30.01.2015 Views

Pemikiran Akidah Humanitarian Hassan Hanafi - Database DPPM UII

Pemikiran Akidah Humanitarian Hassan Hanafi - Database DPPM UII

Pemikiran Akidah Humanitarian Hassan Hanafi - Database DPPM UII

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

126<br />

<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>... oleh: Asmuni M. Thaher<br />

<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong><br />

<strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong><br />

Asmuni M. Thaher<br />

Fakultas Ilmu Agama Islam<br />

Universitas Islam Indonesia<br />

Abstract<br />

This research is done under the sadness of the weakness and uncapability of the islamic<br />

theology in facing the contemporary realities. <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> is one of the egyptian intellectual<br />

who are concern in calling the spirit of islamic theology in order not to be busy in<br />

discussing on God existence, but how it can assists the human being. The goal want to be<br />

reach is how the construct of <strong>Hanafi</strong>’s thought on his humanitarian theology and his position<br />

around the theology Arabic thought whether classic or contemporary one. The method<br />

of this research is the analitic descriptive with the steps: (1) collecting the data; (2) the<br />

interpretation of data; (3) writing activity. The result of the research those are; first the<br />

humanitarian theology of <strong>Hanafi</strong> is constructed under the spirit how the islamic theology is<br />

able to support the muslim life activities. The humanitarian theology should assist the human<br />

being (ad difa’ an al insan), not to assist the God (ad difa’ an illah). The noble of the<br />

theology is not from its objek (God), but from its influences to movement the people, to<br />

mobilize the society and to come to history rule. The theology is the faith of people and its<br />

spirit is the revolution. Secondly, the position of <strong>Hanafi</strong>’s thought around the muslim intellectual<br />

thought on theology can be explained, that is in muslim classic thought <strong>Hanafi</strong> tends<br />

to the rationalistic thought of Mu’tazila and ignore the thought of Asy’ari. While, in the<br />

contemporary muslim thought, <strong>Hanafi</strong> tends to stand in middle position, between islamism<br />

who believe that the greatness of Muslim depend on their consciousness to apply the Islam<br />

teaching with the calling to Qur’an and Sunna, and the secularism, who believe that Islam<br />

is the civilized (hadhari) religion, so it shoul open to the other civilizations.<br />

Keywords: the islamic theology, humanitarian theology of <strong>Hanafi</strong><br />

Kondisi umat Islam pasca tragedi WTC (World Trade Center) di Amerika Serikat pada 11<br />

September 2001, cukup memprihatinkan. Karena Islam, sebagai salah satu agama yang memiliki<br />

pemeluk terbesar di dunia ‘seolah’ menjadi ‘tersangka utama’ berbagai gerakan kekerasan yang<br />

disebut terorisme. Kondisi ini semakin mempertegas sinyalemen yang dikemukakan Shabbir<br />

Akhtar bahwa dahulu orang berkata, Islam adalah agama terbaik dengan penganut terburuk,<br />

sesudah Salman Rushdie banyak yang berkata, Islam adalah agama terburuk dengan para<br />

penganut yang terburuk pula. (Akhtar, 2002).<br />

Adanya stigma dan streotipe Barat yang mengidentikkan Islam dengan gerakan terorisme,<br />

yang berarti musuh kemanusiaan, tentu akan ditolak oleh mayoritas umat Islam, dengan<br />

argumentasi bahwa Islam hadir ke muka bumi sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan<br />

lil’alamin). Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam berada dalam<br />

kelompok negara-negara terkebelakang, dengan etos kerja yang lemah. Kondisi ini kemudian<br />

Fenomena: Vol. 1 No. 2 September 2003 ISSN : 1693-4296


<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>... oleh: Asmuni M. Thaher<br />

127<br />

memunculkan suatu asumsi, kalau etos kerja terkait dengan kultur dan tradisi suatu<br />

masyarakat, lalu mengapa umat Islam dengan beragam kultur dan tradisi serta posisi geografis<br />

yang berjauhan berada pada posisi yang bersamaan Jawaban sederhananya tentu ada pada<br />

Islam yang menjadi titik temu banyak kawasan muslim tersebut, atau setidaknya ada yang sesuatu<br />

yang salah dalam cara beragamanya umat Islam.<br />

Pemikir-pemikir muslim kontemporer umumnya memiliki pandangan sebagaimana tersebut<br />

di atas. Ini misalnya bisa kita lihat pada banyak karya pemikir seperti Fazlur Rahman, Muhammad<br />

Arkoun, Muhammad Abid al Jabiri, Nashr Hamid Abu Zayd, Abdullah Ahmad an Na’im, Ashgar<br />

Ali Enggineer, Farid Essack, <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>, dan sebagainya. Mereka menghendaki transformasi<br />

keberagamaan umat Islam dengan menyingkap ‘tradisi’ yang membelenggu, yang menyebabkan<br />

umat Islam tertinggal jauh dengan umat-umat lainnya.<br />

Satu pemikir muslim yang intens dan serius untuk meluruskan tradisi umat Islam adalah<br />

<strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>. Menurutnya, realitas dunia Islam saat ini menggambarkan praktek keberagamaan<br />

