18.08.2013 Views

Sumatera Ekspres - ScraperOne

Sumatera Ekspres - ScraperOne

Sumatera Ekspres - ScraperOne

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Sumatera</strong> <strong>Ekspres</strong> RABU, 31 OKTOBER 2012 OPINI<br />

5<br />

<strong>Sumatera</strong> <strong>Ekspres</strong><br />

http//www.sumeks.co.id email: redaksi_harian@sumeks.co.id<br />

SIUPP No:095/SK/MENPEN/A7/1986 Tgl 18 Maret 1986 Terbit sejak 2 Agustus 1962<br />

Alamat Redaksi/Sirkulasi/Iklan: Gedung Graha Pena Palembang, Jalan Kol H Barlian No 773 Palembang,<br />

Telepon (0711) 411768, 415263, 415264, 419503. Fax (0711) 415266, 420066.<br />

Perwakilan Jakarta: Komp Widuri Indah Blok A3 Jl Palmerah Barat No 353 Tlp (021) 5330976 Fax (021) 5322629<br />

Pemimpin Umum: H Suparno Wonokromo. Pemimpin Perusahaan: H Subki Sarnawi. General Manager: H Subki<br />

Sarnawi. Wakil General Manager: H Mahmud. Pemimpin Redaksi: Agus Srimudin. Wakil Pimpinan Redaksi:<br />

Karsono, Nurseri. Redaktur Pelaksana: Andri Irawan, Wiro Negoro. Koordinator Liputan: Srimulatsari. Redaktur:<br />

Zulhanan, Englia Defi ni Rosemary, Muhammad Irfan Bahri, Novia Rina Ryanti, Julheri, Martha Hendratmo, Ramadian<br />

Evrin, Edward Desmamora, Edi Triono, Rendi Fadhillah. Staf Redaksi: Yudhi Apriandi, Agus Suryo Pramono, Neni,<br />

Adi Fatriansyah, Anhar Fahrurrozi, Agustriawan, Irmayani, Khairunnisak, M Fajar Wiko, Ardila Wahyuni, Abdul Malik,<br />

Edwar Sagala, Eko Prasetyo, M Chuzairine. Wartawan Jakarta: Syafran Martoni, Kumaidi, Hattadi Prima Putra, A<br />

Reiza Pahlevi. Wartawan Daerah: Ibnu Holdun (Lubuk Linggau), Ansyori Malik (Musi Rawas), Iwan Irawan (Empat<br />

Lawang), Almi Diansyah (Pagar Alam), Imam Rustandi (Lahat), Gus Munir, Anwar Bangsawan (OKU), Berry Sunisu<br />

(Muara Enim), Ade Rosad (OKU Timur), Didi Indawan (OKU Selatan), Asep Yusriansyah (Banyuasin), Sardinan<br />

Delisep (Muba), Dendi Romi (Ogan Ilir), Husni Ahmad (OKI), Quata Akda (Prabumulih), Tomi Kurniawan (Sungai<br />

Lilin). Sekretaris Redaksi: Hilda Safi tri. Fotografer: Evan Zumarli, Kris Samiaji, M Hatta. Design Grafi s: Erwan<br />

Tri Cahyo, Dimas Sagala. Copy Editor: Kms Jon Faradilla, Burmansyah, Muhammad Azhari, Lia Handriska, Linda<br />

Purnama Sari. Pracetak: KM Hailendri (Manajer), Almuhajir, Febri Jaya, Hasyim Chandra, Edi Purnomo, Dandy<br />

Hendrias, Mario Alfi ansyah, Suryana, Widhy Janeri, Roni Pebriansah.<br />

Manajer Advertising: Yunita Ayu. Manajer Advertising Area Palembang: St. Reno Irawan. Manajer Advertising Area Jakarta: Rosmiati.<br />

Marketing Palembang: Lisa Lestari, Dwitri Kartini, Muh. Helmi, Erlina, Henny Yusmalina, Sujarwo, Rachmat Santoso, Ari Abadi, Shofi atun<br />

