Download Majalah - MPR RI /a
Download Majalah - MPR RI /a
Download Majalah - MPR RI /a
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
PASAL 33 ayat 3 UUD 1945 menetapkan “Bumi dan air dan<br />
kekayaan alam yang tergantung di dalamnya dikuasai oleh<br />
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk<br />
kemakmuran rakyat”. Ketika Penjelasan UUD 1945 masih berlaku,<br />
sebelum perubahan UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945, Pasal 33 ayat 3 ini dengan<br />
gamblang dijelaskan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang<br />
terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.<br />
Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk<br />
sebesar-besar kemakmuran rakyat.”<br />
Bumi dan air dan kekayaan alam tidak perlu didefinisikan lagi.<br />
Ketiga unsur ini sudah pasti menjadi faktor dominan dalam kehidupan<br />
manusia. Seperti halnya juga keberadaan Negara yang harus memiliki<br />
setidaknya 4 unsur, wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat<br />
dan pengakuan dari Negara lain.<br />
Sedemikian dominannya ketiga unsur itu sehingga memerlukan<br />
intervensi Negara dalam pengaturannya, bahkan menjadi monopoli<br />
Negara. Karena itu, terbitlah Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960<br />
tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria yang diundangkan<br />
pada bulan September tahun itu. Undang-undang ini melakukan<br />
perubahan mendasar dalam hukum pertanahan di Indonesia, dan<br />
menetapkan tujuan, konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum,<br />
dan garis-garis besar ketentuan-ketentuan pokok Hukum Pertanahan<br />
Nasional. Beberapa prinsip politik hukum yang<br />
ditegaskan dalam UUPA antara lain penggantian<br />
Hukum Agraria Kolonial, pengakuan konsepsi<br />
Hukum Adat termasuk Hak Ulayat, unifikasi<br />
hukum untuk seluruh wilayah, fungsi sosial<br />
hak atas tanah, penggunaan tanah terencana,<br />
pendaftaran tanah secara aktif, dan sebagainya.<br />
Atas dasar monopoli itu, Negara mengatur<br />
dan menyelenggarakan peruntukan dan<br />
penggunaan persediaan dan pemeliharaan<br />
bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan<br />
Eddie Siregar<br />
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan<br />
bumi, air dan ruang angkasa serta menentukan dan mengatur<br />
hubungan-hubungan antara orang-orang dan perbuatan hukum yang<br />
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.<br />
Undang-undang ini dipandang sebagai sangat pro rakyat. Namun<br />
dalam sejarahnya, setelah 40 tahun diundangkan, <strong>MPR</strong> memandang<br />
bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumberdaya alam<br />
yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas<br />
lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,<br />
penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai<br />
konflik; bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan<br />
dengan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam<br />
saling tumpang tindih dan bertentangan; bahwa pengelolaan sumber<br />
daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan<br />
ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu<br />
dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat,<br />
serta menyelesaikan konflik; dan bahwa untuk mewujudkan citacita<br />
luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Mukadimah<br />
Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang<br />
sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan<br />
agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan<br />
dan ramah lingkungan. Karena itu, <strong>MPR</strong> kemudian menerbitkan<br />
Ketetapan <strong>MPR</strong> Nomor IX/<strong>MPR</strong>/2001 tentang Pembaruan Agraria dan<br />
Pengelolaan Sumber Daya Alam.<br />
10 tahun sudah Ketetapan <strong>MPR</strong> ini dan 60 tahun sudah berlalu<br />
sejak diundangkannya UUPA, masalah tanah ini masih juga belum<br />
tuntas, bahkan konflik semakin menjadi. Jumlah konflik sebagaimana<br />
menjadi berita utama “Majelis” dari tahun ke tahun semakin meningkat<br />
dan bahkan mencabut nyawa manusia. Mengapa masalah tanah ini<br />
Tanah Untuk Rakyat<br />
tidak terselesaikan juga. Sementara semua sepakat – kalau UUD<br />
N<strong>RI</strong> Tahun 1945 merupakan kesepakatan bangsa – bumi, air dan<br />
kekayaan yang terkandung di dalam yang dipergunakan untuk<br />
sebesar-besar kemakmuran rakyat.<br />
Mungkin pandangan Benyamin Mangkudilaga dalam suatu dialog<br />
di salah satu TV belum lama ini menganalogkan kondisi sekarang<br />
dengan lepasnya Timor Timur dari NK<strong>RI</strong>. Menurutnya, ada 3 hal<br />
yang membuat Timor Timur lepas, yaitu korupsi, ketidakadilan dan<br />
penindasan/kekerasan. Bagaimana hubungannya dengan konflik<br />
agraria? Dengan otoritas yang dimiliki, pemerintah atas nama Negara<br />
bisa menerbitkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Hak Guna Usaha<br />
(HGU), Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB) dan hak pakai melalui<br />
Badan Pertanahan Nasional atau Kementerian Kehutanan. Seperti<br />
sinyalemen <strong>MPR</strong> bahwa pengelolaan sumberdaya agraria dan<br />
sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan<br />
penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan,<br />
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan<br />
berbagai konflik tidak bisa dilepaskan dari adanya tindak korupsi.<br />
Lebih-lebih jika dilihat lemahnya pengawasan pemerintah kepada<br />
para pemilik HPH yang menebang hutan dan mengelola hutan melebihi<br />
ketentuan luas yang diberikan, bahkan sampai menjarah hutan rakyat<br />
dan hak ulayat rakyat.<br />
Dalam teori sosial, tindak korupsi terjadi dalam<br />
hubungan patron-klien, yaitu berlandaskan<br />
pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang<br />
tidak setara, antara pemimpin (patron) dan<br />
pengikutnya (klien). Kedua pihak memiliki<br />
sesuatu untuk ditawarkan. Klien menawarkan<br />
dukungan politik (keuangan) dan penghormatan<br />
kepada patron, patron menawarkan kebaikan,<br />
pekerjaan dan perlindungan kepada kliennya.<br />
Dalam konteks agraria, siapa yang jadi patron,<br />
siapa yang jadi klien, sering jungkir balik<br />
bagaikan roda. Namun dampaknya adalah “kerja<br />
sama” yang saling “menguntungkan” yang bisa menerabas segala<br />
aturan dan norma hukum. Hukum bisa menjadi sarana tawarmenawar<br />
yang dilegalkan dalam suatu undang-undang atau<br />
peraturan daerah.<br />
Ironisnya, rakyatlah yang selalu menjadi korban. Ketika terjadi<br />
konflik agrarian, pemerintah selalu – maaf kalau salah – berpihak<br />
kepada pengusaha atau penguasa alat-alat produksi. Banyaknya<br />
petani yang tidak memiliki lahan, kurangnya perumahan layak dan<br />
sanitasi atau air bersih – boleh jadi karena pertumbuhan penduduk<br />
yang pesat – menjadi salah satu indikator ketidakadilan. Lalu, di<br />
mana kewajiban Negara menciptakan kemakmuran bagi rakyat?<br />
Ketika nyawa menjadi taruhan, dan nyawa itu adalah milik rakyat,<br />
apa bedanya dengan penindasan zaman Kolonial?<br />
Seraya tetap mengingat kedaulatan rakyat, peran rakyat dalam<br />
menegakkan kemerdekaan Republik ini, bahwa tanpa rakyat tidak<br />
ada Negara, tanpa tanah, tidak ada rakyat dan Negara, kami setuju<br />
dengan Konsorsium Pembaruan Agraria, perlu dikaji ulang agrarian<br />
di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, perikanan/wilayah<br />
pesisir dan lingkungan hidup yang berakibat pada tumpang tindihnya<br />
kepentingan dan kebijakan penguasaan, pemilikan dan pengelolaan<br />
sumber-sumber agraria di wilayah Indonesia, sebagaimana<br />
diamanatkan Ketetapan <strong>MPR</strong> Nomor IX/<strong>MPR</strong>/2001, Pasal 7<br />
Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk<br />
segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan<br />
pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini<br />
sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua<br />
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan<br />
dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti.<br />
Karena tanah itu adalah untuk rakyat.<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
3
Daftar Isi<br />
10 BE<strong>RI</strong>TA UTAMA<br />
Pembaruan Agraria<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
Menjalankan Amanah Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001<br />
37 Nasional<br />
Hubungan Indonesia-Republik Ceko Jangan Mengendur<br />
18 Sketsa<br />
TB. Soenmandjaja<br />
29 SELINGAN<br />
Angkatan Perang Ratu Adil<br />
Konflik atau sengketa<br />
tanah terjadi karena<br />
tidak dilaksanakannya<br />
Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX<br />
Tahun 2001 dan UU<br />
Pokok Agraria Tahun<br />
1960 secara konsisten.<br />
Ini diperburuk dengan<br />
overlap peraturan<br />
perundangan terkait<br />
agraria.<br />
46 Sosialisasi<br />
Proyeksi Sosialisasi 4 Pilar Kehidupan Berbangsa Tahun 2012<br />
Editorial .................................................... 03<br />
Suara Rakyat ................................................... 05<br />
Opini ................................................................. 07<br />
Kolom ................................................................ 26<br />
Mata Pengamat ............................................. 44<br />
Pojok <strong>MPR</strong> ......................................................... 46<br />
Karya Tulis 4 Pilar Berbangsa ................. 51<br />
Ragam ................................................................ 57<br />
Catatan Tepi .................................................. 62<br />
60 Figur<br />
Miing ‘Bagito’<br />
4 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
PENASIHAT<br />
Pimpinan <strong>MPR</strong>-<strong>RI</strong><br />
PENANGGUNG JAWAB<br />
Eddie Siregar, Selfi Zaini<br />
PEMIMPIN REDAKSI<br />
Yana Indrawan<br />
DEWAN REDAKSI<br />
M. Rizal, Suwarto, Aip Suherman,<br />
Suryani, Ma’ruf Cahyono, Tugiyana<br />
REDAKTUR PELAKSANA<br />
Agus Subagyo<br />
KOORDINATOR REPORTASE<br />
Rharas Esthining Palupi<br />
REDAKTUR FOTO<br />
Supriyanto, Budi Muliawan<br />
REPORTER<br />
Fatmawati, Prananda Rizky,<br />
Muhamad Kurnia, Y Hendrasto Setiawan,<br />
Susanti, Nur Fitriyani<br />
FOTOGRAFER<br />
Ari Soeprapto, Teddy Agusman<br />
Sugeng, Wira, A. Ariyana, Agus Darto<br />
PENANGGUNG JAWAB DIST<strong>RI</strong>BUSI<br />
Elis Murniaty<br />
KOORDINATOR DIST<strong>RI</strong>BUSI<br />
Elly Triani<br />
STAF DIST<strong>RI</strong>BUSI<br />
Hadi Anwar Sani, Suparmin,<br />
Asep Ismail, Ramos Siregar<br />
SEKRETA<strong>RI</strong>S REDAKSI<br />
Wasinton Saragih<br />
TIM AHLI<br />
Syahril Chili, Jonni Yasrul,<br />
Ardi Winangun, Budi Sucahyo,<br />
Derry Irawan, M. Budiono<br />
ALAMAT REDAKSI<br />
Bagian Pemberitaan & Hubungan<br />
Antarlembaga, Biro Hubungan Masyarakat,<br />
Sekretariat Jenderal <strong>MPR</strong>-<strong>RI</strong><br />
Gedung Nusantara III, Lt 7<br />
Jl. Jend. Gatot Subroto No. 6, Jakarta<br />
Telp. (021) 57895050, 57895051<br />
57895237, 57895238<br />
Fax.: (021) 57895051, 57895237<br />
Email: humas@mpr.go.id<br />
Pembaruan Agraria<br />
Edisi No.01/TH.VI/Januari 2012<br />
Desain: Jonni Yasrul<br />
Foto: Istimewa<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
Legislative Review TAP <strong>MPR</strong><br />
Bagaimana prosedur pengujian Tap <strong>MPR</strong><br />
Pasca diundangkannya UU No.12 Tahun<br />
2011. Bisakah <strong>MPR</strong> mereview Tap <strong>MPR</strong> No.1<br />
Tahun 3003 sehingga semua Tap <strong>MPR</strong> yang<br />
masih berlaku menjadi tidak berlaku? Atau<br />
dapatkah MK menguji Tap <strong>MPR</strong>?<br />
Aji<br />
Gang Manyar 258<br />
Jogjakarta<br />
Revisi Landasan Hukum LPSE <strong>MPR</strong><br />
Landasan hukum yang mendasari<br />
lahirnya layanan ini adalah: (1). Keputusan<br />
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang<br />
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang<br />
dan Jasa Pemerintah; (2). . . . dst<br />
Keppres 80 Tahun 2003 telah diganti<br />
dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun<br />
2010 tentang “Pengadaan Barang/ Jasa<br />
Pemerintah.” Tidak hanya sekedar diralat,<br />
pelaksanaan lelang 2012 di lingkungan <strong>MPR</strong><br />
juga harus disesuaikan dengan Perpres 54/<br />
2010. Terima kasih.<br />
Herwin Nur<br />
TMI Tangsel.<br />
Sosialisasi 4 Pilar Perlu Bagi Kalangan<br />
Perguruan Tinggi<br />
Salam...<br />
Sosialisasi 4 Pilar yang dilakukan oleh<br />
<strong>MPR</strong> dalam bentuk Lomba Cerdas Cermat<br />
sangat baik. Oleh karena itu, hal semacam<br />
ini juga perlu dilakukan di kalangan<br />
mahasiswa, demi memberikan pemahaman<br />
yang baik kepada mahasiswa. Sebab,<br />
banyak mahasiswa memiliki pengetahuan<br />
yang minim mengenai hal ini, bahkan ada<br />
yang tidak tahu sama sekali. Bagaimana kita<br />
dapat mengatakan bahwa kita adalah<br />
warga negara Indonesia, sedangkan,<br />
dasar negara dan konstitusi tidak dipahami.<br />
Apa kata dunia????<br />
Jefry<br />
Jln. Nn Saar Sopacua<br />
Ambon<br />
Jadwal LCC UUD 1945 tahun 2012<br />
Assalmualaikum,<br />
Saya mau bertanya, kapan mulai diadakan<br />
kembali LCC UUD 1945? Kalau boleh, tolong<br />
di situs <strong>MPR</strong> menyediakan jadwal untuk<br />
masing-masing Provinsi.<br />
Terimakasih.<br />
Wasalamualaikum<br />
Setya Brahmono,<br />
Tegal<br />
ToT<br />
Yth. Pimpinan <strong>MPR</strong>,<br />
Dengan ini saya menyampaikan<br />
ketertarikan dan minat mengikuti ToT yang<br />
diselenggarakan oleh <strong>MPR</strong>. Sebagai rakyat<br />
Indonesia tentunya mempunyai hak untuk<br />
mendapatkan informasi dan mengikuti terkait<br />
hal tersebut. Atas perhatiannya saya<br />
sampaikan terima kasih.<br />
Wasalam<br />
Asep Budi<br />
Cipinang Melayu,<br />
Kec. Makasar,<br />
Jakarta Timur<br />
Hanya Untuk Indonesia<br />
Bukan sok nasionalis, aku orang Indonesia,<br />
tanahku di sini, airmataku jatuh di<br />
belahan bumi ini, negaraku lagi mengalami<br />
karut marut politik. Mereka tidak pernah<br />
melihat ke samping, apakah orang yang<br />
ada di samping mereka telah mengisi perut<br />
atau belum. Mereka hanya pikirkan perut<br />
“gendut” mereka sendiri....<br />
Bukan ini yang diharapkan pendahulu kita,<br />
entah apa lagi yang harus aku ucapakan...<br />
Aku hanya terlalu cinta negaraku, tak bisa<br />
melihatnya jatuh, terluka, dihina negara<br />
tetangga. Aku memang tidak berbuat apaapa<br />
buat negaraku, tapi aku telah berusaha<br />
untuk tidak membuat malu negaraku. Indonesia<br />
adalah negara yang besar, tapi di<br />
“perkecil” oleh mereka...<br />
Indonesia adalah negara kaya, tapi<br />
mereka membuatnya miskin...<br />
Indonesia adalah negara kuat, tapi<br />
Kami dengan senang hati menerima tulisan baik berupa ide, pendapat, saran<br />
maupun kritik serta foto dari siapa saja dengan menyertai fotocopi identitas Anda.<br />
5
SUARA RAKYAT<br />
mempunyai pemimpin yang sangat lemah.<br />
Aku hanya ingin negaraku bangkit kembali,<br />
bangkit dari keterpurukan, bebas dari “tikustikus”<br />
yang telah lama bersarang di negaraku.<br />
Karena aku cinta negaraku.<br />
Dodi Agustiawan<br />
Lombok NTB,<br />
Mataram<br />
Hinanya Bangsa Indonesia<br />
Di Mata Negara Tetangga<br />
Saya sebagai warga negara Indonesia<br />
merasa malu dan hina, karena bangsa saya<br />
selama ini selalu dilecehkan bangsa lain, yaitu<br />
Malaysia. Dari kasus perbatasan,<br />
penangkapan aparatur pemerintah, dan<br />
kasus-kasus yang lain, serta yang terbaru<br />
kasus pembunuhan yang dilakukan aparatur<br />
atas suruhan pengusaha Malaysia itu,<br />
semua sungguh “menjijikkan” bagi bangsa<br />
Indonesia. Saya hanya ingin pemerintah kita<br />
Karikatur<br />
bersifat tegas.....! Apakah kita takut sebagai<br />
bangsa yang besar terhadap Malaysia?<br />
Saya tak mau anggota <strong>MPR</strong> yang terhormat<br />
berubah seperti banci kaleng dalam<br />
menghadapi kasus dengan Malaysia..........<br />
Juned<br />
Tanah Tinggi<br />
Seminar 4 Pilar<br />
Pancasila Abadi!!!<br />
Dengan Hormat. Sehubungan dengan<br />
maraknya seminar tentang 4 Pilar, kami dari<br />
Satuan Pelajar dan Mahasiswa Pemuda<br />
Pancasila Banyumas ingin bekerjasama<br />
untuk menyelenggarakan seminar 4 Pilar di<br />
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.<br />
Terima kasih.<br />
Persatuan Pelajar dan Mahasiswa PP<br />
Jl. Jenderal Soedirman<br />
Purwokerto<br />
Butuh Penjelasan tentang<br />
UU No. 10 Tahun 2004 dan TAP <strong>MPR</strong><br />
Ass..Wr..Wb...<br />
Sebenarnya alasan apa yang membuat<br />
UU No. 10 Tahun 2004 dicabut, dan kenapa<br />
TAP <strong>MPR</strong> digunakan lagi.... trims !! tolong<br />
dijawab.<br />
Sirin<br />
Simpang Raya, Luwuk Banggai<br />
Minta Naskah Buku 4 Pilar<br />
Kami ingin mendapatkan naskah/buku 4<br />
Pilar Kehidupan Bernegara. Kira-kira di mana<br />
kami bisa mendapatkan naskah/buku<br />
tersebut ? Sekiranya berkenan mohon<br />
dikirimkan kepada kami melalui email kami<br />
tersebut atau sms ke nomor hp kami, tempat<br />
kami bisa memperolehnya. Terima kasih.<br />
Frans Julius W<br />
Jl. Camar Blok AE/13 Bintaro Jaya<br />
Tangerang Selatan<br />
ILUSTRASI: SUSTHANTO<br />
6 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
Membangun Toleransi Antar-umat Beragama<br />
TINDAK kekerasan berlatarbelakang<br />
agama masih mengisi catatan hitam<br />
pelanggaran hak asasi manusia (HAM)<br />
tahun 2011. Menjelang tutup tahun 2011,<br />
pada Kamis 29 Desember sekitar pukul 09.15<br />
WIB, kekerasan atas nama agama kembali<br />
terjadi. Pesantren milik warga Syiah di Desa<br />
Karanggayam, Kecamatan Omben dan Desa<br />
Blu’uran Kecamatan Karang Penang,<br />
Kabupaten Sampang, Madura, dibakar<br />
massa. Pembakaran dilakukan ratusan<br />
warga yang mengaku dari aliran Sunni di<br />
sekitar perkampungan aliran Syiah ini.<br />
Tak cuma membakar pesantren, sejumlah<br />
warga juga membakar rumah warga di<br />
kawasan yang biasa ditempati pengikut<br />
Syiah di bawah pimpinan Ustadz Tajul Muluk<br />
di sekitar pesantren. Tiga rumah milik<br />
pengikut aliran Syiah ludes dibakar. Meski<br />
tak menimbulkan korban jiwa, aksi itu<br />
menghanguskan tiga rumah dan satu<br />
mushala. Korban jiwa dapat dihindarkan<br />
karena seluruh pengikut Syiah sudah<br />
mengungsi saat warga datang ke lokasi.<br />
Sebenarnya sudah sejak 1980-an, warga<br />
Syiah berada di dua desa itu. Kekerasan<br />
yang dialami jemaah Syiah sudah<br />
berlangsung sejak 2004. Saat itu mereka<br />
secara terbuka membangun pesantren.<br />
Ketegangan baru muncul pada 2006. Karena<br />
ketegangan akibat keberadaan aliran Syiah<br />
itu, maka pada 2009, dilakukan pertemuan<br />
antara Majelis Ulama Indonesia (MUI)<br />
Sampang dengan sejumlah tokoh agama<br />
yang juga dihadiri aparat kepolisian dan TNI.<br />
Hasil pertemuan itu, MUI menyatakan bahwa<br />
Syiah bukanlah aliran sesat karena tidak ada<br />
penyimpangan. Sejak saat itu, warga Syiah<br />
pun sudah mendapat perlindungan dan<br />
jaminan keamanan dari aparat keamanan.<br />
Namun, pada akhir Desember 2011 justru<br />
terjadi kekerasan terhadap jamaah Syiah.<br />
Peristiwa Sampang menambah jumlah<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
catatan kekerasan berlatarbelakang agama.<br />
The Wahid Institut mencatat, pada tahun 2011<br />
setidaknya ada 92 kasus kekerasan<br />
berlatarbelakang agama. Paling banyak<br />
terjadi adalah pelanggaran atau pembatasan<br />
aktivitas keagamaan atau pelarangan<br />
melakukan kegiatan ibadah kelompok tertentu<br />
(sebanyak 49 kasus atau 48%).<br />
Menurut Ketua Komisi VIII, Abdul Kadir<br />
Karding, sepanjang tidak ada upaya serius<br />
pemerintah untuk membangun kesadaran<br />
rakyat agar bersikap toleran maka tindak<br />
kekerasan berlatar agama diprediksi bakal<br />
terus terjadi di tahun-tahun mendatang.<br />
Karena itu pemerintah harus serius<br />
membangun toleransi antar-umat beragama.<br />
Saat ini sikap toleransi masyarakat masih<br />
belum terbangun dengan baik. Sayangnya,<br />
kondisi seperti itu diperparah dengan tidak<br />
adanya penegakan hukum yang obyektif dari<br />
pemerintah, baik aparat keamanan maupun<br />
pemerintah daerah. Seringkali terjadi tindak<br />
kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu<br />
namun aparat dan pemerintah terkesan tutup<br />
mata. Seharusnya pemerintah bisa berperan<br />
dalam upaya me-deradikalisasi terhadap<br />
kelompok yang selalu berbuat radikal.<br />
“Kita harus akui ada kelompok-kelompok<br />
tertentu yang pola pikirnya terlalu radikal.<br />
Pemerintah harusnya melakukan upaya<br />
deradikalisasi terhadap kelompok ini. Tidak<br />
hanya kelompok dengan atribut Islam, tapi<br />
juga Katolik, Kristen, Hindhu dan Budha,” kata<br />
Abdul Kadir Karding, politisi PKB ini.<br />
Ke depan, Abdul Kadir Karding berharap<br />
para tokoh-tokoh masyarakat mulai dari<br />
tingkat daerah, nasional, dan tokoh agama<br />
harus berperan serta membangun toleransi<br />
antar-umat beragama di masyarakat dengan<br />
cara mengayomi orang hidup bertoleransi.<br />
Agar toleransi antar-umat beragama bisa<br />
terbina. ❏<br />
BS<br />
ISTIMEWA<br />
7
Upaya Menyelamatkan TKI dari Hukuman Pancung<br />
PRESIDEN Ketiga <strong>RI</strong>, BJ Habibie, ikut<br />
turun gunung untuk membebaskan<br />
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab<br />
Saudi yang terancam hukuman pancung. BJ<br />
Habibie mengemban misi untuk membebaskan<br />
TKI Tuti Tursilawati, 27 tahun, dari<br />
hukuman mati. Pada akhir Desember 2011,<br />
BJ Habibie bersama Satgas TKI memulai<br />
misinya dengan menemui Pangeran Al Walid<br />
bin Talal Al Saud.<br />
Nama BJ Habibie muncul atas usulan para<br />
pengacara dan sejumlah tokoh di Arab<br />
Saudi. Selain dikenal sebagai teknokrat,<br />
Habibie juga dipandang sebagai<br />
cendekiawan muslim dunia yang memiliki<br />
pengaruh di lingkungan kerajaaan serta<br />
pengusaha ternama Arab Saudi. Sedangkan<br />
Pangeran Al Wahid bin Talal Al Saud yang<br />
akan ditemui Habibie adalah pengusaha<br />
nomor wahid paling berpengaruh di Arab<br />
Saudi. Dia juga berpengaruh di keluarga<br />
Kerajaan Arab Saudi sekaligus keponakan<br />
Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al Saud.<br />
Pertemuan khusus itu akan membahas<br />
upaya membebaskan Tuti Tursilawati, TKI<br />
asal Majalengka, Jawa Barat, dari ancaman<br />
hukuman pancung. Habibie akan meminta<br />
Pangeran Al Walid bin Talal untuk ikut<br />
memperjuangkan dengan cara melobi pihak<br />
keluarga korban agar mau memaafkan Tuti.<br />
Tuti dituduh membunuh majikannya, Suud<br />
Mulhaq Al-Otaibi, dengan cara memukulkan<br />
sebatang kayu pada tanggal 11 Mei 2010 di<br />
kota Thaif. Ia membela diri karena Suud<br />
melakukan pelecehan seksual terhadapnya.<br />
Tuti kabur dengan membawa uang 31.500<br />
Real Saudi berikut satu buah jam tangan.<br />
Dalam pelariannya, Tuti menjadi korban<br />
kebiadaban sembilan pria yang<br />
memperkosanya.<br />
Selanjutnya Tuti Tursilawati diadili di<br />
Mahkamah Umum. Pengadilan menjatuhkan<br />
hukuman mati (qishas). Putusan tersebut<br />
diperkuat oleh Mahkamah Tamyiz (tingkat<br />
banding). Di Mahkamah Ulya (Mahkamah<br />
Agung Arab Saudi) telah menguatkan<br />
putusan mahkamah sebelumya hingga vonis<br />
hukuman mati telah memiliki kekuatan hukum<br />
yang tetap.<br />
Dalam kasus itu, hukuman mati bisa<br />
dihindarkan bila pihak keluarga korban<br />
memberi pengampunan. Pemerintah Indonesia<br />
berupaya mendapatkan pengampuan<br />
dari keluarga korban. Pertemuan sudah<br />
dilakukan sebanyak lima kali. Pertemuan<br />
terakhir pada Minggu, 13 November 2011,<br />
dilakukan pertemuan dengan ahli waris<br />
korban yang diwakili Munif Suud Mulhaq Al<br />
Otaibi dalam rangka mengupayakan Tanazul<br />
(pemaafan) bagi TKI Tuti Tursilawati. Namun<br />
pihak keluarga korban belum bisa<br />
memberikan peluang Tanazul.<br />
Menurut anggota Tim Khusus TKI DPR, Eva<br />
Kusuma Sundari, Satgas TKI memang harus<br />
melakukan langkah yang luar biasa jika betulbetul<br />
ingin membebaskan TKI Tuti Tursilawati<br />
dari eksekusi pancung di Arab Saudi. Timsus<br />
TKI DPR sudah membahas kasus ini. Bahkan,<br />
DPR sendiri sudah berupaya maksimal<br />
dengan mengirim surat ke Dewan Syuro<br />
(parlemen Arab Saudi) dan keluarga korban<br />
untuk memohon pengampunan.<br />
Namun, rupanya upaya tersebut belum<br />
membuahkan hasil sehingga proses<br />
pemancungan Tuti terus berjalan. “Sepatutnya<br />
pemerintah mencoba meringankan dengan<br />
menyoal ketidakadilan yang diterima Tuti,<br />
misalnya terkait kekerasan yang dilakukan<br />
keluarga majikan. Dan, kekerasan seksual yang<br />
dilakukan sembilan orang yang memerkosa dia.<br />
Dua hal ini harus dibawa ke pengadilan,” kata<br />
anggota Komisi III DPR <strong>RI</strong> ini.<br />
Menurut Eva Kusuma, bila tidak bisa<br />
menyelamatkan nyawa, paling tidak keadilan<br />
ditegakkan. Agar, pengadilan di sana tidak<br />
melakukan double standard, hanya<br />
mengadili warga non-Arab saja, sedangkan<br />
kejahatan yang dilakukan oleh warganya<br />
sendiri seharusnya juga disidangkan. ❏<br />
BS<br />
8 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
ISTIMEWA
Citra dan Profesionalitas Polri<br />
CITRA polisi belakangan ini semakin<br />
turun. Polri terus menjadi sorotan.<br />
Bukan soal prestasinya yang<br />
gemilang, tapi karena beberapa peristiwa<br />
kekerasan yang dilakukan anggota Polri di<br />
lapangan. Bahkan kekerasan itu, pada<br />
beberapa insiden, berujung pada jatuhnya<br />
korban jiwa.<br />
Sebut saja dugaan kekerasan di Mesuji,<br />
Sumatera Selatan dan Lampung. Belum<br />
sempat dugaan kekerasan yang melibatkan<br />
aparat keamanan itu diusut, praktik kekerasan<br />
diperlihatkan kembali oleh aparat keamanan<br />
dalam pembubaran aksi warga di Pelabuhan<br />
Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB),<br />
pada Sabtu 24 Desember 2011. Dalam<br />
peristiwa itu, warga menjadi korban, dipukul<br />
dan dihantam tendangan, sampai dihujani<br />
peluru. Dua orang warga kehilangan nyawa.<br />
Melihat aksi kekerasan yang diperlihatkan<br />
polisi membuat Presiden Susilo Bambang<br />
Yudhoyono angkat bicara. Pucuk pimpinan<br />
pemerintah itu meminta Kapolri Jenderal Timur<br />
Pradopo menghentikan segala bentuk<br />
kekerasan anak buahnya di lapangan.<br />
Kekerasan memang lekat dengan<br />
pekerjaan polisi. Ini tampak dari perlengkapan<br />
yang disandangnya seperti pistol, borgol,<br />
pentungan, dan lain-lain. Perlengkapan ini<br />
untuk menjalankan pekerjaan di masyarakat.<br />
Tentu, kekerasan itu hanya digunakan saat<br />
menghadapi hal-hal yang mengancam<br />
dirinya atau orang lain. Kekerasan yang<br />
dilakukan juga harus secara wajar. Artinya,<br />
kekerasan polisi adalah kekerasan normatif,<br />
bukan kekerasan emosional, apalagi brutal<br />
atau kejam.<br />
Persoalannya, bagaimana mengontrol<br />
mandat yang diberikan kepada polisi dalam<br />
menggunakan kekuatan paksa fisik<br />
(kekerasan) sehingga bisa dipertanggungjawabkan.<br />
Bila tidak bisa memberikan<br />
pertanggungjawaban atas dilakukannya<br />
kekuatan paksa fisik maka seharusnya<br />
diberikan hukuman yang setimpal.<br />
Pada dasarnya polisi diizinkan<br />
menggunakan kekerasan dengan kondisi<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
diserang secara fisik oleh seseorang atau<br />
sekelompok orang, polisi telah memberikan<br />
peringatan baik dengan kata-kata maupun<br />
perbuatan namun tidak diindahkan, atau<br />
ketika polisi menghadapi perlawanan yang<br />
tidak seimbang dari seseorang atau<br />
sekelompok orang yang akan ditangkap.<br />
Sebaliknya, polisi tidak diizinkan<br />
menangkap seseorang dengan menggiring<br />
di muka umum, memborgol seseorang yang<br />
tidak berusaha melawan atau melarikan diri,<br />
atau menangkap seseorang, setelah<br />
ditaklukan kemudian dipukuli atau ditembak.<br />
Dari berbagai insiden yang melibatkan<br />
aparat keamanan dengan menggunakan<br />
kekerasan, Anggota Komisi III DPR, Ahmad<br />
Basarah, menilai kesalahannya bukan<br />
terletak pada struktur politik institusi tersebut<br />
yang berada di bawah presiden, melainkan<br />
karena lemahnya kepemimpinan. “Di bawah<br />
presiden saja sudah begini, apalagi di bawah<br />
kementerian,” kata Ahmad Basarah.<br />
Meletusnya sejumlah insiden antara lain<br />
Freeport, Mesuji, dan Sape (Bima)<br />
menimbulkan perdebatan soal struktur<br />
lembaga Polri karena institusi penegak hukum<br />
ini dinilai gagal mengemban amanat. Tudingan<br />
negatif yang mengarah pada institusi ini<br />
membuat citra polisi menurun di mata<br />
masyarakat.<br />
Menurut Ahmad Basarah, Undang-Undang<br />
Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian pada<br />
ayat 4 disebutkan Polri sebagai alat negara<br />
yang menjaga keamanan, ketertiban<br />
masyarakat dan bertugas melindungi,<br />
mengayomi, melayani masyarakat dan<br />
penegakan hukum. Kalau sekarang citranya<br />
atau profesionalitas profesi Polri menurun,<br />
maka persoalanan bukan terletak pada<br />
posisi politik Polri.<br />
Dalam pandangan Ahmad Basarah,<br />
menurunnya citra dan profesionalitas polisi<br />
adalah karena lemahnya kepemimpinan Polri<br />
dalam menjalankan tugas kewenangan,<br />
terutama menghayati konstitusi, UUD N<strong>RI</strong><br />
Tahun 1945. ❏<br />
BS<br />
ISTIMEWA<br />
9
BE<strong>RI</strong>TA UTAMA<br />
Pembaruan Agraria<br />
Menjalankan Amanah<br />
Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001<br />
Konflik atau sengketa tanah terjadi karena tidak dilaksanakannya Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX<br />
Tahun 2001 dan UU Pokok Agraria Tahun 1960 secara konsisten. Ini diperburuk dengan<br />
tumpang tindih peraturan perundangan terkait agraria.<br />
<strong>RI</strong>BUAN orang bergerak menuju Istana Negara, Jakarta, pada<br />
Kamis 12 Januari 2012. Sejak pukul 09.00 WIB pagi mereka<br />
sudah memadati jalan di depan istana. Spanduk dan poster<br />
terbentang. Mereka berdemo mengatasnamakan Sekretariat Bersama<br />
Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia. Sekretariat Bersama ini terdiri<br />
dari beberapa organisasi petani, buruh, masyarakat adat, perempuan,<br />
pemuda, mahasiswa, perangkat pemerintah desa, dan sejumlah<br />
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).<br />
Mereka turun ke jalan mempersoalkan kebijakan pemerintah dalam<br />
soal kepemilikan tanah. Tak hanya berunjuk rasa di depan Istana<br />
Negara, massa juga mendatangi Kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD di Jalan<br />
Gatot Subroto, Jakarta. Ribuan orang itu berjalan kaki memadati ruas<br />
jalan raya sepanjang jalan Jenderal Sudirman menuju Gedung Dewan<br />
sehingga membuat lalu lintas terhenti.<br />
Di depan Kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD, massa merobohkan pagar besi.<br />
Suasana ricuh. Sejumlah pendemo lalu mencoba berlari menuju ke<br />
dalam gedung. Baru sampai 100 meter dari pagar yang roboh, mereka<br />
langsung dihalau barikade petugas yang dilengkapi tiga kendaraan<br />
water canon. Mobil meriam air itu sempat digunakan untuk<br />
menyemprotkan air deras ke arah pendemo. Ada tiga orang<br />
demonstran yang akhirnya dibekuk petugas.<br />
Mengapa demonstran bersikeras dan mengambil resiko untuk<br />
menyuarakan aksinya? Para pendemo itu mempunyai tuntutan. Di<br />
antara tuntutan itu adalah meminta kepada pemerintah untuk<br />
menghentikan segala bentuk perampasan tanah rakyat dan<br />
mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas. Tuntutan lainnya<br />
adalah meminta pemerintah melaksanakan pembaruan agraria sejati<br />
sesuai dengan Tap <strong>MPR</strong> No. IX Tahun 2001 dan UU Pokok-Pokok<br />
Agraria 1960.<br />
Selain itu mereka juga minta agar pengelolaan sumber-sumber<br />
daya alam yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan<br />
mensegerakan UU Pokok-Pokok Agraria dan UU tentang Pengelolaan<br />
Sumber Daya Alam sesuai amanat Tap <strong>MPR</strong> No. IX Tahun 2001<br />
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.<br />
Aksi demo besar-besaran itu memang tidak terlepas dari beberapa<br />
peristiwa yang terjadi di penghujung 2011. Belakangan ini kasus<br />
tanah memang kian memanas. Dari konflik soal tanah itu korban<br />
berjatuhan, baik dari para petani maupun karyawan perusahaan<br />
yang berselisih dengan mereka. Mulai dari kasus tanah di Sungai<br />
Sodong Kecamatan Mesuji Kabupaten OKI Sumatera Selatan dan di<br />
Kabupaten Mesuji Lampung hingga kasus di Bima, Nusa Tenggara<br />
Barat. Kasus serupa juga menyebar di sejumlah wilayah di Indonesia,<br />
antara lain di Jambi, dan Riau.<br />
Menjelang pergantian tahun, masyarakat memang dikejutkan<br />
dengan konflik tanah (agraria) yang menelan korban jiwa. Pada 24<br />
Desember 2011, di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara<br />
Barat (NTB), terjadi bentrokan antara Satuan Brigade Mobil (Brimob)<br />
Polda NTB dengan warga yang menewaskan dua orang. Selama<br />
10 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA
Unjuk rasa di depan gerbang kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD<br />
tahun 2011, sengketa pertanahan yang<br />
terjadi di Mesuji Lampung dan Mesuji Ogan<br />
Komering Ilir, Sumatera Selatan, dikabarkan<br />
telah menewaskan 9 orang (kesimpulan<br />
TGPF).<br />
Pada 19 Desember 2011, sejumlah petani<br />
dari Pulau Padang, Riau, dan Jambi melakukan<br />
aksi demo di depan gerbang Kompleks<br />
Parlemen. Berhari-hari mereka melakukan<br />
aksi jahit mulut untuk mendapat perhatian<br />
pemerintah dan dewan terhadap kasus<br />
sengketa lahan yang mereka hadapi dengan<br />
PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).<br />
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)<br />
mencatat sepanjang 2011 terdapat<br />
sedikitnya 163 konflik agraria di Indonesia.<br />
Jumlah ini meningkat drastis jika dibandingkan<br />
dengan 2010 yang tercatat 106 konflik. Dari<br />
163 kasus itu, 97 kasus terjadi di sektor<br />
perkebunan (60%), 36 kasus di sektor<br />
kehutanan (22%), 21 kasus terkait<br />
infrastruktur (13%), 8 kasus di sektor<br />
