You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Inspirasi<br />
Ibu Guru Markamah<br />
Mengajar Dibayar dengan Beras<br />
Bagi sebagian besar orang, Jakarta layaknya sebuah ladang emas yang<br />
menawarkan seribu satu janji kemapanan. Tak heran, banyak orang rantau<br />
mengadu nasib di Ibukota, bersaing dengan jutaan orang dengan harapan<br />
yang sama. Pandangan tersebut juga awalnya dimiliki oleh Markamah<br />
muda, seorang wanita kelahiran Lamongan. Saat itu, dia merasa bahwa<br />
Jakarta adalah kota yang menjamin segalanya, termasuk jaminan<br />
pendidikan bagi penduduknya.<br />
Pandangan awalnya mengalami distorsi saat dia memutuskan menginjakkan<br />
kaki di tanah Batavia, berniat menjadi pengajar. Tahun 1985, dia menemukan<br />
fenomena yang sangat berbeda, banyak anak-anak kaum marginal yang<br />
tidak memperoleh pendidikan secara layak, bahkan tidak sedikit yang<br />
masih buta huruf. Fakta ini menggerakkan hati penyandang gelar S1 PAI<br />
(Pendidikan Agama Islam) ini untuk ikut ambil bagian menjadi relawan<br />
pengajar bagi kaum “gepeng” (gelandangan dan pengemis) . Keaktifannya<br />
dalam yayasan anti buta huruf itulah yang akhirnya menghantar dia<br />
menjadi kepala sekolah MI Al Istiqomah di Pulau Gadung, sebuah sekolah<br />
yang menjadi bagian dari HDI Foundation.<br />
Pemerintah Kurang Peduli<br />
“Bagi saya, pendidikan adalah hak dan kewajiban bagi semua warga<br />
negara. Yang dimaksudkan dengan kewajiban adalah kepedulian kita<br />
untuk ikut ambil bagian dalam pendidikan. Jika bukan kita, siapa lagi<br />
Pemerintah memang mengkampanyekan pendidikan yang layak, tetapi<br />
faktanya, pendidikan itu belum sampai pada kalangan bawah. Padahal,<br />
akar dari kemiskinan adalah tidak adanya pendidikan.”<br />
Dibayar dengan Ikan dan Beras<br />
“Pertama kali sampai di Jakarta, saya memutuskan untuk bergabung<br />
dengan yayasan pemberantasan buta huruf di daerah Pedongkelan,<br />
Jakarta Timur, bagi kalangan gelandangan dan pengemis. Dari sana, saya<br />
kemudian ditugaskan mengajar di daerah Marunda. Yang menarik di<br />
sana, saya tidak pernah memperoleh gaji karena saya dibayar dengan<br />
ikan, pisang, dan beras. Kemudian, pada 1987, saya memilih daerah Pulo<br />
Gadung ini untuk membangun sekolah kecil. Daerah ini adalah pemukiman<br />
kumuh ilegal yang berada di tengah-tengah pabrik otomotif”<br />
Bermula dari Ruangan 3x4 Meter<br />
“Sekolah Pulo Gadung ini berawal dari ruangan 3x4 meter yang nebeng<br />
di rumah salah satu penduduk. Saat itu, kami hanya memiliki 10 kursi,<br />
sedangkan murid yang kami miliki mencapai 25 orang. Jadi, ya kami<br />
harus bergantian atau duduk berdempetan seperti di angkot (angkutan<br />
umum-red.). Alhamdulillah, berkat bantuan berbagai pihak, akhirnya<br />
sekolah kami bergabung dengan MI Al Istiqomah dan mempunyai gedung<br />
tersendiri, walau sederhana.”<br />
“Bagi saya, pendidikan adalah hak<br />
dan kewajiban bagi semua warga<br />
negara. Yang dimaksudkan dengan<br />
kewajiban adalah kepedulian kita<br />
untuk ikut ambil bagian dalam<br />
pendidikan. Jika bukan kita, siapa<br />
lagi<br />
Tunjangan Fungsional Pemerintah 1,5 Juta per 6 Bulan<br />
“Saat ini, sekolah kami sudah terdaftar di departemen pendidikan. Hal<br />
ini sangat menggembirakan karena kami bisa mendapat bantuan dari<br />
pemerintah. Bagi para gurunya, hal itu juga merupakan apresiasi tersendiri<br />
karena kami berhak memperoleh tunjangan fungsional dari pemerintah<br />
sebesar 1,5 juta per setengah tahun. Itu sudah syukur Alhamdulillah.”<br />
Hidup Cukup dalam Keterbatasan<br />
“Secara matematis, pendapatan saya memang tidak cukup untuk<br />
menghidupi dan menyekolahkan dua anak, apalagi anak saya yang<br />
pertama sudah masuk kuliah di Unsada. Tetapi, saya yakin jika rejeki itu<br />
sudah diatur oleh Allah. Selama ini, kami tidak pernah tidak masak. Dapur<br />
selalu ngepul kok.... Terus terang, bukan semata rejeki yang saya cari.<br />
Saya merasa lebih puas melihat anak didik saya bisa mengamalkan apa<br />
yang sudah saya ajarkan ke mereka.<br />
Menolak Beasiswa S2 demi Anak Didik<br />
“Ada beberapa motivasi seseorang untuk menjadi guru, yaitu karena<br />
mencari nafkah, tidak ada pekerjaan lain, atau memang karena panggilan<br />
hati. Saya merasakan hal yang terakhir. Mendidik anak-anak serasa sudah<br />
menjadi dunia bagi saya sehingga tercipta ikatan batin yang kuat. Hal itu<br />
pulalah yang membuat saya memutuskan menolak beberapa beasiswa<br />
S2 dari Menteri Pendidikan pada tahun 2002 dan dari radio BBC Inggris.<br />
Kasihan anak-anak kalau saya tinggal belajar....”<br />
Pingin Menjadi Pegawai Negeri<br />
“Selama lebih dari 24 tahun, saya tidak mempunyai niat untuk meninggalkan<br />
sekolah ini dan beralih ke sekolah yang lebih bagus. Panggilan hidup<br />
saya adalah mengabdi sebagai guru di sini. Jika ditanya mengenai harapan,<br />
saya ingin diangkat menjadi pegawai negeri dan terus mengabdi di<br />
sekolah ini.”[HD]<br />
Harmony September 2011<br />
25