29.01.2015 Views

Penanggulangan Perambahan Hutan di Kab. Sukabumi dan Cianjur

Penanggulangan Perambahan Hutan di Kab. Sukabumi dan Cianjur

Penanggulangan Perambahan Hutan di Kab. Sukabumi dan Cianjur

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Analisis Kebijakan 7<br />

<strong>Penanggulangan</strong> <strong>Perambahan</strong> <strong>Hutan</strong> <strong>di</strong> <strong>Kab</strong>. <strong>Sukabumi</strong> <strong>dan</strong> <strong>Cianjur</strong><br />

Ringkasan<br />

Di berbagai wilayah <strong>di</strong> Indonesia telah terja<strong>di</strong> bencana alam berupa<br />

banjir, erosi <strong>dan</strong> tanah longsor yang mengakibatkan kerugian materi <strong>dan</strong> korban<br />

jiwa. Bencana ini banyak <strong>di</strong>kaitkan dengan terja<strong>di</strong>nya perambahan <strong>dan</strong><br />

penggundulan hutan <strong>di</strong> bagian hulu Daerah Aliran Sungai. Penggundulan hutan<br />

yang <strong>di</strong>lakukan sangat intensif <strong>dan</strong> tanpa kendali telah merusak fungsi hutan<br />

sebagai penyangga air. Diduga, sebagian migran <strong>di</strong> perkotaan, kembali ke<br />

pedesaan <strong>dan</strong> turut merambah lahan-lahan yang seharusnya <strong>di</strong>pelihara<br />

keberadaan <strong>dan</strong> fungsinya. Sehubungan itu <strong>di</strong>lakukan kajian singkat untuk<br />

mengidentifikasi para pelaku perambahan hutan <strong>dan</strong> rusaknya fungsi hutan<br />

sebagai penyangga serta keterkaitannya dengan arus balik migran dari kota ke<br />

desa.<br />

Hasil kajian menunjukkan bahwa perambahan hutan bertujuan untuk dua<br />

hal. Pertama untuk memperluas lahan garapan <strong>dan</strong> kedua penjarahan hutan<br />

berupa pencurian hasil-hasil hutan khususnya kayu. Peristiwa ini sudah berjalan<br />

sejak lama <strong>dan</strong> pada awal reformasi terja<strong>di</strong> sangat luas yang <strong>di</strong>lakukan banyak<br />

pihak. Pada saat ini kegiatan perambahan sudah mereda. Namun demikian,<br />

perambaan yang terorganisir <strong>di</strong>tengarai masih ada, kendati tidak separah seperti<br />

keja<strong>di</strong>an awal reformasi.<br />

Dugaan bahwa para perambah hutan juga <strong>di</strong>lakukan oleh migran yang<br />

kembali dari kota (returning migrant), tidak dapat <strong>di</strong>buktikan dari kajian ini.<br />

Tidak <strong>di</strong>jumpai mantan migran dari kota yang datang ke desa <strong>dan</strong> melakukan<br />

perambahan hutan. Migrasi dari desa ke kota <strong>dan</strong> kembali lagi umumnya berasal<br />

dari kelompok usia muda ter<strong>di</strong><strong>di</strong>k <strong>dan</strong> tidak ada keterkaitannya dengan kegiatan<br />

<strong>di</strong> sektor pertanian. Migran yang kembali ke desa cenderung memilih kegiatan<br />

non pertanian seperti tukang ojeg motor <strong>dan</strong> pada jenis-jenis kegiatan non<br />

pertanian yang bersifat informal.<br />

Upaya mengantisipasi perambahan hutan dalam rangka penyelamatan<br />

lingkungan <strong>dan</strong> sekaligus meningkatkan kesejahteraan masysarakat, kebijakan<br />

Pengelolaan <strong>Hutan</strong> Bersama Masyarakat (PHBM) telah <strong>di</strong>aplikasikan atas dukungan<br />

pihak-pihak terkait. Kegiatan tersebut <strong>di</strong>nilai berhasil mengendalikan <strong>dan</strong><br />

menekan perambahan hutan. Namun demikian, kegiatan ini seyogyanya lebih<br />

<strong>di</strong>fokuskan <strong>dan</strong> <strong>di</strong>perkuat dengan basis partisipasi aktif dari semua pihak yang<br />

berkepentingan. Oleh karena itu, dalam operasionalisasinya perlu <strong>di</strong>upayakan<br />

koor<strong>di</strong>nasi <strong>dan</strong> keterpaduan kerja antar semua pihak. Bersamaan dengan itu,<br />

pengembangan kemampuan (capacity buil<strong>di</strong>ng) petani merupakan hal yang perlu<br />

mendapat perhatian pula.<br />

Di berbagai wilayah <strong>di</strong> Indonesia sering terja<strong>di</strong> bencana alam berupa<br />

banjir, erosi <strong>dan</strong> tanah longsor yang mengakibatkan kerugian materi <strong>dan</strong> juga<br />

korban jiwa. Isu mengenai penyebab bencana ini banyak <strong>di</strong>kaitkan dengan<br />

aktivitas manusia yang berakibat terja<strong>di</strong>nya ketidakseimbangan ekosistem,<br />

antara lain <strong>di</strong>sebabkan a<strong>dan</strong>ya perambahan <strong>dan</strong> penggundulan hutan <strong>di</strong> bagian<br />

hulu Daerah Aliran Sungai. Penggundulan hutan terja<strong>di</strong> dengan intensif <strong>dan</strong><br />

sangat sulit untuk <strong>di</strong>kendalikan. Disamping itu, a<strong>dan</strong>ya penebangan liar <strong>dan</strong>


8<br />

Bab IV.Analisis Dampak <strong>dan</strong> Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian<br />

pemanfaatan areal hutan yang tidak sesuai dengan kaedah konservasi lahan juga<br />

merusak fungsi hutan sebagai penyangga air.<br />

Isu perambahan hutan sebagai penyebab bencana alam <strong>di</strong>kaitkan pula<br />

dengan terja<strong>di</strong>nya arus balik migrasi (returning migration) dari kota ke desa.<br />

Sebagian angkatan kerja pedesaan yang bermigrasi ke kota, <strong>di</strong>duga telah kembali<br />

ke pedesaan karena tekanan ekonomi <strong>di</strong> perkotaan. Sektor pertanian merupakan<br />

andalan aktivitas <strong>dan</strong> menja<strong>di</strong>kannya sumber pendapatan <strong>di</strong> pedesaan. Namun<br />

demikian, dengan terbatasnya lahan pertanian yang dapat <strong>di</strong>garap menyebabkan<br />

mereka merambah ke lahan-lahan yang seharusnya <strong>di</strong>pelihara keberadaan <strong>dan</strong><br />

fungsinya.<br />

Kedua aspek ini, yaitu arus balik migrasi dari kota ke desa <strong>di</strong> satu sisi <strong>dan</strong><br />

terja<strong>di</strong>nya perambahan hutan <strong>di</strong> sisi lain perlu pengkajian secara empirik.<br />

