o_19ql6dmae44j1gnbvi1vdkt38a.pdf
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Buku ini dipersembahkan untuk:<br />
Pesan:
Pengalih Bahasa: Samuel Tumanggor<br />
Penyunting: James Yanuar<br />
Desain Sampul:<br />
Tata Letak: Felly Meilinda<br />
Proff Reading: David Januar<br />
Hak terjemahan Bahasa Indonesia ada pada:<br />
PT. VISI ANUGERAH INDONESIA<br />
Jl. Karasak Lama 2 - Bandung 40235<br />
Tlp : 022 - 522 5739<br />
Email : visipress@visi-bookstore.com<br />
ISBN: 978-602-8073-31-8<br />
Cetakan pertama, April 2010<br />
Indonesian Edition © visipress 2010<br />
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang<br />
Dilarang memperbanyak sebagian atau<br />
seluruh isi buku ini tanpa seizin Penerbit<br />
Member of CBA Indonesia<br />
No : 05/PBL-BS/1108/CBA-Ina
Isi<br />
Pendahuluan 11<br />
Pengantar: Cara Memuliakan Allah yang Telah<br />
Dilalaikan 15<br />
1. Kepemilikan 23<br />
2. Produktivitas 31<br />
3. Pekerjaan 37<br />
4. Transaksi Dagang 43<br />
5. Laba 49<br />
6. Uang 55<br />
7. Ketakmerataan Barang Milik 59<br />
8. Persaingan 71<br />
9. Meminjam dan Memberi Pinjaman 79<br />
10. Sikap Hati 89<br />
11. Dampak pada Kemiskinan Dunia 93<br />
Catatan 99<br />
Indeks Umum 103<br />
Indeks Ayat Kitab Suci 107
Pendahuluan<br />
Selama beberapa tahun saya telah mengajarkan dan meriset<br />
ajaran Alkitab tentang persoalan ekonomi secara luas. Topiktopiknya<br />
mencakup kekayaan dan kemiskinan, menabung<br />
dan memberi, kerja dan waktu luang, membeli dan menjual,<br />
meminjam dan memberi pinjaman, pengusaha dan pekerja,<br />
dan penggunaan sumber-sumber daya alam untuk maksudmaksud<br />
yang produktif. Alkitab berbicara banyak tentang<br />
topik-topik itu, dan pembahasan yang seksama membutuhkan<br />
buku yang lebih besar daripada buku ini. Saat ini saya sedang<br />
dalam proses menulis buku yang lebih besar tersebut.<br />
Tetapi meskipun buku itu belum rampung, Ted Yamamori,<br />
mantan presiden Food for the Hungry, meyakinkan saya untuk<br />
membawakan makalah tentang terapan khusus beberapa topik<br />
ini pada kegiatan bisnis. Saya menyanggupi dan membawakan<br />
makalah berjudul “Bagaimana Bisnis Dapat Memuliakan<br />
Allah” pada Konferensi untuk Usahawan Holistik yang<br />
diadakan Dr. Yamamori di Regent University Graduate School<br />
of Business, 3-5 Oktober 2002. Buku ini merupakan perluasan<br />
dari makalah itu. 1<br />
Saya ingin berterima kasih kepada banyak orang yang<br />
memberi sumbangan kepada pemikiran saya atau yang<br />
memberi saran untuk naskah buku ini. Termasuk di antara<br />
mereka adalah Barry Asmus, Jerry Brock, David Browne,<br />
Diane Hakala, Stephen Happel, David Payne, Steve Uhlmann,
12 Business for the Glory of God<br />
dan banyak mantan siswa di kelas diskusi. Saya secara khusus<br />
berterima kasih kepada David Kotter, mantan siswa yang bijak<br />
dan murah hati (dan asisten staf pengajar bidang ekonomi<br />
di Trinity College, Deerfield, Illinois). Pengetahuan dan<br />
pengalamannya di bidang enonomi dan bisnis telah memberi<br />
banyak sumbangan kepada pemikiran saya dan berpengaruh<br />
