PD saat itu antara lain Oevang Oeray, A.F. Korak, Lim

Bak Meng, Tio Kiang Sun, H.M. Sauk, dan F.C. Palaoensoeka, Agustinus Djelani,

Michael Anai, Saiyan, M. Nyabu, Victor Oendoen, dsb.

Para tokoh awam Katolik yang berasal dari wilayah keuskupan Sintang terus

berkiprah. Pak Y.C. Oevang Oeray diangkat sebagai Bupati Sintang (1955-1959),

lalu melalui pemilu 1958, Pak Y. R. Giling diangkat sebagai Bupati Kapuas Hulu,

Pak G.P. Djaoeng diangkat sebagai Bupati Sintang (1959-1966), dan Pak F.C.

Palaunsoeka diangkat sebagai anggota MPR utusan Kalimantan Barat. Tahun

1959, Oevang Oeray ditetapkan sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalbar

dan pada tanggal 14 November 1959, melalui sidang DPRD Tk I Kalbar, Oevang

Oeray terpilih sebagai Gubernur KDH Tk.I Kalbar, yang disahkan oleh presiden

pada tanggal 24 Desember 1959 untuk periode 1 Januari 1960-12 Juli 1966. 24

Beberapa pastor Montfortan harus pulang ke Belanda karena sakit, sementara

penggantinya tidak ada, baik misionaris dari Eropa maupun imam pribumi. Hal ini

diperparah oleh kasus Irian Jaya pada tahun 1958, yang telah mengakibatkan

ketegangan hubungan antara Belanda dan Indonesia, di mana Indonesia menolak

memberikan visa baru bagi para misionaris Belanda. Melihat keadaan ini, maka

pimpinan tinggi Montfortan memutuskan, pada tanggal 3 Mei 1959, bahwa misi

Montfortan di Borneo diserahkan kepada Vice-Province Montfortan Amerika Serikat.

Pada tahun 1960-1965 datanglah beberapa imam Montfortan dari Amerika, yaitu

Pastor J. Breslin, Pastor Ted Murphy, Pastor Eugene Lynch, Pastor William M.

Bennison, Pastor Everest Brown, Pastor Marius A. Panigutti, dan Pastor Frank

Kennedy. Walaupun Montfortan provinsi Amerika sudah mengirimkan beberapa imam

mereka berkarya di keuskupan Sintang, namun jumlahnya tetap jauh dari memadai.

Setelah hubungan antara Indonesia dan Belanda agak pulih pada tahun 1966, maka

Montfortan provinsi Belanda kembali mengirimkan beberapa imam mereka, antara

lain: Bruder Athanasius (Adrianus Sommers), Pastor Wim Johannesma, Pastor Joseph

(Joep) A. van Lier, dan Pastor Piet Derckx pada tahun 1966. Karena kasus Gestapu,

maka kedatangan mereka tertunda beberapa bulan. Setelah itu disusul oleh

kedatangan imam Montfortan lainnya, yaitu, Pastor Jacques (Jack) Maessen (1967),

Pastor Nicolas C. Schneiders (1968), Pastor Cornelis (Kees) Smit (1969), Pastor Peter

Hoogland, Fransiskus Luiten, serta Bruder Petrus (Piet) van Hoof (1971).

24 Bahan diambil dari berbagai sumber di internet, antar lain dari website:

http://www.akademidayak.com/2008/04/mencari-dayak-di-masa-silam-dan-masa.html,

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Persatuan_Dayak, http://dayakblogs.blogspot.com/

2010/01/sejarah-perpolitikan-dayak-di.html, dan juga http://www.equatornews.com/utama/box/jc-oevang-oeray-berjuang-melalui-politik,

dsb.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 53


Tahun tujuh-puluhan merupakan salah satu dekade penting dalam perkembangan

Keuskupan Sintang. Uskup pertama Sintang, Mgr. Lambertus van Kessel

mengundurkan diri sebagai Uskup Sintang pada tanggal 25 Mei 1973. Pengunduran

dirinya ini baru diumumkan secara resmi dalam L’Oservatore Romano tanggal 15

Agustus 1973. Alasan utama Beliau mengundurkan diri ialah karena mulai sakit-sakitan

sehingga menghambat dirinya untuk bekerja maksimal. Dua puluh lima tahun lamanya

Mgr. van Kessel memimpin karya misi di wilayah Sintang dengan tekun dan semangat

penuh pengorbanan

Dengan pengunduran diri Mgr. Lambertus van Kessel, maka Takhta Apostolik

mengangkat Pastor Lambertus van den Boorn, SMM sebagai Administrator Apostolik

pada tanggal 18 Agustus 1973, setelah dinominasikan oleh Propaganda Fide ke Paus

sejak tanggal 25 Mei 1973. Akhirnya Mgr. van Kessel menyerahkan tongkat

kegembalaan kepada Mgr. Lambertus van den Boorn pada tanggal 1 Oktober 1973 dan

meninggalkan Sintang pada tanggal 8

Oktober 1973, menuju Belanda, tanah

kelahirannya untuk menghabiskan

masa tuanya.

Setelah beristirahat sambil bertugas

sebagai pastor pembantu di Paroki

Waalwijk-Oost, Beliau yang dikenal di

sana sebagai Pater van Kessel, mulai

sakit-sakitan dan semakin lama

semakin berat sehingga harus

beristirahat di biara Oirschot. Beliau

akhirnya meninggal dunia pada

tanggal 7 November 1980, dalam

umur 60 tahun dua bulan, dan

dimakamkan di pemakaman para

Montfortan di Oirschot.

Tenaga imam lokal belum banyak

tetapi hasil kapitel provinsi Amerika

pada tanggal 27 Maret 1974

Gereja Putussibau tahun 1967

memutuskan bahwa misi Borneo oleh

Montfortan provinsi Amerika dilepaskan dan diakhiri, dan diserahkan kembali kepada

Montfortan provinsi Belanda. Ini berarti bukan hanya tanggungjawab yang dialihkan

tetapi juga tenaga yang tak akan lagi dikirim dari Amerika.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 54


2. Imam Diosesan Generasi Pertama.

H

ingga tahun 1969, keuskupan Sintang baru menghasilkan satu orang imam

Montfortan dan tiga imam diosesan dari putera daerah. Imam diosesan

generasi pertama sejatinya ialah Pastor Aloysius Ding, SMM. Tetapi karena

Beliau kemudian menjadi anggota SMM, maka dapat disebut bahwa generasi pertama

imam diosesan Sintang ialah Pastor Matias Lunggai, Yohanes H. Ngumbang, dan Elias

Kinson. Matias Lunggai, yang berasal dari Sejiram, ditahbiskan menjadi imam pada

tanggal 15 Agustus 1963, dan Elias Kinson, yang berasal dari Benua Martinus,

ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 15 Agustus 1966. Keduanya meninggalkan

imamat mereka pada dekade 1970-an. Kemudian menyusul generasi kedua, yaitu

Pastor Mateus Rampai, Pr, yang ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 26 Januari

1975 di Putussibau, oleh Uskup Ketapang, Mgr. Gabriel Sillekens, CP. Pastor M. Rampai

meninggal tahun 2008. Angkatan berikutnya adalah Pastor Vedastus Riky, Pr, yang

sudah meninggalkan status imamatnya, dan Pastor Stephanus Budhi Prayitono, Pr,

yang telah diekskardinasikan ke keuskupan Purwekerto, Jawa Tengah.

Imam diosesan generasi pertama yang bertahan hingga akhir hayatnya ialah Romo

Yohanes Ngumbang, Pr. Beliau lahir di Segiam, yang pada waktu itu adalah stasi paroki

Bika Nazareth dan saat ini adalah stasi

dari Paroki Peniung, pada tanggal 27

Desember 1931. Setelah menamatkan

studinya di Seminari Menengah Sto.

Paulus di Nyarumkop, Beliau

melanjutkan studinya ke Seminari

Tinggi Sto. Petrus, di Ritapiret, Flores.

Beliau ditahbiskan menjadi imam di

Bika Nazareth pada tanggal 5 Juni 1965,

oleh Mgr. Lambertus van Kessel, SMM.

Setelah ditahbiskan menjadi imam,

Beliau umumnya melayani di daerah

Sintang dan Ketungau (Tanjung Baung,

Merakai dan Senaning) dan dikenal

sebagai Pastor Motor, karena lebih

banyak menghabiskan waktunya dan

tinggal di motor daripada di Pastoran.

Sejatinya, oleh keuskupan, sejak tahun

RD Yohanes Ngumbang, Pr (1931-1993)

1970-an, Beliau diberi tugas sebagai Pastor

Keliling Wilayah Ketungau dan Pastor Paroki Tanjung Baung sejak tahun 1980-an.

Sebagai satu-satunya imam diosesan saat itu, karena dua teman sejawatnya keluar

sebagai imam diosesan, Beliau harus berjuang keras untuk hidup sebagai seorang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 55


imam diosesan, karena semua teman sejawatnya adalah para misionaris dari Eropa

dan biarawan. Beliau meninggal dunia tanggal 29 April 1993 di rumah sakit Sta.

Elisabeth, Semarang dan dikuburkan di Ambarawa.

3. Masuknya Imam Oblat Maria Imakulata dan Kongregasi Misi

P

erkembangan berikutnya pada tahun tujuh-puluhan ini ialah masuknya

kongregasi baru untuk bekerja di keuskupan Sintang. Perundingan-perundingan

dengan Oblat Maria Imakulata (OMI) dan Kongregasi Misi yang dikenal sebagai

Lazaris (CM) dimulai, yaitu mengenai kemungkinan beberapa tenaga dari para

Misionaris tersebut yang pernah bekerja di Laos dan Vietnam, untuk bekerja di

Keuskupan Sintang.

Tahun 1976, para misionaris Lazaris pertama mulai bekerja di Keuskupan Sintang, yaitu

Pastor Jacques Gros, Pastor Gabriel Dethune, Pastor Victor Berset, dan Pastor

Crawford. Para misionaris ini sebelumnya bekerja di Vietnam dan harus meninggalkan

negeri itu karena dikuasai komunis. Mereka melayani dua paroki, yaitu paroki Nanga

Pinoh dan Serawai, yang mencakup

seluruh daerah sungai Melawi. Karena

wilayah yang sangat besar, maka mereka

memilih dan mendirikan stasi Bondau

sebagai pastoran dan pusat pelayanan,

karena tempatnya berada di tengahtengah

jalur sungai Melawi.

Tahun 1979, para misionaris Lazaris

diperkuat dengan kedatangan tenaga

tambahan, yaitu Pastor Paulus Aryono,

Pastor Carlo Karyanto, dan Pastor

Valentino Bosio yang sebelumnya bekerja

di pulau Jawa. Sejak saat itu silih berganti

para Romo Lazaris, yang umumnya

datang dari Jawa, bekerja di Keuskupan

Sintang, termasuk menjadi Pembina

Seminari Menengah Yohanes Maria

Vianney di teluk Menyurai, Sintang dan

Seminari Tinggi Betang Batara, Bandung

yang pernah dipimpin oleh Romo Paulus

Aryono dan Romo Saptawidada. Tahun

2000-an Kongregasi Misi melepaskan

paroki Nanga Pinoh, Ella dan Ambalau dan mulai ditangani oleh para imam diosesan

Sintang.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 56


Selain para imam Lazaris, pada tahun 1977 masuk juga para imam Oblat Maria

Imakulata. Semula, Pastor Jean Subra datang tahun 1975 dari Laos dan menemui Mgr.

Herkulanus van den Burgt, OFM Cap, Uskup Agung Pontianak, hendak bekerja di

antara orang-orang Dayak, karena adanya kemiripan antara umat suku Khmu’ yang

mereka layani di Laos, dengan suku Dayak di Kalimantan. Uskup Agung Pontianak

memberi referensi kepada Mgr. van den Boorn, SMM yang dengan senang hati siap

menerima kehadiran mereka, karena memang keuskupan Sintang sangat

membutuhkan tanaga imam.

Pada akhir Januari 1977, para Oblat tiba di Jakarta dan mulai belajar bahasa Indonesia

selama tiga bulan di Bandung dan meneruskan belajar bahasa Indonesia di Purwekerto

dan Cilacap, di mana sudah ada komunitas imam Oblat yang berkarya di sana. Akhir

Agustus 1977, para imam Oblat sudah tiba di Sintang. Rombongan pertama para Oblat

yang bekerja di keuskupan Sintang ialah Pastor Lucien Bouchard, Pastor Jacques

Chapuis, Pastor René Colin, Pastor Bernard Keradec, Pastor Jean Pierre Meichel, Pastor

Andre Hebting, dan Pastor Jean Subra.

Pada tahun pertama, para imam Oblat ini ditempatkan oleh Mgr. Isak Doera bersama

para Pastor Montfortan di paroki Putussibau, Bika Nazareth, Sejiram, Benua Martinus

dan Sintang. Para Oblat yang tinggal di Sintang ditugaskan melayani wilayah Sepauk

dan Tempunak. Sejak bulan September 1978, Paroki Bika Nazareth dipercayakan

kepada para imam Oblat. Karena mulai tahun 1990-an para misionaris Oblat satu demi

satu mulai pulang ke negeri asal mereka, maka paroki-paroki yang dilayani para Oblat

mengalami kekurangan tenaga, sehingga secara perlahan OMI melepaskan paroki Siut-

Melapi pada tahun 1991, paroki Bika Nazareth pada tahun 1995, paroki Nanga Kantuk

pada tahun 1997, paroki Semitau pada tahun 2005, dan paroki Sejiram pada tahun

2006.

4. Mgr. Isak Doera dan masuknya tarekat Suster Ursulin, Caritas dan Imam dan

Bruder Serikat Sabda Allah

S

ebagai seorang Administrator Apostolik, tugas Mgr. van den Boorn ialah

menyerahkan terna, yaitu nama tiga orang sacerdos, kepada Takhta Apostolik

untuk suatu saat dapat diangkat menjadi Uskup Sintang. Mgr van den Boorn

mengusulkan nama Romo Isak Doera dan Aloysius Ding, SMM dan bingung

memasukan nama ketiga. Tetapi atas saran orang-orang yang dimintai pendapat,

akhirnya terna terdiri dari Romo Isak Doera, Pr., Mgr. L. van den Boorn SMM sendiri,

yang awalnya tidak mau dimasukkan, dan Pastor Piet Derckx SMM. Romo Isak Doera,

yang baru pindah dari Pontianak pada tanggal 2 Mei 1975 dan bertugas sebagai Pastor

paroki Katedral Sintang, ditetapkan oleh Paus Paulus VI sebagai Uskup Sintang melalui

bulla Quandoquidem praedicare Evangelium Usque ad ultimum terrae est munus

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 57

Mgr. Isak Doera, Uskup Emeritus


Ecclesiae pada tanggal 9 Desember 1976, 25 yang baru diumumkan pada tanggal 2

Februari 1977.

Beliau ditahbiskan oleh Kardinal

Yustinus Darmoyuwono, serta cokonsekratornya

ialah Mgr. Hieronimus

Bumbun, OFM Cap dan Mgr. Vitalis

Djebarus, SVD, di Katedral Sintang,

pada tanggal 19 Mei 1977. Tanggal ini

dipilih Beliau karena tanggal

pengangkatannya bersamaan dengan

tanggal sang Ibunda kena stroke,

sehingga tanggal tahbisan dipilih

tanggal sang Ayahnda meningal dunia,

enam tahun yang silam. Beliau memilih

moto episkopal “Allah Adalah Kasih (1

Yoh 4:16). Setelah mengabdi selama

delapan belas tahun sebagai Uskup

Sintang, Beliau mengundurkan diri pada

tanggal 19 Januari 1996. Kini, sebagai

Uskup emeritus, di masa tuanya, Beliau

beristirahat di Jakarta sambil melayani

umat Allah dan kelompok yang

membutuhkan pelayanannya.

Mgr. Isak, yang bernama lengkap Wilhelmus Isak Doera ini, dilahirkan di Jopu, Ende,

Flores pada tangal 26 September 1931 dari orangtua: Ibu Clara Maru dan Bapak

Mikhael Bhoka, seorang katekis. Menempuh dan menyelesaikan pendidikan di

Seminari Menengah Mataloko dan Seminari Tinggi Ritapiret, Beliau ditahbiskan

sebagai imam diosesan di Ende melalui penumpangan tangan Mgr. Antonius Theyssen

SVD, Uskup Agung Ende. Setelah ditugaskan di berbagai karya pastoral, seperti pastor

Paroki, penilik sekolah, anggota DPR, Beliau juga ditugaskan sebagai Pastor Militer

yang akhirnya membawa Beliau berkarya di Kesukupan Agung Pontianak. Setelah

berkonsultasi dengan Mgr. Herkulanus OFM Cap, karena namanya masuk terna,

akhirnya Romo Isak Doera dipindahkan dari keuskupan Pontianak ke keuskupan

Sintang pada tanggal 5 Mei 1975 dan diangkat menjadi Pastor Paroki Katedral Sintang.

Melihat betapa Keuskupan Sintang sangat kekurangan tenaga, baik tenaga klerikal,

suster maupun katekis dan tenaga awam lainnya untuk karya pastoral, maka berbagai

usaha Beliau lakukan untuk mengatasinya. Mengingat Pak Oevang Oeray pernah

menyarankan agar mendatangkan guru agama dari Flores, maka Beliau menghubungi

25 Acta Apostolicae Sedis 69 (1977), hal. 165.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 58


Gubernur Kalimantan Barat, Bapak Kadarusno, seorang teman lama di Kodam XII

Tanjung Pura, dalam usaha untuk mendatangkan sekitar seribu orang guru SD dari NTT

pada tahun 1977. Usaha ini menjadi usaha antara pemerintah Kalbar dengan

pemerintah NTT. Mendatangkan guru agama berarti seluruh beban finansial

ditanggung keuskupan, tetapi mendatangkan guru biasa untuk Sekolah Dasar yang

berstatus pegawai negeri tidak akan membebani keuskupan. Dari sekitar 2.000 orang

guru, 1.560 orang beragama Katolik. Di kampung-kampung di pedalaman Kalimantan

Barat, di tempat penempatan masing-masing, mereka menjadi tenaga andal Gereja,

membantu Pastor dalam membina umat, mengurus liturgi, memimpin ibadat hari

Minggu dan ibadat lainnya, dsb. Jasa mereka perlu dicatat dan terima kasih perlu

dipersembahkan, karena mereka bekerja seperti seorang katekis walau mereka bukan

pegawai atau katekis keuskupan atau paroki. Kehadiran para guru Katolik ini semakin

terasa manfaatnya karena pada saat bersamaan datang pula gelombang demi

gelombang para transmigran dari Jawa yang hampir semuanya beragama Islam.

Mengingat tenaga imam yang sangat kurang,

sejak masa awal menjadi Uskup, Mgr. Isak

mendekati provinsial SVD untuk mau bekerja di

Keuskupan Sintang. Permintaan ini disanggupi

dengan mengirimkan beberapa imam mereka

ke Sintang. Tahun 1978 datanglah beberapa

imam Soverdi, Pastor Hendrik Rehi Manuk,

Pastor Benediktus Raga dan pastor Stefanus

Mite. Mereka bekerja dan melayani umat Allah

di Merakai dan Senaning. Sayangnya sejak

tahun 1996, tidak ada lagi penambahan tenaga,

bahkan pada tahun 2001, hanya tersisa satu

orang imam SVD yang berkarya di Sintang. Sejak

tahun 2009, SVD meninggalkan keuskupan

Sintang, walau secara legal, kontrak antara

tarekat dan keuskupan belum diputuskan.

Sampai dengan tahun 1979, hanya ada satu tarekat suster yang bekerja di keuskupan

Sintang, yaitu SMFA. Mengingat kebutuhan umat yang sangat besar, teristimewa umat

yang di kampung-kampung, dan pentingnya kehadiran dan pelayanan para suster,

maka Mgr. Isak meminta bantuan para imam Oblat Maria untuk membantunya

mencarikan tarekat suster dan Beliau sendiri mendekati pimpinan tarekat Ursulin agar

mau bekerja di keuskupan Sintang.

Maka pada tanggal 4 Januari 1980 datanglah lima orang suster Kongregasi Soeurs de la

Charite de Sainte Jeanne Antide Thouret (SdC) ke Indonesia. Setelah menyelesaikan

kursus bahasa Indonesia di Bandung selama enam bulan, mereka pun tiba di Sintang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 59


pada tanggal 10 Mei 1980. Para suster SdC bertugas di Temanang dan Lengkenat,

paroki Sepauk, dan di kemudian hari juga di Sintang dan tempat lainnya.

Allah begitu baik dan sungguh penyelenggara umat, karena tahun yang sama, tepatnya

pada tanggal 23 Desember 1980, datanglah para suster Ursulin (OSU), yang memilih

paroki Nobal sebagai tempat mereka berkarya. Dipelopori oleh Sr. Sri Sunarti, mereka

melayani di bidang pastoral dan pembinaan umat. Tahun 1994, suster Ursulin

meninggalkan Nobal dan pindah ke Nanga Pinoh.

Di samping menggerakkan umat di bidang pastoral, sosial, politik, dan ekonomi, Beliau

juga melihat jauh ke depan dengan mengundang beberapa tarekat klerikal maupun

laikal (suster dan bruder) untuk berkarya di Keuskupan Sintang. Beliau juga

memikirkan tersedianya tenaga-tenaga imam lokal, yaitu imam-imam diosesan.

Kebutuhan akan tenaga imam sangat mendesak dan sayangnya tidak selalu mudah

mendapatkan tenaga imam dari tarekat. Karena itu, melalui persetujuan Dewan Imam

Keuskupan Sintang pada tahun 1983, maka didirikanlah Seminari Tinggi Betang Batara

di Bandung, tempat pendidikan dan pembinaan bagi para frater calon imam dioses

Sintang. Betang Batara ditutup pada tahun 2002 dan dipindahkan ke Malang,

bergabung dengan para calon imam diosesan dari keuskupan lainnya, yaitu keuskupan

Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Sanggau, Palangkaraya, Tanjung Selor, dan

Malang.

Seminari Tinggi Betang Batara di Bandung

dan Seminari Menengah Sto. Paulus di Mataloko

Mgr. Isak juga memikirkan perlunya tenaga-tenaga imam diosesan untuk melayani

umat. Karena itu pada tahun 1973, Beliau mulai mengirimkan calon imam diosesan ke

Bandung, untuk studi di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi, Suryaagung Bumi, di

Bandung. Tahbisan perdana lulusan Bandung ialah Vedastus Riky, asal Sejiram. Antara

tahun 1973 hingga 1983, ada tujuh frater calon imam diosesan Sintang yang studi di

Bandung. Mereka menumpang dan hidup bersama dengan para frater keuskupan

Bogor di Seminari Tinggi Sto. Petrus dan Paulus, jln. Suryalaya, Bandung.

Mengingat semakin banyaknya calon yang melamar, maka Mgr. Isak menghubungi

Mgr. N. Geise, OFM, Uskup Bogor saat itu, untuk bekerjasama mendirikan seminari

tinggi gabungan di Bandung. Tidak berapa lama kemudian, datang pula tawaran dari

Mgr. Hieronimus Bumbun, Uskup Agung Pontianak dan Mgr Blasius Pujorahardjo,

Uskup Ketapang, untuk bekerjasama mendirikan seminari tinggi di Malang. Tawaran

ini tak bisa diterima, karena Mgr. Isak sudah sepakat untuk bekerjasama dengan Mgr.

Geise.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 60


Karena hingga awal tahun 1983 rencana ini belum direalisasikan, maka melalui

keputusan Dewan Imam pada bulan Juni 1983, Uskup Sintang mendirikan seminari

tinggi sendiri di Bandung. Urusan tanah dan bangunan dipercayakan kepada Pastor

Frans Vermulen, OSC, Pak Frans Wiryanto Jomo dan arsitek Ibu Rini Sukwandi dari

Unpar. Sementara bangunan seminari masih dalam proses pembangunan, para frater

dioses Sintang tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jln. Windu no. 3, Bandung, di

bawah pimpinan Pastor Piet Dercx, SMM, sebagai Rektor pertamanya. Akhirnya

berdirilah seminari tinggi di daerah Cikutra Baru, Jln cikutra Baru IV no 8. Para frater

akhirnya berpindah ke rumah baru ini pada tanggal 29 September 1984, yang baru

diresmikan oleh Mgr. Isak Doera pada tanggal 27 Januari 1985. Melalui sebuah

sayembara di Sintang, seminari tinggi ini diberi nama Betang Batara, yang berarti

rumah dewa.

Sejak tahun 1990, jumlah frater cukup banyak dan kamar yang ada di Betang Batara

sudah tidak mencukupi lagi, sehingga keuskupan memutuskan mengontrak sebuah

rumah di jalan Mustafa. Daripada berpindah-pindah rumah kontrak, akhirnya

keuskupan membeli rumah bekas kantor akuntansi yang tidak jauh dari Betang Batara.

Setelah direnovasi, rumah ini mulai ditempati para frater sejak tanggal 28 Agustus

1993 dan diberi nama Betang Batara II. Selama masa pendidikan, para frater kuliah di

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 61


Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, dan sehari-hari bersepeda

pergi-pulang antara rumah dan kampus.

Berturut-turut seminari Betang Batara pernah dipimpin oleh Rektor, Romo Piet Dercx,

SMM (1984-1988), Romo Paulus Aryono, CM (1988-1999), Romo Hilarius Adoson

Paing, CM (1999-2002), Romo Yohanes Pranoto, Pr (2002). Beberapa socius yang

pernah berkarya di Betang Batara ialah Romo Evaristus Eko Prasetyo, CM (1994-1995),

Romo Antonius Sapta Widada (1995-1997), Romo Herman Yosef Ga I, Pr (2000-2001),

Romo Yohanes Pranoto, Pr (2001-2002), Romo Matias Sala, Pr (2002).

Dalam kurun waktu 19 tahun, yaitu hingga ditutup pada tahun 2002 dan dipindahkan

ke Malang, Seminari Tinggi Betang Batara di Bandung telah menghasilkan 28 orang

imam praja untuk keuskupan Sintang. Buah sulung, imam pertama hasil binaan di

Betang Batara ialah Romo Ewaldus, Pr., dan yang terakhir ialah Romo F. X. Pintau, Pr.

Mengingat masih sulit mendapatkan calon-calon frater dari para pemuda asli

Kalimantan (Dayak), dan lebih mudah mendapatkan para calon di Flores, maka Mgr.

Isak Doera mendirikan Seminari Menengah Sto. Paulus di Mataloko pada tahun 1989.

Para seminaris bersekolah di SMA Sto. Tomas, sebuah sekolah swasta setempat dan

diberi pendidikan tambahan dan pembinaan di Seminari. Seminari sederhana ini,

karena seluruh dinding seminari hanyalah memakai bilahan bambu, dipimpin oleh Rm.

Matias Sala, Pr, sejak saat berdiri hingga ditutup pada tahun 2002. Selama masa yang

singkat itu, seminari menengah Sto Paulus, Mataloko ini telah menghasilkan sebelas

imam untuk dioses Sintang. Buah sulung untuk projo Sintang dari seminari ini ialah,

Rm. Patrisius Piki dan buah bungsunya ialah Rm. Nan Kabelen, Pr, dan Rm. Markus

Marhusen, Pr. Satu-satunya imam dioses Sintang lulusan seminari menengah di

Mataloko yang berasal dari keuskupan Sintang ialah Rm. Andreas Puan, Pr.

Setelah melihat mulai ada kemungkinan mendapatkan calon dari putera daerah, maka

Beliau membuka Seminari Menengah Sto. Yohanes Maria Vianney di Teluk Menyurai

pada tahun 1994 untuk menampung calon-calon frater dari Kalimantan. Kompleks Bina

Remaja diubah menjadi kompleks seminari menengah.

Untuk menggerakkan umat hingga di tingkat kampung dan meningkatkan partisipasi

mereka agar iman umat dapat lebih berkembang, serta agar hubungan antara iman

dan adat tidak terjadi konflik tetapi bersinergi, maka dibentuklah Badan Pengurus

Umat Katolik (BAPUK) di setiap paroki dan Pemimpin Umat di semua kampung atau

stasi. Saat itu juga diangkat banyak katekis keuskupan dan ditempatkan di parokiparoki

untuk membantu Pastor Paroki dalam kegiatan pastoral, terutama katekese,

pembinaan dan liturgi. Pemimpin Umat, BAPUK dan katekis menjadi ujung tombak

pembinaan iman karena, dengan sistem turne, sebuah stasi hanya dapat dikunjungi

sesekali saja oleh Pastor Paroki.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 62


Sejak awal, Beliau berusaha untuk peduli dengan keadaan politik ekonomi serta

pemberdayaan kekuatan dan orang lokal. Usaha untuk membersihkan politik dari

praktik ‘kotor’ ternyata sangat berat dan disadari tidaklah cukup hanya dengan kotbah

dari altar. Di bidang ekonomi, terutama melalui Delsos, yang saat itu di bawah asuhan

pastor Joep van Lier, SMM, diadakan berbagai proyek sosial, pertanian dan juga

beasiswa untuk jenjang pendidikan tinggi kepada putera-puteri daerah.

Satu catatan kecil perlu ditulis di sini bahwa semua pastor di Sintang hidup dalam satu

rumah yang sama di keuskupan, termasuk para pastor yang bekerja di paroki katedral.

Baik para imam diosesan maupun biarawan, SMM, OMI, CM, mereka semua tinggal

dalam satu rumah yang sama di keuskupan. Tarekat klerikal yang berkarya di Sintang

saat itu belum memiliki rumah biara sendiri. Imam dari berbagai tarekat tinggal

serumah tidaklah seindah mimpi. Bukan hanya karena perbedaan karakter sebagai

pribadi, tetapi terutama karena berbeda jati diri sebagai biarawan dan imam, tidaklah

gampang untuk selalu searah dan seirama dalam hidup sehari-hari.

5. Keputusan Menteri Agama no. 70 dan 77, tahun 1978.

S

elain itu ada satu masalah hukum dan politik yang dapat menggangu Gereja

Indonesia saat itu, yaitu keputusan Menteri Agama RI no. 70 dan 77, tahun 1978.

Pemerintah RI memutuskan untuk tidak memperpanjang Kartu Izin Masuk (KIM)

dan Kartu Izin Masuk Sementara (KIMS), yaitu izin untuk tinggal sementara di

Indonesia selama beberapa tahun kepada semua orang asing. Tahun 1979,

pemerintah mewajibkan perpanjangan setiap tahun dan harus ada rekomendasi dari

imigrasi daerah dan pusat. Nyatanya rekomendasi dari pusat itu sulit sekali didapat

bahkan praktis tidak dikeluarkan lagi untuk para misionaris. Pemerintah bahkan

memberi saran agar para misionaris pulang kembali ke negara asal mereka. Saat itu,

hanya Pastor Anton (Toon) Bernard, SMM yang memiliki Surat Keterangan

Kependudukan (SKK), yang bersifat permanen, sementara semua yang lain hanya

memiliki KIM atau KIMS.

Keputusan ini sungguh akan mengganggu karya pelayanan di keuskupan Sintang,

karena sebagian besar imam adalah misionaris dari Eropa. Mgr. Leo Soekoto, SJ

mengajukan empat usulan, yaitu 1) agar secepatnya dan berusaha sekeras-kerasnya

untuk menciptakan rohaniwan WNI, 2) sangat dianjurkan agar para misonaris asing

rela menjadi WNI alias ganti kewarganegaraan, 3) berusaha maksimal untuk

mengikutsertakan sebanyak mungkin tenaga awam dalam pelayanan Gereja, 4)

menentukan prioritas mana yang paling perlu dikerjakan.

Berpijak pada saran Mgr. Leo Soekoto, maka Mgr Isak Doera mengambil keputusan

untuk menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing individu misionaris dan

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 63


Pimpinan serikat, apakah mau menjadi WNI atau tetap WNA. Keputusan Mgr. Isak ini

oleh beberapa pihak dinilai sebagai ‘dingin,’ dalam arti tidak sungguh mendorong

misonaris menjadi WNI mengingat tenaga mereka yang sangat dibutuhkan saat itu.

Keputusan ini dibuat karena seorang Uskup tidak dapat intervensi kebijakan tarekat,

juga mengingat sudah sering keluar pernyataan dari pimpinan SMM dan dari Mgr van

Kessel bahwa para misionaris SMM dari Eropa itu hanya tinggal dan bekerja untuk

sementara saja di Indonesia. Pekerjaan mereka dianggap selesai bila telah diganti oleh

tenaga pribumi, yaitu para imam diosesan (praja). Tetapi oleh cinta akan Allah dan

UmatNya, semua misonaris dari Eropa yang bekerja di keuskupan Sintang bersedia

menjadi WNI, termasuk para imam Lazaris dan Oblat yang belum lama tiba, walau

beberapa misionaris baru mendapatkannya lebih dari 10 tahun kemudian.

6. Pembentukan Paroki-Paroki Baru Tahun 1979

W

alau jumlah pastor belum mencukupi dan juga pastoran untuk masing-masing

paroki baru belum tersedia, tetapi mengingat wilayah yang sangat luas dengan

jumlah stasi yang sangat banyak, melalui keputusan Uskup Sintang, Mgr. Isak

Doera, pada tanggal 24 Agustus 1979, no. 97/Par/79, Keuskupan Sintang yang terdiri

dari 8 Paroki, dipecah menjadi 34 Paroki.

1. Paroki Putussibau dipecah menjadi 3 paroki, yaitu paroki (1) Putussibau, (2)

Mendalam dan (3) Siut-Melapi

2. Paroki Bika dipecah menjadi 4 paroki, yaitu paroki (4) Bika, (5) Embaloh, (6)

Peniung, (7) Bunut.

3. Paroki Benua Martinus dipecah menjadi 3 paroki, yaitu paroki (8) Benua Martinus,

(9) Lanjak, (10) Badau.

4. Paroki Sejiram dipecah menjadi 4 paroki, yaitu paroki (11) Sejiram, (12) Semitau,

(13) Kantuk, (14) Dangkan-Silat.

5. Paroki Sintang dipecah menjadi 10 paroki, yaitu paroki (15) Katedral, (16) Sui

Durian, (17) Merakai, (18) Tanjung Baung, (19) Lebang, (20) Kelam, (21) Nobal, (22)

Dedai, (23) Tempunak, (24) Sepauk.

6. Paroki Pinoh dipecah menjadi 6 paroki, yaitu paroki (25) Pinoh, (26) Tanah Pinoh,

(27) Belimbing, (28) Tuguk, (29) Tebidah, (30) Nanga Mau.

7. Paroki Bondau dipecah menjadi 2, yaitu paroki (31) Bondau, yang sekarang

dinamakan paroki Menukung, (32) Ella Hilir.

8. Paroki Serawai dipecah menjadi 2 paroki, yaitu paroki (33) Serawai, (34) Ambalau.

Tanggal 1 Januari 1995, kembali dibentuk dua paroki baru, yaitu Paroki Pandan,

sebagai pecahan dari Paroki Nobal, melalui keputusan no. S.Stg/03/IV/A.01/95 dan

paroki Senaning melalui keputusan no. S.Stg/04/IV/A.01/95 sebagai pecahan dari

Paroki Merakai. Kini semuanya berjumlah 36 Paroki. Karena ada pembentukan

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 64


kabupaten Melawi, beberapa paroki diubah batas wilayanya sehingga menyebabkan

kehilangan dan atau menerima beberapa stasi.

Pada tahun 1995, ketika paroki bertambah dari 34 menjadi 36 paroki, tenaga imam

yang tersedia saat itu hanyalah 39 orang imam, yaitu 18 imam Montfortan, 7 imam

Lazaris, 5 imam Oblat, dan 8 imam diosesan (praja). Hal ini berarti, satu pastor bekerja

merangkap beberapa paroki.

7. Mgr. Agustinus Agus

T

ahun 1990-an awal merupakan tahun-tahun yang berat untuk keuskupan Sintang

karena terjadi konflik internal antara Mgr. Isak Doera dengan Pastor Joep van

Lier SMM yang saat itu menjabat sebagai Ekonom keuskupan. Sayangnya hal

yang semata urusan internal ini akhirnya melibatkan segelintir umat sehingga konflik

yang semata urusan administratif berkembang menjadi konflik terbuka bahkan

cenderung bersifat rasial. Karena keadaan ini dan demi kebaikan Gereja, maka Mgr.

Isak Doera menuliskan surat pengunduran diri yang disetujui pada tanggal 1 Januari

1996.

Takhta Apostolik tidak hanya merestui

pengunduran diri Mgr. Isak Doera, tetapi juga

meminta Beliau untuk menutup serikat hidup

kerasulan Regnum Dei yang Beliau dirikan

pada tahun 1980-an. Dengan berat hati Beliau

menutup Regnum Dei. Satu-satunya imam

yang telah mereka miliki saat itu

diekskardinasikan ke Keuskupan Sintang,

sementara para calon lainnya harus keluar dan

mencari hidup baru, entah bekerja sebagai

awam umumnya atau melamar menjadi

anggota tarekat tertentu.

Takhta Apostolik menerima pengunduran diri

Mgr. Isak dan sekaligus mengangkat pimpinan

baru pada tanggal 19 Januari 1996, yaitu Mgr. Agustinus Agus sebagai Administrator

Apostolik Keuskupan Sintang. Maka terjadilah penyerahan tongkat estafet

kegembalaan keuskupan Sintang dari Mgr. Isak Doera kepada Mgr. Agustinus Agus

pada tahun 1996.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 65


Mgr. Agustinus Agus, lahir di desa Lintang,

kabupaten Sanggau, pada tanggal 22

November 1949, dari orangtua: Bapak

Markus Budjang dan Ibu Maria Djoi.

Setelah menamatkan Sekolah Dasar di

Bodok tahun 1962, Beliau melanjutkan

pendidikan menengah di SMP Nyarumkop

dan SMA Seminari di Nyarumkop, tahun

1963-1969. Setelah menyelesaikan

pendidikan filsafat dan teologi di Seminari

Tinggi Kentungan, Jogjakarta, Beliau

ditahbiskan menjadi Diakon di Jogjakarta

pada tanggal 23 September 1976 oleh

Mgr. Yustinus Kardinal Darmoyuwono, Pr

dan ditahbiskan menjadi imam di Sekadau

pada tanggal 19 Juni 1977, oleh Mgr.

Hieronimus Bumbun, OFM Cap sebagai

imam diosesan Keuskupan Sanggau.

Setelah tiga tahun lebih menjabat sebagai

Administrator Apostolik, melalui Bul (Bula)

Takhta Apostolik tertanggal 20 Oktober 1999, pada umur lima puluh tahun tiga bulan,

Beliau diangkat sebagai Uskup Sintang 26 dan ditahbiskan di Sintang, pada tanggal 6

Februari 2000, oleh Mgr. Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ, dengan conkonsekratornya

adalah Nuncio, Mgr. Renzo Fratini, serta Mgr. Hieronimus Bumbun,

OFM Cap.

Sesuai kebutuhan umat yang terus berkembang dan kemauan untuk terus memajukan

umat, Beliau merencanakan berbagai program dan mewujudkannya. Melalui

pertemuan Dewan Imam (Dikang) di Nanga Pinoh pada tahun 1998, Keuskupan

Sintang membuat langkah baru dengan menetapkan Arah Dasar (Ardas) yang

mengandung visi dan misi keuskupan. Ardas menjadi sangat penting agar arah pastoral

dan langkah yang ditempuh menjadi jelas dan seragam di seluruh keuskupan.

Selengkapnya Ardas 2007-2011 berbunyi sebagai berikut:

“Umat Allah Keuskupan Sintang dalam bimbingan Roh Kudus, bercita-cita mengikuti

Yesus Kristus dengan beriman mendalam dan mandiri, mewujudkan citra ilahi di

26 Ioannes Paulus divina Providentia Pp. II, latis decretis a Congregatione pro Gentium

Evangelizatione, singulis quae sequuntur Ecclesiis sacros Pastores dignatus est assignare.

Nimirum per Apostolicas sub plumbo Litteras praefecit, die 29 Octobris, Cathedrali Ecclesiae

Sintangensi R.D. Augustinum Agus, hactenus eiusdem circumscriptionis Administratorem

Apostolicum “sede vacante et ad nutum Sanctae Sedis”.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 66


tengah arus globalisasi, budaya dan adat istiadat setempat untuk menghadirkan

kerajaan Allah. ”

Tiga prioritas utama 10 tahun terakhir adalah pemberdayaan Dewan Pastoral Paroki,

pertumbuhan dan pengembangan Komunitas Basis Gerejawi, dan pemulihan citra

Allah. Strategi yang dilakukan ialah dengan mengembangkan kepemimpinan

partisipatif, membentuk dan membina tim pembina, kaderisasi, memberdayakan dan

mendampingi masyarakat lemah, dan mengembangkan inkulturasi.

Dahulu BAPUK menjadi ujung tombak tetapi zaman sudah berubah sehingga perlu dan

harus menggalakkan dan memberdayakan Dewan Pastoral Paroki (DPP) sebagai wadah

perencanaan, kerja dan evaluasi pastoral tingkat paroki. Kini DPP sudah dibentuk dan

berjalan di semua paroki di keuskupan Sintang.

Beliau juga sangat tekun dan tak henti-hentinya mendorong dan menggerakkan kaum

muda, sejak awal Beliau berkarya sebagai pimpinan di Sintang. Salah satu kegiatan

besar yang rutin dilakukan sebagai bagian dari kaderisasi kaum muda ialah Temu

Akbar (Tebar) Muda-Mudi Katolik tingkat keuskupan, yang diadakan setiap lima tahun

sekali. Selain tingkat keuskupan juga terus didorong untuk diadakan di masing-masing

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 67


paroki dan juga di tingkat Regio. Uskup yang pandai berkondan ini juga menyediakan

sarana hiburan berupa Band Kenyalang, sebagai sarana hiburan bilamana ada kegiatan

di tingkat keuskupan atau paroki.

Di samping itu, sarana fisik juga tidak terlupakan. Ketika Beliau memasuki keuskupan

Sintang, hanya 15 paroki yang memiliki pastoran dan kini telah bertambah 16 pastoran

baru. Pembangunan fisik lainnya yang sangat menonjol ialah, sejak 1996 hingga 2010

ini, Beliau telah meresmikan 164 gereja paroki dan stasi. Demi menunjang berbagai

kebutuhan akan pertemuan dalam jumlah besar, maka didirikanlah Balai Kenyalang di

atas tanah yang dahulu adalah aula dan kantor Yayasan Sukma, yang diresmikan tahun

2002. Mgr. Agus berprinsip bahwa, membangun gedung gereja tidak harus menunggu

hingga umat sejahtera duhulu, karena sebenarnya secara ekonomi, saat ini umat

sudah mampu untuk swadaya, walau belum dapat menanggung sepenuhnya.

Gua Maria di kompleks ‘Wisata Rohani’ – Kelam, Sintang

Dalam rangka memenuhi kebutuhan umat akan tempat ziarah dan retret, maka telah

berdiri gua Maria di kompleks Wisata Rohani di Merepak, Kelam, yang diresmikan oleh

Gubernur Cornelis dan diberkati oleh Nuncius, Mgr. Leopoldo Girelli pada tanggal 1

Mei 2008. Berdirinya gua Maria ini menjadi babak baru dalam ziarah rohani di

keuskupan Sintang, khususnya ziarah selama bulan Maria, yaitu, bulan Mei dan

Oktober. Selama dua bulan khusus ini, ribuan umat silih berganti memadati kompleks

ini untuk memenuhi kerinduan rohani mereka. Gua Maria ini telah menjadi primadona

baru tujuan ziarah dan wisata di Kalimantan Barat. Gua ini bukan sekedar tempat

rohani untuk ziarah, tetapi juga tempat wisata banyak orang. Mengingat kompleks

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 68


wisata rohani ini merupakan bagian dari hutan konservasi alam, maka pada kompleks

ini juga sedang diusahakan untuk menjadi salah satu lokasi konservasi berbagai

tanaman khas Kalimantan yang sudah endemik dan langka.

Mengingat lokasinya yang tenang dan teduh, selain sebagai tempat ziarah dan wisata,

dalam kompleks wisata rohani ini juga sedang dibangun tempat retret yang bisa

menampung sekitar seratus peserta.

Tahun 2009, terjadi perubahan wilayah pada beberapa paroki. Dahulu pembagian

wilayah umumnya hanya berdasarkan kemungkinan transportasi yang mana sungai

sebagai ukurannya. Dua dekade terakhir ini jalan-jalan darat sudah dibangun di manamana

dan terjadi pula pergeseran bahkan perpindahan kampung dan penduduk serta

pusat-pusat kecamatan. Mengamati hal ini, Uskup Sintang, Mgr. Agus, mengambil

kebijakan agar pusat paroki berada di pusat kecamatan. Belakangan juga terjadi

perubahan wilayah terutama, dengan berdirinya kabupaten baru, yaitu kabupaten

Melawi, maka beberapa paroki harus melepas atau menerima beberapa stasi baru

limpahan dari paroki tetangga. Diantaranya, kampung Lundang, Sona dan Gandis

berpindah dari Paroki Dedai menjadi bagian dari Paroki Pandan, sementara kampung

Batunanta, Belonsat dan Guhung yang dahulu adalah stasi Paroki Nobal, kini menjadi

stasi dari Paroki Pemuar (Belimbing). Demikian juga, kampung Temiang Kapuas, Sukan

Hilir dan Sungai Andau, yang dahulu adalah stasi paroki Tempunak, dijadikan sebagai

stasi dari paroki Sepauk.

8. Masuknya Tarekat Tarekat suster Reinha Rosari, Puteri Kasih, Santo

Agustinus, Imam serta Suster Pasionis dan Klaris Kapusines

T

ahun 1999, Tarekat Puteri Reinha Rosari, mulai bekerja di Keuskupan Sintang

atas undangan Mgr. Agustinus Agus. Tanggal 22 Agustus 1999, tiba empat orang

suster untuk berkarya di Keuskupan Sintang, yaitu Sr. Ernestin, Sr. Theophile, Sr.

Hironima, Sr. Lamberta, dan Sr. Theodora. Awalnya para suster menggunakan rumah

keuskupan di depan RSUD Sintang, dan tahun 2005, dibangun sebuah rumah baru di

Akcaya sebagai rumah biara para suster.

Mengingat kebutuhan tenaga pastoral untuk wilayah yang sangat luas, sementara SVD

sudah keluar dari keuskupan, di sisi yang lain jumlah imam OMI yang bekerja di

keuskupan Sintang praktis berkurang, Mgr Agus mengundang Kongregasi Pasionis

untuk berkarya di Sintang, baik pastor maupun susternya.

Tahun 2003, menyusul datang tarekat Puteri Kasih, sebuah tarekat yang bersemangat

Vinsensian seperti Tarekat Misi (Lazaris). Mereka berkarya di Paroki Serawai. Tanggal

15 Maret 2003, berdirilah sebuah komunitas baru di Serawai, yang diberi nama

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 69


komunitas Santo Yohanes Gabriel. Para pionir Puteri Kasih saat itu, ialah Sr. Elise, Sr.

Jacintha, dan Sr. Emmanuela. Para suster Puteri Kasih menangani sekolah, asrama,

pembinaan kaum muda serta karya pastoral di paroki, seperti katekese, kunjungan,

Biak dan Binar, dsb.

Dua tahun kemudian, menyusul datang para suster Agustinus, yang mulai berkarya di

keuskupan Sintang pada bulan Mei 2005. Tarekat ini membuka komunitas yang ke-14

dan berkarya di Paroki Badau. Di atas tanah seluas tiga hektar dibangun sebuah

rumah sederhana, Santa Albertine, yang mulai dihuni sejak tanggal 7 Agustus 2005.

