13.07.2015 Views

Kejahatan Perang Dalam RUU KUHP

Kejahatan Perang Dalam RUU KUHP

Kejahatan Perang Dalam RUU KUHP

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

PendahuluanKitab Undang-undang Hukum Pidana (<strong>KUHP</strong>) adalah aturan yangberisi larangan melakukan perbuatan kejahatan dan pelanggaranbeserta sanksi-sanksinya. <strong>KUHP</strong> yang ada saat ini sebenarnyatelah ada sejak jaman kolonial Belanda, sehingga banyak pasalpasalnyasudah tidak pas dengan perkembangan kejahatan danpelanggaran yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu,pemerintah kemudian mengeluarkan sebuah rancangan yangberisi usulan perubahan terhadap Kitab Undang-Undang HukumPidana yang baru (disebut <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong>). Di dalam <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong>,dimasukkan materi-materi baru yang sebelumnya tidak tercantumdi dalam <strong>KUHP</strong>, di samping melakukan perbaikan terhadaprumusan yang sudah ada, supaya lebih kontekstual. Namun<strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> yang telah ada ini pun masih perlu dikaji dandipertimbangkan agar rumusannya menjadi lebih tepat danbermanfaat bagi pencapaian keadilan.Salah satu yang perlu dikaji ulang dalam <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> adalahpeletakkan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di dalam <strong>RUU</strong><strong>KUHP</strong>, yaitu Genosida, <strong>Kejahatan</strong> terhadap Kemanusiaan,<strong>Kejahatan</strong> <strong>Perang</strong> dan Penyiksaan (Torture). Peletakkan kejahatankejahatantersebut di dalam <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> bisa dianggap sebagaicara yang baik untuk mengangkat masalah pelanggaran HAMberat dan mengingatkan para aparat hukum untukmenindaklanjuti setiap pelanggaran HAM berat yang terjadi.Namun di sisi lain, perumusan dan peletakkannya masih belumsempurna, bahkan dianggap tidak tepat dimasukkan ke dalam<strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> dan harus menjadi aturan khusus yang terpisahdengan <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong>.Sekilas tentang <strong>Kejahatan</strong> <strong>Perang</strong> dalam HukumInternasionalIstilah kejahatan perang sudah lamadikenal dalam perbincangan hukuminternasional, yaitu khususnya dalamhukum humaniter – yang sering disebutjuga sebagai hukum perang (law of war)atau hukum konflik bersenjata (law ofarmed conflict). <strong>Dalam</strong> hukumhumaniter, istilah kejahatan perangdihubungkan dengan tindakan-tindakantertentu yang dilakukan oleh parapelaku perang atau pihak yang terlibatdalam perang yang melanggar kaidahhukum humaniter. Tindakan tertentudapat dikategorikan ke dalam pelanggaran berat (graves breaches)terhadap hukum humaniter dan pelanggaran lainnya (yangbukan dikategorikan berat).Hal ini secara jelas tercantum padaKonvensi Jenewa 1949 dan kemudiandilengkapi dengan dua protokoltambahannya. Meski pada awalnyakejahatan perang selalu ditafsirkanbanyak pihak hanya dimaksudkan untukkejahatan yang dilakukan ataspeperangan antar Negara, namunperkembangannya, terlebih denganadanya Protokol Tambahan II KonvensiJenewa 1979, pengaturan tentang perangjuga meliputi peperangan yang terjadidi dalam Negara (internal armed conflict).<strong>Dalam</strong> perkembangannya, dengan adanyaPengadilan Pidana Internasional untukkasus Negara Bekas Yugoslavia dan Rwanda, kejahatan perangsemakin mendapat perhatian internasional secara serius.Perkembangan mutakhir dengan adanya Statuta Roma tentangMahkamah Pidana Internasional, kejahatan perang dinyatakansebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crimes), yaitusebagai pelanggaran berat hak asasi manusia (human rightsgross violations). Hanya saja Statuta Roma memasukkan elemen“meluas” atau “sistematis” sebagai elemen penting di dalamnya.Statuta Roma pun mengkategorikan kejahatan