Sehubungan itu telah <strong>di</strong>lakukan pengkajian secara cepat <strong>di</strong> 2 kabupaten <strong>di</strong> Jawa<br />

Barat, yaitu kabupaten <strong>Sukabumi</strong> <strong>dan</strong> kabupaten <strong>Cianjur</strong>. Kedua kabupaten<br />

tersebut memiliki potensi sebagai peristiwa arus balik migrasi dari kota <strong>dan</strong><br />

kemungkinan terja<strong>di</strong>nya perambahan hutan.<br />

Secara umum, data <strong>dan</strong> informasi yang <strong>di</strong>kumpulkan <strong>dan</strong> <strong>di</strong><strong>di</strong>skusikan<br />

dalam kajian ini meliputi 3 aspek, yaitu (i) isu perambahan hutan, (ii)<br />

karakteristik perambah hutan, <strong>dan</strong> (iii) kebijakan penanggulangan perambahan<br />

hutan. Data <strong>dan</strong> informasi <strong>di</strong>himpun dari berbagai instansi yang terkait <strong>di</strong> kedua<br />

kabupaten, yakni Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Perum Perhutani, Dinas<br />

Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Untuk kelengkapan data<br />

<strong>dan</strong> informasi, juga <strong>di</strong>lakukan kunjungn dengan melihat langsung (field<br />

observation) lokasi desa <strong>dan</strong> areal hutan <strong>di</strong>sekitarnya, sekaligus ber<strong>di</strong>skusi<br />

dengan masyarakat <strong>dan</strong> informan kunci (formal <strong>dan</strong> informal) melalui survey<br />

singkat. Lokasi survey <strong>di</strong>lakukan <strong>di</strong> desa Unrus Binangun, kecamatan Kadu<br />

Dampit, kabupaten <strong>Sukabumi</strong> <strong>dan</strong> desa Sukamanah, kecamatan Cibeber,<br />

kabupaten <strong>Cianjur</strong>.<br />

Isu <strong>Perambahan</strong> <strong>Hutan</strong><br />

<strong>Perambahan</strong> hutan terja<strong>di</strong> secara meluas sekitar awal era reformasi yaitu<br />

tahun 1999/2000. Beberapa faktor yang memicu perambahan tersebut, antara<br />

lain: (1) masyarakat menyambut gembira era reformasi namun lepas kendali, (2)<br />

timbulnya tekanan ekonomi akibat krisis , <strong>dan</strong> (3) a<strong>dan</strong>ya kesalahan interpretasi<br />

masyarakat terhadap kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hutan secara<br />

bersama (sharing management) antara pemerintah <strong>dan</strong> masyarakat.<br />

Dampak negatif penjarahan hutan pada awal reformasi sangat signifikan<br />

terutama bagi masyarakat desa-desa sekitar hutan. Beberapa areal hutan<br />

menja<strong>di</strong> gundul <strong>dan</strong> kemu<strong>di</strong>an terja<strong>di</strong> bencana banjir, tanah longsor <strong>dan</strong> erosi <strong>di</strong><br />

beberapa tempat. Di desa Unrus Binangun misalnya, salah satu desa <strong>di</strong><br />

Kecamatan Kadudampit <strong>Kab</strong>upaten <strong>Sukabumi</strong> bagian utara, akibat yang <strong>di</strong>rasakan<br />

adalah banjir <strong>dan</strong> tanah longsor yang telah merenggut korban jiwa <strong>dan</strong> harta<br />

benda. <strong>Perambahan</strong> hutan oleh masyarakat <strong>di</strong> wilayah utara bertujuan lebih<br />

kepada penguasaan areal untuk garapan terutama para petani setempat yang<br />

tidak memiliki lahan. Di wilayah lain, bagian selatan kabupaten <strong>Sukabumi</strong><br />

penjarahan <strong>di</strong>lakukan dengan motivasi pencurian kayu <strong>dan</strong> hasil hutan.


Analisis Kebijakan 9<br />

Di kecamatan Jampang Kulon <strong>dan</strong> Nyalindung, penjarahan yang terja<strong>di</strong><br />

tahun 1999 sangat intensif <strong>dan</strong> keterlibatan masyarakat sangat luas. <strong>Hutan</strong> jati<br />

yang memang sudah saatnya <strong>di</strong>tebang habis <strong>di</strong>jarah “masyarakat” namun Perum<br />

Perhutani tidak dapat berbuat apa-apa. Pada waktu itu penjarah tidak hanya<br />

masyarakat sekitar hutan tapi juga masyarakat dari luar daerah dengan<br />

memprovokasi bahwa areal hutan yang ada merupakan tanah milik adat yang<br />

<strong>di</strong>titipkan kepada negara. Dengan demikian, masyarakat berhak atas produksi<br />

kayu <strong>dan</strong> berhak menja<strong>di</strong>kannya sebagai tanah garapan. Tapi <strong>di</strong> kecamatan<br />

Kadudampit peristiwa serupa dapat <strong>di</strong>cegah <strong>dan</strong> <strong>di</strong>gagalkan aparat setempat.<br />

Aparat setempat terus menghimbau masyarakat agar menghentikan penjarahan<br />

tersebut. Walaupun penjarahan cenderung berkurang, kasus-kasus setempat<br />

masih terja<strong>di</strong> <strong>dan</strong> tidak se<strong>di</strong>kit yang terus <strong>di</strong>proses ke penga<strong>di</strong>lan. Ternyata,<br />

membawa kasus penjarahan hutan ke penga<strong>di</strong>lan tersebut membuat masyarakat<br />

jera.<br />

Penjarahan hutan tidak terja<strong>di</strong> secara spora<strong>di</strong>s tapi terpencar berupa<br />

spot-spot tertentu dengan total areal yang luas. Hal ini berakibat bahwa<br />

penanganan penghutanan kembali menja<strong>di</strong> sulit <strong>dan</strong> memakan waktu lama.<br />

Beberapa areal hutan Perhutani yang belum <strong>di</strong>tanami akibat penjarahan,<br />

<strong>di</strong>manfaatkan masyarakat untuk usahatani tanaman pangan seperti pa<strong>di</strong> gogo <strong>dan</strong><br />

palawija <strong>dan</strong> sayuran. Dalam jangka pendek, berdampak positif terhadap luas<br />

tanam <strong>dan</strong> produksi tanaman pangan <strong>dan</strong> sayuran. Dinas Pertanian mencontohkan<br />

bahwa perluasan areal tanam pa<strong>di</strong> gogo <strong>di</strong> kabupaten <strong>Sukabumi</strong> meningkat lebih<br />

dari 10 ribu hektar dengan cara mengizinkan petani mengusahakan tanaman <strong>di</strong><br />

areal hutan yang belum <strong>di</strong>tanami tanaman pokok.<br />

Akan tetapi, dalam jangka panjang, keterlambatan Perhutani menanam<br />

kembali areal hutan yang kosong mengancam berfungsinya areal tangkapan air<br />

yang dapat menimbulkan kekeringan. Laporan Dinas Pertanian mencatat bahwa<br />

pada tahun 2004 merupakan waktu paling parah dalam hal kekeringan bagi areal<br />

pertanian <strong>di</strong> wilayah <strong>Sukabumi</strong>, yang meliputi sekitar 14 ribu hektar. Sementara,<br />

data terakhir tahun 2006 <strong>di</strong>rinci bahwa areal sawah yang mengalami kerusakan<br />

akibat kekeringan dengan klasifikasi rusak berat seluas 118 Ha, rusak se<strong>dan</strong>g 246<br />