Khasanah, Wiwin Suhendra, Herman Jumsasi. Marketing Jakarta: Reni Ramadhanty, Wadli Fidrianto, Ahmad Fitriansyah, Dody Suryawan.<br />

Desain iklan: Husni Mubarok, Dede Apriady, Keuangan: Muwarni (Manajer), Tandry, Ivana Budi, Risna Dwi Fitri, Murdiah Eka Wati.<br />

Pemasaran: A Rosidi (Manajer), Rappi Darmawan, Dian Kuntadi, Nova Yanti, Ramini, Sukemi, Safrin Rusli, Bastiar, Fikri, Abu Thalib.<br />

Umum dan SDM: Hamka Abdullah (Manajer), Windy Siska, Iskawani, Nazimudin, Robby Iskandar, Jumat Suprianto. IT/EDP: Yudha Pranata,<br />

Rachmat Aprianto, Ledian Yostariza. Humas: Anto Narasoma. EO: Zaitun Agustina, Laily Yuniarti, Ismail Aulia Nugraha.<br />

Tarif Iklan: Iklan baris Rp15.000,-/per baris (maksimum 8 baris), Iklan Display (umum/dagang/ lelang) BW halaman dalam Rp43.000,-<br />

per mm kolom, Iklan Warna Halaman 1 full colour (FC) Rp120.000,- per mm kolom, halaman dalam FC Rp60.000,- per mm kolom, Iklan<br />

Sosial BW (duka Cita) Rp7.000,- per mm kolom, Harga langganan Rp75.000,- dan untuk luar kota ditambah ongkos kirim. Bank: Bank<br />

Danamon Cabang Palembang rekening no: 03000012233.4 (atas nama PT Citra Bumi <strong>Sumatera</strong>). Bank BNI Cabang Palembang (atas<br />

nama PT Citra Bumi <strong>Sumatera</strong>) rekening no: 010.002108.008.001. Bank Mandiri Cabang Palembang AC. 112.000.109.9519. Khusus<br />

Rek. Bag. Iklan: BCA Rivai AC: 021.097.2528. Penerbit: PT Citra Bumi <strong>Sumatera</strong>. Komisaris Utama: H Alwi Hamu. Komisaris: Hj<br />

Nurhayati, Lukman Setiawan, Ny Helmi Maturri. Direktur Utama: H Suparno Wonokromo. Direktur: Dwi Nurmawan.<br />

Divisi Perusahaan Grup <strong>Sumatera</strong> <strong>Ekspres</strong>: Ocktap Riady, Muntako BM, Yenhar, Tri Hartono, Solihin, Purwadi,<br />

Jhon Kenedy, A Aziz, Sudarmo, Syafi k Gani, Hanida Syafrina, Aan Sartana, Leni Marlina, Doni Ramadona,<br />

Mukhlis Trijaya, Aris Susilo, Abdul Kadir, Alimin Eka Pratama, Tri Nurwanto, M Iqbal, David Aryanto, Okta Fery,<br />

Antoni Emelson, Triyono Junaidi, Sihat Judin, Sirojudin, Hari Budiyanto, Kemas A Rivai, Wiwin Kurniawan, Novi<br />

Haryanto, Budiman, Irfan Rusdiansyah, A. Arpan.<br />

Pencetak: Percetakan PT Sumex Intermedia (Isi di luar tanggung jawab percetakan). Divisi percetakan: H M<br />

Zadjuli (General Manajer), Hj Eni Hartati (Manajer Keuangan & Accounting), Zulkarnain (Kepala Bagian), Sulchan<br />

(Wakabag), Sahiwan, Nanang Purnomo (Koordinator Maintanance), D.Opsunggu (Listrik), Supra Yogi, Heru Suryono,<br />

