08.02.2014 Views

Analisis Rangkaian Elektrik

Analisis Rangkaian Elektrik

Analisis Rangkaian Elektrik

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Sudaryatno Sudirham<br />

<strong>Analisis</strong><br />

<strong>Rangkaian</strong> Listrik<br />

Jilid 3<br />

darpublic


<strong>Analisis</strong><br />

<strong>Rangkaian</strong> Listrik<br />

Jilid 3<br />

(<strong>Rangkaian</strong> Magnetik, Transformator, Mesin<br />

Sinkron, Mesin Asinkron, <strong>Analisis</strong> Harmonisa)<br />

oleh<br />

Sudaryatno Sudirham


Hak cipta pada penulis, 2010<br />

SUDIRHAM, SUDARYATNO<br />

<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)<br />

Bandung<br />

are-0710<br />

e-mail: darpublic@yahoo.com<br />

Alamat pos: Kanayakan D-30, Komp ITB, Bandung, 40135.


Pengantar<br />

Buku ini adalah jilid ke-tiga dari satu seri pembahasan analisis<br />

rangkaian listrik. Penataan ulang serta penambahan materi bahasan<br />

penulis lakukan terhadap buku yang diterbitkan tahun 2002. Dalam<br />

buku ini pembaca diperkenalkan pada teknik konversi energi, serta<br />

persoalan harmonisa dalam sistem tenaga.<br />

Dalam bab pertama diperkenalkan rangkaian magnetik yang<br />

merupakan landasan dikembangkannya mesin-mesin konversi<br />

energi. Tiga bab berikutnya membahas transformator, mesin sinkron,<br />

dan mesin asinkron. Lima bab berikutnya berisi analisis harmonisa,<br />

diawali dengan pembahasan sinyal non sinus di kawasan waktu,<br />

dilanjutkan dengan tinjauan di kawasan fasor, pembebanan non<br />

linier, dampak harmonisa pada piranti, dan diakhiri dengan<br />

pembahasan harmonisa pada sistem tiga fasa.<br />

Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan<br />

usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya,<br />

sangat penulis harapkan.<br />

Bandung, 26 Juli 2010<br />

Wassalam,<br />

Penulis.<br />

iii


A. Schopenhauer, 1788 – 1860<br />

Dari Mini-Encyclopédie<br />

France Loisirs<br />

ISBN 2-7242-1551-6<br />

iv


Kata Pengantar<br />

Daftar Isi<br />

Daftar Isi<br />

Bab 1: <strong>Rangkaian</strong> Magnetik 1<br />

Hukum-Hukum. Perhitungan Pada <strong>Rangkaian</strong> Magnetik.<br />

Rugi-Rugi Dalam <strong>Rangkaian</strong> Magnetik. Gaya Magnetik.<br />

Induktor<br />

Bab 2: Tansformator 29<br />

Transformator Satu Fasa. Teori Operasi Transformator.<br />

Diagram Fasor. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Impedansi Masukan.<br />

Penentuan Parameter Transformator. Efisiensi dan Regulasi<br />

Tegangan. Konstruksi Transformator. Transformator Pada<br />

Sistem Tiga Fasa<br />

Bab 3: Mesin Sinkron 53<br />

Mesin Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor Silindris<br />

Bab 4: Motor Asinkron 69<br />

Konstruksi Dan Cara Kerja. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Penentuan<br />

Parameter <strong>Rangkaian</strong>. Torka.<br />

Bab 5: Sinyal on Sinus 89<br />

Pendekatan Numerik Sinyal Nonsinus. Elemen Linier<br />

Dengan Sinyal Nonsinus. Nilai Rata-Rata Dan Nilai Efektif<br />

Sinyal Nonsinus. Daya Pada Sinyal Nonsinus. Resonansi.<br />

Bab 6: Pembebanan on Linier 111<br />

Tinjauan Di Sisi Beban. Tinjauan Di Sisi Sumber. Contoh<br />

Kasus: Penyearah Setengah Gelombang. Perambatan<br />

Harmonisa. Ukuran Distorsi Harmonisa.<br />

Bab 7: Tinjauan Di Kawasan Fasor 129<br />

Pernyataan Sinyal Nonsinus Dalam Fasor. Impedansi. Nilai<br />

Efektif. Sumber Tegangan Sinusiodal Dengan Beban<br />

Nonlinier. Teorema Tellegen. Transfer Daya. Kompensasi<br />

Daya Reaktif.<br />

iii<br />

v<br />

v


Bab 8: Dampak Harmonisa Pada Piranti 161<br />

Konduktor. Kapasitor. Induktor. Transformator. Tegangan<br />

Maksimum Pada Piranti. Partial Discharge. Alat Ukur<br />

Elektromekanik. Resume.<br />

Bab 9: Harmonisa Pada Sistem Tiga Fasa 189<br />

Komponen Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa. Relasi<br />

Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-Netral. Hubungan Sumber<br />

Dan Beban. Sumber Bekerja Paralel. Penyaluran Energi ke<br />

Beban. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Untuk <strong>Analisis</strong>.<br />

Daftar Referensi 199<br />

Indeks 201<br />

Biodata 202<br />

vi


BAB 1<br />

<strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />

<strong>Rangkaian</strong> magnetik merupakan basis dari sebagian terbesar peralatan<br />

listrik di industri maupun rumah tangga. Motor dan generator dari yang<br />

bekemampuan kecil sampai sangat besar, berbasis pada medan magnetik<br />

yang memungkinkan terjadinya konversi energi listrik. Di bab ini kita<br />

akan melihat hukum-hukum dasar, perhitungan dalam rangkaian<br />

magnetik, rugi-rugi dan gaya magnetik, induktor dan induktansi bersama.<br />

Seperti halnya analisis rangkaian listrik yang dilandasi oleh beberapa<br />

hukum saja, yaitu hukum Ohm dan Hukum Kirchhoff, analisis rangkaian<br />

magnetik juga dilandasi oleh hanya beberapa hukum saja, yaitu hukum<br />

Faraday dan hukum Ampère. Pembahasan kita akan diawali oleh kedua<br />

hukum tersebut dan setelah itu kita akan melihat rangkaian magnetik,<br />

yang sudah barang tentu melibatkan material magnetik. Walaupun<br />

demikian, di bab ini kita tidak akan membahas mengenai material<br />

magnetik itu sendiri, melainkan hanya akan melihat pada hal-hal yang<br />

kita perlukan dalam kaitannya dengan analisis rangkaian magnetik. Kita<br />

juga hanya akan melibatkan beberapa jenis material saja yang telah sejak<br />

lama digunakan walaupun material jenis baru telah dikembangkan.<br />

Setelah mempelajari bab ini kita akan:<br />

• memahami hukum-hukum yang mendasari analisis rangkaian<br />

magnetik;<br />

• mampu melakukan perhitungan pada rangkaian magnetik;<br />

• memahami dan mampu menghitung rugi-rugi dalam rangkaian<br />

magnetik;<br />

• memahami dan mampu melakukan perhitungan-perhitungan<br />

pada induktor.<br />

1.1. Hukum-Hukum<br />

Hukum Faraday. Pada 1831 Faraday (1791-1867) menunjukkan bahwa<br />

gejala listrik dapat dibangkitkan dari magnet. Dari kumpulan catatan<br />

hasil percobaan yang dilakukan oleh Faraday, suatu formulasi matematis<br />

telah diturunkan untuk menyatakan hukum Faraday, yaitu :<br />

1


dλ<br />

e = −<br />

(1.1)<br />

dt<br />

dengan e menunjukkan tegangan induksi [volt] pada suatu kumparan,<br />

dan λ adalah fluksi lingkup yang dicakup oleh kumparan. Jika kumparan<br />

mempunyai lilitan dan setiap lilitan mencakup fluksi magnit sebesar φ<br />

[weber], maka fluksi lingkup adalah λ = φ [weber-lilitan] dan (1.1)<br />

menjadi<br />

dφ<br />

e = −<br />

(1.2)<br />

dt<br />

Tanda negatif pada (1.1) diberikan oleh Emil Lenz, yang setelah<br />

melanjutkan percobaan Faraday menunjukkan bahwa arah arus induksi<br />

selalu sedemikian rupa sehingga terjadi perlawanan terhadap aksi yang<br />

menimbulkannya. Reaksi demikian ini disebut hukum Lenz.<br />

Hukum Ampère. André Marie Ampère (1775 – 1836), melakukan<br />

percobaan yang terkenal dalam kaitan kemagnitan, yaitu mengenai<br />

timbulnya gaya mekanis antara dua kawat paralel yang dialiri arus listrik.<br />

Besar gaya F dinyatakan secara matematis sebagai<br />

µ l<br />

F = I 1 I 2<br />

(1.3)<br />

2π<br />

r<br />

dengan I 1 dan I 2 adalah arus di masing-masing konduktor, l adalah<br />

panjang konduktor, dan r menunjukkan jarak antara sumbu kedua<br />

konduktor dan besaran µ merupakan besaran yang ditentukan oleh<br />

medium dimana kedua kawat tersebut berada.<br />

Arus I 2 dapat dipandang sebagai pembangkit suatu besaran medan magnit<br />

di sekeliling kawat yang dialirinya, yang besarnya adalah<br />

µ I 2<br />

B = (1.4)<br />

2 π r<br />

Hasil ini juga diamati oleh dua peneliti Perancis yaitu J.B. Biot dan F.<br />

Savart. Dengan (1.4), maka (1.3) menjadi lebih sederhana yaitu<br />

F = BlI 1<br />

(1.5)<br />

Persamaan (1.5) ini berlaku jika kedua kawat adalah sebidang. Jika kawat<br />

ke-dua membentuk sudut θ dengan kawat pertama maka (1.5) menjadi<br />

2 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Secara umum (1.6) dapat ditulis<br />

F = BlI 1 sin θ<br />

(1.6)<br />

F = K B B I f (θ)<br />

(1.7)<br />

dengan f(θ) adalah suatu fungsi sudut antara medan B dan arus I , dan K B<br />

adalah suatu konstanta untuk memperhitungkan berbagai faktor, seperti<br />

misalnya panjang kawat. Besaran B mempunyai satuan [weber/meter 2 ];<br />

hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.<br />

Menurut (1.5), satuan B adalah :<br />

[ newton]<br />

[ B]<br />

=<br />

[ amp]<br />

× [ meter]<br />

sedangkan<br />

sehingga<br />

energi [ watt].[detik]<br />

[ volt][<br />

amp][detik]<br />

[ newton ] = =<br />

=<br />

panjang [ meter]<br />

[ meter]<br />

[ volt][amp][detik]<br />

[ volt][detik]<br />

[ weber]<br />

[ B ] = =<br />

= .<br />

2<br />

2<br />

2<br />

[ amp][<br />

meter ] [ meter ] [ meter ]<br />

Jadi B menunjukkan kerapatan fluksi magnetik dengan satuan [weber/m 2 ]<br />

atau [tesla]. Arah B ditentukan sesuai dengan kaidah tangan kanan yang<br />

menyatakan bahwa : jika kawat yang dialiri arus digenggam dengan<br />

tangan kanan dengan ibujari mengarah sejajar aliran arus maka arah B<br />

adalah sesuai dengan arah penunjukan jari-jari yang menggenggam<br />

kawat tersebut.<br />

Permeabilitas. Dalam persamaan (1.3), µ mewakili sifat medium<br />

tempat kedua konduktor berada; besaran ini disebut permeabilitas. Untuk<br />

ruang hampa, permeabilitas ini adalah<br />

dengan satuan<br />

[<br />

]<br />

[ meter]<br />

−7<br />

µ 0 = 4π × 10<br />

(1.8)<br />

henry . Hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.<br />

]<br />

[ newton]<br />

[ volt][<br />

amp][detik]<br />

[ volt][detik]<br />

[ henry]<br />

[ µ 0]<br />

= =<br />

=<br />

=<br />

2<br />

2<br />

[ amp ] [ amp ][ meter]<br />

[ amp][<br />

meter]<br />

[ meter<br />

[ volt][detik]<br />

karena = [ henry]<br />

yaitu satuan induktansi.<br />

[ amp]<br />

3


Dalam hal mediumnya bukan vakum maka permeabilitasnya dinyatakan<br />

sebagai<br />

µ = µ r × µ 0<br />

(1.9)<br />

dengan µ r adalah permeabilitas relatif, yang merupakan perbandingan<br />

antara permeabilitas medium terhadap vakum.<br />

Intensitas Medan Magnet. Dalam perhitungan-perhitungan rangkaian<br />

magnetik, akan lebih mudah jika kita bekerja dengan besaran magnetik<br />

yang tidak tergantung dari medium. Hal ini terutama kita temui pada<br />

mesin-mesin listrik dimana fluksi magnetik menembus berbagai macam<br />

medium. Oleh karena itu didefinisikan besaran yang disebut intensitas<br />

medan magnetik , yaitu<br />

H ≡ B<br />

(1.10)<br />

µ<br />

dengan satuan<br />

[ newton]/[<br />

amp][<br />

meter]<br />

[ amp]<br />

[ H ] = = .<br />

2<br />

[ newton]/[<br />

amp ] [ meter]<br />

Dengan pendefinisian ini, H merupakan besaran yang tidak tergantung<br />

dari medium. Secara umum satuan H adalah [lilitan amper]/[meter] dan<br />

bukan [amp]/[meter] agar tercakup pembangkitan medan magnit oleh<br />

belitan yang terdiri dari banyak lilitan.<br />

Hukum <strong>Rangkaian</strong> Magnetik Ampère . Hukum rangkaian magnetik<br />

Ampère menyatakan bahwa integral garis tertutup dari intensitas medan<br />

magnit sama dengan jumlah arus (ampere turns) yang<br />

membangkitkannya. Hukum ini dapat dituliskan sebagai<br />

∫<br />

Hdl = F m<br />

(1.11)<br />

F m dipandang sebagai besaran pembangkit medan magnit dan disebut<br />

magnetomotive force yang disingkat mmf. Besaran ini sama dengan<br />

jumlah ampere-turn yang dilingkupi oleh garis fluksi magnit yang<br />

tertutup.<br />

Dari relasi di atas, diturunkan relasi-relasi yang sangat bermanfaat untuk<br />

perhitungan rangkaian magnetik. Jika panjang total dari garis fluksi<br />

magnit adalah L, maka total F m yang diperlukan untuk membangkitkan<br />

fluksi tersebut adalah<br />

4 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


B<br />

F m = H L = L<br />

(1.12)<br />

µ<br />

Apabila kerapatan fluksi adalah B dan fluksi menembus bidang yang<br />

luasnya A , maka fluksi magnetnya adalah<br />

φ = BA<br />

(1.13)<br />

dan jika (1.13) dimasukkan ke (1.12) akan diperoleh<br />

⎛ L ⎞<br />

F m = H L = φ⎜<br />

⎟<br />

(1.14)<br />

⎝ µ A ⎠<br />

Apa yang berada dalam tanda kurung pada (1.14) ini sangat menarik,<br />

karena sangat mirip dengan formula resistansi dalam rangkaian listrik.<br />

Persamaan (1.14) ini dapat kita tuliskan<br />

⎛ µ A ⎞ Fm<br />

φ = ⎜ ⎟ Fm<br />

=<br />

⎝ L ⎠ R<br />

(1.15)<br />

Pada (1.15) ini, F m merupakan besaran yang menyebabkan timbulnya<br />

fluksi magnit φ. Besar fluksi ini dibatasi oleh suatu besaran R yang kita<br />

sebut reluktansi dari rangkaian magnetik, dengan hubungan<br />

R =<br />

L (1.16)<br />

µA<br />

Persamaan (1.15) sering disebut sebagai hukum Ohm untuk rangkaian<br />

magnetik. Namun kita tetap harus ingat bahwa penurunan relasi ini<br />

dilakukan dengan pembatasan bahwa B adalah kostan dan A tertentu.<br />

Satuan dari reluktansi tidak diberi nama khusus.<br />

1.2. Perhitungan Pada <strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />

Perhitungan-perhitungan pada rangkaian magnetik pada umumnya<br />

melibatkan material ferromagnetik. Perhitungan ditujukan pada dua<br />

kelompok permasalahan, yaitu mencari mmf jika fluksi ditentukan<br />

(permasalahan ini kita jumpai pada perancangan) mencari fluksi φ apabila<br />

geometri dari rangkaian magnetik serta mmf diketahui (permasalahan ini<br />

kita jumpai dalam analisis, misalnya jika kita harus mengetahui fluksi<br />

gabungan dari suatu rangkaian magnetik yang dikendalikan oleh lebih<br />

dari satu belitan). Berikut ini kita akan melihat perhitungan-perhitungan<br />

rangkaian magnetik melalui beberapa contoh.<br />

5


COTOH 1.1 : Suatu toroid terdiri dari dua macam material<br />

ferromagnetik dengan belitan pembangkit medan magnetik yang<br />

terdiri dari 100 lilitan, seperti terlihat pada gambar di samping ini.<br />

Material a adalah besi nikel<br />

(nickel iron) dengan panjang<br />

+<br />

−<br />

E<br />

R<br />

L a<br />

rata-rata L a = 0,4 m. Material b<br />

adalah baja silikon (medium<br />

silicon sheet steel) dengan<br />

panjang rata-rata L b = 0,2 m.<br />

Kedua bagian itu mempunyai<br />

luas penampang sama, yaitu 0,001 m 2 . a). Tentukan F m yang<br />

diperlukan untuk membangkitkan fluksi φ = 6×10 −4 weber. b).<br />

Hitung arus yang harus mengalir pada belitan agar nilai fluksi<br />

tersebut tercapai.<br />

Penyelesaian :<br />

Untuk memperoleh F m total yang diperlukan, kita aplikasikan hukum<br />

rangkaian Ampère pada rangkaian magnetik ini.<br />

Fm<br />

total = Fma<br />

+ Fmb<br />

= H aL a + H bLb<br />

Fluksi yang diinginkan di kedua bagian toroid adalah 6×10 −4 weber,<br />

sedangkan kedua bagian itu mempunyai luas penampang sama. Jadi<br />

kerapatan fluksi di kedua bagian itu juga sama yaitu<br />

φ 0,0006<br />

Ba<br />

= Bb<br />

= = = 0,6 tesla<br />

A 0,001<br />

Untuk mencapai kerapatan fluksi tersebut, masing-masing material<br />

memerlukan intensitas medan yang berbeda. Intensitas medan yang<br />

diperlukan dapat dicari melalui kurva B-H dari masing-masing<br />

material, yang dapat dilihat di buku acuan. Salah satu kurva B-H<br />

yang dapat kita peroleh adalah seperti dikutip pada Gb.1.1.<br />

Dengan menggunakan kurva B-H ini, kita peroleh<br />

Material a : untuk Ba<br />

= 0.6 tesla<br />

Material b : untuk Bb<br />

= 0.6 tesla<br />

Dengan demikian F m total yang diperlukan adalah<br />

L b<br />

diperlukan H a = 10 AT/m<br />

diperlukan Hb<br />

= 65 AT/m<br />

F m total = H aL a + H bLb<br />

= 10 × 0.4 + 65 × 0.2 = 17 AT<br />

6 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


). Karena jumlah lilitan adalah 100, maka besar arus yang harus<br />

mengalir di belitan untuk memperoleh F m total sebesar 17 AT adalah<br />

17 I = = 0,17<br />

100<br />

A<br />

1.75<br />

1.5<br />

1.25<br />

ickel-iron alloy , 47%<br />

B [tesla]<br />

1<br />

0.75<br />

0.5<br />

Medium silicon sheet<br />

steel<br />

Soft steel casting<br />

0.25<br />

0<br />

Cast iron<br />

0 50 100 150 200 250 300 350 400<br />

H [ampre-turn / meter]<br />

Gb.1.1. Kurva B − H beberapa material.<br />

Pemahaman :<br />

Dalam pemecahan persoalan di atas, karakteristik medium tidak<br />

dinyatakan oleh permeabilitas medium, melainkan oleh karakteristik<br />

B-H dari masing-masing material. Kita lihat dari kutipan kurva B-H<br />

pada Gb.1.1, bahwa hubungan antara B dan H adalah tidak linier.<br />

Apabila kita menginginkan gambaran mengenai besar permeabilitas<br />

masing-masing material, kita dapat menghitungnya dengan cara<br />

yang diuraikan berikut ini.<br />

Permeabilitas dari material a dan b masing-masing pada titik operasi<br />

ini adalah<br />

7


Ba<br />

µ a =<br />

H a<br />

Bb<br />

µ b =<br />

H b<br />

0,6<br />

= = 0,06 henry/meter<br />

10<br />

µ a 0.06<br />

→ µ r a = = = 47740<br />

µ<br />

−7<br />

0 4π×<br />

10<br />

0,6<br />

= = 0,0092 henry/meter<br />

65<br />

µ b 0,0092<br />

→ µ r b = =<br />

µ<br />

−7<br />

0 4π×<br />

10<br />

= 7340<br />

Reluktansi rangkaian magnetik pada bagian toroid dengan material a<br />

dan b masing-masing dapat juga kita hitung, yaitu<br />

Fm<br />

a<br />

Ra<br />

=<br />

φ<br />

Fm b<br />

Rb<br />

=<br />

φ<br />

4<br />

= ≈ 6670<br />

0,6×<br />

0,001<br />

13<br />

= ≈ 21670<br />

0,6×<br />

0,001<br />

Jadi walaupun bagian b dari toroid lebih pendek dari bagian a,<br />

reluktansinya jauh lebih besar. Kedua bagian rangkaian magnetik<br />

yang terhubung seri ini mempunyai reluktansi total sebesar<br />

Rtot = Ra<br />

+ Rb<br />

≈ 6670 + 21670 = 28340 .<br />

Untuk meyakinkan, kita hitung balik fluksi magnet.<br />

F<br />

φ = m total<br />

Rtot<br />

17 −<br />

= = 6 × 10<br />

4<br />

28340<br />

weber<br />

Ternyata hasilnya sesuai dengan apa yang diminta dalam persoalan<br />

ini. Hasil ini menunjukkan bahwa reluktansi magnetik yang<br />

dihubungkan seri berperilaku seperti resistansi yang terhubung seri<br />

pada rangkaian listrik; reluktansi total sama dengan jumlah<br />

reluktansi yang diserikan.<br />

COTOH 1.2 : Pada rangkaian magnetik dalam contoh 1.1. di atas,<br />

berapakah fluksi magnetik yang akan dibangkitkan bila arus pada<br />

belitan dinaikkan menjadi 0,35 A ?<br />

Penyelesaian :<br />

8 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Dengan arus 0,35 A, F m total menjadi<br />

F m total = 100 × 0,35 = 35 AT .<br />

Untuk menghitung besar fluksi yang terbangkit, kita perlu<br />

mengetahui reluktansi total. Untuk itu perlu dihitung reluktansi dari<br />

masing-masing bagian toroid. Hal ini tidak dapat dilakukan karena<br />

untuk menghitung reluktansi tiap bagian perlu diketahui F m dan B<br />

untuk masing-masing bagian, sedangkan untuk menghitungnya perlu<br />

diketahui besar fluksi φ yang justru ditanyakan.<br />

Dari apa yang diketahui, yaitu F m total<br />

dapatkan hubungan<br />

dan ukuran toroid, kita<br />

Fm<br />

total = H aL<br />

a + H bLb<br />

= 0,4H<br />

a + 0,2H<br />

b = 35<br />

35 − 0,2H<br />

b<br />

⇒ H a =<br />

0,4<br />

Karena luas penampang di kedua bagian toroid sama, yaitu 0,001<br />

m 2 , maka kerapatan fluksi B juga sama. Dengan batasan ini, kita<br />

mencoba menyelesaikan persoalan dengan cara mengamati kurva B-<br />

H. Kita perkirakan suatu nilai H b dan menghitung H a , kemudian kita<br />

mengamati lagi kurva B-H apakah untuk nilai H a dan H b ini terdapat<br />

B a = B b . Jika tidak, kita koreksi nilai H b dan dihitung lagi H a dan<br />

dilihat lagi apakah B a = B b . Jika tidak, kita lakukan koreksi lagi, dan<br />

seterusnya sampai akhirnya diperoleh B a ≈ B b .<br />

Kita mulai dengan H b = 100 AT yang memberikan H a = 37,5. Kedua<br />

nilai ini terkait dengan B b = 0,75 dan B a = 0,9 tesla. Ter-nyata B a ≠<br />

B b . Kita perbesar H b agar H a mengecil dan akan menyebabkan B b<br />

bertambah dan B a berkurang. Pada nilai H b = 110 AT, maka H a =<br />

32,5 dan terdapat B b = 0,8 dan B a = 0,85 tesla. Kita lakukan koreksi<br />

lagi dan akan kita dapatkan B a ≈ B b ≈ 0,825 pada nilai H b = 125 dan<br />

H a = 25 AT. Dengan nilai ini maka besar fluksi adalah<br />

φ =<br />

−4<br />

B × A = 0,825×<br />

0,001=<br />

8,25 × 10<br />

weber.<br />

Perhitungan secara grafis ini tentu mengandung ketidak-telitian. Jika<br />

kesalahan yang terjadi adalah ± 5%, maka hasil perhitungan ini<br />

dapat dianggap memadai.<br />

Pemahaman :<br />

9


Jika kita bandingkan hasil pada contoh 1.1. dan 1.2. maka akan<br />

terlihat hal berikut.<br />

contoh 1.1. :<br />

I = 0,17 A → B = 0,6<br />

contoh 1.2. :<br />

tesla<br />

I = 0,35 A → B = 0,825 tesla<br />

−4<br />

→ φ = 6 × 10<br />

−4<br />

→ φ = 8,25×<br />

10<br />

weber<br />

weber<br />

Dapat kita simpulkan bahwa menaikkan arus belitan menjadi dua<br />

kali lipat tidak menghasilkan fluksi dua kali lipat. Hal ini disebabkan<br />

oleh karakteristik magnetisasi material yang tidak linier.<br />

COTOH 1.3 : Pada rangkaian magnetik di bawah ini, tentukanlah mmf<br />

yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar 0,0014 weber<br />

di “kaki” sebelah kanan. <strong>Rangkaian</strong> magnetik ini mempunyai luas<br />

penampang sama yaitu 0,002 m 2 , kecuali “kaki” tengah yang luasnya<br />

0,0008 m 2 . Material yang digunakan adalah medium silicon steel.<br />

a b c<br />

f<br />

e<br />

d<br />

0.15 m<br />

0.15 m 0.15 m<br />

R 1<br />

Penyelesaian :<br />

<strong>Rangkaian</strong> magnetik ini mempunyai tiga cabang, yaitu<br />

cabang efab dengan reluktansi R 1 ; be dengan reluktansi R 2 dan<br />

bcde dengan reluktansi R 3 .<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen dari rangkaian<br />

magnetik ini dapat digambarkan<br />

seperti di samping ini. Fluksi yang<br />

diminta di kaki kanan adalah φ 3 =<br />

0.0014 weber. Karena dimensi kaki<br />

F m<br />

R 2 R 3<br />

ini diketahui maka kerapatan fluksi dapat dihitung, yaitu<br />

0,0014<br />

B 3 = = 0,7 tesla .<br />

0,002<br />

10 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Berdasarkan kurva B-H dari material yang dipakai, kerapatan fluksi<br />

ini memerlukan H 3 sebesar 80 AT/m. Jadi mmf yang diperlukan<br />

adalah<br />

F m3 = H 3 × Lbcde<br />

= 80 × (3×<br />

0,15) = 36 AT<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen memperlihatkan bahwa R 2 terhubung paralel<br />

dengan R 3 . Hal ini berarti bahwa F m3 juga harus muncul pada R 2 ,<br />

yaitu reluktansi kaki tengah, dengan kata lain F m2 = F m3 . Dengan<br />

demikian kita dapat menghitung H 2 .<br />

F 2 Fm3<br />

36<br />

H 2 = m<br />

= = = 240 AT/m<br />

Lbe<br />

Lbe<br />

0,15<br />

Melihat lagi kurva B-H, kita dapatkan untuk H 2 ini<br />

Luas penampang kaki tengah adalah 0,0008 m 2 . Maka<br />

φ2 = B 2 × 0,0008 = 1,125×<br />

0,0008 = 0,0009 weber<br />

Fluksi total yang harus dibangkitkan di kaki kiri adalah<br />

φ 1 = φ2<br />

+ φ3<br />

= 0,0014 + 0,0009 = 0,0023 weber<br />

B 2 =1,125 tesla .<br />

Luas penampang kaki kiri adalah 0,002 m 2 , sama dengan kaki kanan.<br />

Kerapatan fluksinya adalah<br />

φ1<br />

0,0023<br />

B 1 = = = 1,15 tesla<br />

0,002 0,002<br />

Dari kurva B-H, untuk B 1 ini diperlukan<br />

sehingga<br />

F m1 = H1<br />

× Lefab<br />

= 240 × (3 × 0,15) = 108 AT<br />

H 1 = 240 AT/m ,<br />

Jadi total mmf yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar<br />

0,0014 weber di kaki kanan adalah<br />

F<br />

mtot = Fm<br />

m<br />

1<br />

+ Fm2<br />

+ F 3 = 108 + 36 + 36 = 180 AT<br />

11


COTOH 1.4 : Berapakah mmf yang diperlukan pada contoh 1.3. jika<br />

kaki tengah ditiadakan?<br />

Penyelesaian :<br />

Dengan meniadakan kaki tengah maka fluksi di seluruh rangkaian<br />

magnetik sama dengan fluksi di kaki kanan, yaitu φ = φ 3 = 0,0014<br />

weber. Kerapatan fluksi di seluruh rangkaian magnetik juga sama<br />

karena luas penampangnya sama, yaitu<br />

B = B<br />

0,0014<br />

0,002<br />

3 = =<br />

0,7<br />

tesla<br />

Dari kurva B-H diperoleh H = 80 AT/m, sehingga mmf yang<br />

diperlukan adalah<br />

F<br />

m = abcdefa<br />

H × L = 80×<br />

(6×<br />

0,15) = 72 AT<br />

Pemahaman :<br />

Dengan menghilangkan kaki tengah, mmf yang diperlukan menjadi<br />

lebih kecil. Bagaimanakah jika kaki tengah diperbesar luas<br />

penampangnya ?<br />

Memperbesar penampang kaki tengah tidak mempengaruhi<br />

kerapatan fluksi di kaki ini sebab F m3 tetap harus muncul di kaki<br />

tengah. H 2 tak berubah, yaitu H 2 = F m3 /L be = 240 AT/m dan B 2 juga<br />

tetap 1,125 tesla. Jika penampang kaki tengah diperbesar, φ 2 akan<br />

bertambah sehingga φ 1 juga bertambah. Hal ini menyebabkan<br />

meningkatnya B 1 yang berarti meningkatnya H 1 sehingga F m1 akan<br />

bertambah pula. Dengan demikian F m total akan lebih besar.<br />

Penjelasan ini menunjukkan seolah-olah kaki tengah bertindak<br />

sebagai “pembocor” fluksi. Makin besar kebocoran, makin besar<br />

mmf yang diperlukan.<br />

1.3. Rugi-Rugi Dalam <strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />

Rugi Histerisis. Dalam rekayasa, material ferromagnetik sering dibebani<br />

dengan medan magnit yang berubah secara periodik dengan batas positif<br />

dan negatif yang sama. Pada pembebanan seperti ini terdapat<br />

kecenderungan bahwa kerapatan fluksi, B, ketinggalan dari medan<br />

magnetnya, H. Kecenderungan ini kita sebut histerisis dan kurva B-H<br />

membentuk loop tertutup seperti terlihat pada Gb.1.2. dan kita sebut loop<br />

12 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


histerisis. Hal ini telah kita pelajari dalam fisika. Di sini kita akan<br />

membahas akibat dari<br />

karakteristik material seperti<br />

B [tesla]<br />

ini dalam rekayasa.<br />

d b<br />

Loop histerisis ini<br />

c<br />

menunjukkan bahwa untuk<br />

satu nilai H tertentu terdapat<br />

dua kemungkinan nilai B.<br />

Dalam memecahkan<br />

0<br />

H [AT/m]<br />

persoalan rangkaian magnetik<br />

a<br />

pada contoh-contoh di subbab<br />

1.2. kita menggunakan e<br />

kurva B-H yang kita sebut<br />

kurva B-H normal atau kurva<br />

Gb.1.2. Loop histerisis.<br />

magnetisasi normal, dimana<br />

satu nilai H terkait dengan hanya satu nilai B, yaitu kurva B-H pada<br />

Gb.1.1. Itulah sebabnya kesalahan perhitungan sebesar ± 5 % masih<br />

dapat kita terima jika kita menggunakan kurva B-H normal karena<br />

sesungguhnya B tidak mempunyai nilai tunggal, melainkan tergantung<br />

dari riwayat magnetisasi material.<br />

Perhatikan integrasi :<br />

∫<br />

B<br />

B<br />

a<br />

b<br />

c<br />

HdB = luas bidang abda ;<br />

∫<br />

HdB = luas bidang bdcb<br />

dan satuan dari HB :<br />

ampere newton newton newto ⋅ meter joule<br />

[ HB ] = ×<br />

= =<br />

=<br />

meter ampre.<br />

meter 2<br />

3<br />

meter meter meter<br />

Jelaslah bahwa HB mempunyai satuan kerapatan energi. Jadi luas bidang<br />

abda pada Gb.1.2. menyatakan kerapatan energi, yaitu energi magnetik.<br />

Karena luas abda diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu H dan B naik,<br />

atau dengan kata lain medan magnetik bertambah, maka ia<br />

menggambarkan kerapatan energi yang disimpan ke material. Luas<br />

bidang bdcb yang diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu medan<br />

magnit berkurang, menggambarkan kerapatan energi yang dilepaskan.<br />

Dari gambar loop histerisis jelas terlihat bahwa luas bdcb < luas abda. Ini<br />

berarti bahwa kerapatan energi yang dilepaskan lebih kecil dari kerapatan<br />

energi yang disimpan. Sisa energi yang tidak dapat dilepaskan<br />

B<br />

B<br />

b<br />

3<br />

13


digambarkan oleh luas bidang abca, dan ini merupakan energi yang<br />

diserap oleh material dan tidak keluar lagi (tidak termanfaatkan)<br />

sehingga disebut rugi energi histerisis.<br />

<strong>Analisis</strong> di atas hanya memperhatikan setengah siklus saja. Untuk satu<br />

siklus penuh, kerapatan rugi energi histerisis adalah luas bidang dari<br />

loop histerisis. Jika kerapatan rugi energi histerisis per siklus (= luas loop<br />

histerisis) kita sebut w h , dan jumlah siklus per detik (frekuensi) adalah f<br />

, maka untuk material dengan volume v m 3 besar rugi energi histerisis<br />

per detik atau rugi daya histerisis adalah<br />

P<br />

⎡ joule⎤<br />

= wh<br />

f v ⎢ wh<br />

f v [watt]<br />

det ik<br />

⎥<br />

(1.17)<br />

⎣ ⎦<br />

h =<br />

Untuk menghindari perhitungan luas loop histerisis, Steinmetz<br />

memberikan formula empiris untuk rugi daya histerisis sebagai<br />

n<br />

m<br />

P = v f ( K B )<br />

(1.18)<br />

h<br />

h<br />

dengan B m adalah nilai maksimum kerapatan fluksi, n mempunyai nilai<br />

antara 1,5 sampai 2,5 tergantung dari jenis material. K h adalah konstanta<br />

yang juga tergantung dari jenis material; untuk cast steel 0,025; silicon<br />

sheet steel 0,001; permalloy 0,0001.<br />

Rugi Arus Pusar. Jika medan magnetik berubah terhadap waktu, selain<br />

rugi daya histerisis terdapat pula rugi daya yang disebut rugi arus pusar.<br />

Arus pusar timbul sebagai reaksi terhadap perubahan medan magnet. Jika<br />

material berbentuk balok pejal, resistansi material menjadi kecil dan rugi<br />

arus pusar menjadi besar. Untuk memperbesar resistansi agar arus pusar<br />

kecil, rangkaian magnetik disusun dari lembar-lembar material magnetik<br />

yang tipis (antara 0,3 ÷ 0,6 mm). Formula empiris untuk rugi arus pusar<br />

adalah<br />

2 2<br />

e = e m<br />

2<br />

P K f B τ v watt<br />

(1.19)<br />

dengan K e = konstanta yang tergantung dari jenis material; f = frekuensi<br />

(Hz); B m = kerapatan fluksi maksimum; τ = tebal laminasi; v = volume<br />

material.<br />

Perhatikan bahwa rugi arus pusar sebanding dengan pangkat dua dari<br />

frekuensi, sedangkan rugi histerisis sebanding dengan pangkat satu<br />

frekuensi. Rugi histerisis dan rugi arus pusar secara bersama-sama<br />

14 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


disebut rugi-rugi inti. Rugi-rugi inti akan menaikkan temperatur<br />

rangkaian magnetik dan akan menurunkan efisiensi peralatan.<br />

1.4. Gaya Magnetik<br />

Energi yang tersimpan dalam<br />

B<br />

B<br />

medan magnetik dapat<br />

B 1 b<br />

digunakan untuk melakukan<br />

a<br />

kerja mekanik (misalnya<br />

menarik tuas rele). Untuk<br />

mempelajari bagaimana gaya<br />

ini dapat timbul, kurva B-H<br />

H 0 H 1 H<br />

normal yang tidak linier<br />

seperti terlihat pada Gb.1.3.a,<br />

a) b)<br />

kita dekati dengan suatu<br />

kurva linier seperti pada<br />

Gb.1.3. Linierisasi Kurva B-H.<br />

Gb.1.3.b. Jika kita menaikkan H dari 0 ke H 1 , maka B naik dari 0 ke B 1 .<br />

Luas bidang 0ab0 menyatakan kerapatan energi yang tersimpan dalam<br />

material, dan besarnya adalah<br />

w f =<br />

1<br />

2<br />

B<br />

3<br />

1H1<br />

joule/m<br />

Secara umum, dengan medan magnetik sebesar H dalam suatu material<br />

akan terdapat kerapatan simpanan energi sebesar<br />

1 BH<br />

2<br />

w<br />

3<br />

f = joule/m<br />

(1.20)<br />

Perhatikan bahwa (1.20) kita peroleh setelah kita melakukan linierisasi<br />

kurva B-H.<br />

Karena (1.20) menunjukkan kerapatan energi, maka jika kita kalikan<br />

dengan volume dari rangkaian magnetik kita akan mendapatkan energi<br />

total yang tersimpan dalam rangkaian tersebut. Misalkan luas penampang<br />

rangkaian A dan panjangnya L, maka energi total menjadi<br />

1 1<br />

1<br />

W = BHAL<br />

= ( BA)(<br />

HL)<br />

= φF m joule (1.21)<br />

2 2<br />

2<br />

Antara fluksi φ dan F m terdapat hubungan φ = F m / R , sehingga (1.21)<br />

dapat juga dituliskan<br />

2<br />

1 1 Fm<br />

1 2<br />

W = φFm<br />

= = φ R joule<br />

(1.22)<br />

2 2 R 2<br />

15


Untuk memahami timbulnya gaya<br />

magnetik, kita lakukan percobaan<br />

dengan suatu rangkaian magnetik<br />

yang terdiri dari tiga bagian yaitu<br />

gandar, celah udara, dan jangkar,<br />

seperti terlihat pada Gb.1.4.<br />

<strong>Rangkaian</strong> ini dicatu oleh sumber<br />

tegangan V s yang diserikan dengan<br />

resistor variabel R. Luas<br />

penampang gandar sama dengan<br />

luas penampang jangkar. Untuk<br />

suatu kedudukan jangkar tertentu,<br />

dengan V s dan R tertentu, terjadi<br />

eksitasi sebesar F m yang akan<br />

membuat simpanan energi dalam<br />

rangkaian magnetik ini sebesar<br />

W =<br />

1<br />

2<br />

2 2 2<br />

( φ R + φ R + φ R )<br />

g<br />

g<br />

u<br />

u<br />

j<br />

j<br />

(1.23)<br />

Indeks g, u, dan j berturut-turut menunjukkan gandar, udara dan<br />

jangkar. Karena ketiga bagian rangkaian terhubung seri maka jika<br />

penyebaran fluksi di bagian pinggir di celah udara diabaikan fluksi di<br />

ketiga bagian tersebut akan sama. Kerapatan fluksi juga akan sama di<br />

ketiga bagian tersebut. Dengan demikian maka persamaan (1.23) dapat<br />

kita tulis<br />

1 2<br />

1 2<br />

W = φ ( R g + Ru<br />

+ R j ) = φ Rtotal<br />

(1.24)<br />

2<br />

2<br />

Besar reluktansi total adalah<br />

gandar<br />

jangkar<br />

Gb.1.4. <strong>Rangkaian</strong><br />

magnetik dengan jangkar<br />

Lg<br />

L j L<br />

R<br />

u<br />

total = + +<br />

(1.25)<br />

µ g A µ j A µ 0A<br />

Karena kita melakukan linierisasi kurva B-H, maka permeabilitas<br />

material menjadi konstan.<br />

Hal ini ditunjukkan oleh kemiringan kurva B-H. Jadi µ g dan µ j dianggap<br />

konstan sedangkan permeabilitas udara dapat dianggap sama dengan µ 0 .<br />

V s<br />

+<br />

−<br />

L j<br />

R<br />

L g<br />

x<br />

16 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Percobaan pertama adalah memegang jangkar tetap pada tempatnya dan<br />

menambah eksitasi dengan menurunkan nilai resistor R sehingga arus<br />

catu naik. Eksitasi akan naik menjadi (F m +∆F m ) dan simpanan energi<br />

pada seluruh rangkaian magnetik akan naik pula. Artinya tambahan<br />

energi sebesar ∆W yang disebabkan oleh tambahan eksitasi sebesar ∆F m<br />

tersimpan sebagai tambahan energi di semua bagian rangkaian yaitu<br />

gandar, jangkar dan celah udara.<br />

Untuk percobaan kedua, kita kembalikan dulu eksitasi pada keadaan<br />

semula dengan mengembalikan R pada nilai semula sehingga eksitasi<br />

kembali menjadi F m dan kita jaga konstan. Jangkar kita lepaskan<br />

sehingga celah udara menjadi (x−∆x). Berkurangnya celah udara ini akan<br />

menyebabkan reluktansi R u menurun sehingga secara keseluruhan R tot<br />

juga menurun. Menurunnya R tot akan memperbesar fluksi karena eksitasi<br />

F m dipertahankan tetap. Ini berarti bahwa simpanan energi dalam<br />

rangkaian magnetik bertambah.<br />

Pertambahan simpanan energi yang terjadi pada percobaan ke-dua ini<br />

berbeda dengan pertambahan energi pada percobaan pertama. Pada<br />

percobaan pertama pertambahan energi berasal dari pertambahan<br />

masukan, yaitu ∆F m . Pada percobaan ke-dua, F m dipertahankan tetap.<br />

Oleh karena itu satu-satunya kemungkinan pertambahan energi adalah<br />

dari gerakan jangkar. Jadi perubahan posisi jangkar memberikan<br />

tambahan simpanan energi dalam rangkaian magnetik. Penafsiran kita<br />

dalam peristiwa ini adalah bahwa perubahan posisi jangkar telah<br />

menurunkan energi potensial jangkar. Penurunan energi potensial<br />

jangkar itu diimbangi oleh naiknya simpanan energi pada rangkaian<br />

magnetik sesuai dengan prinsip konservasi energi.<br />

Jika dx adalah perubahan posisi jangkar (∆x→0), F x adalah gaya mekanik<br />

pada jangkar pada posisi x, maka perubahan energi potensial jangkar<br />

adalah<br />

dW j = Fxdx<br />

(1.26)<br />

Perubahan energi tersimpan dalam rangkaian magnetik adalah dW.<br />

Karena tidak ada masukan energi dari luar (sumber listrik) maka<br />

dW<br />

j<br />

+ dW = F dx + dW = 0 → F dx = −dW<br />

(1.27)<br />

x<br />

Karena F m kita jaga konstan, kita dapat memasukkan persamaan (1.22)<br />

bentuk yang ke-dua ke (1.27) sehingga kita peroleh<br />

x<br />

17


1<br />

Fxdx<br />

= −dW<br />

= − d(<br />

F<br />

2<br />

→ F<br />

x<br />

1<br />

= −<br />

2<br />

d<br />

dx<br />

2<br />

m<br />

R<br />

−1<br />

tot<br />

)<br />

2<br />

2 −1<br />

1 Fm<br />

dRtot<br />

1 2 dR<br />

( Fm<br />

Rtot<br />

) = −<br />

= − φ<br />

2 2 dx 2 dx<br />

R<br />

tot<br />

tot<br />

(1.28)<br />

Dengan persamaan (1.28) ini kita dapat menghitung gaya mekanik pada<br />

jangkar rele elektromekanik, plunger, dan lain-lain peralatan listrik yang<br />

memanfaatkan gaya magnetik.<br />

COTOH 1.5 : Turunkanlah formulasi gaya magnetik pada rangkaian<br />

magnetik Gb.1.4 jika reluktansi inti besi, baik gandar maupun<br />

jangkar, diabaikan terhadap reluktansi celah udara.<br />

Penyelesaian : Dengan hanya memperhitungkan reluktansi celah<br />

udara saja, maka persamaan (1.28) menjadi<br />

F<br />

x<br />

= −<br />

Karena<br />

1<br />

φ<br />

2<br />

d L<br />

2<br />

2 dRu<br />

2<br />

d Lu<br />

dx<br />

u<br />

dx<br />

= −<br />

1<br />

= − φ<br />

2<br />

d(2x)<br />

= −2<br />

dx<br />

d ⎛ Lu<br />

⎞ 1 φ<br />

⎜ ⎟<br />

dx<br />

= −<br />

0 A<br />

⎝ µ ⎠ 2 µ 0 A<br />

maka<br />

F<br />

x<br />

0<br />

2<br />

φ<br />

=<br />

µ A<br />

dx<br />

newton<br />

Pemahaman : Apakah pengabaian reluktansi inti besi terhadap<br />

reluktansi celah udara ini cukup wajar ? Kita akan melihatnya<br />

dengan ukuran nyata seperti berikut.<br />

Misalkan panjang rata-rata gandar L g = 3×15 cm = 0,45 m. Panjang<br />

jangkar L j = 0,15 m. Luas penampang gandar maupun jangkar A =<br />

(5 cm × 4 cm ) = 0,002 m 2 . Dengan ukuran-ukuran ini maka<br />

reluktansi gandar dan jangkar adalah<br />

R g<br />

L g 0,45 225<br />

= =<br />

=<br />

µ g A µ rµ<br />

0 × 0,002 µ rµ<br />

0<br />

L j 0,15<br />

R j = =<br />

µ j A µ rµ<br />

0 × 0,002<br />

75<br />

=<br />

µ rµ<br />

0<br />

Dengan menganggap luas penampang sama dengan jangkar dan<br />

lebar celah 1 mm, maka celah udara mempunyai reluktansi<br />

18 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Lu<br />

2 × 0,001 1<br />

Ru = = = .<br />

µ 0 A µ 0 × 0,002 µ 0<br />

Perbandingan antara reluktansi celah udara dan jumlah reluktansi<br />

gandar dan jangkar adalah :<br />

Ru 1/ µ 0 µ r<br />

=<br />

= .<br />

R g + R j 300 / µ rµ<br />

0 300<br />

Kalau kita mengambil nilai µ r seperti pada hasil perhitungan dalam<br />

pemahaman contoh 1.1, yaitu untuk baja silikon µ r = 7340 dan<br />

untuk besi nickel µ r =47740, maka<br />

untuk<br />

baja<br />

silikon :<br />

Ru<br />

R g + R j<br />

7340<br />

= ≈ 24<br />

300<br />

;<br />

untuk<br />

besi<br />

nickel:<br />

Ru<br />

R g + R j<br />

47740<br />

= ≈159<br />

.<br />

300<br />

Makin tinggi permeabilitas material yang kita pakai, reluktansi celah<br />

udara makin dominan sehingga reluktansi jangkar dan gandar wajar<br />

untuk tidak diperhitungkan.<br />

1.5. Induktor<br />

Perhatikan rangkaian<br />

induktor (Gb.1.5).<br />

Apabila resistansi belitan<br />

dapat diabaikan, maka<br />

menurut hukum<br />

Kirchhoff<br />

+<br />

v 1<br />

−<br />

≈<br />

i f<br />

+<br />

e 1<br />

−<br />

1<br />

Gb.1.5. <strong>Rangkaian</strong> induktor.<br />

φ<br />

di f<br />

− v1 + e1<br />

= 0 → v1<br />

= e1<br />

= L<br />

(1.29)<br />

dt<br />

Persamaan (1.29) adalah persamaan rangkaian listrik yang terdiri dari<br />

sumber v 1 dan beban induktor L. Tegangan e 1 adalah tegangan jatuh<br />

pada induktor, sesuai dengan konvensi pasif pada dalam analisis<br />

rangkaian listrik.<br />

19


Sekarang kita lihat rangkaian magnetiknya dengan menganggap inti<br />

induktor ideal (luas kurva histerisis material inti sama dengan nol).<br />

Dalam rangkaian magnetik terdapat fluksi magnetik φ yang ditimbulkan<br />

oleh arus i f . Perubahan fluksi φ akan membangkitkan tegangan induksi<br />

pada belitan sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.<br />

dφ<br />

e t = −1 (1.30)<br />

dt<br />

Tanda “−” pada (1.30) mempunyai arti bahwa tegangan induksi e t harus<br />

mempunyai polaritas yang akan dapat memberikan arus pada rangkaian<br />

tertutup sedemikian rupa sehingga arus tersebut akan memberikan fluksi<br />

lawan terhadap fluksi pembangkitnya, yaitu φ. Menurut kaidah tangan<br />

kanan, polaritas tersebut adalah seperti polaritas e 1 pada Gb.1.5. Jadi<br />

tanda “−” pada (1.30) terpakai untuk menetapkan polaritas e t sedangkan<br />

nilai e t tentulah sama dengan tegangan jatuh e 1 . Jadi<br />

dφ<br />

di f<br />

et = 1 = e1<br />

= L<br />

(1.31)<br />

dt dt<br />

Persamaan (1.31) menunjukkan bahwa φ dan i f berubah secara<br />

bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus<br />

i f yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.<br />

Arus i f sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk<br />

sinus. Jadi dalam sistem ini baik tegangan, arus maupun fluksi<br />

mempunyai frekuensi sama dan dengan demikian konsep fasor yang kita<br />

pelajari di Bab-5 dapat kita gunakan untuk melakukan analisis pada<br />

sistem ini, yang merupakan gabungan dari rangkaian listrik dan<br />

rangkaian magnetik. Jika resistansi belitan diabaikan, persamaan (1.29)<br />

dan (1.31) dapat kita tulis dalam bentuk fasor sebagai<br />

E1<br />

= jωLI<br />

f ; Et<br />

= jω1Φ = E1<br />

= jωLI<br />

f (1.32)<br />

dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor.<br />

Dengan memperhatikan (1.32), diagram fasor tegangan , arus, dan fluksi<br />

dari induktor tanpa memperhitungkan rugi-rugi inti dan resistansi belitan<br />

adalah seperti pada Gb.1.6.a. dimana arus yang membangkitkan fluksi<br />

yaitu I φ sama dengan I f .<br />

20 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


I f =I φ<br />

Φ<br />

a). ideal<br />

Dalam praktek, inti induktor tidaklah bebas dari rugi-rugi. Pada<br />

pembebanan siklis (dalam hal ini secara sinus) rugi-rugi inti<br />

menyebabkan fluksi yang dibangkitkan oleh i f ketinggalan dari i f sebesar<br />

γ yang disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.1.6.b.<br />

dimana arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ. Melihat kenyataan<br />

ini, I f dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ yang<br />

diperlukan untuk membangkitkan φ, dan I c yang diperlukan untuk<br />

mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = I φ + I c .<br />

Komponen I c merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan E 1 akan<br />

memberikan rugi-rugi inti<br />

o<br />

c = c 1 1 f γ<br />

P I E = E I cos(90 − ) watt<br />

(1.33)<br />

Apabila resistansi belitan tidak dapat diabaikan, maka V 1 ≠ E 1 . Misalkan<br />

resistansi belitan adalah R 1 , maka<br />

V E + I<br />

1 = 1 f R1<br />

(1.34)<br />

Diagram fasor dari keadaan terakhir ini diperlihatkan oleh Gb.1.6.c.<br />

Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain<br />

untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya<br />

pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, P cu .<br />

Jadi<br />

E 1 =E t<br />

2<br />

f<br />

P = P + P = P + I R = V I cos θ (1.35)<br />

in<br />

I φ<br />

γ<br />

Φ<br />

b). ada rugi-rugi inti<br />

Φ<br />

c). ada resistansi<br />

Gb.1.6. Diagram fasor induktor<br />

belitan<br />

c<br />

I c<br />

I f<br />

cu<br />

E 1 =E t<br />

dengan V 1 dan I f adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.<br />

