29.12.2012 Views

Mautnya Batubara - (r)Evolusi Alam

Mautnya Batubara - (r)Evolusi Alam

Mautnya Batubara - (r)Evolusi Alam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

[1]


<strong>Mautnya</strong> <strong>Batubara</strong><br />

Pengerukan <strong>Batubara</strong> & Generasi Suram Kalimantan<br />

Penulis:_<br />

-_Abu_Meridian<br />

-_Ade_Fadli<br />

-_Andi_Manurung<br />

-_Arif_Wicaksono<br />

-_Indra_Russu<br />

-_Kahar_Al_Bahri<br />

-_Merah_Johansyah<br />

-_Purnomo_Susanto<br />

-_Pradarma_Rupang<br />

-_Siti_Maemunah<br />

Editor:_<br />

-_Arif_Wicaksono<br />

-_Siti_Maemunah<br />

Desain & Tata letak<br />

Dodo<br />

Daftar Isi<br />

Cetakan_Pertama,_Februari,_2010_<br />

<strong>Mautnya</strong> <strong>Batubara</strong><br />

Pengerukan_<strong>Batubara</strong>_&_Generasi_Suram_Kalimantan<br />

Cet._I_-_Jakarta:_Jatam,_2010_<br />

210_x_297_mm<br />

Diterbitkan_oleh:<br />

Jaringan Adovaksi Tambang/JATAM<br />

Jl._Mampang_Prapatan_II_no.30_RT.04_RW.07<br />

Jakarta_Selatan_-_12790<br />

Tlp:_021-79181583<br />

Fax:_021-7941559<br />

Website:_jatam@jatam.org<br />

Email:_www.jatam.org<br />

Kata Pengantar _________________________________________________________<br />

Bagian Satu:<br />

Pembangunan:_Keledai_yang_terperosok_ratusan_kali_di_lubang_yang_sama____________<br />

Bagian Dua :<br />

Kalimantan,_Lepas_dari_Mulut_Harimau_Jatuh_ke_Mulut_Buaya______________________<br />

Kalimantan_Selatan__ _____________________________________________________<br />

Bagian Tiga :<br />

Bagai_Menggali_Kubur_sendiri_______________________________________________<br />

PT_KPC_Menjamin_Suramnya_Kutai_Timur______________________________________<br />

Pesta_Perizinan_dan_Korupsi_di_Kutai_Kertanegara__ _____________________________<br />

Generasi_Suram_Kutai_Barat________________________________________________<br />

Banjir,_Berkah_<strong>Batubara</strong>_Samarinda___________________________________________<br />

Paser,_Kabupaten_Konservasi_menuju_Kabupaten_Bencana________________________<br />

Perampokan_Energi_Warga_Kalimantan_Selatan__ _______________________________<br />

Serangan_terhadap_Meratus________________________________________________<br />

Pengerukan_Tinggi,_kemiskinan_Tinggi_________________________________________<br />

<strong>Batubara</strong>_Maut:_Envirocoal_atau_Deadlycoal?__ _________________________________<br />

Bagian Empat :<br />

Penegakkan_Keadilan_Antargenerasi_Tidak_Dapat_Ditunda!________________________<br />

3<br />

6<br />

10<br />

14<br />

16<br />

18<br />

20<br />

22<br />

24<br />

26<br />

28<br />

30<br />

32<br />

34<br />

36<br />

KATA PENGANTAR<br />

<strong>Batubara</strong> Mematikan<br />

Ambruknya satuan-satuan sosio-ekologik Pulau Kalimantan<br />

adalah bukti tak-terbantahkan gagalnya industri<br />

pertambangan menjadi pintu kesejahteraan penduduknya.<br />

Sejak tahun 1968 PT Unocal/Chevron telah menyedot minyak<br />

bumi Kalimantan Timur, yang digenapi oleh pengerukan<br />

emas oleh Rio Tinto di Kelian sejak 1986 yang bahkan telah<br />

mewariskan 77 juta ton tailing di provinsi yang sama. Kini<br />

warga berhadapan dengan pengerukan batubara skala raksasa<br />

(gigantik) yang mencapai lebih 200 juta ton per tahun.<br />

Dari rejim kekuasaan satu ke rejim berikutnya Kalimantan<br />

diperlakukan sebagai komoditas dagang guna mengamankan<br />

kinerja ekonomi makro nasional ketimbang sebagai ruang<br />

yang mampu menjamin keselamatan warga. Hasil jual beli<br />

komoditas itu mengucurkan keran devisa - membiayai<br />

pembangunan Indonesia yang laju, tetapi senantiasa<br />

melibatkan terus meningkatnya kasus korupsi, pelanggaran<br />

HAM dan kerusakan lingkungan. Pengerukan dan<br />

penghisapan Pulau Kalimantan hanya bergeser dari satu<br />

komoditas ke komoditas lain: Kayu, minyak, emas, dan kini<br />

batubara.<br />

Sejak industri ekstraktif menjadi dewa penggerak ekonomi,<br />

ketahanan pangan dan energi Kalimantan Timur dan<br />

Kalimantan Selatan porak poranda. Batu bara membuat<br />

pengurus provinsi lupa daratan. Bukan kemakmuran<br />

dan kesejahteraan yang dinikmati warga, justru derita<br />

berkelanjutan yang mengarah kepada kebangkrutan sosialekologik-ekonomik.<br />

Semua kisah derita di atas dilakukan secara terencana dan<br />

sistematik oleh pengurus negara. Pola serupa terlihat jelas<br />

pada pulau besar lain di Indonesia; Sumatera, Sulawesi<br />

dan Papua – sebuah paradoks Indonesia. Pulau-pulau yang<br />

memiliki kekayaan alam melimpah, tapi penduduknya bagai<br />

ayam mati di lumbung padi.<br />

Laporan batubara mematikan (deadly coal) ini ingin<br />

menunjukkan bagaimana pengerukan batubara telah menjadi<br />

alat penghancur masa depan warga Pulau Kalimantan.<br />

Laporan yang merupakan hasil studi dan putaran belajar<br />

Jatam dan Walhi Kalsel sepanjang 2007 hingga 2009 ini adalah<br />

alarm bagi pengurus negara dan warga Pulau Kalimantan<br />

agar segera melakukan tindakan penyelamatan sebelum<br />

kehilangan masa depan akibat kemerosotan kemampuan<br />

ekologiknya tidak terpulihkan.<br />

Mari merenung, berpikir mencari jalan keluar dan bertindak<br />

bersama!


Bagian Satu<br />

Pembangunan: Keledai yang terperosok<br />

ratusan kali di lubang yang sama<br />

Setelah kapasitas yang mampu dikeruk dari Pulau Jawa rontok, kemudian Pulau<br />

Sumatra juga dikeruk habis-habisan sepanjang lebih dari satu abad, praktikpraktik<br />

keruk skala kolosal pun dilanjutkan di Pulau Kalimantan.<br />

Durian runtuh industri minyak – gas di awal tahun 70an<br />

(oil bonanza) yang pernah dinikmati rejim Suharto<br />

tidak akan pernah kembali. Demikian halnya dengan<br />

masa-masa penebangan kolosal hutan-hutan alam di<br />

pulau-pulau di Indonesia, lewat Hak Pengusahaan Hutan<br />

(HPH), yang marak dan intensif pada akhir 70an hingga<br />

kemerosotannya pada awal 90an. Ketika terjadi krisis<br />

politik, yang dibuka oleh kejadian pembakaran lahan<br />

besar-besaran, bencana asap dan kekeringan panjang,<br />

dilanjutkan anjloknya kinerja ekonomi makro Indonesia<br />

pada periode 1977 – 1998, mestinya ada satu evaluasi<br />

serius tentang pilihan paradigma pembangunan pada<br />

masa rejim Suharto berkuasa. Tetapi ini Indonesia,<br />

Bung! Model dan pendekatan pembangunan ekonomi<br />

masa rejim Suharto menguat kembali sejak masa<br />

rejim Megawati hingga saat ini. Sekarang adalah masa<br />

pertunjukkan ulang model pembangunan a la Suharto,<br />

dengan buruh migran, kelapa sawit dan batubara sebagai<br />

komoditi keruknya!<br />

Cara berpikir linear seperti itu secara gamblang telah<br />

membuktikan beberapa hal kunci, bahwa pembangunan<br />

ekonomi makro yang dipraktekkan Indonesia sejak masa<br />

rejim Suharto hingga sekarang senantiasa:<br />

• Membutuhkan stabilitas sosial dan politik, yang<br />

diwujudkan dengan penggunaan alat-alat dan<br />

pendekatan memaksa, baik secara halus maupun<br />

melibatkan tindak kekerasan;<br />

• Membutuhkan lahan-lahan luas yang dapat diperoleh<br />

secara mudah oleh kuasa-kuasa modal, yang<br />

diwujudkan melalui kebijakan pertanahan yang<br />

menafikkan keberadaan hak-hak adat atas tanah,<br />

perjinan perolehan lahan untuk investasi dan usaha<br />

yang dipermudah;<br />

• Membutuhkan kapasitas terpasang buruh-buruh taktrampil<br />

dan tak-terdidik yang murah, ini diwujudkan<br />

dengan produksi skala kolosal populasi buruh<br />

tersebut lewat konversi populasi petani pemilik dan<br />

penggarap menjadi buruh, seperti pengambilalihan<br />

dan konversi lahan-lahan produktif menjadi<br />

sarana umum skala besar, lahan-lahan industri dan<br />

perumahan;<br />

• Membutuhkan teknologi siap-pakai yang dikabarkan<br />

telah teruji di negara lain, yang diwujudkan<br />

lewat importasi skala kolosal teknologi-teknologi<br />

produksi dan pencangkokkan pengetahuan untuk<br />

pengoperasiannya;<br />

• Membutuhkan sarana dan prasarana (infrastruktur)<br />

pelayan industri, yang diwujudkan lewat pembukaan<br />

jejaring jalan raya, jembatan, pelabuhan laut dari<br />

berbagai kelas, hingga bandar udara, demi kelancaran<br />

pengaliran bahan-bahan mentah yang telah dikeruk<br />

menuju ke pasar;<br />

• Membutuhkan perangkat-perangkat kepastian<br />

hukum yang memudahkan tumbuhnya investasi<br />

modal, lewat kebijakan-kebijakan debirokratisasi<br />

investasi dan usaha serta kemudahan-kemudahan<br />

pajak (fiskal).<br />

Komoditi andalan saat ini, buruh migran, kelapa sawit dan<br />

batubara, memang menunjukkan angka-angka tolok-ukur<br />

pertumbuhan ekonomi makro yang mencengangkan.<br />

Namun ongkos sesungguhnya yang diemban rakyat<br />

dan lingkungan tidak ditampilkan sejelas potret-potret<br />

kemilau dan tabel-tabel pertumbuhan pembangunan<br />

yang disiarkan pemerintah. Ongkos tersebut ditampilkan<br />

sebagai bentuk kebodohan dan ketidakpahaman rakyat<br />

terhadap pembangunan. Bahkan kerap menjadi tuduhan<br />

anti-pembangunan yang terwujud lewat kriminalisasi<br />

rakyat penentang pengambilalihan lahan-lahan produktif<br />

yang selama bergenerasi-generasi telah mereka kuasai<br />

dan olah. Kini lahan-lahan itu dijadikan ruang keruk bagi<br />

industri skala besar oleh pemerintah sebagai wujud<br />

kebijakan yang mempermudah perolehan lahan investasi<br />

dan usaha. Potret ini tergambar gamblang tidak hanya<br />

di pulau-pulau besar dan utama, seperti Jawa, Sumatra,<br />

Kalimantan, Sulawesi dan Papua, juga terjadi di gugusgugus<br />

pulau kecil, seperti Bali dan Nusatenggara, serta<br />

Maluku.<br />

Pulau Kalimantan tergolong pulau yang secara geologik<br />

berumur tua dan bersifat stabil, dicirikan absennya<br />

gunung-gunung berapi aktif. Artinya, kemerosotan<br />

kemampuan ekologik baik yang terjadi secara alami<br />

maupun akibat kegiatan keruk manusia sulit untuk<br />

dipulihkan. Kekayaan alam Pulau Kalimantan, yang<br />

meliputi hutan alam dataran rendah dan hutan mangrove,<br />

ekosistem gambut, ekosistem karst, batubara, sungaisungai<br />

besar, serta potensi minyak dan gas, tidak berarti<br />

membuat rakyat di pulau ini hidup selamat dan sejahtera.<br />

Setelah kapasitas yang mampu dikeruk dari Pulau Jawa<br />

rontok, kemudian Pulau Sumatra juga dikeruk habishabisan<br />

sepanjang lebih dari satu abad, praktik-praktik<br />

keruk skala kolosal pun dilanjutkan di Pulau Kalimantan.<br />

Proyek pengadaan lahan-lahan sawah guna mencapai<br />

swasembada pangan nasional dengan membuka<br />

ekosistem gambut seluas satu juta hektar di Kalimantan<br />

Tengah adalah bukti kongkret cara berpikir linear rejim<br />

pembangunan Indonesia. Rejim yang secara sengaja dan<br />

terencana mengenyampingkan biaya sosial dan ekologik<br />

yang diemban rakyat, terutama masyarakat yang hidup<br />

di kawasan tersebut. Proyek yang membutuhkan biaya<br />

trilyunan rupiah itu, sudah meratakan lahan penduduk,<br />

jauh sebelum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan<br />

(AMDAL) disetujui. Sejak program Pengembangan Lahan<br />

Gambut (PLG ) diluncurkan 19951 , baru 300.000 hektar<br />

yang dimanfaatkan, termasuk untuk lahan pertanian,<br />

hingga jatuhnya Suharto dari kekuasaan pada Mei 1998.<br />

[6]<br />

[7]