Para suster OSA berkarya di bidang pastoral, pembinaan orang muda, khususnya

asrama dan kesehatan. Para pionir saat itu ialah Sr. Wilhelmina, Sr. Rafaela, dan tidak

lama kemudian disusul oleh Sr. Silvi.

Walau sudah ada beberapa tarekat klerikal dan suster yang berkarya di Sintang, Mgr.

Agus tetap merasa perlu mengundang tarekat lain. Mengingat OMI kekurangan tenaga

sehingga terpaksa melepas Paroki Semitau (2005) dan Sejiram (2006). Karena tenaga

imam diosesan yang belum cukup, Mgr. Agus memberikan tawaran tarekat Pasionis

untuk menangani paroki Semitau dan Sejiram. Tawaran ini diterima.

Maka pada tanggal 19 Juni 2005, tarekat Pasionis mengutus Pastor Barses dan Amsori

untuk memulai kerja di Paroki Semitau. Tahun berikutnya, persisnya tanggal 16 Juli

2006, para pastor Pasionis juga melayani paroki Sejiram, dan tanggal 1 Maret 2007,

pastor Amsori resmi menggantikan pastor René Colin, OMI sebagai pastor paroki

Sejiram dan resmi dialihkan dari tarekat OMI kepada tarekat Pasionis.

Kehadiran para pastor Pasionis di dua paroki ini diperkuat oleh kehadiran para suster

Pasionis, yang mulai bertugas sejak tanggal 24 April 2008 di paroki Semitau, melayani

pendidikan orang-orang muda (sekolah dan asrama), serta kegiatan pastoral paroki.

Selain itu, para suster Pasionis juga dipercayakan untuk menangani rumah retret di

kompleks wisata rohani, bukit Kelam, paroki Kelam.

Hingga saat ini tarekat-tarekat aktif yang berkarya di Sintang ialah para Imam

Montfortan, Oblat Maria Imakulata, Lazaris (Vinsensian), dan Pasionis; para suster

Fransiskanes dari Santo Antonius, Caritas, Ursulin, Pasionis, Puteri Kasih, ALMA dan

Agustinus; serta bruder MTB. Selain tarekat-tarekat aktif, Keuskupan Sintang juga

diperkaya oleh kehadiran tarekat kontemplatif.

Untuk pertama kalinya tarekat kontemplatif berada dan berkarya di Keuskupan

Sintang, yaitu melalui kehadiran para suster dari Ordo Santa Klara Kapusines (OSC

Cap). Para Rubiah ini sudah lama hadir di Kalimantan Barat, yaitu di Singkawang dan di

Sarikan, desa Terap Kecamatan Toho. Kini mereka menebarkan jala mereka ke

keuskupan Sintang.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 70


Setelah meninjau beberapa tempat di wilayah keuskupan Sintang, maka bersama

pimpinan tarekat Fransiskan Kapusin Kalimantan, maka diputuskan untuk mendirikan

biara monastik di Paroki Lanjak, di atas tanah yang disumbangkan oleh seorang janda

sederhana dan miskin, yang tak bisa membaca dan menulis, Ibu Bintang.

Kutipan laporan kunjungan Pastor Fulgentius OFM Cap ke daerah Ketungau, Tgl 12 Juli – 5

Agustus 1932, hal. 1 dan 9.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 71


Kutipan dua halaman ‘Laporan Turne’ Pastor Fulgentius, OFM Cap ke daerah

Nanga Pinoh, tgl 22-26 Mei 1932.

-----------------------------------------------------------------------

Kutipan dua halaman dari “Catatan Harian Paroki Sintang 1932-1945,” yang

diperkirakan dibuat/dimulai oleh Pastor Fulgensius OFM Cap.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 72


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 73


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 74


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 75


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 76


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 77


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 78


Bagan Perkembangan Keuskupan di Kalimantan

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 79


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 80


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 81


A. Karya Pastoral

K

euskupan Sintang memiliki wilayah yang sangat luas dengan jumlah kampung

yang sangat banyak. Rata-rata sebuah paroki memiliki 20-30-an kampung, dan

ada paroki yang memiliki sekitar 80 kampung atau stasi yang harus dikunjungi.

Kesulitan luas wilayah dan banyaknya kampung ini berbenturan dengan jumlah tenaga

pelayan pastoral yang sangat minim. Sistem yang dipakai akhirnya sistem turne dari

kampung ke kampung sambil mengajarkan umat katekese dan melayani sakramensakramen.

Agar lebih efektif dan menjangkau lebih banyak, maka dirasa sangat perlu

untuk membina dan membentuk Pemimpin Umat dan Katekis.

Salah satu langkah yang sangat penting yang diambil oleh Mgr. L. van Kessel beberapa

tahun sebelum Beliau pulang ke Belanda ialah didirikannya Sekolah Menengah

Kateketik Atas (SKMA), yang menyediakan tenaga katekis bagi paroki dan keuskupan

juga tempat kursus bagi kader-kader pemimpin umat di tingkat stasi. Karena tuntutan

peraturan negara, maka SKMA diganti nama menjadi Pendidikan Guru Agama Katolik

(PGAK) yang setingkat SLTA, sehingga dapat diakui resmi oleh Pemerintah, sama

halnya juga dengan PGAK di Sekadau dan tempat lainnya. Pendirian dan penanganan

harian PGAK dipercayakan kepada Pastor Reinold Dijker, SMM. Awalnya PGAK hanya

diisi dengan beberapa siswa saja, tetapi dalam waktu yang singkat boleh dikatakan

menjadi pusat Pendidikan Kateketik untuk seluruh Kalimantan, karena siswa-siswinya

berasal dari semua Keuskupan di Kalimantan. Dengan berdirinya PGAK, maka dimulai

kursus-kursus bagi calon dan para pemimpin umat di berbagai paroki. PGAK yang

terletak di kompleks Yerusalem, Sei Durian ini, akhirnya ditutup pada akhir tahun

1992. Alasan utamanya karena adanya peraturan pemerintah yang menutup sekolah

kejuruan khusus setingkat SLTA, termasuk SPG.

Pada masa itu, Mgr. Isak Doera membentuk Badan Adat Katolik (BAK). Badan ini

beranggotakan ketua adat di kampung atau stasi tersebut, tokoh masyarakat

setempat, serta tokoh umat. Badan inilah yang enjadi teman kerja Pastor Paroki, yang

bersamanya membahas, merencanakan, dan mengevaluasi berbagai hal di paroki.

Melalui Dikang tahun 1978/1979, Mgr. Isak Doera, diinspirasikan oleh Gereja Perdana,

memutuskan untuk membentuk semacam Dewan Penatua yang disebut Badan

Pengurus Umat Katolik (BAPUK) di paroki-paroki. Anggota BAPUK terdiri dari tokohtokoh

masyarakat setempat, yaitu Temenggung, Kepala kampung, Kebayan, guru-guru,

Pemuka masyarakat dan Pemimpin Umat. Dengan cara ini, Gereja merangkul semua

lapisan masyarakat dan semakin dekat dengan masyarakat setempat. Dengan lahirnya

BAPUK, maka BAK menjadi bagian dari BAPUK untuk mengurus hal-hal yang berkaitan

dengan adat. Salah satu prestasi BAPUK ialah menyesuaian beberapa unsur adat

dengan tradisi dan ajaran Katolik.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 82


Perkembangan umat yang begitu cepat tidak memungkinkan Pastor dapat melayani

dan membimbing secara intensif. Umat yang tersebar di kampung-kampung perlu

seorang pembimbing yang dekat dengan mereka. Sedangkan Pastor mesti melayani

banyak kampung. Jadi mereka memerlukan pemimpin yang muncul dari masyarakat

itu sendiri.

PGAK dan Kursus Pemimpin Umat adalah jawaban atas perkembangan umat di

Kalimantan, khususnya di Sintang. Umat berkembang begitu banyak setiap tahun,

sedangkan tenaga yang melayani mereka, khususnya tenaga imam dan tenaga pastoral

seperti suster dan katekis, bertambahnya tidak sebanding. Salah satu jalan yang cukup

efektif untuk dapat melayani umat yang makin besar jumlahnya dan untuk lebih

mampu mengembangkan Gereja ialah dengan membina katekis-katekis sendiri.

Sebagai katekis, mereka tidak diharapkan sebagai tenaga cadangan dari Pastor, atau

sekedar “guru agama” yang mengajar di sekolah. Mereka diharapkan menjadi tokoh

awam yang muncul dari umat yang sedang berkembang. Bersama Pastor, tokoh-tokoh

awam lainnya, dan umat secara keseluruhan, mereka membina umat dan membangun

Gereja.

Keuskupan sudah sangat berkembang dan zaman pun sudah sangat berubah. Untuk

memenuhi kebutuhan pastoral yang ada, sebagaimana semua keuskupan lain, maka

keuskupan Sintang juga memiliki beberapa komisi dan badan yang diperlukan, yang

bergerak pada banyak pelayanan pastoral, seperti komisi Kateketik, komisi Komunikasi

Sosial, komisi Pengembangan Sosial ekonomi, dsb. Mengingat keuskupan tidak akan

mengangkat katekis lagi, maka peranan Badan Pastoral bekerjasama dengan Pastor

paroki menjadi sangat vital untuk membina, melatih dan memberdayakan para guru,

terutama guru-guru agama di kampung-kampung. Searah dengan ini, keuskupan

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 83


melalui tokoh-tokohnya di pemerintahan, mengusahakan agar diangkatnya guru-guru

agama untuk berbagai Sekolah Dasar di kampung-kampung.

Belakangan Keuskupan juga mendirikan Radio yang bernama Swara Perkasa sebagai

salah satu sarana pewartaan untuk menyapa semua orang, khususnya untuk

masyarakat pedesaan, tanpa harus selalu menggurui. Radio ini praktis kurang

berkembang karena kekurangan tenaga dan dana. Keuskupan juga pernah

menciptakan majalah rohani bernama Kenyalang. Majalah ini sempat berbinar tahun

1990-an di bawah naungan Komsos lalu redup karena alasan klasik yang sama,

kekurangan tenaga dan dana. Sempat bangkit kembali tahun 2000-an tetapi kini

kembali kehabisan amunisi dan praktis mati kembali.

Keuskupan Sintang juga memiliki rumah retret Temenggung Tukung yang berlokasi di

kompleks Wisata Rohani, di Merepak, Kelam, yang menurut rencana akan diresmikan

oleh Nuncio Antonio Guido Filipazzi, pada tanggal 19 November 2011. Pembangunan

rumah retret ini pertama-tama dan terutama karena tingginya kebutuhan umat akan

pembinaan rohani dalam bentuk rekoleksi dan retret sementara selama ini selalu

harus pergi jauh bahkan sampai ke luar keuskupan. Mengingat lokasi Wisata Rohani

yang tidak terlalu jauh dari Sintang, indah, teduh, rindang, tenang, sunyi dan lebih

sejuk, maka sangat ideal bila rumah retret didirikan pada kompleks ini.

Rumah retret Temenggung Tukung ini memiliki dua rumah penginapan, yang masingmasing

memiliki 10 kamar dengan dua tempat tidur, sehingga seluruhnya mampu

menampung 40 orang. Di masa mendatang direncanakan akan didirikan satu unit

berlantai dua yang bisa dipakai baik sebagai rumah penginapan peserta retret juga

sebagai rumah penginapan keluarga yang hendak berakhir pekan bersama seisi

keluarga di kompleks ini. Selain rumah penginapan, juga disediakan aula serba guna

yang modern dan anggun, serta dapur umum. Keuskupan Sintang mempercayakan

menejemen rumah retret ini kepada para Suster Pasionis, yang tinggal pada kompleks

Wisata Rohani. Di masa mendatang, rencananya dalam kompleks wisata rohani ini juga

akan didirikan sebuah Betang, rumah adat khas Dayak.

Di samping itu, masih ada rumah retret yang dimiliki dan dijalankan oleh kongregasi,

yaitu rumah khalwat Emaus di km 4, Nanga Pinoh, milik Kongregasi Misi dan rumah

retret Deo Soli di Kedamin Darat, Putussibau, milik Serikat Montfortan, serta wisma

Helena di Sei Durian, Sintang, milik Suster Fransiskanes dari Santo Antonius.

B. Karya Pendidikan

S

ejak awal mula masuknya Gereja Katolik di Kalimantan Barat, khususnya di

wilayah yang sekarang adalah Keuskupan Sintang, karya misi tidak pernah

semata Misa, Sakramen, doa dan berkat tetapi juga pendidikan, dengan

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 84


dibukanya sekolah dan asrama serta kursus-kursus kepandaian dan keterampilan.

Pastor H. Looymans, perintis misi di wilayah ini membuka sekolah di Sejiram pada

tahun 1891. Ketika para Kapusin masuk ke Sejiram, mereka menempuh cara yang

sama, bukan hanya di Sejiram, mereka juga membuka sekolah di Lanjak pada tahun

1911, yang kemudian dialihkan ke Benua Martinus pada tahun 1913, juga di Bika tahun

1924. Saat itu sekolah-sekolah semacam ini sepenuhnya ditangani para misionaris,

baik tenaga, maupun materi pengajarannya. Pelajaran biasanya dilakukan saat para

misionaris sedang tidak turne atau saat anak-anak tidak ditarik kembali oleh orangtua

mereka ke kampung, yang umumnya terjadi saat panen.

Demikian juga para misionaris Montfortan, melanjutkan hal yang sama di berbagai

wilayah. Karya para pastor ini umumnya ditangani oleh para suster SFIC dan kemudian

juga oleh para suster SMFA. Para suster umumnya juga mendirikan sekolah khusus

untuk para puteri.

Sebelum Perang Dunia II, Sintang memiliki 5 Sekolah Dasar dengan masa jenjang hanya

tiga tahun yang kemudian dilanjutkan ke Sekolah Rakyat. Untuk jenjang yang lebih

tinggi, biasanya dikirim ke luar pulau atau ke Nyarumkop, dekat Singkawang, yang

didirikan pada tahun 1916. Model pendidikan lama ini terus bertahan hingga Perang

Dunia II.

Setelah pulang dari pembungan di Kutjing, Malaysia, pimpinan Gereja kembali

mengaktifkan sekolah-sekolah yang ada, yang ditutup selama masa perang, 1942-

1946. Agar misi pendidikan ini lebih sistematis dan efektif ditangani, maka lahirlah

pemikiran untuk mendirikan semacam pengurus yang khusus menangani pendidikan.

Maka, pada tahun 1949, Mgr. L. van Kessel, SMM, Prefek Apostolik Sintang,

mendirikan sebuah lembaga pendidikan dan diberi nama “Serikat Untuk Kemajuan

Masyarakat,” yang disingkat sebagai SUKMA. Sebagai kantor pertamanya, Sukma

menggunakan sebuah kamar sederhana di lantai dua asrama putera Sejiram. Bapak

Palaunsoeka menjadi Ketua pertama SUKMA dan Pastor Lambertus van den Boorn

menjadi Sekretaris eksekutifnya.

Pada tahun 1950-an, Sukma membuka sebuah SMP di Putussibau dan mengangkat Sr.

Anselma, SMFA sebagai Kepala Sekolahnya. Tahun 1957, Sukma didaftarkan ke

pemerintah dan memperoleh status sebagai sebuah yayasan yang berbadan hukum

tetap, sekaligus mengubah namanya menjadi Badan Sarana Untuk Kemajuan

Masyarakat (Badan Sukma). Tahun 1960-an kembali membuka SMP di Bukit Raya,

Nanga Serawai yang dikelolah oleh Pastor Lor (Laurensius) Collijn, SMM dan Pastor

Toon (Anton) Bernard, SMM. Tahun 1963, Pastor Serve Hammers, SMM pengganti van

den Boorn, SMM sebagai sekretaris eksekutif SUKMA, membuka SMP Panca Setia di

Sintang. Tahun 1968, Mgr. van Kessel membuka Sekolah Teknik Pertama Gaharu

Remaja di Sungai Putih yang bergerak di bidang pertukangan dan diserahkan kepada

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 85


SUKMA pada tahun 1973. Tahun 1970-an juga dibuka SMP Setia Budi di Nanga Pinoh

dan disusul dengan SMP Setia Bakti di Lanjing. Tahun 1970 terdapat 36 Sekolah Dasar

dengan jumlah total murid sebanyak 4.336 orang; terdapat 3 SMP (SLTP) dan 1

Sekolah Khusus Kepandaian Puteri (SKKP), serta 1 Sekolah Teknik Pertama (STP).

Tahun 1980 yayasan SUKMA membuka SMA Panca Setia di Sintang yang disusul

dengan SMEA Budi Luhur setahun berikutnya.

Selain itu keuskupan juga pernah mendirikan lembaga pendidikan dan pelatihan

pertukangan di Sungai Putih. Usaha di Sungai Putih ini sering juga disebut dengan

istilah “UMIS” (Usaha Misi), dan di kalangan umum disebut “Pabrik”. Mula-mula ada

bengkel pengetaman papan di Kampung Sungai Durian yang dipimpin oleh Br. Alfons.

Oleh karena Ordinansi Hinderwet (peraturan mengenai gangguan keributan), maka

pengetaman dipindahkan ke Sungai Putih pada tahun 1951. Pada waktu itu Sungai

Putih merupakan tempat yang kosong, cukup tinggi dan strategis untuk persinggahan

kapal-kapal dan rakit-rakit kayu bulat. Puluhan tahun Bruder-Bruder Montfortan

bekerja keras di situ dengan disertai puluhan karyawan, yang hingga penutupannya

masih berjumlah 12 orang. Peran dan fungsinya sangat besar dan sangat penting

dalam pembangunan materiil Keuskupan Sintang saat itu.

Karena keadaan finansial Keuskupan sekaligus tidak seberapa perlu lagi jasa dari

penggergajian kayu Sungai Putih, maka kini pemasukan Sungai Putih menjadi lebih

kecil dari pengeluarannya. Walau berusaha keras untuk mempertahankannya, karena

masih berguna untuk Gereja, juga lapangan kerja serta pelatihan bagi kaum muda,

namun terlalu sulit untuk terus hidup di dalam defisit anggaran. Karena itu, dalam

beberapa pertemuan, pimpinan keuskupan mengungkapkan rencana untuk

menutupnya. Akhirnya, dengan berat hati, Umis ditutup tahun 2005.

Tahun 1980-an, sekelompok awam Katolik di kota Sintang, di bawah kepemimpinan

Y.T. Lukman Riberu, mendirikan yayasan Nusantara Indah yang bergerak di bidang

Pendidikan. Yayasan ini kini memiliki SLTA, SLTP, Sekolah Pertanian dan kemudian

kembali mendirikan yayasan baru, yaitu Badan Pendidikan Karya Bangsa, yang

menangani Sekolah Tinggi Ilmu Kependidikan (STKIP) Persada Khatulistiwa di Sintang.

Demikian juga di beberapa tempat lain, seperti di Nanga Pinoh, beberapa kelompok

awam juga mendirikan lembaga pendidikan. Walaupun tidak dimiliki oleh Keuskupan

atau Lembaga Gerejawi, yayasan dan sekolah yang dimiliki oleh para awam katolik ini

tetaplah dijiwai oleh semangat Katolik, karena baik pendiri maupun anggotanya adalah

umat Katolik dan membantu mencerdaskan putera-puteri keuskupan Sintang.

Di samping itu, selain yayasan SUKMA, beberapa paroki memiliki sekolah sendiri.

Paroki keluarga Kudus Nazareth memiliki Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah

Pertama, yang karena alasan finansial dan tenaga pengajar-administratif harus ditutup

tahun 2004. Paroki Santo Montfort, Nanga Serawai hingga saat ini masih memiliki

Sekolah Menengah Pertama Bukit Raya. Paroki Nanga Pinoh memiliki TK Bunda, serta

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 86


SD dan SMP Seta Budi. Karena sekolah ini bukan merupakan bagian dari yayasan

Sukma (surat no. 210/Sukma/I/2000), maka pada tahun 2000, nama SMA Setya Budi

diubah menjadi SMA Santa Maria dan sekaligus didirikanlah Perhimpunan Santa Maria

pada tanggal 19 Desember 2000, sebagai badan hukum pemilik sekolah ini.

C. Karya Kesehatan

M

asuknya Gereja ke wilayah ini sejak awal mula, selain bidang pendidikan, juga

senantiasa disertai dengan pelayanan kesehatan yang umumnya ditangani

oleh para suster. Kesehatan juga menjadi bagian integral dan penting dari

pelayanan Gereja, walau saat ini Keuskupan Sintang tidak memilikinya. Walau

keuskupan tidak memiliki lembaga kesehatan, tetapi melalui lembaga sosial seperti

Karitas, kegiatan dan pelayanan kesehatan masih agak rutin dijalankan. Selain

keuskupan, masih ada tarekat yang memiliki klinik, antara lain klinik yang dimiliki

suster ALMA di Nanga Pinoh.

Pengalaman menarik dialami oleh Pastor H. Swerts, SMM pada tahun 1970-an. Waktu

Beliau memasuki kampung Pakak untuk pertama kalinya, disambut oleh seorang Prabu

tua (wakil Temenggung) yang berkata, “Jika nuan datang untuk membuka sekolah

atau untuk pengobatan, kami terima. Tetapi jika nuan datang untuk agama, ngai

kami.” 27

D. Karya Sosial

Keuskupan Sintang hanya memiliki Caritas sebagai bagian dari Caritas Indonesia

(Karina), yang bergerak di bidang sosial yang mana secara berkala atau sesekali

melakukan bantuan kemanusiaan.

27 Nuan berarti ‘kamu, Anda, tuan,’ dan Ngai berarti ‘tidak mau’.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 87


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 88


Rekap Paroki-Paroki di Regio Sintang tahun 2010

No. NAMA PAROKI UMAT STASI BERDIRI

01 Kristus Raja, Katedral 3.690 2 1932

02 Sto. Montfort, Serawai 14.186 29 1950

03 Maria Ratu Semesta Alam, Sei

Durian

04 Maria Ratu Damai Semesta,

Tempunak

3.010 2 1979

8.942 47 1979

05 Sto. Martinus, Kelam 4.942 23 1979

06 Sto. Petrus, Dedai 8.388 44 1979

07 Sta. Maria Ratu Rosario, Lebang 6.283 34 1979

08 Sto. Mikael, Tanjung Baung 6.976 56 1979

09 Sta. Maria Imakulata, Merakai 8.568 43 1979

10 Sto. Paulus, Tuguk 8.059 1979

11 Sto. Yosef, Nanga Mau 5.318 30 1979

12 Salib Suci, Tebidah 4.701 24 1979

13 Sto. Petrus & Andreas, Sepauk 14.176 81 1979

14 Sta. Theresia Kecil, Nobal 5.053 15 1979

15 Sta. Maria Tanpa Noda,

Ambalau

9.519 34 1979

16 Sto. Yosef, Senaning 5.464 32 1995

17 Keluarga Kudus, Pandan 3.243 21 1995

TOTAL = 17 120.518 33,111% dari 363.978

jiwa 28

tahun 2010.

28 Jumlah ini diambil http://dds.bps.go.id/hasilSP2010/kalbar/6107.pdf, hasil sensus

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 89


1. Paroki Kristus Raja, Katedral

Paroki Kristus Raja, Katedral terdiri dari 11 kring (lingkungan dalam kota) dan dua stasi.

Hingga akhir tahun 2010 jumlah umat seluruhnya adalah 3.690 jiwa, tidak terhitung

jumlah murid (anak sekolah) dan mahasiswa yang berasal dari luar kota Sintang dan

pedalaman. Jumlah mereka mendekati dua ribu orang.

Para pastor yang pernah berkarya sebagai Pastor Paroki (tidak lengkap) di Paroki

Katedral ialah, Pastor Fulgentius Koning, OFM Cap (1932–1936); Pastor David van de

Made, OFM Cap (1936–1941); Pastor Yustinius Goossens, OFM Cap (1941–1945);

Pastor Harrie L’Ortye, SMM (1945–1947); Pastor Lambertus van Kessel, SMM (1947–

1950); Pastor Ferry Hoogland, SMM (1950–1952); Pastor Lambertus van den Boorn,

SMM (1952-1953); Pastor Reinold Dijker, SMM (1953-1954); Pastor A. van der Vleuten,

SMM (1954-1961); Pastor Alosius Ding, SMM (1961-1969); Pastor Reinold Dijker, SMM

(1969-1975); Pastor Isak Doera, Pr (1975–1976); Pastor Cornelis Smit, SMM (1976–

1977); Pastor Joep van Lier, SMM (1977–1985); Pastor Matius Rampai, Pr (1985–

1990); Pastor Bernard Keradec, OMI (1990–1995); Pastor Thomas Kuslin, Pr (1995–

1997); Pastor Silvinus Endi, Pr. (1997–1999); Pastor Leonardus Miau, Pr. (1999–2002);

Pastor Paschasius Triono, Pr (2002–2008); Pastor Robert Mosa, Pr. (2008–2010);

Pastor Yohanes Pranoto, Pr. (2010-sekarang).

Gereja Katedral Kristus Raja dan Wisma Keuskupan Sintang

Karya misi Katolik dimulai di Sintang pada tahun 1931 ketika para Suster SMFA bekerja

di rumah sakit pemerintah Hindia Belanda di Sintang, yang kemudian disusul dengan

berdirinya stasi Sintang, di bawah penggembalaan para misionaris Kapusin.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 90


Tanggal 11 Desember 1931, Mgr. Pacificus Bos, OFM Cap mengangkat Pastor

Fulgentius J. Koning, OFM Cap, yang sedang berdiam di Sanggau sebagai pastor paroki

pertama dari paroki Sintang. Suster SMFA, yaitu Sr. Xaveria (Getruda Thorborg) dan Sr.

Bernadette (Getruda de Jong) yang meninggalkan Belanda tanggal 3 Desember 1931

dan tiba di Pontianak pada tanggal 28 Desember 1931, berangkat ke Sintang memakai

motor air “Irma”. Di Sanggau mereka menjemput Pastor Fulgentius untuk sama-sama

berangkat ke Sintang. Para misionaris pionir ini tiba di Sintang pada tanggal 1 Januari

1932.

Karena belum ada pastoran, maka Pastor Fulgentius tinggal di pesanggrahan

pemerintah, sementara para suster untuk sementara tinggal di pavilion yang

dipinjamkan oleh calon residen, karena rumah mereka belum selesai dibangun, yang

disebabkan banjir besar yang telah lama dan belum surut. Pastor Fulgentius mulai

secara penuh tinggal di rumahnya sendiri yang sangat sederhana pada tanggal 15

Maret 1932. 29

Tanggal 6 Februari 1932, menyusul Sr. Dolorata, SMFA dari Benua Martinus dan Pastor

Prosper, OFM Cap dari Sejiram tiba dan mulai menetap di Sintang. Hari Sabtu, tanggal

6 Februari 1932 tahun masehi Tuhan kita Yesus Kristus, menjadi hari resmi pendirian

Paroki Sintang, yang di kemudian hari menjadi Paroki Katedral keuskupan Sintang.

Pastor Fulgentius menjadi Pastor paroki pertama dan Pastor Prosper menjadi pastor

anggota tim pastoralnya. Pada hari dan tanggal pendirian ini, Pastor Fulgentius sedang

berada di Pontianak untuk memberi retret dan baru tiba kembali di Sintang tanggal 17

Februari 1932 dan disambut dan disalami oleh Kontrolir Heynen, calon residen, juga

oleh mayor de Groot dan Mr. Mulder.

Pastor paroki Sintang praktis hanya melayani umat yang hampir seluruhnya adalah

Belanda dan segelintir Tionghoa dan Manado (Bapak Donis). Tanggal 9 Maret 1932,

untuk pertama kalinya kaum pribumi mendaftarkan diri sebagai katekumen, yaitu

seorang Jawa dan seorang dari Timur Indonesia. Dua calon baptis pertama untuk

paroki Sintang. Awalnya, Misa harian dilaksanakan di susteran dan Misa hari minggu di

pesanggrahan. Kemudian baru pada tanggal 11 Mei 1932, Giring, pemuda dari suku

Dayak di kampung Muakan, Ketungau Hulu yang sedang di kelas VI HIS (Hollandsch-

Inlandsche School) juga minta menjadi katekumen. Kemudian menyusul direncanakan

seorang gadis remaja, Lindan, puteri dari Christianus Senjan, kepala kampung Ampoh,

Belitang, yang baru turun ke Sintang pada tanggal 8 Agustus 1932. Pembaptisan

pribumi pertama kali dilaksanakan pada tanggal 15 Mei 1932, pada hari raya

Pentakosta, yaitu Silvester, 30 pemuda Jawa yang sudah berumur 18 tahun. Lindan,

29 Sejarah Paroki Katedral ini, terutama masa awalnya, bersumber dari catatan Pastor

Fulgentius Koning, OFM, Cap, Pastor Paroki pertama paroki Sintang (Katedral).

30 Dalam catatan harian Pastor Fulgentius, nama baptisnya ialah Silvester, tetapi dalam

Buku Baptis, namanya ialah Liloer yang diberi nama baptis Antonius.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 91


yang diberi nama baptis Anastasia Cornelia, dibaptis di Sintang pada tanggal 17 April

1933 di kapel suster. Theresia Empajoeng dan Cornelia Lindan menerima Sakramen

Penguatan (Krisma) pada tanggal 8 Oktober 1933 dari tangan Mgr. Bos, OFM Cap.

Lindan menikah dengan Fransiskus Kangkam dari kampung Beluis, yang adalah

pembantu Pastor Fulgentius, pada tanggal 13 Februari 1941.

Catatan Pastor Fulgentius mengenai perayaan Paska pertama di paroki Sintang,

tanggal 27 Maret 1932, dikutip sesuai teks aslinya:

“Waktu Paska di Sintang ada beberapa orang wibawa untuk secara mereka

merayakan Paska ! Itu mulai Malam Minggu dengan pesta-fora di pasanggrahan dan

mereka berpesta fora sampai setengah lima! Waktu saya jam 6 lewat sedikit, datang

di pasanggrahan untuk menyiapkan Misa Suci, saya mendapat gedung itu sebagai

kandang! Kursi2, meja2 semuanya sembarangan saja, lantai penuh dengan tong2

cerutu2 dan sigaret2, kertas dan barang2 tak berguna. Dimana-mana penuh dengan

botol2 kosong dan gelas2 setengah kosong dan lain-lain. Nampaknya seperti sebuah

Kampung. Sampah yang kasar disapu dengan segera oleh pengawas ; dan kami

mengatur inventaris sedikit dan setelah itu …… mulai Misa Suci Hari Raya Paska !!

Paska Pertama untuk saya di Sintang ! Kegembiraan-Paska pula untuk saya sudah

menderita.”

Misa terakhir di Pasanggrahan ialah tanggal 24 April 19332, karena pada tanggal 1 Mei

1932, Misa pertama sudah dilaksanakan di gereja baru, yang baru diresmikan pada

hari kamis, tanggal 5 Mei 1932, pada hari Kenaikan Tuhan Yesus. Gereja baru ini

dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda (hari pesta:

tanggal 8 Desember). Dengan ini pula ditetapkan bahwa, nama serta pelindung Paroki

Sintang ialah Perawan Maria yang Dikandung Tanpa Noda. Bangku-bangku baru mulai

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 92


ada pada tanggal 15 Juli 1932 dan lonceng gereja, sumbangan Mr. Drisfhout yang

adalah seorang Protestan, mulai dibangun pada tanggal 17 Juli 1932 dan baru

berfungsi penuh tanggal 12 Desember 1932. Selain gereja baru, diresmikan pula

rumah suster yang baru pada tanggal 8 Mei 1932.

Selama masa masa ini tidak terlalu banyak keturunan Tionghoa di Sintang yang

menjadi Katolik. Tanggal 1 Desember 1935, berkumpul sekitar 60 orang calon

katekumen keturunan Tionghoa, yang berkumpul di rumah Kwe Sang (Teng) Hi. Sejak

saat itu mereka mengikuti pelajaran setiap hari Minggu jam 10.00 pagi. Mereka diajar

oleh pastor, suster dan Bong Hok Leow, yang sengaja diminta oleh Pastor Fulgentius

dari Pontianak untuk mengajar selama tiga minggu. Sebelum ia pulang, ia sempat

mengunjungi Belitang (Ampoh) untuk mengajar di sana. Tanggal 30 Mei 1936, Pastor

Fulgentius, OFM Cap dipindahkan untuk menjadi rektor rumah sakit lepra di

Singkawang dan Beliau digantikan oleh Pastor David JMC van de Made, OFM Cap.

Tanggal 21 Februari 1938, didatangkan Pastor Pacificus Bong, seorang imam keturuan

Tionghoa dari Pontianak, membantu mengajar katekumen kepada keturunan Tionghoa

di Sintang. Keturunan Tionghoa yang pertama menerima komuni saat itu ialah Joksit

Ghioe Thian Djioen.

Stasi atau paroki Sintang, yang merupakan cikal bakal Paroki Katedral, saat itu meliputi

seluruh daerah yang saat ini adalah kabupaten Sintang dan kabupaten Melawi, hingga

tahun 1949, ketika stasi Nanga Pinoh berdiri dan tahun 1950 ketika paroki Nanga

Serawai didirikan. Tahun 1979, wilayah paroki Katedral dibagi atas 12 paroki sehingga

praktisnya kini hanya mencakup wilayah Kota Sintang kelurahan Tanjung Puri hingga

ke Jerora.

Umat Paroki Katedral saat ini umumnya adalah (anggota keluarga) para pegawai,

terutama pegawai negeri sipil, karena hampir semua perkantoran pemerintah berada

di wilayah ini. Selain pegawai pemerintah tentu saja juga para pegawai swasta,

beberapa pedagang dan anak-anak sekolah menengah dan mahasiswa. Dari sudut asal

usul, mayoritas umat Katedral adalah suku Dayak, dan beberapa dari suku Jawa,

Tionghoa, NTT, Batak, dsb.

Di wilayah katedral terdapat beberapa asrama bagi para siswa-siswi dan mahasiswamahasiswi

yang berasal dari berbagai kampung, seperti asrama Dharmawati yang

ditangani para suster SMFA, asrama binaan para suster Cinta Kasih, asrama Sta. Clara,

serta beberapa asrama lain yang dimiliki dan dibina oleh para awam seperti asrama

Sta. Yohana, asrama Srikamti, asrama Sta. Cecilia, dsb. Selain itu di wilayah Katedral

terdapat beberapa sekolah dan lembaga pendidikan Katolik, yaitu Play Group Gabriel

Manek; SD, SMP dan SMA Pancasetia; SMK Budi Luhur; serta Seminari Menengah

Yohanes Maria Vianney di Teluk Menyurai. Beberapa biara memiliki rumah di paroki

Katedral, seperti Biara Suster Cinta Kasih, biara Pastor Montfortan, biara Suster SMFA,

dan biara Suster PRR.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 93


Selama puluhan tahun, pastoran katedral dan keuskupan berlokasi ditempat dan pada

gedung yang sama. Baru sejak tahun 2000, berdiri bangunan baru sebagai pastoran

dan kantor Paroki yang terpisah dari keuskupan.

Hingga tahun 2011, paroki Katedral telah menghasilkan seorang Imam, yaitu Pastor

Hiasintus, Pr, dan seorang suster, yaitu Sr. Felisitas Lasa, OSA. Tokoh umat Katedral

pada tahun 1960-an hingga 1990-an adalah Pak Leonardus Mitjang dan Pak Lucas

Markus Tidja.

2. Paroki Santo Montfort, Serawai

Paroki Sto. Montfort Serawai terdiri dari 29 stasi dengan total umat hingga akhir tahun

2010 adalah 14.186 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ialah: Pastor Linssen, SMM (1947); Pastor

Adriaan Schellart, SMM (1947-1950); Pastor Adrian van der Vleuten, SMM (1950-

1954); Pastor Agus Wintraecken, SMM (1953-1955); Pastor Anton Voncken, SMM

(1954-1959); Pastor Laurensius (Lor) Collijn, SMM (1958-1967); Pastor Anton Bernard,

SMM (1961-1992); Pastor H. Swerts, SMM (1967-1969); Pastor N. Schneiders, SMM

(1969-1982); Pastor G. Dethune, CM (1976-1980); Pastor Paulus Aryono, CM (1979-

1986); Pastor Valentino Bosio, CM (1983-1989); Pastor Ignasius Assan Kerans, Pr.

(1991-1996); Pastor Lukas Suwondo, CM (1996-1998); Pastor MM. Hardo Iswanto, CM

(1996-2001); Pastor Isnadi Wibowo, Pr (1998-2003); Pastor Sabbas Sudiyono CM

(2001-2007); Pastor Gabriel Dwi Atmoko, Pr (2003-2007); Pastor Fredy Rante Taruk, Pr

(2002-2004); Pastor VF. Mariyanto, CM (2007-2009); Pastor A. Karyono, CM (2007-

sekarang); Pastor A. Kurniawan Diputra, CM (2009-sekarang).

Dua Pastor Kapusin yang saat itu bertugas di Paroki Sintang, yaitu Egbertus Nobel,

OFM Cap dan Pastor David van de Made, OFM Cap melakukan kunjungan ke wilayah

Serawai, Ambalau dan hulu Melawi dari tanggal 18 Mei hingga 22 Juni, tahun 1937.

Dengan menggunakan kapal motor Lien, mereka berangkat pada tanggal 18 Mei 1937,

jam 10:30 pagi. Jam 6 malam hari berikutnya mereka sudah tiba di Nanga Pinoh, dan

tanpa menginap di Nanga Pinoh, perjalanan dilanjutkan ke Nanga Ella. Tanggal 25 Mei

1937, mereka berada di Nanga Serawai dan tanggal 4 Juni 1937 mereka mulai

memasuki sungai Ambalau. Perjalanan yang hampir satu bulan penuh ini dibuatkan

laporannya dengan tulisan tangan oleh kedua pastor ini setebal 42 halaman dan 2

halaman tambahan.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 94


Kunjungan berikutnya dilakukan oleh Pastor Oktavianus, OFM Cap ke Melawi hulu

sejak tanggal 1 hingga tanggal 23 Desember tahun 1939. Beliau mengunjungi dan

berkenalan dengan suku Dayak Uut Danum dan suku Nyangai. Setelah itu, Pastor

Linssen, SMM mengunjungi daerah ini pada bulan April 1947, 31 dalam rangka untuk

mengamati kemungkinan membuka misi baru. Pastor Linssen menyusuri sungai

Serawai hingga ke kampung Rantau Malam, juga memasuki sungai Lekawai, sungai

Ambalau dan Melawi hulu. Pada tanggal 14 April 1947, Beliau membabtis Mercuria,

Ponakan Budot dan Yustina, serta membereskan penikahan pasutri CL. Usup di Nanga

Ambalau.

Gereja Sto. Montfort, di Nanga Serawai

Setelah menerima pengalaman positif dari pastor Linssen, maka Pastor Adriaan

Schellart, SMM ditugaskan oleh pimpinan Montfortan untuk menetap di Nanga

Serawai, yaitu sejak tangal 17 November 1947. Beliau membeli rumah dan tanah di

Teluk Dara Muning yang digunakan untuk Pastoran dan asrama Sekolah Rakyat. Maka

tanggal ini dianggap sebagai tanggal pendirian stasi (Paroki) Serawai, dan diberi nama

31 Dalam laporannya, Pastor Linssen menghabiskan dana sebesar 146.85 gulden

selama perjalanan perkenalannya ke daerah hulu Melawi ini.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 95


Paroki Darah Yesus yang Mulia, walau baru memiliki Buku Baptis sendiri pada tahun

1950.

Dari bulan Mei 1949 hingga Februari 1950, Pastor Schellart melakukan turne ke banyak

kampung di sungai Serawai dan sungai Ambalau. Tahun 1959, banyak kampung sudah

menjadi Katolik. Tahun 1959, Pastor Collijn, SMM membuat laporan tentang keadaan

puluhan kampung di sungai Melawi dan Ambalau, baik keadaan iman umat,

kesejahteraan, juga guru-guru yang ada, pun kebutuhan nyata, seperti obat untuk

penyakit, yang dialami dan dibutuhkan kampung-kampung tersebut.

Tahun 1978 Pastor A. Bernard, SMM mendirikan bangunan Gereja permanen dan

diberi nama pelindung Sto. Montfort, sekaligus menjadi nama Paroki yang baru,

menggantikan nama Darah Yesus yang Mulia. Pastor Bernard juga membangun asrama

baik untuk anak putra maupun putri. Sejak tahun 1977, Pastor Gabriel Dethune, CM,

seorang imam Lazaris (CM) mulai berkarya di Paroki Serawai bersama dengan para

imam Montfortan, disusul oleh tahun 1979 oleh kedatangan Pastor Paulus Aryono,

CM.

Dalam perjalanan waktu, sekolah sekolah dasar yang telah dikelola oleh Gereja cukup

lama karena beberapa alasan akhirnya diserahkanlah sekolah-sekolah tersebut kepada

pemerintah. Hinga kini yang masih bertahan ditangani oleh paroki adalah SMPK “Bukit

Raya” dengan asrama putra dan putri. Maksud dari keberadaan asrama putra, Wisma

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 96


Antonius dan asrama putri, 3 Wisma Widya Loka, adalah untuk menampung anak-anak

dari kampung, serta untuk pembinaan dan pendidikan yang menunjang proses belajarmengajar

SMP Bukit Raya. Selain pembinaan, asrama juga menjadi wadah

pengkaderan kaum muda Katolik. Saat ini, penghuni asrama puteri berjumlah 120

orang dan 90 orang penghuni asrama putera. Para suster Puteri Kasih dipercayakan

untuk menangani Asrama yang dibantu oleh beberapa umat awam. Dari sekolah ini

telah lahir beberapa tokoh Gereja dan masyarakat di Sintang, Serawai maupun

kampung-kampung.

Paroki Sto. Montfort Nanga Serawai meliputi seluruh wilayah kecamatan Serawai

minus satu, desa Bere. Pada umumnya stasi atau kampung di wilayah paroki ini berada

di tepi sungai, yaitu sungai Melawi, sungai Serawai, sungai Tekungai, sungai Demu dan

sungai Lekawai. Komposisi umat paroki ini, mayoritasnya (97%) berasal dari etnis

Dayak, dan beberapa berasal dari Flores, Batak, Tionghoa dan Jawa. Mayoritas umat

adalah petani berladang/berkebun dan sebagian kecil adalah PNS, Guru dan

pedagang. Para pendatang umumnya berprofesi sebagai guru atau pedagang. Umat

dan Gereja harus bersyukur kepada para guru, karena telah memberi kontribusi

banyak untuk kemajuan dan perkembangan umat di paroki Serawai.

Karena umat tersebar di dua puluh sembilan stasi, maka kunjungan (turne) ke

kampung adalah suatu keharusan, yang umumnya minimal setahun 3 kali, tergantung

dari tingkat kesulitan jalur yang harus ditempuh. Jalur yang mudah tentu akan

mendapat kujungan lebih banyak. Pada perayaan besar Gerejani, anggota DPP pun

ikut melakukan turne.

Mengingat kondisi ini, maka paroki dan DPP sangat menyadari pentingnya usaha untuk

memberdayakan para tokoh umat dan pemimpin ibadat. Karena itu setidaknya

setahun sekali ada pembekalan, pelatihan, dan penyegaran bagi mereka, termasuk

mengadakan Kursus Persiapan Perkawinan bagi para calon yang hendak menikah

secara Gerejani. Dengan kegiatan ini paroki diharapkan bisa semakin mandiri baik dari

segi tenaga, pelayanan serta pendanaan dan umat pun makin beriman mendalam.

Selain bidang rohani, Gereja juga terlibat aktif dalam hal-hal sosial, khususnya

mengenai adat dan pertanian, yang merupakan mata pencaharian pokok umat paroki

Serawai. Di Serawai terdapat Gerakan Masyarakat Adat Serawai (GEMAS), yaitu

kelompok orang yang peduli akan hak hak adat dan usaha penyelamatan lingkungan,

Kelompok ini bernaung dibawah seksi justice and peace DPP, yang sering melibatkan

para ahli hukum (komisi yudisial, dsb.) dan lingkungan (WAHLI, LBBT, dsb.) untuk

penyadaran akan hak-hak adat mereka serta masa depan kehidupan anak cucu

mereka.

Di Paroki ini juga telah dibentuk kelompok tani karet, yang disebut ‘Buntak’ yang

bernaung di bawah seksi sosial-ekonomi DPP. Mereka mengadakan kegiatan bersama

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 97


penghijauan kembali tanah yang sudah gundul dengan menanam pohon-pohon karet.

Puluhan hektar lahan telah mereka selamatkan menjadi hutan karet yang sudah mulai

menghijau. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai kelompok cinta lingkungan dan

peduli masa depannya. Secara bergotong royong, mereka mengerjakan tanah mereka

tiap minggu secara bergantian di antara anggota.

3. Paroki Maria Ratu Semesta Alam, Sei Durian

Paroki MRSA Sei Durian terdiri dari tiga stasi dan 13 kring (lingkungan dalam kota).

Jumlah umat hingga akhir tahun 2010 adalah 3.010 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor Yohanes Hubertus

Reijnders, SMM (1979-1986); Pastor Viktor Germain Berset, CM (1986-1987); Pastor

Tarcisius Natawijaya, Pr. (1987-1991); Mgr. Isak Doera, Pr. (1991-1992); Pastor

Fransciscus Jansen, Pr. (1993-1996); Pastor Ewaldus, Pr. (1996-1998); Pastor Yohanes

Pranoto, Pr. (1998-2002); Pastor Sabinus Amir, Pr. (2002-2005); Pastor Vinsensius

Rato, Pr. (2005-2008); Pastor Matias Sala, Pr. (2008- sekarang).

Gereja MRSA di Sei Durian, Sintang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 98


Paroki MRSA didirikan tahun 1979, setelah puluhan tahun menjadi bagian yang disebut

sebagai Kring/Lingkungan Sei Durian dari Paroki Katedral. Walau saat itu statusnya

hanya sebagai lingkungan, tetapi Pastor selalu mengadakan Misa setiap hari Minggu

khusus untuk umat di lingkungan ini, pada sebuah aula di kompleks Sekolah

Kepandaian Puteri, Kartini. Pada tahun 1975, atas swadaya umat lingkungan sendiri,

berhasil dibangun sebuah Gereja di atas tanah Suster SMFA, di dalam kompleks SMKK

Kartini.

Tahun 1994, dibentuk panitia pembangunan gedung gereja baru, atas inisiatif Pastor

Frans Yansen, pastor paroki saat itu. Maka dimulailah pembangunan gedung gereja

baru di Mungguk Serantung yang mulai dipakai sepenuhnya pada tahun 1995 dengan

daya tampung sekitar 1.500 orang. Pastor Yansen bukan hanya sebagai pencetus ide,

Beliau juga pencari dana utama untuk pembangunan gereja ini. Gereja ini memiliki

delapan pilar utama, yang menurut Beliau merupakan simbol keberadaan delapan

kring/lingkungan di Paroki MRSA.

Pastoran terasa terlalu jauh dari gereja dan umurnya pun semakin tua. Karena itu Mgr.

Agustinus Agus merencanakan pembangunan pastoran baru sekaligus direlokasikan ke

dekat gereja. Tahun 2007 juga dimulai pembangunan pastoran baru di kompleks

wisma Yerusalem, bekas kompleks PGAK yang kini menjadi kompleks SMP Panca Setia

II. Pastoran yang lumayan megah ini diresmikan pada tanggal 19 Juni 2009.

Paroki ini pernah dipimpin oleh dua orang Pastor misionaris domestik, yaitu Pastor

Natawijaya, Pr, seorang imam diosesan dari keuskupan Denpasar, Bali, serta Pastor

Frans Yansen, Pr, seorang imam diosesan dari Belanda, dan paroki ini juga pernah

dipimpin oleh seorang Uskup, yaitu Mgr. Isak Doera sebagai Pastor Parokinya.