COTOH 1.6 : Sebuah reaktor dengan inti besi mempunyai 400 lilitan.<br />

Reaktor ini dihubungkan pada jaringan bertegangan 115 volt, 60 Hz.<br />

Dengan mengabaikan resistansi belitan, hitung nilai maksimum<br />

fluksi magnetnya. Jika fluksi maknit dibatasi tidak boleh lebih dari<br />

1,2 tesla, berapakah luas penampang intinya?<br />

c<br />

I φ<br />

1<br />

I c<br />

θ<br />

I f<br />

1<br />

f<br />

E 1 =E t<br />

V 1<br />

I f R<br />

1<br />

21


Penyelesaian: Dengan mengabaikan resistansi belitan maka<br />

E<br />

1<br />

= V<br />

1<br />

1ωΦ<br />

→<br />

2<br />

maks<br />

= 115<br />

115 2<br />

⇒ Φ maks =<br />

= 0,00108 weber<br />

400×<br />

2π×<br />

60<br />

Agar kerapatan fluksi tidak lebih dari 1,2 tesla maka<br />

Φ<br />

maks<br />

A<br />

≤12<br />

⇒<br />

Φ<br />

A ≥<br />

1,2<br />

maks<br />

=<br />

0,00108<br />

1,2<br />

m<br />

2 =<br />

Induktansi. Menurut (1.15) besarnya fluksi magnetik adalah<br />

⎛ µ A ⎞<br />

φ = ⎜ ⎟ F<br />

⎝ L ⎠<br />

Dengan mengabaikan fluksi bocor,<br />

dimasukkan ke (1.31) akan diperoleh<br />

sehingga<br />

<br />

1<br />

dφ<br />

= <br />

dt<br />

1<br />

d<br />

dt<br />

⎛ 1i<br />

⎜<br />

⎝ R<br />

2<br />

f<br />

m<br />

Fm<br />

= .<br />

R<br />

⎞ <br />

⎟ 1<br />

=<br />

⎠ R<br />

9 cm<br />

F m = i dan jika φ ini<br />

2<br />

di<br />

f<br />

dt<br />

di f<br />

= L<br />

dt<br />

1 2 ⎛ µ A ⎞<br />

L = = 1<br />

⎜ ⎟ (1.36)<br />

R ⎝ L ⎠<br />

Induktansi Bersama. Jika pada induktor Gb.1.5. kita tambahkan belitan<br />

kedua, maka pada belitan kedua ini akan diimbaskan tegangan oleh φ<br />

seperti halnya pada belitan pertama. Besar tegangan imbas ini adalah<br />

dφ<br />

d ⎛ 1i<br />

f ⎞ di f<br />

e ⎜ ⎟ 2 1<br />

2 = 2 = 2 =<br />

dt dt<br />

(1.37)<br />

⎝ R ⎠ R dt<br />

Jika belitan kedua ini tidak dialiri arus (dalam keadaan terbuka), kita tahu<br />

dari pembahasan di bab terdahulu mengenai induktansi bersama bahwa<br />

di di<br />

2 f<br />

e2<br />

= L2<br />

+ M<br />

dt dt<br />

sehingga kita peroleh induktansi bersama<br />

di f<br />

= M<br />

dt<br />

21<br />

⎛ µ A ⎞<br />

M = = 21<br />

⎜ ⎟<br />

(1.38)<br />

R ⎝ L ⎠<br />

2<br />

.<br />

22 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Pembahasan di atas memperlihatkan bahwa rangkaian induktor dapat kita<br />

analisis dari sudut pandang rangkaian listrik dengan mengaplikasikan<br />

hukum Kirchhoff yang kemudian menghasilkan persamaan (1.29). Kita<br />

dapat pula memandangnya sebagai rangkaian magnetik dan<br />

mengaplikasikan hukum Faraday dimana fluksi magnetik yang berubah<br />

terhadap waktu (dibangkitkan oleh arus magnetisasi i f ) menimbulkan<br />

tegangan induksi pada belitan.<br />

COTOH 1.7 : Hitunglah resistansi dan induktansi selenoida (inti<br />

udara) dengan diameter rata-rata 1 cm dan panjangnya 1 m dan<br />

dengan 1000 lilitan kawat tembaga berdiameter 0,5 mm.<br />

Penyelesaian :<br />

Induktansi:<br />

2<br />

−7<br />

−4<br />

1<br />

2 ⎛ µ A ⎞ ⎛<br />

6 (4 10 ) ( 10 / 4) ⎞<br />

1 10 ⎜<br />

π× × π<br />

L = = ⎜ ⎟ =<br />

⎟<br />

R ⎝ L ⎠ ⎜ 1 ⎟<br />

⎝<br />

⎠<br />

−6<br />

= 98,6 × 10 H<br />

Resistansi :<br />

−2<br />

l<br />

−6<br />

1000 × π × 10<br />

R = ρ = 0,0173 × 10 [ Ω.m]<br />

= 2,77 Ω<br />

A<br />

−3<br />

2<br />

π × (0,5 × 10 ) / 4<br />

COTOH 1.8 : Dua buah kumparan, masing-masing 1250 lilitan dan<br />

140 lilitan, digulung pada satu inti magnetik yang mempunyai<br />

reluktansi 160 000. Hitung induktansi bersama, dengan mengabaikan<br />

fluksi bocor.<br />

Penyelesaian :<br />

Induktansi bersama :<br />

2 1<br />

1250×<br />

140<br />

M = = = 1,094 ≈ 1,1 H<br />

R 160000<br />

COTOH 1.9 : Dua kumparan (inti udara) masing-masing mempunyai<br />

1000 lilitan diletakkan paralel sejajar sedemikian rupa sehingga 60%<br />

fluksi yang dibangkitkan oleh salah satu kumparan melingkupi<br />

kumparan yang lain. Arus sebesar 5 A di salah satu kumparan<br />

membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Hitunglah induktansi masingmasing<br />

kumparan dan induktansi bersama.<br />

23


Penyelesaian :<br />

Arus 5 A membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Dengan jumlah lilitan<br />

1000 maka reluktansi dapat dihitung<br />

1000 × 5<br />

R =<br />

0,05×<br />

10<br />

−3<br />

= 10<br />

Induktansi masing-masing Gb.28.7. Diagram fasor induktor riil.<br />

2<br />

<br />

L =<br />

R<br />

2<br />

1000 −2<br />

= = 10<br />

8<br />

10<br />

8<br />

H = 10 mH.<br />

Fluksi yang melingkupi kumparan yang lain 60% dari fluksi yang<br />

dibangkitkan di salah satu kumparan. Reluktansi bersama adalah<br />

Induktansi bersama<br />

1<br />

M =<br />

R<br />

M<br />

R M<br />

2<br />

8<br />

R 10<br />

= = = 1,667 × 10<br />

0.6 0,6<br />

1000×<br />

1000<br />

−2<br />

=<br />

= 0,6×<br />

10<br />

8<br />

1,667×<br />

10<br />

8<br />

H = 6 mH<br />

Catatan Tentang Diagram Fasor. Dalam menurunkan fasor tegangan<br />

induksi E t , kita berangkat dari persamaan (1.30) dengan mengambil<br />

tanda “−” sebagai penentu polaritas. Hasilnya adalah E t merupakan<br />

tegangan jatuh pada belitan, sama dengan E 1 , dan hal ini ditunjukkan<br />

oleh persamaan (1.32). Kita dapat pula memandang tegangan<br />

terbangkit E t sebagai tegangan naik E t = −E 1 , dengan mengikut<br />

sertakan tanda “−” pada (1.30) dalam perhitungan dan bukan<br />

menggunakannya untuk menentukan polaritas. Jika ini kita lakukan<br />

maka<br />

E<br />

E<br />

t = − jω1 Φ = − 1 = − jωL<br />

f<br />

(1.39)<br />

Dengan memperhatikan (1.39), diagram fasor tegangan, arus, dan fluksi<br />

untuk induktor ideal adalah seperti pada Gb.1.7.a. Di sini fasor tegangan<br />

terbangkit E t berada 90 o dibelakang fluksi pembangkitnya yaitu Φ.<br />

Fasor Φ sefasa dengan I φ = I f dan tertinggal 90 o dari E 1 .<br />

Gb.1.7.b. dan Gb.1.7.c. adalah diagram fasor induktor dengan<br />

memperhitungkan rugi-rugi inti dan tembaga.<br />

I<br />

24 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


E t<br />

E 1<br />

a). Induktor ideal.<br />

I f =I φ<br />

Φ<br />

E t<br />

b). ada rugi-rugi inti<br />

I φ<br />

Φ<br />

γ<br />

I c<br />

I f<br />

V L<br />

I c V L<br />

I f R 1<br />

I f<br />

E t<br />

I φ<br />

c). ada resistansi belitan Φ<br />

Gb.1.7. Diagram fasor induktor riil.<br />

θ<br />

V s<br />

25


Soal-Soal<br />

1. Sepotong kawat tembaga panjangnya 40 cm bergerak memotong<br />

medan magnetik pada arah tegak lurus pada panjangnya. Jika<br />

kerapatan medan magnetik adalah 1 Wb/m 2 , dan kecepatan gerak<br />

kawat adalah 40 m/detik dengan arah tegak lurus pada arah medan,<br />

hitunglah emf yang terinduksi pada kawat. Hitunglah emf jika arah<br />

gerak membentuk sudut 30 o terhadap arah medan.<br />

2. Sebuah kumparan terbuat dari kawat halus dan terdiri dari 500 lilitan.<br />

Luas rata-rata kumparan adalah 600 cm 2 . Kumparan ini berputar<br />

dengan kecepatan 1500 putaran per menit dalam medan magnetik<br />

uniform yang kerapatannya 100 mWb/m 2 . Hitunglah nilai puncak dan<br />

nilai rata-rata dari emf yang terinduksi pada kumparan.<br />

3. a). Sebuah konduktor lurus panjang 1 m dialiri arus searah 50 A.<br />

Konduktor ini berada dalam medan magnit dengan kerapatan 1<br />

Wb/m 2 . Hitunglah gaya mekanis yang bekerja pada konduktor jika<br />

konduktor dipertahankan tetap pada tempatnya. b). Jika konduktor<br />

tersebut digerakkan melawan gaya yang bekerja padanya dengan<br />

kecepatan 10 m/detik. Hitunglah daya mekanis yang diperlukan untuk<br />

menggerakkan konduktor.<br />

4. Sebuah rangkaian magnetik<br />

dibangun dari bahan baja silikon<br />

dengan ukuran ditunjukkan pada<br />

gambar berikut.<br />

a). Untuk memperoleh fluksi<br />

sebesar 30×10 −4 weber berapakah<br />

mmf diperlukan?<br />

b). Jika jumlah lilitan adalah 100,<br />

berapakah arus pada lilitan?<br />

←30 cm →<br />

← 40 cm → 10 cm<br />

5. Jika kaki kanan dari rangkaian magnetik pada soal nomer 7 dipotong<br />

sehingga terbentuk celah udara selebar 0,1 berapakah arus yang harus<br />

mengalir pada belitan untuk mempertahankan fluksi sebesar 30×10 −4<br />

weber.<br />

6. Sebuah elektromagnet terbuat dari besi tuang mempunyai celah udara<br />

2 mm dan panjang jalur besinya 30 cm. Tentukan jumlah lilitan-amper<br />

yang diperlukan untuk memperoleh kerapatan fluksi 0,8 Wb/m 2 .<br />

Abaikan fluksi bocor.<br />

26 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


7. Sebuah cincin besi tuang dengan penampang bulat berdiameter 3 cm<br />

mempunyai panjang rata-rata 80 cm. Cincin ini dililit kumparan secara<br />

merata dengan jumlah lilitan 500. (a) Hitung arus yang diperlukan<br />

untuk memperoleh fluksi 0,5 mWb dalam cincin. (b) Jika cicin<br />

dipotong sehingga terbentuk celah udara setebal 2 mm, berapakah<br />

fluksi magnetnya jika arus pada kumparan tetap seperti pada<br />

pertanyaan (a)?. (c) Untuk mempertahankan fluksi sebesar 0,5 mWb,<br />

berapakah arus yang harus mengalir pada kumparan? Anggaplah<br />

kerapatan fluksi pada celah udara sama dengan kerapatan fluksi dalam<br />

cincin.<br />

8. Sebuah cincin besi dengan panjang rata-rata 50 cm dan celah udara<br />

selebar 1mm, diberi kumparan dengan 200 lilitan. Jika permeabilitas<br />

besi adalah 400 pada waktu kumparan dialiri arus 1 A, hitunglah<br />

kerapatan fluksi dalam cincin.<br />

9. Fluksi magnetik dalam suatu inti berubah secara sinusoidal dengan<br />

frekuensi 500 siklus per detik dan nilai maksimum kerapatan fluksinya<br />

adalah 0,5 Wb/m 2 . Rugi-rugi arus pusar adalah 15 watt. Berapakah<br />

rugi-rugi arus pusar dalam inti ini jika frekuensinya 750 siklus per<br />

detik dan kerapatan fluksi maksimum 0,4 Wb/m 2 .<br />

10. Rugi-rugi total (arus pusar + histerisis) dari suatu contoh inti magnet<br />

adalah 1500 watt pada frekuensi 50 Hz. Jika kerapatan fluksi dijaga<br />

konstan sedangkan frekuensinya dinaikkan 50%, rugi-rugi total itu<br />

menjadi 2800 watt. Hitung masing-masing rugi arus pusar dan rugi<br />

histerisis pada kedua macam frekuensi tersebut.<br />

11. Sebuah rele elektromekanik dengan bentuk magnet tapal-kuda<br />

memerlukan eksitasi 1800 lilitan-amper untuk menggerakkan jangkar<br />

dengan sela udara 1,25 mm. Jika luas tiap sepatu kutubnya adalah 2<br />

cm 2 dan panjang jalur rangkaian magnetiknya adalah 50 cm, hitunglah<br />

: (a) gaya pada jangkar pada saat jangkar akan bergerak (anggap<br />

rangkaian magnetik tidak jenuh); (b) jika posisi akhir pada keadaan<br />

rele tertutup terdapat celah udara 0,1 mm, hitung gaya yang diperlukan<br />

untuk membuka rele tanpa mengubah eksitasi.<br />

27


12. Hitunglah resistansi dan induktansi selenoida (inti udara) dengan<br />

diameter rata-rata 1 cm dan panjangnya 20 cm dan dengan 1000 lilitan<br />

kawat tembaga berdiameter 0,2 mm.<br />

13. Hitunglah induktansi sebuah toroida (inti udara) yang berdiameter<br />

rata-rata 20 cm, diameter penampang 2 cm, dengan 1000 lilitan kawat<br />

tembaga.<br />

14. Sebuah cincin baja mempunyai diameter rata-rata 60 cm dan luas<br />

penampang 20 cm 2 . Dengan eksitasi sebesar 40 lilitan-amper per cm<br />

timbul fluksi dengan kerapatan 1,2 Wb/m 2 dalam cincin. Jika jumlah<br />

lilitan pada cincin ini adalah 500, hitunglah induktansinya.<br />

15. Cincin baja pada soal nomer 17 dipotong sepanjang 1 cm sehingga<br />

membentuk “cincin terbuka” dengan celah udara 1 cm. Dengan jumlah<br />

lilitan tetap 500 dan kerapatan fluksi dipertahankan tetap 1,2 Wb/m 2 ,<br />

hitung arus eksitasi dan induktansinya.<br />

16. Dua buah kumparan, masing-masing 1250 lilitan dan 140 lilitan,<br />

digulung pada satu inti magnetik yang mempunyai reluktansi 160 000.<br />

Hitumg induktansi bersama, dengan mengabaikan fluksi bocor.<br />

17. Dua buah kumparan, masing-masing 50 dan 500 lilitan digulung<br />

secara berdampingan pada inti magnetik yang luas penampangnya 100<br />

cm 2 dan panjang rata-rata 150 cm. Jika permeabilitas inti adalah 4000,<br />

hitunglah induktansi bersama dengan mengangabaikan fluksi bocor.<br />

28 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


BAB 2<br />

Transformator<br />

Salah satu komoditi yang ditawarkan oleh teknik elektro adalah<br />

pemenuhan kebutuhan energi. Energi yang tersedia di alam harus<br />

dikonversikan ke bentuk energi listrik untuk ditransmisikan ke tempat<br />

yang memerlukan. Beberapa piranti untuk mengonversikan energi secara<br />

konvensional akan kita pelajari di bab-bab berikut ini; piranti konversi<br />

energi non-konvensional belum akan kita bahas. Kita juga membatasi<br />

diri hanya pada pembahasan tiga macam mesin konversi energi dan dari<br />

setiap macam kita hanya akan melihat beberapa tipe saja. Macam mesin<br />

listrik yang akan kita bahas adalah:<br />

1. Mesin konversi dari energi listrik ke energi listrik, yaitu<br />

transformator.<br />

2. Mesin konversi dari energi mekanik ke energi listrik, yaitu<br />

generator listrik.<br />

3. Mesin konversi dari energi listrik ke energi mekanik, yaitu<br />

motor listrik.<br />

Di bab ini kita akan mempelajari transformator; setelah mempelajari bab<br />

ini kita akan<br />

• memahami cara kerja transformator;<br />

• mampu menggambarkan diagram fasor transformator;<br />

• mampu melakukan perhitungan-perhitungan pada<br />

transformator satu fasa melalui hasil uji beban nol dan uji<br />

hubung singkat;<br />

• memahami berbagai hubungan transformator untuk sistem tiga<br />

fasa;<br />

• mampu melakukan perhitungan-perhitungan tegangan pada<br />

berbagai hubungan transformator tiga fasa.<br />

2.1. Transformator Satu Fasa<br />

Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam sistem<br />

komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi audio<br />

sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan. Kita<br />

mengenal misalnya input transformers, interstage transformers, output<br />

transformers pada rangkaian radio dan televisi. Transformator juga<br />

29


dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk penyesuaian impedansi<br />

agar tercapai transfer daya maksimum.<br />

Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator<br />

berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan transformator<br />

tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat dilakukan dalam jarak<br />

jauh dan susut daya pada jaringan dapat ditekan. Di jaringan distribusi<br />

listrik banyak digunakan transformator penurun tegangan, dari tegangan<br />

menengah 20 kV menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan<br />

kantor-kantor pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada<br />

umumnya merupakan transformator tiga fasa. Dalam pembahasan ini kita<br />

akan melihat transformator satu fasa lebih dulu.<br />

Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas<br />

rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak ideal<br />

sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan membahas<br />

hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan dipelajari<br />

secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesin-mesin listrik.<br />

Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal untuk<br />

mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun konversi energi<br />

elektromekanik membahas konversi energi antara sistem mekanik dan<br />

sistem listrik, sedangkan transformator merupakan piranti konversi<br />

energi listrik ke listrik, akan tetapi kopling antar sistem dalam kedua hal<br />

tersebut pada dasarnya sama yaitu kopling magnetik.<br />

2.2. Teori Operasi Transformator<br />

Transformator Dua Belitan Tak Berbeban. Jika pada induktor Gb.1.5.<br />

kita tambahkan belitan ke-dua, kita akan memperoleh transformator dua<br />

belitan seperti terlihat pada Gb.2.1. Belitan pertama kita sebut belitan<br />

primer dan yang ke-dua kita sebut belitan sekunder.<br />

I f<br />

φ<br />

+<br />

≈<br />

V s −<br />

E 1<br />

1<br />

2<br />

+<br />

E 2<br />

−<br />

Gb.2.1. Transformator dua belitan.<br />

Jika fluksi di rangkaian magnetiknya adalah φ = Φ maks sin ωt<br />

, maka<br />

fluksi ini akan menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar<br />

30 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


atau dalam bentuk fasor<br />

dφ<br />

e1 = 1<br />

= 1Φ<br />

maksωcos<br />

ωt<br />

(2.1)<br />

dt<br />

o 1ωΦ<br />

maks o<br />

E 1 = E1∠0 =<br />

∠0<br />

; E1<br />

= nilai efektif (2.2)<br />

2<br />

Karena ω = 2π f maka<br />

E<br />

2π<br />

f<br />

<br />

1<br />

1 = Φ maks = 4.44 f 1<br />

2<br />

Φ<br />

maks<br />

Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan sebesar<br />

Dari (2.3) dan (2.4) kita peroleh<br />

E<br />

E<br />

(2.3)<br />

2 = 4 .44 f 2Φ<br />

maks<br />

(2.4)<br />

E<br />

1<br />

2<br />

1<br />

= ≡ a = rasio<br />

<br />

2<br />

transformasi<br />

(2.5)<br />

Perhatikan bahwa E 1 sefasa dengan E 2 karena dibangkitkan oleh fluksi<br />

yang sama. Karena E 1 mendahului φ dengan sudut 90 o maka E 2 juga<br />

mendahului φ dengan sudut 90 o . Jika rasio transformasi a = 1, dan<br />

resistansi belitan primer adalah R 1 , diagram fasor tegangan dan arus<br />

adalah seperti ditunjukkan oleh Gb.2.2.a. Arus I f adalah arus magnetisasi,<br />

yang dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ (90 o<br />

dibelakang E 1 ) yang menimbulkan φ dan I c (sefasa dengan E 1 ) guna<br />

mengatasi rugi inti. Resistansi belitan R 1 dalam diagram fasor ini muncul<br />

sebagai tegangan jatuh I f R 1 .<br />

V 1<br />

I c E 1 =E 2<br />

I c<br />

I f R<br />

φ l E 1 =E 2<br />

1<br />

I φ<br />

I<br />

I<br />

V φ<br />

I f R 1 1<br />

f I f<br />

φ<br />

φ<br />

a). tak ada fluksi bocor b). ada fluksi bocor<br />

Gb.2.2. Diagram fasor transformator tak berbeban<br />

jI f X l<br />

Fluksi Bocor. Fluksi di belitan primer transformator dibangkitkan oleh<br />

arus yang mengalir di belitan primer. Dalam kenyataan, tidak semua<br />

31


fluksi magnit yang dibangkitkan tersebut akan melingkupi baik belitan<br />

primer maupun sekunder. Selisih antara fluksi yang dibangkitkan<br />

oleh belitan primer dengan fluksi bersama (yaitu fluksi yang melingkupi<br />

kedua belitan) disebut<br />

fluksi bocor. Fluksi bocor<br />

ini hanya melingkupi<br />

belitan primer saja dan<br />

tidak seluruhnya berada<br />

dalam inti transformator<br />

tetapi juga melalui udara.<br />

(Lihat Gb.2.3). Oleh<br />

karena itu reluktansi yang<br />

dihadapi oleh fluksi bocor<br />

ini praktis adalah<br />

V s<br />

≈<br />

Gb.2.3. Transformator tak berbeban.<br />

Fluksi bocor belitan primer.<br />

reluktansi udara. Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala<br />

histerisis sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini<br />

ditunjukkan dalam diagram fasor Gb.2.2.b.<br />

Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan induksi di<br />

belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan E 1 ). Tegangan induksi<br />

ini 90 o mendahului φ l1 (seperti halnya E 1 90 o mendahului φ) dan dapat<br />

dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh ekivalen, E l1 , di rangkaian<br />

primer dan dinyatakan sebagai<br />

E l 1 = jI f X 1<br />

(2.6)<br />

dengan X 1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan tegangan<br />

dan arus di rangkaian primer menjadi<br />

V E I R El E I + I<br />

1 = 1 + 1 1 + 1 = 1 + 1R1<br />

j 1X1<br />

(2.7)<br />

Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini adalah<br />

Gb.2.2.b.<br />

Transformator Berbeban. <strong>Rangkaian</strong> transformator berbeban resistif, R B ,<br />

diperlihatkan oleh Gb.2.4. Tegangan induksi E 2 (yang telah timbul dalam<br />

keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian<br />

sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini membangkitkan<br />

fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi bersama φ dan sebagian akan<br />

bocor (kita sebut fluksi bocor sekunder).<br />

I f<br />

φ l1<br />

φ<br />

E 2<br />

32 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


I 1<br />

φ<br />

V s<br />

≈ φ l1<br />

V 2<br />

φ l2<br />

I 2<br />

R B<br />

Gb.2.4. Transformator berbeban.<br />

Fluksi bocor ini, φ l2 , sefasa dengan I 2 dan menginduksikan tegangan E l2<br />

di belitan sekunder yang 90 o mendahului φ l2 . Seperti halnya untuk belitan<br />

primer, tegangan E l2 ini diganti dengan suatu besaran ekivalen yaitu<br />

tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor sekunder X 2 di rangkaian<br />

sekunder. Jika resistansi belitan sekunder adalah R 2 , maka untuk<br />

rangkaian sekunder kita peroleh hubungan<br />

E V I R El V I + I<br />

2 = 2 + 2 2 + 2 = 2 + 2R2<br />

j 2 X 2 (2.8)<br />

dengan V 2 adalah tegangan pada beban R B .<br />

Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi yang<br />

melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan cenderung<br />

mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi di belitan primer<br />

juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke<br />

sumber yang tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi<br />

arus primer yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanyalah<br />

arus magnetisasi I f , bertambah menjadi I 1 setelah transformator<br />

berbeban. Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi<br />

bersama φ dipertahankan dan E 1 juga tetap seperti semula. Dengan<br />

demikian maka persamaan rangkaian primer (2.7) tetap terpenuhi.<br />

Pertambahan arus primer dari I f menjadi I 1 adalah untuk mengimbangi<br />

fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 sehingga φ dipertahankan. Jadi<br />

haruslah<br />

( I − I ) − ( I ) 0<br />

1 1 f 2 2 =<br />

(2.9)<br />

Pertambahan arus primer (I 1 − I f ) disebut arus penyeimbang yang akan<br />

mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus<br />

penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.<br />

Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder. Dari<br />

(2.9) kita peroleh arus magnetisasi<br />

33


2.3. Diagram Fasor<br />

I<br />

f<br />

2 I 2<br />

= I1<br />

− ( I 2 ) = I1<br />

−<br />

(2.10)<br />

<br />

a<br />

1<br />

Dengan persamaan (2.7) dan (2.8) kita dapat menggambarkan secara<br />

lengkap diagram fasor dari suatu transformator. Penggambaran kita<br />

mulai dari belitan sekunder dengan langkah-langkah:<br />

Gambarkan V 2 dan I 2 . Untuk beban resistif, I 2 sefasa dengan V 2 .<br />

Selain itu kita dapat gambarkan I ’ 2 = I 2 /a yaitu besarnya arus<br />

sekunder jika dilihat dari sisi primer.<br />

Dari V 2 dan I 2 kita dapat menggambarkan E 2 sesuai dengan<br />

persamaan (2.8) yaitu<br />

<br />

<br />

<br />

E V I R El V I + I<br />

2 = 2 + 2 2 + 2 = 2 + 2R2<br />

j 2 X 2<br />

Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian<br />

sekunder.<br />

Untuk rangkaian primer, karena E 1 sefasa dengan E 2 maka E 1 dapat<br />

kita gambarkan yang besarnya E 1 = aE 2 .<br />

Untuk menggambarkan arus magnetisasi I f kita gambarkan lebih<br />

dulu φ yang tertinggal 90 o dari E 1 . Kemudian kita gambarkan I f yang<br />

mendahului φ dengan sudut histerisis γ. Selanjutnya arus belitan<br />

primer adalah I 1 = I f + I ’ 2.<br />

Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi sesuai<br />

dengan persamaan (2.7), yaitu<br />

V 1 = E1<br />

+ I1R1<br />

+ El1<br />

= E1<br />

+ I1R1<br />

+ jI1X<br />

Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator berbeban.<br />

Gb.2.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud, yang dibuat dengan<br />

mengambil rasio transformasi 1 / 2 = a > 1<br />

jI 1 X 1<br />

E 1<br />

E 2 jI 2 X 2<br />

I 1 R 1<br />

I ’ 2<br />

I 2 V 2 I 2 R 2<br />

φ γ I f<br />

I 1<br />

Gb.2.5. Diagram fasor lengkap,<br />

transformator berbeban resistif . a > 1<br />

V 1<br />

34 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


COTOH 2.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat untuk<br />

tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan ini<br />

dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah<br />

besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita<br />

terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms)? b). Berapa<br />

persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55 V<br />

(rms) pada setengah belitan primer? c). Berapa persenkah<br />

pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms)<br />

pada setengah belitan primer? d). Jika jumlah lilitan di belitan<br />

sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasuskasus<br />

tersebut di atas?<br />

Penyelesaian :<br />

a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φ m<br />

adalah<br />

E1<br />

2 V1<br />

2 220 2<br />

Φ m = = =<br />

1ω<br />

1ω<br />

160ω<br />

Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka<br />

V1′<br />

2 110 2<br />

Φ′ m = =<br />

1ω<br />

160ω<br />

Penurunan fluksi m aksimum adalah 50 %, Φ′ m = Φ m / 2.<br />

b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />

V ′′<br />

Φ ′′ 1 2 55 2 110 2<br />

m = = =<br />

(1/ 2) 1ω<br />

80ω<br />

160ω<br />

Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″ m = Φ m / 2.<br />

c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka<br />

V ′′′<br />

Φ ′′ ′ 1 2 110 2 220 2<br />

m = = =<br />

(1/ 2) 1ω<br />

80ω<br />

160ω<br />

Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″ m =Φ m .<br />

d). Dengan 1 / 2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V,<br />

tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V,<br />

tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan<br />

pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V.<br />

35


Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />

tegangan sekunder adalah 55 V.<br />

COTOH 2.2 : Sebuah transformator satu fasa mempunyai belitan<br />

primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas<br />

penampang inti efektif adalah 60 cm 2 . Jika belitan primer<br />

dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz,<br />

tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di<br />

belitan sekunder.<br />

Penyelesaian :<br />

Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka<br />

1ωΦ<br />

m<br />

500 2<br />

V1<br />

= = 500 → Φ m =<br />

= 0.00563 weber<br />

2<br />

400 × 2π × 50<br />

0.00563<br />

→ Kerapatan fluksi maksimum : Bm<br />

= = 0.94 weber/m<br />

0.006<br />

1000<br />

Tegangan belitan sekunder adalah V 2 = × 500 = 1250 V<br />

400<br />

COTOH 2.3 : Dari sebuah transformator satu fasa diinginkan suatu<br />

perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak<br />

berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi<br />

dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan jumlah<br />

lilitan primer dan sekunder.<br />

Penyelesaian :<br />

Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan<br />

mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,<br />

1ωΦ<br />

m<br />

6000 2<br />

V1<br />

= = 6000 → 1<br />

=<br />

= 450<br />

2<br />

2π × 50 × 0.06<br />

250<br />

⇒ 2 = × 450 = 18.75<br />

6000<br />

Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan<br />

pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φ m tidak akan<br />

terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan<br />

6000<br />

⇒ 2 = 20 lilitan ⇒ 1<br />

= × 20 = 480 lilitan<br />

250<br />

2<br />

36 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


2.4. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />

Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti listrik<br />

biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik ekivalen yang<br />

sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah penafsiran secara<br />

rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan<br />

perilaku suatu piranti. Untuk transformator, ada tiga persamaan yang<br />

menggambarkan perilakunya, yaitu persamaan (2.7), (2.8), dan (2.10),<br />

yang kita tulis lagi sebagai satu set persamaan (2.11).<br />

V1<br />

= E1<br />

+ I1R1<br />

+ jI1X1<br />

;<br />

E2<br />

= V2<br />

+ I 2 R2<br />

+ jI<br />

2 X 2 ;<br />

2 I 2<br />

dengan I′<br />

2 = I 2 =<br />

1<br />

a<br />

I1<br />

= I f + I′<br />

2<br />

(2.11)<br />

Dengan hubungan E 1 = aE 2 dan I′ 2 = I 2 /a maka persamaan ke-dua dari<br />

(2.11) dapat ditulis sebagai<br />

E1<br />

= V2<br />

+ aI′<br />

2 R2<br />

+ jaI′<br />

2 X 2<br />

a<br />

dengan<br />

V2′<br />

= aV2<br />

Dengan (2.12) maka (2.11) menjadi<br />

2<br />

2<br />

⇒ E1<br />

= aV2<br />

+ I′<br />

2 ( a R2<br />

) + jI′<br />

2 ( a X 2 )<br />

;<br />

= V2′<br />

+ I′<br />

2 R2′<br />

+ jI′<br />

2 X 2′<br />

2<br />

2<br />

R2′<br />

= a R2<br />

; X 2′<br />

= a X 2<br />

V 1 = E1<br />

+ I1R<br />

1 + jI1X1; E1<br />

= aV2<br />

+ I′<br />

2R2′<br />

+ jI′<br />

2 X 2′<br />

; I1<br />

= I f + I′<br />

2<br />

(2.12)<br />

(2.13)<br />

I′ 2 , R′ 2 , dan X′ 2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder yang<br />

dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (2.13) dibangunlah rangkaian<br />

ekivalen transformator seperti Gb.2.6. di bawah ini.<br />

I 1 I′ 2<br />

∼<br />

R 1<br />

jX 1<br />

R′ 2<br />

jX′ 2<br />

I f<br />

V 1 E 1 Z<br />

B V′ 2 =aV 2<br />

Gb.2.6. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen diturunkan dari persamaan (2.13).<br />

Pada diagram fasor Gb.2.5. kita lihat bahwa arus magnetisasi dapat<br />

dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu I c dan I φ . I c sefasa<br />

dengan E 1 sedangkan I φ 90 o dibelakang E 1 . Dengan demikian maka<br />

impedansi Z pada rangkaian ekivalen Gb.2.6. dapat dinyatakan sebagai<br />

37


hubungan paralel antara suatu resistansi R c dan impedansi induktif jX φ<br />

sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil menjadi<br />

seperti Gb.2.7.<br />

I 1 I′ 2<br />

∼<br />

I f<br />

R 1<br />

jX 1<br />

R′ 2<br />

jX′ 2<br />

V 1 E<br />

B V′ 2 =aV 2<br />

1<br />

I<br />

R c<br />

I φ<br />

c jX c<br />

Gb.2.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator lebih detil.<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator yang<br />

digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan frekuensi<br />

yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada sistem tenaga<br />

listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2 sampai 5 persen dari<br />

arus beban penuh transformator. Keadaan ini bisa dicapai karena inti<br />

transformator dibangun dari material dengan permeabilitas magnetik<br />

yang tinggi. Oleh karena itu, jika I f diabaikan terhadap I 1 kesalahan yang<br />

terjadi dapat dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat<br />

rangkaian ekivalen menjadi lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.2.8.<br />

I 1 =I′ 2<br />

∼<br />

R e = R 1 +R′ 2<br />

jX e =j(X 1 + X′ 2 )<br />

V 1<br />

B V′ 2<br />

V′ 2<br />

V 1<br />

jI′ 2 X e<br />

I′ 2 R e<br />

I′ 2<br />

Gb.29.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator<br />

disederhanakan dan diagram fasornya.<br />

2.5. Impedansi Masukan<br />

Resistansi beban B adalah R B = V 2 /I 2 . Dilihat dari sisi primer resistansi<br />

tersebut menjadi<br />

38 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


V2′<br />

aV2<br />

V2<br />

RB′ 2 2<br />

= = = a = a R B<br />

(2.14)<br />

I 2′<br />

I 2 / a I 2<br />

Dengan melihat rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.2.10,<br />

impedansi masukan adalah<br />

V1<br />

2<br />

Z in = = Re<br />

+ a RB<br />

+ jX e<br />

I1<br />

2.6. Penentuan Parameter Transformator<br />

(2.15)<br />

Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.2.7. terlihat ada enam parameter<br />

transformator yang harus ditentukan, R 1 , X 1 , R′ 2 , X′ 2 , R c , dan X φ .<br />

Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur langsung<br />

menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan empat parameter<br />

yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti diuraikan berikut ini.<br />

Uji Tak Berbeban ( Uji Beban ol ). Uji beban nol ini biasanya<br />

dilakukan pada sisi tegangan rendah karena catu tegangan rendah<br />

maupun alat-alat ukur tegangan rendah lebih mudah diperoleh. Sisi<br />

tegangan rendah menjadi sisi masukan yang dihubungkan ke sumber<br />

tegangan sedangkan sisi tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan<br />

rendah dilakukan pengukuran tegangan masukan V r , arus masukan I r , dan<br />

daya (aktif) masukan P r . Karena sisi primer terbuka, I r adalah arus<br />

magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua<br />

pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan tegangan<br />

jatuh di reaktansi bocor sehingga V r sama dengan tegangan induksi E r .<br />

Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan kehilangan daya di<br />

resistansi belitan sehingga P r menunjukkan kehilangan daya pada R cr (R c<br />

dilihat dari sisi tegangan rendah) saja.<br />

Pr<br />

Pr<br />

Daya kompleks masukan : Sr<br />

= Vr<br />

I r ; cosθ = =<br />

S V I<br />

⇒<br />

⇒<br />

Icr<br />

= I r cosθ<br />

Vr<br />

Rcr<br />

=<br />

Icr<br />

;<br />

Vr<br />

=<br />

I r cosθ<br />

→ sin θ =<br />

I φr<br />

= I r sin θ<br />

;<br />

Vr<br />

X φr<br />

=<br />

I φr<br />

2 2<br />

Sr<br />

− Pr<br />

Sr<br />

r<br />

Vr<br />

=<br />

I r sin θ<br />

r<br />

r<br />

(2.16)<br />

39


Uji Hubung Singkat. Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan<br />

tinggi dengan si`si tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan<br />

tinggi menjadi sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan.<br />

Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan rendah<br />

masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan tegangan tinggi<br />

dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu tegangan masukan V t ,<br />

arus masukan I t , dan daya (aktif) masukan P t . Tegangan masukan yang<br />

dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi inti menjadi kecil sehingga kita<br />

dapat membuat pendekatan dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan<br />

demikian kita dapat menggunakan rangkaian ekivalen yang<br />

disederhanakan Gb.2.9. Daya P t dapat dianggap sebagai daya untuk<br />

mengatasi rugi-rugi tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen<br />

yang dilihat dari sisi tegangan tinggi R et .<br />

t<br />

t<br />

2<br />

t<br />

P = I<br />

V = I<br />

t<br />

R<br />

Z<br />

et<br />

et<br />

→ R<br />

et<br />

→ Z<br />

P<br />

=<br />

I<br />

et<br />

t<br />

2<br />

t<br />

V<br />

=<br />

I<br />

t<br />

t<br />

;<br />

→ X<br />

e<br />

=<br />

Z<br />

2<br />

et<br />

− R<br />

2<br />

et<br />

(2.17)<br />

Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai R et = R 1 + R′ 2 . Nilai<br />

resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan pengukuran<br />

terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas.<br />

Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai X et = X 1 + X′ 2 . Kita tidak dapat<br />

memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masing-masing<br />

belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing belitan diperlukan<br />

kita dapat mengambil asumsi bahwa X 1 = X′ 2 . Kondisi ini sesungguhnya<br />

benar adanya jika transformator dirancang dengan baik.<br />

COTOH 2.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt, 50<br />

Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat.<br />

Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil<br />

V r = 240 volt, I r = 1.6 amper, P r = 114 watt<br />

Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat<br />

belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi<br />

tegangan tinggi<br />

V t = 55 volt, I t = 10.4 amper, P t = 360 watt<br />

40 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan<br />

tinggi. b). Berapakah rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada<br />

beban penuh ?<br />

Penyelesaian :<br />

a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai R c dan<br />

X φ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari tegangan<br />

rendah, kita sebut R cr dan X φr .<br />

2 2<br />

P 114<br />

(240×<br />

1.6) −114<br />

cos θ = = = 0.3; sin θ =<br />

= 0.95<br />

VI 240×<br />

1.6<br />

240×<br />

1.6<br />

V 240 240<br />

V 240<br />

Rcr<br />

= = = = 500 Ω ; X φ r = = = 158 Ω<br />

I c I cos θ 1.6×<br />

0.3<br />

I φ 1.6×<br />

0.95<br />

Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :<br />

R<br />

X<br />

ct<br />

φt<br />

2<br />

= a R<br />

= a<br />

2<br />

cr<br />

X<br />

⎛<br />

= ⎜<br />

⎝<br />

φr<br />

2<br />

2400 ⎞<br />

⎟<br />

240 ⎠<br />

= 15.8 kΩ<br />

× 500 = 50 kΩ<br />

Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji<br />

hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi tegangan<br />

tinggi ini memberikan<br />

Pt<br />

360<br />

Ret<br />

= = = 3.33 Ω ;<br />

2 2<br />

It<br />

(10.4)<br />

Vt<br />

55<br />

Zet<br />

= = = 5.29 Ω →<br />

It<br />

10.4<br />

X et =<br />

2 2<br />

5.29 = 3.33<br />

= 4.1Ω<br />

b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti transformator<br />

hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban nol. Jadi rugi-rugi<br />

inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt. Rugi-rugi tembaga<br />

tergantung dari besarnya arus. Besarnya arus primer pada beban<br />

penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi pada percobaan<br />

hubung singkat, yaitu<br />

S 25000 2<br />

I 1 = = = 10.4 A → Pcu<br />

= I1<br />

Ret<br />

= (10.4)<br />

2 × 3.33 = 360 W<br />

V 2400<br />

1<br />

41


Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat<br />

sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah<br />

penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.<br />

2.7. Efisiensi dan Regulasi Tegangan<br />

Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai<br />

daya keluaran [watt]<br />

η =<br />

(2.18)<br />

daya masukan [watt]<br />

Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugi-rugi<br />

daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai<br />

rugi - rugi daya [watt]<br />

η =1 −<br />

(2.19)<br />

daya masukan [watt]<br />

Formulasi (2.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator rugirugi<br />

daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji hubung<br />

singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga.<br />

Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan<br />

besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke beban<br />

nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi<br />

V2 beban nol −V2 beban penuh<br />

Regulasi Tegangan =<br />

V2 beban penuh<br />

(2.25)<br />

V1<br />

/ a − V2<br />

V1<br />

− aV2<br />

V1<br />

− V2′<br />

=<br />

= =<br />

V aV<br />

V′<br />

2<br />

Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.2.9. maka (2.25) menjadi<br />

V2 ′ + I′<br />

2 ( R e + jX e ) − V2′<br />

Regulasi Tegangan =<br />

(2.26)<br />

V′<br />

COTOH 2.6 : Transformator pada contoh 2.5. mencatu beban 25 KVA<br />

pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b). Hitunglah<br />

regulasi tegangannya.<br />

Penyelesaian :<br />

Total rugi daya : P c + cu = 114 + 360 = 474 W = 0.474 KW<br />

a). Daya keluaran : Po<br />

= 25000×<br />

0.8 = 20 KW<br />

0.474<br />

Efisiensi : η = 1−<br />

= 0.976 atau 97.6 %<br />

20<br />

b). Mengambil V 2 sebagai referensi : V′ 2 = 10×240 = 2400∠0 o V.<br />

2<br />

2<br />

2<br />

42 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


′ −1<br />

o<br />

I 2 = I 2 / a = (25000 / 240) /10∠ − cos 0.8 = 10.4∠ − 36.8<br />

o<br />

o<br />

2400∠0<br />

+ 10.4∠ − 36.8 (3.33 + j4.1)<br />

− 2400<br />

Reg.Tegangan =<br />

2400<br />

0.022 atau 2.2 %<br />

2.8. Konstruksi Transformator<br />

Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator dengan satu<br />

inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah satu kaki inti dan<br />

belitan sekunder digulung pada kaki inti yang lain. Dalam kenyataan<br />

tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi bocor, belitan primer dan<br />

sekunder masing-masing dibagi menjadi dua bagian dan digulung di<br />

setiap kaki inti. Belitan primer dan sekunder digulung secara konsentris<br />

dengan belitan sekunder berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini<br />

fluksi bocor dapat ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi<br />

bersama. Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk<br />

lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang tentu lebih<br />

tinggi.<br />

Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satu fasa<br />

adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.2.9.a.<br />

memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan sekunder<br />

yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung dekat dengan inti<br />

yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan tinggi. Konstruksi ini<br />

sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah isolasi lebih mudah<br />

ditangani. Gb.2.9.b. memperlihatkan konstruksi tipe sel. Konstruksi ini<br />

sesuai untuk transformator daya dengan arus besar. Inti pada konstruksi<br />

ini memberikan perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.<br />

R / 2 R / 2<br />

T /<br />

T /<br />

2<br />

2<br />

a). tipe inti.<br />

a). tipe sel.<br />

Gb.7.9. Dua tipe konstruksi transformator.<br />

T : jumlah lilitan tegangan tinggi<br />

R : jumlah lilitan tegangan rendah.<br />

R / 4<br />

T / 2<br />

R / 2<br />

T / 2<br />

R / 4<br />

43


2.9. Transformator Pada Sistem Tiga Fasa<br />

Pada sistem tiga fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat dilakukan<br />

dengan dua cara yaitu :<br />

(a) menggunakan tiga unit transformator satu fasa,<br />

(b) menggunakan satu unit transformator tiga fasa.<br />

Transformator tiga fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap kaki<br />

mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran daya yang<br />

sama, penggunaan satu unit transformator tiga fasa akan lebih ringan,<br />

lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga unit<br />

transformator satu fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit transformator<br />

satu fasa juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan satu<br />

unit transformator tiga fasa. Misalnya beaya awal yang lebih rendah, jika<br />

untuk sementara beban dapat dilayani dengan dua unit saja dan unit<br />

ketiga ditambahkan jika penambahan beban telah terjadi. Terjadinya<br />

kerusakan pada salah satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh<br />

penyaluran daya. Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari<br />

berbagai pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah<br />

sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder<br />

transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga fasa melalui tiga unit<br />

transformator satu fasa.<br />

Hubungan ∆−∆. Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu<br />

fasa untuk melayani sistem tiga fasa, hubungan sekunder harus<br />

diperhatikan agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini<br />

diperlihatkan pada Gb.2.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W<br />

sedangkan fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer<br />

kita sebut V UO , V VO , V WO dengan nilai V FP , dan tegangan fasa sekunder<br />

kita sebut V XO , V YO , V ZO dengan nilai V FS . Nilai tegangan saluran<br />

(tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita sebut V LP dan V LS . Nilai<br />

arus saluran primer dan sekunder masing-masing kita sebut I LP dan I LS<br />

sedang nilai arus fasanya I FP dan I FS . Rasio tegangan fasa primer<br />

terhadap sekunder V / V a . Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk<br />