penting pada apa yang saya tulis. Namun, saya tidak memungut<br />
setiap saran para penolong dan sahabat ini. Jadi, mereka tak<br />
dapat dipersalahkan atas setiap kesalahan yang ada!<br />
Saya juga ingin berterima kasih kepada administrasi<br />
dan dewan Trinity Evangelical Divinity School (tempat<br />
saya mengajar dari tahun 1981 sampai 2001) dan Phoenix<br />
Seminary (tempat saya mengajar sekarang). Mereka memberi<br />
saya masa sabat sehingga saya dapat mengerjakan buku yang<br />
lebih besar tentang asas-asas Alkitab dan nilai-nilai ekonomi.<br />
Saya harap tak lama lagi buku itu segera rampung. Dan saya<br />
ingin berterima kasih kepada Sovereign Grace Ministries,<br />
sekelompok gereja yang menyemangati dan mendukung saya<br />
dengan dana untuk riset tambahan dalam projek riset yang<br />
lebih luas ini. Riset tersebut memberi saya banyak latar untuk<br />
tinjauan-tinjauan ringkas yang saya buat dalam buku ini.<br />
Saya mempersembahkan buku ini kepada ayah saya,<br />
Arden Grudem. Karyanya di dunia bisnis dan kemurahan<br />
hatinya memungkinkan saya menuruti nasihat bijaknya<br />
dan mendapat pendidikan formal lebih banyak daripada<br />
yang pernah dikejarnya. Perilaku bisnisnya, menurut yang<br />
saya dengar dari orang-orang lain seumur hidup saya,<br />
selalu menghormati dan memuliakan Allah. Saya juga<br />
mempersembahkan buku ini kepada ibu saya, Jean Grudem.<br />
Kemurahan hati, kebaikan, kejujuran, pengorbanan diri,
dan imannya juga telah memuliakan Allah dalam seluruh<br />
hidupnya, dan telah memberi saya teladan yang sangat kuat.<br />
Teladan itu mempengaruhi gagasan saya tentang pribadi yang<br />
saya harapkan dari diri saya sendiri.<br />
13<br />
Wayne Grudem<br />
Scottsdale, Arizona<br />
19 September 2003
Pengantar:<br />
Cara Memuliakan Allah yang Telah Dilalaikan<br />
Apakah bisnis pada dasarnya baik atau jahat?<br />
Bagi banyak orang hari ini, kata-kata seperti “laba,”<br />
“persaingan,” “uang,” dan bahkan “bisnis” mengandung arti<br />
tambahan yang bersifat negatif secara moral. Beberapa orang<br />
yang berkecimpung di dunia bisnis bahkan bekerja di bawah<br />
segumpal awan redup rasa bersalah. Mereka berpikir bahwa<br />
pekerjaan mereka boleh jadi diperlukan, tetapi menurut sudut<br />
pandang moral, pekerjaan itu mungkin sebaik-baiknya hanya<br />
bersifat “netral.” Sedikit sekali orang yang berpikir secara<br />
naluriah bahwa bisnis bersifat baik secara moral.<br />
Belum lama ini perusahaan raksasa seperti Enron dan<br />
firma akunting yang tadinya disegani seperti Arthur Andersen<br />
membuat skandal-skandal bisnis dengan bertindak tidak jujur<br />
dan melakukan kegiatan ilegal. Skandal-skandal itu telah<br />
membuat orang lebih mungkin lagi curiga bahwa dalam bisnis<br />
ada sesuatu yang secara bawaan cenderung kepada pelanggaran.<br />
Jadi, ide bisnis sendiri diliputi awan gelap kecurigaan. Tetapi<br />
benarkah demikian?<br />
Mengenai hubungan bisnis dengan melayani Allah, jika<br />
orang bertanya bagaimana hidup mereka dapat “memuliakan<br />
Allah,” mereka tidak lazim diberitahu, “Masuklah dunia<br />
bisnis.”