4. Paroki Maria Ratu Damai Semesta, Tempunak

Paroki Maria Ratu Damai Semesta, Tempunak terdiri dari 47 stasi sepanjang sungai

Tempunak, dengan total umat 8.942 jiwa hingga akhir tahun 2010.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Natalis Nong Napa , Pr;

Pastor Yosef Supit, Pr; Pastor Viktor Parera, Pr; Pastor Yakobus Kila, Pr; Pastor

Leonardus Miau, Pr.; Pastor Yohanes Pranoto, Pr; Pastor Makabeus Jawa, Pr; Pastor

Agustinus Rohmana Puguh Suwito, Pr; Pastor Yosef Padak Duli, Pr; Pastor Agustinus

Bahang, Pr; Pastor Sabinus Amir (2005-sekarang), Pr; Pastor F.X. Pintau, Pr (2009-2010)

dan Pastor Vincentius Yakobus, Pr (2010-sekarang )

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 99


Berdasarkan data baptis yang ada di Paroki (Katedral) Sintang, tercatat bahwa orang

Tempunak yang pertama kali dibaptis ialah seorang keturunan Tionghoa bernama

Petrus Yang Sak Siong. Beliau dibaptis di Pangkaluang pada tanggal 23 Oktober 1946

(LB no. 272), oleh Pastor H. L’Ortye, SMM, pastor Paroki Sintang saat itu. Pada hari

yang sama juga dibaptis dua orang anak di Kempas, yaitu Paulus Sung Jun Liet dan

Maria Sung Jun Tsin. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa pada tahun itu sudah

mulai ada turne dari para pastor di Sintang ke wilayah Tempunak.

Gereja MRDS dan Pastoran di Nanga Tempunak

Pelayanan pastoral oleh para misionaris menurut cerita umat di hulu sungai

Tempunak, pada tahun-tahun itu mereka dilayani dari Paroki Sepauk, yang saat itu

melayani bagian hulu Tempunak, khususnya daerah Sungai Kura dan sekitarnya.

Tentu saja tidak selalu dari Sepauk hulu, karena dari catatan turne, yang tidak

disebutkan namanya, 32 seorang pastor melakukan turne dari tanggal 26 Januari hingga

tanggal 15 Februari 1948 sepanjang sungai Tempunak. Mereka berngkat menuju

sungai Tempunak menggunakan perahu motor Nirub, bersama seorang guru, Pak

Rindah dari Pangkaluang. Kampung yang dilewati antara lain Ensibau, Repak, dan di

Pemali menginap di betang yang memiliki 8 pintu.

Pada tanggal 29 Januari mereka sudah tiba di Pangkaluang dan disambut oleh

Temenggung Hoesin. Di sana ada empat orang katekumen, antara lain Oetjil, anak

Tumenggung, lalu Sela, dan Sadan, yang berasal dari Ansok. Tanggal 2 Februari

mereka ke Selebak dan tinggal di betang yang memiliki 10 pintu. Di sini juga ada

katekumen, yaitu Dair, Radin, Manan, Selamat dan Raga. Tanggal 3 berada di Kempas,

tanggal 4 berada di Melimbuk yang hanya 20 menit jalan kaki dari Kempas. Tanggal 5

32 Karena Pastor H. L’Ortye pernah ke Tempunak, kemungkinan besar kali ini Beliau

kembali turne ke Tempunak, sekitar tiga minggu lamanya.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 100


berada di Jengkuat, tanggal 6 di Pekulai, tanggal 7 di Tembak. Tanggal 8 berada di

Serpang,dan tanggal 9 di Ancan. Hari berikutnya menuju Gobang Bidau dan Nanga

Manding dan terus ke hulu dan menyeberang ke hulu sungai Belimbing untuk kembali

ke Nanga Pinoh, tiba tanggal 5 Februari.

Pada masa-masa 1970-an, ada beberapa tokoh awam yang sangat berjasa bagi umat

Tempunak, baik sebagai guru maupun katekis dan pemimpin umat, yaitu Pak

Ambrosius Ambok dan juga belakangan Pak Daban sebagai guru agama dan Pak Paulus

Mitok sebagai guru umum di Sungai Kura. Pak Ambok akhirnya dipindahkan ke Mansik

untuk menangani sekolah yang baru saja didirikan di sana.

Karena melihat perkembangan positif, maka diputuskan Pulau Mandong menjadi

pusat pelayanan. Di kampung ini lalu dibangun sebuah gereja pada tahun 1979. Pastor

Natalis Nong Napa, Pr ditugaskan untuk khusus melayani wilayah Tempunak, hingga

wilayah ini menjadi sebuah paroki mandiri (terpisah dari Paroki Katedral) pada tahun

yang sama. Tahun 1980, karena alasan kurang strategis, maka pusat paroki

dipindahkan ke Nanga Tempunak, yang merupakan ibukota kecamatan Tempunak.

Setelah sekian lama menumpang di pastoran sungai Durian, baru pada tahun 1990,

atas inisiatif Pastor Yosef Supit, Pr, dibangunlah pastoran baru yang selesai dibangun

tahun 1996.

Tanpa melupakan dan tetap berterima kasih kepada semua imam yang pernah

melayani Paroki Tempunak, Umat sangat berterima kasih kepada Pastor Yosef Supit,

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 101


Pr., atas jasanya di bidang tanaman karet, termasuk juga untuk beberapa wilayah di

paroki Nobal dan Pandan.

Kerja kerasnya mendorong dan mengajarkan umat menanam tanaman karet telah

secara signifikan meningkatkan kesejahteraan umat di wilayah Tempunak. Beliau juga

menggalakkan dan melatih umat berkoperasi (Usaha Bersama). Karena jasa Beliau ini,

maka ketika Beliau meninggal, umat meminta agar Beliau di kuburkan di paroki

Tempunak, dan memilih Makong sebagai tempat peristirahatannya yang terakhir.

Pastor yang tidak memiliki ijasah filsafat teologi ini mendedikasikan kemampuannya,

sebagai mantan bruder yang memahami dunia pertanian dan perbengkelan, untuk

kesejahteraan umat yang dilayaninya.

5. Paroki Santo Martinus, Kelam

Paroki Sto. Martinus Kelam terdiri dari 23 stasi dengan total jumlah umat pada akhir

tahun 2010 ialah 4.942 jiwa. Rumah pastoran terletak di kampung Kenukut, yang

sekaligus sebagai pusat kecamatan Kelam.

Para Pastor yang pernah menjadi Pastor Paroki Kelam, ialah: Pastor Kees Smit, SMM

(1980-1985); Pastor Stephanus Budi Prayitno, Pr (1985-1992); Pastor Ewaldus, Pr

(1992-1996); Pastor Lukas Lamadua, Pr (1996-2002); Pastor Patrisius Piki, Pr (2002-

2005); Pastor Elias Silvinus Endi, Pr (2005-sekarang). Beberapa pastor anggota tim

Pastoral yang pernah berkarya di (dua) paroki ini ialah Pastor Agustinus Puguh, Pr;

Pastor Yohanes Pranoto, Pr; dan saat ini adalah Pastor Adi Wiratmo, Pr.

Sejak tahun 1931, wilayah Kelam dan sekitarnya adalah bagian dari paroki Katedral

Sintang dan baru menjadi paroki sendiri sejak tahun 1979. Sejak menjadi bagian dari

Paroki Sintang, sejak tahun 1940-an, daerah-daerah sekitar Kelam sudah mulai

dikunjungi oleh para pastor, yaitu kampung-kampung yang berada di pinggir sungai.

Pastor Aloysius Ding, SMM mulai mengarahkan perhatiannya untuk mengunjungi

daerah sekitar gunung Kelam pada tahun 1960. Setelah mengunjungi Penyaguk,

Nyakam dan Nanga Djetak, pada tanggal 21-24 Mei 1960, Beliau meneruskan turne,

mengunjungi kampung-kampung sekeliling gunung Kelam, seperti Kebong, Samak,

Merepak, , Ajak, Tekang dan Kenukut.

Pastor Aloysius Ding, SMM, kembali melakukan kunjungan ke kampung-kampung

sekeliling bukit Kelam pada tanggal 7-12 Agustus 1961. Beliau kembali mengunjungi

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 102


daerah ini, seperti sebelumnya, dengan menggunakan sampan berdayun masuk ke

daerah ini melalui Nanga Djetak, dari tanggal 12-16 Februari 1962. Beliau juga

melaporkan jumlah keluarga pada masing-masing kampung saat itu, yaitu 40 pintu

(KK) di Merepak; Kenukut 12 pintu; Kebong 18 pintu, Samak 12 pintu; Adjak 14 pintu;

Djongkong 10 pintu; empada 5 pintu; Dait 10 pintu; Djerora 10 pintu.

Gereja Sto. Martinus dan Pastoran, di Kenukut, Kelam

Selain Pastor Ding, beberapa pastor dari Paroki Katedral masa itu juga mengunjungi

dan melakukan pelayanan rohani secara berkala di daerah Kelam, seperti Pastor Elias

Kinson, Pr; Pastor Piet Derckx, SMM; Pastor A. van der Vleuten, SMM; Pastor Kees

Smit, SMM, dsb.

Sejak berdirinya paroki ini pada tahun 1979, pelayanan pastoralnya selalu disatukan

dengan Paroki Dedai, dalam sebuah tim pastoral yang dikepalai oleh seorang Pastor

Paroki, yang bertempat tinggal di kebong, Kelam. Hingga kini sistem ini masih dipakai,

bahkan Pastor Paroki saat ini, Pastor Elias Endi, Pr membentuk hanya satu Dewan

Pastoral Paroki, yang mewakili dan melayani kedua paroki ini.

Ketika Pastor Smit mulai bertugas di paroki ini, Beliau bertempat tinggal di

Katedral/Keuskupan. Begitu pula penggantinya, Pastor Budi Priyatno, Pr. Untuk

mempermudah pelayanan kepada umat, maka Pastor Budi menjadikan rumah Pak

Awan di Kenukut sebagai ‘pastoran’ yang melayani berbagai kebutuhan umat. Melihat

keadaan ini, pada tahun 1996, pada akhir masa jabatan Pastor Ewaldus sebagai Pastor

Parokinya, Mgr. Agustinus Agus mendirikan sebuah pastoran baru di Kenukut, yang

diresmikan pada tahun 1996. Pastor Lukas Lamadua, Pr sebagai pastor Paroki

pengganti menempati rumah baru ini, yang disusul oleh frater Patrisius Piki pada

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 103


tahun 1997, sebagai frater pastoral, yang diteruskan hingga ditahbis sebagai imam

pada tahun 1998, sebagai anggota tim pastoral dan tahun 2002 sebagai Pastor Paroki.

Karya Gereja bukanlah semata karya para imam. Paroki ini memiliki kader-kader umat

awam yang terdidik, terlatih dan giat. Tim pastoral para awam ini giat melaksanakan

ibadat, melakukan katekese serta pembinaan iman lainnya di berbagai stasi, terutama

untuk persiapan Baptis, Komuni pertama dan Krisma. Saat ini, delapan orang anggota

tim pastoral adalah Ulius Stapnadi, Yulianus Nadi, Setiadi Nalan, Silvester Inus, Markus

Lutu, Agnes Jubai, Haryono, dan Bartolomeus Gani. Yang terakhir ini adalah seorang

katekis keuskupan yang ditugaskan di Paroki Kelam.

6. Paroki Santo Petrus, Dedai

Paroki Sto. Petrus Dedai terdiri dari 44 stasi dengan total jumlah umat ialah 8.388 jiwa.

Karena menjadi sebuah tim kerja pastoral, maka pastoran paroki Dedai disatukan

dengan Paroki Kelam yang berada di Kenukut.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah para pastor yang juga berkarya di

paroki Kelam, karena sejak berdirinya, pelayanan Paroki Kelam dan Dedai dijadikan

satu dalam sebuah tim pastoral yang dikepalai seorang Pastor Paroki.

Sejak menjadi bagian dari Paroki Sintang, beberapa kampung di wilayah paroki Dedai,

yaitu yang berada di sepanjang sungai Melawi telah beberapa disinggahi oleh para

misionaris antara 1948-1955. Daerah yang sudah sering dikunjungi saat itu ialah

Gandis, Sona, Penyak Lalang, Nyakam, Nanga Dedai, sungai Manyam, dsb.

Tanggal 16-21 Juni 1959, Pastor Aloisius Ding, SMM mengunjungi daerah Penyaguk,

Nyakam dan Sona Prosa. Beliau ditemani oleh guru, yaitu Pak Amboik dan L. Lunjong.

Di Nyakam Beliau juga kembali ditemani oleh guru Daban. Beliau kembali mengunjungi

daerah-daerah ini pada tanggal 24 November hinggga 2 Desember 1958 dan

mengunjungi kampung Nyakam, Sona dan Doda serta pada tanggal 2-9 Maret 1959

dan 28-29 November 1959. Tanggal 21-24 Juni 1960, Beliau mengunjungi kampung

Sona dan Dedai. Beliau kembali mengunjungi kampung Penyak Lalang (Dedai), Sona,

Gandis dan Dait pada tanggal 22-26 September 1960 dan tanggal 16-20 Januari 1961.

Selama masa-masa ini Pastor Ding sering dibantu oleh dua tokoh awam saat itu, yaitu

Pak Daniel Gidon dan temenggung Blasius Belbas.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 104


Karya Pastor Ding Ngo, SMM dilanjutkan oleh Pastor Elias Kinson, Pr selama satu tahun

yang diganti oleh Pastor Piet Derckx, yang juga bertugas hanya setahun. Setelah itu

wilayah ini dilayani oleh Pastor Kees Smit, SMM. Pastor yang dikenal sangat rajin turne

dan senang tinggal bersama umat selama beberapa hari bila Beliau turne ini, karena

melihat terbatasnya tenaga, maka sejak awal bertugas langsung mengutus seorang

awam, yaitu Pak Yohanes Junit untuk mengikuti kursus menjadi pemimpin umat. Pak

Junit sangat berjasa dalam membina

dan mendidik para calon baptis,

calon suami isteri serta kegiatan

pastoral dan katekese lainnya.

Kemudian menyusul beberapa kursus

bagi calon pemimpin umat untuk

memenuhi kebutuhan setiap

kampung dalam memimpin ibadat

serta kegiatan pastoral lainnya.

Pada masa ini, Penyak Lalang

dijasikan sebagai pusat pelayanan, di

mana umat dari berbagai kampung

datang Misa atau ibadat ke tempat

ini di setiap hari Minggu dan hari

raya.

Selain itu juga beberapa tokoh umat

sangat membantu karya Pastor Smit

serta pastor-pastor sesudahnya,

seperti Pak Julut dan dan Pak Ingot

dari Manyam, Pak Juluing dan Jaboi

dari Rasok, Pak Mayur dari Rambun, Pak Patah dari Merah Air, Pak Adam dari

jangkang, Pak Nian dari Kumpang, Pak Remidan dari Lumut, dan Isut dan Pak Jiram dari

Beragah, Pak Banai dari Mengkirai, Pak Tambai dan Pak Marjaong dari Lebak Layang.

Pastor van der Vleuten, SMM menggantikan Pastor Smit, SMM. Selama Beliau

bertugas, daerah ini sedang terserang paceklik panjang, sehingga Beliau sering

melakukan pelayanan sosial-karitatif berupakan pembagian tepung jagung, bulgur,

kacang-kacangan, serta pakaian layak pakai. Beliau digantikan oleh Pastor Matius

Rampai, Pr yang mulai menggerakkan kaum muda dengan berbagai pertemuan serta

pembinaan bagi mereka. Setelah resmi menjadi sebuah paroki, wilayah ini kembali

dilayani oleh Pastor Kees Smit, SMM.

Pertengahan tahun 1985, Pastor Stefanus Budi Prayitno, Pr menggantikan Pastor Kees

Smit. Pada masa Beliau ini, banyak jalan darat mulai dibuka sehingga banyak kampung

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 105


bisa dicapai melalui jalan darat dengan sepeda motor, walaupun harus jatuh bangun

dan berkubang lumpur. Dalam ketekunan dan pengabdiannya, pastor yang satu ini

lemah sekali dalam administrasi, terutama kelalaian dalam memasukan data baptis,

pernikahan atau krisma ke dalam Buku Paroki. Tahun 1992, Pastor Ewaldus, Pr

ditugaskan ke daerah ini hingga tahun 1996. Beliau kembali mengaktifkan beberapa

kegiatan rohani seperti lomba koor dan Kitab Suci, dsb. Tahun 1996, seusai tahbisan,

Pastor Lukas Lamadua, Pr langsung ditempatkan untuk paroki Kelam dan Dedai, yang

dibantu oleh Frater Patrisius Piki. Pastor Lukas selain melakukan dan melanjutkan

karya pastoral yang ada, juga mulai membenahi kembali data paroki, terutama data

Baptis, Komuni, Krisma dan Perkawinan yang mana banyak sekali tak tercatat dalam

Buku Paroki oleh pendahulunya. Pastor yang suka makan sirih-pinang ini akhirnya

mengadakan “Buku Ekstra” untuk menampung berbagai data yang hilang. Frater Patris

juga akhirnya ditempatkan di tempat yang sama setelah ditahbiskan sebagai imam

pada tahun 1998 dan bertugas sebagai pastor anggota tim pastoral hingga tahun 2005.

Tahun 1985, Pastor Elias Silvinus Endi, Pr ditugaskan ke Paroki Kelam dan Dedai. Pastor

ini sangat tekun berturne walau salah satu tempurung lutut kakinya sudah lama tidak

berfungsi baik. Beliau membentuk DPP, mengaktikan kembali kegiatan dan kursus atau

pembinaan bagi pemimpin umat, calon pemimpin umat, kaum muda, juga anak-anak

dalam wadah Sekami serta kursus persiapan perkawinan, dsb. Beliau sempat dibantu

beberapa saat oleh Pastor Puguh Suwito, Pr dan Pastor Yohanes Pranoto, Pr. Sejak

Agustus 2010, Beliau dibantu secara tetap oleh Pastor Adi Wiratmo, Pr (Pastor Mamo)

sebagai angota tim pastoral paroki Kelam dan Dedai.

Beberapa katekis pernah ditugaskan di daerah ini, yaitu Pak Viktor Bando, Pak

Martinus Oyotring, Pak Yohanes Pelaun, Pak Bartolomeus Gani, Pak Antonius Deku,

dan Pak Abdias. Tentu saja ada banyak tokoh awam yang aktif terlibat dalam berbagai

aktivitas pastoral, baik di tingkat paroki maupun di tingkat stasi.

Para frater yang pernah bertugas di wilayah ini ialah Fr. Vincentius Yakobus, Fr.

Paschasius Triyono, Fr. Sabinus Amir, Fr. Thomas Kuslin, Fr. L. Miau, Fr. Sukarto, Fr.

Gaby, Fr. Fritz, Fr. Abong, Fr. Robert Mosa, dan Fr. Rispan, SMM.

Paroki ini sudah menghasilkan dua orang imam, yaitu Pastor Fransiskus Pintau, Pr dan

Pastor Fransiskus Leo, Pr. Proficiat.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 106


7. Paroki Santa Maria Ratu Rosario, Lebang

Paroki Santa Maria Ratu Rosario, Lebang terdiri dari 34 stasi dengan total jumlah umat

ialah 6.283 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya sebagai Pastor Paroki ini, ialah: Pastor Yakobus Rua

Bai, SMM (2010-sekarang); Pastor Yohanes Suri, SMM (2007-2010); Pastor Yohanes

Sumadi, SMM (2003-2007); Pastor Antonius Dwi R. Arifin, SMM (2001-2003); Pastor

Stefanus Seli, SMM (1998-2001); Pastor Ignatius Widodo, SMM (1994-1998); Pastor

Budi Prayitno, Pr; Pastor Kees Smit, SMM; dan Pastor Piet Derckx, SMM.

Pastor-pastor lain yang pernah berkarya di Paroki Lebang, ialah Pastor Emanuel B.

Ngatam, SMM; Pastor Fransiskus B. T. SMM; Pastor Marcadius Golo, SMM; dan Pastor

Yan Ngumban, Pr.

Gereja Santa Maria Ratu Rosario, di Lanjing

Wilayah Lebang, khususnya Nanga Lebang sudah sering dikunjungi sejak berdirinya

paroki Sintang pada tahun 1932. Bagian dalam (darat) paroki ini belum dikunjungi. Dari

data laporan turne, wilayah hulu sungai Lebang pernah dikunjungi antara tahun 1953-

1959.

Pada masa itu misi Katolik masih asing di wilayah sungai Lebang. Mulanya iman katolik

masuk ke wilayah Lebang ini adalah diperkenalkan oleh seorang tokoh yaitu Bapak

Petrus Djudi (alm). Beliau berasal dari kampung Bubur (wilayah Pelimping sekarang

ini). Bapak Petrus Djudi ini merantau ke Sintang dan menjadi salah seorang pengurus

PPD (Partai Persatuan Dayak). Selama dalam perantauan dan pergaulan bersama

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 107


teman-teman, Beliau melihat iman Katolik dan merasa tertarik untuk mengikutinya.

Pada tahun 1955 PPD tidak masuk dalam pemilu dan dibubarkan karena bersifat

kedaerahan, maka Beliau pulang ke kampung dengan membawa keinginan untuk

mengembangkan iman Katolik di kampungnya di Bubur.

Pada tahun 1957 di kampung Bubur, Bapak Petrus Djudi mulai memperkenalkan

agama Katolik kepada keluarga-keluarga dekatnya, dan mulai dengan belajar

katekumen bersama.Walaupun Bapak Petrus DJudi sendiri belum dibaptis, Beliau bisa

membimbing keluarganya dalam masa persiapan katekumen ini. Tahun 1959, Pastor

Vleuten berkesempatan masuk sepanjang sungai Lebang, dari tanggal 12-22 Maret

1959. Beliau mengunjungi kampung Nanga Lebang, Nanga Pintas, dan tanggal 17

Maret bertemu dengan Pak Djudi, berdayung terus ke hulu sungai, ke Pelimping,

Lanjing dan Bengkuang. Pada masa turne inilah Pastor Vleuten dan Pak Petrus Djudi.

Pastor Vleuten kembali mengunjungi sepanjang sungai Lebang dari tanggal 21-1

Desember 1960.

Masa persiapan katekumen ini ternyata cukup lama. Baru pada tahun 1961 Pastor Van

der Vleuten, SMM mengajak 9 orang katekumenat ini ke Sintang dan dibaptis di Gereja

Katedral Sintang (data Baptisan tercatat di Paroki Katedral). Sembilan umat perdana ini

adalah, Bapak Petrus Djudi, Ibu Lusia Enta, Bapak Alypius Gesang, Ibu Yosepha Sinda,

Bapak Aloysius Sarap, Ibu Itut, Bapak Hiasintus Sekadang, Bapak Penggang, dan Bapak

Yohanes Saka. Dari 9 orang ini yang masih ada hingga hari ini hanya tinggal 3 orang

saja, sedangkan yang lainnya sudah meninggal.

Dari tahun 1960 wilayah Lebang ini sebagai salah satu stasi yang bergabung dengan

Paroki Katedral Sintang mendapat pelayanan dua kali setahun oleh Pastor Van

Vleuten, SMM. Beliau merupakan pastor pertama yang melayani stasi Lebang dan juga

sebagai Imam Montfortan pertama yang melayani umat stasi Lebang.

Tahun 1961, Pastor van der Vleuten digantikan oleh Pastor van Cuyk, SMM. Pastor ini

langsung mengunjungi sungai Lebang dari tanggal 6 -16 januari 1961. Dalam turnenya

dari tanggal 27 Desember 1961 hingga 15 Januari 1962, ada banyak sekali calon

katekumen, yaitu 26 orang di Bengkuang, 40 orang di Belepung, 124 orang di

Serangas, 7 orang di Sei Pukat, 84 orang di Sepan, 65 orang di Lanjing, dan 43 orang di

Pelimpin. Pastor van Cuyck melayani hingga tahun 1967.

Pada tahun 1968 Pastor Piet Derckx, SMM menggantikan Pastor van Cuyk SMM. Beliau

mulai dengan mendirikan Sekolah Dasar (dulu SR). SD ini masih eksis hingga sekarang

yaitu yang kita kenal dengan SD Swasta Lanjing. Dengan dibukanya SD di Lanjing ini,

Umat Katolik di stasi Lebang mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Jumlah

umat bertambah sangat pesat karena di sekolah juga diajarkan agama Katolik.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 108


Pada tahun 1974 Pastor Cornelis J. Smit, SMM menggantikan Pastor Piet Derckx, SMM

sebagai Pastor Lebang. Pastor Smit dikenal sebagai pastor yang sangat akrab dengan

umat dan sangat rajin turne ke kampung-kampung. Pada tahun 1979, Stasi Lebang

berubah status menjadi Paroki Lebang. Paroki ini mengambil nama Lebang karena

wilayah Paroki ini berada pada daerah aliran sungai (DAS) Lebang, dari hulu sampai ke

Nanga Lebang. Sebagai paroki baru, sejak tahun 1979, Pastor Kees Smit adalah Pastor

Paroki Lebang yang pertama. Beliau melayani umat Paroki Lebang dari tahun 1974

hingga tahun 1995, alias selama 21 tahun. Umat paroki Lebang terutama kalangan tuatua

sangat terkesan pada pastor ini karena Beliau sangat membaur dengan umat dan

kalau turne betah berlama-lama di kampung.

Tahun 1995, Pastor I. Widodo, SMM menggantikan Pastor Kees Smit, SMM. Beliau

mulai memikirkan untuk mendirikan gedung gereja sebagai Gereja pusat paroki,

karena di pusat paroki hanya memiliki sebuah kapel sederhana yang berdinding papan.

Rencana ini akhirnya terwujud ketika Gereja pusat paroki selesai dibangun dan

diresmikan pada tahun 1998 di Lanjing. Saat bersamaan juga memberi nama baru

untuk paroki, yaitu Paroki Maria Ratu Rosari, Lebang, mengikuti nama pelindung

Gereja pusat paroki. Sejak masih sebagai berstatus sebagai stasi dari paroki Katedral

Sintang hingga sekarang, wilayah paroki Lebang dilayani oleh para imam Serikat Maria

Montfortan (SMM).

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 109


Keadaan ekonomi umat Paroki Maria Ratu Rosari Lebang, pada umumnya adalah

petani, khususnya karet. Belakangan ini juga mulai dimasuki oleh perkebunan kelapa

sawit yang menyerap lahan yang sangat luas sehingga petani karet mulai sulit

meluaskan kebun karet mereka. Pola hidup pun mulai berubah. Karena itu, Paroki,

melalui Dewan Pastoral Paroki, tetap mendorong umat untuk pertahankan lahan yang

masih ada untuk ditanami karet dan mengolah lahan rawa-rawa untuk dijadikan

persawahan serta mulai dengan kolam untuk beternak ikan.

Paroki ini belum menghasilkan imam dan bruder, namun hingga tahun 2011 ini, paroki

Lebang sudah menghasilkan 2 (dua) orang suster yang sudah berkaul dan 1 orang

suster yang baru postulat serta 5 orang seminaris. Para suster berasal dari Paroki

Lebang ialah, Sr. Indrawati, ALMA, yang bertugas di Medan, dan Sr. Marsinta, OSC Cap,

seorang rubiah Kapusin yang bertugas di Sarikan.

8. Paroki Santo Mikael, Tanjung Baung

Paroki Sto. Mikael, Tanjung Baung terdiri dari 52 stasi, yang dibagi atas empat Dewan

Pastoral Wilayah. Jumlah umat seluruhnya hingga akhir tahun 2010 adalah 6.976 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Yohanes Ngumbang, Pr.

(1979-1994); Pastor Makabeus Jawa, Pr. (1994-2001); Pastor Agustinus Puguh Suwito,

Pr; Pastor Yosef Padak Duli, Pr; dan Pastor Hengky Ladjar, Pr (hingga sekarang).

Sejak Gereja memasuki daerah Sintang pada tahun 1932, daerah Ketungau Hulu dan

Hilir sudah mulai agark rutin dikunjungi oleh para pastor dari Sintang. Pastor Cassius,

OFM Cap turne ke daerah Ketungau pada pertengahan bulan Juli hingga awal agustus

1932. Turne pertamanya ini bertujuan semata untuk mengamati kemungkinan

membuka misi di daerah Ketungau dan Belitang.

Di kampung Ampoh, Beliau bertemu dengan Pak Senjan, kepala kampung setempat.

Atas ajakan Ambrosius Gemoek dari kampung Tenduk, Pak Senjan hendak merelakan

puterinya, Lindan untuk dibawa ke Sintang, tinggal dengan dan dididik oleh para

suster. Walau agak tertunda, Lindan akhirnya berangkat dan tinggal di Sintang pada

tanggal 8 Agustus 1932 dan disusul oleh Empajoeng, puteri dari Ambrosius Gemoek

pada tanggal 6 Oktober 1932. Lindan dibaptis di Sintang pada tanggal 17 April 1933 di

kapel suster dan diberi nama baptis Anastasia Cornelia dan Empajoeng dibaptis

tanggal 15 Agustus 1933, juga di kapel suster. Theresia Empajoeng dan Cornelia Lindan

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 110


menerima sakramen krisma pada tanggal 8 Oktober 1933 dari tangan Mgr. Bos, OFM

Cap.

Gereja Sto. Petrus di Dak Jaya

Juga dibaptis oleh Pastor Fulgentius pada masa itu ialah Maria Foelih dari kampung

Engkirap pada tanggal 14 Juni 1933; Paulus Giring dari kampung Muakan yang dibaptis

pada tanggal 18 Juni 1933; Theophilus Kasim dari kampung Merekak yang dibaptis

pada tanggal 24 Juli 1933; dan Yakobus Samat dari kampung Seputan, yang dibaptis

pada tanggal 9 Desember 1933. Selain warga pribumi, beberapa warga keturunan

Tionghoa pun ada yang sudah dibaptis, di antaranya Markus Sum Kis Khoe, yang

berdiam di Belitang. Bulan juni tahun 1934 ia memperbaiki perkawinannya dengan

Sulau, puteri Dayak dari Belitang. Maria Cecilia Rinti dari Ampoh, yang dipermandikan

tanggal 14 Juli 1935, menikah dengan Fransiskus Mangga pada tanggal 24 Februari

1936.

Tangga 23 Maret 1938 datang Pak Nyurai sebagai guru agama di Ampoh dan tanggal

16 Oktober 1938 datang seorang guru agamayang baru, yang ditugaskan ke Nanga

Merekak, yaitu Pak M. Rudin untuk menggantikan Pak A. Jantung yang sudah pindah.

Demikian juga perkawinan beberapa umat di Ampoh, di antaranya Laurensius Biran

yang hendak diperbaiki perkawinannya tetapi agak tertunda dan baru menikah secara

Gerejani pada tanggal 29 April 1936 dengan Belayau, seorang puteri yang juga

dipermandikan pada hari yang sama.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 111


Pastor Fridolinus, OFM Cap yang mengganti pastor Fulgentius untuk sementara,

melakukan beberapa kali turne ke Ampoh dan daerah Belitang pada tahun 1933.

Tanggal 16 Januari 1933 Beliau bersama Pastor Fulgentius membawa lima orang

putera dari Ampoh dan daerah Belitang ke Sanggau untuk bersekolah di Lintang. Sejak

tahun 1935, daerah Belitang, khususnya kampung Ampoh mulai agak rutin dikunjungi

Pastor. Antara tahun 1936-1944, banyak orang Ampoh yang ramai turun ke Sintang

untuk menghadiri Misa Natal dan Paska. Tangal 23 Maret 1938, seorang guru, yaitu

Pak Nyurai mengajar di Ampoh dan sayangnya ia dipindahkan ke Sanggau pada bulan

Juni 1941.

Sejak tahun awal tahun 1970-an, Pastor Yohanes Ngumbang mulai bekerja di wilayah

ini dan mengabdi di paroki ini cukup lama. Beliau merupakan Pastor pertama yang

ditugaskan secara penuh hanya untuk wilayah ini. Beliau sudah ditugaskan melayani

wilayah Ketungau dan Belitang sejak daerah ini masih menjadi bagian dari Paroki

Katedral Sintang. Ketika Tanjung Baung menjadi Paroki, kembali Beliau ditunjuk

sebagai Pastor parokinya. Beliau diganti oleh Pastor Makabeus Jawa, Pr yang bertugas

selama tujuh tahun. Karena belum memiliki pastoran sendiri, Pastor Max bertempat

tinggal di Pastoran Sei Durian. Demikian pula para pastor berikutnya, seperti Agustinus

Puguh Suwito, Pr dan Pastor Yosef Padak Duli, Pr. Bapak Uskup memutuskan bahwa

Pastor paroki Tanjung Baung bertempat tinggal atau hidup berkomunitas di pastoran

Nanga Tempunak.

Karena perubahan peta wilayah kepemerintahan, terutama terbentuknya kecamatan

baru dan terbukanya beberapa ruas jalan darat lintas utara yang melintasi wilayah

paroki ini, maka kini sedang dipikirkan untuk menetapkan pusat paroki yang baru.

9. Paroki Santa Maria Imakulata, Merakai

Paroki Santa Maria Imakulata, Merakai terdiri dari 43 stasi dan

seluruhnya hingga akhir tahun 2010 adalah 8.568 jiwa.

jumlah umat

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, antara lain, Pastor Yohanes Ngumbang,

Pr; Pastor Benediktus Ragha, SVD; Pastor Hendrik Rehi Manuk, SVD; Pastor Yosef

Kapitan Teluma, SVD; Pastor Petrus Kaju, Pr; Pastor Yosef Due SVD; Pastor Pachasius

Triyono, Pr (2009-sekarang); Pastor Fransiskus Leo, Pr (2011-sekarang)

Dari catatan Pastor Fulgentius, OFM Cap, disebutkan bahwa Pastor Cassius, OFM Cap

ketika melakukan turne ke hulu Ketungau dalam rangka mengamati wilayah tersebut

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 112


pada tahun 1932, Beliau bertemu dengan Pak Ambrosius Gemoek, kepala kampung

Merka (Merekak). Pak Ambrosius Gemoek ternyata dahulunya bersekolah di Sejiram

dan dipermandikan di Lanjak oleh Pastor Flavianus. Pak Ambrosius Gemoek, dari

inisiatifnya sendiri telah rajin mewartakan agama Katolik di daerah sekitarnya, walau

belum pernah dikunjungi oleh seorang imam pun. Ketika bertemu dengan Pastor

Cassius, merupakan saat yang sungguh menyenangkan dan hiburan yang luar biasa,

karena Gereja akan mulai masuk ke daerah Ketungau. Selain meminta Pastor

memberkati perkawinan mereka agar sah secara Katolik, karena isterinya belum

dibaptis, Pak Gemoek juga merencanakan untuk mengirimkan puterinya, Empajoeng

yang baru berumur 10 tahun, untuk dididik oleh para suster di Sintang agar dapat

dibaptis. Niat ini baru direalisasikan pada tanggal 15 Agustus 1933, ketika Empajoeng

dibaptis dan diberi nama baptis Theresia. Selain Empajoeng, pada tahun 1933, dari

kampung Merekak, juga dibaptis Theophilus Kasim, yang saat itu baru berumur dua

tahun.

Gereja Sta. Maria Imakulata, di Nanga Merakai

Sejak menjadi paroki sendiri pada tahun 1979, Paroki Merakai ditangani oleh para

Imam Soverdi (SVD), yaitu Pastor Benediktus Ragha, SVD; Pastor Stefanus Mite, SVD;

Pastor Hendrik Rehi Manuk, SVD; Pastor Yosefus Kapitan Teluma, SVD; dan Pastor

Yohanes Lado, SVD. Saat itu wilayah paroki ini masih termasuk wilayah paroki

Senaning hingga tahun 1995.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 113


10. Paroki Santo Paulus, Tuguk

Paroki Santo Paulus Tuguk, seluruhnya terdiri dari 20 stasi dan jumlah umatnya hingga

akhir tahun 2010 adalah 8.059 jiwa.

Para pastor yang pernah melayani pada wilayah paroki ini ialah : Pastor Ignasius Assan

Kerans Pr (1996-1998); Pastor Louis Bona, Pr (1998-2003); Pastor Paulus Pati Lein, Pr

(2004-2010); Pastor Yosef Dosi, Pr (2010-sekarang)

Sejak berdirinya Paroki Nanga Pinoh pada tahun 1949, Paroki Tuguk, karena

merupakan bagian dari anak sungai Melawi, maka dilayani dari Nanga Pinoh. Paroki

yang berada di hilir sungai Kayan dan sepanjang sungai Inggar ini sudah mulai teratur

dikunjungi sejak tahun 1950-an. Dari tanggal 5 – 11 Agustus 1953, Pastor Schellart

menungjungi Gandis dan Nanga Kayan. Dalam laporannya pada tahun 1956, Pastor

Anton Bernard melaporkan jumlah keluarga di daerah Dedai dan Tuguk, yaitu di Sei

Manan ada 27 pintu, Pauh memiliki 39 pintu ( 6 pintu Protestan), Merempit 17 pintu,

Pengan 28 pintu, Menaung 23 pintu, Emparuh 15 pintu, Paka 23 pintu, dsb.

Sejak tahun tahun 1959 kampung Tuguk, Kemayau, Nyangkom, Sungai Manan, sudah

semakin sering dikunjungi dari Nanga Pinoh. Dalam kunjungannya dari tanggal 17 Juni

hingga 1 Juli 1960, Pastor Anton Bernard, SMM melaporkan bahwa Beliau

mengunjungi kampung-kampung di atas itu. Di Tuguk Beliau bertemu dengan

Tumenggung Djai, di Nyangkom Beliau bertemu dengan seorang guru, yaitu Pak

Bansang. Dalam kunjungannya ini Beliau mempermandikan beberapa orang dan

menikahkan beberapa pasangan.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 114


11. Paroki Santo Yosef, Nanga Mau

Paroki Santo Yosef, Nanga Mau terdiri dari 30 stasi dan jumlah umat seluruhnya

hingga akhir tahun 2010 adalah 5.318 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah Van Cuyk, SMM (1974 – 1981);

Jacques Massen, SMM (1981–1984 dan 1986-1988); Vedastus Ricky, Pr. (1981);

Matias Lunggai, Pr (1984-1986); Valentino Bosio, CM (1986-1991); Bani Suatmaji, CM

(1991-1994); Vincentius Yakobus, Pr (1994-1996); Agus Sudaryanto, CM (1996-1998);

Yakobus Kila, Pr (1998-2000); Silverius Orwan, Pr (2001-2007); Gabriel Dwiatmoko, Pr.

(2007-2010); Antonius Isnadi Wibowo, Pr (2010 – sekarang).

Sejak Nanga Pinoh menjadi sebuah paroki pada tahun 1949, daerah sungai Kayan, baik

Nanga Mau maupun Tuguk, dilayani dari Nanga Pinoh. Dari catatan turne, disebutkan

bahwa Pastor A. Schellart, SMM mengunjungi dan masuk sungai Mau antara tanggal

17-22 April 1953. Sepertinya hal ini hanya merupakan turne perkenalan saja, karena

Beliau lebih bayak mencatat keadaan umat, termasuk penyakit-penyakit yang

menyerang di daerah tersebut ketimbang catatan mengenai kegiatan pastoral atau

rohani. Maka tidaklah heran, tidak lama kemudian Beliau kembali turne ke daerah

sungai Kayan dari tanggal 29 April hingga 3 Mei 1953. Pada kunjungan kedua ini Beliau

sampai ke Tuguk.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 115


Mulai tahun 1974 Pastor Harrie van Cuyck, SMM beberapa kali memasuki wilayah

sungai Kayan, memasuki daerah Nanga Mau, Tuguk dan Tebidah di Kayan hulu, yang

saat itu merupakan wilayah paroki Nanga Pinoh. Setelah beberapa kali datang ke

daerah ini, akhirnya banyak umat mulai berminat dengan ajaran dan iman Katolik.

Baptisan pertama akhirnaya terlaksana pada tanggal 27 September 1975, yaitu Bapak

Andreas Simon Fajar dan Yustina Karni Hernani, oleh Pastor Van Cuyk SMM sendiri.

Beliau tidak hanya mewartakan Kristus dan InjilNya, tetapi juga mengumpulkan umat

untuk diberi pencerahan mengenai berbagai hal, mengobati orang-orang sakit, bahkan

juga memutar slides. Beliau rajin mengunjungi keluarga-keluarga.

Pada masa-masa awal hingga dasawarsa pertama sebagai sebuah paroki, pewartaan

dan pendidikan iman Katolik tidak hanya dilakukan oleh para pastor. Ada beberapa

awam yang sangat membantu, di antaranya ialah Bapak P.L. Bangan Bapak Niko Nuba.

Pada saat menjadi paroki pada tahun 1979, jumlah umat sekitar 500-an orang dan

lebih dari seribu simpatisan.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 116


12. Paroki Salib Suci, Tebidah

Paroki Salib Suci, Tebidah, terdiri dari 24 stasi dan jumlah umat seluruhnya hingga

akhir tahun 2010 adalah 4.701 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: 1. Elias Kinson, Pr (1972-1975);

2. Harrie van Cuyck, SMM, (1975-1982); 3. Vedastus Riki, Pr, (1982-1983); 4. Jacques

Maesen, SMM (1983-1984); 5. Stepanus Mite, SVD (1984-1985); 6. Natalis Nong Napa,

Pr (1985-1987); 7. Bosio Valentino CM (1987-1991); 8. Bani Suatmaji, CM (1991-1994);

9. Sabinus Amir, Pr (1994-2001); 10. Aloysius Adi Wiratma, Pr (2001-2008); 11.

Leonardus Miau, Pr (2008-2010); 12. Markus Suwito, Pr (2010-Sekarang).

Gereja Salib Suci di Nanga Tebidah

Daerah Tebidah sudah mulai dilayani sesekali dikunjungi sejak tahun 1950-an, ketika

gereja mulai berdiri di Nanga Pinoh. Kunjungan dilakukan dari nanga Pinoh karena

transportasi air di mana sungai Kayan bermuara di sungai Melawi. Menurut penuturan

orang-orang tua, kapel pertama dibangun tahun 1972 di daerah Laon Menggiling, yang

diberi nama kapel Sto. Markus.

Tahun 1975, sebagai bagian dari paroki Nanga Pinoh, di Tebidah didirikan sebuah

kebapukan serta sebuah kapel yang diberi nama kapel Santa Maria yang berukuran

kurang lebih 6x8m. Pembangunan kapel sederhana ini disponsori oleh Mantra Tomet.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 117


Beliau berasal dari Anjungan. Tahun 1979, bersama dengan paroki lainnya, Tebidah

menjadi sebuah paroki baru yang terpisah dari Nanga Pinoh.

kemudian pada tahun 1993 terbangun kelompok basis dari anak-anak SD oleh Mantra

Tomet Setahun kemudian kelompok basis anak-anak SD ini dilanjutkan oleh salah satu

guru SDN 01 Nanga Tebidah yang bernama Petrus Banjar dari Longkong Potah.

Kebapukan tersebut terdiri dari 4 kebapukan, yaitu:

1. Kebapukan Laon Menggiling : Bp. Danel Adok

2. Kebapukan Nanga Tebidah, : Bp. F. PAntong

3. Kebapukan Empakan, : Bp. Hardiman K

4. Kebapukan Lintang Tambuk, : Bp. Markus Udat.

Adapun kebapukan tersebut berjalan mulai dari tahun 1975 sampai 1984. Seiring

dengan berjalannya kebapukan berdiri beberapa kapel antara lain, Pelaik Tonggoi,

Jolai, Empakan, Lintang Tambuk, Bangau, Menaluk dan Madak, yang dibangun

menggunakan dana subsidi desa gaya lama dan pada tahun 1985 berdirilah sebuah

paroki Salib Suci Nanga Tebidah yang waktu itu pastor pertamanya adalah pastor

Natalis Nongnapa dan sekaligus membangun gereja di pusat Paroki. Selanjutnya

pembangunan tersebut diselesaikan oleh P. Basio Valentino, CM pada tahun 1987

yang diresmikan oleh camat Kecamatan Kayan Hulu. Melihat kondisi perkembangan

umat yang begitu pesat, maka pada tahun 2005 dibangunlah gereja baru yang

peletakan batu pertama dilakukan oleh Bupati Sintang, Drs. Simon Djalil dan

diresmikan oleh gubernur Kalimantan Barat, bapak Cornelis SH,MH yang diwakili oleh

Drs. Liong MM pada tanggal 25 Juni 2009. Seiring berjalannya waktu dan

perkembangan umat sehingga di Paroki Salib Suci ini membawahi 25 Stasi dan 6

Lingkungan serta kurang lebih jumlak KK umat katolik adalah 1.324 kk.

13. Paroki Santo Petrus & Andreas, Sepauk

Paroki Santo Petrus dan Andreas, Sepauk adalah paroki dengan jumlah stasi dan

jumlah umat yang terbesar di keuskupan Sintang. Paroki ini memiliki 81 stasi dengan

jumlah umat seluruhnya pada akhir tahun 2010 adalah 14.176 jiwa. Paroki ini juga

selalu menghasilkan jumlah baptisan, komuni pertama dan krisma yang paling besar

dibandingkan dengan paroki-paroki lainnya.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 118


Rekap perkembangan umat tahun 2010

BAPTIS

KOMUNI KRISMA PERKAWINAN

< 1 thn 1-7 < 7 thn > 7 thn

201 162 413 159 1.096 305

Para pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah:

Pastor Adrianus van der Vleuten, SMM (1947-1950 dan 1954-1970); Pastor Cornelis

Smit, SMM (1070-1977); Pastor Fransiskus Luiten, SMM (1977); PastorAndre Hebting,

OMI (1977-1999); Pastor Markus Boli Witin, OMI (1997-2001); Pastor Tarsisius Eko

Saktio, OMI (1999-2005 dan 2006-sekarang); Pastor Jacques Chapuis, OMI (2001-

sekarang); Pastor Antonius Widiatmoko, OMI (2005-2007).

Sejak didirikan Paroki Sintang pada tahun 1931, pelayanan rohani mulai juga dilakukan

kepada daerah-daerah sekitar Sintang dan baru setelah kemerdekaan negeri ini, misi

ke daerah Sepauk dilakukan lebih rutin. Tercatat dalam Buku Baptis paroki Katedral,

pastor Fulgentius OFM Cap membaptis Josef Keladi, yang berasal dari Sepauk (LB 24),

pada tanggal 13 September 1933, di Sintang. Pastor Wilbertus de Wit, OFM Cap dalam

turnenya ke daerah Sepauk, membaptis beberapa bayi, yaitu Elisabeth Then Tshoen

Jin (LB 275), Maria Then Tshoen Moi (LB 276), dan Antonius Then Tshoen Kiong (LB

277), pada tanggal 9 November 1946, di Nanga Sepauk.

Gereja Sto. Petrus dan Andreas, di Nanga Sepauk

Tercatat dalam arsip turne bahwa, ada pastor yang mengunjungi Kelitau, Sei Enjibau

dan sungai Sepauk dari tanggal 3 hingga 31 Maret 1948. Pastor Adrian van der

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 119


Vleuten, SMM mengunjungi daerah Kelitau dan Libau pada tanggal 16 Desember 1948

hingga 12 Januari 1949. Tidak lama kemudian Beliau kembali turne ke daerah Sepauk

dari tangga 13 April hingga 10 Mei 1949. Kali ini dimulai dari Nanga Sepauk terus ke

hulu. Tanggal 19 April mereka sudah berada di Sejamban dan sepuluh hari kemudian

sudah berada di Sepinang. Tanggal 2 Mei berada di Banai, dan tanggal 4 sudah berada

di Kambung, dan hari berikutnya menuju Kandis. Mereka melanjukan kunjungan ke

beberapa kampung di daerah itu hingga tanggal 10 Mei 1949. Tanggal 10 Mei mereka

menyeberang ke daerah Tempunak, yaitu menuju kampung Pangkaluang dan

mengelilingi hulu Tempunak hingga tanggal 28 Mei 1949.

