19.04.2013 Views

Download Majalah - MPR RI /a

Download Majalah - MPR RI /a

Download Majalah - MPR RI /a

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

PASAL 33 ayat 3 UUD 1945 menetapkan “Bumi dan air dan<br />

kekayaan alam yang tergantung di dalamnya dikuasai oleh<br />

Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk<br />

kemakmuran rakyat”. Ketika Penjelasan UUD 1945 masih berlaku,<br />

sebelum perubahan UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945, Pasal 33 ayat 3 ini dengan<br />

gamblang dijelaskan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang<br />

terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.<br />

Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk<br />

sebesar-besar kemakmuran rakyat.”<br />

Bumi dan air dan kekayaan alam tidak perlu didefinisikan lagi.<br />

Ketiga unsur ini sudah pasti menjadi faktor dominan dalam kehidupan<br />

manusia. Seperti halnya juga keberadaan Negara yang harus memiliki<br />

setidaknya 4 unsur, wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat<br />

dan pengakuan dari Negara lain.<br />

Sedemikian dominannya ketiga unsur itu sehingga memerlukan<br />

intervensi Negara dalam pengaturannya, bahkan menjadi monopoli<br />

Negara. Karena itu, terbitlah Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960<br />

tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria yang diundangkan<br />

pada bulan September tahun itu. Undang-undang ini melakukan<br />

perubahan mendasar dalam hukum pertanahan di Indonesia, dan<br />

menetapkan tujuan, konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum,<br />

dan garis-garis besar ketentuan-ketentuan pokok Hukum Pertanahan<br />

Nasional. Beberapa prinsip politik hukum yang<br />

ditegaskan dalam UUPA antara lain penggantian<br />

Hukum Agraria Kolonial, pengakuan konsepsi<br />

Hukum Adat termasuk Hak Ulayat, unifikasi<br />

hukum untuk seluruh wilayah, fungsi sosial<br />

hak atas tanah, penggunaan tanah terencana,<br />

pendaftaran tanah secara aktif, dan sebagainya.<br />

Atas dasar monopoli itu, Negara mengatur<br />

dan menyelenggarakan peruntukan dan<br />

penggunaan persediaan dan pemeliharaan<br />

bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan<br />

Eddie Siregar<br />

mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan<br />

bumi, air dan ruang angkasa serta menentukan dan mengatur<br />

hubungan-hubungan antara orang-orang dan perbuatan hukum yang<br />

mengenai bumi, air dan ruang angkasa.<br />

Undang-undang ini dipandang sebagai sangat pro rakyat. Namun<br />

dalam sejarahnya, setelah 40 tahun diundangkan, <strong>MPR</strong> memandang<br />

bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumberdaya alam<br />

yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas<br />

lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,<br />

penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai<br />

konflik; bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan<br />

dengan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam<br />

saling tumpang tindih dan bertentangan; bahwa pengelolaan sumber<br />

daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan<br />

ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu<br />

dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat,<br />

serta menyelesaikan konflik; dan bahwa untuk mewujudkan citacita<br />

luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Mukadimah<br />

Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang<br />

sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan<br />

agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan<br />

dan ramah lingkungan. Karena itu, <strong>MPR</strong> kemudian menerbitkan<br />

Ketetapan <strong>MPR</strong> Nomor IX/<strong>MPR</strong>/2001 tentang Pembaruan Agraria dan<br />

Pengelolaan Sumber Daya Alam.<br />

10 tahun sudah Ketetapan <strong>MPR</strong> ini dan 60 tahun sudah berlalu<br />

sejak diundangkannya UUPA, masalah tanah ini masih juga belum<br />

tuntas, bahkan konflik semakin menjadi. Jumlah konflik sebagaimana<br />

menjadi berita utama “Majelis” dari tahun ke tahun semakin meningkat<br />

dan bahkan mencabut nyawa manusia. Mengapa masalah tanah ini<br />

Tanah Untuk Rakyat<br />

tidak terselesaikan juga. Sementara semua sepakat – kalau UUD<br />

N<strong>RI</strong> Tahun 1945 merupakan kesepakatan bangsa – bumi, air dan<br />

kekayaan yang terkandung di dalam yang dipergunakan untuk<br />

sebesar-besar kemakmuran rakyat.<br />

Mungkin pandangan Benyamin Mangkudilaga dalam suatu dialog<br />

di salah satu TV belum lama ini menganalogkan kondisi sekarang<br />

dengan lepasnya Timor Timur dari NK<strong>RI</strong>. Menurutnya, ada 3 hal<br />

yang membuat Timor Timur lepas, yaitu korupsi, ketidakadilan dan<br />

penindasan/kekerasan. Bagaimana hubungannya dengan konflik<br />

agraria? Dengan otoritas yang dimiliki, pemerintah atas nama Negara<br />

bisa menerbitkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Hak Guna Usaha<br />

(HGU), Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB) dan hak pakai melalui<br />

Badan Pertanahan Nasional atau Kementerian Kehutanan. Seperti<br />

sinyalemen <strong>MPR</strong> bahwa pengelolaan sumberdaya agraria dan<br />

sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan<br />

penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan,<br />

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan<br />

berbagai konflik tidak bisa dilepaskan dari adanya tindak korupsi.<br />

Lebih-lebih jika dilihat lemahnya pengawasan pemerintah kepada<br />

para pemilik HPH yang menebang hutan dan mengelola hutan melebihi<br />

ketentuan luas yang diberikan, bahkan sampai menjarah hutan rakyat<br />

dan hak ulayat rakyat.<br />

Dalam teori sosial, tindak korupsi terjadi dalam<br />

hubungan patron-klien, yaitu berlandaskan<br />

pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang<br />

tidak setara, antara pemimpin (patron) dan<br />

pengikutnya (klien). Kedua pihak memiliki<br />

sesuatu untuk ditawarkan. Klien menawarkan<br />

dukungan politik (keuangan) dan penghormatan<br />

kepada patron, patron menawarkan kebaikan,<br />

pekerjaan dan perlindungan kepada kliennya.<br />

Dalam konteks agraria, siapa yang jadi patron,<br />

siapa yang jadi klien, sering jungkir balik<br />

bagaikan roda. Namun dampaknya adalah “kerja<br />

sama” yang saling “menguntungkan” yang bisa menerabas segala<br />

aturan dan norma hukum. Hukum bisa menjadi sarana tawarmenawar<br />

yang dilegalkan dalam suatu undang-undang atau<br />

peraturan daerah.<br />

Ironisnya, rakyatlah yang selalu menjadi korban. Ketika terjadi<br />

konflik agrarian, pemerintah selalu – maaf kalau salah – berpihak<br />

kepada pengusaha atau penguasa alat-alat produksi. Banyaknya<br />

petani yang tidak memiliki lahan, kurangnya perumahan layak dan<br />

sanitasi atau air bersih – boleh jadi karena pertumbuhan penduduk<br />

yang pesat – menjadi salah satu indikator ketidakadilan. Lalu, di<br />

mana kewajiban Negara menciptakan kemakmuran bagi rakyat?<br />

Ketika nyawa menjadi taruhan, dan nyawa itu adalah milik rakyat,<br />

apa bedanya dengan penindasan zaman Kolonial?<br />

Seraya tetap mengingat kedaulatan rakyat, peran rakyat dalam<br />

menegakkan kemerdekaan Republik ini, bahwa tanpa rakyat tidak<br />

ada Negara, tanpa tanah, tidak ada rakyat dan Negara, kami setuju<br />

dengan Konsorsium Pembaruan Agraria, perlu dikaji ulang agrarian<br />

di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, perikanan/wilayah<br />

pesisir dan lingkungan hidup yang berakibat pada tumpang tindihnya<br />

kepentingan dan kebijakan penguasaan, pemilikan dan pengelolaan<br />

sumber-sumber agraria di wilayah Indonesia, sebagaimana<br />

diamanatkan Ketetapan <strong>MPR</strong> Nomor IX/<strong>MPR</strong>/2001, Pasal 7<br />

Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk<br />

segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan<br />

pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini<br />

sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua<br />

undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan<br />

dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti.<br />

Karena tanah itu adalah untuk rakyat.<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

3


Daftar Isi<br />

10 BE<strong>RI</strong>TA UTAMA<br />

Pembaruan Agraria<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

Menjalankan Amanah Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001<br />

37 Nasional<br />

Hubungan Indonesia-Republik Ceko Jangan Mengendur<br />

18 Sketsa<br />

TB. Soenmandjaja<br />

29 SELINGAN<br />

Angkatan Perang Ratu Adil<br />

Konflik atau sengketa<br />

tanah terjadi karena<br />

tidak dilaksanakannya<br />

Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX<br />

Tahun 2001 dan UU<br />

Pokok Agraria Tahun<br />

1960 secara konsisten.<br />

Ini diperburuk dengan<br />

overlap peraturan<br />

perundangan terkait<br />

agraria.<br />

46 Sosialisasi<br />

Proyeksi Sosialisasi 4 Pilar Kehidupan Berbangsa Tahun 2012<br />

Editorial .................................................... 03<br />

Suara Rakyat ................................................... 05<br />

Opini ................................................................. 07<br />

Kolom ................................................................ 26<br />

Mata Pengamat ............................................. 44<br />

Pojok <strong>MPR</strong> ......................................................... 46<br />

Karya Tulis 4 Pilar Berbangsa ................. 51<br />

Ragam ................................................................ 57<br />

Catatan Tepi .................................................. 62<br />

60 Figur<br />

Miing ‘Bagito’<br />

4 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


PENASIHAT<br />

Pimpinan <strong>MPR</strong>-<strong>RI</strong><br />

PENANGGUNG JAWAB<br />

Eddie Siregar, Selfi Zaini<br />

PEMIMPIN REDAKSI<br />

Yana Indrawan<br />

DEWAN REDAKSI<br />

M. Rizal, Suwarto, Aip Suherman,<br />

Suryani, Ma’ruf Cahyono, Tugiyana<br />

REDAKTUR PELAKSANA<br />

Agus Subagyo<br />

KOORDINATOR REPORTASE<br />

Rharas Esthining Palupi<br />

REDAKTUR FOTO<br />

Supriyanto, Budi Muliawan<br />

REPORTER<br />

Fatmawati, Prananda Rizky,<br />

Muhamad Kurnia, Y Hendrasto Setiawan,<br />

Susanti, Nur Fitriyani<br />

FOTOGRAFER<br />

Ari Soeprapto, Teddy Agusman<br />

Sugeng, Wira, A. Ariyana, Agus Darto<br />

PENANGGUNG JAWAB DIST<strong>RI</strong>BUSI<br />

Elis Murniaty<br />

KOORDINATOR DIST<strong>RI</strong>BUSI<br />

Elly Triani<br />

STAF DIST<strong>RI</strong>BUSI<br />

Hadi Anwar Sani, Suparmin,<br />

Asep Ismail, Ramos Siregar<br />

SEKRETA<strong>RI</strong>S REDAKSI<br />

Wasinton Saragih<br />

TIM AHLI<br />

Syahril Chili, Jonni Yasrul,<br />

Ardi Winangun, Budi Sucahyo,<br />

Derry Irawan, M. Budiono<br />

ALAMAT REDAKSI<br />

Bagian Pemberitaan & Hubungan<br />

Antarlembaga, Biro Hubungan Masyarakat,<br />

Sekretariat Jenderal <strong>MPR</strong>-<strong>RI</strong><br />

Gedung Nusantara III, Lt 7<br />

Jl. Jend. Gatot Subroto No. 6, Jakarta<br />

Telp. (021) 57895050, 57895051<br />

57895237, 57895238<br />

Fax.: (021) 57895051, 57895237<br />

Email: humas@mpr.go.id<br />

Pembaruan Agraria<br />

Edisi No.01/TH.VI/Januari 2012<br />

Desain: Jonni Yasrul<br />

Foto: Istimewa<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

Legislative Review TAP <strong>MPR</strong><br />

Bagaimana prosedur pengujian Tap <strong>MPR</strong><br />

Pasca diundangkannya UU No.12 Tahun<br />

2011. Bisakah <strong>MPR</strong> mereview Tap <strong>MPR</strong> No.1<br />

Tahun 3003 sehingga semua Tap <strong>MPR</strong> yang<br />

masih berlaku menjadi tidak berlaku? Atau<br />

dapatkah MK menguji Tap <strong>MPR</strong>?<br />

Aji<br />

Gang Manyar 258<br />

Jogjakarta<br />

Revisi Landasan Hukum LPSE <strong>MPR</strong><br />

Landasan hukum yang mendasari<br />

lahirnya layanan ini adalah: (1). Keputusan<br />

Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang<br />

Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang<br />

dan Jasa Pemerintah; (2). . . . dst<br />

Keppres 80 Tahun 2003 telah diganti<br />

dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun<br />

2010 tentang “Pengadaan Barang/ Jasa<br />

Pemerintah.” Tidak hanya sekedar diralat,<br />

pelaksanaan lelang 2012 di lingkungan <strong>MPR</strong><br />

juga harus disesuaikan dengan Perpres 54/<br />

2010. Terima kasih.<br />

Herwin Nur<br />

TMI Tangsel.<br />

Sosialisasi 4 Pilar Perlu Bagi Kalangan<br />

Perguruan Tinggi<br />

Salam...<br />

Sosialisasi 4 Pilar yang dilakukan oleh<br />

<strong>MPR</strong> dalam bentuk Lomba Cerdas Cermat<br />

sangat baik. Oleh karena itu, hal semacam<br />

ini juga perlu dilakukan di kalangan<br />

mahasiswa, demi memberikan pemahaman<br />

yang baik kepada mahasiswa. Sebab,<br />

banyak mahasiswa memiliki pengetahuan<br />

yang minim mengenai hal ini, bahkan ada<br />

yang tidak tahu sama sekali. Bagaimana kita<br />

dapat mengatakan bahwa kita adalah<br />

warga negara Indonesia, sedangkan,<br />

dasar negara dan konstitusi tidak dipahami.<br />

Apa kata dunia????<br />

Jefry<br />

Jln. Nn Saar Sopacua<br />

Ambon<br />

Jadwal LCC UUD 1945 tahun 2012<br />

Assalmualaikum,<br />

Saya mau bertanya, kapan mulai diadakan<br />

kembali LCC UUD 1945? Kalau boleh, tolong<br />

di situs <strong>MPR</strong> menyediakan jadwal untuk<br />

masing-masing Provinsi.<br />

Terimakasih.<br />

Wasalamualaikum<br />

Setya Brahmono,<br />

Tegal<br />

ToT<br />

Yth. Pimpinan <strong>MPR</strong>,<br />

Dengan ini saya menyampaikan<br />

ketertarikan dan minat mengikuti ToT yang<br />

diselenggarakan oleh <strong>MPR</strong>. Sebagai rakyat<br />

Indonesia tentunya mempunyai hak untuk<br />

mendapatkan informasi dan mengikuti terkait<br />

hal tersebut. Atas perhatiannya saya<br />

sampaikan terima kasih.<br />

Wasalam<br />

Asep Budi<br />

Cipinang Melayu,<br />

Kec. Makasar,<br />

Jakarta Timur<br />

Hanya Untuk Indonesia<br />

Bukan sok nasionalis, aku orang Indonesia,<br />

tanahku di sini, airmataku jatuh di<br />

belahan bumi ini, negaraku lagi mengalami<br />

karut marut politik. Mereka tidak pernah<br />

melihat ke samping, apakah orang yang<br />

ada di samping mereka telah mengisi perut<br />

atau belum. Mereka hanya pikirkan perut<br />

“gendut” mereka sendiri....<br />

Bukan ini yang diharapkan pendahulu kita,<br />

entah apa lagi yang harus aku ucapakan...<br />

Aku hanya terlalu cinta negaraku, tak bisa<br />

melihatnya jatuh, terluka, dihina negara<br />

tetangga. Aku memang tidak berbuat apaapa<br />

buat negaraku, tapi aku telah berusaha<br />

untuk tidak membuat malu negaraku. Indonesia<br />

adalah negara yang besar, tapi di<br />

“perkecil” oleh mereka...<br />

Indonesia adalah negara kaya, tapi<br />

mereka membuatnya miskin...<br />

Indonesia adalah negara kuat, tapi<br />

Kami dengan senang hati menerima tulisan baik berupa ide, pendapat, saran<br />

maupun kritik serta foto dari siapa saja dengan menyertai fotocopi identitas Anda.<br />

5


SUARA RAKYAT<br />

mempunyai pemimpin yang sangat lemah.<br />

Aku hanya ingin negaraku bangkit kembali,<br />

bangkit dari keterpurukan, bebas dari “tikustikus”<br />

yang telah lama bersarang di negaraku.<br />

Karena aku cinta negaraku.<br />

Dodi Agustiawan<br />

Lombok NTB,<br />

Mataram<br />

Hinanya Bangsa Indonesia<br />

Di Mata Negara Tetangga<br />

Saya sebagai warga negara Indonesia<br />

merasa malu dan hina, karena bangsa saya<br />

selama ini selalu dilecehkan bangsa lain, yaitu<br />

Malaysia. Dari kasus perbatasan,<br />

penangkapan aparatur pemerintah, dan<br />

kasus-kasus yang lain, serta yang terbaru<br />

kasus pembunuhan yang dilakukan aparatur<br />

atas suruhan pengusaha Malaysia itu,<br />

semua sungguh “menjijikkan” bagi bangsa<br />

Indonesia. Saya hanya ingin pemerintah kita<br />

Karikatur<br />

bersifat tegas.....! Apakah kita takut sebagai<br />

bangsa yang besar terhadap Malaysia?<br />

Saya tak mau anggota <strong>MPR</strong> yang terhormat<br />

berubah seperti banci kaleng dalam<br />

menghadapi kasus dengan Malaysia..........<br />

Juned<br />

Tanah Tinggi<br />

Seminar 4 Pilar<br />

Pancasila Abadi!!!<br />

Dengan Hormat. Sehubungan dengan<br />

maraknya seminar tentang 4 Pilar, kami dari<br />

Satuan Pelajar dan Mahasiswa Pemuda<br />

Pancasila Banyumas ingin bekerjasama<br />

untuk menyelenggarakan seminar 4 Pilar di<br />

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.<br />

Terima kasih.<br />

Persatuan Pelajar dan Mahasiswa PP<br />

Jl. Jenderal Soedirman<br />

Purwokerto<br />

Butuh Penjelasan tentang<br />

UU No. 10 Tahun 2004 dan TAP <strong>MPR</strong><br />

Ass..Wr..Wb...<br />

Sebenarnya alasan apa yang membuat<br />

UU No. 10 Tahun 2004 dicabut, dan kenapa<br />

TAP <strong>MPR</strong> digunakan lagi.... trims !! tolong<br />

dijawab.<br />

Sirin<br />

Simpang Raya, Luwuk Banggai<br />

Minta Naskah Buku 4 Pilar<br />

Kami ingin mendapatkan naskah/buku 4<br />

Pilar Kehidupan Bernegara. Kira-kira di mana<br />

kami bisa mendapatkan naskah/buku<br />

tersebut ? Sekiranya berkenan mohon<br />

dikirimkan kepada kami melalui email kami<br />

tersebut atau sms ke nomor hp kami, tempat<br />

kami bisa memperolehnya. Terima kasih.<br />

Frans Julius W<br />

Jl. Camar Blok AE/13 Bintaro Jaya<br />

Tangerang Selatan<br />

ILUSTRASI: SUSTHANTO<br />

6 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


Membangun Toleransi Antar-umat Beragama<br />

TINDAK kekerasan berlatarbelakang<br />

agama masih mengisi catatan hitam<br />

pelanggaran hak asasi manusia (HAM)<br />

tahun 2011. Menjelang tutup tahun 2011,<br />

pada Kamis 29 Desember sekitar pukul 09.15<br />

WIB, kekerasan atas nama agama kembali<br />

terjadi. Pesantren milik warga Syiah di Desa<br />

Karanggayam, Kecamatan Omben dan Desa<br />

Blu’uran Kecamatan Karang Penang,<br />

Kabupaten Sampang, Madura, dibakar<br />

massa. Pembakaran dilakukan ratusan<br />

warga yang mengaku dari aliran Sunni di<br />

sekitar perkampungan aliran Syiah ini.<br />

Tak cuma membakar pesantren, sejumlah<br />

warga juga membakar rumah warga di<br />

kawasan yang biasa ditempati pengikut<br />

Syiah di bawah pimpinan Ustadz Tajul Muluk<br />

di sekitar pesantren. Tiga rumah milik<br />

pengikut aliran Syiah ludes dibakar. Meski<br />

tak menimbulkan korban jiwa, aksi itu<br />

menghanguskan tiga rumah dan satu<br />

mushala. Korban jiwa dapat dihindarkan<br />

karena seluruh pengikut Syiah sudah<br />

mengungsi saat warga datang ke lokasi.<br />

Sebenarnya sudah sejak 1980-an, warga<br />

Syiah berada di dua desa itu. Kekerasan<br />

yang dialami jemaah Syiah sudah<br />

berlangsung sejak 2004. Saat itu mereka<br />

secara terbuka membangun pesantren.<br />

Ketegangan baru muncul pada 2006. Karena<br />

ketegangan akibat keberadaan aliran Syiah<br />

itu, maka pada 2009, dilakukan pertemuan<br />

antara Majelis Ulama Indonesia (MUI)<br />

Sampang dengan sejumlah tokoh agama<br />

yang juga dihadiri aparat kepolisian dan TNI.<br />

Hasil pertemuan itu, MUI menyatakan bahwa<br />

Syiah bukanlah aliran sesat karena tidak ada<br />

penyimpangan. Sejak saat itu, warga Syiah<br />

pun sudah mendapat perlindungan dan<br />

jaminan keamanan dari aparat keamanan.<br />

Namun, pada akhir Desember 2011 justru<br />

terjadi kekerasan terhadap jamaah Syiah.<br />

Peristiwa Sampang menambah jumlah<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

catatan kekerasan berlatarbelakang agama.<br />

The Wahid Institut mencatat, pada tahun 2011<br />

setidaknya ada 92 kasus kekerasan<br />

berlatarbelakang agama. Paling banyak<br />

terjadi adalah pelanggaran atau pembatasan<br />

aktivitas keagamaan atau pelarangan<br />

melakukan kegiatan ibadah kelompok tertentu<br />

(sebanyak 49 kasus atau 48%).<br />

Menurut Ketua Komisi VIII, Abdul Kadir<br />

Karding, sepanjang tidak ada upaya serius<br />

pemerintah untuk membangun kesadaran<br />

rakyat agar bersikap toleran maka tindak<br />

kekerasan berlatar agama diprediksi bakal<br />

terus terjadi di tahun-tahun mendatang.<br />

Karena itu pemerintah harus serius<br />

membangun toleransi antar-umat beragama.<br />

Saat ini sikap toleransi masyarakat masih<br />

belum terbangun dengan baik. Sayangnya,<br />

kondisi seperti itu diperparah dengan tidak<br />

adanya penegakan hukum yang obyektif dari<br />

pemerintah, baik aparat keamanan maupun<br />

pemerintah daerah. Seringkali terjadi tindak<br />

kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu<br />

namun aparat dan pemerintah terkesan tutup<br />

mata. Seharusnya pemerintah bisa berperan<br />

dalam upaya me-deradikalisasi terhadap<br />

kelompok yang selalu berbuat radikal.<br />

“Kita harus akui ada kelompok-kelompok<br />

tertentu yang pola pikirnya terlalu radikal.<br />

Pemerintah harusnya melakukan upaya<br />

deradikalisasi terhadap kelompok ini. Tidak<br />

hanya kelompok dengan atribut Islam, tapi<br />

juga Katolik, Kristen, Hindhu dan Budha,” kata<br />

Abdul Kadir Karding, politisi PKB ini.<br />

Ke depan, Abdul Kadir Karding berharap<br />

para tokoh-tokoh masyarakat mulai dari<br />

tingkat daerah, nasional, dan tokoh agama<br />

harus berperan serta membangun toleransi<br />

antar-umat beragama di masyarakat dengan<br />

cara mengayomi orang hidup bertoleransi.<br />

Agar toleransi antar-umat beragama bisa<br />

terbina. ❏<br />

BS<br />

ISTIMEWA<br />

7


Upaya Menyelamatkan TKI dari Hukuman Pancung<br />

PRESIDEN Ketiga <strong>RI</strong>, BJ Habibie, ikut<br />

turun gunung untuk membebaskan<br />

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab<br />

Saudi yang terancam hukuman pancung. BJ<br />

Habibie mengemban misi untuk membebaskan<br />

TKI Tuti Tursilawati, 27 tahun, dari<br />

hukuman mati. Pada akhir Desember 2011,<br />

BJ Habibie bersama Satgas TKI memulai<br />

misinya dengan menemui Pangeran Al Walid<br />

bin Talal Al Saud.<br />

Nama BJ Habibie muncul atas usulan para<br />

pengacara dan sejumlah tokoh di Arab<br />

Saudi. Selain dikenal sebagai teknokrat,<br />

Habibie juga dipandang sebagai<br />

cendekiawan muslim dunia yang memiliki<br />

pengaruh di lingkungan kerajaaan serta<br />

pengusaha ternama Arab Saudi. Sedangkan<br />

Pangeran Al Wahid bin Talal Al Saud yang<br />

akan ditemui Habibie adalah pengusaha<br />

nomor wahid paling berpengaruh di Arab<br />

Saudi. Dia juga berpengaruh di keluarga<br />

Kerajaan Arab Saudi sekaligus keponakan<br />

Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al Saud.<br />

Pertemuan khusus itu akan membahas<br />

upaya membebaskan Tuti Tursilawati, TKI<br />

asal Majalengka, Jawa Barat, dari ancaman<br />

hukuman pancung. Habibie akan meminta<br />

Pangeran Al Walid bin Talal untuk ikut<br />

memperjuangkan dengan cara melobi pihak<br />

keluarga korban agar mau memaafkan Tuti.<br />

Tuti dituduh membunuh majikannya, Suud<br />

Mulhaq Al-Otaibi, dengan cara memukulkan<br />

sebatang kayu pada tanggal 11 Mei 2010 di<br />

kota Thaif. Ia membela diri karena Suud<br />

melakukan pelecehan seksual terhadapnya.<br />

Tuti kabur dengan membawa uang 31.500<br />

Real Saudi berikut satu buah jam tangan.<br />

Dalam pelariannya, Tuti menjadi korban<br />

kebiadaban sembilan pria yang<br />

memperkosanya.<br />

Selanjutnya Tuti Tursilawati diadili di<br />

Mahkamah Umum. Pengadilan menjatuhkan<br />

hukuman mati (qishas). Putusan tersebut<br />

diperkuat oleh Mahkamah Tamyiz (tingkat<br />

banding). Di Mahkamah Ulya (Mahkamah<br />

Agung Arab Saudi) telah menguatkan<br />

putusan mahkamah sebelumya hingga vonis<br />

hukuman mati telah memiliki kekuatan hukum<br />

yang tetap.<br />

Dalam kasus itu, hukuman mati bisa<br />

dihindarkan bila pihak keluarga korban<br />

memberi pengampunan. Pemerintah Indonesia<br />

berupaya mendapatkan pengampuan<br />

dari keluarga korban. Pertemuan sudah<br />

dilakukan sebanyak lima kali. Pertemuan<br />

terakhir pada Minggu, 13 November 2011,<br />

dilakukan pertemuan dengan ahli waris<br />

korban yang diwakili Munif Suud Mulhaq Al<br />

Otaibi dalam rangka mengupayakan Tanazul<br />

(pemaafan) bagi TKI Tuti Tursilawati. Namun<br />

pihak keluarga korban belum bisa<br />

memberikan peluang Tanazul.<br />

Menurut anggota Tim Khusus TKI DPR, Eva<br />

Kusuma Sundari, Satgas TKI memang harus<br />

melakukan langkah yang luar biasa jika betulbetul<br />

ingin membebaskan TKI Tuti Tursilawati<br />

dari eksekusi pancung di Arab Saudi. Timsus<br />

TKI DPR sudah membahas kasus ini. Bahkan,<br />

DPR sendiri sudah berupaya maksimal<br />

dengan mengirim surat ke Dewan Syuro<br />

(parlemen Arab Saudi) dan keluarga korban<br />

untuk memohon pengampunan.<br />

Namun, rupanya upaya tersebut belum<br />

membuahkan hasil sehingga proses<br />

pemancungan Tuti terus berjalan. “Sepatutnya<br />

pemerintah mencoba meringankan dengan<br />

menyoal ketidakadilan yang diterima Tuti,<br />

misalnya terkait kekerasan yang dilakukan<br />

keluarga majikan. Dan, kekerasan seksual yang<br />

dilakukan sembilan orang yang memerkosa dia.<br />

Dua hal ini harus dibawa ke pengadilan,” kata<br />

anggota Komisi III DPR <strong>RI</strong> ini.<br />

Menurut Eva Kusuma, bila tidak bisa<br />

menyelamatkan nyawa, paling tidak keadilan<br />

ditegakkan. Agar, pengadilan di sana tidak<br />

melakukan double standard, hanya<br />

mengadili warga non-Arab saja, sedangkan<br />

kejahatan yang dilakukan oleh warganya<br />

sendiri seharusnya juga disidangkan. ❏<br />

BS<br />

8 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

ISTIMEWA


Citra dan Profesionalitas Polri<br />

CITRA polisi belakangan ini semakin<br />

turun. Polri terus menjadi sorotan.<br />

Bukan soal prestasinya yang<br />

gemilang, tapi karena beberapa peristiwa<br />

kekerasan yang dilakukan anggota Polri di<br />

lapangan. Bahkan kekerasan itu, pada<br />

beberapa insiden, berujung pada jatuhnya<br />

korban jiwa.<br />

Sebut saja dugaan kekerasan di Mesuji,<br />

Sumatera Selatan dan Lampung. Belum<br />

sempat dugaan kekerasan yang melibatkan<br />

aparat keamanan itu diusut, praktik kekerasan<br />

diperlihatkan kembali oleh aparat keamanan<br />

dalam pembubaran aksi warga di Pelabuhan<br />

Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB),<br />

pada Sabtu 24 Desember 2011. Dalam<br />

peristiwa itu, warga menjadi korban, dipukul<br />

dan dihantam tendangan, sampai dihujani<br />

peluru. Dua orang warga kehilangan nyawa.<br />

Melihat aksi kekerasan yang diperlihatkan<br />

polisi membuat Presiden Susilo Bambang<br />

Yudhoyono angkat bicara. Pucuk pimpinan<br />

pemerintah itu meminta Kapolri Jenderal Timur<br />

Pradopo menghentikan segala bentuk<br />

kekerasan anak buahnya di lapangan.<br />

Kekerasan memang lekat dengan<br />

pekerjaan polisi. Ini tampak dari perlengkapan<br />

yang disandangnya seperti pistol, borgol,<br />

pentungan, dan lain-lain. Perlengkapan ini<br />

untuk menjalankan pekerjaan di masyarakat.<br />

Tentu, kekerasan itu hanya digunakan saat<br />

menghadapi hal-hal yang mengancam<br />

dirinya atau orang lain. Kekerasan yang<br />

dilakukan juga harus secara wajar. Artinya,<br />

kekerasan polisi adalah kekerasan normatif,<br />

bukan kekerasan emosional, apalagi brutal<br />

atau kejam.<br />

Persoalannya, bagaimana mengontrol<br />

mandat yang diberikan kepada polisi dalam<br />

menggunakan kekuatan paksa fisik<br />

(kekerasan) sehingga bisa dipertanggungjawabkan.<br />

Bila tidak bisa memberikan<br />

pertanggungjawaban atas dilakukannya<br />

kekuatan paksa fisik maka seharusnya<br />

diberikan hukuman yang setimpal.<br />

Pada dasarnya polisi diizinkan<br />

menggunakan kekerasan dengan kondisi<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

diserang secara fisik oleh seseorang atau<br />

sekelompok orang, polisi telah memberikan<br />

peringatan baik dengan kata-kata maupun<br />

perbuatan namun tidak diindahkan, atau<br />

ketika polisi menghadapi perlawanan yang<br />

tidak seimbang dari seseorang atau<br />

sekelompok orang yang akan ditangkap.<br />

Sebaliknya, polisi tidak diizinkan<br />

menangkap seseorang dengan menggiring<br />

di muka umum, memborgol seseorang yang<br />

tidak berusaha melawan atau melarikan diri,<br />

atau menangkap seseorang, setelah<br />

ditaklukan kemudian dipukuli atau ditembak.<br />

Dari berbagai insiden yang melibatkan<br />

aparat keamanan dengan menggunakan<br />

kekerasan, Anggota Komisi III DPR, Ahmad<br />

Basarah, menilai kesalahannya bukan<br />

terletak pada struktur politik institusi tersebut<br />

yang berada di bawah presiden, melainkan<br />

karena lemahnya kepemimpinan. “Di bawah<br />

presiden saja sudah begini, apalagi di bawah<br />

kementerian,” kata Ahmad Basarah.<br />

Meletusnya sejumlah insiden antara lain<br />

Freeport, Mesuji, dan Sape (Bima)<br />

menimbulkan perdebatan soal struktur<br />

lembaga Polri karena institusi penegak hukum<br />

ini dinilai gagal mengemban amanat. Tudingan<br />

negatif yang mengarah pada institusi ini<br />

membuat citra polisi menurun di mata<br />

masyarakat.<br />

Menurut Ahmad Basarah, Undang-Undang<br />

Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian pada<br />

ayat 4 disebutkan Polri sebagai alat negara<br />

yang menjaga keamanan, ketertiban<br />

masyarakat dan bertugas melindungi,<br />

mengayomi, melayani masyarakat dan<br />

penegakan hukum. Kalau sekarang citranya<br />

atau profesionalitas profesi Polri menurun,<br />

maka persoalanan bukan terletak pada<br />

posisi politik Polri.<br />

Dalam pandangan Ahmad Basarah,<br />

menurunnya citra dan profesionalitas polisi<br />

adalah karena lemahnya kepemimpinan Polri<br />

dalam menjalankan tugas kewenangan,<br />

terutama menghayati konstitusi, UUD N<strong>RI</strong><br />

Tahun 1945. ❏<br />

BS<br />

ISTIMEWA<br />

9


BE<strong>RI</strong>TA UTAMA<br />

Pembaruan Agraria<br />

Menjalankan Amanah<br />

Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001<br />

Konflik atau sengketa tanah terjadi karena tidak dilaksanakannya Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX<br />

Tahun 2001 dan UU Pokok Agraria Tahun 1960 secara konsisten. Ini diperburuk dengan<br />

tumpang tindih peraturan perundangan terkait agraria.<br />

<strong>RI</strong>BUAN orang bergerak menuju Istana Negara, Jakarta, pada<br />

Kamis 12 Januari 2012. Sejak pukul 09.00 WIB pagi mereka<br />

sudah memadati jalan di depan istana. Spanduk dan poster<br />

terbentang. Mereka berdemo mengatasnamakan Sekretariat Bersama<br />

Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia. Sekretariat Bersama ini terdiri<br />

dari beberapa organisasi petani, buruh, masyarakat adat, perempuan,<br />

pemuda, mahasiswa, perangkat pemerintah desa, dan sejumlah<br />

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).<br />

Mereka turun ke jalan mempersoalkan kebijakan pemerintah dalam<br />

soal kepemilikan tanah. Tak hanya berunjuk rasa di depan Istana<br />

Negara, massa juga mendatangi Kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD di Jalan<br />

Gatot Subroto, Jakarta. Ribuan orang itu berjalan kaki memadati ruas<br />

jalan raya sepanjang jalan Jenderal Sudirman menuju Gedung Dewan<br />

sehingga membuat lalu lintas terhenti.<br />

Di depan Kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD, massa merobohkan pagar besi.<br />

Suasana ricuh. Sejumlah pendemo lalu mencoba berlari menuju ke<br />

dalam gedung. Baru sampai 100 meter dari pagar yang roboh, mereka<br />

langsung dihalau barikade petugas yang dilengkapi tiga kendaraan<br />

water canon. Mobil meriam air itu sempat digunakan untuk<br />

menyemprotkan air deras ke arah pendemo. Ada tiga orang<br />

demonstran yang akhirnya dibekuk petugas.<br />

Mengapa demonstran bersikeras dan mengambil resiko untuk<br />

menyuarakan aksinya? Para pendemo itu mempunyai tuntutan. Di<br />

antara tuntutan itu adalah meminta kepada pemerintah untuk<br />

menghentikan segala bentuk perampasan tanah rakyat dan<br />

mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas. Tuntutan lainnya<br />

adalah meminta pemerintah melaksanakan pembaruan agraria sejati<br />

sesuai dengan Tap <strong>MPR</strong> No. IX Tahun 2001 dan UU Pokok-Pokok<br />