Ha <strong>dan</strong> rusak ringan seluas 624 Ha.<br />

Akhir-akhir ini, kegiatan perambahan hutan sudah sangat berkurang.<br />

Namun demikian, perambahan yang terorganisir rapi <strong>di</strong>tengarai masih tetap ada,<br />

kendati tidak separah seperti keja<strong>di</strong>an pada awal era reformasi. Penjarahan yang<br />

terja<strong>di</strong> pada awal era reformasi <strong>di</strong>lakukan dengan motivasi pencurian kayu, tapi<br />

perambahan hutan yang terja<strong>di</strong> saat ini <strong>di</strong>lakukan untuk mendapatkan lahan<br />

garapan usahatani.<br />

Karakteristik <strong>Perambahan</strong> <strong>Hutan</strong><br />

Meskipun beberapa anggota masyarakat <strong>di</strong> sekitar hutan terlibat dalam<br />

penjarahan hutan pada awal era reformasi, tapi sebetulnya pelaku utamanya<br />

adalah oknum-oknum tertentu yang mempunyai kekuasaan, kekuatan <strong>dan</strong><br />

kemampuan finansial. Oknum-oknum tersebut sekaligus sebagai penampung hasil<br />

jarahan. Pada dasarnya penjarahan hutan pada saat itu merupakan pencurian<br />

kayu <strong>di</strong> areal hutan dengan motovasi ekonomi. Namun seorang kepala desa


10<br />

Bab IV.Analisis Dampak <strong>dan</strong> Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian<br />

mengatakan bahwa tidak satu orangpun warga desanya yang menja<strong>di</strong> kaya dari<br />

hasil menjarah hutan.<br />

Warga masyarakat yang melakukan perambahan hutan dengan tujuan<br />

untuk mendapat areal garapan umumnya memang dari kelompok yang tidak<br />

memiliki lahan atau petani dengan luas garapan sempit. Para perambah tidak<br />

hanya berasal dari warga desa yang berbatasan langsung dengan areal hutan, tapi<br />

juga datang dari daerah/desa lain dalam kecamatan yang sama.<br />

Dugaan bahwa para perambah hutan juga berasal dari migran yang<br />

kembali dari kota (returning migrant), tidak dapat <strong>di</strong>buktikan dari kajian ini. Di<br />

dua lokasi yang <strong>di</strong>kaji tidak <strong>di</strong>jumpai anggota masyarakat migran dari kota yang<br />

datang ke desa <strong>dan</strong> melakukan perambahan hutan. Meskipun tidak ada data<br />

akurat mengenai jumlah anggota masyarakat yang ta<strong>di</strong>nya bermigrasi ke kota <strong>dan</strong><br />

kembali ke desa, namun dapat <strong>di</strong>pastikan bahwa sebagian besar <strong>di</strong>antara mereka<br />

berasal dari kelompok usia muda ter<strong>di</strong><strong>di</strong>k <strong>dan</strong> tidak ada keterkaitannya dengan<br />

kegiatan <strong>di</strong> sektor pertanian. Para migran yang bekerja <strong>dan</strong> berusaha <strong>di</strong><br />

perkotaan sejak awal umumnya bukanlah pekerja pertanian. Pada kenyataannya,<br />

migran yang kembali ke desa cenderung memilih kegiatan non pertanian seperti<br />

tukang ojeg motor yang akhir-akhir ini banyak <strong>di</strong>jumpai <strong>di</strong> pedesaan <strong>dan</strong> jenisjenis<br />

kegiatan non pertanian lain <strong>di</strong> sektor informal. Kenyataan ini sejalan<br />

dengan hasil penelitian Nurmanaf et al tahun (2000) 2 yang menjelaskan bahwa<br />

kegiatan <strong>di</strong> sektor pertanian hanya merupakan kegiatan sementara bagi para<br />

mantan migran <strong>di</strong> pedesaan sebelum mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih<br />

sesuai ketimbang menganggur.<br />

Fenomena migrasi dari desa ke kota telah mengalami pergeseran. Pada<br />

periode-periode terdahulu, terdapat keterkaitan antara waktu bermigrasi dengan<br />

fase kegiatan pertanian <strong>di</strong> desa asalnya. Pada saat kegiatan pertanian tidak<br />

sibuk, misalnya menunggu panen, pekerja pertanian berangkat ke kota <strong>dan</strong> akan<br />

kembali ke desa bila kegiatan pertanian mulai sibuk kembali. Fenomena seperti<br />

ini <strong>di</strong>sebut sebagai migrasi musiman (seasonal migration). Namun, pada saat ini<br />

hal demikian tidak terja<strong>di</strong> lagi. Sejak awal para migran ter<strong>di</strong>ri dari angkatan<br />

kerja muda, relatif ter<strong>di</strong><strong>di</strong>k <strong>dan</strong> bukan berasal dari pekerja pertanian. Oleh<br />

karena itu, kegiatan bermigrasi tidak berkaitan dengan kegiatan pertanian <strong>di</strong><br />

pedesaan yang bersifat musiman <strong>dan</strong> <strong>di</strong>lakukan sepanjang tahun 3 . Hal ini<br />

menunjukkan a<strong>dan</strong>ya spesialisasi tentang warga yang bekerja sebagai migran <strong>di</strong><br />

perkotaan <strong>dan</strong> warga yang bekerja <strong>di</strong> pedesaan<br />

Kebijakan Mengantisipasi <strong>Perambahan</strong> <strong>Hutan</strong><br />

Selain memerlukan waktu, tenaga <strong>dan</strong> biaya, upaya mewujudkan<br />

pengelolaan <strong>dan</strong> mengantisipasi perambahan hutan, memerlukan komitmen yang<br />

tinggi baik dari pemerintah maupun masyarakat. Perum Perhutani telah<br />

2 Nurmanaf et al. (2000) :Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Struktur Pasar Tenaga Kerja Pertanian <strong>di</strong><br />

Pedesaan. Puslitbang Sosek Pertanian.<br />

3 Syafaat et al. (1998). Mobilitas Tenaga Kerja Pedesaan. Puslit Sosek Pertanian.


Analisis Kebijakan 11<br />

mencanangkan program Pengelolaan <strong>Hutan</strong> Bersama Masyarakat (PHBM). Program<br />

ini berlandaskan payung hukum, seperti: (i) Peraturan Daerah (Perda) <strong>Kab</strong>upaten<br />