Asep Yudiana, Andrian Saputra (Adm dan Umum), Suwandar (Cetak Sheet), Zaidin, Bambang Heriyanto, Hendra,<br />

Dody Saputra, Rahmat Hidayat, A Salam, Oktarina (Kasir), Achmad Wahyudi, Kuat Riady.<br />

- Wartawan <strong>Sumatera</strong> <strong>Ekspres</strong> selalu dibekali press card (kartu pers).<br />

- Wartawan <strong>Sumatera</strong> <strong>Ekspres</strong> tidak boleh menerima/meminta apa pun dari nara sumber.<br />

SURAT PEMBACA<br />

Tertipu Tanah Kavelingan<br />

Redaksi Yth,<br />

KEPADA pihak BPN<br />

kota Palembang, mohon<br />

pak ditindak tegas oknum<br />

yang menjual tanah kavelingan<br />

di kawasan Tanjung<br />

Apia api (dekat bandara<br />

SMB II), karena beberapa<br />

tahun lalu saya ada membeli<br />

tanah satu kaveling<br />

seharga Rp6 juta.<br />

Saat itu saya ada menerima<br />

surat jual beli tanah,<br />

namun ketika saya belum<br />

lama ini melihat ke lokasi,<br />

ternyata tanah milik saya<br />

itu sudah dibuldozer dan<br />

tidak ada lagi tanda-tanda<br />

letak persis tanahnya.<br />

Sebagai pedagang kecil<br />

saya tak mengerti hukum<br />

dan tak tau harus mengadu<br />

kemana. Namun saya<br />

berharap tidak ada lagi<br />

orang yang tertipu seperti<br />

saya. Atas dimuatnya surat<br />

ini kepada <strong>Sumatera</strong><br />

<strong>Ekspres</strong> saya ucapkan terimakasih.<br />

Sukardi,<br />

warga Sukabangun II,<br />

K ec. Sukarami, Palembang.<br />

PANDANGAN KAMI<br />

MA Bukan Milik<br />

Djoko-Nurhadi<br />

CEKCOK di Mahkamah<br />

Agung (MA) ini sungguh tidak<br />

elok dan tidak level. Hakim<br />

Agung Gayus Topane Lumbuun<br />

versus Sekretaris MA<br />

Nurhadi. Kalau MA diibaratkan<br />

tim sepak bola, pertengkaran<br />

itu melibatkan striker dan ofi -<br />

sial. Tugasnya hanya membantu<br />

memastikan agar tim bisa<br />

lancar sebelum dan setelah<br />

terjun di lapangan. Tak kurang<br />

dan tak lebih. Yang tidak elok,<br />

sang ”ofi sial” terkesan dibantu<br />

oleh ”striker” lain, yakni Ketua<br />

MA Bidang Pidana Khusus<br />

Djoko Sarwoko. Sampai-sampai<br />

Djoko mengeluarkan petuah<br />

kepada Gayus, ”Menurut<br />

saya, jika dia tidak suka dengan<br />

kondisi MA sekarang, ya keluar<br />

saja. ”Wah, wah, wah. Ungkapan<br />

Djoko tersebut menguak<br />

persepsi ganjilnya terhadap<br />

lembaga tempatnya bernaung,<br />

MA. Menurut logika dia, Gayus<br />

boleh keluar dari MA kalau tak<br />

suka, seakan-akan MA milik<br />

dirinya. Padahal, secara esensi,<br />

kedudukan Djoko tidak lebih<br />

tinggi daripada Gayus. Samasama<br />

”tuan rumah” di MA.<br />

Logika yang benar: Djoko punya<br />

hak mundur, tetapi tak bisa<br />

memundurkan orang lain.<br />

Yang tak disangka adalah<br />

reaksi Sekretaris MA Nurhadi<br />

yang berang. ”Saya nggak pernah<br />

takut sama siapa pun karena<br />

saya clean. Saya nggak peduli,<br />

saya labrak betul (Gayus<br />

Lumbuun) karena saya clean,”<br />

ujar sosok yang lama menduduki<br />