Agraria 1960.<br />

Selain itu mereka juga minta agar pengelolaan sumber-sumber<br />

daya alam yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan<br />

mensegerakan UU Pokok-Pokok Agraria dan UU tentang Pengelolaan<br />

Sumber Daya Alam sesuai amanat Tap <strong>MPR</strong> No. IX Tahun 2001<br />

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.<br />

Aksi demo besar-besaran itu memang tidak terlepas dari beberapa<br />

peristiwa yang terjadi di penghujung 2011. Belakangan ini kasus<br />

tanah memang kian memanas. Dari konflik soal tanah itu korban<br />

berjatuhan, baik dari para petani maupun karyawan perusahaan<br />

yang berselisih dengan mereka. Mulai dari kasus tanah di Sungai<br />

Sodong Kecamatan Mesuji Kabupaten OKI Sumatera Selatan dan di<br />

Kabupaten Mesuji Lampung hingga kasus di Bima, Nusa Tenggara<br />

Barat. Kasus serupa juga menyebar di sejumlah wilayah di Indonesia,<br />

antara lain di Jambi, dan Riau.<br />

Menjelang pergantian tahun, masyarakat memang dikejutkan<br />

dengan konflik tanah (agraria) yang menelan korban jiwa. Pada 24<br />

Desember 2011, di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara<br />

Barat (NTB), terjadi bentrokan antara Satuan Brigade Mobil (Brimob)<br />

Polda NTB dengan warga yang menewaskan dua orang. Selama<br />

10 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA


Unjuk rasa di depan gerbang kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD<br />

tahun 2011, sengketa pertanahan yang<br />

terjadi di Mesuji Lampung dan Mesuji Ogan<br />

Komering Ilir, Sumatera Selatan, dikabarkan<br />

telah menewaskan 9 orang (kesimpulan<br />

TGPF).<br />

Pada 19 Desember 2011, sejumlah petani<br />

dari Pulau Padang, Riau, dan Jambi melakukan<br />

aksi demo di depan gerbang Kompleks<br />

Parlemen. Berhari-hari mereka melakukan<br />

aksi jahit mulut untuk mendapat perhatian<br />

pemerintah dan dewan terhadap kasus<br />

sengketa lahan yang mereka hadapi dengan<br />

PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).<br />

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)<br />

mencatat sepanjang 2011 terdapat<br />

sedikitnya 163 konflik agraria di Indonesia.<br />

Jumlah ini meningkat drastis jika dibandingkan<br />

dengan 2010 yang tercatat 106 konflik. Dari<br />

163 kasus itu, 97 kasus terjadi di sektor<br />

perkebunan (60%), 36 kasus di sektor<br />

kehutanan (22%), 21 kasus terkait<br />

infrastruktur (13%), 8 kasus di sektor<br />

tambang (3%), dan satu kasus terjadi di<br />

wilayah tambak/pesisir (1%).<br />

Dari konflik agraria sepanjang 2011 itu,<br />

KPA juga mencatat sebanyak 24 petani/<br />

warga tewas di wilayah-wilayah konflik<br />

agraria. Konflik yang terjadi melibatkan lebih<br />

dari 69.975 kepala keluarga. Sementara luas<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

areal konflik mencapai 472.048,44 hektar.<br />

Anggota Komisi Bidang Pertanahan DPR<br />

<strong>RI</strong>, Budiman Sujatmiko, memaparkan data<br />

lain. Menurut Budiman, saat ini terdapat<br />

2.300 konflik agraria, termasuk yang<br />

melibatkan Badan Pertanahan Nasional<br />

(BPN), BUMN, dan Perhutani. Bahkan politisi<br />

PDI Perjuangan itu menyebutkan, sejak 2001<br />

sebanyak 189 petani atau nelayan tewas<br />

Lukman Hakim Saifuddin<br />

karena konflik agraria, termasuk 22 korban<br />

tewas pada 2011.<br />

Fenomena Gunung Es<br />

Menurut Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Lukman Hakim<br />

Saifuddin, kasus-kasus agraria atau konflik<br />

agraria hanyalah sebuah fenomena puncak<br />

gunung es. Artinya, hanya satu dua kasus<br />

yang muncul ke permukaan. Tapi,<br />

sebenarnya, di bawah sudah banyak terjadi<br />

kasus agraria. “Ini merupakan sesuatu yang<br />

laten dan sudah sangat lama,” katanya<br />

kepada Majelis.<br />

Malah, Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Hajriyanto Y.<br />

Thohari menyebutkan, kasus tanah sudah<br />

ada sejak zaman kolonial Belanda.<br />

Pemerintah kolonial Belanda mentolerir praktik<br />

para priyayi yang menyalahgunakan<br />

kekuasaan dan memperkaya diri sendiri.<br />

Termasuk mempermainkan kepemilikan<br />

tanah. “Jadi, sejak kolonialisme, masalah<br />

tanah menjadi masalah yang laten,” ujarnya<br />

kepada Majelis. Hajriyanto mengambil<br />

contoh disertasi sejarawan Prof. Sartono<br />

Kartodirjo yang menulis tentang pemberontakan<br />

petani.<br />

Memang tidak ada penyebab tunggal dari<br />

berbagai kasus dan konflik agraria yang<br />

terjadi di Indonesia. Namun, fakta<br />

11


BE<strong>RI</strong>TA UTAMA<br />

Hajriyanto Y. Thohari<br />

menunjukkan telah terjadi ketimpangan dalam<br />

penguasaan tanah. KPA menunjuk data<br />

bahwa saat ini terdapat lebih dari 25 juta<br />

hektar hutan dikuasai HPH, 8 juta hektar<br />

dikuasai HTI, dan 12 juta hektar dikuasai<br />

perkebunan besar sawit.<br />

“Secara de facto, di Indonesia itu sudah<br />

banyak tuan-tuan tanah dengan<br />

memanfaatkan sistem kepemilikan tanah yang<br />

sangat liberal, tidak ada batasnya. Asal punya<br />

uang dan mampu membeli maka orang bisa<br />

membeli seberapa pun luas tanah itu.<br />

Ekstrimnya, di Indonesia orang bisa membeli<br />

tanah se-Pulau Jawa,” tutur Hajriyanto.<br />

Di sisi lain, hampir 85% petani di Indonesia<br />

merupakan petani tanpa tanah dan lahan<br />

sempit dengan kepemilikan rata-rata 0,25<br />

hektar. Kondisi seperti inilah yang melahirkan<br />

dan menyuburkan konflik agraria. Petani dan<br />

warga tak bertanah telah tercerabut dari alat<br />

produksinya. Kondisi ini diperparah dengan<br />

keberpihakan aparatur terhadap kepentingan<br />

pemilik modal dalam menjaga asetnya.<br />

Aklibatnya, seringkali terjadi bentrok antara<br />

warga dan pemilik modal yang menyebabkan<br />

jatuh korban.<br />

Mengapa hal itu terjadi? Menurut Anang<br />

Prihantoro, anggota DPD <strong>RI</strong> dari Lampung<br />

yang juga mantan Ketua Umum SERTANI<br />

(Serikat Tani Indonesia) 2005-2011, karena<br />

setiap kali mengadukan masalah tanah<br />

kepada pemerintah dan wakil rakyat jarang<br />

mendapatkan solusi yang memuaskan, maka<br />

akhirnya masyarakat memiliki cara tersendiri<br />

dalam menyelesaikan sengketa tanah.<br />

Mereka tidak memakai cara hukum positif,<br />

karena memang tidak sanggup menjangkau<br />

ranah peraturan hukum formal. Sementara<br />

itu, pemerintah lebih memilih aturan hukum<br />

positif sebagai patokan.<br />

“Akibatnya, perusahaan (pemilik modal)<br />

yang memang memiliki kemampuan secara<br />

hukum akan selalu menang dibanding<br />

masyarakat umum yang hanya memakai<br />

aturan masyarakat setempat atau adat,” jelas<br />

Anang Prihantoro kepada Majelis.<br />

Belum lagi, seperti diungkapkan Ketua Fraksi<br />

Partai Golkar <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, Agun Gunandjar<br />

Sudarsa, konflik atau sengketa agraria juga<br />

disebabkan karena tumpang tindihnya berbagai<br />

peraturan perundang-undangan. Fakta di<br />

lapangan menunjukkan, sumber masalah<br />

bukan sepenuhnya berasal dari Badan<br />

Pertanahan Nasional (BPN), tapi juga<br />

bersumber dari lembaga dan kementerian lain.<br />

Menurut Agun, saat ini banyak lahan yang<br />

dikuasai atau di bawah kendali berbagai<br />

kementerian dan lembaga. Contohnya,<br />

kawasan yang dikuasai atau di bawah<br />

kendali Kementerian Energi dan Sumber Daya<br />

Mineral (ESDM) atau Kementerian Kehutanan,<br />

TNI, Polri, dan lain-lain. Tentu saja, kementerian<br />

dan lembaga itu mempunyai dasar hukum dan<br />

perundangan tersendiri. Sementara sejumlah<br />

warga merasa telah menempati kawasan itu<br />

sejak lama dan turun temurun. “Realitasnya,<br />

sebelum kasus Mesuji, banyak sekali<br />

persoalan terkait pertanahan antara lembaga<br />

dengan rakyat. Ini karena sistem peraturan<br />

perundangan yang overlap,” ujar Agun<br />

kepada Majelis.<br />

Jalan keluar<br />

Agun meyakini kasus atau konflik agraria<br />

itu tak akan terjadi bila kita mematuhi<br />

Anang Prihantoro<br />

Agun Gunandjar Sudarsa<br />

Ketetapan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Nomor IX Tahun 2001.<br />

“Dalam Tap <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Nomor I Tahun 2003 –<br />

yang dikenal sebagain Tap Sapujagad —<br />

terdapat Tap tentang pembaruan agraria<br />

yang masih diberlakukan, yaitu Tap <strong>MPR</strong><br />

Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan<br />

Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.<br />

Kalau kita mematuhi Tap itu, semua masalah<br />

agraria tersebut tidak akan terjadi,” tegas<br />

anggota Komisi II DPR <strong>RI</strong> ini.<br />

Anggota Komisi II lainnya, Budiman<br />

Sujatmiko, juga sependapat. “Akarnya<br />

adalah tidak dilaksanakannya UU Pokok<br />

Agraria Tahun 1960 dan Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX<br />

Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan<br />

Pengelolaan Sumber Daya Alam secara<br />

konsisten. Hal ini semakin diperburuk dengan<br />

tumpang tindihnya otoritas penanganan<br />

agraria yang tersebar di berbagai<br />

kementerian,” katanya.<br />

Pendapat serupa juga diungkapkan Arif<br />

Budimanta, anggota Komisi XI DPR <strong>RI</strong>.<br />

Menurut Arif Budimanta, mandat Tap <strong>MPR</strong><br />

Nomor IX Tahun 2001 masih berlaku hingga<br />

saat ini. Tap itu memang hanya mengatur<br />

secara umum. Pengaturan lebih lanjut melalui<br />

mekanisme perundang-undangan ataupun<br />

peraturan pemerintah. “Saya melihat Tap<br />

<strong>MPR</strong> itu masih valid dan harus menjadi<br />

referensi dalam kebijakan negara di bidang<br />

agraria dalam konteks Pasal 33 UUD N<strong>RI</strong><br />

Tahun 1945,” katanya kepada Majelis.<br />

Bagi Anang Prihantoro, Tap <strong>MPR</strong> Nomor<br />

IX Tahun 2001 memang bisa menjadi pintu<br />

masuk untuk mengurai persoalan tanah yang<br />

saat ini marak. Selain itu, Anang meminta<br />

kepada pemerintah untuk memberikan<br />

kemudahan kepada warga agar bisa<br />

12 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


menjangkau masalah legal formal pertanahan.<br />

“Misalnya mempermudah sistem<br />

pembuatan sertifikat. Selama itu tidak terjadi<br />

maka konflik akan terus terjadi. Juga<br />

diperlukan kesamaan peta pertanahan yang<br />

ada di BPN dengan masing-masing kementerian.<br />

Saat ini kementerian dan lembaga<br />

negara juga memiliki peta tanah sendirisendiri,”<br />

paparnya.<br />

Memang, untuk menyelesaikan masalah<br />

pertanahan, kita perlu berpijak pada Tap <strong>MPR</strong><br />

Nomor IX Tahun2001. Sesuai dengan UU<br />

Nomor 12/2011 tentang Pembentukan<br />

Peraturan Perundang-undangan, kedudukan<br />

Tap itu berada di atas UU Nomor 5 Tahun<br />

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok<br />

Agraria, dan Perpu Nomor 56 Tahun 1960<br />

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.<br />

Karena itu, menurut Agun Gunandjar<br />

Sudarsa, untuk mengatasi sistem dan<br />

perundangan terkait pertanahan yang overlap<br />

bisa diatasi dengan menjalankan Tap<br />

<strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001 itu. “Tap <strong>MPR</strong><br />

tentang Pembaruan Agraria itu sudah<br />

memerintahkan, pemerintah tinggal menjalankannya<br />

saja. Presiden harus memimpin<br />

dalam menyelesaikan kasus agraria di Indonesia.<br />

Presiden harus turun tangan<br />

karena dia yang bisa mengoordinasikan<br />

semua kementerian dan lembaga di bawahnya.<br />

Caranya? Presiden tinggal menjalankan<br />

Tap <strong>MPR</strong> itu,” kata Agun.<br />

Namun, persoalannya, mengapa amanat<br />

Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001 itu tidak<br />

dijalankan pemerintah? “Saya khawatir tidak<br />

ada tindak lanjutnya karena ada kekuatan<br />

kelompok modal yang luar biasa sehingga<br />

pemerintah lebih berpihak kepada mereka.<br />

Budiman Sujatmiko<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

Arif Budimanta<br />

Mungkin juga ada pertimbangan lain karena<br />

keberpihakan itu untuk membuat dunia<br />

investasi lebih nyaman. Tapi, kemudian,<br />

karena terlalu mementingkan kelompok itu<br />

maka ada kepentingan lain yang dikorbankan.<br />

Akibatnya muncul kasus Mesuji, Bima, dan<br />

lain-lain,” jawab Lukman Hakim Saifuddin.<br />

Dengan bahasa lain, Hajriyanto melihat Tap<br />

<strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001 itu tidak berjalan<br />

karena ada dimensi dan implikasi sosial politik<br />

yang sangat besar sehingga tidak ada<br />

pemimpin atau pemerintah yang berani<br />

mengambil risiko itu. “Ketidakberanian para<br />

pemimpin pemerintahan dan negara untuk<br />

mengambil risiko dari pembaruan agraria<br />

itulah yang membuat hampir semua program<br />

pembaruan agraria itu macet. Bahkan Tap<br />

<strong>MPR</strong> juga praktis tidak ditindaklanjuti,”<br />

katanya.<br />

Hajriyanto menambahkan, setelah<br />

kemerdekaan, dengan alasan situasi yang<br />

masih kacau, pemerintahan Soekarno tidak<br />

menyelesaikan masalah agraria. Begitu pula<br />

ketika Orde Lama jatuh dan diganti Orde<br />

Baru, juga tidak ada penyelesaian soal<br />

agraria. Hal serupa diulang pada masa<br />

reformasi. “Tidak ada pemimpin pemerintahan<br />

yang berani untuk mepembaruan kepemilikan<br />

lahan. Kalau tidak ada yang berani, sampai<br />

kapan pun persoalan agraria akan terus<br />

muncul,” ujarnya.<br />

Dengan reforma agraria itu, penguasaan,<br />

kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan<br />

tanah harus dilakukan penataan, di mana<br />

basis dari penataan itu adalah mengutamakan<br />

kepemilikan rakyat. Artinya, rakyat<br />

harus mendapatkan bagian. “Tap <strong>MPR</strong> hanya<br />

memberikan aturan dasar yang makro.<br />

Intinya, pembaruan agraria mutlak harus<br />

dilakukan,” tegas Hajriyanto.<br />

Arif Budimanta mempertegas pendapat<br />

Hajriyanto. “Saya rasa kalau kita melihat<br />

berbagai konflik pertanahan yang ada, kita<br />

harus mengembalikan masalah pertanahan<br />

dalam konteks Pasal 33 UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945.<br />

Negara menguasai tanah dan mengalokasikan<br />

pengelolaan tanah tersebut dengan<br />

tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran<br />

rakyat,” katanya.<br />

Itulah tuntuan aksi demo besar-besaran<br />

yang meminta agar pengelolaan sumbersumber<br />

daya alam adalah untuk kemakmuran<br />

rakyat. Apakah bisa terealisasi? Inilah<br />

yang masih menjadi pertanyaan besar. ❏<br />

Budi Sucahyo, M. Budiono,<br />

Derry Irawan dan Ardi Winangun<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />

13


BE<strong>RI</strong>TA UTAMA<br />

Kebijakan Agraria dari Masa ke Masa<br />

Kebijakan agraria di Indonesia dari masa ke masa terkait dengan perubahan ekonomi dan politik<br />

serta prioritas pemerintah pada masa itu.<br />

PADA awal penjajahan Belanda, tanah<br />

tidak diatur secara sistematis. Barulah<br />

pada masa penjajah Inggris, tanah<br />

untuk pertama kali diatur. Penjajah Inggris di<br />

bawah Stamford Raffles (1811) membentuk<br />

Komisi McKenzie untuk menelaah masalah<br />

agraria dan merekomendasi cara untuk<br />

memaksimalkan penggunaan lahan. Komisi<br />

ini menetapkan bahwa seluruh tanah hanya<br />

dimiliki raja atau pemerintah.<br />

Ketika Belanda kembali menjajah<br />

menggantikan Inggris, pada 1830<br />

diperkenalkan Cultuurstelsel atau Tanam<br />

Paksa. Seperlima dari tanah petani harus<br />

menanam tanaman yang telah ditentukan<br />

pemerintah kolonial Belanda, antara lain:<br />

tembakau, tebu, teh, kopi dan berbagai<br />

tanaman untuk ekspor. Pada masa ini, pihak<br />

swasta Belanda memperjuangkan hak milik<br />

tanah pribumi (eigendom).<br />

Lalu, pada 1870 lahirlah Agrariche Wet<br />

yang mengatur tentang tanah hak milik mutlak<br />

(eigendom) bagi pribumi dan tanah negara.<br />

Masa ini sering disebut sebagai periode liberal<br />

(1870-1900). Sejak itu modal swasta<br />

Belanda dan Eropa masuk ke sektor<br />

perkebunan besar di Jawa dan Sumatera.<br />

Mereka menyewa tanah rakyat dengan skala<br />

tak terbatas. Pengelolaan liberal ini justru<br />

membuat petani hanya menjadi buruh tani,<br />

sementara raja-raja cenderung memberi<br />

konsesi lahan kepada pihak asing.<br />

Berlanjut pada masa penjajahan Jepang.<br />

Di masa penjajahan Jepang, banyak<br />

perkebunan besar terlantar. Ironisnya, petani<br />

malah diwajibkan membayar pajak hingga<br />

40% dari hasil produksi.<br />

Masa kemerdekaan<br />

Di awal kemerdekaan, pemerintahan<br />

Soekarno – Hatta sudah memberi perhatian<br />

pada masalah agraria. Pemerintah<br />

membentuk Panitia Agraria berdasarkan<br />

Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948.<br />

Panitia Agraria ini diketuai Sarimin<br />

Reksodihardjo. Tugasnya adalah memberi<br />

usulan dan pemikiran untuk membuat<br />

Undang-Undang Agraria menggantikan UU<br />

Kolonial. Inilah cikal bakal lahirnya UU No. 5<br />

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-<br />

Pokok Agraria yang sering disingkat UUPA.<br />

Lahirnya UUPA ini melalui proses yang<br />

panjang dengan berganti Panitia Agraria.<br />

Mulai dari Panitia Agraria Jogja (1948),<br />

kemudian Panitia Jakarta (1951), Panitia<br />

Soewahjo (1956), Rancangan Soenario<br />

(1958), sampai dengan Rancangan<br />

Sadjarwo (1960). Proses panjang ini tidak<br />

lepas dari persoalan negara baru yang<br />

menyesuaikan berbagai aturan. Di samping<br />

itu terjadi pula perdebatan filosofis dan<br />

teknis tentang arah UUPA. Namun, semua<br />

rancangan UUPA itu sudah meletakkan<br />

dasar-dasar keberpihakan pada rakyat dan<br />

petani.<br />

Setelah Pemilu 1955, Panitia Agraria di<br />

bawah Soewahjo Soemodilogo berhasil<br />

menyusun Rancangan Undang-Undang<br />

(RUU) Agraria Nasional yang intinya<br />

penghapusan asas domein (kolonial) diganti<br />

penguasaan oleh negara dan asas bahwa<br />

tanah dikerjakan oleh pemiliknya.<br />

Sayangnya, Panitia Soewahjo tidak sampai<br />

meneruskan RUU ke DPR.<br />

Baru pada masa Panitia Soenario,<br />

14 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA


tepatnya 24 April 1958, pemerintah<br />

menyampaikan RUU PA. Namun, Presiden<br />

Soekarno ketika itu meminta adanya<br />

pengkajian yang lebih mendalam dengan<br />

melibatkan Panitia ad hoc DPR, Universitas<br />

Gadjah Mada dan Departemen Agraria. Dari<br />

pengkajian itu akhirnya disusunlah naskah<br />

baru RUU PA pada 1959. Naskah ini<br />

disampaikan pada DPR GR sebagai<br />

Rancangan Sadjarwo pada 1 Agustus 1960.<br />

Pada 24 September 1960, RUU ini oleh DPR<br />

GR diundangkan sebagai UU No. 5 Tahun<br />

1960 atau dikenal juga dengan nama<br />

Undang-Undang Landreform.<br />

Dalam sidang Dewan Pertimbangan<br />

Agung pada 13 Januari 1960, Menteri Agraria<br />

Sadjarwo menyatakan ada tiga pekerjaan di<br />

bidang agraria. Pertama, perubahan UU<br />

Agraria Kolonial yang masih berdasar atas<br />

domein-beginsel dan penyusunan UU<br />

Agraria Nasional. Kedua, Land-reform yang<br />

artinya perubahan dasar struktur<br />

pertanahan. Ketiga, Land-use-planning atau<br />

perencanaan penggunaan tanah dalam<br />

rangka pembangunan semata.<br />

Menurut Sadjarwo, UUPA berlandaskan<br />

Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi dan air<br />

dikuasai oleh negara untuk sebesarbesarnya<br />

kemakmuran rakyat. Karena<br />

negara adalah penjelmaan rakyat, maka<br />

negara mempunyai hak untuk mengatur,<br />

membangun wilayah, untuk kepentingan<br />

rakyat dan negara agar tercapai masyarakat<br />

yang adil dan makmur.<br />

Mengingat UUPA hanya peraturanperaturan<br />

dasar dan mengenai hal-hal<br />

pokok, maka UU tersebut perlu dilengkapi<br />

dengan perangkat peraturan lanjutan. Maka<br />

lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti<br />

Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun<br />

1960 tentang Penetapan Luas Tanah<br />

Pertanian. Aturan ini secara populer dikenal<br />

sebagai Undang-Undang Landreform.<br />

Aturan ini memerintahkan kepada pemerintah<br />

untuk mengusahakan agar setiap keluarga<br />

petani memiliki minimal 2 hektar tanah.<br />

Gerakan Land-reform muncul karena tidak<br />

adanya keadilan sosial dalam masyarakat<br />

pertanian. Tanah dikuasai oleh tuan tanah<br />

(land-lords), sementara petani kecil dan<br />

petani tanpa tanah semakin banyak<br />

jumlahnya. Mereka menuntut tanah diberikan<br />

kepada petani. Seperti kata Sadjarwo, tujuan<br />

land-reform adalah untuk mengadakan<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

pembagian yang adil atas sumber<br />

penghidupan rakyat tani berupa tanah,<br />

dengan maksud ada pembagian hasil yang<br />

adil pula.<br />

Tidak dapat dipungkiri bahwa UUPA,<br />

seperti kata Presiden Soekarno, adalah<br />

tonggak untuk mengikis habis sisa-sisa<br />

imperialisme dalam lapangan pertanahan<br />

agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari<br />

berbagai macam penghisapan manusia atas<br />

manusia dengan alat tanah. Bahkan Bung<br />

Karno menyebut, “Land-reform adalah<br />

bagian mutlak dari Revolusi kita.”<br />

Pada 26 Agustus 1963, melalui Keputusan<br />

Presiden <strong>RI</strong> No. 169 Tahun 1963, tanggal 24<br />

September, tanggal lahirnya UUPA,<br />

ditetapkan sebagai Hari Tani. Sayangnya<br />

pada masa Orde Lama, UUPA ini tidak sempat<br />

dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.<br />

Masa Orde Baru dan Reformasi<br />

Begitu pula pada masa Orde Baru, terjadi<br />

perubahan haluan dan orientasi<br />

pembangunan. Prioritasnya adalah<br />

stabilisasi ekonomi, pembangunan basis<br />

industri, penciptaan lapangan kerja, dan<br />

yang tak kalah penting adalah swasembada<br />

pangan. UUPA tidak tersentuh dan masuk<br />

“kotak”.<br />

Namun, seiring dengan maraknya kasus<br />

sengketa tanah, Presiden Soeharto meminta<br />

Menteri Riset Prof. Soemitro Djojohadikusumo<br />

membentuk sebuah tim untuk mengkaji<br />

masalah pertanahan. Hasilnya, pada 1979,<br />

pemerintah mengukuhkan kembali UUPA 1960<br />

tetap sah sebagai panduan dasar<br />

menyelesaikan persoalan pertanahan.<br />

Pada 1981, pemerintah mencanangkan<br />

Proyek Nasional Agraria (Prona) bagi<br />

masyarakat ekononi lemah. Program<br />

sertifikasi cukup dirasakan manfaatnya oleh<br />

masyarakat. Namun, implementasi UUPA itu<br />

sendiri tidak pernah tercapai. Pemerintah<br />

Orde Baru terlanjur mengandalkan Revolusi<br />

Hijau dan Trilogi Pembangunan tanpa<br />

Reforma Agraria.<br />

Pasca Orde Baru, ada upaya untuk<br />

melaksanakan dan menyempurnakan UUPA<br />

dengan lahirnya Tap <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Nomor IX Tahun<br />

2001 tentang Pembaruan Agraria dan<br />

Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tap ini lahir<br />

dari <strong>MPR</strong> hasil Pemilu pertama di era<br />

reformasi. Sehingga, seharusnya Tap itu<br />

merupakan produk reformasi yang sangat<br />

penting dan tidak boleh diabaikan.<br />

Sama seperti pemerintahan sebelumnya,<br />

pemerintahan pasca Orde Baru juga belum<br />

melaksanakan amanah Tap <strong>MPR</strong> itu.<br />

Pemerintahan pasca Orde Baru dapat<br />

dikatakan lalai dan abai dalam<br />

mengimplementasikan Tap <strong>MPR</strong> itu. Ini berarti<br />

seluruh pimpinan bangsa dan negara pasca<br />

Orde Baru telah melakukan kelalaian kolektif,<br />

sehingga Tap <strong>MPR</strong> itu tidak dilaksanakan<br />

dengan baik. Reformasi di bidang legislasi<br />

terkait agraria belum dilakukan.<br />

Pada pidato 31 Januari 2007 di Istana<br />

Negara, Presiden Susilo Bambang<br />

Yudhoyono pernah menegaskan bahwa<br />

pemerintah akan menempuh reforma agraria<br />

dengan prinsip tanah untuk keadilan dan<br />

kesejahteraan rakyat. Untuk itu, pemerintah<br />

(setelah lima tahun pernyataan Presiden<br />

SBY) akan mengeluarkan Rancangan<br />

Peraturan Pemerintah (RPP) tentang<br />

Reforma Agraria. Menurut Kepala BPN, Joyo<br />

Winoto, RPP ini sudah matang, akan keluar<br />

pada Januari 2012 ini.<br />

Berdasarkan identifikasi BPN, terdapat 7,3<br />

juta hektar tanah terlantar di 33 provinsi di<br />

Indonesia. Tanah itu dikuasai lembaga dan<br />

perseorangan, tapi tidak digunakan sesuai<br />

dengan izin atau dibiarkan terlantar secara<br />

fisik. Tanah ini akan menjadi obyek program<br />

reforma agraria. Kini, saatnya untuk<br />

merealisasikan program reforma agraria<br />

yang signifikan untuk mewujudkan<br />

kesejahteraan rakyat. ❏<br />

BS<br />

15


BE<strong>RI</strong>TA UTAMA<br />

Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Harus Ada Penataan Kembali<br />

Sumber Daya Agraria Kita<br />

Lukman Hakim Saifuddin<br />

DI PENGHUJUNG 2011 dan awal 2012<br />

ini kita dihadapkan pada masalah<br />

agraria. Di Pelabuhan Sape,<br />

Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat<br />

(NTB), gara-gara lahan warga bentrok<br />

dengan Satuan Brigade Mobil (Brimob)<br />

Polda NTB. Sebelumnya, konflik agraria<br />

telah terjadi di Mesuji Lampung dan Mesuji<br />

Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.<br />

Kasus bentrokan warga karena<br />

persoalan lahan terus terjadi. Kasus<br />

sengketa tanah di Bima dan Mesuji<br />

hanyalah sebagian kecil dari gunung es<br />

konflik pertanahan di Indonesia. Konflik<br />

agraria juga ditemui di sejumlah daerah.<br />

Karena itu, memang sudah saatnya<br />

pemerintah melaksanakan pembaruan<br />

agraria sebagaimana diamanatkan UU<br />

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok<br />

Agraria dan Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001<br />

tentang Pembaruan Agraria dan<br />

Pengelolaan Sumber Daya Alam.<br />

Bukankah sesuai mandat Tap <strong>MPR</strong><br />

FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Nomor IX Tahun 2001, pemerintah wajib<br />

menjalankan pembaruan dan reformasi<br />

agraria? Untuk menjawab pertanyaan ini,<br />

pada Jumat 13 Januari 2012, Budi<br />

Sucahyo dan Derry Irawan dari Majelis<br />

mewawancarai Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Lukman<br />

Hakim Saifuddin di ruang kerjanya, lantai<br />

9, Nusantara III, Kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD.<br />

Berikut petikannya.<br />

Bagaimana Bapak melihat konflikkonflik<br />

agraria yang muncul<br />

belakangan ini dan demo besarbesaran<br />

menuntut pembaruan<br />

agraria?<br />

Memang, kasus-kasus atau konflik dan<br />

sengketa dengan berbagai macam coraknya<br />

yang bertumpu pada persoalan tanah atau<br />

agraria sebenarnya hanyalah sebuah<br />

fenomena puncak gunung es. Artinya, hanya<br />

satu dua kasus yang muncul ke permukaan.<br />

Tapi, sebenarnya, di bawah sudah banyak<br />

terjadi kasus agraria. Ini merupakan sesuatu<br />

yang laten dan sudah sangat lama. Jadi,<br />

kasus agraria dan demo besar-besaran<br />

yang kemarin itu adalah bentuk dari begitu<br />

kompleksnya persoalan pertanahan kita<br />

yang sudah ada sekian lama dan tidak<br />

diselesaikan secara menyeluruh.<br />

Itulah sebabnya dari sisi peraturan<br />

perundang-undangan, sejak 1960 sudah<br />

ada ketentuan tentang bagaimana negara,<br />

dalam hal ini pemerintah, mensikapi<br />

persoalan-persoalan yang terkait dengan<br />

tanah. Karena itu, sekaranglah momentum<br />

bagi pemerintah untuk benar-benar memberi<br />

perhatian yang maksimal dan optimal untuk<br />

mengurai persoalan pertanahan yang ada,<br />

kemudian memberikan solusinya secara<br />

komprehensif.<br />

Menurut Bapak, apakah konflikkonflik<br />

agraria yang belakangan ini<br />

muncul terencana atau spontan?<br />

Kalau menurut saya, konflik yang muncul<br />

itu spontanitas. Sebab, sebenarnya<br />

masyarakat dimana konflik itu terjadi sudah<br />

memendam persoalan agraria sejak lama.<br />

Mereka sudah merasakan keresahankeresahan<br />

sehingga dengan sebuah trigger<br />

atau satu dua buah pemicu, maka kemudian<br />

meledak.<br />

Apa sebenarnya akar masalah dari<br />

konflik agraria yang terjadi?<br />

Kalau mengacu pada UU Nomor 5 Tahun<br />

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok<br />

Agraria, kemudian diikuti dengan Perpu<br />

Nomor 56 juga di 1960, dan akhirnya<br />

mengapa <strong>MPR</strong> hasil reformasi ketika itu<br />

menerbitkan Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001,<br />

semuanya itu dikarenakan sejumlah<br />

ketentuan peraturan perundang-undangan<br />

yang ada di satu sisi dengan<br />

implementasinya di sisi lain itu tidak sinkron.<br />

Banyak sekali contoh yang menunjukkan<br />

bahwa hanya kelompok pemodal saja yang<br />

diuntungkan dengan sejumlah kebijakan yang<br />

terkait dengan pertanahan.<br />

Jadi sebenarnya kasus agraria<br />

sudah berlangsung lama dan sudah<br />

ada ketentuan peraturan perundangan,<br />

namun tidak bisa selesai?<br />

Ya, karena penanganannya tidak memihak<br />

kepada masyarakat. Itu poinnya. Sejumlah<br />

kebijakan yang lahir tidak mengacu pada<br />

ketentuan UU No. 5 Tahun 1960 tentang<br />

Pokok-Pokok Agraria dan Tap <strong>MPR</strong> Nomor<br />

IX Tahun 2001. Akhirnya muncul gejolak di<br />

16 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


tengah masyarakat karena rakyat merasa<br />

dirugikan dengan kebijakan pertanahan<br />

yang ada.<br />

Ketika <strong>MPR</strong> mengeluarkan Tap<br />

Nomor IX Tahun 2001, sebenarnya<br />

sudah melihat persoalan tanah dan<br />

bagai-mana mengatasinya?<br />

Ya. Ketika itu reformasi banyak sekali<br />

tuntutannya. Seperti menuntut perubahan<br />

konstitusi, penghapusan doktrin dwi fungsi<br />

AB<strong>RI</strong>, kebebasan pers, penghormatan<br />

terhadap HAM, termasuk juga yang tidak<br />

kalah pentingnya adalah pembaruan agraria.<br />

Pembaruan agraria adalah salah satu<br />

tuntutan reformasi. Itulah sebabnya <strong>MPR</strong><br />

hasil Pemilu 1999 kemudian melahirkan Tap<br />

Nomor IX Tahun 2001. Itulah Tap <strong>MPR</strong> yang<br />

lahir untuk mengakomodasi tuntutan<br />

reformasi.<br />

Saya ingin jelaskan tentang Tap <strong>MPR</strong><br />

Nomor IX Tahun 2001. Intinya Tap itu bicara<br />

tentang pembaruan agraria, yaitu penataan<br />

kembali. Apa yang ditata? Yang ditata adalah<br />

sumber daya agraria kita. Tap itu ingin<br />

menegaskan bahwa hal-hal yang terkait<br />

dengan penguasaan, pemilikan,<br />

penggunaan, dan termasuk di dalamnya<br />

pemanfaatan dari sumber daya agraria ini<br />

direformasi kembali. Jadi, reformasi itu<br />

menyangkut bagaimana pengaturan<br />

penguasaannya, pemilikannya, penggunaannya<br />

dan pemanfaatannya.<br />

Nah, semua itu harus dengan memperhatikan<br />

prinsip-prinsip dasarnya, yaitu:<br />

keutuhan NK<strong>RI</strong>, penghormatan terhadap<br />

HAM, memperhatikan ekosistem, lingkungan,<br />

kesejahteraan, juga desentralisasi.<br />

Poin-poin itu, termasuk arah kebijakannya,<br />

sudah ada dalam pasal-pasal Tap <strong>MPR</strong><br />

Nomor IX Tahun 2001.<br />

Tampaknya Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001<br />

itu belum secara menyeluruh ditindaklanjuti.<br />

Saya melihat, sebenarnya ini semua adalah<br />

kesalahan kolektif kita. Ini tidak melulu atau<br />

semata kesalahan pemerintahan SBY,<br />

karena sejak dulu sampai sekarang telah<br />

berganti pemerintahan, yaitu pemerintahan<br />

Soeharto, BJ. Habibie, KH Abdurrahman<br />

Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Kalau<br />

kita mau jujur ini merupakan kesalahan kita<br />

bersama. Karena itu, kita tidak perlu melihat<br />

ke belakang atau saling menyalahkan.<br />

Sebaliknya kita menatap ke depan. <strong>MPR</strong> akan<br />

mengajak kita semua untuk melihat ke depan<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

dengan cara menata kembali agraria itu.<br />

Mengapa sampai sekarang tidak ada<br />

tindak lanjut dari Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX<br />

Tahun 2001 itu?<br />

Ya, saya khawatir, seperti disinyalir<br />

banyak kalangan, ada kekuatan kelompok<br />

pemodal yang luar biasa sehingga<br />

pemerintah “dipaksa” lebih berpihak kepada<br />

mereka. Mungkin juga ada pertimbangan lain<br />

karena keberpihakan itu untuk membuat<br />

dunia investasi lebih nyaman. Tapi kemudian,<br />

karena terlalu mementingkan kelompok itu,<br />

maka ada kepentingan lain yang dikorbankan.<br />

Akibatnya, muncul kasus seperti di Mesuji,<br />

Bima, Freeport, dan banyak lagi lainnya.<br />

Konflik atau sengketa terjadi antara<br />

perusahaan yang mengelola lahan-lahan itu<br />

dengan para penduduk setempat.<br />

Lalu, ke depan harus bagaimana?<br />

Harus ada penataan kembali terhadap<br />

sumber daya agraria kita. Penataan itu<br />

terkait dengan penguasaan, pemilikan,<br />

penggunaan dan pemanfaatan dari lahanlahan<br />

yang ada. Penataan kembali itu harus<br />

bertumpu pada peraturan perundangan<br />

yang ada. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang<br />

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria<br />

harus menjadi tulang punggung dari<br />

kegiatan penataan kembali itu. Termasuk<br />

juga Perpu Nomor 56 Tahun 1960 tentang<br />

Penetapan Luas Tanah Pertanian yang<br />

dikenal dengan landreform. Dulu, dengan<br />

Perpu itu, secara eksplisit dinyatakan<br />

bahwa setiap keluarga petani minimal<br />

memiliki dua hektar tanah.<br />

Itu menunjukkan betapa para pendahulu<br />

kita sesungguhnya telah memiliki kesadaran<br />

yang tinggi bahwa lahan-lahan yang ada<br />

harus betul-betul diperuntukkan dan demi<br />

kemaslahatan masyarakat luas. Ini yang<br />

sampai sekarang tidak pernah direalisasikan.<br />

Jadi, kedua peraturan perundangan ini, yaitu<br />

UU Nomor 5 Tahun 1960 dan Perpu Nomor<br />

56 Tahun 1960 sebenarnya sudah sangat<br />

baik. Hanya sekarang kita perlu<br />

mensinkronkan sejumlah UU yang terkait<br />

agraria dengan kedua peraturan<br />

perundangan itu.<br />

Karena itu saya mendukung sekali adanya<br />

rencana DPR untuk membentuk Pansus<br />

Sengketa Agraria. Pansus itu dimaksudkan<br />

untuk mensinkronkan antara UU Pokok-<br />

Pokok Agraria dengan sejumlah UU yang<br />

terkait dengan agraria. Banyak sekali UU<br />

yang terkait dengan agraria, seperti UU No.<br />

41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 18/2003<br />

tentang Perkebunan, UU No. 7/2004 tentang<br />

Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 tentang<br />

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau<br />

Kecil, dan UU No. 4/2009 tentang Mineral<br />

dan Batu-bara. Sehingga masing-masing UU<br />

tidak jalan sendiri-sendiri atau bahkan saling<br />

menegasikan, tetapi semuanya mengacu<br />

pada UU Pokok-Pokok Agraria. ❏<br />

17


TB. Soenmandjaja Roekmandis<br />

Ketua Fraksi PKS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Anggota Dewan<br />