tambang (3%), dan satu kasus terjadi di<br />
wilayah tambak/pesisir (1%).<br />
Dari konflik agraria sepanjang 2011 itu,<br />
KPA juga mencatat sebanyak 24 petani/<br />
warga tewas di wilayah-wilayah konflik<br />
agraria. Konflik yang terjadi melibatkan lebih<br />
dari 69.975 kepala keluarga. Sementara luas<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
areal konflik mencapai 472.048,44 hektar.<br />
Anggota Komisi Bidang Pertanahan DPR<br />
<strong>RI</strong>, Budiman Sujatmiko, memaparkan data<br />
lain. Menurut Budiman, saat ini terdapat<br />
2.300 konflik agraria, termasuk yang<br />
melibatkan Badan Pertanahan Nasional<br />
(BPN), BUMN, dan Perhutani. Bahkan politisi<br />
PDI Perjuangan itu menyebutkan, sejak 2001<br />
sebanyak 189 petani atau nelayan tewas<br />
Lukman Hakim Saifuddin<br />
karena konflik agraria, termasuk 22 korban<br />
tewas pada 2011.<br />
Fenomena Gunung Es<br />
Menurut Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Lukman Hakim<br />
Saifuddin, kasus-kasus agraria atau konflik<br />
agraria hanyalah sebuah fenomena puncak<br />
gunung es. Artinya, hanya satu dua kasus<br />
yang muncul ke permukaan. Tapi,<br />
sebenarnya, di bawah sudah banyak terjadi<br />
kasus agraria. “Ini merupakan sesuatu yang<br />
laten dan sudah sangat lama,” katanya<br />
kepada Majelis.<br />
Malah, Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Hajriyanto Y.<br />
Thohari menyebutkan, kasus tanah sudah<br />
ada sejak zaman kolonial Belanda.<br />
Pemerintah kolonial Belanda mentolerir praktik<br />
para priyayi yang menyalahgunakan<br />
kekuasaan dan memperkaya diri sendiri.<br />
Termasuk mempermainkan kepemilikan<br />
tanah. “Jadi, sejak kolonialisme, masalah<br />
tanah menjadi masalah yang laten,” ujarnya<br />
kepada Majelis. Hajriyanto mengambil<br />
contoh disertasi sejarawan Prof. Sartono<br />
Kartodirjo yang menulis tentang pemberontakan<br />
petani.<br />
Memang tidak ada penyebab tunggal dari<br />
berbagai kasus dan konflik agraria yang<br />
terjadi di Indonesia. Namun, fakta<br />
11
BE<strong>RI</strong>TA UTAMA<br />
Hajriyanto Y. Thohari<br />
menunjukkan telah terjadi ketimpangan dalam<br />
penguasaan tanah. KPA menunjuk data<br />
bahwa saat ini terdapat lebih dari 25 juta<br />
hektar hutan dikuasai HPH, 8 juta hektar<br />
dikuasai HTI, dan 12 juta hektar dikuasai<br />
perkebunan besar sawit.<br />
“Secara de facto, di Indonesia itu sudah<br />
banyak tuan-tuan tanah dengan<br />
memanfaatkan sistem kepemilikan tanah yang<br />
sangat liberal, tidak ada batasnya. Asal punya<br />
uang dan mampu membeli maka orang bisa<br />
membeli seberapa pun luas tanah itu.<br />
Ekstrimnya, di Indonesia orang bisa membeli<br />
tanah se-Pulau Jawa,” tutur Hajriyanto.<br />
Di sisi lain, hampir 85% petani di Indonesia<br />
merupakan petani tanpa tanah dan lahan<br />
sempit dengan kepemilikan rata-rata 0,25<br />
hektar. Kondisi seperti inilah yang melahirkan<br />
dan menyuburkan konflik agraria. Petani dan<br />
warga tak bertanah telah tercerabut dari alat<br />
produksinya. Kondisi ini diperparah dengan<br />
keberpihakan aparatur terhadap kepentingan<br />
pemilik modal dalam menjaga asetnya.<br />
Aklibatnya, seringkali terjadi bentrok antara<br />
warga dan pemilik modal yang menyebabkan<br />
jatuh korban.<br />
Mengapa hal itu terjadi? Menurut Anang<br />
Prihantoro, anggota DPD <strong>RI</strong> dari Lampung<br />
yang juga mantan Ketua Umum SERTANI<br />
(Serikat Tani Indonesia) 2005-2011, karena<br />
setiap kali mengadukan masalah tanah<br />
kepada pemerintah dan wakil rakyat jarang<br />
mendapatkan solusi yang memuaskan, maka<br />
akhirnya masyarakat memiliki cara tersendiri<br />
dalam menyelesaikan sengketa tanah.<br />
Mereka tidak memakai cara hukum positif,<br />
karena memang tidak sanggup menjangkau<br />
ranah peraturan hukum formal. Sementara<br />
itu, pemerintah lebih memilih aturan hukum<br />
positif sebagai patokan.<br />
“Akibatnya, perusahaan (pemilik modal)<br />
yang memang memiliki kemampuan secara<br />
hukum akan selalu menang dibanding<br />
masyarakat umum yang hanya memakai<br />
aturan masyarakat setempat atau adat,” jelas<br />
Anang Prihantoro kepada Majelis.<br />
Belum lagi, seperti diungkapkan Ketua Fraksi<br />
Partai Golkar <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, Agun Gunandjar<br />
Sudarsa, konflik atau sengketa agraria juga<br />
disebabkan karena tumpang tindihnya berbagai<br />
peraturan perundang-undangan. Fakta di<br />
lapangan menunjukkan, sumber masalah<br />
bukan sepenuhnya berasal dari Badan<br />
Pertanahan Nasional (BPN), tapi juga<br />
bersumber dari lembaga dan kementerian lain.<br />
Menurut Agun, saat ini banyak lahan yang<br />
dikuasai atau di bawah kendali berbagai<br />
kementerian dan lembaga. Contohnya,<br />
kawasan yang dikuasai atau di bawah<br />
kendali Kementerian Energi dan Sumber Daya<br />
Mineral (ESDM) atau Kementerian Kehutanan,<br />
TNI, Polri, dan lain-lain. Tentu saja, kementerian<br />
dan lembaga itu mempunyai dasar hukum dan<br />
perundangan tersendiri. Sementara sejumlah<br />
warga merasa telah menempati kawasan itu<br />
sejak lama dan turun temurun. “Realitasnya,<br />
sebelum kasus Mesuji, banyak sekali<br />
persoalan terkait pertanahan antara lembaga<br />
dengan rakyat. Ini karena sistem peraturan<br />
perundangan yang overlap,” ujar Agun<br />
kepada Majelis.<br />
Jalan keluar<br />
Agun meyakini kasus atau konflik agraria<br />
itu tak akan terjadi bila kita mematuhi<br />
Anang Prihantoro<br />
Agun Gunandjar Sudarsa<br />
Ketetapan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Nomor IX Tahun 2001.<br />
“Dalam Tap <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Nomor I Tahun 2003 –<br />
yang dikenal sebagain Tap Sapujagad —<br />
terdapat Tap tentang pembaruan agraria<br />
yang masih diberlakukan, yaitu Tap <strong>MPR</strong><br />
Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan<br />
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.<br />
Kalau kita mematuhi Tap itu, semua masalah<br />
agraria tersebut tidak akan terjadi,” tegas<br />
anggota Komisi II DPR <strong>RI</strong> ini.<br />
Anggota Komisi II lainnya, Budiman<br />
Sujatmiko, juga sependapat. “Akarnya<br />
adalah tidak dilaksanakannya UU Pokok<br />
Agraria Tahun 1960 dan Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX<br />
Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan<br />
Pengelolaan Sumber Daya Alam secara<br />
konsisten. Hal ini semakin diperburuk dengan<br />
tumpang tindihnya otoritas penanganan<br />
agraria yang tersebar di berbagai<br />
kementerian,” katanya.<br />
Pendapat serupa juga diungkapkan Arif<br />
Budimanta, anggota Komisi XI DPR <strong>RI</strong>.<br />
Menurut Arif Budimanta, mandat Tap <strong>MPR</strong><br />
Nomor IX Tahun 2001 masih berlaku hingga<br />
saat ini. Tap itu memang hanya mengatur<br />
secara umum. Pengaturan lebih lanjut melalui<br />
mekanisme perundang-undangan ataupun<br />
peraturan pemerintah. “Saya melihat Tap<br />
<strong>MPR</strong> itu masih valid dan harus menjadi<br />
referensi dalam kebijakan negara di bidang<br />
agraria dalam konteks Pasal 33 UUD N<strong>RI</strong><br />
Tahun 1945,” katanya kepada Majelis.<br />
Bagi Anang Prihantoro, Tap <strong>MPR</strong> Nomor<br />
IX Tahun 2001 memang bisa menjadi pintu<br />
masuk untuk mengurai persoalan tanah yang<br />
saat ini marak. Selain itu, Anang meminta<br />
kepada pemerintah untuk memberikan<br />
kemudahan kepada warga agar bisa<br />
12 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
menjangkau masalah legal formal pertanahan.<br />
“Misalnya mempermudah sistem<br />
pembuatan sertifikat. Selama itu tidak terjadi<br />
maka konflik akan terus terjadi. Juga<br />
diperlukan kesamaan peta pertanahan yang<br />
ada di BPN dengan masing-masing kementerian.<br />
Saat ini kementerian dan lembaga<br />
negara juga memiliki peta tanah sendirisendiri,”<br />
paparnya.<br />
Memang, untuk menyelesaikan masalah<br />
pertanahan, kita perlu berpijak pada Tap <strong>MPR</strong><br />
Nomor IX Tahun2001. Sesuai dengan UU<br />
Nomor 12/2011 tentang Pembentukan<br />
Peraturan Perundang-undangan, kedudukan<br />
Tap itu berada di atas UU Nomor 5 Tahun<br />
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok<br />
Agraria, dan Perpu Nomor 56 Tahun 1960<br />
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.<br />
Karena itu, menurut Agun Gunandjar<br />
Sudarsa, untuk mengatasi sistem dan<br />
perundangan terkait pertanahan yang overlap<br />
bisa diatasi dengan menjalankan Tap<br />
<strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001 itu. “Tap <strong>MPR</strong><br />
tentang Pembaruan Agraria itu sudah<br />
memerintahkan, pemerintah tinggal menjalankannya<br />
saja. Presiden harus memimpin<br />
dalam menyelesaikan kasus agraria di Indonesia.<br />
Presiden harus turun tangan<br />
karena dia yang bisa mengoordinasikan<br />
semua kementerian dan lembaga di bawahnya.<br />
Caranya? Presiden tinggal menjalankan<br />
Tap <strong>MPR</strong> itu,” kata Agun.<br />
Namun, persoalannya, mengapa amanat<br />
Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001 itu tidak<br />
dijalankan pemerintah? “Saya khawatir tidak<br />
ada tindak lanjutnya karena ada kekuatan<br />
kelompok modal yang luar biasa sehingga<br />
pemerintah lebih berpihak kepada mereka.<br />
Budiman Sujatmiko<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
Arif Budimanta<br />
Mungkin juga ada pertimbangan lain karena<br />
keberpihakan itu untuk membuat dunia<br />
investasi lebih nyaman. Tapi, kemudian,<br />
karena terlalu mementingkan kelompok itu<br />
maka ada kepentingan lain yang dikorbankan.<br />
Akibatnya muncul kasus Mesuji, Bima, dan<br />
lain-lain,” jawab Lukman Hakim Saifuddin.<br />
Dengan bahasa lain, Hajriyanto melihat Tap<br />
<strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001 itu tidak berjalan<br />
karena ada dimensi dan implikasi sosial politik<br />
yang sangat besar sehingga tidak ada<br />
pemimpin atau pemerintah yang berani<br />
mengambil risiko itu. “Ketidakberanian para<br />
pemimpin pemerintahan dan negara untuk<br />
mengambil risiko dari pembaruan agraria<br />
itulah yang membuat hampir semua program<br />
pembaruan agraria itu macet. Bahkan Tap<br />
<strong>MPR</strong> juga praktis tidak ditindaklanjuti,”<br />
katanya.<br />
Hajriyanto menambahkan, setelah<br />
kemerdekaan, dengan alasan situasi yang<br />
masih kacau, pemerintahan Soekarno tidak<br />
menyelesaikan masalah agraria. Begitu pula<br />
ketika Orde Lama jatuh dan diganti Orde<br />
Baru, juga tidak ada penyelesaian soal<br />
agraria. Hal serupa diulang pada masa<br />
reformasi. “Tidak ada pemimpin pemerintahan<br />
yang berani untuk mepembaruan kepemilikan<br />
lahan. Kalau tidak ada yang berani, sampai<br />
kapan pun persoalan agraria akan terus<br />
muncul,” ujarnya.<br />
Dengan reforma agraria itu, penguasaan,<br />
kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan<br />
tanah harus dilakukan penataan, di mana<br />
basis dari penataan itu adalah mengutamakan<br />
kepemilikan rakyat. Artinya, rakyat<br />
harus mendapatkan bagian. “Tap <strong>MPR</strong> hanya<br />
memberikan aturan dasar yang makro.<br />
Intinya, pembaruan agraria mutlak harus<br />
dilakukan,” tegas Hajriyanto.<br />
Arif Budimanta mempertegas pendapat<br />
Hajriyanto. “Saya rasa kalau kita melihat<br />
berbagai konflik pertanahan yang ada, kita<br />
harus mengembalikan masalah pertanahan<br />
dalam konteks Pasal 33 UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945.<br />
Negara menguasai tanah dan mengalokasikan<br />
pengelolaan tanah tersebut dengan<br />
tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran<br />
rakyat,” katanya.<br />
Itulah tuntuan aksi demo besar-besaran<br />
yang meminta agar pengelolaan sumbersumber<br />
daya alam adalah untuk kemakmuran<br />
rakyat. Apakah bisa terealisasi? Inilah<br />
yang masih menjadi pertanyaan besar. ❏<br />
Budi Sucahyo, M. Budiono,<br />
Derry Irawan dan Ardi Winangun<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />
13
BE<strong>RI</strong>TA UTAMA<br />
Kebijakan Agraria dari Masa ke Masa<br />
Kebijakan agraria di Indonesia dari masa ke masa terkait dengan perubahan ekonomi dan politik<br />
serta prioritas pemerintah pada masa itu.<br />
PADA awal penjajahan Belanda, tanah<br />
tidak diatur secara sistematis. Barulah<br />
pada masa penjajah Inggris, tanah<br />
untuk pertama kali diatur. Penjajah Inggris di<br />
bawah Stamford Raffles (1811) membentuk<br />
Komisi McKenzie untuk menelaah masalah<br />
agraria dan merekomendasi cara untuk<br />
memaksimalkan penggunaan lahan. Komisi<br />
ini menetapkan bahwa seluruh tanah hanya<br />
dimiliki raja atau pemerintah.<br />
Ketika Belanda kembali menjajah<br />
menggantikan Inggris, pada 1830<br />
diperkenalkan Cultuurstelsel atau Tanam<br />
Paksa. Seperlima dari tanah petani harus<br />
menanam tanaman yang telah ditentukan<br />
pemerintah kolonial Belanda, antara lain:<br />
tembakau, tebu, teh, kopi dan berbagai<br />
tanaman untuk ekspor. Pada masa ini, pihak<br />
swasta Belanda memperjuangkan hak milik<br />
tanah pribumi (eigendom).<br />
Lalu, pada 1870 lahirlah Agrariche Wet<br />
yang mengatur tentang tanah hak milik mutlak<br />
(eigendom) bagi pribumi dan tanah negara.<br />
Masa ini sering disebut sebagai periode liberal<br />
(1870-1900). Sejak itu modal swasta<br />
Belanda dan Eropa masuk ke sektor<br />
perkebunan besar di Jawa dan Sumatera.<br />
Mereka menyewa tanah rakyat dengan skala<br />
tak terbatas. Pengelolaan liberal ini justru<br />
membuat petani hanya menjadi buruh tani,<br />
sementara raja-raja cenderung memberi<br />
konsesi lahan kepada pihak asing.<br />
Berlanjut pada masa penjajahan Jepang.<br />
Di masa penjajahan Jepang, banyak<br />
perkebunan besar terlantar. Ironisnya, petani<br />
malah diwajibkan membayar pajak hingga<br />
40% dari hasil produksi.<br />
Masa kemerdekaan<br />
Di awal kemerdekaan, pemerintahan<br />
Soekarno – Hatta sudah memberi perhatian<br />
pada masalah agraria. Pemerintah<br />
membentuk Panitia Agraria berdasarkan<br />
Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948.<br />
Panitia Agraria ini diketuai Sarimin<br />
Reksodihardjo. Tugasnya adalah memberi<br />
usulan dan pemikiran untuk membuat<br />
Undang-Undang Agraria menggantikan UU<br />
Kolonial. Inilah cikal bakal lahirnya UU No. 5<br />
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-<br />
Pokok Agraria yang sering disingkat UUPA.<br />
Lahirnya UUPA ini melalui proses yang<br />
panjang dengan berganti Panitia Agraria.<br />
Mulai dari Panitia Agraria Jogja (1948),<br />
kemudian Panitia Jakarta (1951), Panitia<br />
Soewahjo (1956), Rancangan Soenario<br />
(1958), sampai dengan Rancangan<br />
Sadjarwo (1960). Proses panjang ini tidak<br />
lepas dari persoalan negara baru yang<br />
menyesuaikan berbagai aturan. Di samping<br />
itu terjadi pula perdebatan filosofis dan<br />
teknis tentang arah UUPA. Namun, semua<br />
rancangan UUPA itu sudah meletakkan<br />
dasar-dasar keberpihakan pada rakyat dan<br />
petani.<br />
Setelah Pemilu 1955, Panitia Agraria di<br />
bawah Soewahjo Soemodilogo berhasil<br />
menyusun Rancangan Undang-Undang<br />
(RUU) Agraria Nasional yang intinya<br />
penghapusan asas domein (kolonial) diganti<br />
penguasaan oleh negara dan asas bahwa<br />
tanah dikerjakan oleh pemiliknya.<br />
Sayangnya, Panitia Soewahjo tidak sampai<br />
meneruskan RUU ke DPR.<br />
Baru pada masa Panitia Soenario,<br />
14 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA
tepatnya 24 April 1958, pemerintah<br />
menyampaikan RUU PA. Namun, Presiden<br />
Soekarno ketika itu meminta adanya<br />
pengkajian yang lebih mendalam dengan<br />
melibatkan Panitia ad hoc DPR, Universitas<br />
Gadjah Mada dan Departemen Agraria. Dari<br />
pengkajian itu akhirnya disusunlah naskah<br />
baru RUU PA pada 1959. Naskah ini<br />
disampaikan pada DPR GR sebagai<br />
Rancangan Sadjarwo pada 1 Agustus 1960.<br />
Pada 24 September 1960, RUU ini oleh DPR<br />
GR diundangkan sebagai UU No. 5 Tahun<br />
1960 atau dikenal juga dengan nama<br />
Undang-Undang Landreform.<br />
Dalam sidang Dewan Pertimbangan<br />
Agung pada 13 Januari 1960, Menteri Agraria<br />
Sadjarwo menyatakan ada tiga pekerjaan di<br />
bidang agraria. Pertama, perubahan UU<br />
Agraria Kolonial yang masih berdasar atas<br />
domein-beginsel dan penyusunan UU<br />
Agraria Nasional. Kedua, Land-reform yang<br />
artinya perubahan dasar struktur<br />
pertanahan. Ketiga, Land-use-planning atau<br />
perencanaan penggunaan tanah dalam<br />
rangka pembangunan semata.<br />
Menurut Sadjarwo, UUPA berlandaskan<br />
Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi dan air<br />
dikuasai oleh negara untuk sebesarbesarnya<br />
kemakmuran rakyat. Karena<br />
negara adalah penjelmaan rakyat, maka<br />
negara mempunyai hak untuk mengatur,<br />
membangun wilayah, untuk kepentingan<br />
rakyat dan negara agar tercapai masyarakat<br />
yang adil dan makmur.<br />
Mengingat UUPA hanya peraturanperaturan<br />
dasar dan mengenai hal-hal<br />
pokok, maka UU tersebut perlu dilengkapi<br />
dengan perangkat peraturan lanjutan. Maka<br />
lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti<br />
Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun<br />
1960 tentang Penetapan Luas Tanah<br />
Pertanian. Aturan ini secara populer dikenal<br />
sebagai Undang-Undang Landreform.<br />
Aturan ini memerintahkan kepada pemerintah<br />
untuk mengusahakan agar setiap keluarga<br />
petani memiliki minimal 2 hektar tanah.<br />
Gerakan Land-reform muncul karena tidak<br />
adanya keadilan sosial dalam masyarakat<br />
pertanian. Tanah dikuasai oleh tuan tanah<br />
(land-lords), sementara petani kecil dan<br />
petani tanpa tanah semakin banyak<br />
jumlahnya. Mereka menuntut tanah diberikan<br />
kepada petani. Seperti kata Sadjarwo, tujuan<br />
land-reform adalah untuk mengadakan<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
pembagian yang adil atas sumber<br />
penghidupan rakyat tani berupa tanah,<br />
dengan maksud ada pembagian hasil yang<br />
adil pula.<br />
Tidak dapat dipungkiri bahwa UUPA,<br />
seperti kata Presiden Soekarno, adalah<br />
tonggak untuk mengikis habis sisa-sisa<br />
imperialisme dalam lapangan pertanahan<br />
agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari<br />
berbagai macam penghisapan manusia atas<br />
manusia dengan alat tanah. Bahkan Bung<br />
Karno menyebut, “Land-reform adalah<br />
bagian mutlak dari Revolusi kita.”<br />
Pada 26 Agustus 1963, melalui Keputusan<br />
Presiden <strong>RI</strong> No. 169 Tahun 1963, tanggal 24<br />
September, tanggal lahirnya UUPA,<br />
ditetapkan sebagai Hari Tani. Sayangnya<br />
pada masa Orde Lama, UUPA ini tidak sempat<br />
dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.<br />
Masa Orde Baru dan Reformasi<br />
Begitu pula pada masa Orde Baru, terjadi<br />
perubahan haluan dan orientasi<br />
pembangunan. Prioritasnya adalah<br />
stabilisasi ekonomi, pembangunan basis<br />
industri, penciptaan lapangan kerja, dan<br />
yang tak kalah penting adalah swasembada<br />
pangan. UUPA tidak tersentuh dan masuk<br />
“kotak”.<br />
Namun, seiring dengan maraknya kasus<br />
sengketa tanah, Presiden Soeharto meminta<br />
Menteri Riset Prof. Soemitro Djojohadikusumo<br />
membentuk sebuah tim untuk mengkaji<br />
masalah pertanahan. Hasilnya, pada 1979,<br />
pemerintah mengukuhkan kembali UUPA 1960<br />
tetap sah sebagai panduan dasar<br />
menyelesaikan persoalan pertanahan.<br />
Pada 1981, pemerintah mencanangkan<br />
Proyek Nasional Agraria (Prona) bagi<br />
masyarakat ekononi lemah. Program<br />
sertifikasi cukup dirasakan manfaatnya oleh<br />
masyarakat. Namun, implementasi UUPA itu<br />
sendiri tidak pernah tercapai. Pemerintah<br />
Orde Baru terlanjur mengandalkan Revolusi<br />
Hijau dan Trilogi Pembangunan tanpa<br />
Reforma Agraria.<br />
Pasca Orde Baru, ada upaya untuk<br />
melaksanakan dan menyempurnakan UUPA<br />
dengan lahirnya Tap <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Nomor IX Tahun<br />
2001 tentang Pembaruan Agraria dan<br />
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tap ini lahir<br />
dari <strong>MPR</strong> hasil Pemilu pertama di era<br />
reformasi. Sehingga, seharusnya Tap itu<br />
merupakan produk reformasi yang sangat<br />
penting dan tidak boleh diabaikan.<br />
Sama seperti pemerintahan sebelumnya,<br />
pemerintahan pasca Orde Baru juga belum<br />
melaksanakan amanah Tap <strong>MPR</strong> itu.<br />
Pemerintahan pasca Orde Baru dapat<br />
dikatakan lalai dan abai dalam<br />
mengimplementasikan Tap <strong>MPR</strong> itu. Ini berarti<br />
seluruh pimpinan bangsa dan negara pasca<br />
Orde Baru telah melakukan kelalaian kolektif,<br />
sehingga Tap <strong>MPR</strong> itu tidak dilaksanakan<br />
dengan baik. Reformasi di bidang legislasi<br />
terkait agraria belum dilakukan.<br />
Pada pidato 31 Januari 2007 di Istana<br />
Negara, Presiden Susilo Bambang<br />
Yudhoyono pernah menegaskan bahwa<br />
pemerintah akan menempuh reforma agraria<br />
dengan prinsip tanah untuk keadilan dan<br />
kesejahteraan rakyat. Untuk itu, pemerintah<br />
(setelah lima tahun pernyataan Presiden<br />
SBY) akan mengeluarkan Rancangan<br />
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang<br />
Reforma Agraria. Menurut Kepala BPN, Joyo<br />
Winoto, RPP ini sudah matang, akan keluar<br />
pada Januari 2012 ini.<br />
Berdasarkan identifikasi BPN, terdapat 7,3<br />
juta hektar tanah terlantar di 33 provinsi di<br />
Indonesia. Tanah itu dikuasai lembaga dan<br />
perseorangan, tapi tidak digunakan sesuai<br />
dengan izin atau dibiarkan terlantar secara<br />
fisik. Tanah ini akan menjadi obyek program<br />
reforma agraria. Kini, saatnya untuk<br />
merealisasikan program reforma agraria<br />
yang signifikan untuk mewujudkan<br />
kesejahteraan rakyat. ❏<br />
BS<br />
15
BE<strong>RI</strong>TA UTAMA<br />
Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Harus Ada Penataan Kembali<br />
Sumber Daya Agraria Kita<br />
Lukman Hakim Saifuddin<br />
DI PENGHUJUNG 2011 dan awal 2012<br />
ini kita dihadapkan pada masalah<br />
agraria. Di Pelabuhan Sape,<br />
Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat<br />
(NTB), gara-gara lahan warga bentrok<br />
dengan Satuan Brigade Mobil (Brimob)<br />
Polda NTB. Sebelumnya, konflik agraria<br />
telah terjadi di Mesuji Lampung dan Mesuji<br />
Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.<br />
Kasus bentrokan warga karena<br />
persoalan lahan terus terjadi. Kasus<br />
sengketa tanah di Bima dan Mesuji<br />
hanyalah sebagian kecil dari gunung es<br />
konflik pertanahan di Indonesia. Konflik<br />
agraria juga ditemui di sejumlah daerah.<br />
Karena itu, memang sudah saatnya<br />
pemerintah melaksanakan pembaruan<br />
agraria sebagaimana diamanatkan UU<br />
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok<br />
Agraria dan Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001<br />
tentang Pembaruan Agraria dan<br />
Pengelolaan Sumber Daya Alam.<br />
Bukankah sesuai mandat Tap <strong>MPR</strong><br />
FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Nomor IX Tahun 2001, pemerintah wajib<br />
menjalankan pembaruan dan reformasi<br />
agraria? Untuk menjawab pertanyaan ini,<br />
pada Jumat 13 Januari 2012, Budi<br />
Sucahyo dan Derry Irawan dari Majelis<br />
mewawancarai Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Lukman<br />
Hakim Saifuddin di ruang kerjanya, lantai<br />
9, Nusantara III, Kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD.<br />
Berikut petikannya.<br />
Bagaimana Bapak melihat konflikkonflik<br />
agraria yang muncul<br />
belakangan ini dan demo besarbesaran<br />
menuntut pembaruan<br />
agraria?<br />
Memang, kasus-kasus atau konflik dan<br />
sengketa dengan berbagai macam coraknya<br />
yang bertumpu pada persoalan tanah atau<br />
agraria sebenarnya hanyalah sebuah<br />
fenomena puncak gunung es. Artinya, hanya<br />
satu dua kasus yang muncul ke permukaan.<br />
Tapi, sebenarnya, di bawah sudah banyak<br />
terjadi kasus agraria. Ini merupakan sesuatu<br />
yang laten dan sudah sangat lama. Jadi,<br />
kasus agraria dan demo besar-besaran<br />
yang kemarin itu adalah bentuk dari begitu<br />
kompleksnya persoalan pertanahan kita<br />
yang sudah ada sekian lama dan tidak<br />
diselesaikan secara menyeluruh.<br />
Itulah sebabnya dari sisi peraturan<br />
perundang-undangan, sejak 1960 sudah<br />
ada ketentuan tentang bagaimana negara,<br />
dalam hal ini pemerintah, mensikapi<br />
persoalan-persoalan yang terkait dengan<br />
tanah. Karena itu, sekaranglah momentum<br />
bagi pemerintah untuk benar-benar memberi<br />
perhatian yang maksimal dan optimal untuk<br />
mengurai persoalan pertanahan yang ada,<br />
kemudian memberikan solusinya secara<br />
komprehensif.<br />
Menurut Bapak, apakah konflikkonflik<br />
agraria yang belakangan ini<br />
muncul terencana atau spontan?<br />
Kalau menurut saya, konflik yang muncul<br />
itu spontanitas. Sebab, sebenarnya<br />
masyarakat dimana konflik itu terjadi sudah<br />
memendam persoalan agraria sejak lama.<br />
Mereka sudah merasakan keresahankeresahan<br />
sehingga dengan sebuah trigger<br />
atau satu dua buah pemicu, maka kemudian<br />
meledak.<br />
Apa sebenarnya akar masalah dari<br />
konflik agraria yang terjadi?<br />
Kalau mengacu pada UU Nomor 5 Tahun<br />
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok<br />
Agraria, kemudian diikuti dengan Perpu<br />
Nomor 56 juga di 1960, dan akhirnya<br />
mengapa <strong>MPR</strong> hasil reformasi ketika itu<br />
menerbitkan Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001,<br />
semuanya itu dikarenakan sejumlah<br />
ketentuan peraturan perundang-undangan<br />
yang ada di satu sisi dengan<br />
implementasinya di sisi lain itu tidak sinkron.<br />
Banyak sekali contoh yang menunjukkan<br />
bahwa hanya kelompok pemodal saja yang<br />
diuntungkan dengan sejumlah kebijakan yang<br />
terkait dengan pertanahan.<br />
Jadi sebenarnya kasus agraria<br />
sudah berlangsung lama dan sudah<br />
ada ketentuan peraturan perundangan,<br />
namun tidak bisa selesai?<br />
Ya, karena penanganannya tidak memihak<br />
kepada masyarakat. Itu poinnya. Sejumlah<br />
kebijakan yang lahir tidak mengacu pada<br />
ketentuan UU No. 5 Tahun 1960 tentang<br />
Pokok-Pokok Agraria dan Tap <strong>MPR</strong> Nomor<br />
IX Tahun 2001. Akhirnya muncul gejolak di<br />
16 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
tengah masyarakat karena rakyat merasa<br />
dirugikan dengan kebijakan pertanahan<br />
yang ada.<br />
Ketika <strong>MPR</strong> mengeluarkan Tap<br />
Nomor IX Tahun 2001, sebenarnya<br />
sudah melihat persoalan tanah dan<br />
bagai-mana mengatasinya?<br />
Ya. Ketika itu reformasi banyak sekali<br />
tuntutannya. Seperti menuntut perubahan<br />
konstitusi, penghapusan doktrin dwi fungsi<br />
AB<strong>RI</strong>, kebebasan pers, penghormatan<br />
terhadap HAM, termasuk juga yang tidak<br />
kalah pentingnya adalah pembaruan agraria.<br />
Pembaruan agraria adalah salah satu<br />
tuntutan reformasi. Itulah sebabnya <strong>MPR</strong><br />
hasil Pemilu 1999 kemudian melahirkan Tap<br />
Nomor IX Tahun 2001. Itulah Tap <strong>MPR</strong> yang<br />
lahir untuk mengakomodasi tuntutan<br />
reformasi.<br />
Saya ingin jelaskan tentang Tap <strong>MPR</strong><br />
Nomor IX Tahun 2001. Intinya Tap itu bicara<br />
tentang pembaruan agraria, yaitu penataan<br />
kembali. Apa yang ditata? Yang ditata adalah<br />
sumber daya agraria kita. Tap itu ingin<br />
menegaskan bahwa hal-hal yang terkait<br />
dengan penguasaan, pemilikan,<br />
penggunaan, dan termasuk di dalamnya<br />
pemanfaatan dari sumber daya agraria ini<br />
direformasi kembali. Jadi, reformasi itu<br />
menyangkut bagaimana pengaturan<br />
penguasaannya, pemilikannya, penggunaannya<br />
dan pemanfaatannya.<br />
Nah, semua itu harus dengan memperhatikan<br />
prinsip-prinsip dasarnya, yaitu:<br />
keutuhan NK<strong>RI</strong>, penghormatan terhadap<br />
HAM, memperhatikan ekosistem, lingkungan,<br />
kesejahteraan, juga desentralisasi.<br />
Poin-poin itu, termasuk arah kebijakannya,<br />
sudah ada dalam pasal-pasal Tap <strong>MPR</strong><br />
Nomor IX Tahun 2001.<br />
Tampaknya Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001<br />
itu belum secara menyeluruh ditindaklanjuti.<br />
Saya melihat, sebenarnya ini semua adalah<br />
kesalahan kolektif kita. Ini tidak melulu atau<br />
semata kesalahan pemerintahan SBY,<br />
karena sejak dulu sampai sekarang telah<br />
berganti pemerintahan, yaitu pemerintahan<br />
Soeharto, BJ. Habibie, KH Abdurrahman<br />
Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Kalau<br />
kita mau jujur ini merupakan kesalahan kita<br />
bersama. Karena itu, kita tidak perlu melihat<br />
ke belakang atau saling menyalahkan.<br />
Sebaliknya kita menatap ke depan. <strong>MPR</strong> akan<br />
mengajak kita semua untuk melihat ke depan<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
dengan cara menata kembali agraria itu.<br />
Mengapa sampai sekarang tidak ada<br />
tindak lanjut dari Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX<br />
Tahun 2001 itu?<br />
Ya, saya khawatir, seperti disinyalir<br />
banyak kalangan, ada kekuatan kelompok<br />
pemodal yang luar biasa sehingga<br />
pemerintah “dipaksa” lebih berpihak kepada<br />
mereka. Mungkin juga ada pertimbangan lain<br />
karena keberpihakan itu untuk membuat<br />
dunia investasi lebih nyaman. Tapi kemudian,<br />
karena terlalu mementingkan kelompok itu,<br />
maka ada kepentingan lain yang dikorbankan.<br />
Akibatnya, muncul kasus seperti di Mesuji,<br />
Bima, Freeport, dan banyak lagi lainnya.<br />
Konflik atau sengketa terjadi antara<br />
perusahaan yang mengelola lahan-lahan itu<br />
dengan para penduduk setempat.<br />
Lalu, ke depan harus bagaimana?<br />
Harus ada penataan kembali terhadap<br />
sumber daya agraria kita. Penataan itu<br />
terkait dengan penguasaan, pemilikan,<br />
penggunaan dan pemanfaatan dari lahanlahan<br />
yang ada. Penataan kembali itu harus<br />
bertumpu pada peraturan perundangan<br />
yang ada. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang<br />
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria<br />
harus menjadi tulang punggung dari<br />
kegiatan penataan kembali itu. Termasuk<br />
juga Perpu Nomor 56 Tahun 1960 tentang<br />
Penetapan Luas Tanah Pertanian yang<br />
dikenal dengan landreform. Dulu, dengan<br />
Perpu itu, secara eksplisit dinyatakan<br />
bahwa setiap keluarga petani minimal<br />
memiliki dua hektar tanah.<br />
Itu menunjukkan betapa para pendahulu<br />
kita sesungguhnya telah memiliki kesadaran<br />
yang tinggi bahwa lahan-lahan yang ada<br />
harus betul-betul diperuntukkan dan demi<br />
kemaslahatan masyarakat luas. Ini yang<br />
sampai sekarang tidak pernah direalisasikan.<br />
Jadi, kedua peraturan perundangan ini, yaitu<br />
UU Nomor 5 Tahun 1960 dan Perpu Nomor<br />
56 Tahun 1960 sebenarnya sudah sangat<br />
baik. Hanya sekarang kita perlu<br />
mensinkronkan sejumlah UU yang terkait<br />
agraria dengan kedua peraturan<br />
perundangan itu.<br />
Karena itu saya mendukung sekali adanya<br />
rencana DPR untuk membentuk Pansus<br />
Sengketa Agraria. Pansus itu dimaksudkan<br />
untuk mensinkronkan antara UU Pokok-<br />
Pokok Agraria dengan sejumlah UU yang<br />
terkait dengan agraria. Banyak sekali UU<br />
yang terkait dengan agraria, seperti UU No.<br />
41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 18/2003<br />
tentang Perkebunan, UU No. 7/2004 tentang<br />
Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 tentang<br />
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau<br />
Kecil, dan UU No. 4/2009 tentang Mineral<br />
dan Batu-bara. Sehingga masing-masing UU<br />
tidak jalan sendiri-sendiri atau bahkan saling<br />
menegasikan, tetapi semuanya mengacu<br />
pada UU Pokok-Pokok Agraria. ❏<br />
17
TB. Soenmandjaja Roekmandis<br />
Ketua Fraksi PKS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Anggota Dewan<br />
‘Doyan’ Naik Transportasi Umum<br />
Sudah menjadi hal yang lumrah, segala tindak tanduk dan tingkah laku anggota dewan yang<br />
terhormat menjadi sorotan publik. Mulai dari soal anggota dewan yang hedonis, sampai ke hal-hal<br />
sekecil apa pun. Tapi, di tengah kritikan terhadap anggota dewan itu, masih ada anggota dewan<br />
tampil bersahaja. Salah seorang diantaranya Soenmandjaja Roekmandis.<br />
FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
PAGI itu, hari Selasa ( 17/1 ), TB.Soenmandjaja Roekmandisakrab<br />
disapa Sunman- anggota DPR <strong>RI</strong> Fraksi Partai Keadilan<br />
Sejahtera ( PKS ) tengah bersiap-siap berangkat tugas ke<br />
Gedung Parlemen, seperti biasanya. Seperti lazimnya pula, ia<br />
memanggil tukang ojek langganannya yang biasa mengantarnya ke<br />
stasiun Kereta Rel Listrik ( KRL ) Bogor.<br />
Tiba-tiba dering handphone yang terdapat di saku celananya<br />
berbunyi. Seorang koleganya mengabarkan bahwa telah terjadi<br />
bencana tanah longsor yang menimpa salah satu Kecamatan di<br />
Kabupaten Bogor. Sunman terdiam sejenak, dan kemudian ia<br />
memutuskan, membatalkan langkahnya ke gedung parlemen, dan ia<br />
langsung berbalik arah menuju daerah bencana, seperti yang<br />
dikabarkan koleganya tadi, yakni di Kecamatan Sukajaya.<br />
Lokasi bencana longsor ternyata sangat jauh, daerah tersebut<br />
adalah daerah terujung di kawasan Bogor Barat, berbatasan dengan<br />
Provinsi Banten. Sesampainya di daerah bencana, Sunman bersama<br />
pemerintah daerah, perwakilan Kementerian Sosial mendatangi para<br />
korban bencana longsor yang sepertinya masih shock akibat<br />
bencana yang baru saja dialaminya.<br />
“Kerusakannya lumayan parah. Puluhan rumah rusak berat, tapi<br />
Alhamdulillah tidak ada korban jiwa, dan para korban hanya<br />
mengalami goncangan psikologis pasca bencana,” ujarnya kepada<br />
Majelis.<br />
Sunman dan pemerintah daerah serta Kementerian Sosial bahu<br />
membahu melakukan koordinasi menghadapi kondisi tanggap darurat<br />
bencana. Tindakan pertama yang dilakukan menyiapkan lahan untuk<br />
pengungsian sementara, serta menyiapkan tenda, dapur umum<br />
berikut bahan-bahan makanan, seperti mi instan, dan juga klinik<br />
