Pengaruh Subsidi BBM Terhadap Permintaan ... - BAPPEDA Aceh
Pengaruh Subsidi BBM Terhadap Permintaan ... - BAPPEDA Aceh
Pengaruh Subsidi BBM Terhadap Permintaan ... - BAPPEDA Aceh
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Oleh : Fikriah 1 dan Oka Mahendra 2<br />
<strong>Pengaruh</strong> <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> <strong>Terhadap</strong><br />
<strong>Permintaan</strong> <strong>BBM</strong> Dalam Negeri<br />
ABSTRAK<br />
Artikel penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis<br />
pengaruh subsidi bahan bakar minyak (<strong>BBM</strong>) terhadap permintaan <strong>BBM</strong> dalan<br />
negeri. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang<br />
diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti pada kantor Badan Pusat Statistik<br />
(BPS), PT. PERTAMINA dan instansi-instansi lain yang mendukung penelitian<br />
ini. Penelitian ini menggunakan model analisis dengan metode Two Stage Least<br />
Squares. Tujuan dari model ini adalah untuk melihat dan menganalisa pengaruh<br />
subsidi <strong>BBM</strong> yang diberikan pemerintah terhadap permintaan <strong>BBM</strong> masyaraka<br />
Indonesia.<br />
Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa subsidi <strong>BBM</strong><br />
berpengaruh positif terhadap permintaan <strong>BBM</strong> dalam negeri di Indonesia selama<br />
periode 1995-2009. Artinya jika pemerintah mengambil kebijakan memberikan<br />
subsidi <strong>BBM</strong> dan otomatis harganya akan rendah maka permintaan <strong>BBM</strong> dalam<br />
negeri akan naik. Dan sebaliknya, permintaan <strong>BBM</strong> akan turun apabila<br />
pemerintah mengurangi atau menghapus subsidi <strong>BBM</strong> akan berdampak pada<br />
penghematan konsumsi <strong>BBM</strong> oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan teori<br />
<strong>Permintaan</strong>.<br />
Implikasi dari penelitian ini adalah perlunya perhatian yang besar dari<br />
pihak pemerintah dan pengkajian ulang terhadap pemberian subsidi <strong>BBM</strong> yang<br />
dilakukan pemerintah agar tidak membebani APBN. Karena subsidi selama ini<br />
lebih banyak dirasakan oleh masyarakat kelas atas.<br />
Keyword: <strong>Subsidi</strong>, <strong>BBM</strong>, APBN, Pemerintah<br />
1 Fikriah adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala<br />
2 Oka Mahendra adalah Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala<br />
81
ABSTRACT<br />
This research article aims to determine and analyze the effect of subsidizing fuel<br />
oil against domestic fuel oil demand. The data that being used in this study were<br />
secondary data that gained from various related agencies such as the office of the<br />
Central Statistics Agency (BPS), PT. Pertamina and other agencies that supported<br />
this research. In this study we use Two Stage Least Square analysis and model.<br />
The purpose by using this method are we wanted to analyze the influence of fuel<br />
oil subsidize that provided by government against Indonesian society oil fuel<br />
demand.<br />
Result of this research as a conclusion shows that Fuel Oil subsidize has a<br />
positive influence against domestic fuel oil demand in 1995 – 2009 period. That<br />
means if government applied a policy of subsidizing fuel oil and the price will<br />
automatically lower and the domestic fuel oil demand will rise. In other hand, if<br />
the fuel oil demands will drop if the government reduce or erase fuel oil subsidize<br />
will have an impact on savings fuel consumption by the public.<br />
This is agreeing with the demand theory. The implication of this research<br />
is the need for greater attention from the government and review the provision of<br />
fuel oil subsidies by the government so as not to burden the state budget. Because<br />
subsidies were mainly felt by the upper classes.<br />
Key words: subsidize, fuel, state budget, government<br />
LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN<br />
Istilah subsidi juga sudah tidak asing lagi bagi kita. Bahwasanya subsidi<br />
menurut bahasa berarti tunjangan. Jadi subsidi Bahan Bakar Minyak (<strong>BBM</strong>)<br />
adalah bayaran yang harus dilakukan oleh pemerintah pada Pertamina dalam<br />
simulasi di mana pendapatan yang diperoleh Pertamina dari tugas menyediakan<br />
<strong>BBM</strong> di tanah air adalah lebih rendah dibandingkan dengan biaya yang<br />
dikeluarkan. Definisi tersebut menunjukkan bahwa subsidi dilakukan untuk<br />
membantu warga negara yang kurang mampu, namun kenyataannya<br />
disalahgunakan oleh kalangan kelas menengah ke atas. Hal ini menyebabkan<br />
subsidi <strong>BBM</strong> salah sasaran dalam penyaluran, karena subsidi yang tujuannya<br />
diberikan untuk kelompok yang kurang mampu tapi ternyata lebih banyak<br />
dinikmati oleh golongan masyarakat kelas atas.<br />
Berikut ini adalah daftar perkembangan subsidi <strong>BBM</strong> dan non-<strong>BBM</strong> yang<br />
dilakukan pemerintah tahun 2005 sampai 2009 yang berasal dari Anggaran<br />
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) :<br />
Tabel 1 :<strong>Subsidi</strong> Tahun 2005 – 2009 (Triliun Rupiah)<br />
No Jenis<br />
2005 2006<br />
Tahun<br />
2007 2008 2009<br />
1. <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> 95,5 64.2 83.7 126.8 67.0<br />
82
2.<br />
<strong>Subsidi</strong> non <strong>BBM</strong><br />
- <strong>Subsidi</strong> Listrik<br />
- <strong>Subsidi</strong> Pangan<br />
- <strong>Subsidi</strong> Pupuk<br />
- <strong>Subsidi</strong> Benih<br />
- PSO<br />
- <strong>Subsidi</strong> Bunga Kredit<br />
Program<br />
- <strong>Subsidi</strong> Minyak Goreng<br />
- <strong>Subsidi</strong> Pajak<br />
- <strong>Subsidi</strong> Kedele<br />
- <strong>Subsidi</strong> Lainnya<br />
25.1<br />
8.8<br />
6.3<br />
2 .5<br />
0.147<br />
0.934<br />
0.149<br />
-<br />
6.2<br />
-<br />
-<br />
43.2<br />
30.3<br />
5.3<br />
3.1<br />
0.131<br />
1.7<br />
0.286<br />
-<br />
1.8<br />
-<br />
0.264<br />
66.4<br />
33.07<br />
6.5<br />
6.2<br />
0.479<br />
1 .02<br />
0.347<br />
0.24<br />
17.1<br />
-<br />
1.5<br />
136.1<br />
83.9<br />
12.0<br />
15.1<br />
0.985<br />
1.7<br />
0.939<br />
0.225<br />
21.0<br />
0.103<br />
-<br />
109.0<br />
45.9<br />
12.9<br />
7.5<br />
1.3<br />
1.3<br />
4.6<br />
-<br />
25.2<br />
-<br />
-<br />
Total 120.7 107.4 150.2 262.9 176.0<br />
Sumber : Departemen Keuangan Republik Indonesia (diolah)<br />
Berdasarkan data APBN Indonesia di atas, subsidi Indonesia paling<br />