‘Doyan’ Naik Transportasi Umum<br />

Sudah menjadi hal yang lumrah, segala tindak tanduk dan tingkah laku anggota dewan yang<br />

terhormat menjadi sorotan publik. Mulai dari soal anggota dewan yang hedonis, sampai ke hal-hal<br />

sekecil apa pun. Tapi, di tengah kritikan terhadap anggota dewan itu, masih ada anggota dewan<br />

tampil bersahaja. Salah seorang diantaranya Soenmandjaja Roekmandis.<br />

FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

PAGI itu, hari Selasa ( 17/1 ), TB.Soenmandjaja Roekmandisakrab<br />

disapa Sunman- anggota DPR <strong>RI</strong> Fraksi Partai Keadilan<br />

Sejahtera ( PKS ) tengah bersiap-siap berangkat tugas ke<br />

Gedung Parlemen, seperti biasanya. Seperti lazimnya pula, ia<br />

memanggil tukang ojek langganannya yang biasa mengantarnya ke<br />

stasiun Kereta Rel Listrik ( KRL ) Bogor.<br />

Tiba-tiba dering handphone yang terdapat di saku celananya<br />

berbunyi. Seorang koleganya mengabarkan bahwa telah terjadi<br />

bencana tanah longsor yang menimpa salah satu Kecamatan di<br />

Kabupaten Bogor. Sunman terdiam sejenak, dan kemudian ia<br />

memutuskan, membatalkan langkahnya ke gedung parlemen, dan ia<br />

langsung berbalik arah menuju daerah bencana, seperti yang<br />

dikabarkan koleganya tadi, yakni di Kecamatan Sukajaya.<br />

Lokasi bencana longsor ternyata sangat jauh, daerah tersebut<br />

adalah daerah terujung di kawasan Bogor Barat, berbatasan dengan<br />

Provinsi Banten. Sesampainya di daerah bencana, Sunman bersama<br />

pemerintah daerah, perwakilan Kementerian Sosial mendatangi para<br />

korban bencana longsor yang sepertinya masih shock akibat<br />

bencana yang baru saja dialaminya.<br />

“Kerusakannya lumayan parah. Puluhan rumah rusak berat, tapi<br />

Alhamdulillah tidak ada korban jiwa, dan para korban hanya<br />

mengalami goncangan psikologis pasca bencana,” ujarnya kepada<br />

Majelis.<br />

Sunman dan pemerintah daerah serta Kementerian Sosial bahu<br />

membahu melakukan koordinasi menghadapi kondisi tanggap darurat<br />

bencana. Tindakan pertama yang dilakukan menyiapkan lahan untuk<br />

pengungsian sementara, serta menyiapkan tenda, dapur umum<br />

berikut bahan-bahan makanan, seperti mi instan, dan juga klinik<br />

kesehatan sementara.<br />

“Alhamdulillah, tanggap darurat sudah berjalan. Memang daerah<br />

ini sangat rawan bencana longsor, karena kontur tanahnya yang<br />

labil, apalagi curah hujan beberapa hari ini kan sangat tinggi. Kami<br />

berpikir untuk melakukan relokasi ke wilayah yang lebih aman,”<br />

paparnya.<br />

Seharian penuh, Sunman berada di lokasi bencana. Menjelang<br />

malam, Sunman memutuskan pulang kembali ke rumahnya yang masih<br />

di wilayah Kabupaten Bogor. Di tengah perjalanan menuju rumah,<br />

Sunman berkisah tentang kebiasaannya memakai moda transportasi<br />

darat, yakni KRL Jabodetabek yang menjadi primadona rakyat, namun<br />

sering membuat rakyat kesal.<br />

“Saya biasa naik KRL Jabodetabek kalau berangkat ke gedung<br />

parlemen. Saya berangkat pagi sekitar jam 05.30 WIB. Dari rumah<br />

untuk jarak tempuh sekitar 400 meter naik ojek, lalu sambung naik<br />

angkot ke stasiun kereta Bogor. Begitu tiba di Stasiun Karet Jakarta,<br />

saya turun kemudian melanjutkan perjalanan dengan menumpang<br />

Metromini yang rutenya lewat gedung parlemen, paling lama makan<br />

waktu sekitar dua atau tiga jam,” paparnya.<br />

Sunman mengaku, ia naik KRL dengan pertimbangan rasional.<br />

Selain karena cepat, aman dan ekonomis daripada memakai<br />

kendaraan pribadi, yang paling ia sukai adalah membaur dengan<br />

rakyat. Dengan cara itu, sebagai wakil rakyat, ia bisa melihat langsung<br />

segala kejadian dan masalah yang dialami rakyat.<br />

“Saya melihat dan merasakan sendiri, ternyata perjuangan rakyat<br />

yang memakai KRL sangat tidak mudah. Saya merasakan sumpek,<br />

panas, gerah. Bergelantungan di dalam gerbong, dan saya pun<br />

sudah biasa dengan kondisi itu. Saya menyiapkan baju ganti, karena<br />

sampai kantor pasti baju saya basah semua oleh keringat. Ingat,<br />

rakyat mengalami ini setiap harinya,” ceritanya.<br />

Yang paling menyenangkan adalah tingkat sosialisasinya yang<br />

sangat tinggi. Sunman sering bincang-bincang dengan berbagai<br />

macam tipe, karakter, suku, profesi, mulai dari tukang asongan,<br />

18 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


Soenmandjaja Roekmandis<br />

penjual buah sampai pekerja kantoran biasa.<br />

“Di KRL saya sering bertemu kawan lama<br />

juga loh. Jadi, kebiasaan saya naik KRL ini<br />

tidak ada hubungannya dengan karakter.<br />

Karena saya anggota dewan maka untuk<br />

menjaga menjaga imej atau jaim lalu saya<br />

malu menggunakan moda transportasi<br />

rakyat. Tidaklah. Itu semua karena<br />

pertimbangan rasionalitas saja dan memang<br />

saya suka itu saja,” terangnya.<br />

Kebiasaan Sunman yang doyan memakai<br />

sarana transportasi massal persis sama<br />

dengan yang dilakukan seorang pejabat<br />

pemerintahan, yakni Menteri ESDM Dahlan<br />

Iskan yang juga suka membaur bersama<br />

rakyat memakai KRL dan ojek motor,<br />

walaupun itu tak dilakukan setiap hari. Apa<br />

yang dilakukan Sunman ini minimal bisa<br />

membuat rakyat respek, ternyata masih ada<br />

pemimpinnya yang tidak begitu menjaga jarak<br />

dengan rakyat kecil.<br />

Rujukan Nabi Muhammad<br />

Jatuh bangun dalam hidup dan menapak<br />

karir membuat pria yang dilahirkan di<br />

Sukabumi, Jawa Barat, 29 September 1957,<br />

ini mampu beradaptasi, namun tetap dalam<br />

koridor idealisme dengan lingkungan<br />

kerjanya saat ini.<br />

Keinginan dan cita-cita semasa kecil<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

Sunman adalah mengikuti jejak sang ayah<br />

sebagai seorang tentara. Karena orang<br />

tuanya tak mengizinkan menjadi tentara,<br />

Sunman pun mengurungkan niatnya itu.<br />

Ternyata kemudian, Sunman mengalami<br />

pengalaman pahit dengan dunia militer yang<br />

sebelumnya ia dambakan itu.<br />

Ceritanya, saat itu ia kuliah di Universitas<br />

Ibnu Khaldum (UIKA) Bogor. Waktu itu, 1978,<br />

ia aktif di Dewan Mahasiswa UIKA, dan aktif<br />

dalam gerakan demontrasi yang saat itu<br />

sedang gencar-gencarnya. Singkat cerita,<br />

Sunman ditangkap, ia dinilai oleh penguasa<br />

militer waktu itu terlalu ekstrim.<br />

Selama tiga bulan Suman mendekam<br />

dalam tahanan di Korem 061 Suryakencana<br />

Bogor. Ia dijebloskan di dalam sel yang<br />

sempit, dan harus menjalani interogasi<br />

dengan penyiksaan fisik yang sangat luar<br />

biasa menyakitkan. Setelah tiga bulan di sel<br />

tahanan, kemudian status penahanannya<br />

diubah menjadi tahanan rumah,<br />

konsekwensinya ia wajib lapor setiap pagi<br />

ke Markas Korem. Dan, ia pun dicekal,<br />

selama sepuluh tahun tidak bisa memiliki<br />

paspor sampai 1988.<br />

Setelah kejadian itu, Sunmanpun tidak<br />

tertarik lagi terjun ke politik. Ia merasa lebih<br />

nyaman menjalani profesi sebagai tenaga<br />

pendidik alias guru. Sebagai pendidik, ia<br />

mengawali karir di sebuah SMP di kota Bogor.<br />

Dalam perjalanan selanjutnya, ia diangkat<br />

menjadi asisten dosen, dan aktif sebagai<br />

seorang da’i, melakukan ceramah-ceramah<br />

agama dan kegiatan dakwah Islam.<br />

Tiba-tiba, konstelasi politik Indonesia<br />

berubah drastis pada 1998. Era Orde Baru<br />

berakhir, dan mulai memasuki Era Reformasi.<br />

Di era ini, kebebasan berorganisasi dan<br />

berpolitik terbuka lebar. Nah, Sunman dan<br />

beberapa rekannya menambah peluang itu.<br />

Tepat 20 Juli 1998 mereka men-deklarasikan<br />

berdirinya Partai Keadilan ( PK ). Sunman<br />

langsung dipercaya memegang jabatan Ketua<br />

DPW Jawa Barat.<br />

Menurutnya, pada awal mula mendirikan<br />

partai tujuannya tidak semata-mata untuk<br />

ikut terjun ke politik atau pemilu, tapi lebih<br />

kepada aktualisasi politik setelah<br />

mempelajari dan mendalami semua parpol<br />

yang ada waktu itu.<br />

Pada 1999, PK memutuskan ikut pemilu, dan<br />

berhasil meraih beberapa kursi di DPR <strong>RI</strong>,<br />

termasuk Sunman. Waktu itu, sebagai anggota<br />

DPR <strong>RI</strong> periode 1999-2004, Sunman mewakili<br />

daerah pemilihan (dapil) Kabupaten Bogor.<br />

Awalnya, ia ditempatkan di Komisi I lalu pindah<br />

ke Komisi II, dan terakhir di Komisi IX.<br />

Perjalanan PK ternyata tidak berjalan<br />

mulus. Untuk menjadi Pemilu berikutnya, PK<br />

terganjal UU Pemilu No.III Tahun 1999 tentang<br />

syarat berlakunya batas minimum<br />

keikutsertaan parpol ( electoral threshold )<br />

2%. Lalu, pada 2003, PK berubah nama<br />

menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).<br />

Pada pemilu 2009, Sunman terpilih kembali<br />

sebagai anggota DPR <strong>RI</strong> periode 2009-2014<br />

dari dapil yang sama. Kali ini, ia ditempatkan<br />

di Komisi III ( Hukum dan HAM ). Pada periode<br />

ini juga, Sunman dipercaya menjabat<br />

sebagai Ketua Fraksi PKS di <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>. Ia<br />

terlibat, baik langsung maupun tidak<br />

langsung, dalam proses pengambilan<br />

keputusan di <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, khususnya dalam<br />

perubahan atau amandemen konstitusi dan<br />

TAP <strong>MPR</strong>.<br />

Ia juga berperan besar dalam tugas <strong>MPR</strong><br />

<strong>RI</strong> melakukan sosialisasi 4 Pilar berbangsa<br />

( Pancasila, UUD N<strong>RI</strong> 1945, NK<strong>RI</strong>, Bhinneka<br />

Tunggal Ika ) sampai saat ini.<br />

“Dalam menjalani hidup dan karir, saya<br />

mengagumi banyak orang. Mulai dari orang<br />

tua saya sendiri sampai tokoh-tokoh penting<br />

sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang.<br />

Tapi sebagai muslim, yang ideal, saya<br />

idolakan adalah Nabi Besar Muhammad<br />

SAW. Beliau adalah rujukan utama saya,”<br />

tandasnya. ❏<br />

Derry Irawan<br />

19


NASIONAL<br />

Masih Berkutat Seputar Pengisian<br />

RUU Keistimewaan Jogjakarta<br />

Jabatan<br />

Dua pendekatan pengisian jabatan kepala daerah dalam RUU Keistimewaan Jogjakarta yaitu<br />

pengisian melalui penetapan dan melalui pemilihan. Di luar itu ada pendekatan kombinasi,<br />

yaitu pengisian melalui penetapan selama sekian tahun, setelah itu melalui pemilihan.<br />

SELASA, 27 September 2011, Presiden Susilo Bambang<br />

Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Menteri Dalam<br />

Negeri Gamawan Fauzi terlibat dalam diskusi di Istana Negara.<br />

Kala itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Jogjakarta<br />

masih dibahas antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat<br />

(DPR). Sementara, masa jabatan Sri Sultan Hamengkubuwono X<br />

sebagai Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta akan segera berakhir.<br />

Akhirnya dicapai kesepakatan. Masa jabatan Sri Sultan sebagai<br />

Gubernur DIY diperpanjang selama satu tahun. “Kita<br />

mencoba diskusi dengan bapak Presiden, dan<br />

Mendagri karena RUU Keistimewaan<br />

Jogjakarta belum selesai, sedangkan<br />

jabatan gubernur mau selesai.<br />

Sehingga saya sepakat menerima<br />

perpanjangan. Tapi tidak dua tahun,<br />

hanya satu tahun,” kata Sri Sultan.<br />

Dengan perpanjangan selama<br />

satu tahun, Sultan berharap<br />

pemerintah dan DPR punya kemauan<br />

kuat untuk menyelesaikan RUU<br />

Keistimewaan Jogjakarta secepat<br />

mungkin. “Ya harus kerja keras untuk selesai.<br />

Harus selesai satu tahun,” katanya. Sebelumnya,<br />

masa jabatan Sri Sultan Hamengkubuwono X<br />

sebagai Gubernur DI Jogjakarta sudah dua kali diperpanjang.<br />

Presiden SBY resmi menandatangani Keputusan Presiden<br />

(Keppres) tentang perpanjangan masa jabatan Gubernur DI<br />

Jogjakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Wakil Gubernur DIY<br />

KGPAA Paku Alam IX. Masa jabatan keduanya diperpanjang satu<br />

tahun terhitung sejak 9 Oktober 2011.<br />

Pembahasan RUU Keistimewaan Jogjakarta memang berlarut-larut.<br />

Selama hampir dua periode, DPR tidak juga berhasil menuntaskan<br />

pembahasan RUU tersebut. Pada DPR periode 2004-2009,<br />

pembahasan RUU itu hanya menyisakan satu pasal, yaitu pasal<br />

yang terkait dengan mekanisme pengisian posisi kepala daerah<br />

(gubernur dan wakil gubernur). Hanya satu pasal itu yang belum<br />

mendapat persetujuan dari pemerintah.<br />

Sampai akhir 2011, Panitia Kerja (Panja) RUU Keistimewaan<br />

Jogjakarta Komisi II DPR <strong>RI</strong> masih membahas hasil kajian pemerintah<br />

tentang perumusan pengisian jabatan kepala daerah. Menurut<br />

Pimpinan Panja RUU Keistimewaan Jogjakarta Komisi II DPR <strong>RI</strong>, Hakam<br />

Naja, hingga saat ini materi RUU Keistimewaan Jogjakarta sudah<br />

selesai 67%.<br />

Hakam Naja menjelaskan, saat ini pola penyelesaian RUU dengan<br />

menggunakan pendekatan kluster bukan pasal per pasal atau ayat<br />

per ayat. Kluster pertama adalah terkait dengan pengisian jabatan<br />

kepala daerah. “Sebelumnya, istilahnya penetapan atau pemilihan.<br />

Kita ganti menjadi pengisian jabatan,” kata politisi Partai Amanat<br />

Nasional (PAN) itu.<br />

“Setelah kita bahas, memang ada dua<br />

pendekatan. Ada yang pengisiannya melalui<br />

penetapan, dan ada yang pengisian melalui<br />

pemilihan. Di luar dua pendekatan itu, ada<br />

yang gabungan. Pengisian melalui<br />

penetapan selama sekian tahun,<br />

setelah itu pengisian melalui<br />

pemilihan,” tambahnya.<br />

Dalam kluster pengisian jabatan ini<br />

masih banyak variannya. Dari sembilan<br />

opsi, kemudian dikerucutkan menjadi lima<br />

opsi, lalu dipersempit lagi menjadi empat<br />

opsi. “Pembahasannya memang sangat<br />

mendalam karena kluster ini adalah salah satu<br />

yang krusial,” ujarnya kepada Majelis.<br />

Kluster kedua adalah soal pertanahan, menyangkut Sultan Ground<br />

(SG) dan Paku Alam Ground (PAG). Yaitu tanah-tanah yang selama<br />

ini menjadi bagian dari Kraton dan Paku Alam. RUU ini harus<br />

disinkronkan dengan UU Pokok Agraria sehingga status kepemilikan<br />

tanah Sultan dan Paku Alam menjadi jelas. Dalam RUU harus diatur<br />

apakah Kesultanan dan Paku Alaman menjadi badan hukum atau<br />

tidak.<br />

Hal ini, kata Hakam, menjadi penting untuk meluruskan batasan<br />

tanah milik Kesultanan, tanah yang sudah beralih kepemilikan, tanah<br />

yang selama ini sudah dipakai instansi lain agar di kemudian hari<br />

tidak menimbulkan masalah. “Seperti UGM misalnya atau tanah untuk<br />

instansi. Ini harus jelas. Jangan digantung karena kebaikan hati<br />

Keraton. Tidak boleh begitu. Masalah pertanahan ini tidak sederhana,”<br />

ungkap Hakam.<br />

Dalam soal pengisian jabatan kepala daerah, tambah Hakam,<br />

sebagian fraksi di Komisi II menghendaki penetapan, sebagian lagi<br />

20 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


Sri Sultan Hamengkubuwono X, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono<br />

menghendaki pemilihan. “Akhirnya kita coba<br />

apakah bisa dengan kombinasi. Jadi, sekian<br />

tahun dengan penetapan, kemudian<br />

selanjutnya pemilihan. Pemilihan pun ada<br />

variannya. Ada yang menghendaki pemilihan<br />

semi terbuka, ada juga pemilihan terbuka.<br />

Artinya, pemilihan dibatasi hanya calon dari<br />

kalangan keluarga Keraton saja atau<br />

melibatkan calon dari masyarakat. Jadi,<br />

varian atau opsinya masih banyak,”<br />

paparnya.<br />

Sementara itu, Muhammad Afnan<br />

Hadikusumo, anggota DPD dari Daerah<br />

Istimewa Jogjakarta berpendapat, dengan<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

RUU Keistimewaan Jogjakarta ini pemerintah<br />

tampaknya ingin memberlakukan demokrasi<br />

liberal. Karena itu, sebagian masyarakat<br />

Jogjakarta menganggap RUU itu bertentangan<br />

dengan semangat penggabungan<br />

Jogjakarta ke Negara Kesatuan Republik Indonesia<br />

(NK<strong>RI</strong>).<br />

“RUU ini seharusnya tidak boleh lepas dari<br />

sisi historisnya. Peran dan jasa Sultan<br />

Hamengku Buwono IX kepada NK<strong>RI</strong> sangat<br />

besar. Seharusnya pemerintah mengakomodir<br />

tuntutan masyarakat untuk<br />

pengisian jabatan kepala daerah yang tidak<br />

melalui pemilihan, melainkan penetapan. Inilah<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />

Hakam Naja Muhammad Afnan Hadikusumo<br />

letak keistimewaan Jogjakarta. Kalau sama<br />

dengan yang lain, dimana letak keistimewaannya?<br />

Tidak ada,” kata Afnan<br />

Hadikusumo kepada Majelis.<br />

Sebenarnya DPD sudah menyampaikan<br />

masukan ke DPR sesuai dengan UU No. 27<br />

Tahun 2009 tentang <strong>MPR</strong>, DPR, DPD, dan<br />

DPRD. “Intinya kita menyampaikan pengisian<br />

jabatan kepala daerah dan wakil kepala<br />

daerah melalui penetapan. Kita menyayangkan<br />

masukan dari DPD dianggap sebagai<br />

masukan warga masyarakat yang lain. DPD<br />

berbeda dengan masyarakat umum. Kita<br />

sama-sama lembaga negara. Semestinya<br />

masukan DPD menjadi bahan pertimbangan,<br />

ya hargailah DPD,” katanya.<br />

Berkaitan dengan RUU Keistimewaan<br />

Jogjakarta ini, Afnan Hadikusumo menyampaikan<br />

tiga hal. Pertama, RUU Keistimewaan<br />

Jogjakarta ini muaranya kembali pada<br />

kesejahteraan rakyat. “Sepanjang bisa<br />

mensejahterakan masyarakat, saya kira tidak<br />

ada persoalan,” ujarnya.<br />

Kedua, pemerintah seharusnya mengakomodir<br />

keinginan masyarakat Jogjakarta.<br />

Sebab, ujung-ujungnya yang merasakan<br />

adalah masyarakat Jogjakarta, bukan<br />

pemerintah yang ada di Jakarta. Seharusnya<br />

pemerintah dan DPR memerhatikan kepentingan<br />

masyarakat yang nanti akan<br />

merasakan dampak langsung dari RUU<br />

Keistimewaan Jogjakarta ini.<br />

Ketiga, pemerintah seharusnya tidak<br />

hanya mengadopsi model demokrasi Barat<br />

secara utuh, karena belum tentu cocok<br />

dengan budaya di suatu daerah. “Pemerintah<br />

jangan menerapkan model demokrasi dari<br />

luar. Demokrasi boleh tapi disesuaikan<br />

dengan budaya lokal,” ujarnya. Sekarang<br />

justru terjadi persoalan, pemilihan kepala<br />

daerah menimbulkan konflik horizontal. Selain<br />

itu, pemilihan tidak menjamin kepala daerah<br />

lebih clean. Buktinya, hampir 50% kepala<br />

daerah hasil pemilihan terjerat kasus korupsi.<br />

Baik Hakam Naja maupun Afnan<br />

Hadikusumo berharap sebelum masa jabatan<br />

Sri Sultan Hamengku Buwono X berakhir<br />

pada Oktober 2012, RUU Keistimewaan<br />

Jogjakarta ini sudah bisa disahkan. “Harapan<br />

kita sebelum Oktober 2012, Insya Allah kita<br />

upayakan selesai,” ujar Hakam Naja.<br />

Seandainya meleset dari batas waktu<br />

Oktober 2012? Maka, menurut Afnan<br />

Hadikusumo, akan berlaku UU tentang<br />

Pemerintahan Daerah. “Gubernur nanti<br />

dijabat Plt Gubernur, yaitu Wakil Gubernur.<br />

Kalau Wakil Gubernur tidak berkenan, maka<br />

akan di-drop dari Pusat,” katanya. ❏<br />

BS<br />

21


NASIONAL<br />

Press Gathering Jogjakarta<br />

Memahami Etika Kehidupan Berbangsa<br />

Peran etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat penting.Etika<br />

sangat menentukan maju tidaknya suatu bangsa.<br />

KETUA Mahkamah Konstitusi Mahfud MD<br />

dalam satu kesempatan pernah<br />

mengatakan bahwa persoalan etika<br />

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara<br />

di Indonesia menjadi masalah yang sangat<br />

besar pasca reformasi sampai saat ini,<br />

terutama etika berpolitik dan pemerintahan.<br />

Mahfud melihat dalam implementasi etika<br />

berbangsa seperti yang disebutkan dalam<br />

TAP <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> No VI Tahun 2001 tentang Etika<br />

Kehidupan Berbangsa Bab III yang menyebutkan,<br />

pemerintahan harus melayani dengan<br />

tanggap, jujur dan siap mundur apabila keluar<br />

dari kaidah dan sistem nilai. Siap mundur<br />

inilah yang menjadi masalah saat ini.<br />

Apa yang disampikan oleh Mahfud ini<br />

memang sudah jamak adanya. Tidak sedikit<br />

pejabat dan politisi dalam menjalankan<br />

fungsinya tidak beretika. Buktinya, banyak<br />

yang menjadi tersangka korupsi dan menyelewengkan<br />

jabatan. Namun, mereka<br />

selalu mencari alasan pembenar. Dan, yang<br />

paling menjadi tren, mereka selalu menganggungkan<br />

asas praduga tak bersalah.<br />

Mengingat pentingnya etika berbangsa ini<br />

maka <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> mengangkat masalah ini menjadi<br />

topik bahasan dalam diskusi di Hotel Saphir,<br />

Jogjakarta, 10 Desember 2011. Diskusi<br />

sebagai salah satu acara dalam Press Gathering<br />

Pimpinan dan Anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> dengan<br />

kelompok wartawan Parlemen itu menampilkan<br />

Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Hajriyanto<br />

Y.Thohari, serta anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Martin<br />

Hutabarat ( F-Gerindra ) dan Erik Satrya<br />

Wardhana ( F-Hanura ) sebagai pembicara.<br />

Dalam pandangan Hajriyanto, yang<br />

disebut etika itu bisa secara tegas memisahkan<br />

mana yang benar mana yang salah,<br />

mana kejujuran mana penyelewengan, mana<br />

korupsi mana kontribusi dan komisi. “Cuma<br />

di negara kita ini, pengertian etika sering<br />

terdistorsi menjadi sekedar sopan santun<br />

saja,” ungkap Hajriyanto .<br />

Hajriyanto menunjuk contoh, kalau orang<br />

omongnya halus, menyampaikan kata kata<br />

dengan terukur, kalau berjalan di depan orang<br />

yang lebih tua merunduk-runduk, sangat<br />

baik, dermawan menyumbang masjid atau<br />

gereja, itu disebut etika yang baik. “Padahal<br />

belum tentu. Bisa saja dia bertolak belakang<br />

sifatnya. Psikopat misalnya, atau malah dia<br />

adalah koruptor sejati,” ujarnya.<br />

Kesadaran akan pentingnya etika dan<br />

sekaligus pengakuan bahwa kita mengalami<br />

FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

kemunduran etika, lanjut Hajryianto, untuk<br />

pertama kalinya dituangkan di dalam TAP<br />

<strong>MPR</strong> No.VI Tahun 2001 tentang Etika<br />

Kehidupan Berbangsa. Kemunculan TAP<br />

tersebut diawali dengan berbagai situasi<br />

dan kondisi dalam kehidupan berbangsa dan<br />

bernegara yang terus dipantau <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> dari<br />

awal mula reformasi sampai tahun 2001.<br />

Dalam konsideran disebutkan bahwa etika<br />

kehidupan berbangsa mengalami kemunduran<br />

yang mengakibatkan kemerosotan<br />

multidimensi. Artinya, kemunduran etika<br />

berbangsa itu diakui secara eksplisit dalam<br />

sebuah dokumen resmi negara. Ini yang<br />

seharusnya diperhatikan seluruh anak<br />

bangsa.<br />

“Namun sangat disayangkan, saya melihat<br />

sampai dengan hari ini situasi etika kehidupan<br />

berbangsa belum banyak berubah. Malah,<br />

akhir-akhir ini kita melihat proses regenerasi<br />

penyelewengan etika, seperti teroris dan<br />

koruptor, masih trerus berlanjut. Bahkan<br />

berjalan lancar saja,” ujar Hajriyanto.<br />

Dalam kasus terorisme, menurut<br />

Hajriyanto, para “pengantin” atau pelaku<br />

bom bunuh diri usianya masih sangat mudamuda.<br />

Lalu, dalam kasus korupsi yang<br />

22 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


Martin Hutabarat<br />

terjerat banyak kalangan politisi, atau pun<br />

kasus rekening gendut yang melibatkan para<br />

PNS (Pegawai Negeri Sipil) muda.<br />

Menurutu Hajriyanto, hal tersebut terjadi<br />

karena kaderisasi dan regenerasi koruptor<br />

memang ada persemaian hingga tumbuh<br />

subur. Pupuk yang menyuburkan kaderisasi<br />

dan regenerasi koruptor ini berasal dari<br />

sikap permisif yang tinggi dari kalangan<br />

pejabat yang tidak melakukan korupsi dan<br />

juga dari masyarakat.<br />

“Saya masih percaya bahwa mereka<br />

yang tidak korup masih lebih banyak daripada<br />

yang korup, tapi yang tidak korup ini<br />

mempunyai kecenderungan untuk permisif<br />

yang tinggi, artinya bisa menerima dalam<br />

perkawanan, pergaulan dengan para<br />

koruptor. Yang penting bagi mereka tidak<br />

Erik Satrya Wardhana<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

melakukan korupsi, biar saja yang lain korup.<br />

Publik atau masyarakat juga seringkali tidak<br />

perduli,” pungkasnya.<br />

Menurut Hajriyanto, inilah potret kehidupan<br />

etika berbangsa di Indonesia. Kaderisasi<br />

korupsi itu sangat cepat dan sepertinya<br />

mengikuti deret ukur. Sementara<br />

pemberantasan korupsi yang digalakkan KPK<br />

itu berjalan hanya menurut deret hitung. Jadi<br />

sangat timpang.<br />

“Saya harap semua menyadari bahwa<br />

tidak ada bangsa yang maju tanpa etika.<br />

Suatu bangsa maju bersama-sama dengan<br />

etika. Itu saya kira jelas sekali dan sejarah<br />

dunia menunjukkan hal itu,” tegasnya.<br />

Sementara anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Fraksi<br />

Gerindra Martin Hutabarat berpendapat, etika<br />

kehidupan berbangsa dan bernegara itu<br />

sangat ditentukan oleh kemauan kita untuk<br />

menaati peraturan-peratutan atau koridor<br />

hukum yang ada di Indonesia.<br />

Tapi, kata Martin menambahkan, ketaatan<br />

itu harus datang dari hati yang tulus. Jadi,<br />

kalau negara kita sudah menetapkan perang<br />

terhadap korupsi, maka aturannya juga harus<br />

sudah sangat jelas, dan sebagai pejabat<br />

harus konsisten tidak korupsi. Selain itu, sang<br />

pejabat juga harus membangun budaya anti<br />

korupsi di lingkungannya.<br />

Martin menunjuk contoh, tidaklah mungkin<br />

ada seorang menteri yang tidak tahu ada<br />

kejadian korupsi di lingkungannya.<br />

“Sebenarnya dia tahu tapi dia tidak mau<br />

memperbaiki. Jadi, etika yang hendak<br />

dibangun itu tidak dilaksanakan. Kalau kita<br />

melaksanakan etika itu cirinya harus ada<br />

kesamaan antara kata dan perbuatan,” tutur<br />

Martin seraya sekali lagi menyatakan, “etika<br />

harus disandingkan dengan ketaatan dalam<br />

mengikuti aturan dan koridor hukum dalam<br />

berbangsa dan bernegara.”<br />

Lebih lanjut Martin menyatakan, etika<br />

harus dikembangkan dan diimpllementasikan<br />

oleh pejabat-pejabat, mulai dari yang paling<br />

tinggi. “Pejabat-pejabat tinggi itu harus<br />

menunjukkan etika yang baik, sehingga<br />

masyarakat akan melihat kalau negara ini<br />

berjalan dan dikelola dengan benar, dan pada<br />

akhirnya demokrasi akan berjalan sesuai<br />

jalurnya,” tandasnya.<br />

Martin memberi contoh, soal aksi<br />

demonstrasi. Demokrasi memberikan hak<br />

pada warga negara untuk melakukan<br />

demonstrasi. Namun sayangnya, demo itu<br />

dilakukan di jalan-jalan yang malah membuat<br />

macet, sehingga mengganggu warga<br />

negara yang lain. Artinya, demo yang<br />

dilakukan tanpa etika dan aturan sama saja<br />

menganggu kehidupan berdemokrasi.<br />

Pembicara lainnya, anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Fraksi<br />

Hanura Erik Satrya Wardhana menegaskan<br />

bahwa soal etika sudah sangat jelas<br />

disebutkan dalam TAP <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> No.VI Tahun<br />

2001 yang menyebutkan bahwa sumber<br />

etika itu adalah nilai-nilai agama dan nilainilai<br />

luhur yang berkembang dalam tradisi<br />

Indonesia.<br />

Dengan demikian sistem nilai yang<br />

terkandung dalam Pancasila menjadi dasar<br />

dalam pembentukan ideologi sebuah negara<br />

yang bernama Indonesia. “Jadi, pemahaman<br />

dan implementasi nilai-nilai pada Pancasila<br />

sama saja mengimplementasikan etika dalam<br />

kehidupan berbangsa dan bernegara<br />

secara benar, dan itu harus terus dijaga dan<br />

ditingkatkan,” tandasnya. ❏<br />

Derry Irawan<br />

23


NASIONAL<br />

Melani Leimena Suharli<br />

Lestarikan Cita-Cita Luhur<br />

Pahlawan Nasional<br />

Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri dan Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Melani Leimena Suharli menjadi tamu khusus dalam pertemuan<br />

Warakwuri/ Keluarga Pahlawan Nasional di kediaman keluarga<br />

Pahlawan Nasional, almarhum Jenderal Basuki Rachmat di<br />

Menteng Jakarta Pusat.<br />

PAGI itu, di hari Kamis ( 01/12 ), terlihat<br />

kesibukan yang luar biasa di salah satu<br />

rumah di Jalan Besuki, Menteng,<br />

Jakarta Pusat. Kendaraan pribadi berderet<br />

memenuhi kiri kanan ruas jalan di depan<br />

rumah itu, yang hanya pas dilalui dua mobil<br />

dari jalur berlawanan. Petugas pengamanan<br />

kompleks dan anggota Polri terlihat subuk<br />

mengatur parkis dan arus lalu lintas di sana.<br />

Itulah suasana di kediaman keluarga<br />

seorang Pahlawan Nasional Jenderal Basuki<br />

Rachmat (almarhum), seorang petinggi militer<br />

pada era pemerintahan Presiden <strong>RI</strong> I<br />

Soekarno, Pada saat berlangsung acara<br />

pertemuan keluarga Pahlawan Nasional.<br />

Seperti tertulis di banner besar yang terdapat<br />

di pagar kiri dan kanan rumah itu berbunyi:<br />

“Anjangsana dan Ramah Tamah Menteri<br />

Sosial <strong>RI</strong> dengan Warakawuri/Keluarga<br />

Pahlawan Nasional.”<br />

Para tamu yang terlihat sudah pada sepuh<br />

(tua) itu, satu persatu berdatangan ke<br />

HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

kediaman keluarga almarhum Basuki<br />

Rachmat itu sejak pukul 09.00 WIB.<br />

Beberapa diantaranya berada di atas kursi<br />

roda, dan mereka adalah para janda beserta<br />

anak-anak Pahlawan Nasional. Hari itu, para<br />

warakawuri ini kedatangan tamu khusus,<br />

yaitu: Menteri Sosial <strong>RI</strong> Salim Segaf Al Jufri,<br />

dan Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Melani Leimena<br />

Suharli, yang juga putri Pahlawan Nasional<br />

Dr. Johannes Leimena. Juga tampak hadir<br />

BRA Mooryati Soedibyo, cucu Pahlawan<br />

Nasional Paku Buwono X, yang pernah<br />

menjabat Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> periode 2004<br />

– 2009.<br />

Bambang Widianto, putra tertua almarhum<br />

Basuki Rachmat selaku tuan rumah,<br />

membuka secara resmi acara ini dengan<br />

mengatakan, sangat mengapresiasi acara<br />

ramah tamah para keluarga Pahlawan<br />

Nasional ini. Ia berharap, acara silaturrahim<br />

ini terus berlanjut, tidak hanya pada saat<br />

peringatan Hari Pahlawan tapi hendaknya<br />

terus berlanjut antar berbagai komponen<br />

bangsa atas dasar menghormati dan<br />

meneladani nilai-nilai luhur dan semangat<br />

para pahlawan bangsa.<br />

“Ini momen yang bagus dan baik sekali.<br />

Kami keluarga para pahlawan nasional, jadi<br />

saling mengenal. Kami saling bercerita<br />

tentang orang tua kami. Banyak nilai-nilai<br />

luhur yang seharusnya dijadikan teladan oleh<br />

kita keluarga dan seluruh masyarakat saat<br />

ini,” ujar Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Melani Leimena<br />

Suharli kepada wartawan Majelis.<br />

Melani yang hari itu terlihat akrab dengan<br />

para keluarga Pahlawan Nasional lainnya lebih<br />

lanjutnya menyatakan bahwa para Pahlawan<br />

Nasional bukan hanya milik keluarga, tapi<br />

sudah menjadi milik bangsa Indonesia. Para<br />

Pahlawan Nasional, menurut Melani, adalah<br />

teladan buat anak cucunya, dan juga teladan<br />

bagi seluruh rakyat Indonesia.<br />

Maka silaturahim ini, menurut Melani, selain<br />

untuk mempererat hubungan antara anakanak<br />

dan cucu-cucu para Pahlawan<br />

Nasional juga turut melestarikan cita-cita<br />

luhur para Pahlawan Nasional. Perlu<br />

diketahui bahwa para Pahlawan Nasional<br />

menginginkan semua anak cucunya bersatu,<br />

bahkan secara nasional, seluruh anak<br />

bangsa bersatu dalam wadah NK<strong>RI</strong>.<br />

Selain itu, pertemuan ini juga mengandung<br />

maksud untuk mensosialisasikan nilai-nilai<br />

kebangsaan yang telah susah payah<br />

dibangun oleh orang tua kita (para Pahlawan<br />

Nasional). Maka, “Saya berharap acara ini<br />

terus berlangsung dengan durasi waktu<br />

yang agak lama, agar kita bisa saling berbagi<br />

ide dan wacana tentang bangsa ini,<br />

terutama ide dan nilai-nilai luhur yang<br />

ditanamkan para pahlawan bangsa,” ujar<br />

Melani.<br />

Pada kesempatan itu, sebagai bentuk<br />

penghargaan atas jasa dan pengorbanan<br />

yang telah diberikan para pahlawan terhadap<br />

bangsa dan negara — disamping bantuan<br />

yang selama ini telah diberikan oleh<br />

pemerintah, kementerian sosial memberikan<br />

bantuan “tali kasih” kepada 57 orang<br />

warakawuri/keluarga Pahlawan Nasional<br />

yang berdomisili di wilayah Jabodetabek<br />

masing-masing Rp 3 juta. Bantuan ini<br />

diserahkan secara simbolis oleh Menteri<br />

Sosial <strong>RI</strong> kepada Ibu R.A. Sri Wulan Basuki<br />

Rachmat. ❏<br />

Derry<br />

24 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


Kekhawatiran di Balik UU Pengadaan Tanah<br />

Undang-Undang Pengadaan Tanah diharapkan bisa mengurai mandeknya proyek pembangunan<br />

fasilitas umum. Bukan malah membenarkan praktik kesewenang-wenangan pembebasan tanah,<br />

seperti yang terjadi selama ini.<br />

Pembangunan Jalan Tol<br />

PERTENGAHAN Desember lalu, atau<br />

tepatnya 16 Desember 2011, satu lagi<br />

Rancangan Undang-Undang (RUU)<br />

disahkan menjadi Undang Undang, yaitu UU<br />

Pengadaan Tanah. Rapat Paripurna DPR <strong>RI</strong><br />

yang berlangsung pada akhir masa<br />

persidangan II tahun 2010-2011 menyetujui<br />

disahkannya RUU Pengadaan Tanah dan<br />

menjadi UU Pengadaan Tanah.<br />

Meski semua fraksi di DPR menyetujui<br />

disahkannya RUU ini menjadi UU, namun<br />

sebagian anggota DPR menolak undangundang<br />

ini, dengan alasan hanya akan<br />

menguntungkan para investor. Dengan<br />

berlindung di balik UU Pengadaan Tanah ini,<br />

para investor bisa lebih mudah mendapatkan<br />

tanah untuk keperluan proyek-proyek<br />

pembangunan. Sedangkan masyarakat<br />

sebagai pemilik lahan berada pada posisi<br />

yang lemah.<br />

Adalah politisi Partai Demokrasi Indonesia<br />

(PDI) Perjuangan Tjahjo Kumolo,<br />

termasuk yang berpendapat demikian.<br />

Karena itu, secara pribadi Tjahjo menolak<br />

keberadaan undang-undang tersebut.<br />

Menurut Tjahjo, UU Pengadaan Tanah terlalu<br />

pro kepada investor, melupakan hak-hak<br />

tanah rakyat. Padahal tanpa adanya UU<br />

Pengadaan Tanah, posisi rakyat sudah<br />

lemah. Apalagi setelah UU ini ada.<br />

Selain Tjahjo, plitisi PDIP lainnya Arif<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

