Pemikiran Akidah Humanitarian Hassan Hanafi - Database DPPM UII
Pemikiran Akidah Humanitarian Hassan Hanafi - Database DPPM UII
Pemikiran Akidah Humanitarian Hassan Hanafi - Database DPPM UII
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>... oleh: Asmuni M. Thaher<br />
133<br />
mengenai yang benar dan yang salah tidak datang dari atas, melainkan dari perenungan<br />
atas data-data pemikiran dan kenyataan. Pengetahuan teoritis tidak merupakan anugerah,<br />
melainkan diperoleh melalui analisis rasional yang cermat terhadap ide-ide dan kenyataan dan<br />
dengan meneliti terjadinya berbagai peristiwa. Ini tidak berarti penolakan terhadap adanya ukuranukuran<br />
kebenaran dan garis-garis yang mengatur pemikiran. Ini semua ada, muncul dari tabiat<br />
akal sendiri, dan ditangkap dengan intuisi, tidak berasal dari luar. Jadi sesuatu baru dikatakan<br />
benar, manakala akal telah menyelidiki dan membuktikannya dalam kenyataan bahwa itu memang<br />
benar (<strong>Hanafi</strong>, 1981: 8). Yang menjadi sandaran adalah penyelidikan bebas, keyakinan akan<br />
kemampuan umat untuk melakukan kreasi dan menyebarkan nalar pembaharuan dalam semua<br />
akidah (<strong>Hanafi</strong>, 1981: 8).<br />
Kelima, yang mesti dilakukan sekarang bukanlah membela akidah, melainkan mengadakan<br />
bukti-bukti akan kebenaran internal akidah dengan jalan analisis rasional terhadap pengalamanpengalaman<br />
kesadaran pribadi dan bersama, dan penjelasan atas jalan-jalan realisasinya untuk<br />
membuktikan kebenaran eksternalnya dan kemungkinan penerapannya di dunia (<strong>Hanafi</strong>, 1981:<br />
34). Kemuliaan ilmu ini tidak berasal dari obyeknya (Tuhan), melainkan dari bekasnya dan<br />
kemampuannya untuk menggerakkan manusia, memobilisasi orang banyak dan masuk dalam<br />
gerakan sejarah (<strong>Hanafi</strong>, 1981: 38). <strong>Akidah</strong> adalah pusaka dari nenek moyang, revolusi adalah<br />
mobilisasi. <strong>Akidah</strong> adalah keyakinan manusia dan rohnya, revolusi adalah tuntutan masanya<br />
(<strong>Hanafi</strong>, 1981: 40).<br />
Pada prinsipnya pengembangan akidah di sini tidak berarti bahwa kita menggantikan konsep<br />
tauhid dengan konsep bumi, atau mengganti konsep tentang dzat dan sifat Tuhan dengan konsep<br />
kebebasan dan HAM, atau mengganti konsep developmentalism (tanmiyyah). Tetapi akidah<br />
menjadi titik tolak bagi studi tentang konsep baru seperti apa yang dikatakan <strong>Hanafi</strong> dengan<br />
‘penanaman’ kekuatan tauhi dengan iradah manusia dengan cara memahami secara benar<br />
konsep qadha dan qadar sebagai unsur positif yang membangun. Di sini tradisi menjadi dasar<br />
pergaulan modern (Bayumi, 2001: 103).<br />
Simpulan<br />
Sebagai penutup dari tulisan ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa dikemukakan: Pertama,<br />
bahwa formulasi akidah humanitarian Hasan <strong>Hanafi</strong> dibangun atas semangat bagaimana agar<br />
akidah yang diyakini umat bisa menjadi pendorong dalam melakukan aktivitas hidup. <strong>Akidah</strong><br />
oleh karenanya, dibangun atas semangat membela manusia (ad difa’ ani al Insan). Bukan<br />
membela Tuhan (ad difa’ ani illah). Kemuliaan akidah tidak berasal dari obyeknya (Tuhan),<br />
melainkan dari bekas dan kemampuannya untuk menggerakkan manusia, memobilisasi orang<br />
banyak dan masuk dalam gerakan sejarah. <strong>Akidah</strong> adalah pusaka dari nenek moyang, revolusi<br />
adalah mobilisasi. <strong>Akidah</strong> adalah keyakinan manusia dan rohnya, revolusi adalah tuntutan<br />
masanya. Kedua, bahwa pemikiran <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> dalam kancah pemikiran akidah muslim klasik<br />
lebih cenderung kepada pemikiran kaum Mu’tazilah yang rasional. Sedang dalam kancah<br />
pemikiran kontemporer, <strong>Hanafi</strong> cenderung berada pada posisi tengah-tengah, yaitu antara<br />
kelompok Islamisme yang meyakini bahwa kebesaran umat Islam tergantung pada kesadaran<br />
mereka dalam melaksanakan ajaran agamanya dengan kembali pada Qur’an dan Sunnah dan<br />
kelompok sekularisme, yang mempercayai Islam sebagai agama peradaban (hadhari), yang<br />
karenanya harus terbuka dengan unsur-unsur peradaban lain.<br />
Pustaka Acuan<br />
Akhtar, Shabbir, 2002, Islam Agama Semua Zaman (Faith for All Seasons: Islam and western<br />
Modernity), (Jakarta: Pustaka Zahra).<br />
Fenomena: Vol. 1 No. 2 September 2003 ISSN : 1693-4296