kursi sebagai sekretaris<br />

MA tersebut.<br />

Tentu saja itu reaksi yang<br />

tidak wajar atas permintaan<br />

yang wajar. Nurhadi memang<br />

layak ”diaudit”. Pembelaan<br />

kawannya, ya Djoko Sarwoko<br />

itu, malah menguak ternyata<br />

dia pengusaha, tepatnya PNS<br />

yang pengusaha. Nurhadi juga<br />

banyak menyumbang ke MA.<br />

Dia merenovasi kamar kerjanya<br />

sendiri. (*)<br />

Telaah Defi nisi Rugi PLN<br />

LAPORAN BPK Nomor<br />

30/Auditama VII/<br />

PDTT/09/2011 tertanggal<br />

16 September 2011 yang<br />

menyebutkan bahwa PLN<br />

efektif merugikan negara<br />

sungguh mengagetkan.<br />

Disebutkan, saat PLN dipimpin<br />

Dirut Dahlan Iskan<br />

(kini menteri BUMN), ditemukan<br />

bukti penggunaan<br />

biaya tambahan Rp 37,6<br />

triliun pada 2009–2011.<br />

SEBAGAI lembaga penilai<br />

kredibel, BPK seharusnya berhati-hati<br />

menggunakan term<br />

rugi karena dampaknya tidak<br />

ringan.<br />

Harus dikaji mengapa terjadi<br />

swap pemakaian BBM dan<br />

bagaimana PLN mempertahankan<br />

kontinuitas listrik<br />

kepada masyarakat jika tidak<br />

menggunakan BBM. Kalau<br />

bahan bakar dari gas tersedia,<br />

PLN pasti tidak akan membeli<br />

bahan bakar lebih mahal seperti<br />

BBM. Apalagi, ada high<br />

risk dari pandangan politisi<br />

yang haus mencari-cari kesalahan<br />

orang lain. Dari aspek<br />

fairness, jika BPK menemukan<br />

data menguntungkan, data tersebut<br />

sama sekali tak pernah<br />

ditonjolkan ke publik sebagai<br />

bentuk penghargaan.<br />

Ada kecenderungan menempatkan<br />

BPK selalu pada pihak<br />

penemu kesalahan. Lalu, siapa<br />

pihak yang akan menilai lembaga<br />

BPK? Bakal bengkaknya<br />

subsidi energi lis trik sebenarnya<br />

sudah dimafhumi. Tahun ini<br />

Kapan the third wave investment,<br />

dengan total projek senilai Rp 410 Triliun<br />

dari Jepang itu landing dan menjadi motor<br />

penggerak Koridor II? Kapan 45 projek<br />

prioritas, 18 projek cepat, dan 5 projek<br />

MPA Flagship itu naik level menjadi realisasi?<br />

Bukan hanya bangsa ini yang bosan<br />

menunggu ketidakpastian? PM Jepang<br />

Yoshihiko Noda pun tak sabar meninggu<br />

peluit start in actions?<br />

Menko Hatta Rajasa pun geregetan,<br />

ketika disentil dengan pertanyaan “kapan”<br />

itu? Dia seperti habis tersengat ulat matahari,<br />

yang membuat muka dan telinganya memerah.<br />

Panas, gatal, cemas, berbaur menaikkan<br />

tensi dan detak jantung. “Terus terang,<br />

saya ingin berlari kencang, secepat kereta<br />

peluru Shinkansen!” jawabnya serius.<br />

Tak ada satu alasan pun yang membuatnya<br />

galau, untuk melangkah lebih<br />

cepat dan melompat lebih jauh. Working<br />

group terus berproses, joint meeting<br />

terus mengalami kemajuan yang berarti,<br />

bahkan intensitasnya lebih ditingkatkan.<br />

Regulasi baru dalam hal investment area<br />

juga terus disosialisasi. Semua progres<br />

mengarah kuat menuju realisasi. “Kami<br />