FP FS =<br />

hubungan ∆-∆ kita peroleh :<br />

VLP VFP<br />

I LP I FP 3 1<br />

= = a ; = =<br />

(2.27)<br />

VLS<br />

VFP<br />

I LS I FS 3 a<br />

44 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


U<br />

X<br />

V UO<br />

V XO<br />

V<br />

V VO<br />

V YO<br />

Y<br />

V UV = V UO<br />

V XY = V XO<br />

W<br />

Z<br />

V WO<br />

V ZO<br />

Gb.2.10. Hubungan ∆-∆.<br />

Hubungan ∆-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.11.<br />

Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan<br />

tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder<br />

dengan perbedaan sudut fasa 30 o . Dengan mengabaikan rugi-rugi kita<br />

peroleh<br />

VLP VFP<br />

a I LP I FP 3 3<br />

= = ; = =<br />

(2.28)<br />

VLS<br />

VFS<br />

3 3 I LS I FS a<br />

Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30 o .<br />

U<br />

X<br />

V<br />

V UO<br />

V XO<br />

Y<br />

V UV = V UO<br />

V ZO<br />

V XY<br />

W<br />

V VO<br />

V YO<br />

Z<br />

V XO<br />

V WO<br />

V ZO<br />

V YO<br />

Gb.2.11. Hubungan ∆-Y<br />

Hubungan Y-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.12.<br />

Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer<br />

dengan perbedaan sudut fasa 30 o , tegangan fasa-fasa sekunder sama<br />

dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut fasa 30 o .<br />

Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder adalah<br />

45


VLP VFP<br />

3 I LP I FP 1<br />

= = a ; = =<br />

(2.29)<br />

VLS<br />

V<br />

I LS I FS a<br />

FS 3<br />

Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat<br />

perbedaan sudut fasa.<br />

U<br />

X<br />

V UO<br />

V XO<br />

V<br />

Y<br />

V VO<br />

V YO<br />

W<br />

Z<br />

V WO<br />

V ZO<br />

V WO<br />

V UV<br />

V ZO<br />

V XY<br />

V UO<br />

V XO<br />

V VO<br />

V YO<br />

Gb2.12. Hubungan Y-Y<br />

Hubungan Y-∆. Hubungan ini terlihat pada Gb.2.13.<br />

Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer<br />

dengan perbedaan sudut fasa 30 o , sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder<br />

sama dengan tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi<br />

diperoleh<br />

VLP<br />

VLS<br />

VFP<br />

3<br />

I LP I FP 1<br />

= = a 3 ; = = (2.30)<br />

VFS<br />

I LS I FS 3 a 3<br />

Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30 o .<br />

46 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


U<br />

V<br />

W<br />

V UO<br />

V VO<br />

V WO<br />

V XO<br />

V YO<br />

V ZO<br />

X<br />

Y<br />

Z<br />

V WO<br />

V UV<br />

V XY = V XO<br />

V UO<br />

V ZO<br />

V YO<br />

V VO<br />

Gb.2.13. Hubungan Y-∆<br />

COTOH 2.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa,<br />

tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan<br />

mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah<br />

tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran<br />

untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ;<br />

(d) Y-∆ .<br />

Penyelesaian :<br />

a). Untuk hubungan ∆-∆ :<br />

VFP<br />

VLP<br />

6600<br />

VLS<br />

= VFS<br />

= = = = 550 V ;<br />

a a 12<br />

I LP<br />

I LS = I FS 3 = aI FP 3 = a 3 = 12 × 10 = 120 A.<br />

3<br />

b). Untuk hubungan Y-Y :<br />

47


V<br />

I<br />

LS<br />

LS<br />

= V<br />

FS<br />

== I<br />

FS<br />

VFP<br />

VLP<br />

3 6600<br />

3 = 3 = = = 550 V ;<br />

a 3 a 12<br />

= aI = aI = 12 × 10 = 120 A.<br />

FP<br />

c). Untuk hubungan ∆-Y :<br />

VFP<br />

VLP<br />

6600<br />

VLS<br />

= VFS<br />

3 = 3 = 3 = 3 = 953 V ;<br />

a a 12<br />

I LP 10<br />

I LS = I FS = aI FP = a = 12 = 69,3 A.<br />

3 3<br />

d) Untuk hubungan Y-∆ :<br />

V<br />

I<br />

LS<br />

LS<br />

= V<br />

= I<br />

FS<br />

FS<br />

V<br />

=<br />

a<br />

FP<br />

3 = aI<br />

LP<br />

1 VLP<br />

= =<br />

a 3<br />

FP<br />

3 = aI<br />

1<br />

12<br />

LP<br />

6600<br />

= 318 V ;<br />

3<br />

3 = 12 × 10 ×<br />

3 = 208 A .<br />

Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan daya<br />

masukan.<br />

S keluaran<br />

= Smasukan<br />

= VLP<br />

I LP<br />

3 = 6,6 × 10 3 = 114,3 kVA.<br />

Soal-Soal<br />

1. Sebuah transformator satu fasa diinginkan untuk menurunkan<br />

tegangan bolak-balik 50 Hz dari 20 kV ke 250 V dalam keadaan tak<br />

berbeban. Jika fluksi magnetik dalam inti transformator adalah sekitar<br />

0.08 Wb, tentukan jumlah lilitan belitan primer dan sekundernya.<br />

2. Sebuah transformator tipe inti hendak digunakan untuk menurunkan<br />

tegangan bolak-balik 50 Hz, dari 3000 ke 220 V. Inti berpenampang<br />

persegi dengan ukuran 20 cm × 20 cm. Hitunglah jumlah lilitan pada<br />

kedua belitan jika kerapatan fluksi pada inti dibatasi 1 Wb/m 2 .<br />

3. Jumlah lilitan belitan primer dan sekunder transformator satu fasa<br />

adalah 200 dan 100 lilitan dan resistansinya 0,255 Ω dan 0,074 Ω.<br />

Hitunglah resistansi belitan primer dilihat di sekunder, resistansi<br />

sekunder dilihat di primer, dan resistansi total di sisi primer.<br />

48 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


4. Pada test transformator dengan belitan sekunder dihubung singkat,<br />

diperoleh data sebagai berikut : tegangan primer 60 V, arus 100 A,<br />

daya masukan 1,2 kW. Hitunglah resistansi dan reaktansi<br />

transformator dilihat di sisi primer.<br />

5. Sebuah transformator 40 kVA, 2000/250 V, mempunyai resistansi<br />

belitan primer 1,15 Ω dan resistansi belitan sekunder 0,0155 Ω.<br />

Hitunglah rugi-rugi tembaga total dalam keadaan beban penuh.<br />

6. Sebuah transformator 220/110 V, 50 Hz, mempunyai impedansi<br />

0,3+j0,8 Ω di belitan 220 V dan 0,1+j0,25 Ω di belitan 100 V.<br />

Hitunglah arus di kedua belitan jika terjadi hubung singkat di sisi<br />

tegangan rendah sedangkan sisi tegangan tinggi terhubung pada<br />

tegangan 220 V.<br />

7. Data test pada transformator 15 kVA, 2200/440 V, 50 Hz adalah<br />

sebagai berikut. Test hubung singkat : P = 620 W, I = 40 A, V = 25 V.<br />

Test beban nol : P = 320 W, I = 1 A, V = 440 V.<br />

Hitunglah regulasi tegangan pada pembebanan penuh dengan faktor<br />

daya 0,8 lagging (abaikan arus magnetisasi). Hitung pula efisiensi<br />

pada pembebanan tersebut.<br />

8. Data test pada transformator 110 kVA, 4400/440 V, 50 Hz adalah<br />

sebagai berikut. Test hubung singkat : P = 2000 W, I = 200 A, V = 18<br />

V. Test beban nol : P = 1200 W, I = 2 A, V = 4400 V.<br />

Hitunglah regulasi tegangan pada pembebanan penuh dengan faktor<br />

daya 0,8 lagging (abaikan arus magnetisasi). Hitung pula efisiensi<br />

pada pembebanan tersebut.<br />

9. Data test pada transformator 30 kVA, 2400/240 V, 50 Hz adalah<br />

sebagai berikut. Test hubung singkat : P = 1050 W, I = 18,8 A, V = 70<br />

V. Test beban nol : P = 230 W, I = 3,0 A, V = 240 V.<br />

Jika transformator ini dibebani 12,5 A dengan faktor daya 0,8 lagging<br />

pada sisi 240 V, hitunglah tegangan pada sisi primer dan hitung pula<br />

efisiensinya pada pembebanan tersebut<br />

10. Pada pembebanan penuh transformator 150 kVA, rugi-rugi tembaga<br />

adalah 1600 W dan rugi-rugi besi 1400 W. Hitung efisiensi pada<br />

pembebanan 25%, 33% dan 100% dari beban penuh untuk faktor<br />

daya 1 dan 0,8 lagging. Abaikan pengaruh kenaikan temperatur dan<br />

arus magnetisasi.<br />

49


11. Efisiensi transformator satu fasa 400 kVA adalah 98,77% pada<br />

pembebanan penuh dengan faktor daya 0,8 dan 99,13% pada setengah<br />

beban penuh dengan faktor daya 1. Hitunglah rugi-rugi besi serta<br />

rugi-rugi tembaga pada beban pebuh.<br />

12. Sebuah transformator 6600/440 V, 50 Hz, terhubung ∆-Y dibebani<br />

motor 50 HP, 440 V, faktor daya 0,85, dan efisiensinya 90%. Dengan<br />

mengabaikan arus magnetisasi pada transformator, hitunglah arus di<br />

belitan primer dan sekunder jika motor bekerja pada beban penuh.<br />

13. Tentukan jumlah lilitan per fasa di setiap belitan dari sebuah<br />

transformator 3 fasa dengan rasio tegangan 20000/2000 V, pada<br />

frekuensi 50 Hz dengan hubungan ∆-Y. Luas penampang inti 600 cm 2<br />

dan kerapatan fluksi sekitar 1,2 Wb/m 2 .<br />

14. Tentukan jumlah lilitan per fasa di setiap belitan dari sebuah<br />

transformator 3 fasa dengan rasio tegangan 12000/400 V, pada<br />

frekuensi 50 Hz dengan hubungan Y-∆. Luas penampang inti 400 cm 2<br />

dan kerapatan fluksi sekitar 1,2 Wb/m 2 .<br />

15. Tegangan primer transformator 3 fasa terhubung ∆-Y adalah 12000 V<br />

(fasa-fasa). Pada pembebanan dengan faktor daya 0,8 lagging<br />

tegangan sekunder yang terhubung Y adalah 410 V (fasa-fasa).<br />

Resistansi dan reaktansi ekivalen adalah 1 dan 5%. Tentukan perbandingan<br />

jumlah lilitan primer/sekunder<br />

50 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


BAB 3<br />

Mesin Sinkron<br />

Setelah mempelajari bab ini kita akan<br />

• memahami cara kerja generator sinkron;<br />

• memahami hubungan jumlah kutub, kecepatan perputaran,<br />

frekuensi, dan mampu menghitung tegangan imbas pada<br />

jangkar;<br />

• mampu menggambarkan diagram fasor dan memahami<br />

rangkaian ekivalen mesin sinkron rotor silindris;<br />

• mampu melakukan perhitungan sederhana pada mesin sinkron<br />

melalui karakteristik celah udara dan karakteristik hubung<br />

singkat.<br />

Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari sisi<br />

primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator tersebut sama<br />

bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka mempunyai peubah<br />

sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda besarnya. Kita katakan<br />

bahwa transformator merupakan piranti konversi energi dari energi listrik<br />

ke energi listrik.<br />

Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder<br />

transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan<br />

fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi<br />

primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu dapat<br />

pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis; cara inilah<br />

yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari energi mekanis ke<br />

energi listrik atau disebut konversi energi elektromekanik. Konversi<br />

energi elektromekanik ini tidak hanya dari mekanis ke listrik tetapi juga<br />

dari listrik ke mekanis, dan dilandasi oleh dua hukum dasar yang kita<br />

kenal yaitu hukum Faraday dan hukum Ampere. Secara matematis kedua<br />

hukum ini dinyatakan dalam persamaan (1.1) dan (1.7)<br />

dλ<br />

dφ<br />

e = − = −<br />

(1.1) dan F = K B B i f (θ) (1.7)<br />

dt dt<br />

Persamaan (1.1) menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan dan<br />

persamaan (1.7) menunjukkan bagaimana gaya mekanis ditimbulkan.<br />

Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat luas<br />

digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut generator<br />

51


sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat yaitu konstruksi<br />

kutub tonjol dan konstruksi rotor silindris.<br />

3.1. Mesin Kutub Menonjol<br />

Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.3.1.a. Mesin<br />

ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan a 1 a 11 sampai<br />

c 2 c 22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar yang mendukung<br />

kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat kita memperoleh energi<br />

disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor yang dialiri arus eksitasi<br />

untuk menimbullkan medan magnit disebut belitan eksitasi. Pada gambar<br />

ini ada empat kutub magnit. Satu siklus kutub S-U pada rotor memiliki<br />

kisar sudut (yang kita sebut sudut magnetis atau sudut listrik) 360 o . Kisar<br />

sudut 360 o ini melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang<br />

bergeser 120 o antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a 1 a 11 dan<br />

belitan b 1 b 11 berbeda posisi 120 o , belitan b 1 b 11 dan c 1 c 11 berbeda posisi<br />

120 o , dan mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga<br />

belitan yang lain, yaitu a 2 a 22 , b 2 b 22 , dan c 2 c 22 berada dibawah satu kisaran<br />

kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120 o .<br />

a<br />

b 11<br />

1 c1<br />

c 11 S b 11<br />

a 1 U U a 2<br />

b 22 S c 22<br />

c 2<br />

a 22<br />

a). skema konstruksi b). belitan c). fluksi magnetik<br />

Gb.3.1. Mesin sinkron kutub tonjol<br />

Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub (dua<br />

pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran rotor) sama<br />

dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan antara sudut kisaran<br />

mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah<br />

atau secara umum<br />

b 2<br />

a 1<br />

180 o mekanis = 360 o<br />

θ magnetik [ derajat]<br />

= 2×<br />

θmekanik<br />

[ derajat]<br />

φ<br />

φ<br />

φ<br />

52 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


p<br />

θ magnetik [ derajat]<br />

= × θmekanik<br />

[ derajat]<br />

(3.1)<br />

2<br />

dengan p adalah jumlah kutub.<br />

Kecepatan sudut mekanik adalah<br />

dθmekanik<br />

ω mekanik = = 2π f mekanik<br />

(3.2)<br />

dt<br />

Frekuensi mekanik f mekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik yang<br />

tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik. Biasanya<br />

kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah rotasi per menit<br />

(rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n rpm, maka jumlah<br />

n n<br />

siklus per detik adalah atau f mekanis = siklus per detik.<br />

60<br />

60<br />

Kecepatan sudut magnetik adalah<br />

dθmagnetik<br />

ω magnetik = = 2π f magnetik<br />

(3.3)<br />

dt<br />

Dengan hubungan (3.1) maka (3.3) menjadi<br />

p<br />

p<br />

p n p n<br />

ω magnetik = ωmekanik<br />

= 2π<br />

f mekanik = 2π<br />

= 2π<br />

2<br />

2<br />

2 60 120<br />

yang berarti<br />

p n<br />

f magnetik = siklus per detik (3.4)<br />

120<br />

Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi di<br />

setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi<br />

p n<br />

f magnetik = Hz maka tegangan pada belitanpun akan mempunyai<br />

120<br />

frekuensi<br />

p n<br />

f tegangan = Hz<br />

(3.5)<br />

120<br />

Dengan (3.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi tertentu,<br />

kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah kutub. Jika<br />

diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n = 3000 rpm; jika p =<br />

4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000 rpm, dan seterusnya.<br />

53


Konstruksi mesin dengan kutub menonjol seperti pada Gb.3.1. sesuai<br />

untuk mesin putaran rendah tetapi tidak sesuai untuk mesin putaran<br />

tinggi karena kendala-kendala mekanis. Untuk mesin putaran tinggi<br />

digunakan rotor dengan konstruksi silindris.<br />

180 o mekanis = 360 o magnetik<br />

a 11<br />

φ s<br />

a<br />

θ<br />

1<br />

Gb.3.2. Perhitungan fluksi.<br />

Dengan pergeseran posisi belitan 120 o magnetik untuk setiap pasang<br />

kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga fasa untuk setiap<br />

pasang kutub, yaitu e a1 pada belitan a 1 a 11 , e b1 pada b 1 b 11 , dan e c1 pada<br />

c 1 c 11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan e a2 , e b2 dan e c2 pada<br />

belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi setiap pasang<br />

kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga fasa pada belitanbelitan<br />

yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan yang sefasa,<br />

misalnya e a1 dan e a2 , dapat dijumlahkan untuk memperoleh tegangan<br />

yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk memperoleh arus yang lebih<br />

besar.<br />

Tegangan yang terbangkit di belitan pada umumnya diinginkan<br />

berbentuk gelombang sinus v = Acos ωt<br />

, dengan pergeseran 120 o untuk<br />

belitan fasa-fasa yang lain. Tegangan sebagai fungsi waktu ini pada<br />

transformator dapat langsung diperoleh di belitan sekunder karena<br />

fluksinya merupakan fungsi waktu. Pada mesin sinkron, fluksi<br />

dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor yang dialiri arus searah<br />

sehingga fluksi tidak merupakan fungsi waktu. Akan tetapi fluksi yang<br />

ditangkap oleh belitan stator harus merupakan fungsi waktu agar<br />

persamaan (1.1) dapat diterapkan untuk memperoleh tegangan. Fluksi<br />

sebagai fungsi waktu diperoleh melalui putaran rotor. Jika φ adalah<br />

54 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


fluksi yang dibangkitkan di rotor dan memasuki celah udara antara rotor<br />

dan stator dengan nilai konstan maka, dengan mengabaikan efek<br />

pinggir, laju pertambahan fluksi yang ditangkap oleh belitan stator<br />

adalah<br />

dφ<br />

dθ<br />

s magnetik<br />

= φ = φ ωmagnetik<br />

dt dt<br />

p n<br />

Karena ω magnetik = 2π<br />

f magnetik = 2π<br />

, maka<br />

120<br />

dφ<br />

s<br />

dt<br />

= φ π<br />

p n<br />

60<br />

Dari (3.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu<br />

(3.6)<br />

(3.7)<br />

dφ<br />

s p n<br />

v = −<br />

= −<br />

φ π<br />

(3.8)<br />

dt 60<br />

Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (3.8) memberikan suatu t<br />

egangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah<br />

perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda berikutnya.<br />

Maka (3.8) memberikan tegangan bolak-balik yang tidak sinus. Untuk<br />

memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus berbentuk sinus juga.<br />

Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi sinus terhadap waktu, akan<br />

tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu terhadap θ maknetik . Jadi jika<br />

φ = φ m cos θ maknetik<br />

(3.9)<br />

maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah<br />

( φ cosθ<br />

)<br />

dφs<br />

dφ<br />

d<br />

dθmagnetik<br />

= = m magnetik = −φm<br />

sinθmagnetik<br />

dt dt dt<br />

dt<br />

⎛ p n ⎞<br />

= −φ m ω magnetik sin θ mmagnetik = −φ m⎜2<br />

π ⎟ sin θmagnetik<br />

⎝ 120 ⎠<br />

(3.10)<br />

sehingga tegangan belitan<br />

dφ<br />

s p n<br />

e = −<br />

= π φm<br />

sin θmagnetik<br />

dt 60 (3.11)<br />

= 2π<br />

f φm<br />

sin θmagnetik<br />

= ω φm<br />

sin ωt<br />

Persamaan (3.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang<br />

dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini adalah<br />

55


dan nilai efektifnya adalah<br />

Em<br />

= ω<br />

φm<br />

Volt<br />

(3.12)<br />

Em<br />

ω<br />

φm<br />

2π<br />

f<br />

Erms<br />

= = =<br />

2 2 2<br />

= 4,44 f φm<br />

Volt<br />

φm<br />

56 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)<br />

(3.13)<br />

Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan<br />

perhitungan fluksi seperti diperlihatkan pada Gb.3.2. yang merupakan<br />

penyederhanaan dari konstruksi mesin seperti diperlihatkan pada<br />

Gb.3.1.a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:<br />

1. Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan a 1 a 11 ,<br />

yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun gulungan itu<br />

terdiri dari lilitan. Belitan semacam ini kita sebut belitan<br />

terpusat.<br />

2. Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a 1 dan a 11<br />

adalah 180 o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut kisar<br />

penuh.<br />

Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan, melainkan<br />

terdistribusi di beberapa belitan yang menempati beberapa pasang alur<br />

stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan terdistribusi, yang dapat<br />

menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh (60 o magnetik). Selain dari<br />

pada itu, gulungan yang menempati sepasang alur secara sengaja dibuat<br />

tidak mempunyi lebar satu kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180 o akan<br />

tetapi hanya 80% sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan<br />

terdistribusi dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk<br />

menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan fluksi.<br />

Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi komponen<br />

fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan suatu faktor K w<br />

yang kita sebut faktor belitan. Biasanya K w mempunyai nilai antara 0,85<br />

sampai 0,95. Dengan adanya faktor belitan ini formulasi tegangan (3.13)<br />

menjadi<br />

Erms = 4,44<br />

f K w φm<br />

Volt<br />

(3.14)<br />

Pada pengenalan ini kita hanya melihat mesin sinkron kutub tonjol dalam<br />

keadaan tak berbeban; analisis dalam keadaan berbeban akan kita pelajari<br />

lebih lanjut pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin listrik.<br />

Selanjutnya kita akan melihat mesin sinkron rotor silindris.


COTOH 3.1: Sebuah generator sinkron tiga fasa, 4 kutub, belitan<br />

jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan setiap<br />

alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara sinus<br />

dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan perputaran rotor<br />

1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar dan nilai rms<br />

tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa.<br />

Penyelesaian :<br />

Frekuensi tegangan jangkar adalah<br />

p n 4×<br />

1500<br />

f = = = 50 Hz<br />

120 120<br />

12<br />

Jumlah alur per kutub adalah = 3 yang berarti setiap pasang<br />

4<br />

kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tiga fasa.<br />

Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan.<br />

Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah<br />

E ak = 4 ,44 f φm<br />

= 4,44×<br />

50×<br />

10×<br />

0,03 = 66,6 V<br />

Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2 ×<br />

66,6 = 133 V.<br />

Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.<br />

COTOH 3.2: Soal seperti pada contoh 3.1. tetapi jumlah alur pada<br />

stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain tetap.<br />

Penyelesaian :<br />

Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh<br />

karena itu frekuensi tetap 50 Hz.<br />

24<br />

Jumlah alur per kutub adalah = 6 yang berarti setiap pasang<br />

4<br />

kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem tegangan tiga fasa.<br />

Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub terdiri dari 2 belitan yang<br />

masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai rms tegangan jangkar untuk<br />

setiap belitan adalah<br />

E a1 = 4,44 f φm<br />

V = 4,44×<br />

50×<br />

10×<br />

0,03 = 66,6 V .<br />

57


Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda, maka<br />

terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya. Perbedaan<br />

sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah<br />

360 o<br />

= o<br />

15 mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau 2<br />

24<br />

pasang kutub, maka 1 o mekanik setara dengan 2 o listrik. Jadi selisih<br />

sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30 o listrik sehingga<br />

tegangan rms per fasa per pasang kutub adalah jumlah fasor<br />

tegangan di dua belitan yang berselisih fasa 30 o tersebut.<br />

o<br />

o<br />

E ak = 66,6 + 66,6(cos 30 + j sin 30 ) = 124,8 + j33,3<br />

Karena ada 2 pasang kutub maka<br />

E a<br />

= 2×<br />

2 2<br />

(124,8) + (33,3)<br />

= 258 V<br />

Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V<br />

COTOH 3.3: Soal seperti pada contoh 3.1. tetapi jumlah alur pada<br />

stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat 16 (8<br />

pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375 rpm.<br />

Ketentuan yang lain tetap.<br />

Penyelesaian :<br />

Frekuensi tegangan jangkar :<br />

16×<br />

375<br />

f = = 50 Hz<br />

120<br />

144<br />

Jumlah alur per kutub = 9 yang berarti terdapat 9 belitan per<br />

16<br />

pasang kutub yang membangun sistem tiga fasa. Jadi tiap fasa<br />

terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah<br />

E a1 = 4,44×<br />

50×<br />

10×<br />

0,03 = 66,6 V ; sama dengan tegangan per<br />

belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan dan<br />

fluksi maksimum tidak berubah.<br />

Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan adalah<br />

360 o<br />

= o<br />

2,5 mekanik. Karena mesin mengandung 16 kutub (8<br />

144<br />

pasang) maka 1 o mekanik ekivalen dengan 8 o listrik, sehingga beda<br />

o<br />

fasa tegangan pada belitan-belitan adalah 2 ,5 × 8 = 20 listrik.<br />

Tegangan per fasa per pasang kutub adalah jumlah fasor dari<br />

tegangan belitan yang masing-masing berselisih fasa 20 o .<br />

58 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


E<br />

o<br />

o<br />

ak = 66,6 + 66,6∠20<br />

+ 66,6∠40<br />

= 66,61<br />

o o<br />

o o<br />

( + cos 20 + cos 40 + j(sin 20 + sin 40 ))<br />

= 180,2 + j65,6<br />

Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah<br />

E a<br />

= 8×<br />

2 2<br />

(180,2) + (65,6)<br />

= 8×<br />

191,8 = 1534<br />

V<br />

Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V<br />

3.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris<br />

Sebagaimana telah disinggung di atas, mesin kutub tonjol sesuai untuk<br />

perputaran rendah. Untuk perputaran tinggi digunakan mesin rotor<br />

silindris yang skemanya diperlihatkan ada Gb.3.3.<br />

a<br />

b 1<br />

c<br />

U c 1<br />

S b<br />

a 1<br />

Gb.3.3. Mesin sinkron rotor silindris.<br />

Rotor mesin ini berbentuk silinder dengan alur-alur untuk menempatkan<br />

belitan eksitasi. Dengan konstruksi ini, reluktansi magnetik jauh lebih<br />

merata dibandingkan dengan mesin kutub tonjol. Di samping itu kendala<br />

mekanis untuk perputaran tinggi lebih mudah diatasi dibanding dengan<br />

mesin kutub tonjol. Belitan eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah<br />

sehingga rotor membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti terlihat<br />

pada gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat aa 1 , bb 1 dan<br />

cc 1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar tidak terlalu rumit,<br />

walaupun dalam kenyataan pada umumnya dijumpai belitan-belitan<br />

terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari kisaran penuh.<br />

59


Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi rotor<br />

(pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi mirip dengan<br />

tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada transformator kita<br />

mempunyai fluksi konstan, sedangkan pada mesin sinkron fluksi<br />

tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva magnetisasi dari<br />

mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol. Pada uji beban nol,<br />

mesin diputar pada perputaran sinkron (3000 rpm) dan belitan jangkar<br />

terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran pada belitan jangkar sebagai<br />

fungsi arus eksitasi (disebut juga arus medan) pada belitan eksitasi di<br />

rotor. Kurva tegangan keluaran sebagai fungsi arus eksitasi seperti<br />

terlihat pada Gb.3.4. disebut karakteristik beban nol. Bagian yang<br />

berbentuk garis lurus pada kurva itu disebut karakteristik celah udara<br />

dan kurva inilah (dengan ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk<br />

melakukan analisis mesin sinkron.<br />

12000<br />

11000<br />

10000<br />

celah udara<br />

V=kI f<br />

beban-nol<br />

V=V(I f )| I =0<br />

9000<br />

Tegangan Fasa-Netral [V]<br />

8000<br />

7000<br />

6000<br />

5000<br />

4000<br />

3000<br />

2000<br />

1000<br />

hubung singkat<br />

I = I (I f ) | V=0<br />

Arus fasa [A]<br />

0 0 50 100 150 Arus 200medan 250 300[A]<br />

350 400 450 500<br />

Gb30.4. Karakteristik beban-nol dan hubung singkat.<br />

Karakteristik celah udara (linier).<br />

Karakterik lain yang penting adalah karakteritik hubung singkat yang<br />

dapat kita peroleh dari uji hubung singkat. Dalam uji hubung singkat ini<br />

mesin diputar pada kecepatan perputaran sinkron dan terminal belitan<br />

60 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


jangkar dihubung singkat (belitan jangkar terhubung Y). Kita mengukur<br />

arus fasa sebagai fungsi dari arus eksitasi. Kurva yang akan kita peroleh<br />

akan terlihat seperti pada Gb.3.4. Kurva ini berbentuk garis lurus karena<br />

untuk mendapatkan arus beban penuh pada percobaan ini, arus eksitasi<br />

yang diperlukan tidak besar sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari<br />

keadaan jenuh. Fluksi magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang<br />

diperlukan untuk membangkitkan tegangan untuk mengatasi tegangan<br />

jatuh di impedansi belitan jangkar.<br />

Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat<br />

memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus medan.<br />

Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf (lilitan ampere)<br />

untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang mengimbaskan<br />

tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan karakteristik ini kita dapat<br />

menyatakan pembangkit fluksi tidak dengan mmf akan tetapi dengan<br />

arus medan ekivalennya dan hal inilah yang akan kita lakukan dalam<br />

menggambarkan diagram fasor yang akan kita pelajari beikut ini.<br />

Diagram Fasor. Reaktansi Sinkron. Kita ingat bahwa pada<br />

transformator besaran-besaran tegangan, arus, dan fluksi, semuanya<br />

merupakan besaran-besaran yang berubah secara sinusoidal terhadap<br />

waktu dengan frekuensi yang sama sehingga tidak terjadi kesulitan<br />

menyatakannya sebagai fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan dan<br />

arus yang merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor, walaupun<br />

ia merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu tetapi terhadap<br />

posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya. Menurut konsep fasor,<br />

kita dapat menyatakan besaran-besaran ke dalam fasor jika besaranbesaran<br />

tersebut berbentuk sinus dan berfrekuensi sama. Oleh karena itu<br />

kita harus mencari cara yang dapat membuat fluksi rotor dinyatakan<br />

sebagai fasor. Hal ini mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi<br />

rotor sebagai dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan<br />

jangkar. Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia<br />

dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar melihatnya<br />

sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru karena itulah terjadi<br />

tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai dengan hukum Faraday. Dan<br />

sudah barang tentu frekuensi tegangan imbas di belitan jangkar sama<br />

dengan frekuensi fluksi yang dilihat oleh belitan jangkar.<br />

Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga arus<br />

jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.<br />

61


a<br />

U<br />

θ<br />

U<br />

a<br />

S<br />

sumbu<br />

e maks<br />

S<br />

sumbu<br />

i maks<br />

a 1<br />

sumbu<br />

magnet<br />

(a)<br />

(b)<br />

a 1<br />

sumbu<br />

magnet<br />

Gb.3.5. Posisi rotor pada saat e maks dan i maks .<br />

Gb.3.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di aa 1<br />

maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu kerapatan<br />

fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a 1 adalah maksimum.<br />

Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik yang dilingkupi oleh<br />

belitan aa 1 adalah minimum. Sementara itu arus di belitan aa 1 belum<br />

maksimum karena beban induktif. Pada saat arus mencapai nilai<br />

maksimum posisi rotor telah berubah seperti terlihat pada Gb.3.5.b.<br />

Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut<br />

magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama dengan<br />

pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan mmf jangkar<br />

yang membangkitkan medan magnetik lawan yang akan memperlemah<br />

fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini maka arus eksitasi haruslah<br />

sedemikian rupa sehingga tegangan keluaran mesin dipertahankan.<br />

Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami reluktansi<br />

magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf rotor. Hal ini<br />

berbeda dengan mesin kutub tonjol yang akan membuat analisis mesin<br />

kutub tonjol memerlukan cara khusus sehingga kita tidak melakukannya<br />

dalam bab pengenalan ini.<br />

Diagram fasor (Gb.3.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut<br />

1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.<br />

2. Tegangan terminal V a dan arus jangkar I a adalah nominal.<br />

62 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi<br />

tegangan imbas tertinggal 90 o dari fluksi yang<br />

membangkitkannya.<br />

4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor X l dan resistansi R a .<br />

5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.<br />

Dengan mengambil tegangan terminal jangkar V a sebagai referensi, arus<br />

jangkar I a tertinggal dengan sudut θ dari V a (beban induktif). Tegangan<br />

imbas pada jangkar adalah<br />

( R + jX )<br />

E a = Va<br />

+ I a a l<br />

(3.15)<br />

Tegangan imbas E a ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara Φ a<br />

yang dinyatakan dengan arus ekivalen I fa mendahului E a 90 o . Arus<br />

jangkar I a memberikan fluksi jangkar Φ a yang dinyatakan dengan arus<br />

ekivalen I φa . Jadi fluksi dalam celah udara merupakan jumlah dari fluksi<br />

rotor Φ f yang dinyatakan dengan arus ekivalen I f dan fluksi jangkar. Jadi<br />

I fa = I f + I φa<br />

atau I f = I fa − Iφa<br />

(3.16)<br />

Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor I f haruslah cukup untuk<br />

membangkitkan fluksi celah udara untuk membangkitkan E a dan<br />

mengatasi fluksi jangkar agar tegangan terbangkit E a dapat<br />

dipertahankan. Perhatikan Gb.3.6. I f membangkitkan tegangan E aa 90 o di<br />

belakang I f dan lebih besar dari E a .<br />

E aa<br />

I f =I fa − I φa<br />

−I φa<br />

I fa<br />

I φa<br />

θ<br />

γ<br />

jI a X l<br />

V a<br />

I a<br />

I a R a<br />

Gb.3.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.<br />

E a<br />

63


Hubungan antara nilai E a dan I fa diperoleh dari karakteristik celah udara,<br />

sedangkan antara nilai I a dan I φa diperoleh dari karakteristik hubung<br />

singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti terlihat pada Gb.3.6., dapat<br />

dinyatakan dalam bentuk hubungan<br />

E a = kv<br />

I fa dan I a = ki<br />

Iφa<br />

atau<br />

I fa = Ea<br />

/ kv<br />

dan I φ a = I a / ki<br />

(3.17)<br />

dengan k v dan k i adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan<br />

kurva. Dari (3.47) dan Gb.3.6. kita peroleh<br />

Ea<br />

o I a o<br />

I f = I fa − I φa<br />

= ∠(90<br />

+ γ)<br />

+ ∠(180<br />

− θ)<br />

kv<br />

ki<br />

(3.18)<br />

Ea<br />

I a<br />

= j ∠γ − ∠ − θ<br />

kv<br />

ki<br />

Dari (3.18) kita peroleh E aa yaitu<br />

⎛ Ea<br />

I a ⎞<br />

Eaa<br />

= − jkvI<br />

f = − jkv<br />

⎜ j<br />

⎟<br />

∠γ − ∠ − θ<br />

kv<br />

k<br />

⎝<br />

i ⎠<br />

kv<br />

kv<br />

= Ea∠γ + j I a∠ − θ = Ea<br />

+ j I a<br />

ki<br />

ki<br />

Suku kedua (3.19) dapat kita tulis sebagai<br />

jX<br />

I<br />

φa<br />

a dengan<br />

(3.19)<br />

kv<br />

X φ a =<br />

(3.20)<br />

ki<br />

yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat<br />

adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (3.19) dapat ditulis<br />

= Va<br />

+ I a<br />

( R + jX )<br />

a<br />

a<br />

( R + jX )<br />

Eaa<br />

= Ea<br />

+ jX φaI<br />

a = Va<br />

+ I a a l + jX φaI<br />

a<br />

(3.21)<br />

dengan<br />

X<br />

a<br />

= X l + X φa<br />

yang disebut reaktansi sinkron.<br />

Diagram fasor Gb.3.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.3.7. untuk<br />

memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi sinkron.<br />

Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan dengan<br />

memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik linier<br />

64 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh karena itu<br />

reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak jenuh.<br />

E aa<br />

I f =I fa − I φa<br />

−I φa<br />

I fa<br />

I φa<br />

θ<br />

γ<br />

jI a X l<br />

V a<br />

I I a R a a<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Dengan pengertian reaktansi sinkron dan<br />

memperhatikan<br />

persamaan (3.21)<br />

I a<br />

kita dapat<br />

menggambarkan<br />

R<br />

rangkaian<br />

+ a jX a +<br />

ekivalen mesin<br />

− E<br />

V a Beban<br />

aa<br />

−<br />

sinkron dengan<br />

beban seperti<br />

terlihat pada<br />

Gb.3.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen mesin sinkron.<br />

Gb.3.8.<br />

Perhatikanlah bahwa rangkaian ekivalen ini adalah rangkaian ekivalen<br />

per fasa. Tegangan V a adalah tegangan fasa-netral dan I a adalah arus<br />

fasa.<br />

COTOH 3.11 : Sebuah generator sinkron tiga fasa 10 MVA,<br />

terhubung Y, 50 Hz, Tegangan fasa-fasa 13,8 kV, mempunyai<br />

karakteristik celah udara yang dapat dinyatakan sebagai<br />

E a = 53,78<br />

I f V dan karakteristik hubung singkat I a = 2,7<br />

I f A<br />

(I f dalam ampere). Resistansi jangkar per fasa adalah 0,08 Ω dan<br />

E a<br />

jI a X φa<br />

jI a X a<br />

Gb.3.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;<br />

reaktansi reaksi jangkar (X φa ) dan reaktansi sinkron (X a ).<br />

65


eaktansi bocor per fasa 1,9 Ω. Tentukanlah arus eksitasi (arus<br />

medan) yang diperlukan untuk membangkitkan tegangan terminal<br />

nominal jika generator dibebani dengan beban nominal seimbang<br />

pada faktor daya 0,8 lagging.<br />

Penyelesaian :<br />

13800<br />

Tegangan per fasa adalah V a = = 7967,4 V .<br />

3<br />

6<br />

10 × 10<br />

Arus jangkar per fasa : I a =<br />

= 418,4 A .<br />

13800 × 3<br />

Reaktansi reaksi jangkar :<br />

X φ a<br />

kv<br />

=<br />

ki<br />

=<br />

53,78<br />

= 19,92<br />

2,7<br />

Ω<br />

Reaktansi sinkron :<br />

X a = X l + X φ a = 1,9 + 19,92 = 21,82<br />

Ω<br />

Dengan mengambil V a sebagai referensi, maka V a = 7967,4 ∠0 o V<br />

dan I a = 418,4∠−36,87, dan tegangan terbangkit :<br />

E aa = V a + I a ( R a + jXa)<br />

o<br />

= 7967,4∠0<br />

+ 418,4∠ − 36,87(0.08 + j21.82)<br />

o<br />

o<br />

≈ 7967,4∠0<br />

+ 9129,5∠53,13<br />

= 13445,1 + j7303,6<br />

E aa<br />

=<br />

2<br />

2<br />

(13445,1) + (7303,6)<br />

= 15300<br />

V<br />

Arus eksitasi yang diperlukan adalah<br />

I f<br />

E =<br />

aa<br />

kv<br />

15300 = = 284,5<br />

53,78<br />

A<br />

Daya. Daya per fasa yang diberikan ke beban adalah<br />

P f = Va<br />

I a cos θ<br />

(3.22)<br />

Pada umumnya pengaruh resistansi jangkar sangat kecil dibandingkan<br />

dengan pengaruh reaktansi sinkron. Dengan mengabaikan resistansi<br />

jangkar maka diagram fasor mesin sinkron menjadi seperti Gb.3.9.<br />

66 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


E aa<br />

θ<br />

jI a X a<br />

θ<br />

δ<br />

V a<br />

I a<br />

Gb.3.9. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;<br />

resistansi jangkar diabaikan.<br />

Pada Gb.3.9. terlihat bahwa<br />

Eaa<br />

E aa sin δ = Ia<br />

X a cosθ<br />

atau I a cos θ = sin δ .<br />

X a<br />

Dengan demikian maka (3.22) dapat ditulis sebagai<br />

Va<br />

Eaa<br />

P f = sin δ (3.23)<br />

X a<br />

Persamaan (3.23) ini<br />

memberikan formulasi daya<br />

per fasa dan sudut δ<br />

menentukan besarnya daya;<br />

oleh karena itu sudut δ<br />

disebut sudut daya (power<br />

angle). Daya P f merupakan<br />

fungsi sinus dari sudut daya<br />

δ seperti terlihat pada<br />

Gb.3.10.<br />

0<br />

-180 -90 0 90 180<br />

motor<br />

P1.1<br />

f<br />

Untuk 0 < δ < 180 o daya<br />

bernilai positif, mesin beroperasi sebagai generator yang memberikan<br />

daya. (Jangan dikacaukan oleh konvensi pasif karena dalam<br />

menggambarkan diagram fasor untuk mesin ini kita menggunakan<br />

-1.1<br />

generator<br />

δ ( o<br />

listrik)<br />

Gb.3.10. Daya fungsi sudut daya.<br />

67


ketentuan tegangan naik dan bukan tegangan jatuh). Untuk 0 > δ ><br />

−180 o mesin beroperasi sebagai motor, mesing menerima daya.<br />

Dalam pengenalan mesin-mesin listrik ini, pembahasan mengenai mesin<br />

sikron kita cukupkan sampai di sini. Pembahasan lebih lanjut akan kita<br />

peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin listrik.<br />

Soal-Soal<br />

1. Sebuah generator sinkron 3 fasa, 50 Hz, 10 kutub, memiliki 90 alur di<br />

statornya. Fluksi maksimum per kutub adalah sekitar 0,2 Wb.<br />

Tentukanlah jumlah lilitan per belitan jika tegangan fasa-fasa yang<br />

diharapkan adalah 12 kV, dengan belitan jangkar terhubung Y.<br />

2. Sebuah generator sinkron 3 fasa, 10 kutub, hubungan Y, kecepatan<br />

perputaran 600 rpm. Jumlah alur stator 120 dengan 8 konduktor tiap<br />

alur; belitan fasa terhubung seri. Jika fluksi maksimum tiap kutub<br />

adalah 0,06 Wb, hitunglah tegangan imbas fasa-netral dan fasa-fasa.<br />

3. Sebuah generator sikron 3 fasa, 1500 kVA, 6600 V, hubungan Y,<br />

mempunyai karakteristik celah udara sebagai V a = 57,14×<br />

I f V dan<br />

karakteristik hubung singkat I = ,63×<br />

I A . Generator bekerja pada<br />

a<br />

2 f<br />

beban penuh pada faktor daya 0,8 lagging. Jika tegangan jatuh reaktif<br />

dan resistif pada jangkar adalah 8% dan 2% dari tegangan normal,<br />

tentukan eksitasi yang diperlukan.<br />

4. Sebuah generator sikron 3 fasa, 5000 kVA, 6600 V, hubungan Y,<br />

mempunyai karakteristik celah udara sebagai V a = 54,44×<br />

I f V dan<br />

karakteristik hubung singkat I a = 21,87<br />

× I f A . Generator bekerja<br />

pada beban penuh pada faktor daya 0,6 lagging. Jika reaktansi dan<br />

resistansi jangkar per fasa adalah 1 Ω dan 0,2 Ω, tentukan selang<br />

eksitasi yang diperlukan untuk mempertahankan tegangan jangkar<br />

tetap konstan dari beban nol sampai beban penuh.<br />

5. Sebuah generator sikron 3 fasa, 1500 kVA, 6600 V, hubungan Y,<br />

beroperasi pada beban penuh dengan faktor daya 0,8 lagging.<br />

Karakteristik celah udara menunjukkan V a = 217,7<br />

× I f V . Generator<br />

ini mempunyai stator dengan 9 alur per kutub dan tiap alur berisi 6<br />

konduktor. Jika tegangan jatuh induktif adalah 10% pada beban<br />

penuh sedangkan resistansi dapat diabaikan. Rotor adalah kutub<br />

tonjol dengan 125 lilitan tiap kutub. Tentukan arus eksitasi pada<br />

beban penuh.<br />

68 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


BAB 4<br />

Motor Asinkron<br />

Setelah mempelajari bab ini, kita akan<br />

• Memahami cara kerja motor asinkron.<br />

• Mampu melakukan perhitungan-perhitungan sederhana pada motor<br />

asinkron melalui rangkaian ekivalen.<br />

4.1. Konstruksi Dan Cara Kerja<br />

Motor merupakan piranti<br />

konversi dari energi listrik ke<br />

energi mekanik. Salah satu<br />

jenis yang banyak dipakai<br />

adalah motor asinkron atau<br />

motor induksi. Di sini kita<br />

hanya akan melihat motor<br />

asinkron tiga fasa. Stator<br />

memiliki alur-alur untuk<br />

memuat belitan-belitan yang<br />

akan terhubung pada sistem<br />

tiga fasa. Gb.4.1. hanya<br />

memperlihatkan tiga belitan<br />

pada stator sebagai belitan<br />

terpusat, yaitu belitan aa 1 ,<br />

bb 1 dan cc 1 yang berbeda<br />

posisi 120 o mekanik. Susunan belitan ini sama dengan susunan belitan<br />

pada stator generator sinkron. Ketiga belitan ini dapat dihubungkan Y<br />

ataupun ∆ untuk selanjutnya disambungkan ke sumber tiga fasa. Rotor<br />

mempunyai alur-alur yang berisi konduktor dan semua konduktor pada<br />

rotor ini dihubung singkat di ujung-ujungnya. Inilah salah satu konstruksi<br />

rotor yang disebut rotor sangkar (susunan konduktor-konduktor itu<br />

berbentuk sangkar).<br />

Untuk memahami secara fenomenologis cara kerja motor ini, kita melihat<br />

kembali bagaimana generator sinkron bekerja. Rotor generator yang<br />

mendukung kutub magnetik konstan berputar pada porosnya. Magnet<br />

yang berputar ini mengimbaskan tegangan pada belitan stator yang<br />

membangun sistem tegangan tiga fasa. Apabila rangkaian belitan stator<br />

tertutup, misalnya melalui pembebanan, akan mengalir arus tiga fasa<br />

b 1<br />

c<br />

a<br />

c 1<br />

b<br />

a 1<br />

Gb.4.1. Motor asinkron.<br />

69


pada belitan stator. Sesuai dengan hukum Lenz, arus tiga fasa ini akan<br />

membangkitkan fluksi yang melawan fluksi rotor; kejadian ini kita kenal<br />

sebagai reaksi jangkar. Karena fluksi rotor adalah konstan tetapi berputar<br />

sesuai perputaran rotor, maka fluksi reaksi jangkar juga harus berputar<br />

sesuai perputaran fluksi rotor karena hanya dengan jalan itu hukum Lenz<br />

dipenuhi. Jadi mengalirnya arus tiga fasa pada belitan rotor<br />

membangkitkan fluksi konstan yang berputar. Sekarang, jika pada belitan<br />

stator motor asinkron diinjeksikan arus tiga fasa (belitan stator<br />

dihubungkan pada sumber tiga fasa) maka akan timbul fluksi konstan<br />

berputar seperti layaknya fluksi konstan berputar pada reaksi jangkar<br />

generator sinkron. Demikianlah bagaimana fluksi berputar timbul jika<br />

belitan stator motor asikron dihubungkan ke sumber tiga fasa.<br />

Kita akan melihat pula secara skematis, bagaimana timbulnya fluksi<br />

berputar. Untuk itu hubungan belitan stator kita gambarkan sebagai tiga<br />

belitan terhubung Y yang berbeda posisi 120 o mekanis satu sama lain<br />

seperti terlihat pada Gb.4.2.a. Belitan-belitan itu masing-masing dialiri<br />

arus i a , i b , dan i c yang berbeda fasa 120 o listrik seperti ditunjukkan oleh<br />

Gb.4.2.b. Masing-masing belitan itu akan membangkitkan fluksi yang<br />

berubah terhadap waktu sesuai dengan arus yang mengalir padanya. Kita<br />

perhatikan situasi yang terjadi pada beberapa titik waktu.<br />

Perhatikan Gb.4.2. Pada t 1 arus i a maksimum negatif dan arus i b = i c<br />

positif. Ke-tiga arus ini masing-masing membangkitkan fluksi φ a , φ b dan<br />

φ c yang memberikan fluksi total φ tot . Kejadian ini berubah pada t 2 , t 3 , t 4<br />

dan seterusnya yang dari Gb.4.2. terlihat bahwa fluksi total berputar<br />

seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa. Peristiwa ini dikenal<br />

sebagai medan putar pada mesin asinkron.<br />

Kecepatan perputaran dari medan putar harus memenuhi relasi antara<br />

jumlah kutub, frekuensi tegangan, dan kecepatan perputaran sinkron<br />

sebagaimana telah kita kenal pada mesin sinkron yaitu<br />

p n s<br />

120 f<br />

f 1 = Hz atau n 1<br />

s = rpm (4.1)<br />

120<br />

p<br />

dengan f 1 adalah frekuensi tegangan stator, n s adalah kecepatan<br />

perputaran medan putar yang kita sebut perputaran sinkron. Jumlah<br />

kutub p ditentukan oleh susunan belitan stator. Pada belitan stator seperti<br />

pada contoh konstruksi mesin pada Gb.4.1. jumlah kutub adalah 2,<br />

sehingga jika frekuensi tegangan 50Hz maka perputaran sinkron adalah<br />

3000 rpm.<br />

70 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


c<br />

1.1<br />

a).<br />

c 1<br />

b 1<br />

b<br />

a 1<br />

a<br />

0<br />

-1.1<br />

-180 -135 -90 -45 0 45 90 135 180<br />

i a i b i c<br />

t<br />

b).<br />

t 1 t 2 t 3 t 4<br />

i c<br />

i b<br />

i a<br />

i c<br />

i b<br />

i a<br />

i b<br />

i c<br />

i a<br />

i c<br />

i b<br />

i a<br />

φ b<br />

φ a<br />

φ a<br />

φ tot φ a<br />

φ a<br />

φ tot<br />

φ c<br />

φ c<br />

φ b<br />

φ tot<br />

φ b<br />

φ b<br />

φ c<br />

φc<br />

φ tot<br />

t 1<br />

t 2<br />

t 3 t 4<br />

Gb.4.2. Terbentuknya fluksi magnetik yang berbutar.<br />

Arus positif menuju titik netral,<br />

arus negatif meninggalkan titk netral.<br />

Fluksi total φ tot tetap dan berputar.<br />

Untuk membuat jumlah kutub menjadi 4, belitan stator disusun seperti<br />

pada stator mesin sinkron pada Gb.3.1.<br />

Selanjutnya medan magnetik berputar yang ditimbulkan oleh stator akan<br />

mengimbaskan tegangan pada konduktor rotor. Karena konduktor rotor<br />

merupakan rangkaian tertutup, maka akan mengalir arus yang kemudian<br />

berinteraksi dengan medan magnetik yang berputar dan timbullah gaya<br />

sesuai dengan hukum Ampere. Dengan gaya inilah terbangun torka yang<br />

akan membuat rotor berputar dengan kecepatan perutaran n.<br />

Perhatikanlah bahwa untuk terjadi torka, harus ada arus mengalir di<br />

71


konduktor rotor dan untuk itu harus ada tegangan imbas pada konduktor<br />

rotor. Agar terjadi tegangan imbas, maka kecepatan perputaran rotor n<br />

harus lebih kecil dari kecepatan perputaran medan magnetik (yaitu<br />

kecepatan perputaran sinkron n s ) sebab jika kecepatannya sama tidak<br />

akan ada fluksi yang terpotong oleh konduktor. Dengan kata lain harus<br />

terjadi beda kecepatan antara rotor dengan medan putar, atau terjadi slip<br />

yang besarnya adalah :<br />

Nilai s terletak antara 0 dan 1.<br />

ns<br />

− n<br />

s = (4.2)<br />

ns<br />

Rotor Belitan. Pada awal perkenalan kita dengan mesin asinkron, kita<br />

melihat pada konstruksi yang disebut mesin asinkron dengan rotor<br />

sangkar. Jika pada rotor mesin asinkron dibuat alur-alur untuk<br />

meletakkan susunan belitan yang sama dengan susunan belitan stator<br />

maka kita mempunyai mesin asinkron rotor belitan. Terminal belitan<br />

rotor dapat dihubungkan dengan cincin geser (yang berputar bersama<br />

rotor) dan melalui cincin geser ini dapat dihubungkan pada resistor untuk<br />

keperluan pengaturan perputaran. Skema hubungan belitan stator dan<br />

rotor diperlihatkan pada Gb.4.3; pada waktu operasi normal belitan rotor<br />

dihubung singkat. Hubungan seperti ini mirip dengan transformator.<br />

Medan putar akan mengimbaskan tegangan baik pada belitan stator<br />

maupun rotor.<br />

E 1<br />

E 2<br />

belitan stator<br />

Gb.4.3. Skema hubungan belitan stator dan rotor<br />

mesin asinkron rotor belitan. Garis putus-putus<br />

menunjukkan hubung singkat pada operasi normal.<br />

Tegangan imbas pada stator adalah :<br />

belitan rotor<br />

E1<br />

= 4 ,44 f 1K w 1φm<br />

(4.3)<br />

72 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


p ns<br />

dengan K w1 adalah faktor belitan stator, f = = frekuensi tegangan<br />

120<br />

stator, φ m adalah fluksi maksimum di celah udara, 1 adalah jumlah<br />

lilitan belitan stator.<br />

Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan imbas<br />

pada belitan rotor adalah<br />

E2<br />

= 4 ,44 f 2K w 2φm<br />

(4.4)<br />

p ns<br />

dengan K w2 adalah faktor belitan rotor, f = = frekuensi tegangan<br />

120<br />

stator (karena rotor tidak berputar), φ m adalah fluksi maksimum di celah<br />

udara sama dengan fluksi yang mengibaskan tegangan pada belitan<br />

stator, 2 adalah jumlah lilitan belitan rotor.<br />

Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka<br />

terdapat slip seperti ditunjukkan oleh (4.2). Frekuensi tegangan imbas<br />

pada rotor menjadi<br />

p ( ns<br />

− n)<br />

p s ns<br />

f 2 = = = s f Hz<br />

(4.5)<br />

120 120<br />

Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan frekuensi<br />

stator dengan slip s; oleh karena itu ia sering disebut frekuensi slip.<br />

Tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan berputar menjadi<br />

E 22 = sE 2<br />

(4.6)<br />

Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (4.56) dan (4.57)<br />

kita peroleh<br />

E1<br />

1K<br />

w 1<br />

= = a<br />

E2<br />

2K<br />

w2<br />

Situasi ini mirip dengan transformator tanpa beban.<br />

(4.7)<br />

COTOH 4.12 : Tegangan seimbang tiga fasa 50 Hz diberikan kepada<br />

motor asinkron tiga fasa , 4 kutub. Pada waktu motor melayani<br />

beban penuh, diketahui bahwa slip yang terjadi adalah 0,05.<br />

Tentukanlah : (a) kecepatan perputaran medan putar relatif terhadap<br />

stator; (b) frekuensi arus rotor; (c) kecepatan perputaran medan rotor<br />

relatif terhadap rotor; (d) kecepatan perputaran medan rotor relatif<br />

73


terhadap stator; (e) kecepatan perputaran medan rotor relatif<br />

terhadap medan rotor.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Relasi antara kecepatan medan putar relatif terhadap stator<br />

(kecepatan sinkron) dengan frekuensi dan jumlah kutub adalah<br />

p n<br />

f = s<br />

. Jadi kecepatan perputaran medan putar adalah<br />

120<br />

120 f 120 × 50<br />

n s = = = 1500 rpm<br />

p 4<br />

(b) Frekuensi arus rotor adalah f 2 = sf1<br />

= 0,05 × 50 = 2, 5 Hz.<br />

(c) Karena belitan rotor adalah juga merupakan belitan tiga fasa<br />

dengan pola seperti belitan stator, maka arus rotor akan<br />

menimbulkan pula medan putar seperti halnya arus belitan stator<br />

menimbulkan medan putar. Kecepatan perputaran medan putar<br />

rotor relatif terhadap rotor adalah<br />

120 f 2 120 × 2,5<br />

n2 = = = 75 Hz<br />

p 4<br />

(d) Relatif terhadap stator, kecepatan perputaran medan rotor harus<br />

sama dengan kecepatan perputaran medan stator, yaitu<br />

kecepatan sinkron 1500 rpm.<br />

(e) Karena kecepatan perputaran medan rotor sama dengan<br />

kecepatan perputaran medan stator, kecepatan perputaran<br />

relatifnya adalah 0.<br />

4.2. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen yang akan kita pelajari adalah rangkaian ekivalen<br />

per fasa.<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Stator. Jika resistansi belitan primer per fasa adalah<br />

