You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
AKU
MENYERTAI
KAMU SENANTIASA,
SAMPAI KEPADA AKHIR ZAMAN
~ Mateus 28:20 ~
KENANGAN & SYUKUR
50 TAHUN GEREJA KATOLIK
KEUSKUPAN SINTANG
1961-2011
Penerbit:
Keuskupan Sintang
Aku Menyertai Kamu Senantiasa
Sampai Kepada Akhir Zaman
Kenangan & Syukur
50 Tahun Gereja Katolik
Keuskupan Sintang
1961-2011
Penerbit:
Keuskupan Sintang
Jln. Ahmad Yani no. 8
Sintang 78611
Tlp. (0565) 21213
Website: www.keuskupansintang.com
Email:
Cetakan Pertama: 2011
RD. Herman Yosef, Pr
ISBN xxxxxxxxxx
Hak cipta dilidungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalan bentuk dan dengan cara apa pun,
termasuk foto-kopy tanpa izin tertulis dari penerbit.
Dicetak oleh Binamitra, Jakarta
M
arkus Tillius Cicero (106-43 sebelum Masehi), dalam Pro Publio Sestio pernah
berkata, “Sejarah adalah saksi yang memberi kesaksian dengan berlalunya
waktu; ia menerangi realitas, menghidupkan ingatan, menyediakan
bimbingan untuk hidup sehari-hari dan membawa kita mengarungi masa lalu.”
Perjalanan Keuskupan Sintang yang mencapai usia emas pada tahun 2011 ini, hendak
kami jadikan sebagai saat, hari, dan tahun syukur dan refleksi. Kami tidak hanya mau
mengenang, kami juga mau bersyukur dan merenung. Kami tidak hanya mau
mengetahui masa lalu, tetapi hendak belajar darinya, hendak memaknainya. Masa lalu
bukan hanya sekedar sejarah di mana peristiwa dan hal penting dicatat, tetapi
terutama orang-orang yang telah berjasa dikenang, dan terutama untuk mensyukuri
jasa mereka serta bimbingan Tuhan selama ini. Kami mau belajar dan melanjutkan
semangat pengabdian dan pengorbanan para pendahulu kami.
Karena itu, dengan hati gembira dan penuh syukur, kami rayakan 50 tahun berdirinya
Keuskupan Sintang. Salah satu kenangan dan rasa syukur yang kami lakukan ialah
membuat BUKU KENANGAN ini.
Buku ini adalah karya banyak orang, khususnya para misionaris yang rajin mencatat
berbagai peristiwa, merekam beberapa gambar, menyimpan, merawat dan
menitipkannya kepada generasi berikutnya. Tanpa catatan mereka, buku ini hanyalah
berisi halaman kosong dan perjalanan Keuskupan Sintang pun hanya kumpulan
dongeng tanpa sejarah.
Buku ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah para Imam, Suster dan
Bruder. Tetapi karena terbatasnya informasi mengenai tokoh-tokoh umat awam serta
peran mereka masing-masing, maka sangat terasa bahwa buku ini sedikit sekali
menulis mengenai para awam yang juga sudah sangat berjasa dalam membangun
Gereja, khususnya pada tingkat stasi, sejak awal berdirinya Keuskupan Sintang.
Terima kasih khusus untuk Pastor Joep van Lier, SMM, almarhum, yang telah
mengumpulkan berbagai bahan sejarah karya misi di tanah Kapuas ini. Terima kasih
kepada Pastor Piet Derckx SMM, Pastor Swerts SMM, serta Pastor Matius Rampai, Pr,
almarhum, dan Mgr. Isak Doera, para pendahulu yang telah meninggalkan catatan-
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. i
catatan penting dan bersejarah, yang menjadi sumber utama Buku Kenangan ini.
Terima kasih kepada Pastor Yohanes Pranoto, para Pastor, para Suster, para Imam,
khususnya Pastor paroki yang telah membuat dan menyerahkan sejarah singkat dan
data paroki, serta para umat awam yang telah menyumbangkan usulan dan material
kepada penyusun. Terima kasih kepada Pastor Jacques Chapuis, OMI yang telah
mengoreksi banyak hal dari buku ini, serta terima kasih kepada semua orang yang
telah terlibat, langsung dan tidak langsung, dalam penulisan dan pembuatan buku ini.
Salah satu sumber sejarah yang sangat penting ialah Arsip Turne para pastor antara
tahun 1932 hingga 1982, dalam keadaan tua, kumuh dan beberapa sudah rusak.
Sayang sekali bahwa semuanya dalam bahasa Belanda. Karena penyusun tidak bisa
berbahasa Belanda, maka hanya dapat mengutip tanggal-tanggal pentingnya saja.
Perlu diinformasikan kepada para pembaca tercinta bahwa jumlah imam, suster,
pembaptisan, jumlah umat kadangkala sulit mendapatkan kepastian karena ada
perbedaan antar sumber yang satu dengan lainnya. Hal yang sama juga mungkin
terjadi dengan tanggal suatu peristiwa. Demikian pula nama tempat dan orang, baik
karena ejaan ataupun lainnya, ada sedikit perbedaan penulisan pada beberapa
sumber. Misalnya, kadang disebut Pastor Yan, lain kali disebut Pastor Jan, dsb.
Akhirnya, terima kasih yang terbesar dan teragung dipersembahkan kepada Tuhan
Yesus Kristus, Sang Raja Agung, Pelindung dan Penyelenggara Keuskupan Sintang,
sejak semula hingga akhir zaman. Amin.
Buku ini dipersembahkan untuk seluruh umat Allah di Keuskupan Sintang: umat awam,
para Klerus, para anggota lembaga hidup bakti dan serikat hidup kerasulan, dan Mgr.
Agustinus Agus. Buku ini juga dipersembahkan untuk para misionaris dan pimpinan
terdahulu yang telah berdedikasi dan bijak membangun keuskupan Sintang: Mgr.
Lambertus van Kessel, SMM; Mgr. Lambertus van den Boorn, SMM; dan Mgr Isak
Doera.
Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.
Semoga Allah semakin dimuliakan melalui usaha sederhana ini.
Sintang, 13 September 2011
Penyusun
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. ii
Pengantar
Daftar Isi
iii
Penjelasan Makna Logo Perayaan
v
Doa Syukur 50 Tahun Keuskupan Sintang
vii
Mars 50 Tahun Keuskupan Sintang
ix
Kata Sambutan
xi
Ketua Panitia
Bupat Sintang
Bupati Kapuas Hulu
Bupati Melawi
Gubernur Kalimantan Barat
Uskup Agung Pontianak
Uskup Sintang
Nuncio
1
Bagian I: Wilayah dan Umat Allah Keuskupan Sintang
1. Geografi 2
2. Topografi 2
3. Populasi Umat 4
Bagian II: Awal Mula Gereja Keuskupan Sintang 7
Bagian III: Prefektur Apostolik Kalimantan 17
1. Sejiram 18
2. Lanjak dan Benua Martinus 22
3. Bika Nazareth 27
4. Sintang dan Putussibau 29
Bagian IV: Prefektur dan Vikariat Apostolik Sintang 33
1. Masuknya Serikat Maria Montfortan 34
2. Nanga Serawai 41
3. Imam Dayak Pertama 43
4. Prefektur Apostolik Sintang 44
5. Nanga Pinoh 45
6. Vikariat Apostolik Sintang 47
Bagian V: Keuskupan Sintang 49
1. Masa Awal Keuskupan Sintang 50
2. Imam Diosesan Generasi Pertama 55
i
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. iii
3. Masuknya Imam Oblat Maria Imakulata dan Kongregasi 56
Misi
4. Mgr. Isak Doera dan masuknya tarekat Suster Ursulin, 57
Caritas dan Imam dan Bruder Serikat Sabda Allah
5. Keputusan Menteri Agama no. 70 dan 77, tahun 1978. 63
6. Pembentukan Paroki-Paroki Baru Tahun 1979 64
7. Mgr. Agustinus Agus 65
8. Masuknya Tarekat Tarekat suster Reinha Rosari, Puteri 69
Kasih, Santo Agustinus, Imam serta Suster Pasionis, dan
Klaris Kapusines
Bagian VI: Tonggak-Tonggak Bersejarah Keuskupan Sintang 73
Bagian VII: Karya-Karya Keuskupan Sintang 81
1. Karya Pastoral 82
2. Karya Pendidikan 84
3. Karya Kesehatan 87
4. Karya Sosial 87
Bagian VIII: Profil Paroki-Paroki 88
1. Regio Sintang 89
2. Regio Kapuas Hulu 133
3. Regio Melawi 162
Bagian IX: Profil Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan 173
1. Profil Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan 174
Puteri di Keuskupan Sintang
2. Profil Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan 193
Putera di Keuskupan Sintang
Bagian X: Profil Lembaga Pendidikan 203
1. Yayasan Sukma 204
2. Seminari Menengah Yohanes Maria Vianney 208
Lampiran 211
1. Kuria Keuskupan 212
2. Profil Tenaga Pastoral 213
3. Susunan Anggota Panitia Perayaan 50 Tahun Keuskupan 233
Sintang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. iv
Makna Logo
I. Warna
a. Emas: melambangkan kemuliaan dan kejayaan.
b. Biru: melambangkan keabadian, kekekalan.
c. Putih: melambangkan keilahian, kesucian, kekudusan.
d. Merah: melambangkan keberanian, pengorbanan.
II. Bentuk
a. Lingkaran: a) melambangkan keberlanjutan; sesuatu yang tak terputus, dan b)
kesatuan umat Katolik keuskupan Sintang.
b. 50 emas: usia keuskupan Sintang yang mencapai usia emas.
c. Salib: a) melambangkan Kristus Tuhan, serta b) inkulturasi iman Katolik
dengan budaya Dayak.
d. Merpati: melambangkan Roh Kudus yang menerangi perjalanan keuskupan
selama 50 tahun.
e. Peta Kalimantan: wilayah, tempat Gereja keuskupan Sintang ditanam,
berkembang dan berbuah.
III. Tulisan
a. Moto “Aku menyertai kamu senantiaasa sampai kepada akhir zaman” (Mat.
28:20): Pengalaman Gereja Keuskupan Sintang selama 50 tahun dan keyakinan
serta kepercayaan untuk masa depan bahwa Tuhan akan senantiasa
menyertainya.
b. 1961-2011: 50 tahun usia keuskupan Sintang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. v
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. vi
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. vii
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. viii
Allah Bapa kami yang Maha Pengasih,
kami bersyukur kepada-Mu, karena selama 50 tahun
Engkau menyertai umat-Mu di Keuskupan Sintang
dengan setia, baik dalam suka maupun dalam duka.
Engkaulah yang menghadiahkan kami,
alam yang indah, tanah yang subur
serta beraneka tumbuhan dan hewan
yang memberikan kehidupan bagi kami umat-Mu;
Engkaulah yang menanam, menyirami
dan menumbuhkan iman umat-Mu,
lewat para Misionaris,
Para Uskup, Para imam,
Para Bruder, Para Suster dan Para Awam
yang tekun mewartakan kabar gembira-Mu;
Engkaulah juga yang melengkapi kami
dengan semangat pelayanan
dan persaudaraan yang sejati.
Ya Kristus raja kami,
Engkaulah yang memimpin kami kepada kehidupan,
Engkaulah Raja, yang memberikan seluruh hidup-Mu,
untuk mengangkat martabat kami.
Ya Raja, yang lembut dan rendah hati,
rajailah hati seluruh umat-Mu,
rajailah hati anak-anak dan kaum muda,
keluarga dan masyarakat
yang terdiri dari aneka suku dan budaya.
Rajailah pula hati para pembesar negara
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. ix
dan pembesar Gereja kami.
Utuslah Roh Kudus-Mu,
agar kami terus berkembang
menjadi umat beriman yang mendalam,
mandiri dan misioner,
yang berdaya pikat dan berdaya tahan,
agar kami mampu berbela rasa
dan berani berpihak pada yang miskin dan terlantar, tersisih dan menderita;
agar kami memiliki keterbukaan
pada keragaman suku,budaya dan agama,
sehingga dengan demikian, kami semakin setia kepada-Mu dan semakin berbakti
kepada masyarakat dan bangsa
serta semakin menjadi garam dan terang
di tengah dunia.
Bunda Maria, Bunda Gereja,
bantulah kami dengan doa-doamu,
agar keluarga, lingkungan, stasi, Paroki dalam Keuskupan Sintang ini,
mampu mewujudkan iman dalam kasih dan pengharapan
serta percaya bahwa engkau dan Puteramu Yesus Kristus
selalu melindungi dan menyertai kami
di Keuskupan Sintang ini,
sekarang dan selama-lamanya. Amin
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. x
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xi
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xii
“Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu, dan ketahuilah, Aku menyertai kamu
senantiasa sampai kepada akhir zaman”
(Mateus 28:20)
Tahun 2011 ini adalah tahun yang sangat istimewa bagi umat Keuskupan Sintang,
karena seluruh umat merayakan pesta emas berdirinya Keuskupan ini. 50 tahun
bukanlah waktu yang singkat, tetapi sebuah perjalanan waktu yang panjang dan penuh
dengan cerita dan kenangan. Kalau diibaratkan dengan kehidupan manusia, dengan
usia 50 tahun, telah banyak hal yang dapat diperbuat dan dikerjakan.
Di usianya yang ke-50 tahun ini, sejarah telah mencatat begitu banyak peran
keuskupan Sintang dalam memajukan kehidupan masyarakat di wilayah ini, baik di
wilayah Kabupaten Sintang, Kapuas Hulu, maupun Melawi. Sejak munculnya Gereja
Katolik di wilayah ini, peran Gereja Katolik tidak dapat disangkalkan lagi dalam
memajukan pendidikan, kesehatan, perekonomian rakyat, kebudayaan dan peradaban
dunia baru bagi masyarakat pedalaman. Karya Gereja Katolik bahkan terjadi jauh
sebelum peran pemerintah mampu menjangkau daerah-daerah pedalaman yang sulit
dan sangat terpencil.
Fakta karya Gereja Katolik Keuskupan Sintang dalam membangun masyarakat di
wilayah ini menunjukkan bahwa lembaga ini bukan saja bergerak dalam bidang
keagamaan semata, tetapi merasuk dan berkarya pada setiap sendi-sendi sentral
kehidupan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan umum (universalitas).
Khususnya bagi masyarakat Dayak, peran Gereja Katolik Keuskupan Sintang sangatlah
besar. Pertolongan Tuhan kepada masyarakat Dayak melalui Gereja Katolik mampu
menjadikan masyarakat Dayak hidup layak dan mampu berperan aktif dalam
memajukan masyarakatnya, baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang
perekonomian, adat istiadat dan sosial budaya, serta akhirnya banyak tokoh-tokoh
masyarakat Dayak yang mampu menjadi pemimpin dan pemegang peran di tanah
airnya sendiri.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xiii
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa penghayatan dan pengamalan perintah
Tuhan untuk memberitakan injil kepada semua bangsa oleh Gereja Katolik Keuskupan
Sintang tidak diragukan lagi. Karya-karya besar berkat campur tangan Tuhan selama
perjalanan hingga 50 tahun ini mampu membuka cakrawala berpikir dan bertindak
bagi seluruh warga Gereja dalam berperan secara aktif dalam kehidupan menggereja,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan peringatan 50 tahun (pesta emas) Keuskupan Sintang yang diperingati selama
satu tahun penuh dalam tahun 2011 ini, saya berharap momentum ini dapat semakin
memotivasi kita semua umat Katolik Keuskupan Sintang untuk lebih berperan aktif
dalam berkarya memajukan kehidupan masyarakat serta mengisi hari-hari berikutnya
dengan tindakan nyata untuk mengabarkan suka cita surgawi kepada semua orang
seperti apa yang telah diperintahkan Tuhan kepada kita, untuk memberitakan Injil
kepada semua bangsa dengan penuh kleyakinan akan penyertaan Tuhan senantiasa
sampai kepada akhir zaman, agar kita tidak pernah takut dan gentar dalam
menyongsong habitus baru yang lebih baik.
Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam bentuk apapun selama perayaan
pesta emas 50 tahun Keuskupan Sintang ini, atas nama panitia, saya mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, dan semoga pengorbanan dan
karya kita mendapat berkat yang melimpah dari Allah Bapa di Surga.
Akhirnya, saya mengucapkan selamat merayakan pesta emas 50 tahun Keuskupan
Sintang kepada seluruh umat Katolik di wilayah ini. Mari kita bergandengan tangan
dalam satu hati menuju Keuskupan Sintang yang mandiri.
Semoga Tuhan memberkati.
Sintang, 28 September 2011
Ketua Panitia
Drs. Ignasius Juan, MM.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xiv
Pertama-tama, saya dengan sukacita hendak mengucapkan
selamat kepada Tuhan kita Yesus Kristus dan Allah Bapa kita,
karena berkat kasih karuniaNyalah, telah berdiri dan
bertumbuh iman kristiani, khususnya Gereja Katolik di
wilayah Kalimantan, khususnya di kabupaten Sintang. Kedua,
saya hendak mengucapkan selamat merayakan Pesta Emas,
50 tahun berdirinya Keuskupan Sintang kepada pimpinan
dan seluruh Umat Katolik Keuskupan Sintang.
Sejarah mencatat bahwa iman Kristiani sudah mulai masuk
ke Kalimantan Barat sejak tahun 1816, dan baru diizinkan
melayani orang Dayak pada tahun 1884. Sejarah juga mencatat bahwa, Gereja Katolik
mulai berdiri dan mulai melayani orang Dayak di wilayah Keuskupan Sintang sejak
dibukanya Paroki Semitau (setahun kemudian menjadi Paroki Sejiram) pada tahun
1890. Ini berarti Gereja Katolik telah bertumbuh selama 121 tahun. Akhirnya, Gereja
yang bertumbuh itu ditetapkan oleh Paus sebagai sebuah Gereja mandiri, yaitu
sebagai keuskupan, bersama dengan keuskupan lainnya di Indonesia pada tahun 1961,
di mana tahun ini genap berumur 50 tahun.
121 tahun hadir di Kalimantan Barat dan 50 tahun sebagai Gereja mandiri
(Keuskupan), tentu bukanlah umur yang singkat, tetapi serentak juga bukanlah umur
yang uzur untuk sebuah lembaga keagamaan. Dalam rentang waktu ini, sejak saat
berdiri hingga kini, jasa dan peranan Gereja Katolik sungguh dirasakan oleh
masyarakat, khususnya masyarakat Dayak dan pedalaman.
Gereja yang sering dianggap hanya mengurus jiwa dan hal-hal kerohanian manusia,
ternyata tekun dan tidak pernah lelah di garda depan membangun mentalitas, pola
pikir, pola hidup, dan nilai-nilai kemanusiaan, juga membangun perekonomian,
pendidikan, kesehatan, dsb, sejak zaman dahulu ketika negara dan pemerintah belum
menjangkau jauh ke pedalaman, hingga kini dan nanti. Pembangunan di wilayah ini
tidak dapat dipungkiri, telah berkembang seperti ini, salah satunya karena jasa dan
pelayanan Gereja Katolik.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xv
Sebagai pimpinan daerah, saya tidak hanya menyadari hal ini, tetapi juga bersyukur
dan berterima kasih kepada Gereja Katolik atas semua sumbangsih dan jasa selama ini,
sambil berharap agar usaha mulia ini tetap dilanjutkan dan ditingkatkan, dan sangat
berharap agar tetap bekerja sama dengan pemerintah dalam membangun masyarakat
di wilayah ini. Kami sungguh yakin, apalagi dengan jumlah umat yang cukup besar,
sistem, sarana-prasarana dan tenaga yang sudah mapan dan tersebar di mana-mana,
Gereja Katolik akan terus aktif membangun manusia di wilayah ini, yang juga
menjangkau semua orang dan golongan.
Hal ini selaras dengan upaya pemerintah daerah Sintang yang memiliki strategi
Gerbang Emas Jakarta Selatan (Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat: Jalan,
Karet, Tanaman pangan, Sekolah dan Kesehatan). Melalui strategi ini, pembangunan
daerah ini diarahkan untuk menciptakan masyarakat yang produktif, berkualitas,
sejahtera dan demokratis, melalui pemenuhan kebutuhan dasar, percepatan
pembangunan infrastruktur dasar, perluasan investasi, dan penciptaan kesempatan
kerja.
Membangun fisik saja dengan mengabaikan pembangunan mentalitas dan tata nilai
tidak akan menghasilkan secara berarti. Karena itu, pemerintah daerah juga
menggalakkan gerakan lima budaya, yaitu 1) budaya kerja keras, kerja cerdas, kerja
ikhlas, dan kerja tuntas, 2) budaya gemar membaca, 3) budaya gemar menabung dan
menghindari sifat konsumtif, 4) budaya peduli sosial, gotong royong. 5) budaya hidup
bersih dan sehat. Semuanya ini dapat terwujud bila seluruh elemen masyarakat ambil
bagian sesuai dengan tugas, fungsi dan kemampuan masing-masing, termasuk di
dalamnya ialah Gereja Katolik serta seluruh Umat Katolik.
Akhirnya, sekali lagi, saya sebagai pribadi dan atas nama seluruh jajaran pemerintah
daerah Sintang dan warga masyarakat kabupaten Sintang, mengucapkan Selamat
Merayakan Pesta Emas, 50 Tahun Keuskupan Sintang. Semoga momen historis dan
penuh makna ini menjadi awal baru dalam pembangunan masyarakat yang utuh
secara jasmani dan rohani serta dalam hal kerja sama dengan pemerintah.
Sintang 11 Oktober 2011,
Bupati Sintang
Drs. Milton Crosby, M.Si
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xvi
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xvii
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xviii
Assalamualaikaum WR. WB.
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha Kuasa, atas berkah dan
hidayah-Nya, sehingga kita dikaruniakan kesempatan untuk menikmati karya ciptaan-
Nya serta menjalani kehidupan yang damai dalam kemajemukan dan keberagaman di
bumi Indonesia yang kita cintai ini.
Sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia serta sebagai salah satu
kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, pemerintah Kabupaten Melawi memiliki visi
dan misi yang terangkum dalam sebuah moto: “Melawi Sehat, Melawi Terang, Melawi
Lancar, Melawi Cerdas, Melawi Kuat.” Dalam rangka mewujudkan moto tersebut,
pemerintah memerlukan dukungan dari seluruh elemen masyarakat, termasuk pula
pranata sosio-religius.
Keuskupan Sintang, yang membawahi wilayah Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu,
memiliki peranan yang besar, terutama dalam mengayomi umat Katolik yang ada di
daerah cakupannya. Dengan demikian secara garis besar, Keuskupan Sintang berperan
besar dalam pembangunan daerah, khususnya untuk membangun kualitas mental
hidup masyarakat yang kuat dan tangguh, melalui aktivitas kerohanian maupun bakti
sosial kemasyarakatan.
Dewasa ini, kepedulian sosial telah menjadi hal yang langka ditemukan dalam
masyarakat modern. Padahal, sesungguhnya banyak permasalahan pembangunan
seperti kemiskinan dan kebodohan, dapat ditanggulangi bila masyarakat lebih peduli
akan sekitarnya. Tanpa menafikan kedaulatan negara, yang memang harus menjamin
kesejahteraan rakyatnya, kepedulian sosial antar masyarakat diperlukan dalam rangka
mempertahankan rasa senasib dan seperjuangan yang membingkai kesadaran sebuah
bangsa.
Oleh karena itu, kepedulian sosial dapat dibina melalui institusi keagamaan.
Sebagaimana kita ketahui, semua agama di dunia mengajarkan kebaikan dan cinta
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xix
kasih kepada Tuhan dan sesama. Karenanya, tepatlah jika kita menaruh harapan pada
institusi keagamaan melalui para pemimpinnya untuk dapat menjadi agen kepedulian
sosial masyarakat. Rasa peduli yang berwujud simpati dan empati, merupakan modal
dasar pembangunan yang tak terkira nilainya. Dengan kepedulian sosial, diharapkan
tidak akan ada lagi keluarga yang lapar, anak yang putus sekolah, pengangguran pada
usia produktif, ataupun anak-anak kekurangan gizi. Dengan demikian, masyarakat kita
akan lebih sejahtera dan bahagia.
Dalam hal ini, kami yakin, Keuskupan Sintang dapat menjadi salah satu agen
kepedulian sosial bagi umat dan masyarakat umum di wilayahnya. Cakupan daerah
yang luas, dukungan dan kepercayaan masyarakat serta dengan pertolongan Tuhan
yang Maha Esa, tentunya akan memaksimalkan Keuskupan Sintang dalam melakukan
karya sosial di tengah-tengah masyarakat yang telah dibangunnya sejak lama.
Selanjutnya, dalam rangka penyusunan buku sejarah Gereja Keuskupan Sintang
ini, kami pandang sebagai sebuah prestasi sekaligus catatan sejarah penting yang
merangkum jejak-jejak karya sosial dan perdamaian Keuskupan Sintang. Oleh
karenanya, kami menyambut baik penerbitan buku ini. Harapan kami, semoga buku ini
dapat memberikan pembelajaran yang bermakna serta membawa pencerahan bagi
umat dan bangsa, yang akhirnya menjadi nilai tersendiri bagi masyarakat yang
membacanya.
Akhir kata, atas nama pemerintah kabupaten Melawi, kami ucapkan selamat
atas perayaan hari jadi yang ke-50 kepada Keuskupan Sintang. Semoga di usia emas
ini, Keuskupan Sintang dapat semakin bercahaya di tengah kegelapan zaman dan terus
berkiprah dalam karya perdamaian dunia.
Wassalamalaikum WR. WB.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xx
Salam Damai Sejahtera Bagi Kita Semua
Adi; Ka’Talino, Bacuramin Ka’Saruga, Ba’Sengat Ka’Jubata,
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kepada Allah Bapa Yang
Maha Kuasa, Saya menyambut gembira dan sukacita atas
terbitnya buku “Sejarah Keuskupan Sintang” yang merupakan
catatan tertulis perjalanan panjang sejarah berdirinya
Keuskupan Sintang sebagai Hirarki Gerejani yang pada tahun
ini genap berusia 50 tahun.
Terbitnya buku ini, menjadi salah satu media bagi kita semua,
khususnya umat Katolik di Keuskupan Sintang untuk dapat
memahami rekam jejak perjalanan dari awal mula masuknya
Misi Katolik yang berlanjut dengan berdirinya Keuskupan
Sintang sebagai Hirarki Gerejani yang bertepatan pula dengan berdirinya Hirarki Gereja
Katolik Indonesia sebagai mana Konstitusi Apostolik Yohanes XXIII dan perkembangan
keuskupan hingga saat ini. Kita juga patut bersyukur, atas segala anugerah dan
penyertaan Allah dalam karya pewartaan Injil yang memiliki makna luas dan sangat
mendalam mengenai sebuah proses, yang melalui Gereja mewartakan kabar gembira
Kristus tentang karya keselamatan dan perbuatan kasih yang mengilhami
pembaharuan tatanan yang lama dan bersifat sementara dengan cara memperbarui
diri menuju kehidupan dengan tatanan hidup baru dan memiliki karakter hidup
Kristiani.
Tentu peristiwa yang bersejarah ini tidak cukup hanya untuk dikenang, dan perjalanan
panjang 50 tahun mendapat anugerah pengakuan ini, kita pantas merefleksi diri
sampai di mana kita memaknai pemberian wewenang ini untuk memacu kemandirian
Gereja untuk menjadi Gereja yang semakin dewasa, bertanggung jawab, dan tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat Kalimantan Barat yang majemuk dalam segala segi
kehidupan.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xxi
Tantangan di era globalisasi dewasa ini menuntut Gereja untuk semakin berperan dan
menjadi pihak yang bersama-sama dengan Pemerintah untuk berdiri paling depan
dalam mengatasi berbagai macam persoalan bangsa yang kerap muncul dalam
kehidupan sosial masyarakat. Saya yakin bahwa dengan kualitas iman yang baik dan
benar, akan menjadi filter dan tameng yang kuat untuk menghadapi berbagai
persoalan, ancaman dan tantangan kehidupan tersebut, terutama peran Gereja untuk
menjaga dan membina Generasi Muda Katolik guna terhindar dari upaya-upaya
penanaman pemahaman radikalisme, terorisme, dan gerakan untuk memecah
persatuan dan kesatuan bangsa. Saya berharap Keuskupan Sintang dapat bersamasama
dengan Pemerintah dan berbagai pihak untuk dapat saling bersinergi untuk
mencapai tujuan pembangunan Kalimantan Barat mewujudkan masyarakat yang
beriman, sehat, cerdas, aman, berbudaya dan sejahtera.
“Proficiat” untuk Keuskupan Sintang, semoga Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh
Kudus senantiasa memberkati dan menyertai segala langkah dan karya-karya kita
untuk kemajuan umat dan Kalimantan barat. “Maju Terus Membangun Kalimantan
barat.”
Salam damai Sejahtera untuk Kita Semua.
Adil Ka’Talino, Bacuramin Ka’Saruga, Basengat Ka’Jubata.
Pontianak, September 2011
GUBERNUR KALIMANTAN BARAT
Drs. Cornelis, MH
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxii
Saudara-saudari yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus,
Marilah kita melambungkan puji syukur ke hadirat Tuhan
Pencipta langit dan bumi atas hidup dan kesempatan untuk
merayakan setengah abad hierarki Gereja Katolik di
Keuskupan Sintang. Selamat kepada kita sekalian yang
mengenang momentum historis ini sambil menatap ke masa
depan. Perayaan iman ini mengundang kita untuk
meneropong perjalanan sejarah dan menyiapkan langkah
menuju ke masa depan.
Sejak menapakkan kaki di bumi Borneo, para misionaris awal SJ (Societas Jesu) dan
OFMCap (Ordo Fratrum Minorum Cappuccinorum) telah menoleh ke kawasan
pedalaman Kalimantan, seperti Sejiram. Pada tanggal 29 Juli 1890, P. H. Looijmans, SJ
mulai bekerja dari pangkalan Semitau. Pada waktu itu, P. Stool, SJ dari Singkawang
menghantar P. Looijmans, SJ ke Kapuas Hulu. Kawasan Sei Seberuang dan Nanga-
Sejiram menjadi sasaran pewartaan Kabar Baik. Setelah ditinggalkan misionaris SJ
(1898), datanglah Prefek Pacificus Bos, OFMCap ke Sejiram pada tanggal 7 Mei 1906.
Sisa-sisa stasi ditemukan. Gedung Gereja tidak ada lagi. Pastoran tak dapat ditempati
lagi. P. Carmillus, OFMCap pada tahun 1906 pernah menulis: “Ada sebuah gedung di
atas tiang-tiang dekat sungai; sudah lama rusak dan sebagian dimakan rayap, dinding
dibuat dari kulit pohon dan tiang-tiang tak pernah diketam. Ada juga beberapa tiang
yang ditancap dalam tanah, yakni sisa-sisa gereja dan sekolah.” 1
Berdasarkan persetujuan Propaganda Fide (Kongregasi Suci untuk Penyebaran Iman),
Mgr. van Velenberg menyerahkan secara bertahap bagian timur dari Vikariat Apostolik
Pontianak (wilayah Keresidenan Sintang) kepada misionaris Montfortan (SMM). Pada
tanggal 7 April 1939, tibalah P. Harry L’Ortye, SMM di Pontianak, yang memilih Bika
Nazareth sebagai basis wilayah karyanya.
Dari catatan sejarah ini tampak bahwa benih yang disemaikan pada awal memang kecil
dan lambat-laun berkembang terus hingga seperti sekarang. Pada waktu kunjungan
tahun 1906 Prefek Apostolik menemukan sekitar 50 orang Dayak sudah
dipermandikan. Wilayah pelayanan terus melebar. Daerah-daerah lain, seperti Silat,
1 Bart Janssens, OFMCap, Kuntum Coklat di Tengah Belantara Borneo: Cukilan Cerita 100 Tahun
Kapusin (Ed. William Chang, OFMCap), Pontianak, 2005, hal. 14-15.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xxiii
Putussibau dan Batang Lupar. Jumlah anak yang dipermandikan mencapai sekitar 400
orang. Benua Martinus pun tak luput dari kunjungan.
Sejarah membuktikan bahwa jumlah daerah dan manusia yang mengikuti Yesus kian
bertambah. Semangat misionaris pantas dikagumi. Walaupun berbeda budaya dan
bahasa, misionaris tetap berusaha membawa Yesus, Sang Juruselamat, kepada setiap
manusia di daerah-daerah yang berbeda. Tampak, campur tangan Tuhan dalam
seluruh proses pewartaan Kabar Baik telah membentuk wajah dan isi Gereja Katolik di
kawasan Sintang dan sekitarnya.
Pertumbuhan Gereja Katolik terus berlanjut berkat karya misionaris dari pelbagai
kongregasi dan didukung oleh kesadaran umat Katolik dalam hidup menggereja.
Campur tangan Roh Kudus dalam karya kerasulan di wilayah Sintang dan sekitarnya
tak tersangkalkan. Gereja dan kapel terus bertambah. Peningkatan jumlah umat
Katolik menjadi sebuah pertanda bahwa kehidupan menggereja di daerah ini
memberikan pengharapan di masa depan. Kemandirian hidup menggereja di wilayah
ini ditandai dengan pendirian Hierarki Indonesia pada tanggal 3 Januari 1961. Status
sebagai daerah misi berhenti. Vikariat Apostolik Sintang berubah menjadi Keuskupan
Sintang dengan Uskup pertama Mgr. Lambertus van Kessel, SMM. Hingga akhir tahun
1969 terdapat sekitar 13.300 umat Katolik dan 4.000 katekumen. 2
Dalam kurun 50 tahun, Gereja Katolik di Keuskupan Sintang berkembang pesat.
Sekarang jumlah umat Katolik berkisar 225.756 jiwa yang tersebar dalam 36 paroki,
dengan tenaga imam 66 orang (imam diosesan dan biarawan). Hadir juga 6 Bruder dan
84 suster di tengah-tengah umat Katolik di Keuskupan Sintang. Secara umum dapat
dikatakan bahwa seorang imam melayani sekitar 3.420 umat Katolik. Tenaga imam
masih diperlukan. Keadaan ini menunjukkan adanya potensi yang subur bagi
perkembangan Gereja Katolik di kawasan Sintang hingga ke Putussibau. Tidak sedikit
orang yang masih ingin menjadi anggota Gereja Katolik. Peluang kerasulan masih
terbuka luas. Malah, di hari-hari mendatang masih terbentang harapan untuk
memekarkan Keuskupan ini jika keadaan memungkinkan dan semua persyaratan
administratif kanonik terpenuhi.
Sebagai sebuah hierarki Gereja tetap berada dalam keterkaitan dengan seluruh umat
Allah. Dimensi institusional Gereja merupakan sebuah kenyataan organisatoris di
mana Gereja terstruktur dalam sebuah masyarakat yang kelihatan, sebagai umat Allah
(LG 9-17). Pendalaman makna hidup menggereja sebagai sebuah organisasi dan
himpunan umat beriman berada dalam sebuah konteks sosial yang berubah terusmenerus.
Pertumbuhan Gereja sejak tahun 30-330 memiliki ciri berupa komunitas-
2 Piet Derckx S.M.M, Sejarah Dimulainya Monfortan Hidup dan Berkarya di Indonesia (1939-
2005): Siapakah Mereka yang Datang Melayang dari Sana Seperti Awan? Bandung: Pusat
Spiritualitas Marial, 2008, hal. 71-82.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxiv
komunitas kecil orang Kristen. Dimensi katolisitas Gereja dititik-beratkan. Tak heran St.
Ignatius dari Antiokia dalam surat kepada jemaat di Smyrna antara lain mengatakan
bahwa di mana Uskup hadir, umat muncul; di mana Kristus ada di situ ada Gereja
Katolik (Smyrn 8). Sedangkan perkembangan Gereja sejak tahun 330-1054 terutama
ditandai dengan keterkaitan antara Gereja dengan tekanan-tekanan kebudayaan,
sosial dan politik. Keadaan hierarki uskup, imam dan diakon lebih diasimilasikan
dengan model imam agung Perjanjian Lama, imam Harun dan kaum imam pada waktu
itu. Kaum imam pada waktu itu, misalnya, tergolong ke dalam barisan orang-orang
yang dikuduskan dan mendapat hak-hak istimewa, yang acapkali diidentikkan dengan
“gereja”. Sedangkan sejak 1054-1965 ditandai dengan kecenderungan untuk
mengidentikkan gereja dengan kepausan.
Dewasa ini Gereja dipandang sebagai misterion dan sakramen. Sebagai himpunan
manusia, Gereja memiliki kesamaan dengan komunitas-komunitas lain di dunia.
Namun apa yang mencirikan Gereja kita? Gereja memiliki hubungan istimewa dengan
Tuhan dan juga memiliki hubungan yang unik dengan dunia. Gereja menyadari diri
yang dipanggil oleh Tuhan untuk menjalankan misi dan fungsinya sebagai sakramen
kesatuan umat manusia dan kesatuan semua orang Kristen dalam gerakan oikoumene.
Tak heran kalau wajah Gereja dewasa ini seharusnya hadir dengan mendahulukan
semangat persaudaraan. Gereja membangun sebuah jalinan persaudaraan yang
merangkul semua golongan dalam roh cinta kasih persaudaraan. Gagasan kolegialitas
tidak lagi hanya berlaku di kalangan para Uskup, melainkan juga menembus lapisan
akar rumput. Persekutuan dalam persaudaraan meliputi semua lapisan; kolegialitas
antara imam dengan Uskup, antarimam dan dengan seluruh umat. Kolegialitas ini
menekankan peran serta seluruh umat dalam hidup menggereja sekarang dan di masa
depan. Peran kaum awam sebagai mitra dan ujung tombak pewartaan Kabar Baik tidak
bisa diabaikan sedikitpun.
Setelah berdiri 50 tahun hierarki Gereja Katolik, masih diharapkan dari kita sekalian
untuk memiliki ketajaman dan kepekaan sosial dalam membaca tanda-tanda jaman
dalam bidang sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik. Gereja tidak bisa hanya
menikmati pertumbuhan dan perkembangan dunia, namun Gereja perlu masuk dan
terlibat dengan menyalurkan nilai-nilai perennial yang berguna untuk pembangunan
Kerajaan Allah di atas permukaan bumi. Yang didahulukan sekarang adalah Gereja
merintis gerakan persekutuan umat manusia dari pelbagai latar belakang untuk
membangun sebuah komunitas dalam roh persaudaraan. Jejaring kerja sama yang
harmonis dengan semua pihak perlu ditingkatkan terus. Ut omnes unum sint!
Pontianak, 1 November 2011, Hari Raya Para Kudus
Mgr. Hieronymus Bumbun, OFMCap
Uskup Agung Pontianak
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xxv
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxvi
Perjalanan panjang Gereja Katolik di keuskupan Sintang
selama 121 tahun dan 50 tahun sebagai hirarki Gerejani
yang mandiri, telah diisi dengan dan juga serentak adalah
buah dari kerja keras, pengabdian tanpa lelah, perjuangan
penuh harap, dan kepercayaan mendalam akan
penyelenggaraan Allah dari semua umat Allah, dalam
mewartakan Injil dan mewujudkan Kerajaan Allah di
wilayah ini. Percaya akan Sabda Tuhan, “Aku menyertai
kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman,” yang
menjadi tema utama perayaan 50 tahun keuskupan
Sintang ini, kita yakin bahwa dalam begitu banyak
kelemahan, kekurangan dan jatuh bangun, Gereja Katolik
keuskupan Sintang tetap bertumbuh subur. Inilah bukti bahwa di mana ada
kelemahan, rahmat semakin bertambah, sehingga pada akhirnya semakin nyata dan
sempurnalah karya-karya Tuhan bagi kita (Bdk 2Kor 12:9-10).
Maka, bersama pemazmur yang agung, marilah kita bersama berseru, “Aku mau
bersyukur kepada Tuhan dengan segenap hatiku, aku mau menceritakan segala
perbuatan-Mu yang ajaib (Mz 9:1). Mari kita bersyukur kepada Tuhan atas
penyelenggaraanNya selama ini, karena sejarah keuskupan ini adalah sejarah
keajaiban karya Tuhan di tengah kita. Kita sungguh menyadari bahwa hanya karena
kasih dan penyelenggaraanNyalah, semuanya ini terjadi.
Dari berbagai kegiatan yang sudah dan sedang dilaksanakan, salah satu wujud syukur
dalam merayakan 50 tahun usia keuskupan, ialah menulis sebuah buku sejarah
Keuskupan Sintang. Buku ini, yang adalah tulisan pendek mengenai sejarah panjang
Gereja Katolik Keuskupan Sintang, tidak dimaksudkan semata sebagai buku sejarah
untuk sekedar mengingat masa lalu dan mengenang para pendahulu, tetapi
hendaknya juga menjadi sarana permenungan akan kasih dan karya Allah yang nyata
terjadi dalam umat Allah serta dalam karya, cinta dan pengorbanan para pendahulu
kita.
Maka, sebagai pimpinan keuskupan, dari hati yang terdalam, saya merasa bangga,
saya sangat menghargai dan berterima kasih kepada semua umat Allah: para imam,
bruder, suster, dan awam; kepada semua orang: baik pria maupun wanita, baik tua
maupun muda, yang telah mendahului kita, juga semua yang masih hidup, yang
dengan cara dan kemampuannya masing-masing, telah berbuat sesuatu untuk
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xxvii
pembangunan Kerajaan Allah di wilayah keuskupan Sintang, sejak awal mula
berdirinya Gereja di wilayah ini, hingga hari ini dan selanjutnya. Doa dan berkat
menyertai Anda semua, dan semoga Tuhan mengganjari semua jasa Anda itu seratus
kali lipat. Walau nama Anda sekalian tidak dicatatkan dalam buku ini, kita percaya dan
berdoa bahwa semoga Tuhan mencatat nama Anda sekalian dalam daftar orang-orang
yang dicintai dan diselamatkanNya.
Kini, Gereja keuskupan Sintang telah berusia 50 tahun. Pesta emas ini hendaknya
menjadi momen untuk menorehkan tinta emas ke dalam hati kita masing-masing
untuk semakin berbuat lebih baik dan lebih banyak lagi untuk Gereja, bagi umat Allah
serta bagi seluruh masyarakat. Kita hendak menggoreskan dengan tinta emas dengan
mewujudkan Gereja keuskupan Sintang yang beriman mendalam, serta Gereja yang
mandiri, mandiri tenaga dan dana. Mari kita wujudkan Gereja Keuskupan Sintang yang
misioner, yang berdaya pikat dan berdaya tahan, yang mampu berbela rasa; yang
berani berpihak pada yang miskin dan telantar, tersisih dan menderita; yang memiliki
keterbukaan pada keragaman suku, budaya, ras, dan agama; yang semakin setia
kepada Allah dan semakin berbakti kepada bangsa; serta semakin menjadi garam dan
terang dunia. Kita telah mendoakan hal ini sepanjang tahun ini, mari kita
mewujudkannya ke dalam hidup kita sehari-hari.
Selamat, dan mari kita rayakan tahun emas ini dengan penuh syukur seraya memohon
rahmat Tuhan untuk perjalanan dan masa depan keuskupan dan seluruh umat, yang
masih sangat panjang, berat dan penuh tantangan.
Segala hormat, puji dan sembah bagi Kristus, Sang Raja, pelindung Gereja kita. Semoga
Kristus selalu merajai hidup kita.
Berkat Allah menyertai Anda sekalian,
Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin.
Sintang, 18 Oktober 2011,
Pesta Santo Lukas Pengarang Injil
Mgr. Agustinus Agus
Uskup Sintang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxviii
A P O S T O L I C N U N C I A T U R E
I N I N D O N E S I A
SAMBUTAN UNTUK KEUSKUPAN SINTANG
Dengan senang hati saya ikut berbahagia bersama umat
katolik Sintang yang merayakan ulang tahun ke-limapuluh
yang penuh makna atas pendirian Keuskupan, sebagaimana
lazimnya dirayakan juga oleh berbagai Gereja lain di Indonesia
tahun ini.
Masih teringat di benak saya, peristiwa kunjungan singkat
ke Sintang pada bulan Agustus yang lalu, saat saya
menghadiri Sidang Unio Apostolica. Bagi saya, itu
merupakan sebuah kesempatan yang baik untuk berjumpa
dengan Uskup kalian, dengan para imam, kaum rohaniwan,
seminaris dan umat di sini, dan terus terang saya amat berterimakasih atas
hangatnya sambutan dan keramahtamahan kalian kepada Wakil Paus di Indonesia.
Peringatan ulang tahun ini mengajak kita terutama untuk menyenandungkan
"Magnificat" bagi Tuhan seperti Perawan Maria memadahkan pujian dan rasa
syukurnya. Selama lima puluh tahun, Tuhan telah membuat "hal-hal besar" di
Kalimantan Barat, tanah kalian, dan telah memberkati Keuskupan kalian lewat berbagai
cara dengan anugerah buah-buah kehidupan kristiani yang berlimpah-ruah.
Hal yang baik semacam itu pasti dapat terwujud terutama berkat RahmatNya dan
untuk itu patutlah kita bersyukur kepadaNya.
Kita juga harus mengenang dengan penuh rasa syukur mereka-mereka yang selama
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xxix
lima dekade terakhir berkarya di dalam dan untuk Gereja Sintang, bahkan juga
mereka yang jauh sebelumnya telah bekerja di sini, dengan mengingat bahwa
Prefektur Apostolik telah didirikan tahun 1948 dan kemudian berubah menjadi Vikariat
Apostolik pada tahun 1953, di bawah pimpinan Uskup Lambertus van Kessel SMM. Jerih
payah serta usaha mereka, kemurahan hati serta pengorbanan mereka, telah
memungkinkan Keuskupan kalian tumbuh dan berkembang. Marilah kita mohon
kepada Tuhan, agar Dia sendirilah yang menjadi ganjaran bagi mereka sekarang dan
selamanya.
Limapuluh tahun pendirian Keuskupan hanyalah merupakan sebuah tahapan: langkah
perjalanan harus berlanjut. Kenangan akan masa lalu seharusnya menjadi stimulus
bagi karya masa depan. Sepantasnyalah, misi Gereja dilanjutkan di Sintang
sebagaimana pula di seluruh penjuru dunia, karena masih banyak lagi yang harus
dikerjakan bagi kehadiran Kerajaan Allah.
Masih banyak orang belum mengenal Tuhan Yesus dan Kabar GembiraNya.
Malahan, masih banyak orang yang walaupun telah menerima Sakramen Baptis,
semakin hidup menjauh dari Gereja.
Masih banyak umat kristiani yang hanya mengenal sedikit iman mereka,
sehingga mereka tidak menghayati iman mereka dalam kehidupan pribadi, keluarga
dan masyarakat luas.
Masih banyak kaum remaja dan muda yang harus menemukan panggilan hidup
mereka dalam Gereja dan dunia.
Masih banyak keluarga yang harus menghayati sepenuhnya misi mereka dalam
komunitas basis Gereja dan masyarakat.
Masih banyak kaum miskin dan penderita yang menantikan uluran keadilan dan
kasih kita.
Namun janganlah kiranya kita khawatir akan apa yang bisa kita perbuat atau akan
kesulitan-kesulitan yang menghadang kita, karena Tuhan sendirilah akan bersama kita
melalui terangNya, kekuatanNya, dan juga melalui belas kasihNya terhadap
keterbatasan serta dosa-dosa kita. Apa yang telah Dia lakukan melalui kita,
membuat kita yakin bahwa kita tak akan pernah kekurangan pertolonganNya.
Untuk pertolongan ilahi ini, Berkat Bapa Suci kiranya menjadi jaminan yang dengan
sukacita, selaku Wakilnya di Indonesia, saya sampaikan kepada kalian sambil
mengajak kalian selalu menyatukan diri bersama Paus melalui doa baginya serta
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxx
kepatuhan kepadanya. Di dalam naungan keluarga besar Gereja katolik yang tersebar
di seluruh dunia, Keuskupan Sintang akan dapat melanjutkan misinya dengan Iebih
baik.
Inilah doa dan pengharapan yang saya sampaikan kepada yang terkasih Bapa Uskup
Monsinyur Agustinus Agus, para imam, rohaniwan dan rohaniwati, serta seluruh umat di
Sintang.
Jakarta, 1 September 2011
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xxxi
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxxii
“Aku menyertai
kamu senantiasa,
Sampai kepada
akhir zaman.”
Mateus 28:20
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
║ hal. xxxiii
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. xxxiv
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 1
1. Geografi
K
euskupan Sintang terletak di bagian timur-laut Kalimantan Barat. Di sebelah
barat berbatasan dengan keuskupan Sanggau; di sebelah barat laut adalah
keuskupan Serawak; di sebelah utara dan timur laut adalah keuskupan
Kinabalu; di sebelah timur adalah keuskupan Tanjung Selor; di sebelah timur tenggara
adalah keuskupan agung Samarinda dan keuskupan Palangkarya; di sebelah selatan
adalah keuskupan Palangkaraya; dan sebelah barat daya adalah keuskupan Ketapang.
Keuskupan Sintang terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Sintang (luas wilayah:
22.113 km 2 ), yang terdiri dari 14 kecamatan dan 17 paroki; Kabupaten Kapuas Hulu
(luas wilayah: 29.842 km 2 ), yang terdiri dari 23 kecamatan dan 14 Paroki; dan
Kabupaten Melawi (luas wilayah: 10.165 m 2 ), yang terdiri dari 7 kecamatan dan 5
paroki. Luas wilayah keuskupan Sintang ialah 62.120 km 2 .
2. Topografi
W
ilayah keuskupan Sintang umumnya bertopografi dataran dengan ribuan kali
dan sungai. Hutan masih ada di mana-mana tetapi menyusut terus dan cepat.
Tanah dataran umumnya bergambut dan rawa. Gunung-gunung atau daerah
perbukitan umumnya berada jauh di pedalaman. Di daerah hilir umumnya memiliki
sungai-sungai yang besar dan dengan aliran air berwarna coklat tanah. Hanya di
daerah-daerah hulu, terdapat sungai-sungai berbatu dengan air yang bersih dan jernih.
Sungai, yang sejak ribuan tahun lalu sudah sebagai jalur transportasi, masih menjadi
salah satu urat nadi penting transportasi di beberapa daerah, walaupun jalan untuk
kendaraan roda empat dan dua sudah mencapai hingga ke banyak pelosok. Para
misionaris selama seratus tahun pertama, praktis ke mana-mana menggunakan
transportasi air.
Mengenai transportasi air ini, perlu kiranya disebutkan beberapa motor air (perahu
motor atau kapal motor) yang telah sangat berjasa pada masa-masa awal Gereja di
keuskupan Sintang, karena telah membawa para misionaris berturne ke berbagai
wilayah di Keuskupan Sintang.
Kapal motor saat itu ialah kapal motor (KM) Lien, KM Irma, KM Rasul, KM. Eva, KM
Damai, KM Pengasihan, KM Bertha, KM Dharmawati. Banyak kali para misionaris
menumpang KM West Borneo dan KM Flora dan kapal motor milik pemerintah Hindia
Belanda lainnya dan juga milik para pedagang, yang umumnya adalah keturunan
Tionghoa. KM Lien, KM Irma, KM Rasul adalah kapal motor yang paling sering disebut
dan dipakai.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 2
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 3
Paroki Putussibau memiliki KM
Sinar dan paroki Sejiram
memiliki KM Mawar, dan Paroki
Bika Nazareth memiliki KM
Damai dan Marley, dan Suster
SMFA memiliki KM Dharmawati.
Semuanya rata-rata berdaya
angkut tiga atau empat ton.
Setelah tahun 1970-an, parokiparoki
memiliki beberapa motor
tempel (speed-boat) dengan
daya antara 6 s.d. 25 PK, merek
Johnson dan belakangan juga
merek Yamaha. Di samping itu, saat itu, Keuskupan juga membeli dua kapal motor
baru, yaitu KM Harapan dan KM Ferry dengan daya angkut 40 ton. Yang terakhir ini
dibeli terutama untuk keperluan belanja barang-barang ke Pontianak.
Pada umumnya jalan-jalan darat hanya diaspal kasar penuh lobang hingga hanya
sekedar pasir dan tanah liat. Sumber penghasilan warga, sebagian besar umat adalah
petani karet, ladang tradisional dan sawit. Yang terakhir ini marak masuk ke wilayah ini
sejak tahun 1990-an. Kehadiran kelapa sawit secara besar-besaran pada dua dekade
terakhir ini bukan hanya mendatangkan keuntungan ekonomi, tetapi juga berdampak
negatif, baik kepada alam maupun warga yang terkena proyek sawit.
Dua sungai besar yang melintasi Keuskupan Sintang ialah Sungai Kapuas dan Sungai
Melawi di mana kota Sintang adalah tempat pertemuan kedua sungai besar ini. Sungai
besar anak sungai Kapuas antara lain, sungai Bunut, sungai Embaloh, sungai Mandai,
sungai Ketungau, sungai Tempunak, dsb. Sungai besar yang merupakan anak sungai
Melawi antara lain, sungai Pinoh, sungai Belimbing, sungai Ella, dsb.
3. Populasi Umat
T
ahun 1940-an, seluruh penduduk pada wilayah keuskupan Sintang berjumlah
sekitar 200.000-an jiwa. Tahun 1950, penduduk seluruhnya sebanyak 202.444
jiwa. Tahun 1990 berjumlah sekitar 545.000 jiwa, dan tahun 2000 berjumlah
642.768 jiwa, serta tahun 2009, jumlah penduduk di seluruh wilayah keuskupan
Sintang mencapai 767.635 jiwa, yang mana 216.598 jiwa (27.8%) tercatat sebagai
beragama Katolik.
Catatan dari Buku Petundjuk Geredja Katolik Indonesia, jilid 1, tahun 1970,
menyebutkan bahwa jumlah umat Katolik yang sudah dibaptis pada tahun 1969 ialah
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 4
11.554 jiwa; sementara dalam catatan website hirarki Katolik, 1 yang mungkin
bersumber dari Guida Delle Missione Cattoliche, pada tahun 1969 sudah berjumlah
lebih dari 12 ribu orang. Angka ini meroket tajam dalam 10 tahun kedepannya.
Menurut sensus pemerintah, pada tahun 1980, jumlah penduduk pada keuskupan
Sintang seluruhnya adalah 391.926 jiwa di mana jumlah orang yang mengaku Katolik
sebanyak 130.966 jiwa (33,4%), sementara yang dibaptis baru sebanyak 37.778 orang
(10.24 %).
Pada tahun 2010, jumlah umat Katolik keuskupan Sintang adalah 225.576 jiwa. Di sisi
yang lain jumlah seluruh penduduk di wilayah ini adalah 765.496 jiwa, yang berarti
umat Katolik di keuskupan Sintang mencapai 29,4% dari jumlah penduduk seluruhnya.
Data dan pertumbuhan jumlah umat dapat dilihat sebagai berikut: 2
Tahun 1950 1969 1975 1976 1977
Warga 202.444 265.000
Katolik 3.396 12.925 22.385 23.775 25.817
% Kat. 1.7 % 4.9 %
Tahun 1978 1980 1989 2000 2001
Warga 369.000 471.325 621.932 650.664
Katolik 29.111 37.778 73.621 124.830 132.078
% Kat. 10.24 % 15.62 % 20.1 % 20.3 %
Tahun 2002 2003 2004 2009 2010
Warga 665.330 612.117 676.082 767.635 3 765.496 4
Katolik 139.015 144.382 153.723 216.598 225.576
% Kat. 20.9 % 21.5 % 22.7 % 27.8 % 29,4%
1 http://www.catholic-hierarchy.org/diocese/dsint.html.
2 Data tahun 1950, 1969, 2000-2004 dikutip dari website http://www.catholichierarchy.org/diocese/dsint.html,
dan tahun 1977-1980, diambil dari Pusat Penelitian
Universitas Katolik Indonesia, Atma Jaya, Profil Paroki Gereja Katolik di Seluruh Indonesia 1980
dan tahun 1989 diambil dari Guida Delle Missione Cattoliche 1989. Akurasi dari jumlah ini agak
diragukan, terutama bila disesuaikan dengan jumlah baptisan baru, seperti yang tercantum
pada halaman ini.
3 Data diambil dari website Badan Koordinasi Penanaman Modal di Indonesia,
http://regionalinvestment.com/newsipid/id/area.php?ia=61
4 Jumlah ini diambil dari data sensus penduduk tahun 2010 dari website pemerintah,
http://www.bps.go.id/hasilSP2010/kalbar/. Memperhatikan fluktuasi angka yang menurun
dalam jumlah besar, maka agak diragukan entah jumlah tahun sebelumnya atau hasil sensus
saat ini yang belum selesai dan belum lengkap, atau memang ada migrasi penduduk yang
cukup besar.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 5
Pertumbuhan umat Katolik Keuskupan Sintang selama ini, sebagian besar berasal dari
pembaptisan dewasa. Para baptisan dewasa ini umumnya berasal dari mereka yang
belum beragama dan yang selama ini mengakui sebagai orang Katolik, baik di Kartu
Tanda Penduduk maupun dalam kehidupan publik. Berikutnya menyusul baptisan baru
bayi dan bagian kecil lainnya, ada baptisan dewasa baru pindahan dari agama lain. Hal
tersebut dapat dilihat pada data berikut ini.
Rekap Baptisan Baru Tahun 2002-2010 5
Tahun
> 1 Tahun 1 – 7 Tahun < 7 Tahun
P W P W P W
Total
2002 755 665 684 752 1.826 2.411 7.193.
2003 870 864 638 672 1.940 2.166 7.150
2004 844 844 815 937 1.741 2.163 7.334
2005 1.025 1.067 1.161 1.253 2.454 2.690 9.650
2006 844 960 1.036 1.120 2.231 2.237 8.430
2007 956 1.012 1.230 1.207 2.178 2.432 9.015
2008 1.264 1.271 1.376 1.523 3.750 3.945 13.131
2009 1.000 1.013 1.222 1.260 2.817 2.789 10.101
2010 1.365 1.143 1.491 1.502 2.224 2.353 10.078
TOTAL 8.953 8.839 9.653 10.226 21.161 23.186 82.082
Mayoritas umat Katolik adalah dari etnis Dayak, yang merupakan suku asli di
Kalimantan. Selain itu juga cukup banyak umat yang berasal dari etnis China
(Tionghoa), NTT, Jawa, dan berbagai suku lainnya. Komposisi setiap paroki berbedabeda.
Umumnya paroki-paroki kota memiliki cukup banyak umat non-Dayak
dibandingkan dengan paroki-paroki pedalaman yang hampir semuanya adalah sukuras
Dayak.
Salah satu tantangan berat pelayanan di keuskupan Sintang ialah sebaran umat. Walau
total hanya berjumlah 225.576 jiwa pada tahun 2010, tetapi mereka manyebar di 3
regio/wilayah, yang terdiri dari 36 paroki dengan total 1.118 stasi/kampung. Karena
menyebar di begitu banyak stasi (kampung) maka masih sering terjadi seorang Pastor
Paroki hanya dapat mengunjungi sebuah kampung (stasi) satu atau dua atau tiga kali
saja dalam setahun. Inilah tantangan besar karya pastoral Gereja Keuskupan Sintang.
Untuk memecahkan masalah ini, keuskupan terus menggalakkan partisipasi umat,
terutama pemberdayaan Pemimpin Umat serta kaderisasi kaum muda pada setiap
paroki dan stasi.
5 Bersumber dari arsip keuskupan di Sekretariat Keuskupan Sintang.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 6
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 7
G
ereja dan iman Katolik diakui umum dimulai di Indonesia pada tahun 1534,
ketika seorang awam berkebangsaan Portugis bernama Gonzalo Veloso
membaptis beberapa orang di desa Mamuia, Halmahera. Mereka inilah orangorang
Katolik pertama Indonesia.
Pastor Ignatius di daerah Kapuas Hulu
Setelah beberapa abad
kemudian, setelah hadir di pulau
Jawa, Sumatera, dan bagian
Timur Indonesia, Gereja Katolik
pun masuk ke pulau Kalimantan,
yaitu pada tahun 1816, ketika
Pastor I.P.N Sanders
menginjakkan kakinya di tanah
suku Dayak ini. Kedatangan
Pastor Sanders bertujuan untuk
menjajaki kemungkinan
pembukaan misi Katolik di tanah
Kapuas ini. Sayangnya, Pastor ini
berkesimpulan bahwa saatnya
belum tiba bagi Gereja untuk memulai misi di Kalimantan Barat. Kesimpulan yang
sama juga diberikan oleh seorang Pastor militer yang menjalin hubungan dengan
masyarakat Dayak pada tahun 1861-1862.
Tahun 1851-1852, Pastor Sanders kembali mengunjungi Kalimantan Barat. Perlu
kiranya membaca ulang catatan Pastor I.P.N Sanders mengenai Kalimantan Barat,
khususnya masyarakat Dayak saat itu, selama visitasi dan perjalanannya ke Kalimantan
Barat pada tahun 1851-1852. 6
“Orang Daya merupakan bagian penduduk terbesar dan memang yang paling penting
artinya. Mereka dipandang sebagai penduduk asli yang tertua penghuni pulau Borneo.
Mereka itu berdiam di daerah-daerah pedalaman yang terpencil dikelilingi hutan
rimba yang lebat. Jumlahnya ditaksir sekitar 143.000 orang dan hidup terpencarpencar
di suatu dataran yang luasnya 256,5 mil persegi… sehingga orang bisa berjalan
berhari-hari, tanpa bertemu orang Daya.
Dari semua kota yang telah saya kunjungi, Sambas mempunyai penduduk Daya paling
banyak. Jumlahnya sekitar 20.000 orang. Menyusul Sintang, tempat terdapat kira-kira
30.000 orang, dan Sanggau, dengan penduduk Daya hampir 23.900 orang.
6 G. Vriens S.J., Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 2: Wilayah Tunggal Prefektur-
Vikariat abad ke-19 Awal Abad ke-20, Arnoldus, Ende, 1972, hal. 225-227.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 8
Di antara rakyat yang terjajah ini,
nasib orang Dayalah dalam
segala hal paling menyedihkan.
Oleh karena itu sangatlah
diharapkan, agar di kalangan
rakyat yang bernasib jelek ini
dapat dimulai suatu misi, namun
kesulitan-kesulitan yang harus
diatasi besar sekali. Pada satu
pihak ketamakan yang tak dapat
dipuaskan dan pemerasan yang
tiada henti-hentinya dari orang
Melayu, terlampau sering
mengecewakan harapan-harapan Para Suster Turne di daerah Sejiram
yang terbaik, dan menggagalkan cita-cita yang paling indah; oleh karena pemerasan
maupun ancaman-ancaman dalam hal ini merupakan senjata yang paling ampuh bagi
orang Melayu untuk mempertahankan pengaruhnya yang tak terbatas atas penduduk
yang malang ini
Pada pihak lain terdapatlah pada orang Daya sikap yang mutlak keras terhadap segala
sesuatu yang tidak dinikmati secara materiil. Masih ada lagi satu kesulitan besar
dalam hubungan ini, yalah bahwa orang-orang Daya ini hampir semuanya terpencarpencar
satu sama lain dan berdiam di tempat-tempat yang hampir tidak bisa dicapai.
Kampung terbesar, yang sudah saya lihat, terdiri atas 90 jiwa, yakni pria, wanita dan
anak-anak, sedangkan kebanyakan kampung biasanya cuma meliputi 40 sampai 50
jiwa.
Di samping semuanya ini harus ditambahkan lagi, bahwa dari pihak pemerintah tidak
dapat diharapkan bantuan yang kuat dan memadai untuk melawan raja-raja Melayu
itu. Pemerintah hanya dapat
membantu melalui persetujuanpersetujuan
dengan, dan janjijanji
dari raja-raja itu. Tetapi
persetujuan-persetujuan itupun,
menurut pengalaman seharihari,
di Borneo tidak pernah
dilaksanakan dan janji-janji itu
setiap saat dilanggar dengan
sewenang-wenang tanpa
ditindak samasekali.
Rumah Keuskupan Sintang, thn 1957
Saya belum sempat masuk di
kalangan orang Daya yang bebas dan merdeka, tetapi sejauh yang saya dengar dan
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 9
menurut peninjauan-peninjauan yang pernah dilakukan, kiranya suatu misi di sana
akan tidak terlalu banyak menghadapi kesulitan-kesulitan dan menurut perkiraan
manusiawi, bisa lebih baik hasilnya. Maka dari itu menurut perasaan saya suatu misi di
sana patut mendapat perhatian lebih daripada yang lain.”
Setelah 30 tahun berlalu, akhirnya Vikaris Apostolik Batavia berencana memulai karya
misi Katolik di antara orang-orang Dayak di Kalimantan. Dalam surat Vikaris Apostolik
no. 178, tanggal 25 Februari 1884, Mgr. Adamo Claessens, Pr, memberitahu tentang
pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, G.G. van Rees, di Buitenzorg
(Bogor), yang menyatakan kemungkinan pemerintah Belanda memberi daerah Borneo
bagi misi Katolik. Izin ini diperlukan karena seluruh daerah masih di bawah kontrol
pemerintah Hindia Belanda karena “Nota de Punten” antara Paus dengan pemerintah
Hindia Belanda hanya menjamin kebebasan internal Gereja Katolik. Dalam surat itu
juga dinyatakan bahwa dalam penjajakannya yang terakhir di Borneo, ada kesan cukup
baik mengenai kemungkinan penerimaan orang Dayak terhadap misi Katolik. Izin
pemerintah dari Hindia Belanda untuk memulai bekerja di antara orang Dayak
diberikan pada tanggal 7 Agustus 1884.
Pada tahun yang sama, para Pastor Mill Hill yang berkarya di pulau Kalimantan bagian
Malaysia menawarkan diri untuk bekerja di Kalimantan Barat, tetapi ditolak oleh
pemerintah Hindia Belanda. Penolakan ini berkaitan dengan pemikiran pemerintah
Hindia Belanda, yang kemudian tegas tertulis dalam pasal 123 (177) dari “Reglement
op het Beleid der Regeering van Nederlands-Indië” (1854; 1925), yang menetapkan
beberapa daerah dinyatakan tertutup untuk misi Gereja Katolik.
Pada tanggal 7 Agustus 1884, pemerintah Hindia Belanda mengizinkan misi Katolik
masuk Kalimantan. Pastor pertama yang melakukan pelayanan di Kalimantan Barat
ialah Pastor Walterus Staal S.J. Setelah mendapatkan izin, maka pada tahun itu juga,
Beliau diutus untuk melayani
sekitar 200 umat Katolik
keturunan Tionghoa di
Singkawang, yang berasal dari
pulau Bangka. Pastor W. Staal
merasakan keuntungan misi di
antara orang Tionghoa di
Singkawang dibandingkan
orang Tionghoa di Bangka,
karena mereka menetap di
Singkawang sebagai petani
dan pedagang, sehingga kecil
kemungkinan untuk balik lagi
ke China daratan. Saat itu telah
Sintang pada tahun 1970-an
terdapat sekitar 150 orang Tionghoa yang menjadi Katolik, ditambah sekitar 100-an
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 10
orang Belanda sipil dan sejumlah tentara. Tahun 1885, Vikariat Batavia menetapkan
Singkawang sebagai stasi (paroki) dan mengangkat Pastor Staal sebagai pastor paroki
pertamanya. Beliau juga masih sering mengunjungi Bangka-Belitung dan Medan, dan
praktis hanya antara bulan Juli-Agustus Beliau berada di Singkawang. Tahun 1893-
1897, Beliau menjabat sebagai Vikaris Apostolik Batavia dan meninggal dunia di Banda,
karena sakit keras, saat melakukan visitasi ke Ambon, Kai dan Langgur, pada tanggal 30
Juni 1897.