Kegagalan rejim Suharto menangani tantangantantangan<br />

fisik ekosistem gambut menjadikan proyek<br />

kolosal ini neraka bagi masyarakat adat dan masyarakat<br />

setempat. Pembukaan kanal-kanal yang membelah<br />

ekosistem sensitif ini telah menyebabkan penurunan<br />

tabel air, yang mendorong kemerosotan ketersediaan air,<br />

anjloknya produksi perikanan masyarakat, serta menjadi<br />

kawasan rawan kebakaran. Bahkan pada 1997 kawasan<br />

Proyek PLG ini menyumbang persebaran asap yang luas<br />

akibat kegiatan penebangan hutan rawa gambut dan<br />

pembukaan lahan perkebunan ketika terjadi musim<br />

kemarau berkepanjangan yang dipicu gejala El Nino.<br />

Kebijakan melakukan rehabilitasi ekosistem gambut yang<br />

ditinggalkan begitu saja oleh rejim Suharto dimulai sejak<br />

rejim Megawati, yang kemudian diwujudkan rejim SBY-<br />

MJK, dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No<br />

2 Tahun 20072 . Inpres tersebut boleh dikatakan tidak lebih<br />

dari sekedar janji di atas kertas, karena tidak ada arahan<br />

penganggaran yang jelas untuk pelaksanaannya, serta<br />

lebih berorientasi kepada pilihan-pilihan investasi keruk<br />

lain setelah diperbaiki dan dipulihkan. Kenyataannya,<br />

tanpa menanti selesainya Rencana Induk Rehabilitasi<br />

dan Revitalisasi, ijin-ijin untuk pembukan lahan-lahan<br />

perkebunan kelapa sawit dan penambangan batubara<br />

terus mengalir dari kabupaten-kabupaten setempat.<br />

Pembukaan dan pengeringan ekosistem gambut di<br />

Kalimantan Tengah, menimbulkan oksidasi yang pada<br />

gilirannya akan meningkatkan emisi karbondioksida,<br />

selain emisi yang dilepas dari meluasnya kebakaran<br />

gambut. Menurut Laporan Wetland International (2006) 3 ,<br />

emisi CO dari lahan gambut diseluruh Asia Tenggara<br />

2<br />

pada tahun 1997 hingga 2006 adalah sekitar 2 Gt per<br />

tahun (1,400 Mt dari kebakaran hutan dan 600 Mt dari<br />

dekomposisi yang disebabkan oleh drainase). Sekitar 1.8<br />

Gt (90%) diperkirakan berasal dari Indonesia. Pembukaan<br />

ekosistem gambut di Kalimantan Tengah merupakan<br />

penyumbang emisi karbondioksida terbesar, bersama<br />

Provinsi Riau, Sumatra, yang mendongkrak posisi<br />

Indonesia menjadi nomor tiga pengemisi karbondioksida<br />

terbesar di tingkat global setelah Amerika Serikat dan Cina<br />

pada tahun 20064 .<br />

Sejak Konvensi Para Pihak (Convention of the Parties, COP)<br />

dari Kerangka Kerja Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim<br />

(UNFCCC) ke-13 dilaksanakan di Bali, pada Desember<br />

2007, seluruh mata dunia mengarah kepada Kalimantan<br />

Tengah. Kontribusi Kalimantan Tengah, berupa emisi<br />

karbondioksida terhadap perubahan iklim global,<br />

dipandang sebagai peluang bagi peluang prakarsaprakarsa<br />

penghimpunan dana melalui skema pembiayaan<br />

berbasis karbon, melalui skema Pemangkasan Emisi<br />

dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Sedikit<br />

sekali pembahasan tentang langkah-langkah kongkret<br />

menanangani faktor-faktor penyebab tingginya emisi<br />

karbondioksida dari ekosistem gambut di Kalimantan<br />

Tengah, karena logika yang digunakan adalah, upaya<br />

rehabilitasi tidak akan pernah terlaksana tanpa biaya.<br />

Rehabilitasi yang dibutuhkan ekosistem gambut di<br />

Kalimantan Tengah dikatakan harus dilakukan pada skala<br />

luas, sehingga membutuhkan biaya yang luar biasa besar.<br />

Yang menjadi ironi, praktik-praktik ‘bisnis seperti biasanya’<br />

atau business as usual, tetap berlangsung tertib dan rapih.<br />

Kegiatan pengerukan batubara di kawasan-kawasan<br />

sepanjang hulu Sungai Kapuas seperti tidak terganggu<br />

oleh gaung upaya-upaya penanganan perubahan iklim<br />

yang akan dilaksanakan di Kalimantan Tengah. Demikian<br />

halnya dengan perluasan perkebunan-perkebunan<br />

kelapa sawit. Tapi politik infrastruktur yang telah terbukti<br />

efektif menghancurkan tatanan sosial dan ekologik,<br />

karena tujuannya yang lebih melayani industri ketimbang<br />

meningkatkan jaminan keselamatan dan produktifitas<br />

masyarakat, kembali dilakukan di Kalimantan Tengah.<br />

Salah satunya lewat rencana pengembangan sarana<br />

kereta api yang diprioritaskan untuk mengangkut hasilhasil<br />

keruk ke pasar, baik itu untuk komoditi batubara,<br />

hasil hutan maupun hasil perkebunan. Demikian halnya<br />

dengan rencana pengembangan jalan raya Trans-<br />

Kalimantan, yang hingga saat ini masih dalam tahap<br />

perencanaan.<br />

Hiruk-pikuk rencana-rencana pembangunan tersebut<br />

sama sekali tidak ada urusannya dengan kenyataan pahit<br />

yang diemban rakyat, berupa pemadaman listrik yang<br />

berlangsung teratur, mulai dari satu kali dalam sehari<br />

hingga beberapa kali dalam sehari. Karena kekayaan<br />

alam Pulau Kalimantan memang tidak ditujukan untuk<br />

memenuhi kebutuhan rakyat Pulau Kalimantan, tetapi<br />

untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Pemerintah tidak<br />

kenal lelah meyakinkan publik bahwa kebutuhan rakyat<br />

akan dipenuhi dari hasil perdagangan komoditi ekspor,<br />

yang jelas-jelas menghina akal sehat, karena tidak belajar<br />

dari kegagalan rejim Suharto yang menganut paradigma<br />

“jual mentah-jual murah-jual habis”, baik untuk minyak –<br />

gas, mineral, hutan, kelapa sawit, hingga beras.<br />

[8]<br />

[9]


Dulu, tahun 80-an,<br />

Kalimantan Timur<br />

memasok kayu ke Cina,<br />

Korea, Jepang, Malaysia<br />

dan Eropa<br />

Bagian Dua<br />

America Utara 1,2%<br />

(Amerika Serikat 1,22%)<br />

2 million ton<br />

Kalimantan,<br />

Lepas dari Mulut Harimau<br />

Jatuh ke Mulut Buaya<br />

America Selatan 0,35%<br />

(Chili 0,3%, Mexico 0,1%)<br />

550.000 ton<br />

Dulu, tahun 80-an, Kalimantan Timur (Kaltim) memasok kayu 11 juta meter kubik5 , yang sebagian besar dikirim ke<br />

negara lain. Saat ini, penebangan berganti pengerukan batubara. Bahkan paling tinggi angkanya di Indonesia, sekitar<br />

120 juta ton per tahun.<br />

Meski kekayaan alamnya melimpah. Kalimantan Timur terus identik dengan kemiskinan, ketertinggalan dan<br />

keterbelakangan di hampir semua bidang dibanding daerah lain. Bahkan, penghuni asli pulau – sang tuan rumah,<br />

masyarakat adat dayak di kawasan-kawasan tepi hutan, makin miskin dan menyusut populasinya.<br />

Pemerintah, dulunya di pusat, hingga era otonomi daerah saat ini, lebih suka memperlakukan hutan-hutan Kalimantan<br />

Timur sebagai komoditas dibanding ekosistem penopang hidup warga. Hasil jual beli komoditas mengucurkan keran<br />

devisa untuk membiayai pembangunan Indonesia, dengan catatan skandal korupsi yang tak sedikit.<br />

Gelombang eksploitasi sumber daya alam, mulai kayu, minyak, mineral hingga batubara, hanya berubah komoditasnya.<br />

Sebelum 1980, kayu-kayu dipasarkan ke Cina, Korea, Jepang, Malaysia dan Eropa. Tak beda dengan era pengerukan<br />

batubara kini. Moda pengerukan, aktor yang terlibat, dan kucuran pendapatan, tak berubah.<br />

Kalimatan Timur bagai lepas dari mulut harimau, jatuh ke mulut buaya.<br />

Eropa 10%<br />

(Italia 3%, Swiss 2,1%, Belanda 2,1%,<br />

Spanyol 1,9%, Inggris 1,3%)<br />

18 million ton<br />

Afrika 0,1%<br />

(Shiera Leone 0,04%, Marocco 0,04%,<br />

Andorra 0,03%)<br />

170.000 ton<br />

Kini industri perkayuan limbung, berganti<br />

industri ekstraktif lainnya, pengerukan<br />

mineral, batubara dan migas<br />

Tujuan eksport<br />

<strong>Batubara</strong> Kalimantan<br />

Asia 88%<br />

(Jepang 20%, Korea<br />

Selatan14%, Taiwan 13%,<br />

India 11%)<br />

140 million ton<br />

Australia Pacific 0,4%<br />

(Selandia Baru 0,37%, PNG 0,1%)<br />

650.000 ton<br />

Setahun setelah keluarnya UU Pokok Kehutanan No 5 tahun 1967, ditandai penebangan kolosal hutan alam seantero<br />

provinsi. Sungai Mahakam menjadi alat transportasi utama keluarnya kayu-kayu hutan Kalimantan ini ke Jawa, Sulawesi<br />

hingga Cina, Jepang dan Malaysia. Masa itu, 1968-1982 ini dikenal ramai dengan istilah banjir kap.<br />

Kini industri perkayuan limbung, keserakahan menebang kayu tanpa mau menanam, bak badai menghantam dan<br />

memukul industri ini. Pasokan kayu tak memenuhi kapasitas mesin-mesin mereka yang rakus. Celakanya hukuman bagi<br />

warga tepi hutan bertambah, kebakaran hutan kini langganan. Dalam kurun 20 tahun terakhir terjadi tiga kali kebakaran<br />

besar di Kutai6 . Tahun 1982, 1994, dan 1997. Hutan yang hancur karena pembalakan sebelumnya, sungguh-sungguh<br />

habis dilalap api.<br />

Dalam setahun terakhir, sejumlah industri kayu lapis dan HPH di Kaltim berhenti. Selain melakukan PHK, sejumlah<br />

perusahaan merumahkan 4.562 karyawan7, yang berpotensi di PHK juga.<br />

Era industri kayu, bersamaan juga datangnya industri ekstraktif lain, tambang, minyak dan gas. Ditandai kehadiran PT.<br />