R 1 dan reaktansinya adalah X 1 , sedangkan rugi-rugi inti dinyatakan<br />

dengan rangkaian paralel suatu resistansi R c dan reaktansi X φ seperti<br />

halnya pada transformator. Jika V 1 adalah tegangan masuk per fasa pada<br />

belitan stator motor dan E 1 adalah tegangan imbas pada belitan stator<br />

oleh medan putar seperti diberikan oleh (4.3), maka kita akan<br />

mendapatkan hubungan fasor<br />

74 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


( 1 + 1) 1<br />

V 1 = I1<br />

R jX + E<br />

(4.8)<br />

Fasor-fasor tegangan dan arus serta reaktansi pada persamaan (4.61) ini<br />

adalah pada frekuensi sinkron ω s = 2π f 1 . <strong>Rangkaian</strong> ekivalen stator<br />

menjadi seperti pada Gb.4.4. yang mirip rangkaian primer transformator.<br />

Perbedaan terletak pada besarnya I f yang pada transformator berkisar<br />

antara 2 − 5 persen dari arus nominal, sedangkan pada motor asinkron<br />

arus ini antara 25 − 40 persen arus nominal, tergantung dari besarnya<br />

motor.<br />

I 1<br />

I c<br />

R 1<br />

jX 1 I f<br />

I φ<br />

A<br />

V 1<br />

E 1<br />

R c jX c<br />

B<br />

Gb.4.4. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen stator.<br />

Selain itu reaktansi bocor X 1 pada motor jauh lebih besar karena adanya<br />

celah udara dan belitan stator terdistribusi pada permukaan dalam stator<br />

sedangkan pada transformator belitan terpusat pada intinya. Tegangan E 1<br />

pada terminal AB pada rangkaian ekivalen ini haruslah merefleksikan<br />

peristiwa yang terjadi di rotor.<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Rotor. Jika rotor dalam keadaan berputar maka<br />

tegangan imbas pada rotor adalah E 22 . Jika resistansi rotor adalah R 22<br />

dan reaktansinya adalah X 22 maka arus rotor adalah :<br />

E22<br />

I 22 =<br />

(4.9)<br />

( R 22 + jX 22 )<br />

Perhatikanlah bahwa fasor-fasor tegangan dan arus serta nilai reaktansi<br />

pada persamaan (4.9) ini adalah pada frekuensi rotor ω 2 = 2π f 2 , berbeda<br />

dengan persamaan fasor (4.8). Kita gambarkan rangkaian untuk<br />

persamaan (4.9) ini seperti pada Gb.4.5.a.<br />

75


A′<br />

I 22<br />

R 22<br />

jX 22<br />

A′<br />

I 2<br />

R 2<br />

jsX 2<br />

E 22<br />

sE 2<br />

B′<br />

A′<br />

B′<br />

E 2<br />

I 2<br />

a)<br />

R 2<br />

jX 2<br />

s<br />

c)<br />

Gb.4.5. Pengembangan rangkaian ekivalen rotor.<br />

Menurut (4.6) E 22 = sE 2 dimana E 2 adalah tegangan rotor dengan<br />

frekuensi sinkron ω s . Reaktansi rotor X 22 dapat pula dinyatakan dengan<br />

frekuensi sinkron; jika L 2 adalah induktansi belitan rotor (yang<br />

merupakan besaran konstan karena ditentukan oleh konstruksinya) maka<br />

kita mempunyai hubungan<br />

X 22 = ω2L2<br />

= sω1L2<br />

= sX 2<br />

(4.10)<br />

Di sini kita mendefinisikan reaktansi rotor dengan frekuensi sinkron<br />

X 2 = ω1L2<br />

. Karena Resistansi tidak tergantung frekuensi, kita nyatakan<br />

resistansi rotor sebagai R 2 = R 22 . Dengan demikian maka arus rotor<br />

menjadi<br />

B′<br />

A′<br />

B′<br />

sE<br />

I 2<br />

2 =<br />

(4.11)<br />

R2<br />

+ jsX 2<br />

Persamaan fasor tegangan dan arus rotor (4.64) sekarang ini adalah pada<br />

frekuensi sinkron dan persamaan ini adalah dari rangkaian yang terlihat<br />

pada Gb.4.5.b. Tegangan pada terminal rotor A´B´ adalah tegangan<br />

karena ada slip yang besarnya adalah sE 2 . Dari rangkaian ini kita dapat<br />

menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor per fasa, yaitu<br />

E 2<br />

I 2<br />

R 2<br />

b)<br />

d)<br />

jX 2<br />

R 1−<br />

s<br />

2<br />

s<br />

P I 2<br />

cr = 2 R 2<br />

(4.12)<br />

76 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Jika pembilang dan penyebut pada persamaan (4.64) kita bagi dengan s<br />

kita akan mendapatkan<br />

2<br />

I 2 =<br />

(4.13)<br />

R 2 + jX 2<br />

s<br />

Langkah matematis ini tidak akan mengubah nilai I 2 dan rangkaian dari<br />

persamaan ini adalah seperti pada Gb.4.5.c. Walaupun demikian ada<br />

perbedaan penafsiran secara fisik. Tegangan pada terminal rotor A´B´<br />

sekarang adalah tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan rotor<br />

tidak berputar dengan nilai seperti diberikan oleh (4.14) dan bukan<br />

tegangan karena ada slip. Jika pada Gb.4.5.b. kita mempunyai rangkaian<br />

riil rotor dengan resistansi konstan R dan tegangan terminal rotor yang<br />

tergantung dari slip, maka pada Gb.4.28.c. kita mempunyai rangkaian<br />

ekivalen rotor dengan tegangan terminal rotor tertentu dan resistansi<br />

yang tergantung dari slip. Tegangan terminal rotor pada keadaan terakhir<br />

ini kita sebut tegangan celah udara pada terminal rotor dan daya yang<br />

diserap rotor kita sebut daya celah udara, yaitu :<br />

E<br />

= 2 R<br />

I 2<br />

s<br />

(4.14)<br />

P g<br />

2<br />

Daya ini jauh lebih besar dari P cr pada (4.12). Pada mesin besar nilai s<br />

adalah sekitar 0,02 sehingga P g sekitar 50 kali P cr . Perbedaan antara<br />

(4.14) dan (4.12) terjadi karena kita beralih dari tegangan rotor riil yang<br />

berupa tegangan slip ke tegangan rotor dengan frekuensi sinkron. Daya<br />

nyata P g tidak hanya mencakup daya hilang pada resistansi belitan saja<br />

tetapi mencakup daya mekanis dari motor. Daya mekanis dari rotor ini<br />

sendiri mencakup daya keluaran dari poros motor untuk memutar beban<br />

ditambah daya untuk mengatasi rugi-rugi rotasi yaitu rugi-rugi akibat<br />

adanya gesekan dan angin. Oleh karena itu daya P g kita sebut daya celah<br />

udara artinya daya yang dialihkan dari stator ke rotor melalui celah udara<br />

yang meliputi daya hilang pada belitan rotor (rugi tembaga rotor) dan<br />

daya mekanis rotor. Dua komponen daya ini dapat kita pisahkan jika kita<br />

menuliskan<br />

R 2 ⎛ − s ⎞<br />

= R + R ⎜<br />

1<br />

2 2 ⎟<br />

s ⎝ s ⎠<br />

(4.15)<br />

77


Suku pertama (4.15) akan memberikan daya hilang di belitan rotor (per<br />

fasa) P I 2<br />

cr = 2 R 2 dan suku kedua memberikan daya keluaran mekanik<br />

ekivalen<br />

2 ⎛1<br />

− s ⎞<br />

P m = I 2 R2⎜<br />

⎟<br />

(4.16)<br />

⎝ s ⎠<br />

Dengan cara ini kita akan mempunyai rangkaian ekivalen rotor seperti<br />

pada Gb.4.5.d.<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Lengkap. Kita menginginkan satu rangkaian<br />

ekivalen untuk mesin asinkron yang meliputi stator dan rotor. Agar dapat<br />

menghubungkan rangkaian rotor dengan rangkaian stator, kita harus<br />

melihat tegangan rotor E 2 dari sisi stator dengan memanfaatkan (4.60)<br />

yang memberikan E 1 = aE2<br />

. Jika E 2 pada Gb.4.5.d. kita ganti dengan<br />

E1 = aE 2 , yaitu tegangan rotor dilihat dari sisi stator, maka arus rotor<br />

dan semua parameter rotor harus pula dilihat dari sisi stator menjadi<br />

' '<br />

2 , R '<br />

I 2 dan X 2 . Dengan demikian kita dapat menghubungkan<br />

terminal rotor A´B´ ke terminal AB dari rangkaian stator pada Gb.4.4.<br />

dan mendapatkan rangkaian ekivalen lengkap seperti terlihat pada<br />

Gb.4.6.<br />

I 1<br />

R 1<br />

jX 1<br />

A<br />

'<br />

I 2<br />

V 1<br />

R c<br />

I f<br />

jX c<br />

'<br />

R 2<br />

'<br />

jX 2<br />

'<br />

R 1−<br />

s<br />

2<br />

s<br />

B<br />

Gb.4.6. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen lengkapmotor asikron.<br />

Aliran Daya. Aliran daya per fasa dalam motor asinkron dapat kita baca<br />

dari rangkaian ekivalen sebagai berikut. Daya (riil) yang masuk ke stator<br />

motor melalui tegangan V 1 dan arus I 1 digunakan untuk :<br />

• mengatasi rugi tembaga stator : P I 2<br />

cs = 1 R 1<br />

• mengatasi rugi-rugi inti stator : P inti<br />

78 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


'<br />

R<br />

• daya masuk ke rotor, disebut daya celah udara P g = ( I ' 2<br />

2 ) 2<br />

s<br />

,<br />

yang digunakan untuk<br />

'<br />

• mengatasi rugi-rugi tembaga rotor : P ' 2<br />

cr = ( I 2 ) R 2<br />

• memberikan daya mekanis rotor<br />

' 2 ' ⎛1<br />

− s ⎞<br />

P m = ( I 2 ) R2<br />

⎜ ⎟ , yang terdiri dari :<br />

⎝ s ⎠<br />

• daya untuk mengatasi rugi rotasi (gesekan dan<br />

angin) : P rotasi<br />

• daya keluaran di poros rotor : P o .<br />

Jadi urutan aliran daya secara singkat adalah :<br />

P<br />

= P m − P rotasi<br />

o ; m g cr<br />

P<br />

= P − P ; Pg<br />

Pin<br />

− P − Pcs<br />

= inti<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Pendekatan. Dalam melakukan analisis motor<br />

asinkron kita sering menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan yang<br />

lebih sederhana seperti pada Gb.4.7. Dalam rangkaian ini rugi-rugi<br />

tembaga stator dan rotor disatukan menjadi ( ' 2<br />

I2 ) Re<br />

. Bagaimana R e<br />

dan X e ditentukan akan kita bahas berikut ini.<br />

I 1<br />

'<br />

jX e = jX 1 + jX 2<br />

V 1<br />

R c<br />

I f<br />

'<br />

R e = R 1 + R 2<br />

jX c<br />

'<br />

R 1−<br />

s<br />

2<br />

s<br />

Gb.4.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pendekatan.<br />

4.3. Penentuan Parameter <strong>Rangkaian</strong><br />

Pengukuran Resistansi. Resistansi belitan stator maupun belitan rotor<br />

dapat diukur. Namun perlu diingat bahwa jika pengukuran dilakukan<br />

dengan menggunakan metoda pengukuran arus searah dan pengukuran<br />

dilakukan pada temperatur kamar, harus dilakukan koreksi-koreksi.<br />

Dalam pelajaran lebih lanjut kita akan melihat bahwa resistansi untuk<br />

arus bolak-balik lebih besar dibandingkan dengan resistansi pada arus<br />

searah karena adanya gejala yang disebut efek kulit. Selain dari itu, pada<br />

79


kondisi kerja normal, temperatur belitan lebih tinggi dari temperatur<br />

kamar yang berarti nilai resistansi akan sedikit lebih tinggi.<br />

Uji Beban ol. Dalam uji beban nol stator diberikan tegangan nominal<br />

sedangkan rotor tidak dibebani dengan beban mekanis. Pada uji ini kita<br />

mengukur daya masuk dan arus saluran. Daya masuk yang kita ukur<br />

adalah daya untuk mengatasi rugi tembaga pada beban nol, rugi inti, dan<br />

daya celah udara untuk mengatasi rugi rotasi pada beban nol. Dalam uji<br />

ini slip sangat kecil, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan sehingga<br />

biasanya arus eksitasi dianggap sama dengan arus uji beban nol yang<br />

terukur.<br />

Uji Rotor Diam. Uji ini analog dengan uji hubng singkat pada<br />

transformator. Dalam uji ini belitan rotor di hubung singkat tetapi rotor<br />

ditahan untuk tidak berputar. Karena slip s = 1, maka daya mekanis<br />

keluaran adalah nol. Tegangan masuk pada stator dibuat cukup rendah<br />

untuk membatasi arus rotor pada nilai yang tidak melebihi nilai nominal.<br />

Selain itu, tegangan stator yang rendah (antara 10 – 20 % nominal)<br />

membuat arus magnetisasi sangat kecil sehingga dapat diabaikan.<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen dalam uji ini adalah seperti pada Gb.4.8. Perhatikan<br />

bahwa kita mengambil tegangan fasa-netral dalam rangkaian ekivalen<br />

ini.<br />

I 0<br />

'<br />

jX e = jX 1 + jX 2<br />

'<br />

R e = R 1 + R 2<br />

V fn<br />

Gb.4.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen motor<br />

asikron pada uji rotor diam.<br />

Jika P d adalah daya tiga fasa yang terukur dalam uji rotor diam, I d adalah<br />

arus saluran dan V d adalah tegangan fasa-fasa yang terukur dalam uji ini,<br />

maka<br />

80 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


' Pd<br />

Re<br />

= X1<br />

+ jX 2 =<br />

2<br />

3I<br />

d<br />

Vd<br />

Ze<br />

=<br />

I d 3<br />

X e ==<br />

2 2<br />

'<br />

Ze<br />

− Re<br />

= X1<br />

+ X 2<br />

(4.17)<br />

Jika kita menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan, pemisahan antara<br />

X 1 dan X 2´ tidak diperlukan dan kita langsung memanfaatkan X e .<br />

COTOH 4.12 : Daya keluaran pada poros rotor motor asinkron tiga<br />

fasa 50 Hz adalah 75 kW. Rugi-rugi rotasi adalah 900 W; rugi-rugi<br />

inti stator adalah 4200 W; rugi-rugi tembaga stator adalah 2700 W.<br />

Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah 100 A.. Hitunglah efisiensi<br />

motor jika diketahui slip s = 3,75%.<br />

Penyelesaian:<br />

Dari rangkaian ekivalen Gb.4.29., daya mekanik ekivalen adalah<br />

' 2 ' ⎛1<br />

− s ⎞<br />

P m = ( I 2 ) R2<br />

⎜ ⎟ .<br />

⎝ s ⎠<br />

P m dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor dan<br />

rugi rotasi. Daya keluaran 75 kW yang diketahui, adalah daya<br />

keluaran pada poros rotor sedangkan rugi rotasi diketahui 900 W<br />

sehingga<br />

P m = 75000 + 900 = 75900 W<br />

dan rugi-rugi tembaga rotor adalah<br />

' 2 ' Pm<br />

s 75900 × 0,0375<br />

Pcr<br />

= ( I 2 ) R2<br />

= =<br />

= 2957<br />

1−<br />

s 1 − 0,0375<br />

Efisiensi motor adalah<br />

Pkeluaran<br />

η =<br />

× 100%<br />

Pkeluaran<br />

+ rugi − rugi<br />

75000<br />

=<br />

× 100%<br />

75000 + 4200 + 2700 + 900 + 2957<br />

= 87,45%<br />

W<br />

81


COTOH 4.13 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga fasa<br />

rotor belitan, 200 HP, 380 V, hubungan Y, memberikan data berikut:<br />

daya masuk P d = 10 kW, arus saluran I d = 250 A, V d = 65 Vdan<br />

pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R 1 = 0,02 Ω per<br />

fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator.<br />

Penyelesaian :<br />

Menurut (4.70) kita dapat menghitung<br />

Pd<br />

10000<br />

R e = = = 0,0533 Ω per fasa<br />

2<br />

2<br />

3I<br />

d 3×<br />

(250)<br />

'<br />

R2 = Re − R1<br />

= 0,0533 − 0,02 = 0,0333 Ω per fasa<br />

COTOH 4.14 : Pada sebuah motor asinkron tiga fasa 10 HP, 4 kutub,<br />

220 V, 50 Hz, hubungan Y, dilakukan uji beban nol dan uji rotor<br />

diam.<br />

Beban nol : V 0 = 220 V; I 0 = 9,2 A; P 0 = 670 W<br />

Rotor diam : V d = 57 V; I d = 30 A; P d = 950 W.<br />

Pengukuran resistansi belitan stator menghasilkan nilai 0,15 Ω per<br />

fasa. Rugi-rugi rotasi sama dengan rugi inti stator. Hitung: (a)<br />

parameter-parameter yang diperlukan untuk menggambarkan<br />

rangkaian ekivalen (pendekatan); (b) arus eksitasi dan rugi-rugi inti.<br />

Penyelesaian :<br />

a). Karena terhubung Y, tegangan per fasa adalah<br />

220<br />

V 1 = = 127 V .<br />

3<br />

Uji rotor diam memberikan :<br />

Pd<br />

950<br />

R e = = = 0,35 Ω ;<br />

2<br />

2<br />

3( I d ) 3×<br />

(30)<br />

'<br />

R2 = Re<br />

− R1<br />

= 0,35 − 0,15 = 0,2 Ω<br />

Vd<br />

57<br />

Z e = = = 1,1 Ω ;<br />

3 × I d 3 × 30<br />

X e =<br />

2 2<br />

Z e − Re<br />

=<br />

2 2<br />

(1,1) − (0,35)<br />

= 3,14 Ω<br />

82 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


I 1<br />

jX e =<br />

j3,14<br />

127∠0 o<br />

V<br />

R c<br />

I f<br />

R e<br />

jX c<br />

= 0,35<br />

1− s<br />

0 ,2<br />

s<br />

b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan; jadi<br />

arus yang mengalir pada uji beban nol dapat dianggap arus<br />

eksitasi I f .<br />

Daya pada uji beban nol P 0 = 670 = V0<br />

I f cos θ 3<br />

670<br />

⇒ cos θ =<br />

= 0, 19 lagging.<br />

220 3 × 9,2<br />

o<br />

Jadi : I f = 9,2∠θ = 9,2∠<br />

− 79 .<br />

Rugi inti :<br />

2<br />

2<br />

P inti = P0<br />

− 3×<br />

I0<br />

R1<br />

= 670 − 3×<br />

9,2 × 0,15 = 632 W<br />

COTOH 4.15 : Motor pada contoh 4.14. dikopel dengan suatu beban<br />

mekanik, dan pengukuran pada belitan stator memberikan data :<br />

daya masuk 9150 W, arus 28 A, faktor daya 0,82. Tentukanlah : (a)<br />

arus rotor dilihat dari sisi stator; (b) daya mekanis rotor; (c) slip yang<br />

terjadi; (d) efisiensi motor pada pembebanan tersebut jika diketahui<br />

rugi rotasi 500 W.<br />

Penyelesaian :<br />

a). Menggunakan tegangan masukan sebagai referensi, dari data<br />

pengukuran dapat kita ketahui fasor arus stator, yaitu:<br />

o<br />

I 1 = 28∠<br />

− 35 . Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah :<br />

'<br />

I 2 = I1<br />

− I f<br />

= 28<br />

( 0,82 − j0,57) − 9,2( 0,19 − j0,98)<br />

o<br />

= 22,3∠<br />

−18<br />

o<br />

o<br />

= 28∠ − 35 − 9,2∠ − 79<br />

A<br />

b). Daya mekanik rotor adalah :<br />

= 21,2 − j6,94<br />

Pm<br />

= Pin<br />

− Pi<br />

nti − Pcs<br />

− Pcr<br />

2<br />

2<br />

= 9150 − 632 − 3×<br />

28 × 0,15 − 3×<br />

22,3 × 0,2 = 7867<br />

W<br />

83


c). Slip dapat dicari dari formulasi<br />

' 2 '<br />

3× ( I 2 ) R2<br />

Pg<br />

= Pin<br />

− Pinti<br />

− Pcs<br />

=<br />

.<br />

s<br />

' 2 '<br />

2<br />

3( I 2 ) R2<br />

3×<br />

22,3 × 0,2<br />

s = =<br />

= 0,0365 atau 3,65 %<br />

P 2<br />

g 9150 − 632 − 3×<br />

28 × 0,15<br />

e). Rugi rotasi = 500 W.<br />

Daya keluaran sumbu rotor :<br />

P o = P m − Protasi<br />

= 7867 − 500 = 7367 W<br />

Po<br />

7367<br />

Efisiensi motor : η = × 100% = × 100% = 80%<br />

P in 9150<br />

4.4. Torka<br />

Pada motor asinkron terjadi alih daya dari daya listrik di stator menjadi<br />

daya mekanik di rotor. Sebelum dikurangi rugi-tembaga rotor, alih daya<br />

tersebut adalah sebesar daya celah udara P g dan ini memberikan torka<br />

yang kita sebut torka elektromagnetik dengan perputaran sinkron. Jadi<br />

jika T adalah torka elektromagnetik maka<br />

P g<br />

Pg<br />

= Tωs<br />

atau T = (4.18)<br />

ωs<br />

Torka Asut. Torka asut (starting torque) adalah torka yang dibangkitkan<br />

pada saat s = 1, yaitu pada saat perputaran masih nol. Besarnya arus rotor<br />

ekivalen berdasarkan rangkaian ekivalen Gb.4.7. dengan s = 1 adalah<br />

Besar torka asut adalah<br />

I<br />

'<br />

1<br />

2 = (4.19)<br />

T<br />

a<br />

1<br />

=<br />

ω<br />

P<br />

=<br />

ω<br />

s<br />

' 2<br />

'<br />

( R + R ) + ( X + X ) 2<br />

g<br />

s<br />

1<br />

2<br />

V<br />

1<br />

'<br />

( I )<br />

' 2<br />

'<br />

( R + R ) + ( X + X ) 2<br />

1<br />

1<br />

= × 3<br />

ω<br />

s<br />

2<br />

3V<br />

2<br />

1<br />

R<br />

2<br />

'<br />

2<br />

1<br />

2<br />

2<br />

'<br />

2<br />

R<br />

×<br />

s<br />

2<br />

(4.20)<br />

84 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi besar.<br />

Oleh karena itu pada waktu pengasutan tegangan direduksi dengan<br />

menggunakan cara-cara tertentu untuk membatasinya arus. Sudah barang<br />

tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka asut. Persamaan<br />

(4.20) menunjukkan bahwa jika tegangan dturunkan setengahnya, torka<br />

asut akan turun menjadi seperempatnya.<br />

Torka maksimum. Torka ini penting diketahui, bahkan menjadi<br />

pertimbangan awal pada waktu perancangan mesin dilakukan. Torka ini<br />

biasanya bernilai 2 sampai 3 kali torka nominal dan merupakan<br />

kemampuan cadangan mesin. Kemampuan ini memungkinkan motor<br />

melayani beban-beban puncak yang berlangsung beberapa saat saja.<br />

Perlu diingat bahwa torka puncak ini tidak dapat diberikan secara<br />

kontinyu sebab akan menyebabkan pemanasan yang akan merusak<br />

isolasi.<br />

Karena torka sebanding dengan daya celah udara P g , maka torka<br />

maksimum terjadi jika alih daya ke rotor mencapai nilai maksimum. Dari<br />

rangkaian ekivalen pendekatan Gb.4.9., teorema alih daya maksimum<br />

mensyaratkan bahwa alih daya ke<br />

R 2 ' akan maksimum jika<br />

s<br />

R<br />

s<br />

'<br />

2<br />

m<br />

'<br />

( X + X ) 2<br />

2<br />

= R1<br />

+ 1 2 atau<br />

'<br />

R2<br />

= (4.21)<br />

2<br />

'<br />

R ( ) 2<br />

1 + X1<br />

X 2<br />

s m<br />

+<br />

'<br />

I 1<br />

j ( X 1 + X 2 )<br />

I f<br />

R 1<br />

V 1<br />

R c<br />

jX c<br />

R 2<br />

' s<br />

Gb.4.9. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pendekatan.<br />

Persamaan (4.21) memperlihatkan bahwa s m dapat diperbesar dengan<br />

'<br />

memperbesar R 2 . Suatu motor dapat dirancang agar torka asut<br />

mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan nilai resistansi rotor.<br />

Arus rotor pada waktu terjadi alih daya maksimum adalah<br />

85


'<br />

I2<br />

=<br />

=<br />

V1<br />

2<br />

⎛ '<br />

R ⎞<br />

⎜ R 2<br />

1 + ⎟ +<br />

⎜ s ⎟<br />

⎝ m ⎠<br />

2<br />

2 ⎛ 2<br />

' 2 ⎞<br />

'<br />

'<br />

( X + X ) ⎜ R1<br />

+ R1<br />

+ ( X1<br />

+ X 2) ⎟ + ( X1<br />

+ X 2)<br />

1<br />

V1<br />

' 2<br />

'<br />

( X + X ) + 2( X + ) 2<br />

2 2<br />

2R1<br />

+ 2R1<br />

R1<br />

+ 1 2 1 X2<br />

Torka maksimum adalah<br />

2<br />

'<br />

( I )<br />

=<br />

⎜<br />

⎝<br />

V1<br />

⎟<br />

⎠<br />

2<br />

(4.22)<br />

'<br />

2<br />

1 2 R2<br />

1<br />

3V1<br />

Tm = × 3 2 =<br />

(4.23)<br />

ωs<br />

sm<br />

ωs<br />

⎛<br />

2 ⎞<br />

⎜ 2<br />

'<br />

2 R + + ( + ) ⎟<br />

1 R1<br />

X1<br />

X 2<br />

⎝<br />

⎠<br />

Persamaan (4.23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak<br />

tergantung dari besarnya resistansi rotor. Akan tetapi menurut (4.21) slip<br />

maksimum s m berbanding lurus dengan resistansi rotor. Jadi mengubah<br />

resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan memberikan torka<br />

maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya torka maksimum itu<br />

sendiri.<br />

Karakteristik Torka – Perputaran. Gb.4.10. memperlihatkan bagaimana<br />

torka berubah terhadap perputaran ataupun terhadap slip. Pada gambar<br />

ini diperlihatkan pula pengaruh resistansi belitan rotor terhadap<br />

karakterik torka-perputaran. Makin tinggi resistansi belitan rotor, makin<br />

besar slip tanpa mengubah besarnya torka maksimum.<br />

torka dalam % nominal<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

1<br />

0<br />

s m1<br />

resistansi rotor tinggi<br />

s m 0<br />

n s<br />

resistansi rotor rendah<br />

Gb.4.10. Karakteristik torka – perputaran.<br />

slip<br />

perputaran<br />

86 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Aplikasi. Motor dibagi dalam beberapa katagori menurut karakteristik<br />

spesifiknya sesuai dengan kemampuan dalam penggunaannya. Berikut<br />

ini data motor yang secara umum digunakan, untuk keperluan memutar<br />

beban dengan kecepatan konstan dimana tidak diperlukan torka asut yang<br />

terlalu tinggi. Beban-beban yang dapat dilayani misalnya kipas angin,<br />

blower, alat-alat pertukangan kayu, pompa sentrifugal. Dalam keadaan<br />

tertentu diperlukan pengasutan dengan tegangan yang direduksi dan jenis<br />

motor ini tidak boleh dibebani lebih secara berkepanjangan karena akan<br />

terjadi pemanasan.<br />

Pengendalian. Dalam pemakaian, kita harus memperhatikan<br />

pengendaliannya. Pengendalian berfungsi untuk melakukan asut dan<br />

menghentikan motor secara benar, membalik perputaran tanpa<br />

merusakkan motor, tidak mengganggu beban lain yang tersmbung pada<br />

sistem pencatu yang sama. Hal-hal khusus yang perlu diperhatikan dalam<br />

pengendalian adalah : (a) pembatasan torka asut (agar beban tidak rusak);<br />

(b) pembatasan arus asut; (c) proteksi terhadap pembebanan lebih; (d)<br />

proteksi terhadap penurunan tegangan; (e) proteksi terhadap terputusnya<br />

salah satu fasa (yang dikenal dengan single phasing). Kita cukupkan<br />

sampai di sini pembahasan kita mengenai motor asinkron. Pengetahuan<br />

lebih lanjut akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesinmesin<br />

listrik.<br />

Tabel-4.1. Motor Dalam Aplikasi<br />

HP<br />

jumlah<br />

kutub<br />

torka<br />

asut %<br />

0,5 2 150<br />

sampai 4 150<br />

200 6 135<br />

8 125<br />

10 120<br />

12 115<br />

14 110<br />

16 105<br />

torka<br />

maks<br />

sampai<br />

250 %<br />

tidak<br />

kurang<br />

dari<br />

200 %<br />

arus<br />

asut<br />

500 %<br />

sampai<br />

1000 %<br />

slip<br />

3 %<br />

sampai<br />

5 %<br />

faktor<br />

daya<br />

0,87<br />

sampai<br />

0,89<br />

efisiensi<br />

87 %<br />

sampai<br />

89 %<br />

Soal-Soal<br />

1. Sebuah motor asinkron 3 fasa, 100 HP, 380 V, 50 Hz, mempunyai<br />

rugi-rugi inti stator 4400 W, dan rugi tembaga stator 3000 W. Rugirugi<br />

rotasi adalah 1100 W dan arus ekivalen rotor dilihat di stator<br />

adalah 120 A. Pada slip 4%, hitunglah efisiensi motor.<br />

87


2. Sebuah motor asinkron 3 fasa 20 HP, 380 V, 50 Hz, 6 kutub, belitan<br />

stator terhubung Y. Pengukuran resistansi menunjukkan resistansi<br />

belitan stator 0,13 Ω per fasa. Uji rotor diam memberikan resistansi<br />

ekivalen 0,22 Ω dan reaktansi ekivalen 0,52 Ω. Uji beban nol<br />

memberikan rugi-rugi inti 600 W. Jika motor ini beroperasi dengan<br />

slip 3%, hitunglah : (a) arus saluran; (b) faktor daya; (c) daya<br />

keluaran (HP); (d) Torka asut.<br />

3. Sebuah motor asinkron 3 fasa, 2200 V, 50 Hz, 12 kutub, terhubung<br />

Y. Pada uji beban nol, motor menyerap daya 14 kW pada arus<br />

saluran 20 A. Pengukuran resistansi menghasilkan resistansi belitan<br />

stator 0,4 Ω per fasa. Uji rotor diam menghasilan resistansi ekivalen<br />

0,6 Ω dan reaktansi ekivalen 2,0 Ω. Motor beroperasi pada slip 3%.<br />

Hitunglah: (a) arus masukan; (b) faktor daya; (c) besarnya torka.<br />

4. Sebuah motor asinkron 3 fasa, 100 HP, 380 V, 50 Hz, 12 kutub,<br />

belitan stator terhubung Y. Pengukuran resistansi menghasilkan nilai<br />

resistansi belitan stator 0,06 per fasa. Uji beban nol menunjukkan<br />

rugi-rugi inti 4200 W. Uji rotor diam memberikan resistansi ekivalen<br />

0,11 Ω dan reaktansi ekivalen 0,26 Ω per fasa. Jika motor beroperasi<br />

pada beban penuh dan rugi-rugi rotasi diketahui 1800 W,<br />

tentukanlah : (a) arus masukan; (b) faktor daya; (c) efisiensi.<br />

5. Sebuah motor asinkron 3 fasa, rotor belitan terhubung Y, tegangan<br />

masukan 2200 V. Uji beban nol pada tegangan 2200 Vmemberikan<br />

data arus saluran 16,5 A, daya masuk 12,4 kW. Uji rotor diam<br />

dilakukan pada tegangan masuk 450 V memberikan data arus<br />

saluran 176 A dan daya masuk 37,5 kW. Pengukuran resistansi<br />

stator menghasilkan resistansi 0,28 Ω per fasa. Jika motor beropersai<br />

pada slip 2% dan diketahui rugi-rugi rotasi 2 kW, tentukan nilai<br />

parameter untuk menggambarkan rangkaian ekivalen pendekatan.<br />

6. Pada motor soal nomer 5, tentukanlah : (a) slip untuk memberikan<br />

torka maksimum; (b) arus masukan dan faktor daya pada waktu<br />

terjadi torka maksimum; (c) besarnya torka maksimum.<br />

7. Sebuah motor asinkron rotor sangkar, 400 HP, 2200 V, 6 kutub, 50<br />

Hz, belitan stator terhubung Y, mempunyai parameter<br />

R 1 = 0,2 Ω;<br />

R e = 0,4 Ω;<br />

X e = 0,25 Ω<br />

Rugi-rugi inti stator 8800 W dan rugi-rugi rotasi 4800 W. Jika motor<br />

beroperasi pada slip 2%, dengan menggunakan rangkaian ekivalen<br />

pendekatan hitunglah : (a) arus masukan; (b) faktor daya; (c)<br />

besarnya torka; (d) efisiensi.<br />

88 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


BAB 5<br />

Sinyal onsinus Pada <strong>Rangkaian</strong> Linier<br />

Penyediaan energi listrik pada umumnya dilakukan dengan<br />

menggunakan sumber tegangan berbentuk gelombang sinus. Arus yang<br />

mengalir diharapkan juga berbentuk gelombang sinus. Namun<br />

perkembangan teknologi terjadi di sisi beban yang mengarah pada<br />

peningkatan efisiensi peralatan dalam penggunaan energi listrik. Alat-alat<br />

seperti air conditioner, refrigerator, microwave oven, sampai ke mesin<br />

cuci dan lampu-lampu hemat energi makin banyak digunakan dan semua<br />

peralatan ini menggunakan daya secara intermittent. Peralatan elektronik,<br />

yang pada umumnya memerlukan catu daya arus searah juga semakin<br />

banyak digunakan sehingga diperlukan penyearahan arus. Pembebananpembebanan<br />

semacam ini membuat arus beban tidak lagi berbentuk<br />

gelombang sinus.<br />

Bentuk-bentuk gelombang arus ataupun tegangan yang tidak berbentuk<br />

sinus, namun tetap periodik, tersusun dari gelombang-gelombang sinus<br />

dengan berbagai frekuensi. Gelombang periodik nonsinus ini<br />

mengandung harmonisa.<br />

Pembahasan mengenai harmonisa dalam buku ini diharapkan menjadi<br />

pengantar untuk pembahasan mengenai Kualitas Daya. Kajian mengenai<br />

kualitas daya dalam system penyaluran energi listrik mencakup setiap<br />

permasalahan pada sistem tenaga yang berdampak pada penyimpngan<br />

besaran tegangan, arus, dan frekuensi dan berakibat kegagalan kerja<br />

sistem atau kegagalan operasi peralatan di sisi beban.<br />

Perkembangan teknologi di sisi beban telah memunculkan berbagai<br />

beban dengan karakteristik masing-masing serta berbagai pola<br />

pembebanan. Karena beban terikat pada sistem pasokan daya, maka<br />

tuntutan pembebanan juga akan berimbas pada sistem. Setiap sebab yang<br />

akan menurunkan kinerja sistem perlu dihindarkan atau ditekan<br />

seminimal mungkin. Oleh karena itu muncullah permasalahan kualitas<br />

daya.<br />

Kegagalan kerja sistem tidak harus berarti ‘shut down’ dan kegagalan<br />

operasi peralatan tidak harus berarti ‘rusak’. Penurunan efisiensi dan<br />

penurunan life time termasuk dalam katagori kegagalan kerja sistem dan<br />

peralatan. Dengan demikian maka upaya peningkatan kualitas daya<br />

89


merupakan upaya mencegah kegagalan operasi peralatan di sisi beban<br />

(pengguna akhir) maupun meningkatkan kinerja pasokan. Upaya<br />

peningkatan kualitas dituntut baik pada penyaluran dari pembangkit ke<br />

jaringan, di dalam jaringan, maupun pasokan ke beban.<br />

Masalah faktor daya, ketidak-seimbangan, susut energi di jaringan,<br />

power interruption, adalah masalah-masalah yang selalu muncul dalam<br />

sistem distribusi tenaga listrik. Ketidak-seimbangan pembebanan yang<br />

menyebabkan munculnya komponen-komponen arus negative sequence<br />

dan zero sequence juga akan menambah persoalan di jaringan.<br />

Sesungguhnya persoalan kualitas daya tidak hanya terbatas pada usaha<br />

perbaikan apa yang sudah ada, melainkan mencakup antisipasi pada<br />

keadaan mendatang, baik yang didorong oleh perkembangan teknologi<br />

maupun oleh peraturan-peraturan dan juga kepentingan komersial.<br />

Beberapa perkembangan dalam teknologi energi listrik yang perlu<br />

mendapat perhatian adalah:<br />

a) Distributed Generation<br />

Makin menyusutnya persediaan fossil fuel dan kesadaran akan<br />

lingkungan mendorong upaya ke arah energi alternatif dan energi<br />

terbarukan. Wind power, wave energy, photovoltaic, biomass,<br />

fuelcell, mikrohidro, adalah beberapa contoh. Skala pembangkit<br />

alternatif ini relatif kecil dan kebanyakan tersebar pada lokasi yang<br />

berjauhan. Jika daya dari pembangkit yang relatif kecil ini harus<br />

masuk ke jaringan, maka daya masuk ke jaringan melalui jaringan<br />

distribusi.<br />

b) Energy Storage<br />

Teknologi ini sudah sejak lama menjadi perbincangan. Penyimpanan<br />

energi sejauh ini dilaksanakan pada penyimpanan “energi<br />

pembangkit” seperti energi kimia (batere), mekanik (flywheel), hidro<br />

(hydro pumped storage), panas (thermal storage). Pembangkitan<br />

listrik dari simpanan energi ini juga relative berskala kecil, yang bisa<br />

masuk ke jaringan melalui jaringan distribusi.<br />

c) Power Electronic<br />

Perkembangan di bidang power electronic, dengan beban besar yang<br />

merupakan pembebanan nonlinier, memerlukan perhatian agar<br />

pengaruhnya pada sistem penyaluran daya serta dampaknya terhadap<br />

peralatan-peralatan konvensional sistem (seperti transformator)<br />

90 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


dapat ditekan. Perkembangan konversi AC/DC, diiringi oleh<br />

pengembangan tapis aktif; walaupun demikian pemantauan kaualitas<br />

daya tetap harus dilakukan.<br />

5.1. Pendekatan umerik Sinyal onsinus<br />

Dalam pembahasan harmonisa kita akan menggunakan istilah sinyal<br />

nonsinus untuk menyebut secara umum sinyal periodik seperti sinyal gigi<br />

gergaji dan sebagainya, termasuk sinyal sinus terdistorsi yang terjadi di<br />

sistem tenaga.<br />

Di Bab-3 telah dibahas bagaimana mencari spektrum amplitudo dan<br />

sudut fasa dari bentuk sinyal nonsinus yang mudah dicari persamaannya.<br />

Berikut ini kita akan membahas cara menentukan spektrum amplitudo<br />

sinyal nonsinus melalui pendekatan numerik, yang digunakan jika kita<br />

menghadapi sinyal nonsinus yang tidak mudah dicari persamaannya.<br />

Cara pendekatan ini dapat dilakukan dengan bantuan komputer<br />

sederhana, terutama jika sinyal disajikan dalam bentuk kurva hasil dari<br />

suatu pengukuran analog. Dalam praktik, sinyal nonsinus diukur dengan<br />

menggunakan alat ukur elektronik yang dapat menunjukkan langsung<br />

spektrum amplitudo dari sinyal nonsinus yang diukur.<br />

Penafsiran Grafis Deret Fourier. Pencarian spektrum amplitudo suatu<br />

sinyal periodik y(t) dilakukan melalui penghitungan koefisien Fourier<br />

dengan formula seperti berikut ini.<br />

a<br />

a<br />

b<br />

0<br />

n<br />

n<br />

1<br />

=<br />

T<br />

0<br />

2<br />

=<br />

T<br />

0<br />

2<br />

=<br />

T<br />

0<br />

T0<br />

/ 2<br />

y(<br />

t)<br />

dt<br />

−T<br />

/ 2<br />

dengan T 0 adalah perioda sinyal.<br />

∫<br />

T0<br />

/ 2<br />

y(<br />

t) cos( nω0t)<br />

dt<br />

−T<br />

/ 2<br />

∫<br />

T0<br />

/ 2<br />

y(<br />

t)sin(<br />

nω0t)<br />

dt<br />

−T<br />

/ 2<br />

∫<br />

0<br />

0<br />

0<br />

;<br />

;<br />

n > 0<br />

n > 0<br />

T0<br />

/ 2<br />

Integral<br />

∫<br />

y ( t)<br />

dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva y(t)<br />

− T0<br />

/ 2<br />

dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika luas bidang dalam<br />

rentang satu perioda ini dikalikan dengan (1/T 0 ), yang berarti dibagi<br />

91


dengan T 0 , akan memberikan nilai rata-rata y(t) yaitu nilai komponen<br />

searah a 0 .<br />

T0<br />

/ 2<br />

Integral<br />

∫<br />

y ( t) cos( nω0t)<br />

dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh<br />

− T / 2<br />

0<br />

kurva y( t ) cos( n ω 0 t ) dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika<br />

luas bidang ini dikalikan dengan (2/T 0 ), yang berarti dibagi (T 0 /2), akan<br />

diperoleh a n . Di sini T 0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T 0<br />

terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω 0 .<br />

T0<br />

/ 2<br />

Integral<br />

∫<br />

y ( t) sin( nω0t)<br />

dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh<br />

− T / 2<br />

0<br />

kurva y( t )sin( n ω 0 t ) dengan sumbu-x dalam rentang satu perioda. Jika<br />

luas ini dikalikan dengan (2/T 0 ) akan diperoleh b n . Seperti halnya<br />

penghitungan a n , T 0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T 0<br />

terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω 0 .<br />

Dengan penafsiran hitungan integral sebagai luas bidang, maka<br />

pencarian koefisien Fourier dapat didekati dengan perhitungan luas<br />

bidang. Hal ini sangat membantu karena perhitungan analitis hanya dapat<br />

dilakukan jika sinyal nonsinus yang hendak dicari komponenkomponennya<br />

diberikan dalam bentuk persamaan yang cukup mudah<br />

untuk diintegrasi.<br />

Prosedur Pendekatan umerik. Pendekatan numerik integral sinyal y(t)<br />

dalam rentang p ≤ t ≤ q dilakukan sebagai berikut.<br />

1. Kita bagi rentang p ≤ t ≤ q ke dalam m segmen dengan lebar masingmasing<br />

∆t k ; ∆t k bisa sama untuk semua segmen bisa juga tidak,<br />

tergantung dari keperluan. Integral y(t) dalam rentang p ≤ t ≤ q<br />

dihitung sebagai jumlah luas seluruh segmen dalam rentang tersebut.<br />

Setiap segmen dianggap sebagai trapesium; sisi kiri suatu segmen<br />

merupakan sisi kanan segmen di sebelah kirinya, dan sisi kanan suatu<br />

segmen menjadi sisi kiri segmen di sebelah kanannya. Jika sisi kanan<br />

segmen (trapesium) adalah A k maka sisi kirinya adalah A k-1 , maka<br />

luas segmen ke-k adalah<br />

L<br />

( A + A ) × ∆t<br />

/ 2<br />

k = k k− 1 k<br />

(5.1)<br />

92 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Jadi integral f(t) dalam rentang p ≤ x ≤ q adalah<br />

q<br />

m<br />

f ( t)<br />

dt ≈∑<br />

Lk<br />

(5.2)<br />

p<br />

k=<br />

1<br />

∫<br />

2. Nilai ∆t k dipilih sedemikian rupa sehingga error yang terjadi masih<br />

berada dalam batas-batas toleransi yang kita terima. Jika sinyal<br />

diberikan dalam bentuk grafik, untuk mencari koefisien Fourier dari<br />

harmonisa ke-n, satu perioda dibagi menjadi tidak kurang dari 10×n<br />

segmen agar pembacaan cukup teliti dan error yang terjadi tidak<br />

lebih dari 5%. Untuk harmonisa ke-5 misalnya, satu perioda dibagi<br />

menjadi 50 segmen. Ketentuan ini tidaklah mutlak; kita dapat<br />

memilih jumlah segmen sedemikian rupa sehingga pembacaan<br />

mudah dilakukan namun cukup teliti.<br />

3. Relasi untuk memperoleh nilai koefisien Fourier menjadi seperti<br />

berikut:<br />

m<br />

1<br />

a0<br />

=<br />

T<br />

∑<br />

0 k=<br />

1<br />

m<br />

2<br />

an<br />

=<br />

T<br />

∑<br />

0 k=<br />

1<br />

[ A + A ]<br />

k<br />

k−1<br />

∆tk<br />

=<br />

2<br />

∑<br />

[ A cos( nω<br />

t)<br />

+ A cos( nω<br />

t )]<br />

k<br />

0<br />

k−1<br />

2<br />

Lka0<br />

T0<br />

0 k−1<br />

∆tk<br />

[ A sin( nω<br />

t)<br />

+ A sin( nω<br />

t )]<br />

∑<br />

∑<br />

m<br />

2<br />

−<br />

− ∆ L<br />

k 0 k 1 0 k 1 tk<br />

kbn<br />

bn<br />

= ∑<br />

=<br />

T0<br />

2<br />

T<br />

k=<br />

1 0 / 2<br />

4. Formula untuk sudut fasa adalah<br />

ϕ<br />

n<br />

=<br />

Lkan<br />

T0<br />

/ 2<br />

(5.3)<br />

−1<br />

⎛ b ⎞<br />

⎜<br />

n<br />

= tan ⎟<br />

(5.4)<br />

⎝ an<br />

⎠<br />

5. Perlu disadari bahwa angka-angka yang diperoleh pada pendekatan<br />

numerik bisa berbeda dengan nilai yang diperoleh secara analitis.<br />

Jika misalkan secara analitis seharusnya diperoleh a 1 = 0 dan b 1 =<br />

150, pada pendekatan numerik mungkin diperoleh angka yang sedikit<br />

menyimpang, misalnya a 1 = 0,01 dan b 1 = 150,2.<br />

2 2<br />

6. Amplitudo dari setiap komponen harmonisa adalah A n = an<br />

+ bn<br />

.<br />

Sudut fasa dihitung dalam satuan radian ataupun derajat dengan<br />

mengingat letak kuadran dari vektor amplitudo seperti telah dibahas<br />

93


pada waktu kita membahas spektrum sinyal dalam Bab-3. Persamaan<br />

sinyal nonsinus adalah<br />

2 2<br />

( ) 0 ∑ ∞ y t = a +<br />

⎡<br />

a + cos( ω0<br />

− ϕ )<br />

⎤<br />

n bn<br />

n t n (5.5)<br />

⎢⎣<br />

⎥⎦<br />

n=<br />

1<br />

Berikut ini kita lihat sinyal periodik yang diberikan dalam bentuk kurva<br />

yang tak mudah dicari persamaannya. Prosedur pendekatan numerik<br />

dilakukan dengan membaca kurva yang memerlukan kecermatan. Hasil<br />

pembacaan kita muatkan dalam suatu tabel seperti pada contoh berikut<br />

ini.<br />

COTOH-5.1:<br />

200<br />

y[volt]<br />

150<br />

100<br />

50<br />

0<br />

-50<br />

0 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0,014 0,016 0,018 0,02<br />

t[detik]<br />

-100<br />

-150<br />

-200<br />

Carilah komponen searah, fundamental, dan harmonisa ke-3 sinyal<br />

periodik y(t) yang dalam satu perioda berbentuk seperti yang<br />

diperlihatkan dalam gambar di atas. Perhatikan bahwa gambar ini<br />

adalah gambar dalam selang satu periode yang berlangsung dalam<br />

0,02 detik, yang sesuai dengan frekuensi kerja 50 Hz.<br />

Penyelesaian: Perhitungan diawali dengan menetapkan nilai t<br />

dengan interval sebesar ∆t = 0,0004 detik, kemudian menentukan A k<br />

untuk setiap segmen. Sisi kiri segmen pertama terjadi pada t = 0 dan<br />

sisi kanannya menjadi sisi kiri segmen ke-dua; dan demikian<br />

selanjutnya dengan segmen-segmen berikutnya. Kita tentukan pula<br />

sisi kanan segmen terakhir pada t = T 0 . Hasil perhitungan yang<br />

94 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


diperoleh dimuatkan dalam Tabel-5.1 (hanya ditampilkan sebagian),<br />

dimana sudut fasa dinyatakan dalam satuan radian. Pembulatan<br />

sampai 2 angka di belakang koma.<br />

Tabel-5.1. <strong>Analisis</strong> Harmonisa Sinyal Nonsinus pada Contoh-5.1.<br />

