06.11.2014 Views

Argumentasi dan Skema Bantuan Pemerintah (Domestic Support)

Argumentasi dan Skema Bantuan Pemerintah (Domestic Support)

Argumentasi dan Skema Bantuan Pemerintah (Domestic Support)

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

34<br />

Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan <strong>dan</strong> Air<br />

<strong>Argumentasi</strong> <strong>dan</strong> <strong>Skema</strong> <strong>Bantuan</strong> <strong>Pemerintah</strong> (<strong>Domestic</strong> <strong>Support</strong>) Bagi Petani Indonesia:<br />

Program <strong>Bantuan</strong> Terpadu Pada Wilayah <strong>dan</strong> Kelompok Sasaran.<br />

Peran Sektor Pertanian<br />

Ada beberapa peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional yang sangat vital<br />

antara lain, penyedia lapangan kerja, penyedia pangan, pemasok devisa <strong>dan</strong> pengentas<br />

kemiskinan. Kemampuan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja nasional cukup<br />

besar. Pada tahun 2005 penyerapan tenaga kerja 41,8 juta orang atau sekitar 40% dari total<br />

penyerapan tenaga kerja nasional. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian cenderung<br />

mengalami peningkatan. Kalau pada tahun 2004 penyerapan tenaga kerja sektor pertanian<br />

sebesar 40,6 juta, maka pada tahun 2005 meningkat menjadi 41,8 juta atau meningkat<br />

3,26%, sementara penyerapan tenaga kerja di sektor non pertanian tumbuh lebih lambat yaitu<br />

hanya 0,04%. Ini membuktikan bahwa peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja<br />

nasional cukup besar.<br />

Selain peran sebagai penyedia lapangan kerja, sektor pertanian juga berperan penting<br />

sebagai penyedia pangan nasional. Data Neraca Bahan Makanan yang diterbitkan FAO<br />

menunjukkan bahwa selama periode 2000-2002, kemampuan penyediaan pangan Indonesia<br />

dalam kalori per kapita per hari mencapai 3.313. Rata-rata pangsa produksi pangan dalam<br />

negeri terhadap total kebutuhan pangan dalam negeri, selama periode 2000-2002 mencapai 111<br />

persen, sementara impor <strong>dan</strong> ekspornya masing-masing sebesar 13 <strong>dan</strong> 24 persen, sehingga<br />

secara keseluruhan net ekspor pangan Indonesia mencapai 11 persen. Berdasarkan data BPS,<br />

impor beras tahun 2005 masih dibawah 1 persen <strong>dan</strong> itupun untuk kebutuhan RASKIN <strong>dan</strong> stok.<br />

Dengan demikian, sektor pertanian berperan sangat besar dalam penyediaan pangan nasional.<br />

Walaupun kontribusi PDB (Produk Domestik Bruto) sektor pertanian terhadap PDB<br />

nasional hanya sebesar 15 persen, namun PDB sektor pertanian tersebut berpengaruh dalam<br />

pengentasan kemiskinan baik di pedesaan maupun di perkotaan. Dengan demikian peran sektor<br />

pertanian dalam pengentasan kemiskinan sangat besar.<br />

Peran sektor pertanian dalam perolehan devisa juga cukup signifikan <strong>dan</strong> mengalami<br />

peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPS menunjukkan bahwa nilai ekspor<br />

komoditas pertanian selama periode sebelum krisis ekonomi (1993-1997) sebesar US$ 5.166 juta<br />

meningkat menjadi US$ 5.596 juta pada periode 1998-1999 <strong>dan</strong> meningkat lagi mejadi US$<br />

5.676 juta. Se<strong>dan</strong>gkan nilai impor komoditas pertanian sebelum krisis ekonomi tidak banyak<br />

mengalami perubahan. Hal tersebut menyebabkan neraca perdagangan komoditas pertanian<br />

mengalami surplus <strong>dan</strong> cenderung meningkat. Kalau pada periode 1993-1997 surplus neraca<br />

perdagangan sebesar US$ 2.243 juta, maka pada periode 1998-1999 meningkat menjadi US$<br />

2.509 juta <strong>dan</strong> pada periode 2000-2002 meningkat lagi menjadi US$ 2.710. Selama periode<br />

2004-2005 (semester I) nilai ekspor meningkat dari US $ 4,35 milyar menjadi US $ 5,16 milyar<br />

<strong>dan</strong> nilai impor juga meningkat dari US $ 2,36 milyar menjadi US $2,61 milyar namun<br />

peningkatan lebih kecil sehingga neraca perdagangan pertanian mengalami surplus sebesar US<br />

$2,55 milyar. Ini semua memberikan indikasi peran sektor pertanian dalam penerimaan devisa<br />

negara makin besar.<br />

Dengan peran sektor pertanian yang demikian besar tersebut, maka sudah selayaknya<br />

pemerintah mempertahankan eksistensi <strong>dan</strong> mengembangkan kapasitas sektor pertanian ke<br />

depan melalui berbagai kebijakan promosi maupun proteksi yang diimplementasikan dalam<br />

berbagai bantuan pemerintah diantaranya bantuan teknologi, subsidi benih, subsidi pupuk,<br />

modal <strong>dan</strong> bantuan lainnya.<br />

<strong>Argumentasi</strong> Perlunya <strong>Bantuan</strong> Bagi Petani<br />

Ada dua argumentasi yang melandasi pentingnya pemerintah memberikan bantuan<br />

kepada petani: Pertama, suatu kewajiban pemerintah membantu petani yang sebagian besar<br />

merupakan masyarakat miskin yang tidak mempunyai kapasitas yang memadai untuk<br />

mengembangkan kapasitas produksi pertanian sementara eksistensi produksi pertanian ke


Analisis Kebijakan 35<br />

depan masih sangat diperlukan; <strong>dan</strong> Kedua, melindungi petani miskin dari ancaman eksternal<br />

akibat ketidakadilan perdagangan dalam rangka memberdayakan mereka menjadi masyarakat<br />

yang mandiri mampu menghidupi dirinya <strong>dan</strong> juga menjaga eksistensi sektor pertanian ke<br />

depan.<br />

Beberapa fakta yang mendukung argumentasi ketidakmampuan petani mengembangkan<br />

kapasitas produksi pertaniannnya antara lain : Pertama, walaupun terjadi penurunan insiden<br />

kemiskinan dari 19,14% pada tahun 2000 menjadi 16.60% pada tahun 2004, namun secara<br />

absolut sangat besar yaitu sekitar 36 juta <strong>dan</strong> diperkirakan sekitar 20 juta diantarnya berada di<br />

wilayah pedesaan. Dari sekitar 20 juta penduduk miskin di pedesaan sekitar 55 persen<br />

bergantung pada sektor pertanian.<br />

Kedua, walaupun surplus usahatani cukup prospekstif, sebagai contoh surplus usahatani<br />

padi tanpa memperhitungkan lahan sebesar 61%, namun pendapatan per kapita petani per<br />

tahun berkisar Rp 2.304.909 - Rp 2.684.865 (Rp 6.403 – Rp 7.458 per hari per kapita) (PATANAS,<br />