Tahun-tahun selanjutnya karya misi saat itu hanya ditujukan kepada daerah-daerah
yang langsung di bawah pemerintah Belanda, yakni Sambas, Mempawah dan Sintang.
Pastor Walterus Staal S.J beberapa kali mengadakan perjalanan untuk meninjau
situasi. Beliau menganjurkan supaya misi dimulai di antara orang-orang Dayak yang
diam di sekitar Bengkayang, khususnya di kampung Sebalau. Daerah itu tidak terlalu
jauh dari Singkawang, sehingga Pastor Singkawang dan Pastor Sebalau dapat saling
berhubungan dengan mudah.
Residen Gijsbers dari Pontianak menganjurkan supaya Pastor W. Staal mengunjungi
juga daerah-daerah lain, teristimewa ke daerah Kapuas. Menanggapi anjuran ini, maka
Beliau mudik ke hulu Kapuas selama lima hari dengan perahu-motor dari Pontianak.
Daerah yang Beliau kunjungi saat itu adalah Semitau, kampung halaman orang-orang
Dayak dari Suku Rambai, Seberuang dan Kantuk. Pastor Staal mempunyai kesan yang
baik terhadap orang-orang Dayak di sekitar Semitau. Namun mengingat jumlah
mereka yang hanya sekitar 1.500 orang, dan perjalanan yang sulit sekali, sehingga
Pastor Staal tetap pada
rencananya semula: memilih
Sebalau.
Dalam
pertimbangan
selanjutnya, ternyata Sebalau
tidak dipilih, karena terletak
dalam daerah kekuasaan Sultan
Sambas dan tidak ada jaminan
bahwa penjabat-penjabatnya,
yang semuanya Islam, tidak
akan menghalangi karya misi di
antara orang-orang Dayak yang
masih animis. Akhirnya, pilihan
jatuh pada Semitau, tempat
Para Pastor Kapusin & Suster SFIC
kedudukan seorang Kontrolir
yang membawahi daerah Kapuas Hulu. Residen Sintang menyetujui rencana itu dan
menyatakan bahwa Suku Seberuang, Rambai dan Kantuk cukup taat pada Pemerintah
Hindia Belanda dan mereka bersedia menerima misi Katolik.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 11
Walau dalam buku permandian Paroki Sejiram sudah ada catatan pembaptisan
(pertama) pada tahun 1.888, yang diberikan oleh Pastor Looymans, S.J, sejatinya
tahun 1890 merupakan tonggak resmi hadirnya Gereja pada wilayah yang sekarang
adalah wilayah Keuskupan Sintang. Vikariat Apostolik Batavia secara resmi membuka
stasi (paroki) baru di Kalimantan Barat, yaitu di Semitau, yang melakukan pelayanan
kepada penduduk setempat. Semitau, menjadi paroki pertama di wilayah hulu Kapuas
yang saat ini sebagai wilayah keuskupan Sintang, sebagai bagian dari Vikariat Batavia,
yang didirikan pada tanggal 3 April 1841.
Melalui surat dinas no. 7, tanggal 29 Juli 1889, pemerintah Hindia Belanda, dengan
dukungan dari G.G. Pijnacker Hordijk, menyetujui misi Katolik di antara orang-orang
Dayak dengan tempat kedudukan di Semitau. 7 Pastor Looymans S.J, dengan surat
dinas no. 252 tertanggal 14 Juni 1890, diutus menjadi misionaris pertama bagi orang
Dayak bagian hulu.
Pada tanggal 29 Juli 1890,
Pastor H. Looymans yang
sebelum ini bertugas di
Padang, tiba di Semitau.
Kemudian ternyata menurut
Beliau, Semitau bukan tempat
yang strategis bagi karya misi
Katolik bagi orang-orang
Dayak. Beliau menyadari
bahwa orang Dayak tidak
tinggal di Semitau, tetapi di
daerah sekitarnya. Orang
Dayak hanya sesekali datang
ke Semitau, yang saat itu
merupakan
pusat
perdagangan di daerah itu. Penduduk Semitau sendiri hanya terdiri dari orang-orang
Cina dan Melayu. Bila bertempat tinggal di Semitau, maka kontak yang mendalam
dengan orang Dayak hampir tidak mungkin.
Karena itu, pada tahun 1891, Pastor Looymans S.J dijemput dan dibawa ke Sejiram
oleh Babar, Bantan dan Unang, tiga bersaudara dari Sejiram. Di atas tanah kosong
yang agak berbukit di pinggir Sungai Seberuang, tidak jauh dari Nanga Sejiram, Pastor
Looymans membangun rumah sederhana untuk Pastoran yang sudah mulai ditempati
7 Sebelum Perang Dunia II, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan agar para
Misionaris boleh berkarya untuk Misi Katolik, hanya di daerah Kapuas, yaitu daerah Sintang
hingga Putussibau. Sedangkan daerah Melawi untuk Protestan. Ini merupakan bagian dari
politik Machiavelismus: divide et impera penjajah.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 12
pada akhir tahun 1891. Tempat itu terletak di antara empat kampung orang Dayak.
Jarak setiap kampung sekitar lima menit berjalan kaki. Di tempat itu pula kemudian
dibangun gereja, sekolah dan pondok asrama untuk anak-anak sekolah.
Misi pertama ini sangatlah sulit,
apalagi Beliau seorang diri dan
sempat sakit dan dirawat di
Singkawang selama delapan
bulan. Orang-orang tua sulit
sekali diajak dan bertobat dari
kepercayaan animis mereka
dan umumnya hanya
dipermandikan ketika mereka
akan meninggal dunia. Pelanpelan
Beliau mendapatkan
kepercayaan masyarakat
setempat, walau kadangkala
harus diberi sesuatu, seperti garam, obat-obatan, atau hadiah-hadiah kecil lainnya.
Beliau juga berusaha memperbaiki kehidupan ekonomi mereka dengan berusaha
menternakan babi dan kambing dan membuka kebun kopi yang tidak terlalu besar.
Dalam waktu tujuh bulan, Pastor Looymans sudah mempermandikan 58 orang anakanak.
Di sini pun, seperti di tempat lain, harapan terutama terletak pada anak-anak
muda.
Anak-anak mulai rajin datang dan menghadiri Misa kudus di kapel kecil dekat
pastoran. Sehabis Misa anak-anak sering bermain dan bahkan juga makan di pastoran.
Sedikit demi sedikit jumlah anak terus bertambah yang mana mereka datang bukan
hanya pada hari Minggu, tetapi juga pada hari-hari biasa, sehingga Beliau pun
mendirikan asrama kecil untuk mereka. Bila Beliau tidak turne ke kampung-kampung,
anak-anak ini Beliau ajar membaca, menulis dan berhitung. Anak-anak ini umumnya
meninggalkan asrama bila orangtua mereka memiliki panenan yang cukup dan
melimpah dan kembali ke asrama bila mengalami kekurangan.
Bulan Desember 1892, tujuh anak-anak didik angkatan pertama dibaptis dan
menerima Komuni kudus pada tangal 1 November 1893. Seorang guru yang bernama
Willem, mungkin berasal dari Manado, membantu Beliau. Pada tahun 1893, Pastor
Looymans yang melayani sendirian akhirnya dibantu oleh Pastor H. Mulder.
Sayangnya, Pastor baru ini hanya bertahan dua tahun dan dipindahkan. Menurut
cerita, ia seringkali takut menjadi korban ngayau sehinga saat tidur pun ada senapan
di sampingnya.
Berikut ini adalah daftar sebelas orang pertama yang dibaptis di Paroki Sejiram, yang
mana saat itu wilayahnya mencakup seluruh Keuskupan Sintang saat ini.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 13
LB N A M A LAHIR BAPTIS
1 Maria Padang, 3-10-1888 Sintang, 27-07-1890
2 Yacoba Marina Pontianak, 26-9-1889 Sintang, 27-07-1890
3 Yoseph Mensan Kenerak Kenerak, 11-08-1890
4 Maria Mercedan, 1890 Semitau, 01-11-1890
5 Dina Ng. Suhaid, 1885 Semitau, 20-11-1890
6 Anna Ng. Suhaid, 1887 Semitau, 20-11-1890
7 Yoseph Nawan Kenerak, 1885 Semitau, 03-12-1890
8 Paulus Kuntit Kenerak Semitau, 22-12-1890
9 Wilhelmina Kenerak, 1888 Semitau, 25-12-1890
10 Willem Gangang Kenerak, 1884 Semitau, 29-12-1890
11 Yan Simpin Sei Duku, 1888 Semitau, 29-12-1890
Dalam laporannya yang terakhir, pada tahun 1897, Pastor Looymans melaporkan
bahwa dari 467 orang yang dibaptis dan dicatat dalam Buku Baptis sejak tahun 1890,
ada 429 yang masih hidup, yaitu 207 orang di Sejiram dan 181 orang di Putussibau
serta 41 orang di Nanga Badau.
Usaha perkebunan karet, kopi, kelapa, lada, di Sejiram pada tahun 1930-an.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 14
Tonggak sudah ditancap, tahun 2011 ini, Gereja Sintang merayakan 121 tahun
kehadiran dan karyanya, serta 50 tahun sebagai Keuskupan di tanah tengkawang,
kenyalang dan arwana ini. Biji sesawi kecil yang ditaburkan itu kini telah bertumbuh
dan besar serta menghasilkan banyak buah.
Catatan tahun 1930-an mengenai adat suku Melayu di Semitau dan Suaid.
Mengungkapkan kemauan besar misionaris mengenal budaya setempat
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 15
Salah satu catatan dari zaman Perang Dunia II mengenai perpindahan lima orang Guru
saat itu, yaitu, 1) Pak P. K. Ransa di Embaloh, 2) Pak F. Apok di Taman, 3) Pak M. Racdin
di Kantuk, 4) Pak S. Sami di Taman, dan 5) Pak M. Bontan di Kantuk.
Kutipan dari laporan turne Pastor Egbertus Nobel OFM Cap dan Pastor David van der
Made OFM Cap, dalam kunjungan ke Serawai, Ambalau dan hulku Melawi, tgl 18 Mei –
22 Juni 1937, hal. 1 dan 42.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 16
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 17
1. Sejiram
P
erubahan baru terjadi untuk Gereja di Kalimantan. Takhta Apostolik mendirikan
dan menetapkan Kalimantan sebagai Prefektur Apostolik baru pada tanggal 11
Februari 1905, sebagai bagian dari Vikariat Batavia. Prefektur baru ini
diserahkan kepada para imam Ordo Fransiskan Kapusin yang dalam hal ini
ditangani oleh Kapusin Provinsi Belanda. Pada saat bersamaan, Takhta Apostolik
mengangkat Pastor Giovanni Pacificio Bos, OFM. Cap sebagai Prefek Apostolik
Kalimantan yang pertama. Tanggal 30 November 1905, para misionaris Kapusin
pertama tiba di Singkawang. Prefektur baru ini meliputi seluruh wilayah Kalimantan
yang dikuasai oleh Belanda (Borneo Hollandese) pada waktu itu, dengan tempat
kedudukan Prefek Apostolik di Singkawang. Ketika stasi (paroki) Pontianak dibuka pada
tahun 1909, maka pusat pelayanan dan tempat tinggal Prefek pun dipindahkan ke
Pontianak pada tahun yang sama.
Sejak ditinggalkan tahun 1898, baru pada bulan Mei 1906, stasi Sejiram dikunjungi lagi
oleh Pastor. Kunjungan ini dilakukan oleh Prefek Apostolik Pacificio Bos sendiri.
Tujuannya semata untuk
suatu penjajakan. Setelah
kunjungan penting ini,
Prefek memutuskan
untuk membuka kembali
stasi Sejiram. Akhirnya,
pada tanggal 22 Agustus
1906, stasi Sejiram resmi
dibuka atau diaktifkan
kembali oleh Prefek
Apostolik seraya
menugaskan Pastor
Eugenius OFM Cap, Pastor
Camillus OFM Cap, dan
Bruder Theodorius OFM
Cap untuk menetap dan
Gereja Kedua Sejiram – tahun 1907
melayani umat di stasi
Sejiram. Tahun 1907, sebuah gereja dan pastoran baru telah berdiri. Sayangnya dua
bangunan ini terbakar habis pada tahun 1913. Diduga gereja dan pastoran ini dibakar
oleh anak Pak guru Djandung, yang tidak suka dengan para Pastor. 8
8 “De dader heeft men gevonden; dat was de vader van de latere guru Djandung
omdat hij kwaad was op de pastoor,” dalam Montfortaans Contaktblad, vo. 40, no. 3, tahun tak
diketahui, hal. 13.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 18
Tidak lama kemudian karya misi di
Sejiram diperkokoh dengan
datangnya beberapa Suster
Fransiskanes dari Veghel (Suster
Fransiskus dari Perkandungan Tak
Bernoda Bunda Suci Allah (SFIC 9 ),
yaitu, Sr. Didelia, Sr. Casperina dan
Sr. Cajetana pada tahun 1908.
Datangnya para misionaris Kapusin
dan Suster-Suster Fransiskanes
tersebut merupakan titik awal baru
Gereja Ketiga Sejiram – tahun 1937
perkembangan Gereja di wilayah ini.
Ladang sudah dibuka dan benih mulai ditanam. Wilayah stasi Sejiram ini meliputi
wilayah Keuskupan Sintang dan sebagian dari wilayah Keuskupan Sanggau sekarang
ini.
Ketika para misionaris Kapusin datang ke Sejiram, mereka tidak menemukan apa-apa
lagi kecuali rumah tinggal Pastor. Gedung lain, seperti Gereja, sekolah dan rumarumah
lainnya yang dibangun oleh Pastor Looymans, sudah tidak ada. Gedung telah
hilang dan musnah, tetapi benih iman kristiani yang dulu ditanam ternyata masih
hidup dan bertumbuh, walaupun ditinggalkan selama beberapa tahun. Beberapa umat
Katolik yang dipermandikan sebagai anak kecil oleh Pastor Looymans ternyata masih
ada. Setiap hari Minggu berkumpul
rata-rata 50 orang untuk
sembahyang dan mengikuti
pelajaran agama. Gereja dan
Pastoran baru pun segera mulai
dibangun.
Selain karya untuk hal-hal yang
rohani seperti pelayanan sakramen,
doa, dan pengajaran agama, karya di
bidang sosial pun tidak diabaikan.
Para misionaris ini mulai membuka
sekolah umum dan perkebunan.
Murid-murid sekolah di Sejiram bersama Guru, Usaha sekolah dan perkebunan ini
Pak Palil dan Pak Oenggan, tgl 18 Juli 1936 walaupun tidak dilanjutkan hingga
masa kini, tetapi telah menyumbang
dan memberikan banyak kepada penduduk setempat. Perkembangan orang Dayak
9 Nama resminya dalam bahasa Latin ialah Sororum Franciscalium Ab Immaculata
Conceptione a Beata Matre Dei (Suster Fransiskanes dari Perkandungan Tak Bernoda Bunda
Suci Allah).
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 19
dalam bidang perkebunan, khususnya perkebunan karet, dan pendidikan lainnya, yang
kemudian membawa mereka keluar dari lingkungannya yang amat tertutup pada
waktu itu, dimulai dari karya misi di Sejiram ini. Para misionaris dari permulaan sudah
melihat bahwa usaha misi di antara orang Dayak harus disertai dengan usaha
meningkatkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Untuk itu perlu ada sekolah dan
usaha perkebunan.
Memulai sebuah sekolah di kalangan orang Dayak pada waktu itu cukup sulit. Para
misionaris harus pergi ke kampung-kampung mencari anak-anak yang mau sekolah.
Anak-anak dan orangtua diberi pengertian tentang pentingnya sekolah, dibujuk
dengan kata-kata, dan kadangkala harus diberi hadiah agar mau sekolah. Tidak hanya
itu, para misionaris tetap harus pergi ke kampung-kampung agar anak-anak yang
sudah sekolah tetap mau melanjutkan sekolahnya karena masih sering tidak lagi
diizinkan oleh orangtua mereka. Ketakutan itu masih ditambah oleh adanya isu yang
tidak jelas sumbernya, yang mengatakan bahwa anak-anak akan dibawa pergi dan
tidak akan pernah kembali lagi kepada orangtuanya. Karena isu ini, anak-anak kadang
disembunyikan oleh orangtua mereka di ladang atau di loteng rumah ketika
mendengar Pastor datang ke kampung mereka.
Untuk menunjang karya misi yang memerlukan dana yang besar untuk turne dan biaya
hidup serta asrama, para misionaris membuka kebun karet pada tahun 1910. Saat itu
diperkirakan ditanam sekitar 300 pohon karet. Peristiwa yang patut dicatat dan diingat
juga ialah bencana datang tak pernah diundang dan pada waktu yang tidak pernah kita
ketahui. Pada tahun 1913,
gedung gereja, pastoran dan
asrama yang dibangun tahun
1907 terbakar habis. Gereja,
Pastoran dan asrama baru
harus dibangun karena umat
memerlukan gereja dan pastor
serta anak asrama pun perlu
tempat tinggal. Ternyata
rencana ini sulit direalisasikan
segera karena kesulitan dana.
Pembangunan gereja dan
pastoran baru akhirnya dapat
diwujudkan pada tahun 1921
Interior Gereja Sejiram - 1933
dan selesai dibangun
seluruhnya pada tahun 1924. Pembangunan Gereja Sejiram baru, yang masih berdiri
hingga saat ini, merupakan bantuan seorang wanita bernama Scheiffers dari Tilburg,
sebesar 15.000 gulden.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 20
Imam Montfortan yang pertama kali bekerja di Sejiram ialah Pastor Ferry Hoogland
yang tiba di Sejiram pada tanggal 10 Agustus 1946. Kemudian Beliau disusul oleh
Pastor Lam van den Boorn, SMM dan bruder Stephan, SMM pada tanggal 8 Desember
1946. Tahun 1946, SMFA masuk ke Sejiram, menggantikan para suster SFIC. Para
pionirnya ialah Sr. Rosa, Sr. Genoveva, Sr. Gerarda, dan Sr. Gemma. Mereka
menangani sekolah wanita dan asrama, poliklinik dan rumah sakit pembantu, kursus
kerumahtanggaan, serta katekese di sekolah dan di kampung-kampung. Sejiram
diserahkan dari Kapusin ke SMM pada tanggal 13 April 1947.
Laporan Tahunan Paroki Sejiram:
1 September 1925-1926 dan 1 September 1926-1927
DATA 1926 1927
1. Jumlah umat Katolik
a. Eropa
b. Tentara
c. Pribumi – Pria 117 110
Wanita 96 99
Anak-anak 385 420
d. Asia Timur - Pria 16 16
Wanita 12 12
Anak-Anak 51 53
Umat yang sudah menerima Komuni Kudus 268 280
Permandian
a. Eropa
b. Pribumi (kanak-kanak) 17 20
c. Asia Timur (kanak-kanak) 8 4
d. Anak-anak yang lahir menurut hukum 17 17
e. Anak-anak yang lahir di luar hukum 2 2
f. Anak-anak dari keluarga Katolik 19 19
g. Anak-anak dari keluarga bukan Katolik 6 5
h. Orang dewasa Eropa
i. Orang dewasa pribumi 5 19
j. Orang dewasa Asia Timur 1 -
k. Animis yang masuk Katolik 5 19
l. Dari agama Protestan atau Islam
Katekumen - 67
Sakramen Penguatan 26 23
Komuni Pertama
a. Eropa
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 21
b. Pribumi 10 8
c. Asia Timur
Komuni Paskah 231 217
Komuni suci devosi 8.070 9.041
Komuni suci Biarawan/wati 2.420 3.062
Pengakuan ? 2.916
Pengurapan Orangsakit 4 2
Meninggal Dunia – Anak-anak 10 14
Dewasa 20 17
Pemakaman Katolik 10 19
Perkawinan
a. Eropa
b. Pribumi 2 5
c. Asia Timur 1 -
d. Campuran (adat) 1 -
e. Antara dua orang Katolik 3 5
f. Beda Agama 1 -
Kotbah 100 102
Rumah Sakit
a. Pasien opname 7 13
b. Pasien rawat jalan - 1.597
c. Jumlah hari perawatan 144 336
Rumah Anak-anak yatim piatu 2 2
Anak-anak yang dibiayai oleh Gereja/Misi 69 71
Anak-anak yang dibiayai sebagian oleh Gereja 2 -
2. Lanjak dan Benua Martinus
S
etelah terbentuknya Prefektur Apostolik Kalimantan tahun 1905 dan dibukanya
stasi Sejiram tahun 1906, pada tanggal 26 Desember 1906, Campagne Kontrolir
Semitau, yang simpatik dengan Gereja, mendekati Gereja untuk berbicara
tentang kemungkinan membangun rumah untuk stasi baru di Batang Lupar,
dengan tempat kedudukan di Lanjak. Tanggal 30 Januari 1907 P. Eugenius menerima
jawaban dari Prefek Apostolik yang menyetujui rencana tersebut. Awal tahun 1908
para Pastor di Sejiram bermaksud mengunjungi daerah Batang Lupar. Maksud
peninjauan pertama ke daerah itu terpaksa dibatalkan karena ada wabah cacar
(pokken) di kampung-kampung bagian Serawak (daerah di bawah kekuasaan Inggris)
yang berdekatan dengan kampung-kampung di Batang Lupar. Beberapa orang dari
daerah yang berada di bawah kekuasaan Belanda juga kena.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 22
Baru tanggal 30 Juli 1908, P.
Gonzalvus OFM Cap, P. Ignasius OFM
Cap, dan Br. Donulus OFM Cap 10
berhasil pergi ke Batang Lupar /
Lanjak dan mencari daerah yang
cocok untuk didirikan pastoran dan
gereja. Lokasi ini akhirnya dipilih pada
tanggal 4 Agustus 1908. Masyarakat
dari kampung Judan dan Ngadit
sangat mendukung kedatangan dan
rencana para misionaris ini. Rumah
Anak-Anak Sekolah/Asrama di Lanjak sangat sederhana, dinding dari kulit
pohon dan atap dari dedaunan yang luasnya bahkan tidak cukup untuk tiga orang,
didirikan pada tanggal 16 Desember 1908. Rumah yang lebih kuat dan permanen baru
didirikan pada tanggal 26 April 1909 dan selesai pada akhir tahun 1909. Setelah
melakukan beberapa kali kunjungan teratur dari Sejiram, akhirnya pada tahun 1909,
Lanjak resmi menjadi sebuah stasi baru.
Di Lanjak, sama seperti di Sejiram, mereka mulai membangun rumah, gereja dan
sekolah. Para misionaris mulai berkenalan dengan orang-orang Dayak yang berasal
dari Embaloh. Orang-orang Embaloh ini
kadang-kadang pergi ke Lanjak untuk
mencari pekerjaan, menjual hasil ladang
dan membeli keperluan sehari-hari dari
pedagang-pedagang Tionghoa yang berada
di Lanjak. Di antara orang-orang Dayak itu
ada juga yang sudah dipermandikan.
Mereka menjadi kristen di Kanowir,
Serawak. Jumlah mereka cukup banyak,
yakni 16 orang. Di antara orang-orang ini,
yang beberapa nama penting ialah Peter
Bai, Gregorius Jawa dan Petrus
Nglambong. Atas undangan mereka,
tanggal 2 sampai 3 November 1909, Pastor
Gonzalvus Buil pertama kali mengunjungi
Embaloh dan menjadi sebuah kunjungan
Misionaris Pionir ke B. Martinus & Lanjak
yang sukses.
Sejak saat itu banyak putera-puteri dari Embaloh ikut Pastor ke Lanjak dan sekolah di
sana. Dalam satu tahun jumlah anak-anak Embaloh yang sekolah di Lanjak sudah
10 Nama resminya dalam bahasa Latin ialah Ordo Fratrum Minorum Capuccinaroum.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 23
mencapai 75 orang. Kehadiran anak-anak Embaloh ini menguntungkan sekolah di
Lanjak yang cukup sulit mencari murid, karena anak-anak dari suku Iban belum tertarik
pada sekolah. Karena itu juga Pastor Ignasius van der Putten OFM Cap dan Pastor
Gonzalvus OFM Cap mengusulkan pada pimpinan mereka supaya mendirikan sekolah
di Embaloh. Untuk sementara usul itu belum diterima karena ada rencana mau mulai
dengan stasi baru di Nanga Mandai, di antara Suku Kantuk.
Selain ke daerah Batang Lupar,
para Misionaris Kapusin yang
tinggal di Sejiram juga
mengunjungi sepanjang sungai
Kapuas Hulu. Kunjungan pertama
dilakukan pada tanggal 2 sampai
24 Juli 1910. Mereka
mengunjungi lebih dari 30
kampung (bahkan disebut-sebut
sebanyak 50 kampung) yang
berada sepanjang sungai Kapuas.
Dalam kunjungan itu para
misionaris bertemu dengan 180
Gereja Benua Martinus - 1938
orang Katolik yang dulu
dipermandikan oleh Pastor Looymans. Dari kunjungan tersebut, mereka
menyimpulkan dan merencanakan agar Kapuas Hulu dijadikan stasi baru sendiri. Pada
waktu itu mereka belum dapat memutuskan lokasi yang hendak dijadikan pusat stasi
baru tersebut.
Para Pastor sempat
hendak mendirikannya di
daerah Suku Kayan
(sungai Mendalam)
karena menemukan
lokasi yang bagus.
Penduduk sudah
menetap dan mereka
menerima kehadiran
para misionaris dengan
tangan terbuka.
Halangannya hanyalah
bahwa mereka masih
Pastoran & Asrama Benua Martinus - 1940
sangat kuat berpegang
pada adat. Demikian pula di daerah Suku Kantuk, yang juga menerima kehadiran para
misionaris dengan tangan terbuka, menjadi pilihan lain untuk stasi baru. Masyarakat di
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 24
situ ramah dan suka menerima para Pastor. Tetapi karena mereka adalah pendatang di
daerah itu dan belum ada kepastian apakah mereka akan tetap tinggal di daerah itu,
maka para Pastor Kapusin juga agak berat untuk memilih daerah ini.
Tahun 1911, Pastor Eleutherius OFM
Cap dan Pastor Flavianus OFM Cap
diutus ke Kapuas Hulu untuk
mengadakan pembicaraan mengenai
pembangunan stasi baru di Nanga
Mandai yang mana masyarakatnya
ramah dan dengan senang hati
menerima para misionaris. Dalam
pembicaraan itu ternyata suku Kantuk
di Nanga Mandai merencanakan akan
pindah. Kontrolir di Putussibau pun
Pastoran & Sekolah di Lanjak
menginginkan supaya Suku Kantuk yang berada di pinggir Sungai Kapuas pindah ke
daerah yang lebih tinggi. Kontrolir Karsten menawarkan para misionaris ini untuk
pindah ke daerah Empanang. Daerah Nanga Mandai, yang sekaligus pinggir sungai
Kapuas adalah daerah rendah sehingga sering sekali terendam banjir cukup lama, yang
menyebabkan hasil ladang mereka sering kurang karena rusak dan menjadikan hidup
mereka sangat sulit. Rencana mendirikan stasi baru di Nanga Mandai akhirnya
dibatalkan.
Minggu, 24 Juli 1927, bersama Pastor Flavianus
& Pak Anton Korak
Dengan persetujuan Prefek
Apostolik J.P. Bos, pada bulan
September 1912, dana
pembangunan untuk stasi
Nanga Mandai, yang diberikan
oleh keluarga Martinus van
Thiel dari Helmond, Belanda,
dialihkan untuk pembangunan
stasi di Embaloh. Pendirian stasi
Embaloh ini bukan keputusan
tiba-tiba, karena sejak tahun
1910 warga Embaloh, terutama
mereka yang sekolah di Lanjak,
telah mendesak para Misionaris
untuk membuka stasi baru di
Embaloh. Hasil perundingan dengan kepala-kepala suku Dayak di Embaloh, diputuskan
bahwa kampung Keram di daerah Benua Banyu (Banyoh) ditetapkan sebagai tempat
pembangunan pusat stasi baru, yang terealisasi pembangunannya pada bulan April
1913 dan baru selesai dan resmi dipakai pada tanggal 2 Agustus 1913. Bangunan ini
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 25
sebagian dipakai sebagai Gereja dan bagian lainnya sebagai sekolah. Prefek
menugaskan P. Gonzalvus dan P. Felicianus dan dibantu Br. Donulus untuk membuka
dan menangani pendirian stasi baru ini.
Bulan Mei 1913, dilaksanakan Sakramen Krisma pertama kepada 12 krismawan (3 di
antaranya berasal dari Kanowit, Serawak), yang dilayani oleh Prefek Apostolik sendiri.
Setelah resmi berdiri, Prefek Apostolik menugaskan Pastor Flavianus OFM Cap dan
Pastor Honoratus OFM Cap sebagai pelayan tetapnya. Tempat ini kemudian diberi
nama Benua Martinus, sesuai nama permandian donaturnya.
Tahun 1913 tercatat terdapat 70 orang Katolik di stasi baru ini. Tanggal 14 November
1914, sekolah dibuka dengan jumlah siswa pertamanya sebanyak 13 orang. Karena
keadaan Perang Dunia I, sekolah di Lanjak sempat tutup sebentar. Oleh usaha gigih P.
Gonzalvus di Lanjak, sekolah dibuka kembali tahun 1916 dengan jumlah siswa
sebanyak 25 anak. Sementara itu di Benua Martinus pun sekolah hampir ditutup,
bahkan Prefek Apostolik meminta agar memulangkan saja para murid ke kampung asal
mereka. Tetapi P. Flavianus berjuang keras untuk berdikari sehingga sekolahnya tidak
ditutup. Tahun 1916, tercatat ada 22 siswa di Benua Martinus. Tahun 1918, Br. Alexius
OFM Cap membangun gereja yang cukup besar serta gedung sekolah yang baru di
Benua Martinus.
Tanggal 13 Maret 1918,
melalui Surat Apostolik Ad
Perpetuam Rei Memoria, 11
Paus Benediktus XV
meningkatkan status
Prefektur Apostolik
Kalimantan menjadi
Vikariat Apostolik
Kalimantan. Tanggal 14
Maret 1918, Takhta
Apostolik mengangkat
Pastor Pacificus Bos, OFM
Cap sebagai Vikaris
Apostolik, yang baru
ditahbiskan menjadi Uskup
oleh Vikaris Apostolik
Batavia, Mgr. Edmondo Luypen, SJ, pada tanggal 17 November 1918.
P. Gonzalvus mulai sakit-sakitan sejak tahun 1917. Beberapa kampung di Batang Lupar
pindah lokasi, yang tidak disetujui oleh Residen Pontianak yang sempat mengunjungi
11 Acta Apostolicae Sedis 10 (1918), hal. 180-181.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 26
Lanjak waktu itu. Bahkan para kepala suku sempat dipenjarakan, sehinga memaksa
mereka membatalkan upaya pindah kampung. Walau masih bisa mengunjungi banyak
kampung bahkan telah mendatangkan bahan-bahan untuk membangun gereja baru,
Pastor Gonzalvus tetap sakit-sakitan sehingga harus meninggalkan Lanjak awal tahun
1919. Sejak itu stasi Lanjak sesekali dikunjungi oleh Pastor Flavianus dari Benua
Martinus, dan baru diangkat pastor sendiri tanggal 10 April 1920, yaitu Pastor Egbertus
OFM Cap. Tetapi kehadiran pastor baru tidak bisa menyelamatkan stasi Lanjak. Hanya
setahun kemudian, tepatnya tanggal 23 April 1921, stasi Lanjak resmi ditutup. Pastor
yang ada memperkuat Benua Martinus. Tahun 1920, datang Pastor Prosper OFM Cap
untuk membantu Pastor
Flavianus. Akhirnya, terutama
untuk membina anak-anak
sekolah, para suster pun
datang dan berkarya di Benua
Martinus pada tanggal 5 Juli
1921. Sr. Fidelia SFIC bersama
dua suster lainnya memulai
karya mereka, menangani
sekolah yang ada, kemudian
juga mendirikan sekolah untuk
para puteri, dengan jumlah
siswa pertamanya sebanyak 20
orang.
Gereja Bika Nazareth – tahun 1928
Pendidikan untuk para puteri ternyata tidak gampang. Para orangtua masih percaya
bahwa anak-anak puteri mereka harus bekerja di ladang. Mereka menolak anak-anak
puteri mereka tinggal di asrama yang dibangun oleh suster sementara para suster
mewajibkan anak-anak puteri untuk tinggal di asrama. Keadaan ini membuat misi
untuk para puteri mustahil dijalankan. Karenanya, pimpinan regional SFIC
memutuskan untuk menarik para suster dari Benua Martinus. Pada tahun 1928,
dengan diam-diam, ketika para pastor sedang tidak ada di pastoran untuk seharian,
para suster meninggalkan Benua Martinus. Ketika pastor kembali pada malam hari ia
hanya menemukan rumah suster yang kosong. Tiga tahun kemudian, kekosongan ini
akhirnya diisi oleh para suster SMFA.
3. Bika Nazareth
Pada masa itu wilayah Kapuas Hulu tetap dilayani dari Sejiram. Beberapa tahun
kemudian, tepatnya pada tahun 1924, didirikanlah stasi baru di Bika, yang kemudian
hari diberi nama Bika Nazareth. Bersamaan dengan dibukanya paroki baru, juga
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 27
didirikan sekolah pada tanggal 14 Januari 1924 dengan gurunya ialah Pak Eugenius
Tjoerit dari Sejiram.
Karya misi di Bika sebenarnya sudah terjadi sejak
jauh hari sebelumnya. Bika pertama kali dikunjungi
oleh Pastor Eugenius OFM Cap dari Sejiram pada
bulan Juli 1910. Pada tanggal 24 November s.d. 14
Desember 1910 kembali Pastor Eugenius
mengunjungi Bika, tepatnya di Nanga Mandai dan
berdiam di sana selama dua minggu. Pada waktu itu
Beliau meminta umat, warga Dayak di situ, untuk
membangun sebuah pondok baginya agar ia bisa
menginap dan berjanji untuk datang kembali.
Berdayung dari Sejiram ke Nanga Mandai bukanlah
pekerjaan gampang, tetapi pastor ini memenuhi
janjinya dengan mengunjungi kembali stasi ini
beberapa kali pada tahun-tahun sesudahnya. Stasi
Bika resmi menjadi stasi (paroki) baru tahun 1924
tetapi baru memiliki pastor sendiri pada tanggal 22
Januari 1925 ketika Pastor Ignatius OFM Cap ditunjuk menjadi pastor Paroki Bika
Nazareth. Ketika Beliau tiba, sekolah di Bika sudah berjalan dan memiliki 11 murid,
diajar oleh pak Ladan. Sayangnya, guru ini dipecat karena kelakuannya yang tidak
terpuji. Karena kekurangan murid, maka Pak Raran dan Pak Butu, dua guru yang
mengajar di Benua Martinus menjadi kurang pekerjaan. Maka, Pak Raran pun
dipindahkan ke Bika pada tahun 1933. Pada tahun 1939, ketika SMM masuk ke paroki
Bika, sekolah rakyat di Bika
memiliki 44 murid, yang
mana 28 orang tinggal di
asrama, dengan 3 orang
guru, yaitu Pak Pius, Pak
Ransa dan Pak Akoep.
Paroki Sejiram makin
tahun makin berkembang.
Pada tahun 1924 Stasi ini
sudah dibagi dalam 4 Stasi
(paroki): Sejiram, Lanjak,
Benua Martinus dan Bika.
Gambaran Gereja dan
Para siswa SR Bika, bersama Pastor Ignatius, thn 1929
perkembangannya sampai
tahun 1927 dapat dilihat dari Laporan Tahunan Paroki Sejiram tahun 1926 dan 1927.
Perlu diingat bahwa laporan ini hanya dari Paroki Sejiram, tidak termasuk Lanjak,
Benua Martinus dan Bika.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 28
Melihat perkembangan yang ada, terutama pertumbuhan dan kebutuhan umat, makin
terasa kebutuhan akan katekis-katekis yang membantu para Pastor mewartakan
Kerajaan Allah. Maka, pada tanggal 20 Maret 1927 didirikanlah Sekolah Minggu di
Sejiram, dengan pendidik-katekis dari suku Dayak yang pertama, Ch. Palil. Selain dari
itu, buah-buah pertama dari hasil karya misi di bidang pendidikan sudah mulai dipetik.
Pada tanggal 19 November 1927, Pius Ungkang asal Bika dan Paulus Tjawan asal
Sejiram tiba kembali di Sejiram setelah menyelesaikan sekolah mereka di Manado.
Mereka menjadia katekis dan guru agama di Sejiram dan berbagai tempat di daerah
Kapuas Hulu.
Tahun 1930, Mgr. P. Bos menghubungi pimpinan SMFA di Asten untuk berkarya di
Kalimantan Barat. Menanggapi undangan ini, maka berangkatlah empat orang suster
SMFA dari Belanda pada
tanggal 24 Februari 1931.
Para pionir ini adalah Sr.
Gerarda, Sr. Dominika, Sr.
Dolorosa, dan Sr. Yosefine
yang bekerja di daerah
perbatasan, yaitu di Benua
Martinus.
Dalam
perjalanan ke Benua
Martinus, mereka sempat
singgah di Sintang dan
sempat hendak ‘ditahan’
oleh pemerintah Hindia
Belanda untuk bekerja di
Pastoran pertama Bika Nazareth
Rumah Sakit Sintang yang sudah mulai merosot karena ketiadaan tenaga-tenaga
terampil. Permintaan ini ditolak tetapi serentak memberitahu Asten mengenai
kebutuhan ini. Karya awal para suster ini ialah kesehatan dan pendidikan, khususnya
pendidikan untuk puteri-puteri Dayak. Sr. Gerarda menulis, “Kami memulai dengan
mencuci pakaian anak sekolah putera dan merawat orang-orang yang berpenyakit
kulit dengan sabun dan salep.” 12
4. Sintang dan Putussibau
T
ahun 1931, (kota) Sintang, yang merupakan pusat pemerintahan dan tempat
tinggal asisten residen menjadi sebuah paroki baru. Kota tempat pertemuan
sungai Kapuas dan Melawi ini kebanyakan penduduknya saat itu adalah
12 Piet Derckx, SMM, Para Montfortan, hal. XXXV.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 29
beragama Islam dari suku
Melayu. Orang-orang Dayak
hanya tinggal di kampungkampung
sekitarnya dan tidak
memiliki peran dalam
kekuasaan.
Pendirian paroki baru ini mulamula
terutama untuk melayani
pegawai Katolik Pemerintah
Hindia Belanda serta untuk
melayani kebutuhan rohani
para Suster Misi Fransikan
Pastoran Pertama di Sintang - 1937
Santo Antonius (SMFA) dari
Asten, yang sedang dalam perjalanan dari Belanda untuk bekerja di Rumah Sakit
Umum Sintang, atas permintaan pemerintah Hindia Belanda. Dua suster yang
ditugaskan ialah Sr. Xaveria (Getruda Thorborg) SMFA dan Sr. Bernadette (Getruda de
Jong) SMFA, yang tiba di Sintang pada tanggal 1 Januari 1932. Tidak lama kemudian
Sr. Dolorosa dari Benua Martinus pun menemani mereka bekerja di rumah sakit.
Kegiatan rohani untuk umat dilaksanakan pada kapel suster SMFA.
Untuk memenuhi kebutuhan iman dan pelayanan pastoral di paroki baru ini, maka
pada tnggal 11 Desember 1931, Mgr. Pasifico Bos mengangkat Pastor Fulgentius J.
Koning, OFM Cap, sebagai pastor paroki pertama dari paroki Sintang.
Saat Beliau tiba di Sintang, paroki
baru ini belum memiliki rumah
pastoran, tempat tinggal untuk
pastor. Karena belum ada
pastoran, maka Pastor Fulgentius
tinggal di pesanggrahan
pemerintah. Demikian juga para
suster, karena rumah mereka
belum selesai dibangun, yang
disebabkan banjir besar yang
telah lama dan belum surut, maka
untuk sementara para suster
Pastoran Sintang yang pertama di Nanga Jetak, 1932 tinggal di pavilion yang
dipinjamkan oleh calon residen.
Pastor Fulgentius mulai secara penuh tinggal di rumahnya sendiri yang sangat
sederhana pada tanggal 15 Maret 1932 yang dibangun di Nanga Jetak. Tetapi karena
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 30
agak jauh dari kota Sintang, maka yang dipikirkan oleh Pastor ialah mendirikan rumah
pastoran di kota Sintang yang baru terlaksana pada tahun 1937..
Pada tahun 1933, Mgr. Pacificus Bos, OFM Cap menganjukan pengunduran diri kepada
Takhta Apostolik, karena sudah sering sakit dan merasa dirinya sudah terlalu tua untuk
melaksanakan tugas yang sangat berat sebagai Vikaris Apostolik untuk seluruh pulau
Kalimantan. Takhta Apostolik. Dalam hal ini Propaganda Fide mengabulkan
permohonannya dan sekaligus mengangkat penggantinya, yaitu Mgr. Tarcisius van
Valenberg, OFM Cap pada tahun 1934. Mgr. Bos meninggal dunia di Pontianak pada
tanggal 21 Maret 1937, dalam usia yang ke-72 tahun. Beliau bertugas selama 30 tahun
lamanya.
Sejak berdirinya paroki Sintang maka daerah Sintang dan sekitarnya, termasuk Nanga
Pinoh, sungai Ketungau dan Belitang, serta daerah Tempunak dan Sepauk juga mulai
dikunjungi. Dari laporan turne, disebutkan bahwa dari tanggal 12 Juli hingga 5 Agustus
1932, Pastor Fulgentius OFM Cap, dengan menggunakan perahu motor Lien,
mengunjungi kampung-kampung di sungai Ketungau, dan melihat peluang bahwa bisa
membuka stasi baru di Nanga Bloh, yang baru bisa diwujudkan tahun 1948. Beliau juga
mengunjungi daerah Nanga Pinoh dan sekitarnya pada tanggal 22-26 Mei 1932 dan
pada tanggal 24-28 April 1933. Tahun 1933-1935, Beliau mengunjungi daerah Nanga
Pinoh sebanyak dua atau tiga kali dalam setahun. Belia juga mengunjungi daerah
Ampoh dan sekitarnya pada tanggal 26-29 Maret 1935 dan pada tanggal 23-26
Oktober 1935.
Pastoran kedua di Sintang, Mei 1937 pada lokasi yang
sekarang menjadi Katedral dan Keuskupan
Walau Bika sudah menjadi
sebuah paroki sejak tahun
1924, ternyata sejak tahun
itu Putussibau kurang
menjadi perhatian sebagai
daerah misi atau niat
mendirikan sebuah paroki
baru yang berpusat di kota
Putussibau. Kiranya
Pertimbangan para
misionaris saat itu ialah
karena
mayoritas
penduduknya adalah suku
Melayu yang semuanya
beragama Islam, hanya
segelintir Tionghoa, dan
beberapa orang Eropa. Pada masa itu praktis tidak ada warga dari etnis Dayak yang
tinggal di kota Putussibau.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 31
Walau demikian para misionaris juga mencoba melayani beberapa orang Belanda yang
ada di sana. Pelayanan dilakukan dari Bika Nazareth oleh para misionaris Kapusin.
Tahun 1938, karena pekerjaan baik serta keberhasilan yang dicapai di Sintang,
pemerintah Hindia Belanda meminta SMFA untuk memulai karya mereka di
Putussibau. Peristiwa inilah yang menjadi pintu masuk para misionaris untuk mulai
berkarya di Putussibau secara tetap.
Maka, pada tanggal 10 Juni 1939, Pastor Jan C. Linssen, SMM yang saat itu masih
bertugas di Bika Nazareth bersama Pastor Henry L’Ortye, SMM, berpindah dan
menetap di Putussibau. Inilah hari lahir paroki Putussibau. Ia memulai karyanya
bersama tiga orang suster SMFA.
Pastor Jan C. Linssen di depan Pastoran Pertama di
Putussibau
Tahun 1947, Pastor Hub
Reinders, SMM datang dan
berkarya di Putussibau
sehingga kunjungan pastoral
ke kampung-kampung
menjadi lebih intensif dan
sering. Di sisi yang lain, pada
tanggal 21 Mei 1938, karena
didirikannya Prefektur
Apostolik Banjarmasin, maka
pada hari yang sama, Vikariat
Apostolik Kalimantan berubah
nama menjadi Vikariat
Apostolik Pontianak.
Demikian pula dengan daerah
Putussibau dan sekitarnya.
Pastor Linssen tidak hanya
melayani para warga Belanda
yang ada di Putussibau, juga
mulai mencoba mengunjungi
kampung-kampung sekitarnya. Dari catatan atau laporan turne disebutkan bahwa
Pastor Reijnders mengunjungi mendalam dari tanggal 15 hingga 18 Januari 1949.
Beliau juga beberapa kali mengunjungi Teluk Engkala, Mendalam dan Melapi pada
bulan-bulan berikutnya. Tanggal 12 Maret 1949, Pastor Reijnders bertemu dengan
Oevang Oeray di Mendalam.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 32
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 33
1. Masuknya Serikat Maria Montfortan
Kalimantan terlalu luas, apalagi sarana komunikasi dan transportasi yang masih
K
sangat sulit, dan terasa sangat berat untuk dilayani oleh para pastor Kapusin
yang jumlahnya tidak seberapa banyak saat itu. Maka, Mgr. Pacificus Bos
mencari dan menawarkan kongregasi lain untuk turut mengambil bagian dalam
misi di Kalimantan. Tahun 1926, Kalimantan Timur dan Selatan akhirnya diserahkan
kepada Kongregasi MSF, yang kemudian menjadi Prefektur Apostolik Banjarmasin
pada tanggal 21 Mei 1938 di mana saat yang sama didirikan pula Vikariat Apostolik
Pontianak.
Walau Kapusin hanya menangani
Kalimantan Barat, hal itu tetap
terasa berat dan kurang efektif.
Hal ini sudah lama disadari,
terbukti dari adanya komunikasi
pada tanggal 5 Juli 1924 antara
Provinsial Kapusin Belanda, Pastor
Stanislaus OFM Cap, yang pernah
menghubungi Provinsial SMM
mengenai kemungkinan membuka
misi di sebagian wilayah Borneo
daerah jajahan Belanda. Serikat
Montfortan meminta waktu untuk
memikirkannya. Sebenarnya Serikat Montfortan lebih berniat untuk membuka misi di
pulau Jawa daripada di Kalimantan Barat. Sayangnya niat ini ditolak oleh Serikat Yesus,
melalui Mgr. Willkens SJ dari Vikariat Apostolik Batavia dalam surat tertanggal 11 Mei
1929. Pada waktu itu Pastor Drehmans CSSR sempat mengusulkan kepada SMM
provinsi Belanda menghubungi Mgr. Verstraelen untuk bekerja di Kepulauan Sunda
Kecil atau menghubungi Ordo Kapusin di Sumatera. Dua usulan ini tidak dapat
disanggupi oleh SMM.
Beberapa tahun kemudian, Mgr. Tarsisius van Valenberg OFM Cap, Prefek Apostolik
Kalimantan, menghubungi Serikat Montfortan provinsi Belanda pada tahun 1936
untuk berkarya di Kalimantan Barat. Permintaan ini kembali belum dapat disanggupi
oleh SMM, yang saat itu justru berniat membuka misi di Flores tetapi ditolak oleh Mgr.
Leven, SVD. Kemudian, Mgr. T. van Valenberg pada tanggal 5 Mei 1938 kembali
menulis surat meminta SMM untuk membuka misi di Kalimantan Barat, yaitu di daerah
Sintang dan Kapuas Hulu. Tidak lama setelah menerima surat ini, pada tanggal 27 Juli
1938, Provinsial SMM Belanda mengajukan permohonan kepada Tahta Suci. Melalui
surat tertanggal 23 September 1938, prot. No. 3308/38, Prefek Propaganda Fide
(Kongregasi Evangelisai para Bangsa), memberitahu dan menyerahkan bagian timur
dari Kalimantan Barat, yaitu Keresidenan Sintang, kepada Serikat Montfortan.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 34
Menanggapi jawaban Propaganda
Fide ini, tanggal 5 Oktober 1938,
Serikat Montfortan memutuskan
untuk mengutus Pastor Harry
L’Ortye SMM, Pastor Jan Linssen
SMM, dan Br. Bruno SMM
(Henricus Driessen) untuk memulai
misi baru, yang secara bertahap
akan diserahkan oleh misionaris
Kapusin.
Para Imam & Bruder Montfortan, thn 1971
Pada tanggal 16 Maret 1939, tiga
orang Misionaris Montfortan pertama itu berangkat dari Brussels (Belgia) menuju
Marseille, Perancis untuk menumpang kapal laut Sibajak menuju Indonesia sehari
berikutnya. Dalam catatan yang ada di Paroki Bika, Pastor L’Ortye menulis kisah
perjalanannya:
“Tanggal 17 Maret, keberangkatan dengan Sibajak, perjalanannya sangat baik, tidak
ada yang mabuk laut. Kami bertiga menempati satu kabin. Di port Said, kami bertiga
turun dari kapal untuk berbelanja. Di
Kolombo, kami tiba pada malam hari, masih
sempat mengunjungi kota. Di Sabang, kami
tour keliling kota. Di Medan kami
mengunjungi para Kapusin, diterima agak
dingin. Bagaimana sambutan nanti di
Borneo? Tanggal 4 April 1939, tiba di
Singapura dan bermalam di rumah CICM di
Nassim road. Dua hari kemudian kami
berangkat dari Singapura dengan
menumpang kapal Khoen Hoa.” 13
Pada tanggal 7 April 1939, tepat hari Jumat
Agung, mereka bertiga tiba di pelabuhan
Pontianak dan disambut oleh 3 orang
Kapusin, yaitu Pastor Koenraad, Bruder
Faustus, dan Ivo, yang mengurus barangbarang
mereka melewati pabean. Mereka
bertiga disambut di Pastoran dengan tulisan besar di ambang pintu yang berbunyi:
“SMM, Selamat Datang di Borneo.”
13 Piet Derckx, SMM, Para Montfortan, hal. XXXIX-XL.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 35
Uskup Tarsisius van Valenberg mengangkat Pastor L’Ortye sebagai pemimpin Misi
Montfortan, yang mempunyai wilayah dari Sintang sampai Kapuas Hulu. Pastor L’Ortye
memilih Bika sebagai basis wilayah kerjanya. Pada tanggal 17 April 1939, ketiga
misionaris SMM ini berangkat dari Pontianak menuju Bika menggunakan kapal West
Borneo bersama dengan Superior Kapusin, Pastor Caesarius Ram, OFM Cap. Setelah
empat hari, mereka baru sampai di Sintang, yaitu pada tanggal 20 April 1939. Di sini,
mereka bertemu dengan dua imam Kapusin, yaitu Pastor Oktavianus dan Pastor
Wilbertus de Wit.
Menggunakan kapal motor
“Rasul” milik Gereja, para
misionaris mengunjungi
Sejiram. Karena saat itu sungai
Kapuas sedang sangat surut,
mereka kandas di beberapa
tempat dan harus mendorong
kapal motor. Dalam
persinggahan di Sejiram, ketiga
missionaris ini bertemu dengan
para misionaris Kapusin, yaitu
Pastor Christianus, Pastor
Herman Josef, Bruder Adjustus, dan Bruder Sergus. Dari Sejiram, mereka melanjutkan
perjalanan menuju Bika menggunakan kapal motor Lien. Mereka tiba pada tanggal 29
April 1939, yang disambut oleh Pastor Edmundus, Pastor Gijsbers, Pastor Prosper,
Bruder Donulus, Bruder Gorgonius, serta nyanyian dan tarian dari anak-anak asrama.
Atas permintaan Pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1939, Suster-suster
Fransiskanes dari Santo Antonius (SMFA) mulai bekerja sebagai perawat di Rumah
Sakit Umum Putussibau. Kehadiran para suster SMFA di Putussibau menjadi alasan
kuat dibukanya paroki baru di Putussibau. Pada tanggal 10 Juni 1939 Pastor Jan
Linssen mulai menetap di Paroki Putussibau dan tanggal ini diperingati sebagai hari
kelahiran Paroki (Hati Santa Maria tak Bernoda) Putussibau.
Karena belum ada pastoran
maupun gereja, maka Pastor
Linssen tinggal pada salah
satu kamar di ‘pesanggrahan’
milik pemerintah Hindia
Belanda. Karena kurang
cocok, Beliau akhirnya
pindah ke pavilion rumah
Kontrolir Putussibau. Kemudian Pastor Jan membeli sebuah rumah, yang disebutnya
pondok karena hanya ada satu kamar dan satu dapur, milik seorang pengawas hutan.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 36
Berpindahnya Pastor Jan Linssen ke Putussibau juga menjadi momen mulai keluarnya
para Pastor Kapusin dari Bika untuk ditangani sepenuhnya oleh para imam
Montfortan, sejak tanggal 1 Januari 1940.
Pada tanggal 7 Maret 1940, dua Misionaris Montfortan lainnya tiba di Bika, yaitu
Pastor L. van Kessel, yang biasa dipanggil Pastor Bertus (kemudian menjadi Prefek
Apostolik Sintang yang pertama) dan Pastor Josef Wintraecken, SMM. Mula-mula
daerah Sintang-Kapuas Hulu tetap dilayani bersama oleh Misionaris Kapusin dan
Montfortan, dan setelahnya pelan-pelan diambil alih sepenuhnya oleh Montfortan.
Dalam catatan harian di
Paroki Sejiram, yang
ditulis oleh Pastor
Christianus, dicatat
bahwa dalam bulan
September 1939 beritaberita
pertama
mengenai perang sudah
sampai di Sejiram. Walau
demikian, kegiatan misi
berlangsung terus. Pada
tanggal 8 Maret 1942,
pemerintah Hindia
Belanda menyerah kalah
kepada Jepang, tetapi
belum ada seorang Jepang pun yang berada di daerah Kapuas Hulu. Yang terjadi justru
kekacauan yang dilakukan oleh seorang dokter yang bernama Diponezoro yang
menjarah toko dan kebun dan ternak orang-orang Tionghoa dan bahkan membunuh
kontrolir Putussubau, Kontrolir van de Woerdt. Di Benua Martinus, pada tanggal 31
Mei 1942, hari Minggu, sesudah Misa Kudus diadakan rapat dengan umat. Mereka
menyusun rencana perlawanan terhadap orang dari Palin dan Melayu yang kemudian
merampas barang-barang milik Misi di Bika. Umat mengambil tanggung jawab untuk
melindungi karya Misi. Baru pada tanggal 10 Juni 1942, Jepang mulai masuk ke daerah
Kapuas Hulu.
Pastor Jan Linssen menulis bahwa sejak masuknya Jepang ke Kapuas Hulu, ia
menerima berita dari ayah Usup (Suai) bahwa orang Melayu mendapat izin dari Jepang
untuk membunuh orang-orang bule, termasuk para Pastor. Saat yang sama tersebar
berita bahwa sudah terjadi pembakaran rumah-rumah dan perampokan di beberapa
kampung. Walau ada usulan untuk mengungsi dan bersembunyi ke Pala Pulau, di
rumah Pak Telandjang, tetapi para Pastor dan Suster langsung ke Putussibau dengan
maksud untuk menyerahkan diri kepada tentara Jepang, demi alasan keamanan.
Sebelum sempat menyerahkan diri, rumah Pastor Linssen telah didobrak dan diobrak-
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 37
abrik oleh tentara Jepang. Karena tidak menemukan barang dan dokumen penting,
maka mereka meningglkan pastoran begitu saja, karena sudah sempat diselamatkan
oleh Pastor Linssen. Tanggal 13 Juni 1942, hari Sabtu, mereka dipanggil menghadap
tentara Jepang, disuruh berbaris dan menyiapkan diri untuk berangkat keesokan pagi
dengan hanya membawa satu kopor pakaian. Para Pastor dan Suster dibawa ke hilir
menggunakan kapal Jepang. Kapal sempat singgah di Bika untuk mengambil Pastor
L’Ortye, Pastor L. van Kessel dan Bruder Bruno, untuk turut dibawa ke Pontianak.
Sejak tahun itu pula para Pastor dan Bruder, Misionaris Kapusin dan Montfortan, serta
Suster-suster Fransiskanes dari Veghel dan Suster-suster Fransiskanes Santo Antonius
dari Asten serta beberapa pegawai sipil mulai dikumpulkan di Pontianak. Para Pastor
dan Suster menginap di biara MTB tetapi setiap pagi harus ikut berbaris dan apel.
Jumlah yang berkumpul saat itu ialah 32 imam, 40 bruder, dan 123 suster. Setelah
hampir satu bulan, pada tanggal 14 Juli 1942, para misionaris nini dibawa dan tiba
serta mulai ditahan di Kamp Tahanan Kucing (Serawak) pada tanggal 17 Juli 1942.
Dari catatan pada Buku
Harian di Benua Martinus
disebutkan bahwa, karena
keadaan tidak aman, maka
pada tangal 2 Juni 1942,
Raphael Giling Laut dan
beberapa orang lain berada
pastoran untuk melindungi
Misi dari penjarahan.
Selanjutnya, pada tanggal
21 Juni 1942, hari Minggu,
Opas Jamal dari Nanga
Embaloh membawa
fonogram dengan berita bahwa para Pastor dan Suster harus segera berangkat ke
Pontianak menghadap Nippon. Setelah berunding, diputuskan untuk menulis surat,
yang mengatakan bahwa mereka mau menuruti perintah Nippon, tetapi tidak dapat
berangkat karena tidak ada perahu dan tidak ada orang yang mengantar. Kalau Nippon
menjemput, maka mereka akan ikut. Banyak orang Dayak yang siap datang dengan
tombak dan parang untuk mereka diambil paksa.
Tanggal 25 Juni 1942, Pastor Josef Wintraecken dari Bika datang ke Benua Martinus
dengan berita bahwa para misionaris juga harus pergi. Pesan yang sama juga diterima
dari Thomas Burerek (guru) di Sejiram. Setelah berunding, maka disepakati untuk
berangkat pada hari Minggu. Keputusan ini diumumkan kepada umat. Tanggal 28 Juni
1942, hari Minggu, gereja penuh dengan umat. Jam 08.00 diadakan Misa Kudus yang
juga dilakukan penyerahan tugas dan pelantikan pengurus rumah dan guru. Banyak
umat terharu dan menangis, ungkapan hati bahwa mereka sangat mencintai para
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 38
misionaris dan karya-karyanya. Jam 11.00 siang, mereka berangkat bersama dengan
32 orang lainnya yang membantu mereka. Bermalam sehari di Ukit-ukit dan
dimanfaatkan oleh orang Leboyan untuk mengaku dosa. Hari berikut ada Misa Kudus
dengan 30 Komuni Suci. Perpisahan dengan umat ditemani dengan derai airmata
karena akan kehilangan para pelayan yang entah kapan akan kembali. Di Lanjak
dengan ramah tamah disambut oleh Wakil Demang. Hari berikutnya, tanggal 30 Juni
1942, mereka berangkat dari Lanjak menuju Pontianak dan tiba pada tanggal 6 Juli
1942.
Selama Perang Dunia II berlangsung, praktis tidak ada misionaris yang tinggal dan
bekerja di Kalimantan Barat. Pada masa sulit ini, hanya dua orang Pastor yang
mendapat izin melayani umat, yaitu Pastor Bong Sjun Khin dan Pastor Adikarjana.
Mereka berdua mengambil alih tugas dari 32 orang Pastor, 40 orang Bruder dan 123
orang Suster untuk seluruh Kalimantan Barat. Paroki-paroki di bagian Hulu Kapuas
hanya beberapa kali dapat dikunjungi oleh Pastor Adikarjana, yang berkedudukan di
Pontianak.
Sementara itu para tahanan di Kucing
mulai merasakan kebebasan setelah
mendengar Jepang kalah perang.
Tanda-tanda itu makin jelas ketika
Jepang mulai membebaskan orang
sakit dan lemah dan diterbangkan ke
Pulau Labuan pada tanggal 8
September 1945. Akhirnya, pada
tanggal 12 September, giliran tahanan
lain, termasuk para misionaris
dipindahkan ke Pulau Labuan
menggunakan . Walau sudah bebas,
kerinduan para misionaris untuk
segera kembali ke Kalimantan Barat
belum dapat segera diwujudkan.
Kerinduan ini baru terwujud tanggal 1
Desember 1945, dengan
menggunakan kapal anti-ranjau
Willem van der Zaan, para misionaris
ini berangkat menuju tanah
pengabdian dan tiba di Pontianak pada
tanggal 4 Desember 1945. Sayangnya keadaan belum aman. Indonesia belum lama
merdeka dan belum ada kuasa sipil dan militer di pedalaman yang dapat memberikan
jaminan keamanan. Kerinduan untuk kembali ke hulu Kapuas akhirnya terpenuhi
ketika residen Pontianak W. van de Zwaal mengizinkan para misionaris kembali ke
pedalaman Kalimantan Barat. Akhirnya, pada tanggal 22 Februari 1946, sebanyak 23
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 39
orang misionaris, yang terdiri dari imam, bruder dan suster berangkat dari Pontianak
menumpang kapal motor An Hwa melalui sungai Kapuas menuju Sintang.
Pastor Wilbert OFM Cap kembali bertugas Sintang walau hanya menemukan
rumahnya yang kosong melompong, tanpa isi karena dijarah. Pastor Jan Linssen
bersama 4 orang suster SMFA kembali ke Putussibau yang menemukan rumah dan
gereja sudah tak beraturan tetapi perlengkapan Misa umumnya dijaga dengan baik
oelh umat. Pastor Josef Wintraecken dan Bruder Bruno kembali ke Bika Nazareth dan
disambut meriah oleh umat. Pastoran, gereja dan seluruh isinya masih utuh karena
dijaga dengan baik oleh umat. Pastor Flavianus Huibers, OFM Cap, Pastor L. van Kessel
SMM, Bruder Bertrandus OFM Cap, bersama 4 suster SMFA, yaitu Sr. Coleta, Sr.
Therese, Sr. Gerarda, dan Sr. Rosa baru dapat kembali ke Benua Martinus pada tanggal
9 Maret 1946.
Tahun 1946 SMM kembali
mengirimkan beberapa misionaris dari
Belanda. Tanggal 5 Juni 1946, Pastor
Adriaan Schelart, Pastor Anton
Voncken, Pastor Ferry Hoogland, Pastor
Lor Collijn, dan Pastor Piet van Eunen
berangkat dari Belanda dan tiba di
Sintang pada tanggal 6 Juli 1946. Pastor
Lor Collijn yang sedianya bertugas di
Martinus akhirnya ditugaskan ke
Putussibau untuk menggantikan Pastor
Jan Linssen. Pastor Ferry Hoogland
ditugaskan di Sejiram. Pastor Anton
Voncken dan Adriaan Schellart
ditugaskan di Bika Nazareth, dan Pastor
Piet van Eunen ditugaskan di Sintang.
Beliau bekerja bersama pimpinan
SMM, Pastor H. L’Ortye. Pastor Piet
bertugas sebagai pastor pembantu
yang khusus melayani umat keturunan
Tionghoa dan militer, karena Beliau sudah
belajar bahasa China sejak masih di
Pastor Anton Bernard, SMM ketika mengobati
pasiennya di Serawai
Belanda, dan Pastor Adrianus (Janus) van der Vleuten menjadi pastor turne, yang
berkeliling dari kampung ke kampung, di antara orang Dayak.
Setelah itu menyusul rombongan berikutnya dikirim dari Belanda, yang terdiri dari
Pastor Hubertus Reijnders, yang ditugaskan ke Bika. Di sana ia tinggal dan bekerja
bersama Pastor Josef Wintraecken dan Adriaan Schellart. Pastor Lambertus van den
Boorn, ditugaskan ke Sejiram, menemani Pastor F. Hoogland, SMM. Pastor Adrianus
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 40
van der Vleuten, SMM bersama bruder Alphonsus (Johanes van Extel), SMM
ditugaskan ke Benua Martinus, menemani Pastor L. van Kessel, SMM. Bruder
Stephanus (Josef van de Berg, SMM) ditugaskan ke Sejiram untuk menggantikan
Bruder Adjustus OFM Cap, untuk mengurus kebun karet.
2. Nanga Serawai
K
unjungan pertama ke daerah Melawi pernah dilakukan oleh Pastor Egbertus
Nobel OFM Cap pada tahun 1935 dan 1937. Sayangnya tidak ada tindak
lanjutnya dan wilayah ini praktis tidak dikunjungi lagi sampai dengan tahun
1939-1940 dan 1947. Tahun 1939 Pastor Oktavianus turne ke Melawi hulu sejak
tanggal 1 hingga tanggal 23 Desember. Beliau mengunjungi dan berkenalan dengan
suku Dayak Uut Danum dan suku Nyangai. Kesan yang diperoleh pastor Oktavianus
ialah, umat di wilayah ini sangat ramah dan menerima kehadiran para misonaris dan
Gereja, lebih menerima dibandingkan di daerah sekitar Sintang dan Ketungau. Beliau
kembali turne ke hulu Melawi pada tanggal 4-27 Desember 1940. Kali ini Beliau turne
hingga daerah
Jengonoi, 14 Ambalau.
Beberapa tahun
kemudian beberapa
pemimpin adat dari
Suku Uut Danum
pernah datang ke
Sintang dengan tujuan
mengundang para
misionaris ke daerah
Melawi hulu.
Menanggapi
permintaan ini, L. van
Kessel meminta Pastor
Jan Linssen melakukan
turne perkenalan ke
Pastoran & Asrama di Nanga Serawai
wilayah itu. Kunjungan
perkenalan ini akhirnya dilakukan oleh Pastor Jan Linssen pada tanggal 5 Maret 1947
yang ditemani oleh Pak Lamat, asal Nanga Belimbing, beserta puteranya berangkat ke
Nanga Pinoh. Mereka menginap dua hari di Nanga Belimbing dan dua hari kemudian,
setelah mendapatkan perahu, melanjutkan perjalanan ke Nanga Pinoh.
Para pionir ini tinggal beberapa hari di Nanga Pinoh, dan sempat diperkenalkan
dengan Kontrolir Lemmens dan seorang Tionghoa. Sambil menunggu perahu menuju
14 Dalam Buku Harian Sintang Paroki Sintang, disebut sebagai kampung ‘Jenenoi’.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 41
hulu Melawi, Pastor Jan sempat merayakan Misa di beberapa tempat di Nanga Pinoh.
Setelah menemukan perahu dengan sewa sebesar 25 sen sehari, akhirnya mereka
meninggalkan Nanga Pinoh dan memulai perjalanan ke hulu Melawi pada tanggal 10
Maret 1947.
Hanya mengandalkan tenaga manusia berdayung, mereka sampai di Kebiboe pada
malam hari dan menginap di situ. Hari berikutnya dilanjutkan ke ella Hilir, lalu ke ella
Hulu, lalu Menukung, Mentatai dan akhirnya tiba di Nanga Serawai setelah
mendayung selama 6 hari. Mereka disambut oleh Pak Tjawan dan anaknya Klaudius,
yang kemudian hari menjadi mandor UMIS (Usaha Misi Sintang) di Sungai Putih. Di
rumah ini, Pastor Jan bersama Tumenggung Kamis, kepala adat Dayak yang juga
tinggal di sisi selatan rumah Pak Tjawan, merencanakan perjalanan ke hulu Serawai
dan sungai Lekawai dan juga ke Nanga Ambalau bahkan sampai ke kampung Jengenoi
dan Mentemoi. Setelah mengunjungi berbagai kampung, Pastor Linssen akhirnya
meninggalkan Nanga Serawai pada tanggal 26 April 1947 untuk kembali ke Sintang.