Unocal dari Amerika Serikat di Kutai Kertanegara tahun 1968 dan perusahaan-perusahaan asing lainnya di pesisir dan<br />

Delta. Sementara di pegunungannya hadir Rio Tinto, tambang emas dari Inggris dan Australia, yang mewariskan sekitar<br />

77 juta ton limbah tailing di dam Namuk, Kelian Kutai Barat 8 .<br />

Era industri kayu Kalimantan Timur dilanjutkan era Perkebunan kelapa sawit skala besar dan pengerukan batubara.<br />

Dan, enam tahun terkahir, ada 33 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan <strong>Batubara</strong> (PKP2B) dan 1.212 Kuasa<br />

[10] [11]


Kontrak: 1978<br />

Konsesi: 5.361 ha<br />

Produksi:<br />

• (2004) 1.8 juta ton<br />

• (2005) 1.6 juta ton<br />

• (2006) 1.6 juta ton<br />

• (2007) 0.0 juta ton<br />

• (2008) 0.0 juta ton<br />

Saham:<br />

Tahun 2008, PT. Indo Tambangraya Megah<br />

Tbk. (ITM) memiliki saham 99,99% PT.<br />

Kitadin<br />

Ekspor:<br />

Tercatat PT. Kitadin melakukan ekspor<br />

sekitar 80.000 ton ke Korea Selatan dan<br />

Taiwan<br />

Konsumen:<br />

Sino-Indo Co. Ltd. (Taiwan), Korea Western<br />

Power Co. Ltd. (Korea Selatan)<br />

3.112.690<br />

hektar luas<br />

konsesi<br />

tambang di<br />

Kalimantan<br />

Timur<br />

Sama dengan<br />

Luas provinsi<br />

Kalimantan<br />

Selatan,<br />

3.727.750<br />

hektar<br />

Kontrak: 1982 - 2023<br />

Konsesi: 50.400 ha<br />

Produksi:<br />

• (1993) 1 juta ton<br />

• (2007) 20,5 juta ton, persentase<br />

penjualan:<br />

• 70% ekspor<br />

• 30% dalam negeri<br />

• (2008) diperkirakan 22 juta ton<br />

Saham:<br />

Saham dimiliki oleh:<br />

• 49% Samtan Co Ltd (Korea Selatan)<br />

• 46% PT. Indika Inti Corpindo (anak<br />

perusahaan PT. Indikia Energy Tbk<br />

(Indika Group (Indonesia)<br />

• 5% PT. Muji Inti Utama (Indonesia)<br />

Ekspor:<br />

Pada tahun 2008, persentase ekspor PT.<br />

Kideco Jaya Agung adalah:<br />

• 85% ke Asia (Korea Selatan 22%,<br />

Taiwan 13%, India 11%)<br />

• 12% ke Eropa (Inggris 5%, Slovenia 3%,<br />

Italia 2%).<br />

• 3% untuk negara lainnya (Selandia<br />

Baru)<br />

Konsumen:<br />

Korea East West Power Co. Ltd (Korea<br />

Selatan), TNB Fuel Services Sdn. Bhd.<br />

(Malaysia), Kumho Petrochemical Co. Ltd<br />

(Korea Selatan), J-Power Resources Co. Ltd<br />

(Jepang), China Minerals Co. Ltd. (Cina),<br />

Taiwan Power Company (Taiwan), Castle<br />

Peak Power Company Ltd Hk (Hongkong),<br />

Feni Industry (Slovenia), Genesis Power<br />

Ltd (New Zealand), International Power<br />

Fuel Company Ltd (Inggris), Korea<br />

Southern Power Ltd (Korea Selatan), dll<br />

Enam Penguasa Kalimantan Timur<br />

Kontrak: 1982 - 2021<br />

Konsesi: 90.960 ha<br />

Produksi:<br />

• (1991) sebesar 2 juta ton<br />

• (2007) sebesar 38,4 juta ton, dimana<br />

persentase penjualan :<br />

• Ekspor 90%<br />

• Dalam negeri 5%<br />

• (2008) 37.5 juta ton, persentase ekspor<br />

adalah 87%<br />

Saham:<br />

Saham PT. Kaltim Prima Coal dipegang<br />

oleh:<br />

• 65 % PT. Bumi Resources Tbk<br />

(Indonesia)<br />

• 30 % Tata Power Ltd (India)<br />

• 5 % PT. Kutai Timur Energi (Indonesia<br />

Ekspor:<br />

Pada 2008, persentase ekspor PT. Kaltim<br />

Prima Coal adalah:<br />

• 83% ke Asia (Jepang 31%, Taiwan 19%,<br />

India 10%)<br />

• 16% ke Eropa (Swiss 6,9%, Belanda<br />

5,6%, Inggris 1,5% )<br />

• dan sisanya ke Amerika<br />

Konsumen:<br />

Taiwan Power Company (Taiwan), NS<br />

Resource Net (Jepang), National Power<br />

Corporation (Filipina), IEG Limited<br />

(Hongkong), CLP Power Hong Kong<br />

Limited (Hongkong), TNB Fuel Services<br />

SDN, BHD (Malaysia), Toyota Tsuho<br />

Corporations (Jepang), Coaltal Energy<br />

Private, LTD (India), Hokuriku Electric<br />

Power Company (Jepang), BLCP Power<br />

(Thailand), Mitsubitshi Corporation<br />

(Jepang), Guangdong Power Industry Fuel<br />

Co. Ltd (Jepang), Korea Southern Power,<br />

Ltd (Korea Selatan), B.M.A. BV (Belanda),<br />

Nan Ya Plastics Corporation (Taiwan).<br />

Sedangkan konsumen dalam negeri<br />

adalah Indonesia Tanjung Jati B, Freeport,<br />

Inco.<br />

Pertambangan (KP) diterbitkan pemerintah9 . Otonomi daerah jadi pintu ampuh pejabat, korporasi lokal hingga<br />

internasional mendapatkan perijinan mengeruk batubara perut Kaltim. Meski dalam Rencana Pembangunan Jangka<br />

Panjang Daerah (RPJPD) provinsi 2005-2025 disebutkan, pencadangan lahan pertanian tanaman pangan dan<br />

hortikultura seluas 2,49 juta hektar. Justru 3,12 juta hektar lahannya malah dirubah konsesi tambang dengan perijinan<br />

KP. Ini hampir seluas Kalimantan Selatan, provinsi tetangganya.<br />

Cadangan terukur batubara sekitar 1,983 milyar ton membuat pemerintah dan warga Kaltim lupa daratan. Ditopang<br />

nilai Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltim mencapai 176,1 trilyun (2005) membuat pemerintah daerah<br />

mengandalkan industri ekstraktif penopang utama ekonomi provinsi terluas di pulau Kalimantan ini. Bagi pemerintah<br />

pusat, Kaltim adalah Auto-Teller Machine (ATM), pada 2008, sekitar 70 persen produksi batubara nasional berasal dari<br />