ISTIMEWA<br />

Budimanta juga ikut menolak UU Pengadaan<br />

Tanah ini. Penolakan juga dilakukan oleh<br />

politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)<br />

Dimyati Natakusumah, dan politisi Partai<br />

Amanat Nasional (PAN) Achmad Rubaei.<br />

Meski secara pribadi Tjahjo Kumolo menyatakan<br />

menolak keberadaan UU Pengadaan<br />

Tanah, namun Fraksi PDI Perjuangan di<br />

DPR ikut mendukung diundangkannya RUU<br />

Pengadaan Tanah tersebut.<br />

Sementara kelompok pendukung UU<br />

Pengadaan Tanah menyambut gembira<br />

lahirnya UU ini. Atas nama pemerintah,<br />

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta<br />

Rajasa mengatakan, UU Pengadaan Tanah<br />

dibuat untuk memberi keadilan bagi pemilik<br />

lahan, dan bagi proses pembangunan.<br />

Serta, memberikan kepastian hukum bagi<br />

rakyat, dan untuk kepentingan umum.<br />

Melalui UU ini, menurut Hatta, penetapan<br />

harga tanah yang sebelumnya dilakukan<br />

sepihak oleh pemerintah tidak berlaku lagi.<br />

Karena pemilik lahan bisa mengadu ke<br />

pengadilan jika tidak sepakat dengan<br />

penawaran pemerintah.<br />

Pendapat Hatta tersebut, setali tiga uang<br />

dengan apa yang disampaikan Wakil Ketua<br />

DPR <strong>RI</strong> Pramono Anung. Menurut Pramono,<br />

keberadaan UU Pengadaan Tanah ini sangat<br />

penting. Termasuk bagi perlindungan dan<br />

hak-hak masyarakat yang lahannya<br />

digunakan untuk pembangunan. Berdasar<br />

UU ini, kata Pramono, pemerintah dan<br />

swasta tidak bisa seenaknya melakukan<br />

penggusuran, karena ada rambu-rambu<br />

yang tegas dan jelas.<br />

Kehadiran UU Pengadaan Tanah itu,<br />

menurut Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Lukman Hakim<br />

Saifuddin, semoga ikut membantu<br />

menyelesaikan sengketa agraria yang telah<br />

terjadi selama ini. Karena itu, UU No. 5 Tahun<br />

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok<br />

Agraria, harus menjadi acuan dalam<br />

sinkronisasi dengan UU terkait.<br />

Menyangkut kekhawatiran munculnya<br />

kesewenangan akibat UU ini, Lukman<br />

berharap, setiap pengadaan tanah untuk<br />

pembangunan harus berpijak pada semangat<br />

untuk kesejahteraan rakyat. Dilaksanakan<br />

secara transparan, dan menghindarkan<br />

dominasi kepentingan yang berlebihan pihak<br />

swasta dalam proyek pembangunan<br />

tersebut.<br />

UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan<br />

tidak boleh mengesankan pengesahan<br />

praktik kapitalisme dalam hal terkait tanah<br />

dan mengabaikan sosialisme yang<br />

diperintahkan UU sebelumnya.<br />

“Pasal 13 huruf q UU Pengadaan Tanah<br />

yang mengulas bentuk-bentuk pembangunan<br />

yang diatur dalam UU ini harus dilaksanakan<br />

secara konsekwen dan transparan.<br />

Bukannya mengakomodir kepentingan pihak<br />

tertentu saja,” pinta Lukman Hakim, seraya<br />

mengharapkan, “Jangan sampai Pasal 13 huruf<br />

q menyangkut pembangunan kepentingan<br />

umum ini malah menjadi celah bagi swasta<br />

untuk melakukan pengadakan tanah dengan<br />

dalih pembangunan kepentingan umum.”<br />

Terlepas dari pro kontranya UU Pengadaan<br />

Tanah ini, kehadiran undang-undang ini<br />

dianggap penting. Mengingat selama ini yang<br />

menjadi hambatan dalam pembangunan<br />

infrastruktur adalah rakyat enggan menyerahkan<br />

tanahnya, karena persoalan ganti rugi<br />

yang tidak cocok. Akibatnya, banyak jalan tol<br />

yang terbengkalai pembangunannya, juga<br />

dalam hal perluasan bandara dan pelabuhan,<br />

serta pelebaran jalur kereta api. ❏<br />

M. Budiono<br />

25


NASIONAL KOLOM<br />

Pokok-Pokok Pikiran Tentang<br />

Pembaruan dan Penyelesaian Masalah Agraria Secara Menyeluruh<br />

1. Untuk menyelesaikan masalah pertanahan, kita harus berpijak<br />

pada Ketetapan <strong>MPR</strong> No. XI/<strong>MPR</strong>/2001 tentang Pembaruan Agraria<br />

dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, karena:<br />

a. TAP itu merupakan peraturan tertinggi terkait agraria, di atas<br />

UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,<br />

Perpu No. 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian<br />

(dikenal juga dengan UU Land Reform karena memerintahkan<br />

kepada Pemerintah untuk mengusahakan agar setiap<br />

keluarga petani memiliki minimal 2 hektar tanah), dan UU<br />

tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (Disahkan<br />

16 Desember 2011).<br />

b. TAP itu dilahirkan <strong>MPR</strong> dimana anggotanya merupakan hasil<br />

Pemilu pertama di era reformasi 1999. Jadi, TAP itu merupakan<br />

produk reformasi yang sangat penting yang tidak boleh<br />

diabaikan.<br />

c. Sesuai dengan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan<br />

Peraturan Perundangundangan, TAP <strong>MPR</strong> berada dalam<br />

hirarki kedua setelah UUD 1945. Hirarki hukum di Indonesia<br />

adalah (1) UUD 1945, (2) TAP <strong>MPR</strong>, (3) UU/Perpu, (4) PP, (5)<br />

Perpres, (6) Perda Provinsi, (7) Perda Kabupaten Kota. Jadi,<br />

TAP <strong>MPR</strong> mempunyai kedudukan hukum yang sangat kuat.<br />

Secara yuridis tidak ada alasan lagi untuk mengabaikan TAP<br />

<strong>MPR</strong> itu.<br />

2. Pasal 5 ayat (5) Ketetapan <strong>MPR</strong> No. XI/<strong>MPR</strong>/2001 tentang<br />

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah<br />

memberikan arahan yang jelas bagaimana menyelesaikan<br />

persoalan pertanahan secara menyeluruh. Ada 4 perintah/pesan<br />

pokok dari pasal 5 di atas, yaitu:<br />

a. Reformasi peraturan terkait agraria agar terjadi sinkronisasi<br />

di bidang legislasi agraria.<br />

b. Penguatan kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka<br />

menyelesaikan konflik-konflik agraria yang timbul selama ini<br />

sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa<br />

mendatang, serta dalam rangka sinkronisasi kebijakan<br />

antarsektor terkait pertanahan.<br />

c. Melaksanakan pembagian lahan untak rakyat (land reform).<br />

d. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan untuk<br />

program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konllik<br />

sumber daya agraria yang terjadi.<br />

3. Apakah kita sudah melaksanakan perintah TAP <strong>MPR</strong> itu? Perlu<br />

ditegaskan di sini bahwa pemerintahan setelah era reformasi<br />

dapat dikatakan lalai dan abai dalam mengimplementasikan<br />

perintah TAP <strong>MPR</strong> itu. Bila mau jujur, yang kita soroti adalah<br />

pemerintahan setelah reformasi, bukan hanya pemerintahan SBY.<br />

Ini berarti seluruh pimpinan bangsa dan negara dari dulu hingga<br />

kini, termasuk juga pimpinan <strong>MPR</strong>, telah melakukan “kelalaian<br />

kolektif” atau “keabaian berjemaah” sehingga TAP <strong>MPR</strong> itu tidak<br />

dilaksanakan dengan baik.<br />

Reformasi di bidang legislasi terkait agraria belum dilakukan,<br />

sehingga peraturan terkait agraria masih merujuk pada UU yang<br />

dibentuk pada tahun 1960-an. Pada 16 Desember 2011, DPR<br />

mengesahkan UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Namun<br />

UU ini hanya menyelesaikan sedikit dari sekian banyak masalah<br />

agraria yang terjadi di Indonesia di masa kini maupun di masa<br />

mendatang. Peraturan pokok terkait agraria sendiri belum diganti<br />

sejak tahun 1960.<br />

Penguatan kelembagaan masih belum dilakukan. Bahkan<br />

Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang seharusnya memiliki<br />

kewenangan besar untuk menyelesaikan konflik di masa kini dan<br />

potensi konflik di masa mendatang masih terlalu lemah untuk<br />

membantu Pemerintah/Presiden menyelesaikan persoalan agraria.<br />

Kini BPN memang sudah berada di bawah Presiden, namun<br />

kewenangannya yang sangat terbatas yaitu menjadi pusat<br />

administrasi pertanahan, seperti mengukur, memetakan,<br />

mengeluarkan sertifikat, dan lain-lain. Tidak ada kewenangan<br />

strategis untuk menyelesaikan konflik pertanahan. Idealnya,<br />

masalah pertanahan diselesaikan Presiden karena masalah ini<br />

menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun karena waktu<br />

Presiden sangat terbatas, maka Presiden dapat memberikan peran<br />

lebih kepada BPN untuk menyelesaikan masalah pertanahan,<br />

bukan hanya menugaskan administrasi pertanahan saja. BPN<br />

merupakan satu-satunya lembaga negara yang mempunyai<br />

pengetahuan mendalam soal pertanahan di Indoensia. Karena<br />

itu, sebelum melibatkan kepolisian, penyesaian pertanahan harus<br />

ditangani oleh BPN di bawah supervisi Presiden secara langsung.<br />

Pembagian lahan untuk rakyat (land reform) belum juga<br />

dilaksanakan. Di era reformasi ini, kita belum menemui adanya<br />

konsepsi yang menyeluruh tentang penerapan land reform itu,<br />

kecuali sebagai wacana.<br />

Pembiayaan/anggaran untuk program reformasi agraria masih<br />

sangat kecil dibandingkan dengan persoalan yang harus<br />

diselesaikan terkait pertanahan. Jadi, persoalan pertanahan<br />

sangat berat, sementara amunisi untuk menyesaikannya sangat<br />

minim.<br />

4. UU No. 5/1960 dan Perpu No. 56/1960 dengan TAP <strong>MPR</strong> No. XI/<br />

<strong>MPR</strong>/2001 saling melengkapi. UU No. 5/1960 memberikan pijakan<br />

bahwa tanah (di bawah maupun di atasnya) harus digunakan/<br />

dikelola oleh dan untuk rakyat sendiri. Jika dikelola oleh kelompok,<br />

maka kelompok itu harus berbentuk koperasi atau jika tidak harus<br />

berbentuk kelompok gotong royong, sebagaimana pesan Pasal<br />

12 UU No. 5/1960 bahwa “Segala usaha bersama dalam lapangan<br />

agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka<br />

kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk<br />

gotong royong lainnya.” Intinya, dalam soal pertanahan kita harus<br />

berpijak pada ruh/jiwa sosialisme Indonesia, bukan kapitalisme.<br />

Kata “sosialisme” disebut secara eksplisit dalam Pasal 14 UU No.<br />

5/1960. Salah besar jika ada perusahaan swasta menguasai<br />

26 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


atusan ribu hektar tanah di wilayah Indonesia,<br />

lalu mengabaikan masyarakat setempat.<br />

Sedangkan Perpu No. 56/1960 memberikan<br />

pijakan pelaksanaan land reform, sehingga<br />

petani sekeluarga minimal mempunyai 2 hektar<br />

tanah.<br />

Sementara itu, TAP No. XI/<strong>MPR</strong>/2001<br />

memberikan arahan bagaimana agar semangat<br />

UU No. 5/1960 dan Perpu No. 56/1960 menjadi<br />

implementatif, berdasarkan empat perintah,<br />

yaitu: (1) reformasi legislasi terkait agraria, (2)<br />

penguatan kelembagaan dalam hal ini BPN agar<br />

dapat melaksanakan politik agraria yang<br />

dicanangkan Pemerintah/Presiden, serta<br />

membantu Pemerintah/Presiden dalam rangka<br />

menyelesaikan konflik agraria dan potensi<br />

konflik agraria di masa mendatang, (3)<br />

merencanakan, menyiapkan, dan<br />

melaksanakan pembagian lahan untuk rakyat,<br />

dan (4) mengupayakan pembiayaan dalam<br />

rangka program pembaruan agraria, baik untuk<br />

penguatan kelembagaan, penyelesaian konflik,<br />

pembagian lahan untuk rakyat, dan lain<br />

sebagainya.<br />

5. Berkaitan dengan UU Pengadaan Tanah untuk<br />

Pembangunan, TAP <strong>MPR</strong>, UU No. 5/1960, dan<br />

Perpu No. 56/1960 memberikan peringatan<br />

keras bahwa pelaksanaan pengadaan tanah<br />

untuk pembangunan harus berpijak pada<br />

semangat untuk kesejahteraan rakyat. Agar<br />

UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan tidak<br />

terkesan mengesahkan praktek kapitalisme<br />

dalam hal terkait tanah dan mengabaikan<br />

sosialisme yang justru diperintahkan UU<br />

sebelumnya, maka UU Pengadaan Tanah harus<br />

dilaksanakan secara transparan. Misalnya,<br />

swasta tidak boleh mendompleng UU<br />

Pengadaan Tanah ini untuk mengakomodasi<br />

kepentingannya.<br />

Pasal 13 UU Pengadaan Tanah yang<br />

mengulas bentuk-bentuk pembangunan yang<br />

dapat menggunakan UU ini dalam pengadaan<br />

tanah harus dilaksanakan secara konsekwen<br />

dan transparan.<br />

Dari Pasal 13 UU Pengadaan Tanah ada satu<br />

poin yang harus dicermati, yaitu huruf q. yang<br />

berbunyi: “q. Pembangunan kepentingan umum<br />

lainnya yang ditetapkan dengan Keputusan<br />

Presiden.” Lagi-lagi, jangan sampai poin ini<br />

menjadi pintu masuk bagi swasta untuk<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

mengadakan tanah dengan menggunakan UU<br />

Pengadaan Tanah dengan dalih pembangunan<br />

kepentingan umum. DPR dan masyarakat (LSM,<br />

pers, dll) harus memantau dengan cermat jika<br />

Presiden, baik saat ini maupun masa<br />

mendatang, menggunakan poin ini.<br />

6. Politik agraria di Indonesia sering tumpang tindih,<br />

karena dijalankan oleh beberapa lembaga<br />

negara yaitu yang mencakup Kementerian<br />

Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan<br />

Transmigrasi, dan Kementerian Pertambangan.<br />

Ironisnya, politik pertanahan selama ini<br />

cenderung mendukung perusahaan<br />

perkebunan besar. Padahal jika kita berpijak pada<br />

UU No. 5/1960, politik agraria harus dilakukan<br />

oleh Pemerintah/Presiden secara terpusat,<br />

bukan secara sektoral. Bahkan Pasal 14 UU<br />

No. 5/1960 memerintahkan agar Pemerintah<br />

(berarti Presiden sebaiknya dibantu BPN, bukan<br />

kementerian sektoral) harus membuat rencana<br />

umum terkait pertanahan.<br />

Pasal 14 UU No.5/1960 menyatakan:<br />

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam<br />

pasal 2 ayat 2 dan 3, pasal 9 ayat 2 serta pasal<br />

10 ayat 1 dan 2 Pemerintah dalam rangka<br />

sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana<br />

umum mengenai persediaan, peruntukan dan<br />

penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta<br />

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:<br />

a. untuk keperluan Negara;<br />

b. untuk keperluan peribadatan dan keperluankeperluan<br />

suci lainnya, sesuai dengan<br />

dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;<br />

c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan<br />

masyarakat, sosial, kebudayaan dan lainlain<br />

kesejahteraan<br />

d. untuk keperluan memperkembangkan<br />

produksi pertanian, peternakan dan<br />

perikanan serta sejalan dengan itu;<br />

e. untuk keperluan memperkembangkan<br />

industri, transmigrasi dan pertambangan.”<br />

Jadi, politik pertanahan itu harus: (1) harus<br />

dilaksanakan secara terpusat oleh Pemerintah/<br />

Presiden (dibantu BPN), bukan secara sektoral<br />

oleh kementerian negara; (2) berpijak pada<br />

semangat ruh sosialisme, bukan kapitalisme;<br />

dan (3) berorientasi untuk kepentingan dan<br />

kesejahteraan rakyat. ❏<br />

Oleh:<br />

Lukman Hakim<br />

Saifuddin<br />

Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

27


NASIONAL<br />

PAW Anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Vivi Effendy: Saya Siap<br />

Sosialisasikan 4 Pilar<br />

Pergantian Antar Waktu ( PAW ) anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> adalah ‘ritual’<br />

biasa yang sering digelar <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> untuk mengganti anggota<br />

lama yang keluar dari keanggotaan karena berbagai sebab<br />

dengan anggota baru.<br />

BANDUL jam baru menunjuk angka 09.00<br />

WIB, di hari Jumat, 16 Desember 2011,<br />

itu. Udara pagi nan segar di luar Gedung<br />

Nusantara IV Kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD<br />

Senayan masih terasa. Beberapa staf <strong>MPR</strong><br />

terlihat sibuk hilir mudik mempersiapkan<br />

berbagai peralatan untuk sebuah acara,<br />

seperti karpet, mikrofon, dan sound system.<br />

Demikian pula beberapa petugas nampak<br />

sibuk mempersiapkan standing bufee<br />

prasmanan buat santap siang.<br />

Hari itu memang dijadwalkan acara<br />

pelantikan Pergantian Antar Waktu ( PAW )<br />

anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> atas nama Vivi Effendy dari<br />

kelompok DPD <strong>RI</strong> dapil DKI Jakarta menggantikan<br />

anggota <strong>MPR</strong> Djan Faridz, yang kini<br />

menjabat Menteri Perumahan Rakyat.<br />

Berbalut busana kebaya merah dipadu<br />

padan dengan kain batik cokelat dan riasan<br />

yang sederhana, namun mengeluarkan aura<br />

cantiknya, Vivi Effendy sejenak duduk di<br />

sudut ruangan ditemani suami dan beberapa<br />

keluarga dan rekan. Sesekali, Vivi<br />

mengibaskan kipas kecil yang tak pernah<br />

lepas dari genggamannya, padahal ruangan<br />

dalam gedung Nusantara IV sudah sangat<br />

dingin. Mungkin agak sedikit grogi.<br />

Tepat pukul 10.00 WIB, Wakil Ketua <strong>MPR</strong><br />

<strong>RI</strong> Melani Leimena Suharli, selaku Pimpinan<br />

<strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, didampingi Sekretaris Jenderal <strong>MPR</strong><br />

<strong>RI</strong> Eddie Siregar dan beberapa pejabat teras<br />

Setjen <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> memasuki ruangan. Rangkaian<br />

acara pelantikan yang juga dihadiri Ketua<br />

Kelompok DPD <strong>RI</strong> <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Bambang Soeroso<br />

ini kemudian berlangsung secara khidmat<br />

dan lancar.<br />

Anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> baru Vivi Effendy terlihat<br />

lancar mengucapkan sumpah dan janji yang<br />

dipandu oleh Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Melani<br />

Leimena Suharli. Wajah tegang Vivi<br />

langsung sirna, usai pengucapan dan<br />

penandatanganan sumpah dan janji. Sejurus<br />

Vivi Effendy saat mengucapkan sumpah dan janji<br />

kemudian Melani Leimena dengan senyum<br />

terkembang menghampiri Vivi, dan langsung<br />

menjabat tangannya. Selamat.<br />

Kepada Vivi, Melani atas nama seluruh<br />

Pimpinan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> berharap agar sang<br />

anggota baru mampu secepatnya<br />

beradaptasi dengan ruang lingkup kerja<br />

sebagai anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>.<br />

“Tugas sebagai anggota <strong>MPR</strong> jangan<br />

dianggap enteng. Tugas anggota <strong>MPR</strong><br />

adalah amanat UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945 yang<br />

notabene adalah amanat seluruh rakyat Indonesia<br />

yang harus betul-betul dilaksanakan<br />

dengan sebaik-baiknya, terutama soal tugas<br />

sosialisasi 4 Pilar berbangsa (Pancasila,<br />

UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945, NK<strong>RI</strong>, Bhinneka<br />

Tunggal Ika ) yang saat ini sedang gencar<br />

dilakukan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>,” ujar Melani.<br />

Melani juga berharap agar seluruh<br />

anggota <strong>MPR</strong> bersinergi dengan baik, demi<br />

lancarnya pelaksanaan tugas sebagai<br />

anggota <strong>MPR</strong>. “Tugas sosialisasi 4 Pilar<br />

selama ini berjalan sangat baik, semoga<br />

dengan kehadiran anggota baru, sosialisasi<br />

4 Pilar lebih baik lagi,” harap Melani.<br />

Kepada wartawan Majelis yang<br />

‘mencegatnya’ sebelum acara santap siang,<br />

Vivi mengaku sangat lega acara pelantikan<br />

ini berlangsung sangat lancar, walaupun ia<br />

mengaku sedikit grogi saat mengucapkan<br />

sumpah dan janji.<br />

“Sumpah dan janji itu tidak main-main,<br />

makanya saya benar-benar fokus. Fokus di<br />

lidah dan akan saya fokuskan di hati, serta<br />

tindakan nyata. Saya sudah mempelajari<br />

tugas-tugas yang diemban sebagai anggota<br />

<strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> ini. Mudah-mudahan bisa saya<br />

laksanakan dengan sebaik-baiknya. Saya<br />

banggsa bisa menjadi bagian dari <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>,”<br />

katanya.<br />

Vivi berharap kehadirannya sebagai<br />

anggota <strong>MPR</strong> dapat memberikan konstribusi<br />

positif. Untuk itu, Vivi bertekad, akan<br />

mengemban tugasnya sebagai anggota <strong>MPR</strong><br />

Ri sebaik-baiknya. Ia merasa bersyuku,<br />

karena keluarganya memberi dukungan.<br />

Apalagi, menurut Vivi, rekan-rekannya di<br />

DPD sangat komunikatif, ini sebagai modal<br />

awal untuk maju terus.<br />

Ketika disinggung soal aktifitas<br />

menyanyinya yang dilakoninya sebelum<br />

menjadi anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, Vivi menegaskan<br />

bahwa aktifitas itu kini hanya sekedar hobi.<br />

“Tidak diseriusin lagi ya, soalnya saya harus<br />

memprioritaskan tugas sebagai anggota DPD<br />

dan anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, sedangkan menyanyi<br />

paling saya lakukan di kamar mandi saja,”<br />

ujarnya tertawa. ❏<br />

Derry<br />

28 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>


Penyerahan kedaulatan Indonesia,<br />

27 Desember 1949, mengharuskan<br />

seluruh pasukan Belanda pulang ke<br />

negara asalnya. Penarikan pulang ini<br />

menimbulkan kekhawatiran sebagaian<br />

pasukan elit Belanda akan masa depannya.<br />

Mereka takut tidak mempunyai pekerjaan. Agar<br />

tidak kehilangan pekerjaan, sebagaian pasukan elit<br />

itu membentuk APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dan<br />

melakukan huru hara. Peristiwa berdarah di Bandung itu<br />

bisa terjadi selain ada tangan-tangan hitam juga karena lemahnya<br />

fungsi intelijen TNI.<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />

29


SELINGAN<br />

KETIKA pasukan Amerika Serikat yang<br />

berada di Irak dan Afghanistan hendak<br />

ditarik pulang, terjadi kegelisahan<br />

terhadap ribuan tentara. Mereka gelisah<br />

karena akan menjadi penggangguran, sebab<br />

tidak ada perusahaan yang mau menerima<br />

mereka sebagai tenaga kerja. Seorang<br />

tentara yang pernah bertugas di Irak dan<br />

Afghanistan, Clayton Rhoden, mengakui<br />

pernah mencoba berbagai profesi dari<br />

pelayan restoran, pekerja konstruksi, sampai<br />

kurir. “Namun tidak ada yang bertahan. Saya<br />

butuh pekerjaan yang lebih permanen,”<br />

ujarnya, seperti dikutip oleh press.<br />

Pejabat Gedung Putih menilai jumlah<br />

pengangguran akan terus membengkak saat<br />

gelombang kepulangan tentara Amerika<br />

Serikat dari Irak mulai tiba bertahap akhir<br />

2011 hingga lima tahun mendatang. “Jumlah<br />

veteran di dalam negeri bakal mencapai satu<br />

juta dengan usia rata-rata angkatan kerja,”<br />

ujar dari pernyataan resmi Gedung Putih.<br />

Pemerintahan Obama sebenarnya telah<br />

berjanji memperjuangkan nasib para pejuang<br />

perang itu. Salah satunya mendesak agar<br />

perusahaan besar di Amerika Serikat agar<br />

membuka lapangan kerja seluas-luasnya<br />

bagi mereka sepulang dari medan<br />

peperangan.<br />

Nasib tentara Belanda yang bertugas di<br />

Indonesia itu sama dengan nasib para<br />

tentara Amerika Serikat itu. Selepas Belanda<br />

menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia,<br />

Pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)<br />

27 Desember 1949 bagi sebagaian tentara<br />

Belanda akan kehilangan pekerjaan atau<br />

nganggur. Diantara tentara Belanda yang<br />

merasa akan kehilangan mata pencaharian<br />

itu adalah Kapten Raymond Westerling,<br />

komandan Depot Speciale Troepen atau<br />

pasukan elit dari KNIL.<br />

Agar Raymond Westerling tidak menjadi<br />

pengangguran di negerinya, jauh-jauh hari<br />

sebelum penyerahan kedaulatan,<br />

berdasarkan informasi yang diterima oleh<br />

dinas rahasia militer Belanda, November<br />

1949, bahwa Westerling mendirikan<br />

organisasi rahasia yang mempunyai<br />

pengikut sekitar 500.000 orang.<br />

Laporan yang diterima Inspektur Polisi<br />

Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember<br />

1949 menyebutkan bahwa nama organisasi<br />

bentukan Westerling adalah Ratu Adil<br />

Persatuan Indonesia (RAPI) dan memiliki<br />

gaya militer yang bernama Angkatan Perang<br />

Ratu Adil (APRA). Anggota pasukan APRA<br />

kebanyakan adalah anggota Korps Speciale<br />

Troepen (KST) KNIL, yang melakukan<br />

desersi.<br />

Panglima Tentara Tertinggi Belanda di<br />

Indonesia, Letnan Jenderal Buurman Van<br />

Vreeden, adalah pengganti Letnan<br />

Jenderal Spoor mengakui, ia mendengar<br />

kabar mengenai adanya kelompok militer<br />

yang akan mengganggu jalannya<br />

penyerahan kedaulatan, dan juga sudah<br />

mengetahui bahwa kelompok itu adalah di<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />

Kapten Raymond Westerling<br />

bawah pimpinan Westerling.<br />

Pada 5 Desember 1949, sekitar pukul<br />

20.00, Westerling menelepon Van Vreeden,<br />

yang isinya meminta pendapat mengenai<br />

rencana aksi militer alias kudeta kepada<br />

Presiden Soekarno dan para pembantunya,<br />

setelah penyerahan kedaulatan.<br />

Mendengar rencana itu, Van Vreeden<br />

sebagai orang yang harus bertanggungjawab<br />

atas kelancaran penyerahan kedaulatan<br />

pada 27 Desember 1949 memperingatkan<br />

Westerling agar tidak melakukan<br />

aksi militernya. Meski menolak rencana itu,<br />

namun Van Vreeden tidak mencegah dan<br />

menangkap Westerling, sehingga Westerling<br />

bebas bergerak menentukan rencana<br />

aksinya.<br />

Pada Kamis, 5 Januari 1950, Westerling<br />

mengirim surat kepada Pemerintahan<br />

Republik Indonesia Serikat (<strong>RI</strong>S) yang isinya<br />

mengultimatum agar Pemerintah <strong>RI</strong>S<br />

menghargai negara-negara bagian, terutama<br />

Negara Pasundan. Selain itu, Pemerintah <strong>RI</strong>S<br />

harus juga mengakui APRA sebagai tentara<br />

Pasundan. Pemerintah <strong>RI</strong>S harus<br />

memberikan jawaban positif dalam waktu 7<br />

hari, dan apabila ditolak maka akan timbul<br />

perang besar.<br />

Sistem pemerintahan Indonesia saat itu<br />

menganut <strong>RI</strong>S karena sebagai hasil<br />

kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi<br />

Meja Bundar (KMB) antara Republik<br />

30 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal<br />

Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan<br />

ini disaksikan juga oleh United Nations<br />

Commission for Indonesia (UNCI) sebagai<br />

perwakilan PBB. KMB yang dilaksanakan di<br />

Deen Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga<br />

2 November 1949.<br />

Usaha untuk meredam kemerdekaan<br />

Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir<br />

dengan kegagalan. Belanda mendapat<br />

kecaman keras dari dunia internasional.<br />

Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan<br />

beberapa pertemuan untuk menyelesaikan<br />

masalah ini secara diplomasi, lewat berbagai<br />

perundingan seperti Perundingan Linggarjati,<br />

Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Roijen, dan<br />

KMB. (Konferensi Meja Bundar).<br />

Perundingan Linggarjati<br />

Dalam KMB dihasilkan kesepakatan: (a).<br />

Serahterima kedaulatan dari pemerintah<br />

kolonial Belanda kepada <strong>RI</strong>S, kecuali Papua.<br />

Indonesia ingin agar semua bekas daerah<br />

Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia,<br />

sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua<br />

bagian barat negara terpisah karena<br />

perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa<br />

keputusan mengenai hal ini. Karena itu Pasal<br />

2 menyebutkan bahwa Papua Bagian Barat<br />

bukan bagian dari serahterima, dan bahwa<br />

masalah ini akan diselesaikan dalam waktu<br />

satu tahun; (b). Dibentuknya sebuah<br />

persekutuan Belanda-Indonesia dengan<br />

monarki Belanda sebagai kepala negara; (c).<br />

Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh<br />

Republik Indonesia Serikat.<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

<strong>RI</strong>S terdiri dari beberapa negara bagian,<br />

seperti Republik Indonesia, Negara Indonesia<br />

Timur, Negara Pasundan termasuk Distrik<br />

Federal Jakarta, Negara Jawa Timur, Negara<br />

Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara<br />

Sumatera Selatan.<br />

Sedang unsur-unsur BFO, wilayah yang<br />

berdiri sendiri (otonom) dan tak tergabung<br />

dalam federasi, yaitu Jawa Tengah,<br />

Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah<br />

Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan<br />

Timur, Bangka, Belitung, dan Riau.<br />

Ultimatum yang dikeluarkan oleh<br />

Westerling itu tentu saja menimbulkan<br />

kegelisahan, tidak saja di kalangan <strong>RI</strong>S<br />

namun juga di pihak Belanda, dan dr. H.M.<br />

Hirschfeld, pria kelahiran Jerman yang<br />

bertindak sebagai Nederlandse Hoge<br />

Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda)<br />

yang baru tiba di Indonesia. Kabinet <strong>RI</strong>S<br />

menghujani Hirschfeld dengan berbagai<br />

pertanyaan yang membuatnya menjadi<br />

sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri<br />

Belanda, Stikker menginstruksikan kepada<br />

Hirschfeld untuk menindak semua pejabat<br />

sipil dan militer Belanda yang bekerjasama<br />

dengan Westerling.<br />

Untuk menghindari korban, berbagai<br />

upaya dilakukan oleh pemerintahan <strong>RI</strong>S untuk<br />

menempuh jalan damai, seperti: Pertama,<br />

pada 10 Januari 1950, Mohammad Hatta<br />

menyampaikan kepada Hirschfeld bahwa<br />

pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah<br />

penangkapan terhadap Westerling. Sebelum<br />

itu, Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda<br />

A. H. J. Lovink telah menyarankan kepada<br />

Mohammad Hatta untuk mengenakan pasal<br />

exorbitante rechten atau penggunaan<br />

kekerasan yang sesuai prosedur hukum<br />

terhadap Westerling.<br />

Ketika pertengahan Januari 1950 Menteri<br />

UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan,<br />

J. H. Van Maarseven, berkunjung ke<br />

Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan<br />

Uni Indonesia-Belanda yang akan<br />

diselenggarakan pada Maret 1950,<br />

Mohammad Hatta menyampaikan kepada<br />

Maarseven bahwa pemerintahan <strong>RI</strong>S telah<br />

memerintahkan kepolisian untuk menangkap<br />

Westerling.<br />

Kedua, saat berkunjung ke Belanda, 20<br />

Januari 1920, Menteri Perekonomian <strong>RI</strong>S,<br />

Juanda, menyampaikan kepada Menteri<br />

Götzen agar pasukan elit yang dipandang<br />

sebagai faktor risiko secepatnya dievakuasi<br />

dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit<br />

pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon,<br />

17 Januari 1950. Karena ultimatum<br />

Westerling dianggap sebagai suatu yang<br />

serius, sampai-sampai pada 21 Januari 1950<br />

Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen<br />

bahwa Van Vreeden dan Menteri<br />

Pertahanan Belanda Schokking telah<br />

menggodok rencana untuk evakuasi<br />

pasukan elitnya.<br />

Aksi Sepihak<br />

Tepat pukul 21.00 di tengah kesunyian<br />

malam, tangsi militer KST di Batujajar,<br />

Bandung, Jawa Barat, dengan sembunyibunyi<br />

sejumlah pasukan dengan<br />

persenjataan lengkap keluar dari baraknya.<br />

Gerakan itu memancing pasukan elit lainnya<br />

tertarik untuk ikut bergabung dengan<br />

pasukan yang bernama APRA itu.<br />

Namun keinginan pasukan elit lainnya<br />

seperti Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten<br />

KNIL J.H.W. Nix untuk bergabung dengan<br />

APRA dicegah oleh komandannya, Kapten<br />

G.H.O. de Witt. Engles. Mengetahui gerakan<br />

liar itu, Engles segera membunyikan alarm<br />

besar. Kemudian ia mengontak Letnan<br />

Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi<br />

Siliwangi, namun tak tersambungkan, sebab<br />

pada saat melaksanakan huru hara di<br />

Bandung, Sadikin berada di luar kota.<br />

Selanjutnya Engles melaporkan kejadian ini<br />

kepada Van Vreeden di Jakarta.<br />

31


SELINGAN<br />

Gerakan liar Westerling itu rupanya<br />

membuat kegundahan dan keresahan di<br />

kalangan KST sendiri, buktinya Letkol<br />

Borghouts sangat terpukul akibat desersi<br />

anggota pasukannya. Ketika dilakukan apel<br />

KST pada siang hari, ternyata 140 tentara<br />

tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan<br />

bahwa 190 tentara telah melakukan desersi,<br />

dan dari SOP di Cimahi dilaporkan bahwa 12<br />

tentara asal Ambon telah desersi.<br />

Tak terkendalinya pergerakan itu membuat<br />

keinginan Westerling untuk membuat huruhara<br />

tercapai. Sebelum pemerintahan<br />

Belanda melakukan penarikan pasukan<br />

elitnya pulang ke negara asal, pada 23<br />

Januari 1950, Westerling melancarkan<br />

kudetanya.<br />

Aksi huru hara atau kudeta yang dilakukan<br />

Westerling menggunakan 2 strategi.<br />

Pertama, melakukan kekacauan keamanan<br />

di Bandung. Subuh pukul 04.30, Letnan<br />

Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Kapten<br />

Engles dan melaporkan, “Satu pasukan<br />

APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar<br />

menuju Bandung.”<br />

Operasi menjelang subuh itu dilakukan<br />

seperti berikut: polisi negara di pos<br />

penjagaan Cimindi dan Cibeureum, di pinggir<br />

kota, dilucuti oleh sekelompok orang<br />

berpakaian tentara dan bersenjata. Dari arah<br />

barat laut, dari Batujajar menderu truk penuh<br />

serdadu, sepeda motor, jip. Tampak pula<br />

beberapa orang berpakaian tentara jalan<br />

kaki. Korban pertama jatuh di Jalan Banceuy.<br />

Serdadu APRA menyerbu Markas Siliwangi<br />

Jenderal A.H. Nasution<br />

Ketika itu sebuah jip disetop oleh gerombolan<br />

ini. Pengendaranya ternyata seorang<br />

anggota TNI yang lalu disuruh turun,<br />

digertak, disuruh angkat tangan, lalu<br />

ditembak.<br />

Di Jalan Braga sebuah sedan dihentikan<br />

dan penumpang diperintahkan turun, di<br />

antaranya seorang letnan TNI. Tanda<br />

pangkat letnan itu direnggutkan, ia disuruh<br />

berdiri di pinggir jalan, dan diberondong<br />

peluru. Sebuah truk yang melaju di depan<br />

Hotel Preanger, di Jalan Asia Afrika, disikat<br />

dari belakang. Pemegang kemudi rupanya<br />

tak bisa lagi menguasai truknya, lalu oleng<br />

dan menabrak tiang listrik. Tak seorang pun<br />

dari tiga penumpang yang TNI itu selamat.<br />

Di Jalan Merdeka sempat ada<br />

perlawanan. Tapi sekitar 15 menit kemudian<br />

tembak-menembak berhenti, 10 anggota TNI<br />

gugur. Di Staf Kwartir Divisi Siliwangi, Letkol<br />

Sutoko, pimpinan Staf Kwartir, ragu akan<br />

berbuat apa karena ia tahu kekuatan TNI di<br />

Bandung tak seimbang dengan musuh.<br />

Belum sempat keputusan diambil, beberapa<br />

puluh serdadu APRA menyerbu. 15 anggota<br />

jaga mencoba mempertahankan kantor<br />

stafnya mati-matian sebelum disikat habis<br />

oleh pasukan di bawah pimpinan Westerling<br />

itu. Cuma Letkol Sutoko dan dua perwira<br />

lain sempat lolos dari kepungan. Di jalan ini,<br />

Letkol Lembong mendengar suara tembakan<br />

bergegas bersama ajudannya mengendarai<br />

mobil, mencari tahu apa yang terjadi. Tapi, di<br />

pintu gerbang ia diberondong peluru dan<br />

tewas (dan itu sebabnya jalan tersebut<br />

kemudian dinamakan Jalan Lembong).<br />

Hebatnya di pihak APRA tak ada korban<br />

seorang pun. Setelah puas melakukan<br />

pembantaian di Bandung, seluruh pasukan<br />

APRA dan satuan-satuan yang<br />

mendukungnya kembali ke tangsi masingmasing.<br />

Saat Westerling memimpin penyerangan<br />

di Bandung, APRA yang dipimpin oleh Sersan<br />

Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk<br />

menangkap Presiden Soekarno dan<br />

menduduki gedung-gedung pemerintahan.<br />

Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan<br />

32 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA


Tentara Islam Indonesia (TII) yang<br />

diharapkan Westerling tidak muncul,<br />

sehingga serangan APRA ke Jakarta gagal<br />

dilakukan.<br />

Adanya serangan yang menyebabkan 94<br />

anggota TNI gugur bisa jadi disebabkan<br />

karena tidak adanya fungsi intelijen TNI,<br />

sehingga dengan mudah APRA mengobrakabrik<br />

Kota Bandung. Lemahnya fungsi<br />

Tangan-Tangan Hitam<br />

APRA melancarkan aksinya karena adanya pihak-pihak tertentu yang mendukungnya, seperti Letnan Jenderal<br />

Spoor, Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes Van Mook, seorang Tionghoa Chia Piet Kay, Sultan Hamid<br />

II, dan Darul Islam. Kepentingan mereka tak jauh dari ekonomi dan kekuasan.<br />