<strong>Sukabumi</strong> No.13/2003; (ii) dukungan internal Surat Keputusan Direksi Perum<br />

Perhutani No.136/2001 <strong>dan</strong> N0.001/2002; (iii) Prosedur Tetap (Protap)<br />

No.14/2004; <strong>dan</strong> (iv) Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Jawa Barat<br />

No.11/2006.<br />

Inti dari program PHBM adalah untuk meningkatkan rasa memiliki (sense<br />

of belonging) melalui kepedulian <strong>dan</strong> kebersamaan terhadap eksistensi hutan.<br />

Hal in sesuai dengan perubahan para<strong>di</strong>gma pengelolaan hutan dari aspek<br />

orientasi produksi kayu ke aspek sosial ekonomi <strong>dan</strong> budaya, <strong>dan</strong> dari aspek<br />

bantuan ke aspek partisipasi masyarakat. Adapun latar belakang program PHBM<br />

adalah: (1) kon<strong>di</strong>si hutan yang <strong>di</strong>kelola Perhutani rusak akibat gangguan<br />

keamanan, potensi <strong>dan</strong> produktivitas menurun <strong>dan</strong> semakin meluasnya tanah<br />

kosong, (2) kon<strong>di</strong>si masyarakat desa sekitar hutan yang <strong>di</strong>cirikan rendahnya rasa<br />

memiliki, rendahnya kesadaran akan fungsi <strong>dan</strong> manfaat hutan, tekanan sosial<br />

ekonomi serta rendahnya kesadaran hukum, (3) tidak terkoor<strong>di</strong>nirnya<br />

keterpaduan antara kepentingan masyarakat dengan kegiatan Perum Perhutani,<br />

<strong>dan</strong> (4) a<strong>dan</strong>ya budaya lama yang kontra produktif (seperti aroganisme <strong>dan</strong><br />

feodalistik).<br />

Program PHBM mulai <strong>di</strong>canangkan tahun 2003 dengan anggaran<br />

operasional Perum Perhutani. Sebenarnya program ini merupakan mo<strong>di</strong>fikasi <strong>dan</strong><br />

tindak lanjut dari program pengelolaan sumberdaya hutan yang pernah<br />

<strong>di</strong>aplikasikan sebelumnya. Proyek “malu” (mantri hutan <strong>dan</strong> lurah) <strong>di</strong>ciptakan<br />

tahun 1972; <strong>di</strong>ikuti Pembinaan Masyarakat Desa <strong>Hutan</strong> (PMDH) pada tahun 1982;<br />

selanjutnya PMDH yang <strong>di</strong>lengkapi dengan Perhutanan Sosial (PS) pada tahun<br />

1984. Kemu<strong>di</strong>an PMDH <strong>dan</strong> PS <strong>di</strong>lengkapi lagi dengan Pembinaan Desa <strong>Hutan</strong><br />

(PDH) pada tahun 1990; <strong>di</strong>teruskan lagi dengan PMDH Terpadu pada tahun 1995,<br />

<strong>dan</strong> Pengelolaan <strong>Hutan</strong> Bersama Masyarakat (PHBM) dengan tema “Sukses<br />

Tanaman <strong>dan</strong> Keamanan” tahun 1999.<br />

Tujuan yang ingin <strong>di</strong>capai dengan program PHBM antara lain: (a)<br />

membangkitkan rasa bertanggung jawab semua pemangku kepentingan<br />

(stakeholders) terhadap fungsi <strong>dan</strong> manfaat hutan (hutan lestari), (b)<br />

meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan <strong>dan</strong> fihak-fihak lain.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan bi<strong>dan</strong>g kegiatan yang <strong>di</strong>lakukan melalui PHBM meliputi: (i) keamanan<br />

hutan, (ii) pembinaan hutan, (iii) produksi hutan (kayu <strong>dan</strong> non kayu), <strong>dan</strong> (iv)<br />

pengembangan wisata.<br />

Proses kegiatan PHBM <strong>di</strong>tempuh malalui beberapa fase, <strong>di</strong>antaranya: (1)<br />

sosialisai kegiatan, (2) pembentukan kelembagaan (Kelompok Tani <strong>Hutan</strong>/KTH<br />

<strong>dan</strong> Lembaga Masyarakat Desa <strong>Hutan</strong>/LMDH), (3) pemetaan batas desa <strong>dan</strong><br />

hutan, (4) inventarisasi potensi sumberdaya, (5) penyusunan perencanaan<br />

kegiatan, <strong>dan</strong> (6) perjanjian atau nota kesepakatan. Sementara itu pemangku<br />

kepentingan PHBM ter<strong>di</strong>ri dari Perum Perhutani, masyarakat desa hutan, institusi<br />

pemerintahan, LSM, tokoh masyarakat, swasta, koperasi <strong>dan</strong> fihak-fihak lain<br />

terkait.<br />

PHBM merupakan kegiatan kerjasama pemanfaatan lahan milik Perum<br />

Perhutani oleh masyarakat desa sekitar hutan melalui sistem tumpangsari dengan


12<br />

Bab IV.Analisis Dampak <strong>dan</strong> Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian<br />

tanaman utama/pokok. Sistem tumpangsari tersebut <strong>di</strong>laksanakan melalui<br />

perjajnjian <strong>dan</strong> pengaturan pembagian hasil antara masyarakat petani dengan<br />

Perum Perhutani. Secara garis besar, implementasiPHBM adalah sebagai berikut:<br />

1) Perum Perhutani memberikan fasilitas pemanfaatan lahan kehutanan<br />

kepada masyarakat <strong>di</strong> sekitar hutan untuk <strong>di</strong>kelola secara baik sesuai<br />

dengan kaidah konservasi. Pengusahaan lahan <strong>di</strong>bagi merata antar peserta<br />

dengan prioritas bagi yang tidak memiliki lahan.<br />

2) Masyarakat berkewajiban menjaga pohon tegakan/pokok yang pada saat<br />

penebangan sebesar 25% menja<strong>di</strong> bagian mereka.<br />

3) Pada saat pohon pokok masih muda (tahap penjarangan), masyarakat dapat<br />

mengusahakan jenis tanaman semusim yang semua hasil panen nya menja<strong>di</strong><br />

hak masyarakat yang mengusahakan.<br />

4) Apabila pohon sudah besar <strong>dan</strong> secara teknis pengusahaan tanaman<br />

semusim tidak layak lagi, masyarakat dapat mengusahakan jenis tanaman<br />

tahunan yang sesuai dengan tanaman pokok <strong>dan</strong> berfungsi sebagai tanaman<br />

pelindung. Pembagian hasil panen tanaman tahunan yang <strong>di</strong>tumpangsarikan<br />

dengan tanaman pokok <strong>di</strong>bagi sebesar 65% untuk masyarakat, 30% untuk<br />

