BAB II TINJAUAN PUSTAKA - USU Institutional Repository ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA - USU Institutional Repository ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA - USU Institutional Repository ...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
2.1 Uraian tanaman<br />
<strong>BAB</strong> <strong>II</strong><br />
<strong>TINJAUAN</strong> <strong>PUSTAKA</strong><br />
Sirih (Piper betle L.) merupakan tumbuhan terna yang termasuk famili<br />
piperaceae. Sirih memiliki jenis yang beragam, seperti sirih hijau, sirih hitam,<br />
sirih kuning dan sirih merah. Semua jenis tanaman sirih memiliki ciri yang hampir<br />
sama yaitu tanamannya merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan<br />
bertangkai yang tumbuh berselang seling dari batangnya. Sirih merah selain<br />
digunakan sebagai tanaman hias oleh para hobis karena penampilannya yang<br />
menarik, namun dapat juga dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Anonim, 2009).<br />
Sirih merah merupakan tanaman yang diketahui tumbuh di berbagai<br />
daerah di Indonesia, seperti di lingkungan Keraton Yogyakarta dan di lereng<br />
Merapi sebelah timur, serta di Papua dan Jawa Barat. Sirih merah bisa tumbuh<br />
dengan baik di tempat yang teduh dan tidak terlalu banyak terkena sinar matahari.<br />
Jika terkena sinar matahari langsung secara terus-menerus warna merah daunnya<br />
bisa menjadi pudar dan kurang menarik (Sudewo, 2005).<br />
Daun sirih merah yang memenuhi syarat untuk dipanen adalah daun yang<br />
sudah berumur lebih dari satu bulan. Pada umur ini ketebalan dan lebar daun<br />
sudah memenuhi syarat untuk dipanen. Jika umurnya kurang dari satu bulan, daun<br />
sirih merah masih tipis, cepat layu dan aromanya belum kuat. Kandungan zat<br />
kimianya pun belum maksimal, sehingga daya penyembuhnya tidak sebaik daun<br />
yang sudah berumur satu bulan atau lebih. Waktu yang tepat memetik atau<br />
memanen daun sebaiknya dilakukan pada pagi hari sampai dengan jam 11.00<br />
(Sudewo, 2005).<br />
Universitas Sumatera Utara
2.1.1 Sistematika tanaman<br />
Sistematika sirih merah sebagai berikut (Sugati dan Johnny, 2000).<br />
Divisi : Spermatophyta<br />
Sub divisi : Angiospermae<br />
Kelas : Dicotyledonae<br />
Bangsa : Piperales<br />
Suku : Piperaceae<br />
Marga : Piper<br />
Jenis : Piper cf. fragile Benth.<br />
2.1.2 Morfologi tanaman<br />
Sirih merah merupakan tanaman yang tumbuh menjalar. Batangnya bulat<br />
berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Daunnya bertangkai berbentuk<br />
jantung dengan bagian atas meruncing, bertepi rata dan permukaannya mengkilap<br />
atau tidak berbulu. Panjang daunnya bisa mencapai 15-20 cm. Warna daun bagian<br />
atas hijau bercorak warna putih keabu-abuan. Bagian bawah daun berwarna merah<br />
cerah. Daunnya berlendir, berasa sangat pahit dan beraroma wangi khas sirih.<br />
Batangnya bersulur dan beruas dengan jarak buku 5-10 cm. Di setiap buku<br />
tumbuh bakal akar (Sudewo, 2005).<br />
2.1.3 Kandungan kimia<br />
Senyawa fitokimia yang terkandung dalam daun sirih merah yakni alkaloid<br />
flavonoid, saponin, tanin dan minyak atsiri. Menurut Ivorra, M.D di dalam buku<br />
”A review of natural product and plants as potensial antidiabetic” senyawa aktif<br />
flavonoid dan alkaloid memiliki aktivitas hipoglikemik atau penurun kadar<br />
glukosa darah (Anonim, 2007).<br />
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Khasiat dan penggunaan<br />
Penggunaan sirih merah dapat digunakan dalam bentuk segar maupun<br />
simplisia. Secara empiris sirih merah dapat menyembuhkan berbagai jenis<br />
penyakit seperti diabetes millitus, hepatitis, batu ginjal, kolesterol, hipertensi,<br />
asam urat, keputihan, obat kumur, maag, radang mata, nyeri sendi dan<br />
memperhalus kulit. Sirih merah banyak digunakan pada klinik herbal center<br />
sebagai ramuan atau terapi bagi penderita yang tidak dapat disembuhkan dengan<br />
obat kimia (Anonim, 2009).<br />
2.2 Ekstraksi<br />
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut<br />
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut<br />
cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke<br />
dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan<br />
diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah<br />
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).<br />
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat<br />
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang<br />
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau<br />
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah<br />
ditetapkan (Ditjen POM, 1995).<br />
Universitas Sumatera Utara