Anggota Divisi Siliwangi Korban APRA Westerling<br />

MAYAT-MAYAT yang bergelimpangan<br />

di jalan-jalan Banceuy, Braga,<br />

Merdeka, Asia Afrika, dan jalan besar<br />

lainnya di Bandung membuat suasana di kota<br />

itu menjadi mencekam. Suasana yang<br />

demikian pun menjadi berita utama mediamedia<br />

di Eropa, Australia, dan Amerika<br />

Serikat. Kantor Berita Reuters, 23 Januari<br />

1950, lewat tulisan korespondennya, Hugh<br />

Laming, menyajikan berita sensasional atas<br />

peristiwa penembakan 94 TNI akibat ulah<br />

APRA pimpinan Westerling. Tak kalah<br />

sensasionalnya, Melbourne Sun, sebuah<br />

harian yang terbit di Australia, membuat judul<br />

di halaman muka yang ditulis oleh jurnalisnya,<br />

Osmar White, berbunyi: Suatu krisis dengan<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

intelijen itu terbukti ketika peristiwa itu,<br />

Panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Sadikin<br />

sedang mengadakan peninjauan ke luar kota,<br />

yaitu ke Subang bersama Gubernur Jawa<br />

Barat Sewaka.<br />

Namun, menurut Jenderal A.H. Nasution,<br />

peristiwa itu bisa terjadi karena persenjataan<br />

TNI cuma sisa-sisa masa gerilya yang telah<br />

usang, ditambah sedikit pemberian Belanda<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />

skala internasional telah melanda Asia<br />

Tenggara.<br />

Tak hanya media massa yang menyoroti<br />

masalah itu, Duta Besar Belanda di Amerika<br />

Serikat, Van Kleffens, menyatakan di mata<br />

orang Amerika, Belanda secara licik sekali<br />

lagi telah mengelabui Indonesia, dan<br />

serangan di Bandung dilakukan oleh de<br />

zwarte hand van Nederland (tangan hitam<br />

dari Belanda).<br />

Tangan hitam yang dimaksud itu bisa jadi<br />

adalah Letnan Jenderal Spoor dan Wakil<br />

Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes<br />

Van Mook. Van Mook adalah orang Belanda<br />

yang lahir di Semarang 30 Mei 1894,<br />

meninggal di di L’illa de Sorga, Perancis, 10<br />

di zaman peralihan kekuasan. Meriam,<br />

kendaraan lapis baja, dan pesawat udara<br />

masih di tangan Belanda. Selain itu termakan<br />

janji dari Kepala Staf Divisi Belanda di<br />

Bandung bahwa pasukannyalah yang<br />

bertanggung jawab atas keamanan kota<br />

sampai semua persenjataan diserahkan<br />

kepada tentara Indonesia. ❏<br />

AW/dari berbagai sumber<br />

Mei 1965, pada umur 70 tahun. Secara de<br />

facto adalah Gubernur Jenderal Hindia-<br />

Belanda dengan pangkat letnan jenderal,<br />

terakhir yang menjabat setelah Jepang<br />

menguasai Hindia Belanda.<br />

Berkat kedua orang itulah Westerling lolos<br />

dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan<br />

Belanda, sebab aksi terornya yang dinamakan<br />

counter insurgency itu memperoleh izin<br />

dari mereka. Dari sini bisa dikatakan yang<br />

bertanggungjawab atas pembantaian rakyat<br />

Sulawesi Selatan sebenarnya tidak hanya<br />

Westerling namun juga pemerintah dan<br />

angkatan perang Belanda.<br />

Tangan hitam lainnya adalah teman<br />

Westerling yang dikenalnya di Medan, Chia<br />

Piet Kay. Ia seorang tionghoa. Satu bulan<br />

selepas aksinya di Bandung, pada 22<br />

Februari 1950, Westerling yang mengenakan<br />

seragam Sersan KNIL dijemput oleh Van der<br />

Veen dan dibawa dengan mobil ke pangkalan<br />

MLD di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.<br />

Pesawat Catalina hanya singgah di Tanjung<br />

Pinang, Riau, dan kemudian melanjutkan<br />

penerbangan menuju Singapura. Mereka<br />

tiba di perairan Singapura menjelang petang<br />

hari. Kira-kira satu kilometer dari pantai<br />

Singapura pesawat mendarat di laut dan<br />

perahu karet diturunkan.<br />

Dalam bukunya De Eenling, Westerling<br />

memaparkan bahwa perahu karetnya<br />

ternyata bocor dan kemasukan air. Beruntung<br />

dia diselamatkan oleh satu kapal penangkap<br />

ikan Tiongkok yang membawanya ke<br />

Singapura. Setibanya di Singapura, dia<br />

segera menghubungi Chia Piet Kay. Dari 22<br />

33


SELINGAN<br />

sampai 26 Februari 1950, Westerling<br />

bersembunyi di rumah Chia Piet Kay.<br />

Rencana kudeta Westerling bisa berjalan<br />

juga karena ada kepentingan yang sama dari<br />

Darul Islam. Darul Islam menggunakan APRA<br />

untuk kepentingan politiknya. Hal ini dikatakan<br />

oleh Mohammad Hatta, 25 Januari 1950,<br />

kepada Hirschfeld, bahwa Westerling<br />

didukung oleh Darul Islam ketika akan<br />

menyerang Jakarta. Kapten Engles pun<br />

menerima laporan bahwa Westerling<br />

melakukan konsolidasi para pengikutnya di<br />

Garut, yang merupakan salah satu basis<br />

organisasi Darul Islam.<br />

Darul Islam yang artinya Rumah Islam<br />

adalah gerakan politik yang diproklamasikan<br />

pada 7 Agustus 1949 atau 12 Syawal 1368<br />

oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di<br />

Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar,<br />

Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa<br />

Barat.<br />

Gerakan ini bertujuan menjadikan<br />

Indonesia sebagai negara agama dengan<br />

Islam sebagai dasar negara. Dalam<br />

proklamasinya bahwa “Hukum yang berlaku<br />

dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum<br />

Islam”. Lebih jelas lagi dalam undangundangnya<br />

dinyatakan bahwa “Negara<br />

berdasarkan Islam” dan “Hukum yang<br />

tertinggi adalah Alquran dan Hadits”.<br />

Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan<br />

tegas menyatakan kewajiban negara untuk<br />

membuat undang-undang yang berlandas-<br />

Sultan Hamid II bersama Bung Hatta menghadiri Konferensi Meja Bundar<br />

kan Syariat Islam dan penolakan yang keras<br />

terhadap ideologi selain Alqur’an dan Hadits<br />

Shahih, yang mereka sebut dengan “hukum<br />

kafir, sesuai dalam Qur’an Surah 5. Al-<br />

Maidah, ayat 50. Dalam perkembangannya,<br />

DI menyebar hingga di beberapa wilayah,<br />

terutama Jawa Barat, Jawa Tengah,<br />

Sulawesi Selatan, dan Aceh.<br />

Dalam aksinya, Westerling, juga mendapat<br />

dukungan dari salah satu menteri dalam<br />

Kabinet <strong>RI</strong>S, yakni Menteri Negara Sultan<br />

Hamid II. Sultan Hamid II yang terlahir dengan<br />

nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie adalah<br />

putra sulung Sultan Pontianak Sultan Syarif<br />

Muhammad Alkadrie. Sultan Hamid II, lahir di<br />

Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913,<br />

meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978, pada<br />

umur 64 tahun.<br />

Dalam suasana <strong>RI</strong>S terjadi pertentangan<br />

antara kelompok yang berhaluan republik dan<br />

kelompok yang berhaluan federal. Kelompok<br />

federal ini rupanya tidak berumur panjang<br />

34 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA


sebab rakyat lebih mendukung pada arah<br />

negara kesatuan. Akibatnya, Sultan Hamid II<br />

merasa sakit hati sehingga ia bersekongkol<br />

dengan Westerling untuk mengatur kudeta<br />

di Bandung dan Jakarta.<br />

Dalam rencana aksinya, 26 Januari 1950,<br />

pasukan Westerling disusupkan ke Jakarta<br />

sebagai bagian dari kudeta untuk menggulingkan<br />

Kabinet <strong>RI</strong>S. Dalam aksinya,<br />

pasukan Westerling itu berencana untuk<br />

membunuh beberapa tokoh Republik terkemuka,<br />

termasuk Menteri Pertahanan Sultan<br />

Hamengku Buwono IX dan Sekretaris-<br />

Jenderal Ali Budiardjo. Namun, mereka<br />

Si Turki Alumni Neraka<br />

Didikan yang keras membuat Westerling brutal, haus darah, dan tak punya rasa kemanusian. Saat bertugas di<br />

Sulawesi Selatan ia melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh KNIL. Strategi yang dilakukan menyebabkan<br />

ribuan penduduk sipil meninggal dunia. Kasusnya akan digugat.<br />

RAYMOND Pierre Paul Westerling bisa<br />

dikatakan lebih Belanda daripada<br />

orang Belanda. Pasalnya ia lahir dari<br />

perkawinan silang antara ayahnya Paul<br />

Westerling, seorang Belanda asli, dengan<br />

ibunya Sophia Moutzou dari Yunani, pada<br />

31 Agustus 1919. Lahirnya pun bukan di<br />

Belanda atau Yunani, namun di Istanbul,<br />

Turki, yang saat itu masih di bawah<br />

Kesultanan Utsmaniyah. Dari tempat<br />

kelahirannya itulah maka dia mendapat<br />

julukan Si Turki.<br />

Di usia 22 tahun, tepatnya pada 26<br />

Agustus 1941, Westerling mulai masuk dinas<br />

militer di Kanada. Empat bulan kemudian, 27<br />

Desember 1941, ia bertugas di Inggris dan<br />

bergabung di Brigade Prinses Irene di<br />

Wolverhampton. Wolverhampton adalah<br />

sebuah kota dan distrik metropolitan di West<br />

Midlands, dekat Birmingham. Birmingham<br />

adalah kota terbesar kedua di Inggris.<br />

Sebelum ditugaskan di Indonesia,<br />

Westerling bersama 47 tentara Belanda,<br />

angkatan pertama, mendapat pelatihan<br />

khusus di Commando Basic Training<br />

Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia<br />

yang tandus, dingin dan tak berpenghuni.<br />

Melalui pelatihan yang sangat keras dan<br />

berat mereka dipersiapkan untuk menjadi<br />

komandan pasukan khusus Belanda di<br />

Indonesia.<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

kemudian dihadang oleh pasukan TNI,<br />

sehingga pasukan APRA mundur.<br />

Rencana aksi di Jakarta sebenarnya<br />

dilakukan dua kali, yakni pada 15 Februari<br />

1950, dengan sasaran gedung parlemen.<br />

Namun rencana aksi itu gagal karena<br />

kesiapsiagaan TNI. Kegagalan-kegagalan itu<br />

menyebabkan semakin lemahnya negaranegara<br />

bagian sehingga satu-satu membubarkan<br />

diri dan mengintegrasikan diri ke<br />

negara kesatuan. Gagalnya aksi Westerling<br />

membuat Negara Pasundan bubar.<br />

Kalimantan Barat yang dipimpin Sultan Hamid<br />

II adalah negara bagian dari <strong>RI</strong>S yang tersisa<br />

Raymond Pierre Paul Westerlin<br />

Seorang instruktur Inggris mengatakan,<br />

pelatihan ini sebagai “It’s hell on earth”<br />

(neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran<br />

yang mereka peroleh antara lain: “unarmed<br />

combat” (perkelahian tangan kosong),<br />

“silent killing” (penembakan tersembunyi),<br />

“death slide”, “how to fight and kill without<br />

yang belum mengintegrasikan diri ke negara<br />

kesatuan.<br />

Keterlibatannya dalam aksi itu bersama<br />

Westerling membuat Sultan Hamid II ditangkap<br />

pada 5 April 1950. Dalam kesaksiannya, 19<br />

April 1950, Sultan Hamid II mengaku<br />

keterlibatannya dalam kudeta yang gagal itu.<br />

Kesaksian lain akan keterlibatan Sultan<br />

Hamid II juga tertuang dalam otobiograf<br />

Weseterling, Mémoires, yang terbit 1952.<br />

Dalam Memoires itu diceritakan telah dibentuk<br />

kabinet bayangan di bawah pimpinan Sultan<br />

Hamid II. ❏<br />

AW/dari berbagai sumber<br />

firearms” (berkelahi dan membunuh tanpa<br />

senjata api), “killing sentry” (membunuh<br />

pengawal) dan sebagainya.<br />

Selepas pelatihan di Skotlandia, ia<br />

dikembalikan bertugas di Eastbourne, Inggris.<br />

Di tempat itu ia mengabdi mulai 31 Mei 1943<br />

hingga 15 Desember 1943. Selanjutnya<br />

bersama 55 orang sukarelawan Belanda<br />

lainnya, Westerling yang saat itu masih<br />

pangkat sersan, berangkat ke India untuk<br />

betugas di bawah Laksamana Madya<br />

Mountbatten sebagai Panglima South East<br />

Asia Command atau Komando Asia<br />

Tenggara. Ke- 55 sukarelawan itu tiba di<br />

India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan<br />

di Kedgoan, 60 km di utara kota Poona atau<br />

Pune, sebuah kota di Maharashtra, India. Di<br />

kota inilah permainan bulutangkis ditemukan<br />

pada Abad XIX. Lalu kota ini juga terkenal<br />

sebagai Bhandarkar Oriental Research<br />

Institute, di mana para pakar antara 1919<br />

dan 1966 mempersiapkan suntingan teks<br />

lengkap dari Mahabharata.<br />

Rupanya Westerling adalah tentara yang<br />

beruntung. Buktinya, pada 20 Juli 1946, dia<br />

diangkat menjadi komandan pasukan<br />

khusus, Depot Speciale Troepen/DST<br />

(Depot Pasukan Khusus). Ia menduduki<br />

jabatan itu hanya untuk sementara waktu<br />

sampai diperoleh komandan yang lebih tepat,<br />

sehingga pangkatnya pun tidak dinaikkan,<br />

35


SELINGAN<br />

tetap Letnan II (Cadangan).<br />

Setelah bertugas di Kedgoan, Westerling<br />

ditugaskan ke Makassar, Indonesia. Tiba<br />

pada 5 Desember 1946 dan memimpin 120<br />

anggota pasukan khusus. DST mendirikan<br />

markasnya di Mattoangin, salah satu<br />

kelurahan di Kecamatan Mariso, Kota<br />

Makassar.<br />

Di Mattoangin ini, Westerling menyusun<br />

strategi untuk counter insurgency<br />

(penumpasan pemberontakan) dengan<br />

caranya sendiri, dan tidak berpegang pada<br />

Voorschrift voor de uitoefening van de<br />

Politiek-Politionele Taak van het Leger -<br />

VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara<br />

untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional),<br />

di mana telah ada ketentuan mengenai tugas<br />

intelijen serta perlakuan terhadap penduduk<br />

dan tahanan.<br />

Pedoman yang dibuat Westerling itulah<br />

yang dijalankan saat melakukan apa yang<br />

sekarang lebih dikenal dengan Peristiwa<br />

Pembantaian Westerling. Operasi militer<br />

counter insurgency yang dilakukan oleh DST<br />

di bawah Westerling yang berlangsung<br />

Desember 1946 hingga Februari 1947 di<br />

Sulawesi Selatan telah menyebabkan<br />

puluhan ribu rakyat sipil terbunuh.<br />

Mengenai jumlah korban, delegasi<br />

Republik Indonesia pada tahun 1947<br />

menyampaikan kepada PBB bahwa korban<br />

pembantaian terhadap penduduk, yang<br />

dilakukan oleh Kapten Raymond Westerling<br />

sejak Desember 1946 di Sulawesi Selatan<br />

mencapai 40.000 jiwa. Sedangkan,<br />

pemeriksaan Pemerintah Belanda 1969<br />

memperkirakan sekitar 3.000 rakyat<br />

Sulawesi tewas dibantai. Sedangkan<br />

Westerling sendiri mengatakan bahwa<br />

korban akibat aksi yang dilakukan oleh<br />

Westerling di Brussel 1950<br />

pasukannya hanya 600 orang.<br />

Setelah melakukan operasi pembantaian<br />

itu, Jenderal Spoor menilai keadaan darurat<br />

di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi,<br />

sehingga pada 21 Februari 1947 ia<br />

memberlakukan kembali VPTL dan Pasukan<br />

DST ditarik kembali ke Jawa.<br />

Apa yang dilakukan Westerling itu mampu<br />

mengangkat nama dan reputasi DST. Media<br />

massa Belanda memberitakan secara<br />

superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali<br />

ke Markas DST pada 23 Maret 1947,<br />

mingguan militer Het Militair Weekblad<br />

menyanjung dengan berita: “Pasukan si<br />

Turki kembali.”<br />

Kamp DST dari Mattoangin kemudian<br />

dipindahkan ke Kalibata, Jakarta, yang<br />

kemudian dipindahkan ke Batujajar,<br />

Bandung. Pada Oktober 1947 dilakukan<br />

reorganisasi di tubuh DST dan komposisi<br />

Pasukan Khusus tersebut terdiri dari 2<br />

perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL<br />

(Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13<br />

bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59<br />

serdadu KL.<br />

Atas prestasi itu, pada 5 Januari 1948,<br />

nama DST diubah menjadi Korps Speciale<br />

Troepen/KST (Korps Pasukan Khusus), dan<br />

kemudian memiliki unit terjun payung.<br />

Westerling kini memegang komando pasukan<br />

yang lebih besar dan lebih hebat dan<br />

pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi<br />

Kapten.<br />

Pembantaian Westerling itu rupanya tidak<br />

membuat jera KST. Selepas Perjanjian<br />

Renville, 17 Januari 1948, anggota KST<br />

melakukan pembantaian di Jawa Barat. Pada<br />

17 April 1948, Mayor KL R.F. Schill,<br />

komandan Pasukan 1-11 <strong>RI</strong> di Tasikmalaya,<br />

membuat laporan kepada atasannya, Kolonel<br />

KL M.H.P.J. Paulissen yang mengadukan ulah<br />

anggota KST yang dilakukan pada 13 dan<br />

16 April 1948. Karena, di dua tempat, yaitu<br />

di Tasikmalaya dan Ciamis, anggota KST telah<br />

membantai 10 orang penduduk tanpa alasan<br />

yang jelas, dan kemudian mayat mereka<br />

dibiarkan tergeletak di tengah jalan.<br />

Menggugat Pembantaian Westerling<br />

Keberhasilan Komite Utang Kehormatan<br />

Belanda (KUKB) memenangkan gugatan<br />

Kasus Pembantaian Rawagede, Karawang,<br />

Jawa Barat, membuat Ketua KUKB Batara<br />

Hutagalung optimistis bahwa Pembantaian<br />

Westerling juga bisa diajukan ke pengadilan.<br />

“Suksesnya kasus Rawagede ini menjadi<br />

pintu untuk kasus Westerling,” ujarnya.<br />

Batara Hutagalung meminta dukungan dari<br />

anggota Parlemen di Belanda dan menunggu<br />

proses lebih lanjut. Menurutnya, kasus<br />

Rawagede dan pembantaian Westerling<br />

sama-sama kejahatan kemanusiaan. KUKB<br />

siap menggugat pembantaian Westerling,<br />

yang jumlah korbannya jauh lebih besar<br />

ketimbang Rawagede. ❏<br />

AW/dari berbagai sumber<br />

36 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA


Taufiq Kiemas<br />

Hubungan Indonesia-Ceko<br />

Jangan Mengendur<br />

Hubungan Indonesia dan Republik Ceko sudah berlangsung sejak<br />

1950-an. Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Taufiq Kiemas meminta hubungan kedua<br />

negara itu jangan mengendur.<br />

KETUA <strong>MPR</strong> Taufiq Kiemas tidak<br />

menginginkan hubungan yang sudah<br />

terjalin baik antara Indonesia dan<br />

Republik Ceko mengendur. “Kita tidak ingin<br />

hubungan dengan Republik Ceko menjadi<br />

kendur,” kata Taufiq Kiemas dalam<br />

pertemuan dengan Duta Besar Republik<br />

Ceko, Thomas Smetanka, di ruang kerjanya,<br />

Lantai 9 Gedung Nusantara III, Kompleks<br />

<strong>MPR</strong>/DPR/DPD Senayan, Jakarta, Kamis 19<br />

Januari 2012.<br />

Di Republik Ceko, menurut Taufiq Kiemas,<br />

masih banyak warga negara Indonesia yang<br />

sudah lama tinggal dan berdiam di sana<br />

setelah menyelesaikan studinya di negara<br />

itu. “Kita mengucapkan terima kasih kepada<br />

pemerintah Ceko yang telah memberi<br />

kemudahan kepada “kakak-kakak” saya di<br />

sana,” kata Taufiq Kiemas.<br />

Duta Besar Republik Ceko untuk Indonesia,<br />

Thomas Smetanka, yang menjadi tamu<br />

Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Taufiq Kiemas ini baru enam<br />

bulan – sejak ia menyerahkan surat<br />

kepercayaan kepada Presiden Susilo<br />

Bambang Yudhoyono, Oktober 2011 —<br />

bertugas di Indonesia. Dalam kunjungan itu,<br />

Smetanka didampingi Wakil Duta Besar Petr<br />

Dolezal.<br />

Dalam pertemuan yang berlangsung<br />

hangat itu, Smetanka mengungkapkan<br />

bahwa hubungan Rebublik Ceko dengan Indonesia<br />

sudah berlangsung sejak 1950-an.<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

“Ini menjadi dasar yang baik untuk<br />

meningkatan persahabatan kedua negara ke<br />

depan,” ujarnya.<br />

Selain hubungan kedua pemerintahan,<br />

menurut Smetanka, juga terjalin hubungan<br />

yang baik di antara parlemen kedua negara.<br />

Menurut Smetanka, beberapa telah<br />

berlangsung kunjungan delegasi DPR <strong>RI</strong> ke<br />

Praha, ibukota Republik Ceko.<br />

Kepada Taufiq Kiemas, Dubes Smetanka<br />

menyatakan, selama bertugas di Indonesia<br />

telah berupaya melakukan sesuatu dan<br />

memberi sumbangan untuk perbaikan dan<br />

peningkatan hubungan ekonomi kedua<br />

negara. Ia menambahkan bahwa beberapa<br />

perusahaan dari Republik Ceko sudah ada<br />

di Indonesia dan berbisnis di sini.<br />

“Saya tahu ada beberapa perusahaan<br />

dari Republik Ceko yang berbisnis di Indonesia.<br />

Perusahaan-perusahaan itu<br />

merupakan perusahaan yang bagus dan<br />

berkualitas, bergerak di bidang infrastruktur,<br />

transportasi udara, pembangunan bandara,”<br />

jelas Thomas Smetanka.<br />

Karena itu, lanjut Smetanka, ekonomi<br />

kedua negara bisa saling isi mengisi. Dan,<br />

yang menjadi dasar kerjasama ekonomi<br />

kedua negara perjanjian kerjasama antara<br />

Indonesia dan Republik Ceko dalam bidang<br />

ekonomi.<br />

Selain itu, Smetanka juga mengharapkan<br />

agar hubungan kedua negara terjalin dalam<br />

lingkup multilateral, seperti kerjasama<br />

ekonomi antara negara-negara Asia Pasifik<br />

dengan negara Uni Eropa. Indonesia<br />

tergabung dalam negara-negara Asia<br />

Pasifik, dan Republik Ceko masuk dalam Uni<br />

Eropa. “Ini untuk lebih meningkatkan lagi<br />

hubungan kedua negara,” tambahnya.<br />

Thomas Smetanka juga menyinggung soal<br />

kerjasama di bidang pendidikan. Dia<br />

mengatakan, selama bertugas di Indonesia<br />

akan membantu pelajar atau mahasiswa<br />

untuk melanjutkan studi ke Republik Ceko.<br />

“Kami memiliki banyak lembaga pendidikan<br />

yang bagus dan berkualitas. Kami juga<br />

menerima pelajar dan mahasiswa dari Indonesia.<br />

Saya akan berusaha menambah<br />

jumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia<br />

yang belajar ke sana,” janjinya. Dia juga<br />

mengungkapkan ada anggota DPR periode<br />

sekarang ini alumni dari Ceko.<br />

Mendengar informasi itu, Taufiq Kiemas<br />

menimpali: “Saya punya buku yang berisi<br />

alumni atau mahasiswa yang pernah belajar<br />

di Ceko.” Salah satu pejabat Indonesia yang<br />

pernah belajar di Ceko adalah mantan<br />

Menristek Rahardi Ramelan.<br />

Kepada Dubes Ceko, Taufiq Kiemas<br />

menyebutkan bahwa ia pertama kali<br />

mengunjungi Ceko ketika negara itu masih<br />

bersatu dengan nama Cekoslovakia.<br />

Kemudian kunjungan kedua bersama<br />

Megawati Soekarnoputri. “Banyak yang<br />

mengatakan Paris, Budapest, Wina, adalah<br />

kota-kota yang indah. Tapi, menurut saya,<br />

Praha lebih indah,” katanya.<br />

Taufiq juga menyebutkan sepeda motor<br />

yang bernama “Java” pernah ada dan<br />

terkenal di Ceko pada waktu lalu. Sedangkan<br />

dalam bidang ekonomi, Taufiq Kiemas<br />

menyebutkan, perusahaan Ceko terlibat<br />

dalam pembangunan Bandara di Jawa<br />

Tengah. Namun, pembangunan itu belum<br />

selesai.<br />

Smetanka mengakui, perusahaan Ceko<br />

sempat melakukan studi kelayakan untuk<br />

pembangunan Bandara di Jawa Tengah.<br />

“Perusahaan Ceko sangat bagus dan<br />

kompeten untuk melakukan pembangunan<br />

Bandara. Kami masih menjalin kerjasama<br />

dengan Angkasa Pura,” jelasnya.<br />

Sedangkan soal sepeda motor “Java”,<br />

Smetanka mengatakan, sepeda motor itu<br />

memang pernah terkenal di beberapa<br />

negara. Namun, kondisinya saat ini sudah<br />

tidak lagi seperti dulu, karena kalah bersaing.<br />

“Saya dengar ada investor yang ingin<br />

menghidupkan kembali sepeda motor itu,”<br />

ujarnya. ❏<br />

BS<br />

37


NASIONAL<br />

Kunjungan Duta Besar Slovakia<br />

Jajaki Investasi Infrasruktur<br />

dan Energi di Indonesia<br />

Negara-negara Eropa Timur ternyata banyak yang melirik<br />

Indonesia untuk melakukan investasi. Slovakia adalah salah<br />

satunya yang melihat Indonesia akan muncul sebagai pelaku<br />

ekonomi yang berpengaruh di Asia.<br />

DENGAN senyum mengembang, Wakil<br />

Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Ahmad Farhan Hamid<br />

ramah menerima kunjungan Duta Besar<br />

Slovakia untuk Indonesia Stefan Rozkopal,<br />

di Ruang Tamu Pimpinan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, Gedung<br />

Nusantara III, Kompleks <strong>MPR</strong>/DPR/DPD <strong>RI</strong><br />

Senayan, Jakarta, Rabu (18/1).<br />

Kedatangan dubes yang baru memulai<br />

tugasnya secara resmi di Indonesia Agustus<br />

2011 itu mempunyai dua agenda utama.<br />

Pertama, melakukan perkenalan secara<br />

resmi dan pribadi dengan Pimpinan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>.<br />

Kedua, sebagai tindak lanjut agenda yang<br />

diusung Presiden Slovakia Ivan Gasparovic<br />

dalam kunjungan resminya ke Indonesia pada<br />

Agustus 2011 tersebut.<br />

“Slovakia memang telah lama menjajaki<br />

potensi kerjasama investasi di berbagai<br />

bidang dengan Indonesia. Ada beberapa<br />

prioritas investasi lanjutan yang akan kami<br />

siapkan, yakni kerjasama investasi di bidang<br />

energi dan infrastruktur, diantaranya adalah<br />

membangun power plant dan pembangkit<br />

nuklir,” ujar Stefan.<br />

Sebagai informasi, Indonesia dan Slovakia<br />

telah sukses menjalin kerjasama atau join ven-<br />

FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

ture pada bidang bisnis, perdagangan dan<br />

investasi. Menurut Duta Besar Indonesia untuk<br />

Slovakia Harsha E.Joesoef, pada Februari<br />

2011 volume perdagangan Indonesia –<br />

Slovakia mencatat pertumbuhan yang cukup<br />

signifikan. Pada 2009, terjadi kenaikan ekspor<br />

sebesar 60% atau US$ 64,3 juta, dan terjadi<br />

peningkatan pada tahun-tahun berikut. Nah,<br />

dengan ada join venture ini, volume<br />

perdagangan Indonesia-Slovakia pada 2012<br />

diprediksi akan lebih meningkat lagi.<br />

Stefan menengarai bahwa penjajakan<br />

kerjasama di bidang infrastruktur dan energi,<br />

apalagi sampai terealisasi akan menambah<br />

keuntungan dan mempererat hubungan Indonesia-<br />

Slovakia.<br />

“Bahkan kami telah memulai menjalinan<br />

kerjasama awal dengan beberapa daerah<br />

di Indonesia, seperti Lombok, Jawa Tengah<br />

dan yang terbaru dengan Bangka Belitung.<br />

Indonesia dan Slovakia pernah<br />

menyelanggarakan kegiatan di Jakarta dan<br />

Bangka Belitung dengan fokus bidang energi<br />

dan infrastruktur pada acara “The 4 th<br />

Slovakia-Indonesia Business Forum” yang<br />

berlangsung Februari tahun lalu,” terang<br />

Stefan.<br />

Menurut Stefan, dalam kegiatan itu, Indonesia<br />

dan Slovakia bukan hanya menjajaki<br />

kerjasama dalam bidang perdagangan dan<br />

bisnis, tapi ijajaki juga investasi dan<br />

kerjasama pengembangan reaktor nuklir.<br />

Rencananya, lokasi reaktor akan berada di<br />

daerah Bangka Belitung.<br />

“Untuk pengembangan reaktor nuklir, kami<br />

sanggup melakukan kerjasama dan kajian<br />

ataupun realisasi, karena Slovakia memiliki<br />

sistem pengembangan nuklir yang sehat.<br />

Pembangunan power plant selain nuklir juga<br />

dijajaki dan ada kemungkinan terealisasi,”<br />

katanya.<br />

Dalam kesempatan itu, Stefan<br />

menegaskan bahwa dunia investasi Eropa<br />

Timur, termasuk Slovakia, butuh berbagai<br />

jaminan untuk realisasinya, terutama jaminan<br />

kestabilan politik. “Kestabilan politik suatu<br />

negara sangat penting bagi realisasi, proses<br />

dan keberlangsungan kerjasama investasi<br />

dalam berbagai bidang,” tandas Stefan.<br />

Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Ahmad Farhan Hamid<br />

menyambut baik uluran tangan Slovakia<br />

untuk terus melakukan hubungan kerjasama<br />

dengan Indonesia. “Perhatian pemerintah<br />

Slovakia untuk terus menjalin dan<br />

pengembangan kerjasama dengan Indonesia,<br />

kami apresiasi. Kerjasama ini akan<br />

Stefan Rozkopal<br />

membuka mata negara-negara di daratan<br />

Eropa lainnya untuk melihat bahwa Indonesia<br />

dalam keadaan dan situasi yang sangat<br />

baik dari hari ke hari,” ujar Farhan.<br />

Kepada Stefan, Farhan memberikan saran,<br />

jika Slovakia serius melakukan akan<br />

investasi infrastruktur atau energi,<br />

pembangunan power plant misalnya, kalau<br />

bisa difokuskan ke satu daerah saja. Jika<br />

terealisasi, akan menjadi model bagi daerahdaerah<br />

lain. “Kerjasama selain bidang bisnis<br />

dan ekonomis, seperti kerjasama<br />

antarparlemen Indonesia dan Slovakia juga<br />

baik dijajaki dan mudah-mudahan bisa di<br />

realiasasi,” ujar Farhan. ❏<br />

Derry<br />

38 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


Singgung Pilar di Kalangan Islam Moderat Dunia<br />

Delegasi yang akan mengadakan pertemuan dalam Internasional Conference on Muslim Moderate<br />

Movement mengadakan pertemuan dengan pimpinan <strong>MPR</strong>. Dalam pertemuan itu dijelaskan<br />

tujuan dan manfaat. Din Syamsuddin sebagai salah satu delegasi akan mengumandangkan 4 Pilar<br />

saat acara.<br />

KUNJUNGAN pimpinan <strong>MPR</strong> di akhir<br />

tahun 2011 yang lalu memberi dampak<br />

yang positif dalam perkembangan Islam<br />

di Malaysia, khususnya, dan di dunia<br />

pada umumnya. Dari kunjungan delegasi<br />

yang dipimpin oleh Ketua <strong>MPR</strong> Taufiq Kiemas<br />

tersebut, menginspirasi Perdana Menteri<br />

Malaysia Najib Razak mengadakan<br />

Internasional Conference on Muslim Moderate<br />

Movement yang akan diadakan pada<br />

pertengahan Januari 2012.<br />

Saat mengadakan pertemuan dengan para<br />

pemimpin Malaysia, Taufiq Kiemas<br />

mendorong kerja sama yang diadakan tidak<br />

hanya antarpemerintah, G to G, namun juga<br />

antarmasyarakat, P to P. Internasional Conference<br />

on Muslim Moderate Movement<br />

(ICOM3) itulah yang dirasa sebagai salah<br />

satu bentuk P to P. Acara itu diadakan, salah<br />

satunya untuk mendorong lebih eratnya<br />

hubungan Indonesia-Malaysia.<br />

Sebelum berangkat ke acara itu, delegasi<br />

yang diundang dalam Internasional Conference<br />

on Muslim Moderate Movement<br />

mengadakan silaturahmi dengan Taufiq<br />

Kiemas dan Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Hajriyanto Y.<br />

Thohari, 16 Januari 2012. Delegasi yang<br />

diterima oleh pimpinan <strong>MPR</strong>, di Lt. 9, Gedung<br />

Nusantara III, Komplek Gedung <strong>MPR</strong>/DPR/<br />

DPD, adalah Ketua Umum Muhammadiyah Din<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Syamsuddin dan anggota DPR dari Fraksi<br />

PDIP Ahmad Basarah yang sekaligus<br />

Pengurus Baitul Muslimin Indonesia<br />

(Barmusi).<br />

“Kedatangan kami ke sini untuk<br />

memberitahukan rencana keberangkatan<br />

kami ke Kuala Lumpur,” ujar Din Syamsuddin<br />

kepada Taufiq Kiemas. Selanjutnya Din<br />

Syamsuddin menerangkan bahwa<br />

organisasi yang diundang dalam acara itu,<br />

dari Indonesia, adalah Muhammadiyah, NU,<br />

dan Barmusi.<br />

Menurut pria asal Bima, Nusa Tenggara<br />

Barat, ada yang menarik dalam Internasional<br />

Conference on Muslim Moderate Movement,<br />

pertama bahwa kegiatan itu langsung<br />

diprakarsai oleh pihak Kerajaan Malaysia dan<br />

sebagai sebuah gerakan nyata dari Islam<br />

moderate. Kedua, yang diundang dalam<br />

kegiatan tersebut adalah NU,<br />

Muhammadiyah, dan Barmusi. Sebagai<br />

gerakan Islam moderate, menurut Din<br />

Syamsuddin ketiga organisasi itu sangat<br />

penting dalam mendukung seluruh<br />

pembangunan di Indonesia. Sebagai Islam<br />

moderate, ketiga organisasi tersebut<br />

menurut Din Syamsuddin selalu<br />

mengupayakan Islam sebagai rahmat bagi<br />

semua ummat manusia. Selain itu, ketiga<br />

organisasi itu juga mendukung adanya<br />

sosialisasi 4 Pilar. “Saat di konferensi saya<br />

juga akan memaparkan 4 Pilar,” kata Din<br />

Syamsuddin.<br />

Dalam kesempatan itu pula, Din<br />

Syamsuddin menjelaskan bahwa di bulan<br />

Februari 2012, kelompok lintas agama akan<br />

mengadakan Pekan Kerukunan Umat<br />

Beragama. Program ini merupakan program<br />

yang didorong oleh PBB dan Raja Jordania.<br />

Dalam kegiatan itu akan diadakan berbagai<br />

macam kegiatan, seperti pada 5 Februari<br />

menanam pohon perdamaian, 10 Februari<br />

sarasehan, dan puncaknya pada 12 Februari<br />

dengan pidato Taufiq Kiemas. Acara puncak<br />

yang akan dilaksanakan di Gedung<br />

Nusantara IV, Komplek Gedung <strong>MPR</strong>/DPR/<br />

DPD itu akan dihadiri oleh ribuan peserta dari<br />

berbagai unsur agama dan ormas.<br />

Dalam acara penanaman pohon, Din<br />

Syamsuddin mengusulkan agar acara itu bisa<br />

dilaksanakan di komplek Gedung <strong>MPR</strong>/DPR/<br />

DPD. “Saat penanaman pohon nanti akan<br />

diikuti secara serentak penanaman pohon<br />

di tempat-tempat ibadah di seluruh Indonesia,”<br />

papar Din Syamsuddin. Semua acara<br />

itu diharapkan sebagai salah satu bentuk<br />

untuk menciptakan rasa persatuan dan<br />

kesatuan di kalangan masyarakat yang<br />

beragam identitasnya.<br />

Mendapat pemaparan yang demikian,<br />

Taufiq Kiemas mendukung segala langkah<br />

yang bertujuan untuk mempererat rasa<br />

persatuan dan kesatuan di antara unsur<br />

masyarakat. Dengan acara-acara seperti<br />

itulah maka sosialisasi 4 Pilar akan lebih<br />

tersosialisasikan. Selepas acara<br />

Internasional Conference on Muslim Moderate<br />

Movement, Taufiq Kiemas ingin<br />

mendapatkan laporan kegiatan itu langsung<br />

dari Barmusi. Laporan dari Barmusi karena<br />

organisasi itu sayap dari PDIP. Kemudian<br />

dalam acara Pekan Kerukunan Ummat<br />

Beragama, Taufiq Kiemas memberi<br />

dukungan dengan menyediakan fasilitas<br />

Gedung Nusantara IV untuk acara puncak<br />

dan halaman yang ada di komplek Gedung<br />

<strong>MPR</strong>/DPR/DPD untuk ditanami pohon<br />

perdamaian. ❏<br />

AW<br />

39


NASIONAL<br />

Ikatan Keluaraga Angkatan 66<br />

Angkatan 66 Siap Gelorakan 4 Pilar<br />

Pada tahun 1966 Angkatan 66 menggelorakan Tritura. Saat ini mereka siap menggelorakan 4<br />

Pilar. Keinginan untuk melakukan sosialisasi karena dirasa Pancasila pudar di tengah<br />

masyarakat. Keinginan Angkatan 66 disambut baik oleh pimpinan <strong>MPR</strong> dan siap difasilitasi.<br />

