Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Sudaryatno Sudirham<br />
<strong>Analisis</strong><br />
<strong>Rangkaian</strong> Listrik<br />
Jilid 3<br />
darpublic
<strong>Analisis</strong><br />
<strong>Rangkaian</strong> Listrik<br />
Jilid 3<br />
(<strong>Rangkaian</strong> Magnetik, Transformator, Mesin<br />
Sinkron, Mesin Asinkron, <strong>Analisis</strong> Harmonisa)<br />
oleh<br />
Sudaryatno Sudirham
Hak cipta pada penulis, 2010<br />
SUDIRHAM, SUDARYATNO<br />
<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)<br />
Bandung<br />
are-0710<br />
e-mail: darpublic@yahoo.com<br />
Alamat pos: Kanayakan D-30, Komp ITB, Bandung, 40135.
Pengantar<br />
Buku ini adalah jilid ke-tiga dari satu seri pembahasan analisis<br />
rangkaian listrik. Penataan ulang serta penambahan materi bahasan<br />
penulis lakukan terhadap buku yang diterbitkan tahun 2002. Dalam<br />
buku ini pembaca diperkenalkan pada teknik konversi energi, serta<br />
persoalan harmonisa dalam sistem tenaga.<br />
Dalam bab pertama diperkenalkan rangkaian magnetik yang<br />
merupakan landasan dikembangkannya mesin-mesin konversi<br />
energi. Tiga bab berikutnya membahas transformator, mesin sinkron,<br />
dan mesin asinkron. Lima bab berikutnya berisi analisis harmonisa,<br />
diawali dengan pembahasan sinyal non sinus di kawasan waktu,<br />
dilanjutkan dengan tinjauan di kawasan fasor, pembebanan non<br />
linier, dampak harmonisa pada piranti, dan diakhiri dengan<br />
pembahasan harmonisa pada sistem tiga fasa.<br />
Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan<br />
usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya,<br />
sangat penulis harapkan.<br />
Bandung, 26 Juli 2010<br />
Wassalam,<br />
Penulis.<br />
iii
A. Schopenhauer, 1788 – 1860<br />
Dari Mini-Encyclopédie<br />
France Loisirs<br />
ISBN 2-7242-1551-6<br />
iv
Kata Pengantar<br />
Daftar Isi<br />
Daftar Isi<br />
Bab 1: <strong>Rangkaian</strong> Magnetik 1<br />
Hukum-Hukum. Perhitungan Pada <strong>Rangkaian</strong> Magnetik.<br />
Rugi-Rugi Dalam <strong>Rangkaian</strong> Magnetik. Gaya Magnetik.<br />
Induktor<br />
Bab 2: Tansformator 29<br />
Transformator Satu Fasa. Teori Operasi Transformator.<br />
Diagram Fasor. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Impedansi Masukan.<br />
Penentuan Parameter Transformator. Efisiensi dan Regulasi<br />
Tegangan. Konstruksi Transformator. Transformator Pada<br />
Sistem Tiga Fasa<br />
Bab 3: Mesin Sinkron 53<br />
Mesin Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor Silindris<br />
Bab 4: Motor Asinkron 69<br />
Konstruksi Dan Cara Kerja. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Penentuan<br />
Parameter <strong>Rangkaian</strong>. Torka.<br />
Bab 5: Sinyal on Sinus 89<br />
Pendekatan Numerik Sinyal Nonsinus. Elemen Linier<br />
Dengan Sinyal Nonsinus. Nilai Rata-Rata Dan Nilai Efektif<br />
Sinyal Nonsinus. Daya Pada Sinyal Nonsinus. Resonansi.<br />
Bab 6: Pembebanan on Linier 111<br />
Tinjauan Di Sisi Beban. Tinjauan Di Sisi Sumber. Contoh<br />
Kasus: Penyearah Setengah Gelombang. Perambatan<br />
Harmonisa. Ukuran Distorsi Harmonisa.<br />
Bab 7: Tinjauan Di Kawasan Fasor 129<br />
Pernyataan Sinyal Nonsinus Dalam Fasor. Impedansi. Nilai<br />
Efektif. Sumber Tegangan Sinusiodal Dengan Beban<br />
Nonlinier. Teorema Tellegen. Transfer Daya. Kompensasi<br />
Daya Reaktif.<br />
iii<br />
v<br />
v
Bab 8: Dampak Harmonisa Pada Piranti 161<br />
Konduktor. Kapasitor. Induktor. Transformator. Tegangan<br />
Maksimum Pada Piranti. Partial Discharge. Alat Ukur<br />
Elektromekanik. Resume.<br />
Bab 9: Harmonisa Pada Sistem Tiga Fasa 189<br />
Komponen Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa. Relasi<br />
Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-Netral. Hubungan Sumber<br />
Dan Beban. Sumber Bekerja Paralel. Penyaluran Energi ke<br />
Beban. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Untuk <strong>Analisis</strong>.<br />
Daftar Referensi 199<br />
Indeks 201<br />
Biodata 202<br />
vi
BAB 1<br />
<strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />
<strong>Rangkaian</strong> magnetik merupakan basis dari sebagian terbesar peralatan<br />
listrik di industri maupun rumah tangga. Motor dan generator dari yang<br />
bekemampuan kecil sampai sangat besar, berbasis pada medan magnetik<br />
yang memungkinkan terjadinya konversi energi listrik. Di bab ini kita<br />
akan melihat hukum-hukum dasar, perhitungan dalam rangkaian<br />
magnetik, rugi-rugi dan gaya magnetik, induktor dan induktansi bersama.<br />
Seperti halnya analisis rangkaian listrik yang dilandasi oleh beberapa<br />
hukum saja, yaitu hukum Ohm dan Hukum Kirchhoff, analisis rangkaian<br />
magnetik juga dilandasi oleh hanya beberapa hukum saja, yaitu hukum<br />
Faraday dan hukum Ampère. Pembahasan kita akan diawali oleh kedua<br />
hukum tersebut dan setelah itu kita akan melihat rangkaian magnetik,<br />
yang sudah barang tentu melibatkan material magnetik. Walaupun<br />
demikian, di bab ini kita tidak akan membahas mengenai material<br />
magnetik itu sendiri, melainkan hanya akan melihat pada hal-hal yang<br />
kita perlukan dalam kaitannya dengan analisis rangkaian magnetik. Kita<br />
juga hanya akan melibatkan beberapa jenis material saja yang telah sejak<br />
lama digunakan walaupun material jenis baru telah dikembangkan.<br />
Setelah mempelajari bab ini kita akan:<br />
• memahami hukum-hukum yang mendasari analisis rangkaian<br />
magnetik;<br />
• mampu melakukan perhitungan pada rangkaian magnetik;<br />
• memahami dan mampu menghitung rugi-rugi dalam rangkaian<br />
magnetik;<br />
• memahami dan mampu melakukan perhitungan-perhitungan<br />
pada induktor.<br />
1.1. Hukum-Hukum<br />
Hukum Faraday. Pada 1831 Faraday (1791-1867) menunjukkan bahwa<br />
gejala listrik dapat dibangkitkan dari magnet. Dari kumpulan catatan<br />
hasil percobaan yang dilakukan oleh Faraday, suatu formulasi matematis<br />
telah diturunkan untuk menyatakan hukum Faraday, yaitu :<br />
1
dλ<br />
e = −<br />
(1.1)<br />
dt<br />
dengan e menunjukkan tegangan induksi [volt] pada suatu kumparan,<br />
dan λ adalah fluksi lingkup yang dicakup oleh kumparan. Jika kumparan<br />
mempunyai lilitan dan setiap lilitan mencakup fluksi magnit sebesar φ<br />
[weber], maka fluksi lingkup adalah λ = φ [weber-lilitan] dan (1.1)<br />
menjadi<br />
dφ<br />
e = −<br />
(1.2)<br />
dt<br />
Tanda negatif pada (1.1) diberikan oleh Emil Lenz, yang setelah<br />
melanjutkan percobaan Faraday menunjukkan bahwa arah arus induksi<br />
selalu sedemikian rupa sehingga terjadi perlawanan terhadap aksi yang<br />
menimbulkannya. Reaksi demikian ini disebut hukum Lenz.<br />
Hukum Ampère. André Marie Ampère (1775 – 1836), melakukan<br />
percobaan yang terkenal dalam kaitan kemagnitan, yaitu mengenai<br />
timbulnya gaya mekanis antara dua kawat paralel yang dialiri arus listrik.<br />
Besar gaya F dinyatakan secara matematis sebagai<br />
µ l<br />
F = I 1 I 2<br />
(1.3)<br />
2π<br />
r<br />
dengan I 1 dan I 2 adalah arus di masing-masing konduktor, l adalah<br />
panjang konduktor, dan r menunjukkan jarak antara sumbu kedua<br />
konduktor dan besaran µ merupakan besaran yang ditentukan oleh<br />
medium dimana kedua kawat tersebut berada.<br />
Arus I 2 dapat dipandang sebagai pembangkit suatu besaran medan magnit<br />
di sekeliling kawat yang dialirinya, yang besarnya adalah<br />
µ I 2<br />
B = (1.4)<br />
2 π r<br />
Hasil ini juga diamati oleh dua peneliti Perancis yaitu J.B. Biot dan F.<br />
Savart. Dengan (1.4), maka (1.3) menjadi lebih sederhana yaitu<br />
F = BlI 1<br />
(1.5)<br />
Persamaan (1.5) ini berlaku jika kedua kawat adalah sebidang. Jika kawat<br />
ke-dua membentuk sudut θ dengan kawat pertama maka (1.5) menjadi<br />
2 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Secara umum (1.6) dapat ditulis<br />
F = BlI 1 sin θ<br />
(1.6)<br />
F = K B B I f (θ)<br />
(1.7)<br />
dengan f(θ) adalah suatu fungsi sudut antara medan B dan arus I , dan K B<br />
adalah suatu konstanta untuk memperhitungkan berbagai faktor, seperti<br />
misalnya panjang kawat. Besaran B mempunyai satuan [weber/meter 2 ];<br />
hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.<br />
Menurut (1.5), satuan B adalah :<br />
[ newton]<br />
[ B]<br />
=<br />
[ amp]<br />
× [ meter]<br />
sedangkan<br />
sehingga<br />
energi [ watt].[detik]<br />
[ volt][<br />
amp][detik]<br />
[ newton ] = =<br />
=<br />
panjang [ meter]<br />
[ meter]<br />
[ volt][amp][detik]<br />
[ volt][detik]<br />
[ weber]<br />
[ B ] = =<br />
= .<br />
2<br />
2<br />
2<br />
[ amp][<br />
meter ] [ meter ] [ meter ]<br />
Jadi B menunjukkan kerapatan fluksi magnetik dengan satuan [weber/m 2 ]<br />
atau [tesla]. Arah B ditentukan sesuai dengan kaidah tangan kanan yang<br />
menyatakan bahwa : jika kawat yang dialiri arus digenggam dengan<br />
tangan kanan dengan ibujari mengarah sejajar aliran arus maka arah B<br />
adalah sesuai dengan arah penunjukan jari-jari yang menggenggam<br />
kawat tersebut.<br />
Permeabilitas. Dalam persamaan (1.3), µ mewakili sifat medium<br />
tempat kedua konduktor berada; besaran ini disebut permeabilitas. Untuk<br />
ruang hampa, permeabilitas ini adalah<br />
dengan satuan<br />
[<br />
]<br />
[ meter]<br />
−7<br />
µ 0 = 4π × 10<br />
(1.8)<br />
henry . Hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.<br />
]<br />
[ newton]<br />
[ volt][<br />
amp][detik]<br />
[ volt][detik]<br />
[ henry]<br />
[ µ 0]<br />
= =<br />
=<br />
=<br />
2<br />
2<br />
[ amp ] [ amp ][ meter]<br />
[ amp][<br />
meter]<br />
[ meter<br />
[ volt][detik]<br />
karena = [ henry]<br />
yaitu satuan induktansi.<br />
[ amp]<br />
3
Dalam hal mediumnya bukan vakum maka permeabilitasnya dinyatakan<br />
sebagai<br />
µ = µ r × µ 0<br />
(1.9)<br />
dengan µ r adalah permeabilitas relatif, yang merupakan perbandingan<br />
antara permeabilitas medium terhadap vakum.<br />
Intensitas Medan Magnet. Dalam perhitungan-perhitungan rangkaian<br />
magnetik, akan lebih mudah jika kita bekerja dengan besaran magnetik<br />
yang tidak tergantung dari medium. Hal ini terutama kita temui pada<br />
mesin-mesin listrik dimana fluksi magnetik menembus berbagai macam<br />
medium. Oleh karena itu didefinisikan besaran yang disebut intensitas<br />
medan magnetik , yaitu<br />
H ≡ B<br />
(1.10)<br />
µ<br />
dengan satuan<br />
[ newton]/[<br />
amp][<br />
meter]<br />
[ amp]<br />
[ H ] = = .<br />
2<br />
[ newton]/[<br />
amp ] [ meter]<br />
Dengan pendefinisian ini, H merupakan besaran yang tidak tergantung<br />
dari medium. Secara umum satuan H adalah [lilitan amper]/[meter] dan<br />
bukan [amp]/[meter] agar tercakup pembangkitan medan magnit oleh<br />
belitan yang terdiri dari banyak lilitan.<br />
Hukum <strong>Rangkaian</strong> Magnetik Ampère . Hukum rangkaian magnetik<br />
Ampère menyatakan bahwa integral garis tertutup dari intensitas medan<br />
magnit sama dengan jumlah arus (ampere turns) yang<br />
membangkitkannya. Hukum ini dapat dituliskan sebagai<br />
∫<br />
Hdl = F m<br />
(1.11)<br />
F m dipandang sebagai besaran pembangkit medan magnit dan disebut<br />
magnetomotive force yang disingkat mmf. Besaran ini sama dengan<br />
jumlah ampere-turn yang dilingkupi oleh garis fluksi magnit yang<br />
tertutup.<br />
Dari relasi di atas, diturunkan relasi-relasi yang sangat bermanfaat untuk<br />
perhitungan rangkaian magnetik. Jika panjang total dari garis fluksi<br />
magnit adalah L, maka total F m yang diperlukan untuk membangkitkan<br />
fluksi tersebut adalah<br />
4 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
B<br />
F m = H L = L<br />
(1.12)<br />
µ<br />
Apabila kerapatan fluksi adalah B dan fluksi menembus bidang yang<br />
luasnya A , maka fluksi magnetnya adalah<br />
φ = BA<br />
(1.13)<br />
dan jika (1.13) dimasukkan ke (1.12) akan diperoleh<br />
⎛ L ⎞<br />
F m = H L = φ⎜<br />
⎟<br />
(1.14)<br />
⎝ µ A ⎠<br />
Apa yang berada dalam tanda kurung pada (1.14) ini sangat menarik,<br />
karena sangat mirip dengan formula resistansi dalam rangkaian listrik.<br />
Persamaan (1.14) ini dapat kita tuliskan<br />
⎛ µ A ⎞ Fm<br />
φ = ⎜ ⎟ Fm<br />
=<br />
⎝ L ⎠ R<br />
(1.15)<br />
Pada (1.15) ini, F m merupakan besaran yang menyebabkan timbulnya<br />
fluksi magnit φ. Besar fluksi ini dibatasi oleh suatu besaran R yang kita<br />
sebut reluktansi dari rangkaian magnetik, dengan hubungan<br />
R =<br />
L (1.16)<br />
µA<br />
Persamaan (1.15) sering disebut sebagai hukum Ohm untuk rangkaian<br />
magnetik. Namun kita tetap harus ingat bahwa penurunan relasi ini<br />
dilakukan dengan pembatasan bahwa B adalah kostan dan A tertentu.<br />
Satuan dari reluktansi tidak diberi nama khusus.<br />
1.2. Perhitungan Pada <strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />
Perhitungan-perhitungan pada rangkaian magnetik pada umumnya<br />
melibatkan material ferromagnetik. Perhitungan ditujukan pada dua<br />
kelompok permasalahan, yaitu mencari mmf jika fluksi ditentukan<br />
(permasalahan ini kita jumpai pada perancangan) mencari fluksi φ apabila<br />
geometri dari rangkaian magnetik serta mmf diketahui (permasalahan ini<br />
kita jumpai dalam analisis, misalnya jika kita harus mengetahui fluksi<br />
gabungan dari suatu rangkaian magnetik yang dikendalikan oleh lebih<br />
dari satu belitan). Berikut ini kita akan melihat perhitungan-perhitungan<br />
rangkaian magnetik melalui beberapa contoh.<br />
5
COTOH 1.1 : Suatu toroid terdiri dari dua macam material<br />
ferromagnetik dengan belitan pembangkit medan magnetik yang<br />
terdiri dari 100 lilitan, seperti terlihat pada gambar di samping ini.<br />
Material a adalah besi nikel<br />
(nickel iron) dengan panjang<br />
+<br />
−<br />
E<br />
R<br />
L a<br />
rata-rata L a = 0,4 m. Material b<br />
adalah baja silikon (medium<br />
silicon sheet steel) dengan<br />
panjang rata-rata L b = 0,2 m.<br />
Kedua bagian itu mempunyai<br />
luas penampang sama, yaitu 0,001 m 2 . a). Tentukan F m yang<br />
diperlukan untuk membangkitkan fluksi φ = 6×10 −4 weber. b).<br />
Hitung arus yang harus mengalir pada belitan agar nilai fluksi<br />
tersebut tercapai.<br />
Penyelesaian :<br />
Untuk memperoleh F m total yang diperlukan, kita aplikasikan hukum<br />
rangkaian Ampère pada rangkaian magnetik ini.<br />
Fm<br />
total = Fma<br />
+ Fmb<br />
= H aL a + H bLb<br />
Fluksi yang diinginkan di kedua bagian toroid adalah 6×10 −4 weber,<br />
sedangkan kedua bagian itu mempunyai luas penampang sama. Jadi<br />
kerapatan fluksi di kedua bagian itu juga sama yaitu<br />
φ 0,0006<br />
Ba<br />
= Bb<br />
= = = 0,6 tesla<br />
A 0,001<br />
Untuk mencapai kerapatan fluksi tersebut, masing-masing material<br />
memerlukan intensitas medan yang berbeda. Intensitas medan yang<br />
diperlukan dapat dicari melalui kurva B-H dari masing-masing<br />
material, yang dapat dilihat di buku acuan. Salah satu kurva B-H<br />
yang dapat kita peroleh adalah seperti dikutip pada Gb.1.1.<br />
Dengan menggunakan kurva B-H ini, kita peroleh<br />
Material a : untuk Ba<br />
= 0.6 tesla<br />
Material b : untuk Bb<br />
= 0.6 tesla<br />
Dengan demikian F m total yang diperlukan adalah<br />
L b<br />
diperlukan H a = 10 AT/m<br />
diperlukan Hb<br />
= 65 AT/m<br />
F m total = H aL a + H bLb<br />
= 10 × 0.4 + 65 × 0.2 = 17 AT<br />
6 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
). Karena jumlah lilitan adalah 100, maka besar arus yang harus<br />
mengalir di belitan untuk memperoleh F m total sebesar 17 AT adalah<br />
17 I = = 0,17<br />
100<br />
A<br />
1.75<br />
1.5<br />
1.25<br />
ickel-iron alloy , 47%<br />
B [tesla]<br />
1<br />
0.75<br />
0.5<br />
Medium silicon sheet<br />
steel<br />
Soft steel casting<br />
0.25<br />
0<br />
Cast iron<br />
0 50 100 150 200 250 300 350 400<br />
H [ampre-turn / meter]<br />
Gb.1.1. Kurva B − H beberapa material.<br />
Pemahaman :<br />
Dalam pemecahan persoalan di atas, karakteristik medium tidak<br />
dinyatakan oleh permeabilitas medium, melainkan oleh karakteristik<br />
B-H dari masing-masing material. Kita lihat dari kutipan kurva B-H<br />
pada Gb.1.1, bahwa hubungan antara B dan H adalah tidak linier.<br />
Apabila kita menginginkan gambaran mengenai besar permeabilitas<br />
masing-masing material, kita dapat menghitungnya dengan cara<br />
yang diuraikan berikut ini.<br />
Permeabilitas dari material a dan b masing-masing pada titik operasi<br />
ini adalah<br />
7
Ba<br />
µ a =<br />
H a<br />
Bb<br />
µ b =<br />
H b<br />
0,6<br />
= = 0,06 henry/meter<br />
10<br />
µ a 0.06<br />
→ µ r a = = = 47740<br />
µ<br />
−7<br />
0 4π×<br />
10<br />
0,6<br />
= = 0,0092 henry/meter<br />
65<br />
µ b 0,0092<br />
→ µ r b = =<br />
µ<br />
−7<br />
0 4π×<br />
10<br />
= 7340<br />
Reluktansi rangkaian magnetik pada bagian toroid dengan material a<br />
dan b masing-masing dapat juga kita hitung, yaitu<br />
Fm<br />
a<br />
Ra<br />
=<br />
φ<br />
Fm b<br />
Rb<br />
=<br />
φ<br />
4<br />
= ≈ 6670<br />
0,6×<br />
0,001<br />
13<br />
= ≈ 21670<br />
0,6×<br />
0,001<br />
Jadi walaupun bagian b dari toroid lebih pendek dari bagian a,<br />
reluktansinya jauh lebih besar. Kedua bagian rangkaian magnetik<br />
yang terhubung seri ini mempunyai reluktansi total sebesar<br />
Rtot = Ra<br />
+ Rb<br />
≈ 6670 + 21670 = 28340 .<br />
Untuk meyakinkan, kita hitung balik fluksi magnet.<br />
F<br />
φ = m total<br />
Rtot<br />
17 −<br />
= = 6 × 10<br />
4<br />
28340<br />
weber<br />
Ternyata hasilnya sesuai dengan apa yang diminta dalam persoalan<br />
ini. Hasil ini menunjukkan bahwa reluktansi magnetik yang<br />
dihubungkan seri berperilaku seperti resistansi yang terhubung seri<br />
pada rangkaian listrik; reluktansi total sama dengan jumlah<br />
reluktansi yang diserikan.<br />
COTOH 1.2 : Pada rangkaian magnetik dalam contoh 1.1. di atas,<br />
berapakah fluksi magnetik yang akan dibangkitkan bila arus pada<br />
belitan dinaikkan menjadi 0,35 A ?<br />
Penyelesaian :<br />
8 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Dengan arus 0,35 A, F m total menjadi<br />
F m total = 100 × 0,35 = 35 AT .<br />
Untuk menghitung besar fluksi yang terbangkit, kita perlu<br />
mengetahui reluktansi total. Untuk itu perlu dihitung reluktansi dari<br />
masing-masing bagian toroid. Hal ini tidak dapat dilakukan karena<br />
untuk menghitung reluktansi tiap bagian perlu diketahui F m dan B<br />
untuk masing-masing bagian, sedangkan untuk menghitungnya perlu<br />
diketahui besar fluksi φ yang justru ditanyakan.<br />
Dari apa yang diketahui, yaitu F m total<br />
dapatkan hubungan<br />
dan ukuran toroid, kita<br />
Fm<br />
total = H aL<br />
a + H bLb<br />
= 0,4H<br />
a + 0,2H<br />
b = 35<br />
35 − 0,2H<br />
b<br />
⇒ H a =<br />
0,4<br />
Karena luas penampang di kedua bagian toroid sama, yaitu 0,001<br />
m 2 , maka kerapatan fluksi B juga sama. Dengan batasan ini, kita<br />
mencoba menyelesaikan persoalan dengan cara mengamati kurva B-<br />
H. Kita perkirakan suatu nilai H b dan menghitung H a , kemudian kita<br />
mengamati lagi kurva B-H apakah untuk nilai H a dan H b ini terdapat<br />
B a = B b . Jika tidak, kita koreksi nilai H b dan dihitung lagi H a dan<br />
dilihat lagi apakah B a = B b . Jika tidak, kita lakukan koreksi lagi, dan<br />
seterusnya sampai akhirnya diperoleh B a ≈ B b .<br />
Kita mulai dengan H b = 100 AT yang memberikan H a = 37,5. Kedua<br />
nilai ini terkait dengan B b = 0,75 dan B a = 0,9 tesla. Ter-nyata B a ≠<br />
B b . Kita perbesar H b agar H a mengecil dan akan menyebabkan B b<br />
bertambah dan B a berkurang. Pada nilai H b = 110 AT, maka H a =<br />
32,5 dan terdapat B b = 0,8 dan B a = 0,85 tesla. Kita lakukan koreksi<br />
lagi dan akan kita dapatkan B a ≈ B b ≈ 0,825 pada nilai H b = 125 dan<br />
H a = 25 AT. Dengan nilai ini maka besar fluksi adalah<br />
φ =<br />
−4<br />
B × A = 0,825×<br />
0,001=<br />
8,25 × 10<br />
weber.<br />
Perhitungan secara grafis ini tentu mengandung ketidak-telitian. Jika<br />
kesalahan yang terjadi adalah ± 5%, maka hasil perhitungan ini<br />
dapat dianggap memadai.<br />
Pemahaman :<br />
9
Jika kita bandingkan hasil pada contoh 1.1. dan 1.2. maka akan<br />
terlihat hal berikut.<br />
contoh 1.1. :<br />
I = 0,17 A → B = 0,6<br />
contoh 1.2. :<br />
tesla<br />
I = 0,35 A → B = 0,825 tesla<br />
−4<br />
→ φ = 6 × 10<br />
−4<br />
→ φ = 8,25×<br />
10<br />
weber<br />
weber<br />
Dapat kita simpulkan bahwa menaikkan arus belitan menjadi dua<br />
kali lipat tidak menghasilkan fluksi dua kali lipat. Hal ini disebabkan<br />
oleh karakteristik magnetisasi material yang tidak linier.<br />
COTOH 1.3 : Pada rangkaian magnetik di bawah ini, tentukanlah mmf<br />
yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar 0,0014 weber<br />
di “kaki” sebelah kanan. <strong>Rangkaian</strong> magnetik ini mempunyai luas<br />
penampang sama yaitu 0,002 m 2 , kecuali “kaki” tengah yang luasnya<br />
0,0008 m 2 . Material yang digunakan adalah medium silicon steel.<br />
a b c<br />
f<br />
e<br />
d<br />
0.15 m<br />
0.15 m 0.15 m<br />
R 1<br />
Penyelesaian :<br />
<strong>Rangkaian</strong> magnetik ini mempunyai tiga cabang, yaitu<br />
cabang efab dengan reluktansi R 1 ; be dengan reluktansi R 2 dan<br />
bcde dengan reluktansi R 3 .<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen dari rangkaian<br />
magnetik ini dapat digambarkan<br />
seperti di samping ini. Fluksi yang<br />
diminta di kaki kanan adalah φ 3 =<br />
0.0014 weber. Karena dimensi kaki<br />
F m<br />
R 2 R 3<br />
ini diketahui maka kerapatan fluksi dapat dihitung, yaitu<br />
0,0014<br />
B 3 = = 0,7 tesla .<br />
0,002<br />
10 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Berdasarkan kurva B-H dari material yang dipakai, kerapatan fluksi<br />
ini memerlukan H 3 sebesar 80 AT/m. Jadi mmf yang diperlukan<br />
adalah<br />
F m3 = H 3 × Lbcde<br />
= 80 × (3×<br />
0,15) = 36 AT<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen memperlihatkan bahwa R 2 terhubung paralel<br />
dengan R 3 . Hal ini berarti bahwa F m3 juga harus muncul pada R 2 ,<br />
yaitu reluktansi kaki tengah, dengan kata lain F m2 = F m3 . Dengan<br />
demikian kita dapat menghitung H 2 .<br />
F 2 Fm3<br />
36<br />
H 2 = m<br />
= = = 240 AT/m<br />
Lbe<br />
Lbe<br />
0,15<br />
Melihat lagi kurva B-H, kita dapatkan untuk H 2 ini<br />
Luas penampang kaki tengah adalah 0,0008 m 2 . Maka<br />
φ2 = B 2 × 0,0008 = 1,125×<br />
0,0008 = 0,0009 weber<br />
Fluksi total yang harus dibangkitkan di kaki kiri adalah<br />
φ 1 = φ2<br />
+ φ3<br />
= 0,0014 + 0,0009 = 0,0023 weber<br />
B 2 =1,125 tesla .<br />
Luas penampang kaki kiri adalah 0,002 m 2 , sama dengan kaki kanan.<br />
Kerapatan fluksinya adalah<br />
φ1<br />
0,0023<br />
B 1 = = = 1,15 tesla<br />
0,002 0,002<br />
Dari kurva B-H, untuk B 1 ini diperlukan<br />
sehingga<br />
F m1 = H1<br />
× Lefab<br />
= 240 × (3 × 0,15) = 108 AT<br />
H 1 = 240 AT/m ,<br />
Jadi total mmf yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar<br />
0,0014 weber di kaki kanan adalah<br />
F<br />
mtot = Fm<br />
m<br />
1<br />
+ Fm2<br />
+ F 3 = 108 + 36 + 36 = 180 AT<br />
11
COTOH 1.4 : Berapakah mmf yang diperlukan pada contoh 1.3. jika<br />
kaki tengah ditiadakan?<br />
Penyelesaian :<br />
Dengan meniadakan kaki tengah maka fluksi di seluruh rangkaian<br />
magnetik sama dengan fluksi di kaki kanan, yaitu φ = φ 3 = 0,0014<br />
weber. Kerapatan fluksi di seluruh rangkaian magnetik juga sama<br />
karena luas penampangnya sama, yaitu<br />
B = B<br />
0,0014<br />
0,002<br />
3 = =<br />
0,7<br />
tesla<br />
Dari kurva B-H diperoleh H = 80 AT/m, sehingga mmf yang<br />
diperlukan adalah<br />
F<br />
m = abcdefa<br />
H × L = 80×<br />
(6×<br />
0,15) = 72 AT<br />
Pemahaman :<br />
Dengan menghilangkan kaki tengah, mmf yang diperlukan menjadi<br />
lebih kecil. Bagaimanakah jika kaki tengah diperbesar luas<br />
penampangnya ?<br />
Memperbesar penampang kaki tengah tidak mempengaruhi<br />
kerapatan fluksi di kaki ini sebab F m3 tetap harus muncul di kaki<br />
tengah. H 2 tak berubah, yaitu H 2 = F m3 /L be = 240 AT/m dan B 2 juga<br />
tetap 1,125 tesla. Jika penampang kaki tengah diperbesar, φ 2 akan<br />
bertambah sehingga φ 1 juga bertambah. Hal ini menyebabkan<br />
meningkatnya B 1 yang berarti meningkatnya H 1 sehingga F m1 akan<br />
bertambah pula. Dengan demikian F m total akan lebih besar.<br />
Penjelasan ini menunjukkan seolah-olah kaki tengah bertindak<br />
sebagai “pembocor” fluksi. Makin besar kebocoran, makin besar<br />
mmf yang diperlukan.<br />
1.3. Rugi-Rugi Dalam <strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />
Rugi Histerisis. Dalam rekayasa, material ferromagnetik sering dibebani<br />
dengan medan magnit yang berubah secara periodik dengan batas positif<br />
dan negatif yang sama. Pada pembebanan seperti ini terdapat<br />
kecenderungan bahwa kerapatan fluksi, B, ketinggalan dari medan<br />
magnetnya, H. Kecenderungan ini kita sebut histerisis dan kurva B-H<br />
membentuk loop tertutup seperti terlihat pada Gb.1.2. dan kita sebut loop<br />
12 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
histerisis. Hal ini telah kita pelajari dalam fisika. Di sini kita akan<br />
membahas akibat dari<br />
karakteristik material seperti<br />
B [tesla]<br />
ini dalam rekayasa.<br />
d b<br />
Loop histerisis ini<br />
c<br />
menunjukkan bahwa untuk<br />
satu nilai H tertentu terdapat<br />
dua kemungkinan nilai B.<br />
Dalam memecahkan<br />
0<br />
H [AT/m]<br />
persoalan rangkaian magnetik<br />
a<br />
pada contoh-contoh di subbab<br />
1.2. kita menggunakan e<br />
kurva B-H yang kita sebut<br />
kurva B-H normal atau kurva<br />
Gb.1.2. Loop histerisis.<br />
magnetisasi normal, dimana<br />
satu nilai H terkait dengan hanya satu nilai B, yaitu kurva B-H pada<br />
Gb.1.1. Itulah sebabnya kesalahan perhitungan sebesar ± 5 % masih<br />
dapat kita terima jika kita menggunakan kurva B-H normal karena<br />
sesungguhnya B tidak mempunyai nilai tunggal, melainkan tergantung<br />
dari riwayat magnetisasi material.<br />
Perhatikan integrasi :<br />
∫<br />
B<br />
B<br />
a<br />
b<br />
c<br />
HdB = luas bidang abda ;<br />
∫<br />
HdB = luas bidang bdcb<br />
dan satuan dari HB :<br />
ampere newton newton newto ⋅ meter joule<br />
[ HB ] = ×<br />
= =<br />
=<br />
meter ampre.<br />
meter 2<br />
3<br />
meter meter meter<br />
Jelaslah bahwa HB mempunyai satuan kerapatan energi. Jadi luas bidang<br />
abda pada Gb.1.2. menyatakan kerapatan energi, yaitu energi magnetik.<br />
Karena luas abda diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu H dan B naik,<br />
atau dengan kata lain medan magnetik bertambah, maka ia<br />
menggambarkan kerapatan energi yang disimpan ke material. Luas<br />
bidang bdcb yang diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu medan<br />
magnit berkurang, menggambarkan kerapatan energi yang dilepaskan.<br />
Dari gambar loop histerisis jelas terlihat bahwa luas bdcb < luas abda. Ini<br />
berarti bahwa kerapatan energi yang dilepaskan lebih kecil dari kerapatan<br />
energi yang disimpan. Sisa energi yang tidak dapat dilepaskan<br />
B<br />
B<br />
b<br />
3<br />
13
digambarkan oleh luas bidang abca, dan ini merupakan energi yang<br />
diserap oleh material dan tidak keluar lagi (tidak termanfaatkan)<br />
sehingga disebut rugi energi histerisis.<br />
<strong>Analisis</strong> di atas hanya memperhatikan setengah siklus saja. Untuk satu<br />
siklus penuh, kerapatan rugi energi histerisis adalah luas bidang dari<br />
loop histerisis. Jika kerapatan rugi energi histerisis per siklus (= luas loop<br />
histerisis) kita sebut w h , dan jumlah siklus per detik (frekuensi) adalah f<br />
, maka untuk material dengan volume v m 3 besar rugi energi histerisis<br />
per detik atau rugi daya histerisis adalah<br />
P<br />
⎡ joule⎤<br />
= wh<br />
f v ⎢ wh<br />
f v [watt]<br />
det ik<br />
⎥<br />
(1.17)<br />
⎣ ⎦<br />
h =<br />
Untuk menghindari perhitungan luas loop histerisis, Steinmetz<br />
memberikan formula empiris untuk rugi daya histerisis sebagai<br />
n<br />
m<br />
P = v f ( K B )<br />
(1.18)<br />
h<br />
h<br />
dengan B m adalah nilai maksimum kerapatan fluksi, n mempunyai nilai<br />
antara 1,5 sampai 2,5 tergantung dari jenis material. K h adalah konstanta<br />
yang juga tergantung dari jenis material; untuk cast steel 0,025; silicon<br />
sheet steel 0,001; permalloy 0,0001.<br />
Rugi Arus Pusar. Jika medan magnetik berubah terhadap waktu, selain<br />
rugi daya histerisis terdapat pula rugi daya yang disebut rugi arus pusar.<br />
Arus pusar timbul sebagai reaksi terhadap perubahan medan magnet. Jika<br />
material berbentuk balok pejal, resistansi material menjadi kecil dan rugi<br />
arus pusar menjadi besar. Untuk memperbesar resistansi agar arus pusar<br />
kecil, rangkaian magnetik disusun dari lembar-lembar material magnetik<br />
yang tipis (antara 0,3 ÷ 0,6 mm). Formula empiris untuk rugi arus pusar<br />
adalah<br />
2 2<br />
e = e m<br />
2<br />
P K f B τ v watt<br />
(1.19)<br />
dengan K e = konstanta yang tergantung dari jenis material; f = frekuensi<br />
(Hz); B m = kerapatan fluksi maksimum; τ = tebal laminasi; v = volume<br />
material.<br />
Perhatikan bahwa rugi arus pusar sebanding dengan pangkat dua dari<br />
frekuensi, sedangkan rugi histerisis sebanding dengan pangkat satu<br />
frekuensi. Rugi histerisis dan rugi arus pusar secara bersama-sama<br />
14 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
disebut rugi-rugi inti. Rugi-rugi inti akan menaikkan temperatur<br />
rangkaian magnetik dan akan menurunkan efisiensi peralatan.<br />
1.4. Gaya Magnetik<br />
Energi yang tersimpan dalam<br />
B<br />
B<br />
medan magnetik dapat<br />
B 1 b<br />
digunakan untuk melakukan<br />
a<br />
kerja mekanik (misalnya<br />
menarik tuas rele). Untuk<br />
mempelajari bagaimana gaya<br />
ini dapat timbul, kurva B-H<br />
H 0 H 1 H<br />
normal yang tidak linier<br />
seperti terlihat pada Gb.1.3.a,<br />
a) b)<br />
kita dekati dengan suatu<br />
kurva linier seperti pada<br />
Gb.1.3. Linierisasi Kurva B-H.<br />
Gb.1.3.b. Jika kita menaikkan H dari 0 ke H 1 , maka B naik dari 0 ke B 1 .<br />
Luas bidang 0ab0 menyatakan kerapatan energi yang tersimpan dalam<br />
material, dan besarnya adalah<br />
w f =<br />
1<br />
2<br />
B<br />
3<br />
1H1<br />
joule/m<br />
Secara umum, dengan medan magnetik sebesar H dalam suatu material<br />
akan terdapat kerapatan simpanan energi sebesar<br />
1 BH<br />
2<br />
w<br />
3<br />
f = joule/m<br />
(1.20)<br />
Perhatikan bahwa (1.20) kita peroleh setelah kita melakukan linierisasi<br />
kurva B-H.<br />
Karena (1.20) menunjukkan kerapatan energi, maka jika kita kalikan<br />
dengan volume dari rangkaian magnetik kita akan mendapatkan energi<br />
total yang tersimpan dalam rangkaian tersebut. Misalkan luas penampang<br />
rangkaian A dan panjangnya L, maka energi total menjadi<br />
1 1<br />
1<br />
W = BHAL<br />
= ( BA)(<br />
HL)<br />
= φF m joule (1.21)<br />
2 2<br />
2<br />
Antara fluksi φ dan F m terdapat hubungan φ = F m / R , sehingga (1.21)<br />
dapat juga dituliskan<br />
2<br />
1 1 Fm<br />
1 2<br />
W = φFm<br />
= = φ R joule<br />
(1.22)<br />
2 2 R 2<br />
15
Untuk memahami timbulnya gaya<br />
magnetik, kita lakukan percobaan<br />
dengan suatu rangkaian magnetik<br />
yang terdiri dari tiga bagian yaitu<br />
gandar, celah udara, dan jangkar,<br />
seperti terlihat pada Gb.1.4.<br />
<strong>Rangkaian</strong> ini dicatu oleh sumber<br />
tegangan V s yang diserikan dengan<br />
resistor variabel R. Luas<br />
penampang gandar sama dengan<br />
luas penampang jangkar. Untuk<br />
suatu kedudukan jangkar tertentu,<br />
dengan V s dan R tertentu, terjadi<br />
eksitasi sebesar F m yang akan<br />
membuat simpanan energi dalam<br />
rangkaian magnetik ini sebesar<br />
W =<br />
1<br />
2<br />
2 2 2<br />
( φ R + φ R + φ R )<br />
g<br />
g<br />
u<br />
u<br />
j<br />
j<br />
(1.23)<br />
Indeks g, u, dan j berturut-turut menunjukkan gandar, udara dan<br />
jangkar. Karena ketiga bagian rangkaian terhubung seri maka jika<br />
penyebaran fluksi di bagian pinggir di celah udara diabaikan fluksi di<br />
ketiga bagian tersebut akan sama. Kerapatan fluksi juga akan sama di<br />
ketiga bagian tersebut. Dengan demikian maka persamaan (1.23) dapat<br />
kita tulis<br />
1 2<br />
1 2<br />
W = φ ( R g + Ru<br />
+ R j ) = φ Rtotal<br />
(1.24)<br />
2<br />
2<br />
Besar reluktansi total adalah<br />
gandar<br />
jangkar<br />
Gb.1.4. <strong>Rangkaian</strong><br />
magnetik dengan jangkar<br />
Lg<br />
L j L<br />
R<br />
u<br />
total = + +<br />
(1.25)<br />
µ g A µ j A µ 0A<br />
Karena kita melakukan linierisasi kurva B-H, maka permeabilitas<br />
material menjadi konstan.<br />
Hal ini ditunjukkan oleh kemiringan kurva B-H. Jadi µ g dan µ j dianggap<br />
konstan sedangkan permeabilitas udara dapat dianggap sama dengan µ 0 .<br />
V s<br />
+<br />
−<br />
L j<br />
R<br />
L g<br />
x<br />
16 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Percobaan pertama adalah memegang jangkar tetap pada tempatnya dan<br />
menambah eksitasi dengan menurunkan nilai resistor R sehingga arus<br />
catu naik. Eksitasi akan naik menjadi (F m +∆F m ) dan simpanan energi<br />
pada seluruh rangkaian magnetik akan naik pula. Artinya tambahan<br />
energi sebesar ∆W yang disebabkan oleh tambahan eksitasi sebesar ∆F m<br />
tersimpan sebagai tambahan energi di semua bagian rangkaian yaitu<br />
gandar, jangkar dan celah udara.<br />
Untuk percobaan kedua, kita kembalikan dulu eksitasi pada keadaan<br />
semula dengan mengembalikan R pada nilai semula sehingga eksitasi<br />
kembali menjadi F m dan kita jaga konstan. Jangkar kita lepaskan<br />
sehingga celah udara menjadi (x−∆x). Berkurangnya celah udara ini akan<br />
menyebabkan reluktansi R u menurun sehingga secara keseluruhan R tot<br />
juga menurun. Menurunnya R tot akan memperbesar fluksi karena eksitasi<br />
F m dipertahankan tetap. Ini berarti bahwa simpanan energi dalam<br />
rangkaian magnetik bertambah.<br />
Pertambahan simpanan energi yang terjadi pada percobaan ke-dua ini<br />
berbeda dengan pertambahan energi pada percobaan pertama. Pada<br />
percobaan pertama pertambahan energi berasal dari pertambahan<br />
masukan, yaitu ∆F m . Pada percobaan ke-dua, F m dipertahankan tetap.<br />
Oleh karena itu satu-satunya kemungkinan pertambahan energi adalah<br />
dari gerakan jangkar. Jadi perubahan posisi jangkar memberikan<br />
tambahan simpanan energi dalam rangkaian magnetik. Penafsiran kita<br />
dalam peristiwa ini adalah bahwa perubahan posisi jangkar telah<br />
menurunkan energi potensial jangkar. Penurunan energi potensial<br />
jangkar itu diimbangi oleh naiknya simpanan energi pada rangkaian<br />
magnetik sesuai dengan prinsip konservasi energi.<br />
Jika dx adalah perubahan posisi jangkar (∆x→0), F x adalah gaya mekanik<br />
pada jangkar pada posisi x, maka perubahan energi potensial jangkar<br />
adalah<br />
dW j = Fxdx<br />
(1.26)<br />
Perubahan energi tersimpan dalam rangkaian magnetik adalah dW.<br />
Karena tidak ada masukan energi dari luar (sumber listrik) maka<br />
dW<br />
j<br />
+ dW = F dx + dW = 0 → F dx = −dW<br />
(1.27)<br />
x<br />
Karena F m kita jaga konstan, kita dapat memasukkan persamaan (1.22)<br />
bentuk yang ke-dua ke (1.27) sehingga kita peroleh<br />
x<br />
17
1<br />
Fxdx<br />
= −dW<br />
= − d(<br />
F<br />
2<br />
→ F<br />
x<br />
1<br />
= −<br />
2<br />
d<br />
dx<br />
2<br />
m<br />
R<br />
−1<br />
tot<br />
)<br />
2<br />
2 −1<br />
1 Fm<br />
dRtot<br />
1 2 dR<br />
( Fm<br />
Rtot<br />
) = −<br />
= − φ<br />
2 2 dx 2 dx<br />
R<br />
tot<br />
tot<br />
(1.28)<br />
Dengan persamaan (1.28) ini kita dapat menghitung gaya mekanik pada<br />
jangkar rele elektromekanik, plunger, dan lain-lain peralatan listrik yang<br />
memanfaatkan gaya magnetik.<br />
COTOH 1.5 : Turunkanlah formulasi gaya magnetik pada rangkaian<br />
magnetik Gb.1.4 jika reluktansi inti besi, baik gandar maupun<br />
jangkar, diabaikan terhadap reluktansi celah udara.<br />
Penyelesaian : Dengan hanya memperhitungkan reluktansi celah<br />
udara saja, maka persamaan (1.28) menjadi<br />
F<br />
x<br />
= −<br />
Karena<br />
1<br />
φ<br />
2<br />
d L<br />
2<br />
2 dRu<br />
2<br />
d Lu<br />
dx<br />
u<br />
dx<br />
= −<br />
1<br />
= − φ<br />
2<br />
d(2x)<br />
= −2<br />
dx<br />
d ⎛ Lu<br />
⎞ 1 φ<br />
⎜ ⎟<br />
dx<br />
= −<br />
0 A<br />
⎝ µ ⎠ 2 µ 0 A<br />
maka<br />
F<br />
x<br />
0<br />
2<br />
φ<br />
=<br />
µ A<br />
dx<br />
newton<br />
Pemahaman : Apakah pengabaian reluktansi inti besi terhadap<br />
reluktansi celah udara ini cukup wajar ? Kita akan melihatnya<br />
dengan ukuran nyata seperti berikut.<br />
Misalkan panjang rata-rata gandar L g = 3×15 cm = 0,45 m. Panjang<br />
jangkar L j = 0,15 m. Luas penampang gandar maupun jangkar A =<br />
(5 cm × 4 cm ) = 0,002 m 2 . Dengan ukuran-ukuran ini maka<br />
reluktansi gandar dan jangkar adalah<br />
R g<br />
L g 0,45 225<br />
= =<br />
=<br />
µ g A µ rµ<br />
0 × 0,002 µ rµ<br />
0<br />
L j 0,15<br />
R j = =<br />
µ j A µ rµ<br />
0 × 0,002<br />
75<br />
=<br />
µ rµ<br />
0<br />
Dengan menganggap luas penampang sama dengan jangkar dan<br />
lebar celah 1 mm, maka celah udara mempunyai reluktansi<br />
18 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Lu<br />
2 × 0,001 1<br />
Ru = = = .<br />
µ 0 A µ 0 × 0,002 µ 0<br />
Perbandingan antara reluktansi celah udara dan jumlah reluktansi<br />
gandar dan jangkar adalah :<br />
Ru 1/ µ 0 µ r<br />
=<br />
= .<br />
R g + R j 300 / µ rµ<br />
0 300<br />
Kalau kita mengambil nilai µ r seperti pada hasil perhitungan dalam<br />
pemahaman contoh 1.1, yaitu untuk baja silikon µ r = 7340 dan<br />
untuk besi nickel µ r =47740, maka<br />
untuk<br />
baja<br />
silikon :<br />
Ru<br />
R g + R j<br />
7340<br />
= ≈ 24<br />
300<br />
;<br />
untuk<br />
besi<br />
nickel:<br />
Ru<br />
R g + R j<br />
47740<br />
= ≈159<br />
.<br />
300<br />
Makin tinggi permeabilitas material yang kita pakai, reluktansi celah<br />
udara makin dominan sehingga reluktansi jangkar dan gandar wajar<br />
untuk tidak diperhitungkan.<br />
1.5. Induktor<br />
Perhatikan rangkaian<br />
induktor (Gb.1.5).<br />
Apabila resistansi belitan<br />
dapat diabaikan, maka<br />
menurut hukum<br />
Kirchhoff<br />
+<br />
v 1<br />
−<br />
≈<br />
i f<br />
+<br />
e 1<br />
−<br />
1<br />
Gb.1.5. <strong>Rangkaian</strong> induktor.<br />
φ<br />
di f<br />
− v1 + e1<br />
= 0 → v1<br />
= e1<br />
= L<br />
(1.29)<br />
dt<br />
Persamaan (1.29) adalah persamaan rangkaian listrik yang terdiri dari<br />
sumber v 1 dan beban induktor L. Tegangan e 1 adalah tegangan jatuh<br />
pada induktor, sesuai dengan konvensi pasif pada dalam analisis<br />
rangkaian listrik.<br />
19
Sekarang kita lihat rangkaian magnetiknya dengan menganggap inti<br />
induktor ideal (luas kurva histerisis material inti sama dengan nol).<br />
Dalam rangkaian magnetik terdapat fluksi magnetik φ yang ditimbulkan<br />
oleh arus i f . Perubahan fluksi φ akan membangkitkan tegangan induksi<br />
pada belitan sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.<br />
dφ<br />
e t = −1 (1.30)<br />
dt<br />
Tanda “−” pada (1.30) mempunyai arti bahwa tegangan induksi e t harus<br />
mempunyai polaritas yang akan dapat memberikan arus pada rangkaian<br />
tertutup sedemikian rupa sehingga arus tersebut akan memberikan fluksi<br />
lawan terhadap fluksi pembangkitnya, yaitu φ. Menurut kaidah tangan<br />
kanan, polaritas tersebut adalah seperti polaritas e 1 pada Gb.1.5. Jadi<br />
tanda “−” pada (1.30) terpakai untuk menetapkan polaritas e t sedangkan<br />
nilai e t tentulah sama dengan tegangan jatuh e 1 . Jadi<br />
dφ<br />
di f<br />
et = 1 = e1<br />
= L<br />
(1.31)<br />
dt dt<br />
Persamaan (1.31) menunjukkan bahwa φ dan i f berubah secara<br />
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus<br />
i f yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.<br />
Arus i f sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk<br />
sinus. Jadi dalam sistem ini baik tegangan, arus maupun fluksi<br />
mempunyai frekuensi sama dan dengan demikian konsep fasor yang kita<br />
pelajari di Bab-5 dapat kita gunakan untuk melakukan analisis pada<br />
sistem ini, yang merupakan gabungan dari rangkaian listrik dan<br />
rangkaian magnetik. Jika resistansi belitan diabaikan, persamaan (1.29)<br />
dan (1.31) dapat kita tulis dalam bentuk fasor sebagai<br />
E1<br />
= jωLI<br />
f ; Et<br />
= jω1Φ = E1<br />
= jωLI<br />
f (1.32)<br />
dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor.<br />
Dengan memperhatikan (1.32), diagram fasor tegangan , arus, dan fluksi<br />
dari induktor tanpa memperhitungkan rugi-rugi inti dan resistansi belitan<br />
adalah seperti pada Gb.1.6.a. dimana arus yang membangkitkan fluksi<br />
yaitu I φ sama dengan I f .<br />
20 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
I f =I φ<br />
Φ<br />
a). ideal<br />
Dalam praktek, inti induktor tidaklah bebas dari rugi-rugi. Pada<br />
pembebanan siklis (dalam hal ini secara sinus) rugi-rugi inti<br />
menyebabkan fluksi yang dibangkitkan oleh i f ketinggalan dari i f sebesar<br />
γ yang disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.1.6.b.<br />
dimana arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ. Melihat kenyataan<br />
ini, I f dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ yang<br />
diperlukan untuk membangkitkan φ, dan I c yang diperlukan untuk<br />
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = I φ + I c .<br />
Komponen I c merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan E 1 akan<br />
memberikan rugi-rugi inti<br />
o<br />
c = c 1 1 f γ<br />
P I E = E I cos(90 − ) watt<br />
(1.33)<br />
Apabila resistansi belitan tidak dapat diabaikan, maka V 1 ≠ E 1 . Misalkan<br />
resistansi belitan adalah R 1 , maka<br />
V E + I<br />
1 = 1 f R1<br />
(1.34)<br />
Diagram fasor dari keadaan terakhir ini diperlihatkan oleh Gb.1.6.c.<br />
Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain<br />
untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya<br />
pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, P cu .<br />
Jadi<br />
E 1 =E t<br />
2<br />
f<br />
P = P + P = P + I R = V I cos θ (1.35)<br />
in<br />
I φ<br />
γ<br />
Φ<br />
b). ada rugi-rugi inti<br />
Φ<br />
c). ada resistansi<br />
Gb.1.6. Diagram fasor induktor<br />
belitan<br />
c<br />
I c<br />
I f<br />
cu<br />
E 1 =E t<br />
dengan V 1 dan I f adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.<br />
COTOH 1.6 : Sebuah reaktor dengan inti besi mempunyai 400 lilitan.<br />
Reaktor ini dihubungkan pada jaringan bertegangan 115 volt, 60 Hz.<br />
Dengan mengabaikan resistansi belitan, hitung nilai maksimum<br />
fluksi magnetnya. Jika fluksi maknit dibatasi tidak boleh lebih dari<br />
1,2 tesla, berapakah luas penampang intinya?<br />
c<br />
I φ<br />
1<br />
I c<br />
θ<br />
I f<br />
1<br />
f<br />
E 1 =E t<br />
V 1<br />
I f R<br />
1<br />
21
Penyelesaian: Dengan mengabaikan resistansi belitan maka<br />
E<br />
1<br />
= V<br />
1<br />
1ωΦ<br />
→<br />
2<br />
maks<br />
= 115<br />
115 2<br />
⇒ Φ maks =<br />
= 0,00108 weber<br />
400×<br />
2π×<br />
60<br />
Agar kerapatan fluksi tidak lebih dari 1,2 tesla maka<br />
Φ<br />
maks<br />
A<br />
≤12<br />
⇒<br />
Φ<br />
A ≥<br />
1,2<br />
maks<br />
=<br />
0,00108<br />
1,2<br />
m<br />
2 =<br />
Induktansi. Menurut (1.15) besarnya fluksi magnetik adalah<br />
⎛ µ A ⎞<br />
φ = ⎜ ⎟ F<br />
⎝ L ⎠<br />
Dengan mengabaikan fluksi bocor,<br />
dimasukkan ke (1.31) akan diperoleh<br />
sehingga<br />
<br />
1<br />
dφ<br />
= <br />
dt<br />
1<br />
d<br />
dt<br />
⎛ 1i<br />
⎜<br />
⎝ R<br />
2<br />
f<br />
m<br />
Fm<br />
= .<br />
R<br />
⎞ <br />
⎟ 1<br />
=<br />
⎠ R<br />
9 cm<br />
F m = i dan jika φ ini<br />
2<br />
di<br />
f<br />
dt<br />
di f<br />
= L<br />
dt<br />
1 2 ⎛ µ A ⎞<br />
L = = 1<br />
⎜ ⎟ (1.36)<br />
R ⎝ L ⎠<br />
Induktansi Bersama. Jika pada induktor Gb.1.5. kita tambahkan belitan<br />
kedua, maka pada belitan kedua ini akan diimbaskan tegangan oleh φ<br />
seperti halnya pada belitan pertama. Besar tegangan imbas ini adalah<br />
dφ<br />
d ⎛ 1i<br />
f ⎞ di f<br />
e ⎜ ⎟ 2 1<br />
2 = 2 = 2 =<br />
dt dt<br />
(1.37)<br />
⎝ R ⎠ R dt<br />
Jika belitan kedua ini tidak dialiri arus (dalam keadaan terbuka), kita tahu<br />
dari pembahasan di bab terdahulu mengenai induktansi bersama bahwa<br />
di di<br />
2 f<br />
e2<br />
= L2<br />
+ M<br />
dt dt<br />
sehingga kita peroleh induktansi bersama<br />
di f<br />
= M<br />
dt<br />
21<br />
⎛ µ A ⎞<br />
M = = 21<br />
⎜ ⎟<br />
(1.38)<br />
R ⎝ L ⎠<br />
2<br />
.<br />
22 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Pembahasan di atas memperlihatkan bahwa rangkaian induktor dapat kita<br />
analisis dari sudut pandang rangkaian listrik dengan mengaplikasikan<br />
hukum Kirchhoff yang kemudian menghasilkan persamaan (1.29). Kita<br />
dapat pula memandangnya sebagai rangkaian magnetik dan<br />
mengaplikasikan hukum Faraday dimana fluksi magnetik yang berubah<br />
terhadap waktu (dibangkitkan oleh arus magnetisasi i f ) menimbulkan<br />
tegangan induksi pada belitan.<br />
COTOH 1.7 : Hitunglah resistansi dan induktansi selenoida (inti<br />
udara) dengan diameter rata-rata 1 cm dan panjangnya 1 m dan<br />
dengan 1000 lilitan kawat tembaga berdiameter 0,5 mm.<br />
Penyelesaian :<br />
Induktansi:<br />
2<br />
−7<br />
−4<br />
1<br />
2 ⎛ µ A ⎞ ⎛<br />
6 (4 10 ) ( 10 / 4) ⎞<br />
1 10 ⎜<br />
π× × π<br />
L = = ⎜ ⎟ =<br />
⎟<br />
R ⎝ L ⎠ ⎜ 1 ⎟<br />
⎝<br />
⎠<br />
−6<br />
= 98,6 × 10 H<br />
Resistansi :<br />
−2<br />
l<br />
−6<br />
1000 × π × 10<br />
R = ρ = 0,0173 × 10 [ Ω.m]<br />
= 2,77 Ω<br />
A<br />
−3<br />
2<br />
π × (0,5 × 10 ) / 4<br />
COTOH 1.8 : Dua buah kumparan, masing-masing 1250 lilitan dan<br />
140 lilitan, digulung pada satu inti magnetik yang mempunyai<br />
reluktansi 160 000. Hitung induktansi bersama, dengan mengabaikan<br />
fluksi bocor.<br />
Penyelesaian :<br />
Induktansi bersama :<br />
2 1<br />
1250×<br />
140<br />
M = = = 1,094 ≈ 1,1 H<br />
R 160000<br />
COTOH 1.9 : Dua kumparan (inti udara) masing-masing mempunyai<br />
1000 lilitan diletakkan paralel sejajar sedemikian rupa sehingga 60%<br />
fluksi yang dibangkitkan oleh salah satu kumparan melingkupi<br />
kumparan yang lain. Arus sebesar 5 A di salah satu kumparan<br />
membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Hitunglah induktansi masingmasing<br />
kumparan dan induktansi bersama.<br />
23
Penyelesaian :<br />
Arus 5 A membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Dengan jumlah lilitan<br />
1000 maka reluktansi dapat dihitung<br />
1000 × 5<br />
R =<br />
0,05×<br />
10<br />
−3<br />
= 10<br />
Induktansi masing-masing Gb.28.7. Diagram fasor induktor riil.<br />
2<br />
<br />
L =<br />
R<br />
2<br />
1000 −2<br />
= = 10<br />
8<br />
10<br />
8<br />
H = 10 mH.<br />
Fluksi yang melingkupi kumparan yang lain 60% dari fluksi yang<br />
dibangkitkan di salah satu kumparan. Reluktansi bersama adalah<br />
Induktansi bersama<br />
1<br />
M =<br />
R<br />
M<br />
R M<br />
2<br />
8<br />
R 10<br />
= = = 1,667 × 10<br />
0.6 0,6<br />
1000×<br />
1000<br />
−2<br />
=<br />
= 0,6×<br />
10<br />
8<br />
1,667×<br />
10<br />
8<br />
H = 6 mH<br />
Catatan Tentang Diagram Fasor. Dalam menurunkan fasor tegangan<br />
induksi E t , kita berangkat dari persamaan (1.30) dengan mengambil<br />
tanda “−” sebagai penentu polaritas. Hasilnya adalah E t merupakan<br />
tegangan jatuh pada belitan, sama dengan E 1 , dan hal ini ditunjukkan<br />
oleh persamaan (1.32). Kita dapat pula memandang tegangan<br />
terbangkit E t sebagai tegangan naik E t = −E 1 , dengan mengikut<br />
sertakan tanda “−” pada (1.30) dalam perhitungan dan bukan<br />
menggunakannya untuk menentukan polaritas. Jika ini kita lakukan<br />
maka<br />
E<br />
E<br />
t = − jω1 Φ = − 1 = − jωL<br />
f<br />
(1.39)<br />
Dengan memperhatikan (1.39), diagram fasor tegangan, arus, dan fluksi<br />
untuk induktor ideal adalah seperti pada Gb.1.7.a. Di sini fasor tegangan<br />
terbangkit E t berada 90 o dibelakang fluksi pembangkitnya yaitu Φ.<br />
Fasor Φ sefasa dengan I φ = I f dan tertinggal 90 o dari E 1 .<br />
Gb.1.7.b. dan Gb.1.7.c. adalah diagram fasor induktor dengan<br />
memperhitungkan rugi-rugi inti dan tembaga.<br />
I<br />
24 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
E t<br />
E 1<br />
a). Induktor ideal.<br />
I f =I φ<br />
Φ<br />
E t<br />
b). ada rugi-rugi inti<br />
I φ<br />
Φ<br />
γ<br />
I c<br />
I f<br />
V L<br />
I c V L<br />
I f R 1<br />
I f<br />
E t<br />
I φ<br />
c). ada resistansi belitan Φ<br />
Gb.1.7. Diagram fasor induktor riil.<br />
θ<br />
V s<br />
25
Soal-Soal<br />
1. Sepotong kawat tembaga panjangnya 40 cm bergerak memotong<br />
medan magnetik pada arah tegak lurus pada panjangnya. Jika<br />
kerapatan medan magnetik adalah 1 Wb/m 2 , dan kecepatan gerak<br />
kawat adalah 40 m/detik dengan arah tegak lurus pada arah medan,<br />
hitunglah emf yang terinduksi pada kawat. Hitunglah emf jika arah<br />
gerak membentuk sudut 30 o terhadap arah medan.<br />
2. Sebuah kumparan terbuat dari kawat halus dan terdiri dari 500 lilitan.<br />
Luas rata-rata kumparan adalah 600 cm 2 . Kumparan ini berputar<br />
dengan kecepatan 1500 putaran per menit dalam medan magnetik<br />
uniform yang kerapatannya 100 mWb/m 2 . Hitunglah nilai puncak dan<br />
nilai rata-rata dari emf yang terinduksi pada kumparan.<br />
3. a). Sebuah konduktor lurus panjang 1 m dialiri arus searah 50 A.<br />
Konduktor ini berada dalam medan magnit dengan kerapatan 1<br />
Wb/m 2 . Hitunglah gaya mekanis yang bekerja pada konduktor jika<br />
konduktor dipertahankan tetap pada tempatnya. b). Jika konduktor<br />
tersebut digerakkan melawan gaya yang bekerja padanya dengan<br />
kecepatan 10 m/detik. Hitunglah daya mekanis yang diperlukan untuk<br />
menggerakkan konduktor.<br />
4. Sebuah rangkaian magnetik<br />
dibangun dari bahan baja silikon<br />
dengan ukuran ditunjukkan pada<br />
gambar berikut.<br />
a). Untuk memperoleh fluksi<br />
sebesar 30×10 −4 weber berapakah<br />
mmf diperlukan?<br />
b). Jika jumlah lilitan adalah 100,<br />
berapakah arus pada lilitan?<br />
←30 cm →<br />
← 40 cm → 10 cm<br />
5. Jika kaki kanan dari rangkaian magnetik pada soal nomer 7 dipotong<br />
sehingga terbentuk celah udara selebar 0,1 berapakah arus yang harus<br />
mengalir pada belitan untuk mempertahankan fluksi sebesar 30×10 −4<br />
weber.<br />
6. Sebuah elektromagnet terbuat dari besi tuang mempunyai celah udara<br />
2 mm dan panjang jalur besinya 30 cm. Tentukan jumlah lilitan-amper<br />
yang diperlukan untuk memperoleh kerapatan fluksi 0,8 Wb/m 2 .<br />
Abaikan fluksi bocor.<br />
26 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
7. Sebuah cincin besi tuang dengan penampang bulat berdiameter 3 cm<br />
mempunyai panjang rata-rata 80 cm. Cincin ini dililit kumparan secara<br />
merata dengan jumlah lilitan 500. (a) Hitung arus yang diperlukan<br />
untuk memperoleh fluksi 0,5 mWb dalam cincin. (b) Jika cicin<br />
dipotong sehingga terbentuk celah udara setebal 2 mm, berapakah<br />
fluksi magnetnya jika arus pada kumparan tetap seperti pada<br />
pertanyaan (a)?. (c) Untuk mempertahankan fluksi sebesar 0,5 mWb,<br />
berapakah arus yang harus mengalir pada kumparan? Anggaplah<br />
kerapatan fluksi pada celah udara sama dengan kerapatan fluksi dalam<br />
cincin.<br />
8. Sebuah cincin besi dengan panjang rata-rata 50 cm dan celah udara<br />
selebar 1mm, diberi kumparan dengan 200 lilitan. Jika permeabilitas<br />
besi adalah 400 pada waktu kumparan dialiri arus 1 A, hitunglah<br />
kerapatan fluksi dalam cincin.<br />
9. Fluksi magnetik dalam suatu inti berubah secara sinusoidal dengan<br />
frekuensi 500 siklus per detik dan nilai maksimum kerapatan fluksinya<br />
adalah 0,5 Wb/m 2 . Rugi-rugi arus pusar adalah 15 watt. Berapakah<br />
rugi-rugi arus pusar dalam inti ini jika frekuensinya 750 siklus per<br />
detik dan kerapatan fluksi maksimum 0,4 Wb/m 2 .<br />
10. Rugi-rugi total (arus pusar + histerisis) dari suatu contoh inti magnet<br />
adalah 1500 watt pada frekuensi 50 Hz. Jika kerapatan fluksi dijaga<br />
konstan sedangkan frekuensinya dinaikkan 50%, rugi-rugi total itu<br />
menjadi 2800 watt. Hitung masing-masing rugi arus pusar dan rugi<br />
histerisis pada kedua macam frekuensi tersebut.<br />
11. Sebuah rele elektromekanik dengan bentuk magnet tapal-kuda<br />
memerlukan eksitasi 1800 lilitan-amper untuk menggerakkan jangkar<br />
dengan sela udara 1,25 mm. Jika luas tiap sepatu kutubnya adalah 2<br />
cm 2 dan panjang jalur rangkaian magnetiknya adalah 50 cm, hitunglah<br />
: (a) gaya pada jangkar pada saat jangkar akan bergerak (anggap<br />
rangkaian magnetik tidak jenuh); (b) jika posisi akhir pada keadaan<br />
rele tertutup terdapat celah udara 0,1 mm, hitung gaya yang diperlukan<br />
untuk membuka rele tanpa mengubah eksitasi.<br />
27
12. Hitunglah resistansi dan induktansi selenoida (inti udara) dengan<br />
diameter rata-rata 1 cm dan panjangnya 20 cm dan dengan 1000 lilitan<br />
kawat tembaga berdiameter 0,2 mm.<br />