2004 1 <strong>dan</strong> 2005 2 ) atau dibawah $ 1 per hari masih jauh dibawah garis kemiskinan berdasarkan<br />

kriteria World Bank $ 2 per hari per kapita.<br />

Beberapa fakta yang mendukung a<strong>dan</strong>ya ancaman eksternal terhadap eksistensi<br />

usahatani di Indonesia akibat ketidakadilan pasar antara lain: Pertama, domestik support yang<br />

mendistorsi pasar (Trade Distorting Subsidy (TDS)) 3 negara-negara maju yang tergabung dalam<br />

OECD (Organization Economic Cooperation Development) pada sektor pertanian mereka sangat<br />

besar yaitu data tahun 2000 sekitar US $ 327 billion (setara Rp 3 270 trilyun). Total TDS untuk<br />

Amerika Serikat sebesar Rp 480 trilyun; EU sebesar Rp 1 100 trilyun <strong>dan</strong> Jepang Rp 300 trilyun.<br />

Negera-negara maju yang tergabung dalam OECD tetap bertahan untuk memberikan domestic<br />

support kepada petaninya dengan cara mengalihkan bantuan tersebut dari Trade Distorting<br />

Subsidy ke Trade Non Distorting Subsidy atau dialihkan ke green box. Sebagai contoh dari $<br />

221 billion total domestic support pada periode 1986-1988, sebesar 76 % masuk dalam katagori<br />

amber box 4 <strong>dan</strong> 24 % masuk katagori green box <strong>dan</strong> pada tahun 1996 dari US $ 259 billion,<br />

sebesar 54 % masuk dalam katagori amber box <strong>dan</strong> 46 % masuk katagori green box. Selain itu,<br />

mereka mengalihkan domestic support dalam bentuk bantuan langsung misalnya untuk beras<br />

US$ 79.88 / ton, jagung US$ 15.88 – 32.29 / ton; kapas US$ 250.83 / ton <strong>dan</strong> daging US$ 821.38<br />

/ ton. Apabila dihitung dalam bentuk persen harga FOB/CIF untuk padi 63.9 %, jagung 21.7 –<br />

48.8 %, kapas 33,3 % <strong>dan</strong> daging 45.4 %.<br />

Sebagai pembanding, total green box Indonesia pada tahun 2004 hanya sebesar US$ 1<br />

milyar 5 , sementara TDS sebesar tahun 2005 diperkirakan sebesar US$ 0.9 milyar 6 .<br />

Kedua, negara-negara maju yang tergabung dalam OECD mampu memberlakukan<br />

applied tarif secara efektif karena mereka mempunyai kemampuan untuk itu, se<strong>dan</strong>gkan<br />

negera berkembang walaupun diberikan bound tarif cukup tinggi namun tidak mampu<br />

menerapkannya secara efektif. Sebagai contoh, Indonesia mendapatkan bound tarif untuk<br />

beras sebesar 190%, namun kenyataannya hanya sekitar 30 % . Dengan demikian negeranegara<br />

OECD mampu melindungi petaninya secara efektif.<br />

Ketiga, negara-negara maju yang tergolong dalam OECD juga menerapkan subsidi<br />

ekspor, seperti Amerika Serikat total subsidi ekspornya tahun 2000 sebesar US$ 20 million (Rp<br />

20 trilyun), sehingga mereka dapat mengurangi surplus produksinya tetapi petaninya masih<br />

menerima harga yang tinggi di atas harga ekspornya.<br />

Dampak dari kondisi petani Indonesia yang sebagian masih miskin adalah mereka tidak<br />

mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kapasitas produksinya melalui pengembangan<br />

1 A.R. Nurmanaf et.al. 2004. Laporan PATANAS. Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.<br />

2 A.R. Nurmanaf, et al. 2004. Laporan PATANAS. Pusat Analisis Sosial Ekonomi <strong>dan</strong> Kebijakan Pertanian. Bogor.<br />

3 Trade Distorting Subsidy (TDS) : It is the total of amber box, blue box and de-minimis subsidies<br />

4 Termasuk katagori Trade Distorting Subsidy<br />

5 Budiman Hutabarat et.al.2005. Analisis Perubahan <strong>dan</strong> Dampak Perdagangan Bebas Regional <strong>dan</strong> Penetapan Modalitas Perjanjian Multilateral di Sektor<br />

Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi <strong>dan</strong> Kebijakan Pertanian.<br />

6 Berdasarkan jumlah subsidi yang diberikan pemerinatah melalui APBN 2005.


36<br />

Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan <strong>dan</strong> Air<br />

teknologi, se<strong>dan</strong>gkan dampak dari pemberikan domestic support oleh negara maju kepada<br />

petaninya yang demikian besar menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar dunia<br />

cenderung menurun tetapi petaninya tetap mempunyai kemampuan untuk mengembangkan<br />

kapasitas produksinya. Akibatnya produk pertanian yang berasal dari Indonesia kalah bersaing<br />

dengan produk yang sama dari negara maju karena ketidakadilan pasar.<br />

Uraian di atas memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa untuk mengembangkan<br />

kapasitas <strong>dan</strong> menjaga eksistensi sektor pertanian, maka diperlukan berbagai bantuan dari<br />

pemerintah untuk mengimbangi apa yang dilakukan oleh negara lain. <strong>Bantuan</strong> tersebut berupa<br />

subsidi input produksi, modal kerja maupun jaminan harga (price support). Berikut ini akan<br />

diuraikan beberapa skema bantuan domestik sebagai berikut:<br />

<strong>Skema</strong> <strong>Bantuan</strong> Domestik<br />

Subsidi Benih Tanaman Pangan<br />

Justifikasi<br />

Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan luas panen, produksi, <strong>dan</strong> produktivitas<br />

tanman pangan cenderung mengalami stagnasi. Di sisi lain dalam 10 tahun terakhir (1993-2003)<br />

jumlah petani berlahan sempit cenderung meningkat sekitar 2,6% per tahun. Jumlah rumah<br />

tangga berlahan sempit pada tahun 1993 sekitar 10,8 juta <strong>dan</strong> pada tahun 2003 meningkat<br />

menjadi 13,7 juta.<br />

Salah satu penyebab lambannya peningkatan produksi <strong>dan</strong> produktivitas tanaman<br />

pangan adalah penggunaan benih bermutu varietas unggul di tingkat petani masih rendah,<br />

sebagai contoh pada tanaman padi sekitar 39% , jagung sekitar 20% <strong>dan</strong> kedelai hanya 15%.<br />