(keislaman) yang hanya menjadi ritus-ritus kosong yang tidak bernilai (<strong>Hanafi</strong>, 1981: 20). Teologi<br />

keberagamaan umat Islam yang berkembang semenjak berabad-abad dari klasik hingga saat<br />

ini masih saja sibuk mengurus dan membicarakan Tuhan, dan ini merupakan sesuatu yang<br />

tidak diperintahkan al Qur’an.<br />

Berangkat dari upaya untuk lebih banyak menggali pemikiran dan perspektif yang luas<br />

para pemikir muslim akan kebekuan tradisi aqidah umat Islam dan upaya memberikan kontribusi<br />

berharga bagi kemajuan kembali peradaban Islam, maka penelitian terhadap <strong>Pemikiran</strong> Aqidah<br />

<strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> ini kemudian menjadi sesuatu yang sangat signifikan untuk<br />

dilakukan.<br />

Batasan Masalah, Definisi, dan Istilah<br />

Penelitian ini secara khusus akan membahas pemikiran aqidah humanitarian <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>,<br />

tapi sebelumnya akan diuraikan juga latar belakang dan kondisi sosial historis yang<br />

melatarbelakangi munculnya pemikiran tersebut. Ada beberapa istilah pada judul penelitian ini<br />

yang perlu dijelaskan untuk lebih memberikan pemahaman yang tepat. Pertama, pemikiran yaitu<br />

upaya untuk menggunakan kemampuan rasio dalam menafsirkan kembali ajaran Islam yang<br />

terkandung dalam sumber-sumber pokoknya, yaitu al Qur’an. Aqidah, yaitu model keyakinan<br />

yang didasarkan atas pemahaman terhadap teks-teks suci atau tradisi yang diwariskan secara<br />

turun temurun. Dalam Islam dikenal beberapa model aqidah, seperti aqidah Asy’ariyyah, aqidah<br />

Maturidiyyah, aqidah Mu’tazilah, aqidah Syi’ah, dan lain-lain. <strong>Humanitarian</strong>, yaitu yang bersifat<br />

kemanusiaan atau yang berpihak pada kepentingan atau kemaslahatan umat manusia. <strong>Hassan</strong><br />

<strong>Hanafi</strong>, yaitu seorang filosof dan pemikir serta guru besar pada Universitas Cairo Mesir, dia<br />

dilahirkan di Kairo pada 23 Februari 1935 M.<br />

Rumusan Masalah<br />

Guna lebih memberikan gambaran yang jelas terhadap penelitian ini, maka disini perlu<br />

dirumuskan beberapa pokok permasalahan utama: 1) Bagaimanakah konstruksi pemikiran akidah<br />

humanitarian <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> 2) Bagaimanakah posisi pemikiran <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> dalam wacana<br />

pemikiran akidah klasik dan kontemporer<br />

Tujuan Penelitian<br />

Tujuan Penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui formulasi pemikiran aqidah humanitarian<br />

<strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>, 2) Untuk mengelaborasi posisi pemikiran <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> dalam wacana<br />

pemikiran akidah klasik dan kontemporer.<br />

Fenomena: Vol. 1 No. 2 September 2003 ISSN : 1693-4296


128<br />

<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>... oleh: Asmuni M. Thaher<br />

Manfaat Penelitian<br />

Diharpakan dengan penelitian ini dapat: 1) Secara akademis, penelitian ini diharapkan<br />

akan memberikan kontribusi untuk pengembangan pemikiran keislaman kontemporer. 2) Secara<br />

pragmatis, penelitian ini diharapkan bisa memberikan satu perspektif dalam melakukan<br />

pembaruan terhadap umat Islam.<br />

Pendekatan Masalah<br />

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sosiokultural dan historis kritis.<br />

Pendekatan sosiokultural digunakan untuk menafsirkan konteks sosial budaya yang melingkupi<br />

dan melatarbelakangi sang tokoh dan gagasannya dalam konteks kehidupan beragama, politik,<br />

ekonomi, dan kebudayan secara lebih luas. Sedang pendekatan historis kritis digunakan untuk<br />

mengamati dan menelusuri proses terjadi dan terbentuknya gagasan dan pemikiran sang tokoh<br />

berdasarkan konteks sosiokultural kehidupannya.<br />

Adapun pendekatan-pendekatan yang diajukan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk<br />

mengetahui: Pertama, latar belakang eksternal, yaitu keadaan zaman yang dilalui sang tokoh<br />

dalam konteks kehidupan beragama, sosial, ekonomi, politik dan arus pemikiran. Kedua, latar<br />

belakang internal, yaitu riwayat hidup tokoh, pendidikan, pengaruh yang diterimanya, relasi<br />

dengan pemikiran sezamannya dan atau sebelumnya, serta pengalaman-pengalaman yang<br />

membentuk pengalamannya. Ketiga, tahap dalam pemikirannya dan perkembangan minat<br />

pemikiran dan aksinya.<br />

Kajian Pustaka<br />

Sampai saat ini, tulisan ataupun penelitian yang mengangkat pemikiran <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong><br />

cukup banyak. Baik yang sifatnya serius berupa telaah mendalam terhadap gagasan dia maupun<br />

yang sekedar artikel lepas membicarakan satu pokok pemikiran dia. Beberapa buku yang disusun<br />

untuk membicarakan pemikiran <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>, misalnya Kazou Shimogaki (1988) yang melihat<br />

posisi <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> dengan pada wilayah modernisme dan postmodernisme. Buku ini lebih<br />

melihat <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> pada proyek besarnya, yaitu Kiri Islam. Kajian lainnya yang berkenaan<br />

dengan gagasannya tentang Kiri Islam, misalnya juga dilakukan oleh Budhi Munawar Rahman<br />