13. Hitunglah induktansi sebuah toroida (inti udara) yang berdiameter<br />
rata-rata 20 cm, diameter penampang 2 cm, dengan 1000 lilitan kawat<br />
tembaga.<br />
14. Sebuah cincin baja mempunyai diameter rata-rata 60 cm dan luas<br />
penampang 20 cm 2 . Dengan eksitasi sebesar 40 lilitan-amper per cm<br />
timbul fluksi dengan kerapatan 1,2 Wb/m 2 dalam cincin. Jika jumlah<br />
lilitan pada cincin ini adalah 500, hitunglah induktansinya.<br />
15. Cincin baja pada soal nomer 17 dipotong sepanjang 1 cm sehingga<br />
membentuk “cincin terbuka” dengan celah udara 1 cm. Dengan jumlah<br />
lilitan tetap 500 dan kerapatan fluksi dipertahankan tetap 1,2 Wb/m 2 ,<br />
hitung arus eksitasi dan induktansinya.<br />
16. Dua buah kumparan, masing-masing 1250 lilitan dan 140 lilitan,<br />
digulung pada satu inti magnetik yang mempunyai reluktansi 160 000.<br />
Hitumg induktansi bersama, dengan mengabaikan fluksi bocor.<br />
17. Dua buah kumparan, masing-masing 50 dan 500 lilitan digulung<br />
secara berdampingan pada inti magnetik yang luas penampangnya 100<br />
cm 2 dan panjang rata-rata 150 cm. Jika permeabilitas inti adalah 4000,<br />
hitunglah induktansi bersama dengan mengangabaikan fluksi bocor.<br />
28 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
BAB 2<br />
Transformator<br />
Salah satu komoditi yang ditawarkan oleh teknik elektro adalah<br />
pemenuhan kebutuhan energi. Energi yang tersedia di alam harus<br />
dikonversikan ke bentuk energi listrik untuk ditransmisikan ke tempat<br />
yang memerlukan. Beberapa piranti untuk mengonversikan energi secara<br />
konvensional akan kita pelajari di bab-bab berikut ini; piranti konversi<br />
energi non-konvensional belum akan kita bahas. Kita juga membatasi<br />
diri hanya pada pembahasan tiga macam mesin konversi energi dan dari<br />
setiap macam kita hanya akan melihat beberapa tipe saja. Macam mesin<br />
listrik yang akan kita bahas adalah:<br />
1. Mesin konversi dari energi listrik ke energi listrik, yaitu<br />
transformator.<br />
2. Mesin konversi dari energi mekanik ke energi listrik, yaitu<br />
generator listrik.<br />
3. Mesin konversi dari energi listrik ke energi mekanik, yaitu<br />
motor listrik.<br />
Di bab ini kita akan mempelajari transformator; setelah mempelajari bab<br />
ini kita akan<br />
• memahami cara kerja transformator;<br />
• mampu menggambarkan diagram fasor transformator;<br />
• mampu melakukan perhitungan-perhitungan pada<br />
transformator satu fasa melalui hasil uji beban nol dan uji<br />
hubung singkat;<br />
• memahami berbagai hubungan transformator untuk sistem tiga<br />
fasa;<br />
• mampu melakukan perhitungan-perhitungan tegangan pada<br />
berbagai hubungan transformator tiga fasa.<br />
2.1. Transformator Satu Fasa<br />
Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam sistem<br />
komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi audio<br />
sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan. Kita<br />
mengenal misalnya input transformers, interstage transformers, output<br />
transformers pada rangkaian radio dan televisi. Transformator juga<br />
29
dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk penyesuaian impedansi<br />
agar tercapai transfer daya maksimum.<br />
Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator<br />
berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan transformator<br />
tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat dilakukan dalam jarak<br />
jauh dan susut daya pada jaringan dapat ditekan. Di jaringan distribusi<br />
listrik banyak digunakan transformator penurun tegangan, dari tegangan<br />
menengah 20 kV menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan<br />
kantor-kantor pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada<br />
umumnya merupakan transformator tiga fasa. Dalam pembahasan ini kita<br />
akan melihat transformator satu fasa lebih dulu.<br />
Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas<br />
rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak ideal<br />
sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan membahas<br />
hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan dipelajari<br />
secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesin-mesin listrik.<br />
Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal untuk<br />
mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun konversi energi<br />
elektromekanik membahas konversi energi antara sistem mekanik dan<br />
sistem listrik, sedangkan transformator merupakan piranti konversi<br />
energi listrik ke listrik, akan tetapi kopling antar sistem dalam kedua hal<br />
tersebut pada dasarnya sama yaitu kopling magnetik.<br />
2.2. Teori Operasi Transformator<br />
Transformator Dua Belitan Tak Berbeban. Jika pada induktor Gb.1.5.<br />
kita tambahkan belitan ke-dua, kita akan memperoleh transformator dua<br />
belitan seperti terlihat pada Gb.2.1. Belitan pertama kita sebut belitan<br />
primer dan yang ke-dua kita sebut belitan sekunder.<br />
I f<br />
φ<br />
+<br />
≈<br />
V s −<br />
E 1<br />
1<br />
2<br />
+<br />
E 2<br />
−<br />
Gb.2.1. Transformator dua belitan.<br />
Jika fluksi di rangkaian magnetiknya adalah φ = Φ maks sin ωt<br />
, maka<br />
fluksi ini akan menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar<br />
30 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
atau dalam bentuk fasor<br />
dφ<br />
e1 = 1<br />
= 1Φ<br />
maksωcos<br />
ωt<br />
(2.1)<br />
dt<br />
o 1ωΦ<br />
maks o<br />
E 1 = E1∠0 =<br />
∠0<br />
; E1<br />
= nilai efektif (2.2)<br />
2<br />
Karena ω = 2π f maka<br />
E<br />
2π<br />
f<br />
<br />
1<br />
1 = Φ maks = 4.44 f 1<br />
2<br />
Φ<br />
maks<br />
Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan sebesar<br />
Dari (2.3) dan (2.4) kita peroleh<br />
E<br />
E<br />
(2.3)<br />
2 = 4 .44 f 2Φ<br />
maks<br />
(2.4)<br />
E<br />
1<br />
2<br />
1<br />
= ≡ a = rasio<br />
<br />
2<br />
transformasi<br />
(2.5)<br />
Perhatikan bahwa E 1 sefasa dengan E 2 karena dibangkitkan oleh fluksi<br />
yang sama. Karena E 1 mendahului φ dengan sudut 90 o maka E 2 juga<br />
mendahului φ dengan sudut 90 o . Jika rasio transformasi a = 1, dan<br />
resistansi belitan primer adalah R 1 , diagram fasor tegangan dan arus<br />
adalah seperti ditunjukkan oleh Gb.2.2.a. Arus I f adalah arus magnetisasi,<br />
yang dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ (90 o<br />
dibelakang E 1 ) yang menimbulkan φ dan I c (sefasa dengan E 1 ) guna<br />
mengatasi rugi inti. Resistansi belitan R 1 dalam diagram fasor ini muncul<br />
sebagai tegangan jatuh I f R 1 .<br />
V 1<br />
I c E 1 =E 2<br />
I c<br />
I f R<br />
φ l E 1 =E 2<br />
1<br />
I φ<br />
I<br />
I<br />
V φ<br />
I f R 1 1<br />
f I f<br />
φ<br />
φ<br />
a). tak ada fluksi bocor b). ada fluksi bocor<br />
Gb.2.2. Diagram fasor transformator tak berbeban<br />
jI f X l<br />
Fluksi Bocor. Fluksi di belitan primer transformator dibangkitkan oleh<br />
arus yang mengalir di belitan primer. Dalam kenyataan, tidak semua<br />
31
fluksi magnit yang dibangkitkan tersebut akan melingkupi baik belitan<br />
primer maupun sekunder. Selisih antara fluksi yang dibangkitkan<br />
oleh belitan primer dengan fluksi bersama (yaitu fluksi yang melingkupi<br />
kedua belitan) disebut<br />
fluksi bocor. Fluksi bocor<br />
ini hanya melingkupi<br />
belitan primer saja dan<br />
tidak seluruhnya berada<br />
dalam inti transformator<br />
tetapi juga melalui udara.<br />
(Lihat Gb.2.3). Oleh<br />
karena itu reluktansi yang<br />
dihadapi oleh fluksi bocor<br />
ini praktis adalah<br />
V s<br />
≈<br />
Gb.2.3. Transformator tak berbeban.<br />
Fluksi bocor belitan primer.<br />
reluktansi udara. Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala<br />
histerisis sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini<br />
ditunjukkan dalam diagram fasor Gb.2.2.b.<br />
Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan induksi di<br />
belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan E 1 ). Tegangan induksi<br />
ini 90 o mendahului φ l1 (seperti halnya E 1 90 o mendahului φ) dan dapat<br />
dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh ekivalen, E l1 , di rangkaian<br />
primer dan dinyatakan sebagai<br />
E l 1 = jI f X 1<br />
(2.6)<br />
dengan X 1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan tegangan<br />
dan arus di rangkaian primer menjadi<br />
V E I R El E I + I<br />
1 = 1 + 1 1 + 1 = 1 + 1R1<br />
j 1X1<br />
(2.7)<br />
Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini adalah<br />
Gb.2.2.b.<br />
Transformator Berbeban. <strong>Rangkaian</strong> transformator berbeban resistif, R B ,<br />
diperlihatkan oleh Gb.2.4. Tegangan induksi E 2 (yang telah timbul dalam<br />
keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian<br />
sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini membangkitkan<br />
fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi bersama φ dan sebagian akan<br />
bocor (kita sebut fluksi bocor sekunder).<br />
I f<br />
φ l1<br />
φ<br />
E 2<br />
32 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
I 1<br />
φ<br />
V s<br />
≈ φ l1<br />
V 2<br />
φ l2<br />
I 2<br />
R B<br />
Gb.2.4. Transformator berbeban.<br />
Fluksi bocor ini, φ l2 , sefasa dengan I 2 dan menginduksikan tegangan E l2<br />
di belitan sekunder yang 90 o mendahului φ l2 . Seperti halnya untuk belitan<br />
primer, tegangan E l2 ini diganti dengan suatu besaran ekivalen yaitu<br />
tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor sekunder X 2 di rangkaian<br />
sekunder. Jika resistansi belitan sekunder adalah R 2 , maka untuk<br />
rangkaian sekunder kita peroleh hubungan<br />
E V I R El V I + I<br />
2 = 2 + 2 2 + 2 = 2 + 2R2<br />
j 2 X 2 (2.8)<br />
dengan V 2 adalah tegangan pada beban R B .<br />
Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi yang<br />
melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan cenderung<br />
mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi di belitan primer<br />
juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke<br />
sumber yang tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi<br />
arus primer yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanyalah<br />
arus magnetisasi I f , bertambah menjadi I 1 setelah transformator<br />
berbeban. Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi<br />
bersama φ dipertahankan dan E 1 juga tetap seperti semula. Dengan<br />
demikian maka persamaan rangkaian primer (2.7) tetap terpenuhi.<br />
Pertambahan arus primer dari I f menjadi I 1 adalah untuk mengimbangi<br />
fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 sehingga φ dipertahankan. Jadi<br />
haruslah<br />
( I − I ) − ( I ) 0<br />
1 1 f 2 2 =<br />
(2.9)<br />
Pertambahan arus primer (I 1 − I f ) disebut arus penyeimbang yang akan<br />
mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus<br />
penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.<br />
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder. Dari<br />
(2.9) kita peroleh arus magnetisasi<br />
33
2.3. Diagram Fasor<br />
I<br />
f<br />
2 I 2<br />
= I1<br />
− ( I 2 ) = I1<br />
−<br />
(2.10)<br />
<br />
a<br />
1<br />
Dengan persamaan (2.7) dan (2.8) kita dapat menggambarkan secara<br />
lengkap diagram fasor dari suatu transformator. Penggambaran kita<br />
mulai dari belitan sekunder dengan langkah-langkah:<br />
Gambarkan V 2 dan I 2 . Untuk beban resistif, I 2 sefasa dengan V 2 .<br />
Selain itu kita dapat gambarkan I ’ 2 = I 2 /a yaitu besarnya arus<br />
sekunder jika dilihat dari sisi primer.<br />
Dari V 2 dan I 2 kita dapat menggambarkan E 2 sesuai dengan<br />
persamaan (2.8) yaitu<br />
<br />
<br />
<br />
E V I R El V I + I<br />
2 = 2 + 2 2 + 2 = 2 + 2R2<br />
j 2 X 2<br />
Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian<br />
sekunder.<br />
Untuk rangkaian primer, karena E 1 sefasa dengan E 2 maka E 1 dapat<br />
kita gambarkan yang besarnya E 1 = aE 2 .<br />
Untuk menggambarkan arus magnetisasi I f kita gambarkan lebih<br />
dulu φ yang tertinggal 90 o dari E 1 . Kemudian kita gambarkan I f yang<br />
mendahului φ dengan sudut histerisis γ. Selanjutnya arus belitan<br />
primer adalah I 1 = I f + I ’ 2.<br />
Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi sesuai<br />
dengan persamaan (2.7), yaitu<br />
V 1 = E1<br />
+ I1R1<br />
+ El1<br />
= E1<br />
+ I1R1<br />
+ jI1X<br />
Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator berbeban.<br />
Gb.2.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud, yang dibuat dengan<br />
mengambil rasio transformasi 1 / 2 = a > 1<br />
jI 1 X 1<br />
E 1<br />
E 2 jI 2 X 2<br />
I 1 R 1<br />
I ’ 2<br />
I 2 V 2 I 2 R 2<br />
φ γ I f<br />
I 1<br />
Gb.2.5. Diagram fasor lengkap,<br />
transformator berbeban resistif . a > 1<br />
V 1<br />
34 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
COTOH 2.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat untuk<br />
tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan ini<br />
dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah<br />
besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita<br />
terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms)? b). Berapa<br />
persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55 V<br />
(rms) pada setengah belitan primer? c). Berapa persenkah<br />
pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms)<br />
pada setengah belitan primer? d). Jika jumlah lilitan di belitan<br />
sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasuskasus<br />
tersebut di atas?<br />
Penyelesaian :<br />
a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φ m<br />
adalah<br />
E1<br />
2 V1<br />
2 220 2<br />
Φ m = = =<br />
1ω<br />
1ω<br />
160ω<br />
Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka<br />
V1′<br />
2 110 2<br />
Φ′ m = =<br />
1ω<br />
160ω<br />
Penurunan fluksi m aksimum adalah 50 %, Φ′ m = Φ m / 2.<br />
b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />
V ′′<br />
Φ ′′ 1 2 55 2 110 2<br />
m = = =<br />
(1/ 2) 1ω<br />
80ω<br />
160ω<br />
Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″ m = Φ m / 2.<br />
c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka<br />
V ′′′<br />
Φ ′′ ′ 1 2 110 2 220 2<br />
m = = =<br />
(1/ 2) 1ω<br />
80ω<br />
160ω<br />
Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″ m =Φ m .<br />
d). Dengan 1 / 2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V,<br />
tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V,<br />
tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan<br />
pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V.<br />
35
Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />
tegangan sekunder adalah 55 V.<br />
COTOH 2.2 : Sebuah transformator satu fasa mempunyai belitan<br />
primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas<br />
penampang inti efektif adalah 60 cm 2 . Jika belitan primer<br />
dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz,<br />
tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di<br />
belitan sekunder.<br />
Penyelesaian :<br />
Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka<br />
1ωΦ<br />
m<br />
500 2<br />
V1<br />
= = 500 → Φ m =<br />
= 0.00563 weber<br />
2<br />
400 × 2π × 50<br />
0.00563<br />
→ Kerapatan fluksi maksimum : Bm<br />
= = 0.94 weber/m<br />
0.006<br />
1000<br />
Tegangan belitan sekunder adalah V 2 = × 500 = 1250 V<br />
400<br />
COTOH 2.3 : Dari sebuah transformator satu fasa diinginkan suatu<br />
perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak<br />
berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi<br />
dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan jumlah<br />
lilitan primer dan sekunder.<br />
Penyelesaian :<br />
Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan<br />
mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,<br />
1ωΦ<br />
m<br />
6000 2<br />
V1<br />
= = 6000 → 1<br />
=<br />
= 450<br />
2<br />
2π × 50 × 0.06<br />
250<br />
⇒ 2 = × 450 = 18.75<br />
6000<br />
Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan<br />
pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φ m tidak akan<br />
terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan<br />
6000<br />
⇒ 2 = 20 lilitan ⇒ 1<br />
= × 20 = 480 lilitan<br />
250<br />
2<br />
36 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
2.4. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />
Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti listrik<br />
biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik ekivalen yang<br />
sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah penafsiran secara<br />
rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan<br />
perilaku suatu piranti. Untuk transformator, ada tiga persamaan yang<br />
menggambarkan perilakunya, yaitu persamaan (2.7), (2.8), dan (2.10),<br />
yang kita tulis lagi sebagai satu set persamaan (2.11).<br />
V1<br />
= E1<br />
+ I1R1<br />
+ jI1X1<br />
;<br />
E2<br />
= V2<br />
+ I 2 R2<br />
+ jI<br />
2 X 2 ;<br />
2 I 2<br />
dengan I′<br />
2 = I 2 =<br />
1<br />
a<br />
I1<br />
= I f + I′<br />
2<br />
(2.11)<br />
Dengan hubungan E 1 = aE 2 dan I′ 2 = I 2 /a maka persamaan ke-dua dari<br />
(2.11) dapat ditulis sebagai<br />
E1<br />
= V2<br />
+ aI′<br />
2 R2<br />
+ jaI′<br />
2 X 2<br />
a<br />
dengan<br />
V2′<br />
= aV2<br />
Dengan (2.12) maka (2.11) menjadi<br />
2<br />
2<br />
⇒ E1<br />
= aV2<br />
+ I′<br />
2 ( a R2<br />
) + jI′<br />
2 ( a X 2 )<br />
;<br />
= V2′<br />
+ I′<br />
2 R2′<br />
+ jI′<br />
2 X 2′<br />
2<br />
2<br />
R2′<br />
= a R2<br />
; X 2′<br />
= a X 2<br />
V 1 = E1<br />
+ I1R<br />
1 + jI1X1; E1<br />
= aV2<br />
+ I′<br />
2R2′<br />
+ jI′<br />
2 X 2′<br />
; I1<br />
= I f + I′<br />
2<br />
(2.12)<br />
(2.13)<br />
I′ 2 , R′ 2 , dan X′ 2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder yang<br />
dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (2.13) dibangunlah rangkaian<br />
ekivalen transformator seperti Gb.2.6. di bawah ini.<br />
I 1 I′ 2<br />
∼<br />
R 1<br />
jX 1<br />
R′ 2<br />
jX′ 2<br />
I f<br />
V 1 E 1 Z<br />
B V′ 2 =aV 2<br />
Gb.2.6. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen diturunkan dari persamaan (2.13).<br />
Pada diagram fasor Gb.2.5. kita lihat bahwa arus magnetisasi dapat<br />
dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu I c dan I φ . I c sefasa<br />
dengan E 1 sedangkan I φ 90 o dibelakang E 1 . Dengan demikian maka<br />
impedansi Z pada rangkaian ekivalen Gb.2.6. dapat dinyatakan sebagai<br />
37
hubungan paralel antara suatu resistansi R c dan impedansi induktif jX φ<br />
sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil menjadi<br />
seperti Gb.2.7.<br />
I 1 I′ 2<br />
∼<br />
I f<br />
R 1<br />
jX 1<br />
R′ 2<br />
jX′ 2<br />
V 1 E<br />
B V′ 2 =aV 2<br />
1<br />
I<br />
R c<br />
I φ<br />
c jX c<br />
Gb.2.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator lebih detil.<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator yang<br />
digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan frekuensi<br />
yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada sistem tenaga<br />
listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2 sampai 5 persen dari<br />
arus beban penuh transformator. Keadaan ini bisa dicapai karena inti<br />
transformator dibangun dari material dengan permeabilitas magnetik<br />
yang tinggi. Oleh karena itu, jika I f diabaikan terhadap I 1 kesalahan yang<br />
terjadi dapat dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat<br />
rangkaian ekivalen menjadi lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.2.8.<br />
I 1 =I′ 2<br />
∼<br />
R e = R 1 +R′ 2<br />
jX e =j(X 1 + X′ 2 )<br />
V 1<br />
B V′ 2<br />
V′ 2<br />
V 1<br />
jI′ 2 X e<br />
I′ 2 R e<br />
I′ 2<br />
Gb.29.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator<br />
disederhanakan dan diagram fasornya.<br />
2.5. Impedansi Masukan<br />
Resistansi beban B adalah R B = V 2 /I 2 . Dilihat dari sisi primer resistansi<br />
tersebut menjadi<br />
38 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
V2′<br />
aV2<br />
V2<br />
RB′ 2 2<br />
= = = a = a R B<br />
(2.14)<br />
I 2′<br />
I 2 / a I 2<br />
Dengan melihat rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.2.10,<br />
impedansi masukan adalah<br />
V1<br />
2<br />
Z in = = Re<br />
+ a RB<br />
+ jX e<br />
I1<br />
2.6. Penentuan Parameter Transformator<br />
(2.15)<br />
Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.2.7. terlihat ada enam parameter<br />
transformator yang harus ditentukan, R 1 , X 1 , R′ 2 , X′ 2 , R c , dan X φ .<br />
Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur langsung<br />
menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan empat parameter<br />
yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti diuraikan berikut ini.<br />
Uji Tak Berbeban ( Uji Beban ol ). Uji beban nol ini biasanya<br />
dilakukan pada sisi tegangan rendah karena catu tegangan rendah<br />
maupun alat-alat ukur tegangan rendah lebih mudah diperoleh. Sisi<br />
tegangan rendah menjadi sisi masukan yang dihubungkan ke sumber<br />
tegangan sedangkan sisi tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan<br />
rendah dilakukan pengukuran tegangan masukan V r , arus masukan I r , dan<br />
daya (aktif) masukan P r . Karena sisi primer terbuka, I r adalah arus<br />
magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua<br />
pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan tegangan<br />
jatuh di reaktansi bocor sehingga V r sama dengan tegangan induksi E r .<br />
Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan kehilangan daya di<br />
resistansi belitan sehingga P r menunjukkan kehilangan daya pada R cr (R c<br />
dilihat dari sisi tegangan rendah) saja.<br />
Pr<br />
Pr<br />
Daya kompleks masukan : Sr<br />
= Vr<br />
I r ; cosθ = =<br />
S V I<br />
⇒<br />
⇒<br />
Icr<br />
= I r cosθ<br />
Vr<br />
Rcr<br />
=<br />
Icr<br />
;<br />
Vr<br />
=<br />
I r cosθ<br />
→ sin θ =<br />
I φr<br />
= I r sin θ<br />
;<br />
Vr<br />
X φr<br />
=<br />
I φr<br />
2 2<br />
Sr<br />
− Pr<br />
Sr<br />
r<br />
Vr<br />
=<br />
I r sin θ<br />
r<br />
r<br />
(2.16)<br />
39
Uji Hubung Singkat. Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan<br />
tinggi dengan si`si tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan<br />
tinggi menjadi sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan.<br />
Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan rendah<br />
masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan tegangan tinggi<br />
dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu tegangan masukan V t ,<br />
arus masukan I t , dan daya (aktif) masukan P t . Tegangan masukan yang<br />
dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi inti menjadi kecil sehingga kita<br />
dapat membuat pendekatan dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan<br />
demikian kita dapat menggunakan rangkaian ekivalen yang<br />
disederhanakan Gb.2.9. Daya P t dapat dianggap sebagai daya untuk<br />
mengatasi rugi-rugi tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen<br />
yang dilihat dari sisi tegangan tinggi R et .<br />
t<br />
t<br />
2<br />
t<br />
P = I<br />
V = I<br />
t<br />
R<br />
Z<br />
et<br />
et<br />
→ R<br />
et<br />
→ Z<br />
P<br />
=<br />
I<br />
et<br />
t<br />
2<br />
t<br />
V<br />
=<br />
I<br />
t<br />
t<br />
;<br />
→ X<br />
e<br />
=<br />
Z<br />
2<br />
et<br />
− R<br />
2<br />
et<br />
(2.17)<br />
Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai R et = R 1 + R′ 2 . Nilai<br />
resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan pengukuran<br />
terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas.<br />
Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai X et = X 1 + X′ 2 . Kita tidak dapat<br />
memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masing-masing<br />
belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing belitan diperlukan<br />
kita dapat mengambil asumsi bahwa X 1 = X′ 2 . Kondisi ini sesungguhnya<br />
benar adanya jika transformator dirancang dengan baik.<br />
COTOH 2.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt, 50<br />
Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat.<br />
Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil<br />
V r = 240 volt, I r = 1.6 amper, P r = 114 watt<br />
Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat<br />
belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi<br />
tegangan tinggi<br />
V t = 55 volt, I t = 10.4 amper, P t = 360 watt<br />
40 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan<br />
tinggi. b). Berapakah rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada<br />
beban penuh ?<br />
Penyelesaian :<br />
a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai R c dan<br />
X φ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari tegangan<br />
rendah, kita sebut R cr dan X φr .<br />
2 2<br />
P 114<br />
(240×<br />
1.6) −114<br />
cos θ = = = 0.3; sin θ =<br />
= 0.95<br />
VI 240×<br />
1.6<br />
240×<br />
1.6<br />
V 240 240<br />
V 240<br />
Rcr<br />
= = = = 500 Ω ; X φ r = = = 158 Ω<br />
I c I cos θ 1.6×<br />
0.3<br />
I φ 1.6×<br />
0.95<br />
Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :<br />
R<br />
X<br />
ct<br />
φt<br />
2<br />
= a R<br />
= a<br />
2<br />
cr<br />
X<br />
⎛<br />
= ⎜<br />
⎝<br />
φr<br />
2<br />
2400 ⎞<br />
⎟<br />
240 ⎠<br />
= 15.8 kΩ<br />
× 500 = 50 kΩ<br />
Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji<br />
hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi tegangan<br />
tinggi ini memberikan<br />
Pt<br />
360<br />
Ret<br />
= = = 3.33 Ω ;<br />
2 2<br />
It<br />
(10.4)<br />
Vt<br />
55<br />
Zet<br />
= = = 5.29 Ω →<br />
It<br />
10.4<br />
X et =<br />
2 2<br />
5.29 = 3.33<br />
= 4.1Ω<br />
b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti transformator<br />
hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban nol. Jadi rugi-rugi<br />
inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt. Rugi-rugi tembaga<br />
tergantung dari besarnya arus. Besarnya arus primer pada beban<br />
penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi pada percobaan<br />
hubung singkat, yaitu<br />
S 25000 2<br />
I 1 = = = 10.4 A → Pcu<br />
= I1<br />
Ret<br />
= (10.4)<br />
2 × 3.33 = 360 W<br />
V 2400<br />
1<br />
41
Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat<br />
sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah<br />
penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.<br />
2.7. Efisiensi dan Regulasi Tegangan<br />
Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai<br />
daya keluaran [watt]<br />
η =<br />
(2.18)<br />
daya masukan [watt]<br />
Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugi-rugi<br />
daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai<br />
rugi - rugi daya [watt]<br />
η =1 −<br />
(2.19)<br />
daya masukan [watt]<br />
Formulasi (2.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator rugirugi<br />
daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji hubung<br />
singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga.<br />
Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan<br />
besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke beban<br />
nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi<br />
V2 beban nol −V2 beban penuh<br />
Regulasi Tegangan =<br />
V2 beban penuh<br />
(2.25)<br />
V1<br />
/ a − V2<br />
V1<br />
− aV2<br />
V1<br />
− V2′<br />
=<br />
= =<br />
V aV<br />
V′<br />
2<br />
Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.2.9. maka (2.25) menjadi<br />
V2 ′ + I′<br />
2 ( R e + jX e ) − V2′<br />
Regulasi Tegangan =<br />
(2.26)<br />
V′<br />
COTOH 2.6 : Transformator pada contoh 2.5. mencatu beban 25 KVA<br />
pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b). Hitunglah<br />
regulasi tegangannya.<br />
Penyelesaian :<br />
Total rugi daya : P c + cu = 114 + 360 = 474 W = 0.474 KW<br />
a). Daya keluaran : Po<br />
= 25000×<br />
0.8 = 20 KW<br />
0.474<br />
Efisiensi : η = 1−<br />
= 0.976 atau 97.6 %<br />
20<br />
b). Mengambil V 2 sebagai referensi : V′ 2 = 10×240 = 2400∠0 o V.<br />
2<br />
2<br />
2<br />
42 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
′ −1<br />
o<br />
I 2 = I 2 / a = (25000 / 240) /10∠ − cos 0.8 = 10.4∠ − 36.8<br />
o<br />
o<br />
2400∠0<br />
+ 10.4∠ − 36.8 (3.33 + j4.1)<br />
− 2400<br />
Reg.Tegangan =<br />
2400<br />
0.022 atau 2.2 %<br />
2.8. Konstruksi Transformator<br />
Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator dengan satu<br />
inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah satu kaki inti dan<br />
belitan sekunder digulung pada kaki inti yang lain. Dalam kenyataan<br />
tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi bocor, belitan primer dan<br />
sekunder masing-masing dibagi menjadi dua bagian dan digulung di<br />
setiap kaki inti. Belitan primer dan sekunder digulung secara konsentris<br />
dengan belitan sekunder berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini<br />
fluksi bocor dapat ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi<br />
bersama. Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk<br />
lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang tentu lebih<br />
tinggi.<br />
Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satu fasa<br />
adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.2.9.a.<br />
memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan sekunder<br />
yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung dekat dengan inti<br />
yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan tinggi. Konstruksi ini<br />
sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah isolasi lebih mudah<br />
ditangani. Gb.2.9.b. memperlihatkan konstruksi tipe sel. Konstruksi ini<br />
sesuai untuk transformator daya dengan arus besar. Inti pada konstruksi<br />
ini memberikan perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.<br />
R / 2 R / 2<br />
T /<br />
T /<br />
2<br />
2<br />
a). tipe inti.<br />
a). tipe sel.<br />
Gb.7.9. Dua tipe konstruksi transformator.<br />
T : jumlah lilitan tegangan tinggi<br />
R : jumlah lilitan tegangan rendah.<br />
R / 4<br />
T / 2<br />
R / 2<br />
T / 2<br />
R / 4<br />
43
2.9. Transformator Pada Sistem Tiga Fasa<br />
Pada sistem tiga fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat dilakukan<br />
dengan dua cara yaitu :<br />
(a) menggunakan tiga unit transformator satu fasa,<br />
(b) menggunakan satu unit transformator tiga fasa.<br />
Transformator tiga fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap kaki<br />
mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran daya yang<br />
sama, penggunaan satu unit transformator tiga fasa akan lebih ringan,<br />
lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga unit<br />
transformator satu fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit transformator<br />
satu fasa juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan satu<br />
unit transformator tiga fasa. Misalnya beaya awal yang lebih rendah, jika<br />
untuk sementara beban dapat dilayani dengan dua unit saja dan unit<br />
ketiga ditambahkan jika penambahan beban telah terjadi. Terjadinya<br />
kerusakan pada salah satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh<br />
penyaluran daya. Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari<br />
berbagai pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah<br />
sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder<br />
transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga fasa melalui tiga unit<br />
transformator satu fasa.<br />
Hubungan ∆−∆. Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu<br />
fasa untuk melayani sistem tiga fasa, hubungan sekunder harus<br />
diperhatikan agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini<br />
diperlihatkan pada Gb.2.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W<br />
sedangkan fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer<br />
kita sebut V UO , V VO , V WO dengan nilai V FP , dan tegangan fasa sekunder<br />
kita sebut V XO , V YO , V ZO dengan nilai V FS . Nilai tegangan saluran<br />
(tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita sebut V LP dan V LS . Nilai<br />
arus saluran primer dan sekunder masing-masing kita sebut I LP dan I LS<br />
sedang nilai arus fasanya I FP dan I FS . Rasio tegangan fasa primer<br />
terhadap sekunder V / V a . Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk<br />
FP FS =<br />
hubungan ∆-∆ kita peroleh :<br />
VLP VFP<br />
I LP I FP 3 1<br />
= = a ; = =<br />
(2.27)<br />
VLS<br />
VFP<br />
I LS I FS 3 a<br />
44 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
U<br />
X<br />
V UO<br />
V XO<br />
V<br />
V VO<br />
V YO<br />
Y<br />
V UV = V UO<br />
V XY = V XO<br />
W<br />
Z<br />
V WO<br />
V ZO<br />
Gb.2.10. Hubungan ∆-∆.<br />
Hubungan ∆-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.11.<br />
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan<br />
tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder<br />
dengan perbedaan sudut fasa 30 o . Dengan mengabaikan rugi-rugi kita<br />
peroleh<br />
VLP VFP<br />
a I LP I FP 3 3<br />
= = ; = =<br />
(2.28)<br />
VLS<br />
VFS<br />
3 3 I LS I FS a<br />
Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30 o .<br />
U<br />
X<br />
V<br />
V UO<br />
V XO<br />
Y<br />
V UV = V UO<br />
V ZO<br />
V XY<br />
W<br />
V VO<br />
V YO<br />
Z<br />
V XO<br />
V WO<br />
V ZO<br />
V YO<br />
Gb.2.11. Hubungan ∆-Y<br />
Hubungan Y-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.12.<br />
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer<br />
dengan perbedaan sudut fasa 30 o , tegangan fasa-fasa sekunder sama<br />
dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut fasa 30 o .<br />
Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder adalah<br />
45
VLP VFP<br />
3 I LP I FP 1<br />
= = a ; = =<br />
(2.29)<br />
VLS<br />
V<br />
I LS I FS a<br />
FS 3<br />
Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat<br />
perbedaan sudut fasa.<br />
U<br />
X<br />
V UO<br />
V XO<br />
V<br />
Y<br />
V VO<br />
V YO<br />
W<br />
Z<br />
V WO<br />
V ZO<br />
V WO<br />
V UV<br />
V ZO<br />
V XY<br />
V UO<br />
V XO<br />
V VO<br />
V YO<br />
Gb2.12. Hubungan Y-Y<br />
Hubungan Y-∆. Hubungan ini terlihat pada Gb.2.13.<br />
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer<br />
dengan perbedaan sudut fasa 30 o , sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder<br />
sama dengan tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi<br />
diperoleh<br />
VLP<br />
VLS<br />
VFP<br />
3<br />
I LP I FP 1<br />
= = a 3 ; = = (2.30)<br />
VFS<br />
I LS I FS 3 a 3<br />
Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30 o .<br />
46 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
U<br />
V<br />
W<br />
V UO<br />
V VO<br />
V WO<br />
V XO<br />
V YO<br />
V ZO<br />
X<br />
Y<br />
Z<br />
V WO<br />
V UV<br />
V XY = V XO<br />
V UO<br />
V ZO<br />
V YO<br />
V VO<br />
Gb.2.13. Hubungan Y-∆<br />
COTOH 2.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa,<br />
tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan<br />
mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah<br />
tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran<br />
untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ;<br />
(d) Y-∆ .<br />
Penyelesaian :<br />
a). Untuk hubungan ∆-∆ :<br />
VFP<br />
VLP<br />
6600<br />
VLS<br />
= VFS<br />
= = = = 550 V ;<br />
a a 12<br />
I LP<br />
I LS = I FS 3 = aI FP 3 = a 3 = 12 × 10 = 120 A.<br />
3<br />
b). Untuk hubungan Y-Y :<br />
47
V<br />
I<br />
LS<br />
LS<br />
= V<br />
FS<br />
== I<br />
FS<br />
VFP<br />
VLP<br />
3 6600<br />
3 = 3 = = = 550 V ;<br />
a 3 a 12<br />
= aI = aI = 12 × 10 = 120 A.<br />
FP<br />
c). Untuk hubungan ∆-Y :<br />
VFP<br />
VLP<br />
6600<br />
VLS<br />
= VFS<br />
3 = 3 = 3 = 3 = 953 V ;<br />
a a 12<br />
I LP 10<br />
I LS = I FS = aI FP = a = 12 = 69,3 A.<br />
3 3<br />
d) Untuk hubungan Y-∆ :<br />
V<br />
I<br />
LS<br />
LS<br />
= V<br />
= I<br />
FS<br />
FS<br />
V<br />
=<br />
a<br />
FP<br />
3 = aI<br />
LP<br />
1 VLP<br />
= =<br />
a 3<br />
FP<br />
3 = aI<br />
1<br />
12<br />
LP<br />
6600<br />
= 318 V ;<br />
3<br />
3 = 12 × 10 ×<br />
3 = 208 A .<br />
Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan daya<br />
masukan.<br />
S keluaran<br />
= Smasukan<br />
= VLP<br />
I LP<br />
3 = 6,6 × 10 3 = 114,3 kVA.<br />
Soal-Soal<br />
1. Sebuah transformator satu fasa diinginkan untuk menurunkan<br />
tegangan bolak-balik 50 Hz dari 20 kV ke 250 V dalam keadaan tak<br />
berbeban. Jika fluksi magnetik dalam inti transformator adalah sekitar<br />
0.08 Wb, tentukan jumlah lilitan belitan primer dan sekundernya.<br />
2. Sebuah transformator tipe inti hendak digunakan untuk menurunkan<br />
tegangan bolak-balik 50 Hz, dari 3000 ke 220 V. Inti berpenampang<br />
persegi dengan ukuran 20 cm × 20 cm. Hitunglah jumlah lilitan pada<br />
kedua belitan jika kerapatan fluksi pada inti dibatasi 1 Wb/m 2 .<br />
3. Jumlah lilitan belitan primer dan sekunder transformator satu fasa<br />
adalah 200 dan 100 lilitan dan resistansinya 0,255 Ω dan 0,074 Ω.<br />
Hitunglah resistansi belitan primer dilihat di sekunder, resistansi<br />
sekunder dilihat di primer, dan resistansi total di sisi primer.<br />
48 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
4. Pada test transformator dengan belitan sekunder dihubung singkat,<br />
diperoleh data sebagai berikut : tegangan primer 60 V, arus 100 A,<br />
daya masukan 1,2 kW. Hitunglah resistansi dan reaktansi<br />
transformator dilihat di sisi primer.<br />
5. Sebuah transformator 40 kVA, 2000/250 V, mempunyai resistansi<br />
belitan primer 1,15 Ω dan resistansi belitan sekunder 0,0155 Ω.<br />
Hitunglah rugi-rugi tembaga total dalam keadaan beban penuh.<br />
6. Sebuah transformator 220/110 V, 50 Hz, mempunyai impedansi<br />
0,3+j0,8 Ω di belitan 220 V dan 0,1+j0,25 Ω di belitan 100 V.<br />
Hitunglah arus di kedua belitan jika terjadi hubung singkat di sisi<br />
tegangan rendah sedangkan sisi tegangan tinggi terhubung pada<br />
tegangan 220 V.<br />
7. Data test pada transformator 15 kVA, 2200/440 V, 50 Hz adalah<br />
sebagai berikut. Test hubung singkat : P = 620 W, I = 40 A, V = 25 V.<br />
Test beban nol : P = 320 W, I = 1 A, V = 440 V.<br />
Hitunglah regulasi tegangan pada pembebanan penuh dengan faktor<br />
daya 0,8 lagging (abaikan arus magnetisasi). Hitung pula efisiensi<br />
pada pembebanan tersebut.<br />
8. Data test pada transformator 110 kVA, 4400/440 V, 50 Hz adalah<br />
sebagai berikut. Test hubung singkat : P = 2000 W, I = 200 A, V = 18<br />
V. Test beban nol : P = 1200 W, I = 2 A, V = 4400 V.<br />
Hitunglah regulasi tegangan pada pembebanan penuh dengan faktor<br />
daya 0,8 lagging (abaikan arus magnetisasi). Hitung pula efisiensi<br />
pada pembebanan tersebut.<br />
9. Data test pada transformator 30 kVA, 2400/240 V, 50 Hz adalah<br />
sebagai berikut. Test hubung singkat : P = 1050 W, I = 18,8 A, V = 70<br />
V. Test beban nol : P = 230 W, I = 3,0 A, V = 240 V.<br />
Jika transformator ini dibebani 12,5 A dengan faktor daya 0,8 lagging<br />
pada sisi 240 V, hitunglah tegangan pada sisi primer dan hitung pula<br />
efisiensinya pada pembebanan tersebut<br />
10. Pada pembebanan penuh transformator 150 kVA, rugi-rugi tembaga<br />
adalah 1600 W dan rugi-rugi besi 1400 W. Hitung efisiensi pada<br />
pembebanan 25%, 33% dan 100% dari beban penuh untuk faktor<br />
daya 1 dan 0,8 lagging. Abaikan pengaruh kenaikan temperatur dan<br />
arus magnetisasi.<br />
49
11. Efisiensi transformator satu fasa 400 kVA adalah 98,77% pada<br />
pembebanan penuh dengan faktor daya 0,8 dan 99,13% pada setengah<br />
beban penuh dengan faktor daya 1. Hitunglah rugi-rugi besi serta<br />
rugi-rugi tembaga pada beban pebuh.<br />
12. Sebuah transformator 6600/440 V, 50 Hz, terhubung ∆-Y dibebani<br />
motor 50 HP, 440 V, faktor daya 0,85, dan efisiensinya 90%. Dengan<br />
mengabaikan arus magnetisasi pada transformator, hitunglah arus di<br />
belitan primer dan sekunder jika motor bekerja pada beban penuh.<br />
13. Tentukan jumlah lilitan per fasa di setiap belitan dari sebuah<br />
transformator 3 fasa dengan rasio tegangan 20000/2000 V, pada<br />
frekuensi 50 Hz dengan hubungan ∆-Y. Luas penampang inti 600 cm 2<br />
dan kerapatan fluksi sekitar 1,2 Wb/m 2 .<br />
14. Tentukan jumlah lilitan per fasa di setiap belitan dari sebuah<br />
transformator 3 fasa dengan rasio tegangan 12000/400 V, pada<br />
frekuensi 50 Hz dengan hubungan Y-∆. Luas penampang inti 400 cm 2<br />
dan kerapatan fluksi sekitar 1,2 Wb/m 2 .<br />
15. Tegangan primer transformator 3 fasa terhubung ∆-Y adalah 12000 V<br />
(fasa-fasa). Pada pembebanan dengan faktor daya 0,8 lagging<br />
tegangan sekunder yang terhubung Y adalah 410 V (fasa-fasa).<br />
Resistansi dan reaktansi ekivalen adalah 1 dan 5%. Tentukan perbandingan<br />
jumlah lilitan primer/sekunder<br />
50 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
BAB 3<br />
Mesin Sinkron<br />
Setelah mempelajari bab ini kita akan<br />
• memahami cara kerja generator sinkron;<br />
• memahami hubungan jumlah kutub, kecepatan perputaran,<br />
frekuensi, dan mampu menghitung tegangan imbas pada<br />
jangkar;<br />
• mampu menggambarkan diagram fasor dan memahami<br />
rangkaian ekivalen mesin sinkron rotor silindris;<br />
• mampu melakukan perhitungan sederhana pada mesin sinkron<br />
melalui karakteristik celah udara dan karakteristik hubung<br />
singkat.<br />
Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari sisi<br />
primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator tersebut sama<br />
bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka mempunyai peubah<br />
sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda besarnya. Kita katakan<br />
bahwa transformator merupakan piranti konversi energi dari energi listrik<br />
ke energi listrik.<br />
Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder<br />
transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan<br />
fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi<br />
primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu dapat<br />
pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis; cara inilah<br />
yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari energi mekanis ke<br />
energi listrik atau disebut konversi energi elektromekanik. Konversi<br />
energi elektromekanik ini tidak hanya dari mekanis ke listrik tetapi juga<br />
dari listrik ke mekanis, dan dilandasi oleh dua hukum dasar yang kita<br />
kenal yaitu hukum Faraday dan hukum Ampere. Secara matematis kedua<br />
hukum ini dinyatakan dalam persamaan (1.1) dan (1.7)<br />
dλ<br />
dφ<br />
e = − = −<br />
(1.1) dan F = K B B i f (θ) (1.7)<br />
dt dt<br />
Persamaan (1.1) menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan dan<br />
persamaan (1.7) menunjukkan bagaimana gaya mekanis ditimbulkan.<br />
Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat luas<br />
digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut generator<br />
51
sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat yaitu konstruksi<br />
kutub tonjol dan konstruksi rotor silindris.<br />
3.1. Mesin Kutub Menonjol<br />
Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.3.1.a. Mesin<br />
ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan a 1 a 11 sampai<br />
c 2 c 22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar yang mendukung<br />
kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat kita memperoleh energi<br />
disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor yang dialiri arus eksitasi<br />
untuk menimbullkan medan magnit disebut belitan eksitasi. Pada gambar<br />
ini ada empat kutub magnit. Satu siklus kutub S-U pada rotor memiliki<br />
kisar sudut (yang kita sebut sudut magnetis atau sudut listrik) 360 o . Kisar<br />
sudut 360 o ini melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang<br />
bergeser 120 o antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a 1 a 11 dan<br />
belitan b 1 b 11 berbeda posisi 120 o , belitan b 1 b 11 dan c 1 c 11 berbeda posisi<br />
120 o , dan mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga<br />
belitan yang lain, yaitu a 2 a 22 , b 2 b 22 , dan c 2 c 22 berada dibawah satu kisaran<br />
kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120 o .<br />
a<br />
b 11<br />
1 c1<br />
c 11 S b 11<br />
a 1 U U a 2<br />
b 22 S c 22<br />
c 2<br />
a 22<br />
a). skema konstruksi b). belitan c). fluksi magnetik<br />
Gb.3.1. Mesin sinkron kutub tonjol<br />
Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub (dua<br />
pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran rotor) sama<br />
dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan antara sudut kisaran<br />
mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah<br />
atau secara umum<br />
b 2<br />
a 1<br />
180 o mekanis = 360 o<br />
θ magnetik [ derajat]<br />
= 2×<br />
θmekanik<br />
[ derajat]<br />
φ<br />
φ<br />
φ<br />
52 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
p<br />
θ magnetik [ derajat]<br />
= × θmekanik<br />
[ derajat]<br />
(3.1)<br />
2<br />
dengan p adalah jumlah kutub.<br />
Kecepatan sudut mekanik adalah<br />
dθmekanik<br />
ω mekanik = = 2π f mekanik<br />
(3.2)<br />
dt<br />
Frekuensi mekanik f mekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik yang<br />
tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik. Biasanya<br />
kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah rotasi per menit<br />
(rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n rpm, maka jumlah<br />
n n<br />
siklus per detik adalah atau f mekanis = siklus per detik.<br />
60<br />
60<br />
Kecepatan sudut magnetik adalah<br />
dθmagnetik<br />
ω magnetik = = 2π f magnetik<br />
(3.3)<br />
dt<br />
Dengan hubungan (3.1) maka (3.3) menjadi<br />
p<br />
p<br />
p n p n<br />
ω magnetik = ωmekanik<br />
= 2π<br />
f mekanik = 2π<br />
= 2π<br />
2<br />
2<br />
2 60 120<br />
yang berarti<br />
p n<br />
f magnetik = siklus per detik (3.4)<br />
120<br />
Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi di<br />
setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi<br />
p n<br />
f magnetik = Hz maka tegangan pada belitanpun akan mempunyai<br />
120<br />
frekuensi<br />
p n<br />
f tegangan = Hz<br />
(3.5)<br />
120<br />
Dengan (3.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi tertentu,<br />
kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah kutub. Jika<br />
diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n = 3000 rpm; jika p =<br />
4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000 rpm, dan seterusnya.<br />
53
Konstruksi mesin dengan kutub menonjol seperti pada Gb.3.1. sesuai<br />
untuk mesin putaran rendah tetapi tidak sesuai untuk mesin putaran<br />
tinggi karena kendala-kendala mekanis. Untuk mesin putaran tinggi<br />
digunakan rotor dengan konstruksi silindris.<br />
180 o mekanis = 360 o magnetik<br />
a 11<br />
φ s<br />
a<br />
θ<br />
1<br />
Gb.3.2. Perhitungan fluksi.<br />
Dengan pergeseran posisi belitan 120 o magnetik untuk setiap pasang<br />
kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga fasa untuk setiap<br />
pasang kutub, yaitu e a1 pada belitan a 1 a 11 , e b1 pada b 1 b 11 , dan e c1 pada<br />
c 1 c 11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan e a2 , e b2 dan e c2 pada<br />
belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi setiap pasang<br />
kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga fasa pada belitanbelitan<br />
yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan yang sefasa,<br />
misalnya e a1 dan e a2 , dapat dijumlahkan untuk memperoleh tegangan<br />
yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk memperoleh arus yang lebih<br />
besar.<br />
Tegangan yang terbangkit di belitan pada umumnya diinginkan<br />
berbentuk gelombang sinus v = Acos ωt<br />
, dengan pergeseran 120 o untuk<br />
belitan fasa-fasa yang lain. Tegangan sebagai fungsi waktu ini pada<br />
transformator dapat langsung diperoleh di belitan sekunder karena<br />
fluksinya merupakan fungsi waktu. Pada mesin sinkron, fluksi<br />
dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor yang dialiri arus searah<br />
sehingga fluksi tidak merupakan fungsi waktu. Akan tetapi fluksi yang<br />
ditangkap oleh belitan stator harus merupakan fungsi waktu agar<br />
persamaan (1.1) dapat diterapkan untuk memperoleh tegangan. Fluksi<br />
sebagai fungsi waktu diperoleh melalui putaran rotor. Jika φ adalah<br />
54 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
fluksi yang dibangkitkan di rotor dan memasuki celah udara antara rotor<br />
dan stator dengan nilai konstan maka, dengan mengabaikan efek<br />
pinggir, laju pertambahan fluksi yang ditangkap oleh belitan stator<br />
adalah<br />
dφ<br />
dθ<br />
s magnetik<br />
= φ = φ ωmagnetik<br />
dt dt<br />
p n<br />
Karena ω magnetik = 2π<br />
f magnetik = 2π<br />
, maka<br />
120<br />
dφ<br />
s<br />
dt<br />
= φ π<br />
p n<br />
60<br />
Dari (3.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu<br />
(3.6)<br />
(3.7)<br />
dφ<br />
s p n<br />
v = −<br />
= −<br />
φ π<br />
(3.8)<br />
dt 60<br />
Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (3.8) memberikan suatu t<br />
egangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah<br />
perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda berikutnya.<br />
Maka (3.8) memberikan tegangan bolak-balik yang tidak sinus. Untuk<br />
memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus berbentuk sinus juga.<br />
Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi sinus terhadap waktu, akan<br />
tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu terhadap θ maknetik . Jadi jika<br />
φ = φ m cos θ maknetik<br />
(3.9)<br />
maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah<br />
( φ cosθ<br />
)<br />
dφs<br />
dφ<br />
d<br />
dθmagnetik<br />
= = m magnetik = −φm<br />
sinθmagnetik<br />
dt dt dt<br />
dt<br />
⎛ p n ⎞<br />
= −φ m ω magnetik sin θ mmagnetik = −φ m⎜2<br />
π ⎟ sin θmagnetik<br />
⎝ 120 ⎠<br />
(3.10)<br />
sehingga tegangan belitan<br />
dφ<br />
s p n<br />
e = −<br />
= π φm<br />
sin θmagnetik<br />
dt 60 (3.11)<br />
= 2π<br />
f φm<br />
sin θmagnetik<br />
= ω φm<br />
sin ωt<br />
Persamaan (3.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang<br />
dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini adalah<br />
55
dan nilai efektifnya adalah<br />
Em<br />
= ω<br />
φm<br />
Volt<br />
(3.12)<br />
Em<br />
ω<br />
φm<br />
2π<br />
f<br />
Erms<br />
= = =<br />
2 2 2<br />
= 4,44 f φm<br />
Volt<br />
φm<br />
56 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)<br />
(3.13)<br />
Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan<br />
perhitungan fluksi seperti diperlihatkan pada Gb.3.2. yang merupakan<br />
penyederhanaan dari konstruksi mesin seperti diperlihatkan pada<br />
Gb.3.1.a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:<br />
1. Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan a 1 a 11 ,<br />
yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun gulungan itu<br />
terdiri dari lilitan. Belitan semacam ini kita sebut belitan<br />
terpusat.<br />
2. Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a 1 dan a 11<br />
adalah 180 o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut kisar<br />
penuh.<br />
Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan, melainkan<br />
terdistribusi di beberapa belitan yang menempati beberapa pasang alur<br />
stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan terdistribusi, yang dapat<br />
menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh (60 o magnetik). Selain dari<br />
pada itu, gulungan yang menempati sepasang alur secara sengaja dibuat<br />
tidak mempunyi lebar satu kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180 o akan<br />
tetapi hanya 80% sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan<br />
terdistribusi dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk<br />
menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan fluksi.<br />
Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi komponen<br />
fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan suatu faktor K w<br />
yang kita sebut faktor belitan. Biasanya K w mempunyai nilai antara 0,85<br />
sampai 0,95. Dengan adanya faktor belitan ini formulasi tegangan (3.13)<br />
menjadi<br />
Erms = 4,44<br />
f K w φm<br />
Volt<br />
(3.14)<br />
Pada pengenalan ini kita hanya melihat mesin sinkron kutub tonjol dalam<br />
keadaan tak berbeban; analisis dalam keadaan berbeban akan kita pelajari<br />
lebih lanjut pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin listrik.<br />
Selanjutnya kita akan melihat mesin sinkron rotor silindris.
