29.12.2012 Views

Mautnya Batubara - (r)Evolusi Alam

Mautnya Batubara - (r)Evolusi Alam

Mautnya Batubara - (r)Evolusi Alam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Mautnya</strong> <strong>Batubara</strong><br />

Kalimantan Selatan<br />

Sungai Mangkok tidak bisa lagi digunakan karena tingginya kandungan besi<br />

(Fe) di air sungai akibat penambangan batubara di hulu. Belum lagi konflik sosial<br />

berkepanjangan akibat sengketa lahan antara warga dan PT. Tanjung <strong>Alam</strong> Jaya.<br />

Tambang sebagian berada di hutan lindung pegunungan. Pengangkutan batubara dengan<br />

tongkang sejak 1999, telah membuat air sungai keruh, bercampur BBM. Sebelumnya<br />

nelayan Muara Sungai Satui menghasilkan 50 ribu hingga 200 ribu rupiah perhari<br />

menangkap ikan. Sekarang hanya 30.000 hingga 100.000 rupiah per hari.<br />

Pengerukan membuat Sungai Salajuan menjadi kering dan berwarna hitam, tak bisa lagi<br />

digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.<br />

Mwnderita batuk, sesak napas, dan sakit mata jika sering melewati jalan darat sepanjang<br />

Simapang Empat Sumpol, sudah biasa.<br />

Desa Tanta, Warukin,<br />

Kabupaten Tabalong<br />

ENVIROCOAL DEADLY COAL<br />

• Emisi gas dan partikel emisi udara lebih<br />

rendah daripada bahan bakar padat lain.<br />

• Jumlah limbah abu tertangkap sangat<br />

kecil pada dasar mutlak dan sangat<br />

rendah dibandingkan dengan batu bara<br />

• Komposisi kimia di udara dan menangkap<br />

limbah abu menjadikan mereka ramah<br />

dan cocok untuk daur ulang.<br />

• Mengurangi emisi SO2, penurunan emisi<br />

NOx, Limbah menurun.<br />

Desa Batang<br />

Banyu dan<br />

Mangkok,<br />

Kecamatan<br />

Pengaron,<br />

Kabupaten<br />

Banjar.<br />

Desa Sebamban dan Satui,<br />

Kabupaten Tanah Bumbu<br />

• Pencemaran sungai, pada desa-desa sekitar : Padang Panjang,<br />

Dahai, Maburai. Warga tidak bisa menggunakan air sungai lagi<br />

untuk keperluan sehari-hari.<br />

• Salah satu lubang pengerukan batubara PT. Adaro memiliki<br />

garis tengah 1 kilometer, sedalam 30-40 meter (PT. Adaro<br />

memiliki 2 lubang bekas tambang). Lubang di Desa Maburai,<br />

Murung Pudak itu kini menjadi genangan raksasa.<br />

• Sengketa lahan terjadi dengan warga atas 300 hektar lahan.<br />

Proses dan jumlah ganti tidak adil dan merugikan warga.<br />

Belum lagi muncul konflik horizontal antara masyarakat<br />

karena klaim perebutan lahan akibat ketidakberesan proses<br />

pembebasan lahan<br />

• Ada 2 desa, yaitu Desa Lamida Atas dan Juai, tergusur<br />

perluasan tambang tahun 2003. Premanisme kepada warga<br />

dan aktivis lingkungan meningkat seiring perusahaan<br />

beroperasi, sementara aparat keamanan seolah lepas<br />

tanggung jawab<br />

Warga Tamiang dan Pulau Ku’u selalu terkena banjir.<br />

Debu batubara merusak tanaman pertanian dan perkebunan warga Desa Bajut Warukin,<br />

Kecamatan Tanta. Debu, selain mengganggu pernafasan warga, juga mencemari.<br />

Banyaknya perkebunan karet yang tergusur akibat dari perluasan jalan dan kawasan<br />

pengerukan<br />

Timbulnya konflik horizontal antara masyarakat yang tidak mau melepas kebun karetnya<br />

dengan masyarakat yang bersikap sebaliknya.<br />

PT. Bahari Cakrawala Sebuku (BCS) menambang hutan suaka alam di Pulau Kecil Sebuku, tapi<br />

dibiarkan oleh Pemerintah. Akibatnya, sejak beroperasi 1994, Desa Kanibungan dan Sekapung<br />

krisis air.<br />

Sejak tambang masuk, produksi kebun karet warga turun. Tiga buah sungai-Matangkarang,<br />

Kanibungan dan Daeng Setuju dirubah alur sungainya. Bahkan kuburan dan pelabuhan<br />

Speedboat digusur, digali batubaranya, tahun 2003.<br />

Sungai Kanibungan dan Sarakaman tercemar air pencucian batubara. Hasil tangkapan ikan<br />

terutama Benur (bibit bandeng) dan nener (bibit udang) berkurang akibat pencemaran<br />

hingga ke laut. Ceceran batubara dan tumpahan minyak serta oli saat pengapalan batubara<br />

berakibat turunnya hasil tangkap ikan. Nener dan Benur yang terus berkurang karena hutan<br />

bakau (mangrove) di Selat Sebuku rusak. Biasanya dalam 3 hingga 4 jam sehari, warga bisa<br />

menangkap dan menjualnya hingga 200 ribu rupiah per hari, kini dibutuhkan 1 hingga 2 hari<br />

untuk medapat jumlah yang sama.<br />

Desa Sebuku,<br />

Kabupaten Kotabaru<br />

[34] [34 ] [35]

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!