Perum Perhutani <strong>dan</strong> 5% untuk pemerintahan desa.<br />

5) Masyarakat mendapat bimbingan teknis melalui wadah Kelompok Tani<br />

<strong>Hutan</strong> (KTH) yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa <strong>Hutan</strong><br />

(LMDH). Bimbingan tersebut <strong>di</strong>fasilitasi oleh Perum Perhutani, LSM,<br />

penyuluh pertanian/kehutanan, penyuluh swakarsa <strong>dan</strong> jajaran instansi<br />

terkait.<br />

6) Untuk menambah wawasan masyarakat, Perum Perhutani juga<br />

memfasilitasi kegiatan stu<strong>di</strong> ban<strong>di</strong>ng ke lokasi lain.<br />

Implementasi PHBM <strong>di</strong> <strong>Kab</strong>upaten <strong>Sukabumi</strong><br />

Di kabupaten <strong>Sukabumi</strong> tercatat sebanyak 142 desa yang merupakan desa<br />

yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan yang <strong>di</strong>sebut desa hutan. Hingga<br />

tahun 2005 implementasi kegiatan PHBM telah menjangkau lebih dari 80% desadesa<br />

hutan. Warga desa yang <strong>di</strong>ikutsertakan dalam kegiatan PHBM <strong>di</strong>prioritaskan<br />

anggota masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian <strong>dan</strong> memiliki motivasi<br />

tinggi <strong>dan</strong> sudah biasa mengusahakan kegiatan usahatani khususnya pertanian<br />

lahan kering. Rataan luas penggarapan berkisar antara 0.5 sampai 1.0 hektar.<br />

Masyarakat tampak antusias mengikuti kegiatan PHBM tersebut.<br />

Sebelum ada kegiatan PHBM, masyarakat cenderung takut melakukan<br />

aktivitas <strong>di</strong> areal kawasan hutan. Hal ini terkait pada pengalaman masa lalu<br />

beberapa warga yang berurusan dengan penga<strong>di</strong>lan akibat terlibat penjarahan<br />

hutan pada awal era reformasi. Namun demikian, dengan ikut dalam kegiatan<br />

PHBM masyarakat dapat memanfaatkan lahan hutan dengan legal tanpa <strong>di</strong>bebani<br />

rasa takut. Sebagian peserta kegiatan PHBM tinggal <strong>di</strong> hutan <strong>dan</strong> turun ke<br />

perkampungan sekali dalam seminggu. Hal ini menunjukkan tingginya motivasi<br />

berusahatani <strong>di</strong>samping untuk menjaga usahataninya agar aman dari gangguan<br />

hama. Data Perum Perhutani juga memperlihatkan bahwa peristiwa perambahan<br />

hutan sudah sangat berkurang. Tahun 2003 luas hutan yang <strong>di</strong>rambah mencapai


Analisis Kebijakan 13<br />

lebih dari 3 ribu hektar dengan perambah lebih dari 5 ribu orang; <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan<br />

dengan data tahun 2005 dengan luas hutan yang <strong>di</strong>rambah hanya 335 hektar<br />

dengan jumlah perambah 476 orang. Areal yang <strong>di</strong>rambah terpencar, berupa<br />

spot-spot dengan luasan lebih kecil. Dengan meluasnya kegiatan PHBM<br />

<strong>di</strong>harapkan perambahan hutan akan terus berkurang. Keberhasilan ini<br />

<strong>di</strong>manfaatkan oleh Dinas Pertanian dengan melaksanakan program pengembangan<br />

agribisnis komo<strong>di</strong>tas unggulan (hortikultura) <strong>di</strong> dataran tinggi <strong>dan</strong> program<br />

Perluasan Areal Tanam (PAT) yang <strong>di</strong>integrasikan dengan masyarakat <strong>dan</strong> areal<br />

PHBM.<br />

Pada saat kegiatan PHBM berjalan sekitar 2 tahun, <strong>di</strong>keluarkan SK Menhut<br />

No. 175/2003 tentang perluasan Taman Nasional untuk mengembalikan fungsi<br />

konservasi (<strong>di</strong> <strong>Kab</strong>upaten <strong>Sukabumi</strong> mencapai luasan hampir 20 ribu hektar).<br />

Sebagian areal merupakan areal yang <strong>di</strong>cakup program PHBM. Selain itu,<br />

<strong>di</strong>terbitkan SK Gubernur Jawa Barat No.522/tahun 2003 tentang larangan<br />

kegiatan tumpangsari pada kawasan hutan dengan kemiringan <strong>di</strong>atas 40%. Dengan<br />

<strong>di</strong>keluarkannya peraturan-peraturan tersebut menja<strong>di</strong> sangat <strong>di</strong>lematis bagi<br />

peserta kegiatan PHBM yang masuk kawasan Taman Nasional. Untuk<br />

mengeluarkan petani yang telah mengelola <strong>dan</strong> memelihara tanaman pokok<br />

hutan dengan pola PHBM tidak mudah, karena <strong>di</strong>ntara petani ada yang telah<br />

mengeluarkan biaya yang cukup besar.<br />

Untuk menangani masalah tersebut, <strong>di</strong>susun program lain yang<br />

<strong>di</strong>harapkan dapat <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan kompensasi sebagai konsekuensi <strong>di</strong>keluarkannya<br />

peraturan tersebut. Walaupun bentuknya berbeda, <strong>di</strong>rancang kegiatan PHBM <strong>di</strong><br />

luar kawasan hutan. Petani peserta yang harus keluar dari hutan <strong>di</strong>berikan<br />

kesempatan mengusahakan peternakan domba dengan sistem bagi hasil, yaitu<br />

65% pemelihara <strong>dan</strong> 35% Perum Perhutani. Bagian untuk Perum Perhutani<br />

<strong>di</strong>gulirkan pada pemelihara lain. Upaya ini <strong>di</strong>sinergiskan dengan program Dinas<br />

Peternakan yang <strong>di</strong>laksanakan dengan sistem bagi hasil dari penggemukan<br />

domba. Bentuk kompensasi lain berupa pembuatan katering air untuk rumah<br />

tangga <strong>di</strong> desa (bahan dari Perum Perhutani <strong>dan</strong> tenaga kerja dari masyarakat);<br />

pembentukan koperasi simpan pinjam <strong>dan</strong> usaha pupuk bagi anggota LMDH. Pada<br />

kenyataannya, sejauh ini dapat <strong>di</strong>terima masyarakat <strong>dan</strong> tidak terja<strong>di</strong> dampakdampak<br />

negatif.<br />

Implementasi PHBM DI <strong>Kab</strong>upaten <strong>Cianjur</strong><br />

Kegiatan PHBM <strong>di</strong> kabupaten <strong>Cianjur</strong>, secara formal baru pada tahapan<br />

pembentukan kelembagaan seperti LMDH <strong>dan</strong> KTH. Kenyataan <strong>di</strong>lapangan<br />

menunjukkan bahwa persiapan-persiapan relatif baik namun masih menunggu<br />

operasional kesepakatan secara hukum. Di kabupaten <strong>Cianjur</strong> ada 148 desa yang<br />

berbatasan dengan areal hutan <strong>dan</strong> <strong>di</strong>harapkan seluruhnya dapat <strong>di</strong>ikutkan dalam<br />

kegiatan PHBM. Sesungguhnya kegiatan berupa kerjasama antara Perum<br />

Perhutani <strong>dan</strong> masyarakat telah ada jauh sebelumnya, yaitu program Perhutanan<br />