16 Business for the Glory of God<br />
Ketika para siswa bertanya, “Bagaimana saya dapat<br />
melayani Allah dengan hidup saya?” mereka jarang mendengar<br />
jawaban, “Masuklah dunia bisnis.”<br />
Ketika seseorang menjelaskan kepada kenalan barunya,<br />
“Saya berbisnis anu,” ia tidak lazim mendengar tanggapan,<br />
“Wah, itu cara yang hebat untuk memuliakan Allah!”<br />
Tetapi itulah tepatnya yang akan dimaklumkan buku ini.<br />
Saya akan berargumen bahwa banyak aspek kegiatan bisnis<br />
memang bersifat baik secara moral dalam dirinya sendiri. Saya<br />
juga akan berargumen bahwa dalam dirinya sendiri semua itu<br />
memuliakan Allah—meskipun berpotensi besar juga kepada<br />
penyalahgunaan dan pelanggaran.<br />
Saya sadar bahwa, bagi kebanyakan orang, ungkapan<br />
“memuliakan Allah” terdengar seperti—yah, itu terdengar<br />
seperti ungkapan gerejawi, bukan ungkapan di dunia bisnis.<br />
Ketika orang mendengar perkataan “memuliakan Allah,”<br />
mungkin perkataan itu mula-mula mengandung arti ibadah—<br />
menyanyikan pujian dan bersyukur kepada Allah. Kemudian<br />
perkataan itu mungkin mengandung arti penginjilan—<br />
memuliakan Allah dengan bercerita tentang Allah kepada<br />
orang lain. Bahkan perkataan itu mungkin mengandung<br />
arti memberi—memuliakan Allah dengan menyumbangkan<br />
uang untuk penginjilan, membangun gereja, dan memenuhi<br />
kebutuhan orang miskin. Atau perkataan itu mungkin<br />
mengandung arti hidup bermoral—melakukan tindakantindakan<br />
yang menghormati Allah. Akhirnya, ungkapan<br />
“memuliakan Allah” mungkin mengandung arti hidup<br />
beriman—bergantung pada Allah dalam doa dan dalam sikap<br />
hati sehari-hari. Kelima hal ini—ibadah, penginjilan, memberi,<br />
hidup bermoral, dan iman—pastinya merupakan cara-cara
Pengantar: Cara Memuliakan Allah yang Telah Dilalaikan<br />
17<br />
yang tepat untuk memuliakan Allah. Tetapi semua itu bukan<br />
fokus saya dalam buku ini.<br />
Di luar hal-hal itu, saya ingin meninjau bisnis dalam<br />
dirinya sendiri—bukan sekadar bagaimana bisnis dapat<br />
memberi sumbangan kepada pekerjaan gereja. Jelasnya, saya<br />
ingin meninjau beberapa aspek berikut dari kegiatan bisnis:<br />
1. Kepemilikan<br />
2. Produktivitas<br />
3. Pekerjaan<br />
4. Transaksi dagang (membeli dan menjual)<br />
5. Laba<br />
6. Uang<br />
7. Ketakmerataan barang milik<br />
8. Persaingan<br />
9. Meminjam dan memberi pinjaman<br />
10. Sikap hati<br />
11. Dampak bagi kemiskinan dunia<br />
Tetapi sebelum mempertimbangkan hal-hal itu, kita perlu<br />
mempertimbangkan dua butir pengantar. Butir pertama<br />
berkenaan dengan meniru Allah, dan butir kedua berkenaan<br />
dengan pelanggaran moral atau dosa.<br />
Meniru: Allah Senang Melihat Karakter-Nya<br />
Tercermin dalam Hidup Kita<br />
Kita sering melewatkan satu cara untuk memuliakan Allah.<br />
Cara tambahan ini merupakan kunci untuk memahami alasan<br />
Allah membuat dunia seperti ini dan alasan Allah memberi<br />
perintah-perintah moral-Nya. Cara ini juga merupakan kunci
18 Business for the Glory of God<br />
untuk memahami mengapa manusia memiliki dorongan<br />
naluri untuk bekerja, memproduksi, mencipta, memperoleh,<br />
menabung dan memberi, dan melakukan ribuan kegiatan khas<br />
yang mengisi hari-hari kita. Cara tambahan untuk memuliakan<br />
Allah ini adalah meniru, yaitu meniru atribut-atribut Allah.<br />