Berdasarkan hasil kunjungan Pastor Linssen dan penilaian positifnya, maka pimpinan
SMM menugaskan Pastor Adriaan Schellart untuk menetap di Nanga Serawai. Pada
tanggal 17 November 1947, Pastor Adriaan Schellart mulai menetap di Nanga Serawai
dan menempati rumah Demang Korak. Bersamanya tinggal pula guru yang bernama
Tjawan. Jumlah orang yang dibaptis baru empat orang. Belakangan ternyata banyak
anak yang mau tinggal bersama Pastor sehingga menimbulkan niat untuk membangun
asrama bagi mereka. Maka dibelilah sebidang tanah di atas bukit seharga 100 gulden.
Kehadiran para misionaris rupanya tidak disukai oleh orang Melayu yang adalah
mayoritas penduduk Serawai saat itu. Mereka sering menghasut masyarakat dan
memfitnah para misionaris.
Puncaknya terjadi tahun 1950, ketika Pastor Adrianus (Janus) van der Vleuten
menggantikan Pastor Adriaan Schellart yang akan dipindahkan ke Bika. Baru satu bulan
di Nanga Serawai, terjadilah peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa 2 Mei 1950. Pada
waktu itu pihak keamanan (polisi) memasuki pasar dan memeriksa semua orang yang
berhubungan dengan Pastor. Mereka menggeledah rumah-rumah untuk mencari
senjata. Aksi ini ternyata adalah buah dari kebencian, provokasi dan laporan seorang
mantri yang bernama Hasan. Orang ini menuduh Pastor barusan saja menerima
kiriman barang berpeti-peti yang isinya dicurigai adalah senjata, yang akan dibagikan
kepada orang-orang Dayak agar menentang penguasa untuk kembali kepada Belanda.
Ternyata peti-peti tersebut adalah obat-obatan. Setelah kasus ini, orang-orang yang
tidak suka dengan karya para misonaris masih terus menghasut penduduk, termasuk
penduduk di Ambalau dan menakut-nakuti mereka agar jangan mengikuti pelajaran
agama (katekumen). Tetapi ancaman dan intimidasi semacam ini tidak mengendurkan
semangat Pastor Adrianus van der Vleuten untuk melayani umat di Serawai dan
Ambalau. Setelah dibangun cukup lama sejak tahun 1947, akhirnya tanggal 3 Januari
1951 pastoran dan kapel selesai didirikan di atas bukti yang dibeli oleh Pastor
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 42
Schellart. Gereja permanen baru pun mulai dibangun dan diresmikan pada tanggal 25
Maret 1956, tepat pada hari Minggu Palma. Dibantu dan dibangun secara gotong
royong oleh umat, juga dibangun rumah-rumah untuk para guru di Mentemoi, gedung
sekolah di Begori dan Nanga Rioi dan tempat-tempat lainnya.
3. Imam Dayak Pertama
P
ada tahun 1930, tercatat bahwa sudah ada seorang suster kelahiran Kalimantan
yang bekerja di Pontianak, dan seorang bruder Kapusin yang asli Kalimantan,
yang bekerja di Singkawang. Pada tahun ini pula ada seorang kelahiran
Kalimantan keturunan Tionghoa yang sedang studi di Seminari Tinggi Kapusin di
Belanda, yaitu Frater Pacificus Bong Sjun Khin. Beliau ditahbiskan menjadi imam pada
tahun 1934 dan disusul dengan Frater Li Tjin yang ditahbiskan pada tahun 1943.
Hingga masa-masa Perang Dunia II, belum ada imam yang berasal dari Suku Dayak,
suku asli di Kalimantan.
Sejak tahun 1940-an, Paroki-Paroki di
Kapuas Hulu telah mengirim
beberapa pemuda Dayak untuk
belajar di Seminari menengah Sto.
Paulus di Nyarumkop. Para seminaris
angkatan awal, antara lain, Aloysius
Ding dan Oevang Oeray, keduaduanya
berasal dari paroki
Mendalam. Setelah menyelesaikan
seminari menengah di Nyarumkop,
Aloysius Ding Ngo dikirim ke seminari
tinggi di Ritapiret, Flores.
Di antara desingan peluru, dentuman
meriam perang dunia II dan para
misionaris di Kalbar berkubang derita
dalam pembuangan dan tahanan di
Kuching, seorang putera Dayak asli
ditahbiskan menjadi imam pada
tanggal 16 September 1945. Buah
Pastor Aloysius Ding Ngo, SMM sulung ini bernama Aloysius Ding
Ngo, seorang putera Dayak dari suku
Kayan, yang lahir pada tanggal 15 April 1916 di Tanjung Kuda, Mendalam, Kapuas
Hulu. Beliau meninggal tahun 1995 dan dikuburkan di Mendalam.
Saat itu ada dua orang yang dikirim ke Flores untuk studi di Seminari Tinggi Santo
Petrus di Ritapiret, yaitu Aloysius Ding dan Augus Djelani. Penabisan Pastor Ding pun
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 43
dipercepat karena keadaan perang. Karena ada bahaya para misionaris akan ditahan,
maka Uskup Nagasaki, Mgr. Jamagutsi dan Uskup Hiroshima, Mgr. Agihara datang
membantu dan menahbiskan 7 orang calon imam yang belum sempat menyelesaikan
studi mereka. Tanggal 13 Agustus 1945, Uskup Jamagutsi memberi tonsur dan
tahbisan rendah (lektor, eksorsis, dan akolit). Dua hari kemudian mereka ditahbiskan
ke jenjang sub-diakonat, dan pada tanggal 30 Agustus ditahbiskan menjadi diakon, dan
akhirnya ditahbiskan imam pada tanggal 16 September 1945. Setelah menyelesaikan
studinya, Beliau kembali ke Kalimantan pada tahun 1947. Tahun berikutnya ia
berangkat ke Belanda untuk mengikuti novisiat di Meersen, sebagai calon Montfortan.
Ia mengucapkan kaul kekalnya sebagai Montfortan pada tanggal 8 September 1949.
Selain sebagai Pastor, pada tahun 1960-an, Pastor Ding juga menjadi aggota DPRD-GR.
Di antara beberapa karya Beliau, beberapa yang perlu disebutkan karena berjasa besar
dalam melestarikan salah satu Budaya Dayak, ialah Syair Lawe’, Pahlawan demi
Kekasih 15 (bersama S. Lii Long) dan Kamus Indonesia-Kayan serta Kamus Kayan-
Indonesia. Di samping itu brliau juga menulis mengenai Sejarah Kayan, Jalan Menuju
Ke Surga atau Alaan Telaang Julaan, Cerita Rakyat, dan Syair- syair Kayan.
4. Prefektur Apostolik Sintang (1948-1956)
M
elihat keadaan dan kemungkinan di masa depan, Mgr. van Valenberg
mengirim permohonan ke Roma agar daerah Sintang-Kapuas Hulu dapat
dijadikan gereja mandiri. Permohonan ini dikabulkan oleh Takhta Apostolik.
Paus Pius XII melalui Konstitusi Apostolik Ut in Archipelago Indonesiano
Catholica, 16 menetapkan wilayah Sintang dan Kapuas Hulu sebagai Praefectura
Apostolica baru pada tanggal 11 Maret 1948. Takhta Apostolik, melalui Propaganda
Fide, mengangkat Prefek pertama Prefektur Apostolik Sintang, yaitu Mgr. Lambertus
van Kessel, SMM. Ini berarti, tahun 2011 ini, Gereja Sintang merayakan usia yang ke-63
sebagai sebuah Gereja.
Pada saat Sintang menjadi Prefektur Apostolik, di Kalimantan, selain Vikariat Apostolik
Pontianak, sudah ada Prefektur Apostolik Banjarmasin yang menjadi Vikariat Apostolik
pada tanggal 10 Maret 1949. Disusul dengan pembentukan Prefektur Apostolik
Ketapang pada tanggal 14 Juni 1954 dan Prefektur Apostolik Sekadau pada tanggal 9
April 1968.
15 Diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press, 1984-1985, yang terdiri dari 5
volume.
16 Acta Apostolcae Sedis 40 (1948), hal. 440-441.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 44
Prefektur Apostolik Sintang awalnya mempunyai enam Paroki, yaitu: Sintang, Sejiram,
Bika, Putussibau, Benua Martinus dan Nanga Serawai. Kemudian segera menyusul
sebuah paroki baru pada tahun berikutnya, yaitu Paroki Nanga Pinoh pada tahun 1949.
Di samping itu, tahun 1948 ini juga ditandai oleh peristiwa bersejarah lainnya,
khususnya bagi orang Dayak, yaitu selesai dan kembalinya Pastor Aloysius Ding dari
Seminari Ledalero, Flores ke prefektur apostolik Sintang untuk mulai berkarya di
prefektur baru ini..
Dalam laporannya kepada Provinsial Montfortan Belanda dalam Kapitel tahun 1952,
Pastor L’Ortye melaporkan data umat Prefektur Apostolik Sintang sebagai berikut: 17
Tahun Imam Kate
kis
Bap-tisan Umat Seko
lah
Paroki
Stasi
1946 4 - 431 2434 3 5 -
1947 12 7 414 2499 8 5 9
1948 12 25 472 3095 17 7 13
1949 13 30 451 3396 22 7 13
1950 16 36 420 3429 22 8 10
1951 18 42 526 3850 25 8 12
5. Nanga Pinoh
S
ejak tahun 1932 Nanga Pinoh sudah dilewati dan dikunjungi oleh para Misionaris
dan menjadi sedikit lebih rutin sejak tahun 1942. Tanggal 6 Juli 1932, Pastor
Fulgentius menerima surat dari seorang Guru yang bernama Bahan dan seorang
mantri yang bernama Singa, meminta agar menjadi katekumen agar dapat dibaptis
menjadi Katolik. Demikian juga seorang kepala kampung serta beberapa orang lain
dari kampung itu, serta seorang bekas guru di Nanga Serawai, yaitu Gani, meminta
untuk menjadi katekumen dan dibaptis.
Stasi Nanga Pinoh dapat dikatakan resmi menjadi stasi/paroki pada tanggal 1 Oktober
1949, ketika Pastor Jan Linssen mulai tinggal di Nanga Pinoh. Saat itu Beliau belum
memiliki pastoran dan gereja. Untuk sementara waktu Beliau tinggal di rumah Pak
Antonius Djan Sui Tjin. Karena gereja belum ada maka Misa hari minggu dirayakan di
salah satu pendopo rumah seorang Tionghoa. Ketika Beliau memulai karyanya di
17 Catatan ini kiranya perlu dilakukan cross-checked, karena pada dokumen lain
disebutkan bahwa pada saat menjadi prefektur apostolik tahun 1948, sudah terdapat 15 imam
Montfortan dan hanya ada 6 paroki.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 45
Nanga Pinoh, sudah ada 18 orang yang dibaptis. Umat yang hadir sembahyang adalah
keturunan Tionghoa dan beberapa orang polisi (Dayak).
Karena keadaan ini,
maka Beliau segera
mengusahakan
pendirian pastoran
dan gereja. Ia sendiri
yang membuat
gambarnya dan
memimpin
pembangunannya,
dibantu oleh Bruder
Alphons yang saat itu
bertugas di Sintang.
Dana untuk
membangun gedung
ini praktis diambil
Nanga Pinoh, thn 1937
dari
‘klinik’
pengobatan. Beliau dikenal baik oleh masyarakat Nanga Pinoh dan sekitarnya sebagai
tabib, terutama tabib sakit gigi, sehingga orang memanggilnya sebagai “Tukang Gigi.”
Beliau mahir meracik sendiri obat-obatan tertentu. Gereja dan pastoran diresmikan
oleh Mgr. L. van Kessel pada bulan Mei 1954, ketika Pastor Jan Linssen sudah pindah
dari Nanga Pinoh.
Awal tahun 1953 Pastor Jan ditarik ke Putussibau dan diganti oleh Pastor Schellart,
yang kemudian dibantu oleh Pastor Harrie van Cuyck. Kedatangan Pastor Harrie sangat
membantu karena Beliau adalah lulusan sastra dan bahasa China di Universitas Leiden,
Belanda. Kemahiran dan pengetahuannya akan budaya dan bahasa China sangat
membantu karya misi karena umat Nanga Pinoh umumnya adalah keturunan
Tionghoa. Beliau hanya bekerja selama satu tahun, karena tahun 1954 diganti oleh
Pastor Piet van Eunen, dan tahun 1955 Pastor Toon Bernard menggantikan Pastor
Schellart.
Karya misi di Nanga Pinoh dan daerah sekitarnya ditanggapi positif. Beberapa
kampung sekitar Nanga Pinoh, seperti Penyuguk, Tuguk, Pauh Desa dan Sungai Manan
mulai mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar di Nanga Pinoh. Para suster
SMFA, yaitu Sr. Helena, Sr. Hironyma, dan Sr. Lamberta yang sudah hadir di Nanga
Pinoh sejak tahun 1953, membantu karya misi dengan memberikan kursus rumah
tangga, sulam menyulam dan menjahit.
Pada tahun 1957, praktis sebagian besar wilayah Melawi telah dikunjungi oleh para
misionaris, kecuali bagian hulu dari Menukung, Belimbing, Keninjal, Ella dan Koroab.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 46
Keterbatasann tenaga, beratnya medan pelayanan yang tidak ditunjang oleh alat
transportasi yang memadai, membuat para misonaris sangat kesulitan mengunjungi
semua wilayah, khususnya bagian-bagian hulu sungai.
Pada tanggal 18 Februari 1948 Pastor Anton Voncken, SMM membuka stasi baru
antara sungai Kapuas hingga perbatasan dengan Serawak. Beliau membangun sebuah
pondok di Nanga Bloh, Ketungau Hulu sebagai tempat tinggalnya, yang segera disusul
dengan pembangunan
asrama dan gedung sekolah.
Akan tetapi pada tahun 1953
daerah ini terpaksa harus
ditinggalkan karena beberapa
kesulitan, terutama dengan
adanya isu “Kapal Emas.” Isu
“Kapal Emas” bagi
masyarakat setempat saat
itu, berarti dunia sudah
hampir kiamat, sehingga
mereka berhenti bekerja,
anak-anak ditarik dari
sekolah, tidak lagi mau ikut
pelajaran agama dan
sembahyang, dan mereka
hanya berpesta pora menghabiskan harta. Stasi ini resmi ditutup oleh Mgr van Kessel
pada tahun 1955.
Tahun 1955, Mgr Tarcisius van Valenberg, OFM Cap yang telah berumur 65 tahun,
menyerahkan surat pengunduran diri kepada Takhta Apostolik. Menanggapi
permohonan ini, maka pada tanggal 13 Juli 1957, Takhta Apostolik mengangkat Mgr.
Herculanus van der Burgt, OFM Cap sebagai Vikaris Apostolik Pontianak yang baru.
Beliau tidak hanya seorang imam tetapi juga seorang insinyur pertanian.
6. Vikariat Apostolik Sintang (1956-1961)
M
Melihat perkembangan umat serta pertumbuhannya, maka pada tahun 1955
Takhta Apostolik meminta pendapat Mgr L. van Kessel, SMM mengenai
kemungkinan status prefektur Apostolik Sintang ditingkatkan statusnya
menjadi Vikariat Apostolik. Beliau menyetujui rencana ini tetapi mengharapkan dan
meminta Takhta Apostolik agar dirinya tidak diangkat menjadi Vikaris Apostolik dari
Vikariat Apostolik Sintang. Tetapi yang berlaku ialah Roma locuta est, causa finite est.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 47
Pada tanggal 23 April 1956, melalui Konstitusi Apostolik Cum Ingenti Sane Animi
Nostri Laetitia, 18 Paus Pius XII meningkatkan status Prefektur Apostolik Sintang
menjadi Vikariat Apostolik Sintang. Bersamaan, melalui bula apostolik, prot. No.
2012/56, Takhta Apostolik mengangkat Mgr. Lambertus van Kessel sebagai
Administrator Apostolik sambil menunggu pengangkatan Vikaris Apostolik definitif.
Tahun 1957, Propaganda Fide mengirim surat menyatakan bahwa belum ada calon
Vikaris dan Mgr. Lambertus van Kessel agar meneruskan tugasnya sebagai
Administrator.
Gereja Katedral Kristus Raja, tahun 1957
Walau demikian, kota
Sintang sebagai pusat
Vikariat belum memiliki
gedung Gereja yang cukup
besar dan permanen.
Praktis selama bertahuntahun
kegiatan Misa umat
dan lainnya dilakukan di
Kapel Susteran SMFA.
Karena itu Vikaris
memutuskan untuk segera
membangun Gereja
katedral.
Proses
pengerjaan Gereja Katedral
ini dipercayakan kepada
Bruder Alphons, SMM. Gereja katedral selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 1
Desember 1957.
Tahun 1957, Vikariat Apostolik Sintang memiliki 7 Paroki, 23 imam/bruder Montfortan,
37 orang Suster SMFA, 5.878 umat Katolik, 24 Sekolah Dasar (Sekolah Rakyat) yang
seluruhnya memiliki 1.740 murid.
Dengan peresmian gedung Gereja Katedral, secara bersamaan pelindung paroki
Sintang berubah dari santa pelindungnya, Maria yang Dikandung Tanpa Noda menjadi
Kristus Raja.
18 Acta Apostolicae Sedis 48 (1956), hal. 654-655.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 48
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 49
1. Masa Awal Keuskupan Sintang
T
anggal 25 September 1959, Prefek Kongregasi Propaganda Fide, Kardinal
Gregorius Agagianian datang ke Jakarta dan mengadakan pertemuan di Kedutaan
Besar Vatikan Jakarta dengan 15 Prefek dan Vikaris Apostolik yang tergabung
dalam Dewan Waligereja Pusat (Dewap), yang merupakan cikal bakal MAWI. Isi
pembicaraan pertemuan ini ialah mengenai
kemungkinan untuk mendirikan hirarki episkopal
(keuskupan) mandiri di Indonesia (Republica
Indonesiana Episcopalis Hierarchia constituitur).
Para Prefek dan Vikaris (waligereja)
menindaklanjuti pertemuan dengan Propaganda
Fide ini dengan mengadakan pertemuan di
Girisonta pada tanggal 9-16 Mei 1960.
Pertemuan ini dihadiri wakil Propaganda Fide,
yaitu mantan Vikaris Apostolik Pontianak, Mgr.
Valenberg, OFM Cap. Sidang ini memutuskan dan
akhirnya mengirimkan surat kepada Paus Yohanes XXIII agar berkenan mendirikan
hirarki Gereja Indonesia (keuskupan), sehingga Indonesia tidak lagi menjadi tanah misi.
Tanggal 3 Januari 1961, melalui konstitusi Apostolik Paus Yohanes XXIII, Quod Christus,
Adorandus Dei Filius, 19 bersama dengan Prefektur dan Vikariat Apostolik lainnya,
Vikariat Apostolik Sintang ditingkatkan menjadi Keuskupan Sintang. 20 Konstitusi ini
diperjelas lagi oleh Paus Yohanes XXIII dengan Surat Apostolik Sacrarum Expeditionum,
pada tanggal 20 Maret 1961. 21
19 Bunyi lengkap ketetapan, “Provincia Pontianakensis, ex his Sedibus composita :
Pontianakensi tamquam metropolitana, usque ad praesens Apostolico Vicariatu, cuius
praecipuum templum S. Iosepho vovetur; et suffraganeis dioecesibus Bandiermasinensi, usque
ad praesens Apostolico Vicariatu, cuius praecipuum templum Sanctae Familiae I. M. I. vovetur;
Samarindaënsi, usque ad praesens Apostolico Vicariatu, cuius praecipuum templum Beatae
Mariae Virgini a Perpetuo Succursu vovetur; Ketapangensi, usque ad hunc diem Apostolica
Praefectura, cuius praecipuum templum S. Gemmae Galgani vovetur; Sintangensi, usque ad
praesens Apostolico Vicariatu, cuius praecipuum templum Dominus Noster Iesus Christus Regi
vovetur,” dalam Acta Apostolicae Sedis 53 (1961), hal. 246.
20 Melalui Konstitusi Apostolik yang sama, berdirilah keuskupan agung Jakarta,
Semarang, Ende, Makasar, Pontianak dan Medan dengan dengan keuskupan-keuskupan
sufragannya.
21 Acta Apostolicae Sedis 53 (1961), hal. 296-299.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 50
Melalui Propaganda Fide, Paus Yohanes XXIII, pada tanggal 16 Mei 1961, menetapkan
Mgr. L. van Kessel, SMM sebagai Uskup yang pertama. 22 Beliau baru ditahbiskan
menjadi Uskup di Leuven, Belgia oleh Uskup Agung, Mgr. John Baptist Hubert
Theunnissen SMM, Uskup Agung Blantyre dari Malawi pada tanggal 15 Agustus 1961.
Setelah berbulan madu dan mencari donatur selama dua bulan, Beliau kembali ke
Sintang pada bulan Oktober 1961, dan dilantik atau dikukuhkan sebagai Uskup
Sintang.
Dengan didirikan dan diangkatnya status
Sintang menjadi keuskupan, dengan
sendirinya pula hilang status misi
dengan segala hak dan kewajibannya.
Keuskupan harus mandiri. Dengan
berakhirnya status sebagai tanah misi,
maka berakhir pula ketentuan dari
instruksi Quum Huic 23 mengenai Ius
Commissiones, yaitu ketentuan dari
Propaganda Fide pada tanggal 8
Desember 1929 yang menetapkan
bahwa daerah misi (Prefektur dan
Vikariat Apostolik) tertentu diserahkan
kegembalaannya kepada tarekat
tertentu.
Mgr, Lambertus van Kessel, SMM
Karena sudah menjadi keuskupan, maka
masalah besar yang sangat berat ialah
mengupayakan kemandirian dana dan
tenaga. Para Pastor dari Belanda
akhirnya selalu menyempatkan diri
mencari dana ketika mengambil cuti ke
Belanda untuk menopang karya misi di
keuskupan yang baru seumur jagung ini.
Demikian pula tenaga imam. Sejak menjadi Prefektur dan Vikariat, Mgr. van Kessel
telah mencoba mengirim beberapa Putera Dayak ke seminari menengah Nyarumkop
untuk dipersiapkan menjadi imam diosesan. Hal ini penting, karena selain tenaga dari
Eropa semakin sulit, juga agar gereja lokal mampu mandiri di bidang tenaga pastoral.
Para seminaris Nyarumkop angkatan awal, tahun 1940-an, di antaranya ialah Aloysius
Ding, SMM, Oevang Oeray, Fransiskus Konradus Palaunsoeka, Gandentius Pasificus
Djaoeng, dsb. Antara tahun 1950-1960, mencapai total 30-an calon imam yang studi di
22 Acta Apostolicae Sedis 53 (1961), hal. 694.
23 Acta Apostolicae Sedis 22 (1930), hal. 111-115.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 51
Nyarumkop dan beberapa melanjutkan ke Seminari Tinggi Ritapiret di Flores. Dari
sekian banyak calon, tiga di antaranya berhasil hingga mencapai jenjang imamat, yaitu
Romo Matias Tias Lunggai, Romo Yohanes Ngumbang, dan Romo Elias Kinson, yang
ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1963 s.d. 1966.
Pionir Gerakan Sosial dan Politik
Tokoh Dayak Asal Keuskupan Sintang
Diinspirasi oleh Sarikat Dayak yang berdiri tahun 1919 di Kalimantan Tengah,
serta pemikiran dan motivasi untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakatnya
terutama suku Dayak di Kalimantan Barat melalui perjuangan politik, maka
Oevang Oeray mengajak para guru beragama Katolik, yang saat itu sedang retret
di Sanggau pada tahun 1942, seperti A.F. Korak, J.R. Gilling dan M. Th. Djaman
untuk melakukan sesuatu. Pertemuan ini merupakan cikal bakal berdirinya Dayak
In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak pada 30 Oktober 1945 di
Putussibau dan berkedudukan di Putussibau. Secara musyawarah mereka memilih
Pak Fransiskus Conradus Palaunsoeka sebagai Ketua Umum dan Pak Rafael Sarang
(Mertua dari Pak L.H. Kadir) sebagai sekretaris umum serta Pastor Adikarjana, SJ
sebagai moderatornya.
Pada tanggal 1 November 1945, DIA diubah menjadi Partai Persatuan Dayak (PD).
Karena alasan sebagai ibukota propinsi, maka kantor pusat PD dipindahkan ke
Pontianak pada tanggal 1 Januari 1947 dan memilih Oevang Oeray sebagai ketua
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 52
umum baru. Tokoh-tokoh PD saat itu antara lain Oevang Oeray, A.F. Korak, Lim
Bak Meng, Tio Kiang Sun, H.M. Sauk, dan F.C. Palaoensoeka, Agustinus Djelani,
Michael Anai, Saiyan, M. Nyabu, Victor Oendoen, dsb.
Para tokoh awam Katolik yang berasal dari wilayah keuskupan Sintang terus
berkiprah. Pak Y.C. Oevang Oeray diangkat sebagai Bupati Sintang (1955-1959),
lalu melalui pemilu 1958, Pak Y. R. Giling diangkat sebagai Bupati Kapuas Hulu,
Pak G.P. Djaoeng diangkat sebagai Bupati Sintang (1959-1966), dan Pak F.C.
Palaunsoeka diangkat sebagai anggota MPR utusan Kalimantan Barat. Tahun
1959, Oevang Oeray ditetapkan sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalbar
dan pada tanggal 14 November 1959, melalui sidang DPRD Tk I Kalbar, Oevang
Oeray terpilih sebagai Gubernur KDH Tk.I Kalbar, yang disahkan oleh presiden
pada tanggal 24 Desember 1959 untuk periode 1 Januari 1960-12 Juli 1966. 24
Beberapa pastor Montfortan harus pulang ke Belanda karena sakit, sementara
penggantinya tidak ada, baik misionaris dari Eropa maupun imam pribumi. Hal ini
diperparah oleh kasus Irian Jaya pada tahun 1958, yang telah mengakibatkan
ketegangan hubungan antara Belanda dan Indonesia, di mana Indonesia menolak
memberikan visa baru bagi para misionaris Belanda. Melihat keadaan ini, maka
pimpinan tinggi Montfortan memutuskan, pada tanggal 3 Mei 1959, bahwa misi
Montfortan di Borneo diserahkan kepada Vice-Province Montfortan Amerika Serikat.
Pada tahun 1960-1965 datanglah beberapa imam Montfortan dari Amerika, yaitu
Pastor J. Breslin, Pastor Ted Murphy, Pastor Eugene Lynch, Pastor William M.
Bennison, Pastor Everest Brown, Pastor Marius A. Panigutti, dan Pastor Frank
Kennedy. Walaupun Montfortan provinsi Amerika sudah mengirimkan beberapa imam
mereka berkarya di keuskupan Sintang, namun jumlahnya tetap jauh dari memadai.
Setelah hubungan antara Indonesia dan Belanda agak pulih pada tahun 1966, maka
Montfortan provinsi Belanda kembali mengirimkan beberapa imam mereka, antara
lain: Bruder Athanasius (Adrianus Sommers), Pastor Wim Johannesma, Pastor Joseph
(Joep) A. van Lier, dan Pastor Piet Derckx pada tahun 1966. Karena kasus Gestapu,
maka kedatangan mereka tertunda beberapa bulan. Setelah itu disusul oleh
kedatangan imam Montfortan lainnya, yaitu, Pastor Jacques (Jack) Maessen (1967),
Pastor Nicolas C. Schneiders (1968), Pastor Cornelis (Kees) Smit (1969), Pastor Peter
Hoogland, Fransiskus Luiten, serta Bruder Petrus (Piet) van Hoof (1971).
24 Bahan diambil dari berbagai sumber di internet, antar lain dari website:
http://www.akademidayak.com/2008/04/mencari-dayak-di-masa-silam-dan-masa.html,
http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Persatuan_Dayak, http://dayakblogs.blogspot.com/
2010/01/sejarah-perpolitikan-dayak-di.html, dan juga http://www.equatornews.com/utama/box/jc-oevang-oeray-berjuang-melalui-politik,
dsb.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 53
Tahun tujuh-puluhan merupakan salah satu dekade penting dalam perkembangan
Keuskupan Sintang. Uskup pertama Sintang, Mgr. Lambertus van Kessel
mengundurkan diri sebagai Uskup Sintang pada tanggal 25 Mei 1973. Pengunduran
dirinya ini baru diumumkan secara resmi dalam L’Oservatore Romano tanggal 15
Agustus 1973. Alasan utama Beliau mengundurkan diri ialah karena mulai sakit-sakitan
sehingga menghambat dirinya untuk bekerja maksimal. Dua puluh lima tahun lamanya
Mgr. van Kessel memimpin karya misi di wilayah Sintang dengan tekun dan semangat
penuh pengorbanan
Dengan pengunduran diri Mgr. Lambertus van Kessel, maka Takhta Apostolik
mengangkat Pastor Lambertus van den Boorn, SMM sebagai Administrator Apostolik
pada tanggal 18 Agustus 1973, setelah dinominasikan oleh Propaganda Fide ke Paus
sejak tanggal 25 Mei 1973. Akhirnya Mgr. van Kessel menyerahkan tongkat
kegembalaan kepada Mgr. Lambertus van den Boorn pada tanggal 1 Oktober 1973 dan
meninggalkan Sintang pada tanggal 8
Oktober 1973, menuju Belanda, tanah
kelahirannya untuk menghabiskan
masa tuanya.
Setelah beristirahat sambil bertugas
sebagai pastor pembantu di Paroki
Waalwijk-Oost, Beliau yang dikenal di
sana sebagai Pater van Kessel, mulai
sakit-sakitan dan semakin lama
semakin berat sehingga harus
beristirahat di biara Oirschot. Beliau
akhirnya meninggal dunia pada
tanggal 7 November 1980, dalam
umur 60 tahun dua bulan, dan
dimakamkan di pemakaman para
Montfortan di Oirschot.
Tenaga imam lokal belum banyak
tetapi hasil kapitel provinsi Amerika
pada tanggal 27 Maret 1974
Gereja Putussibau tahun 1967
memutuskan bahwa misi Borneo oleh
Montfortan provinsi Amerika dilepaskan dan diakhiri, dan diserahkan kembali kepada
Montfortan provinsi Belanda. Ini berarti bukan hanya tanggungjawab yang dialihkan
tetapi juga tenaga yang tak akan lagi dikirim dari Amerika.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 54
2. Imam Diosesan Generasi Pertama.
H
ingga tahun 1969, keuskupan Sintang baru menghasilkan satu orang imam
Montfortan dan tiga imam diosesan dari putera daerah. Imam diosesan
generasi pertama sejatinya ialah Pastor Aloysius Ding, SMM. Tetapi karena
Beliau kemudian menjadi anggota SMM, maka dapat disebut bahwa generasi pertama
imam diosesan Sintang ialah Pastor Matias Lunggai, Yohanes H. Ngumbang, dan Elias
Kinson. Matias Lunggai, yang berasal dari Sejiram, ditahbiskan menjadi imam pada
tanggal 15 Agustus 1963, dan Elias Kinson, yang berasal dari Benua Martinus,
ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 15 Agustus 1966. Keduanya meninggalkan
imamat mereka pada dekade 1970-an. Kemudian menyusul generasi kedua, yaitu
Pastor Mateus Rampai, Pr, yang ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 26 Januari
1975 di Putussibau, oleh Uskup Ketapang, Mgr. Gabriel Sillekens, CP. Pastor M. Rampai
meninggal tahun 2008. Angkatan berikutnya adalah Pastor Vedastus Riky, Pr, yang
sudah meninggalkan status imamatnya, dan Pastor Stephanus Budhi Prayitono, Pr,
yang telah diekskardinasikan ke keuskupan Purwekerto, Jawa Tengah.
Imam diosesan generasi pertama yang bertahan hingga akhir hayatnya ialah Romo
Yohanes Ngumbang, Pr. Beliau lahir di Segiam, yang pada waktu itu adalah stasi paroki
Bika Nazareth dan saat ini adalah stasi
dari Paroki Peniung, pada tanggal 27
Desember 1931. Setelah menamatkan
studinya di Seminari Menengah Sto.
Paulus di Nyarumkop, Beliau
melanjutkan studinya ke Seminari
Tinggi Sto. Petrus, di Ritapiret, Flores.
Beliau ditahbiskan menjadi imam di
Bika Nazareth pada tanggal 5 Juni 1965,
oleh Mgr. Lambertus van Kessel, SMM.
Setelah ditahbiskan menjadi imam,
Beliau umumnya melayani di daerah
Sintang dan Ketungau (Tanjung Baung,
Merakai dan Senaning) dan dikenal
sebagai Pastor Motor, karena lebih
banyak menghabiskan waktunya dan
tinggal di motor daripada di Pastoran.
Sejatinya, oleh keuskupan, sejak tahun
RD Yohanes Ngumbang, Pr (1931-1993)
1970-an, Beliau diberi tugas sebagai Pastor
Keliling Wilayah Ketungau dan Pastor Paroki Tanjung Baung sejak tahun 1980-an.
Sebagai satu-satunya imam diosesan saat itu, karena dua teman sejawatnya keluar
sebagai imam diosesan, Beliau harus berjuang keras untuk hidup sebagai seorang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 55
imam diosesan, karena semua teman sejawatnya adalah para misionaris dari Eropa
dan biarawan. Beliau meninggal dunia tanggal 29 April 1993 di rumah sakit Sta.
Elisabeth, Semarang dan dikuburkan di Ambarawa.
3. Masuknya Imam Oblat Maria Imakulata dan Kongregasi Misi
P
erkembangan berikutnya pada tahun tujuh-puluhan ini ialah masuknya
kongregasi baru untuk bekerja di keuskupan Sintang. Perundingan-perundingan
dengan Oblat Maria Imakulata (OMI) dan Kongregasi Misi yang dikenal sebagai
Lazaris (CM) dimulai, yaitu mengenai kemungkinan beberapa tenaga dari para
Misionaris tersebut yang pernah bekerja di Laos dan Vietnam, untuk bekerja di
Keuskupan Sintang.
Tahun 1976, para misionaris Lazaris pertama mulai bekerja di Keuskupan Sintang, yaitu
Pastor Jacques Gros, Pastor Gabriel Dethune, Pastor Victor Berset, dan Pastor
Crawford. Para misionaris ini sebelumnya bekerja di Vietnam dan harus meninggalkan
negeri itu karena dikuasai komunis. Mereka melayani dua paroki, yaitu paroki Nanga
Pinoh dan Serawai, yang mencakup
seluruh daerah sungai Melawi. Karena
wilayah yang sangat besar, maka mereka
memilih dan mendirikan stasi Bondau
sebagai pastoran dan pusat pelayanan,
karena tempatnya berada di tengahtengah
jalur sungai Melawi.
Tahun 1979, para misionaris Lazaris
diperkuat dengan kedatangan tenaga
tambahan, yaitu Pastor Paulus Aryono,
Pastor Carlo Karyanto, dan Pastor
Valentino Bosio yang sebelumnya bekerja
di pulau Jawa. Sejak saat itu silih berganti
para Romo Lazaris, yang umumnya
datang dari Jawa, bekerja di Keuskupan
Sintang, termasuk menjadi Pembina
Seminari Menengah Yohanes Maria
Vianney di teluk Menyurai, Sintang dan
Seminari Tinggi Betang Batara, Bandung
yang pernah dipimpin oleh Romo Paulus
Aryono dan Romo Saptawidada. Tahun
2000-an Kongregasi Misi melepaskan
paroki Nanga Pinoh, Ella dan Ambalau dan mulai ditangani oleh para imam diosesan
Sintang.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 56
Selain para imam Lazaris, pada tahun 1977 masuk juga para imam Oblat Maria
Imakulata. Semula, Pastor Jean Subra datang tahun 1975 dari Laos dan menemui Mgr.
Herkulanus van den Burgt, OFM Cap, Uskup Agung Pontianak, hendak bekerja di
antara orang-orang Dayak, karena adanya kemiripan antara umat suku Khmu’ yang
mereka layani di Laos, dengan suku Dayak di Kalimantan. Uskup Agung Pontianak
memberi referensi kepada Mgr. van den Boorn, SMM yang dengan senang hati siap
menerima kehadiran mereka, karena memang keuskupan Sintang sangat
membutuhkan tanaga imam.
Pada akhir Januari 1977, para Oblat tiba di Jakarta dan mulai belajar bahasa Indonesia
selama tiga bulan di Bandung dan meneruskan belajar bahasa Indonesia di Purwekerto
dan Cilacap, di mana sudah ada komunitas imam Oblat yang berkarya di sana. Akhir
Agustus 1977, para imam Oblat sudah tiba di Sintang. Rombongan pertama para Oblat
yang bekerja di keuskupan Sintang ialah Pastor Lucien Bouchard, Pastor Jacques
Chapuis, Pastor René Colin, Pastor Bernard Keradec, Pastor Jean Pierre Meichel, Pastor
Andre Hebting, dan Pastor Jean Subra.
Pada tahun pertama, para imam Oblat ini ditempatkan oleh Mgr. Isak Doera bersama
para Pastor Montfortan di paroki Putussibau, Bika Nazareth, Sejiram, Benua Martinus
dan Sintang. Para Oblat yang tinggal di Sintang ditugaskan melayani wilayah Sepauk
dan Tempunak. Sejak bulan September 1978, Paroki Bika Nazareth dipercayakan
kepada para imam Oblat. Karena mulai tahun 1990-an para misionaris Oblat satu demi
satu mulai pulang ke negeri asal mereka, maka paroki-paroki yang dilayani para Oblat
mengalami kekurangan tenaga, sehingga secara perlahan OMI melepaskan paroki Siut-
Melapi pada tahun 1991, paroki Bika Nazareth pada tahun 1995, paroki Nanga Kantuk
pada tahun 1997, paroki Semitau pada tahun 2005, dan paroki Sejiram pada tahun
2006.
4. Mgr. Isak Doera dan masuknya tarekat Suster Ursulin, Caritas dan Imam dan
Bruder Serikat Sabda Allah
S
ebagai seorang Administrator Apostolik, tugas Mgr. van den Boorn ialah
menyerahkan terna, yaitu nama tiga orang sacerdos, kepada Takhta Apostolik
untuk suatu saat dapat diangkat menjadi Uskup Sintang. Mgr van den Boorn
mengusulkan nama Romo Isak Doera dan Aloysius Ding, SMM dan bingung
memasukan nama ketiga. Tetapi atas saran orang-orang yang dimintai pendapat,
akhirnya terna terdiri dari Romo Isak Doera, Pr., Mgr. L. van den Boorn SMM sendiri,
yang awalnya tidak mau dimasukkan, dan Pastor Piet Derckx SMM. Romo Isak Doera,
yang baru pindah dari Pontianak pada tanggal 2 Mei 1975 dan bertugas sebagai Pastor
paroki Katedral Sintang, ditetapkan oleh Paus Paulus VI sebagai Uskup Sintang melalui
bulla Quandoquidem praedicare Evangelium Usque ad ultimum terrae est munus
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 57
Mgr. Isak Doera, Uskup Emeritus
Ecclesiae pada tanggal 9 Desember 1976, 25 yang baru diumumkan pada tanggal 2
Februari 1977.
Beliau ditahbiskan oleh Kardinal
Yustinus Darmoyuwono, serta cokonsekratornya
ialah Mgr. Hieronimus
Bumbun, OFM Cap dan Mgr. Vitalis
Djebarus, SVD, di Katedral Sintang,
pada tanggal 19 Mei 1977. Tanggal ini
dipilih Beliau karena tanggal
pengangkatannya bersamaan dengan
tanggal sang Ibunda kena stroke,
sehingga tanggal tahbisan dipilih
tanggal sang Ayahnda meningal dunia,
enam tahun yang silam. Beliau memilih
moto episkopal “Allah Adalah Kasih (1
Yoh 4:16). Setelah mengabdi selama
delapan belas tahun sebagai Uskup
Sintang, Beliau mengundurkan diri pada
tanggal 19 Januari 1996. Kini, sebagai
Uskup emeritus, di masa tuanya, Beliau
beristirahat di Jakarta sambil melayani
umat Allah dan kelompok yang
membutuhkan pelayanannya.
Mgr. Isak, yang bernama lengkap Wilhelmus Isak Doera ini, dilahirkan di Jopu, Ende,
Flores pada tangal 26 September 1931 dari orangtua: Ibu Clara Maru dan Bapak
Mikhael Bhoka, seorang katekis. Menempuh dan menyelesaikan pendidikan di
Seminari Menengah Mataloko dan Seminari Tinggi Ritapiret, Beliau ditahbiskan
sebagai imam diosesan di Ende melalui penumpangan tangan Mgr. Antonius Theyssen
SVD, Uskup Agung Ende. Setelah ditugaskan di berbagai karya pastoral, seperti pastor
Paroki, penilik sekolah, anggota DPR, Beliau juga ditugaskan sebagai Pastor Militer
yang akhirnya membawa Beliau berkarya di Kesukupan Agung Pontianak. Setelah
berkonsultasi dengan Mgr. Herkulanus OFM Cap, karena namanya masuk terna,
akhirnya Romo Isak Doera dipindahkan dari keuskupan Pontianak ke keuskupan
Sintang pada tanggal 5 Mei 1975 dan diangkat menjadi Pastor Paroki Katedral Sintang.
Melihat betapa Keuskupan Sintang sangat kekurangan tenaga, baik tenaga klerikal,
suster maupun katekis dan tenaga awam lainnya untuk karya pastoral, maka berbagai
usaha Beliau lakukan untuk mengatasinya. Mengingat Pak Oevang Oeray pernah
menyarankan agar mendatangkan guru agama dari Flores, maka Beliau menghubungi
25 Acta Apostolicae Sedis 69 (1977), hal. 165.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 58
Gubernur Kalimantan Barat, Bapak Kadarusno, seorang teman lama di Kodam XII
Tanjung Pura, dalam usaha untuk mendatangkan sekitar seribu orang guru SD dari NTT
pada tahun 1977. Usaha ini menjadi usaha antara pemerintah Kalbar dengan
pemerintah NTT. Mendatangkan guru agama berarti seluruh beban finansial
ditanggung keuskupan, tetapi mendatangkan guru biasa untuk Sekolah Dasar yang
berstatus pegawai negeri tidak akan membebani keuskupan. Dari sekitar 2.000 orang
guru, 1.560 orang beragama Katolik. Di kampung-kampung di pedalaman Kalimantan
Barat, di tempat penempatan masing-masing, mereka menjadi tenaga andal Gereja,
membantu Pastor dalam membina umat, mengurus liturgi, memimpin ibadat hari
Minggu dan ibadat lainnya, dsb. Jasa mereka perlu dicatat dan terima kasih perlu
dipersembahkan, karena mereka bekerja seperti seorang katekis walau mereka bukan
pegawai atau katekis keuskupan atau paroki. Kehadiran para guru Katolik ini semakin
terasa manfaatnya karena pada saat bersamaan datang pula gelombang demi
gelombang para transmigran dari Jawa yang hampir semuanya beragama Islam.
Mengingat tenaga imam yang sangat kurang,
sejak masa awal menjadi Uskup, Mgr. Isak
mendekati provinsial SVD untuk mau bekerja di
Keuskupan Sintang. Permintaan ini disanggupi
dengan mengirimkan beberapa imam mereka
ke Sintang. Tahun 1978 datanglah beberapa
imam Soverdi, Pastor Hendrik Rehi Manuk,
Pastor Benediktus Raga dan pastor Stefanus
Mite. Mereka bekerja dan melayani umat Allah
di Merakai dan Senaning. Sayangnya sejak
tahun 1996, tidak ada lagi penambahan tenaga,
bahkan pada tahun 2001, hanya tersisa satu
orang imam SVD yang berkarya di Sintang. Sejak
tahun 2009, SVD meninggalkan keuskupan
Sintang, walau secara legal, kontrak antara
tarekat dan keuskupan belum diputuskan.
Sampai dengan tahun 1979, hanya ada satu tarekat suster yang bekerja di keuskupan
Sintang, yaitu SMFA. Mengingat kebutuhan umat yang sangat besar, teristimewa umat
yang di kampung-kampung, dan pentingnya kehadiran dan pelayanan para suster,
maka Mgr. Isak meminta bantuan para imam Oblat Maria untuk membantunya
mencarikan tarekat suster dan Beliau sendiri mendekati pimpinan tarekat Ursulin agar
mau bekerja di keuskupan Sintang.
Maka pada tanggal 4 Januari 1980 datanglah lima orang suster Kongregasi Soeurs de la
Charite de Sainte Jeanne Antide Thouret (SdC) ke Indonesia. Setelah menyelesaikan
kursus bahasa Indonesia di Bandung selama enam bulan, mereka pun tiba di Sintang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 59
pada tanggal 10 Mei 1980. Para suster SdC bertugas di Temanang dan Lengkenat,
paroki Sepauk, dan di kemudian hari juga di Sintang dan tempat lainnya.
Allah begitu baik dan sungguh penyelenggara umat, karena tahun yang sama, tepatnya
pada tanggal 23 Desember 1980, datanglah para suster Ursulin (OSU), yang memilih
paroki Nobal sebagai tempat mereka berkarya. Dipelopori oleh Sr. Sri Sunarti, mereka
melayani di bidang pastoral dan pembinaan umat. Tahun 1994, suster Ursulin
meninggalkan Nobal dan pindah ke Nanga Pinoh.
Di samping menggerakkan umat di bidang pastoral, sosial, politik, dan ekonomi, Beliau
juga melihat jauh ke depan dengan mengundang beberapa tarekat klerikal maupun
laikal (suster dan bruder) untuk berkarya di Keuskupan Sintang. Beliau juga
memikirkan tersedianya tenaga-tenaga imam lokal, yaitu imam-imam diosesan.
Kebutuhan akan tenaga imam sangat mendesak dan sayangnya tidak selalu mudah
mendapatkan tenaga imam dari tarekat. Karena itu, melalui persetujuan Dewan Imam
Keuskupan Sintang pada tahun 1983, maka didirikanlah Seminari Tinggi Betang Batara
di Bandung, tempat pendidikan dan pembinaan bagi para frater calon imam dioses
Sintang. Betang Batara ditutup pada tahun 2002 dan dipindahkan ke Malang,
bergabung dengan para calon imam diosesan dari keuskupan lainnya, yaitu keuskupan
Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Sanggau, Palangkaraya, Tanjung Selor, dan
Malang.
Seminari Tinggi Betang Batara di Bandung
dan Seminari Menengah Sto. Paulus di Mataloko
Mgr. Isak juga memikirkan perlunya tenaga-tenaga imam diosesan untuk melayani
umat. Karena itu pada tahun 1973, Beliau mulai mengirimkan calon imam diosesan ke
Bandung, untuk studi di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi, Suryaagung Bumi, di
Bandung. Tahbisan perdana lulusan Bandung ialah Vedastus Riky, asal Sejiram. Antara
tahun 1973 hingga 1983, ada tujuh frater calon imam diosesan Sintang yang studi di
Bandung. Mereka menumpang dan hidup bersama dengan para frater keuskupan
Bogor di Seminari Tinggi Sto. Petrus dan Paulus, jln. Suryalaya, Bandung.
Mengingat semakin banyaknya calon yang melamar, maka Mgr. Isak menghubungi
Mgr. N. Geise, OFM, Uskup Bogor saat itu, untuk bekerjasama mendirikan seminari
tinggi gabungan di Bandung. Tidak berapa lama kemudian, datang pula tawaran dari
Mgr. Hieronimus Bumbun, Uskup Agung Pontianak dan Mgr Blasius Pujorahardjo,
Uskup Ketapang, untuk bekerjasama mendirikan seminari tinggi di Malang. Tawaran
ini tak bisa diterima, karena Mgr. Isak sudah sepakat untuk bekerjasama dengan Mgr.
Geise.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 60
Karena hingga awal tahun 1983 rencana ini belum direalisasikan, maka melalui
keputusan Dewan Imam pada bulan Juni 1983, Uskup Sintang mendirikan seminari
tinggi sendiri di Bandung. Urusan tanah dan bangunan dipercayakan kepada Pastor
Frans Vermulen, OSC, Pak Frans Wiryanto Jomo dan arsitek Ibu Rini Sukwandi dari
Unpar. Sementara bangunan seminari masih dalam proses pembangunan, para frater
dioses Sintang tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jln. Windu no. 3, Bandung, di
bawah pimpinan Pastor Piet Dercx, SMM, sebagai Rektor pertamanya. Akhirnya
berdirilah seminari tinggi di daerah Cikutra Baru, Jln cikutra Baru IV no 8. Para frater
akhirnya berpindah ke rumah baru ini pada tanggal 29 September 1984, yang baru
diresmikan oleh Mgr. Isak Doera pada tanggal 27 Januari 1985. Melalui sebuah
sayembara di Sintang, seminari tinggi ini diberi nama Betang Batara, yang berarti
rumah dewa.
Sejak tahun 1990, jumlah frater cukup banyak dan kamar yang ada di Betang Batara
sudah tidak mencukupi lagi, sehingga keuskupan memutuskan mengontrak sebuah
rumah di jalan Mustafa. Daripada berpindah-pindah rumah kontrak, akhirnya
keuskupan membeli rumah bekas kantor akuntansi yang tidak jauh dari Betang Batara.
Setelah direnovasi, rumah ini mulai ditempati para frater sejak tanggal 28 Agustus
1993 dan diberi nama Betang Batara II. Selama masa pendidikan, para frater kuliah di
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 61
Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, dan sehari-hari bersepeda
pergi-pulang antara rumah dan kampus.
Berturut-turut seminari Betang Batara pernah dipimpin oleh Rektor, Romo Piet Dercx,
SMM (1984-1988), Romo Paulus Aryono, CM (1988-1999), Romo Hilarius Adoson
Paing, CM (1999-2002), Romo Yohanes Pranoto, Pr (2002). Beberapa socius yang
pernah berkarya di Betang Batara ialah Romo Evaristus Eko Prasetyo, CM (1994-1995),
Romo Antonius Sapta Widada (1995-1997), Romo Herman Yosef Ga I, Pr (2000-2001),
Romo Yohanes Pranoto, Pr (2001-2002), Romo Matias Sala, Pr (2002).
Dalam kurun waktu 19 tahun, yaitu hingga ditutup pada tahun 2002 dan dipindahkan
ke Malang, Seminari Tinggi Betang Batara di Bandung telah menghasilkan 28 orang
imam praja untuk keuskupan Sintang. Buah sulung, imam pertama hasil binaan di
Betang Batara ialah Romo Ewaldus, Pr., dan yang terakhir ialah Romo F. X. Pintau, Pr.
Mengingat masih sulit mendapatkan calon-calon frater dari para pemuda asli
Kalimantan (Dayak), dan lebih mudah mendapatkan para calon di Flores, maka Mgr.
Isak Doera mendirikan Seminari Menengah Sto. Paulus di Mataloko pada tahun 1989.
Para seminaris bersekolah di SMA Sto. Tomas, sebuah sekolah swasta setempat dan
diberi pendidikan tambahan dan pembinaan di Seminari. Seminari sederhana ini,
karena seluruh dinding seminari hanyalah memakai bilahan bambu, dipimpin oleh Rm.
Matias Sala, Pr, sejak saat berdiri hingga ditutup pada tahun 2002. Selama masa yang
singkat itu, seminari menengah Sto Paulus, Mataloko ini telah menghasilkan sebelas
imam untuk dioses Sintang. Buah sulung untuk projo Sintang dari seminari ini ialah,
Rm. Patrisius Piki dan buah bungsunya ialah Rm. Nan Kabelen, Pr, dan Rm. Markus
Marhusen, Pr. Satu-satunya imam dioses Sintang lulusan seminari menengah di
Mataloko yang berasal dari keuskupan Sintang ialah Rm. Andreas Puan, Pr.
Setelah melihat mulai ada kemungkinan mendapatkan calon dari putera daerah, maka
Beliau membuka Seminari Menengah Sto. Yohanes Maria Vianney di Teluk Menyurai
pada tahun 1994 untuk menampung calon-calon frater dari Kalimantan. Kompleks Bina
Remaja diubah menjadi kompleks seminari menengah.
Untuk menggerakkan umat hingga di tingkat kampung dan meningkatkan partisipasi
mereka agar iman umat dapat lebih berkembang, serta agar hubungan antara iman
dan adat tidak terjadi konflik tetapi bersinergi, maka dibentuklah Badan Pengurus
Umat Katolik (BAPUK) di setiap paroki dan Pemimpin Umat di semua kampung atau
stasi. Saat itu juga diangkat banyak katekis keuskupan dan ditempatkan di parokiparoki
untuk membantu Pastor Paroki dalam kegiatan pastoral, terutama katekese,
pembinaan dan liturgi. Pemimpin Umat, BAPUK dan katekis menjadi ujung tombak
pembinaan iman karena, dengan sistem turne, sebuah stasi hanya dapat dikunjungi
sesekali saja oleh Pastor Paroki.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 62
Sejak awal, Beliau berusaha untuk peduli dengan keadaan politik ekonomi serta
pemberdayaan kekuatan dan orang lokal. Usaha untuk membersihkan politik dari
praktik ‘kotor’ ternyata sangat berat dan disadari tidaklah cukup hanya dengan kotbah
dari altar. Di bidang ekonomi, terutama melalui Delsos, yang saat itu di bawah asuhan
pastor Joep van Lier, SMM, diadakan berbagai proyek sosial, pertanian dan juga
beasiswa untuk jenjang pendidikan tinggi kepada putera-puteri daerah.
Satu catatan kecil perlu ditulis di sini bahwa semua pastor di Sintang hidup dalam satu
rumah yang sama di keuskupan, termasuk para pastor yang bekerja di paroki katedral.
Baik para imam diosesan maupun biarawan, SMM, OMI, CM, mereka semua tinggal
dalam satu rumah yang sama di keuskupan. Tarekat klerikal yang berkarya di Sintang
saat itu belum memiliki rumah biara sendiri. Imam dari berbagai tarekat tinggal
serumah tidaklah seindah mimpi. Bukan hanya karena perbedaan karakter sebagai
pribadi, tetapi terutama karena berbeda jati diri sebagai biarawan dan imam, tidaklah
gampang untuk selalu searah dan seirama dalam hidup sehari-hari.
5. Keputusan Menteri Agama no. 70 dan 77, tahun 1978.
S
elain itu ada satu masalah hukum dan politik yang dapat menggangu Gereja
Indonesia saat itu, yaitu keputusan Menteri Agama RI no. 70 dan 77, tahun 1978.
Pemerintah RI memutuskan untuk tidak memperpanjang Kartu Izin Masuk (KIM)
dan Kartu Izin Masuk Sementara (KIMS), yaitu izin untuk tinggal sementara di
Indonesia selama beberapa tahun kepada semua orang asing. Tahun 1979,
pemerintah mewajibkan perpanjangan setiap tahun dan harus ada rekomendasi dari
imigrasi daerah dan pusat. Nyatanya rekomendasi dari pusat itu sulit sekali didapat
bahkan praktis tidak dikeluarkan lagi untuk para misionaris. Pemerintah bahkan
memberi saran agar para misionaris pulang kembali ke negara asal mereka. Saat itu,
hanya Pastor Anton (Toon) Bernard, SMM yang memiliki Surat Keterangan
Kependudukan (SKK), yang bersifat permanen, sementara semua yang lain hanya
memiliki KIM atau KIMS.
Keputusan ini sungguh akan mengganggu karya pelayanan di keuskupan Sintang,
karena sebagian besar imam adalah misionaris dari Eropa. Mgr. Leo Soekoto, SJ
mengajukan empat usulan, yaitu 1) agar secepatnya dan berusaha sekeras-kerasnya
untuk menciptakan rohaniwan WNI, 2) sangat dianjurkan agar para misonaris asing
rela menjadi WNI alias ganti kewarganegaraan, 3) berusaha maksimal untuk
mengikutsertakan sebanyak mungkin tenaga awam dalam pelayanan Gereja, 4)
menentukan prioritas mana yang paling perlu dikerjakan.
Berpijak pada saran Mgr. Leo Soekoto, maka Mgr Isak Doera mengambil keputusan
untuk menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing individu misionaris dan
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 63
Pimpinan serikat, apakah mau menjadi WNI atau tetap WNA. Keputusan Mgr. Isak ini
oleh beberapa pihak dinilai sebagai ‘dingin,’ dalam arti tidak sungguh mendorong
misonaris menjadi WNI mengingat tenaga mereka yang sangat dibutuhkan saat itu.
Keputusan ini dibuat karena seorang Uskup tidak dapat intervensi kebijakan tarekat,
juga mengingat sudah sering keluar pernyataan dari pimpinan SMM dan dari Mgr van
Kessel bahwa para misionaris SMM dari Eropa itu hanya tinggal dan bekerja untuk
sementara saja di Indonesia. Pekerjaan mereka dianggap selesai bila telah diganti oleh
tenaga pribumi, yaitu para imam diosesan (praja). Tetapi oleh cinta akan Allah dan
UmatNya, semua misonaris dari Eropa yang bekerja di keuskupan Sintang bersedia
menjadi WNI, termasuk para imam Lazaris dan Oblat yang belum lama tiba, walau
beberapa misionaris baru mendapatkannya lebih dari 10 tahun kemudian.
6. Pembentukan Paroki-Paroki Baru Tahun 1979
W
alau jumlah pastor belum mencukupi dan juga pastoran untuk masing-masing
paroki baru belum tersedia, tetapi mengingat wilayah yang sangat luas dengan
jumlah stasi yang sangat banyak, melalui keputusan Uskup Sintang, Mgr. Isak
Doera, pada tanggal 24 Agustus 1979, no. 97/Par/79, Keuskupan Sintang yang terdiri
dari 8 Paroki, dipecah menjadi 34 Paroki.
1. Paroki Putussibau dipecah menjadi 3 paroki, yaitu paroki (1) Putussibau, (2)
Mendalam dan (3) Siut-Melapi
2. Paroki Bika dipecah menjadi 4 paroki, yaitu paroki (4) Bika, (5) Embaloh, (6)
Peniung, (7) Bunut.
3. Paroki Benua Martinus dipecah menjadi 3 paroki, yaitu paroki (8) Benua Martinus,
(9) Lanjak, (10) Badau.
4. Paroki Sejiram dipecah menjadi 4 paroki, yaitu paroki (11) Sejiram, (12) Semitau,
(13) Kantuk, (14) Dangkan-Silat.
5. Paroki Sintang dipecah menjadi 10 paroki, yaitu paroki (15) Katedral, (16) Sui
Durian, (17) Merakai, (18) Tanjung Baung, (19) Lebang, (20) Kelam, (21) Nobal, (22)
Dedai, (23) Tempunak, (24) Sepauk.
6. Paroki Pinoh dipecah menjadi 6 paroki, yaitu paroki (25) Pinoh, (26) Tanah Pinoh,
(27) Belimbing, (28) Tuguk, (29) Tebidah, (30) Nanga Mau.
7. Paroki Bondau dipecah menjadi 2, yaitu paroki (31) Bondau, yang sekarang
dinamakan paroki Menukung, (32) Ella Hilir.
8. Paroki Serawai dipecah menjadi 2 paroki, yaitu paroki (33) Serawai, (34) Ambalau.
Tanggal 1 Januari 1995, kembali dibentuk dua paroki baru, yaitu Paroki Pandan,
sebagai pecahan dari Paroki Nobal, melalui keputusan no. S.Stg/03/IV/A.01/95 dan
paroki Senaning melalui keputusan no. S.Stg/04/IV/A.01/95 sebagai pecahan dari
Paroki Merakai. Kini semuanya berjumlah 36 Paroki. Karena ada pembentukan
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 64
kabupaten Melawi, beberapa paroki diubah batas wilayanya sehingga menyebabkan
kehilangan dan atau menerima beberapa stasi.
Pada tahun 1995, ketika paroki bertambah dari 34 menjadi 36 paroki, tenaga imam
yang tersedia saat itu hanyalah 39 orang imam, yaitu 18 imam Montfortan, 7 imam
Lazaris, 5 imam Oblat, dan 8 imam diosesan (praja). Hal ini berarti, satu pastor bekerja
merangkap beberapa paroki.
7. Mgr. Agustinus Agus
T
ahun 1990-an awal merupakan tahun-tahun yang berat untuk keuskupan Sintang
karena terjadi konflik internal antara Mgr. Isak Doera dengan Pastor Joep van
Lier SMM yang saat itu menjabat sebagai Ekonom keuskupan. Sayangnya hal
yang semata urusan internal ini akhirnya melibatkan segelintir umat sehingga konflik
yang semata urusan administratif berkembang menjadi konflik terbuka bahkan
cenderung bersifat rasial. Karena keadaan ini dan demi kebaikan Gereja, maka Mgr.
Isak Doera menuliskan surat pengunduran diri yang disetujui pada tanggal 1 Januari
1996.
Takhta Apostolik tidak hanya merestui
pengunduran diri Mgr. Isak Doera, tetapi juga
meminta Beliau untuk menutup serikat hidup
kerasulan Regnum Dei yang Beliau dirikan
pada tahun 1980-an. Dengan berat hati Beliau
menutup Regnum Dei. Satu-satunya imam
yang telah mereka miliki saat itu
diekskardinasikan ke Keuskupan Sintang,
sementara para calon lainnya harus keluar dan
mencari hidup baru, entah bekerja sebagai
awam umumnya atau melamar menjadi
anggota tarekat tertentu.
Takhta Apostolik menerima pengunduran diri
Mgr. Isak dan sekaligus mengangkat pimpinan
baru pada tanggal 19 Januari 1996, yaitu Mgr. Agustinus Agus sebagai Administrator
Apostolik Keuskupan Sintang. Maka terjadilah penyerahan tongkat estafet
kegembalaan keuskupan Sintang dari Mgr. Isak Doera kepada Mgr. Agustinus Agus
pada tahun 1996.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 65
Mgr. Agustinus Agus, lahir di desa Lintang,
kabupaten Sanggau, pada tanggal 22
November 1949, dari orangtua: Bapak
Markus Budjang dan Ibu Maria Djoi.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar di
Bodok tahun 1962, Beliau melanjutkan
pendidikan menengah di SMP Nyarumkop
dan SMA Seminari di Nyarumkop, tahun
1963-1969. Setelah menyelesaikan
pendidikan filsafat dan teologi di Seminari
Tinggi Kentungan, Jogjakarta, Beliau
ditahbiskan menjadi Diakon di Jogjakarta
pada tanggal 23 September 1976 oleh
Mgr. Yustinus Kardinal Darmoyuwono, Pr
dan ditahbiskan menjadi imam di Sekadau
pada tanggal 19 Juni 1977, oleh Mgr.
Hieronimus Bumbun, OFM Cap sebagai
imam diosesan Keuskupan Sanggau.
Setelah tiga tahun lebih menjabat sebagai
Administrator Apostolik, melalui Bul (Bula)
Takhta Apostolik tertanggal 20 Oktober 1999, pada umur lima puluh tahun tiga bulan,
Beliau diangkat sebagai Uskup Sintang 26 dan ditahbiskan di Sintang, pada tanggal 6
Februari 2000, oleh Mgr. Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ, dengan conkonsekratornya
adalah Nuncio, Mgr. Renzo Fratini, serta Mgr. Hieronimus Bumbun,
OFM Cap.
Sesuai kebutuhan umat yang terus berkembang dan kemauan untuk terus memajukan
umat, Beliau merencanakan berbagai program dan mewujudkannya. Melalui
pertemuan Dewan Imam (Dikang) di Nanga Pinoh pada tahun 1998, Keuskupan
Sintang membuat langkah baru dengan menetapkan Arah Dasar (Ardas) yang
mengandung visi dan misi keuskupan. Ardas menjadi sangat penting agar arah pastoral
dan langkah yang ditempuh menjadi jelas dan seragam di seluruh keuskupan.
Selengkapnya Ardas 2007-2011 berbunyi sebagai berikut:
“Umat Allah Keuskupan Sintang dalam bimbingan Roh Kudus, bercita-cita mengikuti
Yesus Kristus dengan beriman mendalam dan mandiri, mewujudkan citra ilahi di
26 Ioannes Paulus divina Providentia Pp. II, latis decretis a Congregatione pro Gentium
Evangelizatione, singulis quae sequuntur Ecclesiis sacros Pastores dignatus est assignare.
Nimirum per Apostolicas sub plumbo Litteras praefecit, die 29 Octobris, Cathedrali Ecclesiae
Sintangensi R.D. Augustinum Agus, hactenus eiusdem circumscriptionis Administratorem
Apostolicum “sede vacante et ad nutum Sanctae Sedis”.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 66
tengah arus globalisasi, budaya dan adat istiadat setempat untuk menghadirkan
kerajaan Allah. ”
Tiga prioritas utama 10 tahun terakhir adalah pemberdayaan Dewan Pastoral Paroki,
pertumbuhan dan pengembangan Komunitas Basis Gerejawi, dan pemulihan citra
Allah. Strategi yang dilakukan ialah dengan mengembangkan kepemimpinan
partisipatif, membentuk dan membina tim pembina, kaderisasi, memberdayakan dan
mendampingi masyarakat lemah, dan mengembangkan inkulturasi.
Dahulu BAPUK menjadi ujung tombak tetapi zaman sudah berubah sehingga perlu dan
harus menggalakkan dan memberdayakan Dewan Pastoral Paroki (DPP) sebagai wadah
perencanaan, kerja dan evaluasi pastoral tingkat paroki. Kini DPP sudah dibentuk dan
berjalan di semua paroki di keuskupan Sintang.
Beliau juga sangat tekun dan tak henti-hentinya mendorong dan menggerakkan kaum
muda, sejak awal Beliau berkarya sebagai pimpinan di Sintang. Salah satu kegiatan
besar yang rutin dilakukan sebagai bagian dari kaderisasi kaum muda ialah Temu
Akbar (Tebar) Muda-Mudi Katolik tingkat keuskupan, yang diadakan setiap lima tahun
sekali. Selain tingkat keuskupan juga terus didorong untuk diadakan di masing-masing
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 67
paroki dan juga di tingkat Regio. Uskup yang pandai berkondan ini juga menyediakan
sarana hiburan berupa Band Kenyalang, sebagai sarana hiburan bilamana ada kegiatan
di tingkat keuskupan atau paroki.
Di samping itu, sarana fisik juga tidak terlupakan. Ketika Beliau memasuki keuskupan
Sintang, hanya 15 paroki yang memiliki pastoran dan kini telah bertambah 16 pastoran
baru. Pembangunan fisik lainnya yang sangat menonjol ialah, sejak 1996 hingga 2010
ini, Beliau telah meresmikan 164 gereja paroki dan stasi. Demi menunjang berbagai
kebutuhan akan pertemuan dalam jumlah besar, maka didirikanlah Balai Kenyalang di
atas tanah yang dahulu adalah aula dan kantor Yayasan Sukma, yang diresmikan tahun
2002. Mgr. Agus berprinsip bahwa, membangun gedung gereja tidak harus menunggu
hingga umat sejahtera duhulu, karena sebenarnya secara ekonomi, saat ini umat
sudah mampu untuk swadaya, walau belum dapat menanggung sepenuhnya.
Gua Maria di kompleks ‘Wisata Rohani’ – Kelam, Sintang
Dalam rangka memenuhi kebutuhan umat akan tempat ziarah dan retret, maka telah
berdiri gua Maria di kompleks Wisata Rohani di Merepak, Kelam, yang diresmikan oleh
Gubernur Cornelis dan diberkati oleh Nuncius, Mgr. Leopoldo Girelli pada tanggal 1
Mei 2008. Berdirinya gua Maria ini menjadi babak baru dalam ziarah rohani di
keuskupan Sintang, khususnya ziarah selama bulan Maria, yaitu, bulan Mei dan
Oktober. Selama dua bulan khusus ini, ribuan umat silih berganti memadati kompleks
ini untuk memenuhi kerinduan rohani mereka. Gua Maria ini telah menjadi primadona
baru tujuan ziarah dan wisata di Kalimantan Barat. Gua ini bukan sekedar tempat
rohani untuk ziarah, tetapi juga tempat wisata banyak orang. Mengingat kompleks
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 68
wisata rohani ini merupakan bagian dari hutan konservasi alam, maka pada kompleks
ini juga sedang diusahakan untuk menjadi salah satu lokasi konservasi berbagai
tanaman khas Kalimantan yang sudah endemik dan langka.