Turne berikutnya ialah dari tanggal 23 September hinga 16 Oktober 1949, yang mana

Beliau mengunjungi antara lain kampung Engkelitau, Sejamban, Banai, Sepinang,

Galong, dsb. Sama seperti sebelumnya, misionaris balik ke Sintang melalui

Pangkaluang. Mungkin karena pola ini, maka wajarlah bahwa orang-orang hulu

Tempunak zaman itu bercerita bahwa para Pastor yang melayani mereka datang dari

daerah Sepauk.

Tahun 1953 (18-25 Mei) Pastor Lambertus van den Boorn, SMM mengunjungi

kampung Engkelitau, Sejamban, Ensibau dan Banai. Selanjutnya Pastor Josef M.

Wintraecken, SMM, dari tanggal 10 Oktober hingga 22 November 1953, mengunjungi

sebagian besar kampung-kampung di wilayah sungai Sepauk. Sejak itu wilayah ini

sudah rutin dikunjungi oleh para pastor dari Sintang. Tahun 1960-1961, para pastor

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 120


sudah beberapa kali mengunjungi bagian hulu Sepauk, seperti kampung Sekuyuk,

Ngalong, Nanga Silit, Tangkit, Nanga Pari, Lubuk Batu, Bekuku, Sei Sega dan Nanga Piai.

Pastor Adrian (Janus) van der Vleuten, SMM kembali berkarya di daerah Sepauk dari

tahun 1954 hingga tahun 1970. Pada masa itu sudah berdiri tiga Sekolah Rakyat, yaitu

di Nanga Libau, berdiri tahun 1948, Banai (Layung) berdiri tahun 1951, dan Lepung

Beruang (Temanang), berdiri tahun 1956. Kini, SD Katolik di Nanga Libau, Layung sudah

ditutup dan SD Katolik di Lepung Beruang dipindahkan ke Temamang. SD yang terakhir

ini masih aktif hingga saat ini.

Pastor Kees Smit, SMM menggantikan Pastor Adrianus van der Vleuten pada tahun

1970 dan bertugas hingga tahun 1977. Selama beberapa bulan pada tahun 1977 ini,

pelayanan di Sepauk dilakukan oleh Pastor Frans Luiten, SMM. Sejak bulan September

1977, wilayah Sepauk dilayani oleh pada Imam Oblat Maria Imakulata, yang dimulai

oleh Pastor Andre Hebting, OMI.

Sejak tanggal 24 Agustus 1979, Sepauk ditetapkan sebagai paroki bersama dengan 26

paroki baru lainnya dan Uskup Isak Doera mengangkat Pastor Andre Hebting, OMI

sebagai pastor parokinya. Pastor Andre bertugas di paroki ini hingga bulan Januari

1999. Beliau membaktikan diri melayani umat sepauk selama 22 tahun. Sejak didirikan

sebagai paroki, Lengkenat menjadi pusat paroki sekaligus tempat kediaman para

pastor, hingga akhirnya dipindahkan ke Nanga Sepauk pada tahun 2001.

Pelayanan rohani di wilayah ini diperkuat oleh kehadiran para Suster Cinta Kasih Santa

Yohana Antida Thouret (SdC) sejak tahun 1980, yang memiliki dua komunitas yaitu di

Temanang dan di Lengkenat. Rumah di Lengkenat mereka tutup tahun 2009, karena

membuka rumah baru di Sungai Raya Dalam, Sepauk. Para suster aktif berturne ke

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 121


kampung-kampung, mengajar dan berkatekese, melatih umat dalam berbagai macam

kursus, dsb.

Yang terakhir tetapi bukan yang terkecil, ialah karya pastoral di Sepauk bukan hanya

karya para imam dan suster, tetapi juga para awam yang aktif dalam berbagai kegiatan

pastoral paroki, mereka yang telah membantu sesuai dengan kemampuan mereka,

dalam memajukan paroki dan umat Allah di wilayah Sepauk, dan para pemimpin umat,

pemimpin ibadat serta para guru Katolik. Mereka semua adalah para awam yang telah

sangat berjasa dalam menyebarkan dan menumbuhkan iman dan pengetahuan agama

umat di wilayah ini.

Hingga tahun 2011 ini, paroki Sto. Petrus dan Andreas, Sepauk, telah menghasilkan

empat orang imam, yaitu, Pastor Sabinus Amir, Pr (Sejamban), Pastor Leonardus Miau,

Pr (Nanga Pari), Pastor Adiantus, CP dan Pastor Cornelis, CP (Nanga Libau). Paroki ini

juga sudah menghasilkan lima orang suster, yaitu, Sr. Rufini Tatah, SMFA (Bangun), Sr.

Agata Biduri, SMFA (Sungai Raya Kapuas), Sr. Vianney, SMFA (Kambung), Sr. Marta

Kristina Liam, SdC (Sekubang), Sr. Mea Sabina, SdC (Sinar Pekayau).

14. Paroki Santa Theresia Kecil, Nobal

Paroki Santa Theresia, Nobal terdiri dari 14 stasi, dengan jumlah umat pada akhir

tahun 2010 adalah 5.053 jiwa.

Para pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Viktor Parera, Pr. (1978-

1980); Pastor Yosef Supit, Pr. (1982-1986); Pastor Jacques Maessen, SMM (1986-

1996); Pastor Herman Yosef, Pr. (1996-2000); Pastor Salesius Jeratu, Pr (2000-2005);

Pastor Ewaldus, Pr. (2000-2010); Pastor Lukas Lamadua, Pr (2006-2009); Pastor

Agustinus Bahang, Pr (2009–sekarang).

Paroki Santa Theresia, Nobal, terletak di sebelah selatan Sintang, menyusuri jalan raya

Sintang - Nanga Pinoh, antara km 22- 55. Desa Nobal berada di km 38 dan merupakan

pusat Parokinya. Kata ‘Nobal’ berasal kata bahasa Linoh, ‘Nebal,’ dari kata tebalmenebal.

Kata ‘nebal’ berarti bertumbuh dan berkembang menjadi banyak dan ramai

umat dan penduduknya. Demikian pula pembangunannya berkembang pesat serta

kehidupan umatnya yang semakin berkembang.

Wilayah Nobal dan Pandan sudah sering dilewati para misionaris sejak tahun 1940-an

oleh para pastor Paroki Sintang, baik melalui jalan darat Sintang ke Nanga Pinoh, juga

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 122


kampung-kampung sepanjang sungai Melawi, dalam rangka turne ke daerah Melawi

hulu.

Gereja Sta. Theresia Kecil di Nobal

Agama Katolik mulai diperkenalkan kepada umat Nobal oleh guru Lambertus Utat,

yang pindah ke Nobal pada tahun 1950-an. Atas ajakan Beliau, pada pada tanggal 24

Juli 1958 Pastor Aloysius Ding mengunjungi Nobal. Waktu itu Kebayan dari Baya

berkata kepada warga Nobal, “Ini Pastor Ding, bangsa kita.” Setelah itu praktis Nobal

agak diabaikan karena tak ada kunjungan selama dua tahun.

Akhirnya Pastor Aloysius Ding, SMM mengunjungi Punti serta Baya dan Betung pada

tanggal 10 Agustus 1960 sebagai jawaban atas undangan Pak Lambertus Utat yang

berasal dari Sejiram, seorang guru Sekolah Rakyat (SR). Kunjungan ini disambut hangat

oleh Tumenggung Tjingka dari Engkabang, Tumenggung Guntur dari Tengadak dan

Tumenggung Bulang dari Nobal. Sejak saat itu daerah ini mulai rutin dikunjungi oleh

para pastor Paroki Sintang. Tanggal 11 Agustus Pastor Ding kembali ke Sintang. Sejak

saat itu, Pastor Ding mulai rutin mengunjungi kampung-kampung di pinggir jalan

Sintang-Nanga Pinoh. Beliau umumnya menggunakan sepeda kumbang ketika turne ke

daerah ini.

Beberapa pastor yang pernah berkunjung ke wilayah ini pada masa itu, antara lain,

Pastor A. van der Vleuten, SMM; Pastor van den Boorn, SMM; Pastor J. Linssen, SMM;

Pastor Piet Derckx, SMM; dan Pastor Cornelis Smit, SMM.

Dalam perjalanannya, pertumbuhan iman Katolik di wilayah ini tidak lepas dari

pengorbanan dan kerja keras dua orang tokoh awam, yaitu, Pak Martinus Mat Lapang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 123


dan Pak M. B. Passang, dua saudara sepupu dari kampung Baya. Kedua tokoh umat ini

merupakan orang pertama dan kedua yang dibaptis dari wilayah Nobal. Kedua

Saudara sepupu ini pula yang dibina dan dilatih oleh para pastor sehingga mereka

mampu mengajar agama kepada umat lainnya. Pak Martinus Mat Lapang diangkat

oleh umat menjadi pemimpin umat di Baya, memimpin ibadat di Kapel di Tanjung

Pinang (Kampung Nobal bagian Hulu yang umatnya berasal dari Baya). Pengaruh kedua

orang sepupu ini sangat berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan iman Katolik di

wilayah ini.

Tanggal 24 Agustus 1979, Nobal ditetapkan menjadi paroki baru, memisahkan diri dari

paroki Katedral Sintang dan diberi nama Paroki Santa Theresia Lisseux. Pastor Viktor

Parera, Pr. diangkat sebagai pastor paroki pertamanya, walau saat itu masih menetap

di Sungai Durian, Sintang.

Untuk memperkuat pelayanan dan kegiatan pastoral yang ada, maka Mgr. Isak Doera,

Pr mendatangkan para Suster dari Ordo Santa Ursula (OSU) yang mulai bertugas di

Paroki Nobal ini sejak tanggal 23 Desember 1980. Kehadiran para Suster Ursulin ini

sangat membantu pengelolaan Paroki Nobal ini dengan membentuk Team Pastoral

yang dikepalai oleh Suster Agatha Maria Sri Sunarti, OSU. Karya para Suster Ursulin ini

banyak bergerak dalam pelayanan karitatif yakni membantu orang-orang yang tidak

mampu dalam hal ekonomi dan pendidikan (biaya pendidikan). Karya para Suster

Ursulin ini berakhir di Paroki Nobal pada tahun 1993.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 124


Sejak kedatangan para Suster Ursulin ke Paroki ini, Pastor Viktor Parera, Pr

memisahkan pelayanan dari paroki Nobal untuk daerah yang saat ini sebagai Paroki

Keluarga Kudus Pandan.

Tahun 1995, wilayah Pandan menjadi paroki baru, terpisah dari Nobal. Pada bulan Mei

2009, karena alasan letak wilayah Kabupaten dan administratif kepemerintahan,

maka, Paroki Nobal harus dengan berat hati melepaskan lagi lima stasi besar, stasi

dengan jumlah umat yang cukup banyak, yaitu Batu Nanta Lama, Batu Nanta PIR,

Laman Bukit, SP 3 Guhung, dan Belonsat kepada Paroki Belimbing (Pemuar). Saat ini

Paroki Santa Theresia Nobal hanya memiliki 14 Stasi saja.

15. Paroki Santa Maria Tanpa Noda, Ambalau

Paroki Santa Maria Tanpa Noda, Ambalau terdiri dari 34 stasi, dengan jumlah umat

pada akhir tahun 2010 adalah 9.519 jiwa. Menurut sensus paroki, masih terdapat

sekitar 4000-an orang yang belum dibaptis.

Para pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Adriaan Schellart, SMM;

Pastor L. van der Vleuten, SMM; Pastor Josef Wintraecken, SMM; Pastor Anton

Vonken, SMM; Pastor Laurensius Collijn, SMM; Pastor Anton Bernard, SMM; Pastor

Niko Schneider, SMM; Pastor Gabriel Dethune, CM; Pastor Elias Kinson, Pr; Pastor

Paulus Aryono, CM; Pastor Valentino Bossio, CM; Lukas Suwondo CM (1996-1998);

Pastor Hardo Siswanto, CM (1996-2001); Pastor Ignasius Asan Kerans, Pr; Pastor

Antonius Isnadi Wibowo, Pr (1998-2003); Pastor Sabbas Sudiyono CM (2001-2007);

Pastor Gabriel Dwiatmoko, Pr (2003-2007); Pastor Fredy Rante Taruk, Pr (2002-2004);

Pastor Andreas Puan, Pr; Pastor Silverius Y. Orwan, Pr (2007-sekarang).

Para Frater yang pernah bertugas di paroki ini ialah, Fr. Elias Silvinus Endi, Fr. Sabinus

Amir, Fr. Leonardus Miau, Fr. Edy Pranowo, Fr. Salesius Jeratu, dan Fr. Julianus

Jumarto

Sejak tahun 1937, beberapa kampung di sungai Ambalau pernah dikunjungi oleh para

Pastor sebagai bagian dari turne ke daerah hulu Melawi. Kunjungan pastoral ke daerah

ini mulai lebih rutin sejak tahun berdirnya Paroki Serawai pada tahun 1947. Setelah

mengunjungi wilayah di sungai Serawai pada tanggal 14-19 Februari 1949, Pastor

Schellart mengunjungi Ambalau dari tanggal 28 Januari hingga 8 Februari 1950.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 125


Beliau adalah misionaris yang datang untuk pertama kali ke daerah ini. Beliau

menjelajah sungai Melawi hulu dan sungai Gilang dan bertemu dengan masyarakat di

sana. Dari hulu Melawi, Beliau kembali ke hilir dan menyusuri sungai Ambalau, menuju

sungai Jengonoi dan menginap di kampung Menantak.

Gereja Santa Maria Tanpa Noda dan Pastoran

Di tempat inilah, Misionaris ini mulai mewartakan agama. Belliau hampir saja gagal

memperkenalkan agama Katolik, karena ada anggota masyarakat setempat berusaha

membunuhnya. Oleh sebagian mayarakat Menantak, Beliau yang adalah orang

Belanda dianggap juga sebagai penjajah yang harus diusir bahkan dibunuh. Walau

demikian, Beliau tetap berusaha mewartakan agama di sini. Merasa bahwa

Masyarakat Menantak tidak menerimanya, akhirnya Beliau kembali menyurusi sungai

Ambalau dan mengambil keputusan untuk kembali dan menjalani misinya di kampung

Sungai Runuk.

Ternyata masyarakat Sungai Runuk menerimanya. Di kampung ini Beliau

mempermandikan Y. Antang. Dari Sungai Runuk, kembali menyusuri sungai Melawi

dan langsung menuju kampung Kepala Jungai. Di tempat ini, Beliau mulai mewartakan

agama. Misi di kampung ini juga berhasil karena Beliau mempermandikan Pak Along,

yang menjadi orang Katolik pertama di wilayah hulu sungai Melawi. Pastor Schellart

pada kesempatan lain kembali mengunjungi sungai Ambalau dan masuk sungai

Jengonoi. Di sana Beliau berhasil mempermandikan Pak W. Sengek di Kampung Ukai.

Beberapa tahun kemudian, Agama Katolik mulai sedikit demi sedikit dikenal

masyarakat di wilayah hulu sungai Melawi dan sungai Ambalau.

Pastor Adrian van der Vleuten, SMM, Pastor Paroki Serawai saat itu, melakukan turne

ke daerah Melawi pada bulan November 1950 dan dilanjutkan ke daerah sungai

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 126


Ambalau sejak tanggal 9 Desember hingga 29 Desember 1950. Tanggal 7-13 Agustus

1951, Beliau mengunjungi kampung-kampung pinggir sungai Melawi dan sei Kantuk di

hilir Nanga Ambalau. Pastor

Pastor Josef Wintraecken, SMM, pengganti Pastor Vleuten, mengunjungi daerah

sungai Ambalau dari tanggal 29 Maret hingga 6 April 1953 dan tanggal 18 April hingga

12 Mei 1953, hulu Melawi, setelah Nanga Ambalau. Dari tanggal 28 Juli hingga 15

Agustus, kembali Beliau ke daerah Ambalau, seperti Nanga Ambalau, sei Runuk,

Kembaung, Nanga Sangkai, Mensuang, Menakon, Ukai dan Nanga Mentemoi. Beliau

kembali ke Mentemoi untuk inspeksi ke Sekolah Rakyat pada tanggal 18-27 November

1953. Sejak itu kunjungan pastoral semakin teratur oleh para pastor yang saat itu

bertempat tinggal di Nanga Serawai. Pastor-pastor yang bertugas di Paroki Serawai,

seperti Pastor L. Collijn, SMM dan Pastor Anton Bernard, SMM rutin mengunjungi

wilayah ini yang merupakan bagian dari Paroki Serawai.

Selama berugas di wilayah ini, Pastor A. Bernard, SMM, tidak hanya melayani

sakramen atau kegiatan pastoral, juga mengembangkan pendidikan. Beliau, bersama

umat, mendirikan gedung Sekolah Dasar di kampung Keremoi, untuk wilayah sungai

Melawi, dan di Menakon untuk wilayah sungai Jengonoi, anak sungai Ambalau. Beliau

juga mendirikan sebuah asrama putri di Kemangai, yang pada tahun 1987 menjadi Ibu

Kota Kecamatan, Pusat Paroki Ambalau dan juga merupakan pusat Pendidikan

Menengah Pertama.

Di samping itu, Beliau sering melakukan pengobatan bagi masyarakat tanpa kecuali.

Untuk menunjang pelayanannya, Beliau membangun satu ruang untuk pengobatan

bahkan juga untuk operasi kecil di Pastoran Ambalau. Ketika tourne ke kampungkampung,

selain pelayanan Sakramen, Beliau juga mengadakan pengobatan terhadap

masyarakat.

Sejak masuknya para imam Lazaris pada tahun 1976, maka Pastor Paulus Aryono, CM

memperkuat tim pastoral di Nanga Serawai bersama para Montfortan, dan kembali

diperkuat oleh Pastor Valentino Bosio, CM pada tahun 1983.

Wilayah ini menjadi paroki yang terpisah dari Serawai pada tahun 1979 dan diberi

nama pelindung Santa Maria Tanpa Noda yang berkedudukan di Nanga Ambalau,

walau sejatinya semua pastor bertempat tinggal serta pusat pelayanan masih dari

Nanga Serawai. Di Nanga Ambalau sendiri terdapat sebuah pastoran sederhana yang

sudah didirikan sejak tahun 1960-an oleh Pastor Anton Bernard, SMM.

Walaupun Ambalau sudah menjadi paroki terpisah dari Serawai sejak tahun 1979,

namun pastor parokinya tetap berdiam di Nanga Serawai karena belum memiliki

pastoran sendiri dan agar dapat membentuk satu tim pastoral dengan para imam

Paroki Serawai. Tahun-tahun berikutnya tidak ada penambahan tenaga Montfortan,

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 127


dan daerah hulu Melawi, Serawai dan Ambalau ditangani sepenuhnya oleh para imam

Lazaris.

Karena kekurangan tenaga, maka mulai tahun 2005, tarekat Misi menyerahkan

kembali paroki Ambalau kepada keuskupan yang kemudian dipercayakan kepada para

imam diosesan Sintang, yang dimulai oleh Pastor Gabriel Atomo, Pr.

Secara geografis, daerah ini memiliki medan pelayanan yang sangat berat dan

menuntut nyali tinggi. Umumnya merupakan daerah perbukitan, dan banyak dari

antaranya adalah bukit terjal. Pilihan terbaik untuk turne ialah menggunakan jalur air,

karena semua kampung berada di sisi sungai. Di musim kemarau umumnya perahu

harus sering ditarik karena kekurangan debit air, sementara di musim hujan, debit

airnya cukup, tetapi arus air sangat deras sehingga sangat membahayakan

keselamatan, karena sepanjang sungai penuh dengan batu-batuan besar serta riamriam.

Karena selalu menggunakan jalur air, maka biaya kunjungan menjadi sangat

mahal untuk speed-boat atau motor temple,, apalagi harga minyak di daerah ini sudah

tiga atau empat kali lipat harga di kota.

Paroki Ambalau terbagi atas dua jalur utama, yaitu jalur sungai Melawi dengan anak

sungainya, yaitu sungai Gilang; serta sungai Ambalau, yang mencakup dua anak sungai,

yaitu sungai Jengonoi dan sungai Mentomoi. Jalur sungai Melawi terdapat 14 kampung

dan jalur sungai Gilang terdapat 5 kampung. Sementara itu, jalur sungai Ambalau

terdiri dari 8 kampung, jalur sungai Mentomoi terdapat 2 kampung, dan jalur sungai

Jengonoi terdapat 5 kampung.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 128


Mayoritas penduduk di daerah Ambalau beragama Katolik. Menurut catatan

pemerintah daerah, lebih dari 13.000 penduduk daerah ini mengaku diri sebagai

Katolik, walau di data Paroki hanya sekitar 9.500-an orang yang beragama Katolik.

Umumnya mata pencaharian masyarakat di paroki Ambalau, termasuk umat Katolik,

adalah petani, yakni petani ladang dan karet. Yang terakhir ini menjadi penyumbang

penghasilan rutin dan utama bagi umat di wilayah ini. Selain itu, ada juga beberapa

pegawai dan guru, juga beberapa usaha lainnya, seperti pengolahan kayu, mencari

kayu gaharu, dsb. Secara umum, mayoritas umat masih tergolong kelompok ekonomi

lemah, apalagi hampir semua barang produksi industri harganya sangat mahal di

daerah pedalaman ini.

16. Paroki Santo Yusuf, Senaning

Paroki Santa Theresia, Nobal terdiri dari 29 stasi, dengan jumlah umat pada akhir

tahun 2010 adalah 5.464 jiwa dan 1.194 keluarga.

Para pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Benediktus Raga, SVD

(1995-1996); Pastor John Lado, SVD (1996-1999); Pastor Piet Apot, Pr (1999-2004);

Petrus Kaju, Pr (2004-2010); Pastor Joseph Chrispinus, Pr. (2010-sekarang).

Wilayah Senaning sudah dikunjungi dari Sintang sejak tahun 1930-an bahkan mungkin

sudah dikunjungi dari Sanggau jauh sebelum tahun tersebut. Tercatat pada tanggal 7

Maret 1941, Pastor Oktavianus, OFM Cap mengunjungi daerah Demam Sekapat,

Merakai dan Senaning. Selama di Senaning, Beliau tinggal di rumah seorang guru yang

bernama C. Hendak. Saat itu Pastor Oktavianus berencana membangun sekolah baru

di Merakai tetapi bulan Juni 1941 harus dihentikan karena ada beda pendapat dengan

pemerintah Hindia Belanda.

Wilayah Senaning sudah dikunjungi dari Sintang sejak tahun 1930-an bahkan mungkin

beberapa daerah di wilayah ini sudah dikunjungi dari Sanggau jauh sebelum tahun

tersebut. Tercatat pada tanggal 7 Maret 1941, Pastor Oktavianus, OFM Cap

mengunjungi daerah Demam Sekapat, Merakai dan Senaning. Selama di Senaning,

Beliau tinggal di rumah seorang guru yang bernama C. Hendak. Saat itu Pastor

Oktavianus berencana membangun sekolah baru di Merakai tetapi bulan Juni 1941

harus dihentikan karena ada beda pendapat dengan pemerintah Hindia Belanda.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 129


Sejak tahun 1932, Senaning adalahbagian dari Paroki Sintang dan dilayani dari Sintang.

Sejak tahun 1970-an, seluruh daerah Ketungau, Ketungau Hilir, Tengah dan Hulu,

dilayani oleh pastor Yohanes Ngumbang, Pr, yang dikenal sebagai Pastor Motor.

Sejak tahun 1979, Senaning menjadi bagian dari paroki Merakai dan dilayani oleh para

pastor dari Merakai, yaitu para imam Soverdi, yakni Pastor Benediktus Raga, SVD, dan

Pastor Stephanus Mite, SVD. Sejak tahun 1986, Tim pastoral Merakai menunjuk Pastor

Stef Mite, SVD khusus menangani Senaning dan beberapa taun kemudian mulai

berdiam di Senaning, karena terasa terlalu jauh untuk selalu kembali ke Merakai.

Tahun 1995, Senaning dipisakan dari Merakai dan menjadi paroki baru, paroki Sto.

Yusuf, Senaning. Pastor John Lado, SVD diangkat menjadi pastor paroki pertama.

Beliau bertugas hingga tahun 1999.

Tahun 2000 paroki Senaning diserahkan kepada para imam diosesan. Pastor Piet Apot,

Pr menjadi pastor paroki dari tahun 1999-2004) dan sempat dibantu oleh pastor

Thomas Kuslin,Pr (2000-2001). Kemudian paroki ini ditangani oleh Pastor Petrus Kaju,

Pr (2004-2010) dan Pastor Joseph Chrispinus, Pr (2010-sekarang).

Sebagaimana umumnya paroki-paroki lainnya di keuskupan Sintang, umat paroki

Senaning adalah para petani (ladang dan karet dan juga perkebunan hutan taman

industri). Transportasi antar wilayah umumnya masih lewat air dan berjalan kaki, dan

hanya sedikit yang bisa dijangkau dengan kendaraan baik karena tidak ada jalan untuk

kendaraan atau karena jalan yang sungguh sulit dilalui kendaraan.

17. Paroki Keluarga Kudus, Pandan

Paroki Keluarga Kudus, Pandan, merupakan pecahan paroki Nobal, kini memiliki 21

stasi dengan total jumlah uimat ialah 3.243 jiwa.

Para Pastor (Paroki) yang pernah bertugas di paroki Pandan, ialah: Pastor Viktor

Parera, Pr. (1979-1994); Pastor. Yosef Supit, Pr (1994); Pastor Yakobus Kila (1994-

1995); Pastor Herman Yosef, Pr. (1996-2000); Pastor Ewaldus, Pr. (2000-2010); Pastor

Vincentius Yakobus, Pr. (2005-2010); Pastor Leonardus Miau, Pr. (2010–sekarang).

Pandan, bersama paroki Senaning, merupakan paroki bungsu di keuskupan Sintang.

Awalnya paroki ini merupakan bagian dari paroki Sintang, kemudian sejak tahun 1979

menjadi stasi dari paroki Nobal dan baru menjadi paroki pada tahun 1979.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 130


Gereja Keluarga Kudus, di Pandan

Sejak tahun 1950-an, daerah ini sudah sesekali dikunjungi dari Sintang. Tanggal 16-21

Juni 1958, Pastor Aloysius Ding, SMM, untuk pertama kalinya menunjungi daerah

Penyaguk, Nyakam dan Sona (Sona Prosa, Sona Tanjung, Sona Tengah dan Sona Doda).

Beliau membawa serta Guru untuk mengajar, yaitu A. Ambok dan Pak Daban. Pastor

Ding kembali mengunjungi kampung Penyaguk, Nyakam dan Sona pada tanggal 24

November s.d. 1 Desember 1958. Tanggal 6 s.d. 16 Januari 1959, kembali Pastor Ding

mengunjungi Nyakam dan Sona Doda serta tanggal 2-9 Maret 1959; tanggal 15-19

Oktober 1959, dan 28-29 November 1959 Beliau mengun jungi kampung Penyaguk,

Nyakam dan Sona.

Sejak tahun 1959, kampung Lundang, Sona dan Gandis serta Penyaguk sudah rutin

dikunjungi oleh para pastor Paroki Sintang, terutama oleh Pastor Aloysius Ding, SMM.

Beliau mengunjungi kampung Penyaguk, Nyakam dan Lundang pada tanggal 16-19

Maret 1962 dan mengunjungi kampung Pal 10, Punti, Gurung dan Batu Babi pada

tanggal 26-27 Maret 1962. Pada tahun 1962, Beliau mencatat bahwa ada 28 keluarga

di Punti, 18 keluarga di Gurung dan 7 keluarga di Batu Babi. Di Lundang saat itu ada

Betang yang terdiri dari 10-12 pintu.

Beliau dibantu oleh beberapa tokoh setempat, seperti M. Madjan dan juga Limbai dari

kampung Punti, dan Stephanus Djutat, kepala kampung Lundang, serta Martinus Deris

sebagai pemimpin umat Lundang. Di Nanga Dakan, pastor Ding beristirahat di pondok

Claudius Djulai, sebelum melanjutkannya ke Penyaguk.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 131


Wilayah Paroki Pandan baru memiliki pastor sendiri pada tahun 1978, ketika Pastor

Viktor Parera diangkat sebagai Pastor yang khusus melayani wilayah Nobal, yang saat

itu mencakup paroki Pandan. Sejak saat itu pastor mulai mengunjungi umat secara

rutin. Walau merupakan tugas Pastor Viktor, namun wilayah ini juga sering dikunjungi

oleh Pastor Yosef Supit, Pr., hingga awal 1990-an karena Pastor Parera juga merangkap

sebagai rektor seminari Regnum Dei di Bandung,. Tahun 1993 wilayah Pandan dilayani

oleh Pastor Yakobus Kila, Pr., hingga tahun 1995.

Tahun 1995, Pandan menjadi paroki baru, terpisah dari paroki Nobal, dan pimpinan

keuskupan mengangkat Pastor Yakobus Kila, RD, menjadi pastor paroki pertamanya.

Tahun 2009, Keuskupan memutuskan beberapa perubahan wilayah tertentu. Sesuai

keputusan ini, Paroki Pandan menerima beberapa kampung, sebagai stasi baru,

limpahan dari paroki Dedai, yaitu kampung Lundang, Sona dan Gandis.

Anggota DPP, Ibu-Ibu WK dan Anak-Anak Sekami

Mayoritas umat paroki Pandan adalah etnis Dayak. Di samping itu mayoritas umat

Allah adalah para petani karet dan ladang. Sejak tahun 1995, perkebunan sawit mulai

memasuki wilayah ini. Seiring pertumbuhan ekonomi yang makin baik, makin banyak

juga anak-anak yang bersekolah lebih tinggi dan partisipasi umat pun semakin lebih

giat dalam kehidupan menggereja, demi mewujudkan Gereja dan umat yang beriman

mendalam, mandiri dan missioner.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 132


Rekap Paroki-Paroki Regio Kapuas Hulu

NO. NAMA PAROKI JUMLAH

UMAT

JUMLAH

STASI

01 Sto. Fidelis, Sejiram 9.259 37 1905

02 Sto. Martinus, Benua

Martinus

6.221 24 1913

03 Keluarga Kudus, Bika 5,199 14 1924

04 Hati Maria tak Bernoda,

Putussibau

5.760 7 1940

05 Sto. Petrus, Embaloh 3.606 1979

06 Sto. Paulus, Bunut 3.469 19 1979

07 Kunjungan Sta. Perawan

Maria, Peniung

08 Sto. Yohanes, Dangkan-

Silat

09 Sto. Fransiskus Xaverius,

Semitau

10.070 28 1979

7.151 49 1979

5.888 26 1979

10 Sto. Dismas, Lanjak 1.853 15 1979

11 Sto. Montfort, Badau 2.019 17 1979

12 Sto. Paulus, Nanga Kantuk 5.176 32 1979

13 Epifania, Siut Melapi 6.114 14 1979

14 Sto. Antonius dari Padua,

Mendalam

1.942 1979

THN

BERDIRI

TOTAL = 14 73.727 22,606 % dari

221.952 33

33 Data ini diambil dari http://www.bps.go.id/hasilSP2010/kalbar/6108.pdf, yaitu dari

hasil sensus tahun 2010.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 133


1. Paroki Santo Fidelis, Sejiram

Paroki Santo Fidelis, Sejiram terdiri dari 37 stasi, dengan total jumlah umat hingga

akhir tahun 2010 adalah 9.259 jiwa.

Sejarah Gereja keuskupan Sintang dimulai dari paroki tertua ini, paroki Sejiram, ketika

Vikariat Apostolik Batavia secara resmi membuka paroki baru di Kalimantan Barat,

yaitu di Semitau pada tahun 1890. Pastor Looymans S.J, melalui surat no. 252

tertanggal 14 Juni 1890, adalah misionaris Yesuit yang sedang bekerja di Padang saat

itu, yang pertama ditunjuk sebagai pastor parokinya. Beliau tiba di Semitau tanggal 29

Juli 1890. Setelah melihat bahwa etnis Dayak hampir tidak ada yang tinggal di Semitau,

maka Beliau memutuskan untuk memindahkan pusat paroki ke Sejiram pada tahun

1891. Beliau dijemput dan dibawa ke Sejiram oleh Bapak Babber, Bantan dan Unang,

tiga bersaudara putera Dayak, asli Sejiram. (Untuk sejarah masa-masa awal Paroki

Sejiram, silahkan lihat bagian depan, hal. 8-15 dan hal. 18-22)

Gereja Sto. Fidelis, di Sejiram

Berikut ini daftar orang-orang Sejiram yang dibaptis pada masa awal Paroki Sejiram.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 134


LB N A M A LAHIR BAPTIS

11 Yan Simpin Sei Duku, 1888 Semitau, 29-12-1890

12 Yan Pesul Rantau, 1884 Sejiram, 05-02-1891

13 Maria Rantau, 1888 Sejiram, 05-02-1891

16 Hendrikus Gani Rantau, 1887 Sejiram, 07-02-1891

21 Fransisca Cisca Rantau, 1888 Sejiram, 14-02-1891

27 Hendrikus Rantau, 1884 Sejiram, 21-02-1891

28 Nella Glabau Rantau, 1884 Sejiram, 23-02-1891

29 Yan Jinyan Rantau, 1885 Sejiram, 23-02-1891

30 Dora Rinya Rantau, 1888 Sejiram, 23-02-1891

31 Andreas Jimbai Sejiram, Mei 1891 Sejiram, 16-11-1891

33 Mina Sejiram, 1890 Sejiram, 26-11-1891

36 Dora Saya L. Penawanm 1890 Sejiram, 28-11-1891

37 Maria Jati Tamak Sejiram, 03-12-1891

Tahun 1946, setelah sekian lama paroki ini ditangani oleh para imam Kapusin, mulai

dibantu oleh para imam Montfortan. Imam Montfortan yang pertama kali bekerja di

Sejiram ialah pastor Ferry Hooglad, SMM, (10 Agustus 1946 hingga tahun 1950). Tahun

1947, tepatnya pada tanggal 13 April 1947, pada Hari Minggu Paskah II, terjadi serahterima

resmi dari Ordo Kapusin kepada Kongregasi Montfortan. Sejiram dilepas oleh

Kapusin dan sepenuhnya dilayani oleh para imam Montfortan. Pastor Christianus,

OFM Cap dan Bruder Adjustus van Beers, OFM Cap merupakan dua Kapusin terakhir

yang bertugas di Sejiram. Bersamaan dengan perginya para imam Kapusin, demikian

pula para Suster Fransiskanes dari Veghel (SFIC), meninggalkan Sejiram.

Para imam Jesuit yang pernah berkarya di Sejiram ialah, Looymans, SJ dan W.H.J

Mulder, SJ. Para imam Kapusin yang pernah berkarya di paroki Sejiram, ialah, Eugenius

OFM Cap; Camilus OFM Cap; Christianus Slits, OFM Cap; dan Herman Joseph van

Hulten, OFM Cap.

Para suster dan bruder juga pernah berkarya di Paroki Sejiram, baik sejak masih

sebagai bagian dari Vikariat Batavia, Vikariat Pontianak, hingga sebagai bagian dari

Prefektur Apostolik Sintang, di antaranya ialah, pada masa-masa awal, ada buder

Theodorius, OFM Cap (1906-1907), Bruder Ignatius, OFM Cap (1912-1920), Bruder

Adjustus van Beers, OFM Cap (1908-1947), Bruder Stephanus van de Berg, OFM Cap

(1946), dan Bruder Bruno, OFM Cap (1947). Para suster yang pernah bertugas di

Sejiram ialah, Sr. Fidelia, SFIC (1908-1947); Sr. Casperina, SFIC (1908-1947); Sr.

Cajetana, SFIC (1908-1947); Sr. Rosa, SMFA; Sr. Genoveva, SMFA; Sr. Gerarda, SMFA;

dan Sr. Gemma, SMFA; Sr. Renera, SMFA; Sr. Joannicis, SMFA; Sr. Jacquiline,

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 135


SMFA;Suster SMFA menutup karya mereka dan meninggalkan Sejiram pada tahun

1986.

Tahun 1947, Pastor Ferry Hoogland, SMM dibantu oleh Lambertus van den Boorn,

SMM dan Pastor Yan Maalsté, SMM, yang mana pada tahun berikutnya Beliau

dipindahkan ke Benua Martinus menggantikan Pastor Lambertus van Kessel, SMM

yang pindah ke Sintang. Tahun 1950, Pastor Harrie L’Ortye, SMM diangkat sebagai

Pastor Paroki Sejiram. Beliau dibantu oleh para pastor juga para Bruder Montfortan,

yaitu Bruder Bruno dan Bruder Stefan. Pastor Anton Bernard, yang masuk pada tahun

1952, berusaha meningkatkan menyekolahkan beberapa orang sebagai guru, agar bisa

mengajar di kampung-kampung. Usaha pertanian, khususnya karet, terus meningkat.

Sayangnya pada tanggal 4 September 1952, ada orang yang berniat jahat dan

membakar satu setengah hektar karet paroki. Polisi di Semitau, walau sudah

dilaporkan, tidak berhasil menangkap pelakunya.

Pastor Servé Hamers, SMM datang ke Sejiram pada tahun 1953. Menyadari bahwa

Paroki dan kongregasi tidak memiliki sarana transportasi, Beliau berinisiatif membeli

perahu motor bekas dari vikariat Pontianak, yang akhirnya dibeli seharga 5.000 gulden

dan diantar oleh Bruder

Matthieu Nijssen, SMM

dari Pontianak ke

Sejiram dan diberi

nama KM Damai.

Tahun 1977, Pastor

René Colin, OMI dan

Pastor Jacques Chapuis,

OMI ditempatkan di

Sejiram, bersama

dengan Pastor Paroki

sejiram, Pastor Jacques

Maessen, SMM.

Dengan keberangkatan

Pastor Maessen, SMM pada tanggal 12 April 1982, maka sejak saat itu pula

Montfortan melepaskan Sejiram dan paroki Sejiram mulai dilayani hanya oleh para

imam Oblat Maria Imakulata. Pastor Montfortan terakhir yang meninggalkan Sejiram

ialah Pastor H. L’Ortye, SMM, yang saat itu masih menunggu perayaan 50 tahun

imamatnya dan setelah itu kembali ke Belanda. Para imam Oblat Maria melayani

paroki Sejiram hingga tahun 2006.

Para imam Montfortan yang pernah berkarya di paroki Sejiram, ialah, Ferry Hoogland,

SMM; L. van den Boorn, SMM; Jan C. Maalsté, SMM; G. Harrie L’Ortye, SMM; Anton

Bernard, SMM; Aloysius Ding, SMM; Servé Hamers, SMM; Josef Wintraecken, SMM;

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 136


Reinoldus Dijker, SMM; H. van Cuyck, SMM; Leo Rutten, SMM; Hubertus Swerts, SMM;

J.C. Linssen, SMM; W. Bennison, SMM; J. Breslin, SMM; Joep van Lier, SMM; dan

Jacques Maessen, SMM.

Pastor imam Oblat yang pernah berkarya di Sejiram ialah, Pastor René Colin, OMI

(1977-1983 dan 1995-2006), Pastor Jacques Chapuis, OMI (1977-1983 dan 1986-1995),

Pastor Jean Subra, OMI (1983-1987), Pastor Bernard Keradec, OMI (1986-1990), Pastor

Aloysius Kok, OMI (1986-1999), Pastor Jean Pierre Meichel, OMI (1991-1993), Pastor

Antonius Widiatmoko, OMI (2004-2005), dan yang terakhir bertugas di Sejiram ialah

Pastor René Colin, OMI (1995-2006), yang kembali ke Perancis tahun 2006. Sejak tahun

2006, paroki Sejiram ditangani oleh para imam Pasionis, yang dimulai oleh Pastor

Barses CP dan Adiantus CP.

2. Paroki Santo Martinus, Benua Martinus

Paroki Santo Martinus, Benua Martinus terdiri dari 24 stasi, dengan total jumlah umat

hingga akhir tahun 2010 adalah 6.221 jiwa.

Pastor Flavianus van V. Muller, OFM Cap; Pastor Honoratus, OFM Cap; Pastor Prosper

OFM Cap; Pastor Lambertus van Kessel, SMM; Pastor Laurensius (Lor) Collijn, SMM;

Pastor Jan Mallsté, SMM; Pastor Adriaan Schellart, SMM; Pastor Harrie L’Ortye, SMM;

Pastor Leo Rutten, SMM; Pastor Aloysius Ding, SMM; Pastor Ferry Hoogland, SMM;

Pastor Hoogland, SMM; Pastor Henk (Hendrikus) Kalter, SMM; Pastor Matheus Juang,

SMM; Pastor Stef Seli, SMM; Pastor Martinus Widyatmoko, SMM; Pastor Stefanus

Leba, SMM; Pastor Marselinus Ngebu, SMM; dan Pastor Markus Golo, SMM.

Gereja paroki Benua Martinus berawal dari keinginan warga setempat yang

mengirimkan anak-anak mereka ke Lanjak agar mereka juga menjadi daerah misi dan

didirikan sebuah sekolah pada tahun 1907-1909. Kepala kampung Balwak

mengundang pastor Ignatius agar membangun gereja dan pastoran di kampungnya.

Permintaan ini belum bisa dipenuhi. Sebagai permulaan misi, maka pastor Gonzalvus

melakukan turne ke daerah ini pada tahun 1913, yang langsung merencanakan

pembangunan rumah di kampung Keram, Benua Banyu (Banyoh).

Rumah yang dirancang dan dikerjakan oleh bruder Donulus ini cukup besar, karena

terdiri dari kamar tidur, dapur dan kamar makan, kapel, bahkan ada ruang untuk obatobatan.

Bulan Mei 1913, ketika Prefek Apostolik, Mgr. Pacificus Boss, OFM Cap datang,

ia menerimakan krisma kepada 12 orang, 9 di antaranya ialah umat asli setempat.

Bulan September bruder Donulus mulai membangun gereja paroki di dekat kampung

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 137


Keram, yang dibangun atas sumbangan Bapak Martinus van Thiel, di Helmond,

Belanda. Sebagai rasa hormat dan penghargaan, nama pelindung donatur dipakai

sebagai nama pelindung Gereja dan paroki, yaitu Santo Martinus. Bahkan nama Benua

Banyu tidak mejadi nama resmi, diganti menjadi Benua Martinus.

Gereja Sto. Martinus di Benua Martinus

Pada tahun ini pula Benua Banyu resmi menjadi sebuah paroki dan pastor Flavianus

sebagai pastor parokinya, dibantu oleh pastor Honoratus. Setelah pembangunan

gedung selesai, hari pertama sekolah dibuka pada tanggal 14 November 1914 dengan

jumlah siswa sebanyak 13 orang.

Tahun 1918, bruder Alexius mulai membangun pastoran dan sekolah baru yang cukup

besar. Tahun 1920 pastor Prosper membantu pastor Flavianus, dan tenaga pastoral

semakin diperkuat ketika para suster SFIC bergabung dalam karya misi pada tanggal 5

Juli 1921. Sejak saat ini, para Pastor Kapusin sudah masuk ke berbagai daerah di

sekitar Martinus.

Tahun 1946, setelah pulang dari kamp tawanan, datanglah Pastor Lambertus van

Kessel, SMM ke Benua Martinus, menjadi anggota tim pastoral bersama Pastor

Flavianus, OFM Cap. Sayangnya Pastor Flavianus dan Bruder Bertrandus meninggalkan

Benua Martinus pada tanggal 9 Oktober 1946, sehingga sejak saat itu Paroki Benua

Martinus sepenuhnya ditangani oleh para imam Montfortan, hingga hari ini.

Setelah Pastor van Kessel pindah ke Sintang pada tahun 1947, Benua Martinus

ditangani oleh Pastor Lor Collijn, SMM, yang dibantu oleh Pastor Jan Mallsté, SMM.

Tahun 1949, Pastor Leo Rutten menggantikan Pastor Mallsté, yang dipindahkan ke

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 138


Sejiram. Karya Pastor Rutten pada masa awal karyanya ialah mempersiapkan gedung

Gereja baru. Material baru terkumpul seluruhnya setelah dua tahun sehingga baru

mulai dibangun pada tahun 1952. Gereja baru selesai dibangun dan diresmikan pada

tanggal 15 Agustus 1953, pada masa kerja Pastor Ferry Hoogland, yang menggantikan

Pastor Collijn.

Pada masa ini, dua anak muda dari paroki ini, yaitu Daniel Motot yang berasal dari

Ukit-Ukit dan Elias Kinson, yang berasal dari Benua Keram, belajar di Seminari Sto.

Paulus, Nyarumkop. Elias Kinson melanjutkan pendidikan ke Seminari Tinggi dan

ditahbiskan sebagai imam diosesan Sintang di Benua Martinus, pada tanggal 15

Agustus 1966.

Gereja yang ada saat ini sesungguhnya dibangun untuk menggantikan gereja lama

yang terbakar pada tanggal 10 November 1963, yang sebenarnya baru berumur dua

tahun. Turut terbakar dan hancur ialah inventaris gereja yang berada di dalamnya.

Hingga kini, Paroki Benua Martinus dilayani oleh para imam Montfortan.

3. Paroki Keluarga Kudus, Bika Nazareth

Paroki Keluarga Kudus, Bika Nazareth terdiri dari 48 stasi, dengan total jumlah umat

hingga akhir tahun 2010 adalah 5.199 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Para Montfortan: Pastor Harrie

L’Ortye; Pastor Josef Wintraecken; Pastor Lambertus van Kessel; Pastor Anton

Voncken; Pastor Adriaan Schellart; Pastor Hub Reijnders; Pastor A. van der Vleuten;

Pastor Jan Cloots; Pastor Reinoldus Dijker; Pastor Ferry Hoogland; Pastor J. Breslin;

Pastor Ted Murphy; Pastor Lambertus van den Boorn; Pastor Everest M. Brown; Pastor

Aloysius Ding; Pastor J. D. Hasset; Pastor Piet Derckx; Pastor Wim Pieters; ddan Pastor

Frans Luiten.

Para imam Oblat Maria Imakulata yang pernah melayani wilayah Bika ialah: Pastor

Lucien Bouchard (1977-1983 dan 1991-1995); Pastor Jean Pierre Meichel (1979-1990);

Pastor Bernard Keradec (1979-1983); Pastor René Colin (1983-1995).

Pastor Eugenius OFM Cap merupakan misionaris pertama yang melayani Bika. Bulan

Juli 1910, Beliau berdayung dari Sejiram mengunjungi Nanga Mandai. Beliau kembali

mengunjunginya pada tanggal 24 November s.d. 14 Desember 1910. Saat itu Beliau

meminta warga Dayak setempat untuk membangun pondok baginya.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 139


Gereja Keluarga Kudus, di Bika Nazareth

Stasi Bika resmi menjadi sebuah paroki pada tahun 1924 walau baru memiliki pastor

paroki sendiri pada tanggal 22 Januari 1925, ketika Pastor Ignatius, OFM Cap ditunjuk

menjadi pastor Parokinya. Pada tahun yang sama langsung didirikan sekolah dasar,

yaitu pada tanggal 14 Januari 1924. Saat itu wilayah pelayanan paroki Bika mencakup

wilayah yang saat ini adalah paroki Bika, Embaloh, Bunut, Peniung, Putussibau, Siut

Melapi dan Mendalam.

Berdasarkan catatan Buku Baptis Bika, pada tanggal 7 Februari 1925 dibaptis seorang

bayi yang bernama Maria Tindjau (Djernit), anak dari Pak Lingang dan Ibu Diman. Ia

dibaptis oleh pastor Ignatius di Gereja Keluarga Kudus (Sanctae Familiae), Bika

Nazareth.