Kaltim10 .<br />

ATM Republik yang Compang-camping<br />

Angka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan<br />

hingga Maret 200711 , berjumlah 324,8 ribu atau sekitar<br />

11,04 persen total penduduk, 2.957.465 jiwa. . Jumlah ini<br />

meningkat 25,7 persen dibanding tahun sebelumnya,<br />

berjumlah 299,1 ribu atau 10,57 persen.<br />

Tiga Daerah kantong pengangguran terbesar12 adalah<br />

Kota Samarinda, 31.959 jiwa disusul Kota Balikpapan,<br />

31.019 jiwa, serta Kabupaten Kutai kertanegara, 23.591<br />

jiwa. Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kertanegara<br />

memiliki jumlah konsesi tambang terbanyak. Jika ditotal<br />

mencapai 687 konsesi13 . Mustahil memecahkan masalah<br />

pengangguran menggunakan industri tambang, yang<br />

padat modal dan padat teknologi.<br />

Ketahanan pangan Kaltim juga memble. Provinsi ini<br />

tak mampu memenuhi kebutuhan pangan mandiri<br />

penduduknya yang tumbuh 3,7 persen per tahunnya 14 .<br />

Pada 2008, produksi beras mencapai 570 ribu ton 15 ,<br />

diprediksi tak akan mampu menutup kebutuhan. Dan<br />

harus mendatangkan 20 ribu ton beras dari Sulawesi<br />

Selatan dan Jawa 16 . Mereka juga harus mendatangkan<br />

83 persen kebutuhan proteinnya dari 490 ekor sapi yang<br />

mereka butuhkan pertahun dari Nusa Tenggara Barat dan<br />

Sulawesi Selatan 17 .<br />

Catatan ini belum ditambah daftar bencana lingkungan,<br />

penggusuran masyarakat, pelanggaran HAM, gangguan<br />

kesehatan dan lainnya, akibat pengerukan batubara.<br />

[12] [13]<br />

Kontrak: 1983<br />

Konsesi: 120.000 ha<br />

Produksi:<br />

• (1994) sekitar 304 ribu ton<br />

• (2007) sekitar 11.821 juta ton, dimana<br />

persentase penjualan:<br />

• 60 % ekspor<br />

• 35% dalam negeri<br />

Saham:<br />

Saham Berau Coal dimiliki oleh:<br />

• 51% PT. Armadian Tritunggal<br />

(Indonesia)<br />

• 39% Rognar Holding B.V. (Netherlands)<br />

• 10% Sojitz Corporation (Japan)<br />

Ekspor:<br />

Pada tahun 2008, persentase ekspor PT.<br />

Berau Coal adalah:<br />

• Korea 26%<br />

• China 18%<br />

• India 16%<br />

• Negara lainnya 39%<br />

Konsumen:<br />

Adani Global Pte Ltd (Singapura),<br />

CLP Guangxi Fangchenggang Power<br />

Company, Ltd (Cina), Korea Western Power<br />

Co. Ltd (Korea Selatan), Sino-Indo Co. Ltd<br />

(Taipei Taiwan), Hua Yang Electric Power<br />

Co. Ltd<br />

Kontrak: 1988<br />

Konsesi: 25.121 ha<br />

Produksi:<br />

• (2004) sekitar 7.9 juta ton<br />

• (2007) sekitar 11,5 juta ton<br />

Saham:<br />

Pada tahun 2008, PT. Indo Tambangraya<br />

Megah Tbk (ITM). memiliki 99,99% saham<br />

PT. Indominco Mandiri.<br />

Ekspor:<br />

Pada tahun 2008, persentase ekspor PT.<br />

Indominco Mandiri adalah:<br />

• 92% Ekspor ke Asia (Jepang 24%, Korea<br />

Selatan 16%, Cina 13%)<br />

• 8% Ekspor ke Eropa ( Italia7 %)<br />

Konsumen:<br />

CLP Guangxi Fangchenggang Power<br />

Company Ltd (Cina), Enel Tradespa (Italia),<br />

Ho-Ping Power Company (Taiwan),<br />

J-Power Resources Co. Ltd. (Jepang),<br />

National Power Corporation (Filipina),<br />

Sumitomo Corporation (Jepang),<br />

Formosa Plastic Corporation (Taiwan),<br />

Banpu International Ltd (Thailand), TNB<br />

Fuel Services Sdn. Bhd. (Malaysia), China<br />

Minerals Co. Ltd (Cina)<br />

Kontrak: 1997<br />

Konsesi: 15.650 ha<br />

Produksi:<br />

• (2006) 213.000 ton<br />

• (2007) 223.000 ton<br />

Saham:<br />

Saham PT. Interex Sacra Raya dimiliki oleh:<br />

• 30% PT. Persada Capital Investama<br />

(Indonesia)<br />

• 30% PT. Sinar Ganda Jaya (Indonesia)<br />

• 25% Multi Corporation Pte. Ltd<br />

(Singapore)<br />

• 15% Individual investor (Indonesia)<br />

Ekspor:<br />

Ke Jepang.<br />

Interrex Sacra Raya<br />

Bersamaan meningkatnya<br />

pengerukan batubara, pemerintah<br />

daerah dan pusat gagal mengatasi<br />

permasalahan:<br />

Pemiskinan<br />

Pengangguran<br />

Kedaulatan pangan<br />

Bencana lingkungan<br />

Pelanggaran HAM<br />

Gangguan kesehatan dan lainnya


Kalimantan Selatan<br />

A<br />

Kontrak: 1999<br />

Konsesi: 6.486 ha<br />

Produksi:<br />

- (2000) sekitar 246 ribu ton<br />

- (2007) sekitar 3,7 juta ton<br />

Saham:<br />

Saham PD Baramarta dimiliki 100%<br />

oleh Pemerintah Kabupaten Banjar<br />

(Indonesia)<br />

Eksport:<br />

Negara tujuan utama ekspor PD<br />

Baramarta adalah Hongkong, India,<br />

Thailand, Malaysia, dan Jepang<br />

Kontrak: 1981 - 2011<br />

Konsesi: 70.153 ha<br />

Produksi:<br />

- (1990) sekitar 454 ribu ton<br />

- (2006) sekitar 15,3 juta ton<br />

- (2008) sekitar 15,3 juta ton<br />

Saham:<br />

Saham PT. Arutmin Indonesia dimiliki oleh<br />

- PT. Bumi Resources Tbk 99.99%<br />

(Indonesia)<br />

- PT. Amara Bangun Cesta 0.01%<br />

(Indonesia)<br />

Eksport:<br />

Pada tahun 2008, persentase eksport PT.<br />

Arutmin Indonesia adalah<br />

- 90% Asia<br />

- 10% Eropa<br />

Konsumen:<br />

Hongkong Qinfa Trading Ltd (Hongkong),<br />

Indocoal Resources (Cayman) Limited<br />

(Pulau Cayman)<br />

Tak beda tetangganya, hutan Kalimantan Selatan<br />

(Kalsel) hanya menjadi ajang kerukan, yang berubah<br />

komoditasnya dari waktu ke waktu. Masa Orde Baru,<br />

hutan dipelakukan sebagai tegakan kayu, lantas bergeser<br />

komoditasnya menjadi kebun sawit skala besar, lantas<br />

pembongkaran lantai hutan menjadi kawasan tambang.<br />

Hingga 1995/199618 , ada 11 buah ijin HPH meliputi luas<br />

1.054.240 hektar. Sebagian besarnya di wilayah hutan<br />

lindung Meratus, kawasan lindung terakhir provinsi<br />

ini. Sebanyak 30 persen hutan Pegunungan Meratus<br />

hilang pada periode 2000. Dinas Kehutanan pronvinsi<br />

menyatakan jumlah lahan kritis dalam kawasan hutan<br />

lindung mencapai 187.384,59 hektar.<br />

Pada awal 2000-an, perkebunan kelapa sawit skala<br />

besar mulai marak. Cadangan luas lahan yang bisa<br />

dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit mencapai<br />

Tiga Penguasa Kalimantan Selatan<br />

Kontrak: 1982 – October 2022<br />

Konsesi: 35.800 ha<br />

Produksi:<br />

- (1992) sekitar 1 juta ton<br />

- (2007) sebesar 36,1 juta ton, dimana<br />

persentase penjualan:<br />

- (2008) 38,5 juta ton<br />

Saham:<br />

Saham PT. Adaro Indonesia dimiliki oleh<br />

- PT. <strong>Alam</strong> Tri Abadi 60.23% (Indonesia)<br />

- PT. Viscaya Investment 28.33% (Indonesia)<br />

- PT. Dianlia Setyamukti 5.84% (Indonesia)<br />

- Indonesia Coal Pty, Ltd 4.67% (Australia)<br />

- Mec Indo Coal, B.V. 0.93% (Belanda)<br />

Eksport:<br />

Pada tahun 2008, persentase ekspor PT. Adaro<br />

Indonesia adalah:<br />

- 69% Asia<br />

- 23% Eropa<br />

- 5% Amerika Utara<br />

- 2% Negara lainnya<br />

Konsumen:<br />

Adani Enterprises Ltd (India), Atel Energy SRL<br />

(Italia), Castle Peak Power (Hongkong), China<br />

Steel Corporation (Taiwan), Coaltrade Service<br />

International PTE Ltd (Singapura), Coral Bay<br />

Nickel Corporation (Filipina), Devendran Coal<br />

International Ltd (India), Donholm-Barwil<br />

Limited (Inggris), Eastern Energi Corporation<br />

(Singapura), Glencore International AG (Swiss),<br />

Guangdong Zhenrong Energy Co. Ltd (China),<br />

IEG Limited (Hongkong), IMR Metallurgical<br />

Group Resources A.G (Amerika Serikat),<br />

Indocoal Resources (Cayman) Limited (Pulau<br />

Cayman), Japan Kenzai Co. Ltd (Jepang),<br />

J-Power Resources Co. Ltd (Jepang), Matias<br />

Gonzales Chas, S.L (Spanyol), Mitsubishi<br />

Material Corporation (Jepang), PSEG Energy<br />

Resources & Trade LLC (Amerika Serikat),<br />

Taiwan Power Company (Cina), Tata Power<br />

Company Limited (India), TNB Fuel ServiceSDN<br />

BHD (Malaysia), Union Fenosa Generacion S.A<br />

(Spanyol)<br />

955.085 hektar19 , tersebar 8 Kabupaten. Hingga 2004 telah<br />

dikembangkan sebesar 318.551 hektar20 . Dan ekspansinya<br />

merengsek ke wilayah hutan. Tercatat 431.125,47 hektar<br />

kawasan hutan dipakai sektor perkebunan kelapa sawit21 .<br />

Itu termasuk 6.219,67 hektar kawasan Suaka <strong>Alam</strong> dan<br />

5.385,67 hektar kawasan Hutan Lindung.<br />

Kini hasil pengerukan mendominasi PDRB Kalimantan<br />

Selatan. Setidaknya, hingga tahun 2008 terdapat 280<br />

perusahaan pemegang ijin KP di kawasan hutan ini<br />

dengan konsesi seluas 553.812 hektar22 . Ini belum<br />

termasuk KP yang masih dalam proses pinjam pakai<br />

kawasan hutan (terdapat 97 perusahaan KP) dan 14 PKP2B<br />

seluas 50.278,59 hektar23 .<br />

Apa prestasi pengerukan ini bagi Kalimantan Selatan?<br />

[14] [15]


Bagian Tiga<br />

Bagai Menggali Kubur sendiri<br />

Gelap gulita bergilir merupakan hal biasa bagi warga Kota Samarinda, Ibukota Provinsi, yang jumlah penduduknya<br />

597.075 jiwa (2007) 24 . Lebih dari seperenam populasi penduduk tinggal di Kota Samarinda. Sepanjang Juli hingga<br />

November 2008, pemadaman bisa mencapai 6 – 10 jam setiap hari 25 . Sebuah potret ironi, karena Kalimantan Timur<br />

memasok lebih separuh produksi batubara Indonesia. Tujuh puluh persen batubara tersebut, atau sekitar 120,5 juta ton<br />

(tahun 2008), diekspor ke luar negeri 26 .<br />

Kabupaten Kutai Timur punya kisah berbeda. Hanya 37 desa dari 135 desa yang dihuni 50.175 rumah tangga yang bisa<br />

mendapatkan listrik 27 . Di saat sama, PT. Kaltim Prima Coal malah bebas menggunakan jatah listrik yang dapat digunakan<br />

21 ribu rumah tangga 28 demi melancarkan tambangnya beroperasi. Padahal 96% produksi perusahaan tersebut<br />

diekspor 29 .<br />

Provinsi bagai lilin yang membakar dirinya sendiri, agar dapat menghidupi pengusaha, korporasi raksasa dan negara<br />

lain. Tidak sebatas urusan energi. Lima kabupaten dan kota paling banyak dikeruk kekayaan batubaranya di provinsi ini<br />

– Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Paser, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Kutai Barat dan Kota Samarinda,<br />

justru harus menanggung daya rusak mematikan batubara. Mulai dari krisis air, banjir, pelanggaran HAM hingga<br />

gangguan kesehatan.<br />

[16] [17]


PT. KPC Menjamin Suramnya Kutai Timur<br />

68 ijin KP <strong>Batubara</strong><br />

Jika diteruskan menyandarkan<br />

pada eksploitasi kekayaan alam<br />

yang tidak dapat diperbaharui,<br />

seperti batubara, Kabupaten<br />

Kutai Timur pasca tambang akan<br />

menjadi kota mati.<br />

Besarnya Angka<br />

Pengangguran<br />

Sektor pertambangan bukanlah solusi<br />

ketenagakerjaan. Keberpihakan Pemerintah<br />

Kabupaten Kutai Timur pada PAD dari<br />

sektor pertambangan hanya demi<br />

mengejar angka-angka kinerja ekonomi<br />

makro belaka.<br />

Masyarakat miskin terbesar seprovinsi<br />

Kalimantan Timur<br />

Jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur<br />

203.156 jiwa. Jika dikalikan dengan 48,25%,<br />

maka angka kemiskinannya adalah 98.025 jiwa.<br />

Hampir separuh penduduk Kabupaten Kutai<br />

Timur adalah masyarakat miskin!<br />

Krisis Listrik<br />

Dengan jumlah rumah tangga, 50.175. maka<br />

total kebutuhan hanya 45 MW. Artinya,<br />

kebutuhan KPC tiga kali lipat lebih besar<br />

dibandingkan kebutuhan listrik masyarakat di<br />

Kabupaten Kutai Timur sendiri.<br />

Lewat Sistem Mahakam, Kalimantan Timur memiliki daya terpasang 262 MW dan daya mampu 204 MW dengan beban<br />

puncak saat ini 196 MW 30 . Hanya 610 desa (43,26%) dari total 1.410 desa yang mampu dilayani 31 . Saat ini, daftar tunggu<br />

pelanggan listrik mencapai 180 MW 32 .<br />

Terdapat tiga kabupaten yang pemenuhan kebutuhan listrik paling rendah 33 , yakni Kutai Barat, Kutai Timur dan Berau.<br />

Hanya 27% hingga 38% dari total 475 desa di tiga kabupaten tersebut dialiri listrik. Sementara di daerah tersebut<br />

beroperasi empat perusahaan tambang raksasa yang memasok batubara paling banyak, yakni PT. Trubaindo, PT.<br />

Gunung Bayan Pratama, PT. Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT. Berau Coal. Total produksi keempat perusahaan tersebut<br />

pada tahun 2008 mencapai 59 juta ton 34 .<br />

Kebobrokan tersebut gamblang di Kabupaten Kutai Timur. Pada 2008 kabupaten dihuni 50.175 rumah tangga yang<br />

tersebar di 135 desa 35 . Hanya 37 desa atau 27% desa yang mendapatkan pelayanan listrik pemerintah. Jika diasumsikan<br />

satu rumah menggunakan daya listrik sebesar 900 watt, maka total kebutuhan listriknya sebesar 45.157.500 Watt atau<br />

45 MW 36 .<br />

Tabel Konsumsi Energi PT. KPC<br />

2006 2007<br />

No Energy Sumber<br />

Produksi Listrik<br />

Konsumsi Bahan<br />

Bakar<br />

Produksi Listrik Konsumsi Bahan Bakar<br />

1 Listrik PLTU KPC 66.886,80 MWh<br />

40.464,30 ton<br />

batubara<br />

68.069,2 MWh 41.119,6 ton batubara<br />

2 Listrik Genset 31.318,89 MWh 8.520,78 kL solar 34.256,64 MWh 9.384,5 kL solar<br />

3 Listrik PLN Nil Nil Nil Nil<br />

Sumber : Laporan Pembangunan Berkelanjutan, 2007<br />

Menghabiskan 18,9 MW, atau setara listrik<br />

yang bisa menghidupi listik 21 ribu rumah<br />

tangga di Kutai Timur<br />

Di daerah yang sama beroperasi PT. Kaltim Prima Coal yang memproduksi 48 juta ton batubata37 . PT. KPC membangun<br />