Kondisi yang demikian merupakan peluang untuk meningkatkan produksi melalui penggunaan<br />

benih unggul secara luas. Mengingat kemampuan petani membeli benih terbatas, maka perlu<br />

diberikan subsidi benih agar harga benih terjangkaun oleh petani.<br />

Ada beberapa keuntungan dari subsidi benih, yaitu: (i) meningkatnya produksi benih<br />

bermutu secara nasional, (ii). Meningkatnya penggunaan benih bermutu varietas unggul<br />

ditingkat petani, (iii) harga benih relatif lebih murah <strong>dan</strong> terjangkau oleh petani, <strong>dan</strong> (iv)<br />

penggunaan benih bermutu akan lebih luas, diharapkan sampai ke daerah-daerah<br />

marginal/daerah yang secara komersial kurang menarik bagi produsen benih.<br />

Tujuan<br />

Tujuan dari pemberian subsidi benih adalah: (i) mendorong peningkatan penggunaan<br />

benih bermutu oleh petani (ii) mendorong peningkatan produksi pangan.<br />

Sasaran<br />

Terpenuhinya kebutuhan benih bermutu varietas unggul bagi petani dengan harga<br />

terjangkau.<br />

Modus Subsidi<br />

Modus yang digunakan dalam pemberian subsidi benih pangan adalah subsidi harga<br />

benih untuk setiap pembelian benih (Padi, Jagung Hibrida <strong>dan</strong> Komposit serta benih Kedelai)<br />

oleh petani.<br />

Sistem Penyaluran<br />

Sistem penyaluran benih pangan bersubsidi dilakukan dengan menggunakan sistem<br />

terbuka berjenjang sebagai berikut: (i) produsen menyalurkan benih kepada kios resmi


Analisis Kebijakan 37<br />

terdaftar melalui penyalur (distributor) yang telah ditunjuk., (ii) Kios resmi menjual benih<br />

bersubsidi kepada petani sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan,<br />

<strong>dan</strong> (iii). penjualan kepada petani dilakukan secara bebas.<br />

Mengingat jumlah plafond benih yang disubsidi terbatas, kepada masing-masing wilayah<br />

ditetapkan kuota jumlah benih bersubsidi secara berjenjang yaitu wilayah desa oleh Mantri<br />

Tani Kecamatan, wilayah kecamatan oleh Kepala Dinas Pertanian Kabupaten, <strong>dan</strong> wilayah<br />

kabupaten oleh Kepala Dinas Pertanian Propinsi serta wilayah propinsi oleh Ditjen Tanaman<br />

Pangan. Pemda propinsi <strong>dan</strong> Pemda Kabupaten bertanggung jawah terhadap pembinaan <strong>dan</strong><br />

pengawasan penyaluran benih bersubsidi.<br />

Setiap kios resmi penjualan benih pangan bersubsidi diberi identitas sebagai “Penjual<br />

benih bersubsidi”. Kantong benih bersubsidi diberikan stiker/tulisan “Benih bersubsidi”. Mengingat<br />

besar subsidi benih berbeda antar komoditas, pada kantong benih juga diberikan tulisan :<br />

(misalnya untuk subsidi 2006). Harga Eceran Tertinggi benih pangan bersubsidi adalah :<br />

ü Benih padi<br />

: Rp. 3.500,-/kg<br />

ü Benih jagung komposit : Rp. 6.035,-/kg<br />

ü Benih jagung hibrida<br />

ü Benih kedelai<br />

: Rp. 18.825,-/kg<br />

: Rp. 5.700,-/kg<br />

Produsen benih yang bertanggung jawab terhadap penyaluran benih, beban biaya<br />

sebagai akibat penyaluran tersebut, <strong>dan</strong> jumlah benih untuk suatu wilayah sesuai jumlah<br />

alokasi yang telah ditetapkan.<br />

Penagihan Subsidi Benih. Pada dasarnya, pembayaran subsidi benih terhadap benih<br />

yang telah dibeli oleh petani dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Menteri<br />

Keuangan. Sebagai salah satu pengendali jumlah benih yang dipasarkan adalah bukti uji<br />

kelulusan benih bersertifikat yang dikeluarkan oleh instansi pengawasan <strong>dan</strong> sertifikasi benih<br />

propinsi (BPSB) atau lembaga yang telah diberi ijin oleh pemerintah untuk melakukan uji<br />

kelulusan benih bersertifikat, <strong>dan</strong> dokumen pendukung antara lain sebagai berikut :(i) rekap<br />

data penjualan benih bersubsidi oleh kios kepada petani yang diketahui oleh Kepala Dinas<br />

Pertanian Kabupaten yang menangani tanaman pangan <strong>dan</strong> (ii) data pendukung berupa rekap<br />

data luas pertanaman yang menggunakan varietas unggul dari Kepala Dinas Pertanian<br />

Kabupaten yang menangani tanaman pangan <strong>dan</strong> Kepala Dinas Pertanian Propinsi yang<br />

menangani tanaman pangan.<br />

Kebutuhan Subsidi<br />

Total kebutuhan subsidi selama periode 2007 – 2009 sebesar 748 milyar, dengan rincian<br />

Rp 150 milyar tahun 2006; Rp 184,3 milyar tahun 2007; Rp 199,2 milyar tahun 2008; <strong>dan</strong> Rp<br />

214,5 milyar tahun 2009.<br />

Subsidi Benih Hortikultura<br />

Justifikasi<br />

Peningkatan produksi hortikultura belum diikuti oleh peningkatan kualitas, hal ini<br />

terbukti dari beberapa pedagang buah di tingkat perkotaan di Indonesia bahwa harga jual<br />

sangat rendah apabila saat musim panen raya. Dari hasil pertemuan dengan kalangan ekportir<br />

buah (Pertemuan Agribisnis Mangga <strong>dan</strong> Manggis di Bandung tanggal 29 – 30 Nopember 2005)<br />

terungkap bahwa, dari hasil pengumpulan buah mangga sebanyak 1 ton yang dapat di ekspor<br />

hanya 20 %, sisanya cacat. Kendala yang dikemukakan berawal dari penggunaan benih<br />

hortikultura yang tidak sesuai dengan standar mutu benih <strong>dan</strong> atau pohon penghasil buah<br />

merupakan warisan atau telah turun menurun dengan tingkat keragaman varietas yang tinggi,<br />

sehingga perlu diremajakan.<br />

Dalam proses perbanyakan benih hortikultura seharusnya dilakukan melalui sistem<br />

sertifikasi, sehingga benih yang dihasilkan mendapat jaminan kebenaran varietas dengan


38<br />

Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan <strong>dan</strong> Air<br />

kualitas/mutu yang baik. Oleh karenanya penangkar benih harus terdaftar di BPSBTPH<br />

setempat <strong>dan</strong> proses produksinya mendapat pembinaan, dengan demikian benih yang dihasilkan<br />

dapat diberikan label. Perbanyakan benih bermutu hortikultura baru mencapai 30 % dari<br />

seluruh kebutuhan benih per tahun, dari persentase tersebut 18% (buah-buahan) 8% (sayuran),<br />