banyak dikeluarkan pada subsidi <strong>BBM</strong> dibandingkan subsidi non-<strong>BBM</strong>,<br />
disebabkan karena kebutuhan akan <strong>BBM</strong> Indonesia yang sangat tinggi. Tahun<br />
2008 total subsidi naik hampir mencapai 100% dari tahun sebelumnya yaitu<br />
sebesar Rp. 262,9 triliun yang dikeluarkan untuk subsidi <strong>BBM</strong> sebesar Rp. 126,8<br />
triliun dan untuk subsidi non-<strong>BBM</strong> sebesar Rp. 136,1 triliun, dengan proporsi<br />
yang hampir sama. Pada periode sebelum 2007, subsidi <strong>BBM</strong> lebih besar dari<br />
subsidi non-<strong>BBM</strong>, semenjak tahun 2008 subsidi <strong>BBM</strong> mulai dikurangi. Berbeda<br />
dari tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2009 subsidi <strong>BBM</strong> lebih rendah<br />
dibandingkan subsidi non-<strong>BBM</strong> yaitu sebesar Rp. 67 triliun untuk subsidi <strong>BBM</strong><br />
dan Rp. 109 triliun untuk subsidi non-<strong>BBM</strong>, dengan total subsidi yang<br />
dikeluarkan pemerintah sebesar Rp. 176 triliun, hal tersebut karena terkait<br />
kebijakan penghapusan subsidi <strong>BBM</strong> yang akan dilakukan oleh pemerintah.<br />
<strong>Subsidi</strong> memang sangat membantu masyarakat kurang mampu untuk<br />
menjangkau harga <strong>BBM</strong>. Tapi kalau dibiarkan terus menerus, subsidi yang<br />
diberikan oleh pemerintah akan menggerogoti keuangan negara dalam APBN.<br />
Karena ternyata subsidi tersebut salah sasaran. Masyarakat kelas atas yang<br />
sebenarnya mampu membeli <strong>BBM</strong> yang secara normal ternyata malah disubsidi.<br />
Sedangkan kendaraan-kendaraan roda dua milik masyarakat kurang mampu<br />
biasanya membeli <strong>BBM</strong> yang dijual di kios-kios eceran yang harganya pasti lebih<br />
mahal dari Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU). Jadi jika subsidi ini<br />
diteruskan rasanya hanya akan buang-buang uang dari APBN karena hanya<br />
kalangan menengah ke atas saja yang menikmati subsidi ini.<br />
Atas dasar hal tersebut, pemerintah kemudian menggulirkan kebijakan<br />
penghapusan subsidi <strong>BBM</strong> dan pada saat bersamaan juga merelokasikan<br />
penghapusan subsidi <strong>BBM</strong> pada subsidi target person yang lebih tepat sasaran,<br />
baik obyek maupun programnya yaitu pada masyarakat miskin guna menjaga<br />
83
tingkat kesejahteraan mereka melalui program kompensasi subsidi <strong>BBM</strong> (PKPS<br />
<strong>BBM</strong>). Program tersebut bertindak sebagai jaring pengaman atas shock kenaikan<br />
harga <strong>BBM</strong> sehingga kesejahteraan masyarakat tidak semakin menurun.<br />
Di satu pihak, data menunjukkan bahwa <strong>BBM</strong>, terutama bensin, mayoritas<br />
digunakan oleh kelompok masyarakat Indonesia menengah ke atas. Sementara di<br />
lain pihak, akses masyarakat menengah ke bawah ke pelayanan publik begitu<br />
terbatas, antara lain karena kurangnya investasi publik di pos-pos pengeluaran<br />
seperti pendidikan, kesehatan dan infrastuktur pedesaan. Ini tentunya tidak berarti<br />
bahwa masyarakat miskin tak akan terkena imbas pencabutan subsidi, dan oleh<br />
karena itulah pemerintah perlu merancang langkah-langkah agar pencabutan<br />
tersebut mengurangi beban masyarakat miskin. Karena itulah, pencabutan subsidi<br />
harus dilakukan hati-hati, bertahap, dan dibarengi langkah riil untuk mengubah<br />
subsidi <strong>BBM</strong> menjadi subsidi langsung bagi mereka yang miskin.<br />
Pada tahun anggaran 2005, pemerintah telah melakukan dua kali<br />
pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (<strong>BBM</strong>), yaitu pada bulan Maret dan<br />
Oktober 2005. Pengurangan subsidi tersebut membawa konsekuensi terjadinya<br />
kenaikan harga <strong>BBM</strong>. Kenaikan harga <strong>BBM</strong> pada bulan Maret rata-rata 29 persen,<br />
sedangkan kenaikan harga pada bulan Oktober rata-rata di atas 100 persen. Dalam<br />
satu tahun anggaran pemerintah menurunkan subsidi <strong>BBM</strong> sebanyak dua kali,<br />
dapat diperkirakan pemerintah dalam kondisi tidak ada pilihan yang lain.<br />
Pengurangan subsidi <strong>BBM</strong> tersebut membawa konsekwensi logis kenaikan<br />
harga <strong>BBM</strong>. Kenaikan harga <strong>BBM</strong> tersebut selanjutnya menimbulkan efek spiral,<br />
yaitu terjadinya efek kenaikan harga semua barang dan jasa (Susilo, 2002a).<br />
Sektor-sektor yang terkena dampak langsung adalah sektor rumah tangga, sektor<br />
industri pengolahan dan sektor transportasi.<br />
STUDI KEPUSTAKAAN<br />
A. Pengertian dan Jenis <strong>Subsidi</strong><br />
<strong>Subsidi</strong> merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada produsen<br />
atau konsumen agar barang atau jasa yang dihasilkan harganya lebih rendah<br />
dengan jumlah yang dapat dibeli masyarakat lebih banyak (Susilo, 1999).<br />
Besarnya subsidi yang diberikan biasanya tetap untuk setiap unit barang. Dengan<br />
adanya subsidi diharapkan oleh pemerintah harga barang menjadi lebih rendah<br />
(Handoko dan Patriadi, 2005). Pemerintah di sini menanggung sebagian dari biaya<br />
produksi dan pemasaran. Pada hakekatnya subsidi diberikan untuk membantu<br />
golongan masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi lemah, bukan untuk<br />
golongan masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi lebih tinggi (Susilo,<br />
2004).<br />
<strong>Subsidi</strong> adalah suatu bentuk bantuan keuangan (financial assistance), yang<br />
biasanya dibayar oleh pemerintah, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas harga-<br />
84
harga, atau untuk mempertahankan eksistensi kegiatan bisnis, atau untuk<br />
mendorong berbagai kegiatan ekonomi pada umumnya (www.indoforum.org).<br />
Istilah subsidi dapat juga digunakan untuk bantuan yang dibayar oleh nonpemerintah,<br />
seperti individu atau institusi non-pemerintah. Namun, ini lebih<br />
sering disebut derma atau sumbangan (http://en.wikipedia.org).<br />
Dalam Sistem Kapitalisme, subsidi merupakan salah satu instrumen<br />
pengendalian tidak langsung. Dalam Sistem Kapitalisme terdapat dua macam<br />
pengendalian ekonomi oleh pemerintah, yaitu pengendalian langsung dan tidak<br />
langsung. Pengendalian langsung adalah kebijakan yang bekerja dengan<br />
mengabaikan mekanisme pasar, contohnya embargo perdagangan dan penetapan<br />
harga tertinggi suatu barang. Adapun pengendalian tidak langsung adalah<br />
kebijakan yang bekerja melalui mekanisme pasar, misalnya penetapan tarif serta<br />
segala macam pajak dan subsidi (Grossman, 1995).<br />