jaga ritmenya agar lebih cepat, minimal<br />

masih dalam frame time yang sudah tersusun,<br />

sambil membenahi kondusivitas<br />

iklim investasi dalam negeri,” ucap Hatta<br />

Rajasa.<br />

Iklim? Memang ada apa dengan iklim<br />

investasi? “Jujur sajalah, nggak usah<br />

ditutup-tutupi, masih banyak hal yang<br />

secara internal harus dibereskan. Karena<br />

keluhan itu juga muncul dalam The Third<br />

Steering Committee Meeting of MPA for<br />

Investment and Industry itu,” kata Hatta,<br />

sambil mengenang permohonan Menlu<br />

Jepang Koichiro Gemba dan Menteri<br />

Ekonomi, Perdagangan dan Industri Yukio<br />

Edano di Likura Guest House, Tokyo,<br />

9 Oktober lalu itu.<br />

Perburuhan yang mereka contohkan,<br />

sudah bukan menjadi rahasia lagi, sekarang<br />

bahkan menjadi warning amat krusial<br />

simulasi dalam APBNP 2012 sudah<br />

melakukan prognose bahwa<br />

subsidi kepada PLN akan berkisar<br />

Rp 89,1 triliun dari semula Rp<br />

64,97 triliun.<br />

Jadi, jika kemudian BPK menemukan<br />

ada pembelian BBM<br />

sebesar Rp 37,6 triliun selama<br />

2009–2011, sebetulnya hal itu<br />

tidak mengherankan. PLN dalam<br />

berbagai rilis ke publik<br />

oleh Dahlan Iskan ketika itu<br />

sering memberikan informasi<br />

mengenai hal tersebut. Yang<br />

justru mengherankan adalah<br />

sikap pemerintah sebagai pemilik<br />

de jure PLN dalam menanggapi<br />

sulitnya posisi PLN.<br />

Beberapa kali scenario kenaikan<br />

tarif TDL berubah-ubah, tampak<br />

jelas belum ada formulasi<br />

fi rm jangka panjang soal listrik.<br />

Pada Juli 2012, misalnya, Menko<br />

Perekonomian Hatta Rajasa<br />

mewacanakan kenaikan TDL<br />

10 persen dan direvisi 15 persen<br />

dalam RAPBN 2013. Akankah<br />

itu berubah lagi dengan perkembangan<br />

baru ini? Menurut<br />

asumsi semula, dengan kenaikan<br />

15 persen PLN diharapkan<br />

mendapatkan tambahan dana<br />

Rp 14,89 triliun.<br />

Atau, jika tidak, negara harus<br />

membayar Rp 93,52 triliun<br />

kepada PLN untuk pembelian<br />

BBM jenis solar high speed<br />

diesel (HSD), industrial diesel<br />

oil (IDO), dan marine fuel oil<br />

(MFO). BBM tersebut diperlukan<br />

pada pembangkit diesel di<br />

Belawan, Medan, dan Kalbar<br />

meski sebenarnya PLN sudah<br />

me-retrofi t PLTD menjadi generator<br />

gas.<br />

dalam investasi. Demo-demo buruh itu<br />

sudah sampai pada tingkat “mengkhawatirkan”<br />

iklim penanaman investasi di Indonesia.<br />

“Berapa kali saya sendiri harus<br />

menyelesaikan persoalan<br />

perburuhan dan demo-demo<br />

itu? Yang terakhir, saya sampai<br />

lima jam berdialog dengan<br />

mereka. Harusnya mereka<br />

merencanakan mogok lima<br />

hari, dan itu sangat berbahaya.<br />

Saya turun tangan sendiri!<br />

Ini sepulang ke tanah air<br />

juga sudah ditunggu oleh mereka.<br />

Anda bisa bayangkan,<br />

sebegitu serius suasana perburuhan<br />

itu di mata investor<br />

yang akan menggelontorkan<br />

