Download Majalah - MPR RI /a
Download Majalah - MPR RI /a
Download Majalah - MPR RI /a
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
BE<strong>RI</strong>TA UTAMA<br />
Hajriyanto Y. Thohari<br />
menunjukkan telah terjadi ketimpangan dalam<br />
penguasaan tanah. KPA menunjuk data<br />
bahwa saat ini terdapat lebih dari 25 juta<br />
hektar hutan dikuasai HPH, 8 juta hektar<br />
dikuasai HTI, dan 12 juta hektar dikuasai<br />
perkebunan besar sawit.<br />
“Secara de facto, di Indonesia itu sudah<br />
banyak tuan-tuan tanah dengan<br />
memanfaatkan sistem kepemilikan tanah yang<br />
sangat liberal, tidak ada batasnya. Asal punya<br />
uang dan mampu membeli maka orang bisa<br />
membeli seberapa pun luas tanah itu.<br />
Ekstrimnya, di Indonesia orang bisa membeli<br />
tanah se-Pulau Jawa,” tutur Hajriyanto.<br />
Di sisi lain, hampir 85% petani di Indonesia<br />
merupakan petani tanpa tanah dan lahan<br />
sempit dengan kepemilikan rata-rata 0,25<br />
hektar. Kondisi seperti inilah yang melahirkan<br />
dan menyuburkan konflik agraria. Petani dan<br />
warga tak bertanah telah tercerabut dari alat<br />
produksinya. Kondisi ini diperparah dengan<br />
keberpihakan aparatur terhadap kepentingan<br />
pemilik modal dalam menjaga asetnya.<br />
Aklibatnya, seringkali terjadi bentrok antara<br />
warga dan pemilik modal yang menyebabkan<br />
jatuh korban.<br />
Mengapa hal itu terjadi? Menurut Anang<br />
Prihantoro, anggota DPD <strong>RI</strong> dari Lampung<br />
yang juga mantan Ketua Umum SERTANI<br />
(Serikat Tani Indonesia) 2005-2011, karena<br />
setiap kali mengadukan masalah tanah<br />
kepada pemerintah dan wakil rakyat jarang<br />
mendapatkan solusi yang memuaskan, maka<br />
akhirnya masyarakat memiliki cara tersendiri<br />
dalam menyelesaikan sengketa tanah.<br />
Mereka tidak memakai cara hukum positif,<br />
karena memang tidak sanggup menjangkau<br />
ranah peraturan hukum formal. Sementara<br />
itu, pemerintah lebih memilih aturan hukum<br />
positif sebagai patokan.<br />
“Akibatnya, perusahaan (pemilik modal)<br />
yang memang memiliki kemampuan secara<br />
hukum akan selalu menang dibanding<br />
masyarakat umum yang hanya memakai<br />
aturan masyarakat setempat atau adat,” jelas<br />
Anang Prihantoro kepada Majelis.<br />
Belum lagi, seperti diungkapkan Ketua Fraksi<br />
Partai Golkar <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong>, Agun Gunandjar<br />
Sudarsa, konflik atau sengketa agraria juga<br />
disebabkan karena tumpang tindihnya berbagai<br />
peraturan perundang-undangan. Fakta di<br />
lapangan menunjukkan, sumber masalah<br />
bukan sepenuhnya berasal dari Badan<br />
Pertanahan Nasional (BPN), tapi juga<br />
bersumber dari lembaga dan kementerian lain.<br />
Menurut Agun, saat ini banyak lahan yang<br />
dikuasai atau di bawah kendali berbagai<br />
kementerian dan lembaga. Contohnya,<br />
kawasan yang dikuasai atau di bawah<br />
kendali Kementerian Energi dan Sumber Daya<br />
Mineral (ESDM) atau Kementerian Kehutanan,<br />
TNI, Polri, dan lain-lain. Tentu saja, kementerian<br />
dan lembaga itu mempunyai dasar hukum dan<br />
perundangan tersendiri. Sementara sejumlah<br />
warga merasa telah menempati kawasan itu<br />
sejak lama dan turun temurun. “Realitasnya,<br />
sebelum kasus Mesuji, banyak sekali<br />
persoalan terkait pertanahan antara lembaga<br />
dengan rakyat. Ini karena sistem peraturan<br />
perundangan yang overlap,” ujar Agun<br />
kepada Majelis.<br />
Jalan keluar<br />
Agun meyakini kasus atau konflik agraria<br />
itu tak akan terjadi bila kita mematuhi<br />
Anang Prihantoro<br />
Agun Gunandjar Sudarsa<br />
Ketetapan <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Nomor IX Tahun 2001.<br />
“Dalam Tap <strong>MPR</strong> <strong>RI</strong> Nomor I Tahun 2003 –<br />
yang dikenal sebagain Tap Sapujagad —<br />
terdapat Tap tentang pembaruan agraria<br />
yang masih diberlakukan, yaitu Tap <strong>MPR</strong><br />
Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan<br />
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.<br />
Kalau kita mematuhi Tap itu, semua masalah<br />
agraria tersebut tidak akan terjadi,” tegas<br />
anggota Komisi II DPR <strong>RI</strong> ini.<br />
Anggota Komisi II lainnya, Budiman<br />
Sujatmiko, juga sependapat. “Akarnya<br />
adalah tidak dilaksanakannya UU Pokok<br />
Agraria Tahun 1960 dan Tap <strong>MPR</strong> Nomor IX<br />
Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan<br />
Pengelolaan Sumber Daya Alam secara<br />
konsisten. Hal ini semakin diperburuk dengan<br />
tumpang tindihnya otoritas penanganan<br />
agraria yang tersebar di berbagai<br />
kementerian,” katanya.<br />
Pendapat serupa juga diungkapkan Arif<br />
Budimanta, anggota Komisi XI DPR <strong>RI</strong>.<br />
Menurut Arif Budimanta, mandat Tap <strong>MPR</strong><br />
Nomor IX Tahun 2001 masih berlaku hingga<br />
saat ini. Tap itu memang hanya mengatur<br />
secara umum. Pengaturan lebih lanjut melalui<br />
mekanisme perundang-undangan ataupun<br />
peraturan pemerintah. “Saya melihat Tap<br />
<strong>MPR</strong> itu masih valid dan harus menjadi<br />
referensi dalam kebijakan negara di bidang<br />
agraria dalam konteks Pasal 33 UUD N<strong>RI</strong><br />
Tahun 1945,” katanya kepada Majelis.<br />
Bagi Anang Prihantoro, Tap <strong>MPR</strong> Nomor<br />
IX Tahun 2001 memang bisa menjadi pintu<br />
masuk untuk mengurai persoalan tanah yang<br />
saat ini marak. Selain itu, Anang meminta<br />
kepada pemerintah untuk memberikan<br />
kemudahan kepada warga agar bisa<br />
12 EDISI NO.01/TH.VI/JANUA<strong>RI</strong> 2012