B. Efek Positif <strong>Subsidi</strong><br />
Kebijakan pemberian subsidi biasanya dikaitkan kepada barang dan jasa<br />
yang memiliki positif eksternalitas dengan tujuan agar untuk menambah output<br />
dan lebih banyak sumber daya yang dialokasikan ke barang dan jasa tersebut,<br />
misalnya pendidikan dan teknologi tinggi.<br />
C. Efek Negatif <strong>Subsidi</strong><br />
Secara umum efek negatif subsidi adalah:<br />
1. <strong>Subsidi</strong> menciptakan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Karena<br />
konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada<br />
harga pasar maka ada kecenderungan konsumen tidak hemat dalam<br />
mengkonsumsi barang yang disubsidi. Karena harga yang disubsidi lebih<br />
rendah daripada biaya kesempatan (opportunity cost) maka terjadi<br />
pemborosan dalam penggunaan sumber daya untuk memproduksi barang<br />
yang disubsidi.<br />
2. <strong>Subsidi</strong> menyebabkan distorsi harga.<br />
3. Menurut Basri (2002:249), subsidi yang tidak transparan dan tidak welltargeted<br />
akan mengakibatkan :<br />
a. <strong>Subsidi</strong> besar yang digunakan untuk program populis cenderung<br />
menciptakan distorsi baru dalam perekonomian.<br />
b. <strong>Subsidi</strong> menciptakan suatu inefisiensi.<br />
c. <strong>Subsidi</strong> tidak dinikmati oleh mereka yang berhak.<br />
D. Bahan Bakar Minyak (<strong>BBM</strong>)<br />
Bahan bakar merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat<br />
penting. Menurut Muin (1998 : 146) pengertian dari bahan bakar yaitu segala<br />
sesuatu yang dapat dibakar. Bahan-bahan yang dapat dibakar misalnya: kertas,<br />
kayu, kain, minyak tanah, bensin, gas, batu bara dan lain-lain.<br />
85
Minyak adalah bahan bakar lain yang ditemukan dalam batuan bumi.<br />
Minyak terbuat dari makhluk laut kecil yang hidup jutaan tahun lampau. Ketika<br />
makhluk hidup itu mati, ia terbenam di dasar laut dan terkubur dalam pasir dan<br />
lumpur. Jutaan tahun kemudian, sisa-sisa makhluk hidup tersebut berubah menjadi<br />
tetes-tetes minyak. Bahan bakar minyak atau <strong>BBM</strong> adalah salah satu jenis bahan<br />
bakar. Menurut Muin (1998 : 153) jenis bahan bakar ada tiga, yaitu :<br />
1. Bahan bakar padat (solid fuel), contoh : kayu, batu bara, kokas dan lain-lain.<br />
2. Bahan bakar cair (liquid fuel), contoh : bensin, minyak tanah dan minyak<br />
bakar.<br />
3. Bahan bakar gas (gasues fuel), contoh : gas methan, gas LNG, gas LPG dan<br />
lain-lain.<br />
Harga <strong>BBM</strong> di Indonesia adalah harga yang diatur oleh pemerintah dan<br />
berlaku sama di seluruh wilayah Indonesia. Pada dasarnya, pemerintah bersama<br />
DPR menetapkan harga <strong>BBM</strong> setelah memperhatikan biaya-biaya pokok<br />
penyediaan <strong>BBM</strong> yang diberikan PERTAMINA serta tingkat kemampuan<br />
(willingness to pay) masyarakat. Belakangan, dalam upaya menyesuaikan harga<br />
<strong>BBM</strong> di dalam negeri dengan perkembangan harga <strong>BBM</strong> internasional,<br />
dikeluarkan Keputusan Presiden yang memungkinkan PERTAMINA untuk secara<br />
berkala menyesuaikan harga <strong>BBM</strong> sesuai perkembangan MOPS (Middle Oil<br />
Platts, Singapore). Namun, mekanisme penyesuaian harga otomatis tersebut tidak<br />
terus dapat dipertahankan.<br />
Bukti-bukti empiris hampir 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa gejolak<br />
politik di kawasan Timur Tengah telah dan akan mempengaruhi permintaaan dan<br />
penawaran minyak di dunia. Gejolak politik di Timur Tengah mengakibatkan<br />
perubahan harga minyak. Situasi pasar minyak akan mempengaruhi<br />
perkembangan situasi harga minyak (Yusgiantoro, 2000 : 28).<br />
Konsep penetapan harga <strong>BBM</strong> di Indonesia secara umum terdiri dari 3<br />
metode (Yusgiantoro, 2000 : 189) yaitu :<br />
a) Border Price (Pembatasan Harga)<br />
Penetapan harga Metode Border Price mengacu pada penetapan harga eks<br />
kilang minyak Singapura. Penetapan harga ini diasumsikan berlaku pada<br />
harga kompetitif. Dengan asumsi tersebut harga <strong>BBM</strong> dari kilang Singapura<br />
menggunakan harga yang sudah dipublikasikan secara rutin. Harga itu<br />
kemudian ditambah komponen biaya seperti transportasi, pajak, subsidi dan<br />
sebagainya. Semua ini menjadi harga jual <strong>BBM</strong> di Indonesia.<br />
b) Harga Pokok Penjualan (HPP) <strong>BBM</strong><br />
Sistematika perhitungan harga <strong>BBM</strong> di Indonesia pertama sekali<br />
dimulai dengan mencari HPP produksi <strong>BBM</strong> dalam satuan rupiah perliter.<br />
Dalam konsep ekonomi mikro, perhitungan itu merupakan nilai biaya ratarata<br />
(average cost) produksi <strong>BBM</strong>. HPP dihitung dengan mengurangi<br />
86
pendapatan dari penjualan <strong>BBM</strong> dalam negeri. Setelah itu dikurangi biayabiaya<br />
kemudian dibagi dengan besarnya volume <strong>BBM</strong>.<br />
Sisi biaya dikelompokkkan dalam biaya pengadaan minyak<br />
mentah dan produk yang merupakan biaya dominan struktur biaya <strong>BBM</strong><br />
yang terdiri atas pembelian minyak mentah, impor minyak mentah, impor<br />
<strong>BBM</strong>, perubahan persediaan dan nilai non-<strong>BBM</strong>. Sedangkan biaya-biaya<br />
operasi terdiri atas biaya-biaya pengolahan, biaya distribusi, biaya angkutan<br />
laut, biaya umum dan administrasi, biaya bunga dan biaya penyusutan.<br />
c) Harga Pemerintah<br />
Harga <strong>BBM</strong> berdasarkan ketetapan pemerintah adalah harga yang<br />
ditetapkan dan diberlakukan oleh pemerintah untuk konsumsi nasional.<br />
Pelaksanaan utama penetapan harga utama adalah Pertamina, pemerintah<br />
dan konsumen atau masyarakat. Jika harga yang ditetapkan oleh<br />
pemerintah ternyata lebih kecil dari HPP yang ditetapkan oleh<br />
PERTAMINA, maka pemerintah memberikan subsidi kepada<br />
PERTAMINA untuk menutupi harga tersebut.<br />
Penetapan harga <strong>BBM</strong> secara berkala menjaga agar harga <strong>BBM</strong> tetap<br />
dekat dengan harga riel yang berfungsi mendekatkan harga <strong>BBM</strong> nasional<br />
dengan harga <strong>BBM</strong> di pasar. Dalam perspektif jangka panjang fungsi itu<br />
dapat mengurangi secara bertahap subsidi <strong>BBM</strong> yang selama ini selalu<br />
dilakukan pemerintah. Konsep harga <strong>BBM</strong> berkala pada dasarnya sama<br />
dengan penetapan tarif listrik secara berkala. Jika dalam rentang waktu<br />
tertentu harus terjadi penyesuaian terhadap harga ril <strong>BBM</strong>, kenaikan harga<br />
dapat dihapuskan secara berkala (H<strong>BBM</strong>B).<br />