Mengingat lokasinya yang tenang dan teduh, selain sebagai tempat ziarah dan wisata,
dalam kompleks wisata rohani ini juga sedang dibangun tempat retret yang bisa
menampung sekitar seratus peserta.
Tahun 2009, terjadi perubahan wilayah pada beberapa paroki. Dahulu pembagian
wilayah umumnya hanya berdasarkan kemungkinan transportasi yang mana sungai
sebagai ukurannya. Dua dekade terakhir ini jalan-jalan darat sudah dibangun di manamana
dan terjadi pula pergeseran bahkan perpindahan kampung dan penduduk serta
pusat-pusat kecamatan. Mengamati hal ini, Uskup Sintang, Mgr. Agus, mengambil
kebijakan agar pusat paroki berada di pusat kecamatan. Belakangan juga terjadi
perubahan wilayah terutama, dengan berdirinya kabupaten baru, yaitu kabupaten
Melawi, maka beberapa paroki harus melepas atau menerima beberapa stasi baru
limpahan dari paroki tetangga. Diantaranya, kampung Lundang, Sona dan Gandis
berpindah dari Paroki Dedai menjadi bagian dari Paroki Pandan, sementara kampung
Batunanta, Belonsat dan Guhung yang dahulu adalah stasi Paroki Nobal, kini menjadi
stasi dari Paroki Pemuar (Belimbing). Demikian juga, kampung Temiang Kapuas, Sukan
Hilir dan Sungai Andau, yang dahulu adalah stasi paroki Tempunak, dijadikan sebagai
stasi dari paroki Sepauk.
8. Masuknya Tarekat Tarekat suster Reinha Rosari, Puteri Kasih, Santo
Agustinus, Imam serta Suster Pasionis dan Klaris Kapusines
T
ahun 1999, Tarekat Puteri Reinha Rosari, mulai bekerja di Keuskupan Sintang
atas undangan Mgr. Agustinus Agus. Tanggal 22 Agustus 1999, tiba empat orang
suster untuk berkarya di Keuskupan Sintang, yaitu Sr. Ernestin, Sr. Theophile, Sr.
Hironima, Sr. Lamberta, dan Sr. Theodora. Awalnya para suster menggunakan rumah
keuskupan di depan RSUD Sintang, dan tahun 2005, dibangun sebuah rumah baru di
Akcaya sebagai rumah biara para suster.
Mengingat kebutuhan tenaga pastoral untuk wilayah yang sangat luas, sementara SVD
sudah keluar dari keuskupan, di sisi yang lain jumlah imam OMI yang bekerja di
keuskupan Sintang praktis berkurang, Mgr Agus mengundang Kongregasi Pasionis
untuk berkarya di Sintang, baik pastor maupun susternya.
Tahun 2003, menyusul datang tarekat Puteri Kasih, sebuah tarekat yang bersemangat
Vinsensian seperti Tarekat Misi (Lazaris). Mereka berkarya di Paroki Serawai. Tanggal
15 Maret 2003, berdirilah sebuah komunitas baru di Serawai, yang diberi nama
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 69
komunitas Santo Yohanes Gabriel. Para pionir Puteri Kasih saat itu, ialah Sr. Elise, Sr.
Jacintha, dan Sr. Emmanuela. Para suster Puteri Kasih menangani sekolah, asrama,
pembinaan kaum muda serta karya pastoral di paroki, seperti katekese, kunjungan,
Biak dan Binar, dsb.
Dua tahun kemudian, menyusul datang para suster Agustinus, yang mulai berkarya di
keuskupan Sintang pada bulan Mei 2005. Tarekat ini membuka komunitas yang ke-14
dan berkarya di Paroki Badau. Di atas tanah seluas tiga hektar dibangun sebuah
rumah sederhana, Santa Albertine, yang mulai dihuni sejak tanggal 7 Agustus 2005.
Para suster OSA berkarya di bidang pastoral, pembinaan orang muda, khususnya
asrama dan kesehatan. Para pionir saat itu ialah Sr. Wilhelmina, Sr. Rafaela, dan tidak
lama kemudian disusul oleh Sr. Silvi.
Walau sudah ada beberapa tarekat klerikal dan suster yang berkarya di Sintang, Mgr.
Agus tetap merasa perlu mengundang tarekat lain. Mengingat OMI kekurangan tenaga
sehingga terpaksa melepas Paroki Semitau (2005) dan Sejiram (2006). Karena tenaga
imam diosesan yang belum cukup, Mgr. Agus memberikan tawaran tarekat Pasionis
untuk menangani paroki Semitau dan Sejiram. Tawaran ini diterima.
Maka pada tanggal 19 Juni 2005, tarekat Pasionis mengutus Pastor Barses dan Amsori
untuk memulai kerja di Paroki Semitau. Tahun berikutnya, persisnya tanggal 16 Juli
2006, para pastor Pasionis juga melayani paroki Sejiram, dan tanggal 1 Maret 2007,
pastor Amsori resmi menggantikan pastor René Colin, OMI sebagai pastor paroki
Sejiram dan resmi dialihkan dari tarekat OMI kepada tarekat Pasionis.
Kehadiran para pastor Pasionis di dua paroki ini diperkuat oleh kehadiran para suster
Pasionis, yang mulai bertugas sejak tanggal 24 April 2008 di paroki Semitau, melayani
pendidikan orang-orang muda (sekolah dan asrama), serta kegiatan pastoral paroki.
Selain itu, para suster Pasionis juga dipercayakan untuk menangani rumah retret di
kompleks wisata rohani, bukit Kelam, paroki Kelam.
Hingga saat ini tarekat-tarekat aktif yang berkarya di Sintang ialah para Imam
Montfortan, Oblat Maria Imakulata, Lazaris (Vinsensian), dan Pasionis; para suster
Fransiskanes dari Santo Antonius, Caritas, Ursulin, Pasionis, Puteri Kasih, ALMA dan
Agustinus; serta bruder MTB. Selain tarekat-tarekat aktif, Keuskupan Sintang juga
diperkaya oleh kehadiran tarekat kontemplatif.
Untuk pertama kalinya tarekat kontemplatif berada dan berkarya di Keuskupan
Sintang, yaitu melalui kehadiran para suster dari Ordo Santa Klara Kapusines (OSC
Cap). Para Rubiah ini sudah lama hadir di Kalimantan Barat, yaitu di Singkawang dan di
Sarikan, desa Terap Kecamatan Toho. Kini mereka menebarkan jala mereka ke
keuskupan Sintang.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 70
Setelah meninjau beberapa tempat di wilayah keuskupan Sintang, maka bersama
pimpinan tarekat Fransiskan Kapusin Kalimantan, maka diputuskan untuk mendirikan
biara monastik di Paroki Lanjak, di atas tanah yang disumbangkan oleh seorang janda
sederhana dan miskin, yang tak bisa membaca dan menulis, Ibu Bintang.
Kutipan laporan kunjungan Pastor Fulgentius OFM Cap ke daerah Ketungau, Tgl 12 Juli – 5
Agustus 1932, hal. 1 dan 9.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 71
Kutipan dua halaman ‘Laporan Turne’ Pastor Fulgentius, OFM Cap ke daerah
Nanga Pinoh, tgl 22-26 Mei 1932.
-----------------------------------------------------------------------
Kutipan dua halaman dari “Catatan Harian Paroki Sintang 1932-1945,” yang
diperkirakan dibuat/dimulai oleh Pastor Fulgensius OFM Cap.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 72
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 73
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 74
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 75
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 76
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 77
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 78
Bagan Perkembangan Keuskupan di Kalimantan
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 79
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 80
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 81
A. Karya Pastoral
K
euskupan Sintang memiliki wilayah yang sangat luas dengan jumlah kampung
yang sangat banyak. Rata-rata sebuah paroki memiliki 20-30-an kampung, dan
ada paroki yang memiliki sekitar 80 kampung atau stasi yang harus dikunjungi.
Kesulitan luas wilayah dan banyaknya kampung ini berbenturan dengan jumlah tenaga
pelayan pastoral yang sangat minim. Sistem yang dipakai akhirnya sistem turne dari
kampung ke kampung sambil mengajarkan umat katekese dan melayani sakramensakramen.
Agar lebih efektif dan menjangkau lebih banyak, maka dirasa sangat perlu
untuk membina dan membentuk Pemimpin Umat dan Katekis.
Salah satu langkah yang sangat penting yang diambil oleh Mgr. L. van Kessel beberapa
tahun sebelum Beliau pulang ke Belanda ialah didirikannya Sekolah Menengah
Kateketik Atas (SKMA), yang menyediakan tenaga katekis bagi paroki dan keuskupan
juga tempat kursus bagi kader-kader pemimpin umat di tingkat stasi. Karena tuntutan
peraturan negara, maka SKMA diganti nama menjadi Pendidikan Guru Agama Katolik
(PGAK) yang setingkat SLTA, sehingga dapat diakui resmi oleh Pemerintah, sama
halnya juga dengan PGAK di Sekadau dan tempat lainnya. Pendirian dan penanganan
harian PGAK dipercayakan kepada Pastor Reinold Dijker, SMM. Awalnya PGAK hanya
diisi dengan beberapa siswa saja, tetapi dalam waktu yang singkat boleh dikatakan
menjadi pusat Pendidikan Kateketik untuk seluruh Kalimantan, karena siswa-siswinya
berasal dari semua Keuskupan di Kalimantan. Dengan berdirinya PGAK, maka dimulai
kursus-kursus bagi calon dan para pemimpin umat di berbagai paroki. PGAK yang
terletak di kompleks Yerusalem, Sei Durian ini, akhirnya ditutup pada akhir tahun
1992. Alasan utamanya karena adanya peraturan pemerintah yang menutup sekolah
kejuruan khusus setingkat SLTA, termasuk SPG.
Pada masa itu, Mgr. Isak Doera membentuk Badan Adat Katolik (BAK). Badan ini
beranggotakan ketua adat di kampung atau stasi tersebut, tokoh masyarakat
setempat, serta tokoh umat. Badan inilah yang enjadi teman kerja Pastor Paroki, yang
bersamanya membahas, merencanakan, dan mengevaluasi berbagai hal di paroki.
Melalui Dikang tahun 1978/1979, Mgr. Isak Doera, diinspirasikan oleh Gereja Perdana,
memutuskan untuk membentuk semacam Dewan Penatua yang disebut Badan
Pengurus Umat Katolik (BAPUK) di paroki-paroki. Anggota BAPUK terdiri dari tokohtokoh
masyarakat setempat, yaitu Temenggung, Kepala kampung, Kebayan, guru-guru,
Pemuka masyarakat dan Pemimpin Umat. Dengan cara ini, Gereja merangkul semua
lapisan masyarakat dan semakin dekat dengan masyarakat setempat. Dengan lahirnya
BAPUK, maka BAK menjadi bagian dari BAPUK untuk mengurus hal-hal yang berkaitan
dengan adat. Salah satu prestasi BAPUK ialah menyesuaian beberapa unsur adat
dengan tradisi dan ajaran Katolik.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 82
Perkembangan umat yang begitu cepat tidak memungkinkan Pastor dapat melayani
dan membimbing secara intensif. Umat yang tersebar di kampung-kampung perlu
seorang pembimbing yang dekat dengan mereka. Sedangkan Pastor mesti melayani
banyak kampung. Jadi mereka memerlukan pemimpin yang muncul dari masyarakat
itu sendiri.
PGAK dan Kursus Pemimpin Umat adalah jawaban atas perkembangan umat di
Kalimantan, khususnya di Sintang. Umat berkembang begitu banyak setiap tahun,
sedangkan tenaga yang melayani mereka, khususnya tenaga imam dan tenaga pastoral
seperti suster dan katekis, bertambahnya tidak sebanding. Salah satu jalan yang cukup
efektif untuk dapat melayani umat yang makin besar jumlahnya dan untuk lebih
mampu mengembangkan Gereja ialah dengan membina katekis-katekis sendiri.
Sebagai katekis, mereka tidak diharapkan sebagai tenaga cadangan dari Pastor, atau
sekedar “guru agama” yang mengajar di sekolah. Mereka diharapkan menjadi tokoh
awam yang muncul dari umat yang sedang berkembang. Bersama Pastor, tokoh-tokoh
awam lainnya, dan umat secara keseluruhan, mereka membina umat dan membangun
Gereja.
Keuskupan sudah sangat berkembang dan zaman pun sudah sangat berubah. Untuk
memenuhi kebutuhan pastoral yang ada, sebagaimana semua keuskupan lain, maka
keuskupan Sintang juga memiliki beberapa komisi dan badan yang diperlukan, yang
bergerak pada banyak pelayanan pastoral, seperti komisi Kateketik, komisi Komunikasi
Sosial, komisi Pengembangan Sosial ekonomi, dsb. Mengingat keuskupan tidak akan
mengangkat katekis lagi, maka peranan Badan Pastoral bekerjasama dengan Pastor
paroki menjadi sangat vital untuk membina, melatih dan memberdayakan para guru,
terutama guru-guru agama di kampung-kampung. Searah dengan ini, keuskupan
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 83
melalui tokoh-tokohnya di pemerintahan, mengusahakan agar diangkatnya guru-guru
agama untuk berbagai Sekolah Dasar di kampung-kampung.
Belakangan Keuskupan juga mendirikan Radio yang bernama Swara Perkasa sebagai
salah satu sarana pewartaan untuk menyapa semua orang, khususnya untuk
masyarakat pedesaan, tanpa harus selalu menggurui. Radio ini praktis kurang
berkembang karena kekurangan tenaga dan dana. Keuskupan juga pernah
menciptakan majalah rohani bernama Kenyalang. Majalah ini sempat berbinar tahun
1990-an di bawah naungan Komsos lalu redup karena alasan klasik yang sama,
kekurangan tenaga dan dana. Sempat bangkit kembali tahun 2000-an tetapi kini
kembali kehabisan amunisi dan praktis mati kembali.
Keuskupan Sintang juga memiliki rumah retret Temenggung Tukung yang berlokasi di
kompleks Wisata Rohani, di Merepak, Kelam, yang menurut rencana akan diresmikan
oleh Nuncio Antonio Guido Filipazzi, pada tanggal 19 November 2011. Pembangunan
rumah retret ini pertama-tama dan terutama karena tingginya kebutuhan umat akan
pembinaan rohani dalam bentuk rekoleksi dan retret sementara selama ini selalu
harus pergi jauh bahkan sampai ke luar keuskupan. Mengingat lokasi Wisata Rohani
yang tidak terlalu jauh dari Sintang, indah, teduh, rindang, tenang, sunyi dan lebih
sejuk, maka sangat ideal bila rumah retret didirikan pada kompleks ini.
Rumah retret Temenggung Tukung ini memiliki dua rumah penginapan, yang masingmasing
memiliki 10 kamar dengan dua tempat tidur, sehingga seluruhnya mampu
menampung 40 orang. Di masa mendatang direncanakan akan didirikan satu unit
berlantai dua yang bisa dipakai baik sebagai rumah penginapan peserta retret juga
sebagai rumah penginapan keluarga yang hendak berakhir pekan bersama seisi
keluarga di kompleks ini. Selain rumah penginapan, juga disediakan aula serba guna
yang modern dan anggun, serta dapur umum. Keuskupan Sintang mempercayakan
menejemen rumah retret ini kepada para Suster Pasionis, yang tinggal pada kompleks
Wisata Rohani. Di masa mendatang, rencananya dalam kompleks wisata rohani ini juga
akan didirikan sebuah Betang, rumah adat khas Dayak.
Di samping itu, masih ada rumah retret yang dimiliki dan dijalankan oleh kongregasi,
yaitu rumah khalwat Emaus di km 4, Nanga Pinoh, milik Kongregasi Misi dan rumah
retret Deo Soli di Kedamin Darat, Putussibau, milik Serikat Montfortan, serta wisma
Helena di Sei Durian, Sintang, milik Suster Fransiskanes dari Santo Antonius.
B. Karya Pendidikan
S
ejak awal mula masuknya Gereja Katolik di Kalimantan Barat, khususnya di
wilayah yang sekarang adalah Keuskupan Sintang, karya misi tidak pernah
semata Misa, Sakramen, doa dan berkat tetapi juga pendidikan, dengan
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 84
dibukanya sekolah dan asrama serta kursus-kursus kepandaian dan keterampilan.
Pastor H. Looymans, perintis misi di wilayah ini membuka sekolah di Sejiram pada
tahun 1891. Ketika para Kapusin masuk ke Sejiram, mereka menempuh cara yang
sama, bukan hanya di Sejiram, mereka juga membuka sekolah di Lanjak pada tahun
1911, yang kemudian dialihkan ke Benua Martinus pada tahun 1913, juga di Bika tahun
1924. Saat itu sekolah-sekolah semacam ini sepenuhnya ditangani para misionaris,
baik tenaga, maupun materi pengajarannya. Pelajaran biasanya dilakukan saat para
misionaris sedang tidak turne atau saat anak-anak tidak ditarik kembali oleh orangtua
mereka ke kampung, yang umumnya terjadi saat panen.
Demikian juga para misionaris Montfortan, melanjutkan hal yang sama di berbagai
wilayah. Karya para pastor ini umumnya ditangani oleh para suster SFIC dan kemudian
juga oleh para suster SMFA. Para suster umumnya juga mendirikan sekolah khusus
untuk para puteri.
Sebelum Perang Dunia II, Sintang memiliki 5 Sekolah Dasar dengan masa jenjang hanya
tiga tahun yang kemudian dilanjutkan ke Sekolah Rakyat. Untuk jenjang yang lebih
tinggi, biasanya dikirim ke luar pulau atau ke Nyarumkop, dekat Singkawang, yang
didirikan pada tahun 1916. Model pendidikan lama ini terus bertahan hingga Perang
Dunia II.
Setelah pulang dari pembungan di Kutjing, Malaysia, pimpinan Gereja kembali
mengaktifkan sekolah-sekolah yang ada, yang ditutup selama masa perang, 1942-
1946. Agar misi pendidikan ini lebih sistematis dan efektif ditangani, maka lahirlah
pemikiran untuk mendirikan semacam pengurus yang khusus menangani pendidikan.
Maka, pada tahun 1949, Mgr. L. van Kessel, SMM, Prefek Apostolik Sintang,
mendirikan sebuah lembaga pendidikan dan diberi nama “Serikat Untuk Kemajuan
Masyarakat,” yang disingkat sebagai SUKMA. Sebagai kantor pertamanya, Sukma
menggunakan sebuah kamar sederhana di lantai dua asrama putera Sejiram. Bapak
Palaunsoeka menjadi Ketua pertama SUKMA dan Pastor Lambertus van den Boorn
menjadi Sekretaris eksekutifnya.
Pada tahun 1950-an, Sukma membuka sebuah SMP di Putussibau dan mengangkat Sr.
Anselma, SMFA sebagai Kepala Sekolahnya. Tahun 1957, Sukma didaftarkan ke
pemerintah dan memperoleh status sebagai sebuah yayasan yang berbadan hukum
tetap, sekaligus mengubah namanya menjadi Badan Sarana Untuk Kemajuan
Masyarakat (Badan Sukma). Tahun 1960-an kembali membuka SMP di Bukit Raya,
Nanga Serawai yang dikelolah oleh Pastor Lor (Laurensius) Collijn, SMM dan Pastor
Toon (Anton) Bernard, SMM. Tahun 1963, Pastor Serve Hammers, SMM pengganti van
den Boorn, SMM sebagai sekretaris eksekutif SUKMA, membuka SMP Panca Setia di
Sintang. Tahun 1968, Mgr. van Kessel membuka Sekolah Teknik Pertama Gaharu
Remaja di Sungai Putih yang bergerak di bidang pertukangan dan diserahkan kepada
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 85
SUKMA pada tahun 1973. Tahun 1970-an juga dibuka SMP Setia Budi di Nanga Pinoh
dan disusul dengan SMP Setia Bakti di Lanjing. Tahun 1970 terdapat 36 Sekolah Dasar
dengan jumlah total murid sebanyak 4.336 orang; terdapat 3 SMP (SLTP) dan 1
Sekolah Khusus Kepandaian Puteri (SKKP), serta 1 Sekolah Teknik Pertama (STP).
Tahun 1980 yayasan SUKMA membuka SMA Panca Setia di Sintang yang disusul
dengan SMEA Budi Luhur setahun berikutnya.
Selain itu keuskupan juga pernah mendirikan lembaga pendidikan dan pelatihan
pertukangan di Sungai Putih. Usaha di Sungai Putih ini sering juga disebut dengan
istilah “UMIS” (Usaha Misi), dan di kalangan umum disebut “Pabrik”. Mula-mula ada
bengkel pengetaman papan di Kampung Sungai Durian yang dipimpin oleh Br. Alfons.
Oleh karena Ordinansi Hinderwet (peraturan mengenai gangguan keributan), maka
pengetaman dipindahkan ke Sungai Putih pada tahun 1951. Pada waktu itu Sungai
Putih merupakan tempat yang kosong, cukup tinggi dan strategis untuk persinggahan
kapal-kapal dan rakit-rakit kayu bulat. Puluhan tahun Bruder-Bruder Montfortan
bekerja keras di situ dengan disertai puluhan karyawan, yang hingga penutupannya
masih berjumlah 12 orang. Peran dan fungsinya sangat besar dan sangat penting
dalam pembangunan materiil Keuskupan Sintang saat itu.
Karena keadaan finansial Keuskupan sekaligus tidak seberapa perlu lagi jasa dari
penggergajian kayu Sungai Putih, maka kini pemasukan Sungai Putih menjadi lebih
kecil dari pengeluarannya. Walau berusaha keras untuk mempertahankannya, karena
masih berguna untuk Gereja, juga lapangan kerja serta pelatihan bagi kaum muda,
namun terlalu sulit untuk terus hidup di dalam defisit anggaran. Karena itu, dalam
beberapa pertemuan, pimpinan keuskupan mengungkapkan rencana untuk
menutupnya. Akhirnya, dengan berat hati, Umis ditutup tahun 2005.
Tahun 1980-an, sekelompok awam Katolik di kota Sintang, di bawah kepemimpinan
Y.T. Lukman Riberu, mendirikan yayasan Nusantara Indah yang bergerak di bidang
Pendidikan. Yayasan ini kini memiliki SLTA, SLTP, Sekolah Pertanian dan kemudian
kembali mendirikan yayasan baru, yaitu Badan Pendidikan Karya Bangsa, yang
menangani Sekolah Tinggi Ilmu Kependidikan (STKIP) Persada Khatulistiwa di Sintang.
Demikian juga di beberapa tempat lain, seperti di Nanga Pinoh, beberapa kelompok
awam juga mendirikan lembaga pendidikan. Walaupun tidak dimiliki oleh Keuskupan
atau Lembaga Gerejawi, yayasan dan sekolah yang dimiliki oleh para awam katolik ini
tetaplah dijiwai oleh semangat Katolik, karena baik pendiri maupun anggotanya adalah
umat Katolik dan membantu mencerdaskan putera-puteri keuskupan Sintang.
Di samping itu, selain yayasan SUKMA, beberapa paroki memiliki sekolah sendiri.
Paroki keluarga Kudus Nazareth memiliki Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah
Pertama, yang karena alasan finansial dan tenaga pengajar-administratif harus ditutup
tahun 2004. Paroki Santo Montfort, Nanga Serawai hingga saat ini masih memiliki
Sekolah Menengah Pertama Bukit Raya. Paroki Nanga Pinoh memiliki TK Bunda, serta
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 86
SD dan SMP Seta Budi. Karena sekolah ini bukan merupakan bagian dari yayasan
Sukma (surat no. 210/Sukma/I/2000), maka pada tahun 2000, nama SMA Setya Budi
diubah menjadi SMA Santa Maria dan sekaligus didirikanlah Perhimpunan Santa Maria
pada tanggal 19 Desember 2000, sebagai badan hukum pemilik sekolah ini.
C. Karya Kesehatan
M
asuknya Gereja ke wilayah ini sejak awal mula, selain bidang pendidikan, juga
senantiasa disertai dengan pelayanan kesehatan yang umumnya ditangani
oleh para suster. Kesehatan juga menjadi bagian integral dan penting dari
pelayanan Gereja, walau saat ini Keuskupan Sintang tidak memilikinya. Walau
keuskupan tidak memiliki lembaga kesehatan, tetapi melalui lembaga sosial seperti
Karitas, kegiatan dan pelayanan kesehatan masih agak rutin dijalankan. Selain
keuskupan, masih ada tarekat yang memiliki klinik, antara lain klinik yang dimiliki
suster ALMA di Nanga Pinoh.
Pengalaman menarik dialami oleh Pastor H. Swerts, SMM pada tahun 1970-an. Waktu
Beliau memasuki kampung Pakak untuk pertama kalinya, disambut oleh seorang Prabu
tua (wakil Temenggung) yang berkata, “Jika nuan datang untuk membuka sekolah
atau untuk pengobatan, kami terima. Tetapi jika nuan datang untuk agama, ngai
kami.” 27
D. Karya Sosial
Keuskupan Sintang hanya memiliki Caritas sebagai bagian dari Caritas Indonesia
(Karina), yang bergerak di bidang sosial yang mana secara berkala atau sesekali
melakukan bantuan kemanusiaan.
27 Nuan berarti ‘kamu, Anda, tuan,’ dan Ngai berarti ‘tidak mau’.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 87
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 88
Rekap Paroki-Paroki di Regio Sintang tahun 2010
No. NAMA PAROKI UMAT STASI BERDIRI
01 Kristus Raja, Katedral 3.690 2 1932
02 Sto. Montfort, Serawai 14.186 29 1950
03 Maria Ratu Semesta Alam, Sei
Durian
04 Maria Ratu Damai Semesta,
Tempunak
3.010 2 1979
8.942 47 1979
05 Sto. Martinus, Kelam 4.942 23 1979
06 Sto. Petrus, Dedai 8.388 44 1979
07 Sta. Maria Ratu Rosario, Lebang 6.283 34 1979
08 Sto. Mikael, Tanjung Baung 6.976 56 1979
09 Sta. Maria Imakulata, Merakai 8.568 43 1979
10 Sto. Paulus, Tuguk 8.059 1979
11 Sto. Yosef, Nanga Mau 5.318 30 1979
12 Salib Suci, Tebidah 4.701 24 1979
13 Sto. Petrus & Andreas, Sepauk 14.176 81 1979
14 Sta. Theresia Kecil, Nobal 5.053 15 1979
15 Sta. Maria Tanpa Noda,
Ambalau
9.519 34 1979
16 Sto. Yosef, Senaning 5.464 32 1995
17 Keluarga Kudus, Pandan 3.243 21 1995
TOTAL = 17 120.518 33,111% dari 363.978
jiwa 28
tahun 2010.
28 Jumlah ini diambil http://dds.bps.go.id/hasilSP2010/kalbar/6107.pdf, hasil sensus
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 89
1. Paroki Kristus Raja, Katedral
Paroki Kristus Raja, Katedral terdiri dari 11 kring (lingkungan dalam kota) dan dua stasi.
Hingga akhir tahun 2010 jumlah umat seluruhnya adalah 3.690 jiwa, tidak terhitung
jumlah murid (anak sekolah) dan mahasiswa yang berasal dari luar kota Sintang dan
pedalaman. Jumlah mereka mendekati dua ribu orang.
Para pastor yang pernah berkarya sebagai Pastor Paroki (tidak lengkap) di Paroki
Katedral ialah, Pastor Fulgentius Koning, OFM Cap (1932–1936); Pastor David van de
Made, OFM Cap (1936–1941); Pastor Yustinius Goossens, OFM Cap (1941–1945);
Pastor Harrie L’Ortye, SMM (1945–1947); Pastor Lambertus van Kessel, SMM (1947–
1950); Pastor Ferry Hoogland, SMM (1950–1952); Pastor Lambertus van den Boorn,
SMM (1952-1953); Pastor Reinold Dijker, SMM (1953-1954); Pastor A. van der Vleuten,
SMM (1954-1961); Pastor Alosius Ding, SMM (1961-1969); Pastor Reinold Dijker, SMM
(1969-1975); Pastor Isak Doera, Pr (1975–1976); Pastor Cornelis Smit, SMM (1976–
1977); Pastor Joep van Lier, SMM (1977–1985); Pastor Matius Rampai, Pr (1985–
1990); Pastor Bernard Keradec, OMI (1990–1995); Pastor Thomas Kuslin, Pr (1995–
1997); Pastor Silvinus Endi, Pr. (1997–1999); Pastor Leonardus Miau, Pr. (1999–2002);
Pastor Paschasius Triono, Pr (2002–2008); Pastor Robert Mosa, Pr. (2008–2010);
Pastor Yohanes Pranoto, Pr. (2010-sekarang).
Gereja Katedral Kristus Raja dan Wisma Keuskupan Sintang
Karya misi Katolik dimulai di Sintang pada tahun 1931 ketika para Suster SMFA bekerja
di rumah sakit pemerintah Hindia Belanda di Sintang, yang kemudian disusul dengan
berdirinya stasi Sintang, di bawah penggembalaan para misionaris Kapusin.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 90
Tanggal 11 Desember 1931, Mgr. Pacificus Bos, OFM Cap mengangkat Pastor
Fulgentius J. Koning, OFM Cap, yang sedang berdiam di Sanggau sebagai pastor paroki
pertama dari paroki Sintang. Suster SMFA, yaitu Sr. Xaveria (Getruda Thorborg) dan Sr.
Bernadette (Getruda de Jong) yang meninggalkan Belanda tanggal 3 Desember 1931
dan tiba di Pontianak pada tanggal 28 Desember 1931, berangkat ke Sintang memakai
motor air “Irma”. Di Sanggau mereka menjemput Pastor Fulgentius untuk sama-sama
berangkat ke Sintang. Para misionaris pionir ini tiba di Sintang pada tanggal 1 Januari
1932.
Karena belum ada pastoran, maka Pastor Fulgentius tinggal di pesanggrahan
pemerintah, sementara para suster untuk sementara tinggal di pavilion yang
dipinjamkan oleh calon residen, karena rumah mereka belum selesai dibangun, yang
disebabkan banjir besar yang telah lama dan belum surut. Pastor Fulgentius mulai
secara penuh tinggal di rumahnya sendiri yang sangat sederhana pada tanggal 15
Maret 1932. 29
Tanggal 6 Februari 1932, menyusul Sr. Dolorata, SMFA dari Benua Martinus dan Pastor
Prosper, OFM Cap dari Sejiram tiba dan mulai menetap di Sintang. Hari Sabtu, tanggal
6 Februari 1932 tahun masehi Tuhan kita Yesus Kristus, menjadi hari resmi pendirian
Paroki Sintang, yang di kemudian hari menjadi Paroki Katedral keuskupan Sintang.
Pastor Fulgentius menjadi Pastor paroki pertama dan Pastor Prosper menjadi pastor
anggota tim pastoralnya. Pada hari dan tanggal pendirian ini, Pastor Fulgentius sedang
berada di Pontianak untuk memberi retret dan baru tiba kembali di Sintang tanggal 17
Februari 1932 dan disambut dan disalami oleh Kontrolir Heynen, calon residen, juga
oleh mayor de Groot dan Mr. Mulder.
Pastor paroki Sintang praktis hanya melayani umat yang hampir seluruhnya adalah
Belanda dan segelintir Tionghoa dan Manado (Bapak Donis). Tanggal 9 Maret 1932,
untuk pertama kalinya kaum pribumi mendaftarkan diri sebagai katekumen, yaitu
seorang Jawa dan seorang dari Timur Indonesia. Dua calon baptis pertama untuk
paroki Sintang. Awalnya, Misa harian dilaksanakan di susteran dan Misa hari minggu di
pesanggrahan. Kemudian baru pada tanggal 11 Mei 1932, Giring, pemuda dari suku
Dayak di kampung Muakan, Ketungau Hulu yang sedang di kelas VI HIS (Hollandsch-
Inlandsche School) juga minta menjadi katekumen. Kemudian menyusul direncanakan
seorang gadis remaja, Lindan, puteri dari Christianus Senjan, kepala kampung Ampoh,
Belitang, yang baru turun ke Sintang pada tanggal 8 Agustus 1932. Pembaptisan
pribumi pertama kali dilaksanakan pada tanggal 15 Mei 1932, pada hari raya
Pentakosta, yaitu Silvester, 30 pemuda Jawa yang sudah berumur 18 tahun. Lindan,
29 Sejarah Paroki Katedral ini, terutama masa awalnya, bersumber dari catatan Pastor
Fulgentius Koning, OFM, Cap, Pastor Paroki pertama paroki Sintang (Katedral).
30 Dalam catatan harian Pastor Fulgentius, nama baptisnya ialah Silvester, tetapi dalam
Buku Baptis, namanya ialah Liloer yang diberi nama baptis Antonius.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 91
yang diberi nama baptis Anastasia Cornelia, dibaptis di Sintang pada tanggal 17 April
1933 di kapel suster. Theresia Empajoeng dan Cornelia Lindan menerima Sakramen
Penguatan (Krisma) pada tanggal 8 Oktober 1933 dari tangan Mgr. Bos, OFM Cap.
Lindan menikah dengan Fransiskus Kangkam dari kampung Beluis, yang adalah
pembantu Pastor Fulgentius, pada tanggal 13 Februari 1941.
Catatan Pastor Fulgentius mengenai perayaan Paska pertama di paroki Sintang,
tanggal 27 Maret 1932, dikutip sesuai teks aslinya:
“Waktu Paska di Sintang ada beberapa orang wibawa untuk secara mereka
merayakan Paska ! Itu mulai Malam Minggu dengan pesta-fora di pasanggrahan dan
mereka berpesta fora sampai setengah lima! Waktu saya jam 6 lewat sedikit, datang
di pasanggrahan untuk menyiapkan Misa Suci, saya mendapat gedung itu sebagai
kandang! Kursi2, meja2 semuanya sembarangan saja, lantai penuh dengan tong2
cerutu2 dan sigaret2, kertas dan barang2 tak berguna. Dimana-mana penuh dengan
botol2 kosong dan gelas2 setengah kosong dan lain-lain. Nampaknya seperti sebuah
Kampung. Sampah yang kasar disapu dengan segera oleh pengawas ; dan kami
mengatur inventaris sedikit dan setelah itu …… mulai Misa Suci Hari Raya Paska !!
Paska Pertama untuk saya di Sintang ! Kegembiraan-Paska pula untuk saya sudah
menderita.”
Misa terakhir di Pasanggrahan ialah tanggal 24 April 19332, karena pada tanggal 1 Mei
1932, Misa pertama sudah dilaksanakan di gereja baru, yang baru diresmikan pada
hari kamis, tanggal 5 Mei 1932, pada hari Kenaikan Tuhan Yesus. Gereja baru ini
dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda (hari pesta:
tanggal 8 Desember). Dengan ini pula ditetapkan bahwa, nama serta pelindung Paroki
Sintang ialah Perawan Maria yang Dikandung Tanpa Noda. Bangku-bangku baru mulai
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 92
ada pada tanggal 15 Juli 1932 dan lonceng gereja, sumbangan Mr. Drisfhout yang
adalah seorang Protestan, mulai dibangun pada tanggal 17 Juli 1932 dan baru
berfungsi penuh tanggal 12 Desember 1932. Selain gereja baru, diresmikan pula
rumah suster yang baru pada tanggal 8 Mei 1932.
Selama masa masa ini tidak terlalu banyak keturunan Tionghoa di Sintang yang
menjadi Katolik. Tanggal 1 Desember 1935, berkumpul sekitar 60 orang calon
katekumen keturunan Tionghoa, yang berkumpul di rumah Kwe Sang (Teng) Hi. Sejak
saat itu mereka mengikuti pelajaran setiap hari Minggu jam 10.00 pagi. Mereka diajar
oleh pastor, suster dan Bong Hok Leow, yang sengaja diminta oleh Pastor Fulgentius
dari Pontianak untuk mengajar selama tiga minggu. Sebelum ia pulang, ia sempat
mengunjungi Belitang (Ampoh) untuk mengajar di sana. Tanggal 30 Mei 1936, Pastor
Fulgentius, OFM Cap dipindahkan untuk menjadi rektor rumah sakit lepra di
Singkawang dan Beliau digantikan oleh Pastor David JMC van de Made, OFM Cap.
Tanggal 21 Februari 1938, didatangkan Pastor Pacificus Bong, seorang imam keturuan
Tionghoa dari Pontianak, membantu mengajar katekumen kepada keturunan Tionghoa
di Sintang. Keturunan Tionghoa yang pertama menerima komuni saat itu ialah Joksit
Ghioe Thian Djioen.
Stasi atau paroki Sintang, yang merupakan cikal bakal Paroki Katedral, saat itu meliputi
seluruh daerah yang saat ini adalah kabupaten Sintang dan kabupaten Melawi, hingga
tahun 1949, ketika stasi Nanga Pinoh berdiri dan tahun 1950 ketika paroki Nanga
Serawai didirikan. Tahun 1979, wilayah paroki Katedral dibagi atas 12 paroki sehingga
praktisnya kini hanya mencakup wilayah Kota Sintang kelurahan Tanjung Puri hingga
ke Jerora.
Umat Paroki Katedral saat ini umumnya adalah (anggota keluarga) para pegawai,
terutama pegawai negeri sipil, karena hampir semua perkantoran pemerintah berada
di wilayah ini. Selain pegawai pemerintah tentu saja juga para pegawai swasta,
beberapa pedagang dan anak-anak sekolah menengah dan mahasiswa. Dari sudut asal
usul, mayoritas umat Katedral adalah suku Dayak, dan beberapa dari suku Jawa,
Tionghoa, NTT, Batak, dsb.
Di wilayah katedral terdapat beberapa asrama bagi para siswa-siswi dan mahasiswamahasiswi
yang berasal dari berbagai kampung, seperti asrama Dharmawati yang
ditangani para suster SMFA, asrama binaan para suster Cinta Kasih, asrama Sta. Clara,
serta beberapa asrama lain yang dimiliki dan dibina oleh para awam seperti asrama
Sta. Yohana, asrama Srikamti, asrama Sta. Cecilia, dsb. Selain itu di wilayah Katedral
terdapat beberapa sekolah dan lembaga pendidikan Katolik, yaitu Play Group Gabriel
Manek; SD, SMP dan SMA Pancasetia; SMK Budi Luhur; serta Seminari Menengah
Yohanes Maria Vianney di Teluk Menyurai. Beberapa biara memiliki rumah di paroki
Katedral, seperti Biara Suster Cinta Kasih, biara Pastor Montfortan, biara Suster SMFA,
dan biara Suster PRR.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 93
Selama puluhan tahun, pastoran katedral dan keuskupan berlokasi ditempat dan pada
gedung yang sama. Baru sejak tahun 2000, berdiri bangunan baru sebagai pastoran
dan kantor Paroki yang terpisah dari keuskupan.
Hingga tahun 2011, paroki Katedral telah menghasilkan seorang Imam, yaitu Pastor
Hiasintus, Pr, dan seorang suster, yaitu Sr. Felisitas Lasa, OSA. Tokoh umat Katedral
pada tahun 1960-an hingga 1990-an adalah Pak Leonardus Mitjang dan Pak Lucas
Markus Tidja.
2. Paroki Santo Montfort, Serawai
Paroki Sto. Montfort Serawai terdiri dari 29 stasi dengan total umat hingga akhir tahun
2010 adalah 14.186 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ialah: Pastor Linssen, SMM (1947); Pastor
Adriaan Schellart, SMM (1947-1950); Pastor Adrian van der Vleuten, SMM (1950-
1954); Pastor Agus Wintraecken, SMM (1953-1955); Pastor Anton Voncken, SMM
(1954-1959); Pastor Laurensius (Lor) Collijn, SMM (1958-1967); Pastor Anton Bernard,
SMM (1961-1992); Pastor H. Swerts, SMM (1967-1969); Pastor N. Schneiders, SMM
(1969-1982); Pastor G. Dethune, CM (1976-1980); Pastor Paulus Aryono, CM (1979-
1986); Pastor Valentino Bosio, CM (1983-1989); Pastor Ignasius Assan Kerans, Pr.
(1991-1996); Pastor Lukas Suwondo, CM (1996-1998); Pastor MM. Hardo Iswanto, CM
(1996-2001); Pastor Isnadi Wibowo, Pr (1998-2003); Pastor Sabbas Sudiyono CM
(2001-2007); Pastor Gabriel Dwi Atmoko, Pr (2003-2007); Pastor Fredy Rante Taruk, Pr
(2002-2004); Pastor VF. Mariyanto, CM (2007-2009); Pastor A. Karyono, CM (2007-
sekarang); Pastor A. Kurniawan Diputra, CM (2009-sekarang).
Dua Pastor Kapusin yang saat itu bertugas di Paroki Sintang, yaitu Egbertus Nobel,
OFM Cap dan Pastor David van de Made, OFM Cap melakukan kunjungan ke wilayah
Serawai, Ambalau dan hulu Melawi dari tanggal 18 Mei hingga 22 Juni, tahun 1937.
Dengan menggunakan kapal motor Lien, mereka berangkat pada tanggal 18 Mei 1937,
jam 10:30 pagi. Jam 6 malam hari berikutnya mereka sudah tiba di Nanga Pinoh, dan
tanpa menginap di Nanga Pinoh, perjalanan dilanjutkan ke Nanga Ella. Tanggal 25 Mei
1937, mereka berada di Nanga Serawai dan tanggal 4 Juni 1937 mereka mulai
memasuki sungai Ambalau. Perjalanan yang hampir satu bulan penuh ini dibuatkan
laporannya dengan tulisan tangan oleh kedua pastor ini setebal 42 halaman dan 2
halaman tambahan.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 94
Kunjungan berikutnya dilakukan oleh Pastor Oktavianus, OFM Cap ke Melawi hulu
sejak tanggal 1 hingga tanggal 23 Desember tahun 1939. Beliau mengunjungi dan
berkenalan dengan suku Dayak Uut Danum dan suku Nyangai. Setelah itu, Pastor
Linssen, SMM mengunjungi daerah ini pada bulan April 1947, 31 dalam rangka untuk
mengamati kemungkinan membuka misi baru. Pastor Linssen menyusuri sungai
Serawai hingga ke kampung Rantau Malam, juga memasuki sungai Lekawai, sungai
Ambalau dan Melawi hulu. Pada tanggal 14 April 1947, Beliau membabtis Mercuria,
Ponakan Budot dan Yustina, serta membereskan penikahan pasutri CL. Usup di Nanga
Ambalau.
Gereja Sto. Montfort, di Nanga Serawai
Setelah menerima pengalaman positif dari pastor Linssen, maka Pastor Adriaan
Schellart, SMM ditugaskan oleh pimpinan Montfortan untuk menetap di Nanga
Serawai, yaitu sejak tangal 17 November 1947. Beliau membeli rumah dan tanah di
Teluk Dara Muning yang digunakan untuk Pastoran dan asrama Sekolah Rakyat. Maka
tanggal ini dianggap sebagai tanggal pendirian stasi (Paroki) Serawai, dan diberi nama
31 Dalam laporannya, Pastor Linssen menghabiskan dana sebesar 146.85 gulden
selama perjalanan perkenalannya ke daerah hulu Melawi ini.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 95
Paroki Darah Yesus yang Mulia, walau baru memiliki Buku Baptis sendiri pada tahun
1950.
Dari bulan Mei 1949 hingga Februari 1950, Pastor Schellart melakukan turne ke banyak
kampung di sungai Serawai dan sungai Ambalau. Tahun 1959, banyak kampung sudah
menjadi Katolik. Tahun 1959, Pastor Collijn, SMM membuat laporan tentang keadaan
puluhan kampung di sungai Melawi dan Ambalau, baik keadaan iman umat,
kesejahteraan, juga guru-guru yang ada, pun kebutuhan nyata, seperti obat untuk
penyakit, yang dialami dan dibutuhkan kampung-kampung tersebut.
Tahun 1978 Pastor A. Bernard, SMM mendirikan bangunan Gereja permanen dan
diberi nama pelindung Sto. Montfort, sekaligus menjadi nama Paroki yang baru,
menggantikan nama Darah Yesus yang Mulia. Pastor Bernard juga membangun asrama
baik untuk anak putra maupun putri. Sejak tahun 1977, Pastor Gabriel Dethune, CM,
seorang imam Lazaris (CM) mulai berkarya di Paroki Serawai bersama dengan para
imam Montfortan, disusul oleh tahun 1979 oleh kedatangan Pastor Paulus Aryono,
CM.
Dalam perjalanan waktu, sekolah sekolah dasar yang telah dikelola oleh Gereja cukup
lama karena beberapa alasan akhirnya diserahkanlah sekolah-sekolah tersebut kepada
pemerintah. Hinga kini yang masih bertahan ditangani oleh paroki adalah SMPK “Bukit
Raya” dengan asrama putra dan putri. Maksud dari keberadaan asrama putra, Wisma
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 96
Antonius dan asrama putri, 3 Wisma Widya Loka, adalah untuk menampung anak-anak
dari kampung, serta untuk pembinaan dan pendidikan yang menunjang proses belajarmengajar
SMP Bukit Raya. Selain pembinaan, asrama juga menjadi wadah
pengkaderan kaum muda Katolik. Saat ini, penghuni asrama puteri berjumlah 120
orang dan 90 orang penghuni asrama putera. Para suster Puteri Kasih dipercayakan
untuk menangani Asrama yang dibantu oleh beberapa umat awam. Dari sekolah ini
telah lahir beberapa tokoh Gereja dan masyarakat di Sintang, Serawai maupun
kampung-kampung.
Paroki Sto. Montfort Nanga Serawai meliputi seluruh wilayah kecamatan Serawai
minus satu, desa Bere. Pada umumnya stasi atau kampung di wilayah paroki ini berada
di tepi sungai, yaitu sungai Melawi, sungai Serawai, sungai Tekungai, sungai Demu dan
sungai Lekawai. Komposisi umat paroki ini, mayoritasnya (97%) berasal dari etnis
Dayak, dan beberapa berasal dari Flores, Batak, Tionghoa dan Jawa. Mayoritas umat
adalah petani berladang/berkebun dan sebagian kecil adalah PNS, Guru dan
pedagang. Para pendatang umumnya berprofesi sebagai guru atau pedagang. Umat
dan Gereja harus bersyukur kepada para guru, karena telah memberi kontribusi
banyak untuk kemajuan dan perkembangan umat di paroki Serawai.
Karena umat tersebar di dua puluh sembilan stasi, maka kunjungan (turne) ke
kampung adalah suatu keharusan, yang umumnya minimal setahun 3 kali, tergantung
dari tingkat kesulitan jalur yang harus ditempuh. Jalur yang mudah tentu akan
mendapat kujungan lebih banyak. Pada perayaan besar Gerejani, anggota DPP pun
ikut melakukan turne.
Mengingat kondisi ini, maka paroki dan DPP sangat menyadari pentingnya usaha untuk
memberdayakan para tokoh umat dan pemimpin ibadat. Karena itu setidaknya
setahun sekali ada pembekalan, pelatihan, dan penyegaran bagi mereka, termasuk
mengadakan Kursus Persiapan Perkawinan bagi para calon yang hendak menikah
secara Gerejani. Dengan kegiatan ini paroki diharapkan bisa semakin mandiri baik dari
segi tenaga, pelayanan serta pendanaan dan umat pun makin beriman mendalam.
Selain bidang rohani, Gereja juga terlibat aktif dalam hal-hal sosial, khususnya
mengenai adat dan pertanian, yang merupakan mata pencaharian pokok umat paroki
Serawai. Di Serawai terdapat Gerakan Masyarakat Adat Serawai (GEMAS), yaitu
kelompok orang yang peduli akan hak hak adat dan usaha penyelamatan lingkungan,
Kelompok ini bernaung dibawah seksi justice and peace DPP, yang sering melibatkan
para ahli hukum (komisi yudisial, dsb.) dan lingkungan (WAHLI, LBBT, dsb.) untuk
penyadaran akan hak-hak adat mereka serta masa depan kehidupan anak cucu
mereka.
Di Paroki ini juga telah dibentuk kelompok tani karet, yang disebut ‘Buntak’ yang
bernaung di bawah seksi sosial-ekonomi DPP. Mereka mengadakan kegiatan bersama
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 97
penghijauan kembali tanah yang sudah gundul dengan menanam pohon-pohon karet.
Puluhan hektar lahan telah mereka selamatkan menjadi hutan karet yang sudah mulai
menghijau. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai kelompok cinta lingkungan dan
peduli masa depannya. Secara bergotong royong, mereka mengerjakan tanah mereka
tiap minggu secara bergantian di antara anggota.
3. Paroki Maria Ratu Semesta Alam, Sei Durian
Paroki MRSA Sei Durian terdiri dari tiga stasi dan 13 kring (lingkungan dalam kota).
Jumlah umat hingga akhir tahun 2010 adalah 3.010 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor Yohanes Hubertus
Reijnders, SMM (1979-1986); Pastor Viktor Germain Berset, CM (1986-1987); Pastor
Tarcisius Natawijaya, Pr. (1987-1991); Mgr. Isak Doera, Pr. (1991-1992); Pastor
Fransciscus Jansen, Pr. (1993-1996); Pastor Ewaldus, Pr. (1996-1998); Pastor Yohanes
Pranoto, Pr. (1998-2002); Pastor Sabinus Amir, Pr. (2002-2005); Pastor Vinsensius
Rato, Pr. (2005-2008); Pastor Matias Sala, Pr. (2008- sekarang).
Gereja MRSA di Sei Durian, Sintang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 98
Paroki MRSA didirikan tahun 1979, setelah puluhan tahun menjadi bagian yang disebut
sebagai Kring/Lingkungan Sei Durian dari Paroki Katedral. Walau saat itu statusnya
hanya sebagai lingkungan, tetapi Pastor selalu mengadakan Misa setiap hari Minggu
khusus untuk umat di lingkungan ini, pada sebuah aula di kompleks Sekolah
Kepandaian Puteri, Kartini. Pada tahun 1975, atas swadaya umat lingkungan sendiri,
berhasil dibangun sebuah Gereja di atas tanah Suster SMFA, di dalam kompleks SMKK
Kartini.
Tahun 1994, dibentuk panitia pembangunan gedung gereja baru, atas inisiatif Pastor
Frans Yansen, pastor paroki saat itu. Maka dimulailah pembangunan gedung gereja
baru di Mungguk Serantung yang mulai dipakai sepenuhnya pada tahun 1995 dengan
daya tampung sekitar 1.500 orang. Pastor Yansen bukan hanya sebagai pencetus ide,
Beliau juga pencari dana utama untuk pembangunan gereja ini. Gereja ini memiliki
delapan pilar utama, yang menurut Beliau merupakan simbol keberadaan delapan
kring/lingkungan di Paroki MRSA.
Pastoran terasa terlalu jauh dari gereja dan umurnya pun semakin tua. Karena itu Mgr.
Agustinus Agus merencanakan pembangunan pastoran baru sekaligus direlokasikan ke
dekat gereja. Tahun 2007 juga dimulai pembangunan pastoran baru di kompleks
wisma Yerusalem, bekas kompleks PGAK yang kini menjadi kompleks SMP Panca Setia
II. Pastoran yang lumayan megah ini diresmikan pada tanggal 19 Juni 2009.
Paroki ini pernah dipimpin oleh dua orang Pastor misionaris domestik, yaitu Pastor
Natawijaya, Pr, seorang imam diosesan dari keuskupan Denpasar, Bali, serta Pastor
Frans Yansen, Pr, seorang imam diosesan dari Belanda, dan paroki ini juga pernah
dipimpin oleh seorang Uskup, yaitu Mgr. Isak Doera sebagai Pastor Parokinya.
4. Paroki Maria Ratu Damai Semesta, Tempunak
Paroki Maria Ratu Damai Semesta, Tempunak terdiri dari 47 stasi sepanjang sungai
Tempunak, dengan total umat 8.942 jiwa hingga akhir tahun 2010.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Natalis Nong Napa , Pr;
Pastor Yosef Supit, Pr; Pastor Viktor Parera, Pr; Pastor Yakobus Kila, Pr; Pastor
Leonardus Miau, Pr.; Pastor Yohanes Pranoto, Pr; Pastor Makabeus Jawa, Pr; Pastor
Agustinus Rohmana Puguh Suwito, Pr; Pastor Yosef Padak Duli, Pr; Pastor Agustinus
Bahang, Pr; Pastor Sabinus Amir (2005-sekarang), Pr; Pastor F.X. Pintau, Pr (2009-2010)
dan Pastor Vincentius Yakobus, Pr (2010-sekarang )
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 99
Berdasarkan data baptis yang ada di Paroki (Katedral) Sintang, tercatat bahwa orang
Tempunak yang pertama kali dibaptis ialah seorang keturunan Tionghoa bernama
Petrus Yang Sak Siong. Beliau dibaptis di Pangkaluang pada tanggal 23 Oktober 1946
(LB no. 272), oleh Pastor H. L’Ortye, SMM, pastor Paroki Sintang saat itu. Pada hari
yang sama juga dibaptis dua orang anak di Kempas, yaitu Paulus Sung Jun Liet dan
Maria Sung Jun Tsin. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa pada tahun itu sudah
mulai ada turne dari para pastor di Sintang ke wilayah Tempunak.
Gereja MRDS dan Pastoran di Nanga Tempunak
Pelayanan pastoral oleh para misionaris menurut cerita umat di hulu sungai
Tempunak, pada tahun-tahun itu mereka dilayani dari Paroki Sepauk, yang saat itu
melayani bagian hulu Tempunak, khususnya daerah Sungai Kura dan sekitarnya.
Tentu saja tidak selalu dari Sepauk hulu, karena dari catatan turne, yang tidak
disebutkan namanya, 32 seorang pastor melakukan turne dari tanggal 26 Januari hingga
tanggal 15 Februari 1948 sepanjang sungai Tempunak. Mereka berngkat menuju
sungai Tempunak menggunakan perahu motor Nirub, bersama seorang guru, Pak
Rindah dari Pangkaluang. Kampung yang dilewati antara lain Ensibau, Repak, dan di
Pemali menginap di betang yang memiliki 8 pintu.
Pada tanggal 29 Januari mereka sudah tiba di Pangkaluang dan disambut oleh
Temenggung Hoesin. Di sana ada empat orang katekumen, antara lain Oetjil, anak
Tumenggung, lalu Sela, dan Sadan, yang berasal dari Ansok. Tanggal 2 Februari
mereka ke Selebak dan tinggal di betang yang memiliki 10 pintu. Di sini juga ada
katekumen, yaitu Dair, Radin, Manan, Selamat dan Raga. Tanggal 3 berada di Kempas,
tanggal 4 berada di Melimbuk yang hanya 20 menit jalan kaki dari Kempas. Tanggal 5
32 Karena Pastor H. L’Ortye pernah ke Tempunak, kemungkinan besar kali ini Beliau
kembali turne ke Tempunak, sekitar tiga minggu lamanya.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 100
berada di Jengkuat, tanggal 6 di Pekulai, tanggal 7 di Tembak. Tanggal 8 berada di
Serpang,dan tanggal 9 di Ancan. Hari berikutnya menuju Gobang Bidau dan Nanga
Manding dan terus ke hulu dan menyeberang ke hulu sungai Belimbing untuk kembali
ke Nanga Pinoh, tiba tanggal 5 Februari.
Pada masa-masa 1970-an, ada beberapa tokoh awam yang sangat berjasa bagi umat
Tempunak, baik sebagai guru maupun katekis dan pemimpin umat, yaitu Pak
Ambrosius Ambok dan juga belakangan Pak Daban sebagai guru agama dan Pak Paulus
Mitok sebagai guru umum di Sungai Kura. Pak Ambok akhirnya dipindahkan ke Mansik
untuk menangani sekolah yang baru saja didirikan di sana.
Karena melihat perkembangan positif, maka diputuskan Pulau Mandong menjadi
pusat pelayanan. Di kampung ini lalu dibangun sebuah gereja pada tahun 1979. Pastor
Natalis Nong Napa, Pr ditugaskan untuk khusus melayani wilayah Tempunak, hingga
wilayah ini menjadi sebuah paroki mandiri (terpisah dari Paroki Katedral) pada tahun
yang sama. Tahun 1980, karena alasan kurang strategis, maka pusat paroki
dipindahkan ke Nanga Tempunak, yang merupakan ibukota kecamatan Tempunak.
Setelah sekian lama menumpang di pastoran sungai Durian, baru pada tahun 1990,
atas inisiatif Pastor Yosef Supit, Pr, dibangunlah pastoran baru yang selesai dibangun
tahun 1996.
Tanpa melupakan dan tetap berterima kasih kepada semua imam yang pernah
melayani Paroki Tempunak, Umat sangat berterima kasih kepada Pastor Yosef Supit,
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 101
Pr., atas jasanya di bidang tanaman karet, termasuk juga untuk beberapa wilayah di
paroki Nobal dan Pandan.
Kerja kerasnya mendorong dan mengajarkan umat menanam tanaman karet telah
secara signifikan meningkatkan kesejahteraan umat di wilayah Tempunak. Beliau juga
menggalakkan dan melatih umat berkoperasi (Usaha Bersama). Karena jasa Beliau ini,
maka ketika Beliau meninggal, umat meminta agar Beliau di kuburkan di paroki
Tempunak, dan memilih Makong sebagai tempat peristirahatannya yang terakhir.
Pastor yang tidak memiliki ijasah filsafat teologi ini mendedikasikan kemampuannya,
sebagai mantan bruder yang memahami dunia pertanian dan perbengkelan, untuk
kesejahteraan umat yang dilayaninya.
5. Paroki Santo Martinus, Kelam
Paroki Sto. Martinus Kelam terdiri dari 23 stasi dengan total jumlah umat pada akhir
tahun 2010 ialah 4.942 jiwa. Rumah pastoran terletak di kampung Kenukut, yang
sekaligus sebagai pusat kecamatan Kelam.
Para Pastor yang pernah menjadi Pastor Paroki Kelam, ialah: Pastor Kees Smit, SMM
(1980-1985); Pastor Stephanus Budi Prayitno, Pr (1985-1992); Pastor Ewaldus, Pr
(1992-1996); Pastor Lukas Lamadua, Pr (1996-2002); Pastor Patrisius Piki, Pr (2002-
2005); Pastor Elias Silvinus Endi, Pr (2005-sekarang). Beberapa pastor anggota tim
Pastoral yang pernah berkarya di (dua) paroki ini ialah Pastor Agustinus Puguh, Pr;
Pastor Yohanes Pranoto, Pr; dan saat ini adalah Pastor Adi Wiratmo, Pr.
Sejak tahun 1931, wilayah Kelam dan sekitarnya adalah bagian dari paroki Katedral
Sintang dan baru menjadi paroki sendiri sejak tahun 1979. Sejak menjadi bagian dari
Paroki Sintang, sejak tahun 1940-an, daerah-daerah sekitar Kelam sudah mulai
dikunjungi oleh para pastor, yaitu kampung-kampung yang berada di pinggir sungai.
Pastor Aloysius Ding, SMM mulai mengarahkan perhatiannya untuk mengunjungi
daerah sekitar gunung Kelam pada tahun 1960. Setelah mengunjungi Penyaguk,
Nyakam dan Nanga Djetak, pada tanggal 21-24 Mei 1960, Beliau meneruskan turne,
mengunjungi kampung-kampung sekeliling gunung Kelam, seperti Kebong, Samak,
Merepak, , Ajak, Tekang dan Kenukut.
Pastor Aloysius Ding, SMM, kembali melakukan kunjungan ke kampung-kampung
sekeliling bukit Kelam pada tanggal 7-12 Agustus 1961. Beliau kembali mengunjungi
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 102
daerah ini, seperti sebelumnya, dengan menggunakan sampan berdayun masuk ke
daerah ini melalui Nanga Djetak, dari tanggal 12-16 Februari 1962. Beliau juga
melaporkan jumlah keluarga pada masing-masing kampung saat itu, yaitu 40 pintu
(KK) di Merepak; Kenukut 12 pintu; Kebong 18 pintu, Samak 12 pintu; Adjak 14 pintu;
Djongkong 10 pintu; empada 5 pintu; Dait 10 pintu; Djerora 10 pintu.
Gereja Sto. Martinus dan Pastoran, di Kenukut, Kelam
Selain Pastor Ding, beberapa pastor dari Paroki Katedral masa itu juga mengunjungi
dan melakukan pelayanan rohani secara berkala di daerah Kelam, seperti Pastor Elias
Kinson, Pr; Pastor Piet Derckx, SMM; Pastor A. van der Vleuten, SMM; Pastor Kees
Smit, SMM, dsb.
Sejak berdirinya paroki ini pada tahun 1979, pelayanan pastoralnya selalu disatukan
dengan Paroki Dedai, dalam sebuah tim pastoral yang dikepalai oleh seorang Pastor
Paroki, yang bertempat tinggal di kebong, Kelam. Hingga kini sistem ini masih dipakai,
bahkan Pastor Paroki saat ini, Pastor Elias Endi, Pr membentuk hanya satu Dewan
Pastoral Paroki, yang mewakili dan melayani kedua paroki ini.
Ketika Pastor Smit mulai bertugas di paroki ini, Beliau bertempat tinggal di
Katedral/Keuskupan. Begitu pula penggantinya, Pastor Budi Priyatno, Pr. Untuk
mempermudah pelayanan kepada umat, maka Pastor Budi menjadikan rumah Pak
Awan di Kenukut sebagai ‘pastoran’ yang melayani berbagai kebutuhan umat. Melihat
keadaan ini, pada tahun 1996, pada akhir masa jabatan Pastor Ewaldus sebagai Pastor
Parokinya, Mgr. Agustinus Agus mendirikan sebuah pastoran baru di Kenukut, yang
diresmikan pada tahun 1996. Pastor Lukas Lamadua, Pr sebagai pastor Paroki
pengganti menempati rumah baru ini, yang disusul oleh frater Patrisius Piki pada
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 103
tahun 1997, sebagai frater pastoral, yang diteruskan hingga ditahbis sebagai imam
pada tahun 1998, sebagai anggota tim pastoral dan tahun 2002 sebagai Pastor Paroki.
Karya Gereja bukanlah semata karya para imam. Paroki ini memiliki kader-kader umat
awam yang terdidik, terlatih dan giat. Tim pastoral para awam ini giat melaksanakan
ibadat, melakukan katekese serta pembinaan iman lainnya di berbagai stasi, terutama
untuk persiapan Baptis, Komuni pertama dan Krisma. Saat ini, delapan orang anggota
tim pastoral adalah Ulius Stapnadi, Yulianus Nadi, Setiadi Nalan, Silvester Inus, Markus
Lutu, Agnes Jubai, Haryono, dan Bartolomeus Gani. Yang terakhir ini adalah seorang
katekis keuskupan yang ditugaskan di Paroki Kelam.
6. Paroki Santo Petrus, Dedai
Paroki Sto. Petrus Dedai terdiri dari 44 stasi dengan total jumlah umat ialah 8.388 jiwa.
Karena menjadi sebuah tim kerja pastoral, maka pastoran paroki Dedai disatukan
dengan Paroki Kelam yang berada di Kenukut.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah para pastor yang juga berkarya di
paroki Kelam, karena sejak berdirinya, pelayanan Paroki Kelam dan Dedai dijadikan
satu dalam sebuah tim pastoral yang dikepalai seorang Pastor Paroki.
Sejak menjadi bagian dari Paroki Sintang, beberapa kampung di wilayah paroki Dedai,
yaitu yang berada di sepanjang sungai Melawi telah beberapa disinggahi oleh para
misionaris antara 1948-1955. Daerah yang sudah sering dikunjungi saat itu ialah
Gandis, Sona, Penyak Lalang, Nyakam, Nanga Dedai, sungai Manyam, dsb.
Tanggal 16-21 Juni 1959, Pastor Aloisius Ding, SMM mengunjungi daerah Penyaguk,
Nyakam dan Sona Prosa. Beliau ditemani oleh guru, yaitu Pak Amboik dan L. Lunjong.
Di Nyakam Beliau juga kembali ditemani oleh guru Daban. Beliau kembali mengunjungi
daerah-daerah ini pada tanggal 24 November hinggga 2 Desember 1958 dan
mengunjungi kampung Nyakam, Sona dan Doda serta pada tanggal 2-9 Maret 1959
dan 28-29 November 1959. Tanggal 21-24 Juni 1960, Beliau mengunjungi kampung
Sona dan Dedai. Beliau kembali mengunjungi kampung Penyak Lalang (Dedai), Sona,
Gandis dan Dait pada tanggal 22-26 September 1960 dan tanggal 16-20 Januari 1961.
Selama masa-masa ini Pastor Ding sering dibantu oleh dua tokoh awam saat itu, yaitu
Pak Daniel Gidon dan temenggung Blasius Belbas.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 104
Karya Pastor Ding Ngo, SMM dilanjutkan oleh Pastor Elias Kinson, Pr selama satu tahun
yang diganti oleh Pastor Piet Derckx, yang juga bertugas hanya setahun. Setelah itu
wilayah ini dilayani oleh Pastor Kees Smit, SMM. Pastor yang dikenal sangat rajin turne
dan senang tinggal bersama umat selama beberapa hari bila Beliau turne ini, karena
melihat terbatasnya tenaga, maka sejak awal bertugas langsung mengutus seorang
awam, yaitu Pak Yohanes Junit untuk mengikuti kursus menjadi pemimpin umat. Pak
Junit sangat berjasa dalam membina
dan mendidik para calon baptis,
calon suami isteri serta kegiatan
pastoral dan katekese lainnya.
Kemudian menyusul beberapa kursus
bagi calon pemimpin umat untuk
memenuhi kebutuhan setiap
kampung dalam memimpin ibadat
serta kegiatan pastoral lainnya.
Pada masa ini, Penyak Lalang
dijasikan sebagai pusat pelayanan, di
mana umat dari berbagai kampung
datang Misa atau ibadat ke tempat
ini di setiap hari Minggu dan hari
raya.
Selain itu juga beberapa tokoh umat
sangat membantu karya Pastor Smit
serta pastor-pastor sesudahnya,
seperti Pak Julut dan dan Pak Ingot
dari Manyam, Pak Juluing dan Jaboi
dari Rasok, Pak Mayur dari Rambun, Pak Patah dari Merah Air, Pak Adam dari
jangkang, Pak Nian dari Kumpang, Pak Remidan dari Lumut, dan Isut dan Pak Jiram dari
Beragah, Pak Banai dari Mengkirai, Pak Tambai dan Pak Marjaong dari Lebak Layang.
Pastor van der Vleuten, SMM menggantikan Pastor Smit, SMM. Selama Beliau
bertugas, daerah ini sedang terserang paceklik panjang, sehingga Beliau sering
melakukan pelayanan sosial-karitatif berupakan pembagian tepung jagung, bulgur,
kacang-kacangan, serta pakaian layak pakai. Beliau digantikan oleh Pastor Matius
Rampai, Pr yang mulai menggerakkan kaum muda dengan berbagai pertemuan serta
pembinaan bagi mereka. Setelah resmi menjadi sebuah paroki, wilayah ini kembali
dilayani oleh Pastor Kees Smit, SMM.