Sosial (Social Forestry). Dengan demikian, <strong>di</strong>perkenalkannya kegiatan PHBM <strong>di</strong><br />

desa mereka <strong>di</strong>sambut baik oleh masyarakat sekitar hutan.<br />

Kasus <strong>di</strong> desa Selage<strong>dan</strong>g tanaman pokok kehutanan adalah pohon pinus.<br />

Oleh karena pohon pinus sudah berumur hampir 5 tahun, sudah tidak memadai


14<br />

Bab IV.Analisis Dampak <strong>dan</strong> Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian<br />

lagi <strong>di</strong>usahakan tanaman semusim sebagai tanaman tumpangsari. Dengan<br />

demikian, atas persetujuan Perum Perhutani jenis tanaman tumpangsari<br />

<strong>di</strong>usahakan tanaman kopi. Keadaan demikian merupakan alasan petani tidak<br />

tertarik mengikuti PHBM karena tidak ada kesempatan mengusahakan tanaman<br />

semusim khususnya tanaman pangan.<br />

Di wilayah lain, petani mengusahakan tanaman pangan yang <strong>di</strong>sinergiskan<br />

dengan program Dinas Pertanian Tanaman Pangan, yaitu berupa Program<br />

Pengembangan Kedele <strong>dan</strong> Program Pengembangan Jagung Hibrida. Dinas<br />

Pertanian Tanaman Pangan juga merencanakan Perluasan Areal Tanam komo<strong>di</strong>tas<br />

kacang tanah <strong>dan</strong> jagung tahun 2006.<br />

Dengan <strong>di</strong>aplikasikannya kegiatan PHBM dengan Perum perhutani <strong>dan</strong><br />

berbagai program yang <strong>di</strong>laksanakan Dinas Pertanian Tanaman Pangan,<br />

<strong>di</strong>harapkan dapat menekan terja<strong>di</strong>nya perambahan hutan <strong>di</strong> kabupaten <strong>Cianjur</strong>.<br />

Masyarakat secara sadar turut mengamankan, merehabilitasi serta melestarikan<br />

kawasan <strong>di</strong>samping memanfaatkannya.<br />

Kesimpulan<br />

<strong>Perambahan</strong> hutan yang <strong>di</strong>lakukan masyarakat bertujuan untuk dua hal<br />

yaitu: untuk memperluas lahan garapan <strong>dan</strong> pencurian hasil-hasil hutan<br />

khususnya kayu. Peristiwa ini sudah berjalan sejak lama <strong>dan</strong> pada awal reformasi<br />

hal ini terja<strong>di</strong> sangat luas melibatkan banyak pihak. Pada saat ini kegiatan<br />

perambahan secara umum sudah mereda. Namun, perambahan yang terorganisir<br />

<strong>di</strong>tengarai masih ada, kendati tidak separah seperti keja<strong>di</strong>an awal reformasi.<br />

Dugaan bahwa para perambah hutan juga <strong>di</strong>lakukan oleh migran yang<br />

kembali dari kota (returning migrant), tidak dapat <strong>di</strong>buktikan dari kajian ini. Di<br />

lokasi kajian tidak <strong>di</strong>jumpai anggota masyarakat migran dari kota yang datang ke<br />

desa <strong>dan</strong> melakukan perambahan hutan. Migrasi dari desa ke kota <strong>dan</strong> kemu<strong>di</strong>an<br />

kembali umumnya berasal dari kelompok usia muda ter<strong>di</strong><strong>di</strong>k <strong>dan</strong> tidak ada<br />

keterkaitannya dengan kegiatan <strong>di</strong> sektor pertanian. Migran yang kembali ke desa<br />

cenderung memilih kegiatan non pertanian seperti tukang ojeg motor <strong>dan</strong> jenisjenis<br />

kegiatan non pertanian yang bersifat informal. Fenomena migrasi dari desa<br />

ke kota pada saat ini telah berubah. Para migran ter<strong>di</strong>ri dari angkatan kerja<br />

muda, relatif ter<strong>di</strong><strong>di</strong>k <strong>dan</strong> bukan berasal dari pekerja pertanian.<br />

Upaya mengantisipasi perambahan hutan dalam rangka penyelamatan<br />

lingkungan <strong>dan</strong> sekaligus meningkatkan kesejahteraan masysarakat, kebijakan<br />

yang menciptakan kegiatan Pengelolaan <strong>Hutan</strong> Bersama Masyarakat (PHBM) telah<br />

<strong>di</strong>aplikasikan atas dukungan berbagai pihak. Program tersebut <strong>di</strong>nilai berhasil<br />

mengendalikan <strong>dan</strong> menekan penjarahan/perambahan hutan. Namun demikian,<br />

kegiatan ini seyogyanya lebih <strong>di</strong>fokuskan <strong>dan</strong> <strong>di</strong>perkuat dengan basis partisipasi<br />

aktif <strong>dan</strong> membangun rasa memiliki dari semua pihak yang berkepentingan. Oleh<br />

karena itu, dalam operasionalisasinya perlu <strong>di</strong>upayakan koor<strong>di</strong>nasi <strong>dan</strong><br />

keterpaduan kerja antar semua pihak. Bersamaan dengan itu, pengembangan<br />

kemampuan (capacity buil<strong>di</strong>ng) petani merupakan hal yang perlu mendapat<br />

perhatian pula.


Analisis Kebijakan 15<br />

TABEL-TABEL LAMPIRAN<br />

Tabel 1. Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama<br />

<strong>di</strong> <strong>Kab</strong>upaten <strong>Sukabumi</strong>, Jawa Barat, 2005<br />

Lapangan pekerjaan Jumlah Penduduk (jiwa) Proporsi (%)<br />

1. Pertanian<br />

2. Industri<br />

3. Perdagangan<br />

4. Jasa<br />

5. Lainnya<br />

375.262<br />

101.048<br />

186.955<br />

73.707<br />

94.495<br />

45,13<br />

12,15<br />

22,48<br />

8,87<br />

11,37<br />

Total 813.467 100,00<br />

Sumber: BPS <strong>Kab</strong>upaten <strong>Sukabumi</strong>, 2006<br />

Tabel 2. Perkembangan rasio rumah tangga pertanian terhadap luas baku<br />

lahan pertanian <strong>di</strong> <strong>Kab</strong>upaten <strong>Sukabumi</strong>, Jawa Barat, 2003 <strong>dan</strong><br />