Berikut ini data sebelas baptisan pertama paroki Bika.

No. N A M A KAMPUNG ASAL

01 Maria Tindjau Bika Nazareth

02 Petrus Oempi Bika Hulu

03 Simon Badoen Tanah Tapak

04 Maria Moejo Kirin Nangka

05 Yohanna Tanjung Beruang

06 Maria Entjarana Gudang

07 Cornelius Akop Bika

08 Elisabeth Bika

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 140


09 Fransisca Bantah Pintas Semulung

10 Petrus Upit Jongkong

11 Johanes Gudang

Tahun-tahun ini wilayah Bika dilayani oleh para pastor Fransiskan Kapusin (OFM Cap),

berturut-turut adalah Pastor Ignatius, Pastor Edmundus, Pastor Yustinianus, dan

Pastor Gijbers dan Pastor Prosper, juga bruder Donulus dan Gorgonus.

Tanggal 29 April 1939, para imam Montfortan mulai masuk ke Bika. Awalnya mereka

masih melayani bersama-sama dengan para imam kapusin. Para misionaris

Montfortan pionir ialah pastor Harrie L’Ortye, pastor Jan Linssen, dan Bruder Bruno.

Pada tahun 1939, ketika SMM masuk ke paroki Bika, Sekolah dasar (rakyat) di Bika

telah memiliki 44 murid, yang mana 28 orang tinggal di asrama, dengan 3 orang guru,

yaitu Pak Pius, Pak Ransa dan pak Akoep. Pada tahun 1948, dua bersaudara, Pastor

Josef (Sjef) dan Agus (Gus) Wintraecken membangun juga sekolah di Nanga Mandai,

Nanga Peniung, dan Nanga Danau. Pastor Gus pindah ke Sintang tahun 1949 dan

digantikan oleh Pastor Aloysius Ding dan Adriaan Schellart, dan Pastor Jan Cloots pada

tahun 1951. Ketika Pastor Ding dan Schellart meninggalkan Bika pada tahun 1952,

Pastor Sjef dibantu oleh pastor baru, yaitu Pastor Reinold Dijker.

Tanggal 30 Januari 1956, Pastor Ferry Hoogland mulai berkarya di Bika dan menjadi

Pastor Parokinya. Pada masa pastor Ferry inilah, tepatnya pada tahun 1957,

dibangunlah asrama puteri, melengkapi asrama putera yang sudah ada.

Tahun 1978-1995 Paroki Bika, yang saat itu mencakup wilayah Bika, Embaloh, Peniung

dan Bunut, ditangani oleh para imam Oblat Maria Imakulata. Pada tanggal 22 Januari

1978, berdiri SD dan SMP Bika, serta yayasan Nazareth sebagai pengelola SMP, yang

diprakarsai oleh para Pastor. Yayasan serta kedua sekolah ini kini telah ditutup. Dua

sekolah ini telah menghasilkan beberapa tokoh umat di wilayah Bika.

Walau pada dekade terdahulu, para imam diosesan, yaitu Pastor Yohanes Ngumbang,

Elias Kinson dan Matias Rampai, pernah bertugas di Bika, tetapi baru pada tahun 1993,

Paroki Bika mulai pelan-pelan ditangani oleh para imam diosesan Sintang. Dimulai oleh

Pastor Elias Silvinus Endi, yang masuk ke Bika pada tahun 1993 dan disusul oleh Pastor

Paschasius Triyono pada tahun 1994, yang mana keduanya bekerja bersama dengan

para imam Oblat Maria Imakulata. Sejak saat itu para imam diosesan Sintang yang

bekerja di wilayah Bika ialah Pastor Vincentius Yakobus, Hendrikus L. Tobotani,

Florianus Abong, Makabeus Jawa, Yosef Padak Duli dan Andreas Puan.

Dari sudut wilayah, kebanyakan wilayah paroki Bika sudah bisa dijangkau dengan

kendaraan darat dan sebagian lainnya masih harus dengan kendaraan air atau bahkan

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 141


jalan kaki. Umat Allah Paroki Bika umumnya adalah para petani karet dan ladang. Para

pegawai umumnya adalah mereka yang bekerja di kantor kecamatan, desa,

departemen terkait dan dan para guru.

4. Paroki Hati Maria tak Bernoda, Putussibau

Paroki Hati Maria Tak Bernoda, Putussibau, terdiri dari 7 stasi, dengan total jumlah

umat hingga akhir tahun 2010 adalah 5.760 jiwa.

Sejak berdiri hingga saat ini, paroki ini ditangani oleh para imam Montfortan. Imam

non-Montfortan yang pernah melayani paroki ini hanyalah Pastor Yohanes Ngumbang,

Pr.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Jan Linssen, SMM (1939-

1947); Pastor Hub Reijnders, SMM (1947-1953); Pastor Jan Linssen, SMM (1953-1962);

Pastor R. F. Dijker, SMM (1962-1970); Pastor Yohanes H. Ngumbang, Pr (1970-1972);

Pastor Aloysius Ding, SMM (1972-1975); Pastor A. v.d. Vleuten, SMM (1975-1980);

Pastor Joep van Lier, SMM (1980-1981); Pastor Wim Peeters, SMM (1981-1984);

Pastor Peter Hoogland, SMM ( 1984-1987); Pastor A. van der Vleuten, SMM (1987-

1990); Pastor Peter Hoogland, SMM (1990-1995); Pastor Kees Smit, SMM (1995-1996);

Pastor Konradus Hancu, SMM (1996-1997); Pastor Yohanes Sumadi, SMM (1997-

2000); Pastor Yosef Jehara, SMM (2000-2004); Pastor Dwi Arifin, SMM (2004-2006);

Pastor Avelinus Amput, SMM (2006-2008); Pastor M. Widyatmoko, SMM (2008-2010);

Pastor Yohanes Suri, SMM (2010-sekarang).

Sejak berdirinya paroki Bika pada tahun 1924, Putussibau kurang menjadi perhatian

para misionaris Kapusin karena mayoritas penduduknya adalah Melayu, sedikit

Tionghoa, beberapa orang Eropa, dan praktis tidak ada warga Dayak. Hanya kampungkampung

ke dalam sungai Sibau dan Kapuas terdapat orang Dayak. Tahun 1938, tiga

orang suster sudah muli kerja di umah sakit Putussibau atas permintaan pemerintah

Hindia Belanda. Setahun kemudian, yaitu pada tanggal 10 Juni 1939, Pastor Jan

Linssen, SMM pindah dari Bika dan mulai menetap di Putussibau. Inilah hari lahir

paroki Putussibau. Ia memulai karyanya bersama tiga orang suster SMFA. Tahun 1947,

Pastor Hub Reijnders, SMM datang dan berkarya di Putussibau sehingga kunjungan

pastoral ke kampung-kampung menjadi lebih intensif dan sering.

Demikian pula dengan daerah Putussibau dan sekitarnya. Pastor Linssen tidak hanya

melayani para warga Belanda yang ada di Putussibau, juga mulai mencoba

mengunjungi kampung-kampung sekitarnya. Dari catatan atau laporan turne

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 142


disebutkan bahwa Pastor Reijnders mengunjungi Mendalam dari tanggal 15 hingga 18

Januari 1949. Beliau juga beberapa kali mengunjungi Teluk Engkala, Mendalam dan

Melapi pada bulan-bulan berikutnya. Tanggal 12 Maret 1949, Pastor Reijnders

bertemu dengan Oevang Oeray di Mendalam.

Gereja Hati Maria tak Bernoda, di Putussibau

Tahun 1949, Pastor Linssen dipindahkan ke Nanga Pinoh tetapi kembali lagi ke

Putussibau pada tahun 1953, menggantikan Pastor Reijnders yang dipindahkan ke

Pontianak. Tahun 1955 Pastor Jan Cloots, SMM menggantikan Pastor Nol (Reinoldus)

Dijker, SMM di Putussibau. Pastor Linssen dan Pastor Cloots melanjutkan rencana

Pastor Reijnders, yaitu membuka SMP serta memperkuat asrama putera di Putussibau.

Gedung baru ini dirancang oleh Bruder Alphons. Pastor Cloots meninggal tahun

tanggal 8 April 1957. Selanjutnya paroki ini terus ditangani dan dilayani secara rutin

dan penuh oleh para imam Montfortan hingga kini.

Umat Paroki Putussibau terdiri dari bermacam-macam suku, di mana etnis Dayak

merupakan mayoritasnya. Selain itu juga ada umat yang berasal dari Flores, Timor,

Jawa dan etnis Cina. Sampai saat ini, wilayah paroki Putussibau terbagi atas delapan

stasi dan wilayah kota Putussibau sendiri dibagi dalam tujuh lingkungan.

Karya pastoral paroki Putussibau juga mengalami perkembangan yang ditandai dengan

hidupnya beberapa karya kategorial baik untuk anak-anak sekolah, para remaja, anakanak,

serta kelmpok-kelompok kategorial lainnya. Salah satu karya kategorial yang

cukup berkembang lima tahun terakhir adalah Kerabat Santo Montfort (KSM). Karya

kategorial kelompok ini merupakan penjelmaan semangat Sto. Montfort di tengah

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 143


umat awam. Kelompok kategorial yang juga berkembang adalah Orang Muda Katolik,

Bina Iman Anak dan Kelompok Misdinar.

5. Paroki Santo Petrus, Embaloh

Paroki Santo Pettrus, Embaloh terdiri dari 14 stasi, dengan total jumlah umat hingga

akhir tahun 2010 adalah 3.606 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah para pastor anggota tim pastoral

yang bertugas di paroki Bika Nazareth, antara lain Pastor Lukas Bouchard, OMI, Pastor

Paschasius Triyono Pr, Pastor Makabeus Jawa Pr, dan Pastor Andreas Puan, Pr.

Paroki Embaloh yang berpusat di Nanga Embaloh ini, meliputi daerah sungai Kapuas

dari hilir Bika hingga Nanga Embaloh, batang sungai Embaloh, sungai Palin dan sungai

Lauk. Praktis ,hampir semua kampung di paroki ini harus dikunjungi melalui sungai.

Paroki (Nanga) Embaloh, walau baru berdiri pada tahun 1979, sesungguhnya telah

dilayani dari Bika secara teratur sejak tahun 1930-an, karena merupakan bagian dari

Paroki Bika Nazareth. Bahkan ketika sudah berdiri sendiri, karena belum memiliki

pastoran sendiri, hingga kini, masih dilayani dari Bika. Paroki Embaloh dilayani oleh tim

pastoral yang dikepalai seorang Pastor Paroki, yang mana para pastornya bersamasama

bertempat tinggal di Bika Nazareth.

Tidak ada data mengenai turne pada masa awal berdirinya paroki Bika ke daerah ini.

Catatan yang ada menyebutkan bahwa pada tahun 1949, pastor Paroki Bika saat itu,

Pastor Jos Wintraecken, SMM mengunjungi kampung-kampung di sungai Suai

(kampung Jangkang, Beruang, Sagin, Gudang, dsb.) dari tanggal 30 Maret hingga

tanggal 7 April 1949 dan sungai Embaloh, dari tanggal 5-17 Mei 1949. Beliau

mengunjungi kampung Lawik, Kasai, Belatung, Sengkuang Kuning bahkan sampai Ulak

Pauk. Di sana Beliau bertemnu dengan seorang Katolik yang bernama A. Rindak. Beliau

kembali mengunjungi kampung-kampung ini pada tanggal 2-12 Desember 1949.

Hingga tahun 1960-an, tidak ditemukan data turne ke daerah sungai Palin dan sungai

Lauk. Tidak diketahui apakah memang belum pernah dikunjungi atau laporannya yang

hilang. Kemungkinan besar, karena para pastor sering turne ke sungai Suai hingga

Seluan Desa, maka mungkin mereka juga ke daerah itu melalui Nanga Awin dan Seluan

Desa, yang bisa dicapai dari Putussibau menggunakan jalan darat, menuju kampung-

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 144


kampung di daerah itu seperti Tanjung Kerja, Sungai Uluk dan Benuah Tengah. Juga

tidak ditemukan catatan turne paroki Putussibau ke daerah ini hingga tahun 1960-an.

6. Paroki Santo Paulus, Bunut

Paroki Santo Paulus, Bunut terdiri dari 19 stasi, dengan total jumlah umat hingga akhir

tahun 2010 adalah 3.469 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, sejak berdiri sendiri sebagai paroki,

ialah: Pastor Jean Pierre Meichel, OMI (1980-1990); Pastor Lucien Bouchard, OMI

(1991-1994); Pastor Paschasius Triyono, Pr (1994-1998); Pastor Florianus Abong, Pr

(1998-2006); Pastor Yohanes Bebok, Pr. (2000-2010); Pastor Nan Kleden (2005-

sekarang); Pastor Paulus Pati Lein, Pr (2010-sekarang).

Paroki Bunut memiliki wilayah yang cukup luas dan berpusat di Nanga Bunut. Paroki ini

meliputi daerah sungai Kapuas dari Nanga Bunut ke hilir hingga perbatasan dengan

Jongkong Kapuas, serta

kampung-kampung sepanjang

sungai Bunut dan anak-anak

sungainya, yaitu sungai Suruk

dan sungai Mentebah.

Gereja Santo Paulus, Nanga Bunut

sendiri, hingga tahun 2003, masih dilayani dari Bika.

Paroki (Nanga) Bunut, walau

baru berdiri pada tahun 1979,

sesungguhnya telah dilayani

dari Bika secara teratur sejak

tahun 1940-an, karena saat itu

merupakan bagian dari Paroki

Bika Nazareth. Bahkan ketika

sudah berdiri sendiri, karena

belum memiliki pastoran

Tahun 2002, ketika didirikan pastoran baru di Nanga Kalis, maka pimpinan keuskupan

membentuk tim pastoral untuk Paroki Peniung dan Bunut, yang dikepalai oleh seorang

Pastor Paroki, yang mana para pastornya bersama-sama bertempat tinggal di Nanga

Kalis. Hingga kini sistem ini masih dipakai, bahkan Pastor Paroki saat ini, Pastor Paulus

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 145


Pati Lein, Pr, membentuk hanya satu Dewan Pastoral Paroki, yang mewakili dan

melayani kedua paroki ini.

7. Paroki Kunjungan Santa Perawan Maria, Peniung

Paroki Kunjungan Santa Perawan Maria, Peniung terdiri dari 28 stasi, dengan total

jumlah umat hingga akhir tahun 2010 adalah 10.070 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Lucas Bouchard, OMI

(1979-1991); Pastor Jean Pierre Meichel, OMI (1979-1993); Pastor René Colin, OMI

(1984-1993); Pastor Silvinus E. Endi,Pr (1992-2000); Pastor Pachasius Triyono, Pr

(1994-2000); Pastor Vincentius Yakobus, Pr (1997-1999); Pastor Hendrikus Ladjar, Pr

(1998-2000); Pastor Florianus Abong, Pr (1998-2007); Pastor Agustinus Bata, Pr (2000-

2001); Pastor John Paul Bebok, Pr (2001-2010); Pastor Nan Kabelen, Pr (2007-

sekarang); Pastor Paulus Pati Lein, Pr (2010-sekarang).

Gereja Santa Maria di Nanga Kalis

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 146


Wilayah Paroki Peniung mencakup tiga sungai utama, yaitu sepanjang sungai Manday

dan anak-anak sungai di hulu Manday, serta sepanjang aliran sungai Kalis dan sungai

Sepangin. Hampir semua kampung di sepanjang sungai Manday ditempuh melaui air

alias memakai speed boat, sementara kampung di sungai Kalis, Peniung dan lainnya

umumnya harus ditempuh dengan jalan kaki, sementara daerah Sepangin sudah bisa

dengan kendaraan bermotor.

Umat Paroki Peniung terdiri dari 6 sub suku besar. Di sepanjang sungai Manday

didiami suku Orung Daan/Pangin dan Kantu’k. Sungai Kalis didiami suku Kalis.

Sedangankan sungai Sepangin didiami suku Suru’k. Selain itu terdapat juga umat

keturunan Tionghoa yang bermukim di Nanga Kalis. Sebagian besar umat paroki

Peniung adalah petani karet dan peladang dan hanya segelintir sebagai pedagang dan

pegawai negeri sipil (PNS).

Sejak berdirinya Paroki Bika pada tahun 1924 hingga tahun 1979, wilayah ini adalah

bagian dari paroki Bika. Walau sudah menjadi paroki baru pada tahun 1979, wilayah ini

tetap dilayani dari Bika selama 23 tahun, hingga didirikannya Gereja dan Pastoran di

Nanga Kalis pada tahun 2002. Pada saat yang sama, pusat paroki dipindahkan dari

Peniung ke Nanga Kalis. Perpindahan ini lebih untuk efektifitas pelayanan pastoral,

mengingat pusat kecamatan berada di Nanga Kalis. Dibangun sejak tahun 1999,

akhirnya pada tanggal 19 Oktober 2002, Gereja Santa Maria dan pastoran Nanga Kalis

diresmikan oleh Bupati Kapuas Hulu, Bapak Tambul Husin, dan diberkati oleh Uskup

Sintang, Mgr. Agustinus Agus. Pastoran baru ini menjadi pusat pelayanan untuk

wilayah paroki Peniung dan Paroki Bunut.

Karena merupakan bagian dari paroki Bika, wilayah paroki ini sudah mulai dikunjungi

sejak tahun 1930-an untuk wilayah sungai Manday dan mulai dikunjungi sejak

kemerdekaan negeri ini untuk wilayah sungai Kalis. Dari catatan laporan turne, Pastor

Jos Wintraecken, SMM mengunjungi kampung-kampung di sungai Manday dan sungai

Kalis antara tanggal 11-23 Oktober 1948. Beliau kembali berkunjung ke wilayah ini

pada tanggal 7-12 Maret 1949 dan 4-16 Oktober 1949 dan tanggal 15-24 November

1949. Seringkali Beliau dibantu oleh seorang guru, Pak Ransa untuk turne dan

mengajar umat. Pada tahun yang sama, Pastor Reynders, SMM juga mengunjungi

daerah sepanjang sungai Manday. Pada masa itu, rata-rata para pastor mengunjungi

kampung-kampung di wilayah ini sebanyak dua atau tiga kali setahun dari Bika.

Periode awal wilayah ini dilayani oleh para imam Eropa, yaitu para imam Kapusin

(OFM Cap), Montfortan (SMM), dan Oblat Maria (OMI). Para Imam Montfortan mulai

tahun 1939, kemudian para imam Oblat Maria menggantikan imam Montfortan sejak

tahun 1979, dan sejak tahun 1993, Paroki Peniung dilayani oleh para imam diosesan

Sintang, yang dimulai oleh Pastor Silvinus Endi, Pr. Sejak menjadi paroki sendiri, karena

luasnya wilayah dan banyaknya kampung, maka paroki ini diberi dua orang Katekis,

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 147


yaitu Bapak Aga (alm) yang tinggal di Nanga Danau, dan Bapak Marsius Apendi yang

tinggal di Nanga Raun.

Paroki Peniung terdiri dari 34 stasi yang dilayani oleh dua orang imam diosesan

Sintang. Untuk memenuhi kebutuhan iman umat, karena masih kekurangan tenaga,

maka DPP Paroki Peniung selalu mengadakan kursus pelatihan pemimpin ibadat dan

pertemuan bersama secara berkala, baik itu pembinaan OMK, Bina iman anak dan

remaja, retret SMP-SMA negeri dan retret PNS. Partisipasi Pemimpin Umat dan Dewan

Pastoral stasi sangat membantu karya pastoral paroki. Walau pelayanan masih

memakai sistem turne secara berkala dan masih lebih menonjol pada hal-hal

sakramental, seluruh tim pastoral dan DPP berusaha keras agar dapat tercipta umat

yang beriman mendalam, mandiri, dan missioner melalui berbagai kegiatan

saramental, sakramentali, kerohanian lainnya, pelatihan, pembinaan, dsb.

Paroki ini memiliki dua buah Gua Maria, yaitu di Nanga Raon dan di bukit Sepangin,

Lubuk Mantuk. Pastor Yohanes Ngumbang, Pr, adalah imam yang berasal dari Paroki

ini, yaitu dari kampung Segiam, sungai Manday, serta Sr. Hilaria Unday, SMFA dan Sr.

Lusia Elisabeth Puasa, SMFA, yang berasal dari Nanga Peniung.

8. Paroki Santo Yohanes Penginjil, Dangkan-Silat

Paroki Dangkan-Silat terdiri dari 49 stasi, dengan total jumlah umat hingga akhir tahun

2010 adalah 7.151 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor René Colin, OMI (1977–

1983); Pastor Bernard Keradec, OMI (1983–1990); Pastor Jean Pierre Meichel, OMI

(1990–1993); Pastor Jacques Chapuis, OMI (1993–2001); Pastor H. Boedhy Prihatna

OMI (1997–1998); Pastor Markus Boli Witin, OMI (2001–2007); Pastor Yohanes

Damianus, OMI (2002–2004); Pastor Ignasius Priyantoro, OMI (2004–2009); Pastor

Nikolaus Ola Paokuma, OMI (2007-2008); Pastor Ignatius Wasono P. OMI (2008-

sekarang); Pastor Simon Heru Supriyanto, OMI (2009- sekarang).

Paroki Sto. Yohanes Penginjil Dangkan Silat merupakan paroki hasil pemekaran Paroki

Sto. Fidelis Sejiram melalui Surat Keputusan Uskup Sintang, Mgr Isak Doera, no

97/Par/1979, tanggal 24 Agustus 1979.

Pastor Jacques Maesen, SMM, ketika masih bertugas di Sejiram, pernah mengunjungi

wilayah ini dan menugaskan katekis, Pak Yakub untuk mendidik beberapa orang untuk

dibaptis. Maka pada tahun 1977, kelompok pertama ini, yaitu Pak Hasan, Dana, Deni,

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 148


dan Lukas dan beberapa orang lainnya dibaptis oleh Pastor Maesen di Entibab. Dari

kelompok inilah iman makin cepat berkembang. Para pionir inilah yang menjadi

Pemimpin Umat, Bapuk, Pemimpin Ibadat dan penggerak umat sehingga tahun-tahun

berikutnya semakin banyak yang mau dibaptis.

Gereja Sto. Yohanes Penginjil, di Dangkan

Sejak tahun berdirinya sebagai paroki baru hingga kini, Paroki Sto. Yohanes Penginjil

Dangkan Silat dilayani oleh para Pastor Misionaris Oblat Maria Imakulata. Dari 13

imam Oblat Maria yang pernah dan sedang berkarya di Paroki Dangkan Silat, dua

diantara, yaitu Pastor Boedhy Prihatna, OMI dan Pastor Markus Boli Witin OMI,

meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas ketika sedang dalam perjalanan turne.

Apa yang dialami kedua misionaris Oblat ini, telah menggenapi apa yang menjadi

motto hidup Pastor Markus Boli, yaitu, “Adalah sebuah kebahagiaan boleh meninggal

di tanah misi.”

Selain itu, Paroki ini, baik ketika masih bagian dari Sejiram juga setelah menjadi paroki

sendiri, juga dilayani oleh beberapa orang katekis. Para katekis yang pernah berkarya

di paroki ini adalah Pak Yakub, Pak Kusai, Pak Fransikus Gah, Pak Lambertus Lagao, Pak

Yokinson, Pak Alexius Dombot, dan Pak Jampang. Pak Linus Kuya dan Pak Afo adalah

dua katekis yang saat ini masih berkarya di Paroki Sto.Yohanes Penginjil Dangkan Silat.

Paroki yang meliputi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Silat Hulu dan kecamatan Silat

Hilir ini, hingga bulan Desember 2010, jumlah umat seluruhnya adalah 8.815 jiwa.

Rinciannya, sebagai berikut: sudah dibaptis 7.132 orang; Katekumen 980 orang, dan

simpatisan berjumlah 703 orang. Umat yang telah menerima sakramen krisma

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 149


sebanyak 2.918 orang. Pasangan yang telah menerima perkawinan Gereja Katolik

sebanyak 1.699 pasang. Seluruhnya terdapat 49 stasi, di mana 19 stasi beradd di

wilayah Kecamatan Silat Hulu dan 30 stasi berada di wilayah Kecamatan Silat Hilir.

Umat Paroki Dangkan Silat terdiri dari beberapa sub-suku Dayak, yaitu dari etnis

Ensilat, Sebaruk, Desa, Kantuk dan beberapa yang lain. Selain suku juga terdapat umat

dari etnis Jawa, Batak, Tionghoa dan Flores. Sampai saat ini, mereka relatif hidup

bersama secara rukun dan saling menghormati satu sama yang lain.

Paroki ini memiliki beberapa tantangan pastoral, yaitu bagaimana mendorong umat

agar 1) semakin beriman dewasa; 2) memajukan inkulturasi; 3) dapat menggapai

kemandirian di bidang tenaga dan finansial; 4) memiliki kesadaran akan pentingnya

kelestarian lingkungan hidup, yang makin terancam karena kehadiran perusahaan

kayu dan perkebunan sawit; 5) dapat memilih dan menggunakan secara bijaksana

teknologi masa kini, terutama media elektronik, karena telah menyuburkan budaya

konsumtif dan sering disalahgunakan oleh sebagian umat.

Para pastor, pengurus Dewan Pastoral Paroki dan para aktivis lainnya berusaha

melakukan berbagai langkah pastoral untuk menanggapi tantangan-tantangan itu.

Langkah pastoral yang dilakukan antara lain adalah tourne rutin oleh para pastor dan

katekis, membangun asrama putera dan puteri di Ng. Dangkan dan Ng. Silat,

mengadakan pelatihan, kursus, seminar dan penyadaran mengenai berbagai bidang

dan tantangan di atas, juga rekoleksi, ziarah, pertemuan, dsb., baik bagi anak-anak,

remaja, dewasa juga keluarga, baik bagi umat biasa, pemimpin umat, para guru,

petani, dsb., sesuai keadaan dan kebutuhan masing-masing kelompok.

Akhir kata, sebagaimana benih jika tidak mati , dia tetap sebiji saja, tetapi bila benih itu

telah jatuh ke tanah dan mati, maka benih itu menjadi tumbuh, berkembang dan

berbuah melimpah, demikikan pula benih-benih iman, kasih dan pengharapan, yang

telah ditaburkan oleh Allah dalam perjalanan sejarah Paroki Sto. Yohanes Penginjil

Dangkan Silat ini benar-benar menghasilkan buah-buah iman yang mewujudkan

Kerajaan Allah di bumi ini.

9. Paroki Santo Fransiskus Xaverius, Semitau

Paroki Santo Fransiskus Xaverius, Semitau terdiri dari 26 stasi, dan hingga akhir tahun

2010, umat seluruhnya berjumlah 5.888 jiwa

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 150


Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor Jacques Chapuis, OMI;

Pastor Heribertus Boedhy Prihatma, OMI; Pastor Bernard Keradec, OMI; Pastor Lukas

Bouchard, OMI; Pastor Stefanus Suryanto, CP; Pastor Pius Barses, CP; dan Pastor

Kornelis K., CP.

Tahun 1890, Vikariat Apostolik Batavia secara resmi membuka stasi baru di Kalimantan

Barat, yaitu di Semitau dan mengangkat pastor Looymans, SJ sebagai pastor parokinya.

Beliau tiba di Semitau pada tanggal 29 Juli 1890. Karena karya misi di Semitau sejak

semula ditujukan kepada masyarakat Dayak dan ternyata orang-orang Dayak tidak

tinggal di Semitau, maka pastor Looymans memindahkan pusat paroki ke Sejiram pada

tahun 1891, ke tempat yang saat ini masih berdiri gereja dan pastoran. Sejak

dipindahkan pada tahun 1891, kampung Semitau baru menjadi pusat paroki lagi pada

tahun 1979.

Gereja Sto. Fransiskus Xaverius, di Semitau

Karena merupakan bagian dari Paroki Sejiram, maka Semitau mendapatkan kunjungan

teratur dari para pastor yang berdiam di Sejiram, teristimewa sejak masuknya para

imam dan bruder Kapusin ke Sejiram pada bulan Mei 1906, yaitu pastor Eugenius dan

Pastor Camilus serta Bruder Theodorus. Karena belum ada pastoran, maka saat itu

para pastor diterima oleh Bapak Bong Nyan Sen di rumah mereka, sekaligus rumah

mereka menjadi tempat sembahyang.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 151


Baru pada tahun 1966, sebuah kapel dan pastoran kecil dibangun di Semitau atas

prakarsa dan usaha pastor Joep van Lier, SMM, di atas tanah yang dihibahkan oleh

Bapak Bong Nyan Sen. Gedung ini terbakar pada tanggal 1 Agustus 1990, dan dibangun

kembali pada tahun 1992, pada tempat yang sama. Gedung baru ini baru mulai didiami

pada tanggal 22 Oktober 1992.

Kemudian Pastor Joep van Lier juga membangun SDK Pelita di atas tanah seluas 2,5

hektar, yang didapatkan dari Bapak Bong Lion Fat, pada tahun 1972, dan membangun

TK Pelita pada tahun 1978, sebagai bagian dari sekolah yayasan Sukma. Selain sekolah,

paroki juga mendirikan asrama, yaitu asrama Sto. Dominikus Savio (1983) dan asrama

Sto. Yosef (1986) untuk putera, dan asrama Santa Maria (1986) untuk puteri, karena

kota Semitau memiliki dua SLTP dan satu SMU.

Di atas tanah yang sama ini kemudian juga dibangun gedung gereja, yang dresmikan

oleh Mgr. Isak Doera pada tanggal 12 April 1986. Pastor Joep van Lier dan Jacques

Maessen praktis memegang stasi Semitau sebagai bagian dari paroki Sejiram sejak

tahun 1972 hingga menjelang tahun 1980. Sejak menjadi paroki sendiri pada tahun

1979, Semitau dipercayakan kepada para Oblat Maria Imakulata hingga thun 2005.

Sejak tangal 19 Juni 2005 hingga buku ini ditulis, paroki Semitau ditangani oleh

kongregasi Pasionis. Pastor Stefanus Suryanto, CP dan Pastor Pius Barses, CP adalah

imam pasionis pionir yang bekerja di Semitau dan kini dilanjutkan oleh pastor

Kornelius.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 152


Wilayah Paroki Semitau, yang terdiri dari kecataman Semitau dan sebagian dari

kecamatan Suhaid, Embau dan Bunut Hilir, merupakan pusat ekonomi untuk

kecamatan Semitau, Suhaid dan Sejiram. Umat paroki Semitau mayoritas adalah ialah

etnis Dayak sub suku Kantuk, Manyan, Suaid, dan Iban, juga orang-orang Tionghoa,

dan sebagian kecil berupa para pendatang dari berbagai etnis lainnya. Mayoritas umat

paroki adalah warga kampung dan petani, khususnya petani karet dan ladang.

10. Paroki Santo Dismas, Lanjak

Paroki Santo Dismas, Lanjak terdiri dari 15 stasi, dan jumlah umat seluruhnya hingga

akhir tahun 2010, adalah 1.853 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor Yohanes Ngumbang, Pr;

Pastor Fransiskus Luiten, SMM; Pastor Peter Hoogland, SMM; Pastor Henk Kalter,

SMM; Pastor Jean Pierre Meichel, OMI; Pastor Bernard Keradec, OMI; Pastor Mateus

Juang, SMM; Pastor Gabriel Dwi Atmoko, Pr; Pastor Isnadi Wibowo, Pr; dan Pastor

Petrus Kaju, Pr (sekarang)

Gereja Sto. Dismas,di Lanjak

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 153


Pada tahun-tahun awal berdirinya paroki Sejiram, para pastor sudah berencana untuk

juga masuk ke daerah Batang Lupar. Usaha pertama sempat batal karena ada wabah

penyakit. Pastor Eugenius, bersama kontrolir dari Semitau mengunjungi daerah Batang

Lupar tahun 1907, seperti yang dikisahkannya dalam suratnya kepada Vikaris

Provinsial pada tanggal 26 Januari 1908. Dari Sejiram mereka melewati danau Seriang

dan dilanjutkan ke Batang Lupar. Di Lanjak mereka mengunjungi beberapa kampung

dengan jalan kaki 1-1,5 jam dari sungai Lanjak. Dari sana kunjungan dilanjutkan ke

Nanga Badau.

Atas usulan Mgr. Pacificus Bos, OFM Cap. maka pastor Gonzalvus, OFM Cap dan

Ignatius, OFM Cap melakukan perjalanan perkenalan ke Lanjak pada tanggal 30 Juli

1908, untuk menjajaki membuka stasi baru dan memilih tempat untuk gereja dan

pastoran. Bersama seorang keturunan Tionghoa dari Semitau dan seorang polisi,

mereka berdayung dari Semitau, mudik melalui sungai Kapuas dan masuk ke sungai

Tawang dan tiba di daerah danau sekitar jam 8.00 malam.

Hari berikutnya mereka berhasil mencapai pulau Majang, dan bermalam di

pesanggrahan kepala distrik. Tanggal 3 Agustus 1908, kepala distrik dan dua polisi

bergabung, berdayung menuju Lanjak. Hari itu mereka bermalam di danau, baru

keesokan harinya setelah berdayung selama tiga jam dan berjalan kaki ke darat sekitar

setengah jam, mereka menemukan daerah yang cocok untuk membangun gereja baru,

karena merupakan kaki gunung dan dekat dengan sungai Lanjak. Hari itu, tanggal 4

Agustus 1908.

Pastoran pertama di Lanjak, rumah tinggal Pst

Gonzalvus & Br. Donulus - Desember 1908

Keesokan harinya mereka

mengunjungi kampung Judan

yang hanya terdiri dari 4 KK

(pintu) dan kampung Ngadit,

yang terdiri dari 18 KK/Pintu.

Setelah menjelaskan maksud

kedatangan mereka dan

diterima baik olah warga

setempat, mereka kembali ke

Semitau melalui jalan yang

sama pada tanggal 5 Agustus

1908 dan tiba pada tanggal 7

Agustus, karena tanpa

menginap.

Pastor Gonzalvus, OFM Cap dan Bruder Donulus, OFM Cap berencana pergi lagi ke

Lanjak pada tanggal 16 Desember 1908. Karena kontrolir baru kurang simpatik dengan

Gereja, maka tak ada bantuan apa pun yang diberikan, termasuk polisi. Rencana Allah

ternyata tidak dapat dihalangi, karena hari itu seorang keturunan Tionghoa di Semitau,

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 154


yang membawa beras dari pulau Majang, kini hendak kembali ke pulau Majang,

sehingga para Pastor dapat menumpang. Tidak hanya sampai di pulau Majang, Bapak

pemilik kapal ini pun rela mengantar mereka sampai ke Lanjak.

Setiba di Lanjak, mereka bertemu dengan seorang Tionghoa 34 yang justru sudah

membuka lahan yang hendak dipakai para misionaris. Masih ada kayu-kayu bekas dari

rumah yang didirikan Hindia Belanda, yang juga dipakai sebagai bahan bangunan baru.

Rumah sederhana ini dibuat bertiang setinggi satu meter, lantainya dialasai rotan dan

dindingnya dari kulit-kulit pohon, serta atapnya dari daun-daun pohon, sekedar

melindungi diri dari hujan dan sinar matahari. Beberapa hari kemudian rumah

diperpanjang, supaya ada ruang yang akan dijadikan kapel sederhana.

Rumah sederhana ini tak cukup untuk tiga orang, karena Pastor Ignatius juga ikut.

Tetapi rencana bangun baru di tempat yang lebih tinggi tak tercapai karena tak ada

tukang, yang sudah dipengaruhi oleh orang Melayu di situ bahwa para pastor dibayar

mahal oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan bantuan tukang dari Sejiram, rumah

baru sudah selesai pada akhir tahun 1909 dan disusul dengan pembangunan gedung

sekolah yang baru selesai awal 1910. Gedung sekolah dua lantai ini, ruang bawah

dipakai untuk pelajaran dan keperluan lainnya, ruang atas untuk asrama anak-anak

dan bagian belakangnya untuk dapur mereka. Pada dinding depan sekolah ditulis

dengan huruf kapital, “Anang Negara Anak Mit Datai Ngosong Aku,” yang berarti

“jangan halangi anak-anak datang kepadaKu.”

Ruang kelas dapat menampung 50 anak, tetapi tak ada anak yang datang karena

orangtua lebih suka anak-anak tinggal dan membantu mereka dirumah ditambah isu

oleh orang-orang Melayu bahwa anak-anak itu akan dibawa ke luar negeri. Karena tak

ada anak-anak Lanjak, maka para misionaris mencari ke hulu sungai Embaloh, seperti

kampung Balwak, yang merelakan anak-anak mereka bersekolah dan tinggal di

asrama. Melihat keadaan ini, para pastor berkesimpulan bahwa misi, termasuk

sekolah, lebih berpeluang di hulu Embaloh, apalagi permintaan dari sana terus

diarahkan kepada para misionaris, yang diwujudkannya dengan pembangunan rumah

di kampung Keram, Benua Banyu, pada tahun 1913.

Sejak ditinggalkan oleh pastor Gonzalvus pada tahun 1919, karena sakit-sakitan, misi di

daerah ini terus menurun, meskipun masih dikunjungi dari Benua Martinus. Tahun

1920 pastor Egbertus Nobel ditugaskan di daerah ini, tetapi keadaan tidak lebih baik,

sehingga pada tanggal 23 April 1921, paroki Lanjak resmi ditutup. Lanjak akhirnya

hanya sebagai stasi, bagian dari paroki Benua Martinus hingga tahun 1979, ketika Mgr.

Isak Doera memekarkan paroki menjadi 34 paroki.

34 Diduga kuat bahwa Bapak ini bernama A. Ngong.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 155


Setelah menjadi paroki sendiri para tahun 1979, paroki ini ditangani oleh para imam

Montfortan, kemudian ditangani oleh para imam Oblat Maria, dan baru sejak tahun

2000-an ditangani oleh para imam diosesan Sintang. Pada tanggal 4 Mei 2008,

diresmikan gereja baru yang lumayan besar dan megah.

11. Paroki Santo Montfort, Badau

Paroki Sto. Montfort, Badau terdiri dari 14 stasi dan 4 kring, dan hingga akhir tahun

2010, memilik jumlah umat seluruhnya adalah 2.019 jiwa.

Para Pastor yang pernah

berkarya di paroki ini adalah:

Pastor Henk Kalter, SMM;

Frans Luiten, SMM; Peter

Hoogland, SMM; Mateus

Juang, SMM; Boedhy

Prihatna, OMI; Leonardus

Miau, Pr; Yoseph Dosi

Mbele, Pr; Vincentius

Yakobus, Pr; dan Antonius

Adji Prabowo, Pr. Para frater

Gereja Sto. Montfort, di Nanga Badau

yang pernah berpastoral di

Paroki Sto. Montfort Badau sejak tahun 2005, ialah, Fr. Jefri Kelen, SMM; Fr. Stefanus,

SMM; Fr. Hiasintus; dan Fr. Prasetya Handaya Wicaksana.

Wilayah Badau (dan Lanjak) sudah mulai dikunjungi para pastor sejak Sejiram menjadi

sebuah paroki. Dalam laporannya pada tahun 1897, Pastor Looymans, SJ melaporkan

bahwa dari 467 orang yang dibaptis dan dicatat dalam Buku Baptis sejak tahun 1890

(dalam rentang waktu tujuh tahun), ada 41 orang yang berasal dari Nanga Badau.

Dalam suratnya kepada Vikaris Provinsial pada tanggal 26 Januari 1908, Pastor

Eugenius, OFM Cap melaporkan bahwa, bersama kontrolir dari Semitau, Beliau

mengunjungi daerah Batang Lupar pada tahun 1907. Dari Sejiram mereka melewati

danau Seriang dan dilanjutkan ke Batang Lupar. Di Lanjak mereka mengunjungi

beberapa kampung dengan jalan kaki 1-1,5 jam dari sungai Lanjak. Dari Lanjak

kunjungan dilanjutkan ke Nanga Badau.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 156


Sejak menjadi bagian dari paroki Sejiram dan kemudian menjadi bagian dari paroki

Benua Martinus, seluruh wilayah perbatasan, termasuk Badau sesekali dikunjungi dari

Sejiram dan dari Benua Martinus.

Baru pada tahun 1979, Badau menjadi paroki sendiri, melepaskan diri dari paroki

Benua Martinus. Walaupun sudah dinyatakan sebagai paroki dengan memiliki buku

baptis sendiri, saat itu paroki ini belum memiliki pastor sendiri. Pada masa awal ini

paroki Badau dilayani oleh para pastor Montfortan dari Benua Martinus. Paroki Badau

pernah dilayani oleh para Pastor dari Nanga Kantuk, walau tanpa ada SK dari Uskup,

yaitu oleh Pastor Boedhy Prihatna, OMI dan pastor Leonardus Miau, Pr. Sejak tahun

1997, karena kekurangan tenaga para imam Montfortan dan Oblat Maria, maka Paroki

Badau dipercayakan kepada para imam diosesan Sintang. Akhirnya, pada tahun 1998,

Pastor Yoseph Dosi, Pr menjadi pastor paroki yang menetap di Badau, di sebuah

pastoran sederhana.

Pada tahun 2005 para suster Ordo Santo Agustinus, mulai berkarya di paroki Sto.

Montfort, Badau. Mereka melayani pendidikan dan asrama, yaitu asrama Sta. Virgini,

yang didirikan pada tanggal 5 Agustus 2005. Asrama ini menampung anak- anak putri

paroki Sto. Montfort Badau yang berasal dari stasi-stasi dan berkeinginan untuk

melanjutkan sekolah di SMP dan SMA. Sejak tahun 2005 hingga 2011 tercatat kurang

lebih 50 siswi pernah tinggal di asrama Sta. Virgini.

Para Suster Ordo Santo Agustinus yang pernah berkarya Asrama Sta. Virgini Badau,

ialah Sr. Prudentia, OSA; Sr. Wilhelmina, OSA; Sr. Rafaela, OSA; Sr. Silvia , OSA; Sr. Rita ,

OSA; Sr. Florentina, OSA; Sr. Yoanita, OSA; Sr. Yulia Yovita Ita, OSA

12. Paroki Santo Paulus, Nanga Kantuk

Paroki Sto. Paulus, nanga Kantuk terdiri dari 12 stasi, dan jumlah umat seluruhnya

hingga akhir tahun 2010 adalah 5.172 jiwa, termasuk 676 orang yang belum dibaptis.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor. Jacques Chapuis, OMI

(1978-1992); Pastor Heribertus Boedhy, OMI (1992-1997); Pastor Leonardus Miau, Pr.

(1997-1998); Pastor Vincentius Yakobus, Pr (1998-2008 dibantu oleh Pastor Yoseph

Dosi Mbele, Pr (1998-2003) dan Pastor Gabriel Dwi Atmoko (2000-2002); Pastor Luis

Bona, Pr. (2003); Pastor. Robertus Ambrosius, Pr (2003-2009); Pastor Vinsensius Rato,

Pr (2008); Pastor Makabeus Jawa, Pr (2009-sekarang).

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 157


Hampir selama seratus tahun, paroki Nanga Kantuk merupakan bagian dari paroki

Sejiram dan dilayani dari Sejiram. Selama waktu yang sekian lama, kunjungan sangat

jarang dan baru sungguh mulai rutin dilayani sejak berdiri sendiri sebagai paroki pada

tahun 1979.

Tidak diketahui apakah ketika Pastor Rutten dan J. Wintraecken, bertugas di Benua

Martinus antara tahun 1949-1956, pernah mengunjungi wilayah ini. Disebutkan

bahwa, ketika Pastor Adriaan Schellart, SMM bertugas di Benua Martinus pada tahun

1957-1965, Beliau pernah mengunjungi kampung-kampung di wilayah sungai

Empanang, karena ada sekolah misi di daerah itu, seperti kampung Ensanak, Kantuk

Asam, dan Sungai Mawang. Setelah itu praktis tidak ada lagi catatan mengenai

kunjungan ke daerah ini. Baru pada tahun 1978, Pastor Jacques Chapuis, OMI mulai

mengunjungi wilayah ini dan mulai dilayani dari Sejiram.

Mayoritas umat paroki ini adalah etnis Dayak dari suku Kantuk dan Iban. Mata

pencaharian mereka adalah petani.

13. Paroki Epifania, Siut Melapi

Paroki Epifania Siut Melapi terdiri dari 13 stasi dan 15 lingkungan dengan jumlah umat

seluruhnya pada akhir tahun 2010 adalah 6.114 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor Jean Subra, OMI (1977-

1983); Pastor Aloysius J. Ding Ngo, SMM (1979-1980); Pastor Lukas Bouchard, OMI

(1983-1990); Pastor Mateus Rampai, Pr (1993-1995); Pastor Konradus Hancu, SMM

(1996-1997); Pastor Joseph Jehara, SMM (1997-2001); Pastor Arifin Dwirahmanto,

SMM (2001-2003); Pastor Marchadius Golo, SMM (2003-2008); Pastor Yusup Gunarto,

SMM (2008-Sekarang).

Paroki Penampakan Tuhan (Epifania) Siut-Melapi adalah hasil pemekaran dari Paroki

Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Putussibau berdasarkan SK Mgr. Isak Doera

pada tahun 1979. Wilayah paroki ini meliputi wilayah Kecamatan Putussibau Selatan

dari Batang Suai sampai Tanjung Lokang, yang terletak di Hulu sungai Kapuas.

Tidak diketahui pasti kapan mulainya misi Katolik di daerah Siut dan Melapi. Catatan

turne paroki Bika dan Putussibau sebelum tahun 1948 tidak ditemukan dalam arsip.

Tetapi berdasarkan catatan turne Pastor Fulgentius, yang saat itu adalah pastor paroki

Sintang, ia pergi ke Bika pada tanggal 23 Oktober 1932 untuk inspeksi sekolah. Karena

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 158


kapal motor milik Bika sedang rusak, sehingga Pastor Fulgentius, Pastor Oktavianus,

dan rombongannya harus berdayung menuju Melapi pada tanggal 25 Oktober 1932.

Berangkat jam 04:45 pagi buta dan tiba di kampung Rumah Bok jam 20 malam. Karena

tak dapat dilanjutkan lagi, maka mereka harus berjalan kaki hingga tiba di Melapi pada

jam 21 malam.

Tujuan para misionaris Kapusin pergi ke Melapi ialah untuk inspeksi sekolah misi di

Betania. Karena sudah ada sekolah, maka sudah dapat dipastikan bahwa sudah ada

kunjungan yang agak teratur ke Melapi sejak berdirinya Paroki Bika. Dari Melapi, dua

Pastor Kapusin ini melanjutkan perjalanan ke Padua di Mendalam, pada tanggal 27

Oktober 1932. Pastor Fulgentius, OFM Cap dan Pastor Flavianus, OFM Cap hendak ke

Melapi lagi pada tanggal 22 Februari 1934, tetapi batal, karena guru yang mengajar di

Melapi sakit dan diopname di Bika, ditangani oleh seorang dokter.

Daerah-daerah sekitar Putussibau, termasuk Siut dan Melapi sudah mulai dikunjungi

secara teratur sejak berdirinya Paroki Putussibau tahun 1947. Pastor Hub Reijnders,

SMM melakukan banyak kunjungan ke kampung-kampung di wilayah paroki

Putussibau. Pastor Reijnders mengunjungi Melapi pada tanggal 22 Maret 1949 dan

bertemu dengan seorang guru, yaitu Pak Bau. Beliau kembali mengunjungi Melapi

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 159


pada tanggal 27 Juni 1949. Pastor ini kembali ke Melapi tanggal 23-24 November 1953

dan menikahkan Yohanes Dajut dengan Sarika. Tahun-tahun berikutnya kunjungan

pastoral dari Putussibau menjadi lebih teratur karena sudah menjadi salah satu stasi

penting dari paroki Putussibau.