BEGITU disebut Angkatan 66, semua or<br />

ang pasti mengaitkan dengan gerakan<br />

mahasiswa di tahun 1966 yang<br />

menggelorakan tuntutan Tritura, di mana<br />

salah satu tuntutannya itu adalah perbaikan<br />

ekonomi. Gerakan mahasiswa di tahun 1966<br />

itu sangat fenomenal dan dikenang sebagai<br />

salah satu rangkaian proses perjalanan<br />

bangsa.<br />

Meski peristiwa itu sudah puluhan tahun<br />

berlalu, namun semangat dari para<br />

aktivisnya sampai saat ini masih tetap<br />

bergelora. Untuk terus memperjuangkan<br />

cita-citanya, Angkatan 66 selanjutnya<br />

membentuk sebuah organisasi yang<br />

dinamakan Komunitas Keluarga Besar<br />

Angkatan 1966 yang disingkat KKB 66.<br />

Organisasi yang ketua dewan pembinanya<br />

Akbar Tanjung dan ketua dewan<br />

penasihatnya Cosmas Batubara itu tetap<br />

mempunyai semangat untuk menjadikan Indonesia<br />

yang lebih baik.<br />

Untuk meneruskan estafet perjuangan,<br />

pada 18 Januari 201, Pengurus Pusat KKB<br />

66 mengadakan kunjungan kepada pimpinan<br />

<strong>MPR</strong>. Delegasi yang dipimpin oleh Ketua<br />

Umum Pengurus Pusat KKB 66, Bangun<br />

Usman Harahap, itu diterima oleh Wakil Ketua<br />

<strong>MPR</strong> Ahmad Farhan Hamid dan Melani<br />

Leimena Suharli di Ruang Rapat Pimpinan,<br />

Lt.9, Gedung Nusantara III, Komplek Gedung<br />

<strong>MPR</strong>/DPR/DPD, Jakarta.<br />

Dalam kunjungan itu, Pengurus Pusat KKB<br />

66 menyampaikan keinginannya untuk bisa<br />

bekerja sama dengan <strong>MPR</strong> melaksanakan<br />

sosialisasi 4 Pilar, yakni Pancasila, UUD N<strong>RI</strong><br />

Tahun 1945, NK<strong>RI</strong>, dan Bhinneka Tunggal<br />

Ika. Rangkaian kegiatan sosialisasi yang<br />

hendak dilakukan oleh Pengurus Pusat KKB<br />

66 yakni dalam rangka memperingati Hari<br />

Kebangkitan Nasional 20 Mei, Pidato Bung<br />

Karno 1 Juni, dan ziarah kubur ke makam<br />

Bung Karno dan Pak Harto. “Kami ingin diberi<br />

ruang untuk bisa berpartisipasi untuk<br />

mensosialisasikan 4 Pilar,” ujar Bangun<br />

Usman.<br />

Lebih lanjut disebut oleh Bangun Usman,<br />

<strong>MPR</strong> saat ini sebagai benteng Pancasila.<br />

Pengurus Pusat KKB 66 sudah lama<br />

mendengar sosialisasi 4 Pilar yang dilakukan<br />

oleh <strong>MPR</strong>. Sosialisasi dianggap sebagai hal<br />

yang penting karena dirasa Pancasila pudar<br />

di tengah masyarakat. “Sehingga perlu<br />

disosialisasikan, dan yang paling penting<br />

adalah implementasinya,” ujar Bangun<br />

Usman. Organisasi yang dipimpinnya itu,<br />

menurut Bangun Usman, tersebar di seluruh<br />

Indonesia dan siap melaksanakan sosialisasi<br />

di manapun.<br />

Mendengar pemaparan yang demikian,<br />

baik Ahmad Farhan Hamid dan Melani<br />

Leimena Suharli merasa senang. Farhan<br />

Hamid mengatakan bahwa sosialisasi<br />

merupakan amanat dari UU. No. 27 Tahun<br />

2009 Tentang <strong>MPR</strong>, DPR, DPD, dan DPRD,<br />

sehingga wajib untuk dilaksanakan.<br />

Dijelaskan oleh pria asal Aceh itu ada<br />

beberapa aspek yang tidak bisa ditawartawar<br />

dalam masalah kebangsaan dan<br />

kenegaraan, yakni masalah wilayah dan<br />

FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

ideologi. “Kita tidak boleh bermain-main dalam<br />

masalah ideologi negara,” ujarnya. Untuk itu<br />

<strong>MPR</strong> mendorong keterlibatan masyarakat<br />

dalam melakukan sosialisasi 4 Pilar dengan<br />

berbagai macam metode.<br />

Keinginan Pungurus Pusat KKB 66 untuk<br />

ikut mensosialisasikan 4 Pilar diakui oleh<br />

Ahmad Farhan Hamid sebagai bentuk<br />

partisipasi masyarakat. “Kerja <strong>MPR</strong> terbantu<br />

dengan adanya partisipasi masyarakat<br />

melaksanakan sosialisasi,” paparnya.<br />

Sehingga keinginan Pengurus Pusat KKB 66<br />

untuk ikut melakukan sosialisasi diterima dan<br />

siap difasilitasi.<br />

Perasaan gembira juga diungkapkan oleh<br />

Melani Leimena Suharli. “Saya senang<br />

Pengurus Pusat KKB 66 ikut<br />

mensosialisasikan 4 Pilar,” ungkapnya. Putri<br />

Pahlawan Nasional J. Leimena itu<br />

mengatakan bahwa sosialisasi 4 Pilar telah<br />

dilakukan dengan berbagai macam cara,<br />

seperti ToT, FGD, lewat jalur seni dan<br />

budaya, LCC, lewat media massa, sosialisasi<br />

kabupaten dan kota, dialog televisi, serta<br />

bentuk-bentuk lainnya.<br />

“Berbagai bentuk sosialisasi itu direspon<br />

sangat positif oleh masyarakat dan<br />

pemerintah. “Buktinya Menteri Pendidikan<br />

Nasional dan Kebudayaan pada tahun 2012<br />

ini akan memasukan kembali ke Pancasila ke<br />

dalam kurikulum pendidikan,” paparnya. ❏<br />

AW<br />

40 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


DPN Generasi Muda Masjid Indonesia<br />

Generasi Muda Sasaran<br />

Paham Terorisme<br />

Untuk menyusupkan paham terorisme, para pelaku biasanya<br />

menjadikan kalangan generasi muda sebagai sasaran. Karena<br />

itu diperlukan upaya untuk meng-counter paham terorisme di<br />

kalangan anak muda.<br />

DEWAN Pengurus Nasional Generasi<br />

Muda Masjid Indonesia menyatakan<br />

keprihatinan terhadap menyebarnya<br />

paham terorisme di kalangan generasi<br />

muda. Sebab, untuk menyusupkan paham<br />

terorisme biasanya pelaku menargetkan<br />

anak-anak muda. Untuk itu organisasi ini<br />

melakukan upaya untuk meng-counter<br />

paham terorisme itu.<br />

Upaya meng-counter paham terorisme itu<br />

dijelaskan Delegasi Dewan Pengurus<br />

Nasional Generasi Muda Masjid Indonesia<br />

dalam pertemuan dengan Wakil Ketua <strong>MPR</strong><br />

Ahmad Farhan Hamid di ruang kerjanya,<br />

Lantai 9 Gedung Nusantara III, Kompleks<br />

<strong>MPR</strong>/DPR/DPD, Jakarta, Kamis, 22 Desember<br />

2011. Delegasi Dewan Pengurus Nasional<br />

Generasi Muda Masjid Indonesia<br />

beranggotakan enam orang itu dipimpin<br />

Helmy G.S.<br />

Dalam pertemuan yang berlangsung<br />

sekitar setengah jam, Helmy menyampaikan<br />

mengenai gerakan nasional yang dilakukan<br />

Dewan Pengurus Nasional Generasi Muda<br />

Masjid Indonesia. “Kita ingin meng-counter<br />

isu-isu terorisme. Kita ingin meng-counter<br />

pemahaman tentang terorisme,” katanya.<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Singkatnya, gerakan yang berada di bawah<br />

Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini akan<br />

memerangi paham terorisme, khususnya di<br />

kalangan generasi muda.<br />

Langkah yang dilakukan di antaranya<br />

melalui seminar-seminar. Dalam waktu dekat<br />

Dewan Pengurus Nasional Generasi Muda<br />

Masjid Indonesia akan menyelenggarakan<br />

seminar di Cirebon, Jawa Barat. Dalam<br />

kesempatan itu, delegasi mengundang Ketua<br />

<strong>MPR</strong> Taufiq Kiemas untuk hadir dalam seminar<br />

itu. Waktu penyelenggaraan seminar<br />

menunggu kepastian kehadiran Ketua <strong>MPR</strong><br />

Taufiq Kiemas.<br />

Anggota delegasi Deding menambahkan,<br />

selain menyelenggarakan seminar, juga<br />

dilakukan sosialisasi memerangi terorisme<br />

ke universitas-universitas dan pesantrenpesantren.<br />

“Kita akan membuat billboard di<br />

masjid-masjid,” katanya. Selain itu, menurut<br />

Deding, pihaknya langsung turun ke bawah,<br />

ke generasi muda. “Karena paham terorisme<br />

ini tumbuh subur di kalangan generasi muda<br />

di lapisan bawah,” tambahnya.<br />

Program lainnya adalah pembekalan<br />

kepada ustadz-ustadz. Dewan Pengurus<br />

Nasional Generasi Muda Masjid Indonesia<br />

mengumpulkan para ustad dari berbagai<br />

daerah di Indonesia. “Kita kumpulkan 250<br />

ustad untuk masuk ke masjid-masjid guna<br />

meng-counter pemahaman tentang<br />

terorisme,” katanya.<br />

Selain program itu, Dewan Pengurus<br />

Nasional Generasi Muda Masjid Indonesia<br />

juga memiliki program jangka panjang, yaitu<br />

pemberdayaan ekonomi umat. Misalnya,<br />

pemberdayaan ekonomi di lingkungan<br />

masjid. Pemberdayaan dilakukan melalui<br />

kerjasama dengan mini market waralaba,<br />

sehingga marbot-marbot bisa diberdayakan.<br />

“Kalau mereka sudah diberdayakan tidak ada<br />

lagi keinginan untuk melakukan demo atau<br />

terlibat dalam aksi terorisme,” katanya.<br />

Wakil Ketua <strong>MPR</strong> Ahmad Farhan Hamid<br />

mengatakan, persoalan terorisme di Indonesia<br />

muncul karena masalah interpretasi.<br />

Di Indonesia, ada paham nasionalisme yang<br />

mengesampingkan soal agama, sebaliknya<br />

di sisi lain ada pemahaman yang<br />

menonjolkan kepercayaan mayoritas di<br />

samping nasionalisme. “Semua ini<br />

sebenarnya sudah selesai dengan<br />

Pancasila,” kata Ahmad Farhan Hamid.<br />

Karena itu, Ahmad Farhan Hamid<br />

menegaskan tidak ada kaitan antara<br />

terorisme dengan Islam. Kalau pun ada yang<br />

terlibat, hanya individu-individu. “Ini<br />

menyangkut masalah interpretasi,” katanya.<br />

Lebih lanjut Ahmad Farhan Hamid<br />

menyebutkan, persoalan terorisme di Indonesia<br />

lebih disebabkan pada dua hal, yaitu<br />

ketidakmampuan secara ekonomi dan tidak<br />

adanya akses kepada kekuasaan.<br />

Ahmad Farhan Hamid menambahkan,<br />

kondisi seperti itu makin diperparah dengan<br />

masih adanya ekslusifisme. “Untuk melihat<br />

apakah ada terorisme atau tidak bisa<br />

diketahui apakah ada kelompok<br />

eksklusifisme yang mengajarkan agama.<br />

Yang penting adalah agar kelompok yang<br />

eksklusif itu tidak menyebar,” katanya<br />

seraya mengakui terorisme tidak bisa<br />

dibasmi sampai tuntas. ❏<br />

BS<br />

41


NASIONAL<br />

Mengenang Soeharto<br />

Mengenang Trilogi Pembangunan<br />

Di samping kekurangannya, Soeharto telah berjasa dalam pembangunan Indonesia. Namun,<br />

menginginkan kembalinya “Soehartoisme” pada saat seperi sekarang, sepertinya hanya akan<br />

jadi impian semata.<br />

EMPAT tahun yang lalu, tepatnya 27<br />

Januari 2008, Presiden Kedua Republik<br />

Indonesia, H. Muhammad Soeharto,<br />

wafat. Pemimpin Orde Baru itu meninggal<br />

pada usia 86 tahun. Ia tutup usia sekitar<br />

sepuluh tahun setelah lengser dari kursi<br />

kepresidenan pada 21 Mei 1998.<br />

Soeharto dimakamkan di sisi pusara istri<br />

tercinta Hj. Siti Hartinah Soeharto. Di<br />

pemakaman yang jauh dari kebisingan,<br />

Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa<br />

Tengah. Prosesi pemakaman Soeharto yang<br />

dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang<br />

Yudhoyono mendapat penghormatan dari<br />

seluruh rakyat Indonesia dan pemimpin dunia<br />

lainnya. Sebuah acara pemakaman terbesar<br />

pada 2008 lalu.<br />

Sepanjang menjalankan kekuasaan<br />

selama 31 tahun, Soeharto telah berbuat<br />

banyak untuk negeri ini. Harus diakui, selama<br />

Soeharto berkuasa, kondisi Indonesia jauh<br />

dari “kegaduhan” politik. Ia sanggup<br />

menenangkan rakyatnya. Selama menjadi<br />

presiden, Soeharto bisa mengatur harga<br />

pangan agar terjangkau oleh seluruh rakyat.<br />

Malah, di bawah kepemimpinannya, dia<br />

bisa membalikkan status Indonesia dari<br />

negeri importir beras menjadi negara<br />

swasembada beras sebagai makanan pokok<br />

Sidang <strong>MPR</strong>S tahun 1967<br />

H. Muhammad Soeharto<br />

sehari-hari itu. Bahkan, Indonesia sempat<br />

menjadi pengekspor pangan melalui program<br />

pembangunan sektor pertaninan. Soeharto<br />

memfokuskan pembangunan pertanian<br />

melalui perbaikan infrastruktur irigasi dan<br />

jalan desa. Soeharto mencanangkan<br />

Revolusi Hijau untuk menggenjot beras<br />

petani.<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />

Peran yang dimainkan Soeharto selaku<br />

nahkoda Negara Kesatuan Republik Indonesia<br />

dimulai sejak 11 Maret 1966. Pada<br />

saat itulah dia menerima mandat dari<br />

Presiden Soekarno untuk mengambil<br />

tindakan yang dibutuhkan guna mengatasi<br />

situasi kemanan saat itu. Dengan surat itu—<br />

yang dikenal dengan Surat Perintah Sebelas<br />

Maret atau Supersemar—Soeharto<br />

membubarkan Partai Komunis Indonesia<br />

(PKI) yang dituduh terlibat dalam peristiwa<br />

30 September 1965.<br />

Trilogi Pembangunan<br />

Sidang istimewa <strong>MPR</strong>S yang dipimpin<br />

Jenderal A. H. Nasution pada tahun 1967<br />

akhirnya memilih dan menetapkan Soeharto<br />

menjadi Presiden kedua <strong>RI</strong>. Awal memegang<br />

tampuk kepemimpinan, kondisi ekonomi Indonesia<br />

sangat terpuruk. Pada waktu itu<br />

utang luar negeri Indonesia mencapai<br />

US$2,5 miliar, disertai inflasi sebesar 650%.<br />

Dan lebih dari 70 juta penduduk Indonesia<br />

hidup di bawah garis kemiskinan.<br />

Dengan kerja keras dan kegigihannya,<br />

dalam dua tahun, Soeharto membalikkan<br />

keadaan. Inflasi sebesar 650% itu berhasil<br />

diturunkan menjadi hanya 15% saja. Dan,<br />

melalui tahapan pembangunan yang terencana,<br />

terarah serta berkesinambungan,<br />

dalam jangka kurang dari empat Pelita,<br />

tepatnya pada 1984, Indonesia berhasil<br />

menjadi negara yang berswasembada<br />

pangan. Padahal di awal kepemimpinannya,<br />

Indonesia dikenal sebagai negara pengimpor<br />

beras terbesar di dunia. Prestasi itu diakui<br />

masyarakat internasional. Soeharto sendiri<br />

kemudian ditetapkan sebagai Bapak<br />

Pembangunan Indonesia.<br />

Selama kepemimpinannya, Soeharto<br />

memperioritaskan pembangunan pada<br />

sektor pertanian. Ia membangun banyak<br />

jembatan dan waduk. Seperti Jatiluhur,<br />

Saguling, Karangkates hingga<br />

Gajahmungkur. Soeharto juga membangun<br />

pabrik pupuk, seperti Pabrik Pupuk Sriwijaya,<br />

Pupuk Kaltim, Pusri, Petrokimia dan Kujang.<br />

42 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, 21 Mei 1998<br />

Ia juga mengembangkan teknologi pertanian<br />

dan peningkatan produksi padi, antara lain<br />

melalui pengembangan benih unggul dengan<br />

mendirikan Sang Hyang Sri, perusahaan plat<br />

merah yang bertugas mengurusi benih. Dan<br />

untuk meningkatkan pengetahuan petani,<br />

Soeharto tak segan-segan membentuk<br />

petugas penyuluh lapangan.<br />

Selama 31 tahun berkuasa, Soeharto<br />

memegang teguh prinsip Trilogi<br />

Pembangunan seperti yang banyak<br />

dipraktikkan di negara-negara lain saat itu.<br />

Yaitu stabilitas politik dan keamanan,<br />

pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan.<br />

Menyangkut prinsip Trilogi Pembangunan ini,<br />

Bung Hatta Wakil Presiden pertama, pernah<br />

memberi saran agar Soeharto melakukan<br />

pembangunan dahulu baru kemudian<br />

melaksanakan pemerataan.<br />

Dalam perjalanannya prinsip Trilogi<br />

Pembangunan itu mendapat sorotan tajam.<br />

Apalagi dalam menciptakan stabilitas politik<br />

dan keamanan, Soeharto didukung penuh<br />

oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia<br />

(AB<strong>RI</strong>). Seolah-olah apapun bisa<br />

dilakukan untuk mencapai stabilitas politik<br />

dan keamanan, termasuk dengan<br />

mengekang pers, melakukan kekerasan,<br />

atau memberangus demokrasi. Padahal<br />

tindakan represif itu tujuannya untuk<br />

menciptakan situasi kondusif dalam<br />

melaksanakan pembangunan nasional.<br />

Nyatanya, memang, saat itu Indonesia<br />

mengalami kemajuan pesat. Pertumbuhan<br />

ekonomi Indonesia mencapai 7% — sebuah<br />

angka pertumbuhan yang pernah tak lagi<br />

dicapai di era reformasi ini. Lalu, produksi<br />

beras yang hanya 12,2 juta ton pada 1969,<br />

meningkat menjadi 25,8 juta ton pada 1984.<br />

Bahkan dunia luar juga mengakui<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

keberhasilan Soeharto dalam pengentasan<br />

kemiskinan.<br />

Romantisme Semata<br />

Ibarat ikan mati yang dikerubuti lalat,<br />

menurut Anang Prihantoro, Anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

dari kelompok DPD, semasa memerintah<br />

Soeharto pun tak luput dari berbagai<br />

kesalahan. Korupsi, pengekangan terhadap<br />

kebebasan pers, pelanggaran Hak Azazi<br />

Manusia (HAM), termasuk dosa berat yang<br />

menempel selama berkuasanya Orde Baru.<br />

Selain itu, ada juga kebijakan di era Soeharto<br />

yang saat ini meninggalkan masalah serius,<br />

yaitu dampak dari revolusi hijau dan<br />

penyeragaman bahan pangan dengan beras.<br />

Revolusi hijau yang ditandai dengan masuknya<br />

pupuk dan obat-obatan kimia, ternyata saat ini<br />

menyebabkan ketergantungan petani pada<br />

produk-produk kimia yang sebagian besar di<br />

impor dari beberapa negara luar. Hal ini menjadi<br />

Hajrianto Y. Thohari<br />

pintu masuk penjajahan ekonomi. sekarang<br />

bukan saja bahan baku pupuk dan obat-obatan<br />

yang di impor, tetapi juga produk-produk<br />

pertanian seperti gandum, kedelai, susu,<br />

kentang, ikan laut, beras bahkan gaplek.<br />

Sungguh menyedihkan kita tidak lagi berdaulat<br />

atas pangan, padahal kita masih dengan<br />

bangga menyebut diri negara agraris. Bahkan<br />

penyeragaman beras sebagai bahan makanan<br />

pokok yang menghapus keanekaragaman<br />

pangan yang sebelumnya hidup di<br />

masyarakat, ini merupakan pengingkaran pada<br />

Kebhinneka Tunggal Ikaan atas pangan.<br />

Karena itu, Anang menganggap<br />

munculnya keinginan membangkitkan<br />

kembali rezim Soeharto merupakan<br />

pekerjaan sia-sia. Apalagi, zaman sekarang<br />

sudah tidak sama dengan era Soeharto.<br />

Orde Baru sudah menjadi bagian dari sejarah<br />

yang hanya berguna untuk dipelajari dan<br />

dikenang, serta diambil khikmahnya. Bukan<br />

diimpikan untuk bangkit kembali.<br />

Pernyataan senada disampaikan Hajrianto<br />

Y. Thohari, Wakil ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>. Menurut<br />

Hajrianto, dalam dunia politik upaya<br />

menghidupkan kembali sebuah rezim bukan<br />

barang baru. Karena itu, wacana kelahiran<br />

Soehartoisme tidak perlu diributkan. Apalagi<br />

peluangnya sangat kecil, lantaran zamannya<br />

sudah berubah.<br />

Istilah Soehartoisme, menurut Hajrianto,<br />

sesungguhnya merujuk pada penamaan<br />

yang sifatnya pejoratif. Artinya, menghina<br />

atau merendahkan sekelompok orang yang<br />

dianggap sebagai anteknya Soeharto.<br />

Selain itu, Soehartoisme tidak mungkin<br />

muncul, tanpa ada Soeharto sendiri. Sama<br />

seperti Soekarnoisme yang tidak bisa<br />

muncul tanpa ada Soekarno.<br />

“Bedanya, Soekarnoisme bisa tetap hidup<br />

dan berkembang karena salah satu anak<br />

Bung Karno merupakan pemimpin partai<br />

politik yang besar, disegani, dan diperhitungkan,”<br />

kata Hajrianto menambahkan.<br />

Munculnya wacana soal Soehartoisme,<br />

menurut Hajrianto, harus diambil pelajaran<br />

bahwa setiap rezim harus berusaha lebih<br />

baik dari sebelumnya. “Karena, yang lebih<br />

baik dari sebelumnya saja, masih dibandingbandingkan<br />

dengan era sebelumnya. Apalagi<br />

kalau masa sekarang, jauh lebih susah,<br />

akan semakin ekstrim saja keburukan<br />

pemimpinnya,” ujarnya. ❏<br />

MBO<br />

43


MATA PENGAMAT<br />

Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D Guru Besar Hukum Internasional UI<br />

Ada Tren Memburu Rente<br />

Hikmahanto Juwana<br />

ADANYA berbagai konflik antara polisi<br />

dengan masyarakat lokal seperti<br />

Kasus Mesuji, Kasus Bima, dan<br />

separatisme Papua, menurut saya bukan<br />

karena investasi asingnya, tetapi lebih<br />

karena ketimpangan keadilan. Masyarakat<br />

merasa dieksploitasi kepemilikan atas<br />

tanahnya dan juga penghidupan tradisional<br />

mereka. Seharusnya pelaku usaha harus<br />

mengedepankan hubungan dengan<br />

masyarakat.<br />

Selama ini investor merasa kalau mereka<br />

sudah berhubungan dengan pemerintah dan<br />

mendapatkan izin yang diperlukan maka<br />

selesailah urusan eksistensi mereka.<br />

Mereka kurang memperhatikan dinamika dan<br />

gejolak yang muncul di masyarakat dengan<br />

kehadiran mereka. Apalagi para investor<br />

berlindung di balik legalitas dan formalitas<br />

hukum serta pemerintah yang telah memberi<br />

izin. Akibatnya pemerintah dan aparat pun<br />

ISTIMEWA<br />

yang harus berhadapan dengan masyarakat<br />

ketika masyarakat dianggap ‘mengganggu’<br />

keberadaan investor.<br />

Ketika ada pertanyaan apakah karena<br />

begitu mudahnya aturan menanamkan<br />

investasi di Indonesia? Menurut saya ada<br />

satu hal yang harus diperhatikan ketika kita<br />

bicara investasi yaitu bentuk investasi.<br />

Bentuk investasi ada yang langsung dan<br />

tidak langsung (melalui bursa/pasar modal).<br />

Yang langsung pun ada yang dibidang<br />

manufaktur dan ada yang dibidang ekstraksi<br />

kekayaan alam.<br />

Nah banyak memang investor yang<br />

menanamkan modalnya untuk ekstraksi<br />

kekayaan alam, ini karena bahan galian,<br />

perkebunan, hutan, dan lain-lain ada di Indonesia<br />

dan belum tentu ada di negara lain. Ini<br />

berbeda dengan investasi dibidang<br />

manufaktur di mana Indonesia harus bersaing<br />

dengan negara-negara ASEAN, China, dan<br />

blok-blok negara lainnya. Oleh karenanya<br />

tidak heran bila investor asing menanamkan<br />

modalnya di sektor ekstraksi kekayaan alam<br />

daripada di bidang manufaktur.<br />

Pemimpin daerah dan pusat lebih suka<br />

mengundang investor asing karena memburu<br />

rente untuk kepentingan pemilu dan pilkada,<br />

kalau dibidang pertambangan dapat<br />

dikatakan ada tren demikian. Ini karena<br />

banyak orang menjadi kaya, bahkan bisa ikut<br />

pilkada karena pertambangan ini. Tambang,<br />

khususnya batubara, telah menjadi<br />

primadona untuk memperkaya orang atau<br />

perusahaan, bahkan mesin uang untuk<br />

partai. Dengan kekayaannya ini mereka bisa<br />

ikut dalam pemilu. Bahkan ada pihak-pihak<br />

tertentu yang mau mensponsori seseorang<br />

menjadi kepala daerah dengan tuntutan agar<br />

ketika orang tersebut terpilih maka sponsor<br />

diberikan izin usaha pertambangan.<br />

Keinginan mengevaluasi terhadap<br />

investasi dari investor asing, menurut saya<br />

rasa perlu tetapi tidak berarti industri<br />

pertambagan harus dihentikan. Evaluasi<br />

dilakukan dalam rangka meminimalkan ekses<br />

negatif dan bagaimana hasil ekstraksi benarbenar<br />

memberi kesejahteraan bagi rakyat<br />

sesuai Pasal 33 UUD.<br />

Bila diberitakan Presiden Venezuela Hugo<br />

Chaves berhasil menasionalisasikan kilang<br />

minyak dari perusahaan Exxon, apakah<br />

pemimpin kita perlu melakukan hal yang<br />

serupa, bagi saya tidak tidak demikian karena<br />

Indonesia berbeda dengan Venezuela.<br />

Banyak yang dipertaruhkan apabila jalan<br />

yang sama diambil oleh pemerintah.<br />

Para pemimpin tidak mampu<br />

mengimplementasikan amanat UUD N<strong>RI</strong><br />

Tahun 1945 yang mengatakan bumi, air,<br />

dan kekayaan alam lainnya digunakan untuk<br />

kemakmuran rakyat, disebabkan setiap<br />

pemimpin punya interpretasi masing-masing<br />

terhadap Pasal 33 UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945 yang<br />

ujung-ujungnya mensejahterkan dirinya<br />

sendiri atau kelompoknya maka implementasi<br />

tidak akan dapat dilakukan. Kita butuh<br />

pemimpin yang betul-betul ingin<br />

mensejahterakan rakyatnya. ❏<br />

AW<br />

44 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


Hariman Siregar, Tokoh Mahasiswa Tahun 1974 dalam Peristiwa Malari<br />

Investasi Asing Harus Dengan Syarat<br />

Hariman Siregar<br />

PERSOALAN investasi yang telah<br />

mengemuka ketika saya menjadi<br />

mahasiswa sekarang timbul kembali.<br />

Modal asing sering dikemukakan hanya<br />

menguras sumber-sumber alam yang kita<br />

miliki dan produk-produk asing telah<br />

membanjiri Indonesia dengan barang-barang<br />

mewah yang hanya bisa dibeli oleh kelompok<br />

kecil yang berkuasa.<br />

Pada tahun saat menjadi mahasiswa, saya<br />

sudah mempertanyakan, apakah kita perlu<br />

mengimpor tusuk gigi, apakah kita perlu<br />

mengimpor mobil mewah tiap bulan, pakaian<br />

mewah dari Paris? Bukankah lebih baik kita<br />

perlu menggunakan produk sendiri meski kalah<br />

mentereng namun mempunyai kegunaan<br />

yang sama, sehingga kita tidak perlu<br />

membuang miliaran rupiah untuk membeli atau<br />

mengimpor barang-barang tadi.<br />

Pemerintaha Orde Baru telah memulai<br />

arah politik luar negerinya dengan suatu<br />

kebijakan yang menjalin dengan kepentingan<br />

perekonomian negara lain. Hal demikian<br />

tercakup dalam pernyataan pemerintah<br />

tertanggal 4 April 1966. Kondisi perekonomian<br />

pada saat itu yang akhirnya menggariskan<br />

kebijakan untuk mencari sumber-sumber luar<br />

sebagai suatu solusi untuk melakukan<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

ISTIMEWA<br />

pembangunan.<br />

Masalah bantuan luar negeri dan modal<br />

asing merupakan hal yang wajar, suatu gejala<br />

yang menunjukan adanya saling<br />

ketergantungan antarbangsa di dunia.<br />

Ketergantungan antarbangsa dalam era<br />

sekarang susah dihindarkan, bahkan banyak<br />

negara-negara yang membentuk blok<br />

perdagangan, namun ketergantungan ini<br />

harus adanya syaratnya. Syarat utama<br />

adalah seberapa jauh ia mampu membawa<br />

keuntungan bagi kedua negara dan rakyat.<br />

Persoalannya adalah adanya kait mengait<br />

kepentingan elit penguasa dengan<br />

kepentingan ekonomi. Ini menjadi suatu yang<br />

membahayakan bagi kehidupan berbangsa<br />

dan bernegara, apalagi dihubungkan dengan<br />

pernyataan Bung Hatta pada tahun 1970<br />

bahwa korupsi telah membudaya. Jadi ada<br />

kepentingan dari elit penguasa dalam<br />

kompetisi kekuasaan telah berkompetisi pula<br />

untuk memperoleh sumber-sumber<br />

pendanaan politik.<br />

Apabila kita kembalikan kepada sektorsektor<br />

yang menunjang perekonomian<br />

negara, bantuan luar negeri dan modal asing<br />

menjadi faktor pokok, malahan turut<br />

memperkeras kompetisi korupsi dalam<br />

mendapatkan sumber-sumber politik dan<br />

untuk mendapatkan posisi tukar yang lebih<br />

baik dalam porsi kekuasaan.<br />

Masalah bantuan luar negeri dan modal<br />

asing, merupakan sumber yang tidak<br />

menguntungkan rakyat banyak, karena<br />

sumber-sumber tadi tidak sampai kepada<br />

rakyat. Ini bisa terjadi karena penguasa di<br />

Indonesia tidak mau bertanggungjawab<br />

untuk soal ini. Sejarah mencatat akibat<br />

hubungan saling ketergantungan antara<br />

Amerika Serikat dan negara-negara<br />

berkembang terutama Amerika Latin, pada<br />

tahun 1950-an, membuat derasnya modal<br />

dari Amerika Serikat ke negara-negara<br />

Amerika Latin. Sehingga Amerika Serikat<br />

menjual barang-barang industri dan<br />

menanam modalnya di sana, sedang<br />

negara-negara Amerika Latin menjual<br />

sumber-sumber alamnya. Akibatnya,<br />

negara-negara Amerika Latin semakin<br />

tergantung pada Amerika Serikat dalam<br />

teknologi dan industri, menjadi pasar barangbarang<br />

industri Amerika Serikat, dan<br />

sementara sumber-sumber alamnya disedot<br />

dan diolah untuk kepentingan Amerika<br />

Serikat.<br />

Hal di ataslah yang membuat kekhawatiran<br />

saya saat banyak investasi<br />

Jepang menyerbu Indonesia. Apalagi, saat<br />

itu Jepang menunjukan kebuasan dalam cara<br />

mengeruk keuntungan-keuntungan.<br />

Hubungan Jepang-Indonesia bukan saling<br />

ketergantungan, akan tetapi ketergantungan<br />

sepihak, yaitu dari Indonesia kepada Jepang.<br />

Kalau kita belajar kepada sejarah, nasib<br />

bangsa Indonesia akan sama seperti nasib<br />

negara-negara Amerika Latin yang<br />

tergantung kepada Amerika Serikat.<br />

Pada saat ini saya mempertanyakan<br />

kepada pemerintah, apakah pembangunan<br />

ekonomi sudah menyeleweng dari UUD N<strong>RI</strong><br />

Tahun 1945? Kalau memang benar, sudah<br />

menyeleweng, dan kami yakin terjadi<br />

penyelewengan, kami serukan untuk<br />

mengoreksi sistem ekonomi. Kalau tidak,<br />

mari kita bersama-sama mengoreksi<br />

pemerintah. ❏<br />

AW<br />

45


MATA PENGAMAT<br />

Pojok <strong>MPR</strong><br />

Didik Mulyo Edi Sanyoto<br />

Sejak kecil, Didik Mulyo Edi Sanyoto sudah berkeinginan menjadi polisi. Karena itu, setelah<br />

cita-citanya tercapai, ia ingin mendedikasikan dirinya untuk bangsa dan negara, melalui<br />

korp seragam cokelat.<br />

Bangga Menjadi Bagian <strong>MPR</strong><br />

DALAM senyumnya terdapat ketegasan, laiknya anggota<br />

Korp Seragam Cokelat. Gerak tubuhnya biasa saja, tidak<br />

menampakkan tanda-tanda luar biasa. Atau mengesankan<br />

bahwa dirinya telah menjalani bermacam latihan dan tempaan<br />

fisik. Malah lebih terkesan gemulai, meski setiap saat dia bisa<br />

melumpuhkan orang-orang yang membahayakan tugas dan<br />

tanggungjawabnya sebagai bagian<br />

dari anggota Unit III Direktorat<br />

Pengamanan Obyek Vital Polda Metro<br />

Jaya.<br />

Dialah Brigadir Didik Mulyo Edi<br />

Sanyoto (30), bungsu dua<br />

bersaudara pasangan Hadi Sunaryo<br />

dan Taryem. Dan, juga anggota Polda<br />

Metro Jaya yang mendapat tugas<br />

pengamanan di gedung <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>.<br />

Tepatnya Gedung Nusantara III lantai<br />

9, tempat Pimpinan <strong>MPR</strong> sehari-hari<br />

berkantor. Untuk melaksanakan<br />

amanat tersebut, setiap hari pak<br />

Didik, begitu dia biasa di sapa, mesti<br />

berangkat dari rumahnya di kawasan<br />

Tangerang, Banten, ketika matahari<br />

belum muncul di ufuk timur, sekitar<br />

pukul 05.30 WIB. Dan baru bisa<br />

kembali ke rumah, setelah semua<br />

Pimpinan <strong>MPR</strong> meninggalkan ruang<br />

kerjanya masing-masing. Itupun<br />

dengan catatan tidak sedang piket.<br />

Sebagai anggota Polri, lajang<br />

kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 13<br />

Agustus 1981, ini tahu benar tugas<br />

dan tanggung jawab yang<br />

diembannya. Yaitu, menjadi garda<br />

depan penjaga keamanan. Lebih<br />

khusus lagi, bagi keamanan kalangan<br />

Didik Mulyo Edi Sanyoto<br />

Pimpinan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>. Karena itu, kata<br />

Didik: “Kami selalu bekerjasama dan berkordinasi dengan anggota<br />

pengamanan <strong>MPR</strong>. Semata-mata agar tugas dan tanggung jawab<br />

yang kami emban bisa dilaksanakan sebaik mungkin”.<br />

Namun, harapan tersebut tidak selamanya berjalan lancar. Ada<br />

saja pihak-pihak tertentu yang kurang memahami prosedur dan<br />

petunjuk pelaksanaan pengamanan, yang menjadi tugasnya.<br />

Untuk menghadapi hal, menurut Didik, selama masih bisa ditolerir,<br />

seperti lupa atau tidak tahu, biasanya bisa dimaklumi. “Kecuali<br />

kalau menurut kewaspadaan kami, tindakannya bisa berbahaya,<br />

pasti ditindak tegas,” ujar Didik. Seperti anggota masyarakat<br />

yang memaksakan mau mengantar surat tertentu langsung<br />

kepada pimpinan. Atau memaksa bertemu dengan pimpinan <strong>MPR</strong>,<br />

tanpa mekanisme yang seharusnya.<br />

Namun, sejauh ini persoalan seperti itu mampu ditanggulangi<br />

dengan baik. Tanpa menimbulkan<br />

masalah atau gejolak yang tidak perlu.<br />

Rahasianya, menurut Didik, karena<br />

pihaknya tetap menghormati dan<br />

memberi perlakuan dengan baik.<br />

Karena itu, meski diharuskan siap<br />

menjalankan tugas di manapun, Didik<br />

terlanjur menyukai tugas-tugasnya di<br />

<strong>MPR</strong>. Karena dengan bertugas di <strong>MPR</strong>,<br />

Didik merasa bangga, bisa<br />

berkontribusi dalam pengamanan orang-orang<br />

penting. Yaitu pimpinan<br />

<strong>MPR</strong>.<br />

“Tidak semua polisi memperoleh<br />

kesempatan mendapat tugas<br />

melindungi dan mengamankan orangorang<br />

penting, seperti yang saya<br />

lakukan di sini. Itulah yang menjadi<br />

salah satu kebanggan saya bertugas<br />

di <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>”, kata Didik menambahkan.<br />

Menjadi polisi, adalah harapan Didik<br />

semenjak kecil. Keinginan itu muncul,<br />

karena ia merasa kagum terhadap<br />

penampilan anggota Polri. Cita-cita<br />

Didik itu semakin kuat setelah tahu<br />

akan tugas dan tanggung jawab yang<br />

ada di pundak Polisi. Karena itu,<br />

setamat SMT Penerbangan Surakarta,<br />

Didik langsung meneruskan<br />

HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

pendidikannya untuk meraih impian itu.<br />

Berkat doa dan dukungan kedua<br />

orangtuanya, angan-angan menjadi anggota Polri itu berhasil dia<br />

raih.<br />

Demi cintanya pada kesatuan, Didik berharap bisa senantiasa<br />

menjalankan setiap tugas dengan baik. Ia sering merasa khawatir,<br />

bila ada rekan sejawatnya yang tidak menaati peraturan. Apalagi<br />

saat melihat ada kelompok tertentu yang mencoba membenturkan<br />

Polri dengan masyarakat. ❏<br />

46 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

M. Budiono


SOSIALISASI<br />

Sosialisasi 4 Pilar Sudah Menjadi Kebutuhan<br />

Perjuangan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> dalam mengaktualisasikan nilai-nilai 4 Pilar berbangsa ( Pancasila, UUD N<strong>RI</strong><br />

1945, NK<strong>RI</strong>, Bhinneka Tunggal Ika ) berakhir dipenghujung 2011. Namun, perjuangan masih<br />

panjang dan belum selesai. Tahun 2012 adalah masa perjuangan baru dengan semangat baru,<br />

mengaktualisasikan nilai 4 Pilar demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.<br />

Focus Group Discussion (FGD) di UGM<br />

MELAKUKAN tugas sosialisasi 4 pilar berbangsa sesuai yang<br />

diamanahkan UU bukanlah pekerjaan gampang, tak semudah<br />

membalik telapak tangan. <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> melalui pimpinan, anggota<br />

tim sosialisasi dengan dukungan Sekretariat Jenderal <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> berusaha<br />

sekuat tenaga menerjemahkan materi-materi 4 Pilar — yang oleh<br />

sebagian besar dianggap masyarakat sebagai materi yang kaku,<br />

tekstual dan membosankan — dengan berbagai metode, gaya dan<br />

bahasa yang dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia.<br />

Dengan sangat jeli, <strong>MPR</strong> memilah-milah metode yang cocok dan<br />

bisa diterima masyarakat Indonesia yang memang sangat beragam,<br />

baik adat, kebiasaan, agama, bahasa, pendidikan, dan profesi.<br />

Metode sosialisasi Focus Group Discussion ( FGD ) misalnya,<br />

diperuntukkan kalangan akademisi perguruan tinggi di beberapa<br />

wilayah Indonesia.<br />

Metode lainnya, Training of Trainers ( ToT ) dengan target peserta<br />

dari kalangan birokrasi, lembaga-lembaga pemerintah dan swasta,<br />

seperti Kementerian Agama, pondok-pondok pesantren. Lalu, ada<br />

juga menggunakan metode pertunjukan seni wayang kulit. Pagelaran<br />

wayang kulit ternyata mendapat respon masyarakat luas cukup<br />

tinggi. Dalam kesempatan itu sang dalang menyelipkan nilai-nilai 4<br />

Pilar di tengah dialog dalam pertunjukan tersebut.<br />

Ketua Tim Kerja Sosialisasi 4 Pilar Berbangsa <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Agun<br />

Gunanjar Sudarsa berpendapat bahwa secara umum pelaksanaan<br />

sosialisasi di 2011 semakin hari semakin masif, sistemik, dan semakin<br />

luas jangkauannya. Menurut Agun, sekarang ini secara terminologi,<br />

4 Pilar bukan lagi menjadi ajang perdebatan, tapi hampir seluruh<br />

rakyat Indonesia mengenal yang namanya 4 Pilar.<br />

Sosialisasi 4 Pilar ini tampaknya sudah menjadi suatu kebutuhan<br />

publik. Banyak sekali masyarakat yang berminat menjadi peserta<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

Proyeksi Sosialisasi 4 Pilar 2012<br />

Training of Trainers (ToT) di Kupang<br />

sosialisasi di berbagai metode yang digelar. Bahkan banyak<br />

masyarakat mendatangi gedung <strong>MPR</strong> meminta diikutsertakan dalam<br />

sosialisasi. “Sekali lagi, ini menunjukkan sosialisasi sudah menjadi<br />

sebuah kebutuhan,” ujar Ketua Fraksi Partai Golkar <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> ini.<br />

Parameter lain bahwa sosialisasi ini menjadi kebutuhan publik,<br />

menurut Agun, setiap kali melakukan sosialisasi di berbagai tempat<br />

– ini berdasarkan pengalaman anggota tim sosialisasi – selalu muncul<br />

pertanyaan yang sama, yakni: kenapa sosialisasi 4 Pilar baeru<br />

dilaksanakan akhir-akhir ini?<br />

Sinyal dari masyarakat inilah yang ditangkap oleh Agun dan<br />

anggota tim sosialisasi lainnya, dan ini merupakan pertanda baik<br />

bahwa 4 Pilar ini adalah sesuatu yang dinantikan, dan sekali lagi<br />

sebagai sesuatu yang menjadi kebutuhan. Oleh karena itu, menurut<br />

Agun, kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan dalam kurun waktu<br />