modal projek Rp 410 Triliun?”<br />

ungkapnya.<br />

Hatta mengakui, tidak<br />

gampang menuntaskan urusan perburuhan<br />

itu. Tidak gampang itu bukan<br />

berarti tidak bisa. “Outsourching itu tidak<br />

dibenarkan lagi dalam UU kita. Tetapi karena<br />

ada keterlanjuran, maka harus ada<br />

transisi. Kuncinya di situ, berundingnya<br />

adalah berapa lama masa transisi itu?<br />

Bukan lagi pada boleh dan tidak boleh<br />

outsourching? Lelah, mendiskusikan<br />

hal yang tidak ada ujungpangkalnya,”<br />

kata Hatta mantan Presiden Direktur<br />

Arthindo, yang nota bene juga mantan<br />

pengusaha itu.<br />

Menurut Hatta, hanya ada lima jenis yang<br />

masih diperbolehkan. Yakni, perusahaan<br />

perminyakan, perusahaan keamanan atau<br />

security, perusahaan cleaning service, transportasi<br />

dan catering. Lalu bagaimana kalau<br />

perusahaan itu hanya<br />

membutuhkan<br />

tenaga kerja tambahan<br />

dan berjangka<br />

waktu pendek?<br />

Misalnya tiga-empat<br />

bulan saja? “Nah,<br />

itu bisa saja, tetapi<br />

istilahnya kontrak<br />

Mahalnya operasional PLN<br />

sebetulnya adalah buah dari<br />

kebijakan pemerintah sendiri<br />

yang salah. Sebetulnya, kini<br />

semakin sedikit pembangkit<br />

PLN yang menggunakan BBM<br />

karena konversi bauran energi<br />

kian diakselerasi ketika Dahlan<br />

Oleh<br />

EFFNU SUBIYANTO*<br />

menjadi Dirut PLN. Sebelumnya,<br />

sangat banyak generator<br />

batu bara yang diganti de ngan<br />

BBM, demikian pula generator<br />

gas yang dihidupkan dengan<br />

BBM pula.<br />

Gas adalah revolusi terbaru<br />

PLN dan semakin intensif dipopulerkan<br />

ketika Dahlan memimpin.<br />

Kebutuhan gas PLN<br />

setiap tahun minimal adalah<br />

293 tera btu (british thermal<br />

unit) atau dalam sehari kirakira<br />

1,5 juta mmscfd (million<br />

metric standard cubic feet per<br />

day) atau 802,74 bbtud (billion<br />

british ter mal unit per day) dalam<br />

konversi satuan lain.<br />

Namun, Pertamina, PHE-<br />

ONWJ (PT Pertamina Hulu<br />

Energi–Offshore North West<br />

Java), dan PGAS sebagai pemasok<br />

gas PLN hanya mampu<br />

merealisasi 900 ribu mmscfd per<br />

hari. Gas itu seharusnya dipakai<br />

untuk energize PLTGU Tambak<br />

Lorok dengan volume minimal<br />

150 bbtud, PLTGU Priok (180<br />

bbtud), PLTGU Muara Karang<br />

(90 bbtud), dan PLTGU Muara<br />

Tawar (400 mmscfd). Masih banyak<br />

pembangkit bersumber gas<br />

lainnya seperti PLTGU di Bali,<br />

Kaltim, dan Sulawesi Selatan.<br />

Namun, jangan kaget bila<br />

volume pasokan gas alam untuk<br />

PLN kian menyusut karena<br />

yang lebih besar justru dijual ke<br />

luar negeri. BP Migas mencatat,<br />

volume ekspor rata-rata per<br />

tahun paling tidak 43,22 persen<br />

di antara total kapasitas<br />

produksi nasional atau 3.322<br />

bbtud. Tahun lalu malah ekspor<br />

direalisasi sampai 49,82 persen<br />

atau 4.312 bbtud.<br />

Di atas kertas, volume produksi<br />