COTOH 3.1: Sebuah generator sinkron tiga fasa, 4 kutub, belitan<br />
jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan setiap<br />
alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara sinus<br />
dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan perputaran rotor<br />
1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar dan nilai rms<br />
tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa.<br />
Penyelesaian :<br />
Frekuensi tegangan jangkar adalah<br />
p n 4×<br />
1500<br />
f = = = 50 Hz<br />
120 120<br />
12<br />
Jumlah alur per kutub adalah = 3 yang berarti setiap pasang<br />
4<br />
kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tiga fasa.<br />
Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan.<br />
Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah<br />
E ak = 4 ,44 f φm<br />
= 4,44×<br />
50×<br />
10×<br />
0,03 = 66,6 V<br />
Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2 ×<br />
66,6 = 133 V.<br />
Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.<br />
COTOH 3.2: Soal seperti pada contoh 3.1. tetapi jumlah alur pada<br />
stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain tetap.<br />
Penyelesaian :<br />
Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh<br />
karena itu frekuensi tetap 50 Hz.<br />
24<br />
Jumlah alur per kutub adalah = 6 yang berarti setiap pasang<br />
4<br />
kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem tegangan tiga fasa.<br />
Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub terdiri dari 2 belitan yang<br />
masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai rms tegangan jangkar untuk<br />
setiap belitan adalah<br />
E a1 = 4,44 f φm<br />
V = 4,44×<br />
50×<br />
10×<br />
0,03 = 66,6 V .<br />
57
Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda, maka<br />
terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya. Perbedaan<br />
sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah<br />
360 o<br />
= o<br />
15 mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau 2<br />
24<br />
pasang kutub, maka 1 o mekanik setara dengan 2 o listrik. Jadi selisih<br />
sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30 o listrik sehingga<br />
tegangan rms per fasa per pasang kutub adalah jumlah fasor<br />
tegangan di dua belitan yang berselisih fasa 30 o tersebut.<br />
o<br />
o<br />
E ak = 66,6 + 66,6(cos 30 + j sin 30 ) = 124,8 + j33,3<br />
Karena ada 2 pasang kutub maka<br />
E a<br />
= 2×<br />
2 2<br />
(124,8) + (33,3)<br />
= 258 V<br />
Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V<br />
COTOH 3.3: Soal seperti pada contoh 3.1. tetapi jumlah alur pada<br />
stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat 16 (8<br />
pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375 rpm.<br />
Ketentuan yang lain tetap.<br />
Penyelesaian :<br />
Frekuensi tegangan jangkar :<br />
16×<br />
375<br />
f = = 50 Hz<br />
120<br />
144<br />
Jumlah alur per kutub = 9 yang berarti terdapat 9 belitan per<br />
16<br />
pasang kutub yang membangun sistem tiga fasa. Jadi tiap fasa<br />
terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah<br />
E a1 = 4,44×<br />
50×<br />
10×<br />
0,03 = 66,6 V ; sama dengan tegangan per<br />
belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan dan<br />
fluksi maksimum tidak berubah.<br />
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan adalah<br />
360 o<br />
= o<br />
2,5 mekanik. Karena mesin mengandung 16 kutub (8<br />
144<br />
pasang) maka 1 o mekanik ekivalen dengan 8 o listrik, sehingga beda<br />
o<br />
fasa tegangan pada belitan-belitan adalah 2 ,5 × 8 = 20 listrik.<br />
Tegangan per fasa per pasang kutub adalah jumlah fasor dari<br />
tegangan belitan yang masing-masing berselisih fasa 20 o .<br />
58 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
E<br />
o<br />
o<br />
ak = 66,6 + 66,6∠20<br />
+ 66,6∠40<br />
= 66,61<br />
o o<br />
o o<br />
( + cos 20 + cos 40 + j(sin 20 + sin 40 ))<br />
= 180,2 + j65,6<br />
Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah<br />
E a<br />
= 8×<br />
2 2<br />
(180,2) + (65,6)<br />
= 8×<br />
191,8 = 1534<br />
V<br />
Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V<br />
3.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris<br />
Sebagaimana telah disinggung di atas, mesin kutub tonjol sesuai untuk<br />
perputaran rendah. Untuk perputaran tinggi digunakan mesin rotor<br />
silindris yang skemanya diperlihatkan ada Gb.3.3.<br />
a<br />
b 1<br />
c<br />
U c 1<br />
S b<br />
a 1<br />
Gb.3.3. Mesin sinkron rotor silindris.<br />
Rotor mesin ini berbentuk silinder dengan alur-alur untuk menempatkan<br />
belitan eksitasi. Dengan konstruksi ini, reluktansi magnetik jauh lebih<br />
merata dibandingkan dengan mesin kutub tonjol. Di samping itu kendala<br />
mekanis untuk perputaran tinggi lebih mudah diatasi dibanding dengan<br />
mesin kutub tonjol. Belitan eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah<br />
sehingga rotor membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti terlihat<br />
pada gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat aa 1 , bb 1 dan<br />
cc 1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar tidak terlalu rumit,<br />
walaupun dalam kenyataan pada umumnya dijumpai belitan-belitan<br />
terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari kisaran penuh.<br />
59
Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi rotor<br />
(pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi mirip dengan<br />
tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada transformator kita<br />
mempunyai fluksi konstan, sedangkan pada mesin sinkron fluksi<br />
tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva magnetisasi dari<br />
mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol. Pada uji beban nol,<br />
mesin diputar pada perputaran sinkron (3000 rpm) dan belitan jangkar<br />
terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran pada belitan jangkar sebagai<br />
fungsi arus eksitasi (disebut juga arus medan) pada belitan eksitasi di<br />
rotor. Kurva tegangan keluaran sebagai fungsi arus eksitasi seperti<br />
terlihat pada Gb.3.4. disebut karakteristik beban nol. Bagian yang<br />
berbentuk garis lurus pada kurva itu disebut karakteristik celah udara<br />
dan kurva inilah (dengan ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk<br />
melakukan analisis mesin sinkron.<br />
12000<br />
11000<br />
10000<br />
celah udara<br />
V=kI f<br />
beban-nol<br />
V=V(I f )| I =0<br />
9000<br />
Tegangan Fasa-Netral [V]<br />
8000<br />
7000<br />
6000<br />
5000<br />
4000<br />
3000<br />
2000<br />
1000<br />
hubung singkat<br />
I = I (I f ) | V=0<br />
Arus fasa [A]<br />
0 0 50 100 150 Arus 200medan 250 300[A]<br />
350 400 450 500<br />
Gb30.4. Karakteristik beban-nol dan hubung singkat.<br />
Karakteristik celah udara (linier).<br />
Karakterik lain yang penting adalah karakteritik hubung singkat yang<br />
dapat kita peroleh dari uji hubung singkat. Dalam uji hubung singkat ini<br />
mesin diputar pada kecepatan perputaran sinkron dan terminal belitan<br />
60 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
jangkar dihubung singkat (belitan jangkar terhubung Y). Kita mengukur<br />
arus fasa sebagai fungsi dari arus eksitasi. Kurva yang akan kita peroleh<br />
akan terlihat seperti pada Gb.3.4. Kurva ini berbentuk garis lurus karena<br />
untuk mendapatkan arus beban penuh pada percobaan ini, arus eksitasi<br />
yang diperlukan tidak besar sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari<br />
keadaan jenuh. Fluksi magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang<br />
diperlukan untuk membangkitkan tegangan untuk mengatasi tegangan<br />
jatuh di impedansi belitan jangkar.<br />
Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat<br />
memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus medan.<br />
Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf (lilitan ampere)<br />
untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang mengimbaskan<br />
tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan karakteristik ini kita dapat<br />
menyatakan pembangkit fluksi tidak dengan mmf akan tetapi dengan<br />
arus medan ekivalennya dan hal inilah yang akan kita lakukan dalam<br />
menggambarkan diagram fasor yang akan kita pelajari beikut ini.<br />
Diagram Fasor. Reaktansi Sinkron. Kita ingat bahwa pada<br />
transformator besaran-besaran tegangan, arus, dan fluksi, semuanya<br />
merupakan besaran-besaran yang berubah secara sinusoidal terhadap<br />
waktu dengan frekuensi yang sama sehingga tidak terjadi kesulitan<br />
menyatakannya sebagai fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan dan<br />
arus yang merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor, walaupun<br />
ia merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu tetapi terhadap<br />
posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya. Menurut konsep fasor,<br />
kita dapat menyatakan besaran-besaran ke dalam fasor jika besaranbesaran<br />
tersebut berbentuk sinus dan berfrekuensi sama. Oleh karena itu<br />
kita harus mencari cara yang dapat membuat fluksi rotor dinyatakan<br />
sebagai fasor. Hal ini mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi<br />
rotor sebagai dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan<br />
jangkar. Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia<br />
dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar melihatnya<br />
sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru karena itulah terjadi<br />
tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai dengan hukum Faraday. Dan<br />
sudah barang tentu frekuensi tegangan imbas di belitan jangkar sama<br />
dengan frekuensi fluksi yang dilihat oleh belitan jangkar.<br />
Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga arus<br />
jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.<br />
61
a<br />
U<br />
θ<br />
U<br />
a<br />
S<br />
sumbu<br />
e maks<br />
S<br />
sumbu<br />
i maks<br />
a 1<br />
sumbu<br />
magnet<br />
(a)<br />
(b)<br />
a 1<br />
sumbu<br />
magnet<br />
Gb.3.5. Posisi rotor pada saat e maks dan i maks .<br />
Gb.3.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di aa 1<br />
maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu kerapatan<br />
fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a 1 adalah maksimum.<br />
Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik yang dilingkupi oleh<br />
belitan aa 1 adalah minimum. Sementara itu arus di belitan aa 1 belum<br />
maksimum karena beban induktif. Pada saat arus mencapai nilai<br />
maksimum posisi rotor telah berubah seperti terlihat pada Gb.3.5.b.<br />
Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut<br />
magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama dengan<br />
pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan mmf jangkar<br />
yang membangkitkan medan magnetik lawan yang akan memperlemah<br />
fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini maka arus eksitasi haruslah<br />
sedemikian rupa sehingga tegangan keluaran mesin dipertahankan.<br />
Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami reluktansi<br />
magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf rotor. Hal ini<br />
berbeda dengan mesin kutub tonjol yang akan membuat analisis mesin<br />
kutub tonjol memerlukan cara khusus sehingga kita tidak melakukannya<br />
dalam bab pengenalan ini.<br />
Diagram fasor (Gb.3.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut<br />
1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.<br />
2. Tegangan terminal V a dan arus jangkar I a adalah nominal.<br />
62 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi<br />
tegangan imbas tertinggal 90 o dari fluksi yang<br />
membangkitkannya.<br />
4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor X l dan resistansi R a .<br />
5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.<br />
Dengan mengambil tegangan terminal jangkar V a sebagai referensi, arus<br />
jangkar I a tertinggal dengan sudut θ dari V a (beban induktif). Tegangan<br />
imbas pada jangkar adalah<br />
( R + jX )<br />
E a = Va<br />
+ I a a l<br />
(3.15)<br />
Tegangan imbas E a ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara Φ a<br />
yang dinyatakan dengan arus ekivalen I fa mendahului E a 90 o . Arus<br />
jangkar I a memberikan fluksi jangkar Φ a yang dinyatakan dengan arus<br />
ekivalen I φa . Jadi fluksi dalam celah udara merupakan jumlah dari fluksi<br />
rotor Φ f yang dinyatakan dengan arus ekivalen I f dan fluksi jangkar. Jadi<br />
I fa = I f + I φa<br />
atau I f = I fa − Iφa<br />
(3.16)<br />
Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor I f haruslah cukup untuk<br />
membangkitkan fluksi celah udara untuk membangkitkan E a dan<br />
mengatasi fluksi jangkar agar tegangan terbangkit E a dapat<br />
dipertahankan. Perhatikan Gb.3.6. I f membangkitkan tegangan E aa 90 o di<br />
belakang I f dan lebih besar dari E a .<br />
E aa<br />
I f =I fa − I φa<br />
−I φa<br />
I fa<br />
I φa<br />
θ<br />
γ<br />
jI a X l<br />
V a<br />
I a<br />
I a R a<br />
Gb.3.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.<br />
E a<br />
63
Hubungan antara nilai E a dan I fa diperoleh dari karakteristik celah udara,<br />
sedangkan antara nilai I a dan I φa diperoleh dari karakteristik hubung<br />
singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti terlihat pada Gb.3.6., dapat<br />
dinyatakan dalam bentuk hubungan<br />
E a = kv<br />
I fa dan I a = ki<br />
Iφa<br />
atau<br />
I fa = Ea<br />
/ kv<br />
dan I φ a = I a / ki<br />
(3.17)<br />
dengan k v dan k i adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan<br />
kurva. Dari (3.47) dan Gb.3.6. kita peroleh<br />
Ea<br />
o I a o<br />
I f = I fa − I φa<br />
= ∠(90<br />
+ γ)<br />
+ ∠(180<br />
− θ)<br />
kv<br />
ki<br />
(3.18)<br />
Ea<br />
I a<br />
= j ∠γ − ∠ − θ<br />
kv<br />
ki<br />
Dari (3.18) kita peroleh E aa yaitu<br />
⎛ Ea<br />
I a ⎞<br />
Eaa<br />
= − jkvI<br />
f = − jkv<br />
⎜ j<br />
⎟<br />
∠γ − ∠ − θ<br />
kv<br />
k<br />
⎝<br />
i ⎠<br />
kv<br />
kv<br />
= Ea∠γ + j I a∠ − θ = Ea<br />
+ j I a<br />
ki<br />
ki<br />
Suku kedua (3.19) dapat kita tulis sebagai<br />
jX<br />
I<br />
φa<br />
a dengan<br />
(3.19)<br />
kv<br />
X φ a =<br />
(3.20)<br />
ki<br />
yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat<br />
adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (3.19) dapat ditulis<br />
= Va<br />
+ I a<br />
( R + jX )<br />
a<br />
a<br />
( R + jX )<br />
Eaa<br />
= Ea<br />
+ jX φaI<br />
a = Va<br />
+ I a a l + jX φaI<br />
a<br />
(3.21)<br />
dengan<br />
X<br />
a<br />
= X l + X φa<br />
yang disebut reaktansi sinkron.<br />
Diagram fasor Gb.3.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.3.7. untuk<br />
memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi sinkron.<br />
Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan dengan<br />
memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik linier<br />
64 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh karena itu<br />
reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak jenuh.<br />
E aa<br />
I f =I fa − I φa<br />
−I φa<br />
I fa<br />
I φa<br />
θ<br />
γ<br />
jI a X l<br />
V a<br />
I I a R a a<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Dengan pengertian reaktansi sinkron dan<br />
memperhatikan<br />
persamaan (3.21)<br />
I a<br />
kita dapat<br />
menggambarkan<br />
R<br />
rangkaian<br />
+ a jX a +<br />
ekivalen mesin<br />
− E<br />
V a Beban<br />
aa<br />
−<br />
sinkron dengan<br />
beban seperti<br />
terlihat pada<br />
Gb.3.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen mesin sinkron.<br />
Gb.3.8.<br />
Perhatikanlah bahwa rangkaian ekivalen ini adalah rangkaian ekivalen<br />
per fasa. Tegangan V a adalah tegangan fasa-netral dan I a adalah arus<br />
fasa.<br />
COTOH 3.11 : Sebuah generator sinkron tiga fasa 10 MVA,<br />
terhubung Y, 50 Hz, Tegangan fasa-fasa 13,8 kV, mempunyai<br />
karakteristik celah udara yang dapat dinyatakan sebagai<br />
E a = 53,78<br />
I f V dan karakteristik hubung singkat I a = 2,7<br />
I f A<br />
(I f dalam ampere). Resistansi jangkar per fasa adalah 0,08 Ω dan<br />
E a<br />
jI a X φa<br />
jI a X a<br />
Gb.3.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;<br />
reaktansi reaksi jangkar (X φa ) dan reaktansi sinkron (X a ).<br />
65
eaktansi bocor per fasa 1,9 Ω. Tentukanlah arus eksitasi (arus<br />
medan) yang diperlukan untuk membangkitkan tegangan terminal<br />
nominal jika generator dibebani dengan beban nominal seimbang<br />
pada faktor daya 0,8 lagging.<br />
Penyelesaian :<br />
13800<br />
Tegangan per fasa adalah V a = = 7967,4 V .<br />
3<br />
6<br />
10 × 10<br />
Arus jangkar per fasa : I a =<br />
= 418,4 A .<br />
13800 × 3<br />
Reaktansi reaksi jangkar :<br />
X φ a<br />
kv<br />
=<br />
ki<br />
=<br />
53,78<br />
= 19,92<br />
2,7<br />
Ω<br />
Reaktansi sinkron :<br />
X a = X l + X φ a = 1,9 + 19,92 = 21,82<br />
Ω<br />
Dengan mengambil V a sebagai referensi, maka V a = 7967,4 ∠0 o V<br />
dan I a = 418,4∠−36,87, dan tegangan terbangkit :<br />
E aa = V a + I a ( R a + jXa)<br />
o<br />
= 7967,4∠0<br />
+ 418,4∠ − 36,87(0.08 + j21.82)<br />
o<br />
o<br />
≈ 7967,4∠0<br />
+ 9129,5∠53,13<br />
= 13445,1 + j7303,6<br />
E aa<br />
=<br />
2<br />
2<br />
(13445,1) + (7303,6)<br />
= 15300<br />
V<br />
Arus eksitasi yang diperlukan adalah<br />
I f<br />
E =<br />
aa<br />
kv<br />
15300 = = 284,5<br />
53,78<br />
A<br />
Daya. Daya per fasa yang diberikan ke beban adalah<br />
P f = Va<br />
I a cos θ<br />
(3.22)<br />
Pada umumnya pengaruh resistansi jangkar sangat kecil dibandingkan<br />
dengan pengaruh reaktansi sinkron. Dengan mengabaikan resistansi<br />
jangkar maka diagram fasor mesin sinkron menjadi seperti Gb.3.9.<br />
66 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
E aa<br />
θ<br />
jI a X a<br />
θ<br />
δ<br />
V a<br />
I a<br />
Gb.3.9. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;<br />
resistansi jangkar diabaikan.<br />
Pada Gb.3.9. terlihat bahwa<br />
Eaa<br />
E aa sin δ = Ia<br />
X a cosθ<br />
atau I a cos θ = sin δ .<br />
X a<br />
Dengan demikian maka (3.22) dapat ditulis sebagai<br />
Va<br />
Eaa<br />
P f = sin δ (3.23)<br />
X a<br />
Persamaan (3.23) ini<br />
memberikan formulasi daya<br />
per fasa dan sudut δ<br />
menentukan besarnya daya;<br />
oleh karena itu sudut δ<br />
disebut sudut daya (power<br />
angle). Daya P f merupakan<br />
fungsi sinus dari sudut daya<br />
δ seperti terlihat pada<br />
Gb.3.10.<br />
0<br />
-180 -90 0 90 180<br />
motor<br />
P1.1<br />
f<br />
Untuk 0 < δ < 180 o daya<br />
bernilai positif, mesin beroperasi sebagai generator yang memberikan<br />
daya. (Jangan dikacaukan oleh konvensi pasif karena dalam<br />
menggambarkan diagram fasor untuk mesin ini kita menggunakan<br />
-1.1<br />
generator<br />
δ ( o<br />
listrik)<br />
Gb.3.10. Daya fungsi sudut daya.<br />
67
ketentuan tegangan naik dan bukan tegangan jatuh). Untuk 0 > δ ><br />
−180 o mesin beroperasi sebagai motor, mesing menerima daya.<br />
Dalam pengenalan mesin-mesin listrik ini, pembahasan mengenai mesin<br />
sikron kita cukupkan sampai di sini. Pembahasan lebih lanjut akan kita<br />
peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin listrik.<br />
Soal-Soal<br />
1. Sebuah generator sinkron 3 fasa, 50 Hz, 10 kutub, memiliki 90 alur di<br />
statornya. Fluksi maksimum per kutub adalah sekitar 0,2 Wb.<br />
Tentukanlah jumlah lilitan per belitan jika tegangan fasa-fasa yang<br />
diharapkan adalah 12 kV, dengan belitan jangkar terhubung Y.<br />
2. Sebuah generator sinkron 3 fasa, 10 kutub, hubungan Y, kecepatan<br />
perputaran 600 rpm. Jumlah alur stator 120 dengan 8 konduktor tiap<br />
alur; belitan fasa terhubung seri. Jika fluksi maksimum tiap kutub<br />
adalah 0,06 Wb, hitunglah tegangan imbas fasa-netral dan fasa-fasa.<br />
3. Sebuah generator sikron 3 fasa, 1500 kVA, 6600 V, hubungan Y,<br />
mempunyai karakteristik celah udara sebagai V a = 57,14×<br />
I f V dan<br />
karakteristik hubung singkat I = ,63×<br />
I A . Generator bekerja pada<br />
a<br />
2 f<br />
beban penuh pada faktor daya 0,8 lagging. Jika tegangan jatuh reaktif<br />
dan resistif pada jangkar adalah 8% dan 2% dari tegangan normal,<br />
tentukan eksitasi yang diperlukan.<br />
4. Sebuah generator sikron 3 fasa, 5000 kVA, 6600 V, hubungan Y,<br />
mempunyai karakteristik celah udara sebagai V a = 54,44×<br />
I f V dan<br />
karakteristik hubung singkat I a = 21,87<br />
× I f A . Generator bekerja<br />
pada beban penuh pada faktor daya 0,6 lagging. Jika reaktansi dan<br />
resistansi jangkar per fasa adalah 1 Ω dan 0,2 Ω, tentukan selang<br />
eksitasi yang diperlukan untuk mempertahankan tegangan jangkar<br />
tetap konstan dari beban nol sampai beban penuh.<br />
5. Sebuah generator sikron 3 fasa, 1500 kVA, 6600 V, hubungan Y,<br />
beroperasi pada beban penuh dengan faktor daya 0,8 lagging.<br />
Karakteristik celah udara menunjukkan V a = 217,7<br />
× I f V . Generator<br />
ini mempunyai stator dengan 9 alur per kutub dan tiap alur berisi 6<br />
konduktor. Jika tegangan jatuh induktif adalah 10% pada beban<br />
penuh sedangkan resistansi dapat diabaikan. Rotor adalah kutub<br />
tonjol dengan 125 lilitan tiap kutub. Tentukan arus eksitasi pada<br />
beban penuh.<br />
68 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
BAB 4<br />
Motor Asinkron<br />
Setelah mempelajari bab ini, kita akan<br />
• Memahami cara kerja motor asinkron.<br />
• Mampu melakukan perhitungan-perhitungan sederhana pada motor<br />
asinkron melalui rangkaian ekivalen.<br />
4.1. Konstruksi Dan Cara Kerja<br />
Motor merupakan piranti<br />
konversi dari energi listrik ke<br />
energi mekanik. Salah satu<br />
jenis yang banyak dipakai<br />
adalah motor asinkron atau<br />
motor induksi. Di sini kita<br />
hanya akan melihat motor<br />
asinkron tiga fasa. Stator<br />
memiliki alur-alur untuk<br />
memuat belitan-belitan yang<br />
akan terhubung pada sistem<br />
tiga fasa. Gb.4.1. hanya<br />
memperlihatkan tiga belitan<br />
pada stator sebagai belitan<br />
terpusat, yaitu belitan aa 1 ,<br />
bb 1 dan cc 1 yang berbeda<br />
posisi 120 o mekanik. Susunan belitan ini sama dengan susunan belitan<br />
pada stator generator sinkron. Ketiga belitan ini dapat dihubungkan Y<br />
ataupun ∆ untuk selanjutnya disambungkan ke sumber tiga fasa. Rotor<br />
mempunyai alur-alur yang berisi konduktor dan semua konduktor pada<br />
rotor ini dihubung singkat di ujung-ujungnya. Inilah salah satu konstruksi<br />
rotor yang disebut rotor sangkar (susunan konduktor-konduktor itu<br />
berbentuk sangkar).<br />
Untuk memahami secara fenomenologis cara kerja motor ini, kita melihat<br />
kembali bagaimana generator sinkron bekerja. Rotor generator yang<br />
mendukung kutub magnetik konstan berputar pada porosnya. Magnet<br />
yang berputar ini mengimbaskan tegangan pada belitan stator yang<br />
membangun sistem tegangan tiga fasa. Apabila rangkaian belitan stator<br />
tertutup, misalnya melalui pembebanan, akan mengalir arus tiga fasa<br />
b 1<br />
c<br />
a<br />
c 1<br />
b<br />
a 1<br />
Gb.4.1. Motor asinkron.<br />
69
pada belitan stator. Sesuai dengan hukum Lenz, arus tiga fasa ini akan<br />
membangkitkan fluksi yang melawan fluksi rotor; kejadian ini kita kenal<br />
sebagai reaksi jangkar. Karena fluksi rotor adalah konstan tetapi berputar<br />
sesuai perputaran rotor, maka fluksi reaksi jangkar juga harus berputar<br />
sesuai perputaran fluksi rotor karena hanya dengan jalan itu hukum Lenz<br />
dipenuhi. Jadi mengalirnya arus tiga fasa pada belitan rotor<br />
membangkitkan fluksi konstan yang berputar. Sekarang, jika pada belitan<br />
stator motor asinkron diinjeksikan arus tiga fasa (belitan stator<br />
dihubungkan pada sumber tiga fasa) maka akan timbul fluksi konstan<br />
berputar seperti layaknya fluksi konstan berputar pada reaksi jangkar<br />
generator sinkron. Demikianlah bagaimana fluksi berputar timbul jika<br />
belitan stator motor asikron dihubungkan ke sumber tiga fasa.<br />
Kita akan melihat pula secara skematis, bagaimana timbulnya fluksi<br />
berputar. Untuk itu hubungan belitan stator kita gambarkan sebagai tiga<br />
belitan terhubung Y yang berbeda posisi 120 o mekanis satu sama lain<br />
seperti terlihat pada Gb.4.2.a. Belitan-belitan itu masing-masing dialiri<br />
arus i a , i b , dan i c yang berbeda fasa 120 o listrik seperti ditunjukkan oleh<br />
Gb.4.2.b. Masing-masing belitan itu akan membangkitkan fluksi yang<br />
berubah terhadap waktu sesuai dengan arus yang mengalir padanya. Kita<br />
perhatikan situasi yang terjadi pada beberapa titik waktu.<br />
Perhatikan Gb.4.2. Pada t 1 arus i a maksimum negatif dan arus i b = i c<br />
positif. Ke-tiga arus ini masing-masing membangkitkan fluksi φ a , φ b dan<br />
φ c yang memberikan fluksi total φ tot . Kejadian ini berubah pada t 2 , t 3 , t 4<br />
dan seterusnya yang dari Gb.4.2. terlihat bahwa fluksi total berputar<br />
seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa. Peristiwa ini dikenal<br />
sebagai medan putar pada mesin asinkron.<br />
Kecepatan perputaran dari medan putar harus memenuhi relasi antara<br />
jumlah kutub, frekuensi tegangan, dan kecepatan perputaran sinkron<br />
sebagaimana telah kita kenal pada mesin sinkron yaitu<br />
p n s<br />
120 f<br />
f 1 = Hz atau n 1<br />
s = rpm (4.1)<br />
120<br />
p<br />
dengan f 1 adalah frekuensi tegangan stator, n s adalah kecepatan<br />
perputaran medan putar yang kita sebut perputaran sinkron. Jumlah<br />
kutub p ditentukan oleh susunan belitan stator. Pada belitan stator seperti<br />
pada contoh konstruksi mesin pada Gb.4.1. jumlah kutub adalah 2,<br />
sehingga jika frekuensi tegangan 50Hz maka perputaran sinkron adalah<br />
3000 rpm.<br />
70 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
c<br />
1.1<br />
a).<br />
c 1<br />
b 1<br />
b<br />
a 1<br />
a<br />
0<br />
-1.1<br />
-180 -135 -90 -45 0 45 90 135 180<br />
i a i b i c<br />
t<br />
b).<br />
t 1 t 2 t 3 t 4<br />
i c<br />
i b<br />
i a<br />
i c<br />
i b<br />
i a<br />
i b<br />
i c<br />
i a<br />
i c<br />
i b<br />
i a<br />
φ b<br />
φ a<br />
φ a<br />
φ tot φ a<br />
φ a<br />
φ tot<br />
φ c<br />
φ c<br />
φ b<br />
φ tot<br />
φ b<br />
φ b<br />
φ c<br />
φc<br />
φ tot<br />
t 1<br />
t 2<br />
t 3 t 4<br />
Gb.4.2. Terbentuknya fluksi magnetik yang berbutar.<br />
Arus positif menuju titik netral,<br />
arus negatif meninggalkan titk netral.<br />
Fluksi total φ tot tetap dan berputar.<br />
Untuk membuat jumlah kutub menjadi 4, belitan stator disusun seperti<br />
pada stator mesin sinkron pada Gb.3.1.<br />
Selanjutnya medan magnetik berputar yang ditimbulkan oleh stator akan<br />
mengimbaskan tegangan pada konduktor rotor. Karena konduktor rotor<br />
merupakan rangkaian tertutup, maka akan mengalir arus yang kemudian<br />
berinteraksi dengan medan magnetik yang berputar dan timbullah gaya<br />
sesuai dengan hukum Ampere. Dengan gaya inilah terbangun torka yang<br />
akan membuat rotor berputar dengan kecepatan perutaran n.<br />
Perhatikanlah bahwa untuk terjadi torka, harus ada arus mengalir di<br />
71
konduktor rotor dan untuk itu harus ada tegangan imbas pada konduktor<br />
rotor. Agar terjadi tegangan imbas, maka kecepatan perputaran rotor n<br />
harus lebih kecil dari kecepatan perputaran medan magnetik (yaitu<br />
kecepatan perputaran sinkron n s ) sebab jika kecepatannya sama tidak<br />
akan ada fluksi yang terpotong oleh konduktor. Dengan kata lain harus<br />
terjadi beda kecepatan antara rotor dengan medan putar, atau terjadi slip<br />
yang besarnya adalah :<br />
Nilai s terletak antara 0 dan 1.<br />
ns<br />
− n<br />
s = (4.2)<br />
ns<br />
Rotor Belitan. Pada awal perkenalan kita dengan mesin asinkron, kita<br />
melihat pada konstruksi yang disebut mesin asinkron dengan rotor<br />
sangkar. Jika pada rotor mesin asinkron dibuat alur-alur untuk<br />
meletakkan susunan belitan yang sama dengan susunan belitan stator<br />
maka kita mempunyai mesin asinkron rotor belitan. Terminal belitan<br />
rotor dapat dihubungkan dengan cincin geser (yang berputar bersama<br />
rotor) dan melalui cincin geser ini dapat dihubungkan pada resistor untuk<br />
keperluan pengaturan perputaran. Skema hubungan belitan stator dan<br />
rotor diperlihatkan pada Gb.4.3; pada waktu operasi normal belitan rotor<br />
dihubung singkat. Hubungan seperti ini mirip dengan transformator.<br />
Medan putar akan mengimbaskan tegangan baik pada belitan stator<br />
maupun rotor.<br />
E 1<br />
E 2<br />
belitan stator<br />
Gb.4.3. Skema hubungan belitan stator dan rotor<br />
mesin asinkron rotor belitan. Garis putus-putus<br />
menunjukkan hubung singkat pada operasi normal.<br />
Tegangan imbas pada stator adalah :<br />
belitan rotor<br />
E1<br />
= 4 ,44 f 1K w 1φm<br />
(4.3)<br />
72 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
p ns<br />
dengan K w1 adalah faktor belitan stator, f = = frekuensi tegangan<br />
120<br />
stator, φ m adalah fluksi maksimum di celah udara, 1 adalah jumlah<br />
lilitan belitan stator.<br />
Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan imbas<br />
pada belitan rotor adalah<br />
E2<br />
= 4 ,44 f 2K w 2φm<br />
(4.4)<br />
p ns<br />
dengan K w2 adalah faktor belitan rotor, f = = frekuensi tegangan<br />
120<br />
stator (karena rotor tidak berputar), φ m adalah fluksi maksimum di celah<br />
udara sama dengan fluksi yang mengibaskan tegangan pada belitan<br />
stator, 2 adalah jumlah lilitan belitan rotor.<br />
Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka<br />
terdapat slip seperti ditunjukkan oleh (4.2). Frekuensi tegangan imbas<br />
pada rotor menjadi<br />
p ( ns<br />
− n)<br />
p s ns<br />
f 2 = = = s f Hz<br />
(4.5)<br />
120 120<br />
Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan frekuensi<br />
stator dengan slip s; oleh karena itu ia sering disebut frekuensi slip.<br />
Tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan berputar menjadi<br />
E 22 = sE 2<br />
(4.6)<br />
Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (4.56) dan (4.57)<br />
kita peroleh<br />
E1<br />
1K<br />
w 1<br />
= = a<br />
E2<br />
2K<br />
w2<br />
Situasi ini mirip dengan transformator tanpa beban.<br />
(4.7)<br />
COTOH 4.12 : Tegangan seimbang tiga fasa 50 Hz diberikan kepada<br />
motor asinkron tiga fasa , 4 kutub. Pada waktu motor melayani<br />
beban penuh, diketahui bahwa slip yang terjadi adalah 0,05.<br />
Tentukanlah : (a) kecepatan perputaran medan putar relatif terhadap<br />
stator; (b) frekuensi arus rotor; (c) kecepatan perputaran medan rotor<br />
relatif terhadap rotor; (d) kecepatan perputaran medan rotor relatif<br />
73
terhadap stator; (e) kecepatan perputaran medan rotor relatif<br />
terhadap medan rotor.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Relasi antara kecepatan medan putar relatif terhadap stator<br />
(kecepatan sinkron) dengan frekuensi dan jumlah kutub adalah<br />
p n<br />
f = s<br />
. Jadi kecepatan perputaran medan putar adalah<br />
120<br />
120 f 120 × 50<br />
n s = = = 1500 rpm<br />
p 4<br />
(b) Frekuensi arus rotor adalah f 2 = sf1<br />
= 0,05 × 50 = 2, 5 Hz.<br />
(c) Karena belitan rotor adalah juga merupakan belitan tiga fasa<br />
dengan pola seperti belitan stator, maka arus rotor akan<br />
menimbulkan pula medan putar seperti halnya arus belitan stator<br />
menimbulkan medan putar. Kecepatan perputaran medan putar<br />
rotor relatif terhadap rotor adalah<br />
120 f 2 120 × 2,5<br />
n2 = = = 75 Hz<br />
p 4<br />
(d) Relatif terhadap stator, kecepatan perputaran medan rotor harus<br />
sama dengan kecepatan perputaran medan stator, yaitu<br />
kecepatan sinkron 1500 rpm.<br />
(e) Karena kecepatan perputaran medan rotor sama dengan<br />
kecepatan perputaran medan stator, kecepatan perputaran<br />
relatifnya adalah 0.<br />
4.2. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen yang akan kita pelajari adalah rangkaian ekivalen<br />
per fasa.<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Stator. Jika resistansi belitan primer per fasa adalah<br />
R 1 dan reaktansinya adalah X 1 , sedangkan rugi-rugi inti dinyatakan<br />
dengan rangkaian paralel suatu resistansi R c dan reaktansi X φ seperti<br />
halnya pada transformator. Jika V 1 adalah tegangan masuk per fasa pada<br />
belitan stator motor dan E 1 adalah tegangan imbas pada belitan stator<br />
oleh medan putar seperti diberikan oleh (4.3), maka kita akan<br />
mendapatkan hubungan fasor<br />
74 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
( 1 + 1) 1<br />
V 1 = I1<br />
R jX + E<br />
(4.8)<br />
Fasor-fasor tegangan dan arus serta reaktansi pada persamaan (4.61) ini<br />
adalah pada frekuensi sinkron ω s = 2π f 1 . <strong>Rangkaian</strong> ekivalen stator<br />
menjadi seperti pada Gb.4.4. yang mirip rangkaian primer transformator.<br />
Perbedaan terletak pada besarnya I f yang pada transformator berkisar<br />
antara 2 − 5 persen dari arus nominal, sedangkan pada motor asinkron<br />
arus ini antara 25 − 40 persen arus nominal, tergantung dari besarnya<br />
motor.<br />
I 1<br />
I c<br />
R 1<br />
jX 1 I f<br />
I φ<br />
A<br />
V 1<br />
E 1<br />
R c jX c<br />
B<br />
Gb.4.4. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen stator.<br />
Selain itu reaktansi bocor X 1 pada motor jauh lebih besar karena adanya<br />
celah udara dan belitan stator terdistribusi pada permukaan dalam stator<br />
sedangkan pada transformator belitan terpusat pada intinya. Tegangan E 1<br />
pada terminal AB pada rangkaian ekivalen ini haruslah merefleksikan<br />
peristiwa yang terjadi di rotor.<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Rotor. Jika rotor dalam keadaan berputar maka<br />
tegangan imbas pada rotor adalah E 22 . Jika resistansi rotor adalah R 22<br />
dan reaktansinya adalah X 22 maka arus rotor adalah :<br />
E22<br />
I 22 =<br />
(4.9)<br />
( R 22 + jX 22 )<br />
Perhatikanlah bahwa fasor-fasor tegangan dan arus serta nilai reaktansi<br />
pada persamaan (4.9) ini adalah pada frekuensi rotor ω 2 = 2π f 2 , berbeda<br />
dengan persamaan fasor (4.8). Kita gambarkan rangkaian untuk<br />
persamaan (4.9) ini seperti pada Gb.4.5.a.<br />
75
A′<br />
I 22<br />
R 22<br />
jX 22<br />
A′<br />
I 2<br />
R 2<br />
jsX 2<br />
E 22<br />
sE 2<br />
B′<br />
A′<br />
B′<br />
E 2<br />
I 2<br />
a)<br />
R 2<br />
jX 2<br />
s<br />
c)<br />
Gb.4.5. Pengembangan rangkaian ekivalen rotor.<br />
Menurut (4.6) E 22 = sE 2 dimana E 2 adalah tegangan rotor dengan<br />
frekuensi sinkron ω s . Reaktansi rotor X 22 dapat pula dinyatakan dengan<br />
frekuensi sinkron; jika L 2 adalah induktansi belitan rotor (yang<br />
merupakan besaran konstan karena ditentukan oleh konstruksinya) maka<br />
kita mempunyai hubungan<br />
X 22 = ω2L2<br />
= sω1L2<br />
= sX 2<br />
(4.10)<br />
Di sini kita mendefinisikan reaktansi rotor dengan frekuensi sinkron<br />
X 2 = ω1L2<br />
. Karena Resistansi tidak tergantung frekuensi, kita nyatakan<br />
resistansi rotor sebagai R 2 = R 22 . Dengan demikian maka arus rotor<br />
menjadi<br />
B′<br />
A′<br />
B′<br />
sE<br />
I 2<br />
2 =<br />
(4.11)<br />
R2<br />
+ jsX 2<br />
Persamaan fasor tegangan dan arus rotor (4.64) sekarang ini adalah pada<br />
frekuensi sinkron dan persamaan ini adalah dari rangkaian yang terlihat<br />
pada Gb.4.5.b. Tegangan pada terminal rotor A´B´ adalah tegangan<br />
karena ada slip yang besarnya adalah sE 2 . Dari rangkaian ini kita dapat<br />
menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor per fasa, yaitu<br />
E 2<br />
I 2<br />
R 2<br />
b)<br />
d)<br />
jX 2<br />
R 1−<br />
s<br />
2<br />
s<br />
P I 2<br />
cr = 2 R 2<br />
(4.12)<br />
76 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Jika pembilang dan penyebut pada persamaan (4.64) kita bagi dengan s<br />
kita akan mendapatkan<br />
2<br />
I 2 =<br />
(4.13)<br />
R 2 + jX 2<br />
s<br />
Langkah matematis ini tidak akan mengubah nilai I 2 dan rangkaian dari<br />
persamaan ini adalah seperti pada Gb.4.5.c. Walaupun demikian ada<br />
perbedaan penafsiran secara fisik. Tegangan pada terminal rotor A´B´<br />
sekarang adalah tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan rotor<br />
tidak berputar dengan nilai seperti diberikan oleh (4.14) dan bukan<br />
tegangan karena ada slip. Jika pada Gb.4.5.b. kita mempunyai rangkaian<br />
riil rotor dengan resistansi konstan R dan tegangan terminal rotor yang<br />
tergantung dari slip, maka pada Gb.4.28.c. kita mempunyai rangkaian<br />
ekivalen rotor dengan tegangan terminal rotor tertentu dan resistansi<br />
yang tergantung dari slip. Tegangan terminal rotor pada keadaan terakhir<br />
ini kita sebut tegangan celah udara pada terminal rotor dan daya yang<br />
diserap rotor kita sebut daya celah udara, yaitu :<br />
E<br />
= 2 R<br />
I 2<br />
s<br />
(4.14)<br />
P g<br />
2<br />
Daya ini jauh lebih besar dari P cr pada (4.12). Pada mesin besar nilai s<br />
adalah sekitar 0,02 sehingga P g sekitar 50 kali P cr . Perbedaan antara<br />
(4.14) dan (4.12) terjadi karena kita beralih dari tegangan rotor riil yang<br />
berupa tegangan slip ke tegangan rotor dengan frekuensi sinkron. Daya<br />
nyata P g tidak hanya mencakup daya hilang pada resistansi belitan saja<br />
tetapi mencakup daya mekanis dari motor. Daya mekanis dari rotor ini<br />
sendiri mencakup daya keluaran dari poros motor untuk memutar beban<br />
ditambah daya untuk mengatasi rugi-rugi rotasi yaitu rugi-rugi akibat<br />
adanya gesekan dan angin. Oleh karena itu daya P g kita sebut daya celah<br />
udara artinya daya yang dialihkan dari stator ke rotor melalui celah udara<br />
yang meliputi daya hilang pada belitan rotor (rugi tembaga rotor) dan<br />
daya mekanis rotor. Dua komponen daya ini dapat kita pisahkan jika kita<br />
menuliskan<br />
R 2 ⎛ − s ⎞<br />
= R + R ⎜<br />
1<br />
2 2 ⎟<br />
s ⎝ s ⎠<br />
(4.15)<br />
77
Suku pertama (4.15) akan memberikan daya hilang di belitan rotor (per<br />
fasa) P I 2<br />
cr = 2 R 2 dan suku kedua memberikan daya keluaran mekanik<br />
ekivalen<br />
2 ⎛1<br />
− s ⎞<br />
P m = I 2 R2⎜<br />
⎟<br />
(4.16)<br />
⎝ s ⎠<br />
Dengan cara ini kita akan mempunyai rangkaian ekivalen rotor seperti<br />
pada Gb.4.5.d.<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Lengkap. Kita menginginkan satu rangkaian<br />
ekivalen untuk mesin asinkron yang meliputi stator dan rotor. Agar dapat<br />
menghubungkan rangkaian rotor dengan rangkaian stator, kita harus<br />
melihat tegangan rotor E 2 dari sisi stator dengan memanfaatkan (4.60)<br />
yang memberikan E 1 = aE2<br />
. Jika E 2 pada Gb.4.5.d. kita ganti dengan<br />
E1 = aE 2 , yaitu tegangan rotor dilihat dari sisi stator, maka arus rotor<br />
dan semua parameter rotor harus pula dilihat dari sisi stator menjadi<br />
' '<br />
2 , R '<br />
I 2 dan X 2 . Dengan demikian kita dapat menghubungkan<br />
terminal rotor A´B´ ke terminal AB dari rangkaian stator pada Gb.4.4.<br />
dan mendapatkan rangkaian ekivalen lengkap seperti terlihat pada<br />
Gb.4.6.<br />
I 1<br />
R 1<br />
jX 1<br />
A<br />
'<br />
I 2<br />
V 1<br />
R c<br />
I f<br />
jX c<br />
'<br />
R 2<br />
'<br />
jX 2<br />
'<br />
R 1−<br />
s<br />
2<br />
s<br />
B<br />
Gb.4.6. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen lengkapmotor asikron.<br />
Aliran Daya. Aliran daya per fasa dalam motor asinkron dapat kita baca<br />
dari rangkaian ekivalen sebagai berikut. Daya (riil) yang masuk ke stator<br />
motor melalui tegangan V 1 dan arus I 1 digunakan untuk :<br />
• mengatasi rugi tembaga stator : P I 2<br />
cs = 1 R 1<br />
• mengatasi rugi-rugi inti stator : P inti<br />
78 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
'<br />
R<br />
• daya masuk ke rotor, disebut daya celah udara P g = ( I ' 2<br />
2 ) 2<br />
s<br />
,<br />
yang digunakan untuk<br />
'<br />
• mengatasi rugi-rugi tembaga rotor : P ' 2<br />
cr = ( I 2 ) R 2<br />
• memberikan daya mekanis rotor<br />
' 2 ' ⎛1<br />
− s ⎞<br />
P m = ( I 2 ) R2<br />
⎜ ⎟ , yang terdiri dari :<br />
⎝ s ⎠<br />
• daya untuk mengatasi rugi rotasi (gesekan dan<br />
angin) : P rotasi<br />
• daya keluaran di poros rotor : P o .<br />
