30.07.2014 Views

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras - Pusat Sosial Ekonomi ...

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras - Pusat Sosial Ekonomi ...

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras - Pusat Sosial Ekonomi ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Analisis</strong> Kebijakan 1<br />

<strong>Analisis</strong> <strong>Penyebab</strong> <strong>Kenaikan</strong> <strong>Harga</strong> <strong>Beras</strong><br />

<strong>Analisis</strong> <strong>Penyebab</strong> <strong>Kenaikan</strong> <strong>Harga</strong> <strong>Beras</strong><br />

Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir<br />

ini yaitu : (1) stok beras berkurang; dan (2) kenaikan harga-harga umum<br />

yang dipicu antara lain oleh kenaikan harga BBM. Proyeksi kondisi stok dilakukan<br />

dengan pendekatan tidak langsung yaitu melalui produksi dan konsumsi,<br />

sedangkan analisis dampak kenaikan harga BBM terhadap harga beras dilakukan<br />

melalui asumsi bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak terhadap harga<br />

semua komoditas secara merata.<br />

Proyeksi Stok <strong>Beras</strong> tahun 2006<br />

Produksi padi tahun 2005 berdasarkana Angka Tetap (ATAP) BPS<br />

sebesar 54,15 juta ton GKG meningkat sebesar 0,11% dibanding produksi tahun<br />

2004 yang mencapai 54.09 juta ton GKG. Produksi padi tahun 2006 berdasarkan<br />

Angka Ramalan II (ARAM-II) sebesar 54.75 juta ton GKG meningkat sebesar 1,11%<br />

dibanding produksi tahun 2005. Peningkatan produksi tersebut masih lebih kecil<br />

dibanding pertumbuhan penduduk yang diperkirakan mencapai 1,30%. Dengan<br />

ditutupnya kran impor beras pada tahun 2005, maka kebutuhan konsumsi<br />

penduduk jelas mengambil iron stock beras di masyarakat (petani, pedagang,<br />

penggilingan, BULOG,dll), sehingga iron stock beras di masyarakat pada tahun<br />

2005 diperkirakan berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya harga<br />

beras di pasar yang terjadi sejak pertengahan tahun 2005 sampai awal panen<br />

raya bulan Maret tahun 2006.<br />

Hasil proyeksi dengan menggunakan model ekonometrik, menunjukkan<br />

bahwa produksi padi tahun 2006 diperkirakan mencapai 54,98 juta ton (Gambar<br />

1) masih lebih tinggi dari ARAM-II sebesar 54,75 juta ton. (Hasil proyeksi ini cukup<br />

layak karena produksi padi menurut ATAP umumnya lebih tinggi dari ARAM. Dari<br />

data 32 tahun terakhir hanya 5 tahun yang menunjukkan bahwa produksi ATAP<br />

lebih kecil dari ARAM). Dengan menggunakan hasil proyeksi tersebut, maka<br />

pertumbuhan produksi padi tahun 2006 diperkirakan sebesar 1,53% masih lebih<br />

tinggi dibanding pertumbuhan penduduk sebesar 1,30%. Namun demikian,<br />

proyeksi produksi padi sebesar 54,98 juta ton merupakan angka optimis kalau<br />

tidak terjadi fenomena alam (kekeringan, banjir,gangguan OPT) yang lebih serius<br />

dari kondisi normal.<br />

Apabila kita mengambil kisaran pertumbuhan produksi padi tahun 2006<br />

antara 1,11 – 1,53%, maka tambahan produksi padi tahun 2006 diperkirakan<br />

hanya mampu memenuhi kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk, bahkan<br />

mungkin masih tidak mencukupi. Hal ini berarti tidak ada penambahan stok dari<br />

produksi tahun 2006 sehingga stok beras tahun 2006 akan lebih kecil dibanding<br />

tahun 2005. Kondisi tersebut perlu dihindari karena akan mengakselarasi<br />

kenaikan harga beras di pasar dengan berbagai konsekuensinya. Salah satu upaya<br />

yang dapat dilakukan adalah menambah stok dengan beras impor.<br />

Pengaruh Stok dan Impor terhadap <strong>Harga</strong> beras


2<br />

Bab V I. <strong>Analisis</strong> Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis<br />