PLTU Tanjung Bara yang berkapasitas 10 MW38 dan cadangan dua PLTD berkapasitas 8,9 MW39 . Mereka menghabiskan<br />

18,9 MW, atau setara listrik yang bisa menghidupi listik 21 ribu rumah tangga di Kutai Timur.<br />

PLTU yang berada di lahan seluas 1,8 ha setiap hari membutuhkan 96 ton batubara, 120 ribu liter air tawar untuk<br />

memasok ketel, dan sedikitnya 302.400 liter air laut untuk pendingin40 . Kegiatan tersebut menghasilkan limbah 2,3 ton<br />

abu terbang (fly ash) dan 1,5 ton abu dasar perhari.<br />

Tahun 2010 perusahaan merencanakan peningkatkan pengerukan batubara hingga 70 juta ton41 . Untuk itu dibutuhkan<br />

peningkatkan pasokan listrik hingga 152 MW42 . Ini setara dengan tiga kali lebih kebutuhan listrik warga Kutai Timur.<br />

Hampir setara dengan tingkat kebutuhan listrik Sistem Mahakam, yang meliputi Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan<br />

Kabupaten Kutai Kertanegara; Kota Tenggarong, Loa Janan dan Samboja, yang mencapai 210 MW43 .<br />

[18] [19]


Pesta Perizinan dan Korupsi<br />

di Kutai Kertanegara<br />

Angka<br />

kemiskinan<br />

tahun 2009 menempati<br />

3 besar warga miskin di<br />

Kalimantan Timur dengan<br />

jumlah 30.125 kepala keluarga<br />

(KK) warga miskin. Demikian<br />

pula angka buta aksara<br />

yang menempati urutan<br />

tertinggi, yakni 18.681<br />

orang<br />

Pelanggaran HAM.<br />

6 tahun penjara<br />

Nama : Syaukani HR<br />

Jabatan : Bupati Kukar<br />

(2005-2010)<br />

Kasus : Korupsi Rp. 124 milyar<br />

4 tahun penjara<br />

Nama : Syamsuri Amsar<br />

Jabatan : Wakil Bupati Kukar<br />

(2005-2010)<br />

Kasus : Bansos Rp. 124 milyar<br />

Banding MA<br />

Nama : Rachmat Santoso<br />

Jabatan : Ketua DPRD Kukar<br />

(2005-2010)<br />

Terdakwa kasus Pembangunan<br />

Tapal Batas Rp. 800juta<br />

Kekayaan sumber daya <strong>Alam</strong><br />

bukannya membuat rakyat<br />

Kutai Kertanegara sejahtera,<br />

tetapi malah menyuburkan<br />

Korupsi<br />

Kutai Kertanegara memiliki 687 perijinan KP<br />

hingga 2009 44 . Sepanjang 2007/ 2008 saja,<br />

dikeluarkan 247 perijinan 45 , artinya dalam dua<br />

hari minimal pemerintah mengeluarkan satu<br />

Ijin KP. Jika dibandingkan dengan jumlah desa<br />

di seluruh kabupaten yang hanya berjumlah<br />

227 desa, rasionya ada 2 perusahaan tambang<br />

dalam 1 desa.<br />

Kekayaan sumber daya <strong>Alam</strong> bukannya<br />

membuat rakyat Kutai Kertanegara sejahtera,<br />

tetapi malah menyuburkan Korupsi.<br />

Kabupaten ini dikenal paling korup di Kaltim.<br />

Ada 8 pejabat sejak 6 tahun terakhir yang<br />

ditangkap dan dipenjara karena kasus<br />

Korupsi 46 . Mulai Bupati, wakil Bupati, anggota<br />

dan ketua DPRD, juga kepala Dinas. Bupati<br />

Kutai Kertanegara (2005 - 2010) , dipenjara<br />

kerena korupsi 124 miliar rupiah 47 . Selain itu,<br />

ada 37 Anggota DPRD periode 2004 – 2009<br />

yang terlibat dalam kasus korupsi bantuan<br />

sosial (Bansos), tetapi dari 37 Anggota DPRD<br />

II hanya 2 Anggota DPRD yang menjadi<br />

tersangka 48 .<br />

Kasus korupsi membuat pergantian pejabat<br />

berlangsung begitu cepat. Dalam 4 tahun<br />

terakhir sudah terjadi 4 kali penggantian<br />

pelaksana tugas Bupati di sini 49<br />

Kriminalisasi warga terjadi pada 20 Agustus 2008 ketika Brimob Kepolisan Daerah (Polda) Kalimantan Timur dan Polres<br />

Kutai Kartanegara melakukan tindak kekerasan terhadap warga Kota Bangun yang saat itu warga sedang melakukan<br />

demostrasi menuntut lahan mereka yang diserobot perusahan PT. Arkon di Desa Semaleh, Kecamatan Kota Bangun<br />

Kutai Kartanegara. Mereka dipukul, ditendang dan ditembak. Dalam peristiwa pembubaran aksi damai tersebut satu<br />

warga yang bernama Serin tewas diterjang peluru aparat, empat orang terluka dan dua orang cacat seumur hidup, serta<br />

24 orang lainnya ditahan, dikriminalisasi. Belakangan mereka dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara oleh Pengadilan<br />

Negeri Tenggarong dengan alasan membawa senjata tajam dan dituduh mengganggu ketertiban umum. Sementara<br />

proses hukum terhadap aparat kepolisian yang melakukan penembakan dan pembunuhan terhadap masyarakat tidak<br />

dilakukan.<br />

[20] [21]


Generasi Suram Kutai Barat<br />

Krisis Listrik.<br />

Ada 11 Kecamatan dari 21 Kecamatan yang<br />

belum merasakan listrik. Mereka biasanya<br />

membeli mesin dompeng untuk mengalirkan<br />

listrik di rumah. Hanya terdapat PLN Ranting<br />

Melak yang membawahi tujuh unit PLN<br />

dengan total 11.261 pelanggan. Sejak 2002<br />

hingga 2009 akumulasi daftar tunggu calon<br />

pelanggan PLN sudah mencapai 5.400<br />

rumah. Dengan pertumbuhan penduduk<br />

mencapai 1,7% pada 2006, membuat daftar<br />

antrian listrik semakin membengkak.<br />

Perijinan.<br />

Ada sekitar 87 ijin KP<br />

ditambah 3 ijin PKP2B yang<br />

tersebar pada 20 kecamatan.<br />

Hanya dari 3 perusahaan di<br />

dikeruk 9,7 juta ton pertahun.<br />

Jumlah Penderita ISPA Kutai Barat<br />

Generasi suram macam<br />

apa yang akan lahir di<br />

Kabupaten Kutai Barat,<br />

jika di usia begitu dini,<br />

sudah terserang ISPA<br />

dan terancam penyakit<br />

kelamin.<br />

Terdapat 21 kecamatan di Kabupaten Kutai Barat. Di sebagian besar kecamatan<br />

terdapat pengerukan batubara. Di lokasi-lokasi beroperasinya tambang<br />

batubara mudah ditemui lokasi-lokasi prostitusi, bahkan bisa mencapai tiga<br />

lokalisasi atau lebih.<br />

Kunjungilah Kecamatan Melak. Di kecamatan tersebut terdapat Kampung<br />

Muara Bunyut yang memiliki empat lokalisasi, berdekatan dengan tambang<br />

batu bara milik PT. Gunung Bayan Pratama Coal dan PT. Trubaindo Coal Mining.<br />

Keduanya adalah milik asing.<br />

Satu lokalisasi baru dipindahkan dari Kampung Muara Bunyut, karena<br />

berdekatan dengan rencana lokasi pemerintah membangun sebuah Sekolah<br />

Dasar (SD). Tetapi pemindahan ini tak terlalu jauh dari tempat lama. Kini, SD<br />

tersebut diapit beberapa lokalisasi serta menikmati pemandangan lalu lalang<br />

truk-truk tambang.<br />

Maraknya penyakit kelamin bukan hal baru di kawasan ini. Agustus 2009 lalu,<br />