a. Cara dingin<br />
1. Maserasi<br />
Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara:<br />
Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia yang menggunakan<br />
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur<br />
ruangan (kamar).<br />
2. Perkolasi<br />
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai<br />
penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses<br />
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara dan tahap<br />
perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) secara terus menerus<br />
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.<br />
b. Cara panas<br />
1. Refluks<br />
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik<br />
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan<br />
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada<br />
residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi<br />
sempurna.<br />
2. Sokletasi<br />
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang<br />
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang<br />
berkelanjutan dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya<br />
pendingin balik.<br />
Universitas Sumatera Utara
3. Digesti<br />
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontiniu) pada<br />
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar) yaitu secara umum<br />
dilakukan pada temperatur 40-50 o C.<br />
4. Infus<br />
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air<br />
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98 o C)<br />
selama waktu tertentu (15-20 menit).<br />
5. Dekok<br />
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 o C) dengan<br />
temperatur sampai titik didih air.<br />
6. Destilasi uap<br />
Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak<br />
atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa<br />
tekanan parsial. Senyawa menguap akan terikut dengan fase uap air dari ketel<br />
secara kontiniu dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa<br />
kandungan menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa<br />
kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian (Ditjen POM, 2000).<br />
2.3 Diabetes Melitus<br />
Diabetes melitus adalah istilah kedokteran untuk sebutan penyakit yang di<br />
Indonesia kita kenal dengan nama penyakit gula atau kencing manis. Istilah ini<br />
berasal dari bahasa Yunani. Diabetes artinya mengalir terus, melitus berarti madu<br />
atau manis. Jadi, istilah ini menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita yaitu<br />
adanya cairan manis yang mengalir terus (Dalimartha, 2004).<br />
Universitas Sumatera Utara
Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa<br />
darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin<br />
baik absolut maupun relatif. Penyakit ini bersifat menahun atau kronis<br />
(Dalimartha, 2004).<br />
Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat<br />
serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa<br />
yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah<br />
menjadi glikogen dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada diabetes<br />
proses tersebut terganggu dimana glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, oleh<br />
karena itu energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak<br />
(Handoko dan Suharto, 1995).<br />
2.3.1 Klasifikasi diabetes melitus<br />
Secara klinis diabetes melitus dibedakan menjadi 2 tipe yaitu:<br />
a. Diabetes melitus tipe 1<br />
Penderita diabetes tipe 1 diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan<br />
populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini terdapat destruksi<br />
dari sel beta pankreas, sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi dengan<br />
akibat sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah (Tjay dan Kirana, 2007).<br />
Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolut yang disebabkan<br />
oleh lesi atau nekrosis sel beta berat. Hilangnya fungsi sel beta mungkin<br />
disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia atau karena proses destruksi<br />
autoimun. Akibat dari destruksi sel beta, pankreas gagal berespons terhadap<br />
masukan glukosa. Diabetes tipe 1 memerlukan insulin eksogen untuk menghindari<br />
keadaan hiperglikemia yang dapat mengancam kehidupan (Mycek, et al., 2001).<br />
Universitas Sumatera Utara
. Diabetes melitus tipe 2<br />
Penderita diabetes tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi<br />
penderita diabetes. Penderita terutama yang berada pada tahap awal, umumnya<br />
masih terdapat jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar<br />