<strong>Analisis</strong> pengaruh impor dan stok terhadap perubahan harga beras<br />

dilakukan secara bertahap, yaitu:<br />

a. Melihat pengaruh surplus domestik (pemasukan dikurangi pengeluaran<br />

beras produksi domestik di pasar Cipinang) dan beras Ex -impor terhadap<br />

perubahan harga beras (Tabel 1). Dari Tabel tersebut ternyata pemasukan<br />

beras impor (Ex-impor) berpengaruh negatif terhadap perubahan harga,<br />

sedangkan surplus pasok tidak berpengaruh. Ini berarti bahwa bila<br />

pemasukan beras impor semakin besar, maka kenaikan harga makin<br />

rendah.<br />

b. Melihat pengaruh surplus pasok tahun 2004 dan tahun 2005 serta Ex-impor<br />

terhadap perubahan harga beras (Tabel 1). Dari tabel tersebut ternyata<br />

beras Ex-impor dan surplus pasok tahun 2005 berpengaruh negatif<br />

terhadap perubahan harga, sedangkan surplus pasok tahun 2004 tidak<br />

berpengaruh.<br />

c. Melihat pengaruh surplus pasok tahun 2005 serta beras Ex-impor terhadap<br />

perubahan harga beras (Tabel 1). Dari tabel tersebut ternyata beras Eximpor<br />

dan surplus pasok tahun 2005 berpengaruh negatif terhadap<br />

perubahan harga. Surplus pasok tahun 2005 berpengaruh terhadap<br />

perubahan harga karena pada tahun 2005 tidak ada beras ex-impor yang<br />

masuk ke pasar Cipinang, sehingga surplus domestik yang berpengaruh.<br />

Dengan demikian, pada saat tidak ada impor, maka surplus pasok sangat<br />

besar peranannya dalam perubahan harga beras. Apabila terjadi defisit,<br />

maka akan terjadi lonjakan harga dan sebaliknya. Dengan kata lain, jumlah<br />

stok sangat penting dalam pengendalian harga.<br />

Dampak <strong>Kenaikan</strong> <strong>Harga</strong> BBM terhadap <strong>Kenaikan</strong> <strong>Harga</strong> beras<br />

Salah satu dampak kenaikan harga BBM adalah meningkatkan harga-harga<br />

umum termasuk harga beras. Secara teoritis, dampak kenaikan harga BBM<br />

terhadap kenaikan harga-harga komoditas bersifat menyeluruh dengan<br />

persentase yang sama apabila tidak ada pengaruh lain yang mengikutinya.<br />

Dengan kata lain, rasio harga antar komoditas akan tetap atau tidak mengalami<br />

perubahan yang signifikan.<br />

<strong>Harga</strong>-harga komoditas pertanian pasca kenaikan harga BBM mengalami<br />

peningkatan yang cukup signifikan khususnya beras (Gambar 2.). Dari Gambar 2<br />

juga terlihat bahwa kenaikan harga beras terjadi secara berlanjut sejak akhir<br />

panen raya tahun 2005. Rasio harga komoditas pertanian lainnya terhadap harga<br />

beras juga mengalami penurunan (Gambar 3 s/d Gambar 6) sejak akhir panen<br />

raya tahun 2005, yang berarti bahwa harga beras meningkat lebih besar dari<br />

peningkatan harga komoditas lainnya. Dengan kebijakan pelarangan impor beras<br />

secara konsisten sejak akhir tahun 2004, maka harga beras sepenuhnya<br />

ditentukan oleh pasokan produksi dan permintaan beras dalam negeri. <strong>Harga</strong><br />

akan meningkat apabila terjadi kekurangan pasokan produksi dalam negeri atau<br />

peningkatan permintaan.<br />

Penurunan rasio harga komoditas lain terhadap harga beras menunjukkan<br />

bahwa kenaikan harga beras yang terjadi selama ini bukan semata-mata


<strong>Analisis</strong> Kebijakan 3<br />

disebabkan oleh kenaikan harga BBM, tetapi disebabkan oleh menurunnya<br />

pasokan beras yang disebabkan berkurangnya stok di masyarakat. Menurunnya<br />

pasokan beras bukan disebabkan oleh penurunan produksi, tetapi disebabkan<br />

oleh kenaikan produksi yang tidak sebanding dengan kenaikan permintaan.<br />

<strong>Analisis</strong> di atas menunjukkan bahwa stok berpengaruh terhadap harga<br />

