10.07.2015 Views

Desentralisasi tata kelola hutan - Center for International Forestry ...

Desentralisasi tata kelola hutan - Center for International Forestry ...

Desentralisasi tata kelola hutan - Center for International Forestry ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

10 Latar Belakang Teori dan KontekstualHak menentukan pemerintahan sendiri di bawah otonomi daerah telah diperdebatkansejak awal (Rinakit, 2002; Mokhsen, 2003). Pemerintah Indonesia beberapa kali mengubahderajat otonomi dalam otonomi daerah, setiap kali juga mengubah tingkat akuntabilitas(Suharyo, 2000). Baik UU No.1/1945 dan UU No.22/1948 yang merupakan undangundangpokok pemerintahan daerah, dirancang untuk memberi otonomi penuh padatingkat daerah dan untuk pemerintahan yang lebih demokratis. Sayangnya, undangundangtersebut yang dimaksudkan untuk melawan rekolonisasi Belanda, hanya dapatditerapkan di Jawa dan Madura, yang saat itu di bawah kekuasaan langsung pemerintahrepublik (Matsui, 2003).Belanda mencoba mengambil kembali penguasaan atas Indonesia, dan antara 1946 dan1949 beberapa kali menyerang. Perang itu berakhir pada tahun 1949 dengan pengakuaninternasional terhadap Republik Indonesia Serikat. Namun pada tahun 1950, negaramuda ini memutuskan kembali kepada republik kesatuan berdasarkan undang-undangdasar (sementara) tahun 1950.Karena belum ada undang-undang baru tentang pemerintahan daerah, untuk sementaradiberlakukan UU Pokok Pemerintahan Daerah-daerah Otonom No.22 tahun 1948.Namun karena dirancang untuk Jawa dan Madura, daerah lain menentang pemaksaan gayahidup Jawa. Maka UU tahun 1948 ini diganti dengan UU No. 1/1957, yang memberikan‘otonomi seluas-luasnya’ dalam wewenang yang tidak dimiliki pemerintah pusat. UUini juga, untuk pertama kalinya, menetapkan bahwa kepala pemerintahan daerahbertanggung jawab kepada dewan perwakilan lokal (Matsui, 2003, hal.7). Hal pentingdalam UU ini adalah bahwa otonomi ditetapkan di tingkat provinsi (MacAndrews, 1986),bukan di tingkat kabupaten. Namun berbagai kerusuhan antara tahun 1948 hingga 1962di Sumatra, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat, telah menggagalkan tujuan menghidupkankembali otonomi daerah (Brillantes dan Cuachon, 2002).SentralisasiMeskipun sudah menuju desentralisasi sejak dari tahun-tahun awal, penerapannya masihsulit, terutama dalam aspek administrasi dan fiskal. Republik baru ini menghadapi masalahfiskal dan kekurangan sumberdaya manusia, dana, dan pengalaman dalam pemerintahandaerah. Periode tahun 1950 hingga 1957 dicirikan oleh ketidakpuasan, tidak adanyakesepakatan dalam pertumbuhan sosial dan ekonomi, serta pemberontakan di daerah(MacAndrews 1986; Lloyd, 2000). Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa UU No. 1/1957tentang Pemerintahan Daerah tidak mengurangi ketidakpuasan di daerah. Untuk itu,pada tahun 1959 Presiden Soekarno menetapkan Indonesia kembali kepada UUD 1945(Matsui, 2003), dan menghapuskan otonomi daerah.Meskipun UUD 1945 menetapkan adanya otonomi dalam Pasal 18, ketidak-jelasandefinisi otonomi dan desakan untuk mempertahankan negara kesatuan menyebabkanSoekarno mengadopsi kekuasaan sentralistik yang mirip dengan periode kolonial. Mulailahera ‘demokrasi terpimpin’ dengan kekuasaan Presiden yang luas. Pada periode ini, yangberlangsung hingga 1965, terbentuklah pemerintah pusat yang kuat dan efektif menguasaidaerah dan mematahkan berbagai pemberontakan. Dalam periode ini juga tentara tumbuhmenjadi kekuatan di belakang pemerintah (MacAndrews, 1986) dan terbentuklah duaperan pejabat daerah, yaitu sebagai pimpinan daerah otonom dan wakil pemerintah pusatdi daerah (de-konsentrasi).Dasar hukum sistem sentralistik tersebut adalah UU No. 18/1965, tentang PokokpokokPemerintahan Daerah yang menempatkan administrasi daerah sejalan dengan

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!