Gereja Epifania di Melapi

14. Paroki Santo Antonius dari Padua, Mendalam

Paroki Santo Antonius dari Padua, Mendalam terdiri dari 10 stasi dengan jumlah umat

seluruhnya pada akhir tahun 2010 adalah 1.942 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor Jan Linssen, SMM (1939-

1949); Pastor Hub Reijnders, SMM (1947-1952); Pastor Jan Linssen, SMM (1953-1958);

Pastor Hub Reijnders, SMM (1958-1976); Pastor Aloysius Ding, SMM (1969-1994);

Pastor Mateus Rampai, Pr (1993-1996); Pastor Hendrikus Ladjar, Pr (1996); Pastor

Rafael Breok, SMM (2007-2011). Dari tahun 1996 hingga 2007, paroki ini dilayani oleh

para imam Montfortan yang bertugas di paroki Putussibau.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 160


Gereja Sto. Antonius dari Padua, di Mendalam

Selain para imam, ada banyak tokoh umat yang berjasa dalam menumbuhkan Gereja

di wilayah ini, antara lain, Tevo Ure, Ding Lata, Aki Sano, Paran Li, Yosef Usup, Paulus

Bato, Ijot, serta beberapa katekis, yaitu Yulius Pandi, Gregorius Seman, dan Agnes Ado.

Tidak ditemukan catatan kapan persisnya para misionaris mulai memasuki dan

mewartakan injil ke wilayah Mendalam dan sekitarnya. Dari data berikut, dapat

disimpulkan bahwa karya misi di Mendalam sudah mulai sejak berdirinya paroki Bika.

Dari laporan turne disebutkan bahwa Pastor Fulgentius, OFM Cap dan Pastor

Oktavianus, OFM Cap mengunjungi Padua di Mendalam pada tanggal 27 Oktober 1932

dalam rangka melakukan inspeksi atas sekolah di sana. Pastor Fulgentius, bersama

Pastor Gijsbers, OFM Cap dan Bruder Bertrandus, OFM Cap kembali melakukan

inspeksi sekolah di Padua pada tanggal 15-17 Februari 1934. Dengan kata lain sudah

ada sekolah Katolik di Mendalam pada tahun itu, yang mana harus diandaikan bahwa

misi Katolik sudah masuk ke Mendalam sejak tahun-tahun sebelumnnya.

Pastor Harrie L’Ortye, SMM, Pastor Linssen, SMM dan Pastor Edmundus, OFM Cap

yang tinggal di Bika berkesempatan mengunjungi Hulu Kapuas, masuk ke kota

Putussibau dan sungai Mendalam, khususnya ke kampung Tanjung Karang dan

Tanjung Kuda pada tahun 1939. Sejak berdirinya paroki Putussibau pada tahun 1947,

maka kunjungan pastoral ke daerah Mendalam sudah mulai dilakukan lebih rutin.

Pastor Hub Reijnders, SMM mengunjungi Mendalam beberapa kali pada tahun 1949,

yaitu pada tanggal 15-18 Januari dan bertemu dengan guru Ingan Ding; tanggal 26

Januari; tanggal 19 April; tanggal 26 April; tanggal 4 Mei bersama dengan Pastor L. van

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 161


den Boorn, tanggal 27-28 Mei. Tanggal 26 Januari dan 3 Maret 1949 Beliau ke Teluk

Engkala, ada urusan sekolah dengan guru Abu.

Sejak tahun 1979, Mendalam menjadi sebuah paroki baru dengan pastor pertama

yang bertugas ialah Pastor Aloysius Ding, SMM hingga tahun 1994. Di tempat ini

pulalah Beliau meninggal dan dikuburkan pada tahun 1995.

Untuk memperlancar jalannya pelayanan umat, Paroki Sto. Antonius Padua,

Mendalam membagi wilyah parokinya dalam 10 stasi. Pada umumnya, semua stasi

dapat dilewati dengan kendaraan darat, kecuali beberapa stasi yang belum memiliki

jalan darat, sehingga harus menggunkan sampan bermotor.

Rekap Paroki-Paroki Regio Melawi

NO. NAMA PAROKI JUMLAH

UMAT

JUMLAH

STASI

THN

BERDIRI

01 Sta. Perawan Maria,

Nanga Pinoh

02 Sta. Maria tak Bernoda,

Belimbing

7.623 36 1949

9.239 30 1979

03 Sta. Maria, Tanah Pinoh 2.756 27 1979

04 Sta. Petrus, Ella Hilir 5.149 44 1979

05 Sta. Luisa, Menukung 6.564 1979

TOTAL = 5 31.331 17,448% dari 179.568

jiwa 35

35 Data ini diambil dari http://dds.bps.go.id/hasilSP2010/kalbar/6110.pdf mengenai

sensus penduduk tahun 2010.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 162


1. Paroki Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, Nanga Pinoh

Paroki Nanga Pinoh, walaupun adalah sebuah paroki kota, memiliki 36 stasi. Hingga

akhir tahun 2010, jumlah umat seluruhnya adalah 7.623 jiwa.

Para Pastor yang pernah bekerja di Paroki ini, ialah: Pastor Jan Linssen, SMM (1949-

1953); Pastor A. Schellart, SMM (1953-1964); Pastor H.A.C van Cuyck, SMM (1964-

1981); Pastor Hubertus P.G Swerts, SMM (1981-1984); Pastor Niko Schneiders, SMM

(1984-1986); Pastor Paulus Aryono, CM (1986-1988); Pastor Agus Sudaryanto, CM

(1988-1991); Pastor Jacques Gros, CM (1991-1992); Pastor Stefanus Prio Utomo (1992-

1995); Pastor Aloysius Budiyanto, CM (1995-1999); Pastor Antonius Sapta Widada, CM

(1999-2002); Pastor Hardo Iswanto, CM (2002-2005); Pastor Mateus Rampai, Pr

(200402005); Pastor Salesius Jeratu, Pr (2005-2008); Pastor Piet Apot, Pr (2005 -

sekarang ); Pastor Markus Marhusen, Pr (2008-2010); Pastor Gabriel Dwi Atmoko, Pr.

(2010-sekarang)

Gereja SPMDS, di Nanga Pinoh

Pastor Fulgentius OFM Cap, yang saat itu sebagai Pastor Paroki Sintang, dalam

catatannya, menyebutkan bahwa ia melakukan beberapa kali kunjungan ke Nanga

Pinoh dan sekitarnya. Bulan tanggal 22-26 Mei 1932, untuk pertama kalinya Beliau

mengunjungi Nanga Pinoh dan merayakan Misa. Umat masih terdiri dari orang-orang

Belanda dan keturunan Tionghoa. Dalam Buku Baptis Paroki Katedral Sintang, tercatat

bahwa Pastor Fulgensius membaptis kakak beradik, Pak Paulus Tjong Siong Kiam dan

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 163


Petrus Tjong Siong, pada tanggal 25 Mei 1932, dengan wali baptisnya ialah Pak

Yohanes 36 Djan Sui Tjin. Beliau kembali mengunjungi Nanga Pinoh pada tanggal 22-25

November 1932, menumpang kapal motor Greta milik Letnan Doedens, dan juga

mengunungi Nanga Pinoh pada tanggal 24-28 April 1933 dan tanggal 5-9 November

1933. Beliau kembali mengunjungi Nanga Pinoh ada tanggal 21-26 April dan 13-18

Oktober 1934.

Pastor Egbertus Nobel, OFM Cap mengunjungi Nanga Pinoh dan beberapa kampung di

daerah itu untuk penjajakan daerah misi selain Nanga Pinoh, dari tanggal 24 Agustus

hingga 11 September 1935. Pastor Fulgentius Koning, OFM Cap masih mengunjungi

Nanga Pinoh pada tahun berikutnya begitu pula para penggantinya, yaitu pastor David

van de Made, OFM Cap, Pastor Nikodemus Gijsbers, Pastor Yustinius Goossens, OFM

Cap, dan Pastor H. L’Ortye, SMM.

Paroki Santa Perawan Maria Nanga Pinoh mulai dilayani secara tetap pada tahun 1949,

yaitu mulai tanggal 9 Desember 1949, ketika Pastor Jan Linssen, SMM, pastor

berjanggut panjang itu mulai menetap di Nanga Pinoh dan dipisahkan dari Paroki

Sintang. Keputusan ini diambil setelah melihat tidak adanya stasi yang dekat di sekitar

wilayah tersebut dan adanya permintaan dari delapan belas orang warga setempat

yang ingin belajar agama dan ingin menjadi Katolik.

Setelah beberapa lama menetap di Nanga Pinoh, jumlah umat bertambah karena

datang satu keluarga dari Singkawang, yaitu keluarga Antonius Djan Sui Tjin. Melihat

kemungkinan pertumbuhan Gereja di Nanga Pinoh, maka pada tanggal 1 Oktober

1949, 37 Nanga Pinoh resmi dijadikan sebagai paroki baru dan diberi nama Paroki santa

Perawan Maria. Wilayah pelayanan saat itu mencakup Menukung, Ella (hilir),

Belimbing, Tanah Pinoh, Sayan, Sokan, Dedai, Kayan Hilir dan Kayan Hulu.

Setelah Pastor Linssen, SMM pindah ke Putussibau pada tahun 1952, Nanga Pinoh

dilayani oleh Pastor Adriaan Schellart SMM, kemudian oleh Pastor H.A.C van Cuyk,

SMM, Pastor P.J.M van Eunen, SMM, dan Pastor Anton P. F Bernard, SMM. Tahun

1953 para suster SMFA, yaitu Sr. Helena, Sr. Hironyma, dan Sr. Lamberta mulai bekerja

di Nanga Pinoh membantu karya misi, baik dalam hal pastoral dan terutama

memberikan kursus rumah tangga, sulam menyulam dan menjahit kepada para puteri.

Mengingat wilayah yang luas dan kebutuhan umat yang besar, maka pada tahun 1964,

Mgr van Kessel mengangkat pastor van Cuyck sebagai Pastor paroki yang ketiga dan

dibantu oleh dua pastor sebagai tim pastoral, yaitu Pastor Matias Lunggai, Pr dan

Pastor Elias Kinson, Pr. Kehadiran Pastor van Cuyk sangat tepat dan disayangi umat,

36

Dalam Buku Baptis, tercatat bahwa nama baptisnya ialah Yohanes, tetapi dalam

keseharian dan buku pesta emas Nanga Pinoh, nama baptisnya ialah Antonius.

37 Buku Kenangan Pesta Emas 1949-1999, yang diterbitkan Panitia Emas Paroki Nanga

Pinoh tahun 1999, hal. 7-14, menyebutkan bahwa tanggal pendiriannya ialah 15 Agustus 1949.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 164


karena Beliau lancar berbahasa China, sementara umat di Nanga Pinoh umumnya

adalah keturunan Tionghoa. Kepergiannya tahun 1981 meninggalkan duka mendalam

bagi umat dan paroki Nanga Pinoh.

Karena Nanga Pinoh memiliki sekolah, maka tak terelakan banyak putera puteri dari

kampung yang datang bersekolah ke Nanga Pinoh. Mengingat dan prihatin dengan

begitu banyak putera dari kampung yang tidak memiliki keluarga dan tempat tinggal di

Nanga Pinoh, walaupun paroki belum memiliki gedung gereja paroki yang permanen,

maka tahun 1972 didirikan sebuah asrama putera bagi mereka yang baru diresmikan

tahun 1974. Dua tahun kemudian, pembangunan gedung gereja selesai dan

diresmikan oleh Vikaris Jenderal, Pastor Hubertus P.G Swerts, SMM.

Selain peresmian gedung gereja baru, tahun 1976 juga ditandai dengan kedatangan

para Pastor Lazaris (Vinsensian) yang sebelumnya bertugas di Vietnam, yaitu Pastor

Jacques Gros, CM, Pastor Gabriel Dethune, CM, Pastor V. Berset, CM, dan Pastor

Crawford, CM. Kemudian disusul oleh kehadiran Pastor Paulus Aryono dan Carlo

Karyanto pada tahun 1979.

Dimulai kepandaian puteri oleh para suster SMFA, lalu asrama putera oleh Paroki,

maka pada tahun 1980, Paroki memutuskan untuk mendirikan Sekolah Menengah

Pertama (SMP), yang diberi nama SMP Katolik Setya Budi. Tidak hanya berhenti

dengan SMP, pada tahun 1994 didirikan TK Bunda dan tahun 1995 didirikan Sekolah

dasar (SD) Yos Sudarso.

2. Paroki Santa Maria tak Bernoda, Belimbing

Paroki Santa Maria Tak Bernoda, Belimbing terdiri dari 30 stasi, termasuk 3 calon stasi

baru. Jumlah umat hingga akhir tahun 2010 adalah 9.239 jiwa.

Para Imam yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor J. Gros, CM (1979-1996);

Pastor Paulus Pati Lein, Pr (1996-2004); Pastor Yosef Dosi Mbele, Pr (2003-2010);

Pastor Lukas Lamadua, Pr (2009-sekarang), Pastor F. X. Pintau, Pr (2010-sekarang).

Sejak Nanga Pinoh menjadi sebuah paroki pada tahun 1949, daerah sungai Belimbing

mulai teratur dikunjungi oleh para Pastor. Kampung yang agak sering dikunjungi ialah

yang berada di sungai Melawi, terutama Nanga Emang (Kancing I) karena sering

menjadi persingahan para pastor yang pergi atau datang dari Nanga Pinoh ke Sintang

dan sebaliknya. Di kampung inilah berdiri kapel pertama di wilayah sungai Belimbing,

yang dibangun pada tahun 1952.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 165


Pastor A. Schellart, SMM, Pastor Paroki Nanga Pinoh saat itu, mulai mengunjungi

daerah-daerah sepanjang sungai Pinoh dan sungai Belimbing dari tanggal 7 Februari

hingga 17 Maret 1954. Tanggal 9 Februari 1954 dari hulu Keluas, yang sudah

berbatasan dengan sungai Belimbing, Beliau berangkat menuju Balai Agas (suku

Munta), sebuah kampung Protestan saat itu. Tanggal 10 Maret Beliau milir sungai

Belimbing dan tanggal 13 Beliau berada di Nanga Keberah. Pada awal-awal karya

misinya di daerah sepanjang sungai Belimbing, Beliau umumnya masuk mulai dari

hulu.

Selama berstatus sebagai stasi dari Paroki Nanga Pinoh, wilayah Belimbing berturutturut

dilayani oleh Pastor Linssen, SMM; Pastor A. Bernard, SMM; Pastor Matias

Lunggai, Pr; Pastor H. Swerts, SMM; Pastor Harrie van Cuyck, SMM; Pastor Niko

Diester, SMM; Pastor Valentino Bosio, CM; Pastor Prio Utomo, CM; dan Pastor Agus

Sudaryanto, CM. Ketika menjadi paroki sendiri pada tahun 1979, paroki baru ini

ditangani oleh Pastor J. Gros, CM, yang saat itu masih bertempat tinggal di Nanga

Pinoh.

Gereja Maria tak Bernoda, di Pemuar

Wilayah paroki ini cukup luas dan mencakup dua kecamatan, yaitu kecamatan

Belimbing Hulu dan kecamatan Belimbing Hilir. Pusat paroki terletak di Pemuar, yang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 166


merupakan ibukota kecamatan Belimbing Hilir. Sebelah barat berbatasan dengan

Paroki Nobal, bagian timur berbatasan dengan Paroki Nanga Pinoh, dan sebelah

selatan berbatasan dengan Paroki Tempunak. Semua kampung di paroki ini dapat

dikunjungi melalui jalan darat atau jalan air.

Ratio populasi umat bervariasi. Di banyak tempat mayoritas umat adalah etnis Dayak,

tetapi di tempat lain, khususnya daerah-daerah transmigrasi dan perkebunan sawit,

jumlah etnis Dayak dan para etnis pendatang (Tionghoa, NTT, Jawa dan lainnya),

kurang lebih seimbang.

3. Paroki Santa Maria, Tanah Pinoh

Paroki Santa Maria, Tanah Pinoh, terdiri dari 27 buah stasi, dengan jumlah umat

seluruhnya pada akhir tahun 2010 adalah 2.756 jiwa.

Para Imam yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Jacques Gros, CM (1980-

1996); Pastor Yoseph Padak Duli (1996-2003); Pastor Lukas Lamadua (2003-2005),

Pastor Agustinus Puguh Suwito (2004-2005); Pastor Patris Piki, Pr. (2005-sekarang),

Pastor Markus Kornelis Marhusen (2010-sekarang).

Paroki Tanah Pinoh terletak di hulu sungai Pinoh, Kabupaten Melawi. Wilayah paroki

ini mencakup empat kecamatan, yaitu kecamatan Tanah Pinoh, Sokan, Sayan dan

Tanah Pinoh Barat.

Tanah Pinoh merupakan daerah yang baru belakangan dimasuki Gereja Katolik di

daerah Melawi. Hal ini terjadi karena sejak zaman Kolonial Belanda dahulu, daerah ini

dikhususkan untuk Protestan. Karena walau Gereja Katolik sudah memasuki tanah

Melawi sejak kemerdekaan negeri ini, tanah Pinoh belum mendapat perhatian serius

dari Gereja Katolik hingga tahun 1970-an.

Tidak ada catatan turne bahwa Pastor pernah mengunjungi Kota Baru sebelum

kemerdekaan. Tetapi dari data baptis yang ada di Katedral Sintang, tercatat bahwa

Pastor David van de Made, OFM Cap membaptis Fransiskus Sit Tjoeng (lahir tanggal 8

September 1936) pada tanggal 10 November 1936 (LB 89), dibaptis di Kota Baru. Wali

baptisnya ialah Pak Simon Goendoel.

Pastor Schellart, SMM yang saat itu bertugas di Nanga Pinoh, pernah mengunjung Kota

Baru pada tanggal 7 s.d. 11 Februari 1954 dan Nanga Sokan pada tangal 11-13 Februari

1954. Beliau juga mengunjungi kampung-kampung lain di daerah tersebut, seperti

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 167


kampung Daur (tgl 18), kampung Landau Bunga (tgl 19), Nanga Tangkit, dsb. Beliau

juga ke kampung Penyekuang (tgl 21), kampung Lubuk Pongga (tgl 22), kampung

Nanga Libas (tgl 23), dsb. Tgl 27 Beliau ke hulu sungai Cina bahkan sampai ke kampung

Kepala Daak dan Laman Togap, dan kembali ke Kota Baru tanggal 2 Maret dan

mengunjungi Ulak Muid, Nanga Taum, Lintah hingga tanggal 6 Maret. Tanggal 9 Beliau

ke hulu Keluas, yang sudah berbatasan dengan sungai Belimbing dan keluar lewat Balai

Agas (suku Munta), sebuah kampung Protestan saat itu. Tanggal 10 Maret Beliau milir

sungai Belimbing dan tanggal 13 Beliau berada di Nanga Keberah, lalu menumpang

motor tempel seorang China, balik ke Nanga Pinoh. Setelah itu praktis tak ada lagi

kunjungan, karena umumnya sudah menjadi daerah Protestan.

Gereja Santa Maria, di Kota Baru

Pastor John Joseph Breslin, SMM selama bertugas di Nanga Pinoh juga beberapa kali

mengunjungi daerah ini.

Pelayanan pastoral dan kegiatan pendidikan iman di Tanah Pinoh dimulai secara

teratur oleh para awam sendiri. Pada tahun 1977, beberapa guru Katolik asal Nusa

Tenggara Timur dan Jawa Tengah yang bertugas di wilayah Tanah Pinoh, yang

terpanggil oleh iman mereka dan atas dorongan Mgr. Isak Doera, mulai mengajar

agama dan memimpin ibadat di tempat mereka bertugas, berbekal Kitab Suci, Rosario,

Jubilate dan Buku Doa Harian yang diberikan keuskupan. Awalnya hanya sedikit orang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 168


Dayak, juga beberapa keturunan Tionghoa yang mengaku beragama Katolik, walau

belum dibaptis, yang ikut serta dalam ibadat-ibadat yang dirayakan.

Berawal dari niat untuk menjenguk dan melayani kebutuhan rohani, khususnya Ekaristi

bagi para guru yang tersebar di beberapa kampung, Pastor Jacques Gros, CM

mengunjungi daerah Sayan, Sokan, Kota Baru dan Tanah Pinoh pada tahun 1979.

Karena belum menjadi sebuah paroki yang berdiri sendiri, maka daerah Tanah Pinoh,

yang merupakan bagian dari Paroki Nanga Pinoh, dilayani oleh Pastor Gros dari Nanga

Pinoh.

Karena Pastor Gros juga melayani paroki yang lain, maka Beliau hanya dapat

mengunjungi umat di wilayah ini secara berkala. Untuk sedikit mengatasi masalah ini,

Beliau mengangkat Pak Pinus, seorang guru SMPN 1, Tanah Pinoh, untuk mengurus

kegiatan dan pelayanan pastoral paroki, di bawah pengawasan Pastor Gros sendiri.

Saat-saat tertentu Beliau juga sangat terbantu dengan kehadiran frater yang

berpastoral.

Tahun 1996, Pastor Yosef Padak Duli, Pr diangkat menjadi Pastor Paroki dan mulai

menetap di Kota Baru, dalam sebuah pastoran sederhana. Sejak saat itu pelayanan

rohani dan kegiatan pastoral menjadi rutin dan lebih intensif. Arah pastoral dan

pembinaan rohani dilakuka sesuai dengan arah dasar keuskupan, yaitu untuk

membangun umat yang beriman mendalam, mandiri dan missioner.

4. Paroki Santo Petrus, Ella Hilir

Paroki Santo Petrus, Ella, terdiri dari 44 stasi, dengan total jumlah umat pada akhir

tahun 2010 adalah 5.149 jiwa.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Jacques Gros, CM; Pastor

Karlo Karyanto, CM; Pastor Vinsensius Rato, Pr (2000-2004); Pastor Mathias Sala, Pr

(2009-2010); Pastor Joseph Chrispinus Longa, Pr. (2004-2010); Pastor Yohanes Bebok,

Pr (2010 – sekarang).

Sejak dibukanya paroki Nanga Pinoh pada tahun 1949, praktis sepanjang sungai

Melawi agak rutin dilewati oleh para misionaris. Tercatat bahwa pada tanggal 16-22

Februari 1953, pastor A. Schellart turne ke daerah sungai Ella. Tanggal 17 Beliau

mengunjungi pasar Ella di mana ada lima toko warga keturunan Tionghoa. Hari-hari

berikutnya Beliau mengunjungi beberapa kampung di hulu Nanga Ella di mana Beliau

berjumpa dan melayani umat dari etnis Dayak.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 169


Tanggal 25 Juni hingga 19 Juli 1953, kembali Pastor A. J. H. Schelart mengunjungi umat

di sungai Ella. Tanggal 26-29 Beliau berada di Nanga Ella, tanggal 30 Beliau berada di

kampung Kempangai, tanggal 2 juli Beliau berada di kampung Sei Kutu, dan hari-hari

selanjutnya Beliau terus mengunjungi kampung-kampung lain, termasuk kampung

Penyuguk pada tanggal 9 Juli dan kampung Akam pada tanggal 10 Juli 1953. Beliau

masih terus mengunjungi secara rutin pada tahun-tahun selanjutnya hingga tahun

1964 ketika dipindahkan dari Nanga Pinoh.

Selain pastor Schellart, daerah ini juga dikunjungi oleh Pastor Anton Bernard, SMM

pada tanggal 8 April hingga 17 Mei 1956. Pada kunjungannya ini, Beliau bertemu

dengan Lurah Tindjok Rahin dari Kerangan Kora, pada tanggal 14 Mei 1956, yang atas

nama etnis Dayak di wilayah sungai Ella meminta dan memberi izin bagi pastor untuk

mendirikan dan menangani sekolah di wilayah itu, karena belum ada etnis Dayak dari

daerah itu yang bersekolah. Tanpa diminta pun, Pastor Bernard dalam laporannya

kepada Prefek Apostolik menyatakan bahwa daerah ini sangat membutuhkan guru,

karena begitu banyak calon katekumen. Beliau juga meminta, kalau bisa, dua guru, Pak

Ambok dan Pak Daban ikut membantu ke sana.

Pastor Anton Bernard kembali mengunjungi daerah ini pada tahun 1961, khususnya

kampung-kampung di sepanjang sungai Nyuruh. Ada juga beberapa pastor lain yang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 170


mengunjungi daerah ini, antara lain Pastor van Eunen pada bulan Juli 1956; Pastor

John Joseph Breslin, SMM pada bulan November 1962; serta Pastor Matias Lunggai,

Pr, dari tanggal 31 Desember 1966 sampai dengan 12 Januari 1967.

Tahun 1979, wilayah Ella menjadi paroki baru, memisahkan diri dari Paroki Nanga

Pinoh. Sejak saat masih sebagai bagian dari paroki Nanga Pinoh hingga menjadi paraki

baru, paroki ini dipercayakan kepada para imam Lazaris (Kongregasi Misi). Pastor Karlo

Karyanto CM, selain menggalakan pelayanan pastoral, tiada henti-hentinya

mengusahakan kesejahteraan umat lewat berbagai proyek sosial, seperti pelatihan

dan pendidikan di bidang pertanian (khususnya karet), pertukangan, dsb.

5. Paroki Santa Luisa, Menukung

Paroki Santa Luisa, Menukung terdiri dari 43 stasi dengan jumlah keseluruhannya

sebanyak 6.564 jiwa pada akhir tahun 2010.

Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Jacques Gros, CM (1979–

1980); Pastor Gabriel Dethune, CM (1980–2000); Pastor Markus Rudy Hermawan, CM

(2000–2002); Pastor Agustinus Ubin, CM (2002–2006); Pastor Paulus Eko Nurbandrio,

CM (2006-sekarang).

Pelayanan umat di Menukung berawal dari sebuah kampung bernama Bondau. Pada

waktu itu Bondau merupakan stasi dari Paroki Nanga Pinoh. Seiring dengan makin

bertambahnya jumlah umat yang tersebar di daerah sekitar Menukung dan jarak

tempuh yang jauh dari Pinoh maka Pastor Jacques Gros, CM berinisiatif untuk

menetap di Bondau. Dipilihnya Bondau adalah karena letaknya yang stategis yakni di

tepi sungai Melawi dan jumlah umat Katolik yang lumayan banyak.

Keputusan itu berbuah manis yaitu dengan semakin bertambahnya jumlah kampung

yang penduduknya menjadi Katolik. Karena jumlah kampung yang harus dilayani

semakin banyak maka pada tgl. 1 september 1979 Bondau dinaikkan statusnya

menjadi paroki dengan nama pelindung Sto. Vinsensius dan Pastor Gros CM menjadi

Pastor Paroki yang pertama. Pastor-Pastor yang pernah berkarya di pastoran Bondau

adalah Pastor Gros CM, Pastor. Crawford CM, Pastor Gabriel Dethune CM, Pastor

Berset CM dan Pastor Paulus Aryono CM.

Karena pertambahan penduduk semakin banyak akhirnya Menukung dimekarkan

menjadi kecamatan dan memisahkan diri dari Serawai. Menukung menjadi pusat

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 171


Kecamatan. Kenyataan ini menimbulkan situasi dilematis bagi para pastor. Bondau

sudah ditetapkan menjadi Pusat Paroki akan tetapi pusat kecamatan adalah

Menukung. Bagaimanapun juga pusat paroki harus berkedudukan di pusat kecamatan.

Akhirnya para pastor sepakat bahwa pusat paroki harus dipindahkan ke Menukung.

Maka diutuslah Pastor Gabriel Dethune CM untuk mencari lokasi yang akan dibangun

gereja dan pastoran.

Melalui perjuangan yang tidak ringan didapatlah sebidang tanah di Menukung dan

Pastor Gabriel Dethune mengajak umat Katolik di Menukung untuk membangun

gereja dan pastoran. Sampai akhirnya setelah gereja selesai dibangun, Menukung

diresmikan menjadi paroki pada tgl. 23 Mei 1980 dengan pelindung Sta. Luisa, dengan

demikian pusat paroki dipindahkan ke Menukung dan Bondau berubah statusnya

menjadi stasi.

Kutipan dari sebuah Catatan Harian pada saat PD II, dalam bahasa Belanda dan tidak

diketahui siapa penulisnya.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 172


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 173


1. Suster Fransiskanes Santo Antonius (SMFA)

Nama

Pimpinan Provinsi

Pemimpin Regional

Jumlah di Sintang

Karya

Alamat Regional

Kongregasi Suster Misi Fransiskanes dari

Sto. Antonius (SMFA)

Sr. Modesta Endang Murtiwi, SMFA

Sr. Kristina Unau Seni, SMFA

35 suster berkaul kekal

25 orang suster yunior

6 orang suster novis

2 orang postulan

Pendidikan, asrama, pastoral, dsb.

Wisma Dharmawati, Jln. Panggi, Sei Durian,

Sintang, Kalimantan Barat.

Serikat Misi Fransiskanes

dari Sto. Antonius (SMFA)

didirikan oleh Pastor

Gerardus van Schijndel,

seorang imam diosesan

keuskupan Den Boscho,

Belanda pada tahun 1906,

ketika mengumpulkan

beberapa puteri, di

antaranya Maryam van

Dijk (Sr. Antonia) untuk

membentuk kelompok yang menjadi cikal bakal kongregasi baru. Kongregasi baru ini

akhirnya mendapatkan status apostoliknya ketika Takhta Suci memberikan

persetujuannya pada tanggal 17 Februari 1913, yang menjadi hari resmi kelahiran

kongregasi ini.

Pada tahun 1930 Mgr. Bos, Administrator Apostolik Pontianak, menghadap pimpinan

Serikat SMFA membicarakan kemungkinan bantuan untuk bekerja di daerah Misi

Kalimantan. Menanggapi permintaan ini, pada tanggal 24 Februari 1931 empat orang

Suster, yaitu Sr. Gerarda, Sr. Dominika, Sr. Dolorata dan Sr. Yosephine, berangkat

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 174


menuju Indonesia. Pionir-pionir pertama ini mulai berkarya di Benua Martinus. Karya

awal para pionir ini ialah pembinaan para puteri dan asrama serta karya kesehatan.

Pernah ada tawaran pemerintah Hindia Belanda kepada tarekat untuk memiliki RS

tetapi ditolak oleh tarekat. Karya para suster di RSU Sintang dan Putussibau akhirnya

berhenti saat Residen Neys memutuskan kontrak kerjasama dengan tarekat SMFA

pada tanggal 10 November 1940 yang berlaku pada Agustus 1941. Bulan ini, datang

seorang mantri dan seorang perawat dari Jawa untuk menggantikan mereka.

Para suster SMFA mulai bekerja di Sintang bermula atas permintaan penjabat

pemerintah Hindia Belanda di Sintang, untuk menangani rumah sakit pemerintah

(Landschasziekenhuis) yang kurang terurus. Maka pada tahun 1932 datanglah Sr.

Xaveria dan Sr. Bernadetha. Mereka dua bersama dengan Sr. Dolorata yang datang

dari Benua Martinus, mulai membantu di Rumah Sakit Sintang, dalam bidang

administrasi dan keperawatan. Pekerjaan mereka amat memuaskan, sehingga

Pemerintah Belanda meminta mereka untuk membantu di Rumah Sakit Putussibau

pada tahun 1938. Tahun 1936, para suster diperkuat tenaga baru dengan kedatangan

Sr. Rosa dan Gemma, pada tanggal 1 Desember 1936.

Tahun 1969, rumah sakit ini sepenuhnya diserahkan kembali kepada pemerintah.

Selain di Sintang dan Putussibau, karya kesehatan juga pernah dilayani di Benua

Martinus dan Sejiram. Selain melayani rumah sakit, kongregasi juga melayani

pendidikan di mana Sr. Imelda dan Sr. Mathea mengajar di HCS yang berkedudukan di

Sei Durian. Karya di Sei Durian ini akhirnya berkembang, hingga berdirinya asrama

Dharmawati di dekat katedral, Sekolah kejuruan (SKP, SKKP lalu menjadi SMKK) pada

tahun 1950, dan rumah di Sei Durian, Sintang dijadikan sebagai rumah induk

kongregasi sebelum akhirnya dipindahkan ke Pontianak. Saat ini SMFA memiliki

beberapa rumah dan berkarya di keuskupan lain, yaitu keuskupan Sanggau dan

Pontianak.

Walau mulai bekerja di Indonesia sejak tahun 1932, ternyata tidaklah mudah

menumbuhkan panggilan dari puteri-puteri pribumi untuk menjadi anggota

kongregasi. Pada tanggal 13 Mei 1955, tiga orang Puteri Dayak, angkatan pertama,

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 175


mengucapkan kaul pertama mereka di Sejiram, dalam Misa Agung yang dipimpin oleh

Mgr. L. van Kessel. Ketiganya adalah, Sr. Joanna; Sr. Margaretha; dan Sr. Marietta.

Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1965, tiga serangkai puteri pribumi dari

suku Dayak menjadi anggota tarekat SMFA, mengucapkan kaul kekal mereka, yaitu Sr.

Margaretha Ingkil, SMFA; Sr. Marietha Lenti, SMFA; Sr. Yoanna Dilo, SMFA (lht

gambar, baris depan dari

kiri ke kanan). Ketiganya

segera disusul oleh lima

puteri lainnya menjadi

anggota kongregasi, yaitu

Sr. Clara Loh, SMFA; Sr.

Lucia Puasa, SMFA; Sr.

Hilaria Undai, SMFA; Sr.

Agnes Samba, SMFA; dan

Sr. Bernada, SMFA.

Angkatan ketiga ialah Sr.

Imakulata, SMFA, Sr. Rufina

Mah, SMFA, dan Sr.

Magdalena. Setelah itu

susul menyusul hingga kini,

para puteri buah dari misi

pendahulu menjadi

anggota tarekat. Kini

semua anggota tarekat

provinsi Indonesia adalah

orang Indonesia.

Di keuskupan Sintang, saat

ini SMFA memiliki rumah

dan berkarya di Sintang,

Putussibau dan Emparu.

Karya-karya yang ditangani

7 Suster SMFA Pribumi, 2 Angkatan Pertama ialah pembinaan dan

pendidikan, terutama

pendididkan keterampilan, asrama, pastoral, dsb. Karya dan tempat yang pernah

ditempati tetapi sudah ditutup ialah Serawai (1981), Sejiram (1986), dan Benua

Martinus (1990).

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 176


2. Ordo Santa Ursula- Suster Ursulin (OSU)

Pimpinan Provinsi:

Pemimpin Regional:

Jumlah di Sintang

Jumlah di Indonesia

Karya

Alamat Regional

Sr. Edith Watu, OSU

Sr. M. Widowati, OSU

3 suster

Kaul kekal 248 orang

Kaul sementara

Novis

Pendidikan, asrama, pastoral, dsb.

Jlt. Beringin no. 1, Nanga Pinoh

Tlp. 0568-22401.

Setelah terjadi komunikasi beberapa kali antara keuskupan Sintang dengan Provinsial

Ursulin, akhirnya, berangkatlah para pionir Ursulin pada tanggal 15 Desember 1980

dari Jakarta menuju Pontianak. Setelah menunggu beberapa hari di Pontianak, dengan

menumpang kapal motor Dharmawati, yang mana Sr. Genoveva SMFA bertindak

sebagai kaptennya, mereka mengarungi sungai Kapuas menuju Sintang selama dua

hari dua malam. Tiga orang suster, yang diantar oleh asisten provinsial, Sr. Dorothea

Widjaja, OSU, akhirnya tiba di Sintang pada tanggal 22 Desember 1980. Tanggal 23

Desember 1980 dengan menumpang sebuah truk barang, empat orang suster

berangkat menuju Nobal. Truk ternyata hanya dapat mencapai Tengadak, sehingga

sebagian besar barang dititipkan untuk sementara di sebuah Betang di Tengadak, dan

beberapa tas dibawa serta sambil jalan kaki sejauh delapan kilometer menuju Nobal.

Selain disambut oleh umat, mereka juga disambut dan dibantu oleh Pak Petrus Amuk

(alm.), seorang Katekis serta isterinya, Ibu Irene, seorang guru SDN Nobal.

Para suster menamai kampung ini sebagai Nobal Betlehem, karena mengingatkan

tanggal 23 Desember merupakan hari menjelang kelahiran Yesus di Betlehem.

Para suster pionirnya ialah Sr. Fransisca Loboda, OSU

(almh); Sr. Maria Sri Sunarti, OSU, dan Sr. Theresia Yuih

OSU. Karena dedikasi, pelayanan dan ketiadaan imam

yang sangat lama tidak melayani paroki Nobal secara full

time, para suster sering disebut sebagai ‘pastor’ paroki

Nobal oleh umat di wilayah itu. Para suster melakukan

turne secara teratur ke kampung-kampung, melakukan

pembinaan, pendidikan keterampilan, pelatihan,

penyuluhan mengenai berbagai bidang (kesehatan,

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 177


pertanian, wanita, keuangan, dsb.), juga melakukan dan melayani administrasi paroki.

Di samping itu, para suster juga menjadi guru terbang, karena juga mengajar di PGAK

Sintang di bidang spiritualitas, Kitab Suci dan moral, yang saat itu harus ditempuh

selama 8 jam dengan mobil bila musim kemarau, dan mereka harus bersepeda selama

belasan jam bila musim hujan.

Para suster mendirikan semacam TK, yaitu “Sahabat Yesus” di mana menjadi wadah

pertemuan harian anak-anak usia pra sekolah dasar, dari hari Senin sampai Jumat,

dengan kegiatan pembinaan iman dan apa-apa yang khas untuk anak-anak TK. Pastor

Yosef Silvinus Sapomo, CM; Sr. Carolina Mariani Seilon OSA; serta Sr. Clementina

Darawati, OSA, merupakan mantan dan buah hasil pembinaan iman “Sahabat Yesus”.

Para suster Ursulin yang pernah berkarya di Nobal setelah para pionir ialah, Sr.

Christina Pranata; Sr. Bernadine Sarwina; Sr. Maria Magdalena; Sr. Ignatio Resahardja;

Sr. Consilia Yanshak; Sr. Dorothea Widjaya; Sr. Elisabeth Marijamihardja; Sr. Yosephine

Sukawit; Sr. Josephina Surti Susantinah; dan Sr. M. Widowati

Para Suster Ursulin pionir di Nobal bersama Pak Stef. Dagang

Atas permintaan pastor Paroki Nanga Pinoh, pada tahun 1994, Sr. Yosephine mulai

membantu secara part time menangani TK Bunda di Nanga Pinoh, dan Nobal diperkuat

oleh Sr, Widowati yang datang pada tanggal 29 Desember 1995. Melihat kemungkinan

karya di Nobal yang kurang maksimal, pada tahun 1996, Mgr Agustinus Agus

menawarkan Ursulin untuk berkarya di Bika Nazareth atau Nanga Pinoh. Provinsial dan

Dewan Ursulin memutuskan untuk bekarya di Nanga Pinoh. Maka, setelah selama 17

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 178


tahun berkarya di Nobal, para suster Ursulin resmi meninggalkan Nobal pada bulan Juli

1997, dan resmi memasuki paroki Nanga Pinoh pada tanggal 15 Agustus 1998.

Komunitas awali ini terdiri dari Sr. Yosephine, Sr. Wilma dan Sr. Widowati.

3. Kongregasi Soeurs de la Charite de Sainte Jeanne Antide

(SdC atau SCSJ)

Pimpinan Provinsi:

Sr. Nunsia de Gori, SdC

Pemimpin Regional:

Jumlah di Sintang

Jumlah di Indonesia

Karya

Sr. Magdalena Ferrero, SdC

23 suster

33 suster

16 suster berkaul kekal

Alamat Regional Jerora I, no. 1

Sintang

6 suster berkaul sementara (yunior)

11 novis

Pastoral, katekse, pendidikan (Guru), sosial

karitatif, dsb.

Sejak tahun 1970-an sangat terasa kebutuhan tenagatenaga

suster untuk berbagai kebutuhan pelayanan,

karena tenaga dari suster-suster SMFA dirasa sudah

tidak mencukupi lagi. Mgr. Isak Doera menghubungi

dan meminta bantuan para imam Oblat Maria (OMI)

untuk mencari tarekat suster yang mau bekerja di

Sintang. Usaha ini terwujud pada tanggal 4 januari

1980 ketika 5 orang suster SdC datang dari Perancis ke

keuskupan Sintang, sambil terdahulu belajar bahasa

Indonesia di Bandung selama lima bulan. Para suster

pionir tersebut ialah Sr. Jean Bernard Metrailer

(pimpinan), Sr. Magdalena M. Ferrero, Sr. Maria Gabriel

Lonfat, Sr. Leonarda Perini, dan Sr. Jean Paul Raimondi.

Semua suster ini adalah mantan misionaris di Laos, kecuali Sr. Jean Bernard.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 179


Para suster diminta oleh Mgr. Isak untuk berkarya di Paroki Sepauk, bersama dengan

para imam Oblat. Maka dengan menggunakan perahu bertenaga 6 PK, mereka

dijemput dan diantar oleh Pastor Andre Hebting menuju kampung Temanang dan tiba

pada tanggal 10 Mei 1980. Kendala utama pada awal pelayanan para suster ialah

karena para suster belum bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Tarekat membeli

tanah dan membangun sebuah rumah induk di Temanang, dan juga menempati

sebuah rumah keuskupan di Lengkenat.

Mengingat kebutuhan tenaga yang sangat besar, maka tahun 1984 datang lagi seorang

suster, yaitu Sr. Sophie, tetapi melepaskan Sr. Jean Paul yang ditarik ke dewan general

di Roma pada tahun 1985. Tarekat kembali diperkuat oleh tanaga baru dengan

kehadiran Sr. Anna Rita pada tanggal 25 April 1989.

Biara Caritas (SdC) di Jerora I, Sintang

Semula mereka berencana hanya bekerja sekitar 5 tahun sehingga tidak menjadi

rencana atau pemikiran tarekat untuk menerima calon pribumi dan membuka novisiat.

Ternyata mereka bekerja bukan hanya lima tahun dan setelah 10 tahun berlalu tetap

belum ada minat dari puteri pribumi untuk bergabung. Perubahan besar terjadi pada

tahun 1995 ketika dua orang puteri pribumi melamar untuk menjadi anggota tarekat.

Para pionir pribumi ini adalah Sr. Elisabet dan Sr. Martha. Untuk mendidik dan

membina para calon, maka tarekat, dalam hal ini dewan general, mengutus Sr. Jose

Marongiu sebagai formator untuk para calon. Sejak saat itu panggilan terus

berkembang dan panggilan datang dari berbagai daerah di negeri ini. Melihat keadaan

dan perkembangan yang ada maka pada tahun 1996 tarekat membeli sebuah rumah

untuk pembinaan (novisiat) di daerah hutan Baning. Tahun 2007 mulai dibangun

rumah baru, yang berfungsi sebagai rumah induk dan tempat formasi para novis, yaitu

di Jerora I, Sintang, yang selesai seluruhnya pada tahun 2010.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 180


Karya yang menjadi pelayanan tarekat ini ialah pastoral dan kerasulan di wilayahwilayah

Paroki Sepauk dan Katedral, juga pendidikan (guru) di Pancasetya, Sintang.

Beberapa suster berkarya di Pontianak, Nias dan formasi (studi) di Jogja.

4. Asosiasi Lembaga Misionaris Awam (ALMA)

Pimpinan Provinsi:

Ibu Yulia C. Mardiati, ALMA

Pemimpin Regional:

Jumlah di Sintang:

Sr. Laurentia Lering, ALMA

8 orang kaul kekal

4 orang kaul sementara

1 orang profesi

1 orang novis

Karya: Pendidikan formal dan non-formal,

kesehatan, asrama, pastoral, dsb.

Alamat Regional:

Serundung Permai, RT/RW: VI/03, Desa Tj.

Niaga, Nanga Pinoh

yurisdiksi Uskup Malang.

ALMA adalah sebuah lembaga hidup bakti sekulir

(institute sekulir), bukan lembaga hidup bakti

religius. ALMA didirikan pada tanggal 27

September 1960 dalam peringatan 300 tahun

wafatnya Sto. Vincentius De Paul (tahun 1581 –

1960) di Madiun, Jawa Timur, di Jln. Ahmad Yani

17. Pendiri ALMA adalah Pastor Hendrikus

Yanssen, CM yang lahir pada tanggal 29 Januari

1922 di Venlo, Belanda. Tahun 1967 ALMA

dipindahkan ke Malang dan berada di bawah

Pada bulan Januari 1989, Romo Paul Yanssen sebagai pendiri dan Bapa rohani ALMA,

bersama Pimpinan Ibu Ign. Mujiyah dan dewannya mengutus 3 anggota ALMA untuk

datang di Kalimantan Barat, tepatnya di Paroki Sta. Perawan Maria Diangkat Ke Surga,

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 181


Nanga Pinoh. Para pionir ini datang ke Keuskupan Sintang untuk membantu karya

pastoral dan karya sosial pelayanan orang sakit di Dharma Husada, Nanga Pinoh.

Sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 2010 (21 tahun), anggota ALMA yang pernah

berkarya di Nanga Pinoh berjumlah 48 orang dan yang bukan anggota ALMA (IPI,

SMPS, SMPP) berjumlah 35 orang. Jumlah anggota ALMA yang berasal dari Kalimantan

Barat dan masih ada sampai tahun 2010 berjumlah 5 orang, yaitu, Sr. Yustina Della dari

Paroki Balai Sebut, Sr.

Mariana Ida dari Paroki

Jangkang, Sr. Maria Susilowati

dari Paroki Nanga Pinoh, Sr.

Indrawati dari Paroki Kelam,

Sr. Monika Bule dari

Keuskupan Ketapang. Jumlah

panggilan yang studi di

Malang (IPI, SMPS, SMPP)

yang sudah bekerja/berkarya

sebanyak 45 orang,

sedangkan yang saat ini masih

kuliah/sekolah berjumlah 35

orang.

Karya ALMA ialah melalui

Yayasan Bhakti Luhur yang

bergerak dalam bidang

Wisma Ruben:

Rumah Komunitas ALMA di Pinoh

pelayanan karya sosial. ALMA telah membangun wisma-wisma atau Panti Asuhan

Bhakti Luhur di berbagai wilayah di negeri ini, termasuk di Nanga Pinoh. Di samping itu

para anggota ALMA juga bergerak di bidang pendidikan formal dan non-formal, seperti

TK – SD, SLB (terapi-terapi) – SMP – SMPP – SMPS – STPS.

Anggota ALMA juga aktif dalam bidang kesehatan melalui yayasan Bhakti Luhur untuk

rawat-inap orang sakit. Yayasan ini juga menampung anak-anak gizi buruk dan yang

ditelantarkan. Kehadiran SLB Bakti Luhur di Nanga Pinoh, yang menangani anak-anak

cacat, merupakan berkat besar bagi umat dan masyarakat umum karena fasilitas

semacam ini amat langka di Kalimantan Barat, terutama di Keuskupan Sintang. SLB ini

menampung, mengajar, mendidik dan memberi terapi kepada anak cacat tuna netra,

tuna rungu-wicara, tuna mental, tuna daksa (cacat fisik) dan tuna ganda. Bidang kerja

lainnya ialah Pastoral, terutama melalui Institut Pastoral di Malang dijalankan dan

dimiliki oleh ALMA.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 182


Para suster juga aktif dalam kegiatan pastoral paroki, terutama di seksi pewartaan dan

liturgi, serta kegiatan pastoral dan missioner lainnya, seperti di Sekolah Minggu,

Sekami, Legio Maria, Serikat Santo Vinsensius (SSV), dsb..

Selain di Keuskupan Sintang, ALMA juga berkarya di berbagai keuskupan, antara lain,

keuskupan Surabaya, Malang, Jakarta, Bogor, Bandung, Ende, Maumere, Kupang,

Atambua, Weetebula, Pontianak, Sintang, Banjarmasin, Medan, Ambon, Merauke, dan

Dili.