(1993).<br />

Adapun kajian posisi <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> dalam peta pemikiran Arab kontemporer, telah dilakukan<br />

oleh Issa J. Boullata (1990), A. Luthfi Assyaukanie (1994), Yusdani (2000). Adapun Komaruddin<br />

Hidayat (1995) yang menulis tentang pemikiran <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> pada sisi dekonstruksi dan<br />

rekontruksinya. Sedang Thoha Mahasin (1994) memfokuskan kajiannya pada konsep manusia<br />

dan perubahan sejarah serta teologis <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>.<br />

Penelitian-penelitian dan tulisan yang disebut di atas, belum menyentuh secara mendalam<br />

akar dari gagasan pemikiran <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>, yaitu gagasannya pada reformulasi akidah ummat.<br />

Satu artikel yang agak menyinggung tema ini, yaitu artikel yang ditulis oleh Abdul Mu’thi<br />

Muhammad Bayumi (1997) yang mencoba melihat pemikiran <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> pada karyanya<br />

“Dari <strong>Akidah</strong> kepada Revolusi”, tapi karena sifatnya hanya artikel pada sebuah buku “Jadal al<br />

Ana wa al Akhar”, maka tentunya tidak bisa memberikan gambaran yang tuntas terhadap<br />

pemikiran akidah <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>.<br />

Landasan Teori<br />

Dalam pembaruan teologi yang pertama harus disadari bahwa teologiklasik tak lebih adalah<br />

produk sejarah yang timbul sebagai jawaban atas kondisi yang ada pada saat itu. Di sinilah<br />

tampak pentingnya membedakan antara akidah dan teologi. Keyakinan-keyakinan<br />

Fenomena: Vol. 1 No. 2 September 2003 ISSN : 1693-4296


<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>... oleh: Asmuni M. Thaher<br />

129<br />

yang berkenaan dengan Tuhan (akidah) bersifat tetap, suci dan tidak dapat diubah-ubah,<br />

sementara ilmu teologi tidaklah demikan halnya. Teologi murni bersifat manusiawi, diciptakan<br />

oleh manusia dalam ruang dan waktu tertentu dengan kondisi yang tertentu pula (Khully, 1998:<br />

42).<br />

Tanpa menyadari keberadaan teologi dengan pemahaman di atas, sangat mungkin sekali<br />

kita terjebak dalam apa yang disebut oleh F. Bacon sebagai idols of theatre, yaitu kesalahankesalahan<br />

yang disebabkan karena kepercayaan yang berlebihan terhadap apa yang ditulis<br />

oleh para pendahulu (Mahmud, 1961: 61). Idols of theater ini disebabkan karena ketidakmampuan<br />

manusia dalam membedakan antara yang nisbi dan yang mutlak. Teologi adalah hasil pemikiran<br />

manusia. Oleh karena itu dia bersifat nisbi dan bisa berubah-ubah sesuai tuntutan kondisi.<br />

Dengan sikap seperti di atas, kita tidak akan menemukan hubungan antara teologi baru<br />

dan teologi klasik sebagai ketersambungan yang bersifat negatif, yang menjadikan klasik sebagai<br />

subyek dan baru sebagai obyek, atau yang menjadikan para pendahulu sebagai pewasiat dan<br />

kita sebagai pendengar saja. Tapi dalam waktu yang bersamaan hubungan tersebut juga bukan<br />

merupakan keterputusan yang menjadikan teologi baru tumbuh dari kekosongan. Dialektika<br />

antara ketersambungan dan keterputusan inilah yang menjadikan teologi masa depan sebagai<br />

kendaraan yang sempurna untuk mencapai kemjuan di masa yang akan datang (Khully , 1998:<br />

52).<br />

Lalu bagaimanakah bentuk teologi baru setelah dipersenjatai dengan perpecahan<br />

epistemologis ini Sebagaimana disebut di awal, tujuan yang ingin dicapai oleh perpecahan<br />

epistemologis klasik adalah pembuktian akidah. Pada masa awal lahirnya, Islam banyak sekali<br />

menghadapi serangan pemikiran, baik dari dalam maupun dari luar. Hal inilah yang<br />

melatarbelakangi lahirnya teologi klasik sebagai usaha untuk mempertahankan keyakinan agama.<br />

Kalau kita lihat kondisi kita sekarang, ancaman yang dihadapi oleh para pendahulu kita<br />

tersebut sudah hampir tidak ada, atau setidaknya sangat sedikit sekali. Kondisi yang ada pada<br />

kita sekarang adalah kebalikan dari kondisi yang ada pada para pendahulu kita. Oleh karena itu<br />

pada masa sekarang, kita tidak menjadikan pembuktian akidah sebagai tujuan, tapi justru kita<br />

berangkat dari akidah yang sudah mapan menuju pengejewantahan manusia muslim dalam<br />

peradaban masa kini dan masa yang akan datang. Jika dalam teologi klasik manusia dan alam<br />

dijadikan sebagai muqaddimah untuk membuktikan keberadaan Tuhan Yang Esa (buttom up),<br />

maka dalam teologi baru Allahlah yang kita jadikan sebagai titik tolak dalam usaha untuk<br />

mewujudkan eksistensi manusia dalam perjalanan sejarah (top down) (Khully, 2000: 109).<br />

