Download Majalah - MPR RI /a
Download Majalah - MPR RI /a
Download Majalah - MPR RI /a
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
tengah masyarakat karena rakyat merasa<br />
dirugikan dengan kebijakan pertanahan<br />
yang ada.<br />
Ketika <strong>MPR</strong> mengeluarkan Tap<br />
Nomor IX Tahun 2001, sebenarnya<br />
sudah melihat persoalan tanah dan<br />
bagai-mana mengatasinya?<br />
Ya. Ketika itu reformasi banyak sekali<br />
tuntutannya. Seperti menuntut perubahan<br />
konstitusi, penghapusan doktrin dwi fungsi<br />
AB<strong>RI</strong>, kebebasan pers, penghormatan<br />
terhadap HAM, termasuk juga yang tidak<br />
kalah pentingnya adalah pembaruan agraria.<br />
Pembaruan agraria adalah salah satu<br />
tuntutan reformasi. Itulah sebabnya <strong>MPR</strong><br />
hasil Pemilu 1999 kemudian melahirkan Tap<br />
Nomor IX Tahun 2001. Itulah Tap <strong>MPR</strong> yang<br />
lahir untuk mengakomodasi tuntutan<br />
reformasi.<br />
Saya ingin jelaskan tentang Tap <strong>MPR</strong><br />
Nomor IX Tahun 2001. Intinya Tap itu bicara<br />
tentang pembaruan agraria, yaitu penataan<br />
kembali. Apa yang ditata? Yang ditata adalah<br />
sumber daya agraria kita. Tap itu ingin<br />
menegaskan bahwa hal-hal yang terkait<br />
dengan penguasaan, pemilikan,<br />
penggunaan, dan termasuk di dalamnya<br />
pemanfaatan dari sumber daya agraria ini<br />
direformasi kembali. Jadi, reformasi itu<br />
menyangkut bagaimana pengaturan<br />
penguasaannya, pemilikannya, penggunaannya<br />
dan pemanfaatannya.<br />
Nah, semua itu harus dengan memperhatikan<br />
prinsip-prinsip dasarnya, yaitu:<br />
keutuhan NK<strong>RI</strong>, penghormatan terhadap<br />
HAM, memperhatikan ekosistem, lingkungan,<br />
kesejahteraan, juga desentralisasi.<br />
Poin-poin itu, termasuk arah kebijakannya,<br />
sudah ada dalam pasal-pasal Tap <strong>MPR</strong><br />
Nomor IX Tahun 2001.<br />
Tampaknya Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX Tahun 2001<br />
itu belum secara menyeluruh ditindaklanjuti.<br />
Saya melihat, sebenarnya ini semua adalah<br />
kesalahan kolektif kita. Ini tidak melulu atau<br />
semata kesalahan pemerintahan SBY,<br />
karena sejak dulu sampai sekarang telah<br />
berganti pemerintahan, yaitu pemerintahan<br />
Soeharto, BJ. Habibie, KH Abdurrahman<br />
Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Kalau<br />
kita mau jujur ini merupakan kesalahan kita<br />
bersama. Karena itu, kita tidak perlu melihat<br />
ke belakang atau saling menyalahkan.<br />
Sebaliknya kita menatap ke depan. <strong>MPR</strong> akan<br />
mengajak kita semua untuk melihat ke depan<br />
EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012<br />
dengan cara menata kembali agraria itu.<br />
Mengapa sampai sekarang tidak ada<br />
tindak lanjut dari Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX<br />
Tahun 2001 itu?<br />
Ya, saya khawatir, seperti disinyalir<br />
banyak kalangan, ada kekuatan kelompok<br />
pemodal yang luar biasa sehingga<br />
pemerintah “dipaksa” lebih berpihak kepada<br />
mereka. Mungkin juga ada pertimbangan lain<br />
karena keberpihakan itu untuk membuat<br />
dunia investasi lebih nyaman. Tapi kemudian,<br />
karena terlalu mementingkan kelompok itu,<br />
maka ada kepentingan lain yang dikorbankan.<br />
Akibatnya, muncul kasus seperti di Mesuji,<br />
Bima, Freeport, dan banyak lagi lainnya.<br />
Konflik atau sengketa terjadi antara<br />
perusahaan yang mengelola lahan-lahan itu<br />
dengan para penduduk setempat.<br />
Lalu, ke depan harus bagaimana?<br />
Harus ada penataan kembali terhadap<br />
sumber daya agraria kita. Penataan itu<br />
terkait dengan penguasaan, pemilikan,<br />
penggunaan dan pemanfaatan dari lahanlahan<br />
yang ada. Penataan kembali itu harus<br />
bertumpu pada peraturan perundangan<br />
yang ada. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang<br />
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria<br />
harus menjadi tulang punggung dari<br />
kegiatan penataan kembali itu. Termasuk<br />
juga Perpu Nomor 56 Tahun 1960 tentang<br />
Penetapan Luas Tanah Pertanian yang<br />
dikenal dengan landreform. Dulu, dengan<br />
Perpu itu, secara eksplisit dinyatakan<br />
bahwa setiap keluarga petani minimal<br />
memiliki dua hektar tanah.<br />
Itu menunjukkan betapa para pendahulu<br />
kita sesungguhnya telah memiliki kesadaran<br />
yang tinggi bahwa lahan-lahan yang ada<br />
harus betul-betul diperuntukkan dan demi<br />
kemaslahatan masyarakat luas. Ini yang<br />
sampai sekarang tidak pernah direalisasikan.<br />
Jadi, kedua peraturan perundangan ini, yaitu<br />
UU Nomor 5 Tahun 1960 dan Perpu Nomor<br />
56 Tahun 1960 sebenarnya sudah sangat<br />
baik. Hanya sekarang kita perlu<br />
mensinkronkan sejumlah UU yang terkait<br />
agraria dengan kedua peraturan<br />
perundangan itu.<br />
Karena itu saya mendukung sekali adanya<br />
rencana DPR untuk membentuk Pansus<br />
Sengketa Agraria. Pansus itu dimaksudkan<br />
untuk mensinkronkan antara UU Pokok-<br />
Pokok Agraria dengan sejumlah UU yang<br />
terkait dengan agraria. Banyak sekali UU<br />
yang terkait dengan agraria, seperti UU No.<br />
41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 18/2003<br />
tentang Perkebunan, UU No. 7/2004 tentang<br />
Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 tentang<br />
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau<br />
Kecil, dan UU No. 4/2009 tentang Mineral<br />
dan Batu-bara. Sehingga masing-masing UU<br />
tidak jalan sendiri-sendiri atau bahkan saling<br />
menegasikan, tetapi semuanya mengacu<br />
pada UU Pokok-Pokok Agraria. ❏<br />
17