Sebagaimana diketahui bahwa <strong>BBM</strong> di Indonesia bersumber dari<br />
hasil pengolahan kilang dalam negeri, diimpor langsung dalam bentuk<br />
<strong>BBM</strong>, dan stok <strong>BBM</strong> di dalam negeri. Untuk menghasilkan <strong>BBM</strong>, kilangkilang<br />
minyak di Indonesia menggunakan input minyak mentah yang<br />
diimpor dari luar negeri, dan minyak mentah produksi dalam negeri.<br />
Elemen biaya penyediaan <strong>BBM</strong> di dalam negeri dengan<br />
memperhatikan mekanisme penyediaan tersebut adalah meliputi:<br />
(a) Biaya impor minyak mentah (crude oil)<br />
(b) Biaya pembelian minyak mentah produksi dalam negeri<br />
(c) Biaya impor <strong>BBM</strong><br />
(d) Biaya pengilangan (refining)<br />
(e) Biaya distribusi<br />
(f) Biaya tak langsung.<br />
Harga minyak dunia yang membumbung tinggi seperti belakangan<br />
ini akan meningkatkan biaya, khususnya untuk impor minyak mentah dan<br />
impor <strong>BBM</strong>. Karena harga jual <strong>BBM</strong> di pasar domestik harus mengikuti<br />
harga yang ditetapkan pemerintah, maka sebagai akibatnya subsidi <strong>BBM</strong><br />
akan meningkat.<br />
Contoh penetapan harga <strong>BBM</strong> yang bersubsidi yang dilakukan<br />
pemerintah yaitu misalkan haraga minak mentah di luar negeri harganya<br />
87
70 dollar AS per barrel, dengan kurs Rp. 9.500 per dollar AS, harga<br />
minyak mentah di luar negeri per barrel sebesar 70 x Rp. 9.500 = Rp.<br />
665.000. Per liternya dibagi 159 (satu barrel sama dengan 159 liter) yaitu<br />
Rp. 4182,3 atau dibulatkan menjadi Rp. 4.200. Ini harga minyak mentah di<br />
luar negeri. Kalau dijadikan bensin, ditambah dengan biaya penyedotan<br />
minyak mentah, pengilangan, dan biaya pengangkutan (transportasi) yang<br />
keseluruhannya berjumlah Rp. 1050 per liter, maka harga bensin di luar<br />
negeri Rp. 4.200 + Rp. 1050 = Rp. 5.250.<br />
Selisih harga bensin di luar negeri yang Rp. 5.250 per liter dengan<br />
harga bensin di Indonesia yang Rp. 4.500 per liter = Rp. 750 per liter ini<br />
disebut subsidi. Pemerintah merasa memberi subsidi karena tidak bisa<br />
menjual bensin dengan harga dunia, gara-gara adanya kewajiban<br />
memenuhi kebutuhan rakyatnya akan bensin premium dengan harga yang<br />
rendah.<br />
Dalam analisis ekonomi dianggap bahwa permintaan suatu barang<br />
terutama dipengaruhi oleh tingkat harganya. Oleh sebab itu, dalam teori<br />
permintaan yang terutama dianalisis adalah hubungan antara jumlah<br />
permintaan suatu barang dengan harga barang tersebut. Dalam analisis<br />
tersebut diasumsikan bahwa faktor-faktor lain tidak mengalami perubahan<br />
atau ceteris paribus.<br />
1. Penelitian Sebelumnya<br />
Syahputra (2008) dalam penelitiannya tentang Analisis <strong>Pengaruh</strong><br />
Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak Dan Jumlah Uang Beredar<br />
<strong>Terhadap</strong> Inflasi di Indonesia, menyatakan bahwa koefisien regresi untuk<br />
harga bahan bakar minyak (β1) adalah 6,805x10-2 artinya apabila terjadi<br />
kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 1 rupiah, maka akan<br />
menyebabkan meningkatnya laju inflasi sebesar 6,805x10-2 persen,<br />
dengan asumsi jumlah uang beredar dianggap konstan dan faktor-faktor<br />
lain juga tetap. Sesuai dengan uji hipotesis yang membuktikan bahwa<br />
harga bahan bakar minyak memiliki pengaruh positif terhadap inflasi di<br />
Indonesia.<br />
Handoko (2006), dalam penelitiannya tentang Dampak ekonomi<br />
pengurangan subsidi <strong>BBM</strong>, pengurangan subsidi <strong>BBM</strong> yang diikuti oleh<br />
kenaikan harga <strong>BBM</strong> ternyata menyebabkan menurunnya pertumbuhan<br />
ekonomi dan employment di samping itu juga menyebabkan<br />
meningkatnya inflasi. Dengan mekanisme penyaluran dana kompensasi<br />
yang lebih baik maka akan semakin banyak masyarakat miskin yang akan<br />
tertolong.<br />
Lestari (2004) melakukan penelitian tentang efektifitas<br />
kompensasi subsidi dan dampak penghapusan subsidi <strong>BBM</strong> di Indonesia<br />
menyebutkan bahwa konsekwensi logis dari dihapuskannya subsidi <strong>BBM</strong><br />
adalah meningkatnya harga <strong>BBM</strong> yang harus dibayar oleh masyarakat<br />
sehingga harga sudah merupakan harga pasar internasional. Dengan<br />
88
elokasi subsidi <strong>BBM</strong> pada program kompensasi, diharapkan pemberian<br />
subsidi akan mencapai tujuan dan efektifitas yang diinginkan, yaitu<br />
sebagai jaring pengaman masayarakat miskin.<br />
Handoko dan Susilo (2006) penelitiannya tentang dampak<br />
ekonomi pengurangan subsidi <strong>BBM</strong> yang menyimpulkan bahwa<br />
pengurangan subsidi <strong>BBM</strong> yang diikuti oleh kenaikan harga <strong>BBM</strong> ternyata<br />
menyebabkan menurunnnya pertumbuhan ekonomi dan employment, di<br />
samping itu itu juga menyebabkan meningkatnya inflasi. Berkaitan dengan<br />
program kompensasi <strong>BBM</strong>, maka perlu diupayakan agar penyaluran dana<br />
kompensasi lebih efektif.<br />
Kerangka Pemikiran<br />
Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat<br />
pada skema berikut :<br />
Demand <strong>BBM</strong><br />
Gambar 1. Skema pengaruh subsidi <strong>BBM</strong> terhadap permintaan <strong>BBM</strong><br />
Skema di atas menunjukkan bagaimana pengaruh dari subsidi Bahan<br />
Bakar Minyak (<strong>BBM</strong>) yang diberikan pemerintah terhadap permintaan <strong>BBM</strong><br />
dalam negeri oleh masyarakat pengguna <strong>BBM</strong>. Proses tersebut menggambarkan<br />
bahwa permintaan <strong>BBM</strong> masyarakat berpengaruh pada subsidi <strong>BBM</strong> yang akan<br />
diberikan pemerintah, selanjutnya subsidi yang diberikan pemerintah akhirnya<br />
akan berpengaruh pada harga <strong>BBM</strong> itu sendiri. Tidak seperti barang lain, tinggi<br />
rendahnya permintaan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya harga barang tersebut,<br />
karena <strong>BBM</strong> merupakan barang monopoli maka demand <strong>BBM</strong> yang terlebih<br />
dahulu mempengaruhi tinggi rendahnya subsidi secara tidak langsung kemudian<br />
mempengaruhi harga <strong>BBM</strong>.<br />
2. Model Analisis<br />
Untuk mengetahui pengaruh subsidi Bahan Bakar Minyak (<strong>BBM</strong>) terhadap<br />
konsumsi <strong>BBM</strong> dalam negeri di Indonesia, maka penulis menggunakan model dan<br />
peralatan dengan metode two stage least square yang menggunakan persamaan<br />
parsial dalam bentuk model persamaan linear, yaitu :<br />