Allah menciptakan kita supaya kita dapat meniru Dia<br />
dan supaya Ia dapat memandang kita dan melihat atributatribut-Nya<br />
tercermin dalam diri kita. Pasal pertama Alkitab<br />
memberitahu kita,<br />
Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-<br />
Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; lakilaki<br />
dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kej. 1:27).<br />
Diciptakan menurut gambar [atau, citra, pnj.] Allah<br />
berarti menjadi seperti Allah dan mewakili Allah di bumi. Ini<br />
berarti Allah menciptakan kita seperti Dia lebih daripada halhal<br />
lain yang dibuat-Nya. Ia gembira memandang kita dan<br />
melihat cerminan keunggulan-Nya dalam diri kita. Setelah<br />
Allah menciptakan Adam dan Hawa,<br />
maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu,<br />
sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi,<br />
itulah hari keenam (Kej. 1:31). 1<br />
Ia memandang ciptaan-Nya dan bergembira karenanya—ya,<br />
karena semuanya, tetapi khususnya karena manusia yang<br />
diciptakan menurut citra-Nya.<br />
Itulah sebabnya Paulus menyuruh kita dalam Efesus 5,
Pengantar: Cara Memuliakan Allah yang Telah Dilalaikan<br />
19<br />
Jadilah peniru-peniru Allah, seperti anak-anak yang<br />
kekasih (Ef. 5:1, NIV).<br />
Jika Anda orang tua, Anda tahu bahwa ada sukacita<br />
istimewa ketika Anda melihat anak-anak Anda meniru beberapa<br />
sifat baik Anda dan menuruti beberapa patokan moral yang<br />
Anda coba teladankan. Ketika kita merasakan sukacita yang<br />
demikian sebagai orang tua, itu hanyalah gema sayup dari<br />
perasaan Allah ketika Ia melihat kita, anak-anak-Nya, meniru<br />
sifat-sifat-Nya yang unggul. “Jadilah peniru-peniru Allah,<br />
seperti anak-anak yang terkasih.”<br />
Ide meniru Allah ini menjelaskan banyak perintah dalam<br />
Alkitab. Sebagai contoh, “Kita mengasihi, karena Allah lebih<br />
dahulu mengasihi kita” (1 Yoh. 4:19). Kita meniru kasih Allah<br />
ketika kita bertindak dengan kasih. Atau, “Kuduslah kamu,<br />
sebab Aku kudus” (1 Ptr. 1:16, mengutip Im. 11:44). Secara<br />
serupa, Yesus mengajarkan, “Hendaklah kamu murah hati,<br />
sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk. 6:36). Ia juga<br />
bersabda, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti<br />
Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat. 5:48). Allah<br />
ingin kita menjadi seperti Dia.<br />
Ide meniru karakter Allah sehingga Ia bergembira karena<br />
kita menjelaskan perintah-perintah moral dalam Alkitab juga.<br />
Sebagai contoh, Allah menginginkan kita berkata benar, tidak<br />
berdusta, karena Ia adalah Tuhan “yang tidak berdusta” (Tit.<br />
1:2). Ia melarang kita berzinah karena Ia adalah Tuhan yang<br />
setia kepada komitmen perjanjian-Nya dan Ia gembira melihat<br />
kita setia kepada perjanjian pernikahan kita (lihat Mal. 2:14).<br />
Dan Allah memerintahkan anak-anak-Nya, “Hormatilah<br />
ayahmu dan ibumu” (Kel. 20:12; dikutip dalam Ef. 6:2),
20 Business for the Glory of God<br />
sebagai cerminan penghormatan Sang Anak kepada Sang Bapa<br />
dalam Tritunggal.<br />
Allah menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kita<br />
ingin meniru karakter-Nya. Ia menciptakan kita sedemikian<br />
rupa sehingga kita akan bergembira secara spontan ketika<br />
melihat cerminan karakter-Nya dalam tindakan kita dan<br />