perang sebagai:1) Pelanggaran berat sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewayang ditujukan kepada orang dan harta benda; 2) Pelanggaranserius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang diterapkandalam konflik bersenjata internasional; 3) Pelanggaran seriusterhadap Konvensi Jenewa dalam kaitan konflik bersenjatabukan internasional; 4) Pelanggaran serius lainnya terhadaphukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjatayang bukan bersifat internasional.Pengaturan tentang <strong>Kejahatan</strong> <strong>Perang</strong> dalam<strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong>Secara khusus, kejahatan perang atau konflik bersenjata dapatditemukan pengaturannya pada Pasal 396 sampai 393 <strong>RUU</strong><strong>KUHP</strong>. Selain itu, kejahatan perang terkait juga dengan Pasal401-402 <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong>. Secara umum <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> mengadopsikategori pengaturan tentang kejahatan perang dalam StatutaRoma, di mana kejahatan perang dibagi dalam empat kategorisebagaimana tertera di atas. Dengan demikian, <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong>melingkupi kejahatan perang, baik untuk konflik yang bersifatinternasional maupun konflik yang bersifat internal. Di sampingitu, <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> juga menganut kejahatan perang dalam artiluas; pelanggaran berat yang terjadi dalam masa perang danpelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yangditerapkan dalam perang.Hanya saja peletakan posisi <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> yang demikianmenimbulkan banyak kelemahan dalam upaya menghukumpelaku kejahatan perang di masa depan dan dalam konteksIndonesia. Pertama, Statuta Roma dapat dipakai sebagai acuantentang pelanggaran HAM Berat, namun seharusnya bukansatu-satunya acuan. Sebab, Statuta Roma memang membatasiyurisdiksinya untuk kejahatan perang tertentu yang disebutsebagai extra-ordinary crimes. Padahal, jika mengacu padaKonvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya, ada kejahatanlain (breaches) yang tidak dikategorikan sebagai pelanggaranberat (grave breaches) namun tetap sebagai larangan (prohibit)yang tidak b o l e hdiabaikan olehpihak yangbersengketa.SebagaiNegara yang s u d a hmengaksesiKonvensiJenewa makaIndonesiapun perlu memasukkanlarangan-larangan lainyang juga d a p a tdianggapsebagaipelanggaranterhadapKonvensiJenewa.Berhubungandengan poindi atas, maka<strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong>kemudianmenjadirancu merumuskan siapa yang perlu ditindak dalam kejahatanperang. Istilah “setiap orang” berbeda dengan konteks KonvensiJenewa yang membatasinya dengan “pihak-pihak yang terlibatdalam konflik.”Kedua, dengan hanya mengatur pelanggaran berat KonvensiJenewa dan pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaanperang, maka banyak prinsip perlindungan terhadap korbanperang diabaikan oleh <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong>. Misalnya di dalam Pasal397(d): melakukan penyerangan yang diketahuinya bahwaserangan tersebut menyebabkan kematian atau luka terhadaporang-orang sipil atau kerusakan terhadap objek-objek sipilatau kerusakan yang hebat, meluas, dan berjangka panjangterhadap lingkungan hidup yang berkelebihan dalam kaitannyadengan keseluruhan keuntungan militer yang bersifat nyatadan langsung yang diantisipasi;Dengan demikian, maka penyerangan yang tidak menyebabkankematian atau luka terhadap orang sipil (walaupun menimbulkantrauma) atau kerusakan (namun tidak hebat dan meluas danberjangka panjang) maka tidak dikenakan sanksi pidana. Halini bertentangan dengan prinsip perlindungan terhadap populasisipil (indiscriminate attack) di mana serangan tidak bolehdilakukan terhadap populasi dan orang sipil atau objek sipillainnya walaupun serangan itu tidak berdampak berat.