beras, sehingga untuk mengendalikan kenaikan harga beras diperlukan upaya<br />

penambahan stok. <strong>Kenaikan</strong> produksi beras dalam negeri tidak mampu<br />

menambah stok, sehingga penambahan stok tersebut hanya dapat dilakukan<br />

melalui impor beras. Dengan kata lain impor beras hanya dilakukan untuk<br />

memperkuat stok beras nasional.<br />

Diperkirakan stok beras di Bulog hanya sekitar 532.000 ton, lebih rendah<br />

dibanding batas psikologis stok sebesar 1 juta ton (iron stock). Dengan jumlah<br />

stok tersebut maka impor beras tahun 2006 perlu dibatasi hanya sekitar 500.000<br />

ton saja.<br />

Gambar 1. Proyeksi Produksi Padi Tahun 2006<br />

60000000<br />

50000000<br />

Proyeksi = 54.98<br />

ARAM-2 = 54.75<br />

Actual<br />

Smoothed<br />

Forecast<br />

Actual<br />

Smoothed<br />

Forecast<br />

Padi<br />

40000000<br />

30000000<br />

Smoothing Constants<br />

Alpha (level): 1.161<br />

Gamma (trend): 0.010<br />

20000000<br />

1973<br />

1983<br />

1993<br />

2003<br />

MAPE:<br />

MAD:<br />

MSD:<br />

4<br />

1414817<br />

3.19E+12<br />

Time


4<br />

Bab V I. <strong>Analisis</strong> Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis<br />

Tabel 1. Dugaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan <strong>Harga</strong> <strong>Beras</strong><br />

Koefisien Skenario I Skenario II Skenario III<br />

Nilai Peluang Nilai Peluang Nilai Peluang<br />

Intersep 52.81317 0.047363 69.220123 0.015958 67.1029 0.01311<br />

Ex-Impor -0.00738 0.171149 -0.002168 0.724521<br />

Surplus Domestik -0.00431 0.412684 0.003907 0.584512<br />

DSurplus05Dom -0.020796 0.085217<br />

DSurplus04Dom -0.005768 0.691514<br />

-<br />

0.00497 0.146746<br />

-<br />

0.01669 0.062749<br />

Gambar 2. <strong>Harga</strong> <strong>Beras</strong> Eceran Medium, 2003 – 2006 (Rp/kg).<br />

5000<br />

4500<br />

4000<br />

3500<br />

3000<br />

2500<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Rp / kg<br />

2003 2004 2005 2006<br />

Bulan<br />

<strong>Harga</strong> <strong>Beras</strong><br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul


<strong>Analisis</strong> Kebijakan 5<br />

Gambar 3. Rasio <strong>Harga</strong> Gula Pasir dan Minyak Goreng Terhadap<br />

<strong>Harga</strong> <strong>Beras</strong> 2003 – 2006 (%).<br />

205<br />

185<br />

165<br />

(%)<br />

145<br />

125<br />

105<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

2003 2004 2005 2006<br />

Bulan<br />

Gula Pasir<br />

Minyak Goreng<br />

Gambar 4. Rasio <strong>Harga</strong> Jagung dan Kedele Terhadap<br />

<strong>Harga</strong> <strong>Beras</strong> 2003 – 2006 (%).<br />

165<br />

75<br />

155<br />

70<br />

145<br />

65<br />

135<br />

60<br />

(%)<br />

(%)<br />

125<br />

55<br />

115<br />

50<br />

105<br />

45<br />

95<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

40<br />

2003 2004 2005 2006<br />

Bulan<br />

Kedele<br />

Jagung


6<br />

Bab V I. <strong>Analisis</strong> Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis<br />