Pertengahan tahun 1985, Pastor Stefanus Budi Prayitno, Pr menggantikan Pastor Kees
Smit. Pada masa Beliau ini, banyak jalan darat mulai dibuka sehingga banyak kampung
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 105
bisa dicapai melalui jalan darat dengan sepeda motor, walaupun harus jatuh bangun
dan berkubang lumpur. Dalam ketekunan dan pengabdiannya, pastor yang satu ini
lemah sekali dalam administrasi, terutama kelalaian dalam memasukan data baptis,
pernikahan atau krisma ke dalam Buku Paroki. Tahun 1992, Pastor Ewaldus, Pr
ditugaskan ke daerah ini hingga tahun 1996. Beliau kembali mengaktifkan beberapa
kegiatan rohani seperti lomba koor dan Kitab Suci, dsb. Tahun 1996, seusai tahbisan,
Pastor Lukas Lamadua, Pr langsung ditempatkan untuk paroki Kelam dan Dedai, yang
dibantu oleh Frater Patrisius Piki. Pastor Lukas selain melakukan dan melanjutkan
karya pastoral yang ada, juga mulai membenahi kembali data paroki, terutama data
Baptis, Komuni, Krisma dan Perkawinan yang mana banyak sekali tak tercatat dalam
Buku Paroki oleh pendahulunya. Pastor yang suka makan sirih-pinang ini akhirnya
mengadakan “Buku Ekstra” untuk menampung berbagai data yang hilang. Frater Patris
juga akhirnya ditempatkan di tempat yang sama setelah ditahbiskan sebagai imam
pada tahun 1998 dan bertugas sebagai pastor anggota tim pastoral hingga tahun 2005.
Tahun 1985, Pastor Elias Silvinus Endi, Pr ditugaskan ke Paroki Kelam dan Dedai. Pastor
ini sangat tekun berturne walau salah satu tempurung lutut kakinya sudah lama tidak
berfungsi baik. Beliau membentuk DPP, mengaktikan kembali kegiatan dan kursus atau
pembinaan bagi pemimpin umat, calon pemimpin umat, kaum muda, juga anak-anak
dalam wadah Sekami serta kursus persiapan perkawinan, dsb. Beliau sempat dibantu
beberapa saat oleh Pastor Puguh Suwito, Pr dan Pastor Yohanes Pranoto, Pr. Sejak
Agustus 2010, Beliau dibantu secara tetap oleh Pastor Adi Wiratmo, Pr (Pastor Mamo)
sebagai angota tim pastoral paroki Kelam dan Dedai.
Beberapa katekis pernah ditugaskan di daerah ini, yaitu Pak Viktor Bando, Pak
Martinus Oyotring, Pak Yohanes Pelaun, Pak Bartolomeus Gani, Pak Antonius Deku,
dan Pak Abdias. Tentu saja ada banyak tokoh awam yang aktif terlibat dalam berbagai
aktivitas pastoral, baik di tingkat paroki maupun di tingkat stasi.
Para frater yang pernah bertugas di wilayah ini ialah Fr. Vincentius Yakobus, Fr.
Paschasius Triyono, Fr. Sabinus Amir, Fr. Thomas Kuslin, Fr. L. Miau, Fr. Sukarto, Fr.
Gaby, Fr. Fritz, Fr. Abong, Fr. Robert Mosa, dan Fr. Rispan, SMM.
Paroki ini sudah menghasilkan dua orang imam, yaitu Pastor Fransiskus Pintau, Pr dan
Pastor Fransiskus Leo, Pr. Proficiat.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 106
7. Paroki Santa Maria Ratu Rosario, Lebang
Paroki Santa Maria Ratu Rosario, Lebang terdiri dari 34 stasi dengan total jumlah umat
ialah 6.283 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya sebagai Pastor Paroki ini, ialah: Pastor Yakobus Rua
Bai, SMM (2010-sekarang); Pastor Yohanes Suri, SMM (2007-2010); Pastor Yohanes
Sumadi, SMM (2003-2007); Pastor Antonius Dwi R. Arifin, SMM (2001-2003); Pastor
Stefanus Seli, SMM (1998-2001); Pastor Ignatius Widodo, SMM (1994-1998); Pastor
Budi Prayitno, Pr; Pastor Kees Smit, SMM; dan Pastor Piet Derckx, SMM.
Pastor-pastor lain yang pernah berkarya di Paroki Lebang, ialah Pastor Emanuel B.
Ngatam, SMM; Pastor Fransiskus B. T. SMM; Pastor Marcadius Golo, SMM; dan Pastor
Yan Ngumban, Pr.
Gereja Santa Maria Ratu Rosario, di Lanjing
Wilayah Lebang, khususnya Nanga Lebang sudah sering dikunjungi sejak berdirinya
paroki Sintang pada tahun 1932. Bagian dalam (darat) paroki ini belum dikunjungi. Dari
data laporan turne, wilayah hulu sungai Lebang pernah dikunjungi antara tahun 1953-
1959.
Pada masa itu misi Katolik masih asing di wilayah sungai Lebang. Mulanya iman katolik
masuk ke wilayah Lebang ini adalah diperkenalkan oleh seorang tokoh yaitu Bapak
Petrus Djudi (alm). Beliau berasal dari kampung Bubur (wilayah Pelimping sekarang
ini). Bapak Petrus Djudi ini merantau ke Sintang dan menjadi salah seorang pengurus
PPD (Partai Persatuan Dayak). Selama dalam perantauan dan pergaulan bersama
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 107
teman-teman, Beliau melihat iman Katolik dan merasa tertarik untuk mengikutinya.
Pada tahun 1955 PPD tidak masuk dalam pemilu dan dibubarkan karena bersifat
kedaerahan, maka Beliau pulang ke kampung dengan membawa keinginan untuk
mengembangkan iman Katolik di kampungnya di Bubur.
Pada tahun 1957 di kampung Bubur, Bapak Petrus Djudi mulai memperkenalkan
agama Katolik kepada keluarga-keluarga dekatnya, dan mulai dengan belajar
katekumen bersama.Walaupun Bapak Petrus DJudi sendiri belum dibaptis, Beliau bisa
membimbing keluarganya dalam masa persiapan katekumen ini. Tahun 1959, Pastor
Vleuten berkesempatan masuk sepanjang sungai Lebang, dari tanggal 12-22 Maret
1959. Beliau mengunjungi kampung Nanga Lebang, Nanga Pintas, dan tanggal 17
Maret bertemu dengan Pak Djudi, berdayung terus ke hulu sungai, ke Pelimping,
Lanjing dan Bengkuang. Pada masa turne inilah Pastor Vleuten dan Pak Petrus Djudi.
Pastor Vleuten kembali mengunjungi sepanjang sungai Lebang dari tanggal 21-1
Desember 1960.
Masa persiapan katekumen ini ternyata cukup lama. Baru pada tahun 1961 Pastor Van
der Vleuten, SMM mengajak 9 orang katekumenat ini ke Sintang dan dibaptis di Gereja
Katedral Sintang (data Baptisan tercatat di Paroki Katedral). Sembilan umat perdana ini
adalah, Bapak Petrus Djudi, Ibu Lusia Enta, Bapak Alypius Gesang, Ibu Yosepha Sinda,
Bapak Aloysius Sarap, Ibu Itut, Bapak Hiasintus Sekadang, Bapak Penggang, dan Bapak
Yohanes Saka. Dari 9 orang ini yang masih ada hingga hari ini hanya tinggal 3 orang
saja, sedangkan yang lainnya sudah meninggal.
Dari tahun 1960 wilayah Lebang ini sebagai salah satu stasi yang bergabung dengan
Paroki Katedral Sintang mendapat pelayanan dua kali setahun oleh Pastor Van
Vleuten, SMM. Beliau merupakan pastor pertama yang melayani stasi Lebang dan juga
sebagai Imam Montfortan pertama yang melayani umat stasi Lebang.
Tahun 1961, Pastor van der Vleuten digantikan oleh Pastor van Cuyk, SMM. Pastor ini
langsung mengunjungi sungai Lebang dari tanggal 6 -16 januari 1961. Dalam turnenya
dari tanggal 27 Desember 1961 hingga 15 Januari 1962, ada banyak sekali calon
katekumen, yaitu 26 orang di Bengkuang, 40 orang di Belepung, 124 orang di
Serangas, 7 orang di Sei Pukat, 84 orang di Sepan, 65 orang di Lanjing, dan 43 orang di
Pelimpin. Pastor van Cuyck melayani hingga tahun 1967.
Pada tahun 1968 Pastor Piet Derckx, SMM menggantikan Pastor van Cuyk SMM. Beliau
mulai dengan mendirikan Sekolah Dasar (dulu SR). SD ini masih eksis hingga sekarang
yaitu yang kita kenal dengan SD Swasta Lanjing. Dengan dibukanya SD di Lanjing ini,
Umat Katolik di stasi Lebang mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Jumlah
umat bertambah sangat pesat karena di sekolah juga diajarkan agama Katolik.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 108
Pada tahun 1974 Pastor Cornelis J. Smit, SMM menggantikan Pastor Piet Derckx, SMM
sebagai Pastor Lebang. Pastor Smit dikenal sebagai pastor yang sangat akrab dengan
umat dan sangat rajin turne ke kampung-kampung. Pada tahun 1979, Stasi Lebang
berubah status menjadi Paroki Lebang. Paroki ini mengambil nama Lebang karena
wilayah Paroki ini berada pada daerah aliran sungai (DAS) Lebang, dari hulu sampai ke
Nanga Lebang. Sebagai paroki baru, sejak tahun 1979, Pastor Kees Smit adalah Pastor
Paroki Lebang yang pertama. Beliau melayani umat Paroki Lebang dari tahun 1974
hingga tahun 1995, alias selama 21 tahun. Umat paroki Lebang terutama kalangan tuatua
sangat terkesan pada pastor ini karena Beliau sangat membaur dengan umat dan
kalau turne betah berlama-lama di kampung.
Tahun 1995, Pastor I. Widodo, SMM menggantikan Pastor Kees Smit, SMM. Beliau
mulai memikirkan untuk mendirikan gedung gereja sebagai Gereja pusat paroki,
karena di pusat paroki hanya memiliki sebuah kapel sederhana yang berdinding papan.
Rencana ini akhirnya terwujud ketika Gereja pusat paroki selesai dibangun dan
diresmikan pada tahun 1998 di Lanjing. Saat bersamaan juga memberi nama baru
untuk paroki, yaitu Paroki Maria Ratu Rosari, Lebang, mengikuti nama pelindung
Gereja pusat paroki. Sejak masih sebagai berstatus sebagai stasi dari paroki Katedral
Sintang hingga sekarang, wilayah paroki Lebang dilayani oleh para imam Serikat Maria
Montfortan (SMM).
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 109
Keadaan ekonomi umat Paroki Maria Ratu Rosari Lebang, pada umumnya adalah
petani, khususnya karet. Belakangan ini juga mulai dimasuki oleh perkebunan kelapa
sawit yang menyerap lahan yang sangat luas sehingga petani karet mulai sulit
meluaskan kebun karet mereka. Pola hidup pun mulai berubah. Karena itu, Paroki,
melalui Dewan Pastoral Paroki, tetap mendorong umat untuk pertahankan lahan yang
masih ada untuk ditanami karet dan mengolah lahan rawa-rawa untuk dijadikan
persawahan serta mulai dengan kolam untuk beternak ikan.
Paroki ini belum menghasilkan imam dan bruder, namun hingga tahun 2011 ini, paroki
Lebang sudah menghasilkan 2 (dua) orang suster yang sudah berkaul dan 1 orang
suster yang baru postulat serta 5 orang seminaris. Para suster berasal dari Paroki
Lebang ialah, Sr. Indrawati, ALMA, yang bertugas di Medan, dan Sr. Marsinta, OSC Cap,
seorang rubiah Kapusin yang bertugas di Sarikan.
8. Paroki Santo Mikael, Tanjung Baung
Paroki Sto. Mikael, Tanjung Baung terdiri dari 52 stasi, yang dibagi atas empat Dewan
Pastoral Wilayah. Jumlah umat seluruhnya hingga akhir tahun 2010 adalah 6.976 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Yohanes Ngumbang, Pr.
(1979-1994); Pastor Makabeus Jawa, Pr. (1994-2001); Pastor Agustinus Puguh Suwito,
Pr; Pastor Yosef Padak Duli, Pr; dan Pastor Hengky Ladjar, Pr (hingga sekarang).
Sejak Gereja memasuki daerah Sintang pada tahun 1932, daerah Ketungau Hulu dan
Hilir sudah mulai agark rutin dikunjungi oleh para pastor dari Sintang. Pastor Cassius,
OFM Cap turne ke daerah Ketungau pada pertengahan bulan Juli hingga awal agustus
1932. Turne pertamanya ini bertujuan semata untuk mengamati kemungkinan
membuka misi di daerah Ketungau dan Belitang.
Di kampung Ampoh, Beliau bertemu dengan Pak Senjan, kepala kampung setempat.
Atas ajakan Ambrosius Gemoek dari kampung Tenduk, Pak Senjan hendak merelakan
puterinya, Lindan untuk dibawa ke Sintang, tinggal dengan dan dididik oleh para
suster. Walau agak tertunda, Lindan akhirnya berangkat dan tinggal di Sintang pada
tanggal 8 Agustus 1932 dan disusul oleh Empajoeng, puteri dari Ambrosius Gemoek
pada tanggal 6 Oktober 1932. Lindan dibaptis di Sintang pada tanggal 17 April 1933 di
kapel suster dan diberi nama baptis Anastasia Cornelia dan Empajoeng dibaptis
tanggal 15 Agustus 1933, juga di kapel suster. Theresia Empajoeng dan Cornelia Lindan
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 110
menerima sakramen krisma pada tanggal 8 Oktober 1933 dari tangan Mgr. Bos, OFM
Cap.
Gereja Sto. Petrus di Dak Jaya
Juga dibaptis oleh Pastor Fulgentius pada masa itu ialah Maria Foelih dari kampung
Engkirap pada tanggal 14 Juni 1933; Paulus Giring dari kampung Muakan yang dibaptis
pada tanggal 18 Juni 1933; Theophilus Kasim dari kampung Merekak yang dibaptis
pada tanggal 24 Juli 1933; dan Yakobus Samat dari kampung Seputan, yang dibaptis
pada tanggal 9 Desember 1933. Selain warga pribumi, beberapa warga keturunan
Tionghoa pun ada yang sudah dibaptis, di antaranya Markus Sum Kis Khoe, yang
berdiam di Belitang. Bulan juni tahun 1934 ia memperbaiki perkawinannya dengan
Sulau, puteri Dayak dari Belitang. Maria Cecilia Rinti dari Ampoh, yang dipermandikan
tanggal 14 Juli 1935, menikah dengan Fransiskus Mangga pada tanggal 24 Februari
1936.
Tangga 23 Maret 1938 datang Pak Nyurai sebagai guru agama di Ampoh dan tanggal
16 Oktober 1938 datang seorang guru agamayang baru, yang ditugaskan ke Nanga
Merekak, yaitu Pak M. Rudin untuk menggantikan Pak A. Jantung yang sudah pindah.
Demikian juga perkawinan beberapa umat di Ampoh, di antaranya Laurensius Biran
yang hendak diperbaiki perkawinannya tetapi agak tertunda dan baru menikah secara
Gerejani pada tanggal 29 April 1936 dengan Belayau, seorang puteri yang juga
dipermandikan pada hari yang sama.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 111
Pastor Fridolinus, OFM Cap yang mengganti pastor Fulgentius untuk sementara,
melakukan beberapa kali turne ke Ampoh dan daerah Belitang pada tahun 1933.
Tanggal 16 Januari 1933 Beliau bersama Pastor Fulgentius membawa lima orang
putera dari Ampoh dan daerah Belitang ke Sanggau untuk bersekolah di Lintang. Sejak
tahun 1935, daerah Belitang, khususnya kampung Ampoh mulai agak rutin dikunjungi
Pastor. Antara tahun 1936-1944, banyak orang Ampoh yang ramai turun ke Sintang
untuk menghadiri Misa Natal dan Paska. Tangal 23 Maret 1938, seorang guru, yaitu
Pak Nyurai mengajar di Ampoh dan sayangnya ia dipindahkan ke Sanggau pada bulan
Juni 1941.
Sejak tahun awal tahun 1970-an, Pastor Yohanes Ngumbang mulai bekerja di wilayah
ini dan mengabdi di paroki ini cukup lama. Beliau merupakan Pastor pertama yang
ditugaskan secara penuh hanya untuk wilayah ini. Beliau sudah ditugaskan melayani
wilayah Ketungau dan Belitang sejak daerah ini masih menjadi bagian dari Paroki
Katedral Sintang. Ketika Tanjung Baung menjadi Paroki, kembali Beliau ditunjuk
sebagai Pastor parokinya. Beliau diganti oleh Pastor Makabeus Jawa, Pr yang bertugas
selama tujuh tahun. Karena belum memiliki pastoran sendiri, Pastor Max bertempat
tinggal di Pastoran Sei Durian. Demikian pula para pastor berikutnya, seperti Agustinus
Puguh Suwito, Pr dan Pastor Yosef Padak Duli, Pr. Bapak Uskup memutuskan bahwa
Pastor paroki Tanjung Baung bertempat tinggal atau hidup berkomunitas di pastoran
Nanga Tempunak.
Karena perubahan peta wilayah kepemerintahan, terutama terbentuknya kecamatan
baru dan terbukanya beberapa ruas jalan darat lintas utara yang melintasi wilayah
paroki ini, maka kini sedang dipikirkan untuk menetapkan pusat paroki yang baru.
9. Paroki Santa Maria Imakulata, Merakai
Paroki Santa Maria Imakulata, Merakai terdiri dari 43 stasi dan
seluruhnya hingga akhir tahun 2010 adalah 8.568 jiwa.
jumlah umat
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, antara lain, Pastor Yohanes Ngumbang,
Pr; Pastor Benediktus Ragha, SVD; Pastor Hendrik Rehi Manuk, SVD; Pastor Yosef
Kapitan Teluma, SVD; Pastor Petrus Kaju, Pr; Pastor Yosef Due SVD; Pastor Pachasius
Triyono, Pr (2009-sekarang); Pastor Fransiskus Leo, Pr (2011-sekarang)
Dari catatan Pastor Fulgentius, OFM Cap, disebutkan bahwa Pastor Cassius, OFM Cap
ketika melakukan turne ke hulu Ketungau dalam rangka mengamati wilayah tersebut
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 112
pada tahun 1932, Beliau bertemu dengan Pak Ambrosius Gemoek, kepala kampung
Merka (Merekak). Pak Ambrosius Gemoek ternyata dahulunya bersekolah di Sejiram
dan dipermandikan di Lanjak oleh Pastor Flavianus. Pak Ambrosius Gemoek, dari
inisiatifnya sendiri telah rajin mewartakan agama Katolik di daerah sekitarnya, walau
belum pernah dikunjungi oleh seorang imam pun. Ketika bertemu dengan Pastor
Cassius, merupakan saat yang sungguh menyenangkan dan hiburan yang luar biasa,
karena Gereja akan mulai masuk ke daerah Ketungau. Selain meminta Pastor
memberkati perkawinan mereka agar sah secara Katolik, karena isterinya belum
dibaptis, Pak Gemoek juga merencanakan untuk mengirimkan puterinya, Empajoeng
yang baru berumur 10 tahun, untuk dididik oleh para suster di Sintang agar dapat
dibaptis. Niat ini baru direalisasikan pada tanggal 15 Agustus 1933, ketika Empajoeng
dibaptis dan diberi nama baptis Theresia. Selain Empajoeng, pada tahun 1933, dari
kampung Merekak, juga dibaptis Theophilus Kasim, yang saat itu baru berumur dua
tahun.
Gereja Sta. Maria Imakulata, di Nanga Merakai
Sejak menjadi paroki sendiri pada tahun 1979, Paroki Merakai ditangani oleh para
Imam Soverdi (SVD), yaitu Pastor Benediktus Ragha, SVD; Pastor Stefanus Mite, SVD;
Pastor Hendrik Rehi Manuk, SVD; Pastor Yosefus Kapitan Teluma, SVD; dan Pastor
Yohanes Lado, SVD. Saat itu wilayah paroki ini masih termasuk wilayah paroki
Senaning hingga tahun 1995.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 113
10. Paroki Santo Paulus, Tuguk
Paroki Santo Paulus Tuguk, seluruhnya terdiri dari 20 stasi dan jumlah umatnya hingga
akhir tahun 2010 adalah 8.059 jiwa.
Para pastor yang pernah melayani pada wilayah paroki ini ialah : Pastor Ignasius Assan
Kerans Pr (1996-1998); Pastor Louis Bona, Pr (1998-2003); Pastor Paulus Pati Lein, Pr
(2004-2010); Pastor Yosef Dosi, Pr (2010-sekarang)
Sejak berdirinya Paroki Nanga Pinoh pada tahun 1949, Paroki Tuguk, karena
merupakan bagian dari anak sungai Melawi, maka dilayani dari Nanga Pinoh. Paroki
yang berada di hilir sungai Kayan dan sepanjang sungai Inggar ini sudah mulai teratur
dikunjungi sejak tahun 1950-an. Dari tanggal 5 – 11 Agustus 1953, Pastor Schellart
menungjungi Gandis dan Nanga Kayan. Dalam laporannya pada tahun 1956, Pastor
Anton Bernard melaporkan jumlah keluarga di daerah Dedai dan Tuguk, yaitu di Sei
Manan ada 27 pintu, Pauh memiliki 39 pintu ( 6 pintu Protestan), Merempit 17 pintu,
Pengan 28 pintu, Menaung 23 pintu, Emparuh 15 pintu, Paka 23 pintu, dsb.
Sejak tahun tahun 1959 kampung Tuguk, Kemayau, Nyangkom, Sungai Manan, sudah
semakin sering dikunjungi dari Nanga Pinoh. Dalam kunjungannya dari tanggal 17 Juni
hingga 1 Juli 1960, Pastor Anton Bernard, SMM melaporkan bahwa Beliau
mengunjungi kampung-kampung di atas itu. Di Tuguk Beliau bertemu dengan
Tumenggung Djai, di Nyangkom Beliau bertemu dengan seorang guru, yaitu Pak
Bansang. Dalam kunjungannya ini Beliau mempermandikan beberapa orang dan
menikahkan beberapa pasangan.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 114
11. Paroki Santo Yosef, Nanga Mau
Paroki Santo Yosef, Nanga Mau terdiri dari 30 stasi dan jumlah umat seluruhnya
hingga akhir tahun 2010 adalah 5.318 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah Van Cuyk, SMM (1974 – 1981);
Jacques Massen, SMM (1981–1984 dan 1986-1988); Vedastus Ricky, Pr. (1981);
Matias Lunggai, Pr (1984-1986); Valentino Bosio, CM (1986-1991); Bani Suatmaji, CM
(1991-1994); Vincentius Yakobus, Pr (1994-1996); Agus Sudaryanto, CM (1996-1998);
Yakobus Kila, Pr (1998-2000); Silverius Orwan, Pr (2001-2007); Gabriel Dwiatmoko, Pr.
(2007-2010); Antonius Isnadi Wibowo, Pr (2010 – sekarang).
Sejak Nanga Pinoh menjadi sebuah paroki pada tahun 1949, daerah sungai Kayan, baik
Nanga Mau maupun Tuguk, dilayani dari Nanga Pinoh. Dari catatan turne, disebutkan
bahwa Pastor A. Schellart, SMM mengunjungi dan masuk sungai Mau antara tanggal
17-22 April 1953. Sepertinya hal ini hanya merupakan turne perkenalan saja, karena
Beliau lebih bayak mencatat keadaan umat, termasuk penyakit-penyakit yang
menyerang di daerah tersebut ketimbang catatan mengenai kegiatan pastoral atau
rohani. Maka tidaklah heran, tidak lama kemudian Beliau kembali turne ke daerah
sungai Kayan dari tanggal 29 April hingga 3 Mei 1953. Pada kunjungan kedua ini Beliau
sampai ke Tuguk.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 115
Mulai tahun 1974 Pastor Harrie van Cuyck, SMM beberapa kali memasuki wilayah
sungai Kayan, memasuki daerah Nanga Mau, Tuguk dan Tebidah di Kayan hulu, yang
saat itu merupakan wilayah paroki Nanga Pinoh. Setelah beberapa kali datang ke
daerah ini, akhirnya banyak umat mulai berminat dengan ajaran dan iman Katolik.
Baptisan pertama akhirnaya terlaksana pada tanggal 27 September 1975, yaitu Bapak
Andreas Simon Fajar dan Yustina Karni Hernani, oleh Pastor Van Cuyk SMM sendiri.
Beliau tidak hanya mewartakan Kristus dan InjilNya, tetapi juga mengumpulkan umat
untuk diberi pencerahan mengenai berbagai hal, mengobati orang-orang sakit, bahkan
juga memutar slides. Beliau rajin mengunjungi keluarga-keluarga.
Pada masa-masa awal hingga dasawarsa pertama sebagai sebuah paroki, pewartaan
dan pendidikan iman Katolik tidak hanya dilakukan oleh para pastor. Ada beberapa
awam yang sangat membantu, di antaranya ialah Bapak P.L. Bangan Bapak Niko Nuba.
Pada saat menjadi paroki pada tahun 1979, jumlah umat sekitar 500-an orang dan
lebih dari seribu simpatisan.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 116
12. Paroki Salib Suci, Tebidah
Paroki Salib Suci, Tebidah, terdiri dari 24 stasi dan jumlah umat seluruhnya hingga
akhir tahun 2010 adalah 4.701 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: 1. Elias Kinson, Pr (1972-1975);
2. Harrie van Cuyck, SMM, (1975-1982); 3. Vedastus Riki, Pr, (1982-1983); 4. Jacques
Maesen, SMM (1983-1984); 5. Stepanus Mite, SVD (1984-1985); 6. Natalis Nong Napa,
Pr (1985-1987); 7. Bosio Valentino CM (1987-1991); 8. Bani Suatmaji, CM (1991-1994);
9. Sabinus Amir, Pr (1994-2001); 10. Aloysius Adi Wiratma, Pr (2001-2008); 11.
Leonardus Miau, Pr (2008-2010); 12. Markus Suwito, Pr (2010-Sekarang).
Gereja Salib Suci di Nanga Tebidah
Daerah Tebidah sudah mulai dilayani sesekali dikunjungi sejak tahun 1950-an, ketika
gereja mulai berdiri di Nanga Pinoh. Kunjungan dilakukan dari nanga Pinoh karena
transportasi air di mana sungai Kayan bermuara di sungai Melawi. Menurut penuturan
orang-orang tua, kapel pertama dibangun tahun 1972 di daerah Laon Menggiling, yang
diberi nama kapel Sto. Markus.
Tahun 1975, sebagai bagian dari paroki Nanga Pinoh, di Tebidah didirikan sebuah
kebapukan serta sebuah kapel yang diberi nama kapel Santa Maria yang berukuran
kurang lebih 6x8m. Pembangunan kapel sederhana ini disponsori oleh Mantra Tomet.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 117
Beliau berasal dari Anjungan. Tahun 1979, bersama dengan paroki lainnya, Tebidah
menjadi sebuah paroki baru yang terpisah dari Nanga Pinoh.
kemudian pada tahun 1993 terbangun kelompok basis dari anak-anak SD oleh Mantra
Tomet Setahun kemudian kelompok basis anak-anak SD ini dilanjutkan oleh salah satu
guru SDN 01 Nanga Tebidah yang bernama Petrus Banjar dari Longkong Potah.
Kebapukan tersebut terdiri dari 4 kebapukan, yaitu:
1. Kebapukan Laon Menggiling : Bp. Danel Adok
2. Kebapukan Nanga Tebidah, : Bp. F. PAntong
3. Kebapukan Empakan, : Bp. Hardiman K
4. Kebapukan Lintang Tambuk, : Bp. Markus Udat.
Adapun kebapukan tersebut berjalan mulai dari tahun 1975 sampai 1984. Seiring
dengan berjalannya kebapukan berdiri beberapa kapel antara lain, Pelaik Tonggoi,
Jolai, Empakan, Lintang Tambuk, Bangau, Menaluk dan Madak, yang dibangun
menggunakan dana subsidi desa gaya lama dan pada tahun 1985 berdirilah sebuah
paroki Salib Suci Nanga Tebidah yang waktu itu pastor pertamanya adalah pastor
Natalis Nongnapa dan sekaligus membangun gereja di pusat Paroki. Selanjutnya
pembangunan tersebut diselesaikan oleh P. Basio Valentino, CM pada tahun 1987
yang diresmikan oleh camat Kecamatan Kayan Hulu. Melihat kondisi perkembangan
umat yang begitu pesat, maka pada tahun 2005 dibangunlah gereja baru yang
peletakan batu pertama dilakukan oleh Bupati Sintang, Drs. Simon Djalil dan
diresmikan oleh gubernur Kalimantan Barat, bapak Cornelis SH,MH yang diwakili oleh
Drs. Liong MM pada tanggal 25 Juni 2009. Seiring berjalannya waktu dan
perkembangan umat sehingga di Paroki Salib Suci ini membawahi 25 Stasi dan 6
Lingkungan serta kurang lebih jumlak KK umat katolik adalah 1.324 kk.
13. Paroki Santo Petrus & Andreas, Sepauk
Paroki Santo Petrus dan Andreas, Sepauk adalah paroki dengan jumlah stasi dan
jumlah umat yang terbesar di keuskupan Sintang. Paroki ini memiliki 81 stasi dengan
jumlah umat seluruhnya pada akhir tahun 2010 adalah 14.176 jiwa. Paroki ini juga
selalu menghasilkan jumlah baptisan, komuni pertama dan krisma yang paling besar
dibandingkan dengan paroki-paroki lainnya.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 118
Rekap perkembangan umat tahun 2010
BAPTIS
KOMUNI KRISMA PERKAWINAN
< 1 thn 1-7 < 7 thn > 7 thn
201 162 413 159 1.096 305
Para pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah:
Pastor Adrianus van der Vleuten, SMM (1947-1950 dan 1954-1970); Pastor Cornelis
Smit, SMM (1070-1977); Pastor Fransiskus Luiten, SMM (1977); PastorAndre Hebting,
OMI (1977-1999); Pastor Markus Boli Witin, OMI (1997-2001); Pastor Tarsisius Eko
Saktio, OMI (1999-2005 dan 2006-sekarang); Pastor Jacques Chapuis, OMI (2001-
sekarang); Pastor Antonius Widiatmoko, OMI (2005-2007).
Sejak didirikan Paroki Sintang pada tahun 1931, pelayanan rohani mulai juga dilakukan
kepada daerah-daerah sekitar Sintang dan baru setelah kemerdekaan negeri ini, misi
ke daerah Sepauk dilakukan lebih rutin. Tercatat dalam Buku Baptis paroki Katedral,
pastor Fulgentius OFM Cap membaptis Josef Keladi, yang berasal dari Sepauk (LB 24),
pada tanggal 13 September 1933, di Sintang. Pastor Wilbertus de Wit, OFM Cap dalam
turnenya ke daerah Sepauk, membaptis beberapa bayi, yaitu Elisabeth Then Tshoen
Jin (LB 275), Maria Then Tshoen Moi (LB 276), dan Antonius Then Tshoen Kiong (LB
277), pada tanggal 9 November 1946, di Nanga Sepauk.
Gereja Sto. Petrus dan Andreas, di Nanga Sepauk
Tercatat dalam arsip turne bahwa, ada pastor yang mengunjungi Kelitau, Sei Enjibau
dan sungai Sepauk dari tanggal 3 hingga 31 Maret 1948. Pastor Adrian van der
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 119
Vleuten, SMM mengunjungi daerah Kelitau dan Libau pada tanggal 16 Desember 1948
hingga 12 Januari 1949. Tidak lama kemudian Beliau kembali turne ke daerah Sepauk
dari tangga 13 April hingga 10 Mei 1949. Kali ini dimulai dari Nanga Sepauk terus ke
hulu. Tanggal 19 April mereka sudah berada di Sejamban dan sepuluh hari kemudian
sudah berada di Sepinang. Tanggal 2 Mei berada di Banai, dan tanggal 4 sudah berada
di Kambung, dan hari berikutnya menuju Kandis. Mereka melanjukan kunjungan ke
beberapa kampung di daerah itu hingga tanggal 10 Mei 1949. Tanggal 10 Mei mereka
menyeberang ke daerah Tempunak, yaitu menuju kampung Pangkaluang dan
mengelilingi hulu Tempunak hingga tanggal 28 Mei 1949.
Turne berikutnya ialah dari tanggal 23 September hinga 16 Oktober 1949, yang mana
Beliau mengunjungi antara lain kampung Engkelitau, Sejamban, Banai, Sepinang,
Galong, dsb. Sama seperti sebelumnya, misionaris balik ke Sintang melalui
Pangkaluang. Mungkin karena pola ini, maka wajarlah bahwa orang-orang hulu
Tempunak zaman itu bercerita bahwa para Pastor yang melayani mereka datang dari
daerah Sepauk.
Tahun 1953 (18-25 Mei) Pastor Lambertus van den Boorn, SMM mengunjungi
kampung Engkelitau, Sejamban, Ensibau dan Banai. Selanjutnya Pastor Josef M.
Wintraecken, SMM, dari tanggal 10 Oktober hingga 22 November 1953, mengunjungi
sebagian besar kampung-kampung di wilayah sungai Sepauk. Sejak itu wilayah ini
sudah rutin dikunjungi oleh para pastor dari Sintang. Tahun 1960-1961, para pastor
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 120
sudah beberapa kali mengunjungi bagian hulu Sepauk, seperti kampung Sekuyuk,
Ngalong, Nanga Silit, Tangkit, Nanga Pari, Lubuk Batu, Bekuku, Sei Sega dan Nanga Piai.
Pastor Adrian (Janus) van der Vleuten, SMM kembali berkarya di daerah Sepauk dari
tahun 1954 hingga tahun 1970. Pada masa itu sudah berdiri tiga Sekolah Rakyat, yaitu
di Nanga Libau, berdiri tahun 1948, Banai (Layung) berdiri tahun 1951, dan Lepung
Beruang (Temanang), berdiri tahun 1956. Kini, SD Katolik di Nanga Libau, Layung sudah
ditutup dan SD Katolik di Lepung Beruang dipindahkan ke Temamang. SD yang terakhir
ini masih aktif hingga saat ini.
Pastor Kees Smit, SMM menggantikan Pastor Adrianus van der Vleuten pada tahun
1970 dan bertugas hingga tahun 1977. Selama beberapa bulan pada tahun 1977 ini,
pelayanan di Sepauk dilakukan oleh Pastor Frans Luiten, SMM. Sejak bulan September
1977, wilayah Sepauk dilayani oleh pada Imam Oblat Maria Imakulata, yang dimulai
oleh Pastor Andre Hebting, OMI.
Sejak tanggal 24 Agustus 1979, Sepauk ditetapkan sebagai paroki bersama dengan 26
paroki baru lainnya dan Uskup Isak Doera mengangkat Pastor Andre Hebting, OMI
sebagai pastor parokinya. Pastor Andre bertugas di paroki ini hingga bulan Januari
1999. Beliau membaktikan diri melayani umat sepauk selama 22 tahun. Sejak didirikan
sebagai paroki, Lengkenat menjadi pusat paroki sekaligus tempat kediaman para
pastor, hingga akhirnya dipindahkan ke Nanga Sepauk pada tahun 2001.
Pelayanan rohani di wilayah ini diperkuat oleh kehadiran para Suster Cinta Kasih Santa
Yohana Antida Thouret (SdC) sejak tahun 1980, yang memiliki dua komunitas yaitu di
Temanang dan di Lengkenat. Rumah di Lengkenat mereka tutup tahun 2009, karena
membuka rumah baru di Sungai Raya Dalam, Sepauk. Para suster aktif berturne ke
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 121
kampung-kampung, mengajar dan berkatekese, melatih umat dalam berbagai macam
kursus, dsb.
Yang terakhir tetapi bukan yang terkecil, ialah karya pastoral di Sepauk bukan hanya
karya para imam dan suster, tetapi juga para awam yang aktif dalam berbagai kegiatan
pastoral paroki, mereka yang telah membantu sesuai dengan kemampuan mereka,
dalam memajukan paroki dan umat Allah di wilayah Sepauk, dan para pemimpin umat,
pemimpin ibadat serta para guru Katolik. Mereka semua adalah para awam yang telah
sangat berjasa dalam menyebarkan dan menumbuhkan iman dan pengetahuan agama
umat di wilayah ini.
Hingga tahun 2011 ini, paroki Sto. Petrus dan Andreas, Sepauk, telah menghasilkan
empat orang imam, yaitu, Pastor Sabinus Amir, Pr (Sejamban), Pastor Leonardus Miau,
Pr (Nanga Pari), Pastor Adiantus, CP dan Pastor Cornelis, CP (Nanga Libau). Paroki ini
juga sudah menghasilkan lima orang suster, yaitu, Sr. Rufini Tatah, SMFA (Bangun), Sr.
Agata Biduri, SMFA (Sungai Raya Kapuas), Sr. Vianney, SMFA (Kambung), Sr. Marta
Kristina Liam, SdC (Sekubang), Sr. Mea Sabina, SdC (Sinar Pekayau).
14. Paroki Santa Theresia Kecil, Nobal
Paroki Santa Theresia, Nobal terdiri dari 14 stasi, dengan jumlah umat pada akhir
tahun 2010 adalah 5.053 jiwa.
Para pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Viktor Parera, Pr. (1978-
1980); Pastor Yosef Supit, Pr. (1982-1986); Pastor Jacques Maessen, SMM (1986-
1996); Pastor Herman Yosef, Pr. (1996-2000); Pastor Salesius Jeratu, Pr (2000-2005);
Pastor Ewaldus, Pr. (2000-2010); Pastor Lukas Lamadua, Pr (2006-2009); Pastor
Agustinus Bahang, Pr (2009–sekarang).
Paroki Santa Theresia, Nobal, terletak di sebelah selatan Sintang, menyusuri jalan raya
Sintang - Nanga Pinoh, antara km 22- 55. Desa Nobal berada di km 38 dan merupakan
pusat Parokinya. Kata ‘Nobal’ berasal kata bahasa Linoh, ‘Nebal,’ dari kata tebalmenebal.
Kata ‘nebal’ berarti bertumbuh dan berkembang menjadi banyak dan ramai
umat dan penduduknya. Demikian pula pembangunannya berkembang pesat serta
kehidupan umatnya yang semakin berkembang.
Wilayah Nobal dan Pandan sudah sering dilewati para misionaris sejak tahun 1940-an
oleh para pastor Paroki Sintang, baik melalui jalan darat Sintang ke Nanga Pinoh, juga
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 122
kampung-kampung sepanjang sungai Melawi, dalam rangka turne ke daerah Melawi
hulu.
Gereja Sta. Theresia Kecil di Nobal
Agama Katolik mulai diperkenalkan kepada umat Nobal oleh guru Lambertus Utat,
yang pindah ke Nobal pada tahun 1950-an. Atas ajakan Beliau, pada pada tanggal 24
Juli 1958 Pastor Aloysius Ding mengunjungi Nobal. Waktu itu Kebayan dari Baya
berkata kepada warga Nobal, “Ini Pastor Ding, bangsa kita.” Setelah itu praktis Nobal
agak diabaikan karena tak ada kunjungan selama dua tahun.
Akhirnya Pastor Aloysius Ding, SMM mengunjungi Punti serta Baya dan Betung pada
tanggal 10 Agustus 1960 sebagai jawaban atas undangan Pak Lambertus Utat yang
berasal dari Sejiram, seorang guru Sekolah Rakyat (SR). Kunjungan ini disambut hangat
oleh Tumenggung Tjingka dari Engkabang, Tumenggung Guntur dari Tengadak dan
Tumenggung Bulang dari Nobal. Sejak saat itu daerah ini mulai rutin dikunjungi oleh
para pastor Paroki Sintang. Tanggal 11 Agustus Pastor Ding kembali ke Sintang. Sejak
saat itu, Pastor Ding mulai rutin mengunjungi kampung-kampung di pinggir jalan
Sintang-Nanga Pinoh. Beliau umumnya menggunakan sepeda kumbang ketika turne ke
daerah ini.
Beberapa pastor yang pernah berkunjung ke wilayah ini pada masa itu, antara lain,
Pastor A. van der Vleuten, SMM; Pastor van den Boorn, SMM; Pastor J. Linssen, SMM;
Pastor Piet Derckx, SMM; dan Pastor Cornelis Smit, SMM.
Dalam perjalanannya, pertumbuhan iman Katolik di wilayah ini tidak lepas dari
pengorbanan dan kerja keras dua orang tokoh awam, yaitu, Pak Martinus Mat Lapang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 123
dan Pak M. B. Passang, dua saudara sepupu dari kampung Baya. Kedua tokoh umat ini
merupakan orang pertama dan kedua yang dibaptis dari wilayah Nobal. Kedua
Saudara sepupu ini pula yang dibina dan dilatih oleh para pastor sehingga mereka
mampu mengajar agama kepada umat lainnya. Pak Martinus Mat Lapang diangkat
oleh umat menjadi pemimpin umat di Baya, memimpin ibadat di Kapel di Tanjung
Pinang (Kampung Nobal bagian Hulu yang umatnya berasal dari Baya). Pengaruh kedua
orang sepupu ini sangat berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan iman Katolik di
wilayah ini.
Tanggal 24 Agustus 1979, Nobal ditetapkan menjadi paroki baru, memisahkan diri dari
paroki Katedral Sintang dan diberi nama Paroki Santa Theresia Lisseux. Pastor Viktor
Parera, Pr. diangkat sebagai pastor paroki pertamanya, walau saat itu masih menetap
di Sungai Durian, Sintang.
Untuk memperkuat pelayanan dan kegiatan pastoral yang ada, maka Mgr. Isak Doera,
Pr mendatangkan para Suster dari Ordo Santa Ursula (OSU) yang mulai bertugas di
Paroki Nobal ini sejak tanggal 23 Desember 1980. Kehadiran para Suster Ursulin ini
sangat membantu pengelolaan Paroki Nobal ini dengan membentuk Team Pastoral
yang dikepalai oleh Suster Agatha Maria Sri Sunarti, OSU. Karya para Suster Ursulin ini
banyak bergerak dalam pelayanan karitatif yakni membantu orang-orang yang tidak
mampu dalam hal ekonomi dan pendidikan (biaya pendidikan). Karya para Suster
Ursulin ini berakhir di Paroki Nobal pada tahun 1993.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 124
Sejak kedatangan para Suster Ursulin ke Paroki ini, Pastor Viktor Parera, Pr
memisahkan pelayanan dari paroki Nobal untuk daerah yang saat ini sebagai Paroki
Keluarga Kudus Pandan.
Tahun 1995, wilayah Pandan menjadi paroki baru, terpisah dari Nobal. Pada bulan Mei
2009, karena alasan letak wilayah Kabupaten dan administratif kepemerintahan,
maka, Paroki Nobal harus dengan berat hati melepaskan lagi lima stasi besar, stasi
dengan jumlah umat yang cukup banyak, yaitu Batu Nanta Lama, Batu Nanta PIR,
Laman Bukit, SP 3 Guhung, dan Belonsat kepada Paroki Belimbing (Pemuar). Saat ini
Paroki Santa Theresia Nobal hanya memiliki 14 Stasi saja.
15. Paroki Santa Maria Tanpa Noda, Ambalau
Paroki Santa Maria Tanpa Noda, Ambalau terdiri dari 34 stasi, dengan jumlah umat
pada akhir tahun 2010 adalah 9.519 jiwa. Menurut sensus paroki, masih terdapat
sekitar 4000-an orang yang belum dibaptis.
Para pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Adriaan Schellart, SMM;
Pastor L. van der Vleuten, SMM; Pastor Josef Wintraecken, SMM; Pastor Anton
Vonken, SMM; Pastor Laurensius Collijn, SMM; Pastor Anton Bernard, SMM; Pastor
Niko Schneider, SMM; Pastor Gabriel Dethune, CM; Pastor Elias Kinson, Pr; Pastor
Paulus Aryono, CM; Pastor Valentino Bossio, CM; Lukas Suwondo CM (1996-1998);
Pastor Hardo Siswanto, CM (1996-2001); Pastor Ignasius Asan Kerans, Pr; Pastor
Antonius Isnadi Wibowo, Pr (1998-2003); Pastor Sabbas Sudiyono CM (2001-2007);
Pastor Gabriel Dwiatmoko, Pr (2003-2007); Pastor Fredy Rante Taruk, Pr (2002-2004);
Pastor Andreas Puan, Pr; Pastor Silverius Y. Orwan, Pr (2007-sekarang).
Para Frater yang pernah bertugas di paroki ini ialah, Fr. Elias Silvinus Endi, Fr. Sabinus
Amir, Fr. Leonardus Miau, Fr. Edy Pranowo, Fr. Salesius Jeratu, dan Fr. Julianus
Jumarto
Sejak tahun 1937, beberapa kampung di sungai Ambalau pernah dikunjungi oleh para
Pastor sebagai bagian dari turne ke daerah hulu Melawi. Kunjungan pastoral ke daerah
ini mulai lebih rutin sejak tahun berdirnya Paroki Serawai pada tahun 1947. Setelah
mengunjungi wilayah di sungai Serawai pada tanggal 14-19 Februari 1949, Pastor
Schellart mengunjungi Ambalau dari tanggal 28 Januari hingga 8 Februari 1950.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 125
Beliau adalah misionaris yang datang untuk pertama kali ke daerah ini. Beliau
menjelajah sungai Melawi hulu dan sungai Gilang dan bertemu dengan masyarakat di
sana. Dari hulu Melawi, Beliau kembali ke hilir dan menyusuri sungai Ambalau, menuju
sungai Jengonoi dan menginap di kampung Menantak.
Gereja Santa Maria Tanpa Noda dan Pastoran
Di tempat inilah, Misionaris ini mulai mewartakan agama. Belliau hampir saja gagal
memperkenalkan agama Katolik, karena ada anggota masyarakat setempat berusaha
membunuhnya. Oleh sebagian mayarakat Menantak, Beliau yang adalah orang
Belanda dianggap juga sebagai penjajah yang harus diusir bahkan dibunuh. Walau
demikian, Beliau tetap berusaha mewartakan agama di sini. Merasa bahwa
Masyarakat Menantak tidak menerimanya, akhirnya Beliau kembali menyurusi sungai
Ambalau dan mengambil keputusan untuk kembali dan menjalani misinya di kampung
Sungai Runuk.
Ternyata masyarakat Sungai Runuk menerimanya. Di kampung ini Beliau
mempermandikan Y. Antang. Dari Sungai Runuk, kembali menyusuri sungai Melawi
dan langsung menuju kampung Kepala Jungai. Di tempat ini, Beliau mulai mewartakan
agama. Misi di kampung ini juga berhasil karena Beliau mempermandikan Pak Along,
yang menjadi orang Katolik pertama di wilayah hulu sungai Melawi. Pastor Schellart
pada kesempatan lain kembali mengunjungi sungai Ambalau dan masuk sungai
Jengonoi. Di sana Beliau berhasil mempermandikan Pak W. Sengek di Kampung Ukai.
Beberapa tahun kemudian, Agama Katolik mulai sedikit demi sedikit dikenal
masyarakat di wilayah hulu sungai Melawi dan sungai Ambalau.
Pastor Adrian van der Vleuten, SMM, Pastor Paroki Serawai saat itu, melakukan turne
ke daerah Melawi pada bulan November 1950 dan dilanjutkan ke daerah sungai
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 126
Ambalau sejak tanggal 9 Desember hingga 29 Desember 1950. Tanggal 7-13 Agustus
1951, Beliau mengunjungi kampung-kampung pinggir sungai Melawi dan sei Kantuk di
hilir Nanga Ambalau. Pastor
Pastor Josef Wintraecken, SMM, pengganti Pastor Vleuten, mengunjungi daerah
sungai Ambalau dari tanggal 29 Maret hingga 6 April 1953 dan tanggal 18 April hingga
12 Mei 1953, hulu Melawi, setelah Nanga Ambalau. Dari tanggal 28 Juli hingga 15
Agustus, kembali Beliau ke daerah Ambalau, seperti Nanga Ambalau, sei Runuk,
Kembaung, Nanga Sangkai, Mensuang, Menakon, Ukai dan Nanga Mentemoi. Beliau
kembali ke Mentemoi untuk inspeksi ke Sekolah Rakyat pada tanggal 18-27 November
1953. Sejak itu kunjungan pastoral semakin teratur oleh para pastor yang saat itu
bertempat tinggal di Nanga Serawai. Pastor-pastor yang bertugas di Paroki Serawai,
seperti Pastor L. Collijn, SMM dan Pastor Anton Bernard, SMM rutin mengunjungi
wilayah ini yang merupakan bagian dari Paroki Serawai.
Selama berugas di wilayah ini, Pastor A. Bernard, SMM, tidak hanya melayani
sakramen atau kegiatan pastoral, juga mengembangkan pendidikan. Beliau, bersama
umat, mendirikan gedung Sekolah Dasar di kampung Keremoi, untuk wilayah sungai
Melawi, dan di Menakon untuk wilayah sungai Jengonoi, anak sungai Ambalau. Beliau
juga mendirikan sebuah asrama putri di Kemangai, yang pada tahun 1987 menjadi Ibu
Kota Kecamatan, Pusat Paroki Ambalau dan juga merupakan pusat Pendidikan
Menengah Pertama.
Di samping itu, Beliau sering melakukan pengobatan bagi masyarakat tanpa kecuali.
Untuk menunjang pelayanannya, Beliau membangun satu ruang untuk pengobatan
bahkan juga untuk operasi kecil di Pastoran Ambalau. Ketika tourne ke kampungkampung,
selain pelayanan Sakramen, Beliau juga mengadakan pengobatan terhadap
masyarakat.
Sejak masuknya para imam Lazaris pada tahun 1976, maka Pastor Paulus Aryono, CM
memperkuat tim pastoral di Nanga Serawai bersama para Montfortan, dan kembali
diperkuat oleh Pastor Valentino Bosio, CM pada tahun 1983.
Wilayah ini menjadi paroki yang terpisah dari Serawai pada tahun 1979 dan diberi
nama pelindung Santa Maria Tanpa Noda yang berkedudukan di Nanga Ambalau,
walau sejatinya semua pastor bertempat tinggal serta pusat pelayanan masih dari
Nanga Serawai. Di Nanga Ambalau sendiri terdapat sebuah pastoran sederhana yang
sudah didirikan sejak tahun 1960-an oleh Pastor Anton Bernard, SMM.
Walaupun Ambalau sudah menjadi paroki terpisah dari Serawai sejak tahun 1979,
namun pastor parokinya tetap berdiam di Nanga Serawai karena belum memiliki
pastoran sendiri dan agar dapat membentuk satu tim pastoral dengan para imam
Paroki Serawai. Tahun-tahun berikutnya tidak ada penambahan tenaga Montfortan,
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 127
dan daerah hulu Melawi, Serawai dan Ambalau ditangani sepenuhnya oleh para imam
Lazaris.
Karena kekurangan tenaga, maka mulai tahun 2005, tarekat Misi menyerahkan
kembali paroki Ambalau kepada keuskupan yang kemudian dipercayakan kepada para
imam diosesan Sintang, yang dimulai oleh Pastor Gabriel Atomo, Pr.
Secara geografis, daerah ini memiliki medan pelayanan yang sangat berat dan
menuntut nyali tinggi. Umumnya merupakan daerah perbukitan, dan banyak dari
antaranya adalah bukit terjal. Pilihan terbaik untuk turne ialah menggunakan jalur air,
karena semua kampung berada di sisi sungai. Di musim kemarau umumnya perahu
harus sering ditarik karena kekurangan debit air, sementara di musim hujan, debit
airnya cukup, tetapi arus air sangat deras sehingga sangat membahayakan
keselamatan, karena sepanjang sungai penuh dengan batu-batuan besar serta riamriam.
Karena selalu menggunakan jalur air, maka biaya kunjungan menjadi sangat
mahal untuk speed-boat atau motor temple,, apalagi harga minyak di daerah ini sudah
tiga atau empat kali lipat harga di kota.
Paroki Ambalau terbagi atas dua jalur utama, yaitu jalur sungai Melawi dengan anak
sungainya, yaitu sungai Gilang; serta sungai Ambalau, yang mencakup dua anak sungai,
yaitu sungai Jengonoi dan sungai Mentomoi. Jalur sungai Melawi terdapat 14 kampung
dan jalur sungai Gilang terdapat 5 kampung. Sementara itu, jalur sungai Ambalau
terdiri dari 8 kampung, jalur sungai Mentomoi terdapat 2 kampung, dan jalur sungai
Jengonoi terdapat 5 kampung.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 128
Mayoritas penduduk di daerah Ambalau beragama Katolik. Menurut catatan
pemerintah daerah, lebih dari 13.000 penduduk daerah ini mengaku diri sebagai
Katolik, walau di data Paroki hanya sekitar 9.500-an orang yang beragama Katolik.
Umumnya mata pencaharian masyarakat di paroki Ambalau, termasuk umat Katolik,
adalah petani, yakni petani ladang dan karet. Yang terakhir ini menjadi penyumbang
penghasilan rutin dan utama bagi umat di wilayah ini. Selain itu, ada juga beberapa
pegawai dan guru, juga beberapa usaha lainnya, seperti pengolahan kayu, mencari
kayu gaharu, dsb. Secara umum, mayoritas umat masih tergolong kelompok ekonomi
lemah, apalagi hampir semua barang produksi industri harganya sangat mahal di
daerah pedalaman ini.
16. Paroki Santo Yusuf, Senaning
Paroki Santa Theresia, Nobal terdiri dari 29 stasi, dengan jumlah umat pada akhir
tahun 2010 adalah 5.464 jiwa dan 1.194 keluarga.
Para pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Benediktus Raga, SVD
(1995-1996); Pastor John Lado, SVD (1996-1999); Pastor Piet Apot, Pr (1999-2004);
Petrus Kaju, Pr (2004-2010); Pastor Joseph Chrispinus, Pr. (2010-sekarang).
Wilayah Senaning sudah dikunjungi dari Sintang sejak tahun 1930-an bahkan mungkin
sudah dikunjungi dari Sanggau jauh sebelum tahun tersebut. Tercatat pada tanggal 7
Maret 1941, Pastor Oktavianus, OFM Cap mengunjungi daerah Demam Sekapat,
Merakai dan Senaning. Selama di Senaning, Beliau tinggal di rumah seorang guru yang
bernama C. Hendak. Saat itu Pastor Oktavianus berencana membangun sekolah baru
di Merakai tetapi bulan Juni 1941 harus dihentikan karena ada beda pendapat dengan
pemerintah Hindia Belanda.
Wilayah Senaning sudah dikunjungi dari Sintang sejak tahun 1930-an bahkan mungkin
beberapa daerah di wilayah ini sudah dikunjungi dari Sanggau jauh sebelum tahun
tersebut. Tercatat pada tanggal 7 Maret 1941, Pastor Oktavianus, OFM Cap
mengunjungi daerah Demam Sekapat, Merakai dan Senaning. Selama di Senaning,
Beliau tinggal di rumah seorang guru yang bernama C. Hendak. Saat itu Pastor
Oktavianus berencana membangun sekolah baru di Merakai tetapi bulan Juni 1941
harus dihentikan karena ada beda pendapat dengan pemerintah Hindia Belanda.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 129
Sejak tahun 1932, Senaning adalahbagian dari Paroki Sintang dan dilayani dari Sintang.
Sejak tahun 1970-an, seluruh daerah Ketungau, Ketungau Hilir, Tengah dan Hulu,
dilayani oleh pastor Yohanes Ngumbang, Pr, yang dikenal sebagai Pastor Motor.
Sejak tahun 1979, Senaning menjadi bagian dari paroki Merakai dan dilayani oleh para
pastor dari Merakai, yaitu para imam Soverdi, yakni Pastor Benediktus Raga, SVD, dan
Pastor Stephanus Mite, SVD. Sejak tahun 1986, Tim pastoral Merakai menunjuk Pastor
Stef Mite, SVD khusus menangani Senaning dan beberapa taun kemudian mulai
berdiam di Senaning, karena terasa terlalu jauh untuk selalu kembali ke Merakai.
Tahun 1995, Senaning dipisakan dari Merakai dan menjadi paroki baru, paroki Sto.
Yusuf, Senaning. Pastor John Lado, SVD diangkat menjadi pastor paroki pertama.
Beliau bertugas hingga tahun 1999.
Tahun 2000 paroki Senaning diserahkan kepada para imam diosesan. Pastor Piet Apot,
Pr menjadi pastor paroki dari tahun 1999-2004) dan sempat dibantu oleh pastor
Thomas Kuslin,Pr (2000-2001). Kemudian paroki ini ditangani oleh Pastor Petrus Kaju,
Pr (2004-2010) dan Pastor Joseph Chrispinus, Pr (2010-sekarang).
Sebagaimana umumnya paroki-paroki lainnya di keuskupan Sintang, umat paroki
Senaning adalah para petani (ladang dan karet dan juga perkebunan hutan taman
industri). Transportasi antar wilayah umumnya masih lewat air dan berjalan kaki, dan
hanya sedikit yang bisa dijangkau dengan kendaraan baik karena tidak ada jalan untuk
kendaraan atau karena jalan yang sungguh sulit dilalui kendaraan.
17. Paroki Keluarga Kudus, Pandan
Paroki Keluarga Kudus, Pandan, merupakan pecahan paroki Nobal, kini memiliki 21
stasi dengan total jumlah uimat ialah 3.243 jiwa.
Para Pastor (Paroki) yang pernah bertugas di paroki Pandan, ialah: Pastor Viktor
Parera, Pr. (1979-1994); Pastor. Yosef Supit, Pr (1994); Pastor Yakobus Kila (1994-
1995); Pastor Herman Yosef, Pr. (1996-2000); Pastor Ewaldus, Pr. (2000-2010); Pastor
Vincentius Yakobus, Pr. (2005-2010); Pastor Leonardus Miau, Pr. (2010–sekarang).
Pandan, bersama paroki Senaning, merupakan paroki bungsu di keuskupan Sintang.
Awalnya paroki ini merupakan bagian dari paroki Sintang, kemudian sejak tahun 1979
menjadi stasi dari paroki Nobal dan baru menjadi paroki pada tahun 1979.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 130
Gereja Keluarga Kudus, di Pandan
Sejak tahun 1950-an, daerah ini sudah sesekali dikunjungi dari Sintang. Tanggal 16-21
Juni 1958, Pastor Aloysius Ding, SMM, untuk pertama kalinya menunjungi daerah
Penyaguk, Nyakam dan Sona (Sona Prosa, Sona Tanjung, Sona Tengah dan Sona Doda).
Beliau membawa serta Guru untuk mengajar, yaitu A. Ambok dan Pak Daban. Pastor
Ding kembali mengunjungi kampung Penyaguk, Nyakam dan Sona pada tanggal 24
November s.d. 1 Desember 1958. Tanggal 6 s.d. 16 Januari 1959, kembali Pastor Ding
mengunjungi Nyakam dan Sona Doda serta tanggal 2-9 Maret 1959; tanggal 15-19
Oktober 1959, dan 28-29 November 1959 Beliau mengun jungi kampung Penyaguk,
Nyakam dan Sona.
Sejak tahun 1959, kampung Lundang, Sona dan Gandis serta Penyaguk sudah rutin
dikunjungi oleh para pastor Paroki Sintang, terutama oleh Pastor Aloysius Ding, SMM.
Beliau mengunjungi kampung Penyaguk, Nyakam dan Lundang pada tanggal 16-19
Maret 1962 dan mengunjungi kampung Pal 10, Punti, Gurung dan Batu Babi pada
tanggal 26-27 Maret 1962. Pada tahun 1962, Beliau mencatat bahwa ada 28 keluarga
di Punti, 18 keluarga di Gurung dan 7 keluarga di Batu Babi. Di Lundang saat itu ada
Betang yang terdiri dari 10-12 pintu.
Beliau dibantu oleh beberapa tokoh setempat, seperti M. Madjan dan juga Limbai dari
kampung Punti, dan Stephanus Djutat, kepala kampung Lundang, serta Martinus Deris
sebagai pemimpin umat Lundang. Di Nanga Dakan, pastor Ding beristirahat di pondok
Claudius Djulai, sebelum melanjutkannya ke Penyaguk.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 131
Wilayah Paroki Pandan baru memiliki pastor sendiri pada tahun 1978, ketika Pastor
Viktor Parera diangkat sebagai Pastor yang khusus melayani wilayah Nobal, yang saat
itu mencakup paroki Pandan. Sejak saat itu pastor mulai mengunjungi umat secara
rutin. Walau merupakan tugas Pastor Viktor, namun wilayah ini juga sering dikunjungi
oleh Pastor Yosef Supit, Pr., hingga awal 1990-an karena Pastor Parera juga merangkap
sebagai rektor seminari Regnum Dei di Bandung,. Tahun 1993 wilayah Pandan dilayani
oleh Pastor Yakobus Kila, Pr., hingga tahun 1995.
Tahun 1995, Pandan menjadi paroki baru, terpisah dari paroki Nobal, dan pimpinan
keuskupan mengangkat Pastor Yakobus Kila, RD, menjadi pastor paroki pertamanya.
Tahun 2009, Keuskupan memutuskan beberapa perubahan wilayah tertentu. Sesuai
keputusan ini, Paroki Pandan menerima beberapa kampung, sebagai stasi baru,
limpahan dari paroki Dedai, yaitu kampung Lundang, Sona dan Gandis.
Anggota DPP, Ibu-Ibu WK dan Anak-Anak Sekami
Mayoritas umat paroki Pandan adalah etnis Dayak. Di samping itu mayoritas umat
Allah adalah para petani karet dan ladang. Sejak tahun 1995, perkebunan sawit mulai
memasuki wilayah ini. Seiring pertumbuhan ekonomi yang makin baik, makin banyak
juga anak-anak yang bersekolah lebih tinggi dan partisipasi umat pun semakin lebih
giat dalam kehidupan menggereja, demi mewujudkan Gereja dan umat yang beriman
mendalam, mandiri dan missioner.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 132
Rekap Paroki-Paroki Regio Kapuas Hulu
NO. NAMA PAROKI JUMLAH
UMAT
JUMLAH
STASI
01 Sto. Fidelis, Sejiram 9.259 37 1905
02 Sto. Martinus, Benua
Martinus
6.221 24 1913
03 Keluarga Kudus, Bika 5,199 14 1924
04 Hati Maria tak Bernoda,
Putussibau
5.760 7 1940
05 Sto. Petrus, Embaloh 3.606 1979
06 Sto. Paulus, Bunut 3.469 19 1979
07 Kunjungan Sta. Perawan
Maria, Peniung
08 Sto. Yohanes, Dangkan-
Silat
09 Sto. Fransiskus Xaverius,
Semitau
10.070 28 1979
7.151 49 1979
5.888 26 1979
10 Sto. Dismas, Lanjak 1.853 15 1979
11 Sto. Montfort, Badau 2.019 17 1979
12 Sto. Paulus, Nanga Kantuk 5.176 32 1979
13 Epifania, Siut Melapi 6.114 14 1979
14 Sto. Antonius dari Padua,
Mendalam
1.942 1979
THN
BERDIRI
TOTAL = 14 73.727 22,606 % dari
221.952 33
33 Data ini diambil dari http://www.bps.go.id/hasilSP2010/kalbar/6108.pdf, yaitu dari
hasil sensus tahun 2010.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 133
1. Paroki Santo Fidelis, Sejiram
Paroki Santo Fidelis, Sejiram terdiri dari 37 stasi, dengan total jumlah umat hingga
akhir tahun 2010 adalah 9.259 jiwa.
Sejarah Gereja keuskupan Sintang dimulai dari paroki tertua ini, paroki Sejiram, ketika
Vikariat Apostolik Batavia secara resmi membuka paroki baru di Kalimantan Barat,
yaitu di Semitau pada tahun 1890. Pastor Looymans S.J, melalui surat no. 252
tertanggal 14 Juni 1890, adalah misionaris Yesuit yang sedang bekerja di Padang saat
itu, yang pertama ditunjuk sebagai pastor parokinya. Beliau tiba di Semitau tanggal 29
Juli 1890. Setelah melihat bahwa etnis Dayak hampir tidak ada yang tinggal di Semitau,
maka Beliau memutuskan untuk memindahkan pusat paroki ke Sejiram pada tahun
1891. Beliau dijemput dan dibawa ke Sejiram oleh Bapak Babber, Bantan dan Unang,
tiga bersaudara putera Dayak, asli Sejiram. (Untuk sejarah masa-masa awal Paroki
Sejiram, silahkan lihat bagian depan, hal. 8-15 dan hal. 18-22)
Gereja Sto. Fidelis, di Sejiram
Berikut ini daftar orang-orang Sejiram yang dibaptis pada masa awal Paroki Sejiram.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 134
LB N A M A LAHIR BAPTIS
11 Yan Simpin Sei Duku, 1888 Semitau, 29-12-1890
12 Yan Pesul Rantau, 1884 Sejiram, 05-02-1891
13 Maria Rantau, 1888 Sejiram, 05-02-1891
16 Hendrikus Gani Rantau, 1887 Sejiram, 07-02-1891
21 Fransisca Cisca Rantau, 1888 Sejiram, 14-02-1891
27 Hendrikus Rantau, 1884 Sejiram, 21-02-1891
28 Nella Glabau Rantau, 1884 Sejiram, 23-02-1891
29 Yan Jinyan Rantau, 1885 Sejiram, 23-02-1891
30 Dora Rinya Rantau, 1888 Sejiram, 23-02-1891
31 Andreas Jimbai Sejiram, Mei 1891 Sejiram, 16-11-1891
33 Mina Sejiram, 1890 Sejiram, 26-11-1891
36 Dora Saya L. Penawanm 1890 Sejiram, 28-11-1891
37 Maria Jati Tamak Sejiram, 03-12-1891
Tahun 1946, setelah sekian lama paroki ini ditangani oleh para imam Kapusin, mulai
dibantu oleh para imam Montfortan. Imam Montfortan yang pertama kali bekerja di
Sejiram ialah pastor Ferry Hooglad, SMM, (10 Agustus 1946 hingga tahun 1950). Tahun
1947, tepatnya pada tanggal 13 April 1947, pada Hari Minggu Paskah II, terjadi serahterima
resmi dari Ordo Kapusin kepada Kongregasi Montfortan. Sejiram dilepas oleh
Kapusin dan sepenuhnya dilayani oleh para imam Montfortan. Pastor Christianus,
OFM Cap dan Bruder Adjustus van Beers, OFM Cap merupakan dua Kapusin terakhir
yang bertugas di Sejiram. Bersamaan dengan perginya para imam Kapusin, demikian
pula para Suster Fransiskanes dari Veghel (SFIC), meninggalkan Sejiram.
Para imam Jesuit yang pernah berkarya di Sejiram ialah, Looymans, SJ dan W.H.J
Mulder, SJ. Para imam Kapusin yang pernah berkarya di paroki Sejiram, ialah, Eugenius
OFM Cap; Camilus OFM Cap; Christianus Slits, OFM Cap; dan Herman Joseph van
Hulten, OFM Cap.
Para suster dan bruder juga pernah berkarya di Paroki Sejiram, baik sejak masih
sebagai bagian dari Vikariat Batavia, Vikariat Pontianak, hingga sebagai bagian dari
Prefektur Apostolik Sintang, di antaranya ialah, pada masa-masa awal, ada buder
Theodorius, OFM Cap (1906-1907), Bruder Ignatius, OFM Cap (1912-1920), Bruder
Adjustus van Beers, OFM Cap (1908-1947), Bruder Stephanus van de Berg, OFM Cap
(1946), dan Bruder Bruno, OFM Cap (1947). Para suster yang pernah bertugas di
Sejiram ialah, Sr. Fidelia, SFIC (1908-1947); Sr. Casperina, SFIC (1908-1947); Sr.