Jadi urutan aliran daya secara singkat adalah :<br />
P<br />
= P m − P rotasi<br />
o ; m g cr<br />
P<br />
= P − P ; Pg<br />
Pin<br />
− P − Pcs<br />
= inti<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Pendekatan. Dalam melakukan analisis motor<br />
asinkron kita sering menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan yang<br />
lebih sederhana seperti pada Gb.4.7. Dalam rangkaian ini rugi-rugi<br />
tembaga stator dan rotor disatukan menjadi ( ' 2<br />
I2 ) Re<br />
. Bagaimana R e<br />
dan X e ditentukan akan kita bahas berikut ini.<br />
I 1<br />
'<br />
jX e = jX 1 + jX 2<br />
V 1<br />
R c<br />
I f<br />
'<br />
R e = R 1 + R 2<br />
jX c<br />
'<br />
R 1−<br />
s<br />
2<br />
s<br />
Gb.4.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pendekatan.<br />
4.3. Penentuan Parameter <strong>Rangkaian</strong><br />
Pengukuran Resistansi. Resistansi belitan stator maupun belitan rotor<br />
dapat diukur. Namun perlu diingat bahwa jika pengukuran dilakukan<br />
dengan menggunakan metoda pengukuran arus searah dan pengukuran<br />
dilakukan pada temperatur kamar, harus dilakukan koreksi-koreksi.<br />
Dalam pelajaran lebih lanjut kita akan melihat bahwa resistansi untuk<br />
arus bolak-balik lebih besar dibandingkan dengan resistansi pada arus<br />
searah karena adanya gejala yang disebut efek kulit. Selain dari itu, pada<br />
79
kondisi kerja normal, temperatur belitan lebih tinggi dari temperatur<br />
kamar yang berarti nilai resistansi akan sedikit lebih tinggi.<br />
Uji Beban ol. Dalam uji beban nol stator diberikan tegangan nominal<br />
sedangkan rotor tidak dibebani dengan beban mekanis. Pada uji ini kita<br />
mengukur daya masuk dan arus saluran. Daya masuk yang kita ukur<br />
adalah daya untuk mengatasi rugi tembaga pada beban nol, rugi inti, dan<br />
daya celah udara untuk mengatasi rugi rotasi pada beban nol. Dalam uji<br />
ini slip sangat kecil, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan sehingga<br />
biasanya arus eksitasi dianggap sama dengan arus uji beban nol yang<br />
terukur.<br />
Uji Rotor Diam. Uji ini analog dengan uji hubng singkat pada<br />
transformator. Dalam uji ini belitan rotor di hubung singkat tetapi rotor<br />
ditahan untuk tidak berputar. Karena slip s = 1, maka daya mekanis<br />
keluaran adalah nol. Tegangan masuk pada stator dibuat cukup rendah<br />
untuk membatasi arus rotor pada nilai yang tidak melebihi nilai nominal.<br />
Selain itu, tegangan stator yang rendah (antara 10 – 20 % nominal)<br />
membuat arus magnetisasi sangat kecil sehingga dapat diabaikan.<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen dalam uji ini adalah seperti pada Gb.4.8. Perhatikan<br />
bahwa kita mengambil tegangan fasa-netral dalam rangkaian ekivalen<br />
ini.<br />
I 0<br />
'<br />
jX e = jX 1 + jX 2<br />
'<br />
R e = R 1 + R 2<br />
V fn<br />
Gb.4.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen motor<br />
asikron pada uji rotor diam.<br />
Jika P d adalah daya tiga fasa yang terukur dalam uji rotor diam, I d adalah<br />
arus saluran dan V d adalah tegangan fasa-fasa yang terukur dalam uji ini,<br />
maka<br />
80 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
' Pd<br />
Re<br />
= X1<br />
+ jX 2 =<br />
2<br />
3I<br />
d<br />
Vd<br />
Ze<br />
=<br />
I d 3<br />
X e ==<br />
2 2<br />
'<br />
Ze<br />
− Re<br />
= X1<br />
+ X 2<br />
(4.17)<br />
Jika kita menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan, pemisahan antara<br />
X 1 dan X 2´ tidak diperlukan dan kita langsung memanfaatkan X e .<br />
COTOH 4.12 : Daya keluaran pada poros rotor motor asinkron tiga<br />
fasa 50 Hz adalah 75 kW. Rugi-rugi rotasi adalah 900 W; rugi-rugi<br />
inti stator adalah 4200 W; rugi-rugi tembaga stator adalah 2700 W.<br />
Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah 100 A.. Hitunglah efisiensi<br />
motor jika diketahui slip s = 3,75%.<br />
Penyelesaian:<br />
Dari rangkaian ekivalen Gb.4.29., daya mekanik ekivalen adalah<br />
' 2 ' ⎛1<br />
− s ⎞<br />
P m = ( I 2 ) R2<br />
⎜ ⎟ .<br />
⎝ s ⎠<br />
P m dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor dan<br />
rugi rotasi. Daya keluaran 75 kW yang diketahui, adalah daya<br />
keluaran pada poros rotor sedangkan rugi rotasi diketahui 900 W<br />
sehingga<br />
P m = 75000 + 900 = 75900 W<br />
dan rugi-rugi tembaga rotor adalah<br />
' 2 ' Pm<br />
s 75900 × 0,0375<br />
Pcr<br />
= ( I 2 ) R2<br />
= =<br />
= 2957<br />
1−<br />
s 1 − 0,0375<br />
Efisiensi motor adalah<br />
Pkeluaran<br />
η =<br />
× 100%<br />
Pkeluaran<br />
+ rugi − rugi<br />
75000<br />
=<br />
× 100%<br />
75000 + 4200 + 2700 + 900 + 2957<br />
= 87,45%<br />
W<br />
81
COTOH 4.13 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga fasa<br />
rotor belitan, 200 HP, 380 V, hubungan Y, memberikan data berikut:<br />
daya masuk P d = 10 kW, arus saluran I d = 250 A, V d = 65 Vdan<br />
pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R 1 = 0,02 Ω per<br />
fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator.<br />
Penyelesaian :<br />
Menurut (4.70) kita dapat menghitung<br />
Pd<br />
10000<br />
R e = = = 0,0533 Ω per fasa<br />
2<br />
2<br />
3I<br />
d 3×<br />
(250)<br />
'<br />
R2 = Re − R1<br />
= 0,0533 − 0,02 = 0,0333 Ω per fasa<br />
COTOH 4.14 : Pada sebuah motor asinkron tiga fasa 10 HP, 4 kutub,<br />
220 V, 50 Hz, hubungan Y, dilakukan uji beban nol dan uji rotor<br />
diam.<br />
Beban nol : V 0 = 220 V; I 0 = 9,2 A; P 0 = 670 W<br />
Rotor diam : V d = 57 V; I d = 30 A; P d = 950 W.<br />
Pengukuran resistansi belitan stator menghasilkan nilai 0,15 Ω per<br />
fasa. Rugi-rugi rotasi sama dengan rugi inti stator. Hitung: (a)<br />
parameter-parameter yang diperlukan untuk menggambarkan<br />
rangkaian ekivalen (pendekatan); (b) arus eksitasi dan rugi-rugi inti.<br />
Penyelesaian :<br />
a). Karena terhubung Y, tegangan per fasa adalah<br />
220<br />
V 1 = = 127 V .<br />
3<br />
Uji rotor diam memberikan :<br />
Pd<br />
950<br />
R e = = = 0,35 Ω ;<br />
2<br />
2<br />
3( I d ) 3×<br />
(30)<br />
'<br />
R2 = Re<br />
− R1<br />
= 0,35 − 0,15 = 0,2 Ω<br />
Vd<br />
57<br />
Z e = = = 1,1 Ω ;<br />
3 × I d 3 × 30<br />
X e =<br />
2 2<br />
Z e − Re<br />
=<br />
2 2<br />
(1,1) − (0,35)<br />
= 3,14 Ω<br />
82 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
I 1<br />
jX e =<br />
j3,14<br />
127∠0 o<br />
V<br />
R c<br />
I f<br />
R e<br />
jX c<br />
= 0,35<br />
1− s<br />
0 ,2<br />
s<br />
b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan; jadi<br />
arus yang mengalir pada uji beban nol dapat dianggap arus<br />
eksitasi I f .<br />
Daya pada uji beban nol P 0 = 670 = V0<br />
I f cos θ 3<br />
670<br />
⇒ cos θ =<br />
= 0, 19 lagging.<br />
220 3 × 9,2<br />
o<br />
Jadi : I f = 9,2∠θ = 9,2∠<br />
− 79 .<br />
Rugi inti :<br />
2<br />
2<br />
P inti = P0<br />
− 3×<br />
I0<br />
R1<br />
= 670 − 3×<br />
9,2 × 0,15 = 632 W<br />
COTOH 4.15 : Motor pada contoh 4.14. dikopel dengan suatu beban<br />
mekanik, dan pengukuran pada belitan stator memberikan data :<br />
daya masuk 9150 W, arus 28 A, faktor daya 0,82. Tentukanlah : (a)<br />
arus rotor dilihat dari sisi stator; (b) daya mekanis rotor; (c) slip yang<br />
terjadi; (d) efisiensi motor pada pembebanan tersebut jika diketahui<br />
rugi rotasi 500 W.<br />
Penyelesaian :<br />
a). Menggunakan tegangan masukan sebagai referensi, dari data<br />
pengukuran dapat kita ketahui fasor arus stator, yaitu:<br />
o<br />
I 1 = 28∠<br />
− 35 . Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah :<br />
'<br />
I 2 = I1<br />
− I f<br />
= 28<br />
( 0,82 − j0,57) − 9,2( 0,19 − j0,98)<br />
o<br />
= 22,3∠<br />
−18<br />
o<br />
o<br />
= 28∠ − 35 − 9,2∠ − 79<br />
A<br />
b). Daya mekanik rotor adalah :<br />
= 21,2 − j6,94<br />
Pm<br />
= Pin<br />
− Pi<br />
nti − Pcs<br />
− Pcr<br />
2<br />
2<br />
= 9150 − 632 − 3×<br />
28 × 0,15 − 3×<br />
22,3 × 0,2 = 7867<br />
W<br />
83
c). Slip dapat dicari dari formulasi<br />
' 2 '<br />
3× ( I 2 ) R2<br />
Pg<br />
= Pin<br />
− Pinti<br />
− Pcs<br />
=<br />
.<br />
s<br />
' 2 '<br />
2<br />
3( I 2 ) R2<br />
3×<br />
22,3 × 0,2<br />
s = =<br />
= 0,0365 atau 3,65 %<br />
P 2<br />
g 9150 − 632 − 3×<br />
28 × 0,15<br />
e). Rugi rotasi = 500 W.<br />
Daya keluaran sumbu rotor :<br />
P o = P m − Protasi<br />
= 7867 − 500 = 7367 W<br />
Po<br />
7367<br />
Efisiensi motor : η = × 100% = × 100% = 80%<br />
P in 9150<br />
4.4. Torka<br />
Pada motor asinkron terjadi alih daya dari daya listrik di stator menjadi<br />
daya mekanik di rotor. Sebelum dikurangi rugi-tembaga rotor, alih daya<br />
tersebut adalah sebesar daya celah udara P g dan ini memberikan torka<br />
yang kita sebut torka elektromagnetik dengan perputaran sinkron. Jadi<br />
jika T adalah torka elektromagnetik maka<br />
P g<br />
Pg<br />
= Tωs<br />
atau T = (4.18)<br />
ωs<br />
Torka Asut. Torka asut (starting torque) adalah torka yang dibangkitkan<br />
pada saat s = 1, yaitu pada saat perputaran masih nol. Besarnya arus rotor<br />
ekivalen berdasarkan rangkaian ekivalen Gb.4.7. dengan s = 1 adalah<br />
Besar torka asut adalah<br />
I<br />
'<br />
1<br />
2 = (4.19)<br />
T<br />
a<br />
1<br />
=<br />
ω<br />
P<br />
=<br />
ω<br />
s<br />
' 2<br />
'<br />
( R + R ) + ( X + X ) 2<br />
g<br />
s<br />
1<br />
2<br />
V<br />
1<br />
'<br />
( I )<br />
' 2<br />
'<br />
( R + R ) + ( X + X ) 2<br />
1<br />
1<br />
= × 3<br />
ω<br />
s<br />
2<br />
3V<br />
2<br />
1<br />
R<br />
2<br />
'<br />
2<br />
1<br />
2<br />
2<br />
'<br />
2<br />
R<br />
×<br />
s<br />
2<br />
(4.20)<br />
84 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi besar.<br />
Oleh karena itu pada waktu pengasutan tegangan direduksi dengan<br />
menggunakan cara-cara tertentu untuk membatasinya arus. Sudah barang<br />
tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka asut. Persamaan<br />
(4.20) menunjukkan bahwa jika tegangan dturunkan setengahnya, torka<br />
asut akan turun menjadi seperempatnya.<br />
Torka maksimum. Torka ini penting diketahui, bahkan menjadi<br />
pertimbangan awal pada waktu perancangan mesin dilakukan. Torka ini<br />
biasanya bernilai 2 sampai 3 kali torka nominal dan merupakan<br />
kemampuan cadangan mesin. Kemampuan ini memungkinkan motor<br />
melayani beban-beban puncak yang berlangsung beberapa saat saja.<br />
Perlu diingat bahwa torka puncak ini tidak dapat diberikan secara<br />
kontinyu sebab akan menyebabkan pemanasan yang akan merusak<br />
isolasi.<br />
Karena torka sebanding dengan daya celah udara P g , maka torka<br />
maksimum terjadi jika alih daya ke rotor mencapai nilai maksimum. Dari<br />
rangkaian ekivalen pendekatan Gb.4.9., teorema alih daya maksimum<br />
mensyaratkan bahwa alih daya ke<br />
R 2 ' akan maksimum jika<br />
s<br />
R<br />
s<br />
'<br />
2<br />
m<br />
'<br />
( X + X ) 2<br />
2<br />
= R1<br />
+ 1 2 atau<br />
'<br />
R2<br />
= (4.21)<br />
2<br />
'<br />
R ( ) 2<br />
1 + X1<br />
X 2<br />
s m<br />
+<br />
'<br />
I 1<br />
j ( X 1 + X 2 )<br />
I f<br />
R 1<br />
V 1<br />
R c<br />
jX c<br />
R 2<br />
' s<br />
Gb.4.9. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pendekatan.<br />
Persamaan (4.21) memperlihatkan bahwa s m dapat diperbesar dengan<br />
'<br />
memperbesar R 2 . Suatu motor dapat dirancang agar torka asut<br />
mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan nilai resistansi rotor.<br />
Arus rotor pada waktu terjadi alih daya maksimum adalah<br />
85
'<br />
I2<br />
=<br />
=<br />
V1<br />
2<br />
⎛ '<br />
R ⎞<br />
⎜ R 2<br />
1 + ⎟ +<br />
⎜ s ⎟<br />
⎝ m ⎠<br />
2<br />
2 ⎛ 2<br />
' 2 ⎞<br />
'<br />
'<br />
( X + X ) ⎜ R1<br />
+ R1<br />
+ ( X1<br />
+ X 2) ⎟ + ( X1<br />
+ X 2)<br />
1<br />
V1<br />
' 2<br />
'<br />
( X + X ) + 2( X + ) 2<br />
2 2<br />
2R1<br />
+ 2R1<br />
R1<br />
+ 1 2 1 X2<br />
Torka maksimum adalah<br />
2<br />
'<br />
( I )<br />
=<br />
⎜<br />
⎝<br />
V1<br />
⎟<br />
⎠<br />
2<br />
(4.22)<br />
'<br />
2<br />
1 2 R2<br />
1<br />
3V1<br />
Tm = × 3 2 =<br />
(4.23)<br />
ωs<br />
sm<br />
ωs<br />
⎛<br />
2 ⎞<br />
⎜ 2<br />
'<br />
2 R + + ( + ) ⎟<br />
1 R1<br />
X1<br />
X 2<br />
⎝<br />
⎠<br />
Persamaan (4.23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak<br />
tergantung dari besarnya resistansi rotor. Akan tetapi menurut (4.21) slip<br />
maksimum s m berbanding lurus dengan resistansi rotor. Jadi mengubah<br />
resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan memberikan torka<br />
maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya torka maksimum itu<br />
sendiri.<br />
Karakteristik Torka – Perputaran. Gb.4.10. memperlihatkan bagaimana<br />
torka berubah terhadap perputaran ataupun terhadap slip. Pada gambar<br />
ini diperlihatkan pula pengaruh resistansi belitan rotor terhadap<br />
karakterik torka-perputaran. Makin tinggi resistansi belitan rotor, makin<br />
besar slip tanpa mengubah besarnya torka maksimum.<br />
torka dalam % nominal<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
1<br />
0<br />
s m1<br />
resistansi rotor tinggi<br />
s m 0<br />
n s<br />
resistansi rotor rendah<br />
Gb.4.10. Karakteristik torka – perputaran.<br />
slip<br />
perputaran<br />
86 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Aplikasi. Motor dibagi dalam beberapa katagori menurut karakteristik<br />
spesifiknya sesuai dengan kemampuan dalam penggunaannya. Berikut<br />
ini data motor yang secara umum digunakan, untuk keperluan memutar<br />
beban dengan kecepatan konstan dimana tidak diperlukan torka asut yang<br />
terlalu tinggi. Beban-beban yang dapat dilayani misalnya kipas angin,<br />
blower, alat-alat pertukangan kayu, pompa sentrifugal. Dalam keadaan<br />
tertentu diperlukan pengasutan dengan tegangan yang direduksi dan jenis<br />
motor ini tidak boleh dibebani lebih secara berkepanjangan karena akan<br />
terjadi pemanasan.<br />
Pengendalian. Dalam pemakaian, kita harus memperhatikan<br />
pengendaliannya. Pengendalian berfungsi untuk melakukan asut dan<br />
menghentikan motor secara benar, membalik perputaran tanpa<br />
merusakkan motor, tidak mengganggu beban lain yang tersmbung pada<br />
sistem pencatu yang sama. Hal-hal khusus yang perlu diperhatikan dalam<br />
pengendalian adalah : (a) pembatasan torka asut (agar beban tidak rusak);<br />
(b) pembatasan arus asut; (c) proteksi terhadap pembebanan lebih; (d)<br />
proteksi terhadap penurunan tegangan; (e) proteksi terhadap terputusnya<br />
salah satu fasa (yang dikenal dengan single phasing). Kita cukupkan<br />
sampai di sini pembahasan kita mengenai motor asinkron. Pengetahuan<br />
lebih lanjut akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesinmesin<br />
listrik.<br />
Tabel-4.1. Motor Dalam Aplikasi<br />
HP<br />
jumlah<br />
kutub<br />
torka<br />
asut %<br />
0,5 2 150<br />
sampai 4 150<br />
200 6 135<br />
8 125<br />
10 120<br />
12 115<br />
14 110<br />
16 105<br />
torka<br />
maks<br />
sampai<br />
250 %<br />
tidak<br />
kurang<br />
dari<br />
200 %<br />
arus<br />
asut<br />
500 %<br />
sampai<br />
1000 %<br />
slip<br />
3 %<br />
sampai<br />
5 %<br />
faktor<br />
daya<br />
0,87<br />
sampai<br />
0,89<br />
efisiensi<br />
87 %<br />
sampai<br />
89 %<br />
Soal-Soal<br />
1. Sebuah motor asinkron 3 fasa, 100 HP, 380 V, 50 Hz, mempunyai<br />
rugi-rugi inti stator 4400 W, dan rugi tembaga stator 3000 W. Rugirugi<br />
rotasi adalah 1100 W dan arus ekivalen rotor dilihat di stator<br />
adalah 120 A. Pada slip 4%, hitunglah efisiensi motor.<br />
87
2. Sebuah motor asinkron 3 fasa 20 HP, 380 V, 50 Hz, 6 kutub, belitan<br />
stator terhubung Y. Pengukuran resistansi menunjukkan resistansi<br />
belitan stator 0,13 Ω per fasa. Uji rotor diam memberikan resistansi<br />
ekivalen 0,22 Ω dan reaktansi ekivalen 0,52 Ω. Uji beban nol<br />
memberikan rugi-rugi inti 600 W. Jika motor ini beroperasi dengan<br />
slip 3%, hitunglah : (a) arus saluran; (b) faktor daya; (c) daya<br />
keluaran (HP); (d) Torka asut.<br />
3. Sebuah motor asinkron 3 fasa, 2200 V, 50 Hz, 12 kutub, terhubung<br />
Y. Pada uji beban nol, motor menyerap daya 14 kW pada arus<br />
saluran 20 A. Pengukuran resistansi menghasilkan resistansi belitan<br />
stator 0,4 Ω per fasa. Uji rotor diam menghasilan resistansi ekivalen<br />
0,6 Ω dan reaktansi ekivalen 2,0 Ω. Motor beroperasi pada slip 3%.<br />
Hitunglah: (a) arus masukan; (b) faktor daya; (c) besarnya torka.<br />
4. Sebuah motor asinkron 3 fasa, 100 HP, 380 V, 50 Hz, 12 kutub,<br />
belitan stator terhubung Y. Pengukuran resistansi menghasilkan nilai<br />
resistansi belitan stator 0,06 per fasa. Uji beban nol menunjukkan<br />
rugi-rugi inti 4200 W. Uji rotor diam memberikan resistansi ekivalen<br />
0,11 Ω dan reaktansi ekivalen 0,26 Ω per fasa. Jika motor beroperasi<br />
pada beban penuh dan rugi-rugi rotasi diketahui 1800 W,<br />
tentukanlah : (a) arus masukan; (b) faktor daya; (c) efisiensi.<br />
5. Sebuah motor asinkron 3 fasa, rotor belitan terhubung Y, tegangan<br />
masukan 2200 V. Uji beban nol pada tegangan 2200 Vmemberikan<br />
data arus saluran 16,5 A, daya masuk 12,4 kW. Uji rotor diam<br />
dilakukan pada tegangan masuk 450 V memberikan data arus<br />
saluran 176 A dan daya masuk 37,5 kW. Pengukuran resistansi<br />
stator menghasilkan resistansi 0,28 Ω per fasa. Jika motor beropersai<br />
pada slip 2% dan diketahui rugi-rugi rotasi 2 kW, tentukan nilai<br />
parameter untuk menggambarkan rangkaian ekivalen pendekatan.<br />
6. Pada motor soal nomer 5, tentukanlah : (a) slip untuk memberikan<br />
torka maksimum; (b) arus masukan dan faktor daya pada waktu<br />
terjadi torka maksimum; (c) besarnya torka maksimum.<br />
7. Sebuah motor asinkron rotor sangkar, 400 HP, 2200 V, 6 kutub, 50<br />
Hz, belitan stator terhubung Y, mempunyai parameter<br />
R 1 = 0,2 Ω;<br />
R e = 0,4 Ω;<br />
X e = 0,25 Ω<br />
Rugi-rugi inti stator 8800 W dan rugi-rugi rotasi 4800 W. Jika motor<br />
beroperasi pada slip 2%, dengan menggunakan rangkaian ekivalen<br />
pendekatan hitunglah : (a) arus masukan; (b) faktor daya; (c)<br />
besarnya torka; (d) efisiensi.<br />
88 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
BAB 5<br />
Sinyal onsinus Pada <strong>Rangkaian</strong> Linier<br />
Penyediaan energi listrik pada umumnya dilakukan dengan<br />
menggunakan sumber tegangan berbentuk gelombang sinus. Arus yang<br />
mengalir diharapkan juga berbentuk gelombang sinus. Namun<br />
perkembangan teknologi terjadi di sisi beban yang mengarah pada<br />
peningkatan efisiensi peralatan dalam penggunaan energi listrik. Alat-alat<br />
seperti air conditioner, refrigerator, microwave oven, sampai ke mesin<br />
cuci dan lampu-lampu hemat energi makin banyak digunakan dan semua<br />
peralatan ini menggunakan daya secara intermittent. Peralatan elektronik,<br />
yang pada umumnya memerlukan catu daya arus searah juga semakin<br />
banyak digunakan sehingga diperlukan penyearahan arus. Pembebananpembebanan<br />
semacam ini membuat arus beban tidak lagi berbentuk<br />
gelombang sinus.<br />
Bentuk-bentuk gelombang arus ataupun tegangan yang tidak berbentuk<br />
sinus, namun tetap periodik, tersusun dari gelombang-gelombang sinus<br />
dengan berbagai frekuensi. Gelombang periodik nonsinus ini<br />
mengandung harmonisa.<br />
Pembahasan mengenai harmonisa dalam buku ini diharapkan menjadi<br />
pengantar untuk pembahasan mengenai Kualitas Daya. Kajian mengenai<br />
kualitas daya dalam system penyaluran energi listrik mencakup setiap<br />
permasalahan pada sistem tenaga yang berdampak pada penyimpngan<br />
besaran tegangan, arus, dan frekuensi dan berakibat kegagalan kerja<br />
sistem atau kegagalan operasi peralatan di sisi beban.<br />
Perkembangan teknologi di sisi beban telah memunculkan berbagai<br />
beban dengan karakteristik masing-masing serta berbagai pola<br />
pembebanan. Karena beban terikat pada sistem pasokan daya, maka<br />
tuntutan pembebanan juga akan berimbas pada sistem. Setiap sebab yang<br />
akan menurunkan kinerja sistem perlu dihindarkan atau ditekan<br />
seminimal mungkin. Oleh karena itu muncullah permasalahan kualitas<br />
daya.<br />
Kegagalan kerja sistem tidak harus berarti ‘shut down’ dan kegagalan<br />
operasi peralatan tidak harus berarti ‘rusak’. Penurunan efisiensi dan<br />
penurunan life time termasuk dalam katagori kegagalan kerja sistem dan<br />
peralatan. Dengan demikian maka upaya peningkatan kualitas daya<br />
89
merupakan upaya mencegah kegagalan operasi peralatan di sisi beban<br />
(pengguna akhir) maupun meningkatkan kinerja pasokan. Upaya<br />
peningkatan kualitas dituntut baik pada penyaluran dari pembangkit ke<br />
jaringan, di dalam jaringan, maupun pasokan ke beban.<br />
Masalah faktor daya, ketidak-seimbangan, susut energi di jaringan,<br />
power interruption, adalah masalah-masalah yang selalu muncul dalam<br />
sistem distribusi tenaga listrik. Ketidak-seimbangan pembebanan yang<br />
menyebabkan munculnya komponen-komponen arus negative sequence<br />
dan zero sequence juga akan menambah persoalan di jaringan.<br />
Sesungguhnya persoalan kualitas daya tidak hanya terbatas pada usaha<br />
perbaikan apa yang sudah ada, melainkan mencakup antisipasi pada<br />
keadaan mendatang, baik yang didorong oleh perkembangan teknologi<br />
maupun oleh peraturan-peraturan dan juga kepentingan komersial.<br />
Beberapa perkembangan dalam teknologi energi listrik yang perlu<br />
mendapat perhatian adalah:<br />
a) Distributed Generation<br />
Makin menyusutnya persediaan fossil fuel dan kesadaran akan<br />
lingkungan mendorong upaya ke arah energi alternatif dan energi<br />
terbarukan. Wind power, wave energy, photovoltaic, biomass,<br />
fuelcell, mikrohidro, adalah beberapa contoh. Skala pembangkit<br />
alternatif ini relatif kecil dan kebanyakan tersebar pada lokasi yang<br />
berjauhan. Jika daya dari pembangkit yang relatif kecil ini harus<br />
masuk ke jaringan, maka daya masuk ke jaringan melalui jaringan<br />
distribusi.<br />
b) Energy Storage<br />
Teknologi ini sudah sejak lama menjadi perbincangan. Penyimpanan<br />
energi sejauh ini dilaksanakan pada penyimpanan “energi<br />
pembangkit” seperti energi kimia (batere), mekanik (flywheel), hidro<br />
(hydro pumped storage), panas (thermal storage). Pembangkitan<br />
listrik dari simpanan energi ini juga relative berskala kecil, yang bisa<br />
masuk ke jaringan melalui jaringan distribusi.<br />
c) Power Electronic<br />
Perkembangan di bidang power electronic, dengan beban besar yang<br />
merupakan pembebanan nonlinier, memerlukan perhatian agar<br />
pengaruhnya pada sistem penyaluran daya serta dampaknya terhadap<br />
peralatan-peralatan konvensional sistem (seperti transformator)<br />
90 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
dapat ditekan. Perkembangan konversi AC/DC, diiringi oleh<br />
pengembangan tapis aktif; walaupun demikian pemantauan kaualitas<br />
daya tetap harus dilakukan.<br />
5.1. Pendekatan umerik Sinyal onsinus<br />
Dalam pembahasan harmonisa kita akan menggunakan istilah sinyal<br />
nonsinus untuk menyebut secara umum sinyal periodik seperti sinyal gigi<br />
gergaji dan sebagainya, termasuk sinyal sinus terdistorsi yang terjadi di<br />
sistem tenaga.<br />
Di Bab-3 telah dibahas bagaimana mencari spektrum amplitudo dan<br />
sudut fasa dari bentuk sinyal nonsinus yang mudah dicari persamaannya.<br />
Berikut ini kita akan membahas cara menentukan spektrum amplitudo<br />
sinyal nonsinus melalui pendekatan numerik, yang digunakan jika kita<br />
menghadapi sinyal nonsinus yang tidak mudah dicari persamaannya.<br />
Cara pendekatan ini dapat dilakukan dengan bantuan komputer<br />
sederhana, terutama jika sinyal disajikan dalam bentuk kurva hasil dari<br />
suatu pengukuran analog. Dalam praktik, sinyal nonsinus diukur dengan<br />
menggunakan alat ukur elektronik yang dapat menunjukkan langsung<br />
spektrum amplitudo dari sinyal nonsinus yang diukur.<br />
Penafsiran Grafis Deret Fourier. Pencarian spektrum amplitudo suatu<br />
sinyal periodik y(t) dilakukan melalui penghitungan koefisien Fourier<br />
dengan formula seperti berikut ini.<br />
a<br />
a<br />
b<br />
0<br />
n<br />
n<br />
1<br />
=<br />
T<br />
0<br />
2<br />
=<br />
T<br />
0<br />
2<br />
=<br />
T<br />
0<br />
T0<br />
/ 2<br />
y(<br />
t)<br />
dt<br />
−T<br />
/ 2<br />
dengan T 0 adalah perioda sinyal.<br />
∫<br />
T0<br />
/ 2<br />
y(<br />
t) cos( nω0t)<br />
dt<br />
−T<br />
/ 2<br />
∫<br />
T0<br />
/ 2<br />
y(<br />
t)sin(<br />
nω0t)<br />
dt<br />
−T<br />
/ 2<br />
∫<br />
0<br />
0<br />
0<br />
;<br />
;<br />
n > 0<br />
n > 0<br />
T0<br />
/ 2<br />
Integral<br />
∫<br />
y ( t)<br />
dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva y(t)<br />
− T0<br />
/ 2<br />
dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika luas bidang dalam<br />
rentang satu perioda ini dikalikan dengan (1/T 0 ), yang berarti dibagi<br />
91
dengan T 0 , akan memberikan nilai rata-rata y(t) yaitu nilai komponen<br />
searah a 0 .<br />
T0<br />
/ 2<br />
Integral<br />
∫<br />
y ( t) cos( nω0t)<br />
dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh<br />
− T / 2<br />
0<br />
kurva y( t ) cos( n ω 0 t ) dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika<br />
luas bidang ini dikalikan dengan (2/T 0 ), yang berarti dibagi (T 0 /2), akan<br />
diperoleh a n . Di sini T 0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T 0<br />
terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω 0 .<br />
T0<br />
/ 2<br />
Integral<br />
∫<br />
y ( t) sin( nω0t)<br />
dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh<br />
− T / 2<br />
0<br />
kurva y( t )sin( n ω 0 t ) dengan sumbu-x dalam rentang satu perioda. Jika<br />
luas ini dikalikan dengan (2/T 0 ) akan diperoleh b n . Seperti halnya<br />
penghitungan a n , T 0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T 0<br />
terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω 0 .<br />
Dengan penafsiran hitungan integral sebagai luas bidang, maka<br />
pencarian koefisien Fourier dapat didekati dengan perhitungan luas<br />
bidang. Hal ini sangat membantu karena perhitungan analitis hanya dapat<br />
dilakukan jika sinyal nonsinus yang hendak dicari komponenkomponennya<br />
diberikan dalam bentuk persamaan yang cukup mudah<br />
untuk diintegrasi.<br />
Prosedur Pendekatan umerik. Pendekatan numerik integral sinyal y(t)<br />
dalam rentang p ≤ t ≤ q dilakukan sebagai berikut.<br />
1. Kita bagi rentang p ≤ t ≤ q ke dalam m segmen dengan lebar masingmasing<br />
∆t k ; ∆t k bisa sama untuk semua segmen bisa juga tidak,<br />
tergantung dari keperluan. Integral y(t) dalam rentang p ≤ t ≤ q<br />
dihitung sebagai jumlah luas seluruh segmen dalam rentang tersebut.<br />
Setiap segmen dianggap sebagai trapesium; sisi kiri suatu segmen<br />
merupakan sisi kanan segmen di sebelah kirinya, dan sisi kanan suatu<br />
segmen menjadi sisi kiri segmen di sebelah kanannya. Jika sisi kanan<br />
segmen (trapesium) adalah A k maka sisi kirinya adalah A k-1 , maka<br />
luas segmen ke-k adalah<br />
L<br />
( A + A ) × ∆t<br />
/ 2<br />
k = k k− 1 k<br />
(5.1)<br />
92 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Jadi integral f(t) dalam rentang p ≤ x ≤ q adalah<br />
q<br />
m<br />
f ( t)<br />
dt ≈∑<br />
Lk<br />
(5.2)<br />
p<br />
k=<br />
1<br />
∫<br />
2. Nilai ∆t k dipilih sedemikian rupa sehingga error yang terjadi masih<br />
berada dalam batas-batas toleransi yang kita terima. Jika sinyal<br />
diberikan dalam bentuk grafik, untuk mencari koefisien Fourier dari<br />
harmonisa ke-n, satu perioda dibagi menjadi tidak kurang dari 10×n<br />
segmen agar pembacaan cukup teliti dan error yang terjadi tidak<br />
lebih dari 5%. Untuk harmonisa ke-5 misalnya, satu perioda dibagi<br />
menjadi 50 segmen. Ketentuan ini tidaklah mutlak; kita dapat<br />
memilih jumlah segmen sedemikian rupa sehingga pembacaan<br />
mudah dilakukan namun cukup teliti.<br />
3. Relasi untuk memperoleh nilai koefisien Fourier menjadi seperti<br />
berikut:<br />
m<br />
1<br />
a0<br />
=<br />
T<br />
∑<br />
0 k=<br />
1<br />
m<br />
2<br />
an<br />
=<br />
T<br />
∑<br />
0 k=<br />
1<br />
[ A + A ]<br />
k<br />
k−1<br />
∆tk<br />
=<br />
2<br />
∑<br />
[ A cos( nω<br />
t)<br />
+ A cos( nω<br />
t )]<br />
k<br />
0<br />
k−1<br />
2<br />
Lka0<br />
T0<br />
0 k−1<br />
∆tk<br />
[ A sin( nω<br />
t)<br />
+ A sin( nω<br />
t )]<br />
∑<br />
∑<br />
m<br />
2<br />
−<br />
− ∆ L<br />
k 0 k 1 0 k 1 tk<br />
kbn<br />
bn<br />
= ∑<br />
=<br />
T0<br />
2<br />
T<br />
k=<br />
1 0 / 2<br />
4. Formula untuk sudut fasa adalah<br />
ϕ<br />
n<br />
=<br />
Lkan<br />
T0<br />
/ 2<br />
(5.3)<br />
−1<br />
⎛ b ⎞<br />
⎜<br />
n<br />
= tan ⎟<br />
(5.4)<br />
⎝ an<br />
⎠<br />
5. Perlu disadari bahwa angka-angka yang diperoleh pada pendekatan<br />
numerik bisa berbeda dengan nilai yang diperoleh secara analitis.<br />
Jika misalkan secara analitis seharusnya diperoleh a 1 = 0 dan b 1 =<br />
150, pada pendekatan numerik mungkin diperoleh angka yang sedikit<br />
menyimpang, misalnya a 1 = 0,01 dan b 1 = 150,2.<br />
2 2<br />
6. Amplitudo dari setiap komponen harmonisa adalah A n = an<br />
+ bn<br />
.<br />
Sudut fasa dihitung dalam satuan radian ataupun derajat dengan<br />
mengingat letak kuadran dari vektor amplitudo seperti telah dibahas<br />
93
pada waktu kita membahas spektrum sinyal dalam Bab-3. Persamaan<br />
sinyal nonsinus adalah<br />
2 2<br />
( ) 0 ∑ ∞ y t = a +<br />
⎡<br />
a + cos( ω0<br />
− ϕ )<br />
⎤<br />
n bn<br />
n t n (5.5)<br />
⎢⎣<br />
⎥⎦<br />
n=<br />
1<br />
Berikut ini kita lihat sinyal periodik yang diberikan dalam bentuk kurva<br />
yang tak mudah dicari persamaannya. Prosedur pendekatan numerik<br />
dilakukan dengan membaca kurva yang memerlukan kecermatan. Hasil<br />
pembacaan kita muatkan dalam suatu tabel seperti pada contoh berikut<br />
ini.<br />
COTOH-5.1:<br />
200<br />
y[volt]<br />
150<br />
100<br />
50<br />
0<br />
-50<br />
0 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0,014 0,016 0,018 0,02<br />
t[detik]<br />
-100<br />
-150<br />
-200<br />
Carilah komponen searah, fundamental, dan harmonisa ke-3 sinyal<br />
periodik y(t) yang dalam satu perioda berbentuk seperti yang<br />
diperlihatkan dalam gambar di atas. Perhatikan bahwa gambar ini<br />
adalah gambar dalam selang satu periode yang berlangsung dalam<br />
0,02 detik, yang sesuai dengan frekuensi kerja 50 Hz.<br />
Penyelesaian: Perhitungan diawali dengan menetapkan nilai t<br />
dengan interval sebesar ∆t = 0,0004 detik, kemudian menentukan A k<br />
untuk setiap segmen. Sisi kiri segmen pertama terjadi pada t = 0 dan<br />
sisi kanannya menjadi sisi kiri segmen ke-dua; dan demikian<br />
selanjutnya dengan segmen-segmen berikutnya. Kita tentukan pula<br />
sisi kanan segmen terakhir pada t = T 0 . Hasil perhitungan yang<br />
94 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
diperoleh dimuatkan dalam Tabel-5.1 (hanya ditampilkan sebagian),<br />
dimana sudut fasa dinyatakan dalam satuan radian. Pembulatan<br />
sampai 2 angka di belakang koma.<br />
Tabel-5.1. <strong>Analisis</strong> Harmonisa Sinyal Nonsinus pada Contoh-5.1.<br />
T 0 = 0,02 s<br />
∆t k = 0,0004 s<br />
Komp.<br />
searah<br />
Fundamental<br />
f 0 = 1/T 0 = 50 Hz<br />
Harmonisa ke-3<br />
t A k L ka0 L ka1 L kb1 L ka3 L kb3<br />
0 50<br />
0,0004 75 0,025 0,025 0,002 0,024 0,006<br />
0,0008 100 0,035 0,034 0,007 0,029 0,019<br />
0,0012 120 0,044 0,042 0,014 0,025 0,035<br />
: : : : : : :<br />
0,0192 -5 -0,006 -0,006 0,002 -0,003 0,005<br />
0,0196 20 0,003 0,003 0,000 0,003 -0,001<br />
0,02 50 0,014 0,014 -0,001 0,014 -0,001<br />
Jumlah L k 0,398 0,004 1,501 -0,212 0,211<br />
a 0 19,90<br />
a 1 , b 1 0,36 150,05<br />
a 3 , b 3 −21,18 21,13<br />
Ampli-1, ϕ 1 150,05 1,57<br />
Ampli-3, ϕ 3 29,92 -0,78<br />
Tabel ini memberikan<br />
a0<br />
= 19,90<br />
a1<br />
= 0,36; b1<br />
= 150,05<br />
a3<br />
= −21,18;<br />
b3<br />
= 21,13 ⇒<br />
2 2<br />
⇒ A1<br />
= 0,36 + 150,05 = 150,05<br />
−1<br />
ϕ1<br />
= tan (150,05 / 0,36) = 1,57<br />
A3<br />
=<br />
2 2<br />
( −21,18)<br />
+ 21,13<br />
= 29,92<br />
−1<br />
ϕ3<br />
= tan (21,13/ − 21,18) = −0,78<br />
Sesungguhnya kurva yang diberikan mengandung pula harmonisa kedua.<br />
Apabila harmonisa ke-dua dihitung , akan memberikan hasil<br />
a 2 = 49,43 dan b 2 = −0, 36<br />
amplitudo A 2 = 49,43 dan ϕ 2 = −0, 01<br />
95
Dengan demikian uraian sampai dengan harmonisa ke-3 dari sinyal<br />
yang diberikan adalah<br />
y(<br />
t)<br />
= 19,90 + 150,05cos(2πf<br />
0t<br />
−1,57)<br />
+ 49,43cos(4πf<br />
0t<br />
+ 0,01)<br />
+ 29,92cos(6πf<br />
0t<br />
+ 0,78)<br />
5.2. Elemen Linier Dengan Sinyal onsinus<br />
Hubungan tegangan dan arus elemen-elemen linier R, L, C, pada sinyal<br />
sinus di kawasan waktu berlaku pula untuk sinyal periodik nonsinus.<br />
COTOH-5.2: Satu kapasitor C mendapatkan tegangan nonsinus<br />
v = 100 sin( ωt<br />
+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />
− 0,2) + 10sin(5ωt<br />
+ 1,5) V<br />
(a) Tentukan arus yang mengalir pada kapasitor. (b) Jika C = 30 µF,<br />
dan frekuensi f = 50 Hz, gambarkan (dengan bantuan komputer)<br />
kurva tegangan dan arus kapasitor.<br />
Penyelesaian:<br />
dv<br />
(a) Hubungan tegangan dan arus kapasitor adalah i C = C<br />
dt<br />
Oleh karena itu arus kapasitor adalah<br />
d 100sin( ωt<br />
+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />
− 0,2) + 10sin(5ωt<br />
+ 1,5)<br />
i C = C<br />
dt<br />
= 100ωC<br />
cos( ωt<br />
+ 0,5) + 60ωC<br />
cos(3ωt<br />
− 0,2)<br />
{ }<br />
= 100ωC<br />
sin( ωt<br />
+ 2,07) + 60ωC<br />
sin(3ωt<br />
+ 1,37)<br />
+ 50ωC<br />
cos(5ωt<br />
+ 1,5)<br />
+ 50ωC<br />
sin(5ωt<br />
+ 3,07) A<br />
(b) Kurva tegangan dan arus adalah seperti di bawah ini.<br />
150<br />
[V]<br />
100<br />
50<br />
0<br />
-50<br />
-100<br />
-150<br />
v C<br />
5 [A]<br />
i C<br />
2,5<br />
0 0.005 0.01<br />
0<br />
0.015 detik 0.02<br />
−2,5<br />
−5<br />
96 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Kurva tegangan dan arus pada contoh ini merupakan fungsi-fungsi<br />
nonsinus yang simetris terhadap sumbu mendatar. Nilai rata-rata<br />
fungsi periodik demikian ini adalah nol. Pendekatan numerik<br />
memberikan nilai rata-rata<br />
vrr<br />
−14<br />
= 1,8 × 10 V dan<br />
−17<br />
irr<br />
= 5 × 10 A.<br />
5.3. ilai Rata-Rata Dan ilai Efektif Sinyal onsinus<br />
ilai Rata-Rata. Sesuai dengan definisi untuk nilai rata-rata, nilai ratarata<br />
sinyal nonsinus y(t) dengan perioda T 0 adalah<br />
1<br />
Yrr<br />
=<br />
T0<br />
T<br />
y(<br />
t)<br />
dt<br />
0<br />
∫<br />
(5.6)<br />
Nilai rata-rata sinyal nonsinus adalah komponen searah dari sinyal<br />
tersebut.<br />
ilai Efektif. Definisi nilai efektif sinyal periodik y(t) dengan perioda T 0<br />
adalah<br />
Yrms<br />
=<br />
1<br />
T0<br />
T<br />
2<br />
y ( t)<br />
dt<br />
0<br />
∫<br />
(5.7)<br />
Dengan demikian maka nilai efektif sinyal sinus y 1 = Y m1 sin(ωt + θ)<br />
adalah<br />
1 T<br />
2 2<br />
Ym<br />
Y 1rms<br />
= Ym<br />
sin ( )<br />
1<br />
1 ωt<br />
+ θ dt =<br />
(5.8)<br />
T ∫<br />
0 0<br />
2<br />
Nilai efektif sinyal nonsinus ∑ ∞ y ( t)<br />
= Y0 + Ymn<br />
sin( nω0t<br />
+ θn<br />
) adalah<br />
n=<br />
1<br />
Yrms<br />
=<br />
1<br />
T0<br />
T ⎛<br />
∫ ⎜<br />
⎜ Y + ∑ ω + θ<br />
⎟ ⎟ 0 Ymn<br />
sin( n 0t<br />
n )<br />
0<br />
n=<br />
1<br />
⎠<br />
⎝<br />
∞<br />
2<br />
⎞<br />
dt<br />
Jika ruas kiri dan kanan dikuadratkan, kita dapatkan<br />
97
2 1<br />
Y rms =<br />
T0<br />
2 1<br />
Y rms =<br />
T0<br />
1<br />
+<br />
T0<br />
∫<br />
∫<br />
T ⎛<br />
Melalui kesamaan trigonometri<br />
∫ ⎜<br />
⎜ Y0<br />
+ ∑Ymn<br />
sin( nω0t<br />
+ θn<br />
)<br />
⎟ ⎟ 0<br />
n=<br />
1<br />
⎠<br />
⎝<br />
∞<br />
T ⎛ ∞<br />
⎞<br />
⎜ 2 2 2<br />
Y<br />
⎟<br />
⎜ 0 + ∑Ymn<br />
sin ( nω0t<br />
+ θn<br />
) dt<br />
0<br />
⎟<br />
⎝ n=<br />
1<br />
⎠<br />
2<br />
⎞<br />
dt<br />
atau<br />
⎛ ∞<br />
⎞<br />
⎜2Y<br />
⎟<br />
⎜ 0∑Ymn<br />
sin( nω0t<br />
+ θn<br />
)<br />
⎟<br />
⎜ n=<br />
1<br />
⎟<br />
⎜<br />
∞<br />
⎟<br />
T ⎜+<br />
2Y<br />
ω + θ ∑ ω + θ ⎟<br />
m1<br />
sin( 0t<br />
1)<br />
Ymn<br />
sin( n 0t<br />
n )<br />
⎜<br />
⎟dt<br />
0<br />
n=<br />
2<br />
⎜<br />
⎟<br />
⎜<br />
∞<br />
⎟<br />
⎜+<br />
2Ym2<br />
sin(2ω0t<br />
+ θ2<br />
) ∑Ymn<br />
sin( nω0t<br />
+ θn<br />
) ⎟<br />
⎜<br />
n=<br />
3<br />
⎟<br />
⎜<br />
⎟<br />
⎝+<br />
.................................<br />
⎠<br />
2 sin α sin β = cos( α − b ) − cos( α + β)<br />
(5.9)<br />
dan karena Y 0 bernilai tetap maka suku ke-dua ruas kanan (5.8)<br />
merupakan penjumlahan nilai rata-rata fungsi sinus yang masing-masing<br />
memiliki nilai rata-rata nol, sehingga suku ke-dua ini bernilai nol. Oleh<br />
karena itu (5.9) dapat kita tulis<br />
atau<br />
2 1<br />
Y rms =<br />
T<br />
T ⎛<br />
∫ ⎜<br />
⎜ 2 2 2<br />
Y0<br />
+ ∑Y<br />
ω + θ<br />
⎟ ⎟ nm sin ( n 0t<br />
n )<br />
0<br />
n=<br />
1<br />
⎠<br />
⎝<br />
∞<br />
∞<br />
2 1 t<br />
2 1<br />
Y rms =<br />
∫<br />
Y0<br />
dt +<br />
T 0 T<br />
n=<br />
1<br />
∞<br />
2 2<br />
= Y0<br />
+ ∑Ynrms<br />
n=<br />
1<br />
∑ ∫<br />
⎞<br />
dt<br />
T<br />
2 2<br />
Ynm<br />
sin ( nω0t<br />
+ θn)<br />
dt<br />
0<br />
(5.10)<br />
(5.11)<br />
Persamaan (5.11) menunjukkan bahwa kuadrat nilai efektif sinyal non<br />
sinus sama dengan jumlah kuadrat komponen searah dan kuadrat semua<br />
nilai efektif konponen sinus. Kita perlu mencari formulasi yang mudah<br />
untuk menghitung nilai efektif ini. Kita bisa memandang sinyal nonsinus<br />
sebagai terdiri dari tiga macam komponen yaitu komponen searah (y 0 ),<br />
98 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
komponen fundamental (y 1 ), dan komponen harmonisa (y h ). Komponen<br />
searah adalah nilai rata-rata sinyal, komponen fundamental adalah<br />
komponen dengan frekuensi fundamental ω 0 , sedangkan komponen<br />
harmonisa merupakan jumlah dari seluruh komponen harmonisa yang<br />
memiliki frekuensi nω 0 dengan n > 1. Jadi sinyal nonsinus y dapat<br />
dinyatakan sebagai<br />
y = y0<br />
+ y1<br />
+ y h<br />
Akan tetapi kita juga dapat memandang sinyal nonsinus sebagai terdiri<br />
dari dua komponen saja, yaitu komponen fundamental dan komponen<br />
harmonisa total di mana komponen yang kedua ini mencakup komponen<br />
searah. Alasan untuk berbuat demikian ini adalah bahwa dalam proses<br />
transfer energi, komponen searah dan harmonisa memiliki peran yang<br />
sama; hal ini akan kita lihat kemudian. Dalam pembahasan selanjutnya<br />
kita menggunakan cara pandang yang ke-dua ini. Dengan cara pandang<br />
ini suatu sinyal nonsinus dinyatakan sebagai<br />
y = y 1 + y h<br />
(5.12)<br />
dengan y1 = Y1m<br />
sin( ω0t<br />
+ θ1)<br />
dan<br />
k<br />
yh<br />
= Y0 + ∑Ynm<br />
sin( nω0t<br />
+ θn<br />
) .<br />
n=<br />
2<br />
Dengan demikian maka relasi (5.11) menjadi<br />
2 2 2<br />
Y rms Y1rms<br />
+ Yhrms<br />
= (5.13)<br />
Dalam praktik, komponen harmonisa y h dihitung tidak melibatkan<br />
seluruh komponen harmonisa melainkan dihitung dalam lebar pita<br />
spektrum tertentu. Persamaan sinyal dijumlahkan sampai pada frekuensi<br />
tertinggi yang ditentukan yaitu kω 0 ; sinyal dengan frekuensi di atas batas<br />
frekuensi tertinggi ini dianggap memiliki amplitudo yang sudah cukup<br />
kecil untuk diabaikan.<br />
COTOH-5.2: Suatu tegangan berbentuk gelombang gigi gergaji<br />
memiliki nilai maksimum 20 volt, dengan frekuensi 20 siklus per<br />
detik. Hitunglah nilai tegangan efektif dengan: (a) relasi nilai efektif;<br />
(b) uraian harmonisa.<br />
Penyelesaian:<br />
99
(a) Perioda sinyal 0,05 detik dengan persamaan: v( t)<br />
= 400t<br />
.<br />
Nilai efektif:<br />
V rms<br />
1 0,05<br />
2 1 ⎡1600<br />
= (400 )<br />
0,05 ∫<br />
t dt =<br />
0<br />
0,05<br />
⎢ t<br />
⎣ 3<br />
0,05<br />
3 ⎤<br />
⎥<br />
⎦0<br />
≈11,55 V<br />
(b) Uraian sinyal ini sampai harmonisa ke-7 adalah diberikan dalam<br />
contoh di Bab-3, yaitu<br />
v(<br />
t)<br />
= 10 − 6,366 sin ω0t<br />
− 3,183sin 2ω0t<br />
− 2,122 sin 3ω0t<br />
−1,592 sin 4ω0t<br />
−1,273sin 5ω0t<br />
−1,061sin 6ω0t<br />
− 0,909 sin 7ω0t<br />
V<br />
Persamaan ini memberikan nilai efektif tegangan fundamental,<br />