Gambar 5. Rasio Daging Ayam dan Telur Terhadap<br />

<strong>Harga</strong> <strong>Beras</strong>, 2003 – 2006 (%).<br />

310<br />

475<br />

290<br />

270<br />

425<br />

250<br />

(%)<br />

230<br />

(%)<br />

375<br />

210<br />

325<br />

190<br />

170<br />

275<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

150<br />

2003 2004 2005 2006<br />

Bulan<br />

Daging Ayam<br />

Telur<br />

Gambar 6. Rasio <strong>Harga</strong> Daging Sapi Terhadap<br />

<strong>Harga</strong> <strong>Beras</strong>, 2003 – 2006 (%).<br />

1330<br />

1280<br />

1230<br />

1180<br />

(%)<br />

1130<br />

1080<br />

1030<br />

980<br />

930<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

Agt<br />

Sep<br />

Okt<br />

Nop<br />

Des<br />

Jan<br />

Feb<br />

Mar<br />

Apr<br />

Mei<br />

Jun<br />

Jul<br />

2003 2004 2005 2006<br />

Bulan<br />

Daging Sapi


<strong>Analisis</strong> Kebijakan 7<br />

Perkembangan Impor <strong>Beras</strong> Tahun 1980-2005<br />

Secara umum produksi padi sawah di dalam negeri terus menunjukkan<br />

peningkatan dari waktu ke waktu, namun laju pertumbuhannya cenderung<br />

menurun, baik luas areal maupun produktivitas (Tabel 2). Akibat perlambatan<br />

dalam laju pertumbuhan produksi ini, sementara laju pertumbuhan penduduk<br />

relatif tetap, maka produksi padi di dalam negeri belum mampu mencukupi<br />

kebutuhan konsumsi secara berkelanjutan. Dalam kondisi seperti ini, maka impor<br />

beras merupakan suatu pilihan yang terpaksa diambil.<br />

Secara historis kesenjangan antara tingkat produksi dalam negeri dan<br />

kebutuhan konsumsi telah berlangsung sejak zaman orde lama , dan Indonesia<br />

pernah mengalami sebagai salah satu importir beras terbesar didunia pada akhir<br />

tahun 70-an. Seperti terlihat pada Gambar 7, selama kurun waktu 1994-2002<br />

impor beras yang dilakukan Indonesia mencapai puncaknya, dengan jumlah impor<br />

berkisar 1,88 - 11,71% dari total produksi beras di dalam negeri. Jumlah impor<br />

beras mencapai puncaknya sebesar 5,77 juta ton pada tahun 1998, akibat krisis<br />

ekonomi akut yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1997.<br />

Program peningkatan produksi padi yang dilakukan secara berkelanjutan<br />

telah mampu menstabilkan produksi padi di dalam negeri, dan sejak tahun 2003<br />

jumlah impor terus menunjukkan penurunan. Selama tahun 2004-2005 jumlah<br />

impor beras Indonesia kurang dari 1% dari total produksi di dalam negeri.<br />

Keberhasilan program peningkatan produksi padi disertai dengan kebijakan<br />

pelarangan impor beras telah menurunkan impor beras yang hanya mencapai 236<br />

ribu ton (0,44%) tahun 2004 dan 115 ribu ton (0,35) tahun 2005. Makin<br />

transparannya proses pengambilan keputusan dalam kebijakan impor beras,<br />

nampaknya juga telah berdampak pada penurunan jumlah impor tersebut.<br />

Jumlah impor tersebut adalah yang resmi tercatat di Dirjen Bea dan<br />

Cukai. Dalam prakteknya ialah impor ilegal diperkirakan masih berlanjut. Data<br />

impor dari The Rice Report menunjukkan angka yang lebih tinggi sekitar 125 –<br />

1309 ribu ton dibanding data resmi dari BPS. Selisih tersebut antara lain<br />

menunjukkan volume beras ilegal.


8<br />

Bab V I. <strong>Analisis</strong> Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis<br />

Gambar 1. Persentase Besaran Impor <strong>Beras</strong> Indonesia Terhadap Total<br />

Produksi Dalam Negeri, Tahun 1980-2006<br />

20<br />

15<br />

Persentase Impor<br />

10<br />

5<br />

0<br />

1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010<br />

-5<br />

Tahun


<strong>Analisis</strong> Kebijakan 9<br />

Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Impor <strong>Beras</strong> Indonesia Tahun<br />