Metode Penelitian<br />

Penelitian ini adalah penelitian budaya, yang melakukan telaah terhadap gagasan gagasan,<br />

ide-ide, konsep-konsep dari pemikiran seorang tokoh yang sifatnya kualitatif. Sumber data dalam<br />

penelitian ini dikategorikan dalam dua kelompok besar: Pertama, sumber data primer. Kedua,<br />

sumber data sekunder, yaitu berupa kajian-kajian atau tulisan-tulisan tentang <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong><br />

dan keterangan-keterangan, laporan-laporan, atau buku dan artikel yang relevan dengan tema<br />

penelitian.<br />

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, dengan<br />

menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: Tahap Pertama, pengumpulan data, yaitu<br />

kegiatan untuk menemukan dan menghimpun sumber-sumber informasi yang relevan dengan<br />

penelitian. Tahap Kedua, interpretasi data, yaitu tahap penyusunan fakta dalam kerangka<br />

Fenomena: Vol. 1 No. 2 September 2003 ISSN : 1693-4296


130<br />

<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>... oleh: Asmuni M. Thaher<br />

logis dan harmonis, sehingga menjadi kesatuan yang utuh. Kegiatan penyusunan ini disebut<br />

juga dengan proses sintesis atau interpretasi. Tahap Ketiga, penulisan, yaitu tahap dimana hasil<br />

interpretasi ditulis secara sistematis, logis, harmonis dan konsisten, baik dari segi kata maupun<br />

alur pembahasan.<br />

Pembahasan<br />

<strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo. dari keluarga musisi, di dekat Benteng<br />

Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar (E. Kusnadiningrat, tt). Di masa kecilnya <strong>Hanafi</strong><br />

telah berhadapan dengan berbagai kenyataan pahit yang diderita masyarakatnya akibat<br />

penjajahan dan dominisi pengaruh bangsa asing. Sejak kecil pula, <strong>Hanafi</strong> telah terlibat dalam<br />

berbagai aktivitas sosial politik, bahkan pada usia belasan tahun, dia sudah mendaftarkan diri<br />

sebagai sukarelawan perang melawan Israel tahun 1948. Sejak saat ini hingga meletusnya<br />

revolusi di Mesir tahun 1952. <strong>Hanafi</strong> menyaksikan banyak hal yang menyakitkan seperti<br />

pembantaian para pejuang oleh tentara Inggris dan konflik internal dalam tubuh masyarakat<br />

Mesir, khususnya pemuda Islam.<br />

Kekecewaan-kekecewaan sosial politik ini membawanya untuk beralih konsentrasi<br />

mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial seperti yang<br />

dilakukan oleh tokoh semacam Sayyid Quthb. (<strong>Hanafi</strong>, 1989: 109) Satu gebrakan yang cukup<br />

mendasar dari dia, yaitu upayanya untuk melakukan telaah ulang (rekonstruksi) terhadap<br />

khazanah klasik sebagai dasar berpijak dalam melakukan sebuah revolusi.<br />

Upaya rekonstruksi khazanah klasik ini, dibangun atas asumsi dasar bahwa bagian-bagian<br />

tertentu perlu dimodifikasi, disamping ada bagian-bagian lain yang perlu dikembangkan. <strong>Hanafi</strong><br />

sendiri dalam menyikapi warisan (turats) ulama klasik ini cenderung mengambil sikap yang<br />

beragam, sesuai dengan keyakinannya bahwa paham atau aliran yang menurutnya paling relevan<br />

untuk dikembangkan saat ini.<br />

Dalam hal ilmu kalam misalnya, <strong>Hanafi</strong> melihat pola berpikir Mu’tazilah perlu dipopulerkan<br />

kembali karena sifat rasionalnya. Sebaliknya, dia melihat tradisi Asy’ariyah yang menurutnya<br />

telah mapan selama berabad-abad di dunia Islam harus dibongkar. Sistem Mu’tazilah, dipandang<br />

sebagai refleksi gerakan rasionalisme, naturalisme, dan kebebasan manusia. Sedang sistem<br />

Asy’ariyah dianggap bertanggung jawab atas kemandegan pemikiran umat.<br />

Keberpihakan <strong>Hanafi</strong> pada pembebasan rakyat juga terlihat ketika dia mengunggulkan fiqh<br />

dan ushul fiqh Maliki. Ushul fiqh model ini dielaborasinya lantaran model inilah yang lebih<br />

mengenal hak-hak rakyat dengan konsep masalih mursalahnya. Malikiah dengan demikian<br />

dianggap lebih dekat pada realitas dan menjadikannya sebagai acuan dalam mematuhi persoalan<br />

hukum, tidak seperti Hambaliyah yang hanya memegang validitas teks semata. <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong><br />

berusaha keluar dari sistem yang menerapkan teks secara tidak proporsional. Sementara<br />

menurutnya, teks tidak lebih dari refleksi atas realitas.<br />

Dalam tradisi filsafat, <strong>Hanafi</strong> lebih mengikuti pandangan Ibn Rusyd sehingga ia<br />

menghindarkan illuminasi dan metafisika. Ia lebih cenderung mendukung optimalisasi<br />

penggunaan rasio untuk menganalisis alam. Pembelaannya terhadap filsafat rasional rintisan al<br />