1. P<strong>BBM</strong> DN = f (<strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong>)<br />
P<strong>BBM</strong> DN = β0 + β1 S<strong>BBM</strong> + e1<br />
2. D<strong>BBM</strong> = f (P<strong>BBM</strong>)<br />
<strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> Harga <strong>BBM</strong><br />
89
D<strong>BBM</strong> = C0 + C1 P<strong>BBM</strong> + e2<br />
diestimasi)<br />
Keterangan :<br />
D<strong>BBM</strong> = <strong>Permintaan</strong> <strong>BBM</strong> dalam negeri<br />
S<strong>BBM</strong> = <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong><br />
P<strong>BBM</strong> DN = Harga <strong>BBM</strong> dalam negeri (Setelah <strong>Subsidi</strong>)<br />
β0, C0 = Konstanta<br />
β1, C1 = Koefisien Regresi (Parameter yang akan<br />
ei = Error Term<br />
Berdasarkan model yang telah disusun maka variabel-variabel yang dilihat<br />
dalam penelitian ini dapat didefinisikan sebagai berikut :<br />
1. <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> (S<strong>BBM</strong>) adalah bayaran yang harus dilakukan oleh<br />
pemerintah pada PERTAMINA dalam simulasi dimana pendapatan<br />
yang diperoleh Pertamina dari tugas menyediakan <strong>BBM</strong> di tanah air<br />
adalah lebih rendah dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan<br />
(satuan rupiah).<br />
2. <strong>Permintaan</strong> Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri (D<strong>BBM</strong>) adalah<br />
banyaknya permintaan terhadap seluruh jenis bahan bakar minyak yang<br />
dilakukan pemerintah maupun seluruh masyarakat di Indonesia pada<br />
periode tertentu (barrel).<br />
3. Harga bahan bakar minyak dalam negeri (P<strong>BBM</strong>DN) adalah harga yang<br />
berlaku di pasar. Harga tersebut merupakan harga PERTAMINA yang<br />
dikurangi subsidi yang diberikan pemerintah.<br />
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan<br />
Tahun<br />
Tabel 2: Perkembangan Harga Bahan Bakar Minyak (<strong>BBM</strong>) di Indonesia<br />
Tahun 1995-2009<br />
Haraga<br />
Bensin(Rp/Liter)<br />
Harga<br />
Solar<br />
(Rp/Liter)<br />
Harga M.<br />
Tanah(Rp/liter)<br />
Harga Rata-rata<br />
<strong>BBM</strong>(Rp/liter)<br />
90
1995<br />
1996<br />
1997<br />
1998<br />
1999<br />
2000<br />
2001<br />
2002<br />
2003<br />
2004<br />
2005<br />
2006<br />
2007<br />
2008<br />
2009<br />
700<br />
700<br />
700<br />
1.200<br />
1.000<br />
1.150<br />
1.450<br />
1.750<br />
1.800<br />
2.400<br />
4.500<br />
4.500<br />
4.500<br />
6.000<br />
4.500<br />
380<br />
380<br />
380<br />
600<br />
550<br />
600<br />
900<br />
1.550<br />
1.650<br />
2.100<br />
4.300<br />
4.300<br />
4.300<br />
5.500<br />
4.500<br />
280<br />
280<br />
280<br />
350<br />
280<br />
350<br />
400<br />
600<br />
700<br />
700<br />
2.000<br />
2.000<br />
2.000<br />
2.500<br />
2.500<br />
453,33<br />
453,33<br />
453,33<br />
716,67<br />
610,00<br />
700,00<br />
916,67<br />
1.300,00<br />
1.383,33<br />
1.733,33<br />
3.600,00<br />
3.600,00<br />
3.600,00<br />
4.666,66<br />
3.833,33<br />
Sumber : Laporan Tahunan Departemen Pertambangan dan Energi, beberapa terbitan.<br />
Dalam hal pemberian subsidi <strong>BBM</strong>, bahan bakar yang dikenakan subsidi<br />
oleh pemerintah yaitu hanya bensin, solar dan minyak tanah (gasoline) saja,<br />
sedangkan bahan bakar lainnya (seperti avtur, avgas, dan minyak diesel) tidak<br />
terhitung dalam pemberian subsidi, jadi harganya adalah harga murni tanpa<br />
subsidi.<br />
Bila dilihat trend linear dari harga bahan bakar minyak dalam negeri<br />
(P<strong>BBM</strong> DN), grafiknya berbentuk positif. Artinya mengalami kenaikan, walaupun<br />
kenaikan tersebut tidak terjadi secara signifikan dan tidak terjadi kenaikan setiap<br />
tahun. Berikut ini adalah trend linear P<strong>BBM</strong> DN dari periode 1995-2009 :<br />
Gamba<br />
r2 :<br />
Perke<br />
mbang<br />
an<br />
Harga<br />
<strong>BBM</strong><br />
Dalam<br />
Negeri<br />
Tahun<br />
1995-<br />
2009<br />
91
Oleh karena harga minyak mentah dunia semakin tinggi dari tahun ke<br />
tahun, maka pemerintah harus mengeluarkan subsidi agar masyarakat tetap bisa<br />
menjangkau harga <strong>BBM</strong>. Akibatnya subsidi yang dikeluarkan pemerintah juga<br />
semakin tinggi, faktor utama yang menyebabkan terjadinya peningkatan subsidi<br />
<strong>BBM</strong> adalah karena meningkatnya konsumsi <strong>BBM</strong> di tanah air.<br />
Untuk melihat perkembangan harga minyak mentah dan subsidi <strong>BBM</strong> di<br />
Indonesia pada tahun 1992-2008 dapat di lihat pada tabel berikut ini Tabel 3.<br />
Tabel 3. Perkembangan Harga Minyak Mentah dan <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> Indonesia Tahun<br />
1995-2009<br />
Tahun Harga minyak dunia<br />
<strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong><br />
(US $ / barrel)<br />
(Milyar rupiah)<br />
1995<br />
17.00<br />
1.145,5<br />
1996<br />
20.81<br />
1.416,1<br />
1997<br />
19.30<br />
9.814,2<br />
1998<br />
15.99<br />
27.538<br />
1999<br />
21.78<br />
37.572,7<br />
2000<br />
32.84<br />
54.774,2<br />
2001<br />
25.96<br />
68.381<br />
2002<br />
26.17<br />
31.162<br />
2003<br />
28.76<br />
30.038<br />
2004<br />
41.68<br />
14.527<br />
2005<br />
54.81<br />
95.598,5<br />
2006<br />
66.09<br />
64.212<br />
2007<br />
72.23<br />
83.792,3<br />
2008<br />
99.92<br />
126.816<br />
2009<br />
61.50<br />
67.017<br />
Sumber : Departemen ESDM, Ditjen MIGAS,dan sumber lainnya<br />
Gambar 3 memperlihatkan trend linear harga minyak dunia yang positif,<br />
artinya dari waktu ke waktu harga minyak dunia terus meningkat dengan nilai<br />
koefisien trend sebesar 4,8 persen. Kenyataan menunjukkan bahwa harga minyak<br />
internasional sangat fluktuatif sehingga sangat sulit untuk memperkirakannya.<br />
Dalam kurun waktu 1995-2001, harga minyak mentah berada dalam kisaran<br />
US$12 - 24 per barrel.<br />
92
Gambar 3. : Perkembangan harga minyak dunia tahun 1995-2009<br />
Dari sudut pandang supply dan demand, naiknya impor minyak mentah<br />
Amerika Serikat untuk memperbaiki stok dalam negeri Amerika Serikat, dapat<br />
diterjemahkan sebagai peningkatan permintaan minyak mentah. Tingginya<br />
permintaan dibarengi dengan terbatasnya penawaran minyak mentah dunia akibat<br />
pemotongan produksi OPEC dan keputusan Irak untuk menunda ekspor minyak<br />
mentah mereka seharusnya dapat mendorong naiknya harga minyak mentah<br />
dunia.<br />
Selanjutnya bentuk trend linear dari subsidi <strong>BBM</strong> yang diberikan oleh<br />