5. Kongregasi Puteri Reinha Rosari (PRR)

Pimpinan Umum:

Pemimpin Regional:

Jumlah di Sintang

Sr. M. Benedictis, PRR

Sr. M. Sophina, PRR

3 orang

Jumlah di Indonesia 399 berkaul (299 berkaul kekal dan 100

berkaul sementara.

Karya di Sintang

Alamat Regional

21 Novis

Bidang Pastoral dan Kateketik,

pendidikan (guru), Play Group.

Jln Sintang – Putussibau

Akcaya 1

Sintang - Kal –Bar

Tarekat Puteri Reinha Rosario (PRR) didirikan di Larantuka oleh Mgr. Gabriel Manek,

SVD (alm) bersama co-pendiri suster Anfrida, SSpS dan P. A. V de Burg, SVD, di Lebao,

Larantuka, Flores Timur, tanggal 15 Agustus 1958. Pendirian tarekat ini diidorong oleh

keadaan Gereja di Larantuka yang selama empat abad mengalami kekurangan tenaga

sebagai Allah bersabda bahwa “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit (Mat.

9:37; Luk 10:2) serta kecintaan Beliau kepada Bunda Maria. Kongregasi yang baru

didirikan ini diberi moto oleh sang pendiri: Da mihi virtutem da nobis virtutes (Berilah

daku kekuatan, berilah kami kekuatan-kekuatan).

Kelahiran tarekat PRR, menurut wakil dewan pimpinan umum, Suster Grasiana, PRR,

memiliki tiga latar belakang, yaitu 1) sebagai rasa syukur atas ketahanan iman umat di

Keuskupan Larantuka yang selama dua abad tidak ada bimbingan hirarki, tetapi tetap

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 183


kokoh; 2) kebutuhan mendesak akan tenaga pewartaan injil; 3) mengangkat harkat

dan martabat kaum perempuan. 38 Karya para suster PRR terutama berfokus pada tiga

bidang, yakni rohani/pastoral, pendidikan dan kesehatan.

Kini setelah mencapai usia setengah abad, kongregasi yang berspiritualitaskan Bunda

Maria sebagai Regina, Advocata et Mater ini telah berkembang pesat dalam jumlah

anggota dan wilayah pelayanan. Saat ini para suster Reinha Rosari telah hadir dan

bekerja di lima negara dan 31 wilayah keuskupan, yang tersebar pada tiga benua

besar, yakni Asia, Afrika dan Amerika. Di Indonesia, tarekat ini telah bekerja di 22

keuskupan.

Uskup Sintang, Mgr. Agustinus Agus melihat bahwa masih banyak sekali umat yang

tidak dilayani dan sangat membutuhkan tenaga penuh-waktu non imamat (imam)

yang dapat berkarya penuh untuk berbagai pelayanan, khususnya bidang pastoral.

Karena itu Beliau mendekati beberapa tarekat suster, di antaranya ialah Tarekat Puteri

Reinha Rosari yang berpusat di Larantuka.

Mananggapi undangan Mgr. Agustinus Agus, maka pimpinan tarekat, yang diwakili

oleh Sr. M. Laurensia, PRR, dan Sr. Benedictis, PRR, datang untuk meninjau keuskupan

Sintang. Hasil kunjungan memberikan kesimpulan positif, sehingga pimpinan tarekat

memutuskan untuk membuka pelayanan baru di keuskupan Sintang. Maka, pada

tanggal 22 Agustus 1999, datanglah empat orang suster PRR ke Sintang. Para suster

pionir ialah: Sr. Ernestin, PRR, Sr. Theophile, PRR, Sr. Hironima, PRR, dan Sr. Lamberta,

PRR. Setahun kemudian disusul oleh kedatangan Sr. Theodora, PRR. Untuk beberapa

tahun mereka tinggal di sebuah rumah tua di depan Rumah Sakit Umum Sintang dan

sejak tahun 2005, mereka memiliki dan tinggal di biara tarekat, di Akcaya 1, Sintang.

Pada masa masa awal kehadiran mereka di Sintang, para suster bekerja sebagai tenaga

pendidikan di yayasan Sukma serta membantu juga di Nusantara Indah. Karya para

suster lebih pada menopang karya yang sedang dilakukan keuskupan. Selanjutnya

tarekat juga mengembangkan karya-karya yang sesuai dengan visi dan spiritualitas

tarekat, di antaranya dengan membuka play group untuk pendidikan dan pembinaan

iman anak-anak.

38 Pos Kupang, Minggu, 24 Agustus 2008, halaman 11.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 184


6. Ordo Sancti Augustini (Ordo Santo Agustinus)

Pimpinan Provinsi: Sr. Lucia Wahyu, OSA (2007-2012)

Jumlah di Sintang

Jumlah di Indonesia

Karya

Alamat Regional

4 orang

108 berkaul

3 Novis

4 Postulan

Bidang Kesehatan : RSU, RB, BP ( Balai

Pengobatan )

Bidang Pendidikan dan Sosial : Play

Group, TK, SD, SMP, SMA dan Asrama.

Bidang Pastoral

Komunitas Virginie Badau

Jl. Pancasila Berangan

Nanga Badau, Kecamatan Badau

Putusibau 78767 Kal –Bar

Hermanus Lambertus Spoorman dilahirkan di kota Leiden pada tanggal 6 Nopember

1837. Sesudah tamat SD Beliau melanjutkan studinya di seminari hageveld dan

Warmond. Pada tanggal 15 Agustus 1860 ditahbiskan di Keuskupan Haarlem. Pada

awal masa tugasnyn Beliau sangat aktif di bidang pembangunan paroki, ia menjadi

seorang Gembala jiwa yang baik di parokinya : bagi yang sakit, yatim piatu, lanjut usia,

miskin, tertindas dan memperjuangkan kehidupan rohani dan pendidikan umatnya.

Melalui kata-kata dan pengertian yang mendalam, serta kebijaksanaan yang sejati,

Beliau memikat hati banyak orang dan membimbing mereka ke arah kehidupan

kristiani.

Abad XIX perawatan orang sakit dan lanjut usia sangatlah menyedihkan. Tinggal di RS

merupakan suatu hal yang memalukan. Dihadapkan dengan situasi seperti itu P.

Spoorman memutuskan untuk mendirikan sebuah wisma bagi orang yang lanjut usia

yang cukup kaya dengan maksud penghasilan yang ada digunakan untuk menolong

orang miskin. Namun ia menyadai bahwa hal ini tak dapat dilakukan sendiri, maka

Beliau minta bantuan pada suster-suster Augustinus Dendermonde di Belgia. Dan

diawah pimpinan Muder Apollonia, 3 suster ditugaskan di Delft. Mereka mengirim

sejumlah suster lagi untuk membantu dalam karya keselamatan. Jumlah gadis dari

belanda semakin berkembang masuk untuk menjadi suster, maka para Dewan Suster

Augustinus dari Dendermonde menganjurkan supaya mereka mendirikan Kongregasi

sendiri di negeri Belanda. Dan pada tahun 1888 atas persetujutuan Uskup Haarlem dan

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 185


P. Spoorman serta dewan Dendermonde didirikan sebuah kongregasi suster-suster

dengan tujuan : Melaksanakan karya-karya belas kasih khususnya merawat orang

lanjut usia, yang cacat dan yang sakit. Kongregasi ini dengan nama “Suster Augustinus

dari Kerahiman Allah”. Kecuali suster Vincentia, yang menjadi Pimpinan Umum yang

pertama, semua Suster lain dari Belgia pulang ke negeri asalnya. P. Spoorman menjadi

pembina / Direktur Kongregasi. Karya mereka terus berkembang di beberapa kota dan

anggotanya semakin bertambah.

Tahun 1904 Muder Vinsensia meninggal dunia dengan suatu kenangan : “Saya telah

meletakkan pondasi, supaya setiap orang memperhatikan baik-baik bagaimana ia

melanjutkan karya itu”. Lima tuhun kemudian P. Spoorman meninggal dunia dan

dikuburkan ditengah-tengah umat yang dicintainya.

Tahun 1949 pada waktu Sr. Agneta menjabat sebagai Pemimpin Utama tarekat, karya

itu telah meluas ke Asia, yaitu ke Ketapang, Kalimantan Barat, melalui lima pionir: Sr.

Euphrasia, Sr. Maria Paolo, Sr. Desideria, Sr. Prudentia, Sr. Mathea. Di sanalah cita,

cinta dan pengabdian bagi orang kecil terus berkembang, di tengah Gereja dan

masyarakat.

Pada Awalnya, berdasarkan semangat dan spiritualitas melayani orang kecil di Rumah

Sakit di beberapa kota di Belanda, maka mereka ditugaskan di Rumah Sakit

Pemerintah di Ketapang. Disamping itu mereka melihat kebutuhan untuk

memperkembangkan kehidupan wanita. Maka mereka membuka asrama dan sekolah

KRT/SKP/SMP. Lewat asrama dan sekolah gadis-gadis menerima ketrampilan. Setelah

mereka pulang ke kampung-kampung lewat ketrampilan tersebut mereka

meningkatkan rumah tangga, sehingga ekonomi, kesehatan dan pendudukan sangat

dirasakan oleh masyarakat setempat sebagai sumbangan berharga.

Bulan Mei tahun 2005 tarekat mulai bekerja di keuskupan Sintang, yaitu di Paroki

Badau, Kapuas Hulu. Setelah berdiam di hunian sementara, rumah baru akhirnya

diresmikan pada tanggal 7 Agustus 2005, sebagai rumah biara para suster (biara Sta.

Albertine), di atas tanah seluas setengah hektar. Karya-karya yang ditangani ialah

kesehatan, pastoral di paroki dan asrama.

Karya ini bermula dari kerinduan Mgr. Agus yang melihat kebutuhan daerah

perbatasan dengan permasalahannya yang lebih khas. Karya pelayanan para pastor

perlu dilengkapi oleh para suster. Karena itu dipilih daerah (Paroki) Badau sebagai

lahan baru pada suster OSA, karena Badau merupakan tempat yang strategis, tempat

transit dan lalu lintas orang dan barang antar negara Indonesia dan Malaysia. Bapak

Uskup bercita-cita, agar Badau dapat menjadi ‘tanah terjanji’ untuk karya misi,

khususnya karya para suster Agustinus.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 186


7. Congregatio Passionis (CP)

Pimpinan Provinsi:

Pemimpin Regional:

Jumlah di Indonesia

Jumlah di Sintang

Karya

Alamat Regional

Sr. Kristina Nong, CP

Sr. Efrida, CP

127 suster berkaul kekal

7 suster berkaul kekal

Paroki, pastoral, kaum muda (asrama,

pembinaan, dsb.), sekolah, rumah retret.

Susteran Pasionis,

Semitau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

Kongregasi suster Pasionis didirikan oleh Maria Magdalena

Frescolbaldi, di Florence, Italia pada abad XIX. Para suster Pasionis

masuk ke Indonesia pada tahun 1974, di antaranya masuk ke

Keuskupan Sanggau. Para suster pionir saat itu ialah, Sr. Noberta,

CP; Sr. Clorinda, CP; dan Sr. Maria Etiene, CP. Pada tahun 2011

ini, tarekat telah memiliki 22 rumah biara yang tersebar di

keuskupan Sanggau, Pontianak, Sintang, Jakarta, Bogor,

Surabaya, Malang, Ruteng, dan Ende.

Ketika para Pastor Pasionis mulai bekerja di Paroki Sejiram dan

Semitau pada tahun 2005, maka bersamaan dengan itu, lahir pula

niat keuskupan untuk mengundang juga para suster Pasionis untuk bekerja di

keuskupan Sintang, khususnya di kedua paroki yang dilayani oleh para imam Pasionis,

Sejiram dan Semitau. Tarekat suster Pasionis merupakan salah satu tarekat yang sudah

cukup lama bekerja di Kalimantan Barat, tetapi belum pernah masuk dan bekerja ke

wilayah Keuskupan Sintang.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 187


Niat baik ini akhirnya diwujudkan pada tahun 2008. Diantar oleh Provinsial sendiri, Sr.

Yuliana Selsia, CP, tiga suster Pasionis pionir datang dan mulai berkarya di Semitau

pada tanggal 29 April 2008. Kedatangan para suster disambut gembira oleh banyak

umat Semitau. Para suster pionir yang masuk ke Semitau, ialah, Sr. Hyasinta, CP; Sr.

Ludgardis, CP; dan Sr. Sofia, CP. Para suster menempati rumah yang sudah ada di

kompleks Gereja dan sekolah, yang diberkati pada tanggal 2 Mei 2008.

Rumah tinggal para suster Pasionis di Semitau

Tarekat Suster Pasionis bekerja di Paroki Semitau, menangani bidang pastoral paroki,

asrama serta pendidikan TK dan SD milik yayasan SUKMA. Di samping itu, keuskupan

juga meminta tarekat Suster Pasionis untuk menangani rumah retret Temenggung

Tukung di Merepak, Kelam, yang dimulai pada bulan Juli 2011. Tiga orang suster diutus

untuk menangani rumah retret ini, yang walaupun belum sepenuhnya selesai

dibangun, sudah dipakai beberapa kali untuk beberapa kegiatan para pastor, guru dan

pegawai SUKMA, dsb. Rumah retret yang diresmikan oleh Nuncio pada tanggal 19

November 2011 ini, baru akan sepenuhnya berfungsi mulai awal tahun 2012.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 188


8. Serikat Puteri Kasih dari Vinsensius de Paul (PK)

Pimpinan Provinsi:

Pemimpin Regional:

Jumlah di Sintang

Jumlah di Indonesia

Karya

Alamat Regional

Sr. Victorin, PK

Sr. Ancilla, PK

3 suster

93 suster

Pastoral di Paroki, asrama dan pendidikan

(guru)

Biara Sto. Yohanes Gabriel

Nanga Serawai – Kabupaten Sintang

Kalimantan Barat

Serikat Puteri Kasih, Filles de la Charite, didirikan oleh Sto. Vinsensius dan Luisa de

Marillac, pada tanggal 29 November 1633, di Perancis. Serikat yang bersemboyan

charitas Christi urget nos (cinta kasih Kristus mendorong kami) ini disetujui oleh

Kardinal de Rezt, Uskup agung Paris pada tanggal 18 Januari 1655 dan disahkan oleh

Paus Clemens IX, pada tanggal 6 Juni 1688. Dari jumlahj yang hanya beberapa orang

gadis pada awal pendiriannya, kini telah berjumlah 21.000 orang suster di seluruh

dunia.

Sejak tahun 1980-an, Serikat pernah merencanakan untuk membuka karya di

keuskupan Sintang. Rencana ini muncul karena Saudara Tua, yaitu para imam

Vinsensian (CM) sudah berkarya di sana. Niat ini tidak pernah pudar walau hambatan

masih belum dapat diatasi. Tahun 2001 Serikat melakukan visitasi bersama asisten

Jenderal Kongregasi Misi, dan memilih Serawai sebagai tempat pelayanan Serikat.

Rencana ini akhirnya diwujudkan pada tanggal 15 Maret 2003 ketika Puteri Kasih mulai

menetap dan berkarya di Nanga Serawai. Anggota pionir saat itu ialah Sr. Elise, PK, Sr.

Jacintha, PK, dan Sr. Emmanuella, PK.

Para suster Puteri Kasih berkarya pada bidang pastoral paroki, seperti persiapan baptis

(katekumenat) dan komuni pertama, kunjungan keluarga, turne dan memimpin Ibadat

di lingkungan dan stasi-stasi, dsb. Mereka juga mengurus asrama puteri, serta

melayani di bidang pendidikan dengan menjadi guru di SMP Katolik Bukit Raya.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 189


9. Ordo Santae Clarae Capuccinorum (OSC cap)

Ordo Santa Klara Kapusin

Pimpinan Provinsi:

Jumlah di Kalimantan

Jumlah di Sintang

Karya

Alamat Regional

Sr. Maria Rosa Arel, OSC Cap

26 rubiah

(1 postulan, 2 novis, 3 kaul sementara, dan

21 kaul kekal).

6 suster

Doa, kerja dan kerajinan tangan

Pertapaan Santa Clara

Bejabang, Batang Lupar, Lanjak

Tarekat Suster Klaris Kapusin merupakan salah satu Ordo Kedua, atau ordo wanita dari

Ordo Fransiskan yang berpijak pada Fransiskan Kapusin.

Ordo ini bermula dari sebuah rumah sakit di Naples (Napoli), Italia, yang dilayani oleh

tersiari Fransiskan, di mana seorang janda yang bernama Maria Lorenza Longo bekerja

di situ. Ketika para kapusin tiba di Naples pada tahun 1529, Maria Lorenza pun tertarik

dengan semangat reformasi yang mereka miliki dan akhirnya mendirikan sebuah Ordo

Ketiga Fransiskan, yang bersifat kontemplatif dan klausura. Tahun 1535, Maria

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 190


menerima status kanonik dari Takhta Suci dengan nama Suster-Suster Fransiskanes

Ordo Ketiga. Tanggal 10 Desember 1538, Paus Paulus III menetapkan Ordo ini berada

di bawah sayap Regula Sta. Klara dan Ordo (imam) Kapusin sebagai direktur spiritual

para suster. Untuk melengkapi hal ini, Maria Lorenza mengadopsi konstitusi Sta. Koleta

dari Corbie, mengadaptasinya agar sejalan dengan konstitusi Kapusin. Banyak puteri

mulai menggabungkan diri para rubiah Klaris Kapusines ini, hidup sebagai sebuah

kelompok “Saudari-saudari Miskin” (Klaris).

Kehadiran para Rubiah Klaris Kapusines di Indonesia merupakan buah dari atas

undangan Ordo Kapusin. Bagi para Rubiah, misi di Borneo merupakan salah satu wujud

atau tanggapan nyata terhadap permintaan Paus Pius XII dalam ensiklik Rerum

Ecclesia (28 Pebruari 1929), yang mendorong biara-biara kontemplatif membuka biara

baru di di tanah misi, supaya tugas evangelisasi dapat berkembang subur dan

menghasilkan banyak buah berkat dukungan doa mereka.

Pada tahun 1935, Mgr. van Valenberg, OFM Cap mengundang para suster Klaris

Kapusines dari Duivendrecht, Belanda untuk bermisi ke Borneo, tepatnya di

Singkawang, Kalimantan Barat. Undangan tersebut ditanggapi dengan antusias oleh

para suster itu. Maka pada tahun 1937 sembilan Rubiah Klaris Kapusines dari

Duivendrecht datang dan mulai menetap di Singkawang. Sembilan orang Rubiah pionir

saat itu ialah, Sr. Aloysia dari Roh Kudus, Sr. Benigna dari Yesus, Sr. Gerarda dari

Maria, Sr. Gabriel dari Kanak-kanak Yesus, Sr. Gemma dari Yesus yang bersengsara, Sr.

Maria dari Ekaristi, Sr. Lidwina dari Lima Luka, Sr. Elisabeth dari Tritunggal Maha Kudus

(suster luar), Sr. Anna (seorang novis). Mereka tinggal di biara yang dibangun

bersambungan dengan gereja paroki yang bernama Biara Providentia. Setelah itu

disusul oleh para Klaris Kapusines dari Jerman yang membuka misi di Gunungsitoli,

Nias pada tahun 1976.

Perkembangan jumlah anggota biara kotemplatif ini tidak terlalu banyak dari tahun ke

tahun. Namun demikian pertumbuhannya pasti walau pelan. Atas permintaan Uskup

Pontianak dan didukung oleh Bapak Yosef Cahayadi sebagai donatur, para suster

mendirikan sebuah biara baru, yakni di kampung Sarikan, Desa Terap Kecamatan Toho.

Biara itu diberi nama Sta. Klara. Sarikan merupakan tempat yang hening dan asri,

ditemani kicauan burung dan gemercik air kali. Di Nias, sayap biara juga terus

dibentang dengan berdirinya biara baru di Sikeben, Sumatera Utara pada tahun 1992,

serta di Sekincau, Tanjung Karang pada tahun 2002. Tahun 2005 dimulai

pembangunan biara baru di Lanjak, Kalimantan Barat, dan 2006 juga dibangun biara

baru di Sasi, Kefamenanu, Timor.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 191


Rencana Pendirian Biara Baru di Lanjak.

Pada Tahun 2006, kami mendapat undangan Mgr. Agustinus Agus, Uskup Sintang,

untuk mendirikan biara baru di sana. Tanah yang ditawarkan oleh Bapa Uskup adalah

di kampung Bejabang, dusun Tekalong, Desa Lanjak Deras, Kecamatan Batang Lupar,

Kabupaten Kapuas Hulu. Tujuan pendirian ialah: pertama untuk mendukung karya misi

Gereja di keuskupan Sintang melalui doa. Kemudian untuk memberikan nuansa rohani

di wilayah rekreasi di sekitar Danau Sentarum sehingga para wisatawan yang akan

datang ke sana nantinya tidak hanya menemukan kesenangan duniawi melainkan juga

kekayaan rohaninya.

Rumah biara tersebut mulai dibangun tahun 2010 dan menurut rencana sudah bisa

dipakai pada tahun 2011. Enam orang suster akan diutus ke daerah misi yang baru ini,

yaitu Sr. M. Immanuel, Sr. M. Veronika, Sr. M. Yuliana, Sr. M. Chiara, Sr. M. Faustina,

dan Sr. M. Margaretha. Semoga kehadiran mereka di sana sungguh-sungguh

membawa kesuburan bagi Kauskupan Sintang.

Misi Utama dan Hidup Doa

Bertitik tolak pada Nubuat Sto. Fransiskus dan Surat Sta. Klara Asisi kepada Sta. Agnes

dari Praha, kiranya dapat dikatakan bahwa tugas utama Para Suster Klaris Kapusines

sebagai pendoa tidak dapat dilepaskan dari dua hal berikut ini, yakni:Memuji dan

memuliakan Bapa Surgawi dan menjadi pembatu Allah (Was no. 4) dan pendukung

anggota-anggota yang runtuh pada TubuhNya yang tak terperikan (SurAg 3:8).

Gambar Digital Biara Suster OSC Cap di Lanjak

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 192


Doa adalah tugas utama Para Suster Klaris Kapusines dalam Gereja. Untuk memenuhi

tugas ini, sebagian besar waktu dipergunakan untuk berdoa. Doa dimulai pada pukul

24.00 WIB. Kemudian Ibadat Pagi, pukul 04.20. Misa, pukul 05.00. Meditasi 05.30-

06.30. Ibadat Siang pukul 11.35. Bacaan Rohani pukul 14.00-14.20. Kemudian

dilanjutkan dengan Doa Rosario (bagi yang tidak bisa bangun tengah malam, diberi

waktu untuk Ibadat Bacaan bersama). Pukul 16.25 – 17.30 adalah waktu untuk

meditasi pribadi. Sesudah itu dilanjutkan dengan Ibadat Sore pukul 18:00 dan Ibadat

Penutup pukul 19.15.

Disela-sela waktu doa ini, para suster bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hampir semua pekerjaan dilakukan oleh para suster sendiri, seperti memasak,

mencuci, bekerja di kebun, memelihara ternak, membersihkan rumah, membuat kue

sagon-kerupuk dan lain-lain. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, para suster juga

melayani Gereja dengan membuat hosti, lilin, paramen (pakaian dan perlengkapan

Misa), dan rosario.

1. Societas Mariae Montfortana Serikat Maria Montfortan (SMM)

Pimpinan Provinsi:

Pemimpin Regional:

Jumlah di Indonesia

Jumlah di Sintang

Karya

Alamat Regional

Pastor Yoseph Putra Dwi Darma Watun,

SMM

Pastor Konradus Hancu, SMM

40 Imam dan 3 bruder

12 Imam dan 1 Bruder

Paroki, Pastoral, spiritualitas (retret),

kategorial: pembinaan, advokasi, dsb.

Biara SMM

Teluk Menyurai Sintang

RT/RW 003/008, Sintang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 193


Serikat Maria Montfortan didirikan oleh Santo Louis-Marie Grignion de Montfort

(1673-1716). Orang kudus ini dilahirkan di kota Montfort-sur-Meu, Prancis Barat, pada

tanggal 31 Januari 1673 dan menghembuskan nafas terakhir pada 28 April 1716. Ia

dinyatakan sebagai Beato oleh Paus Leo XIII pada 22 Januari 1888, dan dinyatakan

sebagai Santo oleh Paus Pius XII pada 20 Juli 1947. Keutamaan orang kudus ini ialah

devosinya kepada bunda Maria sehingga serikat hidup kerasulan yang didirikannya

pun dinamai sebagai Serikat Maria.

Serikat Maria Montfortan Indonesia

Serikat Maria Montfortan (SMM) mulai berkarya di Indonesia tahun 1939, di wilayah

keuskupan Sintang, yang saat itu masih berada di bawah Vikariat Apostolik

Kalimantan. Perintis awal SMM Indonesia adalah para misionaris SMM asal Belanda,

provinsi Belanda. Pada tahun 1939, tiga orang Montfortan pertama asal Belanda tiba

dan langsung memegang Paroki Bika Nazareth. Kedatangan mereka yang pertama

dilanjutkan dengan kedatangan tenaga SMM yang lain hingga tahun 1976. Karena

gangguan hubungan politik dengan pemerintah Belanda, para Montfortan Belanda

dibantu oleh para misionaris Montfortan asal Amerika Serikat (1959-1973).

Biara SMM di Menyurai - Sintang

Sejak awal kehadirannya, SMM Indonesia merupakan delegasi provinsi Belanda,

dengan Superior pertamanya adalah Pastor L’Ortye, SMM. Berturut-turut jabatan ini

dipegang oleh Pastor Eugene Lynch; Pastor Lambertus van D. Born; Pastor Hubertus

Swerts; Pastor Kees Smit; dan Pastor Piet Derckx.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 194


Dalam periode kepemimpinan Pastor Piet Derckx (1993-2003), terjadi peristiwa

penting dalam sejarah SMM Indonesia. Status SMM yang sebelumnya adalah Delegasi

Provinsi Belanda, dinaikan menjadi Delegasi Jenderal. Keputusan ini berlaku sejak

tanggal 2 Juni 2002. Selanjutnya, tanggal 8 Juni 2003, P. Piet Derckx diganti oleh P.

Ignatius Widodo, imam Montfortan perdana asal Indonesia. Pastor Ignatius Widodo

menahkodai SMM hingga tahun 2009. Posisi Beliau kemudian digantikan oleh Pastor

Joseph Putra Dwi Dharma Watun.

Perkembangan sejarah SMM kemudian mengalami grafik yang meningkat. Hingga

tanggal 1 Januari 2011, status SMM Indonesia kembali dinaikan menjadi vice-Provinsi.

Berdasarkan keputusan Superior Jenderal, Pastor Joseph Putra Dwi Dharma Watun

diangkat menjadi Provinsial pertama.

Meskipun telah hadir di Indonesia sejak tahun 1939, SMM Indonesia baru membuka

formasi bagi calon SMM pribumi pada tahun 1979. Tahap awal pembinaan calon

Montfortan pribumi dilaksanakan di Sintang. Selanjutnya, pembinaan calon

Montfortan berpindah ke Bandung. Tahun 2002, Novisiat SMM berpindah dari

Bandung ke Langgo, Ruteng, Keuskupan Ruteng, dan rumah Pendidikan berpindah dari

Bandung ke Malang pada tahun 2004.

Para Misionaris Montfortan yang pernah berkarya di Keuskupan Sintang

Sejak awal kehadirannya, para Montfortan berusaha membangun kehidupan iman

umat (rohani) serta memberi perhatian kepada bidang-bidang lain yang terkait erat

dengan kehidupan umat, seperti bidang pendidikan formal dan non formal, bidang

sosial-ekonomi, sosial karitatif, sosial kesehatan dan juga budaya. Bidang-bidang ini

kemudian berkembang seturut perkembangan umat yang semakin kompleks.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 195


Saat ini, SMM di keuskupan Sintang menangani lima paroki, yakni: Paroki Sto. Martinus

di Benua Martinus; Paroki Hati Maria tak Bernoda di Putussibau; Paroki Sto. Antonius

Padua di Mendalam; Paroki Penampakan Tuhan di Siut; dan Paroki Maria Ratu Rosario

di Lebang. Pelayanan kategorial berpusat di Bangsal Sebeji, Sintang, yang ditangani

oleh tim SMM biara Montfort, Menyurai, sementara pelayanan spiritual kategorial

dilaksanakan di rumah Retret SMM Deo Soli di Kedamin, Putussibau, Kapuas Hulu.

2. Oblati Mariae Immaculatae (OMI)

Pimpinan Provinsi:

Pemimpin Regional:

Jumlah di Sintang

Jumlah di Indonesia

Karya

Alamat Regional

RP. Antonius Rajabana, OMI

RP. Tarsisius Eko Saktio, OMI

4 Imam

30 imam

11 Frater

Paroki, Pastoral, Kaum Muda

Pastoran Katolik

Jln. Aji Melayu 37

Nanga Sepauk 78662

Kongregasi Misionaris Oblat Maria Imakulata didirikan oleh Eugenius de Mazenod

(1782-1861) pada tahun 1816. Saat itu Prancis dilanda revolusi yang menghancurkan

Gereja, sehingga “iman hampir mati di dalam hati sejumlah besar anak-anaknya.”

Inilah yang menjadi keprihatinan seorang Eugenius de Mazenod. Menurutnya, “Gereja

dewasa ini dilanda kehancuran yang mengerikan”.

Setelah selesai studinya di Seminari ‘Saint Sulpice’ di

Paris, pada tahun 1812, Eugenius kembali ke daerah

asalnya, yaitu di Perancis tenggara, tepatnya di Aixen-Provence.

Di situ Eugenius mengawali suatu

karya kerasulan dengan melayani khususnya

tahanan di penjara dan kaum muda Dalam

khotbahnya, ia mempergunakan bahasa Provence,

bahasa ibu orang-orang yang mendengarkannya

agar dimengerti oleh orang-orang sederhana dan

miskin.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 196


Pada tanggal 25 Januari 1816, dengan beberapa pastor yang mempunyai keprihatinan

yang sama, Eugenius mulai pergi dari kampung ke kampung “mengajar kepada orangorang

kristiani yang merosot imannya siapa Yesus Kristus” dengan mengadakan yang

disebut: “Misi Parokial.” Kelompok ini ternyata mengundang minat baik beberapa

imam yang lain maupun anggota kaum muda untuk bergabung dengan mereka.

Pada tanggal 17 Pebruari 1826, Kongregasi serta Konstitusi dan aturannya dikukuhkan

oleh Gereja, yaitu oleh Paus Leo XII. Sejak saat itu, kelompok pastor dan bruder yang

pernah disebut “Misionaris dari Provence” ini menjadi “Misionaris Oblat Maria

Imakulata” yang akan “mengabdikan diri terutama untuk memberitakan Kabar

Gembira kepada orang miskin”. Para Oblat “akan selalu memandang Maria sebagai ibu

mereka.”

Tahun 1832, Eugenius de Mazenod menjadi Uskup Pembantu di Keuskupan Marseille,

ketika Uskup Marseille yang adalah paman Eugenius de Mazenod meletakkan jabatan

Uskup, Eugenius ditunjuk untuk menggantikannya sebagai Uskup Marseille.

Semangatnya melampaui cakrawala keuskupannya yang terbatas. Pada bulan Juli

1841, Uskup Montreal, Mgr Bourget singgah di Marseille dan bertemu dengan Uskup

Marseille, Eugenius de Mazenod dan meminta bantuan tenaga untuk daerah-daerah

di Kanada. Meskipun keterbatasan anggota kongregasi (40 pastor dan 5 bruder), Mgr.

de Mazenod mengutus 6 orang pergi ke Kanada, menyusul tahun 1847 beberapa

pastor dikirim ke Sri Langka dan pada tahun 1852, atas permintaan Prefek Propaganda

Fide di Roma, ia membuka Misi baru di Afrika Selatan. Dalam waktu yang sama,

Kongregasi menyebar juga di Europa: Swiss, Inggeris, Irlandia…”Saya ingin dapat

mengirimkan misionaris ke seluruh penjuru dunia” demikianlah Uskup Marseille selalu

berseru. Pada waktu Pendiri OMI meninggal dunia, tanggal 21 Mei 1861, anggota

Kongregasi berjumlah kira-kira 500 orang.

Pada tahun 1975, setelah negara Laos beralih kepada “Pathet Lao” (Partai Komunis),

semua misionaris asing terpaksa meninggalkan negeri ini. Setelah mengadakan

peninjauan di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat, beberapa misionaris OMI

yang saat itu bertugas di Laos menerima tawaran Mgr. Lambertus van den Boorn,

Administrator Apostolik keuskupan Sintang saat itu. Maka, pada tanggal 29 Januari

1977, tujuh orang Misionaris Oblat Maria Imakulata yang sebelumnya bekerja di Laos

mendarat di Jakarta, dengan tujuan hendak ke keuskupan Sintang. Mereka adalah:

André Hebting, Lucien Bouchard, Jean Subra, Jean-Pierre Meichel, René Colin, Bernard

Keradec dan Jacques Chapuis.

Para Oblat misionaris pionir ini tinggal di Jawa selama tujuh bulan untuk belajar

bahasa Indonesia. Mereka sangat terbantu karena sudah ada pastor Oblat asal

Australia yang berkarya di Jawa Tengah sejak tahun 1972, sehingga, setelah belajar

bahasa Indonesia selama tiga bulan di Bandung, mereka memilih untuk berdiam

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 197


bersama para imam Oblat lainnya di Purwekerto dan Cilacap selama tiga bulan.

Akhirnya para misionaris Oblat ini tiba di Sintang pada akhir bulan Agustus 1977.

Selama tahun pertama di keuskupan Sintang, para imam Oblat ditempatkan bersama

pastor-pastor Montfortan. Pastor Jean Subra ditempatkan di Putussibau dan melayani

wilayah hulu Sungai Kapuas, yang kemudian menjadi paroki Siut-Melapi. Pastor Lucien

Bouchard mulai karyanya di Paroki Bika Nazareth, sedangkan Pastor Jean Pierre

Meichel dan Bernard Keradec mudik Sungai Embaloh, ke Benua Martinus, untuk

melayani umat di daerah perbatasan. Pastor René Colin dan Pastor Jacques Chapuis

ditempatkan di Paroki Sejiram, sedangkan Pastor André Hebting, tinggal di Sintang,

dipercayakan melayani umat di wilayah Tempunak dan Sepauk yang saat itu

merupakan bagian Paroki Katedral.

Pada bulan September 1978, Paroki Bika Nazareth dipercayakan kepada para Oblat.

Maka untuk melayani Paroki Bika Nazareth, Pastor Bernard dan Jean-Pierre ditarik dari

Benua Martinus ke Bika untuk melayani umat di paroki Bika, yang saat itu termasuk

wilayah Kalis, Peniung, batang Embaloh, Suai, Palin, dan Bunut.

Para imam Oblat Maria Imakulata pribumi mulai bertugas di keuskupan Sintang sejak

tahun 1992, yaitu Pastor Heribertus Boedhy Prihatna († 17 Oktober 1998) dan

kemudian disusul oleh Pastor Markus Boli Witin († 19 Februari 2007). Kedua Pastor

Oblat pribumi ini telah dipanggil Tuhan, dalam suatu kecelakaan lalulintas. Setelah itu

menyusul berdatangan pastor Oblat pribumi lainnya, yaitu, Pastor Kok, Pastor Eko

Saktio, Pastor Damianus, Pastor A. Widiatmoko, Pastor Priyantoro, Pastor Niko Ola,

Pastor Wasono dan Pastor Heru. Bersama Pastor Jacques, satu-satunya misionaris

Oblat pionir yang masih bekerja di Sintang saat ini, mereka kini melayani umat di

Paroki Sepauk dan Paroki Dangkan-Silat.

3. Congregatio Missio (CM)

Pimpinan Provinsi:

Pemimpin Regional:

Jumlah di Sintang

Karya

Alamat Regional

Pst. Robertus Wijanarko, CM

Pst. Astanto Adjie, CM

5 Imam

Paroki, Pastoral, rumah retret

Pastoran CM Sto. John Gabriel Perboyre

Km 4, Nanga Pinoh 78672 - Kalbar

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 198


Empat orang misionaris dari Provinsi Paris, Perancis yang pernah bertugas di Vietnam

tiba di keuskupan Sintang pada tahun 1976, yaitu Pastor Jacques Gros, Pastor Victor

Berset, Pastor Gabriel Dethune dan Pastor Crawford. Para misionaris ini berkarya di

wilayah sungai Melawi, yaitu paroki Nanga Pinoh dan Serawai, yang saat ini mencakup

Tanah Pinoh, Ella Hilir, Menukung, Serawai dan Ambalau.

Karena kesulitan transportasi dan hanya ada dua paroki, maka para misionaris ini

mendirikan stasi baru di Bondau agar daerah-daerah antara Serawai dengan Nanga

Pinoh dapat lebih mudah dijangkau. Bondau akhirnya dipilih menjadi pusat pelayanan

dan pastoran bagi empat orang Lazaris ini untuk melayani seluruh daerah sungai

Melawi.

Mengingat wilayah kerja yang sangat luas, maka CM Provinsi Indonesia, yang berpusat

di Surabaya, memperkuat tenaga pastoral dengan mengirimkan tambahan tenaga

pada tahun 1979, yaitu Pastor Paulus Aryono Soegiarto (1979), Pastor Carlo Karyanto

(1980), dan Pastor Valentino Bosio (1983). Semua imam Lazaris tinggal di Bondau dan

melakukan pelayanan dari sana ke daerah sepanjang sungai Melawi, sungai Pinoh,

sungai Serawai, dan sungai Ambalau.

Sejak tahun 1979, ketika didirikan banyak paroki paroki baru dan adanya

kebijaksanaan untuk mendirikan pusat paroki di pusat kecamatan, maka para Lazaris

pun mengambil kebijakan baru. Pastor Paulus Aryono dan Valentino Bosio

ditempatkan di Serawai bersama para Montfortan; Pastor Gabriel Dethune menjadi

pastor paroki Menukung; Pastor Carlo Karyanto menjadi pastor paroki Ella, dibantu

oleh Pastor Crawford; Pastor Gros menjadi anggota tim pastoral di paroki Nanga

Pinoh, yang mencakup Paroki Tanah Pinoh dan Belimbing, dan Pastor Berset tetap

tinggal di Bondau.

Seiring perkembangan dan berlalunya waktu, silih berganti para pastor CM datang dan

pergi. Tugas-tugas baru pun diberikan, yaitu sebagai Pembina dan Rektor Seminari

Menengah Yohanes Maria Vienney, Menyurai dan rektor Seminari Tinggi Betang

Batara di Bandung. Pastor Paulus Aryono menjadi rektor seminari Betang Batara tahun

1988 dan Pastor Prio Oetomo ditunjuk menjadi rektor seminari Yohanes Maria

Vienney tahun 1994. Sejak itu rektor seminari Yohanes Maria Vienney selalu dipegang

para imam Lazaris dan rektor Betang Batara dipegang para Lazaris hingga tahun 2001.

Selain sebagai pastor paroki dan melakukan pelayanan pastoral di Paroki, para imam

Lazaris juga melayani di bidang pembinaan, yang berpusat di pusat Misi CM di km. 4,

Nanga Pinoh, seperti retret, kaderisari dan kepemimpinan, pelayanan orang sakit,

perbengkelan, dsb.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 199


4. Congregatio Passionis (CP)

Pimpinan Provinsi:

Pemimpin Regional:

Jumlah di Indonesia

Jumlah di Sintang

Karya

Alamat Regional

Pastor Sabinus Lohin, CP

Pastor Gabriel Asun, CP

70 imam

41 frater

4 imam

Paroki, Pastoral, kaum muda

(asrama, pembinaan, dsb.), dsb.

Pastoran Katolik Semitau

Kotal Pos 2, Semitau, Kapuas Hulu

Memasuki millennium ketiga, sejak tahun 2000, banyak tarekat yang berkarya di

Sintang terus berkurang tenaganya. Tarekat Serikat Sabda Allah tinggal satu orang

pada tahun 2001, tarekat Oblat Maria kekurangan tenaga dan mengembalikan paroki

Semitau (2005) dan Sejiram (2006) kepada keuskupan. Menghadapi kekurangan

tenaga ini, maka Mgr. Agus mengundang tarekat lain untuk berkarya di keuskupan

Sintang. Dalam hal ini undangan ditawarkan kepada tarekat Pasionis, baik para

imamnya maupun para susternya.

Menanggapi undangan Mgr. Agus, maka pada tanggal 19 Juni 2005,

tarekat Pasionis mengutus Pastor Barses, CP dan Pastor Amsori CP

untuk bekerja di Paroki Semitau. Pastor Stefanus Suryanto dan

Pastor Pius Barses menjadi pionir pasionis yang bekerja di Semitau

dan kini dilanjutkan oleh pastor Kornelius. Tahun berikutnya,

persisnya tanggal 16 Juli 2006, para pastor Pasionis juga mulai

melayani Paroki Sejiram. Setahun kemudian, yaitu pada tanggal 1

Maret 2007, pastor Amsori resmi menggantikan pastor René

Colin, OMI sebagai pastor paroki Sejiram dan pada tanggal ini pula

Oblat Maria resmi meninggalkan Paroki Sejiram dan konsentrasi di

Paroki Dangkan-Silat dan Sepauk.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 200


5. Congregatio Fratrum Huybergensis -

Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (MTB)

Pimpinan Provinsi:

Br. Gabriel R. Tukan, MTB

Pemimpin Regional:

Jumlah di Sintang

Jumlah di Indonesia

Karya

Br. Timotius, MTB

5 Bruder

39 bruder berkaul kekal

20 bruder berkaul sementara

6 orang novis

8 orang postulan

Pendidikan, Pastoral

Alamat Regional Jln. Diponegoro 26

Putussibau – Kalimantan Barat

Kongregasi Bruder MTB didirikan oleh Mgr. van Hooydonk pada tahun 1854 di

Huybergen, keuskupan Breda, Belanda. Beliau memilih Santa Perawan Maria

Dikandung tanpa Noda (Maria Imakulata) sebagai pelindung kongregasi dan berstatus

sebagai Ordo Ketiga Regular Fransiskan. Tahun 1921, para Bruder MTB mulai berkarya

di Indonesia, yaitu di Singkawang, Kalimantan Barat. Setelah sekian lama berstatus

regional, MTB Indonesia diangkat menjadi Provinsi mandiri pada tanggal 22 Oktober

1999.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 201


Setelah lama berkarya di Pontianak dan Sanggau, tahun 1997 para Bruder mulai

bekerja di keuskupan Sintang, yaitu Putussibau, bertugas sebagai guru sekolah Yayasan

SUKMA. Kemudian para Bruder bukan hanya menjadi guru sekolah tetapi juga

dipercayakan menangani sekolah dan asrama di Putussibau.

Laporan Turne Pastor Lambertus van den Born, SMM dalam kunjungannya ke kampung Laoeng,

Belikai, Bekoean, dan Bati, tanggal 15-27 Maret 1948.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 202


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 203


1. Yayasan Serikat untuk Kemajuan Masyarakat (SUKMA)

Sejak berdirinya gereja lokal, yaitu sebagai Prefektur Apostolik Sintang pada tahun

1948, pimpinan Gereja sungguh merasakan kebutuhan mendesak akan pembinaan

kaum muda dalam bentuk pendidikan yang sistematis dan terorganisasikan dengan

baik. Pendirian sekolah tak terhindarkan dan dirasa mendesak untuk diwujudkan.

Karena itu Mgr. van Kessel, SMM, Prefektur Apostolik Sintang saat itu, menugaskan

Pastor van den Boorn, SMM untuk memulai misi dan tugas mulia tapi berat ini. Atas

perintah Pimpinan, maka pada tahun 1949, Pastor van den Boorn mendirikan lembaga

pendidikan dalam bentuk sebuah serikat, dan diberi nama Serikat Untuk Kemajuan

Masyarakat, yang disingkat sebagai SUKMA.

Ketua serikat yang pertama adalah Bapak Palaunsoeka, kemudian Pastor Aloysius Ding

pernah juga dipilih menjadi ketua. Sebagai sekretaris untuk tugas harian, Mgr. van

Kessel menugaskan Pastor L. van den Boorn. Karena Pastor van den Boorn pada waktu

itu bertugas di Sejiram, maka kantor pertama serikat ini pun berada di Sejiram, di

mana hanya berupa sebuah kamar kosong di lantai dua asrama putera, Tritapang.

Pernah Pastor van den Boorn mengisahkan kepada Pastor Hubertus Swerts, SMM:

“Waktu saya menerima tugas itu, buku tulis dan pen pun tidak ada. Apalagi mesin tik.”

Tugas ini semakin terasa berat baginya, karena Beliau tidak mempunyai pengalaman

apa pun mengenai perserikatan serta pendidikan, sehingga tidak tahu harus mulai dari

mana.

Selanjutnya Beliau pindah ke Sintang, bertempat tinggal bersama pimpinan Gereja,

Prefek Mgr. L. van Kessel. Bersamaan dengan kepindahan Beliau pada tahun 1952,

maka berpindah pula kantor SUKMA dengan didirikannya kantor SUKMA di Sintang.

Urusan dan tugas Pastor van den Boorn ialah mengkoordinasi gaji guru-guru, rapel,

pengangkatan guru-guru baru, dan pensiun guru-guru tua. Selain itu dia harus

menyediakan sarana sekolah yang meliputi alat-alat peraga, batu tulis serta anak batu

tulisnya, cat papan tulis, mata pena dsb.

Pada tahun 1950-an ada perubahan besar dalam dunia pendidikan di Indonesia, di

mana semua sekolah yang sudah ada sejak era penjajahan Belanda agar disesuaikan

dengan sistem pendidikan nasional, sambil mengizinkan sekolah-sekolah swasta untuk

tetap melanjutkan karya mereka, di bawah koordinasi kementerian pendidikan dan

kebudayaan. Dukungan pemerintah juga diberikan dalam bentuk subsidi dan

tunjangan yang dimulai sejak tanggal 1 September 1957 dan menyediakan tenaga

pengajar pegawai negeri yang diperbantukan ke sekolah swasta, melalui PP no. 32

tahun 1958, pada tanggal 14 Mei 1958.

Mengikuti ketentuan negara, maka pimpinan Gereja mengubah AD/ART Sukma.

Melalui akte notaris no. 4, tanggal 2 April 1957, lembaga pendidikan SUKMA diubah

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 204


menjadi Yayasan SUKMA, sebagai sebuah lembaga yang berbadan hukum di negeri ini.

Seluruh sekolah yang dijalankan oleh Gereja saat itu dialihkan ke yayasan SUKMA,

yang terdiri dari 1 SMP, 1 Sekolah Kepandaian Puteri, dan 22 Sekolah Rakyat. Untuk

mendukung kinerjanya, yayasan juga mendirikan perwakilannya di Putussibau, Bika,

Benua Martinus, Sejiram, Nanga Pinoh dan Serawai.

SD Panca Setia, SMP Panca Setia 1, dan SMK Budi Luhur

Dalam dasawarsa 1950-an, dibuka SMP Katolik pertama di Putussibau yang dipimpin

oleh Sr. Anselma, dan kemudian Sr. Marieta (almh). Pada tahun 1959, yayasan

memiliki 30 SD, 1 SMP dan 1 SKKP. Tahun 1960-an, dibuka SMP Katolik Bukit Raya di

Nanga Serawai, yang diselenggarakan oleh Pastor Collijn dan Pastor Bernard sampai

BeIiau berangkat dari Serawai pada tahun 1992. Sekitar tahun 1962, Pastor Serve

Hamers menggantikan Pastor van den Boorn sebagai Sekretaris yayasan SUKMA.