glukosa yang juga tinggi (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini, pankreas masih<br />
mempunyai beberapa fungsi sel beta, yang menyebabkan kadar insulin bervariasi<br />
yang tidak cukup untuk memelihara homeostasis glukosa (Mycek, et al., 2001). Di<br />
samping karena defisiensi fungsi insulin yang bersifat relatif, namun juga<br />
disebabkan sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin<br />
secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin yaitu gangguan<br />
fungsi insulin yang ditandai dengan tidak responsifnya sel-sel tubuh walaupun<br />
kadar insulin cukup tinggi. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara<br />
maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas dan gaya<br />
hidup kurang gerak (Depkes RI, 2005).<br />
Bila tindakan umum (diet, gerak badan dan penurunan berat badan) tidak<br />
atau kurang efektif untuk menormalkan kadar glukosa darah, perlu digunakan<br />
antidiabetika oral (Tjay dan Kirana, 2007).<br />
2.3.2 Gejala diabetes melitus<br />
Gejala yang sering dirasakan penderita diabetes melitus antara lain poliuria<br />
(sering buang air kecil), polidipsia (sering haus) dan polifagia (banyak<br />
makan/mudah lapar). Selain itu, sering pula muncul keluhan penglihatan kabur,<br />
kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat<br />
mengganggu (pruritus), penurunan berat badan dengan cepat dan sukar sembuh<br />
dari luka (Depkes RI, 2005).<br />
Universitas Sumatera Utara
2.4 Toleransi glukosa<br />
Pada diabetes, glukosa menumpuk dalam aliran darah, terutama setelah<br />
makan. Bila beban glukosa diberikan pada seorang pasien diabetes, maka glukosa<br />
plasma meningkat lebih tinggi dan kembali ke nilai normal lebih lambat daripada<br />
yang terjadi pada orang normal. Respons terhadap dosis uji glukosa oral standar<br />
yaitu uji toleransi glukosa oral, digunakan secara klinis untuk mendiagnosis<br />
diabetes. Gangguan toleransi glukosa pada diabetes disebabkan oleh penurunan<br />
pemasukan glukosa ke dalam sel (Ganong, 1998).<br />
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu transpor<br />
glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah<br />
tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan<br />
meningkat dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga<br />
tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya (Depkes RI, 2005).<br />
Kemampuan tubuh dalam memanfaatkan glukosa dapat ditentukan dengan<br />
mengukur toleransi glukosa yang dapat ditunjukkan dengan sifat kurva glukosa<br />
darah setelah pemberian glukosa. Diabetes melitus ditandai dengan berkurangnya<br />
toleransi tubuh terhadap glukosa yang disebabkan berkurangnya sekresi insulin.<br />
Hal ini dimanifestasikan dengan kadar glukosa darah yang makin meningkat<br />
(hiperglikemik) disertai glikosuria dan perubahan pada metabolisme lemak<br />
(Suharmiati, 2003).<br />
Universitas Sumatera Utara
2.5 Pengaturan kadar glukosa dalam darah<br />
Pengaturan kadar glukosa dalam darah dipengaruhi oleh organ-organ<br />
tertentu, diantaranya adalah pankreas dan hati.<br />
a. Pankreas<br />
Terdapat empat peptida dengan aktivitas hormonal yang disekresikan oleh<br />
pulau Langerhans di pankreas yaitu insulin, glukagon, somatostatin dan<br />
polipeptida pankreas. Hormon yang mempunyai peranan penting dalam<br />
pengaturan kadar glukosa darah adalah insulin dan glukagon (Ganong, 1998).<br />
Fungsi utama insulin adalah merendahkan kadar glukosa dalam darah dan<br />
mengubah glukosa menjadi glikogen sedangkan glukagon bekerja meningkatkan<br />
glukosa darah dengan cara mengubah glikogen menjadi glukosa (Faigin, 2001).<br />
b. Hati<br />
Hati berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah normal<br />
(glukostat), menyimpan glikogen jika terjadi kelebihan glukosa, membebaskan<br />
glukosa kedalam darah jika diperlukan dan merupakan tempat utama interkonversi<br />
metabolisme misalnya glukoneogenesis (Faigin, 2001).<br />
Pada keadaan setelah makan, sebanyak dua pertiga glukosa yang<br />
diabsorpsi dari usus segera disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Jika glukosa<br />
tidak memasuki tubuh selama beberapa jam, glikogen hati diuraikan atas perintah<br />
glukagon (yang mengaktifkan enzim pengurai glikogen, phosphorilase).<br />
Degradasi glikogen menghasilkan glukosa, yang kemudian dilepaskan ke<br />
dalam aliran darah sehingga konsentrasi glukosa dalam darah meningkat. Sebagai<br />
reaksi dari kegiatan glukagon yang menaikkan glukosa darah, insulin diproduksi<br />
untuk membawa glukosa yang baru saja dilepaskan ke dalam aliran darah menuju<br />
Universitas Sumatera Utara
sel-sel tubuh. Hal ini mempercepat turunnya glukosa darah, sebagai akibatnya<br />