kesehatan sementara.<br />
“Alhamdulillah, tanggap darurat sudah berjalan. Memang daerah<br />
ini sangat rawan bencana longsor, karena kontur tanahnya yang<br />
labil, apalagi curah hujan beberapa hari ini kan sangat tinggi. Kami<br />
berpikir untuk melakukan relokasi ke wilayah yang lebih aman,”<br />
paparnya.<br />
Seharian penuh, Sunman berada di lokasi bencana. Menjelang<br />
malam, Sunman memutuskan pulang kembali ke rumahnya yang masih<br />
di wilayah Kabupaten Bogor. Di tengah perjalanan menuju rumah,<br />
Sunman berkisah tentang kebiasaannya memakai moda transportasi<br />
darat, yakni KRL Jabodetabek yang menjadi primadona rakyat, namun<br />
sering membuat rakyat kesal.<br />
“Saya biasa naik KRL Jabodetabek kalau berangkat ke gedung<br />
parlemen. Saya berangkat pagi sekitar jam 05.30 WIB. Dari rumah<br />
untuk jarak tempuh sekitar 400 meter naik ojek, lalu sambung naik<br />
angkot ke stasiun kereta Bogor. Begitu tiba di Stasiun Karet Jakarta,<br />
saya turun kemudian melanjutkan perjalanan dengan menumpang<br />
Metromini yang rutenya lewat gedung parlemen, paling lama makan<br />
waktu sekitar dua atau tiga jam,” paparnya.<br />
Sunman mengaku, ia naik KRL dengan pertimbangan rasional.<br />
Selain karena cepat, aman dan ekonomis daripada memakai<br />
kendaraan pribadi, yang paling ia sukai adalah membaur dengan<br />
rakyat. Dengan cara itu, sebagai wakil rakyat, ia bisa melihat langsung<br />
segala kejadian dan masalah yang dialami rakyat.<br />
“Saya melihat dan merasakan sendiri, ternyata perjuangan rakyat<br />
yang memakai KRL sangat tidak mudah. Saya merasakan sumpek,<br />
panas, gerah. Bergelantungan di dalam gerbong, dan saya pun<br />
sudah biasa dengan kondisi itu. Saya menyiapkan baju ganti, karena<br />
sampai kantor pasti baju saya basah semua oleh keringat. Ingat,<br />
rakyat mengalami ini setiap harinya,” ceritanya.<br />
Yang paling menyenangkan adalah tingkat sosialisasinya yang<br />
sangat tinggi. Sunman sering bincang-bincang dengan berbagai<br />
macam tipe, karakter, suku, profesi, mulai dari tukang asongan,<br />
18 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
Soenmandjaja Roekmandis<br />
penjual buah sampai pekerja kantoran biasa.<br />
“Di KRL saya sering bertemu kawan lama<br />
juga loh. Jadi, kebiasaan saya naik KRL ini<br />
tidak ada hubungannya dengan karakter.<br />
Karena saya anggota dewan maka untuk<br />
menjaga menjaga imej atau jaim lalu saya<br />
malu menggunakan moda transportasi<br />
rakyat. Tidaklah. Itu semua karena<br />
pertimbangan rasionalitas saja dan memang<br />
saya suka itu saja,” terangnya.<br />
Kebiasaan Sunman yang doyan memakai<br />
sarana transportasi massal persis sama<br />
dengan yang dilakukan seorang pejabat<br />
pemerintahan, yakni Menteri ESDM Dahlan<br />
Iskan yang juga suka membaur bersama<br />
rakyat memakai KRL dan ojek motor,<br />
walaupun itu tak dilakukan setiap hari. Apa<br />
yang dilakukan Sunman ini minimal bisa<br />
membuat rakyat respek, ternyata masih ada<br />
pemimpinnya yang tidak begitu menjaga jarak<br />
dengan rakyat kecil.<br />
Rujukan Nabi Muhammad<br />
Jatuh bangun dalam hidup dan menapak<br />
karir membuat pria yang dilahirkan di<br />
Sukabumi, Jawa Barat, 29 September 1957,<br />
ini mampu beradaptasi, namun tetap dalam<br />
koridor idealisme dengan lingkungan<br />
kerjanya saat ini.<br />
Keinginan dan cita-cita semasa kecil<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
Sunman adalah mengikuti jejak sang ayah<br />
sebagai seorang tentara. Karena orang<br />
tuanya tak mengizinkan menjadi tentara,<br />
Sunman pun mengurungkan niatnya itu.<br />
Ternyata kemudian, Sunman mengalami<br />
pengalaman pahit dengan dunia militer yang<br />
sebelumnya ia dambakan itu.<br />
Ceritanya, saat itu ia kuliah di Universitas<br />
Ibnu Khaldum (UIKA) Bogor. Waktu itu, 1978,<br />
ia aktif di Dewan Mahasiswa UIKA, dan aktif<br />
dalam gerakan demontrasi yang saat itu<br />
sedang gencar-gencarnya. Singkat cerita,<br />
Sunman ditangkap, ia dinilai oleh penguasa<br />
militer waktu itu terlalu ekstrim.<br />
Selama tiga bulan Suman mendekam<br />
dalam tahanan di Korem 061 Suryakencana<br />
Bogor. Ia dijebloskan di dalam sel yang<br />
sempit, dan harus menjalani interogasi<br />
dengan penyiksaan fisik yang sangat luar<br />
biasa menyakitkan. Setelah tiga bulan di sel<br />
tahanan, kemudian status penahanannya<br />
diubah menjadi tahanan rumah,<br />
konsekwensinya ia wajib lapor setiap pagi<br />
ke Markas Korem. Dan, ia pun dicekal,<br />
selama sepuluh tahun tidak bisa memiliki<br />
paspor sampai 1988.<br />
Setelah kejadian itu, Sunmanpun tidak<br />
tertarik lagi terjun ke politik. Ia merasa lebih<br />
nyaman menjalani profesi sebagai tenaga<br />
pendidik alias guru. Sebagai pendidik, ia<br />
mengawali karir di sebuah SMP di kota Bogor.<br />
Dalam perjalanan selanjutnya, ia diangkat<br />
menjadi asisten dosen, dan aktif sebagai<br />
seorang da’i, melakukan ceramah-ceramah<br />
agama dan kegiatan dakwah Islam.<br />
Tiba-tiba, konstelasi politik Indonesia<br />
berubah drastis pada 1998. Era Orde Baru<br />
berakhir, dan mulai memasuki Era Reformasi.<br />
Di era ini, kebebasan berorganisasi dan<br />
berpolitik terbuka lebar. Nah, Sunman dan<br />
beberapa rekannya menambah peluang itu.<br />
Tepat 20 Juli 1998 mereka men-deklarasikan<br />
berdirinya Partai Keadilan ( PK ). Sunman<br />
langsung dipercaya memegang jabatan Ketua<br />
DPW Jawa Barat.<br />
Menurutnya, pada awal mula mendirikan<br />
partai tujuannya tidak semata-mata untuk<br />
ikut terjun ke politik atau pemilu, tapi lebih<br />
kepada aktualisasi politik setelah<br />
mempelajari dan mendalami semua parpol<br />
yang ada waktu itu.<br />
Pada 1999, PK memutuskan ikut pemilu, dan<br />
berhasil meraih beberapa kursi di DPR <strong>RI</strong>,<br />
termasuk Sunman. Waktu itu, sebagai anggota<br />
DPR <strong>RI</strong> periode 1999-2004, Sunman mewakili<br />
daerah pemilihan (dapil) Kabupaten Bogor.<br />
Awalnya, ia ditempatkan di Komisi I lalu pindah<br />
ke Komisi II, dan terakhir di Komisi IX.<br />
Perjalanan PK ternyata tidak berjalan<br />
mulus. Untuk menjadi Pemilu berikutnya, PK<br />
terganjal UU Pemilu No.III Tahun 1999 tentang<br />
syarat berlakunya batas minimum<br />
keikutsertaan parpol ( electoral threshold )<br />
2%. Lalu, pada 2003, PK berubah nama<br />
menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).<br />
Pada pemilu 2009, Sunman terpilih kembali<br />
sebagai anggota DPR <strong>RI</strong> periode 2009-2014<br />
dari dapil yang sama. Kali ini, ia ditempatkan<br />
di Komisi III ( Hukum dan HAM ). Pada periode<br />
ini juga, Sunman dipercaya menjabat<br />
sebagai Ketua Fraksi PKS di <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>. Ia<br />
terlibat, baik langsung maupun tidak<br />
langsung, dalam proses pengambilan<br />
keputusan di <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, khususnya dalam<br />
perubahan atau amandemen konstitusi dan<br />
TAP <strong>MPR</strong>.<br />
Ia juga berperan besar dalam tugas <strong>MPR</strong><br />
<strong>RI</strong> melakukan sosialisasi 4 Pilar berbangsa<br />
( Pancasila, UUD N<strong>RI</strong> 1945, NK<strong>RI</strong>, Bhinneka<br />
Tunggal Ika ) sampai saat ini.<br />
“Dalam menjalani hidup dan karir, saya<br />
mengagumi banyak orang. Mulai dari orang<br />
tua saya sendiri sampai tokoh-tokoh penting<br />
sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang.<br />
Tapi sebagai muslim, yang ideal, saya<br />
idolakan adalah Nabi Besar Muhammad<br />
SAW. Beliau adalah rujukan utama saya,”<br />
tandasnya. ❏<br />
Derry Irawan<br />
19
NASIONAL<br />
Masih Berkutat Seputar Pengisian<br />
RUU Keistimewaan Jogjakarta<br />
Jabatan<br />
Dua pendekatan pengisian jabatan kepala daerah dalam RUU Keistimewaan Jogjakarta yaitu<br />
pengisian melalui penetapan dan melalui pemilihan. Di luar itu ada pendekatan kombinasi,<br />
yaitu pengisian melalui penetapan selama sekian tahun, setelah itu melalui pemilihan.<br />
SELASA, 27 September 2011, Presiden Susilo Bambang<br />
Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Menteri Dalam<br />
Negeri Gamawan Fauzi terlibat dalam diskusi di Istana Negara.<br />
Kala itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Jogjakarta<br />
masih dibahas antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat<br />
(DPR). Sementara, masa jabatan Sri Sultan Hamengkubuwono X<br />
sebagai Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta akan segera berakhir.<br />
Akhirnya dicapai kesepakatan. Masa jabatan Sri Sultan sebagai<br />
Gubernur DIY diperpanjang selama satu tahun. “Kita<br />
mencoba diskusi dengan bapak Presiden, dan<br />
Mendagri karena RUU Keistimewaan<br />
Jogjakarta belum selesai, sedangkan<br />
jabatan gubernur mau selesai.<br />
Sehingga saya sepakat menerima<br />
perpanjangan. Tapi tidak dua tahun,<br />
hanya satu tahun,” kata Sri Sultan.<br />
Dengan perpanjangan selama<br />
satu tahun, Sultan berharap<br />
pemerintah dan DPR punya kemauan<br />
kuat untuk menyelesaikan RUU<br />
Keistimewaan Jogjakarta secepat<br />
mungkin. “Ya harus kerja keras untuk selesai.<br />
Harus selesai satu tahun,” katanya. Sebelumnya,<br />
masa jabatan Sri Sultan Hamengkubuwono X<br />
sebagai Gubernur DI Jogjakarta sudah dua kali diperpanjang.<br />
Presiden SBY resmi menandatangani Keputusan Presiden<br />
(Keppres) tentang perpanjangan masa jabatan Gubernur DI<br />
Jogjakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Wakil Gubernur DIY<br />
KGPAA Paku Alam IX. Masa jabatan keduanya diperpanjang satu<br />
tahun terhitung sejak 9 Oktober 2011.<br />
Pembahasan RUU Keistimewaan Jogjakarta memang berlarut-larut.<br />
Selama hampir dua periode, DPR tidak juga berhasil menuntaskan<br />
pembahasan RUU tersebut. Pada DPR periode 2004-2009,<br />
pembahasan RUU itu hanya menyisakan satu pasal, yaitu pasal<br />
yang terkait dengan mekanisme pengisian posisi kepala daerah<br />
(gubernur dan wakil gubernur). Hanya satu pasal itu yang belum<br />
mendapat persetujuan dari pemerintah.<br />
Sampai akhir 2011, Panitia Kerja (Panja) RUU Keistimewaan<br />
Jogjakarta Komisi II DPR <strong>RI</strong> masih membahas hasil kajian pemerintah<br />
tentang perumusan pengisian jabatan kepala daerah. Menurut<br />
Pimpinan Panja RUU Keistimewaan Jogjakarta Komisi II DPR <strong>RI</strong>, Hakam<br />
Naja, hingga saat ini materi RUU Keistimewaan Jogjakarta sudah<br />
selesai 67%.<br />
Hakam Naja menjelaskan, saat ini pola penyelesaian RUU dengan<br />
menggunakan pendekatan kluster bukan pasal per pasal atau ayat<br />
per ayat. Kluster pertama adalah terkait dengan pengisian jabatan<br />
kepala daerah. “Sebelumnya, istilahnya penetapan atau pemilihan.<br />
Kita ganti menjadi pengisian jabatan,” kata politisi Partai Amanat<br />
Nasional (PAN) itu.<br />
“Setelah kita bahas, memang ada dua<br />
pendekatan. Ada yang pengisiannya melalui<br />
penetapan, dan ada yang pengisian melalui<br />
pemilihan. Di luar dua pendekatan itu, ada<br />
yang gabungan. Pengisian melalui<br />
penetapan selama sekian tahun,<br />
setelah itu pengisian melalui<br />
pemilihan,” tambahnya.<br />
Dalam kluster pengisian jabatan ini<br />
masih banyak variannya. Dari sembilan<br />
opsi, kemudian dikerucutkan menjadi lima<br />
opsi, lalu dipersempit lagi menjadi empat<br />
opsi. “Pembahasannya memang sangat<br />
mendalam karena kluster ini adalah salah satu<br />
yang krusial,” ujarnya kepada Majelis.<br />
Kluster kedua adalah soal pertanahan, menyangkut Sultan Ground<br />
(SG) dan Paku Alam Ground (PAG). Yaitu tanah-tanah yang selama<br />
ini menjadi bagian dari Kraton dan Paku Alam. RUU ini harus<br />
disinkronkan dengan UU Pokok Agraria sehingga status kepemilikan<br />
tanah Sultan dan Paku Alam menjadi jelas. Dalam RUU harus diatur<br />
apakah Kesultanan dan Paku Alaman menjadi badan hukum atau<br />
tidak.<br />
Hal ini, kata Hakam, menjadi penting untuk meluruskan batasan<br />
tanah milik Kesultanan, tanah yang sudah beralih kepemilikan, tanah<br />
yang selama ini sudah dipakai instansi lain agar di kemudian hari<br />
tidak menimbulkan masalah. “Seperti UGM misalnya atau tanah untuk<br />
instansi. Ini harus jelas. Jangan digantung karena kebaikan hati<br />
Keraton. Tidak boleh begitu. Masalah pertanahan ini tidak sederhana,”<br />
ungkap Hakam.<br />
Dalam soal pengisian jabatan kepala daerah, tambah Hakam,<br />
sebagian fraksi di Komisi II menghendaki penetapan, sebagian lagi<br />
20 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
Sri Sultan Hamengkubuwono X, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono<br />
menghendaki pemilihan. “Akhirnya kita coba<br />
apakah bisa dengan kombinasi. Jadi, sekian<br />
tahun dengan penetapan, kemudian<br />
selanjutnya pemilihan. Pemilihan pun ada<br />
variannya. Ada yang menghendaki pemilihan<br />
semi terbuka, ada juga pemilihan terbuka.<br />
Artinya, pemilihan dibatasi hanya calon dari<br />
kalangan keluarga Keraton saja atau<br />
melibatkan calon dari masyarakat. Jadi,<br />
varian atau opsinya masih banyak,”<br />
paparnya.<br />
Sementara itu, Muhammad Afnan<br />
Hadikusumo, anggota DPD dari Daerah<br />
Istimewa Jogjakarta berpendapat, dengan<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
RUU Keistimewaan Jogjakarta ini pemerintah<br />
tampaknya ingin memberlakukan demokrasi<br />
liberal. Karena itu, sebagian masyarakat<br />
Jogjakarta menganggap RUU itu bertentangan<br />
dengan semangat penggabungan<br />
Jogjakarta ke Negara Kesatuan Republik Indonesia<br />
(NK<strong>RI</strong>).<br />
“RUU ini seharusnya tidak boleh lepas dari<br />
sisi historisnya. Peran dan jasa Sultan<br />
Hamengku Buwono IX kepada NK<strong>RI</strong> sangat<br />
besar. Seharusnya pemerintah mengakomodir<br />
tuntutan masyarakat untuk<br />
pengisian jabatan kepala daerah yang tidak<br />
melalui pemilihan, melainkan penetapan. Inilah<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />
Hakam Naja Muhammad Afnan Hadikusumo<br />
letak keistimewaan Jogjakarta. Kalau sama<br />
dengan yang lain, dimana letak keistimewaannya?<br />
Tidak ada,” kata Afnan<br />
Hadikusumo kepada Majelis.<br />
Sebenarnya DPD sudah menyampaikan<br />
masukan ke DPR sesuai dengan UU No. 27<br />
Tahun 2009 tentang <strong>MPR</strong>, DPR, DPD, dan<br />
DPRD. “Intinya kita menyampaikan pengisian<br />
jabatan kepala daerah dan wakil kepala<br />
daerah melalui penetapan. Kita menyayangkan<br />
masukan dari DPD dianggap sebagai<br />
masukan warga masyarakat yang lain. DPD<br />
berbeda dengan masyarakat umum. Kita<br />
sama-sama lembaga negara. Semestinya<br />
masukan DPD menjadi bahan pertimbangan,<br />
ya hargailah DPD,” katanya.<br />
Berkaitan dengan RUU Keistimewaan<br />
Jogjakarta ini, Afnan Hadikusumo menyampaikan<br />
tiga hal. Pertama, RUU Keistimewaan<br />
Jogjakarta ini muaranya kembali pada<br />
kesejahteraan rakyat. “Sepanjang bisa<br />
mensejahterakan masyarakat, saya kira tidak<br />
ada persoalan,” ujarnya.<br />
Kedua, pemerintah seharusnya mengakomodir<br />
keinginan masyarakat Jogjakarta.<br />
Sebab, ujung-ujungnya yang merasakan<br />
adalah masyarakat Jogjakarta, bukan<br />
pemerintah yang ada di Jakarta. Seharusnya<br />
pemerintah dan DPR memerhatikan kepentingan<br />
masyarakat yang nanti akan<br />
merasakan dampak langsung dari RUU<br />
Keistimewaan Jogjakarta ini.<br />
Ketiga, pemerintah seharusnya tidak<br />
hanya mengadopsi model demokrasi Barat<br />
secara utuh, karena belum tentu cocok<br />
dengan budaya di suatu daerah. “Pemerintah<br />
jangan menerapkan model demokrasi dari<br />
luar. Demokrasi boleh tapi disesuaikan<br />
dengan budaya lokal,” ujarnya. Sekarang<br />
justru terjadi persoalan, pemilihan kepala<br />
daerah menimbulkan konflik horizontal. Selain<br />
itu, pemilihan tidak menjamin kepala daerah<br />
lebih clean. Buktinya, hampir 50% kepala<br />
daerah hasil pemilihan terjerat kasus korupsi.<br />
Baik Hakam Naja maupun Afnan<br />
Hadikusumo berharap sebelum masa jabatan<br />
Sri Sultan Hamengku Buwono X berakhir<br />
pada Oktober 2012, RUU Keistimewaan<br />
Jogjakarta ini sudah bisa disahkan. “Harapan<br />
kita sebelum Oktober 2012, Insya Allah kita<br />
upayakan selesai,” ujar Hakam Naja.<br />
Seandainya meleset dari batas waktu<br />
Oktober 2012? Maka, menurut Afnan<br />
Hadikusumo, akan berlaku UU tentang<br />
Pemerintahan Daerah. “Gubernur nanti<br />
dijabat Plt Gubernur, yaitu Wakil Gubernur.<br />
Kalau Wakil Gubernur tidak berkenan, maka<br />
akan di-drop dari Pusat,” katanya. ❏<br />
BS<br />
21
NASIONAL<br />
Press Gathering Jogjakarta<br />
Memahami Etika Kehidupan Berbangsa<br />
Peran etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat penting.Etika<br />
sangat menentukan maju tidaknya suatu bangsa.<br />
KETUA Mahkamah Konstitusi Mahfud MD<br />
dalam satu kesempatan pernah<br />
mengatakan bahwa persoalan etika<br />
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara<br />
di Indonesia menjadi masalah yang sangat<br />
besar pasca reformasi sampai saat ini,<br />
terutama etika berpolitik dan pemerintahan.<br />
Mahfud melihat dalam implementasi etika<br />
berbangsa seperti yang disebutkan dalam<br />
TAP <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> No VI Tahun 2001 tentang Etika<br />
Kehidupan Berbangsa Bab III yang menyebutkan,<br />
pemerintahan harus melayani dengan<br />
tanggap, jujur dan siap mundur apabila keluar<br />
dari kaidah dan sistem nilai. Siap mundur<br />
inilah yang menjadi masalah saat ini.<br />
Apa yang disampikan oleh Mahfud ini<br />
memang sudah jamak adanya. Tidak sedikit<br />
pejabat dan politisi dalam menjalankan<br />
fungsinya tidak beretika. Buktinya, banyak<br />
yang menjadi tersangka korupsi dan menyelewengkan<br />
jabatan. Namun, mereka<br />
selalu mencari alasan pembenar. Dan, yang<br />
paling menjadi tren, mereka selalu menganggungkan<br />
asas praduga tak bersalah.<br />
Mengingat pentingnya etika berbangsa ini<br />
maka <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> mengangkat masalah ini menjadi<br />
topik bahasan dalam diskusi di Hotel Saphir,<br />
Jogjakarta, 10 Desember 2011. Diskusi<br />
sebagai salah satu acara dalam Press Gathering<br />
Pimpinan dan Anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> dengan<br />
kelompok wartawan Parlemen itu menampilkan<br />
Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Hajriyanto<br />
Y.Thohari, serta anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Martin<br />
Hutabarat ( F-Gerindra ) dan Erik Satrya<br />
Wardhana ( F-Hanura ) sebagai pembicara.<br />
Dalam pandangan Hajriyanto, yang<br />
disebut etika itu bisa secara tegas memisahkan<br />
mana yang benar mana yang salah,<br />
mana kejujuran mana penyelewengan, mana<br />
korupsi mana kontribusi dan komisi. “Cuma<br />
di negara kita ini, pengertian etika sering<br />
terdistorsi menjadi sekedar sopan santun<br />
saja,” ungkap Hajriyanto .<br />
Hajriyanto menunjuk contoh, kalau orang<br />
omongnya halus, menyampaikan kata kata<br />
dengan terukur, kalau berjalan di depan orang<br />
yang lebih tua merunduk-runduk, sangat<br />
baik, dermawan menyumbang masjid atau<br />
gereja, itu disebut etika yang baik. “Padahal<br />
belum tentu. Bisa saja dia bertolak belakang<br />
sifatnya. Psikopat misalnya, atau malah dia<br />
adalah koruptor sejati,” ujarnya.<br />
Kesadaran akan pentingnya etika dan<br />
sekaligus pengakuan bahwa kita mengalami<br />
FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
kemunduran etika, lanjut Hajryianto, untuk<br />
pertama kalinya dituangkan di dalam TAP<br />
<strong>MPR</strong> No.VI Tahun 2001 tentang Etika<br />
Kehidupan Berbangsa. Kemunculan TAP<br />
tersebut diawali dengan berbagai situasi<br />
dan kondisi dalam kehidupan berbangsa dan<br />
bernegara yang terus dipantau <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> dari<br />
awal mula reformasi sampai tahun 2001.<br />
Dalam konsideran disebutkan bahwa etika<br />
kehidupan berbangsa mengalami kemunduran<br />
yang mengakibatkan kemerosotan<br />
multidimensi. Artinya, kemunduran etika<br />
berbangsa itu diakui secara eksplisit dalam<br />
sebuah dokumen resmi negara. Ini yang<br />
seharusnya diperhatikan seluruh anak<br />
bangsa.<br />
“Namun sangat disayangkan, saya melihat<br />
sampai dengan hari ini situasi etika kehidupan<br />
berbangsa belum banyak berubah. Malah,<br />
akhir-akhir ini kita melihat proses regenerasi<br />
penyelewengan etika, seperti teroris dan<br />
koruptor, masih trerus berlanjut. Bahkan<br />
berjalan lancar saja,” ujar Hajriyanto.<br />
Dalam kasus terorisme, menurut<br />
Hajriyanto, para “pengantin” atau pelaku<br />
bom bunuh diri usianya masih sangat mudamuda.<br />
Lalu, dalam kasus korupsi yang<br />
22 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
Martin Hutabarat<br />
terjerat banyak kalangan politisi, atau pun<br />
kasus rekening gendut yang melibatkan para<br />
PNS (Pegawai Negeri Sipil) muda.<br />
Menurutu Hajriyanto, hal tersebut terjadi<br />
karena kaderisasi dan regenerasi koruptor<br />
memang ada persemaian hingga tumbuh<br />
subur. Pupuk yang menyuburkan kaderisasi<br />
dan regenerasi koruptor ini berasal dari<br />
sikap permisif yang tinggi dari kalangan<br />
pejabat yang tidak melakukan korupsi dan<br />
juga dari masyarakat.<br />
“Saya masih percaya bahwa mereka<br />
yang tidak korup masih lebih banyak daripada<br />
yang korup, tapi yang tidak korup ini<br />
mempunyai kecenderungan untuk permisif<br />
yang tinggi, artinya bisa menerima dalam<br />
perkawanan, pergaulan dengan para<br />
koruptor. Yang penting bagi mereka tidak<br />
Erik Satrya Wardhana<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
melakukan korupsi, biar saja yang lain korup.<br />
Publik atau masyarakat juga seringkali tidak<br />
perduli,” pungkasnya.<br />
Menurut Hajriyanto, inilah potret kehidupan<br />
etika berbangsa di Indonesia. Kaderisasi<br />
korupsi itu sangat cepat dan sepertinya<br />
mengikuti deret ukur. Sementara<br />
pemberantasan korupsi yang digalakkan KPK<br />
itu berjalan hanya menurut deret hitung. Jadi<br />
sangat timpang.<br />
“Saya harap semua menyadari bahwa<br />
tidak ada bangsa yang maju tanpa etika.<br />
Suatu bangsa maju bersama-sama dengan<br />
etika. Itu saya kira jelas sekali dan sejarah<br />
dunia menunjukkan hal itu,” tegasnya.<br />
Sementara anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Fraksi<br />
Gerindra Martin Hutabarat berpendapat, etika<br />
kehidupan berbangsa dan bernegara itu<br />
sangat ditentukan oleh kemauan kita untuk<br />
menaati peraturan-peratutan atau koridor<br />
hukum yang ada di Indonesia.<br />
Tapi, kata Martin menambahkan, ketaatan<br />
itu harus datang dari hati yang tulus. Jadi,<br />
kalau negara kita sudah menetapkan perang<br />
terhadap korupsi, maka aturannya juga harus<br />
sudah sangat jelas, dan sebagai pejabat<br />
harus konsisten tidak korupsi. Selain itu, sang<br />
pejabat juga harus membangun budaya anti<br />
korupsi di lingkungannya.<br />
Martin menunjuk contoh, tidaklah mungkin<br />
ada seorang menteri yang tidak tahu ada<br />
kejadian korupsi di lingkungannya.<br />
“Sebenarnya dia tahu tapi dia tidak mau<br />
memperbaiki. Jadi, etika yang hendak<br />
dibangun itu tidak dilaksanakan. Kalau kita<br />
melaksanakan etika itu cirinya harus ada<br />
kesamaan antara kata dan perbuatan,” tutur<br />
Martin seraya sekali lagi menyatakan, “etika<br />
harus disandingkan dengan ketaatan dalam<br />
mengikuti aturan dan koridor hukum dalam<br />
berbangsa dan bernegara.”<br />
Lebih lanjut Martin menyatakan, etika<br />
harus dikembangkan dan diimpllementasikan<br />
oleh pejabat-pejabat, mulai dari yang paling<br />
tinggi. “Pejabat-pejabat tinggi itu harus<br />
menunjukkan etika yang baik, sehingga<br />
masyarakat akan melihat kalau negara ini<br />
berjalan dan dikelola dengan benar, dan pada<br />
akhirnya demokrasi akan berjalan sesuai<br />
jalurnya,” tandasnya.<br />
Martin memberi contoh, soal aksi<br />
demonstrasi. Demokrasi memberikan hak<br />
pada warga negara untuk melakukan<br />
demonstrasi. Namun sayangnya, demo itu<br />
dilakukan di jalan-jalan yang malah membuat<br />
macet, sehingga mengganggu warga<br />
negara yang lain. Artinya, demo yang<br />
dilakukan tanpa etika dan aturan sama saja<br />
menganggu kehidupan berdemokrasi.<br />
Pembicara lainnya, anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Fraksi<br />
Hanura Erik Satrya Wardhana menegaskan<br />
bahwa soal etika sudah sangat jelas<br />
disebutkan dalam TAP <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> No.VI Tahun<br />
2001 yang menyebutkan bahwa sumber<br />
etika itu adalah nilai-nilai agama dan nilainilai<br />
luhur yang berkembang dalam tradisi<br />
Indonesia.<br />
Dengan demikian sistem nilai yang<br />
terkandung dalam Pancasila menjadi dasar<br />
dalam pembentukan ideologi sebuah negara<br />
yang bernama Indonesia. “Jadi, pemahaman<br />
dan implementasi nilai-nilai pada Pancasila<br />
sama saja mengimplementasikan etika dalam<br />
kehidupan berbangsa dan bernegara<br />
secara benar, dan itu harus terus dijaga dan<br />
ditingkatkan,” tandasnya. ❏<br />
Derry Irawan<br />
23
NASIONAL<br />
Melani Leimena Suharli<br />
Lestarikan Cita-Cita Luhur<br />
Pahlawan Nasional<br />
Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri dan Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Melani Leimena Suharli menjadi tamu khusus dalam pertemuan<br />
Warakwuri/ Keluarga Pahlawan Nasional di kediaman keluarga<br />
Pahlawan Nasional, almarhum Jenderal Basuki Rachmat di<br />
Menteng Jakarta Pusat.<br />
PAGI itu, di hari Kamis ( 01/12 ), terlihat<br />
kesibukan yang luar biasa di salah satu<br />
rumah di Jalan Besuki, Menteng,<br />
Jakarta Pusat. Kendaraan pribadi berderet<br />
memenuhi kiri kanan ruas jalan di depan<br />
rumah itu, yang hanya pas dilalui dua mobil<br />
dari jalur berlawanan. Petugas pengamanan<br />
kompleks dan anggota Polri terlihat subuk<br />
mengatur parkis dan arus lalu lintas di sana.<br />
Itulah suasana di kediaman keluarga<br />
seorang Pahlawan Nasional Jenderal Basuki<br />
Rachmat (almarhum), seorang petinggi militer<br />
pada era pemerintahan Presiden <strong>RI</strong> I<br />
Soekarno, Pada saat berlangsung acara<br />
pertemuan keluarga Pahlawan Nasional.<br />
Seperti tertulis di banner besar yang terdapat<br />
di pagar kiri dan kanan rumah itu berbunyi:<br />
“Anjangsana dan Ramah Tamah Menteri<br />
Sosial <strong>RI</strong> dengan Warakawuri/Keluarga<br />
Pahlawan Nasional.”<br />
Para tamu yang terlihat sudah pada sepuh<br />
(tua) itu, satu persatu berdatangan ke<br />
HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
kediaman keluarga almarhum Basuki<br />
Rachmat itu sejak pukul 09.00 WIB.<br />
Beberapa diantaranya berada di atas kursi<br />
roda, dan mereka adalah para janda beserta<br />
anak-anak Pahlawan Nasional. Hari itu, para<br />
warakawuri ini kedatangan tamu khusus,<br />
yaitu: Menteri Sosial <strong>RI</strong> Salim Segaf Al Jufri,<br />
dan Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Melani Leimena<br />
Suharli, yang juga putri Pahlawan Nasional<br />
Dr. Johannes Leimena. Juga tampak hadir<br />
BRA Mooryati Soedibyo, cucu Pahlawan<br />
Nasional Paku Buwono X, yang pernah<br />
menjabat Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> periode 2004<br />
– 2009.<br />
Bambang Widianto, putra tertua almarhum<br />
Basuki Rachmat selaku tuan rumah,<br />
membuka secara resmi acara ini dengan<br />
mengatakan, sangat mengapresiasi acara<br />
ramah tamah para keluarga Pahlawan<br />
Nasional ini. Ia berharap, acara silaturrahim<br />
ini terus berlanjut, tidak hanya pada saat<br />
peringatan Hari Pahlawan tapi hendaknya<br />
terus berlanjut antar berbagai komponen<br />
bangsa atas dasar menghormati dan<br />
meneladani nilai-nilai luhur dan semangat<br />
para pahlawan bangsa.<br />
“Ini momen yang bagus dan baik sekali.<br />
Kami keluarga para pahlawan nasional, jadi<br />
saling mengenal. Kami saling bercerita<br />
tentang orang tua kami. Banyak nilai-nilai<br />
luhur yang seharusnya dijadikan teladan oleh<br />
kita keluarga dan seluruh masyarakat saat<br />
ini,” ujar Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Melani Leimena<br />
Suharli kepada wartawan Majelis.<br />
Melani yang hari itu terlihat akrab dengan<br />
para keluarga Pahlawan Nasional lainnya lebih<br />
lanjutnya menyatakan bahwa para Pahlawan<br />
Nasional bukan hanya milik keluarga, tapi<br />
sudah menjadi milik bangsa Indonesia. Para<br />
Pahlawan Nasional, menurut Melani, adalah<br />
teladan buat anak cucunya, dan juga teladan<br />
bagi seluruh rakyat Indonesia.<br />
Maka silaturahim ini, menurut Melani, selain<br />
untuk mempererat hubungan antara anakanak<br />
dan cucu-cucu para Pahlawan<br />
Nasional juga turut melestarikan cita-cita<br />
luhur para Pahlawan Nasional. Perlu<br />
diketahui bahwa para Pahlawan Nasional<br />
menginginkan semua anak cucunya bersatu,<br />
bahkan secara nasional, seluruh anak<br />
bangsa bersatu dalam wadah NK<strong>RI</strong>.<br />
Selain itu, pertemuan ini juga mengandung<br />
maksud untuk mensosialisasikan nilai-nilai<br />
kebangsaan yang telah susah payah<br />
dibangun oleh orang tua kita (para Pahlawan<br />
Nasional). Maka, “Saya berharap acara ini<br />
terus berlangsung dengan durasi waktu<br />
yang agak lama, agar kita bisa saling berbagi<br />
ide dan wacana tentang bangsa ini,<br />
terutama ide dan nilai-nilai luhur yang<br />
ditanamkan para pahlawan bangsa,” ujar<br />
Melani.<br />
Pada kesempatan itu, sebagai bentuk<br />
penghargaan atas jasa dan pengorbanan<br />
yang telah diberikan para pahlawan terhadap<br />
bangsa dan negara — disamping bantuan<br />
yang selama ini telah diberikan oleh<br />
pemerintah, kementerian sosial memberikan<br />
bantuan “tali kasih” kepada 57 orang<br />
warakawuri/keluarga Pahlawan Nasional<br />
yang berdomisili di wilayah Jabodetabek<br />
masing-masing Rp 3 juta. Bantuan ini<br />
diserahkan secara simbolis oleh Menteri<br />
Sosial <strong>RI</strong> kepada Ibu R.A. Sri Wulan Basuki<br />
Rachmat. ❏<br />
Derry<br />
24 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
Kekhawatiran di Balik UU Pengadaan Tanah<br />
Undang-Undang Pengadaan Tanah diharapkan bisa mengurai mandeknya proyek pembangunan<br />
fasilitas umum. Bukan malah membenarkan praktik kesewenang-wenangan pembebasan tanah,<br />
seperti yang terjadi selama ini.<br />
Pembangunan Jalan Tol<br />
PERTENGAHAN Desember lalu, atau<br />
tepatnya 16 Desember 2011, satu lagi<br />
Rancangan Undang-Undang (RUU)<br />
disahkan menjadi Undang Undang, yaitu UU<br />
Pengadaan Tanah. Rapat Paripurna DPR <strong>RI</strong><br />
yang berlangsung pada akhir masa<br />
persidangan II tahun 2010-2011 menyetujui<br />
disahkannya RUU Pengadaan Tanah dan<br />
menjadi UU Pengadaan Tanah.<br />
Meski semua fraksi di DPR menyetujui<br />
disahkannya RUU ini menjadi UU, namun<br />
sebagian anggota DPR menolak undangundang<br />
ini, dengan alasan hanya akan<br />
menguntungkan para investor. Dengan<br />
berlindung di balik UU Pengadaan Tanah ini,<br />
para investor bisa lebih mudah mendapatkan<br />
tanah untuk keperluan proyek-proyek<br />
pembangunan. Sedangkan masyarakat<br />
sebagai pemilik lahan berada pada posisi<br />
yang lemah.<br />
Adalah politisi Partai Demokrasi Indonesia<br />
(PDI) Perjuangan Tjahjo Kumolo,<br />
termasuk yang berpendapat demikian.<br />
Karena itu, secara pribadi Tjahjo menolak<br />
keberadaan undang-undang tersebut.<br />
Menurut Tjahjo, UU Pengadaan Tanah terlalu<br />
pro kepada investor, melupakan hak-hak<br />
tanah rakyat. Padahal tanpa adanya UU<br />
Pengadaan Tanah, posisi rakyat sudah<br />
lemah. Apalagi setelah UU ini ada.<br />
Selain Tjahjo, plitisi PDIP lainnya Arif<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
ISTIMEWA<br />
Budimanta juga ikut menolak UU Pengadaan<br />
Tanah ini. Penolakan juga dilakukan oleh<br />
politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)<br />
Dimyati Natakusumah, dan politisi Partai<br />
Amanat Nasional (PAN) Achmad Rubaei.<br />
Meski secara pribadi Tjahjo Kumolo menyatakan<br />
menolak keberadaan UU Pengadaan<br />
Tanah, namun Fraksi PDI Perjuangan di<br />
DPR ikut mendukung diundangkannya RUU<br />
Pengadaan Tanah tersebut.<br />
Sementara kelompok pendukung UU<br />
Pengadaan Tanah menyambut gembira<br />
lahirnya UU ini. Atas nama pemerintah,<br />
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta<br />
Rajasa mengatakan, UU Pengadaan Tanah<br />
dibuat untuk memberi keadilan bagi pemilik<br />
lahan, dan bagi proses pembangunan.<br />
Serta, memberikan kepastian hukum bagi<br />
rakyat, dan untuk kepentingan umum.<br />
Melalui UU ini, menurut Hatta, penetapan<br />
harga tanah yang sebelumnya dilakukan<br />
sepihak oleh pemerintah tidak berlaku lagi.<br />
Karena pemilik lahan bisa mengadu ke<br />
pengadilan jika tidak sepakat dengan<br />
penawaran pemerintah.<br />
Pendapat Hatta tersebut, setali tiga uang<br />
dengan apa yang disampaikan Wakil Ketua<br />
DPR <strong>RI</strong> Pramono Anung. Menurut Pramono,<br />
keberadaan UU Pengadaan Tanah ini sangat<br />
penting. Termasuk bagi perlindungan dan<br />
hak-hak masyarakat yang lahannya<br />
digunakan untuk pembangunan. Berdasar<br />
UU ini, kata Pramono, pemerintah dan<br />
swasta tidak bisa seenaknya melakukan<br />
penggusuran, karena ada rambu-rambu<br />
yang tegas dan jelas.<br />
Kehadiran UU Pengadaan Tanah itu,<br />
menurut Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Lukman Hakim<br />
Saifuddin, semoga ikut membantu<br />
menyelesaikan sengketa agraria yang telah<br />
terjadi selama ini. Karena itu, UU No. 5 Tahun<br />
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok<br />
Agraria, harus menjadi acuan dalam<br />
sinkronisasi dengan UU terkait.<br />
Menyangkut kekhawatiran munculnya<br />
kesewenangan akibat UU ini, Lukman<br />
berharap, setiap pengadaan tanah untuk<br />
pembangunan harus berpijak pada semangat<br />
untuk kesejahteraan rakyat. Dilaksanakan<br />
secara transparan, dan menghindarkan<br />
dominasi kepentingan yang berlebihan pihak<br />
swasta dalam proyek pembangunan<br />
tersebut.<br />
UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan<br />
tidak boleh mengesankan pengesahan<br />
praktik kapitalisme dalam hal terkait tanah<br />