4 % (tanaman hias <strong>dan</strong> biofarmaka). Perbanyakan benih bermutu terpusat di Pulau Jawa, yang<br />

disebabkan oleh beberapa kemudahan seperti adopsi teknologi, permodalan (lembaga keuangan<br />

lebih banyak), ketersediaan tenaga terampil yang lebih mudah dicari.<br />

Untuk menggairahkan penangkaran benih hortikultura bersertifikat diperlukan dukungan<br />

pemerintah dalam bentuk bantuan modal kerja melalui subsidi kepada penangkar benih.<br />

Dengan a<strong>dan</strong>ya subsidi diharapkan produksi benih mendekati pengembangan sentra-sentra<br />

produksi <strong>dan</strong> pemerataan pendapatan petani khususnya penangkar benih.<br />

Tujuan.<br />

Tujuan pemberian subsidi ini adalah memotivasi para penangkar benih hortikultura<br />

untuk menghasilkan benih bersertifikat dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi<br />

hortikultura.<br />

Sasaran.<br />

Subsidi diberikan sacara langung kepada penangkar benih hortikultura sesuai dengan<br />

jumlah benih yang lulus sertifikat dengan kisaran produksi per tahun sebagai berikut :<br />

ü Benih tanaman buah : 10.000 – 25.000 phn,<br />

ü Benih cabe, tomat, terong (non hibrida) : 10 – 25 kg.<br />

ü Benih kentang : 10 – 30 ton<br />

ü Benih sayuran lainnya : 10 – 15 ton<br />

ü Benih tanaman hias (anggrek) : 7.500 – 15.000 phn<br />

ü Benih biofarmaka : 10 – 15 ton.<br />

Modus subsidi<br />

Subsidi diberikan untuk penggantian biaya penyediaan benih sumber/pohon induk/mata<br />

entres <strong>dan</strong> biaya jasa pelayanan sertifikasi benih dengan besaran sebagai berikut:<br />

ü Benih tanaman buah : Rp. 200,- / pohon,<br />

ü Benih cabe, tomat, terong : Rp. 10.000,- / kg<br />

ü Benih kentang : Rp. 1.000/ kg<br />

ü Benih sayuran lainnya : Rp. 1.000,-/kg<br />

ü Benih tanaman hias : Rp. 200,-/phn<br />

ü Benih biofarmaka : Rp.1.000,- ton.<br />

Sistim penyaluran.<br />

Subsidi diberikan langsung kepada penangkar dengan persyaratan sbb : (a) Subsidi<br />

diberikan pada benih yang lulus sertifikasi (label terpasang); (b) Pemberian subsidi atas rujukan<br />

dari BPSBTPH setempat; (c) Pemberian subsidi diberikan sesuai kisaran produksi <strong>dan</strong> (d) Subsidi<br />

tidak diberikan kepada penangkar milik pemerintah/BUMN (Pusat <strong>dan</strong> Daerah).


Analisis Kebijakan 39<br />

Kebutuhan subsidi.<br />

Kebutuhan subsidi benih hortikultura selama tahun 2006-2009 adalah sebesar Rp 24<br />

milyar, dengan rincian masing-masing Rp 5,22 milyar pada tahun 2006 <strong>dan</strong> 2007; Rp 6,26 milyar<br />

tahun 2008; <strong>dan</strong> Rp 7,30 milyar tahun 2009.<br />

Subsidi Terpadu Perkebunan<br />

Justifikasi<br />

Penggunaan benih unggul dalam pembangunan perkebunan selama ini masih belum<br />

optimal. Dari total areal perkebunan sekitar 17,6 juta ha tahun 2004, penggunaan benih unggul<br />

baru sekitar 27,2% <strong>dan</strong> itu pun masih terbatas pada Perkebunan Besar Negara, Perkebunan<br />

Besar Swasta <strong>dan</strong> Perkebunan Rakyat yang dibangun melalui proyek perkebunan yang diinisiasi<br />

oleh <strong>Pemerintah</strong>. Sementara pada Perkebunan Rakyat sekitar 72,8% dari total areal perkebunan<br />

masih menggunakan benih asalan, serta tanpa penggunaan sarana produksi secara memadai.<br />

Rendahnya presentase penggunaan benih unggul <strong>dan</strong> sarana produksi pada Perkebunan<br />

Rakyat menyebabkan turunnya produktivitas rata-rata sekitar 30-50 % dari potensi produksi.<br />

Agar permasalahan ini bisa teratasi, maka perlu a<strong>dan</strong>ya pemberian subsidi secara terpadu agar<br />

terjadi peningkatan produksi secara signifikan.<br />

Tujuan<br />

Secara umum tujuan pemberian subsidi benih pada perkebunan adalah agar terjadinya<br />

peningkatan penggunaan benih unggulan di tingkat petani/pekebun, untuk mendukung: (i)<br />

program Ketahanan Pangan Nasional; (ii) program pengembangan energi alternative melalui<br />

pengembangan biofuel berbahan baku komoditas perkebunan; <strong>dan</strong> (iii) program peremajaan<br />

tanaman perkebunan <strong>dan</strong> memfasilitasi pekebun dalam penyediaan benih unggul.<br />

Sasaran<br />

Sasaran pemberian subsidi terpadu adalah petani/pekebun dengan harapan agar<br />

terjadi peningkatan penggunaan benih unggul.<br />

Modus Subsidi<br />

Subsidi terpadu diberikan dalam bentuk : (a) Subsidi benih unggul <strong>dan</strong> alsin untuk<br />

tebu; (b) Subsidi benih unggul <strong>dan</strong> tanaman sela/jagung <strong>dan</strong> untuk tanaman karet, kelapa<br />

sawit; (c) Subsidi benih unggul untuk tanaman sela/jagung pada karet, kakao <strong>dan</strong> kopi; (d)<br />

Kredit lunak jangka panjang untuk benih pda tanaman kelapa <strong>dan</strong> subsidi pupuk untuk tanaman<br />

sela; <strong>dan</strong> (e) Dana talangan pembelian gula selama 3 bulan.<br />

Sistem Penyaluran<br />

Sistem penyaluran subsidi benih dapat dilakukan dengan berbagai cara, sebagai berikut:<br />

(i) untuk benih entres dapat dilakukan melalui Puslit/Balit; <strong>dan</strong> sebar benih melalui penangkar<br />

benih, (ii) untuk benih kelapa dapat dilakukan melalui penangkar benih dibantu oleh kebun<br />

benih blok penghasil tinggi yang berada pada Dinas Perkebunan.<br />

Penyaluran <strong>dan</strong>a talangan pembelian gula dilakukan melalui Pabrik Gula (PG) kepada<br />

kelompok tani yang didasarkan kepada Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang<br />

disetujui oleh Petugas/Penyuluh/Kepala Cabang Dinas.<br />

Kebutuhan Subsidi<br />

Selama tahun 2006 – 2009 total subsidi yang dibutuhkan untuk subsidi benih, alsin,<br />

tanaman sela (jagung), <strong>dan</strong> <strong>dan</strong>a talangan untuk pembelian tebu sekitar Rp 34,78 trilyun,