Kaltim Post memberitakan penderita penyakit kelamin GO atau Gonorrhea<br />

sudah mencapai 39 orang warga. Tenaga medis Pusat Kesehatan Masyarakat<br />

(Puskesmas) setempat menyebutkan angka penderita GO bisa<br />

lebih tinggi daripada yang diberitakan media, sebab kebanyakan<br />

penderita datang langsung ke tempat praktik dokter swasta.<br />

Jarang yang mendatangai Puskesmas atau instansi fasilitas<br />

kesehatan publik lainnya. Maklum, penyakit kelamin masih<br />

mendapat stigma memalukan dan kotor. Celakanya,<br />

penderita GO adalah kelompok usia produktif yaitu<br />

20-40 tahun.<br />

Ini belum termasuk angka penderita Infeksi Saluran<br />

Pernafasan Akut (ISPA). Pada 2007, Dinas Kesehatan<br />

Kabupaten Kutai Barat mencatat 19.375 penderita<br />

ISPA, meningkat dari tahun sebelumnya, yang<br />

berjumlah 17.373 penderita. Catatan tahun 2008<br />

menunjukkan, sebanyak 2.233 penderita ISPA<br />

adalah bayi dan 5.071 anak-anak 50 .<br />

Bisa dibayangkan, generasi suram macam apa<br />

yang akan lahir di Kabupaten Kutai Barat, jika<br />

di usia begitu dini, sudah terserang ISPA dan<br />

terancam penyakit kelamin.<br />

[22] [23]<br />

Jumlah Penderita<br />

20.000<br />

19.500<br />

19.000<br />

18.500<br />

18.000<br />

17.500<br />

17.000<br />

16.500<br />

16.000<br />

2006 2007<br />

Tahun


Banjir, Berkah <strong>Batubara</strong> Samarinda<br />

Dulunya, banjir besar di kota hanya datang 3 sampai 5<br />

tahun sekali. Misalnya banjir yang terjadi pada Juli-agustus<br />

2008 di Samarinda Utara. Air datang dari sungai Mahakam<br />

(Pasang). Volume air yang datang memang semakin<br />

meningkat.<br />

Tapi yang tak biasa, sejak pengerukan batubara naik<br />

dalam empat tahun terakhir, banjir jadi rutin. Sepanjang<br />

November 2008 hingga Mei 2009, Samarinda menjadi<br />

langganan banjir, dan meluas di hampir semua kecamatan<br />

di Samarinda 51 . Sepanjang 6 bulan, terjadi 4 kali banjir<br />

besar. Sekali banjir menenggelamkan 10.204 keluarga<br />

pada 4 kecamatan, yaitu Samarinda Utara, Ulu, Ilir dan<br />

Sungai Kunjang 52 . Kawasan itu kini berubah jadi enclave<br />

rawan banjir. Hampir semua jalan utama Kota samarinda<br />

tergenang saat banjir datang.<br />

Sejak itu, banyak warga mulai menaikkan pondasi dan<br />

tiang rumahnya, bahkan banyak yang menjualnya<br />

dengan harga murah. Banjir membuat putaran ekonomi<br />

masyarakat menengah kebawah terganggu. Salah satunya<br />

transportasi, angkutan kota trayek B, yang jumlahnya<br />

sekitar 500 buah. Mereka melayani jalur kawasan banjir,<br />

yaitu Samarinda Utara, Ilir dan Ulu, harus mengutang<br />

setoran yang besarnya rata-rata Rp. 85.000 per hari.<br />

Mereka tidak bisa beroperasi saat banjir datang.<br />

Belum lagi, jalur banjir juga melawati tempat-tempat<br />

pasar tradisional seperti pasar Merdeka, Rahmad, Ijabah<br />

dan Segiri 53 . Banyak pembeli yang enggan belanja, setiap<br />

kali banjir datang.<br />

Akumulasi kerusakan sumber daya alam, khususnya<br />

akibat pengerukan batubara, telah membuat Samarinda<br />

menjadi kota banjir. Padahal pendapatan dari pengerukan<br />

itu tak seberapa jumlahnya bagi dompet daerah. Pada<br />

2008, pendapatan asli dari pertambangan batubara hanya<br />

Rp. 399.000.000,- atau 4,13 persen total Pendapatan<br />

Asli Daerah (PAD) Kota Samarinda sebesar 112,5 miliar<br />

rupiah 54 .<br />

Celakanya untuk mengatasi banjir, biaya yang dibutuhkan<br />

lebih besar. Pada 2008 lalu, Kota Samarinda membiayai<br />

proyek penanggulangan banjir dan membangun folder<br />

(kolam raksasa penampung air). Biaya yang dibutuhkan<br />

perbuahnya mencapai 38 miliar rupiah. Biaya pembuatan<br />

folder air Hitam misalnya, menghabiskan biaya 36 miliar<br />

rupiah. Kini Kota Samarinda berencana akan membangun<br />

5 folder lagi.<br />

Sungguh, dompet daerah bisa jebol jika Kota Samarinda<br />

terus mengeruk batubaranya.<br />

Perijinan.<br />

Ada 76 Ijin Kuasa Pertambangan<br />

dan PKP2B , konsesinya meliputi<br />

71 persen atau 50.742.76 ha dari<br />

luas Kota Samarinda. Sekitar 25%<br />

atau 16,294 hektar dari luas kota<br />

samarinda merupakan daerah<br />

gambut yang yang cocok untuk<br />

resapan air yang sekarang sudah<br />

berubah fungsi.<br />

Pendapatan.<br />

Pada 2008 pendapatan daerah dari<br />

pertambangan batubara hanya<br />

sebesar 399 juta rupiah, hanya 4%<br />

dari total PAD Samarinda sebesar<br />

112,5 miliar 6 . Padahal, pada 2008<br />

lalu biaya pembangunan proyek<br />

penanggulangan banjir dengan<br />

membangun Folder Penampung<br />

Banjir, butuh biaya 38 miliar rupiah<br />

per folder 7 .<br />

Banjir.<br />

Di masa lalu banjir besar hanya datang<br />

tiga hingga lima tahun sekali, misalnya<br />

banjir yang terjadi pada Juli tahun 2008.<br />

Saat itu, banjir menyerang Kecamatan<br />

Samarinda Utara. Berbeda dengan<br />

banjir berikutnya, bulan November<br />

2008 hingga Mei 2009, luasan banjir<br />

terjadi di hampir semua kecamatan<br />

di Samarinda. Sepanjang tujuh bulan<br />

tersebut, terjadi empat kali banjir<br />

besar. Sekali banjir menenggelamkan<br />

10.204 keluarga pada empat kecamatan<br />

(Samarinda Utara, Ulu, Ilir dan Sungai<br />

Kunjang) kawasan-kawasan itu yang<br />

selama ini telah berubah jadi daerah<br />

kantung atau enclave rawan banjir di<br />

kota samarinda.<br />

Pengusahaan<br />

Hutan.<br />

Hutan kota Samarinda sekarang tinggal 0,8%<br />

atau 256,50 ha. Di Samarinda terdapat empat daerah<br />

aliran sungai atau DAS, yakni Karang Asam Besar, Karang<br />

Asam Kecil, Loa Bakung, dan Karang Mumus. Hampir<br />

semua DAS di Samarinda terus mengalami pendangkalan<br />

akibat kegiatan pertambangan, galian C, pembangunan<br />

properti dan perumahan<br />

[24] [25]


Paser,<br />

Kabupaten Konservasi menuju Kabupaten Bencana<br />

Ancaman terhadap<br />

Keanekaragaman<br />

Hayati di Kawasan<br />

Konservasi.<br />

Hutan Lindung Gunung Ketam di Kabupaten Paser seluas<br />

35.350 hektar dikeruk oleh tambang batubara, Interex Sacra<br />

Raya dengan luas konsesi 6.947,58 hektar, serta Bulungan<br />

Mandiri Lestari dengan luas konsesi 8.333,17 hektar. Kedua<br />

perusahaan ini mengancam DAS Kandilo dengan sepuluh<br />

anak sungainya, juga sedikitnya 58 jenis pohon kayu, 14 reptil,<br />

harimau kumbang, bekantan dan kumpulan jenis ikan tawar2<br />

yang menghuni hutan lindung ini.<br />

Perijinan<br />

Sekarang Terdapat 67 ijin KP dan empat ijin PKP2B, salah<br />

satu raksasa perusahaan pemegang konsesi PKP2B adalah<br />

Kideco Jaya Agung, yang menghasilkan 21 juta ton<br />

batubara tiap tahunnya. Sepanjang 2007 – 2009, terdapat<br />

sekitar 45 perijinan KP dikeluarkan pemerintah.<br />

DAS Kandilo Terancam Tambang, Lima<br />

Kecamatan Terancam Air Bakunya.<br />

Penduduk lima kecamatan di hilir DAS Kandilo, sejumlah 8.009<br />

kepala keluarga (KK), terancam terganggu dan terhenti pasokan<br />

air bersih. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Paser merugi,<br />

biaya produksi air bersih menggelembung empat kali lipat sejak<br />

2004, uji laboratorium menunjukkan tingkat kekeruhan tinggi,<br />

1600 NTU (Nephelometric Turbidity Unit), sehingga memaksa PDAM<br />

menggunakan bahan kimia hingga empat kali dari biasanya.<br />

DAS Kandilo adalah DAS terbesar di Kabupaten Paser, luasnya<br />

441.619 hektar atau 30 persen dari total luas Kabupaten Paser 55 . Aktivitas<br />

perusahaan tambang asal Korea Selatan, PT. Kideco Jaya Agung dan PT.<br />

Interex Sacra Raya di hulu Sungai Gunung Ketam-Kandilo adalah pihak<br />

yang harus dituntut pertanggungjawabannya.<br />

Penggusuran Masyarakat Adat<br />

Tambang juga memotong sungai, mencemari Sungai<br />

Samurangau dan Biu hingga tak layak lagi digunakan<br />

kebutuhan harian warga. Kini banjir makin sering terjadi,<br />

sedikitnya tiga kali setahun. Genangan banjir yang dahulu<br />

tidak mematikan, merusak sejumlah tanaman milik warga<br />

karena air sudah bercampur lumpur dan limbah tambang.<br />

Sejak menambang pada 1982, Kideco telah menggusur tanah<br />

keramat masyarakat adat Dayak Paser, sekitar 27.000 hektar<br />

lahan digusur56 , mereka dilarang berkebun atau melakukan<br />

kegiatan produktif lainnya<br />

Sejak mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Konservasi, 29<br />

Juni 2006, Paser telah memiliki empat hutan lindung, Hutan<br />

Gunung Ketam di Kecamatan Muara Komam, Hutan Sungai Sawang (Muara Samu), Hutan Gunung Lumut (Kuaro),<br />

Muara Komam, Long Ikis, Long Kali) dan Hutan Sungai Samu (Muara Samu, Muara Komam) dan dua cagar alam, Teluk<br />

Adang dan Teluk Apar.<br />

Tapi, diramalkan dua tahun lagi kabupaten ini akan menjadi kabupaten bencana. Bagaimana tidak, jika saat yang<br />

bersamaan Bupati Paser justru menambah jumlah ijin KP dari 22 menjadi 67 buah57 . Penambahan 45 ijin baru luasnya<br />

mencapai 248.978 hektar. Itu pun belum termasuk luas empat tambang batubara dengan ijin PKP2B. Padahal luas<br />

Kabupaten Paser hanya 1.148.209 hektar.<br />

Kawasan lindung yang kini terancam pengerukan batubara antara lain Hutan Lindung Gunung Ketam yang dirusak<br />

PT. Interex Sacra Raya (ISR) seluas 6.947,58 hektar58 , dan PT. Bulungan Mandiri Lestari (BML) seluas 8.333,17 hektar59 .<br />

Pertambangan ini mengancam keberadaan Sungai Kandilo berikut kesepuluh anak sungainya.<br />

Bencana itu akan datang dari sumber utama air baku masyarakat Paser, urat nadi pasokan air PDAM, yaitu DAS Kendilo<br />

yang luasnya 441.619 hektar atau sekitar 30 persen total wilayah Kabupaten Paser. Panjang DAS Kendilo sekitar 235 km<br />

dengan 9 sub DAS. Bencana bermuara dari sedimentasi akibat pengerukan bahan tambang. Pada November 2006, lebih<br />

seminggu layanan air PDAM macet. Dari uji laboratorium menunjukkan error atau tidak terbaca dengan angka 1600<br />

NTU, air berubah seperti warna kopi susu. Terdapat 43.161 rumah tangga di Kabupaten Paser yang terancam pasokan air<br />

bersihnya.<br />

Tak hanya dari perbukitan, tanda-tanda bencana juga datang dari kawasan laut. Sejak 2004, nelayan Desa Air Mati, salah<br />

satu dari 17 desa pesisir sepanjang Cagar <strong>Alam</strong> Teluk Adang dan Teluk Apar, berkali-kali melaporkan ambruknya sumber<br />

penghidupan mereka kepada DPRD Kabupaten Paser. Rengge, alat tangkap ikan tradisional, dirusak oleh lalu lalang<br />

tongkang PT. Kideco jaya Agung. Hal yang sama juga mengancam Desa Pondong, yang dihuni 1.337 jiwa, dimana 79<br />

persen-nya adalah nelayan tradisional, merengge dan sisanya petambak.<br />

[26] [27]


Merampok Energi Warga Kalimantan Selatan<br />

Tiap hari<br />

kebutuhan BBM<br />

truk batubara<br />

dapat menerangi<br />

21 ribu rumah di<br />

Kalsel<br />

Provinsi ini mengorbankan<br />

pemenuhan energi<br />

penduduknya, demi memenuhi<br />

kebutuhan asing<br />

PLTU asam-asam hanya<br />

menggunakan 1,06%<br />

batubara yang dikerjakan<br />

Kalimantan Selatan.<br />

Kalimantan Selatan memproduksi batubara terbesar kedua di Indonesia. Tapi, tiap harinya, ada saja daerah yang<br />

harus mengalami pemadaman bergilir. Alasannya penghematan energi. Tidak ada jam pasti, setiap harinya bisa 2<br />

hingga 3 jam, tiap dua hari sekali. Belum termasuk pembatasan penggunaan bagi industri hingga pemadaman lampu<br />

penerangan jalan.<br />

Kebutuhan listrik provinsi ini mencapai 270 MW60 , tapi PLN defisit 30 MW, akibat berbagai kendala pembangkit. Bahkan<br />

ada 21 ribu antrian calon pelanggan yang belum menikmati listrik61 .<br />

Provinsi ini mengorbankan pemenuhan energi penduduknya, demi memenuhi kebutuhan asing.<br />

Pengerukan batubara dan pasokan BBM Kalimantan Selatan tak dinikmati penduduknya. BBM Kalsel dirampok untuk<br />

mengangkut batubara dari ratusan tambang batubara berijin KP. Cerita ini dimulai dari jalan raya Kabupaten Tapin.<br />

Hingga tengah 2009, kepadatan angkutan batubara di sana mencapai 2.473 unit per hari62 , belum ditambah dari<br />

kabupaten lainnya. Di Kabupaten Banjar dan Banjarbaru saja, tidak kurang 1.300 truk angkutan batubara lalu lalang.<br />

Kasat mata, hitungan konsumsi BBM untuk truk angkutan batubara, jika 20 liter solar per truk, sekali jalan. Kebutuhan<br />

solar sehari bisa mencapai 49.460 liter63 . Jumlah ini bisa menerangi sedikitnya 21 ribu rumah di sana64 . Ini belum<br />

menghitung BBM yang digunakan tambang skala besar lewat ijin PKP2B yang jumlahnya ratusan kali lipat.<br />

Lebih 73 persen batubara Kalsel dikirim keluar negeri, 27 hingga 29 persen sisanya untuk kebutuhan dalam negeri,<br />

memasok konsumsi energi dan industri di Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan sendiri. Celakanya,<br />

batubara yang diangkut bukan untuk kebutuhan warga.<br />

WALHI Kalsel memperkirakan batubara kebutuhan provinsi ini hanya berkisar 1,69 persen dari total produksi tahun 2008<br />

mencapai 78,5 juta ton. Listrik pun harus dibagi dengan tetangganya Kalimantan Tengah – sama-sama dipasok PLTU<br />