1980-2005.<br />

Tahun<br />

Luas Panen<br />

(000 ha)<br />

Produktivitas<br />

(ton/ha)<br />

Produksi<br />

(000 ton)<br />

<strong>Beras</strong><br />

(000 ton)<br />

Impor<br />

(000 ton)<br />

% Impor Thd<br />

Produksi<br />

1980 9.005 3,293 29.652 18.437 2.027 6,84<br />

1981 9.382 3,493 32.774 20.369 525 1,60<br />

1982 8.988 3,736 33.584 20.912 311 0,93<br />

1983 9.162 3,853 35.303 21.903 1.172 3,32<br />

1984 9.764 3,906 38.136 23.736 414 1,09<br />

1985 9.902 3,942 39.033 24.316 34 0,09<br />

1986 9.988 3,977 39.727 24.744 28 0,07<br />

1987 9.923 4,039 40.078 24.970 55 0,14<br />

1988 10.138 4,111 41.676 25.949 33 0,08<br />

1989 10.521 4,251 44.726 26.437 41 0,09<br />

1990 10.502 4,302 45.179 26.925 29 0,06<br />

1991 10.282 4,346 44.688 26.615 178 0,40<br />

1992 10.959 4,402 48.240 28.738 634 1,31<br />

1993 11.013 4,375 48.181 28.750 - -<br />

1994 10.734 4,345 46.642 27.789 876 1,88<br />

1995 11.439 4,349 49.744 29.626 3.014 6,06<br />

1996 11.570 4,417 51.102 30.458 1.090 2,13<br />

1997 11.141 4,432 49.377 29.466 406 0,82<br />

1998 11.730 4,197 49.237 28.419 5.765 11,71<br />

1999 11.963 4,252 50.866 29.420 4.183 8,22<br />

2000 11.793 4,340 51.179 30.045 1.513 2,96<br />

2001 11.494 4,390 50.461 29.229 1.400 2,77<br />

2002 11.521 4,469 51.490 29.431 3.100 6,02<br />

2003 11.488 4,538 52.138 29.794 1.428 2,74<br />

2004 11.923 4,536 54.088 30.909 236 0,44<br />

2005 11.839 4,575 54.151 30.945 189 0,35<br />

Sumber Data : BPS


10<br />

Bab V I. <strong>Analisis</strong> Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis<br />

Tabel 3. Perbandingan Volume Impor <strong>Beras</strong> Versi BPS dan The Rice Report<br />

Tahun Impor <strong>Beras</strong> Versi BPS Impor <strong>Beras</strong> Versi Selisih<br />

(000 ton) The Rice Report (000 ton)<br />

1998 5.765 6.079 314<br />

1999 4.183 4.183 0<br />

2000 1.513 1.512 1<br />

2001 1.400 1.385 -15<br />

2002 3.100 3.740 640<br />

2003 1.428 2.737 1.309<br />

2004 236 634 398<br />

2005 189 314 125<br />

Konsumsi dan Sumber Perolehan <strong>Beras</strong> Untuk Rumah Tangga<br />

Berdasarkan data Susenas, konsumsi beras secara langsung tingkat<br />

rumahtangga menunjukkan trend penurunan, baik di perkotaan maupun di<br />

pedesaan. Hal ini terjadi sebagai dampak peningkatan pendapatan masyarakat<br />

dan terjadinya diversifikasi konsumsi pangan yang lebih luas. Penurunan konsumsi<br />

beras di wilayah kota sekitar 5,3 persen per tahun, lebih besar daripada di<br />

wilayah desa sebesar 2,3 persen per tahun (Tabel 4). Data ini belum termasuk<br />

kebutuhan beras untuk industri, bibit dan kebutuhan lainnya. Apabila<br />

memasukkan kebutuhan lainnya, maka secara total kebutuhan beras mencapai<br />

139,15 kg/kapita/tahun.<br />

<strong>Beras</strong> merupakan bahan pangan pokok di sebagian besar wilayah<br />

indonesia yang ditunjukkan dengan tingkat partisipasi konsumsi yang mencapai<br />

hampir 100 persen. Untuk rumahtangga dengan mata pencaharian utama di<br />

sektor pertanian, tingkat partisipasi konsumsi lebih besar daripada rumahtangga<br />

yang bekerja di sektor non pertanian. <strong>Beras</strong> yang dikonsumsi tersebut, dapat<br />

berasal dari hasil produksi sendiri atau dari pembelian. Dengan demikian,<br />

sebagian rumahtangga pedesaan berperan sebagai produsen padi dan sekaligus<br />

sebagai konsumen beras.<br />

Data SUSENAS menunjukan bahwa beras yang dikonsumsi rumahtangga<br />

sebagian besar berasal dari pembelian (Tabel 5). Hal ini berlaku juga untuk<br />