tegangan harmonisa, dan tegangan total sebagai berikut.<br />
6,366<br />
V 1rms<br />
= ≈ 4,5 V<br />
2<br />
V hrms<br />
2 2 2 2 2 2<br />
2 3,183 2,122 1,592 1,273 1,061 0,909<br />
= 10 + + + + + + ≈ 10,7 V<br />
2 2 2 2 2 2<br />
2 2<br />
2 2<br />
V rms = V1rms<br />
+ Vhrms<br />
= 4,5 + 10,7 ≈ 11,6 V<br />
Contoh ini menunjukkan bahwa sinyal gigi gergaji memiliki nilai<br />
efektif harmonisa jauh lebih tinggi dari nilai efektif komponen<br />
fundamentalnya.<br />
COTOH-5.3: Uraian dari penyearahan setengah gelombang arus sinus<br />
i = sin ω 0 t A sampai dengan harmonisa ke-10 adalah:<br />
i(<br />
t)<br />
= 0,318 + 0,5cos( ω<br />
0<br />
+ 0,018cos(6ω<br />
t −1,57)<br />
+ 0,212cos(2ω<br />
0<br />
t)<br />
+ 0.010 cos(8ω<br />
0<br />
0<br />
t ) + 0,042 cos(4ω<br />
t)<br />
+ 0.007 cos(10ω<br />
Hitung nilai efektif komponen arus fundamental, arus harmonisa,<br />
dan arus total.<br />
Penyelesaian:<br />
Nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa dan arus total<br />
berturut-turut adalah<br />
0<br />
0<br />
t)<br />
t)<br />
A<br />
100 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
0,5<br />
I1 rms = = 0,354 A<br />
2<br />
I hrms<br />
=<br />
2<br />
2 0,212<br />
0,318 +<br />
2<br />
2<br />
0,042<br />
+<br />
2<br />
2<br />
0,018<br />
+<br />
2<br />
2<br />
0,01<br />
+<br />
2<br />
2<br />
0,007<br />
+<br />
2<br />
= 0,354 A<br />
2 2<br />
2 2<br />
I rms = I1rms<br />
+ I hrms = 0,354 + 0,354 ≈ 0,5 A<br />
Contoh-5.3 ini menunjukkan bahwa pada penyearah setengah gelombang<br />
nilai efektif komponen fundamental sama dengan nilai efektif komponen<br />
harmonisanya.<br />
COTOH-5.4: Tegangan pada sebuah kapasitor 20 µF terdiri dari dua<br />
komponen yaitu v1 = 200sin<br />
ωt<br />
dan v15 = 20sin15ωt<br />
. Jika<br />
diketahui frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitunglah: (a) nilai<br />
efektif arus yang diberikan oleh v 1 ; (b) nilai efektif arus yang<br />
diberikan oleh v 15 ; (c) arus efektif total; (d) gambarkan kurva ketiga<br />
arus tersebut sebagai fungsi waktu.<br />
Penyelesaian:<br />
a). Komponen tegangan pertama adalah v1 = 200sin(100πt)<br />
V. Arus<br />
yang diberikan oleh tegangan ini adalah<br />
−6<br />
−6<br />
i1<br />
= 20 × 10 dv1<br />
/ dt = 20 × 10 × 200 × 100πcos100πt<br />
= 1,257 cos100πt<br />
Nilai efektifnya adalah:<br />
1,257<br />
I 1 rms = = 0,89 A<br />
2<br />
b). Komponen tegangan ke-dua adalah v15 = 20sin(1500πt)<br />
V. Arus<br />
yang diberikan oleh tegangan ini adalah<br />
−6<br />
−6<br />
i15<br />
= 20 × 10 dv15<br />
/ dt = 20 × 10 × 20 × 1500πsin1500πt<br />
= 1,885cos1500πt<br />
1,885<br />
Nilai efektifnya adalah: I 15 rms = = 1,33 A<br />
2<br />
c). Tegangan gabungan adalah<br />
v = 200 sin(100πt)<br />
+ 20 sin(1500πt)<br />
Arus yang diberikan tegangan gabungan ini adalah<br />
101
−6<br />
−6<br />
d<br />
i = 20 × 10 dv / dt = 20 × 10 ( v1<br />
+ v15<br />
)<br />
dt<br />
= 1,257 cos100πt<br />
+ 1,885cos1500t<br />
Arus ini merupakan jumlah dari dua komponen arus yang<br />
berbeda frekuensi. Kurva arus ini pastilah berbentuk nonsinus.<br />
Nilai efektif masing-masing komponen telah dihitung di<br />
jawaban (a) dan (b). Nilai efektif sinyal non sinus ini adalah<br />
2 2<br />
2 2<br />
I rms = I1 rms + I15rms<br />
= 0,89 + 1,33 =<br />
1,60 A<br />
d). Kurva ketiga arus tersebut di atas adalah sebagai berikut.<br />
4<br />
A i i 1 i 15<br />
3<br />
2<br />
1<br />
0<br />
detik<br />
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06<br />
-1<br />
-2<br />
-3<br />
-4<br />
COTOH-5.5: Arus i = 2 sin ωt<br />
+ 0,2 sin 3ωt<br />
A, mengalir pada beban<br />
yang terdiri dari resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan<br />
induktor 0,5 H. Pada frekuensi 50 Hz: (a) gambarkan kurva tegangan<br />
dan arus beban; (b) tentukan nilai efektif tegangan beban dan arus<br />
beban.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Arus beban adalah i = 2 sin ωt<br />
+ 0,2sin 3ωt<br />
. Tegangan beban<br />
adalah<br />
di<br />
v = vR<br />
+ vL<br />
= iR + L<br />
dt<br />
= 200sin<br />
ωt<br />
+ 20sin 3ωt<br />
+ ωcos<br />
ωt<br />
+ 0,3ω<br />
cos 3ωt<br />
V<br />
Kurva tegangan dan arus:<br />
102 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
V<br />
600<br />
400<br />
200<br />
v<br />
i<br />
0<br />
0<br />
0 0.005 0.01 0.015 detik 0.02<br />
-200<br />
−2<br />
A<br />
4<br />
2<br />
-400<br />
−4<br />
-600<br />
(b). Nilai efektif arus beban adalah<br />
2 2<br />
2 2<br />
I rms = I1 rms + I3rms<br />
=<br />
=<br />
Tegangan beban adalah<br />
2 0,2<br />
+<br />
2 2<br />
1,42 A<br />
v = 200sin<br />
ωt<br />
+ 20 sin 3ωt<br />
+ ωcos<br />
ωt<br />
+ 0,3ω<br />
cos 3ωt<br />
Nilai efektif tegangan beban, dengan ω=100π, adalah<br />
V<br />
V rms<br />
=<br />
2 2<br />
200 + ω<br />
2<br />
2 2<br />
20 + (0,3ω)<br />
+<br />
2<br />
= 272<br />
V<br />
5.4. Daya Pada Sinyal onsinus<br />
Pengertian daya nyata dan daya reaktif pada sinyal sinus berlaku pula<br />
pada sinyal nonsinus. Daya nyata memberikan transfer energi netto,<br />
sedangkan daya reaktif tidak memberikan transfer energi netto.<br />
Kita tinjau resistor R b yang menerima arus berbentuk gelombang<br />
nonsinus<br />
i Rb = i 1 + i h<br />
Nilai efektif arus ini adalah<br />
2 2 2<br />
I Rbrms = I1rms<br />
+ I hrms<br />
Daya nyata yang diterima oleh R b adalah<br />
2<br />
2 2<br />
PRb<br />
= I Rbrms × Rb<br />
= I1rmsRb<br />
+ I hrmsRb<br />
(5.14)<br />
103
Formulasi (5.14) tetap berlaku sekiranya resistor ini terhubung seri<br />
dengan induktansi, karena dalam bubungan seri demikian ini daya nyata<br />
diserap oleh resistor, sementara induktor menyerap daya reaktif.<br />
COTOH-5.6: Seperti pada contoh-5.5, arus i = 2 sinωt<br />
+ 0,2sin3ωt<br />
A mengalir pada resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan<br />
induktor 0,5 H. Jika frekuensi fundamental 50 Hz: (a) gambarkan<br />
dalam satu bidang gambar, kurva daya yang mengalir ke beban<br />
sebagai perkalian tegangan total dan arus beban dan kurva daya yang<br />
diserap resistor sebagai perkalian resistansi dan kuadrat arus resistor;<br />
(b) hitung nilai daya rata-rata dari dua kurva daya pada pertanyaan b;<br />
(c) berikan ulasan tentang kedua kurva daya tersebut.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Daya masuk ke beban dihitung sebagai: p = v × i<br />
sedangkan daya nyata yang diserap resistor dihitung sebagai: p R =<br />
i 2 R = v R i R<br />
Kurva dari p dan p R terlihat pada gambar berikut.<br />
600<br />
400<br />
200<br />
W p = vi p R = i 2 R = v R i R<br />
detik<br />
0<br />
0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />
-200<br />
-400<br />
(b) Daya rata-rata merupakan daya nyata yang di transfer ke beban.<br />
Daya ini adalah daya yang diterima oleh resistor. Arus efektif<br />
yang mengalir ke beban telah dihitung pada contoh-5.5. yaitu<br />
1,42 A. Daya nyata yang diterima beban adalah<br />
2<br />
2<br />
PR = I rms R = (1,42) × 100 = 202 W.<br />
Teorema Tellegen mengharuskan daya ini sama dengan daya<br />
rata-rata yang diberikan oleh sumber, yaitu p = vi. Perhitungan<br />
dengan pendekatan numerik memberikan nilai rata-rata p adalah<br />
104 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
P rr = 202 W<br />
(c) Kurva p R selalu positif; nilai rata-rata juga positif sebesar 202 W<br />
yang berupa daya nyata. Pada kurva p ada bagian yang negatif<br />
yang menunjukkan adanya daya reaktif; nilai rata-rata kurva p<br />
ini sama dengan nilai rata-rata kurva p R yang menunjukkan<br />
bagian nyata dari daya tampak.<br />
COTOH-5.7: Tegangan nonsinus pada terminal resistor 20 Ω adalah<br />
v = 100 sin( ωt<br />
+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />
− 0,2) + 10sin(5ωt<br />
+ 1,5) V<br />
Tentukan arus efektif yang mengalir dan daya nyata yang diserap<br />
resistor.<br />
Penyelesaian:<br />
Arus yang mengalir adalah<br />
v<br />
i = = 5 sin( ωt<br />
+ 0,5) + sin(3ωt<br />
− 0,2) + 0,5sin(5ωt<br />
+ 1,5) A<br />
R<br />
Nilai efektif masing-masing komponen arus adalah<br />
5<br />
1<br />
0,5<br />
I 1 rms = ; I3rms<br />
= ; I5rms<br />
=<br />
2<br />
2<br />
2<br />
Arus efektif yang mengalir adalah<br />
I rms<br />
=<br />
25<br />
2<br />
+<br />
1<br />
2<br />
+<br />
0,25<br />
2<br />
Daya nyata yang diserap resistor adalah<br />
2 ⎛ 25<br />
PR<br />
= I rms R = ⎜ +<br />
⎝ 2<br />
1<br />
2<br />
=<br />
0,25 ⎞<br />
+<br />
2<br />
26,25<br />
= 3,62 A<br />
2<br />
⎟ ×<br />
⎠<br />
20 = 262,5 W<br />
COTOH-5.8: Tegangan nonsinus v = 100 sin ωt<br />
+ 10 sin 3ωt<br />
V, terjadi<br />
pada terminal beban yang terdiri dari resistor 100 Ω tersambung<br />
paralel dengan kapasitor 50 µF. Jika frekuensi fundamental adalah<br />
50 Hz, (a) Tentukan persamaan arus total beban; (b) hitung daya<br />
nyata yang diserap beban.<br />
Penyelesaian:<br />
105
(a). Arus total (i) adalah jumlah arus yang melalui resistor (i R ) dan<br />
kapasitor (i C ).<br />
i C = C<br />
dv<br />
dt<br />
Arus total beban:<br />
v<br />
i R = = sin ωt<br />
+ 0,1sin 3ωt<br />
R<br />
−6<br />
= 50 × 10<br />
( 100ωcos<br />
ωt<br />
+ 30ωcos3ωt<br />
)<br />
i = sin ωt<br />
+ 0,1sin 3ωt<br />
+ 0,005cos ωt<br />
+ 0.0015ω<br />
cos 3ωt<br />
(b). Arus efektif melalui resistor<br />
I Rrms<br />
=<br />
2 2<br />
1 0,1<br />
+<br />
2 2<br />
= 0,71 A<br />
Daya nyata yang diserap beban adalah daya yang diserap<br />
resistor:<br />
P R<br />
=<br />
2<br />
0,71 × 100 = 50<br />
W<br />
5.5. Resonansi<br />
Karena sinyal nonsinus mengandung harmonisa dengan berbagai macam<br />
frekuensi, maka ada kemungkinan salah satu frekuensi harmonisa<br />
bertepatan dengan frekuensi resonansi dari rangkaian. Frekuensi<br />
resonansi telah kita bahas di bab sebelumnya. Berikut ini kita akan<br />
melihat gejala resonansi pada rangkaian karena adanya frekuensi<br />
harmonisa.<br />
COTOH-5.9: Suatu generator 50 Hz dengan induktansi internal 0,025<br />
H mencatu daya melalui kabel yang memiliki kapasitansi total<br />
sebesar 5 µF. Dalam keadaan tak ada beban tersambung di ujung<br />
kabel, tentukan frekuensi harmonisa sumber yang akan memberikan<br />
resonansi.<br />
Penyelesaian:<br />
Frekuensi resonansi adalah<br />
ωr<br />
=<br />
1<br />
LC<br />
=<br />
1<br />
2828,4<br />
−6 0,025 × 5 × 10<br />
=<br />
106 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
2828,4<br />
f r = = 450<br />
2π<br />
Inilah frekuensi harmonisa ke-9.<br />
Hz<br />
COTOH-5.10: Sumber tegangan satu fasa 6 kV, 50 Hz, mencatu beban<br />
melalui kabel yang memiliki kapasitansi total 2,03 µF. Dalam<br />
keadaan tak ada beban terhubung di ujung kabel, induktansi total<br />
rangkaian ini adalah 0,2 H. Tentukan harmonisa ke berapa dari<br />
sumber yang akan membuat terjadinya resonansi pada keadaan tak<br />
ada beban tersebut.<br />
Penyelesaian:<br />
Frekuensi resonansi adalah<br />
ωr<br />
=<br />
1<br />
LC<br />
=<br />
1<br />
1569,4<br />
−6 0,02 × 2,03×<br />
10<br />
=<br />
rad/det<br />
atau<br />
f r<br />
1569,4<br />
= = 249,78 Hz<br />
2π<br />
Resonansi terjadi jika sumber mengandung harmonisa ke-5.<br />
107
Soal-Soal<br />
1. Hasil penyearahan setengah gelombang tegangan sinusoidal<br />
memberikan tegangan dengan amplitudo 250 V, dan frekuensi dasar<br />
50 Hz. Tuliskan lima komponen pertama sinyal yang tak bernilai nol<br />
dan gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal ini.<br />
2. Sinyal segitiga mempunyai amplitudo 5 V dan perioda 1 milidetik.<br />
Tuliskan lima komponen pertama sinyal yang tak bernilai nol dan<br />
gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal ini.<br />
3. Suatu sinyal gelombang komposit diperoleh dengan menambahkan<br />
tegangan searah 5 V dan geolmbang persegi 1kHz yang memiliki<br />
tegangan puncak-ke-puncak 5 V. Tuliskan lima komponen pertama<br />
sinyal yang tak bernilai nol dan gambarkan spektrum amplitudo dari<br />
sinyal ini.<br />
4. Pulsa pertama dari suatu deret pulsa muncul pada t = 0 dan<br />
menghilang pada t = 1, sedangkan pulsa kedua muncul pada t = 2<br />
dan menghilang pada t = 3. Jika amplitudo pulsa adalah 2 V,<br />
gambarkan bentuk gelombang sinyal ini dan carilah koefisien<br />
Fourier serta gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal ini.<br />
5. Suatu sinyal sinusoidal v = 10 sin(2πt<br />
/ T0<br />
) V diproses melalui<br />
rangkaian pemotong gelombang sedemikian rupa sehingga bagian<br />
gelombang yang berada di bawah −5<br />
V terpotong. Jika perioda T 0<br />
adalah 0,1 detik, carilah koefisien Fourier serta gambarkan spektrum<br />
amplitudo dari sinyal ini.<br />
6. Bentuk gelombang v = 10(1<br />
− 0,5t)<br />
adalah setengah perioda pertama<br />
dari gelombang periodik yang periodanya 4 detik. Jika diketahui<br />
bahwa koefisien Fourier a n = 0 untuk semua n, bagaimanakah bentuk<br />
setengah gelombang yang kedua?<br />
7. Bentuk gelombang v = 10(1<br />
− 0,5t)<br />
adalah setengah perioda pertama<br />
dari gelombang periodik dengan perioda 4 detik. Jika diketahui<br />
bahwa koefisien Fourier b n = 0 untuk semua n, bagaimanakah bentuk<br />
setengah gelombang yang kedua?<br />
8. Dengan pendekatan numerik, carilah persamaan gelombang periodik<br />
yang salah satu periodanya tergambar di bawah ini.<br />
108 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
150<br />
v<br />
[V]<br />
100<br />
50<br />
0<br />
0 0.005 0.01 0.015 t [det] T 0<br />
-50<br />
-100<br />
-150<br />
9. Suatu resistor 100 Ω yang tersambung paralel dengan induktor 0,5<br />
H, dihubungkan pada sebuah sumber tegangan<br />
v = 100sin<br />
ωt<br />
+ 10sin3ωt<br />
dengan frekuensi 50 Hz. (a) Tentukan<br />
persamaan arus sumber dan nilai efektifnya; (b) hitung daya yang<br />
diserap resistor; (c) dengan hanya memperhatikan komponen<br />
fundamental, hitung nilai rata-rata daya yang keluar dari sumber dan<br />
bandingkan dengan daya yang diserap resistor.<br />
10. Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai resistansi<br />
internal 1 Ω dan induktansi internal 0,02 H. Sumber ini mencatu<br />
beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total 2.9 µF.<br />
Tegangan terbangkit di sumber dinyatakan dengan<br />
e = 17000 sin ωt<br />
+ 170sin13ωt<br />
. Dalam keadaan tak ada beban<br />
terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada kabel.<br />
11. Tegangan sebesar v = 100 + 300sin<br />
ωt<br />
V, diterapkan pada beban<br />
berupa resistor 10 Ω melalui kabel yang memiliki kapasitansi toal<br />
0,3 µF. Hitung arus efektif yang keluar dari sumber dan hitung daya<br />
yang diserap oleh beban jika ω = 314.<br />
12. Suatu induktor 0,225 H dihubungkan seri dengan kapasitor 5 µF.<br />
Tentukan frekuensi sumber yang akan memberikan resonansi pada:<br />
(a) frekuensi dasar; (b) harmonisa ke-tiga; (c) harmonisa ke-lima.<br />
109
13. Suatu tegangan nonsinus mengandung komponen fundamental,<br />
harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-5. Nilai puncak tegangan<br />
berturut-turut adalah 2000 V, 400 V, dan 100 V. Tegangan ini<br />
diterapkan pada rangkaian seri R = 10 Ω, kapasitor 30 µF, dan<br />
induktor variabel. Pada frekuensi 50 Hz, hitung nilai induktansi yang<br />
akan menyebabkan resonansi pada harmonisa ke-3, dan harmonisa<br />
ke-5. Hitung pula arus dan tegangan efektif pada waktu terjadi<br />
resonansi.<br />
14. Dua beban paralel terdiri beban resistif 20 Ω dan beban induktif<br />
dengan resistansi 20 Ω seri dengan induktor 0,05 H. Pada terminal<br />
bersama (common point) kedua beban ini dipasang kapasitor 50 µF<br />
paralel dengan kedua beban tersebut. Sebuah tegangan nonsinus<br />
yang tersusun dari komponen fundamental bertegangan puncak 200<br />
V dan harmonisa ke-3 bertegangan puncak 50 V diterapkan pada<br />
terminal bersama dari beban ini. Hitung arus efektif total, daya total,<br />
dan faktor daya dari beban ini. Frekuensi 50 Hz.<br />
110 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
BAB 6<br />
Pembebanan on-Linier<br />
Pada pembebanan nonlinier arus yang mengalir ke beban merupakan arus<br />
periodik nonsinus, walaupun sumber memberikan tegangan sinus.<br />
Pembahasan akan kita lakukan di dua sisi yaitu tinjauan di sisi beban dan<br />
tinjauan di sisi sumber. Tinjauan di sisi beban adalah melihat beban yang<br />
menerima arus nonsinus tanpa mempersoalkan bagaimana sumber<br />
melayani pembebanan yang demikian ini. Tinjauan di sisi sumber adalah<br />
melihat sumber yang bertegangan sinus namun harus memberikan arus<br />
yang nonsinus.<br />
6.1. Tinjauan Di Sisi Beban<br />
<strong>Rangkaian</strong> yang akan kita tinjau terlihat pada Gb.6.1. Sebuah sumber<br />
tegangan sinus memberikan arus pada resistor R b melalui saluran dengan<br />
resistansi R s dan sebuah pengubah arus p.i., misalnya penyearah;<br />
pengubah arus inilah yang menyebabkan arus yang mengalir di R b<br />
berbentuk gelombang nonsinus.<br />
v s +<br />
−<br />
R s<br />
p.i.<br />
i nonsinus<br />
R b<br />
Gb.6.1. Pembebanan nonlinier.<br />
Menurut teorema Tellegen, transfer daya listrik hanya bisa terjadi melalui<br />
tegangan dan arus. Namun dalam tinjauan dari sisi beban ini, R b hanya<br />
melihat bahwa ada arus yang diterima olehnya. Cara bagaimana arus ini<br />
sampai ke beban tidaklah penting bagi beban.<br />
i Rb = i 1 + i h<br />
(6.1)<br />
dengan i1 = I1m<br />
sin( ω0t<br />
+ θ1)<br />
k<br />
ih<br />
= I0 + ∑ I nm sin( nω0t<br />
+ θn<br />
)<br />
n=<br />
2<br />
Inilah arus yang diterima oleh R b .<br />
111
Daya nyata yang diterima oleh R b adalah<br />
6.2. Tinjauan Di Sisi Sumber<br />
2 2<br />
PRb<br />
= I1 rmsRb<br />
+ I hrmsRb<br />
(6.2)<br />
Tegangan sumber berbentuk gelombang sinus, yaitu vs = Vs<br />
sinω0t<br />
.<br />
Daya yang diberikan oleh sumber adalah tegangan sumber kali arus<br />
sumber yang besarnya sama dengan arus beban. Jadi daya keluar dari<br />
sumber adalah<br />
ps<br />
= vs<br />
( t)<br />
is<br />
( t)<br />
= Vs<br />
I1<br />
sin ω0t<br />
sin( ω0t<br />
+ θ1)<br />
Suku pertama (6.3) memberikan daya<br />
⎛ k<br />
⎞<br />
+ V ⎜<br />
⎟<br />
s sin ω0t<br />
I + ω + θ<br />
⎜ 0 ∑ I n sin( n 0t<br />
n )<br />
⎟<br />
⎝ n=<br />
2<br />
⎠<br />
(6.3)<br />
⎛ cos θ1<br />
− cos(2ω0t<br />
+ θ1)<br />
⎞<br />
ps1<br />
= Vs<br />
I1( sin ω0t<br />
sin( ω0t<br />
+ θ1)<br />
) = Vs<br />
I1⎜<br />
⎟<br />
⎝ 2 ⎠<br />
Vs<br />
I1<br />
Vs<br />
I1<br />
= cos θ1<br />
− cos(2ω0t<br />
+ θ1)<br />
2<br />
2<br />
(26.4)<br />
Suku ke-dua dari persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol akan tetapi<br />
suku pertama mempunyai nilai tertentu. Hal ini berarti p s1 memberikan<br />
transfer energi netto.<br />
Suku kedua (6.3) memberikan daya<br />
p<br />
sh<br />
= V ∑ ∞<br />
=<br />
= p<br />
s0<br />
sh2<br />
[ I sin( nω<br />
t + θ ) ω t]<br />
s I 0 sin ω0t<br />
+ Vs<br />
n 0 n sin<br />
n 2<br />
+ p<br />
0<br />
(6.5)<br />
Suku pertama persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol. Suku<br />
kedua juga mempunyai nilai rata-rata nol karena yang berada dalam<br />
tanda kurung pada (6.5) berbentuk fungsi cosinus<br />
112 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
∞<br />
y = Vs∑<br />
n<br />
n=<br />
2<br />
∞<br />
⎡ I n<br />
= Vs∑<br />
⎢<br />
= 2 ⎣ 2<br />
n<br />
[ I sin( nω<br />
t + θ ) sin ω t]<br />
0<br />
n<br />
{ cos( ( n + 1) ω t + θ ) − cos( ( n −1)<br />
ω t + θ )}<br />
0<br />
yang memiliki nilai rata-rata nol. Hal ini berarti bahwa p sh tidak<br />
memberikan transfer energi netto.<br />
Jadi secara umum daya yang diberikan oleh sumber pada pembebanan<br />
nonlinier dapat kita tuliskan sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu<br />
0<br />
n<br />
p s = ps1 + psh<br />
(6.6)<br />
Dari dua komponen daya ini hanya komponen fundamental, p s1 , yang<br />
memberikan transfer energi netto. Dengan kata lain hanya p s1 yang<br />
memberikan daya nyata, yaitu sebesar<br />
Vs<br />
I1<br />
s1 = cos θ1<br />
= Vsrms<br />
I1rms<br />
cos θ1<br />
2<br />
P (6.7)<br />
dengan θ 1 adalah beda susut fasa antara v s dan i 1 . Sementara itu P sh<br />
merupakan daya reaktif.<br />
Menurut teorema Tellegen, daya nyata yang diberikan oleh sumber harus<br />
tepat sama dengan daya yang diterima oleh beban. Daya nyata yang<br />
diterima oleh R b adalah P Rb seperti diberikan oleh persamaan (6.2). Daya<br />
nyata yang diberikan oleh sumber, yaitu P s1 haruslah diserap oleh R b dan<br />
R s .<br />
6.3. Contoh Kasus: Penyearah Setengah Gelombang<br />
Sebagai contoh dalam pembahasan pembebanan nonlinier ini, kita akan<br />
mengamati penyearah setengah gelombang. Dengan penyearah ini, sinyal<br />
sinus diubah sehingga arus mengalir setiap setengah perioda seperti telah<br />
pernah kita temui. <strong>Rangkaian</strong> penyearah yang kita tinjau terlihat pada<br />
Gb.6.2.a.<br />
Arus penyearah setengah gelombang mempunyai nilai pada setengah<br />
perioda pertama (yang positif); pada setengah perioda ke-dua, ia bernilai<br />
nol. Uraian fungsi ini sampai dengan harmonisa ke-6, telah dihitung pada<br />
Contoh-3.3 di Bab-3, yaitu<br />
0<br />
n<br />
⎤<br />
⎥<br />
⎦<br />
113
( t)<br />
= I<br />
i m<br />
⎛0,318<br />
+ 0,5cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 0,212cos(2ω0t<br />
) ⎞<br />
×<br />
⎜<br />
0,042cos(4 0 ) 0,018cos(6 0 )<br />
⎟<br />
⎝ + ω t + ω t ⎠<br />
V<br />
(6.8)<br />
a).<br />
v s R v R<br />
V s<br />
v<br />
v s<br />
s<br />
i s<br />
i R<br />
i R<br />
p R p R<br />
0 ωt [<br />
p o ]<br />
R 0 90 180 270 360 450 540 630 720<br />
b). −V s<br />
Gb.6.2. Penyearah setengah gelombang dengan beban resistif.<br />
Dalam rangkaian yang kita tinjau ini hanya ada satu sumber yang<br />
mencatu daya hanya kepada satu beban. Pada waktu dioda konduksi, arus<br />
sumber selalu sama dengan arus beban, karena mereka terhubung seri;<br />
tegangan beban juga sama dengan tegangan sumber karena dioda<br />
dianggap ideal sedangkan resistor memiliki karakteristik linier dan<br />
bilateral. Pada waktu dioda tidak konduksi arus beban maupun arus<br />
sumber sama dengan nol. Gb.6.2.b. memperlihatkan bahwa hanya kurva<br />
tegangan sumber yang merupakan fungsi sinus; kurva arus dan daya<br />
merupakan fungsi nonsinus.<br />
Pada persamaan (6.8) arus fundamental dinyatakan dalam fungsi cosinus<br />
yaitu<br />
i1 = 0,5I<br />
m cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
Fungsi ini tidak lain adalah pergeseran 1,57 rad atau 90 o ke arah positif<br />
dari fungsi cosinus yang ekivalen dengan fungsi sinus<br />
i1 = 0,5I<br />
m sin( ω0t)<br />
Pernyataan i 1 dalam fungsi sinus ini sesuai dengan pernyataan bentuk<br />
gelombang tegangan yang juga dalam fungsi sinus. Dengan pernyataan<br />
114 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
yang bersesuaian ini kita dapat melihat beda fasa antara keduanya;<br />
ternyata dalam kasus penyearah setengah gelombang ini, arus<br />
fundamental sefasa dengan tegangan sumber.<br />
COTOH-6.1: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi<br />
internal yang dapat diabaikan mencatu beban resistif melalui<br />
penyearah setengah gelombang. Tegangan sumber adalah<br />
v s = 380sin<br />
ω0 t V dan resistansi beban R b adalah 3,8 Ω. Hitung<br />
daya nyata yang diterima oleh beban dan daya nyata yang diberikan<br />
oleh sumber.<br />
Penyelesaian:<br />
Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah 380/3,8 = 100 A.<br />
Persamaan arus sampai harmonisa ke-enam menjadi<br />
⎛31,8<br />
+ 50 cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 21,2cos(2ω0t<br />
) ⎞<br />
i ( t)<br />
=<br />
⎜<br />
A<br />
4,2 cos(4 0 ) 1,8cos(6 0 )<br />
⎟<br />
⎝ + ω t + ω t ⎠<br />
yang memberikan arus-arus efektif pada beban<br />
Ib1rms<br />
=<br />
Ibhrms<br />
=<br />
50<br />
A;<br />
2<br />
2 2 2<br />
2 21,2 4,2 1,8<br />
31,8 + + +<br />
2 2 2<br />
Daya yang diterima beban adalah<br />
= 35,31<br />
A;<br />
2<br />
( I + I ) × 3,8 = 9488 W ≈ 9,5 kW<br />
2 2<br />
P = I rmsRb<br />
= b 1 rms bhrms<br />
Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber adalah<br />
v s = 380sin<br />
ω 0 t . Komponen arus fundamental yang diberikan oleh<br />
sumber adalah sama dengan arus fundamental beban<br />
i1s = i1Rb<br />
= 50cos(<br />
ω0t<br />
−1,57)<br />
= 50sin<br />
ω0t<br />
A<br />
dengan nilai efektif I1 srms = 50 / 2 A<br />
Tak ada beda fasa antara tegangan sumber dan arus fundamentalnya.<br />
Daya dikeluarkan oleh sumber adalah<br />
115
380 50<br />
P s1 = Vs<br />
rms I1s<br />
rms = × = 9,5 kW<br />
2 2<br />
Hasil perhitungan dari kedua sisi tinjauan adalah sama. Daya yang<br />
diberikan oleh komponen fundamental sebagai fungsi waktu adalah<br />
VsI1<br />
ps1<br />
=<br />
2<br />
= 19 1<br />
( 1 − cos(2ω<br />
t) = ( 1 − cos(2ω<br />
t)<br />
( − cos(2ω<br />
t) kW<br />
0<br />
0<br />
380 × 50<br />
Gb.6.3 memperlihatkan kurva p s1 pada Contoh-6.1 di atas. Kurva p s1<br />
bervariasi sinusoidal namun selalu positif dengan nilai puncak 19 kW,<br />
dan nilai rata-rata (yang merupakan daya nyata) sebesar setengah dari<br />
nilai puncak yaitu 9,5 kW.<br />
Kurva daya yang dikontribusikan oleh komponen searah, p s0 yaitu suku<br />
pertama (6.5), dan komponen harmonisa p sh2 yaitu suku ke-dua<br />
persamaan (6.5), juga diperlihatkan dalam Gb.6.3. Kurva kedua<br />
komponen daya ini simetris terhadap sumbu waktu yang berarti memiliki<br />
nilai rata-rata nol. Dengan kata lain komponen searah dan komponen<br />
harmonisa tidak memberikan daya nyata.<br />
W<br />
20000<br />
15000<br />
10000<br />
5000<br />
0<br />
-5000<br />
-10000<br />
-15000<br />
t [det]<br />
0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />
p sh2<br />
p s0<br />
p s1<br />
Gb.6.3. Kurva komponen daya yang diberikan sumber.<br />
Konfirmasi logis kita peroleh sebagai berikut. Seandainya tidak ada<br />
penyearah antara sumber dan beban, arus pada resistor akan mengalir<br />
sefasa dan sebentuk dengan gelombang tegangan sumber. Daya yang di<br />
keluarkan oleh sumber dalam keadaan ini adalah<br />
2<br />
2<br />
ps<br />
= Vs<br />
I s sin ω0t<br />
= 38000sin ω0t<br />
cos 2ω0t<br />
+ cos 0<br />
= 38000<br />
= 38(1 + cos 2ω0t)<br />
kW<br />
2<br />
2<br />
0<br />
116 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Dalam hal penyearahan setengah gelombang, arus hanya mengalir setiap<br />
setengah perioda. Oleh karena itu daya yang diberikan oleh sumber<br />
menjadi setengahnya, sehingga<br />
p setengah<br />
gel = 19(1<br />
+ cos 2ω0 t ) kW , dan inilah p s1 .<br />
COTOH-6.2: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi<br />
internal yang diabaikan, mencatu beban resistif melalui kabel dengan<br />
resistansi 0,2 Ω dan penyearah setengah gelombang. Tegangan<br />
sumber adalah v s = 380sin<br />
ω0 t V dan resistansi beban R adalah 3,8<br />
Ω. Hitung daya yang diterima oleh beban.<br />
Penyelesaian:<br />
<strong>Rangkaian</strong> sistem ini adalah seperti berikut<br />
v s =380sinω 0 t<br />
R s =0,2Ω<br />
R b =3,8Ω<br />
Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah<br />
I m<br />
380<br />
= = 95 A<br />
3,8 + 0,2<br />
Persamaan arus sampai harmonisa ke-6 menjadi<br />
⎛0,318<br />
+ 0,5cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 0,212 cos(2ω0t<br />
) ⎞<br />
i(<br />
t)<br />
= 95 ×<br />
⎜<br />
0,042 cos(4 0t)<br />
0,018cos(6 0t)<br />
⎟<br />
⎝ + ω + ω ⎠<br />
= 30,21 + 47,5cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 20,14 cos(2ω0t)<br />
+ 4,09 cos(4ω0t)<br />
+ 1,71cos(6ω0t)<br />
A<br />
Nilai efektif arus fundamental dan arus harmonisa total adalah<br />
47.5<br />
I1rms<br />
= = 33,59 A;<br />
2<br />
I hrms =<br />
2 2 2<br />
2 20,14 4,09 1,71<br />
30,21 + + +<br />
2 2 2<br />
= 33,54 A<br />
117
Daya yang diterima R b adalah<br />
2<br />
2 2<br />
P Rb = I rmsRb<br />
= (33,59 + 33,54 ) × 3,8 = 8563 W<br />
Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber dan arus fundamental<br />
sumber adalah<br />
v s = 380sin<br />
ω0 t<br />
V<br />
is1 = iRb<br />
= 47,5cos(<br />
ω0t<br />
−1,57)<br />
= 47,5sin ω0t<br />
Tidak ada beda fasa antara v s dan i s1 . Daya nyata yang diberikan oleh<br />
sumber adalah<br />
380 47,5<br />
P s = vsrmsi1 rms cos 0<br />
o = × = 9025 W<br />
2 2<br />
Daya ini diserap oleh beban dan saluran. Daya yang diserap saluran<br />
adalah<br />
2<br />
2 2<br />
Psaluran<br />
= 0,02 × isrms<br />
= 0,02 × ( i1rms<br />
+ ihrms<br />
)<br />
2 2<br />
= 0,02 × (33,6 + 33,55 ) = 450,7 W<br />
Perbedaan angka perhitungan P Rb dengan (P s – P saluran ) adalah sekitar<br />
0,2%.<br />
A<br />
6.4. Perambatan Harmonisa<br />
Dalam sistem tenaga, beban pada umumnya bukanlah beban tunggal,<br />
melainkan beberapa beban terparalel. Sebagian beban merupakan beban<br />
linier dan sebagian yang lain merupakan beban nonlinier. Dalam keadaan<br />
demikian ini, komponen harmonisa tidak hanya hadir di beban nonlinier<br />
saja melainkan terasa juga di beban linier; gejala ini kita sebut<br />
perambatan harmonisa. Berikut ini akan kita lihat gejala tersebut pada<br />
suatu rangkaian yang mendekati situasi nyata. Gb.6.4. memperlihatkan<br />
rangkaian yang dimaksud.<br />
118 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
i s<br />
R s<br />
A<br />
i a<br />
i b =i b1 +i bh<br />
v s<br />
R a<br />
B<br />
R b<br />
Gb.6.4. Sumber mencatu beban paralel linier dan nonlinier.<br />
Tegangan sumber berbentuk sinusoidal murni vs = Vsm<br />
sin ω0t<br />
. Sumber<br />
ini mencatu beban melalui saluran yang memiliki resistansi R s . Beban<br />
yang terhubung di terminal A-B (terminal bersama), terdiri dari beban<br />
linier R a dengan arus i a dan beban R b yang dialiri arus nonlinier i b = i b1 +<br />
i bh dengan i b1 adalah komponen fundamental dari i b dan i bh adalah<br />
komponen harmonisa total dari i b .<br />
Pada rangkaian sederhana ini, di sisi beban kita lihat bahwa aplikasi<br />
Hukum Arus Kirchhoff di simpul A, yaitu simpul bersama dari kedua<br />
beban, memberikan<br />
dan dari sini kita peroleh<br />
( v − v ) / R + v / R + ( i 1 + i ) = 0<br />
A<br />
s<br />
s<br />
A<br />
a<br />
Ra<br />
Rs<br />
Ra<br />
v A = vs<br />
− ( i b1<br />
+ i bh )<br />
(6.9)<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
Jadi sebagai akibat pembebanan nonlinier di suatu beban menyebabkan<br />
tegangan di terminal-bersama juga mengandung harmonisa. Akibat<br />
selanjutnya adalah bahwa arus di beban lain yang terhubung ke terminalbersama<br />
ini juga mengandung harmonisa.<br />
b<br />
v A vs<br />
Rs<br />
i a = = − ( i b1<br />
+ i bh ) (6.10)<br />
Ra<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
Sementara itu di sisi sumber, dengan tegangan sumber berbentuk sinus<br />
vs = Vsm<br />
sin ω0t<br />
, keluar arus yang mengandung harmonisa yaitu<br />
bh<br />
119
is<br />
= ia<br />
+ ib<br />
vs<br />
Rs<br />
= − ( ib1<br />
+ ibh<br />
) + ( ib1<br />
+ ibh<br />
)<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
vs<br />
⎛ Ra<br />
⎞<br />
= + ⎜ ⎟(<br />
ib1<br />
+ ibh<br />
)<br />
Rs<br />
+ R<br />
a Rs<br />
R<br />
⎝ + a ⎠<br />
(6.11)<br />
Adanya komponen harmonisa pada arus sumber dan beban yang<br />
seharusnya merupakan beban linier dapat menyebabkan penambahan<br />
penyerapan daya pada saluran. Hal ini akan kita bahas kemudian.<br />
COTOH-6.3: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, v = 240sin<br />
ω 0 t V<br />
memiliki resistansi dan induktansi internal yang diabaikan. Sumber<br />
ini mencatu beban resistif R a = 5 Ω melalui saluran yang memiliki<br />
resistansi 1Ω. Sebuah beban resistif lain yaitu R b = 5 Ω dengan<br />
penyearah setengah gelombang dihubungkan paralel dengan R a .<br />
Hitunglah: (a) daya nyata yang diserap R a sebelum R b dan<br />
penyearah dihubungkan; (b) daya nyata yang diserap R b sesudah R b<br />
dan penyearah dihubungkan; (c) daya nyata yang diserap R a sesudah<br />
R b dan penyearah dihubungkan; (d) daya nyata yang diserap saluran<br />
R s ; (e) daya nyata yang diberikan sumber; (f) bandingkan daya nyata<br />
yang diberikan oleh sumber dan daya nyata yang diserap oleh bagian<br />
rangkaian yang lain.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Sebelum R b dan penyearah dihubung-kan, rangkaian adalah<br />
seperti di bawah ini.<br />
i s A<br />
R s =1Ω<br />
v s =<br />
240sinω 0 t<br />
B<br />
R a = 5Ω<br />
Arus efektif yang mengalir dari sumber, daya nyata yang<br />
diserap R a dan R s , serta daya nyata yang diberikan sumber<br />
adalah<br />
I Rarms<br />
= ( 240 / 2) /(5 + 1) = 28,28<br />
A<br />
120 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
2<br />
2<br />
P Ra = 28,28 × 5 = 4000 W ; P Rs = 28,28 × 1 = 800 W<br />
P s = 28 ,28 × 240 / 2 = 4800 W = PRa<br />
+ PRs<br />
(b) Setelah R b dan penyearah dihubungkan, rangkaian menjadi<br />
v s<br />
i s A<br />
i a i Rb =<br />
R s<br />
i Rb1 +i Rbh<br />
R a<br />
B<br />
R b<br />
Untuk menghitung i Rb kita buat rangkaian ekivalen Thévenin<br />
terlebih dulu di terminal A-B.<br />
5<br />
v sTh = × 240sin ω0t<br />
= 200 sin ω0t<br />
V ;<br />
1 + 5<br />
1×<br />
5<br />
R sTh = = 0,833 Ω<br />
1 + 5<br />
Setelah R b dihubungkan pada rangkaian ekivalen Thévenin,<br />
rangkaian menjadi<br />
i sTh<br />
0,833Ω<br />
A<br />
v sTh =<br />
200sinω 0 t<br />
B<br />
5Ω<br />
i b =i b1 +i bh<br />
Nilai maksimum arus i Rb adalah<br />
I Rbm<br />
200<br />
= = 34,29<br />
0,833 + 5<br />
A<br />
Arus yang melalui R b menjadi<br />
121
i Rb<br />
⎛0,318<br />
+ 0,5cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 0,212 cos(2ω<br />
= 34,29 ×<br />
⎜<br />
⎝ + 0,042 cos(4ω0t)<br />
+ 0,018cos(6ω0t)<br />
= 10,9 + 17,14 cos( ω t −1,57)<br />
+ 7,27 cos(2ω<br />
t)<br />
+ 1,47 cos(4ω<br />
Dari sini kita peroleh<br />
17,14<br />
I Rb1rms<br />
= = 12,12 A<br />
2<br />
I Rbhrms =<br />
0<br />
0<br />
2 2<br />
10,9 + 7,27<br />
Daya yang diserap R b adalah<br />
t)<br />
+ 0,62 cos(6ω<br />
/ 2<br />
2<br />
+ 1,47<br />
0<br />
t)<br />
/ 2<br />
0<br />
2<br />
+ 0,62<br />
/ 2<br />
0<br />
t)<br />
⎞<br />
⎟<br />
⎠<br />
= 12.1 A<br />
P Rb<br />
2 2<br />
= (12,12 + 12.1 ) × 5 ≈ 1470<br />
W<br />
(c) Untuk menghitung daya yang diserap R a setelah R b<br />
dihubungkan, kita kembali pada rangkaian semula. Hukum Arus<br />
Kischhoff untuk simpul A memberikan<br />
v A − vs<br />
v A<br />
⎛ 1 ⎞ vs<br />
+ + iRb<br />
= 0 ⇒ v A⎜<br />
⎟ = − iRb<br />
Rs<br />
R<br />
+<br />
1<br />
a<br />
Rs<br />
R<br />
⎝ a ⎠ Rs<br />
Ra<br />
Rs<br />
Ra<br />
v A = vs<br />
− ( ib1<br />
+ ibh<br />
)<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
5<br />
5×<br />
1<br />
= × 240sin ω0t<br />
− × ( 17,14sin ω0t<br />
+ ibh<br />
)<br />
6<br />
6<br />
5<br />
= 185,71sin ω0t<br />
− ibh<br />
V = v A1<br />
− v Ah<br />
6<br />
185,71<br />
⇒V<br />
A 1 rms = = 131,32 V<br />
2<br />
5 5 ⎛10,9<br />
+ 7,27 cos(2ω0t)<br />
⎞<br />
v Ah = × ibh<br />
= ×<br />
6 6<br />
⎜<br />
1,47 cos(4 0t)<br />
0,62cos(6 0t)<br />
⎟<br />
⎝ + ω + ω ⎠<br />
= 9,09 + 6,06cos(2ω0t)<br />
+ 1,23cos(4ω0t)<br />
+ 0,51cos(6ω0t)<br />
2 2 2<br />
2 6,06 1.23 0,51<br />
⇒ V Ahrms = 9,09 + + +<br />
2 2 2<br />
Daya yang diserap R a adalah<br />
= 10,09 V<br />
122 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
2<br />
VA1rms<br />
V<br />
P Ra = +<br />
Ra<br />
R<br />
Ahrms<br />
a<br />
2 2 2<br />
131,32 10,09<br />
= +<br />
5 5<br />
= 3469 W<br />
(d) Tegangan jatuh di saluran adalah<br />
∆ vs1 = vs<br />
− v A1<br />
= 240sin<br />
ω0t<br />
−185,71sin<br />
ω0t<br />
= 54,29sin ω0t<br />
V<br />
54,29<br />
→ ∆V<br />
s1 rms = = 38,39 V<br />
2<br />
→<br />
∆V<br />
shrms<br />
= V<br />
Ahrms<br />
=10,09 V<br />
Daya yang diserap saluran adalah<br />
2<br />
2 2<br />
∆Vs1rms<br />
∆Vshrms<br />
38,39<br />
P Rs = + =<br />
Rs<br />
Rs<br />
1<br />
(e) Tegangan sumber adalah<br />
v = 240sin<br />
ω 0 t V<br />
Arus fundamental sumber adalah<br />
2<br />
10,09<br />
+<br />
1<br />
= 1575 W<br />
∆vs1<br />
is1 = = 54,29sin<br />
ω0t<br />
R<br />
Daya nyata yang diberikan sumber<br />
s<br />
240 54,29<br />
ps<br />
1 = Vsrms<br />
I s1rms<br />
= × = 6515 W<br />
R2<br />
2<br />
(f) Bagian lain rangkaian yang menyerap daya nyata adalah R s ,<br />
R a , dan R b . Daya nyata yang diserap adalah<br />
P Rtotal = PRs<br />
+ PRa<br />
+ PRb<br />
= 1575 + 3469 + 1468 = 6512 W<br />
Hasil ini menunjukkan bahwa daya nyata yang diberikan<br />
sumber sama dengan daya nyata yang diserap oleh bagian lain<br />
dari rangkaian (perbedaan angka adalah karena pembulatanpembulatan).<br />
A<br />
123
6.5. Ukuran Distorsi Harmonisa<br />
Hadirnya harmonisa dalam sistem, menimbulkan dampak negatif. Oleh<br />
karena itu kehadirannya perlu dibatasi. Untuk melakukan pembatasan<br />
diperlukan ukuran-ukuran kehadiran armonisa.<br />
Crest Factor. Salah satu ukuran adalah crest factor, yang disefinisikan<br />
sebagai<br />
crest<br />
nilai puncak<br />
factor =<br />
nilai efektif<br />
Total Harmonic Distortion (THD). Total Harmonic Distortion,<br />
disingkat THD, digunakan sebagai ukuran untuk melihat berapa besar<br />
pengaruh keseluruhan adanya harmonisa terhadap sinyal sinus. Pengaruh<br />
keseluruhan harmonisa diperbandingkan terhadap komponen<br />
fundamental, karena komponen fundamental-lah yang memberikan<br />
transfer energi nyata.<br />
Untuk tegangan nonsinus, THD didefinisikan sebagai<br />
V<br />
hrms<br />
THDV<br />
= (6.13)<br />
V1rms<br />
Untuk arus nonsinus, THD didefinisikan sebagai<br />
THD<br />
I<br />
hrms<br />
I = (6.14)<br />
I1rms<br />
COTOH-6.4: Dari Contoh-6.1, dengan nilai puncak arus 100 A,<br />
persamaan arus penyearahan setengah gelombang sampai harmonisa keenam<br />
adalah<br />
⎛31,8<br />
+ 50 cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 21,2cos(2ω0t<br />
) ⎞<br />
i ( t)<br />
=<br />
⎜<br />
4,2 cos(4 0 ) 1,8cos(6 0 )<br />
⎟<br />
⎝ + ω t + ω t ⎠<br />
Hitunglah crest factor dan THD I .<br />
A<br />
Penyelesaian: Telah dihitung nilai efektif arus dalam contoh soal<br />
tersebut<br />
124 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Ib1rms<br />
=<br />
50<br />
A;<br />
2<br />
I<br />
bhrms<br />
=<br />
2<br />
2 21,2<br />
31,8 +<br />
2<br />
2<br />
4,2<br />
+<br />
2<br />
2<br />
1,8<br />
+<br />
2<br />
= 35,31<br />
A<br />
Nilai efektif arus adalah<br />
I rms<br />
=<br />
2<br />
50<br />
/ 2<br />
2<br />
+ 35,31<br />
= 49,7<br />
A<br />
100<br />
Crest factor adalah: c . f . = = 2 ;<br />
49,2<br />
I hrms 35,31<br />
THD I adalah: THD I = = ≈1<br />
atau 100%<br />
I1rms<br />
50 / 2<br />
Crest factor dan THD hanyalah tergantung bentuk dan tidak tergantung<br />
dari nilai mutlak arus. Angka yang sama akan kita peroleh jika nilai<br />
puncak arus hanya 1 ampere. Hal ini dapat dimengerti karena persamaan<br />
arus secara umum adalah<br />
⎛ n maks<br />
⎞<br />
i(<br />
t)<br />
= I<br />
⎜<br />
+<br />
ω − ϕ<br />
⎟<br />
m A<br />
⎜ 0 ∑ An<br />
cos( n 0t<br />
n )<br />
⎟<br />
⎝ n=<br />
1<br />
⎠<br />
sehingga dalam perhitungan I rms, I 1rms , dan I hrms faktor I m akan<br />
terhilangkan.<br />
COTOH-6.5: Tentukan crest factor dan THD arus yang mengalir dari<br />
sumber tegangan sinusoidal v = 1000 2 sin ω0t<br />
yang mencatu<br />
arus ke beban resistif 10 Ω melalui saklar sinkron yang menutup<br />
setiap paruh ke-dua dari tiap setengah perioda. Kurva tegangan<br />
dan arus terlihat pada gambar di bawah ini.<br />
125
Penyelesaian:<br />
Uraian bentuk gelombang arus seperti pada gambar di atas hanya<br />
memiliki harmonisa ganjil. Pendekatan numerik dari bentuk<br />
gelombang arus seperti yang digambarkan di atas memberikan<br />
spektrum amplitudo sampai harmonisa ke-11 sebagai berikut:<br />
Arus ini tidak memiliki komponen searah. Nilai efektif arus adalah<br />
I brms<br />
A<br />
[V]<br />
[A]<br />
90<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
300<br />
v s (t)/5<br />
200<br />
i s (t)<br />
100<br />
[detik]<br />
0<br />
0 0,01 0,02<br />
-100<br />
-200<br />
-300<br />
0.00<br />
83,79<br />
= 0 +<br />
2<br />
= 69,4 A<br />
83.79<br />
2<br />
44.96<br />
44,96<br />
+<br />
2<br />
14,83<br />
+<br />
2<br />
14,83<br />
+<br />
2<br />
126 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)<br />
2<br />
14.83 14.83<br />
8.71 8.71<br />
10 12 3 45 75 96 11 7 harmonisa<br />
2<br />
2<br />
8,71<br />
+<br />
2<br />