dan mengabaikan sosialisme yang<br />
diperintahkan UU sebelumnya.<br />
“Pasal 13 huruf q UU Pengadaan Tanah<br />
yang mengulas bentuk-bentuk pembangunan<br />
yang diatur dalam UU ini harus dilaksanakan<br />
secara konsekwen dan transparan.<br />
Bukannya mengakomodir kepentingan pihak<br />
tertentu saja,” pinta Lukman Hakim, seraya<br />
mengharapkan, “Jangan sampai Pasal 13 huruf<br />
q menyangkut pembangunan kepentingan<br />
umum ini malah menjadi celah bagi swasta<br />
untuk melakukan pengadakan tanah dengan<br />
dalih pembangunan kepentingan umum.”<br />
Terlepas dari pro kontranya UU Pengadaan<br />
Tanah ini, kehadiran undang-undang ini<br />
dianggap penting. Mengingat selama ini yang<br />
menjadi hambatan dalam pembangunan<br />
infrastruktur adalah rakyat enggan menyerahkan<br />
tanahnya, karena persoalan ganti rugi<br />
yang tidak cocok. Akibatnya, banyak jalan tol<br />
yang terbengkalai pembangunannya, juga<br />
dalam hal perluasan bandara dan pelabuhan,<br />
serta pelebaran jalur kereta api. ❏<br />
M. Budiono<br />
25
NASIONAL KOLOM<br />
Pokok-Pokok Pikiran Tentang<br />
Pembaruan dan Penyelesaian Masalah Agraria Secara Menyeluruh<br />
1. Untuk menyelesaikan masalah pertanahan, kita harus berpijak<br />
pada Ketetapan <strong>MPR</strong> No. XI/<strong>MPR</strong>/2001 tentang Pembaruan Agraria<br />
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, karena:<br />
a. TAP itu merupakan peraturan tertinggi terkait agraria, di atas<br />
UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,<br />
Perpu No. 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian<br />
(dikenal juga dengan UU Land Reform karena memerintahkan<br />
kepada Pemerintah untuk mengusahakan agar setiap<br />
keluarga petani memiliki minimal 2 hektar tanah), dan UU<br />
tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (Disahkan<br />
16 Desember 2011).<br />
b. TAP itu dilahirkan <strong>MPR</strong> dimana anggotanya merupakan hasil<br />
Pemilu pertama di era reformasi 1999. Jadi, TAP itu merupakan<br />
produk reformasi yang sangat penting yang tidak boleh<br />
diabaikan.<br />
c. Sesuai dengan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan<br />
Peraturan Perundangundangan, TAP <strong>MPR</strong> berada dalam<br />
hirarki kedua setelah UUD 1945. Hirarki hukum di Indonesia<br />
adalah (1) UUD 1945, (2) TAP <strong>MPR</strong>, (3) UU/Perpu, (4) PP, (5)<br />
Perpres, (6) Perda Provinsi, (7) Perda Kabupaten Kota. Jadi,<br />
TAP <strong>MPR</strong> mempunyai kedudukan hukum yang sangat kuat.<br />
Secara yuridis tidak ada alasan lagi untuk mengabaikan TAP<br />
<strong>MPR</strong> itu.<br />
2. Pasal 5 ayat (5) Ketetapan <strong>MPR</strong> No. XI/<strong>MPR</strong>/2001 tentang<br />
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah<br />
memberikan arahan yang jelas bagaimana menyelesaikan<br />
persoalan pertanahan secara menyeluruh. Ada 4 perintah/pesan<br />
pokok dari pasal 5 di atas, yaitu:<br />
a. Reformasi peraturan terkait agraria agar terjadi sinkronisasi<br />
di bidang legislasi agraria.<br />
b. Penguatan kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka<br />
menyelesaikan konflik-konflik agraria yang timbul selama ini<br />
sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa<br />
mendatang, serta dalam rangka sinkronisasi kebijakan<br />
antarsektor terkait pertanahan.<br />
c. Melaksanakan pembagian lahan untak rakyat (land reform).<br />
d. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan untuk<br />
program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konllik<br />
sumber daya agraria yang terjadi.<br />
3. Apakah kita sudah melaksanakan perintah TAP <strong>MPR</strong> itu? Perlu<br />
ditegaskan di sini bahwa pemerintahan setelah era reformasi<br />
dapat dikatakan lalai dan abai dalam mengimplementasikan<br />
perintah TAP <strong>MPR</strong> itu. Bila mau jujur, yang kita soroti adalah<br />
pemerintahan setelah reformasi, bukan hanya pemerintahan SBY.<br />
Ini berarti seluruh pimpinan bangsa dan negara dari dulu hingga<br />
kini, termasuk juga pimpinan <strong>MPR</strong>, telah melakukan “kelalaian<br />
kolektif” atau “keabaian berjemaah” sehingga TAP <strong>MPR</strong> itu tidak<br />
dilaksanakan dengan baik.<br />
Reformasi di bidang legislasi terkait agraria belum dilakukan,<br />
sehingga peraturan terkait agraria masih merujuk pada UU yang<br />
dibentuk pada tahun 1960-an. Pada 16 Desember 2011, DPR<br />
mengesahkan UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Namun<br />
UU ini hanya menyelesaikan sedikit dari sekian banyak masalah<br />
agraria yang terjadi di Indonesia di masa kini maupun di masa<br />
mendatang. Peraturan pokok terkait agraria sendiri belum diganti<br />
sejak tahun 1960.<br />
Penguatan kelembagaan masih belum dilakukan. Bahkan<br />
Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang seharusnya memiliki<br />
kewenangan besar untuk menyelesaikan konflik di masa kini dan<br />
potensi konflik di masa mendatang masih terlalu lemah untuk<br />
membantu Pemerintah/Presiden menyelesaikan persoalan agraria.<br />
Kini BPN memang sudah berada di bawah Presiden, namun<br />
kewenangannya yang sangat terbatas yaitu menjadi pusat<br />
administrasi pertanahan, seperti mengukur, memetakan,<br />
mengeluarkan sertifikat, dan lain-lain. Tidak ada kewenangan<br />
strategis untuk menyelesaikan konflik pertanahan. Idealnya,<br />
masalah pertanahan diselesaikan Presiden karena masalah ini<br />
menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun karena waktu<br />
Presiden sangat terbatas, maka Presiden dapat memberikan peran<br />
lebih kepada BPN untuk menyelesaikan masalah pertanahan,<br />
bukan hanya menugaskan administrasi pertanahan saja. BPN<br />
merupakan satu-satunya lembaga negara yang mempunyai<br />
pengetahuan mendalam soal pertanahan di Indoensia. Karena<br />
itu, sebelum melibatkan kepolisian, penyesaian pertanahan harus<br />
ditangani oleh BPN di bawah supervisi Presiden secara langsung.<br />
Pembagian lahan untuk rakyat (land reform) belum juga<br />
dilaksanakan. Di era reformasi ini, kita belum menemui adanya<br />
konsepsi yang menyeluruh tentang penerapan land reform itu,<br />
kecuali sebagai wacana.<br />
Pembiayaan/anggaran untuk program reformasi agraria masih<br />
sangat kecil dibandingkan dengan persoalan yang harus<br />
diselesaikan terkait pertanahan. Jadi, persoalan pertanahan<br />
sangat berat, sementara amunisi untuk menyesaikannya sangat<br />
minim.<br />
4. UU No. 5/1960 dan Perpu No. 56/1960 dengan TAP <strong>MPR</strong> No. XI/<br />
<strong>MPR</strong>/2001 saling melengkapi. UU No. 5/1960 memberikan pijakan<br />
bahwa tanah (di bawah maupun di atasnya) harus digunakan/<br />
dikelola oleh dan untuk rakyat sendiri. Jika dikelola oleh kelompok,<br />
maka kelompok itu harus berbentuk koperasi atau jika tidak harus<br />
berbentuk kelompok gotong royong, sebagaimana pesan Pasal<br />
12 UU No. 5/1960 bahwa “Segala usaha bersama dalam lapangan<br />
agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka<br />
kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk<br />
gotong royong lainnya.” Intinya, dalam soal pertanahan kita harus<br />
berpijak pada ruh/jiwa sosialisme Indonesia, bukan kapitalisme.<br />
Kata “sosialisme” disebut secara eksplisit dalam Pasal 14 UU No.<br />
5/1960. Salah besar jika ada perusahaan swasta menguasai<br />
26 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
atusan ribu hektar tanah di wilayah Indonesia,<br />
lalu mengabaikan masyarakat setempat.<br />
Sedangkan Perpu No. 56/1960 memberikan<br />
pijakan pelaksanaan land reform, sehingga<br />
petani sekeluarga minimal mempunyai 2 hektar<br />
tanah.<br />
Sementara itu, TAP No. XI/<strong>MPR</strong>/2001<br />
memberikan arahan bagaimana agar semangat<br />
UU No. 5/1960 dan Perpu No. 56/1960 menjadi<br />
implementatif, berdasarkan empat perintah,<br />
yaitu: (1) reformasi legislasi terkait agraria, (2)<br />
penguatan kelembagaan dalam hal ini BPN agar<br />
dapat melaksanakan politik agraria yang<br />
dicanangkan Pemerintah/Presiden, serta<br />
membantu Pemerintah/Presiden dalam rangka<br />
menyelesaikan konflik agraria dan potensi<br />
konflik agraria di masa mendatang, (3)<br />
merencanakan, menyiapkan, dan<br />
melaksanakan pembagian lahan untuk rakyat,<br />
dan (4) mengupayakan pembiayaan dalam<br />
rangka program pembaruan agraria, baik untuk<br />
penguatan kelembagaan, penyelesaian konflik,<br />
pembagian lahan untuk rakyat, dan lain<br />
sebagainya.<br />
5. Berkaitan dengan UU Pengadaan Tanah untuk<br />
Pembangunan, TAP <strong>MPR</strong>, UU No. 5/1960, dan<br />
Perpu No. 56/1960 memberikan peringatan<br />
keras bahwa pelaksanaan pengadaan tanah<br />
untuk pembangunan harus berpijak pada<br />
semangat untuk kesejahteraan rakyat. Agar<br />
UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan tidak<br />
terkesan mengesahkan praktek kapitalisme<br />
dalam hal terkait tanah dan mengabaikan<br />
sosialisme yang justru diperintahkan UU<br />
sebelumnya, maka UU Pengadaan Tanah harus<br />
dilaksanakan secara transparan. Misalnya,<br />
swasta tidak boleh mendompleng UU<br />
Pengadaan Tanah ini untuk mengakomodasi<br />
kepentingannya.<br />
Pasal 13 UU Pengadaan Tanah yang<br />
mengulas bentuk-bentuk pembangunan yang<br />
dapat menggunakan UU ini dalam pengadaan<br />
tanah harus dilaksanakan secara konsekwen<br />
dan transparan.<br />
Dari Pasal 13 UU Pengadaan Tanah ada satu<br />
poin yang harus dicermati, yaitu huruf q. yang<br />
berbunyi: “q. Pembangunan kepentingan umum<br />
lainnya yang ditetapkan dengan Keputusan<br />
Presiden.” Lagi-lagi, jangan sampai poin ini<br />
menjadi pintu masuk bagi swasta untuk<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
mengadakan tanah dengan menggunakan UU<br />
Pengadaan Tanah dengan dalih pembangunan<br />
kepentingan umum. DPR dan masyarakat (LSM,<br />
pers, dll) harus memantau dengan cermat jika<br />
Presiden, baik saat ini maupun masa<br />
mendatang, menggunakan poin ini.<br />
6. Politik agraria di Indonesia sering tumpang tindih,<br />
karena dijalankan oleh beberapa lembaga<br />
negara yaitu yang mencakup Kementerian<br />
Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan<br />
Transmigrasi, dan Kementerian Pertambangan.<br />
Ironisnya, politik pertanahan selama ini<br />
cenderung mendukung perusahaan<br />
perkebunan besar. Padahal jika kita berpijak pada<br />
UU No. 5/1960, politik agraria harus dilakukan<br />
oleh Pemerintah/Presiden secara terpusat,<br />
bukan secara sektoral. Bahkan Pasal 14 UU<br />
No. 5/1960 memerintahkan agar Pemerintah<br />
(berarti Presiden sebaiknya dibantu BPN, bukan<br />
kementerian sektoral) harus membuat rencana<br />
umum terkait pertanahan.<br />
Pasal 14 UU No.5/1960 menyatakan:<br />
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam<br />
pasal 2 ayat 2 dan 3, pasal 9 ayat 2 serta pasal<br />
10 ayat 1 dan 2 Pemerintah dalam rangka<br />
sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana<br />
umum mengenai persediaan, peruntukan dan<br />
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta<br />
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:<br />
a. untuk keperluan Negara;<br />
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluankeperluan<br />
suci lainnya, sesuai dengan<br />
dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;<br />
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan<br />
masyarakat, sosial, kebudayaan dan lainlain<br />
kesejahteraan<br />
d. untuk keperluan memperkembangkan<br />
produksi pertanian, peternakan dan<br />
perikanan serta sejalan dengan itu;<br />
e. untuk keperluan memperkembangkan<br />
industri, transmigrasi dan pertambangan.”<br />
Jadi, politik pertanahan itu harus: (1) harus<br />
dilaksanakan secara terpusat oleh Pemerintah/<br />
Presiden (dibantu BPN), bukan secara sektoral<br />
oleh kementerian negara; (2) berpijak pada<br />
semangat ruh sosialisme, bukan kapitalisme;<br />
dan (3) berorientasi untuk kepentingan dan<br />
kesejahteraan rakyat. ❏<br />
Oleh:<br />
Lukman Hakim<br />
Saifuddin<br />
Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
27
NASIONAL<br />
PAW Anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Vivi Effendy: Saya Siap<br />
Sosialisasikan 4 Pilar<br />
Pergantian Antar Waktu ( PAW ) anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> adalah ‘ritual’<br />
biasa yang sering digelar <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> untuk mengganti anggota<br />
lama yang keluar dari keanggotaan karena berbagai sebab<br />
dengan anggota baru.<br />
BANDUL jam baru menunjuk angka 09.00<br />
WIB, di hari Jumat, 16 Desember 2011,<br />
itu. Udara pagi nan segar di luar Gedung<br />
Nusantara IV Kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD<br />
Senayan masih terasa. Beberapa staf <strong>MPR</strong><br />
terlihat sibuk hilir mudik mempersiapkan<br />
berbagai peralatan untuk sebuah acara,<br />
seperti karpet, mikrofon, dan sound system.<br />
Demikian pula beberapa petugas nampak<br />
sibuk mempersiapkan standing bufee<br />
prasmanan buat santap siang.<br />
Hari itu memang dijadwalkan acara<br />
pelantikan Pergantian Antar Waktu ( PAW )<br />
anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> atas nama Vivi Effendy dari<br />
kelompok DPD <strong>RI</strong> dapil DKI Jakarta menggantikan<br />
anggota <strong>MPR</strong> Djan Faridz, yang kini<br />
menjabat Menteri Perumahan Rakyat.<br />
Berbalut busana kebaya merah dipadu<br />
padan dengan kain batik cokelat dan riasan<br />
yang sederhana, namun mengeluarkan aura<br />
cantiknya, Vivi Effendy sejenak duduk di<br />
sudut ruangan ditemani suami dan beberapa<br />
keluarga dan rekan. Sesekali, Vivi<br />
mengibaskan kipas kecil yang tak pernah<br />
lepas dari genggamannya, padahal ruangan<br />
dalam gedung Nusantara IV sudah sangat<br />
dingin. Mungkin agak sedikit grogi.<br />
Tepat pukul 10.00 WIB, Wakil Ketua <strong>MPR</strong><br />
<strong>RI</strong> Melani Leimena Suharli, selaku Pimpinan<br />
<strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, didampingi Sekretaris Jenderal <strong>MPR</strong><br />
<strong>RI</strong> Eddie Siregar dan beberapa pejabat teras<br />
Setjen <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> memasuki ruangan. Rangkaian<br />
acara pelantikan yang juga dihadiri Ketua<br />
Kelompok DPD <strong>RI</strong> <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Bambang Soeroso<br />
ini kemudian berlangsung secara khidmat<br />
dan lancar.<br />
Anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> baru Vivi Effendy terlihat<br />
lancar mengucapkan sumpah dan janji yang<br />
dipandu oleh Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Melani<br />
Leimena Suharli. Wajah tegang Vivi<br />
langsung sirna, usai pengucapan dan<br />
penandatanganan sumpah dan janji. Sejurus<br />
Vivi Effendy saat mengucapkan sumpah dan janji<br />
kemudian Melani Leimena dengan senyum<br />
terkembang menghampiri Vivi, dan langsung<br />
menjabat tangannya. Selamat.<br />
Kepada Vivi, Melani atas nama seluruh<br />
Pimpinan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> berharap agar sang<br />
anggota baru mampu secepatnya<br />
beradaptasi dengan ruang lingkup kerja<br />
sebagai anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>.<br />
“Tugas sebagai anggota <strong>MPR</strong> jangan<br />
dianggap enteng. Tugas anggota <strong>MPR</strong><br />
adalah amanat UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945 yang<br />
notabene adalah amanat seluruh rakyat Indonesia<br />
yang harus betul-betul dilaksanakan<br />
dengan sebaik-baiknya, terutama soal tugas<br />
sosialisasi 4 Pilar berbangsa (Pancasila,<br />
UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945, NK<strong>RI</strong>, Bhinneka<br />
Tunggal Ika ) yang saat ini sedang gencar<br />
dilakukan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>,” ujar Melani.<br />
Melani juga berharap agar seluruh<br />
anggota <strong>MPR</strong> bersinergi dengan baik, demi<br />
lancarnya pelaksanaan tugas sebagai<br />
anggota <strong>MPR</strong>. “Tugas sosialisasi 4 Pilar<br />
selama ini berjalan sangat baik, semoga<br />
dengan kehadiran anggota baru, sosialisasi<br />
4 Pilar lebih baik lagi,” harap Melani.<br />
Kepada wartawan Majelis yang<br />
‘mencegatnya’ sebelum acara santap siang,<br />
Vivi mengaku sangat lega acara pelantikan<br />
ini berlangsung sangat lancar, walaupun ia<br />
mengaku sedikit grogi saat mengucapkan<br />
sumpah dan janji.<br />
“Sumpah dan janji itu tidak main-main,<br />
makanya saya benar-benar fokus. Fokus di<br />
lidah dan akan saya fokuskan di hati, serta<br />
tindakan nyata. Saya sudah mempelajari<br />
tugas-tugas yang diemban sebagai anggota<br />
<strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> ini. Mudah-mudahan bisa saya<br />
laksanakan dengan sebaik-baiknya. Saya<br />
banggsa bisa menjadi bagian dari <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>,”<br />
katanya.<br />
Vivi berharap kehadirannya sebagai<br />
anggota <strong>MPR</strong> dapat memberikan konstribusi<br />
positif. Untuk itu, Vivi bertekad, akan<br />
mengemban tugasnya sebagai anggota <strong>MPR</strong><br />
Ri sebaik-baiknya. Ia merasa bersyuku,<br />
karena keluarganya memberi dukungan.<br />
Apalagi, menurut Vivi, rekan-rekannya di<br />
DPD sangat komunikatif, ini sebagai modal<br />
awal untuk maju terus.<br />
Ketika disinggung soal aktifitas<br />
menyanyinya yang dilakoninya sebelum<br />
menjadi anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, Vivi menegaskan<br />
bahwa aktifitas itu kini hanya sekedar hobi.<br />
“Tidak diseriusin lagi ya, soalnya saya harus<br />
memprioritaskan tugas sebagai anggota DPD<br />
dan anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, sedangkan menyanyi<br />
paling saya lakukan di kamar mandi saja,”<br />
ujarnya tertawa. ❏<br />
Derry<br />
28 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>
Penyerahan kedaulatan Indonesia,<br />
27 Desember 1949, mengharuskan<br />
seluruh pasukan Belanda pulang ke<br />
negara asalnya. Penarikan pulang ini<br />
menimbulkan kekhawatiran sebagaian<br />
pasukan elit Belanda akan masa depannya.<br />
Mereka takut tidak mempunyai pekerjaan. Agar<br />
tidak kehilangan pekerjaan, sebagaian pasukan elit<br />
itu membentuk APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dan<br />
melakukan huru hara. Peristiwa berdarah di Bandung itu<br />
bisa terjadi selain ada tangan-tangan hitam juga karena lemahnya<br />
fungsi intelijen TNI.<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />
29
SELINGAN<br />
KETIKA pasukan Amerika Serikat yang<br />
berada di Irak dan Afghanistan hendak<br />
ditarik pulang, terjadi kegelisahan<br />
terhadap ribuan tentara. Mereka gelisah<br />
karena akan menjadi penggangguran, sebab<br />
tidak ada perusahaan yang mau menerima<br />
mereka sebagai tenaga kerja. Seorang<br />
tentara yang pernah bertugas di Irak dan<br />
Afghanistan, Clayton Rhoden, mengakui<br />
pernah mencoba berbagai profesi dari<br />
pelayan restoran, pekerja konstruksi, sampai<br />
kurir. “Namun tidak ada yang bertahan. Saya<br />
butuh pekerjaan yang lebih permanen,”<br />
ujarnya, seperti dikutip oleh press.<br />
Pejabat Gedung Putih menilai jumlah<br />
pengangguran akan terus membengkak saat<br />
gelombang kepulangan tentara Amerika<br />
Serikat dari Irak mulai tiba bertahap akhir<br />
2011 hingga lima tahun mendatang. “Jumlah<br />
veteran di dalam negeri bakal mencapai satu<br />
juta dengan usia rata-rata angkatan kerja,”<br />
ujar dari pernyataan resmi Gedung Putih.<br />
Pemerintahan Obama sebenarnya telah<br />
berjanji memperjuangkan nasib para pejuang<br />
perang itu. Salah satunya mendesak agar<br />
perusahaan besar di Amerika Serikat agar<br />
membuka lapangan kerja seluas-luasnya<br />
bagi mereka sepulang dari medan<br />
peperangan.<br />
Nasib tentara Belanda yang bertugas di<br />
Indonesia itu sama dengan nasib para<br />
tentara Amerika Serikat itu. Selepas Belanda<br />
menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia,<br />
Pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)<br />
27 Desember 1949 bagi sebagaian tentara<br />
Belanda akan kehilangan pekerjaan atau<br />
nganggur. Diantara tentara Belanda yang<br />
merasa akan kehilangan mata pencaharian<br />
itu adalah Kapten Raymond Westerling,<br />
komandan Depot Speciale Troepen atau<br />
pasukan elit dari KNIL.<br />
Agar Raymond Westerling tidak menjadi<br />
pengangguran di negerinya, jauh-jauh hari<br />
sebelum penyerahan kedaulatan,<br />
berdasarkan informasi yang diterima oleh<br />
dinas rahasia militer Belanda, November<br />
1949, bahwa Westerling mendirikan<br />
organisasi rahasia yang mempunyai<br />
pengikut sekitar 500.000 orang.<br />
Laporan yang diterima Inspektur Polisi<br />
Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember<br />
1949 menyebutkan bahwa nama organisasi<br />
bentukan Westerling adalah Ratu Adil<br />
Persatuan Indonesia (RAPI) dan memiliki<br />
gaya militer yang bernama Angkatan Perang<br />
Ratu Adil (APRA). Anggota pasukan APRA<br />
kebanyakan adalah anggota Korps Speciale<br />
Troepen (KST) KNIL, yang melakukan<br />
desersi.<br />
Panglima Tentara Tertinggi Belanda di<br />
Indonesia, Letnan Jenderal Buurman Van<br />
Vreeden, adalah pengganti Letnan<br />
Jenderal Spoor mengakui, ia mendengar<br />
kabar mengenai adanya kelompok militer<br />
yang akan mengganggu jalannya<br />
penyerahan kedaulatan, dan juga sudah<br />
mengetahui bahwa kelompok itu adalah di<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />
Kapten Raymond Westerling<br />
bawah pimpinan Westerling.<br />
Pada 5 Desember 1949, sekitar pukul<br />
20.00, Westerling menelepon Van Vreeden,<br />
yang isinya meminta pendapat mengenai<br />
rencana aksi militer alias kudeta kepada<br />
Presiden Soekarno dan para pembantunya,<br />
setelah penyerahan kedaulatan.<br />
Mendengar rencana itu, Van Vreeden<br />
sebagai orang yang harus bertanggungjawab<br />
atas kelancaran penyerahan kedaulatan<br />
pada 27 Desember 1949 memperingatkan<br />
Westerling agar tidak melakukan<br />
aksi militernya. Meski menolak rencana itu,<br />
namun Van Vreeden tidak mencegah dan<br />
menangkap Westerling, sehingga Westerling<br />
bebas bergerak menentukan rencana<br />
aksinya.<br />
Pada Kamis, 5 Januari 1950, Westerling<br />
mengirim surat kepada Pemerintahan<br />
Republik Indonesia Serikat (<strong>RI</strong>S) yang isinya<br />
mengultimatum agar Pemerintah <strong>RI</strong>S<br />
menghargai negara-negara bagian, terutama<br />
Negara Pasundan. Selain itu, Pemerintah <strong>RI</strong>S<br />
harus juga mengakui APRA sebagai tentara<br />
Pasundan. Pemerintah <strong>RI</strong>S harus<br />
memberikan jawaban positif dalam waktu 7<br />
hari, dan apabila ditolak maka akan timbul<br />
perang besar.<br />
Sistem pemerintahan Indonesia saat itu<br />
menganut <strong>RI</strong>S karena sebagai hasil<br />
kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi<br />
Meja Bundar (KMB) antara Republik<br />
30 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal<br />
Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan<br />
ini disaksikan juga oleh United Nations<br />
Commission for Indonesia (UNCI) sebagai<br />
perwakilan PBB. KMB yang dilaksanakan di<br />
Deen Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga<br />
2 November 1949.<br />
Usaha untuk meredam kemerdekaan<br />
Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir<br />
dengan kegagalan. Belanda mendapat<br />
kecaman keras dari dunia internasional.<br />
Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan<br />
beberapa pertemuan untuk menyelesaikan<br />
masalah ini secara diplomasi, lewat berbagai<br />
perundingan seperti Perundingan Linggarjati,<br />
Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Roijen, dan<br />
KMB. (Konferensi Meja Bundar).<br />
Perundingan Linggarjati<br />
Dalam KMB dihasilkan kesepakatan: (a).<br />
Serahterima kedaulatan dari pemerintah<br />
kolonial Belanda kepada <strong>RI</strong>S, kecuali Papua.<br />
Indonesia ingin agar semua bekas daerah<br />
Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia,<br />
sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua<br />
bagian barat negara terpisah karena<br />
perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa<br />
keputusan mengenai hal ini. Karena itu Pasal<br />
2 menyebutkan bahwa Papua Bagian Barat<br />
bukan bagian dari serahterima, dan bahwa<br />
masalah ini akan diselesaikan dalam waktu<br />
satu tahun; (b). Dibentuknya sebuah<br />
persekutuan Belanda-Indonesia dengan<br />
monarki Belanda sebagai kepala negara; (c).<br />
Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh<br />
Republik Indonesia Serikat.<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
<strong>RI</strong>S terdiri dari beberapa negara bagian,<br />
seperti Republik Indonesia, Negara Indonesia<br />
Timur, Negara Pasundan termasuk Distrik<br />
Federal Jakarta, Negara Jawa Timur, Negara<br />
Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara<br />
Sumatera Selatan.<br />
Sedang unsur-unsur BFO, wilayah yang<br />
berdiri sendiri (otonom) dan tak tergabung<br />
dalam federasi, yaitu Jawa Tengah,<br />
Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah<br />
Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan<br />
Timur, Bangka, Belitung, dan Riau.<br />
Ultimatum yang dikeluarkan oleh<br />
Westerling itu tentu saja menimbulkan<br />
kegelisahan, tidak saja di kalangan <strong>RI</strong>S<br />
namun juga di pihak Belanda, dan dr. H.M.<br />
Hirschfeld, pria kelahiran Jerman yang<br />
bertindak sebagai Nederlandse Hoge<br />
Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda)<br />
yang baru tiba di Indonesia. Kabinet <strong>RI</strong>S<br />
menghujani Hirschfeld dengan berbagai<br />
pertanyaan yang membuatnya menjadi<br />
sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri<br />
Belanda, Stikker menginstruksikan kepada<br />
Hirschfeld untuk menindak semua pejabat<br />
sipil dan militer Belanda yang bekerjasama<br />
dengan Westerling.<br />
Untuk menghindari korban, berbagai<br />
upaya dilakukan oleh pemerintahan <strong>RI</strong>S untuk<br />
menempuh jalan damai, seperti: Pertama,<br />
pada 10 Januari 1950, Mohammad Hatta<br />
menyampaikan kepada Hirschfeld bahwa<br />
pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah<br />
penangkapan terhadap Westerling. Sebelum<br />
itu, Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda<br />
A. H. J. Lovink telah menyarankan kepada<br />
Mohammad Hatta untuk mengenakan pasal<br />
exorbitante rechten atau penggunaan<br />
kekerasan yang sesuai prosedur hukum<br />
terhadap Westerling.<br />
Ketika pertengahan Januari 1950 Menteri<br />
UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan,<br />
J. H. Van Maarseven, berkunjung ke<br />
Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan<br />
Uni Indonesia-Belanda yang akan<br />
diselenggarakan pada Maret 1950,<br />
Mohammad Hatta menyampaikan kepada<br />
Maarseven bahwa pemerintahan <strong>RI</strong>S telah<br />
memerintahkan kepolisian untuk menangkap<br />
Westerling.<br />
Kedua, saat berkunjung ke Belanda, 20<br />
Januari 1920, Menteri Perekonomian <strong>RI</strong>S,<br />
Juanda, menyampaikan kepada Menteri<br />
Götzen agar pasukan elit yang dipandang<br />
sebagai faktor risiko secepatnya dievakuasi<br />
dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit<br />
pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon,<br />
17 Januari 1950. Karena ultimatum<br />
Westerling dianggap sebagai suatu yang<br />
serius, sampai-sampai pada 21 Januari 1950<br />
Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen<br />
bahwa Van Vreeden dan Menteri<br />
Pertahanan Belanda Schokking telah<br />
menggodok rencana untuk evakuasi<br />
pasukan elitnya.<br />
Aksi Sepihak<br />
Tepat pukul 21.00 di tengah kesunyian<br />
malam, tangsi militer KST di Batujajar,<br />
Bandung, Jawa Barat, dengan sembunyibunyi<br />
sejumlah pasukan dengan<br />
persenjataan lengkap keluar dari baraknya.<br />
Gerakan itu memancing pasukan elit lainnya<br />
tertarik untuk ikut bergabung dengan<br />
pasukan yang bernama APRA itu.<br />
Namun keinginan pasukan elit lainnya<br />
seperti Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten<br />
KNIL J.H.W. Nix untuk bergabung dengan<br />
APRA dicegah oleh komandannya, Kapten<br />
G.H.O. de Witt. Engles. Mengetahui gerakan<br />
liar itu, Engles segera membunyikan alarm<br />
besar. Kemudian ia mengontak Letnan<br />
Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi<br />
Siliwangi, namun tak tersambungkan, sebab<br />
pada saat melaksanakan huru hara di<br />
Bandung, Sadikin berada di luar kota.<br />
Selanjutnya Engles melaporkan kejadian ini<br />
kepada Van Vreeden di Jakarta.<br />
31
SELINGAN<br />
Gerakan liar Westerling itu rupanya<br />
membuat kegundahan dan keresahan di<br />
kalangan KST sendiri, buktinya Letkol<br />
Borghouts sangat terpukul akibat desersi<br />
anggota pasukannya. Ketika dilakukan apel<br />
KST pada siang hari, ternyata 140 tentara<br />
tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan<br />
bahwa 190 tentara telah melakukan desersi,<br />
dan dari SOP di Cimahi dilaporkan bahwa 12<br />
tentara asal Ambon telah desersi.<br />
Tak terkendalinya pergerakan itu membuat<br />
keinginan Westerling untuk membuat huruhara<br />
tercapai. Sebelum pemerintahan<br />
Belanda melakukan penarikan pasukan<br />
elitnya pulang ke negara asal, pada 23<br />
Januari 1950, Westerling melancarkan<br />
kudetanya.<br />
Aksi huru hara atau kudeta yang dilakukan<br />
Westerling menggunakan 2 strategi.<br />
Pertama, melakukan kekacauan keamanan<br />
di Bandung. Subuh pukul 04.30, Letnan<br />
Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Kapten<br />
Engles dan melaporkan, “Satu pasukan<br />
APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar<br />
menuju Bandung.”<br />
Operasi menjelang subuh itu dilakukan<br />
seperti berikut: polisi negara di pos<br />
penjagaan Cimindi dan Cibeureum, di pinggir<br />
kota, dilucuti oleh sekelompok orang<br />
berpakaian tentara dan bersenjata. Dari arah<br />
barat laut, dari Batujajar menderu truk penuh<br />
serdadu, sepeda motor, jip. Tampak pula<br />
beberapa orang berpakaian tentara jalan<br />
kaki. Korban pertama jatuh di Jalan Banceuy.<br />
Serdadu APRA menyerbu Markas Siliwangi<br />
Jenderal A.H. Nasution<br />
Ketika itu sebuah jip disetop oleh gerombolan<br />
ini. Pengendaranya ternyata seorang<br />
anggota TNI yang lalu disuruh turun,<br />
digertak, disuruh angkat tangan, lalu<br />
ditembak.<br />
Di Jalan Braga sebuah sedan dihentikan<br />
dan penumpang diperintahkan turun, di<br />
antaranya seorang letnan TNI. Tanda<br />
pangkat letnan itu direnggutkan, ia disuruh<br />
berdiri di pinggir jalan, dan diberondong<br />
peluru. Sebuah truk yang melaju di depan<br />
Hotel Preanger, di Jalan Asia Afrika, disikat<br />
dari belakang. Pemegang kemudi rupanya<br />
tak bisa lagi menguasai truknya, lalu oleng<br />
dan menabrak tiang listrik. Tak seorang pun<br />
dari tiga penumpang yang TNI itu selamat.<br />
Di Jalan Merdeka sempat ada<br />
perlawanan. Tapi sekitar 15 menit kemudian<br />
tembak-menembak berhenti, 10 anggota TNI<br />
gugur. Di Staf Kwartir Divisi Siliwangi, Letkol<br />
Sutoko, pimpinan Staf Kwartir, ragu akan<br />
berbuat apa karena ia tahu kekuatan TNI di<br />
Bandung tak seimbang dengan musuh.<br />
Belum sempat keputusan diambil, beberapa<br />
puluh serdadu APRA menyerbu. 15 anggota<br />
jaga mencoba mempertahankan kantor<br />
stafnya mati-matian sebelum disikat habis<br />
oleh pasukan di bawah pimpinan Westerling<br />
itu. Cuma Letkol Sutoko dan dua perwira<br />
lain sempat lolos dari kepungan. Di jalan ini,<br />
Letkol Lembong mendengar suara tembakan<br />
bergegas bersama ajudannya mengendarai<br />
mobil, mencari tahu apa yang terjadi. Tapi, di<br />
pintu gerbang ia diberondong peluru dan<br />
tewas (dan itu sebabnya jalan tersebut<br />
kemudian dinamakan Jalan Lembong).<br />
Hebatnya di pihak APRA tak ada korban<br />
seorang pun. Setelah puas melakukan<br />
pembantaian di Bandung, seluruh pasukan<br />
APRA dan satuan-satuan yang<br />
mendukungnya kembali ke tangsi masingmasing.<br />
Saat Westerling memimpin penyerangan<br />
di Bandung, APRA yang dipimpin oleh Sersan<br />
Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk<br />
menangkap Presiden Soekarno dan<br />
menduduki gedung-gedung pemerintahan.<br />
Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan<br />
32 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA
Tentara Islam Indonesia (TII) yang<br />
diharapkan Westerling tidak muncul,<br />
sehingga serangan APRA ke Jakarta gagal<br />
dilakukan.<br />
Adanya serangan yang menyebabkan 94<br />
anggota TNI gugur bisa jadi disebabkan<br />
karena tidak adanya fungsi intelijen TNI,<br />
sehingga dengan mudah APRA mengobrakabrik<br />
Kota Bandung. Lemahnya fungsi<br />
Tangan-Tangan Hitam<br />
APRA melancarkan aksinya karena adanya pihak-pihak tertentu yang mendukungnya, seperti Letnan Jenderal<br />
Spoor, Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes Van Mook, seorang Tionghoa Chia Piet Kay, Sultan Hamid<br />
II, dan Darul Islam. Kepentingan mereka tak jauh dari ekonomi dan kekuasan.<br />
Anggota Divisi Siliwangi Korban APRA Westerling<br />
MAYAT-MAYAT yang bergelimpangan<br />
di jalan-jalan Banceuy, Braga,<br />
Merdeka, Asia Afrika, dan jalan besar<br />
lainnya di Bandung membuat suasana di kota<br />
itu menjadi mencekam. Suasana yang<br />
demikian pun menjadi berita utama mediamedia<br />
di Eropa, Australia, dan Amerika<br />
Serikat. Kantor Berita Reuters, 23 Januari<br />
1950, lewat tulisan korespondennya, Hugh<br />
Laming, menyajikan berita sensasional atas<br />
peristiwa penembakan 94 TNI akibat ulah<br />
APRA pimpinan Westerling. Tak kalah<br />
sensasionalnya, Melbourne Sun, sebuah<br />
harian yang terbit di Australia, membuat judul<br />
di halaman muka yang ditulis oleh jurnalisnya,<br />
Osmar White, berbunyi: Suatu krisis dengan<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
intelijen itu terbukti ketika peristiwa itu,<br />
Panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Sadikin<br />
sedang mengadakan peninjauan ke luar kota,<br />