gas nasional yang diproyeksikan<br />

untuk memenuhi<br />

kebutuhan domestik adalah<br />

4.366 bbtud tahun ini atau<br />

sebetulnya sangat cukup buat<br />

memenuhi kebutuhan PLN.<br />

Namun, entah mengapa aliran<br />

gas itu menguap begitu saja.<br />

PLN tentu saja kebingungan<br />

karena ketidakstabilan pasokan<br />

gas akan merogoh kocek<br />

PLN semakin dalam. Dengan<br />

BBM, biaya mendapatkan<br />

listrik akan melejit Rp 3.500<br />

per kWh, namun dengan gas<br />

hanya Rp 600 per kWh. Dengan<br />

demikian, jika sekarang PLN<br />

defisit gas 600 ribu mmscfd<br />

atau setara 321 ribu mmbtud,<br />

hal ini sama dengan 5.352 MW<br />

pembangkit yang terpaksa<br />

menggunakan BBM.<br />

Ada hitungan praktis PLN<br />

bahwa gas dengan volume 60<br />

mmbtud hanya cukup untuk<br />

energize 240 MW. Kelangkaan<br />

gas untuk memasok generator<br />

kerja. Bukan outsourching, jangan disiasati.<br />

Perusahaannya berjangka panjang, tetapi<br />

menggunakan model outsourching. Labour<br />

supplay ini menyangkut kesejahteraan, jadi<br />

bisa menjadi persoalan krusial.<br />

Contohnya, di Jabodetabek buruh<br />

dibayar Rp 1,5 juta? Mana<br />

cukup? PNS saja sudah di atas<br />

Rp 2 juta?” ungkapnya.<br />

Goalnya adalah, buruh<br />

harus ada jaminan kesejahteraan,<br />

tetapi perusahaan juga<br />

harus tetap sehat. Spiritnya,<br />

mencari solusi terbaik, bukan<br />

saling memaksakan kehendak.<br />

Semangatnya, harus<br />

saling mendukung, agar iklim<br />

investasi tetap kondusif, dan<br />

sustainable.<br />

Soal penghematan energi,<br />

pengurangan BBM bersubsidi<br />

yang terkatung-katung itu, lanjut Hatta,<br />

juga disayangkan. “Coba kalau skema<br />

penghematan itu bisa dijalankan sesuai<br />

perencanaan? Lalu, sebagian diplot untuk<br />

melanjutkan connectivity dengan membangun<br />

infrastruktur? Wow, luar biasa<br />

percepatan dan pergerakan ekonomi kita?”<br />

kata Hatta, sambil mengibaratkan jika mengendarai<br />

mobil, sudah seperti naik Ferrari.<br />

Tinggal tancap gas saja.<br />

Tahun pertama, sisihkan Rp 60 Triliun,<br />

untuk membangun Trans <strong>Sumatera</strong> dari<br />

Aceh sampai Lampung. Tidak harus jalan<br />

tol, tetapi jalan dengan kualitas highway.<br />

Tahun kedua, bangun Trans Kalimantan<br />

dan Trans Sulawesi, dengan Rp 100 Triliun.<br />

Tahun ketiga, membangun Trans Papua<br />

Rp 100 Triliun. Tahun keempat, baru Jawa<br />

PLN ini harus disikapi sangat<br />

serius oleh BP Migas sebagai<br />

regulator kegiatan usaha hulu<br />

minyak dan gas bumi. Harus<br />

ditentukan skala prioritas, apakah<br />

ekspor lebih diperlukan<br />

atau harus menyelamatkan<br />

defisit APBN? Kelebihan pasokan<br />

gas ke Singapura dari<br />

kontrak sampai 300 mmscfd<br />

demi mendapatkan harga<br />

US$ 10 per mmbtu seharusnya<br />

dicegah.<br />

Daya beli PLN mungkin<br />

hanya US$ 4,9 per mmbtu.<br />

Namun, nilai multiplier eff ect<br />