Asam-asam, yang berkekuatan 230 MW.<br />

Pengguna listrik terbesar kedua adalah pabrik semen, hanya 380.398 ton atau 0,6 persen-nya. Ditaksir kebutuhan<br />

<strong>Batubara</strong> Kalsel meningkat tajam tahun-tahun mendatang, seiring pembangunan berbagai industri boros energi,<br />

macam pengolahan biji besi dan industri kertas & bubur kertas (pulp), yang ujungnya diekspor juga.<br />

Pemerintah berencana membangun PLTU Mulut Tambang, sebesar 110 MW65 . Namun bila hampir semua perusahaan<br />

batu bara lebih suka menjual batubaranya keluar negeri, apakah rencana-rencana diatas akan berjalan? Apalagi<br />

yang menguasai produksi sebagian besar batubara Kalsel adalah perusahaan transnasional, yang terikat menjual<br />

batubaranya ke pihak asing. Hingga 2008, tiga pengerukan batubara utama kalsel adalah PT. Adaro Indonesia (38,5 juta<br />

ton pertahun), disusul PT. Arutmin Indonesia (16,8 juta ton per tahun) dan Perusahaan Daerah (PD) Baramarta sebesar<br />

3,7 juta ton.<br />

[28] [29]


Serangan Terhadap Hutan Lindung Meratus<br />

Kalimantan Selatan<br />

Meratus kaya ragam hayati66 . Di sana ada minimal 78 jenis dari 21 suku mamalia atau sekitar 35,14% mamalia<br />

Kalimantan, Avifauna sebanyak 316 jenis dari 47 suku atau sekitar 88.27% dari jumlah jenis burung di pulau<br />

Kalimantan yang mencapai 358 jenis67 . Ada juga 130 jenis dari 20 suku Herpetofauna, 65 jenis ikan jenis dari 25<br />

suku, dan 408 jenis serangga 408 dari 54 suku – dimana 173 jenis diantaranya adalah kupu-kupu. Tapi sejak lama<br />

kawasan ini terancam.<br />

Sebagai dampak maraknya pembalakan dan pertambangan liar, menurut Transtoto Handadhari68 , sebanyak 30%<br />

hutan Pegunungan Meratus telah hilang per periode 2000. Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel menyatakan jumlah<br />

luasan lahan kritis di dalam kawasan hutan lindung mencapai 187.384,59 hektar.<br />

Padahal, Meratus rumah ribuan etnis masyarakat Dayak Meratus yang oleh Tjilik Riwut dalam desertasi Noerid<br />

Haloei Raddam (1987) di sebut Dayak Bukit (gunung) termasuk dalam rumpun Dayak Ngaju yang mendiami daerah<br />

Peleihari, hulu Riam Kiwa, dan Pegunungan Meratus. Umumnya berdiam dalam kelompok-kelompok kecil yang<br />

disebut “balai”. Etnis minoritas ini populasinya menyusut dari tahun ke tahun. Pada tahun 1995, jumlah mereka<br />

sekitar 5.569 keluarga, menjadi 5.309 pada 199869 . Populasi mereka menyusut drastis pada 1997. Segala bentuk alih<br />

fungsi hutan Meratus telah berkontribusi terhadap pemusnahan etnis suku Dayak Meratus (Bukit) tersebut.<br />

Setelah pembalakan kayu dan perkebunan, ancaman Meratus berikutnya adalah pertambangan. Setidaknya, ada<br />

280 perusahaan KP di kawasan hutan ini dengan konsesi area seluas 553.812 hektar70 , jumlah ini belum termasuk KP<br />

yang masih dalam proses pinjam pakai kawasan hutan (terdapat 97 perusahaan KP) dan 14 PKP2B seluas 50.278,59<br />

hektar71 . Sebagian besar kawasan tambang berada di daerah aliran sungai penting. Selain masuk ke kawasan hutan,<br />

pertambangan juga merengsek ke kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 264.052 hektar72 .<br />

Hamparan Pegunungan Meratus<br />

dan Sungai Amandit<br />

Kawasan Tambang Meratus<br />

Masyarakat Meratus<br />

Anggrek Bulan Meratus.<br />

Satu dari keanekaragaman hayati Meratus<br />

Bekantan<br />

Satu dari berbagai jenis binatang<br />

yang ada di sekitar Meratus<br />

[30] [31]


Pengerukan Tinggi, Kemiskinan Tinggi<br />

Grafik Perbandingan<br />

Peringkat Produksi <strong>Batubara</strong> VS Indeks Pembangunan Manusia<br />

Serapan Tenaga Kerja Pertanian > Tambang<br />

Indeks Gini Rasio Kalimantan Selatan rendah dan cenderung menurun, yaitu 0,270 pada tahun 200473 menjadi<br />

0,239 tahun 200674 . Angka tersebut menggambarkan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan sangat tinggi.<br />

Masyarakat miskin tetap miskin, sementara yang kaya semakin kaya. Hasil penilitian Udiansyah dkk, bersama<br />

Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA), menunjukkan eksploitasi batubara Kalsel belum dapat<br />

mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dikarenakan: 1) bagian untuk daerah penghasil sangat kecil. 2) persentase<br />

"sewa" sumberdaya juga masih terlalu kecil, dan 3) walaupun sewa itu kecil, tetapi sangat berpotensi untuk dikorupsi.<br />

Saat ini, penduduk Kalsel berjumlah 3.250.100 orang (2008), dengan jumlah tenaga kerja 1.468.590 orang75 . Ada sekitar<br />

45 persen penduduk 660 ribu yang bekerja. Sektor pertanian menyerap hampir 51 persen tenaga kerja, sekitar 741<br />

298 orang76 . Sementara, pertambangan yang saat ini mendominasi perekonomian Kalsel, hanya menyerap 2 persennya,<br />

sekitar 33.738 orang77 . Inipun kebanyakan berasal dari luar desa bahkan dari luar provinsi. Besarnya output dan<br />

kebocoran (leakage) pendapatan keluar daerah mencapai 70 persen.<br />

Itupun, studi ini belum menyentuh ongkos mengurus daya rusak tambang. Ongkos yang harus ditanggung penduduk<br />

lokal sekitar tambang, bersama rusaknya bentang lahan, krisis air, hilangnya mata pencaharian hingga konflik sosial.<br />

[32] [33]


<strong>Mautnya</strong> <strong>Batubara</strong><br />

Kalimantan Selatan<br />

Sungai Mangkok tidak bisa lagi digunakan karena tingginya kandungan besi<br />

(Fe) di air sungai akibat penambangan batubara di hulu. Belum lagi konflik sosial<br />

berkepanjangan akibat sengketa lahan antara warga dan PT. Tanjung <strong>Alam</strong> Jaya.<br />

Tambang sebagian berada di hutan lindung pegunungan. Pengangkutan batubara dengan<br />

tongkang sejak 1999, telah membuat air sungai keruh, bercampur BBM. Sebelumnya<br />

nelayan Muara Sungai Satui menghasilkan 50 ribu hingga 200 ribu rupiah perhari<br />

menangkap ikan. Sekarang hanya 30.000 hingga 100.000 rupiah per hari.<br />

Pengerukan membuat Sungai Salajuan menjadi kering dan berwarna hitam, tak bisa lagi<br />

digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.<br />

Mwnderita batuk, sesak napas, dan sakit mata jika sering melewati jalan darat sepanjang<br />

Simapang Empat Sumpol, sudah biasa.<br />

Desa Tanta, Warukin,<br />

Kabupaten Tabalong<br />

ENVIROCOAL DEADLY COAL<br />

• Emisi gas dan partikel emisi udara lebih<br />

rendah daripada bahan bakar padat lain.<br />

• Jumlah limbah abu tertangkap sangat<br />

kecil pada dasar mutlak dan sangat<br />

rendah dibandingkan dengan batu bara<br />

• Komposisi kimia di udara dan menangkap<br />

limbah abu menjadikan mereka ramah<br />

dan cocok untuk daur ulang.<br />

• Mengurangi emisi SO2, penurunan emisi<br />

NOx, Limbah menurun.<br />

Desa Batang<br />

Banyu dan<br />

Mangkok,<br />

Kecamatan<br />

Pengaron,<br />

Kabupaten<br />

Banjar.<br />

Desa Sebamban dan Satui,<br />

Kabupaten Tanah Bumbu<br />

• Pencemaran sungai, pada desa-desa sekitar : Padang Panjang,<br />

Dahai, Maburai. Warga tidak bisa menggunakan air sungai lagi<br />

untuk keperluan sehari-hari.<br />

• Salah satu lubang pengerukan batubara PT. Adaro memiliki<br />

garis tengah 1 kilometer, sedalam 30-40 meter (PT. Adaro<br />

memiliki 2 lubang bekas tambang). Lubang di Desa Maburai,<br />

Murung Pudak itu kini menjadi genangan raksasa.<br />

• Sengketa lahan terjadi dengan warga atas 300 hektar lahan.<br />

Proses dan jumlah ganti tidak adil dan merugikan warga.<br />

Belum lagi muncul konflik horizontal antara masyarakat<br />

karena klaim perebutan lahan akibat ketidakberesan proses<br />

pembebasan lahan<br />

• Ada 2 desa, yaitu Desa Lamida Atas dan Juai, tergusur<br />

perluasan tambang tahun 2003. Premanisme kepada warga<br />

dan aktivis lingkungan meningkat seiring perusahaan<br />

beroperasi, sementara aparat keamanan seolah lepas<br />

tanggung jawab<br />

Warga Tamiang dan Pulau Ku’u selalu terkena banjir.<br />

Debu batubara merusak tanaman pertanian dan perkebunan warga Desa Bajut Warukin,<br />

Kecamatan Tanta. Debu, selain mengganggu pernafasan warga, juga mencemari.<br />

Banyaknya perkebunan karet yang tergusur akibat dari perluasan jalan dan kawasan<br />

pengerukan<br />

Timbulnya konflik horizontal antara masyarakat yang tidak mau melepas kebun karetnya<br />

dengan masyarakat yang bersikap sebaliknya.<br />

PT. Bahari Cakrawala Sebuku (BCS) menambang hutan suaka alam di Pulau Kecil Sebuku, tapi<br />

dibiarkan oleh Pemerintah. Akibatnya, sejak beroperasi 1994, Desa Kanibungan dan Sekapung<br />

krisis air.<br />

Sejak tambang masuk, produksi kebun karet warga turun. Tiga buah sungai-Matangkarang,<br />

Kanibungan dan Daeng Setuju dirubah alur sungainya. Bahkan kuburan dan pelabuhan<br />

Speedboat digusur, digali batubaranya, tahun 2003.<br />

Sungai Kanibungan dan Sarakaman tercemar air pencucian batubara. Hasil tangkapan ikan<br />

terutama Benur (bibit bandeng) dan nener (bibit udang) berkurang akibat pencemaran<br />

hingga ke laut. Ceceran batubara dan tumpahan minyak serta oli saat pengapalan batubara<br />

berakibat turunnya hasil tangkap ikan. Nener dan Benur yang terus berkurang karena hutan<br />

bakau (mangrove) di Selat Sebuku rusak. Biasanya dalam 3 hingga 4 jam sehari, warga bisa<br />

menangkap dan menjualnya hingga 200 ribu rupiah per hari, kini dibutuhkan 1 hingga 2 hari<br />

untuk medapat jumlah yang sama.<br />

Desa Sebuku,<br />

Kabupaten Kotabaru<br />

[34] [34 ] [35]