yaitu ke Subang bersama Gubernur Jawa<br />
Barat Sewaka.<br />
Namun, menurut Jenderal A.H. Nasution,<br />
peristiwa itu bisa terjadi karena persenjataan<br />
TNI cuma sisa-sisa masa gerilya yang telah<br />
usang, ditambah sedikit pemberian Belanda<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />
skala internasional telah melanda Asia<br />
Tenggara.<br />
Tak hanya media massa yang menyoroti<br />
masalah itu, Duta Besar Belanda di Amerika<br />
Serikat, Van Kleffens, menyatakan di mata<br />
orang Amerika, Belanda secara licik sekali<br />
lagi telah mengelabui Indonesia, dan<br />
serangan di Bandung dilakukan oleh de<br />
zwarte hand van Nederland (tangan hitam<br />
dari Belanda).<br />
Tangan hitam yang dimaksud itu bisa jadi<br />
adalah Letnan Jenderal Spoor dan Wakil<br />
Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes<br />
Van Mook. Van Mook adalah orang Belanda<br />
yang lahir di Semarang 30 Mei 1894,<br />
meninggal di di L’illa de Sorga, Perancis, 10<br />
di zaman peralihan kekuasan. Meriam,<br />
kendaraan lapis baja, dan pesawat udara<br />
masih di tangan Belanda. Selain itu termakan<br />
janji dari Kepala Staf Divisi Belanda di<br />
Bandung bahwa pasukannyalah yang<br />
bertanggung jawab atas keamanan kota<br />
sampai semua persenjataan diserahkan<br />
kepada tentara Indonesia. ❏<br />
AW/dari berbagai sumber<br />
Mei 1965, pada umur 70 tahun. Secara de<br />
facto adalah Gubernur Jenderal Hindia-<br />
Belanda dengan pangkat letnan jenderal,<br />
terakhir yang menjabat setelah Jepang<br />
menguasai Hindia Belanda.<br />
Berkat kedua orang itulah Westerling lolos<br />
dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan<br />
Belanda, sebab aksi terornya yang dinamakan<br />
counter insurgency itu memperoleh izin<br />
dari mereka. Dari sini bisa dikatakan yang<br />
bertanggungjawab atas pembantaian rakyat<br />
Sulawesi Selatan sebenarnya tidak hanya<br />
Westerling namun juga pemerintah dan<br />
angkatan perang Belanda.<br />
Tangan hitam lainnya adalah teman<br />
Westerling yang dikenalnya di Medan, Chia<br />
Piet Kay. Ia seorang tionghoa. Satu bulan<br />
selepas aksinya di Bandung, pada 22<br />
Februari 1950, Westerling yang mengenakan<br />
seragam Sersan KNIL dijemput oleh Van der<br />
Veen dan dibawa dengan mobil ke pangkalan<br />
MLD di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.<br />
Pesawat Catalina hanya singgah di Tanjung<br />
Pinang, Riau, dan kemudian melanjutkan<br />
penerbangan menuju Singapura. Mereka<br />
tiba di perairan Singapura menjelang petang<br />
hari. Kira-kira satu kilometer dari pantai<br />
Singapura pesawat mendarat di laut dan<br />
perahu karet diturunkan.<br />
Dalam bukunya De Eenling, Westerling<br />
memaparkan bahwa perahu karetnya<br />
ternyata bocor dan kemasukan air. Beruntung<br />
dia diselamatkan oleh satu kapal penangkap<br />
ikan Tiongkok yang membawanya ke<br />
Singapura. Setibanya di Singapura, dia<br />
segera menghubungi Chia Piet Kay. Dari 22<br />
33
SELINGAN<br />
sampai 26 Februari 1950, Westerling<br />
bersembunyi di rumah Chia Piet Kay.<br />
Rencana kudeta Westerling bisa berjalan<br />
juga karena ada kepentingan yang sama dari<br />
Darul Islam. Darul Islam menggunakan APRA<br />
untuk kepentingan politiknya. Hal ini dikatakan<br />
oleh Mohammad Hatta, 25 Januari 1950,<br />
kepada Hirschfeld, bahwa Westerling<br />
didukung oleh Darul Islam ketika akan<br />
menyerang Jakarta. Kapten Engles pun<br />
menerima laporan bahwa Westerling<br />
melakukan konsolidasi para pengikutnya di<br />
Garut, yang merupakan salah satu basis<br />
organisasi Darul Islam.<br />
Darul Islam yang artinya Rumah Islam<br />
adalah gerakan politik yang diproklamasikan<br />
pada 7 Agustus 1949 atau 12 Syawal 1368<br />
oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di<br />
Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar,<br />
Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa<br />
Barat.<br />
Gerakan ini bertujuan menjadikan<br />
Indonesia sebagai negara agama dengan<br />
Islam sebagai dasar negara. Dalam<br />
proklamasinya bahwa “Hukum yang berlaku<br />
dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum<br />
Islam”. Lebih jelas lagi dalam undangundangnya<br />
dinyatakan bahwa “Negara<br />
berdasarkan Islam” dan “Hukum yang<br />
tertinggi adalah Alquran dan Hadits”.<br />
Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan<br />
tegas menyatakan kewajiban negara untuk<br />
membuat undang-undang yang berlandas-<br />
Sultan Hamid II bersama Bung Hatta menghadiri Konferensi Meja Bundar<br />
kan Syariat Islam dan penolakan yang keras<br />
terhadap ideologi selain Alqur’an dan Hadits<br />
Shahih, yang mereka sebut dengan “hukum<br />
kafir, sesuai dalam Qur’an Surah 5. Al-<br />
Maidah, ayat 50. Dalam perkembangannya,<br />
DI menyebar hingga di beberapa wilayah,<br />
terutama Jawa Barat, Jawa Tengah,<br />
Sulawesi Selatan, dan Aceh.<br />
Dalam aksinya, Westerling, juga mendapat<br />
dukungan dari salah satu menteri dalam<br />
Kabinet <strong>RI</strong>S, yakni Menteri Negara Sultan<br />
Hamid II. Sultan Hamid II yang terlahir dengan<br />
nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie adalah<br />
putra sulung Sultan Pontianak Sultan Syarif<br />
Muhammad Alkadrie. Sultan Hamid II, lahir di<br />
Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913,<br />
meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978, pada<br />
umur 64 tahun.<br />
Dalam suasana <strong>RI</strong>S terjadi pertentangan<br />
antara kelompok yang berhaluan republik dan<br />
kelompok yang berhaluan federal. Kelompok<br />
federal ini rupanya tidak berumur panjang<br />
34 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA
sebab rakyat lebih mendukung pada arah<br />
negara kesatuan. Akibatnya, Sultan Hamid II<br />
merasa sakit hati sehingga ia bersekongkol<br />
dengan Westerling untuk mengatur kudeta<br />
di Bandung dan Jakarta.<br />
Dalam rencana aksinya, 26 Januari 1950,<br />
pasukan Westerling disusupkan ke Jakarta<br />
sebagai bagian dari kudeta untuk menggulingkan<br />
Kabinet <strong>RI</strong>S. Dalam aksinya,<br />
pasukan Westerling itu berencana untuk<br />
membunuh beberapa tokoh Republik terkemuka,<br />
termasuk Menteri Pertahanan Sultan<br />
Hamengku Buwono IX dan Sekretaris-<br />
Jenderal Ali Budiardjo. Namun, mereka<br />
Si Turki Alumni Neraka<br />
Didikan yang keras membuat Westerling brutal, haus darah, dan tak punya rasa kemanusian. Saat bertugas di<br />
Sulawesi Selatan ia melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh KNIL. Strategi yang dilakukan menyebabkan<br />
ribuan penduduk sipil meninggal dunia. Kasusnya akan digugat.<br />
RAYMOND Pierre Paul Westerling bisa<br />
dikatakan lebih Belanda daripada<br />
orang Belanda. Pasalnya ia lahir dari<br />
perkawinan silang antara ayahnya Paul<br />
Westerling, seorang Belanda asli, dengan<br />
ibunya Sophia Moutzou dari Yunani, pada<br />
31 Agustus 1919. Lahirnya pun bukan di<br />
Belanda atau Yunani, namun di Istanbul,<br />
Turki, yang saat itu masih di bawah<br />
Kesultanan Utsmaniyah. Dari tempat<br />
kelahirannya itulah maka dia mendapat<br />
julukan Si Turki.<br />
Di usia 22 tahun, tepatnya pada 26<br />
Agustus 1941, Westerling mulai masuk dinas<br />
militer di Kanada. Empat bulan kemudian, 27<br />
Desember 1941, ia bertugas di Inggris dan<br />
bergabung di Brigade Prinses Irene di<br />
Wolverhampton. Wolverhampton adalah<br />
sebuah kota dan distrik metropolitan di West<br />
Midlands, dekat Birmingham. Birmingham<br />
adalah kota terbesar kedua di Inggris.<br />
Sebelum ditugaskan di Indonesia,<br />
Westerling bersama 47 tentara Belanda,<br />
angkatan pertama, mendapat pelatihan<br />
khusus di Commando Basic Training<br />
Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia<br />
yang tandus, dingin dan tak berpenghuni.<br />
Melalui pelatihan yang sangat keras dan<br />
berat mereka dipersiapkan untuk menjadi<br />
komandan pasukan khusus Belanda di<br />
Indonesia.<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
kemudian dihadang oleh pasukan TNI,<br />
sehingga pasukan APRA mundur.<br />
Rencana aksi di Jakarta sebenarnya<br />
dilakukan dua kali, yakni pada 15 Februari<br />
1950, dengan sasaran gedung parlemen.<br />
Namun rencana aksi itu gagal karena<br />
kesiapsiagaan TNI. Kegagalan-kegagalan itu<br />
menyebabkan semakin lemahnya negaranegara<br />
bagian sehingga satu-satu membubarkan<br />
diri dan mengintegrasikan diri ke<br />
negara kesatuan. Gagalnya aksi Westerling<br />
membuat Negara Pasundan bubar.<br />
Kalimantan Barat yang dipimpin Sultan Hamid<br />
II adalah negara bagian dari <strong>RI</strong>S yang tersisa<br />
Raymond Pierre Paul Westerlin<br />
Seorang instruktur Inggris mengatakan,<br />
pelatihan ini sebagai “It’s hell on earth”<br />
(neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran<br />
yang mereka peroleh antara lain: “unarmed<br />
combat” (perkelahian tangan kosong),<br />
“silent killing” (penembakan tersembunyi),<br />
“death slide”, “how to fight and kill without<br />
yang belum mengintegrasikan diri ke negara<br />
kesatuan.<br />
Keterlibatannya dalam aksi itu bersama<br />
Westerling membuat Sultan Hamid II ditangkap<br />
pada 5 April 1950. Dalam kesaksiannya, 19<br />
April 1950, Sultan Hamid II mengaku<br />
keterlibatannya dalam kudeta yang gagal itu.<br />
Kesaksian lain akan keterlibatan Sultan<br />
Hamid II juga tertuang dalam otobiograf<br />
Weseterling, Mémoires, yang terbit 1952.<br />
Dalam Memoires itu diceritakan telah dibentuk<br />
kabinet bayangan di bawah pimpinan Sultan<br />
Hamid II. ❏<br />
AW/dari berbagai sumber<br />
firearms” (berkelahi dan membunuh tanpa<br />
senjata api), “killing sentry” (membunuh<br />
pengawal) dan sebagainya.<br />
Selepas pelatihan di Skotlandia, ia<br />
dikembalikan bertugas di Eastbourne, Inggris.<br />
Di tempat itu ia mengabdi mulai 31 Mei 1943<br />
hingga 15 Desember 1943. Selanjutnya<br />
bersama 55 orang sukarelawan Belanda<br />
lainnya, Westerling yang saat itu masih<br />
pangkat sersan, berangkat ke India untuk<br />
betugas di bawah Laksamana Madya<br />
Mountbatten sebagai Panglima South East<br />
Asia Command atau Komando Asia<br />
Tenggara. Ke- 55 sukarelawan itu tiba di<br />
India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan<br />
di Kedgoan, 60 km di utara kota Poona atau<br />
Pune, sebuah kota di Maharashtra, India. Di<br />
kota inilah permainan bulutangkis ditemukan<br />
pada Abad XIX. Lalu kota ini juga terkenal<br />
sebagai Bhandarkar Oriental Research<br />
Institute, di mana para pakar antara 1919<br />
dan 1966 mempersiapkan suntingan teks<br />
lengkap dari Mahabharata.<br />
Rupanya Westerling adalah tentara yang<br />
beruntung. Buktinya, pada 20 Juli 1946, dia<br />
diangkat menjadi komandan pasukan<br />
khusus, Depot Speciale Troepen/DST<br />
(Depot Pasukan Khusus). Ia menduduki<br />
jabatan itu hanya untuk sementara waktu<br />
sampai diperoleh komandan yang lebih tepat,<br />
sehingga pangkatnya pun tidak dinaikkan,<br />
35
SELINGAN<br />
tetap Letnan II (Cadangan).<br />
Setelah bertugas di Kedgoan, Westerling<br />
ditugaskan ke Makassar, Indonesia. Tiba<br />
pada 5 Desember 1946 dan memimpin 120<br />
anggota pasukan khusus. DST mendirikan<br />
markasnya di Mattoangin, salah satu<br />
kelurahan di Kecamatan Mariso, Kota<br />
Makassar.<br />
Di Mattoangin ini, Westerling menyusun<br />
strategi untuk counter insurgency<br />
(penumpasan pemberontakan) dengan<br />
caranya sendiri, dan tidak berpegang pada<br />
Voorschrift voor de uitoefening van de<br />
Politiek-Politionele Taak van het Leger -<br />
VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara<br />
untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional),<br />
di mana telah ada ketentuan mengenai tugas<br />
intelijen serta perlakuan terhadap penduduk<br />
dan tahanan.<br />
Pedoman yang dibuat Westerling itulah<br />
yang dijalankan saat melakukan apa yang<br />
sekarang lebih dikenal dengan Peristiwa<br />
Pembantaian Westerling. Operasi militer<br />
counter insurgency yang dilakukan oleh DST<br />
di bawah Westerling yang berlangsung<br />
Desember 1946 hingga Februari 1947 di<br />
Sulawesi Selatan telah menyebabkan<br />
puluhan ribu rakyat sipil terbunuh.<br />
Mengenai jumlah korban, delegasi<br />
Republik Indonesia pada tahun 1947<br />
menyampaikan kepada PBB bahwa korban<br />
pembantaian terhadap penduduk, yang<br />
dilakukan oleh Kapten Raymond Westerling<br />
sejak Desember 1946 di Sulawesi Selatan<br />
mencapai 40.000 jiwa. Sedangkan,<br />
pemeriksaan Pemerintah Belanda 1969<br />
memperkirakan sekitar 3.000 rakyat<br />
Sulawesi tewas dibantai. Sedangkan<br />
Westerling sendiri mengatakan bahwa<br />
korban akibat aksi yang dilakukan oleh<br />
Westerling di Brussel 1950<br />
pasukannya hanya 600 orang.<br />
Setelah melakukan operasi pembantaian<br />
itu, Jenderal Spoor menilai keadaan darurat<br />
di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi,<br />
sehingga pada 21 Februari 1947 ia<br />
memberlakukan kembali VPTL dan Pasukan<br />
DST ditarik kembali ke Jawa.<br />
Apa yang dilakukan Westerling itu mampu<br />
mengangkat nama dan reputasi DST. Media<br />
massa Belanda memberitakan secara<br />
superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali<br />
ke Markas DST pada 23 Maret 1947,<br />
mingguan militer Het Militair Weekblad<br />
menyanjung dengan berita: “Pasukan si<br />
Turki kembali.”<br />
Kamp DST dari Mattoangin kemudian<br />
dipindahkan ke Kalibata, Jakarta, yang<br />
kemudian dipindahkan ke Batujajar,<br />
Bandung. Pada Oktober 1947 dilakukan<br />
reorganisasi di tubuh DST dan komposisi<br />
Pasukan Khusus tersebut terdiri dari 2<br />
perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL<br />
(Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13<br />
bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59<br />
serdadu KL.<br />
Atas prestasi itu, pada 5 Januari 1948,<br />
nama DST diubah menjadi Korps Speciale<br />
Troepen/KST (Korps Pasukan Khusus), dan<br />
kemudian memiliki unit terjun payung.<br />
Westerling kini memegang komando pasukan<br />
yang lebih besar dan lebih hebat dan<br />
pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi<br />
Kapten.<br />
Pembantaian Westerling itu rupanya tidak<br />
membuat jera KST. Selepas Perjanjian<br />
Renville, 17 Januari 1948, anggota KST<br />
melakukan pembantaian di Jawa Barat. Pada<br />
17 April 1948, Mayor KL R.F. Schill,<br />
komandan Pasukan 1-11 <strong>RI</strong> di Tasikmalaya,<br />
membuat laporan kepada atasannya, Kolonel<br />
KL M.H.P.J. Paulissen yang mengadukan ulah<br />
anggota KST yang dilakukan pada 13 dan<br />
16 April 1948. Karena, di dua tempat, yaitu<br />
di Tasikmalaya dan Ciamis, anggota KST telah<br />
membantai 10 orang penduduk tanpa alasan<br />
yang jelas, dan kemudian mayat mereka<br />
dibiarkan tergeletak di tengah jalan.<br />
Menggugat Pembantaian Westerling<br />
Keberhasilan Komite Utang Kehormatan<br />
Belanda (KUKB) memenangkan gugatan<br />
Kasus Pembantaian Rawagede, Karawang,<br />
Jawa Barat, membuat Ketua KUKB Batara<br />
Hutagalung optimistis bahwa Pembantaian<br />
Westerling juga bisa diajukan ke pengadilan.<br />
“Suksesnya kasus Rawagede ini menjadi<br />
pintu untuk kasus Westerling,” ujarnya.<br />
Batara Hutagalung meminta dukungan dari<br />
anggota Parlemen di Belanda dan menunggu<br />
proses lebih lanjut. Menurutnya, kasus<br />
Rawagede dan pembantaian Westerling<br />
sama-sama kejahatan kemanusiaan. KUKB<br />
siap menggugat pembantaian Westerling,<br />
yang jumlah korbannya jauh lebih besar<br />
ketimbang Rawagede. ❏<br />
AW/dari berbagai sumber<br />
36 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA
Taufiq Kiemas<br />
Hubungan Indonesia-Ceko<br />
Jangan Mengendur<br />
Hubungan Indonesia dan Republik Ceko sudah berlangsung sejak<br />
1950-an. Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Taufiq Kiemas meminta hubungan kedua<br />
negara itu jangan mengendur.<br />
KETUA <strong>MPR</strong> Taufiq Kiemas tidak<br />
menginginkan hubungan yang sudah<br />
terjalin baik antara Indonesia dan<br />
Republik Ceko mengendur. “Kita tidak ingin<br />
hubungan dengan Republik Ceko menjadi<br />
kendur,” kata Taufiq Kiemas dalam<br />
pertemuan dengan Duta Besar Republik<br />
Ceko, Thomas Smetanka, di ruang kerjanya,<br />
Lantai 9 Gedung Nusantara III, Kompleks<br />
<strong>MPR</strong>/DPR/DPD Senayan, Jakarta, Kamis 19<br />
Januari 2012.<br />
Di Republik Ceko, menurut Taufiq Kiemas,<br />
masih banyak warga negara Indonesia yang<br />
sudah lama tinggal dan berdiam di sana<br />
setelah menyelesaikan studinya di negara<br />
itu. “Kita mengucapkan terima kasih kepada<br />
pemerintah Ceko yang telah memberi<br />
kemudahan kepada “kakak-kakak” saya di<br />
sana,” kata Taufiq Kiemas.<br />
Duta Besar Republik Ceko untuk Indonesia,<br />
Thomas Smetanka, yang menjadi tamu<br />
Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Taufiq Kiemas ini baru enam<br />
bulan – sejak ia menyerahkan surat<br />
kepercayaan kepada Presiden Susilo<br />
Bambang Yudhoyono, Oktober 2011 —<br />
bertugas di Indonesia. Dalam kunjungan itu,<br />
Smetanka didampingi Wakil Duta Besar Petr<br />
Dolezal.<br />
Dalam pertemuan yang berlangsung<br />
hangat itu, Smetanka mengungkapkan<br />
bahwa hubungan Rebublik Ceko dengan Indonesia<br />
sudah berlangsung sejak 1950-an.<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
“Ini menjadi dasar yang baik untuk<br />
meningkatan persahabatan kedua negara ke<br />
depan,” ujarnya.<br />
Selain hubungan kedua pemerintahan,<br />
menurut Smetanka, juga terjalin hubungan<br />
yang baik di antara parlemen kedua negara.<br />
Menurut Smetanka, beberapa telah<br />
berlangsung kunjungan delegasi DPR <strong>RI</strong> ke<br />
Praha, ibukota Republik Ceko.<br />
Kepada Taufiq Kiemas, Dubes Smetanka<br />
menyatakan, selama bertugas di Indonesia<br />
telah berupaya melakukan sesuatu dan<br />
memberi sumbangan untuk perbaikan dan<br />
peningkatan hubungan ekonomi kedua<br />
negara. Ia menambahkan bahwa beberapa<br />
perusahaan dari Republik Ceko sudah ada<br />
di Indonesia dan berbisnis di sini.<br />
“Saya tahu ada beberapa perusahaan<br />
dari Republik Ceko yang berbisnis di Indonesia.<br />
Perusahaan-perusahaan itu<br />
merupakan perusahaan yang bagus dan<br />
berkualitas, bergerak di bidang infrastruktur,<br />
transportasi udara, pembangunan bandara,”<br />
jelas Thomas Smetanka.<br />
Karena itu, lanjut Smetanka, ekonomi<br />
kedua negara bisa saling isi mengisi. Dan,<br />
yang menjadi dasar kerjasama ekonomi<br />
kedua negara perjanjian kerjasama antara<br />
Indonesia dan Republik Ceko dalam bidang<br />
ekonomi.<br />
Selain itu, Smetanka juga mengharapkan<br />
agar hubungan kedua negara terjalin dalam<br />
lingkup multilateral, seperti kerjasama<br />
ekonomi antara negara-negara Asia Pasifik<br />
dengan negara Uni Eropa. Indonesia<br />
tergabung dalam negara-negara Asia<br />
Pasifik, dan Republik Ceko masuk dalam Uni<br />
Eropa. “Ini untuk lebih meningkatkan lagi<br />
hubungan kedua negara,” tambahnya.<br />
Thomas Smetanka juga menyinggung soal<br />
kerjasama di bidang pendidikan. Dia<br />
mengatakan, selama bertugas di Indonesia<br />
akan membantu pelajar atau mahasiswa<br />
untuk melanjutkan studi ke Republik Ceko.<br />
“Kami memiliki banyak lembaga pendidikan<br />
yang bagus dan berkualitas. Kami juga<br />
menerima pelajar dan mahasiswa dari Indonesia.<br />
Saya akan berusaha menambah<br />
jumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia<br />
yang belajar ke sana,” janjinya. Dia juga<br />
mengungkapkan ada anggota DPR periode<br />
sekarang ini alumni dari Ceko.<br />
Mendengar informasi itu, Taufiq Kiemas<br />
menimpali: “Saya punya buku yang berisi<br />
alumni atau mahasiswa yang pernah belajar<br />
di Ceko.” Salah satu pejabat Indonesia yang<br />
pernah belajar di Ceko adalah mantan<br />
Menristek Rahardi Ramelan.<br />
Kepada Dubes Ceko, Taufiq Kiemas<br />
menyebutkan bahwa ia pertama kali<br />
mengunjungi Ceko ketika negara itu masih<br />
bersatu dengan nama Cekoslovakia.<br />
Kemudian kunjungan kedua bersama<br />
Megawati Soekarnoputri. “Banyak yang<br />
mengatakan Paris, Budapest, Wina, adalah<br />
kota-kota yang indah. Tapi, menurut saya,<br />
Praha lebih indah,” katanya.<br />
Taufiq juga menyebutkan sepeda motor<br />
yang bernama “Java” pernah ada dan<br />
terkenal di Ceko pada waktu lalu. Sedangkan<br />
dalam bidang ekonomi, Taufiq Kiemas<br />
menyebutkan, perusahaan Ceko terlibat<br />
dalam pembangunan Bandara di Jawa<br />
Tengah. Namun, pembangunan itu belum<br />
selesai.<br />
Smetanka mengakui, perusahaan Ceko<br />
sempat melakukan studi kelayakan untuk<br />
pembangunan Bandara di Jawa Tengah.<br />
“Perusahaan Ceko sangat bagus dan<br />
kompeten untuk melakukan pembangunan<br />
Bandara. Kami masih menjalin kerjasama<br />
dengan Angkasa Pura,” jelasnya.<br />
Sedangkan soal sepeda motor “Java”,<br />
Smetanka mengatakan, sepeda motor itu<br />
memang pernah terkenal di beberapa<br />
negara. Namun, kondisinya saat ini sudah<br />
tidak lagi seperti dulu, karena kalah bersaing.<br />
“Saya dengar ada investor yang ingin<br />
menghidupkan kembali sepeda motor itu,”<br />
ujarnya. ❏<br />
BS<br />
37
NASIONAL<br />
Kunjungan Duta Besar Slovakia<br />
Jajaki Investasi Infrasruktur<br />
dan Energi di Indonesia<br />
Negara-negara Eropa Timur ternyata banyak yang melirik<br />
Indonesia untuk melakukan investasi. Slovakia adalah salah<br />
satunya yang melihat Indonesia akan muncul sebagai pelaku<br />
ekonomi yang berpengaruh di Asia.<br />
DENGAN senyum mengembang, Wakil<br />
Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Ahmad Farhan Hamid<br />
ramah menerima kunjungan Duta Besar<br />
Slovakia untuk Indonesia Stefan Rozkopal,<br />
di Ruang Tamu Pimpinan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, Gedung<br />
Nusantara III, Kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD <strong>RI</strong><br />
Senayan, Jakarta, Rabu (18/1).<br />
Kedatangan dubes yang baru memulai<br />
tugasnya secara resmi di Indonesia Agustus<br />
2011 itu mempunyai dua agenda utama.<br />
Pertama, melakukan perkenalan secara<br />
resmi dan pribadi dengan Pimpinan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>.<br />
Kedua, sebagai tindak lanjut agenda yang<br />
diusung Presiden Slovakia Ivan Gasparovic<br />
dalam kunjungan resminya ke Indonesia pada<br />
Agustus 2011 tersebut.<br />
“Slovakia memang telah lama menjajaki<br />
potensi kerjasama investasi di berbagai<br />
bidang dengan Indonesia. Ada beberapa<br />
prioritas investasi lanjutan yang akan kami<br />
siapkan, yakni kerjasama investasi di bidang<br />
energi dan infrastruktur, diantaranya adalah<br />
membangun power plant dan pembangkit<br />
nuklir,” ujar Stefan.<br />
Sebagai informasi, Indonesia dan Slovakia<br />
telah sukses menjalin kerjasama atau join ven-<br />
FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
ture pada bidang bisnis, perdagangan dan<br />
investasi. Menurut Duta Besar Indonesia untuk<br />
Slovakia Harsha E.Joesoef, pada Februari<br />
2011 volume perdagangan Indonesia –<br />
Slovakia mencatat pertumbuhan yang cukup<br />
signifikan. Pada 2009, terjadi kenaikan ekspor<br />
sebesar 60% atau US$ 64,3 juta, dan terjadi<br />
peningkatan pada tahun-tahun berikut. Nah,<br />
dengan ada join venture ini, volume<br />
perdagangan Indonesia-Slovakia pada 2012<br />
diprediksi akan lebih meningkat lagi.<br />
Stefan menengarai bahwa penjajakan<br />
kerjasama di bidang infrastruktur dan energi,<br />
apalagi sampai terealisasi akan menambah<br />
keuntungan dan mempererat hubungan Indonesia-<br />
Slovakia.<br />
“Bahkan kami telah memulai menjalinan<br />
kerjasama awal dengan beberapa daerah<br />
di Indonesia, seperti Lombok, Jawa Tengah<br />
dan yang terbaru dengan Bangka Belitung.<br />
Indonesia dan Slovakia pernah<br />
menyelanggarakan kegiatan di Jakarta dan<br />
Bangka Belitung dengan fokus bidang energi<br />
dan infrastruktur pada acara “The 4 th<br />
Slovakia-Indonesia Business Forum” yang<br />
berlangsung Februari tahun lalu,” terang<br />
Stefan.<br />
Menurut Stefan, dalam kegiatan itu, Indonesia<br />
dan Slovakia bukan hanya menjajaki<br />
kerjasama dalam bidang perdagangan dan<br />
bisnis, tapi ijajaki juga investasi dan<br />
kerjasama pengembangan reaktor nuklir.<br />
Rencananya, lokasi reaktor akan berada di<br />
daerah Bangka Belitung.<br />
“Untuk pengembangan reaktor nuklir, kami<br />
sanggup melakukan kerjasama dan kajian<br />
ataupun realisasi, karena Slovakia memiliki<br />
sistem pengembangan nuklir yang sehat.<br />
Pembangunan power plant selain nuklir juga<br />
dijajaki dan ada kemungkinan terealisasi,”<br />
katanya.<br />
Dalam kesempatan itu, Stefan<br />
menegaskan bahwa dunia investasi Eropa<br />
Timur, termasuk Slovakia, butuh berbagai<br />
jaminan untuk realisasinya, terutama jaminan<br />
kestabilan politik. “Kestabilan politik suatu<br />
negara sangat penting bagi realisasi, proses<br />
dan keberlangsungan kerjasama investasi<br />
dalam berbagai bidang,” tandas Stefan.<br />
Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Ahmad Farhan Hamid<br />
menyambut baik uluran tangan Slovakia<br />
untuk terus melakukan hubungan kerjasama<br />
dengan Indonesia. “Perhatian pemerintah<br />
Slovakia untuk terus menjalin dan<br />
pengembangan kerjasama dengan Indonesia,<br />
kami apresiasi. Kerjasama ini akan<br />
Stefan Rozkopal<br />
membuka mata negara-negara di daratan<br />
Eropa lainnya untuk melihat bahwa Indonesia<br />
dalam keadaan dan situasi yang sangat<br />
baik dari hari ke hari,” ujar Farhan.<br />
Kepada Stefan, Farhan memberikan saran,<br />
jika Slovakia serius melakukan akan<br />
investasi infrastruktur atau energi,<br />
pembangunan power plant misalnya, kalau<br />
bisa difokuskan ke satu daerah saja. Jika<br />
terealisasi, akan menjadi model bagi daerahdaerah<br />
lain. “Kerjasama selain bidang bisnis<br />
dan ekonomis, seperti kerjasama<br />
antarparlemen Indonesia dan Slovakia juga<br />
baik dijajaki dan mudah-mudahan bisa di<br />
realiasasi,” ujar Farhan. ❏<br />
Derry<br />
38 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
Singgung Pilar di Kalangan Islam Moderat Dunia<br />
Delegasi yang akan mengadakan pertemuan dalam Internasional Conference on Muslim Moderate<br />
Movement mengadakan pertemuan dengan pimpinan <strong>MPR</strong>. Dalam pertemuan itu dijelaskan<br />
tujuan dan manfaat. Din Syamsuddin sebagai salah satu delegasi akan mengumandangkan 4 Pilar<br />
saat acara.<br />
KUNJUNGAN pimpinan <strong>MPR</strong> di akhir<br />
tahun 2011 yang lalu memberi dampak<br />
yang positif dalam perkembangan Islam<br />
di Malaysia, khususnya, dan di dunia<br />
pada umumnya. Dari kunjungan delegasi<br />
yang dipimpin oleh Ketua <strong>MPR</strong> Taufiq Kiemas<br />
tersebut, menginspirasi Perdana Menteri<br />
Malaysia Najib Razak mengadakan<br />
Internasional Conference on Muslim Moderate<br />
Movement yang akan diadakan pada<br />
pertengahan Januari 2012.<br />
Saat mengadakan pertemuan dengan para<br />
pemimpin Malaysia, Taufiq Kiemas<br />
mendorong kerja sama yang diadakan tidak<br />
hanya antarpemerintah, G to G, namun juga<br />
antarmasyarakat, P to P. Internasional Conference<br />
on Muslim Moderate Movement<br />
(ICOM3) itulah yang dirasa sebagai salah<br />
satu bentuk P to P. Acara itu diadakan, salah<br />
satunya untuk mendorong lebih eratnya<br />
hubungan Indonesia-Malaysia.<br />
Sebelum berangkat ke acara itu, delegasi<br />
yang diundang dalam Internasional Conference<br />
on Muslim Moderate Movement<br />
mengadakan silaturahmi dengan Taufiq<br />
Kiemas dan Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Hajriyanto Y.<br />
Thohari, 16 Januari 2012. Delegasi yang<br />
diterima oleh pimpinan <strong>MPR</strong>, di Lt. 9, Gedung<br />
Nusantara III, Komplek Gedung <strong>MPR</strong>/DPR/<br />
DPD, adalah Ketua Umum Muhammadiyah Din<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Syamsuddin dan anggota DPR dari Fraksi<br />
PDIP Ahmad Basarah yang sekaligus<br />
Pengurus Baitul Muslimin Indonesia<br />
(Barmusi).<br />
“Kedatangan kami ke sini untuk<br />
memberitahukan rencana keberangkatan<br />
kami ke Kuala Lumpur,” ujar Din Syamsuddin<br />
kepada Taufiq Kiemas. Selanjutnya Din<br />
Syamsuddin menerangkan bahwa<br />
organisasi yang diundang dalam acara itu,<br />
dari Indonesia, adalah Muhammadiyah, NU,<br />
dan Barmusi.<br />
Menurut pria asal Bima, Nusa Tenggara<br />
Barat, ada yang menarik dalam Internasional<br />
Conference on Muslim Moderate Movement,<br />
pertama bahwa kegiatan itu langsung<br />
diprakarsai oleh pihak Kerajaan Malaysia dan<br />
sebagai sebuah gerakan nyata dari Islam<br />
moderate. Kedua, yang diundang dalam<br />
kegiatan tersebut adalah NU,<br />
Muhammadiyah, dan Barmusi. Sebagai<br />
gerakan Islam moderate, menurut Din<br />
Syamsuddin ketiga organisasi itu sangat<br />
penting dalam mendukung seluruh<br />
pembangunan di Indonesia. Sebagai Islam<br />
moderate, ketiga organisasi tersebut<br />
menurut Din Syamsuddin selalu<br />
mengupayakan Islam sebagai rahmat bagi<br />
semua ummat manusia. Selain itu, ketiga<br />
organisasi itu juga mendukung adanya<br />
sosialisasi 4 Pilar. “Saat di konferensi saya<br />
juga akan memaparkan 4 Pilar,” kata Din<br />
Syamsuddin.<br />
Dalam kesempatan itu pula, Din<br />
Syamsuddin menjelaskan bahwa di bulan<br />
Februari 2012, kelompok lintas agama akan<br />
mengadakan Pekan Kerukunan Umat<br />
Beragama. Program ini merupakan program<br />
yang didorong oleh PBB dan Raja Jordania.<br />
Dalam kegiatan itu akan diadakan berbagai<br />
macam kegiatan, seperti pada 5 Februari<br />
menanam pohon perdamaian, 10 Februari<br />
sarasehan, dan puncaknya pada 12 Februari<br />
dengan pidato Taufiq Kiemas. Acara puncak<br />
yang akan dilaksanakan di Gedung<br />
Nusantara IV, Komplek Gedung <strong>MPR</strong>/DPR/<br />
DPD itu akan dihadiri oleh ribuan peserta dari<br />
berbagai unsur agama dan ormas.<br />
Dalam acara penanaman pohon, Din<br />
Syamsuddin mengusulkan agar acara itu bisa<br />
dilaksanakan di komplek Gedung <strong>MPR</strong>/DPR/<br />
DPD. “Saat penanaman pohon nanti akan<br />
diikuti secara serentak penanaman pohon<br />
di tempat-tempat ibadah di seluruh Indonesia,”<br />
papar Din Syamsuddin. Semua acara<br />
itu diharapkan sebagai salah satu bentuk<br />
untuk menciptakan rasa persatuan dan<br />
kesatuan di kalangan masyarakat yang<br />
beragam identitasnya.<br />
Mendapat pemaparan yang demikian,<br />
Taufiq Kiemas mendukung segala langkah<br />
yang bertujuan untuk mempererat rasa<br />
persatuan dan kesatuan di antara unsur<br />
masyarakat. Dengan acara-acara seperti<br />
itulah maka sosialisasi 4 Pilar akan lebih<br />
tersosialisasikan. Selepas acara<br />
Internasional Conference on Muslim Moderate<br />
Movement, Taufiq Kiemas ingin<br />
mendapatkan laporan kegiatan itu langsung<br />
dari Barmusi. Laporan dari Barmusi karena<br />
organisasi itu sayap dari PDIP. Kemudian<br />
dalam acara Pekan Kerukunan Ummat<br />
Beragama, Taufiq Kiemas memberi<br />
dukungan dengan menyediakan fasilitas<br />
Gedung Nusantara IV untuk acara puncak<br />
dan halaman yang ada di komplek Gedung<br />
<strong>MPR</strong>/DPR/DPD untuk ditanami pohon<br />
perdamaian. ❏<br />
AW<br />
39
NASIONAL<br />
Ikatan Keluaraga Angkatan 66<br />
Angkatan 66 Siap Gelorakan 4 Pilar<br />
Pada tahun 1966 Angkatan 66 menggelorakan Tritura. Saat ini mereka siap menggelorakan 4<br />
Pilar. Keinginan untuk melakukan sosialisasi karena dirasa Pancasila pudar di tengah<br />
masyarakat. Keinginan Angkatan 66 disambut baik oleh pimpinan <strong>MPR</strong> dan siap difasilitasi.<br />
BEGITU disebut Angkatan 66, semua or<br />
ang pasti mengaitkan dengan gerakan<br />
mahasiswa di tahun 1966 yang<br />
menggelorakan tuntutan Tritura, di mana<br />
salah satu tuntutannya itu adalah perbaikan<br />
ekonomi. Gerakan mahasiswa di tahun 1966<br />
itu sangat fenomenal dan dikenang sebagai<br />
salah satu rangkaian proses perjalanan<br />
bangsa.<br />
Meski peristiwa itu sudah puluhan tahun<br />
berlalu, namun semangat dari para<br />
aktivisnya sampai saat ini masih tetap<br />
bergelora. Untuk terus memperjuangkan<br />
cita-citanya, Angkatan 66 selanjutnya<br />
membentuk sebuah organisasi yang<br />
dinamakan Komunitas Keluarga Besar<br />
Angkatan 1966 yang disingkat KKB 66.<br />
Organisasi yang ketua dewan pembinanya<br />
Akbar Tanjung dan ketua dewan<br />
penasihatnya Cosmas Batubara itu tetap<br />
mempunyai semangat untuk menjadikan Indonesia<br />
yang lebih baik.<br />
Untuk meneruskan estafet perjuangan,<br />
pada 18 Januari 201, Pengurus Pusat KKB<br />
66 mengadakan kunjungan kepada pimpinan<br />
<strong>MPR</strong>. Delegasi yang dipimpin oleh Ketua<br />
Umum Pengurus Pusat KKB 66, Bangun<br />
Usman Harahap, itu diterima oleh Wakil Ketua<br />
<strong>MPR</strong> Ahmad Farhan Hamid dan Melani<br />
Leimena Suharli di Ruang Rapat Pimpinan,<br />
Lt.9, Gedung Nusantara III, Komplek Gedung<br />
<strong>MPR</strong>/DPR/DPD, Jakarta.<br />
Dalam kunjungan itu, Pengurus Pusat KKB<br />
66 menyampaikan keinginannya untuk bisa<br />
bekerja sama dengan <strong>MPR</strong> melaksanakan<br />
sosialisasi 4 Pilar, yakni Pancasila, UUD N<strong>RI</strong><br />
Tahun 1945, NK<strong>RI</strong>, dan Bhinneka Tunggal<br />
Ika. Rangkaian kegiatan sosialisasi yang<br />
hendak dilakukan oleh Pengurus Pusat KKB<br />
66 yakni dalam rangka memperingati Hari<br />
Kebangkitan Nasional 20 Mei, Pidato Bung<br />
Karno 1 Juni, dan ziarah kubur ke makam<br />
Bung Karno dan Pak Harto. “Kami ingin diberi<br />
ruang untuk bisa berpartisipasi untuk<br />
mensosialisasikan 4 Pilar,” ujar Bangun<br />
Usman.<br />
Lebih lanjut disebut oleh Bangun Usman,<br />
<strong>MPR</strong> saat ini sebagai benteng Pancasila.<br />
Pengurus Pusat KKB 66 sudah lama<br />
mendengar sosialisasi 4 Pilar yang dilakukan<br />
oleh <strong>MPR</strong>. Sosialisasi dianggap sebagai hal<br />
yang penting karena dirasa Pancasila pudar<br />
di tengah masyarakat. “Sehingga perlu<br />
disosialisasikan, dan yang paling penting<br />
adalah implementasinya,” ujar Bangun<br />
Usman. Organisasi yang dipimpinnya itu,<br />