40<br />

Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan <strong>dan</strong> Air<br />

dengan rincian sekitar Rp 7,27 trilyun tahun 2006; Rp 8,57 trilyun tahun 2007; <strong>dan</strong> masingmasing<br />

Rp 9,47 trilyun tahun 2008 <strong>dan</strong> tahun 2009.<br />

Subsidi Perbibitan Ternak<br />

Justifikasi<br />

Permasalahan utama dalam pengembangan industri peternak termasuk ternak sapi<br />

adalah pada aspek pembibitan. Tidak berkembangnya usaha ini karena diperlukan biaya<br />

investasi cukup besar. Oleh karena itu perlu a<strong>dan</strong>ya subsidi pada aspek ini untuk mendorong<br />

berkembangnya usaha perbibitan sapi dalam negeri dalam upaya mengurangi ketergantungan<br />

pada pasar impor <strong>dan</strong> sekaligus menekan ancaman masuknya produk global. Selain melalui<br />

pemberian subsidi pada sistem perbibitan, peningkatan populasi sapi di dalam negeri juga<br />

dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya pemotongan sapi betina produktif. Kesemuanya<br />

ini akan mendukung upaya peningkatkan kesejahteraan peternak karena terjadinya penciptaan<br />

nilai tambah yang lebih besar.<br />

Tujuan<br />

Tujuan dari pemberian subsidi pada sistem perbibitan adalah untuk membangun<br />

kelompok perbibitan ternak yang berdaya saing, mandiri, <strong>dan</strong> berkelanjutan.<br />

Sasaran<br />

Sasaran pemberian subsidi pada sistem perkreditan yaitu berkembangnya pusat-pusat<br />

perbibitan ternak dalam mendukung program kecukupan daging nasional.<br />

Modus Subsidi<br />

Modus pemberian subsidi ini adalah dalam bentuk subsidi bunga kredit <strong>dan</strong> subsidi<br />

langsung dengan kriteria sebagai berikut: (i) subsidi bunga kredit untuk menyelamatkan betina<br />

produktif, (ii) subsidi bunga kredit modal untuk memanfaatkan sapi komersial, sapi bakalan<br />

yang diimpor masih layak sebagai bibit sebar, (iii) subsidi langsung untuk pengawasan<br />

pembibitan ternak, kesehatan hewan, pejantan/semen/IB, <strong>dan</strong> kelembagaan, <strong>dan</strong> (iv) subsidi<br />

bunga kredit untuk jagal <strong>dan</strong> RPH.<br />

Sistem Penyaluran<br />

Sistem penyaluran subsidi ini adalah langsung melalui rekening kelompok berdasarkan<br />

rencana kerja definitif kelompok (RDKK).<br />

Lokasi Perbibitan <strong>dan</strong> Kebutuhan Subsidi<br />

Lokasi pengembangan usaha perbibitan akan dikonsentrasikan pada lokasi yang<br />

merupakan: (i) kawasan sumber bibit, (ii) kawasan pengembangan yang kaya pakan, (iii)<br />

terkosentrasi dalam satu kawasan, <strong>dan</strong> (iv) terintegrasi dengan budidaya tanaman.<br />

Jumlah subsidi yang dibutuhkan untuk penambahan populasi induk dari penjaringan bibit<br />

lokal, pemanfaatan sapi komersial ex-import, serta program lainnya selama tahun 2006- 2009<br />

sekitar Rp 3,68 trilyun atau Rp 920 milyar per tahun, dengan rincian sebagai berikut: (i) kredit<br />

lunak untuk peternak Rp. 650 milyar/th, (ii) subsidi untuk mengawal program Rp. 50 milyar/th,<br />

(iii) pedampingan Rp. 70 milyar/th, (iv) kredit lunak untuk usaha hulu-hilir Rp. 50 milyar/th,<br />

serta (v) program peningkatan produktivitas Rp. 100 milyar/th.


Analisis Kebijakan 41<br />

Subsidi Pupuk<br />

Justifikasi<br />

Ada beberapa alasan pentingnya pemberian subsidi pupuk kepada petani yaitu: (i)<br />

melindungi petani dari lonjakan harga pupuk dunia; (ii) mendukung upaya peningkatan<br />

kesejahteraan petani; (iii) mencegah penurunan produktivitas pertanian; (iv) mendukung upaya<br />

pemantapan ketahanan pangan; (v) Mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi; (vi)<br />

mendukung upaya pengentasan rakyat dari kemiskinan; <strong>dan</strong> (vii) mendukung terpeliharanya<br />

stabilitas ekonomi.<br />

Tujuan<br />

Tujuan pemberian subsidi pupuk adalah untuk membantu petani dalam rangka<br />

penyediaan sarana produksi, khususnya pupuk, dalam upaya peningkatan produktivitas <strong>dan</strong><br />

kualitas hasil usahatani serta kesejahteraan petani.<br />

Sasaran<br />

Sasaran pemberian subsidi pupuk adalah tersedianya pupuk untuk sektor pertanian<br />

sesuai azas 6 (enam) tepat, yaitu tepat jenis, jumlah, tempat, waktu, mutu yang terjamin <strong>dan</strong><br />

harga yang terjangkau.<br />

Modus Subsidi<br />

Modus pemberian subsidi pupuk adalah melalui subsidi harga yaitu selisih antara Harga<br />

Pokok Produksi (HPP) dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Jenis<br />

<strong>dan</strong> jumlah pupuk yang disubsidi adalah:<br />

ü Urea : 4,3 juta ton (HET Rp 1050/kg)<br />

ü ZA : 0,6 juta ton (HET Rp 950/kg)<br />

ü SP-36 : 0,7 juta ton (HET Rp 1400/kg)<br />

ü NPK : 0,4 juta ton (HET Rp 1600/kg)<br />

Sistem penyaluran<br />

Pola distribusi pupuk bersubsidi adalah melalui pola distribusi tertutup, yaitu distribusi<br />

pupuk bersubsidi langsung kepada Kelompok Tani, dengan menggunakan Rencana Definitif<br />

Kebutuhan Kelompok (RDKK).Tata cara penyaluran pupuk bersubsidi sebagai berikut: (i)<br />

kelompok Tani menyusun RDKK pupuk dibimbing oleh Petugas Teknis/ Penyuluh Lapangan <strong>dan</strong><br />

disahkan oleh Petugas Kantor Cabang Dinas (KCD) Pertanian setempat, (ii) RDKK pupuk<br />

diusulkan kepada Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota untuk dikoordinasikan dengan<br />

Produsen Pupuk sesuai kuota pupuk yang ditetapkan dalam KepMentan, <strong>dan</strong> (iii) Produsen<br />