Beliau membuka SMP Panca Setia Sintang pada tahun 1963.

Tahun 1968, Mgr. van Kessel, yang hobi dan berminat dengan dunia pertukangan,

membuka ST (Sekolah Teknik) Gaharu Remaja Katolik di Sungai Putih. Waktu Beliau

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 205


pulang ke Belanda, sekolah teknik tersebut diserahkan kepada Yayasan SUKMA.

Sekolah Teknik Gaharu serta bagian penggergajian kayu dan pertukangannya ditutup

tahun 2005.

Pada dasawarsa 70-an dibuka SMP Katolik Setia Budi di Nanga Pinoh, yang dari semula

mandiri sepenuhnya dan SMP Katolik Setia Bakti di Lanjing. Yayasan SUKMA kemudian

membuka SMA Panca Setia di Sintang pada tahun 1980/81, dan setahun kemudian

membuka SMEA Budi Luhur.

Di samping itu, sejak dekade 1940-an, Suster SMFA menyelenggarakan sekolah

SKP/SKKP, yang kemudian diubah menjadi SMKK, yang berlokasi di Sei Durian. Selain

itu, para suster SMFA juga menyelenggarakan Kursus Rumah Tangga (KRT) di berbagai

tempat. Kursus KRT ini sudah diberikan selama puluhan tahun dalam hal pengetahuan

dan ketrampilan praktis kepada para ibu dan calon ibu di pedalaman secara nonformal.

Perlu disebutkan di sini, walau tidak secara langsung diselenggarakan oleh Yayasan

SUKMA, terdapat pula sekolah untuk para calon Katekis yang mula-mula hanya

merupakan kursus untuk para Pemimpin Umat. Kursus-kursus tersebut kemudian

dikembangkan hingga akhirnya mendirikan sekolah kateketik setingkat SLTA, yaitu

Sekolah Kateketik Menengah Atas (SKMA). Demi mengikuti peraturan yang ditetapkan

oleh pemerintah, maka SKMA diubah menjadi Pendidikan Guru Agama Katolik (PGAK).

Sekolah PGAK Sintang telah meluluskan ratusan guru agama serta katekis.

Karena hampir tidak ada lagi pengangkatan Guru Agama Katolik dari pemerintah

maupun pengangkatan katekis paroki dan ketekis keuskupan, dan terutama karena

peraturan pemerintah yang menutup sekolah kejuruan khusus setingkat SLTA (PGAK,

SPG, SPGO, dsb), maka PGAK Sintang pun ditutup pada tahun 1992.

Masih perlu disebut bahwa setiap Pastor Paroki pada waktu itu berfungsi sebagai wakil

yayasan SUKMA di Parokinya sendiri. Juga tiap-tiap Pastoran dan Susteran ada asrama

yang fungsinya, baik dahulu maupun sekarang, tetaplah penting, yaitu mengurus dan

membimbing anak didik mempersiapkan masa depan mereka.

Kesulitan keuangan untuk “running cost” sekolah (SD dan SMP) juga telah dihadapi

sejak dahulu. Bagaimana para pastor mengatasi hal dahulu? Beberapa Pastor berusha

mencari dana untuk hal tersebut, seperti Pastor van den Boorn, Pastor Hamers,

terutama kepada donator di luar negeri. Selain kesulitan keuangan, SD-SD milik

SUKMA di kampung-kampung mengalami kesulitan untuk bertahan karena kekurangan

tenaga guru, serta kekurangan murid yang lari ke Sekolah Inpres yang berdekatan

dengan sekolah milik Sukma.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 206


Jumlah sekolah serta siswa, sejatinya berkurang dibandingkan beberapa dekade

sebelumnya. Pada tahun 1971, yayasan SUKMA memiliki 41 sekolah (4.770 siswa),

pada tahun 1975 terdapat 39 sekolah (5.783 siswa), dan tahun 1979 terdapat 38

sekolah (5.577 siswa). 39 Pengurangan jumlah disebabkan ditutupnya banyak Sekolah

Dasar di kampung-kampung karena ketidakmampuan finansial untuk menghidupinya

serta telah hadirnya sekolah-sekolah negeri dan inpres milik pemerintah yang

umumnya tidak menarik biaya pendidikan.

Rekap Jenis, Jumlah dan Lokasi Sekolah SUKMA tahun 2010

Sintang Putussibau Semitau Pinoh Serawai Total

SMA 1 1 - - 2

SMK 2 - - - 2

SMP 2 1 1 1 5

SD 4 1 1 1 - 7

TK 4 1 1 2 - 8

TOTAL 13 4 2 4 1 24

1980), hal. 26.

39 Lht Kenangan 75 Tahun Mandirinya Gereja Katolik di Kalimantan Barat (1905-

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 207


2. Seminari Menengah Yohanes Maria Vianney

Nama:

Pimpinan :

Jumlah 2011

Jumlah

lulusan

Alamat

Regional

Seminari Menengah Sto. Yohanes Maria Vianney

1. RD. Thomas Kuslin, 1994-1996

2. RP. Prio Oetomo CM, 1996 - 1998

3. RP. Yulianus Astanto Adie CM, 1998 - 1999

4. RP. Benedictus Adi Saptowidodo CM, 1999 - 2002

5. RP. Petrus Kukuh Dono Budomo CM, 2002 - 2007

6. RP. Yusup Gusti Ketut Prihatmono CM, (pjs) 2007

7. RP. Agustinus Dodik Ristanto CM, 2007 –

sekarang.

92 seminaris

17 frater

4 Diakon

2 imam

Jl. Teluk Menyurai, Kelurahan Tanjung Puri, Sintang

78611, Kalimantan Barat. Tlp dan fax: 0565 21443

Alamat Email: seminariyomavi@yahoo.co.id

Selama lebih dari 30 tahun berstatus sebagai keuskupan, Keuskupan Sintang

memenuhi kebutuhan tenaga imam dari para misonaris luar negeri maupun lokal,

yaitu para imam Indonesia yang berasal dari luar

keuskupan Sintang. Mengingat sulitnya mendapatkan para

pemuda Dayak yang berminat menjadi imam saat itu,

keuskupan mendirikan Seminari Menengah dan Kelas

Persiapan Atas (KPA) di Mataloko, Flores untuk

menampung minat panggilan dari Flores pada tahun 1989.

Seminari Sto. Paulus ini, yang dipimpin oleh RD. Matias

Sala, Pr sejak didirikan, ditutup tahun 2002 dan telah

menghasilkan banyak imam, baik untuk dioses Sintang

maupun keuskupan dan tarekat lainnya.

Menyadari betapa pentingnya Gereja lokal berpijak dan

bertumbuh dari orang-orang setempat, maka tidak ada pilihan lain selain

menggalakkan panggilan dari para pemuda keuskupan Sintang sendiri. Karena itu

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 208


mendirikan seminari menengah di Sintang menjadi pilihan yang niscaya, harus. Maka

didirikanlah Seminari Menengah Keuskupan Sintang (sebagai lembaga pendidikan bagi

para calon imam, frater, dan bruder) pada tanggal 15 Juli 1994, berlokasi di Kompleks

Asrama Bina Remaja Menyurai, Sintang.

Seminari yang kini sudah lumayan besar ini, sebenarnya pada tahun pertama hanya

terdiri dari empat orang seminaris, dan hanya tiga yang bertahan hingga tamat.

Demikian pula angkatan kedua, hanya empat orang dan dari empat orang ini, hanya

tiga seminaris yang menyelesaikannya. Saat itu hanya ada satu orang pembina, yaitu

RD. Thomas Kuslin, Pr.

48

3 2 4 3

34

28

30

22

16

19 20

23

26

18 17

20 21

17 19 19 17

7 7 6 6 8 10

12

5

8

16

31

199419951996199719981999200020012002200320042005200620072008200920102011

siswa masuk

siswa tamat

Dalam kurun waktu 16 tahun (1994-2010), total seminaris yang pernah dibina ialah

348 orang dan dari jumlah ini sudah menghasilkan empat orang imam, yaitu, RD.

Fransiskus Pintau RD. Petrus Juli, RD. Fransiskus Leo (dioses Sintang) dan RP. Paulus

Sapomo, CM.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 209


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 210


I. Profil Kuria Keuskupan

II.

III.

IV.

Profil Tenaga Pastoral Keuskupan Sintang

Daftar para Imam dan Suster yang berasal dari Keuskupan Sintang

Susunan Panitia Emas

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 211


Uskup Sintang: Mgr. Agustinus Agus, Pr.

Vikaris Jenderal: RD. Leonardus Miau, Pr.

Sekretaris Jenderal: RD. Ewaldus, Pr.

Ekonom: RD. Yohanes Pranoto, Pr.

Ketua-Ketua Komisi

a. Komisi Kateketik: RD. Herman Yosef, Pr

b. Komisi Kitab Suci: RD. Joseph Chrispinus Longa, Pr.

c. Komisi Liturgi: RD. Salesius Jeratu, Pr.

d. Komisi Komunikasi Sosial: RD. Piet Apot, Pr.

e. Komisi PSE: RD. Sabinus Amir, Pr.

f. Komisi Keadilan dan Perdamaian: RD. Leonardus Miau, Pr.

g. Komisi Keluarga: RD Mathias Sala Rawa Patty, Pr.

h. Komisi Kepemudaan: RD Agustinus Bahang, Pr.

i. Komisi Pendidikan: RD Ewaldus, Pr

j. Komisi KKI: RD Elias Silvinus Endi, Pr

k. Komisi Seminari: RP Agustinus Dodik Ristanto CM

l. Komisi Hubungan Antar Kepercayaan, RD Paschasius Triyono, Pr

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 212


1. Imam

Imam diosesan Sintang 39

Imam projo kontrak/tamu 1

Imam Montfortan 13

Imam Oblat Maria Imakulata 4

Imam Vinsensian / Lazaris 6

Imam Pasionis 4

Total 67

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 213


Daftar para imam

yang saat ini berkarya dan tinggal di keuskupan Sintang

A. Imam Praja / Diosesan

RD. Viktor L. Parera

Lahir di Sikka,

Maumere,

28 Agustus 1935

Imamat: Jakarta,

30-09-1978.

Pensiunan.

Tinggal di Paroki

Maria Ratu

Pencinta Damai,

Pontianak.

RD. Mathias S. R.

Patty

Lahir di

Wolowaru,

03-11- 1953.

Imamat:

Wolowaru,

19-7-1988.

Pastor Paroki Sei

Durian dan

Ketua Komisi

Keluarga

RD. Hendrikus

Tobotani Ladjar

Lahir di

Larantuka,

02-9- 1961

Imamat:

Lewoleba, 16

September 1989

Pastor Paroki

Tanjung Baung.

RD. Ewaldus

Ketua Komisi

Pendidikan

Lahir: Jelimpo,

11 Nov. 1963.

Imamat:

Ngabang, 01

Februari 1992.

Sekjen

Keuskupan.

Tim Pastoral

Paroki Sei

Durian. Ketua

yayasan Sukma;

Ketua Karina.

.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 214


Lahir di Ende,

17 Februari 1964.

Imamat: Ende,

15-12-1992.

Lahir di Klaten,

08 Januari 1960

Imamat: Klaten,

24 April 1994.

RD. Elias Silvinus Endi

Pastor Paroki

Kelam dan Paroki

Dedai. Dirdios

(Ketua) KKI.

Lahir di Nita,

Sikka, 21 Januari

1964. Imamat:

Sintang, 10 Mei

1994.

Pastor Paroki

Kantuk

RD. Paschasius

Triyono

Pastor Paroki

Merakai.

Ketua Komisi

HAK.

Lahir di

Sejamban, 02-11

1963.

Imamat:

Sintang,

8-12-1994.

Pastor Paroki

Tempunak dan

RD. Makabeus Djawa

RD. Sabinus Amir

Ketua PSE

RD. Vincentius

Yakobus

Lahir di Sanggau,

24 April 1964.

Imamat: Sintang,

08-12-1994.

Anggota tim

pastoral Paroki

Tempunak

RD. Herman Yosef Ga I

Lahir di Jopu,

Ende, 07 April

1967. Imamat:

Jopu, Ende,

13-9-1995.

Anggota tim

pastoral Paroki

Katedral.

Komisi

Kateketik.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 215


Lahir di Nanga

Pari, 29-12-1965.

Imamat:

Sintang, 16 Mei

1996.

Lahir di Pare

Pare, 30 April

1965. Imamat:

Sintang, 16 Mei

1996.

RD. Leonardus Miau

Vikaris Jenderal

Keuskupan

Sintang dan

Pastor Paroki

Pandan; Ketua

KP&K

RD. Yosef Padak Duli

Pastor Paroki

Bika dan Paroki

Embaloh.

Lahir di Lewuka,

Flores, 23-8-

1961 . Imamat,

Sintang, 16 Mei

1996.

Pastor Paroki

Belimbing

Lahir di

Lewokluo,

14-11-1963 .

Imamat:

Larantuka,

21 Juni 1996.

Pastor Paroki

Peniung dan

Paroki Bunut

RD. Lukas Lamadua

RD. Paulus Pati Lein

Lahir di

Tanggong,

20 Juli 1963.

Imamat: Sintang,

01 Februari 1997.

Lahir di Ende,

09 Maret 1964.

Imamat:

Nanga Pinoh,

24-10-1997.

RD. Yohanes Pranoto

Pastor Paroki

Katedral dan

Ekonom

Keuskupan

RD. Yoseph Dosi

Mbele

Pastor Paroki

Tuguk

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 216


Lahir di Gonis

Rabu, 4-5-1969.

Imamat: Sintang,

10-10-1998.

Staf Pembina

Seminari Tinggi

Giovani, Malang.

Lahir di Ende,

25 Juli 1967.

Imamat:

Sintang,

10-10-1998.

Pastor Paroki

Tanah Pinoh.

RD. Florianus Abong

RD. Patrisius Piki

Lahir di Klaten,

07 Juli 1969.

Imamat: Sintang,

10 Oktober 1998.

Lahir di Mondi,

10-10-1963.

Imamat:

Sintang, 10

Oktober 1998.

Pastor Paroki

Nanga Mau

Pastor Paroki

Nanga Pinoh

dan

RD. Isnadi Wibowo

RD. Petrus Apot

Ketua Komisi

Komsos.

RD. A. Adi Wiratma

DS.

Lahir di Blitar,

02 Februari 1969.

Imamat: Sintang,

25 Februari 2000.

Anggota tim

pastoral Paroki

Kelam dan Paroki

Dedai

RD. Gabriel Dwi

Atmoko H.P

Lahir di

Surakarta,

06-11-1970

Imamat:

Sintang,

25-2-2000.

Anggota tim

pastoral Paroki

Nanga Pinoh.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 217


RD. Salesius Jeratu

Lahir di Umung,

Flores, 19

Agustus 1965

Imamat: Sintang,

25-2-2000.

Anggota tim

Pembina

Seminari

Menengah YMV,

Sintang.

RD. Petrus Kaju

Lahir di

Mataloko, 15

Agustus 1967.

Imamat:

Bika Nazareth,

02-08-2000.

Pastor Paroki

Lanjak

Lahir di Lewaji,

16 Februari 1970.

Imamat: Bika

Nazaret, 02

Agustus 2000.

Lahir di Ruteng,

26 Juni 1968.

Imamat:

Nanga Mau,

22-02-2001.

Pastor Paroki

Ambalau

Pastor Paroki

Ella.

RD. Silverius Y. Orwan

RD. John Paul Bebok

RD. Agustinus

Xaverius Bahang

Lahir: Lawir,

Ruteng, 21

Agustus 1972.

Imamat: Nanga

Kantuk, 5 Mei

2002.

Pastor Paroki

Nobal dan

Ketua Komisi

Kepemudaan.

RD. Robertus A. Dhai

Mosa Soli

Lahir di Ende,

Flores, 07 Maret

1973.

Imamat:

Kebong, Kelam,

15-08-2003.

Studi di EAPI,

Manila.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 218


RD. Joseph C. Longa

Lahir di Ende,

14-11-1974.

Imamat: Sintang,

10- 10- 2004.

Pastor Paroki

Senaning

Ketua Komisi

Kitab Suci

RD. Andreas Puan

Lahir di Tunduk

II, 13 Juni 1975.

Imamat:

Sintang,

22-10-2006.

Anggota tim

pastoral Paroki

Bika dan Paroki

Embaloh.

Yoseph B. J. Kabelen

Lahir di

Manggarai,

19-8-1979.

Imamat: Kebong,

07-10-2007.

Angota tim

Pastoral Paroki

Peniung dan

Bunut.

Markus Kornelis

Marhusen

Lahir di

Aimere, 29-04-

1977.

Imamat:

Kebong,

07-10-2007.

Anggota tim

pastoral Paroki

Kotabaru

Lahir di Nganjuk,

03 Maret 1977

Imamat: Sintang,

19-10-2008.

Pastor Paroki

Tebidah.

Lahir di Medang,

01-01-1978 .

Imamat:

Sei. Durian,

30-08-2009.

Anggota tim

pastoral Paroki

Belimbing.

RD. Markus Suwito

RD. F. Xaverius Pintau

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 219


RD. Hiasintus

Lahir: Nanga

Sayan, 26-7-1982.

Imamat: Nanga

Pinoh, 23-6-2011

Anggota tim

pastoral Paroki

Nanga Kantuk

RD. Petrus Juli

Lahir: Riam

Tapang, 31 Juli

1982

Imamat: Nanga

Pinoh, 23-6-

2011

Anggota tim

pastoral paroki

Ambalau

RD. Fransiskus Leo

Lahir: Medang,

28-2-1981

Imamat: 23-6-

2011

Anggota

pastoral

Merakai

tim

Paroki

RD. A. Adji Prabowo

Lahir di

Yogyakarta,

28 Mei 1960.

Imamat:

Jakarta,

15-08-1997.

Pastor Paroki

Badau.

( Imam diosesan

keuskupan agung

Jakarta)

B. Imam SMM (Serikat Maria Montfortan)

Lahir di

Hoensbroek,

21-06-1940

Imamat:

Belanda,

08-03-1967

Pastor Biara;

Kobus Sintang

Lahir di Woa, Flores,

05-07-1974.

Imamat:

Putussibau,

17-03-1996.

Kepala Biara di

Sintang

RP. Jacques Maessen,

SMM

RP. Konradus Hancu,

SMM

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 220


Lahir di Bantul, 14

Maret 1968

Imamat: 25 Juni

1997

Pastor Paroki

Mendalam

Lahir di Waerana,

Ruteng, 25-04-1965

Imamat di Labuan

Bajo, 10-10-1998

Pastor Paroki Benua

Martinus

RP. Yohanes Sumadi,

SMM

RP. Marcadius Markus

Golo, SMM

RP. Antonius Arifin

Dwirahmanto, SMM

RP. Antonius Gatot

Wibawa, SMM

Lahir di Cianjur,

02-11-1971

Imamat:

19-05-1999

Pastor Biara;

Rumah retret Deo

Soli, Putussibau

Lahir di

Klaten,

07-06-1970

Imamat: Bogor,

21-08-2000.

Pastor Biara;

Rumah Retret Deo

Soli, Putussibau

RP. Yohanes Suri, SMM

RP. Rafael Breok, SMM

Lahir di Bomanu,

Ngada,

20-08-1968

Imamat:

Mataloko,

28-05-2000.

Pastor Paroki;

Putussibau

Lahir di Puor,

16-01-1971.

Imamat:

Ruteng,

08-06-2002.

Rumah Biara; Tim

pastoral Kategorial,

Sintang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 221


Lahir di Klaten,

23-03-1969

Imamat: Malang,

13-08-2008

Agt. Tim Pastoral;

Mendalam

Lahir di Ngusu Kede,

25 Juli 1978

Imamat:

Ruteng Flores,

12-08-2009.

Pastor Paroki

Lanjing

RP. Yusuf Gunarto,

SMM

RP. Yakobus Rua Bai,

SMM

Lahir di Turekisa,

25-12-1980

Imamat:

Ruteng Flores,

15-07-2010.

Lahir di Pacar,

02-10-1981.

Imamat:

Ruteng,

15-07-2010.

RP. Marselinus Ngebu,

SMM

Anggota tim

Pastoral Paroki

Benua Martinus

RP. Servianus Rafael

Lepen, SMM

Pastor Biara; Tim

Pastoral Kategorial,

Sintang

Lahir: Bangunrejo

14 Juni 1980.

Imamat: Nanga

Pinoh, 23 Juni 2011

Anggota tim

pastoral Paroki

Lebang

RP. Andreas Santoso,

SMM

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 222


C. Imam OMI (Oblati Mariae Immaculatae)

RP. Jacques Chapuis

RP. Ignatius

Wasono Putra

Saint Martin,

12-08-1940.

Imamat:

Solignac,

06-10-1968.

Anggota Tim Pastoral

Paroki Sepauk

Lahir di Bantul,

29-07-1976.

Imamat: Cilacap,

08-12-2004.

Anggota Tim Pastoral

Paroki Dangkan Silat

RP. Tarsisius Eko

Saktio

RP. Simon Heru

Supriyanto

Lahir di Buntok,

Kalteng,

12-06-1967.

Imamat:

Sejiram,

29-06-1997.

Pastor Paroki

Sepauk

Lahir di Kulon Progo,

28-10-1969/

Imamat:

Jogyakarta,

06-07-1998.

Pastor Paroki;

Dangkan Silat

D. Imam CM (Congregasi Misi)

RP. Paulus Eko

Nurbandrio

Lahir: 15 Januari 1966

Tahbisan Imamat:

Surabaya, 08

September 1995

Pastor Paroki

Menukung

P. Agustinus Dodik

Ristanto, CM

Lahir: 17 Agustus

1972

Tahbisan Imamat:

Surabaya, 15

Agustus 2001

Rektor

Seminari YMV

Sintang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 223


Lahir 03 April 1962

Imamat: Surabaya,

08 September 1995

Pastor Paroki

Serawai

Lahir, 18 Mei 1981

Imamat: Surabaya,

08-09-2009.

Anggota tim

Pastoral Paroki

Serawai

RP. Antonius

Karyono, CM

RP Antonius

Kurniawan

Diputra, CM

Lahir, 03 Januari 1964

Imamat: Surabaya,

31 Juli 1992

Direktur Biara

Emaus Nanga Pinoh

Lahir: 03 September

1969

Imamat: Surabaya,

15 Agustus 2000

Pastor Rekan di

Emaus, Nanga Pinoh

RP. Yulianus

Astanto Adie, CM

RP. Agustinus Ubin,

CM

F. Imam CP (Kongregasi Pasionis)

RP. Gabriel Asun

Lahir di Merbang,

02-12-1965.

Imamat: Merbang,

19-10-1996.

Pastor Paroki

Sejiram. Pimpinan

Pasionis Sintang.

RP. Pascalis

Nores

Lahir di Balai

Berkuak, 13 Nov.

1979.

Tahbisan Imamat:

Balai Berkuak, 25

Juli 2010.

Anggota tim

pastoral paroki

Sejiram.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 224


RP. Kornelius

Lahir di Lintang,

11-12-1970.

Imamat: Malang,

19 April 2001.

Pastor Paroki

Semitau

RP. Titus Wasito, CP

Lahir: Sekadau, 9

Juni 1974

Imamat: Pontianak,

3 Juni 2004.

Anggota tim

pastoral paroki

Semitau

G. Daftar Pastor yang dahulu pernah berkarya di Sintang

Berikut ini adalah daftar para Pastor yang dahulu pernah berkarya di

keuskupan Sintang, tetapi saat ini sudah meninggal atau tidak bertugas di

wilayah keuskupan Sintang

01 Looymans, SJ 02 W. H. J. Mulder, SJ

03 Ignatius v.d. Putten, OFM Cap 04 Flavianus van V. Muller, OFM Cap

05 Gonzalvus v. Pannerden, OFM Cap 06 Honoratus, OFM Cap

07 Eugenius, OFM Cap 08 Camillus, OFM Cap

09 Egbertus, OFM Cap 10 Pater Leontius, OFM Cap

11 Cassianus, OFM Cap 12 Amandus, OFM Cap

13 Leo A.P de Jong, OFM Cap 14 Fulgentius Koning, OFM Cap

15 Gorgonius, OFM Cap 16 Aloys, OFM Cap

17 Donaat, OFM Cap 18 Venans, OFM Cap

19 David van de Made, OFM Cap 20 Edmundus, OFM Cap

21 Nikodemus Gijsbers, OFM Cap 22 Martinus, OFM Cap

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 225


23 Yustinius Goossens, OFM Cap 24 Oktavius, OFM Cap

25 Egbertus Nobel, OFM Cap 26 Herman Josef van Hulten, OFM Cap

27 Ewaldus, OFM Cap 28 Prosper, OFM Cap

29 Wilbertus der Wit, OFM Cap 30 G.H. Harrie L’Ortye, SMM

31 J.C. Linssen, SMM 32 Bavo, OFM Cap

33 Mgr. Lambertus van Kessel, SMM 34 Josef J.H. Wintraecken, SMM

35 Aloysius Ding Ngo, SMM 36 Piet van Eunen, SMM

37 Anton Voncken, SMM 38 Ferry B. Hoogland, SMM

39 Adrianus Schellart, SMM 40 Laurentius W. Collijn, SMM

41 Mgr. Lambertus v.d. Boorn, SMM 42 J. Hub Reijnders, SMM

43 Adrianus van der Vleuten, SMM 44 Yan Maalsté, SMM

45 Agus Wintraecken, SMM 46 Leo C. Rutten, SMM

47 Jan Cloots, SMM 48 Harrie A.C. van Cuyck, SMM

49 Anton P.F. Bernard, SMM 50 Reinoldus F. Dijker, SMM

51 Servé G.W. Hamers, SMM 52 Hubertus P.G. Swerts, SMM

53 John Breslin, SMM 54 Ted Murphy, SMM

55 Eugene Lynch, SMM 56 William M. Bennison, SMM

57 Everest Brown, SMM 58 Marius A. Panigutti, SMM

59 Frank Kennedy, SMM 60 Matias Lunggai, PR

61 Yohanes Ngumbang, PR 62 Joseph van Lier, SMM

63 Adrianus Sommers, SMM 64 Yohanesma Wim, SMM

65 Peter Derckx, SMM 66 Josef Hasset, SMM

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 226


67 Elias Kinson, PR 68 Nicolas C. Shneiders, SMM

69 Cornelis Smit, SMM 70 Peter Hoogland, SMM

71 Fransiskus Luiten, SMM 72 Mateus Rampai, PR

73 Wilhelmus J.B. Peeters, SMM 74 Mgr. Isak Doera, PR

75 Hendrikus Kalter, SMM 76 René Colin, OMI

77 Jean Subra, OMI 78 Lucien Bouchard Jose, OMI

79 Bernard Keradec, OMI 80 Jean Pierre Meichel, OMI

81 Andre Hebting, OMI 82 Gabriel Dethune, CM

83 Jacques Gros, CM 84 Victor Berset, CM

85 Crawford, CM 86 Valentino Bosio, CM

87 Paulus Aryono, CM 88 Viktor Parera, PR

89 Carlo Karyanto, CM 90 Yosef Supit, PR

91 Vedastus Riky, PR 92 Stephanus Budi Prayitno, PR

93 Lukas Suwondo, CM 94 Natalis Nong Napa, PR

95 Benediktus Ragha, SVD 96 Tarsisius Natawijaya, PR

97 Hendrikus Rehi Manuk, SVD 98 Fransiskus Jansen, PR

99 Rufinus Sawe, SVD 100 Yosefus Kapitan Teluma, SVD

101 Stefanus Mite, PR 102 Thomas Kuslin, PR

103 Yohanes Lado, SVD 104 Ignasius Assan Kerans, PR

105 Yakobus Kila, PR 106 Boedhy Prihatna, OMI

107 Ignatius Widodo, SMM 108 Marinus Aloysius Kok, OMI

109 Mateus Juang, SMM 110 Markus Iswanto Hardo, CM

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 227


111 Stefanus Prio Utomo, CM 112 Martinus Prajoko, CM

113 Stefanus Seli, SMM 114 Aloysius Budiyanto, CM

115 L. Aleksander Sudaryanto, CM 116 Benedictus Adi Saptowidada, CM

117 Petrus Setiadji, CM 118 Martinus Widyatmoko, SMM

119 Antonius Sapta Widada, CM 120 Hilarius Adoson Paing, CM

121 Markus Boli Witin, OMI 122 Petrus Kukuh D.B., CM

123 Agustinus Puguh R.S., PR 124 Agustinus Bata, PR

125 Louis Bona, PR 126 Yusuf Gusti K. Prihatmono, CM

127 Josef Jehara, SMM 128 Lodofikus Ndona, SMM

129 Kasimirus Jumat, SMM 130 Markus Rudy H. Neomis, CM

131 Fredy Rante Taruk, PR 132 Sabas Sudiyono, CM

133 Robert Ginting, PR 134 Yosef Due, SVD

135 Avelinus Amput, SMM 136 Amon Amsori, CP

137 Pius Barses, CP 138 A. Widiatmoko, OMI

139 Damianus, OMI 140 Nikolaus Ola, OMI

141 Priyantoro, OMI 142 V.F. Mariyanto, CM

143 Vinsensius Rato, PR 144 Fransiskus Borgias, SMM

145 Herman Nupa, SMM 146 Stefanus Leba, SMM

147 Antonius Suniwarno, SMM 148 Emanuel Ngatam, SMM

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 228


2. Bruder

Bruder SMM

Bruder MTB

Total

1 Bruder

5 Bruder

6 Bruder

3. Suster

Suster SMFA 27 suster

Suster SdC

25 suster

Suster OSU

4 suster

Suster PK 3 suster

Suster ALMA 16 suster

Suster PRR 3 suster

Suster OSA 3 suster

Suster CP 3 suster

OSC Cap 3 suster

Total

84 orang

4. Katekis Keuskupan

1. Pak Ependi di Nanga Raun, Paroki Peniung

2. Pak Alexander Rara, Paroki Benua Martinus, Lanjak, Badau dan Kantuk.

3. Pak Fransiskus Didimus, Paroki Benua Martinus, Lanjak, Badau dan Kantuk.

4. Pak Bartolomeus Gani, Paroki Kelam

5. Pak L. Sengkudan, Paroki Tempunak

6. Pak Agus Dhae, Paroki Pandan

7. Pak Raymundus Ranggau, Paroki Menukung

8. Pak Linus Kuya, Paroki Dangkan-Silat

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 229


1. Para Imam

NO NAMA KLERUS ASAL

01 RD. Sabinus Amir, Pr Dioses Sintang Sejamban,

Sepauk

02. RD. Leonardus Miau, Pr Dioses Sintang Sungai Pari

03. RP. Tarcisius Eko Saktio, OMI Oblat Maria Sejiram

04 RP. Iosephus Erwin, OFM Cap Kapusin Ng Sungai,

Martinus

05. RP. Ariston, SMM Montfortan K. Semulung,

Bika

06. RD. Andreas Puan, Pr Dioses Sintang Ketungau

07. RP. Agustinus Ubin, CM Lazaris Tanah Pinoh

08. RD. F. Xaverius Pintau, Pr Dioses Sintang Medang, Dedai

09. RP. Adiantus, CP Pasionis Libau, Sepauk

10. RP. Kornelis, CP Pasionis Libau, Sepauk

11. RP. Paulus Sapomo, CM Lazaris Nobal

12. RD. Hiasintus, Pr Dioses Sintang Sintang

13. RD. Petrus Juli, Pr Dioses Sintang Dangkan

14. RD. Fransiskus Leo, Pr Dioses Sintang Medang, Dedai

15. RP. Giovanni OFM Cap Kapusin Ukit Ukit,

Martinus

16 RP. Giorgius Haraan OFM

Cap

Kapusin

Pragung,

Mendalam

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 230


2. Para Suster

NO NAMA TAREKAT ASAL

01 Sr. Lucia Puasa, SMFA SMFA Peniung

02 Sr. Agnes Samba, SMFA SMFA Bika

03 Sr. Bernarda Kiding, SMFA SMFA Martinus

04 Sr. Rufina Mah,SMFA SMFA Bika

05 Sr. Martina Marien, SMFA SMFA Siut Melapi

06 Sr. Kresentia Yati, SMFA SMFA Siut Melapi

07 Sr. Kristiana Lintung, SMFA SMFA Siut Melapi

08 Sr. Caritas Meri N. Mang, SMFA SMFA Siut Melapi

09 Sr. Clementia Sima, SMFA SMFA Martinus

10 Sr. Tivina Clara, SMFA SMFA Martinus

11 Sr. Maria Imaculata Bindon, SMFA SMFA Lanjak

12 Sr. Liberia Nori, SMFA SMFA Lanjak

13 Sr. Anselma, SMFA SMFA Peniung

14 Sr. Beata, SMFA SMFA Peniung

15 Sr. Yustina Dayang, SMFA SMFA Peniung

16 Sr. Margareth, SMFA SMFA Bika

17 Sr. Alberta, SMFA SMFA Bika

18 Sr. Yuliana Uli, SMFA SMFA Bika

19 Sr. Emmanuel Hunyang, SMFA SMFA Padua

20 Sr. Ana Rosnani, SMFA SMFA Sejiram

21 Sr. Adriana Anyin, SMFA SMFA Tempunak

22 Sr. Rufini Tatah, SMFA SMFA Sepauk

23 Sr. Agata Biduri, SMFA SMFA Sepauk

24 Sr. Vianey, SMFA SMFA Sepauk

25 Sr. Sofia Umaiyati, SMFA SMFA Pandan

26 Sr. Miryam Sinong, SMFA SMFA Tuguk

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 231


27 Sr. Paula Nyimoi, SMFA SMFA Tuguk

28 Sr. Theodorine, SMFA SMFA Tuguk

29 Sr. Kristina Unau Seni SMFA Tebidah

30 Sr. Yustine Butet, SMFA SMFA Ng. Serawai

31 Sr. Maria Suriti, SMFA SMFA Ng. Serawai

32 Sr. Therese Esyah, SMFA SMFA Ambalau

33 Sr. Emiliana Tini, SMFA SMFA Ambalau

34 Sr. Yulianne, OSA Agustinus Tebidah

35 Sr. Clementina Darawati, OSA Agustinus Nobal

36 Sr. Carolina Mariani Syeilon, OSA Agustinus Nobal

37 Sr. Felisitas Nikola Saptari, OSA Agustinus Sintang

38 Sr. Ignasia Mariata Tuti, OSA Agustinus Ampok

39 Sr. Ellia Rosa, OSA Agustinus Sejiram

40 Sr. Maria Susilawati, ALMA ALMA Ella Hilir

41 Sr. Infrawati, ALMA ALMA Lebang

42 Sr. Anastasia Emil Sailan, SdC Caritas Senaning

43 Sr. Marta Kristina Liam, SdC Caritas Sekubang

44 Sr. Anastasia Manis, SdC Caritas Kebah

45 Sr. Mea Sabina, SdC Caritas Sepauk

46 Sr. Yustin, PRR PRR

47 Sr. Yuliana Mariati, CP Pasionis Ambalau

48 Sr. Lusiana Duduy, CP Pasionis Bika Nazareth

49 Sr. M. Donata, KFS KFS Pakak, Tuguk

50 Sr. M. Hilda, KFS KFS Kelam

51 Sr. M. Ester, KFS KFS Mendalam

52 Sr. Marsinta, OSC Cap Rubiah Lebang

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 232


3. Para Bruder

NO. NAMA TAREKAT ASAL

01 Br. Charles OFM Cap Kapusin Belimbis, Benua

Martinus

02. Br. Stefanus Ceku OFM

Cap

Kapusin

Keram, Benua

Martinus

I. Pelindung /

Penasehat

II. Panitia Inti :

:

:

Uskup Sintang

Bupati Sintang

1. Ketua Umum : Drs. Ignatius Juan, MM.

2. Ketua 1 : Toni, S.Sos. M.Si.

3. Ketua 2 : Florensius Kaha, S.Pd. M.Si.

4. Sekretaris 1 : Ir. Florentinus Anum, M.Si.

5. Sekretaris 2 : F. Khosmas Syukur, S.Pd.

6. Bendahara 1 : Dra. Yosepha Asnah, M.Si.

7. Bendahara 2 : Pujiono, SE

8. Anggota : Pastor Ewaldus, Pr.

9. Anggota : Pastor Leonardus Miau, Pr.

10. Anggota : Pastor Petrus Apot, Pr.

11. Anggota : Pastor Mathias Sala Rawa Patty, Pr.

12. Anggota : Pastor Yohanes Pranoto, Pr.

13. Anggota : Pastor Paulus Pati Lein, Pr.

14. Anggota : Apolonaris Biong, S.Sos. M.Si.

15. Anggota : Drs. Hatta, M.Si.

16. Anggota : B. Suhartono, SH.

17. Anggota : Inosensius Inu, S.Sos.

18. Anggota : Dra. Cornelia L.L.

19. Anggota : Ir. Veronika Ancili

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 233


20. Anggota : Pimpinan Tarekat PRR.

21. Anggota : Pimpinan Tarekat SMFA

22. Anggota : Pimpinan Tarekat SdC.

III.

Seksi-Seksi

3.1 Seksi Liturgi

1. Pastor Salesius Jeratu, Pr.

2. Sr. M. Sophina, PRR

3. Yosef Adam

4. Stepanus Ukal, BA.

5. Pastor Yosef Dosi Mbele, Pr.

6. Pastor F.X. Pintau, Pr.

7. Drs. Andreas M. Calon

8. Yohanes Sani Tukan, S.Ag.

9. Nani, S.Ag.

10. Rafael Tapoona, A.Md.

11. Agnes Abong Geroda, S.Ag.

12. F.X. Partono

13. Florentina Murtini, S.Pd.

14. Sr. Maria, SMFA

15. Sr. Kristina, SMFA

Koordinator

Wakil Koordinator

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

3.2 Seksi Acara, Dokumentasi dan Sound System

1. Pastor Paschasius Triyono, Pr.

2. AFN. Hendriyatmoko, S.S.

3. Budi Cahyadi (Studio Cordium)

4. Pastor Anyo, Pr

5. Dra. Cornelia, L.L.

6. Dr. Veronika

7. Dra. Hendrika, M.Si.

8. Lunsa Balu, S.Pd. (sanggar tampun juah)

9. Yustina, A.Ma.Pd.(sanggar bulau karing)

10. Susana, SE (sanggar tugu beji)

11. Agnes Asnadeta, S.Pd

12. Klemen

13. Edi Silitongga

Koordinator

Wakil Koordinator

Wakil Koordinator

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 234


3.3 Seksi Penerima Tamu dan Akomodasi

1. Ir. F. Depkris Padumeos

2. Heronimus Tabrani Wasis, SH. MH.

3. Inosensius Inu, S.Sos.

4. B. Suhartono, SH.

5. Drs. P.E.Chunoi

6. Fransiskus Power, S.Sos.

7. Sirelus

8. Yohanes F.X. Kardi, S.Ag.

9. Yosef Sudiyanto, SH.

10. Widodo

11. Petrus Simon, S.Hut.

12. Anton Siregar, S.Pd.

13. Yakobus Suwandi

14. Yohanes Aten

15. A.V. Tian B.

16. Yohanes S.

17. Albertus Jidin

18. A. Renjani

19. Andrianus Efriyadi, A.Md. Farm

20. Supriyadi

21. Riyanto, S.Ag.

22. Agustinus Winarto, S.Pd.

23. Paulus Miki

24. Atamasius

25. Sumidi Yohanes, SP.

26. Agustinus Triyono

27. Mikael Hali Libur, S.Ag.

28. Drs. Y.A.T. Lukman Riberu, M.Si.

29. Petrus Amon

30. Edy Riberu, S.Pd.

Koordinator

Wakil Koordinator

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

3.4 Seksi Transportasi

1. Drs. Matheus Siong, M.Si.

2. MLS Nainggolan

3. Viktor Siat, A.Md.

4. Abibon Yub

5. Nikodimus

6. Yulianus

7. Supirin

8. Yahya Sucahya, SE.

Koordinator

Wakil Koordinator

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 235


9. Karlo Sujarkoro, SE.

10. Herianto

11. Hendrikus

Anggota

Anggota

Anggota

3.5 Seksi Konsumsi

1. Maria Magdalena Sudiyanto

2. Yosefa Sepina Biong

3. Merry Kristina Toni

4. Hayati Serilus

5. Sabmuniah Siong

6. Florida Ida Yulianus

7. Yasintha

8. Masiati Altila

9. Luisa Asnani

10. Yupita Maria

11. Kristina Kiki Nicodimus

12. Dra. Magdalena Ukis Hatta

13. Rostari Hieronimus

14. Martina Nyelam Kaha

15. Veronika Kardi

16. Yovita Suwandi

17. Ana Munlia Inu

18. Maria Victoria Ateng

19. Agatha Katharina Stef. Ukal

20. Susana Jenah Kiryanto

21. Sumartini

22. Eka Andreas

23. Cornelia Anyap

24. Etha Nyegang

25. Rita

26. Lusia

27. Ana Munlia

28. Lili Dwikowati

29. Maria Nona

30. Fransiska, S.Hut.

Koordinator

Wakil Koordinator

Wakil Koordinator

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

3.6 Seksi Perlengkapan

1. Apolonaris Biong, S.Sos. M.Si.

2. Palentinus S.Sos. M.Si.

3. Yohanes Abdurrahman

Koordinator

Wakil Koordinator

Anggota

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 236


4. M. Sahar

5. Nero Alin

6. Ir. Linus Barus

7. Rujindius

8. Supriyadi

9. Budi Cahyadi

10. Martin

11. Paulus Robin

12. Nikodemus Unka

13. Paulinus Kr.

14. Anong

15. Nikodemus, SH.

16. Juni

17. Suparno

18. Dimu Mohtar

19. Apin

20. Yanuarius

21. Dansilianus

22. Herkulanus

23. Palembang

24. Gana Suka

25. Yohanes Sumarjono

26. Onoreus

27. Buleman Sitomorang

28. Sargio

29. Yohanes Herinandi

30. Adrianus Mayak

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

3.7 Seksi Keamanan dan Parkir

1. Mayor ARH Amansius (Korem)

2. Santun Siregar

3. Sukandi

4. Martinus

5. Sukiran

6. Nikadelis Dekok

7. M. Tobang

8. Sandang

9. Putu Danuyasa

10. Sewinus

11. Paulinus

12. Nian Suyatno

Koordinator

Wakil Koordinator

Wakil Koordinator

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 237


13. Minus

14. Mudi U.

15. Meraman

16. Runjan

17. Simatupang

18. Andi Bruno

19. Agem

20. HP. Siregar

21. KKMK (Katedral dan Sei Durian)

22. Mudika (Katedral dan Sei Durian)

23. SATPOL PP

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

3.8 Seksi Kesehatan

1. dr. Marcus Gatot Budi P. M. Kes.

2. Abastinus S.Sos. M.Si

3. dr. Wahyu

4. dr. Rosa Tripina, M.Kes

5. dr. Harysinto Linoh, MM

6. dr. Sandur

7. dr. Hariandi

8. dr. Yudi Hartanto

9. dr. Yovita

10. Andreas Renjani, SKM

11. Andarias Pilang. A.Md.Kep

12. Florentina Ating. A.Md.Kep.

13. Mimpar. SKM

14. Algri Aldo, A.Md.Kep

15. Vinsensius, A.Md.Kep

16. BD. Florida Ida, SKM.

17. Hendrikus, A.Md.Kep

18. Heribertus, S.Farm.

19. Yulius Jualang, S.Kep. M.Si.

20. Sabmuniah Siong

21. Anselmus Abun

Koordinator

Wakil Koordinator

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

3.9 Seksi Dekorasi

1. Aloysius Jundeng, S.Pd

2. Supriyono, S.Pd

3. Dahries Kristian, S.Pd.

Koordinator

Wakil Koordinator

Anggota

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 238


4. Antonius Desa

5. Ir. Banyamin

6. F.X. Priyo Santoso

7. M. Pahan Apri, S.Pd.

8. Wiro Pranata, ST.

9. Yulianus

10. F. Akiung, SH.

11. Petrus Ara Kian, S.Pd.

12. B. Kiryanto, SE.

13. Andrianus Efriyadi, A.Md.Farm.

14. Yuliana

15. Edy Susanto

16. Wilbertus

17. Lilly

18. Astuning

19. Pius Leo

20. Ulbardus

21. Purnomo

22. Jahari

23. Pardiono

24. Pius

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

3.10 Seksi Usaha Dana

1. Gregorius Igo, ST.

2. Kristina Kiki, S.Sos. M.Si.

3. Felix Budiono

4. Tuah Mangasih, ST.

5. Jainudin, S.Pd.

6. Brigita Dwi Wijayanti, S.Hut. M.Si.

7. Supriyanto, SH.

8. Drs. Muana

9. Ajin

10. Maryono, S.Sos.

11. Leonardus Peni, S.Sos.

12. Sandan, S.Sos.

13. Remeo, SP.

14. Ginidie, S.Sos.

15. Kelibuk

16. Mesamadi, A.Md.

17. Yulius

18. Franseda, S.Sos.

Koordinator

Wakil Koordinator

Wakil Koordinator

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 239


19. Hermanto

20. Drs. Lusius Nelis

Anggota

Anggota

Sintang, 18 September 2010

Uskup Sintang,

Mgr. Agustinus Agus

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 240


1. Pastor Fulgentius, OFM Cap, dkk, Buku Harian Sintang, Tahun 1931-1941.

Buku ini adalah catatan asli, tulisan tangan.

2. Pastor Aloysius Ding, dkk, Buku Harian Sintang, tahun 1962-1975. Buku ini

adalah catatan asli, tulisan tangan.

3. RD. Matheus Rampai, Pr, Sejarah Gereja Keuskupan Sintang, (bahan hanya

untuk kebutuhan internal Keuskupan Sintang, tidak dipublikasikan), tgl 15

Juli 1983.

4. RP. Hubertus Swerts, SMM, Gereja Keuskupan Sintang (bahan untuk

disampaikan pada Musyawarah Pastoral Keuskupan Sintang), tgl. 3 - 6

Oktober 1995.

5. Piet Derckx, SMM, Sejarah Dimulainya Montfortan, Hidup dan Berkarya di

Indonesia, 1939-2005, Pusat Spiritualitas Marial, Bandung, 2008.

6. Mgr. Isak Doera, Pr., Beberapa Data Keuskupan Sintang (Sambutan dalam

Pertemuan Pro-Nuncio dengan Wakil-Wakil Umat Keuskupan Sintang, tidak

dipublikasikan), tgl 18 Juni 1992.

7. Keuskupan Agung Pontianak, Kenangan 75 Tahun Mandirinya Gereja

Katolik di Kalimantan Barat (1905-1980), oleh Keuskupan Agung Pontianak,

1980.

8. G. Vriens S.J., Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 2, Dokumentasi

Penerangan MAWI, 1972.

9. G. Vriens S.J., Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 3a, Dokumentasi

Penerangan MAWI, 1972.

10. Pastor Martinus, Catatan Sejarah Awal Misi ke Lanjak, diterjemahkan oleh

P. Amantius.

11. Catatan-Catatan Turne, 1932-1975. Merupakan laporan turne para pastor

yang diserahkan setiap tahun kepada sekretariat keuskupan. Semuanya

dalam bahasa Belanda.

12. Catatan-Catatan Lepas. Merupakan tulisan tulisan tangan atau ketikan dari

para misionaris (tanpa nama pembuat/pencatat), dalam bahasa Belanda

dan Indonesia.

13. RD. Yohanes Pranoto, Pr, Sejarah Gereja Lokal Keuskupan Sintang, (untuk

kalangan sendiri), 2007.

Catatan: tanggal dan tahun serta jumlah bisa jadi tidak akurat mengingat

keterbatasan cacatan sejarah yang diperoleh.

Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 241


Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 242

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!