08.08.2013 Views

Majalah Santunan edisi Juni 2011 - Kementerian Agama Prov Aceh

Majalah Santunan edisi Juni 2011 - Kementerian Agama Prov Aceh

Majalah Santunan edisi Juni 2011 - Kementerian Agama Prov Aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Opini<br />

yang berkualitas, dapat mengukur apa<br />

yang ingin kita ukur dan mempunyai<br />

tingkat kepercayaan tinggi.<br />

Pernahkan kita selama ini berfikir<br />

bahwa siswa yang tidak dapat menjawab<br />

pertanyaan disebabkan oleh soalnya<br />

yang sulit dipahami maksudnya, bukan<br />

siswanya yang belum memahami<br />

materinya (kemampuan rendah). Pada<br />

kondisi lain siswa mengatakan bahwa<br />

soalnya sulit. Apanya yang sulit?<br />

Materinya, konstruksinya, bahasanya<br />

atau jawabannya? Pastinya sang guru<br />

dalam memberikan memberikan<br />

pertanyaan (membuat soal) sudah<br />

memperhatikan kondisi dari siswanya.<br />

Namun pada kenyataannya memang<br />

sulit menyusun soal yang benar-benar<br />

sesuai dengan tingkat kemampuan<br />

siswanya. Menurut guru mudah, belum<br />

tentu menurut siswa juga mudah, atau<br />

sebaliknya.<br />

Untuk mengatasi masalah ini adalah<br />

dengan cara menyusun alat ukur (tes)<br />

yang memiliki data empiris secara akurat<br />

yang meliputi tingkat kesukaran, daya<br />

pembeda dan faktor menebak. Sehingga<br />

pada akhirnya soal tersebut benarbenar<br />

reliabel dan valid sehingga dapat<br />

mengestimasi kemampuan seorang<br />

siswa dengan tingkat kepercayaan yang<br />

tinggi.<br />

Kualitas sebuah tes memang tidak<br />

dapat dianggap main-main, walaupun<br />

sering disepelekan. Tes yang baik<br />

harus melewati Uji Validitas (akurat,<br />

mengukur apa yang ingin diukur,<br />

kesahihan) dan Uji Reliabilitas (dapat<br />

dipercaya, konsistensi, kehandalan)<br />

sebelum diberikan kepada siswa.<br />

Reliabilitas punya dua konsistensi yaitu<br />

konsistensi pertama adalah sejauh<br />

mana tingkat homogenitas soal baik<br />

dari tingkat kesukaran, daya beda<br />

maupun bentuk soalnya. Konsistensi<br />

kedua adalah konsistensi eksternal,<br />

yakni tingkat sejauh mana skor yang<br />

dihasilkan tetap sama sepanjang<br />

kemampuan orang yang diukur belum<br />

berubah. Jangan ada istilah, sebuah tes<br />

dibuat hanya dalam waktu semalam saja<br />

dengan mengucapkan “sim salabim”.<br />

Untuk melakukan pengujian inilah<br />

maka perakitan sebuah instrumen<br />

tes harus melalui 2 (dua) Analisis<br />

Tes: Pertama, Analisis Tes Kualitatif;<br />

Penelaahan ini biasanya dilakukan<br />

sebelum tes digunaka/diujikan dengan<br />

memperhatikan aspek-aspek materi,<br />

konstruksi, bahasa/budaya, dan kunci<br />

jawaban/pedoman penskoranya.<br />

Dilaksanakan berdasarkan kaidah<br />

penulisan soalnya (tes tertulis,<br />

perbuatan, dan sikap). Kedua, Analisis<br />

Tes Kuantitatif; penelaahan butir soal<br />

didasarkan pada data empirik dari butir<br />

soal yang bersangkutan perlu diujikan<br />

terlebih dulu pada siswa. Analisis<br />

menekankan pada karakteristik internal<br />

tes melalui data yang diperoleh secara<br />

empiris.<br />

Ada dua pendekatan dalam anaslisis<br />

ini yaitu; Clasic Theory dan Item<br />

Response Theory (IRT).<br />

Teori tes klasik ini didasari atas<br />

asumsi yang sangat mendasar, yaitu<br />

asumsi yang dapat dipenuhi dengan<br />

mudah oleh kebanyakan data tes.<br />

Statistik model tes klasik mencakup<br />

antara lain; tingkat kesukaran soal<br />

(item difficulty), daya pembeda soal<br />

(item discrimination index), kesalahan<br />

baku pengukuran (standart error of<br />

measurement), dan indeks konsistensi<br />

tes (test reliability index).<br />

Sedangkan IRT juga mempunyai<br />

keuntungan yaitu: (1) dapat<br />