menurut Bangun Usman, tersebar di seluruh<br />
Indonesia dan siap melaksanakan sosialisasi<br />
di manapun.<br />
Mendengar pemaparan yang demikian,<br />
baik Ahmad Farhan Hamid dan Melani<br />
Leimena Suharli merasa senang. Farhan<br />
Hamid mengatakan bahwa sosialisasi<br />
merupakan amanat dari UU. No. 27 Tahun<br />
2009 Tentang <strong>MPR</strong>, DPR, DPD, dan DPRD,<br />
sehingga wajib untuk dilaksanakan.<br />
Dijelaskan oleh pria asal Aceh itu ada<br />
beberapa aspek yang tidak bisa ditawartawar<br />
dalam masalah kebangsaan dan<br />
kenegaraan, yakni masalah wilayah dan<br />
FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
ideologi. “Kita tidak boleh bermain-main dalam<br />
masalah ideologi negara,” ujarnya. Untuk itu<br />
<strong>MPR</strong> mendorong keterlibatan masyarakat<br />
dalam melakukan sosialisasi 4 Pilar dengan<br />
berbagai macam metode.<br />
Keinginan Pungurus Pusat KKB 66 untuk<br />
ikut mensosialisasikan 4 Pilar diakui oleh<br />
Ahmad Farhan Hamid sebagai bentuk<br />
partisipasi masyarakat. “Kerja <strong>MPR</strong> terbantu<br />
dengan adanya partisipasi masyarakat<br />
melaksanakan sosialisasi,” paparnya.<br />
Sehingga keinginan Pengurus Pusat KKB 66<br />
untuk ikut melakukan sosialisasi diterima dan<br />
siap difasilitasi.<br />
Perasaan gembira juga diungkapkan oleh<br />
Melani Leimena Suharli. “Saya senang<br />
Pengurus Pusat KKB 66 ikut<br />
mensosialisasikan 4 Pilar,” ungkapnya. Putri<br />
Pahlawan Nasional J. Leimena itu<br />
mengatakan bahwa sosialisasi 4 Pilar telah<br />
dilakukan dengan berbagai macam cara,<br />
seperti ToT, FGD, lewat jalur seni dan<br />
budaya, LCC, lewat media massa, sosialisasi<br />
kabupaten dan kota, dialog televisi, serta<br />
bentuk-bentuk lainnya.<br />
“Berbagai bentuk sosialisasi itu direspon<br />
sangat positif oleh masyarakat dan<br />
pemerintah. “Buktinya Menteri Pendidikan<br />
Nasional dan Kebudayaan pada tahun 2012<br />
ini akan memasukan kembali ke Pancasila ke<br />
dalam kurikulum pendidikan,” paparnya. ❏<br />
AW<br />
40 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
DPN Generasi Muda Masjid Indonesia<br />
Generasi Muda Sasaran<br />
Paham Terorisme<br />
Untuk menyusupkan paham terorisme, para pelaku biasanya<br />
menjadikan kalangan generasi muda sebagai sasaran. Karena<br />
itu diperlukan upaya untuk meng-counter paham terorisme di<br />
kalangan anak muda.<br />
DEWAN Pengurus Nasional Generasi<br />
Muda Masjid Indonesia menyatakan<br />
keprihatinan terhadap menyebarnya<br />
paham terorisme di kalangan generasi<br />
muda. Sebab, untuk menyusupkan paham<br />
terorisme biasanya pelaku menargetkan<br />
anak-anak muda. Untuk itu organisasi ini<br />
melakukan upaya untuk meng-counter<br />
paham terorisme itu.<br />
Upaya meng-counter paham terorisme itu<br />
dijelaskan Delegasi Dewan Pengurus<br />
Nasional Generasi Muda Masjid Indonesia<br />
dalam pertemuan dengan Wakil Ketua <strong>MPR</strong><br />
Ahmad Farhan Hamid di ruang kerjanya,<br />
Lantai 9 Gedung Nusantara III, Kompleks<br />
<strong>MPR</strong>/DPR/DPD, Jakarta, Kamis, 22 Desember<br />
2011. Delegasi Dewan Pengurus Nasional<br />
Generasi Muda Masjid Indonesia<br />
beranggotakan enam orang itu dipimpin<br />
Helmy G.S.<br />
Dalam pertemuan yang berlangsung<br />
sekitar setengah jam, Helmy menyampaikan<br />
mengenai gerakan nasional yang dilakukan<br />
Dewan Pengurus Nasional Generasi Muda<br />
Masjid Indonesia. “Kita ingin meng-counter<br />
isu-isu terorisme. Kita ingin meng-counter<br />
pemahaman tentang terorisme,” katanya.<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Singkatnya, gerakan yang berada di bawah<br />
Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini akan<br />
memerangi paham terorisme, khususnya di<br />
kalangan generasi muda.<br />
Langkah yang dilakukan di antaranya<br />
melalui seminar-seminar. Dalam waktu dekat<br />
Dewan Pengurus Nasional Generasi Muda<br />
Masjid Indonesia akan menyelenggarakan<br />
seminar di Cirebon, Jawa Barat. Dalam<br />
kesempatan itu, delegasi mengundang Ketua<br />
<strong>MPR</strong> Taufiq Kiemas untuk hadir dalam seminar<br />
itu. Waktu penyelenggaraan seminar<br />
menunggu kepastian kehadiran Ketua <strong>MPR</strong><br />
Taufiq Kiemas.<br />
Anggota delegasi Deding menambahkan,<br />
selain menyelenggarakan seminar, juga<br />
dilakukan sosialisasi memerangi terorisme<br />
ke universitas-universitas dan pesantrenpesantren.<br />
“Kita akan membuat billboard di<br />
masjid-masjid,” katanya. Selain itu, menurut<br />
Deding, pihaknya langsung turun ke bawah,<br />
ke generasi muda. “Karena paham terorisme<br />
ini tumbuh subur di kalangan generasi muda<br />
di lapisan bawah,” tambahnya.<br />
Program lainnya adalah pembekalan<br />
kepada ustadz-ustadz. Dewan Pengurus<br />
Nasional Generasi Muda Masjid Indonesia<br />
mengumpulkan para ustad dari berbagai<br />
daerah di Indonesia. “Kita kumpulkan 250<br />
ustad untuk masuk ke masjid-masjid guna<br />
meng-counter pemahaman tentang<br />
terorisme,” katanya.<br />
Selain program itu, Dewan Pengurus<br />
Nasional Generasi Muda Masjid Indonesia<br />
juga memiliki program jangka panjang, yaitu<br />
pemberdayaan ekonomi umat. Misalnya,<br />
pemberdayaan ekonomi di lingkungan<br />
masjid. Pemberdayaan dilakukan melalui<br />
kerjasama dengan mini market waralaba,<br />
sehingga marbot-marbot bisa diberdayakan.<br />
“Kalau mereka sudah diberdayakan tidak ada<br />
lagi keinginan untuk melakukan demo atau<br />
terlibat dalam aksi terorisme,” katanya.<br />
Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Ahmad Farhan Hamid<br />
mengatakan, persoalan terorisme di Indonesia<br />
muncul karena masalah interpretasi.<br />
Di Indonesia, ada paham nasionalisme yang<br />
mengesampingkan soal agama, sebaliknya<br />
di sisi lain ada pemahaman yang<br />
menonjolkan kepercayaan mayoritas di<br />
samping nasionalisme. “Semua ini<br />
sebenarnya sudah selesai dengan<br />
Pancasila,” kata Ahmad Farhan Hamid.<br />
Karena itu, Ahmad Farhan Hamid<br />
menegaskan tidak ada kaitan antara<br />
terorisme dengan Islam. Kalau pun ada yang<br />
terlibat, hanya individu-individu. “Ini<br />
menyangkut masalah interpretasi,” katanya.<br />
Lebih lanjut Ahmad Farhan Hamid<br />
menyebutkan, persoalan terorisme di Indonesia<br />
lebih disebabkan pada dua hal, yaitu<br />
ketidakmampuan secara ekonomi dan tidak<br />
adanya akses kepada kekuasaan.<br />
Ahmad Farhan Hamid menambahkan,<br />
kondisi seperti itu makin diperparah dengan<br />
masih adanya ekslusifisme. “Untuk melihat<br />
apakah ada terorisme atau tidak bisa<br />
diketahui apakah ada kelompok<br />
eksklusifisme yang mengajarkan agama.<br />
Yang penting adalah agar kelompok yang<br />
eksklusif itu tidak menyebar,” katanya<br />
seraya mengakui terorisme tidak bisa<br />
dibasmi sampai tuntas. ❏<br />
BS<br />
41
NASIONAL<br />
Mengenang Soeharto<br />
Mengenang Trilogi Pembangunan<br />
Di samping kekurangannya, Soeharto telah berjasa dalam pembangunan Indonesia. Namun,<br />
menginginkan kembalinya “Soehartoisme” pada saat seperi sekarang, sepertinya hanya akan<br />
jadi impian semata.<br />
EMPAT tahun yang lalu, tepatnya 27<br />
Januari 2008, Presiden Kedua Republik<br />
Indonesia, H. Muhammad Soeharto,<br />
wafat. Pemimpin Orde Baru itu meninggal<br />
pada usia 86 tahun. Ia tutup usia sekitar<br />
sepuluh tahun setelah lengser dari kursi<br />
kepresidenan pada 21 Mei 1998.<br />
Soeharto dimakamkan di sisi pusara istri<br />
tercinta Hj. Siti Hartinah Soeharto. Di<br />
pemakaman yang jauh dari kebisingan,<br />
Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa<br />
Tengah. Prosesi pemakaman Soeharto yang<br />
dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang<br />
Yudhoyono mendapat penghormatan dari<br />
seluruh rakyat Indonesia dan pemimpin dunia<br />
lainnya. Sebuah acara pemakaman terbesar<br />
pada 2008 lalu.<br />
Sepanjang menjalankan kekuasaan<br />
selama 31 tahun, Soeharto telah berbuat<br />
banyak untuk negeri ini. Harus diakui, selama<br />
Soeharto berkuasa, kondisi Indonesia jauh<br />
dari “kegaduhan” politik. Ia sanggup<br />
menenangkan rakyatnya. Selama menjadi<br />
presiden, Soeharto bisa mengatur harga<br />
pangan agar terjangkau oleh seluruh rakyat.<br />
Malah, di bawah kepemimpinannya, dia<br />
bisa membalikkan status Indonesia dari<br />
negeri importir beras menjadi negara<br />
swasembada beras sebagai makanan pokok<br />
Sidang <strong>MPR</strong>S tahun 1967<br />
H. Muhammad Soeharto<br />
sehari-hari itu. Bahkan, Indonesia sempat<br />
menjadi pengekspor pangan melalui program<br />
pembangunan sektor pertaninan. Soeharto<br />
memfokuskan pembangunan pertanian<br />
melalui perbaikan infrastruktur irigasi dan<br />
jalan desa. Soeharto mencanangkan<br />
Revolusi Hijau untuk menggenjot beras<br />
petani.<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />
Peran yang dimainkan Soeharto selaku<br />
nahkoda Negara Kesatuan Republik Indonesia<br />
dimulai sejak 11 Maret 1966. Pada<br />
saat itulah dia menerima mandat dari<br />
Presiden Soekarno untuk mengambil<br />
tindakan yang dibutuhkan guna mengatasi<br />
situasi kemanan saat itu. Dengan surat itu—<br />
yang dikenal dengan Surat Perintah Sebelas<br />
Maret atau Supersemar—Soeharto<br />
membubarkan Partai Komunis Indonesia<br />
(PKI) yang dituduh terlibat dalam peristiwa<br />
30 September 1965.<br />
Trilogi Pembangunan<br />
Sidang istimewa <strong>MPR</strong>S yang dipimpin<br />
Jenderal A. H. Nasution pada tahun 1967<br />
akhirnya memilih dan menetapkan Soeharto<br />
menjadi Presiden kedua <strong>RI</strong>. Awal memegang<br />
tampuk kepemimpinan, kondisi ekonomi Indonesia<br />
sangat terpuruk. Pada waktu itu<br />
utang luar negeri Indonesia mencapai<br />
US$2,5 miliar, disertai inflasi sebesar 650%.<br />
Dan lebih dari 70 juta penduduk Indonesia<br />
hidup di bawah garis kemiskinan.<br />
Dengan kerja keras dan kegigihannya,<br />
dalam dua tahun, Soeharto membalikkan<br />
keadaan. Inflasi sebesar 650% itu berhasil<br />
diturunkan menjadi hanya 15% saja. Dan,<br />
melalui tahapan pembangunan yang terencana,<br />
terarah serta berkesinambungan,<br />
dalam jangka kurang dari empat Pelita,<br />
tepatnya pada 1984, Indonesia berhasil<br />
menjadi negara yang berswasembada<br />
pangan. Padahal di awal kepemimpinannya,<br />
Indonesia dikenal sebagai negara pengimpor<br />
beras terbesar di dunia. Prestasi itu diakui<br />
masyarakat internasional. Soeharto sendiri<br />
kemudian ditetapkan sebagai Bapak<br />
Pembangunan Indonesia.<br />
Selama kepemimpinannya, Soeharto<br />
memperioritaskan pembangunan pada<br />
sektor pertanian. Ia membangun banyak<br />
jembatan dan waduk. Seperti Jatiluhur,<br />
Saguling, Karangkates hingga<br />
Gajahmungkur. Soeharto juga membangun<br />
pabrik pupuk, seperti Pabrik Pupuk Sriwijaya,<br />
Pupuk Kaltim, Pusri, Petrokimia dan Kujang.<br />
42 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, 21 Mei 1998<br />
Ia juga mengembangkan teknologi pertanian<br />
dan peningkatan produksi padi, antara lain<br />
melalui pengembangan benih unggul dengan<br />
mendirikan Sang Hyang Sri, perusahaan plat<br />
merah yang bertugas mengurusi benih. Dan<br />
untuk meningkatkan pengetahuan petani,<br />
Soeharto tak segan-segan membentuk<br />
petugas penyuluh lapangan.<br />
Selama 31 tahun berkuasa, Soeharto<br />
memegang teguh prinsip Trilogi<br />
Pembangunan seperti yang banyak<br />
dipraktikkan di negara-negara lain saat itu.<br />
Yaitu stabilitas politik dan keamanan,<br />
pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan.<br />
Menyangkut prinsip Trilogi Pembangunan ini,<br />
Bung Hatta Wakil Presiden pertama, pernah<br />
memberi saran agar Soeharto melakukan<br />
pembangunan dahulu baru kemudian<br />
melaksanakan pemerataan.<br />
Dalam perjalanannya prinsip Trilogi<br />
Pembangunan itu mendapat sorotan tajam.<br />
Apalagi dalam menciptakan stabilitas politik<br />
dan keamanan, Soeharto didukung penuh<br />
oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia<br />
(AB<strong>RI</strong>). Seolah-olah apapun bisa<br />
dilakukan untuk mencapai stabilitas politik<br />
dan keamanan, termasuk dengan<br />
mengekang pers, melakukan kekerasan,<br />
atau memberangus demokrasi. Padahal<br />
tindakan represif itu tujuannya untuk<br />
menciptakan situasi kondusif dalam<br />
melaksanakan pembangunan nasional.<br />
Nyatanya, memang, saat itu Indonesia<br />
mengalami kemajuan pesat. Pertumbuhan<br />
ekonomi Indonesia mencapai 7% — sebuah<br />
angka pertumbuhan yang pernah tak lagi<br />
dicapai di era reformasi ini. Lalu, produksi<br />
beras yang hanya 12,2 juta ton pada 1969,<br />
meningkat menjadi 25,8 juta ton pada 1984.<br />
Bahkan dunia luar juga mengakui<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
keberhasilan Soeharto dalam pengentasan<br />
kemiskinan.<br />
Romantisme Semata<br />
Ibarat ikan mati yang dikerubuti lalat,<br />
menurut Anang Prihantoro, Anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
dari kelompok DPD, semasa memerintah<br />
Soeharto pun tak luput dari berbagai<br />
kesalahan. Korupsi, pengekangan terhadap<br />
kebebasan pers, pelanggaran Hak Azazi<br />
Manusia (HAM), termasuk dosa berat yang<br />
menempel selama berkuasanya Orde Baru.<br />
Selain itu, ada juga kebijakan di era Soeharto<br />
yang saat ini meninggalkan masalah serius,<br />
yaitu dampak dari revolusi hijau dan<br />
penyeragaman bahan pangan dengan beras.<br />
Revolusi hijau yang ditandai dengan masuknya<br />
pupuk dan obat-obatan kimia, ternyata saat ini<br />
menyebabkan ketergantungan petani pada<br />
produk-produk kimia yang sebagian besar di<br />
impor dari beberapa negara luar. Hal ini menjadi<br />
Hajrianto Y. Thohari<br />
pintu masuk penjajahan ekonomi. sekarang<br />
bukan saja bahan baku pupuk dan obat-obatan<br />
yang di impor, tetapi juga produk-produk<br />
pertanian seperti gandum, kedelai, susu,<br />
kentang, ikan laut, beras bahkan gaplek.<br />
Sungguh menyedihkan kita tidak lagi berdaulat<br />
atas pangan, padahal kita masih dengan<br />
bangga menyebut diri negara agraris. Bahkan<br />
penyeragaman beras sebagai bahan makanan<br />
pokok yang menghapus keanekaragaman<br />
pangan yang sebelumnya hidup di<br />
masyarakat, ini merupakan pengingkaran pada<br />
Kebhinneka Tunggal Ikaan atas pangan.<br />
Karena itu, Anang menganggap<br />
munculnya keinginan membangkitkan<br />
kembali rezim Soeharto merupakan<br />
pekerjaan sia-sia. Apalagi, zaman sekarang<br />
sudah tidak sama dengan era Soeharto.<br />
Orde Baru sudah menjadi bagian dari sejarah<br />
yang hanya berguna untuk dipelajari dan<br />
dikenang, serta diambil khikmahnya. Bukan<br />
diimpikan untuk bangkit kembali.<br />
Pernyataan senada disampaikan Hajrianto<br />
Y. Thohari, Wakil ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>. Menurut<br />
Hajrianto, dalam dunia politik upaya<br />
menghidupkan kembali sebuah rezim bukan<br />
barang baru. Karena itu, wacana kelahiran<br />
Soehartoisme tidak perlu diributkan. Apalagi<br />
peluangnya sangat kecil, lantaran zamannya<br />
sudah berubah.<br />
Istilah Soehartoisme, menurut Hajrianto,<br />
sesungguhnya merujuk pada penamaan<br />
yang sifatnya pejoratif. Artinya, menghina<br />
atau merendahkan sekelompok orang yang<br />
dianggap sebagai anteknya Soeharto.<br />
Selain itu, Soehartoisme tidak mungkin<br />
muncul, tanpa ada Soeharto sendiri. Sama<br />
seperti Soekarnoisme yang tidak bisa<br />
muncul tanpa ada Soekarno.<br />
“Bedanya, Soekarnoisme bisa tetap hidup<br />
dan berkembang karena salah satu anak<br />
Bung Karno merupakan pemimpin partai<br />
politik yang besar, disegani, dan diperhitungkan,”<br />
kata Hajrianto menambahkan.<br />
Munculnya wacana soal Soehartoisme,<br />
menurut Hajrianto, harus diambil pelajaran<br />
bahwa setiap rezim harus berusaha lebih<br />
baik dari sebelumnya. “Karena, yang lebih<br />
baik dari sebelumnya saja, masih dibandingbandingkan<br />
dengan era sebelumnya. Apalagi<br />
kalau masa sekarang, jauh lebih susah,<br />
akan semakin ekstrim saja keburukan<br />
pemimpinnya,” ujarnya. ❏<br />
MBO<br />
43
MATA PENGAMAT<br />
Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D Guru Besar Hukum Internasional UI<br />
Ada Tren Memburu Rente<br />
Hikmahanto Juwana<br />
ADANYA berbagai konflik antara polisi<br />
dengan masyarakat lokal seperti<br />
Kasus Mesuji, Kasus Bima, dan<br />
separatisme Papua, menurut saya bukan<br />
karena investasi asingnya, tetapi lebih<br />
karena ketimpangan keadilan. Masyarakat<br />
merasa dieksploitasi kepemilikan atas<br />
tanahnya dan juga penghidupan tradisional<br />
mereka. Seharusnya pelaku usaha harus<br />
mengedepankan hubungan dengan<br />
masyarakat.<br />
Selama ini investor merasa kalau mereka<br />
sudah berhubungan dengan pemerintah dan<br />
mendapatkan izin yang diperlukan maka<br />
selesailah urusan eksistensi mereka.<br />
Mereka kurang memperhatikan dinamika dan<br />
gejolak yang muncul di masyarakat dengan<br />
kehadiran mereka. Apalagi para investor<br />
berlindung di balik legalitas dan formalitas<br />
hukum serta pemerintah yang telah memberi<br />
izin. Akibatnya pemerintah dan aparat pun<br />
ISTIMEWA<br />
yang harus berhadapan dengan masyarakat<br />
ketika masyarakat dianggap ‘mengganggu’<br />
keberadaan investor.<br />
Ketika ada pertanyaan apakah karena<br />
begitu mudahnya aturan menanamkan<br />
investasi di Indonesia? Menurut saya ada<br />
satu hal yang harus diperhatikan ketika kita<br />
bicara investasi yaitu bentuk investasi.<br />
Bentuk investasi ada yang langsung dan<br />
tidak langsung (melalui bursa/pasar modal).<br />
Yang langsung pun ada yang dibidang<br />
manufaktur dan ada yang dibidang ekstraksi<br />
kekayaan alam.<br />
Nah banyak memang investor yang<br />
menanamkan modalnya untuk ekstraksi<br />
kekayaan alam, ini karena bahan galian,<br />
perkebunan, hutan, dan lain-lain ada di Indonesia<br />
dan belum tentu ada di negara lain. Ini<br />
berbeda dengan investasi dibidang<br />
manufaktur di mana Indonesia harus bersaing<br />
dengan negara-negara ASEAN, China, dan<br />
blok-blok negara lainnya. Oleh karenanya<br />
tidak heran bila investor asing menanamkan<br />
modalnya di sektor ekstraksi kekayaan alam<br />
daripada di bidang manufaktur.<br />
Pemimpin daerah dan pusat lebih suka<br />
mengundang investor asing karena memburu<br />
rente untuk kepentingan pemilu dan pilkada,<br />
kalau dibidang pertambangan dapat<br />
dikatakan ada tren demikian. Ini karena<br />
banyak orang menjadi kaya, bahkan bisa ikut<br />
pilkada karena pertambangan ini. Tambang,<br />
khususnya batubara, telah menjadi<br />
primadona untuk memperkaya orang atau<br />
perusahaan, bahkan mesin uang untuk<br />
partai. Dengan kekayaannya ini mereka bisa<br />
ikut dalam pemilu. Bahkan ada pihak-pihak<br />
tertentu yang mau mensponsori seseorang<br />
menjadi kepala daerah dengan tuntutan agar<br />
ketika orang tersebut terpilih maka sponsor<br />
diberikan izin usaha pertambangan.<br />
Keinginan mengevaluasi terhadap<br />
investasi dari investor asing, menurut saya<br />
rasa perlu tetapi tidak berarti industri<br />
pertambagan harus dihentikan. Evaluasi<br />
dilakukan dalam rangka meminimalkan ekses<br />
negatif dan bagaimana hasil ekstraksi benarbenar<br />
memberi kesejahteraan bagi rakyat<br />
sesuai Pasal 33 UUD.<br />
Bila diberitakan Presiden Venezuela Hugo<br />
Chaves berhasil menasionalisasikan kilang<br />
minyak dari perusahaan Exxon, apakah<br />
pemimpin kita perlu melakukan hal yang<br />
serupa, bagi saya tidak tidak demikian karena<br />
Indonesia berbeda dengan Venezuela.<br />
Banyak yang dipertaruhkan apabila jalan<br />
yang sama diambil oleh pemerintah.<br />
Para pemimpin tidak mampu<br />
mengimplementasikan amanat UUD N<strong>RI</strong><br />
Tahun 1945 yang mengatakan bumi, air,<br />
dan kekayaan alam lainnya digunakan untuk<br />
kemakmuran rakyat, disebabkan setiap<br />
pemimpin punya interpretasi masing-masing<br />
terhadap Pasal 33 UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945 yang<br />
ujung-ujungnya mensejahterkan dirinya<br />
sendiri atau kelompoknya maka implementasi<br />
tidak akan dapat dilakukan. Kita butuh<br />
pemimpin yang betul-betul ingin<br />
mensejahterakan rakyatnya. ❏<br />
AW<br />
44 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
Hariman Siregar, Tokoh Mahasiswa Tahun 1974 dalam Peristiwa Malari<br />
Investasi Asing Harus Dengan Syarat<br />
Hariman Siregar<br />
PERSOALAN investasi yang telah<br />
mengemuka ketika saya menjadi<br />
mahasiswa sekarang timbul kembali.<br />
Modal asing sering dikemukakan hanya<br />
menguras sumber-sumber alam yang kita<br />
miliki dan produk-produk asing telah<br />
membanjiri Indonesia dengan barang-barang<br />
mewah yang hanya bisa dibeli oleh kelompok<br />
kecil yang berkuasa.<br />
Pada tahun saat menjadi mahasiswa, saya<br />
sudah mempertanyakan, apakah kita perlu<br />
mengimpor tusuk gigi, apakah kita perlu<br />
mengimpor mobil mewah tiap bulan, pakaian<br />
mewah dari Paris? Bukankah lebih baik kita<br />
perlu menggunakan produk sendiri meski kalah<br />
mentereng namun mempunyai kegunaan<br />
yang sama, sehingga kita tidak perlu<br />
membuang miliaran rupiah untuk membeli atau<br />
mengimpor barang-barang tadi.<br />
Pemerintaha Orde Baru telah memulai<br />
arah politik luar negerinya dengan suatu<br />
kebijakan yang menjalin dengan kepentingan<br />
perekonomian negara lain. Hal demikian<br />
tercakup dalam pernyataan pemerintah<br />
tertanggal 4 April 1966. Kondisi perekonomian<br />
pada saat itu yang akhirnya menggariskan<br />
kebijakan untuk mencari sumber-sumber luar<br />
sebagai suatu solusi untuk melakukan<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
ISTIMEWA<br />
pembangunan.<br />
Masalah bantuan luar negeri dan modal<br />
asing merupakan hal yang wajar, suatu gejala<br />
yang menunjukan adanya saling<br />
ketergantungan antarbangsa di dunia.<br />
Ketergantungan antarbangsa dalam era<br />
sekarang susah dihindarkan, bahkan banyak<br />
negara-negara yang membentuk blok<br />
perdagangan, namun ketergantungan ini<br />
harus adanya syaratnya. Syarat utama<br />
adalah seberapa jauh ia mampu membawa<br />
keuntungan bagi kedua negara dan rakyat.<br />
Persoalannya adalah adanya kait mengait<br />
kepentingan elit penguasa dengan<br />
kepentingan ekonomi. Ini menjadi suatu yang<br />
membahayakan bagi kehidupan berbangsa<br />
dan bernegara, apalagi dihubungkan dengan<br />
pernyataan Bung Hatta pada tahun 1970<br />
bahwa korupsi telah membudaya. Jadi ada<br />
kepentingan dari elit penguasa dalam<br />
kompetisi kekuasaan telah berkompetisi pula<br />
untuk memperoleh sumber-sumber<br />
pendanaan politik.<br />
Apabila kita kembalikan kepada sektorsektor<br />
yang menunjang perekonomian<br />
negara, bantuan luar negeri dan modal asing<br />
menjadi faktor pokok, malahan turut<br />
memperkeras kompetisi korupsi dalam<br />
mendapatkan sumber-sumber politik dan<br />
untuk mendapatkan posisi tukar yang lebih<br />
baik dalam porsi kekuasaan.<br />
Masalah bantuan luar negeri dan modal<br />
asing, merupakan sumber yang tidak<br />
menguntungkan rakyat banyak, karena<br />
sumber-sumber tadi tidak sampai kepada<br />
rakyat. Ini bisa terjadi karena penguasa di<br />
Indonesia tidak mau bertanggungjawab<br />
untuk soal ini. Sejarah mencatat akibat<br />
hubungan saling ketergantungan antara<br />
Amerika Serikat dan negara-negara<br />
berkembang terutama Amerika Latin, pada<br />
tahun 1950-an, membuat derasnya modal<br />
dari Amerika Serikat ke negara-negara<br />
Amerika Latin. Sehingga Amerika Serikat<br />
menjual barang-barang industri dan<br />
menanam modalnya di sana, sedang<br />
negara-negara Amerika Latin menjual<br />
sumber-sumber alamnya. Akibatnya,<br />
negara-negara Amerika Latin semakin<br />
tergantung pada Amerika Serikat dalam<br />
teknologi dan industri, menjadi pasar barangbarang<br />
industri Amerika Serikat, dan<br />
sementara sumber-sumber alamnya disedot<br />
dan diolah untuk kepentingan Amerika<br />
Serikat.<br />
Hal di ataslah yang membuat kekhawatiran<br />
saya saat banyak investasi<br />
Jepang menyerbu Indonesia. Apalagi, saat<br />
itu Jepang menunjukan kebuasan dalam cara<br />
mengeruk keuntungan-keuntungan.<br />
Hubungan Jepang-Indonesia bukan saling<br />
ketergantungan, akan tetapi ketergantungan<br />
sepihak, yaitu dari Indonesia kepada Jepang.<br />
Kalau kita belajar kepada sejarah, nasib<br />
bangsa Indonesia akan sama seperti nasib<br />
negara-negara Amerika Latin yang<br />
tergantung kepada Amerika Serikat.<br />
Pada saat ini saya mempertanyakan<br />
kepada pemerintah, apakah pembangunan<br />
ekonomi sudah menyeleweng dari UUD N<strong>RI</strong><br />
Tahun 1945? Kalau memang benar, sudah<br />
menyeleweng, dan kami yakin terjadi<br />
penyelewengan, kami serukan untuk<br />
mengoreksi sistem ekonomi. Kalau tidak,<br />
mari kita bersama-sama mengoreksi<br />
pemerintah. ❏<br />
AW<br />
45
MATA PENGAMAT<br />
Pojok <strong>MPR</strong><br />
Didik Mulyo Edi Sanyoto<br />
Sejak kecil, Didik Mulyo Edi Sanyoto sudah berkeinginan menjadi polisi. Karena itu, setelah<br />
cita-citanya tercapai, ia ingin mendedikasikan dirinya untuk bangsa dan negara, melalui<br />
korp seragam cokelat.<br />
Bangga Menjadi Bagian <strong>MPR</strong><br />
DALAM senyumnya terdapat ketegasan, laiknya anggota<br />
Korp Seragam Cokelat. Gerak tubuhnya biasa saja, tidak<br />
menampakkan tanda-tanda luar biasa. Atau mengesankan<br />
bahwa dirinya telah menjalani bermacam latihan dan tempaan<br />
fisik. Malah lebih terkesan gemulai, meski setiap saat dia bisa<br />
melumpuhkan orang-orang yang membahayakan tugas dan<br />
tanggungjawabnya sebagai bagian<br />
dari anggota Unit III Direktorat<br />
Pengamanan Obyek Vital Polda Metro<br />
Jaya.<br />
Dialah Brigadir Didik Mulyo Edi<br />
Sanyoto (30), bungsu dua<br />
bersaudara pasangan Hadi Sunaryo<br />
dan Taryem. Dan, juga anggota Polda<br />
Metro Jaya yang mendapat tugas<br />
pengamanan di gedung <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>.<br />
Tepatnya Gedung Nusantara III lantai<br />
9, tempat Pimpinan <strong>MPR</strong> sehari-hari<br />
berkantor. Untuk melaksanakan<br />
amanat tersebut, setiap hari pak<br />
Didik, begitu dia biasa di sapa, mesti<br />
berangkat dari rumahnya di kawasan<br />
Tangerang, Banten, ketika matahari<br />
belum muncul di ufuk timur, sekitar<br />
pukul 05.30 WIB. Dan baru bisa<br />
kembali ke rumah, setelah semua<br />
Pimpinan <strong>MPR</strong> meninggalkan ruang<br />
kerjanya masing-masing. Itupun<br />
dengan catatan tidak sedang piket.<br />
Sebagai anggota Polri, lajang<br />
kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 13<br />
Agustus 1981, ini tahu benar tugas<br />
dan tanggung jawab yang<br />
diembannya. Yaitu, menjadi garda<br />
depan penjaga keamanan. Lebih<br />
khusus lagi, bagi keamanan kalangan<br />
Didik Mulyo Edi Sanyoto<br />
Pimpinan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>. Karena itu, kata<br />
Didik: “Kami selalu bekerjasama dan berkordinasi dengan anggota<br />
pengamanan <strong>MPR</strong>. Semata-mata agar tugas dan tanggung jawab<br />
yang kami emban bisa dilaksanakan sebaik mungkin”.<br />
Namun, harapan tersebut tidak selamanya berjalan lancar. Ada<br />
saja pihak-pihak tertentu yang kurang memahami prosedur dan<br />
petunjuk pelaksanaan pengamanan, yang menjadi tugasnya.<br />
Untuk menghadapi hal, menurut Didik, selama masih bisa ditolerir,<br />
seperti lupa atau tidak tahu, biasanya bisa dimaklumi. “Kecuali<br />
kalau menurut kewaspadaan kami, tindakannya bisa berbahaya,<br />
pasti ditindak tegas,” ujar Didik. Seperti anggota masyarakat<br />
yang memaksakan mau mengantar surat tertentu langsung<br />
kepada pimpinan. Atau memaksa bertemu dengan pimpinan <strong>MPR</strong>,<br />
tanpa mekanisme yang seharusnya.<br />
Namun, sejauh ini persoalan seperti itu mampu ditanggulangi<br />
dengan baik. Tanpa menimbulkan<br />
masalah atau gejolak yang tidak perlu.<br />
Rahasianya, menurut Didik, karena<br />
pihaknya tetap menghormati dan<br />
memberi perlakuan dengan baik.<br />
Karena itu, meski diharuskan siap<br />
menjalankan tugas di manapun, Didik<br />
terlanjur menyukai tugas-tugasnya di<br />
<strong>MPR</strong>. Karena dengan bertugas di <strong>MPR</strong>,<br />
Didik merasa bangga, bisa<br />
berkontribusi dalam pengamanan orang-orang<br />
penting. Yaitu pimpinan<br />
<strong>MPR</strong>.<br />
“Tidak semua polisi memperoleh<br />
kesempatan mendapat tugas<br />
melindungi dan mengamankan orangorang<br />
penting, seperti yang saya<br />
lakukan di sini. Itulah yang menjadi<br />
salah satu kebanggan saya bertugas<br />
di <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>”, kata Didik menambahkan.<br />
Menjadi polisi, adalah harapan Didik<br />
semenjak kecil. Keinginan itu muncul,<br />
karena ia merasa kagum terhadap<br />
penampilan anggota Polri. Cita-cita<br />
Didik itu semakin kuat setelah tahu<br />
akan tugas dan tanggung jawab yang<br />
ada di pundak Polisi. Karena itu,<br />
setamat SMT Penerbangan Surakarta,<br />
Didik langsung meneruskan<br />
HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
pendidikannya untuk meraih impian itu.<br />
Berkat doa dan dukungan kedua<br />
orangtuanya, angan-angan menjadi anggota Polri itu berhasil dia<br />
raih.<br />
Demi cintanya pada kesatuan, Didik berharap bisa senantiasa<br />
menjalankan setiap tugas dengan baik. Ia sering merasa khawatir,<br />
bila ada rekan sejawatnya yang tidak menaati peraturan. Apalagi<br />
saat melihat ada kelompok tertentu yang mencoba membenturkan<br />
Polri dengan masyarakat. ❏<br />
46 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
M. Budiono
SOSIALISASI<br />
Sosialisasi 4 Pilar Sudah Menjadi Kebutuhan<br />
Perjuangan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> dalam mengaktualisasikan nilai-nilai 4 Pilar berbangsa ( Pancasila, UUD N<strong>RI</strong><br />
1945, NK<strong>RI</strong>, Bhinneka Tunggal Ika ) berakhir dipenghujung 2011. Namun, perjuangan masih<br />
panjang dan belum selesai. Tahun 2012 adalah masa perjuangan baru dengan semangat baru,<br />
mengaktualisasikan nilai 4 Pilar demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.<br />
Focus Group Discussion (FGD) di UGM<br />
MELAKUKAN tugas sosialisasi 4 pilar berbangsa sesuai yang<br />
diamanahkan UU bukanlah pekerjaan gampang, tak semudah<br />
membalik telapak tangan. <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> melalui pimpinan, anggota<br />
tim sosialisasi dengan dukungan Sekretariat Jenderal <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> berusaha<br />
sekuat tenaga menerjemahkan materi-materi 4 Pilar — yang oleh<br />
sebagian besar dianggap masyarakat sebagai materi yang kaku,<br />
tekstual dan membosankan — dengan berbagai metode, gaya dan<br />
bahasa yang dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia.<br />
Dengan sangat jeli, <strong>MPR</strong> memilah-milah metode yang cocok dan<br />
bisa diterima masyarakat Indonesia yang memang sangat beragam,<br />
baik adat, kebiasaan, agama, bahasa, pendidikan, dan profesi.<br />
Metode sosialisasi Focus Group Discussion ( FGD ) misalnya,<br />
diperuntukkan kalangan akademisi perguruan tinggi di beberapa<br />
wilayah Indonesia.<br />
Metode lainnya, Training of Trainers ( ToT ) dengan target peserta<br />
dari kalangan birokrasi, lembaga-lembaga pemerintah dan swasta,<br />
seperti Kementerian Agama, pondok-pondok pesantren. Lalu, ada<br />
juga menggunakan metode pertunjukan seni wayang kulit. Pagelaran<br />
wayang kulit ternyata mendapat respon masyarakat luas cukup<br />
tinggi. Dalam kesempatan itu sang dalang menyelipkan nilai-nilai 4<br />
Pilar di tengah dialog dalam pertunjukan tersebut.<br />
Ketua Tim Kerja Sosialisasi 4 Pilar Berbangsa <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Agun<br />
Gunanjar Sudarsa berpendapat bahwa secara umum pelaksanaan<br />
sosialisasi di 2011 semakin hari semakin masif, sistemik, dan semakin<br />
luas jangkauannya. Menurut Agun, sekarang ini secara terminologi,<br />
4 Pilar bukan lagi menjadi ajang perdebatan, tapi hampir seluruh<br />
rakyat Indonesia mengenal yang namanya 4 Pilar.<br />
Sosialisasi 4 Pilar ini tampaknya sudah menjadi suatu kebutuhan<br />
publik. Banyak sekali masyarakat yang berminat menjadi peserta<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
Proyeksi Sosialisasi 4 Pilar 2012<br />
Training of Trainers (ToT) di Kupang<br />
sosialisasi di berbagai metode yang digelar. Bahkan banyak<br />
masyarakat mendatangi gedung <strong>MPR</strong> meminta diikutsertakan dalam<br />
sosialisasi. “Sekali lagi, ini menunjukkan sosialisasi sudah menjadi<br />
sebuah kebutuhan,” ujar Ketua Fraksi Partai Golkar <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> ini.<br />
Parameter lain bahwa sosialisasi ini menjadi kebutuhan publik,<br />
menurut Agun, setiap kali melakukan sosialisasi di berbagai tempat<br />
– ini berdasarkan pengalaman anggota tim sosialisasi – selalu muncul<br />
pertanyaan yang sama, yakni: kenapa sosialisasi 4 Pilar baeru<br />
dilaksanakan akhir-akhir ini?<br />
Sinyal dari masyarakat inilah yang ditangkap oleh Agun dan<br />
anggota tim sosialisasi lainnya, dan ini merupakan pertanda baik<br />
bahwa 4 Pilar ini adalah sesuatu yang dinantikan, dan sekali lagi<br />
sebagai sesuatu yang menjadi kebutuhan. Oleh karena itu, menurut<br />
Agun, kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan dalam kurun waktu<br />
2011 harus terus ditindaklanjuti, dan perlu ditingkatkan dengan<br />
jangkauan yang lebih luas lagi dengan metode yang terus<br />
dikembangkan.<br />
Perlu reaktualisasi dan revitalisasi 4 pilar<br />
Kegiatan sosialisasi 4 Pilar di berbagai daerah di Indonesia ternyata<br />
bisa menjadi titik simpul dari berbagai gagasan dan pemikiran berbagai<br />
masalah bangsa. Agun mengatakan, setelah merujuk kepada<br />
gagasan dan pemikiran tentang nilai-nilai 4 Pilar maka berbagai<br />
persoalan yang terkait dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,<br />
baik dalam tataran politik, ekonomi, budaya, sosial, pertahanan dan<br />
keamanan, juga kesejahteraan masyarakat, bisa terjawab.<br />
“Kegiatan-kegiatan sosialisasi 4 Pilar mampu membangkitkan<br />
energi baru, membangkitkan semangat baru, dan menghasilkan<br />