Kindi yang memandang filsafat sebagai dasar agama, mengeksplorasi hukum alam demi<br />

kemaslahatan umat memaksanya untuk mengkritik filsafat illuminasi dan metafisika yang<br />

dikembangkan Ibnu Sina dan al Farabi. (<strong>Hanafi</strong>, 1981: 22)<br />

Komitmennya pada pemikiran rasionalistik ilmiyah ini membawa <strong>Hanafi</strong> sampai pada<br />

kesimpulan untuk menolak sufisme yang baginya sufisme ini adalah akar dekadensi umat Islam.<br />

Pola pikir sufisme ini pula yang dianggapnya telah mengubah Islam dari suatu gerakan<br />

horizontal dalam sejarah menjadi gerakan vertikal yang keluar dari kehidupan dunia. Islam yang<br />

semula menjadi cita-cita kesejarahan diubah menjadi cita-cita ahistoris. Akibatnya, Is<br />

Fenomena: Vol. 1 No. 2 September 2003 ISSN : 1693-4296


<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>... oleh: Asmuni M. Thaher<br />

131<br />

lam yang awalnya merupakan milik umat diubah menjadi eksklusif miliki segelintir pengikut<br />

tarekat.<br />

Meski demikian, <strong>Hanafi</strong> menegaskan bahwa secara umum pemikiran akidah klasik terlalu<br />

teoritis, elitis, dan konsepsional yang statis. <strong>Hanafi</strong> menginginkan doktrin akidah yang bersifat<br />

antroposentris, praktis, populis, transformatif, dan dinamis. Untuk mentransformasikan ilmuilmu<br />

serta pemikiran klasik menjadi ilmu atau pemikiran yang bersifat kemanusiaan (humanitarian),<br />

ada tiga langkah yang ditawarkan oleh <strong>Hanafi</strong>:<br />

Pertama, langkah dekonstruksi. Langkah ini dilakukan dengan menjelaskan aspek isi,<br />

metodologi, dan juga penjelasan terhadap konteks sosio-historis yang melatrbelakangi<br />

kelahirannya, serta perkembangannya saat ini. Kemudian, memberikan penilaian atas kelebihan<br />

dan kekurangannya, juga bagaimana fungsinya di masa sekarang. Kedua, langkah rekonstruksi.<br />

Langkah ini dilakukan dengan cara mentransfer teori-teori lama yang masih dapat dipertahankan<br />

seperti rasionalisme ke dalam perspektif baru yang didasarkan pada pertimbangan realitas<br />

kontemporer. Teori ini selanjutnya dibangun menjadi sebuah ilmu yang berorientasi kepada<br />

kemanusiaan. Ketiga, langkah pengintegrasian. Langkah ini dilakukan dengan cara<br />

mengintegrasikan ilmu-ilmu atau pemikiran klasik dan merubahnya menjadi ilmu kemanusiaan<br />

baru. (<strong>Hanafi</strong>, 1981 & <strong>Hanafi</strong>, 1992)<br />

<strong>Pemikiran</strong> akidah humanitarian <strong>Hanafi</strong> merupakan jeritan dan keluhan terhadap realitas<br />

yang menyakitkan. Realitas yang melukiskan masyarakat Arab dan Muslim yang kehilangan<br />

kesadaran diri, yang rancu pemikirannya, yang salah dalam memahami qadla dan qadar, tidak<br />

mampu membedakan batas-batas kehendak manusia dan kehendak ilahi. Masyarakat muslim<br />

tampak menyerah dan pasrah pada takdir karena kesalahpahaman mereka dalam memaknai<br />

takdir. Mereka mengharapkan perubahan datang dari atas, dari Allah, atau dari penguasa tanpa<br />

berupaya menciptakan perubahan yang datang dari diri sendiri.<br />

<strong>Hanafi</strong> menyeru manusia untuk menelusuri asal muasal akidah dengan menggunakan rasio,<br />

hingga tauhid mempunyai ikatan dengan amal nyata, Allah dengan bumi, dzat ilahiyah dengan<br />

dzat insaniyah, sifat-sifat ketuhanan dengan nilai-nilai humanisme, dan kehendak Allah dengan<br />

perjalanan sejarah. Dia mengingatkan umat bahwa syirik modern (al syirk al muashir) tidak<br />

harus dalam tatanan ubudiyah (ibadah ritual), tetapi dalam tatanan mu’amalah (interaksi manusia<br />

dengan sesama). Fenomena syirik tidak hanya ditandai oleh penyembahan kuburan para wali<br />

dan nabi, tamimah, dan sihir, karena contoh di atas adalah syirik dalam tatanan ritual formal.<br />

Syirik dalam tataran mu’amalah ditandai adanya kesenjangan yang dalam antara yang kaya<br />

dan yang miskin, penjajah dan kaum tertindas, pemegang kekuasaan dan penjilat yang munafik.<br />

Syirik mu’amalah ditandai pula oleh anggapan manusia, bahwa ada orang lain yang menguasai<br />

dirinya, yang selalu dipuji, dan ditakuti, serta adanya penguasa yang mampu memelihara bumi<br />

dan memberikan keselamatan.<br />

<strong>Hanafi</strong> mencoba mengungkapkan kebenaran internal akidah (al shidq al dakhili) dan<br />

mempelajari kemungkinan untuk mengimplementasikan kebenaran itu dalam alam nyata. <strong>Hanafi</strong><br />

menegaskan bahwa dia tidak mempunyai kecenderungan untuk membela akidah dari pengaruh<br />

orang kafir, karena kecenderungan ini telah selesai di masa lampau ketika umat ini berjaya,<br />

buminya merdeka, dan kehormatannya dijunjung tingi. Yang menjadi kecenderungann <strong>Hanafi</strong><br />

adalah upaya mencari metode yang mengantarkan akidah menuju kemenangan, kebebasan<br />

jiwa manusia dan tanah serta pembangunan.<br />

Menurut <strong>Hanafi</strong>, tujuan penelusuran rasional pada akidah bukan untuk menyerang orang<br />

kafir dan membela akidah itu sendiri, tetapi untuk menunjukkan bukti-bukti kebenaran internal<br />