T 0 = 0,02 s<br />

∆t k = 0,0004 s<br />

Komp.<br />

searah<br />

Fundamental<br />

f 0 = 1/T 0 = 50 Hz<br />

Harmonisa ke-3<br />

t A k L ka0 L ka1 L kb1 L ka3 L kb3<br />

0 50<br />

0,0004 75 0,025 0,025 0,002 0,024 0,006<br />

0,0008 100 0,035 0,034 0,007 0,029 0,019<br />

0,0012 120 0,044 0,042 0,014 0,025 0,035<br />

: : : : : : :<br />

0,0192 -5 -0,006 -0,006 0,002 -0,003 0,005<br />

0,0196 20 0,003 0,003 0,000 0,003 -0,001<br />

0,02 50 0,014 0,014 -0,001 0,014 -0,001<br />

Jumlah L k 0,398 0,004 1,501 -0,212 0,211<br />

a 0 19,90<br />

a 1 , b 1 0,36 150,05<br />

a 3 , b 3 −21,18 21,13<br />

Ampli-1, ϕ 1 150,05 1,57<br />

Ampli-3, ϕ 3 29,92 -0,78<br />

Tabel ini memberikan<br />

a0<br />

= 19,90<br />

a1<br />

= 0,36; b1<br />

= 150,05<br />

a3<br />

= −21,18;<br />

b3<br />

= 21,13 ⇒<br />

2 2<br />

⇒ A1<br />

= 0,36 + 150,05 = 150,05<br />

−1<br />

ϕ1<br />

= tan (150,05 / 0,36) = 1,57<br />

A3<br />

=<br />

2 2<br />

( −21,18)<br />

+ 21,13<br />

= 29,92<br />

−1<br />

ϕ3<br />

= tan (21,13/ − 21,18) = −0,78<br />

Sesungguhnya kurva yang diberikan mengandung pula harmonisa kedua.<br />

Apabila harmonisa ke-dua dihitung , akan memberikan hasil<br />

a 2 = 49,43 dan b 2 = −0, 36<br />

amplitudo A 2 = 49,43 dan ϕ 2 = −0, 01<br />

95


Dengan demikian uraian sampai dengan harmonisa ke-3 dari sinyal<br />

yang diberikan adalah<br />

y(<br />

t)<br />

= 19,90 + 150,05cos(2πf<br />

0t<br />

−1,57)<br />

+ 49,43cos(4πf<br />

0t<br />

+ 0,01)<br />

+ 29,92cos(6πf<br />

0t<br />

+ 0,78)<br />

5.2. Elemen Linier Dengan Sinyal onsinus<br />

Hubungan tegangan dan arus elemen-elemen linier R, L, C, pada sinyal<br />

sinus di kawasan waktu berlaku pula untuk sinyal periodik nonsinus.<br />

COTOH-5.2: Satu kapasitor C mendapatkan tegangan nonsinus<br />

v = 100 sin( ωt<br />

+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />

− 0,2) + 10sin(5ωt<br />

+ 1,5) V<br />

(a) Tentukan arus yang mengalir pada kapasitor. (b) Jika C = 30 µF,<br />

dan frekuensi f = 50 Hz, gambarkan (dengan bantuan komputer)<br />

kurva tegangan dan arus kapasitor.<br />

Penyelesaian:<br />

dv<br />

(a) Hubungan tegangan dan arus kapasitor adalah i C = C<br />

dt<br />

Oleh karena itu arus kapasitor adalah<br />

d 100sin( ωt<br />

+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />

− 0,2) + 10sin(5ωt<br />

+ 1,5)<br />

i C = C<br />

dt<br />

= 100ωC<br />

cos( ωt<br />

+ 0,5) + 60ωC<br />

cos(3ωt<br />

− 0,2)<br />

{ }<br />

= 100ωC<br />

sin( ωt<br />

+ 2,07) + 60ωC<br />

sin(3ωt<br />

+ 1,37)<br />

+ 50ωC<br />

cos(5ωt<br />

+ 1,5)<br />

+ 50ωC<br />

sin(5ωt<br />

+ 3,07) A<br />

(b) Kurva tegangan dan arus adalah seperti di bawah ini.<br />

150<br />

[V]<br />

100<br />

50<br />

0<br />

-50<br />

-100<br />

-150<br />

v C<br />

5 [A]<br />

i C<br />

2,5<br />

0 0.005 0.01<br />

0<br />

0.015 detik 0.02<br />

−2,5<br />

−5<br />

96 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Kurva tegangan dan arus pada contoh ini merupakan fungsi-fungsi<br />

nonsinus yang simetris terhadap sumbu mendatar. Nilai rata-rata<br />

fungsi periodik demikian ini adalah nol. Pendekatan numerik<br />

memberikan nilai rata-rata<br />

vrr<br />

−14<br />

= 1,8 × 10 V dan<br />

−17<br />

irr<br />

= 5 × 10 A.<br />

5.3. ilai Rata-Rata Dan ilai Efektif Sinyal onsinus<br />

ilai Rata-Rata. Sesuai dengan definisi untuk nilai rata-rata, nilai ratarata<br />

sinyal nonsinus y(t) dengan perioda T 0 adalah<br />

1<br />

Yrr<br />

=<br />

T0<br />

T<br />

y(<br />

t)<br />

dt<br />

0<br />

∫<br />

(5.6)<br />

Nilai rata-rata sinyal nonsinus adalah komponen searah dari sinyal<br />

tersebut.<br />

ilai Efektif. Definisi nilai efektif sinyal periodik y(t) dengan perioda T 0<br />

adalah<br />

Yrms<br />

=<br />

1<br />

T0<br />

T<br />

2<br />

y ( t)<br />

dt<br />

0<br />

∫<br />

(5.7)<br />

Dengan demikian maka nilai efektif sinyal sinus y 1 = Y m1 sin(ωt + θ)<br />

adalah<br />

1 T<br />

2 2<br />

Ym<br />

Y 1rms<br />

= Ym<br />

sin ( )<br />

1<br />

1 ωt<br />

+ θ dt =<br />

(5.8)<br />

T ∫<br />

0 0<br />

2<br />

Nilai efektif sinyal nonsinus ∑ ∞ y ( t)<br />

= Y0 + Ymn<br />

sin( nω0t<br />

+ θn<br />

) adalah<br />

n=<br />

1<br />

Yrms<br />

=<br />

1<br />

T0<br />

T ⎛<br />

∫ ⎜<br />

⎜ Y + ∑ ω + θ<br />

⎟ ⎟ 0 Ymn<br />

sin( n 0t<br />

n )<br />

0<br />

n=<br />

1<br />

⎠<br />

⎝<br />

∞<br />

2<br />

⎞<br />

dt<br />

Jika ruas kiri dan kanan dikuadratkan, kita dapatkan<br />

97


2 1<br />

Y rms =<br />

T0<br />

2 1<br />

Y rms =<br />

T0<br />

1<br />

+<br />

T0<br />

∫<br />

∫<br />

T ⎛<br />

Melalui kesamaan trigonometri<br />

∫ ⎜<br />

⎜ Y0<br />

+ ∑Ymn<br />

sin( nω0t<br />

+ θn<br />

)<br />

⎟ ⎟ 0<br />

n=<br />

1<br />

⎠<br />

⎝<br />

∞<br />

T ⎛ ∞<br />

⎞<br />

⎜ 2 2 2<br />

Y<br />

⎟<br />

⎜ 0 + ∑Ymn<br />

sin ( nω0t<br />

+ θn<br />

) dt<br />

0<br />

⎟<br />

⎝ n=<br />

1<br />

⎠<br />

2<br />

⎞<br />

dt<br />

atau<br />

⎛ ∞<br />

⎞<br />

⎜2Y<br />

⎟<br />

⎜ 0∑Ymn<br />

sin( nω0t<br />

+ θn<br />

)<br />

⎟<br />

⎜ n=<br />

1<br />

⎟<br />

⎜<br />

∞<br />

⎟<br />

T ⎜+<br />

2Y<br />

ω + θ ∑ ω + θ ⎟<br />

m1<br />

sin( 0t<br />

1)<br />

Ymn<br />

sin( n 0t<br />

n )<br />

⎜<br />

⎟dt<br />

0<br />

n=<br />

2<br />

⎜<br />

⎟<br />

⎜<br />

∞<br />

⎟<br />

⎜+<br />

2Ym2<br />

sin(2ω0t<br />

+ θ2<br />

) ∑Ymn<br />

sin( nω0t<br />

+ θn<br />

) ⎟<br />

⎜<br />

n=<br />

3<br />

⎟<br />

⎜<br />

⎟<br />

⎝+<br />

.................................<br />

⎠<br />

2 sin α sin β = cos( α − b ) − cos( α + β)<br />

(5.9)<br />

dan karena Y 0 bernilai tetap maka suku ke-dua ruas kanan (5.8)<br />

merupakan penjumlahan nilai rata-rata fungsi sinus yang masing-masing<br />

memiliki nilai rata-rata nol, sehingga suku ke-dua ini bernilai nol. Oleh<br />

karena itu (5.9) dapat kita tulis<br />

atau<br />

2 1<br />

Y rms =<br />

T<br />

T ⎛<br />

∫ ⎜<br />

⎜ 2 2 2<br />

Y0<br />

+ ∑Y<br />

ω + θ<br />

⎟ ⎟ nm sin ( n 0t<br />

n )<br />

0<br />

n=<br />

1<br />

⎠<br />

⎝<br />

∞<br />

∞<br />

2 1 t<br />

2 1<br />

Y rms =<br />

∫<br />

Y0<br />

dt +<br />

T 0 T<br />

n=<br />

1<br />

∞<br />

2 2<br />

= Y0<br />

+ ∑Ynrms<br />

n=<br />

1<br />

∑ ∫<br />

⎞<br />

dt<br />

T<br />

2 2<br />

Ynm<br />

sin ( nω0t<br />

+ θn)<br />

dt<br />

0<br />

(5.10)<br />

(5.11)<br />

Persamaan (5.11) menunjukkan bahwa kuadrat nilai efektif sinyal non<br />

sinus sama dengan jumlah kuadrat komponen searah dan kuadrat semua<br />

nilai efektif konponen sinus. Kita perlu mencari formulasi yang mudah<br />

untuk menghitung nilai efektif ini. Kita bisa memandang sinyal nonsinus<br />

sebagai terdiri dari tiga macam komponen yaitu komponen searah (y 0 ),<br />

98 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


komponen fundamental (y 1 ), dan komponen harmonisa (y h ). Komponen<br />

searah adalah nilai rata-rata sinyal, komponen fundamental adalah<br />

komponen dengan frekuensi fundamental ω 0 , sedangkan komponen<br />

harmonisa merupakan jumlah dari seluruh komponen harmonisa yang<br />

memiliki frekuensi nω 0 dengan n > 1. Jadi sinyal nonsinus y dapat<br />

dinyatakan sebagai<br />

y = y0<br />

+ y1<br />

+ y h<br />

Akan tetapi kita juga dapat memandang sinyal nonsinus sebagai terdiri<br />

dari dua komponen saja, yaitu komponen fundamental dan komponen<br />

harmonisa total di mana komponen yang kedua ini mencakup komponen<br />

searah. Alasan untuk berbuat demikian ini adalah bahwa dalam proses<br />

transfer energi, komponen searah dan harmonisa memiliki peran yang<br />

sama; hal ini akan kita lihat kemudian. Dalam pembahasan selanjutnya<br />

kita menggunakan cara pandang yang ke-dua ini. Dengan cara pandang<br />

ini suatu sinyal nonsinus dinyatakan sebagai<br />

y = y 1 + y h<br />

(5.12)<br />

dengan y1 = Y1m<br />

sin( ω0t<br />

+ θ1)<br />

dan<br />

k<br />

yh<br />

= Y0 + ∑Ynm<br />

sin( nω0t<br />

+ θn<br />

) .<br />

n=<br />

2<br />

Dengan demikian maka relasi (5.11) menjadi<br />

2 2 2<br />

Y rms Y1rms<br />

+ Yhrms<br />

= (5.13)<br />

Dalam praktik, komponen harmonisa y h dihitung tidak melibatkan<br />

seluruh komponen harmonisa melainkan dihitung dalam lebar pita<br />

spektrum tertentu. Persamaan sinyal dijumlahkan sampai pada frekuensi<br />

tertinggi yang ditentukan yaitu kω 0 ; sinyal dengan frekuensi di atas batas<br />

frekuensi tertinggi ini dianggap memiliki amplitudo yang sudah cukup<br />

kecil untuk diabaikan.<br />

COTOH-5.2: Suatu tegangan berbentuk gelombang gigi gergaji<br />

memiliki nilai maksimum 20 volt, dengan frekuensi 20 siklus per<br />

detik. Hitunglah nilai tegangan efektif dengan: (a) relasi nilai efektif;<br />

(b) uraian harmonisa.<br />

Penyelesaian:<br />

99


(a) Perioda sinyal 0,05 detik dengan persamaan: v( t)<br />

= 400t<br />

.<br />

Nilai efektif:<br />

V rms<br />

1 0,05<br />

2 1 ⎡1600<br />

= (400 )<br />

0,05 ∫<br />

t dt =<br />

0<br />

0,05<br />

⎢ t<br />

⎣ 3<br />

0,05<br />

3 ⎤<br />

⎥<br />

⎦0<br />

≈11,55 V<br />

(b) Uraian sinyal ini sampai harmonisa ke-7 adalah diberikan dalam<br />

contoh di Bab-3, yaitu<br />

v(<br />

t)<br />

= 10 − 6,366 sin ω0t<br />

− 3,183sin 2ω0t<br />

− 2,122 sin 3ω0t<br />

−1,592 sin 4ω0t<br />

−1,273sin 5ω0t<br />

−1,061sin 6ω0t<br />

− 0,909 sin 7ω0t<br />

V<br />

Persamaan ini memberikan nilai efektif tegangan fundamental,<br />

tegangan harmonisa, dan tegangan total sebagai berikut.<br />

6,366<br />

V 1rms<br />

= ≈ 4,5 V<br />

2<br />

V hrms<br />

2 2 2 2 2 2<br />

2 3,183 2,122 1,592 1,273 1,061 0,909<br />

= 10 + + + + + + ≈ 10,7 V<br />

2 2 2 2 2 2<br />

2 2<br />

2 2<br />

V rms = V1rms<br />

+ Vhrms<br />

= 4,5 + 10,7 ≈ 11,6 V<br />

Contoh ini menunjukkan bahwa sinyal gigi gergaji memiliki nilai<br />

efektif harmonisa jauh lebih tinggi dari nilai efektif komponen<br />

fundamentalnya.<br />

COTOH-5.3: Uraian dari penyearahan setengah gelombang arus sinus<br />

i = sin ω 0 t A sampai dengan harmonisa ke-10 adalah:<br />

i(<br />

t)<br />

= 0,318 + 0,5cos( ω<br />

0<br />

+ 0,018cos(6ω<br />

t −1,57)<br />

+ 0,212cos(2ω<br />

0<br />

t)<br />

+ 0.010 cos(8ω<br />

0<br />

0<br />

t ) + 0,042 cos(4ω<br />

t)<br />

+ 0.007 cos(10ω<br />

Hitung nilai efektif komponen arus fundamental, arus harmonisa,<br />

dan arus total.<br />

Penyelesaian:<br />

Nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa dan arus total<br />

berturut-turut adalah<br />

0<br />

0<br />

t)<br />

t)<br />

A<br />

100 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


0,5<br />

I1 rms = = 0,354 A<br />

2<br />

I hrms<br />

=<br />

2<br />

2 0,212<br />

0,318 +<br />

2<br />

2<br />

0,042<br />

+<br />

2<br />

2<br />

0,018<br />

+<br />

2<br />

2<br />

0,01<br />

+<br />

2<br />

2<br />

0,007<br />

+<br />

2<br />

= 0,354 A<br />

2 2<br />

2 2<br />

I rms = I1rms<br />

+ I hrms = 0,354 + 0,354 ≈ 0,5 A<br />

Contoh-5.3 ini menunjukkan bahwa pada penyearah setengah gelombang<br />

nilai efektif komponen fundamental sama dengan nilai efektif komponen<br />

harmonisanya.<br />

COTOH-5.4: Tegangan pada sebuah kapasitor 20 µF terdiri dari dua<br />

komponen yaitu v1 = 200sin<br />

ωt<br />

dan v15 = 20sin15ωt<br />

. Jika<br />

diketahui frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitunglah: (a) nilai<br />

efektif arus yang diberikan oleh v 1 ; (b) nilai efektif arus yang<br />

diberikan oleh v 15 ; (c) arus efektif total; (d) gambarkan kurva ketiga<br />

arus tersebut sebagai fungsi waktu.<br />

Penyelesaian:<br />

a). Komponen tegangan pertama adalah v1 = 200sin(100πt)<br />

V. Arus<br />

yang diberikan oleh tegangan ini adalah<br />

−6<br />

−6<br />

i1<br />

= 20 × 10 dv1<br />

/ dt = 20 × 10 × 200 × 100πcos100πt<br />

= 1,257 cos100πt<br />

Nilai efektifnya adalah:<br />

1,257<br />

I 1 rms = = 0,89 A<br />

2<br />

b). Komponen tegangan ke-dua adalah v15 = 20sin(1500πt)<br />

V. Arus<br />

yang diberikan oleh tegangan ini adalah<br />

−6<br />

−6<br />

i15<br />

= 20 × 10 dv15<br />

/ dt = 20 × 10 × 20 × 1500πsin1500πt<br />

= 1,885cos1500πt<br />

1,885<br />

Nilai efektifnya adalah: I 15 rms = = 1,33 A<br />

2<br />

c). Tegangan gabungan adalah<br />

v = 200 sin(100πt)<br />

+ 20 sin(1500πt)<br />

Arus yang diberikan tegangan gabungan ini adalah<br />

101


−6<br />

−6<br />

d<br />

i = 20 × 10 dv / dt = 20 × 10 ( v1<br />

+ v15<br />

)<br />

dt<br />

= 1,257 cos100πt<br />

+ 1,885cos1500t<br />

Arus ini merupakan jumlah dari dua komponen arus yang<br />

berbeda frekuensi. Kurva arus ini pastilah berbentuk nonsinus.<br />

Nilai efektif masing-masing komponen telah dihitung di<br />

jawaban (a) dan (b). Nilai efektif sinyal non sinus ini adalah<br />

2 2<br />

2 2<br />

I rms = I1 rms + I15rms<br />

= 0,89 + 1,33 =<br />

1,60 A<br />

d). Kurva ketiga arus tersebut di atas adalah sebagai berikut.<br />

4<br />

A i i 1 i 15<br />

3<br />

2<br />

1<br />

0<br />

detik<br />

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06<br />

-1<br />

-2<br />

-3<br />

-4<br />

COTOH-5.5: Arus i = 2 sin ωt<br />

+ 0,2 sin 3ωt<br />

A, mengalir pada beban<br />

yang terdiri dari resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan<br />

induktor 0,5 H. Pada frekuensi 50 Hz: (a) gambarkan kurva tegangan<br />

dan arus beban; (b) tentukan nilai efektif tegangan beban dan arus<br />

beban.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Arus beban adalah i = 2 sin ωt<br />

+ 0,2sin 3ωt<br />

. Tegangan beban<br />

adalah<br />

di<br />

v = vR<br />

+ vL<br />

= iR + L<br />

dt<br />

= 200sin<br />

ωt<br />

+ 20sin 3ωt<br />

+ ωcos<br />

ωt<br />

+ 0,3ω<br />

cos 3ωt<br />

V<br />

Kurva tegangan dan arus:<br />

102 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


V<br />

600<br />

400<br />

200<br />

v<br />

i<br />

0<br />

0<br />

0 0.005 0.01 0.015 detik 0.02<br />

-200<br />

−2<br />

A<br />

4<br />

2<br />

-400<br />

−4<br />

-600<br />

(b). Nilai efektif arus beban adalah<br />

2 2<br />

2 2<br />

I rms = I1 rms + I3rms<br />

=<br />

=<br />

Tegangan beban adalah<br />

2 0,2<br />

+<br />

2 2<br />

1,42 A<br />

v = 200sin<br />

ωt<br />

+ 20 sin 3ωt<br />

+ ωcos<br />

ωt<br />

+ 0,3ω<br />

cos 3ωt<br />

Nilai efektif tegangan beban, dengan ω=100π, adalah<br />

V<br />

V rms<br />

=<br />

2 2<br />

200 + ω<br />

2<br />

2 2<br />

20 + (0,3ω)<br />

+<br />

2<br />

= 272<br />

V<br />

5.4. Daya Pada Sinyal onsinus<br />

Pengertian daya nyata dan daya reaktif pada sinyal sinus berlaku pula<br />

pada sinyal nonsinus. Daya nyata memberikan transfer energi netto,<br />

sedangkan daya reaktif tidak memberikan transfer energi netto.<br />

Kita tinjau resistor R b yang menerima arus berbentuk gelombang<br />

nonsinus<br />

i Rb = i 1 + i h<br />

Nilai efektif arus ini adalah<br />

2 2 2<br />

I Rbrms = I1rms<br />

+ I hrms<br />

Daya nyata yang diterima oleh R b adalah<br />

2<br />

2 2<br />

PRb<br />

= I Rbrms × Rb<br />

= I1rmsRb<br />

+ I hrmsRb<br />

(5.14)<br />

103


Formulasi (5.14) tetap berlaku sekiranya resistor ini terhubung seri<br />

dengan induktansi, karena dalam bubungan seri demikian ini daya nyata<br />

diserap oleh resistor, sementara induktor menyerap daya reaktif.<br />

COTOH-5.6: Seperti pada contoh-5.5, arus i = 2 sinωt<br />

+ 0,2sin3ωt<br />

A mengalir pada resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan<br />

induktor 0,5 H. Jika frekuensi fundamental 50 Hz: (a) gambarkan<br />

dalam satu bidang gambar, kurva daya yang mengalir ke beban<br />

sebagai perkalian tegangan total dan arus beban dan kurva daya yang<br />

diserap resistor sebagai perkalian resistansi dan kuadrat arus resistor;<br />

(b) hitung nilai daya rata-rata dari dua kurva daya pada pertanyaan b;<br />

(c) berikan ulasan tentang kedua kurva daya tersebut.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Daya masuk ke beban dihitung sebagai: p = v × i<br />

sedangkan daya nyata yang diserap resistor dihitung sebagai: p R =<br />

i 2 R = v R i R<br />

Kurva dari p dan p R terlihat pada gambar berikut.<br />

600<br />

400<br />

200<br />

W p = vi p R = i 2 R = v R i R<br />

detik<br />

0<br />

0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />

-200<br />

-400<br />

(b) Daya rata-rata merupakan daya nyata yang di transfer ke beban.<br />

Daya ini adalah daya yang diterima oleh resistor. Arus efektif<br />

yang mengalir ke beban telah dihitung pada contoh-5.5. yaitu<br />

1,42 A. Daya nyata yang diterima beban adalah<br />

2<br />

2<br />

PR = I rms R = (1,42) × 100 = 202 W.<br />

Teorema Tellegen mengharuskan daya ini sama dengan daya<br />

rata-rata yang diberikan oleh sumber, yaitu p = vi. Perhitungan<br />

dengan pendekatan numerik memberikan nilai rata-rata p adalah<br />

104 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


P rr = 202 W<br />

(c) Kurva p R selalu positif; nilai rata-rata juga positif sebesar 202 W<br />

yang berupa daya nyata. Pada kurva p ada bagian yang negatif<br />

yang menunjukkan adanya daya reaktif; nilai rata-rata kurva p<br />

ini sama dengan nilai rata-rata kurva p R yang menunjukkan<br />

bagian nyata dari daya tampak.<br />

COTOH-5.7: Tegangan nonsinus pada terminal resistor 20 Ω adalah<br />

v = 100 sin( ωt<br />

+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />

− 0,2) + 10sin(5ωt<br />

+ 1,5) V<br />

Tentukan arus efektif yang mengalir dan daya nyata yang diserap<br />

resistor.<br />

Penyelesaian:<br />

Arus yang mengalir adalah<br />

v<br />

i = = 5 sin( ωt<br />

+ 0,5) + sin(3ωt<br />

− 0,2) + 0,5sin(5ωt<br />

+ 1,5) A<br />

R<br />

Nilai efektif masing-masing komponen arus adalah<br />

5<br />

1<br />

0,5<br />

I 1 rms = ; I3rms<br />

= ; I5rms<br />

=<br />

2<br />

2<br />

2<br />

Arus efektif yang mengalir adalah<br />

I rms<br />

=<br />

25<br />

2<br />

+<br />

1<br />

2<br />

+<br />

0,25<br />

2<br />

Daya nyata yang diserap resistor adalah<br />

2 ⎛ 25<br />

PR<br />

= I rms R = ⎜ +<br />

⎝ 2<br />

1<br />

2<br />

=<br />

0,25 ⎞<br />

+<br />

2<br />

26,25<br />

= 3,62 A<br />

2<br />

⎟ ×<br />

⎠<br />

20 = 262,5 W<br />

COTOH-5.8: Tegangan nonsinus v = 100 sin ωt<br />

+ 10 sin 3ωt<br />

V, terjadi<br />

pada terminal beban yang terdiri dari resistor 100 Ω tersambung<br />

paralel dengan kapasitor 50 µF. Jika frekuensi fundamental adalah<br />

50 Hz, (a) Tentukan persamaan arus total beban; (b) hitung daya<br />

nyata yang diserap beban.<br />

Penyelesaian:<br />

105


(a). Arus total (i) adalah jumlah arus yang melalui resistor (i R ) dan<br />

kapasitor (i C ).<br />

i C = C<br />

dv<br />

dt<br />

Arus total beban:<br />

v<br />

i R = = sin ωt<br />

+ 0,1sin 3ωt<br />

R<br />

−6<br />

= 50 × 10<br />

( 100ωcos<br />

ωt<br />

+ 30ωcos3ωt<br />

)<br />

i = sin ωt<br />

+ 0,1sin 3ωt<br />

+ 0,005cos ωt<br />

+ 0.0015ω<br />

cos 3ωt<br />

(b). Arus efektif melalui resistor<br />

I Rrms<br />

=<br />

2 2<br />

1 0,1<br />

+<br />

2 2<br />

= 0,71 A<br />

Daya nyata yang diserap beban adalah daya yang diserap<br />

resistor:<br />

P R<br />

=<br />

2<br />

0,71 × 100 = 50<br />

W<br />

5.5. Resonansi<br />

Karena sinyal nonsinus mengandung harmonisa dengan berbagai macam<br />

frekuensi, maka ada kemungkinan salah satu frekuensi harmonisa<br />

bertepatan dengan frekuensi resonansi dari rangkaian. Frekuensi<br />

resonansi telah kita bahas di bab sebelumnya. Berikut ini kita akan<br />

melihat gejala resonansi pada rangkaian karena adanya frekuensi<br />

harmonisa.<br />

COTOH-5.9: Suatu generator 50 Hz dengan induktansi internal 0,025<br />

H mencatu daya melalui kabel yang memiliki kapasitansi total<br />

sebesar 5 µF. Dalam keadaan tak ada beban tersambung di ujung<br />

kabel, tentukan frekuensi harmonisa sumber yang akan memberikan<br />

resonansi.<br />

Penyelesaian:<br />

Frekuensi resonansi adalah<br />

ωr<br />

=<br />

1<br />

LC<br />

=<br />

1<br />

2828,4<br />

−6 0,025 × 5 × 10<br />

=<br />

106 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


2828,4<br />

f r = = 450<br />

2π<br />

Inilah frekuensi harmonisa ke-9.<br />

Hz<br />

COTOH-5.10: Sumber tegangan satu fasa 6 kV, 50 Hz, mencatu beban<br />

melalui kabel yang memiliki kapasitansi total 2,03 µF. Dalam<br />

keadaan tak ada beban terhubung di ujung kabel, induktansi total<br />

rangkaian ini adalah 0,2 H. Tentukan harmonisa ke berapa dari<br />

sumber yang akan membuat terjadinya resonansi pada keadaan tak<br />

ada beban tersebut.<br />

Penyelesaian:<br />

Frekuensi resonansi adalah<br />

ωr<br />

=<br />

1<br />

LC<br />

=<br />

1<br />

1569,4<br />

−6 0,02 × 2,03×<br />

10<br />

=<br />

rad/det<br />

atau<br />

f r<br />

1569,4<br />

= = 249,78 Hz<br />

2π<br />

Resonansi terjadi jika sumber mengandung harmonisa ke-5.<br />

107


Soal-Soal<br />

1. Hasil penyearahan setengah gelombang tegangan sinusoidal<br />

memberikan tegangan dengan amplitudo 250 V, dan frekuensi dasar<br />

50 Hz. Tuliskan lima komponen pertama sinyal yang tak bernilai nol<br />

dan gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal ini.<br />

2. Sinyal segitiga mempunyai amplitudo 5 V dan perioda 1 milidetik.<br />

Tuliskan lima komponen pertama sinyal yang tak bernilai nol dan<br />

gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal ini.<br />

3. Suatu sinyal gelombang komposit diperoleh dengan menambahkan<br />

tegangan searah 5 V dan geolmbang persegi 1kHz yang memiliki<br />

tegangan puncak-ke-puncak 5 V. Tuliskan lima komponen pertama<br />

sinyal yang tak bernilai nol dan gambarkan spektrum amplitudo dari<br />

sinyal ini.<br />

4. Pulsa pertama dari suatu deret pulsa muncul pada t = 0 dan<br />

menghilang pada t = 1, sedangkan pulsa kedua muncul pada t = 2<br />

dan menghilang pada t = 3. Jika amplitudo pulsa adalah 2 V,<br />

gambarkan bentuk gelombang sinyal ini dan carilah koefisien<br />

Fourier serta gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal ini.<br />

5. Suatu sinyal sinusoidal v = 10 sin(2πt<br />

/ T0<br />

) V diproses melalui<br />

rangkaian pemotong gelombang sedemikian rupa sehingga bagian<br />

gelombang yang berada di bawah −5<br />

V terpotong. Jika perioda T 0<br />

adalah 0,1 detik, carilah koefisien Fourier serta gambarkan spektrum<br />

amplitudo dari sinyal ini.<br />

6. Bentuk gelombang v = 10(1<br />

− 0,5t)<br />

adalah setengah perioda pertama<br />

dari gelombang periodik yang periodanya 4 detik. Jika diketahui<br />

bahwa koefisien Fourier a n = 0 untuk semua n, bagaimanakah bentuk<br />

setengah gelombang yang kedua?<br />

7. Bentuk gelombang v = 10(1<br />

− 0,5t)<br />

adalah setengah perioda pertama<br />

dari gelombang periodik dengan perioda 4 detik. Jika diketahui<br />

bahwa koefisien Fourier b n = 0 untuk semua n, bagaimanakah bentuk<br />

setengah gelombang yang kedua?<br />

8. Dengan pendekatan numerik, carilah persamaan gelombang periodik<br />

yang salah satu periodanya tergambar di bawah ini.<br />

108 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


150<br />

v<br />

[V]<br />

100<br />

50<br />

0<br />

0 0.005 0.01 0.015 t [det] T 0<br />

-50<br />

-100<br />

-150<br />

9. Suatu resistor 100 Ω yang tersambung paralel dengan induktor 0,5<br />

H, dihubungkan pada sebuah sumber tegangan<br />

v = 100sin<br />

ωt<br />

+ 10sin3ωt<br />

dengan frekuensi 50 Hz. (a) Tentukan<br />

persamaan arus sumber dan nilai efektifnya; (b) hitung daya yang<br />

diserap resistor; (c) dengan hanya memperhatikan komponen<br />

fundamental, hitung nilai rata-rata daya yang keluar dari sumber dan<br />

bandingkan dengan daya yang diserap resistor.<br />

10. Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai resistansi<br />

internal 1 Ω dan induktansi internal 0,02 H. Sumber ini mencatu<br />

beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total 2.9 µF.<br />

Tegangan terbangkit di sumber dinyatakan dengan<br />

e = 17000 sin ωt<br />

+ 170sin13ωt<br />

. Dalam keadaan tak ada beban<br />

terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada kabel.<br />

11. Tegangan sebesar v = 100 + 300sin<br />

ωt<br />

V, diterapkan pada beban<br />

berupa resistor 10 Ω melalui kabel yang memiliki kapasitansi toal<br />

0,3 µF. Hitung arus efektif yang keluar dari sumber dan hitung daya<br />

yang diserap oleh beban jika ω = 314.<br />

12. Suatu induktor 0,225 H dihubungkan seri dengan kapasitor 5 µF.<br />

Tentukan frekuensi sumber yang akan memberikan resonansi pada:<br />

(a) frekuensi dasar; (b) harmonisa ke-tiga; (c) harmonisa ke-lima.<br />

109


13. Suatu tegangan nonsinus mengandung komponen fundamental,<br />

harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-5. Nilai puncak tegangan<br />

berturut-turut adalah 2000 V, 400 V, dan 100 V. Tegangan ini<br />

diterapkan pada rangkaian seri R = 10 Ω, kapasitor 30 µF, dan<br />

induktor variabel. Pada frekuensi 50 Hz, hitung nilai induktansi yang<br />

akan menyebabkan resonansi pada harmonisa ke-3, dan harmonisa<br />

ke-5. Hitung pula arus dan tegangan efektif pada waktu terjadi<br />

resonansi.<br />

14. Dua beban paralel terdiri beban resistif 20 Ω dan beban induktif<br />

dengan resistansi 20 Ω seri dengan induktor 0,05 H. Pada terminal<br />

bersama (common point) kedua beban ini dipasang kapasitor 50 µF<br />

paralel dengan kedua beban tersebut. Sebuah tegangan nonsinus<br />

yang tersusun dari komponen fundamental bertegangan puncak 200<br />

V dan harmonisa ke-3 bertegangan puncak 50 V diterapkan pada<br />

terminal bersama dari beban ini. Hitung arus efektif total, daya total,<br />

dan faktor daya dari beban ini. Frekuensi 50 Hz.<br />

110 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


BAB 6<br />

Pembebanan on-Linier<br />

Pada pembebanan nonlinier arus yang mengalir ke beban merupakan arus<br />

periodik nonsinus, walaupun sumber memberikan tegangan sinus.<br />

Pembahasan akan kita lakukan di dua sisi yaitu tinjauan di sisi beban dan<br />

tinjauan di sisi sumber. Tinjauan di sisi beban adalah melihat beban yang<br />

menerima arus nonsinus tanpa mempersoalkan bagaimana sumber<br />

melayani pembebanan yang demikian ini. Tinjauan di sisi sumber adalah<br />

melihat sumber yang bertegangan sinus namun harus memberikan arus<br />

yang nonsinus.<br />

6.1. Tinjauan Di Sisi Beban<br />

<strong>Rangkaian</strong> yang akan kita tinjau terlihat pada Gb.6.1. Sebuah sumber<br />

tegangan sinus memberikan arus pada resistor R b melalui saluran dengan<br />

resistansi R s dan sebuah pengubah arus p.i., misalnya penyearah;<br />

pengubah arus inilah yang menyebabkan arus yang mengalir di R b<br />

berbentuk gelombang nonsinus.<br />

v s +<br />

−<br />

R s<br />

p.i.<br />

i nonsinus<br />

R b<br />

Gb.6.1. Pembebanan nonlinier.<br />

Menurut teorema Tellegen, transfer daya listrik hanya bisa terjadi melalui<br />

tegangan dan arus. Namun dalam tinjauan dari sisi beban ini, R b hanya<br />

melihat bahwa ada arus yang diterima olehnya. Cara bagaimana arus ini<br />

sampai ke beban tidaklah penting bagi beban.<br />

i Rb = i 1 + i h<br />

(6.1)<br />

dengan i1 = I1m<br />

sin( ω0t<br />

+ θ1)<br />

k<br />

ih<br />

= I0 + ∑ I nm sin( nω0t<br />

+ θn<br />

)<br />

n=<br />

2<br />

Inilah arus yang diterima oleh R b .<br />

111


Daya nyata yang diterima oleh R b adalah<br />

6.2. Tinjauan Di Sisi Sumber<br />

2 2<br />

PRb<br />

= I1 rmsRb<br />

+ I hrmsRb<br />

(6.2)<br />

Tegangan sumber berbentuk gelombang sinus, yaitu vs = Vs<br />

sinω0t<br />

.<br />

Daya yang diberikan oleh sumber adalah tegangan sumber kali arus<br />

sumber yang besarnya sama dengan arus beban. Jadi daya keluar dari<br />

sumber adalah<br />

ps<br />

= vs<br />

( t)<br />

is<br />

( t)<br />

= Vs<br />

I1<br />

sin ω0t<br />

sin( ω0t<br />

+ θ1)<br />

Suku pertama (6.3) memberikan daya<br />

⎛ k<br />

⎞<br />

+ V ⎜<br />

⎟<br />

s sin ω0t<br />

I + ω + θ<br />

⎜ 0 ∑ I n sin( n 0t<br />

n )<br />

⎟<br />

⎝ n=<br />

2<br />

⎠<br />

(6.3)<br />

⎛ cos θ1<br />

− cos(2ω0t<br />

+ θ1)<br />

⎞<br />

ps1<br />

= Vs<br />

I1( sin ω0t<br />

sin( ω0t<br />

+ θ1)<br />

) = Vs<br />

I1⎜<br />

⎟<br />

⎝ 2 ⎠<br />

Vs<br />

I1<br />

Vs<br />

I1<br />

= cos θ1<br />

− cos(2ω0t<br />

+ θ1)<br />

2<br />

2<br />

(26.4)<br />

Suku ke-dua dari persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol akan tetapi<br />

suku pertama mempunyai nilai tertentu. Hal ini berarti p s1 memberikan<br />

transfer energi netto.<br />

Suku kedua (6.3) memberikan daya<br />

p<br />

sh<br />

= V ∑ ∞<br />

=<br />

= p<br />

s0<br />

sh2<br />

[ I sin( nω<br />

t + θ ) ω t]<br />

s I 0 sin ω0t<br />

+ Vs<br />

n 0 n sin<br />

n 2<br />

+ p<br />

0<br />

(6.5)<br />

Suku pertama persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol. Suku<br />

kedua juga mempunyai nilai rata-rata nol karena yang berada dalam<br />

tanda kurung pada (6.5) berbentuk fungsi cosinus<br />

112 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


∞<br />

y = Vs∑<br />

n<br />

n=<br />

2<br />

∞<br />

⎡ I n<br />

= Vs∑<br />

⎢<br />

= 2 ⎣ 2<br />

n<br />

[ I sin( nω<br />

t + θ ) sin ω t]<br />

0<br />

n<br />

{ cos( ( n + 1) ω t + θ ) − cos( ( n −1)<br />

ω t + θ )}<br />

0<br />

yang memiliki nilai rata-rata nol. Hal ini berarti bahwa p sh tidak<br />

memberikan transfer energi netto.<br />

Jadi secara umum daya yang diberikan oleh sumber pada pembebanan<br />

nonlinier dapat kita tuliskan sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu<br />

0<br />

n<br />

p s = ps1 + psh<br />

(6.6)<br />

Dari dua komponen daya ini hanya komponen fundamental, p s1 , yang<br />

memberikan transfer energi netto. Dengan kata lain hanya p s1 yang<br />

memberikan daya nyata, yaitu sebesar<br />

Vs<br />

I1<br />

s1 = cos θ1<br />

= Vsrms<br />

I1rms<br />

cos θ1<br />

2<br />

P (6.7)<br />

dengan θ 1 adalah beda susut fasa antara v s dan i 1 . Sementara itu P sh<br />

merupakan daya reaktif.<br />

Menurut teorema Tellegen, daya nyata yang diberikan oleh sumber harus<br />

tepat sama dengan daya yang diterima oleh beban. Daya nyata yang<br />

diterima oleh R b adalah P Rb seperti diberikan oleh persamaan (6.2). Daya<br />

nyata yang diberikan oleh sumber, yaitu P s1 haruslah diserap oleh R b dan<br />

R s .<br />

6.3. Contoh Kasus: Penyearah Setengah Gelombang<br />

Sebagai contoh dalam pembahasan pembebanan nonlinier ini, kita akan<br />

mengamati penyearah setengah gelombang. Dengan penyearah ini, sinyal<br />

sinus diubah sehingga arus mengalir setiap setengah perioda seperti telah<br />

pernah kita temui. <strong>Rangkaian</strong> penyearah yang kita tinjau terlihat pada<br />

Gb.6.2.a.<br />

Arus penyearah setengah gelombang mempunyai nilai pada setengah<br />

perioda pertama (yang positif); pada setengah perioda ke-dua, ia bernilai<br />

nol. Uraian fungsi ini sampai dengan harmonisa ke-6, telah dihitung pada<br />

Contoh-3.3 di Bab-3, yaitu<br />

0<br />

n<br />

⎤<br />

⎥<br />

⎦<br />

113


( t)<br />

= I<br />

i m<br />

⎛0,318<br />

+ 0,5cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 0,212cos(2ω0t<br />

) ⎞<br />

×<br />

⎜<br />

0,042cos(4 0 ) 0,018cos(6 0 )<br />

⎟<br />

⎝ + ω t + ω t ⎠<br />

V<br />

(6.8)<br />

a).<br />

v s R v R<br />

V s<br />

v<br />

v s<br />

s<br />

i s<br />

i R<br />

i R<br />

p R p R<br />

0 ωt [<br />

p o ]<br />

R 0 90 180 270 360 450 540 630 720<br />

b). −V s<br />

Gb.6.2. Penyearah setengah gelombang dengan beban resistif.<br />

Dalam rangkaian yang kita tinjau ini hanya ada satu sumber yang<br />

mencatu daya hanya kepada satu beban. Pada waktu dioda konduksi, arus<br />

sumber selalu sama dengan arus beban, karena mereka terhubung seri;<br />

tegangan beban juga sama dengan tegangan sumber karena dioda<br />

dianggap ideal sedangkan resistor memiliki karakteristik linier dan<br />

bilateral. Pada waktu dioda tidak konduksi arus beban maupun arus<br />

sumber sama dengan nol. Gb.6.2.b. memperlihatkan bahwa hanya kurva<br />

tegangan sumber yang merupakan fungsi sinus; kurva arus dan daya<br />

merupakan fungsi nonsinus.<br />

Pada persamaan (6.8) arus fundamental dinyatakan dalam fungsi cosinus<br />

yaitu<br />

i1 = 0,5I<br />

m cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

Fungsi ini tidak lain adalah pergeseran 1,57 rad atau 90 o ke arah positif<br />

dari fungsi cosinus yang ekivalen dengan fungsi sinus<br />

i1 = 0,5I<br />

m sin( ω0t)<br />

Pernyataan i 1 dalam fungsi sinus ini sesuai dengan pernyataan bentuk<br />

gelombang tegangan yang juga dalam fungsi sinus. Dengan pernyataan<br />

114 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


yang bersesuaian ini kita dapat melihat beda fasa antara keduanya;<br />

ternyata dalam kasus penyearah setengah gelombang ini, arus<br />

fundamental sefasa dengan tegangan sumber.<br />

COTOH-6.1: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi<br />

internal yang dapat diabaikan mencatu beban resistif melalui<br />

penyearah setengah gelombang. Tegangan sumber adalah<br />

v s = 380sin<br />

ω0 t V dan resistansi beban R b adalah 3,8 Ω. Hitung<br />

daya nyata yang diterima oleh beban dan daya nyata yang diberikan<br />

oleh sumber.<br />

Penyelesaian:<br />

Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah 380/3,8 = 100 A.<br />

Persamaan arus sampai harmonisa ke-enam menjadi<br />

⎛31,8<br />

+ 50 cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 21,2cos(2ω0t<br />

) ⎞<br />

i ( t)<br />

=<br />

⎜<br />

A<br />

4,2 cos(4 0 ) 1,8cos(6 0 )<br />

⎟<br />

⎝ + ω t + ω t ⎠<br />

yang memberikan arus-arus efektif pada beban<br />

Ib1rms<br />

=<br />

Ibhrms<br />

=<br />

50<br />

A;<br />

2<br />

2 2 2<br />

2 21,2 4,2 1,8<br />

31,8 + + +<br />

2 2 2<br />

Daya yang diterima beban adalah<br />

= 35,31<br />

A;<br />

2<br />

( I + I ) × 3,8 = 9488 W ≈ 9,5 kW<br />

2 2<br />

P = I rmsRb<br />

= b 1 rms bhrms<br />

Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber adalah<br />

v s = 380sin<br />

ω 0 t . Komponen arus fundamental yang diberikan oleh<br />

sumber adalah sama dengan arus fundamental beban<br />

i1s = i1Rb<br />

= 50cos(<br />

ω0t<br />

−1,57)<br />

= 50sin<br />

ω0t<br />

A<br />

dengan nilai efektif I1 srms = 50 / 2 A<br />

Tak ada beda fasa antara tegangan sumber dan arus fundamentalnya.<br />

Daya dikeluarkan oleh sumber adalah<br />

115


380 50<br />

P s1 = Vs<br />

rms I1s<br />

rms = × = 9,5 kW<br />

2 2<br />

Hasil perhitungan dari kedua sisi tinjauan adalah sama. Daya yang<br />

diberikan oleh komponen fundamental sebagai fungsi waktu adalah<br />

VsI1<br />

ps1<br />

=<br />

2<br />

= 19 1<br />

( 1 − cos(2ω<br />

t) = ( 1 − cos(2ω<br />

t)<br />

( − cos(2ω<br />

t) kW<br />

0<br />

0<br />

380 × 50<br />

Gb.6.3 memperlihatkan kurva p s1 pada Contoh-6.1 di atas. Kurva p s1<br />

bervariasi sinusoidal namun selalu positif dengan nilai puncak 19 kW,<br />

dan nilai rata-rata (yang merupakan daya nyata) sebesar setengah dari<br />

nilai puncak yaitu 9,5 kW.<br />

Kurva daya yang dikontribusikan oleh komponen searah, p s0 yaitu suku<br />

pertama (6.5), dan komponen harmonisa p sh2 yaitu suku ke-dua<br />

persamaan (6.5), juga diperlihatkan dalam Gb.6.3. Kurva kedua<br />

komponen daya ini simetris terhadap sumbu waktu yang berarti memiliki<br />

nilai rata-rata nol. Dengan kata lain komponen searah dan komponen<br />

harmonisa tidak memberikan daya nyata.<br />

W<br />

20000<br />

15000<br />

10000<br />

5000<br />

0<br />

-5000<br />

-10000<br />

-15000<br />

t [det]<br />

0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />

p sh2<br />

p s0<br />

p s1<br />

Gb.6.3. Kurva komponen daya yang diberikan sumber.<br />

Konfirmasi logis kita peroleh sebagai berikut. Seandainya tidak ada<br />

penyearah antara sumber dan beban, arus pada resistor akan mengalir<br />

sefasa dan sebentuk dengan gelombang tegangan sumber. Daya yang di<br />

keluarkan oleh sumber dalam keadaan ini adalah<br />

2<br />

2<br />

ps<br />

= Vs<br />

I s sin ω0t<br />

= 38000sin ω0t<br />

cos 2ω0t<br />

+ cos 0<br />

= 38000<br />

= 38(1 + cos 2ω0t)<br />

kW<br />

2<br />

2<br />

0<br />

116 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Dalam hal penyearahan setengah gelombang, arus hanya mengalir setiap<br />

setengah perioda. Oleh karena itu daya yang diberikan oleh sumber<br />

menjadi setengahnya, sehingga<br />

p setengah<br />

gel = 19(1<br />

+ cos 2ω0 t ) kW , dan inilah p s1 .<br />

COTOH-6.2: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi<br />

internal yang diabaikan, mencatu beban resistif melalui kabel dengan<br />

resistansi 0,2 Ω dan penyearah setengah gelombang. Tegangan<br />

sumber adalah v s = 380sin<br />

ω0 t V dan resistansi beban R adalah 3,8<br />

Ω. Hitung daya yang diterima oleh beban.<br />

Penyelesaian:<br />

<strong>Rangkaian</strong> sistem ini adalah seperti berikut<br />

v s =380sinω 0 t<br />

R s =0,2Ω<br />

R b =3,8Ω<br />

Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah<br />

I m<br />

380<br />

= = 95 A<br />

3,8 + 0,2<br />

Persamaan arus sampai harmonisa ke-6 menjadi<br />

⎛0,318<br />

+ 0,5cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 0,212 cos(2ω0t<br />

) ⎞<br />

i(<br />

t)<br />

= 95 ×<br />

⎜<br />

0,042 cos(4 0t)<br />

0,018cos(6 0t)<br />

⎟<br />

⎝ + ω + ω ⎠<br />

= 30,21 + 47,5cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 20,14 cos(2ω0t)<br />

+ 4,09 cos(4ω0t)<br />

+ 1,71cos(6ω0t)<br />

A<br />

Nilai efektif arus fundamental dan arus harmonisa total adalah<br />

47.5<br />

I1rms<br />

= = 33,59 A;<br />

2<br />

I hrms =<br />

2 2 2<br />

2 20,14 4,09 1,71<br />

30,21 + + +<br />

2 2 2<br />

= 33,54 A<br />

117


Daya yang diterima R b adalah<br />

2<br />

2 2<br />

P Rb = I rmsRb<br />

= (33,59 + 33,54 ) × 3,8 = 8563 W<br />

Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber dan arus fundamental<br />

sumber adalah<br />

v s = 380sin<br />

ω0 t<br />

V<br />

is1 = iRb<br />

= 47,5cos(<br />

ω0t<br />

−1,57)<br />

= 47,5sin ω0t<br />

Tidak ada beda fasa antara v s dan i s1 . Daya nyata yang diberikan oleh<br />

sumber adalah<br />

380 47,5<br />

P s = vsrmsi1 rms cos 0<br />

o = × = 9025 W<br />

2 2<br />

Daya ini diserap oleh beban dan saluran. Daya yang diserap saluran<br />

adalah<br />

2<br />

2 2<br />

Psaluran<br />

= 0,02 × isrms<br />

= 0,02 × ( i1rms<br />

+ ihrms<br />

)<br />

2 2<br />

= 0,02 × (33,6 + 33,55 ) = 450,7 W<br />

Perbedaan angka perhitungan P Rb dengan (P s – P saluran ) adalah sekitar<br />

0,2%.<br />

A<br />

6.4. Perambatan Harmonisa<br />

Dalam sistem tenaga, beban pada umumnya bukanlah beban tunggal,<br />

melainkan beberapa beban terparalel. Sebagian beban merupakan beban<br />

linier dan sebagian yang lain merupakan beban nonlinier. Dalam keadaan<br />

demikian ini, komponen harmonisa tidak hanya hadir di beban nonlinier<br />

saja melainkan terasa juga di beban linier; gejala ini kita sebut<br />

perambatan harmonisa. Berikut ini akan kita lihat gejala tersebut pada<br />

suatu rangkaian yang mendekati situasi nyata. Gb.6.4. memperlihatkan<br />

rangkaian yang dimaksud.<br />

118 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


i s<br />

R s<br />

A<br />

i a<br />

i b =i b1 +i bh<br />

v s<br />

R a<br />

B<br />

R b<br />

Gb.6.4. Sumber mencatu beban paralel linier dan nonlinier.<br />

Tegangan sumber berbentuk sinusoidal murni vs = Vsm<br />

sin ω0t<br />

. Sumber<br />

ini mencatu beban melalui saluran yang memiliki resistansi R s . Beban<br />

yang terhubung di terminal A-B (terminal bersama), terdiri dari beban<br />

linier R a dengan arus i a dan beban R b yang dialiri arus nonlinier i b = i b1 +<br />

i bh dengan i b1 adalah komponen fundamental dari i b dan i bh adalah<br />

komponen harmonisa total dari i b .<br />

Pada rangkaian sederhana ini, di sisi beban kita lihat bahwa aplikasi<br />

Hukum Arus Kirchhoff di simpul A, yaitu simpul bersama dari kedua<br />

beban, memberikan<br />

dan dari sini kita peroleh<br />

( v − v ) / R + v / R + ( i 1 + i ) = 0<br />

A<br />

s<br />

s<br />

A<br />

a<br />

Ra<br />

Rs<br />

Ra<br />

v A = vs<br />

− ( i b1<br />

+ i bh )<br />

(6.9)<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

Jadi sebagai akibat pembebanan nonlinier di suatu beban menyebabkan<br />

tegangan di terminal-bersama juga mengandung harmonisa. Akibat<br />

selanjutnya adalah bahwa arus di beban lain yang terhubung ke terminalbersama<br />

ini juga mengandung harmonisa.<br />

b<br />

v A vs<br />

Rs<br />

i a = = − ( i b1<br />

+ i bh ) (6.10)<br />

Ra<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

Sementara itu di sisi sumber, dengan tegangan sumber berbentuk sinus<br />

vs = Vsm<br />

sin ω0t<br />

, keluar arus yang mengandung harmonisa yaitu<br />

bh<br />

119


is<br />

= ia<br />

+ ib<br />

vs<br />

Rs<br />

= − ( ib1<br />

+ ibh<br />

) + ( ib1<br />

+ ibh<br />

)<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

vs<br />

⎛ Ra<br />

⎞<br />

= + ⎜ ⎟(<br />

ib1<br />

+ ibh<br />

)<br />

Rs<br />

+ R<br />

a Rs<br />

R<br />

⎝ + a ⎠<br />

(6.11)<br />

Adanya komponen harmonisa pada arus sumber dan beban yang<br />

seharusnya merupakan beban linier dapat menyebabkan penambahan<br />

penyerapan daya pada saluran. Hal ini akan kita bahas kemudian.<br />

COTOH-6.3: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, v = 240sin<br />