pemerintah tahun 1995-2009 yaitu sebagai berikut :<br />
93
Gambar 4. Perkambangan subsidi <strong>BBM</strong> Indonesia tahun 1995-2009<br />
Pada Gambar 4 trend linear juga berbentuk positif, yaitu rata-rata<br />
kenaikan subsidi <strong>BBM</strong> sebesar 6,3 milyar rupiah (dari koefisien trend) setiap<br />
tahun dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2009. <strong>Subsidi</strong> memang sangat<br />
membantu masyarakat kurang mampu untuk menjangkau harga <strong>BBM</strong>. Tapi kalau<br />
dibiarkan terus menerus, subsidi yang diberikan oleh pemerintah akan<br />
menggerogoti keuangan negara dalam APBN. Akibat dari itu pada tahun 2002<br />
pemerintah mulai mengurangi nilai subsidi <strong>BBM</strong>, sehingga berdampak pada<br />
naiknya harga <strong>BBM</strong> dalam negeri.<br />
Sedangkan dari sisi produksi masyarakat (usaha kecil), dampak<br />
penghapusan subsidi <strong>BBM</strong> akan berpengaruh pada biaya produksi, baik berupa<br />
peningkatan biaya <strong>BBM</strong>, maupun secara tidak langsung berupa meningkatnya<br />
biaya transportasi. Karena <strong>BBM</strong> merupakan input penting bagi kegiatan industri<br />
dan usaha transportasi maka bila hal ini terjadi akan berdampak pada kondisi<br />
finansial usaha kecil yang tercermin dari profitabilitas usaha kecil dan usaha<br />
transportasi masyarakat.<br />
Perkembangan <strong>Permintaan</strong> <strong>BBM</strong> di Indonesia Selama Periode 1995-2009<br />
Ketergantungan konsumsi energi nasional yang sangat besar terhadap <strong>BBM</strong><br />
(sekitar 70 persen) merupakan akar penyakit subsidi <strong>BBM</strong>. Dibandingkan minyak<br />
bumi, gas bumi dan batubara adalah sumber daya energi yang banyak terkandung di<br />
Tanah Air. Potensi panas bumi Indonesia terbesar di dunia potensi energi terbarukan<br />
pun cukup besar. Pemanfaatan mereka sangat rendah. Diversifikasi energi secara<br />
konsisten mesti dilakukan untuk menurunkan ketergantungan konsumsi energi<br />
nasional terhadap <strong>BBM</strong>. Substitusi terhadap <strong>BBM</strong> perlu diupayakan di berbagai<br />
pemakaian, misalnya pembangkitan listrik. Pangsa penggunaan sumber-sumber<br />
energi non-<strong>BBM</strong> seperti gas bumi, batubara dan panas bumi (geothermal) mesti<br />
diperbesar, untuk mengurangi konsumsi <strong>BBM</strong> yang semakin tinggi di Indonesia.<br />
Konsumsi <strong>BBM</strong> tumbuh pesat di Tanah Air, mencapai sekitar 60 juta liter<br />
setahun. Peningkatan konsumsi <strong>BBM</strong> tidak diikuti produksi minyak mentah dalam<br />
negeri. Sebagian minyak mentah harus diimpor. Penambahan kapasitas kilang<br />
hampir tidak dilakukan. Sebagai akibatnya impor <strong>BBM</strong> meningkat. Peningkatan<br />
impor <strong>BBM</strong> dan minyak mentah melonjakkan biaya pengadaan dan subsidi <strong>BBM</strong>.<br />
Tabel 4 berikut ini;<br />
Tabel 4. Perkembangan <strong>Permintaan</strong> Bahan Bakar Minyak Indonesia<br />
Tahun 1995-2009<br />
Tahun <strong>Permintaan</strong> <strong>BBM</strong><br />
1995<br />
1996<br />
1997<br />
1998<br />
(Juta Barrel)<br />
299.300.000<br />
324.120.000<br />
351.495.000<br />
333.610.000<br />
94
1999<br />
2000<br />
2001<br />
2002<br />
2003<br />
2004<br />
2005<br />
2006<br />
2007<br />
2008<br />
2009<br />
Sumber : Departemen ESDM<br />
357.700.000<br />
383.995.995<br />
375.668.315<br />
358.806.832<br />
373.190.759<br />
375.494.636<br />
357.493.997<br />
349.845.435<br />
321.302.814<br />
444.205.000<br />
464.854.000<br />
Data permintaan <strong>BBM</strong> Indonesia tahun 1995-2009. ditunjukkan bahwa<br />
konsumsi <strong>BBM</strong> masyarakat Indonesia semakin tinggi setiap tahun. Dari tahun<br />
1995 yang hanya sebanyak 299,3 juta barrel naik menjadi 324,1 juta barrel pada<br />
tahun 1996, walaupun saat itu harga <strong>BBM</strong> dalam negeri masih berada pada harga<br />
tahun sebelumnya. Tahun 1998 permintaan <strong>BBM</strong> Indonesia mengalami penurunan<br />
dari 351,4 juta barrel pada tahun 1997 menjadi 333,6 juta barrel. Hal ini akibat<br />
dari naiknya harga rata-rata <strong>BBM</strong> dalam negeri, sehingga masyarakat terpaksa<br />
mengurangi konsumsi <strong>BBM</strong> mereka.<br />
<strong>Permintaan</strong> bahan bakar minyak dalam negeri berbanding terbalik dengan<br />
harga <strong>BBM</strong> dalam negeri. Artinya, penurunan permintaan <strong>BBM</strong> dalam negeri<br />
tidak terlepas dari kenaikan harga <strong>BBM</strong> dalam negeri, dan sebaliknya kenaikan<br />
permintaan <strong>BBM</strong> karena turun atau stabilnya harga <strong>BBM</strong> dalam negeri. Akan<br />
tetapi selain faktor harga, kenaikan permintaan <strong>BBM</strong> juga diakibatkan oleh<br />
beberapa faktor, antara lain :<br />
1. Bertambahnya penggunaan kendaraan bermotor baik roda 4, bis, truk maupun<br />
roda 2 setiap tahunnya. Sampai dengan saat ini jumlah kendaraan bermotor di<br />
seluruh Indonesia telah mencapai lebih dari 20 juta yang 60% adalah sepeda<br />
motor sedangkan pertumbuhan populasi untuk mobil sekitar 3-4% dan sepeda<br />
motor lebih dari 4% per tahun (data dari Departemen Perhubungan). Menurut<br />
data tersebut pertumbuhan pasar penjualan kendaraan baru untuk roda 4 naik<br />
hampir 25 % pada tahun 2003. Sedangkan pertumbuhan pasar penjualan<br />
sepeda motor naik hampir 35 % pada tahun 2003.<br />
2. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang tinggi, sebagai akibat dari<br />
penngunaan <strong>BBM</strong> (seperti minyak tanah) yang semakin tinggi pula.<br />
3. Penambahan mesin-mesin industri bagi pihak perusahaan (terutama pihak<br />
swasta).<br />
4. Energi pembangkit listrik yang baru dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).<br />
5. Dan faktor-faktor lainnya seperti terjadi penyalahgunaan <strong>BBM</strong> pada sektor<br />
industri dan pertambangan.<br />
95
Berikut ini trend linear dari permintaan <strong>BBM</strong> Indonesia dari tahun 1995 sampai<br />
dengan tahun 2009.<br />
Gambar 5 : Perkembangan permintaan <strong>BBM</strong> Indonesia<br />
Trend linear yang terlihat pada Gambar 5 menunjukkan perkembangan<br />
demand <strong>BBM</strong> di Indonesia berbentuk positif. Di mana kenaikan rata-ratanya<br />
sebesar 6.3 juta barrel per tahun (dari Koefisien Trend). Kenaikan tersebut<br />
dikarenakan <strong>BBM</strong> merupakan barang monopoli, yaitu tidak ada barang pengganti<br />
yang mirip dengannya, walaupun harganya tinggi konsumsinya tetap pada<br />
keadaan stabil, bahkan naik.<br />