Cajetana, SFIC (1908-1947); Sr. Rosa, SMFA; Sr. Genoveva, SMFA; Sr. Gerarda, SMFA;
dan Sr. Gemma, SMFA; Sr. Renera, SMFA; Sr. Joannicis, SMFA; Sr. Jacquiline,
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 135
SMFA;Suster SMFA menutup karya mereka dan meninggalkan Sejiram pada tahun
1986.
Tahun 1947, Pastor Ferry Hoogland, SMM dibantu oleh Lambertus van den Boorn,
SMM dan Pastor Yan Maalsté, SMM, yang mana pada tahun berikutnya Beliau
dipindahkan ke Benua Martinus menggantikan Pastor Lambertus van Kessel, SMM
yang pindah ke Sintang. Tahun 1950, Pastor Harrie L’Ortye, SMM diangkat sebagai
Pastor Paroki Sejiram. Beliau dibantu oleh para pastor juga para Bruder Montfortan,
yaitu Bruder Bruno dan Bruder Stefan. Pastor Anton Bernard, yang masuk pada tahun
1952, berusaha meningkatkan menyekolahkan beberapa orang sebagai guru, agar bisa
mengajar di kampung-kampung. Usaha pertanian, khususnya karet, terus meningkat.
Sayangnya pada tanggal 4 September 1952, ada orang yang berniat jahat dan
membakar satu setengah hektar karet paroki. Polisi di Semitau, walau sudah
dilaporkan, tidak berhasil menangkap pelakunya.
Pastor Servé Hamers, SMM datang ke Sejiram pada tahun 1953. Menyadari bahwa
Paroki dan kongregasi tidak memiliki sarana transportasi, Beliau berinisiatif membeli
perahu motor bekas dari vikariat Pontianak, yang akhirnya dibeli seharga 5.000 gulden
dan diantar oleh Bruder
Matthieu Nijssen, SMM
dari Pontianak ke
Sejiram dan diberi
nama KM Damai.
Tahun 1977, Pastor
René Colin, OMI dan
Pastor Jacques Chapuis,
OMI ditempatkan di
Sejiram, bersama
dengan Pastor Paroki
sejiram, Pastor Jacques
Maessen, SMM.
Dengan keberangkatan
Pastor Maessen, SMM pada tanggal 12 April 1982, maka sejak saat itu pula
Montfortan melepaskan Sejiram dan paroki Sejiram mulai dilayani hanya oleh para
imam Oblat Maria Imakulata. Pastor Montfortan terakhir yang meninggalkan Sejiram
ialah Pastor H. L’Ortye, SMM, yang saat itu masih menunggu perayaan 50 tahun
imamatnya dan setelah itu kembali ke Belanda. Para imam Oblat Maria melayani
paroki Sejiram hingga tahun 2006.
Para imam Montfortan yang pernah berkarya di paroki Sejiram, ialah, Ferry Hoogland,
SMM; L. van den Boorn, SMM; Jan C. Maalsté, SMM; G. Harrie L’Ortye, SMM; Anton
Bernard, SMM; Aloysius Ding, SMM; Servé Hamers, SMM; Josef Wintraecken, SMM;
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 136
Reinoldus Dijker, SMM; H. van Cuyck, SMM; Leo Rutten, SMM; Hubertus Swerts, SMM;
J.C. Linssen, SMM; W. Bennison, SMM; J. Breslin, SMM; Joep van Lier, SMM; dan
Jacques Maessen, SMM.
Pastor imam Oblat yang pernah berkarya di Sejiram ialah, Pastor René Colin, OMI
(1977-1983 dan 1995-2006), Pastor Jacques Chapuis, OMI (1977-1983 dan 1986-1995),
Pastor Jean Subra, OMI (1983-1987), Pastor Bernard Keradec, OMI (1986-1990), Pastor
Aloysius Kok, OMI (1986-1999), Pastor Jean Pierre Meichel, OMI (1991-1993), Pastor
Antonius Widiatmoko, OMI (2004-2005), dan yang terakhir bertugas di Sejiram ialah
Pastor René Colin, OMI (1995-2006), yang kembali ke Perancis tahun 2006. Sejak tahun
2006, paroki Sejiram ditangani oleh para imam Pasionis, yang dimulai oleh Pastor
Barses CP dan Adiantus CP.
2. Paroki Santo Martinus, Benua Martinus
Paroki Santo Martinus, Benua Martinus terdiri dari 24 stasi, dengan total jumlah umat
hingga akhir tahun 2010 adalah 6.221 jiwa.
Pastor Flavianus van V. Muller, OFM Cap; Pastor Honoratus, OFM Cap; Pastor Prosper
OFM Cap; Pastor Lambertus van Kessel, SMM; Pastor Laurensius (Lor) Collijn, SMM;
Pastor Jan Mallsté, SMM; Pastor Adriaan Schellart, SMM; Pastor Harrie L’Ortye, SMM;
Pastor Leo Rutten, SMM; Pastor Aloysius Ding, SMM; Pastor Ferry Hoogland, SMM;
Pastor Hoogland, SMM; Pastor Henk (Hendrikus) Kalter, SMM; Pastor Matheus Juang,
SMM; Pastor Stef Seli, SMM; Pastor Martinus Widyatmoko, SMM; Pastor Stefanus
Leba, SMM; Pastor Marselinus Ngebu, SMM; dan Pastor Markus Golo, SMM.
Gereja paroki Benua Martinus berawal dari keinginan warga setempat yang
mengirimkan anak-anak mereka ke Lanjak agar mereka juga menjadi daerah misi dan
didirikan sebuah sekolah pada tahun 1907-1909. Kepala kampung Balwak
mengundang pastor Ignatius agar membangun gereja dan pastoran di kampungnya.
Permintaan ini belum bisa dipenuhi. Sebagai permulaan misi, maka pastor Gonzalvus
melakukan turne ke daerah ini pada tahun 1913, yang langsung merencanakan
pembangunan rumah di kampung Keram, Benua Banyu (Banyoh).
Rumah yang dirancang dan dikerjakan oleh bruder Donulus ini cukup besar, karena
terdiri dari kamar tidur, dapur dan kamar makan, kapel, bahkan ada ruang untuk obatobatan.
Bulan Mei 1913, ketika Prefek Apostolik, Mgr. Pacificus Boss, OFM Cap datang,
ia menerimakan krisma kepada 12 orang, 9 di antaranya ialah umat asli setempat.
Bulan September bruder Donulus mulai membangun gereja paroki di dekat kampung
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 137
Keram, yang dibangun atas sumbangan Bapak Martinus van Thiel, di Helmond,
Belanda. Sebagai rasa hormat dan penghargaan, nama pelindung donatur dipakai
sebagai nama pelindung Gereja dan paroki, yaitu Santo Martinus. Bahkan nama Benua
Banyu tidak mejadi nama resmi, diganti menjadi Benua Martinus.
Gereja Sto. Martinus di Benua Martinus
Pada tahun ini pula Benua Banyu resmi menjadi sebuah paroki dan pastor Flavianus
sebagai pastor parokinya, dibantu oleh pastor Honoratus. Setelah pembangunan
gedung selesai, hari pertama sekolah dibuka pada tanggal 14 November 1914 dengan
jumlah siswa sebanyak 13 orang.
Tahun 1918, bruder Alexius mulai membangun pastoran dan sekolah baru yang cukup
besar. Tahun 1920 pastor Prosper membantu pastor Flavianus, dan tenaga pastoral
semakin diperkuat ketika para suster SFIC bergabung dalam karya misi pada tanggal 5
Juli 1921. Sejak saat ini, para Pastor Kapusin sudah masuk ke berbagai daerah di
sekitar Martinus.
Tahun 1946, setelah pulang dari kamp tawanan, datanglah Pastor Lambertus van
Kessel, SMM ke Benua Martinus, menjadi anggota tim pastoral bersama Pastor
Flavianus, OFM Cap. Sayangnya Pastor Flavianus dan Bruder Bertrandus meninggalkan
Benua Martinus pada tanggal 9 Oktober 1946, sehingga sejak saat itu Paroki Benua
Martinus sepenuhnya ditangani oleh para imam Montfortan, hingga hari ini.
Setelah Pastor van Kessel pindah ke Sintang pada tahun 1947, Benua Martinus
ditangani oleh Pastor Lor Collijn, SMM, yang dibantu oleh Pastor Jan Mallsté, SMM.
Tahun 1949, Pastor Leo Rutten menggantikan Pastor Mallsté, yang dipindahkan ke
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 138
Sejiram. Karya Pastor Rutten pada masa awal karyanya ialah mempersiapkan gedung
Gereja baru. Material baru terkumpul seluruhnya setelah dua tahun sehingga baru
mulai dibangun pada tahun 1952. Gereja baru selesai dibangun dan diresmikan pada
tanggal 15 Agustus 1953, pada masa kerja Pastor Ferry Hoogland, yang menggantikan
Pastor Collijn.
Pada masa ini, dua anak muda dari paroki ini, yaitu Daniel Motot yang berasal dari
Ukit-Ukit dan Elias Kinson, yang berasal dari Benua Keram, belajar di Seminari Sto.
Paulus, Nyarumkop. Elias Kinson melanjutkan pendidikan ke Seminari Tinggi dan
ditahbiskan sebagai imam diosesan Sintang di Benua Martinus, pada tanggal 15
Agustus 1966.
Gereja yang ada saat ini sesungguhnya dibangun untuk menggantikan gereja lama
yang terbakar pada tanggal 10 November 1963, yang sebenarnya baru berumur dua
tahun. Turut terbakar dan hancur ialah inventaris gereja yang berada di dalamnya.
Hingga kini, Paroki Benua Martinus dilayani oleh para imam Montfortan.
3. Paroki Keluarga Kudus, Bika Nazareth
Paroki Keluarga Kudus, Bika Nazareth terdiri dari 48 stasi, dengan total jumlah umat
hingga akhir tahun 2010 adalah 5.199 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Para Montfortan: Pastor Harrie
L’Ortye; Pastor Josef Wintraecken; Pastor Lambertus van Kessel; Pastor Anton
Voncken; Pastor Adriaan Schellart; Pastor Hub Reijnders; Pastor A. van der Vleuten;
Pastor Jan Cloots; Pastor Reinoldus Dijker; Pastor Ferry Hoogland; Pastor J. Breslin;
Pastor Ted Murphy; Pastor Lambertus van den Boorn; Pastor Everest M. Brown; Pastor
Aloysius Ding; Pastor J. D. Hasset; Pastor Piet Derckx; Pastor Wim Pieters; ddan Pastor
Frans Luiten.
Para imam Oblat Maria Imakulata yang pernah melayani wilayah Bika ialah: Pastor
Lucien Bouchard (1977-1983 dan 1991-1995); Pastor Jean Pierre Meichel (1979-1990);
Pastor Bernard Keradec (1979-1983); Pastor René Colin (1983-1995).
Pastor Eugenius OFM Cap merupakan misionaris pertama yang melayani Bika. Bulan
Juli 1910, Beliau berdayung dari Sejiram mengunjungi Nanga Mandai. Beliau kembali
mengunjunginya pada tanggal 24 November s.d. 14 Desember 1910. Saat itu Beliau
meminta warga Dayak setempat untuk membangun pondok baginya.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 139
Gereja Keluarga Kudus, di Bika Nazareth
Stasi Bika resmi menjadi sebuah paroki pada tahun 1924 walau baru memiliki pastor
paroki sendiri pada tanggal 22 Januari 1925, ketika Pastor Ignatius, OFM Cap ditunjuk
menjadi pastor Parokinya. Pada tahun yang sama langsung didirikan sekolah dasar,
yaitu pada tanggal 14 Januari 1924. Saat itu wilayah pelayanan paroki Bika mencakup
wilayah yang saat ini adalah paroki Bika, Embaloh, Bunut, Peniung, Putussibau, Siut
Melapi dan Mendalam.
Berdasarkan catatan Buku Baptis Bika, pada tanggal 7 Februari 1925 dibaptis seorang
bayi yang bernama Maria Tindjau (Djernit), anak dari Pak Lingang dan Ibu Diman. Ia
dibaptis oleh pastor Ignatius di Gereja Keluarga Kudus (Sanctae Familiae), Bika
Nazareth.
Berikut ini data sebelas baptisan pertama paroki Bika.
No. N A M A KAMPUNG ASAL
01 Maria Tindjau Bika Nazareth
02 Petrus Oempi Bika Hulu
03 Simon Badoen Tanah Tapak
04 Maria Moejo Kirin Nangka
05 Yohanna Tanjung Beruang
06 Maria Entjarana Gudang
07 Cornelius Akop Bika
08 Elisabeth Bika
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 140
09 Fransisca Bantah Pintas Semulung
10 Petrus Upit Jongkong
11 Johanes Gudang
Tahun-tahun ini wilayah Bika dilayani oleh para pastor Fransiskan Kapusin (OFM Cap),
berturut-turut adalah Pastor Ignatius, Pastor Edmundus, Pastor Yustinianus, dan
Pastor Gijbers dan Pastor Prosper, juga bruder Donulus dan Gorgonus.
Tanggal 29 April 1939, para imam Montfortan mulai masuk ke Bika. Awalnya mereka
masih melayani bersama-sama dengan para imam kapusin. Para misionaris
Montfortan pionir ialah pastor Harrie L’Ortye, pastor Jan Linssen, dan Bruder Bruno.
Pada tahun 1939, ketika SMM masuk ke paroki Bika, Sekolah dasar (rakyat) di Bika
telah memiliki 44 murid, yang mana 28 orang tinggal di asrama, dengan 3 orang guru,
yaitu Pak Pius, Pak Ransa dan pak Akoep. Pada tahun 1948, dua bersaudara, Pastor
Josef (Sjef) dan Agus (Gus) Wintraecken membangun juga sekolah di Nanga Mandai,
Nanga Peniung, dan Nanga Danau. Pastor Gus pindah ke Sintang tahun 1949 dan
digantikan oleh Pastor Aloysius Ding dan Adriaan Schellart, dan Pastor Jan Cloots pada
tahun 1951. Ketika Pastor Ding dan Schellart meninggalkan Bika pada tahun 1952,
Pastor Sjef dibantu oleh pastor baru, yaitu Pastor Reinold Dijker.
Tanggal 30 Januari 1956, Pastor Ferry Hoogland mulai berkarya di Bika dan menjadi
Pastor Parokinya. Pada masa pastor Ferry inilah, tepatnya pada tahun 1957,
dibangunlah asrama puteri, melengkapi asrama putera yang sudah ada.
Tahun 1978-1995 Paroki Bika, yang saat itu mencakup wilayah Bika, Embaloh, Peniung
dan Bunut, ditangani oleh para imam Oblat Maria Imakulata. Pada tanggal 22 Januari
1978, berdiri SD dan SMP Bika, serta yayasan Nazareth sebagai pengelola SMP, yang
diprakarsai oleh para Pastor. Yayasan serta kedua sekolah ini kini telah ditutup. Dua
sekolah ini telah menghasilkan beberapa tokoh umat di wilayah Bika.
Walau pada dekade terdahulu, para imam diosesan, yaitu Pastor Yohanes Ngumbang,
Elias Kinson dan Matias Rampai, pernah bertugas di Bika, tetapi baru pada tahun 1993,
Paroki Bika mulai pelan-pelan ditangani oleh para imam diosesan Sintang. Dimulai oleh
Pastor Elias Silvinus Endi, yang masuk ke Bika pada tahun 1993 dan disusul oleh Pastor
Paschasius Triyono pada tahun 1994, yang mana keduanya bekerja bersama dengan
para imam Oblat Maria Imakulata. Sejak saat itu para imam diosesan Sintang yang
bekerja di wilayah Bika ialah Pastor Vincentius Yakobus, Hendrikus L. Tobotani,
Florianus Abong, Makabeus Jawa, Yosef Padak Duli dan Andreas Puan.
Dari sudut wilayah, kebanyakan wilayah paroki Bika sudah bisa dijangkau dengan
kendaraan darat dan sebagian lainnya masih harus dengan kendaraan air atau bahkan
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 141
jalan kaki. Umat Allah Paroki Bika umumnya adalah para petani karet dan ladang. Para
pegawai umumnya adalah mereka yang bekerja di kantor kecamatan, desa,
departemen terkait dan dan para guru.
4. Paroki Hati Maria tak Bernoda, Putussibau
Paroki Hati Maria Tak Bernoda, Putussibau, terdiri dari 7 stasi, dengan total jumlah
umat hingga akhir tahun 2010 adalah 5.760 jiwa.
Sejak berdiri hingga saat ini, paroki ini ditangani oleh para imam Montfortan. Imam
non-Montfortan yang pernah melayani paroki ini hanyalah Pastor Yohanes Ngumbang,
Pr.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Jan Linssen, SMM (1939-
1947); Pastor Hub Reijnders, SMM (1947-1953); Pastor Jan Linssen, SMM (1953-1962);
Pastor R. F. Dijker, SMM (1962-1970); Pastor Yohanes H. Ngumbang, Pr (1970-1972);
Pastor Aloysius Ding, SMM (1972-1975); Pastor A. v.d. Vleuten, SMM (1975-1980);
Pastor Joep van Lier, SMM (1980-1981); Pastor Wim Peeters, SMM (1981-1984);
Pastor Peter Hoogland, SMM ( 1984-1987); Pastor A. van der Vleuten, SMM (1987-
1990); Pastor Peter Hoogland, SMM (1990-1995); Pastor Kees Smit, SMM (1995-1996);
Pastor Konradus Hancu, SMM (1996-1997); Pastor Yohanes Sumadi, SMM (1997-
2000); Pastor Yosef Jehara, SMM (2000-2004); Pastor Dwi Arifin, SMM (2004-2006);
Pastor Avelinus Amput, SMM (2006-2008); Pastor M. Widyatmoko, SMM (2008-2010);
Pastor Yohanes Suri, SMM (2010-sekarang).
Sejak berdirinya paroki Bika pada tahun 1924, Putussibau kurang menjadi perhatian
para misionaris Kapusin karena mayoritas penduduknya adalah Melayu, sedikit
Tionghoa, beberapa orang Eropa, dan praktis tidak ada warga Dayak. Hanya kampungkampung
ke dalam sungai Sibau dan Kapuas terdapat orang Dayak. Tahun 1938, tiga
orang suster sudah muli kerja di umah sakit Putussibau atas permintaan pemerintah
Hindia Belanda. Setahun kemudian, yaitu pada tanggal 10 Juni 1939, Pastor Jan
Linssen, SMM pindah dari Bika dan mulai menetap di Putussibau. Inilah hari lahir
paroki Putussibau. Ia memulai karyanya bersama tiga orang suster SMFA. Tahun 1947,
Pastor Hub Reijnders, SMM datang dan berkarya di Putussibau sehingga kunjungan
pastoral ke kampung-kampung menjadi lebih intensif dan sering.
Demikian pula dengan daerah Putussibau dan sekitarnya. Pastor Linssen tidak hanya
melayani para warga Belanda yang ada di Putussibau, juga mulai mencoba
mengunjungi kampung-kampung sekitarnya. Dari catatan atau laporan turne
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 142
disebutkan bahwa Pastor Reijnders mengunjungi Mendalam dari tanggal 15 hingga 18
Januari 1949. Beliau juga beberapa kali mengunjungi Teluk Engkala, Mendalam dan
Melapi pada bulan-bulan berikutnya. Tanggal 12 Maret 1949, Pastor Reijnders
bertemu dengan Oevang Oeray di Mendalam.
Gereja Hati Maria tak Bernoda, di Putussibau
Tahun 1949, Pastor Linssen dipindahkan ke Nanga Pinoh tetapi kembali lagi ke
Putussibau pada tahun 1953, menggantikan Pastor Reijnders yang dipindahkan ke
Pontianak. Tahun 1955 Pastor Jan Cloots, SMM menggantikan Pastor Nol (Reinoldus)
Dijker, SMM di Putussibau. Pastor Linssen dan Pastor Cloots melanjutkan rencana
Pastor Reijnders, yaitu membuka SMP serta memperkuat asrama putera di Putussibau.
Gedung baru ini dirancang oleh Bruder Alphons. Pastor Cloots meninggal tahun
tanggal 8 April 1957. Selanjutnya paroki ini terus ditangani dan dilayani secara rutin
dan penuh oleh para imam Montfortan hingga kini.
Umat Paroki Putussibau terdiri dari bermacam-macam suku, di mana etnis Dayak
merupakan mayoritasnya. Selain itu juga ada umat yang berasal dari Flores, Timor,
Jawa dan etnis Cina. Sampai saat ini, wilayah paroki Putussibau terbagi atas delapan
stasi dan wilayah kota Putussibau sendiri dibagi dalam tujuh lingkungan.
Karya pastoral paroki Putussibau juga mengalami perkembangan yang ditandai dengan
hidupnya beberapa karya kategorial baik untuk anak-anak sekolah, para remaja, anakanak,
serta kelmpok-kelompok kategorial lainnya. Salah satu karya kategorial yang
cukup berkembang lima tahun terakhir adalah Kerabat Santo Montfort (KSM). Karya
kategorial kelompok ini merupakan penjelmaan semangat Sto. Montfort di tengah
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 143
umat awam. Kelompok kategorial yang juga berkembang adalah Orang Muda Katolik,
Bina Iman Anak dan Kelompok Misdinar.
5. Paroki Santo Petrus, Embaloh
Paroki Santo Pettrus, Embaloh terdiri dari 14 stasi, dengan total jumlah umat hingga
akhir tahun 2010 adalah 3.606 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah para pastor anggota tim pastoral
yang bertugas di paroki Bika Nazareth, antara lain Pastor Lukas Bouchard, OMI, Pastor
Paschasius Triyono Pr, Pastor Makabeus Jawa Pr, dan Pastor Andreas Puan, Pr.
Paroki Embaloh yang berpusat di Nanga Embaloh ini, meliputi daerah sungai Kapuas
dari hilir Bika hingga Nanga Embaloh, batang sungai Embaloh, sungai Palin dan sungai
Lauk. Praktis ,hampir semua kampung di paroki ini harus dikunjungi melalui sungai.
Paroki (Nanga) Embaloh, walau baru berdiri pada tahun 1979, sesungguhnya telah
dilayani dari Bika secara teratur sejak tahun 1930-an, karena merupakan bagian dari
Paroki Bika Nazareth. Bahkan ketika sudah berdiri sendiri, karena belum memiliki
pastoran sendiri, hingga kini, masih dilayani dari Bika. Paroki Embaloh dilayani oleh tim
pastoral yang dikepalai seorang Pastor Paroki, yang mana para pastornya bersamasama
bertempat tinggal di Bika Nazareth.
Tidak ada data mengenai turne pada masa awal berdirinya paroki Bika ke daerah ini.
Catatan yang ada menyebutkan bahwa pada tahun 1949, pastor Paroki Bika saat itu,
Pastor Jos Wintraecken, SMM mengunjungi kampung-kampung di sungai Suai
(kampung Jangkang, Beruang, Sagin, Gudang, dsb.) dari tanggal 30 Maret hingga
tanggal 7 April 1949 dan sungai Embaloh, dari tanggal 5-17 Mei 1949. Beliau
mengunjungi kampung Lawik, Kasai, Belatung, Sengkuang Kuning bahkan sampai Ulak
Pauk. Di sana Beliau bertemnu dengan seorang Katolik yang bernama A. Rindak. Beliau
kembali mengunjungi kampung-kampung ini pada tanggal 2-12 Desember 1949.
Hingga tahun 1960-an, tidak ditemukan data turne ke daerah sungai Palin dan sungai
Lauk. Tidak diketahui apakah memang belum pernah dikunjungi atau laporannya yang
hilang. Kemungkinan besar, karena para pastor sering turne ke sungai Suai hingga
Seluan Desa, maka mungkin mereka juga ke daerah itu melalui Nanga Awin dan Seluan
Desa, yang bisa dicapai dari Putussibau menggunakan jalan darat, menuju kampung-
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 144
kampung di daerah itu seperti Tanjung Kerja, Sungai Uluk dan Benuah Tengah. Juga
tidak ditemukan catatan turne paroki Putussibau ke daerah ini hingga tahun 1960-an.
6. Paroki Santo Paulus, Bunut
Paroki Santo Paulus, Bunut terdiri dari 19 stasi, dengan total jumlah umat hingga akhir
tahun 2010 adalah 3.469 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, sejak berdiri sendiri sebagai paroki,
ialah: Pastor Jean Pierre Meichel, OMI (1980-1990); Pastor Lucien Bouchard, OMI
(1991-1994); Pastor Paschasius Triyono, Pr (1994-1998); Pastor Florianus Abong, Pr
(1998-2006); Pastor Yohanes Bebok, Pr. (2000-2010); Pastor Nan Kleden (2005-
sekarang); Pastor Paulus Pati Lein, Pr (2010-sekarang).
Paroki Bunut memiliki wilayah yang cukup luas dan berpusat di Nanga Bunut. Paroki ini
meliputi daerah sungai Kapuas dari Nanga Bunut ke hilir hingga perbatasan dengan
Jongkong Kapuas, serta
kampung-kampung sepanjang
sungai Bunut dan anak-anak
sungainya, yaitu sungai Suruk
dan sungai Mentebah.
Gereja Santo Paulus, Nanga Bunut
sendiri, hingga tahun 2003, masih dilayani dari Bika.
Paroki (Nanga) Bunut, walau
baru berdiri pada tahun 1979,
sesungguhnya telah dilayani
dari Bika secara teratur sejak
tahun 1940-an, karena saat itu
merupakan bagian dari Paroki
Bika Nazareth. Bahkan ketika
sudah berdiri sendiri, karena
belum memiliki pastoran
Tahun 2002, ketika didirikan pastoran baru di Nanga Kalis, maka pimpinan keuskupan
membentuk tim pastoral untuk Paroki Peniung dan Bunut, yang dikepalai oleh seorang
Pastor Paroki, yang mana para pastornya bersama-sama bertempat tinggal di Nanga
Kalis. Hingga kini sistem ini masih dipakai, bahkan Pastor Paroki saat ini, Pastor Paulus
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 145
Pati Lein, Pr, membentuk hanya satu Dewan Pastoral Paroki, yang mewakili dan
melayani kedua paroki ini.
7. Paroki Kunjungan Santa Perawan Maria, Peniung
Paroki Kunjungan Santa Perawan Maria, Peniung terdiri dari 28 stasi, dengan total
jumlah umat hingga akhir tahun 2010 adalah 10.070 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Lucas Bouchard, OMI
(1979-1991); Pastor Jean Pierre Meichel, OMI (1979-1993); Pastor René Colin, OMI
(1984-1993); Pastor Silvinus E. Endi,Pr (1992-2000); Pastor Pachasius Triyono, Pr
(1994-2000); Pastor Vincentius Yakobus, Pr (1997-1999); Pastor Hendrikus Ladjar, Pr
(1998-2000); Pastor Florianus Abong, Pr (1998-2007); Pastor Agustinus Bata, Pr (2000-
2001); Pastor John Paul Bebok, Pr (2001-2010); Pastor Nan Kabelen, Pr (2007-
sekarang); Pastor Paulus Pati Lein, Pr (2010-sekarang).
Gereja Santa Maria di Nanga Kalis
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 146
Wilayah Paroki Peniung mencakup tiga sungai utama, yaitu sepanjang sungai Manday
dan anak-anak sungai di hulu Manday, serta sepanjang aliran sungai Kalis dan sungai
Sepangin. Hampir semua kampung di sepanjang sungai Manday ditempuh melaui air
alias memakai speed boat, sementara kampung di sungai Kalis, Peniung dan lainnya
umumnya harus ditempuh dengan jalan kaki, sementara daerah Sepangin sudah bisa
dengan kendaraan bermotor.
Umat Paroki Peniung terdiri dari 6 sub suku besar. Di sepanjang sungai Manday
didiami suku Orung Daan/Pangin dan Kantu’k. Sungai Kalis didiami suku Kalis.
Sedangankan sungai Sepangin didiami suku Suru’k. Selain itu terdapat juga umat
keturunan Tionghoa yang bermukim di Nanga Kalis. Sebagian besar umat paroki
Peniung adalah petani karet dan peladang dan hanya segelintir sebagai pedagang dan
pegawai negeri sipil (PNS).
Sejak berdirinya Paroki Bika pada tahun 1924 hingga tahun 1979, wilayah ini adalah
bagian dari paroki Bika. Walau sudah menjadi paroki baru pada tahun 1979, wilayah ini
tetap dilayani dari Bika selama 23 tahun, hingga didirikannya Gereja dan Pastoran di
Nanga Kalis pada tahun 2002. Pada saat yang sama, pusat paroki dipindahkan dari
Peniung ke Nanga Kalis. Perpindahan ini lebih untuk efektifitas pelayanan pastoral,
mengingat pusat kecamatan berada di Nanga Kalis. Dibangun sejak tahun 1999,
akhirnya pada tanggal 19 Oktober 2002, Gereja Santa Maria dan pastoran Nanga Kalis
diresmikan oleh Bupati Kapuas Hulu, Bapak Tambul Husin, dan diberkati oleh Uskup
Sintang, Mgr. Agustinus Agus. Pastoran baru ini menjadi pusat pelayanan untuk
wilayah paroki Peniung dan Paroki Bunut.
Karena merupakan bagian dari paroki Bika, wilayah paroki ini sudah mulai dikunjungi
sejak tahun 1930-an untuk wilayah sungai Manday dan mulai dikunjungi sejak
kemerdekaan negeri ini untuk wilayah sungai Kalis. Dari catatan laporan turne, Pastor
Jos Wintraecken, SMM mengunjungi kampung-kampung di sungai Manday dan sungai
Kalis antara tanggal 11-23 Oktober 1948. Beliau kembali berkunjung ke wilayah ini
pada tanggal 7-12 Maret 1949 dan 4-16 Oktober 1949 dan tanggal 15-24 November
1949. Seringkali Beliau dibantu oleh seorang guru, Pak Ransa untuk turne dan
mengajar umat. Pada tahun yang sama, Pastor Reynders, SMM juga mengunjungi
daerah sepanjang sungai Manday. Pada masa itu, rata-rata para pastor mengunjungi
kampung-kampung di wilayah ini sebanyak dua atau tiga kali setahun dari Bika.
Periode awal wilayah ini dilayani oleh para imam Eropa, yaitu para imam Kapusin
(OFM Cap), Montfortan (SMM), dan Oblat Maria (OMI). Para Imam Montfortan mulai
tahun 1939, kemudian para imam Oblat Maria menggantikan imam Montfortan sejak
tahun 1979, dan sejak tahun 1993, Paroki Peniung dilayani oleh para imam diosesan
Sintang, yang dimulai oleh Pastor Silvinus Endi, Pr. Sejak menjadi paroki sendiri, karena
luasnya wilayah dan banyaknya kampung, maka paroki ini diberi dua orang Katekis,
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 147
yaitu Bapak Aga (alm) yang tinggal di Nanga Danau, dan Bapak Marsius Apendi yang
tinggal di Nanga Raun.
Paroki Peniung terdiri dari 34 stasi yang dilayani oleh dua orang imam diosesan
Sintang. Untuk memenuhi kebutuhan iman umat, karena masih kekurangan tenaga,
maka DPP Paroki Peniung selalu mengadakan kursus pelatihan pemimpin ibadat dan
pertemuan bersama secara berkala, baik itu pembinaan OMK, Bina iman anak dan
remaja, retret SMP-SMA negeri dan retret PNS. Partisipasi Pemimpin Umat dan Dewan
Pastoral stasi sangat membantu karya pastoral paroki. Walau pelayanan masih
memakai sistem turne secara berkala dan masih lebih menonjol pada hal-hal
sakramental, seluruh tim pastoral dan DPP berusaha keras agar dapat tercipta umat
yang beriman mendalam, mandiri, dan missioner melalui berbagai kegiatan
saramental, sakramentali, kerohanian lainnya, pelatihan, pembinaan, dsb.
Paroki ini memiliki dua buah Gua Maria, yaitu di Nanga Raon dan di bukit Sepangin,
Lubuk Mantuk. Pastor Yohanes Ngumbang, Pr, adalah imam yang berasal dari Paroki
ini, yaitu dari kampung Segiam, sungai Manday, serta Sr. Hilaria Unday, SMFA dan Sr.
Lusia Elisabeth Puasa, SMFA, yang berasal dari Nanga Peniung.
8. Paroki Santo Yohanes Penginjil, Dangkan-Silat
Paroki Dangkan-Silat terdiri dari 49 stasi, dengan total jumlah umat hingga akhir tahun
2010 adalah 7.151 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor René Colin, OMI (1977–
1983); Pastor Bernard Keradec, OMI (1983–1990); Pastor Jean Pierre Meichel, OMI
(1990–1993); Pastor Jacques Chapuis, OMI (1993–2001); Pastor H. Boedhy Prihatna
OMI (1997–1998); Pastor Markus Boli Witin, OMI (2001–2007); Pastor Yohanes
Damianus, OMI (2002–2004); Pastor Ignasius Priyantoro, OMI (2004–2009); Pastor
Nikolaus Ola Paokuma, OMI (2007-2008); Pastor Ignatius Wasono P. OMI (2008-
sekarang); Pastor Simon Heru Supriyanto, OMI (2009- sekarang).
Paroki Sto. Yohanes Penginjil Dangkan Silat merupakan paroki hasil pemekaran Paroki
Sto. Fidelis Sejiram melalui Surat Keputusan Uskup Sintang, Mgr Isak Doera, no
97/Par/1979, tanggal 24 Agustus 1979.
Pastor Jacques Maesen, SMM, ketika masih bertugas di Sejiram, pernah mengunjungi
wilayah ini dan menugaskan katekis, Pak Yakub untuk mendidik beberapa orang untuk
dibaptis. Maka pada tahun 1977, kelompok pertama ini, yaitu Pak Hasan, Dana, Deni,
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 148
dan Lukas dan beberapa orang lainnya dibaptis oleh Pastor Maesen di Entibab. Dari
kelompok inilah iman makin cepat berkembang. Para pionir inilah yang menjadi
Pemimpin Umat, Bapuk, Pemimpin Ibadat dan penggerak umat sehingga tahun-tahun
berikutnya semakin banyak yang mau dibaptis.
Gereja Sto. Yohanes Penginjil, di Dangkan
Sejak tahun berdirinya sebagai paroki baru hingga kini, Paroki Sto. Yohanes Penginjil
Dangkan Silat dilayani oleh para Pastor Misionaris Oblat Maria Imakulata. Dari 13
imam Oblat Maria yang pernah dan sedang berkarya di Paroki Dangkan Silat, dua
diantara, yaitu Pastor Boedhy Prihatna, OMI dan Pastor Markus Boli Witin OMI,
meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas ketika sedang dalam perjalanan turne.
Apa yang dialami kedua misionaris Oblat ini, telah menggenapi apa yang menjadi
motto hidup Pastor Markus Boli, yaitu, “Adalah sebuah kebahagiaan boleh meninggal
di tanah misi.”
Selain itu, Paroki ini, baik ketika masih bagian dari Sejiram juga setelah menjadi paroki
sendiri, juga dilayani oleh beberapa orang katekis. Para katekis yang pernah berkarya
di paroki ini adalah Pak Yakub, Pak Kusai, Pak Fransikus Gah, Pak Lambertus Lagao, Pak
Yokinson, Pak Alexius Dombot, dan Pak Jampang. Pak Linus Kuya dan Pak Afo adalah
dua katekis yang saat ini masih berkarya di Paroki Sto.Yohanes Penginjil Dangkan Silat.
Paroki yang meliputi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Silat Hulu dan kecamatan Silat
Hilir ini, hingga bulan Desember 2010, jumlah umat seluruhnya adalah 8.815 jiwa.
Rinciannya, sebagai berikut: sudah dibaptis 7.132 orang; Katekumen 980 orang, dan
simpatisan berjumlah 703 orang. Umat yang telah menerima sakramen krisma
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 149
sebanyak 2.918 orang. Pasangan yang telah menerima perkawinan Gereja Katolik
sebanyak 1.699 pasang. Seluruhnya terdapat 49 stasi, di mana 19 stasi beradd di
wilayah Kecamatan Silat Hulu dan 30 stasi berada di wilayah Kecamatan Silat Hilir.
Umat Paroki Dangkan Silat terdiri dari beberapa sub-suku Dayak, yaitu dari etnis
Ensilat, Sebaruk, Desa, Kantuk dan beberapa yang lain. Selain suku juga terdapat umat
dari etnis Jawa, Batak, Tionghoa dan Flores. Sampai saat ini, mereka relatif hidup
bersama secara rukun dan saling menghormati satu sama yang lain.
Paroki ini memiliki beberapa tantangan pastoral, yaitu bagaimana mendorong umat
agar 1) semakin beriman dewasa; 2) memajukan inkulturasi; 3) dapat menggapai
kemandirian di bidang tenaga dan finansial; 4) memiliki kesadaran akan pentingnya
kelestarian lingkungan hidup, yang makin terancam karena kehadiran perusahaan
kayu dan perkebunan sawit; 5) dapat memilih dan menggunakan secara bijaksana
teknologi masa kini, terutama media elektronik, karena telah menyuburkan budaya
konsumtif dan sering disalahgunakan oleh sebagian umat.
Para pastor, pengurus Dewan Pastoral Paroki dan para aktivis lainnya berusaha
melakukan berbagai langkah pastoral untuk menanggapi tantangan-tantangan itu.
Langkah pastoral yang dilakukan antara lain adalah tourne rutin oleh para pastor dan
katekis, membangun asrama putera dan puteri di Ng. Dangkan dan Ng. Silat,
mengadakan pelatihan, kursus, seminar dan penyadaran mengenai berbagai bidang
dan tantangan di atas, juga rekoleksi, ziarah, pertemuan, dsb., baik bagi anak-anak,
remaja, dewasa juga keluarga, baik bagi umat biasa, pemimpin umat, para guru,
petani, dsb., sesuai keadaan dan kebutuhan masing-masing kelompok.
Akhir kata, sebagaimana benih jika tidak mati , dia tetap sebiji saja, tetapi bila benih itu
telah jatuh ke tanah dan mati, maka benih itu menjadi tumbuh, berkembang dan
berbuah melimpah, demikikan pula benih-benih iman, kasih dan pengharapan, yang
telah ditaburkan oleh Allah dalam perjalanan sejarah Paroki Sto. Yohanes Penginjil
Dangkan Silat ini benar-benar menghasilkan buah-buah iman yang mewujudkan
Kerajaan Allah di bumi ini.
9. Paroki Santo Fransiskus Xaverius, Semitau
Paroki Santo Fransiskus Xaverius, Semitau terdiri dari 26 stasi, dan hingga akhir tahun
2010, umat seluruhnya berjumlah 5.888 jiwa
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 150
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor Jacques Chapuis, OMI;
Pastor Heribertus Boedhy Prihatma, OMI; Pastor Bernard Keradec, OMI; Pastor Lukas
Bouchard, OMI; Pastor Stefanus Suryanto, CP; Pastor Pius Barses, CP; dan Pastor
Kornelis K., CP.
Tahun 1890, Vikariat Apostolik Batavia secara resmi membuka stasi baru di Kalimantan
Barat, yaitu di Semitau dan mengangkat pastor Looymans, SJ sebagai pastor parokinya.
Beliau tiba di Semitau pada tanggal 29 Juli 1890. Karena karya misi di Semitau sejak
semula ditujukan kepada masyarakat Dayak dan ternyata orang-orang Dayak tidak
tinggal di Semitau, maka pastor Looymans memindahkan pusat paroki ke Sejiram pada
tahun 1891, ke tempat yang saat ini masih berdiri gereja dan pastoran. Sejak
dipindahkan pada tahun 1891, kampung Semitau baru menjadi pusat paroki lagi pada
tahun 1979.
Gereja Sto. Fransiskus Xaverius, di Semitau
Karena merupakan bagian dari Paroki Sejiram, maka Semitau mendapatkan kunjungan
teratur dari para pastor yang berdiam di Sejiram, teristimewa sejak masuknya para
imam dan bruder Kapusin ke Sejiram pada bulan Mei 1906, yaitu pastor Eugenius dan
Pastor Camilus serta Bruder Theodorus. Karena belum ada pastoran, maka saat itu
para pastor diterima oleh Bapak Bong Nyan Sen di rumah mereka, sekaligus rumah
mereka menjadi tempat sembahyang.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 151
Baru pada tahun 1966, sebuah kapel dan pastoran kecil dibangun di Semitau atas
prakarsa dan usaha pastor Joep van Lier, SMM, di atas tanah yang dihibahkan oleh
Bapak Bong Nyan Sen. Gedung ini terbakar pada tanggal 1 Agustus 1990, dan dibangun
kembali pada tahun 1992, pada tempat yang sama. Gedung baru ini baru mulai didiami
pada tanggal 22 Oktober 1992.
Kemudian Pastor Joep van Lier juga membangun SDK Pelita di atas tanah seluas 2,5
hektar, yang didapatkan dari Bapak Bong Lion Fat, pada tahun 1972, dan membangun
TK Pelita pada tahun 1978, sebagai bagian dari sekolah yayasan Sukma. Selain sekolah,
paroki juga mendirikan asrama, yaitu asrama Sto. Dominikus Savio (1983) dan asrama
Sto. Yosef (1986) untuk putera, dan asrama Santa Maria (1986) untuk puteri, karena
kota Semitau memiliki dua SLTP dan satu SMU.
Di atas tanah yang sama ini kemudian juga dibangun gedung gereja, yang dresmikan
oleh Mgr. Isak Doera pada tanggal 12 April 1986. Pastor Joep van Lier dan Jacques
Maessen praktis memegang stasi Semitau sebagai bagian dari paroki Sejiram sejak
tahun 1972 hingga menjelang tahun 1980. Sejak menjadi paroki sendiri pada tahun
1979, Semitau dipercayakan kepada para Oblat Maria Imakulata hingga thun 2005.
Sejak tangal 19 Juni 2005 hingga buku ini ditulis, paroki Semitau ditangani oleh
kongregasi Pasionis. Pastor Stefanus Suryanto, CP dan Pastor Pius Barses, CP adalah
imam pasionis pionir yang bekerja di Semitau dan kini dilanjutkan oleh pastor
Kornelius.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 152
Wilayah Paroki Semitau, yang terdiri dari kecataman Semitau dan sebagian dari
kecamatan Suhaid, Embau dan Bunut Hilir, merupakan pusat ekonomi untuk
kecamatan Semitau, Suhaid dan Sejiram. Umat paroki Semitau mayoritas adalah ialah
etnis Dayak sub suku Kantuk, Manyan, Suaid, dan Iban, juga orang-orang Tionghoa,
dan sebagian kecil berupa para pendatang dari berbagai etnis lainnya. Mayoritas umat
paroki adalah warga kampung dan petani, khususnya petani karet dan ladang.
10. Paroki Santo Dismas, Lanjak
Paroki Santo Dismas, Lanjak terdiri dari 15 stasi, dan jumlah umat seluruhnya hingga
akhir tahun 2010, adalah 1.853 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor Yohanes Ngumbang, Pr;
Pastor Fransiskus Luiten, SMM; Pastor Peter Hoogland, SMM; Pastor Henk Kalter,
SMM; Pastor Jean Pierre Meichel, OMI; Pastor Bernard Keradec, OMI; Pastor Mateus
Juang, SMM; Pastor Gabriel Dwi Atmoko, Pr; Pastor Isnadi Wibowo, Pr; dan Pastor
Petrus Kaju, Pr (sekarang)
Gereja Sto. Dismas,di Lanjak
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 153
Pada tahun-tahun awal berdirinya paroki Sejiram, para pastor sudah berencana untuk
juga masuk ke daerah Batang Lupar. Usaha pertama sempat batal karena ada wabah
penyakit. Pastor Eugenius, bersama kontrolir dari Semitau mengunjungi daerah Batang
Lupar tahun 1907, seperti yang dikisahkannya dalam suratnya kepada Vikaris
Provinsial pada tanggal 26 Januari 1908. Dari Sejiram mereka melewati danau Seriang
dan dilanjutkan ke Batang Lupar. Di Lanjak mereka mengunjungi beberapa kampung
dengan jalan kaki 1-1,5 jam dari sungai Lanjak. Dari sana kunjungan dilanjutkan ke
Nanga Badau.
Atas usulan Mgr. Pacificus Bos, OFM Cap. maka pastor Gonzalvus, OFM Cap dan
Ignatius, OFM Cap melakukan perjalanan perkenalan ke Lanjak pada tanggal 30 Juli
1908, untuk menjajaki membuka stasi baru dan memilih tempat untuk gereja dan
pastoran. Bersama seorang keturunan Tionghoa dari Semitau dan seorang polisi,
mereka berdayung dari Semitau, mudik melalui sungai Kapuas dan masuk ke sungai
Tawang dan tiba di daerah danau sekitar jam 8.00 malam.
Hari berikutnya mereka berhasil mencapai pulau Majang, dan bermalam di
pesanggrahan kepala distrik. Tanggal 3 Agustus 1908, kepala distrik dan dua polisi
bergabung, berdayung menuju Lanjak. Hari itu mereka bermalam di danau, baru
keesokan harinya setelah berdayung selama tiga jam dan berjalan kaki ke darat sekitar
setengah jam, mereka menemukan daerah yang cocok untuk membangun gereja baru,
karena merupakan kaki gunung dan dekat dengan sungai Lanjak. Hari itu, tanggal 4
Agustus 1908.
Pastoran pertama di Lanjak, rumah tinggal Pst
Gonzalvus & Br. Donulus - Desember 1908
Keesokan harinya mereka
mengunjungi kampung Judan
yang hanya terdiri dari 4 KK
(pintu) dan kampung Ngadit,
yang terdiri dari 18 KK/Pintu.
Setelah menjelaskan maksud
kedatangan mereka dan
diterima baik olah warga
setempat, mereka kembali ke
Semitau melalui jalan yang
sama pada tanggal 5 Agustus
1908 dan tiba pada tanggal 7
Agustus, karena tanpa
menginap.
Pastor Gonzalvus, OFM Cap dan Bruder Donulus, OFM Cap berencana pergi lagi ke
Lanjak pada tanggal 16 Desember 1908. Karena kontrolir baru kurang simpatik dengan
Gereja, maka tak ada bantuan apa pun yang diberikan, termasuk polisi. Rencana Allah
ternyata tidak dapat dihalangi, karena hari itu seorang keturunan Tionghoa di Semitau,
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 154
yang membawa beras dari pulau Majang, kini hendak kembali ke pulau Majang,
sehingga para Pastor dapat menumpang. Tidak hanya sampai di pulau Majang, Bapak
pemilik kapal ini pun rela mengantar mereka sampai ke Lanjak.
Setiba di Lanjak, mereka bertemu dengan seorang Tionghoa 34 yang justru sudah
membuka lahan yang hendak dipakai para misionaris. Masih ada kayu-kayu bekas dari
rumah yang didirikan Hindia Belanda, yang juga dipakai sebagai bahan bangunan baru.
Rumah sederhana ini dibuat bertiang setinggi satu meter, lantainya dialasai rotan dan
dindingnya dari kulit-kulit pohon, serta atapnya dari daun-daun pohon, sekedar
melindungi diri dari hujan dan sinar matahari. Beberapa hari kemudian rumah
diperpanjang, supaya ada ruang yang akan dijadikan kapel sederhana.
Rumah sederhana ini tak cukup untuk tiga orang, karena Pastor Ignatius juga ikut.
Tetapi rencana bangun baru di tempat yang lebih tinggi tak tercapai karena tak ada
tukang, yang sudah dipengaruhi oleh orang Melayu di situ bahwa para pastor dibayar
mahal oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan bantuan tukang dari Sejiram, rumah
baru sudah selesai pada akhir tahun 1909 dan disusul dengan pembangunan gedung
sekolah yang baru selesai awal 1910. Gedung sekolah dua lantai ini, ruang bawah
dipakai untuk pelajaran dan keperluan lainnya, ruang atas untuk asrama anak-anak
dan bagian belakangnya untuk dapur mereka. Pada dinding depan sekolah ditulis
dengan huruf kapital, “Anang Negara Anak Mit Datai Ngosong Aku,” yang berarti
“jangan halangi anak-anak datang kepadaKu.”
Ruang kelas dapat menampung 50 anak, tetapi tak ada anak yang datang karena
orangtua lebih suka anak-anak tinggal dan membantu mereka dirumah ditambah isu
oleh orang-orang Melayu bahwa anak-anak itu akan dibawa ke luar negeri. Karena tak
ada anak-anak Lanjak, maka para misionaris mencari ke hulu sungai Embaloh, seperti
kampung Balwak, yang merelakan anak-anak mereka bersekolah dan tinggal di
asrama. Melihat keadaan ini, para pastor berkesimpulan bahwa misi, termasuk
sekolah, lebih berpeluang di hulu Embaloh, apalagi permintaan dari sana terus
diarahkan kepada para misionaris, yang diwujudkannya dengan pembangunan rumah
di kampung Keram, Benua Banyu, pada tahun 1913.
Sejak ditinggalkan oleh pastor Gonzalvus pada tahun 1919, karena sakit-sakitan, misi di
daerah ini terus menurun, meskipun masih dikunjungi dari Benua Martinus. Tahun
1920 pastor Egbertus Nobel ditugaskan di daerah ini, tetapi keadaan tidak lebih baik,
sehingga pada tanggal 23 April 1921, paroki Lanjak resmi ditutup. Lanjak akhirnya
hanya sebagai stasi, bagian dari paroki Benua Martinus hingga tahun 1979, ketika Mgr.
Isak Doera memekarkan paroki menjadi 34 paroki.
34 Diduga kuat bahwa Bapak ini bernama A. Ngong.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 155
Setelah menjadi paroki sendiri para tahun 1979, paroki ini ditangani oleh para imam
Montfortan, kemudian ditangani oleh para imam Oblat Maria, dan baru sejak tahun
2000-an ditangani oleh para imam diosesan Sintang. Pada tanggal 4 Mei 2008,
diresmikan gereja baru yang lumayan besar dan megah.
11. Paroki Santo Montfort, Badau
Paroki Sto. Montfort, Badau terdiri dari 14 stasi dan 4 kring, dan hingga akhir tahun
2010, memilik jumlah umat seluruhnya adalah 2.019 jiwa.
Para Pastor yang pernah
berkarya di paroki ini adalah:
Pastor Henk Kalter, SMM;
Frans Luiten, SMM; Peter
Hoogland, SMM; Mateus
Juang, SMM; Boedhy
Prihatna, OMI; Leonardus
Miau, Pr; Yoseph Dosi
Mbele, Pr; Vincentius
Yakobus, Pr; dan Antonius
Adji Prabowo, Pr. Para frater
Gereja Sto. Montfort, di Nanga Badau
yang pernah berpastoral di
Paroki Sto. Montfort Badau sejak tahun 2005, ialah, Fr. Jefri Kelen, SMM; Fr. Stefanus,
SMM; Fr. Hiasintus; dan Fr. Prasetya Handaya Wicaksana.
Wilayah Badau (dan Lanjak) sudah mulai dikunjungi para pastor sejak Sejiram menjadi
sebuah paroki. Dalam laporannya pada tahun 1897, Pastor Looymans, SJ melaporkan
bahwa dari 467 orang yang dibaptis dan dicatat dalam Buku Baptis sejak tahun 1890
(dalam rentang waktu tujuh tahun), ada 41 orang yang berasal dari Nanga Badau.
Dalam suratnya kepada Vikaris Provinsial pada tanggal 26 Januari 1908, Pastor
Eugenius, OFM Cap melaporkan bahwa, bersama kontrolir dari Semitau, Beliau
mengunjungi daerah Batang Lupar pada tahun 1907. Dari Sejiram mereka melewati
danau Seriang dan dilanjutkan ke Batang Lupar. Di Lanjak mereka mengunjungi
beberapa kampung dengan jalan kaki 1-1,5 jam dari sungai Lanjak. Dari Lanjak
kunjungan dilanjutkan ke Nanga Badau.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 156
Sejak menjadi bagian dari paroki Sejiram dan kemudian menjadi bagian dari paroki
Benua Martinus, seluruh wilayah perbatasan, termasuk Badau sesekali dikunjungi dari
Sejiram dan dari Benua Martinus.
Baru pada tahun 1979, Badau menjadi paroki sendiri, melepaskan diri dari paroki
Benua Martinus. Walaupun sudah dinyatakan sebagai paroki dengan memiliki buku
baptis sendiri, saat itu paroki ini belum memiliki pastor sendiri. Pada masa awal ini
paroki Badau dilayani oleh para pastor Montfortan dari Benua Martinus. Paroki Badau
pernah dilayani oleh para Pastor dari Nanga Kantuk, walau tanpa ada SK dari Uskup,
yaitu oleh Pastor Boedhy Prihatna, OMI dan pastor Leonardus Miau, Pr. Sejak tahun
1997, karena kekurangan tenaga para imam Montfortan dan Oblat Maria, maka Paroki
Badau dipercayakan kepada para imam diosesan Sintang. Akhirnya, pada tahun 1998,
Pastor Yoseph Dosi, Pr menjadi pastor paroki yang menetap di Badau, di sebuah
pastoran sederhana.
Pada tahun 2005 para suster Ordo Santo Agustinus, mulai berkarya di paroki Sto.
Montfort, Badau. Mereka melayani pendidikan dan asrama, yaitu asrama Sta. Virgini,
yang didirikan pada tanggal 5 Agustus 2005. Asrama ini menampung anak- anak putri
paroki Sto. Montfort Badau yang berasal dari stasi-stasi dan berkeinginan untuk
melanjutkan sekolah di SMP dan SMA. Sejak tahun 2005 hingga 2011 tercatat kurang
lebih 50 siswi pernah tinggal di asrama Sta. Virgini.
Para Suster Ordo Santo Agustinus yang pernah berkarya Asrama Sta. Virgini Badau,
ialah Sr. Prudentia, OSA; Sr. Wilhelmina, OSA; Sr. Rafaela, OSA; Sr. Silvia , OSA; Sr. Rita ,
OSA; Sr. Florentina, OSA; Sr. Yoanita, OSA; Sr. Yulia Yovita Ita, OSA
12. Paroki Santo Paulus, Nanga Kantuk
Paroki Sto. Paulus, nanga Kantuk terdiri dari 12 stasi, dan jumlah umat seluruhnya
hingga akhir tahun 2010 adalah 5.172 jiwa, termasuk 676 orang yang belum dibaptis.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor. Jacques Chapuis, OMI
(1978-1992); Pastor Heribertus Boedhy, OMI (1992-1997); Pastor Leonardus Miau, Pr.
(1997-1998); Pastor Vincentius Yakobus, Pr (1998-2008 dibantu oleh Pastor Yoseph
Dosi Mbele, Pr (1998-2003) dan Pastor Gabriel Dwi Atmoko (2000-2002); Pastor Luis
Bona, Pr. (2003); Pastor. Robertus Ambrosius, Pr (2003-2009); Pastor Vinsensius Rato,
Pr (2008); Pastor Makabeus Jawa, Pr (2009-sekarang).
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 157
Hampir selama seratus tahun, paroki Nanga Kantuk merupakan bagian dari paroki
Sejiram dan dilayani dari Sejiram. Selama waktu yang sekian lama, kunjungan sangat
jarang dan baru sungguh mulai rutin dilayani sejak berdiri sendiri sebagai paroki pada
tahun 1979.
Tidak diketahui apakah ketika Pastor Rutten dan J. Wintraecken, bertugas di Benua
Martinus antara tahun 1949-1956, pernah mengunjungi wilayah ini. Disebutkan
bahwa, ketika Pastor Adriaan Schellart, SMM bertugas di Benua Martinus pada tahun
1957-1965, Beliau pernah mengunjungi kampung-kampung di wilayah sungai
Empanang, karena ada sekolah misi di daerah itu, seperti kampung Ensanak, Kantuk
Asam, dan Sungai Mawang. Setelah itu praktis tidak ada lagi catatan mengenai
kunjungan ke daerah ini. Baru pada tahun 1978, Pastor Jacques Chapuis, OMI mulai
mengunjungi wilayah ini dan mulai dilayani dari Sejiram.
Mayoritas umat paroki ini adalah etnis Dayak dari suku Kantuk dan Iban. Mata
pencaharian mereka adalah petani.
13. Paroki Epifania, Siut Melapi
Paroki Epifania Siut Melapi terdiri dari 13 stasi dan 15 lingkungan dengan jumlah umat
seluruhnya pada akhir tahun 2010 adalah 6.114 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor Jean Subra, OMI (1977-
1983); Pastor Aloysius J. Ding Ngo, SMM (1979-1980); Pastor Lukas Bouchard, OMI
(1983-1990); Pastor Mateus Rampai, Pr (1993-1995); Pastor Konradus Hancu, SMM
(1996-1997); Pastor Joseph Jehara, SMM (1997-2001); Pastor Arifin Dwirahmanto,
SMM (2001-2003); Pastor Marchadius Golo, SMM (2003-2008); Pastor Yusup Gunarto,
SMM (2008-Sekarang).
Paroki Penampakan Tuhan (Epifania) Siut-Melapi adalah hasil pemekaran dari Paroki
Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Putussibau berdasarkan SK Mgr. Isak Doera
pada tahun 1979. Wilayah paroki ini meliputi wilayah Kecamatan Putussibau Selatan
dari Batang Suai sampai Tanjung Lokang, yang terletak di Hulu sungai Kapuas.
Tidak diketahui pasti kapan mulainya misi Katolik di daerah Siut dan Melapi. Catatan
turne paroki Bika dan Putussibau sebelum tahun 1948 tidak ditemukan dalam arsip.
Tetapi berdasarkan catatan turne Pastor Fulgentius, yang saat itu adalah pastor paroki
Sintang, ia pergi ke Bika pada tanggal 23 Oktober 1932 untuk inspeksi sekolah. Karena
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 158
kapal motor milik Bika sedang rusak, sehingga Pastor Fulgentius, Pastor Oktavianus,
dan rombongannya harus berdayung menuju Melapi pada tanggal 25 Oktober 1932.
Berangkat jam 04:45 pagi buta dan tiba di kampung Rumah Bok jam 20 malam. Karena
tak dapat dilanjutkan lagi, maka mereka harus berjalan kaki hingga tiba di Melapi pada
jam 21 malam.
Tujuan para misionaris Kapusin pergi ke Melapi ialah untuk inspeksi sekolah misi di
Betania. Karena sudah ada sekolah, maka sudah dapat dipastikan bahwa sudah ada
kunjungan yang agak teratur ke Melapi sejak berdirinya Paroki Bika. Dari Melapi, dua
Pastor Kapusin ini melanjutkan perjalanan ke Padua di Mendalam, pada tanggal 27
Oktober 1932. Pastor Fulgentius, OFM Cap dan Pastor Flavianus, OFM Cap hendak ke
Melapi lagi pada tanggal 22 Februari 1934, tetapi batal, karena guru yang mengajar di
Melapi sakit dan diopname di Bika, ditangani oleh seorang dokter.
Daerah-daerah sekitar Putussibau, termasuk Siut dan Melapi sudah mulai dikunjungi
secara teratur sejak berdirinya Paroki Putussibau tahun 1947. Pastor Hub Reijnders,
SMM melakukan banyak kunjungan ke kampung-kampung di wilayah paroki
Putussibau. Pastor Reijnders mengunjungi Melapi pada tanggal 22 Maret 1949 dan
bertemu dengan seorang guru, yaitu Pak Bau. Beliau kembali mengunjungi Melapi
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 159
pada tanggal 27 Juni 1949. Pastor ini kembali ke Melapi tanggal 23-24 November 1953
dan menikahkan Yohanes Dajut dengan Sarika. Tahun-tahun berikutnya kunjungan
pastoral dari Putussibau menjadi lebih teratur karena sudah menjadi salah satu stasi
penting dari paroki Putussibau.
Gereja Epifania di Melapi
14. Paroki Santo Antonius dari Padua, Mendalam
Paroki Santo Antonius dari Padua, Mendalam terdiri dari 10 stasi dengan jumlah umat
seluruhnya pada akhir tahun 2010 adalah 1.942 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini adalah: Pastor Jan Linssen, SMM (1939-
1949); Pastor Hub Reijnders, SMM (1947-1952); Pastor Jan Linssen, SMM (1953-1958);
Pastor Hub Reijnders, SMM (1958-1976); Pastor Aloysius Ding, SMM (1969-1994);
Pastor Mateus Rampai, Pr (1993-1996); Pastor Hendrikus Ladjar, Pr (1996); Pastor
Rafael Breok, SMM (2007-2011). Dari tahun 1996 hingga 2007, paroki ini dilayani oleh
para imam Montfortan yang bertugas di paroki Putussibau.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 160
Gereja Sto. Antonius dari Padua, di Mendalam
Selain para imam, ada banyak tokoh umat yang berjasa dalam menumbuhkan Gereja
di wilayah ini, antara lain, Tevo Ure, Ding Lata, Aki Sano, Paran Li, Yosef Usup, Paulus
Bato, Ijot, serta beberapa katekis, yaitu Yulius Pandi, Gregorius Seman, dan Agnes Ado.
Tidak ditemukan catatan kapan persisnya para misionaris mulai memasuki dan
mewartakan injil ke wilayah Mendalam dan sekitarnya. Dari data berikut, dapat
disimpulkan bahwa karya misi di Mendalam sudah mulai sejak berdirinya paroki Bika.
Dari laporan turne disebutkan bahwa Pastor Fulgentius, OFM Cap dan Pastor
Oktavianus, OFM Cap mengunjungi Padua di Mendalam pada tanggal 27 Oktober 1932
dalam rangka melakukan inspeksi atas sekolah di sana. Pastor Fulgentius, bersama
Pastor Gijsbers, OFM Cap dan Bruder Bertrandus, OFM Cap kembali melakukan
inspeksi sekolah di Padua pada tanggal 15-17 Februari 1934. Dengan kata lain sudah
ada sekolah Katolik di Mendalam pada tahun itu, yang mana harus diandaikan bahwa
misi Katolik sudah masuk ke Mendalam sejak tahun-tahun sebelumnnya.
Pastor Harrie L’Ortye, SMM, Pastor Linssen, SMM dan Pastor Edmundus, OFM Cap
yang tinggal di Bika berkesempatan mengunjungi Hulu Kapuas, masuk ke kota
Putussibau dan sungai Mendalam, khususnya ke kampung Tanjung Karang dan
Tanjung Kuda pada tahun 1939. Sejak berdirinya paroki Putussibau pada tahun 1947,
maka kunjungan pastoral ke daerah Mendalam sudah mulai dilakukan lebih rutin.
Pastor Hub Reijnders, SMM mengunjungi Mendalam beberapa kali pada tahun 1949,
yaitu pada tanggal 15-18 Januari dan bertemu dengan guru Ingan Ding; tanggal 26
Januari; tanggal 19 April; tanggal 26 April; tanggal 4 Mei bersama dengan Pastor L. van
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 161
den Boorn, tanggal 27-28 Mei. Tanggal 26 Januari dan 3 Maret 1949 Beliau ke Teluk
Engkala, ada urusan sekolah dengan guru Abu.
Sejak tahun 1979, Mendalam menjadi sebuah paroki baru dengan pastor pertama
yang bertugas ialah Pastor Aloysius Ding, SMM hingga tahun 1994. Di tempat ini
pulalah Beliau meninggal dan dikuburkan pada tahun 1995.
Untuk memperlancar jalannya pelayanan umat, Paroki Sto. Antonius Padua,
Mendalam membagi wilyah parokinya dalam 10 stasi. Pada umumnya, semua stasi
dapat dilewati dengan kendaraan darat, kecuali beberapa stasi yang belum memiliki
jalan darat, sehingga harus menggunkan sampan bermotor.
Rekap Paroki-Paroki Regio Melawi
NO. NAMA PAROKI JUMLAH
UMAT
JUMLAH
STASI
THN
BERDIRI
01 Sta. Perawan Maria,
Nanga Pinoh
02 Sta. Maria tak Bernoda,
Belimbing
7.623 36 1949
9.239 30 1979
03 Sta. Maria, Tanah Pinoh 2.756 27 1979
04 Sta. Petrus, Ella Hilir 5.149 44 1979
05 Sta. Luisa, Menukung 6.564 1979
TOTAL = 5 31.331 17,448% dari 179.568
jiwa 35
35 Data ini diambil dari http://dds.bps.go.id/hasilSP2010/kalbar/6110.pdf mengenai
sensus penduduk tahun 2010.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 162
1. Paroki Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, Nanga Pinoh
Paroki Nanga Pinoh, walaupun adalah sebuah paroki kota, memiliki 36 stasi. Hingga
akhir tahun 2010, jumlah umat seluruhnya adalah 7.623 jiwa.
Para Pastor yang pernah bekerja di Paroki ini, ialah: Pastor Jan Linssen, SMM (1949-
1953); Pastor A. Schellart, SMM (1953-1964); Pastor H.A.C van Cuyck, SMM (1964-
1981); Pastor Hubertus P.G Swerts, SMM (1981-1984); Pastor Niko Schneiders, SMM
(1984-1986); Pastor Paulus Aryono, CM (1986-1988); Pastor Agus Sudaryanto, CM
(1988-1991); Pastor Jacques Gros, CM (1991-1992); Pastor Stefanus Prio Utomo (1992-
1995); Pastor Aloysius Budiyanto, CM (1995-1999); Pastor Antonius Sapta Widada, CM
(1999-2002); Pastor Hardo Iswanto, CM (2002-2005); Pastor Mateus Rampai, Pr
(200402005); Pastor Salesius Jeratu, Pr (2005-2008); Pastor Piet Apot, Pr (2005 -
sekarang ); Pastor Markus Marhusen, Pr (2008-2010); Pastor Gabriel Dwi Atmoko, Pr.
(2010-sekarang)
Gereja SPMDS, di Nanga Pinoh
Pastor Fulgentius OFM Cap, yang saat itu sebagai Pastor Paroki Sintang, dalam
catatannya, menyebutkan bahwa ia melakukan beberapa kali kunjungan ke Nanga
Pinoh dan sekitarnya. Bulan tanggal 22-26 Mei 1932, untuk pertama kalinya Beliau
mengunjungi Nanga Pinoh dan merayakan Misa. Umat masih terdiri dari orang-orang
Belanda dan keturunan Tionghoa. Dalam Buku Baptis Paroki Katedral Sintang, tercatat
bahwa Pastor Fulgensius membaptis kakak beradik, Pak Paulus Tjong Siong Kiam dan
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 163
Petrus Tjong Siong, pada tanggal 25 Mei 1932, dengan wali baptisnya ialah Pak
Yohanes 36 Djan Sui Tjin. Beliau kembali mengunjungi Nanga Pinoh pada tanggal 22-25
November 1932, menumpang kapal motor Greta milik Letnan Doedens, dan juga
mengunungi Nanga Pinoh pada tanggal 24-28 April 1933 dan tanggal 5-9 November
1933. Beliau kembali mengunjungi Nanga Pinoh ada tanggal 21-26 April dan 13-18
Oktober 1934.
Pastor Egbertus Nobel, OFM Cap mengunjungi Nanga Pinoh dan beberapa kampung di
daerah itu untuk penjajakan daerah misi selain Nanga Pinoh, dari tanggal 24 Agustus
hingga 11 September 1935. Pastor Fulgentius Koning, OFM Cap masih mengunjungi
Nanga Pinoh pada tahun berikutnya begitu pula para penggantinya, yaitu pastor David
van de Made, OFM Cap, Pastor Nikodemus Gijsbers, Pastor Yustinius Goossens, OFM
Cap, dan Pastor H. L’Ortye, SMM.