ω 0 t V<br />

memiliki resistansi dan induktansi internal yang diabaikan. Sumber<br />

ini mencatu beban resistif R a = 5 Ω melalui saluran yang memiliki<br />

resistansi 1Ω. Sebuah beban resistif lain yaitu R b = 5 Ω dengan<br />

penyearah setengah gelombang dihubungkan paralel dengan R a .<br />

Hitunglah: (a) daya nyata yang diserap R a sebelum R b dan<br />

penyearah dihubungkan; (b) daya nyata yang diserap R b sesudah R b<br />

dan penyearah dihubungkan; (c) daya nyata yang diserap R a sesudah<br />

R b dan penyearah dihubungkan; (d) daya nyata yang diserap saluran<br />

R s ; (e) daya nyata yang diberikan sumber; (f) bandingkan daya nyata<br />

yang diberikan oleh sumber dan daya nyata yang diserap oleh bagian<br />

rangkaian yang lain.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Sebelum R b dan penyearah dihubung-kan, rangkaian adalah<br />

seperti di bawah ini.<br />

i s A<br />

R s =1Ω<br />

v s =<br />

240sinω 0 t<br />

B<br />

R a = 5Ω<br />

Arus efektif yang mengalir dari sumber, daya nyata yang<br />

diserap R a dan R s , serta daya nyata yang diberikan sumber<br />

adalah<br />

I Rarms<br />

= ( 240 / 2) /(5 + 1) = 28,28<br />

A<br />

120 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


2<br />

2<br />

P Ra = 28,28 × 5 = 4000 W ; P Rs = 28,28 × 1 = 800 W<br />

P s = 28 ,28 × 240 / 2 = 4800 W = PRa<br />

+ PRs<br />

(b) Setelah R b dan penyearah dihubungkan, rangkaian menjadi<br />

v s<br />

i s A<br />

i a i Rb =<br />

R s<br />

i Rb1 +i Rbh<br />

R a<br />

B<br />

R b<br />

Untuk menghitung i Rb kita buat rangkaian ekivalen Thévenin<br />

terlebih dulu di terminal A-B.<br />

5<br />

v sTh = × 240sin ω0t<br />

= 200 sin ω0t<br />

V ;<br />

1 + 5<br />

1×<br />

5<br />

R sTh = = 0,833 Ω<br />

1 + 5<br />

Setelah R b dihubungkan pada rangkaian ekivalen Thévenin,<br />

rangkaian menjadi<br />

i sTh<br />

0,833Ω<br />

A<br />

v sTh =<br />

200sinω 0 t<br />

B<br />

5Ω<br />

i b =i b1 +i bh<br />

Nilai maksimum arus i Rb adalah<br />

I Rbm<br />

200<br />

= = 34,29<br />

0,833 + 5<br />

A<br />

Arus yang melalui R b menjadi<br />

121


i Rb<br />

⎛0,318<br />

+ 0,5cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 0,212 cos(2ω<br />

= 34,29 ×<br />

⎜<br />

⎝ + 0,042 cos(4ω0t)<br />

+ 0,018cos(6ω0t)<br />

= 10,9 + 17,14 cos( ω t −1,57)<br />

+ 7,27 cos(2ω<br />

t)<br />

+ 1,47 cos(4ω<br />

Dari sini kita peroleh<br />

17,14<br />

I Rb1rms<br />

= = 12,12 A<br />

2<br />

I Rbhrms =<br />

0<br />

0<br />

2 2<br />

10,9 + 7,27<br />

Daya yang diserap R b adalah<br />

t)<br />

+ 0,62 cos(6ω<br />

/ 2<br />

2<br />

+ 1,47<br />

0<br />

t)<br />

/ 2<br />

0<br />

2<br />

+ 0,62<br />

/ 2<br />

0<br />

t)<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎠<br />

= 12.1 A<br />

P Rb<br />

2 2<br />

= (12,12 + 12.1 ) × 5 ≈ 1470<br />

W<br />

(c) Untuk menghitung daya yang diserap R a setelah R b<br />

dihubungkan, kita kembali pada rangkaian semula. Hukum Arus<br />

Kischhoff untuk simpul A memberikan<br />

v A − vs<br />

v A<br />

⎛ 1 ⎞ vs<br />

+ + iRb<br />

= 0 ⇒ v A⎜<br />

⎟ = − iRb<br />

Rs<br />

R<br />

+<br />

1<br />

a<br />

Rs<br />

R<br />

⎝ a ⎠ Rs<br />

Ra<br />

Rs<br />

Ra<br />

v A = vs<br />

− ( ib1<br />

+ ibh<br />

)<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

5<br />

5×<br />

1<br />

= × 240sin ω0t<br />

− × ( 17,14sin ω0t<br />

+ ibh<br />

)<br />

6<br />

6<br />

5<br />

= 185,71sin ω0t<br />

− ibh<br />

V = v A1<br />

− v Ah<br />

6<br />

185,71<br />

⇒V<br />

A 1 rms = = 131,32 V<br />

2<br />

5 5 ⎛10,9<br />

+ 7,27 cos(2ω0t)<br />

⎞<br />

v Ah = × ibh<br />

= ×<br />

6 6<br />

⎜<br />

1,47 cos(4 0t)<br />

0,62cos(6 0t)<br />

⎟<br />

⎝ + ω + ω ⎠<br />

= 9,09 + 6,06cos(2ω0t)<br />

+ 1,23cos(4ω0t)<br />

+ 0,51cos(6ω0t)<br />

2 2 2<br />

2 6,06 1.23 0,51<br />

⇒ V Ahrms = 9,09 + + +<br />

2 2 2<br />

Daya yang diserap R a adalah<br />

= 10,09 V<br />

122 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


2<br />

VA1rms<br />

V<br />

P Ra = +<br />

Ra<br />

R<br />

Ahrms<br />

a<br />

2 2 2<br />

131,32 10,09<br />

= +<br />

5 5<br />

= 3469 W<br />

(d) Tegangan jatuh di saluran adalah<br />

∆ vs1 = vs<br />

− v A1<br />

= 240sin<br />

ω0t<br />

−185,71sin<br />

ω0t<br />

= 54,29sin ω0t<br />

V<br />

54,29<br />

→ ∆V<br />

s1 rms = = 38,39 V<br />

2<br />

→<br />

∆V<br />

shrms<br />

= V<br />

Ahrms<br />

=10,09 V<br />

Daya yang diserap saluran adalah<br />

2<br />

2 2<br />

∆Vs1rms<br />

∆Vshrms<br />

38,39<br />

P Rs = + =<br />

Rs<br />

Rs<br />

1<br />

(e) Tegangan sumber adalah<br />

v = 240sin<br />

ω 0 t V<br />

Arus fundamental sumber adalah<br />

2<br />

10,09<br />

+<br />

1<br />

= 1575 W<br />

∆vs1<br />

is1 = = 54,29sin<br />

ω0t<br />

R<br />

Daya nyata yang diberikan sumber<br />

s<br />

240 54,29<br />

ps<br />

1 = Vsrms<br />

I s1rms<br />

= × = 6515 W<br />

R2<br />

2<br />

(f) Bagian lain rangkaian yang menyerap daya nyata adalah R s ,<br />

R a , dan R b . Daya nyata yang diserap adalah<br />

P Rtotal = PRs<br />

+ PRa<br />

+ PRb<br />

= 1575 + 3469 + 1468 = 6512 W<br />

Hasil ini menunjukkan bahwa daya nyata yang diberikan<br />

sumber sama dengan daya nyata yang diserap oleh bagian lain<br />

dari rangkaian (perbedaan angka adalah karena pembulatanpembulatan).<br />

A<br />

123


6.5. Ukuran Distorsi Harmonisa<br />

Hadirnya harmonisa dalam sistem, menimbulkan dampak negatif. Oleh<br />

karena itu kehadirannya perlu dibatasi. Untuk melakukan pembatasan<br />

diperlukan ukuran-ukuran kehadiran armonisa.<br />

Crest Factor. Salah satu ukuran adalah crest factor, yang disefinisikan<br />

sebagai<br />

crest<br />

nilai puncak<br />

factor =<br />

nilai efektif<br />

Total Harmonic Distortion (THD). Total Harmonic Distortion,<br />

disingkat THD, digunakan sebagai ukuran untuk melihat berapa besar<br />

pengaruh keseluruhan adanya harmonisa terhadap sinyal sinus. Pengaruh<br />

keseluruhan harmonisa diperbandingkan terhadap komponen<br />

fundamental, karena komponen fundamental-lah yang memberikan<br />

transfer energi nyata.<br />

Untuk tegangan nonsinus, THD didefinisikan sebagai<br />

V<br />

hrms<br />

THDV<br />

= (6.13)<br />

V1rms<br />

Untuk arus nonsinus, THD didefinisikan sebagai<br />

THD<br />

I<br />

hrms<br />

I = (6.14)<br />

I1rms<br />

COTOH-6.4: Dari Contoh-6.1, dengan nilai puncak arus 100 A,<br />

persamaan arus penyearahan setengah gelombang sampai harmonisa keenam<br />

adalah<br />

⎛31,8<br />

+ 50 cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 21,2cos(2ω0t<br />

) ⎞<br />

i ( t)<br />

=<br />

⎜<br />

4,2 cos(4 0 ) 1,8cos(6 0 )<br />

⎟<br />

⎝ + ω t + ω t ⎠<br />

Hitunglah crest factor dan THD I .<br />

A<br />

Penyelesaian: Telah dihitung nilai efektif arus dalam contoh soal<br />

tersebut<br />

124 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Ib1rms<br />

=<br />

50<br />

A;<br />

2<br />

I<br />

bhrms<br />

=<br />

2<br />

2 21,2<br />

31,8 +<br />

2<br />

2<br />

4,2<br />

+<br />

2<br />

2<br />

1,8<br />

+<br />

2<br />

= 35,31<br />

A<br />

Nilai efektif arus adalah<br />

I rms<br />

=<br />

2<br />

50<br />

/ 2<br />

2<br />

+ 35,31<br />

= 49,7<br />

A<br />

100<br />

Crest factor adalah: c . f . = = 2 ;<br />

49,2<br />

I hrms 35,31<br />

THD I adalah: THD I = = ≈1<br />

atau 100%<br />

I1rms<br />

50 / 2<br />

Crest factor dan THD hanyalah tergantung bentuk dan tidak tergantung<br />

dari nilai mutlak arus. Angka yang sama akan kita peroleh jika nilai<br />

puncak arus hanya 1 ampere. Hal ini dapat dimengerti karena persamaan<br />

arus secara umum adalah<br />

⎛ n maks<br />

⎞<br />

i(<br />

t)<br />

= I<br />

⎜<br />

+<br />

ω − ϕ<br />

⎟<br />

m A<br />

⎜ 0 ∑ An<br />

cos( n 0t<br />

n )<br />

⎟<br />

⎝ n=<br />

1<br />

⎠<br />

sehingga dalam perhitungan I rms, I 1rms , dan I hrms faktor I m akan<br />

terhilangkan.<br />

COTOH-6.5: Tentukan crest factor dan THD arus yang mengalir dari<br />

sumber tegangan sinusoidal v = 1000 2 sin ω0t<br />

yang mencatu<br />

arus ke beban resistif 10 Ω melalui saklar sinkron yang menutup<br />

setiap paruh ke-dua dari tiap setengah perioda. Kurva tegangan<br />

dan arus terlihat pada gambar di bawah ini.<br />

125


Penyelesaian:<br />

Uraian bentuk gelombang arus seperti pada gambar di atas hanya<br />

memiliki harmonisa ganjil. Pendekatan numerik dari bentuk<br />

gelombang arus seperti yang digambarkan di atas memberikan<br />

spektrum amplitudo sampai harmonisa ke-11 sebagai berikut:<br />

Arus ini tidak memiliki komponen searah. Nilai efektif arus adalah<br />

I brms<br />

A<br />

[V]<br />

[A]<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

300<br />

v s (t)/5<br />

200<br />

i s (t)<br />

100<br />

[detik]<br />

0<br />

0 0,01 0,02<br />

-100<br />

-200<br />

-300<br />

0.00<br />

83,79<br />

= 0 +<br />

2<br />

= 69,4 A<br />

83.79<br />

2<br />

44.96<br />

44,96<br />

+<br />

2<br />

14,83<br />

+<br />

2<br />

14,83<br />

+<br />

2<br />

126 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)<br />

2<br />

14.83 14.83<br />

8.71 8.71<br />

10 12 3 45 75 96 11 7 harmonisa<br />

2<br />

2<br />

8,71<br />

+<br />

2<br />

Nilai puncak arus terjadi pada t = 0,005 detik; I bm = 141,4 A.<br />

I 141,4<br />

Crest factor adalah c . f . =<br />

bm<br />

= = 2<br />

Ibrms<br />

69,4<br />

2<br />

8,71<br />

+<br />

2<br />

Nilai efektif komponen fundamental dan komponen harmonisa<br />

total, berturut-turut adalah<br />

2


I hrms<br />

83,79<br />

I 1 rms = = 59,25 A ;<br />

2<br />

2 2 2 2 2<br />

44,96 14,83 14,83 8,71 8,71<br />

= 0 + + + + +<br />

2 2 2 2 2<br />

= 36,14 A<br />

Total Harmonic Distortion arus adalah<br />

36,14<br />

THD I = ≈ 0,6 atau 60% .<br />

59,25<br />

Dalam menentukan THD data yang diperlukan adalah spektrum<br />

amplitudo; spektrum sudut fasa tidak diperlukan. Namun untuk<br />

keperluan lain spektrum sudut fasa tetap diperlukan.<br />

127


Soal-Soal<br />

1. Sebuah tegangan sinusoidal 50 Hz dengan nilai puncak 500 V<br />

mencatu rangkaian melalui sebuah dioda (ideal). Hanya bagian<br />

positif tegangan yang terasakan oleh beban. Beban terdiri dari<br />

dari induktor dan kapasitor terhubung seri; induktor memiliki<br />

resistansi 20 Ω dan induktansi 1 H, sedangkan kapasitor<br />

memiliki kapasitansi 20 µF. Hitung tegangan rata-rata pada<br />

beban, tegangan efektif fundamental, serta tegangan efektif dua<br />

harmonisa di atasnya.<br />

2. Jika beban pada soal nomer 1 diganti dengan resistor 50 Ω,<br />

hitung tegangan rata-rata pada resistor, arus efektif yang melalui<br />

resistor, daya nyata yang diserap resistor, serta faktor daya<br />

beban yang dilihat oleh sumber.<br />

3. Sebuah tegangan sinusoidal 50 Hz dengan nilai puncak 500 V<br />

mencatu rangkaian melalui sebuah penyearah gelombang penuh.<br />

Beban terdiri dari induktor dan kapasitor terhubung seri;<br />

induktor memiliki resistansi 20 Ω dan induktansi 1 H,<br />

sedangkan kapasitor memiliki kapasitansi 20 µF. Hitung<br />

tegangan rata-rata pada beban, tegangan efektif fundamental,<br />

serta tegangan efektif dua harmonisa di atasnya.<br />

4. Jika beban pada soal nomer 3 diganti dengan resistor 50 Ω,<br />

hitung tegangan rata-rata pada resistor, arus efektif yang melalui<br />

resistor, daya nyata yang diserap resistor, serta faktor daya<br />

beban yang dilihat oleh sumber.<br />

5. Jika satu kapasitor sebagai filter diparalelkan dengan resistor<br />

pada soal nomer 2 agar fluktuasi tegangan tidak lebih dari 20%<br />

dari tegangan puncak, gambarkan bentuk gelombang arus<br />

sumber dan tentukan THD I .<br />

6. Jika satu kapasitor sebagai filter diparalelkan dengan resistor<br />

pada soal nomer 4 agar fluktuasi tegangan tidak lebih dari 5%<br />

dari tegangan puncak, gambarkan bentuk gelombang arus<br />

sumber dan tentukan THD I .<br />

128 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


BAB 7<br />

Tinjauan di Kawasan Fasor<br />

Dalam bab ini kita akan meninjau sinyal nonsinus melalui pengertian<br />

fasor. Konsep fasor sendiri telah kita bahas di buku bagian pertama.<br />

7.1. Pernyataan Sinyal onsinus Dalam Fasor<br />

Suatu sinyal sinus di kawasan waktu dinyatakan dengan menggunakan<br />

fungsi cosinus seperti pada persamaan<br />

v( t)<br />

= VA<br />

cos[ ω0 t − φ]<br />

dengan V A adalah amplitudo sinyal, ω 0 adalah frekuensi sudut, dan φ<br />

adalah sudut fasa yang menunjukkan posisi puncak pertama fungsi<br />

cosinus. Pernyataan sinyal sinus menggunakan fungsi cosinus diambil<br />

sebagai pernyataan standar.<br />

Jika seluruh sistem bekerja pada satu frekuensi tertentu, ω, maka sinyal<br />

sinus dapat dinyatakan dalam bentuk fasor dengan mengambil besar dan<br />

sudut fasa-nya saja. Untuk suatu sinyal sinus yang di kawasan waktu<br />

dinyatakan sebagai v ( t)<br />

= Acos(<br />

ωt<br />

+ θ)<br />

maka di kawasan fasor ia<br />

jθ<br />

dituliskan dalam format kompleks sebagai V = Ae dengan A adalah<br />

nilai puncak sinyal. Karena kita hanya memperhatikan amplitudo dan<br />

sudut fasa saja, maka pernyataan sinyal dalam fasor biasa dituliskan<br />

seperti pada (12.5) yaitu<br />

V = A∠θ = A cos θ + jAsin<br />

θ<br />

yang dalam bidang kompleks digambarkan sebagai diagram fasor seperti<br />

pada Gb.7.1.a. Apabila sudut fasa θ = 0 o maka pernyataan sinyal di<br />

kawasan waktu menjadi v( t)<br />

= Acos(<br />

ωt)<br />

yang dalam bentuk fasor<br />

o<br />

menjadi V = A∠0 dengan diagram fasor seperti pada Gb.7.1.b. Suatu<br />

sinyal yang di kawasan waktu dinyatakan sebagai<br />

v ( t)<br />

= Asin(<br />

ωt)<br />

= Acos(<br />

ωt<br />

− π / 2) di kawasan fasor menjadi<br />

o<br />

V = A∠ − 90 dengan diagram fasor seperti Gb.7.1.c<br />

129


Im<br />

V = A∠θ<br />

Im<br />

θ<br />

Re<br />

a). b).<br />

Im<br />

o<br />

c). V = A∠ − 90 d)<br />

Gb.7.1. Diagram fasor fungsi:<br />

a) v ( t)<br />

= Acos(<br />

ωt<br />

+ θ)<br />

; b) v( t)<br />

= A cos( ωt)<br />

; c) v( t)<br />

= Asin(<br />

ωt)<br />

d). Fasor a = cosωt dan b = sinωt<br />

Dalam meninjau sinyal nonsinus, kita tidak dapat menyatakan satu sinyal<br />

nonsinus dengan menggunakan satu bentuk fasor tertentu karena<br />

walaupun sistem yang kita tinjau beroperasi pada satu macam frekuensi<br />

(50 Hz misalnya) namun arus dan tegangan yang kita hadapi<br />

mengandung banyak frekuensi. Oleh karena itu satu sinyal nonsinus<br />

terpaksa kita nyatakan dengan banyak fasor; masing-masing komponen<br />

sinyal nonsinus memiliki frekuensi sendiri.<br />

Selain dari pada itu, uraian sinyal sinyal nonsinus ke dalam komponenkomponennya<br />

dilakukan melalui deret Fourier. Bentuk umum komponen<br />

sinus sinyal ini adalah<br />

yang dapat dituliskan sebagai<br />

i ( t)<br />

= a cos nωt<br />

+ b sin nωt<br />

n<br />

130 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)<br />

Re<br />

n<br />

2 2<br />

in<br />

( t)<br />

= an<br />

+ bn<br />

cos( nωt<br />

− θn<br />

)<br />

yang dalam bentuk fasor menjadi<br />

2 2<br />

I n = an<br />

+ bn<br />

∠ − θn<br />

dengan<br />

n<br />

θ = tan −1<br />

Mengacu pada Gb.7.1.d, diagram fasor komponen sinyal ini adalah<br />

seperti pada Gb.7.2.<br />

Im<br />

b<br />

o<br />

V = A∠0<br />

a = cos ωt<br />

a<br />

b = sin ωt<br />

b<br />

a<br />

n<br />

n<br />

Re<br />

Re


Im<br />

θ<br />

a n<br />

Re<br />

b n<br />

I<br />

n<br />

=<br />

a<br />

2<br />

n<br />

+ b<br />

2<br />

n<br />

∠− θ<br />

Gb.7.2. Fasor komponen arus nonsinus dengan a n > 0 dan b n > 0.<br />

Fasor I n pada Gb.7.2. adalah fasor komponen arus jika a n positif dan b n<br />

positif. Fasor ini leading terhadap sinyal sinus sebesar (90 o − θ). Gb.7.3<br />

berikut ini memperlihatkan kombinasi nilai a n dan b n yang lain.<br />

Im<br />

-a n<br />

θ<br />

b n<br />

Re<br />

-b n<br />

-a n θ<br />

Im<br />

Re<br />

a n < 0, b n > 0<br />

I n lagging (90 0 − θ)<br />

terhadap sinyal sinus<br />

2 2 o<br />

In<br />

= an<br />

+ bn<br />

∠(180<br />

+ θ)<br />

Im<br />

-b n<br />

θ<br />

a n < 0, b n < 0<br />

I n lagging (90 0 + θ)<br />

terhadap sinyal sinus<br />

2 2 o<br />

In<br />

= an<br />

+ bn<br />

∠(180<br />

− θ)<br />

a n<br />

Re<br />

a n > 0, b n


Perlu kita perhatikan bahwa pernyataan fasor dan diagram fasor yang<br />

dikemukakan di atas menggunakan nilai puncak sinyal sebagai besar<br />

fasor. Dalam analisis daya, diambil nilai efektif sebagai besar fasor. Oleh<br />

karena itu kita perlu memperhatikan apakah spektrum amplitudo sinyal<br />

nonsinus diberikan dalam nilai efektif atau nilai puncak.<br />

COTOH-7.1: Dalam Contoh-5.3 di Bab-5 uraian di kawasan waktu<br />

arus penyearahan setengah gelombang dengan nilai maksimum I m A<br />

adalah<br />

( t)<br />

= I<br />

i m<br />

⎛0,318<br />

+ 0,5cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 0,212cos(2ω0t<br />

) ⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

× ⎜ + 0,042cos(4ω0t)<br />

+ 0,018cos(6ω0t)<br />

⎟ A<br />

⎜<br />

0.010cos(8 0 ) 0.007cos(10 0 )<br />

⎟<br />

⎝+<br />

ω t +<br />

ω t ⎠<br />

Nyatakanlah sinyal ini dalam bentuk fasor.<br />

Penyelesaian:<br />

Formulasi arus i(t) yang diberikan ini diturunkan dari uraian deret<br />

Fourier yang komponen fundamentalnya adalah<br />

i1 ( t)<br />

= 0 + 0,5 sin ω0t<br />

; jadi sesungguhnya komponen ini adalah<br />

fungsi sinus di kawasan waktu.<br />

Jika kita mengambil nilai efektif sebagai besar fasor, maka<br />

pernyataan arus dalam bentuk fasor adalah<br />

0,5I<br />

m o 0,212Im<br />

o<br />

I0<br />

= 0,318Im;<br />

I1<br />

= ∠ − 90 ; I2<br />

= ∠0<br />

;<br />

2<br />

2<br />

0,042Im<br />

o 0,018Im<br />

o 0,010Im<br />

o<br />

I4<br />

= ∠0<br />

; I6<br />

= ∠0<br />

; I8<br />

= ∠0<br />

;<br />

2<br />

2<br />

2<br />

0,007Im<br />

o<br />

I10<br />

= ∠0<br />

;<br />

2<br />

Diagram fasor arus-arus pada Contoh-7.1 di atas, dapat kita gambarkan<br />

(hanya mengambil tiga komponen) seperti terlihat pada Gb. 7.4.<br />

132 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


I 1<br />

I 2 I 4<br />

Gb.7.4. Diagram fasor arus fundamental,<br />

harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4<br />

Persamaan arus pada Contoh-7.1 yang dinyatakan dalam fungsi cosinus<br />

dapat pula dinyatakan dalam fungsi sinus menjadi<br />

⎛0,318<br />

+ 0,5sin( ω0t)<br />

+ 0,212sin(2ω0t<br />

+ 1,57) ⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

i(<br />

t)<br />

= Im<br />

⎜+<br />

0,021sin(4ω0t<br />

+ 1,57) + 0,018sin(6ω0t<br />

+ 1,57) ⎟ A<br />

⎜<br />

0.010cos(8 0 ) 0.007cos(10 0 )<br />

⎟<br />

⎝+<br />

ω t +<br />

ω t ⎠<br />

Jika komponen sinus fundamental digunakan sebagai referensi<br />

o<br />

dengan pernyataan fasornya I 1 = I1<br />

rms ∠0<br />

, maka masing-masing<br />

komponen arus ini dapat kita nyatakan dalam fasor sebagai:<br />

0,5I<br />

m o 0,212I<br />

m o<br />

I 0 = 0,318I<br />

m ; I1<br />

= ∠0<br />

; I 2 = ∠90<br />

;<br />

2<br />

2<br />

0,042I<br />

m o 0,018I<br />

m o<br />

I 4 = ∠90<br />

; I 6 = ∠90<br />

;...........<br />

2<br />

2<br />

Diagram fasor-fasor arus ini dapat kita gambarkan seperti terlihat pada<br />

Gb.7.5.<br />

I 1<br />

I 2 I 4<br />

Gb.7.5. Diagram fasor arus fundamental,<br />

harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4<br />

Diagram fasor arus pada Gb.7.5 tidak lain adalah diagram fasor pada<br />

Gb.7.4 yang diputar 90 o ke arah positif karena fungsi sinus dijadikan<br />

referensi dengan sudut fasa nol. Nilai fasor dan selisih sudut fasa antar<br />

fasor tidak berubah. Dengan menggunakan Gb.7.5. ini, kita lihat bahwa<br />

komponen harmonisa ke-2 ‘leading’ 90 o dari komponen fundamental;<br />

demikian juga dengan komponen harmonisa ke-4. Namun fasor<br />

133


harmonisa ke-2 berputar kearah positif dengan frekuensi dua kali lipat<br />

dibanding dengan komponen fundamental, dan fasor harmonisa ke-4<br />

berputar kearah positif dengan frekuensi empat kali lipat dibanding<br />

komponen fundamental. Oleh karena itulah mereka tidak dapat secara<br />

langsung dijumlahkan.<br />

Dalam pembahasan selanjutnya kita akan menggunakan cara<br />

penggambaran fasor seperti pada Gb.7.4 dimana fasor referensi adalah<br />

fasor dari sinyal sinus yang dinyatakan dalam fungsi cosinus dan<br />

memiliki sudut fasa nol. Hal ini perlu ditegaskan karena uraian arus<br />

nonsinus ke dalam deret Fourier dinyatakan sebagai fungsi cosinus<br />

sedangkan tegangan sumber biasanya dinyatakan sebagai fungsi sinus.<br />

o<br />

Fasor tegangan sumber akan berbentuk V s = Vsrms∠ − 90 dan relasirelasi<br />

sudut fasa yang tertulis pada Gb.7.3 akan digunakan.<br />

Contoh-7.2: Gambarkan diagram fasor sumber tegangan dan arus-arus<br />

berkut ini<br />

vs<br />

= Vsrms<br />

sin ωt<br />

= 100sin ωt<br />

V , I 1 rms = 30 A 30 o lagging dari<br />

tegangan sumber dan I 2 rms = 50 A 90 o leading dari tegangan<br />

sumber.<br />

Penyelesaian:<br />

Im<br />

I 2<br />

I 1<br />

30<br />

o<br />

Re<br />

7.2. Impedansi<br />

V s<br />

Karena setiap komponen harmonisa memiliki frekuensi berbeda maka<br />

pada satu cabang rangkaian yang mengandung elemen dinamis akan<br />

terjadi impedansi yang berbeda untuk setiap komponen. Setiap<br />

komponen harmonisa dari arus nonsinus yang mengalir pada satu cabang<br />

rangkaian dengan elemen dinamis akan mengakibatkan tegangan<br />

berbeda.<br />

134 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


COTOH-7.3: Arus i = 200sin<br />

ω0t<br />

+ 70sin 3ω0t<br />

+ 30sin 5ω0t<br />

A<br />

mengalir melalui resistor 5 Ω yang terhubung seri dengan kapasitor<br />

20 µF. Jika frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitung tegangan<br />

puncak fundamental dan tegangan puncak setiap komponen<br />

harmonisa.<br />

(a) Reaktansi dan impedansi untuk frekuensi fundamental adalah<br />

X<br />

C<br />

−6<br />

1 = 1/(2π × 50 × 20 × 10 ) = 159,15 →<br />

2 2<br />

Z1 = 5 + 159,15 = 159,23Ω<br />

Tegangan puncak fundamental adalah<br />

V 1m<br />

= Z1<br />

× I1m<br />

= 159,23×<br />

200 ≈ 31,85 kV<br />

(b) Impedansi untuk harmonisa ke-3 adalah<br />

2 2<br />

X C 3 = X C 1 / 3 = 53,05 → Z3 = 5 + 53,05 = 53, 29 Ω<br />

Tegangan puncak harmonisa ke-3 adalah<br />

V 3 m = Z3<br />

× I3m<br />

= 53,29 × 70 = 3,73 kV<br />

(c) Impedansi untuk harmonisa ke-5 adalah<br />

7.3. ilai Efektif<br />

2 2<br />

X C 5 = X C 1 / 5 = 31,83 → Z 5 = 5 + 31,83 = 32, 22 Ω<br />

Tegangan puncak harmonisa ke-5 adalah<br />

V 5 m = Z5<br />

× I5m<br />

= 32,22 × 30 = 0,97 kV<br />

Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, sinyal nonsinus<br />

dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu komponen<br />

fundamental dan komponen harmonisa total. Nilai efektif suatu sinyal<br />

periodik nonsinus y, adalah<br />

2 2<br />

rms = Y1rms<br />

Yhrms<br />

(7.1)<br />

Y +<br />

dengan<br />

Y 1 rms : nilai efektif komponen fundamental.<br />

Y hrms : nilai efektif komponen harmonisa total.<br />

135


Karena komponen ke-dua, yaitu komponen harmonisa total, merupakan<br />

gabungan dari seluruh harmonisa yang masih diperhitungkan, maka<br />

komponen ini tidak kita gambarkan diagram fasornya; kita hanya<br />

menyatakan nilai efektifnya saja walaupun kalau kita gambarkan<br />

kurvanya di kawasan waktu bisa terlihat perbedaan fasa yang mungkin<br />

terjadi antara tegangan fundamental dan arus harmonisa total.<br />

7.4. Sumber Tegangan Sinusiodal Dengan Beban onlinier<br />

Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, pembebanan nonlinier<br />

terjadi bila sumber dengan tegangan sinus mencatu beban dengan arus<br />

nonsinus. Arus nonsinus mengalir karena terjadi pengubahan arus oleh<br />

pengubah arus, seperti misalnya penyearah atau saklar sinkron. Dalam<br />

analisis di kawasan fasor pada pembebanan non linier ini kita perlu<br />

memperhatikan hal-hal berikut ini.<br />

7.4.1. Daya Kompleks<br />

Sisi Beban. Jika tegangan pada suatu beban memiliki nilai efektif V brms V<br />

dan arus nonsinus yang mengalir padanya memiliki nilai efektif I brms A,<br />

maka beban ini menyerap daya kompleks sebesar<br />

S b = Vbrms<br />

× Ibrms<br />

VA<br />

(7.2)<br />

Kita ingat pengertian mengenai daya kompleks yang didefinisikan pada<br />

persamaan (14.9) di Bab-14 sebagai S = VI . Definisi ini adalah untuk<br />

sinyal sinus murni. Dalam hal sinyal nonsinus kita tidak menggambarkan<br />

fasor arus harmonisa total sehingga mengenai daya kompleks hanya bisa<br />

menyatakan besarnya, yaitu persamaan (7.2), tetapi kita tidak<br />

menggambarkan segitiga daya. Segitiga daya dapat digambarkan hanya<br />

untuk komponen fundamental.<br />

Sisi Sumber. Daya kompleks |S s | yang diberikan oleh sumber tegangan<br />

sinus vs<br />

= Vsm<br />

sin ωt<br />

V yang mengeluarkan arus nonsinus bernilai<br />

efektif<br />

2 2<br />

s1rms<br />

shrms<br />

I = I + I A adalah<br />

srms<br />

Vsm<br />

S s = Vsrms<br />

× I srms = × I srms VA<br />

(7.3)<br />

2<br />

*<br />

136 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


7.4.2. Daya yata<br />

Sisi Beban. Jika suatu beban memiliki resistansi R b , maka beban tersebut<br />

menyerap daya nyata sebesar<br />

2<br />

( I I ) R W<br />

2<br />

2<br />

P b = IbrmsRb<br />

= b 1 rms + bhrms b<br />

(7.4)<br />

di mana Ib<br />

1 rms adalah arus efektif fundamental dan I bhrms adalah arus<br />

efektif harmonisa total.<br />

Sisi Sumber. Dilihat dari sisi sumber, daya nyata dikirimkan melalui<br />

komponen fundamental. Komponen arus harmonisa sumber tidak<br />

memberikan transfer energi netto.<br />

P s 1 = VsrmsI<br />

1 rmscosϕ<br />

1 W<br />

(7.5)<br />

ϕ 1 adalah beda sudut fasa antara tegangan dan arus fundamental sumber,<br />

dan cosϕ 1 adalah faktor daya pada komponen fundamental yang disebut<br />

displacement power factor.<br />

7.4.3. Faktor Daya<br />

Sisi Beban. Dengan pengertian daya kompleks dan daya nyata seperti<br />

diuraikan di atas, maka faktor daya rangkaian beban dapat dihitung<br />

sebagai<br />

P<br />

b<br />

f.d. beban =<br />

(7.5)<br />

Sb<br />

Sisi Sumber. Faktor daya total, dilihat dari sisi sumber, adalah<br />

7.4.4. Impedansi Beban<br />

Ps<br />

f .d. 1<br />

s = (7.6)<br />

Ss<br />

Reaktansi beban tergantung dari frekuensi harmonisa, sehingga masingmasing<br />

harmonisa menghadapi nilai impedansi yang berbeda-beda.<br />

Namun demikian nilai impedansi beban secara keseluruhan dapat<br />

dihitung, sesuai dengan konsep tentang impedansi, sebagai<br />

Vbrms<br />

Z b = Ω<br />

(7.6)<br />

I<br />

brms<br />

137


Seperti halnya dengan daya kompleks, impedansi beban hanya dapat kita<br />

hitung besarnya dengan relasi (7.6) akan tetapi tidak dinyatakan dalam<br />

format kompleks seperti (a + jb).<br />

7. 5. Teorema Tellegen<br />

Sebagaimana dijelaskan dalam Bab-7, teorema ini menyatakan bahwa di<br />

setiap rangkaian listrik harus ada perimbangan yang tepat antara daya<br />

yang diserap oleh elemen pasif dengan daya yang diberikan oleh elemen<br />

aktif. Hal ini sesuai dengan prinsip konservasi energi. Sebagaimana telah<br />

pula disebutkan teorema ini juga memberikan kesimpulan bahwa satusatunya<br />

cara agar energi dapat diserap dari atau disalurkan ke suatu<br />

bagian rangkaian adalah melalui tegangan dan arus di terminalnya.<br />

Teorema ini berlaku baik untuk rangkaian linier maupun non linier.<br />

Teorema ini juga berlaku baik di kawasan waktu maupun kawasan fasor<br />

untuk daya kompleks maupun daya nyata. Fasor tidak lain adalah<br />

pernyataan sinyal yang biasanya berupakan fungsi waktu, menjadi<br />

pernyataan di bidang kompleks. Oleh karena itu perhitungan daya yang<br />

dilakukan di kawasan fasor harus menghasilkan angka-angka yang sama<br />

dengan perhitungan di kawasan waktu.<br />

7.6. Contoh-Contoh Perhitungan<br />

COTOH-7.4: Di terminal suatu beban yang terdiri dari resistor R b =10<br />

Ω terhubung seri dengan induktor L b = 0,05 H terdapat tegangan<br />

nonsinus v s = 100 + 200 2 sin ω0 t V . Jika frekuensi fundamental<br />

adalah 50 Hz, hitunglah: (a) daya nyata yang diserap beban; (b)<br />

impedansi beban; (c) faktor daya beban;<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Tegangan pada beban terdiri dari dua komponen yaitu komponen<br />

searah dan komponen fundamental:<br />

V 0 =100 V dan o<br />

V 1 = 200∠<br />

− 90<br />

Arus komponen searah yang mengalir di beban adalah<br />

I b0 = V0<br />

/ Rb<br />

= 100 /10 = 10 A<br />

Arus efektif komponen fundamental di beban adalah<br />

138 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


V1rms<br />

200<br />

I b1rms = =<br />

= 10,74<br />

Zb<br />

2<br />

2<br />

10 + (100π × 0,05)<br />

A<br />

Nilai efektif arus rangkaian total adalah<br />

I<br />

2<br />

brms = b b 1 rms<br />

2 2<br />

I<br />

2 0 + I = 10 + 10,74 = 14,68 A<br />

Daya nyata yang diserap beban sama dengan daya yang diserap<br />

R b karena hanya R b yang menyerap daya nyata.<br />

2<br />

2<br />

P Rb = Ibrms<br />

Rb<br />

= 14,68 × 10 = 2154 W<br />

(b) Impedansi beban adalah rasio antara tegangan efektif dan arus<br />

efektif beban.<br />

V<br />

brms<br />

2 2<br />

= rms<br />

V0 + V1<br />

= 100 + 200 = 100<br />

2<br />

2<br />

5<br />

V<br />

Z<br />

beban<br />

V<br />

=<br />

I<br />

brms<br />

brms<br />

100<br />

=<br />

5<br />

14,68<br />

= 15,24 Ω<br />

(c) Faktor daya beban adalah rasio antara daya nyata dan daya<br />

kompleks yang diserap beban. Daya kompleks yang diserap<br />

beban adalah:<br />

S<br />

b<br />

= Vbrms<br />

× Ibrms<br />

Sehingga faktor daya beban<br />

= 100 5 × 14,68 = 3281 VA<br />

P 2154<br />

f.d. =<br />

b<br />

b = = 0,656<br />

S 3281<br />

COTOH-7.5: Suatu tegangan nonsinus yang terdeteksi pada terminal<br />

beban memiliki komponen fundamental dengan nilai puncak 150 V<br />

dan frekuensi 50 Hz, serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki<br />

nilai puncak berturut-turut 30 V dan 5 V. Beban terdiri dari resistor 5<br />

Ω terhubung seri dengan induktor 4 mH. Hitung: (a) tegangan<br />

efektif, arus efektif, dan daya dari komponen fundamental; (b)<br />

tegangan efektif, arus efektif, dan daya dari setiap komponen<br />

harmonisa; (c) tegangan efektif beban, arus efektif beban, dan total<br />

b<br />

139


daya kompleks yang disalurkan ke beban; (d) Bandingkan hasil<br />

perhitungan (a) dan (c).<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Tegangan efektif komponen fundamental<br />

V<br />

150<br />

=<br />

2<br />

1 rms<br />

=<br />

106 V<br />

Reaktansi pada frekuensi fundamental<br />

X L1<br />

= 2π × 50 × 4 × 10<br />

−3<br />

= 1,26<br />

Impedansi pada frekuensi fundamental adalah<br />

Ω<br />

Z 1<br />

=<br />

5<br />

2<br />

+ 1,26<br />

2<br />

= 5,16<br />

Ω<br />

Arus efektif fundamental<br />

V<br />

106<br />

=<br />

5,16<br />

1rms<br />

1 rms = =<br />

Z 1<br />

I<br />

20,57<br />

A<br />

Daya nyata yang diberikan oleh komponen fundamental<br />

2<br />

P rms<br />

1 = I1<br />

R = 20,57 × 5 = 2083<br />

Daya kompleks komponen fundamental<br />

2<br />

W<br />

S 1 = V1<br />

rms I1rms<br />

= 106 × 20,57 = 2182<br />

Faktor daya komponen fundamental<br />

f.d.<br />

2083<br />

=<br />

2182<br />

1<br />

1<br />

=<br />

1<br />

= S<br />

P<br />

0,97<br />

VA<br />

Daya reaktif komponen fundamental dapat dihitung dengan<br />

formulasi segitiga daya karena komponen ini adalah sinus<br />

murni.<br />

2<br />

2<br />

Q 1 = S1<br />

− P1<br />

= 2182 − 2083 = 531,9 VAR<br />

2<br />

2<br />

140 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


(b) Tegangan efektif harmonisa ke-3 dan ke-5<br />

30<br />

5<br />

V 3 rms = = 21,21 V ; V 5 rms = = 3,54 V<br />

2<br />

2<br />

Reaktansi pada frekuensi harmonisa ke-3 dan ke-5<br />

X = × X = 3×<br />

1,26 = 3,77 Ω ;<br />

X<br />

L3 3 L1<br />

L5 = 5 × X L1<br />

= 5×<br />

1,26 = 6,28 Ω<br />

Impedansi pada komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:<br />

2<br />

2<br />

Z = 5 + 3,77 = 6,26 Ω ; Z = 5 + 6,28 = 8,03 Ω<br />

3<br />

Arus efektif komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:<br />

V 21,21<br />

I<br />

3<br />

3 =<br />

rms<br />

rms = = 3,39 A ;<br />

Z 6,26<br />

I<br />

V<br />

3<br />

5<br />

3,54<br />

=<br />

8,03<br />

5rms<br />

5 rms = =<br />

Z 5<br />

2<br />

0,44 A<br />

Daya nyata yang diberikan oleh harmonisa ke-3 dan ke-5<br />

2<br />

2<br />

3 3<br />

=<br />

2<br />

2<br />

P5 = I5rms<br />

R = 0,44 × 5 =<br />

P = I rms R = 3,39 × 5 57,4 W ;<br />

0,97<br />

(c) Daya nyata total yang diberikan ke beban adalah jumlah daya<br />

nyata dari masing-masing komponen harmonisa (kita ingat<br />

komponen-komponen harmonisa secara bersama-sama mewakili<br />

satu sumber)<br />

P = P + P +<br />

b<br />

=<br />

1 3<br />

2<br />

I1rms<br />

R<br />

+<br />

2 2 2<br />

P5<br />

= ( I1rms<br />

+ I3rms<br />

+ I5rms<br />

)<br />

2 2 2<br />

( I + I ) R = I R + I<br />

3rms<br />

Tegangan efektif beban<br />

5rms<br />

1rms<br />

W<br />

2<br />

× R = 2174 W<br />

2<br />

hrms<br />

R<br />

V brms<br />

Arus efektif beban<br />

=<br />

150<br />

2<br />

2<br />

30<br />

+<br />

2<br />

2<br />

2<br />

5<br />

+<br />

2<br />

= 108,22<br />

V<br />

141


I brms<br />

=<br />

20,57<br />

Daya kompleks beban<br />

2<br />

+ 3,39<br />

2<br />

+ 0,44<br />

2<br />

= 20,86<br />

A<br />

S<br />

b<br />

= Vbrms<br />

× Ibrms<br />

= 108 ,22 × 20,86 = 2257<br />

VA<br />

Daya reaktif beban tidak dapat dihitung dengan menggunakan<br />

formula segitiga daya karena kita tak dapat menggambarkannya.<br />

(d) Perhitungan untuk komponen fundamental yang telah kita<br />

lakukan menghasilkan<br />

P 1 = 2083 W , S 1 = 2182 VA , dan<br />

2 2<br />

1 1 1 =<br />

Q = S − P 531,9 VAR .<br />

Sementara itu perhitungan daya total ke beban menghasilkan<br />

P b = 2174 W , dan S b = 2257 VA ; Q b = ?<br />

Perbedaan antara P 1 dan P b disebabkan oleh adanya harmonisa<br />

P 3 dan P 5 .<br />

2<br />

P1 = I1rmsR<br />

sedang<br />

2 2 2<br />

1 + P2<br />

+ P3<br />

= I1rms<br />

+ I3rms<br />

+ I5rms<br />

R =<br />

2<br />

( ) I R<br />

P = P<br />

.<br />

b<br />

brms<br />

Daya reaktif beban Q b tidak bisa kita hitung dengan cara seperti<br />

menghitung Q 1 karena kita tidak bisa menggambarkan segitiga<br />

daya-nya. Oleh karena itu kita akan mencoba memperlakukan<br />

komponen harmonisa sama seperti kita memperlakukan<br />

komponen fundamental dengan menghitung daya reaktif<br />

2<br />

sebagai Qn<br />

= I nrms X n dan kemudian menjumlahkan daya<br />

reaktif Q n untuk memperoleh daya reaktif ke beban Q b .<br />

Dengan cara ini maka untuk beban akan berlaku:<br />

b<br />

2<br />

2<br />

2<br />

( I X + I X I X )<br />

Q = Q + Q + Q =<br />

+<br />

1 3 5 1rms<br />

L1<br />

3rms<br />

L3<br />

5rms<br />

L5<br />

Hasil perhitungan memberikan<br />

142 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Q<br />

2<br />

2<br />

2<br />

b = Q1<br />

+ Q2<br />

+ Q3<br />

= I1rms<br />

X L1<br />

+ I3rms<br />

X L3<br />

+ I5rms<br />

X L5<br />

Perhatikan bahwa hasil perhitungan<br />

2<br />

1 = 1rms X L1<br />

=<br />

= 531,9 + 43,3 + 1,2 = 576,4<br />

Q I 531,9 VAR sama dengan<br />

2 2<br />

1 1 1 =<br />

Q = S − P 531,9 VAR .<br />

VAR<br />

Jika untuk menghitung Q b kita paksakan menggunakan<br />

formulasi segitiga daya, walaupun sesungguhnya kita tidak bisa<br />

menggambarkan segitiga daya dan daya reaktif total komponen<br />

hamonisa juga tidak didefinisikan, kita akan memperoleh<br />

Q<br />

2 2<br />

b = Sb<br />

− Pb<br />

=<br />

2257<br />

2<br />

− 2174<br />

2<br />

= 604 VAR<br />

lebih besar dari hasil yang diperoleh jika daya reaktif masingmasing<br />

komponen harmonisa dihitung dengan formula<br />

2<br />

Qn<br />

= I nrms X n .<br />

COTOH-7.6: Sumber tegangan sinusoidal v s = 1000 2sinωt<br />

V<br />

mencatu beban resistif R b = 10 Ω melalui dioda mewakili<br />

penyearah setengah gelombang. Carilah: (a) spektrum amplitudo<br />

arus; (b) nilai efektif setiap komponen arus; (c) daya kompleks<br />

sumber; (d) daya nyata yang diserap beban; (e) daya nyata yang<br />

berikan oleh sumber; (f) faktor daya yang dilihat sumber; (g)<br />

faktor daya komponen fundamental.<br />

Penyelesaian:<br />

a). Spektrum amplitudo arus penyearahan setengah gelombang ini<br />

adalah seperti berikut.<br />

143


A<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

45.00<br />

70.71<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

30.04<br />

6.03<br />

2.60 1.46 0.94<br />

01 12 23 4 65 68 10 7 harmonisa<br />

Spektrum yang amplitudo ini dihitung sampai harmonisa ke-<br />

10, yang nilainya sudah mendekati 1% dari amplitudo arus<br />

fundamental. Diharapkan error yang terjadi dalam<br />

perhitungan tidak akan terlalu besar.<br />

b). Nilai efektif komponen arus dalam [A] adalah<br />

70.71<br />

I 0 = 45; I1rms<br />

= = 50; I<br />

2<br />

I = 4,3; I = 1,8; I<br />

4rms<br />

6rms<br />

Nilai efektif arus fundamental<br />

8rms<br />

2rms<br />

= 1;<br />

I 1 rms = 50<br />

30.04<br />

= = 21,2;<br />

2<br />

I = 0.7<br />

10rms<br />

Nilai efektif komponen harmonisa total adalah:<br />

A<br />

dst<br />

I hrms<br />

=<br />

2 2 2 2 2 2<br />

2 × 31,8 + 21,2 + 4,3 + 1,8 + 1 + 0,7<br />

= 50<br />

A<br />

Nilai efektif arus total adalah<br />

I<br />

2 2<br />

rms = shrms<br />

I1 rms + I = 50 + 50 = 70,7<br />

c). Daya kompleks yang diberikan sumber adalah<br />

2<br />

2<br />

A<br />

S s<br />

= Vsrms<br />

× I rms = 1000 × 70,7 = 70,7<br />

kVA<br />

d). Daya nyata yang diserap beban adalah<br />

2<br />

P b = I rmsRb<br />

=<br />

2<br />

70,67 × 10 = 50 kW<br />

144 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


e). Sumber memberikan daya nyata melalui arus fundamental.<br />

Daya nyata yang diberikan oleh sumber adalah<br />

P s = Vsrms<br />

I1rms<br />

cos ϕ 1<br />

Kita anggap bahwa spektrum sudut fasa tidak tersedia,<br />

sehingga perbedaan sudut fasa antara tegangan sumber dan<br />

arus fundamental tidak diketahui dan cosϕ 1 tidak diketahui.<br />

Oleh karena itu kita coba memanfaatkan teorema Tellegen<br />

yang menyatakan bahwa daya yang diberikan sumber harus<br />

tepat sama dengan daya yang diterima beban, termasuk daya<br />

nyata. Jadi daya nyata yang diberikan sumber adalah<br />

P s = P b = 50 kW<br />

f). Faktor daya yang dilihat oleh sumber adalah<br />

f.d. s = Ps<br />

/ S s = Pb<br />

/ Ss<br />

= 50 / 70,7 = 0,7<br />

g). Faktor daya komponen fundamental adalah<br />

Ps<br />

50000<br />

cosϕ1 = = = 1<br />

VsrmsI1rms<br />

1000 × 50<br />

Nilai faktor daya ini menunjukkan bahwa arus fundamental<br />

sefasa dengan tegangan sumber.<br />

I hrms 50<br />

h). THD I = = = 1 atau 100%<br />

I1rms<br />

50<br />

Contoh-7.6 ini menunjukkan bahwa faktor daya yang dilihat sumber<br />

lebih kecil dari faktor daya fundamental. Faktor daya fundamental<br />

menentukan besar daya aktif yang dikirim oleh sumber ke beban,<br />

sementara faktor daya yang dilihat oleh sumber merupakan rasio daya<br />

nyata terhadap daya kompleks yang dikirim oleh sumber. Sekali lagi kita<br />

tekankan bahwa kita tidak dapat menggambarkan segitiga daya pada<br />

sinyal nonsinus.<br />

Sumber mengirimkan daya nyata ke beban melalui arus fundamental.<br />

Jika kita hitung daya nyata yang diserap resistor melalui arus<br />

fundamental saja, akan kita peroleh<br />

P Rb1 = I1<br />

2 rms Rb<br />

= 50 2 × 10 = 25 kW<br />

145


Jadi daya nyata yang diserap R b melalui arus fundamental hanya setengah<br />

dari daya nyata yang dikirim sumber (dalam kasus penyearah setengah<br />

gelombang ini). Hal ini terjadi karena daya nyata total yang diserap R b<br />

tidak hanya melalui arus fundamental saja tetapi juga arus harmonisa,<br />

sesuai dengan relasi<br />

2 2<br />

( I1rms<br />

+ Ibrms<br />

) Rb<br />

2<br />

P Rb = Ibrms<br />

Rb<br />

=<br />

×<br />

Kita akan mencoba menganalisis masalah ini lebih jauh setelah melihat<br />

lagi contoh yang lain. Berikut ini kita akan melihat contoh yang berbeda<br />

namun pada persoalan yang sama, yaitu sebuah sumber tegangan<br />

sinusoidal mengalami pembebanan nonlinier.<br />

COTOH-7.7: Seperti Contoh-7.6, sumber sinusoidal dengan nilai<br />

efektif 1000 V mencatu arus ke beban resistif R b =10 Ω, namun<br />

kali ini melalui saklar sinkron yang menutup setiap paruh ke-dua<br />

dari tiap setengah perioda. Tentukan : (a) spektrum amplitudo<br />

arus; (b) nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa total, dan<br />

arus total yang mengalir ke beban; (c) daya kompleks yang<br />

diberikan sumber; (d) daya nyata yang diberikan sumber; (e)<br />

faktor daya yang dilihat sumber; (f) faktor daya komponen<br />

fundamental.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Diagram rangkaian adalah sebagai berikut:<br />

i s<br />

saklar sinkron<br />

v s<br />

∼<br />

V srms =1000 V<br />

R b<br />

i Rb<br />

10 Ω<br />

Bentuk gelombang tegangan sumber dan arus beban adalah<br />

[V]<br />

[A]<br />

300<br />

v s (t)/5<br />

200 i Rb (t)<br />

100<br />

[detik]<br />

0<br />

0 0,01 0,02<br />

-100<br />

-200<br />

-300<br />

146 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Spektrum amplitudo arus, yang dibuat hanya sampai harmonisa<br />