Pupuk melalui distributor <strong>dan</strong> Kios/Pengecer yang ditunjuk menyalurkan pupuk sesuai RDKK<br />

pupuk yang sah.<br />

Kebutuhan Subsidi<br />

Besarnya subsidi pupuk yang dibutuhkan masing-masing Rp 7,27 trilyun tahun 2006 dengan<br />

rincian Rp 6,08 trilyun untuk Urea, Rp 423,2 milyar untuk SP-36, Rp 339,9 milyar untuk ZA, <strong>dan</strong><br />

Rp 408,4 milyar untuk NPK. Sementara total kebutuhan subsidi pupuk pada tahun 2007 sekitar<br />

Rp 7,64 trilyun, tahun 2008 sekitar Rp 8,02 trilyun, <strong>dan</strong> tahun 2009 sebesar Rp 8,43 trilyun.<br />

2 3.6. Subsidi Permodalan


42<br />

Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan <strong>dan</strong> Air<br />

Justifikasi<br />

Sesuai Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g no.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia <strong>dan</strong> Letter of Intent<br />

(LoI) pemerintah Indonesia <strong>dan</strong> IMF, maka Bank Indonesia tidak lagi menyediakan KLBI, pola<br />

penyaluran kredit adalah executing, <strong>dan</strong> tingkat suku bunga adalah komersial. Di sisi Lain,<br />

permintaan terhadap pangan terus meningkat seiring meningkatnya daya beli <strong>dan</strong> jumlah<br />

penduduk. Konsekuensi agar tidak terlalu tergantung pada pasar impor, maka perlu a<strong>dan</strong>ya<br />

penyediaan pangan di dalam negeri secara memadai.<br />

Dalam proses produksi petani dihadapkan pada keterbatasan modal. Dalam menghadapi<br />

harga input yang cenderung meningkat <strong>dan</strong> harga output yang fluktuatif menyebabkan<br />

petani/peternak menggunakan input sea<strong>dan</strong>ya, sehingga produksi yang dihasilkan belum<br />

optimal. Petani/peternak tidak akses terhadap sumber permodalan, disamping prosesnya<br />

berbelit-belit karena juga bunganya tidak terjangkau.<br />

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi petani tersebut dengan harapan agar<br />

kondisi ketahanan pangan menjadi lebih baik maka dikeluarkan SK Menteri Keuangan<br />

No.345/KMK.017/2000 tentang pen<strong>dan</strong>aan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) <strong>dan</strong> SK Menteri<br />

Pertanian No.339/kpts/BM.530/8/2000 tentang Petunjuk Teknis pemanfaatan KKP. Peran<br />

pemerintah sangat dibutuhkan dalam subsidi bunga <strong>dan</strong> penyederhaan proses penyaluran<br />

kredit.<br />

Tujuan<br />

Tujuan dari pemberiaan subsidi kredit adalah membantu petani <strong>dan</strong> peternak di bi<strong>dan</strong>g<br />

permodalan untuk dapat menerapkan paket teknologi rekomendasi sehingga produktivitas <strong>dan</strong><br />

pendapatan petani menjadi lebih baik, <strong>dan</strong> meningkatkan ketahanan pangan nasional.<br />

Sasaran<br />

Subsidi berupa subsidi suku bunga ktedit diberikan secara langsung kepada petani yang<br />

menanam komoditas padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar <strong>dan</strong> tebu. Subsidi ini juga<br />

diberikan secara langsung ke peternak sapi potong, sapi perah, ayam buras, ayam ras, <strong>dan</strong> itik.<br />

Dengan a<strong>dan</strong>ya subsidi ini diharapkan tersedianya modal yang mudah diakses petani <strong>dan</strong><br />

peternak dengan suku bunga murah.<br />

Modus Subsidi<br />

Subsidi suku bunga KKP dengan mempertimbangkan tingkat suku bunga SBI <strong>dan</strong> suku<br />

bunga pasar serta kemampuan petani untuk membayar suku bunga KKP. Atas pertimbangan ini,<br />

maka subsidi Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang diberikan berupa subsidi suku bunga kredit,<br />

dimana besarnya subsidi suku bunga KKP adalah selisih antara suku bunga pasar dengan suku<br />

bunga yang dibayar petani/peternak.<br />

Penetapan subsidi <strong>dan</strong> suku bunga KKP melibatkan perbangkan, Departemen Keuangan<br />

<strong>dan</strong> Departemen Teknis. Untuk mengurangi beban petani/peternak. selain memberikan subsidi<br />

suku bunga, pemerintah juga ikut menanggung sebagian resiko kredit yang disalurkan oleh<br />

perbankan.<br />

Sistem Penyaluran<br />

Subsidi suku bunga KKP diberikan langsung kepada petani/peternak dengan ketentuan<br />

sebagai berikut: (i) sumber <strong>dan</strong>a KKP berasal sepenuhnya dari perbankan serta resiko kredit<br />

sepenuhnya menjadi tanggung jawab perbankan, (ii) bank pelaksana KKP menyalurkan KKP<br />

kepada petani <strong>dan</strong> peternak dengan tingkat suku bunga bersubsidi, <strong>dan</strong> (iii) subsidi bunga KKP<br />

yang diterima petani <strong>dan</strong> peternak disalurkan lewat perbankan.


Analisis Kebijakan 43<br />

Kebutuhan Subsidi<br />

Besarnya subsidi yang dibutuhkan untuk subsidi suku bunga KKP selama tahun 2006 –<br />

2009 adalah sebesar Rp 2,15 trilyun, dengan perincian sebagai berikut: Rp 170,3 milyar tahun<br />

2006; Rp 371,5 milyar tahun 2007; Rp 653,3 milyar tahun 2008; <strong>dan</strong> Rp 955,6 milyar tahun<br />

2009.<br />

Operasionalisasi <strong>dan</strong> Besaran <strong>Bantuan</strong>, 2006-2009<br />

Pembangunan pertanian yang dilaksanakan oleh Departemen Pertanian menggunakan<br />

pendekatan pengembangan wilayah atau kawasan melalui pengembangan komoditas unggulan<br />

yang dilaksanakan oleh beberapa kelompok tani dalam formula cluster. Wilayah atau kawasan<br />

pengembangan telah diidentifikasi seperti pada Tabel 1, se<strong>dan</strong>gkan komoditas unggulan untuk<br />

masing-masing sub sektor adalah: (1) Tanaman pangan: padi, kedele, jagung, ubi kayu <strong>dan</strong><br />

kacang tanah; (2) Hortikultura: kentang, cabe merah, bawang merah, mangga, manggis,<br />

pisang, anggrek, durian, rimpang <strong>dan</strong> jeruk; (3) Perkebunan: kelapa sawit, karet, kelapa,<br />

kakao, kopi, lada, jambu mete, tanaman serat, tebu, <strong>dan</strong> tembakau, serta (4) Peternakan: sapi<br />

potong, kambing, domba, babi, ayam buras <strong>dan</strong> itik.<br />

Untuk mengakselerasi pengembangan wilayah komoditas unggulan tersebut, maka<br />

bantuan domestik (domestic support) pada berbagai skema di atas akan diberikan secara<br />

terpadu sesuai dengan kebutuhan wilayah <strong>dan</strong> diberikan kepada kelompok sasaran.<br />