Selain itu, lihat pula pada Pasal 397(j) dan Pasal 399(k)Pasal 397(j) meliputi: “menjadikan sebagai objek orangorangyang berada dalam pengawasan pihak lawan untukdijadikan objek pemotongan atau mutilasi fisik ataupengobatan atau percobaan ilmiah yang tidak dapatdibenarkan baik oleh kedokteran, kedokteran gigi maupuanrumah sakit tersebut, maupun dilakukan untuk kepentinganyang menyebabkan kematian atau secara seriusmembahayakan kesehatan orang atau orang-orang tersebut”.Pasal 399(k): “menjadikan orang-orang yang berada dalamkekuasaan pihak lain yang terlibat konflik sebagai sasaranmutilasi fisik atau percobaan medis atau ilmiah yang tidakdapat dibenarkan baik atas tindakan medis, pemeliharaangigi, rumah sakit terhadap yang bersangkutan maupun atasdasar kepentingannya, dan yang menyebabkan kematianatau bahaya yang besar terhadap kesehatan arang atauorang-orang tersebut”.Kedua rumusan tersebut sesungguhnya mendegradasi upayaperlindungan terhadap korban. Mengapa harus menyebabkankematian atau membahayakan kesehatan orang barudianggap sebuah kejahatan?Ketiga, beberapa rumusan dalam <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> bertentangandengan prinsip hak asasi manusia dan prinsippertanggungjawaban dalam hukum humaniter:a) <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> tentang kejahatan perang menggunakanhukuman mati, hal mana bertentangan dengan prinsiphak asasi manusia. Bahkan dalam Statuta Roma tidakada aturan tentang hukuman mati.b) <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> Pasal 401 berbunyi: “Seorang bawahan yangmelakukan tindak pidana dalam Bab ini sesuai denganperintah atasan tidak dapat dipertanggungjawabkanapabila perintah itu diyakininya dengan itikad baiktelah diberikan dengan sah dan pelaksanaan perintahitu termasuk ruang lingkup wewenangnya sebagaibawahan“.Pasal ini bertentangan dengan prinsip pertanggungjawabanindividual dari siapapun yang terlibat dalam perang. Perintahatasan bukan menjadi alasan untuk dapat terjadinyapelanggaran terhadap Konvensi Jenewa.Keempat, banyak istilah yang dipakai tidak tepat. Misalnya,istilah ‘tahanan’ yang seharusnya menggunakan ‘tawanan’karena antara tahanan dan tawanan jelas mempunyaiperbedaan arti. Demikian juga istilah ‘harta kekayaan’ yangseharusnya menggunakan istilah ‘harta benda’, istilah‘keperluan militer’ yang lebih tepat menjadi ‘prinsipkepentingan militer’ dan istilah ‘kekuasaan penduduk’yang harusnya menjadi ‘penguasa pendudukan’.Kelima, banyak istilah-istilah yang disebut dalam <strong>RUU</strong><strong>KUHP</strong> tidak tersedia atau tidak memadai penjelasannya.Misalnya istilah ‘curang’ dalam Pasal 399(i) perlu dijelaskan.Merujuk pada hukum humaniter misalnya, ada yang disebutdengan ‘perfidy’ yang dilarang dilakukan, namun ada yangdisebut dengan ‘ruse of war’ yang diperbolehkan. Perlujuga diperjelas apa yang dimaksud dengan “daerah yangdidemiliterisasi”, “prinsip kepentingan militer (militarynecessity)”, “sasaran militer”, ruang lingkup dari “serangan”yang di dalam konteks hukum humaniter bisa termasukpula “pendudukan” (ocupacy).RekomendasiRumusan <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> tentang kejahatan perang masihsangat lemah. Kelemahan utama adalah <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> hanyameletakkan kejahatan perang dalam lingkup pelanggaranberat (graves breaches) dan pelanggaran serius (seriousbreaches) sementara pelanggaran lain tidak tercakup.Seharusnya <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong> juga mengatur pelanggaran lainnyasementara pelanggaran beratnya diatur dalam pengaturankhusus mengingat kejahatan tersebut sangat luar biasa.ELSAM 2006. Penulis: Sri Wiyanti EddyonoSumber Informasi: Konvensi Jenewa 1949, ProtokolTambahan I dan II 1977, Statuta Roma, <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong>, LaporanKomnas HAM tentang masukan untuk <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong>, 2006.<strong>Kejahatan</strong> <strong>Perang</strong>dalam <strong>RUU</strong> <strong>KUHP</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!