ke-11 adalah seperti di bawah ini.<br />

A<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

0.00<br />

83.79<br />

44.96<br />

14.83 14.83<br />

8.71 8.71<br />

10 12 3 45 75 96 11 7 harmonisa<br />

Amplitudo arus harmonisa ke-11 masih cukup besar; masih di<br />

atas 10% dari amplitudo arus fundamental. Perhitunganperhitungan<br />

yang hanya didasarkan pada spektrum amplitudo<br />

ini tentu akan mengandung error yang cukup besar. Namun hal<br />

ini kita biarkan untuk contoh perhitungan manual ini mengingat<br />

amplitudo mencapai sekitar 1% dari amplitudo arus<br />

fundamental baru pada harmonisa ke-55.<br />

(b) Arus fundamental yang mengalir ke R b<br />

83,79<br />

I 1 rms = = 59,25<br />

2<br />

Arus harmonisa total<br />

A<br />

I hrms<br />

44,96<br />

= 0 +<br />

2<br />

= 36,14 A<br />

2<br />

14,83<br />

+<br />

2<br />

2<br />

14,83<br />

+<br />

2<br />

2<br />

2<br />

8,71<br />

+<br />

2<br />

2<br />

8,71<br />

+<br />

2<br />

Arus total :<br />

I rms<br />

=<br />

2 2<br />

59,25 + 36,14 = 69,4 A<br />

(c) Daya kompleks yang diberikan sumber adalah<br />

S<br />

s<br />

= VsrmsI<br />

rms<br />

= 1000 × 69,4 = 69,4<br />

kVA<br />

147


(d) Daya nyata yang diberikan sumber harus sama dengan daya<br />

nyata yang diterima beban yaitu daya nyata yang diserap R b<br />

karena hanya R b yang menyerap daya nyata<br />

P s = Pb<br />

= I rms<br />

2 Rb<br />

= 69,4<br />

2 × 10 = 48,17 kW<br />

(e) Faktor daya yang dilihat sumber adalah<br />

f.d.<br />

s = Ps<br />

s<br />

/ S = 48,17 / 69,4 = 0,69<br />

(f) Daya nyata dikirim oleh sumber melalui arus komponen<br />

fundamental.<br />

P s = Vsrms<br />

I1rms<br />

cos ϕ 1<br />

Ps<br />

48170<br />

f . d.<br />

1 = cosϕ1<br />

= =<br />

= 0,813<br />

Vsrms<br />

I1rms<br />

1000 × 59,25<br />

I hrms 36,14<br />

(g) THD I = = = 0,61 atau 61%<br />

I1rms<br />

59,25<br />

Perhitungan pada Contoh-7.7 ini dilakukan dengan hanya mengandalkan<br />

spektrum amplitudo yang hanya sampai harmonisa ke-11. Apabila<br />

tersedia spektrum sudut fasa, koreksi perhitungan dapat dilakukan.<br />

Contoh-7.8: Jika pada Contoh-7.7 selain spektrum amplitudo diketahui<br />

pula bahwa persamaan arus fundamental dalam uraian deret Fourier<br />

adalah<br />

( − 0.5cos( ω t)<br />

+ 0,7sin( ))<br />

i1 ( t)<br />

= I m 0 ω0t<br />

Lakukan koreksi terhadap perhitungan yang telah dilakukan pada<br />

Contoh-7.7.<br />

Penyelesaian:<br />

Persamaan arus fundamental sebagai suku deret Fourier diketahui:<br />

Sudut<br />

( − 0.5cos( ω t)<br />

+ 0,7sin( ))<br />

i1 ( t)<br />

= I m 0 ω0t<br />

−1<br />

o<br />

θ = tan (0.7 / 0.5) = 57,6 . Mengacu ke Gb.7.3, komponen<br />

fundamental ini lagging sebesar (90 o −57,6 o ) = 32,4 o dari tegangan<br />

148 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


sumber yang dinyatakan sebagai fungsi sinus. Dengan demikian<br />

maka faktor daya komponen fundamental adalah<br />

o<br />

f . d.<br />

1 = cosϕ1<br />

= cos(32,4 ) = 0,844<br />

Dengan diketahuinya faktor daya fundamental, maka kita dapat<br />

menghitung ulang daya nyata yang diberikan oleh sumber dengan<br />

menggunakan nilai faktor daya ini, yaitu<br />

P s = Vsrms<br />

I 1 rms cos ϕ 1 = 1000 × 59,4 × 0.844 = 50 kW<br />

Daya nyata yang dikirim sumber ini harus sama dengan yang<br />

diterima resistor di rangkaian beban<br />

demikian arus total adalah<br />

I<br />

rms = Ps<br />

b<br />

/ R = 50000 /10 = 70,7 A<br />

P b = I rms<br />

2 Rb<br />

= Ps<br />

. Dengan<br />

Koreksi daya nyata tidak mengubah arus fundamental; yang<br />

berubah adalah faktor dayanya. Oleh karena itu terdapat koreksi<br />

arus harmonisa yaitu<br />

I<br />

2 2<br />

hrms = I rms − I1rms<br />

=<br />

70,7<br />

2<br />

− 59,25<br />

Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi<br />

2<br />

= 38,63 A<br />

S s = Vsrms<br />

I rms = 1000 × 70,7 = 70,7 kVA<br />

Faktor daya total yang dilihat sumber menjadi<br />

THD I<br />

38,63<br />

= = 0,65 atau<br />

59,25<br />

f . d.<br />

s = Ps<br />

/ Ss<br />

= 50 / 70,7 = 0,7<br />

65%<br />

Perbedaan-perbedaan hasil perhitungan antara Contoh-7.8 (hasil koreksi)<br />

dan Contoh-7.7 telah kita duga sebelumnya sewaktu kita menampilkan<br />

spektrum amplitudo yang hanya sampai pada harmonisa ke-11. Tampilan<br />

spektrum ini berbeda dengan tampilan spektrum dalam kasus penyearah<br />

setengah gelombang pada Contoh-7.6, yang juga hanya sampai hrmonisa<br />

ke-10. Perbedaan antara keduanya terletak pada amplitudo harmonisa<br />

terakhir; pada kasus saklar sinkron amplitudo harmonisa ke-11 masih<br />

sekitar 10% dari amplitudo fundamentalnya, sedangkan pada kasus<br />

149


penyearah setengah gelombang amplitudo ke-10 sudah sekitar 1% dari<br />

ampltudo fundamentalnya.<br />

Pada Contoh-7.8, jika kita menghitung daya nyata yang diterima resistor<br />

hanya melalui komponen fundamental saja akan kita peroleh<br />

2<br />

2<br />

P Rb1 = I1rms<br />

Rb<br />

= 59,25 × 10 = 35,1 kW<br />

Perbedaan antara daya nyata yang dikirim oleh sumber melalui arus<br />

fundamental dengan daya nyata yang diterima resistor melalui arus<br />

fundamental disebabkan oleh adanya komponen harmonisa. Hal yang<br />

sama telah kita amati pada kasus penyearah setengah gelombang pada<br />

Contoh-7.6.<br />

7.7. Transfer Daya<br />

Dalam pembebanan nonlinier seperti Contoh-7.6 dan Contoh-7.7, daya<br />

nyata yang diserap beban melalui komponen fundamental selalu lebih<br />

kecil dari daya nyata yang dikirim oleh sumber yang juga melalui arus<br />

fundamental. Jadi terdapat kekurangan sebesar ∆P Rb ; kekurangan ini<br />

diatasi oleh komponen arus harmonisa karena daya nyata diterima oleh<br />

R b tidak hanya melalui arus fundamental tetapi juga melalui arus<br />

harmonisa, sesuai formula<br />

2 2<br />

P Rb = ( Ib<br />

1 rms + Ibhrms)<br />

Rb<br />

Padahal dilihat dari sisi sumber, komponen harmonisa tidak memberi<br />

transfer energi netto. Penafsiran yang dapat dibuat adalah bahwa<br />

sebagian daya nyata diterima secara langsung dari sumber oleh R b , dan<br />

sebagian diterima secara tidak langsung. Piranti yang ada di sisi beban<br />

selain resistor adalah saklar sinkron ataupun penyearah yang merupakan<br />

piranti-piranti pengubah arus; piranti pengubah arus ini tidak mungkin<br />

menyerap daya nyata sebab jika demikian halnya maka piranti ini akan<br />

menjadi sangat panas. Jadi piranti pengubah arus menyerap daya nyata<br />

yang diberikan sumber melalui arus fundamental dan segera<br />

meneruskannya ke resistor sehingga resistor menerima daya nyata total<br />

sebesar yang dikirimkan oleh sumber. Dalam meneruskan daya nyata<br />

tersebut, terjadi konversi arus dari frekuensi fundamental yang diberikan<br />

oleh sumber menjadi frekuensi harmonisa menuju ke beban. Hal ini<br />

dapat dilihat dari besar daya nyata yang diterima oleh R b melalui arus<br />

harmonisa sebesar<br />

150 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


2<br />

2 2<br />

P Rbh = IbhrmsR<br />

= ( I1rms<br />

+ Ibhrms<br />

) × Rb<br />

.<br />

Faktor daya komponen fundamental lebih kecil dari satu, f.d. 1 < 1,<br />

menunjukkan bahwa ada daya reaktif yang diberikan melalui arus<br />

fundamental. Resistor tidak menyerap daya reaktif. Piranti selain resistor<br />

hanyalah pengubah arus; oleh karena itu piranti yang harus menyerap<br />

daya reaktif adalah pengubah arus. Dengan demikian, pengubah arus<br />

menyerap daya reaktif dan daya nyata. Daya nyata diteruskan ke resistor<br />

dengan mengubahnya menjadi komponen harmonisa, daya reaktif<br />

ditransfer ulang-alik ke rangkaian sumber.<br />

7.8. Kompensasi Daya Reaktif<br />

Sekali lagi kita memperhatikan Contoh-7.6 dan Contoh-7.7 yang telah<br />

dikoreksi dalam Contoh 7.8. Telah diulas bahwa faktor daya komponen<br />

fundamental pada penyearah setengah gelombang f.d. 1 = 1 yang berarti<br />

arus fundamental sefasa dengan tegangan; sedangkan faktor daya<br />

komponen fundamental pada saklar sinkron f.d. 1 = 0,844. Nilai faktor<br />

daya komponen fundamental ini tergantung dari saat membuka dan<br />

menutup saklar yang dalam kasus penyearah setengah gelombang<br />

“saklar” menutup setiap tengah perioda pertama.<br />

Selain faktor daya komponen fundamental, kita melihat juga faktor daya<br />

total yang dilihat sumber. Dalam kasus penyearah setengah gelombang,<br />

meskipun f.d. 1 = 1, faktor daya total f.d. s = 0,7. Dalam kasus saklar<br />

sinkron f.d. 1 = 0.844 sedangkan faktor daya totalnya f.d. s = 0,7. Sebuah<br />

pertanyaan timbul: dapatkah upaya perbaikan faktor daya yang biasa<br />

dilakukan pada pembebanan linier, diterapkan juga pada pembebanan<br />

nonlinier?<br />

Pada dasarnya perbaikan faktor daya adalah melakukan kompensasi daya<br />

reaktif dengan cara menambahkan beban pada rangkaian sedemikian<br />

rupa sehingga faktor daya, baik lagging maupun leading, mendekat ke<br />

nilai satu. Dalam kasus penyearah setengah gelombang f.d. 1 = 1, sudah<br />

mencapai nilai tertingginya; masih tersisa f.d. s yang hanya 0,7. Dalam<br />

kasus saklar sinkron f.d. 1 = 0,844 dan f.d. s = 0,7. Kita coba melihat kasus<br />

saklar sinkron ini terlebih dulu.<br />

COTOH-7.9: Operasi saklar sinkron pada Contoh-7.7 membuat arus<br />

fundamental lagging 32,4 o dari tegangan sumber yang sinusoidal.<br />

Arus lagging ini menandakan adanya daya rekatif yang dikirim oleh<br />

sumber ke beban melalui arus fundamental. (a) Upayakan<br />

151


pemasangan kapasitor paralel dengan beban untuk memberikan<br />

kompensasi daya reaktif ini. (b) Gambarkan gelombang arus yang<br />

keluar dari sumber.<br />

Penyelesaian:<br />

a). Upaya kompensasi dilakukan dengan memasangkan kapasitor<br />

paralel dengan beban untuk memberi tambahan pembebanan<br />

berupa arus leading untuk mengompensasi arus fundamental<br />

yang lagging 32,4 o . <strong>Rangkaian</strong> menjadi sebagai berikut:<br />

i s<br />

saklar sinkron<br />

v s<br />

∼<br />

i C<br />

C<br />

R b<br />

i Rb<br />

Sebelum pemasangan kapasitor:<br />

I 1 rms = 59,25 A ; I hrms = 38,63 A ; f . d.<br />

s = 0, 7<br />

S 1 = V srms I 1rms<br />

= 1000 × 59,25 = 59,25 kVA ;<br />

f.d. 1 = 0,844;<br />

P 1 = 59,25×<br />

0,844 = 50 kW<br />

2 2<br />

Q s 1 = S − P1<br />

= 31,75 kVAR<br />

Kita coba memasang kapasitor untuk memberi kompensasi daya<br />

reaktif komponen fundamental sebesar 31 kVAR<br />

Q<br />

s1<br />

2<br />

srms<br />

2<br />

srms<br />

= V × Z = V / ωC<br />

Qs1<br />

31000<br />

→ C = =<br />

= 99 µ F ;<br />

V ω 2<br />

srms 1000 × 100π<br />

C<br />

kita tetapkan 100 µF<br />

Dengan C = 100 µF, daya reaktif yang bisa diberikan adalah<br />

Q C<br />

Arus kapasitor adalah<br />

2<br />

−6<br />

= 1000 × 100π × 100 × 10 = 31,4<br />

kVAR<br />

152 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


I<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

Arus ini leading 90 o dari<br />

tegangan sumber dan<br />

hampir sama dengan nilai<br />

o<br />

I 1 rms sin(32,4 ) = 31,75 A<br />

1000<br />

= = 31,4 A<br />

1/(100π)<br />

C<br />

Crms<br />

srms<br />

.<br />

C<br />

Diagram fasor tegangan dan<br />

32,4 o<br />

arus adalah seperti di I I 1 cos32,4 o<br />

1<br />

samping ini.<br />

V s<br />

Dari diagram fasor ini kita<br />

o<br />

lihat bahwa arus I C dan I1 sin 32, 4 tidak saling meniadakan<br />

o<br />

sehingga beban akan menerima arus I 1rms cos(32,4 ) , akan<br />

tetapi beban tetap menerima arus seperti semula. Beban tidak<br />

merasakan adanya perubahan oleh hadirnya C karena ia tetap<br />

terhubung langsung ke sumber. Sementara itu sumber sangat<br />

merasakan adanya beban tambahan berupa arus kapasitif yang<br />

melalui C. Sumber yang semula mengeluarkan arus fundamental<br />

dan arus harmonisa total ke beban, setelah pemasangan<br />

kapasitor memberikan arus fundamental dan arus harmonisa ke<br />

beban ditambah arus kapasitif di kapasitor. Dengan demikian<br />

arus fundamental yang diberikan oleh sumber menjadi<br />

o<br />

I 1 rmsC ≈ I1<br />

rms cos(32,4 ) = 50 A<br />

turun sekitar 10% dari arus fundamental semula yang 59,25 A.<br />

Arus efektif total yang diberikan sumber menjadi<br />

I<br />

2 2<br />

srmsC = hrms<br />

I1 rmsC + I = 50 + 38,63 =<br />

Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi<br />

S sC<br />

I 1 sin32,4 o<br />

= 1000 × 63,2 = 63,2 kVA<br />

Faktor daya yang dilihat sumber menjadi<br />

f . d.<br />

sC = 50 / 63,2 = 0,8<br />

2<br />

2<br />

63,2 A<br />

sedikit lebih baik dari sebelum pemasangan kapasitor<br />

f . d.<br />

s = 0,7<br />

Im<br />

I C<br />

Re<br />

153


). Arus sumber, i s , adalah jumlah dari arus yang melalui resistor<br />

seri dengan saklar sinkron dan arus arus kapasitor.<br />

- bentuk gelombang arus yang melalui resistor i Rb adalah<br />

seperti yang diberikan pada gambar Contoh-7.7;<br />

- gelombang arus kapasitor, i C , 90 o mendahului tegangan<br />

sumber.<br />

Bentuk gelonbang arus i s terlihat pada gambar berikut:<br />

[V]<br />

[A]<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

-100<br />

-200<br />

-300<br />

v s /5<br />

Contoh-7.9 ini menunjukkan bahwa kompensasi daya reaktif komponen<br />

fundamental dapat meningkatkan faktor daya total yang dilihat oleh<br />

sumber. Berikut ini kita akan melihat kasus penyearah setengah<br />

gelombang.<br />

Di Bab-3, sub-bab 3.6 buku jilid-1, kita membahas filter kapasitor pada<br />

penyearah yang dihubungkan paralel dengan beban R dengan tujuan<br />

untuk memperoleh tegangan yang walaupun masih berfluktuasi namun<br />

fluktuasi tersebut ditekan sehingga mendekati tegangan<br />

searah. Kita akan<br />

i s<br />

mencoba<br />

menghubungkan<br />

kapasitor seperti pada<br />

Gb.7.3 dengan harapan<br />

akan memperbaiki faktor<br />

daya.<br />

v s<br />

i C<br />

C<br />

i R<br />

R<br />

i Rb<br />

i s<br />

[detik]<br />

0 0.005 i C<br />

0.01 0.015 0.02<br />

Gb.7.3. Kapasitor paralel dengan beban.<br />

154 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


COTOH-7.10: Sumber tegangan sinusoidal v s = 1000 2sinωt<br />

V<br />

mencatu beban resistif R b = 10 Ω melalui penyearah setengah<br />

gelombang. Lakukan pemasangan kapasitor untuk<br />

“memperbaiki” faktor daya. Frekuensi kerja 50 Hz.<br />

Penyelesaian:<br />

Keadaan sebelum pemasangan kapasitor dari Contoh-7.5:<br />

tegangan sumber<br />

arus fundamental<br />

arus harmonisa total<br />

arus efektif total<br />

V srms =1000 V ;<br />

I 1 rms = 50 A ;<br />

I hrms<br />

= 50 A<br />

I rms = 70,7 A ;<br />

daya kompleks sumber<br />

S s = 70,7 kVA ;<br />

daya nyata<br />

P s = P 1 = 50 kW ;<br />

faktor daya sumber f . d.<br />

s = Ps<br />

/ Ss<br />

= 50 / 70,7 = 0, 7 ;<br />

faktor daya komponen fundamental f . d . 1 = 1 .<br />

Spektrum amplitudo arus maksimum adalah<br />

A<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

45.00<br />

70.71<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

30.04<br />

6.03<br />

2.60 1.46 0.94<br />

01 12 23 4 65 68 10 7 harmonisa<br />

Gambar perkiraan dibawah ini memperlihatkan kurva tegangan<br />

sumber v s /5 (skala 20%), arus penyearahan setengah gelombang<br />

155


i R , dan arus kapasitor i C seandainya dipasang kapasitor (besar<br />

kapasitor belum dihitung).<br />

400<br />

[V]<br />

[A]<br />

200<br />

v s /5<br />

i R<br />

0<br />

-200<br />

0 0.01 i 0.02 0.03<br />

C<br />

t [s]<br />

-400<br />

Dengan pemasangan kapasitor maka arus sumber akan merupakan<br />

jumlah i R + i C yang akan merupakan arus nonsinus dengan bentuk<br />

lebih mendekati gelombang sinusoidal dibandingkan dengan<br />

bentuk gelombang arus penyearahan setengah gelombang i R .<br />

Bentuk gelombang arus menjadi seperti di bawah ini.<br />

400<br />

[V]<br />

[A]<br />

200<br />

v s /5<br />

i R +i C<br />

i R<br />

0<br />

-200<br />

i R<br />

0 i C 0.01 0.02 0.03<br />

t [s]<br />

-400<br />

Kita akan mencoba menelaah dari beberapa sisi pandang.<br />

a). Pemasangan kapasitor seperti pada Gb.7.3 menyebabkan sumber<br />

mendapat tambahan beban arus kapasitif. Bentuk gelombang arus<br />

sumber menjadi lebih mendekati bentuk sinus. Tidak seperti<br />

dalam kasus saklar sinkron yang komponen fundamentalnya<br />

memiliki faktor daya kurang dari satu sehingga kita punya titiktolak<br />

untuk menghitung daya reaktif yang perlu kompensasi,<br />

156 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


dalam kasus penyerah setengah gelombang ini f.d. 1 = 1; arus<br />

fundamental sefasa dengan tegangan sumber.<br />

Sebagai perkiraan, daya reaktif akan dihitung dengan<br />

menggunakan formula segitiga daya pada daya kompleks total.<br />

2 2<br />

Q s = Ss<br />

− Ps<br />

=<br />

2 2<br />

70.7 − 50<br />

= 50 kVAR<br />

Jika diinginkan faktor daya 0,9 maka daya reaktif seharusnya<br />

sekitar<br />

Q<br />

s = S s<br />

sin(cos -1 0,9)<br />

≈ 30 kVAR<br />

Akan tetapi formula segitiga tidaklah akurat karena kita tidak<br />

dapat menggambarkan segitiga daya untuk arus harmonisa. Oleh<br />

karena itu kita perkirakan kapasitor yang akan dipasang mampu<br />

memberikan kompensasi daya reaktif Q C sekitar 25 kVAR. Dari<br />

sini kita menghitung kapasitansi C.<br />

QC<br />

2<br />

V<br />

2<br />

s 1000 6<br />

= = = 10 ωC<br />

= 25 kVAR<br />

ZC<br />

(1/ ωC)<br />

Pada frekuensi 50 Hz<br />

80 µF<br />

Arus kapasitor adalah<br />

25000<br />

C = = 79,6 µ F . Kita tetapkan<br />

6<br />

10 × 100π<br />

I<br />

C<br />

=<br />

V<br />

Z<br />

s<br />

1000<br />

=<br />

1/(100π × 80 × 10<br />

−6 =<br />

)<br />

25,13 A<br />

yang leading 90 o dari tegangan sumber atau<br />

I C<br />

o<br />

= 25,13∠90<br />

Arus fundamental sumber adalah jumlah arus kapasitor dan arus<br />

fundamental semula, yaitu<br />

o<br />

o<br />

o<br />

I s1C<br />

= I s1semula<br />

+ I C = 50∠0<br />

+ 25,13∠90<br />

= 55,96∠21<br />

A<br />

Nilai efektif arus dengan frekuensi fundamental yang keluar dari<br />

sumber adalah<br />

157


I<br />

2<br />

2 2<br />

I<br />

2 1 + I = 55,96 + 50 = 75 A<br />

sCrms = s Crms hrms<br />

Jadi setelah pemasangan kapasitor, nilai-nilai efektif arus adalah:<br />

I s1 Crms<br />

= 55,96 A ; ini adalah arus pada frekuensi fundamental<br />

yang keluar dari sumber sementara arus ke beban tidak<br />

berubah<br />

I hrms<br />

I sCrms<br />

semula<br />

= 50 A ; tak berubah karena arus beban tidak berubah.<br />

= 75 A ; ini adalah arus yang keluar dari sumber yang<br />

I rms = 70,7 A .<br />

Daya kompleks sumber menjadi<br />

S sC<br />

= VsrmsI<br />

sCrms = 1000 × 75 = 75 kVA<br />

Faktor daya yang dilihat sumber menjadi<br />

f.d. sC<br />

= Ps<br />

/ SsC<br />

= 50 / 75 = 0,67<br />

Berikut ini adalah gambar bentuk gelombang tegangan dan arus<br />

serta spektrum amplitudo arus sumber.<br />

V<br />

A<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

-100<br />

i Rb<br />

v s /5<br />

0 0.005 i C 0.01 0.015 0.02<br />

i sC<br />

-200<br />

-300<br />

158 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


A<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

45.00<br />

79.14<br />

30.04<br />

6.03<br />

2.60 1.46 0.94<br />

01 12 32 4 65 68 10<br />

7<br />

harmonisa<br />

Pemasangan kapasitor tidak memperbaiki faktor daya total bahkan<br />

arus efektif pembebanan pada sumber semakin tinggi.<br />

Apabila kita mencoba melakukan kompensasi bukan dengan arus<br />

kapasitif akan tetapi dengan arus induktif, bentuk gelombang arus<br />

dan spektrum amplitudo yang akan kita peroleh adalah seperti di<br />

bawah ini.<br />

V<br />

A<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

-100<br />

v s /5<br />

i Rb<br />

i C<br />

0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />

i sC<br />

-200<br />

-300<br />

159


A<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

45.00<br />

79.14<br />

30.04<br />

6.03<br />

2.60 1.46 0.94<br />

01 12 23 4 65 86 10 7 harmonisa<br />

Dengan membandingkan Contoh-7.9 dan Contoh-7.10 terlihat bahwa<br />

perbaikan faktor daya dengan cara kompensasi daya reaktif dapat<br />

dilakukan pada pembebanan dengan faktor daya komponen fundamental<br />

yang lebih kecil dari satu. Pada pembebanan di mana arus fundamental<br />

sudah sefasa dengan tegangan sumber, perbaikan faktor daya tidak terjadi<br />

dengan cara kompensasi daya reaktif; padahal faktor daya total masih<br />

lebih kecil dari satu. Daya reaktif yang masih ada merupakan akibat dari<br />

arus harmonisa. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan adalah<br />

menekan arus harmonisa melalui penapisan. Persoalan penapisan tidak<br />

dicakup dalam <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik di buku ini melainkan dalam<br />

Elektronika Daya.<br />

160 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


BAB 8<br />

Dampak Harmonisa Pada Piranti<br />

Dalam analisis rangkaian linier, elemen-elemen rangkaian seperti R, L,<br />

dan C, merupakan idealisasi piranti-piranti nyata yang nonlinier. Dalam<br />

bab ini kita akan mempelajari pengaruh adanya komponen harmonisa,<br />

baik arus maupun tegangan, terhadap piranti-piranti sebagai benda nyata.<br />

Dampak harmonisa ini dapat kita klasifikasi dalam dua kategori yaitu:<br />

a). Dampak terhadap sistem tenaga sendiri antara lain peningkatan<br />

susut energi yaitu energi “hilang” yang tak dapat dimanfaatkan,<br />

yang secara alamiah berubah menjadi panas. [5,6].<br />

Harmonisa menyebabkan peningkatan temperatur pada konduktor<br />

kabel, pada kapasitor, induktor, dan transformator, yang bisa<br />

berakibat pada derating dari alat-alat ini dan justru derating ini<br />

membawa kerugian (finansial) yang lebih besar dibandingkan<br />

dengan dampak langsung yang berupa susut energi.<br />

Harmonisa tidak hanya menyebabkan derating piranti tetapi juga<br />

umur ekonomis piranti. Pembebanan nonlinier tidaklah selalu<br />

kontinyu, melainkan fluktuatif. Oleh karena itu pada selang<br />

waktu tertentu piranti terpaksa bekerja pada batas tertinggi<br />

temperatur kerjanya bahkan mungkin terlampaui pada saat-saat<br />

tertentu.<br />

Kenaikan tegangan bisa terjadi akibat adanya harmonisa yang<br />

dapat menimbulkan micro-discharges bahkan partial-discharges<br />

dalam piranti yang memperpendek umur, bahkan mal-function<br />

bisa terjadi pada piranti.<br />

Harmonisa juga dapat menyebabkan terjadinya overload pada<br />

penghantar netral; kWh-meter memberi penunjukan tidak normal;<br />

rele proteksi juga akan terganggu, bisa tidak mendeteksi besaran<br />

rms bahkan mungkin gagal trip.<br />

b). Dampak pada instalasi di luar sistem tenaga antara lain tmbulnya<br />

noise pada saluran telepon serta komunikasi kabel; digital clock<br />

disa berjalan lebih cepat.<br />

161


8.1. Konduktor<br />

Pada konduktor, komponen arus harmonisa menyebabkan peningkatan<br />

daya nyata yang diserap oleh konduktor dan berakibat pada peningkatan<br />

temperatur konduktor. Daya nyata yang terserap di konduktor ini kita<br />

sebut rugi daya atau susut daya. Karena susut daya ini berbanding lurus<br />

dengan kuadrat arus, maka peningkatannya akan sebanding dengan<br />

kuadrat THD arus; demikian pula dengan peningkatan temperatur.<br />

Misalkan arus efektif nonsinus I rms mengalir melalui konduktor yang<br />

memiliki resistansi R s , maka susut daya di konduktor ini adalah<br />

2 2 2<br />

2<br />

2<br />

P s I rms Rs<br />

= ( I1rms<br />

+ I hrms ) Rs<br />

= I1rms<br />

Rs<br />

( 1 + THDI<br />

)<br />

2<br />

Jika arus efektif fundamental tidak berubah, faktor ( THD )<br />

= (8.1)<br />

1+ I pada<br />

(8.1) menunjukkan seberapa besar peningkatan susut daya di konduktor.<br />

Misalkan peningkatan ini diinginkan tidak lebih dari 10%, maka THD I<br />

tidak boleh lebih dari 0,32 atau 32%. Dalam contoh-contoh persoalan<br />

yang diberikan sebelumnya, THD I besar terjadi misalnya pada arus<br />

penyearahan setengah gelombang yang mencapai 100%, dan arus melalui<br />

saklar sinkron yang mengalir setiap paruh ke-dua dari tiap setengah<br />

perioda yang mencapai 65%.<br />

COTOH-8.1: Konduktor kabel yang memiliki resistansi total 80 mΩ,<br />

menyalurkan arus efektif 100 A, pada frekuensi 50 Hz. Kabel ini<br />

beroperasi normal pada temperatur 70 o C sedangkan temperatur<br />

sekitarnya adalah 25 o C. Perubahan pembebanan di ujung kabel<br />

menyebabkan munculnya harmonisa pada frekuensi 350 Hz dengan<br />

nilai efektif 40 A. Hitung (a) perubahan susut daya dan (b)<br />

perubahan temperatur kerja pada konduktor.<br />

(a) Susut daya semula pada konduktor adalah<br />

P 1 = 100 2 × 0,08 = 800<br />

Susut daya tambahan karena arus harmonisa adalah<br />

Susut daya berubah menjadi<br />

W<br />

P 7 = 40 2 × 0,08 = 128 W<br />

P kabel<br />

= 800 + 128 = 928 W<br />

162 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Dibandingkan dengan susut daya semula, terjadi kenaikan susut<br />

daya sebesar 16%.<br />

(b) Kenaikan temperatur kerja di atas temperatur sekitar semula<br />

adalah (70 o − 25 o ) = 45 o C. Perubahan kenaikan temperatur<br />

adalah<br />

∆T = 0,16 ×<br />

o o<br />

45 = 7,2 C<br />

Kenaikan temperatur akibat adanya hormonisa adalah<br />

o o o<br />

T = 45 C + 7,2 C ≈ 52 C<br />

dan temperatur kerja akibat adanya harmonisa adalah<br />

T ′ =<br />

25<br />

o<br />

+ 52<br />

10% di atas temperatur kerja semula.<br />

o<br />

= 77<br />

o<br />

C<br />

COTOH-8.2: Suatu kabel yang memiliki resistansi total 0,2 Ω<br />

digunakan untuk mencatu beban resistif R b yang tersambung di<br />

ujung kabel dengan arus sinusoidal bernilai efektif 20 A. Tanpa<br />

pengubah resistansi beban, ditambahkan penyearah setengah<br />

gelombang (ideal) di depan R b . (a) Hitunglah perubahan susut daya<br />

pada kabel jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tak<br />

berubah. (b) Hitunglah daya yang disalurkan ke beban dengan<br />

mempertahankan arus total pada 20 A; (c) berikan ulasan.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Sebelum pemasangan penyearah, susut daya di kabel adalah<br />

P k<br />

= 20 2 × 0,2 = 80 W<br />

Dengan mempertahankan besar daya tersalur ke beban tidak<br />

berubah, berarti nilai efektif arus fundamental dipertahankan 20<br />

A. THD I pada penyearah setengah gelombang adalah 100%.<br />

Susut daya pada kabel menjadi<br />

* 2<br />

P k = 20 × 0,21<br />

Susut daya menjadi dua kali lipat.<br />

2<br />

( + 1 ) = 160 W<br />

(b) Jika arus efektif total dipertahankan 20 A, maka susut daya di<br />

kabel sama seperti sebelum pemasangan penyearah yaitu<br />

163


P<br />

k<br />

= 20 2 × 0,2 = 80<br />

Dalam situasi ini terjadi penurunan arus efektif fundamental<br />

yang dapat dihitung melalui relasi kuadrat arus efektif total,<br />

yaitu<br />

W<br />

I<br />

2<br />

rms<br />

2<br />

1ms<br />

2<br />

hms<br />

2<br />

1ms<br />

= I + I = I (1 + THD<br />

2<br />

) = 20<br />

2<br />

Dengan THD 100%, maka I 1 2 rms = 20 2 /2<br />

jadi<br />

I<br />

1 rms<br />

= 20/ 2 = 14,14 A<br />

Jadi jika arus efektif total dipertahankan 20 A, arus fundamental<br />

turun menjadi 70% dari semula. Susut daya di kabel tidak<br />

berubah, tetapi daya yang disalurkan ke beban menjadi<br />

0,7<br />

2 ≈ 0,5 dari daya semula atau turun menjadi 50%-nya.<br />

(c) Jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tetap, susut pada<br />

saluran menjadi dua kali lipat, yang berarti kenaikan temperatur<br />

dua kali lipat. Jika temperatur kerja semula 65 o C pada<br />

temperatur sekitar 25 o , maka temperatur kerja yang baru bisa<br />

mencapai lebih dari 100 o C.<br />

8.2. Kapasitor<br />

Jika susut daya pada saluran tidak diperkenankan meningkat<br />

maka penyaluran daya ke beban harus diturunkan sampai<br />

menjadi 50% dari daya yang semula disalurkan; gejala ini dapat<br />

diartikan sebagai derating kabel.<br />

Ulas Ulang Tentang Kapasitor. Jika suatu dielektrik yang memiliki<br />

permitivitas relatif ε r disisipkan antara dua pelat kapasitor yang memiliki<br />

luas A dan jarak antara kedua pelat adalah d, maka kapasitansi yang<br />

semula (tanpa bahan dielektrik)<br />

A<br />

C 0 = ε 0 d<br />

berubah menjadi<br />

C = C 0 ε<br />

r<br />

164 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Jadi kapasitansi meningkat sebesar ε r kali.<br />

Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor diperlihatkan pada Gb.8.1.<br />

Arus kapasitor terdiri dari dua komponen yaitu arus kapasitif I C ideal<br />

yang 90 o mendahului tegangan kapasitor V C , dan arus ekivalen losses<br />

pada dielektrik I rp yang sefasa dengan tegangan.<br />

im<br />

I C<br />

I tot<br />

δ<br />

Gb.8.1. Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor.<br />

Daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik adalah<br />

P = V I = V I tan δ<br />

(8.2)<br />

C<br />

Rp<br />

atau<br />

2<br />

0 0<br />

0 r<br />

C<br />

C<br />

P = ε V ωC<br />

V tan δ = 2πf<br />

V C ε tan δ (8.3)<br />

r<br />

I Rp<br />

tanδ disebut faktor desipasi (loss tangent)<br />

ε r tanδ disebut faktor kerugian (loss factor)<br />

Pengaruh Frekuensi Pada Dielektrik. Nilai ε r tergantung dari frekuensi,<br />

yang secara umum digambarkan seperti pada Gb.8.2.<br />

V C<br />

re<br />

ε r<br />

ε r<br />

loss factor<br />

ε r tanδ<br />

power audio<br />

radio<br />

frekuensi<br />

frekuensi listrik<br />

frekuensi optik<br />

Gb.8.2. ε r dan loss factor sebagai fungsi frekuensi.<br />

165


Dalam analisis rangkaian, reaktansi kapasitor dituliskan sebagai<br />

1<br />

X C = 2 πfC<br />

Gb.8.2. memperlihatkan bahwa ε r menurun dengan naiknya frekuensi<br />

yang berarti kapasitansi menurun dengan naiknya frekuesi. Namun<br />

perubahan frekuensi lebih dominan dalam menentukan reaktansi<br />

dibanding dengan penurunan ε r ; oleh karena itu dalam analisis kita<br />

menganggap kapasitansi konstan.<br />

Loss factor menentukan daya yang terkonversi menjadi panas dalam<br />

dielektrik. Sementara itu, selain tergantung frekuensi, ε r juga tergantung<br />

dari temperatur dan hal ini berpengaruh pula pada loss factor, walaupun<br />

tidak terlalu besar dalam rentang temperatur kerja kapasitor. Oleh karena<br />

itu dalam menghitung daya yang terkonversi menjadi panas dalam<br />

dielektrik, kita melakukan pendekatan dengan menganggap loss factor<br />

konstan. Dengan anggapan ini maka daya yang terkonversi menjadi<br />

panas akan sebanding dengan frekuensi dan sebanding pula dengan<br />

kuadrat tegangan.<br />

Tegangan onsinus. Pada tegangan nonsinus, bentuk gelombang<br />

tegangan pada kapasitor berbeda dari bentuk gelombang arusnya. Hal ini<br />

disebabkan oleh perbedaan tanggapan kapasitor terhadap komponen<br />

fundamental dengan tanggapannya terhadap komponen harmonisa.<br />

Situasi ini dapat kita lihat sebagai berikut. Misalkan pada terminal<br />

kapasitor terdapat tegangan nonsinus yang berbentuk:<br />

vC ( t)<br />

= vC1 ( t)<br />

+ vC3(<br />

t)<br />

+ vC5<br />

( t)<br />

+ .........<br />

(8.4)<br />

Arus kapasitor akan berbentuk<br />

iC ( t)<br />

= ω0 CvC1(<br />

t)<br />

+ 3ω0CvC3(<br />

t)<br />

+ 5ω0CvC5<br />

( t)<br />

+ ......... (8.5)<br />

Dengan memperbandingkan (8.4) dan (8.5) dapat dimengerti bahwa<br />

bentuk gelombang tegangan kapasitor berbeda dengan bentuk gelombang<br />

arusnya.<br />

COTOH-8.3: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen<br />

fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta<br />

harmonisa ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut 30 V.<br />

Sebuah kapasitor 500 µF dihubungkan pada sumber tegangan ini.<br />

Gambarkan bentuk gelombang tegangan dan arus kapasitor.<br />

166 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Penyelesaian:<br />

Jika persamaan tegangan<br />

maka persamaan arus adalah<br />

i C<br />

v C = 150 sin100πt<br />

+ 30sin 300πt<br />

V<br />

= 150×<br />

500×<br />

10<br />

+ 30×<br />

500×<br />

10<br />

−6<br />

−6<br />

× 100π<br />

cos100πt<br />

× 500π<br />

cos 500πt<br />

Bentuk gelombang tegangan dan arus adalah seperti terlihat pada<br />

Gb.8.3.<br />

200<br />

[V]<br />

[A]<br />

100<br />

-100<br />

0<br />

i C<br />

v C<br />

0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />

t [detik]<br />

-200<br />

Gb.8.3. Gelombang tegangan dan arus pada contoh-8.3.<br />

COTOH-8.4: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen<br />

fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta<br />

harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut<br />

30 V dan 5 V. Sebuah kapasitor 500 µF (110 V rms, 50 Hz)<br />

dihubungkan pada sumber tegangan ini. Hitung: (a) arus efektif<br />

komponen fundamental; (b) THD arus kapasitor; (c) THD<br />

tegangan kapasitor; (d) jika kapasitor memiliki losses dielektrik<br />

0,6 W pada tegangan sinus rating-nya, hitunglah losses dielektrik<br />

dalam situasi ini.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Reaktansi untuk komponen fundamental adalah<br />

X C1<br />

1<br />

=<br />

2π×<br />

50×<br />

500×<br />

10<br />

−6<br />

Arus efektif untuk komponen fundamental<br />

= 6,37 Ω<br />

167


150 / 2<br />

I C rms =<br />

6,37<br />

1 =<br />

16,7<br />

(b) Reaktansi untuk harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut<br />

adalah<br />

X C1<br />

X<br />

X C3<br />

= = 2,12 Ω ; C1<br />

X C5<br />

= = 1,27 Ω<br />

3<br />

5<br />

Arus efektif harmonisa<br />

A<br />

30 / 2<br />

I C3 rms = = 10<br />

2,12<br />

I C<br />

5 / 2<br />

=<br />

1,27<br />

5 rms =<br />

2,8<br />

A<br />

A<br />

THD<br />

I<br />

I<br />

=<br />

I<br />

hrms<br />

C1rms<br />

=<br />

10<br />

2<br />

+ 2,8<br />

16,7<br />

2<br />

= 0,62<br />

atau<br />

62%<br />

(c)<br />

THD<br />

V<br />

V<br />

=<br />

V<br />

hrms<br />

1rms<br />

=<br />

2<br />

2<br />

30 5<br />

+<br />

2 2<br />

150 / 2<br />

21,5<br />

= = 0,20 atau<br />

106<br />

20 %<br />

(d) Losses dielektrik dianggap sebanding dengan frekuensi dan<br />

kuadrat tegangan. Pada frekuensi 50 Hz dan tegangan 110 V,<br />

losses adalah 0,6 watt.<br />

P 50 Hz,110V =<br />

0,6<br />

W<br />

150 ⎛ 30 ⎞<br />

P 150 Hz,30V = × ⎜ ⎟ × 0,6 = 0,134 W<br />

50 ⎝110<br />

⎠<br />

250 ⎛ 5 ⎞<br />

P 250 Hz,5V = × ⎜ ⎟ × 0,6 = 0,006 W<br />

50 ⎝110<br />

⎠<br />

2<br />

2<br />

168 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Losses dielektrik total:<br />

P total<br />

= 0 ,6 + 0,134 + 0,006 = 0,74<br />

W<br />

8.3. Induktor<br />

Induktor Ideal. Induktor yang untuk keperluan analisis dinyatakan<br />

sebagai memiliki induktansi murni L, tidak kita temukan dalam praktik.<br />

Betapapun kecilnya, induktor selalu mengandung resistansi dan kita<br />

melihat induktor sebagai satu induktansi murni terhubung seri dengan<br />

satu resistansi. Oleh karena itu kita melihat tanggapan induktor sebagai<br />

tanggapan beban induktif dengan resistansi kecil. Hanya apabila<br />

resistansi belitan dapat diabaikan, relasi tegangan-arus induktor untuk<br />

gelombang tegangan dan arus berbentuk sinus murni menjadi<br />

di f<br />

v = L<br />

dt<br />

dengan v adalah tegangan jatuh pada induktor, dan i f adalah arus eksitasi.<br />

Apabila rugi rangkaian magnetik diabaikan, maka fluksi φ sebanding<br />

dengan i f dan membangkitkan tegangan induksi pada belitan induktor<br />

sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.<br />

dφ<br />

e i = −<br />

dt<br />

Tegangan induksi ini berlawanan dengan tegangan jatuh induktor v,<br />

sehingga nilai e i sama dengan v.<br />

dφ<br />

di f<br />

e = ei = = L<br />

dt dt<br />

Persamaan di atas menunjukkan bahwa φ dan i f berubah secara<br />

bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus<br />

i f yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.<br />

Arus i f sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk<br />

sinus. Oleh karena itu baik tegangan, arus, maupun fluksi mempunyai<br />

frekuensi sama, sehingga kita dapat menuliskan persamaan dalam bentuk<br />

fasor<br />

V = E i = jωΦ = jωLI<br />

dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor. Relasi ideal ini memberikan<br />

f<br />

169


2π<br />

Vrms<br />

=<br />

2<br />

fφmaks<br />

= 4, 44 f φmaks<br />

2π<br />

Vrms<br />

=<br />

2<br />

fLi fmaks = 4, 44 fL i fmaks<br />

Relasi ideal memberikan diagram fasor seperti di<br />

samping ini dimana arus yang membangkitkan<br />

fluksi yaitu I φ sama dengan I f .<br />

I f =I φ<br />

Φ<br />

V=E i<br />

COTOH-8.5: Melalui sebuah kumparan mengalir arus nonsinus yang<br />

mengandung komponen fundamental 50 Hz, harmonisa ke-3, dan<br />

harmonisa ke-5 dengan amplitudo berturut-turut 50, 10, dan 5 A.<br />

Jika daya input pada induktor diabaikan, dan tegangan pada induktor<br />

adalah 75 V rms, hitung induktansi induktor.<br />

Penyelesaian:<br />

Jika induktansi kumparan adalah L maka tegangan efektif komponen<br />

fundamental, harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah<br />

V L 1 rms = 4,44×<br />

50×<br />

L×<br />

50 = 11100×<br />

L V<br />

V L 3 rms = 4,44×<br />

150×<br />

L × 10 = 6660×<br />

L V<br />

V L 5 rms = 4,44 × 250 × L × 5 = 5550 × L V<br />

sedangkan<br />

2 2 2<br />

Lrms = V1rms<br />

+ V3rms<br />

V5rms<br />

. Jadi<br />

V +<br />

2<br />

75 = L × 11100 + 6660 + 5550 = 14084, 3 × L<br />

Induktansi kumparan adalah<br />

L =<br />

75<br />

14084,3<br />

2<br />

2<br />

= 0,0053 H<br />

Fluksi Dalam Inti. Jika tegangan sinus dengan nilai efektif V rms dan<br />

frekuensi f diterapkan pada induktor, fluksi magnetik yang timbul dalam<br />

inti dihitung dengan formula<br />

φm<br />

V<br />

= rms<br />

4,44×<br />

f × <br />

170 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


φ m adalah nilai puncak fluksi, dan adalah jumlah lilitan. Melalui<br />

contoh berikut ini kita akan melihat fluksi dalam inti induktor bila<br />

tegangan yang diterapkan berbentuk nonsinus.<br />

COTOH-8.6: Sebuah induktor dengan 1200 lilitan mendapat tegangan<br />

nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental dengan nilai<br />

efektif V 1rms = 150 V dan harmonisa ke-3 dengan nilai efektif V 3rms =<br />

50 V yang tertinggal 135 o dari komponen fundamental. Gambarkan<br />

kurva tegangan dan fluksi.<br />

Penyelesaian:<br />

Persamaan tegangan adalah<br />

v L = 150 2 sin ω0t<br />

+ 50 2 sin(3ω0t<br />

−135<br />

Nilai puncak fluksi fundamental<br />

150<br />

φ1 m =<br />

= 563 µ Wb<br />

4,44×<br />

50×<br />

1200<br />

Fluksi φ 1m tertinggal 90 o dari tegangan (lihat Gb.8.4). Persamaan<br />

gelombang fluksi fundamental menjadi<br />

Nilai puncak fluksi harmonisa ke-3<br />

φ1 = 563sin( ω0t<br />

− 90 ) µ Wb<br />

50<br />

3 =<br />

= 62,6 µ Wb<br />

4,44 × 3×<br />

50 × 1200<br />

φ m<br />

Fluksi φ 3m juga tertinggal 90 o dari tegangan harmonisa ke-3;<br />

sedangkan tegangan harmonisa ke-3 tertinggal 135 o dari tegangan<br />

fundamental. Jadi persamaan fluksi harmonisa ke-3 adalah<br />

o<br />

o<br />

φ3 = 62,6sin(3ω0t<br />

−135<br />

− 90 ) = 62,6sin(3ω0t<br />

− 225 ) µ Wb<br />

Persamaan fluksi total menjadi<br />

o<br />

φ = 563sin(<br />

ω0 t − 90 ) + 62,6sin(3ω0t<br />

− 225) µ Wb<br />

Kurva tegangan dan fluksi terlihat pada Gb.8.4.<br />

o<br />

o<br />

)<br />

o<br />

171


600<br />

[V]<br />

400<br />

[µWb]<br />

200<br />

0<br />

-200<br />

v L<br />

φ<br />

t [detik]<br />

0 0.01 0.02 0.03 0.04<br />

-400<br />

-600<br />

Gb.8.4. Kurva tegangan dan fluksi.<br />

Rugi-Rugi Inti. Dalam induktor nyata, rugi inti menyebabkan fluksi<br />

magnetik yang dibangkitkan oleh i f ketinggalan dari i f sebesar γ yang<br />

disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.8.5. dimana<br />

arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ. Diagram fasor ini digambar<br />

dengan memperhitungkan rugi hiterisis<br />

I c<br />

I f<br />

V=E i<br />

I φ<br />

γ<br />

Φ<br />

Gb.8.5. Diagram fasor induktor (ada rugi inti)<br />

Dengan memperhitungkan rugi-rugi yang terjadi dalam inti<br />

transformator, I f dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ<br />

yang diperlukan untuk membangkitkan φ, dan I c yang diperlukan untuk<br />

mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = I φ + I c .<br />

Komponen I c merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan V akan<br />

memberikan rugi-rugi inti<br />

o<br />

Pc<br />

= IcV<br />

= VI f cos(90 − γ)<br />

watt (8.6)<br />

Rugi inti terdiri dari dua komponen, yaitu rugi histerisis dan rugi arus<br />

pusar. Rugi histerisis dinyatakan dengan<br />

Ph = whvf<br />

(8.7)<br />

172 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


P h rugi histerisis [watt], w h luas loop kurva histerisis dalam<br />

[joule/m 3 .siklus], v volume, f frekuensi. Untuk frekuensi rendah,<br />

Steinmetz memberikan formulasi empiris<br />

n<br />

( K B )<br />

P h = vf h m<br />

(8.8)<br />

di mana B m adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, n tergantung dari<br />

jenis bahan dengan nilai yang terletak antara 1,5 sampai 2,5 dan K h yang<br />

juga tergantung jenis bahan (untuk silicon sheet steel misalnya, K h =<br />

0,001). Nilai-nilai empiris ini belum didapatkan untuk frekuensi<br />

harmonisa.<br />

Demikian pula halnya dengan persamaan empiris untuk rugi arus pusar<br />

dalam inti<br />

2 2 2<br />

P e = Ke<br />

f Bm τ v<br />

(8.9)<br />

di mana K e konstanta yang tergantung material, f frekuensi perubahan<br />

fluksi [Hz], B m adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, τ ketebalan<br />

laminasi inti, dan v adalah volume material inti.<br />

Rugi Tembaga. Apabila resistansi belitan tidak diabaikan, V ≠ E 1 .<br />

Misalkan resistansi belitan adalah R 1 , maka<br />

= E1 I f R 1<br />

(8.10)<br />

V +<br />

Diagram fasor dari keadaan terakhir, yaitu dengan memperhitungkan<br />

resistansi belitan, diperlihatkan pada Gb.8.6.<br />

E i<br />

I c<br />

I f<br />

I f R 1<br />

I φ<br />

Φ<br />

θ<br />

V<br />

Gb.8.6. Diagram fasor induktor (ada rugi tembaga).<br />

Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain<br />

untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya<br />

pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, P cu . Jadi<br />

2<br />

P in = Pc<br />

+ Pcu<br />

= Pc<br />

+ I f R1<br />

= VI f cos θ (8.11)<br />

dengan V dan I f adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.<br />

173


8.4. Transformator<br />

8.4.1. Ulas Ulang Tentang Transformator<br />

Transformator Berbeban. <strong>Rangkaian</strong> transformator berbeban dengan<br />

arus beban I 2 , diperlihatkan oleh Gb.8.7. Tegangan induksi E 2 (yang<br />

telah timbul dalam keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi<br />

sumber di rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2<br />

ini membangkitkan fluksi magnetik yang melawan fluksi bersama φ<br />

(sesuai dengan hukum Lenz) dan sebagian akan bocor, φ l2 ; φ l2 yang<br />

sefasa dengan I 2 menginduksikan tegangan E l2 di belitan sekunder yang<br />

90 o mendahului φ l2 .<br />

I 1 φ I 2<br />

V 1<br />

φ l2<br />

V 2<br />

φ l1<br />

Gb.8.7. Transformator berbeban.<br />

Dengan adanya perlawanan fluksi yang dibangkitkan oleh arus di belitan<br />

sekunder itu, fluksi bersama akan cenderung mengecil. Hal ini akan<br />

menyebabkan tegangan induksi di belitan primer juga cenderung<br />

mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke sumber yang<br />

tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer<br />

yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanya berupa arus<br />

magnetisasi I f , bertambah menjadi I 1 setelah transformator berbeban.<br />

Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi bersama<br />

φ dipertahankan dan E 1 juga tetap seperti semula. Dengan demikian<br />

maka persamaan rangkaian di sisi primer tetap terpenuhi.<br />

Karena pertambahan arus primer sebesar (I 1 − I f ) adalah untuk<br />

mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 agar φ<br />

dipertahankan, maka haruslah<br />

( I − I ) − ( I ) 0<br />

f (8.12)<br />

1 1<br />

2 2 =<br />

Pertambahan arus primer (I 1 − I f ) disebut arus penyeimbang yang akan<br />

mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus<br />

174 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.<br />

Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder.<br />

Arus di belitan primer juga memberikan fluksi bocor di belitan primer,<br />

φ l1 , yang menginduksikan tegangan E l1 . Tegangan induksi yang<br />

dibangkitkan oleh fluksi-fluksi bocor, yaitu E l1 dan E l2 , dinyatakan<br />

dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada<br />

reaktansi bocor ekivalen, X 1 dan X 2 , masing-masing di rangkaian primer<br />

dan sekunder. Jika resistansi belitan primer adalah R 1 dan belitan<br />

sekunder adalah R 2 , maka kita peroleh hubungan untuk rangkaian di sisi<br />

primer<br />

V +<br />

1 = E1<br />

+ I1R1<br />

+ El1<br />

= E1<br />

+ I1R1<br />

jI1X1<br />

(8.13)<br />

dan untuk rangkaian di sisi sekunder<br />

E +<br />

2 = V2<br />

+ I2R2<br />

+ El2<br />

= V2<br />

+ I2R2<br />

jI2<br />

X 2 (8.14)<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Secara umum, rangkaian ekivalen adalah<br />

penafsiran secara rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik<br />

yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk transformator,<br />

rangkaian ekivalen diperoleh dari tiga persamaan yang diperoleh di atas.<br />

Dengan relasi E 2 = E1<br />

/ a = E1′<br />

dan I 2 = a I1<br />

= I1′<br />

di mana a = 1 / 2 ,<br />

tiga persamaan tersebut di atas dapat kita tulis kembali sebagai satu set<br />

persamaan sebagai berikut.<br />

Untuk rangkaian di sisi sekunder, (8.14) kita tuliskan<br />

E1<br />

E 2 = = V2<br />

+ I 2R2<br />

+ jI<br />

2 X 2<br />

a<br />

Dari persamaan untuk rangkaian sisi primer (8.13), kita peroleh<br />

E1 = V1<br />

− I1R1<br />

− jI1X1<br />

sehingga persamaan untuk rangkaian sekunder dapat kita tuliskan<br />

E1<br />

V1<br />

− I1R1<br />

− jI1X1<br />

E 2 = =<br />

= V2<br />

+ I 2R2<br />

+ jI<br />

2 X 2<br />

a a<br />

I 2<br />

Karena I 1 = maka persamaan ini dapat kita tuliskan<br />

a<br />

175


V<br />

a<br />

1<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

2<br />

I R<br />

+ I 2R2<br />

+ jI<br />

2 X 2 +<br />

a<br />

⎛ R1<br />

⎞ ⎛<br />

+<br />

⎜ R +<br />

⎟ I + j<br />

⎜ X<br />

2 1<br />

2<br />

jI<br />

X<br />

+<br />

a<br />

X1<br />

⎞<br />

+<br />

⎟ I<br />

2 1<br />

2<br />

2 2 2 2 2 2 2<br />

⎝ a ⎠ ⎝ a ⎠<br />

2 + ( R 2 + R 1 ′ ) I 2 + j ( X 2 + X 1 ′ ) I 2<br />

(8.15)<br />

dengan<br />

R1<br />

X<br />

R 1 ′ = ; X<br />

2 1′<br />

=<br />

a a<br />

1<br />

2<br />

Persamaan (8.15) ini, bersama dengan persamaan (8.12) yang dapat kita<br />

tuliskan I 2 = aI1<br />

− aI<br />

f = I1′<br />

− aI<br />

f , memberikan rangkaian ekivalen<br />

untuk transformator berbeban. Akan tetapi pada transformator yang<br />

digunakan pada sistem tenaga listrik, arus magnetisasi hanya sekitar 2<br />

sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Oleh karena itu,<br />

jika I f diabaikan terhadap I 1 maka kesalahan dalam menghitung I 2 dapat<br />

dianggap kecil. Pengabaian ini akan membuat I 2 = a I1<br />

= I1′<br />

. Dengan<br />

pendekatan ini, dan persamaan (8.15), kita memperoleh rangkaian<br />

ekivalen yang disederhanakan dari transformator berbeban. Gb.8.8.<br />

memperlihatkan rangkaian ekivalen transformator berbeban dan diagram<br />

fasornya.<br />

I 2 = I′ 1<br />

∼<br />

R e = R 2 +R′ 1 jX e = j(X 2 + X′ 1 )<br />

V 1 /a V 2<br />

V 2<br />

V 1 /a<br />

jI 2 X e<br />

I 2<br />

I 2 R e<br />

Gb.8.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator dan diagram fasor.<br />