glukagon diproduksi untuk mempertinggi glukosa darah, sebagai akibatnya<br />
dilepaskan insulin, demikian seterusnya. Jika masukan karbohidrat ditiadakan,<br />
aksi hormon-hormon ini secara perlahan menghilang karena glikogen hati habis<br />
(Faigin, 2001).<br />
Pada keadaan terjadi diabetes melitus semua proses tersebut terganggu,<br />
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga energi terutama diperoleh dari<br />
metabolisme protein dan lemak (Handoko dan Suharto, 1995).<br />
2.6 Terapi farmakologi<br />
Dalam penatalaksanaan diabetes, hal penting yang harus dilakukan adalah<br />
berupa pengaturan diet dan olahraga (Depkes RI, 2005). Obat hipoglikemik oral<br />
perlu diberikan bila pengaturan nutrisi secara maksimal tidak berhasil<br />
mengendalikan kadar gula darah. Segala program pengobatan bertujuan untuk<br />
mengendalikan hiperglikemia dengan pengelolaan gizi dan latihan, baik dengan<br />
tambahan obat hipoglikemik oral maupun insulin (Drury, 1979).<br />
2.6.1 Terapi insulin<br />
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita diabetes melitus<br />
tipe 1. Pada diabetes melitus tipe 1, sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas<br />
penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai<br />
penggantinya, maka penderita harus mendapat insulin eksogen untuk membantu<br />
agar metabolisme karbohidrat didalam tubuhnya dapat berjalan dengan normal<br />
(Depkes RI, 2005).<br />
Universitas Sumatera Utara
2.6.2 Terapi obat hipoglikemik oral<br />
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu<br />
penanganan pasien diabetes melitus tipe 2 (Depkes RI, 2005). Obat antidiabetika<br />
oral dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu derivat sulfonilurea dan derivat biguanid<br />
(Handoko dan Suharto, 1995).<br />
a. Golongan sulfonilurea<br />
Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk merangsang pelepasan insulin dari<br />
sel beta pankreas, mengurangi kadar glukagon dalam serum dan meningkatkan<br />
pengikatan insulin pada jaringan target dan reseptor (Mycek, et al., 2001).<br />
1. Tolbutamid<br />
Contoh obat golongan sulfonilurea diantaranya:<br />
Mula kerjanya cepat dan kadar maksimal dicapai dalam 3-5 jam. Dalam darah<br />
tolbutamid terikat protein plasma dan diekskresi melalui ginjal.<br />
2. Gliburid (glibenklamid)<br />
Cara kerjanya sama dengan sulfonilurea lainnya. Obat ini 200 kali lebih kuat<br />
dari tolbutamid, tetapi efek hipoglikemia maksimal mirip sulfonilurea lainnya.<br />
Gliburid dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit diekskresi melalui<br />
urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan tinja. Gliburid efektif dengan<br />
pemberian dosis tunggal. Bila pemberian dihentikan obat akan bersih dari<br />
serum sesudah 36 jam.<br />
3. Klorpropamid<br />
Diserap dengan cepat oleh usus, 70-80% dimetabolisme dalam hati dan<br />
metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah obat ini terikat<br />
albumin, masa paruhnya kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat<br />
Universitas Sumatera Utara
eberapa hari setelah pengobatan dihentikan. Efek hipoglikemik maksimal<br />
dosis tunggal terjadi kira-kira 10 jam setelah obat itu diberikan.<br />
4. Glipizid<br />
Kekuatan 100 kali lebih kuat daripada tolbutamid, tetapi efek hipoglikemia<br />
maksimal mirip dengan sulfonilurea lain. Glipizid diabsorpsi lengkap sesudah<br />
pemberian oral dan dengan cepat dimetabolisme dalam hati menjadi tidak aktif.<br />
Metabolit dan kira-kira 10% obat yang utuh diekskresi melalui ginjal (Handoko<br />
dan Suharto, 1995).<br />
b. Golongan biguanida<br />
Berbeda dengan sulfonilurea, obat ini tidak menstimulasi pelepasan<br />
insulin dan tidak menurunkan kadar gula darah pada orang sehat. Zat ini juga<br />
menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, maka layak diberikan<br />
pada penderita yang kegemukan (Tjay dan Kirana, 2007).<br />
Kerja derivat biguanid tidak bergantung pada fungsi pankreas. Sediaan<br />
biguanid tidak dapat menggantikan fungsi insulin endogen dan digunakan pada<br />
terapi diabetes dewasa. Penyerapan oleh usus baik sekali, obat ini dapat digunakan<br />
bersamaan dengan insulin atau sulfonilurea (Handoko dan Suharto, 1995).<br />
Contoh obat golongan ini adalah metformin. Metformin bekerja terutama<br />
dengan jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati, sebagian besar dengan<br />
menghambat glukoneogenesis. Metformin mudah diabsorpsi secara peroral, tidak<br />
terikat dengan protein serum dan tidak dimetabolisme, ekskresinya melalui urin<br />
(Mycek, et al., 2001).<br />
Universitas Sumatera Utara