Dengan demikian, bantuan domestik (domestic support) akan diberikan akan diberikan<br />

secara terpadu <strong>dan</strong> sinergis dengan program pengembangan suatu komoditas dalam suatu<br />

wilayah, dimana sasarannya adalah kelompok tani yang berada pada wilayah sasaran<br />

pengembangan komoditas selakigus pelaku agribisnis. Setiap kelompok tani yang menjadi<br />

sasaran pemberian bantuan terpadu terlebih dahulu diidentifikasi kebutuhan riil untuk<br />

mendukung pengembangan komoditas unggulan di wilayah pengembangan. Jumlah <strong>dan</strong> jenis<br />

bantuan diberikan sesuai dengan kebutuhan. Apabila kelompok membutuhkan pupuk <strong>dan</strong> modal<br />

se<strong>dan</strong>gkan sarana produksi lainnya tidak membutuhkan, maka yang diberikan kepada kelompok<br />

hanyalah subsidi pupuk <strong>dan</strong> kredit. Dengan cara demikian, maka bantuan yang diberikan petani<br />

akan efektif dalam meningkatkan kapasitas produksi pertanian karena faktor pembatas yang<br />

dihadapi petani telah dibantu.<br />

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka implementasi pemberian bantuan berbagai<br />

skema di atas kepada kelompok tani perlu didahului oleh data <strong>dan</strong> informasi mengenai faktor<br />

pembatas yang dihadapi masing-masing kelompok tani pada wilayah yang dijadikan wilayah<br />

pengembangan komoditas. Penggalian <strong>dan</strong> indentifikasi faktor pembatas yang dihadapi<br />

kelompok tani pada suatu wilayah pengembangan dapat dilakukan dengan menggunakan<br />

pendekatan PRA (Participatory Rapid Appraisal). Data <strong>dan</strong> informasi PRA tersebut sebagai<br />

dasar penyusunan kebutuhan kelompok.<br />

Total seluruh subsidi yang dibutuhkan selama periode 2006-2009 sekitar Rp 72,74<br />

trilyun, dengan rincian tahun 2006 sebesar Rp 15,78 trilyun; tahun 2007 sebesar Rp 17,69<br />

trilyun; tahun 2008 sebesar Rp 19,27 trilyun; <strong>dan</strong> tahun 2009 sebesar Rp 20,00 trilyun (Tabel 1).<br />

Catatan Penutup<br />

Selain skema bantuan di atas, pemerintah juga memberikan jaminan harga output<br />

tingkat tertentu seperti kebijakan HPP (Harga Pembelian <strong>Pemerintah</strong>) dengan harapan petani<br />

dapat menerima harga yang layak pada saat panen raya (over supply). Pemberian bantuan<br />

berupa subsidi untuk sarana produksi, modal <strong>dan</strong> jaminan harga (price support) yang diberikan<br />

secara terpadu kepada kelompok tani pada suatu wilayah atau kawasan pengembangan<br />

komoditas unggulan diharapkan mampu memberikan efek sinergis untuk mengakselerasi<br />

pembentukan kawasan komoditas unggulan.<br />

Kawasan pengembangan komoditas unggulan merupakan pusat pertumbuhan ekonomi<br />

wilayah dimana sektor pertanian sebagai andalannya <strong>dan</strong> dalam jangka panjang merupakan


44<br />

Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan <strong>dan</strong> Air<br />

cikal bakal terbentuk sistem pertanian industrial yang dicirikan oleh usaha pertanian bernilai<br />

tambah tinggi <strong>dan</strong> terintegrasi dalam satu wilayah <strong>dan</strong> juga terintegrasi dalam satu rantai<br />

pasok (supply chain) berdasarkan relasi kemitraan sinergis <strong>dan</strong> adil dengan bertumpu pada<br />

sumberdaya nasional, kearifan lokal serta ilmu pengetahuan <strong>dan</strong> teknologi berwawasan<br />

lingkungan. Sistem pertanian industrial adalah sosok pertanian ideal yang merupakan<br />

keharusan agar usaha pertanian dapat bertahan hidup <strong>dan</strong> tumbuh berkembang secara<br />