rumahtangga yang pekerjaan utamanya sektor pertanian, dengan persentase<br />

beras yang dibeli 74,1 persen di kota dan 66,5 persen di desa. Rumahtangga<br />

pertanian tersebut dapat dipastikan sebagian besar adalah rumahtangga yang<br />

menanam padi karena menurut data Sensus Pertanian 2003, jumlah rumahtangga<br />

yang menanam padi/palawija sekitar 70,8 persen.<br />

Tingginya persentase beras yang dikonsumsi rumahtangga berasal dari<br />

pembelian tidak secara otomatis menunjukkan bahwa rumahtangga tersebut<br />

adalah net consumer beras. Data PATANAS dari tiga propinsi sentra produksi padi


<strong>Analisis</strong> Kebijakan 11<br />

tahun 2004 menunjukkan bahwa bagi petani padi dengan basis agroekosistem<br />

lahan sawah produksi padi yang dihasilkannya menunjukkan surplus sekitar 294,2<br />

kg/kap/tahun (Tabel 6). Namun demikian, bagi rumahtangga tersebut sekitar<br />

90,1 persen dari beras yang dikonsumsinya berasal dari pembelian. Apalagi bagi<br />

petani di wilayah lahan kering yang memang tidak menanam padi, seluruh<br />

kebutuhan berasnya harus dibeli.<br />

Data-data diatas menunjukkan bahwa segera setelah panen petani<br />

menjual sebagian besar atau seluruh padinya untuk memenuhi kebutuhan uang<br />

tunai keluarga. Kemudian mereka membeli kebutuhan beras sehari-hari secara<br />

bertahap sesuai dengan arus kas yang diperoleh dari pendapatan usahatani non<br />

pasdi atau usaha non pertanian. Hal ini terutama sangat menonjol di daerah<br />

yang berkembang sistem tebasan dimana petani menjual seluruh hasil panen<br />

padinya yang masih berdiri di sawah. Faktor lain yang turut mendorong<br />

kebiasaan tersebut adalah keterbatasan tenaga dan tempat penyimpanan padi,<br />

disamping semakin mudahnya memperoleh beras di pasaran.<br />

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa petani padi di pedesaan<br />

umumnya masih net produser padi. Namun sebagian besar kebutuhan berasnya<br />

tetap harus dibeli karena sebagian besar atau seluruh hasil panennya langsung<br />

dijual. Berdasarkan kesimpulan tersebut maka tingkat dan stabilitas harga beras<br />

perlu terus dikendalikan untuk menjamin akses masyarakat termasuk petani padi<br />

terhadap beras.<br />

Tabel 4. Perkembangan Konsumsi <strong>Beras</strong> Rumahtangga (Kg/kap/tahun)<br />

Tahun Kota Desa<br />

2002<br />

2003<br />

2004<br />

2005<br />

111,4<br />

113,1<br />

100,2<br />

97,0<br />

118,8<br />

119,5<br />

112,1<br />

112,4<br />

Laju (%/th) -5,3 -2,3<br />

Sumber : Susenas diolah oleh BKP, Jakarta


12<br />

Bab V I. <strong>Analisis</strong> Kebijakan Pengembangan Komoditas dan Agribisnis<br />

Tabel 5. Sumber Perolehan <strong>Beras</strong> Rumahtangga (%).<br />

Wilayah/<br />

Rumah Tangga<br />

Pertanian<br />

Kota<br />

Desa<br />

Non Pertanian<br />

Kota<br />

Desa<br />

Produksi Sendiri<br />

25,9<br />

33,5<br />

21,0<br />

27,1<br />

Pembelian/pemberian<br />

74,1<br />

66,5<br />

79,0<br />

73,9<br />

Sumber : Susenas, 2002<br />

Tabel 6. Neraca Produksi-Konsumsi <strong>Beras</strong> pada Rumahtangga Pertanian di<br />

Pedesaan<br />

Uraian Lahan Sawah Lahan kering<br />

Konsumsi (kg/kap/th)<br />

Produksi (kg/kap/th)<br />

Surplus/Defisit (kg/kap/th)<br />

112,8<br />

407,0<br />

294,2<br />

95,4<br />

70,2<br />

(25,2)<br />

<strong>Beras</strong> yang dibeli (%)<br />

Sumber : PATANAS, 2004 (diolah)<br />

90,1<br />

96,0<br />

Dampak <strong>Kenaikan</strong> <strong>Harga</strong> <strong>Beras</strong> Terhadap Kemiskinan<br />

