Edisi 29 Tahun 2011 - KPPU
Edisi 29 Tahun 2011 - KPPU
Edisi 29 Tahun 2011 - KPPU
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
LIPUTAN KHUSUS<br />
produk bisa lebih murah,” terang Alik.<br />
Berdasarkan penuturan pelaku di<br />
lapangan, permasalahan yang dihadapi<br />
UKM meliputi kurangnya modal,<br />
mentalitas SDM, lemahnya jaringan<br />
usaha (pemasaran), rendahnya akses<br />
informasi dan teknologi, daya saing<br />
yang rendah dan iklim usaha yang belum<br />
kondusif. Sementara itu, pemerintah<br />
kota Bogor diwakili oleh Ir. Dinar<br />
mengatakan bahwa pemerintah sudah<br />
banyak membantu pengembangan<br />
UKM melalui berbagai program<br />
pelatihan. ”Disperindag memiliki<br />
program-program pelatihan untuk para<br />
pengrajin alas kaki. Kami memberikan<br />
pembinaan berupa pengenalan<br />
teknologi informasi untuk memasarkan<br />
produk; training motivasi; pengetahuan<br />
HKI tentang merk, pembinaan teknik<br />
industri, serta pelatihan soft skill<br />
lainnya,” terang Ir. Dinar.<br />
Menurut penuturannya,<br />
Disperindag juga memfasilitasi dalam<br />
pendaftaran HKI; pendaftaran sertifikat<br />
halal; pemberian link ke perbankan;<br />
memfasilitasi pameran produk; serta<br />
membuka layanan konsultasi HKI<br />
dan packaging. Meskipun demikian,<br />
Ir. Dinar mengatakan bahwa ratarata<br />
keberhasilan pelatihan dan<br />
pembinaan UKM sebesar 25%. Hal<br />
itu dipengaruhi oleh banyak faktor,<br />
diantaranya sulitnya mendapatkan<br />
pinjaman modal dan kualitas SDM<br />
serta tingkat pendidikan yang masih<br />
rendah. ”Permasalahan Kredit Usaha<br />
Rakyat (KUR) tidak semudah seperti<br />
yang didengungkan di televisi. Di<br />
lapangan KUR tidak menjamin<br />
kemudahan dalam pemberian modal,”<br />
ucap Ir. Dinar.<br />
Ir. Dinar mengakui bahwa<br />
permasalahan UKM di daerah<br />
telah disampaikan ke pemerintah<br />
pusat, namun hasilnya belum dapat<br />
dirasakan. Padahal UKM memainkan<br />
peran penting dalam pembangunan dan<br />
pertumbuhan ekonomi. Keberadaan<br />
UKM menyerap banyak tenaga kerja<br />
dan juga memberi kontribusi dalam<br />
pembentukan/ pertumbuhan Produk<br />
Domestik Bruto (PDB) paling besar.<br />
Oleh sebab itu pemerintah<br />
diharapkan dapat lebih memperhatikan<br />
dan mendukung UKM agar lebih<br />
berdaya saing. Tantangan persaingan<br />
global diharapkan dapat diatasi bila<br />
UKM memiliki kemandirian dan daya<br />
saing unggul. (FH/ST/DY)<br />
Stop Ekspor Bahan Baku Rotan<br />
Sekitar 80% spesies rotan tumbuh di hutan<br />
Indonesia yang notabene daerah tropis. Sementara<br />
diukur dari volume ekspor kerajinan rotan jadi<br />
seluruh Indonesia, tidak kurang dari 60% ekspor<br />
kerajinan rotan jadi berasal dari Cirebon.<br />
Dua fakta di atas cukup untuk menggambarkan<br />
potensi besar industri rotan Indonesia terutama di<br />
Cirebon. Namun potensi tersebut saat ini tenggelam<br />
seiring kebijakan pemerintah yang membuka ekspor bahan<br />
baku rotan. Sumartja, selaku ketua ASMINDO (Asosiasi<br />
Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia) Komda<br />
Cirebon mencoba menuturkan kondisi industri rotan di<br />
Cirebon kepada KOMPETISI.<br />
<strong>Tahun</strong> 1986 saat bahan baku rotan distop ekspornya,<br />
industri furnitur rotan di Indonesia khususnya Cirebon<br />
sangat berkembang layaknya jamur di musim hujan. Hal<br />
tersebut disebabkan bahan baku rotan tumbuh subur di<br />
negeri ini. Dengan kata lain Indonesia menguasai sebagian<br />
besar bahan baku rotan dengan kualitas terbaik.<br />
Fakta di atas mengakibatkan negara produsen rotan<br />
lainnya tidak mendapatkan pasokan bahan baku rotan<br />
dan tidak dapat memproduksi furnitur rotan jadi lagi.<br />
Akhirnya negara seperti Filipina, Vietnam, Jerman, dan<br />
Jepang berbondong-bondong investasi mendirikan industri<br />
rotan di Indonesia termasuk di Cirebon. Sedangkan negara<br />
tujuan ekspor furnitur rotan antara lain Amerika Serikat,<br />
Jepang, dan beberapa negara Eropa.<br />
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, IMF<br />
sempat mengusulkan agar keran ekspor rotan dari<br />
Indonesia dibuka dan pemerintah menyetujui dengan<br />
syarat dan ketentuan seperti pajak serta harga patokan<br />
yang sangat tinggi. ”Dengan kata lain pemerintah saat itu<br />
tidak sepenuh hati membuka kran ekspor rotan tersebut,”<br />
tutur Sumartja.<br />
Namun dengan negosiasi yang dilakukan IMF kepada<br />
pemerintah Indonesia, pajak ekspor berangsur-angsur<br />
turun hingga mencapai klimaksnya pada tahun 2003<br />
tinggal sekitar 10%. Saat itu dampaknya bagi industri<br />
<strong>Edisi</strong> <strong>29</strong> <strong>2011</strong> 19