10.07.2015 Views

Desentralisasi tata kelola hutan - Center for International Forestry ...

Desentralisasi tata kelola hutan - Center for International Forestry ...

Desentralisasi tata kelola hutan - Center for International Forestry ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

222 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasiPunan Malinau dan klaim atas tanahSuku Punan Malinau memiliki posisi khusus dalam konstelasi kekuasaan di kabupaten.Hingga tahun 1970-an, sebagian besar mereka adalah nomaden yang hidup dari berburudan mengumpulkan hasil <strong>hutan</strong>. Mereka kurang terorganisir dibanding dengan kelompoklain dan hampir tidak terwakili di pemerintahan, kecuali sejumlah kecil guru-guru Punan.Oleh karena itu mereka sangat dirugikan dalam negosiasi perbatasan dan pembagianmanfaat eksploitasi sumberdaya alam. Pada kasus Mirau pertengahan tahun 2000, ketikapulang dari perjalanan mengumpulkan hasil <strong>hutan</strong>, warga menemukan batas desa merekadengan Laban Nyarit telah ditandai oleh tim pemetaan gabungan Mirau–Laban Nyarit,tanpa pernah diin<strong>for</strong>masikan sebelumnya kepada mereka.Bahkan ketika suku Punan ikut membuat keputusan dengan kelompok etnis yanglain, mereka menghadapi beban tambahan yaitu prasangka, karena jumlah mereka sedikitdan tidak memiliki pengaruh politik. Ketika negosiasi dan perjanjian telah ditetapkan,desa-desa mengalami kesulitan untuk menegakkannya. Beberapa kegiatan IPPK mencakuppembuatan jalan melewati wilayah desa-desa lain, setidaknya di empat kasus (Setulang,Gong Solok, Laban Nyarit dan Long Loreh), menebangi pohon kayu atau merusak pohonbuah-buahan milik masyarakat sehingga menimbulkan kemarahan warga desa Punan,yang diakui klaimnya di kawasan tersebut (Anau dkk, 2002).Dengan tingginya nilai sumberdaya yang dipertaruhkan, ketatnya persaingan, dan takadanya rasa saling percaya, ancaman penggabungan wilayah telah menimbulkan kecemasanbaru. Sebagian besar kecemasan itu berkaitan dengan pertanyaan tentang hak-hak warga.Apakah mereka harus berbagi hak dengan semua orang di desa yang baru, bahkan denganorang di luar kelompok etnis atau klan mereka? Akan hilangkah hak-hak milik pribadimereka di desa lain selain di desa yang mereka diami? Bagaimana dengan klaim atas wilayahyang telah ditinggalkan?Kegelisahan ini terungkap saat lokakarya masyarakat tahunan yang diadakan CIFORdi Setarap, bulan April 2003. Ketika dimintai pendapat tentang penggabungan desa, 31 dari51 peserta menyatakan tidak setuju. Selain kurangnya kepercayaan pada pemerintah (11jawaban), alasan utama adalah takut kehilangan hak atas sumberdaya yang mereka klaim (9jawaban). Walau tidak semua peserta lokakarya adalah warga Punan, namun mereka jelasjelasmerupakan kelompok yang paling menolak penggabungan desa. Dalam pertemuanlanjutan di Long Loreh, keempat desa di lokasi ini juga menolak penggabungan. Kali iniwarga Punan dari Pelancau dan Bila Bekayuk adalah kelompok yang paling tegas, dengan41 dari total 45 yang menolak. Sekali lagi, mereka khawatir tersisihkan di dalam sebuahdesa yang terdiri dari campuran etnis. Saat ini mereka tengah membahas kemungkinanuntuk mendirikan wilayah terpisah, dan beberapa orang telah pindah ke daerah hulu untukmengklaim dan menempati wilayah itu. CIFOR telah menyarankan agar pemerintahmembentuk sebuah kawasan <strong>hutan</strong> khusus untuk warga Punan di daerah hulu, seperti yangsudah dilakukan di daerah Krui di Lampung; namun hingga saat ini reaksi pemerintahmasih belum jelas. Tampaknya pemerintah tetap pada keputusan penggabungan desa-desameskipun penduduk setempat menolak.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!