berkelanjutan dalam tatanan lingkungan persaingan global yang makin ketat.<br />

Tabel 1. Kawasan Pengembangan Komoditas Unggulan<br />

Propinsi Agroekosistem Kebupaten Komoditas Fokus Kegiatan<br />

1. NAD 1. Lahan Kering<br />

2. Lahan Sawah<br />

1. Aceh Tengah<br />

2. Aceh Timur<br />

1. Bun, Nak<br />

2. Pangan, Nak<br />

Infrastruktur<br />

IPTEK <strong>dan</strong> GAP<br />

2. SUMUT 1. Lahan Sawah<br />

2. Lahan Kering<br />

1. Madina<br />

2. Karo<br />

3. Dairi<br />

1. Pangan, Nak<br />

2. Horti, Nak<br />

3. Bun, Nak<br />

Infrastruktur<br />

IPTEK <strong>dan</strong> GAP<br />

Penataan sistem pasar<br />

3. RIAU 1. Lahan Kering 1. Inhil<br />

2. Kampar<br />

1. Bun, Nak<br />

2. Pangan, Bun,Nak<br />

Penataan sistem pasar<br />

Penataan Kel. Usaha<br />

4. KEPRI 1. Lahan Kering 1. Batam - Penataan sistem pasar<br />

5. SUMBAR 1. Lahan Sawah<br />

2. Lahan Kering<br />

1. Pesisir Sel.<br />

2. Agam<br />

3. Solok<br />

1. Pangan, Nak<br />

2. Horti, Nak<br />

3. Bun, Nak<br />

Penjaminan kredit<br />

IPTEK <strong>dan</strong> GAP<br />

6. JAMBI 1. Lahan Kering<br />

2. Lahan Kering<br />

1. Kerinci<br />

2. Tebo<br />

3. Tanjab Barat<br />

1. Horti, Nak<br />

2. Bun, Nak<br />

3. Bun, Nak<br />

Penataan sistem pasar<br />

Penataan Kel. Usaha<br />

Infrastruktur<br />

7. SUMSEL 1. Lahan Lebak<br />

2. Lahan Kering<br />

1. Muba<br />

2. Mura<br />

3. OKI<br />

Pangan, Bun, Nak, Horti Penataan sistem pasar<br />

Penataan Kel. Usaha<br />

Infrastruktur<br />

8. BABEL 1. Lahan Kering 1. Belitung Horti, Nak, Bun Infrastruktur


Analisis Kebijakan 45<br />

Tabel 1 (lanjutan)<br />

Propinsi Agroekosistem Kebupaten Komoditas Fokus Kegiatan<br />

9. Bengkulu 1. Lahan Kering 1. Rejang Lebong Horti, Nak, Bun, Infrastruktur<br />

10. Lampung 1. Lahan Sawah<br />

2. Lahan Kering<br />

3. Lahan Bun<br />

1. Lampung Ut<br />

2. Lampung Sel<br />

3. Tanggamus<br />

1. Pangan, Nak<br />

2. Horti, Nak<br />

3. Bun, Nak<br />

Rawan Pangan/Gizi IPTEK<br />

<strong>dan</strong> GAP Penataan Kel.<br />

Usaha<br />

11. JABAR 1. Lahan Sawah<br />

2. Lahan Kering<br />

12. JATENG 1. Lahan Sawah<br />

2. Lahan Kering<br />

1. Sukabumi<br />

2. Cirebon<br />

3. Garut<br />

4. Banjar<br />

1. Brebes<br />

2. Wonosobo<br />

3. Karanganyar<br />

Pangan, Bun, Nak, Penataan sistem pasar<br />

Horti<br />

Penataan Kel. Usaha<br />

IPTEK <strong>dan</strong> GAP<br />

Pangan, Horti, Nak, Penataan sistem pasar<br />

Bun<br />

Penataan Kel. Usaha<br />

IPTEK <strong>dan</strong> GAP<br />

Propinsi Agroekosistem Kebupaten Komoditas Fokus Kegiatan<br />

13. DIY 1. Lahan Kering 1. Kulon Progo<br />

2. Gunung Kidul<br />

14. JATIM 1. Lahan Sawah 1. Pasuruan<br />

2. Pacitan<br />

2. Lahan Kering 3. Bojonegoro<br />

Horti, Nak, Bun,<br />

Pangan<br />

Pangan, Horti, Nak,<br />

Bun<br />

Penataan sistem pasar<br />

Kelembagaan<br />

IPTEK <strong>dan</strong> GAP<br />

Penataan sistem pasar<br />

Kelembagaan<br />

Penjaminan kredit<br />

15. BALI 1. Lahan Kering 1. Klungkung Pangan, Bun, Nak, Penataan sistem pasar<br />

Horti<br />

Kelembagaan<br />

16. NTB 1. Lahan Kering 1. Sum. Besar<br />

2. Lom. Timur<br />

3. Dompu<br />

IPTEK <strong>dan</strong> GAP<br />

Pangan, Horti, Nak, Rawan Pangan/Gizi<br />

Bun<br />

Infrastruktur<br />

Kelembagaan


46<br />

Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan <strong>dan</strong> Air<br />

Tabel 1 (lanjutan)<br />

Propinsi Agroekosistem Kebupaten Komoditas Fokus Kegiatan<br />

17. NTT 1. Lahan Kering 1. TTU<br />

2. Sumba Timur<br />

3. Manggarai<br />

18. KALBAR 1. Lahan Kering 1. Bengkayang<br />

2. Sintang<br />

3. Sambas<br />

19. Kalteng 1. Lahan Gambut 1. Kapuas<br />

2. Kotawaringin<br />

3. Palangkaraya<br />

20. KALSEL 1. Lahan Lebak 1. Tapin<br />

2. HSS<br />

Pangan, Horti,<br />

Nak, Bun,<br />

Pangan, Horti,<br />

Nak, Bun,<br />

Pangan, Bun, Nak, Horti<br />

Pangan, Horti, Nak, Bun<br />

Rawan Pangan/Gizi<br />

Infrastruktur<br />

Kelembagaan<br />

Daerah perbatasan<br />

Infrastruktur<br />

Kelembagaan<br />

Infrastruktur<br />

Kelembagaan<br />

Infrastruktur<br />

Kelembagaan<br />

21. KALTIM 1. Lahan Kering 1. Nunukan<br />

2. Pasir<br />

Penajam Utara<br />

Pangan, Horti,<br />

Nak, Bun,<br />

Rawan Pangan/Gizi<br />

Infrastruktur<br />

Kelembagaan<br />

22. SULUT 1. Lahan Bun<br />

2. Lahan Keing<br />

1. Minsel<br />

2. Talaud<br />

Bun<br />

Pangan, Horti,<br />

Infrastruktur<br />

Penataan sistem pasar<br />

Nak, Bun,<br />

Kelembagaan<br />

23. GTO 1. Lahan Kering 1. Gorontalo Pangan, Bun, Nak, Horti Penjaminan kredit<br />

Kelembagaan<br />

24. Sulteng 1. Lahan Kering 1. Banggai Pangan, Horti, Nak, Bun Kelembagaan<br />

Infrastruktur<br />

Propinsi Agroekosistem Kebupaten Komoditas Fokus Kegiatan<br />

25. SULBAR 1. Lahan Kering 1. Mamuju Pangan, Horti,<br />

Nak, Bun,<br />

25. SULSEL 1. Lahan Kering 1. Toraja Pangan, Horti,<br />

2. Sinjau Nak, Bun,<br />

3. Barru<br />

Infrastruktur<br />

Kelembagaan<br />

Panataan sistem pasar<br />

IPTEK <strong>dan</strong> GAP<br />

Kelembagaan<br />

27. SULTRA 1. Lahan Gambut 1. Kolaka Pangan, Bun, Nak, Infrastruktur<br />

Horti<br />

Kelembagaan<br />

28. MALUT 1. Lahan Lebak 1. Halmahera<br />

Tengah<br />

Pangan, Horti, Nak, Infrastruktur<br />

Bun<br />

Kelembagaan


Analisis Kebijakan 47<br />

Tabel 1 (lanjutan)<br />

Propinsi Agroekosistem Kebupaten Komoditas Fokus Kegiatan<br />

29. Maluku 1. Lahan Kering 1. P. Buru Pangan, Horti,<br />

Nak, Bun,<br />

Rawan Pangan<br />

Infrastruktur<br />

Kelembagaan<br />

30. Papua 1. Lahan Kering 1. Biak<br />

2. Merauke<br />

Pangan, Horti,<br />

Nak, Bun,<br />

Rawan Pangan<br />

Infrastruktur<br />

Kelembagaan<br />

31. Irian Jaya<br />

Barat<br />

1. Lahan Kering 1. Manokwari Pangan, Bun, Nak, Rawan Pangan<br />

Horti<br />

Infrastruktur<br />

Kelembagaan<br />

Tabel 2. Kebutuhan subsidi untuk petani selama periode 2006-2009 (Rp Trilyun)<br />

Jenis Subsidi<br />

Tahun<br />

2006 2007 2008 2009 Total<br />

1. Benih Tan. Pangan 0.15 0.18 0.20 0.21 0.75<br />

2. Benih Tan. Hortikultura 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02<br />

3. Benih Tan. Perkebunan 7.27 8.57 9.47 9.47 34.78<br />

4. Bibit Peternakan 0.92 0.92 0.92 0.92 3.68<br />

5. Pupuk 7.27 7.64 8.02 8.43 31.36<br />

6. Permodalan 0.17 0.37 0.65 0.96 2.15<br />

Total 15.78 17.69 19.27 20.00 72.74

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!