Paroki Santa Perawan Maria Nanga Pinoh mulai dilayani secara tetap pada tahun 1949,
yaitu mulai tanggal 9 Desember 1949, ketika Pastor Jan Linssen, SMM, pastor
berjanggut panjang itu mulai menetap di Nanga Pinoh dan dipisahkan dari Paroki
Sintang. Keputusan ini diambil setelah melihat tidak adanya stasi yang dekat di sekitar
wilayah tersebut dan adanya permintaan dari delapan belas orang warga setempat
yang ingin belajar agama dan ingin menjadi Katolik.
Setelah beberapa lama menetap di Nanga Pinoh, jumlah umat bertambah karena
datang satu keluarga dari Singkawang, yaitu keluarga Antonius Djan Sui Tjin. Melihat
kemungkinan pertumbuhan Gereja di Nanga Pinoh, maka pada tanggal 1 Oktober
1949, 37 Nanga Pinoh resmi dijadikan sebagai paroki baru dan diberi nama Paroki santa
Perawan Maria. Wilayah pelayanan saat itu mencakup Menukung, Ella (hilir),
Belimbing, Tanah Pinoh, Sayan, Sokan, Dedai, Kayan Hilir dan Kayan Hulu.
Setelah Pastor Linssen, SMM pindah ke Putussibau pada tahun 1952, Nanga Pinoh
dilayani oleh Pastor Adriaan Schellart SMM, kemudian oleh Pastor H.A.C van Cuyk,
SMM, Pastor P.J.M van Eunen, SMM, dan Pastor Anton P. F Bernard, SMM. Tahun
1953 para suster SMFA, yaitu Sr. Helena, Sr. Hironyma, dan Sr. Lamberta mulai bekerja
di Nanga Pinoh membantu karya misi, baik dalam hal pastoral dan terutama
memberikan kursus rumah tangga, sulam menyulam dan menjahit kepada para puteri.
Mengingat wilayah yang luas dan kebutuhan umat yang besar, maka pada tahun 1964,
Mgr van Kessel mengangkat pastor van Cuyck sebagai Pastor paroki yang ketiga dan
dibantu oleh dua pastor sebagai tim pastoral, yaitu Pastor Matias Lunggai, Pr dan
Pastor Elias Kinson, Pr. Kehadiran Pastor van Cuyk sangat tepat dan disayangi umat,
36
Dalam Buku Baptis, tercatat bahwa nama baptisnya ialah Yohanes, tetapi dalam
keseharian dan buku pesta emas Nanga Pinoh, nama baptisnya ialah Antonius.
37 Buku Kenangan Pesta Emas 1949-1999, yang diterbitkan Panitia Emas Paroki Nanga
Pinoh tahun 1999, hal. 7-14, menyebutkan bahwa tanggal pendiriannya ialah 15 Agustus 1949.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 164
karena Beliau lancar berbahasa China, sementara umat di Nanga Pinoh umumnya
adalah keturunan Tionghoa. Kepergiannya tahun 1981 meninggalkan duka mendalam
bagi umat dan paroki Nanga Pinoh.
Karena Nanga Pinoh memiliki sekolah, maka tak terelakan banyak putera puteri dari
kampung yang datang bersekolah ke Nanga Pinoh. Mengingat dan prihatin dengan
begitu banyak putera dari kampung yang tidak memiliki keluarga dan tempat tinggal di
Nanga Pinoh, walaupun paroki belum memiliki gedung gereja paroki yang permanen,
maka tahun 1972 didirikan sebuah asrama putera bagi mereka yang baru diresmikan
tahun 1974. Dua tahun kemudian, pembangunan gedung gereja selesai dan
diresmikan oleh Vikaris Jenderal, Pastor Hubertus P.G Swerts, SMM.
Selain peresmian gedung gereja baru, tahun 1976 juga ditandai dengan kedatangan
para Pastor Lazaris (Vinsensian) yang sebelumnya bertugas di Vietnam, yaitu Pastor
Jacques Gros, CM, Pastor Gabriel Dethune, CM, Pastor V. Berset, CM, dan Pastor
Crawford, CM. Kemudian disusul oleh kehadiran Pastor Paulus Aryono dan Carlo
Karyanto pada tahun 1979.
Dimulai kepandaian puteri oleh para suster SMFA, lalu asrama putera oleh Paroki,
maka pada tahun 1980, Paroki memutuskan untuk mendirikan Sekolah Menengah
Pertama (SMP), yang diberi nama SMP Katolik Setya Budi. Tidak hanya berhenti
dengan SMP, pada tahun 1994 didirikan TK Bunda dan tahun 1995 didirikan Sekolah
dasar (SD) Yos Sudarso.
2. Paroki Santa Maria tak Bernoda, Belimbing
Paroki Santa Maria Tak Bernoda, Belimbing terdiri dari 30 stasi, termasuk 3 calon stasi
baru. Jumlah umat hingga akhir tahun 2010 adalah 9.239 jiwa.
Para Imam yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor J. Gros, CM (1979-1996);
Pastor Paulus Pati Lein, Pr (1996-2004); Pastor Yosef Dosi Mbele, Pr (2003-2010);
Pastor Lukas Lamadua, Pr (2009-sekarang), Pastor F. X. Pintau, Pr (2010-sekarang).
Sejak Nanga Pinoh menjadi sebuah paroki pada tahun 1949, daerah sungai Belimbing
mulai teratur dikunjungi oleh para Pastor. Kampung yang agak sering dikunjungi ialah
yang berada di sungai Melawi, terutama Nanga Emang (Kancing I) karena sering
menjadi persingahan para pastor yang pergi atau datang dari Nanga Pinoh ke Sintang
dan sebaliknya. Di kampung inilah berdiri kapel pertama di wilayah sungai Belimbing,
yang dibangun pada tahun 1952.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 165
Pastor A. Schellart, SMM, Pastor Paroki Nanga Pinoh saat itu, mulai mengunjungi
daerah-daerah sepanjang sungai Pinoh dan sungai Belimbing dari tanggal 7 Februari
hingga 17 Maret 1954. Tanggal 9 Februari 1954 dari hulu Keluas, yang sudah
berbatasan dengan sungai Belimbing, Beliau berangkat menuju Balai Agas (suku
Munta), sebuah kampung Protestan saat itu. Tanggal 10 Maret Beliau milir sungai
Belimbing dan tanggal 13 Beliau berada di Nanga Keberah. Pada awal-awal karya
misinya di daerah sepanjang sungai Belimbing, Beliau umumnya masuk mulai dari
hulu.
Selama berstatus sebagai stasi dari Paroki Nanga Pinoh, wilayah Belimbing berturutturut
dilayani oleh Pastor Linssen, SMM; Pastor A. Bernard, SMM; Pastor Matias
Lunggai, Pr; Pastor H. Swerts, SMM; Pastor Harrie van Cuyck, SMM; Pastor Niko
Diester, SMM; Pastor Valentino Bosio, CM; Pastor Prio Utomo, CM; dan Pastor Agus
Sudaryanto, CM. Ketika menjadi paroki sendiri pada tahun 1979, paroki baru ini
ditangani oleh Pastor J. Gros, CM, yang saat itu masih bertempat tinggal di Nanga
Pinoh.
Gereja Maria tak Bernoda, di Pemuar
Wilayah paroki ini cukup luas dan mencakup dua kecamatan, yaitu kecamatan
Belimbing Hulu dan kecamatan Belimbing Hilir. Pusat paroki terletak di Pemuar, yang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 166
merupakan ibukota kecamatan Belimbing Hilir. Sebelah barat berbatasan dengan
Paroki Nobal, bagian timur berbatasan dengan Paroki Nanga Pinoh, dan sebelah
selatan berbatasan dengan Paroki Tempunak. Semua kampung di paroki ini dapat
dikunjungi melalui jalan darat atau jalan air.
Ratio populasi umat bervariasi. Di banyak tempat mayoritas umat adalah etnis Dayak,
tetapi di tempat lain, khususnya daerah-daerah transmigrasi dan perkebunan sawit,
jumlah etnis Dayak dan para etnis pendatang (Tionghoa, NTT, Jawa dan lainnya),
kurang lebih seimbang.
3. Paroki Santa Maria, Tanah Pinoh
Paroki Santa Maria, Tanah Pinoh, terdiri dari 27 buah stasi, dengan jumlah umat
seluruhnya pada akhir tahun 2010 adalah 2.756 jiwa.
Para Imam yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Jacques Gros, CM (1980-
1996); Pastor Yoseph Padak Duli (1996-2003); Pastor Lukas Lamadua (2003-2005),
Pastor Agustinus Puguh Suwito (2004-2005); Pastor Patris Piki, Pr. (2005-sekarang),
Pastor Markus Kornelis Marhusen (2010-sekarang).
Paroki Tanah Pinoh terletak di hulu sungai Pinoh, Kabupaten Melawi. Wilayah paroki
ini mencakup empat kecamatan, yaitu kecamatan Tanah Pinoh, Sokan, Sayan dan
Tanah Pinoh Barat.
Tanah Pinoh merupakan daerah yang baru belakangan dimasuki Gereja Katolik di
daerah Melawi. Hal ini terjadi karena sejak zaman Kolonial Belanda dahulu, daerah ini
dikhususkan untuk Protestan. Karena walau Gereja Katolik sudah memasuki tanah
Melawi sejak kemerdekaan negeri ini, tanah Pinoh belum mendapat perhatian serius
dari Gereja Katolik hingga tahun 1970-an.
Tidak ada catatan turne bahwa Pastor pernah mengunjungi Kota Baru sebelum
kemerdekaan. Tetapi dari data baptis yang ada di Katedral Sintang, tercatat bahwa
Pastor David van de Made, OFM Cap membaptis Fransiskus Sit Tjoeng (lahir tanggal 8
September 1936) pada tanggal 10 November 1936 (LB 89), dibaptis di Kota Baru. Wali
baptisnya ialah Pak Simon Goendoel.
Pastor Schellart, SMM yang saat itu bertugas di Nanga Pinoh, pernah mengunjung Kota
Baru pada tanggal 7 s.d. 11 Februari 1954 dan Nanga Sokan pada tangal 11-13 Februari
1954. Beliau juga mengunjungi kampung-kampung lain di daerah tersebut, seperti
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 167
kampung Daur (tgl 18), kampung Landau Bunga (tgl 19), Nanga Tangkit, dsb. Beliau
juga ke kampung Penyekuang (tgl 21), kampung Lubuk Pongga (tgl 22), kampung
Nanga Libas (tgl 23), dsb. Tgl 27 Beliau ke hulu sungai Cina bahkan sampai ke kampung
Kepala Daak dan Laman Togap, dan kembali ke Kota Baru tanggal 2 Maret dan
mengunjungi Ulak Muid, Nanga Taum, Lintah hingga tanggal 6 Maret. Tanggal 9 Beliau
ke hulu Keluas, yang sudah berbatasan dengan sungai Belimbing dan keluar lewat Balai
Agas (suku Munta), sebuah kampung Protestan saat itu. Tanggal 10 Maret Beliau milir
sungai Belimbing dan tanggal 13 Beliau berada di Nanga Keberah, lalu menumpang
motor tempel seorang China, balik ke Nanga Pinoh. Setelah itu praktis tak ada lagi
kunjungan, karena umumnya sudah menjadi daerah Protestan.
Gereja Santa Maria, di Kota Baru
Pastor John Joseph Breslin, SMM selama bertugas di Nanga Pinoh juga beberapa kali
mengunjungi daerah ini.
Pelayanan pastoral dan kegiatan pendidikan iman di Tanah Pinoh dimulai secara
teratur oleh para awam sendiri. Pada tahun 1977, beberapa guru Katolik asal Nusa
Tenggara Timur dan Jawa Tengah yang bertugas di wilayah Tanah Pinoh, yang
terpanggil oleh iman mereka dan atas dorongan Mgr. Isak Doera, mulai mengajar
agama dan memimpin ibadat di tempat mereka bertugas, berbekal Kitab Suci, Rosario,
Jubilate dan Buku Doa Harian yang diberikan keuskupan. Awalnya hanya sedikit orang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 168
Dayak, juga beberapa keturunan Tionghoa yang mengaku beragama Katolik, walau
belum dibaptis, yang ikut serta dalam ibadat-ibadat yang dirayakan.
Berawal dari niat untuk menjenguk dan melayani kebutuhan rohani, khususnya Ekaristi
bagi para guru yang tersebar di beberapa kampung, Pastor Jacques Gros, CM
mengunjungi daerah Sayan, Sokan, Kota Baru dan Tanah Pinoh pada tahun 1979.
Karena belum menjadi sebuah paroki yang berdiri sendiri, maka daerah Tanah Pinoh,
yang merupakan bagian dari Paroki Nanga Pinoh, dilayani oleh Pastor Gros dari Nanga
Pinoh.
Karena Pastor Gros juga melayani paroki yang lain, maka Beliau hanya dapat
mengunjungi umat di wilayah ini secara berkala. Untuk sedikit mengatasi masalah ini,
Beliau mengangkat Pak Pinus, seorang guru SMPN 1, Tanah Pinoh, untuk mengurus
kegiatan dan pelayanan pastoral paroki, di bawah pengawasan Pastor Gros sendiri.
Saat-saat tertentu Beliau juga sangat terbantu dengan kehadiran frater yang
berpastoral.
Tahun 1996, Pastor Yosef Padak Duli, Pr diangkat menjadi Pastor Paroki dan mulai
menetap di Kota Baru, dalam sebuah pastoran sederhana. Sejak saat itu pelayanan
rohani dan kegiatan pastoral menjadi rutin dan lebih intensif. Arah pastoral dan
pembinaan rohani dilakuka sesuai dengan arah dasar keuskupan, yaitu untuk
membangun umat yang beriman mendalam, mandiri dan missioner.
4. Paroki Santo Petrus, Ella Hilir
Paroki Santo Petrus, Ella, terdiri dari 44 stasi, dengan total jumlah umat pada akhir
tahun 2010 adalah 5.149 jiwa.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Jacques Gros, CM; Pastor
Karlo Karyanto, CM; Pastor Vinsensius Rato, Pr (2000-2004); Pastor Mathias Sala, Pr
(2009-2010); Pastor Joseph Chrispinus Longa, Pr. (2004-2010); Pastor Yohanes Bebok,
Pr (2010 – sekarang).
Sejak dibukanya paroki Nanga Pinoh pada tahun 1949, praktis sepanjang sungai
Melawi agak rutin dilewati oleh para misionaris. Tercatat bahwa pada tanggal 16-22
Februari 1953, pastor A. Schellart turne ke daerah sungai Ella. Tanggal 17 Beliau
mengunjungi pasar Ella di mana ada lima toko warga keturunan Tionghoa. Hari-hari
berikutnya Beliau mengunjungi beberapa kampung di hulu Nanga Ella di mana Beliau
berjumpa dan melayani umat dari etnis Dayak.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 169
Tanggal 25 Juni hingga 19 Juli 1953, kembali Pastor A. J. H. Schelart mengunjungi umat
di sungai Ella. Tanggal 26-29 Beliau berada di Nanga Ella, tanggal 30 Beliau berada di
kampung Kempangai, tanggal 2 juli Beliau berada di kampung Sei Kutu, dan hari-hari
selanjutnya Beliau terus mengunjungi kampung-kampung lain, termasuk kampung
Penyuguk pada tanggal 9 Juli dan kampung Akam pada tanggal 10 Juli 1953. Beliau
masih terus mengunjungi secara rutin pada tahun-tahun selanjutnya hingga tahun
1964 ketika dipindahkan dari Nanga Pinoh.
Selain pastor Schellart, daerah ini juga dikunjungi oleh Pastor Anton Bernard, SMM
pada tanggal 8 April hingga 17 Mei 1956. Pada kunjungannya ini, Beliau bertemu
dengan Lurah Tindjok Rahin dari Kerangan Kora, pada tanggal 14 Mei 1956, yang atas
nama etnis Dayak di wilayah sungai Ella meminta dan memberi izin bagi pastor untuk
mendirikan dan menangani sekolah di wilayah itu, karena belum ada etnis Dayak dari
daerah itu yang bersekolah. Tanpa diminta pun, Pastor Bernard dalam laporannya
kepada Prefek Apostolik menyatakan bahwa daerah ini sangat membutuhkan guru,
karena begitu banyak calon katekumen. Beliau juga meminta, kalau bisa, dua guru, Pak
Ambok dan Pak Daban ikut membantu ke sana.
Pastor Anton Bernard kembali mengunjungi daerah ini pada tahun 1961, khususnya
kampung-kampung di sepanjang sungai Nyuruh. Ada juga beberapa pastor lain yang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 170
mengunjungi daerah ini, antara lain Pastor van Eunen pada bulan Juli 1956; Pastor
John Joseph Breslin, SMM pada bulan November 1962; serta Pastor Matias Lunggai,
Pr, dari tanggal 31 Desember 1966 sampai dengan 12 Januari 1967.
Tahun 1979, wilayah Ella menjadi paroki baru, memisahkan diri dari Paroki Nanga
Pinoh. Sejak saat masih sebagai bagian dari paroki Nanga Pinoh hingga menjadi paraki
baru, paroki ini dipercayakan kepada para imam Lazaris (Kongregasi Misi). Pastor Karlo
Karyanto CM, selain menggalakan pelayanan pastoral, tiada henti-hentinya
mengusahakan kesejahteraan umat lewat berbagai proyek sosial, seperti pelatihan
dan pendidikan di bidang pertanian (khususnya karet), pertukangan, dsb.
5. Paroki Santa Luisa, Menukung
Paroki Santa Luisa, Menukung terdiri dari 43 stasi dengan jumlah keseluruhannya
sebanyak 6.564 jiwa pada akhir tahun 2010.
Para Pastor yang pernah berkarya di paroki ini, ialah: Pastor Jacques Gros, CM (1979–
1980); Pastor Gabriel Dethune, CM (1980–2000); Pastor Markus Rudy Hermawan, CM
(2000–2002); Pastor Agustinus Ubin, CM (2002–2006); Pastor Paulus Eko Nurbandrio,
CM (2006-sekarang).
Pelayanan umat di Menukung berawal dari sebuah kampung bernama Bondau. Pada
waktu itu Bondau merupakan stasi dari Paroki Nanga Pinoh. Seiring dengan makin
bertambahnya jumlah umat yang tersebar di daerah sekitar Menukung dan jarak
tempuh yang jauh dari Pinoh maka Pastor Jacques Gros, CM berinisiatif untuk
menetap di Bondau. Dipilihnya Bondau adalah karena letaknya yang stategis yakni di
tepi sungai Melawi dan jumlah umat Katolik yang lumayan banyak.
Keputusan itu berbuah manis yaitu dengan semakin bertambahnya jumlah kampung
yang penduduknya menjadi Katolik. Karena jumlah kampung yang harus dilayani
semakin banyak maka pada tgl. 1 september 1979 Bondau dinaikkan statusnya
menjadi paroki dengan nama pelindung Sto. Vinsensius dan Pastor Gros CM menjadi
Pastor Paroki yang pertama. Pastor-Pastor yang pernah berkarya di pastoran Bondau
adalah Pastor Gros CM, Pastor. Crawford CM, Pastor Gabriel Dethune CM, Pastor
Berset CM dan Pastor Paulus Aryono CM.
Karena pertambahan penduduk semakin banyak akhirnya Menukung dimekarkan
menjadi kecamatan dan memisahkan diri dari Serawai. Menukung menjadi pusat
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 171
Kecamatan. Kenyataan ini menimbulkan situasi dilematis bagi para pastor. Bondau
sudah ditetapkan menjadi Pusat Paroki akan tetapi pusat kecamatan adalah
Menukung. Bagaimanapun juga pusat paroki harus berkedudukan di pusat kecamatan.
Akhirnya para pastor sepakat bahwa pusat paroki harus dipindahkan ke Menukung.
Maka diutuslah Pastor Gabriel Dethune CM untuk mencari lokasi yang akan dibangun
gereja dan pastoran.
Melalui perjuangan yang tidak ringan didapatlah sebidang tanah di Menukung dan
Pastor Gabriel Dethune mengajak umat Katolik di Menukung untuk membangun
gereja dan pastoran. Sampai akhirnya setelah gereja selesai dibangun, Menukung
diresmikan menjadi paroki pada tgl. 23 Mei 1980 dengan pelindung Sta. Luisa, dengan
demikian pusat paroki dipindahkan ke Menukung dan Bondau berubah statusnya
menjadi stasi.
Kutipan dari sebuah Catatan Harian pada saat PD II, dalam bahasa Belanda dan tidak
diketahui siapa penulisnya.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 172
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 173
1. Suster Fransiskanes Santo Antonius (SMFA)
Nama
Pimpinan Provinsi
Pemimpin Regional
Jumlah di Sintang
Karya
Alamat Regional
Kongregasi Suster Misi Fransiskanes dari
Sto. Antonius (SMFA)
Sr. Modesta Endang Murtiwi, SMFA
Sr. Kristina Unau Seni, SMFA
35 suster berkaul kekal
25 orang suster yunior
6 orang suster novis
2 orang postulan
Pendidikan, asrama, pastoral, dsb.
Wisma Dharmawati, Jln. Panggi, Sei Durian,
Sintang, Kalimantan Barat.
Serikat Misi Fransiskanes
dari Sto. Antonius (SMFA)
didirikan oleh Pastor
Gerardus van Schijndel,
seorang imam diosesan
keuskupan Den Boscho,
Belanda pada tahun 1906,
ketika mengumpulkan
beberapa puteri, di
antaranya Maryam van
Dijk (Sr. Antonia) untuk
membentuk kelompok yang menjadi cikal bakal kongregasi baru. Kongregasi baru ini
akhirnya mendapatkan status apostoliknya ketika Takhta Suci memberikan
persetujuannya pada tanggal 17 Februari 1913, yang menjadi hari resmi kelahiran
kongregasi ini.
Pada tahun 1930 Mgr. Bos, Administrator Apostolik Pontianak, menghadap pimpinan
Serikat SMFA membicarakan kemungkinan bantuan untuk bekerja di daerah Misi
Kalimantan. Menanggapi permintaan ini, pada tanggal 24 Februari 1931 empat orang
Suster, yaitu Sr. Gerarda, Sr. Dominika, Sr. Dolorata dan Sr. Yosephine, berangkat
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 174
menuju Indonesia. Pionir-pionir pertama ini mulai berkarya di Benua Martinus. Karya
awal para pionir ini ialah pembinaan para puteri dan asrama serta karya kesehatan.
Pernah ada tawaran pemerintah Hindia Belanda kepada tarekat untuk memiliki RS
tetapi ditolak oleh tarekat. Karya para suster di RSU Sintang dan Putussibau akhirnya
berhenti saat Residen Neys memutuskan kontrak kerjasama dengan tarekat SMFA
pada tanggal 10 November 1940 yang berlaku pada Agustus 1941. Bulan ini, datang
seorang mantri dan seorang perawat dari Jawa untuk menggantikan mereka.
Para suster SMFA mulai bekerja di Sintang bermula atas permintaan penjabat
pemerintah Hindia Belanda di Sintang, untuk menangani rumah sakit pemerintah
(Landschasziekenhuis) yang kurang terurus. Maka pada tahun 1932 datanglah Sr.
Xaveria dan Sr. Bernadetha. Mereka dua bersama dengan Sr. Dolorata yang datang
dari Benua Martinus, mulai membantu di Rumah Sakit Sintang, dalam bidang
administrasi dan keperawatan. Pekerjaan mereka amat memuaskan, sehingga
Pemerintah Belanda meminta mereka untuk membantu di Rumah Sakit Putussibau
pada tahun 1938. Tahun 1936, para suster diperkuat tenaga baru dengan kedatangan
Sr. Rosa dan Gemma, pada tanggal 1 Desember 1936.
Tahun 1969, rumah sakit ini sepenuhnya diserahkan kembali kepada pemerintah.
Selain di Sintang dan Putussibau, karya kesehatan juga pernah dilayani di Benua
Martinus dan Sejiram. Selain melayani rumah sakit, kongregasi juga melayani
pendidikan di mana Sr. Imelda dan Sr. Mathea mengajar di HCS yang berkedudukan di
Sei Durian. Karya di Sei Durian ini akhirnya berkembang, hingga berdirinya asrama
Dharmawati di dekat katedral, Sekolah kejuruan (SKP, SKKP lalu menjadi SMKK) pada
tahun 1950, dan rumah di Sei Durian, Sintang dijadikan sebagai rumah induk
kongregasi sebelum akhirnya dipindahkan ke Pontianak. Saat ini SMFA memiliki
beberapa rumah dan berkarya di keuskupan lain, yaitu keuskupan Sanggau dan
Pontianak.
Walau mulai bekerja di Indonesia sejak tahun 1932, ternyata tidaklah mudah
menumbuhkan panggilan dari puteri-puteri pribumi untuk menjadi anggota
kongregasi. Pada tanggal 13 Mei 1955, tiga orang Puteri Dayak, angkatan pertama,
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 175
mengucapkan kaul pertama mereka di Sejiram, dalam Misa Agung yang dipimpin oleh
Mgr. L. van Kessel. Ketiganya adalah, Sr. Joanna; Sr. Margaretha; dan Sr. Marietta.
Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1965, tiga serangkai puteri pribumi dari
suku Dayak menjadi anggota tarekat SMFA, mengucapkan kaul kekal mereka, yaitu Sr.
Margaretha Ingkil, SMFA; Sr. Marietha Lenti, SMFA; Sr. Yoanna Dilo, SMFA (lht
gambar, baris depan dari
kiri ke kanan). Ketiganya
segera disusul oleh lima
puteri lainnya menjadi
anggota kongregasi, yaitu
Sr. Clara Loh, SMFA; Sr.
Lucia Puasa, SMFA; Sr.
Hilaria Undai, SMFA; Sr.
Agnes Samba, SMFA; dan
Sr. Bernada, SMFA.
Angkatan ketiga ialah Sr.
Imakulata, SMFA, Sr. Rufina
Mah, SMFA, dan Sr.
Magdalena. Setelah itu
susul menyusul hingga kini,
para puteri buah dari misi
pendahulu menjadi
anggota tarekat. Kini
semua anggota tarekat
provinsi Indonesia adalah
orang Indonesia.
Di keuskupan Sintang, saat
ini SMFA memiliki rumah
dan berkarya di Sintang,
Putussibau dan Emparu.
Karya-karya yang ditangani
7 Suster SMFA Pribumi, 2 Angkatan Pertama ialah pembinaan dan
pendidikan, terutama
pendididkan keterampilan, asrama, pastoral, dsb. Karya dan tempat yang pernah
ditempati tetapi sudah ditutup ialah Serawai (1981), Sejiram (1986), dan Benua
Martinus (1990).
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 176
2. Ordo Santa Ursula- Suster Ursulin (OSU)
Pimpinan Provinsi:
Pemimpin Regional:
Jumlah di Sintang
Jumlah di Indonesia
Karya
Alamat Regional
Sr. Edith Watu, OSU
Sr. M. Widowati, OSU
3 suster
Kaul kekal 248 orang
Kaul sementara
Novis
Pendidikan, asrama, pastoral, dsb.
Jlt. Beringin no. 1, Nanga Pinoh
Tlp. 0568-22401.
Setelah terjadi komunikasi beberapa kali antara keuskupan Sintang dengan Provinsial
Ursulin, akhirnya, berangkatlah para pionir Ursulin pada tanggal 15 Desember 1980
dari Jakarta menuju Pontianak. Setelah menunggu beberapa hari di Pontianak, dengan
menumpang kapal motor Dharmawati, yang mana Sr. Genoveva SMFA bertindak
sebagai kaptennya, mereka mengarungi sungai Kapuas menuju Sintang selama dua
hari dua malam. Tiga orang suster, yang diantar oleh asisten provinsial, Sr. Dorothea
Widjaja, OSU, akhirnya tiba di Sintang pada tanggal 22 Desember 1980. Tanggal 23
Desember 1980 dengan menumpang sebuah truk barang, empat orang suster
berangkat menuju Nobal. Truk ternyata hanya dapat mencapai Tengadak, sehingga
sebagian besar barang dititipkan untuk sementara di sebuah Betang di Tengadak, dan
beberapa tas dibawa serta sambil jalan kaki sejauh delapan kilometer menuju Nobal.
Selain disambut oleh umat, mereka juga disambut dan dibantu oleh Pak Petrus Amuk
(alm.), seorang Katekis serta isterinya, Ibu Irene, seorang guru SDN Nobal.
Para suster menamai kampung ini sebagai Nobal Betlehem, karena mengingatkan
tanggal 23 Desember merupakan hari menjelang kelahiran Yesus di Betlehem.
Para suster pionirnya ialah Sr. Fransisca Loboda, OSU
(almh); Sr. Maria Sri Sunarti, OSU, dan Sr. Theresia Yuih
OSU. Karena dedikasi, pelayanan dan ketiadaan imam
yang sangat lama tidak melayani paroki Nobal secara full
time, para suster sering disebut sebagai ‘pastor’ paroki
Nobal oleh umat di wilayah itu. Para suster melakukan
turne secara teratur ke kampung-kampung, melakukan
pembinaan, pendidikan keterampilan, pelatihan,
penyuluhan mengenai berbagai bidang (kesehatan,
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 177
pertanian, wanita, keuangan, dsb.), juga melakukan dan melayani administrasi paroki.
Di samping itu, para suster juga menjadi guru terbang, karena juga mengajar di PGAK
Sintang di bidang spiritualitas, Kitab Suci dan moral, yang saat itu harus ditempuh
selama 8 jam dengan mobil bila musim kemarau, dan mereka harus bersepeda selama
belasan jam bila musim hujan.
Para suster mendirikan semacam TK, yaitu “Sahabat Yesus” di mana menjadi wadah
pertemuan harian anak-anak usia pra sekolah dasar, dari hari Senin sampai Jumat,
dengan kegiatan pembinaan iman dan apa-apa yang khas untuk anak-anak TK. Pastor
Yosef Silvinus Sapomo, CM; Sr. Carolina Mariani Seilon OSA; serta Sr. Clementina
Darawati, OSA, merupakan mantan dan buah hasil pembinaan iman “Sahabat Yesus”.
Para suster Ursulin yang pernah berkarya di Nobal setelah para pionir ialah, Sr.
Christina Pranata; Sr. Bernadine Sarwina; Sr. Maria Magdalena; Sr. Ignatio Resahardja;
Sr. Consilia Yanshak; Sr. Dorothea Widjaya; Sr. Elisabeth Marijamihardja; Sr. Yosephine
Sukawit; Sr. Josephina Surti Susantinah; dan Sr. M. Widowati
Para Suster Ursulin pionir di Nobal bersama Pak Stef. Dagang
Atas permintaan pastor Paroki Nanga Pinoh, pada tahun 1994, Sr. Yosephine mulai
membantu secara part time menangani TK Bunda di Nanga Pinoh, dan Nobal diperkuat
oleh Sr, Widowati yang datang pada tanggal 29 Desember 1995. Melihat kemungkinan
karya di Nobal yang kurang maksimal, pada tahun 1996, Mgr Agustinus Agus
menawarkan Ursulin untuk berkarya di Bika Nazareth atau Nanga Pinoh. Provinsial dan
Dewan Ursulin memutuskan untuk bekarya di Nanga Pinoh. Maka, setelah selama 17
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 178
tahun berkarya di Nobal, para suster Ursulin resmi meninggalkan Nobal pada bulan Juli
1997, dan resmi memasuki paroki Nanga Pinoh pada tanggal 15 Agustus 1998.
Komunitas awali ini terdiri dari Sr. Yosephine, Sr. Wilma dan Sr. Widowati.
3. Kongregasi Soeurs de la Charite de Sainte Jeanne Antide
(SdC atau SCSJ)
Pimpinan Provinsi:
Sr. Nunsia de Gori, SdC
Pemimpin Regional:
Jumlah di Sintang
Jumlah di Indonesia
Karya
Sr. Magdalena Ferrero, SdC
23 suster
33 suster
16 suster berkaul kekal
Alamat Regional Jerora I, no. 1
Sintang
6 suster berkaul sementara (yunior)
11 novis
Pastoral, katekse, pendidikan (Guru), sosial
karitatif, dsb.
Sejak tahun 1970-an sangat terasa kebutuhan tenagatenaga
suster untuk berbagai kebutuhan pelayanan,
karena tenaga dari suster-suster SMFA dirasa sudah
tidak mencukupi lagi. Mgr. Isak Doera menghubungi
dan meminta bantuan para imam Oblat Maria (OMI)
untuk mencari tarekat suster yang mau bekerja di
Sintang. Usaha ini terwujud pada tanggal 4 januari
1980 ketika 5 orang suster SdC datang dari Perancis ke
keuskupan Sintang, sambil terdahulu belajar bahasa
Indonesia di Bandung selama lima bulan. Para suster
pionir tersebut ialah Sr. Jean Bernard Metrailer
(pimpinan), Sr. Magdalena M. Ferrero, Sr. Maria Gabriel
Lonfat, Sr. Leonarda Perini, dan Sr. Jean Paul Raimondi.
Semua suster ini adalah mantan misionaris di Laos, kecuali Sr. Jean Bernard.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 179
Para suster diminta oleh Mgr. Isak untuk berkarya di Paroki Sepauk, bersama dengan
para imam Oblat. Maka dengan menggunakan perahu bertenaga 6 PK, mereka
dijemput dan diantar oleh Pastor Andre Hebting menuju kampung Temanang dan tiba
pada tanggal 10 Mei 1980. Kendala utama pada awal pelayanan para suster ialah
karena para suster belum bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Tarekat membeli
tanah dan membangun sebuah rumah induk di Temanang, dan juga menempati
sebuah rumah keuskupan di Lengkenat.
Mengingat kebutuhan tenaga yang sangat besar, maka tahun 1984 datang lagi seorang
suster, yaitu Sr. Sophie, tetapi melepaskan Sr. Jean Paul yang ditarik ke dewan general
di Roma pada tahun 1985. Tarekat kembali diperkuat oleh tanaga baru dengan
kehadiran Sr. Anna Rita pada tanggal 25 April 1989.
Biara Caritas (SdC) di Jerora I, Sintang
Semula mereka berencana hanya bekerja sekitar 5 tahun sehingga tidak menjadi
rencana atau pemikiran tarekat untuk menerima calon pribumi dan membuka novisiat.
Ternyata mereka bekerja bukan hanya lima tahun dan setelah 10 tahun berlalu tetap
belum ada minat dari puteri pribumi untuk bergabung. Perubahan besar terjadi pada
tahun 1995 ketika dua orang puteri pribumi melamar untuk menjadi anggota tarekat.
Para pionir pribumi ini adalah Sr. Elisabet dan Sr. Martha. Untuk mendidik dan
membina para calon, maka tarekat, dalam hal ini dewan general, mengutus Sr. Jose
Marongiu sebagai formator untuk para calon. Sejak saat itu panggilan terus
berkembang dan panggilan datang dari berbagai daerah di negeri ini. Melihat keadaan
dan perkembangan yang ada maka pada tahun 1996 tarekat membeli sebuah rumah
untuk pembinaan (novisiat) di daerah hutan Baning. Tahun 2007 mulai dibangun
rumah baru, yang berfungsi sebagai rumah induk dan tempat formasi para novis, yaitu
di Jerora I, Sintang, yang selesai seluruhnya pada tahun 2010.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 180
Karya yang menjadi pelayanan tarekat ini ialah pastoral dan kerasulan di wilayahwilayah
Paroki Sepauk dan Katedral, juga pendidikan (guru) di Pancasetya, Sintang.
Beberapa suster berkarya di Pontianak, Nias dan formasi (studi) di Jogja.
4. Asosiasi Lembaga Misionaris Awam (ALMA)
Pimpinan Provinsi:
Ibu Yulia C. Mardiati, ALMA
Pemimpin Regional:
Jumlah di Sintang:
Sr. Laurentia Lering, ALMA
8 orang kaul kekal
4 orang kaul sementara
1 orang profesi
1 orang novis
Karya: Pendidikan formal dan non-formal,
kesehatan, asrama, pastoral, dsb.
Alamat Regional:
Serundung Permai, RT/RW: VI/03, Desa Tj.
Niaga, Nanga Pinoh
yurisdiksi Uskup Malang.
ALMA adalah sebuah lembaga hidup bakti sekulir
(institute sekulir), bukan lembaga hidup bakti
religius. ALMA didirikan pada tanggal 27
September 1960 dalam peringatan 300 tahun
wafatnya Sto. Vincentius De Paul (tahun 1581 –
1960) di Madiun, Jawa Timur, di Jln. Ahmad Yani
17. Pendiri ALMA adalah Pastor Hendrikus
Yanssen, CM yang lahir pada tanggal 29 Januari
1922 di Venlo, Belanda. Tahun 1967 ALMA
dipindahkan ke Malang dan berada di bawah
Pada bulan Januari 1989, Romo Paul Yanssen sebagai pendiri dan Bapa rohani ALMA,
bersama Pimpinan Ibu Ign. Mujiyah dan dewannya mengutus 3 anggota ALMA untuk
datang di Kalimantan Barat, tepatnya di Paroki Sta. Perawan Maria Diangkat Ke Surga,
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 181
Nanga Pinoh. Para pionir ini datang ke Keuskupan Sintang untuk membantu karya
pastoral dan karya sosial pelayanan orang sakit di Dharma Husada, Nanga Pinoh.
Sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 2010 (21 tahun), anggota ALMA yang pernah
berkarya di Nanga Pinoh berjumlah 48 orang dan yang bukan anggota ALMA (IPI,
SMPS, SMPP) berjumlah 35 orang. Jumlah anggota ALMA yang berasal dari Kalimantan
Barat dan masih ada sampai tahun 2010 berjumlah 5 orang, yaitu, Sr. Yustina Della dari
Paroki Balai Sebut, Sr.
Mariana Ida dari Paroki
Jangkang, Sr. Maria Susilowati
dari Paroki Nanga Pinoh, Sr.
Indrawati dari Paroki Kelam,
Sr. Monika Bule dari
Keuskupan Ketapang. Jumlah
panggilan yang studi di
Malang (IPI, SMPS, SMPP)
yang sudah bekerja/berkarya
sebanyak 45 orang,
sedangkan yang saat ini masih
kuliah/sekolah berjumlah 35
orang.
Karya ALMA ialah melalui
Yayasan Bhakti Luhur yang
bergerak dalam bidang
Wisma Ruben:
Rumah Komunitas ALMA di Pinoh
pelayanan karya sosial. ALMA telah membangun wisma-wisma atau Panti Asuhan
Bhakti Luhur di berbagai wilayah di negeri ini, termasuk di Nanga Pinoh. Di samping itu
para anggota ALMA juga bergerak di bidang pendidikan formal dan non-formal, seperti
TK – SD, SLB (terapi-terapi) – SMP – SMPP – SMPS – STPS.
Anggota ALMA juga aktif dalam bidang kesehatan melalui yayasan Bhakti Luhur untuk
rawat-inap orang sakit. Yayasan ini juga menampung anak-anak gizi buruk dan yang
ditelantarkan. Kehadiran SLB Bakti Luhur di Nanga Pinoh, yang menangani anak-anak
cacat, merupakan berkat besar bagi umat dan masyarakat umum karena fasilitas
semacam ini amat langka di Kalimantan Barat, terutama di Keuskupan Sintang. SLB ini
menampung, mengajar, mendidik dan memberi terapi kepada anak cacat tuna netra,
tuna rungu-wicara, tuna mental, tuna daksa (cacat fisik) dan tuna ganda. Bidang kerja
lainnya ialah Pastoral, terutama melalui Institut Pastoral di Malang dijalankan dan
dimiliki oleh ALMA.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 182
Para suster juga aktif dalam kegiatan pastoral paroki, terutama di seksi pewartaan dan
liturgi, serta kegiatan pastoral dan missioner lainnya, seperti di Sekolah Minggu,
Sekami, Legio Maria, Serikat Santo Vinsensius (SSV), dsb..
Selain di Keuskupan Sintang, ALMA juga berkarya di berbagai keuskupan, antara lain,
keuskupan Surabaya, Malang, Jakarta, Bogor, Bandung, Ende, Maumere, Kupang,
Atambua, Weetebula, Pontianak, Sintang, Banjarmasin, Medan, Ambon, Merauke, dan
Dili.
5. Kongregasi Puteri Reinha Rosari (PRR)
Pimpinan Umum:
Pemimpin Regional:
Jumlah di Sintang
Sr. M. Benedictis, PRR
Sr. M. Sophina, PRR
3 orang
Jumlah di Indonesia 399 berkaul (299 berkaul kekal dan 100
berkaul sementara.
Karya di Sintang
Alamat Regional
21 Novis
Bidang Pastoral dan Kateketik,
pendidikan (guru), Play Group.
Jln Sintang – Putussibau
Akcaya 1
Sintang - Kal –Bar
Tarekat Puteri Reinha Rosario (PRR) didirikan di Larantuka oleh Mgr. Gabriel Manek,
SVD (alm) bersama co-pendiri suster Anfrida, SSpS dan P. A. V de Burg, SVD, di Lebao,
Larantuka, Flores Timur, tanggal 15 Agustus 1958. Pendirian tarekat ini diidorong oleh
keadaan Gereja di Larantuka yang selama empat abad mengalami kekurangan tenaga
sebagai Allah bersabda bahwa “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit (Mat.
9:37; Luk 10:2) serta kecintaan Beliau kepada Bunda Maria. Kongregasi yang baru
didirikan ini diberi moto oleh sang pendiri: Da mihi virtutem da nobis virtutes (Berilah
daku kekuatan, berilah kami kekuatan-kekuatan).
Kelahiran tarekat PRR, menurut wakil dewan pimpinan umum, Suster Grasiana, PRR,
memiliki tiga latar belakang, yaitu 1) sebagai rasa syukur atas ketahanan iman umat di
Keuskupan Larantuka yang selama dua abad tidak ada bimbingan hirarki, tetapi tetap
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 183
kokoh; 2) kebutuhan mendesak akan tenaga pewartaan injil; 3) mengangkat harkat
dan martabat kaum perempuan. 38 Karya para suster PRR terutama berfokus pada tiga
bidang, yakni rohani/pastoral, pendidikan dan kesehatan.
Kini setelah mencapai usia setengah abad, kongregasi yang berspiritualitaskan Bunda
Maria sebagai Regina, Advocata et Mater ini telah berkembang pesat dalam jumlah
anggota dan wilayah pelayanan. Saat ini para suster Reinha Rosari telah hadir dan
bekerja di lima negara dan 31 wilayah keuskupan, yang tersebar pada tiga benua
besar, yakni Asia, Afrika dan Amerika. Di Indonesia, tarekat ini telah bekerja di 22
keuskupan.
Uskup Sintang, Mgr. Agustinus Agus melihat bahwa masih banyak sekali umat yang
tidak dilayani dan sangat membutuhkan tenaga penuh-waktu non imamat (imam)
yang dapat berkarya penuh untuk berbagai pelayanan, khususnya bidang pastoral.
Karena itu Beliau mendekati beberapa tarekat suster, di antaranya ialah Tarekat Puteri
Reinha Rosari yang berpusat di Larantuka.
Mananggapi undangan Mgr. Agustinus Agus, maka pimpinan tarekat, yang diwakili
oleh Sr. M. Laurensia, PRR, dan Sr. Benedictis, PRR, datang untuk meninjau keuskupan
Sintang. Hasil kunjungan memberikan kesimpulan positif, sehingga pimpinan tarekat
memutuskan untuk membuka pelayanan baru di keuskupan Sintang. Maka, pada
tanggal 22 Agustus 1999, datanglah empat orang suster PRR ke Sintang. Para suster
pionir ialah: Sr. Ernestin, PRR, Sr. Theophile, PRR, Sr. Hironima, PRR, dan Sr. Lamberta,
PRR. Setahun kemudian disusul oleh kedatangan Sr. Theodora, PRR. Untuk beberapa
tahun mereka tinggal di sebuah rumah tua di depan Rumah Sakit Umum Sintang dan
sejak tahun 2005, mereka memiliki dan tinggal di biara tarekat, di Akcaya 1, Sintang.
Pada masa masa awal kehadiran mereka di Sintang, para suster bekerja sebagai tenaga
pendidikan di yayasan Sukma serta membantu juga di Nusantara Indah. Karya para
suster lebih pada menopang karya yang sedang dilakukan keuskupan. Selanjutnya
tarekat juga mengembangkan karya-karya yang sesuai dengan visi dan spiritualitas
tarekat, di antaranya dengan membuka play group untuk pendidikan dan pembinaan
iman anak-anak.
38 Pos Kupang, Minggu, 24 Agustus 2008, halaman 11.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 184
6. Ordo Sancti Augustini (Ordo Santo Agustinus)
Pimpinan Provinsi: Sr. Lucia Wahyu, OSA (2007-2012)
Jumlah di Sintang
Jumlah di Indonesia
Karya
Alamat Regional
4 orang
108 berkaul
3 Novis
4 Postulan
Bidang Kesehatan : RSU, RB, BP ( Balai
Pengobatan )
Bidang Pendidikan dan Sosial : Play
Group, TK, SD, SMP, SMA dan Asrama.
Bidang Pastoral
Komunitas Virginie Badau
Jl. Pancasila Berangan
Nanga Badau, Kecamatan Badau
Putusibau 78767 Kal –Bar
Hermanus Lambertus Spoorman dilahirkan di kota Leiden pada tanggal 6 Nopember
1837. Sesudah tamat SD Beliau melanjutkan studinya di seminari hageveld dan
Warmond. Pada tanggal 15 Agustus 1860 ditahbiskan di Keuskupan Haarlem. Pada
awal masa tugasnyn Beliau sangat aktif di bidang pembangunan paroki, ia menjadi
seorang Gembala jiwa yang baik di parokinya : bagi yang sakit, yatim piatu, lanjut usia,
miskin, tertindas dan memperjuangkan kehidupan rohani dan pendidikan umatnya.
Melalui kata-kata dan pengertian yang mendalam, serta kebijaksanaan yang sejati,
Beliau memikat hati banyak orang dan membimbing mereka ke arah kehidupan
kristiani.
Abad XIX perawatan orang sakit dan lanjut usia sangatlah menyedihkan. Tinggal di RS
merupakan suatu hal yang memalukan. Dihadapkan dengan situasi seperti itu P.
Spoorman memutuskan untuk mendirikan sebuah wisma bagi orang yang lanjut usia
yang cukup kaya dengan maksud penghasilan yang ada digunakan untuk menolong
orang miskin. Namun ia menyadai bahwa hal ini tak dapat dilakukan sendiri, maka
Beliau minta bantuan pada suster-suster Augustinus Dendermonde di Belgia. Dan
diawah pimpinan Muder Apollonia, 3 suster ditugaskan di Delft. Mereka mengirim
sejumlah suster lagi untuk membantu dalam karya keselamatan. Jumlah gadis dari
belanda semakin berkembang masuk untuk menjadi suster, maka para Dewan Suster
Augustinus dari Dendermonde menganjurkan supaya mereka mendirikan Kongregasi
sendiri di negeri Belanda. Dan pada tahun 1888 atas persetujutuan Uskup Haarlem dan
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 185
P. Spoorman serta dewan Dendermonde didirikan sebuah kongregasi suster-suster
dengan tujuan : Melaksanakan karya-karya belas kasih khususnya merawat orang
lanjut usia, yang cacat dan yang sakit. Kongregasi ini dengan nama “Suster Augustinus
dari Kerahiman Allah”. Kecuali suster Vincentia, yang menjadi Pimpinan Umum yang
pertama, semua Suster lain dari Belgia pulang ke negeri asalnya. P. Spoorman menjadi
pembina / Direktur Kongregasi. Karya mereka terus berkembang di beberapa kota dan
anggotanya semakin bertambah.
Tahun 1904 Muder Vinsensia meninggal dunia dengan suatu kenangan : “Saya telah
meletakkan pondasi, supaya setiap orang memperhatikan baik-baik bagaimana ia
melanjutkan karya itu”. Lima tuhun kemudian P. Spoorman meninggal dunia dan
dikuburkan ditengah-tengah umat yang dicintainya.
Tahun 1949 pada waktu Sr. Agneta menjabat sebagai Pemimpin Utama tarekat, karya
itu telah meluas ke Asia, yaitu ke Ketapang, Kalimantan Barat, melalui lima pionir: Sr.
Euphrasia, Sr. Maria Paolo, Sr. Desideria, Sr. Prudentia, Sr. Mathea. Di sanalah cita,
cinta dan pengabdian bagi orang kecil terus berkembang, di tengah Gereja dan
masyarakat.
Pada Awalnya, berdasarkan semangat dan spiritualitas melayani orang kecil di Rumah
Sakit di beberapa kota di Belanda, maka mereka ditugaskan di Rumah Sakit
Pemerintah di Ketapang. Disamping itu mereka melihat kebutuhan untuk
memperkembangkan kehidupan wanita. Maka mereka membuka asrama dan sekolah
KRT/SKP/SMP. Lewat asrama dan sekolah gadis-gadis menerima ketrampilan. Setelah
mereka pulang ke kampung-kampung lewat ketrampilan tersebut mereka
meningkatkan rumah tangga, sehingga ekonomi, kesehatan dan pendudukan sangat
dirasakan oleh masyarakat setempat sebagai sumbangan berharga.
Bulan Mei tahun 2005 tarekat mulai bekerja di keuskupan Sintang, yaitu di Paroki
Badau, Kapuas Hulu. Setelah berdiam di hunian sementara, rumah baru akhirnya
diresmikan pada tanggal 7 Agustus 2005, sebagai rumah biara para suster (biara Sta.
Albertine), di atas tanah seluas setengah hektar. Karya-karya yang ditangani ialah
kesehatan, pastoral di paroki dan asrama.
Karya ini bermula dari kerinduan Mgr. Agus yang melihat kebutuhan daerah
perbatasan dengan permasalahannya yang lebih khas. Karya pelayanan para pastor
perlu dilengkapi oleh para suster. Karena itu dipilih daerah (Paroki) Badau sebagai
lahan baru pada suster OSA, karena Badau merupakan tempat yang strategis, tempat
transit dan lalu lintas orang dan barang antar negara Indonesia dan Malaysia. Bapak
Uskup bercita-cita, agar Badau dapat menjadi ‘tanah terjanji’ untuk karya misi,
khususnya karya para suster Agustinus.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 186
7. Congregatio Passionis (CP)
Pimpinan Provinsi:
Pemimpin Regional:
Jumlah di Indonesia
Jumlah di Sintang
Karya
Alamat Regional
Sr. Kristina Nong, CP
Sr. Efrida, CP
127 suster berkaul kekal
7 suster berkaul kekal
Paroki, pastoral, kaum muda (asrama,
pembinaan, dsb.), sekolah, rumah retret.
Susteran Pasionis,
Semitau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
Kongregasi suster Pasionis didirikan oleh Maria Magdalena
Frescolbaldi, di Florence, Italia pada abad XIX. Para suster Pasionis
masuk ke Indonesia pada tahun 1974, di antaranya masuk ke
Keuskupan Sanggau. Para suster pionir saat itu ialah, Sr. Noberta,
CP; Sr. Clorinda, CP; dan Sr. Maria Etiene, CP. Pada tahun 2011
ini, tarekat telah memiliki 22 rumah biara yang tersebar di
keuskupan Sanggau, Pontianak, Sintang, Jakarta, Bogor,
Surabaya, Malang, Ruteng, dan Ende.
Ketika para Pastor Pasionis mulai bekerja di Paroki Sejiram dan
Semitau pada tahun 2005, maka bersamaan dengan itu, lahir pula
niat keuskupan untuk mengundang juga para suster Pasionis untuk bekerja di
keuskupan Sintang, khususnya di kedua paroki yang dilayani oleh para imam Pasionis,
Sejiram dan Semitau. Tarekat suster Pasionis merupakan salah satu tarekat yang sudah
cukup lama bekerja di Kalimantan Barat, tetapi belum pernah masuk dan bekerja ke
wilayah Keuskupan Sintang.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 187
Niat baik ini akhirnya diwujudkan pada tahun 2008. Diantar oleh Provinsial sendiri, Sr.
Yuliana Selsia, CP, tiga suster Pasionis pionir datang dan mulai berkarya di Semitau
pada tanggal 29 April 2008. Kedatangan para suster disambut gembira oleh banyak
umat Semitau. Para suster pionir yang masuk ke Semitau, ialah, Sr. Hyasinta, CP; Sr.
Ludgardis, CP; dan Sr. Sofia, CP. Para suster menempati rumah yang sudah ada di
kompleks Gereja dan sekolah, yang diberkati pada tanggal 2 Mei 2008.
Rumah tinggal para suster Pasionis di Semitau
Tarekat Suster Pasionis bekerja di Paroki Semitau, menangani bidang pastoral paroki,
asrama serta pendidikan TK dan SD milik yayasan SUKMA. Di samping itu, keuskupan
juga meminta tarekat Suster Pasionis untuk menangani rumah retret Temenggung
Tukung di Merepak, Kelam, yang dimulai pada bulan Juli 2011. Tiga orang suster diutus
untuk menangani rumah retret ini, yang walaupun belum sepenuhnya selesai
dibangun, sudah dipakai beberapa kali untuk beberapa kegiatan para pastor, guru dan
pegawai SUKMA, dsb. Rumah retret yang diresmikan oleh Nuncio pada tanggal 19
November 2011 ini, baru akan sepenuhnya berfungsi mulai awal tahun 2012.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 188
8. Serikat Puteri Kasih dari Vinsensius de Paul (PK)
Pimpinan Provinsi:
Pemimpin Regional:
Jumlah di Sintang
Jumlah di Indonesia
Karya
Alamat Regional
Sr. Victorin, PK
Sr. Ancilla, PK
3 suster
93 suster
Pastoral di Paroki, asrama dan pendidikan
(guru)
Biara Sto. Yohanes Gabriel
Nanga Serawai – Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat
Serikat Puteri Kasih, Filles de la Charite, didirikan oleh Sto. Vinsensius dan Luisa de
Marillac, pada tanggal 29 November 1633, di Perancis. Serikat yang bersemboyan
charitas Christi urget nos (cinta kasih Kristus mendorong kami) ini disetujui oleh
Kardinal de Rezt, Uskup agung Paris pada tanggal 18 Januari 1655 dan disahkan oleh
Paus Clemens IX, pada tanggal 6 Juni 1688. Dari jumlahj yang hanya beberapa orang
gadis pada awal pendiriannya, kini telah berjumlah 21.000 orang suster di seluruh
dunia.
Sejak tahun 1980-an, Serikat pernah merencanakan untuk membuka karya di
keuskupan Sintang. Rencana ini muncul karena Saudara Tua, yaitu para imam
Vinsensian (CM) sudah berkarya di sana. Niat ini tidak pernah pudar walau hambatan
masih belum dapat diatasi. Tahun 2001 Serikat melakukan visitasi bersama asisten
Jenderal Kongregasi Misi, dan memilih Serawai sebagai tempat pelayanan Serikat.
Rencana ini akhirnya diwujudkan pada tanggal 15 Maret 2003 ketika Puteri Kasih mulai
menetap dan berkarya di Nanga Serawai. Anggota pionir saat itu ialah Sr. Elise, PK, Sr.
Jacintha, PK, dan Sr. Emmanuella, PK.
Para suster Puteri Kasih berkarya pada bidang pastoral paroki, seperti persiapan baptis
(katekumenat) dan komuni pertama, kunjungan keluarga, turne dan memimpin Ibadat
di lingkungan dan stasi-stasi, dsb. Mereka juga mengurus asrama puteri, serta
melayani di bidang pendidikan dengan menjadi guru di SMP Katolik Bukit Raya.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 189
9. Ordo Santae Clarae Capuccinorum (OSC cap)
Ordo Santa Klara Kapusin
Pimpinan Provinsi:
Jumlah di Kalimantan
Jumlah di Sintang
Karya
Alamat Regional
Sr. Maria Rosa Arel, OSC Cap
26 rubiah
(1 postulan, 2 novis, 3 kaul sementara, dan
21 kaul kekal).
6 suster
Doa, kerja dan kerajinan tangan
Pertapaan Santa Clara
Bejabang, Batang Lupar, Lanjak
Tarekat Suster Klaris Kapusin merupakan salah satu Ordo Kedua, atau ordo wanita dari
Ordo Fransiskan yang berpijak pada Fransiskan Kapusin.
Ordo ini bermula dari sebuah rumah sakit di Naples (Napoli), Italia, yang dilayani oleh
tersiari Fransiskan, di mana seorang janda yang bernama Maria Lorenza Longo bekerja
di situ. Ketika para kapusin tiba di Naples pada tahun 1529, Maria Lorenza pun tertarik
dengan semangat reformasi yang mereka miliki dan akhirnya mendirikan sebuah Ordo
Ketiga Fransiskan, yang bersifat kontemplatif dan klausura. Tahun 1535, Maria
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 190
menerima status kanonik dari Takhta Suci dengan nama Suster-Suster Fransiskanes
Ordo Ketiga. Tanggal 10 Desember 1538, Paus Paulus III menetapkan Ordo ini berada
di bawah sayap Regula Sta. Klara dan Ordo (imam) Kapusin sebagai direktur spiritual
para suster. Untuk melengkapi hal ini, Maria Lorenza mengadopsi konstitusi Sta. Koleta
dari Corbie, mengadaptasinya agar sejalan dengan konstitusi Kapusin. Banyak puteri
mulai menggabungkan diri para rubiah Klaris Kapusines ini, hidup sebagai sebuah
kelompok “Saudari-saudari Miskin” (Klaris).
Kehadiran para Rubiah Klaris Kapusines di Indonesia merupakan buah dari atas
undangan Ordo Kapusin. Bagi para Rubiah, misi di Borneo merupakan salah satu wujud
atau tanggapan nyata terhadap permintaan Paus Pius XII dalam ensiklik Rerum
Ecclesia (28 Pebruari 1929), yang mendorong biara-biara kontemplatif membuka biara
baru di di tanah misi, supaya tugas evangelisasi dapat berkembang subur dan
menghasilkan banyak buah berkat dukungan doa mereka.
Pada tahun 1935, Mgr. van Valenberg, OFM Cap mengundang para suster Klaris
Kapusines dari Duivendrecht, Belanda untuk bermisi ke Borneo, tepatnya di
Singkawang, Kalimantan Barat. Undangan tersebut ditanggapi dengan antusias oleh
para suster itu. Maka pada tahun 1937 sembilan Rubiah Klaris Kapusines dari
Duivendrecht datang dan mulai menetap di Singkawang. Sembilan orang Rubiah pionir
saat itu ialah, Sr. Aloysia dari Roh Kudus, Sr. Benigna dari Yesus, Sr. Gerarda dari
Maria, Sr. Gabriel dari Kanak-kanak Yesus, Sr. Gemma dari Yesus yang bersengsara, Sr.
Maria dari Ekaristi, Sr. Lidwina dari Lima Luka, Sr. Elisabeth dari Tritunggal Maha Kudus
(suster luar), Sr. Anna (seorang novis). Mereka tinggal di biara yang dibangun
bersambungan dengan gereja paroki yang bernama Biara Providentia. Setelah itu
disusul oleh para Klaris Kapusines dari Jerman yang membuka misi di Gunungsitoli,
Nias pada tahun 1976.
Perkembangan jumlah anggota biara kotemplatif ini tidak terlalu banyak dari tahun ke
tahun. Namun demikian pertumbuhannya pasti walau pelan. Atas permintaan Uskup
Pontianak dan didukung oleh Bapak Yosef Cahayadi sebagai donatur, para suster
mendirikan sebuah biara baru, yakni di kampung Sarikan, Desa Terap Kecamatan Toho.
Biara itu diberi nama Sta. Klara. Sarikan merupakan tempat yang hening dan asri,
ditemani kicauan burung dan gemercik air kali. Di Nias, sayap biara juga terus
dibentang dengan berdirinya biara baru di Sikeben, Sumatera Utara pada tahun 1992,
serta di Sekincau, Tanjung Karang pada tahun 2002. Tahun 2005 dimulai
pembangunan biara baru di Lanjak, Kalimantan Barat, dan 2006 juga dibangun biara
baru di Sasi, Kefamenanu, Timor.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 191
Rencana Pendirian Biara Baru di Lanjak.
Pada Tahun 2006, kami mendapat undangan Mgr. Agustinus Agus, Uskup Sintang,
untuk mendirikan biara baru di sana. Tanah yang ditawarkan oleh Bapa Uskup adalah
di kampung Bejabang, dusun Tekalong, Desa Lanjak Deras, Kecamatan Batang Lupar,
Kabupaten Kapuas Hulu. Tujuan pendirian ialah: pertama untuk mendukung karya misi
Gereja di keuskupan Sintang melalui doa. Kemudian untuk memberikan nuansa rohani
di wilayah rekreasi di sekitar Danau Sentarum sehingga para wisatawan yang akan
datang ke sana nantinya tidak hanya menemukan kesenangan duniawi melainkan juga
kekayaan rohaninya.
Rumah biara tersebut mulai dibangun tahun 2010 dan menurut rencana sudah bisa
dipakai pada tahun 2011. Enam orang suster akan diutus ke daerah misi yang baru ini,
yaitu Sr. M. Immanuel, Sr. M. Veronika, Sr. M. Yuliana, Sr. M. Chiara, Sr. M. Faustina,
dan Sr. M. Margaretha. Semoga kehadiran mereka di sana sungguh-sungguh
membawa kesuburan bagi Kauskupan Sintang.
Misi Utama dan Hidup Doa
Bertitik tolak pada Nubuat Sto. Fransiskus dan Surat Sta. Klara Asisi kepada Sta. Agnes
dari Praha, kiranya dapat dikatakan bahwa tugas utama Para Suster Klaris Kapusines
sebagai pendoa tidak dapat dilepaskan dari dua hal berikut ini, yakni:Memuji dan
memuliakan Bapa Surgawi dan menjadi pembatu Allah (Was no. 4) dan pendukung
anggota-anggota yang runtuh pada TubuhNya yang tak terperikan (SurAg 3:8).
Gambar Digital Biara Suster OSC Cap di Lanjak
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 192
Doa adalah tugas utama Para Suster Klaris Kapusines dalam Gereja. Untuk memenuhi
tugas ini, sebagian besar waktu dipergunakan untuk berdoa. Doa dimulai pada pukul
24.00 WIB. Kemudian Ibadat Pagi, pukul 04.20. Misa, pukul 05.00. Meditasi 05.30-
06.30. Ibadat Siang pukul 11.35. Bacaan Rohani pukul 14.00-14.20. Kemudian
dilanjutkan dengan Doa Rosario (bagi yang tidak bisa bangun tengah malam, diberi
waktu untuk Ibadat Bacaan bersama). Pukul 16.25 – 17.30 adalah waktu untuk
meditasi pribadi. Sesudah itu dilanjutkan dengan Ibadat Sore pukul 18:00 dan Ibadat
Penutup pukul 19.15.
Disela-sela waktu doa ini, para suster bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hampir semua pekerjaan dilakukan oleh para suster sendiri, seperti memasak,
mencuci, bekerja di kebun, memelihara ternak, membersihkan rumah, membuat kue
sagon-kerupuk dan lain-lain. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, para suster juga
melayani Gereja dengan membuat hosti, lilin, paramen (pakaian dan perlengkapan
Misa), dan rosario.
1. Societas Mariae Montfortana Serikat Maria Montfortan (SMM)
Pimpinan Provinsi:
Pemimpin Regional:
Jumlah di Indonesia
Jumlah di Sintang
Karya
Alamat Regional
Pastor Yoseph Putra Dwi Darma Watun,
SMM
Pastor Konradus Hancu, SMM
40 Imam dan 3 bruder
12 Imam dan 1 Bruder
Paroki, Pastoral, spiritualitas (retret),
kategorial: pembinaan, advokasi, dsb.
Biara SMM
Teluk Menyurai Sintang
RT/RW 003/008, Sintang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 193
Serikat Maria Montfortan didirikan oleh Santo Louis-Marie Grignion de Montfort
(1673-1716). Orang kudus ini dilahirkan di kota Montfort-sur-Meu, Prancis Barat, pada
tanggal 31 Januari 1673 dan menghembuskan nafas terakhir pada 28 April 1716. Ia
dinyatakan sebagai Beato oleh Paus Leo XIII pada 22 Januari 1888, dan dinyatakan
sebagai Santo oleh Paus Pius XII pada 20 Juli 1947. Keutamaan orang kudus ini ialah
devosinya kepada bunda Maria sehingga serikat hidup kerasulan yang didirikannya
pun dinamai sebagai Serikat Maria.
Serikat Maria Montfortan Indonesia
Serikat Maria Montfortan (SMM) mulai berkarya di Indonesia tahun 1939, di wilayah
keuskupan Sintang, yang saat itu masih berada di bawah Vikariat Apostolik
Kalimantan. Perintis awal SMM Indonesia adalah para misionaris SMM asal Belanda,
provinsi Belanda. Pada tahun 1939, tiga orang Montfortan pertama asal Belanda tiba
dan langsung memegang Paroki Bika Nazareth. Kedatangan mereka yang pertama
dilanjutkan dengan kedatangan tenaga SMM yang lain hingga tahun 1976. Karena
gangguan hubungan politik dengan pemerintah Belanda, para Montfortan Belanda
dibantu oleh para misionaris Montfortan asal Amerika Serikat (1959-1973).
Biara SMM di Menyurai - Sintang
Sejak awal kehadirannya, SMM Indonesia merupakan delegasi provinsi Belanda,
dengan Superior pertamanya adalah Pastor L’Ortye, SMM. Berturut-turut jabatan ini
dipegang oleh Pastor Eugene Lynch; Pastor Lambertus van D. Born; Pastor Hubertus
Swerts; Pastor Kees Smit; dan Pastor Piet Derckx.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 194
Dalam periode kepemimpinan Pastor Piet Derckx (1993-2003), terjadi peristiwa
penting dalam sejarah SMM Indonesia. Status SMM yang sebelumnya adalah Delegasi
Provinsi Belanda, dinaikan menjadi Delegasi Jenderal. Keputusan ini berlaku sejak
tanggal 2 Juni 2002. Selanjutnya, tanggal 8 Juni 2003, P. Piet Derckx diganti oleh P.
Ignatius Widodo, imam Montfortan perdana asal Indonesia. Pastor Ignatius Widodo
menahkodai SMM hingga tahun 2009. Posisi Beliau kemudian digantikan oleh Pastor
Joseph Putra Dwi Dharma Watun.
Perkembangan sejarah SMM kemudian mengalami grafik yang meningkat. Hingga
tanggal 1 Januari 2011, status SMM Indonesia kembali dinaikan menjadi vice-Provinsi.
Berdasarkan keputusan Superior Jenderal, Pastor Joseph Putra Dwi Dharma Watun
diangkat menjadi Provinsial pertama.
Meskipun telah hadir di Indonesia sejak tahun 1939, SMM Indonesia baru membuka
formasi bagi calon SMM pribumi pada tahun 1979. Tahap awal pembinaan calon
Montfortan pribumi dilaksanakan di Sintang. Selanjutnya, pembinaan calon
Montfortan berpindah ke Bandung. Tahun 2002, Novisiat SMM berpindah dari
Bandung ke Langgo, Ruteng, Keuskupan Ruteng, dan rumah Pendidikan berpindah dari
Bandung ke Malang pada tahun 2004.