ekonomi karena murahnya listrik<br />

sungguh luar biasa seperti<br />

berjalannya UMKM, koperasi,<br />

sampai pabrik-pabrik dengan<br />

buruh ribuan. Benefi t ratio dari<br />

ekspor gas tidak sepadan jika<br />

dibandingkan dengan biaya<br />

yang diperlukan untuk mengimpor<br />

BBM dan dampaknya<br />

ke belakang dari sector ekonomi<br />

mikro sampai makro.<br />

Inilah yang ketika itu dalam<br />

periode 2009–2011 dilakukan<br />

PLN dengan berdarah-darah.<br />

PLN dalam apa pun kondisinya<br />

harus mempertahankan<br />

kontinuitas listrik yang tidak<br />

boleh mati. Jika mati, target<br />

pertumbuhan ekonomi US$<br />

1 triliun pada tahun ini akan<br />

semakin sulit diwujudkan.<br />

Jika hal demikian disebut rugi,<br />

sebaiknya auditor BPK perlu<br />

disekolahkan lebih tinggi lagi.<br />

*) Pendiri Forum Pengamat<br />

Kebijakan Publik (Forkep),<br />

mahasiswa doktor ekonomi<br />

Unair<br />

Mengintip Misi Hatta Rajasa Menggandeng Dua Macan Asia Jepang-Korea (3-Bersambung)<br />

Melesat Kencang Secepat Kereta Shinkansen<br />

FOTO ; IST<br />

HATTA RAJASA<br />

mrloperkoran @ <strong>ScraperOne</strong> & Kaskus<br />

Selatan dengan nilai Rp 100 Triliun juga.<br />

“Baru, swasta kita beri kesempatan untuk<br />

membangun jalur Pantura atau Jawa Utara<br />

di tepian pantai dengan investasi Rp 200<br />

Triliun. Diuruk dulu, dibuat waterfront city,<br />

dibuat kota baru, di atasnya dibangun tol.<br />

Itu akan menjadi pengungkit lompatan ekonomi<br />

yang luar biasa tajam,” idenya.<br />

Bagaimana dengan pembebasan lahan?<br />

Itu problem yang saat ini lebih krusial<br />

dibandingkan soal ketenagakerjaan? “Tidak<br />

perlu pembebasan? Itu kan berada di pantai,<br />

cukup diuruk, tidak mengambil tanah milik<br />

orang lain?” jawab Hatta. Bagaimana dengan<br />

izin pemerintah daerah, yang kadang<br />

juga menjadi persoalan tersendiri? “Kalau<br />

dibangun bagus, pasti tidak ada alasan untuk<br />

tidak setuju? Karena daerahnya juga akan<br />

terangkat naik. Mana ada pimpinan daerah<br />

yang tidak mau daerahnya maju pesat?”<br />

lagi-lagi jawab Hatta berapi-api.<br />

Soal prosedur administratif dalam<br />

pembangunan infrastruktur, lanjut Hatta,<br />

juga harus ada langkah akseleratif. “Saatnya<br />

Perpres No 54 itu dirombak. Diganti<br />

dengan Keppres yang bisa menunjuk langsung.<br />

Kalau melalui proses tender, pasti<br />

lama lagi, berpotensi banyak permainan,<br />

ada yang membuat penawaran di bawah<br />

harga, tidak akan mundur kalau tidak diberi<br />

fee, sengketa tender, dan persoalan pelik<br />

lain. Itu yang sering menyandera skedul<br />

projek dan bikin frustasi,” kata Hatta.<br />

Kembali pada pertanyaan “kapan” dimulai<br />

gelombang ketiga investasi Negeri<br />

Matahari itu landing ke Indonesia? Jawabnya,<br />

Ayo percepat landasan untuk mendaratkan<br />

pesawat yang bernama “the third<br />

wave investment” itu! (dk/bersambung).

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!