Bagian Empat<br />

Penegakkan Keadilan Antargenerasi<br />

Tidak Dapat Ditunda!<br />

Karut-marut kekacauan tata-kelola tanah dan kekayaan<br />

alam di Indonesia yang berlangsung sejak awal tahun<br />

70an hingga saat ini merupakan bom waktu bagi generasi<br />

ke depan. Ketika bom tersebut meledak Indonesia<br />

hanya menyisakan tanah-tanah tandus penuh lubanglubang<br />

menganga bekas galian tambang, sungai-sungai<br />

kering, laut penuh sampah dan bahan-bahan pencemar<br />

berbahaya, hutan yang gundul, serta udara tercemar<br />

yang menyebabkan meluasnya penyakit infeksi saluran<br />

pernapasan bagian atas (ISPA), yang mengancam<br />

degenerasi otak anak usia bawah lima tahun (balita).<br />

Di masa depan, jika tidak ada keseriusan dan<br />

kesungguhan pemerintah, termasuk para politikus,<br />

untuk menjamin keselamatan rakyat Indonesia dan<br />

produktifitasnya demi menjaga kemampuan mereka<br />

mempertahankan kelangsungan jasa alam, Indonesia<br />

hanya akan menjadi negeri penuh perang sipil, penyakit<br />

dengan tingkat kemiskinan tak terperikan, seperti yang<br />

kerap kita saksikan di negara-negara di benua Afrika yang<br />

telah habis terkuras kekayaan alamnya. Indonesia akan<br />

menjadi seonggok tubuh lemah penuh penyakit yang<br />

hidup bergantung kepada selang infus belas kasihan<br />

bantuan-bantuan asing.<br />

Semua kekhawatiran di atas sudah terjadi di negeri ini,<br />

meski masih sepotong sepotong. Indonesia adalah negara<br />

kaya yang diurus oleh orang-orang yang berilusi bahwa<br />

satu-satunya cara untuk mencapai kedaulatan yang<br />

hakiki hanya lewat pemompaan angka-angka kinerja<br />

ekonomi makro, dengan etalase buah pembangunan<br />

berupa gedung-gedung pencakar langit, jejaring jalan<br />

raya yang rumit, serta menguatnya kelompok masyarakat<br />

pengonsumsi barang dan jasa industrial. Sebuah mimpi<br />

yang dibangun di atas asumsi-asumsi berdasarkan contoh<br />

negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara, yang<br />

mengenyampingkan perbedaan mendasar latar-budaya,<br />

latar-sosial bahkan latar-geomorfologi yang dimiliki<br />

Indonesia. Mimpi yang dibangun hanya melalui peniruan<br />

(imitasi) dan pencangkokan (transplantasi) modelmodel<br />

pembangunan yang sudah banyak ditinggalkan<br />

di negara asalnya, karena memiliki kemampuan<br />

menciptakan bom waktu bagi generasi masa depan.<br />

JATAM mengajak seluruh unsur masyarakat di Indonesia<br />

dan dunia untuk menuntut keseriusan dan kesungguhan<br />

pengurus negara dan para politikus untuk,<br />

1. Menunda semua ijin dan proses perijinan bagi<br />

pembukaan lahan-lahan baru di kepulauan untuk<br />

investasi yang memiliji jejak sosial dan ekologis<br />

sangat kotor, seperti pertambangan batubara,<br />

pertambangan mineral, agglomerasi perkebunan<br />

kelapa sawit skala besar, pembukaan ekosistem<br />

gambut, pengkaplingan kawasan pesisir dan<br />

perairan laut baik perikanan skala besar maupun<br />

eksploitasi minyak, serta perluasan HPH di hutanhutan<br />

alam yang tersisa;<br />

2. Mengusung visi pembangunan yang menjamin;<br />

• Kemampuan rakyat untuk meraih dan<br />

mempertahankan keselamatan mereka;<br />

• Kemampuan rakyat untuk meraih dan<br />

mempertahankan produktifitas guna menikmati<br />

kualitas hidup terbaik sesuai kemampuan sosial<br />

dan ekologik setempat; dan,<br />

• Kemampuan rakyat untuk menjaga, melindungi<br />

dan memulihkan keberlangsungan jasa alam.<br />

3. Meninjau-ulang dan merumuskan paradigma<br />

pembangunan baru yang menjamin terpenuhinya<br />

syarat-syarat bagi upaya jangka panjang<br />

mewujudkan keadilan antargenerasi.<br />

[36] [36 ] [37]


Catatan Kaki<br />

1. Keputusan Presiden No 82 Tahun 1995, tanggal 26<br />

Desember 1995, tentang Pengembangan Lahan<br />

Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di<br />

Kalimantan Tengah.<br />

2. Intruksi Presiden No 2 Tahun 2007, tanggal 16 Maret<br />

2007, tentang Tentang Percepatan Rehabilitasi dan<br />

Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut<br />

di Kalimantan Tengah.<br />

3. Delft Hydraulics report Q3943: PEAT-CO2, Assessment<br />

of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia.<br />

Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S, 2006.<br />

4. WRI: Climate Analysis Indicators Tool vs 4.0, 2007.<br />

5. Makalah Presentasi Bernaulus Saragih – Forest Faculty<br />

of Mulawarman University: Changing Land Cover from<br />

Green Space to Black Surface, September 2009.<br />

6. GTZ: Bantuan Teknis Kebakaran Hutan, 2002.<br />

7. Harian Tibun Kaltim, April 2009 ; http://www.<br />

tribunkaltim.co.id/read/artikel/26058 diakses<br />

Desember 2009.<br />

8. JATAM Kaltim: Hasil Research 2001.<br />

9. Dinas Pertambangan Provinsi Kaltim, Maret 2009.<br />

10. Makalah Presentasi Gubernur Kaltim di hadapan<br />

Menteri ESDM: tentang Prioritas Pembangunan<br />

Pertambangan Energi dan Mineral, Januari 2009.<br />

11. Survey Angka Kemiskinan berdasarkan SUSENAS,<br />

Maret 2007.<br />

12. Harian Tribun Kaltim, April 2008.<br />

13. JATAM Kaltim: Analisis dari berbagai sumber, Maret<br />

2009.<br />

14. Pemprov Kaltim: RPJPD (Rencana Pembangunan<br />

Jangka Panjang Daerah) 2005 – 2025, Juni 2005.<br />

15. Pemprov Kaltim: RPJPD (Rencana Pembangunan<br />

Jangka Panjang Daerah) 2005 – 2025, Juni 2005.<br />

16. Pemprov Kaltim: RPJPD (Rencana Pembangunan<br />

Jangka Panjang Daerah) 2005 – 2025, Juni 2005.<br />

17. Kaltim Pos, Agustus 2009.<br />

18. Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, 2000.<br />

19. Dinas Perkebunan Provinsi Kalsel, 2008.<br />

20. Dinas Perkebunan Provinsi Kalsel, 2006.<br />

21. Dinas Perkebunan Provinsi Kalsel, 2006.<br />

22. Bappeda Kalsel, 2008.<br />

23. Bappeda Kalsel, 2008.<br />

24. BPS: Kaltim Dalam Angka 2007, Maret 2008.<br />

25. JATAM Kaltim: Hasil Analisis Kompilasi Jadwal<br />

Pemadaman Listrik Wilayah Kaltim dan Samarinda<br />

bulan Juli – November 2008 dari PLN Kaltim, Sep<br />

2009.<br />

26. Makalah Presentasi Gubernur Kaltim di hadapan<br />

Menteri ESDM: tentang Prioritas Pembangunan<br />

Pertambangan Energi dan Mineral, Januari 2009.<br />

27. Makalah Presentasi Gubernur Kaltim di hadapan<br />

Menteri ESDM: tentang Prioritas Pembangunan<br />

Pertambangan Energi dan Mineral, Januari 2009.<br />

28. JATAM: Analisis dari berbagai sumber, Oktober 2009.<br />

29. PT Bumi Resources Tbk: Laporan Tahunan 2008.<br />

30. Makalah Presentasi Gubernur Kaltim di hadapan<br />

Menteri ESDM: tentang Prioritas Pembangunan<br />

Pertambangan Energi dan Mineral, Januari 2009.<br />

31. Ibid.<br />

32. Ibid.<br />

33. Makalah Presentasi Gubernur Kaltim di hadapan<br />

Menteri ESDM: tentang Prioritas Pembangunan<br />

Pertambangan Energi dan Mineral, Januari 2009.<br />

34. Nama lembaga yang mengeluarkan data dan tahun<br />

berapa???<br />

35. BPS Kutim: Kutai Timur Dalam Angka, 2008.<br />

36. Kaltim Post: “PLTU Milik Bakrie Power di Sengata<br />

Beroperasi 2013”, 15 Juli 2009.<br />

37. PT Kaltim Prima Coal: Ringkasan Eksekutif Studi<br />

AMDAL Peningkatan <strong>Batubara</strong> hingga 48 Juta Ton<br />

Pertahun, 2005.<br />

38. PT Kaltim Prima Coal: Kerangka Acuan Analisis<br />

Dampak Lingkungan (KA-ANDAL), Studi Amdal<br />

Kapasitas Produksi Hingga 70 Juta Ton Per Tahun,<br />

2009.<br />

39. Ibid.<br />

40. Ibid.<br />

41. Ibid.<br />

42. Ibid.<br />

43. Kaltim Post: PLTU Milik Bakrie Power di Sengata<br />

Beroperasi 2013, 15 Juli 2009.<br />

44. Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur,<br />

2008.<br />

45. Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur,<br />

2008.<br />

46. JATAM: Analisis dari berbagai sumber, Oktober 2009.<br />

47. JATAM: Analisis dari berbagai sumber, Oktober 2009.<br />

48. Jatam Kaltim: Analisis dari berbagai sumber,<br />

September – Okteber 2009.<br />

49. JATAM: Analisis dari berbagai sumber, Oktober 2009.<br />

50. Dinas Kesehatan Kutai Barat, Juni 2009.<br />

51. Dinas Pengairan Kota Samarinda, Presentasi di<br />

Seminar Banjir Kota Samarinda, April 2009.<br />

52. Dinas Pengairan Kota Samarinda, Presentasi di<br />

Semninar Banjir Kota Samarinda, April 2009.<br />

53. JATAM Kaltim: Analisis dari berbagai sumber, Maret<br />

2009.<br />

54. Samarinda Pos, Juni, 2009.<br />

55. Bapedalda Kabupaten Paser, 2002.<br />

56. JATAM Kaltim: DokumeBukit Kalimantan Selatan<br />

Dalan kesaksian, kronologi dan lainnya, 2000.<br />

57. Perbandingan Data Distamben Provinsi Kaltim:<br />

tentang Jummlah Ijin KP dan Luasannya. 2007 dan<br />

Data Distamben Provinsi Kaltim tentang Jumlah Ijin<br />

KP dan Luasannya, 2009.<br />

58. Walhi Kaltim: Keanekaragaman Hayati Gunung Ketam<br />

Paser Diambang Kehancuran. Muhammad Ramli, Edisi<br />

I, hal. 06, Oktober 2005.<br />

59. Ibid<br />

60. PLN Wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan<br />

Tengah, 2008.<br />

61. PLN Wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan<br />

Tengah, 2008.<br />

62. Walhi Kalsel – Investigasi Penggunaan Jalan Negara<br />

untuk Truk <strong>Batubara</strong>, 2005.<br />

63. Walhi Kalsel: Analisis kebutuhan solar, Desember<br />

2005.<br />

64. Walhi Kalsel: Analisis kebutuhan solar, Desember<br />

2005.<br />

65. PLN Wilayah Kalsel - Kalteng, 2008.<br />

Dokumen Photo<br />

• WALHI Kalimantan Timur<br />

• WALHI Kalimantan Selatan<br />

• Jaringan Advokasi Tambang/ JATAM<br />

• kalimantanku.blogspot.com<br />

• tambangkalimantan.blogspot.com<br />

• panoramio.com<br />

66. YCHI bersama Masyarakat Adat: Data Tim Ekspedisi<br />

Meratus, 2005.<br />

67. Lihat MacKinnon, dkk, 1998<br />

68. Kompas: Hutan Lindung Meratus Harus Diselamatkan<br />

dari Penambang Liar. 29 Maret 2004<br />

69. Bappeda/BPS Kalsel: Angka, 1998.<br />

70. Bappedalda Kalsel, 2008.<br />

71. Bappedalda Kalsel, 2008.<br />

72. Bappedalda Kalsel, 2008.<br />

73. Badan Pusat Statistik, 2007.<br />

74. Badan Pusat Statistik, 2007.<br />

75. Penelitian Udiansyah dkk bersama Economy and<br />

Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA),<br />

2007.<br />

76. Penelitian Udiansyah dkk bersama Economy and<br />

Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA),<br />

2007.<br />

77. Penelitian Udiansyah dkk bersama Economy and<br />

Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA),<br />

2007.


[40]

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!