2011 harus terus ditindaklanjuti, dan perlu ditingkatkan dengan<br />

jangkauan yang lebih luas lagi dengan metode yang terus<br />

dikembangkan.<br />

Perlu reaktualisasi dan revitalisasi 4 pilar<br />

Kegiatan sosialisasi 4 Pilar di berbagai daerah di Indonesia ternyata<br />

bisa menjadi titik simpul dari berbagai gagasan dan pemikiran berbagai<br />

masalah bangsa. Agun mengatakan, setelah merujuk kepada<br />

gagasan dan pemikiran tentang nilai-nilai 4 Pilar maka berbagai<br />

persoalan yang terkait dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,<br />

baik dalam tataran politik, ekonomi, budaya, sosial, pertahanan dan<br />

keamanan, juga kesejahteraan masyarakat, bisa terjawab.<br />

“Kegiatan-kegiatan sosialisasi 4 Pilar mampu membangkitkan<br />

energi baru, membangkitkan semangat baru, dan menghasilkan<br />

sebuah optimisme baru. Sebetulnya kita bisa membangun<br />

47


SOSIALISASI<br />

Agun Gunanjar Sudarsa FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

masyarakat sejahtera, berkeadilan dan<br />

bahkan mampu mengantisipasi berbagai<br />

perubahan global,” urainya.<br />

Hal ini semua, lanjut Agun, bisa terjadi<br />

apabila seluruh elemen bangsa ini<br />

menjadikan nilai-nilai 4 Pilar menjadi satu<br />

keniscayaan dan menggemakan, serta<br />

mengaktualisasi-kannya ke seantero Indonesia.<br />

Begitulah betapa pentingnya 4 Pilar,<br />

untuk menyangga dengan kuat ‘rumah kita’<br />

yang bernama Indonesia.<br />

“Saya memang sering menyebut Indonesia<br />

dengan ‘rumah kita.’ Satu rumah besar<br />

yang berisi berbagai elemen bangsa yang<br />

sangat beragam. Pada prinsipnya, tidak ada<br />

perubahan secara mendasar dan fundamental<br />

pada nilai-nilai 4 Pilar yang begitu kuatnya<br />

menyangga rumah kita,” ungkap Agun.<br />

Hal yang perlu diperhatikan, menurut<br />

Agun, adalah dalam tataran aplikasi dan<br />

tataran implementasi, serta perlu adanya<br />

reaktualisasi dan revitalisasi. “Intinya<br />

bagaimana kita mengaktualisasikan seluruh<br />

nilai-nilai 4 Pilar untuk sebesar-besarnya<br />

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,”<br />

paparnya.<br />

Rumah kita, Indonesia, hari ini sudah<br />

jauh berbeda ketika awal pertama rumah<br />

ini didirikan atau diproklamasikan. Rumah<br />

Kita juga telah berubah, tidak lagi seperti<br />

zaman Orde Lama dan Ode Bru. “Saat ini<br />

Rumah Kita sudah penuh dengan<br />

kehidupan yang sangat demokratis,<br />

rumah yang sangat memberikan<br />

perlindungan HAM terhadap penghuninya,<br />

dan rumah yang sangat menjunjung tinggi<br />

supremasi hukum,” tutur Agun.<br />

Ke depan sosialisasi 4 Pilar penyangga<br />

Rumah Kita ini, jelas Agun, harus ada<br />

formulasi, inovasi metode, dan substansi,<br />

serta kreatifitas baru, sehingga bisa<br />

membangun optimisme dan harapan baru<br />

untuk menuju Indonesia yang lebih bermartabat<br />

dan berkeadilan.<br />

Kreatifitas adalah yang paling ditekankan<br />

oleh Agun. Contohnya, pada momentum Hari<br />

Anak Nasional diadakan lomba mewarnai<br />

rumah-rumah ibadah yang ada di Indonesia<br />

Lukman Hakim Saifuddin<br />

dengan peserta anak-anak dari Sabang<br />

sampai Merauke. Hasil lomba ini diharapkan<br />

akan tertanam nilai-nilai ke-bhinneka-an. Bisa<br />

juga lomba memberikan nama pulau-pulau di<br />

Indonesia, yang diharapkan akan terbentuk<br />

cinta tanah air.<br />

Untuk mahasiswa, tambah Agun, kita buat<br />

lomba karya ilmiah, dan untuk kalangan<br />

pelajarnya, saya kira, lomba cerdas cermat<br />

sudah bagus. Untuk memperkaya diadakan<br />

kreatifitas baru, misalnya pertandingan<br />

sepakbola bekerjasama dengan PSSI.<br />

Pertandingan itu ada kandungan 4 Pilarnya.<br />

Atau bisa juga dengan pementasan seni,<br />

seperti ajang pentas artis-artis popular<br />

dengan menyanyikan lagu-lagu tematik<br />

kebangsaan. Contoh lainnya, lomba<br />

membuat lagu dan membuat film dengan<br />

muatan kebangsaan. “Mudah-mudahan<br />

sosialisasi 4 Pilar ke depan lebih<br />

menyempurnakan yang telah diraih di tahun<br />

lalu,” harap Agun.<br />

Perlu handout<br />

Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Lukman Hakim<br />

Saifuddin mengatakan bahwa sebenarnya<br />

evaluasi secara keseluruhan penyelenggaraan<br />

sosialisasi 4 Pilar berbangsa<br />

sepanjang 2011 baru akan dilaksanakan<br />

pada akhir Januari 2012. Namun, secara<br />

pribadi, Lukman menyampaikan bahwa<br />

secara keseluruhan kegiatan sosialisasi 4<br />

Pilar berbangsa yang dilakukan Tim Kerja<br />

Sosialisasi 4 Pilar <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> sepanjang 2011<br />

berjalan lancar.<br />

Namun, lanjut Lukman, ada beberapa<br />

kendala yang terjadi di lapangan yang sedikit<br />

banyak mengganggu berjalannya kegiatan<br />

sosialisasi. “Kami para pimpinan <strong>MPR</strong><br />

menemui dan mendengar banyak sekali<br />

keluhan dari para pemberi materi bahwa<br />

mereka sangat memerlukan handout,<br />

semacam buku rujukan yang mereka bisa<br />

jadikan referensi, yang bisa membantu<br />

48 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


dalam melakukan kegiatan sosialisasi.<br />

Karena itulah, saat ini <strong>MPR</strong> sedang<br />

mempersiapkan itu semua, yakni buku<br />

panduan atau referensi atau rujukan<br />

tersebut,” ujar Lukman.<br />

Selain itu, lanjut Lukman, sebenarnya<br />

sasaran untuk memahami 4 Pilar berbangsa<br />

ini seharusnya lebih dititik beratkan kepada<br />

para pengambil kebijakan atau para<br />

penyelenggara negara, baik di pusat<br />

maupun di daerah-daerah, terutama yang<br />

duduk di eksekutif, legislatif, yudikatif dan<br />

Anggota pun Banyak yang Nombok<br />

PADA November 2011, Don Gusti Rao, mahasiswa Fisip,<br />

Universitas Nasional, Jakarta, nampak sibuk menghubungi<br />

teman-temannya yang berasal dari berbagai perguruan<br />

tinggi di wilayah Jakarta Selatan. Para mahasiswa yang dihubungi<br />

oleh laki-laki kelahiran 14 Agustus 1989 disebut bagian dari<br />

jaringan mahasiswanya diajak untuk ikut sosialisasi 4 Pilar, yakni<br />

Pancasila, UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945, NK<strong>RI</strong>, dan Bhinneka Tunggal<br />

Ika, yang hendak dilaksanakan oleh Fraksi PDIP di <strong>MPR</strong>.<br />

Setelah kontak sana-sini, akhirnya terkumpulah 40 mahasiswa<br />

yang berasal dari Universitas PG<strong>RI</strong> Indraprastha, Universitas<br />

Atthahiriyah, Unkrida, Universitas Nasional, serta beberapa<br />

perguruan tinggi lainnya. Pada bulan itu pula, di Ruang Seminar<br />

Universitas Nasional diadakan acara sosialisasi dengan<br />

pembicara Anggota Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari dan Dosen<br />

Filsafat Politik Universitas Nasional Firdaus Syam, dengan moderator<br />

tenaga ahli Fraksi PDIP di <strong>MPR</strong>, Indah Nataprawira. “Dari<br />

jumlah teman yang saya hubungi sebanyak 40 orang, pada saat<br />

pelaksanaan yang datang mencapai 100 orang,” ujarnya.<br />

Membengkaknya jumlah peserta itu sosialisasi di perguruan<br />

tinggi yang berada di Pasar Minggu, Jakarta itu, juga sering terjadi<br />

di berbagai kegiatan sosialisasi yang telah dilakukan. Hal demikian,<br />

di satu sisi dikeluhkan oleh anggota <strong>MPR</strong>, namun di sisi lain sangat<br />

menggembirakan karena masyarakat antusias mengikuti<br />

sosialisasi 4 Pilar. “Banyak anggota <strong>MPR</strong> yang nombok saat<br />

melakukan sosialisasi di dapil masing-masing karena jumlah<br />

peserta melebihi kapasitas undangan,” ujar Wakil Ketua Tim<br />

Anggaran <strong>MPR</strong>, Muh. Asri Anas.<br />

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Tim Anggaran <strong>MPR</strong>,<br />

Agus Bastian. Diceritakan sosialisasi 4 Pilar yang pernah dilakukan<br />

oleh anggota <strong>MPR</strong>, undangan yang disebar 100 orang namun<br />

yang datang bisa mencapai 150 orang. Bagi Agus Bastian,<br />

membludaknya peserta tidak bisa ditolak, semua harus tetap<br />

diterima, meski harus menambah biaya sendiri dari kegiatan itu.<br />

Diakui oleh Asri Anas memang anggaran sosialisasi 4 Pilar<br />

masih kurang dengan alasan karena <strong>MPR</strong> sebagai satu-satunya<br />

lembaga yang melakukan sosialisasi. Anggaran itu digunakan<br />

untuk sosialisasi dengan berbagai metode, seperti FGD, TOT,<br />

sosialisasi kabupaten dann kota, lewat jalur budaya dan media<br />

massa, LCC, dialog TV<strong>RI</strong>, dan metdoe-metode lainnya.<br />

Diungkapkan setelah Tim Anggara <strong>MPR</strong> mengadakan beberapa<br />

kali pertemuan dengan Badan Anggaran DPR, pada tahun 2011<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

lembaga-lembaga di luar ketiga kekuasaan<br />

itu. Sebab, mereka memiliki kewenangan<br />

untuk mengambil kebijakan.<br />

“Sayangnya, ketika kita melakukan<br />

sosialisasi, terutama di daerah-daerah,<br />

justru merekalah yang jarang mengikuti<br />

kegiatan sosialisasi ini. Padahal merekalah<br />

yang harus diprioritaskan,” ujar Lukman.<br />

<strong>MPR</strong>, kata Lukman lebih lanjut, tidak punya<br />

kewenangan untuk memaksa mereka harus<br />

hadir, <strong>MPR</strong> hanya sebatas menghimbau.<br />

“Merekalah seharusnya memiliki kesadaran<br />

yang tinggi untuk mengikuti sosialisasi ini.<br />

Ke depan kita akan memikirkan hal<br />

tersebut,” katanya.<br />

Selanjutnya, untuk proyeksi pelaksanaan<br />

kegiatan sosialisasi 2012, Lukman<br />

menekankan agar metode sosialisasi terus<br />

dikembangkan. Inovasi dan kreatifitas baru<br />

perlu dibangkitkan agar target pemahaman<br />

dan implementasi 4 Pilar berbangsa bisa<br />

semakin efektif ditanamkan kepada seluruh<br />

rakyat Indonesia. ❏<br />

Derry Irawan<br />

anggaran sosialisasi sebesar Rp300 miliar, dan pada tahun 2012<br />

anggaran sosialisasinya mencapai 600 miliar. Membaiknya<br />

anggaran sosialisasi menurut Agus Bastian karena kebutuhan<br />

sosialisasi amat penting. Bahkan anggota <strong>MPR</strong> pun sekarang bisa<br />

melaksanakan sosialisasi di luar masa reses seperti pada hari<br />

Sabtu dan Minggu.<br />

Pada tahun ini, Asri Anas meminta formulasi sosialisasi lebih<br />

massif dengan lebih sering muncul di berbagai media massa seperti<br />

televisi dan radio. “Kami mempunyai impian agar masyarakat<br />

bangun pagi-pagi sudah mendengar siaran konstitusi di radio atau<br />

televisi,” ujarnya. Anggota DPD dari daerah Sulawesi Barat itu<br />

memaparkan pada tahun 2012, sosialisasi 4 Pilar akan diadakan<br />

di desa-desa dan kelurahan-kelurahan. Ini penting sebab<br />

menurutnya desa atau kelurahan merupakan ujung tombak<br />

pemerintahan di masyarakat.<br />

Anggaran sosialisasi itu dianggap oleh salah satu LSM terlalu<br />

besar dan disebut tidak efektif. Menanggapi hal yang demikian, Asri<br />

Anas sesekali ingin mengajak LSM itu untuk ikut sosialisasi dan<br />

mendampingi agar tahu manfaat kegiatan itu bagi masyarakat.<br />

Sedang menurut Agus Bastian di tim sosialisasi pun sudah ada<br />

yang mengevaluasi sejauh mana dampak kegiatan itu di masyarakat.<br />

Meski demikian, baik Asri Anas maupun Agus Bastian mengatakan<br />

cara mengukur hasil sosialisasi dengan membangun sarana fisik<br />

berlainan. “Membangun gedung dengan dana triliunan gampang<br />

diukur, kalau mengukur pemahaman 4 Pilar di masyarakat susah<br />

tolak ukurnya,” kata Asri Anas. Apa yang dikatakan oleh Asri<br />

Anas dikuatkan oleh Agus Bastian. “Sosialisasi 4 Pilar tidak bisa<br />

begitu saja dirasakan. Aspek pemahaman tidak seperti membeli<br />

barang lalu langsung diterima,” ujar pria asal Dapil Jogjakarta itu.<br />

Kedua orang itu pun mengakui bahwa selama ini belum ada<br />

penyelewengan anggaran. Dikatakan oleh Asri Anas dana<br />

sosialisasi yang diambil oleh anggota <strong>MPR</strong> semuanya digunakan<br />

sesuai peruntukan-nya. “Tidak ada yang menggunakan dana itu<br />

untuk kepentingan lain, semua digunakan untuk sosialisasi,”<br />

paparnya. Bila ada anggota <strong>MPR</strong> tidak menggunakan dana itu<br />

atau untuk kepentingan lainnya, maka dana itu harus dikembalikan.<br />

“Selama ini belum ada penyelewengan dana sosialisasi,” ujar<br />

Agus Bastian. Pada tahun ini, disebut oleh Agus Bastian bahwa<br />

tim sosialisasi terus mencari program-program untuk<br />

memperlancar sosialisasi. ❏<br />

AW<br />

49


SOSIALISASI<br />

IWAPI<br />

Perempuan Juga Sadar Akan 4 Pilar<br />

Masuknya pengaruh budaya asing ke dalam negeri tidak perlu ditanggapi dengan kecemasan<br />

berlebihan. Lebih baik melakukan sosialisasi 4 Pilar untuk menjaga dan mempertahan falsafah<br />

dan ideologi bangsa.<br />

PANCASILA, dasar dan ideologi bagi<br />

segenap bangsa Indonesia itu sudah<br />

ada sebelum Negara Indonesia lahir.<br />

Dan ketika kemerdekaan diproklamirkan pada<br />

17 Agustus 1945, Pancasila sudah menjadi<br />

milik bangsa Indonesia. Karena itu, sesudah<br />

Indonesia merdeka, apalagi pada zaman<br />

seperti sekarang, sudah semestinya bila<br />

Pancasila diingatkan kembali sebagai<br />

ideologi dan falsafah bangsa Indonesia.<br />

Sebab, setelah berlangsungnya<br />

reformasi, bangsa Indonesia sempat lupa<br />

atau melupakan Pancasila. Itu ada sebabnya,<br />

karena pada pemerintahan Orde Baru,<br />

Pancasila dijadikan alat untuk melanggengkan<br />

kekuasaan. Pancasila dipolitisasi menjadi<br />

perangkat pemerintah dalam memberangus<br />

lawan-lawan politik, atau menghilangkan<br />

jejak pihak-pihak yang berseberangan<br />

dengan penguasa.<br />

Beruntung kondisi itu tidak berlangsung<br />

terlalu lama. Sebagai dasar dan ideologi<br />

Negara, Pancasila langsung dicari saat<br />

hegemoni reformasi mereda. Apalagi, pada<br />

saat yang sama masyarakat merasakan<br />

adanya gerakan yang masif atas masuknya<br />

budaya asing. Sehingga mau tidak mau,<br />

keberadaan dan kerinduan masyarakat<br />

terhadap Pancasila kembali dengan<br />

sendirinya.<br />

Reformasi bukan hanya mengakibatkan<br />

sesaat orang lupa terhadap Pancasila.<br />

Namun, reformasi juga mengakibatkan<br />

perubahan. Menjadikannya berbeda<br />

dibanding saat merdeka, orde lama maupun<br />

zaman orde baru.<br />

Perubahan yang dialami bangsa Indonesia,<br />

bisa dilihat dari berubahnya UUD N<strong>RI</strong><br />

Tahun 1945. “Kini, setelah perubahan,<br />

konstitusi negara kita lebih demokratis,<br />

mengakomodir penegakan hukum dan HAM,<br />

serta mengakui persamaan gender,” ujar<br />

Agun Gunandjar Sudarsa, anggota <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Fraksi Partai Golkar, dalam ceramahnya<br />

dihadapan pengurus dan anggota Ikatan<br />

Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI).<br />

Pada acara pemasyarakatan 4 Pilar yang<br />

berlangsung di Gedung Nusantara V,<br />

Kompleks <strong>MPR</strong> DPR dan DPD Senayan,<br />

Jakarta, akhir tahun lalu itu, Agun lebih lanjut<br />

menjelaskan, kegiatan sosialisasi 4 Pilar<br />

menjadi keniscayaan, karena perubahan<br />

yang terjadi pada UUD 1945 perlu<br />

disebarluaskan dan diketahui seluruh rakyat<br />

Indonesia. Apalagi pengaruh yang ditimbulkan<br />

atas masuknya budaya asing turut<br />

menggerus pilar-pilar bangsa Indonesia.<br />

Begitu juga Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Hj. Melani<br />

Leimena Suharli, saat membuka acara ini<br />

mengharapkan agar kaum wanita selalu<br />

FOTO-FOTO: HUMAS <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

menumbuhkembangkan kesadaran<br />

berbangsa dan bernegara, dengan cara<br />

meningkatkan pengetahuan berbangsa dan<br />

bernegara. Salah satunya melalui<br />

pemasyarakatan 4 Pilar.<br />

UUD N<strong>RI</strong> Tahun 1945, menurut Melani,<br />

telah mengakomodir kesetaraan gender<br />

antara pria dan wanita, seperti yang<br />

tercantum dalam Pasal 28 UUD N<strong>RI</strong> Tahun<br />

1945. Karena itu, kaum wanita pun perlu<br />

ikut serta dalam upaya-upaya<br />

mensosialisasikan 4 Pilar ini, minimal kepada<br />

anak cucu di rumah.<br />

Ketua Umum IWAPI Ir. Nita Yudi, MBA dalam<br />

kesempatan itu meminta kepada segenap<br />

pengurus dan anggota IWAPI untuk tidak<br />

hanya memikirkan dan tahu soal duit semata.<br />

Tapi, juga harus mengerti soal kondisi negara,<br />

salah satunya melalui sosialisasi 4 Pilar.<br />

Nita Yudi mengaku, selama ini IWAPI<br />

sudah sering menerapkan 4 Pilar. Misalnya,<br />

selalu mengadakan peringatan hari besar<br />

keagamaan. Selain itu, IWAPI juga turut<br />

melakukan bhakti sosial dan membantu<br />

mesyarakat yang kurang mampu, dan juga<br />

masyarakat yang terkena musibah. ❏<br />

MBO<br />

50 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


KARYA TULIS 4 PILAR BERBANGSA<br />

Mulai edisi Januari 2012 redaksi memuat karya tulis dari para pemenang Lomba Karya Tulis 4 Pilar yang diselenggarakan<br />

oleh <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> di tahun 2011. Sebagai salah satu metode sosialisasi pemasyarakatan 4 Pilar.<br />

PENGAWASAN PULAU TERLUAR MELALUI TEKNOLOGI SPASIAL SEBAGAI UPAYA MENJAGA<br />

KEDAULATAN WILAYAH INDONESIA<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Oleh: Florence Elfriede S. Silalahi<br />

Mahasiswa Teknik Geomatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya E-mail : florenceelfriede@ymail.com<br />

(Juara I Kategori Mahasiswa)<br />

Abstrak<br />

Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mencakup 17.508 pulau. Wilayah Indonesia yang terbentang<br />

dari 6°08' LU hingga 11°15' LS, dan dari 94°45' BT hingga 141°05' BT terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi<br />

penghubung dua samudera dan dua benua, Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia.<br />

Luas laut Indonesia meliputi 2/3 dari seluruh luas wilayah negara sehingga Indonesia layak disebut sebagai negara maritim. Laut<br />

luas tersebut terhubung langsung dengan teritorial negara tetangga dan laut internasional dimana banyak negara berkepentingan<br />

disana sehingga dapat menimbulkan kerawanan keamanan. Wilayah perairan yang demikian luas menjadi beban tanggung jawab<br />

yang besar dalam mengelola dan mengamankannya. Penggunaan teknologi spasial pada tata ruang kelautan masih terbilang kurang<br />

optimal sehingga konsep teknologi spasial dengan menggunakan citra satelit merupakan suatu solusi terhadap kurangnya<br />

pengawasan, penjagaan serta pengolahan wilayah kemaritiman khususnya wilayah kemaritiman pulau-pulau terluar yang ada di<br />

Indonesia. Dengan memanfaatkan citra satelit, wilayah perbatasan antar negara pun dapat kembali ditegaskan dan dapat ditetapkan<br />

perencanaan pengembangan pulau terluar selanjutnya sehingga dengan begitu kedaulatan negara Indonesia dapat tetap terjaga dan<br />

pengembangan pembangunan dapat diupayakan melalui perencanaan yang komprehensif.<br />

Kata kunci : spasial, citra satelit, kemaritiman.<br />

1.1 Latar Belakang<br />

Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kepulauan Indonesia mencakup 17.508 pulau (citra satelit terakhir<br />

menunjukkan 18.108 pulau) dan 6.000 diantaranya berpenduduk. Wilayah Indonesia yang terbentang dari 6°08' LU hingga 11°15' LS, dan<br />

dari 94°45' BT hingga 141°05' BT terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi penghubung dua samudera dan dua benua,<br />

Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia Luas total wilayah Indonesia yang 7.9 juta km2 terdiri<br />

dari 1.8 juta km 2 daratan, 3.2 juta km 2 laut teritorial dan 2.9 juta km 2 perairan ZEE. Wilayah perairan 6.1 juta km 2 tersebut adalah 77% dari<br />

seluruh luas Indonesia. Pantai Indonesia yang terentang sepanjang 95.180.8 km adalah terpanjang kelima di dunia (Sumber: UNEP, United<br />

Nations Environment Program, 2003).<br />

Dengan potensi wilayah laut yang sangat luas dan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia yang dimiliki Indonesia, kelautan<br />

sesungguhnya memiliki keunggulan komparatif, Keunggulan kooperatif dan keunggulan kompetitif untuk menjadi sektor unggulan dalam<br />

kiprah pembangunan nasional dimasa depan. Pembangunan kelautan selama tiga dasa warsa terakhir selalu diposisikan sebagai pinggiran<br />

(peryphery) dalam pembangunan ekonomi nasional. Dengan posisi semacam ini sektor kelautan dan perikanan bukan menjadi arus utama<br />

(mainstream) dalam kebijakan pembangunan ekonomi nasional.<br />

Kondisi ini menjadi menjadi ironis mengingat hampir 75% wilayah Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat<br />

besar serta berada pada posisi geo-politis yang penting yakni Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, yang merupakan kawasan paling dinamis<br />

dalam percaturan dunia baik secara ekonomi dan potitik. Sehingga secara ekonomis-politis sangat logis jika kelautan dijadikan tumpuan<br />

dalam perekonomian nasional. Perubahan global pada saat ini adalah munculnya kesadaran akan pentingnya laut untuk meningkatkan<br />

kesejahteraan manusia. Hal ini menjadi daya tarik penduduk dunia untuk berpaling ke laut yang mengakibatkan kerawanan bidang keamanan.<br />

Negara Indonesia dikelilingi oleh laut luas yang terhubung langsung dengan teritorial negara tetangga dan juga terhubung langsung dengan<br />

laut internasional dimana banyak negara berkepentingan disana.<br />

Perlu dibangun sebagai bentuk pengamanan dan pengelolaan pulau-pulau terluar di Indonesia. Konsep Indonesia sebagai negara<br />

kepulauan (Archipelagic State) diakui dunia setelah UNCLOS disahkan 10 Desember 1982, dan Indonesia telah meratifikasinya dengan UU<br />

Nomor 17 Tahun 1985. Wilayah perairan yang demikian luas menjadi tanggung jawab yang besar dalam mengelola dan mengamankannya.<br />

Pengamanan dan pengelolaan wilayah perairan memerlukan batas laut yang pasti dan tegas sebagai batas nusantara Republik Indonesia<br />

dalam rangka melindungi, mengamankan dan menegakkan kedaulatan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yaitu dengan pengamanan<br />

dan pengelolaan pulau-pulau terluar di Indonesia<br />

1.2 Tujuan dan Manfaat<br />

Karya tulis ini bertujuan untuk mengemukakan konsep data spasial dan teknologi pendukung yang dapat diterapkan dalam rangka<br />

mewujudkan pengawasan antar pulau terutama pulau terluar sebagai tujuan dari rencana perlindungan dan pengelolaan wilayah yurisdiksi<br />

laut Indonesia. Manfaat yang dapat diambil dari karya tulis ini adalah mengemukakan model konsep dan sistem pengelolaan data spasial dan<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

51


SOSIALISASI<br />

KARYA TULIS 4 PILAR BERBANGSA<br />

teknologi pendukung pengawasan batas wilayah negara sebagai bentuk solusi masalah kemaritiman, pengawasan serta pengelolaan<br />

pulau-pulau terluar Indonesia.<br />

2. Metodologi<br />

2.1 Analisis Deskriptif Teknologi/ Data Spasial<br />

Teknologi pengawasan terhadap pulau-pulau terluar akan memungkinkan tercapainya suatu keamanan terhadap keutuhan Negara<br />

Indonesia. Indonesia berpotensi sebagai target bagi negara-negara yang memiliki kepentingan untuk mengikis wilayah Indonesia dengan<br />

merampas pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia. Indonesia harus memiliki teknologi yang dapat menyelamatkan keberadaan dari pulaupulau<br />

terluar Indonesia.<br />

Dengan semakin pesatnya kemajuan zaman, pemanfaatan data spasial pun berkembang dengan cepat. Hal ini didukung pula dengan<br />

meluasnya pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan perkembangan teknologi dalam memperoleh, merekam dan mengumpulan<br />

data yang bersifat keruangan (spasial). Dengan Kemampuan penyimpanan yang semakin besar, kapasitas transfer data yang semakin<br />

meningkat, dan kecepatan proses data yang semakin cepat menjadikan data spasial merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari<br />

perkembangan teknologi informasi.<br />

Kebutuhan akan informasi geospasial tidak hanya berupa peta atau bentuk visualisasi lainnya saja melainkan juga dalam bentuk sistem<br />

informasi berbasis geospasial. Bahkan para pengambil keputusan atau penentu kebijakan membutuhkan sistem yang lebih bersifat penentuan<br />

rencana-rencana aksi (action plan) yaitu sistem pendukung keputusan berbasis geospasial (geospatial decision support system). Sistem<br />

ini pada dasarnya memanfaatkan sistem informasi berbasis geospasial dan mengkombinasikannya dengan sistem lainnya yang bertujuan<br />

agar para pengambil keputusan dapat segera menentukan tindakan-tindakan yang perlu diambil dalam memecahkan suatu masalah.<br />

2.2.1 Konsep Teknologi Pencitraan Satelit<br />

Dalam menentukan jumlah pulau untuk melakukan pengawasan dengan citra satelit pada wilayah kemaritiman Indonesia, khususnya<br />

keberadaan pulau terluar sebagai “patokan” dari batas wilayah teritorial, diperlukan pemahaman akan pulau terluar itu sendiri. Definisi<br />

“pulau” sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut International 1982 (UNCLOS ’82), Pasal 121 : Pulau adalah daratan yang dibentuk<br />

secara alami dan dikelilingi oleh air, dan selalu di atas muka air tinggi. Dengan kata lain, pulau tidak boleh tenggelam pada saat pasut tinggi.<br />

Definisi pulau terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau dengan 2000 Km 2 yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang<br />

menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Namun, selain jumlah pulau, maka adanya<br />

nama pada tiap pulau serta lokasi koordinat geografis, lintang dan bujurnya, adalah yang lebih penting. Hal ini sudah menjadi perhatian PBB<br />

sejak tahun 1959 dengan dibentuknya United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN).<br />

Citra satelit yang menjadi rancangan konsep adalah dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), yaitu data Shuttle Radar Topography<br />

Mission (SRTM) yang diusung oleh pesawat ulang alik (space shuttle) Endeavour pada tahun 2000. Citra digital tiga dimensi pulaupulau<br />

Indonesia hasil SRTM wilayah Nusantara mulai dimanfaatkan untuk membuat profil pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terluar Indonesia.<br />

Juga diterapkan citra Satelit SPOT-5 Tiga Dimensi untuk survei toponim dan profil pulau-pulau di Indonesia.<br />

2.2.2 Konsep Pengawasan Keruangan Laut dengan Penginderaan Jauh<br />

Untuk melakukan pengawasan terhadap kelautan Indonesia serta pulau-pulau terluar Indonesia, dapat pula membuat Daftar Koordinat<br />

Geografis Titik-titik Garis Pangkal untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan disertai referensi datum geodetis yang diperlukan. Dalam<br />

mewujudkan ketegasan batas wilayah diperlukan survei pemetaan yang baik dan benar serta memenuhi standar dan aturan kartografis.<br />

Survei pemetaan ini dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran secara langsung ke lapangan ke wilayah melalui survei darat maupun<br />

laut, dengan survei udara, atau secara tidak langsung dengan menggunakan teknologi satelit penginderaan jauh. Indonesia sebagai negara<br />

Kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titik<br />

terluar dari pulau-pulau terluarnya. Penarikan garis tersebut mencakup lebar (batas) Laut teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi<br />

Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen<br />

2.2 Teknik Pemetaan Batas Wilayah<br />

Metode pelaksanaan penentuan atau penetapan batas wilayah didasarkan pada pedoman penetapan dan penegasan batas daerah<br />

yang dikeluarkan oleh Direktorat perbatasan Dirjen Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri tahun 2002 di Jakarta, dengan ketentuan<br />

mengenai batas provinsi menggunakan peta laut dengan skala terbesar dan peta Lingkungan Laut Nasional skala 1 : 1.000.000, dan batas<br />

daerah Kabupaten dan Kota menggunakan peta laut dengan skala terbesar dan peta Lingkungan Pantai Indonesia LPI (1 : 50.000)<br />

Gambar 1. Batas Daerah propinsi (12 mil) dan Kabupaten/ Kota (4 mil) di laut bebas. (GD-ITB & Bakosurtanal. 2001)<br />

1. Titik awal adalah kontur kedalaman nol (garis pantai air rendah terendah), pada kontur kedalaman nol inilah ditentukan titik awal.<br />

2. Dari beberapa titik awal yang diperoleh, ditentukan garis dasar lurus ataupun agris dasar normal yang akan digunakan sebagai awal<br />

52 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


penentuan titik batas dan garis batas.<br />

Daerah dengan pantai yang saling berhadapan yaitu batas daerah di laut antara dua daerah daerah kabupaten atau kota dalam satu<br />

daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 8 mil, diukur berdasarkan prinsip garis tengah (Gambar 2).<br />

Gambar 2. Penarikan garis batas dua daerah berhadapan dengan metoda sama jarak (ekuidistan) (GD-ITB&Bakosurtanal. 2001)<br />

Dalam penetapan batas laut internasional, diperlukan suatu proses perundingan. Dalam melaksanakan perundingan tersebut, posisi<br />

dasar yang diambil Indonesia yakni menolak hasil reklamasi sebagai garis pangkal baru. Selain itu Indonesia juga mengambil posisi untuk<br />

menggunakan referensi pantai asli (original geographic feature) peta 1973 dan UNCLOS 1982. Kesepakatan batas teritorial laut memiliki arti<br />

penting secara geoekonomi, geopolitik, relevansi dan urgensinya terhadap upaya pemeliharaan integritas wilayah. Secara geoekonomi<br />

batas baru tersebut akan menguatkan sejumlah kerja sama ekonomi dan upaya pengembangan kawasan. Secara geopolitik aspek keamanan<br />

menjadi lebih jelas, sehingga kerjasama yang akan dilakukan menjadi lebih baik.<br />

2.3 Penamaan Unsur Geografi Maritim<br />

Selain pemantauan karakteristik dan potensi pulau-pulau dengan citra satelit, penentuan dan penetapan batas wilayah dengan pemetaan,<br />

perlu dilakukan inventarisasi pemeliharaan, dan pengembangan pulau-pulau di Indonesia, maka diperlukan penamaan unsur geografi<br />

maritim. Nama unsur geografi merupakan nama unsur kenampakan atau ciri (features) di bumi. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur alamiah,<br />

berupa daratan (terrestrial toponym), unsur geografi maritim dan perairan (marine atau maritime toponym), dan unsur bawah laut (under<br />

water feature), maupun unsur buatan, berupa unsur pemukiman dan unsur non pemukiman. Toponimi laut atau toponimi maritim membahas<br />

mengenai penarikan batas dan penamaan unsur-unsur geografi maritim yang tidak terlepas dari status yuridiksi nasional terhadap unsurunsur<br />

tersebut. (Djunarsjah, Eka dan rekan. Jurnal Geoid Geomatika ITS: 149)<br />

3. Hasil dan Pembahasan<br />

Pada tahun 1972, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mempublikasikan 6.127 nama pulau. Pada tahun 1987 Pusat Survei dan<br />

Pemetaan AB<strong>RI</strong> (Pussurta AB<strong>RI</strong>) menyatakan, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.508, di mana 5.707 di antaranya telah memiliki nama.<br />

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), pada tahun 1992 menerbitkan Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan<br />

Indonesia, dan mencatat 6.489 pulau bernama, termasuk 374 nama pulau di sungai. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional<br />

(Lapan), pada tahun 2002 berdasarkan hasil kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah 18306 buah.<br />

(www.kompas.com) Namun dari data sebelumnya terlihat bahwa dari sekitar 18.306 pulau menurut kajian citra satelit LAPAN 2002 namun<br />

hanya 6.489 pulau yang bernama dan tercantum dalam Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia yang diterbitkan Bakosurtanal.<br />

Teknologi spasial yang digunakan dalam pengawasan wilayah kemaritiman pulau terluar masih kurang optimal. Pemanfaatan teknologi<br />

spasial sebagai database untuk menginventaris potensi wilayah kelautan khususnya wilayah pulau terluar sangat dibutuhkan. Selama ini<br />

pemanfatan teknologi spasial sering terfokus pada pendataan wilayah daratan. Dalam melakukan pendataan pulau-pulau terluar melalui<br />

konsep teknologi spasial, digunakan pendekatan analisis spasial analisis konflik, analisis arahan pengembangan. Analisis spasial dilakukan<br />

dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) yang substansinya adalah analisis kesesuaian lahan/ wilayah. Sedangkan<br />

analisis konflik dilakukan dengan pendekatan Proses Hierarki Analitik (AHP), akan dapat ditentukan prioritas kegiatan pemanfaatan ruang<br />

yang optimal. Selanjutnya dengan analisis SWOT dan PRA akan dapat dihasilkan rekomendasi arahan pengembangan kawasan pesisir dan<br />

laut sebuah lokasi. (Afrianto. 2008).<br />

Teknologi spasial akan dapat berjalan dengan optimal dan efisien apabila didukung oleh perangkat survei yang dapat digunakan dalam<br />

waktu yang singkat serta memiliki ketepatan yang akurat. Penggunaan citra satelit dapat membantu dalam mendukung tercapainya pendataan<br />

wilayah kemaritiman pulau-pulau terluar yang ada di Indonesia. Contohnya saja penggunaan citra Satelit SPOT-5 Tiga Dimensi untuk survei<br />

toponim dan profil pulau-pulau di Indonesia. Dari ketinggian 826 kilometer, SPOT-5 merekam profil tiga dimensi pulau-pulau Indonesia dengan<br />

resolusi sampai 2.5 meter. Artinya, benda berukuran 2,5 X 2,5 meter di darat dapat dipantau dari satelit SPOT-5.<br />

Keberadaan batas laut sebagai batas maritim yang ada hubungannya dengan yuridiksi suatu negara pantai didasarkan pada UNCLOS<br />

1982, sedangkan penentuan batas laut berdasarkan nama unsur geografi maritim di perairan Indonesia telah ditetapkan oleh IHO dalam<br />

bentuk SP-23 tahun 1953 dan IMO mengeluarkan peta batas-batas laut dalam bentuk Draft 23 pada Mei 2001. Penentuan batas maritim<br />

dalam UNCLOS 1982 pada dasarnya mengacu pada garis-garis pangkal (baseline) yang merupakan garis-garis penghubung titik-titik<br />

pangkal (basepoints). Garis batas maritim diukur pada jarak tertentu dari garis pangkal sesuai dengan zona maritim yang terdapat dalam<br />

UNCLOS 1982, yaitu : laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.<br />

3.1 Perencanaan Tata Ruang<br />

Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat<br />

manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Dalam usaha merubah struktur<br />

ruang untuk meningkatkan kualitas hidup penggunanya, berkembang dua prinsip pendekatan : (1) studi terpadu terhadap satuan lingkungan,<br />

dan (2) analisis lingkungan untuk setiap elemen yang kemudian diintegrasikan informasinya (Golley dan Bellot, 1999). Untuk itu, langkah-<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

53


SOSIALISASI<br />

KARYATULIS 4 PILAR BERBANGSA<br />

langkah kegiatannya meliputi :<br />

3.2 Pendekatan Survei Penatagunaan<br />

Merencanakan suatu tata ruang secara praktis dapat diartikan sebagai suatu upaya merancang penetapan zona pemanfaatan dan/atau<br />

peruntukan suatu kawasan. Sebagai suatu proses penatagunaan ruang, upaya ini diwujudkan dalam serangkaian kegiatan studi untuk<br />

alokasi ruang beserta batas keruangannya yang berpeluang dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan survei. Secara umum, metode<br />

ini bermaksud :<br />

1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan corak penting komponen-komponen abiotik, biotik, dan kultural beserta proses-prosesnya pada<br />

suatu daerah dan/atau kawasan,<br />

2. Menilai kebermaknaan dan keterbatasan sesuai sasaran yang ditetapkan,<br />

3. Memperkaitkan informasi ini dengan aransemen institusional untuk penggunaan berimbang, konservasi dan pengembangan berkelanjutan.<br />

Dari perspektif teknis, pendekatan survei ini mencakup empat tahapan analisis dan pemetaan :<br />

Data komponen abiotik, biotik, dan kultural disajikan masing-masing dalam dua perangkat peta. Perangkat peta yang satu mengilustrasikan<br />

informasi struktural terpilih dominan pada ruang kajian, dan peta lainnya menampilkan informasi fungsional menyangkut di mana prosesproses<br />

berlangsung. Pada sisi kultural, informasi yang dikoleksi dapat difokuskan pada penampilan aktual penggunaan dan/atau pemanfaatan<br />

ruang pesisir dan sumber dayanya. Informasi struktural dipetakan mencakup existing kawasan-kawasan permukiman, wisata, jalur<br />

perhubungan, pelayaran, pelabuhan, penangkapan ikan, budidaya ikan, pertanian/ perkebunan, penempatan limbah, dan proteksi/<br />

perlindungan pesisir.<br />

Sejumlah peta yang dihasilkan pada tahapan kedua, dianalisis dan diinterpretasi dalam tahapan ini untuk kemudian hasilnya disajikan<br />

sebagai ikhtisar kebermaknaan dan keterbatasan tata ruang. Dalam hal ini, peta yang dihasilkan sebagai ikhtisar menyajikan indikasi<br />

mengenai simpul-simpul utama beserta koridor dalam tata ruang. Selain itu, tergantung pada interpretasi pada tahap-tahap sebelumnya,<br />

jumlah peta yang dihasilkan dapat terdiri atas perangkat tunggal (satu ikhtisar kebermaknaan dan satu ikhtisar keterbatasan) atau perangkat<br />

berganda (lebih dari satu ikthisar untuk aspek kebermaknaan dan keterbatasan). Peta ikhtisar menyajikan interrelasi kawasan yang<br />

komponen abiotik, biotik, dan kultural memiliki corak bermakna atau corak terbatas.<br />