tindakan orang lain. Meskipun sekarang proses ini dirusak<br />
dosa, kita masih mengalaminya sampai kadar tertentu. Kita<br />
merasakan jenis sukacita dan kepuasan yang dalam dan penuh<br />
(karena Allah benar). Kita memperlakukan orang lain dengan<br />
adil (karena Allah adil dan berimbang). Kita bertindak dengan<br />
kasih kepada orang lain (karena Allah kasih). Kita setia kepada<br />
pernikahan kita dan menepati perkataan kita dalam komitmenkomitmen<br />
yang lain (karena Allah setia). Kita juga senang<br />
melihat orang lain bertindak secara demikian, karena dalam<br />
tindakan-tindakan itu kita menangkap sekilas karakter Allah.<br />
Dengan begitu, kita dapat mulai memahami cara memenuhi<br />
perintah, “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau<br />
jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya<br />
itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor. 10:31).<br />
Tetapi Dosa Tidak Memuliakan Allah<br />
Namun, sangat penting untuk disadari bahwa kita tak boleh<br />
berupaya memuliakan Allah dengan melakukan hal-hal yang<br />
tidak menaati Firman-Nya. Sebagai contoh, jika saya berkata<br />
jujur tentang sesama saya berdasarkan keinginan untuk<br />
mencelakakan dia, saya tidak memuliakan Allah dengan<br />
meniru kebenaran-Nya, sebab kebenaran Allah selalu konsisten<br />
dengan atribut-atribut-Nya yang lain, termasuk atribut kasih.<br />
Dan jika kita membaca tentang pencuri yang merampok bank
Pengantar: Cara Memuliakan Allah yang Telah Dilalaikan<br />
21<br />
dengan rencana yang rumit dan lihai, kita tidak akan memuji<br />
Allah karena pencuri itu meniru hikmat dan keterampilan<br />
ilahi, sebab hikmat Allah selalu nyata secara konsisten dengan<br />
karakter moral-Nya yang tak dapat berbuat jahat dan dengan<br />
atribut-atribut kasih dan kebenaran-Nya. Jadi, kita harus<br />
berhati-hati agar tidak meniru karakter Allah dengan cara-cara<br />
yang menentang hukum moral-Nya dalam Alkitab.<br />
Apa Yang Tidak Dicakup Buku Ini<br />
Satu hal lagi perlu dikatakan sebelum kita mulai. Buku ini<br />
tidak membahas tentang “cara memutuskan soal-soal etika<br />
yang sulit dalam bisnis.” Untuk keperluan itu dibutuhkan<br />
buku yang lebih panjang daripada buku ini. Di masa depan<br />
saya berharap dapat menulis tentang beberapa soal etika rumit<br />
yang setiap hari dihadapi orang di dunia bisnis.<br />
Tetapi sebelum kita membahas tantangan rumit dalam<br />
etika bisnis, sangatlah bernilai jika kita memahami beberapa<br />
komponen dasar bisnis dalam dirinya sendiri. Apakah hal-hal<br />
seperti laba, persaingan, uang, dan kepemilikan barang selalu<br />
dinodai kejahatan? Atau, apakah semua itu merupakan hal-hal<br />
yang bersifat netral secara moral belaka dan dapat digunakan<br />
untuk kebaikan atau kejahatan? Sebagai kontras terhadap kedua<br />
pandangan itu, buku ini akan berargumen bahwa semua hal<br />
itu bersifat baik secara mendasar dan diberikan Allah kepada<br />
umat manusia, tetapi semua hal itu juga mengandung banyak<br />
godaan kepada penyalahgunaan dan pelanggaran. Bahkan jika<br />
buku ini terlalu singkat untuk memecahkan segala masalah<br />
rumit di “wilayah abu-abu” etika bisnis, ada banyak hal dalam<br />
setiap aspek bisnis yang nyata-nyata benar dan salah. Saya<br />
akan menyebutkan pula hal-hal itu di belakang nanti.