176 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


8.4.2. Fluksi Dan Rugi-Rugi Karena Fluksi<br />

Seperti halnya pada induktor, transformator memiliki rugi-rugi inti, yang<br />

terdiri dari rugi hiterisis dan rugi arus pusar dalam inti. Fluksi magnetik,<br />

rugi-rugi histerisis, dan rugi-rugi arus pusar pada inti dihitung seperti<br />

halnya pada induktor.<br />

Rugi-Rugi Pada Belitan. Selain rugi-rugi tembaga pada belitan sebesar<br />

P cu = I 2 R, pada belitan terjadi rugi-rugi tambahan arus pusar, P l , yang<br />

ditimbulkan oleh fluksi bocor. Sebagaimana telah dibahas, fluksi bocor<br />

ini menimbulkan tegangan induksi E l1 dan E l2 , karena fluksi ini<br />

melingkupi sebagian belitan; E l1 dan E l2 dinyatakan dengan suatu<br />

besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor<br />

ekivalen, X 1 dan X 2 . Selain melingkupi sebagian belitan, fluksi bocor ini<br />

juga menembus konduktor belitan dan menimbulkan juga arus pusar<br />

dalam konduktor belitan; arus pusar inilah yang menimbulkan rugi-rugi<br />

tambahan arus pusar, P l .<br />

Berbeda dengan rugi arus pusar yang terjadi dalam inti, yang dapat<br />

diperkecil dengan cara membangun inti dari lapisan lembar tipis material<br />

magnetik, rugi arus pusar pada konduktor tidak dapat ditekan dengan<br />

cara yang sama. Ukuran konduktor harus tetap disesuaikan dengan<br />

kebutuhan untuk mengalirkan arus; tidak dapat dibuat berpenampang<br />

kecil. Oleh karena itu rugi-rugi arus pusar ini perlu diperhatikan karena<br />

nilainya sebanding dengan kuadrat frekuensi, seperti halnya rugi arus<br />

pusar pada inti yang diberikan pada formula empiris (8.9). Rugi arus<br />

pusar pada belitan (stray losses) P l ini dapat kita analogikan dengan rugi<br />

arus pusar pada inti dan kita nyatakan dengan formula<br />

2 2<br />

P l = K l f B m<br />

(8.16)<br />

dengan K l adalah suatu konstanta yang tergantung dari material<br />

konduktor, penampang dan panjang konduktor; f frekuensi, dan B m nilai<br />

maksimum kerapatan fluksi yang dapat dianggap sebanding dengan nilai<br />

maksimum arus. Namun dalam menghitung P l kita tidak menggunakan<br />

formula (8.16) melainkan memperhitungkan rugi arus pusar sebagai<br />

proporsi tertentu dari rugi tembaga yang ditimbulkan oleh arus tersebut,<br />

dengan tetap mengingat bahwa rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat<br />

ferkuensi. Proporsi ini berkisar antara 2% sampai 15% tergantung dari<br />

ukuran transformator. Kita lihat dua contoh berikut.<br />

177


Contoh-8.7: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi<br />

0,05 Ω mengalir arus sinusoidal murni bernilai efektif 40 A.<br />

Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar yang<br />

diakibatkan oleh arus ini adalah 5% dari rugi tembaga P cu = I 2 R.<br />

Penyelesaian:<br />

Rugi tembaga<br />

P cu<br />

= 40 2 × 0,05 = 80<br />

W<br />

Rugi arus pusar 5 % × P cu = 0.05×<br />

80 = 4 W<br />

Rugi daya total pada belitan 80 + 4 = 84 W.<br />

Contoh-8.8: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi<br />

0,05 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen<br />

fundamental bernilai efektif 40 A, dan harmonisa ke-7 bernilai<br />

efektif 6 A. Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus<br />

pusar diperhitungkan 10% dari rugi tembaga P cu = I 2 R.<br />

Penyelesaian:<br />

Rugi tembaga total adalah<br />

2<br />

Pcu<br />

= I rmsR = (40<br />

Rugi arus pusar komponen fundamental<br />

2<br />

2<br />

2<br />

+ 6 ) × 0,05 = 81,8 W<br />

Pl<br />

1 = 0,1 × I1rmsR<br />

= 0,1 × 40 × 0,05 = 8 W<br />

Rugi arus pusar harmonisa ke-7<br />

2<br />

2<br />

Pl<br />

7 = 0,1 × 7 × I 7rms<br />

R = 0,1 × 7 × 6 × 0,05 = 8,8 W<br />

Rugi daya total adalah<br />

P total = Pcu<br />

+ Pl<br />

1 + Pl<br />

7 = 81,8 + 8 + 8,8 = 98,6 W<br />

Contoh-8.8 ini menunjukkan bahwa walaupun arus harmonisa memiliki<br />

nilai puncak lebih kecil dari nilai puncak arus fundamental, rugi arus<br />

pusar yang ditimbulkannya bisa memiliki proporsi cukup besar. Hal ini<br />

bisa terjadi karena rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi.<br />

2<br />

2<br />

2<br />

178 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


8.4.3. Faktor K<br />

Faktor K digunakan untuk menyatakan adanya rugi arus pusar pada<br />

belitan. Ia menunjukkan berapa rugi-rugi arus pusar yang timbul secara<br />

keseluruhan.<br />

Nilai efektif total arus nonsinus yang dapat menimbulkan rugi arus pusar<br />

adalah<br />

k<br />

2<br />

I Trms = ∑ I nrms A<br />

(8.17)<br />

n=<br />

1<br />

dengan k adalah tingkat harmonisa tertinggi yang masih diperhitungkan.<br />

Dalam relasi (8.17) kita tidak memasukkan komponen searah karena<br />

komponen searah tidak menimbulkan rugi arus pusar.<br />

Rugi arus pusar total adalah jumlah dari rugi arus pusar yang ditimbulkan<br />

oleh tiap-tiap komponen arus dan tiap-tiap komponen arus menimbulkan<br />

rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi dan kuadrat arus<br />

masing-masing.<br />

Jika arus nonsinus ini mengalir pada belitan yang memiliki resistansi R 0 ,<br />

dan rugi-rugi arus pusar tiap komponen arus dinyatakan dalam proporsi g<br />

terhadap rugi tembaga yang ditimbulkannya, maka rugi arus pusar total<br />

adalah<br />

k<br />

2 2<br />

P K = gR0∑<br />

n I nrms W<br />

(8.18)<br />

n=<br />

1<br />

Rugi tembaga total yang disebabkan oleh arus ini adalah<br />

k<br />

2 2<br />

P cu = R0∑<br />

I nrms = R0ITrms<br />

W<br />

(8.19)<br />

n=<br />

1<br />

Dengan (8.19) maka (8.18) dapat ditulis sebagai<br />

dengan<br />

2<br />

P K = gKR0ITrms<br />

W<br />

(8.20)<br />

K<br />

k<br />

2 2<br />

∑ n I nrms<br />

n=<br />

1<br />

= (8.21)<br />

2<br />

ITrms<br />

179


K disebut faktor rugi arus pusar (stray loss factor).<br />

Faktor K dapat dituliskan sebagai<br />

k 2 k<br />

2 I nrms 2 2<br />

K = ∑ n = ∑ n I<br />

n(<br />

pu)<br />

(8.21.a)<br />

2<br />

n=<br />

1 ITrms<br />

n=<br />

1<br />

I nrms<br />

dengan I n(<br />

pu)<br />

=<br />

ITrms<br />

Faktor K bukanlah karakteristik transformator melainkan karakteristik<br />

sinyal. Walaupun demikian suatu transformator harus dirancang untuk<br />

mampu menahan pembebanan nonsinus sampai batas tertentu.<br />

COTOH-8.9: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi<br />

0,08 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen<br />

fundamental, harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-11 bernilai efektif<br />

berturut-turut 40 A, 15 A, dan 5 A. Hitung: (a) nilai efektif arus<br />

total; (b) faktor K; (c) rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus<br />

pusar diperhitungkan 5% dari rugi tembaga.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Nilai efektif arus total adalah<br />

(b) Faktor K adalah<br />

I Trms<br />

=<br />

2 2 2<br />

40 + 15 + 5<br />

= 43 A<br />

40<br />

K =<br />

2<br />

+ 3<br />

2<br />

× 15<br />

43<br />

2<br />

2<br />

+ 11<br />

2<br />

× 5<br />

2<br />

= 3,59<br />

(c) Rugi daya total P tot , terdiri dari rugi tembaga P cu dan rugi arus<br />

pusar P l .<br />

P cu<br />

= 43 2 × 0,08 = 148<br />

W<br />

Pl<br />

= gPcu<br />

K = 0 ,05 × 148×<br />

3,59 = 26,6<br />

P tot<br />

= 148 + 26,6 = 174,6 W<br />

W<br />

180 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


8.5. Tegangan Maksimum Pada Piranti<br />

Kehadiran komponen harmonisa dapat menyebabkan piranti<br />

mendapatkan tegangan lebih besar dari yang seharusnya. Hal ini bisa<br />

terjadi pada piranti-piranti yang mengandung R, L, C, yang mengandung<br />

harmonisa sekitar frekuensi resonansinya. Berikut ini kita lihat sebuah<br />

contoh.<br />

COTOH-8.8: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai<br />

resistansi internal 1 Ω dan reaktansi internal 6,5 Ω. Sumber ini<br />

mencatu beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total 2.9<br />

µF. Tegangan terbangkit di sumber adalah<br />

e = 17000sin<br />

ω0t<br />

+ 170sin13ω0t<br />

. Dalam keadaan tak ada beban<br />

terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada kabel.<br />

Penyelesaian:<br />

Tegangan mengandung harmonisa ke-13. Pada frekuensi<br />

fundamental terdapat impedansi internal<br />

2 2<br />

Z1int<br />

ernal = 1+<br />

j6,5<br />

Ω ; Z 1int = 1 + 6,5 = 6,58 Ω<br />

Pada harmonisa ke-13 terdapat impedansi<br />

2<br />

2<br />

Z 13int<br />

= 1 + j13<br />

× 6,5 Ω ; Z 13int = 1 + (13×<br />

6,5) = 84,5 Ω<br />

Impedansi kapasitif kabel<br />

− j<br />

Z C 1 =<br />

= − 1097,6 Ω<br />

−6<br />

ω0<br />

× 2,9 × 10<br />

j ;<br />

− j<br />

Z C 13 =<br />

= − 84,4 Ω<br />

−6<br />

13 × ω0<br />

× 2,9 × 10<br />

j<br />

Impedansi total rangkaian seri R-L-C<br />

Z1 tot = 1 + j6,5<br />

− j1097,6<br />

Ω ; Z 1tot = 1091,1 Ω<br />

Z13 tot = 1 + j13×<br />

6,5 − j84,4<br />

Ω ; Z 13tot = 1,0 Ω<br />

181


Tegangan fundamental kabel untuk frekuensi fundamental<br />

ZC1<br />

1097,6<br />

V 1 m = × e1m<br />

= × 17000 =<br />

Z1tot<br />

1091,1<br />

17101 V<br />

ZC13<br />

84,4<br />

V 13 m = × e13m<br />

= × 170 = 14315 V<br />

Z13tot<br />

1,0<br />

Nilai puncak V 1m dan V 13m terjadi pada waktu yang sama yaitu pada<br />

seperempat perioda, karena pada harmonisa ke-13 ada 13 gelombang<br />

penuh dalam satu perioda fundamental atau 6,5 perioda dalam<br />

setengah perioda fundamental. Jadi tegangan maksimum yang<br />

diterima kabel adalah jumlah tegangan maksimum fundamental dan<br />

tegangan maksimum harmonisa ke-13.<br />

= 17101+<br />

14315 = 31416 V<br />

V m = V1m<br />

+ V13m<br />

≈<br />

31,4 kV<br />

Tegangan ini cukup tinggi dibanding dengan tegangan maksimum<br />

fundamental yang hanya 17 kV. Gambar berikut ini memperlihatkan<br />

bentuk gelombang tegangan.<br />

40<br />

[kV]<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-10<br />

-20<br />

-30<br />

-40<br />

v 1 +v 13<br />

0 0.005 0.01 0.015 0.02 [detik]<br />

v 1<br />

Gb.8.9. Bentuk gelombang tegangan.<br />

8.6. Partial Discharge<br />

Contoh-8.8. memberikan ilustrasi bahwa adanya hamonisa dapat<br />

menyebabkan tegangan maksimum pada suatu piranti jauh melebihi<br />

tegangan fundamentalnya. Tegangan lebih yang diakibatkan oleh adanya<br />

harmonisa seperti ini bisa menyebabkan terjadinya partial discharge<br />

pada piranti, walaupun sistem bekerja normal dalam arti tidak ada<br />

gangguan. Jika hal ini terjadi umur piranti akan sangat diperpendek yang<br />

akan menimbulkan kerugtian besar secara finansial.<br />

182 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


8.7. Alat Ukur Elektromekanik<br />

Daya sumber diperoleh dengan mengalikan tegangan sumber dan arus<br />

sumber. Proses ini dalam praktik diimplementasikan misalnya pada alat<br />

ukur tipe elektrodinamis dan tipe induksi. Pada wattmeter<br />

elektrodinamis, bagian pengukurnya terdiri dari dua kumparan, satu<br />

kumparan diam dan satu kumparan berputar. Satu kumparan<br />

dihubungkan ke tegangan dan satu kumparan dialiri arus beban. Jika<br />

masing-masing arus di kedua kumparan adalah iv<br />

= k1 Iv<br />

sin ωt<br />

dan<br />

ii<br />

= k2Ii<br />

sin( ωt<br />

+ ϕ)<br />

, maka kedua arus menimbulkan medan magnit<br />

yang sebanding dengan arus di kedua kumparan. Momen sesaat yang<br />

terjadi sebagai akibat interaksi medan magnetik kedua kumparan<br />

sebanding dengan perkalian kedua arus<br />

m<br />

e<br />

= k I sin ωt<br />

× I sin( ωt<br />

+<br />

3 v i ϕ<br />

Momen sesaat ini, melalui suatu mekanisme tertentu, menyebabkan<br />

defleksi jarum penunjuk (yang didukung oleh kumparan yang berputar) ζ<br />

yang menunjukkan besar daya pada sistem arus bolak balik.<br />

ζ =<br />

kI<br />

vrms I irms<br />

cosϕ<br />

Pada alat ukur tipe induksi, seperti kWh-meter elektromekanik yang<br />

masih banyak digunakan, kumparan tegangan dihubungkan pada<br />

tegangan sumber sementara kumparan arus dialiri arus beban. Bagan alat<br />

ukur ini terlihat pada Gb.8.10.<br />

)<br />

S 1<br />

S 2 S 1<br />

S 2<br />

piringan Al<br />

Gb.8.10. Bagan KWh-meter tipe induksi.<br />

Masing-masing kumparan menimbulkan fluksi magnetik bolak-balik<br />

yang menginduksikan arus bolak-balik di piringan aluminium. Arus<br />

induksi dari kumparan arus ber-interaksi dengan fluksi dari kumparan<br />

tegangan dan arus induksi dari kumparan tegangan berinteraksi dengan<br />

fluksi magnetik kumpran arus. Interaksi arus induksi dan fluksi magnetik<br />

tersebut menimbulkan momen putar pada piringan sebesar<br />

M<br />

e<br />

= kfΦ<br />

Φ sin β<br />

v<br />

i<br />

183


di mana f adalah frekuensi, Φ v dan Φ i fluksi magnetik efektif yang<br />

ditimbulkan oleh kumparan tegangan dan kumparan arus, β adalah selisih<br />

sudut fasa antara kedua fluksi magnetik bolak-balik tersebut, dan k<br />

adalah suatu konstanta. Momen putar ini dilawan oleh momen lawan<br />

yang diberikan oleh suatu magnet permanen sehingga piringan berputar<br />

dengan kecepatan tertentu pada keadaan keseimbangan antara kedua<br />

momen. Perputaran piringan menggerakkan suatu mekanisme<br />

penghitung.<br />

Hadirnya arus harmonisa di kumparan arus, akan muncul juga pada Φ i .<br />

Jika Φ v berbentuk sinus murni sesuai dengan bentuk tegangan maka M e<br />

akan berupa hasil kali tegangan dan arus komponen fundamental.<br />

Frekuensi harmonisa sulit untuk direspons oleh kWh meter tipe induksi.<br />

Pertama karena kelembaman sistem yang berputar, dan kedua karena<br />

kWh-meter ditera pada frekuensi f dari komponen fundamental, misalnya<br />

50 Hz. Dengan demikian penunjukkan alat ukur tidak mencakup<br />

kehadiran arus harmonisa, walaupun kehadiran harmonisa bisa<br />

menambah rugi-rugi pada inti kumparan arus.<br />

184 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


BAB 9<br />

Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa<br />

<strong>Analisis</strong> harmonisa dalam sistem tiga fasa berikut ini dilakukan dengan<br />

anggapan beban seimbang.<br />

9.1. Komponen Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa<br />

a 11<br />

b<br />

Frekuensi Fundamental. Pada pembebanan seimbang, komponen<br />

fundamental berbeda<br />

fasa 120 o antara<br />

180 o mekanis = 360 o magnetik<br />

masing-masing fasa.<br />

Perbedaan fasa 120 o<br />

antar fasa ini timbul<br />

karena perbedaan posisi<br />

kumparan jangkar<br />

c<br />

a 1<br />

b 1<br />

U<br />

c 1<br />

U<br />

11<br />

a 2<br />

11 S<br />

120 o sudut magnetik.<br />

c 2 b 2<br />

Hal ini dijelaskan pada<br />

terhadap siklus medan<br />

magnet, yaitu sebesar<br />

b 22 S c 22<br />

Gb.9.1.<br />

Gambar ini<br />

Gb.9.1. Skema generator empat kutub<br />

memperlihatkan skema generator empat kutub; 180 o sudut mekanis<br />

ekivalen dengan 360 o sudut magnetik. Dalam siklus magnetik yang<br />

pertama sebesar 360 o magnetik, yaitu dari kutub magnetik U ke U<br />

berikutnya, terdapat tiga kumparan yaitu kumparan fasa-a (a 1 -a 11 ),<br />

kumparan fasa-b (b 1 -b 11 ), kumparan fasa-c (c 1 -c 11 ) . Antara posisi<br />

kumparan fasa-a dan fasa-b terdapat pergeseran sudut magnetik 120 o ;<br />

antara posisi kumparan fasa-b dan fasa-c terdapat pergeseran sudut<br />

magnetik 120 o ; demikian pula halnya dengan kumparan fasa-c dan fasaa.<br />

Perbedaan posisi inilah yang menimbulkan perbedaan sudut fasa<br />

antara tegangan di fasa-a, fasa-b, fasa-c.<br />

Harmonisa Ke-3. Pada harmonisa ke-3 satu siklus komponen<br />

fundamental, atau 360 o , berisi 3 siklus harmonisa ke-3. Hal ini berarti<br />

bahwa satu siklus harmonisa ke-3 memiliki lebar 120 o dalam skala<br />

komponen fundamental; nilai ini tepat sama dengan beda fasa antara<br />

komponen fundamental fasa-a dan fasa-b. Oleh karena itu tidak ada<br />

185


perbedaan fasa antara harmonisa ke-3 di fasa-a dan fasa-b. Hal yang<br />

sama terjadi antara fasa-b dan fasa-c seperti terlihat pada Gb.9.2<br />

V<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

-100<br />

v 3a<br />

v 1b v 1c<br />

v 3b<br />

v 3c<br />

0 90 180 270 360 [ o ]<br />

v 1a<br />

)<br />

-200<br />

-300<br />

Gb.9.2. Tegangan fundamental dan harmonisa ke-3<br />

pada fasa-a, fasa-b, dan fasa-c.<br />

v1a<br />

= sin( ωt)<br />

o<br />

v1b<br />

= sin( ωt<br />

−120<br />

)<br />

o<br />

v1c<br />

= sin( ωt<br />

− 240 )<br />

Pada Gb.9.2 tegangan v 1a , v 1b , v 1c , adalah tegangan fundamental dari<br />

fasa-a, -b, dan -c, yang saling berbeda fasa 120 o . Tegangan v 3a , v 3b , v 3c ,<br />

adalah tegangan harmonisa ke-3 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing<br />

digambarkan terpotong untuk memperlihatkan bahwa mereka sefasa.<br />

Diagram fasor harmonisa<br />

ke-3 digambarkan pada<br />

Gb.9.3. Jika V 3a , V 3b , V 3c<br />

merupakan fasor tegangan<br />

fasa-netral maka tegangan<br />

fasa-fasa (line to line)<br />

harmonisa ke-3 adalah nol.<br />

v3a<br />

= sin(3ωt<br />

)<br />

o<br />

v3b<br />

= sin(3ωt<br />

−360<br />

) = sin(3ωt<br />

)<br />

o<br />

v3c<br />

= sin(3ωt<br />

− 720 ) = sin( ωt<br />

V 3a<br />

V 3b<br />

V 3c<br />

Gb.9.3. Diagram fasor harmonisa ke-3.<br />

Hal serupa terjadi pada harmonisa kelipatan tiga yang lain seperti<br />

harmonisa ke-9. Satu siklus fundamental berisi 9 siklus harmonisa yang<br />

berarti lebar satu siklus adalah 40 o dalam skala fundamental. Jadi lebar 3<br />

siklus harmonisa ke-9 tepat sama dengan beda fasa antar fundamental,<br />

sehingga tidak ada perbedaan sudut fasa antara harmonisa ke-9 di fasa-a,<br />

fasa-b, dan fasa-c.<br />

Harmonisa ke-5. Gb.9.4. memperlihatkan kurva tegangan fundamental<br />

dan harmonisa ke-5. Tegangan v 1a , v 1b , v 1c , adalah tegangan fundamental<br />

dari fasa-a, -b, dan -c. Tegangan v 5a , v 5b , v 5c , adalah tegangan harmonisa<br />

186 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


ke-5 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing digambarkan terpotong untuk<br />

menunjukkan bahwa mereka berbeda fasa.<br />

v1a<br />

= sin( ωt)<br />

o<br />

v1b<br />

= sin( ωt<br />

−120<br />

)<br />

o<br />

v1c<br />

= sin( ωt<br />

− 240 )<br />

v5a<br />

= sin(5ωt)<br />

o<br />

o<br />

v5b<br />

= sin(5ωt<br />

− 600 ) = sin(3ωt<br />

− 240 )<br />

o<br />

o<br />

v5c<br />

= sin(5ωt<br />

−1200<br />

) = sin( ωt<br />

− 120 )<br />

V<br />

300<br />

200<br />

100<br />

v 1a<br />

v 1b<br />

v 1c<br />

0<br />

0 90 180 270 360<br />

-100<br />

-200<br />

-300<br />

v 5a v 5c v 5b<br />

[ o ]<br />

Gb.9.4. Fundamental dan harmonisa ke-5<br />

Satu siklus fundamental berisi 5 siklus harmonisa atau satu siklus<br />

harmonisa mempunyai lebar 72 o dalam skala fundamental. Perbedaan<br />

fasa antara v 5a dan v 5b adalah (2<br />

V 5b<br />

× 72 o − 120 o ) = 24 o dalam skala<br />

fundamental atau 120 o dalam<br />

skala harmonisa ke-5; beda fasa<br />

V 5a<br />

antara v 5b dan v 5c juga 120 o .<br />

Diagram fasor dari harmonisa<br />

V 5c<br />

ke-5 terlihat pada Gb.9.5. Jika Gb.9.5. Diagram fasor harmonisa ke-5.<br />

V 5a , V 5b , V 5c merupakan fasor<br />

tegangan fasa-netral maka tegangan fasa-fasa (line to line) harmonisa ke-<br />

5 adalah 3 kali lebih besar dari tegangan fasa-netral-nya.<br />

Harmonisa Ke-7. Satu siklus harmonisa ke-7 memiliki lebar 51,43 o<br />

dalam skala fundamental. Perbedaan fasa antara v 7a dan v 7b adalah (3 ×<br />

51,43 o − 120 o ) = 34,3 o dalam<br />

skala fundamental atau 240 o<br />

V 7c<br />

dalam skala harmonisa ke-7;<br />

beda fasa antara v 7b dan v 7c<br />

juga 240 o V 7a<br />

. Diagram fasor dari<br />

harmonisa ke-7 terlihat pada<br />

Gb.9.6. Jika V 7a , V 7b , V 7c<br />

V 7b<br />

merupakan fasor tegangan<br />

Gb.9.6. Diagram fasor harmonisa ke-7.<br />

fasa-netral maka tegangan<br />

187


fasa-fasa (line to line) harmonisa ke-7 adalah<br />

tegangan fasa-netral-nya.<br />

3 kali lebih besar dari<br />

9.2. Relasi Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-etral<br />

Pada tegangan sinus murni, relasi antara tegangan fasa-fasa dan fasanetral<br />

dalam pembebanan seimbang adalah<br />

V<br />

ff<br />

= V<br />

fn<br />

3 =1,732V<br />

di mana V ff tegangan fasa-fasa dan V f-n tegangan fasa-netral. Apakah<br />

relasi masih berlaku jika tegangan berbentuk gelombang nonsinus. Kita<br />

akan melihat melalui contoh berikut.<br />

COTOH-9.1: Tegangan fasa-netral suatu generator 3 fasa terhubung<br />

bintang mengandung komponen fundamental dengan nilai puncak<br />

200 V, serta harmonisa ke-3, 5, 7, dan 9 dengan nilai puncak<br />

berturut-turut 40, 25, 20, 10 V. Hitung rasio tegangan fasa-fasa<br />

terhadap tegangan fasa-netral.<br />

Penyelesaian:<br />

Dalam soal ini harmonisa tertinggi yang diperhitungkan adalah<br />

harmonisa ke-9, walaupun nilai puncak harmonisa tertinggi ini<br />

masih 5% dari nilai puncak komponen fundamental.<br />

Nilai efektif tegangan fasa-netral fundamental sampai harmonisa<br />

ke-9 berturut-turut adalah nilai puncak dibagi 2 :<br />

V 1 f −n =141,42 V ; V 3 f −n = 28,28 V ; V 5 f −n =17,68 V<br />

V 7 f −n =14,14 V ; V 9 f −n = 7,07 V<br />

Nilai efektif tegangan fasa-netral total<br />

fn<br />

V f −n<br />

=<br />

141,42<br />

2<br />

+ 28,28<br />

2<br />

+ 17,68<br />

2<br />

+ 14,14<br />

2<br />

+ 7,07<br />

2<br />

= 146,16<br />

V<br />

Nilai efektif tegangan fasa-fasa setiap komponen adalah<br />

V 1 f − f = 244,95 V ; V 3 f − f = 0 V ; V 5 f − f = 26,27 V<br />

V 7 f − f = 22,11 V ; V 9 f − f = 0 V<br />

Nilai efektif tegangan fasa-fasa total<br />

188 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


V f − f<br />

=<br />

244,95<br />

2<br />

+ 0 + 26,27<br />

2<br />

2<br />

+ 22,11<br />

+ 0 = 247,35<br />

V<br />

Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral<br />

V f − f<br />

V f −n<br />

247,35<br />

= = 1,70<br />

146,16<br />

Perbedaan nilai perhitungan tegangan efektif fasa-netral dan tegangan<br />

efektif fasa-fasa terlatak pada adanya harmonisa kelipatan tiga; tegangan<br />

fasa-fasa harmonisa ini bernilai nol.<br />

9.3. Hubungan Sumber Dan Beban<br />

9.3.1. Generator Terhubung Bintang<br />

Jika belitan jangkar generator terhubung bintang, harmonisa kelipatan<br />

tiga yang terkandung pada tegangan fasa-netral tidak muncul pada<br />

tegangan fasa-fasa-nya. Kita akan melihatnya pada contoh berikut.<br />

COTOH-9.2: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung bintang<br />

membangkitkan tegangan fasa-netral yang berbentuk gelombang<br />

nonsinus yang dinyatakan dengan persamaan<br />

v = 800sin<br />

ω0t<br />

+ 200sin 3ω0t<br />

+ 100sin 5ω0t<br />

V<br />

Generator ini mencatu tiga induktor terhubung segi-tiga yang<br />

masing-masing mempunyai resistansi 20 Ω dan induktansi 0,1 H.<br />

Hitung daya nyata yang diserap beban dan faktor daya beban.<br />

Penyelesaian:<br />

Nilai efektif komponen tegangan fasa-netral adalah<br />

V fn1 rms = 800 / 2 V ; V fn3 rms = 200 / 2 V ;<br />

V fn5 rms = 100 / 2 V .<br />

Tegangan fasa-fasa sinyal nonsinus tidak sama dengan 3 kali<br />

tegangan fasa-netralnya. Akan tetapi masing-masing komponen<br />

merupakan sinyal sinus; oleh karena itu tegangan fasa-fasa masingmasing<br />

komponen adalah<br />

3 kali tegangan fasa-netral-nya.<br />

189


( 800 / 2) 3 800 3/2 V<br />

V ff 1 rms =<br />

=<br />

; V ff 3 rms = 0 V ;<br />

V ff 5 rms =100<br />

3 / 2<br />

V<br />

V ffrms<br />

=<br />

2<br />

800 (3/ 2) + 100 (3/ 2) = 987,4<br />

2<br />

V<br />

Reaktansi beban per fasa untuk tiap komponen<br />

X 1 = 2π × 50 × 0,1 = 31,42 Ω ; X 3 = 3X<br />

1 = 94,25 Ω ;<br />

X 5 = 5X<br />

1 = 157,08 Ω<br />

Impedansi beban per fasa untuk tiap komponen<br />

Z f 1<br />

=<br />

2 2<br />

20 + 31,42<br />

= 37,24 Ω<br />

Z f 3<br />

=<br />

2 2<br />

20 + 94,25<br />

= 96,35 Ω<br />

Z f 5<br />

=<br />

2 2<br />

20 + 157,08<br />

= 158,35 Ω<br />

Arus fasa:<br />

V ff 1rms<br />

800 3 / 2<br />

I f 1 rms = = =<br />

Z 37,24<br />

f 1<br />

V ff 3rms<br />

I f 3 rms = =<br />

Z f 1<br />

0 A<br />

V ff 5rms<br />

100 3 / 2<br />

I f 5 rms = = =<br />

Z 158,35<br />

f 5<br />

26,3 A<br />

0,77<br />

A<br />

I<br />

frms<br />

=<br />

26,3<br />

2<br />

+ 0,77<br />

2<br />

= 26,32<br />

A<br />

Daya nyata diserap beban<br />

P<br />

b<br />

2<br />

= 3×<br />

I<br />

frms<br />

× 20 = 41566 W ≈ 41,6 kW<br />

Daya kompleks beban<br />

S<br />

b<br />

3×<br />

V × I = 3×<br />

987,4×<br />

26,32 = 77967 W ≈ 78 kW<br />

= ff f<br />

Faktor daya beban<br />

190 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


9.3.2. Generator Terhubung Segitiga<br />

Pb<br />

41,6<br />

f . d.<br />

= = = 0,53<br />

S 78<br />

b<br />

Jika belitan jangkar generator terhubung segitiga, maka tegangan<br />

harmonisa kelipatan tiga akan menyebabkan terjadinya arus sirkulasi<br />

pada belitan jangkar generator tersebut.<br />

COTOH-9.3: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung segitiga.<br />

Resistansi dan induktansi per fasa adalah 0,06 Ω dan 0,9 mH. Dalam<br />

keadaan tak berbeban tegangan fasa-fasa mengandung harmonisa ke-<br />

3, -7, -9, dan -15 dengan amplitudo berturut-turut 4%, 3%, 2% dan<br />

1% dari amplitudo tegangan fundamental. Hitunglah arus sirkulasi<br />

dalam keadaan tak berbeban, jika eksitasi diberikan sedemikian rupa<br />

sehingga amplitudo tegangan fundamental 1500 V.<br />

Penyelesaian:<br />

Arus sirkulasi di belitan jangkar yang terhubung segitiga timbul oleh<br />

adanya tegangan harmonisa kelipatan tiga, yang dalam hal ini adalah<br />

harmonisa ke-3, -9, dan -15. Tegangan puncak dan tegangan efektif<br />

masing-masing komponen harmonisa ini di setiap fasa adalah<br />

V 3 m = 4% × 1500 = 60 V ; V 3 rms = 60 / 2 V<br />

V 9 m = 2% × 1500 = 30 V ; V 9 rms = 30 / 2 V<br />

V 15 m = 1% × 1500 = 15 V ; V 15 rms =15 / 2 V<br />

Reaktansi untuk masing-masing komponen adalah<br />

X 1<br />

X<br />

−3<br />

= 2π × 50 × 0,9 × 10 = 0,283 Ω<br />

3 = 3×<br />

X1<br />

= 0,85 Ω<br />

X 9 = 9 × X1<br />

= 2,55 Ω<br />

X 15 = 15×<br />

X1<br />

= 4,24 Ω<br />

Impedansi di setiap fasa untuk komponen harmonisa<br />

Z 3<br />

Z 9<br />

=<br />

=<br />

0,06<br />

0,06<br />

2<br />

2<br />

+ 0,85<br />

+ 2,54<br />

2<br />

2<br />

= 0,85 Ω<br />

= 2,55 Ω<br />

191


Z 15<br />

=<br />

0,06<br />

2<br />

+ 4,24<br />

2<br />

= 4,24<br />

Ω<br />

Arus sirkulasi adalah<br />

I<br />

I<br />

I<br />

60 / 2<br />

=<br />

0,85<br />

3 rms =<br />

30 / 2<br />

=<br />

2,55<br />

9 rms =<br />

15 / 2<br />

=<br />

4,24<br />

15 rms =<br />

49,89 A<br />

8,33 A<br />

2,5 A<br />

2 2 2<br />

I sirkulasi( rms)<br />

= 48,89 + 8,33 + 2,5 =<br />

50,6<br />

A<br />

9.3.3. Sistem Empat Kawat<br />

Dalam sistem empat kawat, di mana titik netral sumber terhubung ke titik<br />

netral beban, harmonisa kelipatan tiga akan mengalir melalui penghantar<br />

netral. Arus di penghantar netral ini merupakan jumlah dari ketiga arus di<br />

setiap fasa; jadi besarnya tiga kali lipat dari arus di setiap fasa.<br />

COTOH-9.4: Tiga kumparan dihubungkan bintang; masing-masing<br />

kumparan mempunyai resistansi 25 Ω dan induktansi 0,05 H.<br />

Beban ini dihubungkan ke generator 3 fasa, 50Hz, dengan<br />

kumparan jangkar terhubung bintang. Tegangan fasa-netral<br />

mempunyai komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan ke-5<br />

dengan nilai puncak berturut-turut 360 V, 60 V, dan 50 V.<br />

Penghantar netral menghubungkan titik netral generator dan beban.<br />

Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b) tegangan fasa-fasa;<br />

(c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap beban.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Tegangan fasa-netral efektif setiap komponen<br />

Reaktansi per fasa<br />

V fn1rms<br />

V fn3rms<br />

V fn5rms<br />

= 254,6 V;<br />

= 42,4 V;<br />

= 35,4 V<br />

192 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


X 1<br />

X<br />

X<br />

Impedansi per fasa<br />

= 2π × 50 × 0,05 = 15,70<br />

= 3×<br />

1 = 47,12 Ω<br />

= × = 78,54 Ω<br />

3 X<br />

5 5 X1<br />

Ω<br />

Z 1<br />

=<br />

2 2<br />

25 + 15,70<br />

= 29,53<br />

Ω<br />

Z 3<br />

=<br />

2 2<br />

25 + 47,12<br />

= 53,35<br />

Ω<br />

Z 5<br />

=<br />

25<br />

2<br />

+ 78,54<br />

2<br />

= 82,42<br />

Ω<br />

Arus saluran<br />

254,6<br />

I 1 rms = = 8,62 A<br />

29,53<br />

42,4<br />

I 3 rms = = 0,795 A<br />

53,35<br />

35,4<br />

I 5 rms = = 0,43 A<br />

82,42<br />

I saluran<br />

rms =<br />

2 2 2<br />

8.62 + 0,795 + 0,43<br />

(b) Tegangan fasa-fasa setiap komponen<br />

440,9<br />

V; V3<br />

f − f = 0 V; V5<br />

V 1 f − f = f − f =<br />

Tegangan fasa-fasa<br />

= 8,67<br />

A<br />

61,24 V<br />

V f − f<br />

=<br />

440,9<br />

2<br />

+ 0 + 61,2<br />

2<br />

= 445<br />

V<br />

Arus di penghantar netral ditimbulkan oleh harmonisa ke-3,<br />

yang merupakan arus urutan nol.<br />

I<br />

netral = rms<br />

3×<br />

I3 = 3×<br />

0,795 = 2,39 A<br />

(c) Daya yang diserap beban adalah daya yang diserap elemen<br />

2<br />

resistif 25 Ω, yaitu P = 3 × I f −n<br />

× R . Arus beban terhubung<br />

bintang sama dengan arus saluran. Jadi daya yang diserap<br />

beban adalah<br />

193


P b<br />

2<br />

= 3×<br />

I × R = 3×<br />

8,67<br />

2<br />

× 25 = 5636 W<br />

= 5,64 kW<br />

9.3.4. Sistem Tiga Kawat<br />

Pada sistem ini tidak ada hubungan antara titik netral sumber dan titik<br />

netral beban. Arus harmonisa kelipatan tiga tidak mengalir. Kita akan<br />

melihat kondisi ini dengan menggunakan contoh berikut.<br />

COTOH-9.5: Persoalan seperti pada contoh-9-4 akan tetapi<br />

penghantar netral yang menghubungkan titik netral generator dan<br />

beban diputus. Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b)<br />

tegangan fasa-fasa; (c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap<br />

beban.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Karena penghantar netral diputus, arus harmonisa ke-3 tidak<br />

mengalir. Arus fundamental dan harmonisa ke-5 telah dihitung<br />

pada contoh-9.4. yaitu<br />

Arus saluran menjadi<br />

I<br />

I<br />

254,6<br />

29,53<br />

35,4<br />

82,42<br />

1 rms = =<br />

5 rms = =<br />

I saluran<br />

rms =<br />

8,62 A<br />

0,43 A<br />

2 2<br />

8,62 + 0,43 = 8,63 A<br />

(b) Walaupun arus harmonisa ke-3 tidak mengalir, tegangan fasanetral<br />

harmonisa ke-3 tetap hadir namun tegangan ini tidak<br />

muncul pada tegangan fasa-fasa. Keadaan ini seperti keadaan<br />

sebelum penghantar netral diputus<br />

V f − f<br />

=<br />

2<br />

2<br />

440,9 + 0 + 61,2<br />

= 445<br />

V<br />

(c) Arus di penghantar netral = 0 A<br />

(d) Daya yang diserap beban<br />

P b<br />

2<br />

2<br />

= 3×<br />

I × R = 3×<br />

8,63 × 25 = 5589 W = 5,59 kW<br />

194 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


9.4. Sumber Bekerja Paralel<br />

Untuk mencatu beban yang besar sumber-sumber pada sistem tenaga<br />

harus bekerja paralel. Jika sumber terhubung bintang dan titik netral<br />

masing-masing sumber ditanahkan, maka akan mengalir arus sirkulasi<br />

melalui pentanahan apabila terdapat tegangan harmonisa kelipatan tiga.<br />

COTOH-9.6: Dua generator tiga fasa, 20 000 kVA, 10 000 V,<br />

terhubung bintang, masing-masing mempunyai reaktansi jangkar<br />

20% tiap fasa. Tegangan terbangkit mengandung harmonisa ke-3<br />

dengan amplitudo 10% dari amplitudo fundamental. Kedua<br />

generator bekerja paralel, dan titik netral masing-masing<br />

ditanahkan melalui reaktansi 10%. Hitunglah arus sirkulasi di<br />

pentanahan karena adanya harmonisa ke-3.<br />

Penyelesaian:<br />

Tegangan kedua generator adalah<br />

V ffrms<br />

=10000 V<br />

V fnrms<br />

10000 = = 5774<br />

3<br />

V<br />

Reaktansi jangkar 20% :<br />

X a<br />

Reaktansi pentanahan 10% :<br />

2<br />

3×<br />

5774<br />

= 20% ×<br />

= 1 Ω<br />

20 000 × 1000<br />

X g<br />

Reaktansi pentanahan untuk urutan nol :<br />

2<br />

3×<br />

5774<br />

= 10% ×<br />

= 0,5 Ω<br />

20 000 × 1000<br />

X 0<br />

= 3×<br />

0,5 = 1,5 Ω<br />

Tegangan harmonisa ke-3 adalah 10% dari tegangan fundamental :<br />

V fn3 rms = 577,4<br />

Kedua generator memiliki X a dan X g yang sama besar dengan<br />

tegangan harmonisa ke-3 yang sama besar pula. Arus sirkulasi<br />

akibat tegangan harmonisa ke-3 adalah<br />

I<br />

sirkulasi<br />

=<br />

V<br />

fn3rms<br />

( X + X )<br />

a<br />

0<br />

=<br />

V<br />

577,4<br />

= 231 A<br />

2,5<br />

195


9.5. Penyaluran Energi ke Beban<br />

Dalam jaringan distribusi, untuk menyalurkan energi ke beban digunakan<br />

penyulang tegangan menengah yang terhubung ke transformator dan dari<br />

transformator ke beban. Suatu kapasitor dihubungkan paralel dengan<br />

beban guna memperbaiki faktor daya. Dalam analisis harmonisa kita<br />

menggunakan model satu fasa dari jaringan tiga fasa.<br />

9.5.1. Penyulang<br />

Dalam model satu fasa, penyulang diperhitungkan sebagai memiliki<br />

resistansi, induktansi, kapasitansi. Dalam hal tertentu elemen ini bisa<br />

diabaikan.<br />

9.5.2. Transformator<br />

Perilaku transformator dinyatakan dengan persamaan<br />

V 1 = E1<br />

+ I1R1<br />

+ jI1X1<br />

E 2 = V2<br />

+ I2R2<br />

+ jI<br />

2 X 2<br />

2 I 2<br />

I 1 = I f + I′<br />

2 dengan I′<br />

2 = I 2 =<br />

1<br />

a<br />

V 1 , I1,<br />

E1,<br />

R1<br />

, X1<br />

berturut turut adalah tegangan terminal, arus, tegangan<br />

induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian primer.<br />

V 2 , I2,<br />

E2,<br />

R2,<br />

X 2 berturut turut adalah tegangan terminal, arus,<br />

tegangan induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian<br />

sekunder; V 2 sama dengan tegangan pada beban. E 1 sefasa dengan E 2<br />

karena dibangkitkan (diinduksikan) oleh fluksi yang sama, sehingga nilai<br />

masing-masing sebanding dengan jumlah lilitan, 1 dan 2 . Jika<br />

a = 1 / 2 maka dilihat dari sisi sekunder nilai E 1 menjadi E 1 ' = E1<br />

/ a ,<br />

I 1 menjadi I 1 ' = aI 1 , R 1 menjadi R 1 /a 2 , X 1 menjadi X 1 /a 2 . <strong>Rangkaian</strong><br />

ekivalen transformator berbeban menjadi seperti pada Gb.9.7.a. Dengan<br />

mengabaikan arus eksitasi I f dan menggabungkan resistansi dan reaktansi<br />

menjadi R T = R 1 ′ + R2<br />

dan X T = X 1 ′ + X 2 maka rangkaian ekivalen<br />

menjadi seperti pada Gb.9.7.b.<br />

196 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


(a)<br />

R′<br />

X′ 1 I f<br />

1<br />

R X 2 2<br />

V∼<br />

1 E<br />

B V 2<br />

1<br />

X c<br />

R c<br />

I c<br />

I φ<br />

B<br />

(b)<br />

R T<br />

Gb.9.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator berbeban.<br />

X T<br />

∼ V 1<br />

V 2<br />

9.6. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Untuk <strong>Analisis</strong><br />

Karena resistansi dan reaktansi transformator diposisikan di sisi<br />

sekunder, maka untuk menambahkan penyulang dan sumber harus pula<br />

diposisikan di sisi sekunder. Tegangan sumber V s menjadi V s /a, resistansi<br />

penyulang menjadi R p /a 2 , reaktansi penyulang menjadi X p /a 2 . Jika<br />

resistansi penyulang R p /a 2 maupun resistansi transformator R T diabaikan,<br />

maka rangkaian sumber–penyulang–transformator–beban menjadi seperti<br />

pada Gb.9.8. Bentuk rangkaian yang terakhir ini cukup sederhana untuk<br />

melakukan analisis lebih lanjut. V s /a adalah tegangan sumber.<br />

X T<br />

X C<br />

X p /a 2<br />

V s /a B V 2<br />

Gb.9.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen penyaluran energi dari sumber ke<br />

beban dengan mengabaikan semua resistansi dalam rangkaian<br />

serta arus eksitasi transformator.<br />

Apabila kita menggunakan rangkaian ekivalen dengan hanya<br />

memandang arus nonlinier, maka sumber tegangan menjadi bertegangan<br />

nol atau merupakan hubung singkat seperti terlihat pada Gb.9.9.<br />

197


X p /a 2<br />

i beban<br />

X C<br />

B<br />

Gb.9.9. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pada pembebanan nonlinier.<br />

Jika kita hanya meninjau komponen harmonisa, dan tetap memandang<br />

bahwa arus harmonisa mengalir ke beban, arah arus harmonisa<br />

digambarkan menuju sisi beban. Namun komponen harmonisa tidak<br />

memberikan transfer energi neto dari sumber ke beban; justru sebaliknya<br />

komponen harmonisa memberikan dampak yang tidak menguntungkan<br />

pada sistem pencatu daya. Oleh karena itu sistem pencatu daya “bisa<br />

melihat” bahwa di arah beban ada sumber arus harmonisa yang mencatu<br />

sistem pencatu daya dan sistem pencatu daya harus memberi tanggapan<br />

terhadap fungsi pemaksa (driving function) ini. Dalam hal terakhir ini<br />

sumber arus harmonisa digambarkan sebagai sumber arus yang mencatu<br />

sistem seperti terlihat pada Gb.9.10.<br />

X p /a 2 X C<br />

X T<br />

X T<br />

sumber arus<br />

harmonisa<br />

Gb.9.10. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen untuk analisis arus harmonisa.<br />

198 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


Referensi<br />

1. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, Penerbit ITB<br />

2002, ISBN 979-9299-54-3.<br />

2. Sudaryatno Sudirham, “Pengembangan Metoda Unit Output Untuk<br />

Perhitungan Susut Energi Pada Penyulang Tegangan Menengah”,<br />

Monograf, 2005, limited publication.<br />

3. Sudaryatno Sudirham, “Pengantar <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, Catatan<br />

Kuliah El 1001, Penerbit ITB, 2007.<br />

4. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> Harmonisa Dalam Permasalahan<br />

Kualitas Daya”, Catatan Kuliah El 6004, 2008.<br />

5. P. C. Sen, “Power Electronics” McGraw-Hill, 3rd Reprint, 1990,<br />

ISBN 0-07-451899-2.<br />

6. Ralph J. Smith & Richard C. Dorf : “Circuits, Devices and Systems”<br />

; John Wiley & Son Inc, 5 th ed, 1992.<br />

7. David E. Johnson, Johnny R. Johnson, John L. Hilburn : “Electric<br />

Circuit Analysis” ; Prentice-Hall Inc, 2 nd ed, 1992.<br />

8. Vincent Del Toro : “Electric Power Systems”, Prentice-Hall<br />

International, Inc., 1992.<br />

9. Roland E. Thomas, Albert J. Rosa : “The Analysis And Design of<br />

Linier Circuits”, . Prentice-Hall Inc, 1994.<br />

10. Douglas K Lindner : “Introduction to Signals and Systems”,<br />

McGraw-Hill, 1999.<br />

11. Alexander Kusko & Marc T. Thompson, “Power Quality in<br />

Electrical Systems”, Mc. Graw Hill, 2007.<br />

199


Daftar otasi<br />

v atau v(t) : tegangan sebagai fungsi waktu.<br />

V : tegangan dengan nilai tertentu, tegangan searah.<br />

V rr : tegangan, nilai rata-rata.<br />

V rms : tegangan, nilai efektif.<br />

V maks : tegangan, nilai maksimum, nilai puncak.<br />

V : fasor tegangan dalam analisis di kawasan fasor.<br />

|V| : nilai mutlak fasor tegangan.<br />

V(s) : tegangan fungsi s dalam analisis di kawasan s.<br />

i atau i(t) : arus sebagai fungsi waktu.<br />

I<br />

: arus dengan nilai tertentu, arus searah.<br />

I rr : arus, nilai rata-rata.<br />

I rms : arus, nilai efektif.<br />

I maks : arus, nilai maksimum, nilai puncak.<br />

I<br />

: fasor arus dalam analisis di kawasan fasor.<br />

|I| : nilai mutlak fasor arus.<br />

I(s) : arus fungsi s dalam analisis di kawasan s.<br />

p atau p(t) : daya sebagai fungsi waktu.<br />

p rr : daya, nilai rata-rata.<br />

S : daya kompleks.<br />

|S| : daya kompleks, nilai mutlak.<br />

P : daya nyata.<br />

Q : daya reaktif.<br />

q atau q(t) : muatan, fungsi waktu.<br />

w : energi.<br />

R : resistor; resistansi.<br />

L : induktor; induktansi.<br />

C : kapasitor; kapasitansi.<br />

Z : impedansi.<br />

Y : admitansi.<br />

200 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)


a<br />

alih daya 78, 150<br />

Ampère 2, 4<br />

arus pusar 14<br />

c<br />

crest factor 124<br />

d<br />

daya kompleks 136<br />

daya nyata 137<br />

daya reaktif 150<br />

daya, faktor 137<br />

daya, non sinus 103<br />

daya, sudut 67<br />

diagram fasor 33, 61<br />

dielektrik 165<br />

e<br />

efisiensi 42<br />

ekivalen 37, 65, 74, 78, 79, 197<br />

f<br />

faktor K 178<br />

Faraday 1<br />

fluksi bocor 31<br />

Fourier 91<br />

frekuensi sinkron 75<br />

g<br />

gaya 14<br />

generator terhubung ∆ 191<br />

generator terhubung Y 189<br />

h<br />

harmonisa-3, -5, -7 185<br />

histerisis 12<br />

hubungan ∆-∆ 44<br />

hubungan ∆-Y 45<br />

hubungan Y-∆ 46<br />

hubungan Y-Y 45<br />

i<br />

impedansi 38, 134, 137<br />

induktor 19, 168<br />

IDEKS<br />

k<br />

kapasitor 164<br />

kompensasi 150<br />

konduktor 161<br />

l<br />

loss factor 165, 166<br />

m<br />

magnetik 1, 5, 14<br />

medan putar 70<br />

mesin sinkron 50, 52, 59<br />

motor asinkron 69<br />

n<br />

nilai efektif 97, 135<br />

nilai rata-rata 96<br />

non linier 111<br />

nonsinus 88, 91, 129, 166<br />

p<br />

parameter 39, 79<br />

partial discharge 182<br />

permeabilitas 3<br />

r<br />

reaktansi 33, 61, 64<br />

regulasi tegangan 42<br />

resonansi 106<br />

s<br />

setengah gelombang 113<br />

sistem 3-kawat 194<br />

sistem 4-kawat 192<br />

t<br />

tegangan maksimum 180<br />

Tellegen 138<br />

THD 124<br />

torka 84, 85<br />

transformator 29, 32, 39, 43,<br />

173, 196<br />

u<br />

uji beban nol 39, 60, 80<br />

uji hubung singkat 40, 60<br />

uji rotor diam 80<br />

201


Biodata<br />

Nama: Sudaryatno Sudirham<br />

Lahir di Blora pada 26 Juli 1943<br />

Istri: Ning Utari<br />

Anak: Arga Aridarma<br />

Aria Ajidarma.<br />

1971 : Teknik Elektro – Institut Teknologi Bandung.<br />

1972 – 2008 : Dosen Institut Teknologi Bandung.<br />

1974 : Tertiary Education Research Center – UNSW − Australia<br />

1979 : EDF – Paris Nord dan Fontainbleu − Perancis<br />

1981 : INPT - Toulouse − Perancis; DEA 1982; Doktor 1985.<br />

Kuliah yang pernah diberikan: “Pengukuran Listrik”, “Pengantar Teknik<br />

Elektro”, “Pengantar <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, “Material Elektroteknik”,<br />

“Phenomena Gas Terionisasi”, “Dinamika Plasma”, “Dielektrika”,<br />

“Material Biomedika”.<br />

Buku dan Artikel: “<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, Penerbit ITB, ISBN<br />

979-9299-54-3, 2002, 2005; “Metoda Rasio TM/TR Untuk Estimasi Susut<br />

Energi Jaringan Distribusi”, Penerbit ITB, ISBN 978-979-1344-38-8,<br />

2009; “Fungsi dan Grafik, Diferensial Dan Integral”, Penerbit ITB,<br />

ISBN 978-979-1344-37-1, 2009; “<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (1)”, 2010;<br />

“<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (2)”, 2010; “<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)”,<br />

2010; ”Mengenal Sifat Material (1)”, 2010; ”Estimasi Susut Teknik dan<br />

onteknik Jaringan Distribusi”, 2011.<br />

Bidang minat: Power Engineering; Material Science.<br />

202 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Listrik (3)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!