Nilai puncak arus terjadi pada t = 0,005 detik; I bm = 141,4 A.<br />
I 141,4<br />
Crest factor adalah c . f . =<br />
bm<br />
= = 2<br />
Ibrms<br />
69,4<br />
2<br />
8,71<br />
+<br />
2<br />
Nilai efektif komponen fundamental dan komponen harmonisa<br />
total, berturut-turut adalah<br />
2
I hrms<br />
83,79<br />
I 1 rms = = 59,25 A ;<br />
2<br />
2 2 2 2 2<br />
44,96 14,83 14,83 8,71 8,71<br />
= 0 + + + + +<br />
2 2 2 2 2<br />
= 36,14 A<br />
Total Harmonic Distortion arus adalah<br />
36,14<br />
THD I = ≈ 0,6 atau 60% .<br />
59,25<br />
Dalam menentukan THD data yang diperlukan adalah spektrum<br />
amplitudo; spektrum sudut fasa tidak diperlukan. Namun untuk<br />
keperluan lain spektrum sudut fasa tetap diperlukan.<br />
127
Soal-Soal<br />
1. Sebuah tegangan sinusoidal 50 Hz dengan nilai puncak 500 V<br />
mencatu rangkaian melalui sebuah dioda (ideal). Hanya bagian<br />
positif tegangan yang terasakan oleh beban. Beban terdiri dari<br />
dari induktor dan kapasitor terhubung seri; induktor memiliki<br />
resistansi 20 Ω dan induktansi 1 H, sedangkan kapasitor<br />
memiliki kapasitansi 20 µF. Hitung tegangan rata-rata pada<br />
beban, tegangan efektif fundamental, serta tegangan efektif dua<br />
harmonisa di atasnya.<br />
2. Jika beban pada soal nomer 1 diganti dengan resistor 50 Ω,<br />
hitung tegangan rata-rata pada resistor, arus efektif yang melalui<br />
resistor, daya nyata yang diserap resistor, serta faktor daya<br />
beban yang dilihat oleh sumber.<br />
3. Sebuah tegangan sinusoidal 50 Hz dengan nilai puncak 500 V<br />
mencatu rangkaian melalui sebuah penyearah gelombang penuh.<br />
Beban terdiri dari induktor dan kapasitor terhubung seri;<br />
induktor memiliki resistansi 20 Ω dan induktansi 1 H,<br />
sedangkan kapasitor memiliki kapasitansi 20 µF. Hitung<br />
tegangan rata-rata pada beban, tegangan efektif fundamental,<br />
serta tegangan efektif dua harmonisa di atasnya.<br />
4. Jika beban pada soal nomer 3 diganti dengan resistor 50 Ω,<br />
hitung tegangan rata-rata pada resistor, arus efektif yang melalui<br />
resistor, daya nyata yang diserap resistor, serta faktor daya<br />
beban yang dilihat oleh sumber.<br />
5. Jika satu kapasitor sebagai filter diparalelkan dengan resistor<br />
pada soal nomer 2 agar fluktuasi tegangan tidak lebih dari 20%<br />
dari tegangan puncak, gambarkan bentuk gelombang arus<br />
sumber dan tentukan THD I .<br />
6. Jika satu kapasitor sebagai filter diparalelkan dengan resistor<br />
pada soal nomer 4 agar fluktuasi tegangan tidak lebih dari 5%<br />
dari tegangan puncak, gambarkan bentuk gelombang arus<br />
sumber dan tentukan THD I .<br />
128 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
BAB 7<br />
Tinjauan di Kawasan Fasor<br />
Dalam bab ini kita akan meninjau sinyal nonsinus melalui pengertian<br />
fasor. Konsep fasor sendiri telah kita bahas di buku bagian pertama.<br />
7.1. Pernyataan Sinyal onsinus Dalam Fasor<br />
Suatu sinyal sinus di kawasan waktu dinyatakan dengan menggunakan<br />
fungsi cosinus seperti pada persamaan<br />
v( t)<br />
= VA<br />
cos[ ω0 t − φ]<br />
dengan V A adalah amplitudo sinyal, ω 0 adalah frekuensi sudut, dan φ<br />
adalah sudut fasa yang menunjukkan posisi puncak pertama fungsi<br />
cosinus. Pernyataan sinyal sinus menggunakan fungsi cosinus diambil<br />
sebagai pernyataan standar.<br />
Jika seluruh sistem bekerja pada satu frekuensi tertentu, ω, maka sinyal<br />
sinus dapat dinyatakan dalam bentuk fasor dengan mengambil besar dan<br />
sudut fasa-nya saja. Untuk suatu sinyal sinus yang di kawasan waktu<br />
dinyatakan sebagai v ( t)<br />
= Acos(<br />
ωt<br />
+ θ)<br />
maka di kawasan fasor ia<br />
jθ<br />
dituliskan dalam format kompleks sebagai V = Ae dengan A adalah<br />
nilai puncak sinyal. Karena kita hanya memperhatikan amplitudo dan<br />
sudut fasa saja, maka pernyataan sinyal dalam fasor biasa dituliskan<br />
seperti pada (12.5) yaitu<br />
V = A∠θ = A cos θ + jAsin<br />
θ<br />
yang dalam bidang kompleks digambarkan sebagai diagram fasor seperti<br />
pada Gb.7.1.a. Apabila sudut fasa θ = 0 o maka pernyataan sinyal di<br />
kawasan waktu menjadi v( t)<br />
= Acos(<br />
ωt)<br />
yang dalam bentuk fasor<br />
o<br />
menjadi V = A∠0 dengan diagram fasor seperti pada Gb.7.1.b. Suatu<br />
sinyal yang di kawasan waktu dinyatakan sebagai<br />
v ( t)<br />
= Asin(<br />
ωt)<br />
= Acos(<br />
ωt<br />
− π / 2) di kawasan fasor menjadi<br />
o<br />
V = A∠ − 90 dengan diagram fasor seperti Gb.7.1.c<br />
129
Im<br />
V = A∠θ<br />
Im<br />
θ<br />
Re<br />
a). b).<br />
Im<br />
o<br />
c). V = A∠ − 90 d)<br />
Gb.7.1. Diagram fasor fungsi:<br />
a) v ( t)<br />
= Acos(<br />
ωt<br />
+ θ)<br />
; b) v( t)<br />
= A cos( ωt)<br />
; c) v( t)<br />
= Asin(<br />
ωt)<br />
d). Fasor a = cosωt dan b = sinωt<br />
Dalam meninjau sinyal nonsinus, kita tidak dapat menyatakan satu sinyal<br />
nonsinus dengan menggunakan satu bentuk fasor tertentu karena<br />
walaupun sistem yang kita tinjau beroperasi pada satu macam frekuensi<br />
(50 Hz misalnya) namun arus dan tegangan yang kita hadapi<br />
mengandung banyak frekuensi. Oleh karena itu satu sinyal nonsinus<br />
terpaksa kita nyatakan dengan banyak fasor; masing-masing komponen<br />
sinyal nonsinus memiliki frekuensi sendiri.<br />
Selain dari pada itu, uraian sinyal sinyal nonsinus ke dalam komponenkomponennya<br />
dilakukan melalui deret Fourier. Bentuk umum komponen<br />
sinus sinyal ini adalah<br />
yang dapat dituliskan sebagai<br />
i ( t)<br />
= a cos nωt<br />
+ b sin nωt<br />
n<br />
130 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)<br />
Re<br />
n<br />
2 2<br />
in<br />
( t)<br />
= an<br />
+ bn<br />
cos( nωt<br />
− θn<br />
)<br />
yang dalam bentuk fasor menjadi<br />
2 2<br />
I n = an<br />
+ bn<br />
∠ − θn<br />
dengan<br />
n<br />
θ = tan −1<br />
Mengacu pada Gb.7.1.d, diagram fasor komponen sinyal ini adalah<br />
seperti pada Gb.7.2.<br />
Im<br />
b<br />
o<br />
V = A∠0<br />
a = cos ωt<br />
a<br />
b = sin ωt<br />
b<br />
a<br />
n<br />
n<br />
Re<br />
Re
Im<br />
θ<br />
a n<br />
Re<br />
b n<br />
I<br />
n<br />
=<br />
a<br />
2<br />
n<br />
+ b<br />
2<br />
n<br />
∠− θ<br />
Gb.7.2. Fasor komponen arus nonsinus dengan a n > 0 dan b n > 0.<br />
Fasor I n pada Gb.7.2. adalah fasor komponen arus jika a n positif dan b n<br />
positif. Fasor ini leading terhadap sinyal sinus sebesar (90 o − θ). Gb.7.3<br />
berikut ini memperlihatkan kombinasi nilai a n dan b n yang lain.<br />
Im<br />
-a n<br />
θ<br />
b n<br />
Re<br />
-b n<br />
-a n θ<br />
Im<br />
Re<br />
a n < 0, b n > 0<br />
I n lagging (90 0 − θ)<br />
terhadap sinyal sinus<br />
2 2 o<br />
In<br />
= an<br />
+ bn<br />
∠(180<br />
+ θ)<br />
Im<br />
-b n<br />
θ<br />
a n < 0, b n < 0<br />
I n lagging (90 0 + θ)<br />
terhadap sinyal sinus<br />
2 2 o<br />
In<br />
= an<br />
+ bn<br />
∠(180<br />
− θ)<br />
a n<br />
Re<br />
a n > 0, b n
Perlu kita perhatikan bahwa pernyataan fasor dan diagram fasor yang<br />
dikemukakan di atas menggunakan nilai puncak sinyal sebagai besar<br />
fasor. Dalam analisis daya, diambil nilai efektif sebagai besar fasor. Oleh<br />
karena itu kita perlu memperhatikan apakah spektrum amplitudo sinyal<br />
nonsinus diberikan dalam nilai efektif atau nilai puncak.<br />
COTOH-7.1: Dalam Contoh-5.3 di Bab-5 uraian di kawasan waktu<br />
arus penyearahan setengah gelombang dengan nilai maksimum I m A<br />
adalah<br />
( t)<br />
= I<br />
i m<br />
⎛0,318<br />
+ 0,5cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 0,212cos(2ω0t<br />
) ⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
× ⎜ + 0,042cos(4ω0t)<br />
+ 0,018cos(6ω0t)<br />
⎟ A<br />
⎜<br />
0.010cos(8 0 ) 0.007cos(10 0 )<br />
⎟<br />
⎝+<br />
ω t +<br />
ω t ⎠<br />
Nyatakanlah sinyal ini dalam bentuk fasor.<br />
Penyelesaian:<br />
Formulasi arus i(t) yang diberikan ini diturunkan dari uraian deret<br />
Fourier yang komponen fundamentalnya adalah<br />
i1 ( t)<br />
= 0 + 0,5 sin ω0t<br />
; jadi sesungguhnya komponen ini adalah<br />
fungsi sinus di kawasan waktu.<br />
Jika kita mengambil nilai efektif sebagai besar fasor, maka<br />
pernyataan arus dalam bentuk fasor adalah<br />
0,5I<br />
m o 0,212Im<br />
o<br />
I0<br />
= 0,318Im;<br />
I1<br />
= ∠ − 90 ; I2<br />
= ∠0<br />
;<br />
2<br />
2<br />
0,042Im<br />
o 0,018Im<br />
o 0,010Im<br />
o<br />
I4<br />
= ∠0<br />
; I6<br />
= ∠0<br />
; I8<br />
= ∠0<br />
;<br />
2<br />
2<br />
2<br />
0,007Im<br />
o<br />
I10<br />
= ∠0<br />
;<br />
2<br />
Diagram fasor arus-arus pada Contoh-7.1 di atas, dapat kita gambarkan<br />
(hanya mengambil tiga komponen) seperti terlihat pada Gb. 7.4.<br />
132 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
I 1<br />
I 2 I 4<br />
Gb.7.4. Diagram fasor arus fundamental,<br />
harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4<br />
Persamaan arus pada Contoh-7.1 yang dinyatakan dalam fungsi cosinus<br />
dapat pula dinyatakan dalam fungsi sinus menjadi<br />
⎛0,318<br />
+ 0,5sin( ω0t)<br />
+ 0,212sin(2ω0t<br />
+ 1,57) ⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
i(<br />
t)<br />
= Im<br />
⎜+<br />
0,021sin(4ω0t<br />
+ 1,57) + 0,018sin(6ω0t<br />
+ 1,57) ⎟ A<br />
⎜<br />
0.010cos(8 0 ) 0.007cos(10 0 )<br />
⎟<br />
⎝+<br />
ω t +<br />
ω t ⎠<br />
Jika komponen sinus fundamental digunakan sebagai referensi<br />
o<br />
dengan pernyataan fasornya I 1 = I1<br />
rms ∠0<br />
, maka masing-masing<br />
komponen arus ini dapat kita nyatakan dalam fasor sebagai:<br />
0,5I<br />
m o 0,212I<br />
m o<br />
I 0 = 0,318I<br />
m ; I1<br />
= ∠0<br />
; I 2 = ∠90<br />
;<br />
2<br />
2<br />
0,042I<br />
m o 0,018I<br />
m o<br />
I 4 = ∠90<br />
; I 6 = ∠90<br />
;...........<br />
2<br />
2<br />
Diagram fasor-fasor arus ini dapat kita gambarkan seperti terlihat pada<br />
Gb.7.5.<br />
I 1<br />
I 2 I 4<br />
Gb.7.5. Diagram fasor arus fundamental,<br />
harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4<br />
Diagram fasor arus pada Gb.7.5 tidak lain adalah diagram fasor pada<br />
Gb.7.4 yang diputar 90 o ke arah positif karena fungsi sinus dijadikan<br />
referensi dengan sudut fasa nol. Nilai fasor dan selisih sudut fasa antar<br />
fasor tidak berubah. Dengan menggunakan Gb.7.5. ini, kita lihat bahwa<br />
komponen harmonisa ke-2 ‘leading’ 90 o dari komponen fundamental;<br />
demikian juga dengan komponen harmonisa ke-4. Namun fasor<br />
133
harmonisa ke-2 berputar kearah positif dengan frekuensi dua kali lipat<br />
dibanding dengan komponen fundamental, dan fasor harmonisa ke-4<br />
berputar kearah positif dengan frekuensi empat kali lipat dibanding<br />
komponen fundamental. Oleh karena itulah mereka tidak dapat secara<br />
langsung dijumlahkan.<br />
Dalam pembahasan selanjutnya kita akan menggunakan cara<br />
penggambaran fasor seperti pada Gb.7.4 dimana fasor referensi adalah<br />
fasor dari sinyal sinus yang dinyatakan dalam fungsi cosinus dan<br />
memiliki sudut fasa nol. Hal ini perlu ditegaskan karena uraian arus<br />
nonsinus ke dalam deret Fourier dinyatakan sebagai fungsi cosinus<br />
sedangkan tegangan sumber biasanya dinyatakan sebagai fungsi sinus.<br />
o<br />
Fasor tegangan sumber akan berbentuk V s = Vsrms∠ − 90 dan relasirelasi<br />
sudut fasa yang tertulis pada Gb.7.3 akan digunakan.<br />
Contoh-7.2: Gambarkan diagram fasor sumber tegangan dan arus-arus<br />
berkut ini<br />
vs<br />
= Vsrms<br />
sin ωt<br />
= 100sin ωt<br />
V , I 1 rms = 30 A 30 o lagging dari<br />
tegangan sumber dan I 2 rms = 50 A 90 o leading dari tegangan<br />
sumber.<br />
Penyelesaian:<br />
Im<br />
I 2<br />
I 1<br />
30<br />
o<br />
Re<br />
7.2. Impedansi<br />
V s<br />
Karena setiap komponen harmonisa memiliki frekuensi berbeda maka<br />
pada satu cabang rangkaian yang mengandung elemen dinamis akan<br />
terjadi impedansi yang berbeda untuk setiap komponen. Setiap<br />
komponen harmonisa dari arus nonsinus yang mengalir pada satu cabang<br />
rangkaian dengan elemen dinamis akan mengakibatkan tegangan<br />
berbeda.<br />
134 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
COTOH-7.3: Arus i = 200sin<br />
ω0t<br />
+ 70sin 3ω0t<br />
+ 30sin 5ω0t<br />
A<br />
mengalir melalui resistor 5 Ω yang terhubung seri dengan kapasitor<br />
20 µF. Jika frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitung tegangan<br />
puncak fundamental dan tegangan puncak setiap komponen<br />
harmonisa.<br />
(a) Reaktansi dan impedansi untuk frekuensi fundamental adalah<br />
X<br />
C<br />
−6<br />
1 = 1/(2π × 50 × 20 × 10 ) = 159,15 →<br />
2 2<br />
Z1 = 5 + 159,15 = 159,23Ω<br />
Tegangan puncak fundamental adalah<br />
V 1m<br />
= Z1<br />
× I1m<br />
= 159,23×<br />
200 ≈ 31,85 kV<br />
(b) Impedansi untuk harmonisa ke-3 adalah<br />
2 2<br />
X C 3 = X C 1 / 3 = 53,05 → Z3 = 5 + 53,05 = 53, 29 Ω<br />
Tegangan puncak harmonisa ke-3 adalah<br />
V 3 m = Z3<br />
× I3m<br />
= 53,29 × 70 = 3,73 kV<br />
(c) Impedansi untuk harmonisa ke-5 adalah<br />
7.3. ilai Efektif<br />
2 2<br />
X C 5 = X C 1 / 5 = 31,83 → Z 5 = 5 + 31,83 = 32, 22 Ω<br />
Tegangan puncak harmonisa ke-5 adalah<br />
V 5 m = Z5<br />
× I5m<br />
= 32,22 × 30 = 0,97 kV<br />
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, sinyal nonsinus<br />
dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu komponen<br />
fundamental dan komponen harmonisa total. Nilai efektif suatu sinyal<br />
periodik nonsinus y, adalah<br />
2 2<br />
rms = Y1rms<br />
Yhrms<br />
(7.1)<br />
Y +<br />
dengan<br />
Y 1 rms : nilai efektif komponen fundamental.<br />
Y hrms : nilai efektif komponen harmonisa total.<br />
135
Karena komponen ke-dua, yaitu komponen harmonisa total, merupakan<br />
gabungan dari seluruh harmonisa yang masih diperhitungkan, maka<br />
komponen ini tidak kita gambarkan diagram fasornya; kita hanya<br />
menyatakan nilai efektifnya saja walaupun kalau kita gambarkan<br />
kurvanya di kawasan waktu bisa terlihat perbedaan fasa yang mungkin<br />
terjadi antara tegangan fundamental dan arus harmonisa total.<br />
7.4. Sumber Tegangan Sinusiodal Dengan Beban onlinier<br />
Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, pembebanan nonlinier<br />
terjadi bila sumber dengan tegangan sinus mencatu beban dengan arus<br />
nonsinus. Arus nonsinus mengalir karena terjadi pengubahan arus oleh<br />
pengubah arus, seperti misalnya penyearah atau saklar sinkron. Dalam<br />
analisis di kawasan fasor pada pembebanan non linier ini kita perlu<br />
memperhatikan hal-hal berikut ini.<br />
7.4.1. Daya Kompleks<br />
Sisi Beban. Jika tegangan pada suatu beban memiliki nilai efektif V brms V<br />
dan arus nonsinus yang mengalir padanya memiliki nilai efektif I brms A,<br />
maka beban ini menyerap daya kompleks sebesar<br />
S b = Vbrms<br />
× Ibrms<br />
VA<br />
(7.2)<br />
Kita ingat pengertian mengenai daya kompleks yang didefinisikan pada<br />
persamaan (14.9) di Bab-14 sebagai S = VI . Definisi ini adalah untuk<br />
sinyal sinus murni. Dalam hal sinyal nonsinus kita tidak menggambarkan<br />
fasor arus harmonisa total sehingga mengenai daya kompleks hanya bisa<br />
menyatakan besarnya, yaitu persamaan (7.2), tetapi kita tidak<br />
menggambarkan segitiga daya. Segitiga daya dapat digambarkan hanya<br />
untuk komponen fundamental.<br />
Sisi Sumber. Daya kompleks |S s | yang diberikan oleh sumber tegangan<br />
sinus vs<br />
= Vsm<br />
sin ωt<br />
V yang mengeluarkan arus nonsinus bernilai<br />
efektif<br />
2 2<br />
s1rms<br />
shrms<br />
I = I + I A adalah<br />
srms<br />
Vsm<br />
S s = Vsrms<br />
× I srms = × I srms VA<br />
(7.3)<br />
2<br />
*<br />
136 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
7.4.2. Daya yata<br />
Sisi Beban. Jika suatu beban memiliki resistansi R b , maka beban tersebut<br />
menyerap daya nyata sebesar<br />
2<br />
( I I ) R W<br />
2<br />
2<br />
P b = IbrmsRb<br />
= b 1 rms + bhrms b<br />
(7.4)<br />
di mana Ib<br />
1 rms adalah arus efektif fundamental dan I bhrms adalah arus<br />
efektif harmonisa total.<br />
Sisi Sumber. Dilihat dari sisi sumber, daya nyata dikirimkan melalui<br />
komponen fundamental. Komponen arus harmonisa sumber tidak<br />
memberikan transfer energi netto.<br />
P s 1 = VsrmsI<br />
1 rmscosϕ<br />
1 W<br />
(7.5)<br />
ϕ 1 adalah beda sudut fasa antara tegangan dan arus fundamental sumber,<br />
dan cosϕ 1 adalah faktor daya pada komponen fundamental yang disebut<br />
displacement power factor.<br />
7.4.3. Faktor Daya<br />
Sisi Beban. Dengan pengertian daya kompleks dan daya nyata seperti<br />
diuraikan di atas, maka faktor daya rangkaian beban dapat dihitung<br />
sebagai<br />
P<br />
b<br />
f.d. beban =<br />
(7.5)<br />
Sb<br />
Sisi Sumber. Faktor daya total, dilihat dari sisi sumber, adalah<br />
7.4.4. Impedansi Beban<br />
Ps<br />
f .d. 1<br />
s = (7.6)<br />
Ss<br />
Reaktansi beban tergantung dari frekuensi harmonisa, sehingga masingmasing<br />
harmonisa menghadapi nilai impedansi yang berbeda-beda.<br />
Namun demikian nilai impedansi beban secara keseluruhan dapat<br />
dihitung, sesuai dengan konsep tentang impedansi, sebagai<br />
Vbrms<br />
Z b = Ω<br />
(7.6)<br />
I<br />
brms<br />
137
Seperti halnya dengan daya kompleks, impedansi beban hanya dapat kita<br />
hitung besarnya dengan relasi (7.6) akan tetapi tidak dinyatakan dalam<br />
format kompleks seperti (a + jb).<br />
7. 5. Teorema Tellegen<br />
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab-7, teorema ini menyatakan bahwa di<br />
setiap rangkaian listrik harus ada perimbangan yang tepat antara daya<br />
yang diserap oleh elemen pasif dengan daya yang diberikan oleh elemen<br />
aktif. Hal ini sesuai dengan prinsip konservasi energi. Sebagaimana telah<br />
pula disebutkan teorema ini juga memberikan kesimpulan bahwa satusatunya<br />
cara agar energi dapat diserap dari atau disalurkan ke suatu<br />
bagian rangkaian adalah melalui tegangan dan arus di terminalnya.<br />
Teorema ini berlaku baik untuk rangkaian linier maupun non linier.<br />
Teorema ini juga berlaku baik di kawasan waktu maupun kawasan fasor<br />
untuk daya kompleks maupun daya nyata. Fasor tidak lain adalah<br />
pernyataan sinyal yang biasanya berupakan fungsi waktu, menjadi<br />
pernyataan di bidang kompleks. Oleh karena itu perhitungan daya yang<br />
dilakukan di kawasan fasor harus menghasilkan angka-angka yang sama<br />
dengan perhitungan di kawasan waktu.<br />
7.6. Contoh-Contoh Perhitungan<br />
COTOH-7.4: Di terminal suatu beban yang terdiri dari resistor R b =10<br />
Ω terhubung seri dengan induktor L b = 0,05 H terdapat tegangan<br />
nonsinus v s = 100 + 200 2 sin ω0 t V . Jika frekuensi fundamental<br />
adalah 50 Hz, hitunglah: (a) daya nyata yang diserap beban; (b)<br />
impedansi beban; (c) faktor daya beban;<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Tegangan pada beban terdiri dari dua komponen yaitu komponen<br />
searah dan komponen fundamental:<br />
V 0 =100 V dan o<br />
V 1 = 200∠<br />
− 90<br />
Arus komponen searah yang mengalir di beban adalah<br />
I b0 = V0<br />
/ Rb<br />
= 100 /10 = 10 A<br />
Arus efektif komponen fundamental di beban adalah<br />
138 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
V1rms<br />
200<br />
I b1rms = =<br />
= 10,74<br />
Zb<br />
2<br />
2<br />
10 + (100π × 0,05)<br />
A<br />
Nilai efektif arus rangkaian total adalah<br />
I<br />
2<br />
brms = b b 1 rms<br />
2 2<br />
I<br />
2 0 + I = 10 + 10,74 = 14,68 A<br />
Daya nyata yang diserap beban sama dengan daya yang diserap<br />
R b karena hanya R b yang menyerap daya nyata.<br />
2<br />
2<br />
P Rb = Ibrms<br />
Rb<br />
= 14,68 × 10 = 2154 W<br />
(b) Impedansi beban adalah rasio antara tegangan efektif dan arus<br />
efektif beban.<br />
V<br />
brms<br />
2 2<br />
= rms<br />
V0 + V1<br />
= 100 + 200 = 100<br />
2<br />
2<br />
5<br />
V<br />
Z<br />
beban<br />
V<br />
=<br />
I<br />
brms<br />
brms<br />
100<br />
=<br />
5<br />
14,68<br />
= 15,24 Ω<br />
(c) Faktor daya beban adalah rasio antara daya nyata dan daya<br />
kompleks yang diserap beban. Daya kompleks yang diserap<br />
beban adalah:<br />
S<br />
b<br />
= Vbrms<br />
× Ibrms<br />
Sehingga faktor daya beban<br />
= 100 5 × 14,68 = 3281 VA<br />
P 2154<br />
f.d. =<br />
b<br />
b = = 0,656<br />
S 3281<br />
COTOH-7.5: Suatu tegangan nonsinus yang terdeteksi pada terminal<br />
beban memiliki komponen fundamental dengan nilai puncak 150 V<br />
dan frekuensi 50 Hz, serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki<br />
nilai puncak berturut-turut 30 V dan 5 V. Beban terdiri dari resistor 5<br />
Ω terhubung seri dengan induktor 4 mH. Hitung: (a) tegangan<br />
efektif, arus efektif, dan daya dari komponen fundamental; (b)<br />
tegangan efektif, arus efektif, dan daya dari setiap komponen<br />
harmonisa; (c) tegangan efektif beban, arus efektif beban, dan total<br />
b<br />
139
daya kompleks yang disalurkan ke beban; (d) Bandingkan hasil<br />
perhitungan (a) dan (c).<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Tegangan efektif komponen fundamental<br />
V<br />
150<br />
=<br />
2<br />
1 rms<br />
=<br />
106 V<br />
Reaktansi pada frekuensi fundamental<br />
X L1<br />
= 2π × 50 × 4 × 10<br />
−3<br />
= 1,26<br />
Impedansi pada frekuensi fundamental adalah<br />
Ω<br />
Z 1<br />
=<br />
5<br />
2<br />
+ 1,26<br />
2<br />
= 5,16<br />
Ω<br />
Arus efektif fundamental<br />
V<br />
106<br />
=<br />
5,16<br />
1rms<br />
1 rms = =<br />
Z 1<br />
I<br />
20,57<br />
A<br />
Daya nyata yang diberikan oleh komponen fundamental<br />
2<br />
P rms<br />
1 = I1<br />
R = 20,57 × 5 = 2083<br />
Daya kompleks komponen fundamental<br />
2<br />
W<br />
S 1 = V1<br />
rms I1rms<br />
= 106 × 20,57 = 2182<br />
Faktor daya komponen fundamental<br />
f.d.<br />
2083<br />
=<br />
2182<br />
1<br />
1<br />
=<br />
1<br />
= S<br />
P<br />
0,97<br />
VA<br />
Daya reaktif komponen fundamental dapat dihitung dengan<br />
formulasi segitiga daya karena komponen ini adalah sinus<br />
murni.<br />
2<br />
2<br />
Q 1 = S1<br />
− P1<br />
= 2182 − 2083 = 531,9 VAR<br />
2<br />
2<br />
140 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
(b) Tegangan efektif harmonisa ke-3 dan ke-5<br />
30<br />
5<br />
V 3 rms = = 21,21 V ; V 5 rms = = 3,54 V<br />
2<br />
2<br />
Reaktansi pada frekuensi harmonisa ke-3 dan ke-5<br />
X = × X = 3×<br />
1,26 = 3,77 Ω ;<br />
X<br />
L3 3 L1<br />
L5 = 5 × X L1<br />
= 5×<br />
1,26 = 6,28 Ω<br />
Impedansi pada komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:<br />
2<br />
2<br />
Z = 5 + 3,77 = 6,26 Ω ; Z = 5 + 6,28 = 8,03 Ω<br />
3<br />
Arus efektif komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:<br />
V 21,21<br />
I<br />
3<br />
3 =<br />
rms<br />
rms = = 3,39 A ;<br />
Z 6,26<br />
I<br />
V<br />
3<br />
5<br />
3,54<br />
=<br />
8,03<br />
5rms<br />
5 rms = =<br />
Z 5<br />
2<br />
0,44 A<br />
Daya nyata yang diberikan oleh harmonisa ke-3 dan ke-5<br />
2<br />
2<br />
3 3<br />
=<br />
2<br />
2<br />
P5 = I5rms<br />
R = 0,44 × 5 =<br />
P = I rms R = 3,39 × 5 57,4 W ;<br />
0,97<br />
(c) Daya nyata total yang diberikan ke beban adalah jumlah daya<br />
nyata dari masing-masing komponen harmonisa (kita ingat<br />
komponen-komponen harmonisa secara bersama-sama mewakili<br />
satu sumber)<br />
P = P + P +<br />
b<br />
=<br />
1 3<br />
2<br />
I1rms<br />
R<br />
+<br />
2 2 2<br />
P5<br />
= ( I1rms<br />
+ I3rms<br />
+ I5rms<br />
)<br />
2 2 2<br />
( I + I ) R = I R + I<br />
3rms<br />
Tegangan efektif beban<br />
5rms<br />
1rms<br />
W<br />
2<br />
× R = 2174 W<br />
2<br />
hrms<br />
R<br />
V brms<br />
Arus efektif beban<br />
=<br />
150<br />
2<br />
2<br />
30<br />
+<br />
2<br />
2<br />
2<br />
5<br />
+<br />
2<br />
= 108,22<br />
V<br />
141
I brms<br />
=<br />
20,57<br />
Daya kompleks beban<br />
2<br />
+ 3,39<br />
2<br />
+ 0,44<br />
2<br />
= 20,86<br />
A<br />
S<br />
b<br />
= Vbrms<br />
× Ibrms<br />
= 108 ,22 × 20,86 = 2257<br />
VA<br />
Daya reaktif beban tidak dapat dihitung dengan menggunakan<br />
formula segitiga daya karena kita tak dapat menggambarkannya.<br />
(d) Perhitungan untuk komponen fundamental yang telah kita<br />
lakukan menghasilkan<br />
P 1 = 2083 W , S 1 = 2182 VA , dan<br />
2 2<br />
1 1 1 =<br />
Q = S − P 531,9 VAR .<br />
Sementara itu perhitungan daya total ke beban menghasilkan<br />
P b = 2174 W , dan S b = 2257 VA ; Q b = ?<br />
Perbedaan antara P 1 dan P b disebabkan oleh adanya harmonisa<br />
P 3 dan P 5 .<br />
2<br />
P1 = I1rmsR<br />
sedang<br />
2 2 2<br />
1 + P2<br />
+ P3<br />
= I1rms<br />
+ I3rms<br />
+ I5rms<br />
R =<br />
2<br />
( ) I R<br />
P = P<br />
.<br />
b<br />
brms<br />
Daya reaktif beban Q b tidak bisa kita hitung dengan cara seperti<br />
menghitung Q 1 karena kita tidak bisa menggambarkan segitiga<br />
daya-nya. Oleh karena itu kita akan mencoba memperlakukan<br />
komponen harmonisa sama seperti kita memperlakukan<br />
komponen fundamental dengan menghitung daya reaktif<br />
2<br />
sebagai Qn<br />
= I nrms X n dan kemudian menjumlahkan daya<br />
reaktif Q n untuk memperoleh daya reaktif ke beban Q b .<br />
Dengan cara ini maka untuk beban akan berlaku:<br />
b<br />
2<br />
2<br />
2<br />
( I X + I X I X )<br />
Q = Q + Q + Q =<br />
+<br />
1 3 5 1rms<br />
L1<br />
3rms<br />
L3<br />
5rms<br />
L5<br />
Hasil perhitungan memberikan<br />
142 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Q<br />
2<br />
2<br />
2<br />
b = Q1<br />
+ Q2<br />
+ Q3<br />
= I1rms<br />
X L1<br />
+ I3rms<br />
X L3<br />
+ I5rms<br />
X L5<br />
Perhatikan bahwa hasil perhitungan<br />
2<br />
1 = 1rms X L1<br />
=<br />
= 531,9 + 43,3 + 1,2 = 576,4<br />
Q I 531,9 VAR sama dengan<br />
2 2<br />
1 1 1 =<br />
Q = S − P 531,9 VAR .<br />
VAR<br />
Jika untuk menghitung Q b kita paksakan menggunakan<br />
formulasi segitiga daya, walaupun sesungguhnya kita tidak bisa<br />
menggambarkan segitiga daya dan daya reaktif total komponen<br />
hamonisa juga tidak didefinisikan, kita akan memperoleh<br />
Q<br />
2 2<br />
b = Sb<br />
− Pb<br />
=<br />
2257<br />
2<br />
− 2174<br />
2<br />
= 604 VAR<br />
lebih besar dari hasil yang diperoleh jika daya reaktif masingmasing<br />
komponen harmonisa dihitung dengan formula<br />
2<br />
Qn<br />
= I nrms X n .<br />
COTOH-7.6: Sumber tegangan sinusoidal v s = 1000 2sinωt<br />
V<br />
mencatu beban resistif R b = 10 Ω melalui dioda mewakili<br />
penyearah setengah gelombang. Carilah: (a) spektrum amplitudo<br />
arus; (b) nilai efektif setiap komponen arus; (c) daya kompleks<br />
sumber; (d) daya nyata yang diserap beban; (e) daya nyata yang<br />
berikan oleh sumber; (f) faktor daya yang dilihat sumber; (g)<br />
faktor daya komponen fundamental.<br />
Penyelesaian:<br />
a). Spektrum amplitudo arus penyearahan setengah gelombang ini<br />
adalah seperti berikut.<br />
143
A<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
45.00<br />
70.71<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
30.04<br />
6.03<br />
2.60 1.46 0.94<br />
01 12 23 4 65 68 10 7 harmonisa<br />
Spektrum yang amplitudo ini dihitung sampai harmonisa ke-<br />
10, yang nilainya sudah mendekati 1% dari amplitudo arus<br />
fundamental. Diharapkan error yang terjadi dalam<br />
perhitungan tidak akan terlalu besar.<br />
b). Nilai efektif komponen arus dalam [A] adalah<br />
70.71<br />
I 0 = 45; I1rms<br />
= = 50; I<br />
2<br />
I = 4,3; I = 1,8; I<br />
4rms<br />
6rms<br />
Nilai efektif arus fundamental<br />
8rms<br />
2rms<br />
= 1;<br />
I 1 rms = 50<br />
30.04<br />
= = 21,2;<br />
2<br />
I = 0.7<br />
10rms<br />
Nilai efektif komponen harmonisa total adalah:<br />
A<br />
dst<br />
I hrms<br />
=<br />
2 2 2 2 2 2<br />
2 × 31,8 + 21,2 + 4,3 + 1,8 + 1 + 0,7<br />
= 50<br />
A<br />
Nilai efektif arus total adalah<br />
I<br />
2 2<br />
rms = shrms<br />
I1 rms + I = 50 + 50 = 70,7<br />
c). Daya kompleks yang diberikan sumber adalah<br />
2<br />
2<br />
A<br />
S s<br />
= Vsrms<br />
× I rms = 1000 × 70,7 = 70,7<br />
kVA<br />
d). Daya nyata yang diserap beban adalah<br />
2<br />
P b = I rmsRb<br />
=<br />
2<br />
70,67 × 10 = 50 kW<br />
144 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
e). Sumber memberikan daya nyata melalui arus fundamental.<br />
Daya nyata yang diberikan oleh sumber adalah<br />
P s = Vsrms<br />
I1rms<br />
cos ϕ 1<br />
Kita anggap bahwa spektrum sudut fasa tidak tersedia,<br />
sehingga perbedaan sudut fasa antara tegangan sumber dan<br />
arus fundamental tidak diketahui dan cosϕ 1 tidak diketahui.<br />
Oleh karena itu kita coba memanfaatkan teorema Tellegen<br />
yang menyatakan bahwa daya yang diberikan sumber harus<br />
tepat sama dengan daya yang diterima beban, termasuk daya<br />
nyata. Jadi daya nyata yang diberikan sumber adalah<br />
P s = P b = 50 kW<br />
f). Faktor daya yang dilihat oleh sumber adalah<br />
f.d. s = Ps<br />
/ S s = Pb<br />
/ Ss<br />
= 50 / 70,7 = 0,7<br />
g). Faktor daya komponen fundamental adalah<br />
Ps<br />
50000<br />
cosϕ1 = = = 1<br />
VsrmsI1rms<br />
1000 × 50<br />
Nilai faktor daya ini menunjukkan bahwa arus fundamental<br />
sefasa dengan tegangan sumber.<br />
I hrms 50<br />
h). THD I = = = 1 atau 100%<br />
I1rms<br />
50<br />
Contoh-7.6 ini menunjukkan bahwa faktor daya yang dilihat sumber<br />
lebih kecil dari faktor daya fundamental. Faktor daya fundamental<br />
menentukan besar daya aktif yang dikirim oleh sumber ke beban,<br />
sementara faktor daya yang dilihat oleh sumber merupakan rasio daya<br />
nyata terhadap daya kompleks yang dikirim oleh sumber. Sekali lagi kita<br />
tekankan bahwa kita tidak dapat menggambarkan segitiga daya pada<br />
sinyal nonsinus.<br />
Sumber mengirimkan daya nyata ke beban melalui arus fundamental.<br />
Jika kita hitung daya nyata yang diserap resistor melalui arus<br />
fundamental saja, akan kita peroleh<br />
P Rb1 = I1<br />
2 rms Rb<br />
= 50 2 × 10 = 25 kW<br />
145
Jadi daya nyata yang diserap R b melalui arus fundamental hanya setengah<br />
dari daya nyata yang dikirim sumber (dalam kasus penyearah setengah<br />
gelombang ini). Hal ini terjadi karena daya nyata total yang diserap R b<br />
tidak hanya melalui arus fundamental saja tetapi juga arus harmonisa,<br />
sesuai dengan relasi<br />
2 2<br />
( I1rms<br />
+ Ibrms<br />
) Rb<br />
2<br />
P Rb = Ibrms<br />
Rb<br />
=<br />
×<br />
Kita akan mencoba menganalisis masalah ini lebih jauh setelah melihat<br />
lagi contoh yang lain. Berikut ini kita akan melihat contoh yang berbeda<br />
namun pada persoalan yang sama, yaitu sebuah sumber tegangan<br />
sinusoidal mengalami pembebanan nonlinier.<br />
COTOH-7.7: Seperti Contoh-7.6, sumber sinusoidal dengan nilai<br />
efektif 1000 V mencatu arus ke beban resistif R b =10 Ω, namun<br />
kali ini melalui saklar sinkron yang menutup setiap paruh ke-dua<br />
dari tiap setengah perioda. Tentukan : (a) spektrum amplitudo<br />
arus; (b) nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa total, dan<br />
arus total yang mengalir ke beban; (c) daya kompleks yang<br />
diberikan sumber; (d) daya nyata yang diberikan sumber; (e)<br />
faktor daya yang dilihat sumber; (f) faktor daya komponen<br />
fundamental.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Diagram rangkaian adalah sebagai berikut:<br />
i s<br />
saklar sinkron<br />
v s<br />
∼<br />
V srms =1000 V<br />
R b<br />
i Rb<br />
10 Ω<br />
Bentuk gelombang tegangan sumber dan arus beban adalah<br />
[V]<br />
[A]<br />
300<br />
v s (t)/5<br />
200 i Rb (t)<br />
100<br />
[detik]<br />
0<br />
0 0,01 0,02<br />
-100<br />
-200<br />
-300<br />
146 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Spektrum amplitudo arus, yang dibuat hanya sampai harmonisa<br />
ke-11 adalah seperti di bawah ini.<br />
A<br />
90<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
0.00<br />
83.79<br />
44.96<br />
14.83 14.83<br />
8.71 8.71<br />
10 12 3 45 75 96 11 7 harmonisa<br />
Amplitudo arus harmonisa ke-11 masih cukup besar; masih di<br />
atas 10% dari amplitudo arus fundamental. Perhitunganperhitungan<br />
yang hanya didasarkan pada spektrum amplitudo<br />
ini tentu akan mengandung error yang cukup besar. Namun hal<br />
ini kita biarkan untuk contoh perhitungan manual ini mengingat<br />
amplitudo mencapai sekitar 1% dari amplitudo arus<br />
fundamental baru pada harmonisa ke-55.<br />
(b) Arus fundamental yang mengalir ke R b<br />
83,79<br />
I 1 rms = = 59,25<br />
2<br />
Arus harmonisa total<br />
A<br />
I hrms<br />
44,96<br />
= 0 +<br />
2<br />
= 36,14 A<br />
2<br />
14,83<br />
+<br />
2<br />
2<br />
14,83<br />
+<br />
2<br />
2<br />
2<br />
8,71<br />
+<br />
2<br />
2<br />
8,71<br />
+<br />
2<br />
Arus total :<br />
I rms<br />
=<br />
2 2<br />
59,25 + 36,14 = 69,4 A<br />
(c) Daya kompleks yang diberikan sumber adalah<br />
S<br />
s<br />
= VsrmsI<br />
rms<br />
= 1000 × 69,4 = 69,4<br />
kVA<br />
147
(d) Daya nyata yang diberikan sumber harus sama dengan daya<br />
nyata yang diterima beban yaitu daya nyata yang diserap R b<br />
karena hanya R b yang menyerap daya nyata<br />
P s = Pb<br />
= I rms<br />
2 Rb<br />
= 69,4<br />
2 × 10 = 48,17 kW<br />
(e) Faktor daya yang dilihat sumber adalah<br />
f.d.<br />
s = Ps<br />
s<br />
/ S = 48,17 / 69,4 = 0,69<br />
(f) Daya nyata dikirim oleh sumber melalui arus komponen<br />
fundamental.<br />
P s = Vsrms<br />
I1rms<br />
cos ϕ 1<br />
Ps<br />
48170<br />
f . d.<br />
1 = cosϕ1<br />
= =<br />
= 0,813<br />
Vsrms<br />
I1rms<br />
1000 × 59,25<br />
I hrms 36,14<br />
(g) THD I = = = 0,61 atau 61%<br />
I1rms<br />
59,25<br />
Perhitungan pada Contoh-7.7 ini dilakukan dengan hanya mengandalkan<br />
spektrum amplitudo yang hanya sampai harmonisa ke-11. Apabila<br />
tersedia spektrum sudut fasa, koreksi perhitungan dapat dilakukan.<br />
Contoh-7.8: Jika pada Contoh-7.7 selain spektrum amplitudo diketahui<br />
pula bahwa persamaan arus fundamental dalam uraian deret Fourier<br />
adalah<br />
( − 0.5cos( ω t)<br />
+ 0,7sin( ))<br />
i1 ( t)<br />
= I m 0 ω0t<br />
Lakukan koreksi terhadap perhitungan yang telah dilakukan pada<br />
Contoh-7.7.<br />
Penyelesaian:<br />
Persamaan arus fundamental sebagai suku deret Fourier diketahui:<br />
Sudut<br />
( − 0.5cos( ω t)<br />
+ 0,7sin( ))<br />
i1 ( t)<br />
= I m 0 ω0t<br />
−1<br />
o<br />
θ = tan (0.7 / 0.5) = 57,6 . Mengacu ke Gb.7.3, komponen<br />
fundamental ini lagging sebesar (90 o −57,6 o ) = 32,4 o dari tegangan<br />
148 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
sumber yang dinyatakan sebagai fungsi sinus. Dengan demikian<br />
maka faktor daya komponen fundamental adalah<br />
o<br />
f . d.<br />
1 = cosϕ1<br />
= cos(32,4 ) = 0,844<br />
Dengan diketahuinya faktor daya fundamental, maka kita dapat<br />
menghitung ulang daya nyata yang diberikan oleh sumber dengan<br />
menggunakan nilai faktor daya ini, yaitu<br />
P s = Vsrms<br />
I 1 rms cos ϕ 1 = 1000 × 59,4 × 0.844 = 50 kW<br />
Daya nyata yang dikirim sumber ini harus sama dengan yang<br />
diterima resistor di rangkaian beban<br />
demikian arus total adalah<br />
I<br />
rms = Ps<br />
b<br />
/ R = 50000 /10 = 70,7 A<br />
P b = I rms<br />
2 Rb<br />
= Ps<br />
. Dengan<br />
Koreksi daya nyata tidak mengubah arus fundamental; yang<br />
berubah adalah faktor dayanya. Oleh karena itu terdapat koreksi<br />
arus harmonisa yaitu<br />
I<br />
2 2<br />
hrms = I rms − I1rms<br />
=<br />
70,7<br />
2<br />
− 59,25<br />
Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi<br />
2<br />
= 38,63 A<br />
S s = Vsrms<br />
I rms = 1000 × 70,7 = 70,7 kVA<br />
Faktor daya total yang dilihat sumber menjadi<br />
THD I<br />
38,63<br />
= = 0,65 atau<br />
59,25<br />
f . d.<br />
s = Ps<br />
/ Ss<br />
= 50 / 70,7 = 0,7<br />
65%<br />
Perbedaan-perbedaan hasil perhitungan antara Contoh-7.8 (hasil koreksi)<br />
dan Contoh-7.7 telah kita duga sebelumnya sewaktu kita menampilkan<br />
spektrum amplitudo yang hanya sampai pada harmonisa ke-11. Tampilan<br />
spektrum ini berbeda dengan tampilan spektrum dalam kasus penyearah<br />
setengah gelombang pada Contoh-7.6, yang juga hanya sampai hrmonisa<br />
ke-10. Perbedaan antara keduanya terletak pada amplitudo harmonisa<br />
terakhir; pada kasus saklar sinkron amplitudo harmonisa ke-11 masih<br />
sekitar 10% dari amplitudo fundamentalnya, sedangkan pada kasus<br />
149
penyearah setengah gelombang amplitudo ke-10 sudah sekitar 1% dari<br />
ampltudo fundamentalnya.<br />
Pada Contoh-7.8, jika kita menghitung daya nyata yang diterima resistor<br />
hanya melalui komponen fundamental saja akan kita peroleh<br />
2<br />
2<br />
P Rb1 = I1rms<br />
Rb<br />
= 59,25 × 10 = 35,1 kW<br />
Perbedaan antara daya nyata yang dikirim oleh sumber melalui arus<br />
fundamental dengan daya nyata yang diterima resistor melalui arus<br />
fundamental disebabkan oleh adanya komponen harmonisa. Hal yang<br />
sama telah kita amati pada kasus penyearah setengah gelombang pada<br />
Contoh-7.6.<br />
7.7. Transfer Daya<br />
Dalam pembebanan nonlinier seperti Contoh-7.6 dan Contoh-7.7, daya<br />
nyata yang diserap beban melalui komponen fundamental selalu lebih<br />
kecil dari daya nyata yang dikirim oleh sumber yang juga melalui arus<br />
fundamental. Jadi terdapat kekurangan sebesar ∆P Rb ; kekurangan ini<br />
diatasi oleh komponen arus harmonisa karena daya nyata diterima oleh<br />
R b tidak hanya melalui arus fundamental tetapi juga melalui arus<br />
harmonisa, sesuai formula<br />
2 2<br />
P Rb = ( Ib<br />
1 rms + Ibhrms)<br />
Rb<br />
Padahal dilihat dari sisi sumber, komponen harmonisa tidak memberi<br />
transfer energi netto. Penafsiran yang dapat dibuat adalah bahwa<br />
sebagian daya nyata diterima secara langsung dari sumber oleh R b , dan<br />
sebagian diterima secara tidak langsung. Piranti yang ada di sisi beban<br />
selain resistor adalah saklar sinkron ataupun penyearah yang merupakan<br />
piranti-piranti pengubah arus; piranti pengubah arus ini tidak mungkin<br />
menyerap daya nyata sebab jika demikian halnya maka piranti ini akan<br />
menjadi sangat panas. Jadi piranti pengubah arus menyerap daya nyata<br />
yang diberikan sumber melalui arus fundamental dan segera<br />
meneruskannya ke resistor sehingga resistor menerima daya nyata total<br />
sebesar yang dikirimkan oleh sumber. Dalam meneruskan daya nyata<br />
tersebut, terjadi konversi arus dari frekuensi fundamental yang diberikan<br />
oleh sumber menjadi frekuensi harmonisa menuju ke beban. Hal ini<br />
dapat dilihat dari besar daya nyata yang diterima oleh R b melalui arus<br />
harmonisa sebesar<br />
150 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
2<br />
2 2<br />
P Rbh = IbhrmsR<br />
= ( I1rms<br />
+ Ibhrms<br />
) × Rb<br />
.<br />
Faktor daya komponen fundamental lebih kecil dari satu, f.d. 1 < 1,<br />
menunjukkan bahwa ada daya reaktif yang diberikan melalui arus<br />
fundamental. Resistor tidak menyerap daya reaktif. Piranti selain resistor<br />
hanyalah pengubah arus; oleh karena itu piranti yang harus menyerap<br />
daya reaktif adalah pengubah arus. Dengan demikian, pengubah arus<br />
menyerap daya reaktif dan daya nyata. Daya nyata diteruskan ke resistor<br />
dengan mengubahnya menjadi komponen harmonisa, daya reaktif<br />
ditransfer ulang-alik ke rangkaian sumber.<br />
7.8. Kompensasi Daya Reaktif<br />
Sekali lagi kita memperhatikan Contoh-7.6 dan Contoh-7.7 yang telah<br />
dikoreksi dalam Contoh 7.8. Telah diulas bahwa faktor daya komponen<br />
fundamental pada penyearah setengah gelombang f.d. 1 = 1 yang berarti<br />
arus fundamental sefasa dengan tegangan; sedangkan faktor daya<br />
komponen fundamental pada saklar sinkron f.d. 1 = 0,844. Nilai faktor<br />
daya komponen fundamental ini tergantung dari saat membuka dan<br />
menutup saklar yang dalam kasus penyearah setengah gelombang<br />
“saklar” menutup setiap tengah perioda pertama.<br />
Selain faktor daya komponen fundamental, kita melihat juga faktor daya<br />
total yang dilihat sumber. Dalam kasus penyearah setengah gelombang,<br />
meskipun f.d. 1 = 1, faktor daya total f.d. s = 0,7. Dalam kasus saklar<br />
sinkron f.d. 1 = 0.844 sedangkan faktor daya totalnya f.d. s = 0,7. Sebuah<br />
pertanyaan timbul: dapatkah upaya perbaikan faktor daya yang biasa<br />
dilakukan pada pembebanan linier, diterapkan juga pada pembebanan<br />
nonlinier?<br />
Pada dasarnya perbaikan faktor daya adalah melakukan kompensasi daya<br />