(al shidq al dakhili) akidah dengan cara menganalisa secara rasional (al tahlil al aqli) pengalaman<br />

generasi terdahulu dan cara yang mereka tempuh untuk mengimplementasikanya. Langkah ini<br />

akan mampu memberi kebenaran eksternal (al shidq al khariji), hingga akidah semakin<br />

Fenomena: Vol. 1 No. 2 September 2003 ISSN : 1693-4296


132<br />

<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>... oleh: Asmuni M. Thaher<br />

terbuka dan diterima orang untuk diterjemahkan dalam dunia.<br />

Pencapaian <strong>Hanafi</strong> adalah karya besar karena ulama klasik hanya ingin menegaskan<br />

kebenaran akidah dalam tataran realitas dan mengajukan argumentasi ilmiah. Meskipun berangkat<br />

dari cita-cita yang sama (menegaskan kebenaran akidah), tetapi cara yang dipakai <strong>Hanafi</strong> berbeda<br />

dari cara yang ditempuh ulama klasik. <strong>Hanafi</strong> tidak menyebut dirinya pengikut ulama salafi, tetapi<br />

dalam waktu yang sama dia tidak mengklaim dirinya sebagai seorang kreator (muhdi).<br />

<strong>Hanafi</strong> berkata, jika ulama klasik bertujuan memisahkan satu golongan dari golongan yang<br />

lain (al farq bayn al firaq), maka tujuan kita adalah mempertemukan semua golongan dan<br />

kelompok (al jam’u bayn al firaq). Jika tujuan ulama klasik menjelaskan pendapat kaum muslimin<br />

dan perbedaan cara shalat, maka tujuan kita adalah menjelaskan pendapat kaum muslimin dan<br />

kesamaan cara melaksanakan shalat. Jika tujuan ulama klasik adalah memaparkan berbagai<br />

akidah aliran-aliran kaum muslimin, maka maksud kita adalah mengungkapkan metode akidah<br />

umat dan segala kekuatan sosial politik mereka untuk mensejahterakan bersama.<br />

Berangkat dari perlunya reformasi akidah ini, maka <strong>Hanafi</strong> melakukan kritik terhadap ilmu<br />

ushuluddin, agar lebih mencerminkan realitas manusia. Jika ulama salaf membangun ilmu<br />

ushuluddin dengan spirit menjaga kemurnian akidah dari pengaruh penyembah berhala, zindik,<br />

dan pengaruh pertikaian politik di dalam tubuh umat, maka pembangunan kembali ilmu tauhid<br />

dewasan ini didorong spirit pembelaan terhadap tanah air, kemredekaan, dan kebudayaan umat.<br />

Sekarang ini objek pembahasan ilmu tauhid telah berubah, dari pembahasan tentang dzat, sifat,<br />

dan perbuatan Allah ke pembahasan tentang tanah air, kekayaan, kemerdekaan, kebudayaan,<br />

dan persatuan umat.<br />

Ada beberapa prinsip pengembangan ilmu ushuluddin yang dipakai oleh <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong><br />

sebagai pegangan, yang disampaikan secara terserak-serak ketika ia mengkritik tulisan-tulisan<br />

ulama-ulama terdahulu, yang kemudian bisa dianggap sebagai formulasi akidah humanitarian<br />

dia, yaitu: Pertama, ilmu ushuluddin adalah ilmu yang memberikan kepada orang banyak<br />

konsepsi-konsepsi tentang alam dan motif-motif untuk berbuat. Ilmu ini merupakan alternatif<br />

satu-satunya bagi semua ideologi politik, terutama setelah gagalnya semua ideologi modernisasi<br />

sekuler, karena dogma-dogma keimanan yang menjaga jati diri masyarakat dan kepribadian<br />

nasional (<strong>Hanafi</strong>, 1981: 37). Karena itu, ilmu ini tidak hanya memerlukan pijakan dasar akaliah,<br />

melainkan juga pijakan dasar kenyataan. Tauhid harus dikaitkan dengan perbuatan, Allah dengan<br />

bumi, Zat Tuhan dengan kepribadian manusia, sifat-sifat Tuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan,<br />

Kehendak Tuhan dengan kebebasan manusia, Kemauan Tuhan dan gerakan sejarah (<strong>Hanafi</strong>,<br />

1981: 32).<br />

Kedua, ilmu ini tidak dipelajari dengan tujuan mendapatkan sorga atau keselamatan dari<br />

neraka, melainkan untuk membela kepentingan umat, pembebasan tanah mereka, pembagian<br />

kembali kekayaan mereka secara adil dan merata, pelepasan kebebasan mereka dalam berbicara,<br />

berbuat dan berkeyakinan; penyatuan mereka dari keterkoyakan, penghentian keterbelakangan<br />

mereka, pengambalian mereka dari keterasingan ke jati diri, dan mobilisai anggota-anggota<br />

mereka. Balasan yang diharapkan hanyalah berjalannya kebudayaan setelah lama berhenti.<br />