Jumlah penduduk miskin, dihitung oleh BPS dengan menggunakan data<br />

SUSENAS modul konsumsi. Penetapan garis kemiskinan dengan menggunakan<br />

data tersebut didasarkan pada nilai pengeluaran minimum rumahtangga untuk<br />

memenuhi kebutuhan konsumsi pangan sebesar 2100 kalori/kapita/hari dan<br />

kebutuhan dasar non pangan seperti papan, sandang pendidikan transportasi dan<br />

lainnya. Berkaitan dengan kebutuhan pangan, beras masih menyumbang ratarata<br />

sekitar 27 persen dari pemenuhan kalori tersebut, walaupun persentasenya<br />

terus menurun dari waktu ke waktu. Konsep diatas sejalan dengan konsep garis<br />

kemiskinan yang disusun Prof. Sajogyo, yaitu pendapatan setara dengan 240 kg<br />

beras/kapita/tahun di desa dan 360 kg/kapita/tahun di kota.<br />

Dengan peran beras seperti itu maka fluktuasi harga beras secara<br />

otomatis akan menentukan variasi jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan<br />

(penduduk miskin). Bila harga beras naik, maka kemampuan rumahtangga untuk<br />

memenuhi kebutuhan kalori tersebut menurun, yang berarti bahwa jumlah


<strong>Analisis</strong> Kebijakan 13<br />

penduduk dibawah garis kemiskinan bertambah. Perhitungan kuantitatif<br />

menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga beras sebesar 10 persen akan<br />

meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1 persen atau sekitar 2 juta<br />

orang. Dengan demikian, hal ini menekankan kembali tentang pentingnya<br />

mempertahankan tingkat dan stabilitas harga beras, bukan hanya untuk<br />

menjamin akses masyarakat terhadap konsumsi beras tetapi juga dalam rangka<br />

penanggulangan kemiskinan.<br />

Data BPS juga menunjukkan bahwa sekitar 55 persen dari penduduk yang<br />

tergolong miskin di Indonesia memiliki mata pencaharian utama di sektor<br />

pertanian. Dalam sektor pertanian, sekitar 75 persen dari jumlah rumahtangga<br />

miskin bekerja di sub sektor tanaman pangan. Selanjutnya di sub sektor tanaman<br />

pangan, 84 persen penduduk miskin merupakan buruh tani atau petani gurem<br />

dengan luas pemilikan/penguasaan lahan kurang dari 1 hektar. Selain itu,<br />

sebagian besar petani di sub sektor tanaman pangan adalah rumahtangga yang<br />

bekerja pada usahatani padi. Berdasarkan fakta tersebut, maka sektor pertanian<br />

pangan khususnya petani padi termasuk sebagai sasaran prioritas dalam<br />

kebijakan penanggulangan kemiskinan.<br />

Dengan mempertimbangkan peran beras tersebut, maka kebijakan<br />

menaikan HPP gabah dan beras akan memberikan dampak ganda. <strong>Kenaikan</strong> HPP<br />

gabah jelas berdampak positif tehadap peningkatan petani dari usahatani padi.<br />

Namun demikian, dengan luas pemilikan lahan rumahtangga yang rata-rata hanya<br />

0,3 hektar maka kenaikan harga gabah tersebut relatif kecil pengaruhnya<br />

terhadap pendapatan total rumah tangga. Data PATANAS juga menunjukkan<br />

bahwa pendapatan dari usahatani padi hanya menyumbang sekitar 20-30 persen<br />

terhadap pendapatan total rumahtangga. Dengan demikian, peningkatan<br />

pendapatan petani perlu dilakukan secara lebih luas meliputi usahatani non padi<br />

maupun pengembangan kegiatan non pertanian.<br />

Di pihak lain, kenaikan harga beras memiliki dampak yang kurang<br />

menguntungkan bagi berbagai komponen masyarakat, yaitu: (a) rumahtangga<br />

yang berstatus net consumer beras; (b) petani dengan status net producer,<br />

namun sebagian besar kebutuhan berasnya dibeli; (c) dampaknya terhadap<br />

peningkatan insiden kemiskinan.<br />

Selain berdasarkan nilai pengeluaran, kriteria garis kemiskinan bisa juga<br />

menggunakan nilai pendapatan. Bank Dunia menetapkan bahwa penduduk<br />

disebut miskin bila pendapatan keluarga kurang dari US$ 2 per hari, dan sangat<br />

miskin bila pendapatannya kurang dari US$ 1 per hari.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!