2005<br />

Uraian<br />

Tahun<br />

2003 2005<br />

Perkembangan<br />

(% per tahun)<br />

A. Luas baku lahan pertanian (Ha)<br />

1. Luas sawah<br />

63.571<br />

62.715<br />

- 0,67<br />

2. Luas daratan 1<br />

156.125<br />

144.174<br />

- 3,83<br />

Total<br />

219.696<br />

206.889<br />

- 2,92<br />

B. Jml. rumah tangga pertanian (r.tg)<br />

288.069<br />

375.262<br />

+ 15,13<br />

C. Rasio LBP thd. RTP (Ha / r.tg)<br />

0.76<br />

0.55<br />

- 13,82<br />

Keterangan: 1 Ter<strong>di</strong>ri dari tegal/la<strong>dan</strong>g/kebun/huma/hutan rakyat <strong>dan</strong> tanah yang sementara tidak<br />

<strong>di</strong>gunakan<br />

Sumber: BPS <strong>Kab</strong>. <strong>Sukabumi</strong> 2003 <strong>dan</strong> 2006


16<br />

Bab IV.Analisis Dampak <strong>dan</strong> Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian<br />

Tabel 3. Perkembangan jumlah migran <strong>dan</strong> TKI <strong>di</strong> <strong>Kab</strong>upaten <strong>Sukabumi</strong>,<br />

1999 – 2004<br />

(jiwa)<br />

Uraian<br />

Tahun<br />

1999 2002 2003 2004<br />

TKI / TKW<br />

8.436<br />

100<br />

12<br />

16.912<br />

Realisasi Transmigrasi ke Luar Jawa<br />

Ekso<strong>dan</strong> (kembali ke <strong>Sukabumi</strong>)<br />

291<br />

--<br />

54<br />

1805<br />

109<br />

--<br />

116<br />

2.358<br />

Sumber: BPS <strong>Sukabumi</strong> 1999 – 2004<br />

Tabel 4. Perkembangan luas kawasan hutan menurut fungsinya <strong>di</strong> KPH<br />

<strong>Sukabumi</strong>, Jawa Barat, 1999 – 2004<br />

Fungsi hutan<br />

Tahun<br />

1999 2002 2003 2004<br />

Perkembangan<br />

(%/thn)<br />

<strong>Hutan</strong> lindung<br />

<strong>Hutan</strong> produksi<br />

Areal PHPA<br />

<strong>Hutan</strong> lainnya<br />

23.818,09<br />

63.991,07<br />

24.769,36<br />

2.573,85<br />

12.579,12<br />

68.133,53<br />

24.769,39<br />

2.453,37<br />

20.401,44<br />

57.723,74<br />

--<br />

--<br />

1.662,67<br />

56.722,59<br />

19.739,92<br />

2.453,73<br />

- 23,64<br />

- 5,23<br />

- 10,89<br />

- 2,41<br />

Jumlah 105.152,37 107.953,38 78.125,18 80.578,91 - 11,14<br />

Sumber: BPS <strong>Kab</strong>. <strong>Sukabumi</strong> 1999 – 2004<br />

Tabel 5.<br />

Perkembangan produksi kayu <strong>di</strong> KPH <strong>Sukabumi</strong>, Jawa Barat<br />

1999 –2004<br />

Tahun<br />

Produksi kayu (m3)<br />

1999<br />

2002<br />

2003<br />

2004<br />

Sumber: BPS <strong>Kab</strong>. <strong>Sukabumi</strong><br />

76.830<br />

36.158<br />

48.683<br />

15.865.010


Analisis Kebijakan 17<br />

Tabel 6. Rekapitulasi kemajuan penanganan perambahan hutan <strong>di</strong> KPH<br />

<strong>Sukabumi</strong> s/d Maret 2005<br />

BKPH<br />

Luas<br />

(Ha)<br />

Jml. awal<br />

Des. 03<br />

Peram<br />

-bah<br />

(org)<br />

Jml. turun<br />

s/d 31 maret 05<br />

Luas<br />

(Ha)<br />

Peram<br />

-bah<br />

(org)<br />

Sisa<br />

s/d 31 Maret 05<br />

Luas Peram<br />

(Ha) -bah (org)<br />

1. Pelabuhan Ratu<br />

2. Cikawung<br />

3. Sagaranten<br />

4. Bojong Lopang<br />

5. Jampang Kulon<br />

6. Lengkong<br />

7. UP Gn. Arca<br />

2.230,42<br />

566,81<br />

151,65<br />

43,11<br />

18,00<br />

168,95<br />

2,50<br />

2.726<br />

1.085<br />

514<br />

90<br />

20<br />

588<br />

3<br />

2.095,79<br />

394,94<br />

151,65<br />

14,00<br />

18,00<br />

168,95<br />

2,50<br />

2.511<br />

888<br />

514<br />

26<br />

20<br />

588<br />

3<br />

134,63<br />

171,87<br />

---<br />

29,11<br />

---<br />

---<br />

---<br />

215<br />

197<br />

---<br />

64<br />

---<br />

---<br />

---<br />

Jumlah 3.181,44 5.026 2.845,83 4.550 335,61 476<br />

Sumber: Perum Perhutani KPH <strong>Sukabumi</strong>, 2006<br />

Tabel 7. Implementasi kegiatan PHBM pada Perum Perhutani KPH<br />

<strong>Sukabumi</strong>, 2006<br />

BKPH<br />

Jml. Desa<br />

PHBM<br />

s/d 2006<br />

Jml. Desa<br />

PHBM<br />

s/d 2005<br />

Tahapan PHBM<br />

1. Plb. Ratu <strong>dan</strong> Cicirug<br />

2. Cikawung <strong>dan</strong> Gede Barat<br />

3. Sagaranten<br />

4. Bojong Lopang<br />

5. Lengkong<br />

6. Jampang Kulon<br />

19<br />

33<br />

20<br />

9<br />

20<br />

14<br />

14<br />

20<br />

14<br />

5<br />

12<br />

12<br />

Sdh pelaksanaan<br />

Sdh pelaksanaan<br />

Sdh pelaksanaan<br />

Sdh pelaksanaan<br />

Sdh pelaksanaan<br />

Sdh pelaksanaan<br />

Jumlah 115 77 xxx<br />

Keterangan: KPH = Kesatuan Pemangku <strong>Hutan</strong>, BKPH = Bi<strong>dan</strong>g kesatuan Pemangku <strong>Hutan</strong><br />

Sumber : perum perhutani KPH <strong>Sukabumi</strong>, 2006


18<br />

Bab IV.Analisis Dampak <strong>dan</strong> Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian<br />

Tabel 8. Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama <strong>di</strong><br />

<strong>Kab</strong>upaten <strong>Cianjur</strong>, Jawa Barat, 1999 – 2005<br />