Hasil Estimasi <strong>Pengaruh</strong> <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> <strong>Terhadap</strong> <strong>Permintaan</strong> <strong>BBM</strong> Dalam Negeri<br />
Indonesia.<br />
Untuk mengetahui hubungan antara subsidi <strong>BBM</strong> terhadap permintaan <strong>BBM</strong><br />
dalam negeri Indonesia, digunakan model 2SLS (Two Stage Least Squaresl)<br />
dengan menggunakan program Aevious. Tahap pertama yaitu menentukan lagnya,<br />
dari hasil data yang diolah maka lag yang diperoleh yaitu P = 4, di mana hasil<br />
tersebut diperoleh menurut syarat yang memenuhi yaitu yang terkecil yang dipilih<br />
menurut Akaike, dan hasilnya terlihat dalam Tabel 5 sebagai berikut:<br />
96
Tabel 5. Hasil Estimasi <strong>Pengaruh</strong> <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> <strong>Terhadap</strong> <strong>Permintaan</strong> <strong>BBM</strong><br />
Dalam Negeri Indonesia Tahun 1995-2009<br />
Variabel Koefisien Standar T hitung Probability<br />
Estimasi Error<br />
Konstanta -156048,8 361165,7 -0,43207 0,6734<br />
<strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> 5,080820 1,255916 4,045508 0,0016<br />
Demand <strong>BBM</strong><br />
R<br />
0,000579 0,001064 0,544028 0,5964<br />
2 = 0,692828<br />
Adj R 2 = 0,641633 F tabel = 4,67<br />
F hitung = 13,53306<br />
T tabel = 1,7709<br />
Sumber : Hasil Penelitian, 2010<br />
1. Konstanta sebesar -156048,8 menunjukkan bahwa harga <strong>BBM</strong> dalam negeri<br />
Indonesia adalah sebesar -156048,8 rupiah pada saat subsidi <strong>BBM</strong> dianggap<br />
konstan.<br />
2. Koefisien variabel subsidi <strong>BBM</strong> adalah 5,080820. Artinya adalah apabila<br />
terjadi peningkatan subsidi <strong>BBM</strong> sebesar Rp. 1 Milyar, maka akan<br />
menurunkan harga <strong>BBM</strong>, sehingga permintaan <strong>BBM</strong> naik sebesar 5,080820<br />
per barrel, dengan asumsi variabel lain dianggap tetap (Besaran <strong>Subsidi</strong><br />
mempengaruhi <strong>Permintaan</strong> <strong>BBM</strong> secara positif). Artinya <strong>Subsidi</strong> (+) <br />
Harga <strong>BBM</strong> (-) <strong>Permintaan</strong> (+). Koeffisien tersebut sangat signifikan dan<br />
didukung oleh teori dan kenyataan.<br />
3. Koeffisien <strong>Permintaan</strong> <strong>BBM</strong> tidak siknifikan terhadap harga <strong>BBM</strong><br />
(seharusnya koefisiennya negatif) kenyataan data tidak mendukung.<br />
Kemungkinan lain penyebabnya adalah <strong>Permintaan</strong> <strong>BBM</strong> memang tidak<br />
mempengaruhi harga <strong>BBM</strong> karena asumsi <strong>BBM</strong> tidak ada barang pengganti,<br />
meskipun mahal sekelompok orang akan beli. <strong>Permintaan</strong> <strong>BBM</strong> banyak<br />
dipengaruhi oleh variabel lain seperti, meningkatnya jumlah pemilik<br />
kendaraan bermotor, bertambahnya jumlah penduduk dan lainnya seperti<br />
yang dikemukakan di atas.<br />
4. Perhitungan Adjusted R2 adalah 0,641633. Koefisien determinasi yang<br />
disempurnakan menunjukkan angka yang lebih rendah dari R2, artinya adalah<br />
bahwa derajat hubungan antara variabel bebas (subsidi <strong>BBM</strong>) dengan variabel<br />
terikat (permintaan <strong>BBM</strong> dalam negeri) adalah 64,1 persen. Sedangkan<br />
sisanya sebesar 35,9 persen berhubungan dengan faktor-faktor lain di luar<br />
penelitian ini.<br />
5. Pengujian hipotesis dengan uji –t, menunjukkan bahwa variabel subsidi <strong>BBM</strong><br />
yang diberikan pemerintah memiliki pengaruh positif terhadap permintaan<br />
<strong>BBM</strong> di Indonesia selama periode 1995-2009 yang diperoleh dengan<br />
keyakinan sebesar 95 persen, hal ini didasarkan pada perolehan t-hitung<br />
4,045508 > t-tabel 1,7709. Dengan kata lain subsidi <strong>BBM</strong> berpengaruh positif<br />
terhadap permintaan <strong>BBM</strong> dalam negeri Indonesia, yang juga akan<br />
berdampak kepada harga <strong>BBM</strong> (sesuai dengan hipotesis).<br />
97
6. Untuk menguji pengaruh subsidi <strong>BBM</strong> terhadap permintaan <strong>BBM</strong> Indonesia<br />
dapat juga dilakukan dengan uji F (analisa varian) dengan F-hit dan F-tabel.<br />
Dari hasil perhitungan dengan membandingkan F-hitung dan F-tabel.<br />
diperoleh bahwa nilai F-hit = 13,533 > F-Tab = 4,67. Ini berarti bahwa<br />
subsidi <strong>BBM</strong> yang diberikan pemerintah berpengaruh secara signifikan<br />
terhadap permintaan <strong>BBM</strong> dalam negeri Indonesia selama periode 1995-<br />
2009.<br />
7. Kesimpulan dan Saran<br />
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji pengaruh subsidi <strong>BBM</strong> terhadap<br />
permintaan <strong>BBM</strong> di Indonesia pada tahun 1995 sampai 2009 dengan<br />
menggunakan Pendekatan 2SLS (Two Stage Least Squaresl), dari hasil<br />
analisis data yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :<br />
1. Karena <strong>BBM</strong> merupakan bahan kebutuhan utama masyarakat, maka<br />
walaupun harganya naik permintaan terhadap <strong>BBM</strong> tetap pada keadaan<br />
stabil bahkan meningkat. Akibatnya bagi masyarakat yang berpenghasilan<br />
tetap pendapatan riil mereka akan turun, sehingga mereka harus<br />
mengurangi konsumsi barang lain.<br />
2. <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> yang dikeluarkan oleh pemerintah selama ini tidak tepat<br />
sasaran, subsidi <strong>BBM</strong> lebih banyak digunakan masyarakat menengah<br />
keatas.<br />
3. <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> berpengaruh positif terhadap permintaan <strong>BBM</strong> dalam negeri<br />
Indonesia. Di mana koefisien variabel subsidi <strong>BBM</strong> adalah 5.080820 yang<br />
menunjukkan bahwa variabel subsidi <strong>BBM</strong> mempunyai pengaruh positif<br />
(5.080820) terhadap permintaan <strong>BBM</strong> di Indonesia.<br />
4. <strong>Pengaruh</strong> subsidi <strong>BBM</strong> terhadap permintaan <strong>BBM</strong> dalam negeri adalah<br />
69,2 persen, di mana R2 (koefisien determinasi) sebesar 0.692828. Artinya<br />
adalah bahwa sebesar 69,2 persen perubahan tingkat permintaan <strong>BBM</strong><br />
Indonesia dapat dijelaskan oleh subsidi <strong>BBM</strong>, sedangkan sisanya sebesar<br />
30,8 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model penelitian ini.<br />
5. <strong>Pengaruh</strong> harga <strong>BBM</strong> dalam negeri tidak signifikan terhadap permintaan<br />
<strong>BBM</strong> dalam negeri.<br />
6. Persamaan dalam model sangat sesuai dengan hipotesis dan landasan<br />
teoritis.<br />
Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran yang bisa penulis kemukakan<br />
adalah sebagai berikut :<br />
1. Perlu pengkajian ulang terhadap pemberian subsidi <strong>BBM</strong> yang dilakukan<br />
pemerintah agar tidak membebani APBN. Karena subsidi selama ini lebih<br />
banyak dirasakan oleh masyarakat kelas atas.<br />
2. Karena <strong>BBM</strong> merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, maka<br />
dalam hal penetapan harga <strong>BBM</strong> diharapkan pemerintah lebih berfikir secara<br />
rasional agar tidak membebani masyarakat miskin. Kenaikan harga <strong>BBM</strong><br />
juga akan berdampak kepada semakin tingginya biaya produksi yang<br />
berpengaruh pada inflasi dan kenaikan biaya angkutan (transportasi).<br />
98
3. Pemerintah perlu merekomendasi ulang terkait pemberian subsidi <strong>BBM</strong> agar<br />
lebih dirasakan oleh masyarakat miskin yang berhak.<br />
4. Sebaiknya sudah saatnya pemerintah mengurangi subsidi <strong>BBM</strong>, terutama<br />
Bensin Khusus untuk kendaraan pribadi, dan mencari cara-cara yang relevan<br />
untuk memberi subsidi pada kendaraan umum.<br />
5. Dengan mengurangi subsidi tertentu, tentu saja berdampak pada penghematan<br />
konsumsi <strong>BBM</strong>, penggunaan sarana publik akan meningkat dan mengurangi<br />
kemacetan di jalan raya.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Badan Pusat Statistik Propinsi. (2001). Statistik Indonesia. Banda <strong>Aceh</strong>.<br />
Badan Pusat Statistik Propinsi. (2009). Statistik Indonesia beberapa terbitan.<br />
Banda<strong>Aceh</strong><br />
Basri, Faisal. (2002). Perekonomian Indonesia : Tantangan dan Harapan Bagi<br />
Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Erlangga. Jakarta.<br />
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM). (2009). Beberapa<br />
terbitan. Diakses dari www.ESDM.com.<br />
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen MIGAS). (2009). Beberapa<br />
terbitan. Diakses dari www.DitjenMIGAS.com.<br />
Gie, Kwik Kian. (2004). Apakah <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> Sama Dengan Uang Keluar. Jurnal<br />
Bisnis Indonesia, 22 November 2004.<br />
Handoko dan Patriadi. (2005). Evaluasi Kebijakan <strong>Subsidi</strong> Non<strong>BBM</strong>, Kajian<br />
Ekonomi dan Keuangan, Vol. 9 No.4 Desember 2005, hal.42 – 64.<br />
Handoko, Budiono Sri dan Sri Susilo, Y. (2006). Dampak Ekonomi pengurangan<br />
<strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong>. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, Vol.7, No.1, Yogyakarta.<br />
Hartanto, T (2005). <strong>BBM</strong>, Kebijakan Energi, <strong>Subsidi</strong>, dan Kemiskinan di<br />
Indonesia. Paper, diakses dari http://io.ppi-jepang.org/artikle/php?id=102.<br />
Isdijoso, Brahmantio. (2002). Studi Dampak Penghapusan <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> <strong>Terhadap</strong><br />
Perekonomian, Efisiensi dan Peluang Usaha Bagi Pertamina, Jurnal, diakses dari<br />
: http://verdenvenn.co.cc/dampak-hapusnya-subsidi-bbm/<br />
Kompas. (2005). <strong>BBM</strong>, Antara Hajat Hidup dan Lahan Korupsi. PT. Kompas<br />
Media Nusantara. Jakarta.<br />
Lestari, Esta. (2004). Efektifitas Kompensasi <strong>Subsidi</strong> dan Dampak Penghapusan<br />
<strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong> di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan (JEP), XII (1).<br />
Jakarta.<br />
Muin, Syamsir A. (1998). Pesawat-Pesawat Konveksi Energi I (Ketel Uap).<br />
Rajawali Pers. Jakarta.<br />
Nicholson, Walter. (2000). Makroekonomi Intermediate dan Aplikasinya, edisi<br />
kedelapan. Erlangga. Jakarta.<br />
Nugroho, Hanan.(2005). Apakah Persoalannya Pada <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong>? Tinjauan<br />
<strong>Terhadap</strong> Masalah <strong>Subsidi</strong> <strong>BBM</strong>, Ketergantungan Pada Minyak Bumi,Manajemen<br />
Energi Nasional, dan Pembangunan Infrastruktur Energi. Jurnal.<br />
99
Pusat Penelitian Ekonomi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E – LIPI).<br />
(2004). Jurnal Ekonomi dan Pembangunan XII (2). Jakarta<br />
Rahardja, P dan M, Manurung (2004). Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi<br />
& Makroekonomi), Edisi Revisi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.<br />
Jakarta.<br />
Sri Susilo, Y. (1999). Konsekuensi Ekonomi pengurangan subsidi <strong>BBM</strong> :<br />
pendekatan Model Keseimbangan Umum Terapan. Tesis Program Pascasarjana<br />
UGM. Yogyakarta.<br />
_____________ (2002a). Konsekuensi Ekonomi pengurangan subsidi <strong>BBM</strong> dan<br />
Tarif Dasar Listrik. Jurnal Riset Akuntansi, Manajemen , dan Ekonomi, Vol.2<br />
No.2 Agustus 2002, Hal 279 - 298.<br />
______________(2002b). Dampak Kenaikan Harga <strong>BBM</strong> dan Tarif dasar Listrik<br />
<strong>Terhadap</strong> Kinerja Ekonomi Makro. Wahana, Vol 5, No. 2 Agustus 2002, Hal 149<br />
– 164.<br />
______________(2004). <strong>Subsidi</strong> Bahan Bakar Minyak (<strong>BBM</strong>) dan Tarif Dasar<br />
Listrik (TDL): Tinjauan Literatur. Ekonomi Bisnis, Vol. 9 No. 3 Desember 2004,<br />
hal. 739 – 753.<br />
Sukirno, Sadono (2006). Ekonomi Pembangunan, Edisi Kedua, BPFE, Erlangga.<br />
Jakarta.<br />
Suparmoko, M. (2003). Keuangan Negara; Dalam Teori dan Praktek. Badan<br />
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.<br />
Supranto, J. (2001). Statistik : Teori dan Aplikasi, edisi keenam. Erlangga. Jakarta.<br />
Syahrial (2005). <strong>Pengaruh</strong> Perkembangan Harga <strong>BBM</strong> <strong>Terhadap</strong> Tinggkat Inflasi<br />
Di Indonesia. Skripsi (tidak dipublikasikan) Fakultas Ekonomi, Unsyiah.<br />
Darussalam.<br />
________ (2005). Matematika Untuk Ekonomi dan Bisnis. Ghalia Indonesia.<br />
Bogor.<br />
Syahputra, Heru. (2008). Analisis <strong>Pengaruh</strong> Kenaikan Harga Bahan Bakar<br />
Minyak dan Jumlah Uang Beredar <strong>Terhadap</strong> Inflasi di Indonesia, skripsi (tidak<br />
dipublikasikan) Fakultas Ekonomi Unsyiah, Banda<strong>Aceh</strong>.<br />
Tri Basuki, A, (2003). Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan <strong>BBM</strong> <strong>Terhadap</strong><br />
Fungsi Inflasi di Indonesia tahun 1991 – 2002. Jurnal Ekonomi dan Studi<br />
Pembangunan, Vol. 4, No. 1, Juli-Oktober 2003, Hal 1 – 3.<br />
Wiranta, Sukarna. (2004). Krisis Anggaran Serta Dampaknya <strong>Terhadap</strong> Kenaikan<br />
Harga Minyak dan Utang Luar Negeri Indonesia. Jurnal Ekonomi dan<br />
Pembangunan (JEP), XII (2). Jakarta.<br />
100