Terakhir yaitu deliniasi batas dan identifikasi penatagunaan sesuai tujuan dan sasaran. Pada tahapan ini, peta yang dihasilkan dalam<br />

tahapan ketiga diinterpretasikan untuk memungkinkan penetapan batas dan/ atau peruntukan berbagai kawasan. Berkenaan dengan hal itu,<br />

serangkaian analisis institusional diupayakan dalam menemukan alternatif-alternatif terbaik. Proses penarikan keputusan berkriteria ganda,<br />

dapat diterapkan baik berupa metode pembobotan, maupun metode Electre dan Analytic Hierarchy Process (Glaria dan Cenal, 1999)<br />

Hal lain yang perlu juga diperhatikan dalam menggunakan teknologi satelit penginderaan jauh dalam penentuan batas wilayah laut adalah<br />

karakteristik pasang surut wilayah yang dikaji. Bagaimanapun juga, teknologi satelit penginderaan jauh dapat meminimalkan penggunaan<br />

waktu dan biaya dalam melakukan survei pulau-pulau serta karang terluar Indonesia. Monitoring keberadaan pulau-pulau dan karang<br />

tersebut pun dapat dilakukan dengan teknologi ini yaitu dengan data time series. Dengan adanya sistem inventarisasi pulau-pulau dan<br />

karang terluar Indonesia secara sistematik maka pengelolaannya akan lebih mudah baik yang terkait dengan keutuhan Negara Kesatuan<br />

Republik Indonesia maupun untuk tujuan lainnya seperti pengembangan daerah wisata bahari, program transmigrasi maupun tumbuhnya<br />

pusat-pusat ekonomi baru.<br />

4. Kesimpulan<br />

1. Indonesia sebagai negara maritim, memiliki permasalahan yang kompleks pada bidang kemaritiman. Pulau-pulau terluar yang memiliki<br />

nilai strategis bagi negara Indonesia belum dapat terinventarisasi dan dikembangkan sesuai karakteristiknya dengan baik.<br />

2. Penggunaan teknologi spasial saat ini, umumnya masih digunakan dalam tata ruang daratan. Penggunaan teknologi spasial pada tata<br />

ruang kelautan masih terbilang kurang optimal. Dengan memanfaatkan citra satelit, terintegrasi dengan sistem informasi geografis dan<br />

dikelola dalam jaringan intranet/LAN dapat mengoptimalkan pengelolaan pulau-pulau terluar dengan cara mengkaji keadaan tampakan<br />

alam pulau terluar dari citra satelit yang telah dikoreksi dan diinterpretasi, pengembangan dengan perencanaan tata ruang dan<br />

pendekatan survei penatagunaan, serta kerjasama antar departemen yang berkaitan dengan pengembangan keruangan wilayah<br />

Indonesia.<br />

54 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


3. Saat ini RUU Geospasial telah disetujui oleh DPR <strong>RI</strong> sehingga perlu tindak lanjut mengenai keterbangunan sistem informasi geografis<br />

yang terintegrasi dengan penginderaan jauh, sehingga tantangan saat ini tidak hanya terbatas pada inventarisasi pulau-pulau terluar,<br />

namun bagaimana pengembangan dan pemanfaatannya. Diperlukan pembentukan kelembagaan yang membawahi sistem ini agar<br />

kebenaran data, standar prosedur dan hal-hal lain dapat dipertanggung jawabkan.<br />

Pengantar<br />

Konteks problematis demokrasi kebangsaan terletak dalam dinamika jaman yang telah mewujudkan gelombang modernitas- global di<br />

bidang kebudayaan. Jika modernisasi mempunyai ruang lingkup sosiologis- kultural maka demokrasi bergerak guna memasukkan ke<br />

dalamnya dimensi politik kenegaraan sehingga politik memang menjadi teritorinya.<br />

Dalam alur pikir sedemikian, demokrasi di Indonesia dalam konteks modernitas-global perlu dicari energinya agar dengannya mampu<br />

melakukan tranformasi dan emansipasi. Maka itu, demokrasi tidak akan terlepas dari ranah budaya kebangsaan di bagian hilirnya sebagaimana<br />

dia pun tidak terpisahkan dari falsafah dan ideologi di ranah hulunya. Tesis semacam ini kemudian merekomendasikan bahwa demokrasi<br />

di Indonesia adalah Demokrasi Indonesia.<br />

Selama berabad- abad jagat ilmu pengetahuan telah menderita hegemoni dan arahan dari epistemology barat. Mengherankan, jika sejak<br />

dekade 1970-an diserukan agar modernisasi jangan berjalan dengan cara westernisasi, aspirasi sejenis di bidang keilmuan sangat<br />

terlambat. Naskah ini bergerak eksperimental untuk memberitahukan bahwa keindonesiaan kita kaya bukan hanya dalam sumberdaya<br />

alam, melainkan juga dalam sumberdaya pengetahuan.<br />

Nasionalisasi jangan berhenti pada obat-obatan herbal, sebab dengan falsafah dan ideologi Pancasila, ilmu pengetahuan dapat juga<br />

dinasionalisasikan asalkan kaum ilmuwannya tidak malas, bersedia memeras otak dan tidak berorientasi positivistik dalam diksi technocratic<br />

knowledge. Lihatlah Malaysia, sejak dekade 190-an saat penulis belajar di Universiti Malaya, islamisasi ilmu telah berjalan dengan<br />

pesat. Philipina telah agak jauh menyusun Psikologi Philipina.<br />

Permasalahan<br />

Naskah ini menetapkan tiga permasalahan, yakni: (i) benarkah praksis demokrasi di Negara ini benar mampu mendorong kemajuan<br />

bangsa ? (ii) sejauh manakah demokrasi di Indonesia dapat ditransformaiskan menjadi Demokrasi Indonesia ? dan (iii) bagaimana presisi<br />

Pancasila sebagai landasan demokrasi kebangsaan dengan/dalam modalitas etika politik ?<br />

Demokrasi dan Kondisi Kekinian<br />

Yargon reformasi 1998, yakni “demokratisasi” telah berhasil mencairkan dan mengalirkan sejumlah stagnasi ala rejim Orde Baru.<br />

Amandemen konstitusi berjalan empat tahap sekaligus mengeliminasi sakralitas UUD 1945; kebebasan mediamassa dan seni<br />

pertunjukan; dan diskriminasi kewarganegaraan diakhiri dimana tidak dikenal lagi KTP merk OT. Presiden G.W. Bush, tak urung memuji<br />

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia adalah Negara terbesar ke empat di dunia untuk sukses demokrasi. Benarkah<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

PANCASILA SEBAGAI SUMBER NILAI DEMOKRASI INDONESIA<br />

*Sebuah Pencarian Etika Politik<br />

Oleh Slamet Sutrisno<br />

Fakultas Filsafat UGM, (Juara I Kategori Masyarakat Umum)<br />

55


SOSIALISASI<br />

KARYATULIS 4 PILAR BERBANGSA<br />

demikian dalam kenyataan empiris ?<br />

Pentingnya etika politik dalam praksis politik dan khususnya demokrasi berpautan dengan bibit- bibit nepotisme dalam kecenderungan<br />

politik dinasti yang tentunya akan menabrak makna demokrasi. Kepemimpinan nepotis sulit mendewasakan demokrasi sebab demokrasi<br />

memang berkorelasi dengan keandalan leadership sebagaimana ditekankan Sigmund Neumann bahwa demokrasi butuh kepemimpian<br />

sepadan. Maka itu, penguatan demokrasi dengan menanamkan kaidah etika politik adalah keniscayaan agar jangan terbukti ucapan Sukarno<br />

–menyitir Dr.Goebbels—:”pemimpin besar itu tidak karena pilihan.”<br />

Bernard Shaw pernah berujar agar dikumpulkan saja para ahli sedunia guna menghimpun pendapat yang akan menghilangkan kesimpangsiuran<br />

mengenai demokrasi. Jadi di antara kaum pemikirnya, demokrasi sendiri menjelaskan perihal ketidakjelasannya. Dan kekaburan<br />

konseptual tentang demokrasi itu malahan dibenarkan oleh fakta empiris, khususnya di negeri kita, betapa demokrasi dalam praktek lebih<br />

banyak mudharat katimbang manfaatnya. Money politics dan kongkalikong oleh kaum elitnya adalah bukti bahwa sesungguhnya demokrasi<br />

di negeri kita selama rejim reformasi tak begitu besar keberhasilan substansialnya.<br />

Mengutip Badiou, filsuf Sindhunata menyatakan bahwa praksis demokrasi kita hanyalah “demokrasi materialistis,” karena: “Demokrasi<br />

hanya dipakai sebagai alat agar orang dapat hidup enak dan nikmat. Maka demokrasi diperhambakan kepada kepentingan pasar dan<br />

mendukungnya yang bisa mendorong orang hidup nyaman, mewah dan enak.Demokrasi tak mendrong orang untuk hidup dekat kebenaran,”<br />

demikian Sindhunata, Pemimpin <strong>Majalah</strong> BASIS, Yogyakarta.<br />

Demokrasi yang dipraktekkan sekarang ini sering disebut kebarat-baratan yang dalam prakteknya mungkin “lebih barat” dari demokrasi<br />

liberal itu sendiri. Indikator ketidakberhasilan praksisnya antara lain dapat diperbandingkan dengan demokrasi barat sungguhan di jaman<br />

pemerintahan parlementer tahun 1950-an. Mengikuti Neumann tentang korelasi demokrasi dan kepemimpinan, jika dekade 1950-an bisa<br />

dilahirkan para elit politik yang berwatak negarawan – Wilopo, Sartono, Idham Chalid,Hamengku Buwono IX, Sukiman, A.K.Gani, J.Leimena,<br />

J.Kasimo, Roeslan Abdulgani dll—demokrasi sekarang ini hanya melahirkan banyak politikus “murahan.”<br />

Kata kunci terpenting dari perbedaan diametral kualitas kepemimpinan Negara tersebut adalah pada kedalaman hayatan kaidah etika<br />

politik pada elit politik dekade 1950-an. Politikus masa kini, sesungguhnya terlalu berwatak pragmatis.<br />

Kritisisme terhadap Modernitas-global<br />

Guna mencamkan pesan Hans Morgenthau, bangsa- bangsa non-barat tak boleh meninggalkan keawasan (alertness) terhadap<br />

modernisasi/globalisasi berhubung dengan watak kepenjajahannya yang manifest. Sukarno di tahun 1964 mencanangkan “Trisakti Tavip,”<br />

yakni: (i) berdaulat di bidang politik (ii) berdikari di bidang ekonomi dan (iii) berkepribadian di bidang kebudayaan. Terutama kepada para<br />

mahaguru Sukarno wanti- wanti, janganlah textbook thinking !<br />

Pemikir Indonesia terkemuka, Soedjatmoko, menyatakan:”Sampai medio 1970-an kita berpikir tentang pembangunan sebagai dikotomi<br />

antara modernitas dan tradisi. Kini kita sadari bahwa pembangunan tidak bisa lepas dari tradisi, dan bahwa modernitas dan tradisi terpaut<br />

satu sama lain dalam hubungan dialektis.” Dia mengimbau suatu kesadaran sejarah sebagai penyadaran nasional, ke arah self understanding<br />

of a nation, kepada “sangkan- paran” suatu bangsa, kepada persoalan what we are, why we are what we are.<br />

Toch barat sendiri melakukan hal yang sama. “In the field of social invention, the American Constitution was a synthesis of (a) Western<br />

European philosophy and (b) the experience of the colonists. At the same time some of the ideological elements in the Constitution go back<br />

to Ancient Athens.” (Merril, 1957).<br />

Demokrasi, politik dan kebudayaan berciri interkonektif, interaktif dan integratif. Modernitas dengan yargon progress (kemajuan)-nya<br />

menghasilkan banyak hal demi terkelolanya kebutuhan dan keinginan manusia se jagat. Di saat yang sama modernitas-global pun telah<br />

memenderitakan manusia ke ujung gelap kegersangan spiritual dan kenihilan makna hidup. George Luckas malah menyebutkan, jaman<br />

modern membawa “ketergelandangan transcendental” yang di dalamnya manusia tak lagi memiliki tanahair— tempat dimana ia merasa<br />

kerasan. Bohme menyebut, itulah “vertigo modernitas” yang kini menghampiri diri kebangsaan kita (Sindhunata; 2010). Di tengah konteks<br />

makro itulah naskah ini mau mendiskusikan etika politik dengan/dalam demokrasi selaku representasinya.<br />

Pancasila dan Etika Politik<br />

Modernitas bukannya tak mempengaruhi benak seorang Sukarno yang amat suka menghayati dinamika, dialektika dan romantika kehidupan<br />

bangsa dan revolusinya. Pada gilirannya ke tiga kaidah tersebut menyatu dalam intisari Pancasilanya, yakni Gotongroyong. Betapapun<br />

amat gamblang bahwa Pancasila digali oleh Sukarno, dalam perkembangannya tokoh- tokoh pemikir Pancasila berikut patut dicamkan.<br />

Notonagoro dalam riset panjangnya antara lain menyimpulkan bahwa landasan filosofis Pancasila adalah hakekat manusia, yang<br />

berwatak monopluralis. Soediman Kartohadiprodjo mendapatkan pembenaran dari kancah hukum adat, bahwa ruh Pancasila adalah nilai<br />

kekeluargaan. Pranarka dalam disertasinya menyimpulkkan bahwa Pancasila adalah alam pikiran keindonesiaan, bukan subsistem helenistik<br />

dan semitistik. Kuntowijoyo menyebut Pancasila adalah Theodemokrasi, ke atas berbatas kuasa Tuhan dan ke bawah kuasa rakyat.<br />

Drijarkara mendasarkan Pancasila pada esensi kecintaan kepada Tuhan; religiusitas adalah nilai dasarnya. Adapun M. Nasroen menyebutkan<br />

nilai-nilai dasar Pancasila terdiri atas Ketuhanan YME, kekeluargaan dan rasionalitas.<br />

Etika politik untuk demokrasi dapat dijabarkan dan direfleksikan dalam tesis- tesis tersebut<br />

Guna menyusunnya, perlu metodologi yang basisnya adalah modalitas Pancasila sebagai culture-based ideology.dan bukan powerbased<br />

ideology sebagaimana sering dihayati kaum penguasa saat ini. Substansinya, etika politik Pancasila harus dikembangkan berlandaskan<br />

asas- asas: spiritualitas, respek manusiawi, wawasan nasion, pengutamaan kualitas di atas kuantitas; dan asas keadilan. Keseluruhannya<br />

dikembangkan dalam prinsip cinta kasih, kekeluargaan dan hikmat kebijaksanaan. Harus dijaga agar etika politik tersebut mampu mengeliminir<br />

penetrasi epiphenomenon (realitas pinggiran) atas phenomenon (substansi). Dengan itu demokrasi di Indonesia layak dikembangkan ke<br />

arah Demokrasi Indonesia.<br />

56 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


Balada Para Pengayuh Sepeda di Kota Tua<br />

Di tengah himpitan kemajuan zaman, para penarik ojek sepeda di bilangan stasiun Kota Jakarta<br />

Barat terus bekerja hingga kaki mereka tak kuat lagi untuk mengayuh sepeda.<br />

Ojek Sepeda di kawasan Stasiun Kota, Jakarta Barat<br />

JAKARTA merupakan miniaturnya Indo<br />

nesia. Kota ini dihuni oleh semua orang<br />

yang datang dari daerah di seluruh Indonesia.<br />

Mereka hidup dan mencari makan<br />

dengan caranya sendiri-sendiri. Yang<br />

beruntung bisa senang dan kaya.<br />

Sementara yang kurang beruntung harus<br />

siap menderita. Kenyataan itu menimbulkan<br />

kesenjangan antara satu kelompok<br />

masyarakat dengan kelompok yang lain. Dan,<br />

hal ini menjadikan persoalan yang ada di<br />

Jakarta benar-benar sangat kompleks.<br />

Masalah pengadaan sarana transportasi<br />

misalnya, di sela gegap gempitanya usaha<br />

Pemprov DKI Jakarta menyediakan sistem<br />

transportasi massal, eksistensi ojek sepeda<br />

sepertinya tak terusik. Salah satunya bisa<br />

ditemukan di kawasan Stasiun Kota, Jakarta<br />

Barat. Padahal, dari tahun ke tahun para<br />

pengojek sepeda itu menghadapi tantangan<br />

yang terus meningkat. Penghasilan yang<br />

mereka dapat terasa semakin berat untuk<br />

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi<br />

munculnya ojek sepeda motor dan<br />

bertambahnya pemilik kendaraan roda dua,<br />

membuat usaha ojek sepeda kian terhimpit.<br />

Bejo (45), pengojek sepada asal<br />

Kecamatan Petarukan Kabupaten Pemalang<br />

Jawa Tengah misalnya. Akhir minggu<br />

pertama di bulan Januari 2012, tepatnya<br />

Minggu (8/1), Bejo terlihat murung. Ia<br />

membiarkan sepedanya kedinginan, berdiam<br />

diri di bahu jalan seberang Stasiun Kota.<br />

Padahal saat itu jarum jam telah menunjuk<br />

pukul 11.30 WIB. Selidik punya selidik, sejak<br />

pukul 06.00 WIB, saat ke luar dari kontrakan,<br />

Bejo baru sekali menarik penumpang.<br />

Karenanya, ia pun baru mengantongi uang<br />

sebesar Rp 10.000 sebagai imbalan.<br />

Selebihnya ia hanya bersabar, menunggu<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

dan terus menunggu, barangkali masih ada<br />

penumpang yang membutuhkan jasanya.<br />

Sudah lebih dari lima belas tahun Bejo<br />

menekuni profesi sebagai penarik ojek<br />

sepeda. Pekerjaan itu dia lakoni karena lelah<br />

menjadi pegawai bengkel stainless steel.<br />

“Kalau narik sepeda, kita bebas menetukan<br />

jam kerja kita. Dan tidak perlu tergantung<br />

dengan orang lain”, kata Bejo<br />

berargumentasi.<br />

Kecilnya penghasilan yang diperoleh dari<br />

pekerjaan ini membuat Bejo merelakan istri<br />

dan kedua anaknya tetap berada di desa.<br />

Dengan begitu, ia bisa lebih leluasa<br />

menetukan tempat tinggal. Tidak harus<br />

mengontrak rumah sendiri, yang tarifnya<br />

sudah sangat mahal. Dan, untuk menghapus<br />

rasa rindu terhadap keluarga, satu hingga<br />

dua bulan sekali, Bejo mudik. Sembari<br />

menyerahkan hasil keringatnya, kepada orang-orang<br />

yang dicintainya.<br />

Hari itu, nasib Bejo dan juga ratusan<br />

pengojek sepeda yang lain di kawasan<br />

Stasiun Kota memang kurang mujur.<br />

Mendung dan hujan yang membasahi bumi<br />

Jakarta, seolah menutup pintu rezeki bagi<br />

mereka. Para pelanggan yang biasa<br />

memanfaatkan jasa mereka mengurungkan<br />

menyewa ojek sepeda, mungkin khawatir<br />

basah kuyup terkena air hujan. Kalau<br />

kondisinya tidak berubah, bisa-bisa<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />

penghasilan Bejo tiap hari yang biasanya<br />

mencapai Rp 30.000 – Rp 40.000, tak<br />

terpenuhi. Padahal, pada hari libur seperi<br />

itu, kadang Bejo mendapat pemasukan lebih<br />

dari para pemakai jasa kayuh sepeda yang<br />

disediakannya.<br />

Meski kondisi para pengojek ini makin<br />

terhimpit oleh kemajuan dan peradaban<br />

zaman, namun jumlah mereka cukup besar.<br />

Tahun 2004, sebuah partai politik mensinyalir<br />

jumlah para pengayuh sepeda ini mencapai<br />

700 orang. Angka tersebut didapat setelah<br />

dilakukan sensus untuk kepentingan<br />

pemenangan pemilihan umum. Menurut<br />

Bejo, kini jumlahnya sudah meningkat menjadi<br />

lebih dari seribu orang. Karena banyak<br />

diantara para pengojek yang menyertakan<br />

saudara mereka dari kampung untuk ikut<br />

bekerja. Rata-rata mereka berasal dari Jawa<br />

Tengah, antara lain dari: Pemalang, Tegal,<br />

Purwokerto, Wonogiri dan Batang.<br />

Bagi orang lain, pekerjaan selaku penarik<br />

ojek sepeda akan terasa sangat berat.<br />

Namun karena tidak memiliki keahlian apapun,<br />

Darji (60), pengojek dari Pemalang, tetap<br />

menggantungkan hidupnya dari pekerjaan<br />

ini. Tubuhnya memang tidak sekuat dahulu.<br />

Tapi, apa boleh buat agar dapurnya tetap<br />

mengepul, Darji pun akan terus mengayuh<br />

sepeda sampai kakinya tak kuat lagi. ❏<br />

M. Budiono<br />

57


RAGAM<br />

Suaka Margasatwa Muara Angke<br />

Potensi Hutan Mangrove di Utara Jakarta<br />

Dari kawasan Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, terlihat bahwa wilayah Ibu kota rentan<br />

dengan marabahaya yang datang dari laut. Beruntung, di tempat tersebut terdapat secuil lahan<br />

hutan mangrove. Bukan saja indah, juga memberi perlindungan bagi wilayah Jakarta<br />

Jembatan Kayu<br />

BANYAK orang yang belum tahu,<br />

termasuk warga Jakarta sendiri,<br />

bahwa Ibukota Negara Indonesia ini<br />

masih memiliki kawasan wisata alam yang<br />

sayang untuk di lupakan. Yaitu, kawasan<br />

wisata terbatas Suaka Margasatwa Muara<br />

Angke (SMMA). Tempat konsevasi alam dan<br />

berbagai binatang endemik Jakarta ini<br />

berbentuk hutan mangrove. Posisinya<br />

terletak di Kelurahan Kapuk Muara,<br />

Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.<br />

Suaka Margasatwa Muara Angke<br />

merupakan kawasan terakhir yang<br />

melindungi Jakarta dari abrasi dan deburan<br />

ombak laut. Rimbunnya pepohonan di sana<br />

mampu menjadikan tempat ini sebagai<br />

wilayah penyimpan cadangan air bagi<br />

warga Jakarta. Selain itu, SMMA juga<br />

menyimpan tantangan dan petualangan<br />

bagi para pengunjung. Terlebih buat<br />

wisatawan yang belum terbiasa mengunjungi<br />

hutan belantara.<br />

Sayang, kawasan tersebut belum<br />

mendapatkan perhatian sebagaimana<br />

seharusnya. Banyak lahan kosong yang<br />

ditinggal mati pepohonan yang sebelumnya<br />

tumbuh di sana. Sarana dan prasarananya<br />

pun jauh dari memadai. Yang lebih mengkhawatirkan<br />

adalah sampah plastik yang<br />

bertebaran, dan sagat gampang ditemukan<br />

di wilayah itu.<br />

Untuk melihat kekayaan dan eksotisme di<br />

dalam kawasan tersebut, pengunjung bisa<br />

melalui dua jalur yang berbeda. Pertama,<br />

merupakan jalan yang dibuat dari kayu,<br />

laiknya jembatan. Panjangnya mencapai 800<br />

m dengan lebar dua meter. Jalur kedua,<br />

merupakan sungai yang airnya mengalir<br />

tepat di sisi SMMA, bahkan meluber hingga<br />

menenggelamkan sebagian wilayah itu. Di<br />

kedua jalur tersebut pengunjung bisa<br />

menikmati adanya tantangan yang<br />

menguras adrenaline.<br />

Untuk melalui jalur pertama yang<br />

berbentuk jembatan kayu, pengunjung harus<br />

memiliki sedikit keberanian. Pasalnya,<br />

beberapa bagian jalan ini terlihat mulai<br />

rapuh. Beberapa ruas kayu di jalan itu juga<br />

sudah tidak utuh lagi. Banyak lempengan<br />

kayu yang raib dari tempatnya, sehingga<br />

FOTO-FOTO: ISTIMEWA<br />

meninggalkan lubang menganga. Sebagian<br />

yang lain terlihat lapuk termakan panas dan<br />

hujan, seperti halnya styrofoam, mudah<br />

patah saat dilintasi. Tidak cukup sampai di<br />

situ, di bagian lain, kondisinya mengkhawatirkan,<br />

posisinya oleng, miring di salah<br />

satu sisi. Sehingga melahirkan perasaan<br />

mencekam dan menguras adrenaline<br />

wisatawan yang melintas di atasnya.<br />

Situasi yang tidak kalah menarik bisa<br />

ditemukan bila perjalanan mengelilingi Suaka<br />

Margasatwa Muara Angke itu dilakukan<br />

melalui perjalanan sungai. Dengan<br />

mengeluarkan kocek sebesar Rp 200 ribu<br />

sampai Rp 300 ribu untuk sewa boat,<br />

dipastikan pengunjung tak akan merasa rugi.<br />

Namun, semua itu tak menjamin bahwa<br />

perjalanan bakal berlangsung lancar.<br />

Tumpukan sampah yang mengendap di<br />

dasar sungai atau hanyut bersama aliran<br />

air sanggup mematikan baling-baling kapal.<br />

Sehingga memaksa si pengemudi kapal,<br />

bolak-balik menstater mesin kapalnya.<br />

Yang lebih parah, baling-baling kapal yang<br />

mati itu tidak serta merta hidup saat distarter.<br />

58 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012


Butuh beberapa kali starter agar mesin bisa<br />

hidup kembali. Padahal, boat yang ditumpangi<br />

terus bergerak mengikuti arus sungai. Kalau<br />

tidak beruntung, bisa-bisa membentur<br />

kapal nelayan yang diparkir di sepanjang<br />

sungai. Meski mencekam, perjalanan melalui<br />

sungai dijamin aman dan mengasikkan<br />

karena tersedia banyak pelampung.<br />

Sepanjang perjalanan, wisatawan akan<br />

disuguhi pemandangan khas hutan mangrove.<br />

Menyusuri jalan-jalan sempit beratap rendah,<br />

terdiri dari daun dan cabang pohon mangrove.<br />

Menjumpai beragam burung yang sedang<br />

berburu makanan. Hingga canda ria kelompok<br />

monyet berekor panjang (Macaca<br />

Fascicularis). Termasuk pemandangan luas<br />

mengarah ke Laut Jakarta.<br />

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar<br />

deburan ombak. Semakin dekat dengan laut,<br />

Tumpukan sampah hanyut bersama aliran air<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

semakin jelas pula pecahan ombak itu<br />

terdengar. Ketika perahu yang kita tumpangi<br />

berada tepat di atas pertemuan air sungai<br />

dengan air laut, yang muncul kemudian<br />

adalah pemandangan alam nan menakjubkan.<br />

Ombak yang bergerak di atas lautan<br />

luas tanpa batas.<br />

Kuntul Kecil<br />

Begitulah keindahan pemandangan yang<br />

disediakan Suaka Margasatwa Muara<br />

Angke, di pinggiran utara Kota Jakarta.<br />

Meski ada sampah yang menumpuk,<br />

jembatan yang makin lapuk, atau fasilitas<br />

yang sangat minim, namun SMMA adalah<br />

kawasan yang bisa menjadi alternatif tujuan<br />

wisata terbatas. Karena di sana tumbuh dan<br />

hidup puluhan jenis vegetasi mangrove dan<br />

tumbuhan lainnya. Juga berbagai jenis<br />

satwa, mulai dari burung air dan burung<br />

hutan, hingga monyet dan biawak.<br />

Suaka Margasatwa Muara Angke<br />

merupakan hutan mangrove dan lahan<br />

basah yang menjadi benteng terakhir untuk<br />

melawan abrasi. Tempat itu menjadi<br />

kawasan endemik, burung kuntul kecil dan<br />

elang bondol. Keduanya merupakan jenis<br />

burung khas Jakarta yang nyaris punah.<br />

Kuntul kecil, seperti namanya memiliki<br />

ukuran yang mini, bahkan lebih langsing<br />

dibanding burung dara. Kuntul kecil bisa<br />

bergerak lincah, baik saat menghindari<br />

marabahaya atau memburu mangsa.<br />

Sedangkan elang bondol, maskot Jakarta,<br />

ini terlihat sangat gagah. Badannya<br />

berwarna gelap, sedang kepala dan<br />

lehernya putih bersih.<br />

Selama Januari –Agustus, sebagian<br />

burung yang melakukan migrasi dari Asia ke<br />

Australia dan transit di Pulau Rambut, juga<br />

ikut mencari makan di SMMA. Ini membuat<br />

pemandangan di Suaka Margasatwa Muara<br />

Angke makin semarak.<br />

Agar tidak terhambat, sebelum berkunjung<br />

ke Suaka Margasatwa Muara Angke,<br />

sebaiknya wisatawan mengurus Simaksi<br />

(Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi)<br />

terlebih dahulu. Surat ini bisa diperoleh di<br />

Dinas Sumber Daya Alam DKI Jakarta, di<br />

bilangan Salemba Jakarta Pusat.<br />

Maklum, tempat tersebut bukan kawasan<br />

wisata sebagaimana lazimnya. Hanya orang-orang<br />

tertentu saja yang boleh masuk.<br />

Yaitu, mereka yang memiliki tujuan<br />

melakukan konservasi, pemeliharaan,<br />

pelestarian hingga perlindungan. Itupun<br />

hanya bisa dilakukan setelah mengantongi<br />

surat ijin dari Dinas Sumber Daya Alam<br />

Pemprov DKI Jakarta.<br />

“Peraturan itu diberlakukan untuk menjaga<br />

keaslian dan keasrian kawasan ini, termasuk<br />

binatang dan tumbuhannya,” kata Tanto,<br />

salah seorang petugas yang berjaga di sana.<br />

Mengingat pentingnya kawasan tersebut,<br />

sudah saatnya seluruh warga Jakarta ikut<br />

menjaga dan melestarikan Suaka<br />

Margasatwa Muara Angke. Pembangunan<br />

atau pengalihan fungsi SMMA menjadi<br />

kawasan hunian, seperti yang ada di sekitar<br />

Suaka Margasatwa Muara Angke, bakal<br />

mengundang bencana besar bagi warga<br />

Jakarta. ❏<br />

MBO<br />

59


FIGUR<br />

Cara Tanggulangi Bencana<br />

Cari Akar Masalahnya<br />

TB. Dedy ‘Miing’ S. Gumelar<br />

Dedy S. Gumelar --lebih akrab di sapa Miing-- mantan<br />

artis pelawak tenar Indonesia yang kini berkiprah<br />

sebagai anggota DPR <strong>RI</strong> mengaku, sangat prihatin<br />

dengan bencana banjir yang menenggelamkan ribuan<br />

rumah di Kabupaten Serang, Pandeglang, dan Lebak,<br />

Provinsi Banten. Bahkan banjir ini sampai<br />

menenggelamkan beberapa ruas jalan tol Tangerang<br />

- Merak.<br />

Penanggulangan bencana yang dilakukan<br />

pemerintah setempat juga membuat Miing geram.<br />

“Saya miris melihat setiap ada bencana, seperti di<br />

Banten ini, penanggulangannya selalu begitu,<br />

pemerintah daerah turun, Kemensos turun, obatobatan<br />

dan lain sebagainya. Itu bukan solusi, itu hanya<br />

penyelesaian sementara yang sangat gampang,” ujar<br />

anggota dewan dapil Banten I ini saat ditemui di<br />

Gedung <strong>MPR</strong>/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (<br />

17/1 ).<br />

Miing menegaskan bahwa bencana banjir yang<br />

selalu terjadi ini harus dicarikan jalan keluar atau solusi<br />

yang cerdas. Tema besarnya, bagaimana supaya<br />

tidak ada bencana banjir lagi. “Akar masalah sehingga<br />

bencana banjir datang itulah yang seharusnya dicari.<br />

Jangan selalu menyalahkan alam,” ujarnya.<br />

Miing mengaku, sangat tahu akar masalah yang<br />

ada di Banten, karena ia menguasai liku-liku<br />

permasalahan di daerah ini. Akar masalah yang<br />

sangat krusial dan sangat mengakar serta sulit<br />

diperbaiki, menurut Miing, adalah masalah kerusakan<br />

alam yang parah. Pohon di hutan banyak ditebangi,<br />

dan hampir setiap hari gelodongan kayu menjalar di<br />

sungai sehingga sungai menyempit. Pasir-pasir galian<br />

dikeruk tanpa memerhatikan dampak negatifnya.<br />

“Inilah akar masalahnya. Jika alam dicederai, ya<br />

wajar saja suatu saat akan terjadi bencana banjir,<br />

yang ujung-ujungnya menyengsangsarakan rakyat.<br />

Inilah perlu kebijakan yang berpihak kepada<br />

kelestarian alam dan rakyat,” tandasnya.<br />

Miing menyatakan, sudah saatnya pemerintah<br />

berubah. Perhatikan alam dan manusianya. “Kalau<br />

pemerintahan berjalan sesuai misi dan visinya untuk<br />

kemakmuran Indonesia dan rakyatnya maka sedikit<br />

demi sedikit semua masalah bangsa ini akan selasai,<br />

saya percaya itu,” ungkap Miing. ❏<br />

60 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

Derry Irawan


Amanah Partai,<br />

Saya Terus Maju Sebagai Calon Walikota Sukabumi<br />

SOSOK anggota wakil rakyat muda yang juga isteri seorang<br />

menteri, Inggrid Maria Palupi Kansil, akhir-akhir ini banyak<br />

disorot publik. Apa pasal? Ternyata ia berani maju mencalonkan<br />

diri menjadi Walikota Sukabumi pada pilkada mendatang.<br />

Keinginan Inggrid yang “pede” untuk terus maju memperebutkan<br />

kursi walikota banyak menimbulkan pertanyaan di benak sebagian<br />

masyarakat, di tengah adanya pemberitaan mundurnya pejabat<br />

daerah dari kalangan artis, atau malah gagal sebelum pencalonan.<br />

“Saya maju bukan karena keinginan mutlak saya, tapi ini<br />

merupakan amanah partai dan tanggung jawab saya saja kepada<br />

masyarakat Sukabumi yang meminta saya menjadi calon walikota<br />

mereka,” ujarnya saat dikerubungi wartawan, termasuk Majelis,<br />

usai Rapat Paripurna DPR <strong>RI</strong>, Senin ( 9/1 ).<br />

Menurut Inggrid, keluarga dan sudah dipastikan juga suami<br />

mengizinkan ia untuk maju pada Pemilukada Kota Sukabumi. Saat<br />

ini, dirinya tengah menunggu restu dari Dewan Pengurus Pusat<br />

Partai Demokrat. Jika restu tersebut sudah turun dipastikan ia<br />

langsung menjadi calon dari Partai Demokrat yang maju dalam<br />

Pemilukada Kota Sukabumi mendatang. ❏<br />

Biarkan Semua Proses Hukum Berjalan, Nanti Kita Lihat<br />

EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

Derry<br />

Inggrid Maria Palupi Kansil<br />

BE<strong>RI</strong>TA-BE<strong>RI</strong>TA miring terus membayangi wakil rakyat<br />

Angelina Sondakh. Apalagi nama artis cantik ini disebutsebut<br />

dalam kasus Wisma Atlet dengan tersangka<br />

M.Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang<br />

proses hukumnya kini tengah berlangsung di KPK.<br />

Angie, sapaan akrabnya, terus menjadi intaian pemburu berita<br />

dan publik. Setiap ada pertanyaan dan pernyataan miring<br />

tentang dirinya terkait kasus tersebut, Angie hanya menjawab<br />

dengan singkat: “Semuanya itu tengah berjalan di pengadilan.”<br />

“Saya tidak mau banyak komen dan pernyataan ya,,daripada<br />

jadi polemik. Biarkan ssaja proses hukum terus berjalan,” ujarnya<br />

usai mengikuti Rapat Paripurna di Gedung DPR, Senin ( 9/1 ).<br />

Angie menambahkan bahwa walaupun banyak masalah dan<br />

komentar miring tentang dirinya, politisi yang diisukan menjalin<br />

hubungan dekat dengan seorang perwira menengah kepolisian<br />

itu menyatakan, akan terus berjalan dan terus melakukan<br />

tugasnya sebagai wakil rakyat. ❏<br />

Angelina Sondakh<br />

Derry<br />

61


FENOMENA merebaknya kembali tindak kekerasan yang<br />

berdimensi politik di Aceh seperti ditunjukkan dalam kasus<br />

penembakan secara sengaja yang memakan korban jiwa<br />

putra bangsa sungguh sangat menyentak urat keprihatinan kita.<br />

Sungguh peristiwa ini sangat disesalkan masih juga bisa terjadi<br />

di Aceh.<br />

Betapa tidak! Perdamaian di Aceh itu berhasil dicapai setelah<br />

menempuh jalan yang begitu panjang dan berliku dengan<br />

memanfaatkan momentum tragedi Tsunami yang memilukan itu.<br />

Bahkan untuk sebuah perdamaian itu kita melibatkan pihak luar<br />

yang memancing kontroversi luar biasa panjang dan keras. Maka<br />

perdamaian di Aceh Darussalam adalah ibarat harta karun bagi<br />

kita bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dipertahankan.<br />

Dengan perdamaian itu diharapkan kesejahteraan rakyat Aceh<br />

segera dapat diwujudkan. Rakyat sudah amat lelah dengan konflik<br />

kekerasan selama ini, dan sangat mendambakan perdamaian<br />

dan kesejahteraan. Dan perdamian itu sudah dicapai, dan itu<br />

adalah segalanya.<br />

Dalam konteks dan perspektif ini mestinya perdamaian di Aceh<br />

Oleh:<br />

Hajriyanto Y. Thohari<br />

Wakil Ketua <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Jagalah Perdamaian di Aceh<br />

ini harus diuri-uri dengan hati-hati oleh semua pihak. Maka<br />

sungguh kita bersedih atas terjadinya lagi tindak kekerasan berupa<br />

penembakan yang agak misterius dan beraroma politis ini. Semua<br />

pihak harus ekstra hati-hati dalam mengelola persoalan Aceh.<br />

Pemerintahan Daerah dan aparat keamanan harus cermat dalam<br />

bertindak, tidak sembrono dalam mengambil keputusan.<br />

Jangan biarkan kasus penembakan itu berlalu dengan begitu<br />

saja tanpa penyelesaian hukum yang terbuka atau transparan.<br />

Jika serangkaian tindak kekerasan ini sampai tidak terungkap dan<br />

tuntas secara hukum, maka ini akan menjadi preseden buruk dalam<br />

penyelesaian persoalan hukum di Aceh. Jika ini sampai<br />

terakumulasi maka akan menjadi embrio ketidakpercayaan<br />

masyarakat terhadap negara, dan ini pasti akan mencederai<br />

perdamaian yang agung itu.<br />

Kita menghimbau semua pihak untuk berkepala dingin dalam<br />

menangani Aceh. Peliharalah perdamaian yang dicapai dengan<br />

susah payah itu dengan pengorbanan apapun. Sekali perdamaian<br />

itu rusak maka kita sebagai bangsa akan set back ke belakang<br />

sampai ke titik nol lagi. Percayalah! ❏<br />

62 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />

ISTIMEWA

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!