(<strong>Hanafi</strong>, 1981: 45)<br />

Ketiga, ilmu hanya dihasilkan dari pengalaman, individual atau oleh orang banyak, yang<br />

mengungkapkan pengelaman keseluruhan generasi pada waktu tertentu dan dalam salah satu<br />

tahap sejarah. Obyektivitas ide tidak menghilangkan kehidupan pemikir, bahkan kehidupan dan<br />

pengalaman pemikir merupakan tempat ditemukan obyektivitas ilmu dan kemencakupannya<br />

(<strong>Hanafi</strong>, 1981: 48).<br />

Keempat, akal dan kenyataan merupakan dasar penerimaan kebenaran. Pengetahuan<br />

Fenomena: Vol. 1 No. 2 September 2003 ISSN : 1693-4296


<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>... oleh: Asmuni M. Thaher<br />

133<br />

mengenai yang benar dan yang salah tidak datang dari atas, melainkan dari perenungan<br />

atas data-data pemikiran dan kenyataan. Pengetahuan teoritis tidak merupakan anugerah,<br />

melainkan diperoleh melalui analisis rasional yang cermat terhadap ide-ide dan kenyataan dan<br />

dengan meneliti terjadinya berbagai peristiwa. Ini tidak berarti penolakan terhadap adanya ukuranukuran<br />

kebenaran dan garis-garis yang mengatur pemikiran. Ini semua ada, muncul dari tabiat<br />

akal sendiri, dan ditangkap dengan intuisi, tidak berasal dari luar. Jadi sesuatu baru dikatakan<br />

benar, manakala akal telah menyelidiki dan membuktikannya dalam kenyataan bahwa itu memang<br />

benar (<strong>Hanafi</strong>, 1981: 8). Yang menjadi sandaran adalah penyelidikan bebas, keyakinan akan<br />

kemampuan umat untuk melakukan kreasi dan menyebarkan nalar pembaharuan dalam semua<br />

akidah (<strong>Hanafi</strong>, 1981: 8).<br />

Kelima, yang mesti dilakukan sekarang bukanlah membela akidah, melainkan mengadakan<br />

bukti-bukti akan kebenaran internal akidah dengan jalan analisis rasional terhadap pengalamanpengalaman<br />

kesadaran pribadi dan bersama, dan penjelasan atas jalan-jalan realisasinya untuk<br />

membuktikan kebenaran eksternalnya dan kemungkinan penerapannya di dunia (<strong>Hanafi</strong>, 1981:<br />

34). Kemuliaan ilmu ini tidak berasal dari obyeknya (Tuhan), melainkan dari bekasnya dan<br />

kemampuannya untuk menggerakkan manusia, memobilisasi orang banyak dan masuk dalam<br />

gerakan sejarah (<strong>Hanafi</strong>, 1981: 38). <strong>Akidah</strong> adalah pusaka dari nenek moyang, revolusi adalah<br />

mobilisasi. <strong>Akidah</strong> adalah keyakinan manusia dan rohnya, revolusi adalah tuntutan masanya<br />

(<strong>Hanafi</strong>, 1981: 40).<br />

Pada prinsipnya pengembangan akidah di sini tidak berarti bahwa kita menggantikan konsep<br />

tauhid dengan konsep bumi, atau mengganti konsep tentang dzat dan sifat Tuhan dengan konsep<br />

kebebasan dan HAM, atau mengganti konsep developmentalism (tanmiyyah). Tetapi akidah<br />

menjadi titik tolak bagi studi tentang konsep baru seperti apa yang dikatakan <strong>Hanafi</strong> dengan<br />

‘penanaman’ kekuatan tauhi dengan iradah manusia dengan cara memahami secara benar<br />

konsep qadha dan qadar sebagai unsur positif yang membangun. Di sini tradisi menjadi dasar<br />

pergaulan modern (Bayumi, 2001: 103).<br />

Simpulan<br />

Sebagai penutup dari tulisan ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa dikemukakan: Pertama,<br />

bahwa formulasi akidah humanitarian Hasan <strong>Hanafi</strong> dibangun atas semangat bagaimana agar<br />

akidah yang diyakini umat bisa menjadi pendorong dalam melakukan aktivitas hidup. <strong>Akidah</strong><br />

oleh karenanya, dibangun atas semangat membela manusia (ad difa’ ani al Insan). Bukan<br />

membela Tuhan (ad difa’ ani illah). Kemuliaan akidah tidak berasal dari obyeknya (Tuhan),<br />

melainkan dari bekas dan kemampuannya untuk menggerakkan manusia, memobilisasi orang<br />

banyak dan masuk dalam gerakan sejarah. <strong>Akidah</strong> adalah pusaka dari nenek moyang, revolusi<br />

adalah mobilisasi. <strong>Akidah</strong> adalah keyakinan manusia dan rohnya, revolusi adalah tuntutan<br />

masanya. Kedua, bahwa pemikiran <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong> dalam kancah pemikiran akidah muslim klasik<br />

lebih cenderung kepada pemikiran kaum Mu’tazilah yang rasional. Sedang dalam kancah<br />

pemikiran kontemporer, <strong>Hanafi</strong> cenderung berada pada posisi tengah-tengah, yaitu antara<br />

kelompok Islamisme yang meyakini bahwa kebesaran umat Islam tergantung pada kesadaran<br />

mereka dalam melaksanakan ajaran agamanya dengan kembali pada Qur’an dan Sunnah dan<br />

kelompok sekularisme, yang mempercayai Islam sebagai agama peradaban (hadhari), yang<br />

karenanya harus terbuka dengan unsur-unsur peradaban lain.<br />

Pustaka Acuan<br />

Akhtar, Shabbir, 2002, Islam Agama Semua Zaman (Faith for All Seasons: Islam and western<br />