sebuah optimisme baru. Sebetulnya kita bisa membangun<br />
47
SOSIALISASI<br />
Agun Gunanjar Sudarsa FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
masyarakat sejahtera, berkeadilan dan<br />
bahkan mampu mengantisipasi berbagai<br />
perubahan global,” urainya.<br />
Hal ini semua, lanjut Agun, bisa terjadi<br />
apabila seluruh elemen bangsa ini<br />
menjadikan nilai-nilai 4 Pilar menjadi satu<br />
keniscayaan dan menggemakan, serta<br />
mengaktualisasi-kannya ke seantero Indonesia.<br />
Begitulah betapa pentingnya 4 Pilar,<br />
untuk menyangga dengan kuat ‘rumah kita’<br />
yang bernama Indonesia.<br />
“Saya memang sering menyebut Indonesia<br />
dengan ‘rumah kita.’ Satu rumah besar<br />
yang berisi berbagai elemen bangsa yang<br />
sangat beragam. Pada prinsipnya, tidak ada<br />
perubahan secara mendasar dan fundamental<br />
pada nilai-nilai 4 Pilar yang begitu kuatnya<br />
menyangga rumah kita,” ungkap Agun.<br />
Hal yang perlu diperhatikan, menurut<br />
Agun, adalah dalam tataran aplikasi dan<br />
tataran implementasi, serta perlu adanya<br />
reaktualisasi dan revitalisasi. “Intinya<br />
bagaimana kita mengaktualisasikan seluruh<br />
nilai-nilai 4 Pilar untuk sebesar-besarnya<br />
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,”<br />
paparnya.<br />
Rumah kita, Indonesia, hari ini sudah<br />
jauh berbeda ketika awal pertama rumah<br />
ini didirikan atau diproklamasikan. Rumah<br />
Kita juga telah berubah, tidak lagi seperti<br />
zaman Orde Lama dan Ode Bru. “Saat ini<br />
Rumah Kita sudah penuh dengan<br />
kehidupan yang sangat demokratis,<br />
rumah yang sangat memberikan<br />
perlindungan HAM terhadap penghuninya,<br />
dan rumah yang sangat menjunjung tinggi<br />
supremasi hukum,” tutur Agun.<br />
Ke depan sosialisasi 4 Pilar penyangga<br />
Rumah Kita ini, jelas Agun, harus ada<br />
formulasi, inovasi metode, dan substansi,<br />
serta kreatifitas baru, sehingga bisa<br />
membangun optimisme dan harapan baru<br />
untuk menuju Indonesia yang lebih bermartabat<br />
dan berkeadilan.<br />
Kreatifitas adalah yang paling ditekankan<br />
oleh Agun. Contohnya, pada momentum Hari<br />
Anak Nasional diadakan lomba mewarnai<br />
rumah-rumah ibadah yang ada di Indonesia<br />
Lukman Hakim Saifuddin<br />
dengan peserta anak-anak dari Sabang<br />
sampai Merauke. Hasil lomba ini diharapkan<br />
akan tertanam nilai-nilai ke-bhinneka-an. Bisa<br />
juga lomba memberikan nama pulau-pulau di<br />
Indonesia, yang diharapkan akan terbentuk<br />
cinta tanah air.<br />
Untuk mahasiswa, tambah Agun, kita buat<br />
lomba karya ilmiah, dan untuk kalangan<br />
pelajarnya, saya kira, lomba cerdas cermat<br />
sudah bagus. Untuk memperkaya diadakan<br />
kreatifitas baru, misalnya pertandingan<br />
sepakbola bekerjasama dengan PSSI.<br />
Pertandingan itu ada kandungan 4 Pilarnya.<br />
Atau bisa juga dengan pementasan seni,<br />
seperti ajang pentas artis-artis popular<br />
dengan menyanyikan lagu-lagu tematik<br />
kebangsaan. Contoh lainnya, lomba<br />
membuat lagu dan membuat film dengan<br />
muatan kebangsaan. “Mudah-mudahan<br />
sosialisasi 4 Pilar ke depan lebih<br />
menyempurnakan yang telah diraih di tahun<br />
lalu,” harap Agun.<br />
Perlu handout<br />
Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Lukman Hakim<br />
Saifuddin mengatakan bahwa sebenarnya<br />
evaluasi secara keseluruhan penyelenggaraan<br />
sosialisasi 4 Pilar berbangsa<br />
sepanjang 2011 baru akan dilaksanakan<br />
pada akhir Januari 2012. Namun, secara<br />
pribadi, Lukman menyampaikan bahwa<br />
secara keseluruhan kegiatan sosialisasi 4<br />
Pilar berbangsa yang dilakukan Tim Kerja<br />
Sosialisasi 4 Pilar <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> sepanjang 2011<br />
berjalan lancar.<br />
Namun, lanjut Lukman, ada beberapa<br />
kendala yang terjadi di lapangan yang sedikit<br />
banyak mengganggu berjalannya kegiatan<br />
sosialisasi. “Kami para pimpinan <strong>MPR</strong><br />
menemui dan mendengar banyak sekali<br />
keluhan dari para pemberi materi bahwa<br />
mereka sangat memerlukan handout,<br />
semacam buku rujukan yang mereka bisa<br />
jadikan referensi, yang bisa membantu<br />
48 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
dalam melakukan kegiatan sosialisasi.<br />
Karena itulah, saat ini <strong>MPR</strong> sedang<br />
mempersiapkan itu semua, yakni buku<br />
panduan atau referensi atau rujukan<br />
tersebut,” ujar Lukman.<br />
Selain itu, lanjut Lukman, sebenarnya<br />
sasaran untuk memahami 4 Pilar berbangsa<br />
ini seharusnya lebih dititik beratkan kepada<br />
para pengambil kebijakan atau para<br />
penyelenggara negara, baik di pusat<br />
maupun di daerah-daerah, terutama yang<br />
duduk di eksekutif, legislatif, yudikatif dan<br />
Anggota pun Banyak yang Nombok<br />
PADA November 2011, Don Gusti Rao, mahasiswa Fisip,<br />
Universitas Nasional, Jakarta, nampak sibuk menghubungi<br />
teman-temannya yang berasal dari berbagai perguruan<br />
tinggi di wilayah Jakarta Selatan. Para mahasiswa yang dihubungi<br />
oleh laki-laki kelahiran 14 Agustus 1989 disebut bagian dari<br />
jaringan mahasiswanya diajak untuk ikut sosialisasi 4 Pilar, yakni<br />
Pancasila, UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945, NK<strong>RI</strong>, dan Bhinneka Tunggal<br />
Ika, yang hendak dilaksanakan oleh Fraksi PDIP di <strong>MPR</strong>.<br />
Setelah kontak sana-sini, akhirnya terkumpulah 40 mahasiswa<br />
yang berasal dari Universitas PG<strong>RI</strong> Indraprastha, Universitas<br />
Atthahiriyah, Unkrida, Universitas Nasional, serta beberapa<br />
perguruan tinggi lainnya. Pada bulan itu pula, di Ruang Seminar<br />
Universitas Nasional diadakan acara sosialisasi dengan<br />
pembicara Anggota Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari dan Dosen<br />
Filsafat Politik Universitas Nasional Firdaus Syam, dengan moderator<br />
tenaga ahli Fraksi PDIP di <strong>MPR</strong>, Indah Nataprawira. “Dari<br />
jumlah teman yang saya hubungi sebanyak 40 orang, pada saat<br />
pelaksanaan yang datang mencapai 100 orang,” ujarnya.<br />
Membengkaknya jumlah peserta itu sosialisasi di perguruan<br />
tinggi yang berada di Pasar Minggu, Jakarta itu, juga sering terjadi<br />
di berbagai kegiatan sosialisasi yang telah dilakukan. Hal demikian,<br />
di satu sisi dikeluhkan oleh anggota <strong>MPR</strong>, namun di sisi lain sangat<br />
menggembirakan karena masyarakat antusias mengikuti<br />
sosialisasi 4 Pilar. “Banyak anggota <strong>MPR</strong> yang nombok saat<br />
melakukan sosialisasi di dapil masing-masing karena jumlah<br />
peserta melebihi kapasitas undangan,” ujar Wakil Ketua Tim<br />
Anggaran <strong>MPR</strong>, Muh. Asri Anas.<br />
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Tim Anggaran <strong>MPR</strong>,<br />
Agus Bastian. Diceritakan sosialisasi 4 Pilar yang pernah dilakukan<br />
oleh anggota <strong>MPR</strong>, undangan yang disebar 100 orang namun<br />
yang datang bisa mencapai 150 orang. Bagi Agus Bastian,<br />
membludaknya peserta tidak bisa ditolak, semua harus tetap<br />
diterima, meski harus menambah biaya sendiri dari kegiatan itu.<br />
Diakui oleh Asri Anas memang anggaran sosialisasi 4 Pilar<br />
masih kurang dengan alasan karena <strong>MPR</strong> sebagai satu-satunya<br />
lembaga yang melakukan sosialisasi. Anggaran itu digunakan<br />
untuk sosialisasi dengan berbagai metode, seperti FGD, TOT,<br />
sosialisasi kabupaten dann kota, lewat jalur budaya dan media<br />
massa, LCC, dialog TV<strong>RI</strong>, dan metdoe-metode lainnya.<br />
Diungkapkan setelah Tim Anggara <strong>MPR</strong> mengadakan beberapa<br />
kali pertemuan dengan Badan Anggaran DPR, pada tahun 2011<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
lembaga-lembaga di luar ketiga kekuasaan<br />
itu. Sebab, mereka memiliki kewenangan<br />
untuk mengambil kebijakan.<br />
“Sayangnya, ketika kita melakukan<br />
sosialisasi, terutama di daerah-daerah,<br />
justru merekalah yang jarang mengikuti<br />
kegiatan sosialisasi ini. Padahal merekalah<br />
yang harus diprioritaskan,” ujar Lukman.<br />
<strong>MPR</strong>, kata Lukman lebih lanjut, tidak punya<br />
kewenangan untuk memaksa mereka harus<br />
hadir, <strong>MPR</strong> hanya sebatas menghimbau.<br />
“Merekalah seharusnya memiliki kesadaran<br />
yang tinggi untuk mengikuti sosialisasi ini.<br />
Ke depan kita akan memikirkan hal<br />
tersebut,” katanya.<br />
Selanjutnya, untuk proyeksi pelaksanaan<br />
kegiatan sosialisasi 2012, Lukman<br />
menekankan agar metode sosialisasi terus<br />
dikembangkan. Inovasi dan kreatifitas baru<br />
perlu dibangkitkan agar target pemahaman<br />
dan implementasi 4 Pilar berbangsa bisa<br />
semakin efektif ditanamkan kepada seluruh<br />
rakyat Indonesia. ❏<br />
Derry Irawan<br />
anggaran sosialisasi sebesar Rp300 miliar, dan pada tahun 2012<br />
anggaran sosialisasinya mencapai 600 miliar. Membaiknya<br />
anggaran sosialisasi menurut Agus Bastian karena kebutuhan<br />
sosialisasi amat penting. Bahkan anggota <strong>MPR</strong> pun sekarang bisa<br />
melaksanakan sosialisasi di luar masa reses seperti pada hari<br />
Sabtu dan Minggu.<br />
Pada tahun ini, Asri Anas meminta formulasi sosialisasi lebih<br />
massif dengan lebih sering muncul di berbagai media massa seperti<br />
televisi dan radio. “Kami mempunyai impian agar masyarakat<br />
bangun pagi-pagi sudah mendengar siaran konstitusi di radio atau<br />
televisi,” ujarnya. Anggota DPD dari daerah Sulawesi Barat itu<br />
memaparkan pada tahun 2012, sosialisasi 4 Pilar akan diadakan<br />
di desa-desa dan kelurahan-kelurahan. Ini penting sebab<br />
menurutnya desa atau kelurahan merupakan ujung tombak<br />
pemerintahan di masyarakat.<br />
Anggaran sosialisasi itu dianggap oleh salah satu LSM terlalu<br />
besar dan disebut tidak efektif. Menanggapi hal yang demikian, Asri<br />
Anas sesekali ingin mengajak LSM itu untuk ikut sosialisasi dan<br />
mendampingi agar tahu manfaat kegiatan itu bagi masyarakat.<br />
Sedang menurut Agus Bastian di tim sosialisasi pun sudah ada<br />
yang mengevaluasi sejauh mana dampak kegiatan itu di masyarakat.<br />
Meski demikian, baik Asri Anas maupun Agus Bastian mengatakan<br />
cara mengukur hasil sosialisasi dengan membangun sarana fisik<br />
berlainan. “Membangun gedung dengan dana triliunan gampang<br />
diukur, kalau mengukur pemahaman 4 Pilar di masyarakat susah<br />
tolak ukurnya,” kata Asri Anas. Apa yang dikatakan oleh Asri<br />
Anas dikuatkan oleh Agus Bastian. “Sosialisasi 4 Pilar tidak bisa<br />
begitu saja dirasakan. Aspek pemahaman tidak seperti membeli<br />
barang lalu langsung diterima,” ujar pria asal Dapil Jogjakarta itu.<br />
Kedua orang itu pun mengakui bahwa selama ini belum ada<br />
penyelewengan anggaran. Dikatakan oleh Asri Anas dana<br />
sosialisasi yang diambil oleh anggota <strong>MPR</strong> semuanya digunakan<br />
sesuai peruntukan-nya. “Tidak ada yang menggunakan dana itu<br />
untuk kepentingan lain, semua digunakan untuk sosialisasi,”<br />
paparnya. Bila ada anggota <strong>MPR</strong> tidak menggunakan dana itu<br />
atau untuk kepentingan lainnya, maka dana itu harus dikembalikan.<br />
“Selama ini belum ada penyelewengan dana sosialisasi,” ujar<br />
Agus Bastian. Pada tahun ini, disebut oleh Agus Bastian bahwa<br />
tim sosialisasi terus mencari program-program untuk<br />
memperlancar sosialisasi. ❏<br />
AW<br />
49
SOSIALISASI<br />
IWAPI<br />
Perempuan Juga Sadar Akan 4 Pilar<br />
Masuknya pengaruh budaya asing ke dalam negeri tidak perlu ditanggapi dengan kecemasan<br />
berlebihan. Lebih baik melakukan sosialisasi 4 Pilar untuk menjaga dan mempertahan falsafah<br />
dan ideologi bangsa.<br />
PANCASILA, dasar dan ideologi bagi<br />
segenap bangsa Indonesia itu sudah<br />
ada sebelum Negara Indonesia lahir.<br />
Dan ketika kemerdekaan diproklamirkan pada<br />
17 Agustus 1945, Pancasila sudah menjadi<br />
milik bangsa Indonesia. Karena itu, sesudah<br />
Indonesia merdeka, apalagi pada zaman<br />
seperti sekarang, sudah semestinya bila<br />
Pancasila diingatkan kembali sebagai<br />
ideologi dan falsafah bangsa Indonesia.<br />
Sebab, setelah berlangsungnya<br />
reformasi, bangsa Indonesia sempat lupa<br />
atau melupakan Pancasila. Itu ada sebabnya,<br />
karena pada pemerintahan Orde Baru,<br />
Pancasila dijadikan alat untuk melanggengkan<br />
kekuasaan. Pancasila dipolitisasi menjadi<br />
perangkat pemerintah dalam memberangus<br />
lawan-lawan politik, atau menghilangkan<br />
jejak pihak-pihak yang berseberangan<br />
dengan penguasa.<br />
Beruntung kondisi itu tidak berlangsung<br />
terlalu lama. Sebagai dasar dan ideologi<br />
Negara, Pancasila langsung dicari saat<br />
hegemoni reformasi mereda. Apalagi, pada<br />
saat yang sama masyarakat merasakan<br />
adanya gerakan yang masif atas masuknya<br />
budaya asing. Sehingga mau tidak mau,<br />
keberadaan dan kerinduan masyarakat<br />
terhadap Pancasila kembali dengan<br />
sendirinya.<br />
Reformasi bukan hanya mengakibatkan<br />
sesaat orang lupa terhadap Pancasila.<br />
Namun, reformasi juga mengakibatkan<br />
perubahan. Menjadikannya berbeda<br />
dibanding saat merdeka, orde lama maupun<br />
zaman orde baru.<br />
Perubahan yang dialami bangsa Indonesia,<br />
bisa dilihat dari berubahnya UUD N<strong>RI</strong><br />
Tahun 1945. “Kini, setelah perubahan,<br />
konstitusi negara kita lebih demokratis,<br />
mengakomodir penegakan hukum dan HAM,<br />
serta mengakui persamaan gender,” ujar<br />
Agun Gunandjar Sudarsa, anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Fraksi Partai Golkar, dalam ceramahnya<br />
dihadapan pengurus dan anggota Ikatan<br />
Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI).<br />
Pada acara pemasyarakatan 4 Pilar yang<br />
berlangsung di Gedung Nusantara V,<br />
Kompleks <strong>MPR</strong> DPR dan DPD Senayan,<br />
Jakarta, akhir tahun lalu itu, Agun lebih lanjut<br />
menjelaskan, kegiatan sosialisasi 4 Pilar<br />
menjadi keniscayaan, karena perubahan<br />
yang terjadi pada UUD 1945 perlu<br />
disebarluaskan dan diketahui seluruh rakyat<br />
Indonesia. Apalagi pengaruh yang ditimbulkan<br />
atas masuknya budaya asing turut<br />
menggerus pilar-pilar bangsa Indonesia.<br />
Begitu juga Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Hj. Melani<br />
Leimena Suharli, saat membuka acara ini<br />
mengharapkan agar kaum wanita selalu<br />
FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
menumbuhkembangkan kesadaran<br />
berbangsa dan bernegara, dengan cara<br />
meningkatkan pengetahuan berbangsa dan<br />
bernegara. Salah satunya melalui<br />
pemasyarakatan 4 Pilar.<br />
UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945, menurut Melani,<br />
telah mengakomodir kesetaraan gender<br />
antara pria dan wanita, seperti yang<br />
tercantum dalam Pasal 28 UUD N<strong>RI</strong> Tahun<br />
1945. Karena itu, kaum wanita pun perlu<br />
ikut serta dalam upaya-upaya<br />
mensosialisasikan 4 Pilar ini, minimal kepada<br />
anak cucu di rumah.<br />
Ketua Umum IWAPI Ir. Nita Yudi, MBA dalam<br />
kesempatan itu meminta kepada segenap<br />
pengurus dan anggota IWAPI untuk tidak<br />
hanya memikirkan dan tahu soal duit semata.<br />
Tapi, juga harus mengerti soal kondisi negara,<br />
salah satunya melalui sosialisasi 4 Pilar.<br />
Nita Yudi mengaku, selama ini IWAPI<br />
sudah sering menerapkan 4 Pilar. Misalnya,<br />
selalu mengadakan peringatan hari besar<br />
keagamaan. Selain itu, IWAPI juga turut<br />
melakukan bhakti sosial dan membantu<br />
mesyarakat yang kurang mampu, dan juga<br />
masyarakat yang terkena musibah. ❏<br />
MBO<br />
50 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
KARYA TULIS 4 PILAR BERBANGSA<br />
Mulai edisi Januari 2012 redaksi memuat karya tulis dari para pemenang Lomba Karya Tulis 4 Pilar yang diselenggarakan<br />
oleh <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> di tahun 2011. Sebagai salah satu metode sosialisasi pemasyarakatan 4 Pilar.<br />
PENGAWASAN PULAU TERLUAR MELALUI TEKNOLOGI SPASIAL SEBAGAI UPAYA MENJAGA<br />
KEDAULATAN WILAYAH INDONESIA<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Oleh: Florence Elfriede S. Silalahi<br />
Mahasiswa Teknik Geomatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya E-mail : florenceelfriede@ymail.com<br />
(Juara I Kategori Mahasiswa)<br />
Abstrak<br />
Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mencakup 17.508 pulau. Wilayah Indonesia yang terbentang<br />
dari 6°08' LU hingga 11°15' LS, dan dari 94°45' BT hingga 141°05' BT terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi<br />
penghubung dua samudera dan dua benua, Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia.<br />
Luas laut Indonesia meliputi 2/3 dari seluruh luas wilayah negara sehingga Indonesia layak disebut sebagai negara maritim. Laut<br />
luas tersebut terhubung langsung dengan teritorial negara tetangga dan laut internasional dimana banyak negara berkepentingan<br />
disana sehingga dapat menimbulkan kerawanan keamanan. Wilayah perairan yang demikian luas menjadi beban tanggung jawab<br />
yang besar dalam mengelola dan mengamankannya. Penggunaan teknologi spasial pada tata ruang kelautan masih terbilang kurang<br />
optimal sehingga konsep teknologi spasial dengan menggunakan citra satelit merupakan suatu solusi terhadap kurangnya<br />
pengawasan, penjagaan serta pengolahan wilayah kemaritiman khususnya wilayah kemaritiman pulau-pulau terluar yang ada di<br />
Indonesia. Dengan memanfaatkan citra satelit, wilayah perbatasan antar negara pun dapat kembali ditegaskan dan dapat ditetapkan<br />
perencanaan pengembangan pulau terluar selanjutnya sehingga dengan begitu kedaulatan negara Indonesia dapat tetap terjaga dan<br />
pengembangan pembangunan dapat diupayakan melalui perencanaan yang komprehensif.<br />
Kata kunci : spasial, citra satelit, kemaritiman.<br />
1.1 Latar Belakang<br />
Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kepulauan Indonesia mencakup 17.508 pulau (citra satelit terakhir<br />
menunjukkan 18.108 pulau) dan 6.000 diantaranya berpenduduk. Wilayah Indonesia yang terbentang dari 6°08' LU hingga 11°15' LS, dan<br />
dari 94°45' BT hingga 141°05' BT terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi penghubung dua samudera dan dua benua,<br />
Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia Luas total wilayah Indonesia yang 7.9 juta km2 terdiri<br />
dari 1.8 juta km 2 daratan, 3.2 juta km 2 laut teritorial dan 2.9 juta km 2 perairan ZEE. Wilayah perairan 6.1 juta km 2 tersebut adalah 77% dari<br />
seluruh luas Indonesia. Pantai Indonesia yang terentang sepanjang 95.180.8 km adalah terpanjang kelima di dunia (Sumber: UNEP, United<br />
Nations Environment Program, 2003).<br />
Dengan potensi wilayah laut yang sangat luas dan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia yang dimiliki Indonesia, kelautan<br />
sesungguhnya memiliki keunggulan komparatif, Keunggulan kooperatif dan keunggulan kompetitif untuk menjadi sektor unggulan dalam<br />
kiprah pembangunan nasional dimasa depan. Pembangunan kelautan selama tiga dasa warsa terakhir selalu diposisikan sebagai pinggiran<br />
(peryphery) dalam pembangunan ekonomi nasional. Dengan posisi semacam ini sektor kelautan dan perikanan bukan menjadi arus utama<br />
(mainstream) dalam kebijakan pembangunan ekonomi nasional.<br />
Kondisi ini menjadi menjadi ironis mengingat hampir 75% wilayah Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat<br />
besar serta berada pada posisi geo-politis yang penting yakni Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, yang merupakan kawasan paling dinamis<br />
dalam percaturan dunia baik secara ekonomi dan potitik. Sehingga secara ekonomis-politis sangat logis jika kelautan dijadikan tumpuan<br />
dalam perekonomian nasional. Perubahan global pada saat ini adalah munculnya kesadaran akan pentingnya laut untuk meningkatkan<br />
kesejahteraan manusia. Hal ini menjadi daya tarik penduduk dunia untuk berpaling ke laut yang mengakibatkan kerawanan bidang keamanan.<br />
Negara Indonesia dikelilingi oleh laut luas yang terhubung langsung dengan teritorial negara tetangga dan juga terhubung langsung dengan<br />
laut internasional dimana banyak negara berkepentingan disana.<br />
Perlu dibangun sebagai bentuk pengamanan dan pengelolaan pulau-pulau terluar di Indonesia. Konsep Indonesia sebagai negara<br />
kepulauan (Archipelagic State) diakui dunia setelah UNCLOS disahkan 10 Desember 1982, dan Indonesia telah meratifikasinya dengan UU<br />
Nomor 17 Tahun 1985. Wilayah perairan yang demikian luas menjadi tanggung jawab yang besar dalam mengelola dan mengamankannya.<br />
Pengamanan dan pengelolaan wilayah perairan memerlukan batas laut yang pasti dan tegas sebagai batas nusantara Republik Indonesia<br />
dalam rangka melindungi, mengamankan dan menegakkan kedaulatan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yaitu dengan pengamanan<br />
dan pengelolaan pulau-pulau terluar di Indonesia<br />
1.2 Tujuan dan Manfaat<br />
Karya tulis ini bertujuan untuk mengemukakan konsep data spasial dan teknologi pendukung yang dapat diterapkan dalam rangka<br />
mewujudkan pengawasan antar pulau terutama pulau terluar sebagai tujuan dari rencana perlindungan dan pengelolaan wilayah yurisdiksi<br />
laut Indonesia. Manfaat yang dapat diambil dari karya tulis ini adalah mengemukakan model konsep dan sistem pengelolaan data spasial dan<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
51
SOSIALISASI<br />
KARYA TULIS 4 PILAR BERBANGSA<br />
teknologi pendukung pengawasan batas wilayah negara sebagai bentuk solusi masalah kemaritiman, pengawasan serta pengelolaan<br />
pulau-pulau terluar Indonesia.<br />
2. Metodologi<br />
2.1 Analisis Deskriptif Teknologi/ Data Spasial<br />
Teknologi pengawasan terhadap pulau-pulau terluar akan memungkinkan tercapainya suatu keamanan terhadap keutuhan Negara<br />
Indonesia. Indonesia berpotensi sebagai target bagi negara-negara yang memiliki kepentingan untuk mengikis wilayah Indonesia dengan<br />
merampas pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia. Indonesia harus memiliki teknologi yang dapat menyelamatkan keberadaan dari pulaupulau<br />
terluar Indonesia.<br />
Dengan semakin pesatnya kemajuan zaman, pemanfaatan data spasial pun berkembang dengan cepat. Hal ini didukung pula dengan<br />
meluasnya pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan perkembangan teknologi dalam memperoleh, merekam dan mengumpulan<br />
data yang bersifat keruangan (spasial). Dengan Kemampuan penyimpanan yang semakin besar, kapasitas transfer data yang semakin<br />
meningkat, dan kecepatan proses data yang semakin cepat menjadikan data spasial merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari<br />
perkembangan teknologi informasi.<br />
Kebutuhan akan informasi geospasial tidak hanya berupa peta atau bentuk visualisasi lainnya saja melainkan juga dalam bentuk sistem<br />
informasi berbasis geospasial. Bahkan para pengambil keputusan atau penentu kebijakan membutuhkan sistem yang lebih bersifat penentuan<br />
rencana-rencana aksi (action plan) yaitu sistem pendukung keputusan berbasis geospasial (geospatial decision support system). Sistem<br />
ini pada dasarnya memanfaatkan sistem informasi berbasis geospasial dan mengkombinasikannya dengan sistem lainnya yang bertujuan<br />
agar para pengambil keputusan dapat segera menentukan tindakan-tindakan yang perlu diambil dalam memecahkan suatu masalah.<br />
2.2.1 Konsep Teknologi Pencitraan Satelit<br />
Dalam menentukan jumlah pulau untuk melakukan pengawasan dengan citra satelit pada wilayah kemaritiman Indonesia, khususnya<br />
keberadaan pulau terluar sebagai “patokan” dari batas wilayah teritorial, diperlukan pemahaman akan pulau terluar itu sendiri. Definisi<br />
“pulau” sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut International 1982 (UNCLOS ’82), Pasal 121 : Pulau adalah daratan yang dibentuk<br />
secara alami dan dikelilingi oleh air, dan selalu di atas muka air tinggi. Dengan kata lain, pulau tidak boleh tenggelam pada saat pasut tinggi.<br />
Definisi pulau terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau dengan 2000 Km 2 yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang<br />
menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Namun, selain jumlah pulau, maka adanya<br />
nama pada tiap pulau serta lokasi koordinat geografis, lintang dan bujurnya, adalah yang lebih penting. Hal ini sudah menjadi perhatian PBB<br />
sejak tahun 1959 dengan dibentuknya United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN).<br />
Citra satelit yang menjadi rancangan konsep adalah dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), yaitu data Shuttle Radar Topography<br />
Mission (SRTM) yang diusung oleh pesawat ulang alik (space shuttle) Endeavour pada tahun 2000. Citra digital tiga dimensi pulaupulau<br />
Indonesia hasil SRTM wilayah Nusantara mulai dimanfaatkan untuk membuat profil pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terluar Indonesia.<br />
Juga diterapkan citra Satelit SPOT-5 Tiga Dimensi untuk survei toponim dan profil pulau-pulau di Indonesia.<br />
2.2.2 Konsep Pengawasan Keruangan Laut dengan Penginderaan Jauh<br />
Untuk melakukan pengawasan terhadap kelautan Indonesia serta pulau-pulau terluar Indonesia, dapat pula membuat Daftar Koordinat<br />
Geografis Titik-titik Garis Pangkal untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan disertai referensi datum geodetis yang diperlukan. Dalam<br />
mewujudkan ketegasan batas wilayah diperlukan survei pemetaan yang baik dan benar serta memenuhi standar dan aturan kartografis.<br />
Survei pemetaan ini dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran secara langsung ke lapangan ke wilayah melalui survei darat maupun<br />
laut, dengan survei udara, atau secara tidak langsung dengan menggunakan teknologi satelit penginderaan jauh. Indonesia sebagai negara<br />
Kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titik<br />
terluar dari pulau-pulau terluarnya. Penarikan garis tersebut mencakup lebar (batas) Laut teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi<br />
Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen<br />
2.2 Teknik Pemetaan Batas Wilayah<br />
Metode pelaksanaan penentuan atau penetapan batas wilayah didasarkan pada pedoman penetapan dan penegasan batas daerah<br />
yang dikeluarkan oleh Direktorat perbatasan Dirjen Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri tahun 2002 di Jakarta, dengan ketentuan<br />
mengenai batas provinsi menggunakan peta laut dengan skala terbesar dan peta Lingkungan Laut Nasional skala 1 : 1.000.000, dan batas<br />
daerah Kabupaten dan Kota menggunakan peta laut dengan skala terbesar dan peta Lingkungan Pantai Indonesia LPI (1 : 50.000)<br />
Gambar 1. Batas Daerah propinsi (12 mil) dan Kabupaten/ Kota (4 mil) di laut bebas. (GD-ITB & Bakosurtanal. 2001)<br />
1. Titik awal adalah kontur kedalaman nol (garis pantai air rendah terendah), pada kontur kedalaman nol inilah ditentukan titik awal.<br />
2. Dari beberapa titik awal yang diperoleh, ditentukan garis dasar lurus ataupun agris dasar normal yang akan digunakan sebagai awal<br />
52 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
penentuan titik batas dan garis batas.<br />
Daerah dengan pantai yang saling berhadapan yaitu batas daerah di laut antara dua daerah daerah kabupaten atau kota dalam satu<br />
daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 8 mil, diukur berdasarkan prinsip garis tengah (Gambar 2).<br />
Gambar 2. Penarikan garis batas dua daerah berhadapan dengan metoda sama jarak (ekuidistan) (GD-ITB&Bakosurtanal. 2001)<br />
Dalam penetapan batas laut internasional, diperlukan suatu proses perundingan. Dalam melaksanakan perundingan tersebut, posisi<br />
dasar yang diambil Indonesia yakni menolak hasil reklamasi sebagai garis pangkal baru. Selain itu Indonesia juga mengambil posisi untuk<br />
menggunakan referensi pantai asli (original geographic feature) peta 1973 dan UNCLOS 1982. Kesepakatan batas teritorial laut memiliki arti<br />
penting secara geoekonomi, geopolitik, relevansi dan urgensinya terhadap upaya pemeliharaan integritas wilayah. Secara geoekonomi<br />
batas baru tersebut akan menguatkan sejumlah kerja sama ekonomi dan upaya pengembangan kawasan. Secara geopolitik aspek keamanan<br />
menjadi lebih jelas, sehingga kerjasama yang akan dilakukan menjadi lebih baik.<br />
2.3 Penamaan Unsur Geografi Maritim<br />
Selain pemantauan karakteristik dan potensi pulau-pulau dengan citra satelit, penentuan dan penetapan batas wilayah dengan pemetaan,<br />
perlu dilakukan inventarisasi pemeliharaan, dan pengembangan pulau-pulau di Indonesia, maka diperlukan penamaan unsur geografi<br />
maritim. Nama unsur geografi merupakan nama unsur kenampakan atau ciri (features) di bumi. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur alamiah,<br />
berupa daratan (terrestrial toponym), unsur geografi maritim dan perairan (marine atau maritime toponym), dan unsur bawah laut (under<br />
water feature), maupun unsur buatan, berupa unsur pemukiman dan unsur non pemukiman. Toponimi laut atau toponimi maritim membahas<br />
mengenai penarikan batas dan penamaan unsur-unsur geografi maritim yang tidak terlepas dari status yuridiksi nasional terhadap unsurunsur<br />
tersebut. (Djunarsjah, Eka dan rekan. Jurnal Geoid Geomatika ITS: 149)<br />
3. Hasil dan Pembahasan<br />
Pada tahun 1972, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mempublikasikan 6.127 nama pulau. Pada tahun 1987 Pusat Survei dan<br />
Pemetaan AB<strong>RI</strong> (Pussurta AB<strong>RI</strong>) menyatakan, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.508, di mana 5.707 di antaranya telah memiliki nama.<br />
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), pada tahun 1992 menerbitkan Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan<br />
Indonesia, dan mencatat 6.489 pulau bernama, termasuk 374 nama pulau di sungai. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional<br />
(Lapan), pada tahun 2002 berdasarkan hasil kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah 18306 buah.<br />
(www.kompas.com) Namun dari data sebelumnya terlihat bahwa dari sekitar 18.306 pulau menurut kajian citra satelit LAPAN 2002 namun<br />
hanya 6.489 pulau yang bernama dan tercantum dalam Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia yang diterbitkan Bakosurtanal.<br />
Teknologi spasial yang digunakan dalam pengawasan wilayah kemaritiman pulau terluar masih kurang optimal. Pemanfaatan teknologi<br />
spasial sebagai database untuk menginventaris potensi wilayah kelautan khususnya wilayah pulau terluar sangat dibutuhkan. Selama ini<br />
pemanfatan teknologi spasial sering terfokus pada pendataan wilayah daratan. Dalam melakukan pendataan pulau-pulau terluar melalui<br />
konsep teknologi spasial, digunakan pendekatan analisis spasial analisis konflik, analisis arahan pengembangan. Analisis spasial dilakukan<br />
dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) yang substansinya adalah analisis kesesuaian lahan/ wilayah. Sedangkan<br />
analisis konflik dilakukan dengan pendekatan Proses Hierarki Analitik (AHP), akan dapat ditentukan prioritas kegiatan pemanfaatan ruang<br />
yang optimal. Selanjutnya dengan analisis SWOT dan PRA akan dapat dihasilkan rekomendasi arahan pengembangan kawasan pesisir dan<br />
laut sebuah lokasi. (Afrianto. 2008).<br />
Teknologi spasial akan dapat berjalan dengan optimal dan efisien apabila didukung oleh perangkat survei yang dapat digunakan dalam<br />
waktu yang singkat serta memiliki ketepatan yang akurat. Penggunaan citra satelit dapat membantu dalam mendukung tercapainya pendataan<br />
wilayah kemaritiman pulau-pulau terluar yang ada di Indonesia. Contohnya saja penggunaan citra Satelit SPOT-5 Tiga Dimensi untuk survei<br />
toponim dan profil pulau-pulau di Indonesia. Dari ketinggian 826 kilometer, SPOT-5 merekam profil tiga dimensi pulau-pulau Indonesia dengan<br />
resolusi sampai 2.5 meter. Artinya, benda berukuran 2,5 X 2,5 meter di darat dapat dipantau dari satelit SPOT-5.<br />
Keberadaan batas laut sebagai batas maritim yang ada hubungannya dengan yuridiksi suatu negara pantai didasarkan pada UNCLOS<br />
1982, sedangkan penentuan batas laut berdasarkan nama unsur geografi maritim di perairan Indonesia telah ditetapkan oleh IHO dalam<br />
bentuk SP-23 tahun 1953 dan IMO mengeluarkan peta batas-batas laut dalam bentuk Draft 23 pada Mei 2001. Penentuan batas maritim<br />
dalam UNCLOS 1982 pada dasarnya mengacu pada garis-garis pangkal (baseline) yang merupakan garis-garis penghubung titik-titik<br />
pangkal (basepoints). Garis batas maritim diukur pada jarak tertentu dari garis pangkal sesuai dengan zona maritim yang terdapat dalam<br />
UNCLOS 1982, yaitu : laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.<br />
3.1 Perencanaan Tata Ruang<br />
Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat<br />
manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Dalam usaha merubah struktur<br />
ruang untuk meningkatkan kualitas hidup penggunanya, berkembang dua prinsip pendekatan : (1) studi terpadu terhadap satuan lingkungan,<br />
dan (2) analisis lingkungan untuk setiap elemen yang kemudian diintegrasikan informasinya (Golley dan Bellot, 1999). Untuk itu, langkah-<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
53
SOSIALISASI<br />
KARYATULIS 4 PILAR BERBANGSA<br />
langkah kegiatannya meliputi :<br />
3.2 Pendekatan Survei Penatagunaan<br />
Merencanakan suatu tata ruang secara praktis dapat diartikan sebagai suatu upaya merancang penetapan zona pemanfaatan dan/atau<br />
peruntukan suatu kawasan. Sebagai suatu proses penatagunaan ruang, upaya ini diwujudkan dalam serangkaian kegiatan studi untuk<br />
alokasi ruang beserta batas keruangannya yang berpeluang dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan survei. Secara umum, metode<br />
ini bermaksud :<br />
1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan corak penting komponen-komponen abiotik, biotik, dan kultural beserta proses-prosesnya pada<br />
suatu daerah dan/atau kawasan,<br />
2. Menilai kebermaknaan dan keterbatasan sesuai sasaran yang ditetapkan,<br />
3. Memperkaitkan informasi ini dengan aransemen institusional untuk penggunaan berimbang, konservasi dan pengembangan berkelanjutan.<br />
Dari perspektif teknis, pendekatan survei ini mencakup empat tahapan analisis dan pemetaan :<br />