22 Business for the Glory of God<br />
Cara-cara Khas Berbisnis Untuk Memuliakan<br />
Allah<br />
Dengan latar belakang itu, kita dapat berpaling sekarang<br />
untuk membahas aspek-aspek khas kegiatan bisnis. Kita dapat<br />
bertanya bagaimana semua itu membuka kesempatan unik<br />
untuk memuliakan Allah. Kita akan mendapati bahwa dalam<br />
setiap aspek bisnis ada banyak lapisan kesempatan untuk<br />
memuliakan Allah, dan juga banyak godaan untuk berdosa.
1<br />
Kepemilikan<br />
Memiliki barang pada dasarnya baik dan<br />
memberi banyak kesempatan untuk memuliakan Allah,<br />
tetapi juga banyak godaan untuk berdosa<br />
Terkadang orang memandang semua kepemilikan barang<br />
sebagai suatu jenis “ketamakan” yang kotor secara moral.<br />
Mereka membayangkan bahwa di dunia yang sempurna orang<br />
tidak memiliki barang secara pribadi. Tetapi Alkitab tidak<br />
mendukung gagasan itu. Ketika Allah memberi perintah,<br />
Jangan mencuri (Kel. 20:15),<br />
Ia meneguhkan kepemilikan barang pribadi sebagai hal yang<br />
sah. Saya tidak boleh mencuri mobil Anda, karena mobil itu<br />
milik Anda, bukan milik saya. Jika Allah tidak meniatkan kita<br />
memiliki barang pribadi, larangan untuk mencuri tidaklah<br />
masuk akal.<br />
Saya percaya Allah memberi perintah, “Jangan mencuri,”<br />
karena memiliki barang adalah cara mendasar kita untuk<br />
meniru daulat Allah atas alam semesta. Dengannya kita<br />
menerapkan “daulat” atas suatu bagian kecil alam semesta,<br />
yakni barang milik kita. Ketika kita mengurus milik kita, kita<br />
meniru Allah yang mengurus seluruh alam semesta. Ia gembira
24 Business for the Glory of God<br />
melihat kita meniru-Nya secara demikian. Sebagai tambahan,<br />
ketika kita mengurus milik kita, kita mendapat kesempatan<br />
untuk meniru atribut-atribut Allah yang lain, misalnya hikmat,<br />
pengetahuan, keindahan, kekreatifan, kasih kepada orang lain,<br />
kebaikan, keadilan, kemandirian, kemerdekaan, penerapan<br />
kehendak, kebahagiaan (atau sukacita), dan seterusnya.<br />
Nah, terkadang orang Kristen Barat menyebut kepemilikan<br />
sebagai “kepengurusan” (stewardship). Istilah ini mengingatkan<br />
bahwa apa yang kita “miliki” tidaklah kita miliki secara<br />
mutlak. Kita hanya menjadi pengurus yang mengurus milik<br />
Allah. “TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya”<br />
(Mzm. 24:1). Sebab itu, pada hakikatnya, segala sesuatu adalah<br />
milik Allah (lihat juga Im. 25:23; Mzm. 50:10-12; Hag. 2:8;<br />
Luk. 16:12; 1 Kor. 4:7).<br />
Mengapa sejak kecil anak-anak senang memiliki<br />
mainannya sendiri? Mengapa mereka sering kali ingin<br />
memiliki hewan peliharaan, yang dapat mereka urus? Saya<br />
maklum bahwa “kepemilikan” mainan dan hewan peliharaan<br />
seperti itu dapat disimpangkan oleh dosa pementingan diri<br />
dan kemalasan. Tetapi sekalipun kita hidup di dunia yang<br />
tanpa dosa, sejak kecil anak-anak akan punya keinginan untuk<br />
memiliki barang sendiri. Saya kira Allah telah menciptakan<br />
kita dengan keinginan untuk memiliki barang-barang sebab<br />
Ia ingin kita memiliki keinginan untuk meniru daulat-Nya<br />
secara demikian. Keinginan ini tidak boleh secara otomatis<br />
disebut “ketamakan,” sebab istilah itu memfitnah keinginan<br />
baik yang diberikan Allah kepada kita.<br />