Lapangan<br />

pekerjaan<br />

Tahun<br />

1999 2000 2003 2004 2005<br />

Pertumbuhan<br />

(%/thn)<br />

Pertanian<br />

Industri<br />

Perdagangan<br />

Jasa<br />

Lainnya<br />

446.872<br />

42.454<br />

103.602<br />

43.440<br />

73.022<br />

434.399<br />

25.474<br />

104.487<br />

119.162<br />

160.301<br />

510.670<br />

40.383<br />

160.774<br />

54.795<br />

75.614<br />

456.386<br />

38.596<br />

123.654<br />

55.540<br />

97.047<br />

498.959<br />

56.983<br />

168.474<br />

62.933<br />

58.851<br />

+ 2,69<br />

+ 10,34<br />

+ 11,26<br />

- 3,67<br />

- 9,85<br />

Total 709.390 843.823 842.236 771.223 846.200 + 2,50<br />

Sumber: BPS <strong>Kab</strong>. <strong>Cianjur</strong> <strong>dan</strong> Profil Tenaga kerja Jawa Barat, 2005<br />

Tabel 9. Perkembangan rasio rumah tangga pertanian terhadap luas baku<br />

lahan pertanian <strong>di</strong> kabupaten <strong>Cianjur</strong>, Jawa Barat, 1999 – 2005<br />

Uraian<br />

Tahun<br />

1999 2003 2004 2005<br />

Perkembangan<br />

(%/thn)<br />

A. Luas baku lh. Pert. (Ha)<br />

1. Luas sawah<br />

2. Luas daratan<br />

Total<br />

58.275<br />

96.866<br />

155.141<br />

61.771<br />

95.161<br />

156.932<br />

61.587<br />

94.711<br />

156.298<br />

62.873<br />

95.769<br />

158.642<br />

+ 2,23<br />

- 3,91<br />

+ 0,63<br />

B. Rumah tangga pertanian.<br />

C. Rasio LBP thd RTP<br />

(Ha / r.tangga)<br />

446.872<br />

0,35<br />

510.670<br />

0,31<br />

456.386<br />

0,34<br />

498.959<br />

0.32<br />

+ 2,13<br />

- 1,82<br />

Sumber: Dinas pertanian <strong>Kab</strong>. <strong>Cianjur</strong>, 1999 – 2005


Analisis Kebijakan 19<br />

Tabel 10. Perkembangan luas kawasan hutan menurut fungsinya <strong>di</strong><br />

<strong>Kab</strong>upaten <strong>Cianjur</strong>, Jawa Barat, 1999 – 2006 (Ha)<br />

Fungsi<br />

hutan<br />

Tahun<br />

1999 2000 2002 2003 2006<br />

Perkembangan<br />

(%/thn)<br />

Produksi<br />

Lindung<br />

Wisata<br />

63.440,91<br />

5.215,05<br />

206,54<br />

63.440,91<br />

5.215,05<br />

206,54<br />

63.440.91<br />

5.215,05<br />

206,54<br />

43.283,65<br />

24.259,79<br />

45,87<br />

24.506,17<br />

24.305,56<br />

18.777,48<br />

- 18,99<br />

+ 44,56<br />

+ 95,10<br />

Jumlah 68.862,50 68.862,50 68.862,50 67.589,31 67.589,21 + 4,59<br />

Sumber: BPS <strong>Kab</strong>. <strong>Cianjur</strong> 1999 – 2006<br />

Tabel 11. Perkembangan produksi kayu <strong>di</strong> KPH <strong>Cianjur</strong>, Jawa Barat, 2000 –<br />

2006.<br />

Tahun<br />

Produksi kayu (m3)<br />

2000<br />

2001<br />

2002<br />

2003<br />

2004<br />

2005<br />

2006<br />

36.610<br />

39.690<br />

22.985<br />

16.370<br />

15.194<br />

29.745<br />

37.429<br />

Sumber: Perum Perhutani KPH <strong>Cianjur</strong> 2006


20<br />

Bab IV.Analisis Dampak <strong>dan</strong> Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian<br />

Tabel 12 Perkembangan luas areal lahan pertanian yang terkena bencana<br />

alam <strong>di</strong> kabupaten <strong>Cianjur</strong>, Jawa Barat, 1999 – 2005 (Ha)<br />

Jenis<br />

Tahun<br />

bencana alam 2004 2005<br />

Longsor<br />

Banjir<br />

Kekeringan<br />

447<br />

718<br />

864<br />

212<br />

678<br />

---<br />

Total 2.029 890<br />

Sumber: Dinas Pertanian, 1999 <strong>dan</strong> 2005<br />

Tabel 13. Perkembangan luas lahan kritis <strong>di</strong> <strong>Kab</strong>upaten <strong>Cianjur</strong>, 1999 – 2004<br />

Uraian<br />

Tahun<br />

Pertumbuhan<br />

1999 2004<br />

(%/thn)<br />

Potensi Kritis<br />

Semi Kritis<br />

Kritis<br />

76.831<br />

51.523<br />

11.619<br />

56.792<br />

45.604<br />

16.131<br />

- 5,22<br />

- 2,30<br />

+ 7,77<br />

Jumlah 139.973 118.527 - 3,06<br />

Sumber: Dinas Pertanian <strong>Kab</strong>. <strong>Cianjur</strong> 1999 <strong>dan</strong> 2004


Analisis Kebijakan 21<br />

Tabel 14. Realisasi/implementasi kegiatan PHBM pada Perum Perhutani<br />

KPH <strong>Cianjur</strong>, 2006.<br />

BKPH<br />

Jml. desa<br />

PHBM<br />

s/d 2006<br />

Jml. desa<br />

PHBM<br />

s/d 2005<br />

Belem-<br />

Bagaan<br />

LMDH<br />

s/d 2006<br />

Kelem<br />

bagaan<br />

KTH<br />

s/d 2006<br />

PHBM<br />

s/d 2006<br />

Thp<br />

Desa<br />

<strong>Cianjur</strong><br />

<strong>Cianjur</strong> Utara<br />

<strong>Cianjur</strong> Selatan<br />

Sukanegara Utara<br />

Sukanegara Selatan<br />

Cibarengkok<br />

Tanggeung<br />

Sin<strong>dan</strong>g barang<br />

41<br />

14<br />

9<br />

16<br />

21<br />

16<br />

21<br />

10<br />

20<br />

9<br />

7<br />

11<br />

14<br />

11<br />

14<br />

10<br />

21<br />

18<br />

8<br />

11<br />

15<br />

4<br />

14<br />

10<br />

8<br />

9<br />

3<br />

4<br />

2<br />

4<br />

11<br />

6<br />

Nego 41<br />

Nego 14<br />

Nego 9<br />

Nego 16<br />

Nego 21<br />

Nego 16<br />

Nego 21<br />

Nego 10<br />

Jumlah 148 96 101 47 148<br />

Keterangan : KPH : Kesatuan Pemangku <strong>Hutan</strong><br />

BKPH : Bi<strong>dan</strong>g Kesatuan Pemangkuan <strong>Hutan</strong><br />

LMDH : Lembaga Masyarakat Desa <strong>Hutan</strong><br />

KTH : Kelompok Tani <strong>Hutan</strong><br />

Sumber: Perum Perhutani KPH <strong>Cianjur</strong>, 2006

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!