dibandingkan secara langsung hasil tes<br />

dari paket/perangkat yang berbeda-beda<br />

meskipun tidak ada soal yang sama pada<br />

paket tersebut, (2) adanya fleksibilitas<br />

dalam merakit soal tes menjadi paket<br />

tes tanpa khawatir kehilangan informasi<br />

mengenai kehandalan dari masingmasing<br />

paket tes tersebut; bahkan<br />

dapat dibentuk suatu bank soal yang<br />

terkalibrasi sehingga tiap saat dapat<br />

disusun tes baru tanpa harus uji coba<br />

lagi, (3) dapat diperoleh hasil ukuran<br />

yang relative konsisten meskipun<br />

diulangi dengan menggunakan paket<br />

tes yang berlainan, dan (4) pengukuran<br />

dapat dilakukan dengan menetapkan<br />

terlebih dahulu tingkat presis yang<br />

diinginkan.<br />

Kesemua hal tersebut baru berkisar<br />

pada proses pembuatan sebuah tes,<br />

belum lagi kalau ditinjau dari sudut<br />

prosedur pelaksanaan tes dilapangan<br />

(masih termasuk dalam proses<br />

pengukuran). Yang mana seluruh<br />

steakholder pendidikan mengetahui<br />

ketentuan umumnya adalah harus<br />

sesuai dengan prosedur pelaksanaan<br />

ujian serta benar-benar bersih dan<br />

bebas dari kecurangan (adanya “Tim<br />

Sukses”, kebocoran kunci jawaban,<br />

memanipulasi hasil ujian).<br />

38 <strong>Santunan</strong> JUNI <strong>2011</strong><br />

Konon katanya kecurangan ini<br />

dilakukan sebagai upaya mengejar target<br />

“Lulus 100%”. Agar semua pihak puas,<br />

siswa gembira karena lulus, orangtua<br />

bangga pada anaknya, kepala sekolah/<br />

madrasah mendapat penghargaan yang<br />

baik serta pihak pengambil kebijakan<br />

sukses melaksanakan program<br />

pendidikan. Yang pada ahkirnya seluruh<br />

kegiatan ini dapat mendongkrak mutu<br />

pendidikan baik di tingkat daerah<br />

maupun nasional.<br />

Padahal fungsi tes adalah harus<br />

mampu membedakan tingkat<br />

kemampuan siswa (tinggi, sedang dan<br />

rendah). Prinsipnya, pada tes prestasi<br />

tidak mesti seluruh peserta ujiian harus<br />

lulus. Kalau memang kemampuan siswa<br />

kurang maka seharusnya tidak lulus<br />

ujian, kalau mesti lulus 100% mengapa<br />

harus diberikan ujian. Bukan tes atau<br />

proses pelaksanaannya yang harus<br />

disiasati agar dapat lulus tetapi siswalah<br />

yang harus berusaha sebaik mungkin<br />

mempersiapkan diri untuk dapat lulus<br />

dalam sebuah tes.<br />

Setelah kita tahu sebegitu sulitnya<br />

melakukan proses pengukuran, apa<br />

kita masih dengan mudah begitu saja<br />

percaya pada ukuran/angka prestasi<br />

siswa yang dihasilkan dalam sebuah<br />

sebuah tes?, apa kita masih cepat yakin<br />

dan bangga pada siswa kita dengan<br />

hasil yang kelihatan baik? Jangan-jangan<br />

hanya mengukur kemampuan menjawab<br />

tes (soal-soal) bukan mengukur tingkat<br />

prestasi mengusai bidang pelajaran.<br />

Hanya kita yang tahu jawabannya.<br />

Begitu pentingnya kualitas<br />

kegiatan pengukuran ini karena akan<br />

menentukan hajat hidup siswa dan<br />

kualitas pendidikan sebuah negara.<br />

Maka tidak berlebihanlah kalau kita<br />

mengatakan pengukuran yang tak<br />

mengukur apa yang ingin diukur akan<br />

mengakibatkan kehancuran masa depan<br />

suatu bangsa.<br />

Kesimpulannya, pengukuran (ujian)<br />

adalah kegiatan yang paling penting<br />

dalam sebuah proses pendidikan. Tidak<br />

bisa sebuah kesimpulan, penilaian,<br />

keputusan, gambaran, dan interpretasi<br />

dibuat tanpa adanya kegiatan tersebut.<br />

Dengan kata lain baik buruknya<br />

proses pengukuran mencerminkan<br />

baik buruknya mutu pendidikan suatu<br />

bangsa. n<br />

Penulis adalah Alumnus Magister<br />

Psikometri Universitas Indonesia.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!