reaktif dengan cara menambahkan beban pada rangkaian sedemikian<br />
rupa sehingga faktor daya, baik lagging maupun leading, mendekat ke<br />
nilai satu. Dalam kasus penyearah setengah gelombang f.d. 1 = 1, sudah<br />
mencapai nilai tertingginya; masih tersisa f.d. s yang hanya 0,7. Dalam<br />
kasus saklar sinkron f.d. 1 = 0,844 dan f.d. s = 0,7. Kita coba melihat kasus<br />
saklar sinkron ini terlebih dulu.<br />
COTOH-7.9: Operasi saklar sinkron pada Contoh-7.7 membuat arus<br />
fundamental lagging 32,4 o dari tegangan sumber yang sinusoidal.<br />
Arus lagging ini menandakan adanya daya rekatif yang dikirim oleh<br />
sumber ke beban melalui arus fundamental. (a) Upayakan<br />
151
pemasangan kapasitor paralel dengan beban untuk memberikan<br />
kompensasi daya reaktif ini. (b) Gambarkan gelombang arus yang<br />
keluar dari sumber.<br />
Penyelesaian:<br />
a). Upaya kompensasi dilakukan dengan memasangkan kapasitor<br />
paralel dengan beban untuk memberi tambahan pembebanan<br />
berupa arus leading untuk mengompensasi arus fundamental<br />
yang lagging 32,4 o . <strong>Rangkaian</strong> menjadi sebagai berikut:<br />
i s<br />
saklar sinkron<br />
v s<br />
∼<br />
i C<br />
C<br />
R b<br />
i Rb<br />
Sebelum pemasangan kapasitor:<br />
I 1 rms = 59,25 A ; I hrms = 38,63 A ; f . d.<br />
s = 0, 7<br />
S 1 = V srms I 1rms<br />
= 1000 × 59,25 = 59,25 kVA ;<br />
f.d. 1 = 0,844;<br />
P 1 = 59,25×<br />
0,844 = 50 kW<br />
2 2<br />
Q s 1 = S − P1<br />
= 31,75 kVAR<br />
Kita coba memasang kapasitor untuk memberi kompensasi daya<br />
reaktif komponen fundamental sebesar 31 kVAR<br />
Q<br />
s1<br />
2<br />
srms<br />
2<br />
srms<br />
= V × Z = V / ωC<br />
Qs1<br />
31000<br />
→ C = =<br />
= 99 µ F ;<br />
V ω 2<br />
srms 1000 × 100π<br />
C<br />
kita tetapkan 100 µF<br />
Dengan C = 100 µF, daya reaktif yang bisa diberikan adalah<br />
Q C<br />
Arus kapasitor adalah<br />
2<br />
−6<br />
= 1000 × 100π × 100 × 10 = 31,4<br />
kVAR<br />
152 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
I<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
Arus ini leading 90 o dari<br />
tegangan sumber dan<br />
hampir sama dengan nilai<br />
o<br />
I 1 rms sin(32,4 ) = 31,75 A<br />
1000<br />
= = 31,4 A<br />
1/(100π)<br />
C<br />
Crms<br />
srms<br />
.<br />
C<br />
Diagram fasor tegangan dan<br />
32,4 o<br />
arus adalah seperti di I I 1 cos32,4 o<br />
1<br />
samping ini.<br />
V s<br />
Dari diagram fasor ini kita<br />
o<br />
lihat bahwa arus I C dan I1 sin 32, 4 tidak saling meniadakan<br />
o<br />
sehingga beban akan menerima arus I 1rms cos(32,4 ) , akan<br />
tetapi beban tetap menerima arus seperti semula. Beban tidak<br />
merasakan adanya perubahan oleh hadirnya C karena ia tetap<br />
terhubung langsung ke sumber. Sementara itu sumber sangat<br />
merasakan adanya beban tambahan berupa arus kapasitif yang<br />
melalui C. Sumber yang semula mengeluarkan arus fundamental<br />
dan arus harmonisa total ke beban, setelah pemasangan<br />
kapasitor memberikan arus fundamental dan arus harmonisa ke<br />
beban ditambah arus kapasitif di kapasitor. Dengan demikian<br />
arus fundamental yang diberikan oleh sumber menjadi<br />
o<br />
I 1 rmsC ≈ I1<br />
rms cos(32,4 ) = 50 A<br />
turun sekitar 10% dari arus fundamental semula yang 59,25 A.<br />
Arus efektif total yang diberikan sumber menjadi<br />
I<br />
2 2<br />
srmsC = hrms<br />
I1 rmsC + I = 50 + 38,63 =<br />
Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi<br />
S sC<br />
I 1 sin32,4 o<br />
= 1000 × 63,2 = 63,2 kVA<br />
Faktor daya yang dilihat sumber menjadi<br />
f . d.<br />
sC = 50 / 63,2 = 0,8<br />
2<br />
2<br />
63,2 A<br />
sedikit lebih baik dari sebelum pemasangan kapasitor<br />
f . d.<br />
s = 0,7<br />
Im<br />
I C<br />
Re<br />
153
). Arus sumber, i s , adalah jumlah dari arus yang melalui resistor<br />
seri dengan saklar sinkron dan arus arus kapasitor.<br />
- bentuk gelombang arus yang melalui resistor i Rb adalah<br />
seperti yang diberikan pada gambar Contoh-7.7;<br />
- gelombang arus kapasitor, i C , 90 o mendahului tegangan<br />
sumber.<br />
Bentuk gelonbang arus i s terlihat pada gambar berikut:<br />
[V]<br />
[A]<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
-100<br />
-200<br />
-300<br />
v s /5<br />
Contoh-7.9 ini menunjukkan bahwa kompensasi daya reaktif komponen<br />
fundamental dapat meningkatkan faktor daya total yang dilihat oleh<br />
sumber. Berikut ini kita akan melihat kasus penyearah setengah<br />
gelombang.<br />
Di Bab-3, sub-bab 3.6 buku jilid-1, kita membahas filter kapasitor pada<br />
penyearah yang dihubungkan paralel dengan beban R dengan tujuan<br />
untuk memperoleh tegangan yang walaupun masih berfluktuasi namun<br />
fluktuasi tersebut ditekan sehingga mendekati tegangan<br />
searah. Kita akan<br />
i s<br />
mencoba<br />
menghubungkan<br />
kapasitor seperti pada<br />
Gb.7.3 dengan harapan<br />
akan memperbaiki faktor<br />
daya.<br />
v s<br />
i C<br />
C<br />
i R<br />
R<br />
i Rb<br />
i s<br />
[detik]<br />
0 0.005 i C<br />
0.01 0.015 0.02<br />
Gb.7.3. Kapasitor paralel dengan beban.<br />
154 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
COTOH-7.10: Sumber tegangan sinusoidal v s = 1000 2sinωt<br />
V<br />
mencatu beban resistif R b = 10 Ω melalui penyearah setengah<br />
gelombang. Lakukan pemasangan kapasitor untuk<br />
“memperbaiki” faktor daya. Frekuensi kerja 50 Hz.<br />
Penyelesaian:<br />
Keadaan sebelum pemasangan kapasitor dari Contoh-7.5:<br />
tegangan sumber<br />
arus fundamental<br />
arus harmonisa total<br />
arus efektif total<br />
V srms =1000 V ;<br />
I 1 rms = 50 A ;<br />
I hrms<br />
= 50 A<br />
I rms = 70,7 A ;<br />
daya kompleks sumber<br />
S s = 70,7 kVA ;<br />
daya nyata<br />
P s = P 1 = 50 kW ;<br />
faktor daya sumber f . d.<br />
s = Ps<br />
/ Ss<br />
= 50 / 70,7 = 0, 7 ;<br />
faktor daya komponen fundamental f . d . 1 = 1 .<br />
Spektrum amplitudo arus maksimum adalah<br />
A<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
45.00<br />
70.71<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
30.04<br />
6.03<br />
2.60 1.46 0.94<br />
01 12 23 4 65 68 10 7 harmonisa<br />
Gambar perkiraan dibawah ini memperlihatkan kurva tegangan<br />
sumber v s /5 (skala 20%), arus penyearahan setengah gelombang<br />
155
i R , dan arus kapasitor i C seandainya dipasang kapasitor (besar<br />
kapasitor belum dihitung).<br />
400<br />
[V]<br />
[A]<br />
200<br />
v s /5<br />
i R<br />
0<br />
-200<br />
0 0.01 i 0.02 0.03<br />
C<br />
t [s]<br />
-400<br />
Dengan pemasangan kapasitor maka arus sumber akan merupakan<br />
jumlah i R + i C yang akan merupakan arus nonsinus dengan bentuk<br />
lebih mendekati gelombang sinusoidal dibandingkan dengan<br />
bentuk gelombang arus penyearahan setengah gelombang i R .<br />
Bentuk gelombang arus menjadi seperti di bawah ini.<br />
400<br />
[V]<br />
[A]<br />
200<br />
v s /5<br />
i R +i C<br />
i R<br />
0<br />
-200<br />
i R<br />
0 i C 0.01 0.02 0.03<br />
t [s]<br />
-400<br />
Kita akan mencoba menelaah dari beberapa sisi pandang.<br />
a). Pemasangan kapasitor seperti pada Gb.7.3 menyebabkan sumber<br />
mendapat tambahan beban arus kapasitif. Bentuk gelombang arus<br />
sumber menjadi lebih mendekati bentuk sinus. Tidak seperti<br />
dalam kasus saklar sinkron yang komponen fundamentalnya<br />
memiliki faktor daya kurang dari satu sehingga kita punya titiktolak<br />
untuk menghitung daya reaktif yang perlu kompensasi,<br />
156 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
dalam kasus penyerah setengah gelombang ini f.d. 1 = 1; arus<br />
fundamental sefasa dengan tegangan sumber.<br />
Sebagai perkiraan, daya reaktif akan dihitung dengan<br />
menggunakan formula segitiga daya pada daya kompleks total.<br />
2 2<br />
Q s = Ss<br />
− Ps<br />
=<br />
2 2<br />
70.7 − 50<br />
= 50 kVAR<br />
Jika diinginkan faktor daya 0,9 maka daya reaktif seharusnya<br />
sekitar<br />
Q<br />
s = S s<br />
sin(cos -1 0,9)<br />
≈ 30 kVAR<br />
Akan tetapi formula segitiga tidaklah akurat karena kita tidak<br />
dapat menggambarkan segitiga daya untuk arus harmonisa. Oleh<br />
karena itu kita perkirakan kapasitor yang akan dipasang mampu<br />
memberikan kompensasi daya reaktif Q C sekitar 25 kVAR. Dari<br />
sini kita menghitung kapasitansi C.<br />
QC<br />
2<br />
V<br />
2<br />
s 1000 6<br />
= = = 10 ωC<br />
= 25 kVAR<br />
ZC<br />
(1/ ωC)<br />
Pada frekuensi 50 Hz<br />
80 µF<br />
Arus kapasitor adalah<br />
25000<br />
C = = 79,6 µ F . Kita tetapkan<br />
6<br />
10 × 100π<br />
I<br />
C<br />
=<br />
V<br />
Z<br />
s<br />
1000<br />
=<br />
1/(100π × 80 × 10<br />
−6 =<br />
)<br />
25,13 A<br />
yang leading 90 o dari tegangan sumber atau<br />
I C<br />
o<br />
= 25,13∠90<br />
Arus fundamental sumber adalah jumlah arus kapasitor dan arus<br />
fundamental semula, yaitu<br />
o<br />
o<br />
o<br />
I s1C<br />
= I s1semula<br />
+ I C = 50∠0<br />
+ 25,13∠90<br />
= 55,96∠21<br />
A<br />
Nilai efektif arus dengan frekuensi fundamental yang keluar dari<br />
sumber adalah<br />
157
I<br />
2<br />
2 2<br />
I<br />
2 1 + I = 55,96 + 50 = 75 A<br />
sCrms = s Crms hrms<br />
Jadi setelah pemasangan kapasitor, nilai-nilai efektif arus adalah:<br />
I s1 Crms<br />
= 55,96 A ; ini adalah arus pada frekuensi fundamental<br />
yang keluar dari sumber sementara arus ke beban tidak<br />
berubah<br />
I hrms<br />
I sCrms<br />
semula<br />
= 50 A ; tak berubah karena arus beban tidak berubah.<br />
= 75 A ; ini adalah arus yang keluar dari sumber yang<br />
I rms = 70,7 A .<br />
Daya kompleks sumber menjadi<br />
S sC<br />
= VsrmsI<br />
sCrms = 1000 × 75 = 75 kVA<br />
Faktor daya yang dilihat sumber menjadi<br />
f.d. sC<br />
= Ps<br />
/ SsC<br />
= 50 / 75 = 0,67<br />
Berikut ini adalah gambar bentuk gelombang tegangan dan arus<br />
serta spektrum amplitudo arus sumber.<br />
V<br />
A<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
-100<br />
i Rb<br />
v s /5<br />
0 0.005 i C 0.01 0.015 0.02<br />
i sC<br />
-200<br />
-300<br />
158 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
A<br />
90<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
45.00<br />
79.14<br />
30.04<br />
6.03<br />
2.60 1.46 0.94<br />
01 12 32 4 65 68 10<br />
7<br />
harmonisa<br />
Pemasangan kapasitor tidak memperbaiki faktor daya total bahkan<br />
arus efektif pembebanan pada sumber semakin tinggi.<br />
Apabila kita mencoba melakukan kompensasi bukan dengan arus<br />
kapasitif akan tetapi dengan arus induktif, bentuk gelombang arus<br />
dan spektrum amplitudo yang akan kita peroleh adalah seperti di<br />
bawah ini.<br />
V<br />
A<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
-100<br />
v s /5<br />
i Rb<br />
i C<br />
0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />
i sC<br />
-200<br />
-300<br />
159
A<br />
90<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
45.00<br />
79.14<br />
30.04<br />
6.03<br />
2.60 1.46 0.94<br />
01 12 23 4 65 86 10 7 harmonisa<br />
Dengan membandingkan Contoh-7.9 dan Contoh-7.10 terlihat bahwa<br />
perbaikan faktor daya dengan cara kompensasi daya reaktif dapat<br />
dilakukan pada pembebanan dengan faktor daya komponen fundamental<br />
yang lebih kecil dari satu. Pada pembebanan di mana arus fundamental<br />
sudah sefasa dengan tegangan sumber, perbaikan faktor daya tidak terjadi<br />
dengan cara kompensasi daya reaktif; padahal faktor daya total masih<br />
lebih kecil dari satu. Daya reaktif yang masih ada merupakan akibat dari<br />
arus harmonisa. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan adalah<br />
menekan arus harmonisa melalui penapisan. Persoalan penapisan tidak<br />
dicakup dalam <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik di buku ini melainkan dalam<br />
Elektronika Daya.<br />
160 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
BAB 8<br />
Dampak Harmonisa Pada Piranti<br />
Dalam analisis rangkaian linier, elemen-elemen rangkaian seperti R, L,<br />
dan C, merupakan idealisasi piranti-piranti nyata yang nonlinier. Dalam<br />
bab ini kita akan mempelajari pengaruh adanya komponen harmonisa,<br />
baik arus maupun tegangan, terhadap piranti-piranti sebagai benda nyata.<br />
Dampak harmonisa ini dapat kita klasifikasi dalam dua kategori yaitu:<br />
a). Dampak terhadap sistem tenaga sendiri antara lain peningkatan<br />
susut energi yaitu energi “hilang” yang tak dapat dimanfaatkan,<br />
yang secara alamiah berubah menjadi panas. [5,6].<br />
Harmonisa menyebabkan peningkatan temperatur pada konduktor<br />
kabel, pada kapasitor, induktor, dan transformator, yang bisa<br />
berakibat pada derating dari alat-alat ini dan justru derating ini<br />
membawa kerugian (finansial) yang lebih besar dibandingkan<br />
dengan dampak langsung yang berupa susut energi.<br />
Harmonisa tidak hanya menyebabkan derating piranti tetapi juga<br />
umur ekonomis piranti. Pembebanan nonlinier tidaklah selalu<br />
kontinyu, melainkan fluktuatif. Oleh karena itu pada selang<br />
waktu tertentu piranti terpaksa bekerja pada batas tertinggi<br />
temperatur kerjanya bahkan mungkin terlampaui pada saat-saat<br />
tertentu.<br />
Kenaikan tegangan bisa terjadi akibat adanya harmonisa yang<br />
dapat menimbulkan micro-discharges bahkan partial-discharges<br />
dalam piranti yang memperpendek umur, bahkan mal-function<br />
bisa terjadi pada piranti.<br />
Harmonisa juga dapat menyebabkan terjadinya overload pada<br />
penghantar netral; kWh-meter memberi penunjukan tidak normal;<br />
rele proteksi juga akan terganggu, bisa tidak mendeteksi besaran<br />
rms bahkan mungkin gagal trip.<br />
b). Dampak pada instalasi di luar sistem tenaga antara lain tmbulnya<br />
noise pada saluran telepon serta komunikasi kabel; digital clock<br />
disa berjalan lebih cepat.<br />
161
8.1. Konduktor<br />
Pada konduktor, komponen arus harmonisa menyebabkan peningkatan<br />
daya nyata yang diserap oleh konduktor dan berakibat pada peningkatan<br />
temperatur konduktor. Daya nyata yang terserap di konduktor ini kita<br />
sebut rugi daya atau susut daya. Karena susut daya ini berbanding lurus<br />
dengan kuadrat arus, maka peningkatannya akan sebanding dengan<br />
kuadrat THD arus; demikian pula dengan peningkatan temperatur.<br />
Misalkan arus efektif nonsinus I rms mengalir melalui konduktor yang<br />
memiliki resistansi R s , maka susut daya di konduktor ini adalah<br />
2 2 2<br />
2<br />
2<br />
P s I rms Rs<br />
= ( I1rms<br />
+ I hrms ) Rs<br />
= I1rms<br />
Rs<br />
( 1 + THDI<br />
)<br />
2<br />
Jika arus efektif fundamental tidak berubah, faktor ( THD )<br />
= (8.1)<br />
1+ I pada<br />
(8.1) menunjukkan seberapa besar peningkatan susut daya di konduktor.<br />
Misalkan peningkatan ini diinginkan tidak lebih dari 10%, maka THD I<br />
tidak boleh lebih dari 0,32 atau 32%. Dalam contoh-contoh persoalan<br />
yang diberikan sebelumnya, THD I besar terjadi misalnya pada arus<br />
penyearahan setengah gelombang yang mencapai 100%, dan arus melalui<br />
saklar sinkron yang mengalir setiap paruh ke-dua dari tiap setengah<br />
perioda yang mencapai 65%.<br />
COTOH-8.1: Konduktor kabel yang memiliki resistansi total 80 mΩ,<br />
menyalurkan arus efektif 100 A, pada frekuensi 50 Hz. Kabel ini<br />
beroperasi normal pada temperatur 70 o C sedangkan temperatur<br />
sekitarnya adalah 25 o C. Perubahan pembebanan di ujung kabel<br />
menyebabkan munculnya harmonisa pada frekuensi 350 Hz dengan<br />
nilai efektif 40 A. Hitung (a) perubahan susut daya dan (b)<br />
perubahan temperatur kerja pada konduktor.<br />
(a) Susut daya semula pada konduktor adalah<br />
P 1 = 100 2 × 0,08 = 800<br />
Susut daya tambahan karena arus harmonisa adalah<br />
Susut daya berubah menjadi<br />
W<br />
P 7 = 40 2 × 0,08 = 128 W<br />
P kabel<br />
= 800 + 128 = 928 W<br />
162 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Dibandingkan dengan susut daya semula, terjadi kenaikan susut<br />
daya sebesar 16%.<br />
(b) Kenaikan temperatur kerja di atas temperatur sekitar semula<br />
adalah (70 o − 25 o ) = 45 o C. Perubahan kenaikan temperatur<br />
adalah<br />
∆T = 0,16 ×<br />
o o<br />
45 = 7,2 C<br />
Kenaikan temperatur akibat adanya hormonisa adalah<br />
o o o<br />
T = 45 C + 7,2 C ≈ 52 C<br />
dan temperatur kerja akibat adanya harmonisa adalah<br />
T ′ =<br />
25<br />
o<br />
+ 52<br />
10% di atas temperatur kerja semula.<br />
o<br />
= 77<br />
o<br />
C<br />
COTOH-8.2: Suatu kabel yang memiliki resistansi total 0,2 Ω<br />
digunakan untuk mencatu beban resistif R b yang tersambung di<br />
ujung kabel dengan arus sinusoidal bernilai efektif 20 A. Tanpa<br />
pengubah resistansi beban, ditambahkan penyearah setengah<br />
gelombang (ideal) di depan R b . (a) Hitunglah perubahan susut daya<br />
pada kabel jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tak<br />
berubah. (b) Hitunglah daya yang disalurkan ke beban dengan<br />
mempertahankan arus total pada 20 A; (c) berikan ulasan.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Sebelum pemasangan penyearah, susut daya di kabel adalah<br />
P k<br />
= 20 2 × 0,2 = 80 W<br />
Dengan mempertahankan besar daya tersalur ke beban tidak<br />
berubah, berarti nilai efektif arus fundamental dipertahankan 20<br />
A. THD I pada penyearah setengah gelombang adalah 100%.<br />
Susut daya pada kabel menjadi<br />
* 2<br />
P k = 20 × 0,21<br />
Susut daya menjadi dua kali lipat.<br />
2<br />
( + 1 ) = 160 W<br />
(b) Jika arus efektif total dipertahankan 20 A, maka susut daya di<br />
kabel sama seperti sebelum pemasangan penyearah yaitu<br />
163
P<br />
k<br />
= 20 2 × 0,2 = 80<br />
Dalam situasi ini terjadi penurunan arus efektif fundamental<br />
yang dapat dihitung melalui relasi kuadrat arus efektif total,<br />
yaitu<br />
W<br />
I<br />
2<br />
rms<br />
2<br />
1ms<br />
2<br />
hms<br />
2<br />
1ms<br />
= I + I = I (1 + THD<br />
2<br />
) = 20<br />
2<br />
Dengan THD 100%, maka I 1 2 rms = 20 2 /2<br />
jadi<br />
I<br />
1 rms<br />
= 20/ 2 = 14,14 A<br />
Jadi jika arus efektif total dipertahankan 20 A, arus fundamental<br />
turun menjadi 70% dari semula. Susut daya di kabel tidak<br />
berubah, tetapi daya yang disalurkan ke beban menjadi<br />
0,7<br />
2 ≈ 0,5 dari daya semula atau turun menjadi 50%-nya.<br />
(c) Jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tetap, susut pada<br />
saluran menjadi dua kali lipat, yang berarti kenaikan temperatur<br />
dua kali lipat. Jika temperatur kerja semula 65 o C pada<br />
temperatur sekitar 25 o , maka temperatur kerja yang baru bisa<br />
mencapai lebih dari 100 o C.<br />
8.2. Kapasitor<br />
Jika susut daya pada saluran tidak diperkenankan meningkat<br />
maka penyaluran daya ke beban harus diturunkan sampai<br />
menjadi 50% dari daya yang semula disalurkan; gejala ini dapat<br />
diartikan sebagai derating kabel.<br />
Ulas Ulang Tentang Kapasitor. Jika suatu dielektrik yang memiliki<br />
permitivitas relatif ε r disisipkan antara dua pelat kapasitor yang memiliki<br />
luas A dan jarak antara kedua pelat adalah d, maka kapasitansi yang<br />
semula (tanpa bahan dielektrik)<br />
A<br />
C 0 = ε 0 d<br />
berubah menjadi<br />
C = C 0 ε<br />
r<br />
164 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Jadi kapasitansi meningkat sebesar ε r kali.<br />
Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor diperlihatkan pada Gb.8.1.<br />
Arus kapasitor terdiri dari dua komponen yaitu arus kapasitif I C ideal<br />
yang 90 o mendahului tegangan kapasitor V C , dan arus ekivalen losses<br />
pada dielektrik I rp yang sefasa dengan tegangan.<br />
im<br />
I C<br />
I tot<br />
δ<br />
Gb.8.1. Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor.<br />
Daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik adalah<br />
P = V I = V I tan δ<br />
(8.2)<br />
C<br />
Rp<br />
atau<br />
2<br />
0 0<br />
0 r<br />
C<br />
C<br />
P = ε V ωC<br />
V tan δ = 2πf<br />
V C ε tan δ (8.3)<br />
r<br />
I Rp<br />
tanδ disebut faktor desipasi (loss tangent)<br />
ε r tanδ disebut faktor kerugian (loss factor)<br />
Pengaruh Frekuensi Pada Dielektrik. Nilai ε r tergantung dari frekuensi,<br />
yang secara umum digambarkan seperti pada Gb.8.2.<br />
V C<br />
re<br />
ε r<br />
ε r<br />
loss factor<br />
ε r tanδ<br />
power audio<br />
radio<br />
frekuensi<br />
frekuensi listrik<br />
frekuensi optik<br />
Gb.8.2. ε r dan loss factor sebagai fungsi frekuensi.<br />
165
Dalam analisis rangkaian, reaktansi kapasitor dituliskan sebagai<br />
1<br />
X C = 2 πfC<br />
Gb.8.2. memperlihatkan bahwa ε r menurun dengan naiknya frekuensi<br />
yang berarti kapasitansi menurun dengan naiknya frekuesi. Namun<br />
perubahan frekuensi lebih dominan dalam menentukan reaktansi<br />
dibanding dengan penurunan ε r ; oleh karena itu dalam analisis kita<br />
menganggap kapasitansi konstan.<br />
Loss factor menentukan daya yang terkonversi menjadi panas dalam<br />
dielektrik. Sementara itu, selain tergantung frekuensi, ε r juga tergantung<br />
dari temperatur dan hal ini berpengaruh pula pada loss factor, walaupun<br />
tidak terlalu besar dalam rentang temperatur kerja kapasitor. Oleh karena<br />
itu dalam menghitung daya yang terkonversi menjadi panas dalam<br />
dielektrik, kita melakukan pendekatan dengan menganggap loss factor<br />
konstan. Dengan anggapan ini maka daya yang terkonversi menjadi<br />
panas akan sebanding dengan frekuensi dan sebanding pula dengan<br />
kuadrat tegangan.<br />
Tegangan onsinus. Pada tegangan nonsinus, bentuk gelombang<br />
tegangan pada kapasitor berbeda dari bentuk gelombang arusnya. Hal ini<br />
disebabkan oleh perbedaan tanggapan kapasitor terhadap komponen<br />
fundamental dengan tanggapannya terhadap komponen harmonisa.<br />
Situasi ini dapat kita lihat sebagai berikut. Misalkan pada terminal<br />
kapasitor terdapat tegangan nonsinus yang berbentuk:<br />
vC ( t)<br />
= vC1 ( t)<br />
+ vC3(<br />
t)<br />
+ vC5<br />
( t)<br />
+ .........<br />
(8.4)<br />
Arus kapasitor akan berbentuk<br />
iC ( t)<br />
= ω0 CvC1(<br />
t)<br />
+ 3ω0CvC3(<br />
t)<br />
+ 5ω0CvC5<br />
( t)<br />
+ ......... (8.5)<br />
Dengan memperbandingkan (8.4) dan (8.5) dapat dimengerti bahwa<br />
bentuk gelombang tegangan kapasitor berbeda dengan bentuk gelombang<br />
arusnya.<br />
COTOH-8.3: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen<br />
fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta<br />
harmonisa ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut 30 V.<br />
Sebuah kapasitor 500 µF dihubungkan pada sumber tegangan ini.<br />
Gambarkan bentuk gelombang tegangan dan arus kapasitor.<br />
166 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Penyelesaian:<br />
Jika persamaan tegangan<br />
maka persamaan arus adalah<br />
i C<br />
v C = 150 sin100πt<br />
+ 30sin 300πt<br />
V<br />
= 150×<br />
500×<br />
10<br />
+ 30×<br />
500×<br />
10<br />
−6<br />
−6<br />
× 100π<br />
cos100πt<br />
× 500π<br />
cos 500πt<br />
Bentuk gelombang tegangan dan arus adalah seperti terlihat pada<br />
Gb.8.3.<br />
200<br />
[V]<br />
[A]<br />
100<br />
-100<br />
0<br />
i C<br />
v C<br />
0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />
t [detik]<br />
-200<br />
Gb.8.3. Gelombang tegangan dan arus pada contoh-8.3.<br />
COTOH-8.4: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen<br />
fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta<br />
harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut<br />
30 V dan 5 V. Sebuah kapasitor 500 µF (110 V rms, 50 Hz)<br />
dihubungkan pada sumber tegangan ini. Hitung: (a) arus efektif<br />
komponen fundamental; (b) THD arus kapasitor; (c) THD<br />
tegangan kapasitor; (d) jika kapasitor memiliki losses dielektrik<br />
0,6 W pada tegangan sinus rating-nya, hitunglah losses dielektrik<br />
dalam situasi ini.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Reaktansi untuk komponen fundamental adalah<br />
X C1<br />
1<br />
=<br />
2π×<br />
50×<br />
500×<br />
10<br />
−6<br />
Arus efektif untuk komponen fundamental<br />
= 6,37 Ω<br />
167
150 / 2<br />
I C rms =<br />
6,37<br />
1 =<br />
16,7<br />
(b) Reaktansi untuk harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut<br />
adalah<br />
X C1<br />
X<br />
X C3<br />
= = 2,12 Ω ; C1<br />
X C5<br />
= = 1,27 Ω<br />
3<br />
5<br />
Arus efektif harmonisa<br />
A<br />
30 / 2<br />
I C3 rms = = 10<br />
2,12<br />
I C<br />
5 / 2<br />
=<br />
1,27<br />
5 rms =<br />
2,8<br />
A<br />
A<br />
THD<br />
I<br />
I<br />
=<br />
I<br />
hrms<br />
C1rms<br />
=<br />
10<br />
2<br />
+ 2,8<br />
16,7<br />
2<br />
= 0,62<br />
atau<br />
62%<br />
(c)<br />
THD<br />
V<br />
V<br />
=<br />
V<br />
hrms<br />
1rms<br />
=<br />
2<br />
2<br />
30 5<br />
+<br />
2 2<br />
150 / 2<br />
21,5<br />
= = 0,20 atau<br />
106<br />
20 %<br />
(d) Losses dielektrik dianggap sebanding dengan frekuensi dan<br />
kuadrat tegangan. Pada frekuensi 50 Hz dan tegangan 110 V,<br />
losses adalah 0,6 watt.<br />
P 50 Hz,110V =<br />
0,6<br />
W<br />
150 ⎛ 30 ⎞<br />
P 150 Hz,30V = × ⎜ ⎟ × 0,6 = 0,134 W<br />
50 ⎝110<br />
⎠<br />
250 ⎛ 5 ⎞<br />
P 250 Hz,5V = × ⎜ ⎟ × 0,6 = 0,006 W<br />
50 ⎝110<br />
⎠<br />
2<br />
2<br />
168 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Losses dielektrik total:<br />
P total<br />
= 0 ,6 + 0,134 + 0,006 = 0,74<br />
W<br />
8.3. Induktor<br />
Induktor Ideal. Induktor yang untuk keperluan analisis dinyatakan<br />
sebagai memiliki induktansi murni L, tidak kita temukan dalam praktik.<br />
Betapapun kecilnya, induktor selalu mengandung resistansi dan kita<br />
melihat induktor sebagai satu induktansi murni terhubung seri dengan<br />
satu resistansi. Oleh karena itu kita melihat tanggapan induktor sebagai<br />
tanggapan beban induktif dengan resistansi kecil. Hanya apabila<br />
resistansi belitan dapat diabaikan, relasi tegangan-arus induktor untuk<br />
gelombang tegangan dan arus berbentuk sinus murni menjadi<br />
di f<br />
v = L<br />
dt<br />
dengan v adalah tegangan jatuh pada induktor, dan i f adalah arus eksitasi.<br />
Apabila rugi rangkaian magnetik diabaikan, maka fluksi φ sebanding<br />
dengan i f dan membangkitkan tegangan induksi pada belitan induktor<br />
sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.<br />
dφ<br />
e i = −<br />
dt<br />
Tegangan induksi ini berlawanan dengan tegangan jatuh induktor v,<br />
sehingga nilai e i sama dengan v.<br />
dφ<br />
di f<br />
e = ei = = L<br />
dt dt<br />
Persamaan di atas menunjukkan bahwa φ dan i f berubah secara<br />
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus<br />
i f yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.<br />
Arus i f sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk<br />
sinus. Oleh karena itu baik tegangan, arus, maupun fluksi mempunyai<br />
frekuensi sama, sehingga kita dapat menuliskan persamaan dalam bentuk<br />
fasor<br />
V = E i = jωΦ = jωLI<br />
dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor. Relasi ideal ini memberikan<br />
f<br />
169
2π<br />
Vrms<br />
=<br />
2<br />
fφmaks<br />
= 4, 44 f φmaks<br />
2π<br />
Vrms<br />
=<br />
2<br />
fLi fmaks = 4, 44 fL i fmaks<br />
Relasi ideal memberikan diagram fasor seperti di<br />
samping ini dimana arus yang membangkitkan<br />
fluksi yaitu I φ sama dengan I f .<br />
I f =I φ<br />
Φ<br />
V=E i<br />
COTOH-8.5: Melalui sebuah kumparan mengalir arus nonsinus yang<br />
mengandung komponen fundamental 50 Hz, harmonisa ke-3, dan<br />
harmonisa ke-5 dengan amplitudo berturut-turut 50, 10, dan 5 A.<br />
Jika daya input pada induktor diabaikan, dan tegangan pada induktor<br />
adalah 75 V rms, hitung induktansi induktor.<br />
Penyelesaian:<br />
Jika induktansi kumparan adalah L maka tegangan efektif komponen<br />
fundamental, harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah<br />
V L 1 rms = 4,44×<br />
50×<br />
L×<br />
50 = 11100×<br />
L V<br />
V L 3 rms = 4,44×<br />
150×<br />
L × 10 = 6660×<br />
L V<br />
V L 5 rms = 4,44 × 250 × L × 5 = 5550 × L V<br />
sedangkan<br />
2 2 2<br />
Lrms = V1rms<br />
+ V3rms<br />
V5rms<br />
. Jadi<br />
V +<br />
2<br />
75 = L × 11100 + 6660 + 5550 = 14084, 3 × L<br />
Induktansi kumparan adalah<br />
L =<br />
75<br />
14084,3<br />
2<br />
2<br />
= 0,0053 H<br />
Fluksi Dalam Inti. Jika tegangan sinus dengan nilai efektif V rms dan<br />
frekuensi f diterapkan pada induktor, fluksi magnetik yang timbul dalam<br />
inti dihitung dengan formula<br />
φm<br />
V<br />
= rms<br />
4,44×<br />
f × <br />
170 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
φ m adalah nilai puncak fluksi, dan adalah jumlah lilitan. Melalui<br />
contoh berikut ini kita akan melihat fluksi dalam inti induktor bila<br />
tegangan yang diterapkan berbentuk nonsinus.<br />
COTOH-8.6: Sebuah induktor dengan 1200 lilitan mendapat tegangan<br />
nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental dengan nilai<br />
efektif V 1rms = 150 V dan harmonisa ke-3 dengan nilai efektif V 3rms =<br />
50 V yang tertinggal 135 o dari komponen fundamental. Gambarkan<br />
kurva tegangan dan fluksi.<br />
Penyelesaian:<br />
Persamaan tegangan adalah<br />
v L = 150 2 sin ω0t<br />
+ 50 2 sin(3ω0t<br />
−135<br />
Nilai puncak fluksi fundamental<br />
150<br />
φ1 m =<br />
= 563 µ Wb<br />
4,44×<br />
50×<br />
1200<br />
Fluksi φ 1m tertinggal 90 o dari tegangan (lihat Gb.8.4). Persamaan<br />
gelombang fluksi fundamental menjadi<br />
Nilai puncak fluksi harmonisa ke-3<br />
φ1 = 563sin( ω0t<br />
− 90 ) µ Wb<br />
50<br />
3 =<br />
= 62,6 µ Wb<br />
4,44 × 3×<br />
50 × 1200<br />
φ m<br />
Fluksi φ 3m juga tertinggal 90 o dari tegangan harmonisa ke-3;<br />
sedangkan tegangan harmonisa ke-3 tertinggal 135 o dari tegangan<br />
fundamental. Jadi persamaan fluksi harmonisa ke-3 adalah<br />
o<br />
o<br />
φ3 = 62,6sin(3ω0t<br />
−135<br />
− 90 ) = 62,6sin(3ω0t<br />
− 225 ) µ Wb<br />
Persamaan fluksi total menjadi<br />
o<br />
φ = 563sin(<br />
ω0 t − 90 ) + 62,6sin(3ω0t<br />
− 225) µ Wb<br />
Kurva tegangan dan fluksi terlihat pada Gb.8.4.<br />
o<br />
o<br />
)<br />
o<br />
171
600<br />
[V]<br />
400<br />
[µWb]<br />
200<br />
0<br />
-200<br />
v L<br />
φ<br />
t [detik]<br />
0 0.01 0.02 0.03 0.04<br />
-400<br />
-600<br />
Gb.8.4. Kurva tegangan dan fluksi.<br />
Rugi-Rugi Inti. Dalam induktor nyata, rugi inti menyebabkan fluksi<br />
magnetik yang dibangkitkan oleh i f ketinggalan dari i f sebesar γ yang<br />
disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.8.5. dimana<br />
arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ. Diagram fasor ini digambar<br />
dengan memperhitungkan rugi hiterisis<br />
I c<br />
I f<br />
V=E i<br />
I φ<br />
γ<br />
Φ<br />
Gb.8.5. Diagram fasor induktor (ada rugi inti)<br />
Dengan memperhitungkan rugi-rugi yang terjadi dalam inti<br />
transformator, I f dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ<br />
yang diperlukan untuk membangkitkan φ, dan I c yang diperlukan untuk<br />
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = I φ + I c .<br />
Komponen I c merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan V akan<br />
memberikan rugi-rugi inti<br />
o<br />
Pc<br />
= IcV<br />
= VI f cos(90 − γ)<br />
watt (8.6)<br />
Rugi inti terdiri dari dua komponen, yaitu rugi histerisis dan rugi arus<br />
pusar. Rugi histerisis dinyatakan dengan<br />
Ph = whvf<br />
(8.7)<br />
172 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
P h rugi histerisis [watt], w h luas loop kurva histerisis dalam<br />
[joule/m 3 .siklus], v volume, f frekuensi. Untuk frekuensi rendah,<br />
Steinmetz memberikan formulasi empiris<br />
n<br />
( K B )<br />
P h = vf h m<br />
(8.8)<br />
di mana B m adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, n tergantung dari<br />
jenis bahan dengan nilai yang terletak antara 1,5 sampai 2,5 dan K h yang<br />
juga tergantung jenis bahan (untuk silicon sheet steel misalnya, K h =<br />
0,001). Nilai-nilai empiris ini belum didapatkan untuk frekuensi<br />
harmonisa.<br />
Demikian pula halnya dengan persamaan empiris untuk rugi arus pusar<br />
dalam inti<br />
2 2 2<br />
P e = Ke<br />
f Bm τ v<br />
(8.9)<br />
di mana K e konstanta yang tergantung material, f frekuensi perubahan<br />
fluksi [Hz], B m adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, τ ketebalan<br />
laminasi inti, dan v adalah volume material inti.<br />
Rugi Tembaga. Apabila resistansi belitan tidak diabaikan, V ≠ E 1 .<br />
Misalkan resistansi belitan adalah R 1 , maka<br />
= E1 I f R 1<br />
(8.10)<br />
V +<br />
Diagram fasor dari keadaan terakhir, yaitu dengan memperhitungkan<br />
resistansi belitan, diperlihatkan pada Gb.8.6.<br />
E i<br />
I c<br />
I f<br />
I f R 1<br />
I φ<br />
Φ<br />
θ<br />
V<br />
Gb.8.6. Diagram fasor induktor (ada rugi tembaga).<br />
Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain<br />
untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya<br />
pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, P cu . Jadi<br />
2<br />
P in = Pc<br />
+ Pcu<br />
= Pc<br />
+ I f R1<br />
= VI f cos θ (8.11)<br />
dengan V dan I f adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.<br />
173
8.4. Transformator<br />
8.4.1. Ulas Ulang Tentang Transformator<br />
Transformator Berbeban. <strong>Rangkaian</strong> transformator berbeban dengan<br />
arus beban I 2 , diperlihatkan oleh Gb.8.7. Tegangan induksi E 2 (yang<br />
telah timbul dalam keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi<br />
sumber di rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2<br />
ini membangkitkan fluksi magnetik yang melawan fluksi bersama φ<br />
(sesuai dengan hukum Lenz) dan sebagian akan bocor, φ l2 ; φ l2 yang<br />
sefasa dengan I 2 menginduksikan tegangan E l2 di belitan sekunder yang<br />
90 o mendahului φ l2 .<br />
I 1 φ I 2<br />
V 1<br />
φ l2<br />
V 2<br />
φ l1<br />
Gb.8.7. Transformator berbeban.<br />
Dengan adanya perlawanan fluksi yang dibangkitkan oleh arus di belitan<br />
sekunder itu, fluksi bersama akan cenderung mengecil. Hal ini akan<br />
menyebabkan tegangan induksi di belitan primer juga cenderung<br />
mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke sumber yang<br />
tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer<br />
yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanya berupa arus<br />
magnetisasi I f , bertambah menjadi I 1 setelah transformator berbeban.<br />
Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi bersama<br />
φ dipertahankan dan E 1 juga tetap seperti semula. Dengan demikian<br />
maka persamaan rangkaian di sisi primer tetap terpenuhi.<br />
Karena pertambahan arus primer sebesar (I 1 − I f ) adalah untuk<br />
mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 agar φ<br />
dipertahankan, maka haruslah<br />
( I − I ) − ( I ) 0<br />
f (8.12)<br />
1 1<br />
2 2 =<br />
Pertambahan arus primer (I 1 − I f ) disebut arus penyeimbang yang akan<br />
mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus<br />
174 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.<br />
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder.<br />
Arus di belitan primer juga memberikan fluksi bocor di belitan primer,<br />
φ l1 , yang menginduksikan tegangan E l1 . Tegangan induksi yang<br />
dibangkitkan oleh fluksi-fluksi bocor, yaitu E l1 dan E l2 , dinyatakan<br />
dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada<br />
reaktansi bocor ekivalen, X 1 dan X 2 , masing-masing di rangkaian primer<br />
dan sekunder. Jika resistansi belitan primer adalah R 1 dan belitan<br />
sekunder adalah R 2 , maka kita peroleh hubungan untuk rangkaian di sisi<br />
primer<br />
V +<br />
1 = E1<br />
+ I1R1<br />
+ El1<br />
= E1<br />
+ I1R1<br />
jI1X1<br />
(8.13)<br />
dan untuk rangkaian di sisi sekunder<br />
E +<br />
2 = V2<br />
+ I2R2<br />
+ El2<br />
= V2<br />
+ I2R2<br />
jI2<br />
X 2 (8.14)<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Secara umum, rangkaian ekivalen adalah<br />
penafsiran secara rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik<br />
yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk transformator,<br />
rangkaian ekivalen diperoleh dari tiga persamaan yang diperoleh di atas.<br />
Dengan relasi E 2 = E1<br />
/ a = E1′<br />
dan I 2 = a I1<br />
= I1′<br />
di mana a = 1 / 2 ,<br />
tiga persamaan tersebut di atas dapat kita tulis kembali sebagai satu set<br />
persamaan sebagai berikut.<br />
Untuk rangkaian di sisi sekunder, (8.14) kita tuliskan<br />
E1<br />
E 2 = = V2<br />
+ I 2R2<br />
+ jI<br />
2 X 2<br />
a<br />
Dari persamaan untuk rangkaian sisi primer (8.13), kita peroleh<br />
E1 = V1<br />
− I1R1<br />
− jI1X1<br />
sehingga persamaan untuk rangkaian sekunder dapat kita tuliskan<br />
E1<br />
V1<br />
− I1R1<br />
− jI1X1<br />
E 2 = =<br />
= V2<br />
+ I 2R2<br />
+ jI<br />
2 X 2<br />
a a<br />
I 2<br />
Karena I 1 = maka persamaan ini dapat kita tuliskan<br />
a<br />
175
V<br />
a<br />
1<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
2<br />
I R<br />
+ I 2R2<br />
+ jI<br />
2 X 2 +<br />
a<br />
⎛ R1<br />
⎞ ⎛<br />
+<br />
⎜ R +<br />
⎟ I + j<br />
⎜ X<br />
2 1<br />
2<br />
jI<br />
X<br />
+<br />
a<br />
X1<br />
⎞<br />
+<br />
⎟ I<br />
2 1<br />
2<br />
2 2 2 2 2 2 2<br />
⎝ a ⎠ ⎝ a ⎠<br />
2 + ( R 2 + R 1 ′ ) I 2 + j ( X 2 + X 1 ′ ) I 2<br />
(8.15)<br />
dengan<br />
R1<br />
X<br />
R 1 ′ = ; X<br />
2 1′<br />
=<br />
a a<br />
1<br />
2<br />
Persamaan (8.15) ini, bersama dengan persamaan (8.12) yang dapat kita<br />
tuliskan I 2 = aI1<br />
− aI<br />
f = I1′<br />
− aI<br />
f , memberikan rangkaian ekivalen<br />
untuk transformator berbeban. Akan tetapi pada transformator yang<br />
digunakan pada sistem tenaga listrik, arus magnetisasi hanya sekitar 2<br />
sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Oleh karena itu,<br />
jika I f diabaikan terhadap I 1 maka kesalahan dalam menghitung I 2 dapat<br />
dianggap kecil. Pengabaian ini akan membuat I 2 = a I1<br />
= I1′<br />
. Dengan<br />
pendekatan ini, dan persamaan (8.15), kita memperoleh rangkaian<br />
ekivalen yang disederhanakan dari transformator berbeban. Gb.8.8.<br />
memperlihatkan rangkaian ekivalen transformator berbeban dan diagram<br />
fasornya.<br />
I 2 = I′ 1<br />
∼<br />
R e = R 2 +R′ 1 jX e = j(X 2 + X′ 1 )<br />
V 1 /a V 2<br />
V 2<br />
V 1 /a<br />
jI 2 X e<br />
I 2<br />
I 2 R e<br />
Gb.8.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator dan diagram fasor.<br />
176 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
8.4.2. Fluksi Dan Rugi-Rugi Karena Fluksi<br />
Seperti halnya pada induktor, transformator memiliki rugi-rugi inti, yang<br />
terdiri dari rugi hiterisis dan rugi arus pusar dalam inti. Fluksi magnetik,<br />
rugi-rugi histerisis, dan rugi-rugi arus pusar pada inti dihitung seperti<br />
halnya pada induktor.<br />
Rugi-Rugi Pada Belitan. Selain rugi-rugi tembaga pada belitan sebesar<br />
P cu = I 2 R, pada belitan terjadi rugi-rugi tambahan arus pusar, P l , yang<br />
ditimbulkan oleh fluksi bocor. Sebagaimana telah dibahas, fluksi bocor<br />
ini menimbulkan tegangan induksi E l1 dan E l2 , karena fluksi ini<br />
melingkupi sebagian belitan; E l1 dan E l2 dinyatakan dengan suatu<br />
besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor<br />
ekivalen, X 1 dan X 2 . Selain melingkupi sebagian belitan, fluksi bocor ini<br />
juga menembus konduktor belitan dan menimbulkan juga arus pusar<br />
dalam konduktor belitan; arus pusar inilah yang menimbulkan rugi-rugi<br />
tambahan arus pusar, P l .<br />
Berbeda dengan rugi arus pusar yang terjadi dalam inti, yang dapat<br />
diperkecil dengan cara membangun inti dari lapisan lembar tipis material<br />
magnetik, rugi arus pusar pada konduktor tidak dapat ditekan dengan<br />
cara yang sama. Ukuran konduktor harus tetap disesuaikan dengan<br />
kebutuhan untuk mengalirkan arus; tidak dapat dibuat berpenampang<br />
kecil. Oleh karena itu rugi-rugi arus pusar ini perlu diperhatikan karena<br />
nilainya sebanding dengan kuadrat frekuensi, seperti halnya rugi arus<br />
pusar pada inti yang diberikan pada formula empiris (8.9). Rugi arus<br />
pusar pada belitan (stray losses) P l ini dapat kita analogikan dengan rugi<br />
arus pusar pada inti dan kita nyatakan dengan formula<br />
2 2<br />
P l = K l f B m<br />
(8.16)<br />