Modernity), (Jakarta: Pustaka Zahra).<br />

Fenomena: Vol. 1 No. 2 September 2003 ISSN : 1693-4296


134<br />

<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>... oleh: Asmuni M. Thaher<br />

Assyaukanie, Luthfi, 1994, “Perlunya Oksidentalisme: Wawancara dengan Doktor <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>”,<br />

dalam Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 5 dan 6 Volume V.<br />

Bayumi, Abdul Mu’thi Muhammad, 2001, “<strong>Akidah</strong> dan Liberasi Umat: Telaah <strong>Pemikiran</strong> <strong>Hassan</strong><br />

<strong>Hanafi</strong> “Min al Aqidah ila al Tsaurah”, dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 10.<br />

Boullata, Issa J., 1990, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought, SUNY.<br />

Goldziher, Ignaz, 1981,Introduction to Islamic Theology, (New Jersey: Princeton University Press).<br />

<strong>Hanafi</strong>, <strong>Hassan</strong>, 1981, al Din wa al Tsaurah, (Kairo: Maktabah Madbuli), Vol. VIII.<br />

———, 1981, al Yasar al Islami, (Kairo: Kitabah al Nahdah al Islamiyah).<br />

———, 1981, Dirasat Islamiyyah, (Kairo: Maktabah al Anjilu al Mishriyyah).<br />

———, 1983, Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al Mu’ashir, (Beirut: Dar al tanwir li al Thiba’at al<br />

Nasyr).<br />

———, 1987, al Din wa al Tsaurat fi al Mu’ashir, (Kairo: al Maktabat al Madbuly).<br />

———, 1988, al Din wa al Taharrur al Tsaqafy, (Kairo: Maktabah Madbuly).<br />

———, 1989, “al Salafiyah wal ‘Almaniyah fi Fikrina al Mu’ashir”, dalam al Azminah, III, No. 15.<br />

———, 1990.Qadhaya Mu’ashirat fi al Fikri al Gharb al Mu’ashir, (Beirut: al Muassasat al Jami’iyyat<br />

li Dirasat wa al Nasyr wa al Tauzi).<br />

———, 1992, Al Turats wa Al Tajdid, Mauqifuna min Al Turats al Qadim, (Beirut: Al Mu’assasah<br />

Al Jami’iyah li Al Dirasah wa Al Nasyr wa Al Tauzi).<br />

———, 2001, “Mengkaji Tradisi Untuk Transformasi dan Revolusi, dalam Tashwirul Afkar, edisi<br />

No. 10.<br />

Hidayat, Komaruddin, 1995, “Pembaruan Islam: Dari Dekonstruksi ke Rekonstruksi” dalam Jurnal<br />

Ulumul Qur’an, Nomor 3 Volume VI.<br />

Iwad, Luwis, 1989, Dirasat fi al Hadlarat, (Kairo: Dar al Mustaqbal al ‘Araby).<br />

Khully, Amin al, 2001, al Mujadididun fi al Islam, (Kairo: Maktab al Usrah).<br />

Khully, Yumna Tharif al, 1998, al Thabi’iyyat fi Ilm al Kalam, (Kairo: Dar al Quba).<br />

Kusnadiningrat, E., <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>: Islam adalah Protes, Oposisi, dan Revolusi dalam http://<br />

islamlib.com/tokoh/tokoh.html<br />

Mahasin, Thoha, 1994, “Manusia dan Perubahan Sejarah: Berteologi bersama <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>”,<br />

dalam Jurnal Bangkit, Nomor 8 tahun III.<br />

Mahmud, Zaky Najib, 1961, al Manthiq al Wadl’iy, (Kairo: Maktabah Anglo al Mishriyah).<br />

Rahman, Budhi Munawar, 1993, “Al Yasr al Islami: Manifesto <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>”, dalam Jurnal<br />

Islamika, Nomor 1 Juli-September.<br />

Fenomena: Vol. 1 No. 2 September 2003 ISSN : 1693-4296


<strong>Pemikiran</strong> <strong>Akidah</strong> <strong>Humanitarian</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>... oleh: Asmuni M. Thaher<br />

135<br />

Shah, M. Aunul Abied et al, 2001, Islam Garda Depan Mosaik <strong>Pemikiran</strong> Islam Timur Tengah,<br />

(Bandung: Mizan).<br />

Shimogaki, Kazuo, 1993, Kiri Islam antara Modernitas dan Postmodernisme: Telaah <strong>Pemikiran</strong><br />

<strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>, Penerjemah Imam Aziz dan Jadul Maula, (Yogyakarta: LKiS).<br />

Yusdani, 2000, <strong>Pemikiran</strong> Muslim Arab Kontemporer: Studi Atas <strong>Pemikiran</strong> <strong>Hassan</strong> <strong>Hanafi</strong>”,<br />

Laporan Penelitian No. A-LP.320 Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia.<br />

Fenomena: Vol. 1 No. 2 September 2003 ISSN : 1693-4296

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!