Data komponen abiotik, biotik, dan kultural disajikan masing-masing dalam dua perangkat peta. Perangkat peta yang satu mengilustrasikan<br />
informasi struktural terpilih dominan pada ruang kajian, dan peta lainnya menampilkan informasi fungsional menyangkut di mana prosesproses<br />
berlangsung. Pada sisi kultural, informasi yang dikoleksi dapat difokuskan pada penampilan aktual penggunaan dan/atau pemanfaatan<br />
ruang pesisir dan sumber dayanya. Informasi struktural dipetakan mencakup existing kawasan-kawasan permukiman, wisata, jalur<br />
perhubungan, pelayaran, pelabuhan, penangkapan ikan, budidaya ikan, pertanian/ perkebunan, penempatan limbah, dan proteksi/<br />
perlindungan pesisir.<br />
Sejumlah peta yang dihasilkan pada tahapan kedua, dianalisis dan diinterpretasi dalam tahapan ini untuk kemudian hasilnya disajikan<br />
sebagai ikhtisar kebermaknaan dan keterbatasan tata ruang. Dalam hal ini, peta yang dihasilkan sebagai ikhtisar menyajikan indikasi<br />
mengenai simpul-simpul utama beserta koridor dalam tata ruang. Selain itu, tergantung pada interpretasi pada tahap-tahap sebelumnya,<br />
jumlah peta yang dihasilkan dapat terdiri atas perangkat tunggal (satu ikhtisar kebermaknaan dan satu ikhtisar keterbatasan) atau perangkat<br />
berganda (lebih dari satu ikthisar untuk aspek kebermaknaan dan keterbatasan). Peta ikhtisar menyajikan interrelasi kawasan yang<br />
komponen abiotik, biotik, dan kultural memiliki corak bermakna atau corak terbatas.<br />
Terakhir yaitu deliniasi batas dan identifikasi penatagunaan sesuai tujuan dan sasaran. Pada tahapan ini, peta yang dihasilkan dalam<br />
tahapan ketiga diinterpretasikan untuk memungkinkan penetapan batas dan/ atau peruntukan berbagai kawasan. Berkenaan dengan hal itu,<br />
serangkaian analisis institusional diupayakan dalam menemukan alternatif-alternatif terbaik. Proses penarikan keputusan berkriteria ganda,<br />
dapat diterapkan baik berupa metode pembobotan, maupun metode Electre dan Analytic Hierarchy Process (Glaria dan Cenal, 1999)<br />
Hal lain yang perlu juga diperhatikan dalam menggunakan teknologi satelit penginderaan jauh dalam penentuan batas wilayah laut adalah<br />
karakteristik pasang surut wilayah yang dikaji. Bagaimanapun juga, teknologi satelit penginderaan jauh dapat meminimalkan penggunaan<br />
waktu dan biaya dalam melakukan survei pulau-pulau serta karang terluar Indonesia. Monitoring keberadaan pulau-pulau dan karang<br />
tersebut pun dapat dilakukan dengan teknologi ini yaitu dengan data time series. Dengan adanya sistem inventarisasi pulau-pulau dan<br />
karang terluar Indonesia secara sistematik maka pengelolaannya akan lebih mudah baik yang terkait dengan keutuhan Negara Kesatuan<br />
Republik Indonesia maupun untuk tujuan lainnya seperti pengembangan daerah wisata bahari, program transmigrasi maupun tumbuhnya<br />
pusat-pusat ekonomi baru.<br />
4. Kesimpulan<br />
1. Indonesia sebagai negara maritim, memiliki permasalahan yang kompleks pada bidang kemaritiman. Pulau-pulau terluar yang memiliki<br />
nilai strategis bagi negara Indonesia belum dapat terinventarisasi dan dikembangkan sesuai karakteristiknya dengan baik.<br />
2. Penggunaan teknologi spasial saat ini, umumnya masih digunakan dalam tata ruang daratan. Penggunaan teknologi spasial pada tata<br />
ruang kelautan masih terbilang kurang optimal. Dengan memanfaatkan citra satelit, terintegrasi dengan sistem informasi geografis dan<br />
dikelola dalam jaringan intranet/LAN dapat mengoptimalkan pengelolaan pulau-pulau terluar dengan cara mengkaji keadaan tampakan<br />
alam pulau terluar dari citra satelit yang telah dikoreksi dan diinterpretasi, pengembangan dengan perencanaan tata ruang dan<br />
pendekatan survei penatagunaan, serta kerjasama antar departemen yang berkaitan dengan pengembangan keruangan wilayah<br />
Indonesia.<br />
54 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
3. Saat ini RUU Geospasial telah disetujui oleh DPR <strong>RI</strong> sehingga perlu tindak lanjut mengenai keterbangunan sistem informasi geografis<br />
yang terintegrasi dengan penginderaan jauh, sehingga tantangan saat ini tidak hanya terbatas pada inventarisasi pulau-pulau terluar,<br />
namun bagaimana pengembangan dan pemanfaatannya. Diperlukan pembentukan kelembagaan yang membawahi sistem ini agar<br />
kebenaran data, standar prosedur dan hal-hal lain dapat dipertanggung jawabkan.<br />
Pengantar<br />
Konteks problematis demokrasi kebangsaan terletak dalam dinamika jaman yang telah mewujudkan gelombang modernitas- global di<br />
bidang kebudayaan. Jika modernisasi mempunyai ruang lingkup sosiologis- kultural maka demokrasi bergerak guna memasukkan ke<br />
dalamnya dimensi politik kenegaraan sehingga politik memang menjadi teritorinya.<br />
Dalam alur pikir sedemikian, demokrasi di Indonesia dalam konteks modernitas-global perlu dicari energinya agar dengannya mampu<br />
melakukan tranformasi dan emansipasi. Maka itu, demokrasi tidak akan terlepas dari ranah budaya kebangsaan di bagian hilirnya sebagaimana<br />
dia pun tidak terpisahkan dari falsafah dan ideologi di ranah hulunya. Tesis semacam ini kemudian merekomendasikan bahwa demokrasi<br />
di Indonesia adalah Demokrasi Indonesia.<br />
Selama berabad- abad jagat ilmu pengetahuan telah menderita hegemoni dan arahan dari epistemology barat. Mengherankan, jika sejak<br />
dekade 1970-an diserukan agar modernisasi jangan berjalan dengan cara westernisasi, aspirasi sejenis di bidang keilmuan sangat<br />
terlambat. Naskah ini bergerak eksperimental untuk memberitahukan bahwa keindonesiaan kita kaya bukan hanya dalam sumberdaya<br />
alam, melainkan juga dalam sumberdaya pengetahuan.<br />
Nasionalisasi jangan berhenti pada obat-obatan herbal, sebab dengan falsafah dan ideologi Pancasila, ilmu pengetahuan dapat juga<br />
dinasionalisasikan asalkan kaum ilmuwannya tidak malas, bersedia memeras otak dan tidak berorientasi positivistik dalam diksi technocratic<br />
knowledge. Lihatlah Malaysia, sejak dekade 190-an saat penulis belajar di Universiti Malaya, islamisasi ilmu telah berjalan dengan<br />
pesat. Philipina telah agak jauh menyusun Psikologi Philipina.<br />
Permasalahan<br />
Naskah ini menetapkan tiga permasalahan, yakni: (i) benarkah praksis demokrasi di Negara ini benar mampu mendorong kemajuan<br />
bangsa ? (ii) sejauh manakah demokrasi di Indonesia dapat ditransformaiskan menjadi Demokrasi Indonesia ? dan (iii) bagaimana presisi<br />
Pancasila sebagai landasan demokrasi kebangsaan dengan/dalam modalitas etika politik ?<br />
Demokrasi dan Kondisi Kekinian<br />
Yargon reformasi 1998, yakni “demokratisasi” telah berhasil mencairkan dan mengalirkan sejumlah stagnasi ala rejim Orde Baru.<br />
Amandemen konstitusi berjalan empat tahap sekaligus mengeliminasi sakralitas UUD 1945; kebebasan mediamassa dan seni<br />
pertunjukan; dan diskriminasi kewarganegaraan diakhiri dimana tidak dikenal lagi KTP merk OT. Presiden G.W. Bush, tak urung memuji<br />
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia adalah Negara terbesar ke empat di dunia untuk sukses demokrasi. Benarkah<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
PANCASILA SEBAGAI SUMBER NILAI DEMOKRASI INDONESIA<br />
*Sebuah Pencarian Etika Politik<br />
Oleh Slamet Sutrisno<br />
Fakultas Filsafat UGM, (Juara I Kategori Masyarakat Umum)<br />
55
SOSIALISASI<br />
KARYATULIS 4 PILAR BERBANGSA<br />
demikian dalam kenyataan empiris ?<br />
Pentingnya etika politik dalam praksis politik dan khususnya demokrasi berpautan dengan bibit- bibit nepotisme dalam kecenderungan<br />
politik dinasti yang tentunya akan menabrak makna demokrasi. Kepemimpinan nepotis sulit mendewasakan demokrasi sebab demokrasi<br />
memang berkorelasi dengan keandalan leadership sebagaimana ditekankan Sigmund Neumann bahwa demokrasi butuh kepemimpian<br />
sepadan. Maka itu, penguatan demokrasi dengan menanamkan kaidah etika politik adalah keniscayaan agar jangan terbukti ucapan Sukarno<br />
–menyitir Dr.Goebbels—:”pemimpin besar itu tidak karena pilihan.”<br />
Bernard Shaw pernah berujar agar dikumpulkan saja para ahli sedunia guna menghimpun pendapat yang akan menghilangkan kesimpangsiuran<br />
mengenai demokrasi. Jadi di antara kaum pemikirnya, demokrasi sendiri menjelaskan perihal ketidakjelasannya. Dan kekaburan<br />
konseptual tentang demokrasi itu malahan dibenarkan oleh fakta empiris, khususnya di negeri kita, betapa demokrasi dalam praktek lebih<br />
banyak mudharat katimbang manfaatnya. Money politics dan kongkalikong oleh kaum elitnya adalah bukti bahwa sesungguhnya demokrasi<br />
di negeri kita selama rejim reformasi tak begitu besar keberhasilan substansialnya.<br />
Mengutip Badiou, filsuf Sindhunata menyatakan bahwa praksis demokrasi kita hanyalah “demokrasi materialistis,” karena: “Demokrasi<br />
hanya dipakai sebagai alat agar orang dapat hidup enak dan nikmat. Maka demokrasi diperhambakan kepada kepentingan pasar dan<br />
mendukungnya yang bisa mendorong orang hidup nyaman, mewah dan enak.Demokrasi tak mendrong orang untuk hidup dekat kebenaran,”<br />
demikian Sindhunata, Pemimpin <strong>Majalah</strong> BASIS, Yogyakarta.<br />
Demokrasi yang dipraktekkan sekarang ini sering disebut kebarat-baratan yang dalam prakteknya mungkin “lebih barat” dari demokrasi<br />
liberal itu sendiri. Indikator ketidakberhasilan praksisnya antara lain dapat diperbandingkan dengan demokrasi barat sungguhan di jaman<br />
pemerintahan parlementer tahun 1950-an. Mengikuti Neumann tentang korelasi demokrasi dan kepemimpinan, jika dekade 1950-an bisa<br />
dilahirkan para elit politik yang berwatak negarawan – Wilopo, Sartono, Idham Chalid,Hamengku Buwono IX, Sukiman, A.K.Gani, J.Leimena,<br />
J.Kasimo, Roeslan Abdulgani dll—demokrasi sekarang ini hanya melahirkan banyak politikus “murahan.”<br />
Kata kunci terpenting dari perbedaan diametral kualitas kepemimpinan Negara tersebut adalah pada kedalaman hayatan kaidah etika<br />
politik pada elit politik dekade 1950-an. Politikus masa kini, sesungguhnya terlalu berwatak pragmatis.<br />
Kritisisme terhadap Modernitas-global<br />
Guna mencamkan pesan Hans Morgenthau, bangsa- bangsa non-barat tak boleh meninggalkan keawasan (alertness) terhadap<br />
modernisasi/globalisasi berhubung dengan watak kepenjajahannya yang manifest. Sukarno di tahun 1964 mencanangkan “Trisakti Tavip,”<br />
yakni: (i) berdaulat di bidang politik (ii) berdikari di bidang ekonomi dan (iii) berkepribadian di bidang kebudayaan. Terutama kepada para<br />
mahaguru Sukarno wanti- wanti, janganlah textbook thinking !<br />
Pemikir Indonesia terkemuka, Soedjatmoko, menyatakan:”Sampai medio 1970-an kita berpikir tentang pembangunan sebagai dikotomi<br />
antara modernitas dan tradisi. Kini kita sadari bahwa pembangunan tidak bisa lepas dari tradisi, dan bahwa modernitas dan tradisi terpaut<br />
satu sama lain dalam hubungan dialektis.” Dia mengimbau suatu kesadaran sejarah sebagai penyadaran nasional, ke arah self understanding<br />
of a nation, kepada “sangkan- paran” suatu bangsa, kepada persoalan what we are, why we are what we are.<br />
Toch barat sendiri melakukan hal yang sama. “In the field of social invention, the American Constitution was a synthesis of (a) Western<br />
European philosophy and (b) the experience of the colonists. At the same time some of the ideological elements in the Constitution go back<br />
to Ancient Athens.” (Merril, 1957).<br />
Demokrasi, politik dan kebudayaan berciri interkonektif, interaktif dan integratif. Modernitas dengan yargon progress (kemajuan)-nya<br />
menghasilkan banyak hal demi terkelolanya kebutuhan dan keinginan manusia se jagat. Di saat yang sama modernitas-global pun telah<br />
memenderitakan manusia ke ujung gelap kegersangan spiritual dan kenihilan makna hidup. George Luckas malah menyebutkan, jaman<br />
modern membawa “ketergelandangan transcendental” yang di dalamnya manusia tak lagi memiliki tanahair— tempat dimana ia merasa<br />
kerasan. Bohme menyebut, itulah “vertigo modernitas” yang kini menghampiri diri kebangsaan kita (Sindhunata; 2010). Di tengah konteks<br />
makro itulah naskah ini mau mendiskusikan etika politik dengan/dalam demokrasi selaku representasinya.<br />
Pancasila dan Etika Politik<br />
Modernitas bukannya tak mempengaruhi benak seorang Sukarno yang amat suka menghayati dinamika, dialektika dan romantika kehidupan<br />
bangsa dan revolusinya. Pada gilirannya ke tiga kaidah tersebut menyatu dalam intisari Pancasilanya, yakni Gotongroyong. Betapapun<br />
amat gamblang bahwa Pancasila digali oleh Sukarno, dalam perkembangannya tokoh- tokoh pemikir Pancasila berikut patut dicamkan.<br />
Notonagoro dalam riset panjangnya antara lain menyimpulkan bahwa landasan filosofis Pancasila adalah hakekat manusia, yang<br />
berwatak monopluralis. Soediman Kartohadiprodjo mendapatkan pembenaran dari kancah hukum adat, bahwa ruh Pancasila adalah nilai<br />
kekeluargaan. Pranarka dalam disertasinya menyimpulkkan bahwa Pancasila adalah alam pikiran keindonesiaan, bukan subsistem helenistik<br />
dan semitistik. Kuntowijoyo menyebut Pancasila adalah Theodemokrasi, ke atas berbatas kuasa Tuhan dan ke bawah kuasa rakyat.<br />
Drijarkara mendasarkan Pancasila pada esensi kecintaan kepada Tuhan; religiusitas adalah nilai dasarnya. Adapun M. Nasroen menyebutkan<br />
nilai-nilai dasar Pancasila terdiri atas Ketuhanan YME, kekeluargaan dan rasionalitas.<br />
Etika politik untuk demokrasi dapat dijabarkan dan direfleksikan dalam tesis- tesis tersebut<br />
Guna menyusunnya, perlu metodologi yang basisnya adalah modalitas Pancasila sebagai culture-based ideology.dan bukan powerbased<br />
ideology sebagaimana sering dihayati kaum penguasa saat ini. Substansinya, etika politik Pancasila harus dikembangkan berlandaskan<br />
asas- asas: spiritualitas, respek manusiawi, wawasan nasion, pengutamaan kualitas di atas kuantitas; dan asas keadilan. Keseluruhannya<br />
dikembangkan dalam prinsip cinta kasih, kekeluargaan dan hikmat kebijaksanaan. Harus dijaga agar etika politik tersebut mampu mengeliminir<br />
penetrasi epiphenomenon (realitas pinggiran) atas phenomenon (substansi). Dengan itu demokrasi di Indonesia layak dikembangkan ke<br />
arah Demokrasi Indonesia.<br />
56 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
Balada Para Pengayuh Sepeda di Kota Tua<br />
Di tengah himpitan kemajuan zaman, para penarik ojek sepeda di bilangan stasiun Kota Jakarta<br />
Barat terus bekerja hingga kaki mereka tak kuat lagi untuk mengayuh sepeda.<br />
Ojek Sepeda di kawasan Stasiun Kota, Jakarta Barat<br />
JAKARTA merupakan miniaturnya Indo<br />
nesia. Kota ini dihuni oleh semua orang<br />
yang datang dari daerah di seluruh Indonesia.<br />
Mereka hidup dan mencari makan<br />
dengan caranya sendiri-sendiri. Yang<br />
beruntung bisa senang dan kaya.<br />
Sementara yang kurang beruntung harus<br />
siap menderita. Kenyataan itu menimbulkan<br />
kesenjangan antara satu kelompok<br />
masyarakat dengan kelompok yang lain. Dan,<br />
hal ini menjadikan persoalan yang ada di<br />
Jakarta benar-benar sangat kompleks.<br />
Masalah pengadaan sarana transportasi<br />
misalnya, di sela gegap gempitanya usaha<br />
Pemprov DKI Jakarta menyediakan sistem<br />
transportasi massal, eksistensi ojek sepeda<br />
sepertinya tak terusik. Salah satunya bisa<br />
ditemukan di kawasan Stasiun Kota, Jakarta<br />
Barat. Padahal, dari tahun ke tahun para<br />
pengojek sepeda itu menghadapi tantangan<br />
yang terus meningkat. Penghasilan yang<br />
mereka dapat terasa semakin berat untuk<br />
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi<br />
munculnya ojek sepeda motor dan<br />
bertambahnya pemilik kendaraan roda dua,<br />
membuat usaha ojek sepeda kian terhimpit.<br />
Bejo (45), pengojek sepada asal<br />
Kecamatan Petarukan Kabupaten Pemalang<br />
Jawa Tengah misalnya. Akhir minggu<br />
pertama di bulan Januari 2012, tepatnya<br />
Minggu (8/1), Bejo terlihat murung. Ia<br />
membiarkan sepedanya kedinginan, berdiam<br />
diri di bahu jalan seberang Stasiun Kota.<br />
Padahal saat itu jarum jam telah menunjuk<br />
pukul 11.30 WIB. Selidik punya selidik, sejak<br />
pukul 06.00 WIB, saat ke luar dari kontrakan,<br />
Bejo baru sekali menarik penumpang.<br />
Karenanya, ia pun baru mengantongi uang<br />
sebesar Rp 10.000 sebagai imbalan.<br />
Selebihnya ia hanya bersabar, menunggu<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
dan terus menunggu, barangkali masih ada<br />
penumpang yang membutuhkan jasanya.<br />
Sudah lebih dari lima belas tahun Bejo<br />
menekuni profesi sebagai penarik ojek<br />
sepeda. Pekerjaan itu dia lakoni karena lelah<br />
menjadi pegawai bengkel stainless steel.<br />
“Kalau narik sepeda, kita bebas menetukan<br />
jam kerja kita. Dan tidak perlu tergantung<br />
dengan orang lain”, kata Bejo<br />
berargumentasi.<br />
Kecilnya penghasilan yang diperoleh dari<br />
pekerjaan ini membuat Bejo merelakan istri<br />
dan kedua anaknya tetap berada di desa.<br />
Dengan begitu, ia bisa lebih leluasa<br />
menetukan tempat tinggal. Tidak harus<br />
mengontrak rumah sendiri, yang tarifnya<br />
sudah sangat mahal. Dan, untuk menghapus<br />
rasa rindu terhadap keluarga, satu hingga<br />
dua bulan sekali, Bejo mudik. Sembari<br />
menyerahkan hasil keringatnya, kepada orang-orang<br />
yang dicintainya.<br />
Hari itu, nasib Bejo dan juga ratusan<br />
pengojek sepeda yang lain di kawasan<br />
Stasiun Kota memang kurang mujur.<br />
Mendung dan hujan yang membasahi bumi<br />
Jakarta, seolah menutup pintu rezeki bagi<br />
mereka. Para pelanggan yang biasa<br />
memanfaatkan jasa mereka mengurungkan<br />
menyewa ojek sepeda, mungkin khawatir<br />
basah kuyup terkena air hujan. Kalau<br />
kondisinya tidak berubah, bisa-bisa<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />
penghasilan Bejo tiap hari yang biasanya<br />
mencapai Rp 30.000 – Rp 40.000, tak<br />
terpenuhi. Padahal, pada hari libur seperi<br />
itu, kadang Bejo mendapat pemasukan lebih<br />
dari para pemakai jasa kayuh sepeda yang<br />
disediakannya.<br />
Meski kondisi para pengojek ini makin<br />
terhimpit oleh kemajuan dan peradaban<br />
zaman, namun jumlah mereka cukup besar.<br />
Tahun 2004, sebuah partai politik mensinyalir<br />
jumlah para pengayuh sepeda ini mencapai<br />
700 orang. Angka tersebut didapat setelah<br />
dilakukan sensus untuk kepentingan<br />
pemenangan pemilihan umum. Menurut<br />
Bejo, kini jumlahnya sudah meningkat menjadi<br />
lebih dari seribu orang. Karena banyak<br />
diantara para pengojek yang menyertakan<br />
saudara mereka dari kampung untuk ikut<br />
bekerja. Rata-rata mereka berasal dari Jawa<br />
Tengah, antara lain dari: Pemalang, Tegal,<br />
Purwokerto, Wonogiri dan Batang.<br />
Bagi orang lain, pekerjaan selaku penarik<br />
ojek sepeda akan terasa sangat berat.<br />
Namun karena tidak memiliki keahlian apapun,<br />
Darji (60), pengojek dari Pemalang, tetap<br />
menggantungkan hidupnya dari pekerjaan<br />
ini. Tubuhnya memang tidak sekuat dahulu.<br />
Tapi, apa boleh buat agar dapurnya tetap<br />
mengepul, Darji pun akan terus mengayuh<br />
sepeda sampai kakinya tak kuat lagi. ❏<br />
M. Budiono<br />
57
RAGAM<br />
Suaka Margasatwa Muara Angke<br />
Potensi Hutan Mangrove di Utara Jakarta<br />
Dari kawasan Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, terlihat bahwa wilayah Ibu kota rentan<br />
dengan marabahaya yang datang dari laut. Beruntung, di tempat tersebut terdapat secuil lahan<br />
hutan mangrove. Bukan saja indah, juga memberi perlindungan bagi wilayah Jakarta<br />
Jembatan Kayu<br />
BANYAK orang yang belum tahu,<br />
termasuk warga Jakarta sendiri,<br />
bahwa Ibukota Negara Indonesia ini<br />
masih memiliki kawasan wisata alam yang<br />
sayang untuk di lupakan. Yaitu, kawasan<br />
wisata terbatas Suaka Margasatwa Muara<br />
Angke (SMMA). Tempat konsevasi alam dan<br />
berbagai binatang endemik Jakarta ini<br />
berbentuk hutan mangrove. Posisinya<br />
terletak di Kelurahan Kapuk Muara,<br />
Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.<br />
Suaka Margasatwa Muara Angke<br />
merupakan kawasan terakhir yang<br />
melindungi Jakarta dari abrasi dan deburan<br />
ombak laut. Rimbunnya pepohonan di sana<br />
mampu menjadikan tempat ini sebagai<br />
wilayah penyimpan cadangan air bagi<br />
warga Jakarta. Selain itu, SMMA juga<br />
menyimpan tantangan dan petualangan<br />
bagi para pengunjung. Terlebih buat<br />
wisatawan yang belum terbiasa mengunjungi<br />
hutan belantara.<br />
Sayang, kawasan tersebut belum<br />
mendapatkan perhatian sebagaimana<br />
seharusnya. Banyak lahan kosong yang<br />
ditinggal mati pepohonan yang sebelumnya<br />
tumbuh di sana. Sarana dan prasarananya<br />
pun jauh dari memadai. Yang lebih mengkhawatirkan<br />
adalah sampah plastik yang<br />
bertebaran, dan sagat gampang ditemukan<br />
di wilayah itu.<br />
Untuk melihat kekayaan dan eksotisme di<br />
dalam kawasan tersebut, pengunjung bisa<br />
melalui dua jalur yang berbeda. Pertama,<br />
merupakan jalan yang dibuat dari kayu,<br />
laiknya jembatan. Panjangnya mencapai 800<br />
m dengan lebar dua meter. Jalur kedua,<br />
merupakan sungai yang airnya mengalir<br />
tepat di sisi SMMA, bahkan meluber hingga<br />
menenggelamkan sebagian wilayah itu. Di<br />
kedua jalur tersebut pengunjung bisa<br />
menikmati adanya tantangan yang<br />
menguras adrenaline.<br />
Untuk melalui jalur pertama yang<br />
berbentuk jembatan kayu, pengunjung harus<br />
memiliki sedikit keberanian. Pasalnya,<br />
beberapa bagian jalan ini terlihat mulai<br />
rapuh. Beberapa ruas kayu di jalan itu juga<br />
sudah tidak utuh lagi. Banyak lempengan<br />
kayu yang raib dari tempatnya, sehingga<br />
FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />
meninggalkan lubang menganga. Sebagian<br />
yang lain terlihat lapuk termakan panas dan<br />
hujan, seperti halnya styrofoam, mudah<br />
patah saat dilintasi. Tidak cukup sampai di<br />
situ, di bagian lain, kondisinya mengkhawatirkan,<br />
posisinya oleng, miring di salah<br />
satu sisi. Sehingga melahirkan perasaan<br />
mencekam dan menguras adrenaline<br />
wisatawan yang melintas di atasnya.<br />
Situasi yang tidak kalah menarik bisa<br />
ditemukan bila perjalanan mengelilingi Suaka<br />
Margasatwa Muara Angke itu dilakukan<br />
melalui perjalanan sungai. Dengan<br />
mengeluarkan kocek sebesar Rp 200 ribu<br />
sampai Rp 300 ribu untuk sewa boat,<br />
dipastikan pengunjung tak akan merasa rugi.<br />
Namun, semua itu tak menjamin bahwa<br />
perjalanan bakal berlangsung lancar.<br />
Tumpukan sampah yang mengendap di<br />
dasar sungai atau hanyut bersama aliran<br />
air sanggup mematikan baling-baling kapal.<br />
Sehingga memaksa si pengemudi kapal,<br />
bolak-balik menstater mesin kapalnya.<br />
Yang lebih parah, baling-baling kapal yang<br />
mati itu tidak serta merta hidup saat distarter.<br />
58 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012
Butuh beberapa kali starter agar mesin bisa<br />
hidup kembali. Padahal, boat yang ditumpangi<br />
terus bergerak mengikuti arus sungai. Kalau<br />
tidak beruntung, bisa-bisa membentur<br />
kapal nelayan yang diparkir di sepanjang<br />
sungai. Meski mencekam, perjalanan melalui<br />
sungai dijamin aman dan mengasikkan<br />
karena tersedia banyak pelampung.<br />
Sepanjang perjalanan, wisatawan akan<br />
disuguhi pemandangan khas hutan mangrove.<br />
Menyusuri jalan-jalan sempit beratap rendah,<br />
terdiri dari daun dan cabang pohon mangrove.<br />
Menjumpai beragam burung yang sedang<br />
berburu makanan. Hingga canda ria kelompok<br />
monyet berekor panjang (Macaca<br />
Fascicularis). Termasuk pemandangan luas<br />
mengarah ke Laut Jakarta.<br />
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar<br />
deburan ombak. Semakin dekat dengan laut,<br />
Tumpukan sampah hanyut bersama aliran air<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
semakin jelas pula pecahan ombak itu<br />
terdengar. Ketika perahu yang kita tumpangi<br />
berada tepat di atas pertemuan air sungai<br />
dengan air laut, yang muncul kemudian<br />
adalah pemandangan alam nan menakjubkan.<br />
Ombak yang bergerak di atas lautan<br />
luas tanpa batas.<br />
Kuntul Kecil<br />
Begitulah keindahan pemandangan yang<br />
disediakan Suaka Margasatwa Muara<br />
Angke, di pinggiran utara Kota Jakarta.<br />
Meski ada sampah yang menumpuk,<br />
jembatan yang makin lapuk, atau fasilitas<br />
yang sangat minim, namun SMMA adalah<br />
kawasan yang bisa menjadi alternatif tujuan<br />
wisata terbatas. Karena di sana tumbuh dan<br />
hidup puluhan jenis vegetasi mangrove dan<br />
tumbuhan lainnya. Juga berbagai jenis<br />
satwa, mulai dari burung air dan burung<br />
hutan, hingga monyet dan biawak.<br />
Suaka Margasatwa Muara Angke<br />
merupakan hutan mangrove dan lahan<br />
basah yang menjadi benteng terakhir untuk<br />
melawan abrasi. Tempat itu menjadi<br />
kawasan endemik, burung kuntul kecil dan<br />
elang bondol. Keduanya merupakan jenis<br />
burung khas Jakarta yang nyaris punah.<br />
Kuntul kecil, seperti namanya memiliki<br />
ukuran yang mini, bahkan lebih langsing<br />
dibanding burung dara. Kuntul kecil bisa<br />
bergerak lincah, baik saat menghindari<br />
marabahaya atau memburu mangsa.<br />
Sedangkan elang bondol, maskot Jakarta,<br />
ini terlihat sangat gagah. Badannya<br />
berwarna gelap, sedang kepala dan<br />
lehernya putih bersih.<br />
Selama Januari –Agustus, sebagian<br />
burung yang melakukan migrasi dari Asia ke<br />
Australia dan transit di Pulau Rambut, juga<br />
ikut mencari makan di SMMA. Ini membuat<br />
pemandangan di Suaka Margasatwa Muara<br />
Angke makin semarak.<br />
Agar tidak terhambat, sebelum berkunjung<br />
ke Suaka Margasatwa Muara Angke,<br />
sebaiknya wisatawan mengurus Simaksi<br />
(Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi)<br />
terlebih dahulu. Surat ini bisa diperoleh di<br />
Dinas Sumber Daya Alam DKI Jakarta, di<br />
bilangan Salemba Jakarta Pusat.<br />
Maklum, tempat tersebut bukan kawasan<br />
wisata sebagaimana lazimnya. Hanya orang-orang<br />
tertentu saja yang boleh masuk.<br />
Yaitu, mereka yang memiliki tujuan<br />
melakukan konservasi, pemeliharaan,<br />
pelestarian hingga perlindungan. Itupun<br />
hanya bisa dilakukan setelah mengantongi<br />
surat ijin dari Dinas Sumber Daya Alam<br />
Pemprov DKI Jakarta.<br />
“Peraturan itu diberlakukan untuk menjaga<br />
keaslian dan keasrian kawasan ini, termasuk<br />
binatang dan tumbuhannya,” kata Tanto,<br />
salah seorang petugas yang berjaga di sana.<br />
Mengingat pentingnya kawasan tersebut,<br />
sudah saatnya seluruh warga Jakarta ikut<br />
menjaga dan melestarikan Suaka<br />
Margasatwa Muara Angke. Pembangunan<br />
atau pengalihan fungsi SMMA menjadi<br />
kawasan hunian, seperti yang ada di sekitar<br />
Suaka Margasatwa Muara Angke, bakal<br />
mengundang bencana besar bagi warga<br />
Jakarta. ❏<br />
MBO<br />
59
FIGUR<br />
Cara Tanggulangi Bencana<br />
Cari Akar Masalahnya<br />
TB. Dedy ‘Miing’ S. Gumelar<br />
Dedy S. Gumelar --lebih akrab di sapa Miing-- mantan<br />
artis pelawak tenar Indonesia yang kini berkiprah<br />
sebagai anggota DPR <strong>RI</strong> mengaku, sangat prihatin<br />
dengan bencana banjir yang menenggelamkan ribuan<br />
rumah di Kabupaten Serang, Pandeglang, dan Lebak,<br />
Provinsi Banten. Bahkan banjir ini sampai<br />
menenggelamkan beberapa ruas jalan tol Tangerang<br />
- Merak.<br />
Penanggulangan bencana yang dilakukan<br />
pemerintah setempat juga membuat Miing geram.<br />
“Saya miris melihat setiap ada bencana, seperti di<br />
Banten ini, penanggulangannya selalu begitu,<br />
pemerintah daerah turun, Kemensos turun, obatobatan<br />
dan lain sebagainya. Itu bukan solusi, itu hanya<br />
penyelesaian sementara yang sangat gampang,” ujar<br />
anggota dewan dapil Banten I ini saat ditemui di<br />
Gedung <strong>MPR</strong>/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (<br />
17/1 ).<br />
Miing menegaskan bahwa bencana banjir yang<br />
selalu terjadi ini harus dicarikan jalan keluar atau solusi<br />
yang cerdas. Tema besarnya, bagaimana supaya<br />
tidak ada bencana banjir lagi. “Akar masalah sehingga<br />
bencana banjir datang itulah yang seharusnya dicari.<br />
Jangan selalu menyalahkan alam,” ujarnya.<br />
Miing mengaku, sangat tahu akar masalah yang<br />
ada di Banten, karena ia menguasai liku-liku<br />
permasalahan di daerah ini. Akar masalah yang<br />
sangat krusial dan sangat mengakar serta sulit<br />
diperbaiki, menurut Miing, adalah masalah kerusakan<br />
alam yang parah. Pohon di hutan banyak ditebangi,<br />
dan hampir setiap hari gelodongan kayu menjalar di<br />
sungai sehingga sungai menyempit. Pasir-pasir galian<br />
dikeruk tanpa memerhatikan dampak negatifnya.<br />
“Inilah akar masalahnya. Jika alam dicederai, ya<br />
wajar saja suatu saat akan terjadi bencana banjir,<br />
yang ujung-ujungnya menyengsangsarakan rakyat.<br />
Inilah perlu kebijakan yang berpihak kepada<br />
kelestarian alam dan rakyat,” tandasnya.<br />
Miing menyatakan, sudah saatnya pemerintah<br />
berubah. Perhatikan alam dan manusianya. “Kalau<br />
pemerintahan berjalan sesuai misi dan visinya untuk<br />
kemakmuran Indonesia dan rakyatnya maka sedikit<br />
demi sedikit semua masalah bangsa ini akan selasai,<br />
saya percaya itu,” ungkap Miing. ❏<br />
60 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
Derry Irawan
Amanah Partai,<br />
Saya Terus Maju Sebagai Calon Walikota Sukabumi<br />
SOSOK anggota wakil rakyat muda yang juga isteri seorang<br />
menteri, Inggrid Maria Palupi Kansil, akhir-akhir ini banyak<br />
disorot publik. Apa pasal? Ternyata ia berani maju mencalonkan<br />
diri menjadi Walikota Sukabumi pada pilkada mendatang.<br />
Keinginan Inggrid yang “pede” untuk terus maju memperebutkan<br />
kursi walikota banyak menimbulkan pertanyaan di benak sebagian<br />
masyarakat, di tengah adanya pemberitaan mundurnya pejabat<br />
daerah dari kalangan artis, atau malah gagal sebelum pencalonan.<br />
“Saya maju bukan karena keinginan mutlak saya, tapi ini<br />
merupakan amanah partai dan tanggung jawab saya saja kepada<br />
masyarakat Sukabumi yang meminta saya menjadi calon walikota<br />
mereka,” ujarnya saat dikerubungi wartawan, termasuk Majelis,<br />
usai Rapat Paripurna DPR <strong>RI</strong>, Senin ( 9/1 ).<br />
Menurut Inggrid, keluarga dan sudah dipastikan juga suami<br />
mengizinkan ia untuk maju pada Pemilukada Kota Sukabumi. Saat<br />
ini, dirinya tengah menunggu restu dari Dewan Pengurus Pusat<br />
Partai Demokrat. Jika restu tersebut sudah turun dipastikan ia<br />
langsung menjadi calon dari Partai Demokrat yang maju dalam<br />
Pemilukada Kota Sukabumi mendatang. ❏<br />
Biarkan Semua Proses Hukum Berjalan, Nanti Kita Lihat<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
Derry<br />
Inggrid Maria Palupi Kansil<br />
BE<strong>RI</strong>TA-BE<strong>RI</strong>TA miring terus membayangi wakil rakyat<br />
Angelina Sondakh. Apalagi nama artis cantik ini disebutsebut<br />
dalam kasus Wisma Atlet dengan tersangka<br />
M.Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang<br />
proses hukumnya kini tengah berlangsung di KPK.<br />
Angie, sapaan akrabnya, terus menjadi intaian pemburu berita<br />
dan publik. Setiap ada pertanyaan dan pernyataan miring<br />
tentang dirinya terkait kasus tersebut, Angie hanya menjawab<br />
dengan singkat: “Semuanya itu tengah berjalan di pengadilan.”<br />
“Saya tidak mau banyak komen dan pernyataan ya,,daripada<br />
jadi polemik. Biarkan ssaja proses hukum terus berjalan,” ujarnya<br />
usai mengikuti Rapat Paripurna di Gedung DPR, Senin ( 9/1 ).<br />
Angie menambahkan bahwa walaupun banyak masalah dan<br />
komentar miring tentang dirinya, politisi yang diisukan menjalin<br />
hubungan dekat dengan seorang perwira menengah kepolisian<br />
itu menyatakan, akan terus berjalan dan terus melakukan<br />
tugasnya sebagai wakil rakyat. ❏<br />
Angelina Sondakh<br />
Derry<br />
61
FENOMENA merebaknya kembali tindak kekerasan yang<br />
berdimensi politik di Aceh seperti ditunjukkan dalam kasus<br />
penembakan secara sengaja yang memakan korban jiwa<br />
putra bangsa sungguh sangat menyentak urat keprihatinan kita.<br />
Sungguh peristiwa ini sangat disesalkan masih juga bisa terjadi<br />
di Aceh.<br />
Betapa tidak! Perdamaian di Aceh itu berhasil dicapai setelah<br />
menempuh jalan yang begitu panjang dan berliku dengan<br />
memanfaatkan momentum tragedi Tsunami yang memilukan itu.<br />
Bahkan untuk sebuah perdamaian itu kita melibatkan pihak luar<br />
yang memancing kontroversi luar biasa panjang dan keras. Maka<br />
perdamaian di Aceh Darussalam adalah ibarat harta karun bagi<br />
kita bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dipertahankan.<br />
Dengan perdamaian itu diharapkan kesejahteraan rakyat Aceh<br />
segera dapat diwujudkan. Rakyat sudah amat lelah dengan konflik<br />
kekerasan selama ini, dan sangat mendambakan perdamaian<br />
dan kesejahteraan. Dan perdamian itu sudah dicapai, dan itu<br />
adalah segalanya.<br />
Dalam konteks dan perspektif ini mestinya perdamaian di Aceh<br />
Oleh:<br />
Hajriyanto Y. Thohari<br />
Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Jagalah Perdamaian di Aceh<br />
ini harus diuri-uri dengan hati-hati oleh semua pihak. Maka<br />
sungguh kita bersedih atas terjadinya lagi tindak kekerasan berupa<br />
penembakan yang agak misterius dan beraroma politis ini. Semua<br />
pihak harus ekstra hati-hati dalam mengelola persoalan Aceh.<br />
Pemerintahan Daerah dan aparat keamanan harus cermat dalam<br />
bertindak, tidak sembrono dalam mengambil keputusan.<br />
Jangan biarkan kasus penembakan itu berlalu dengan begitu<br />
saja tanpa penyelesaian hukum yang terbuka atau transparan.<br />
Jika serangkaian tindak kekerasan ini sampai tidak terungkap dan<br />
tuntas secara hukum, maka ini akan menjadi preseden buruk dalam<br />
penyelesaian persoalan hukum di Aceh. Jika ini sampai<br />
terakumulasi maka akan menjadi embrio ketidakpercayaan<br />
masyarakat terhadap negara, dan ini pasti akan mencederai<br />
perdamaian yang agung itu.<br />
Kita menghimbau semua pihak untuk berkepala dingin dalam<br />
menangani Aceh. Peliharalah perdamaian yang dicapai dengan<br />
susah payah itu dengan pengorbanan apapun. Sekali perdamaian<br />
itu rusak maka kita sebagai bangsa akan set back ke belakang<br />
sampai ke titik nol lagi. Percayalah! ❏<br />
62 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
ISTIMEWA