29.12.2012 Views

Mautnya Batubara - (r)Evolusi Alam

Mautnya Batubara - (r)Evolusi Alam

Mautnya Batubara - (r)Evolusi Alam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Kegagalan rejim Suharto menangani tantangantantangan<br />

fisik ekosistem gambut menjadikan proyek<br />

kolosal ini neraka bagi masyarakat adat dan masyarakat<br />

setempat. Pembukaan kanal-kanal yang membelah<br />

ekosistem sensitif ini telah menyebabkan penurunan<br />

tabel air, yang mendorong kemerosotan ketersediaan air,<br />

anjloknya produksi perikanan masyarakat, serta menjadi<br />

kawasan rawan kebakaran. Bahkan pada 1997 kawasan<br />

Proyek PLG ini menyumbang persebaran asap yang luas<br />

akibat kegiatan penebangan hutan rawa gambut dan<br />

pembukaan lahan perkebunan ketika terjadi musim<br />

kemarau berkepanjangan yang dipicu gejala El Nino.<br />

Kebijakan melakukan rehabilitasi ekosistem gambut yang<br />

ditinggalkan begitu saja oleh rejim Suharto dimulai sejak<br />

rejim Megawati, yang kemudian diwujudkan rejim SBY-<br />

MJK, dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No<br />

2 Tahun 20072 . Inpres tersebut boleh dikatakan tidak lebih<br />

dari sekedar janji di atas kertas, karena tidak ada arahan<br />

penganggaran yang jelas untuk pelaksanaannya, serta<br />

lebih berorientasi kepada pilihan-pilihan investasi keruk<br />

lain setelah diperbaiki dan dipulihkan. Kenyataannya,<br />

tanpa menanti selesainya Rencana Induk Rehabilitasi<br />

dan Revitalisasi, ijin-ijin untuk pembukan lahan-lahan<br />

perkebunan kelapa sawit dan penambangan batubara<br />

terus mengalir dari kabupaten-kabupaten setempat.<br />

Pembukaan dan pengeringan ekosistem gambut di<br />

Kalimantan Tengah, menimbulkan oksidasi yang pada<br />

gilirannya akan meningkatkan emisi karbondioksida,<br />

selain emisi yang dilepas dari meluasnya kebakaran<br />

gambut. Menurut Laporan Wetland International (2006) 3 ,<br />

emisi CO dari lahan gambut diseluruh Asia Tenggara<br />

2<br />

pada tahun 1997 hingga 2006 adalah sekitar 2 Gt per<br />

tahun (1,400 Mt dari kebakaran hutan dan 600 Mt dari<br />

dekomposisi yang disebabkan oleh drainase). Sekitar 1.8<br />

Gt (90%) diperkirakan berasal dari Indonesia. Pembukaan<br />

ekosistem gambut di Kalimantan Tengah merupakan<br />

penyumbang emisi karbondioksida terbesar, bersama<br />

Provinsi Riau, Sumatra, yang mendongkrak posisi<br />

Indonesia menjadi nomor tiga pengemisi karbondioksida<br />

terbesar di tingkat global setelah Amerika Serikat dan Cina<br />

pada tahun 20064 .<br />

Sejak Konvensi Para Pihak (Convention of the Parties, COP)<br />

dari Kerangka Kerja Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim<br />

(UNFCCC) ke-13 dilaksanakan di Bali, pada Desember<br />

2007, seluruh mata dunia mengarah kepada Kalimantan<br />

Tengah. Kontribusi Kalimantan Tengah, berupa emisi<br />

karbondioksida terhadap perubahan iklim global,<br />

dipandang sebagai peluang bagi peluang prakarsaprakarsa<br />

penghimpunan dana melalui skema pembiayaan<br />

berbasis karbon, melalui skema Pemangkasan Emisi<br />

dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Sedikit<br />

sekali pembahasan tentang langkah-langkah kongkret<br />

menanangani faktor-faktor penyebab tingginya emisi<br />

karbondioksida dari ekosistem gambut di Kalimantan<br />

Tengah, karena logika yang digunakan adalah, upaya<br />

rehabilitasi tidak akan pernah terlaksana tanpa biaya.<br />

Rehabilitasi yang dibutuhkan ekosistem gambut di<br />

Kalimantan Tengah dikatakan harus dilakukan pada skala<br />

luas, sehingga membutuhkan biaya yang luar biasa besar.<br />

Yang menjadi ironi, praktik-praktik ‘bisnis seperti biasanya’<br />

atau business as usual, tetap berlangsung tertib dan rapih.<br />

Kegiatan pengerukan batubara di kawasan-kawasan<br />

sepanjang hulu Sungai Kapuas seperti tidak terganggu<br />

oleh gaung upaya-upaya penanganan perubahan iklim<br />

yang akan dilaksanakan di Kalimantan Tengah. Demikian<br />

halnya dengan perluasan perkebunan-perkebunan<br />

kelapa sawit. Tapi politik infrastruktur yang telah terbukti<br />

efektif menghancurkan tatanan sosial dan ekologik,<br />

karena tujuannya yang lebih melayani industri ketimbang<br />

meningkatkan jaminan keselamatan dan produktifitas<br />

masyarakat, kembali dilakukan di Kalimantan Tengah.<br />

Salah satunya lewat rencana pengembangan sarana<br />

kereta api yang diprioritaskan untuk mengangkut hasilhasil<br />

keruk ke pasar, baik itu untuk komoditi batubara,<br />

hasil hutan maupun hasil perkebunan. Demikian halnya<br />

dengan rencana pengembangan jalan raya Trans-<br />

Kalimantan, yang hingga saat ini masih dalam tahap<br />

perencanaan.<br />

Hiruk-pikuk rencana-rencana pembangunan tersebut<br />

sama sekali tidak ada urusannya dengan kenyataan pahit<br />

yang diemban rakyat, berupa pemadaman listrik yang<br />

berlangsung teratur, mulai dari satu kali dalam sehari<br />

hingga beberapa kali dalam sehari. Karena kekayaan<br />

alam Pulau Kalimantan memang tidak ditujukan untuk<br />

memenuhi kebutuhan rakyat Pulau Kalimantan, tetapi<br />

untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Pemerintah tidak<br />

kenal lelah meyakinkan publik bahwa kebutuhan rakyat<br />

akan dipenuhi dari hasil perdagangan komoditi ekspor,<br />

yang jelas-jelas menghina akal sehat, karena tidak belajar<br />

dari kegagalan rejim Suharto yang menganut paradigma<br />

“jual mentah-jual murah-jual habis”, baik untuk minyak –<br />

gas, mineral, hutan, kelapa sawit, hingga beras.<br />

[8]<br />

[9]

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!