Para Misionaris Montfortan yang pernah berkarya di Keuskupan Sintang
Sejak awal kehadirannya, para Montfortan berusaha membangun kehidupan iman
umat (rohani) serta memberi perhatian kepada bidang-bidang lain yang terkait erat
dengan kehidupan umat, seperti bidang pendidikan formal dan non formal, bidang
sosial-ekonomi, sosial karitatif, sosial kesehatan dan juga budaya. Bidang-bidang ini
kemudian berkembang seturut perkembangan umat yang semakin kompleks.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 195
Saat ini, SMM di keuskupan Sintang menangani lima paroki, yakni: Paroki Sto. Martinus
di Benua Martinus; Paroki Hati Maria tak Bernoda di Putussibau; Paroki Sto. Antonius
Padua di Mendalam; Paroki Penampakan Tuhan di Siut; dan Paroki Maria Ratu Rosario
di Lebang. Pelayanan kategorial berpusat di Bangsal Sebeji, Sintang, yang ditangani
oleh tim SMM biara Montfort, Menyurai, sementara pelayanan spiritual kategorial
dilaksanakan di rumah Retret SMM Deo Soli di Kedamin, Putussibau, Kapuas Hulu.
2. Oblati Mariae Immaculatae (OMI)
Pimpinan Provinsi:
Pemimpin Regional:
Jumlah di Sintang
Jumlah di Indonesia
Karya
Alamat Regional
RP. Antonius Rajabana, OMI
RP. Tarsisius Eko Saktio, OMI
4 Imam
30 imam
11 Frater
Paroki, Pastoral, Kaum Muda
Pastoran Katolik
Jln. Aji Melayu 37
Nanga Sepauk 78662
Kongregasi Misionaris Oblat Maria Imakulata didirikan oleh Eugenius de Mazenod
(1782-1861) pada tahun 1816. Saat itu Prancis dilanda revolusi yang menghancurkan
Gereja, sehingga “iman hampir mati di dalam hati sejumlah besar anak-anaknya.”
Inilah yang menjadi keprihatinan seorang Eugenius de Mazenod. Menurutnya, “Gereja
dewasa ini dilanda kehancuran yang mengerikan”.
Setelah selesai studinya di Seminari ‘Saint Sulpice’ di
Paris, pada tahun 1812, Eugenius kembali ke daerah
asalnya, yaitu di Perancis tenggara, tepatnya di Aixen-Provence.
Di situ Eugenius mengawali suatu
karya kerasulan dengan melayani khususnya
tahanan di penjara dan kaum muda Dalam
khotbahnya, ia mempergunakan bahasa Provence,
bahasa ibu orang-orang yang mendengarkannya
agar dimengerti oleh orang-orang sederhana dan
miskin.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 196
Pada tanggal 25 Januari 1816, dengan beberapa pastor yang mempunyai keprihatinan
yang sama, Eugenius mulai pergi dari kampung ke kampung “mengajar kepada orangorang
kristiani yang merosot imannya siapa Yesus Kristus” dengan mengadakan yang
disebut: “Misi Parokial.” Kelompok ini ternyata mengundang minat baik beberapa
imam yang lain maupun anggota kaum muda untuk bergabung dengan mereka.
Pada tanggal 17 Pebruari 1826, Kongregasi serta Konstitusi dan aturannya dikukuhkan
oleh Gereja, yaitu oleh Paus Leo XII. Sejak saat itu, kelompok pastor dan bruder yang
pernah disebut “Misionaris dari Provence” ini menjadi “Misionaris Oblat Maria
Imakulata” yang akan “mengabdikan diri terutama untuk memberitakan Kabar
Gembira kepada orang miskin”. Para Oblat “akan selalu memandang Maria sebagai ibu
mereka.”
Tahun 1832, Eugenius de Mazenod menjadi Uskup Pembantu di Keuskupan Marseille,
ketika Uskup Marseille yang adalah paman Eugenius de Mazenod meletakkan jabatan
Uskup, Eugenius ditunjuk untuk menggantikannya sebagai Uskup Marseille.
Semangatnya melampaui cakrawala keuskupannya yang terbatas. Pada bulan Juli
1841, Uskup Montreal, Mgr Bourget singgah di Marseille dan bertemu dengan Uskup
Marseille, Eugenius de Mazenod dan meminta bantuan tenaga untuk daerah-daerah
di Kanada. Meskipun keterbatasan anggota kongregasi (40 pastor dan 5 bruder), Mgr.
de Mazenod mengutus 6 orang pergi ke Kanada, menyusul tahun 1847 beberapa
pastor dikirim ke Sri Langka dan pada tahun 1852, atas permintaan Prefek Propaganda
Fide di Roma, ia membuka Misi baru di Afrika Selatan. Dalam waktu yang sama,
Kongregasi menyebar juga di Europa: Swiss, Inggeris, Irlandia…”Saya ingin dapat
mengirimkan misionaris ke seluruh penjuru dunia” demikianlah Uskup Marseille selalu
berseru. Pada waktu Pendiri OMI meninggal dunia, tanggal 21 Mei 1861, anggota
Kongregasi berjumlah kira-kira 500 orang.
Pada tahun 1975, setelah negara Laos beralih kepada “Pathet Lao” (Partai Komunis),
semua misionaris asing terpaksa meninggalkan negeri ini. Setelah mengadakan
peninjauan di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat, beberapa misionaris OMI
yang saat itu bertugas di Laos menerima tawaran Mgr. Lambertus van den Boorn,
Administrator Apostolik keuskupan Sintang saat itu. Maka, pada tanggal 29 Januari
1977, tujuh orang Misionaris Oblat Maria Imakulata yang sebelumnya bekerja di Laos
mendarat di Jakarta, dengan tujuan hendak ke keuskupan Sintang. Mereka adalah:
André Hebting, Lucien Bouchard, Jean Subra, Jean-Pierre Meichel, René Colin, Bernard
Keradec dan Jacques Chapuis.
Para Oblat misionaris pionir ini tinggal di Jawa selama tujuh bulan untuk belajar
bahasa Indonesia. Mereka sangat terbantu karena sudah ada pastor Oblat asal
Australia yang berkarya di Jawa Tengah sejak tahun 1972, sehingga, setelah belajar
bahasa Indonesia selama tiga bulan di Bandung, mereka memilih untuk berdiam
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 197
bersama para imam Oblat lainnya di Purwekerto dan Cilacap selama tiga bulan.
Akhirnya para misionaris Oblat ini tiba di Sintang pada akhir bulan Agustus 1977.
Selama tahun pertama di keuskupan Sintang, para imam Oblat ditempatkan bersama
pastor-pastor Montfortan. Pastor Jean Subra ditempatkan di Putussibau dan melayani
wilayah hulu Sungai Kapuas, yang kemudian menjadi paroki Siut-Melapi. Pastor Lucien
Bouchard mulai karyanya di Paroki Bika Nazareth, sedangkan Pastor Jean Pierre
Meichel dan Bernard Keradec mudik Sungai Embaloh, ke Benua Martinus, untuk
melayani umat di daerah perbatasan. Pastor René Colin dan Pastor Jacques Chapuis
ditempatkan di Paroki Sejiram, sedangkan Pastor André Hebting, tinggal di Sintang,
dipercayakan melayani umat di wilayah Tempunak dan Sepauk yang saat itu
merupakan bagian Paroki Katedral.
Pada bulan September 1978, Paroki Bika Nazareth dipercayakan kepada para Oblat.
Maka untuk melayani Paroki Bika Nazareth, Pastor Bernard dan Jean-Pierre ditarik dari
Benua Martinus ke Bika untuk melayani umat di paroki Bika, yang saat itu termasuk
wilayah Kalis, Peniung, batang Embaloh, Suai, Palin, dan Bunut.
Para imam Oblat Maria Imakulata pribumi mulai bertugas di keuskupan Sintang sejak
tahun 1992, yaitu Pastor Heribertus Boedhy Prihatna († 17 Oktober 1998) dan
kemudian disusul oleh Pastor Markus Boli Witin († 19 Februari 2007). Kedua Pastor
Oblat pribumi ini telah dipanggil Tuhan, dalam suatu kecelakaan lalulintas. Setelah itu
menyusul berdatangan pastor Oblat pribumi lainnya, yaitu, Pastor Kok, Pastor Eko
Saktio, Pastor Damianus, Pastor A. Widiatmoko, Pastor Priyantoro, Pastor Niko Ola,
Pastor Wasono dan Pastor Heru. Bersama Pastor Jacques, satu-satunya misionaris
Oblat pionir yang masih bekerja di Sintang saat ini, mereka kini melayani umat di
Paroki Sepauk dan Paroki Dangkan-Silat.
3. Congregatio Missio (CM)
Pimpinan Provinsi:
Pemimpin Regional:
Jumlah di Sintang
Karya
Alamat Regional
Pst. Robertus Wijanarko, CM
Pst. Astanto Adjie, CM
5 Imam
Paroki, Pastoral, rumah retret
Pastoran CM Sto. John Gabriel Perboyre
Km 4, Nanga Pinoh 78672 - Kalbar
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 198
Empat orang misionaris dari Provinsi Paris, Perancis yang pernah bertugas di Vietnam
tiba di keuskupan Sintang pada tahun 1976, yaitu Pastor Jacques Gros, Pastor Victor
Berset, Pastor Gabriel Dethune dan Pastor Crawford. Para misionaris ini berkarya di
wilayah sungai Melawi, yaitu paroki Nanga Pinoh dan Serawai, yang saat ini mencakup
Tanah Pinoh, Ella Hilir, Menukung, Serawai dan Ambalau.
Karena kesulitan transportasi dan hanya ada dua paroki, maka para misionaris ini
mendirikan stasi baru di Bondau agar daerah-daerah antara Serawai dengan Nanga
Pinoh dapat lebih mudah dijangkau. Bondau akhirnya dipilih menjadi pusat pelayanan
dan pastoran bagi empat orang Lazaris ini untuk melayani seluruh daerah sungai
Melawi.
Mengingat wilayah kerja yang sangat luas, maka CM Provinsi Indonesia, yang berpusat
di Surabaya, memperkuat tenaga pastoral dengan mengirimkan tambahan tenaga
pada tahun 1979, yaitu Pastor Paulus Aryono Soegiarto (1979), Pastor Carlo Karyanto
(1980), dan Pastor Valentino Bosio (1983). Semua imam Lazaris tinggal di Bondau dan
melakukan pelayanan dari sana ke daerah sepanjang sungai Melawi, sungai Pinoh,
sungai Serawai, dan sungai Ambalau.
Sejak tahun 1979, ketika didirikan banyak paroki paroki baru dan adanya
kebijaksanaan untuk mendirikan pusat paroki di pusat kecamatan, maka para Lazaris
pun mengambil kebijakan baru. Pastor Paulus Aryono dan Valentino Bosio
ditempatkan di Serawai bersama para Montfortan; Pastor Gabriel Dethune menjadi
pastor paroki Menukung; Pastor Carlo Karyanto menjadi pastor paroki Ella, dibantu
oleh Pastor Crawford; Pastor Gros menjadi anggota tim pastoral di paroki Nanga
Pinoh, yang mencakup Paroki Tanah Pinoh dan Belimbing, dan Pastor Berset tetap
tinggal di Bondau.
Seiring perkembangan dan berlalunya waktu, silih berganti para pastor CM datang dan
pergi. Tugas-tugas baru pun diberikan, yaitu sebagai Pembina dan Rektor Seminari
Menengah Yohanes Maria Vienney, Menyurai dan rektor Seminari Tinggi Betang
Batara di Bandung. Pastor Paulus Aryono menjadi rektor seminari Betang Batara tahun
1988 dan Pastor Prio Oetomo ditunjuk menjadi rektor seminari Yohanes Maria
Vienney tahun 1994. Sejak itu rektor seminari Yohanes Maria Vienney selalu dipegang
para imam Lazaris dan rektor Betang Batara dipegang para Lazaris hingga tahun 2001.
Selain sebagai pastor paroki dan melakukan pelayanan pastoral di Paroki, para imam
Lazaris juga melayani di bidang pembinaan, yang berpusat di pusat Misi CM di km. 4,
Nanga Pinoh, seperti retret, kaderisari dan kepemimpinan, pelayanan orang sakit,
perbengkelan, dsb.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 199
4. Congregatio Passionis (CP)
Pimpinan Provinsi:
Pemimpin Regional:
Jumlah di Indonesia
Jumlah di Sintang
Karya
Alamat Regional
Pastor Sabinus Lohin, CP
Pastor Gabriel Asun, CP
70 imam
41 frater
4 imam
Paroki, Pastoral, kaum muda
(asrama, pembinaan, dsb.), dsb.
Pastoran Katolik Semitau
Kotal Pos 2, Semitau, Kapuas Hulu
Memasuki millennium ketiga, sejak tahun 2000, banyak tarekat yang berkarya di
Sintang terus berkurang tenaganya. Tarekat Serikat Sabda Allah tinggal satu orang
pada tahun 2001, tarekat Oblat Maria kekurangan tenaga dan mengembalikan paroki
Semitau (2005) dan Sejiram (2006) kepada keuskupan. Menghadapi kekurangan
tenaga ini, maka Mgr. Agus mengundang tarekat lain untuk berkarya di keuskupan
Sintang. Dalam hal ini undangan ditawarkan kepada tarekat Pasionis, baik para
imamnya maupun para susternya.
Menanggapi undangan Mgr. Agus, maka pada tanggal 19 Juni 2005,
tarekat Pasionis mengutus Pastor Barses, CP dan Pastor Amsori CP
untuk bekerja di Paroki Semitau. Pastor Stefanus Suryanto dan
Pastor Pius Barses menjadi pionir pasionis yang bekerja di Semitau
dan kini dilanjutkan oleh pastor Kornelius. Tahun berikutnya,
persisnya tanggal 16 Juli 2006, para pastor Pasionis juga mulai
melayani Paroki Sejiram. Setahun kemudian, yaitu pada tanggal 1
Maret 2007, pastor Amsori resmi menggantikan pastor René
Colin, OMI sebagai pastor paroki Sejiram dan pada tanggal ini pula
Oblat Maria resmi meninggalkan Paroki Sejiram dan konsentrasi di
Paroki Dangkan-Silat dan Sepauk.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 200
5. Congregatio Fratrum Huybergensis -
Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (MTB)
Pimpinan Provinsi:
Br. Gabriel R. Tukan, MTB
Pemimpin Regional:
Jumlah di Sintang
Jumlah di Indonesia
Karya
Br. Timotius, MTB
5 Bruder
39 bruder berkaul kekal
20 bruder berkaul sementara
6 orang novis
8 orang postulan
Pendidikan, Pastoral
Alamat Regional Jln. Diponegoro 26
Putussibau – Kalimantan Barat
Kongregasi Bruder MTB didirikan oleh Mgr. van Hooydonk pada tahun 1854 di
Huybergen, keuskupan Breda, Belanda. Beliau memilih Santa Perawan Maria
Dikandung tanpa Noda (Maria Imakulata) sebagai pelindung kongregasi dan berstatus
sebagai Ordo Ketiga Regular Fransiskan. Tahun 1921, para Bruder MTB mulai berkarya
di Indonesia, yaitu di Singkawang, Kalimantan Barat. Setelah sekian lama berstatus
regional, MTB Indonesia diangkat menjadi Provinsi mandiri pada tanggal 22 Oktober
1999.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 201
Setelah lama berkarya di Pontianak dan Sanggau, tahun 1997 para Bruder mulai
bekerja di keuskupan Sintang, yaitu Putussibau, bertugas sebagai guru sekolah Yayasan
SUKMA. Kemudian para Bruder bukan hanya menjadi guru sekolah tetapi juga
dipercayakan menangani sekolah dan asrama di Putussibau.
Laporan Turne Pastor Lambertus van den Born, SMM dalam kunjungannya ke kampung Laoeng,
Belikai, Bekoean, dan Bati, tanggal 15-27 Maret 1948.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 202
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 203
1. Yayasan Serikat untuk Kemajuan Masyarakat (SUKMA)
Sejak berdirinya gereja lokal, yaitu sebagai Prefektur Apostolik Sintang pada tahun
1948, pimpinan Gereja sungguh merasakan kebutuhan mendesak akan pembinaan
kaum muda dalam bentuk pendidikan yang sistematis dan terorganisasikan dengan
baik. Pendirian sekolah tak terhindarkan dan dirasa mendesak untuk diwujudkan.
Karena itu Mgr. van Kessel, SMM, Prefektur Apostolik Sintang saat itu, menugaskan
Pastor van den Boorn, SMM untuk memulai misi dan tugas mulia tapi berat ini. Atas
perintah Pimpinan, maka pada tahun 1949, Pastor van den Boorn mendirikan lembaga
pendidikan dalam bentuk sebuah serikat, dan diberi nama Serikat Untuk Kemajuan
Masyarakat, yang disingkat sebagai SUKMA.
Ketua serikat yang pertama adalah Bapak Palaunsoeka, kemudian Pastor Aloysius Ding
pernah juga dipilih menjadi ketua. Sebagai sekretaris untuk tugas harian, Mgr. van
Kessel menugaskan Pastor L. van den Boorn. Karena Pastor van den Boorn pada waktu
itu bertugas di Sejiram, maka kantor pertama serikat ini pun berada di Sejiram, di
mana hanya berupa sebuah kamar kosong di lantai dua asrama putera, Tritapang.
Pernah Pastor van den Boorn mengisahkan kepada Pastor Hubertus Swerts, SMM:
“Waktu saya menerima tugas itu, buku tulis dan pen pun tidak ada. Apalagi mesin tik.”
Tugas ini semakin terasa berat baginya, karena Beliau tidak mempunyai pengalaman
apa pun mengenai perserikatan serta pendidikan, sehingga tidak tahu harus mulai dari
mana.
Selanjutnya Beliau pindah ke Sintang, bertempat tinggal bersama pimpinan Gereja,
Prefek Mgr. L. van Kessel. Bersamaan dengan kepindahan Beliau pada tahun 1952,
maka berpindah pula kantor SUKMA dengan didirikannya kantor SUKMA di Sintang.
Urusan dan tugas Pastor van den Boorn ialah mengkoordinasi gaji guru-guru, rapel,
pengangkatan guru-guru baru, dan pensiun guru-guru tua. Selain itu dia harus
menyediakan sarana sekolah yang meliputi alat-alat peraga, batu tulis serta anak batu
tulisnya, cat papan tulis, mata pena dsb.
Pada tahun 1950-an ada perubahan besar dalam dunia pendidikan di Indonesia, di
mana semua sekolah yang sudah ada sejak era penjajahan Belanda agar disesuaikan
dengan sistem pendidikan nasional, sambil mengizinkan sekolah-sekolah swasta untuk
tetap melanjutkan karya mereka, di bawah koordinasi kementerian pendidikan dan
kebudayaan. Dukungan pemerintah juga diberikan dalam bentuk subsidi dan
tunjangan yang dimulai sejak tanggal 1 September 1957 dan menyediakan tenaga
pengajar pegawai negeri yang diperbantukan ke sekolah swasta, melalui PP no. 32
tahun 1958, pada tanggal 14 Mei 1958.
Mengikuti ketentuan negara, maka pimpinan Gereja mengubah AD/ART Sukma.
Melalui akte notaris no. 4, tanggal 2 April 1957, lembaga pendidikan SUKMA diubah
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 204
menjadi Yayasan SUKMA, sebagai sebuah lembaga yang berbadan hukum di negeri ini.
Seluruh sekolah yang dijalankan oleh Gereja saat itu dialihkan ke yayasan SUKMA,
yang terdiri dari 1 SMP, 1 Sekolah Kepandaian Puteri, dan 22 Sekolah Rakyat. Untuk
mendukung kinerjanya, yayasan juga mendirikan perwakilannya di Putussibau, Bika,
Benua Martinus, Sejiram, Nanga Pinoh dan Serawai.
SD Panca Setia, SMP Panca Setia 1, dan SMK Budi Luhur
Dalam dasawarsa 1950-an, dibuka SMP Katolik pertama di Putussibau yang dipimpin
oleh Sr. Anselma, dan kemudian Sr. Marieta (almh). Pada tahun 1959, yayasan
memiliki 30 SD, 1 SMP dan 1 SKKP. Tahun 1960-an, dibuka SMP Katolik Bukit Raya di
Nanga Serawai, yang diselenggarakan oleh Pastor Collijn dan Pastor Bernard sampai
BeIiau berangkat dari Serawai pada tahun 1992. Sekitar tahun 1962, Pastor Serve
Hamers menggantikan Pastor van den Boorn sebagai Sekretaris yayasan SUKMA.
Beliau membuka SMP Panca Setia Sintang pada tahun 1963.
Tahun 1968, Mgr. van Kessel, yang hobi dan berminat dengan dunia pertukangan,
membuka ST (Sekolah Teknik) Gaharu Remaja Katolik di Sungai Putih. Waktu Beliau
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 205
pulang ke Belanda, sekolah teknik tersebut diserahkan kepada Yayasan SUKMA.
Sekolah Teknik Gaharu serta bagian penggergajian kayu dan pertukangannya ditutup
tahun 2005.
Pada dasawarsa 70-an dibuka SMP Katolik Setia Budi di Nanga Pinoh, yang dari semula
mandiri sepenuhnya dan SMP Katolik Setia Bakti di Lanjing. Yayasan SUKMA kemudian
membuka SMA Panca Setia di Sintang pada tahun 1980/81, dan setahun kemudian
membuka SMEA Budi Luhur.
Di samping itu, sejak dekade 1940-an, Suster SMFA menyelenggarakan sekolah
SKP/SKKP, yang kemudian diubah menjadi SMKK, yang berlokasi di Sei Durian. Selain
itu, para suster SMFA juga menyelenggarakan Kursus Rumah Tangga (KRT) di berbagai
tempat. Kursus KRT ini sudah diberikan selama puluhan tahun dalam hal pengetahuan
dan ketrampilan praktis kepada para ibu dan calon ibu di pedalaman secara nonformal.
Perlu disebutkan di sini, walau tidak secara langsung diselenggarakan oleh Yayasan
SUKMA, terdapat pula sekolah untuk para calon Katekis yang mula-mula hanya
merupakan kursus untuk para Pemimpin Umat. Kursus-kursus tersebut kemudian
dikembangkan hingga akhirnya mendirikan sekolah kateketik setingkat SLTA, yaitu
Sekolah Kateketik Menengah Atas (SKMA). Demi mengikuti peraturan yang ditetapkan
oleh pemerintah, maka SKMA diubah menjadi Pendidikan Guru Agama Katolik (PGAK).
Sekolah PGAK Sintang telah meluluskan ratusan guru agama serta katekis.
Karena hampir tidak ada lagi pengangkatan Guru Agama Katolik dari pemerintah
maupun pengangkatan katekis paroki dan ketekis keuskupan, dan terutama karena
peraturan pemerintah yang menutup sekolah kejuruan khusus setingkat SLTA (PGAK,
SPG, SPGO, dsb), maka PGAK Sintang pun ditutup pada tahun 1992.
Masih perlu disebut bahwa setiap Pastor Paroki pada waktu itu berfungsi sebagai wakil
yayasan SUKMA di Parokinya sendiri. Juga tiap-tiap Pastoran dan Susteran ada asrama
yang fungsinya, baik dahulu maupun sekarang, tetaplah penting, yaitu mengurus dan
membimbing anak didik mempersiapkan masa depan mereka.
Kesulitan keuangan untuk “running cost” sekolah (SD dan SMP) juga telah dihadapi
sejak dahulu. Bagaimana para pastor mengatasi hal dahulu? Beberapa Pastor berusha
mencari dana untuk hal tersebut, seperti Pastor van den Boorn, Pastor Hamers,
terutama kepada donator di luar negeri. Selain kesulitan keuangan, SD-SD milik
SUKMA di kampung-kampung mengalami kesulitan untuk bertahan karena kekurangan
tenaga guru, serta kekurangan murid yang lari ke Sekolah Inpres yang berdekatan
dengan sekolah milik Sukma.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 206
Jumlah sekolah serta siswa, sejatinya berkurang dibandingkan beberapa dekade
sebelumnya. Pada tahun 1971, yayasan SUKMA memiliki 41 sekolah (4.770 siswa),
pada tahun 1975 terdapat 39 sekolah (5.783 siswa), dan tahun 1979 terdapat 38
sekolah (5.577 siswa). 39 Pengurangan jumlah disebabkan ditutupnya banyak Sekolah
Dasar di kampung-kampung karena ketidakmampuan finansial untuk menghidupinya
serta telah hadirnya sekolah-sekolah negeri dan inpres milik pemerintah yang
umumnya tidak menarik biaya pendidikan.
Rekap Jenis, Jumlah dan Lokasi Sekolah SUKMA tahun 2010
Sintang Putussibau Semitau Pinoh Serawai Total
SMA 1 1 - - 2
SMK 2 - - - 2
SMP 2 1 1 1 5
SD 4 1 1 1 - 7
TK 4 1 1 2 - 8
TOTAL 13 4 2 4 1 24
1980), hal. 26.
39 Lht Kenangan 75 Tahun Mandirinya Gereja Katolik di Kalimantan Barat (1905-
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 207
2. Seminari Menengah Yohanes Maria Vianney
Nama:
Pimpinan :
Jumlah 2011
Jumlah
lulusan
Alamat
Regional
Seminari Menengah Sto. Yohanes Maria Vianney
1. RD. Thomas Kuslin, 1994-1996
2. RP. Prio Oetomo CM, 1996 - 1998
3. RP. Yulianus Astanto Adie CM, 1998 - 1999
4. RP. Benedictus Adi Saptowidodo CM, 1999 - 2002
5. RP. Petrus Kukuh Dono Budomo CM, 2002 - 2007
6. RP. Yusup Gusti Ketut Prihatmono CM, (pjs) 2007
7. RP. Agustinus Dodik Ristanto CM, 2007 –
sekarang.
92 seminaris
17 frater
4 Diakon
2 imam
Jl. Teluk Menyurai, Kelurahan Tanjung Puri, Sintang
78611, Kalimantan Barat. Tlp dan fax: 0565 21443
Alamat Email: seminariyomavi@yahoo.co.id
Selama lebih dari 30 tahun berstatus sebagai keuskupan, Keuskupan Sintang
memenuhi kebutuhan tenaga imam dari para misonaris luar negeri maupun lokal,
yaitu para imam Indonesia yang berasal dari luar
keuskupan Sintang. Mengingat sulitnya mendapatkan para
pemuda Dayak yang berminat menjadi imam saat itu,
keuskupan mendirikan Seminari Menengah dan Kelas
Persiapan Atas (KPA) di Mataloko, Flores untuk
menampung minat panggilan dari Flores pada tahun 1989.
Seminari Sto. Paulus ini, yang dipimpin oleh RD. Matias
Sala, Pr sejak didirikan, ditutup tahun 2002 dan telah
menghasilkan banyak imam, baik untuk dioses Sintang
maupun keuskupan dan tarekat lainnya.
Menyadari betapa pentingnya Gereja lokal berpijak dan
bertumbuh dari orang-orang setempat, maka tidak ada pilihan lain selain
menggalakkan panggilan dari para pemuda keuskupan Sintang sendiri. Karena itu
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 208
mendirikan seminari menengah di Sintang menjadi pilihan yang niscaya, harus. Maka
didirikanlah Seminari Menengah Keuskupan Sintang (sebagai lembaga pendidikan bagi
para calon imam, frater, dan bruder) pada tanggal 15 Juli 1994, berlokasi di Kompleks
Asrama Bina Remaja Menyurai, Sintang.
Seminari yang kini sudah lumayan besar ini, sebenarnya pada tahun pertama hanya
terdiri dari empat orang seminaris, dan hanya tiga yang bertahan hingga tamat.
Demikian pula angkatan kedua, hanya empat orang dan dari empat orang ini, hanya
tiga seminaris yang menyelesaikannya. Saat itu hanya ada satu orang pembina, yaitu
RD. Thomas Kuslin, Pr.
48
3 2 4 3
34
28
30
22
16
19 20
23
26
18 17
20 21
17 19 19 17
7 7 6 6 8 10
12
5
8
16
31
199419951996199719981999200020012002200320042005200620072008200920102011
siswa masuk
siswa tamat
Dalam kurun waktu 16 tahun (1994-2010), total seminaris yang pernah dibina ialah
348 orang dan dari jumlah ini sudah menghasilkan empat orang imam, yaitu, RD.
Fransiskus Pintau RD. Petrus Juli, RD. Fransiskus Leo (dioses Sintang) dan RP. Paulus
Sapomo, CM.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 209
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 210
I. Profil Kuria Keuskupan
II.
III.
IV.
Profil Tenaga Pastoral Keuskupan Sintang
Daftar para Imam dan Suster yang berasal dari Keuskupan Sintang
Susunan Panitia Emas
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 211
Uskup Sintang: Mgr. Agustinus Agus, Pr.
Vikaris Jenderal: RD. Leonardus Miau, Pr.
Sekretaris Jenderal: RD. Ewaldus, Pr.
Ekonom: RD. Yohanes Pranoto, Pr.
Ketua-Ketua Komisi
a. Komisi Kateketik: RD. Herman Yosef, Pr
b. Komisi Kitab Suci: RD. Joseph Chrispinus Longa, Pr.
c. Komisi Liturgi: RD. Salesius Jeratu, Pr.
d. Komisi Komunikasi Sosial: RD. Piet Apot, Pr.
e. Komisi PSE: RD. Sabinus Amir, Pr.
f. Komisi Keadilan dan Perdamaian: RD. Leonardus Miau, Pr.
g. Komisi Keluarga: RD Mathias Sala Rawa Patty, Pr.
h. Komisi Kepemudaan: RD Agustinus Bahang, Pr.
i. Komisi Pendidikan: RD Ewaldus, Pr
j. Komisi KKI: RD Elias Silvinus Endi, Pr
k. Komisi Seminari: RP Agustinus Dodik Ristanto CM
l. Komisi Hubungan Antar Kepercayaan, RD Paschasius Triyono, Pr
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 212
1. Imam
Imam diosesan Sintang 39
Imam projo kontrak/tamu 1
Imam Montfortan 13
Imam Oblat Maria Imakulata 4
Imam Vinsensian / Lazaris 6
Imam Pasionis 4
Total 67
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 213
Daftar para imam
yang saat ini berkarya dan tinggal di keuskupan Sintang
A. Imam Praja / Diosesan
RD. Viktor L. Parera
Lahir di Sikka,
Maumere,
28 Agustus 1935
Imamat: Jakarta,
30-09-1978.
Pensiunan.
Tinggal di Paroki
Maria Ratu
Pencinta Damai,
Pontianak.
RD. Mathias S. R.
Patty
Lahir di
Wolowaru,
03-11- 1953.
Imamat:
Wolowaru,
19-7-1988.
Pastor Paroki Sei
Durian dan
Ketua Komisi
Keluarga
RD. Hendrikus
Tobotani Ladjar
Lahir di
Larantuka,
02-9- 1961
Imamat:
Lewoleba, 16
September 1989
Pastor Paroki
Tanjung Baung.
RD. Ewaldus
Ketua Komisi
Pendidikan
Lahir: Jelimpo,
11 Nov. 1963.
Imamat:
Ngabang, 01
Februari 1992.
Sekjen
Keuskupan.
Tim Pastoral
Paroki Sei
Durian. Ketua
yayasan Sukma;
Ketua Karina.
.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 214
Lahir di Ende,
17 Februari 1964.
Imamat: Ende,
15-12-1992.
Lahir di Klaten,
08 Januari 1960
Imamat: Klaten,
24 April 1994.
RD. Elias Silvinus Endi
Pastor Paroki
Kelam dan Paroki
Dedai. Dirdios
(Ketua) KKI.
Lahir di Nita,
Sikka, 21 Januari
1964. Imamat:
Sintang, 10 Mei
1994.
Pastor Paroki
Kantuk
RD. Paschasius
Triyono
Pastor Paroki
Merakai.
Ketua Komisi
HAK.
Lahir di
Sejamban, 02-11
1963.
Imamat:
Sintang,
8-12-1994.
Pastor Paroki
Tempunak dan
RD. Makabeus Djawa
RD. Sabinus Amir
Ketua PSE
RD. Vincentius
Yakobus
Lahir di Sanggau,
24 April 1964.
Imamat: Sintang,
08-12-1994.
Anggota tim
pastoral Paroki
Tempunak
RD. Herman Yosef Ga I
Lahir di Jopu,
Ende, 07 April
1967. Imamat:
Jopu, Ende,
13-9-1995.
Anggota tim
pastoral Paroki
Katedral.
Komisi
Kateketik.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 215
Lahir di Nanga
Pari, 29-12-1965.
Imamat:
Sintang, 16 Mei
1996.
Lahir di Pare
Pare, 30 April
1965. Imamat:
Sintang, 16 Mei
1996.
RD. Leonardus Miau
Vikaris Jenderal
Keuskupan
Sintang dan
Pastor Paroki
Pandan; Ketua
KP&K
RD. Yosef Padak Duli
Pastor Paroki
Bika dan Paroki
Embaloh.
Lahir di Lewuka,
Flores, 23-8-
1961 . Imamat,
Sintang, 16 Mei
1996.
Pastor Paroki
Belimbing
Lahir di
Lewokluo,
14-11-1963 .
Imamat:
Larantuka,
21 Juni 1996.
Pastor Paroki
Peniung dan
Paroki Bunut
RD. Lukas Lamadua
RD. Paulus Pati Lein
Lahir di
Tanggong,
20 Juli 1963.
Imamat: Sintang,
01 Februari 1997.
Lahir di Ende,
09 Maret 1964.
Imamat:
Nanga Pinoh,
24-10-1997.
RD. Yohanes Pranoto
Pastor Paroki
Katedral dan
Ekonom
Keuskupan
RD. Yoseph Dosi
Mbele
Pastor Paroki
Tuguk
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 216
Lahir di Gonis
Rabu, 4-5-1969.
Imamat: Sintang,
10-10-1998.
Staf Pembina
Seminari Tinggi
Giovani, Malang.
Lahir di Ende,
25 Juli 1967.
Imamat:
Sintang,
10-10-1998.
Pastor Paroki
Tanah Pinoh.
RD. Florianus Abong
RD. Patrisius Piki
Lahir di Klaten,
07 Juli 1969.
Imamat: Sintang,
10 Oktober 1998.
Lahir di Mondi,
10-10-1963.
Imamat:
Sintang, 10
Oktober 1998.
Pastor Paroki
Nanga Mau
Pastor Paroki
Nanga Pinoh
dan
RD. Isnadi Wibowo
RD. Petrus Apot
Ketua Komisi
Komsos.
RD. A. Adi Wiratma
DS.
Lahir di Blitar,
02 Februari 1969.
Imamat: Sintang,
25 Februari 2000.
Anggota tim
pastoral Paroki
Kelam dan Paroki
Dedai
RD. Gabriel Dwi
Atmoko H.P
Lahir di
Surakarta,
06-11-1970
Imamat:
Sintang,
25-2-2000.
Anggota tim
pastoral Paroki
Nanga Pinoh.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 217
RD. Salesius Jeratu
Lahir di Umung,
Flores, 19
Agustus 1965
Imamat: Sintang,
25-2-2000.
Anggota tim
Pembina
Seminari
Menengah YMV,
Sintang.
RD. Petrus Kaju
Lahir di
Mataloko, 15
Agustus 1967.
Imamat:
Bika Nazareth,
02-08-2000.
Pastor Paroki
Lanjak
Lahir di Lewaji,
16 Februari 1970.
Imamat: Bika
Nazaret, 02
Agustus 2000.
Lahir di Ruteng,
26 Juni 1968.
Imamat:
Nanga Mau,
22-02-2001.
Pastor Paroki
Ambalau
Pastor Paroki
Ella.
RD. Silverius Y. Orwan
RD. John Paul Bebok
RD. Agustinus
Xaverius Bahang
Lahir: Lawir,
Ruteng, 21
Agustus 1972.
Imamat: Nanga
Kantuk, 5 Mei
2002.
Pastor Paroki
Nobal dan
Ketua Komisi
Kepemudaan.
RD. Robertus A. Dhai
Mosa Soli
Lahir di Ende,
Flores, 07 Maret
1973.
Imamat:
Kebong, Kelam,
15-08-2003.
Studi di EAPI,
Manila.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 218
RD. Joseph C. Longa
Lahir di Ende,
14-11-1974.
Imamat: Sintang,
10- 10- 2004.
Pastor Paroki
Senaning
Ketua Komisi
Kitab Suci
RD. Andreas Puan
Lahir di Tunduk
II, 13 Juni 1975.
Imamat:
Sintang,
22-10-2006.
Anggota tim
pastoral Paroki
Bika dan Paroki
Embaloh.
Yoseph B. J. Kabelen
Lahir di
Manggarai,
19-8-1979.
Imamat: Kebong,
07-10-2007.
Angota tim
Pastoral Paroki
Peniung dan
Bunut.
Markus Kornelis
Marhusen
Lahir di
Aimere, 29-04-
1977.
Imamat:
Kebong,
07-10-2007.
Anggota tim
pastoral Paroki
Kotabaru
Lahir di Nganjuk,
03 Maret 1977
Imamat: Sintang,
19-10-2008.
Pastor Paroki
Tebidah.
Lahir di Medang,
01-01-1978 .
Imamat:
Sei. Durian,
30-08-2009.
Anggota tim
pastoral Paroki
Belimbing.
RD. Markus Suwito
RD. F. Xaverius Pintau
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 219
RD. Hiasintus
Lahir: Nanga
Sayan, 26-7-1982.
Imamat: Nanga
Pinoh, 23-6-2011
Anggota tim
pastoral Paroki
Nanga Kantuk
RD. Petrus Juli
Lahir: Riam
Tapang, 31 Juli
1982
Imamat: Nanga
Pinoh, 23-6-
2011
Anggota tim
pastoral paroki
Ambalau
RD. Fransiskus Leo
Lahir: Medang,
28-2-1981
Imamat: 23-6-
2011
Anggota
pastoral
Merakai
tim
Paroki
RD. A. Adji Prabowo
Lahir di
Yogyakarta,
28 Mei 1960.
Imamat:
Jakarta,
15-08-1997.
Pastor Paroki
Badau.
( Imam diosesan
keuskupan agung
Jakarta)
B. Imam SMM (Serikat Maria Montfortan)
Lahir di
Hoensbroek,
21-06-1940
Imamat:
Belanda,
08-03-1967
Pastor Biara;
Kobus Sintang
Lahir di Woa, Flores,
05-07-1974.
Imamat:
Putussibau,
17-03-1996.
Kepala Biara di
Sintang
RP. Jacques Maessen,
SMM
RP. Konradus Hancu,
SMM
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 220
Lahir di Bantul, 14
Maret 1968
Imamat: 25 Juni
1997
Pastor Paroki
Mendalam
Lahir di Waerana,
Ruteng, 25-04-1965
Imamat di Labuan
Bajo, 10-10-1998
Pastor Paroki Benua
Martinus
RP. Yohanes Sumadi,
SMM
RP. Marcadius Markus
Golo, SMM
RP. Antonius Arifin
Dwirahmanto, SMM
RP. Antonius Gatot
Wibawa, SMM
Lahir di Cianjur,
02-11-1971
Imamat:
19-05-1999
Pastor Biara;
Rumah retret Deo
Soli, Putussibau
Lahir di
Klaten,
07-06-1970
Imamat: Bogor,
21-08-2000.
Pastor Biara;
Rumah Retret Deo
Soli, Putussibau
RP. Yohanes Suri, SMM
RP. Rafael Breok, SMM
Lahir di Bomanu,
Ngada,
20-08-1968
Imamat:
Mataloko,
28-05-2000.
Pastor Paroki;
Putussibau
Lahir di Puor,
16-01-1971.
Imamat:
Ruteng,
08-06-2002.
Rumah Biara; Tim
pastoral Kategorial,
Sintang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 221
Lahir di Klaten,
23-03-1969
Imamat: Malang,
13-08-2008
Agt. Tim Pastoral;
Mendalam
Lahir di Ngusu Kede,
25 Juli 1978
Imamat:
Ruteng Flores,
12-08-2009.
Pastor Paroki
Lanjing
RP. Yusuf Gunarto,
SMM
RP. Yakobus Rua Bai,
SMM
Lahir di Turekisa,
25-12-1980
Imamat:
Ruteng Flores,
15-07-2010.
Lahir di Pacar,
02-10-1981.
Imamat:
Ruteng,
15-07-2010.
RP. Marselinus Ngebu,
SMM
Anggota tim
Pastoral Paroki
Benua Martinus
RP. Servianus Rafael
Lepen, SMM
Pastor Biara; Tim
Pastoral Kategorial,
Sintang
Lahir: Bangunrejo
14 Juni 1980.
Imamat: Nanga
Pinoh, 23 Juni 2011
Anggota tim
pastoral Paroki
Lebang
RP. Andreas Santoso,
SMM
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 222
C. Imam OMI (Oblati Mariae Immaculatae)
RP. Jacques Chapuis
RP. Ignatius
Wasono Putra
Saint Martin,
12-08-1940.
Imamat:
Solignac,
06-10-1968.
Anggota Tim Pastoral
Paroki Sepauk
Lahir di Bantul,
29-07-1976.
Imamat: Cilacap,
08-12-2004.
Anggota Tim Pastoral
Paroki Dangkan Silat
RP. Tarsisius Eko
Saktio
RP. Simon Heru
Supriyanto
Lahir di Buntok,
Kalteng,
12-06-1967.
Imamat:
Sejiram,
29-06-1997.
Pastor Paroki
Sepauk
Lahir di Kulon Progo,
28-10-1969/
Imamat:
Jogyakarta,
06-07-1998.
Pastor Paroki;
Dangkan Silat
D. Imam CM (Congregasi Misi)
RP. Paulus Eko
Nurbandrio
Lahir: 15 Januari 1966
Tahbisan Imamat:
Surabaya, 08
September 1995
Pastor Paroki
Menukung
P. Agustinus Dodik
Ristanto, CM
Lahir: 17 Agustus
1972
Tahbisan Imamat:
Surabaya, 15
Agustus 2001
Rektor
Seminari YMV
Sintang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 223
Lahir 03 April 1962
Imamat: Surabaya,
08 September 1995
Pastor Paroki
Serawai
Lahir, 18 Mei 1981
Imamat: Surabaya,
08-09-2009.
Anggota tim
Pastoral Paroki
Serawai
RP. Antonius
Karyono, CM
RP Antonius
Kurniawan
Diputra, CM
Lahir, 03 Januari 1964
Imamat: Surabaya,
31 Juli 1992
Direktur Biara
Emaus Nanga Pinoh
Lahir: 03 September
1969
Imamat: Surabaya,
15 Agustus 2000
Pastor Rekan di
Emaus, Nanga Pinoh
RP. Yulianus
Astanto Adie, CM
RP. Agustinus Ubin,
CM
F. Imam CP (Kongregasi Pasionis)
RP. Gabriel Asun
Lahir di Merbang,
02-12-1965.
Imamat: Merbang,
19-10-1996.
Pastor Paroki
Sejiram. Pimpinan
Pasionis Sintang.
RP. Pascalis
Nores
Lahir di Balai
Berkuak, 13 Nov.
1979.
Tahbisan Imamat:
Balai Berkuak, 25
Juli 2010.
Anggota tim
pastoral paroki
Sejiram.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 224
RP. Kornelius
Lahir di Lintang,
11-12-1970.
Imamat: Malang,
19 April 2001.
Pastor Paroki
Semitau
RP. Titus Wasito, CP
Lahir: Sekadau, 9
Juni 1974
Imamat: Pontianak,
3 Juni 2004.
Anggota tim
pastoral paroki
Semitau
G. Daftar Pastor yang dahulu pernah berkarya di Sintang
Berikut ini adalah daftar para Pastor yang dahulu pernah berkarya di
keuskupan Sintang, tetapi saat ini sudah meninggal atau tidak bertugas di
wilayah keuskupan Sintang
01 Looymans, SJ 02 W. H. J. Mulder, SJ
03 Ignatius v.d. Putten, OFM Cap 04 Flavianus van V. Muller, OFM Cap
05 Gonzalvus v. Pannerden, OFM Cap 06 Honoratus, OFM Cap
07 Eugenius, OFM Cap 08 Camillus, OFM Cap
09 Egbertus, OFM Cap 10 Pater Leontius, OFM Cap
11 Cassianus, OFM Cap 12 Amandus, OFM Cap
13 Leo A.P de Jong, OFM Cap 14 Fulgentius Koning, OFM Cap
15 Gorgonius, OFM Cap 16 Aloys, OFM Cap
17 Donaat, OFM Cap 18 Venans, OFM Cap
19 David van de Made, OFM Cap 20 Edmundus, OFM Cap
21 Nikodemus Gijsbers, OFM Cap 22 Martinus, OFM Cap
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 225
23 Yustinius Goossens, OFM Cap 24 Oktavius, OFM Cap
25 Egbertus Nobel, OFM Cap 26 Herman Josef van Hulten, OFM Cap
27 Ewaldus, OFM Cap 28 Prosper, OFM Cap
29 Wilbertus der Wit, OFM Cap 30 G.H. Harrie L’Ortye, SMM
31 J.C. Linssen, SMM 32 Bavo, OFM Cap
33 Mgr. Lambertus van Kessel, SMM 34 Josef J.H. Wintraecken, SMM
35 Aloysius Ding Ngo, SMM 36 Piet van Eunen, SMM
37 Anton Voncken, SMM 38 Ferry B. Hoogland, SMM
39 Adrianus Schellart, SMM 40 Laurentius W. Collijn, SMM
41 Mgr. Lambertus v.d. Boorn, SMM 42 J. Hub Reijnders, SMM
43 Adrianus van der Vleuten, SMM 44 Yan Maalsté, SMM
45 Agus Wintraecken, SMM 46 Leo C. Rutten, SMM
47 Jan Cloots, SMM 48 Harrie A.C. van Cuyck, SMM
49 Anton P.F. Bernard, SMM 50 Reinoldus F. Dijker, SMM
51 Servé G.W. Hamers, SMM 52 Hubertus P.G. Swerts, SMM
53 John Breslin, SMM 54 Ted Murphy, SMM
55 Eugene Lynch, SMM 56 William M. Bennison, SMM
57 Everest Brown, SMM 58 Marius A. Panigutti, SMM
59 Frank Kennedy, SMM 60 Matias Lunggai, PR
61 Yohanes Ngumbang, PR 62 Joseph van Lier, SMM
63 Adrianus Sommers, SMM 64 Yohanesma Wim, SMM
65 Peter Derckx, SMM 66 Josef Hasset, SMM
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 226
67 Elias Kinson, PR 68 Nicolas C. Shneiders, SMM
69 Cornelis Smit, SMM 70 Peter Hoogland, SMM
71 Fransiskus Luiten, SMM 72 Mateus Rampai, PR
73 Wilhelmus J.B. Peeters, SMM 74 Mgr. Isak Doera, PR
75 Hendrikus Kalter, SMM 76 René Colin, OMI
77 Jean Subra, OMI 78 Lucien Bouchard Jose, OMI
79 Bernard Keradec, OMI 80 Jean Pierre Meichel, OMI
81 Andre Hebting, OMI 82 Gabriel Dethune, CM
83 Jacques Gros, CM 84 Victor Berset, CM
85 Crawford, CM 86 Valentino Bosio, CM
87 Paulus Aryono, CM 88 Viktor Parera, PR
89 Carlo Karyanto, CM 90 Yosef Supit, PR
91 Vedastus Riky, PR 92 Stephanus Budi Prayitno, PR
93 Lukas Suwondo, CM 94 Natalis Nong Napa, PR
95 Benediktus Ragha, SVD 96 Tarsisius Natawijaya, PR
97 Hendrikus Rehi Manuk, SVD 98 Fransiskus Jansen, PR
99 Rufinus Sawe, SVD 100 Yosefus Kapitan Teluma, SVD
101 Stefanus Mite, PR 102 Thomas Kuslin, PR
103 Yohanes Lado, SVD 104 Ignasius Assan Kerans, PR
105 Yakobus Kila, PR 106 Boedhy Prihatna, OMI
107 Ignatius Widodo, SMM 108 Marinus Aloysius Kok, OMI
109 Mateus Juang, SMM 110 Markus Iswanto Hardo, CM
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 227
111 Stefanus Prio Utomo, CM 112 Martinus Prajoko, CM
113 Stefanus Seli, SMM 114 Aloysius Budiyanto, CM
115 L. Aleksander Sudaryanto, CM 116 Benedictus Adi Saptowidada, CM
117 Petrus Setiadji, CM 118 Martinus Widyatmoko, SMM
119 Antonius Sapta Widada, CM 120 Hilarius Adoson Paing, CM
121 Markus Boli Witin, OMI 122 Petrus Kukuh D.B., CM
123 Agustinus Puguh R.S., PR 124 Agustinus Bata, PR
125 Louis Bona, PR 126 Yusuf Gusti K. Prihatmono, CM
127 Josef Jehara, SMM 128 Lodofikus Ndona, SMM
129 Kasimirus Jumat, SMM 130 Markus Rudy H. Neomis, CM
131 Fredy Rante Taruk, PR 132 Sabas Sudiyono, CM
133 Robert Ginting, PR 134 Yosef Due, SVD
135 Avelinus Amput, SMM 136 Amon Amsori, CP
137 Pius Barses, CP 138 A. Widiatmoko, OMI
139 Damianus, OMI 140 Nikolaus Ola, OMI
141 Priyantoro, OMI 142 V.F. Mariyanto, CM
143 Vinsensius Rato, PR 144 Fransiskus Borgias, SMM
145 Herman Nupa, SMM 146 Stefanus Leba, SMM
147 Antonius Suniwarno, SMM 148 Emanuel Ngatam, SMM
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 228
2. Bruder
Bruder SMM
Bruder MTB
Total
1 Bruder
5 Bruder
6 Bruder
3. Suster
Suster SMFA 27 suster
Suster SdC
25 suster
Suster OSU
4 suster
Suster PK 3 suster
Suster ALMA 16 suster
Suster PRR 3 suster
Suster OSA 3 suster
Suster CP 3 suster
OSC Cap 3 suster
Total
84 orang
4. Katekis Keuskupan
1. Pak Ependi di Nanga Raun, Paroki Peniung
2. Pak Alexander Rara, Paroki Benua Martinus, Lanjak, Badau dan Kantuk.
3. Pak Fransiskus Didimus, Paroki Benua Martinus, Lanjak, Badau dan Kantuk.
4. Pak Bartolomeus Gani, Paroki Kelam
5. Pak L. Sengkudan, Paroki Tempunak
6. Pak Agus Dhae, Paroki Pandan
7. Pak Raymundus Ranggau, Paroki Menukung
8. Pak Linus Kuya, Paroki Dangkan-Silat
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 229
1. Para Imam
NO NAMA KLERUS ASAL
01 RD. Sabinus Amir, Pr Dioses Sintang Sejamban,
Sepauk
02. RD. Leonardus Miau, Pr Dioses Sintang Sungai Pari
03. RP. Tarcisius Eko Saktio, OMI Oblat Maria Sejiram
04 RP. Iosephus Erwin, OFM Cap Kapusin Ng Sungai,
Martinus
05. RP. Ariston, SMM Montfortan K. Semulung,
Bika
06. RD. Andreas Puan, Pr Dioses Sintang Ketungau
07. RP. Agustinus Ubin, CM Lazaris Tanah Pinoh
08. RD. F. Xaverius Pintau, Pr Dioses Sintang Medang, Dedai
09. RP. Adiantus, CP Pasionis Libau, Sepauk
10. RP. Kornelis, CP Pasionis Libau, Sepauk
11. RP. Paulus Sapomo, CM Lazaris Nobal
12. RD. Hiasintus, Pr Dioses Sintang Sintang
13. RD. Petrus Juli, Pr Dioses Sintang Dangkan
14. RD. Fransiskus Leo, Pr Dioses Sintang Medang, Dedai
15. RP. Giovanni OFM Cap Kapusin Ukit Ukit,
Martinus
16 RP. Giorgius Haraan OFM
Cap
Kapusin
Pragung,
Mendalam
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 230
2. Para Suster
NO NAMA TAREKAT ASAL
01 Sr. Lucia Puasa, SMFA SMFA Peniung
02 Sr. Agnes Samba, SMFA SMFA Bika
03 Sr. Bernarda Kiding, SMFA SMFA Martinus
04 Sr. Rufina Mah,SMFA SMFA Bika
05 Sr. Martina Marien, SMFA SMFA Siut Melapi
06 Sr. Kresentia Yati, SMFA SMFA Siut Melapi
07 Sr. Kristiana Lintung, SMFA SMFA Siut Melapi
08 Sr. Caritas Meri N. Mang, SMFA SMFA Siut Melapi
09 Sr. Clementia Sima, SMFA SMFA Martinus
10 Sr. Tivina Clara, SMFA SMFA Martinus
11 Sr. Maria Imaculata Bindon, SMFA SMFA Lanjak
12 Sr. Liberia Nori, SMFA SMFA Lanjak
13 Sr. Anselma, SMFA SMFA Peniung
14 Sr. Beata, SMFA SMFA Peniung
15 Sr. Yustina Dayang, SMFA SMFA Peniung
16 Sr. Margareth, SMFA SMFA Bika
17 Sr. Alberta, SMFA SMFA Bika
18 Sr. Yuliana Uli, SMFA SMFA Bika
19 Sr. Emmanuel Hunyang, SMFA SMFA Padua
20 Sr. Ana Rosnani, SMFA SMFA Sejiram
21 Sr. Adriana Anyin, SMFA SMFA Tempunak
22 Sr. Rufini Tatah, SMFA SMFA Sepauk
23 Sr. Agata Biduri, SMFA SMFA Sepauk
24 Sr. Vianey, SMFA SMFA Sepauk
25 Sr. Sofia Umaiyati, SMFA SMFA Pandan
26 Sr. Miryam Sinong, SMFA SMFA Tuguk
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 231
27 Sr. Paula Nyimoi, SMFA SMFA Tuguk
28 Sr. Theodorine, SMFA SMFA Tuguk
29 Sr. Kristina Unau Seni SMFA Tebidah
30 Sr. Yustine Butet, SMFA SMFA Ng. Serawai
31 Sr. Maria Suriti, SMFA SMFA Ng. Serawai
32 Sr. Therese Esyah, SMFA SMFA Ambalau
33 Sr. Emiliana Tini, SMFA SMFA Ambalau
34 Sr. Yulianne, OSA Agustinus Tebidah
35 Sr. Clementina Darawati, OSA Agustinus Nobal
36 Sr. Carolina Mariani Syeilon, OSA Agustinus Nobal
37 Sr. Felisitas Nikola Saptari, OSA Agustinus Sintang
38 Sr. Ignasia Mariata Tuti, OSA Agustinus Ampok
39 Sr. Ellia Rosa, OSA Agustinus Sejiram
40 Sr. Maria Susilawati, ALMA ALMA Ella Hilir
41 Sr. Infrawati, ALMA ALMA Lebang
42 Sr. Anastasia Emil Sailan, SdC Caritas Senaning
43 Sr. Marta Kristina Liam, SdC Caritas Sekubang
44 Sr. Anastasia Manis, SdC Caritas Kebah
45 Sr. Mea Sabina, SdC Caritas Sepauk
46 Sr. Yustin, PRR PRR
47 Sr. Yuliana Mariati, CP Pasionis Ambalau
48 Sr. Lusiana Duduy, CP Pasionis Bika Nazareth
49 Sr. M. Donata, KFS KFS Pakak, Tuguk
50 Sr. M. Hilda, KFS KFS Kelam
51 Sr. M. Ester, KFS KFS Mendalam
52 Sr. Marsinta, OSC Cap Rubiah Lebang
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 232
3. Para Bruder
NO. NAMA TAREKAT ASAL
01 Br. Charles OFM Cap Kapusin Belimbis, Benua
Martinus
02. Br. Stefanus Ceku OFM
Cap
Kapusin
Keram, Benua
Martinus
I. Pelindung /
Penasehat
II. Panitia Inti :
:
:
Uskup Sintang
Bupati Sintang
1. Ketua Umum : Drs. Ignatius Juan, MM.
2. Ketua 1 : Toni, S.Sos. M.Si.
3. Ketua 2 : Florensius Kaha, S.Pd. M.Si.
4. Sekretaris 1 : Ir. Florentinus Anum, M.Si.
5. Sekretaris 2 : F. Khosmas Syukur, S.Pd.
6. Bendahara 1 : Dra. Yosepha Asnah, M.Si.
7. Bendahara 2 : Pujiono, SE
8. Anggota : Pastor Ewaldus, Pr.
9. Anggota : Pastor Leonardus Miau, Pr.
10. Anggota : Pastor Petrus Apot, Pr.
11. Anggota : Pastor Mathias Sala Rawa Patty, Pr.
12. Anggota : Pastor Yohanes Pranoto, Pr.
13. Anggota : Pastor Paulus Pati Lein, Pr.
14. Anggota : Apolonaris Biong, S.Sos. M.Si.
15. Anggota : Drs. Hatta, M.Si.
16. Anggota : B. Suhartono, SH.
17. Anggota : Inosensius Inu, S.Sos.
18. Anggota : Dra. Cornelia L.L.
19. Anggota : Ir. Veronika Ancili
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 233
20. Anggota : Pimpinan Tarekat PRR.
21. Anggota : Pimpinan Tarekat SMFA
22. Anggota : Pimpinan Tarekat SdC.
III.
Seksi-Seksi
3.1 Seksi Liturgi
1. Pastor Salesius Jeratu, Pr.
2. Sr. M. Sophina, PRR
3. Yosef Adam
4. Stepanus Ukal, BA.
5. Pastor Yosef Dosi Mbele, Pr.
6. Pastor F.X. Pintau, Pr.
7. Drs. Andreas M. Calon
8. Yohanes Sani Tukan, S.Ag.
9. Nani, S.Ag.
10. Rafael Tapoona, A.Md.
11. Agnes Abong Geroda, S.Ag.
12. F.X. Partono
13. Florentina Murtini, S.Pd.
14. Sr. Maria, SMFA
15. Sr. Kristina, SMFA
Koordinator
Wakil Koordinator
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
3.2 Seksi Acara, Dokumentasi dan Sound System
1. Pastor Paschasius Triyono, Pr.
2. AFN. Hendriyatmoko, S.S.
3. Budi Cahyadi (Studio Cordium)
4. Pastor Anyo, Pr
5. Dra. Cornelia, L.L.
6. Dr. Veronika
7. Dra. Hendrika, M.Si.
8. Lunsa Balu, S.Pd. (sanggar tampun juah)
9. Yustina, A.Ma.Pd.(sanggar bulau karing)
10. Susana, SE (sanggar tugu beji)
11. Agnes Asnadeta, S.Pd
12. Klemen
13. Edi Silitongga
Koordinator
Wakil Koordinator
Wakil Koordinator
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 234
3.3 Seksi Penerima Tamu dan Akomodasi
1. Ir. F. Depkris Padumeos
2. Heronimus Tabrani Wasis, SH. MH.
3. Inosensius Inu, S.Sos.
4. B. Suhartono, SH.
5. Drs. P.E.Chunoi
6. Fransiskus Power, S.Sos.
7. Sirelus
8. Yohanes F.X. Kardi, S.Ag.
9. Yosef Sudiyanto, SH.
10. Widodo
11. Petrus Simon, S.Hut.
12. Anton Siregar, S.Pd.
13. Yakobus Suwandi
14. Yohanes Aten
15. A.V. Tian B.
16. Yohanes S.
17. Albertus Jidin
18. A. Renjani
19. Andrianus Efriyadi, A.Md. Farm
20. Supriyadi
21. Riyanto, S.Ag.
22. Agustinus Winarto, S.Pd.
23. Paulus Miki
24. Atamasius
25. Sumidi Yohanes, SP.
26. Agustinus Triyono
27. Mikael Hali Libur, S.Ag.
28. Drs. Y.A.T. Lukman Riberu, M.Si.
29. Petrus Amon
30. Edy Riberu, S.Pd.
Koordinator
Wakil Koordinator
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
3.4 Seksi Transportasi
1. Drs. Matheus Siong, M.Si.
2. MLS Nainggolan
3. Viktor Siat, A.Md.
4. Abibon Yub
5. Nikodimus
6. Yulianus
7. Supirin
8. Yahya Sucahya, SE.
Koordinator
Wakil Koordinator
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 235
9. Karlo Sujarkoro, SE.
10. Herianto
11. Hendrikus
Anggota
Anggota
Anggota
3.5 Seksi Konsumsi
1. Maria Magdalena Sudiyanto
2. Yosefa Sepina Biong
3. Merry Kristina Toni
4. Hayati Serilus
5. Sabmuniah Siong
6. Florida Ida Yulianus
7. Yasintha
8. Masiati Altila
9. Luisa Asnani
10. Yupita Maria
11. Kristina Kiki Nicodimus
12. Dra. Magdalena Ukis Hatta
13. Rostari Hieronimus
14. Martina Nyelam Kaha
15. Veronika Kardi
16. Yovita Suwandi
17. Ana Munlia Inu
18. Maria Victoria Ateng
19. Agatha Katharina Stef. Ukal
20. Susana Jenah Kiryanto
21. Sumartini
22. Eka Andreas
23. Cornelia Anyap
24. Etha Nyegang
25. Rita
26. Lusia
27. Ana Munlia
28. Lili Dwikowati
29. Maria Nona
30. Fransiska, S.Hut.
Koordinator
Wakil Koordinator
Wakil Koordinator
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
3.6 Seksi Perlengkapan
1. Apolonaris Biong, S.Sos. M.Si.
2. Palentinus S.Sos. M.Si.
3. Yohanes Abdurrahman
Koordinator
Wakil Koordinator
Anggota
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 236
4. M. Sahar
5. Nero Alin
6. Ir. Linus Barus
7. Rujindius
8. Supriyadi
9. Budi Cahyadi
10. Martin
11. Paulus Robin
12. Nikodemus Unka
13. Paulinus Kr.
14. Anong
15. Nikodemus, SH.
16. Juni
17. Suparno
18. Dimu Mohtar
19. Apin
20. Yanuarius
21. Dansilianus
22. Herkulanus
23. Palembang
24. Gana Suka
25. Yohanes Sumarjono
26. Onoreus
27. Buleman Sitomorang
28. Sargio
29. Yohanes Herinandi
30. Adrianus Mayak
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
3.7 Seksi Keamanan dan Parkir
1. Mayor ARH Amansius (Korem)
2. Santun Siregar
3. Sukandi
4. Martinus
5. Sukiran
6. Nikadelis Dekok
7. M. Tobang
8. Sandang
9. Putu Danuyasa
10. Sewinus
11. Paulinus
12. Nian Suyatno
Koordinator
Wakil Koordinator
Wakil Koordinator
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 237
13. Minus
14. Mudi U.
15. Meraman
16. Runjan
17. Simatupang
18. Andi Bruno
19. Agem
20. HP. Siregar
21. KKMK (Katedral dan Sei Durian)
22. Mudika (Katedral dan Sei Durian)
23. SATPOL PP
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
3.8 Seksi Kesehatan
1. dr. Marcus Gatot Budi P. M. Kes.
2. Abastinus S.Sos. M.Si
3. dr. Wahyu
4. dr. Rosa Tripina, M.Kes
5. dr. Harysinto Linoh, MM
6. dr. Sandur
7. dr. Hariandi
8. dr. Yudi Hartanto
9. dr. Yovita
10. Andreas Renjani, SKM
11. Andarias Pilang. A.Md.Kep
12. Florentina Ating. A.Md.Kep.
13. Mimpar. SKM
14. Algri Aldo, A.Md.Kep
15. Vinsensius, A.Md.Kep
16. BD. Florida Ida, SKM.
17. Hendrikus, A.Md.Kep
18. Heribertus, S.Farm.
19. Yulius Jualang, S.Kep. M.Si.
20. Sabmuniah Siong
21. Anselmus Abun
Koordinator
Wakil Koordinator
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
3.9 Seksi Dekorasi
1. Aloysius Jundeng, S.Pd
2. Supriyono, S.Pd
3. Dahries Kristian, S.Pd.
Koordinator
Wakil Koordinator
Anggota
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 238
4. Antonius Desa
5. Ir. Banyamin
6. F.X. Priyo Santoso
7. M. Pahan Apri, S.Pd.
8. Wiro Pranata, ST.
9. Yulianus
10. F. Akiung, SH.
11. Petrus Ara Kian, S.Pd.
12. B. Kiryanto, SE.
13. Andrianus Efriyadi, A.Md.Farm.
14. Yuliana
15. Edy Susanto
16. Wilbertus
17. Lilly
18. Astuning
19. Pius Leo
20. Ulbardus
21. Purnomo
22. Jahari
23. Pardiono
24. Pius
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
3.10 Seksi Usaha Dana
1. Gregorius Igo, ST.
2. Kristina Kiki, S.Sos. M.Si.
3. Felix Budiono
4. Tuah Mangasih, ST.
5. Jainudin, S.Pd.
6. Brigita Dwi Wijayanti, S.Hut. M.Si.
7. Supriyanto, SH.
8. Drs. Muana
9. Ajin
10. Maryono, S.Sos.
11. Leonardus Peni, S.Sos.
12. Sandan, S.Sos.
13. Remeo, SP.
14. Ginidie, S.Sos.
15. Kelibuk
16. Mesamadi, A.Md.
17. Yulius
18. Franseda, S.Sos.
Koordinator
Wakil Koordinator
Wakil Koordinator
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 239
19. Hermanto
20. Drs. Lusius Nelis
Anggota
Anggota
Sintang, 18 September 2010
Uskup Sintang,
Mgr. Agustinus Agus
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 240
1. Pastor Fulgentius, OFM Cap, dkk, Buku Harian Sintang, Tahun 1931-1941.
Buku ini adalah catatan asli, tulisan tangan.
2. Pastor Aloysius Ding, dkk, Buku Harian Sintang, tahun 1962-1975. Buku ini
adalah catatan asli, tulisan tangan.
3. RD. Matheus Rampai, Pr, Sejarah Gereja Keuskupan Sintang, (bahan hanya
untuk kebutuhan internal Keuskupan Sintang, tidak dipublikasikan), tgl 15
Juli 1983.
4. RP. Hubertus Swerts, SMM, Gereja Keuskupan Sintang (bahan untuk
disampaikan pada Musyawarah Pastoral Keuskupan Sintang), tgl. 3 - 6
Oktober 1995.
5. Piet Derckx, SMM, Sejarah Dimulainya Montfortan, Hidup dan Berkarya di
Indonesia, 1939-2005, Pusat Spiritualitas Marial, Bandung, 2008.
6. Mgr. Isak Doera, Pr., Beberapa Data Keuskupan Sintang (Sambutan dalam
Pertemuan Pro-Nuncio dengan Wakil-Wakil Umat Keuskupan Sintang, tidak
dipublikasikan), tgl 18 Juni 1992.
7. Keuskupan Agung Pontianak, Kenangan 75 Tahun Mandirinya Gereja
Katolik di Kalimantan Barat (1905-1980), oleh Keuskupan Agung Pontianak,
1980.
8. G. Vriens S.J., Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 2, Dokumentasi
Penerangan MAWI, 1972.
9. G. Vriens S.J., Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 3a, Dokumentasi
Penerangan MAWI, 1972.
10. Pastor Martinus, Catatan Sejarah Awal Misi ke Lanjak, diterjemahkan oleh
P. Amantius.
11. Catatan-Catatan Turne, 1932-1975. Merupakan laporan turne para pastor
yang diserahkan setiap tahun kepada sekretariat keuskupan. Semuanya
dalam bahasa Belanda.
12. Catatan-Catatan Lepas. Merupakan tulisan tulisan tangan atau ketikan dari
para misionaris (tanpa nama pembuat/pencatat), dalam bahasa Belanda
dan Indonesia.
13. RD. Yohanes Pranoto, Pr, Sejarah Gereja Lokal Keuskupan Sintang, (untuk
kalangan sendiri), 2007.
Catatan: tanggal dan tahun serta jumlah bisa jadi tidak akurat mengingat
keterbatasan cacatan sejarah yang diperoleh.
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 241
Kenangan & Syukur † 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang ║ hal. 242