Ketika kita menjadi pengurus yang bertanggung jawab,<br />
entah saat kita memiliki mainan di usia 4 tahun atau mengelola<br />
pabrik di usia 40 tahun, jika kita melakukan pekerjaan itu
Kepemilikan<br />
25<br />
“seperti untuk Tuhan,” Allah memandang kita meniru daulat-<br />
Nya dan atribut-atribut-Nya yang lain, dan Ia senang. Dengan<br />
begitu, kita menjadi pengemban citra-Nya. Kita menjadi orangorang<br />
yang seperti Allah dan yang mewakili Allah di bumi,<br />
entahkah barang kita sedikit atau banyak, entahkah bisnis kita<br />
kecil atau besar.<br />
Jadi, apa yang harus kita lakukan dengan barang-barang<br />
yang kita miliki? Banyak hal, dan semuanya dapat memuliakan<br />
Allah. Satu “kegunaan” baik dari sumber-sumber daya kita—<br />
secara paradoks—adalah untuk diberikan kepada orang lain!<br />
Kita melakukannya supaya orang lain, bukan hanya kita,<br />
dapat menggunakan barang-barang itu dengan bijak. Sebagai<br />
contoh, kita dapat memberi sumbangan untuk membantu<br />
kegiatan penginjilan dan pengajaran gereja. Dengan begitu<br />
kita membangun gereja. Atau, kita dapat memberi sebagian<br />
milik kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain, khususnya<br />
orang miskin:<br />
Janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi<br />
bantuan, sebab korban-korban yang demikianlah yang<br />
berkenan kepada Allah (Ibr. 13:16).<br />
Alkitab sering berbicara tentang pentingnya memberikan<br />
secara berkala sebagian hal yang telah diberikan kepada kita:<br />
Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan<br />
hasil pertama dari segala penghasilanmu (Ams. 3:9).
26 Business for the Glory of God<br />
“... kita harus membantu orang-orang yang lemah dan<br />
harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri<br />
telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi<br />
dari pada menerima” (Kis. 20:35).<br />
Memberi itu penting karena menunjukkan kepercayaan<br />
kepada Allah. Ketika saya memberi $100, pada hakikatnya saya<br />
sedang berkata, “Ya Allah, aku mempercayai Engkau untuk<br />
menyediakan $100 yang kubutuhkan di masa depan, sebab aku<br />
tak dapat lagi mengandalkan yang $100 ini.” Jadi, memberi<br />
uang mengalihkan kepercayaan kita dari uang kita kepada<br />
Tuhan. Allah senang ketika kita memberi (“Allah mengasihi<br />
orang yang memberi dengan sukacita,” 2 Kor. 9:7) karena hal<br />
itu bukan saja menunjukkan kepercayaan kepada-Nya, tetapi<br />
juga mencerminkan kasih-Nya kepada orang lain, rahmat-Nya,<br />
dan belas kasih-Nya kepada orang yang membutuhkan.<br />
Tetapi kita tidak perlu memberikan semua yang kita miliki!<br />
Alkitab juga berbicara tentang cara-cara lain yang benar secara<br />
moral untuk menggunakan sumber-sumber daya kita. Sebagai<br />
contoh, orang yang memiliki traktor dapat menggunakannya<br />
untuk menolong “menaklukkan” bumi (Kej. 1:28)—yakni<br />
menjadikan bumi berguna bagi manusia—dengan membuat<br />
bumi menghasilkan jagung dan buncis. Orang yang memiliki<br />
peralatan lebih rumit dapat mengambil bahan-bahan dari<br />
bumi untuk membuat plastik dan silikon. Bahan-bahan ini<br />
kemudian dapat dipakai untuk membuat komputer, ponsel,<br />
dan PDA.<br />
Pada kali-kali lain, kita harus menggunakan barang kita<br />
bukan untuk membuat barang lain, tetapi semata-mata untuk<br />
kita nikmati, dengan bersyukur kepada Allah,