dengan K l adalah suatu konstanta yang tergantung dari material<br />
konduktor, penampang dan panjang konduktor; f frekuensi, dan B m nilai<br />
maksimum kerapatan fluksi yang dapat dianggap sebanding dengan nilai<br />
maksimum arus. Namun dalam menghitung P l kita tidak menggunakan<br />
formula (8.16) melainkan memperhitungkan rugi arus pusar sebagai<br />
proporsi tertentu dari rugi tembaga yang ditimbulkan oleh arus tersebut,<br />
dengan tetap mengingat bahwa rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat<br />
ferkuensi. Proporsi ini berkisar antara 2% sampai 15% tergantung dari<br />
ukuran transformator. Kita lihat dua contoh berikut.<br />
177
Contoh-8.7: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi<br />
0,05 Ω mengalir arus sinusoidal murni bernilai efektif 40 A.<br />
Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar yang<br />
diakibatkan oleh arus ini adalah 5% dari rugi tembaga P cu = I 2 R.<br />
Penyelesaian:<br />
Rugi tembaga<br />
P cu<br />
= 40 2 × 0,05 = 80<br />
W<br />
Rugi arus pusar 5 % × P cu = 0.05×<br />
80 = 4 W<br />
Rugi daya total pada belitan 80 + 4 = 84 W.<br />
Contoh-8.8: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi<br />
0,05 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen<br />
fundamental bernilai efektif 40 A, dan harmonisa ke-7 bernilai<br />
efektif 6 A. Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus<br />
pusar diperhitungkan 10% dari rugi tembaga P cu = I 2 R.<br />
Penyelesaian:<br />
Rugi tembaga total adalah<br />
2<br />
Pcu<br />
= I rmsR = (40<br />
Rugi arus pusar komponen fundamental<br />
2<br />
2<br />
2<br />
+ 6 ) × 0,05 = 81,8 W<br />
Pl<br />
1 = 0,1 × I1rmsR<br />
= 0,1 × 40 × 0,05 = 8 W<br />
Rugi arus pusar harmonisa ke-7<br />
2<br />
2<br />
Pl<br />
7 = 0,1 × 7 × I 7rms<br />
R = 0,1 × 7 × 6 × 0,05 = 8,8 W<br />
Rugi daya total adalah<br />
P total = Pcu<br />
+ Pl<br />
1 + Pl<br />
7 = 81,8 + 8 + 8,8 = 98,6 W<br />
Contoh-8.8 ini menunjukkan bahwa walaupun arus harmonisa memiliki<br />
nilai puncak lebih kecil dari nilai puncak arus fundamental, rugi arus<br />
pusar yang ditimbulkannya bisa memiliki proporsi cukup besar. Hal ini<br />
bisa terjadi karena rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi.<br />
2<br />
2<br />
2<br />
178 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
8.4.3. Faktor K<br />
Faktor K digunakan untuk menyatakan adanya rugi arus pusar pada<br />
belitan. Ia menunjukkan berapa rugi-rugi arus pusar yang timbul secara<br />
keseluruhan.<br />
Nilai efektif total arus nonsinus yang dapat menimbulkan rugi arus pusar<br />
adalah<br />
k<br />
2<br />
I Trms = ∑ I nrms A<br />
(8.17)<br />
n=<br />
1<br />
dengan k adalah tingkat harmonisa tertinggi yang masih diperhitungkan.<br />
Dalam relasi (8.17) kita tidak memasukkan komponen searah karena<br />
komponen searah tidak menimbulkan rugi arus pusar.<br />
Rugi arus pusar total adalah jumlah dari rugi arus pusar yang ditimbulkan<br />
oleh tiap-tiap komponen arus dan tiap-tiap komponen arus menimbulkan<br />
rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi dan kuadrat arus<br />
masing-masing.<br />
Jika arus nonsinus ini mengalir pada belitan yang memiliki resistansi R 0 ,<br />
dan rugi-rugi arus pusar tiap komponen arus dinyatakan dalam proporsi g<br />
terhadap rugi tembaga yang ditimbulkannya, maka rugi arus pusar total<br />
adalah<br />
k<br />
2 2<br />
P K = gR0∑<br />
n I nrms W<br />
(8.18)<br />
n=<br />
1<br />
Rugi tembaga total yang disebabkan oleh arus ini adalah<br />
k<br />
2 2<br />
P cu = R0∑<br />
I nrms = R0ITrms<br />
W<br />
(8.19)<br />
n=<br />
1<br />
Dengan (8.19) maka (8.18) dapat ditulis sebagai<br />
dengan<br />
2<br />
P K = gKR0ITrms<br />
W<br />
(8.20)<br />
K<br />
k<br />
2 2<br />
∑ n I nrms<br />
n=<br />
1<br />
= (8.21)<br />
2<br />
ITrms<br />
179
K disebut faktor rugi arus pusar (stray loss factor).<br />
Faktor K dapat dituliskan sebagai<br />
k 2 k<br />
2 I nrms 2 2<br />
K = ∑ n = ∑ n I<br />
n(<br />
pu)<br />
(8.21.a)<br />
2<br />
n=<br />
1 ITrms<br />
n=<br />
1<br />
I nrms<br />
dengan I n(<br />
pu)<br />
=<br />
ITrms<br />
Faktor K bukanlah karakteristik transformator melainkan karakteristik<br />
sinyal. Walaupun demikian suatu transformator harus dirancang untuk<br />
mampu menahan pembebanan nonsinus sampai batas tertentu.<br />
COTOH-8.9: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi<br />
0,08 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen<br />
fundamental, harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-11 bernilai efektif<br />
berturut-turut 40 A, 15 A, dan 5 A. Hitung: (a) nilai efektif arus<br />
total; (b) faktor K; (c) rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus<br />
pusar diperhitungkan 5% dari rugi tembaga.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Nilai efektif arus total adalah<br />
(b) Faktor K adalah<br />
I Trms<br />
=<br />
2 2 2<br />
40 + 15 + 5<br />
= 43 A<br />
40<br />
K =<br />
2<br />
+ 3<br />
2<br />
× 15<br />
43<br />
2<br />
2<br />
+ 11<br />
2<br />
× 5<br />
2<br />
= 3,59<br />
(c) Rugi daya total P tot , terdiri dari rugi tembaga P cu dan rugi arus<br />
pusar P l .<br />
P cu<br />
= 43 2 × 0,08 = 148<br />
W<br />
Pl<br />
= gPcu<br />
K = 0 ,05 × 148×<br />
3,59 = 26,6<br />
P tot<br />
= 148 + 26,6 = 174,6 W<br />
W<br />
180 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
8.5. Tegangan Maksimum Pada Piranti<br />
Kehadiran komponen harmonisa dapat menyebabkan piranti<br />
mendapatkan tegangan lebih besar dari yang seharusnya. Hal ini bisa<br />
terjadi pada piranti-piranti yang mengandung R, L, C, yang mengandung<br />
harmonisa sekitar frekuensi resonansinya. Berikut ini kita lihat sebuah<br />
contoh.<br />
COTOH-8.8: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai<br />
resistansi internal 1 Ω dan reaktansi internal 6,5 Ω. Sumber ini<br />
mencatu beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total 2.9<br />
µF. Tegangan terbangkit di sumber adalah<br />
e = 17000sin<br />
ω0t<br />
+ 170sin13ω0t<br />
. Dalam keadaan tak ada beban<br />
terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada kabel.<br />
Penyelesaian:<br />
Tegangan mengandung harmonisa ke-13. Pada frekuensi<br />
fundamental terdapat impedansi internal<br />
2 2<br />
Z1int<br />
ernal = 1+<br />
j6,5<br />
Ω ; Z 1int = 1 + 6,5 = 6,58 Ω<br />
Pada harmonisa ke-13 terdapat impedansi<br />
2<br />
2<br />
Z 13int<br />
= 1 + j13<br />
× 6,5 Ω ; Z 13int = 1 + (13×<br />
6,5) = 84,5 Ω<br />
Impedansi kapasitif kabel<br />
− j<br />
Z C 1 =<br />
= − 1097,6 Ω<br />
−6<br />
ω0<br />
× 2,9 × 10<br />
j ;<br />
− j<br />
Z C 13 =<br />
= − 84,4 Ω<br />
−6<br />
13 × ω0<br />
× 2,9 × 10<br />
j<br />
Impedansi total rangkaian seri R-L-C<br />
Z1 tot = 1 + j6,5<br />
− j1097,6<br />
Ω ; Z 1tot = 1091,1 Ω<br />
Z13 tot = 1 + j13×<br />
6,5 − j84,4<br />
Ω ; Z 13tot = 1,0 Ω<br />
181
Tegangan fundamental kabel untuk frekuensi fundamental<br />
ZC1<br />
1097,6<br />
V 1 m = × e1m<br />
= × 17000 =<br />
Z1tot<br />
1091,1<br />
17101 V<br />
ZC13<br />
84,4<br />
V 13 m = × e13m<br />
= × 170 = 14315 V<br />
Z13tot<br />
1,0<br />
Nilai puncak V 1m dan V 13m terjadi pada waktu yang sama yaitu pada<br />
seperempat perioda, karena pada harmonisa ke-13 ada 13 gelombang<br />
penuh dalam satu perioda fundamental atau 6,5 perioda dalam<br />
setengah perioda fundamental. Jadi tegangan maksimum yang<br />
diterima kabel adalah jumlah tegangan maksimum fundamental dan<br />
tegangan maksimum harmonisa ke-13.<br />
= 17101+<br />
14315 = 31416 V<br />
V m = V1m<br />
+ V13m<br />
≈<br />
31,4 kV<br />
Tegangan ini cukup tinggi dibanding dengan tegangan maksimum<br />
fundamental yang hanya 17 kV. Gambar berikut ini memperlihatkan<br />
bentuk gelombang tegangan.<br />
40<br />
[kV]<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
-10<br />
-20<br />
-30<br />
-40<br />
v 1 +v 13<br />
0 0.005 0.01 0.015 0.02 [detik]<br />
v 1<br />
Gb.8.9. Bentuk gelombang tegangan.<br />
8.6. Partial Discharge<br />
Contoh-8.8. memberikan ilustrasi bahwa adanya hamonisa dapat<br />
menyebabkan tegangan maksimum pada suatu piranti jauh melebihi<br />
tegangan fundamentalnya. Tegangan lebih yang diakibatkan oleh adanya<br />
harmonisa seperti ini bisa menyebabkan terjadinya partial discharge<br />
pada piranti, walaupun sistem bekerja normal dalam arti tidak ada<br />
gangguan. Jika hal ini terjadi umur piranti akan sangat diperpendek yang<br />
akan menimbulkan kerugtian besar secara finansial.<br />
182 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
8.7. Alat Ukur Elektromekanik<br />
Daya sumber diperoleh dengan mengalikan tegangan sumber dan arus<br />
sumber. Proses ini dalam praktik diimplementasikan misalnya pada alat<br />
ukur tipe elektrodinamis dan tipe induksi. Pada wattmeter<br />
elektrodinamis, bagian pengukurnya terdiri dari dua kumparan, satu<br />
kumparan diam dan satu kumparan berputar. Satu kumparan<br />
dihubungkan ke tegangan dan satu kumparan dialiri arus beban. Jika<br />
masing-masing arus di kedua kumparan adalah iv<br />
= k1 Iv<br />
sin ωt<br />
dan<br />
ii<br />
= k2Ii<br />
sin( ωt<br />
+ ϕ)<br />
, maka kedua arus menimbulkan medan magnit<br />
yang sebanding dengan arus di kedua kumparan. Momen sesaat yang<br />
terjadi sebagai akibat interaksi medan magnetik kedua kumparan<br />
sebanding dengan perkalian kedua arus<br />
m<br />
e<br />
= k I sin ωt<br />
× I sin( ωt<br />
+<br />
3 v i ϕ<br />
Momen sesaat ini, melalui suatu mekanisme tertentu, menyebabkan<br />
defleksi jarum penunjuk (yang didukung oleh kumparan yang berputar) ζ<br />
yang menunjukkan besar daya pada sistem arus bolak balik.<br />
ζ =<br />
kI<br />
vrms I irms<br />
cosϕ<br />
Pada alat ukur tipe induksi, seperti kWh-meter elektromekanik yang<br />
masih banyak digunakan, kumparan tegangan dihubungkan pada<br />
tegangan sumber sementara kumparan arus dialiri arus beban. Bagan alat<br />
ukur ini terlihat pada Gb.8.10.<br />
)<br />
S 1<br />
S 2 S 1<br />
S 2<br />
piringan Al<br />
Gb.8.10. Bagan KWh-meter tipe induksi.<br />
Masing-masing kumparan menimbulkan fluksi magnetik bolak-balik<br />
yang menginduksikan arus bolak-balik di piringan aluminium. Arus<br />
induksi dari kumparan arus ber-interaksi dengan fluksi dari kumparan<br />
tegangan dan arus induksi dari kumparan tegangan berinteraksi dengan<br />
fluksi magnetik kumpran arus. Interaksi arus induksi dan fluksi magnetik<br />
tersebut menimbulkan momen putar pada piringan sebesar<br />
M<br />
e<br />
= kfΦ<br />
Φ sin β<br />
v<br />
i<br />
183
di mana f adalah frekuensi, Φ v dan Φ i fluksi magnetik efektif yang<br />
ditimbulkan oleh kumparan tegangan dan kumparan arus, β adalah selisih<br />
sudut fasa antara kedua fluksi magnetik bolak-balik tersebut, dan k<br />
adalah suatu konstanta. Momen putar ini dilawan oleh momen lawan<br />
yang diberikan oleh suatu magnet permanen sehingga piringan berputar<br />
dengan kecepatan tertentu pada keadaan keseimbangan antara kedua<br />
momen. Perputaran piringan menggerakkan suatu mekanisme<br />
penghitung.<br />
Hadirnya arus harmonisa di kumparan arus, akan muncul juga pada Φ i .<br />
Jika Φ v berbentuk sinus murni sesuai dengan bentuk tegangan maka M e<br />
akan berupa hasil kali tegangan dan arus komponen fundamental.<br />
Frekuensi harmonisa sulit untuk direspons oleh kWh meter tipe induksi.<br />
Pertama karena kelembaman sistem yang berputar, dan kedua karena<br />
kWh-meter ditera pada frekuensi f dari komponen fundamental, misalnya<br />
50 Hz. Dengan demikian penunjukkan alat ukur tidak mencakup<br />
kehadiran arus harmonisa, walaupun kehadiran harmonisa bisa<br />
menambah rugi-rugi pada inti kumparan arus.<br />
184 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
BAB 9<br />
Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa<br />
<strong>Analisis</strong> harmonisa dalam sistem tiga fasa berikut ini dilakukan dengan<br />
anggapan beban seimbang.<br />
9.1. Komponen Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa<br />
a 11<br />
b<br />
Frekuensi Fundamental. Pada pembebanan seimbang, komponen<br />
fundamental berbeda<br />
fasa 120 o antara<br />
180 o mekanis = 360 o magnetik<br />
masing-masing fasa.<br />
Perbedaan fasa 120 o<br />
antar fasa ini timbul<br />
karena perbedaan posisi<br />
kumparan jangkar<br />
c<br />
a 1<br />
b 1<br />
U<br />
c 1<br />
U<br />
11<br />
a 2<br />
11 S<br />
120 o sudut magnetik.<br />
c 2 b 2<br />
Hal ini dijelaskan pada<br />
terhadap siklus medan<br />
magnet, yaitu sebesar<br />
b 22 S c 22<br />
Gb.9.1.<br />
Gambar ini<br />
Gb.9.1. Skema generator empat kutub<br />
memperlihatkan skema generator empat kutub; 180 o sudut mekanis<br />
ekivalen dengan 360 o sudut magnetik. Dalam siklus magnetik yang<br />
pertama sebesar 360 o magnetik, yaitu dari kutub magnetik U ke U<br />
berikutnya, terdapat tiga kumparan yaitu kumparan fasa-a (a 1 -a 11 ),<br />
kumparan fasa-b (b 1 -b 11 ), kumparan fasa-c (c 1 -c 11 ) . Antara posisi<br />
kumparan fasa-a dan fasa-b terdapat pergeseran sudut magnetik 120 o ;<br />
antara posisi kumparan fasa-b dan fasa-c terdapat pergeseran sudut<br />
magnetik 120 o ; demikian pula halnya dengan kumparan fasa-c dan fasaa.<br />
Perbedaan posisi inilah yang menimbulkan perbedaan sudut fasa<br />
antara tegangan di fasa-a, fasa-b, fasa-c.<br />
Harmonisa Ke-3. Pada harmonisa ke-3 satu siklus komponen<br />
fundamental, atau 360 o , berisi 3 siklus harmonisa ke-3. Hal ini berarti<br />
bahwa satu siklus harmonisa ke-3 memiliki lebar 120 o dalam skala<br />
komponen fundamental; nilai ini tepat sama dengan beda fasa antara<br />
komponen fundamental fasa-a dan fasa-b. Oleh karena itu tidak ada<br />
185
perbedaan fasa antara harmonisa ke-3 di fasa-a dan fasa-b. Hal yang<br />
sama terjadi antara fasa-b dan fasa-c seperti terlihat pada Gb.9.2<br />
V<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
-100<br />
v 3a<br />
v 1b v 1c<br />
v 3b<br />
v 3c<br />
0 90 180 270 360 [ o ]<br />
v 1a<br />
)<br />
-200<br />
-300<br />
Gb.9.2. Tegangan fundamental dan harmonisa ke-3<br />
pada fasa-a, fasa-b, dan fasa-c.<br />
v1a<br />
= sin( ωt)<br />
o<br />
v1b<br />
= sin( ωt<br />
−120<br />
)<br />
o<br />
v1c<br />
= sin( ωt<br />
− 240 )<br />
Pada Gb.9.2 tegangan v 1a , v 1b , v 1c , adalah tegangan fundamental dari<br />
fasa-a, -b, dan -c, yang saling berbeda fasa 120 o . Tegangan v 3a , v 3b , v 3c ,<br />
adalah tegangan harmonisa ke-3 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing<br />
digambarkan terpotong untuk memperlihatkan bahwa mereka sefasa.<br />
Diagram fasor harmonisa<br />
ke-3 digambarkan pada<br />
Gb.9.3. Jika V 3a , V 3b , V 3c<br />
merupakan fasor tegangan<br />
fasa-netral maka tegangan<br />
fasa-fasa (line to line)<br />
harmonisa ke-3 adalah nol.<br />
v3a<br />
= sin(3ωt<br />
)<br />
o<br />
v3b<br />
= sin(3ωt<br />
−360<br />
) = sin(3ωt<br />
)<br />
o<br />
v3c<br />
= sin(3ωt<br />
− 720 ) = sin( ωt<br />
V 3a<br />
V 3b<br />
V 3c<br />
Gb.9.3. Diagram fasor harmonisa ke-3.<br />
Hal serupa terjadi pada harmonisa kelipatan tiga yang lain seperti<br />
harmonisa ke-9. Satu siklus fundamental berisi 9 siklus harmonisa yang<br />
berarti lebar satu siklus adalah 40 o dalam skala fundamental. Jadi lebar 3<br />
siklus harmonisa ke-9 tepat sama dengan beda fasa antar fundamental,<br />
sehingga tidak ada perbedaan sudut fasa antara harmonisa ke-9 di fasa-a,<br />
fasa-b, dan fasa-c.<br />
Harmonisa ke-5. Gb.9.4. memperlihatkan kurva tegangan fundamental<br />
dan harmonisa ke-5. Tegangan v 1a , v 1b , v 1c , adalah tegangan fundamental<br />
dari fasa-a, -b, dan -c. Tegangan v 5a , v 5b , v 5c , adalah tegangan harmonisa<br />
186 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
ke-5 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing digambarkan terpotong untuk<br />
menunjukkan bahwa mereka berbeda fasa.<br />
v1a<br />
= sin( ωt)<br />
o<br />
v1b<br />
= sin( ωt<br />
−120<br />
)<br />
o<br />
v1c<br />
= sin( ωt<br />
− 240 )<br />
v5a<br />
= sin(5ωt)<br />
o<br />
o<br />
v5b<br />
= sin(5ωt<br />
− 600 ) = sin(3ωt<br />
− 240 )<br />
o<br />
o<br />
v5c<br />
= sin(5ωt<br />
−1200<br />
) = sin( ωt<br />
− 120 )<br />
V<br />
300<br />
200<br />
100<br />
v 1a<br />
v 1b<br />
v 1c<br />
0<br />
0 90 180 270 360<br />
-100<br />
-200<br />
-300<br />
v 5a v 5c v 5b<br />
[ o ]<br />
Gb.9.4. Fundamental dan harmonisa ke-5<br />
Satu siklus fundamental berisi 5 siklus harmonisa atau satu siklus<br />
harmonisa mempunyai lebar 72 o dalam skala fundamental. Perbedaan<br />
fasa antara v 5a dan v 5b adalah (2<br />
V 5b<br />
× 72 o − 120 o ) = 24 o dalam skala<br />
fundamental atau 120 o dalam<br />
skala harmonisa ke-5; beda fasa<br />
V 5a<br />
antara v 5b dan v 5c juga 120 o .<br />
Diagram fasor dari harmonisa<br />
V 5c<br />
ke-5 terlihat pada Gb.9.5. Jika Gb.9.5. Diagram fasor harmonisa ke-5.<br />
V 5a , V 5b , V 5c merupakan fasor<br />
tegangan fasa-netral maka tegangan fasa-fasa (line to line) harmonisa ke-<br />
5 adalah 3 kali lebih besar dari tegangan fasa-netral-nya.<br />
Harmonisa Ke-7. Satu siklus harmonisa ke-7 memiliki lebar 51,43 o<br />
dalam skala fundamental. Perbedaan fasa antara v 7a dan v 7b adalah (3 ×<br />
51,43 o − 120 o ) = 34,3 o dalam<br />
skala fundamental atau 240 o<br />
V 7c<br />
dalam skala harmonisa ke-7;<br />
beda fasa antara v 7b dan v 7c<br />
juga 240 o V 7a<br />
. Diagram fasor dari<br />
harmonisa ke-7 terlihat pada<br />
Gb.9.6. Jika V 7a , V 7b , V 7c<br />
V 7b<br />
merupakan fasor tegangan<br />
Gb.9.6. Diagram fasor harmonisa ke-7.<br />
fasa-netral maka tegangan<br />
187
fasa-fasa (line to line) harmonisa ke-7 adalah<br />
tegangan fasa-netral-nya.<br />
3 kali lebih besar dari<br />
9.2. Relasi Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-etral<br />
Pada tegangan sinus murni, relasi antara tegangan fasa-fasa dan fasanetral<br />
dalam pembebanan seimbang adalah<br />
V<br />
ff<br />
= V<br />
fn<br />
3 =1,732V<br />
di mana V ff tegangan fasa-fasa dan V f-n tegangan fasa-netral. Apakah<br />
relasi masih berlaku jika tegangan berbentuk gelombang nonsinus. Kita<br />
akan melihat melalui contoh berikut.<br />
COTOH-9.1: Tegangan fasa-netral suatu generator 3 fasa terhubung<br />
bintang mengandung komponen fundamental dengan nilai puncak<br />
200 V, serta harmonisa ke-3, 5, 7, dan 9 dengan nilai puncak<br />
berturut-turut 40, 25, 20, 10 V. Hitung rasio tegangan fasa-fasa<br />
terhadap tegangan fasa-netral.<br />
Penyelesaian:<br />
Dalam soal ini harmonisa tertinggi yang diperhitungkan adalah<br />
harmonisa ke-9, walaupun nilai puncak harmonisa tertinggi ini<br />
masih 5% dari nilai puncak komponen fundamental.<br />
Nilai efektif tegangan fasa-netral fundamental sampai harmonisa<br />
ke-9 berturut-turut adalah nilai puncak dibagi 2 :<br />
V 1 f −n =141,42 V ; V 3 f −n = 28,28 V ; V 5 f −n =17,68 V<br />
V 7 f −n =14,14 V ; V 9 f −n = 7,07 V<br />
Nilai efektif tegangan fasa-netral total<br />
fn<br />
V f −n<br />
=<br />
141,42<br />
2<br />
+ 28,28<br />
2<br />
+ 17,68<br />
2<br />
+ 14,14<br />
2<br />
+ 7,07<br />
2<br />
= 146,16<br />
V<br />
Nilai efektif tegangan fasa-fasa setiap komponen adalah<br />
V 1 f − f = 244,95 V ; V 3 f − f = 0 V ; V 5 f − f = 26,27 V<br />
V 7 f − f = 22,11 V ; V 9 f − f = 0 V<br />
Nilai efektif tegangan fasa-fasa total<br />
188 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
V f − f<br />
=<br />
244,95<br />
2<br />
+ 0 + 26,27<br />
2<br />
2<br />
+ 22,11<br />
+ 0 = 247,35<br />
V<br />
Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral<br />
V f − f<br />
V f −n<br />
247,35<br />
= = 1,70<br />
146,16<br />
Perbedaan nilai perhitungan tegangan efektif fasa-netral dan tegangan<br />
efektif fasa-fasa terlatak pada adanya harmonisa kelipatan tiga; tegangan<br />
fasa-fasa harmonisa ini bernilai nol.<br />
9.3. Hubungan Sumber Dan Beban<br />
9.3.1. Generator Terhubung Bintang<br />
Jika belitan jangkar generator terhubung bintang, harmonisa kelipatan<br />
tiga yang terkandung pada tegangan fasa-netral tidak muncul pada<br />
tegangan fasa-fasa-nya. Kita akan melihatnya pada contoh berikut.<br />
COTOH-9.2: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung bintang<br />
membangkitkan tegangan fasa-netral yang berbentuk gelombang<br />
nonsinus yang dinyatakan dengan persamaan<br />
v = 800sin<br />
ω0t<br />
+ 200sin 3ω0t<br />
+ 100sin 5ω0t<br />
V<br />
Generator ini mencatu tiga induktor terhubung segi-tiga yang<br />
masing-masing mempunyai resistansi 20 Ω dan induktansi 0,1 H.<br />
Hitung daya nyata yang diserap beban dan faktor daya beban.<br />
Penyelesaian:<br />
Nilai efektif komponen tegangan fasa-netral adalah<br />
V fn1 rms = 800 / 2 V ; V fn3 rms = 200 / 2 V ;<br />
V fn5 rms = 100 / 2 V .<br />
Tegangan fasa-fasa sinyal nonsinus tidak sama dengan 3 kali<br />
tegangan fasa-netralnya. Akan tetapi masing-masing komponen<br />
merupakan sinyal sinus; oleh karena itu tegangan fasa-fasa masingmasing<br />
komponen adalah<br />
3 kali tegangan fasa-netral-nya.<br />
189
( 800 / 2) 3 800 3/2 V<br />
V ff 1 rms =<br />
=<br />
; V ff 3 rms = 0 V ;<br />
V ff 5 rms =100<br />
3 / 2<br />
V<br />
V ffrms<br />
=<br />
2<br />
800 (3/ 2) + 100 (3/ 2) = 987,4<br />
2<br />
V<br />
Reaktansi beban per fasa untuk tiap komponen<br />
X 1 = 2π × 50 × 0,1 = 31,42 Ω ; X 3 = 3X<br />
1 = 94,25 Ω ;<br />
X 5 = 5X<br />
1 = 157,08 Ω<br />
Impedansi beban per fasa untuk tiap komponen<br />
Z f 1<br />
=<br />
2 2<br />
20 + 31,42<br />
= 37,24 Ω<br />
Z f 3<br />
=<br />
2 2<br />
20 + 94,25<br />
= 96,35 Ω<br />
Z f 5<br />
=<br />
2 2<br />
20 + 157,08<br />
= 158,35 Ω<br />
Arus fasa:<br />
V ff 1rms<br />
800 3 / 2<br />
I f 1 rms = = =<br />
Z 37,24<br />
f 1<br />
V ff 3rms<br />
I f 3 rms = =<br />
Z f 1<br />
0 A<br />
V ff 5rms<br />
100 3 / 2<br />
I f 5 rms = = =<br />
Z 158,35<br />
f 5<br />
26,3 A<br />
0,77<br />
A<br />
I<br />
frms<br />
=<br />
26,3<br />
2<br />
+ 0,77<br />
2<br />
= 26,32<br />
A<br />
Daya nyata diserap beban<br />
P<br />
b<br />
2<br />
= 3×<br />
I<br />
frms<br />
× 20 = 41566 W ≈ 41,6 kW<br />
Daya kompleks beban<br />
S<br />
b<br />
3×<br />
V × I = 3×<br />
987,4×<br />
26,32 = 77967 W ≈ 78 kW<br />
= ff f<br />
Faktor daya beban<br />
190 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
9.3.2. Generator Terhubung Segitiga<br />
Pb<br />
41,6<br />
f . d.<br />
= = = 0,53<br />
S 78<br />
b<br />
Jika belitan jangkar generator terhubung segitiga, maka tegangan<br />
harmonisa kelipatan tiga akan menyebabkan terjadinya arus sirkulasi<br />
pada belitan jangkar generator tersebut.<br />
COTOH-9.3: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung segitiga.<br />
Resistansi dan induktansi per fasa adalah 0,06 Ω dan 0,9 mH. Dalam<br />
keadaan tak berbeban tegangan fasa-fasa mengandung harmonisa ke-<br />
3, -7, -9, dan -15 dengan amplitudo berturut-turut 4%, 3%, 2% dan<br />
1% dari amplitudo tegangan fundamental. Hitunglah arus sirkulasi<br />
dalam keadaan tak berbeban, jika eksitasi diberikan sedemikian rupa<br />
sehingga amplitudo tegangan fundamental 1500 V.<br />
Penyelesaian:<br />
Arus sirkulasi di belitan jangkar yang terhubung segitiga timbul oleh<br />
adanya tegangan harmonisa kelipatan tiga, yang dalam hal ini adalah<br />
harmonisa ke-3, -9, dan -15. Tegangan puncak dan tegangan efektif<br />
masing-masing komponen harmonisa ini di setiap fasa adalah<br />
V 3 m = 4% × 1500 = 60 V ; V 3 rms = 60 / 2 V<br />
V 9 m = 2% × 1500 = 30 V ; V 9 rms = 30 / 2 V<br />
V 15 m = 1% × 1500 = 15 V ; V 15 rms =15 / 2 V<br />
Reaktansi untuk masing-masing komponen adalah<br />
X 1<br />
X<br />
−3<br />
= 2π × 50 × 0,9 × 10 = 0,283 Ω<br />
3 = 3×<br />
X1<br />
= 0,85 Ω<br />
X 9 = 9 × X1<br />
= 2,55 Ω<br />
X 15 = 15×<br />
X1<br />
= 4,24 Ω<br />
Impedansi di setiap fasa untuk komponen harmonisa<br />
Z 3<br />
Z 9<br />
=<br />
=<br />
0,06<br />
0,06<br />
2<br />
2<br />
+ 0,85<br />
+ 2,54<br />
2<br />
2<br />
= 0,85 Ω<br />
= 2,55 Ω<br />
191
Z 15<br />
=<br />
0,06<br />
2<br />
+ 4,24<br />
2<br />
= 4,24<br />
Ω<br />
Arus sirkulasi adalah<br />
I<br />
I<br />
I<br />
60 / 2<br />
=<br />
0,85<br />
3 rms =<br />
30 / 2<br />
=<br />
2,55<br />
9 rms =<br />
15 / 2<br />
=<br />
4,24<br />
15 rms =<br />
49,89 A<br />
8,33 A<br />
2,5 A<br />
2 2 2<br />
I sirkulasi( rms)<br />
= 48,89 + 8,33 + 2,5 =<br />
50,6<br />
A<br />
9.3.3. Sistem Empat Kawat<br />
Dalam sistem empat kawat, di mana titik netral sumber terhubung ke titik<br />
netral beban, harmonisa kelipatan tiga akan mengalir melalui penghantar<br />
netral. Arus di penghantar netral ini merupakan jumlah dari ketiga arus di<br />
setiap fasa; jadi besarnya tiga kali lipat dari arus di setiap fasa.<br />
COTOH-9.4: Tiga kumparan dihubungkan bintang; masing-masing<br />
kumparan mempunyai resistansi 25 Ω dan induktansi 0,05 H.<br />
Beban ini dihubungkan ke generator 3 fasa, 50Hz, dengan<br />
kumparan jangkar terhubung bintang. Tegangan fasa-netral<br />
mempunyai komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan ke-5<br />
dengan nilai puncak berturut-turut 360 V, 60 V, dan 50 V.<br />
Penghantar netral menghubungkan titik netral generator dan beban.<br />
Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b) tegangan fasa-fasa;<br />
(c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap beban.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Tegangan fasa-netral efektif setiap komponen<br />
Reaktansi per fasa<br />
V fn1rms<br />
V fn3rms<br />
V fn5rms<br />
= 254,6 V;<br />
= 42,4 V;<br />
= 35,4 V<br />
192 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
X 1<br />
X<br />
X<br />
Impedansi per fasa<br />
= 2π × 50 × 0,05 = 15,70<br />
= 3×<br />
1 = 47,12 Ω<br />
= × = 78,54 Ω<br />
3 X<br />
5 5 X1<br />
Ω<br />
Z 1<br />
=<br />
2 2<br />
25 + 15,70<br />
= 29,53<br />
Ω<br />
Z 3<br />
=<br />
2 2<br />
25 + 47,12<br />
= 53,35<br />
Ω<br />
Z 5<br />
=<br />
25<br />
2<br />
+ 78,54<br />
2<br />
= 82,42<br />
Ω<br />
Arus saluran<br />
254,6<br />
I 1 rms = = 8,62 A<br />
29,53<br />
42,4<br />
I 3 rms = = 0,795 A<br />
53,35<br />
35,4<br />
I 5 rms = = 0,43 A<br />
82,42<br />
I saluran<br />
rms =<br />
2 2 2<br />
8.62 + 0,795 + 0,43<br />
(b) Tegangan fasa-fasa setiap komponen<br />
440,9<br />
V; V3<br />
f − f = 0 V; V5<br />
V 1 f − f = f − f =<br />
Tegangan fasa-fasa<br />
= 8,67<br />
A<br />
61,24 V<br />
V f − f<br />
=<br />
440,9<br />
2<br />
+ 0 + 61,2<br />
2<br />
= 445<br />
V<br />
Arus di penghantar netral ditimbulkan oleh harmonisa ke-3,<br />
yang merupakan arus urutan nol.<br />
I<br />
netral = rms<br />
3×<br />
I3 = 3×<br />
0,795 = 2,39 A<br />
(c) Daya yang diserap beban adalah daya yang diserap elemen<br />
2<br />
resistif 25 Ω, yaitu P = 3 × I f −n<br />
× R . Arus beban terhubung<br />
bintang sama dengan arus saluran. Jadi daya yang diserap<br />
beban adalah<br />
193
P b<br />
2<br />
= 3×<br />
I × R = 3×<br />
8,67<br />
2<br />
× 25 = 5636 W<br />
= 5,64 kW<br />
9.3.4. Sistem Tiga Kawat<br />
Pada sistem ini tidak ada hubungan antara titik netral sumber dan titik<br />
netral beban. Arus harmonisa kelipatan tiga tidak mengalir. Kita akan<br />
melihat kondisi ini dengan menggunakan contoh berikut.<br />
COTOH-9.5: Persoalan seperti pada contoh-9-4 akan tetapi<br />
penghantar netral yang menghubungkan titik netral generator dan<br />
beban diputus. Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b)<br />
tegangan fasa-fasa; (c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap<br />
beban.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Karena penghantar netral diputus, arus harmonisa ke-3 tidak<br />
mengalir. Arus fundamental dan harmonisa ke-5 telah dihitung<br />
pada contoh-9.4. yaitu<br />
Arus saluran menjadi<br />
I<br />
I<br />
254,6<br />
29,53<br />
35,4<br />
82,42<br />
1 rms = =<br />
5 rms = =<br />
I saluran<br />
rms =<br />
8,62 A<br />
0,43 A<br />
2 2<br />
8,62 + 0,43 = 8,63 A<br />
(b) Walaupun arus harmonisa ke-3 tidak mengalir, tegangan fasanetral<br />
harmonisa ke-3 tetap hadir namun tegangan ini tidak<br />
muncul pada tegangan fasa-fasa. Keadaan ini seperti keadaan<br />
sebelum penghantar netral diputus<br />
V f − f<br />
=<br />
2<br />
2<br />
440,9 + 0 + 61,2<br />
= 445<br />
V<br />
(c) Arus di penghantar netral = 0 A<br />
(d) Daya yang diserap beban<br />
P b<br />
2<br />
2<br />
= 3×<br />
I × R = 3×<br />
8,63 × 25 = 5589 W = 5,59 kW<br />
194 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
9.4. Sumber Bekerja Paralel<br />
Untuk mencatu beban yang besar sumber-sumber pada sistem tenaga<br />
harus bekerja paralel. Jika sumber terhubung bintang dan titik netral<br />
masing-masing sumber ditanahkan, maka akan mengalir arus sirkulasi<br />
melalui pentanahan apabila terdapat tegangan harmonisa kelipatan tiga.<br />
COTOH-9.6: Dua generator tiga fasa, 20 000 kVA, 10 000 V,<br />
terhubung bintang, masing-masing mempunyai reaktansi jangkar<br />
20% tiap fasa. Tegangan terbangkit mengandung harmonisa ke-3<br />
dengan amplitudo 10% dari amplitudo fundamental. Kedua<br />
generator bekerja paralel, dan titik netral masing-masing<br />
ditanahkan melalui reaktansi 10%. Hitunglah arus sirkulasi di<br />
pentanahan karena adanya harmonisa ke-3.<br />
Penyelesaian:<br />
Tegangan kedua generator adalah<br />
V ffrms<br />
=10000 V<br />
V fnrms<br />
10000 = = 5774<br />
3<br />
V<br />
Reaktansi jangkar 20% :<br />
X a<br />
Reaktansi pentanahan 10% :<br />
2<br />
3×<br />
5774<br />
= 20% ×<br />
= 1 Ω<br />
20 000 × 1000<br />
X g<br />
Reaktansi pentanahan untuk urutan nol :<br />
2<br />
3×<br />
5774<br />
= 10% ×<br />
= 0,5 Ω<br />
20 000 × 1000<br />
X 0<br />
= 3×<br />
0,5 = 1,5 Ω<br />
Tegangan harmonisa ke-3 adalah 10% dari tegangan fundamental :<br />
V fn3 rms = 577,4<br />
Kedua generator memiliki X a dan X g yang sama besar dengan<br />
tegangan harmonisa ke-3 yang sama besar pula. Arus sirkulasi<br />
akibat tegangan harmonisa ke-3 adalah<br />
I<br />
sirkulasi<br />
=<br />
V<br />
fn3rms<br />
( X + X )<br />
a<br />
0<br />
=<br />
V<br />
577,4<br />
= 231 A<br />
2,5<br />
195
9.5. Penyaluran Energi ke Beban<br />
Dalam jaringan distribusi, untuk menyalurkan energi ke beban digunakan<br />
penyulang tegangan menengah yang terhubung ke transformator dan dari<br />
transformator ke beban. Suatu kapasitor dihubungkan paralel dengan<br />
beban guna memperbaiki faktor daya. Dalam analisis harmonisa kita<br />
menggunakan model satu fasa dari jaringan tiga fasa.<br />
9.5.1. Penyulang<br />
Dalam model satu fasa, penyulang diperhitungkan sebagai memiliki<br />
resistansi, induktansi, kapasitansi. Dalam hal tertentu elemen ini bisa<br />
diabaikan.<br />
9.5.2. Transformator<br />
Perilaku transformator dinyatakan dengan persamaan<br />
V 1 = E1<br />
+ I1R1<br />
+ jI1X1<br />
E 2 = V2<br />
+ I2R2<br />
+ jI<br />
2 X 2<br />
2 I 2<br />
I 1 = I f + I′<br />
2 dengan I′<br />
2 = I 2 =<br />
1<br />
a<br />
V 1 , I1,<br />
E1,<br />
R1<br />
, X1<br />
berturut turut adalah tegangan terminal, arus, tegangan<br />
induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian primer.<br />
V 2 , I2,<br />
E2,<br />
R2,<br />
X 2 berturut turut adalah tegangan terminal, arus,<br />
tegangan induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian<br />
sekunder; V 2 sama dengan tegangan pada beban. E 1 sefasa dengan E 2<br />
karena dibangkitkan (diinduksikan) oleh fluksi yang sama, sehingga nilai<br />
masing-masing sebanding dengan jumlah lilitan, 1 dan 2 . Jika<br />
a = 1 / 2 maka dilihat dari sisi sekunder nilai E 1 menjadi E 1 ' = E1<br />
/ a ,<br />
I 1 menjadi I 1 ' = aI 1 , R 1 menjadi R 1 /a 2 , X 1 menjadi X 1 /a 2 . <strong>Rangkaian</strong><br />
ekivalen transformator berbeban menjadi seperti pada Gb.9.7.a. Dengan<br />
mengabaikan arus eksitasi I f dan menggabungkan resistansi dan reaktansi<br />
menjadi R T = R 1 ′ + R2<br />
dan X T = X 1 ′ + X 2 maka rangkaian ekivalen<br />
menjadi seperti pada Gb.9.7.b.<br />
196 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
(a)<br />
R′<br />
X′ 1 I f<br />
1<br />
R X 2 2<br />
V∼<br />
1 E<br />
B V 2<br />
1<br />
X c<br />
R c<br />
I c<br />
I φ<br />
B<br />
(b)<br />
R T<br />
Gb.9.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator berbeban.<br />
X T<br />
∼ V 1<br />
V 2<br />
9.6. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Untuk <strong>Analisis</strong><br />
Karena resistansi dan reaktansi transformator diposisikan di sisi<br />
sekunder, maka untuk menambahkan penyulang dan sumber harus pula<br />
diposisikan di sisi sekunder. Tegangan sumber V s menjadi V s /a, resistansi<br />
penyulang menjadi R p /a 2 , reaktansi penyulang menjadi X p /a 2 . Jika<br />
resistansi penyulang R p /a 2 maupun resistansi transformator R T diabaikan,<br />
maka rangkaian sumber–penyulang–transformator–beban menjadi seperti<br />
pada Gb.9.8. Bentuk rangkaian yang terakhir ini cukup sederhana untuk<br />
melakukan analisis lebih lanjut. V s /a adalah tegangan sumber.<br />
X T<br />
X C<br />
X p /a 2<br />
V s /a B V 2<br />
Gb.9.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen penyaluran energi dari sumber ke<br />
beban dengan mengabaikan semua resistansi dalam rangkaian<br />
serta arus eksitasi transformator.<br />
Apabila kita menggunakan rangkaian ekivalen dengan hanya<br />
memandang arus nonlinier, maka sumber tegangan menjadi bertegangan<br />
nol atau merupakan hubung singkat seperti terlihat pada Gb.9.9.<br />
197
X p /a 2<br />
i beban<br />
X C<br />
B<br />
Gb.9.9. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pada pembebanan nonlinier.<br />
Jika kita hanya meninjau komponen harmonisa, dan tetap memandang<br />
bahwa arus harmonisa mengalir ke beban, arah arus harmonisa<br />
digambarkan menuju sisi beban. Namun komponen harmonisa tidak<br />
memberikan transfer energi neto dari sumber ke beban; justru sebaliknya<br />
komponen harmonisa memberikan dampak yang tidak menguntungkan<br />
pada sistem pencatu daya. Oleh karena itu sistem pencatu daya “bisa<br />
melihat” bahwa di arah beban ada sumber arus harmonisa yang mencatu<br />
sistem pencatu daya dan sistem pencatu daya harus memberi tanggapan<br />
terhadap fungsi pemaksa (driving function) ini. Dalam hal terakhir ini<br />
sumber arus harmonisa digambarkan sebagai sumber arus yang mencatu<br />
sistem seperti terlihat pada Gb.9.10.<br />
X p /a 2 X C<br />
X T<br />
X T<br />
sumber arus<br />
harmonisa<br />
Gb.9.10. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen untuk analisis arus harmonisa.<br />
198 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
Referensi<br />
1. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, Penerbit ITB<br />
2002, ISBN 979-9299-54-3.<br />
2. Sudaryatno Sudirham, “Pengembangan Metoda Unit Output Untuk<br />
Perhitungan Susut Energi Pada Penyulang Tegangan Menengah”,<br />
Monograf, 2005, limited publication.<br />
3. Sudaryatno Sudirham, “Pengantar <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, Catatan<br />
Kuliah El 1001, Penerbit ITB, 2007.<br />
4. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> Harmonisa Dalam Permasalahan<br />
Kualitas Daya”, Catatan Kuliah El 6004, 2008.<br />
5. P. C. Sen, “Power Electronics” McGraw-Hill, 3rd Reprint, 1990,<br />
ISBN 0-07-451899-2.<br />
6. Ralph J. Smith & Richard C. Dorf : “Circuits, Devices and Systems”<br />
; John Wiley & Son Inc, 5 th ed, 1992.<br />
7. David E. Johnson, Johnny R. Johnson, John L. Hilburn : “Electric<br />
Circuit Analysis” ; Prentice-Hall Inc, 2 nd ed, 1992.<br />
8. Vincent Del Toro : “Electric Power Systems”, Prentice-Hall<br />
International, Inc., 1992.<br />
9. Roland E. Thomas, Albert J. Rosa : “The Analysis And Design of<br />
Linier Circuits”, . Prentice-Hall Inc, 1994.<br />
10. Douglas K Lindner : “Introduction to Signals and Systems”,<br />
McGraw-Hill, 1999.<br />
11. Alexander Kusko & Marc T. Thompson, “Power Quality in<br />
Electrical Systems”, Mc. Graw Hill, 2007.<br />
199
Daftar otasi<br />
v atau v(t) : tegangan sebagai fungsi waktu.<br />
V : tegangan dengan nilai tertentu, tegangan searah.<br />
V rr : tegangan, nilai rata-rata.<br />
V rms : tegangan, nilai efektif.<br />
V maks : tegangan, nilai maksimum, nilai puncak.<br />
V : fasor tegangan dalam analisis di kawasan fasor.<br />
|V| : nilai mutlak fasor tegangan.<br />
V(s) : tegangan fungsi s dalam analisis di kawasan s.<br />
i atau i(t) : arus sebagai fungsi waktu.<br />
I<br />
: arus dengan nilai tertentu, arus searah.<br />
I rr : arus, nilai rata-rata.<br />
I rms : arus, nilai efektif.<br />
I maks : arus, nilai maksimum, nilai puncak.<br />
I<br />
: fasor arus dalam analisis di kawasan fasor.<br />
|I| : nilai mutlak fasor arus.<br />
I(s) : arus fungsi s dalam analisis di kawasan s.<br />
p atau p(t) : daya sebagai fungsi waktu.<br />
p rr : daya, nilai rata-rata.<br />
S : daya kompleks.<br />
|S| : daya kompleks, nilai mutlak.<br />
P : daya nyata.<br />
Q : daya reaktif.<br />
q atau q(t) : muatan, fungsi waktu.<br />
w : energi.<br />
R : resistor; resistansi.<br />
L : induktor; induktansi.<br />
C : kapasitor; kapasitansi.<br />
Z : impedansi.<br />
Y : admitansi.<br />
200 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)
a<br />
alih daya 78, 150<br />
Ampère 2, 4<br />
arus pusar 14<br />
c<br />
crest factor 124<br />
d<br />
daya kompleks 136<br />
daya nyata 137<br />
daya reaktif 150<br />
daya, faktor 137<br />
daya, non sinus 103<br />
daya, sudut 67<br />
diagram fasor 33, 61<br />
dielektrik 165<br />
e<br />
efisiensi 42<br />
ekivalen 37, 65, 74, 78, 79, 197<br />
f<br />
faktor K 178<br />
Faraday 1<br />
fluksi bocor 31<br />
Fourier 91<br />
frekuensi sinkron 75<br />
g<br />
gaya 14<br />
generator terhubung ∆ 191<br />
generator terhubung Y 189<br />
h<br />
harmonisa-3, -5, -7 185<br />
histerisis 12<br />
hubungan ∆-∆ 44<br />
hubungan ∆-Y 45<br />
hubungan Y-∆ 46<br />
hubungan Y-Y 45<br />
i<br />
impedansi 38, 134, 137<br />
induktor 19, 168<br />
IDEKS<br />
k<br />
kapasitor 164<br />
kompensasi 150<br />
konduktor 161<br />
l<br />
loss factor 165, 166<br />
m<br />
magnetik 1, 5, 14<br />
medan putar 70<br />
mesin sinkron 50, 52, 59<br />
motor asinkron 69<br />
n<br />
nilai efektif 97, 135<br />
nilai rata-rata 96<br />
non linier 111<br />
nonsinus 88, 91, 129, 166<br />
p<br />
parameter 39, 79<br />
partial discharge 182<br />
permeabilitas 3<br />
r<br />
reaktansi 33, 61, 64<br />
regulasi tegangan 42<br />
resonansi 106<br />
s<br />
setengah gelombang 113<br />
sistem 3-kawat 194<br />
sistem 4-kawat 192<br />
t<br />
tegangan maksimum 180<br />
Tellegen 138<br />
THD 124<br />
torka 84, 85<br />
transformator 29, 32, 39, 43,<br />
173, 196<br />
u<br />
uji beban nol 39, 60, 80<br />
uji hubung singkat 40, 60<br />
uji rotor diam 80<br />
201
Biodata<br />
Nama: Sudaryatno Sudirham<br />
Lahir di Blora pada 26 Juli 1943<br />
Istri: Ning Utari<br />
Anak: Arga Aridarma<br />
Aria Ajidarma.<br />
1971 : Teknik Elektro – Institut Teknologi Bandung.<br />
1972 – 2008 : Dosen Institut Teknologi Bandung.<br />
1974 : Tertiary Education Research Center – UNSW − Australia<br />
1979 : EDF – Paris Nord dan Fontainbleu − Perancis<br />
1981 : INPT - Toulouse − Perancis; DEA 1982; Doktor 1985.<br />
Kuliah yang pernah diberikan: “Pengukuran Listrik”, “Pengantar Teknik<br />
Elektro”, “Pengantar <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, “Material Elektroteknik”,<br />
“Phenomena Gas Terionisasi”, “Dinamika Plasma”, “Dielektrika”,<br />
“Material Biomedika”.<br />
Buku dan Artikel: “<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, Penerbit ITB, ISBN<br />
979-9299-54-3, 2002, 2005; “Metoda Rasio TM/TR Untuk Estimasi Susut<br />
Energi Jaringan Distribusi”, Penerbit ITB, ISBN 978-979-1344-38-8,<br />
2009; “Fungsi dan Grafik, Diferensial Dan Integral”, Penerbit ITB,<br />
ISBN 978-979-1344-37-1, 2009; “<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (1)”, 2010;<br />
“<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (2)”, 2010; “<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)”,<br />
2010; ”Mengenal Sifat Material (1)”, 2010; ”Estimasi Susut Teknik dan<br />
onteknik Jaringan Distribusi”, 2011.<br />
Bidang minat: Power Engineering; Material Science.<br />
202 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)